Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MANAJEMEN AGRIBISNIS BAWANG MERAH
VARIETAS LEMBAH PALU
Edisi Pertama
Tim Penulis: Marhawati Mappatoba
Saharia Kassa Alimuddin Laapo Yulianti Kalaba
Nur Alam Abdul Rahim
Editor: Prof. Ir. Zainuddin Basri, Ph.D.
(Universitas Tadulako)
Penerbit
2016
Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Manajemen agribisnis bawang merah varietas lembah Palu. Marhawati Mappatoba, dkk. Palu: Untad Press, 2016 ix hal. + 223 hal.; 15,5 x 23 cm ISBN: 978-602-8824-79-8 © Hak Cipta 2016 Judul Buku : Manajemen agribisnis bawang merah
varietas lembah Palu Editor : Zainuddin Basri Layout Isi : - Desain Sampul : - Cetakan : Pertama 1. Non Fiksi i. Judul ii. Zainuddin Basri
Penerbit: UNTAD Press Jl. Soekarno Hatta KM. 9 Palu Sulawesi Tengah 94118
Kutipan Pasal 72: Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hal Cipta No. 19 Tahun 2002 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayar (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
ii
KATA PENGANTAR
Agribisnis adalah suatu sistem bisnis pertanian yang utuh,
terdiri atas sub-sistem hulu atau up-stream system, sub-sistem
usahatani atau on-farm, sub-sistem pengolahan/agroindustri atau
processing system dan sub-sistem pemasaran atau market system.
Ke-empat sub-sistem tersebut dapat diintegrasikan dengan baik
dalam sebuah kemitraan bisnis bawang merah Varietas Lembah
Palu (VLP) sebagai bahan baku utama industri bawang goreng Palu
jika mendapatkan dukungan sub-sistem kelembagaan sarana dan
prasarana serta sub-sistem pembinaan. Selama ini, kelemahan
agribisnis bawang merah VLP terletak pada rapuhnya keterkaitan
antar sub-sistem atau rapuhnya pola kemitraan, yang secara
pengamatan empiric bahwa sub-sistem tersebut bekerja sendiri-
sendiri.
Kawasan Lembah Palu merupakan sentra pertanaman
bawang, dan industri kecil-menengah (IKM) di Kota Palu sebagai
penghasil bawang goreng, yang menyajikan produk penyedap
masakan dengan unickness tersendiri karena cita rasa, aroma,
tekstur, bentuk yang spesifik dan daya simpan yang lama (setahun)
bilamana dikemas sempurna. Unickness bawang goreng berkorelasi
dengan harga, yang pada saat tertentu dapat mencapai Rp
250.000/kg, namun bagi petani produsen bawang merah VLP,
pemasaran ini merupakan variabel yang di luar jangkauannya
(exegenous variable). Petani tidak mampu menguasai pasar, harga
dikendalikan oleh pembeli, petani harus puas sebagai penerima
iii
harga (price taker). Sebaliknya, pelaku IKM bawang goreng
menghadapi permasalahan kekurangan pasokan bahan baku yang
diiringi dengan fluktuasi harga, sementara permintaan bawang
goreng menaik.
Terkait dengan peluang bisnis bawang goreng Palu yang
terbuka lebar dengan keunggulan spesifik lokasi dari bahan
bakunya, maka standarisasi dan akreditasi kegiatan agribisnis
adalah suatu keharusan yang perlu mendapatkan prioritas
pengembangan secara berkelanjutan. Sejalan dengan harapan
tersebut, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako telah
menetapkan komoditi spesifik lokasi bawang merah VLP untuk
terus dikaji dan dikembangkan secara terintegrasi dalam sistim
Agribisnis, baik untuk penelitian/tugas akhir mahasiswa maupun
bagi pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi bagi dosen.
Kehadiran buku “Manajemen Agribisnis Bawang Merah
Varietas Lembah Palu” adalah respon akan kerinduan terhadap
bacaan ataupun referensi terkait Manajemen Agribisnis yang
terintegrasi antar sub-sub sistemnya, yang saat ini masih langka
ditemukan. Juga kebutuhan internal mahasiswa dan dosen dalam
memperkaya khasanah pengetahuan tentang komoditas spesifik
lokasi tersebut, demikian bagi petani dan pelaku usaha lainnya
yang terkait dalam pengembangan bisnis bawang goreng Palu.
Publik atau konsumen penikmat bawang goreng Palu juga sering
mempertanyakan mengapa bawang goreng asal Kota Palu bisa
renyah (‘toreh’: bahasa lokal), beraroma harum, tampilan menarik
iv
dan bertahan lama, berbeda dengan bawang goreng lainnya, yang
secara garis besar jawabannya telah terurai dalam buku ini.
Disadari bahwa penulisan buku “Manajemen Agribisnis
Bawang Merah Varietas Lembah Palu” edisi perdana masih sarat
dengan kekurangan dan kelemahan walau penulis telah
mempersiapkannya dengan cermat, untuk itu, masukan yang
bersifat membangun dan konstruktif akan sangat bermanfaat untuk
penyempurnaan edisi berikutnya. Penulisan buku ini adalah atas
prakarsa Prof. Ir. Zainuddin Basri, Ph.D selaku Dekan Fakultas
Pertanian, yang dengan dukungan, motivasi dan pengorbanannya
yang tiada mengenal lelah, akhirnya buku ini terwujud dihadapan
pembaca. Teiring terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi, khususnya pihak Fakultas Pertanian yang
menyiapkan dana penulisan buku, nilainya sangat berati dalam
memotivasi para penulis.
Besar harapan kami bahwa kehadiran buku ini menjadi awal
kebangkitan penulisan buku secara berkelompok, karena buku
adalah gudang ilmu yang terwariskan kepada generasi penerus.
Akhirnya, semoga buku ini menambah khasanah keilmuan dalam
mengembangkan bisnis bawang goreng Palu menuju daya saing
global, action locally and thinking globally, Amin.
Palu, 25 Mei 2016
Tim Penyusun
v
DAFTAR ISI
JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
i ii v
vii ix
halaman
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup
Agribisnis 1.2 Uniqueness Bawang Merah Varietas
Lembah Palu 1.3 Dari Bawang Merah VLP ke Bawang
Goreng Palu 1.4 Bawang Goreng sebagai Produk
Unggulan Daerah
4
9
15
23
BAB II. KONSEP DASAR MANAJEMEN AGRIBISNIS BAWANG VARIETAS LEMBAH PALU
2.1 Pengertian Manajemen 2.2 Hubungan Antara Konsep Manajemen
dengan Agribisnis 2.3 Prinsip dan Aplikasi Fungsi Manajemen
dalam Agribisnis 2.4 Perumusan dan Implementasi Rencana
Strategi Pengembangan Agribisni Bawang VLP
30
33
36
40
BAB III. MANAJEMEN INPUT PRODUKSI BAWANG MERAH VLP
3.1 Optimalisasi Pemanfaatan Lahan dan Air 3.2 Manajemen Pengadaan Benih Bawang
Merah
55
62
vi
BAB IV. MANAJEMEN ON-FARM BAWANG MERAH VLP
4.1 Konsep Manajemen Usahatani 4.2 Sekilas Tentang Budidaya Bawang
Merah VLP 4.3 Analisis Biaya Usahatani Bawang Merah
VLP 4.4 Analisis Produksi dan Pendapatan
Usahatani Bawang Merah VLP
67
71
86
87
BAB V. MANAJEMEN AGROINDUSTRI BAWANG MERAH VLP
5.1 Konsep Manajemen Agroindustri 5.2 Manajemen Stok Bahan Baku 5.3 Proses Produksi Bawang Goreng 5.4 Manajemen Stok Produk
90 92 97
117
BAB VI. MANAJEMEN RANTAI PASOK BAWANG GORENG
6.1 Konsep Rantai Pasok Bawang Goreng 6.2 Struktur Rantai Pasok 6.3 Mekanisme Rantai Pasok 6.4 Kelembagaan Rantai Pasok 6.5 Penilaian Kinerja Rantai Pasok
122 124 128 130 137
BAB VII. KELEMBAGAAN AGRIBISNIS BAWANG MERAH VLP
7.1 Permodalan Usaha 7.2 Kelembagaan Kelompok Usaha 7.3 Kebijakan Pendukung 7.4 Kebijakan Pengelolaan Rantai Pasok
156 158 162 170
BAB VIII. KELAYAKAN INVESTASI AGRIBISNIS BAWANG MERAH VLP
8.1 Konsep Kelayakan Investasi 8.2 Analisis Investasi Agribisnis Bawang
Merah VLP
176
205
DAFTAR PUSTAKA
vii
DAFTAR TABEL
Nomor halaman 1 Parameter Penciri Bawang Merah VLP dengan
Bawang Merah lainnya
10 2 Komponen Kimia Bawang Merah VLP dan
Bawang Merah Biasa
13 3 Korelasi (r) Kandungan Hara Daun dengan
Produktvitas dan Komponen Kimia Umbi Bawang Merah Varietas Lembah Palu
15 4 Karaketeristik Bawang Goreng Palu 20
5 Koefesien korelasi (r) komponen kimia umbi dengan karakteristik mutu bawang goreng
21
6 Produktivitas dan Lokasi Pertanaman Bawang Merah VLP
23
7 Produktivitas dan Lokasi Pertanaman Bawang Merah VLP
55
8 Karakteristik Mutu Bawang Goreng Palu yang Disimpan Selama 5 Bulan pada Kondisi Lingkungan Tempat Penyimpanan yang Berbeda
118 9 Prosedur perhitungan nilai tambah metode
Hayami
141 10 Analisa nilai tambah Edamame kemasan
semester satu
142 11 Analisa nilai tambah Edamame kemasan
semester dua
143 12 Analisa nilai tambah Edamame curah semester
satu
143 13 Analisa nilai tambah Edamame curah semester
dua
144 14 Jenis risiko petani jagung 152
15 Nilai konsekuensi risiko 153
16 Input pemilihan jadwal tanam 154
17 Hasil solver jadwal tanam optimal 155
18 Perhitungan bunga majemuk 190
viii
19 Cash flow (Rp.000) investasi PT Agriculture 207
20 Cash flow (Rp.000) investasi PT Agriculture-Smansa77
208
21 Cash flow (Rp.000) investasi PT Agriculture-Smansa77
211
22 Cash flow (Rp.000) investasi PT Agriculture-Smansa77
211
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Bentuk dan Warna Bawang Merah VLP (Kanan)
dibanding Bawang Merah Biasa (Kiri)
11
2. Nilai Kelunakan Umbi Bawang Merah Biasa dan
Bawang Merah VLP
14
3. Tampilan Bawang Goreng Palu 18
4. Pengaruh Sistem Pengunaan Lahan di SPL yang
ditanami Bawang Merah Varietas Lembah
Terhadap pH, KTK, KB, Total Hara Tanah dan
Indeks Produksi
60
5. Pengaruh Metode Pengairan di SPL Terhadap pH,
KTK, KB, total hara tanah, dan indeks produksi
62
6. Penampakan umbi untuk bibit dan umbi untuk
dijual ke industri penggorengan
65
7. Penampakan umbi bibit bawang merah VLP yang
digantung pada dinding rumah dibagian luar
65
8. Penampakan Bawang Merah VLP Siap Panen 85
9. Pemanenan Bawang Merah VLP 85
10. Penampakan Bawang Merah VLP Sebagai Bahan
Baku Bawang Goreng Palu
100
11. Spinner alat untuk mereduksi kadar minyak
Bawang Goreng
107
12. Sealer, alat ini berfungsi untuk merekatkan plastik
pembungkus atau kemasan bawang goreng
108
13. Ayakan untuk Grading bawang goreng 115
14. Penampakan Bawang Goreng Sebelum Grading 116
15. Penampakan Bawang Goreng Pasca-grading 116
16. Pola aliran material 124
17. Struktur rantai pasok pertanian 128
18. Jaringan rantai pasok jagung 150
1
BAB I PENDAHULUAN
Agribisnis adalah suatu sistem bisnis pertanian yang utuh,
terdiri atas sub-sistem hulu atau up-stream system, sub-sistem
usahatani atau on-farm, sub-sistem pengolahan/agroindustri atau
processing dan sub-sistem pemasaran atau market system. Ke-
empat sub-sistem tersebut dapat bekerja dengan baik dalam sebuah
kemitraan usaha jika mendapatkan dukungan sub-sistem
kelembagaan sarana dan prasarana serta sub-sistem pembinaan.
Selama ini, kelemahan dari pelaksanaan sistem agribisnis terletak
pada lemahnya keterkaitan antar sub-sistemnya, yang secara
pengamatan empiric di lapangan bahwa sub-sistem tersebut bekerja
sendiri-sendiri, seperti halnya pada pengembangan “Agribisnis
Bawang Merah Varietas Lembah Palu”. Agar pelaksanaan sistem
agribisnis berjalan optimal dan keterkaitan antar sub-sistem
bertambah kuat maka diperlukan menajemen yang mensinergikan
sumberdaya yang tersedia baik sumberdaya alam (SDA) maupun
sumber daya manusia (SDM) yang berorientasi keberlanjutan dan
daya saing (competitiveness) produk.
Manajemen merupakan seni untuk melaksanakan rangkaian
pekerjaan melalui orang lain, yang diawali dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan/pengendalian dalam
rangka memberdayakan seluruh sumberdaya organisasi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Stoner, 1989). Rangkaian
kegiatan tersebut dikenal dengan fungsi-fungsi manajemen, yang
secara universal, prinsip dan pengetahuan manajemen sama untuk
2
semua bisnis, baik bisnis besar, mikro dan agribisnis. Perbedaannya
terletak pada seni menggunakan prinsip dasar manajemen untuk
menjalankan bisnis, fungsi manajemen digunakan dengan cara
yang berbeda oleh perusahaan bisnis yang berbeda sesuai dengan
karakteristik usaha, skala usaha, jenis komoditas, dan variasi
lainnya.
Bawang merah Varietas Lembah Palu yang selanjutnya
disebut bawang merah VLP adalah jenis bawang merah spesifik
lokasi yang dibudidayakan oleh masyarakat di Kawasan Lembah
Palu, dan digunakan sebagai bahan baku pada industri rumah
tangga penggorengan bawang, yang hasilnya adalah bawang
goreng Palu. Uraian dan penjelasan terkait dengan manajemen
agribisnis bawang diarahkan pada bawang merah sebagai bahan
baku yang dihasilkan oleh petani, dan bawang goreng adalah hasil
hilirisasinya yang dilakukan oleh pelaku usaha penggorengan
bawang. Berdasarkan batasan tersebut, Manajemen Agribisnis
mencakup penerapan fungsi manajemen dalam seluruh sub-sistem
agribisnis untuk mencapai hasil yang gemilang dengan sumberdaya
yang tersedia, mulai dari sub-sistem hulu, farm gate dan
agroindustri. Pada posisi ini, kemampuan manajerial untuk
mencapai hasil melalui orang lain penting sekali diperhatikan,
penekanannya terletak pada bagaimana meningkatkan kemampuan
personal (SDM) baik para petani pembudidaya bawang merah
maupun para pelaku usaha agroindustri bawang goreng sebagai
mitra bisnis yang tangguh dalam merespon permintaan/preferensi
konsumen domestik dan global.
3
Menyahuti kondisi tersebut, Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako merasa terpanggil dan berupaya merespon
dengan menghadirkan buku yang bersumber dari karya penelitian
dosen. Adapun pokok bahasan pada buku “Manajemen Agribisnis
Bawang Merah Varietas Lembah Palu” diawali dengan
mengetengahkan pengertian dan ruang lingkup Agribisnis dengan
uniqueness bawang goreng sebagai produk unggulan daerah
mengisi Bab I. Konsep dasar Manajemen Agribisnis pada Bab II
mengulas tentang pengertian manajemen dengan hubungan serta
aplikasi fungsi manajemen dalam agribisnis, yang diperkaya
dengan perumusan rencana pengembangan agribisnis bawang.
Manajemen input produksi bawang merah dengan uraian
optimalisasi pemanfaatan lahan dan air, manajemen pengadaan
benih, pupuk, pestisida, serta infrastruktur pendukung produksi
mengisi bahasan Bab III. Manajemen on-farm menguraikan konsep
manajemen usahatani dengan analisis biaya dan produksi menuju
perolehan pendapatan usahatani bawang merah menjadi telaahan
Bab IV. Manajemen agroindustri pada Bab V berkonsentrasi pada
manajemen stok bahan baku dan manajemen stok produk bawang
goreng. Bab VI terkait dengan manajemen rantai pasokan bawang
goreng Palu, yang didukung dengan kelembagaan Agribisnis
sebagai kajian Bab VII. Bagian terakhir Bab VIII memperlihatkan
Analisis Kelayakan Investasi dengan perspektif berinvestasi pada
agribisnis bawang merah dan bisnis bawang goreng dengan target
pasar global. Setiap pokok bahasan disertai dengan contoh praktis
agar mempermudah pemahaman pembaca buku ini.
4
1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Agribisnis
Apa yang terlintas dipikiran ketika mendengar atau
membaca kata agribisnis? Ya, sebagian orang mengaitkannya
dengan kegiatan pertanian seperti mencangkul untuk penyiapan
bedengan pada pertanaman bawang merah dan kegiatan sejenisnya.
Memang pernyataan tersebut benar dalam arti sempit, tetapi kurang
tepat saja, karena istilah agribisnis berasal dari kata agri atau
pertanian dan bisnis adalah usaha yang menghasilkan uang.
Pengertian Agribisnis dalam arti sempit adalah setiap usaha yang
berkaitan dengan kegiatan produksi pertanian, yang meliputi
pengusahaan input pertanian atau pengusahaan produksi itu sendiri
atau pun juga pengusahaan pengelolaan hasil pertanian (Sjarkowi
dan Sufri, 2004). Pengertian dalam arti luas meliputi; pertanian
rakyat atau pertanian dalam arti sempit, perkebunan rakyat dan
perkebunan besar, kehutanan yang menghasilkan produk hutan
seperti kayu dan rotan, peternakan yaitu budidaya ternak baik
ternak kecil dan ternak besar, dan perikanan yang meliputi
perikanan darat dan laut. Pada cakupan yang luas ini, semua
stakeholder perlu memahami perspektif agribisnis terkait dengan
peranannya sebagai sumber pendapatan, meningkatkan penyerapan
tenaga kerja, meningkatkan perolehan devisa, dan menambah
jumlah agroindustri baru. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan
strategi pertanian yang tangguh termasuk ketangguhan petani
bawang, pembina, dan lembaga pendukungnya atau agrisupport
activities, maka sinergi antar sub-sistem agribisnis bawang merah
VLP akan berjalan secara terintegrasi. Kesesuaian dengan kondisi
5
agroklimat Lembah Palu, akan menjadikan pengembangan
“Agribisnis Bawang Merah VLP di Lembah Palu” merupakan
pilihan yang tepat sejalan dengan upaya peningkatan daya saing
komoditas unggulan daerah bawang goreng Palu dengan cita rasa
yang khas (uniqueness).
Selanjutnya, ruang lingkup sistem agribisnis dikemukakan
oleh Davis dan Golberg, Sonka dan Hudson, Farrell dan Funk
dalam Saragih (1998), yaitu: “Agribusiness included all operations
involved in the manufacture and distribution of farm supplies;
production operation on the farm; the storage, processing and
distribution of farm commodities made from them, trading
(wholesaler, retailers), consumer to it, all non farm firms and
institution serving them”. Pendapat ini menunjukkan bahwa
agribisnis adalah suatu sistem produksi pertanian dengan ruang
lingkup dari hulu hingga hilir, yang oleh Saragih (1998) bahwa
sistem agribisnis terdiri atas empat subsistem, yaitu: (a) subsistem
agribisnis hulu atau downstream agribusiness, (b) subsistem
agribisnis usahatani atau on-farm agribusiness, (c) subsistem
agribisnis hilir atau upstream agribusiness, dan (d) subsistem jasa
layanan pendukung agribisnis atau supporting institution, dengan
uraian sebagai berikut.
1. Sub-sistem Hulu atau upstream Agribusiness
Sub-sistem hulu disebut juga subsistem input faktor (input factor
subsystem), dikenal dengan subsistem pengadaan sarana produksi
pertanian, menyediakan perbekalan petani melalui pengadaan dan
6
distribusi sarana produksi baik agro-otomotif seperti alat dan mesin
pertanian maupun agro-kimia seperti pupuk dan pestisida, serta
industri pembenihan.
2. Sub-sistem Usahatani atau on-farm Agribusiness,
Sub-sistem usahatani atau budidaya pertanian disebut juga
subsistem produksi pertanian (production subsystem), melakukan
budidaya pertanian dalam arti luas, yang menghasilkan berbagai
macam komoditas primer atau bahan mentah. Sistim produksi
usahatani merupakan pusat aktivitas agribisnis, apabila tingkat
efisiensi sektor ini bertumbuh positif, sektor lain akan ikut, artinya
bahwa baik buruknya sistim usahatani akan berdampak langsung
pada situasi keuangan sector upstream dan downstream.
3. Sub-sistem Agribisnis Hilir atau downstream Agribusiness
Subsistem agribisnis hilir terdiri atas dua macam kegiatan, yaitu
pengolahan komoditas primer dan pemasaran komoditas primer
atau produk olahan. Kegiatan pengolahan komoditas primer adalah
memproduksi produk olahan baik produk setengah jadi maupun
barang jadi yang siap dikonsumsi konsumen dengan menggunakan
bahan baku komoditas primer. Kegiatan ini sering juga
disebut agroindustri. Contoh kegiatan pengolahan komoditas
primer yang menghasilkan produk antara adalah pabrik tepung
terigu, maezena, tapioka, dan produk final atau barang jadi adalah
pabrik makanan dan minuman sari buah atau sirup. Adapun
kegiatan pemasaran berlangsung mulai dari pengumpulan
7
komoditas primer sampai pengeceran kepada konsumen baik
produk antara maupun produk final.
4. Sub-sistem Pendukung Agribisnis atau supporting Institution
Subsistem jasa layanan pendukung atau kelembagaan penunjang
agribisnis adalah semua jenis kegiatan yang berfungsi mendukung
dan melayani serta mengembangkan kegiatan ketiga subsistem
agribisnis yang lain. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam
kegiatan ini adalah penyuluhan, konsultan, keuangan, dan
penelitian. Lembaga penyuluhan dan konsultan memberikan
layanan informasi dan pembinaan teknik produksi, budidaya, dan
manajemen. Lembaga keuangan seperti perbankan, modal ventura,
dan asuransi memberikan layanan keuangan berupa pinjaman dan
penanggungan risiko usaha (khusus asuransi). Lembaga penelitian
baik yang dilakukan oleh balai-balai penelitian atau perguruan
tinggi memberikan layanan informasi teknologi produksi,
budidaya, atau teknik manajemen mutakhir hasil penelitian dan
pengembangan.
Beberapa hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam ruang lingkup
pengembangan agribisnis terkait keanekaragaman jenis bisnis yang
sangat besar adalah:
1. Varian pelaku usaha, mulai dari produsen primer sampai
kepada para pengapal (shipper), perantara, pedagang
borongan, pengolah, pengepak, manufacture, perusahaan,
penyimpanan, pengangkutan, lembaga keuangan, pengecer,
jaringan restoran dan rumah makan, dan seterusnya.
8
2. Skala usaha agribisnis sangat beragam dari yang sangat kecil,
menengah dan besar, jumlahnya sangat besar dengan bisnis
yang berbeda (heterogen), termasuk yang menangani rute
perjalanan komoditas dari produsen sampai ke konsumen
akhir.
3. Cara pendirian agribisnis dikelilingi oleh pengusaha tani yang
memproduksi berbagai macam bahan baku untuk industri
hilirnya, terdapat kaitan erat dengan petani baik langsung
maupun tidak langsung, tidak ada industri lain yang yang
lokasi operasinya dikelilingi oleh produsen bahan bakunya.
4. Usaha agribisnis cenderung sebagai usaha keluarga dan pada
umumnya berbasis pedesaan dengan ikatan kekeluargaan yang
relatif tinggi. Falsafah hidup tradisional masih mewarnai
sebagian besar produsen usahatani yang menyebabkan
agribisnis lebih tertinggal dibandingkan dengan bisnis lainnya.
Keanekaragaman jenis bisnis yang sangat besar adalah faktor
potensial untuk dioptimalkan dengan pertimbangan posisinya
sebagai menyerap sekitar 65% dari angkatan kerja, yang
diwarnai dengan 75% dari angkatan kerja tergolong tidak
tamat Sekolah Dasar (SD) dan hingga tamat SD saja, yang
sebagian besar berada di subsektor tanaman pangan dan
hortikultura (BPS, 2015). Peran agribisnis sebagai penghasil
devisa terbaca dari nilai ekspor pertanian dan hasil olahan,
perannya sebagai sumber pendapatan dengan indikator jumlah
penduduk yang bekerja di sektor pertanian, dan peran aspek
9
pasar yang bermakna penyampaian barang, jasa dan ide
(gagasan) dari produsen ke konsumen untuk memperoleh laba
dan kepuasan. Bagi produsen bawang merah, pemasaran
merupakan variabel yang di luar jangkauannya (exegenous
variable), petani tidak mampu menguasai pasar, yang harganya
dikendalikan oleh pembeli, petani harus puas sebagai price
taker atau penerima harga. Terkait dengan maksud
memperluas jangkauan pasar ataupun masuk dalam pasar
global, maka standarisasi dan akreditasi kegiatan agribisnis
adalah suatu keharusan karena tuntutan keterbukaan, ketelitian
dan kemampuan bersaing. Agar semua pihak baik produsen
atau konsumen tidak dirugikan, maka proses produksi harus
jelas, untuk itu, maka Badan Agribisnis Indonesia (1995) telah
menetapkan tujuan standarisasi dan akreditasi yaitu;
meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan petani,
menciptakan iklim usaha yang sehat, meningkatkan daya
saing, melindungi konsumen, melancarkan jalannya aktivitas
pemasaran, mendorong berkembangnya investasi, dan
membantu kelestarian alam.
1.2. Uniqueness Bawang Merah Varietas Lembah Palu
Komoditas ini banyak diusahakan oleh petani di Kawasan
Lembah Palu tepatnya di Kabupaten Donggala dan Sigi serta Kota
Palu, sehingga lazim disebut “bawang merah Varietas Lembah Palu
(VLP)”. Penggunaan nama ini kemudian diresmikan oleh Gubernur
Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada acara Hari Krida
10
Pertanian Tahun 2000 di Palu (Limbongan dan Maskar, 2003),
dengan demikian secara resmi dinamakan bawang merah Varietas
Lembah Palu, selanjutnya disebut bawang merah VLP. Usahatani
ini sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu terutama di Desa
Guntarano dan Sidera, dan beberapa daerah lainnya yang
beradaptasi cukup baik pada dataran rendah beriklim kering. Selain
itu, masih ada 2 bawang merah lokal Sulteng yang dikenal dengan
bawang merah Tinombo dan Napu.
Hasil kajian tentang pembandingan tiga jenis bawang merah
lokal Sulawesi Tengah (VLP, Tinombo, dan Napu) dengan tiga
jenis bawang merah introduksi (Sumenep, Bima, dan Filipina)
menunjukkan bahwa bawang merah VLP memiliki ciri yang mirip
dengan bawang merah Sumenep, Bima, dan Filipina berdasarkan
jumlah anakan per rumpun, tinggi tanaman, jumlah daun, serta
bobot basah dan kering umbi (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter Penciri Bawang Merah VLP dengan Bawang Merah
lainnya
11
Bawang merah VLP cocok dikembangkan di dataran rendah
dan daya adaptasinya lebih baik dibanding bawang merah
Tinombo, sementara bawang merah Napu memiliki daya adaptasi
yang lebih luas, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi
(Maskar, dkk. 2001). Ciri bawang merah VLP berdasarkan
morfologi daun adalah daun tegak hingga waktu panen. Ciri
tersebut juga terlihat pada bawang merah Tinombo dan Sumenep.
Perbedaannya adalah daun bawang merah VLP berwarna hijau
agak pucat, sedangkan bawang merah Tinombo dan Sumenep
berwarna hijau tua. Dilihat dari morfologi umbi, bawang merah
VLP memiliki bentuk umbi silindris seperti pipa, bulat agak
memanjang dengan ukuran agak kecil. Ciri-ciri tersebut mirip
dengan bawang merah Tinombo dan Sumenep. Perbedaannya
adalah umbi bawang merah VLP berwarna lebih pucat daripada
bawang Sumenep (Limbongan dan Maskar, 2003), dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1.
Bentuk dan Warna Bawang Merah VLP (Kanan) dibanding Bawang Merah Biasa (Kiri)
12
Bawang merah VLP memiliki tipe pertumbuhan daun agak
menyebar dan daun berwarna hijau lebih muda dibanding bawang
merah Sumenep (Anggorahadi dan Suwandi (2000) dalam
Limbongan dan Maskar, 2003). Rata-rata tinggi tanaman 37,80 cm
dengan jumlah anakan 8-13 rumpun-1. Umur tanaman sampai
panen sekitar 95-110 hari. Bobot umbi kering 227,30 g rumpun-1
atau setara dengan 20,20 t ha-1, dengan warna umbi merah pucat
dan kadar air 72,50%. Dari hasil observasi tersebut dapat
disimpulkan bahwa bawang merah VLP memiliki ciri yang berbeda
dengan bawang merah Sumenep, yaitu umbi berwarna merah lebih
pucat dan aroma bawang goreng lebih tajam. Total padatan terlarut
umbi bawang merah VLP 26,80 0Brix lebih tinggi daripada varietas
dalam negeri Kuning dan Bima yakni 21,67 dan 16,17 0Brix
(Gunadi, 2009), varietas cv. Giza 20 asal Mesir 12,84 oBrix (El-
Bassiony, 2006), 10,93 oBrix (Shaheen, et al. 2007b) dan 12,04
0Brix (Aisha, et al. 2007).
Ciri bawang merah VLP berdasarkan kandungan dan
komposisi kimia yang dimilikinya ditunjukkan pada Tabel 2.
Bawang merah VLP mengandung air dengan kadar lebih rendah
daripada bawang merah lainnya. Umbi yang berkadar air rendah
dapat meningkatkan rendemen dan tekstur bawang goreng,
menurunkan kadar minyak, asam lemak bebas bawang goreng dan
minyak goreng. Disisi lain komponen kimia peroksimat seperti
lemak, karbohidrat, protein dan mineral serta senyawa kimia
pemberi aroma dan rasa lebih tinggi ditemukan pada bawang merah
VLP jika dibanding bawang merah lainnya.
13
Tabel 2. Komponen Kimia Bawang Merah VLP dan Bawang Merah Biasa
Senyawa 2-Furancarboxaldehyde 5-methyl-2- furfural, 2-
furancarboxaldehyde furfural dan 2,5-dimethyl-4-hidroxy-furanone
adalah komponen kimia minyak atsiri yang kontribusi terhadap
aroma dan flavor bawang merah. Ketiga senyawa ini kadarnya
paling tinggi ditemukan pada umbi bawang merah VLP. Hal ini
yang menyebabkan sehingga bawang merah VLP memiliki aroma
dan rasa yang lebih tajam jika dibandingkan dengan bawang merah
varietas lainnya. Ciri lain dari bawang merah VLP yang paling
menonjol dan secara fisik mudah diketahui adalah tekstur umbinya
lebih keras jika dibanding dengan bawang merah lainya (Gambar
2). Tingkat kekerasan umbi termasuk salah satu faktor yang penting
diperhatikan apabila umbi tersebut akan diolah menjadi bawang
goreng. Umumnya umbi yang bertekstur lunak tidak dikehendaki
dalam pengolahan bawang goreng karena memiliki kadar air lebih
14
tinggi daripada bertekstur keras. Umbi yang berkadar air tinggi
dapat menurunkan rendemen, tekstur bawang goreng,
meningkatkan kadar minyak, asam lemak bebas bawang goreng
dan minyak goreng.
Gambar 2.
Nilai Kelunakan Umbi Bawang Merah Biasa dan Bawang Merah VLP
Uniqueness bawang merah VLP terutama komponen kimia
umbi (kadar air, lemak, karbohidrat, protein, mineral, sulfur,
kalsium, nitrogen, total fenol, total quercetin dan TSS) dan sifat
fisik umbi (nilai kelunakan) dapat mengalami perubahan seiring
dengan perubahan nilai nutrisi tanah tempat tumbuhnya. Data yang
tersaji pada Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan serapan hara
tanah C, N, P, K, Ca, Mg dan S akan diikuti dengan penurunan
kadar air umbi dan peningkatan produktivitas umbi dan komponen
kima umbi (karbohidrat, lemak, protein, mineral, kalsium, sulfur
dan total padatan terlarut).
15
Tabel 3. Korelasi (r) Kandungan Hara Daun dengan Produktvitas dan
Komponen Kimia Umbi Bawang Merah Varietas Lembah Palu
1.3 Dari Bawang Merah VLP ke Bawang Goreng Palu
Bahan utama untuk pembuatan bawang goreng Palu adalah
umbi bawang merah VLP, yaitu bawang merah yang sudah
dibudidayakan sejak puluhan tahun yang lalu oleh sebagian besar
petani di Kawasan Lembah Palu pada beberapa lokasi pertanaman,
di antaranya Desa Wombo, Guntarano, Poboya dan Bulupountu
Jaya (Sahiri, dkk. 2008). Produksi bawang merah VLP
diperuntukkan bagi kebutuhan industri bawang goreng di Kota
Palu, yang pada Tahun 2009 tercatat sebanyak 36 industri rumah
tangga dengan kapasitas produksi antara 1,5-57,6 ton/tahun (Ete,
2009).
Hasil survai pendahuluan menunjukkan bahwa industri
bawang goreng terdaftar umumnya memiliki nama dagang (merek)
dan nama usaha produksi, mempunyai kemasan yang cukup
menarik, dipasarkan di swalayan-swalayan baik di dalam maupun
16
di luar Kota Palu. Beberapa industri rumah tangga tersebut
memasarkan produknya di tempat produksi, seperti bawang goreng
merek “Kartini Khas Kaili” dengan nama perusahaan “Kartini”
menjual produk bawang gorengnya di Toko Kartini. Sebaliknya
industri bawang goreng yang tidak terdaftar lebih banyak
memasarkan produknya di pasar tradisional seperti di pasar
Masomba, Manonda dan pasar Tua di Kota Palu dengan kemasan
plastik atau mika. Tampilan bawang goreng tersebut kurang
menarik, juga masih berminyak dan bilangan peroksida yang
cukup tinggi jika dibandingkan dengan bawang goreng terdaftar
karena tidak di spinner (Hutomo, dkk. 2007; Mappatoba, 2013).
Perkembangan jumlah pelaku usaha hilirisasi bawang semakin
banyak utamanya industri rumah tangga bawang goreng yang tidak
terdaftar dengan segmen pasar tertentu, dan dengan harga 40-50%
lebih murah dibandingkan dengan harga bawang goreng yang
terkemas baik (Mappatoba, 2014).
Usaha pengggorengan bawang merupakan salah satu
aktivitas bisnis yang bertujuan meningkatkan nilai tambah dan daya
guna bahan mentahnya, memperpanjang masa penggunaan,
memperbaiki mutu, meningkatkan nilai gizi, mempermudah
pemasaran dan pengangkutan. Produk olahan yang dapat dihasilkan
dari bawang merah cukup bervariasi di antaranya kupasan utuh,
irisan kering/basah, pickles/acar, bawang goreng, bubuk dan tepung
bawang, oleoresin/minyak bawang, pasta dan anti trombolik.
17
Produk olahan bawang merah dalam bentuk kupasan utuh
dan irisan bawang merah segar mampu menaikkan nilai tambah
sekitar 150-250%, sedangkan bawang merah irisan kering, bawang
goreng, pickles dan tepung bawang memiliki rendeman bervariasi
antara 10-80% serta dapat memberikan nilai tambah berkisar
antara 250-700% (Suryana, dkk. 2007).
Uraian tersebut menunjukkan prospek pengembangan
produk olahan bawang merah masih sangat terbuka. Bawang
goreng adalah produk olahan bawang merah VLP yang bernilai
ekonomi tinggi, dengan uniqueness dari cita rasa, toreh dan masa
simpannya menjadi keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki oleh
bawang goreng lainnya, maka prospek pengembangannya sebagai
bisnis berskala besar memungkinkan. Bawang goreng adalah irisan
bawang merah dengan atau tanpa lapisan tepung, kemudian
digoreng sehingga dihasilkan tekstur bawang goreng yang renyah,
tidak terasa pahit, beraroma khas bawang goreng, berwarna kuning
keemasan dan mempunyai penampilan yang baik (Dirjen P2HP,
2006). Pengolahan bawang merah menjadi bawang goreng cukup
sederhana yakni melibatkan beberapa kegiatan yang meliputi
penyiapan bahan baik bahan baku maupun bahan tambahan,
pengirisan, penggorengan, penirisan minyak, pengeluaran minyak
dengan spinner, pengemasan dan pelabelan, serta penyimpanan.
18
Gambar 3. Tampilan Bawang Goreng Palu
Olahan bawang merah VLP Palu adalah bawang goreng
siap saji yang lazim disebut ”Bawang Goreng Palu”. Pada
awalnya, pengolahan bawang goreng Palu masih dilakukan dalam
skala industri rumah tangga, dan seiring dengan berkembangnya
berbagai usaha bisnis makanan yang menggunakan bawang goreng,
maka permintaan meningkat, sehingga beberapa industri rumah
tangga berkembang menjadi industri kecil, yang harapannya dapat
berkembang menjadi industri menengah. Beberapa industri yang
mengolah bawang merah VLP menjadi bawang goreng telah
menggunakan peralatan yang lebih baik dengan kapasitas yang
lebih besar sampai satu ton bawang basah hari-1, mesin pengemas
dan peralatan sentrifugasi yang berfungsi untuk mereduksi
kandungan minyak bawang goreng, namun belum ada mesin
pengiris bawang, proses pengirisan dilakukan secara manual.
19
Teknologi yang diterapkan oleh industri penggorengan
untuk produksi bawang goreng Palu seperti perlakuan pendahuluan,
cara pengirisan dan penggorengan masih tergolong sederhana dan
beragam. Bahan baku bawang merah VLP dan bahan pembantu
lainnya seperti minyak yang digunakan untuk menggoreng juga
berbeda. Keragaman tersebut berpengaruh terhadap karakteristik
bawang goreng (sifat kimia-fisik dan sensoris) yang baru
diproduksi ditingkat produsen (Ete, dkk. 2009). Perlakuan terhadap
bawang goreng pasca penggorengan seperti reduksi kandungan
minyak, bahan dan teknik pengemasan yang berbeda berimplikasi
terhadap mutu bawang goreng selama masa penyimpanan baik
ditingkat produsen, pedagang pengumpul, penyimpanan untuk
konsumsi, distribusi serta pemasaran juga berbeda. Merujuk pada
uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa faktor pengolahan yang
diterapkan oleh industri kontribusinya sangat nyata mempengaruhi
karakteristik bawang goreng yang dihasilkan, sebagaimana
karakteristik bawang goreng Palu yang baru diproduksi sebagai
berikut.
20
Tabel 4. Karaketeristik Bawang Goreng Palu
Peneliti sebelumnya melaporkan bahwa karakteristik mutu
makanan gorengan sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku
(kadar air, protein dan pati), ukuran bahan, bahan aditif, komposisi
bahan pelapis dan adonan, variabel pengolahan seperti waktu dan
suhu penggorengan, jenis minyak, frekuensi pemakaian dan reduksi
kandungan minyak (Adams, 2004; Shieh, et al. 2004; Basuny, et
al. 2009; Onigbogi, et al. 2011; Hojjatoleslamy dan Sedaghat,
2012). Tekstur keripik kentang meningkat secara linear dengan
meningkatnya kadar protein, mineral, karbohidrat, pati non-
polisakarida dan berkorelasi negatif dengan kadar air dan lemak
(Basuny, et al. 2009; Tajner-Czopek dan Adam, 2004). Serupa
hasil penelitian Miranda, et al. (2007) tekstur keripik apricot
menurun jika kadar air bahan segarnya meningkat. Penyerapan
minyak hasil gorengan sangat ditentukan oleh kadar air bahan
21
bakunya (Mehta dan Swinburn 2001). Semakin tinggi kadar air
bahan semakin banyak jumlah air yang menguap dan semakin
tinggi serapan minyak oleh bahan yang digoreng (Basuny, et al.
2009).
Hubungan antara komponen kimia umbi bawang merah
VLP dengan karakteristik mutu bawang gorengnya telah diteliti
oleh Alam, et al. (2015). Data pada Tabel 5 kadar air umbi
bawang merah berbanding lurus dengan kadar minyak dan asam
lemak bebas tetapi berbanding terbalik dengan tekstur, aroma, rasa,
kerenyahan dan kesukaan. Sebaliknya karbohidrat, protein,
mineral, kalsium, sulfur dan total padatan terlarut berbanding lurus
dengan tekstur, aroma, rasa, kerenyahan dan kesukaan tetapi
berbanding terbalik dengan kadar minyak dan asam lemak bebas.
