43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah bagian dari Dunia Internasional, setiap negara menjalin hubungan dengan negara lainnya guna mengadakan transaksi-transaksi yang saling menguntungkan antar negara. Transaksi internasional berupa import barang dari luar negeri, ekspor barang ke luar negeri, adalah merupakan bagian dari transaksi perdagangan internasional. Transaksi tersebut tentu mengakibatkan salah seorang penduduk dari salah satu negara tersebut memperoleh penghasilan. Penduduk yang memperoleh penghsilan tersebut disebut subyek pajak, sedangkan hasil yang diperoleh adalah obyek pajak. Disamping kerjasama ekonomi berupa perdagangan, kerjasama antar negara juga menyangkut kerjasama lainnya seperti kerjasama keamanan dan kerjasama dibidang sosial budaya lainnya. Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara tersebut guna mencapai komitmen bersama, dalam bentuk perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan antar negara tersebut, tidak terkecuali yang terkait dengan aspek perpajakan. Setiap penduduk asing di seluruh Dunia, tidak dilarang jika mereka ingin melakukan usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau menanamkan modal di Indonesia, atas hasil yang diterima penduduk asing tersebut, dapat dikenakan pajak di 1

Manajemen Perpajakan Internasional

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tax Planning

Citation preview

Page 1: Manajemen Perpajakan Internasional

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah bagian dari Dunia Internasional, setiap negara menjalin hubungan

dengan negara lainnya guna mengadakan transaksi-transaksi yang saling menguntungkan

antar negara. Transaksi internasional berupa import barang dari luar negeri, ekspor barang ke

luar negeri, adalah merupakan bagian dari transaksi perdagangan internasional. Transaksi

tersebut tentu mengakibatkan salah seorang penduduk dari salah satu negara tersebut

memperoleh penghasilan. Penduduk yang memperoleh penghsilan tersebut disebut subyek

pajak, sedangkan hasil yang diperoleh adalah obyek pajak.

Disamping kerjasama ekonomi berupa perdagangan, kerjasama antar negara juga

menyangkut kerjasama lainnya seperti kerjasama keamanan dan kerjasama dibidang sosial

budaya lainnya.

Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara tersebut guna mencapai

komitmen bersama, dalam bentuk perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan

antar negara tersebut, tidak terkecuali yang terkait dengan aspek perpajakan.

Setiap penduduk asing di seluruh Dunia, tidak dilarang jika mereka ingin melakukan

usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau menanamkan modal di Indonesia, atas hasil

yang diterima penduduk asing tersebut, dapat dikenakan pajak di negara Indonesia.

Pengenaan pajak yang dilakukan di Negara Indonesia dapat dilakukan dengan kewenangan

yang dimiliki Negara Indonesia sebgai pemegang kedaulatan hukum dan wilayah, namun

demikian juga harus mempertimbangkan aspek perekonomian nasional dan hubungan

kerjasama antar negara.

Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan aspek

perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna

meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat

investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak

yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi tersebut.

Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak

pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap negara dipastikan mengatur

adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap negara bebas 1

Page 2: Manajemen Perpajakan Internasional

melakukan penghitungan pajak untuk badan/warga negara lain? Pajak internasional

merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus

tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina.

Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional dirasa kurang

memadai, karena hanya sedikit jumlah wajib pajak yang terlibat dalam transaksi

internasional. Sebagian masyarakat atau wajib pajak yang tidak memahami pajak

internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia umumnya bukan subjek pajak

terkait dengan aspek pajak internasional. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika kita mau

mempelajari tentang perpajakan yang terkait dengan penghasilan penduduk kita di negara

lain, atau penduduk negara lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, hal ini guna

menambah wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita bersinggungan atau

bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari negara lain.

2

Page 3: Manajemen Perpajakan Internasional

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Hukum Pajak Internasional

Sebelum memahami tentang pengertian pajak internasional, maka sebaiknya kita

harus mengerti tentang pengertian hukum internasional, karena pemberlakuan pajak tidak

lepas dari ketentuan hukum formal negara tersebut.

Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah internasional adalah:

a. perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus;

b. kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah

diterima sebagai hukum;

c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

d. keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai

negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.

Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian hukum bangsa-

bangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antara negara- negara. Hukum

internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara

negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas

negara-negara nasional. Dengan demikian sebelum kita memahami pengertian pajak

internasional, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui kaedah hukum internasional,

karena perpajakan merupakan bagian aturan negara nasional dan untuk menerapkan ke

masyarakat internasional harus mengikuti hukum internasional yang berlaku antar negara.

Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional tidak bisa menghindari pelaksanaan tax

treaty, manakala masyarakat Indonesia telah berhubungan dan memperoleh penghasilan di

negara lain tersebut. Atau Indonesia juga tidak dapat menerapkan perpajakan

terhadap kedutaan karena terikat dengan konvensi internasional, meskipun belum

mengadakan tax treaty asalkan ada asas timbal balik. Oleh karena itu hukum

internasional, baik diatur secara khusus atau tidak, jika telah disepakati dalam dunia

internasional mau tidak mau, Indonesia harus tunduk dan patuh akan hal tersebut,

tidak terkecuali dalam hal perpajakan.

Ottmar Buhler membagi hukum pajak internasional dalam arti sempit dan

hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum pajak internasional dalam arti

sempit adalah kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar 3

Page 4: Manajemen Perpajakan Internasional

bangsa (hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas ialah

kaedah-kaedah hukum antar bangsa., Menurut Rosendorff, hukum pajak internasional

sebagai keseluruhan hukum pajak nasional dari semua negara yang ada di dunia.

Menurut PJA Adriani , hukum pajak internasional ialah keseluruhan peraturan

yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu

di masing-masing negara. Pengertian hukum pajak internasional itu merupakan suatu

pengertian yang lebih luas dari pada pengertian pajak ganda dan hukum pajak nasional

itu termasuk di dalam hukum pajak internasional. Hukum pajak internasional merupakan

suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang- undang

nasional mengenai :

a. pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;

b. peraturan peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda;

c. traktat-traktat.

Menurut Negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi sebagai

berikut :

1. Hukum pajak nasional mengatur hukum pajak luar negeri (national external tax

law);

National external Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat

ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai

di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai

objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek ada di

luar negeri).

2. Hukum pajak luar negeri (foreign tax law);

Foreign tax law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan- peraturan pajak

dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.

3. Internasional tax law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak

internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang

berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain sebagainya,

dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik oleh

negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang

saling mempunyai kepentingan.

Sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah

baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang

4

Page 5: Manajemen Perpajakan Internasional

diterima baik oleh negara-negara di dunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang

mempunyai sebagai objeknya pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya

unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua

negara atau lebih.

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Hukum pajak internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas baik ruang

lingkup, kewenangan, dan kedudukannya;

2. Hukum ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama lain dengan

negara domisili

3. Hukum pajak nasional adalah merupakan bagian dari hukum pajak

internasional, dimana ketentuan hukum pajak nasional bila telah diatur dalam hukum

pajak internasional tentang hal tersebut, maka ketentuan hukum pajak internasional

yang digunakan;

4. Hukum pajak internasional merupakan keseluruhan hukum pajak nasional di

berbagai negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan pada hukum pajak

nasional;

5. Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah hukum pajak

internasional yang mengatur kedua negara yang saling berkepentingan, sedangkan

hukum pajak internasional dalam arti luas adalah hukum pajak internasional yang

berlaku bagi seluruh negara.

Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara

negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan

pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta

Sunservanda).

2.1.1 Perjanjian Internasional

Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian antar negara guna

menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian

negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat

negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian

internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan

instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas.

Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, perjanjian internasional

5

Page 6: Manajemen Perpajakan Internasional

adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional

yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk:

a. ratifikasi (ratification);

b. aksesi (accession);

c. penerimaan (acceptance);

d. penyetujuan (approval).

Berakhirnya perjanjian internasional adalah apabila terdapat kesepakatan para

pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan perjanjian tersebut

telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian,

salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian, dibuat suatu

perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama, muncul norma-norma baru dalam

hukum internasional, objek perjanjian hilang, terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan

nasional.

2.1.2 Jenis dan Penggolongan Perjanjian Internasional

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, jenis-jenis perjanjian internasional adalah

sebagai berikut:

a. perjanjian bilateral, dan

b. perjanjian multilateral

Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, sedangkan perjanjian

multilateral berarti perjanjian antara banyak pihak. Contoh perjanjian bilateral adalah

perjanjian Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok tentang dwi

kewarganegaraan, sedangkan perjanjian multilateral misalnya Konvensi Wina atau

Konvensi Jenewa. Sedangkan jika dilihat dari pembuatan kontrak perjanjian dan

keterikatan negara-negara yang terkait dalam perjanjian, dibagi dua:

a. kontrak perjanjian (treaty contract), dan

b. perjanjian-perjanjian yang menimbulkan hukum (law making treaties).

Kontrak perjanjian adalah suatu perjanjian hukum yang mengakibatkan hak dan

kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan law making treaties

adalah perjanjian hukum yang meletakkan ketentuan dan kaidah hukum bagi masyarakat

internasional sebagai keseluruhan.

6

Page 7: Manajemen Perpajakan Internasional

2.1.3 Perjanjian Perpajakan Internasional

Perjanjian perpajakan internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat

negara pada bidang-bidang perpajakan. Perjanjian perpajakan internasional tersebut

bentuknya adalah:

a. persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty)

b. cara penerapan (mode of application)

c. tata cara persetujuan bersama (mutual agreement procedure)

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian penghindaran

pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak

pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu

atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states).

