Manajemen Konflik Dalam Organisasi

Embed Size (px)

Citation preview

KONFLIK DALAM ORGANISASI Konflik adalah suatu perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya. Konflik terjadi jika terdapat pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda bahkan berlawanan dengan pihak lain (Kreitner dan Kinicki, 2006). Konflik juga dapat diartikan sebagai suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya (Anwar, 2004). Konflik antar pribadi dan antar kelompok, dalam batas-batas tertentu, terjadi dalam setiap organisasi dan merupakan suatu bagian yang alami dalam pergaulan sosial. Akibat-akibat negative dari konflik adalah terutama terletak pada kehancuran komunikasi, keterjalinan serta kerjasama. Bila para anggota organisasi memiliki aktivitas-aktivitas yang saling bergantung, maka pelaksanaan kerja aktivitas-aktivitas ini akan terganggu jika terdapat penurunan kerjasama serta penolakan untuk membagikan informasi yang disebabkan oleh konflik yang parah. Bagi kebanyakan orang istilah konflik organisasi mempunyai konotasi negative. Organisasi yang efektf biasanya dianggap sebagai sekelompok individu terkoordinasi yang bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pandangan ini, konflik hanya merintangi koordinasi dan kerja sama tim dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Individuindividu yang terlibat konflik secara tipikal mengalami tekanan (stress), frustasi serta kekhawatiran yang pada gilirannya menurunan kepuasan kerja, melemahkan perhatian terhadap pekerjaan/tugas, menciptakan apatis, serta mendorong penarikan diri dalam bentuk absensi, atau perpindahan kerja. Bila konflik berlebihan, organisasi dapat pecah sebagian dan tidak dapat digerakkan, tidak dapat melakukan tindakan-tindakan bersama dalam menghadapi tantangan lingkungan.

Pandangan Mengenai Konflik Organisasi Pandangan Tradisional Pandangan tradisional mengenai konflik mengasumskan bahwa semua konflik adalah jelek. Setiap konflik, oleh karenanya, mempunyai dampak yang negative pada keefektifan organisasi. Pendekatan tradisional menyamakan konflik dengan istilah seperti kekerasan, kehancuran, dan irasionalitas. Konsisten dengan perspektif tersebut, salah satu tanggung jawab manajemen adalah mencoba memastikan bahwa konflik tidak timbul dan jika hal tersebut terjadi, agar bertindak dengan cepat untuk memecahkannya. Pendekatan tradisional mengenai konflik mencampuradukkan resolusi konflik dengan manajemen konflik. Pada pendekatan ini, diasumsikan bahwa peran manajer adalah mengurangi ketegangan, memprakarsai tindakan-tindakan untuk mengurangi konflik. Tetapi tujuan dari manajemen bukanlah harmoni dan kerja sama, melainkan pencapaian tugas yang efektif. Pandangan Interractionist Konflik adalah fungsional jika dapat memprakarsai pencarian cara-cara baru dan lebih baik dalam melakukan sesuatu dan mengurangi rasa puas diri dalam organisasi. Suatu perubahan tidak timbul begitu saja, melainkan membutuhkan stimulus. Stimulus tersebut adalah konflik. Organisasi yang sepenuhnya puas dengan dirinya artinya yang bebas dari konflik, tidak mempunyai kekuatan internal untuk memprakarsai perubahan. Pendekatan interactionist tidak mengatakan bahwa semua konflik adalah fungsional. Pasti ada konflik yang menimbulkan pengaruh negative terhadap keefektifan organisasi. Pandangan interactionist secara tidak langsung mengatakan adanya peran yang lebih luas bagi manajer dalam menanggapi konflik dibandingkan yang dilakukan pandangan tradisional. Pekerjaan manajer adalah menciptakan suatu lingkungan di mana konflik itu sehat tetapi tidak diizinkan untuk menjadi ekstrim. Sumber Konflik Organisasi Sejumlah factor berbeda dapat menimbulkan konflik organisasi. Beberapa factor- seperti kepribadian yang tidak cocok bersifat psikologis. Artinya konflik tersebut berkaitan dengan karakteristik perorangan para karyawan. Hal inilah yang menjelaskan bahwa ada orang yang

