Manajemen Pendayagunaan Zakat

Embed Size (px)

Citation preview

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    1/23

    MANAJEMENPEMBERDAYAAN

    ZAKATOLEH : MUKHLISIN MUZARIE

    DISAMPAIKAN PADA MUDZAKARAH HUKUM ZAKAT

    MUI-BAZDA KABUPATEN CIREBON 20 DESEMBER 2012

    2012

    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM CIREBONKOMPLEK ISLAMIC CENTRE KABUPATEN CIREBON

    JL. TUPAREV NOMOR 111 TELP/FAX 0231-2318161/1/2012

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    2/23

    2

    MANAJEMEN PEMBERDAYAAN ZAKAT

    Oleh : H. Mukhlisin Muzarie

    Disampaikan pada acara Mudzakaroh Hukum Zakat

    Kerjasaman BAZDA-MUI Kabupaten Cirebon

    Tanggal 20 Desember 2012

    I. PENDAHULUAN

    Sistem sosial dalam Islam sangat kuat, karena dibangun dengan sistem

    yang saling membutuhkan1 dan saling mengokohkan.2 Allah menciptakanmanusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta memberinya mata

    pencaharian yang berbeda-beda agar hidup saling membutuhkan dan saling

    melengkapi. Di samping itu, Allah menciptakan derajat manusia yang berbeda-

    beda sehingga tingkat kesejahteraan mereka berbeda-beda pula. Dalam setting

    masyarakat manapun mesti dijumpai adanya orang kaya yang hidup

    berkecukupan dan adanya orang miskin yang serba kekurangan. Menurut

    Wahbah Zuhaily, inilah yang dimaksud oleh Allah bahwa Dia-lah yang

    membagi-bagi rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam kehidupan

    dunia.3 Dengan adanya masyarakat yang serba cukup di satu sisi dan serba

    kekurangan di sisi lain, disamping memiliki profesi yang berbeda-beda,

    mengandung hikmah terwujudnya aktifitas bisnis yang dinamis. Akan tetapi

    yang terjadi di masyarakat sebaliknya, menimbulkan ketegangan yang berakhir

    dengan konflik dan kekacauan berkepanjangan. Islam memberikan solusi yang

    kokoh dengan sistem zakat hingga hubungan masyarakat tetap harmonis.

    Konsep zakat mempunyai tujuan luhur, disamping sebagai

    implementasi iman kepada Allah SWT juga sebagai stabilisator sosial yang

    sangat strategis. Zakat bukan hanya ibadah, tetapi juga bukti kepedulian orang

    1QS. Az-Zukhru, 43 : 32 yang artinya : Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?

    Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah

    meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapatmempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

    2Hadits yang artinya : Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain laksana sebuah bangunan

    yang saling mengokohkan (HR Bukhari & Muslim dari Abu Musa ra). Lihat al-Fath al-Kabir, (Yusuf

    bin Ismail al-Nabhani, Dar al-Arqam,Bairut, t.t.), jilid II, hal.4713

    Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fie al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (Dar al-Fikr al-

    Muashir, Bairut, t.t.), juz 25, hal. 145-146

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    3/23

    3

    kaya terhadap orang-orang miskin yang tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan

    apapun, kecuali dorongan hati nurani yang didasarkan iman kepada Allah.4

    Akan tetapi dana zakat yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar untukmensejahterakan kaum dhuafa (fakir dan miskin) karena tidak dikelola dengan

    manajemen profesional, hasilnya belum optimal.

    Pada masa klasik dan masa-masa sesudahnya manajemen zakat tampak

    belum dipraktekan. Zakat pada saat itu, baik zakat fitrah maupun zakat mal

    hanya dipahami sebagai ibadah semata-mata yang tidak memerlukan

    pengelolaan secara profesional. Sudirman menjelaskan bahwa ada beberapa

    faktor yang menyebabkan pengelolaan zakat pada masa klasik tidak maksimal.Antara lain karena adanya sikap menyepelekan, artinya pengelolaan zakat

    adalah wewenang pribadi muzaki, bukan orang orang lain. Dengan demikian

    unsur-unsur manajemen yang sangat sederhanapun, seperti perencanaan,

    pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan, tidak dilakukan. Bahkan

    administrasi dan ketatalaksanaan-pun tidak dilakukan sehingga jumlah

    kontribusi yang sudah dilakukan oleh orang kaya terhadap orang miskin setiap

    tahun tidak terbaca.

    II. LANDASAN PENGELOLAAN ZAKAT

    Para ulama menetapkan bahwa pendistribusian zakat harus

    direncanakan berdasarkan petunjuk QS At-Taubah, 9 : 60.5Dalam ayat tersebut

    Allah menjelaskan sasaran zakat yang rinci meliputi delapan asnaf sebagai

    berikut :

    Fakir(jamaknyafuqara), yaitu orang-orang yang hidup sengsara, papa,

    dan serba kekurangan. Kesengsaraan mereka disebabkan karena tidak

    mempunyai harta dan atau tidak mempunyai pekerjaan. Mereka sangat

    membutuhkan bantuan sehingga Al-Quran menempatkannya dalam urutan

    pertama. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa penyebutan asnaf fakir dalam urutan

    pertama menunjukkan betapa pentingnya mereka untuk diperhatikan

    4Ali Ahmad al-Jurjawie,Hikmah Tasyri wa Falsafatuh, (Dar al-Fikr, Bairut, 1994), juz I, hal. 117

    5Yaitu artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-

    orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk

    (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk merekayuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan AllahMaha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    4/23

    4

    dibandingkan dengan asnaf-asnaf lainnya. Mereka adalah kelompok

    masyarakat yang sangat menderita dan sangat membutuhkan bantuan.6

    Miskin (jamaknya masakin), yaitu orang atau orang-orang yang hidupserba kekurangan. Mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

    disebabkan karena tidak mempunyai harta yang cukup dan atau tidak

    mempunyai pekerjaan tetap yang hasilnya relatif kecil. Keadaan mereka sedikit

    lebih baik jika dibandingkan dengan orang-orang fakir. Ibnu al-Jauzie

    menjelaskan perbedaan pandangan para ulama dalam memberikan kategori-

    kategori fakir dan kategori-kategori miskin. Yaitu (1) pendapat Ibnu Abbas, Al-

    Hasan, Mujahid, Jabir bin Zaid, Az-Zuhri dan lain-lainnya, mengatakan bahwafakir adalah orang yang hidup serba kekurangan, tetapi tidak meminta-minta,

