Upload
febri-dwi-yanto
View
237
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ini merupakan kumpulan cerita pendek yang mengisahkan mengenai kehidupan manusia dari berbagai macam sudut pandang. Ini merupakan cerminan penulis mengenai hal-hal yang terjadi di sekitar kehidupan seorang manusia. Nikmatilah dan anda bisa memberikan kritik dan saran :))
Citation preview
SEPATAH KATA
MAHKLUK BERNAMA MANUSIA!
Terlalu banyak kebohongan yang di sandarkan dalam kehidupan mahkluk bernama manusia.
Terlalu banyak bualan atau sepatah kata tentang potongan cercaan, hinaan atau justru ocehan.
Manusia terlalu percaya pada sebuah arti tentang kenyataan dan di sandarkan pada makna
tentang sebuah keniscayaan. Sebagian dari manusia takut untuk bermimpi, takut untuk
mewujudkan sebuah asa menjadi cita. Manusia terkadang lemah, lemah oleh tradisi, lemah
oleh apa kata orang, lemah oleh keyakinan atas penghabisan diri karena alam bawah sadar
negatif yang menguasai roh batin mereka. Manusia menjadi makhluk dilema, barang yang
kadang bisa di atur, di perjual-belikan bahkan di diskon hingga kadang manusia tak tahu di
mana martabatnya sebagai seorang manusia.
Manusia terkadang muak dengan semua itu. Manusia terlalu goblok sehingga di hadapkan
pada sebuah asa, keyakinan yang rendah atau sebuah mimpi buruk yang mengalir dalam
rongga kata yang terlintas dalam pikiran orang lain. Manusia selalu percaya pada cerminan
orang lain tentang dirinya. Manusia sangat menyakini bahkan mengamini apa yang di berikan
orang atas apa yang dia perbuat atau apa yang ada dalam dirinya. Manusia sedikit naif,
banyak munafik. Lebih banyak melepaskan sebuah diri sendiri dan terkadang memilih
menjadi orang lain bagi dirinya. Manusia bahkan tidak mengenali siapa dirinya, tidak
mengenali siapa yang membuat penampilannya seperti itu atau bahkan tidak tahu seperti apa
tabiatnya yang asli. Di mana topeng manusia yang asli? Di mana martabatnya sebagai
manusia?
Semua makhluk bernama manusia telah berpulang pada hidup yang di standarkan pada orang
lain. Manusia di batasi dengan garis standar masing-masing tetapi mereka selalu minta lebih
untuk menstandarkan diri mereka terhadap standar orang lain. Terkadang hidup manusia itu
absurd. Terkadang manusia menjalani hidup seperti sebuah ketidak jelasan norma yang hidup
dalam dirinya sendiri. Manusia di kungkung oleh dirinya sendiri dan terkadang mereka justru
nyaman dengan hal itu supaya di anggap standar oleh orang lain bahkan kalau bisa melebihi
standar orang lain.
Makhluk bernama manusia tidak tahu bahkan tidak akan mengerti sampai kapan sebuah
ketidak jelasan itu akan berakhir. Yang manusia tahu hanyalah : dia tidak akan berhenti untuk
berkelahi dengan dirinya sendiri. Yang manusia tahu hanyalah : sampai jelang senjapun
mereka tak akan pernah mengerti untuk sebuah kebohongan yang mereka masukkan dalam
dirinya sendiri. Manusia seperti sebuah boneka hidup yang di atur dengan tali oleh standar
orang lain. Manusia seakan kehilangan menjadi diri dalam dirinya sendiri.
Entah ini semua memang makna sebenarnya dalam kehidupan mahkluk bernama manusia
ataukah ini memang sebuah permainan bernama manusia. Kehidupan manusia memang
sebuah permainan. Dan dalam sebuah permainan, manusia harus memainkan karakter tokoh
untuk menghidupkan permainan itu. Dengan menjadi aktor yang mampu menghidupkan
permainan, maka manusia akan merasa menjadi aktor yang hebat, aktor yang standar bahkan
bisa lebih. Pertanyaannya, apakah dalam hidup ini manusia harus menjadi aktor hebat dengan
garis standar orang lain, sehingga membuat manusia menjadi lupa dengan dirinya sendiri?
Apakah hidup menjadi seorang manusia memang di penuhi dengan kebohongan-kebohongan
belaka? Ya...itulah makhluk bernama manusia.
Dan aku tidak akan memikirkannya. Karena aku bukan manusia.
Aku akan memikirkannya melalui kata. Menuliskannya melalui rima. Menggambarkannya
melalui makna. Ini adalah kumpulan cerita pendek mengenai makhluk bernama manusia.
Lika-liku kehidupan makhluk bernama manusia. Semua hal tentang makhluk bernama
manusia.
Tapi, aku tidak akan memikirkan isinya. Karena (sekali lagi) aku bukan manusia.
DAFTAR JUDUL KUMPULAN CERPEN “MANUSIA GOBLOK!”
1. MANUSIA GOBLOK!
2. AKU, KAU dan REMBULAN
3. GADIS BERKERUDUNG MERAH
4. ANTARA TOKYO-SURAKARTA
5. PEREMPUAN TUA DALAM KEBAYA
6. MUKENA BARU DAN KURMA MANIS
7. TANDUR (TENTANG SEBUAH NEGERI YANG LUPA....)
8. GLOBALISASI
9. AKU DAN HUJAN
10. HUJAN TURUN DERAS
11. MALAM di KOTA MALANG
12. SESUATU
MANUSIA GOBLOK!
“Mungkin kesialan, makanya goblok!” tukas salah satu tetangga.
“Di santet mungkin. Kan lagi nge-trend kayak gitu.” ucap yang lain tak mau kalah
berkomentar.
“Bukan. Mungkin itu karma. Ih..jangan sampek anak kita kayak gitu.” kata yang lain
menimpali.
Aku sudah cukup hafal dengan itu. Terlalu hafal malahan. Bisik-bisik tetangga memang
sudah terdengar di telingaku setiap waktu, bahkan bisa di bilang setiap hari. Bukannya tak
merespons, tapi aku tidak tahu harus apa atau kemana atau mungkin lebih tepatnya siapa?
Siapa yang bisa di bilang bertanggung jawab atas hasilnya yang seperti ini? Semua orang
tahu mungkin orangtuanya atau mungkin juga keluarganya termasuk pula aku yang notabene
masih saudaranya. Dia keponakanku. Dia perempuan yang menginjak usia remaja. Ia
memang cantik, putih dan kulitnya mulus.
Biasanya, seorang wanita usia remaja akan diam-diam membohongi ibunya meminta uang
saku padahal di gunakan untuk pergi ke salon atau mungkin di malam minggu merengek
meminta izin ke ibunya untuk ke luar rumah dengan alasan belajar kelompok padahal
berduaan dengan pacarnya ke bioskop. Tapi ia tidak. Ia gadis sederhana dengan kepolosan
yang juga sangat sederhana. Dia tidak seperti gadis remaja kebanyakan. Setiap hari dia akan
berputar-putar di atas lantai atau mengitari halaman rumah yang hanya di penuhi dengan
kaktus kecil yang gersang atau mungkin tertawa sambil menghentakkan kakinya ke lantai
paving lusuh miliknya.
Tapi, sumpah..dia tidak goblok!
Dia hanya berbeda. Dan semua orang menganggap perbedaannya itu tidak wajar. Tidak
normal. Terlalu absurd untuk di terjemahkan kedalam barisan makna tentang kehidupan. Dia
keluar dari jalan kehidupan seorang manusia dan semua orang menganggapnya ia manusia
yang goblok. Goblok karena ia tidak tahu apa-apa dan memang dia sendiri tidak mengikuti
naluri ke-normal-an seorang manusia atau mental kecerdasan seorang gadis remaja pada
umumnya. Dia seperti seorang manusia yang di jadikan patung hidup-hidup yang terbuat dari
ironi kehidupan atau sebuah kesalahan genetika yang terlanjur menancap dalam gennya.
“Dia autis!” vonis dokter jauh ketika ia baru lahir. Saat itu aku hanya bisa melihat Ibunya
menangis sesenggukan di iringi helaan napas berat Ayahnya.
Tapi, sumpah..dia tidak goblok!
* * *
Waktu telah mengubah semua jalur kehidupan yang ada. Dia mampu mengerti tentang
pergantian siang dan malam. Dia bisa melihat cahaya matahari yang merasuk masuk dalam
celah jendela kecil di rumahnya. Tapi ia tidak bisa melihat apakah dengan cahaya ia bisa
melihat semua kehidupannya? Bisa merasakan warna-warni kehidupan? Selayaknya gadis
remaja lain yang berpikir cahaya itu mengandung ultraviolet yang bisa membakar putihnya
kulit, dia tidak bisa. Dia tidak bisa menangkap makna di balik sebuah uraian kata atau
menjelaskan sebuah pertanyaan sederhana tentang siapa namanya.
Aku tahu itu. “Dia anak cacat, goblok!” ,ibunya sendiri yang mengatakan dia cacat, tidak
sempurna, goblok atau apalah. Ibunya selayaknya ibu yang lain, pasti menginginkan
kelahiran seorang anak yang sempurna, anak yang nanti ketika besar bisa menjadi suatu
kebanggaan terutama bagi Ibunya. Dia terlalu shock, tidak percaya pada keadaan dan lagi-lagi
mentakwilkan sebuah proses tentang karma atau kesalahannya di masa lalu.
Ia terlalu percaya dengan kekuatan kuping tetangga dari pada catatan medis. Terkadang ia
sendiri terlalu mengutuki diri sendirinya dan selalu berharap suatu saat nanti peri akan datang
mengunjunginya dan bisa menyulap anaknya menjadi gadis cantik yang normal. Normal?
Padahal suaminya atau ayah bagi anaknya sendiri juga tidak normal. Tidak..aku tidak ingin
menceritakannya. Aku tidak ingin melihatnya terluka atau melihat Ibunya sesegera mungkin
akan membanting kaca dengan gelas yang ada dalam genggamannya.
“Aku tidak ingin mengingatnya.” ucap Ibunya kala itu dengan amarah yang memuncak.
* * *
Saat itu bulan purnama. Dia tengah asyik tertawa sambil melihat bayangan kerlap-kerlip
laron yang memutari lampu di atas kepalanya. Bulan purnama itu yang menembus mata dan
ulu hati Ibunya. Aku kala itu mengirimkan makanan untuknya dan aku melihat Ibunya tengah
berkaca-kaca. Matanya nanap melihat siluet bayangan bulan yang menembus mata
sembabnya. Bulan entah mengabarkan dari siapa, suaminya dan tentu saja ayahnya kabur dari
rumah. Ayahnya kabur dengan membawa uang milik Ibunya dan entah ke mana dia tak tahu.
Saat itu aku hanya bisa mengelus punggung Ibunya dan berharap dia bisa sabar.
Sedangkan dia, anaknya kulihat berdiri berputar-putar di atas lantai sambil tertawa terbahak-
bahak. Ayahnya kabur. Ia tidak bisa menerjemahkan kata itu ke dalam impuls otaknya dan
meresponsnya sebagai tindakan kurang ajar sebagai seorang ayah yang seharusnya
merawatnya, anaknya sendiri. Kata itu tidak masuk dalam resapan perasaannya dan kalaupun
masuk tidak menimbulkan kontradiksi dalam ekspresi jiwa atau batinnya. Dan yang kutahu
saat itu bulan memecah suasana pilu. Ibunya masih menanggis sesenggukan dan dia, anaknya
tertawa keras sambil terus berputar-putar tiada henti.
Aku hanya bisa menahan napas. Tapi aku tahu dia pasti menangis dalam batinnya. Aku
menyakininya.
Sumpah..dia tidak goblok! Dia tidak segoblok itu!
* * *
Ibunya adalah sosok yang rapuh, kadang temperamen. Darinya aku sedikit tahu tentang
gambaran kecil kehidupan ini. Ibunya bukan seorang yang kaya atau milyoner. Rumah agak
besar miliknya hanyalah warisan dari orangtuanya. Tapi, anaknya tidak tahu itu dan tidak
mau tahu. Aku tidak percaya dan mungkin tidak akan percaya dia bisa sadar gara-gara harta
atau kekayaan. Tidak, dia justru lebih tulus dari seorang manusia paling jujur di dunia bahkan
dengan malaikat sekalipun. Meski cacat, goblok atau apapun orang memanggilnya, aku selalu
menasehati Ibunya agar menyayanginya tanpa terkecuali. Menurutku, dia tidak cacat, tidak
goblok, tidak idiot, tidak autis atau apalah. Biarkan saja dia mendapatkan sedikit kebahagiaan
dari Ibunya sendiri meskipun ketika dia melihat uang langsung di robek atau di lumat ke
dalam mulutnya.
Ibunya sendiripun bukan orang yang bisa di gambarkan dengan sosok malaikat tanpa dosa.
Terkadang ia temperamen dan terlalu bisa di kalahkan dengan nafsu. Dia sudah kewalahan
dengan segala kemuakan hidupnya dan tidak tahan dengan semuanya. Tentang suaminya
yang kabur entah kemana dan sekarang kabarnya katanya sedang ke luar negeri, tentang
anaknya yang tidak akan bisa membantunya melewatkan hari-hari bersamanya atau tentang
kuping-kuping semua orang yang mengarah kepadanya.
Dia terlalu berat akan hal itu dan terkadang jika kesal ia tak segan memukul anaknya. Sering
aku melihat anaknya berak di atas lantai, Ibunya langsung marah dan memukul habis-habisan
anaknya. Atau yang lebih sering gayung di dalam toilet mengayun ringan ke tubuhnya bila ia
berak dan kotorannya tumpah rata satu lantai. Aku tidak habis pikir, darimana anaknya itu
mendapatkan pelajaran cara berak di toilet? Atau siapa yang mengajarinya? Ibunya saja tidak
bisa dan tidak pernah untuk mencobanya. Dia sering menangis keras, terlampau keras bila
Ibunya marah kepadanya.
Tapi, sumpah...dia tidak goblok!
Sudah sering aku memperingatkan Ibunya bahwa dia anaknya. Darah dagingnya. Dia
memiliki kelemahan dalam hal mentalnya. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan
siapa namanya atau cara mengambil nasi di meja makan atau mematikan TV dengan remote.
Semuanya ia tidak tahu. Tapi Ibunya terkadang tidak tahu dan tidak mau tahu dengan hal itu.
Di dalam otak Ibunya sudah menancap pikiran bahwa anaknya memang goblok. Ia sudah
kehabisan akal dan pikiran. Tapi aku hanya menganggap anaknya sedang mengalami
kelemahan mental saja, bukan goblok atau cacat atau apalah. Aku tidak menganggapnya
sebagai orang yang harus tahu segala hal. Aku belum pernah menjadi dia dan kita jangan
men-judge dia semau kita karena kita belum tahu rasanya menjadi dia.
Merasa terasing, kesepian, kesendirian, di pukuli, di cemooh, di jadikan patung hidup atau
hanya sebagai objek penelitian dunia kedokteran jiwa atau ilmu psikologi mental. Kita tidak
tahu bagaimana rasanya menjadi dia, menjadi orang yang di bilang goblok.
Tapi, sumpah...dia tidak goblok.
* * *
Hari demi hari Ibunya sering mengalami penyakitan. Gula darah naik. Diabetes. Penyakit itu
menggerogoti usia dan tubuhnya. Bahkan menggerogoti seluruh batinnya. Sudah terlampau
sering ia mengadu kepadaku sakit kepala atau merasa pusing tiba-tiba. Pekerjaan dan karena
banyaknya pikiran membuatnya seakan tidak bisa mengontrol makanan yang masuk. Ia
melampiaskan segala hal kepedihan tentang suaminya atau kesialan tentang anaknya pada
makanan. Dia, anaknya sendiri terlihat kurang makan. Dia memang bisa makan tetapi tidak
bisa tahu apa fungsi dia makan atau gizi apa saja yang terkandung dalam makanannya. Dia
terlalu asyik dengan putaran kelilingnya di atas lantai atau tertawa tanpa dia tahu apa yang di
tertawakan.
Dan sudah beberapa tahun ini Ibunya jarang untuk tertawa. Mungkin ia lupa bagaimana
caranya untuk tertawa atau mungkin syaraf yang bekerja untuk tawa dalam tubuhnya sedang
rusak. Sering aku melihat dia di pinggir jendela sambil menatap bulan yang cahayanya
pendar menembus matanya. “Biarkan, dia mungkin butuh ketenangan” ujar saudaraku yang
lain menasehatiku. Tidak, menurutku dia terlalu tenang, terlalu tenang untuk membiaskan
semua penderitaan hidup yang ia alami dan memantulkan semuanya dalam pikirannya,
merasuk dan menjadi racun bagi tubuhnya sendiri.
Tidak seperti anaknya. Di saat orang tua lain sedang sibuk memikirkan uang gedung sekolah
anaknya, seharusnya Ibunya bersyukur. Dia, anaknya tak perlu meminta uang jajan apalagi
uang gedung sekolah. Mungkin jika dia sekolah maka teman-temannya pasti mencemoohnya
hampir tiap detik. Pernah, ia aku bawa ke acara agustusan tahun kemarin di lapangan desa.
“Orang gila! Orang goblok! Goblok gila! Gila goblok!”. Anak-anak kecil banyak yang
menghinanya.
Dia malah tertawa senang sambil berputar-putar mengikuti alunan dan sorakan hinaan dari
anak-anak lain. Sesaat aku hanya tertegun. Tapi aku senang. Senang karena aku berharap dia
tidak bersedih terus-menerus seperti Ibunya. Dia masih bisa tertawa lepas meskipun aku tahu
tawa yang ia suguhkan adalah penderitaan besar dalam batinnya.
Dia masih bisa tersenyum lepas meskipun aku tahu, sesungguhnya dia tidak mau di lahirkan
dalam keadaan lemah mental atau lemah pikiran. Apa kamu mau di lahirkan dengan kondisi
tertawa keras setiap hari sambil berputar-putar di atas lantai? Apa kamu mau di lahirkan
dengan cap manusia goblok setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik?
Ah...Sumpah..dia tidak goblok!
* * *
Suatu pagi ketika aku terbangun dari ranjang, aku pernah menonton salah satu program
televisi. Aku lupa saat itu nama acaranya apa dan dari stasiun apa di siarkan. Yang pasti itu
acara pagi, lebih tepatnya saat shubuh. Aku melihat sebuah tayangan acara dengan topik anak
autis, cacat mental dan anak lain yang sejenis dengan itu.
“Anak berkebutuhan khusus memang memerlukan perawatan dan pemeliharaan ekstra di
bandingkan anak lain. Tidak boleh kita menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak
normal lain. Itu justru akan menyulitkan mereka untuk adaptasi. Mereka seharusnya
mendapatkan suatu lembaga tersendiri supaya ada ruang dan tempat berekspresi sendiri yang
sesuai dengan kebutuhannya.”
Tak salah itu yang bisa aku tangkap dari program acara TV itu. Aku teringat dengan dia. Aku
dan dia memang satu desa, tapi karena kesibukanku, aku juga tidak setiap hari melihatnya.
Dia memang membutuhkan perhatian ekstra. Sangat ekstra. Dan perhatian ekstra itu tidak ia
dapatkan. Bagaimana dengan sekolah? Sekolah untuk apa, tidak ada biaya. Hanya rumah
agak besar warisan Ibunya saja. Tidak ada yang lain. Kenapa tidak ke panti asuhan? Panti
asuhan mana yang mau menerimanya. Aku justru tidak mau dia terbengkalai dan nantinya di
terima oleh tangan yang salah. Pertanyaan besarnya mungkin, bagaimana jika di serahkan
saja ke negara? Tidak. Negara sudah pusing dengan beragam masalahnya dan tidak perlu
berkoar-koar untuk menyuruh negara mengurus anak seperti dia.
Kadang aku tertegun sesaat dan muncul pertanyaan goblok dalam otakku. Apa tujuan Tuhan
melahirkannya ke dunia? Apa dia memang di utus untuk mendapat panggilan manusia goblok
itu? Kenapa? Pertanyaan itu kadang terlintas begitu saja dan jujur, sampai sekarang aku
belum tahu dan bahkan mungkin tidak ingin tahu tentang jawaban itu. Tapi aku tahu dia
memang bukan manusia goblok.
Sungguh dia tidak goblok!
* * *
Maka seperti sebuah petir yang menggelegar di tengah siang bolong, pada akhir tahun lalu
Ibunya meninggal. Diabetesnya sudah akut dan mencapai pendarahan hebat dalam sekujur
tubuhnya. Sempat di antara gerombolan tetangga yang lalu-lalang mempersiapkan
pemakaman atau di tengah tangis keluarga dan sanak saudara yang pecah aku melihat dia,
anaknya masih bisa tertawa riang sambil tetap berputar di atas lantai.
Semua orang sedang fokus pada jenazah Ibunya, aku menghampirinya dan menjauhkan dia
dari jasad Ibunya. Aku memegang tubuhnya dan kupeluk. Sebagai keponakanku, aku tidak
tega dengannya. Ketika kupeluk dia masih tertawa riang. Ketika dia terus tertawa aku hanya
bisa terus menangis. Aku merasa batinnya bukan tertawa, tapi batinnya sedang menangis
hebat. Batinnya tersiksa. Sebagai anak, meskipun dia di cap manusia goblok, bagaimana
perasaanmu bila Ibumu meninggal dunia? Apa kau akan tertawa keras sambil berputar-putar
di atas lantai?
Sampai penguburan jenazahpun, pelukan itu tidak aku lepaskan. Semua orang riuh bahkan
sedikit ricuh dengan situasi yang ada. Tangisan, doa yang bersemayam atau guguran bunga
kamboja seakan menghantui pelukanku. Dia masih tertawa tapi tidak dengan suara yang
keras. Suaranya perlahan mulai menghilang. Tangisan di luar sana semakin hebat dan
menjadi-jadi. Sedangkan suara tawanya menghilang. Samar aku merasakan ada sesuatu yang
menetes kepundakku. Bening dan putih. Aku melepas pelukan dan melihat matanya. Dia
mengeluarkan air mata. Tubuhku gemetar dan tangisku semakin pecah.
Dalam hati, aku tahu dia mengucapkan itu, Ibu aku mencintaimu.
Sumpah, dia bukan manusia goblok!
* * *
Aku beranjak kuliah. Selepas meninggalnya Ibunya, aku harus meninggalkannya ke luar kota.
Berat memang. Untuk sementara dia di titipkan ke rumah neneknya yang sudah tua.
Meskipun aku tidak bisa menjamin perawatannya, tetapi setidaknya masih ada yang mau
untuk sekedar menggantikan celananya atau menyuapi sarapan untuknya.
Ketika kuliah, sudah hampir setahun ini aku tidak melihatnya. Menurutku, dia sosok yang
tegar. Sangat tegar. Aku sudah menduganya bahwa dia tidak gila. Tidak goblok. Dia hanya
mengalami kelemahan pada mental dan mengalami gangguan sensori motorik pada otaknya.
Dia hanya perlu belajar. Dia hanya perlu seorang Ibu pengganti yang dengan setia
mengajarinya cara berhitung atau menulis aksara bersambung.
Pun, ketika sekarang, saat liburan tiba aku belajar untuk menjadi orang tua pengganti
baginya. Semua hal dan kemampuan aku keluarkan untuk mengajarinya. Entah hanya dibalas
dengan hentakan kaki atau tawanya yang keras aku tidak peduli. Dia sudah terlalu banyak
menderita. Dia perlu tahu bagaimana artinya cita-cita atau sekedar membantu nenek dengan
tidak selalu menggantikannya celana setiap hari.
Ketika aku pulang pun tak ada yang berbeda darinya. Tetap sering tertawa keras sambil
berputar-putar di atas lantai. Ia tetap di rawat neneknya. Neneknya adalah seorang yang
sudah tua, terlalu tua untuk mengurusi anak gadis dengan anggapan manusia goblok dari
tetangganya. Aku tidak menyalahkan nenek meskipun caranya sangat salah, kadang ringan
tangan bila dia berak sembarangan atau membuang makanan rata satu lantai.