mempunyai kesulitan untuk bekerja sama dengan orang lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja atau interaksinya yang formal. 1. Persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) Salah satu sumber konflik penting dalam organisasi adalah persaingan terhadap sumbersumber seperti dana anggaran, ruang, pengadaan bahan, personalia, serta pelayanan pendukung (misalnya, pengetikan, pengadaan, pemrosesan data dan pemeliharaan). Makin langka pengadaan sumber-sumber yang relative banyak diperlukan oleh pihak-pihak tandingannya, dan makin penting sumber-sumber tersebut bagi mereka, makin besar kemungkinan konflik akan berkembang serta makin tajam. 2. Saling ketergantungan pekerjaan (Task Interdependence) Saling ketergantungan pekerjaan merujuk pada sejauh mana dua unit dalam sebuah organisasi saling bergantung satu sama lain pada bantuan, informasi, kerelaan, atau koordinasi lain untuk menyelesaikan tugas masing-masing secara efektif. Hubungan antara saling ketergantungan pekerjaan dan konflik adalah tidak langsung. Yang kita ketahui adalah yang menimbulkan intensitas hubungan per-unit. Jika dipaksakan untuk berinteraksi, potensi untuk konflik pun pasti meningkat. Ketergantungan pekerjaan dapat satu arah atau dua arah, dan ketergantungan dapat dapat mencakup pembagian, persediaan, informasi, bantuan, atau pengarahan, disamping tuntutan mengkoordinasi aktivitas-aktivitas dua pihak. Makin besar perbedaan dalam orientasi tujuan untuk pihak/kelompoknya, makin besar kemungkinan konflik akan berkembang. 3. Perbedaan dalam Kriteria evaluasi dan system imbalan Makin banyak evaluasi dan imbalan manajemen yang menekankan prestasi setiap departemen secara terpisah-pisah ketimbang secara gabungan, maka makin besar pula konfliknya. Konflik garis-staf juga dapat berasal dari criteria evaluasi dan system imbalan yang berbeda-beda. Unit-unit staf menghargai perubahan karena ini adalah cara yang paling penting untuk membenarkan eksistensi mereka.

4. Ketidaksesuaian status Konflik terstimulasi jika terjadi ketidaksesuaian dalam penilaian status atau karena adanya perubahan dalam hierarki status. Misalnya peningkatan konflik ditemukan jika tingkat dimana status pribadi, atau bagaimana orang melihat pribadinya sendiri, dan tingkat dari perwakilan dari departemen berbeda dalam urutan tingkatan dimensi status. Dimensi tersebut termasuk panjangnya masa kerja, umur, pendidikan dan upah. 5. Ketidaksesuaian peran Ketidakpuasan terhadap peran dapat berasal dari berbagai sumber, salah satunya adalah ketidaksesuaian status. Jika seseorang merasa berhak untuk mendapatkan promosi untuk mencerminkan keberhasilannya, maka ia akan menderita ketidakpuasan peran maupun ketidaksesuaian status yang dipersepsikannya. Jika orang menerima sebuah peran, maka ia membawa serta sejumlah harapan dan aspirasi. Jika harapan-harapan tersebut tidak dipenuhi maka individu tersebut dapat memperlihatkan frustasi mereka dalam sejumlah tindakan. 6. Distorsi komunikasi Sumber konflik yang lain adalah kesukaran dalam komunikasi. Tidak memadainya komunikasi dapat mendukung berkembangnya konflik semua (psudo-conflik) yang merintangi persetujuan antara dua kelompok yang posisinya saling melengkapi. Tidak adanya sarana yang memadai dapat menghambat usaha-usaha untuk mencapai koordinasi dua kelompok yang tugas pekerjaannya bergantungan. Kesulitan-kesulitan bahasa serta selektivitas dalam menginterpretasikan informasi dapat mengekalkan kekalahan konsepsi dan mendorong timbulnya saling tidak percaya. Bentuk-Bentuk Konflik Dalam Organisasi Ada 4 (empat) bentuk konflik dalam organisasi, yaitu Konflik hirarki (hierarchical conflict), yaitu konflik yang terjadi pada tingkatan hierarki organisasi. Contohnya konflik antara komisaris dengan direktur utama, pemimpin dengan karyawan, pengurus dengan anggota koperasi, pengurus dengan manajer dan pengurus dengan karyawan.