    sedangkan miskin adalah orang yang hidup serba kekurangan dan meminta-

    minta sekedar untuk mengisi perutnya. (2) pendapat Imam Qatadah, fakir

    adalah orang papa yang permanen yang sangat membutuhkan bantuan,

    sedangkan miskin adalah orang yang sangat membutuhkan bantuan tetapi tidak

    permanen. (3) pendapat Adh-Dhahaq Ibnu Muzahim dan An-Nakhie, yaitu

    fakir adalah orang papa yang sudah berhijrah, sedangkan miskin belum

    berhijrah. (4) pendapat Imam Ikrimah, fakir adalah orang-orang papa yang

    beragama Islam, sedangkan miskin orang-orang non Islam. (5) pendapat Abu

    Hanifah, Yunus bin Habib, Yaqub bin al-Sukayyit dan Ibnu Qutaibah bahwa

    fakir adalah orang yang mempunai persediaan sedikit, sedangkan miskin orang

    yang tidak mempunyai persediaan sedikitpun. (6) pendapat Ahmad Ibnu

    Hanbal, Ahmad Ibnu Ubaid, dan Al-Ashmuie bahwa fakir adalah lebih buruk

    nasibnya dibandingkan dengan miskin. Mereka mengemukkan alasan bahwa

    kata faqir berarti hancurnya tulang belakang (inkisar al-faqar). Secara

    etimologi katafaqirberasal dari kata mafqur,yang artinya tercabut persendian

    tulang belakangnya. Maka orang fakir seolah-olah orang yang tercabut tulang

    punggungnya karena membanting tulang terus menerus (kerja keras) tetapi

    tidak menghasilkan harta yang mencukupi hidupnya. Sementara kata miskin

    berasal dari kata al-maskanah yang berarti tenang dan tenteram. Dengan

    6Ibnu Katsir, Ismail, Imaduddin Abu Al-Fida, Al-Hafidh, Tafsir Al-Quran Al-Adhiem(Bairut,

    Dar al-Fikr, 1970), jld. 3, hlm. 411-412

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    5/23

    5

    demikian orang-orang miskin relatif lebih baik nasibnya dibandingkan dengan

    orang-orang fakir.7

    Amilin, yaitu orang-orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan danmembagikan zakat. Mereka diberi bagian zakat sesuai dengan tugas dan

    pekerjaannya. Di Indonesia, pekerjaan amil atau pengelola zakat pada zaman

    klasik dan beberapa periode sesudahnya ditanangi oleh muzaki sendiri. Setelah

    hasil produksi semakin besar, zakat ditangani oleh semacam panitia yang

    bertanggungjawab untuk menghimpun dan menyalurkan zakat secara kolektif.

    Dan setelah timbul beberpa permasalahan dalam praktek, zakat diintervensi

    oleh pemerintah (regulasi). Tujuannya selain untuk meningkatkan efektiftasdan efesiensi pelayanan juga untuk meningkatkan manfaat zakat dalam

    mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan (UU

    No.23 Tahun 2011 pasal 3).

    Muallaf, yaitu kelompok orang yang dipandang lemah imannya atau

    perlu dibujuk hatinya agar tidak berbuat makar. Muallaf terdiri atas orang-

    orang muslim dan kafir. Muallaf orang-orang muslim terdiri atas orang-orang

    yang masih lemah imannya (seperti Uyainah bin Hishn dan Aqra) dan orang-

    orang yang sudah baik imannya (seperti Adi bin Hatim) tetapi dikhawatirkan

    akan berubah. Mereka diberi bagian zakat untuk memantapkan imannya,

    terutama apabila sangat dihormati oleh kaumnya. Nabi SAW pernah

    memberikan dana zakat kepada Abu Sufyan bin Harb dan Al-Zabarqan bin

    Badar karena kduanya adalah pemuka suku yang sangat disegani. Adapun

    muallaf orang-orang kafir ialah orang-orang yang suka membuat makar atau

    menindas orang-orang muslim seperti Amir bin Thufail, atau orang-orang yang

    sudah condong kepada Islam, seperti Shafwan bin Umayah. Mereka diberi

    bagian zakat agar tidak berbuat makar dan tidak menindas orang-orang muslim

    atau dapat diharapkan akan masuk Islam.8

    Riqab, maksudnya memerdekakan budak; yaitu budak yang telah

    dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan dengan cara menebus diri.

    7 Ibnu al-Jauzie, Abu al-Faraj, Abdurrahman, Zad al-Masir fie Ilm al-Tafsir (Damasqus, al-

    Maktabah al-Islami, 1965), juz 3, hlm. 455-4568 Lihat : Wahbah Al-Zuhaily, Al-Tafsir Al-Munir fie Al-Aqidah wa Al-Syariah wa Al-Manhaj

    (Bairut, Dar al-Fikr al-Muashir, 1991), juz 10, hlm. 269-270; dan lihat : Ibnu al-Jauzie, Abu al-Faraj,Abdurrahman,Zad al-Masir fie Ilm al-Tafsir(Damasqus, al-Maktabah al-Islami, 1965), juz 3, hlm. 457

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    6/23

    6

    Mereka diberi dana zakat untuk menebus dirinya itu. Imam Abu Hanifah dan

    para pendukung madzhabnya mengatakan bahwa budak tidak boleh diberi dana

    zakat secara penuh untuk menebus dirinya, tetapi diberi bantuan dana zakatuntuk membantu meringankan beban mereka. Alasannya bahwa kata wa fie

    al-riqab mengandung arti musyarakah antara muzaki denganbudak yang akan

    membebaskan diri dengan cara membayar uang tebusan tersebut, bukan

    membebaskan budak dalam arti penuh. Sementara ulama Malikiyah

    memandang bahwa dana zakat dapat digunakan untuk membeli budak

    kemudian dimerdekakan. Alasannya karena yang dimaksud budak dalam ayat

    di atas adalah membebaskan budak murni. Oleh karena itu, pembebasan budakmenjadi tanggungjawab lembaga pengelola zakat (baitul mal).9

    Gharimin,yaitu orang atau orang-orang yang mempunyai hutang yang

    tidak sanggup membayar. Imam Qatadah mensyaratkan bahwa yang

    bersangkutan bukan orang yang suka menghambur-hamburkan harta atau

    pemboros. Alasannya karena orang yang suka menghambur-hamburkan harta

    kemudian mempunyai sejumlah hutang hingga tidak sanggup membayar,

    apabila diberi dana zakat untuk membayarnya ia akan mengulangi lagi untuk

    berbuat hutang.10Namun ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa

    orang yang berhutang adakalanya untuk dirinya sendiri dan adakalanya untuk

    orang lain. Apabila berhutang untuk dirinya sendiri, maka orang tersebut tidak

    boleh dibantu dana zakat untuk melunasi hutangnya, kecuali apabila yang

    bersangkutan termasuk kategori orang fakir. Ulama Hanafiyah memberi

    batasan gharim yang boleh dibantu dengan dana zakat ialah gharim yang

    apabila hutangnya dibayar, maka sisa hartanya tidak mencapai satu nisab. Akan

    tetapi apabila berhutang untuk kepentingan orang lain seperti membantu orang

    yang dijatuhi hukuman mati, atau dirampok, atau kebakaran dan kebanjiran,

    maka ia diberi bagian zakat untuk menutupi hutangnya itu.11 Sedangkan

    menurut Ibnu al-Jauzi, orang kaya yang tidak boleh menerima zakat adalah

    orang yang sesudah membayar hutangnya sisa uang sebanyak 50 dirham atau

    emas senilai itu, baik dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau tidak. Atau