Tabel 5. Koefesien korelasi (r) komponen kimia umbi dengan karakteristik
mutu bawang goreng
22
Pengolahan umbi bawang merah VLP dapat menghasilkan
bawang goreng Palu sebesar 21,98%-33,77% dengan nilai rata-rata
32,54%, selain itu menghasilkan limbah pengolahan berupa daun,
akar dan kulit bawang. Data yang tersaji pada Tabel 6
menunjukkan bahwa jika bawang merah VLP dipanen seluas 1 m2
akan menghasilkan 2,01-2,73 kg tanaman bawang merah; 0,91-1,54
kg umbi; 0,67-1,39 kg daun + akar; 0,12-0,41 kg kulit umbi dan
0,20-0,52 kg bawang goreng. Jika dipanen seluas 1 Ha akan
dihasilkan 16.080-21.840 kg tanaman bawang merah; 7.280-12.320
kg umbi; 1.600-4.160 kg bawang goreng dan 6.320-14.480 kg
limbah (daun + akar + kulit umbi). Minyak atsiri yang terkandung
dalam jaringan tanaman bawang merah berkisar antara 0,1-0,15%,
hal ini memberi petunjuk bahwa akan diperoleh nilai tambah jika
limbah pengolahan bawang goreng diolah menjadi produk minyak
atsiri. Tabel berikut memperlihatkan produktivitas bawang merah
VLP berdasarkan berat tanaman, umbi protol, daun dan akar, kulit
umbi, total limbah dan berat bawang goreng yang berasal dari 14
lokasi pertanaman di daerah Lembah Palu.
23
Tabel 6. Produktivitas dan Lokasi Pertanaman Bawang Merah VLP
1.4 Bawang Goreng sebagai Produk Unggulan Daerah
Secara definisi, Produk Unggulan Daerah yang selanjutnya
disingkat PUD merupakan produk baik berupa barang maupun
jasa, yang dihasilkan oleh koperasi, usaha skala kecil dan
menengah yang potensial untuk dikembangkan dengan
memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki oleh daerah baik
sumber daya alam, sumber daya manusia dan budaya lokal, serta
mendatangkan pendapatan bagi masyarakat maupun pemerintah
yang diharapkan menjadi kekuatan ekonomi bagi daerah dan
masyarakat setempat sebagai produk yang potensial memiliki daya
saing, daya jual, dan daya dorong, menuju dan mampu memasuki
24
pasar global (Permendagri, 2014). Salah satu agenda otonomi
daerah Sulawesi Tengah adalah mengarahkan daerah
memaksimalkan semua potensi yang dimiliki demi lebih
mensejahterakan rakyat, termasuk petani dan IKM penggoreng
bawang. Terbukanya peluang pasar ASEAN (AEC) adalah
kesempatan emas untuk meningkatkan daya saing daerah melalui
optimalisasi sumberdaya lokal, yang tentunya membutuhkan
penataan pengelolaan yang lebih baik, dan berorientasi komersil,
khususnya bawang goreng Palu yang terindikasi memiliki keunikan
atau uniqueness baik dari segi fisik maupun dari keunggulan cita
rasanya.
Salah satu keunggulan bawang goreng Palu adalah flavor
dan aromanya lebih tajam jika dibandingkan dengan bawang
goreng dari daerah lainnya (Limbongan dan Maskar, 2003). Jika
dikomparasikan, tidak sama dengan daerah lain di Indonesia, gurih
dan renyah, rasanya ini yang berbeda dengan bawang lain (Media
Indonesia, Senin 15 September 2008). Berdasarkan sifat unggul
tersebut di atas, menyebabkan bawang goreng Palu sangat disukai
konsumen baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor. Pada
tahun 2006 telah dilakukan ekspor perdana bawang goreng Palu
sebesar satu ton untuk memenuhi pesanan salah satu perusahaan di
Malaysia. Selain itu bawang goreng Palu laris sebagai oleh-oleh ke
sejumlah daerah di Indonesia, dan telah pernah dipromosikan di
Perancis dan China. Produk bawang goreng Palu ini dapat
memberikan nilai tambah bahan baku sebesar 83,17-181,42% serta
melibatkan tenaga kerja yang cukup banyak untuk proses
25
produksinya. Merujuk pada uraian tersebut di atas, maka pada
tanggal 30 November 2011, bawang goreng Palu diresmikan
sebagai produk unggulan daerah Sulawesi Tengah oleh Menteri
Koperasi dan UKM (Al Hadi, 2011).
Masalah pokok dalam pengembangan produk unggulan
daerah adalah lemahnya aplikasi kebijakan-kebijakan
pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang
bersangkutan (endogenous development) dengan memadukan
potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik
secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kepada
pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah dalam
proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru
dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi. Bawang goreng
Palu adalah salah satu ikon produk unggulan daerah, yang
merupakan ciri khas Kota Palu, dihasilkan dari pertanaman bawang
merah VLP di Kawasan Lembah Palu, dapat berperan sebagai
pendongkrak angka PDRB, berkorelasi positif dengan
kesejahteraan petani bawang dan pelaku penggorengan.
Bawang goreng sebagai produk unggulan daerah berpotensi
dikembangkan secara komersial dalam skala besar, berorientasi
pasar dan ramah lingkungan, memiliki keunggulan kompetitif dan
siap menghadapi persaingan global, perlu tersedia dalam jumlah
yang ekonomis, kualitas terjamin dan kontinuitas yang disepakati.
Menurut Soemarno (2015) bahwa pengembangan wilayah berbasis
26
agribisnis dengan produk unggulan daerah merupakan hasil usaha
masyarakat pedesaan dengan kriteria:
1). Mempunyai daya saing yang tinggi di pasaran karena keunikan
dengan ciri spesifik, dan kualitas bagus, harga murah
2). Memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang potensial dapat
dikembangkan
3). Mempunyai nilai tambah tinggi bagi masyarakat perdesaan
4). Secara ekonomi menguntungkan dan bermanfaat untuk
meningkatkan pendapatan dan kemampuan sumberdaya
manusia
5). Layak didukung oleh modal bantuan atau kredit.
Banyak penelitian dan kajian yang berkaitan dengan produk
unggulan atau sektor unggulan daerah, baik pendekatan
menggunakan analisis Location Quotients (LQ) maupun analisis
lain, tetapi titik beratnya sekarang bukanlah menemukan apa
produk unggulan daerah, melainkan mengarah kepada tingkat
keseriusan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaannya.
Produk unggulan apapun yang ada tentunya diperlukan pengelolaan
dan pengembangan serta pemasaran yang sinergis. Permasalahan
klasik selama ini dalam pengembangan produk bawang goreng
Palu adalah lemahnya regulasi dan kebijakan berkelanjutan dalam
pengelolaan produk unggulan, terlihat dari belum maksimalnya
program-program yang menindaklanjuti produk unggulan. Jika
petani bawang merah memperluas lahan pertanaman bawang di
atas 0,25 Ha maka sangat memungkinkan terjadi konflik horizontal
27
di antara mereka disebabkan ketersediaan air yang terbatas.
Pengaturan air sudah disepakati hanya untuk luasan 25 are, dengan
demikian kendala utama penyediaan stok bahan baku adalah
infrastruktur air (Mappatoba, 2014). Jika dikaitkan dengan salah
satu kriteria produk unggulan dengan variabel “harga” maka
produk bawang goreng Palu relatif mahal dibandingkan dengan
bawang goreng lainnya, namun karena uniqueness atau keunggulan
cita rasa yang melekat padanya, maka dengan harga seperti itu
tetap memiliki permintaan yang tinggi.
Ditengah eforia menghadapi pasar global, sesungguhnya
daerah ini masih terkesan kurang sungguh-sungguh
mempersiapkan produk unggulan daerah bawang goreng Palu
untuk masuk dalam pasar ASEAN, sehingga terputusnya mata
rantai proses produksi yang mengakibatkan kehilangan kesempatan
atau benefit foregone, seakan bukan sebuah kerugian (Mappatoba,
2014). Sejalan dengan pernyataan salah seorang Legislatif Sulteng
saat Rapat Pansus di Ruang Baruga DPRD Sulteng (13 Juni 2016)
bahwa saat delegasi Sulteng berpromosi di Dubai, maka
permintaan pasar Dubai untuk kerjasama perdagangan bawang
goreng Palu sebagai PUD diutarakan, namun semua itu hanya
sebatas retorika saja karena tidak pernah terwujud sampai saat ini.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kadis Perindag Provinsi
Sulawesi Tengah bahwa permintaan luar negeri untuk bawang
goreng Palu cukup menjanjikan, namun sampai saat ini kita belum
pernah memiliki kesiapan kerjasama karena sangat khawatir dari
28
segi kemampuan menyediakan produk dalam jumlah yang cukup
dan kontinuitas yang terjamin.
Mencermati indikasi peluang pasar global, demikian pula
penghargaan dan kebanggaan akan produk unggulan daerah
bawang goreng Palu yang tak tersaingi kualitas cita rasanya, maka
inisiasi mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang spesifik lokasi di
Kawasan Lembah Palu perlu segera diwujudkan. Skenario program
yang lebih tajam agar semua rantai pasok bawang goreng
terkendali dengan proporsional untuk mendukung starting bisnis
secara komersial demikian pula perencanaan terpadu untuk
keberlanjutannya. Adapun beberapa langkah penting mendukung
pengembangan produk unggulan bawang goreng Palu di antaranya
adalah:
1). Secara aktif memperkenalkan produk bawang goreng Palu
pada segmen pasar yang lebih luas, baik secara langsung
maupun melalui media promosi on-line.
2). Lirik pasar sasaran dengan memperhitungkan kapasitas dan
daya saing kompetitif, karena sesungguhnya kita berada pada
posisi tidak memiliki competitor yang berarti karena
keunggulan yang spesifik lokasi.
3). Amankan jalur distribusi produk ke konsumen, menjaga tidak
terputusnya demand – supply, ini harus sesuai dengan
produktivitas atau aktivitas produksi budidaya yang menjamin
kecukupan bahan baku.
29
4). Teknologi tepat guna yang mudah diterima baik oleh petani
pembudidaya bawang merah maupun pelaku usaha penggoreng
bawang dengan mempertimbangkan kendali mutu yang ketat
sehingga kualitas dan uniqueness produk bertahan.
Harapan terhadap bawang goreng Palu sebagai produk
unggulan daerah adalah agar para pelaku usaha bisa lebih fokus dan
memiliki kepastian dalam manajemen budidaya tanaman bawang
merah VLP. Adanya pengelolaan dengan aksi yang
berkesinambungan tentu membangun kepercayaan petani untuk
berproduksi bahan baku bagi hilirisasi dengan harga yang
disepakati bersama. Pemerintah dan swasta sebagai mitra mampu
mengakomodir ke jalur distribusi atau pemasaran dengan target
pasar yang jelas, jika tidak maka posisinya sebagai produk
unggulan akan tenggelam dan terlupakan, menjadi sebatas
referensi dan bahan presentasi.
30
BAB II KONSEP DASAR MANAJEMEN AGRIBISNIS BAWANG
MERAH VARIETAS LEMBAH PALU
2.1 Pengertian Manajemen
Mempelajari agribisnis bawang merah Varietas Lembah
Palu (VLP) tidaklah terlepas dari konsep manajemen. Hal ini
penting agar kegiatan bisnis yang dilakukan berjalan dengan baik,
terencana, terarah, sistematis dan berkesinambungan. Guna
mempelajari konsep dasar manajemen, maka dalam buku ini
menyajikan lebih awal tentang terminologi manajemen. Kata
Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno management, yang
artinya seni melaksanakan dan mengatur. Menurut Mary Parker
Follet, manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui
orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas
mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan
organisasi. Menurut Ricky W. Griffin : sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber
daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efisien.
Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan
perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada
dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Istilah manajemen mengandung tiga pengertian yaitu :
1. Manajemen sebagai suatu proses,
2. Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan
aktivitas manajemen,
31
3. Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu
pengetahuan (Science)
Manajemen sebagai suatu proses, dikemukakan tiga buah
definisi:
1. Dalam Encylopedia of the Social Science dikatakan bahwa
manajemen adalah suatu proses dengan mana pelaksanaan suatu
tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi.
2. Selanjutnya, Hilman mengatakan bahwa manajemen adalah
fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan
mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan yang
sama. Manajemen adalah kolektivitas orang-orang yang
melakukan aktivitas manajemen. Jadi dengan kata lain, segenap
orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen dalam suatu
badan tertentu disebut manajemen.
3. Menurut pengertian yang ketiga, manajemen adalah seni (Art)
atau suatu ilmu pnegetahuan. Mengenai inipun sesungguhnya
belum ada keseragaman pendapat, segolongan mengatakan
bahwa manajemen adalah seni dan segolongan yang lain
mengatakan bahwa manajemen adalah ilmu. Sesungguhnya
kedua pendapat itu sama mengandung kebenarannya.
Menurut G.R. Terry manajemen adalah suatu proses atau
kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu
kelompok orang-orang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau
maksud-maksud yang nyata. Menurut Mary Parker Follet
manajemen adalah suatu seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan
32
melalui orang lain. Definisi dari Mary ini mengandung perhatian
pada kenyataan bahwa para manajer mencapai suatu tujuan
organisasi dengan cara mengatur orang-orang lain untuk
melaksanakan apa saja yang perlu dalam pekerjaan itu, bukan
dengan cara melaksanakan pekerjaan itu oleh dirinya sendiri.
Beberapa Konsep Dasar Manajemen:
1. Manajemen Sebagai ILMU:
Suatu bidang Ilmu Pengetahuan (science) yang berusaha secara
sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia
bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan membuat sistem
kerjasama ini bermanfaat bagi kemanusiaan.
2. Manajemen Sebagai SENI:
Manajemen adalah seni untuk mencapai hasil yang maksimal
dengan usaha yang minimal, demikian pula mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan maksimal bagi pimpinan
maupun pekerja serta memberikan pelayanan yang sebaik-
mungkin kepada masyarakat.
3. Manajemen sebagai PROFESI:
Manajemen sebagai Profesi merupakan suatu bidang pekerjaan
yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dan
ketrampilan sebagai kader, pemimpin atau manajer pada suatu
organisasi atau perusahaan tertentu.
4. Manajemen sebagai PROSES:
Manajemen adalah proses yang khas terdiri dari tindakan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian
33
dimana dalam masing-masing bidang tersebut digunakan ilmu
pengetahuan dan keahlian yang diikuti secara berurutan dalam
usaha mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
2.2 Hubungan Antara Konsep Manajemen dengan Agribisnis
Setelah menjelaskan definisi dan konsep manajemen dalam
arti umum, penjelasan hubungan antara konsep manajemen dengan
konsep agribisnis diawali dengan konsep agribisnis.
Agribisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain
yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir.
Penyebutan "hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok
bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food supply
chain). Agribisnis, dengan perkataan lain, adalah cara pandang
ekonomi bagi usaha penyediaan pangan. Sebagai subjek akademik,
agribisnis mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan
mengelola aspek budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen,
proses pengolahan, hingga tahap pemasaran. Istilah "agribisnis"
diserap dari bahasa Inggris: agribusiness, yang merupakan
portmanteau dari agriculture (pertanian) dan business (bisnis).
Dalam bahasa Indonesia dikenal pula varian anglisismenya,
agrobisnis. Objek agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan,
ataupun organisme lainnya. Kegiatan budidaya merupakan inti
(core) agribisnis, meskipun suatu perusahaan agribisnis tidak harus
melakukan sendiri kegiatan ini. Apabila produk budidaya (hasil
panen) dimanfaatkan oleh pengelola sendiri, kegiatan ini disebut
pertanian subsisten, dan merupakan kegiatan agribisnis paling
34
primitif. Pemanfaatan sendiri dapat berarti juga menjual atau
menukar untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
Dalam perkembangan masa kini agribisnis tidak hanya mencakup
kepada industri makanan saja karena pemanfaatan produk pertanian
telah berkaitan erat dengan farmasi, teknologi bahan, dan
penyediaan energi.
Sebagai sebuah Ilmu, manajemen agribisnis merupakan
bagian (subdisiplin, special case) dari ilmu ekonomi pertanian.
Kegiatan agribisnis di Indonesia ada sejak sebelum adanya
pembangunan jangka panjang (PJP) 1. Akan tetapi, pada waktu itu
kegiatan utamanya adalah agribisnis usahatani, yang lebih dikenal
dengan istilah pertanian. Pembangunan sistem agribisnis tersebut
perlu ditempatkan bukan saja sebagai pendekatan baru
pembangunan, tetapi lebih dari itu, pembangunan sistem agribisnis
perlu dijadikan penggerak utama (grand strategy) pembangunan
Indonesia secara keseluruhan (agribusiness led development).
Manajemen agribisnis pada prinsipnya adalah penerapan
manajemen dalam sistem agribisnis. Oleh karena itu, seseorang
yang hendak terjun di bidang agribisnis harus memahami konsep-
konsep manajemen dalam agribisnis, yang meliputi pengertian
manajemen, fungsi-fungsi manajemen, tingkatan manajemen,
prinsip-prinsip manajemen, dan bidang-bidang manajemen.
Keberhasilan agribisnis untuk mencapai tujuannya sangat
ditentukan oleh faktor manajemen. Di samping itu, dalam
agribisnis ini ada keterkaitan dengan beberapa ilmu lain, yaitu
35
ilmu pertanian dan ilmu pengambilan keputusan. Akan tetapi,
mengingat adanya karakteristik agribisnis yang khas (Unique)
maka manajemen agribisnis harus dibedakan dengan manajemen
lainnya. beberapa hal yang membedakan manajemen agribisnis dari
manajemen lainnya (Dawney dan Erikson, 1992) ialah sebagai
berikut:
1. keanekaragaman jenis bisnis yang sangat besar pada sektor
agribisnis, yaitu dari para produsen dasar sampai ke konsumen
akhir akan melibatkan hampir setiap jenis perusahaan bisnis
yang pernah dikenal oleh peradaban.
2. besarnya jumlah pelaku agribisnis.
3. hampir semua agribisnis terkait erat dengan pengusaha tani,
baik langsung maupun tidak langsung.
4. keanekaragaman skala usaha disektor agribisnis, dari yang
berskala usaha kecil sampai dengan perusahaan besar.
5. persaingan pasar yang ketat, khususnya pada agribisnis berskala
kecil, dimana penjual berjumlah banyak, sedangkan pembeli
berjumlah lebih sedikit.
6. falsafah cara hidup (the way of life) tradisional yang dianut para
pelaku agribisnis cenderung membuat agribisnis lebih
tradisional daripada bisnis lainnya.
7. kenyataan menunjukkan bahwa badan usaha agribisnis
cenderung berorientasi dan dijalankan oleh petani dan keluarga.
8. kenyataan bahwa agribisnis cenderung lebih banyak
berhubungan dengan masyarakat luas.
9. Kenyataan bahwa produksi agribisnis sangat bersifat musiman.
36
10. Kenyataan bahwa agribisnis sangat tergantung dengan
lingkungan eksternal gejala alam,
11. Dampak dari adanya program dan kebijakan pemerintah
mengena langsung pada sektor agribisnis.
Fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan (planning)
pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan
pengendalian (controlling) terdapat dalam kegiatan di tiap
subsistem dan merupakan penghubung antara seorang manajer
agribisnis dengan pemilik sebagai satu kesatuan merupakan tujuan
lain dalam manajemen agribisnis. Pada sub bagian berikut ini akan
dijelaskan konsep fungsi manajemen yang dapat diaplikasikan pada
agribisnis bawang merah VLP.
2.3 Prinsip dan Aplikasi Fungsi Manajemen dalam Agribisnis
Manajemen agribisnis bawang merah VLP membutuhkan
fungsi manajemen dalam pengelolaannya baik di tingkat petani,
pengolah dan pemasar. Fungsi manajemen adalah elemen-elemen
dasar yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen
yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan
kegiatan untuk mencapai tujuan. Terdapat beberapa fungsi-fungsi
manajemen yang dikemukakan para pakar. Fungsi fungsi
manajemen menurut beberapa parapakar adalah serangkaian
kegiatan yang dijalankan mengikuti suatu tahapan-tahapan tertentu
dalam pelaksanaannya. Pendapat lain bahwa fungsi manajemen
ialah berbagai jenis tugas atau kegiatan manajemen yang
mempunyai peranan khas dan bersifat saling menunjang untuk
37
mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Fungsi
manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang industrialis
Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, ia
menyebutkan lima fungsi manajemen, yaitu merancang,
mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan.
Fungsi-fungsi manajemen adalah sebagai berikut:
A. Planning
Berbagai batasan tentang planning dari yang sangat sederhana
sampai dengan yang sangat rumit. Misalnya yang sederhana saja
merumuskan bahwa perencanaan adalah penentuan serangkaian
tindakan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Pembatasan
yang terakhir merumuskan perencaan merupakan penetapan
jawaban kepada enam pertanyaan berikut:
1. Tindakan apa yang harus dikerjakan ?
2. Apakah sebabnya tindakan itu harus dikerjakan ?
3. Di manakah tindakan itu harus dikerjakan ?
4. kapankah tindakan itu harus dikerjakan ?
5. Siapakah yang akan mengerjakan tindakan itu ?
6. Bagaimanakah caranya melaksanakan tindakan itu ?
Menurut Stoner, Planning adalah proses menetapkan sasaran dan
tindakan yang perlu untuk mencapai sasaran tadi.
B. Organizing
Organizing (organisasi) adalah dua orang atau lebih yang bekerja
sama dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran spesifik
atau sejumlah sasaran.
38
C. Leading
Pekerjaan leading meliputi lima kegiatan yaitu :
1. Mengambil keputusan
2. Mengadakan komunikasi agar ada saling pengertian antara
manajer dan bawahan.
3. Memberi semangat, inspirasi, dan dorongan kepada bawahan
supaya mereka bertindak.
4. Memilih orang-orang yang menjadi anggota kelompoknya
5. Memperbaiki pengetahuan dan sikap-sikap bawahan agar mereka
terampil dalam usaha mencapai tujuan yang ditetapkan.
D. Directing/Commanding
Directing atau Commanding adalah fungsi manajemen yang
berhubungan dengan usaha memberi bimbingan, saran, perintah-
perintah atau instruksi kepada bawahan dalam melaksanakan tugas
masing-masing, agar tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan
benar-benar tertuju pada tujuan yang telah ditetapkan semula.
E. Motivating
Motivating atau pemotivasian kegiatan merupakan salah satu
fungsi manajemen berupa pemberian inspirasi, semangat dan
dorongan kepada bawahan, agar bawahan melakukan kegiatan
secara suka rela sesuai apa yang diinginkan oleh atasan.
F. Coordinating
Coordinating atau pengkoordinasian merupakan salah satu fungsi
manajemen untuk melakukan berbagai kegiatan agar tidak terjadi
kekacauan, percekcokan, kekosongan kegiatan, dengan jalan
menghubungkan, menyatukan dan menyelaraskan pekerjaan
39
bawahan sehingga terdapat kerja sama yang terarah dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.
G. Controlling
Controlling atau pengawasan, sering juga disebut pengendalian
adalah salah satu fungsi manajemen yang berupa mengadakan
penilaian, bila perlu mengadakan koreksi sehingga apa yang
dilakukan bawahan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan
maksud dengan tujuan yang telah digariskan semula.
H. Reporting
Adalah salah satu fungsi manajemen berupa penyampaian
perkembangan atau hasil kegiatan atau pemberian keterangan
mengenai segala hal yang bertalian dengan tugas dan fungsi-fungsi
kepada pejabat yang lebih tinggi.
I. Staffing
Staffing merupakan salah satu fungsi manajemen berupa
penyusunan personalia pada suatu organisasi sejak dari merekrut
tenaga kerja, pengembangannya sampai dengan usaha agar setiap
tenaga memberi daya guna maksimal kepada organisasi.
J. Forecasting
Forecasting adalah meramalkan, memproyeksikan, atau
mengadakan taksiran terhadap berbagai kemungkinan yang akan
terjadi sebelum suatu rancana yang lebih pasti dapat dilakukan.
40
2.4 Perumusan dan Implementasi Rencana Strategi Pengembangan Agribisnis Bawang VLP
Bawang merah VLP merupakan salah satu komoditi
unggulan tanaman hortikultura di Provinsi Sulawesi Tengah,
terutama yang banyak diusahakan dan dikembangkan oleh petani di
sekitar Kota Palu, Kabupaten Sigi dan sebagian Kabupaten
Donggala. Secara menyeluruh, perumusan strategi agribisnis
bawang merah VLP mencakup pengembangan pada sub sistem
hulu, produksi, dan hilir. Pengembangan sub sistem hulu mencakup
strategi penyediaan sarana (penyediaan lahan, benih pupuk, tenaga
kerja, dan peralatan) prasarana (penyediaan prasarana transportasi,
telekomunikasi, pengairan, dan pasar sarana produksi) dalam
mendukung sub sistem produksi (usahatani). Pengembangan sub
sistem produksi (usahatani) ditujukan untuk memperoleh
produktivitas bawang merah VLP yang tinggi dengan kualitas yang
baik. Rumusan strategi mencakup bagaimana meningkatkan
kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) petani dalam
mengelola usahataninya.
Selain itu, pengembangan komoditi bawang merah VLP
merupakan program pemerintah yang digalakkan melalui industri-
industri pengolahan hasil dengan menjadikan bawang merah VLP
menjadi bawang goreng yang memiliki cita rasa yang khas.
Pengolahan bawang goreng telah dilakukan oleh industri-industi di
sekitar lembah Palu dan sudah mulai berkembang dari industri
rumah tangga menjadi indutri menengah dengan menggunakan
teknologi pengolahan bawang goreng. Berkembangnya industri
41
pengolahan tersebut dapat mendorong petani untuk meningkatkan
produksi bawang merah baik melalui intensifikasi maupun
ekstensifikasi guna kontinuitas stok bahan baku bawang merah
VLP terhadap industri-industri pengolahan.
Adanya industri pengolahan bawang merah VLP telah
memberikan nilai tambah 217 persen terhadap bahan primer hasil
pertanian berupa bawang merah menjadi bawang goreng yang siap
saji. Sentuhan nilai tambah pada industri pengolahan menyebabkan
perubahan harga bawang merah VLP sekitar Rp6.000 –
Rp8.000/kg, menjadi Rp 75.000/kg bawang goreng siap saji
(Yulianti dan Nilamsari, 2008). Hal ini menandakan tingkat harga
yang diterima (farm-gate price) sangat penting bagi petani. Dalam
hal ini, pada hampir semua komoditi dijumpai masalah, dimana
petani memiliki posisi tawar (bargaining position) yang sangat
lemah dalam menentukan tingkat harga yang memadai. Tingginya
tingkat kebutuhan akan produk sama sekali tidak menjamin bahwa
petani akan memperoleh harga yang baik. Kestabilan harga produk
agribisnis sebenarnya dapat diperbaiki jika ada industri yang
mampu menyerap produk segar (fresh product) yang dihasilkan.
Tentunya dengan kondisi bargaining position petani yang tinggi.
Jika bargaining position petani sangat lemah, keberadaan industri
pengolahan ini dapat menyebabkan terbentuknya pasar oligopsoni
bahkan monopsoni yang justru semakin menekan petani.
Hasil penelitian lain tentang strategi pengembangan bawang
merah menjelaskan bahwa penggunaan pendekatan teori SWOT
42
Analisis, yaitu Strengths (Kekuatan), Weaknesses (Kelemahan),
Opportunities (Peluang), dan Threats (Ancaman) merupakan salah
satu solusi dalam merumuskan dan merencanakan strategi
pengembangan agribisnis bawang merah VLP. Analisis SWOT
merupakan identifikasi yang dilakukan melalui proses pemikiran
logis dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang perusahaan
dan secara bersamaan mampu meminimalkan kelemahan dan
ancaman. Pada penelitian ini, responden (petani bawang merah)
diminta memberikan penilaian mereka tentang pengaruh dari
faktor-faktor dalam pengembangan bawang merah, baik kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman untuk mengukur rating dari
masing-masing faktor. Berikut faktor-faktor yang menjadi
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan
agribisnis bawang merah VLP, yakni:
1. Faktor Kekuatan:
a. Bawang merah lembah palu memiliki kekhasan tersendiri dalam
aroma, kerenyahan, tekstur isi dan kemampuan dalam daya
simpan dibanding bawang merah lainnya. Faktor penyebab
kekhasan ini dibanding bawang lain di Indonesia adalah kondisi
agroklimat dan tanah yang dimiliki oleh kawasan lembah palu.
b. Masih tersedia lahan tegalan yang sangat luas di Kabupaten Sigi
dan sebagian Donggala untuk usaha tani tanaman bawang
merah. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk
memaksimalkan (optimalisasi) pemanfaatan lahan untuk
pengembangan komoditas bawang merah.
43
c. Tersedianya jumlah tenaga kerja yang banyak dengan upah yang
relatif murah ini merupakan potensi yang dimiliki daerah dalam
usaha pengembangan bawang merah. Karena dengan jumlah
tenaga kerja yang banyak petani dapat memulai masa bercocok
tanam pada waktu yang tepat sesuai dengan klimatologi
tanamaman bawang merah. Sementara upah tenaga kerja yang
relatif murah diharapkan dapat menekan ongkos produksi yang
dikeluarkan.
d. Banyaknya petani yang melakukan usaha tani ini tentu
merupakan potensi besar yang dimiliki daerah dalam
pengembangan bawang merah jika mereka dibekali dengan
pengetahuan dan skill yang baik.
e. Ketersediaan sumber air dari sungai Gumbasa dan potensi air
tanah di Kabupaten Sigi dan Donggala.
f. Akses Pasar yang luas, selama ini penjualan bawang merah
dilakukan dalam bentuk mentah dan umumnya dalam olahan
bawang goreng. Penjualan mentah melalui pedagang-pedagang
lokal sehingga harga yang didapatkan tergantung pada
pedagang-pedagang tersebut. Sementara untuk penjualan olahan,
dilakukan oleh industri pengolahan di lokasi produksi maupun
di outlet-outlet pasar swalayan, dan fasilitas umum seperti
bandara, pelabuhan laut dan pasar tradisional.
g. Pemerintah Daerah telah menetapkan bawang merah sebagai
produk unggulan Kota Palu. Karena itu, dukungan dari
Pemerintah daerah, baik sarana maupun prasarana bagi
komoditas ini terus digulirkan. Beberapa kebijakan pemerintah
44
daerah yang sangat membantu petani diantaranya adalah:
dikembangkannya usaha-usaha pengolahan bawang goreng di
Kota Palu dan Sigi. Pengembangan usaha pengolahan ini sangat
membantu petani dalam menjual hasil panennya. Banyak
pedagang dari luar daerah yang datang ke pasar ini untuk
membeli bawang merah baik mentah maupun olahan bawang
goreng. Selain itu juga disediakan bimbingan teknis dari Pemda
melalui tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang siap
membantu permasalahan yang dihadapi petani dalam usaha
budidaya bawang merah. Demikian juga dengan jalan-jalan
menuju daerah sentra produksi, hampir semuanya telah beraspal
sehingga memudahkan dalam hal pengangkutan atau
transportasi produk.
h. Bentuk dukungan lain yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
dalam usaha pengembangan bawang merah lembah Palu adalah
didirikannya lembaga keuangan daerah yang bertujuan untuk
membantu petani didalam mendapatkan pinjaman dengan bunga
lunak. Bentuk dari lembaga keuangan daerah ini antara lain
berupa Koperasi Unit Desa (KUD).
i. Salah satu kelebihan dari komoditas bawang merah adalah bisa
disimpan dalam waktu yang cukup lama (sekitar 8 bulan).
Penyimpanan ini sangat penting untuk dilakukan oleh petani
guna mengantisipasi jatuhnya harga bawang merah pada saat
panen, karena pada saat panen biasanya harga akan turun
bahkan bisa jatuh. Dengan menyimpan dulu bawang merah
ketika harga jatuh dengan jalan diombyok, diharapkan petani
45
dapat terhindar dari kerugian bahkan bisa mendapatkan
keuntungan yang lebih besar, karena fluktuasi harga bawang
merah sangat tinggi, dimana pada saat panen harganya bisa
sangat rendah, tetapi pada bulan-bulan lain harganya bisa naik
menjadi sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya petani
yang kehidupannya jauh lebih makmur (kaya) dengan jalan
menyimpan bawang merah terlebih dulu dan baru menjualnya
ketika harga sudah dianggap maksimal.
2. Faktor Kelemahan:
a. Kualitas Sumber Daya Manusia Terbatas: Masih terbatasnya
pengetahuan petani dalam usaha budidaya bawang merah
menjadi faktor penghambat dalam pengembangan bawang
merah. Beberapa cara tradisional masih lazim mereka gunakan
diantaranya adalah masih banyaknya petani yang menggunakan
tenaga manusia dengan jalan dicangkul dalam mempersiapkan
lahan. Hal ini tentu saja akan memperlambat waktu pengerjaan
lahan selain membutuhkan upah yang lebih mahal jika
dibandingkan apabila menggunakan mesin. Selain itu,
penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebih yang dilakukan
petani dalam jangka panjang dapat merusak kesuburan tanah
dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu,
secara berkelanjutan pemerintah daerah perlu memberikan
bimbingan teknis mengenai cara budidaya bawang merah yang
tepat dengan tujuan disatu sisi petani dapat meningkatkan
produktivitas lahannya dan disisi lain mampu menjaga
kesuburan tanah serta keseimbangan ekosistem yang ada.
46
b. Kepemilikan Lahan yang dimiliki oleh petani bawang merah
VLP rata-rata kurang dari 0,75 hektar. Hal ini tentu akan
menyulitkan atau menghambat upaya pengembangan usaha tani
bawang merah. Karena dengan lahan yang dimiliki tersebut
petani akan sulit maju atau berkembang, sehingga perlu dicari
solusi agar petani dapat meningkatkan luas lahan yang dimiliki.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan
kredit lunak sewa lahan bagi petani. Solusi lain yang dapat
dilakukan adalah pemerintah daerah menyediakan lahan kepada
petani dengan sistem bagai hasil. Hal ini penting dilakukan
pemerintah daerah karena komoditas bawang merah
memberikan sumbangan paling tinggi terhadap PDRB untuk
sektor pertanian.
c. Modal untuk usaha bawang merah VLP dimiliki petani rata-rata
berjumlah kecil. Karena itu ketika musim tanam tiba banyak
petani yang kekurangan dana untuk persiapan bercocok tanam.
Selama ini untuk memenuhi kebutuhan pupuk dan obat-obatan
pertanian mereka biasanya membeli secara kredit di toko-toko
pertanian yang ada di daerahnya dan akan dibayar ketika panen
dengan harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan
pembelian tunai. Hal ini tentu bisa menambah biaya produksi
yang harus dikeluarkan petani dan pada akhirnya bisa
mengurangi pendapatan yang mereka peroleh. Kondisi ini tentu
merupakan faktor penghambat dan tantangan yang harus dicari
solusinya didalam pengembangan bawang merah.
47
d. Salah satu kebiasaan yang sering dilakukan petani dalam
melakukan usaha tani bawang merah adalah memberikan pupuk
tidak berimbang, baik pada waktu penyiapan lahan maupun
ketika selama perawatan tanaman dengan harapan agar
tanamannya bisa tumbuh subur dan menghasilkan produksi yang
tinggi. Hal ini tentu bukan merupakan cara bertani yang baik,
karena pada setiap tahapan bercocok tanam ada aturan atau
anjuran pemakaian dosis pupuk dan pestisida secara berimbang.
Pemupukan yang dilakukan secara berlebihan selain
memboroskan juga dapat mengganggu pertumbuhan bahkan
mematikan tanaman. Selain itu, jika hal ini dilakukan secara
terus-menerus dalam jangka waktu yang lama bisa mengurangi
kesuburan tanah karena banyaknya mibroba dalam tanah yang
mati. Oleh karena itu, dalam hal pemupukan berimbang, petani
perlu melaksanakan pemupukan yang sesuai dengan anjuran
atau dosis serta bisa juga meminta bantuan bimbingan teknis
dari petugas penyuluh lapangan.
e. Pola tanam merupakan tata urutan tanaman yang diusahakan
pada sebidang tanah tertentu yang dipengaruhi oleh agroklimat,
tanah, jenis tanaman, dan teknik budidaya. Masih banyaknya
petani yang melakukan pola tanam tidak teratur bisa
mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan bahkan sampai
gagal panen. Hal ini karena hama dan penyakit tanaman bisa
muncul akibat petani tidak menerapkan pola tanam secara
teratur sehingga akan sulit memutus rantai perkembangbiakan
hama dan penyakit tanaman. Selain itu, pola tanam dan tertib
48
tanam bawang merah terhadap musim yang berlangsung, sangat
penting untuk mengantisipasi gagal panen akibat kekeringan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pola tanam secara bersamaan
dan teratur dengan jalan koordinasi antar desa untuk
menentukan waktu tanam agar bisa terhindar dari hal-hal
merugikan seperti yang telah disebutkan di atas.
f. Budaya tradisonal yang masih melekat kuat pada pola pikir
petani juga merupakan faktor penghambat didalam
pengembangan bawang merah VLP. Adopsi mereka terhadap
kemajuan teknologi masih sangat kurang dan cenderung
melakukan usaha tani seperti yang pernah dilakukan
pendahulunya (turun-temurun). Pemakaian mesin-mesin
pertanian dalam pengolahan lahan juga masih sangat jarang
digunakan. Begitu juga dengan pola tanam, pemupukan,
pemberantasan hama, dan penanganan pasca panen, semuanya
masih sangat sedikit memanfaatkan atau mengadopsi kemajuan
teknologi. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah
untuk mengubah pandangan mereka agar bisa menerapkan pola
pertanian yang maju dan berwawasan pada kebutuhan pasar.
3. Faktor Peluang:
a. Perkembangan Teknologi yang pesat, terutama di bidang
pertanian, informasi, telekomunikasi, dan transportasi
merupakan peluang yang harus dapat dimanfaatkan petani.
Dengan adanya mesin-mesin pertanian, petani dapat
menyiapkan lahan mereka dengan waktu yang lebih cepat, biaya
yang lebih murah, dan dengan hasil yang tidak kalah baiknya
49
dibandingkan apabila dikerjakan oleh tenaga manusia. Begitu
juga dengan adanya kemajuan di bidang industri pupuk dan
obat-obatan pertanian. Kemajuan di bidang ini akan
memudahkan petani merawat tanaman yang mereka usahakan
dengan lebih baik, dengan mengikuti petunjuk atau anjuran yang
tertera dalam setiap produk (pupuk dan obat-obatan pertanian).
Kemajuan di bidang informasi juga memberikan peluang kepada
petani untuk memasarkan produknya dengan jangkauan pasar
yang lebih luas. Sementara adanya handphone dengan harga dan
biaya yang relatif murah, memberi peluang kepada petani untuk
mengikuti perkembangan harga bawang merah VLP maupun
melakukan pemasaran secara lebih efektif. Kemajuan di bidang
transportasi juga sangat memudahkan petani didalam
pengangkutan maupun distribusi produknya.
b. Kebijakan Moneter Deregulasi yang digulirkan oleh pemerintah
dengan menghapus berbagai persyaratan yang harus dipenuhi
oleh petani untuk mendapatkan kredit usaha sangat membantu
dalam hal permodalan. Dengan adanya kredit lunak ini, petani
diharapkan dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk
pengembangan usahanya Kebijakan moneter lain dari
pemerintah yang sangat membantu petani adalah adanya subsidi
pupuk dan obat-obatan pertanian. Kebijakan ini sangat tepat
dilakukan pemerintah mengingat pupuk dan obat-obatan
pertanian merupakan sarana vital yang sangat dibutuhkan petani.
c. Industri Pengolahan Hasil Pertanian, Keberadaan industri
pengolahan hasil pertanian yang mempergunakan bahan baku
50
bawang merah, baik sebagai bumbu masakan, bawang goreng,
maupun dalam bentuk hasil olahan yang lain merupakan
peluang dalam usaha pengembangan bawang merah. Adanya
industri hilir ini, baik dalam skala rumah tangga maupun dalam
skala industri besar sangat membantu pemasaran bawang merah.
Semakin banyaknya industri yang bergerak di bidang ini,
semakin meningkatkan jumlah permintaan bawang merah.