Konflik fungsional (functional conflict), yaitu konflik yang terjadi dari bermacam-macam fungsi departemen dalam organisasi. Contohnya konflik yang terjadi antara bagian produksi dengan bagian pemasaran. Konflik staf dengan kepala unit (line staff conflict), yaitu konflik yang terjadi antara pemimpin unit dengan stafnya terutama staf yang berhubungan dengan wewenang/otoritas kerja. Contoh: staf secara tidak formal mengambil wewenang berlebihan. Konflik formal-informal (formal-informal conflict), yaitu konflik yang terjadi yang berhubungan dengan norma yang berlaku diorganisasi informal dengan organisasi formal. Contoh: pemimpin yang menempatkan norma yang salah pada organisasi.

Metode Penyelesaian Konflik Jika kekuatan konflik terlalu besar, kekuatan itu mempunyai dampak negative terhadap keefektifan organisasi. Sesuatu harus dilakukan oleh karenanya untuk menurunkan tingkat konflik tersebut hingga tingkat yang dapat diterima. Teknik-teknik structural untuk mengurangi konflik dapat dilakukan dengan cara antara lain: a. Pemecahan masalah (Problem solving) Pemecahan masalah secara bersama telah dinyatakan sebagai metode yang paling sehat untuk memecahkan konflik antar kelompok. Teknik ini membutuhkan pihak-pihak yang berkonflik untuk saling bertemu dan mencari penyebab yang menjadi dasar dari konflik mereka dan bertanggung jawab bersama untuk keberhasilan resolusinya. Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah tersebut bukan sekedar menyesuaikan berbagai pandangan yang ada. Pemecahan masalah mencoba untuk menekankan hal yang positif dengan menonjolkan pandangan yang sama dari pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini menunjuk pada sisi yang seringkali dilupakan pada setiap konflik bahwa hamper pada setiap masalah terdapat celah yang memberi kemungkinan bagi kedua pihak yang berselisih bersepakat. Pemecahan masalah mencoba menekankan pandangan yang sama dan menghindari yang menimbulkan suasana bermusuhan.

b. Tujuan tingkat tinggi (Superordinate Goal) Tujuan superordinate adalah tujuan bersama yang dianut oleh dua unit atau lebih yang memaksakan dan sangat menarik dan yang tidak dapat dicapai dengan sumber-sumber dari unit mana saja secara terpisah. Suatu tujuan superordinate dimulai dengan sebuah definisi dari tujuan yang dipunyai bersama dan pengakuan bahwa tanpa bantuan dari pihak-pihak yang saling bertentangan maka tujuan itu tidak dapat dicapai. c. Perluasan sumber (Expansion of Resources) Jika konflik timbul karena kelangkaan sumber daya, maka cara termudah untuk memecahkan konfrontasi tersebut, dan satu-satunya yang paling memuaskan bagi pihakpihak yang berkonflik adalah melalui perluasan sumber daya yang tersedia. Hal ini mungkin tidak diinginkan oleh pihak yang ada diluar konflik, hanya saja kekuatan terbesarnya sebagai sarana untuk memecahkan masalah adalah dalam kemampuannya untuk memungkinkan masing-masing pihak yang berkonflik untuk memperoleh kemenangan. Memperluas sumber daya sebagai suatu metode resolusi akan sangat berhasil karena membuat pihak yang berkonflik puas. Namun kegunaannya dibatasi oleh sifat dari keterbatasan yang terdapat di dalamnya: sumber daya organisasi jarang sekali terdapat dalam jumlah yang dapat diperluas dengan mudah. d. Penarikan diri (Withdrawal) Salah satu reaksi terhadap konflik, untuk salah satu atau keduanya, adalah menarik diri dari pergaulan (relationship). Misalnya, jika dua individu terlibat konflik, maka satu pihak dapat meninggalkan organisasi, atau mereka yang penting dapat menghindarkan berhubungan satu sama lain. Saling meghindarkan dapat merupakan cara yang efektif untuk mengatasi konflik jika kedua pihak tidak perlu saling berhubungan dala melaksanakan peran-peran keorganisasiannya. e. Kompromi (Compromise) Kompromi menghasilkan suatu persetujuan dimana masing-masing pihak mengorbankan sesuatu yang benar-benar diinginkannya. Itu adalah suatu hasil dimana tidak seorang pun memenuhi kebutuhannya dengan lengkap. Untuk mengesampingkan perbedaan demi berbagai kepentingan secara keseluruhan, dibuatlah kompromi ditengah posisi masing-