Beberapa pasal dalam P3B memerlukan aturan pelaksanaan yang lebih jelas

mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (mode of application), misalnya tentang pasal

dividen dan bunga. Sedangkan jika terdapat perbedaan penafsiran atau penerapan

yang bertentangan dengan P3B antara kedua negara, maka diperlukan adanya mutual

agreement procedure.

2.2 Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional

Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga

dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara

lain :

1. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara

lain :

a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang

“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dalam rangka

penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”;

b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri

dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);

c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek

Pajak;

d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan

Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak

7

Page 8: Manajemen Perpajakan Internasional

Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk

Subjek Pajak Usaha Tetap;

e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa,

Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;

f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri;

g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas

Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:

a. Perjanjian bilateral;

b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

(P3B).

c. Perjanjian multirateral

Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

3. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak

Internasional.

Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut

tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag

yang memuat soal-soal perpajakan.

Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang

untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak

Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini

dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara

lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur

hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan

menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan

meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan

perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia

mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara.

Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga

perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar negara utuk

8

Page 9: Manajemen Perpajakan Internasional

mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing,

baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya.

Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun

kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana

tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewneng ini.

Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara

kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut,

dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak

terhadapperekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau

Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut

2.3 Aspek Perpajakan Internasional Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan

Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang

perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk

membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang

diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk

mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Salah satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam

penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (pph) yang pertama kali diberlakukan pada

tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983.

Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa dikenakan

apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau badan. Pada umumnya hampir

semua orang atau badan di Indonesia akan memenihi syarat subjektif dan jika  orang atau

badan ini memperoleh penghasilan maka syarat objektif juga terpenuhi. Jika subjek pajak

yang dikenakan pph adalah WNI yang penghasilannya berasal dari Indonesia juga, maka

tidak ada aspek pajak internasional dalam kasus ini. Namun demikian, karena definisi subjek

pajak tidak dikaitkan dengan kewarganegaraan maka terdapat kemungkinan ada warga

Negara asing atau badan asing yang dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di Indonesia.

Dalam kasus seperti ini, Pajak Penghasilan sudah menyentuh aspek pajak internasional.

Aspek pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan Indonesia menerima

atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena Pajak Penghasilan

Indonesia menerapkan prinsip worldwide income sehingga penghasilan dari luar negeri di

atas juga merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia. Dalam paragra-paragraf berikut saya

9

Page 10: Manajemen Perpajakan Internasional

coba untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU

Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008).

2.3.1 Subjek Pajak Luar Negeri

Dalam pengenaan Pajak Penghasilan, dikenal dua jenis subjek pajak yaitu subjek

pajak dalam negeri (disingkat SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). SPDN terdiri dari

SPDN Orang Pribadi dan SPDN Badan. SPDN Orang Pribadi adalah orang pribadi yang

bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus

delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang

dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di

Indonesia. Sementara itu SPDN Badan adalah badan yang didirikan atau bertempat

kedudukan di Indonesia.

SPLN adalah kebalikan dari SPDN dalam arti orang pribadi yang tidak bertempat

tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari

dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan suatu tahun pajak tidak berada di Indonesia

dan tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. SPLN yang berbentuk badan

adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Kedua

kelompok di atas (SPLN Orang Pribadi dan SPLN Badan) baru bias disebut SPLN jika

memdapatkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Nah, dilihat dari cara

mendapatkan penghasilannya dari Indonesia, SPLN ini terbagi menjadi dua jenis. Pertama

adalah SPLN yang mendapatkan penghasilan dengan memiliki tempat usaha tetap di

Indonesia. Tempat usaha tetap ini biasa disebut Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kedua, SPLN

yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT di Indonesia. Kedua bentuk

SPLN ini selanjutnya disebut SPLN BUT dan SPLN Non BUT.

2.3.2 Bentuk Usaha Tetap

Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik

orang pribdai atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of

business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin,

peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated

equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik

untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

10

Page 11: Manajemen Perpajakan Internasional

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Perwujudan BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan,

gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja

pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau

kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi, instalasi, atau

proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain,

sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)

bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen

atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan

komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan

oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

2.3.3 Penghasilan BUT

Penghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat

(1) UU pph, terdiri dari tiga jenis yaitu ;

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang

dimiliki atau dikuasai.

2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian

jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh

bentuk usaha tetap di Indonesia

3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor

pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta

atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud

Penghasilan BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang

dimiliki atau dikuasainya di Inonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force of

attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan kantor pusat BUT di

luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau pemberian jasa yang sejenis dengan

yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini ditarik sebagai penghasilan BUT nya di

Indonesia.