Selain itu, permintaan industri yang cenderung naik dengan
harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang
berlaku di pasaran sangat menguntungkan petani.
d. Permintaan Pasar, Permintaan komoditas bawang merah VLP
dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk. Hal ini bisa dimengerti
karena bawang merah merupakan kebutuhan pokok manusia
yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama
sebagai bumbu dari hampir setiap jenis masakan. Keadaan ini
tentu merupakan peluang yang sangat baik dalam
pengembangan bawang merah, karena komoditas ini akan selalu
dibutuhkan setiap waktu. Adanya arus globalisasi dengan
berbagi kemudahan yang diperoleh untuk mengekspor
komoditas ke luar negeri juga merupakan peluang pasar yang
sangat menjanjikan terutama setelah diolah menjadi bawang
goreng. Saat ini pemasaran bawang merah VLP yang dilakukan
petani umumnya masih seputar Kota Palu dan merupakan bahan
baku utama produk bawang goreng. Pengolahan bawang merah
menjadi bawang goreng harus diikuti dengan perbaikan kualitas
51
produk olahan untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan
negara tujuan ekspor.
e. Sarana Produksi, Banyaknya sarana produksi (benih unggul,
pupuk, obat-obatan pertanian, mesin pompa air atau disel) yang
bisa didapatkan petani dengan mudah, juga merupakan peluang
yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh petani
dalam usaha pengembangan bawang merah. Tersedianya bibit
unggul diharapkan dapat menghasilkan tanaman yang tahan
penyakit dan menghasilkan jumlah produksi maksimal. Begitu
pula dengan tersedianya pupuk, digunanakan secara akan dapat
meningkatkan kualitas dan jumlah produksi. Untuk pengairan,
adanya mesin pompa air tanah (disel) bisa menjamin
ketersediaan air untuk penyiraman dalam jumlah yang cukup.
Adanya obat-obatan pertanian, juga memudahkan melakukan
pemberantasan hama dan penyakit secara terpadu.
4. Faktor Ancaman :
a. Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan angin puting
beliung yang sewaktu-waktu bisa terjadi merupakan ancaman
yang patut diwaspadai dalam usaha pengembangan bawang
merah. Terjadinya bencana alam ini sering menimbulkan
kerugian materiil yang sangat besar pada petani dan
memerlukan usaha penanganan dengan tenaga dan dana besar
serta waktu yang cukup lama. Meski bencana alam merupakan
faktor alam yang sulit dihindari tetapi langkahlangkah
pencegahan sangat diperlukan agar bencana ini tidak terjadi.
Pemeliharaan hutan misalnya, selain dapat mencegah terjadinya
52
banjir dan tanah longsor juga dapat berfungsi sebagai sumber
mata air suatu kawasan.
b. Perubahan Iklim, Adanya pemanasan global mengakibatkan
terjadinya perubahan iklim yang tidak menentu beberapa tahun
belakangan ini. Hal ini merupakan ancaman yang dihadapi
dalam usaha pengembangan usaha budidaya bawang merah
VLP. Musim kemarau yang berkepanjangan menimbulkan
adanya kekeringan di banyak lahan pertanian yang yang
berujung pada gagal panen akibat kekurangan air. Berubahnya
waktu musim hujan juga menyulitkan petani untuk menentukan
masa tanam yang tepat. Demikian juga adanya perubahan cuaca
yang eksterm mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu
sehingga menimbulkan dampak menurunnya kualitas dan
produktivitas lahan. Oleh karena itu, langkah-langkah
pencegahan terhadap adanya perubahan iklim yang ekstrem ini
dilakukan secara bersamasama untuk mencegah adanya
kerusakan yang lebih besar di sektor pertanian.
c. Alih Fungsi Lahan, Banyaknya alih fungsi lahan pertanian
bawang merah VLP yang digunakan untuk kepentingan lain
seperti perumahan, perkantoran, pertokoan, industri, dan
kepentingan lainnya juga merupakan ancaman bagi
kelangsungan usaha pengembangan bawang merah. Hal ini bisa
menimbulkan berkurangnya luas lahan garapan yang akan
berakibat pada berkurangnya produksi yang dihasilkan. Oleh
karena itu, masyarakat dan pemerintah daerah perlu memikirkan
hal tersebut secara bersama-sama jika akan mendirikan
53
bangunan dengan menghindari secara berlebih pemakaian lahan
produktif yang digunakan untuk usaha tani bawang merah.
d. Krisis ekonomi yang sering melanda negara kita juga merupakan
ancaman yang perlu diwaspadai dalam pengembangan bawang
merah VLP. Krisis ekonomi akan menyebabkan merosotnya
daya beli masyarakat yang akan berdampak pada turunnya
permintaan bawang merah dan olahannya, terutama dalam
bentuk olahan bawang goreng. Menurunnya permintaan ini pasti
akan diikuti oleh turunnya harga bawang merah, yang pada
akhirnya akan menurunkan pendapatan petani. Di sisi lain, harga
pupuk dan obat-obatan pertanian pada saat krisis justru
mengalami kenaikan. Kondisi seperti tersebut di atas biasanya
berlangsung dalam jangka waktu yang lama sehingga sangat
merugikan petani. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan
mampu mencegah agar krisis ekonomi yang pernah terjadi di
negeri ini tidak terulang lagi.
Berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
tersebut, maka strategi pengembangan usaha bawang merah
varietas lembah palu guna meningkatkan pendapatan petani dan
usaha pengolahan adalah:
a. Optimalisasi dan produktivitas lahan,
b. Peningkatan kualitas tenaga kerja,
c. Usaha tani bawang merah VLP yang berwawasan pada
peningkatan kualitas dan kompetitif,
d. Optimalisasi sumberdaya air dan irigasi,
54
e. Dukungan dana pembangunan dan kredit bunga lunak,
f. Kemitraan lembaga keuangan dengan petani,
g. Peningkatan kualitas produk dan pengurangan susut bobot,
h. Pemanfaatan teknologi pertanian, alsintan, dan saprodi,
i. Pemanfaatan deregulasi,
j. Penataan dan perluasan jaringan pasar, dan
k. Optimalisasi dan peningkatan kualitas produk bawang goreng.
l. Diversifikasi produk olahan bawang merah VLP.
55
BAB III MANAJEMEN INPUT
PRODUKSI BAWANG MERAH VLP
3.1 Optimalisasi Pemanfaatan Lahan dan Air
Pertanaman bawang merah VLP di Kawasan Lembah Palu
tercatat menempati 21 lokasi pertanaman dengan luas areal tanam
yang bervariasi, bahkan ada beberapa desa yang belum memiliki
data luas tanam. Pada dasarnya, petani bawang menghendaki
memperluas pertanamannya, utamanya jika harga bawang
mengalami kenaikan, namun kendala pembagian air yang telah
ditetapkan, dengan demikian luas pertanaman/petani disepakati
sekitar 0,25 Ha. Adapun desa produsen bawang merah VLP yaitu
Desa Wombo, Guntarano, Bulupountu Jaya, (Sahiri, dkk. 2008),
dan beberapa desa lainnya, tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Produktivitas dan Lokasi Pertanaman Bawang Merah VLP
56
Lokasi pertanaman bawang merah VLP di Sulawesi Tengah
berada dalam wilayah zona IV dan I dengan fisiografi datar hingga
endapan alluvial pada kelerengan kurang dari 8% (Syafruddin, dkk.
2004). Zona ini merupakan area lahan sawah tadah hujan dengan
pilihan komoditas meliputi padi sawah, kedelai, jagung, kacang
tanah, kacang hijau, padi gogo, bawang merah, tomat, cabai dan
tanaman sayuran lainnya. Menurut Hutapea, dkk. (2000) bawang
merah cocok di usahakan pada zona IV dengan luas panen terbesar
terdapat di Kabupaten Donggala, Banggai, dan Poso. Khusus
untuk bawang merah VLP sebagian besar diusahakan di kawasan
Lembah Palu (Kabupaten Donggala, Sigi Biromaru dan Kota Palu).
Tabel 7 menunjukkan bahwa produksi rata-rata bawang
merah VLP di tingkat petani baru mencapai 5,54 t ha-1, sedangkan
potensi hasilnya dapat mencapai 9,70 t ha-1 (Saleh, dkk. 2011).
Rendahnya produktivitas ini antara lain disebabkan oleh
menurunnya kualitas kesuburan tanah, bibit tidak seragam dengan
daya tumbuh yang rendah, pemupukan, pengendalian
hama/penyakit, gulma dan penanganan pascapanen belum optimal
(Bakhri, dkk. 2000; Maskar, dkk. 2001; Limbongan dan Maskar,
57
2003). Selain itu indeks produksinya hanya berkisar antara 46,39-
67,01% dengan nilai rata-rata 57,07%. Menurut Ranst dan
Verdoodt (2005) kelas kesesuaian lahan tersebut berdasarkan
indeks produksi termasuk kategori S3 dan S2. Hasil ini memberi
petunjuk bahwa teknologi yang diterapkan untuk pemanfaatan
lahan pertanaman tersebut dalam meningkatkan produksi bawang
merah VLP tersebut belum optimal.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk
mengoptimalisasi indeks produksi lahan pertanaman bawang merah
VLP antara lain dengan meningkatkan status hara tanah tempat
tumbuh. Alam (2015) melaporkan bahwa di kawasan Lembah Palu
terdapat 18 sub satuan peta lahan yang ditanami bawang merah
VLP secara berkesinambungan. Enam diantaranya memiliki indeks
produksi kategori S3 dengan faktor pembatas retensi hara (bahan
organik). Aplikasi bahan organik (kompos sekam padi-kotoran
sapi) 20 ha-1 terhadap keenam sub satuan peta lahan tersebut
menyebabkan indeks produksi lahannya meningkat dengan kategori
S1. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah dengan menggunakan
teknologi budidaya yang sesuai, hasilnya dapat ditingkatkan
menjadi 10-11 t ha-1 (Maskar dan Rahardjo, 2008).
Peningkatan produksi bawang merah VLP juga dapat
dilakukan melalui manajemen pemanfaatan. Sebagian besar hasil
panen bawang merah VLP dijual oleh petani ke industri bawang
goreng, sisanya disimpan selama dua bulan untuk digunakan
sebagai bibit tanaman berikutnya. Selama masa penyimpanan
58
bibit, lahan diistirahatkan. Sesudah itu lahan diolah kembali untuk
ditanami bawang merah. Penggunaan lahan seperti ini berlangsung
secara terus menerus pada lahan milik petani dengan luas terbatas
(< 0,25 ha). Di samping itu juga terdapat lahan ditanami bawang
merah setelah diberokan 1-3 tahun. Lahan seperti ini umumnya
dikelola oleh petani yang memiliki lahan > 1 Ha atau petani yang
pendapatannya tidak tergantung pada usaha tani bawang merah
saja.
Data yang tersaji pada Gambar 4 menunjukkan lahan
ditanami bawang merah VLP setelah diberokan 1-3 tahun
memberikan pH tanah, KTK, kejenuhan basa, total hara tanah dan
indeks produksi tertinggi jika dibandingkan dengan lahan yang
ditanami secara terus menerus. Menurut Belo, et al., (2010) tanah
terutama di sekitar kota-kota di Nigeria digunakan untuk menanam
sayuran, sereal seperti jagung, kacang-kacangan seperti melon,
kacang kedelai dan kacang tunggak secara terus menerus untuk
jangka waktu 20 tahun ke atas. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa pH tanah masam (4,10 - 5,10), N-total, C-organik,
kejenuhan basa dan populasi mikroba diidentifikasi rendah. Sekitar
60% hasil tanaman yang dibudidayakan menurun dan penyerapan
nutrisi oleh tanaman rendah sehingga menyebabkan produktivitas
tanah umumnya rendah. Serupa yang dinyatakan oleh Killebrew
dan Wolff (2010) bahwa tanah yang ditanami secara terus-menerus
memiliki dampak negatif pada tanah seperti kekurangan unsur hara
59
mikro dan menurunya aktitivtas mikroba untuk mengurai bahan
organik.
Hasil survai diketahui bahwa sebagian besar petani bawang
merah VLP memiliki tanah garapan sekitar 0,5 Ha dan
pendapatannya tergantung pada usaha tani tanaman sayur-sayuran
sehingga mereka tidak dapat menghindari penggunaan lahan secara
terus-mererus dengan alokasi masing-masing 0,25 Ha untuk
tanaman sayuran dan dan bawang. Mereka juga menyadari bahwa
penggunaan lahan seperti ini telah menyebabkan kesuburan
tanahnya berkurang, dengan demikian beberapa petani memberikan
pupuk anorganik setiap siklus penanaman dengan dosis melebihi
anjuran. Adapun pertimbangan mereka adalah bahwa penggunaan
pupuk anoragnik lebih praktis, pertumbuhan tanaman sangat baik
dengan banyaknya anakan pada setiap rumpun, dan hasil panennya
memuaskan. Mengacu pada hasil survei ini dapat dinyatakan
bahwa sistem pertanian konvensional dengan penggunaan pupuk
anorganik berlebihan secara terus-menerus diduga memberikan
pula kontribusi menurunkan kesuburan tanah. Menurut Aziz, et
al., (2012) penggunaan pupuk anorganik telah terbukti
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman, tetapi disisi lain
dapat memberikan konstribusi terhadap penurunan kesuburan
tanah. Serupa dengan pernyataan Stoate, et al., (2001) sistem
pertanian konvensional di samping menghasilkan produksi panenan
yang meningkat namun telah terbukti menimbulkan dampak negatif
terhadap berkurangnya bahan organik, tanah menjadi keras,
60
menurunnya porositas tanah dan nilai tukar ion, rendahnya daya
ikat air, populasi dan aktivitas mikroba dan secara keseluruhan
berakibat rendahnya tingkat kesuburan tanah, produktivitas dan
kualitas hasil tanaman.
Gambar 4. Pengaruh Sistem Pengunaan Lahan di SPL yang ditanami Bawang
Merah Varietas Lembah Terhadap pH, KTK, KB, Total Hara Tanah dan Indeks Produksi.
Pertumbuhan bawang merah VLP sangat ditentukan oleh
ketersediaan air, dengan demikian kapasitas air yang tersedia telah
dipatok untuk 0,25 Ha/petani, walaupun tanaman ini tidak diari
seperti halnya padi sawah, artinya tanaman bawang tidak
membutuhkan penggenangan, bahkan pada curah hujan tinggi
berpotensi terserang penyakit busuk daun. Pemanfaatan sumber
daya air untuk budidaya bawang merah VLP yang diterapkan oleh
petani disentra produksi terdiri tiga cara. Cara pertama
penggenangan bedengan yaitu mengalirkan air dari saluran irigasi
61
ke dalam areal pertanaman hingga bedengan dan tanaman bawang
merah tergenang dengan air. Setelah digenangi selama 5-10 menit
air dialirkan keluar dari areal pertanaman. Cara kedua,
penggenangan parit bedengan yaitu mengalirkan air dari saluran
irigasi ke dalam areal pertanaman hingga parit bedengan tergenang
dengan air. Sesudah itu saluran irigasi ditutup dan air di dalam parit
dibiarkan meresap ke dalam bedengan. Posisi bedengan dengan
metode pengairan ini lebih rendah dari permukaan tanah. Cara
ketiga, pipanisasi dan springkler yaitu mengalirkan air dari sumber
air melalui pipa PVC (Polyvinyl Chloride) hingga ke lahan
pertanaman bawang merah dan diujung pipa tersebut dipasang
springkler.
Data yang tersaji pada Gambar 5 menunjukkan bahwa
pemanfaatan sumber daya air cara pertama memberikan tingkat
kesuburan tanah dan indeks produksi lebih rendah jika
dibandingkan dengan cara kedua dan ketiga. Hasil ini bermakna
bahwa pengairan dengan metode penggenangan bedengan
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap tingkat pencucian
hara daripada metode lainnya. Selain itu jika ditinjau dari aspek
penggunaan air metode pengairan ini dianggap kurang efesien
karena membutuhkan banyak air dan disisi lain air yang digunakan
oleh tanaman bawang merah untuk pertumbuhannya hanya sedikit.
Killebrew dan Wolff (2010) menyatakan bahwa pengairan yang
berlebihan menyebabkan genangan air, drainase menjadi buruk
sehingga mencegah akar tanaman untuk memperoleh oksigen yang
62
memadai, salinisasi tanah meningkat sehingga membuat lebih sulit
bagi tanaman untuk menyerap air tanah dan mengurangi
produktivitas tanah. Hasil survai diketahui para petani di SPL 4.5
menggunakan metode penggenangan bedengan tidak hanya untuk
mengairi tanaman bawang merah tetapi juga untuk tanaman lainnya
seperti tomat, ketimun, cabai, buncis, sawi dan jagung.
Gambar 5. Pengaruh Metode Pengairan di SPL Terhadap pH, KTK, KB, total
hara tanah, dan indeks produksi.
Keterangan : PB = Penggenangan Bedengan, PPB = Penggenangan Parit Bedengan, P + S = Pipanisasi dan Springkler
3.2 Manajemen Pengadaan Benih Bawang Merah
Seiring dengan meningkatnya luas areal pertanaman
bawang merah di Kabupaten/Kota dalam kawasan Lembah Palu,
maka ketersediaan umbi bibit unggul di tingkat petani merupakan
63
faktor penentu dalam upaya pengembangan komoditas bawang
merah VLP yang berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Tengah. Pada
umumnya bawang merah diperbanyak dengan menggunakan umbi
sebagai bibit. Kualitas umbi bibit merupakan salah satu faktor yang
menentukan tinggi rendahnya hasil produksi bawang merah.
Menurut (Sumarni dan Hidayat, 2005), beberapa kriteria umbi yang
baik untuk umbi bibit antara lain adalah :
1). Berasal dari tanaman yang sudah cukup tua umurnya
dipertanaman, yaitu sekitar 70-80 hari setelah tanam.
2). Berukuran sedang sedang (Ø = 1,5-1,8 cm atau 5-10 g). Umbi
bibit berukuran sedang merupakan umbi ganda, rata-rata terdiri
dari 2 siung umbi, sedangkan umbi bibit berukuran besar rata-
rata terdiri dari 3 siung umbi (Rismunandar 1986). Umbi bibit
yang besar (Ø > 1,8 cm) dapat menyediakan cadangan
makanan yang banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya di lapangan. Umbi bibit berukuran besar akan
tumbuh lebih vigor, menghasilkan daun-daun lebih panjang,
luas daun lebih besar, sehingga dihasilkan jumlah umbi per
tanaman dan total hasil yang tinggi (Stallen dan Hilman 1991,
Hidayat et. al. 2003). Namun jika dihitung berdasarkan
beratnya bibit, harga umbi bibit berukuran besar mahal,
sehingga umumnya petani menggunakan umbi bibit berukuran
sedang. Umbi bibit berukuran kecil (Ø = < 1,5 cm) akan lemah
pertumbuhannya dan hasilnya pun rendah (Rismunandar
1986). Penggunaan umbi bibit besar tidak meningkatkan
64
persentase bobot umbi berukuran besar yang dihasilkan, tetapi
total hasil/plot lebih tinggi ( Stallen dan Hilman 1991).
3). Penampilan umbi bibit harus segar dan sehat, bernas (padat,
tidak keriput), dan warnanya cerah (tidak kusam).
4). Umbi bibit sudah siap ditanam apabila telah disimpan selama
2-4 bulan sejak panen, dan tunasnya sudah sampai ke ujung
umbi. Cara penyimpanan umbi bibit yang baik adalah
menyimpannya dalam bentuk ikatan di atas para-para dapur
atau disimpan di gudang khusus dengan pengasapan (Sutarya
dan Grubben 1995, Nazaruddin 1999).
Mencermati manajemen penyediaan benih sebagaimana
terurai di atas, pasokan benih untuk budidaya bawang merah VLP
di Lembah Palu berbeda dengan ulasan (Sumarni dan Hidayat,
2005) tersebut. Pada umumnya umbi bibit untuk budidaya bawang
merah VLP bersumber dari petani itu sendiri, yang pengadaannya
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1). Menyisakan umbi berukuran kecil umbi dari tanaman yang
dipanen pada umur 55-60 hari setelah tanam, dimana umbi
yang berukuran sedang dan besar dijual ke IKM penggorengan
bawang atau ke pedagang pengumpul (Gambar 6).
2). Umbi bibit yang terseleksi disimpan dalam bentuk ikatan,
setiap ikatan terdiri dari 10-15 rumpun tanaman. Pada
umumnya, penyimpanan dilakukan dengan cara digantung
pada dinding rumah dibagian luar dengan maksud diangin-
anginkan.
65
3). Umbi bibit sudah siap ditanam apabila telah
disimpan/digantungkan didinding selama 40-60 hari sejak
panen, pada saat itu sudah tumbuh tunas namun tunasnya
belum ada yang sampai ke ujung umbi.
Gambar 6. Penampakan umbi untuk bibit (nomor 8-12) dan umbi untuk dijual
ke industri penggorengan (nomor 1-7).
Gambar 7.
Penampakan umbi bibit bawang merah VLP yang digantung pada dinding rumah dibagian luar.
66
Merujuk pada uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa
umbi bibit untuk budidaya bawang merah VLP hasil produksi
petani tidak mengikuti petunjuk yang sudah dianjurkan, hanya
mengikuti kebiasaan petani saja. Cara pengadaan umbi bibit
tersebut dapat dinyatakan sebagai salah satu penyebab rendahnya
produktitivitas bawang merah VLP. Pembentukan badan atau
lembaga pembenih merupakan salah satu upaya yang perlu
dilakukan untuk mengantisipasi dan menekan dampak
permasalahan umbi bibit di tingkat petani serta meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi bawang merah VLP. Badan ini
diharapkan dapat berperan sebagai:
1). Sentra produksi umbi bibit bawang merah VLP.
2). Pusat kajian umbi bibit bawang merah VLP.
3). Penyalur umbi bibit bawang merah VLP kepada petani.
67
BAB IV MANAJEMEN ON-FARM BAWANG MERAH VLP
4.1 Konsep Manajemen Usahatani
Usahatani adalah organisasi dari alam (lahan), tenaga kerja
dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian,
yang ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan
oleh seseorang atau sekumpulan orang sebagai pengelolanya
(Firdaus, 2008). Pada pada dasarnya usahtani adalah alokasi sarana
produksi yang efisien untuk mendapatkan produktivitas dan
berujung pada perolehan pendapatan petani, artinya dikatakan
berhasil kalau diperoleh produktivitas yang tinggi dan sekaligus
juga pendapatan yang tinggi. Pencapaian kondisi tersebut
berkorelasi dengan penyediaan input yang tepat, pada jumlah yang
sesuai dan tepat waktu atau tersedia kala dibutuhkan, serta petani
dapat melakukan usahataninya secara baik.
Terkait dengan konsep “Manajemen Usahatani” maka
usahatani dikatakan berhasil bila mendapatkan dukungan sumber
daya alam, suplai sarana produksi pertanian yang memadai dan
petani memandang usahataninya sebagai perusahaan pertanian
yang dikelola dengan menerapkan konsep manajemen. Manajemen
adalah proses merencanakan, mengorganisasi, mengarahkan, dan
mengendalikan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi dengan
menggunakan sumberdaya organisasi, yang keberadaannya mutlak
ada, tidak terkecuali pada usahatani dengan skala kecil sekalipun.
Data empiris memperlihatkan bahwa para petani bawang merah
68
VLP dengan mengelola lahan yang relatif sama luasnya pada
hamparan yang beragroklimat sama, namun mendapatkan hasil
yang berbeda secara signifikan. Kondisi ini diinterpretasikan bahwa
pola pemikiran seseorang dalam mengambil keputusan
mengelola/memenej usaha tidak pernah sama, seseorang
berpeluang mengembangkan kreativitasnya adalah sangat besar.
Bilamana usahatani bawang merah VLP diarahkan untuk
menyuplai pasar yang lebih besar, maka konsep manajemen
usahatani mutlak diaplikasikan oleh para petani, dan dapat
dipadukan dengan sapta-usahatani mulai dari pengolahan lahan,
pemakaian pupuk yang baik dan benar, penggunaan bibit unggul,
pemberantasan hama dan penyakit, sistem irigasi, pengolahan atau
post harvest technology, dan marketing (pemasaran). Hal ini
sejalan dengan tujuan manajemen usahatani yaitu menjalankan
perusahaan sedemikian rupa sehingga diperoleh pendapatan
maksimal secara terus menerus dengan pemakaian sumberdaya dan
dana yang terbatas secara efektif dan efisien. Dapat diartikan
bahwa manajemen usahatani berimplikasi kepada aplikasi fungsi-
fungsi manajemen dalam kegiatan budidaya bawang merah VLP,
sebagai berikut:
1. Perencanaan Usahatani Bawang Merah
Fungsi perencanaan usahatani bawang merah mencakup semua
kegiatan yang ditujukan untuk menyusun program kerja selama
periode tertentu pertanaman bawang sesuai dengan
produktivitas yang diharapkan. Tujuannya tak lain adalah
69
memposisikan usahatani pada posisi terbaik berdasarkan kondisi
bisnis ditinjau dari permintaan konsumen pada masa yang akan
datang. Stoner dan Freeman (1998) bahwa perencanaan
memberikan sasaran bagi organisasi dan menetapkan prosedur
terbaik untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Selain itu,
perencanaan merupakan pemikiran yang mengarah ke masa
depan yang menyangkut rangkaian tindakan berdasarkan
pemahaman penuh terhadap semua faktor produksi yang terlibat
sebagai bagian dari korbanan atau pembiayaan usaha.
Pengalaman empiric di lapangan, petani bawang merah VLP
merencanakan luasan areal pertanaman 0,25 Ha dengan bibit
yang disiapkan sendiri, penggunaan input produksi berupa
pupuk anorganik, dengan minim pupuk organik, bahkan banyak
petani bawang tidak memakai pupuk organik dengan
pertimbangan lebih mudah mendapatkan pupuk anorganik.
Penggunaan pestisida merupakan salah satu komponen
pembiayaan terbesar setelah bibit, karena frekuensi
penggunaannya tidak menentu, dengan demikian dalam
perencanaan usahatani, penyediaan pestisida menjadi bagian
terpenting, khususnya setelah pertanaman memasuki umur 3
minggu (Mappatoba, 2013).
2. Organisasi dalam Usahatani Bawang Merah
Fungsi organisasi usahatani bawang merah dengan luasan
pertanaman 0,25 Ha sesungguhnya belum terlihat secara jelas,
semua aktivitas ditangani secara langsung oleh petani
70
pembudidaya. Kalaupun ada tenaga kerja luar keluarga yang
digunakan, posisinya hanya sebagai bantuan dan sifatnya
insidentil, yang pada kesempatan lain sang petani juga
membantunya. Peran anggota keluarga seperti anak dan isteri
juga ada, mereka membantu dalam budidaya, namun tidak
dalam kapasitas sebagai tenaga kerja yang mengisi porsi struktur
organisasi.
3. Leading dalam Usahatani Bawang Merah
Fungsi leading dalam usahatani bawang merah pada luasan
0,25 Ha sesungguhnya belum terlihat secara jelas, semua
aktivitas ditangani secara langsung oleh petani pembudidaya,
sama halnya dengan fungsi organisasi.
4. Kontrol dan Pengawasan Usahatani Bawang Merah
Fungsi kontrol dan pengawasan dalam usahatani bawang merah
pada luasan 0,25 Ha ditangani secara langsung oleh petani
pembudidaya, semua keputusan dan konsekuensinya adalah
tanggung jawab petani. Fungsi ini sama halnya dengan fungsi
organisasi dan leading, tidak ada orang lain yang digerakkan
untuk menjalankan aktivitas budidaya, semua tertangani oleh
petani secara langsung.
Peran petani sebagai pelaku usaha pada skala usaha mikro
semisal budidaya bawang merah VLP dengan luas pertanaman
sekitar 0,25 Ha lebih efisien dikelola oleh seorang petani, tidak
membutuhkan aplikasi fungsi manajemen sebagaimana anjuran
teori manajemen. Sesungguhnya fungsi-fungsi manajemen tetap
71
ada, namun dijalankan oleh petani secara langsung mulai dari
perencanaan sampai dengan pengawasan terhadap situasi
pertanaman bawang, bahkan ada petani yang memulai usaha
penggorengan bawang.
4.2 Sekilas Tentang Budidaya Bawang Merah VLP
Pada prinsipnya tidak ada perbedaan budidaya antara
bawang merah biasa dengan bawang merah VLP. Berikut ini
adalah tahapan budidaya bawang merah VLP yang dianjurkan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah (Maskar dan Rahardjo,
2008).
1. Tahap Persiapan
Kegiatan atau aktivitas petani pada tahap persiapan diawali
dengan penyediaan bibit bawang merah VLP dengan criteria
tertentu, Penyiapan lahan untuk pertanaman yang disebut fase
pengolahan tanah kadangkala membutuhkan waktu yang agak lama
sebab terkait langsung dengan pekerjaan fisik, dan sekaligus
dilanjutkan dengan pemberian pupuk dasar sebelum pertanaman.
Secara detail langkah petani pada tahapan persiapan dijelaskan
sebagai berikut:
1). Pengadaan bibit
Kriteria yang harus dipenuhi dalam pemilihan bibit bawang
merah yang baik sebagaimana terurai pada bagian 3.2
manajemen pengadaan benih bawang merah VLP perlu
dipertimbangkan. Banyaknya umbi bibit bawang merah VLP
72
yang diperlukan dapat diperhitungkan berdasarkan jarak tanam
dan berat umbi bibit. Sebagai contoh, dari petakan seluas 1 m2
dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm dapat ditanam 40 tanaman,
jika berat rata-rata umbi bibit 1,76 g, maka untuk lahan 1 ha
diperlukan umbi bibit 0,8 x 10.000 x 40 x 1,76 = 563.200 g atau
563,2 kg bersih. Maka untuk 1 ha tanaman, perlu diadakan
penyediaan umbi bibit kotor tidak kurang dari 675,84 kg.
2). Pengolahan tanah dan pembuatan bedengan
Diawali dengan pembajakan tanah sedalam kurang lebih 20-30
cm dengan traktor atau bajak tradisional yang ditarik hewan
atau dicangkul. Tanah dibiarkan selama 5-7 hari agar
bongkahan-bongkahan akibat pembajakan mendapat cukup
sinar matahari secara langsung sehingga berbagai macam
mikroorganisme dalam tanah mati. Selain itu, zat-zat racun
yang berada di dalam tanah menguap atau teroksidasi, seperti
asam sulfida. Tanah diratakan sekaligus bongkahan-bongkahan
dihancurkan dengan cangkul, lalu dibiarkan lagi selama 7 hari
agar tanah menjadi kering, kemudian disisir lagi hingga
diperoleh struktur tanah yang gembur. Bedengan dibuat
membujur arah Timur-Barat dengan lebar 100 – 150 cm.
Panjang bedengan disesuaikan dengan lahan setempat, sedang
tingginya dibuat sekitar 20 – 30 cm. Ukuran lebar selokan atau
parit dibuat 25 – 30 cm dengan kedalaman 20 – 30 cm, dan
ketika membuat selokan, sebaiknya tanah galian diletakkan di
kiri-kanan selokan. Untuk pembuangan air, dibuat saluran di
73
sekeliling petak-petak bedengan selebar 40 cm dengan
kedalaman 40 cm agar lahan terhindar dari genangan air,
terutama pada musim hujan. Tanah yang sudah diolah
diupayakan agar pH-nya sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan
bawang merah yaitu 5,8- 7,0. Apabila pH lebih rendah dari
yang ditentukan maka tanah perlu dilakukan pengapuran. Dosis
pemakaian kapur (dolomit) untuk menetralkan pH sebagai
berikut (i) pH tanah 5,0 = 5,49 t ha-1, (ii) pH tanah 5,25 = 4,31 t
ha-1, (iii) pH tanah 5,50 = 3,12 t ha-1 dan (iv) pH tanah 5,75 =
1,98 t ha-1
3). Pemberian pupuk dasar
Pemberian pupuk dasar dilakukan pada bedengan yang sudah
dibersihkan dari dari rumput. Pupuk dasar yang digunakan
adalah pupuk yang sudah matang seperti pupuk kandang sapi
dengan dosis 10 – 20 t ha-1 atau pupuk kandang ayam dengan
dosis 5 – 6 t ha-1 atau kompos matang 5 – 10 t ha-1 (Susila,
2006) yang ditaburkan di permukaan bedengan lalu dicampur
dengan tanah hingga merata. Pupuk organik ini diberikan 7
hari sebelum tanam. Selain itu digunakan juga pupuk P (SP-36)
dengan dosis 200 – 250 kg ha-1 (70-90 kg ha-1 P2O) sebagai
pupuk dasar. Pupuk ini diaplikasikan 2 – 3 hari sebelum tanam
dengan cara disebar lalu diaduk secara merata dengan tanah
(Sumarni dan Hidayat, 2005).
74
2. Tahap Penanaman
Sehari sebelum tanam, bibit dipotong bagian dari ujungnya
secara hati-hati, kemudian dimasukkan ke dalam larutan atonik
yang telah diencerkan dalam air (dosis sesuai anjuran) selama 5-10
menit, dan ditiriskan di tempat yang kering (diangin-anginkan).
Tujuannya untuk mempercepat perkecambahan bibit. Cara seperti
ini sudah tidak umum dilakukan oleh petani, hanya dilakukan
apabila waktu penyimpanan umbi bibit kurang dari 2 bulan.
Bedengan yang sudah dibuat disiram dengan air hingga
lembab, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan lubang tanam,
dapat dilakukan dengan cara tugal atau membuat larikan.
Kedalaman lubang untuk penanaman bawang merah adalah
setinggi ukuran umbi bibit. Jarak tanam yang biasanya diterapkan
pada penanaman bawang merah 20 cm x 20 cm atau 20 cm x 15
cm, tetapi yang umum digunakan oleh petani bawang merah di
Lembah Palu adalah 20 x 15 cm. Setelah lubang tanam terbentuk,
umbi bibit siap ditanam. Cara penanaman ialah umbi bibit dipegang
dengan posisi bagian yang dipotong berada di bagian atas
permukaan tanah.
3. Pemeliharaan Tanaman
Aktivitas pemeliharaan tanaman bawang merah diawali
setelah penamanan dengan penyulaman, pembumbunan,
pemupukan, dan penyiraman. Pengendalian hama-penyakit
sesungguhnya merupakan bagian dari pemeliharaan tanaman,
75
namun karena diulas secara rinci maka ditempatkan tersendiri,
dengan uraian sebagai berikut.
1). Penyulaman
Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit yang
tidak tumbuh atau yang pertumbuhannya kurang baik. Secara
matematis biasanya penyulaman tidak melebihi 10% dari
jumlah yang ditanam. Misal dari 600 lubang tanaman, jumlah
yang disulam paling hanya 10-60 tanaman saja, dengan batas
toleransi mencapai 25% dari jumlah tersebut atau pada contoh
sekitar 150 tanaman. Apabila sudah melebihi jumlah 50%
sebaiknya tanaman diganti semua.
2). Penyiangan
Penyiangan pertama dilakukan pada saat tanaman mulai
tumbuh, pertumbuhan daun mulai tampak, yaitu pada umur 15-
20 hari setelah tanam. Penyiangan berikutnya dilakukan pada
umur 45-50 hari setelah tanam. Penyiangan selanjutnya sangat
tergantung pada kondisi lingkungan. Pada saat berlangsung
pertumbuhan umbi, penyiangan dan penggemburan
diupayakan secara hati-hati. Alat yang digunakan untuk
penyiangan dapat berupa koret, tajak atau cangkul kecil dan
dicabut dengan tangan.
3). Pembubunan
Pembubunan dilakukan pada tepi bedengan yang sering kali
longsor ketika diairi. Pembubunan sebaiknya mengambil tanah
dari selokan/parit di sekeliling bedengan, agar bedengan
76
menjadi lebih tinggi dan parit menjadi lebih dalam sehingga
drainase menjadi normal kembali. Pembubunan juga berfungsi
memperbaiki struktur tanah dan akar yang keluar di permukaan
tanah tertutup kembali sehingga tanaman berdiri kuat dan
ukuran umbi yang dihasilkan dapat lebih besar-besar.
4). Pemupukan
Pemupukan pada tahap ini merupakan pemupukan susulan
setelah tanaman tumbuh. Pemupukan susulan pertama
dilakukan pada saat tanaman berumur 7-10 hari dengan pupuk
KCl 150 kg ha-1, Urea 75 kg ha-1 dan ZA 125 kg ha-1.
Pemupukan susulan kedua pada saat tanaman berumur 40-45
hari dengan pupuk Urea 75 kg ha-1 dan ZA 125 kg ha-1. Pupuk
K diaplikasikan bersama-sama dengan pupuk N dalam larikan
atau dibenamkan ke dalam tanah.
5). Pengairan atau penyiraman
Jumlah dan waktu pengairan yang harus diberikan pada
tanaman tergantung pada keadaan curah hujan, kandungan air
tanah, serta tingkat pertumbuhan tanaman. Pada bawang merah
kekurangan air umumnya terjadi pada periode pembentukan
umbi sehingga dapat menurunkan produksi. Pada periode
pembentukan umbi merupakan periode kritis bagi tanaman
bawang merah. Upaya menanggulangi masalah ini perlu
adanya pengaturan pemberian air pada tanaman bawang merah
dengan frekuensi pemberian air sebagai berikut :
77
- Pengairan pada tanaman bawang merah dilakukan setiap 1-
2 hari sejak awal tanam sampai 7 hari setelah tanam.
- Selanjutnya penyiraman dilakukan 2-3 hari sekali.
Pengairan ini diberikan hingga tanaman berumur 45 hari.
- Selama pembentukan umbi, frekuensi penyiraman perlu
ditingkatkan 1-2 hari. Biasanya pada saat itu tanaman telah
berumur kurang lebih 60 hari.
- Pada saat umbi mencapai ukuran maksimal dan tanaman
mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan warna daun
(umur 65-75 hari setelah tanam), pengairan dihentikan.
Pemberian air dapat dilakukan dengan meresapkan air
melalui parit-parit atau penyiraman langsung pada
bedengan.
4. Pengendalian Hama dan Penyakit
Pada bagian ini akan dikemukakan 9 jenis hama dan
penyakit yang sering menyerang pertanaman bawang merah,
dengan penjelasan tentang gejala serangan, demikian pula dengan
cara pengendalian yang dianjurkan dilakukan, sebagai berikut.
1). Ulat Daun (Spodoptera exigua Hbn.)
Pada awal pertumbuhan tanaman sampai dengan pembentukan
anakan, sering terjadi serangan hama ulat daun. Bagian
tanaman yang diserang adalah daun, baik daun yang masih
muda maupun yang sudah tua.
- Gejala: pada awalnya muncul telur ulat di permukaan daun
yang akan menetas setelah 4–7 hari. Setelah menetas, ulat
78
muda akan melubangi daun dan menggerek permukaan
bagian dalam daun dengan menyisakan bagian epidermis
luar, sehingga daun akan berwarna putih transparan, yang
pada akhirnya terkulai. Pengerekan biasanya dimulai dari
ujung, kemudian menuju ke pangkal daun.
- Cara pengendalian (a) melakukan pergiliran tanam dengan
tanaman bukan inang (cabai, tomat dan tanaman kacang-
kacangan seperti kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau),
(b) memusnahkan kelompok telur yang ada di ujung daun
serta ulat-ulat yang berada di permukaan dan bagian dalam
daun dengan cara mengamati setiap rumpun. Pemusnahan
yang paling efektif dilaksanakan ketika ulat mulai keluar,
yaitu pada malam hari setiap 2 hari sekali dan (c)
menyemprot dengan insektisida akan sangat efektif, apabila
sudah di temukan jumlah ulat untuk setiap umur tanaman
cukup banyak. Pada musim kemarau kerusakan
daun/tanaman contoh 5% atau 1 paket telur/10 tanaman
contoh. Pada musim hujan adalah 10% kerusakan
daun/tanaman atau 3 paket telur/10 tanaman contoh.
Beberapa jenis insektisida yang dapat digunakan untuk
mengendalikan seperti insektisida Curacron, Cascade dan
Atabron 50 EC dan beberapa insektisida lainnya.
Penyemprotan sebaiknya dilakukan pada malam hari pula,
ketika ulat sudah aktif. Interfal penyemprotan adalah 2-3
hari sekali. Penyemprotan dengan cara ini hasilnya cukup
79
memuaskan, namun biasanya masih terdapat pula yang
tersisa yang kebanyakan sudah mencapai stadia dewasa
(instar 4-5).
2). Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufn)
- Gejala: pada pangkal batang menunjukkan adanya bekas
gigitan/bahkan terpotong hingga tanaman rebah. Pada
serangan yang hebat ulat ini memakan umbinya hingga
berlubang.
- Cara pengendalian (a) memberikan insektisida Basamid G
di sekitar tanaman, kemudian diairi. Basamid diberikan
dengan cara dicampur bersamaan dengan dosis sama
dengan pemupukan (dosis 20-30 kg/ha) dan (b) selain
dengan insektisida, pengendalian dapat dilakukan dengan
cara: (i) melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman
bukan inang. Tanaman inang yang dapat terserang hama
ulat tanah adalah tanaman tomat, dan kacang; (ii)
mengumpulkan dan membunuh ulat pada pagi hari yang
ditemukan di sekitar tanaman/di tanah; (iii) memasang
umpan beracun yaitu insektisida tricloroform dengan dosis
2-4 kg bahan aktif, 20 kg dedak dan 1-2 kg gula merah
untuk areal seluas 1 ha. Bahan-bahan tersebut dilakukan
dalam 20 liter air dan disebarkan di lahan. (iv) menaburkan
Furadan 3 G yang berbahan aktif karbofuran sebanyak 25
kg/ha secara merata kemudian lahan diairi.