masing pihak yang amat berjauhan. Penyelesaian ini diterima untuk menghindari jalan buntu, akan tetapi tidak satu pun dari masing-masing pihak yang benar-benar puas. Tipe-tipe kompromi bisa didefinisikan sebagai: Setiap pihak menentukan posisi terakhir sebelum bersedia melakukan kompromi Kompromi dianggap sebagai langkah teakhir dalam negosiasi Kedua belah pihak sama-sama merasa puas (misalnya mencapai kesepakatan)

f. Perintah dari wewenang (Authoritative Commands) Wewenang yang dipunyai supervisor terhadap pihak yang berkonflik cukup penting dan penggunaannya demikian luas sehingga dapat dianggap sebuah teknologi resolusi tersendiri. Individu dalam organisasi, dengan sedikit pengecualian, mengakui dan menerima wewenang dari atasan mereka sebagai cara yang dapat diterima untuk memecahkan konflik. Meskipun mereka mungkin tidak sepakat dengan keputusan tersebut, namun mereka tunduk kepadanya. Jadi, wewenang yang formal sangat berhasil untuk mengurangi konflik. g. Campur tangan pihak ketiga Bila pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik tidak ingin berunding atau telah mencapai jalan buntu dalam perundingan, maka pihak ketiga dapat terlibat untuk membantunya menyelesaikan konflik. Tipe-tipe utama dari campur tangan pihak ketiga adalah: (1) Arbitrasi (Arbitration) Arbitrasi adalah suatu prosedur dimana pihak ketiga mendengarkan kedua pihak yang konflik dan bertindak sebagai seorang hakim dalam menentukan penyelesaian yang mengikat. Meskipun ada pihak yang tidak menyukai pengaturan arbitrasi, namun arbitrasi merupakan cara yang teratur dalam menyelesaikan perselisihan dan biasanya lebih disukai untuk tindakan saling menyerang dan praktek-praktek yang merusak seperti pemogokan yang tidak sah oleh karyawan. Arbitrasi akan menjadi lebih efektif jika memiliki informasi yang lengkap tentang permasalahannya dan peristiwa-peristiwa yang menimbulkan perselisihan. Arbitrasi pada umumnya digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antara dua individu atau dua departemen dalam organisasi.

(2) Mediasi Satu sumbangan mediator yang potensial terhadap penyelesaian konflik adalah membangun kembali komunikasi yang telah hancur. Misalnya, bila kedua pihak menolak untuk berunding secara langsung satu sama lain, maka mediator dapat bertindak sebagai penengah yang menyampaikan permintaan-permintaan dan pesanpesan. Sumbangan yang lain adalah bantuannya terhadap masing-masing pihak untuk mengerti dengan lebih baik acuan-acuan miliknya dengan memperhatikan suatu penyelesaian. Efektivitas mediasi sebagian tergantung pada kecakapan dan sikap individual mediator. (3) Konsultasi proses antar pihak Konsultasi proses antar pihak adalah suatu bentuk campur tangan pihak ketiga yang relative baru, dan berbeda dengan arbitrasi dan mediasi dalam beberapa segi. Tujuan konsultan proses adalah mengembangkan kapasitas mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik secara efektif di masa-masa mendatang. Konsultan proses tidak memiliki kekuasaan untuk menghakimi suatu penyelesaian. Konsultan proses menggunakan berbagai teknik yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran masing-masing pihak atas persepsi yang salah dan perilaku yang menyimpang yang merusak penyelesaian konflik. Konsultan proses mengarahkan pihak-pihak yang terlibat kearah saling penggunaan penemuan fakta serta pemecahan masalah dan ia dapat memberikan latihan khusus untuk mengembangkan kecakapan mereka memecahkan masalah. Blake, Mouton dan Sloma (Wexley and Yuki, 2003) memberikan suatu contoh yang baik tentang jenis prosedur yang digunakan oleh seorang konsultan proses untuk menurunkan permusuhan antar kelompok dan persepsi yang salah. Prosedur yang digunakan adalah Mengatur tempat, waktu dan lamanya konfrontasi sehingga memungkinkan saling timbulnya motivasi positif untuk menyelesaikan konflik, dan konfrontasi (dialog) berlangsung dalam suasana informal dan akrab. Mendorong kedua pihak untuk mendiagnosa alasan-alasan yang mendasari konflik, menyarankan konsep-konsep dan teori-teori ilmu perilaku yang dapat