Penghasilan yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika

kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividend dan

11

Page 12: Manajemen Perpajakan Internasional

royalty dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunya hubungan efektif

dengan BUT, maka penghasilan ini akan diatribusi juga kepada BUT di Inonesia. Tidak ada

definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun demikian, hubungan yang efektif ini bisa

digambarkan sebagai hubungan ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan

antara BUT dan perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalty kepada kantor

pusat BUT.

2.3.4 Biaya BUT

Selain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam

Pasal 6 dan Pasal 9 UU pph, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5

ayat (3) UU pph. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU pph, biaya-biaya yang terkait dengan

penerapan force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT.

Sementara itu berdasarkan  Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang

diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan

bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

2.3.5 Kredit Pajak Luar Negeri pph Pasal 24

Terkait dengan prinsip worldwide income di atas, SPDN yang memperoleh

penghasilan dari luar negeri akan dikenakan pph di Indonesia. Negara tempat sumber

penghasilan di atas juga kemungkinan besar akan mengenakan pajak atas penghasilan yang

bersumber dari negaranya. Dengan demikian, besar kemungkinan akan terjadi pengenaan

pajak berganda di mana dua yurisdiksi perpajakan yang berbeda mengenakan pajak kepada

penghasilan yang sama yang diperoleh subjek pajak yang sama. Untuk menghindari

pengenaan pajak berganda ini, UU pph secara unilateral memberikan solusi dengan adanya

Pasal 24 UU pph. Pasal ini mengatur bahwa atas pajak yang terutang atau dibayar di luar

negeri dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam negeri.Namun demikian, besarnya pajak

yang bisa dikreditkan dibatasi tidak boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdasarkan

UU pph.

Dalam menghitung besarnya maksmum kredit pajak pph Pasal 24 ini, UU pph

menerapkan metode pembatasan tiap negara (per country limitation). Untuk itu maka

penentuan Negara sumber penghasilan menjadi penting. Masalah ini diatur dalam Pasal 24

ayat (3) UU pph di mana penentuan Negara sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut :

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham

dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau

sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan

12

Page 13: Manajemen Perpajakan Internasional

2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta

gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau

sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada

3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah

negara tempat harta tersebut terletak

4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah

negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat

kedudukan atau berada

5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut

serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah

negara tempat lokasi penambangan berada

7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada

8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha

tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada

2.3.6 Witholding Tax pph Pasal 26

Penghasilan yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia

merupakan objek pemotongan pph Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis

penghasilan yang menjadi objek withholding tax pph Pasal 26 ini adalah :

1. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini

adalah dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan

kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan

pembebasan hutang.

2. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam

kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia

dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.

Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan

saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU pph.

3. Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi

pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali

penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia

13

Page 14: Manajemen Perpajakan Internasional

2.4 Pengertian dan Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak BergandaPerjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara dua

negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang

diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada

persetujuan (Both Constracting States). Sedangkan menurut penulis setelah membahas bab-

bab sebelumnya dan bab yang akan datang, definisi perjanjian penghindaran pajak berganda

adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna

mengatur hak pemajakan agar tidak menghambat investasi antara kedua negara dengan

prinsip saling menguntungkan dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.

Sedangkan tujuan P3B adalah mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan

berganda. Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu

a. mencegah timbulnya pengelakan pajak;

b. memberikan kepastian;

c. pertukaran informasi;

d. penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B;

e. non diskriminasi;

f. bantuan dalam penagihan pajak;

g. penghematan dalam cash flow.

Tujuan P3B adalah sebagai berikut:

1. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha;

Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di

kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha

dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya

ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena

membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.

2. Peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri;

Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman

saham, royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang

tinggi, maka dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi

ragu untuk menanamkan modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai

dengan yang diharapkan.

14

Page 15: Manajemen Perpajakan Internasional

3. Peningkatan sumber daya manusia;

Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di

negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dipastikan

dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih memadai.

Apabila penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan

dan pelatihan dikenakan pajak, maka akan membebani mereka sehingga mereka

lebih baik tidak belajar di luar negeri atau menambah ilmu di luar negeri di mana

mereka belajar atau bekerja. Hal ini jika diberlakukan maka sumber daya manusia

salah satu negara tersebut akan mengalami keterbelakangan di bidang ilmu

pengetahuan.

4. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;

Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka

penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi

jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin.

Negara yang terkait dengan tax treaty, dapat melaporkan penghasilan penduduk

asing di negara sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan

penghasilan dari negara sumber. Informasi penghasilan tersebut seharusnya

dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan

kembali di akhir tahun pajak.

5. Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.

P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan

prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar

kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty

tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.

2.5 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua

atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda internasional, baik yuridis maupun

ekonomis.