    9 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Tafsir Al-Munir fie Al-Aqidah wa Al-Syariah wa Al-Manhaj (Bairut,

    Dar al-Fikr al-Muashir, 1991), juz 10, hlm. 27110

    Lihat : Ibnu al-Jauzie, hlm. 45811

    Lihat : Wahbah Al-Zuhaily, hlm. 272

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    7/23

    7

    memiliki pekerjaan yang penghasilannya dapat mencukupi kebutuhan

    hidupnya, baik dari gaji atau hasil sewa tanah atau dagangan yang

    keuntungannya dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, orang-orang tersebuttidak boleh diberi zakat.

    Sabilillah, yaitu relawan perang dan relawan yang berjaga-jaga di

    markas. Menurut Imam Asy-Syafiie mereka diberi zakat baik orang kaya

    maupun miskin. Akan tetapi menurut Imam Abu Hanifah relawan perang tidak

    boleh diberi zakat, kecuali apabila ia miskin. Sementara Imam Ahmad, Imam

    Hasan dan Ishaq berpendapat bahwa orang yang pergi haji dapat diberi dana

    zakat. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa seseorang tidak boleh pergi hajidengan menggunakan dana zakatnya sendiri, demikian pula menghajikan orang

    lain, tidak boleh menggunakan dana zakat yang seharusnya dikeluarkan dari

    hartanya. Dari ketentuan ini, maka seseorang tidak boleh pergi berperang

    dengan menggunakan dana zakat dari hartanya sendiri.12 Imam Abu Yusuf,

    seperti dijelaskan oleh Al-Alusi Al-Baghdadi dalam Ruh al-Maani, mengatakan

    bahwa yang dimaksud sabilillah ialah relawan perang yang kehabisan biaya

    (munqathiu al-ghuzat), dan menurut Imam Muhammad termasuk jamaah haji

    yang kehabisan biaya. Sebagian mufassir, seperti dikemukakan oleh Al-Alusi,

    memasukkan orang-orang yang memperdalam ilmu, guru agama, dan penyuluh

    agama Islam yang bekerja dan berusaha untuk tegaknya agama Islam dalam

    pengertian sabilillah.13 Bahkan Sayid Quthub dalam tafsirnya Fie Dhilal al-

    Quran menjelaskan bahwa sabilillahmempunyai makna yang luas mencakup

    semua kemaslahatan umat.14Seorang mufassir kenamaan, Ahmad Musthofa Al-

    Maraghie, menegaskan bahwa makna yang tepat (al-haqq) dalam mengartikan

    sabilillah mencakup kemaslahatan kaum muslim secara umum yang dapat

    menegakkan agama dan negara. misalnya menyiapkan sarana yang menjamin

    keamanan jamaah haji, menyediakan air, makanan dan obat-obatan untuk

    menjaga kesehatan jamaah haji dan sebagainya apabila tidak ada dana dari

    anggaran yang lain. Yang perlu ditegaskan di sini, bukan untuk kepentingan

    12Lihat : Ibnu al-Jauzie, hlm. 458 dan lihat : Wahbah Al-Zuhaily, hlm. 273

    13Lihat : Al-Alusi Al-Baghdadi,Ruh al-Maani fi Tafsir al-Quran al-Adhim wa al-Sabu al-

    Matsani(Bairut, Dar al-Turats `al-Arabi, 1985), juuz 10, hlm. 12314

    Lihat : Sayid Quthub,Fie Dhilal al-Quran (Bairut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1976), jld. 4,hlm. 245

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    8/23

    8

    perorangan, karena ibadah haji diwajibkan bagi yang sudah mampu.15Imam Al-

    Fakhr al-Razie, seperti dikutif Yusuf Qardhawie, mengatakan bahwa

    memperhatikan ungkapan kalimat sabilillah, seharusnya tidak terbatas padarelawan perang (al-ghuzat), oleh karena itu Imam Qafal melansir pendapat

    sebagian ulama fikih bahwa mereka membolehkan pendistribusian dana zakat

    kepada suluruh kebaikan, termasuk didalamnya penyediaan kain kafan,

    membangun gidung dan atau membiayai operaonal masjid. Yusuf Qardhawie

    mempertanyakan siapa sebenarnya ulama fikih yang dimaksud oleh Imam Al-

    Qafal. Tetapi menurut hemat saya Imam Ar-Razie yang melansir pendapat

    tersebut ternyata tidak mempersoalkan sama sekali, sehingga dapat didugabahwa Imam Ar-Razie tidak meragukan kredibilitas Imam Al-Qafal sebagai

    seorang ulama yang dapat diterima riwayatnya. Selanjutnya dapat ditegaskan

    bahwa yang dimaksud ulama dalam hal ini, seperti dijelaskan oleh para peneliti

    (muhaqqiqin), adalah para mujtahid.16

    Ibnu Sabil, orang yang sedang dalam perjalanan yang mengalami

    kesulitan biaya perjalanannya. Adapun orang yang hendak melakukan

    perjalanan, maka menurut Imam Asy-Syafiie dan Ahmad bin Hanbal boleh

    diberi bantuan dari dana zakat, sementara yang lain mengatakan tidak boleh.

    Ibnu al-Jauzi menjelaskan dalam Tafsirnya bahwa yang dimaksud Ibnu Sabil

    ada tiga pengertian, pertama,menurut Said bin Zuber, Adh-Dhahaq, Muqatil,

    Al-Farra, Ibu Qutaibah dan Az-Zajjaj bahwa Ibnu Sabil adalah tamu; kedua

    menurut Rabi bin Anas, Mujahid dan Qatadah, ibnu sabil adalah musafir; dan

    ketiga menurut Imam Mawardi dengan melansir pendapat Imam Asy-Syafiie

    bahwa orang yang hendak melakukan perjalanan tetapi tidak mempunyai dana

    yang cukup, dapat diberi dana zakat dari asnaf Ibnu Sabil.17

    III.LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT

    Para ulama memperdebatkan tentang pengelolaan zakat, apakah hak

    muzaki (perorangan) ataukah lembaga pemerintah. Sebagian mereka

    15Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir Al-Maraghie (T.Tp, TP, Tt.), jld.4, hlm.145

    16Lihat : Yusuf Qardhawie, Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa falsafatiha fi

    Dhau al-Quran(Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 644-64517

    Lihat :17

    Ibnu al-Jauzie, Abu al-Faraj, Abdurrahman,Zad al-Masir fie Ilm al-Tafsir(Damasqus,al-Maktabah al-Islami, 1965), juz 1, hlm. 456179

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    9/23

    9

    mengatakan bahwa pengelolaan zakat adalah hak dan wewenang muzaki

    sepenuhnya, sementara yang lain mengatakan hak dan wewenang pemerintah.