Aku juga tidak menyalahkan Ibunya yang sudah meninggalkan dirinya. Apalagi ayahnya, aku
tidak menyalahkan juga. Toh dia sudah pergi entah kemana. Aku juga tidak menyalahkan
dirinya. Tidak dengan keluarganya, saudaranya atau mungkin tetangganya. Aku juga tidak
akan menyalahkan pemerintah. Aku justru menyalahkan diriku sendiri. Seharusnya sebagai
seorang paman, aku bisa membahagiakannya.
Untuk menebus kesalahanku, aku sering mengajaknya pergi ke pemakaman ibunya. Sekedar
menaruh karangan bunga atau mendoakannya. Sering juga ia tertawa keras di pemakaman
sambil berputar-putar mengelilingi kuburan Ibunya. Aku membiarkannya. Bahkan terkadang
juru kunci pemakaman mengusir kami karena membuat keramaian di pemakaman.
Tapi, aku yakin dalam hatinya ia berkata, Ibu aku mencintaimu. Aku yakin itu dan sampai
kapanpun aku akan tetap yakin. Aku yakin Tuhan sudah memberinya jawaban sendiri kenapa
ia di ciptakan dalam kondisi yang berbeda. Dan aku sangat yakin dia bukan manusia goblok.
Tapi dia manusia yang sempurna. Sangat sempurna di antara yang lain.
Sumpah, dia bukan manusia goblok!
* * *
(Diambil berdasarkan Kisah Kehidupaan Nyata dari seorang gadis bernama ‘Alin’ yang
mengidap autis dan ibunya yang meninggal dunia)
Pacitan, 22 November 2012
AKU, KAU dan REMBULAN
“Selamat tidur Sayang. Selamat tidur Rembulan.”
* * *
Di lapangan merah ini aku menunggumu sayang...
Terik matahari memang sudah menjadi kebiasaan dalam hari-hariku. Aku sudah akrab
dengannya. Terlalu akrab malahan. Di tengah siang hari yang membakar kulit, aku berlarian
sepanjang trotoar dengan derap langkah sepatu hitam. Sudah berapa puluh pergantian terik
matahari ini aku rasakan. Setiap hari aku memang harus bersahabat dengannya selayaknya
yang lain. Memang berat tapi beginilah adanya.
“Kalau memang tidak kuat gak usah ikut, mending keluar saja.” ucap salah satu temanku.
Pernah terlintas dalam pikiran ku bahwa aku ingin keluar. Aku ingin meninggalkan rutinitas
ini dan bisa pulang sambil melihat senyummu. Tapi karena profesionalitas sekaligus amanat
bapak yang dulu menyuruhku ke sini, membuatku mau tidak mau harus bertahan. Toh, ini
memang aku dan ini pekerjaanku. Kalau aku tidak bertahan bagaimana dengan senyummu?
Kalau aku tidak bertahan bagaimana dengan hidup kita? Bagaimana dengan rembulan yang
mempertemukan cinta kita?
* * *
Setiap kali ingin menjelang tidur aku selalu menyempatkan diri melihat senyummu lewat
foto. Aku sentuh wajahmu di foto itu dan aku elus pipimu. Terkadang rasa rindu memang
bisa membuatku gila dan sesekali keluar dari batas normal dan batas kewajaran seorang
manusia. Tapi inilah aku. Meskipun aku lelaki yang selalu di tempa fisik dan mental setiap
hari tapi aku memang merindukanmu. Merindukan rembulan. Rindu setengah mati. Kau tahu
kan bagaimana rasanya bila sudah rindu setengah mati?
“Kalau memang tidak kuat gak usah ikut, keluar saja tidak apa-apa. Toh itu hakmu kan.”
Lagi-lagi temanku melontarkan pernyataan yang serupa. Dia menepuk bahuku dan segera
duduk di sampingku sambil membawakanku secangkir kopi hangat.
“Terima kasih, Riz.” Aku hanya bisa menghela napas panjang.
“Sudahlah jangan di pikirin terus, Toni. Memang dia sangat berarti dan sangat berguna
bagimu tapi mbok ya jangan di pikirin teruslah. Kalau kamu pikirin terus itu malah
menghambat karirmu sendiri. Kamu jadi ndak fokus di sini.” sarannya sambil meneguk kopi
di genggaman tangannya.
“Tapi Riz...” aku lagi-lagi menghela nafas. Aku pasti kehilangan alasan untuk sekedar
menjawab kenapa selalu memikirkanmu terus.
“Tapi kenapa Ton? Kamu tidak bisa sejenak nglupain dia? Kamu tidak bisa semenit saja
memikirkan pekerjaanmu.....”
“Bukan itu masalahnya Riz.” Ah..perasaanku memang benar-benar kacau. Aku mendesah
pelan.
“Ton gini. Ya perasaanmu itu emang wajar. Kalau kamu nggak gitu, nggak mikirin dia,
menurutku kamu justru malah lelaki yang bejat. Tapi ya profesional sajalah. Kan ini emang
kerja kita. Mimpi kita. Cita-cita kita. Bukankah bapakmu menginginkan kamu menjadi
seperti sekarang? Ya okelah dia memang berharga. Tapi jangan sampai kau kepikiran terus
dengan dia dan itu justru menghambat kerjamu di sini. Jadi profesional aja.” sahut Rizki
panjang lebar.
Perkataan temanku yang memang sama-sama berasal dari Jawa ini membuatku luluh. Sudah
sering dia mengatakan itu padaku. Bahkan dia juga yang selalu mengingatkanku bila aku
sudah kehilangan semangat.
“Inget besok kita latihan lagi. Aku tidur duluan ya. Jangan sampai mikirin dia terus kamu
lupa tidur lagi.” katanya sambil menepuk bahuku. Dia lalu memanjat tangga ranjang dan tidur
di ranjang bagian atas sedangkan aku di ranjang bawah. Lagi-lagi aku hanya menghela napas.
Lama aku masih melihat fotomu lengkap dengan senyum manismu. Andai saja ada waktu
semenit untuk menelponmu maka aku akan mengucapkan selamat tidur padamu. Tapi sayang
di sini pasti tidak akan di izinkan.
Aku mengecup halus dahimu. Dulu aku memang selalu mencium halus dahimu sebelum tidur
malam. Ya..dulu. Dulu ketika rembulan mempertemukan cinta kita berdua. Dulu ketika aku
sering menjahilimu ketika malam menjelang. Dulu ketika aku sering takut kehilangan dirimu,
meskipun hanya untuk waktu sedetik saja. Dulu...ya itu dulu. Dulu ketika rembulan sedang
menghajar malam dan kemudian menghilang di peraduan, berganti dengan matahari yang
menantang kehidupan. Menantang kita berdua. Membuat sekat-sekat tembok tebal yang
sangat sulit untuk di naiki, sekalipun dengan sang rembulan. Dan sekarang? Ah...sekarang
aku hanya bisa mencium halus dahimu lewat foto. Hanya bisa menjahilimu lewat foto. Hanya
bisa memandangmu lewat foto. Hanya bisa...ah!
Aku menghela napas. Napas yang berat. Dengan berat hati aku simpan fotomu di bawah
bantal. Aku rapikan selimut dan segera memejamkan mata. Aku berharap bisa mimpi indah
bertemu denganmu. Aku berharap rembulan bisa mengantarkan rindu ini untukmu. Rindu
dengan semua tentangmu.
Selamat tidur sayang. Selamat tidur rembulan.
* * *
Dalam atap rumah aku menantimu sayang....
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi kenapa mataku selalu sulit untuk di
ajak tidur? Setiap hari selalu begini, begini dan begini. Sesekali aku bangun dari ranjang
tempat tidur dan bertopang pada tembok untuk melihat ke luar rumah lewat jendela.
Rembulan malam berbentuk lingkaran penuh menyapaku. Ia membawa kenanganku
denganmu saat pertama kali melewati malam pertama. Aku masih ingat kau mengodaku
habis-habisan saat malam pertama itu dan selalu mengodaku, menjahiliku setiap hari dan
setiap malam. Aku masih ingat kau selalu mengecup halus dahiku dengan lembut dan penuh
mesra. Aku sangat takut kehilanganmu. Sangat takut.
Tapi sekarang waktu memutar itu semua. Rembulan merebut kemesraan itu. Rembulan telah
membuat tembok-tembok pembatas yang seakan menjadi penghalang bagi segalanya.
Rembulan mengajak waktu untuk memisahkan kita. Membuat jarak kita semakin jauh satu
sama lain. Ah...! Aku mendesah. Aku menghela napas. Napas yang sangat berat.
Seberat aku kehilangan dirimu, Sayang.
Aku memang memaklumi pekerjaanmu. Pekerjaanmu memang mulia dan aku memang
menerimanya. Semenjak pernikahan awal pun aku sudah menerima hal itu. Tapi aku hanya
bisa pasrah dengan keadaan ini. Hanya pasrah dan mungkin akan selalu menunggumu di
pintu rumah sambil tersenyum dan mengecup halus dahiku dengan mesra. Hanya pasrah
dengan sang rembulan. Hanya pasrah dengan sang waktu. Hanya pasrah dengan semuanya.
Tak terasa air mataku mengalir. Aku tak kuasa menahannya. Aku rindu kepadamu. Sangat
rindu. Rindu setengah mati. Kau tahu kan bagaimana rasanya rindu setengah mati? Aku
benar-benar merasa kesepian dan rindu dengan semua tentangmu. Tentang senyummu,
semangatmu, godaanmu, jahilmu dan semua hal tentangmu.
Aku beranjak ke ranjang dan melihat fotomu. Kau tampak gagah dengan seragam coklat
milikmu. Kau tersenyum sambil tanganmu memegang punggungku dan mencium pipiku.
Aku mengambil fotomu itu. Aku elus secara perlahan dan tak terasa air mataku mengalir ke
fotomu. Aku menghapusnya lalu melekatkannya erat ke dadaku. Sangat erat. Aku rebahkan
tubuhku ke kasur sambil tetap memeluk fotomu itu dan berharap bisa mimpi indah
denganmu. Berharap sang rembulan bisa membawa cinta kita berdua dan
mempertemukannya.
Selamat tidur sayang. Selamat tidur rembulan.
* * *
Pagi beranjak dan aktivitasku pun di mulai. Seperti biasa disiplin harus diutamakan. Sarapan,
mandi, shalat, bahkan minum pun harus disiplin. Latihan pembuka seperti lari pagi atau push-
up atau latihan fisik lain pun sudah menjadi sarapan setiap hari bagiku. Hukuman jika
melanggar pun juga sudah menjadi kawan akrabku di sini. Tapi aku menjalaninya dengan
sukarela dan penuh semangat karena memang inilah cita-citaku. Inilah mimpiku dan aku
memang harus mencintai duniaku ini.
Dan sudah setahun ini aku terjun dalam duniaku sendiri. Aku bersama seratus lima puluh
temanku yang lain di latih di sini. Beberapa minggu ke depan memang kami ada keperluan
untuk terbang ke luar. Karena itu kami harus di latih. Dan memang aku menyukai ini seperti
halnya aku menyukaimu.
Setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik aku selalu memikirkanmu dan tentu
dengan senyummu. Dengan rembulanmu. Dan semua hal tentangmu. Memikirkanmu
membuatku justru bersemangat. Kaulah inspirasi dan penyemangatku. Kaulah sumber
motivasi terbesarku. Kaulah rembulan di kegelapan malam yang menyelimuti jiwaku. Aku
tidak akan pernah untuk melupakanmu dan berjanji akan pulang sambil mengecup halus
dahimu dengan mesra. Dengan mesra dibawah sinar sang rembulan.
* * *
Temanku menawariku kerja. Aku galau apakah mau atau tidak untuk menerimanya. Jadi
model katanya.
“Ayok kerja, Santi. Daripada kamu nganggur dirumah gak ada kerjaan terus kesepian.
Memang gak apa-apa mikirin dia tapi setiap hari masak kamu terus begini. Di mana gairah
hidupmu? Jadi model enak kok. Apalagi dengan parasmu yang cantik dan tubuhmu yang
masih ramping itu. Apalagi kan dulu kamu jadi bintang di kampus. Udah pinter cantik lagi.
Ayo ikut aja.” bujuk teman lamaku yang dulu satu kampus denganku.
Aku bimbang dengan keputusanku. Di satu sisi aku memang ingin. Selama ini aku hanya
menunggumu di rumah saja dan selalu memikirkanmu. Aku takut malah menjadi beban
bagimu. Kau semangat bekerja demi diriku sedangkan aku hanya enak-enakan di rumah.
Apalagi ini bisa menjadi gairah penyemangat dalam hidupku. Tapi di satu sisi aku takut. Aku
takut jika ini justru malah menjadi jurang dalam hidupku karena profesi model itu profesi
yang rawan. Aku takut kesetiaanku padamu akan hilang. Aku takut rembulan akan
memisahkan kita berdua. Aku takut. Aku sungguh mencintaimu. Sangat mencintaimu.
“Aduh jangan kelamaan mikir. Terima aja, dia gak bakalan marah kok. Toh ini juga demi
kebaikanmu supaya gak stress mikirin dia terus hingga nanti pulang. Mending daripada
nganggur nunggu dia, lebih baik terima aja jadi model. Kesempatan ini gak datang dua kali
lho.” Bujuknya tetap ngeyel mengajakku jadi model.
Entah apa yang merasuki tubuhku aku menerima ajakannya. Aku hanya bisa menghela napas
panjang sambil memikirkanmu. Aku berharap kamu juga berpikiran sama denganku dan ini
aku lakukan memang demi kebaikan kita supaya aku tetap menunggumu hingga nanti kau
pulang. Aku berharap sang rembulan tetap menyatukan cinta kita. Aku akan tetap menantimu
di luar pintu sambil mengecup halus dahiku. Mengecup halus dengan sinar sang rembulan.
* * *
Hari terus berganti. Tinggal dua hari ini aku ada di basecamp. Untuk selanjutnya aku dan
seratus lima puluh pasukan lainnya akan di terbangkan. Hari-hariku pun semakin sibuk
dengan segala macam latihan. Latihan fisik, latihan mental, strategi, kekompakan, amunisi
dan segala hal tentang keperluan dua hari mendatang telah menyita kesibukan waktuku.
Tapi selama itu aku tetap menyempatkan melihat senyummu lewat foto menjelang tidur.
Bahkan aku membawa fotomu meskipun dalam perjalanan panjang nanti. Foto dengan
rembulan yang begitu mempesona. Dan sekarang aku berharap misi ini segera selesai dan
bisa melihat senyummu kembali seperti biasa sambil mengecup halus dahimu.
Tunggulah aku sayang. Tunggulah aku rembulan.
* * *
Alhamdulilah karirku melesat. Baru hitungan minggu kerjaku sudah banyak dan jadwalku
sangat padat. Hari-hariku pun semakin sibuk dengan segala macam kegiatan model.
Pemotretan, fashion show, gelar busana dan seabrek kegiatan model lain menyita hari-hariku.
Aku merasa hidupku menjadi bergairah. Aku merasa mendapatkan hidupku kembali. Aku
merasa sang rembulan semakin ketat mempertemukan cinta kita berdua. Semakin dalam
untuk menyinari cinta yang dulu kau agungkan semenjak kita pacaran.
Tapi aku tetap menunggumu. Aku akan selalu menunggumu di luar pintu rumah sambil
tersenyum kepadaku dan mengecup keningku dengan halus.
Aku akan menantimu sayang. Aku akan menantimu rembulan.
* * *
Koran Pagi Edisi 2 Januari 1994 hal.3 kolom atas
Tentara Pasukan Indonesia menjalankan misi penyelamatan pengiriman dari PBB ke Kongo.
Misi ini mengirimkan pasukan tentara sebanyak seratus lima puluh orang dari Indonesia.
Ketika tiba di Kongo ternyata Pasukan Garuda mendapat serangan kejutan dari pasukan
pemberontak sehingga banyak tentara yang tewas. Salah satunya terdapat tentara yang
menyimpan foto seorang perempuan yang sedang tersenyum. Di ketahui identitasnya
ternyata bernama Toni......bersambung ke hal.6 kolom atas.
Koran Pagi Edisi 2 Januari 1994 hal.3 kolom bawah
Model yang akhir-akhir ini sedang meroket namanya di temukan tewas dalam perjalanan ke
rumahnya. Ia di temukan tewas dengan tusukan bertubi-tubi di perutnya. Di duga ia tewas
karena di bunuh managernya yang merupakan temannya sendiri karena tidak mau
memberikan uang kepada managernya untuk membeli narkoba. Barang bukti yang ada
hanya pisau kecil dan di sampingnya ada foto laki-laki yang mengenakan seragam coklat. Di
ketahui identitas model yang tewas itu bernama Santi.....bersambung ke hal.6 kolom bawah.
* * *
Jakarta, 12 April 2012.
Aku masih menyimpan halaman kertas lusuh itu. Aku menyimpannya secara rapi. Sebelum
menjelang tidur aku selalu rutin membacanya. Aku tidak pernah menyesal di lahirkan dari
mereka. Aku di lahirkan oleh rembulan. Di susui desiran angin kasih sayang. Di besarkan
oleh keindahan malam. Di ajari oleh gemerlap bintang. Aku adalah buah cinta rembulan yang
di pisahkan sendiri oleh rembulan. Aku adalah manusia yang melihat semuanya dengan
waktu. Waktu yang berkejaran dengan rembulan.
“Demi masa depan ayahmu makanya kamu di titipkan ke nenek.” kata nenek ketika aku
bertanya mengapa di titipkan kepadanya. Saat itu sampai sekarang aku tidak pernah menyesal
di lahirkan dari pertemuan cinta mereka. Pertemuan oleh sang rembulan. Sungguh aku tidak
menyesal sekalipun. Aku mencintai mereka. Keduanya. Aku mencintai rembulan.
Dan rembulan lah yang selalu menjagaku. Rembulan yang dulu membuat tembok tebal bagi
cinta mereka berdua sekarang setiap hari selalu menjagaku. Membesarkanku dan
mengajariku apapun. Apapun tentang segalanya. Termasuk kasih sayang. Kasih sayang yang
dulu di pertemukan dan di wahyukan untukku.
Aku lipat kertas lusuh itu dengan rapi. Kuselipkan di bawah bantal. Ya..kertas lusuh lengkap
dengan fotonya. Foto mereka berdua dengan sang rembulan. Kertah lusuh halaman tiga.
Kertas lusuh yang menghantarkan kerinduanku pada mereka. Rindu yang tak tertahankan.
Rindu setengah mati. Tapi, rembulanlah yang membawakan rinduku untuk mereka.
Rembulanlah yang mempertemukan cinta mereka untukku. Rembulan, aku mencintainya.
Selamat tidur Ayah. Selamat tidur Ibu. Selamat tidur Sayang. Selamat Tidur Rembulan.
* * *
“Selamat tidur Sayang. Selamat tidur Rembulan.”
* * * * *
Malang, 10 Januari 2012 Pukul 24.30 WIB
GADIS BERKERUDUNG MERAH
Aku tidak tahu persis namanya siapa. Yang kutahu gadis itu berkerudung. Berkerudung
merah tepatnya. Aku juga kurang tahu berapa umurnya, tapi ketika pertama kali aku bertemu
dengannya aku lebih senang memanggilnya dengan sebutan gadis. Ehmm..agak konyol
memang. Tapi aku sudah menyukainya semenjak bertemu tidak sengaja setahun yang lalu di
stasiun.
Matanya berwarna biru polos dengan balutan hidung mancung serta wajah elips yang di
padu-padankan dengan kerudung khasnya yang berwarna merah. Senyumnya khas, membuat
hati begitu sejuk dan indah, apalagi di padukan dengan kerudung merahnya. Kerudungnya
simple, tidak neko-neko dan sisa kain balutan kerudungnya di tempelkan ke atas bahunya.
Terasa sederhana tetapi lebih dari biasa. Terasa biasa tetapi lebih dari sederhana. Lebih dari
gadis biasa dan lebih dari gadis berkerudung yang sederhana.
Bahkan ketika hari-hari berikutnya yang ternyata ia bekerja membantu ibunya berjualan mie
keliling, kerudung merahnya tidak pernah terlepas dari kepalanya. Selalu berkerudung merah.
Sambil menenteng tremos di tangan kanannya dan wadah bakul yang berisi mie instant di
tangan kirinya, sesekali kulihat kerudung merahnya basah oleh peluh keringat yang
membanjiri wajah elipsnya.
Tapi, sungguh dia adalah gadis yang sempurna. Ya...kuakui gadis berkerudung merah itu
sungguh memikat hatiku setahun ini. Sangat memikat lengkap dengan kerudung merahnya
dan mie instant buatannya.
* * *
Setahun ini pula aku sering pergi ke stasiun. Hampir tiap hari selepas kuliah aku selalu
menyempatkan diri untuk singgah ke stasiun sekedar membeli mie goreng dan lagi-lagi hanya
untuk melihat gadis berkerudung merah itu. “Maaf mbak gadis, bisa buatkan satu mie
goreng?” ucapku padanya.
Gadis itu berbalik arah kepadaku, sebentar tertegun dan langsung mengibaskan senyum di
bibirnya. Setengah tertawa. Kerudung merahnya berhembus ke kanan-kiri di permainkan oleh
angin stasiun.
“Rahma, Mas.” Dia tersenyum. Aku mengangkat alis.
“Nama saya Rahma, Mas.” Dia memperjelas ucapannya. Aku sedikit malu. Menggaruk-garuk
kepala belakang sambil celingak-celinguk ke arah stasiun. Rahma. Rahma. R-A-H-M-A. Aku
mengeja kata itu. Ah...namanya memang sepadan dengan orangnya. Sederhana tapi luar
biasa.
“Panji. Nama saya Panji.” kataku. Dia tersenyum.
“Mie gorengnya apa seperti biasa, mas?” jawabnya sambil duduk menyeduh mie instant
dalam mangkuk dengan termos yang ia pegang.
Aku agak sedikit kaget dan berusaha menyembunyikan perasaanku. Aku mengangguk pelan.
Lagi-lagi ia tersenyum dan lagi-lagi kerudung merahnya berhembus terkena tiupan angin.
Ah..dia memang berbeda. Setelah selesai, ia lalu memberikan satu mangkuk mie goreng
hangat kepadaku.
“Ini mas” ucapnya pelan.
“Terima kasih!” ujarku. Gadis itu sejenak tertegun dan melihat kepadaku sambil tersenyum.
Wajahku agak sedikit memerah ketika dia melihat diriku.
“Maaf mas, tapi saya cuman penasaran saja. Kok selama satu tahun ini kenapa mas selalu
makan mie kepada saya?” katanya sambil membereskan mie instant di dalam wadah
bakulnya.
Aku menghentikan sejenak suapan mieku. Aku menelan ludah. Tidak tahu mau menjawab
apa. Aku menghembuskan nafas dan menatap matanya. Sejenak mata kami saling bertatapan.
Lama. Kerudung merahnya lagi-lagi berkibaran tak menentu. Dan angin itulah yang
sepertinya menghembuskan hati ini untuk selalu berada di sampingnya. Angin cinta.
“Mas?” dia menyadarkanku.
“Oh...iya.” Aku kaget dan langsung bersikap normal kembali.
“Ada yang salah dengan diri saya?” Ia mengerutkan dahi.
“Nggak kok! Ehm...saya hanya ngerasa mie goreng buatanmu sangat spesial dan lain
daripada mie goreng yang pernah saya temui”. Aku meringis. Kemudian setengah tertawa.
“Spesialnya dimana mas? Perasaan mie goreng buatan saya hanya sederhana saja.”
Senyumnya lagi-lagi mengembang.
“Ya karena kesederhanaan itulah yang membuat mie goreng ini terasa spesial. Sederhana tapi
spesial. Sederhana tapi luar biasa!” ucapku sambil menelan kembali satu suapan mie. Gadis
itu hanya bisa tersenyum kembali. Dan sibuk merapikan mie instant yang ada di dalam wadah
bakulnya.