80
3). Hama Putih/Trips (Thrips tabacci Lind)
- Gejala: noda putih mengkilat seperti perak pada daun, yang
kemudian menjadi kecoklat-coklatan dengan warna hitam.
Biasanya serangan hebat terjadi bila suhu udara berada di
atas 70%, namun, pada musim hujan ketika suhu udara
dingin sekali, hama ini akan menghilang dengan sendirinya.
Tanaman bawang merah yang terserang berat, seluruh
daunnya akan berwarna putih sehingga umbi yang
dihasilkan menjadi kecil-kecil dan berkualitas rendah.
- Cara pengendalian (a) tidak menanam bawang merah di
lahan bekas tanaman yang terkena serangan, serta tidak
menanam tanaman inang (cabe, tomat, kentang, waluh dan
bayam), (b) menanam pada pertengahan bulan April sampai
dengan awal Mei, yaitu ketika suhu udara dan kelembaban
belum tinggi dan (c) memberantas secara kimiawi dengan
menyemprotkan Akarisida seperti Bayrusil 250 EC,
Meathrin 50 EC. Kedua Akarisida ini merupakan racun
kontak dengan dosis 2 cc/liter air.
4). Bercak daun
- Penyebab: Alternaria sp.
- Gejala: mikroorganisme ini biasanya menyerang daun dan
kadang-kadang menyerang umbi tanaman bawang merah.
Pada mulanya tampak bercak-bercak berwarna keputi-
putihan, yang lama-kelamaan berubah menjadi abu-abu dan
81
bertepung hitam. Ujung daun yang terserang akan
mengering dan akhirnya menyebabkan kematian tanaman.
- Cara pengedalian adalah menanam tanaman bergilir dengan
tanaman bukan inang (bawang putih, bawang daun dan
tomat). Selain itu di semprotkan dengan fungisida Antracol
70 WP, dosis 2 gr/liter air; interval penyemprotan 4-7 hari
sekali yang dilakukan sejak tanaman berumur 7 hari setelah
tumbuh.
5). Busuk lunak
- Penyebab: Rhizopus sp.
- Gejala: tanaman yang terserang menunjukkan gejala
kebasah-basahan dan mudah busuk bila disentuh. Apabila
kulit umbi yang terserang dilukai, akan mengeluarkan
cairan yang berwarna cokelat muda/kekuningan. Tumbuh
cendawan di bagian yang luka. Pantogen ini mengeluarkan
bau yang khas.
- Pengedalian: dicabut umbinya dan dibuang dan digunakan
bibit yang sehat dan baik.
6). Embun tepung
- Gejala: adanya bintik-bintik yang berwarna abu-abu/hijau-
pucat, terutama di ujung daun, yang terjadi pada awal
pembentukan umbi. Serangan akan bertambah hebat apabila
udara dalam keadaan lembab atau turun hujan. Akibatnya
adalah daun akan menguning mulai dari ujung yang
82
menjalar ke pangkal, kemudian mengering hingga tanaman
layu dan mati.
- Cara pengendalian adalah menggunakan bibit yang baik,
menyiram bawang merah dengan air, bila terdapat embun
pada daun di pagi hari, agar titik yang mengkristal seperti
agar dapat segera cair sehigga daun tidak membusuk, dan
dengan cara kimiawi yaitu dengan fungisida sejak tanaman
berumur 7 hari setelah tumbuh; interval penyemprotran 4-7
hari. Interval penyemprotan lebih diperpendek pada musim
hujan.
7). Busuk leher batang
- Penyebab: Botrytis Allii Munn.
- Gejala: serangan pada bagian lebar batang umbi. Biasanya
berwarna abu-abu dan pada serangan berikutnya akan
menjalar dan menyerang umbinya. Akibatnya umbi menjadi
busuk, berkeriput dan akhirnya kering.Serangan penyakit
ini biasa terjadi di daerah pertanaman atau di tempat
penyimpanan.
- Cara pengendalian : dibuat saluran drainase yang baik agar
air yang berlebih cepat terbuang, demikian pula dengan
selokan dibuat lebih dalam (40-50 cm) terutama pada
musim penghujan. Dilakukan penyemprotan secara kimiawi
dengan fungisida, antara lain Rovral 50 WP dengan dosis 2-
4 gr/liter air, Topsin M 70 WP dengan dosis /konsentrasi
0,5-1,0 kg/ha, volumenya bervariasi antara 300-500 liter/ha
83
tergantung pada umur tanaman; interval penyemprotan
antara 4-7 hari sejak tanaman berumur 2 minggu.
8). Bintil akar Nematoda
- Penyebab: Eloidogyne sp.
- Gejala: menyerang akar sehingga menyebabkan daun
menjadi layu pada sore hari walaupun airnya cukup; daun
menguning dan akhirnya mati. Apabila tanaman dicabut
tampak adanya pembentukan bintil-bintil pada akar.
- Cara pengendalian : memberikan nemasida, seperti Furadan
3 G sebanyak 20-80 kg/ha dengan cara dibenamkan sekitar
perakaran tanaman dan kemudian diairi.
9). Layu Fusarium
- Penyebab: Fusarium sp.
- Gejala : serangan diawali dengan kelayuan pada ujung daun
yang menjalar ke pangkalnya. Infeksi biasanya dimulai dari
akar/luka pada umbi. Akibatnya adalah umbi membusuk,
berwana kuning kecoklatan dan permukaannya basah dan
lunak. Penyakit ini dapat juga menyerang bawang merah
yang sudah disimpat di gudang.
- Cara pengendalian: menyemprotkan fungisida seperti
Antrakol 70 WP dengan dosis 2 gram/liter air, Score 250
EC dengan dosis 0,5-1 ml/liter air. Volume penyemprotan
dalam 1 ha berkisar antara 400-600 liter dengan interval 4-7
hari sekali, tergantung pada hebatnya serangan yang terjadi
84
dan singkirkan umbi yang busuk dari gudang untuk segera
dibuang.
5. Tahap Panen/Pemanenan
Bawang merah biasanya dipanen pada umur 70-75 hari.
Ciri-ciri tanaman bawang merah yang siap dipanen sebagai berikut:
(i) daun tanaman mulai menguning, leher batang tampak lemas
yang meliputi sekitar 75-85 persen dari jumlah tanaman dan (ii)
sebagian besar umbi telah keluar dari permukaan tanah, lapisan
umbi penuh berisi, dan warnanya merah mengkilap. Bawang merah
yang dipanen terlalu muda akan cepat lunak dan berkeriput setelah
kering. Jika umbi tersebut disimpan akan cepat menyusut,
membusuk, dan keropos. Selain itu panen pada tanaman yang
belum cukup umur akan menyulitkan pemungutan hasilnya, karena
batang bawang merah yang masih muda patah ketika dicabut. Hal
ini menyebabkan banyak umbi tertinggal di bawah tanah, sehingga
menyebabkan berkurangnya hasil panen, sedangkan panen pada
umur sudah cukup tua, umbinya akan lebih keras, padat, daya
simpan lama, tidak mudah keriput, dan tidak mudah busuk.
Panen sebaiknya dilakukan ketika cuaca sedang cerah, tidak
ada hujan dan pada pagi hari. Selain itu, keadaan tanahnya harus
benar-benar kering untuk mencegah terjadinya pembusukan umbi
ketika disimpan. Jika tanahnya gembur, pemanenan dapat
dilakukan dengan dicabut secara hati-hati agar tidak ada umbi yang
tertinggal di dalam tanah. Di lahan yang tanahnya padat,
pemanenan dilakukan dengan alat pencungkil yang bagian
85
ujungnya pipih dan agak runcing dengan gancu. Bawang yang
sudah dicongkel segera dibersihkan dari tanah yang melekat.
Gambar 8.
Penampakan Bawang Merah VLP Siap Panen
Gambar 9.
Pemanenan Bawang Merah VLP
86
4.3 Analisis Biaya Usahatani Bawang Merah VLP
Bawang merah merupakan salah satu komoditas
hortikultura unggulan yang tergolong ke dalam bahan
bumbu/rempah. Seperti bawang merah lainnya, budidaya bawang
merah VLP oleh petani di kawasan lembah Palu secara umum
diusahakan secara intensif dan sebagian besar dicirikan dengan
lahan yang tidak terlalu luas (skala kecil). Karakteristik bawang
merah yang tahan lama dan tidak cepat busuk serta harganya yang
tinggi, menjadikan bawang merah memiliki prospek usaha yang
menguntungkan dan nilai ekonomi yang tinggi termasuk produk
derivatifnya seperti bawang goreng.
Dalam kegiatan budidaya bawang merah, kebutuhan
pembiayaan bibit mengambil porsi separuh dari total kebutuhan
modal kerja, sehingga pemilihan bibit yang bermutu tinggi
merupakan syarat mutlak agar kegiatan budidaya dapat
menghasilkan produksi bawang merah yang optimal. Total biaya
investasi yang digunakan untuk budidaya bawang merah per hektar
per tahun (3 kali musim tanam) adalah sebesar Rp26.323.000 dan
total modal kerja yang digunakan adalah sebesar Rp111.130.000.
Dengan asumsi bahwa 60% modal kerja bersumber dari kredit
perbankan, maka kredit modal kerja yang diperlukan adalah
sebesar Rp66.678.000 dengan bunga kredit sebesar 18%,
sedangkan selebihnya Rp44.452.000 merupakan dana milik petani.
Adapun pembayaran angsuran dilakukan setelah panen (pada bulan
ke-4). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur biaya
87
produksi usahatani bawang merah per hektar terdiri atas biaya tetap
mencakup: 1,2 % (biaya sewa lahan 0,3%, biaya PBB 0,1%, biaya
penyusutan 0,8%) terhadap keseluruhan biaya, biaya variabel
mencapai 95,6 % (sarana produksi 87,8% dan biaya tenaga kerja
7,8%), dan biaya lain-lain mencapai 3,2%, sehingga dapat
dikatakan bahwa biaya produksi didominasi oleh biaya sarana
produksi. Secara spesifik bawang VLP, berdasarkan beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa kisaran biaya tetap perhektar yang
dikeluarkan petani antara Rp.100.000,0 – Rp.150.000,0 yang
diperuntukkan bagi pembayaran pajak dan penyusutan alat
permusim tanam. Sementara biaya variabel yang dikeluarkan
permusim tanam per hektar berada pada kisaran Rp.20 juta - 23juta.
4.4 Analisis Produksi dan Pendapatan Usahatani Bawang
Merah VLP
Produksi dan produktivitas bawang goreng VLP
dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang dapat dikendalikan
maupun yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Faktor yang
dapat dikendalikan oleh manusia dikenal dengan nama faktor
produksi, seperti kesuburan tanah dan luas lahan garapan, modal,
tenaga kerja dan keterampilan (skill). Pemilihan lokasi budidaya
bawang merah VLP terkait dengan faktor produksi tanah, dimana
harus disesuaikan dengan persyaratan tumbuh bawang merah untuk
mencegah kegagalan tanam dan dapat menghasilkan bawang merah
yang sesuai dengan standar mutu serta tidak merusak lingkungan.
Lokasi lahan diusahakan dekat dengan mata air untuk memenuhi
88
ketersediaan air irigasi. Puncak panen bawang merah VLP
dilakukan saat tanaman telah berumur antara 4-5 bulan atau pada
setiap tahun dapat dilakukan 2-3 kali musim tanam. Berbeda
dengan tanaman bawang merah umumnya produksi dilakukan
setelah 6-7 bulan tanam yang terkonsentrasi antara bulan Juni-
Desember-Januari, sedangkan bulan kosong panen terjadi pada
bulan Februari-Mei dan November. Berdasarkan pengamatan
tersebut, musim tanam puncak diperkirakan terjadi pada bulan
April-Oktober.
Secara umum, faktor kritis yang dihadapi dalam budidaya
bawang merah, yaitu harga bibit yang lebih mahal dibandingkan
harga jual ketika musim panen, kebutuhan air yang banyak, dan
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) yang
efektif. Untuk itu perlu dilakukan pembangunan jaringan informasi
(periode panen, prediksi pasokan, kelas/varietas, dan harga),
pengadaan dan perbaikan jaringan irigasi, serta pemberdayaan
sentra produksi bawang merah untuk mencapai economics of scale
usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha budidaya
bawang merah yang dikelola dalam setiap hektar sesuai dengan
asumsi periode proyek 3 tahun dapat memberikan nilai kelayakan
usaha yang tinggi bahkan mampu mencapai 118,50% jauh di atas
tingkat bunga kredit perbankan yang tercatat 18% dan mencapai
titik impas hanya 1,51 tahun.
89
Daerah-daerah sentra produksi bawang merah varietas
lembah palu meliputi Kabupaten Sigi, Kota Palu dan Kabupaten
Donggala. Hasil penelitian pendapatan petani bawang merah
varietas lembah palu menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan
yang diperoleh petani per musim tanam mencapai Rp 59.916.433
per 0,67 ha atau sebesar Rp 89.516.584 per ha. Nilai pendapatan ini
diperoleh dari rata-rata produksi sebesar 3.472 kg/0,67 atau setara
dengan konversi 5.188 kg/ha. Harga jual per kilogram di tingkat
pasar lokal mencapai Rp 22.317,- (Pamusu, 2013). Jika
dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari usahatani
bawang merah varietas Bima diperoleh nilai keuntungan usahatani
yang diterima sebesar Rp 19.838.390 per hektar dengan B/C ratio
3,81(Zairin, tt).
Secara ekonomi usahatani bawang merah layak diusahakan
dengan B/C ratio sebesar 1.97. Artinya keuntungan yang diterima
dapat digunakan untuk melakukan kegiatan usahatani pada musim
tanam berikutnya. Analisa usahatani bawang merah dilakukan
tanpa memperhitungkan sewa lahan, karena bawang merah di lahan
pasir belum berkembang pada areal yang cukup luas, dalam arti
investor belum tertarik dengan usahatani bawang merah di lahan
pasir.
90
BAB V MANAJEMEN AGROINDUSTRI
BAWANG MERAH VLP
5.1 Konsep Manajemen Agroindustri
Pengertian manajemen agroindustri adalah penerapan ilmu
manajemen dalam industri pertanian agar dapat dilakukan secara
efisien. Fungsi-fungsi manajemen yang meliputi perencanaan,
organisasi, staffing, koordinasi, pengarahan dan pengawasan harus
dijalankan pada setiap tahapan kegiatan agroindustri.
Tahapan dalam agroindustri terdiri dari input, proses
produksi dan output. Tahapan input meliputi bahan baku, bahan
penunjang, tenaga kerja dan peralatan yang dibutuhkan. Tahapan
proses produksi mencakup teknologi yang digunakan, kapasitas
mesin dan proses produksinya, sedangkan tahapan output meliputi
kuantitas dan kualitas produk termasuk menjaminkan kualitas
produknya. Adanya manajemen dalam agroindustri,
diharapkan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan dapat
dimanfaatkan secara optimal dengan tetap mempertimbangkan
keberlanjutannya.
Makna berkelanjutan (Sustainable) yang didampingi kata
agroindustri tersebut, maka pembangunan agroindustri yang
berkelanjutan (Sustainable agroindustrial development) adalah
pembangunan agroindustri yang mendasarkan diri pada konsep
berkelanjutan, dimana agroindustri yang dimaksudkan dibangun
dan dikembangkan dengan memperhatikan aspek-aspek
91
manajemen dan konservasi sumber daya alam. Semua teknologi
yang digunakan serta kelembagaan yang terlibat dalam proses
pembangunan tersebut diarahkan untuk memenuhi kepentingan
manusia masa sekarang maupun masa mendatang. Jadi teknologi
yang digunakan sesuai dengan daya dukung sumber daya alam,
tidak ada degradasi lingkungan, secara ekonomi menguntungkan.
Dari definisi ini ada beberapa ciri dari agroindustri yang
berkelanjutan, yaitu pertama produktivitas dan keuntungan dapat
dipertahankan atau ditingkatkan dalam waktu yang relatif lama
sehingga memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang atau
masa mendatang. Kedua, sumber daya alam khususnya sumber
daya pertanian yang menghasilkan bahan baku agroindustri dapat
dipelihara dengan baik dan bahkan terus ditingkatkan karena
berkelanjutan kerajinan tersebut sangat tergantung dari tersedianya
bahan baku. Ketiga, dampak negatif dari adanya pemanfaatan
sumber daya alam dan adanya kerajinan dapat diminimalkan.
Kemajuan ilmu dan teknologi yang mempengaruhi corak berpikir
produsen, konsumen dan pelaku pembangunan pertanian dengan
memperhatikan pada empat aspek seperti yang disebutkan di
atas,yaitu:
a. Pemanfaatan sumber daya dengan tanpa merusak lingkungannya
b. Pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah.
c. Pemanfaatan institusi (kelembagaan) yang saling
menguntungkan dan
92
d. Pemanfaatan budaya (cultural endowment) untuk keberhasilan
pembangunan pertanian.
Keempat aspek inilah yang banyak menentukan keberhasilan
pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
5.2 Manajemen Stok Bahan Baku
Bawang merah VLP merupakan salah satu komoditas
sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik ditinjau dari sisi
pemenuhan konsumsi nasional, sumber penghasilan petani, maupun
potensinya sebagai penghasil devisa negara. Komoditas ini
termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi sehingga
selalu dibutuhkan oleh konsumen sebagai pelengkap bumbu
penyedap makanan serta sebagai sumber vitamin dan mineral yakni
dapat menyediakan Ca, K dan Mn hingga 10 persen dari unsur-
unsur mineral yang diperlukan oleh tubuh (Terry, et al. 2000).
Bawang merah juga mengandung beberapa senyawa fenolik seperti
flavonoid dan turunannya : quercetin, isoquercetin, kaempferol dan
sebagainya (Galeone, et al. 2006; Kaur, et al. 2009; Santas, et al.
2010) yang dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan
(bersifat antioksidatif dan antimikroba). Senyawa-senyawa tersebut
telah banyak diformulasikan dalam bentuk obat dan kosmetik untuk
mencegah penyakit kardiovaskular, kanker, meningkatkan/
mempertahankan kesehatan tubuh dan kulit.
Meskipun demikian dalam upaya pengembangannya,
masih terdapat kendala yang merupakan salah satu faktor penyebab
rendahnya devisa yang diperoleh dari usaha komoditi ini. Kendala
93
tersebut antara lain komoditi ini mudah mengalami kerusakan baik
pada waktu pemanenan, penyimpanan, transportasi, maupun
pemasaran. Berbagai hasil penelitian baik di Laboratorium maupun
di Lapangan melaporkan bahwa sekitar 20 – 80% buah dan sayuran
segar rusak sebelum dikonsumsi. Besarnya tingkat kerusakan
tersebut membawa dampak ekonomis dan sosial yang cukup
penting.
Manajemen stok bahan baku merupakan salah satu upaya
penanganan umbi bawang merah VLP setelah panen. Tujuannya
adalah untuk meminimalkan susut pascapanen umbi dan
memaksimalkan kontinuitas bahan baku industri pengolahan
bawang goreng. Susut pasca panen adalah perubahan atau
kerusakan yang terjadi pada buah dan sayuran setelah dipanen.
Dibedakan menjadi tiga macam kategori yang masing-masing
mempunyai implikasi ekonomis, yaitu:
1. Susut fisik, susut yang dapat diukur. Misalnya berat buah dan
sayuran yang baru dipanen akan berkurang setelah disimpan jika
dibiarkan begitu saja.
2. Susut kualitas yaitu adanya perubahan wujud (appearance), rasa
atau tekstur yang dapat menyebabkan buah dan sayuran itu
kurang disukai oleh konsumen.
3. Susut nilai gizi yaitu perubahan nilai gizi buah dan sayuran.
Misalnya perubahan karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin.
Kecepatan susut pasca panen berbeda-beda tergantung
macam komoditinya. Buah dan sayuran relatif lebih cepat
94
mengalami susut pasca panen dibandingkan dengan serealia.
Adapun penyebab susut pasca panen adalah sebagai berikut :
1. Proses Fisiologis.
Susut pasca panen karena proses fisiologis adalah akibat
terjadinya proses transpirasi, respirasi dan reaksi-reaksi yang
ditimbulkan oleh suhu tinggi, suhu rendah atau kondisi lain yang
tidak cocok. Proses fisiologis ini erat hubungannya dengan
perubahan kimia dan biokimia dalam buah dan sayuran. Alam
(2015) melaporkan bahwa penyimpanan umbi bawang merah
VLP pada suhu ruang selama 2 bulan menyebabkan penurunan
bobot umbi 35,22 – 65.55% atau 1,17 – 2,19% per hari.
2. Luka Mekanis
Bawang merah termasuk ke dalam kelompok hasil pertanian
yang bersifat perishable (mudah rusak). Hasil pertanian yang
bersifat perishable mempunyai ciri-ciri seperti kadar air tinggi
(50 – 90%), ukuran satuan besar 5 g – 5 kg, laju respirasi tinggi,
panas yang timbul tinggi, tekstur lunak, tidak stabil, umur
simpan pendek, dan susut pasca panen lebih banyak disebabkan
oleh faktor dalam (respirasi) dan faktor luar (bakteri).
Sedangkan ciri-ciri hasil pertanian yang bersifat durable adalah
kadar air rendah (10 – 15%), ukuran satuan kecil 1 g, laju
respirasi dan panas yang timbul rendah, tekstur jaringan keras,
tidak mudah rusak, stabil, umur simpan lama, dan susut pasca
panen lebih banyak disebabkan oleh faktor luar. Dengan
demikian hasil pertanian yang bersifat perishable seperti buah
95
dan sayur lebih mudah mengalami luka mekanis dibandingkan
dengan yang durable seperti hasil tanaman serealia. Kerusakan
mekanis ini dapat terjadi karena penanganan yang kurang baik
pada waktu pemanenan, pengumpulan, sortasi, pembersihan,
penyimpanan, pengepakan, pengangkutan, maupun pada waktu
perlakuan mekanik lainnya.
3. Patogen
Mikroorganisme dapat menyebabkan terjadinya susut pasca
panen yang besar terutama pada bahan yang bersifat perishable.
Hal ini biasanya dimulai oleh terjadinya infeksi oleh suatu atau
lebih patogen yang spesifik yang kemudian diikuti oleh infeksi
sekunder oleh berbagai macam mikrobia saprofitik. Di samping
itu, susut pasca panen juga dapat diakibatkan oleh serangan
insekta atau rondetia. Oleh karena itu, diperlukan penanganan
melalui teknik pemanen, penyortiran, penyimpanan dan
pengemasan untuk mencegah terjadinya susut pasca panen pada
buah/sayur yang disebabkan oleh proses fisiologis, luka mekanis,
dan patogen.
Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk memanajemen
stok bahan baku bawang merah VLP antara lain :
1. Meningkatkan kualitas umbi
Umbi bawang merah yang berkualitas tinggi adalah umbi
memiliki tekstur keras, daya kecambah dan produktivitas tinggi,
daya tahan simpan lama, tahan terhadap serangan hama dan
penyakit, aroma dan rasanya lebih tajam serta renyah jika diolah
96
menjadi bawang goreng. Upaya yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan kualitas umbi antara adalah sebagai berikut :
- Penggunaan bibit umbi yang bermutu tinggi
- Meningkatkan status hara tanah tempat tumbuh.
- Mengoptimalkan pengendalian hama dan penyakit
- Waktu panen tepat. Umur panen tanaman bawang merah
biasanya dipanen pada umur 70 - 75 hari, tetapi untuk
bawang merah VLP umumnya dipanen oleh petani pada
umur 60 – 65 hari. Bawang merah yang dipanen terlalu muda
akan cepat lunak dan berkeriput setelah kering. Jika umbi
tersebut disimpan akan cepat menyusut, cepat membusuk,
dan keropos. Sedangkan bawang merah yang dipanen sudah
cukup tua, umbinya akan lebih keras, padat, mempunyai daya
simpan lama, tidak mudah keriput, dan tidak mudah busuk.
2. Menghindari kerusakan mekanis bawang merah VLP pada
waktu pemanenan, pengumpulan, sortasi, pembersihan,
pengepakan, pengangkutan, maupun pada waktu perlakuan
mekanik lainnya.
3. Pengaturan suhu tempat penyimpanan. Menurut Mutia, dkk.
(2014) penyimpanan bawang merah terbaik pada kadar air 80%
dengan suhu 5°C RH 65-70%, menghasilkan susut bobot 7,06%,
kadar air 79,48%, kerusakan 0,37%, kekerasan 4,38 N, dan VRS
26,53 μEq g-1 daripada suhu 10°C dengan RH 65-70% dan suhu
ruang (25-30°C) dengan RH 52-88%.
97
5.3 Proses Produksi Bawang Goreng
Awalnya pengolahan bawang goreng Palu masih dilakukan
dalam skala industri rumah tangga. Dengan berkembangnya
berbagai usaha bisnis makanan yang menggunakan bawang goreng,
maka permintaan terhadap bawang goreng Palu semakin
meningkat, sehingga para pengusaha mulai mengembangkan
usahanya untuk memproduksi bawang goreng dalam skala lebih
besar. Beberapa industri yang mengolah bawang merah VLP
menjadi bawang goreng telah menggunakan mesin pengiris,
penggoreng berkapasitas satu ton bawang basah hari-1, mesin
pengemas dan peralatan sentrifugasi yang berfungsi untuk
mereduksi kandungan minyak bawang goreng, biasa disebut
spinner.
Industri bawang goreng yang ada di Kota Palu jumlahnya
cukup banyak, tetapi data pastinya tidak diketahui. Departemen
Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu melaporkan industri
bawang goreng yang terdaftar hingga tahun 2009 telah mencapai
36 unit dengan kapasitas produksi 1.500 – 57.600 kg tahun-1 (Ete,
dkk. 2009). Jumlah ini masih jauh lebih banyak karena banyak
industri rumah tangga bawang goreng yang tidak terdaftar. Hasil
survei diketahui bahwa industri bawang goreng terdaftar umumnya
memiliki nama dagang (merek) dan nama usaha produksi,
mempunyai kemasan yang cukup menarik, dipasarkan di swalayan-
swalayan baik di dalam maupun di luar daerah Kota Palu.
Sebaliknya industri bawang goreng tidak terdaftar lebih banyak
98
memasarkan produknya di pasar tradisional Kota Palu dengan
kemasan kurang menarik. Jenis bawang goreng ini mengandung
minyak dan bilangan peroksida yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan bawang goreng terdaftar (Hutomo, dkk.
2007). Pengolahan bawang merah VLP menjadi bawang goreng
cukup sederhana yakni melibatkan tiga tahap kegiatan utama yaitu
penyiapan bahan baku, peralatan dan proses produksi.
5.3.1 Penyiapan Bahan Baku
1. Bahan Utama
Bahan utama yang digunakan untuk pengolahan bawang goreng
Palu adalah umbi bawang merah VLP. Untuk mendapatkan mutu
bawang goreng yang baik dan meningkatkan efisiensi pengolahan,
maka umbi bawang merah VLP yang akan digunakan harus
memenuhi beberapa syarat seperti umur cukup tua (umur panen 65
– 70 hari), keras (tidak lunak bila ditekan dengan jari setelah
mengalami curing/pengeringan) dan berdiameter > 1,56 cm. Umbi
yang dipanen belum cukup umur akan menyebabkan kandungan air
dalam umbi tinggi dan senyawa organik (karbohidrat, protein dan
fenol) yang berkontribusi terhadap mutu bawang goreng belum
sempurna terbentuk (kadarnya masih rendah). Umbi berkadar air
tinggi akan menyebabkan rendemen bawang goreng yang
dihasilkan rendah, kadar minyak dan asam lemak bebas tinggi serta
mudah mengalami kerusakan selama masa penyimpanan sehingga
dari aspek ekonomis kurang menguntungkan. Sebaliknya akan
dihasilkan bawang goreng dengan kerenyahan, aroma dan rasa
99
yang kurang baik jika umbi yang digunakan kadar senyawa
organiknya rendah. Menurut Moreira, et al. (1997) kandungan
minyak dari tortilla chips signifikan dipengaruhi oleh kadar air
awal dari bahan yang digunakan. Kadar air awal yang lebih tinggi
akan mengakibatkan kandungan minyak akhir yang lebih tinggi.
Penggunaan umbi yang berdiameter < 1,56 akan
menyulitkan dalam hal pengupasan kulit umbi dan pengirisan
(memerlukan waktu yang lebih lama dan tenaga kerja yang lebih
banyak). Di samping itu irisan umbi yang dihasilkan kecil akan
memberikan penampakan bawang goreng yang kurang menarik
karena kadar minyaknya tinggi sehingga mengurangi minat
konsumen untuk membelinya. Menurut Moreira, et al. (1997)
kandungan minyak dari tortilla chips signifikan lebih tinggi
ditemukan pada ukuran yang lebih kecil. Oleh karena itu
pengolahan bawang goreng dengan menggunakan umbi seperti
tersebut di atas kurang menguntungkan.
Setelah diperoleh umbi seperti yang dipersyaratkan tersebut
di atas, umbi diangin-anginkan selama 2- 3 hari atau dengan susut
bobot sekitar 10-15 % dari bobot panen. Misalnya berat umbi dari
bobot panen 100 kg setelah dikeringkan selama 1 atau 2 hari
bobotnya turun menjadi 85 – 90 kg, maka susut bobotnya telah
mencapai 10–15%. Kegiatan ini bertujuan adalah untuk
menurunkan kadar air umbi dan mengeringkan kulit ari bawang
merah dan tanah-tanah yang masih melekat pada akar sehingga
mudah untuk dibersihkan dan pengupasan.
100
Gambar 10. Penampakan Bawang Merah VLP Sebagai Bahan Baku Bawang
Goreng Palu
2. Bahan Pembantu
Bahan pembantu yang umum digunakan untuk pengolahan bawang
goreng adalah minyak goreng, tepung pelapis, garam, bahan
pengemas dan label.
a. Minyak goreng mempunyai titik didih jauh di atas titik didih
air, yakni berada pada suhu kisaran 150 0C. Keadaan ini
menyebabkan minyak menyerap panas yang tinggi, yang berarti
minyak mampu memberikan panas yang tinggi pula. Sifat ini
yang dimanfaatkan dalam proses pertukaran panas seperti pada
pengolahan pangan dengan penggorengan. Minyak goreng yang
digunakan untuk menggoreng bahan pangan dapat terbuat dari
minyak biji jagung, biji kapas, wijen, kedele, bunga matahari,
zaitun, sawit dan minyak kelapa. Minyak sawit merupakan jenis
minyak yang umum digunakan oleh industry penggorengan
101
untuk menggoreng bawang goreng karena harganya lebih
murah jika dibandingkan dengan jenis minyak lainnya. Mutu
makanan yang digoreng sangat ditentukan jenis, merek dan
frekuensi pemakaian minyak goreng. Beberapa peneliti
melaporkan kentang goreng Francis yang digoreng dalam
minyak biji lobak menunjukkan tekstur paling lembut bila
dibandingkan dengan jenis minyak lainnya (Kita et al., 2005);
minyak goreng merek Bimoli Spesial memberikan pengaruh
yang lebih baik terhadap kadar asam lemak bebas bawang
goreng Palu (Alam, dkk , 2013); frekuensi pemakaian minyak
goreng termasuk salah satu variabel pengolahan yang dapat
mempengaruhi mutu makanan gorengan. Menurut
Hojjatoleslamy dan Sedaghat (2012) pemakaian minyak goreng
berulang-ulang dapat menyebabkan penurunan lightness dan
tekstur potato chips serta meningkatkan indeks konsistensi
minyak goreng dan bilangan peroksida; Onigbogi dkk. (2011)
menjelaskan bahwa frekuensi pemakaian dan jenis minyak
goreng yang berbeda memberikan pengaruh sangat nyata
terhadap sifat sensoris keripik ubi jalar; mutu fisik-kimia dan
organoleptik bawang goreng Palu secara berturut-turut terbaik
diperoleh dari penggorengan menggunakan minyak goreng
segar, 1, 2 dan 3 kali pemakaian (Alam, dkk. 2014).
b. Tepung pelapis, berfungsi untuk melapisi irisan umbi bawang
merah agar tidak lengket/menggumpal dan tidak banyak
menyerap minyak, lebih kering serta membuat proses
102
penggorengan menjadi lebih mudah dan merata, sehingga
bawang goreng yang dihasilkan akan berwarna kuning merata,
kering (renyah), serta tahan lama. Beberapa hasil penelitian
melaporkan bahwa jenis dan konsentrasi tepung pelapis
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap mutu makanan
yang digoreng. Nurhayati (2006) dan Rostiati (2006)
menyimpulkan kadar air dan minyak bawang goreng meningkat
dengan bertambah tingginya kadar tepung beras. Sebaliknya
kadar kedua komponen mutu tersebut menurun dengan
meningkatnya konsentrasi tepung tapioka. Penggunaan kedua
jenis tepung tersebut juga menyebabkan perubahan mutu
organoleptik bawang goreng. Nilai skor warna, aroma, rasa dan
kerenyahan berkurang jika kadar kedua tepung tersebut
ditingkatkan. Khairani (2010) juga melaporkan bawang merah
iris yang dicampur dengan tepung tapioca 1 persen
menghasilkan bawang goreng dengan mutu kimia dan
organoleptik terbaik. Wibowo et al., (2006) keripik kentang
yang diblancing dengan CaCl2 0,1, 0,5 dan 1% sebelum
digoreng memberikan kadar minyak berturut-turut adalah
35,63, 32,53, dan 29,57% b/b. Rimac-Brn i dan Lelas, (2004)
perlakuan blanching dengan larutan CaCl2, asam sitrat, air, dan
selulosa carboxymethyl (CMC) sangat mengurangi penyerapan
minyak kentang goreng. Hasil terbaik diperoleh pada irisan
kentang yang diblancing dalam larutan CaCl2 0,5% dan dalam
larutan CMC 1% yakni mengurangi menyerapan minyak
103
hingga 54%. Alam, dkk. (2013) tepung pelapis karboksi metil
selulosa pengaruhnya sangat nyata terhadap daya serap air
bawang goreng, tekstur, warna, grade mutu A dan C, kadar air,
kadar lemak, asam lemak bebas, bilangan TBA, rasa,
kerenyahan dan kesukaan bawang goreng, nyata terhadap grade
mutu B, tetapi tidak nyata terhadap rendemen, bilangan
peroksida dan aroma bawang goreng. Penggunaan karboksi
metil selulosa 0,5% memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap mutu fisik-kimia bawang goreng.
c. Garam, berfungsi untuk memberikan rasa gurih dan
membangkitkan rasa lezat pada bawang yang digoreng. Industri
pengolahan yang modern umumnya memanfaatkan garam
untuk memperbaiki cita rasa, penampilan, dan sifat fungsional
produk yang dihasilkan. Khairani (2010) melaporkan bawang
merah iris yang dicampur dengan garam 0,08% menghasilkan
bawang goreng dengan mutu kimia dan organoleptik terbaik.
d. Bahan pengemas, adalah bahan yang digunakan untuk
mewadahi dan atau membungkus bahan pangan, baik yang
bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Kemasan
memiliki manfaat untuk mempertahankan mutu bahan,
memperpanjang masa simpan, mempermudah penyimpanan,
pemasaran, tranportasi, menambah daya tarik bagi konsumen
(memberi informasi dan sarana promosi). Kemasan yang baik
harus dibuat semenarik mungkin, punya ciri khas, memuat
informasi jelas dan jujur, menarik (desain, warna, bentuk),
104
dengan komposisi yang imbang, ukuran dan material bahan
sesuai kebutuhan. Material bahan kemas harus sesuai dengan
sifat produk yang akan dikemas, misalnya untuk makanan yang
mengandung minyak seperti bawang goreng maka sifat bahan
kemasnya harus tahan terhadap minyak dan memiliki proteksi
yang tinggi terhadap uap air.
e. Label, adalah bahan yang langsung ditempelkan pada kemasan
atau menggunakan media lain misalnya kertas sticker dll. Pada
label kemasan sekurang-kurangnya berisi merek, nama produk,
tanggal produksi & kadaluarsa, komposisi, berat bersih,
produsen & alamat, sertifikasi dan hal-hal istimewa yang
menjadikan produk menjadi unggul (misalnya bawang goreng
ini tanpa MSG, tanpa pengawet, tanpa formalin, non kolesterol,
dan lain-lain).
5.3.2 Penyiapan Peralatan
Alat-alat yang digunakan untuk pengolahan bawang goreng
antara lain adalah alat pengupas kulit ari bawang merah,
pisau/mesin pengiris, wadah/baskom, timbangan, kompor,
wajan/sodek, thermometer, separator/spinner, vibrator
screen/ayakan getar dan sealer, sebagai berikut:
a. Alat pengupas kulit ari bawang merah (drum washer). Berfungsi
untuk mengeluarkan kulit ari bawang merah. Alat ini belum
pernah digunakan oleh industri penggorengan bawang goreng
yang ada di Kota Palu sehingga efisiensi, kelemahan dan
keunggulannya belum diketahui.
105
b. Pisau stainless steel, berfungsi untuk mengeluarkan kulit ari dan
mengiris umbi bawang merah. Pisau jenis ini sangat baik
digunakan untuk mengiris umbi bawang merah atau produk
hasil pertanian lainnya karena memiliki sifat anti karat. Berbeda
dengan pisau baja lainya yang mudah berkarat dan bila
digunakan mengiris akan meninggalkan residu karat pada umbi
bawang merah. Residu karat dapat memacu laju reaksi oksidasi
pada minyak goreng dan minyak yang terkandung dalam
bawang goreng sehingga bawang goreng cepat rusak atau
tengik.
c. Mesin pengiris semi mekanis, alat ini sudah ada industri bawang
goreng di Kota Palu yang memilikinya. Tetapi menurut
keterangan mereka hasil irisan umbi alat ini kurang baik
(persentase irisan umbi yang hancur cukup tinggi) sehingga
penggunaannya tidak diminati lagi oleh industri bawang goreng.
Mereka lebih senang mengupas dan mengiris umbi bawang
merah secara manual (menggunakan pisau) karena hasil
irisannya lebih seragam dan tingkat kerusakan irisan kecil.
d. Wadah/baskom, berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan
umbi yang sudah dikupas atau diiris atau bawang yang sudah
digoreng.
e. Timbangan, adalah alat yang dipakai melakukan pengukuran
massa atau berat bahan yang akan digunakan dalam proses
pengolahan bawang goreng. Timbangan yang umum digunakan
106
oleh industri bawang goreng adalah timbangan manual dan
digital.
f. Kompor hock atau elpiji, alat ini berfungsi sebagai sumber
panas untuk memanaskan minyak goreng. Dalam hal
penggunaannya, kompor gas lebih efisiensi jika dibandingkan
dengan kompor hock karena mudah dinyalakan. Nyala apinya
seragam dan suhu minyak goreng mudah dikontrol melalui
pengaturan nyala api serta harganya lebih murah daripada
minyak tanah.
g. Wajan, alat ini dapat dibuat dari bahan besi baja, aluminum atau
stainless steel. Berfungsi sebagai tempat menggoreng bawang
goreng. Wajan yang terbuat dari besi baja mudah berkarat
sehingga dapat memacu kerusakan minyak dan bawang goreng.
Demikian juga dengan wajan dari aluminum ketika bereaksi
dengan minyak goreng panas akan menimbulkan kerak
berwarna hitam. Hal ini akan menyebabkan penurunan derajat
kejernihan minyak goreng (warna minyak menjadi gelap)
sehingga bahan yang digoreng warnanya menjadi kurang cerah.
Penggunaan wajan yang terbuat dari bahan stainless steel sangat
dianjurkan untuk mengatasi masalah tersebut dan menghindari
penurunan mutu bawang goreng.
h. Thermometer, dalam pengolahan bawang goreng alat ini
berfungsi untuk mengetahui apakah suhu minyak goreng tetap
pada kisaran suhu yang diinginkan atau tidak.
107
i. Separator/spinner, berfungsi untuk mereduksi kandungan
minyak bawang yang sudah digoreng. Efisiensi alat ini
tergantung pada desain, kecepatan dan waktu putaran silinder
spinner.
Gambar 11. Spinner alat untuk mereduksi kadar minyak Bawang Goreng
j. Vibrator screen/ayakan getar, alat ini berfungsi secara mekanis
untuk memisahkan bawang goreng menurut ukuran/grade yang
diinginkan atau memisahkan bawang goreng utuh dengan
hancuran menggunakan ayakan bergetar. Grading juga dapat
dilakukan dengan menggunakan ayakan manual.
k. Sealer, alat ini berfungsi untuk merekatkan plastik pembungkus
atau kemasan bawang goreng. Cara penggunaannya cukup
sederhana yaitu : diatur tingkat kepanasan sesuai dengan
ketebalan plastik yang akan direkatkan, kemudian jepit bagian
plastik yang akan direkatkan. Lampu indikator akan menyala
108
pada saat plastik di jepitkan, dan lampu indikator akan padam
secara otomatis (dalam hitungan detik) yang berarti proses
perekatan sudah selesai.