15

Page 16: Manajemen Perpajakan Internasional

Secara ekonomis pajak berganda internasional (PBI) tersebut memperberat beban

usaha, investasi dan, kegiatan internasional lainnya sehingga dapat menghambat mobilitas

sumberdaya dimaksud. Sebagaimana terjadi dalam bidang investasi, perdagangan, produksi

dan distribusi, sains dan teknnologi dimana terdapat jaringan kerja sama antarnegara baik

regional maupun global, dalam sektor perpajakan untuk mengindari beban ekonomis dari PBI

tersebut juga terdapat jaringan kerja sama antarnegara yang dilakukan dengan menutup

perjanjian penghindaran pajak berganda (.tax treaty; P3B).. Menurut Surrey, (1980), P3B

merupakan perjanjian bilateral (namun dalam kasus tertentu dapat multilateral) yang ditutup

oleh dua negara dengan tujuan utama untuk menentukan solusi terhadap (PBI) yang

disebabkan oleh implementasi hak pemajakan (berdasarkan ketentuan domestik) kedua

negara atas suatu objek (subjek) yang sama.

2.5.1 Dasar Hukum P3B

P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal

sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang

(lawmaking treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati (pemerintah)

negaranegara (contracting states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik

internasional (knechtle; 1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang

menyatakan berdasar amanat Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain.

Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

antara lain menyatakan bahwa Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu

negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para

pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Khusus

untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan bahwa pemerintah berwenang

untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak

berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Dalam kerangka hukum internasional Vogel (1991) menyatakan bahwa P3B

merupakan perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin treaties karena kreasi dan

konsekuensinya tunduk pada The Viena Convention on The Law of Treaties tanggal 23 Mei

1969 (.Konvensi Wina.). Walaupun terdapat communis opini doctorum (pendapat yang

berterima umum), bahwa di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya kekuasaan yang lebih

tinggi, yaitu hukum antar negara (public internatonal law; Brotodiharjo; 1971), namun

16

Page 17: Manajemen Perpajakan Internasional

ketentuan di berbagai negara berbeda. Ada negara yang menyatakan perlu diratifikasi agar

menjadi bagian dari hukum nasional yang mengikat warga, namun ada negara yang

menyatakan tidak perlu. Pasal 3 UU No 24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah

mengikatkan diri pada perjanjian internasional antara lain melalu pengesahan. Selanjutnya

Pasal 9 (2) menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan

presiden. Khusus untuk P3B karena materinya tidak termasuk dalam kewenangan Pasal 10

UU No 24 Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan keputusan

presiden yang salinannya disampaikan kepada DPR (sebagai lembaga legislative). Karena

lebih bersifat teknis administrative (Darussalam dan Septriadi; 2006), maka ratifikasi P3B

cukup dilakukan dengan keputusan presiden. Dengan pertukaran nota diplomatic antara

Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai berlaku di kedua negara mitra runding

tersebut.

2.5.2 Model Perjanjian

Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan

mobilitas sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga

upaya untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari

pengembangan hubungan ekonomi antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara

domisili yang menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan

pemberian keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama

dapat mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya dirumuskan dalam

suatu bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan

domestik (misalnya Pasal 24 UU PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling

kurang memberikan tiga kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud adalah (1)

P3B dapat memberikan keringanan lebih baik dari ketentuan domestik (misalnya

pengecualian), (2) memungkinkan harmonisasi saat pemajakan antara negara domisili dan

sumber, dan (3) tujuan lainnya.

Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1) OECD, (2) UN,

atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara

maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju

mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat

dengan negara mitra runding mendasarkan pada US Model.

17

Page 18: Manajemen Perpajakan Internasional

Model OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan harmonisasi hubungan

perpajakan antara negara anggota OECD, sebagai organisasi dari negara-negara industri maju

dengan kekuatan ekonomi yang cukup untuk melakukan investasi ke mancanegara. Situasi

demikian merupakan dasar pijakan alokasi penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara

para anggota domisili berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas pengorbanan

penerimaan.

Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang dan berinvestasi pada setiap

wilayah, pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip residensi akan

dialami timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota. Model OECD dikonsepkan dengan

berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak pemajakan utama kebanyakan diberikan kepada

negara domisili wajib pajak. Negara sumber harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan

pajak sumber (withholding tax at source) mereka harus mengurangi tarif pajaknya untuk

memberikan kepastian bahwa beban pajak negara sumber selalu dapat diserap oleh batasan

kredit pajak negara residen (kalau keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak

domestiknya, keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk

menyediakan kredit atau bebas pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak oleh

negara sumber.