* * *
Kemarin sore itulah yang mengawali sore-sore berikutnya. Sedikit demi sedikit kami bisa
bertukar cerita. Ya..Rahma, nama yang bagus. Sangat bagus. Katanya usianya 19 tahun dan
itu terpaut 1 tahun lebih muda usianya denganku. Ia lulusan SMA dan tidak bisa melanjutkan
kuliah karena kendala biaya. Ia sungguh berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Dia tidak
pernah merasa sedih sekalipun apalagi tidak bisa meneruskan kuliah, ia seakan menjalani
kehidupan ini dengan bahagia.
Dengan senyum yang mampu menghibur hatiku, ia tidak malu menenteng tremos maupun
bakul wadah mie instan sambil di jajakan ke penghuni stasiun yang hilir mudik. Dia tak kenal
rasa menyerah. Dia gadis tetapi bukan gadis remaja yang hanya senang menikmati kehidupan
saja. Dia lebih dari gadis. Dia adalah perempuan luar biasa. Lebih dari luar biasa. Perempuan
istimewa. Istimewa dengan balutan kerudung merah yang menutupi balutan wajahnya.
Istimewa dengan semua yang dia miliki. Istimewa dengan mie instan dan tremos yang ia
bawa. Sangat istimewa.
Cerita-cerita lainnya mungkin kurang penting untuk aku ketahui tapi satu pertanyaan yang
masih mengganjal adalah alasannya memakai kerudung dan berjualan mie instant. Kenapa ia
bisa bertahan dengan pekerjaan ini yang mungkin menurutku kurang laku. Tapi aku tidak
berani untuk menanyakannya. Aku takut jika pertanyaan itu bisa menyinggungnya. Terbersit
rasa kasihan dalam hatiku dan aku tahu rasa kasihan itu tumbuh menjadi rasa sayang yang
semakin menjadi-jadi. Tapi yang kutahu selama dua tahun perjalanan ini aku selalu pergi
menemuinya hampir tiap sore di stasiun. Hanya sekedar melihatnya lengkap dengan
kerudung merahnya dan mie goreng buatannya.
* * *
Sore itu stasiun sepi. Senja sudah begitu tiba di ufuk fatamorgana. Kilauan sinar merah
jambunya menerobos tiap gerbong kereta yang baru saja lewat. Gerombolan manusia
berdesakan keluar gerbong seakan cacing-cacing yang ingin menggeliat keluar dari dalam
tanah. Aku alihkan pandanganku ke sekeliling stasiun. Senja yang ada sedikit menghalangi
pandanganku. Tapi gadis itu tidak ada. Lama aku menengok ke kanan-kiri kedepan-belakang
untuk mencari gadis berkerudung merah itu.
Aku menanyakan ke hampir setiap orang yang lewat. Semuanya menggeleng. Hampir seluruh
koridor stasiun aku kelilingi. Setiap ada kereta yang berhenti aku segera masuk ke dalam
kereta. Aku masuki gerbong tiap gerbong. Aku cek tiap kursi penumpang. Tapi hasilnya
nihil. Tidak ada. Tidak ada gadis berkerudung merah dengan tremos dan bakul wadah mie
instant.
Ah..aku menghela napas berat. Sangat berat. Napasku tidak beraturan. Hari ini memang aku
telat gara-gara kuliah tambahan yang membosankan dan sekarang ketelatanku berujung nihil.
Aku tidak menemukan dirinya. Aku menghembuskan nafas. Aku menyesal .Padahal hari ini
aku akan segera mengatakan kepadanya. Ya...aku ingin menyatakan sayang ini kepadanya
tapi lagi-lagi angin senja stasiun mempermainkannya.
* * *
Rutinitas kuliah memang menyebalkan. Apalagi jurusan Informatika. Tugas, tugas dan tugas.
Setiap hari hanya tugas. Damn it! Dan selama lima bulan ini aku di sibukkan oleh tugas itu.
Lima bulan pula aku juga jarang ke stasiun. Jarang melihat gadis itu dan kerudung merahnya.
Jarang melihat senyumnya. Jarang melihat mie instant buatannya. Jarang dengan semua hal
tentangnya.
Namun, perasaanku selama lima bulan itu juga masih tetap sama kepadanya. Tidak berkurang
sedikitpun. Bahkan selalu bertambah. Tapi ada yang berkurang sekarang dalam hidupku. Mie
goreng dan kerudung merahnya. Ya tentu saja. Aku merindukannya lengkap dengan
kerudung merahnya.
* * *
Setahun sudah aku tidak menemuinya sama sekali. Tidak dengan mie gorengnya. Tidak
dengan kerudung merahnya. Angin stasiun yang dulu mempermainkan kerudung merahnya
ataupun mie goreng hangat yang di seduhkan kepadaku, sekarang hanyalah sebuah memory
belaka yang mungkin akan menjadi takdir bahwa ia bukan siapa-siapa dalam hidupku. Aku
pun juga terlalu tolol. Tiap sore tidak pernah datang menemuinya karena memang rutinitas
kampus sangat menyebalkan.
Tugas, kegiatan dan praktek. Itu saja yang selalu mempermainkan hidupku dan tidak ada
angin stasiun yang mempermainkan kerudung merahnya dalam benak pikiranku. Mungkin
sekarang ia juga lupa denganku. Sekarang mungkin ia bukan lagi gadis tapi sudah menginjak
usia dewasa. Tapi aku selalu berharap ia selalu ingat denganku dan tentu saja aku akan selalu
mengingatnya lengkap dengan kerudung merahnya. Selalu ingat dengan mie instant
buatannya.
“Panji, tolong kau jawab pertanyaan di papan tulis ini!” sahut dosen tiba-tiba.
Aku terhenyak. Lamunanku terbuyar oleh pertanyaan dosen yang mengarah kepadaku. Aku
menarik nafas panjang. Mataku aku pejamkan. Aku memutuskan sore hari nanti harus ke
stasiun. Persetan dengan kuliah tambahan. Aku hanya ingin merasakan mie goreng spesialnya
dan melihat kerudung merahnya yang selalu bergerak di permainkan oleh hembusan angin.
Ya..aku harus ke stasiun dan segera menemui gadis itu lengkap dengan kerudung merahnya,
sebelum angin senja stasiun mempermainkannya.
* * *
Entah kenapa stasiun sore ini begitu ramai. Lalu lalang orang selalu bergerak seakan
berlomba dengan lintasan rel kereta api yang tidak pernah lelah mengantarkan gerbong-
gerbongnya. Angin stasiun bergerak pelan di antara lalu-lalang orang yang melintas. Para
penjual minuman dan makanan kecil saling ruwet menjajakan camilannya kepada setiap
orang yang baru saja turun dari gerbong kereta api. Bau peluh dan keringat manusia
bercampur dengan suara bising kereta dan polusi suara dari kicauan orang yang lalu-lalang
menambah pusingnya suasana stasiun.
Aku tertegun. Mataku nanar. Lagi-lagi dia tidak ada. Gadis berkerudung merah dengan
termos di tangan kiri dan bakul wadah mie instan di tangan kanan. Setengah berlari aku
mencarinya ke segala penjuru stasiun. Aku mencarinya di semua sudut stasiun. Aku
mencarinya di gerbong-gerbong kereta yang berhenti setiap saat. Angin stasiun seakan
mengisyaratkan agar diriku untuk mencarinya lengkap dengan kerudung merahnya.
Aku terus mencari. Kali ini aku tidak boleh kehilangan dirinya lagi. Aku harus bertemu
dengannya. Aku harus melihatnya lengkap dengan kerudung merahnya. Aku harus
menyatakan perasaan ini kepadanya. Harus sekarang. Aku menanyakan keberadaan dirinya
ke setiap orang yang lalu-lalang. Aku harus seperti dirinya, tidak boleh menyerah. Tidak
boleh menyerah untuk terus menemukannya.
Tapi hasilnya nihil. Aku frustasi. Di setiap sudut, kerudung merahnya tidak menampakkan
diri. Angin senja stasiun benar-benar mempermainkan perasaan ini.
Langit sore kian tenggelam. Kilauan senja di fatamorgana siap untuk menggantikannya.
Stasiun bertambah ramai. Aku kehilangan semangat hidup. Aku duduk di bangku yang
biasanya aku gunakan untuk makan mie goreng hangat buatannya. Aku memejamkan mataku
dan menarik napas panjang. Lama. Sangat lama.
* * *
“Ma..ada mie goreng ma di bawah bangku itu!” seorang anak kecil berteriak merengek
kepada ibunya untuk minta mie goreng membuyarkan tidurku. Ternyata aku tertidur. Aku
membuka mataku dan melihat anak kecil itu.
“Jangan Rara! Itu sudah basi nak, mienya. Nanti kalau sampai di rumah, mama buatin deh
mie goreng spesial untuk Rara”. Ibu anak itu menasehati anaknya. Anaknya tersenyum dan
mencium pipi ibunya. Aku mengalihkan pandanganku dari anak kecil itu ke bawah bangku di
sebelahku. Mataku terhenyak.
Ada satu mangkuk mie goreng yang sudah basi, lembek dan berjamur. Aku mengambil mie
goreng itu. Baunya anyir luar biasa. Aku menutup hidungku. Tapi...bukan baunya yang aku
perhatikan tapi selembar kertas yang sudah basah dan setengah agak sobek di dalam
mangkuk mie goreng itu. Aku mengambil dan membacanya.
“AKU BERSYUKUR JIKA MAS PANJI MENEMUKAN KERTAS INI BESERTA MIE
GORENGNYA. AKU JUGA BERSYUKUR TUHAN SUDAH MEMPERTEMUKAN SAYA
DENGAN ORANG SPESIAL SEPERTI MAS. SEMENJAK PERTAMA BERTEMU SAYA
SUDAH MENCINTAIMU MAS. SAYA SENGAJA AGAR TIDAK PULANG KETIKA SORE
HARI DAN SENGAJA MENYISIHKAN BEBERAPA MIE INSTAN KARENA MEMANG
AKAN SAYA BERIKAN UNTUK MAS. TAPI BEBERAPA TAHUN INI MEMANG TERASA
LAMA. AKU TIDAK SANGGUP LAGI MAS JIKA HANYA BEKERJA SEPERTI INI.
ORANGTUAKU DAN ADIK-ADIKKU SANGAT MEMBUTUHKANKU DAN
BERGANTUNG HIDUP DARIKU. MAAF JIKA INI MEMANG MENYAKITKAN TAPI
INILAH KENYATAAN DALAM HIDUP. SEKALI LAGI RAHMA MINTA MAAF MAS.
RAHMA MENCINTAIMU.”
Entah kenapa aliran darahku tiba-tiba menegang. Butiran halus dari mataku mengalir deras ke
pipiku. Aku hanya bisa memandangi kertas itu lama. Sangat lama. Angin stasiun mencoba
merebutnya dan menerbangkannya tapi aku pegang erat kertas itu. Kupejamkan mataku dan
menarik napas dalam-dalam. Senja tiba. Kemilau merah jambunya menerangi seisi stasiun.
Mataku nanar. Aku menyalahkan diriku sendiri. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa tidak tahu
dari tatapan matanya dan gerak-gerik tubuhnya bahwa dia juga mencintaiku? Tubuhku oleng
dan lemas. Aku tidak punya semangat untuk berdiri dari bangku itu. Aku hanya mencoba
bertindak bodoh bahwa semua ini hanya ilusi belaka dan mungkin hanya sekedar mimpi. Aku
mungkin sedang tertidur. Kubuka mataku dan ternyata aku memang di stasiun. Aku tidak
bermimpi dan memang inilah kejadiannya. Aku meremas jari-jariku, menarik napas dan
menguatkan bola mataku supaya tidak mengeluarkan air mata kembali. Aku menghela napas
panjang dan siap berdiri dari bangku yang mungkin tinggal kenangan itu.
Stasiun mulai sepi. Adzan maghrib mulai berkumandang. Semua orang di stasiun perlahan
mulai pulang ke peraduannya masing-masing. Sinar senja matahari menembus bayanganku.
Sinarnya tembus sampai ke mataku. Sinar itu berpendar seakan mencolok mataku sehingga
secara spontan aku menutup mataku. Lama sinar itu menghilang dan berpendar jauh ke ujung
stasiun. Sinar itu membiaskan dua bayangan. Samar-samar aku melihat bayangan dua orang
sedang bergandengan mesra. Laki-laki dan perempuan. Si perempuan menggelayut manja di
samping seorang laki-laki yang sudah setengah baya.
Aku berdiri dari bangku stasiun. Perempuan manja itu tertawa genit dan tak sengaja
menengok ke belakang. Lama ia menengok ke belakang dan sekilas bertatapan denganku.
Lama. Sangat lama. Air matanya kemudian mengalir. Aku hanya bisa diam terpaku. Kemilau
sinar senja menghalangi pandangan kita berdua. Secara sekilas aku melihatnya
menghembuskan napas, menghapus air matanya dan segera menggelayut manja kembali
dalam pelukan lelaki itu. Aku tertegun. Tidak percaya. Kertas dalam genggamanku terebut
oleh angin stasiun dan di permainkan olehnya dalam sinar kemilau senja.
Aku masih tidak percaya dengan perempuan tadi. Air mataku menetes kembali. Ah..kenapa
jadi begini? Perempuan itu adalah yang dulu kukenal dan kuakui sebagai gadis berkerudung
merah pertama kali sambil membawa termos dan bakul wadah mie instan. Tapi sekarang aku
tidak melihatnya menggunakan kerudung merah. Ya...tanpa kerudung merahnya.
Angin stasiun senja menembus mataku sambil tetap melihat gadis kecil tanpa kerudung
merah dan mie goreng buatannya.
* * * * *
Senja di Stasiun Kota Malang, 15 Juni 2012
ANTARA TOKYO-SURAKARTA
Brak!!!!
Suara itu cukup keras. Sangat keras sehingga membuat sepeda motor yang kutumpangi dan
pengemudi, si abang ojek itu oleng. Kejadian itu datang begitu cepat. Sangat cepat sehingga
terjadi begitu saja. Kondisi jalan yang curam, berbatu, sempit dan agak menurun mendekati
pinggiran jurang itu sudah menjadi saksi bisu dalam kejadian ini. Entah kenapa, kejadiannya
datang begitu saja. Mobil Mercy hitam di depanku langsung menghantam tebing di pinggir
jalanan sepi dekat hutan. Langsung menghantam begitu cepat.
Motor yang kutumpangi entah menabrak apa, aku tak tahu. Abang ojek, pemilik sepeda
motor langsung meninggal seketika. Tubuhnya terpental jauh hingga ke ujung jalan yang
penuh dengan batu-batu tajam di sekitar tebing. Tubuhnya bersimbah darah dan mengalir
membanjiri badan jalan. Setengah sadar, aku sudah terbujur bersimbah darah segar yang
mengalir di mana-mana. Semua tubuhku kaku. Rasanya ngilu. Tulangku serasa remuk, sakit
bukan main.
Pengendara mobil Mercy hitam itu tak keluar. Mobilnya ringsek, hancur tak karuan. Darah
segar mengalir memenuhi badan mobil dan mengalir ke badan jalan. Pengendaranya tewas.
Angin kencang saat itu membawa bau amis darah ke segala penjuru. Jalanan sepi. Jalanan itu
memang jalan alternatif, jalan yang jarang di lalui. Bukan jalan umum yang banyak lalu-
lalang kendaraan. Gemerisik daun saling bersahutan tertimpa angin kencang yang
menggugurkan daun-daunnya secara sembarangan. Dan sekarang tinggal aku sendiri yang
berada dalam batas kesadaran.
Hanya aku saja.
Entah, aku merasa tulangku patah semua. Aku tak bisa bergerak. Semua tubuhku serasa
terpasung dalam rasa sakit yang tidak bisa di terjemahkan ke dalam kata-kata. Napasku tidak
beraturan. Darah segar terus mengalir tiada henti. Kepalaku pusing. Remuk. Aku tidak bisa
mengingat apa-apa. Aku tidak bisa berteriak ke mana-mana. Aku tidak bisa mengambil apa-
apa untuk meminta bantuan. HP yang kumiliki entah terlempar ke mana, aku tidak tahu. Aku
hanya bisa pasrah. Berulang kali aku terus membaca doa, meminta pertolongan-Nya.
Angin jalanan kembali menggugurkan daun-daun pohon yang berserakan. Debu-debu sisa
jatuhan batu tebing berhembus kian kemari di permainkan angin. Angin itu membawa
keheningan. Keheningan yang tak bisa kumaafkan. Dan dalam hening, hanya dia yang
kuingat. Hanya dia seorang. Kemarin, ya baru kemarin ia mengabarkan berita itu. Berita yang
membuatku segera men-cancel semua jadwal pekerjaan. Berita yang langsung membubarkan
semua tugas presentasi kuliah. Berita yang sungguh bisa langsung membuatku shock. Berita
yang membuatku segera memesan tiket pesawat terbang dan segara cabut dari tempat
tinggalku di Tokyo, Jepang. SMS yang berdering itu sungguh cukup membuatku harus segera
terbang dari Tokyo menuju ke Surakarta. SMS yang membuatku diriku merasa bersalah.
Sangat bersalah!
* * *
Dua minggu yang lalu.
Hari itu musim panas yang panjang di pinggiran jalanan kota Tokyo, Jepang. Lalu-lalang
orang terus berseliweran ke sana kemari tanpa henti. Jepang apalagi Tokyo merupakan kota
yang sibuk. Seperti Jakarta, tidak pernah mati, siang maupun malam. Hari libur ataupun hari
kerja semua terasa sama.
Dan musim panas ini merupakan musim yang menyenangkan di negara yang memiliki iklim
sedang ini. Terasa menyenangkan jika melihat matahari di negeri Samurai dan membuatku
serasa betah. Di sinilah aku menimba ilmu S2 sekaligus bekerja paruh waktu di sebuah
perusahaan mulitinasional. Di sinilah mimpi-mimpiku seakan bisa tercapai dan membuatku
mau tidak mau harus bekerja keras.
Sudah terhitung dua tahun ini aku tinggal di Tokyo. Waktu yang bisa di bilang lama. Sangat
lama karena selama dua tahun ini pula aku tidak menengok kabar tentang dia yang ada di
Surakarta. Dua tahun pula aku tidak menanyakan bagaimana kondisi tentang dia yang ada di
Surakarta.
Ah..dia adalah yang berharga. Sangat berharga.
Dulu sekali aku masih ingat ketika SD bagaimana dia memboncengku untuk pergi ke
sekolah. Dia yang mengajariku semua hal. Dia yang membimbingku bisa mengaji, shalat,
puasa dan semua hal tentang agama. Dia juga yang menyemangatiku untuk terus sekolah.
Sekolah, sekolah dan sekolah.
“Tak perlu memikirkan biaya. Yang penting sekolah sampai cita-citamu berhasil. Meskipun
ndak punya, yang penting tetep sekolah!” katanya ketika aku keberatan untuk melanjutkan
kuliah. Tapi dia tetap ngotot untuk menyuruhku kuliah.
Tapi sekarang aku justru jarang untuk menengoknya. Bahkan untuk Ramadhan tahun ini. Saat
di mana umat muslim berkumpul bersama keluarga, namun aku masih saja di negara orang.
Masih berkutat dengan tugas-tugas kuliah dan pekerjaan.
“Maaf untuk lebaran tahun ini Guntur tidak bisa pulang lagi. Kuliah Guntur padet di tambah
jadwal kerja yang banyak,” ucapku kala itu dengan berat. Saat itu dia menelepon diriku.
“Ndak apa-apa kamu ndak pulang. Yang penting di sana jangan lupa puasa dan shalatnya. Di
sini sehat semua. Jangan lupa jaga kesehatan, dan selalu minta petunjuk kepada Allah,”
Sungguh dia adalah orang terbaik yang aku punya. Dia benar-benar tahu kondisi kesibukanku
dan benar-benar tidak ingin merepotkanku. Sungguh dia tidak pernah berubah sampai
kapanpun juga. Dia juga masih mau memikirkan kondisiku.
Sedangkan aku? Sedangkan diriku?
* * *
Seminggu yang lalu.
Matahari musim panas memang menghangatkan tubuh kala itu. Kemilau sinarnya mengintip
malu-malu di fatamorgana. Sinar yang begitu indah. Tapi itu justru pertanda sinar dalam
hatiku yang sangat buruk. Saat itu fajar sedang menyingsing pertanda usai sahur, HP ku
berdering. Setengah tidur sekaligus lelah yang kurasa akibat lembur tugas kuliah membuatku
enggan untuk menjawabnya. Aku sungguh lelah. Sangat lelah. Tubuhku serasa berat untuk
bangun dari ranjang dan mengangkat HP sebentar. Tubuhku memang tidak bisa di ajak
kompromi.
Kringggggg!!!!
Handphone ku terus berdering selama beberapa kali. Aku masih enggan menjawabnya. Tugas
lembur yang baru kelar selesai sahur itu membuat seluruh tubuhku enggan dan menolak
untuk bergerak. Lagipula, nanti siang aku harus mempresentasikan tugas kuliahku di depan
dosen yang kusegani. Lagipula aku juga harus bekerja. Lagipula, puasa yang kujalani di
Negeri Matahari Terbit ini sungguh berat di jalankan. Puasa disini waktunya lebih lama
daripada di Indonesia. Jadi aku harus menyiapkan stamina yang ekstra supaya aku bisa
menjalankan semuanya dengan lancar.
Kringggggg!!!!
Kembali berdering. Dan aku kembali diam. Tetap meringkuk di ranjang. Kembali
membiarkan. Sungguh, aku sangat lelah. Aku perlu tenaga. Stamina. Padahal, saat itu dia
sedang kehilangan harapan dan sangat membutuhkan kehadiranku. Dan dia masih mau
meneleponku.
Sedangkan aku? Sungguh, terbuat dari apakah hatiku.
* * *
Lima hari yang lalu.
Sungguh, jika masa lalu bisa berputar dan bisa berbalik ke masa depan, aku
menginginkannya walau hanya untuk sedetik. Saat itu aku sedang sibuk bekerja. Bekerja
menjadi salah seorang staf ahli perencana keuangan muda di perusahaan multinasional yang
saat itu memang mendekati masa kebangkrutan. Mendekati masa-masa kolapse. Kondisi
inilah yang membuat direkturku pusing dan menginginkan selalu kehadiranku demi
keberlangsungan perusahaan. Krisis global saat itu memang menggila. Jepang yang katanya
menjadi negeri Macan Asia itu saja tidak bisa lepas dari krisis.
Dan kondisi itulah, lagi-lagi aku harus ekstra bekerja. Kerja lembur itu pilihanku. Duapuluh
empat jam kuhabiskan sebagian besar waktuku hanya untuk kerja lembur dan kuliah lembur.
Di pikiranku, aku tidak boleh di berhentikan atau istilah kasarnya di pecat. Aku harus
membanting tulang untuk semua hal. Aku harus bekerja keras dan tidak boleh menyusahkan
siapapun termasuk dia. Aku tidak ingin membuatnya susah. Tidak ingin membuatnya
kehilangan harapan. Kehilangan kebanggaan.
Sungguh saat itu aku membanting tulang demi dia. Saat itu aku tidak tahu kalau dia memang
sangat membutuhkan aku di sampingnya.
Apakah aku memang orang yang kejam? Ya Tuhan!!
* * *
Dua hari yang lalu.
Saat itu perusahaan berangsur membaik. Tugas kuliahku pun mendapat respons luar biasa
dari sang dosen. Entah mengapa saat itu Tuhan memberikanku kondisi yang baik sedangkan
saat itu dia mengalami saat-saat yang buruk. Saat itu aku begitu bodoh.
Saat itu aku justru mengikuti ajakan direktur dan rekan-rekanku untuk dinner bersama
merayakan kemajuan perusahaan yang bisa lepas dari lilitan krisis. Perusahaan membaik tapi
sungguh hatiku tidak membaik sama sekali. Aku mungkin gila. Sangat gila. Saat itu aku
justru bercanda, tertawa lepas dan menikmati kebahagiaan dinner yang mungkin sangat tolol
kuikuti.
Padahal saat itu dia sedang berjuang. Berjuang mati-matian. Berjuang sekuat tenaga. Dia
sangat membutuhkan diriku. Padahal dia membutuhkanku hanya untuk beberapa menit.