Gambar 12.
Sealer, alat ini berfungsi untuk merekatkan plastik pembungkus atau kemasan bawang goreng
1. Proses Produksi
Proses produksi bawang goreng terdiri dari 7 tahap kegiatan yaitu
sortasi, pembersihan, pengupasan dan pengirirsan, penambahan
garam dan tepung pelapis, penggorengan, penirisan minyak,
grading/pengkelasan mutu, pengemasan dan pelabelan
a. Sortasi, bertujuan untuk memisahkan umbi yang tidak
memenuhi syarat untuk pengolahan bawang goreng seperti umbi
lunak, berdiameter < 1,56 cm, kempes dan busuk.
109
b. Pembersihan
Umbi yang terseleksi dibersihkan dari kotoran yaitu semua
bahan yang bukan bawang merah atau benda asing lainnya
(seperti tanah, bahan tanaman, dan lain-lain). Proses ini
dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan
c. Pengupasan dan pengirisan
- Umbi yang sudah dibersihkan dikupas dengan cara
mengeluarkan kulit ari hingga daging umbi betul-betul bebas
dari kulit ari. Selanjutnya dilakukan pencucian terhadap
umbi yang sudah dikupas, kemudian ditiriskan hingga tidak
ada air yang menetes.
- Umbi diiris secara melintang dengan ketebalan ± 2 mm.
Pisau pengiris yang digunakan harus tajam untuk
menghindari kerusakan jaringan bawang merah dan tidak
berkarat. Selama pengirisan, hasil irisan ditampung dengan
wadah yang lebar, misalnya tampi, talam, nampan atau baki
dan diusahakan irisan menyebar merata pada wadah,
sehingga tidak menumpuk untuk memudahkan proses
penguapan air dan pemberian garam atau tepung pelapis.
Pengendalian terhadap tebal irisan sangat mempengaruhi
kualitas mutu bawang goreng. Tebal irisan yang tidak
seragam akan menyebabkan keragaman tingkat kematangan
dan penampakan produk bawang gorengnya. Jika irisan
umbi terlalu tipis akan menyebabkan bawang gorengnya
110
mudah hancur ketika digoreng dan direduksi kandungan
minyaknya.
d. Penambahan garam dan tepung pelapis
- Irisan umbi ditaburi dengan garam dan tepung pelapis
tapioka masing-masing sebanyak 0,5 dan 1% (b/b) sambil
diaduk hingga tercampur dengan sempurna. Penggunaan
tepung pelapis larutan karboksimetil selulosa (CMC) juga
dianjurkan karena dapat mengurangi kadar minyak dan
bawang goreng hancur atau patah. Alam, dkk (2014) irisan
umbi yang direndam dalam larutan CMC 0,5% dapat
menurunkan kadar minyak bawang goreng sebesar 10,78%
dari kontrol (tanpa CMC). Penurunan kadar minyak ini
karena keberadaan CMC yang dapat mencegah atau
mengurangi migrasi minyak ke dalam bawang goreng.
Karboksi metil selulosa pada awal penggorengan berperan
membentuk lapisan pada permukaan irisan umbi. Ketika
digoreng lapisan ini berubah bentuk menjadi gel yang dapat
mencegah migrasi minyak ke dalam produk dan kehilangan
air dari produk. Proses ini menyebabkan kadar minyak
yang terserap ke permukaan atau ke dalam pori-pori bawang
goreng menjadi berkurang. Jenis tepung pelapis juga
memberikan pengaruh terhadap karakteristik makanan
gorengan. Yusop, et al. (2009) tepung sagu memberikan
pengaruh yang lebih baik terhadap sifat sensoris tepung
111
pelapis chicken nuggets (warna, aroma, kekerasan,
kerenyahan dan kesukaan) daripada tepung terigu dan beras
- Penambahan garam dan tepung pelapis yang berlebihan
akan memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap
mutu bawang goreng yang dihasilkan seperti rasa yang
kurang enak dan tekstur kurang renyah. Pencampuran kedua
bahan pembantu ini harus dilakukan secara hati-hati agar
irisan umbi tidak rusak atau hancur.
e. Penggorengan
- Proses ini diawali dengan penyiapan peralatan seperti
kompor, minyak goreng, wajan, sodek dan saringan minyak.
- Wajan diisi dengan minyak goreng kemudian dipanaskan
diatas kompor hingga suhunya mencapai pada kisaran 160 –
180 0C. Sesudah itu dimasukkan irisan umbi bawang merah
yang telah ditaburi garam dan tepung pelapis. Perbandingan
minyak goreng dengan irisan umbi bawang merah adalah 3 :
1 (3 bagian minyak dan 1 bagian irisan umbi bawang
merah).
- Selanjutnya bawang digoreng sambil dilakukan pembalikan
dengan sodek. Selama penggorengan suhu tetap
dipertahankan hingga kisaran 160 – 180 0C dengan
mengatur nyala api. Bila suhunya melebihi 180 0C nyala api
diturunkan, sebaliknya nyala api dinaikkan bila suhunya
lebih kecil dari 160 0C. Suhu tinggi dalam pengolahan
bawang goreng tidak dikehendaki karena dapat
112
mempercepat kerusakan minyak goreng dan bahan yang
digoreng. Di samping itu, suhu dapat menyebabkan bawang
goreng cepat menjadi gosong. Peneliti sebelumnya
melaporkan bahwa sifat sensoris tepung pelapis chicken
nuggets (warna, aroma, kekerasan, kerenyahan dan
kesukaan) menurun nyata dengan meningkatnya suhu
penggoregan dari 150, 165 dan 180 oC. Nilai skor uji
sensoris optimum pada suhu 165 0C dan menurun pada suhu
180 0C (Yusop, et al. 2009); kandungan lemak kenari
meningkat sangat nyata (R2 = 0,92) dengan meningkatnya
suhu penyangraian (Kita dan Figiel, 2007).
- Setelah matang (bawang goreng sudah berwarna kuning
keemasan), diangkat dari wajan kemudian diletakan di atas
saringan minyak. Proses ini bertujuan untuk memisahkan
minyak goreng dengan bawang goreng. Setelah itu bawang
goreng diletakkan di atas tampi atau baki lalu diatur
sedemikian rupa dengan sodek agar tidak saling menumpuk.
f. Penirisan minyak
Kegiatan pada tahap ini bertujuan untuk memisahkan minyak
goreng yang menempel pada permukaan atau jaringan bawang
goreng. Minyak yang berlebihan tidak dikehendaki karena dapat
menjadi prekursor terjadinya reaksi hidrolisis dan oksidasi
penyebab ketengikan, dan membuat penampilan produk kurang
menarik. Di samping itu minyak yang berlebihan tidak
dikehendaki oleh konsumen karena dianggap sebagai kunci
113
penyumbang kolesterol, darah tinggi dan penyakit jantung
koroner. Prosedur:
- Bawang goreng yang sudah matang tersebut di atas dibiarkan
pada suhu ruang selama ± 5 menit atau dengan indikator
teksturnya sudah renyah langsung dimasukkan ke dalam alat
separator/spinner.
- Selanjutnya separator/spinner dijalankan dengan menekan
tombol on dan diopersaikan dengan kecepatan 700 rpm
selama 5 - 10 menit. Selama proses penirisan, minyak yang
melekat pada permukaan bawang goreng akan keluar melalui
lubang selinder menuju ke tempat penampungan minyak.
Jumlah minyak yang dapat dipisahkan tergantung pada
kecepatan alat, lama putaran dan tingkat kepanasan bawang
goreng. Semakin laju kecepatan dan lama putaran selinder
spinner serta semakin panas bawang goreng semakin banyak
minyak yang dapat dikeluarkan dari permukaan atau jaringan
bawang goreng. Alam, dkk. (2014) kadar minyak bawang
goreng 39,75% ditemukan pada sampel hasil perlakuan
reduksi dengan kecepatan selinder spinner 600 rpm menurun
menjadi 37,82% (4,86%) pada kecepatan 700 rpm dan
31,42% (20,96%) pada kecepatan 800 rpm selama 10 menit.
g. Grading/pengkelasan mutu
Bawang goreng memiliki bentuk atau ukuran yang tidak
seragam, ada yang besar, sedang, kecil dan sangat kecil. Kondisi
seperti ini akan memberikan penampakan yang kurang baik
114
terhadap bawang goreng sehingga akan menurunkan animo
konsumen untuk membelinya. Grading/pengkelasan mutu
bertujuan untuk mendapatkan ukuran/grade yang diinginkan
atau memisahkan bawang goreng utuh dengan hancuran. Proses
ini dapat dilakukan dengan menggunakan mesin vibrator
screen/ayakan getar atau cara manual. Pada bagian berikut ini
diuraikan grading/pengkelasan mutu cara manual sebagai
berikut :
- Bawang goreng yang sudah direduksi kandungan minyaknya
dimasukkan ke dalam ayakan berukuran 3,5 mesh kemudian
diayak. Pada proses ini bawang goreng yang berukuran besar
akan tertahan pada ayakan ini sehingga dapat disebut sebagai
grade mutu A.
- Bawang goreng yang lolos yakan 3,5 mesh pada grading
pertama, diayak kembali dengan ayakan 5,0 mesh. Bawang
goreng yang memiliki ukuran lebih besar tetapi lebih kecil
dari grade A akan tertahan pada ayakan 5,0 mesh sehingga
dapat disebut grade B
- Bawang goreng yang lolos ayakan 5 mesh pada grading
kedua memiliki ukuran lebih kecil dari grade B sehingga
dapat disebut grade C.
- Hasil grading tersebut di atas akan diperoleh tiga grade mutu
bawang goreng yaitu grade A > B > C. Jika ayakan ini tidak
tersedia juga dapat ayakan yang terbuat dari kawat ram
berukuran 5 dan 4 mm.
115
Gambar 13. Ayakan untuk Grading bawang goreng
116
Gambar 14. Penampakan Bawang Goreng Sebelum Grading
Gambar 15. Penampakan Bawang Goreng Pasca-grading
117
h. Pengemasan dan pelabelan
- Kegiatan ini diawali dengan penyiapan bahan kemas seperti
plastik double HDPE (high density polyethylen) atau PP
(polypropylen). Dipermukaan bahan kemas tersebut dapat
langsung ditempelkan label atau menggunakan media lain
misalnya kertas sticker dll.
- Ke dalam kemasan tersebut diisi dengan bawang goreng yang
beratnya sesuai ukuran kemasan. Selanjut kedua permukaan
kemasan tersebut direkatkan dengan menggunakan alat pres
plastik atau sealer.
5.4 Manajemen Stok Produk
Bawang goreng yang diproduksi oleh industri pengolahan
ada yang belum dan langsung terjual. Bawang goreng yang belum
terjual harus disimpan dengan waktu yang tidak menentu. Selama
masa penyimpanan tersebut, karakteristik mutu bawang goreng
akan mengalami penurunan. Menurut Sulaeman, et al. (2003)
kerenyahan makanan gorengan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain adalah kondisi suhu tempat dan waktu penyimpanan.
Alam, dkk. (2014) melaporkan bahwa kadar air, asam lemak bebas,
bilangan peroksida dan TBA bawang goreng Palu meningkat dan
mutu sensoris (aroma, rasa, kerenyahan dan kesukaan) menurun
dengan bertambah lamanya waktu penyimpanan. Data yang tersaji
pada Tabel 8 menunjukkan perubahan karakteristik mutu bawang
Palu paling rendah jika disimpan pada tempat yang suhu dan
kelembapannya rendah.
118
Tabel 8. Karakteristik Mutu Bawang Goreng Palu yang Disimpan Selama 5
Bulan pada Kondisi Lingkungan Tempat Penyimpanan yang Berbeda
Selain suhu dan waktu penyimpanan, karakteristik bawang
goreng sebelum disimpan, kemasan dan paparan cahaya juga ikut
berkontribusi terhadap penurunan mutu bawang goreng selama
penyimpanan.
- Bawang goreng yang disimpan dengan kandungan minyak dan
kadar asam lemak bebas tinggi lebih cepat mengalami kerusakan
daripada yang berkadar minyak dan asam lemak bebas rendah.
Selama disimpan, minyak yang terkandung dalam bawang
goreng tersebut akan mengalami reaksi hidrolisis menghasilkan
gliserol dan asam lemak bebas. Kadar asam lemak termasuk
salah satu komponen kimia bahan pangan terutama makanan
gorengan yang sangat penting diperhatikan karena dapat
berperan sebagai prekursor reaksi oksidasi. Asam lemak bebas
mudah mengalami oksidasi menghasilkan senyawa seperti
hidroperoksida, aldehid, keton, hidrokarbon, furan dan asam
119
(Gupta, 1992; Chen, 1996; Nawar, 1996; Choe dan Min, 2006).
Senyawa-senyawa ini dapat memacu reaksi oksidasi berantai
sehingga akumulasi radikal bebas dalam makanan menjadi
meningkat. Keberadaan senyawa tersebut juga dapat
menimbulkan flavor dan aroma yang tidak dikehendaki. Oleh
karena itu kadar minyak dan asam lemak bebas pada makanan
yang pengolahannya menggunakan minyak goreng harus
dihindari atau ditekan seminimal mungkin sebelumnya
disimpan.
- Bawang goreng yang dikemas dengan kemasan yang lebih tipis
lebih cepat mengalami kerusakan daripada kemasan ukuran
tebal. Pengemas yang lebih tipis memiliki daya proteksi lebih
rendah terhadap uap air sehingga bahan dalam kemasan lebih
mudah menyerap uap air. Sejalan dengan temuan Ete, dkk.,
(2009) yang melaporkan semakin tebal ukuran kemasan semakin
rendah daya serap air bawang goreng. Jika daya serap air tinggi
akan menyebabkan peningkatan kadar air dan aktivitas mikroba
sehingga mempercepat pula kerusakan bahan yang disimpan.
Alam, dkk. (2014) melaporkan bahwa penurunan sifat sensoris
bawang goreng (aroma, rasa, kerenyahan dan kesukaan)
pascapenyimpan 5 bulan lebih tinggi ditemukan pada bawang
goreng yang dikemas dengan aluminium + plastik dengan
ketebalan 0,09 mm daripada yang dikemas menggunakan plastik
rangkap dua yang tebalnya 0,10 mm
120
- Asam lemak bebas yang terkandung dalam bawang goreng akan
mengalai oksidasi menghasikan senyawa kimia yang berbau
tengik. Kecepatan oksidasi tersebut dapat meningkat dengan
meningkatnya temperatur, kehadiran cahaya dan kontak
dengan bahan golongan pro-oksidan (Lawson, 1995). Oleh
karena itu bahan yang terpapar cahaya selama disimpan akan
cepat mengalami kerusakan.
Merujuk pada uraian tersebut di atas, maka manajemen stok
bawang goreng yang dianjurkan agar daya tahan simpannya lebih
lama adalah sebagai berikut:
- Bawang goreng yang akan disimpan harus memiliki kandungan
minyak dan asam lemak bebas serendah mungkin (< 30% dan <
0,3%). Proses produksi yang perlu diterapkan untuk
mendapatkan bawang goreng dengan kriteria seperti tersebut di
atas antara lain adalah:
a). Menggunakan bahan baku umbi bawang merah VLP yang
sudah cukup umur panen (minimal 65 hari sesudah tanam),
keras (tidak lunak bila ditekan dengan jari setelah
mengalami curing/pengeringan) dan berdiameter > 1,56 cm.
b). Menggunakan minyak goreng untuk menggoreng bawang
goreng maksimal 3 kali.
c). Melakukan reduksi kandungan minyak bawang goreng
dengan kecepatan spinner 700 rpm selama 10 menit per 1 kg
bawang bawang goreng
- Bawang goreng dikemas dengan plastik yang lebih tebal.
121
- Bawang goreng yang sudah dikemas tetapi belum dipasarkan
paling baik jika dimasukkan ke dalam tong plastik yang tidak
tembus cahaya, kemudian disimpan di tempat bersuhu < dari
suhu ruang.
- Memajang bawang goreng untuk dipasarkan sebaiknya
ditempatkan di dalam lemari kaca yang tertutup rapat pada
tempat yang suhunya < dari suhu ruang atau ruang ber AC dan
menghindarkan dari paparan cahaya.
122
BAB VI MANAJEMEN RANTAI PASOK
BAWANG GORENG
6.1 Konsep Rantai Pasok Bawang Goreng
Konsep rantai pasok (supply chain) merupakan konsep baru
dalam menerapkan sistem logistik yang terintegrasi. Konsep
tersebut merupakan mata rantai penyediaan barang dari bahan baku
sampai barang jadi (Indrajit dan Djokopranoto 2002). Manajemen
rantai pasok (supply chain management) produk pertanian
mewakili manajemen keseluruhan proses produksi secara
keseluruhan dari penyediaan bahan baku, produksi pertanian,
kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang
diinginkan sampai ke tangan konsumen. Jadi, Sistem Manajemen
Rantai Pasok dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem
pemasaran terpadu, yang mencakup keterpaduan produk dan
pelaku, guna memberikan kepuasan pada pelanggan.
Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan
manajemen rantai pasok produk manufaktur karena: (1) produk
pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman,
pertumbuhan, dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim,
(3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4)
produk pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk ditangani
(Austin 1992; Brown 1994). Terkait dengan sifat produk pertanian
secara umum maka produk bawang goreng memiliki ciri yang lebih
spesifik: 1) Aroma yang khas, namun daya simpannya hanya
123
bertahan sampai 12 bulan pada penyimpanan yang baik atau suhu
dingin (2) proses produksinya tergantung pada persediaan bahan
baku dalam hal ini bawang merah VLP yang penanaman,
pertumbuhan, dan pemanenannya tergantung pada iklim dan
musim, (3) Kualitas produk ditentukan oleh kualitas bahan baku,
cara mengiris, ketebalan dan keseragaman irisan, penggorengan
serta waktu yang dibutuhkan untuk mereduksi minyak dengan alat
spinner. Seluruh faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam
desain manajemen rantai pasok produk bawang goreng karena
kondisi rantai pasok produk bawang goreng lebih kompleks
dibanding rantai pasok pada umumnya. Selain lebih kompleks,
manajemen rantai pasok produk bawang goreng juga bersifat
probabilistik dan dinamis.
Berdasarkan konsep supply chain bawang goreng terdapat
tiga tahapan dalam aliran material. Bahan mentah didistribusikan
ke manufaktur membentuk suatu sistem physical supply, industri
yang mengolah bahan mentah, dan produk jadi didistribusikan
kepada konsumen akhir membentuk sistem physical distribution.
Aliran material tersebut dapat dilihat pada Gambar 16 (Arnold dan
Chapman 2004).
124
Gambar 16. Pola aliran material (diadaptasi dari Arnold dan Chapman 2004).
Pola aliran material pada Gambar 16 menunjukkan bahwa
bahan didistribusikan kepada industri rumah tangga atau UMKM
yang melakukan pengolahan, sehingga menjadi barang jadi yang
siap didisribusikan kepada customer melalui distributor. Aliran
produk terjadi mulai dari supplier hingga ke konsumen, sedangkan
arus balik aliran ini adalah aliran permintaan dan informasi.
Permintaan dari customer diterjemahkan oleh distributor dan
distributor menyampaikan pada industri processing, selanjutnya
industri processing menyalurkan informasi tersebut pada petani.
6.2 Struktur Rantai Pasok
Supply Chain Management (SCM) merupakan serangkaian
pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok,
pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya secara
efisien. Produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan
kuantitas, tempat, dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya,
serta memuaskan pelanggan. SCM bertujuan untuk membuat
125
seluruh sistem menjadi efisien dan efektif, minimalisasi biaya dari
transportasi, dan distribusi sampai inventori bahan baku, bahan
dalam proses, serta barang jadi. Ada beberapa pemain utama yang
memiliki kepentingan dalam SCM, yaitu pemasok atau retailer,
dan pelanggan atau customer (David et al., 2000 dalam Indrajit dan
Djokopranoto 2002).
Menurut Indrajit dan Djokopranoto ( 2002 ), hubungan
organisasi dalam rantai pasok adalah sebagai berikut :
1. Rantai 1 adalah Supplier; Supplier merupakan sumber penyedia
bahan pertama, mata rantai penyaluran barang akan dimulai.
Bahan pertama ini bisa berbentuk bahan baku, bahan mentah,
bahan penolong, bahan dagangan, dan suku cadang. Jumlah
supplier bisa banyak ataupun sedikit. Supplier rantai pasok
pertanian terdiri dari produsen dan tengkulak. Produsen adalah
para petani baik secara individu atau yang sudah bergabung
dalam kelompok-kelompok tani. Tengkulak adalah pedagang
komoditas pertanian yang mengumpulkan produk-produk
pertanian dari sebagian para petani untuk dijual lagi dengan
harga yang tinggi. Produsen bisa menjadi supplier untuk
tengkulak atau langsung supplier untuk manufaktur atau
industri.
2. Rantai 1-2 adalah supplier → manufaktur; yang melakukan
pekerjaan membuat, mempabrikasi, merakit, ataupun
menyelesaikan barang. Pada rantai pasok pertanian, manufaktur
adalah pengelola komoditas produk pertanian yang memberikan
126
nilai untuk komoditas tersebut. Hubungan konsep supplier
partnering antara manufaktur dengan supplier mempunyai
potensi yang menguntungkan bagi kedua bela pihak. Dengan
konsep ini, manufaktur sudah memiliki perjanjian atau kontrak
dengan supplier sehingga terdapat kepastian harga produk untuk
pertanian sebagai supplier dan kepastian kuantitas dan kualitas
produk untuk pengola sebagai manufktur.
3. Rantai 1-2-3 adalah supplier → manufaktur → distributor.
Barang yang sudah jadi dari manufaktur disalurkan kepada
pelanggan. Walaupun tersedia banyak cara untuk menyalurkan
barang kepada pelanggan. Cara yang umum dilakukan adalah
melalui distributor dan biasanya ditempuh dengan supply chain.
Barang yang berasal dari gudang pabrik disalurkan ke gudang
distributor atau pedagang besar dalam jumlah besar kemudian
barang tersebut disalurkan kepada pengecer dalam jumlah yang
lebih kecil. Pada umumnya, manufaktur sudah memiliki bagian
distribusi di dalam perusahaannya sendiri, tapi ada juga
manufaktur yang menggunakan jasa distributor di luar
perusahaan itu.
4. Rantai 1-2-3-4 adalah supplier → manufaktur → distributor →
retail. Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang
sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini
digunakan untuk menimbun barang sebelum disalurkan lagi ke
pihak pengecer. Pada rantai bisa dilakukan penghematan dalam
bentuk inventori dan biaya gudang. Penghematan tersebut
127
dilakukan dengan cara mendesain kembali pola-pola pengiriman
barang, baik dari gudang manufaktur maupun ke toko pengecer.
Dalam rantai pasok pertanian, pedagang besar sebagai
distributor memasok produk pertaniannya kepada pengecer
dipasar tradisional maupun dipasar swalayan.
5. Rantai 1-2-3-4-5 adalah supplier → manufaktur → distributor
→ retail → pelanggan. Pengecer menawarkan barangnya kepada
pelanggan atau pembeli. Mata rantai pasok akan berhenti ketika
barang tersebut tiba kepada pemakai langsung.
Struktur rantai pasok produk pertanian memiliki keunikan
karena tidak selalu mengikuti urutan rantai di atas. Petani dapat
langsung menjual hasil pertaniannya langsung ke pasar selaku
retail, sehingga telah memutus rantai pelaku tengkulak,
manufaktur, dan distributor. Manufaktur juga tidak harus memasok
produk lewat distributornya ke retail, tapi bisa langsung ke
pelanggan. Pelanggan di sini biasanya adalah pelanggan besar
seperti restaurant, rumah sakit, ataupun hotel. Manufaktur juga
banyak menggunakan jasa eksportir selaku distributor untuk
memasarkan produknya ke pelanggan internasional. Struktur rantai
pasok pertanian ditunjukan pada Gambar 17.
128
Gambar 17. Struktur rantai pasok pertanian
6.3 Mekanisme Rantai Pasok
Pada hakikatnya, mekanisme rantai pasok produk bawang
goreng secara alami dibentuk oleh para pelaku rantai pasok itu
sendiri. Pada negara sedang berkembang seperti Indonesia,
mekanisme rantai pasok produk pertanian dicirikan dengan
lemahnya produk pertanian dan komposisi pasar. Kedua hal
tersebut akan menentukan kelangsungan mekanisme rantai pasok.
Adanya kelemahan-kelemahan produk pertanian, misalnya mudah
rusak, musiman, jumlah yang banyak dengan nilai yang relatif
kecil, tidak seragam, dan lain-lain akan mempengaruhi mekanisme
pemasaran, seringkali menyebabkan fluktuasi harga yang akan
merugikan pihak petani selaku produsen.
Mekanisme rantai pasok produk pertanian dapat bersifat
tradisional ataupun modern. Mekanisme tradisional adalah petani
menjual produknya langsung ke pasar atau lewat tengkulak, dan
tengkulak yang akan menjualnya ke pasar tradisional dan pasar
129
swalayan. Keberadaan tengkulak sebagai perantara bisa dipandang
sebagai sebuah kemudahan atau kerugian untuk petani. Para
tengkulak akan mendatangi petani dan membeli hasil penennya,
dengan begitu petani tidak sulit memasarkan produknya. Hal ini
bisa terjadi pada petani kecil yang hasil panennya tidak terlalu
besar. Para tengkulak sering menetapkan harga sendiri yang
biasanya jauh di bawah harga standar. Mekanisme rantai pasok
seperti ini membuat petani berada dalam posisi yang lebih lemah
karena tengkulak akan mengambil margin yang besar. Keuntungan
yang diterima petani kecil, apalagi dilihat karakteristik produk
pertanian mudah rusak dan bersifat musiman.
Mekanisme rantai pasok modern terbentuk oleh beberapa
hal, antara lain mengatasi kelemahan karakteristik dari produk
pertanian, meningkatkan kesejahteraan petani dari sisi ekonomi dan
sosial, meningkatkan permintaan kebutuhan pelanggan akan
produk yang berkualitas, dan memperluas pangsa pasar yang ada.
Hal ini menyebabkan bertambahnya para pelaku rantai pasok,
seperti adanya manufaktur yang mengolah produk pertanian,
sehingga memiliki nilai tambah. Pasar swalayan yang memiliki
kelengkapan cool storage, sehingga produk yang dijual lebih tahan
lama dan terjamin kualitasnya. Jasa distributor atau pedagang besar
yang tidak hanya mendistribusikan produk di pasar lokal, tapi juga
pasar internasional. Selain itu, terbentuknya kelompok-kelompok
tani yang memiliki kemitraan dengan para pelaku rantai pasok yang
lain.
130
Pada rantai pasok modern, petani sebagai produsen dan
pemasok pertama produk pertanian membentuk kemitraan
berdasarkan perjanjian atau kontrak dengan manufaktur, eksportir,
atau langsung dengan pasar sebagai retail, sehingga petani
memiliki posisi tawar yang baik. Perjanjian atau kontrak antara
petani dan mitra berdampak baik untuk keduanya. Petani
mendapatkan kepastian pembelian hasil panennya dengan harga
yang telah disepakati, dan mitra mendapatkan produk pertanian
yang memiliki spesifikasi mutu yang telah disepakati juga.
Mekanisme ini tidak hanya memacu petani untuk terus
meningkatkan mutu hasil pertaniannya, tapi juga memacu para
pelaku rantai pasok yang lain seperti manufaktur, distributor, dan
retail untuk menjamin kualitas produk yang diinginkan oleh pasar,
sehingga produk dapat diterima oleh konsumen lokal maupun
mancanegara.
6.4 Kelembagaan Rantai Pasok
Kelembagaan rantai pasok adalah hubungan manajemen
atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung di antara
beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas.
Kelembagaan tersebut mencapai satu atau lebih tujuan yang
menguntungkan semua pihak yang ada di dalam dan di luar
kelembagaan tersebut. Komponen kelembagaan kemitraan rantai
pasok mencakup pelaku dari seluruh rantai pasok, mekanisme yang
berlaku, pola interaksi antar pelaku, serta dampaknya bagi
131
pengembangan usaha suatu komoditas maupun bagi peningkatan
kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut.
Bentuk-bentuk kelembagaan rantai pasok makin mengalami
keragaman dengan keberadaan pasar tradisional dan modern seperti
mini market, super market, hyper market, dan departement store
serta keberadaan konsumen institusional seperti hotel, restoran,
rumah sakit, dan keberadaan industri pengolahan. Kedinamikaan
bentuk kelembagaan rantai pasok pertanian ini akan yang
persaingan, namun persaingan tersebut tidak selalu dipandang
negatif,. Persaingan dapat membawa hasil yang positif selama
persaingan tersebut dipandang sebagai tantangan bagi pelaku rantai
pasok. Pelaku tersebut tergabung dalam sebuah lembaga untuk
memasarkan produknya, sehingga meningkatkan kinerja dan
prestasi lembaga tersebut.
Dalam perkembangannya, bentuk kelembagaan rantai pasok
pertanian terdiri dari dua pola, yaitu pola perdagangan umum dan
pola kemitraan. Pola perdagangan umum melibatkan berbagai
pelaku tata niaga yang umum ditemukan di banyak lokasi, antara
lain pertani baik-baik secara individu atau kelompok dan
pedangang, baik yang berada di sentra produksi atau pedagang
besar yang berada di pusat kegiatan pertanian misalnya, petani
menjual hasil pertaniannya kepada pedagang pengepul yang berada
di sentra produksi. Pedagang pengepul juga bisa menjual lagi ke
pedagang besar atau langsung memasok ke pasar-pasar tujuan.
132
Ikatan antara petani dan pedagang umumnya ikatan
langganan, tanpa adanya kontrak perjanjian yang mengikat antar
keduanya dan hanya mengandalkan kepercayaan. Petani dan
pedang pada pola ini juga sering melakukan ikatan pinjaman
modal. Petani melakukan peminjaman kepada pedagang
pengumpul untuk kebutuhan pembiayaan usaha taninya dengan
penggunaan bunga. Petani berkewajiban menjual hasil panennya
kepada pedagang tersebut. Pedagang tersebut memasok produk
yang kualitasnya bagus ke pasar-pasar induk dan supplier
swalayan, sedangkan untuk produk yang kualitasnya kurang bagus
dijual di pasar-pasar tradisional. Pola kelembagaan kemitraan rantai
pasok adalah hubungan kerja di antara beberapa pelaku rantai
pasok yang menggunakan mekanisme perjanjian atau kontrak
tertulis dalam jangka waktu tertentu. Dalam kontrak tersebut dibuat
kesepakatan-kesepakatan yang akan menjadi hak dan kewajiban
pihak-pihak yang terlibat.
Pola kemitraan rantai pasok pertanian yang umum
dilakukan oleh petani, antara lain kemitraan petani dengan KUD
atau asosiasi tani dan petani dengan manufaktur atau pengolahan.
Gambaran kesepakatan kemitraan rantai pasok yang umumnya
terjadi adalah antara petani secara individu dengan KUD atau
asosiasi tani. Gambaran kesepakatan tersebut adalah pihak
KUD/Asosiasi Tani berkewajiban : (1) bersedia meminjamkan
modal kerja untuk petani mitra (2) menyediakan input pertanian
sesuai kebutuhan petani mitra.
133
Sementara itu, petani berkewajiban : (1) melakukan budi
daya secara baik, (2) melaporkan jadwal kegiatan saat tanam dan
panen dilakukan, dan (3) menyerahkan seluruh hasil produksinya
ke KUD atau asosiasi tani. Dalam kerja sama ini tidak dilakukan
kontrak harga, harga mengikuti permintaan pasar.
Pola kemitraan antara petani dengan manufaktur tidak jauh
berbeda dengan kemitraan antara petani dengan KUD/Asosiasi
Tani, namun terdapat beberapa tambahan atau produk pada masing-
masing petani, kesepakatan tentang jenis atau varietas komoditas
yang akan ditanam, pengaturan tentang jadwal tanam dan panen
antar petani dan area, serta pengadaan sarana produksi (bibit,
pupuk, obat-obatan). Tidak semua manufaktur melakukan
kesepakatan harga antara petani dengan manufaktur. Harga
ditentukan secara kontrak melalui proses negosiasi sebelum tanam.
Petani menentukan harga didasarkan atas biaya pokok usaha tani
dan ekspektasi keuntungan yang diinginkan. Sementara itu,
perusahaan mendasarkan atas perhitungan biaya pokok pengolahan
dan melakukan perbandingan dengan harga impor. Biasanya harga
yang didapat petani lebih besar dari harga pasar, dan harga yang
didapat perusahaan lebih rendah dibanding harga impor sehingga
terjadilah kesepakatan. Di samping itu juga terdapat kesepakatan
spesifikasi mutu produk yang dihasilkan petani yang akan
diserahkan ke manufaktur.
Kemitraan juga terjadi antara manufaktur dengan distributor
atau asosiasi tani dengan distributor. Distributor di sini selaku
134
supplier untuk retail modern seperti super market, supplier untuk
konsumen institusional seperti hotel, restoran, rumah sakit, supplier
untuk konsumen luar negeri atau supplier untuk industri
pengolahan. Dengan begitu, distributor juga melakukan kemitraan
dengan retail dan pelanggan di atas. Produk pertanian yang dipasok
oleh distributor adalah produk yang sudah mengalami tahap
penanganan pascapanen, seperti penyortiran, grading, pengemasan,
dan pelabelan. Tahap penanganan pascapanen ini bisa dilakukan
oleh manufaktur atau distributor. Hal ini untuk menjamin mutu
produk tetap dalam kondisi prima sampai ke tangan konsumen dan
meningkatkan daya saing produk. Kemitraan antara asosiasi tani
atau manufaktur dengan distributor melakukan kesepakatan dalam
hal jumlah pasokan, jadwal pasokan, sistem pembayaran (cash atau
kredit) dan sistem pemberian komisi. Begitu juga kesepakatan
kemitraan yang dilakukan oleh distributor dengan pelanggannya.
Keberhasilan lembaga rantai pasok komoditas pertanian
tergantung sejauh mana pihak-pihak yang terlibat mampu
menerapkan kunci sukses (key succes factor) yang melandasi setiap
aktivitas di dalam kelembagaan tersebut. Kunci sukses ini
teridentifikasi melalui penelusuran yang detail dari setiap aktivitas
di dalam rantai pasokan. Kunci sukses tersebut adalah :
1. Trust Building
Kepercayaan yang terbangun di antara anggota rantai pasokan
mampu mendukung kelancaran aktivitas rantai pasokan, seperti
kelancaran pada transaksi penjualan, distribusi produk, dan
135
distribusi informasi pasar. Untuk membangun kepercayaan di
antara pihak-pihak yang bekerjasama, dapat dilakukan dengan
membuat kesepakatan. Apabila kesepakatan tersebut dijalankan
dengan membangun manajemen yang bersifat transparan
terutama menyangkut pembagian hak dan kewajiban, harga dan
pembagian keuntungan, serta membangun komitmen yang tinggi
antara pihak yang bermitra, maka kepercayaan dapat meningkat
sehingga pihak-pihak yang bekerjasama tersebut dapat fokus
dalam menjalankan tanggung jawabnya masing-masing. Dengan
demikian, trust building yang terbangun di dalam rantai pasokan
dapat menciptakan rantai pasokan yang kuat.
2. Koordinasi dan kerjasama
Koordinasi di antara anggota rantai pasokan sangat penting
guna mewujudkan kelancaran rantai pasokan, ketepatan pasokan
bunga mulai dari produsen hingga ke retail, dan terciptanya
tujuan rantai pasokan. Koordinasi saat ini pada umumnya hanya
sebatas hubungan transaksi mengenai jenis dan kuantitas
pesanan, bukan dalam bentuk perencanaan. Koordinasi dalam
bentuk perencanaan memungkinkan terjadinya transparansi
informasi pasar, mulai dari retail hingga ke produsen.
Koordinasi tersebut guna mengurangi risiko kesalahan pasokan
atau risiko lainnya seperti bullwhip effect. Untuk itu, agar
koordinasi di antara anggota rantai pasokan dapat berjalan
dengan baik dan lancar, maka perlu diwujudkan hubungan kerja
sama di antara anggota rantai pasokan tersebut. Selain
136
memudahkan koordinasi, keuntungan yang lain adalah dapat
meningkatkan channel suplai dan channel pasar bagi anggota
rantai pasokan, sehingga menyebabkan rantai pasokan menjadi
lebih fleksibel dan dinamis.
3. Kemudahan akses pembiayaan
Akses pembiayaan yang mudah, disertai dengan bentuk
administratif yang tidak rumit akan memudahkan pihak-pihak di
dalam rantai pasokan dalam mengembangkan usahanya. Dengan
mudahnya akses pembiayaan tersebut, maka diharapkan
pengembangan usaha di bidang agribisnis ini dapat berkembang
dengan baik. Pengembangan tersebut meningkatkan secara
kualitas maupun kuantitas, sehingga mampu mengimbangi
permintaan pasar yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
4. Dukungan pemerintah
Peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator dan motivator
sangat penting dalam mewujudkan iklim usaha yang kondusif
dan struktur rantai pasokan yang mapan. Distribusi informasi
pasar yang disediakan oleh pemerintah, kebijakan-kebijakan
yang mengatur rantai pasok komoditas pertanian, penyediaan
infrastruktur yang memadai, pendampingan dan pembinaan oleh
PPL Ahli di bidang komoditas pertanian, serta pengadaan
pemasaran atau ekshibisi produk pertanian dapat meningkatkan
daya saing rantai pasokannya.
137
6.5 Penilaian Kinerja Rantai Pasok
Penilaian kinerja rantai pasok dapat dilakukan dari 2
pendekatan yakni, pertama, pendekatan konsep nilai tambah yang
menjelaskan peluang pertambahan nilai yang didapatkan oleh
setiap rantai dengan perlakuan tertentu. Kedua, pendekatan analisis
risiko, kerugian yang dikaji dari sisi kemungkinan terjadinya, sisi
kemungkinan penyebabnya, dan sisi akibatnya dalam rantai pasok
sebuah perusahaan dan lingkungannya. Pada suatu rantai pasok,
jika satu pelaku mengalami masalah dalam rantai pasok, maka akan
berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung kepada mitra
dalam jaringan rantai pasoknya, begitupun dengan risiko akibat
dari permasalahan tersebut, sehingga terjadi antar risiko yang
menyebabkan kerugian secara menyeluruh dalam jaringan pasokan.
Dengan demikian, perlu dilakukan pengendalian risiko rantai pasok
agar dapat terhindar dari akibat berkelanjutan yang terjadi pada
setiap titik dalam jaringan pasokan dengan cara melakukan analisis
risiko, sebagaimana diuraikan berikut:
1. Konsep Nilai Tambah
Konsep nilai tambah adalah suatu perubahan nilai yang
terjadi karena adanya perlakuan terhadap suatu input pada suatu
proses produksi. Arus peningkatan nilai tambah komoditas
pertanian terjadi di setiap mata rantai pasok dari hulu ke hilir yang
berawal dari petani dan berakhir pada konsumen akhir. Nilai
tambah pada setiap anggota rantai pasok berbeda-beda tergantung
dari input dan perlakuan oleh setiap anggota rantai pasok tersebut.
138
Nilai tambah komoditas pertanian di sektor hulu dapat
dilakukan dengan penyediaan bahan baku berkualitas dan
berkesinambungan yang melibatkan para pelaku pada mata rantai
pertama, antara lain petani, penyedia sarana prasarana pertanian,
dan penyediaan teknologi. Nilai tambah secara kuantitatif dihitung
dari peningkatan produktivitas, sedangkan nilai tambah secara
kualitatif adalah nilai tambah dari meningkatkan kesempatan kerja,
pengetahuan dan keterampilan SDM.
Nilai tambah selanjutnya terjadi pada sektor hilir yang
melibatkan industri pengolahan. Komoditas pertanian bersifat
perishable (mudah rusak) dan bulky (kamba) memerlukan
penanganan atau perlakuan yang tepat, sehingga produk pertanian
tersebut siap dikonsumsi oleh konsumen. Perlakuan tersebut, antara
lain pengolahan, pengemasan, pengawetan dan manajemen mutu
untuk menambah kegunaan atau menimbulkan nilai tambah
sehingga harga produk komoditas pertanian menjadi tinggi.
Beberapa nilai tambah yang tidak dapat dihitung secara numerik
meliputi peluang kerja yang terbuka dengan adanya industri
pengolahan dan peningkatan keterampilan pekerja.
Nilai tambah pada sektor retail adalah keuntungan yang
didapat oleh retailer dalam menjual produk hasil pertanian yang
sudah mengalami pengolahan. Nilai tambah tersebut didapatkan
dari beberapa hal antara lain : produk yang dijual dalam bentuk
eceran, kontinuitas persediaan barang, jaminan mutu barang, dan
pelayanan terhadap konsumen.
