1
[JAKARTA] Kasus perseku- si atau perburuan sewenang -wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga oleh ke- lompok tertentu untuk diinti- midasi, disakiti, hingga dian- cam nyawanya semakin ma- rak belakangan ini. Aksi ter - sebut dipicu perbedaan pen- dapat di media sosial. Koalisi Anti-Persekusi mencatat seti- daknya terdapat 59 orang yang menjadi korban hingga 31 Mei lalu. Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati men- duga maraknya persekusi belakangan ini telah didesa- in pihak tertentu. Terdapat sejumlah indikasi yang mengarah pada dugaan ter- sebut. Indikasi dimaksud, an- tara lain terdapat sejumlah akun media sosial yang di- bajak untuk menulis status tertentu. Selain itu, terdapat akun-akun yang dianggap penghina merupakan akun palsu. Terdapat juga akun asli yang menulis kritik se- cara umum, tetapi kemudi- an tulisan tersebut di-captu- re, dipenggal-penggal, dan dibingkai dengan tambahan judul yang provokatif. “Jadi mereka setidak-ti- daknya punya tim yang me- lakukan itu. Dia tahu tekno- logi karena bisa membong- kar informasi yang tidak di- sediakan oleh akun tertentu. Ini ada yang menggerakan, makanya bisa masif begi- ni,” ujarnya, Sabtu (3/6). Asfinawati mengung- kapkan, Indonesia pernah mengalami sejumlah feno- mena persekusi seperti yang terjadi saat ini. Pada era 1998, sejumlah pemuka aga- ma di wilayah Jawa Timur diburu hingga dibunuh ke- lompok tertentu karena ditu- duh sebagai dukun santet. Menurutnya, fenomena persekusi dukun santet ter- sebut tak jauh berbeda de- ngan yang terjadi saat ini. Bahkan, katanya, fenomena persekusi saat ini lebih ma- sif dibanding peristiwa du- kun santet, karena didukung teknologi informasi. “Orang sudah tidak pe- duli lagi apakah itu betul atau tidak, karena sentimen massa yang disentuh. Apakah orang-orang ini be- tul penghina agama atau ulama, orang sudah tidak peduli lagi. Karena ini pa- kai digital jadi lebih masif. Karena dia bisa menjang- kau wilayah yang jauh de- ngan cepat,” ungkapnya. Untuk itu, YLBHI men- desak negara, dalam hal ini Komnas HAM dan kepoli- sian, untuk memberantas persekusi. Tak hanya me- nindak pelaku persekusi, YLBHI juga mendesak agar negara mengungkap ak - tor-aktor intelektual di bela- kang maraknya persekusi. Dia tak yakin fenomena persekusi ini disebabkan adanya para pelaku tidak mempercayai hukum dan penegakan hukum. Sebaliknya, para pelaku persekusi justru melebihi hukum itu sendiri. Mereka bertindak sebagai penyidik, pendakwa, dan pengadil terhadap pihak-pihak yang dianggap menghina kelom- pok mereka. Menurut Asfinawati, persoalan persekusi bermu- la dari tulisan di media sosi- al. Untuk itu, ketika korban sudah meminta maaf dan tersebar di jejaring media sosial, persoalan tersebut seharusnya sudah dapat di- selesaikan. Namun, masih ada sekelompok orang yang tak puas dengan tindakan korban yang meminta maaf. Mereka ingin korban dipen- jarakan menggunakan