Tidak lama. Hanya sebentar.
Dan segila inikah diriku? Segoblok inikah diriku?
* * *
Entah takdir atau entah karena kesalahanku.
Saat itu adalah malam terburuk dalam hidupku. Aku tidak akan pernah lupa malam itu.
Malam yang begitu panjang. Saat itu aku merasa diriku adalah pecundang. Pengecut. Bodoh.
Gila. Tidak waras. Malam itu adalah malam terkelam dan aku tahu itu karena memang
kesalahanku. Malam yang sengaja menampar kegoblokan diriku. Malam yang sengaja
memberiku pelajaran tentang betapa egoisnya diriku. Malam tanpa rembulan. Malam tanpa
bintang. Hanya kegelapan. Hanya getir-getir penyesalan. Malam yang begitu kelam.
SMS yang berdering itu sungguh-sungguh membuatku lemas. Sangat lemas dan cukup
membuat handphoneku jatuh berkeping-keping. Aku terus memaki diriku sendiri.
Aku sungguh biadab!
Angin malam Tokyo yang dingin menampar wajahku dengan kencang.
* * *
Darah di kakiku terus mengalir. Jalanan yang sepi di dekat hutan itu sungguh kejam. Tak ada
kendaraan yang melintang. Tidak ada satupun manusia yang berjalan. Air mataku terus
mengalir. Dadaku terasa sesak. Napasku tidak beraturan. Darah segar mengalir di mana-
mana. Tubuhku memar, lebam dan tulangku retak. Aku berusaha bergerak. Angin justru
membalasnya dengan hembusan yang kencang. Angin bergerak kencang seakan siap
menantang matahari yang tenggelam ke peraduan senjanya. Angin jalanan kembali
mempermainkan daun-daun pohon yang berserakan. Angin jalanan kembali menampakkan
butir-butir keheningan dan penyesalan yang sangat dalam.
Samar-samar suara adzan mulai datang berkumandang. Adzan itu seakan mengutukku dan
membuat air mataku tidak berhenti untuk menetes. Adzan yang seakan mengingatkan
kenangan masa laluku dengannya. Matahari siap tenggelam ke fatamorgana. Malam mulai
bergentayangan. Kabut senja datang tak terelakkan. Kabut yang begitu tebal.
Dalam kabut senja, aku sempat melihat bayangan dia. Bayangan dia ketika mengajariku
semua hal. Bayangan dia ketika menyemangatiku untuk terus sekolah. Bayangan dia ketika
membimbingku mengaji, shalat atau puasa. Aku berusaha menyentuhnya tapi penglihatanku
semakin kabur. Aku berusaha bergerak mendekat tetapi napasku mulai tidak beraturan.
Kepalaku mulai berat. Aku tidak merasakan apa-apa. Aku tergeletak tak berdaya.
Maafkan Guntur!! Maaf....
Dalam napas terakhir, angin senja dan gegap gempita gema adzan menghapus perlahan
bayangan dia yang kucintai.
* * *
Annisa sempat terkejut melihat barang kecil berwarna hitam yang tergeletak di sudut
pinggiran jalan yang penuh dengan tebing itu. Naluri otak kecilnya yang serba ingin tahu
membuatnya cukup berani untuk mengambilnya. Dia palingkan wajahnya ke belakang.
Aman, keluarganya sedang asyik menikmati pandangan di sudut lain jalan itu. Saat itu
Annisa sekeluarga memang sedang berencana mudik ke Surakarta dan mengambil jalan
alternatif. Jalanan yang jarang di lalui kendaraan. Jalan yang di penuhi oleh angin yang
berhembus kencang sambil mempermainkan daun-daun berserakan. Jalan yang begitu hampa
dan kabut yang kadang menutupinya dengan segera.
Annisa segera mengambil barang itu. Sebuah handphone. Bentuknya agak ringsek dan sudah
tidak karuan. Tetapi layarnya sebagian masih aktif dan memperlihatkan tulisan. Mungkin
SMS, pikir Annisa. Dia ingin memberikan HP itu kepada Ibunya, tetapi ia mengurungkan
niatnya. Karena nalurinya yang serba ingin tahu, ia baca tulisan dari SMS itu dengan
seksama.
Guntur, nak..ayahmu pergi. Malam ini dia meninggal dunia karena stroke. Dia kena stroke
tiba-tiba dua minggu yang lalu. Dia tidak mau bilang kepadamu karena takut membuatmu
terganggu. Guntur, pulanglah nak. Meskipun ayah sudah pergi dan sudah tiada, tapi dia
masih ingin bertemu denganmu nak. Guntur, pulanglah nak. Dari Ibuk.
Angin jalanan kembali berhembus sambil mempermainkan daun-daun pohon yang
berserakan.
* * * * *
Rumah Kost, Malang, Awal Bulan Agustus 2013
PEREMPUAN TUA DALAM KEBAYA
Perempuan tua yang mengenakan kebaya usang itu mengeluarkan air mata. Matanya sesekali
basah sambil menatap deretan lalu lalang motor di jalanan kota. Dulu...dulu sekali dia dan
kedua anaknya sering menggelar dagangan di pinggir jalan itu. Bertiga menawarkan
dagangan mainan dan rujak buah buatannya.
Bertiga saja tanpa ada suami karena ia telah meninggal jauh ketika Toni, anak bungsunya
menginjak usia satu tahun dan si sulung, Ade berumur lima tahun. Bertiga saja menembus
kegilaan panas matahari yang membakar kulit mereka. Bertiga saja kadang menantang para
satpol PP meskipun akhirnya tetap di tertibkan juga.
Waktu memang cepat berlalu.
Kedua matanya yang keriput merayapi senja yang akan turun di barisan gedung pencakar
langit Jakarta. Rasanya belum lama ia dan anaknya menikmati senja itu sambil sesekali
menawarkan dagangan mereka pada lalu-lalang orang yang menanti bus lewat. Sebagai
seorang ibu, sudah sebisa mungkin ia membahagiakan kedua anaknya. Menyekolahkan
keduanya meski hanya sampai lulus SMA.
Dan ketika anaknya lulus dari SMA itulah ia sering mengeluarkan air mata. Mungkin umur
yang sudah menua, pikirnya. Atau memang kesepian. Setelah lulus SMA, kedua anaknya
memilih bekerja hingga akhirnya keduanya sudah menikah dan punya anak masing-masing.
Mereka seakan sudah terlena dengan kesibukan masing-masing.
Waktu memang cepat berlalu.
Seharusnya ia bahagia bukannya mengeluarkan air mata. Sudah hampir delapan tahun ini
kedua anaknya tidak datang mengunjunginya. Padahal dia sangat rindu dengan kedua
anaknya. Dia hanya ingin bisa berkumpul bersama dengan mereka.
Bukan minta uang. Bukan minta perhiasan. Tapi hanya kumpul bersama. Itu saja. Ibu tua
dalam kebaya menghembuskan napas sambil sesekali menghapus air matanya. Ia bereskan
dagangannya dan sesegera mungkin pulang ke peraduan.
Ya..anak-anaknya memang sudah lupa dengannya.
* * *
Laki-laki itu menginjak kopling dalam-dalam hingga mobilnya serasa berlari tanpa ada batas
kecepatan. Mobil Porche Hitam itu melintas dengan kencang. Jam di tangannya sudah
menunjukkan jam telat kantor. Ia terlambat. Seharusnya ia sudah sampai ke kantornya di
pusat kota Jakarta. Pekerjaannya sebagai asisten direktur bagian di perusahaan minyak
terkenal membuatnya harus selalu ekstra disiplin.
Apalagi hari ini hari istimewa. Hari ini terakhir kalinya dia akan menjadi asisten direktur
bagian dan naik posisi menjadi direktur bagian. Sungguh kesempatan yang tak boleh
terlewatkan sedetikpun. Mungkin semua staff, karyawan, atasan apalagi media massa pasti
tak sabar menunggu kedatangannya. Kabar mengenai kenaikan pangkatnya memang sudah
tersiar begitu cepat di media massa. Hampir semua koran, tabloid bahkan TV meliput kabar
tentangnya.
Ia percepat kemudi mobilnya, tapi, damn it! Perempuan tua menyeberang secara tiba-tiba. Ia
pijak pedal rem sedalam-dalamnya. Suaranya mendecit, memekakkan telinga. Koran di
depannya jatuh berhamburan. Jatuh, keluar dari mobil dan mengenai perempuan tua yang
menyeberang tadi. Untung, nyawanya masih ada dalam raganya. Ia emosi. Ia memakirkan
mobilnya di pinggir jalan dan segera menghampiri perempuan tua itu.
“Hey..kamu! Kalau menyeberang kenapa sih tidak lihat kanan kiri dulu! Kamu pikir jalan ini
milikmu! Ini jalanan umum. Tak sepantasnya kamu menyeberang seenakmu.” ujarnya marah-
marah.
Perempuan tua itu tertunduk lesu. Pakaian lusuhnya yang terbungkus kebaya terkena teringat
dan membanjiri bakul berisi makanan di dalamnya. Masih dongkol, laki-laki itu meluapkan
lagi seluruh emosinya.
“Kamu tuli? Bisu? Kenapa diam? Kenapa tidak minta maaf atau apalah. Kelakuanmu tadi
bisa saja saya tuntut ke pengadilan.” Laki-laki itu benar-benar merasa dongkol. Kenapa
wanita itu datang di saat-saat penting seperti ini.
“Jangan Pak. Saya benar minta maaf. Saya hanya terburu-buru mau jualan rujak saya. Tolong
jangan laporkan saya.” Suaranya gemetar ketakutan, keringatnya membanjiri tubuhnya.
“Ah sudahlah.” Lelaki itu membalikkan diri dan berjalan menuju mobilnya. Penjual rujak tak
tahu diri, pikirnya. Penjual? Rujak? Sejenak lelaki itu berhenti. Ia membalikkan tubuhnya
tapi penjual rujak tadi sudah menghilang. Kata penjual rujak itu segera bermain didalam
memori otaknya. Bukankah ketika ia kecil, dia dan Ibunya adalah penjual rujak? Ibu?
Kringgg!!!!!
Handphone lelaki itu bergetar. Dia buka dan ternyata SMS dari si bos untuk segera menuju ke
kantor. Ia percepat langkahnya, secepat ia mengenang memori tentang ibunya. Ya..sekarang
dia adalah direktur bagian.
Waktu memang cepat berlalu.
* * *
“Sentausa Restaurant”. Restoran itu cukup sibuk. Apalagi jam kerja seperti sekarang.
Restoran itu terletak di pusat keramaian kota Jakarta. Tempat yang strategis dan cukup ramai
memang untuk mencari pelanggan setia. Apalagi di kanan kirinya tumbuh gedung-gedung
tinggi pencakar langit.
“Resoran Indonesia yang menyajikan selera makanan yang lezat dan berkelas. Good
restaurant.” kata salah seorang pelanggan.
Di ujung pantry, perempuan berambut panjang nan lurus itu mengawasi kerja karyawannya.
Dengan balutan kemeja merah dan rok setinggi lutut, mata perempuan itu sangat tajam. Ia
mengawasi semua gerak-gerik karyawannya dan memastikan semuanya berjalan normal.
Sejenak matanya nanar. Dari arah pintu masuk restoran ia melihat seorang wanita lusuh yang
berusaha masuk ke dalam. Perempuan itu kumal dan memakai pakaian setengah sobek
terbungkus oleh kebaya usang sambil membawa perlengkapan mainan anak.
“Maaf Anda mau kemana?” perempuan berambut panjang menegur.
“Saya hanya ingin menjajakan dagangan mainan saya ke para pengunjung Bu. Saya tidak
berniat apa-apa. Hanya ingin berjualan.”
“Sorry! Ini restoran, tempat untuk makan. Bukan tempat jualan. Maaf! Sebaiknya anda segera
pergi.” Perempuan itu lugas sembari mengibaskan tangan ke arah satpam. Seakan sudah tahu
isyarat itu, satpam segera mendekati penjual mainan itu. Sambil merapikan bajunya,
perempuan berambut panjang menghela napas panjang. Dasar penjual mainan, pikirnya.
Penjual? Mainan?
Kata itu melayang dalam pikirannya. Sejenak ia mengerutkan dahi. Bukankah dulu, dulu
sekali dia dan ibunya...ya ibunya adalah penjual mainan? Ia membalikkan tubuhnya kearah
pintu masuk gerbang, tapi perempuan penjual mainan tadi sudah menghilang. Ibu?
“Ibu...” suara salah seorang karyawannya mengejutkan lamunannya.
“Ada apa?”
“Tadi ada telepon dari pihak Kedutaan Besar Malaysia bahwa restoran kita terpilih untuk
menyediakan makanan khusus untuk ulang tahun mereka.”
Perempuan berambut panjang tersenyum lebar. Ia tidak terkejut karena sudah sering ia
mendapat pesanan dari pejabat tinggi atau pengusaha kelas atas. “Segera kumpulkan semua
staff, karyawan, pelayan dan cheff ke ruang rapat.” Perempuan itu gembira. Terlalu gembira.
Ya..sekarang dia adalah manager restoran ternama.
Waktu memang cepat berlalu.
* * *
Perempuan tua dalam kebaya mengeluarkan air mata. Suaranya parau menjajakan dagangan
mainan dan rujaknya. Napasnya kadang tersengal-sengal. Angin kencang kadang
mempermainkan dagangannya. Angin itu pulalah yang membuatnya tersentak.
Ya..perempuan dalam kebaya itu tersentak. Bukan karena panas matahari. Bukan karena
satpol PP. Atau bukan karena cacian orang. Namun lembaran koran yang jatuh melayang dari
sebuah mobil mewah yang tepat melintas di depannya dan hampir menabraknya. Mobil
Porche hitam yang melintas kencang di depannya. Koran itu tepat terjatuh di depan
dagangannya.
Bukan berita atau info yang ia baca. Bukan tentang harga sembako yang meroket. Bukan
tentang BBM yang merangkak membuat leher rakyat kecil tercekik. Bukan tentang korupsi
yang menjadi kanker negara. Bukan tentang nasib TKI yang mau dipancung di negeri
tetangga. Tapi hanya foto itu yang ia lihat. Ya..foto. Hanya foto. Bukan yang lain.
Di koran itu ada dua foto orang yang sangat ia kenali. Dua orang yang sangat ia cintai. Dua
orang yang sangat ia sayangi. Dua orang yang dulu sering bersamanya jualan mainan dan
rujak buah. Perempuan itu hanya bisa menghela napas. Ia pandangi lekat-lekat foto itu. Satu
foto laki-laki dengan keterangan Tono : ‘Direktur Bagian Baru’ Perusahaan Minyak
Indonesia. Dan satu foto perempuan dengan keterangan Ade : Manajer Restoran Hebat
“Sentausa Restaurant”.
Perempuan tua dalam kebaya tak kuasa mengeluarkan air mata. Ia dekap erat lembaran koran
itu ke dadanya. Ke dua foto itu adalah anaknya. Anaknya sendiri. Anaknya yang dulu
berjualan rujak dan mainan.
Perempuan tua dalam kebaya menangis tanpa suara.
Ya..anak-anaknya memang sudah lupa dengannya.
Waktu memang cepat berlalu.
* * * * *
Tempat Lepek Koran, 15 Agustus 2013
MUKENA BARU DAN KURMA MANIS
Entah..perempuan itu sangat berharga baginya. Sangat berharga melebihi apapun. Perempuan
itu adalah semangatnya, inspirasinya dan belahan jiwanya. Perempuan itu bagaikan kristal
yang gemerlapan meskipun di sekelilingnya terdapat endapan lumpur hitam yang
menutupinya. Dan endapan lumpur hitam itu mungkin adalah dirinya sendiri. Ia
menganggapnya begitu karena sudah sekian tahun usia pernikahan tetapi belum juga ia bisa
membahagiakan istrinya.
Fahmi terlalu kasihan dan merasa bersalah dengan istrinya. Bilangan tahun usia pernikahan
sudah terlewati tetapi ia belum mampu membahagiakan istrinya sendiri. Bahkan untuk
lebaran tahun ini. Ia tidak bisa memberikan apapun untuk Fuah, istrinya. Bahkan hanya untuk
sehelai mukena baru atau sebutir kurma yang manis. Penghasilannya sebagai tukang becak
sangat tidak menuntut untuk membelikan istrinya mukena baru atau kurma yang manis.
Sangat tidak menuntut.
“Ndak apa-apa Bang. Ndak usah pakek mukena baru atau kurma manis, yang penting sudah
punya mukena dan bisa makan saja sudah alhamdulillah.” ujar Fuah dengan balutan kerudung
merah yang di kenakannya saat malam buka puasa kemarin.
Teramat beruntung Fahmi memiliki istri seperti Fuah. Cantik, sholehah dan tidak pernah
mengeluh kepada suaminya. Seharusnya dia memang bisa membahagiakan istrinya dengan
sekedar mukena baru atau sepotong kurma. Seharusnya dia bisa sekali saja membuat istrinya
itu merasakan keceriaan hidup. Apalagi ini lebaran.
Itu saja Fahmi, kenapa kamu tidak bisa?
* * *
Sudah hampir maghrib. Istrinya pasti menunggu. Ia hitung semua uang yang ia peroleh hari
ini. Dua puluh ribu. Ia menghela napas panjang. Sudah ia lakukan semuanya dengan sepenuh
hati. Ia berangkat untuk menarik becak seusai shalat shubuh. Dan kini ia mau pulang ketika
maghrib akan datang. Hampir tiap sudut keramaian kota ia datangi untuk mencari
penumpang. Ke pasar, terminal, stasiun, dan semua tempat yang ramai ia datangi. Tapi
hasilnya? Ia melihat kumpulan uang di genggaman tanggannya. Ia mendesah pelan.
Ah...kapan mukena baru dan kurma manis itu bisa kuberikan?
Ia terus mengulangi kalimat itu setiap detik. Ia ingin sekali saja bisa membahagiakan istrinya
apalagi dalam suasana lebaran seperti ini. Sejenak, ia kayuh becaknya untuk pulang ke
rumah. Perlahan tapi pasti. Jalanan kota Jakarta cukup membuatnya sangat kelimpungan
dalam mengais rezeki di tambah lagi ia sedang berpuasa. Di tengah jalan kayuhannya
berhenti. Ada dua orang yang menyetop becaknya.
“Silahkan buk. Mau kemana?” kata Fahmi.
“Bang antar ke terminal ya.” Kata salah satu wanita itu sambil naik ke dalam becak.
“Eh Yun, gimana persiapan lebaranmu? Udah beli baju baru belum?”. Samar-samar Fahmi
mendengarkan percakapan kedua orang wanita yang menjadi penumpang itu.
“Yah..alhamdulillah udah siap. Suamiku sudah jauh hari mempersiapkan tabungan khusus
untuk lebaran. Jadinya tinggal beli ini, beli itu tanpa pusing-pusing mikirin dana.” ujar wanita
satunya menimpali.
“Baik bener suamimu Yun. Suamiku meskipun nggak persiapan tabungan khusus, tapi dia
juga sudah mempersiapkan uang khusus lebaran dari hasil menyisihkan gajinya sebagai guru.
Malahan dia mau sewa mobil untuk mudik nanti.” sahut wanita satunya tak mau kalah.
Fahmi hanya bisa diam. Lidahnya kelu. Bibirnya ngilu. Mulutnya membisu. Apakah
kebaikan seorang suami hanya bisa di lihat dari berapa banyaknya duit yang di berikan ke
istri? Apakah kesetiaan seorang suami hanya di ukur dengan harta yang di berikan ke istri?
Tapi ia juga tidak mau munafik. Banyak pasangan suami-istri yang kandas di tengah jalan
atau pisah ranjang gara-gara orang ketiga bernama uang. Fahmi hanya bisa menghembuskan
napas. Ia teringat istrinya. Dan lagi-lagi teringat mukena baru dan kurma manis untuknya.
Ah..kapan aku bisa membeli mukena baru dan kurma manis untuknya? Kapan? Pertanyaan
itu selalu mengusiknya setiap detik. Selalu menghantuinya siang dan malam.
* * *
Tatapan itu sangat meneduhkan. Butir keringat dan peluh yang menetes dari dahinya
menandakan ia sangat lelah. Fahmi tak tega melihat wajah istrinya begitu kuyu dan penuh
keringat. Istrinya sudah terlalu memanjakannya. Beruntunglah dia memiliki istri seperti Fuah.
Dia istri yang sangat sempurna. Tidak banyak mengeluh dan sangat perhatian kepada
suaminya.
“Abang udah buka puasa? Tidak makan dulu?” katanya sambil menghampirinya ke kamar.
Dia tersenyum. Ah..senyumnya memang langsung membuat lelah Fahmi hilang semua.
Fahmi mendekat kepadanya.
“Fuah..maafin Abang ya. Abang belum bisa membahagiakanmu.” ujarnya singkat. Lagi-lagi
Fuah hanya tersenyum.
“Abang..meskipun tidak ada mukena baru atau kurma manis pun, Fuah selalu akan menjadi
makmummu bang. Buat apa mukena baru atau kurma manis kalau ndak bahagia.” Senyum itu
kembali mengembang.
Jawabannya memang meneduhkan. Tapi itu justru membuatnya tertantang dan sangat merasa
bersalah. Benar kata dua wanita tadi yang menjadi penumpang Fahmi bahwa uang dan harta
memang menjadi penting bagi seorang istri. Apalagi di bulan Ramadhan yang mendekati
lebaran seperti saat ini. Entah kenapa semangat Fahmi untuk membelikan mukena baru dan
kurma manis itu selalu muncul.
Fahmi kau harus membahagiakan istrimu di lebaran kali ini.
“Bang..kok bengong? Ayo buka puasa dan segera sholat maghrib.” Fahmi tersenyum.
Mendekat pada istrinya dan mencium keningnya perlahan.
“Terima kasih, Cinta. Abang berjanji akan membelikanmu mukena baru dan kurma manis
untukmu.” ujar Fahmi. Fuah tersenyum kembali. Entah kenapa hasrat untuk membelikannya
mukena baru dan kurma manis itu bertambah besar.
Ya..aku harus membelikannya, batinnya.
* * *
Entah kenapa ada yang salah dengan manusia jaman sekarang. Tak banyak yang memilih
menggunakan becak. Semuanya seakan sudah terbalik dan paling suka dengan sepeda motor
atau mobil. Ada yang bilang kampunganlah. Ada yang bilang jalannya lelet lah. Ginilah,
gitulah. Ah..seakan-akan semuanya sudah tidak butuh kendaraan khas negeri sendiri ini.
Bayangkan bila suatu saat nanti anak cucu kita sudah ada sedangkan becaknya sudah tiada?
Siapa yang akan salah?
Bukannya menyesali nasib, tapi Fahmi hanya berharap untuk sekali ini saja nasib bisa
berpihak padanya. Sekali saja. Dia hanya ingin seratus ribu saja. Itu cukup, tidak usah sampai
bilangan jutaan rupiah. Tidak usah banyak. Dia ingin sekali ini saja bisa melihat istrinya
menggunakan mukena baru saat shalat Idul Fitri atau merasakan kurma yang manis di hari
yang istimewa itu.
Ya..keinginannya sangat kuat. Bahkan semua usaha dan ikhtiar sudah ia lakukan dengan
sepenuh hati. Menarik becak dari usai shubuh sampai hampir maghrib menjelang. Istrinya
pernah menasehatinya tapi tekadnya memang sudah bulat.
Ia harus bisa membahagiakan istrinya itu di Lebaran nanti. Sudah bilangan tahun Lebaran
mereka berdua lewati, tapi Fuah, istrinya tidak pernah menggunakan mukena baru atau
makan kurma manis. Bahkan lebaran tahun kemarin, Fuah hanya menggunakan mukena
lusuh yang ia pakai setiap hari dan hanya makan opor ketupat saja. Opor ketupat seadanya,
tanpa daging dan murni hanya ketupat. Fahmi merasa bersalah. Ia teramat mencintai istrinya.
Ia ingin sekali ini saja bisa membahagiakan istrinya. Ia ingin semuanya menjadi istimewa di
hari yang istimewa nanti.