139
Menurut Hayami et al., (1987) dalam Sudiyono (2000), ada
dua cara untuk menghitung nilai tambah, yaitu nilai tambah untuk
pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis
yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku
yang digunakan dan tenaga kerja, sedangkan faktor pasar yang
berpengaruh adalah harga output, upah tenaga kerja, harga bahan
baku, dan nilai input lain. Menurut Sudiyono (2000) besarnya nilai
tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya
bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang
dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata lain, nilai
tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan
manajemen yang dapat dinyatakan secara matematik sebagai
berikut :
Nilai Tambah = f {K, B, T, U, H, h, L}, dimana:
K = Kapasitas produksi B = Bahan baku yang digunakan T = Tenaga kerja yang digunakan U = Upah tenaga kerja H = Harga output h = Harga bahan baku L = Nilai input lain (nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses perlakuan untuk menambah nilai)
Kelebihan dari analisis nilai tambah oleh Hayami adalah :
1. Dapat diketahui besarnya nilai tambah.
2. Dapat diketahui balas jasa terhadap pemilih faktor produksi.
140
3. Dapat diterapkan di luar subsistem pengolahan, misalnya
kegiatan pemasaran (Sudiyono 2002).
Langkah-langkah yang dilakukan adalah :
a. Membuat arus komoditas yang menunjukkan bentuk-bentuk
komoditas, lokasi, lamanya penyimpann, dan berbagai
perlakuan yang diberikan.
b. Mengidentifikasi setiap transaksi yang terjadi menurut
perhitungan parsial.
c. Memilih dasar perhitungan, yaitu satuan input bahan bukan
satuan output (Sudiyono 2002).
Konsep pendukung dalam analisis nilai tambah menurut
Hayami untuk subsistem pengolahan adalah sebagai berikut :
a. Faktor konversi, merupakan jumlah output yang dihasilkan
satu satuan input.
b. Koefisien sebagai tenaga langsung, menunjukkan jumlah
tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu
satuan input.
c. Nilai output, menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari
satu satuan input (Sudiyono 2002).
2. Contoh Aplikasi Nilai Tambah
Pembahasan analisa nilai tambah komoditas pertanian
diterapkan pada kasus manajemen rantai pasok di PT X. PT X
merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang produksi
dan pemasaran Edamame. Nilai tambah yang dihitung adalah nilai
tambah selama proses pengolahan. PT X hanya melakukan
141
pengemasan terhadap hasil panen yang diterima dari petani, tidak
mengolah komoditas lebih lanjut. Analisa nilai tambah pada PT X
menggunakan metode nilai tambah Hayami. Adapun prosedur
perhitungan nilai tambah pengolahan dengan metode Hayami dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami
142
Tabel 10. Analisa nilai tambah Edamame kemasan semester satu
Hasil analisa nilai tambah dapat dilihat pada Tabel 10, 11,
12 dan 13. Analisa ini dilakukan pada dua jenis produk Edamame
pada dua semester tahun 2007. Produk pertama adalah Edamame
yang dikemas dalam trayfoam dan produk kedua adalah Edamame
yang dijual dalam bentuk curah. Nilai tambah ini merupakan
keuntungan yang diperoleh dalam satu kali produksi dengan
kapasitas optimum. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa
produk yang lebih tinggi menghasilkan rasio nilai tambah adalah
produk Edamame dalam bentuk curah, dimana rata-rata rasio nilai
tambah selama tahun 2007 adalah sebesar 28,45 %, sedangkan
produk Edamame dalam kemasan sebesar 26,07 %.
Begitu pula halnya dengan keuntungan atau nilai
tambah bersih yang diperoleh oleh tiap produk, produk Edamame
143
dalam bentuk curah menghasilkan keuntungan yang lebih besar
daripada Edamame dalam kemasan. Rata-rata keuntungan
Edamame dalam bentuk curah selama tahun 2007 adalah 28,09%,
sedangkan Edamame dalam kemasan 24,14%.
Tabel 11. Analisa nilai tambah Edamame kemasan semester dua
No Output, Input, dan harga 1 Output (Kg/hari) 250,00 2 Input bahan baku (Kg/hari) 255,00 3 Tenaga kerja langsung (Jam/hari) 9,00 4 Faktor konversi 0,98 5 Koefisien tenaga kerja (Jam/Kg) 0,046 6 Harga produk (Rp/Kg) 11.285,00 7 Upah tenaga kerja (Rp/jam) 6.666,67 Penerimaan dan keuntungan
8 Input bahan baku (Rp/Kg) 5.000,00 9 Input lainnya (Rp/Kg) 3.128,00 10 Produksi (Rp/Kg) 11.063,73 11 Nilai Tambah (Rp/Kg) 2.935,73 Rasio nilai tambah (%) 26,53
12 Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) 235,29 Pangsa tenaga kerja (%) 8,011
13 Keuntungan (Rp/kg) 2.700,43 Rate keuntungan (%) 24,41
Tabel 12. Analisa nilai tambah Edamame curah semester satu
No Output, Input dan harga 1 Output (Kg/hari) 1.000,00 2 Input bahan baku (Kg/hari) 1.020,00 3 Tenaga kerja langsung (Jam/hari) 6,00 4 Faktor konversi 0,98 5 Koefisien Tenaga kerja (Jam/Kg) 0,01 6 Harga produk (Rp/Kg) 9.438,00 7 Upah tenaga kerja (Rp/Jam) 5.000,00
144
Penerimaan dan keuntungan 8 Input bahan baku (Rp/Kg) 4.500,00 9 Input lainnya (Rp/Kg) 1.772,00 10 Produksi (Rp/Kg) 9.252,94 11 Nilai Tambah (Rp/Kg) 2.980,94 Rasio nilai tambah (%) 32,22 12 Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) 29,41 Pangsa tenaga kerja (%) 0,99 13 Keuntungan (Rp/Kg) 2.951,53 Rate keuntungan (%) 31,90
Tabel 13.
Analisa nilai tambah Edamame curah semester dua
No Output, Input dan harga 1 Output (Kg/hari) 1.000,00 2 Input bahan baku (Kg/hari) 1.020,00 3 Tenaga kerja langsung (Jam/hari) 6,00 4 Faktor konversi 0,98 5 Koefisien Tenaga kerja (Jam/Kg) 0,01 6 Harga produk (Rp/Kg) 9.310,00 7 Upah tenaga kerja (Rp/Jam) 6,666,67 Penerimaan dan keuntungan 8 Input bahan baku (Rp/Kg) 5.000,00 9 Input lainnya (Rp/Kg) 1.872,00 10 Produksi (Rp/Kg) 9.127,45 11 Nilai tambah (Rp/Kg) 2.255,45 Rasio nilai tambah (%) 24,71 12 Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) 39,22 Pangsa tenaga kerja (%) 1,74 13 Keuntungan (Rp/Kg) 2.216,24 Rate keuntungan 24,28
Hasil perhitungan ini juga menunjukkan persentase pangsa
tenaga kerja. PT X tidak begitu banyak memberikan pendapatan
tenaga kerja untuk setiap kilogram produk yang dihasilkan. Rata-
rata persentase pangsa tenaga kerja yang dihasilkan oleh Edamame
145
dalam kemasan selama tahun 2007 adalah sebesar 7,41 &,
sedangkan Edamame dalam bentuk curah adalah sebesar 1,37 %.
3. Konsep Analisis Risiko
Risiko rantai pasok dapat didefinisikan sebagai kerugian
yang dikaji dari sisi kemungkinan terjadinya, sisi kemungkinan
penyebabnya, dan sisi akibatnya dalam rantai pasok sebuah
perusahaan dan lingkungannya. Dalam suatu rantai pasok, jika satu
pelaku mengalami masalah dalam rantai pasok, maka akan
berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung kepada mitra
dalam jaringan rantai pasoknya. Begitupun dengan risiko akibat
dari permasalahan tersebut, sehingga terjadi antar risiko yang
menyebabkan kerugian secara menyeluruh dalam jaringan pasokan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian risiko rantai pasok
agar dapat terhindar dari akibat berkelanjutan yang terjadi pada
setiap titik dalam jaringan pasokan dengan cara melakukan analisis
risiko.
Analisis risiko rantai pasok merupakan bagian dari
manajemen rantai pasok yang harus dilakukan untuk menghindari
atau mengurangi terjadinya kegagalan berbasis dalam kondisi yang
penuh dengan ketidakpastian. Kategori risiko rantai pasok menurut
Schoenher 2008, terbagi menjadi 17 macam, yaitu risiko komplain
standarisasi, risiko kualitas produk, risiko biaya produksi, risiko
biaya persaingan, risiko permintaan, risiko pemenuhan pasokan,
risiko penggudangan, ketepatan waktu kirim, risiko ketepatan
budget pengiriman, risiko pemenuhan pesanan, risiko salah mitra,
146
risiko jarak, risiko pemasok, risiko manajemen pemasok, risiko
rekayasa dan inovasi, risiko transportasi, risiko bencana serta risiko
produk asing. Menurut Halikas et al., (2004), proses manajemen
risiko yang umum terjadi pada suatu perusahaan terdiri dari 4
kegiatan utama, yaitu identifikasi risiko, pengkajian risiko,
pengambilan keputusan dan implementasi pada kegiatan
manajemen risiko serta pengawasan risiko, sebagai berikut:
1). Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko merupakan tahapan penting dalam proses
manajemen risiko, sehingga perlu dilakukan secara akurat dan
detail. Dengan mengidentifikasi risiko, pengambil keputusan risiko
menjadi memahami tentang kejadian atau fenomena yang
menyebabkan ketidakpastian. Fokus utama dari identifikasi risiko
adalah mengenali ketidakpastian yang akan terjadi agar dapat
mengendalikan risiko secara proaktif. Risiko yang bersifat
potensial harus diidentifikasi, jika tidak akan menyebabkan
kesalahan arah dalam proses manajemen risiko rantai pasok dan
menibulkan tidak tepatnya atau tidak sesuainya strategi
pengendalian risiko tersebut, sehingga menyebabkan kerugian yang
besar. Salah satu aspek penting dalam identifikasi risiko adalah
mendaftar risiko yang mungkin terjadi sebanyak mungkin. Teknik-
teknik yang dapat digunakan dalam identifikasi risiko, antara lain
Brainstorming, Survei, Wawancara, Informasi historis, Kelompok
Kerja, dan lain-lain.
147
2). Pengkajian Risiko
Setiap risiko yang sudah diidentifikasi dilakukan pengkajian,
meliputi pengukuran risiko rantai pasok secara kuantitatif dan
kualitatif, yaitu mengukur besarnya dampak kerugian yang
mungkin muncul baik kerugian sosial atau ekonomi dan
probabilitas terjadinya risiko tersebut. Dua metode utama untuk
mengukur risiko rantai pasok adalah metode pengukuran risiko
berdasarkan pendapat pakar dan metode pengukuran risiko secara
statistik. Pengukuran risiko dengan bantuan pakar bersifat
subjektif, sedangkan pengkuran dengan pendekatan statistik
terbukti lebih bersifat objektif dan efektif dengan kerangka kerja
berdasarkan simulasi dari probabilitas kejadian risiko sebagai
variabelnya. Pengukuran risiko secara statistik biasanya
berdasarkan pada nilai rata-rata, tingkat simpangan, tingkat
probabilitas, koefisien risiko dan skala risiko, sehingga muncul
suatu nilai ukuran Value at Risk (VaR) pada pengukuran risiko
keuangan, Inventory at Risk (IaR) pada pengukuran risiko
persediaan, dan Demand at Risk (DaR) pada pengukuran risiko
permintaan. Pengukuran ini ditindaklanjuti dengan merencanakan
skenario tindakan-tindakan manajemen yang diperlukan untuk
mengendalikan risiko yang mungkin terjadi. Tindkan manajemen
dibut berdasarkan faktor-faktor risiko yang teridentifikasi dan
disesuaikan dengan situasi serta kondisi perusahaan.
148
3). Keputusan dan Implementasi Tindakan Manajemen Risiko
Tahap ini adalah tahap memilih metode manajemn yang akan
digunakan untuk mencegah atau mengurangi risiko yang akan
terjadi, baik secara parsial atau menyeluruh, sehingga mampu
meminimalkan dampak terhadap pengoprasian rantai pasok.
Metode utama dalam menaggulangi risiko menurut (Culp 2001,
IRM 2003, Champman 2006) adalah :
a. Menghindari risiko
Secara intuisi cara yang umum untuk menghindari risiko adalah
tidak mengambil tindakan yang akan berpotensi terjadinya risiko
tersebut.
b. Mitigasi atau Eliminasi risiko
Mitigasi risiko merupakan metode yang mengurangi
kemungkinan terjadinya suatu risiko ataupun mengurangi
dampak kerusakan yang dihasilkan oleh suatu risiko.
c. Pengalihan Risiko
Memindahkan risiko kepada pihak lain, umumnya melalui suatu
asuransi yang membayar premi yang berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya risiko tersebut, atau melalui kontrak
dengan menyediakan kompensasi terhadap seluruh pelaku yang
terpengaruh oleh risiko, dan melalui hedging. Hedging
merupakan cara untuk memastikan ketersediaan suatu produk di
masa mendatang, dengan harga yang telah ditetapkan dari
sekarang untuk melindungi penjual dan pembeli dari risiko
kelangkaan maupun kelebihan suplai yang dapat membuat harga
fluktuatif.
149
d. Penyerapan dan Pengumpulan risiko
Ketika risiko tidak dapat dieliminasi, dialihkan, dan dihindari,
maka risiko tersebut harus diserap dan dianggap bagian penting
dari aktivitas. Dalam suatu rantai pasok, risiko sebaiknya tidak
menjadi tanggungan atau beban bagi 1 perusahaan. Hal ini dapat
dilakukan dengan mekanisme pengumpulan kemungkinan
partisipasi anggota jaringan rantai pasok. Pembagian risiko antar
pelaku harus dilakukan secara proporsional agar masing-masing
pelaku tidak ada yang merasa dirugikan.
4). Pengawasan Risiko
Status sebuah risiko dapat berubah-ubah sesuai kondisi,
sehingga faktor-faktor risiko harus dimonitor untuk mengetahui
keefektifan respon yang telah dipilih dan mengidentifikasi
adanya risiko yang baru maupun berubah dari kemungkinan dan
konsekuensinya. Ketika suatu risiko terjadi, maka respon yang
dipilih akan sesuai dan diimplikasikan secara efektif.
4. Contoh Aplikasi Analisis Risiko
Lingkup kajian analisis risiko rantai pasok produk pertanian
minimal, terdiri dari identifikasi risiko, pengkajian risiko dan
keputusan serta implementasi tindakan manajemen risiko, sehingga
mampu menggambarkan tindakan optimal yang akan dilakukan
untuk mengatasi tingkat risiko yang dihadapi. Pengukuran risiko
dalam kajian ini dilakukan pada rantai pasok komoditas jagung.
150
1). Identifikasi Risiko
Berdasarkan hasil studi literatur dan keadaan yang sering terjadi di
lapangan serta berdasarkan pada kajian Sarasutha (2007), maka
rantai pasok komoditas jagung dapat dimodelkan dengan gambar
sebagai berikut :
Gambar 18.
Jaringan rantai pasok jagung
Dimana :
Fi = petani (farmer) jegung dengan jumlah p Cj = pengumpul (collector) dengan jumlah m Dk = distributor antarpulau dan antar provinsi dengan jumlah n. Dalam rantai pasok tersebut risiko yang sering dihadapi petani
jagung adalah penggunaan varietas jagung yang masih
menggunakan varietas lokal yang mempunyai tingkat produktivitas
rendah, penanganan pascapanen yang kurang baik, sehingga
menurunkan kualitas dan jadwal tanam yang tidak tepat sehingga
waktu panen raya harga jagung merosot tajam (Kasryno 2006).
Adapun risiko yang sering dihadapi oleh pedagang pengumpul atau
151
kolektor adalah rendahnya mutu jagung karena kebanyakan jagung
dipanen pada musim penghujan, sehingga proses pengeringannya
tidak sempurna dan menyebabkan tumbuhnya jamur. Di samping
itu, risiko yang dihadapi adalah biaya penyimpanan dan
pengeringan tambahan untuk mendapatkan kualitas yang sesuai
standar (Kusumaningrum 2008).
Adapun dari sisi distributor risiko yang akan dihadapi terutama
dalam kajian ini adalah risiko turunnya kualitas jagung karena
penyimpanan dan karena pengangkutan di samping kendala
transportasi dan distribusi ke pihak konsumen, yaitu pabrik pakan
dan pabrik pangan.
a). Pengkajian Risiko
Analisa risiko dilakukan pada kegiatan-kegiatan yang
mempunyai risiko tinggi dan akan menimbulkan kerugian
secara finansial. Hasil analisa kemudian dibuatkan model
evaluasi risiko, sehingga diperoleh nilai tingkat risiko setiap
pelaku rantai pasok. Nilai risiko tersebut kemudian digunakan
untuk mengukur tingkat kerugian yang diterima dengan
mengaplikasikan model Value at Risk.
Risiko yang sering dihadapi petani jagung adalah penggunaan
varietas benih yang kurang baik, sehingga tingkat kecambah
dan tingkat produktivitasnya rendah. Menurut Sarasutha
(2007), probabilitas penggunaan jagung hibrida adalah 22 %,
oleh karena itu kemungkinan petani masih menggunakan
jagung dengan bibit tidak berjenis unggul adalah 78 %. Selain
152
itu, risiko kerusakan jagung pipilan pada petani akibat
pemipilan jagung pada kadar air 30 % adalah 15 % - 20 %,
sedangkan harga jagung pada musim panen raya rata-rata turun
sebesar 25 %, sehingga kurang menguntungkan bagi petani.
Dari hal-hal tersebut dapat diperoleh probabilitas risiko yang
diderita petani untuk setiap kategori risiko dapat dijelaskan
pada Tabel 14:
Tabel 14. Jenis risiko petani jagung
Jenis Risiko Petani P (x) Produktivitas rendah karena tidak menggunakan benih unggul
78 %
Kerusakan akibat pascapanen karena kurang kering
20 %
Salah masa tanam sehingga pada saat panen harga turun
25 %
Dalam kajian ini, nilai konsekuensi dapat diklasifikasi sebagai
vital, diperlukan dan diinginkan, sebuah konsekuensi bernilai
penting (vital) diberikan pada subproduk jika tidak terdapat
pengganti pada barang ini, jika barang tersebut tidak ada, maka
rantai pasok tidak dapat menghasilkan produk yang dimaksud.
Suatu nilai konsekuensi diperlukan (necessary) diberikan pada
subproduk yang mempunyai penggantinya, tetapi penggunaannya
mengurangi fungsionalitas dan kualitas dari produk yang dihasilkan
rantai pasok. Penggunaan dari barang substitusi dari produk dapat
menimbulkan perancangan ulang terhadap rantai pasok produk atau
jasa tersebut. Suatu nilai konsekuensi diinginkan (desired)
153
diberikan pada subproduk, dimana pengantian dari barang atau
penggunaannya tidak memerlukan perancangan ulang atau
mengurangi fungsionalitas atau kualitas dari produk yang
dihasilkan rantai pasok.
Tabel 15. Nilai konsekuensi risiko
Konsekuensi Keterangan α Vital Tidak tergantikan 1,0 Necessary Tidak mudah diganti 0,6 Necessry Mudah diganti 0,3 Desired Mudah diganti 0,1
Nilai konsekuensi (α) dari petani adalah necessary (0,6), karena
penggunaan jagung untuk pekan atau pangan tidak mudah
digantikan dan jika digantikan akan mempengaruhi fungsionalitas
produk pakan atau pangan. Sedangkan nilai tambah jagung untuk
produksi pangan adalah 50% karena rantai dalam pasok untuk
produk pakan diperlukan jagung tidak kurang dari 50%. Dari nilai-
nilai tersebut, maka dengan menggunakan rumus RI diperoleh nilai
indeks risiko pada tingkat petani dalam jaringan rantai pasok
sebesar 0,26 dan 26%.
b). Keputusan dan Implementasi Tindakan Manajemen Risiko
Untuk mengurangi risiko ditingkat petani akan disimulasikan
model optimalisasi keuntungan dengan penentuan jadwal tanam
jagung optimal. Mempertimbangkan tingkat risiko panen raya yang
menimbulkan harga jagung turun. Hasil perhitungan RIx digabung
dengan perhitungan value at risk digunakan untuk menilai biaya
risiko yang terjadi dan dijadikan sebagai input model optimasi
154
keuntungan. Model optimasi keuntungan dengan pertimbangan
minimasi risiko pada setiap tingkatan rantai pasok digunakan
model modifikasi dan Nagurney (2005).yaitu :
Beberapa komponen nilai yang diperlukan untuk mengoptimalkan
keuntungan dengan jadwal panen yang sesuai adalah : modal yang
akan dialokasikan untuk setiap penanaman, biaya operasi yang
digunakan dalam setiap siklus tanam, perkiraan pendapatan petani
dan indeks risiko pada setiap siklus tanam, sedangkan kendala atau
keterbatasan yang digunakan untuk memilih jadwal optimal adalah
total investasi yang akan dialokasikan dan total biaya operasi yang
akan digunakan. Dalam model optimasi ini, semua unit dikonversi
ke nilai finansial agar memudahkan perhitungan untuk
mengoptimalkan keuntungan dengan kriteria jamak (maksimumkan
profit dan minimumkan risiko) dikonversi menjadi fungsi optimasi
dengan kritera tunggal.
Tabel 16. Input pemilihan jadwal tanam
Bulan Modal
(Rp.000) Beroperasi (Rp.000)
Penerimaan (Rp.000)
Risiko (%)
1 5000 4500 14000 17 2 5000 4500 14000 17 3 5000 4500 14000 16 4 5000 5000 14000 15 5 5000 5000 15000 15 6 5000 5000 15000 15 7 5000 5000 15000 16 8 5000 5000 15000 16 9 5000 5000 16000 17
10 5000 4500 16500 20 11 5000 4500 17000 20 12 5000 4500 15500 20
155
Nilai-nilai risiko tersebut didasarkan pada musim hujan yang dapat
menurunkan kualitas karena pengeringan kurang optimal serta
bulan-bulan dimana terjadi penurunan harga jagung yang cukup
tajam karena kelangkaan. Untuk memilih waktu tanam yang tepat
dimisalkan modal yang dialokasikan sebesar Rp. 25 juta dan juga
biaya operasional yang disediakan adalah Rp. 25 juta.dengan
menggunakan software excel-solver akan diperoleh keuntungan
maksimum sebesar Rp. 26.600 ribu, sebagaimana terdapat pada
tabel berikut :
Tabel 17. Hasil solver jadwal tanam optimal
Bulan Modal
(Rp.000) B.operasi (Rp.000)
Keuntungan (Rp.000)
1 0 0 0 2 0 0 0 3 0 0 0 4 0 0 0 5 5.000 5.000 4.250 6 0 0 0 7 0 0 0 8 0 0 0 9 5.000 5.000 5.150
10 5.000 4.500 6.000 11 5.000 4.500 6.500 12 5.000 4.500 5.000
25.000 23.500 26.900
Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk mendapatkan keuntungan
optimum, jadwal panen yang sebaiknya dilakukan adalah pada
bulan Mei, dan antara bulan September serta Desember, sehingga
dengan perkiraan masa tanam jagung selama 3 bulan, masa tanam
optimal sebaiknya dilakukan pada bulan Februari dan bulan Juni.
156
BAB VII KELEMBAGAAN AGRIBISNIS BAWANG MERAH
VARIAETAS LEMBAH PALU
7.1 Permodalan Usaha
Bawang merah VLP merupakan salah satu jenis komoditas
sayuran rempah yang mempunyai pasar yang cukup luas terutama
bagi masyarakat yang bermukim di kawasan lembah mencakup
Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi. Permintaan
bawang merah yang tinggi dapat dilihat dari konsumsi rata-rata
bawang merah perkapita per tahun. Dengan prospek dan peluang
usaha yang tinggi, budidaya bawang merah dapat diarahkan
sebagai bisnis yang mampu meningkatkan pendapatan dan
memberikan nilai tambah. Kebutuhan kredit usaha bawang merah
dapat berupa kredit investasi ataupun kredit modal kerja. Kredit
investasi terkait dengan penyediaan lahan (milik maupun sewa),
peralatan dan bangunan, sedangkan kredit modal kerja terkait
dengan pembiayaan operasional usahatani bawang merah VLP.
Kendala lembaga pembiayaan dalam pemberian modal
pertanian yaitu kebijakan alokasi kredit bagi sektor pertanian,
dimana secara nasional kredit yang disalurkan kepada sektor
pertanian sangat rendah jika dibandingkan dengan total kredit
perbankan. Menurut Bank Indonesia (2013), penyaluran kredit
pada sektor pertanian sebesar Rp174,4 triliun disalurkan pada
subsektor perkebunan yang mempunyai pangsa kredit terbesar
yaitu mencapai Rp145,0 triliun atau 83,2% dari total kredit
157
pertanian. Sedangkan untuk subsektor hortikultura hanya mencapai
Rp3,4 triliun atau 2,0% dari total kredit pertanian. Namun,
sebagian besar petani bawang merah di beberapa daerah di
Indonesia mengajukan permohonan bantuan pembiayaan untuk
modal kerja karena modal investasi umumnya masih dapat
dipenuhi oleh modal petani. Panjangnya rantai pasok bawang
merah menyebabkan penerimaan di petani tidak maksimal,
sehingga petani membutuhkan permodalan untuk mengoptimalkan
produksi. Sistem pembiayaan rantai pasok bawang merah masih
kurang mendapatkan kredit usaha dari perbankan, karena dinilai
bawang merah mempunyai risiko yang sangat tinggi karena mudah
terkena hama penyakit dan produktivitasnya sangat dipengaruhi
oleh musim. Bank Indonesia Cabang Palu cukup intensif dalam
membantu petani di Sulawesi Tengah termasuk petani bawang
merah VLP dalam pembinaan dan pendampingan pengelolaan
keuangan usahatani petani.
Bentuk dukungan lain yang terkait dengan usaha
pengembangan bawang merah varietas lembah palu adalah
didirikannya lembaga keuangan daerah yang bertujuan untuk
membantu petani di dalam mendapatkan pinjaman dengan bunga
lunak. Bentuk dari lembaga keuangan daerah ini antara lain berupa
Bank Pasar dan Koperasi Unit Desa (KUD). Keberadaan lembaga
keuangan ini sangat bermanfaat bagi petani yang rata-rata hanya
mempunyai modal terbatas. Dengan persyaratan yang relatif mudah
dan bunga pinjaman yang lunak, memudahkan petani mendapatkan
158
modal untuk usaha budidaya bawang merah. Mereka bisa
mengembalikan kredit setelah panen dan bisa meminjamnya lagi
jika sewaktu-waktu membutuhkan. Selain itu, mereka dapat
memenuhi kebutuhan mereka pada waktu musim tanam dan dapat
membeli sarana pertanian dengan tunai sehingga bisa memperoleh
harga yang lebih murah. Begitu juga dengan pemerintah daerah
setempat, harus mampu menyediakan kredit lunak bagi petani
dengan persyaratan yang dibuat semudah mungkin sehingga petani
dapat memanfaatkannya secara lebih efektif.
Terkait dengan pembiayaan agribisnis, uang merupakan
sumber kehidupan bagi setiap bisnis, termasuk bidang agribisnis.
Uang diperlukan untuk membeli aktiva/harta perusahaan seperti
mesin dan peralatan, piutang usaha, tenaga kerja, bahan mentah,
dan pajak.
Alasan peningkatan sumber daya keuangan :
1. Untuk memperluas dan/atau meningkatkan pertumbuhan bisnis;
2. Untuk melakukan aktivitas bisnis tambahan;
3. Untuk menjaga atau meningkatkan likuiditas atau posisi kas
perusahaan;
4. Untuk meningkatkan posisi bersaing perusahaan.
7.2 Kelembagaan Kelompok Usaha
Peran kelompok tani sebagai perubah perilaku petani
dengan melalui aktivitas individu biasanya lebih lambat
dibandingkan dengan petani yang bersangkutan aktif dalam
159
kegiatan kelompok tani (Sukadi, 2007). Demikian pula dalam
penyebaran dan penerapan inovasi baru, dengan melalui aktivitas
kelompok akan lebih cepat dan lebih meluas dibandingkan jika
disampaikan melalui pendekatan individu ataupun masal. Sifat
penyebarannya lebih efektif dan efisien. Persaingan penerapan
teknologi dan produktivitas usaha tani di antara sesama petani akan
lebih sehat, karena memiliki pandangan yang sama yaitu untuk
mencapai tujuan bersama. Hal ini diwujudkan dalam pertemuan
kesepakatan di antara mereka melalui kelompok tani (U. Samsudin,
1976).
Ada tiga peran penting dari kelompok tani yang juga dapat
ditemukan pada agribisnis bawang merah VLP, antara lain :
1) Media sosial atau media penyuluhan yang hidup, wajar dan
dinamis,
2) Alat untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan
penyuluhan pertanian,
3) Tempat atau wadah pernyataan aspirasi yang murni dan sehat
sesuai dengan keinginan petani sendiri.
Peran kelompok tani diharapkan akan dapat memainkan
peran yang, lebih baik dimana dalam pelaksanaan tugas dapat
dikerjakan dengan baik dan efektif untuk mencapai tujuan
kelompok (Yusniar, Y. 1988). Kelompok tani merupakan
kumpulan para petani yang tumbuh berdasarkan keakraban dan
keserasian serta kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan
sumberdaya pertanian untuk bekerjasama meningkatkan
160
produktivitas usaha tani dan kesejahteraan anggotanya. Fungsi
utama kelompok tani pada dasarnya adalah sebagai wahana: proses
belajar mengajar, bekerjasama, berproduksi, dan usaha/bisnis
(Anonim, 1997).
Sejarah telah mencatat bahwa peran kelompok tani sangat
besar dalam meningkatkan produktivitas pertanian, hal ini tampak
dari swasembada beras yang pernah dicapai pada tahun 1984, yang
tidak lepas dari peran kelompok tani dalam mensukseskan program
bimas, insus, dan supra insus. Namun demikian, sejak era otonomi
daerah pada tahun 1999 banyak perubahan kelembagaan
penyuluhan termasuk pengurangan tenaga penyuluh yang
mengakibatkan terlantarnya pembinaan kelompok tani. Dengan
demikian, dalam paradigma baru penyuluhan pertanian yang
menekankan kelompok tani sebagai organisasi yang tangguh di
bidang ekonomi dan sosial, diperlukan revitalisasi kelompok-
kelompok tani. (Sunarru Samsi, H. 2007).
Kelompok tani merupakan kumpulan petani yang dibentuk
atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan
(sosial, ekonomi, dan sumberdaya), keakraban dan keserasian yang
dipimpin oleh seorang ketua. Kelompok tani dibentuk bertujuan
untuk menjalin kerjasama antar anggota kelompok dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Fungsi kelompok tani bagi
petani pada proses selanjutnya adalah sebagai berikut :
161
1. Sebagai kelas belajar mengajar
Kelompok tani merupakan wadah bagi setiap anggota, untuk
saling berhubungan, guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Dalam peningkatan produktifitas, pendapatan dan
berusahatani yang lebih menguntungkan serta mencapai
kehidupan yang lebih sejahtera.
2. Sebagai unit produksi
Petani sebagai anggota kelompok tani merasa mempunyai
kesamaan kepentingan/tujuan, untuk bergabung dan
bekerjasama dalam suatu unit produksi.
3. Sebagai wahana kerjasama
Kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama,
di antara sesama anggota kelompok maupun kerjasama dengan
kelompok tani lainnya, serta dengan pihak lain.
4. Sebagai organisasi kegiatan bersama
Dengan adanya kelompok tani, dapat membagi pekerjaan dan
mengkoordinasikan pekerjaan dengan tertib, sesuai hasil
kesepakatan mereka (Soedijanto, 2001). Dari sisi lembaga,
terbatasnya kesanggupan lembaga untuk mendampingi seluruh
masyarakat desa dengan melalui kelompok, lembaga mencoba
melakukan pendekatan pengembangan masyarakat dengan
harapan hasil-hasil yang positif dapat disebarluaskan ke anggota
masyarakat lainnya.
162
Pengembangan kelompok merupakan serangkaian proses
kegiatan dalam memampukan / memberdayakan kumpulan anggota
masyarakat yang mempunyai tujuan bersama. Proses
pengembangan kelompok dimulai dari proses pengenalan akan
program, berlanjut pada kajian keadaan pedesaan secara partisipatif
dan diperkuat ketika masyarakat merasa mereka perlu berbagi tugas
dan tanggung jawab dalam melakukan kegiatan yang dibutuhkan
untuk menjawab permasalahan yang mereka hadapi. (Sunarru
Samsi, H. 2007).
7.3 Kebijakan Pendukung
Bawang merah merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara
intensif dan memiliki peranan strategis karena kontribusinya yang
nyata terhadap penggerak sektor riil masyarakat dan penciptaan
lapangan kerja, bernilai ekonomis tinggi, serta mempunyai prospek
pengembangan dan pasar yang menarik.
Secara nasional, guna meningkatkan kesejahteraan pelaku
usaha bawang merah, salah satu upaya yang dilakukan adalah
pembentukan Dewan Bawang Merah Nasional (DEBNAS). Dewan
Bawang Merah Nasional dibentuk sebagai salah satu upaya untuk
membangun agribisnis bawang merah secara berkelanjutan;
memberikan pendapatan yang layak bagi petani dan keluarganya;
menjadikan petani dan masyarakat yang sejahtera; memberikan
perlindungan kepada para pelaku usaha agribisnis bawang merah
163
dari persaingan yang tidak adil di tengah-tengah globalisasi pasar
bebas.
Dewan Bawang Merah Nasional (DEBNAS) adalah suatu
wadah bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) agribisnis
dan agroindustri yang berbasis bawang merah baik sebagai
organisasi maupun perorangan yang meliputi petani, pedagang,
pelaku industri dan jasa, eksportir, praktisi, peneliti, akademisi,
industri pengguna, pemerhati serta instansi Pemerintah
terkait. Dewan Bawang Merah Nasional akan menaungi semua
petani dan asosiasi bisnis dan lembaga usaha lain yang tercakup
dalam lingkup usaha agribisnis bawang merah Indonesia.
Mengingat bahwa mengelola agribisnis bawang merah perlu
dilakukan dengan komprehensif dan terpadu, dengan
memperhatikan keseluruhan aspek dan segmen agribisnis dari hulu
sampai ke hilir dan perangkat penunjangnya serta menuju
keseimbangan antara peningkatan konsumsi, peningkatan produksi
dan perbaikan distribusi yang menguntungkan semua pihak, maka
perlu program yang terpadu dan berkesinambungan dan
berkelanjutan dalam kegiatan :
1. Pengembangan kawasan/klaster agribisnis bawang merah
(integrated farming & integrated agribusiness), fasilitasi
pembiayaan secara terpadu, dan pencapaian swasembada
bawang merah Indonesia.
2. Intermediasi antar pelaku usaha bawang merah dengan lembaga
keuangan (bank dan non bank) dalam penyediaan permodalan
164
untuk petani, pedagang (domestik dan ekspor/impor) dan
investasi sarana/prasarana yang mendukung akselerasi
pengembangan agribisnis bawang merah nasional.
3. Penerapan manajemen rantai pasokan (Supply Chain
Management) sampai terjadi keseimbangan antara produksi dan
kebutuhan nasional untuk mencapai harga pasar yang layak
bagi petani, pedagang, dan pengguna bawang merah.
4. Sosialisasi dan pemantapan penerapan budidaya pertanian yang
baik (Good Agriculture Practices/GAP),
dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan agroklimat.
5. Pembenahan dan pembentukan pusat dan sistem informasi
statistik bawang merah nasional dalam jaringan informasi
terpadu yang dapat diakses secara mudah, cepat, dan tepat.
6. Mendorong dan mendukung pemerintah pusat dan pemerintah
daerah untuk melakukan langkah-langkah strategis dan terpadu
dalam rangka memberikan perlindungan (proteksi) menyeluruh
terhadap keberlangsungan agribisnis bawang merah sebagai
salah satu kearifan lokal bangsa Indonesia dan nasionalisme
bagi terjadinya regenerasi petani dalam rangka peningkatan
ketahanan pangan dan kedaulatan pertanian Indonesia.
Hasil dari pembahasan dan sinkronisasi Pelaksanan
Pembangunan Hortikultura 2008, terungkap beberapa
permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengembangan
produksi bawang merah, yaitu:
165
1) Kemampuan teknologi budidaya dan perbanyakan benih oleh
penangkar masih terbatas,
2) Benih varietas lokal yang ada tidak mampu beradaptasi
sepanjang musim sehingga terpaksa menggunakan benih dari
bawang impor. Lainnya halnya dengan benih bawang merah
VLP umumnya memiliki daya adaptasi yang tinggi sepanjang
tahun,
3) Sering terjadinya fluktuasi harga bawang merah termasuk
VLP, sehingga tidak memberikan jaminan akan kelangsungan
usaha,
4) Bawang merah impor masuk pada saat panen bahkan di pasok
ke daerah sentra produksi sehingga harga jual petani jatuh,
5) Biaya produksi terus meningkat akibat penggunaan bahan
kimia yang berlebihan (tidak sesuai aturan), harga input
kimiawi terus meningkat sementara petani punya
ketergantungan akan bahan tersebut,
6) Keterbatasan sumber benih sehingga menghambat dalam
perbanyakan benih. Sumber benih VLP umumnya masih
terbatas, namun pihak Badan Pengkajian Teknologi Pertanian
Sulawesi Tengah dan Universitas Tadulako telah
mengembangkan benih bawang merah ini, namun dalam
jumlah yang relatif terbatas sehingga petani masih
mengandalkan benih lokal/sendiri.
Adanya PERMENTAN tersebut diharapakan bawang merah
impor hanya digunakan untuk konsumsi dan tidak digunakan untuk
166
benih. Di samping itu juga dilakukan pencegahan terhadap
masuknya berbagai OPT yang dapat merugikan dan mengancam
produsen bawang merah dalam negeri, serta melakukan
pembatasan daerah pelabuhan impor sehingga distribusi dapat
diketahui jumlah dan alirannya. Mengingat bawang merah di
samping sebagai tanaman unggulan dalam pengembangan
hortikulktura, yang juga merupakan tanaman strategis, maka
penanganannya harus dilakukan oleh semua pihak dengan
perhatian serius dan menjadi prioritas dalam pelaksanaan kegiatan.
Masih perlu dirumuskan rincian kegiatan dan tindak lanjut oleh
berbagai pihak, melakukan aksi bersama secara terkoordinasi dan
bersinergi dalam bimbingan teknis maupun manajemen dalam
peningkatan produksi, distribusi dan pemasaran.
Kebijakan operasional yang perlu dibenahi adalah;
1) Pengaturan impor untuk membatasi penyalahgunaan bawang
merah konsumsi untuk digunakan sebagai benih,
2) Melakukan pemetaan pola produksi bulanan untuk mengetahui
ketersediaan bawang merah dan pengaturan waktu impor,
3) Melakukan pengkajian sistim pengkelasan benih bawang
bentuk umbi.
Pengaturan impor bawang merah akan dapat dilakukan
apabila Provinsi, Kabupaten/Kota sentra produksi telah sanggup
mendukung swasembada bawang merah, dan ini dapat
dilaksanakan apabila benih dengan varietas spesifik lokasi tersedia.
Satu kebijakan yang telah dilakukan mengatasi hal tersebut adalah
167
dengan diterbitkannya PERMENTAN Nomor
18/Permentan/OT.140/2/2008 tanggal 26 Februari 2008 tentang
Persyaratan dan Tindakan Karantina. Selain itu, Program
pembangunan pertanian memerlukan ketersediaan dan penggunaan
benih varietas unggul bermutu. Benih varietas unggul bermutu
berpengaruh terhadap produktivitas dan produksi, mutu hasil, dan
efisiensi usahatani (DIRJENTAN, 2008).
Kemandirian benih dapat diwujudkan dengan membangun
industri perbenihan/perbenihan swasta nasional yang patriotik yang
tertumpu kepada kepentingan kesejahteraan masyarakat secara
luas, termasuk petani, dan tidak menggantungkan diri kepada
industri perbenihan/perbenihan multi nasional dan impor. Industri
perbenihan/perbenihan swasta nasional merupakan salah satu
industri pra produksi pertanian paling hulu, yang berperan sangat
menentukan keberhasilan sektor pertanian secara keseluruhan,
termasuk industri pasca panen, seperti industri pangan, dan lain-
lain.
Industri perbenihan/perbenihan swasta nasional adalah
lembaga usaha yang menyelenggarakan rangkaian proses seluruh
kegiatan dalam menghasilkan benih/bibit varietas unggul baru,
berproduktivitas dan berkualitas tinggi dengan daya saing tinggi,
memperbanyaknya, mengedarkannya, dan memperdagangkannya,
baik dalam satu kelembagaan usaha yang utuh ataupun salah satu
unit usaha lainnya seperti penangkar benih, inkubator, dan lain-lain
168
yang memanfaatkan sumberdaya hayati nasional secara bijak dan
lestari (Baihaki, 2008).