pa- sal-pasal karet seperti peng- hinaan atau penodaan aga- ma yang batasannya tidak jelas. Untuk itu, jika kondi- si ini terus dibiarkan, demo- krasi akan terancam. Sementara itu, pakar hu- kum pidana Indriyanto Seno Adji menilai, marak- nya persekusi merupakan ekses dari Pilgub DKI Jakarta yang berlangsung panas. Hal ini lantaran ke- lompok yang belakangan kerap melakukan persekusi berkaitan dengan ormas yang gencar menggelar aksi selama proses pilgub. “Kalau memperhatikan atmosfer saat dan pascapil- kada, ada ormas tertentu yang merasa paling berpe- ran dalam pemenangan pil- kada. Karena itu pola supe- rior dan merasa beyond the law menjadi basis melaku- kan persekusi, dan justru mengabaikan peran negara. Anggapan peran superior inilah yang memicu ormas itu tidak mempercayai pe- ran negara, dan melakukan pelanggaran hukum, seperti tindakan persekusi terse- but,” ujarnya. Menurut Indriyanto, ke- lompok-kelompok yang merasa tersinggung dengan tulisan yang diunggah di media sosial seharusnya bi- sa melaporkan pihak peng- unggah atau penulis ke pe- negak hukum. Dengan de- mikian, yang bersangkutan harus diproses hukum jika tulisannya memang meng- hina atau menyinggung ke- lompok tertentu. Dia mengingatkan, me- rebaknya persekusi secara nyata merupakan ancaman bagi demokrasi, khususnya kebebasan berpendapat. Senada dengan itu, Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan, tindakan per- sekusi sangat jelas melang- gar hukum. Untuk polisi harus menindak tegas pela- ku persekusi tersebut. “Tidak boleh di negeri yang berdasarkan negara hukum, ada pihak yang se- wenang-wenang main ha- kim sendiri,” ujarnya. Secara terpisah, sosio- log dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengatakan, tindak- an persekusi yang marak akhir-akhir ini karena ada- nya konflik dua kekuatan politik. Jika tidak dilakukan rekonsiliasi, dikhawatirkan akan terus berlanjut. “Dugaan saya, tidak cu- kup hanya dibaca kasus di lapangan. Karena peristiwa itu hanya ekses dari konflik dua kekuatan politik, yakni gerakan ‘kebangsaan’ versus ‘fundamental’,” ujarnya. Salah satu pengguna media sosial, Asa Firda Inayah (19), asal Banyu- wangi, yang tulisannya pe- rihal kehidupan kebinekaan pernah menjadi viral bebe- rapa waktu lalu, mengaku pernah mengalami intimi- dasi terkait tulisannya terse- but. Berbagai pesan berna- da ancaman, pernah diteri- manya. Ancaman dimaksud di- terimanya baik melalui tele- pon maupun dalam perca- kapan di akun jejaring Facebook miliknya. Lebih Bijak Menyikapi maraknya persekusi, pengamat media sosial Nukman Lutfie mengingatkan pengguna media sosial untuk lebih bi- jak dalam berpendapat. Sebab, tulisan yang disebar- kan melalui media sosial berpotensi menyinggung perasaan atau dianggap menghina orang lain, dan memicu tindakan persekusi. Pengguna media sosial harus mengerem hal-hal yang berbau dan terkait su- ku, ras, agama dan antargo- longan (SARA). “Pengguna hendaknya