Ya..istimewa dengan mukena baru dan kurma manis untuk istrinya.
* * *
Bukannya tidak mau apa-apa, tapi ia sadar kondisi suaminya. Ia tidak mau merepotkan
apalagi menyusahkan suaminya. Ia hanya bisa diam dan memilih bersabar dengan
kondisinya. Bukannya tidak mau membantu, ia sudah berbicara ke suaminya untuk menjadi
pembantu sewaan saat lebaran tapi suaminya menolak.
“Aku tidak mau melihatmu capek atau lelah gara-gara aku, Fuah.” Kata itu begitu lembut dan
mampu mengurungkan niat Fuah untuk membantu meringankan suaminya.
Fuah memang tahu watak suaminya. Suaminya sangat mencintainya. Ia tahu bahwa suaminya
memang bertekad untuk membelikannya mukena baru atau kurma manis. Ia tahu semuanya.
Ia memang ingin mukena baru atau kurma manis, bahkan dari dulu ia sangat ingin. Tapi dia
tidak ingin membuat suaminya menderita. Ia tidak tega melihat suaminya bekerja dari mulai
shubuh datang hingga maghrib menjelang.
“Fuah..udah belanja apa untuk lebaran?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Yu Tarmi saat
arisan RT.
“Aku sudah membeli baju baru lho. Dan kerudungnya sangat pas untuk nanti lebaran.” sahut
Yu Marni.
“Kalau saya mah sudah beraneka macam kue, jajanan, roti bahkan kurma sekalipun sudah
siap nanti terhidang di meja saat lebaran.” Mak Lasmi tak mau kalah.
Sedangkan Fuah? Dia hanya bisa diam membatu. Lidahnya kelu. Bibirnya ngilu. Mulutnya
membisu. Mendengarkan sambil sesekali tersenyum getir. Ia mencoba bersabar dengan
kondisinya. Ia tidak ingin membebani suaminya. Ia sangat mencintai suaminya. Ia hanya bisa
yakin usaha dan semangat suaminya pasti akan di balas oleh Allah nantinya.
Ya...pasti.
* * *
Sudah hampir senja. Suara qiro’ pertanda di mulai adzan maghrib mulai berkumandang.
Langit senja mulai memerah. Matahari mulai beristirahat. Buka puasa sebentar lagi. Hanya
satu penumpang yang ia dapati hari ini. Itu belum cukup dan hanya bisa untuk makan esok
hari, bukan untuk membeli mukena baru dan kurma manis. Fahmi hanya bisa bersabar,
berdoa dan terus berusaha.
Dia kayuh perlahan becaknya sambil sesekali mengusap keringat yang mengalir deras dalam
pipinya. Sesekali sepeda motor dengan penumpang berpakaian PNS sedang membawa parcel
melintas mendahuluinya. Di dalamnya ada satu toples kurma. Pasti manis, pikirnya. Sesekali
di ujung jalan ia melihat toko muslim dengan berbagai macam mukena yang di gelar di
dalamnya. Pasti mahal, pikirnya.
Hingga akhirnya sesekali itu Fahmi berhenti. Tepat di depan gang menuju rumahnya dia
melihat mobil berhenti. Ia tahu bahwa mobil itu kempes karena salah satu bannya bocor dan
terlihat rata. Fahmi mendekati mobil itu.
“Maaf..ada apa ya pak bu?” kata Fahmi ramah.
“Oh..iya pak. Tadi kebetulan kami ingin mudik tapi ternyata ban kami kempes. Sayangnya
perjalanan kami masih lumayan agak jauh. Di sekitar sini juga tidak ada bengkel. Terus mau
cari mobil, dari tadi nggak ada kendaraan yang melintas”, kata bapak berdasi yang keluar dari
mobilnya.
“Ehmm...maaf kalau bapak dan keluarga mau, saya bisa mengantar menggunakan becak saya.
Kalau bengkel nanti bisa saya carikan. Insyaallah saya tahu bengkelnya. Itupun kalau bapak
dan keluarga tidak keberatan.” ujar Fahmi menawarkan diri.
“Waduh..ini jadi merepotkan pak.” ujar seorang ibu.
“Tidak buk..serius. Saya ikhlas untuk mengantar.”
“Terima kasih banyak ya pak.” Keluarga itu berbarengan mengucapkan terima kasih kepada
Fahmi.
Maka seluruh barang dan penumpang mobil itu di angkut oleh Fahmi menggunakan becak.
Nalurinya dari kecil yang selalu ikhlas menolong orang lain membuatnya memang harus
menolongnya.
Meskipun kita susah, tapi jangan sampai membuatmu tidak mau menolong orang lain. Kita
hidup karena ada orang lain, nasehat ibunya ketika ia kecil.
* * *
Maka seperti petir yang memekakkan telinga, Fuah hanya bisa menangis sesenggukan. Ia
tidak percaya. Ia teramat mencintainya. Sangat mencintainya. Dia tidak bilang bahwa dia
menginginkan mukena baru atau kurma manis. Ia sudah bahagia dalam kesederhanaan hidup
dengan suaminya.
Fuah masih belum percaya. Tetangga di sekelilingnya membopohnya sesekali karena ia
sering pingsan. Ia sangat tidak percaya dengan kejadian itu. Itu teramat cepat. Ia belum siap
dengan itu. Ia masih ingin menjalankan kehidupan yang bahagia ini dengan suaminya.
Fahmi sangat mencintainya!
Suaminya yang sangat baik itu sungguh membuatnya tidak mampu untuk melepaskannya. Ia
berusaha memberi napas bantuan. Dia berusaha meminta pertolongan. Dia berusaha
membangunkan suaminya. Dia berteriak. Tetangganya berusaha menyadarkan Fuah.
Fuah merasa semuanya hilang. Kabur. Harapan kini tinggal kenangan. Fuah memeluk erat
tubuh kaku bersimbah darah di depannya dan pingsan. Suaminya, Fahmi baru saja meninggal
karena di tabrak minibus dalam perjalanan ingin membeli mukena baru dan kurma manis
untuknya, sambil membawa uang seratusan dua lembar yang di perolehnya dari keluarga
yang ia antar karena mobilnya kempes.
Terima kasih, Cinta. Abang berjanji akan membelikanmu mukena baru dan kurma manis
untukmu. Dalam pingsan, Fuah teringat kata itu.
* * *
Pacitan, Lebaran Hari Kedua Tahun 2012
TANDUR
(TENTANG SEBUAH NEGERI YANG LUPA.....)
‘Tandurku Sayang, Tandurku Malang’
* * *
Tandur. Dulu ketika aku kecil seusia balita aku sudah mengenal nama itu. Sebagai anak
seorang petani aku memang harus mengenalnya. Pernah saya di ajak oleh bapak ke sawah
bahkan mungkin hampir setiap waktu tanam tiba untuk tandur. Tandur berasal dari singkatan
bahasa jawa yang berarti nata sambi mundur, maksudnya menanam sambil posisinya ke
belakang.
Tandur bisa di artikan dengan menanam padi secara manual yakni menancapkan padi
memakai tangan ke tanah sawah dengan posisi mundur ke belakang. Dari kecil itu pula aku
suka sekali melihat orang yang sedang tandur. Biasanya di lakukan oleh gerombolan wanita
yang terdiri dari lima sampai tujuh orang. Selain itu juga ada dua orang pria yang bertugas
menarik tali supaya posisi padi yang di tandur bisa rata semua.
Memang aku jarang untuk membantu, malah ketika kecil aku hanya senang bermain lumpur
sambil terkadang bermain lumpur dengan kakakku. Tapi ketika kecil, biasanya setelah selesai
bermain lumpur aku duduk di jalan rumput kecil yang menjadi pembatas antara sawah satu
dengan sawah lainnya. Ketika duduk aku biasa melihat orang yang tandur dengan bertopang
dagu.
Dari situ aku bisa melihat betapa terampilnya para ibu itu yang kebanyakan ibu rumah
tangga, menancapkan ikat demi ikat tanaman padi ke dalam tanah lembek yang kebanyakan
berisi lumpur. Tangan mereka cekatan dan sangat teliti. Seakan sudah menjadi kebiasaan,
mereka sudah hafal dengan tata letak masing-masing padi sehingga hasil tandur antara ibu
yang satu dengan ibu yang lainnya sangat rapi, bahkan menurutku bisa di bilang ajaib.
Mereka tidak mendapatkan ilmu itu dari manapun. Mungkin bisa di bilang otodidak dan
mungkin sudah menjadi kebiasaan dari darah daging mereka. Mereka seakan konsisten
dengan helai demi helai padi yang ia tanam dan seakan-akan itu adalah mutiara bagi hidup
mereka. Kebanyakan mereka menyelesaikan kegiatan tandur mereka selama setengah hari.
Dari tandur itu biasanya mereka di beri upah tiga puluh ribu tiap orang. Dan saat itu ketika
aku kecil aku sangat mengidolakan dengan tandur. Aku sangat menyukainya karena dengan
tandur aku bisa melihat segala hal.
* * *
Pertama, aku bisa melihat keperkasaan seorang wanita. Dulu saat kecil, aku bisa melihat
betapa kerasnya kerja mereka. Menantang terik matahari atau sekadar menantang usia yang
sudah mulai menua. Aku bisa melihat jerih payah yang sangat luar biasa dari terampilnya
mereka menancapkan padi. Aku juga bisa melihat tetesan peluh dan keringat yang kadang
membanjiri tubuh mereka sendiri. Aku merasa mereka adalah wanita hebat.
Meskipun mereka tidak menulis surat hebat selayaknya Kartini atau berjuang melawan
pejajah selayaknya Cut Nya’ Dhien, tapi menurutku mereka adalah contoh Kartini dan Cut
Nya’ Dhien masa sekarang. Mereka juga memperjuangkan kemerdekaan, kemerdekaan
bangsa ini yang dulu di kenal sebagai negara agraris. Melalui tangan mereka, mereka
memperjuangkan eksistensi negara agraris ini.
Mereka bukannya kolot, tapi mereka adalah bagian dari penopang hidup bangsa ini. Apakah
kalian mau di suruh tandur dalam terik panas yang menyengat kulit sedangkan kalian harus
menanan padi setengah hari tanpa istirahat dengan posisi mundur kebelakang? Apakah kalian
mau disuruh terjun ke sawah dengan lumpur coklat yang kental yang bahkan di dalamnya
terkadang banyak cacing yang menyembul keluar dari perairan? Aku rasa kalian akan
menggelengkan kepala.
Kedua, aku suka dengan perjuangan mereka. Tidak mudah menyelesaikan pekerjaan tandur
dengan tempo waktu setengah hari dengan berhektar-hektar tanah yang harus di tanami.
Mereka adalah sosok yang berjuang tanpa kenal lelah. Tak perlu bambu runcing atau
senapan. Cukup tangan kosong yang cekatan dan terampil. Mereka adalah para wanita biasa
dengan perjuangan yang sangat-sangat luar biasa. Mereka adalah simbol dari zaman
emansipasi yang sekarang sedang di gembar-gemborkan di mana-mana.
Emansipasi adalah era kebebasan wanita, tapi kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan
yang mampu membuat mereka tahu bahwa kedudukan mereka sama dengan lelaki. Dan
mereka adalah suatu relief sempurna dari emansipasi itu. Tak perlu menyaingi kodrat lelaki
atau berkarier dengan jabatan yang lebih tinggi dari seorang lelaki. Cukup dengan tangan
kosong yang cekatan dan terampil bisa membawa mereka menjadi siluet yang tak pernah
padam pada pendar-pendar cahaya emansipasi.
Yang ketiga dan mungkin yang terakhir, hal yang aku sukai dari tandur adalah pesona
seorang wanita. Mereka memang perkasa dan berjuang keras, tapi tidak pernah melupakan
kodratnya sebagai seorang wanita. Mereka mempunyai pesona yang lebih di bandingkan
yang lain. Mereka memiliki inner-beauty yang mungkin tidak bisa di miliki bahkan oleh artis
Hollywood sekalipun.
Ketika dulu aku kecil, aku justru berangan-angan memiliki istri yang bisa tandur. Mereka
sederhana, namun di balik kesederhanaannya mereka memiliki kekayaan batin yang jarang di
milki oleh orang lain. Di balik kesederhanaannya mereka memiliki sejuta pesona yang
menurutku, suaminya telah beruntung memiliki mereka. Ya..mungkin bagiku, mereka adalah
bagian dari bidadari yang sebenarnya, tak kenal menyerah pada nasib atau tak terlena dengan
kehidupan.
* * *
Pernah suatu ketika aku datang ke rumah salah satu wanita tandur itu. Dia yang paling tua.
Isyarat kulitnya yang keriput dan matanya yang tua pertanda bahwa seharusnya dia pensiun.
Kalau tidak salah dulu namanya Ibu Atun. Terletak beberapa jengkal saja rumahnya dengan
rumahku.
Penampilan sehari-harinya sederhana. Dia sering di juluki Yu Atun dan biasa mengirimkan
pisang yang sudah matang untuk keluarga kami. Dia janda dan hidup sendiri. Anaknya yang
semata wayang meninggalkan dirinya untuk bekerja di luar kota. Aku sering melihatnya pergi
ke sawah hampir tiap hari, terutama saat musim tandur tiba.
“Tandur itu tradisi Jawa. Jadi yo jangan di lupakan.” ujarnya. Aku tahu dia pemegang teguh
tradisi jawa. Itu bisa terlihat dari pakaian yang ia kenakan tiap hari. Ia jarang menggunakan
pakaian daster atau kaos atau apalah. Ia hanya sering menggunakan kebaya lusuh tua
miliknya.
“Tandur itu menjadi bagian dari hidup saya. Dulu ketika remaja, tandur adalah pekerjaan
wajib bagi seorang perempuan yang menginjak usia remaja. Tandur merupakan pertanda bagi
keanggunan sekaligus keluhuran budi seorang wanita jawa terhdap rezeki yang di berikan
Gusti. Kita tidak boleh tutup mata dengan harta atau kekayaan yang kita miliki, itu semua
milik Gusti jadi yo kita harus bersyukur. Wujud syukur itu salah satunya ya dengan tandur
itu. Tandur adalah pertanda awal untuk menanam padi supaya nanti hasilnya bisa di panen
dan menjadi beras sehingga bisa memenuhi kebutuhan pokok kita. Lha misalnya, ndak ada
yang tandur mau makan apa semua orang?” kata Yu Atun panjang lebar.
Aku sungguh salut dengannya. Menurutku dia tidak kolot atau tradisional atau kuno, tapi
bagiku dia adalah wanita yang mampu berpikir modern. Wanita sederhana dari desa yang
sering tandur tapi memiliki pemikiran luas dan tajam bahkan tidak kalah dengan politisi atau
pemerhati politik sekalipun.
Aku belajar banyak dari Yu Atun. Ia wanita yang sangat gigih. Pernah suatu hari, ketika
Kepala Desa ingin menggunakan cara modern dalam menanam padi, tapi ia tolak mentah-
mentah. Dia bersikeras. Dia tetap ingin tandur selayaknya dulu-dulu ketika ia masih gadis.
“Tidak! Pokoknya tandur yo tandur! Ndak bisa diganggu gugat. Itu sudah tradisi. Dan itu juga
bukan tradisi biasa. Dasar kepala desa gendheng!” makinya saat berbondong-bondong ke
rumah Kepala Desa dengan wanita lain yang juga sering tandur.
* * *
Ketika memasuki bangku kuliah dan memaksaku keluar dari kotaku sendiri, aku semakin
jarang melihat orang yang tandur. Di kota perantauanku, aku tidak bisa melihat orang tandur.
Sangat jarang bahkan tidak ada sama sekali. Hingga suatu waktu saat liburan semester
datang, aku pulang ke kotaku dan bergegas pergi ke sawah.
Saat itu moment yang sangat tepat karena musim tandur di mulai. Dari kejauhan aku melihat
banyak wanita, bukan wanita tepatnya ibu-ibu yang sedang tandur. Aku masih bisa melihat
Yu Atun dan gerombolan ibu yang lain. Ya ampun itu masih yang dulu, batinku. Masih Yu
Atun dan yang lainnya. Mereka sudah tua. Mereka sudah rapuh. Tapi mereka tetap tandur.
Entah mengapa tradisi itu tidak berlanjut. Dari dulu tetap Yu Atun, ya..tetap mereka semua.
Aku hanya bisa menghela napas. Entah tidak ada penerusnya atau memang wanita zaman
sekarang tidak ada yang berminat sama sekali dengan tandur. Kunolah. Pekerjaan tidak
menjanjikanlah. Atau apalah. Mereka tidak berpikir itu adalah suatu tradisi yang harus
berlanjut dan di teruskan sebagai suatu budaya yang memang jangan di tinggalkan.
Tidak..aku tidak akan menyalahkan wanita zaman sekarang. Mereka tidak salah. Begitupun
Yu Atun. Dia dan teman tandurnya juga tidak salah. Ini mungkin yang di sebut budaya.
Budaya adalah bagian dari manusia dan memang hasil dari budaya kadang tergantung dari
manusia itu sendiri. Jika manusianya mau dan mampu, maka manusia akan bisa mendorong
budaya sehingga tidak akan pudar namun sebaliknya, jika manusianya tidak mau dan tidak
mampu, maka budaya semakin lama akan tergerus dan bisa saja hilang dari peradaban.
Aku tidak akan berpikir bahwa suatu saat nanti, tandur akan hilang dari budaya tani di
Indonesia. Bukan..bukan Indonesia, tapi mungkin di desaku nanti juga akan hilang budaya
tandur ini. Tapi aku tidak akan menyalahkan masyarakat, masyarakat ya masyarakat. Mereka
sekumpulan individu yang memiliki ke-aku-an dan ego sendiri-sendiri.
“Ya...sekarang memang jaman edan!” tukas Yu Atun suatu waktu ketika berbincang dengan
ibuku.
* * *
Maka ketika aku dewasa sekarang aku harus ekstra hati-hati dengan padi atau beras atau nasi.
Aku memperlakukannya sebagai mutiara yang harus di jaga. Aku jarang ke restoran dan
memang sedikit memaksa istriku agar selalu memasak nasi di rumah. Karena di rumah, aku
bisa menghargai nasi, selayaknya aku bisa menghargai Yu Atun dan teman-teman tandur
lainnya.
Aku bisa melihat keperkasaan mereka, perjuangan mereka bahkan pesona mereka dalam
sepiring nasi yang siap aku makan di atas meja makan. Pernah pembantuku membuang sisa
nasi makan malam keluargaku dan aku terpaksa memarahinya habis-habisan. Kalau
membuang nasi, maka itu berarti membuang semua keperkasaan, perjuangan dan nilai pesona
mereka, para wanita tandur. Kita otomatis tidak menghargai mereka, dan otomatis pula tidak
peka dengan semua jerih payah mereka.
Aku sangat marah memang jika ada orang yang seenak udelnya membuang nasi begitu saja.
Aku bisa menceramahinya habis-habisan. Aku hanya berpikir mereka yang mau membuang
nasi adalah orang yang tidak punya otak. Mereka tidak merasakan bagaimana perjuangan
sebutir padi supaya menjadi nasi yang siap kita makan dan kita santap.
Hargailah mereka yang sudah berjuang. Mereka adalah bagian dari nasi yang kita makan.
Mereka adalah bagian dari mutiara yang ada dalam genggaman beras yang tiap hari
memenuhi rongga lambung kita. Ya..mereka adalah orang yang tandur itu. Mereka adalah Yu
Atun, teman Yu Atun dan wanita perkasa lain yang hobi tandur itu.
Tapi, mungkin inilah potret negeriku. Sebuah negeri yang sudah lupa dengan tradisi lamanya.
Sebuah negeri yang sudah lupa dengan asal-muasalnya. Sebuah negeri yang sudah lupa
dengan agrarisnya.
Tandurku sayang, Tandurku malang.
* * * * *
Musim Tanam Padi, Pacitan, 22 November 2012
GLOBALISASI
*Sebuah Instropeksi Diri*
Jujur, berita itu membuatku lemas. Aku tidak menyangka ia berbuat sembrono seperti itu. Dia
adalah salah satu kakak kelas yang aku segani dan kadang aku jadikan panutan di sekolah.
Tapi, ah...kenapa ia berbuat seperti itu. Dia adalah mahasiswi yang aktif dan seorang aktivis
di kampus tetapi justru ia sendiri yang merubah image dirinya. Aku mungkin satu-satunya
mahasiswi yang paling bawel untuk kasus kali ini karena banyak hal di luar dugaanku
kepadanya yang belum terungkap dan benar-benar di luar dugaan. Namanya Anik, mahasiswi
kedokteran dan baru semester dua dia sudah melahirkan anak di luar nikah.
* * *
“Globalisasi adalah salah satu kunci penting dalam pembangunan suatu bangsa. Globalisasi
inilah yang menjadi kunci dalam kemajuan suatu bangsa karena dengan globalisasi maka arus
informasi dan teknologi mudah terakses oleh siapapun tanpa ada batas ruang dan waktu.”
Itulah sedikit kata dari seorang dosen yang terekam oleh telingaku. Belajar di ruangan kelas
yang penuh sesak dengan jumlah mahasiswa lebih dari 60 orang, membuatku harus benar-
benar ekstra untuk mendengarkan.
Entah mulai kapan aku mengenal globalisasi. Bahkan sebelum dosen itu mengajar, mungkin
di SMA atau SMP bahkan SD, agaknya aku sudah mengenal hal itu. Sebagai seorang
mahasiswi jurusan hukum, kata globalisasi cukup membuatku terkesima. Banyak hal yang di
peroleh dari globalisasi.
“Sistem pendidikan pun sangat membutuhkan globalisasi. Globalisasi pendidikan akan
membawa kita menjadi orang yang berwawasan luas dan bisa membuka pengetahuan yang
sifatnya internasional dan tidak melulu yang lokal saja.” Dosen itu kembali meneruskan
kuliahnya.
Ya..sistem pendidikan terutama negeri kita memang sebagian besar sangat memerlukan
bahkan mengidolakan globalisasi. Entah kenapa menurutku globalisasi pendidikan membawa
peran yang bisa dibilang keren di Indonesia. Kita bisa tahu internet, modul-modul kuliah atau
tenaga dosen profesional pun mau tidak mau menjadi bagian dari globalisasi.
“Hey Yun..kok bengong? Udah tahu kabar belum?”. Rara yang duduk di samping kananku
menganggu pikiran dan lamunanku tentang globalisasi.
“Kabar apaan?”, sebagai mahasiswi aku memang tidak mau ketinggalan info seputar kampus.
Dengan rasa ingin tahu, aku memalingkan wajahku ke arah Rara dan mengacuhkan saja
ocehan dosen.
“Agak dahsyat sih beritanya. Tapi jangan sampai kaget ya?” ujarnya membuatku semakin
ingin tahu.
“Iya..iya. Cepetan, jangan bikin aku penasaran dong.”
“Kakak senior kita dari UKM Basket, kak Arya tadi malam bunuh diri.”
“Apa!!!!!!!!!!!????” suaraku langsung menggelegar. Seluruh rungan kelas terdiam. Semua
mata bahkan dosen pun menengok kearahku. Aku hanya bengong sambil berusaha menutup
mulutku karena malu. Aliran darahku entah kenapa tiba-tiba mulai menegang.
* * *
Aku tidak habis pikir. Kak Arya merupakan kapten basket di UKM Basket kampus. Dia di
kenal sebagai orang yang ceria dan selalu murah senyum. Aku kehabisan akal untuk tidak
percaya bahwa itu bukan Kak Arya. Tetapi setelah mendengar kabar itu dari hampir seisi
kampus membuatku mau tidak mau harus percaya.
Dia meninggal, bunuh diri di gantungan laboratorium jurusannya, Teknik Mesin. Kabar
burungnya, dia meninggal karena tugas akhirnya telah di tolak beberapa kali oleh dosen,
padahal dia sudah ketinggalan wisuda selama tiga kali.
“Kasihan ya Kak Arya, Yun. Di kampus dia itu selalu ceria tapi ternyata dia justru sedang
stres memikirkan tugas akhirnya.” komentar Rara di kantin kampus.