    Selanjutnya mereka membagi obyek zakat menjadi dua bagian, pertama berupaharta yang nampak (al-amwal al-dhahirah), kedua berupa harta yang tidak

    nampak (al-amwal al-bathinah). Harta yang nampak ialah harta yang

    wujudnya dapat diketahui oleh orang lain seperti hasil pertanian, perkebunan

    dan peternakan, sedangkan harta yang tidak tampak adalah harta yang tidak

    mudah diketahui oleh selain pemiliknya seperti uang tabungan, perhiasan dan

    harta dagangan. Menurut ulama Hanafiyah obyek zakat yang berupa harta yang

    nampak adalah menjadi hak dan wewenang pemerintah, sedangkan harta yangtidak nampak menjadi hak dan wewenang muzaki.

    Sementara itu ulama Malikiyah mengatakan bahwa pengelolaan harta

    zakat semua menjadi hak dan wewenang pemerintah. Selanjutnya mereka

    memperdebatkan bagaimana seandainya pemerintahnya tidak adil, sebagian

    mereka mengatakan tetap wajib diserahkan kepada pemerintah melalui petugas

    pemungut. Adapun apabila mereka menyelewengkan dana zakat, maka mereka

    bertanggungjawab sendiri, muzaki sudah bebas karena sudah membayar.

    Sementara yang lain mengatakan tidak wajib diserahkan kepada pemerintah

    yang tidak adil sehingga apabila menyerahkan kepada mereka dan ternyata

    tidak disalurkan, muzaki harus membayarnya lagi. Ulama Syafiiyah

    berpendapat boleh dikelola sendiri oleh muzaki, tetapi menurut qaul qodim

    tidak boleh dikelola sendiri, melainkan harus diserahkan kepada pemerintah.18

    Perselisihan ulama fikih dalam masalah tersebut berpengaruh terhadap

    perjalanan sejarah pengelolaan zakat di Indonesia. Hasil survey yang dilakukan

    oleh Public Interest Research and Advocasy Centre (PIRAC) pada tahun 2000,

    menunjukkan bahwa sebahagian besar para wajib zakat (muzaki) lebih suka

    menyalurkan zakatnya sendiri atau melalui panita (amil) yang ada disekitar

    rumahnya (94%), hanya sedikit saja para wajib zakat yang menyalurkan

    zakatnya melalui lembaga resmi, BAZ atau LAZ (6%)19.

    18Yusuf Qardhawie, Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamiha wa falsafatiha fi Dhau al-Quran(Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 644-645

    19Kurniawati,Kesermawanan Kaum Muslimin (Jakarta, Piramedia, 2004), hlm.28

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    10/23

    10

    IV.PEMBERDAYAAN MUSTAHIK

    Hasil Kajian Asian Development Bank (ADB) menyatakan potensi zakat

    di Indonesia mencapai 100 triliun, sementara yang terkumpul di Baznas masihsangat kecil. Dana zakat yang terkumpul di Baznas pada tahun 2007 hanya

    mencapai 450 milyar, pada tahun 2008 meningkat menjadi 920 milyar, pada

    tahun 2009 bertambah menjadi 1,2 triliun, dan pada tahun 2010 bertambah lagi

    mencapai 1,5 triliun. Hasil penelitian Baznas terbaru, bekerjasama dengan

    Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor menjelaskan

    potensi zakat Nasional tahun 2011 mencapai 217 trilyun. Terdiri atas potensi

    zakat Rumah Tangga sebesar 82,7 trilyun, potensi zakat Industri SwastaNasional 114,89 trilyun, potensi Zakat BUMN 2,4 trilyun dan potensi zakat

    Tabungan 17 trilyun. Potensi zakat nasional ini setara dengan 20% dari

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Akan tetapi dari jumlah tersebut

    yang terkumpul baru 1% saja.

    Sementara zakat di Jawa Barat, menurut ketuanya, Muhammad Suryani

    Ichsan, pada tahun 2012 potensi zakat mencapai 8 trilyun. Akan tetapi pada

    tahun 2011 yang terkumpul baru 176 milyar. Pada tahun 2012, seperti

    diharapkan oleh Baznas, ditargetkan sebesar 190 milyar, tetapi hasilnya sampai

    dengan bulan Oktober belum tercapai. Adapun potensi zakat di Kabupaten

    Cirebon brdasarkan hasil penelitian tahun 2005 jumlahnya mencapai 60

    milyar, sementara yang terhimpun baru dari zakat profesi, yaitu pada tahun

    2011 terkumpul 960 juta dari potensi zakat 8 milyar. Sementara zakat fitrah

    dari potensi sebesar 35 milyar, yang terkumpul baru 3,3 milyar. Pada tahun

    2013 Bazda Kabupaten Cirebon merencanakan bekerjasama dengan lembaga

    perguruan tinggi untuk mengadakan penelitian tentang potensi Zakat di

    Kabupaten Cirebon, karena data yang ada sudah tidak relevan. Berapa potensi

    zakat dari sektor produksi dan dari sektor industri dan jasa masih belum

    diketahui dengan pasti. Demikian pula data kaum dhuafa (fakir dan miskin)

    yang menjadi sasaran zakat belum diketahui secara rinci. Oleh karena itu perlu

    penelitian sehingga program pengumpulan dan pendayagunaan zakat dapat

    direncanakan dengan tepat.

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    11/23

    11

    1.Pemberdayaan Fakir Miskin

    Pendistribusian zakat, baik yang bersumber dari zakat fitrah maupun

    dari zakat mal tidak dipisahkan. Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmumenjelaskan bahwa pada prinsipnya madzhab Syafiie tidak memisahkan antara

    pendistribusian zakat fitrah dengan pendistribusian zakat mal. Zakat fitrah

    didistribusikan kepada delapan asnaf sebagaimana zakat mal didistribusikan

    kepada delapan asnaf.20 Demikian pula Ibnai Qudamah (Muwaffiquddin dan

    Syamsuddin) mengatakan dalam kitabnya Al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir,

    bahwa sasaran zakat fitrah adalah sama dengan sasaran zakat mal. Alasannya

    karena kedua-duanya adalah zakat atau shadaqah yang disebutkan secaraumum didalam Al-Quran.21

    Ulama fikih periode klasik telah mendiskusikan pengelolaan zakat yang

    efektif. Mereka memperbincangkan seberapa jauh dana zakat dapat

    didistribusikan kepada kaum fakir dan miskin agar mereka berdaya. Sebagian

    ulama mengatakan agar diberi dana zakat hingga cukup untuk satu tahun, dan

    sebagian lagi hingga cukup untuk seumur hidup.22 An-Nawawi menjelaskan

    bahwa ulama Syafiiyah wilayah Irak dan kebanyakan ulama Syafiiyah wilayah

    Kharasan menetapkan bahwa untuk kaum fakir dan miskin diberikan dana

    zakat yang mencukupi hidupny. Tujuannya agar kaum fakir dan miskin yang

    menggantungkan hidupnya pada orang lain dapat berubah menjadi kaum yang

    mampu mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang tahun.