Kebijakan yang dibutuhkan untuk mendukung tujuan dan
sasaran revitalisasi agribisnis bawang merah meliputi: (1)
kebijakan pengembangan sarana dan prasarana fisik dan non-fisik,
(2) kebijakan pengembangan sistem perbenihan, (3) kebijakan
akselerasi peningkatan produktivitas, (4) kebijakan perluasan areal
tanam, (5) kebijakan sistem perlindungan, (6) kebijakan
pengolahan dan pemasaran hasil, dan (7) kebijakan pengembangan
kelembagaan, yang dimana pada kebijakan ini akan membantu para
pelaku petani bawang merah sehingga target yang dibutuhkan
dalam kualitas dalam negeri dan kualitas impor akan terpenuhi
karena sudah ada saran dan prasarana.
Berdasarkan profil agribisnis bawang merah saat ini dan
mengacu pada profil agribisnis bawang merah yang ingin
diwujudkan pada tahun 2010, maka program revitalisasi agribisnis
bawang merah dirancang mencakup beberapa kegiatan utama,
yaitu:
1. Pengembangan sarana dan prasarana agribisnis bawang merah.
Sarana dan prasarana yang perlu dikembangkan mencakup:
pengadaan dan perbaikan jaringan irigasi, perbaikan dan
penambahan jalan desa, penyediaan sarana produksi,
pembangunan gudang-gudang penyimpanan, perbaikan dan
penyediaan fasilitas pasar, pembangunan jaringan informasi
(periode panen, prediksi pasokan, kelas/varietas, dan harga),
169
serta sarana diseminasi dan transfer teknologi (sumberdaya
manusia dan fisik).
2. Pengembangan industri benih bawang merah. Pembenahan
sistem perbenihan bawang merah perlu dimulai dari fase
perakitan varietas. Pada saat ini, rangkaian kegiatan pemuliaan
dilakukan berdasarkan pendekatan program pemuliaan yang
disusun oleh lembaga penyelenggara pemuliaan. Di masa depan,
semua tahapan tersebut di atas dilakukan dengan pendekatan
industri, yang pelaksanaannya dapat distandarisasikan mengacu
pada sistem mutu. Mekanisme baru ini membutuhkan
transformasi sistem perakitan varietas dari pendekatan program
pemuliaan ke industri pemuliaan. Transformasi ini membawa
konsekuensi perubahan penyelenggaraan kegiatan pemuliaan
yang semula didominasi oleh lembaga pemerintah selanjutnya
secara bertahap diserahkan kepada pihak swasta.
3. Pemberdayaan sentra produksi bawang merah. Sentra produksi
bawang merah secara bertahap direvitalisasi menjadi sentra
agribisnis bawang merah yang dicirikan oleh: (a) pengusahaan
bawang merah yang memiliki economies of scale melalui
penerapan konsolidasi pengelolaan lahan usaha, (b)
kelembagaan petani yang tangguh, tidak saja dalam menangani
aspek produksi, tetapi juga aspek pemasaran hasil dan
pendanaan usahatani, (c) penerapan SPO (Standar Prosedur
Operasional) bawang merah spesifik lokasi yang berbasis GAP
170
(Good Agricultural Practices), dan (d) terintegrasi dengan
pelayanan pasar input serta industri pengolahan.
4. Penambahan sentra produksi baru bawang merah. Perluasan
sentra produksi/agribisnis baru terutama ditempuh dengan
mengacu pada kesesuaian agroklimat bawang merah, bukan
pada pemanfaatan lahan marjinal.
5. Pembangunan pabrik pengolahan produk bawang merah.
Pengolahan produk bawang merah harus dirancang tidak hanya
untuk mengatasi masalah surplus produksi saja. Pengembangan
pabrik pengolahan harus diarahkan sebagai upaya untuk
meningkatkan nilai tambah melalui diversifikasi produk, dengan
menggunakan bahan baku berkualitas prima (sesuai persyaratan
olah).
7.4 Kebijakan Pengelolaan Rantai Pasok
Rantai pasokan bawang merah yang panjang merupakan
salah satu penyebab harga komoditas tersebut tidak stabil.
Kebijakan pemerintah seharusnya berupaya memotong panjangnya
rantai pasokan tersebut guna menjamin stabilnya harga bawang
merah sehingga tidak merugikan petani sekaligus tidak
memberatkan konsumen. Permasalahan bawang merah harus
diselesaikan dari sub sistem hulu ke sub sistem hilir, dan tidak bisa
secara parsial. Hal ini disebabkan karena permasalahan yang
ditemukan saat ini dari penanaman, panen, distribusi hasil panen,
dan tataniaga yang menghubungkan antara petani dengan
171
konsumen. Persoalan rantai pasok yang terlalu panjang misalnya,
memungkinkan harga bawang merah di tingkat petani Rp.6000 per
kilogram meningkat 600 persen sampai Rp.36.000 per kilogram di
tingkat pasar/konsumen. Ini menunjukkan bahwa lembaga
perantara yang ada di antara petani dan konsumen terdiri tiga atau
empat lembaga (mata rantai) yang harus dilewati bawang merah.
Keberadaan bandar atau tengkulak besar membuat rantai itu
panjang dan memicu harga naik beberapa kali lipat. Guna
mengurangi besarnya perbedaan harga tersebut, maka diperlukan
sebuah lembaga pemerintah yang mampu mengontrol dan
mengendalikan fluktuasi harga yang disebabkan oleh permainan
lembaga perantara. Selain itu, kemitraan antara petani dan
pengolah bawang merah menjadi bawang goreng lembah palu perlu
dikembangkan secara permanen sehingga terdapat kepastian harga
dan kontinuitas produksi di on farm dan sub sistem hilir.
Pengembangan agribisnis yang tangguh di perlukan empat
pilar penunjang (Suwandi, 1995):
1) Eksistensi semua komponen agribisnis secara lengkap di
kawasan sentra produksi;
2) Pentingnya kemitraan usaha antar pelaku agribisnis;
3) Iklim usaha yang kondusif; dan
4) Adanya gerakan bersama dalam memasyarakatkan
agribisnis.
172
Baik dari aspek potensi permintaan pasar maupun aspek
potensi produksi mestinya sektor usaha komoditas sayuran dapat
dijadikan sumber akselerasi pertumbuhan sektor pertanian dan
sekaligus memecahkan dua masalah mendasar yang dihadapi
bangsa Indonesia dewasa ini yaitu masalah pengangguran dan
kemiskinan. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar,
kenaikan pendapatan, dan berkembangnya pusat kota-industri-
wisata, serta liberalisasi perdagangan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi permintaan. Hasil kajian (Saptana, et. al., 2004)
memberikan informasi bahwa peran permintaan konsumen institusi
untuk komoditas sayuran berkisar antara 0,5-9 % dan sangat
bervariasi antar kabupaten. Pada kabupaten-kabupaten yang
berkembang industri kota- wisata mencapai 5-9 persen. Dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta memenuhi
permintaan pasar dan preferensi konsumen maka dipandang
penting membangun kelembagaan kemitraan usaha agribisnis
sayuran yang berdaya saing.
Permasalahan pokok pengembangan agribisnis sayuran
adalah belum terwujudnya ragam, kualitas, kesinambungan
pasokan, dan kuantitas yang sesuai dengan dinamika permintaan
pasar dan preferensi konsumen, permasalahan tersebut nampak
nyata pada produk hortikultura untuk tujuan pasar konsumen
institusi dan ekspor. Permasalahan lain adalah ketimpangan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, aset utama lahan,
modal, dan akses pasar antar pelaku agribisnis menyebabkan
173
struktur kelembagaan kemitraan usaha pada komoditas sayuran
yang rapuh. Secara umum dapat dipilah menjadi dua pola
kelembagaan kemitraan usaha yaitu pola dagang umum dan
kelembagaan kemitraan usaha contract farming dengan berbagai
variasinya. Analisis perbandingan akan difokuskan pada
keunggulan dan kelemahan dua pola kelembagaan kemitraan usaha
tersebut. Beberapa keunggulan pola dagang umum antara lain
adalah :
1) Kelembagaan kemitraan pola ini umumnya lebih fleksibel yang
didasarkan atas ikatan-ikatan informal yang tidak mengikat,
ikatan langganan, ikatan modal tanpa bunga, serta ikatan sosial
lainnya;
2) Umumnya pedagang memiliki jaringan pasar yang luas namun
tidak mengikat (pasar tradisional, supplier, dan supermarket);
3) Memiliki fleksibilitas keluar masuk pasar; dan
4) Dapat menampung hasil produksi sayuran pada hampir semua
kelas kualitas dengan perbedaan harga pembelian.
Beberapa kelemahan pola ini adalah : (1) Efisiensi dalam
pengumpulan hasil rendah karena produksi tersebar; (2) Efisiensi
dalam pengangkutan rendah karena sering kali tidak mencapai
skala angkut maksimal; (3) Fluktuasi harga tajam karena mengikuti
mekanisme pasar sepenuhnya; dan (4) Kurang mendorong petani
pada peningkatan kualitas hasil karena sistem pembelian dari
pedagang sering kali dilakukan dengan sistem borongan, tebasan,
174
dan ijon, meskipun terdapat juga petani yang memasarkan dengan
sistem timbang atau kiloan. Sementara itu beberapa keunggulan
pada pola contract farming (dalam pelaksanaannya berupa kontrak
pemasaran) antara lain adalah: (1) Efisiensi dalam pengumpulan
hasil tinggi karena kontrak dilakukan secara berkelompok dalam
hamparan tertentu; (2) Efisiensi dalam pengangkutan tinggi karena
dapat mencapai skala angkut maksimal; (3) Harga relatif stabil
karena ditetapkan dengan sistem kontrak pemasaran di mana harga
ditetapkan sebelum tanam; dan (4) Mampu mendorong petani
untuk menghasilkan produk berkualitas, karena hanya produk-
produk yang memenuhi standar mutu tertentu yang ditampung,
produk yang tidak memenuhi standar mutu akan dikenakan rafaksi
oleh perusahaan mitra; serta (5) Efektif diterapkan pada komoditas
atau produk yang memiliki struktur pasar yang oligopolistik-
oligopsonistik, di mana pada sebagian besar komoditas menghadapi
kondisi ini.
Beberapa kelemahan pola contract farming antara lain
adalah :
1) Kelembagaan kemitraan pola ini umumnya bersifat rigid karena
didasarkan atas ikatan-ikatan formal yang mengikat, dengan
sistem insentif dan sangsi (reward and punishment) yang jelas;
2) Biasanya perusahaan mitra memiliki jaringan pasar yang
bersifat khusus (supermarket, industri pengolahan, restoran dan
hotel, serta ekspor) dengan persyaratan standar mutu yang ketat
175
baik yang bersifat fisik, kandungan nutrisi, serta terdapat
ketentuan batas maksimal residu pestisida;
3) Tidak adanya fleksibilitas keluar masuk pasar secara bebas,
karena sudah terikat kontrak pemasaran; dan
4) Hanya dapat menampung hasil produksi sayuran yang
memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan oleh ke dua
belah pihak; serta
5) Kurang dapat diterapkan pada komoditas atau produk yang
memiliki struktur pasar mendekati persaingan sempurna.
176
BAB VIII KELAYAKAN INVESTASI AGRIBISNIS
BAWANG MERAH VLP
8.1 Konsep Kelayakan Investasi
Pengambilan keputusan menyangkut investasi secara umum
haruslah berdasarkan pengetahuan yang cukup untuk mendapatkan
gambaran kelayakan usaha, termasuk investasi pada agribisnis
bawang goreng Palu yang berbahan baku bawang merah VLP
(Allium cepa). Pertimbangan keterbatasan faktor produksi semisal
bibit untuk budidaya pada industri on-farm (petani), dan bahan
baku bawang merah untuk agroindustri penggorengan pada industri
hilir, maka diperlukan berbagai data dan informasi yang akan diuji
melalui serangkaian penelaahan yang mencerminkan suatu studi
kelayakan (feasibility study) yang menjawab profitable atau
tidaknya rencana investasi. Selain itu, konsep kelayakan investasi
esensial bagi calon pelaku usaha untuk pengajuan permohonan
kredit yang merupakan salah satu persyaratan perbankan. Beberapa
konsep dasar perhitungan kelayakan investasi dengan berbagai
kriteria perhitungannya perlu diawali dengan pemahaman tentang
konsep time value of money, arus kas dan bunga bank.
8.1.1 Konsep Time Value of Money
Nilai waktu dari uang menunjukkan perubahan nilai uang
akibat berjalannya waktu, atau nilai uang dapat berubah seiring
berubahnya waktu. Uang yang dipinjam petani kemudian
digunakan untuk membeli bibit bawang merah VLP sebanyak
177
1 Ton saat ini adalah Rp 40 juta, akan berubah nilainya setelah satu
tahun berjalan. Di sini waktu secara tidak langsung menjadi fungsi
dari uang, atau waktu merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi perubahan nilai uang. Jika petani bawang tersebut
dikenai bunga pinjaman bank sebesar 20%/tahun, maka pada akhir
tahun, petani berkewajiban mengembalikan pinjaman dan bunga
sebesar Rp 48 juta,-. Artinya bahwa petani dalam melakukan
investasi, perlu memahami konsep nilai waktu dari uang agar tidak
tertipu dengan angka yang fantastis, karena karakteristik nilai
waktu uang memungkinkan jumlah uang yang dimiliki seseorang
menjadi berlipat dikemudian hari. Ini yang dipahami sebagai
konsep nilai waktu uang (time value of money concept), dapat
diprediksi dengan mengetahui tingkat bunga yang berlaku.
Nilai atau manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari
demikian pula dengan biaya yang dikeluarkan petani bawang dan
pelaku usaha hilir tidak dapat disandarkan pada satu siklus waktu
saja, tetapi dapat terjadi pada lebih dari satu siklus waktu selama
keseluruhan siklus hidup agribisnis bawang VLP. Manfaat yang
diterima dan biaya yang dialokasikan dapat terjadi pada siklus
waktu yang sama, tetapi dapat pula terjadi pada periode yang
berbeda. Secara sederhana dicontohkan, pembangunan gudang
standar (silo) untuk penyimpanan bibit bawang dan produksi
bawang merah di Desa Bolupountu Sidera yang dapat disewakan,
pengeluaran pada siklus masa konstruksi terdiri atas biaya
perencanaan dan pelaksanaan konstruksi gudang, sementara
178
pemasukan atau manfaat akan didapatkan pada siklus pasca
konstruksi atau masa pemakaian. Pada siklus pemakaian gudang,
pemasukan diperoleh dari sewa simpan bibit ataupun produksi
bawang merah, sementara bersamaan waktunya, pengeluaran dalam
bentuk cicilan pokok ditambah bunga pinjaman untuk aktivitas
konstruksi yang merupakan komponen biaya tetap (fix cost), serta
biaya operasional dan pemeliharaan yang merupakan komponen
biaya variabel (variable cost).
Perlu dikemukakan bahwa pada setiap siklus perencanaan,
pelaksanaan dan pemanfaatan gudang bawang misalnya, perlu pula
diperhatikan perubahan nilai investasi dan pemanfaatan terhadap
perubahan waktu yang dikonversi ke dalam nilai uang, yang pada
umumnya dihitung berdasarkan siklus waktu tahunan atau bulanan.
Perubahan nilai uang dihitung berdasarkan metode perhitungan
arus kas keluar sebagai bentuk pengeluaran biaya perencanaan dan
konstruksi, cicilan investasi, operasional dan biaya pemeliharaan,
sementara arus kas masuk adalah pada nilai sewa gudang yang
dikenakan kepada petani bawang. Sesuai dengan sifat dan
karakteristik komoditas bawang yang perishable, maka nilai uang
akan diakumulasi dalam tahunan dan akan berubah setiap tahun
selama periode investasi atau umur ekonomis gudang bawang, baik
karena pengaruh suku bunga, inflasi ataupun depresiasi, dan inilah
konsep time value of money. Nilai waktu ini dikaitkan dengan
penilaian investasi yang terdiri atas future value (nilai investasi
masa mendatang) dan present value (nilai investasi sekarang).
179
8.1.2 Nilai Masa Mendatang (Future Value)
Nilai masa mendatang atau Future Value (FV) digunakan
untuk menghitung nilai investasi yang akan datang berdasarkan
tingkat suku bunga dan angsuran yang tetap selama periode tertentu
atau dengan menggunakan angka Compounding Factor (CF).
Secara sederhana, perhitungan Future Value menggunakan CF,
dimana CF adalah suatu faktor bilangan lebih besar dari satu yang
dapat digunakan untuk menghitung sesuatu nilai uang saat ini
(present value = t0), berapa nilainya dikemudian hari (future value
= tn), dengan memperhitungkan tingkat bunga (i) yang tetap pada
akhir setiap tahun. Rumus atau formula perhitungan dapat
dituliskan:
F = P x CF; dimana CF = (1+i)n, silahkan lihat
Compounding Table.
F = P x (1+i)n
Keterangan: F = Future (tn) P = Present (t0) i = interest rate atau tingkat bunga bank t = tahun Ada pertanyaan, dari manakah datangnya Rumus
Compounding Factor tersebut, maka dengan pembuktian sederhana
dapat dihitung, misalkan petani bawang merah mendepositokan
uang hasil penjualannya sebesar Rp 10.000.000,- pada Bank BRI
Cabang Biromaru dengan bunga 1,5%/bulan atau 18%/tahun dan
tersimpan selama 2 tahun, maka kalkulasi matematika adalah
sebagai berikut :
180
F = 10.000.000 x (1+18%)2
= 10.000.000 x 1,392
F = 13.920.000,-
Catatan: dalam penggunaan compounding maupun discounting factor, disarankan hanya memakai 3 angka di belakang koma.
8.1.3 Nilai Sekarang (Present Value)
Nilai sekarang atau Present Value (PV) digunakan untuk
untuk mengetahui nilai investasi sekarang dari suatu nilai dimasa
datang, yang dalam kalkulasinya sangat mudah dengan
menggunakan Table Discounting Factor (DF). Penggunaan DF
adalah sebenarnya kebalikan dari CF, bila dalam CF acuannya
adalah berapa nilai saat ini (present worth/present value) di
kemudian hari (future value) dengan memperhitungkan bunga pada
setiap tahun (bunga berbunga = compounding interest), yang secara
matematika diformulasikan sebagai berikut:
F = P x (1+i)n
P = F/(1+i)n, artinya DF = 1/(1+i)n:
Keterangan: P = Present (t0) F = Future (tn) DF = Discounf Factor, lihat tabel
t = tahun
Proses dalam menghitung Present Value of future income
dinamakan discounting, sedangkan tingkat bunga yang digunakan
disebut the discount rate atau discount factor (DF). Dapat pula
181
dideskripsikan bahwa discount factor adalah suatu bilangan yang
lebih kecil dari 1 yang dapat dipakai untuk mengalikan dengan
makna mengurangi suatu jumlah di waktu yang akan datang (the
future income), berapa nilainya saat ini, how much one at a future
date is worth to day (Gittinger, 1986). Misalkan, petani bawang
merah VLP dari Desa Maku Kecamatan Sigi Biromaru akan
memiliki dana sebesar Rp 50.000.000,- dari keuntungan penjualan
2 tahun kemudian (pada akhir t2), maka nilainya sekarang (present
value) dihitung dengan memperhitungkan tingkat bunga yang
berlaku saat ini adalah 15%/tahun. Perhitungan sederhana dengan
mengacu pada angka tabel discount factor yang telah tersedia,
sebagai berikut:
P = F/(1+i)n
= 50.000.000 x 0,756
= 37.800.000
Catatan; nilai Rp 50.000.000.- pada akhir t2 bila diperhitungkan saat ini (present value) dengan tingkat bunga atau DF 15%, nilainya adalah serata dengan Rp 37.800.000,-.
8.1.4 Arus Kas
Arus kas adalah laporan yang menyediakan informasi yang
relevan mengenai penerimaan dan pembayaran kas oleh perusahaan
dalam periode tertentu, yang memuat hal-hal sebagai berikut: 1)
Kas yang mempengaruhi operasi selama periode tertentu, 2)
Transaksi investasi, 3) Transaksi pembiayaan, dan 4) Kenaikan
182
atau penurunan bersih kas selama periode tersebut. Pelaporan ini
sangat berguna sekali untuk para investor, kreditor, dan pihak
lainnya untuk membantu mengetahui apa yang terjadi terhadap
sumber daya perusahaan yang paling likuid (kas). Pada dasarnya,
laporan arus kas dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan sederhana namun sangat penting, yaitu: dari mana kas
diperoleh dalam satu periode tersebut, berapa kas yang digunakan
selama periode tersebut, dan perubahan saldo kas selama periode
tersebut.
8.1.4.1 Pengertian Arus Kas
Arus kas dapat diartikan sebagai jenis aset yang paling
likuid dan tidak saja merupakan alat tukar, melainkan ukuran
kestabilan dan kelangsungan (going concern) bisnis termasuk
untuk agribisnis bawang merah VLP. Realitas bisnis
memperlihatkan bahwa hampir seluruh aktivitas perusahaan
dilakukan dengan kas, namun disadari bahwa ada kekurangan dan
kelebihannya. Aktivitas operasi perusahaan dapat terhenti karena
kekurangan kas untuk pembelian bahan baku. Gaji karyawan yang
tidak terbayar dapat memicu mogok kerja, utang jatuh tempo yang
tidak dapat dibayarkan menyebabkan permasalahan hukum. Di
samping kelebihannya, ada juga kelemahannya yaitu kas yang
menganggur (idle) selain menimbulkan risiko penggelapan atau
kecurangan lainnya, juga menimbulkan kerugian penurunan nilai
intrinsic, dengan demikian perusahaan-perusahaan besar biasanya
memiliki manajemen kas tersendiri. Laporan arus kas (cash flow)
183
menyajikan aliran kas masuk (cash in flow) dan aliran kas keluar
(cash out flow) yang menginformasikan pengelolaan kas
perusahaan yang menentukan keberhasilan perusahaan.
Penggunaan kas yang tepat memaksimalkan perusahaan dalam
mencapai tujuannya, dengan demikian laporan arus kas diperlukan
agar bisnis dapat berjalan dengan baik dan sekaligus sebagai alat
analisa untuk pengambilan keputusan bisnis.
Laporan arus kas wajib disediakan oleh perusahaan go
public, karena tanpa laporan arus kas sebuah laporan keuangan
belumlah memberikan informasi keuangan yang cukup bagi para
pihak yang berkepentingan. Informasi atas keuangan perusahaan
yang cukup dan memadai sangat diperlukan untuk para pemakai
seperti investor dan kreditor dalam rangka untuk mengambil
keputusan yang tepat. Laporan ini tidak hanya berguna untuk pihak
eksternal perusahaan saja, namun bagi internal perusahaan juga
akan bermanfaat sekali, seperti memprediksi aliran kas masa depan,
mengevaluasi arus kas, dan sebagainya. Laporan arus kas sebagai
salah satu laporan pokok keuangan, haruslah disusun dengan sebaik
mungkin, yang idealnya dilakukan oleh seorang akuntan yang
menguasai dan berkompeten, termasuk juga anda lulusan Prodi
Agribisnis dari Fakultas Pertanian UNTAD.
8.1.4.2 Arus Kas dan Aktivitas Perusahaan
Pada dasarnya arus kas dalam perusahaan dapat ditelusuri
dari aktivitasnya, sebab seluruh aktivitas perusahaan dimaksudkan
184
untuk menghasilkan kas, yang berkonsekuensi pengeluaran yang
tidak dapat dihindarkan. Aktivitas-aktivitas yang berlangsung
dalam perusahaan berdasarkan dampaknya terhadap kas secara
garis besar dapat diklasifikasikan atas 3 jenis aktivitas yaitu: 1)
aktivitas operasi, 2) aktivitas investasi, dan 3) aktivitas pendanaan.
Perusahaan memproduksi dan menjual barang dagangan, atau
memberikan jasa secara rutin dengan maksud menghasilkan kas
masuk bagi perusahaan. Aktivitas disebut aktivitas operasi atau
aktivitas rutin, bila perusahaan menghasilkan (generate) kas
secara rutin, maka juga memerlukan pengeluaran rutin. Perusahaan
akan melakukan efisiensi agar pengeluaran-pengeluaran dapat
dilakukan sekecil mungkin. Jika hasil penjualan lebih besar dari
pada pengeluaran-pengeluaran maka akan terjadi surplus atau
peningkatan kas dari aktivitas operasi.
Aktivitas operasi secara rutin diharapkan meningkatkan kas
guna kesinambungan operasional perusahaan, dan sekaligus
digunakan untuk ekspansi perusahaan. Perkiraan adanya
peningkatan pasar bawang goreng yang signifikan mengakibatkan
petani bawang memperluas pertanamannya, demikian pula dengan
pelaku usaha penggorengan bawang meningkatkan produksinya
dengan menambah peralatan produksi dengan kapasitas terbaik,
atau mengembangkan teknologi baru yang bersifat strategis guna
mendukung kegiatan operasional di masa mendatang. Ada kalanya
perusahaan melakukan perencanaan lainnya guna mendatangkan
sumber penerimaan kas baru di masa mendatang, aktivitas yang
185
bersifat strategis ini disebut aktivitas investasi. Bila aktivitas
operasi merupakan aktivitas yang bersifat rutin, maka aktivitas
investasi bukan merupakan aktivitas rutin yang hanya dilakukan
pada saat yang tepat, pada bidang yang tepat dengan cara yang
berbeda-beda sesuai dengan kesempatan yang ada.
Pengeluaran kas untuk kegiatan investasi dapat sangat besar
sehingga menimbulkan penurunan kas pada tahun berjalan, namun
penurunan kas yang dialami oleh perusahaan tidak berarti buruk
sepanjang dimanfaatkan dengan baik. Menilai aktivitas investasi ini
lebih tepat dengan menganalisa kelayakan investasi (bgn 8.5), yang
tentu saja aktivitas investasi memiliki risiko, oleh sebab itu
diperlukan perencanaan yang matang, termasuk perencanaan dana.
Aktivitas investasi dapat didanai oleh kas hasil aktivitas operasi,
dari kas yang telah dicadangkan untuk proyek-proyek yang telah
disepakati, atau dengan utang dan penerbitan saham. Pendanaan
aktivitas investasi memerlukan perencanaan yang baik agar tidak
mengganggu aktivitas perusahaan lainnya karena kas tergerus
untuk aktivitas investasi. Jika investasi dilakukan dengan utang,
konsekuensinya adalah perusahaan harus menanggung bunga
pinjaman. Pendanaan suatu perusahaan besar dapat berbentuk
pembayaran deviden pemegang saham, yang berdampak signifikan
terhadap arus kas perusahaan. Peningkatan arus kas masuk dapat
terjadi melalui pinjaman, sebaliknya penurunan arus kas dapat
diakibatkan oleh pembayaran utang pinjaman yang jatuh tempo.
186
8.1.4.3 Memahami Laporan Arus Kas
Peningkatan atau penurunan arus kas tidak dapat dijadikan
sebagai tolok ukur dalam menilai keberhasilan perusahaan.
Peningkatan kas tanpa pengelolaan yang baik dapat mendatangkan
kerugian, sebaliknya penurunan kas tidak dapat diartikan bahwa
perusahaan memiliki kinerja buruk, sepanjang didasarkan
perencanaan yang mendatangkan keuntungan perusahaan di masa
mendatang. Masyarakat awam barangkali beranggapan bahwa
peningkatan kas adalah laba dan sebaliknya penurunan kas adalah
kerugian. Anggapan tersebut dapat diluruskan dengan memahami
laporan arus kas lebih cermat. Peningkatan dan penurunan arus kas
harus dianalisis lebih lanjut guna mendapatkan informasi yang
lebih baik mengenai perusahaan, yang dapat ditelusuri dari
aktivitas internal perusahaan. Peningkatan kas yang berasal dari
pinjaman misalnya, bukanlah berarti peningkatan kinerja
perusahaan, sebaliknya peningkatan arus kas dari pinjaman yang
berlebihan dapat menimbulkan risiko bagi perusahaan. Perusahaan
harus bersikap lebih hati-hati dalam memanfaatkan peningkatan
kas ini, sebaliknya penurunan kas pun perlu dianalisis secara lebih
cermat. Penurunan kas akibat investasi misalnya, sepanjang
dilakukan dengan tepat mengindikasikan perkembangan
perusahaan. Perusahaan perlu mengkaji kelayakan investasi agar
dapat memberikan keuntungan di masa mendatang. Pelaku usaha
wajib memahami laporan arus kas guna mampu mempertahankan
kelangsungan bisnisnya. Regulasi akuntansi yang berlaku di
187
Indonesia yang disebut Standar Akuntansi Keuangan mensyaratkan
perusahaan untuk menyajikan laporan arus kas dengan
mengungkapkan aliran kas masuk dan aliran kas keluar
berdasarkan aktivitas-aktivitas perusahaan. Laporan arus kas
menuntun pengguna menelusuri arus kas berdasarkan aktivitas-
aktivitas perusahaan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi
mengenai kondisi kas perusahaan, berlaku baik bagi pelaku usaha
budidaya bawang merah VLP maupun agroindustrinya.
8.1.5 Bunga Bank
Bunga (interest rate) adalah sejumlah nilai yang dibayarkan
akibat transaksi peminjaman yang diperhitungkan berdasarkan
persentase untuk suatu periode tertentu dari jumlah pinjaman.
Secara sederhana dicontohkan, petani bawang merah VLP di Desa
Guntarano Kabupaten Donggala akan membeli pestisida untuk
antisipasi serangan ulat daun dengan meminjam uang dari BRI
sebesar Rp 1.000.000,- dengan bunga 17,5%/tahun, dengan
demikian besar bunga yang didapat oleh BRI di akhir tahun adalah
Rp 175.000,-. Sejalan dengan pengenaan bunga oleh perbankan,
seorang petani di Desa Sidera Kabupaten Sigi juga bermaksud
membeli pupuk seharga Rp 1.000.000,- dan memperoleh pinjaman
dari tengkulak desa dengan kesepakatan pengembalian setelah
panen dengan bunga 10% selama 2 bulan. Pada posisi ini, besar
bunga selama 2 bulan adalah Rp 100.000,- dengan demikian jika
diperhitungkan untuk waktu setahun, maka besar bunga yang
didapatkan oleh rentenir menjadi Rp 600.000,-. Lain halnya dengan
188
petani bawang dari Desa Bolupountu, mereka seringkali meminjam
uang pada kios pak Beddu dengan kesepakatan bahwa semua hasil
panen bawang merah dijual kepadanya dengan harga yang berlaku
di tingkat petani. Pendekatan ini tidak bisa secara langsung
memperlihatkan angka atau tingkat bunga yang berlaku, namun
demikian jasa uang yang dipinjamkan setara dengan jaminan
mendapatkan pasokan bawang merah untuk mendukung posisinya
sebagai pedagang pengumpul. Secara universal, jenis bunga dapat
dikelompokkan menjadi bunga sederhana (simple interest) dan
bunga majemuk (compound interest).
8.1.5.1 Bunga Sederhana
Pengenaan besaran bunga sederhana adalah dengan
menggunakan perkalian dari pokok nilai pinjaman dengan tingkat
suku bunga selama periode pinjaman, dengan formula sebagai
berikut:
I = P x i x n
Keterangan: I = Bunga sederhana P = Pokok nilai uang pinjaman i = Tingkat suku bunga n = Jumlah periode pinjaman
Contoh, petani bawang pak Nuruddin meminjam Rp 1.000.000,-
dengan tingkat bunga 10%/tahun dan periode pinjaman 5 tahun.
Nilai bunga dari pinjaman adalah sebesar Rp 500.000,- dengan
demikian total pengembalian pinjaman setelah 3 tahun adalah Rp
1.500.000,-
189
I = 1.000.000 x 10% x 5 = Rp 500.000,-
Perlu diperhatikan bahwa bunga sederhana tersebut jarang
digunakan dalam perhitungan investasi, juga tidak dipakai dalam
praktek simpan pinjam di lembaga kredit mikro dan jasa
perbankan. Berbeda halnya dengan usahatani tanaman semusim
yang umur ekonomis dalam keseluruhan siklus sekitar semusim
atau setahun atau pada usaha dengan perhitungan jangka pendek,
maka perhitungan sederhana ini sesuai digunakan, sifat
investasinya selesai dalam setahun.
8.1.5.2 Bunga Majemuk
Pengenaan besaran bunga majemuk dapat dihitung melalui
2 pendekatan yaitu:
1). Penggandaan terputus (discrete compounding)
Penggandaan terputus adalah perhitungan bunga dalam suatu
periode waktu tertentu seperti bunga tahunan, bulanan atau
perhitungan unit waktu lainnya seperti kwartalan, triwulan
ataupun semester.
2). Penggandaan terus menerus (continous compounding)
Penggandaan terus menerus adalah perhitungan bunga
majemuk yang tidak menggunakan perhitungan bunga per unit
waktu atau suatu interval waktu tertentu, melainkan
perhitungan secara terus menerus. Cara ini relatif jarang
digunakan dalam analisis investasi agribisnis, dan perhitungan
dengan metode ini tidak dibahas dalam buku ini.
190
Informasi bahwa istilah bunga majemuk yang dimaksud
dalam uraian buku ini seterusnya adalah bunga majemuk terputus.
Contoh perhitungan bunga majemuk terputus dapat dilihat pada
Tabel 18, unit waktu atau satu periode waktu yang digunakan
berdasarkan perhitungan bunga/tahun. Tabel tersebut
memperlihatkan bahwa nilai bunga untuk setiap periode tidak sama
dengan kata lain kenaikan nilai bunga tidak garis lurus atau linier
(lihat kolom 5), karena bunga tahun berikutnya diperoleh dengan
menambahkan nilai bunga periode sebelumnya ke dalam harga
pokok periode berikutnya (lihat kolom 3).
Tabel 18. Perhitungan bunga majemuk
Tahun Pokok (P) Bunga (10%) P + i Akumulasi
bunga 1 2 3 4 5 1. 1.000.000 100.000 1.100.000 100.000 2. 1.100.000 105.000 1.205.000 205.000 3. 1.205.000 120.500 1.325.500 325.500 4. 1.325.500 132.550 1.458.050 458.050 5. 1.458.050 145.805 1.603.855 603.855
Sumber: prediksi manual penulis, 2015
Tabel 18 menjelaskan bahwa perhitungan dengan
memperlihatkan nilai pokok dan bunga yang lebih besar Rp
603.855 dari pada perhitungan bunga sederhana pada contoh rumus
bunga sederhana. Sedikit agak berbeda perbandingan bunga
majemuk yang digandakan per bulan dan per tahun, sementara
penggandaan dengan bunga sederhana akan menghasilkan nilai
masa yang akan datang yang jauh lebih kecil.
191
Gambaran perbandingan bunga sederhana dan bunga
majemuk adalah hasil simulasi dengan P merupakan nilai awal
sebesar Rp 1 juta dan F adalah nilai masa yang akan datang pada
tahun n dengan bunga 10%/tahun. Cara perhitungan bunga
majemuk tersebut menjadi dasar perhitungan dalam analisis
investasi secara umum, yang juga diaplikasikan pada perhitungan
investasi agribisnis bawang merah VLP. Selanjutnya pada
perhitungan bunga majemuk akan menghasilkan nilai yang lebih
besar dibandingkan dengan perhitungan bunga sederhana karena
unit waktu (setiap tahun) yang digunakan pada perhitungan bunga
majemuk lebih kecil dari pada unit waktu bunga sederhana (5
tahun) dalam perhitungan bunga secara keseluruhan selama 5
tahun.
8.1.6 Kriteria Kelayakan Investasi
Kriteria investasi adalah suatu indeks untuk mengukur
dan membandingkan tingkat keuntungan dari berbagi usaha, dalam
hal ini dapat digunakan menilai apakah suatu usaha bisnis cukup
menguntungkan (Go) atau tidak (No Go). Sebagaimana telah
diuraikan pada Bab I bahwa “Agribisnis Bawang Merah VLP”
adalah rangkaian kegiatan investasi baik pada sub-sistem budidaya
(agronomi) maupun pada sub-sistem agroindustri, yang hasilnya
dikenal dengan nama bawang goreng Palu. Investasi pada sub-
sistem budidaya terkait dengan sumberdaya alam (tanah, air, iklim)
maupun sumberdaya buatan (pupuk, pestisida, mesin) yang
digerakkan oleh sumberdaya manusia petani dengan skill akan
192
memberikan kemanfaatan (benefit or profit) dalam periode waktu
tertentu. Investasi pada sub-sistem agroindustri terkait dengan
tersedianya bahan baku bawang merah VLP dengan dukungan
seperangkat alat produksi yang menjadi investasi pihak industri
rumah tangga ataupun industri kecil (UMKM) sebagaimana
dijelaskan pada Bab V. Investasi adalah ragam pengeluaran yang
dilakukan oleh investor, dalam hal ini petani bawang merah VLP
dan pelaku usaha penggorengan bawang mulai dari penyiapan
infrastruktur dasar sebagai initial investment dan pembelian bahan
baku/bahan pendukungan yang merupakan komponen modal kerja.
Pertanyaan sederhana, ukuran apakah yang dapat dipakai sebagai
dasar pengambilan keputusan untuk melakukan investasi, yang
secara sederhana pula dijawab bahwa terdapat 2 ukuran untuk
perhitungan kelayakan investasi yaitu un-discounted dan
discounted criterion.
8.1.6.1 Un-discounted Criterion
Kriteria kelayakan investasi pada jenis kegiatan yang umur
ekonomisnya relative singkat maka perhitungan kelayakan
investasi sering pula disebut perhitungan kelayakan usaha tanpa
memperhitungkan apa yang akan diperoleh dimasa yang akan
datang dinamakan un-discounted criterion. Proses produksi pada
budidaya bawang merah VLP dapat terselesaikan dalam waktu 3
bulan, demikian pula proses hilirisasi pada agroindusri atau pelaku
IKM bawang goreng lebih pendek, dengan demikian jenis aktivitas
ini dapat dihitung dengan alat analisis un-discounted criterion,
193
suatu alat analisis yang tidak memperhitungkan interst rate of
money karena umur ekonomis (economic life) yang relatif pendek
bahkan kurang dari setahun. Adapun beberapa perhitungan yang
sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk
melakukan suatu investasi dengan umur ekonomis yang relatif
singkat (Djamin, 1993) sebagai berikut:
1. Marginal Efficiency of Capital (MEC)
Keputusan apakah suatu investasi akan dilakukan atau
diurungkan/dibatalkan ditentukan oleh 2 hal yaitu keuntungan
yang diharapkan dan ongkos penggunaan dana yang umum
dikenal dengan tingkat bunga (interst rate) yang berlaku.
Berdasarkan MEC maka dapat dikatakan bahwa:
a). Bila MEC > interst rate, investasi dilakukan
b). Bila MEC < interest rate, investasi ditolak
c). Bila MEC = interest rate, investasi bisa dilakukan atau tidak
dilakukan, keputusan tergantung pada pemilik modal karena
posisi ini dinamakan “break even point” atau (BEP).
2. Keuntungan Absolut (Total Profit)
Perhitungan ini sangat umum digunakan dengan pengertian
keuntungan absolut adalah keuntungan total dengan formula
sederhana:
π = TR-TC
dimana: π = π adalah simbol total profit
TR = Total Revenue adalah total penerimaan
TC = Total Cost adalah biaya total.
194
Hasil perhitungan yang bernilai positif berarti berada di atas
titik BEP (Break Even Point), namun kurang kuat dijadikan
dasar memutuskan berinvestasi karena terkait dengan inflasi
yang terjadi. Formula Profit rate dapat digunakan untuk melihat
apakah total profit berada di atas tingkat inflasi (inflation rate)
dengan rasio total profit dengan total cost dikali 100%.
3. Ranking by Inspection
Penentuan investasi suatu usaha hanya dilihat dari biaya yang
dikeluarkan termasuk biaya operasional dan pemeliharaan
dengan aliran kas masuk yang lebih dahulu menghasilkan net
benefit yang terbesar di antara sejumlah rencana usaha yang
dihitung. Artinya, memperhitungkan ranking dari sekian
alternatif investasi, alternatif investasi mana yang lebih baik
atau lebih menguntungkan hanya dilihat dari besarnya investasi,
biaya dan manfaat yang dihasilkan.
4. Payback Period
Payback period merupakan penilaian investasi suatu proyek
yang didasarkan pada pelunasan biaya investasi oleh net benefit
berdasarkan jangka waktu tercapaianya net benefit menyamai
biaya investasi. Dapat dianalogkan bahwa petani bawang merah
VLP dan pelaku usaha pengorengan bawang ingin mengetahui
berapa lama investasi yang telah ditanamkannya dengan
sejumlah uang tertentu dapat tertutupi dari penjualan yang
diperolehnya.
195
Dari ke-4 cara kriteria investasi dengan cara pengukuran
tanpa melakukan discounting (undiscounted measures) ini tidak
bisa menentukan proyek/usaha bisnis mana yang terbaik, karena
setiap kriteria memberi hasil yang berbeda. Kekurangan
perhitungan tersebut, maka diperkenalkan analisis kriteria investasi
dengan memperhitungkan “timing” (pengaruh waktu pada arus
biaya dan manfaat proyek/usaha bisnis) dengan teknik perhitungan
discounting atau discounted criterion.