“Iya juga sih. Kok dia sampai mikir bunuh diri ya?”
“Tapi kalau di pikir-pikir semakin tahun kok semakin banyak ya korban pendidikan di negara
kita? Gak usah di negara, di kampus kita aja hampir tiap tahun selalu saja ada yang jadi
korban pendidikan. Ada yang stres karena mikirin kuliahnya, ada yang hamil di luar nikah,
bahkan ada yang sampai bunuh diri.” komentar Rara.
Dalam hati aku melamunkan komentar Rara itu. Memang benar semakin tahun semakin
banyak saja mahasiswa yang meninggal atau melakukan penyimpangan sosial entah dengan
cara apa tapi ujung-ujungnya sebabnya adalah pendidikan.
Apa yang salah? Bukankah dana pendidikan sudah mendapat prioritas di kursi anggaran?
Bukankah sudah ada perbaikan kurikulum dalam kompetensi belajar? Bukankah sudah ada
tenaga pengajar atau dosen yang memiliki kompetensi mumpuni di setiap bidangnya?
Bukankah manajemen setiap kampus sudah memiliki kewenangan yang luas untuk
menentukan sendiri otonomi kampusnya? Bukankah tujuan dari setiap pendidikan adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa kita? Yang paling penting bukankah gobalisasi
merupakan penyokong utama orientasi pendidikan kita? Apa yang salah dengan sistem
pendidikan kita?
“Hoey...kok bengong!” ujar Rara mengagetkan pikiranku. “Yuk keruangan BEM Hukum,
bahas acara bakti sosial.” ajaknya. Dengan masih menyisakan tanda tanya dalam hati, aku
hanya menuruti saja kemauan Rara.
* * *
Kuliah pagi memang bisa di katakan neraka bagi sebagian mahasiswa. Bagaimana tidak,
waktu yang seharusnya bisa di gunakan untuk tidur itu malah digunakan untuk berkutat
dengan setumpuk buku tebal atau rentetan panjang ocehan dosen. Namun, aku justru
menyukai kuliah pagi. Karena selama perjalanan jalan kakiku dari kost ke kampus
membuatku sangat suka untuk memperhatikan aktivitas orang lain atau jalanan yang macet
atau sekedar membaca koran yang di jual di trotoar jalan raya.
Kusempatkan sedikit waktu untuk membelokkan tubuh membaca koran. Insting liarku
memang senang untuk menghabiskan lembar demi lembar koran meskipun isinya sebagian
besar adalah berita duka atau berita buruk. Halaman pertama koran saja sudah membuatku
merinding. Judul halaman itu di cetak tebal dengan bunyi ,RIBUAN SISWA SMP & SMA
TIDAK LULUS UAN. Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Di sampingnya di cetak tebal
pula, BEASISWA PENDIDIKAN TIDAK TEPAT SASARAN, di sampingnya lagi
MARJINAH, PUTUS SEKOLAH TIDAK ADA BIAYA dan di sampingnya lagi, DUGAAN
KORUPSI DANA PERBAIKAN GEDUNG SEKOLAH.
Ini yang membuatku kadang malas membaca koran. Halaman pertama saja sudah membuatku
merinding. Semua hal ujung-ujungnya pasti bermuara pada keburukan dan salah satunya pada
sistem pendidikan nasional. Lagi-lagi aku memikirkan masalah ini.
“Kenapa neng? Jadi beli korannya?” ujar penjual koran. Aku tersenyum, entah pikiran
darimana aku melontarkan pertanyaan kepada penjual koran itu.
“Emmm...menurut abang, ada nggak yang salah dalam pendidikan kita?” Aku melirik jam
tanganku. Masih ada waktu lima belas menit lagi.
“Kalau menurut orang awam kayak saya sih neng, pendidikan itu gak penting-penting amat.
Banyak kan sekarang yang berpendidikan, yang sudah punya gelar sarjana tapi eh..malah
nganggur. Mending duitnya daripada untuk kuliah, buka modal aja bikin usaha. Daripada
untuk kuliah eh nantinya di korupsi dah duit saya neng.” kelakar penjual koran itu terkekeh.
Sebagai seorang mahasiswi hukum, lagi-lagi aku galau memikirkan masalah ini. Ada benar
juga yang di katakan oleh bapak itu. Tak habis kata memang untuk bercerita tentang
pendidikan di negeri ini. Di ujung jalan tepat dari tempatku berdiri, banyak sekali deretan
pengemis dan anak jalanan yang mengemis atau mengamen tepat ketika lampu lalu-lintas
berwarna merah.
Di seberang jalan bapak pengasong minuman berjejalan dengan ribuan pengasong dan
penumpang yang masuk ke terminal tepat di ujung kanan jalan raya. Apakah ini akibat
pendidikan nasional kita? Apa hakikat sebuah pendidikan yang sejatinya harus bisa
mengentaskan ini semua? Di mana peran globalisasi yang seharusnya menjadi senjata
ampuh?
“Bang ini uangnya. Balik duluan ya.” Aku berjalan lagi untuk pergi ke kampus. Lagi-lagi aku
masih menyimpan tanda tanya besar dalam hatiku.
* * *
Ada satu hal lagi yang memang menjadi ironi, yakni mahasiswa itu sendiri. Rata-rata
mahasiswa hanya bisa setengah saja menangkap apa yang bisa dibicarakan dosen, terutama
kompromi soal posisi tempat duduk. Aku dan Rara memang selalu kebagian tempat duduk di
pojok belakang. Agak dongkol memang. Aku hanya bisa melihat mahasiswa lain yang berada
satu ruangan denganku. Jumlahnya enam puluh orang.
Di pojok ujung kiri aku melihat seorang cewek berdandan rapi dengan cermin di tangannya,
di belakangnya ada cowok yang asyik mendengarkan MP3 Player, lalu di sampingnya ada
dua orang perempuan yang tengah asyik ngobrol, lalu di sampingnya ada cowok yang cuman
bertopang dagu sesekali menguap lalu ah....kupastikan mungkin hanya dua tiga orang
diantara enam puluh orang yang memang serius mendengarkan kuliah sang dosen. Padahal
mereka...ya termasuk aku sendiri ber-title sebagai mahasiswi hukum.
“Jadi hukum jangan hanya di lihat sebagai produk lokal. Hukum itu bersifat internasional,
mengglobal. Disana ada manusia pasti ada hukum. Dan pendidikan suatu hukum juga sangat
penting. Pendidikan hukum itu bisa di peroleh dengan membuka wawasan hukum dari luar
bukan hanya dalam.” Dengan samar-samar aku mendengar ocehan sang dosen. Dalam hati
aku hanya bisa menggumam bahwa memang benar juga yang di katakan dosen tadi. Dengan
globalisasi, negara ini bisa membuka diri dan sumber pengetahuan pun bisa di peroleh.
“Tapi pak...” aku terkejut. Rara, yang biasanya diam tiba-tiba mengacungkan tangannya.
“Saya belum membuka sesi diskusi. Tapi silahkan saja kalau bertanya.” ujar dosen itu
setengah kesal.
Entah kekuatan dari mana, Rara serasa kerasukan Enstein atau mungkin dia sudah mencuci
otaknya kemarin. “Kenapa pembahasan kita selamanya harus globalisasi?
Globalisasi..globalisasi. Kenapa tidak memikirkan yang lokal terlebih dahulu? Globalisasi
memang penting tapi lihatlah hasilnya. Kita terlalu terlena dengan globalisasi dan menjadi
followers setia darinya. Apa-apa globalisasi. Bukankah negara kita sudah mumpuni untuk
menciptakan globalisasi sendiri bagi negara kita sendiri? Mengapa kita menjadi followers?
Kalaupun belum mampu, mengapa kita telan mentah-mentah suatu globalisasi? Sistem
pendidikan pun mengadopsi globalisasi. Banyak hal bahwa globalisasi itu terkadang tidak
sesuai dengan moral pendidikan kita. Kita di arahkan untuk menjadi bagian globalisasi,
menjadi seorang followers. Tiap hari kita di cekoki materi kuliah tanpa kita tahu apa yang
bisa di aplikasikan ke masyarakat, kita di ajak untuk mengiyakan saja ocehan dosen lalu
keluar kelas dan sudah, ilmu itu langsung melayang. Dari awal kita di didik untuk berpikir
linier, sama dengan lain atau bahkan saling bersaing akademis secara kejam agar kita bisa
mengungguli globalisasi atau minimal sejajar. Kita, mahasiswa seakan seperti ternak yang
siap di rekayasa dengan globalisasi dan sistem pendidikan kita menganut itu. Lulus pun kita
seperti keledai, tidak tahu apa-apa padahal kita sarjana. Toh kalaupun berhasil, sebagian dari
kita ada yang terjerat dengan korupsi, suap, mengeluarkan kebijakan yang salah arah atau
menjadi bagian dari ketimpangan sosial yang parah di masyarakat. Bukankah seharusnya
globalisasi bisa menjawab ini semua? Kalaupun tidak, kenapa tidak mencoba sistem
pendidikan lokal yang memilih dan memilah globalisasi yang baik atau membuat sendiri
globalisasi untuk negara kita?” ujar Rara berapi-api.
Aku hanya bisa bengong. Aku tidak percaya ini Rara. Aku geleng-geleng kepala. Aku hanya
melihat sang dosen menganggukkan kepala saja. Aku merasa bahwa selama ini aku juga
menjadi followers setia dari gobalisasi. Pengetahuan, teknologi, arus informasi, gaya hidup,
pola pikir, pergaulan, moral-budaya bahkan urusan kecilpun aku mengaca pada globalisasi.
Aku benar-benar takjub dengan Rara.
* * *
“Ra...tadi itu hebat banget. Sumpah!” ujarku kepada Rara seusai jam kuliah.
“Ah biasa! Tadi malem kebetulan aku baca buku dan isinya memang tentang globalisasi. Toh
tadi kan juga untuk nyuri perhatian dosen agar dapet nilai bagus” ujarnya enteng.
“Kalau gitu kapan-kapan aku pinjem ya?” timpalku.
“Oke. Eh..yun yuk shopping ke mall. Udah lama gak shopping nih. Biasa mau di pakai nge-
date ntar malem” ajaknya kepadaku.
“Shopping? Nge-date? Lho bukannya ntar ada rapat untuk acara bakti sosial?”. Aku
mengerutkan dahi.
“Haduh, serius amat neng. Jadi mahasiswa itu santai aja, jangan belajar terus atau organisasi
terus. Cepet tua. Terus mikirin rakyat melulu, kemiskinanlah, pengangguranlah, korupsilah,
kebijakanlah..haduh!! Belum waktunya mikir itu mending di serahin aja ama pemerintah.
Ngapain pusing? Mending ke mall untuk refresh otak. Kalau masalah bakti sosial kapan-
kapan aja. Lagian masih lama.” ujar Rara lagi-lagi enteng.
Aku hanya bisa bengong. Aku takjub pada Rara karena perubahannya yang 180 derajat
berbeda dengan di ruangan kelas tadi. Shopping, mall, fashion, nge-date bagi mahasiswa
seakan magnet globalisasi di zaman sekarang. Lagi-lagi dalam hati aku hanya bisa berpikir,
inikah hasil dari globalisasi? Inikah buah dari hasil pendidikan negara kita?
Jujur, aku takut membayangkannya.
* * *
Kampus Widyagama, Malang, 17 Maret 2013
AKU DAN HUJAN
Aku mencintai hujan
Dari hujan aku bisa menemukan banyak kenangan
* * *
Aku menyukai hujan. Dari hujan aku bisa menemukan banyak kenangan. Dari hujan aku bisa
menemukan beribu macam pertanyaan yang sebisa mungkin aku jawab sendiri. Rintik-rintik
hujan merupakan suatu alunan simfoni yang membiaskan bayangan putih yang lalu lenyap
menimpa kerasnya batu atau deburan ombak. Kuatnya arus yang menghantam tubuhku serasa
pelukan hangat yang membiaskan sebuah cermin tentang kenangan.
Hujan itu seakan pantulan yang bisa membiaskan beribu rasa rindu dalam hati dan dia
mengerti akan hal itu. Hujan itu seperti benteng yang siap dan sigap menjaga serta
melindungiku, meskipun hanya di waktu hujan. Karena dari hujanlah semua hal bisa aku
rasakan. Aku bisa belajar banyak dari hujan. Aku bisa merasakan banyak hal dari hujan.
Dari hujan aku bisa menemukan banyak kenangan.
Aku memang bukanlah manusia. Tapi aku di perlakukan sebagai manusia. Aku bukan orang.
Tapi di dandani layaknya orang. Aku bukan makhluk hidup. Tapi di beri wejangan seperti
makhluk hidup. Aku mati. Tapi aku di hidupkan. Ini semua demi manusia. Ya..makhluk
bernama mausia. Aku di permak demi manusia. Aku di dandani demi manusia. Semua hal
tentangku memang demi manusia. Demi kepentingan manusia. Tak lebih. Tak kurang. Aku di
paksa oleh manusia, dan aku tidak bisa melawannya. Aku di cumbui dengan mesra oleh
manusia dan aku tidak bisa menghindar.
Karena itu aku butuh hujan. Aku butuh derasnya air yang bisa mengguyur semua dosa-
dosaku. Aku menyukai hujan.
Dari hujan aku bisa menemukan banyak kenangan.
* * *
Aku menyukai hujan.
Kata itu seakan mengiang dalam berahi otakku dan seakan membiusku untuk selalu
mengingatnya. Apalagi ketika musim hujan. Ketika musim hujan tiba, aku bisa melihat
kumpulan riuh air hujan yang seakan sedang emosi, menumpahkan segala amarahnya
sehingga bisa langsung di hempaskan ke dalam bebatuan atau kerikil yang ada di depan
halaman rumah.
Meskipun entah beberapa tahun lalu, hujan itu sudah marah berlebihan kepadaku tetapi aku
tidak marah kepadanya. Dia sempat marah dan tidak bisa mengontrol emosinya lalu ia
tumpaskan segala macam amarahnya kepadaku tanpa ampun. Dia melampiaskan segala
emosinya kepadaku.
Kadang, ia memang terlalu membabi buta. Ia seakan kerasukan setan atau dedemit sehingga
memuntahkan semua ledakan emosinya tanpa kenal siapa yang di marahinya. Tapi aku tidak
menyalahkan hujan. Aku berpikir ini semua mungkin salahku. Sedikit banyak aku mungkin
memancing amarah hujan sehingga mungkin dia terpancing dan menumpahkan semua
amarahnya.
Dia memang terlalu emosional. Terlalu egois. Tapi aku tahu, aku memang memaklumi sifat
dan karakternya. Toh, ia tidak datang setiap hari. Toh, aku juga butuh hujan. Aku tidak boleh
melepaskan hujan. Aku tidak boleh bertengkar dengan hujan. Aku harus mengalah. Aku
sebisa mungkin harus membuatnya senang denganku. Aku harus membuatnya nyaman.
Membuatnya tenang.
Ya..meskipun kadang ia terlalu brutal, tapi aku menyukai hujan.
Sangat menyukainya.
* * *
Saat seperti ini aku membutuhkan kasih sayang hujan. Terkadang aku lelah dengan semua hal
yang terdapat dalam diriku. Terkadang aku muak pada diriku sendiri dan terkadang aku
hanya bisa pasrah menerima kondisiku seperti ini. Aku ini bukanlah sesuatu yang tercipta
sendiri dari pertemuan sperma dengan ovum atau terlahir dari suatu teknologi rekayasa
genetika atau mungkin jatuh dari langit dan muncul suatu makhluk. Aku beda dengan hujan.
Aku hanya bisa diciptakan. Aku terlahir karena memang aku harus ada. Dan terkadang ke-
ada-an ku ini membuatku muak. Aku lelah. Letih. Aku hanya ingin istirahat dan biarkan aku
bisa sedikit tidur dengan di temani rintikan hujan yang menimpa tubuh coklatku sederas
mungkin.
Aku ingin bercinta dengan hujan. Menumpahkan semua dosa, kekesalan sehingga aku bisa
bebas. Lepas dari semua beban. Tidak ada lagi yang membangunkanku. Tidak ada lagi yang
menghidupkanku. Tidak ada lagi yang mendandaniku. Tidak ada lagi semua kemuakan
tentang diriku. Aku hanya ingin mati. Mati dalam pelukan hujan.
Hujan yang membawa segala kenangan.
Tapi sayang ini musim kemarau, aku tidak bisa menanti hujan. Mungkin aku harus bisa
menunda rasa rinduku hingga musim hujan nanti tiba dan bersiap bisa bercumbu sedikit
dengan hujan. Aku harus sabar untuk menunggunya. Menanti dalam lelah. Menunggu dalam
letih. Tapi aku sungguh berharap penantian ini membuahkan hasil. Penantian ini bisa
membuatku lepas dari semua penderitaan. Ah..aku tidak sabar menunggu musim hujan.
Ya..lagi-lagi aku menyukai hujan. Sangat menyukainya.
* * *
Aku sebenarnya idealis. Sangat idealis. Bila dibandingkan hujan, aku adalah tipe yang bisa di
bilang pilih kasih. Tidak sembarangan orang bisa seperti diriku. Tidak semua orang bisa di
bilang mendekati sempurna seperti diriku. Tapi apa daya, aku di paksa. Dari kecil aku selalu
di buat sempurna, se-perfeksionis- mungkin. Bahkan bila cacat sedikit saja, aku langsung di
permak habis-habisan. Apa kau beranggapan hidup seperti ini mengasyikkan? Tidak. Tidak
sama sekali.
Aku hanya menyusahkan orang lain. Aku hanya bisa menghabiskan uang orang lain untuk
sekedar membayar ongkos permak wajahku atau mungkin untuk sekedar memanjangkan
hidungku. Karena itu aku selalu berharap hujan selalu turun dan bisa menghapus semua
permakku. Bukannya aku boros. Bukan! Meskipun mereka—yang katanya makhluk bernama
manusia mempunyai nurani—mengatakan gara-gara hujan aku rusak. Gara-gara hujan aku
cacat. Aku pincang sana-sini.
Tapi, sungguh aku tidak menyalahkan hujan. Aku tidak akan membiarkan manusia merusak
hubungan kami berdua. Aku tidak ingin menjadi pengkhianat untuk hujan. Karena aku
memang mencintainya. Amat mencintainya. Separuh hati ini memang hanya untuk hujan
seorang. Biarlah aku rusak. Biarlah aku cacat. Biarlah aku pincang. Yang penting aku tetap
bersama hujan. Yang penting aku tidak berkhianat pada hujan.
Aku hanya ingin orang lain tahu kondisiku. Itu saja. Aku hanya ingin orang lain tahu bahwa
aku ini tidak mau seperti mayat hidup, hampir selalu di permak seakan aku ini boneka barbie
yang harus cantik di hadapan orang lain. Ah..tapi lagi-lagi aku tidak bisa bilang. Aku di
paksa. Aku di perintah. Aku seperti robot yang seakan-akan sudah di takdirkan untuk
menuruti perintah tuannya.
Aku tidak punya tenaga untuk sekadar mengalahkan rasa kesalku. Aku sangat membutuhkan
hujan untuk menjadi perantara agar semua orang tahu bahwa aku ini sudah sekarat. Aku di
ambang batas kematian. Apakah semua tidak tahu kalau aku ini sangat menderita? Apakah
semua orang tidak tahu kalau aku ini kesepian? Apakah semua makhluk hidup tidak mengerti
dengan kemuakan yang aku miliki ini?
Aku sungguh ingin menjerit. Tapi aku tidak bisa. Mulutku di bungkam supaya diam. Lidahku
di gunting supaya tidak bisa menggunjing. Kerongkonganku disumbat supaya tidak bisa
berteriak. Pernah suatu hari aku mencoba menolak untuk di permak. Tetapi apa yang mereka
lakukan padaku? Apa yang manusia perbuat padaku? Kalau aku menolak untuk di permak
maka aku akan di caci-maki, akan di hina dan bahkan akan di kasari.
Tapi kalau aku tidak di permak, sebagian yang lain akan bilang bahwa aku ini kuno.
Tradisional. Monoton. Terlalu klasik. Atau apalah. Aku serba salah. Kehadiran diriku seperti
buah simalakama. Aku seperti jaelangkung. Datang tak di jemput, pulang tak di antar.
Ah...aku membutuhkan hujan. Aku menyukai hujan. Sangat menyukainya. Aku ingin ia
datang dan bisa mengabarkan kegalauanku ini kepada semua orang. Aku ingin semuanya
tahu tentang penderitaanku. Aku ingin semua orang tahu tentang sekaratku. Menurutku, ini
adalah cara terbaik untukku. Hujan adalah pembawa pesan yang baik. Aku sangat
mempercayainya. Aku sangat menyukainya.
Ah...andaikan hujan datang di musim kemarau. Aku akan sangat menyukainya.
* * *
Hari ini entah kenapa aku senang. Hujan datang. Ya..hujan datang. Ia mengabarkan padaku
bahwa ia akan datang. Ya..dia akan datang. Lelahku akan sedikit berkurang dan aku bisa
mengabarkan ke semuanya bahwa saat ini aku bisa menangani bahkan mengurangi
penderitaanku sendiri. Perlahan tapi pasti gerimis hujan itu mulai muncul, ia menghujani
tubuhku. Aku merasa diriku menjadi segar kembali. Aku serasa menjadi seseorang yang
kembali pulih dari sekarat yang aku alami. Aku seakan menjadi suatu bidadari yang kering
kemudian di guyur dengan basahan air hujan sehingga segala macam kekeringanku pudar
Aku memang menyukai hujan. Sedikit demi sedikit air itu membasahi tubuhku. Seakan
seperti oase di tengah keringnya hamparan padang pasir yang panas. Aku sungguh merasa
senang. Aku merasa hidupku kembali. Aku menjadi diriku sendiri. Aku ingin hujan tahu
bahwa aku membutuhkannya. Aku ingin hujan tahu bahwa aku memang mencintainya. Aku
ingin hujan bisa mengabarkan ke semua orang tentang penderitaan diriku.
Ah...aku merasa senang. Teramat senang. Aku sungguh mencintai hujan.
* * *
Maka seperti sebuah genderang keras yang merusak gendang telingaku, aku panik. Panik luar
biasa. Pertemanan yang selama ini aku jalin bersamanya rusak. Hancur total. Dia marah. Tak
seperti biasanya, amarahnya luar biasa meledak. Dia meluapkan semua emosinya dengan luar
biasa. Jujur, aku takut. Takut dengan emosinya. Takut dengan amarahnya. Takut ketika hujan
datang.
Aku merinding dengan beringas dan ke-liar-an wajahnya. Hujan sepertinya marah kepadaku.
Aku tidak tahu kenapa dia marah. Selama ini aku tidak pernah mengkhianati hujan. Tidak
pernah sekalipun. Aku bingung. Aku linglung. Aku mati rasa. Padahal aku mengharapkan
hujan bisa datang dan semuanya berjalan seperti biasa. Sesuai rencana. Semuanya berakhir
dengan indah. Tak ada emosi. Tak ada amarah. Kenapa? Apa ada yang salah dengan diriku?
Apa ada yang keliru dengan tubuhku?
Aku sungguh menangis. Kenapa ia bisa seperti itu dengan diriku? Aku hanya bisa
menganggap ini semua salahku. Aku mungkin yang salah. Aku mungkin yang khilaf. Aku
mungkin yang teledor. Aku mungkin yang naif. Tapi..tapi aku memang dipaksa. Aku tidak
punya tenaga. Aku hanya seseorang yang lemah sedangkan kaki dan tanganku terpasung.
Mulutku di dekap erat-erat supaya aku benar-benar tutup mulut. Aku tidak berdaya. Aku
robot.
Tidak..tidak. Aku tidak akan membencinya. Aku masih mencintai hujan. Sangat
mencintainya. Aku masih percaya ini semua salahku. Aku masih sadar semua ini aku yang
bertanggung jawab. Aku mencintainya. Kurelakan tubuh ini di hempas olehnya dengan kasar.
Dengan membabi-buta. Aku pasrah. Aku lemah.