    An-Nawawi menegaskan bahwa pendapat yang demikian berasal dari Imam

    Asy-Syafiie. Mereka beralasan dengan hadits Qabishah bin al-Mukhariq, bahwa

    Nabi SAW bersabda :

    20Lihat : An-Nawawie, Kitab Al-Majmu, juz 6, hlm. 112

    21 Lihat : Ibnai Qudamah, Muwaffiquddin dan Syamsuddin, Al-Mughni wa Syarah al-Kabir

    (Bairut, Dar al-Fikr, Tt), juz 2, hlm. 70922

    Lihat : Yusuf al-Qardhawi,Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamihawa Falsafatiha fiDlau al-Quran wa al-Sunnah(Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 564

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    12/23

    12

    Artinya Tidak boleh meminta-minta kecuali tiga hal, yaitu : (1) seseorang

    yang hidup susah (menanggung beban berat), maka boleh meminta-minta

    sekedar menutupi kebutuhan hidupnya kemudian berhenti; (2) seseorang

    yang tertimpa bencana hingga hartanya habis, maka ia boleh meminta-minta

    hingga penghidupannya dapat berdiri atau penghidupannya terpenuhi; dan

    (3) seseorang yang jatuh miskin yang dinyatakan sekurang-kurangnya oleh

    tiga orang ahli bahwa yang bersangkutan jatuh miskin, maka yang

    bersangkutan boleh meminta-minta hingga penghidupannya dapat berdiri

    atau penghidupannya terpenuhi. Adapun selain tiga orang tersebut, maka

    apabila meminta-minta berdosa hai Qabishah, berarti makan haram (HR

    Muslim)

    Teks hadits menyebutkan kategori-kategori fakir dan kategori-kategori

    miskin sekurang-kurangnya direkomendasikan oleh tiga orang ahli yang dapat

    dipercaya. Namun menurut ulama Syafiiyah, seperti dikemukakan oleh An-

    Nawawi, bahwa rekomendasi dari tiga orang ahli tersebut hanyalah sebagai

    kesaksian publik belaka, bukan sebagai persyaratan untuk memperoleh hak dari

    dana zakat. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa apabila yang bersangkutan

    memiliki keahlian atau keterampilan kerja, maka kaum fakir dan miskin diberi

    modal yang cukup dari dana zakat, termasuk untuk membeli alat-alat kerja

    hingga memperoleh keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.Para ulama memperkirakan apabila tukang sayur cukup diberi modal 5-10

    dirham, apabila pedagang emas atau permata diberi modal hingga 10.000

    dirham, apabila pedagang kain atau pedagang roti atau pedagang minyak

    wangi, maka diberi modal sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dan

    apabila yang bersangkutan mempunyai profesi sebagai tukang jahit atau tukang

    kayu atau tukang batu maka diberi modal yang mencukupi untuk membeli

    peralatan kerja mereka. Bahkan apabila yang bersangkutan adalah petani, maka

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    13/23

    13

    boleh diberikan dana zakat yang cukup untuk membeli tanah kemudian diolah

    dan hasilnya dapat menutupi kebutuhan bertahun-tahun.23

    Sementara itu ulama Syafiiyah mempersoalkan bagaimana bentukpemberdayaan mustahik apabila yang bersangkutan tidak mempunyai

    keterampilan apa-apa. Sebagian ulama mengatakan boleh diberi dana zakat

    yang cukup untuk seumur hidup. Tetapi Imam Al-Mutawali mengatakan agar

    dibelikan tanah pertanian untuk digarap sendiri dan hasilnya dapat memenuhi

    kebutuhan hidup bertahun-tahun. Sementara Imam Ar-Rafiie berpendapat

    agar yang bersangkutan diberi dana zakat yang cukup untuk hidup bertahun-

    tahun. Imam An-Nawawie setuju dengan pendapat pertama yang menyatakanboleh dibelikan tanah untuk digarap sehingga hasilnya dapat menghidupi

    bertahun-tahun, karena bersifat produktif, bukan konsumtif. Namun Imam Al-

    Baghawi dan Al-Ghazali dengan mengutip pendapat ulama Kharasan

    mengatakan bahwa yang bersangkutan hanya boleh diberi dana zakat yang

    cukup untuk satu tahun saja, tidak boleh lebih dari itu. Alasannya karena dana

    zakat dianggarkan setiap tahun, maka pendistribusian juga menjangkau

    tahunan.24

    Lebih lanjut para ulama memperbincangkan pemberdayaan kaum fakir

    dan miskin hingga menjangkau biaya pendidikan dan perkawinan. Yusuf

    Qardlawi melansir beberapa pendapat ulama fikih tentang apakah orang yang

    menghabiskan waktunya untuk ibadah sama dengan orang yang menhabiskan

    waktunya untuk memperdalam ilmu. Jawabannya tidak sama, mereka

    mengatakan bahwa orang yang menghabiskan waktunya untuk memperdalam

    ilmu boleh diberi dana zakat, sementara orang yang menghabiskan waktunya

    untuk beribadah tidak boleh diberi dana zakat. Alasannya karena untuk ibadah

    tidak membutuhkan waktu yang lama, sementara memperdalam ilmu

    memerlukan waktu yang lama. Alasan lain dapat dikemukakan bahwa ibadah

    hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, sedangkan memperdalam ilmu

    bermanfaat untuk dirinya dan untuk orang lain.