Di pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain untuk P3B antara negara maju

dan berkembang, dirumuskan berdasarkan premis bahwa OECD Model, yang kebanyakan

meminta negara sumber untuk merelakan penerimaan pajaknya, kurang tepat untuk dipakai

sebagai panduan P3B antara negara maju dan berkembang. Hal itu disebabkan oleh

karakteristik hubungan ekonomi negara maju dengan negara berkembang yang diwarnai oleh

ketimpangan arus penghasilan antarkedua kelompok negara tersebut (penghasilan dari negara

berkembang lebih besar mengalir ke negara maju). Arus penghasilan satu arah tersebut

menyebabkan pengorbanan yang kurang proposional dan kurang adil dalam pembagian

penerimaan pajak dari objek pajak lintas batas dan sepertinya mengesampingkan kepentingan

pemajakan negara sumber (berkembang). Kurangnya penerimaan negara berkembang

tersebut menyebabkan terbatasnya dana penyediaan fasilitas umum dan jasa publik lainnya.

Selain menyebabkan kurang kondusifnya iklim investasi di negara berkembang, keterbatasan

dana juga menyebabkan tidak mampunya negara berkembang yang umumnya sebgai negara

pengutang untuk membayar utang luar negeri dan dalam negerinya.

18

Page 19: Manajemen Perpajakan Internasional

2.5.3 Sifat P3B

Istilah .treaty. dan .convention. sering dipakai secara bersamaan dan saling

dipertukarkan. Sehubungan dengan kedua istilah tersebut, Pires (1989) berpendapat bahwa

konvensi dapat dikaitkan dengan perjanjian secara umum, yang salah satu bentuknya

adalah .treaty.. Perjanjian (.agreement.) merupakan konvensi dengan tujuan kultural dan

ekonomi serta dalam bentuk sederhana. Konvensi untuk mengeliminasi pajak berganda

umumnya dirumuskan dalam bentuk .treaty.. Sebagai perjanjian bilateral, sesuai dengan

hukum publik internasional, P3B bersifat mengikat kedua negara (contracting states).

Selanjutanya, menurut Knechtle (1979), P3B yang ditutup suatu negara (Indonesia) juga

mempunyai validitas internal domestik dan menjadi self executing. Sehubungan dengan

penghindaran pajak berganda, P3B mempunyai kemungkinan yang dapat bersifat restriktif

atau ekspansif. Sebagai elemen dari hukum internasioanl, sesuai dengan prinsip negatif efek,

P3B membatasi aplikasi dari ketentuan domestik (kewenangan mengenakan pajak).

Sementara itu, perluasan hak pemajakan tidak bisa diperoleh hanya dengan menciptakan

kewajiban pajak yang tidak tersurat (ada) dalam ketentuan domestik atau dengan

mengeliminasi keringanan dalam ketentuan domestik (dengan ketentuan pada P3B).

Sehubungan dengan kewajiban pajak, Van Raad (1986) menyatakan bahwa kewajiban

tersebut hanya dapat dikenakan berdasarkan ketentuan domestik (misalnya undang-undang

perpajakan) dan bukan dengan P3B. begitu juga keringanan (pembebasan) pajak pada

ketentuan domestik tetap ada dan tidak terhapus oleh rumusan pada P3B. Hanya untuk tujuan

aplikasi P3B dengan suatu negara tertentu ketentuan domestik tersebut dikesampingkan.

2.5.4 Struktur P3B

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perumusan P3B didasarkan kepada salah satu

model yang tersedia, yaitu (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan

modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model

EOCD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD

model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan

pada US Model

2.6 Penyebab Pajak Berganda InternasionalPemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan

domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional

19

Page 20: Manajemen Perpajakan Internasional

(international double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut

dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan

internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur

dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga

diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI)

muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah

pusat (negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat

pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere).

Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi?

Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan

pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal

allegiance) dengan negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya

berdasarkan ketentuan domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara

pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek

atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak

akan terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara lain.

atau apabila tarif pajak di negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili

cukup rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang

hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai

pemegang hak pemajakan skunder (secondary taxing rights) secara wajar masih dalam

jumlah yang terjangkau oleh pembayar pajak.

Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor

menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara asal barang dan jasa),

dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination principle;

Pemajakan oleh negara tujuan atau negara konsumen).

PBI berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal

bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara mempunyai pertalian

ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara tidak bersamaan.

2.7 Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional

Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan suberdaya (kemampuan ekonomis)

yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari

pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua negara) memberikan tambahan beban

20

Page 21: Manajemen Perpajakan Internasional

ekonomi terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah

mengundang tambahan risiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan berganda

telah ikut memperbesar risiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau

meringankan beban pajak berganda tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan

biaya tinggi dan menghambat mobilitas global sumberdaya ekonomis. Oleh karena itu,

tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan internasional antarnegara untuk mengupayakan

agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas

tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas PBI.

Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI, seperti (1)

pembebasan/pengecualian, (2) kredit (tax credit), dan (3) metode lainnya. Kedua metode

pertama merupakan bentuk eliminasi atau keringanan PBI yang diikuti oleh kebanyakan

negara. Ketiga metode tersebut akan dibahas dibawah ini.