Dalam maut, aku masih mencintainya.
Aku mencintai hujan.
Dari hujan aku bisa menemukan banyak kenangan.
* * *
“Pak..beneran anda akan membangunnya di tengah kota?”. Pria berdasi di depannya
mengangguk, pertanda mengiyakan.
“Tapi..bagaimana dengan yang di sekitarnya pak?”. Wanita bertubuh sintal itu merapatkan
kacamata yang ia pakai. Teramat sering kacamata yang ia pakai di saat yang genting seperti
ini selalu melorot. Sesuai dengan hatinya, melorot. Melorot karena lagi-lagi pria berdasi di
depannya melakukan hal yang sama seperti di tahun kemarin. Melakukan hal gila yang sama
seperti kejadian-kejadian yang kemarin.
“Tidak masalah. Tinggal di tebang dan tinggal di keruk. Gampang kan?”
“Tapi..bagaimana dengan yang sekarang pak? Bukannya sudah bagus? Kan gak harus di
bangun lagi pak?” Wanita itu seakan meminta penjelasan lebih dari pria itu. Ia memang
sekretaris dan harus menuruti perintah atasan, tetapi sebagai seseorang yang masih peduli
dengan semua hal, ia harus meminta penjelasan lebih lanjut.
“Sinta, kemacetan di kota ini sudah parah. Sangat akut. Sangat memprihatinkan. Perlu
penambahan supaya macet itu bisa teratasi. Kita justru membantu rakyat dan pemerintah.....”
“Tapi pak!”
“Sinta, saya membayarmu di sini karena untuk menuruti perintahku. Kamu tahu kan
perusahaan kita memang perusahaan yang bergerak di bidang sarana transportasi. Kalau kita
tidak expert tidak akan ada investor yang mau datang ke perusahaan kita.” Pria berdasi itu
merasa terganggu dengan setiap pertanyaan Sinta. Ia berbicara dengan nada tegas.
Seharusnya, wanita sintal itu tinggal mengangguk setuju dan semuanya bisa berjalan sesuai
dengan rencana.
“Iya pak. Maaf.” Wanita bernama Sinta itu menganggukkan kepala. Kacamatanya melorot. Ia
merapatkan kembali kacamatanya. Bukan karena takut dengan atasan, tetapi lebih ke
perasaan miris. Ia sudah berulang kali selalu memberikan pertimbangan kepada atasannya itu.
Tetapi selalu di tolak mentah-mentah. Ia seakan tidak punya pilihan. Ia membalikkan badan,
keluar ruangan. Matanya nanar melihat ke luar gedung dari ketinggian lantai dua puluh. Ia
tidak berani menatap. Tatapannya kosong. Sekosong nurani atasannya. Ia tidak bisa berbuat
apa-apa. Sinta terus menatapnya. Ya menatap jalan cokelat itu.
Jalan bertanah cokelat yang di kanan-kirinya penuh pohon rindang dan sungai kecil berair
keruh itu nantinya akan di bangun jalan tol. Jalan tol yang besar dan angkuh di tengah kota.
Di luar gedung, hujan datang begitu derasnya. Sangat deras.
* * *
Aku hanyalah kumpulan yang usang
Aku hanyalah bagian dari debu jalanan
Aku adalah aspal yang terbuang
Kau lalui dengan derapan dan pijakan
Tiap hari aku diam di tindih lalu-lalang
Di biarkan diam dengan beribu asap-asap hitam
Aku di poles tapi sembarangan
Aku di paksa dan hilang kesadaran
Semua tumplek dan raib di telan ajal
Hingga hujanpun datang dan berusaha menenggelamkan
Hingga hujan menghilang,
Dan membawa semua kenangan.
(Puisi ini merupakan epilog dari cerpen ‘AKU DAN HUJAN’)
* * *
(Terinspirasi dari banjir yang melanda Ibukota)
Malang, Penghujung Tahun 2013
HUJAN TURUN DERAS
....menuliskan kata cinta dengan pena awan di langit....
* * *
Percakapan itu membuat aku sedikit gusar. Entah siapa yang memulai, aku hanya bisa sedikit
kesal dan merasa memang ini semua bukan seperti biasanya. Aku hanya ingin ini semua, hari
ini, bisa berjalan lancar. Sesuai dengan rencana. Sesuai dengan lukisan bintang yang
tersenyum indah di langit. Sesuai dengan kanvas rembulan yang berpendar terang kala malam
menjelang.
Ya...harusnya semua berjalan indah. Tidak ada pertanyaan atau tidak ada sanggahan. Hanya
perlu satu jawaban. Hanya perlu satu kata. Aku hanya ingin dia merasa bahwa ini semuanya
adalah proses yang membutuhkan hasil. Aku tidak ingin proses, aku hanya menginginkan
sebuah hasil dari proses yang panjang. Terlalu panjang untuk sebuah penantian. Aku hanya
ingin kau mengerti itu. Tak lebih.
“Tidak Kris! Belum waktunya.” Itu sanggahan pertama yang aku dengar. Bukan..bukan,
mungkin yang keseratus kali setelah kau menginjak semester akhir kuliah. Dulu ketika kau
masih polos dan lugu, kau sering melamunkan sebuah arti dari kata cinta. Kau agungkan itu
dan sering kau daratkan dalam pikiranku.
Kau jugalah yang membuatku selama ini tetap merasa keukeuh denganmu. Tidak dengan
seorangpun. Hanya dirimu. Kau lah yang memberiku arti, yang membawakanku warna, yang
mengecupku manja dan membuat hariku penuh dengan taburan cinta. Cinta yang sangat kau
puja. Sangat kau puji.
“Cinta itu sakral. Jangan terlalu di paksakan, biarkan dia berjalan perlahan. Karena yang saya
yakini setiap cinta yang alami itu pasti membuahkan hasil yang sangat sakral pula.”
Itu kata yang masih aku ingat kala mata birumu yang bening itu menatap mataku. Tanganmu
meraih langit dan menuliskan kata itu dengan pena awan yang bertuliskan cinta. Kau biarkan
awan itu sendiri yang bergerak membawa angin cinta yang mungkin suatu saat nanti akan
turun menjadi butiran hujan yang turun deras dengan penuh cinta. Hujan yang bisa membawa
riak-riak kebahagiaan kala cinta itu tepat pada sasarannya. Hujan yang membawa kita berdua
ke pelabuhan terakhir. Tak perlu singgah, tapi menetap. Tak perlu berpindah, tapi terus
bersama.
Tapi itu dulu. Dulu ketika aku masih bisa melihat bintang-bintang yang berlari dalam biru
bulatnya matamu. Dulu ketika semuanya masih berjalan apa adanya dan memang semuanya
berjalan normal. Dulu ketika rembulan masih merekah dalam senyum manis bibirmu dan
memberikanku sebuah makna tentang cinta.
Dulu ketika kunang-kunang masih terbang di sudut-sudut kerlip pipimu yang merah ranum.
Dulu ketika tanganmu meraih langit dan menuliskan kata cinta dengan pena awan. Dengan
pena hati kita berdua dan suatu saat bisa meraih rembulan untuk menemani keheningan
malam. Tanpa ada penganggu siapapun.
Tapi itu dulu.
Tidak dengan sekarang. Aku tidak melihat kembali bintang-bintang yang berlari dalam
kelopak matamu. Aku juga tidak melihat kembali rembulan yang merekah dalam senyummu.
Tidak melihat kembali kunang-kunang dalam pipimu. Aku juga tidak pernah melihat semua
hal tentang cinta yang kau agungkan itu. Tidak melihat sakralnya cinta yang dulu kau puja
dan puji itu. Aku juga tidak pernah melihat hujan yang turun deras dengan taburan cinta yang
dulu kau tulis dengan pena awan di langit.
Mungkin hujan yang enggan turun menaburkan cintanya.
* * *
Semua hal tentangmu adalah absurd. Aku tidak tahu arah pikiranmu, aku tidak tahu arah
jalanmu atau aku tidak tahu siapa yang mencuci otakmu. Bukan..bukan, tapi otak kita berdua.
Aku adalah orang yang selalu menunggu kepastian akan sebuah kata suci yang dulu kau tulis
dengan pena awan, dengan cinta. Ya..kemana cinta itu turun? Apakah ia hanyut dalam aliran
hujan deras yang turun lusa kemarin? Apakah ia binasa tertelan banjir yang mendera hebat
dengan kotamu itu? Ataukah ia sudah hilang, raib oleh kerapuhan dan keheningan yang
menyiksa setiap malam?
Tidak...tidak aku tidak menyalahkan semua tentangmu. Aku masih mencintaimu. Sangat
mencintaimu seorang. Tidak ada yang lain selain dirimu. Kau adalah awan yang menuliskan
kata cinta di langit dan menurunkannnya dalam bentuk hujan kepadaku.
Tapi.....
“Aku hanya perlu waktu Kris. Sabarlah sebentar, aku hanya ingin kau menjadi bagian dari
Imamku nanti. Jangan terburu-buru.” Itu sanggahan keduamu. Bukan..bukan, mungkin itu
adalah sanggahanmu yang ke dua ratus kalinya.
Itu kau ucapkan kala kau lulus kuliah. Aku sudah mengajakmu, tapi tidak dengan cinta. Entah
cinta itu terlalu absurd atau apalah, aku tidak tahu. Aku bukan filsuf cinta, aku bukan
malaikat cinta atau aku bukan dewa cinta.
Aku adalah aku. Kau adalah kau dan kita berdua di temukan dalam cinta. Cinta yang bisa
membuat semuanya bisa indah. Cinta yang bukan hanya sekedar cinta monyet atau cinta abal-
abal anak SMA yang belum tahu bagaimana sakralnya cinta. Seharusnya dengan cinta itu kita
bisa bersatu. Bisa bersama dan membuat segalanya menjadi lebih sempurna. Lebih indah.
Tak perlu sanggahan, tak perlu alasan. Aku sudah meilhatnya dari mata birumu. Mata yang
sangat bening. Tapi kenapa tidak dengan cinta? Kemana cinta itu pergi? Ada apa dengan
cinta?
Aku hanya ingin mengajakmu mengarungi cinta yang lebih dalam. Cinta yang lebih agung,
seperti yang kau bilang pada langit ketika kau menulisnya dengan pena awan. Cinta yang
tulus. Cinta dengan guyuran hujan deras yang di taburi dengan cinta. Tidak lebih. Tidak
kurang. Aku ingin membuat kita berdua menjadi satu pasangan yang bisa berbagi semua hal.
Bisa saling mengisi satu sama lain. Bisa saling melengkapi satu sama lain. Bisa mencintai
sampai kapanpun juga. Tidak terikat usia atau harta. Tidak terikat apapun.
“Tidak! Nanti saja dulu Kris.” Itu sanggahanmu yang ketiga. Tidak..tidak, mungkin itu yang
ketiga ratus kalinya.
* * *
“Tapi kenapa?” aku sedikit memaksa. Terasa berat, tetapi aku harus tahu. Aku harus tahu
kenapa cinta itu tidak menetap tetapi hanya singgah.
“Cinta itu belum siap, Kris.” katamu begitu teduh. Sedikit penekanan ketika kau mengucap
kata belum. Dan terdengar seperti sanggahan. Sanggahan yang keempat kalinya. Tidak..tidak,
mungkin itu yang keempat ratus kalinya.
“Lalu, kapan kau siap, Ais?”. Entah kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja.
“Kapan kau siap dengan semua hal ini?”. Sepertinya aku keliru. Aku seakan-akan berusaha
untuk menghakimimu. Sesaat kau diam. Kau tertunduk lesu. Matamu sembab. Setitik air
bening mengaliri pipimu.
Ah...kenapa jadi begini.
“Bukan bermaksud menyakitimu. Tapi kita membutuhkan kepastian, Ais. Kita membutuhkan
cinta. Hanya cinta yang membuat kita bersatu. Kita tidak bisa sampai begini. Kapan kepastian
itu datang? Kapan.......”
“Sampai cinta itu menetap, Kris. Sampai cinta itu sempurna baru kita bersama. Sampai cinta
itu bisa menuliskan sendiri dengan pena awan dan mengguyurkannya dengan hujan deras.”.
Kau membalas dengan tatapan kosong.
Aku bukan penyair cinta. Aku hanya bisa melihatmu. Melihat air matamu yang turun.
Melihatmu dengan cinta. Melihat semuanya dengan perasaan yang bisa kita selami masing-
masing. Aku mengusap air matamu dengan jariku. Pelan.
“Apa kau masih percaya dengan cinta?” kau bertanya.
Ah..kata itu terlontar juga.
Hening sejenak. Aku menghembuskan napasku. Berat.
“Aku masih percaya dengan cinta. Masih percaya dengan sakralnya cinta. Masih percaya
dengan pena awan yang menuliskan kata cinta lalu menurunkannya dengan hujan. Aku masih
percaya dengan semuanya, Sayang.” Kata itu meluncur begitu saja. Tanpa titik, koma atau
tanda baca.
Sayang. Ah..kata itu begitu klise. Sangat multi-tafsir. Penuh dengan penerjemahan. Penuh
dengan kesalahpahaman. Penuh dengan suka, tapi penuh dengan duka.
Kau menatap mataku. Aku menatap matamu. Sedikit sembab, tetapi masih kelihatan birunya
bola matamu. Jarimu menyentuh mataku. Jarimu meliuk-liuk mengikuti alur mataku dengan
perlahan, kemudian turun meliuk ke arah hidungku. Lalu berhenti. Jarimu lalu mengepal ke
langit. Menantang langit.
Ah...ritual itu.
Jari telunjukmu lalu bergerak secara perlahan. Bergerak dan hanya aku, kamu serta langit
yang mengerti. Pena awan. Bergerak seakan tulisan itu muncul dari gerakan jari telunjukmu.
Aku menghentikan jarimu. Tanganku menyentuh jarimu.
“Aku tidak ingin kau menuliskannya sendirian.” Kau tersenyum. Aku dan kamu. Menulis
dengan perlahan kata itu. Berdua saja menuliskannya dengan pena awan. Dengan pena hati
masing-masing yang berusaha menuliskannya ke dalam hati. Tanpa langit tahu. Bergerak
menulis kata cinta.
C-I-N-T-A. CINTA.
“Lalu bagaimana? Kau sudah siap?” Kata itu terlontar kembali.
“Belum Kris. Tunggu. Tunggu sampai hujan turun deras dan membawakan pena awan
bertuliskan cinta di langit sana untuk kita berdua.” Ucapmu dengan tenang.
Ah..itu adalah sanggahanmu yang kelima kalinya. Bukan...bukan, kelima ratus kalinya.
* * *
“Kau tidak bisa bersama dengannya, Krisna. Kau tidak bisa.” Perkataan Mama yang
menghujam pertama kali. Itu adalah sanggahan Mama yang ke sepuluh. Bukan..bukan, itu
adalah yang ke sepuluh ribu kali.
“Kau berbeda dengannya, Krisna. Kau dan dia berbeda.” Papa menambahi. Itu adalah
sanggahan Papa yang kesebelas. Bukan..bukan, itu adalah yang kesepuluh ribu satu kali.
“Apa yang berbeda, Ma, Pa? Tak ada yang berbeda.” Aku berusaha menjelaskan. Terlalu
lelah untuk sering menjelaskan.
Tapi keduanya menggeleng.
“Kamu dan dia jelas berbeda Krisna. Sangat berbeda. Kau dan dia tidak mungkin bersatu.
Hidupmu akan kesulitan jika kau bersama dirinya.” Papa menjelaskan.
“Kris, Mama dan Papa memang menyukai dia. Kami tidak menentang kalian berdua. Tapi
jika di lanjutkan hubunganmu itu secara serius jelas tidak bisa, Sayang. Kalian berbeda. Dan
perbedaan itu nantinya akan menyulitkan hubungan kalian berdua.” Kali ini Mama
menjelaskan lebih sabar. Lebih moderat. Tapi bagiku itu sama saja. Penolakan mentah-
mentah. Padahal kami banyak memiliki kesamaan. Kami sama-sama memiliki cinta. Kami
memiliki pena awan di langit yang suatu saat akan turun dengan perantara hujan deras.
“Kris kau sudah dewasa. Kau sudah mapan, tampan. Kau cari saja perempuan lain. Yang
sama denganmu.”
“Yang sama? Tapi Ma, Pa. Aku dan dia tidak berbeda. Kami juga sama. Kami.....” aku
kehabisan kata-kata.
“Tapi kalian tidak ditakdirkan untuk bersama. Kalian..........”
Ah...kata itu terlontar juga. Kemudian di iringi dengan deretan ceramah Mama.
* * *
Hujan itu membuatku sedikit gusar. Sangat gusar. Aku sendiri tidak menyangka dengan
percakapan itu. Kau tahu kau terlalu absurd. Jalan pikiranmu susah di tebak, jalan pikiranmu
sungguh membuatku lelah, berputar dalam arungan seiring dengan desah nafas hujan yang
turun. Tiap sanggahanmu kuanggap adalah sebuah penantian, penantian yang sangat panjang.
Aku hanya bisa menanti seorang saja sambil berharap hujan turun deras dengan taburan cinta.
Hanya itu. Tak perlu lain.
“Maaf, aku tidak bisa Kris. Aku tidak bisa menolakmu, tapi juga tidak bisa menerimamu.
Aku tidak mengerti kenapa begini. Tapi, aku masih sangat-sangat mencintaimu, Kris.”
Ah..itu adalah sanggahanmu yang ke enam. Bukan...bukan, ke enam ratus kalinya.
“Tapi kenapa? Apa karena kita berbeda?”
Ah...kau terisak kembali.
“Aku sudah menjelaskan ke semuanya Kris. Bapak. Ibu. Kakak. Tapi mereka bilang kita gila.
Kita memang berbeda.”
Itu adalah kata yang kau ucapkan padaku seakan seperti sanggahan ke tujuh atau bahkan ke
tujuh ratus kalinya. Aku tidak melihat lagi bintang yang berjalan di kelopakmu. Aku hanya
melihat hujan deras yang turun dari air matamu. Hanya itu.
Bagaimana dengan cinta? Bagaimana dengan pena awan di langit yang nanti akan turun
dengan hujan?
Lidahku kelu. Bibirku ngilu. Mulutku membisu. Kau dan aku memang berbeda. Ditakdirkan
tidak bisa bersatu. Meski cinta sudah datang menetap dan tidak ingin singgah ke tempat lain.
Aku menatap matamu. Kau begitu terisak. Lama aku menatap matamu. Mata biru yang
bening. Perlahan, aku menempelkan jari telunjukku di matamu, mengikuti setiap alur dan
setiap lekuk pahatan mata yang kau miliki. Mata yang indah. Lalu lekukan itu turun
mengikuti alur hidungmu. Hidung yang mancung. Pelan. Lalu kulepaskan. Aku mengepalkan
jari telunjukku ke langit. Menantang langit. Aku tersenyum sambil memberinya isyarat.
“Aku tidak ingin menuliskannya sendirian.” ucapku sembari menghapus air matamu. Aku
berusaha menahan air mataku untuk tidak keluar.
Aku menghapus air matanya, lagi. Ia tersenyum sedikit dan tangannya segera menyentuh jari
telunjukku. Jari telunjukmu lalu bergerak perlahan menyentuhku. Dan kini jari telunjuk kita
berdua bergerak bersama. Bergerak menantang langit. Menulis kata demi kata. Menggambar
larik demi larik. Mengkanvas rima demi rima. Mencipta makna demi makna. Menuliskan
kata cinta dengan pena awan di langit. Berdua saja. Aku dan kamu. Tanpa langit tahu.
C-I-N-T-A. CINTA.
Malam ini hujan memang turun sangat deras. Turun dengan penuh cinta. Turun dengan
membawa pena awan yang kita tuliskan bersama. Hujan memang sudah turun sangat deras
sambil membawa cinta kita berdua.
Hujan memang turun deras sambil menimpa kalung salib di leherku dan kerudung merah di
wajahmu.
* * *
Malang, 02 Februari 2014
(Terinspirasi dari pasangan beda agama L.A. & E.S)
MALAM di KOTA MALANG
Malam larut. Malam menjemput. Malam sedikit berkabut. Malam di kota Malang. Angin
berhembus kencang. Meneriaki ilalang. Mendesir mencercah keheningan. Menyembul
membunuh rembulan. Jiwa-jiwa berjalan memamerkan jajanan. Jajanan khas kota. Jajanan
yang membuat jantung berdegup kencang. Jajanan yang memamerkan aroma-aroma wangi.
Menyiyir mendegupkan hati. Membunuh sunyi. Mencari jiwa-jiwa yang sepi. Lalu-lalang
terus berjalan. Malam semakin larut. Gemerlap lampu terus semrawut. Musik mengalun
membuat jiwa semakin liar, tidak kenal takut. Pasangan mata saling melirik. Mendelik.
Saling menyelami jiwa bahkan fisik.
Malam di kota Malang. Jajanan seakan tersembur keluar. Berjejer, berbaris. Paras-paras
manis. Saling asyik menjual dan menangkis. Paras-paras berkumis mulai meringis.
Memamerkan deretan giginya yang amis. Seakan seperti kucing yang kelaparan. Seakan
seperti harimau yang kehausan. Malam menyemburatkan kelam. Pertemuan yang tak di
harapkan. Perkenalan yang tak di izinkan. Tapi jajanan yang di jual, membuat semuanya
menjadi indah. Deru angin semakin gelisah. Membuncah jiwa yang terbungkus sampah.
Membuat semuanya bungah. Saling mendesah. Berujung dengan resah.
Inilah Malam di kota Malang.
* * *
Malam larut. Selarut hidupnya. Selarut kisahnya. Namanya Kasih. Tapi namanya tidak akan
pernah mengasihinya. Hidupnya adalahnya miliknya. Milik Kasih. Ia sudah mengasihi semua
hal. Ia sudah melakukan semua hal. Untuk hidupnya. Untuk kasihnya. Tapi ia Kasih. Ia akan
mengasihi semua hal. Semuanya. Semuanya yang bisa membuatnya menjadi orang yang
terkasih. Orang yang benar di kasihi bukan di kasihani.
Bilangan malam adalah milik Kasih. Semua rembulan adalah milik Kasih. Kasih adalah
idola. Jajanan istimewa. Bilangan malam pula yang tak pernah mengasihi Kasih. Kasih
manis, mengasihkan jajanannya yang masih muda. Malam membungkus Kasih dan
memberikannya jamuan istimewa sehingga ia tetap idola. Ia tetap Kasih. Kasih yang muda.
Kasih yang idola. Kasih yang tidak mau di kasihi. Kasih yang membuat semuanya merasa
lega. Merasa surga dunia. Merasa yang berkumis menjadi raja. Raja malam yang di sematkan
untuk Kasih. Kasih memiliki malam. Kasih menguasai malam. Kasih menguasai rembulan.
Rembulan Malam di kota Malang.
* * *
Bukan harta. Bukan dunia. Bukan apa. Ia adalah manusia biasa. Ia sama seperti semuanya. Ia
punya tapi tak di anggap berpunya. Ia memiliki tapi tak ada yang ingin memiliki. Dulu ia
adalah gadis biasa. Terjerat pasangan yang tidak ingin memilikinya. Memiliki anak bernama
Kasih dan membuangnya. Tak ada yang mengasihinya. Semua sangat cepat. Bergerak
dinamis. Sedinamis tubuhnya. Tubuh hasil yang tak di inginkan. Tubuh yang nanar. Tubuh
yang tak di inginkan. Tapi keluar atas nama nafsu. Keluar atas nama semu. Keluar atas
jajanan yang laku.
Bukan tahta. Bukan bangga. Ia adalah manusia biasa. Ia sama seperti semuanya. Ia terhormat
tetapi tak di hormati. Ia memiliki status tinggi tapi di rendahkan begitu saja. Dulu ia adalah
gadis ceria. Terhambat oleh pasangan yang retak. Memiliki buah hati yang di sepak. Kasih-
an. Tak ada yang mengangkatnya. Tidak ada yang menjunjungnya. Kasih tersungkur. Kasih
mendengkur. Hingga di bungkus oleh malam. Di ajari oleh rembulan. Dan mengisinya
dengan jajanan. Jajanan ketika malam.