    23An-Nawawie, Abu Zakaria, Muhyiddin bin Syaraf, Kitab al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab liAl-Syairazie(T.Tp., Dar Ihya al-Turats, 1995), juz 6, hlm. 175

    24Ibid, hlm. 176

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    14/23

    14

    Adapaun mengenai biaya perkawinan, ulama fikih, seperti dikutif Yusuf

    Qardlawi, untuk membayar maskawin dan lain-lain boleh diberi dana zakat

    dengan catatan yang bersangkutan belum mempunyai isteri. Namun sebagianulama mengatakan bahwa bagi orang hiper sex yang tidak cukup dengan satu

    orang isteri padahal ia tidak mampu membayar maskawinnya, boleh diberi

    dana zakat untuk biaya perkawinan yang keduanya. Mereka beralasan bahwa

    Islam melarang untuk melajang (tidak menikah) dan melarang usaha untuk

    mematikan syahwat (dikebiri) serta memerintahkan untuk menikah. Oleh

    karena itu Umar bin Abdul Aziz ketika masyarakatnya telah makmur, pada

    setiap hari mengumumkan : Dimanakah orang-orang miskin, dimanakahorang-orang yang terjerat hutang, dan dimanakah orang-orang yang ingin

    menikah tetapi tidak mempunyai biaya? Seruan tersebut bertujuan untuk

    menyalurkan dana zakat yang tersimpan di Baitul Mal.25

    2. Pemberdayaan Muallaf

    Muallaf, sebagaimana telah diterangkan di atas, didefinisikan sebagai

    orang atau orang-orang yang imannya lemah dan perlu dibujuk agar menjadi

    kuat, atau orang-orang kafir yang dapat diharapkan masuk Islam atau ditakuti

    akan berbuat makar, diberi dana zakat agar menjadi jinak. Dari sini dapat

    diketahui bahwa Islam tidak hanya memperhatikan kehidupan individu

    (ekonomi mikro), melainkan juga memperhatikan kehidupan masyarakat yang

    lebih luas (ekonomi makro). Imam Az-Zuhri pernah ditanya tentang yang

    dimksud muallaf, beliau menjawab : yaitu orang-orang yang baru memeluk

    Islam dari kaum Yahudi dan Nasrani. Kemudian beliau ditanya lagi tentang

    apakah muallaf yang kaya dapat diberi dana zakat? Jawabnya ya, muallaf yang

    kaya diberi bagian zakat.26

    Pemberdayaan asnaf muallaf ternyata lebih luas, karena tidak hanya

    memberdayakan kaum muslim yang lemah imannya, tetapi juga meredam

    gejolak sosial yang dipicu oleh orang-orang kafir. Orang-orang kafir yang dapat

    diharapkan masuk Islam atau dikhawatirkan dapat memicu konflik seperti

    25Yusuf al-Qardhawi,Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamihawa Falsafatiha fi Dlau al-Quran

    wa al-Sunnah(Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 568-57026

    Ath-Thabari, Abu Jafar, Muhammad Ibnu Jarir,Jami al-Bayan fie Tafsir al-Quran (Bairut, Daral-Marifah, 1987), jld.6, juz 10, hlm. 113

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    15/23

    15

    Shafwan bin Umayah dapat diberi dana zakat. Nabi pernah memberikan

    sejumlah besar unta kepada Shafwan ketika fathu Makkah padahal yang

    bersangkutan adalah orang kaya. Akhirnya Shafwan berkata : Demi Allahbahwa Nabi SAW telah memberikan sejumlah unta kepadaku padahal dia

    adalah orang paling aku benci. Tetapi karena beliau selalu memberi aku, maka

    bagiku beliau adalah orang yang paling aku cintai.Demikian pula orang-orang

    kafir yang sangat membenci Islam dan suka melakukan tindak kekerasan

    terhadap kaum muslim, dapat diberi dana zakat dengan tujuan untuk meredam

    gejolak yang akan timbul dari kebencian tersebut.27 Nabi SAW pernah

    memberikan dana zakat kepada Abu Sufyan bin Harb, Al-Aqra bin Habis danUyainah bin Hishn masing-masing 100 unta padahal mereka adalah orang-

    orang kafir yang suka bertindak kasar terhadap kaum muslim. Namun

    demkianlah Nabi SAW memperlakukan mereka dengan harapan agar mereka

    berhenti menghasut kaumnya untuk tidak berbuat kerusakan terhadap kaum

    muslim.28

    Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan 11 tokoh

    Quraisy yang mendapat perhatian dari asnaf muallaf, yaitu (1) Abu Sufyan bin

    Harb, dari Bani Umayah, (2) Al-Hats bin Hisyam dan Abdurrahman bin Yarbu,

    dari Bani Makhzum, (3) Shofwan bin Umayah, dari Bani Jamh, (4) Suhel bin

    Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza, dari Bani Amir bin Luay, (5) Hakim bin

    Hizam, dari Bani Asad bin Abdul Uzza, (6) Sufyan bin al-Harts bin Abdul

    Muthalib, dari Bani Hasyim, (7) Uyainah bin Hishn bin Badar, dari Bani

    Fazarah, (8) Al-Aqra bin Habis, dari Bani Tamim, (9) Malik bin Auf, dari Bani

    Nashr, (10) Al-Abbas bin Mardas, dari Bani Salim, dan (11) Al-Ala bin Haritsah,

    dari Bani Tsaqif. Nabi SAW memberikan dana zakat kepada mereka masing-

    masing 100 ekor unta, kecuali Abdurrahman bin Yarbu dan Khuwaithib bin

    Abdul Uzza, masing-masing dari keduanya diberi 50 ekor.29

    27Lihat : Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat Dirasah Muqaranah li Ahkamihawa Falsafatiha fi

    Dlau al-Quran wa al-Sunnah(Bairut, Muassasah al-Risalah, 2000), juz 2, hlm. 59628Lihat : Sayid Sabiq,Fiqh al-Sunnah (Bairut, Dar al-Fikr, 1977), juz 1, hlm. 329-33029

    Ath-Thabari, Abu Jafar, Muhammad Ibnu Jarir, Jami al-Bayan fie Tafsir al-Quran (Bairut, Daral-Marifah, 1987), jld.6, juz 10, hlm. 112

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    16/23

    16

    3. Pemberdayaan Ghorim

    Ghorim adalah orang atau orang-orang yang mempunyai hutang tetapi

    tidak mampu membayar. Abu Hanifah, seperti disebutkan di atas, ghorimadalah orang yang memiliki sejumlah hutang dan apabila hutangnya dibayar

    sisa hartanya tidak mencapai satu nisab. Lebih lanjut Imam Malik, Syafiie dan

    Ahmad membagi ghorim menjai dua macam, ghorim yang berhutang untuk

    memenuhi kepentingan pribadi dan ghorim yang berhutang untuk memenuhi

    kepentingan masyarakat. Yang dimaksud hutang untuk memenuhi kepentingan

    pribadi ialah hutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memberi

    nafkah, membeli pakaian, perabotan rumah tangga, membayar biayapengobatan, dan sebagainya. Sedangkan hutang untuk kepentingan umum ialah