8.1.6.2 Discounted Criterion
Teknik perhitungan discounting memungkinkan untuk
melakukan penilaian usaha atau bisnis yang masa investasinya
lebih lama sehingga pola biaya dan manfaatnya selama umur teknis
dan ekonomis yang diperhitungkan juga berbeda. Economic life
atau umur ekonomis suatu usaha yang relatif lama atau di atas 3
tahun, maka prediksi perjalanan proyek sukar diketahui mengingat
keterbatasan faktor produksi maupun situasi ekonomi pada masa
mendatang, maka semua aliran cost dan benefit selama umur
ekonomis akan diukur dengan nilai Present Value. Cara
pengukuran ini dilakukan dengan mendiskonto (men-discount)
dengan menggunakan Discounting Factor (DF) yang didasarkan
pada Discounted Criterion. Pengujian yang didasarkan atas
Discounted Criterion ini adalah untuk mengetahui besarnya
manfaat (benefit) serta biaya-biaya (cost) selama umur ekonomis
proyek (in the future) nilainya saat ini (at present) yang diukur
dengan nilai uang sekarang (present value). Artinya bahwa aliran
196
cost dan benefit yang telah di-discount akan menghasilkan present
value dari cost dan benefit, dan DF yang digunakan tergantung dari
tingkat bunga yang dipakai sebagai discount-rate. Perhitungan
melalui discounted criterion ini memungkinkan melakukan analisis
kelayakan investasi agribisnis bawang merah VLP menjadi bawang
goreng Palu pada skala usaha yang ekonomis untuk menghasilkan
produk yang diperdagangkan secara nasional pada berbagai pasar
modern, yang sekaligus sebagai produk unggulan daerah dari
Provinsi Sulawesi Tengah, dengan kriteria investasi di antaranya
adalah:
1. Net Present Value (NPV)
2. Internal Rate of Return
3 Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
4 Discounted Payback Period
5 Profitablity Index
6 Dilengkapi dengan Sensitivity Analysis.
1. Net Present Value (NPV) atau Nilai Bersih Sekarang
Nilai bersih sekarang atau Net Present Value (NPV) adalah
analisis manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur
layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari nilai
sekarang (present value) arus kas bersih yang akan diterima
dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah investasi yang
dikeluarkan. Arus kas bersih adalah laba bersih usaha ditambah
penyusutan, sedang jumlah investasi adalah jumlah total dana
197
yang dikeluarkan untuk membiayai pengadaan seluruh alat-alat
produksi yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu usaha.
Jadi, untuk menghitung NPV dari suatu usaha diperlukan data
tentang: (1) jumlah investasi yang dikeluarkan, dan (2) arus kas
bersih per tahun sesuai dengan umur ekonomis dari alat-alat
produksi yang digunakan untuk menjalankan usaha yang
bersangkutan. Berdasarkan kedua data tersebut, NVP dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
��� = �(�� − ��)(��)
���
���
Keterangan: NPV = 0 adalah layak perencanaan
NPV < 0, usaha tidak layak untuk dilaksanakan
Shook (2002) berpendapat bahwa Net Present Value adalah
“metode evaluasi investasi yang menghitung nilai bersih saat
ini dari uang masuk dan keluar dengan tingkat diskonto atau
tingkat imbal hasil yang disyaratkan, investasi yang baik
mempunyai nilai bersih saat ini yang positif”. Sejalan dengan
Bambang Riayanto (1992) mengatakan bahwa : “Net Present
Value adalah selisih antara present value dari keseluruhan
proceeds yang didiskontokan atas dasar biaya modal tertentu
dengan present value pengeluaran modal”. Dari kedua
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Net Present Value
adalah sebuah metode evaluasi investasi dengan mengukur
selisih antara present value dari proceeds dan nilai investasi
awal. Kriteria kelayakan dari proyek ini adalah: Proyek layak
198
jika NPV bertanda positif dan sebaliknya tidak layak jika NPV
bertanda negatif. Proyek sebaiknya diterima NPV > 0. Jika dua
proyek dengan NPV positif adalah mutually exclusive, maka
salah satu dengan nilai NPV terbesar harus dipilih.
2. Internal Rate of Retun (IRR)
Ukuran kedua yang sering digunakan dalam analisis manfaat
finansial adalah internal rate of return (IRR) atau tingkat
pengembalian dari investasi. Analisis Internal Rete of Return
biasa juga disebut Rate of Return dilakukan dengan cara trial
and error atau dengan cara mencoba. Analisis ini disebut juga
discounted cash flow karena tingkat pengembalian (IRR)
berhubungan dengan nilai NPV. Metode ini untuk membuat
peringkat usulan investasi dengan menggunakan tingkat
pengembalian atas investasi yang dihitung dengan mencari
tingkat diskonto yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas
masuk proyek yang diharapkan terhadap nilai sekarang biaya
proyek atau sama dengan tingkat diskonto, dimana IRR
dihitung berdasarkan angka capaian NPV yang sama dengan
nol.
��� = �� +����
���� − ����(�� − ��)
Penerimaan atau penolakan usulan investasi ini adalah dengan
membandingkan IRR dengan tingkat bunga yang disyaratkan
(required rate of return). Kelemahan secara mendasar menurut
teori memang hampir tidak ada, namun dalam praktek
199
penghitungan untuk menentukan IRR tersebut masih
memerlukan penghitungan NPV. Teknik perhitungan dengan
IRR banyak digunakan dalam suatu analisis investasi, namun
sekali lagi diakui relatif sulit untuk ditentukan karena untuk
mendapatkan nilai yang akan dihitung diperlukan suatu 'trial
and error' hingga pada akhirnya diperoleh tingkat bunga yang
akan menyebabkan NPV sama dengan nol. IRR dapat
didefinisikan sebagai tingkat bunga yang akan menyamakan
present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari
proyek yang sedang dinilai atau IRR adalah tingkat bunga yang
akan menyebabkan NPV sama dengan nol, karena present
value cash inflow pada tingkat bunga tersebut akan sama
dengan initial investment.
Perhitungan IRR untuk pola cash flow yang bersifat seragam
(anuitas), relatif berbeda dengan yang berpola tidak seragam.
Menurut Arifin dan Fauzi (1999) bahwa langkah-langkah
menghitung IRR untuk pola anuitas cash flow diawali dengan
menghitung besarnya payback period untuk proyek yang
sedang dievaluasi dengan menggunakan tabel discount factor,
kemudian dilakukan teknik interpolasi. Bagi usaha atau proyek
yang memiliki pola cash inflow yang tidak seragam, dapat
diselesaikan dengan langkah-langkah berikut: a) Hitung rata-
rata cash inflow per tahun b) Bagi initial investment dengan
rata-rata cash inflow untuk mengetahui "estimasi" payback
period dari proyek yang sedang dievaluasi. c) Gunakan tabel
200
discount factor untuk menghitung besarnya IRR, seperti
langkah ke-2 dalam menghitung IRR untuk pola cash flow yang
berbentuk seragam (anuitas). Hasil yang diperoleh akan
merupakan "perkiraan IRR'. d) Selanjutnya sesuaikan IRR yang
diperoleh pada langkah ke-3 di atas, yaitu diperbesar atau
diperkecil, ke dalam pola cash flow yang sesungguhnya.
Apabila cash inflow yang sesungguhnya dalam tahun-tahun
pertama temyata lebih besar dari rata-rata yang diperoleh dalam
langkah ke 1 di atas, maka perbesarlah tingkat discount yang
digunakan, dan apabila sebaliknya maka perkecillah discount
tersebut. e) Dari hasil discount rate yang diperoleh pada
langkah ke-4, kemudian hitunglah NPV dari proyek tersebut. f)
Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari nol, maka
naikkanlah discount rate yang digunakan, dan apabila
sebaliknya maka turunkanlah discount rate tersebut. g)
Hitunglah kembali NPV dengan menggunakan discount rate
yang baru, sampai akhirnya diperoleh discount rate yang secara
berurutan menghasilkan NPV yang positif dan negatif. Dengan
jalan interpolasi akan ditemukan nilai IRR yang sesungguhnya.
Setelah IRR diketahui langkah selanjutnya adalah
membandingkan IRR dengan cost of capital. Apabila IRR lebih
besar dari pada cost of capital maka rencana investasi dapat
diterima karena menguntungkan dan sebaliknya apabila IRR <
dari pada cost of capital maka rencana investasi ditolak karena
merugikan.
201
3. Benefit-Cost Ratio
Merupakan manfaat bersih tambahan yang diterima usaha dari
setiap 1 (satu) satuan biaya yang dikeluarkan. Net B/C
merupakan perbandingan antara present value positif
(pembilang) dengan jumlah present value negatif (penyebut).
�/� = ���
���
Dimana:
- (Bt-Ct)/(1+i)t, untuk (Bt-Ct) > 0,
- (Ct-Bt)/(1+i)t, untuk (Bt-Ct) < 0
Indikator Net B/C adalah:
Jika Net B/C > 1, maka proyek/usaha bisnis layak (go)
untuk dilaksanakan.
Jika Net B/C < 1 , maka proyek/usaha bisnis tidak layak
(no go) dilaksanakan.
4. Payback Period
Periode “Payback” menunjukkan berapa lama (dalam beberapa
tahun) suatu investasi akan bisa kembali yang menunjukkan
perbandingan antara “initial invesment” dengan “aliran kas
tahunan”. Payback Period merupakan salah satu metode
perhitungan Capital Budgeting yang relatif sederhana. Menurut
Arifin dan Fauzi (1999) bahwa metode ini merupakan
penentuan jangka waktu yang dibutuhkan untuk menutup initial
investment dari suatu proyek dengan menggunakan cash inflow
yang dihasilkan oleh proyek tersebut. Hal yang sama dijelaskan
oleh Husnan dan Suwarsono (1994) bahwa Payback Period
202
adalah metode yang mengukur seberapa cepat investasi bisa
kembali dalam satuan Tahun. Dari kedua pengertian di atas,
maka dapatlah disimpulkan bahwa payback period adalah
waktu yang diperlukan (dalam Satuan Tahun) untuk
mengembalikan investasi yang telah ditanamkan oleh penanam
modal berdasarkan cash-inflow yang dihasilkan oleh suatu
proyek. Cara pengambilan keputusan dengan metode ini adalah
membandingkan payback period investasi yang diusulkan
dengan umur ekonomis aktiva, apabila payback period lebih
pendek dari pada umur ekonomis aktiva maka rencana investasi
dapat diterima, sedangkan apabila payback period lebih
panjang dari pada umur ekonomis aktiva maka rencana
investasi ditolak, dengan rumus umum sebagai berikut:
������������� = ���������
���������
Apabila periode “payback” kurang dari suatu periode yang
telah ditentukan, proyek tersebut diterima, apabila tidak, proyek
tersebut ditolak. Kelemahan utama dari metode “payback” ini
adalah tidak memperhatikan aliran kas masuk setelah periode
payback, sedangkan dengan NPV masih diperhatikannya aliran
kas masuk sampai selesainya waktu periode proyek. Metode
payback ini banyak digunakan untuk melengkapi metode lain.
203
5. PI Indeks
Profitability Index (PI) atau benefit cost ratio adalah
perbandingan antara nilai sekarang dari aliran kas masuk di
masa yang akan datang dengan nilai investasi dengan formula
sebagai berikut:
�� =���������������ℎ
�����������
Selama PI tersebut sama dengan atau lebih besar dari satu,
maka kita akan menerima usulan investasi tersebut. Secara
umum kalau metode NPV dan PI dipakai untuk menilai suatu
usulan investasi, maka hasilnya akan selalu konsisten dengan
kata lain, kalau NPV mengatakan diterima, maka PI juga
mengatakan diterima dan vice-versa, sehingga untuk
menghitung PI harus terlebih dahulu menghitung NPV. Shook
(2002) mengatakan bahwa “Profitability index adalah prediksi
arus kas masa depan perusahaan dibagi investasi awalnya”.
Sejalan dengan Husnan dan Suwarsono (1994) bahwa
profitability index menghitung perbandingan antara nilai
sekarang penerimaan kas bersih dimasa datang dengan nilai
sekarang investasi". Berdasarkan kedua pengertian profitability
index tersebut dapat disimpulkan PI adalah metode prediksi
kelayakan suatu proyek dengan membandingkan nilai
penerimaan-penerimaan bersih dengan nilai investasi.
204
6. Sensitivity Analysis
Analisis Sensitivitas merupakan suatu pengujian dari suatu
keputusan (misalnya keputusan investasi) untuk mencari
seberapa besar ketidaktepatan penggunaan suatu asumsi
yang dapat ditoleransi tanpa mengakibatkan tidak berlakunya
keputusan tersebut. Manajer harus menentukan kepekaan
keputusannya terhadap asumsi yang mendasari. Semua
keputusan didasarkan atas berbagai asumsi, seperti:
keakuratan data, discount rate yang digunakan, dan lain-lain.
Jadi, apabila digunakan asumsi yang berbeda, apakah terjadi
perubahan terhadap keputusan yang telah ditetapkan. Analisis
Sensitivitas tujuannya adalah untuk melihat apa yang akan
terjadi dengan hasil analisis proyek/usaha bisnis, jika ada
sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar perhitungan
biaya atau benefit. Dengan demikian tujuan utama daripada
analisis sensitivitas:
- Untuk memperbaiki cara pelaksanaan proyek/usaha
bisnis yang sedang dilaksanakan.
- Untuk memperbaiki design daripada proyek/usaha bisnis ,
sehingga dapat meningkatkan NPV.
- Untuk mengurangi risiko kerugian dengan menunjukkan
beberapa tindakan pencegahan yang harus diambil.
Dalam analisis sensitivitas setiap kemungkinan itu harus
dicoba, yang berarti bahwa tiap kali harus diadakan analisis
kembali. Ini perlu sekali, karena analisis proyek/usaha bisnis
205
didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak
ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di waktu yang
akan datang. Ada 3 hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
- Terdapatnya “cost overrun“, misalnya kenaikan dalam
biaya konstruksi.
- Perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat
harga umum, misalnya penurunan harga hasil produksi.
- Mundurnya waktu/jadwal implementasi.
Proyek pertanian sangat sensitif dilihat dari 4 (empat) hal, yaitu
harga yang fluktuatif, keterlambatan pelaksanaan, pemesanan
dan penerimaan teknologi, kenaikan harga input, dan perkiraan
hasil. Perubahan tersebut akan mempengaruhi komponen
Cashflow (inflow ataupun outflow) yang pada akhirnya akan
mempengaruhi Net benefit dan mengubah kriteria investasi.
Cara melakukan Analisis Sensitivitas adalah dengan memilih
sejumlah nilai yang dengan nilai tersebut dilakukan perubahan
terhadap masalah yang dianggap penting pada analisis dan
kemudian menentukan pengaruh perubahan tersebut terhadap
daya tarik bisnis bawang merah. Sejumlah nilai tersebut
didasarkan atas data-data yang tersedia, misalnya perubahan
kenaikan biaya bahan baku sebesar 10%, atau terjadinya
penurunan produksi sebesar 30% karena hama dan penyakit.
8.2 Analisis Investasi Agribisnis Bawang Merah VLP
Investasi pada bidang agribisnis bawang merah VLP secara
kasat mata sangat memungkinkan dilakukan jika lahan potensial
206
yang secara agroekosistem sesuai didukung oleh infrastuktur
pengairan. Uniqueness dari komoditas yang tergolong Spesifik
Lokasi Lembah Palu ini menjadi peluang berharga bagi daerah
untuk menyahuti perdagangan global yang mempersyaratkan
produk berdaya saing, dalam arti kemampuan menyediakan
bawang goreng Palu pada jumlah, kualitas dan kontinuitas yang
terjamin. Pada posisi ini, bawang goreng Palu diterjemahkan dalam
suatu skim agribisnis yang terintegrasi yang secara ekonomis
memenuhi persyaratan economic scale, karena ketersediaan dalam
jumlah dan keberlanjutan yang sesuai menjadi kendala utama para
pengrajin bawang goreng. Berdasarkan hal tersebut, uraian
selanjutnya adalah kajian kelayakan investasi yang memperlihatkan
profil bisnis budidaya yang dilakukan oleh petani profesional,
demikian pula usaha penggorengan oleh UMKM di Kota Palu.
8.2.1. Analisis Investasi Budidaya Bawang Merah VLP
Deskripsi teknis budidaya bawang merah dengan pemilihan
teknologi yang mendukung kualitas dan kapasitas produksi yang
direncanakan menjadi prasyarat perhitungan analisis investasi.
Pada posisi ini, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako telah
melakukan kajian aspek teknis budidaya yang bertujuan untuk
mendukung kajian aspek kelayakan financial terkait dengan
perkiraan pendanaan dan aliran kas pada usaha budidaya bawang
merah VLP di Lembah Palu. Analisis ini mencakup jumlah
kebutuhan dana yang tergolong besar (Rp 5 M) dan sumbernya,
kajian biaya modal dan manfaat yang diharapkan petani dengan
207
membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan melalui
aplikasi metode kriteria investasi (NPV, IRR, B/C, dan PI) yang
diperkuat dengan analisis sensitivitas.
Contoh Kasus 1:
Tahun 2016, PT. Agribusiness of Central Sulawesi berencana
berinvestasi pada budidaya bawang merah VLP di Dusun Doda-
doda dengan modal sendiri sebesar Rp 5.000.000.000. Initial
investment sebesar Rp 4.000.000.000 dan modal kerja Rp
1.000.000.000. Umur ekonomis diperhitungkan 5 tahun dan
disusutkan tanpa nilai sisa. Pengembalian tingkat bunga yang
diinginkan sebesar 20%. Perkiraan laba setelah pajak selama 5
tahun masing-masing sebesar: Rp 950 juta, Rp 1.100 juta, Rp
1.250 juta, Rp 1.400 juta dan Rp 1.650 juta. Berapa kas bersih yang
diterima diakhir tahun, apakah layak budidaya bawang merah VLP
dijadikan pilihan investasi bagi calon investor dari PT Agriculture
of Central Sulawesi atau tidak?
Jawaban:
1). Net Present Value (NPV)
Tabel 19. Cash flow (Rp.000) investasi PT Agriculture
208
NPV = Total PV Kas bersih – PV Investasi
= Rp 6.008.900.000 – Rp 5.000.000.000
= Rp 1.009.170.000,-
2). Internal Rate of Return (IRR)
Tabel 20. Cash flow (Rp.000) investasi PT Agriculture-Smansa77
- Kutub nilai NPV Positif adalah
NPV = Rp. 5.037.150 - Rp. 5.000.000
NPV = Rp. 37.150
- Kutub nilai NPV Negatif adalah
NPV = Rp. 4.933.650 – Rp. 5.000.000
NPV = Rp. - 66.350
- IRR = 28 + ��.��.���
��.��.����(��.���.���)x (29-28)
= 28.40%
3). Benefit-Cost Ratio
B/C = ���.���.���
���.���.���
B/C = 1.22
209
4). Payback Period
- Jika tiap tahun sama = (investasi / kas bersih per tahun) x 1
tahun
- Jika tiap tahun beda = Investasi = Rp. 5.000.000.000
Proceed tahun 1 = Rp. 1.750.000.000 –
= Rp. 3.250.000.000
Proceed tahun 2 = Rp. 1.900.000.000 –
= Rp. 1.350.000.000
- PP = (1.350.000.000 / 2.050.000.000) x 12 bulan = 7,9
bulan atau 8 bulan, dengan demikian Payback Period
selama 2 tahun 8 bulan.
Berdasarkan perhitungan diperoleh PP < umur investasi
(5 tahun), maka usaha agribisnis tersebut layak untuk
dijalankan dari sisi umur investasi.
5). Profitability Index (PI)
PI = Total PV Kas Bersih/PV Investasi
= ��.�.���.���.���
��.�.���.���.���
= 1.20
Jika PI > 1, maka usaha agribisnis diterima
Jika PI < 1, maka usaha agribisnis ditolak
Berdasarkan nilai PI yang > 1, maka usaha budidaya bawang merah
diterima.
210
8.2.2. Analisis Investasi Agroindustri Bawang Goreng Palu
Menyahuti permintaan konsumen potensial dalam negeri
dengan kesiapan pasar modern Hypermart di seluruh tanah air
demikian pula dengan peluang perdagangan global AEC yang telah
berjalan sejak awal Januari 2016, maka Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako bermitra dengan Smansa77 untuk
membangun bisnis bawang yang akan dikelola secara profesional.
Adapun gambaran investasi diilustrasikan pada contoh berikut.
Contoh Kasus 2.
Tahun 2016, PT. Agribusiness-Smansa77 berencana merealisasikan
bisnis bawang goreng Palu ke pasar modern Hypermart di seantero
tanah air Indonesia dengan modal sendiri sebesar Rp 5 M. Inisial
investment sebesar Rp 2 M dan modal kerja Rp 3 M. Umur
ekonomis diperhitungkan 5 tahun dan disusutkan tanpa nilai sisa.
Pengembalian tingkat bunga yang diinginkan sesesar 20%.
Perkiraan laba setelah pajak selama 5 tahun masing-masing
sebesar: Rp 1.150 juta, Rp 1.650 juta, Rp 2.250 juta, Rp 2.350 juta
dan Rp 2.450 juta. Berapa kas bersih yang diterima diakhir tahun,
apakah layak indusrti bawang goreng Palu dijadikan pilihan
investasi bagi calon investor dari PT Agriculture-Smansa77 atau
tidak?
211
Jawaban:
1). Net Present Value (NPV)
Tabel 21. Cash flow (Rp.000) investasi PT Agriculture-Smansa77
Tahun EAT Penyusutan Proceed DF 20%
PV Kas Bersih
2016 1.150.000 400.000 1.550.000 0.833 1.291.150 2017 1.650.000 400.000 2.050.000 0.694 1.422.100 2018 2.250.000 400.000 2.650.000 0.579 1.534.350 2019 2.350.000 400.000 2.750.000 0.482 1.325.500 2020 2.450.000 400.000 2.850.000 0.402 1.145.700
Jumlah Present Value Kas Bersih 6.718.800
Sumber: Prediksi Tim Penulis, 2016. NPV = Total PV Kas bersih – PV Investasi
= Rp 6.718.800.000 – Rp 5.000.000.000
= Rp 1.718.800.000,-
2). Internal Rate of Return (IRR)
Tabel 22. Cash flow (Rp.000) investasi PT Agriculture-Smansa77
Tahun Proceed DF 29% PV DF 35%
PV
2016 1.550.000 0.775 1.201.250 0.741 1.148.550 2017 2.050.000 0.601 1.232.050 0.549 1.125.450 2018 2.650.000 0.466 1.234.900 0.406 1.075.900 2019 2.750.000 0.361 992.750 0.301 827.750 2020 2.850.000 0.280 798.000 0.223 635.550
Present Value Kas Bersih 5.458.950 4.813.200 Sumber: Prediksi Tim Penulis, 2016.
212
- Kutub nilai NPV Positif adalah
NPV = Rp. 5.458.950 - Rp. 5.000.000
NPV = Rp. 458.950
- Kutub nilai NPV Negatif adalah
NPV = Rp. 4.813.200 - Rp. 5.000.000
NPV = Rp. - 186.050
- IRR= 29 + ��.���.���
��.���.����(��.����.���) x (35-29)
= 33.26%
3). Benefit-Cost Rasio
B/C = ���.���.���
���.���.���
B/C = 1.39
4). Payback Period
- Jika tiap tahun sama = (investasi / kas bersih per tahun) x 1
tahun
- Jika tiap tahun beda = Investasi = Rp. 5.000.000.000
Proceed tahun 1 = Rp. 1.550.000.000 –
= Rp. 3.450.000.000
Proceed tahun 2 = Rp. 2.050.000.000 –
= Rp. 1.400.000.000
213
- PP = (1.400.000.000 / 2.650.000.000) x 12 bulan = 6,3
atau 6 bulan, dengan demikian Payback Period selama 2
tahun 6 bulan.
Berdasarkan perhitungan diperoleh PP < umur investasi (5
tahun), maka usaha agroindustri tersebut layak untuk
dijalankan dari sisi umur investasi.
5). Profitability Index (PI)
PI = Total PV Kas Bersih/PV Investasi
= ��.�.���.���.���
��.�.���.���.���
= 1.34
Jika PI > 1, maka usaha agroindustri bawang goreng diterima
Jika PI < 1, maka usaha agroindustri bawang goreng ditolak
Berdasarkan nilai PI yang > 1, maka agroindustri diterima.
214
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J. B, 2004. Raw Materials Quality and The Texture Of Processed Vegetables. Woodhead Publishing Ltd and CRC Press LLC. p. 342-363.
Alam, N., A. L. Abadi., M.L. Rayes and E. Zubaidah, 2015a, The Relationship of Quality Characteristics of Fried Red Onions with the Chemical Compositions of Red Onion Bulbs of Palu Valley Variety. IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology and Food Technology (IOSR-JESTFT) 9 (1 Ver. I) : 43 - 49
Alam, N., Rostiati dan Muhardi, 2013. Optimalisasi Peningkatan Mutu dan Daya Saing Produk Unggulan Bawang Merah Lokal Palu. Laporan Hasil Penelitian Strategis Nasional Tahun II. Lembaga Penelitian Universitas Tadulako, Palu.
Alam, N., Rostiati dan Muhardi, 2014. Optimalisasi Peningkatan Mutu dan Daya Saing Produk Unggulan Bawang Merah Lokal Palu. Laporan Hasil Penelitian Strategis Nasional Tahun III. Lembaga Penelitian Universitas Tadulako, Palu.
Alam, N., Rostiati dan Muhardi, 2012. Optimalisasi Peningkatan Mutu dan Daya Saing Produk Unggulan Bawang Merah Lokal Palu. Laporan Hasil Penelitian Strategis Nasional Tahun I. Lembaga Penelitian Universitas Tadulako, Palu.
Alam, N., 2015b. Upaya Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Umbi Bawang Merah Varietas Lembah Palu Melalui Modifikasi Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah. Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang
Al Hadi, Y.S., 2011. Tembus Pasar Malaysia, Menteri Syarief Resmikan Bawang Goreng.http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/12/02/47636. Maret, 28, 2012.
215
Arnold, J.R. dan S.N. Chapman. 2004. Introduction to materials Management. Upper Saddle River. New Jersey.
Austin, J.E. 1992. Agroindustrial Project Analysis. John Hopkins University Press. USA
Aziz M.A., A.T. Aezum., S.S. Mahdi, and T. Ali, 2012. Effect of Integrated Nutrient Management on Soil Physical Properties Using Soybean (Glycine Max (L.)Merill) as Indicator Crop under Temperate Conditions. International Journal of Current Research, 4 (1) : 203 – 207.
Bakhri, S., Chatidjah, dan A. Ardjanhar. 2000. Pengaruh Penggunaan Varietas dalam Paket Teknologi Terhadap Pendapatan Usaha Tani Bawang Merah. Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Teknologi Pertanian Menghadapi Era Otonomi Daerah, Palu, 3–4 November 1999. h. 343–349.
Basuny, A.M.M., D. M.M. Mostafa, and A. M. Shaker, 2009. Relationship Between Chemical Composition and Sensory Evaluation of Potato Chips Made from Six Potato Varieties with Emphasis on the Quality of Fried Sunflower Oil, World Journal of Dairy & Food Sciences. 4 (2) : 193 - 200.
Bello, O. S., M. G. Solomon and O. A. Iyapo, 2010. The effects of over cultivation on some soil properties, nutrients response and yields of major crops grown on acid sand soils of Calabar South-Southern part of Nigeria. 2010 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World 1 – 6 August 2010, Brisbane, Australia. Published on DVD. 248 – 249.
Brown, J.E. 1994. Agroindustrial Investment and operations. World Bank Publications. USA
Chen, Q., 1996. Flavor Compound in Fats and Oil. In: Bailey’s Industrial Oil and Fat Product, Fifth Edition, Volume I, Edible Oil and Fat Products General Application. Y.H. Hui (Ed.), 83 – 104. John Wiley Sons, Inc, New York.
216
Choe, E and D.B.Min, 2007. Chemistry of Deep-Fat Frying Oils, Journal Of Food Science. 00 (0): R1 - R10 .
Denisa Khoerul Insani, Tomy Perdana, 2014. Rancang bangun model sistem pembiayaan rantai pasok agribisnis pada komoditas bawang merah (allium ascalonicum l.) Di kabupaten brebes jawa tengah. Agric. Sci. J. – Vol. I (4) : 154-166.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, (2004). Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharatara, Jakarta. h.11.
Dirjen P2HP, 2006. Standar Teknis Prosedur Operasional Pengolahan Bawang Merah. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta.
El-Bassiony, A.M., 2006. Effect of Potassium Fertilization on Growth, Yield and Quality of Onion Plants. Journal of Applied Sciences Research 2 (10): 780-785.
Ete, A., N. Alam dan A. Rahim, 2009. Profil Mutu Bawang Goreng Palu. Laporan Hasil Penelitian Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch III. Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.
Galeone, C., C. Pelucchi., F. Levi., E. Negri., S. Franceschi., R. Talamini., A. Giacosa, and C. La Vecchia, 2006. Onion and Garlic Use and Human Cancer, Am J Clin Nutr. 84 : 1027–1032.
Gittinger, J. Price. 1982. Economic Analysis Agricultural Projects. Published for The Economic Development Institute of The World Bank. The John Hopkins University Press. Baltimore.
Gunadi, N., 2009. Kalium Sulfat dan Kalium Klorida Sebagai Sumber Pupuk Kalium pada Tanaman Bawang Merah. J. Hort. 19 (2) : 174 – 185.
217
Gupta, M.K., 1992. Designing Frying Fat. In Proceedings of the World Conference on Oilseed Technology and Utilization. Ed.Thomas H. Applewhite, AOCS Champaign, Illinois.
Hidayat, A. dan R. Rosliani. 2003. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi bibit bawang merah terhadap hasil dan distribusi ukuran umbi bawang merah. Lap. Hasil Penel. Balitsa Lembang.
Hutapea, R.T.P., J. Limbongan, M. Amin, I.K.Suwitra, M. Dirwan, M. Thamrin, dan M.Sarungallo, 2000. Analisis Zona Agroekologi Sulawesi Tengah (Kabupaten Donggala). Laporan Hasil Penelitian/Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru, Palu. h.32.
Husnan, Suad, Suwarsono, (1994), Studi Kelayakan Proyek, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Hutomo, G.S., N. Alam dan Sahyuni, 2007. Mutu Bawang Goreng (Allium ascalonicum L.) pada Berbagai Produk Industri Rumah Tangga. Laporan Hasil Penelitian Mandiri, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu.h.45.
Hojjatoleslamy, M. and Sedaghat, L. (2012). The Effect of Frying on The Chemical and Rheological Properties of Frying Oil and Physical Properties of Produced Potato Chips, Annual Transactions of The Nordic Rheology Society. 20 : 319 – 324.
Indrajit, R.E. dan R. Djokopranoto. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Grasindo. Jakarta.
Iriani E., 2013. Prospek pengembangan inovasi teknologi bawang merah di lahan sub optimal (lahan pasir) dalam upaya peningkatan pendapatan petani. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 11 No.2: 231-243.
Djamin, Zulkarnaen (1993), Perencanaan dan Analisa Proyek, Edisi Ketiga, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
218
Kaur, C., S. Joshi, and H.C. Kapoor, 2009. Antioxidants in Onion (Allium Cepa L) Cultivars Grown in India, Journal of Food Biochemistry. 33 : 184 - 200
Khairani, C., 2009. . Mutu Bawang Goreng Palu dari Bahan Baku dan Bahan Tambahan yang Berbeda. Tesis S2 Program Studi Ilmu-Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tadulako.
Killebrew, K and H. Wolff, 2010. Environmental Impacts of Agricultural Technologies. Prepared for the Agricultural Policy and Statistics Team of the Bill & Melinda Gates Foundation. Evans School Policy Analysis and Research (EPAR) University Washington, 1 – 18.
Kita, A. and A. Figiel, 2007. Effect Of Roasting On Properties Of Walnuts. Pol. J. Food Nutr. Sci. 57 (2 A) : 89 - 94
Kita, A., 2002. The Influence of Potato Chemical Composition on Crisp Texture, Food Chemistry. 76 (2) : 173 -179.
Lawson, H., 1995. Food Oils and Fats: Technology, Utilization and Nutrition. Chapman and Hall, New York.
Limbongan, J dan Maskar, 2003. Potensi Pengembangan dan Ketersediaan Teknologi Bawang Merah Palu Di Sulawesi Tengah, Jurnal Litbang Pertanian . 22 (3) : 103 - 108.
Maskar dan Y.P. Rahardjo, 2008. Budidaya Bawang Merah Lokal Palu dalam Petunjuk Teknis Teknologi Pendukung Pengembangan Agribisnis di Desa P4MI dalam Amran Muis, C. Khairani, Sukarjo dan Y. P. Rahardjo (ed), Prosiding. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. h. 64 – 76.
Maskar, Basrum, A. Lasenggo, dan M. Slamet. 2001. Uji Multilokasi Bawang Merah Palu. Laporan Tahun 2001. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Palu. h. 23.
219
Mehta, U and B. Swinburn, 2001. A Review of Factors Affecting Fat Absorption in Hot Chips, Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 41: 133-154.
Miranda, G., B. Àngel., G. Remedios, and M. Antonio, 2007. Evolution of Moisture Content and Texture During Storage of Dried Apricots. http://www.icef11.org/content/papers/epf/EPF534.pdf. Juli, 12, 2012
Moreira, RG., X. Sun, Y. Chen, 1997. Factors Affecting Oil Uptake in Tortilla Chips in Deep-fat Frying. Journal of Food Engineering 31 : 485-498
Mutia, A.K., Y.A. Purwanto dan L. Pujantoro, 2014. Perubahan Kualitas Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.) Selama Penyimpanan pada Tingkat Kadar Air dan Suhu yang Berbeda. J. Pascapanen 11 (2) : 108 – 115.
Nawar, W.W., 1996. Lipids. In: Food Chemistry,Third Edition. O.R. Fennema (Ed.), 225 – 319. Marcel Dekker, Inc, New York.
Nazaruddin. 1999. Budidaya dan pengaturan panen sayuran dataran rendah. Penebar Swadaya.
Nio, O., K, 1992. Daftar Analisis Bahan Makanan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Nurhayati, 2006. Pengaruh Berbagai Kombinasi Tepung Beras dan Tapioka Terhadap Mutu Bawang Goreng Varietas Lokal Palu. Skripsi Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu
Onigbogi, I.O., T.O. Olatunji., S.S. Nupo, dan T.K.Bello, 2011. Effect of Repeated Frying Operations on The Quality Attributes of Frying Oil and Aceptability of Sweet Potato Chips, Journal of Sciences and Multidisciplinary Research. 3 : 10 - 15.
220
Ranst, E. V and A. Verdoodt, 2005. Land Evaluation Part II : Qualitative Methods in Land Evaluation (FAO Crop-Specific Land Suitability Classification). Laboratory of Soil Science Universiteit Gent Belgium. p.4
Rimac-Brn i , S and V. Lelas, 2004. Decreasing of Oil Absorption in Potato Strips During Deep Fat Frying, Journal of Food Engineering. 64 (2) : 237-241.
Rismunandar. 1986. Membudidayakan lima jenis bawang. Penerbit Sinar Baru Bandung.
Riyanto, Bambang, 1992, Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi Tiga, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rodjak, Abdul. 2002. Manajemen usahatani. Penerbit pustaka giratuna,Bandung
Rostiati, 2006. Peningkatan Kualitas Bawang Goreng dari Bawang Merah Palu dengan Penambahan Berbagai Macam Tepung. Laporan Hasil Penelitian Mandiri, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu
Saharia, K; Marhawati, M; dan Chairil, A. 2013. Peningkatan Daya Saing Produk Bawang Goreng Melalui Kemitraan dalam Rangka Perluasan Jangkauan Pasar dari Kecamatan Biromaru Kabupaten Sigi. Kerjasama Universitas Tadulako dan LIPI-Jakarta.
Sahiri, N., U. Hasanah., Isrun., Muhardi Dan D. Nurasih, 2008. Laporan Akhir (Final Reports) Studi Pengembangan Kawasan Hortikultura (Bawang Merah Lokal Palu). Dinas Pertanian, Perkebunan Dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tengah, Palu. h. 8 – 69.
221
Sahiri, N., U. Hasanah., Isrun., Muhardi Dan D. Nurasih, 2008. Laporan Akhir (Final Reports) Studi Pengembangan Kawasan Hortikultura (Bawang Merah Lokal Palu). Dinas Pertanian, Perkebunan Dan Peternakan Provinsi Sulawesi Tengah, Palu. h. 8 – 69.
Saleh, M.S., S. Samuddin., Yusran., S. Sukesi., A. Rowa., S.T. Asparianto., M. Salim dan Fery, 2011. Deskripsi Bawang Merah Varietas Lembah Palu No : 1843/ KPTS/ SR.120/4/2011.h.1.
Santas, J., M.P. Almajano and R. Carbo, 2010. Antimicrobial and Antioxidant Activity of Crude Onion (Allium cepa L.) Extracts, International Journal of Food Science and Technology. 45 : 403 - 409.
Saptana, Kurnia Suci Indraningsih dan Endang I. Hastuti, tt. Analisis kelembagaan kemitraan usaha di sentra sentra Produksi sayuran (Suatu Kajian Atas Kasus Kelembagaan Kemitraan Usaha di Bali, Sumatera Utara, dan Jawa Barat). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor
Shaheen, A.M., M. M. Abdel-Mouty; A. H. Ali, and F. Rizk, 2007b. Natural and Chemical Phosphorus Fertilizers as Affected Onion Plant Growth, Bulbs Yield and its Some Physical and Chemical Properties. Aust. J. Basic & Appl. Sci. 1 (4): 519-524.
Shieh, C-J., C-Y. Chang and C-S. Chen, 2004. Improving the Texture of Fried Food. Woodhead Publishing Ltd and CRC Press LLC. p. 1 – 23
Shook, R.J. Shook. 2002. Wall Street Dictionary, terjemahan Roy Sembel. Jakata PT. Erlangga.
Stallen, M. P. K. and Y. Hilman. 1991. Effect plant density and bulb size on yield and quality of shallot. Bul. Penel. Hort. XX Ed. Khusus (1) 1991.
222
Stoate C., N.D. Boatman., R.J. Borralho., C.R. Carvalho., G.R. de Snoo and P.Eden, 2001, Ecological impacts of arable intensification in Europe, J Environ Manage, 63(4):337-365.
Sukadi, 2007. Kajian peran kelembagaan kelompok tani dalam mendapatkan modal usaha agribisnis bawang merah di desa tirtohargo, kecamatan kretek, kabupaten bantul daerah istimewa yogyakarta. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Volume 3, Nomor 2:156-164.
Sulaeman, A., L. Keeler., D.W. Giraud., S.L. Taylor, and J. A. Driskell, 2003. Changes in Carotenoid, Physicochemical and Sensory Values of Deep-fried Carrot Chips During Storage, International Journal of Food Science and Technology. 38 : 603 – 613.
Sumarni, N dan A. Hidayat, 2005. Panduan Teknis Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bandung.h.3 - 9.
Suryana, A., Y. Hilman.,A. Muharam., R. Suherman., W. Adiyoga., R.S. Basuki., W. Setiawati., D.Musaddad dan S. Putrasamedja, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah Edisi Kedua, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Jakarta.h.13.
Susila, A.D., 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Agroforestry and Sustainable Vegetable Production in Southeast Asian Wathershed Project SANREM-CRSP-USAID. h. 7 – 9.
Sutarya, R. dan G. Grubben. 1995. Pedoman bertanam sayuran dataran rendah. Gadjah Mada University Press. Prosea Indonesia – Balai Penel. Hortikultura Lembang.
Syafruddin, A. N. Kairupan., A. Negara dan J. Limbongan, 2004. Penataan Sistem Pertanian dan Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Agroekologi di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian. 23 (2) : 61 – 67.
223
Tajner-Czopek, A and F. Adam, 2003. Effect of The Content of Potato Non-Starch Polysaccharides (NSP) and Lignin on The Mechanical Properties of French Fries, Polish Journal of Food and Nutrition Sciences. 12/53 SI 2 : 136 - 140.
Terry, N., A.M. Zayed., M.P. de Souza, and A.S.Tarun, 2000. Selenium in Higher Plants, Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 51 : 401 - 432.
Wibowo, C., H.Dwiyanti dan P.Haryanti, 2006. Peningkatan Kualitas Keripik Kentang Varietas Granola dengan Metode Pengolahan Sederhana, Jurnal Akta Agrosia. 9 (2) : 102 – 109.
Yusop, S.M.,, M.Y. Maskat., W.A.W. Mustapha and A. Abdullah, 2009. Frying Pressure and Temperature Effects on Sensory Characteristics of Coated Chicken Nuggets. Sains Malaysiana 38(2)(2009): 171–175.