Kasih nanar. Bukan harta. Bukan tahta. Ia adalah manusia biasa. Ia sama seperti semuanya. Ia
hanya seorang wanita. Hanya wanita jajanan. Hanya itu. Ia hanya berjejer di deretan
gemerlapan lampu. Menunggu. Bukan menjual. Menanti. Bukan menjajakan. Kasih nanar.
Tetap saja deretan lampu menyinarinya. Mengidolakannya. Membuat jantungnya berdegup
kencang. Membuat perasaannya jalang. Membuat pikirannya bergelayutan. Kasih
membungkus malam. Membunuh rembulan. Membuka harapan, membuka kepuasan,
membuka teriakan, membuka keharuman dan menutupnya dengan tangisan.
Kasih nanar. Bukan harta. Bukan tahta. Ia adalah manusia biasa. Ia sama seperti semuanya. Ia
hanya seorang wanita. Hanya wanita jajanan. Apa yang salah? Apa yang kaprah? Karena ini
adalah malam. Malam adalah milik Kasih. Ketika kecil ia di bungkus oleh malam. Di ajari
oleh rembulan. Maka dari itu malam adalah milik Kasih. Kasih adalah malam.
Malam di kota Malang.
* * *
Ah...sosok mungil itu. Sosok mungil yang di bungkus oleh malam. Di ajari oleh rembulan.
Menyingkap tabir keremangan. Keheningan. Di pungut oleh halilintar. Di bawa oleh hujan.
Di rawat oleh bintang. Dulu ia di temukan di tempat sampah. Tempat sampah yang salah.
Tempat sampah yang kaprah. Bau menyingir dari rerimbunan aroma khas alkohol. Amis
menggilis dari kebusukan rasa khas ganja. Menggelayut terbang lalu kabur menghilang dalam
bau menyingir dan amis menggilis di tempat sampah. Ah..tempat yang keliru, Kasih. Kau
harusnya di tempat pengajian. Tapi kau terlalu mungil. Kau tak bisa apa-apa. Hanya
menangis saja. Hingga tangan itu mendapatkannya. Tangisannya terhenti.
Kasih nanar. Malam mempertemukan Kasih. Rembulan mengajari Kasih. Tapi tidak dengan
kasih. Tidak dengan sayang. Tidak dengan cinta. Pria itu tidak memiliki kasih, tidak memiliki
sayang atau tidak memiliki cinta. Hanya malam yang memiliki Kasih. Tetapi pria amis nan
bau itu merebut Kasih dari malam. Merebut rembulan. Ia membungkus Kasih. Ia mengajari
Kasih. Pria itu bahagia. Bau alkohol menyebar ke syarafnya. Aroma ganja
mempengaruhinya. “Kau adalah jajanan istimewa.” Itu kata pertama yang terlontar dari
mulutnya.
Kasih nanar.
* * *
Pria berusia 21 tahun itu panik. Setengah mendelik. Wanita di sampingnya berusia sama juga
terus melirik. Positif. Harus keluar. Tak percaya. Si pria berusaha memastikan. Si wanita
lelah untuk menjelaskan.
“Eva, bukan karena aku kan?”. Si pria menyelidik.
“Kalau bukan kamu, siapa lagi Revan?”. Si wanita menggidik.
Malam larut. Membungkus si pria dan wanita dalam perasaan yang kalut. Membuncah
perasaan masing-masing yang takut. Keduanya masih muda. Keduanya masih daun muda.
Masih kuliah. Masih ingusan. Masih harus mengerjakan PR. Bukannya keluyuran. Bukannya
mencicipi jajanan. Bukannya saling mendesah meringkuk di taman. Semuanya terjadi begitu
saja. Begitu cepat. Sangat cepat.
“Apa aku harus bertanggung jawab?”. Si pria kembali menyelidik.
“Kalau bukan kamu, siapa lagi?”. Si wanita kembali menggidik.
Ah...kenapa jadi begini. Seharusnya saling menaruh kepuasan dan sudah, jangan ada lagi
onggokan daging lahir. Seharusnya saling menjajal keperawanan, jangan ada lagi darah
daging yang menggigil. Cukup mencicipi tanpa harus ada pembayaran berlebih. Tapi..? Tapi
ini ada yang berlebih. Ada yang lahir, tapi tak ingin di kehendaki lahirnya. Ada yang keluar,
tapi tak di kabulkan keluarnya. Mau di bunuh?
“Gila!” Si wanita menggeleng tidak percaya. Ia hanya ingin si pria bertanggung jawab.
Bukannya lari dari tanggung jawab. Tapi ia tidak munafik. Si wanita juga menginginkan
kepuasan di taman. Si wanita juga ingin menjajal keperawanan di taman. Tapi juga tidak
mengharapkan ada yang keluar. Tapi telat, onggokan daging terlahir sudah di perutnya.
“Oke! Biarkan lahir tapi...........” Si pria kembali menyelidik. Membuat rencana. Si
perempuan hanya bergidik. Tetapi kemudian mengangguk dan setuju. Kasih. Itu nama yang
di berikan oleh si pria dan wanita itu.
Malam semakin larut. Malam di kota Malang.
* * *
Kasih nanar. Dia tak kuasa menolak. Dia memang sampah. Sampah sesuai dengan pertama
kali saat ia di temukan. Saat pertama kali membuka mata dan sampai sekarang matanya tidak
tahu siapa orang tuanya. Siapa yang membuatnya menjadi makhluk bernama Kasih. Pria itu
memang menemukan Kasih dan membuat Kasih bisa hidup. Membuat Kasih bisa makan.
Tapi membuat Kasih tidak bisa mengerti tentang kasih. Tidak mengerti tentang sayang. Tidak
mengerti tentang cinta.
Kasih hanya mengerti tentang jajanan. Hanya mengerti tentang kepuasan. Kepuasan di waktu
malam. Malam yang di kuasai oleh Kasih. Malam yang menjadi Bunda dan Ayah bagi Kasih.
Malam yang membungkus Kasih. Malam yang mengasihi Kasih. Malam yang membuat
Kasih mengerti tentang aroma alkohol atau bau ganja. Kasih memang kasihan. Dia selalu
berderet di bawah sorotan lampu. Menunggu. Bukan menjual. Menanti. Bukan menjajakan.
Malam memang milik Kasih. Malam yang meringkus keperawanan, setiap malamnya. Setiap
jamnya. Menilik kepuasan wajah busuk berkumis atau wajah busuk berdasi atau wajah busuk
masih ranum muda. Kasih memang idola. Tapi Kasih tidak mengidolakannya. Kasih tidak
ingin mengasihi kasih yang dia miliki. Kasih terlalu hapal. Kasih terlalu lancar. Kasih terlalu
liar. Tapi kasih memang Kasih. Kasih tak selamanya Kasih. Ia juga memiliki kasih. Kasih
hanya ingin menemukan kasih. Ia tidak ingin Kasih. Ia ingin kasih. Kasih yang penuh kasih.
Bukan Kasih yang mengasih jajanan penuh dengan kasih.
* * *
Si pria itu sudah lupa. Ia sudah terlalu lupa. Dia sekarang berusia 41 tahun. Usia yang bisa di
bilang matang untuk seorang pria dewasa. Tapi tidak dengan ke-liar-annya. Dia belum terlalu
matang. Dia masih selalu ingin mencari kepuasan. Kepuasan yang matang dan berlebih.
Kepuasan yang tidak dia dapatkan dari istrinya. Kepuasan yang ingin ia dapatkan setiap
malamnya. Kepuasan yang bisa menjalari setiap urat-uratnya dan bisa membuatnya rileks.
Menikmati surga dunia. Menikmati kepuasan. Kepuasan pertama seperti yang ia rasakan saat
pertama kali mencoba kepuasan di taman dulu.
Si pria memasuki genderang kepuasan. Tempat itu yang ia tuju untuk mencari kepuasan.
Deretan gadis manis di bawah lampu. Lampu yang gemerlapan seakan bersenandung syahdu.
Menyinyir aroma alkohol dan ganja yang memburu. Mencercah malam dengan kenikmatan.
Membelah rembulan dengan kepuasan.
“Pak Revan. Silahkan di pilih Pak.” Si pria duduk anggun di sebuah ranjang. Lampu yang
gemerlapan menerpa satu per satu wajah manis yang menggoda iman. Ada lima wajah manis.
Lima wajah gadis. Lima wajah gadis manis. Dan...satu wajah yang memburunya.
Membuatnya berdegup kencang untuk segera memasuki genderang kepuasan. Dia memilih
gadis manis itu. Itu yang menjadi idola.
“Saya pilih dia.” ujar Revan sambil menuntunnya.
* * *
Keduanya memasuki kamar. Kamar VIP di gedung itu. Mirip seperti kamar hotel yang super
mewah. Hanya bisa di pesan oleh mereka yang berduit. Hanya di miliki oleh mereka yang
ber-uang.
“Rembulan yang indah.” ujar sang pria menyelidik.
“Malam yang penuh gairah.” ujar sang wanita menggidik.
Keduanya memasuki ranjang. Menyelami kedalaman arti di hati masing-masing.
Mengumpulkan kepuasan masing-masing untuk nanti di keluarkan. Hening. Hanya napas
yang tidak beraturan. Masih mematung. Keempat mata bertatapan. Ke dua bibir
bersinggungan. Tak ada nada. Tak ada irama. Masih hening. Saling menyelami kenapa tidak
di mulai dengan segera. Segera di mulai, segera mendesah dan segera menikmati kepuasan.
Sesegera itu dan hingga akhirnya malam yang mengakhiri.
Malam makin larut. Membungkus rembulan yang tengah malu merajut harapan. Malam
makin kelam. Membunuh kesunyian dalam kegelapan yang menerjang. Kegelapan lampu
yang mempertemukan sang pria dan sang wanita. Keduanya masih membisu. Ke dua mata
bagaikan magnet yang tidak mau di lepas. Saling menatap. Lama. Sangat lama.
“Namamu siapa?” Si pria menyelidik
“Nama saya.....Kasih.” Si wanita menggidik.
Malam makin larut. Membungkus ayah dan anaknya dalam satu ranjang. Malam menjelang.
Malam di kota Malang.
* * *
Malam di Kota Malang, Akhir Juni 2013
SESUATU
Aku adalah sesuatu. Namaku sesuatu. Aku akan menceritakanmu sesuatu. Sesuatu yang
memang sangat sesuatu. Ah...kau memang sesuatu. Kau mau mendengarkan sesuatu dari
seseorang yang bernama sesuatu. Kau bisa duduk dengan sesuatu atau makan sesuatu untuk
mendengarkan sesuatu dariku. Tak perlu ragu. Aku tidak akan membohongimu. Tidak akan
menipumu. Tidak akan melakukan sesuatu untukmu. Karena aku adalah sesuatu. Sesuatu
yang di kira orang, aku ini sesuatu. Sesuatu yang berbeda. Kata mereka aku ini sesuatu yang
seharusnya di biarkan saja dengan sesuatu. Sesuatu yang harus di pasung. Sesuatu yang harus
di rantai. Sesuatu yang harus di sumbat. Atau bahkan sesuatu yang harus di musnahkan
dengan sesuatu.
Padahal aku menganggap mereka yang sesuatu. Mereka yang berbeda sesuatu dariku. Aku
normal. Aku manusia biasa. Bukan sesuatu yang harus di perlakukan sesuatu dan di anggap
berbeda karena sesuatu. Mereka harusnya mengerti. Bukan mencaci. Mereka harusnya
memahami. Bukan memaki. Mereka harusnya peduli. Bukan menjauhi. Mereka memang
sesuatu. Tidak mau mengerti tetapi seenaknya saja mencaciku dengan sesuatu. Tidak ingin
memahami tetapi sengawurnya saja memaki dengan sesuatu. Tidak mau peduli tetapi
seenaknya saja menjauhi. Mereka anggap diriku apa? Diriku sesuatu?
Jangan kira salah sangka. Jangan kira salah rupa. Aku adalah sesuatu. Tapi sesuatuku adalah
hal yang mereka menganggap aku sesuatu. Aku sesuatu tapi aku tidak ingin di anggap
selayaknya sesuatu. Tapi mereka tidak mengerti sesuatu itu. Mereka menyalahkan sesuatu itu
dan malah menganggapku sesuatu. Malah mengiraku adalah sesuatu.
Ah...ceritaku memang sesuatu
* * *
Ceritanya memang sesuatu.
Dia adalah sesuatu. Namanya pun sesuatu. Dia selalu mengajakmu untuk mendengarkan
ceritanya yang sesuatu. Tetapi cerita sesuatu yang terdengar sendu. Tak banyak tahu semua
orang tentang dia. Dia memang sesuatu. Dia sebenarnya bukan sesuatu, tapi kemudian
berpindah haluan dan sekarang menjadi sesuatu. Sesuatu yang baginya adalah sesuatu yang
biasa. Sesuatu yang tak perlu di jadikan sesuatu.
Dia memang menganggap dia normal. Dia manusia biasa. Tapi tidak dengan semua orang.
Semua orang menganggapnya sesuatu. Karena sesuatu itu maka dia di anggap sesuatu. Di
caci. Di maki. Di jauhi. Perlu di basmi. Perlu di kuliti. Perlu di kebiri. Atau apalah. Semua
orang ingin dia di perlakukan sesuatu. Sesuatu yang kemudian karena sesuatu hingga
akhirnya dia menjadi sesuatu. Tapi dia tidak merasa menjadi sesuatu. Dia merasa sesuatu itu
adalah hal yang biasa.
Ah..sesuatu yang memang ribet.
* * *
Sesuatu yang ribet?
Hey!!! Aku bukan sesuatu yang ribet. Aku biasa. Aku normal. Aku sesuatu tapi bukan
sesuatu. Tak perlu menganggapku sesuatu. Aku masih bisa berjalan. Aku masih bisa makan.
Aku masih bisa bicara. Aku masih bisa berpikir. Ada yang sesuatu dariku? Ada sesuatu yang
salah dariku? Tidak kan? Normal kan? Apa kalian menemukan sesuatu dariku yang membuat
diriku menjadi sesuatu?
Banyak orang menemukan sesuatu darinya.
Dia memang masih bisa berjalan. Berjalan tanpa tujuan. Dia memang masih bisa makan.
Makan dengan brutal. Dia memang masih bisa bicara. Bicara tanpa makna. Dia memang
masih bisa berpikir. Berpikir tanpa dzikir. Dia memang sesuatu. Dan karena sesuatu itu maka
setiap orang menganggapnya sesuatu. Sesuatu yang menjadikan dirinya sesuatu.
* * *
Annisa terdiam. Bocah kecil berusia lima tahun itu berusaha menghindar. Berusaha hati-hati.
Dia tidak ingin terkena sesuatu. Bapak ibunya yang bilang bahwa jika lewat jalan ini harus
hati-hati. Pelan-pelan. Jangan tergesa-gesa. Kalau bisa jangan membuat suara. Kalau ada
suara nanti akan terjadi sesuatu.
Annisa berjalan perlahan. Jalan itu sempit. Jalan alternatif dari sekolah ke rumah. Panas yang
menyengat membuat Annisa bertekad untuk melewati jalan itu yang lebih dekat ke rumahnya
daripada lewat jalan raya yang memutar. Apalagi dia hanya jalan kaki. Entah keberanian dari
mana, Annisa membulatkan tekad untuk lewat jalan itu. Jalan yang penuh sesuatu.
Ah...gubuk itu.
Gubuk yang penuh dengan sesuatu. Gubuk itu terletak di ujung jalan. Agak mendekati badan
jalan. Gubuk reyot yang sangat tertutup. Membuat bulu kuduk meringsut. Membuat jiwa
takut. Bahkan sinar matahari juga ciut. Tak mau masuk ke dalam gubuk reyot itu. Penuh
jamur di sana-sini. Baunya anyir luar biasa. Sehingga tidak ada orang yang ingin
mendekatinya. Gubuk itu memang jauh dari pusat rumah warga. Jauh dari jalan raya. Jauh
dari hiruk pikunya kota.
Annisa kau tidak boleh takut.
Annisa mengumpulkan keberanian. Ia sudah terlanjur lewat jalan itu. Tidak boleh berbalik
arah. Dia celingak-celinguk menahan rasa gemetar. Dia berjalan semakin pelan. Di kanan-kiri
ilalang sudah meninggi, menganggu Annisa. Seakan menakutinya. Angin berdesir pelan,
melambaikan aroma anyir yang sangat sesuatu baunya dari gubuk itu. Annisa tidak tahan.
Bau itu semakin bertambah. Aroma itu semakin mencekat. Membuat langkah Annisa
tersendat.
Tapi bukannya semakin pelan, Annisa semakin mempercepat langkah. Aroma itu semakin
mengentayanginya. Annisa tidak tahan. Sambil menutup hidung, Annisa berlari. Segera
menjauh dari tempat ini. Tapi....duuuuk!!!! Annisa tersandung.
Tidak! Annisa menimbulkan suara! Oh..tidak!!!!!!!!!!!
UWAAAAAAA!!!!!!!!!!UWAAAAAAAAA!!!!!!!!UWAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!
Suara itu menggelegar begitu keras.
UWAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!
Gubuk itu bergoyang kencang seakan-akan terkena gempa bumi. Suara yang menimbulkan
aroma dan bau yang anyir. Suara berat yang penuh dengan amarah. Penuh dengan gelisah.
Penuh dengan sesuatu.
Napas Annisa semakin menburu. Lidahnya kelu. Ketakutannya semakin membiru.
MA!!!!!!!!!!!!!!PA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Annisa berteriak sambil menangis histeris.
* * *
Kejadian itu terulang kembali. Dia memang sesuatu. Dia memang sesuatu. Sungguh..dia
memang sesuatu. Sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang memang sesuatu. Sesuatu yang perlu
di caci. Perlu di maki. Perlu di jauhi. Perlu di basmi. Perlu sesuatu. Dengan sesuatu itu dia
sangat sesuatu. Sesuatu yang berbahaya. Mengusik ketenangan. Menyebar aroma kebusukan.
Menciptakan sesuatu yang kelam. Penuh dengan bumbu-bumbu masam. Wangi-wangi
kematian.
Dia seharusnya mati. Tapi dia sesuatu. Dia seharusnya tidak ada. Tapi dia sesuatu. Dia
seharusnya di penggal. Tapi dia sesuatu. Ah....dia memang sesuatu. Gara-gara dia sesuatu
menjadi sesuatu. Sesuatu yang penuh dengan sesuatu.
* * *
Jika ada yang mencoba sesuatu padaku aku akan berbuat sesuatu. Aku tidak segan untuk
berteriak atau melakukan sesuatu jika memang ada yang mencoba melakukan sesuatu
padaku. Aku berusaha melindungi diri. Bukan memaki. Aku berusaha menjaga diri. Bukan
mencaci. Aku berusaha membentengi diri. Bukan menjauhi. Aku bukan sesuatu. Aku tak
perlu sesuatu. Aku tidak melakukan sesuatu. Tetapi kenapa aku jadi sesuatu? Aku bukan
sesuatu, tetapi kenapa semua orang menganggapku sesuatu?
Bauku memang sesuatu, tetapi sungguh hatiku tidak sesuatu. Hatiku masih sesuatu yang dulu.
Tetapi kenapa ada yang tega membuatku menjadi sesuatu? Tetapi kenapa ada yang tega
menjadikanku sesuatu? Apa sesuatu yang sudah ku perbuat sehingga mereka menganggapku
sesuatu? Apa mereka menginginkan sesuatu dariku? Apa mereka ingin menjualku? Apa
mereka ingin membunuhku?
* * *
Kami tidak ingin membunuhnya. Tidak pula menjualnya. Tidak pula menginginkan sesuatu
darinya. Kami hanya perlu dia diam. Dia hanya diam. Tak perlu mulutnya bergentayangan.
Tak perlu baunya berseliweran. Cukup diam dan diam itu akan menentramkan kami.
Membuat kami menjadi sesuatu. Membuat kami menganggap dia memang sesuatu. Sesuatu
yang menjadikannya sesuatu.
Apa dia pikir dia itu sesuatu yang baik? Apa dia tidak tahu gara-gara dia semuanya menjadi
sesuatu? Semuanya menjadi salah. Menjadi sesuatu. Hanya gara-gara dia, semuanya menjadi
sesuatu. Dia memang sesuatu. Menyeret kami ke dalam sesuatu sehingga kami semua
menjadi sesuatu. Dia tidak membuat kami sesuatu tetapi malah membuat kami sesuatu yang
lain. Sesuatu yang tabu. Sesuatu yang berbahaya. Sesuatu yang memang sesuatu.
Dia memang sesuatu.
* * *
Sesuatu apa Riz?
Apa? Kamu terkena sesuatu?
Apa sesuatu yang mengakibatkan kamu menjadi begini?
Pertanyaan terlontar begitu saja. Rizki tidak bisa menjawab. Mulutnya bisu. Ia tahu hal ini
memang tabu. Tetapi dia tidak ingin begitu. Dia saat itu hanya di paksa dan tidak tahu
paksaan itu mengakibatkannya sesuatu.
Sesuatu apa Riz? Diam.
Apa? Kamu terkena sesuatu? Hening.
Apa sesuatu yang mengakibatkan kamu menjadi begini? Tak ada jawaban.
Terdengar seperti pertanyaan hakim kepada terdakwa. Rizki benar-benar terdakwa di depan
keluarganya sendiri. Terdakwa tanpa pengacara. Tak ada yang membantunya. Dia tak tahu
harus menjelaskan bagaimana. Harus memberitahu darimana. Dia benar-benar tidak tahu.
Dia benar-benar malu.
Sesuatu apa Riz? Hanya di jawab dengan air mata.
Apa? Kamu terkena sesuatu? Hanya di jawab isakan.
Apa sesuatu yang mengakibatkan kamu menjadi begini? Hanya di jawab tangisan.
Dia bukannya tak mau menjawab. Tapi dia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Dia benar-
benar tidak tahu. Andaikan dia tahu jika dulu ia di paksa maka dia tidak akan mengikutinya.
Dia sungguh tidak tahu. Dan sekarang? Dia hanya seperti seorang pesakitan. Dia penuh
penderitaan. Tidak ada yang bersedia mendampingi. Tidak ada yang ingin menemani.
Bahkan keluarganya sendiri.
Sesuatu apa Riz? Penyakit.
Apa? Kamu terkena sesuatu? HIV. Positif.
Apa sesuatu yang mengakibatkan kamu menjadi begini? Seks. Jarum suntik.
Dia sudah mengatakan. Tapi apa balasannya? Tamparan Papa. Tangisan Mama. Cacian
Kakak. Teriakan Adik.
Dia memang sesuatu.
* * *
Aku memang sesuatu. Tapi bukan sesuatu. Aku sesuatu tapi kenapa di perlakukan sesuatu?
Apa ada sesuatu dariku? Kenapa semua orang menganggapku sesuatu? Apakah aku memang
sesuatu? Apa aku menjadi sesuatu? Kenapa sesuatu itu membuatku sesuatu? Bagaimana
semuanya bisa menjadi sesuatu? Kenapa sesuatu itu tak mau sesuatu? Kenapa ada sesuatu?
Sesuatu itu kenapa? Kenapa tidak ada yang membuatku sesuatu? Kenapa tidak ada yang
mengubahku menjadi sesuatu? Kenapa tidak ada yang menemaniku hingga menjadi sesuatu?
Kenapa ada sesuatu? Kenapa? Sesuatu?
Aku sudah mengatakannya. Aku sudah mengatakannya. Aku sudah mengatakannya.
Tapi kenapa tanganku di rantai? Kenapa kakiku di pasung? Kenapa mulutku di sumbat?
Kenapa? Kenapa ada sesuatu?
UWAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!UWAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!UWAAAAAAAAA!!!!
AKU BUKAN SESUATU!!!!!!!
* * *
(Untuk pengidap HIV/AIDS di seluruh dunia, bersemangatlah! Kalian bukan sesuatu. Kalian
tetap manusia.)
Sesuatu yang sesuatu di Kota yang penuh sesuatu
9 Februari 2014 Pukul 09:27