tidak boleh abai akan dampaknya dari hal terkait SARA itu, karena ada orang-orang yang sa- ngat sensitif,” pintanya. Dia menegaskan, perse- kusi adalah tindakan me- langgar hukum. Apalagi yang menjadi korban ada- lah kaum lemah, seperti wa- nita dan anak di bawah umur. “Intinya ketegasan aparat hukum untuk mena- ngani setiap laporan harus dilakukan. Tidak berat se- belah,” katanya. Sementara itu, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setya Wasisto mengimbau masyarakat untuk waspada dan tidak terpancing provo- kasi yang mengarah pada provokasi. “Apalagi larut da- lam tindakan main hakim sendiri. Polri tidak segan me- nindak tegas pelaku dan se- mua pihak yang terlibat per- sekusi,” jelasnya. [F-5/H-14/ FAT/R-15/ARS/G-5] Utam a 2 Suara Pembaruan Sabtu-Minggu, 3-4 Juni 2017 P anitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu hingga kini belum juga mampu me- nuntaskan pembahasan undang -undang Pemilu. Sebanyak 19 isu penting dan menjadi perde- batan diantara kepentingan fraksi dan pemerintah. Awalnya, Pansus menar- getkan RUU Pemilu tersebut sudah dibawa ke paripurna untuk disahkan pada akhir April lalu. Lebih dari sebulan setelah target penyelesaian itu, perkembangan pemba- hasan RUU tersebut tak jelas. “Beberapa fraksi-fraksi besar seperti PDI-P dan Golkar bersama pemerintah ngotot Presidensial Threshold (Pres-T) 20%. Ini kan Pemilu serentak, bagai- mana mungkin bisa menggu- nakan ambang batas Pemilu 2014. Ini tidak masuk akal,” ujar sumber SP di Jakarta, Sabtu (3/6). Menurutnya, ambang ba- tas Pres-T berapa pun yang disepakati oleh DPR dan pe- merintah pasti akan di-judici- al review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, karena Pemilu dilakukan se- cara serentak dan tak perlu ambang batas. “Ini hanya akal-akalan fraksi besar dan pe- merintah untuk mem- batasi capres yang akan maju di Pemilu 2019. Belum ber- tanding saja sudah takut ka- lah,” kata dia. Salah satu tujuan fraksi tersebut, ungkap dia, karena adanya keinginan kuat untuk membatasi capres dengan ca- ra apapun. Ia mengungkap- kan adanya keinginan sejum- lah fraksi pendukung ambang batas di atas 20% agar kader partai bisa dipaksakan maju sebagai calon wapres Jokowi di Pilpres 2019. “Padahal kalau (ambang batas) nol persen, partai kecil bahkan partai baru pun bisa mengusung Jokowi di Pilpres 2019. Dengan begitu Jokowi tak perlu dukungan parpol besar untuk maju sebagai capres lagi. Jokowi juga akan terbebas dari intervensi par- pol seperti yang selama ini terjadi,” katanya. [H-14] Parpol Kecil Ingin Usung Jokowi Maraknya Persekusi Diduga Didesain Pihak Tertentu SP/JOANITO DE SAOJOAO Petugas membawa tersangka kasus persekusi Abdul Mujid (dua kanan) dan Matsunin (kanan) saat rilis kasus tersebut di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (2/6). Polda Metro Jaya menetapkan Abdul Mujid dan Matsunin menjadi tersangka atas pemukulan terhadap se- orang anak di bawah umur.