    hutang untuk menanggung biaya perdamaian kasus persengketaan antara dua

    suku, atau menanggung biaya untuk membayar diat saudaranya, atau untuk

    membangun panti jompo, dar al-aitam, rumah sakit tempat berobat orang-

    orang miskin dan membangun masjid atau madrasah dan lainnya.30

    Baik ghorim yang berhutang untuk memenuhi kepentingan pribadi

    maupun untuk memenuhi kepentingan umum jika tidak mampu membayar,

    dapat diberi dana zakat untuk membayar hutangnya. Kiranya perlu ditegaskan

    disini bahwa ghorimin yang memiliki uang yang cukup untuk membayar

    hutang-hutangnya tidak boleh diberi dana zakat. Oleh karena itu

    pendisitribusian dana zakat kepada ghorimin harus disesuaikan dengan

    kepentingan untuk membayar hutangnya, yaitu (1) hutang tersebut sudah jatuh

    tempo, (2) bukan hutang untuk maksiat, dan (3) hanya untuk membayar sisa

    hutang yang tidak terbayar.31

    4. Pemberdayaan Dana Sabilillah

    Pemberdayan dana sabilillah, seperti telah disebutkan di atas,

    diperdebatkan para ulama, baik klasik maupun modern. Sebagian besar mereka

    menetapkan bahwa asnaf sabilillah adalah relawan perang. Sementara yang lain

    memasukan sarana dan prasarana yang digunakan untuk peperangan termasuk

    sabilillah. Selanjutnya Imam Ahmad memperluas pengertian sabilillah hingga

    30Lihat : Yusuf Qardhawi,Fiqh al-Zakat, juz 2, hlm. 623 & 630

    31Ibid, hlm. 626

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    17/23

    17

    mencakup perjalanan haji, karena Nabi SAW pernah menyamakan haji dengan

    jihad fi sabilillah. Sebelumnya Umar bin Abdul Aziz memberikan dana zakat

    untuk biaya-biaya perkawinan. Dengan demikian ungkapan kalimat sabilillahdapat ditafsirkan secara luas. Beberapa ulama kontemporer seperti Musthofa

    Al-Maraghi, Sayid Quthub dan lain-lain memperluas pengertian sabilillah

    hingga menjangkau berbagai sektor kebajikan. Sayid Shadiq Hasan Khan,

    seperti dikutif Yusuf Qardhawi, memberikan penjelasan yang ekstrim, bahwa

    pengertian sabilillah mencakup jalan-jalan menuju Allah dan jihad. Lebih lanjut

    beliau mengatakan bahwa mendistribusikan dana zakat kepada para ulama

    yang bekerja mengurus kepentingan kaum muslim dan menegakkan agamaAllah adalah termasuk sabilillah.32 Rasyid Ridha dan Syaltut memberikan

    penjelasan yang lebih ekstrim lagi, bahwa sabilillah adalah kemaslahatan umat

    Islam secara umum, yaitu yang terkait dengan penegakkan agama dan negara,

    bukan bersifat perorangan.33

    5.Pemberdayan Amilin

    Selanjutnya ulama mempersoalkan seberapa banyak asnaf amilin dapat

    memperoleh hak agar dapat bekerja dan berdaya, sebagian mereka mengatakan

    hak amilin sebanyak seperdelapan dari dana zakat yang berhasil dikumpulkan,

    dan sebagian lain mengatakan bahwa hak mereka disesuaikan dengan tugas dan

    fungsi pekerjaannya. Adh-Dhahaq, Mujahid dan Asy-Syafiie berpendapat

    bahwa amilin berhak mendapat bagian seperdelapan dengan alasan mereka

    adalah salah satu asnaf dari delapan asnaf yang disebutkan dalam ayat di atas.

    Sedangkan menurut Abu Hanifah dan para pendukung madzhabnya yang

    dipandang kuat oleh Abu Jafar, berpendapat bahwa amilin mendapatkan hak

    dari dana zakat sesuai dengan tugas dan fungsinya, bukan seperdelapan.

    Mereka berpedoman pada petunjuk Abdullah bin Amru bin Ash bahwa dana

    zakat adalah hak orang-orang pincang, orang-orang juling, orang-orang tuli dan

    orang-orang yang tidak mampu bekerja. Adapun para mujahidin dan amilin,

    32Yusuf Qardhawi,Fiqh al-Zakat, juz 2, hlm. 647

    33Ibid, hlm. 648

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    18/23

    18

    mereka boleh mengambil haknya sekedar memberi imbalan atas pekerjaannya

    itu.34

    V.PROGRAM PRIORITAS

    Skala perioritas penyaluran zakat sesuai dengan ketentuan yang tertuang

    dalam QS At-Taubat, 9 : 60, ialah : fakir, miskin, amilin, muallaf, riqab,

    gharimin, sabilillah dan ibnu sabil, tetapi BAZ Kabupaten Cirebonmenentukan

    urutan perioritas untuk asnaf fakir, miskin dan sabilillah. Kemudian asnaf

    amilin dengan menitikberatkan pada biaya operional, bukan pada

    kesejahteraan. Adapun asnaf muallaf, ibnu sabil dan gharimin diberi alokasisangat kecil. Sedangkan asnaf riqab hanya untuk perhatian saja (up). Rincian

    prosentase pengalokasian dana ZIS untuk masing-masing asnaf, sesuai

    Keputusan Dewan Pertimbangan yang mengacu pada Keputusan Gubernur,

    adalah : fakir 35%, miskin 25%, amilin 12,5%, muallaf, 1%, riqab 0%, gharimin

    0,5%, sabilillah 25,5% dan ibnu Sabil 0,5%

    Penyaluran hasil pengumpulan dana zakat setiap tahun dilaksanakan

    berdasarkan Keputusan Rapat Pleno Tahunan yang dihadiri oleh semua unsur,

    yaitu unsur Dewan Pertimbangan yang anggota-anggotanya terdiri dari para

    pejabat dan ulama, unsur pengawas, dan unsur Dewan Pelaksana. Dalam tiga

    tahun terakhir dana zakat, terutama yang bersumber dari zakat mal (zakat

    profesi) diarahkan untuk kepentingan produktif. Pada tahun 2010 membangun

    rumah tidak layak huni (Rutilahu) sebanyak 22 unit, tahun 2011 sebanyak 32

    unit dan tahun 2012 sebanyak 52 unit. Besarnya biaya yang disediakan untuk

    setiap unit antara 9-15 juta rupiah. Bantuan untuk Madrasah Diniyah pada

    tahun 2010 sebanyak 22 madrasah, tahun 2011 sebanyak 40 madrasah dan

    tahun 2012 sebanyak 52 madrasah. Besarnya bantuan antara 5-10 juta rupiah.

    Pemberian bantuan stimulan kepada para siswa miskin berprestasi setiap tahun

    mencapai 1600-1800 siswa, masing-masing 200-300 ribu rupiah. Pemberian

    kepada guru ngaji, guru agama honorer (guru DTA), relawan penyuluh, dan

    lembaga-lembaga penyantun yatim-piatu. Walaupun jumlah dan besarnya

    34 Lihat : Ath-Thabari, Abu Jafar, Muhammad Ibnu Jarir, Jami al-Bayan fie Tafsir al-Quran

    (Bairut, Dar al-Marifah, 1987), jld.6, juz 10, hlm. 111; dan lihat :Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali binMuhammad, Fathul Qadir Al-Jami Baina Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah min Ilm al-Tafsir (Bairut,Maktabah Al-Ashriyah, 1995), juz 2, hlm. 463

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    19/23

    19

    bantuan tidak memadai dibandingkan dengan jumlah dan kerja para relawan,

    tetapi Bazda Kabupaten Cirebon telah menyapa mereka setiap tahun.