1. Pembebasan/pengecualian

Metode pembebasan (exemption)/pengecualian (exclusion) berupaya untuk

sepenuhnya mengeliminasi PBI. Metode tersebut menghendaki suatu negara pemegang

yurisdiksi pemajakan sekunder (domisili) untuk dengan rela melepaskan hak

pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain (negara

sumber). Metode eksemsi meliputi pembebasan (1) subjek, (2) objek, dan (3) pajak.

Pembebasan subjek (subject exemption) umumnya diberlakukan terhadap anggota

korps diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional. para duta besar, anggota korps

diplomatic dan konsuler, sesuai dengan hukum internasional mendapat privelege

pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja (sending state).

Ketentuan pemberian privelege (hak istimewa) tersebut diiktui oleh (hampir) semua

negara secara universal dan dikenal dengan istilah .asas reprositas. (tet) Pembebasan

objek (object, income exemption), yang lebih dikenal dengan full exemption atau

exemption without progression, diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar negeri

dari basis pemajakan WPDN negara tersebut. Exemption without progression (eksemsi

tanpa progresi) maksudnya adalah bahwa penghasilan luar negeri dari WPDN betul-betul

dibebaskan dari pengenaan pajak dengan mengeluarkannya (mengecualikannya) dari

dasar pengenaan pajak (basis pajak) sehingga tidak akan masuk dalam unsur

penghitungan progresi (progresivitas) tarif pengenaan pajak negara domisili.

21

Page 22: Manajemen Perpajakan Internasional

Pilihan ketiga dari metode pembebasan ini adalah pembebasan pajak (tax exemption)

atau dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, pada prinsipnya

penghasilan luar negeri tetap dibebaskan dari pengenaan pajak domestik, namun untuk

keperluan penghitungan pajak dan penerapan tarif pajak pengaruh progresi penghasilan

luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila

negara residen memperlakukan tarif sepadan (prporsional atau flat), maka pengaruh

progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif atau menguntungkan

wajib pajak apabila penghasilan luar negeri negatif (rugi), karena kerugian tersebut dapat

merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Hal ini

merupakan salah satu perbedaan utama antara metode pembebasan penghasilan (object

exemption) dengan pembebasan pajak (tax exemption).

Pengaruh progresi akan efektif di negara penganut tarif pajak progresif seperti

Indonesia.

2. Kredit Pajak

Metode kredit pajak terdiri dari beberapa metode, yaitu (1) Metode Kredit Penuh (full

tax credit mothode), (2) Metode Kredit Terbatas (ordinary atau normal credit mothode)

dan (3) Kredit Fiktif (mathcing atau sparing credt methode). Dalam tataran lain,

sehubungan dengan investasi pada anak perusahaan di luar negeri, dapat dibedakan antara

kredit langsung dan kredit tidak langsung.

Metode kredit penuh (full tax credit methode) mengurangkan pajak yang terutang atau

dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestik yang dialokasikan atas

penghasilan tersebut.

Metode kredit pajak biasa (ordinary atau normal credit) memberikan keringanan

pajak berganda internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak

nasional yang dialokasikan pada penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang

terendah antara (1) pajak domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri

(batasan teoritis), dan (2) pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri

(batasan faktual) atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global.

Dalam metode kredit biasa, apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa

negara, maka kredit pajak dapat dihitung secara bergabung (oveall) atau tiap negara (per

country limitation). Pemberian kredit bergabung lebih menguntungkan wajib pajak

dengan diperbolehkannya kompensasi antara (1) penghasilan positif dengan negatif dan

22

Page 23: Manajemen Perpajakan Internasional

(2) tarif tinggi dengan tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum pajak yang dapat

dikreditkan). Disamping itu, atas penghasilan dari anak perusahaan luar negeri yang

berupa dividen, selain kredit atas pajak dari dividen (kredit langsung; direct tax credit)

dapat pula diberikan kredit atas pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan

dividen tersebut (indirect tax credit).

3. Metode Lainnya

Sehubungan dengan metode pemberian keringanan pajak berganda internasional,

selain metode eksemsi dan kredit, dalam buku International Juridicial Double Taxation

on income, Manual Pires menyebut beberapa metode sebagai berikut:

1. Pembagian pajak (tax sharing)antara negara domisili dan sumber,

2. Pembagian hak pemajakan (division of taxing power) dengan penentuan tarif

pajak maksimum atas penghasilan yang diperoleh WPLN yang dapat dipungut

oleh negara sumber,

3. Keringanan tarif (reduction of the rate) terhadap penghasilanluar negeri yang

harus diberikan oleh negara dimisili,

4. Pengurangan pajak (rudction of the tax) dengan suatu jumlah tertentu (persentase)

dari penghasilan luar negeri, dan

5. Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum atau forfait taxation). Sementara itu,

beberapa metode keringanan PBI yang dihubungkan dengan penghasilan

termasuk;

Klarifikasi (atribusi, divisi, atau distribusi) penghasilan sesuai dengan

kategori tertentu untuk menentukan pemajakan antara negara sumber dan

domisili,

Pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena pajak (deduction

method) dan

Pengurangan penghasilan luar negeri dengan suatu jumlah tertentu (atau

seluruhnya).