Maraknya Persekusi Diduga Didesain Pihak Tertentugelora45.com/news/SP_2017060302.pdfnegara mengungkap ak-tor-aktor intelektual di bela-kang maraknya persekusi. Dia tak yakin fenomena

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Maraknya Persekusi Diduga Didesain Pihak Tertentugelora45.com/news/SP_2017060302.pdfnegara mengungkap ak-tor-aktor intelektual di bela-kang maraknya persekusi. Dia tak yakin fenomena

[JAKARTA] Kasus perseku-si atau perburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga oleh ke-lompok tertentu untuk diinti-midasi, disakiti, hingga dian-cam nyawanya semakin ma-rak belakangan ini. Aksi ter-sebut dipicu perbedaan pen-dapat di media sosial. Koalisi Anti-Persekusi mencatat seti-daknya terdapat 59 orang yang menjadi korban hingga 31 Mei lalu.

K e t u a P e n g u r u s Yayasan Lembaga Bantuan H u k u m I n d o n e s i a (YLBHI), Asfinawati men-duga maraknya persekusi belakangan ini telah didesa-in pihak tertentu. Terdapat sejumlah indikasi yang mengarah pada dugaan ter-sebut.

Indikasi dimaksud, an-tara lain terdapat sejumlah akun media sosial yang di-bajak untuk menulis status tertentu. Selain itu, terdapat akun-akun yang dianggap penghina merupakan akun palsu. Terdapat juga akun asli yang menulis kritik se-cara umum, tetapi kemudi-an tulisan tersebut di-captu-re, dipenggal-penggal, dan dibingkai dengan tambahan judul yang provokatif.

“Jadi mereka setidak-ti-daknya punya tim yang me-lakukan itu. Dia tahu tekno-logi karena bisa membong-kar informasi yang tidak di-sediakan oleh akun tertentu. Ini ada yang menggerakan, makanya bisa masif begi-ni,” ujarnya, Sabtu (3/6).

Asfinawati mengung-kapkan, Indonesia pernah mengalami sejumlah feno-mena persekusi seperti yang terjadi saat ini. Pada era 1998, sejumlah pemuka aga-ma di wilayah Jawa Timur diburu hingga dibunuh ke-lompok tertentu karena ditu-duh sebagai dukun santet.

Menurutnya, fenomena persekusi dukun santet ter-sebut tak jauh berbeda de-ngan yang terjadi saat ini. Bahkan, katanya, fenomena persekusi saat ini lebih ma-

sif dibanding peristiwa du-kun santet, karena didukung teknologi informasi.

“Orang sudah tidak pe-duli lagi apakah itu betul atau tidak, karena sentimen massa yang disentuh. Apakah orang-orang ini be-tul penghina agama atau ulama, orang sudah tidak peduli lagi. Karena ini pa-kai digital jadi lebih masif. Karena dia bisa menjang-kau wilayah yang jauh de-ngan cepat,” ungkapnya.

Untuk itu, YLBHI men-desak negara, dalam hal ini Komnas HAM dan kepoli-sian, untuk memberantas persekusi. Tak hanya me-nindak pelaku persekusi, YLBHI juga mendesak agar negara mengungkap ak-tor-aktor intelektual di bela-kang maraknya persekusi.Dia tak yakin fenomena persekusi ini disebabkan adanya para pelaku tidak mempercayai hukum dan penegakan hukum.

Sebaliknya, para pelaku persekusi justru melebihi hukum itu sendiri. Mereka bertindak sebagai penyidik,

pendakwa, dan pengadil terhadap pihak-pihak yang dianggap menghina kelom-pok mereka.

Menurut Asfinawati, persoalan persekusi bermu-la dari tulisan di media sosi-al. Untuk itu, ketika korban sudah meminta maaf dan tersebar di jejaring media sosial, persoalan tersebut seharusnya sudah dapat di-selesaikan. Namun, masih ada sekelompok orang yang tak puas dengan tindakan korban yang meminta maaf. Mereka ingin korban dipen-jarakan menggunakan pa-sal-pasal karet seperti peng-hinaan atau penodaan aga-ma yang batasannya tidak jelas. Untuk itu, jika kondi-si ini terus dibiarkan, demo-krasi akan terancam.

Sementara itu, pakar hu-kum pidana Indriyanto Seno Adji menilai, marak-nya persekusi merupakan ekses dari Pilgub DKI Jakarta yang berlangsung panas. Hal ini lantaran ke-lompok yang belakangan kerap melakukan persekusi berkaitan dengan ormas

yang gencar menggelar aksi selama proses pilgub.

“Kalau memperhatikan atmosfer saat dan pascapil-kada, ada ormas tertentu yang merasa paling berpe-ran dalam pemenangan pil-kada. Karena itu pola supe-rior dan merasa beyond the law menjadi basis melaku-kan persekusi, dan justru mengabaikan peran negara. Anggapan peran superior inilah yang memicu ormas itu tidak mempercayai pe-ran negara, dan melakukan pelanggaran hukum, seperti tindakan persekusi terse-but,” ujarnya.

Menurut Indriyanto, ke-lompok-kelompok yang merasa tersinggung dengan tulisan yang diunggah di media sosial seharusnya bi-sa melaporkan pihak peng-unggah atau penulis ke pe-negak hukum. Dengan de-mikian, yang bersangkutan harus diproses hukum jika tulisannya memang meng-hina atau menyinggung ke-lompok tertentu.