    Sesungguhnya masih banyak putra-putri miskin Kabupaten Cirebon yangberprestasi dan terpilih untuk meneruskan studi di luar negeri seperti Jerman,

    Mesir, dan lainnya yang perlu didukung dengan dana zakat, tetapi dana zakat

    Kabupaten Cirebon masih terbatas.

    Kiranya perlu dikemukakan di sini bahwa program pemberdayan

    tersebut tidak berarti mengabaikan pendistribusian konfensional yang bersifat

    konsumtif. Hasil pengumpulan zakat fitrah yang diperoleh dari jalur

    masyarakat, dialokasikan untuk asnaf fakir-miskin sebesar 60% dan didistribusilangsung di tempat pengumpul pada hari raya (100%). Dana yang dikelola di

    Bazda adalah dana sabilillah yang sebagian besarnya berasal dari zakat mal

    (zakat profesi). Dan dana amilin sebesar 12,5% digunakan untuk operasional di

    UPZ 8%, operasional di Kecamatan 2% dan operasional di Kabupaten 2,5%.

    Dana amilin di Kabupaten sebesar 2,5% digunakan untuk biaya transportasi

    dan rapat-rapat. Adapun honor staf diperoleh dari APBD Kabupaten Cirebon

    sebesar 100 juta rupiah.

    VI.PROGRAM PEMBERDAYAAN

    Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Badan Amil Zakat Daerah

    (Bazda) dengan berpedoman pada keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia

    yang membolehkan mentasharufkan dana zakat untuk kegiatan produktif,

    investasi (istitsmar) dan untuk kemaslahatan umum35 dan berpedoman pada

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 pasal 27 yang menyebutkan bahwa

    zakat dapat digunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir

    miskin dan pengangkatan kualitas umat. Selanjutnya dalam penjelasannya

    mengatakan bahwa yang dimaksud dengan usaha produktifialah usaha yang

    mampu meningkatkan pendapatan, taraf hidup, dan kesejahteraan masyarakat,

    dan yang dimaksud dengan peningkatan umatialah peningkatan sumber daya

    manusia. Maka Baznas melakukan pemberdayaan mustahik dengan beberapa

    kegiatan. Pertama pengembangan ekonomi berupa penyaluran modal kepada

    35Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI (Jakarta, Erlangga, 2011), hlm. 159 & 199.

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    20/23

    20

    perorangan maupun kelompok, penyaluran bantuan kepada pengusaha mikro,

    pembangunan industri dan penciptaan lapangan pekerjaan. Keduapembinaan

    Sumber Daya Manusia (SDM) berupa beasiswa, diklat dan kursus keterampilan,dan membuat lembaga pendidikan untuk fakir miskin. Ketiga layanan sosial

    seperti menyediakan mobil jenazah, menyediakan angkutan kerja gratis,

    angkutan sekolah gratis, biaya kesehatan dan obat-obatan, bayar SPP dan

    sebagainya.

    VII.PENUTUP

    Zakat adalah sumber keuangan publik, memiliki kekuatan ekonomiyang dapat mensejahterakan masyarakat. Agar dana zakat berdaya guna dan

    berhasi guna, harus diarahkan bukan hanya untuk menutupi kebutuhan

    konsumtif individu, tetapi lebih diarahkan untuk kepentingan sosial yang

    produktif. Sudah saatnya umat Islam merubah paradigma, dari kerangka

    berfikir bagaimana nasib fakir mikin hari ini, menuju kerangka berfikir

    bagaimana nasib mereka di hari esok.

    Wallahu AlamBishshawab

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    21/23

    21

    DATA KAUM DHUAFA

    1. NASIONAL :

    BADAN PUSAT STATISTIK (BPS) : PENDUDUK KATEGORI MISKIN,

    YANG BERPENGHASILAN DI BAWAH 280 RIBU/BULAN ATAU DI

    BAWAH 2 US DOLAR/HARI PADA TAHUN 2011 : 57,14 JUTA JIWA(22%)

    Menurut Harry Hikmat, Penduduk miskin di Indonesia (baca : umat Islam) setelah

    krisis moneter tahun 1997 meningkat hingga tiga kali lipat. Jumlahnya pada bulan

    Agustus 1998 mencapai 39,1% atau 79,4 juta orang dibandingkan dengan sebelumnya

    pada awal Repelita VI hanya 25,9 juta orang, bahkan menurun hingga 22,6 juta orang

    atau 11,3%.

    Dampak lain dari krisis moneter menimbulkan peningkatan angka pengangguran

    dan anak jalanan (street children) yang cukup besar.36

    Meningkatnya

    kemiskinan dan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis moneter tersebut

    merupakan masalah nasional yang perlu ditangani secara masif. Sungguhpun

    pemerintah telah melakukan upaya-upaya penanggulangan, seperti Gerakan

    Terpadu Penanggulangan Kemiskinan (Gardu Taskin), Proyek Peningkatan

    Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan

    terakhir Konpensasi Bahan Bakar Minyak (Konpensasi BBM) atau Bantuan

    Langsung Tunai (BLT) tetapi hasilnya belum tuntas. Dalam kondisi masyarakat

    yang demikian, seharusnya lembaga wakaf dapat menjadi instrumen yang

    kontributif terhadap pemecahan problem sosial tersebut, bukan sebaliknya,

    malah membebani masyarakat dengan sumbangan-sumbangan dan patungan

    36 Lihat 36 R. Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung, Humaniora Utama Press, 2004),

    hlm.122

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    22/23

    22

    2. REGIONAL JAWA BARAT :

    GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI JAWA BARAT SETIAP

    MEMASUKI BULAN RAMADHAN NAIK 60-70%

    3. LOKAL KABUPATEN CIREBON (DATA DARI DINSOS) :

    1) RUTILAHU : 16.923 UNIT

    2) RTM : 96.971

    3) PENGEMIS : 505 ORANG

    4) GELANDANGAN : 219 ORANG

    DAFTAR ISI

    I. PENDAHULUAN 1

    II. LANDASAN PENGELOLAAN 2

    III.

    PENGELOLA ZAKAT 5

    IV. PEMBERDAYAAN MUSTAHIK 6

  • 5/20/2018 Manajemen Pendayagunaan Zakat

    23/23

    23

    1. Pemberdayaan Fakir Miskin 7

    2. Pemberdayaan Muallaf 9

    3.

    Pemberdayaan Ghorimin 104. Pemberdayaan Dana Sabilillah 10

    5. Pemberdayan Amilin 11

    V. PROGRAM PRIORITAS 11

    VI. PROGRAM PEMBERDAYAAN 12

    VII. PENUTUP 12