menjelaskan mengapa pihak-pihak yang terlibat telah melakukan tindakantindakan dalam suatu cara tertentu. Mendorong penggunaan prosedur pemecahan masalah, serta mencegah reaksireaksi yang tidak produktif seperti ancaman, kecaman dan komentar-komentar yang menusuk perasaan Melancarkan ketepatan komunikasi dengan mengiktisarkan posisi masing-masing pihak atau meminta masing-masing pihak mengulangi pernyataan-pernyataan pihak lain yang baru dikemukakan sebelum memberikan tanggapannya. Pemahaman posisi-posisi pihak lain juga dapat dikembangkan dengan melakukan perdebatan dimana masing-masing pihak menyajikan posisi lawannya, tidak sekedar posisi dirinya. Campur tangan dengan konsultan proses memungkinkan sangat berhasil dalam mempermudah penyelesaian konflik dimana terdapat permusuhan dan saling tidak percaya yang luas yang disebabkan persepsi yang tidak tepat terhadap tujuan-tujuan serta maksud pihak lain.

Pendekatan-Pendekatan Umum Terhadap Manajemen Konflik Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk memenej konflik dalam organisasi 1. Menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur standar untuk mengatur perilaku agresif, menekankan perlakuan yang jujur terhadap pegawai, serta meredakan permusuhan yang dapat diramalkan 2. Mengubah pengaturan arus kerja, disain pekerjaan, batas-batas bidang kerja serta aspekaspek lain dari hubungan kerja antar pribadi dan antar kelompok, yang dengan cara ini dapat meningkatkan atau mengurangi kemungkinan konflik. 3. Mengubah system ganjaran untuk mendorong persaingan atau kerjasama 4. Mendirikan posisi-posisi khusus yang bertanggung jawab untuk mediasi agar dapat mempermudah proses penyelesaian jenis-jenis konflik yang dapat diramalkan 5. Memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang mempunyai orientasi tujuan yang berlainan terwakili dalam kelompok pembuat kebijaksanaan agar supaya dapat

mendorong konfrontasi yang konstruktif serta menurunkan kebutuhan masing-masing pihak mempercayakan pada taktik-taktik paksaan dan merusak. 6. Melatih pejabat-pejabat kunci mengenai penggunaan yang tepat tentang taktik-taktik untuk mengatasi konflik.

Kesimpulan Konflik sebagai suatu hal nyata dalam kehidupan seseorang merupakan proses social orang-orang yang berusaha mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan. Konflik terjadi diberbagai organisasi disemua tingkatan. Konflik mungkin saja terlalu mendalam dan sulit untuk diselesaikan bila terdapat persaingan menang-kalah dimana masing-masing pihak menganggap dirinya yang benar dan pihak lain yang salah. Konflik dapat memiliki konsekuensi-konsekuensi positif maupun negative bagi organisasi. Manajemen konflik yang efektif menuntut pemeliharaan tingkat konflik yang optimal, serta meminimalisir akibat-akibat yang tidak diinginkan.

Referensi Anoraga, Pandji. 2005. Psikologi Kerja. Rineka Cipta; Jakarta. Mangkunegara, A.P. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Penerbit: PT Remaja Rosdakarya; Bandung Moedjiono, Imam. 2002. Kepemimpinan dan Keorganisasian. UII Press; Yogyakarta. Robbins, S. 1994. Teori Organisasi; Struktur, Desain dan Aplikasi (terjemahan). Alih bahasa Jusuf Udaya. Penerbit Arcan, Jakarta Wexley & Yuki. 2003. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia (Terjemahan). Alih Bahasa: Muh. Shobaruddin. Rineka Cipta; Jakarta

PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASIKonflik dalam Organisasi

Indra Herdiana Nuruddin Ita Suryaningsih

Program Prapasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada 2008