23

Page 24: Manajemen Perpajakan Internasional

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

3.1 Simulasi Kasus Pajak Internasional

Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak penghasilan

dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar 100.000.000 yang telah

dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan domestic adalah 200.000.000,

berapakah pajak terutangnya ?

Penghasilan domestic (Negara P) 200.000.000

Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000

Penghasilan global 300.000.000

Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000

Eksemsi pajak

100.000.000 – 75.000.000(25.000.000)

Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000

Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian sebesar 50, maka

penghitungan pajaknya adalah sbb. :

Penghasilan domestic (Negara P) 200.000.000

Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)

Penghasilan global 150.000.000

Pajak Penghasilan kurang bayar:

25% x 150.000,00037.500.000

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian sebagai

konsekuansi dari system pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya dapat

mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara berkesinambungan

pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali (recaptured) pada periode

berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya, dalam contoh tersebut, pada

24

Page 25: Manajemen Perpajakan Internasional

tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat laba 150.000,000, di samping laba

domestic 250.000.000, maka penghitungan pajak terutangnya, sbb :

Penghasilan domestic (Negara P) 250.000.000

Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)

Penghasilan global 400.000.000

Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000

Eksemsi pajak

Penghasilan luar negeri 150.000.000

Perhitungan rugi laba th lalu (50.000.000)

Basis penghitungan eksemsi 100.000.000

Eksemsi pajak

100.000.000 x 25%(25.000.000)

Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000

3.2 Kasus Transfer Pricing

Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan

hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan

dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biaya-

biaya lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan

beban bunga untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura

25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B

Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B ltd meminjamkan uang dengan bunga yang besar,

sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya

lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa

(harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah

dalam UU pph pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi,

penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).

25

Page 26: Manajemen Perpajakan Internasional

BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan

domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional

(international double taxation). Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran

barang dan jasa dan mobilitas sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui

secara meluas sehingga upaya untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu

instrumen dari pengembangan hubungan ekonomi antarnegara.

Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang menganut sistem

pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan pemberian keringanan PBI

seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama dapat mengupayakan

eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian

penghindaran pajak berganda (P3B).

Setiap informasi yang diterima oleh suatu negara Pihak pada Persetujuan harus dijaga

kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi itu diperoleh berdasarkan

perundang-undangan nasional negara tersebut. Bagaimanapun, informasi yang dianggap

rahasia itu hanya dapat diungkapkan kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk

pengadilan dan badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau

penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan

keberatan berkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam P3B.

Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional dirasa kurang

memadai, karena hanya sedikit jumlah wajib pajak yang terlibat dalam transaksi

internasional. Sebagian masyarakat atau wajib pajak yang tidak memahami pajak

internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia umumnya bukan subjek pajak

terkait dengan aspek pajak internasional. Akan tetapi, alangkah bagusnya jika kita mau

mempelajari tentang perpajakan yang terkait dengan penghasilan penduduk kita di negara

lain, atau penduduk negara lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, hal ini guna

menambah wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita bersinggungan atau

bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari negara lain.

Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan aspek

perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna 26

Page 27: Manajemen Perpajakan Internasional

meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat

investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak

yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi tersebut.

Sehingga diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak

pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap negara dipastikan mengatur

adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap negara bebas

melakukan penghitungan pajak untuk badan/warga negara lain? Pajak internasional

merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus

tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina.

Menyadari bahwa perkembangan dunia begitu pesat, kebijakan perpajakan Indonesia

harus selaras dengan standar perpajakan internasional dengan tetap memperhatikan

kepentingan Indonesia sebagaimana dituangkan dalam ketentuan UU domestiknya atau

National Tax Law (dalam hal ini Undang-Undang Pajak Penghasilan) dalam mengantisipasi

perkembangan dunia yang begitu pesat dan mengakomodasi kepentingan Indonesia dalam

setiap pembuatan kebujakan perpajakan dengan negara-negara sahabat.

27

Page 28: Manajemen Perpajakan Internasional

DAFTAR PUSTAKA

Brotodihardjo, R. Santoso. S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco,

1986, hlm. 219.

Prof. Gunadi. 2007. Pajak Internasional. LPFEUI

Soemitro, Rochmat. , 1977. Hukum Pajak Internasional Indonesia. Bandung : PT. Eresco 

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, mengenai perjanjian internasional

WEBSTIE :

Http://natanedan.wordpress.com/2009/12/08/sekilas-tentang-pemajakan-internasional-oleh-

nany-ariany/

http://www.pajak.go.id

28