Dia mengingatkan, me-rebaknya persekusi secara

nyata merupakan ancaman bagi demokrasi, khususnya kebebasan berpendapat.

Senada dengan i tu, Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan, tindakan per-sekusi sangat jelas melang-gar hukum. Untuk polisi harus menindak tegas pela-ku persekusi tersebut.

“Tidak boleh di negeri yang berdasarkan negara hukum, ada pihak yang se-wenang-wenang main ha-kim sendiri,” ujarnya.

Secara terpisah, sosio-log dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengatakan, tindak-an persekusi yang marak akhir-akhir ini karena ada-nya konflik dua kekuatan politik. Jika tidak dilakukan rekonsiliasi, dikhawatirkan akan terus berlanjut.

“Dugaan saya, tidak cu-kup hanya dibaca kasus di lapangan. Karena peristiwa itu hanya ekses dari konflik dua kekuatan politik, yakni gerakan ‘kebangsaan’ versus ‘fundamental’,” ujarnya.

Salah satu pengguna media sosial, Asa Firda

Inayah (19), asal Banyu-wangi, yang tulisannya pe-rihal kehidupan kebinekaan pernah menjadi viral bebe-rapa waktu lalu, mengaku pernah mengalami intimi-dasi terkait tulisannya terse-but. Berbagai pesan berna-da ancaman, pernah diteri-manya.

Ancaman dimaksud di-terimanya baik melalui tele-pon maupun dalam perca-kapan di akun jejaring Facebook miliknya.

Lebih BijakMenyikapi maraknya

persekusi, pengamat media sosial Nukman Lutf ie mengingatkan pengguna media sosial untuk lebih bi-jak dalam berpendapat. Sebab, tulisan yang disebar-kan melalui media sosial berpotensi menyinggung perasaan atau dianggap menghina orang lain, dan memicu tindakan persekusi.

Pengguna media sosial harus mengerem hal-hal yang berbau dan terkait su-ku, ras, agama dan antargo-longan (SARA). “Pengguna hendaknya tidak boleh abai akan dampaknya dari hal terkait SARA itu, karena ada orang-orang yang sa-ngat sensitif,” pintanya.

Dia menegaskan, perse-kusi adalah tindakan me-langgar hukum. Apalagi yang menjadi korban ada-lah kaum lemah, seperti wa-nita dan anak di bawah umur. “Intinya ketegasan aparat hukum untuk mena-ngani setiap laporan harus dilakukan. Tidak berat se-belah,” katanya.

Sementara itu, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setya Wasisto mengimbau masyarakat untuk waspada dan tidak terpancing provo-kasi yang mengarah pada provokasi. “Apalagi larut da-lam tindakan main hakim sendiri. Polri tidak segan me-nindak tegas pelaku dan se-mua pihak yang terlibat per-sekusi,” jelasnya. [F-5/H-14/FAT/R-15/ARS/G-5]

Utam a2 Suara Pembaruan Sabtu-Minggu, 3-4 Juni 2017

Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu hingga kini belum juga mampu me-

nuntaskan pembahasan undang-undang Pemilu. Sebanyak 19 isu penting dan menjadi perde-batan diantara kepentingan fraksi dan pemerintah.

Awalnya, Pansus menar-getkan RUU Pemilu tersebut sudah dibawa ke paripurna untuk disahkan pada akhir April lalu. Lebih dari sebulan setelah target penyelesaian itu, perkembangan pemba-hasan RUU tersebut tak jelas.

“Beberapa fraksi-fraksi

besar seperti PDI-P dan Golkar bersama pemerintah ngotot Presidensial Threshold (Pres-T) 20%. Ini kan Pemilu serentak, bagai-mana mungkin bisa menggu-nakan ambang batas Pemilu 2014. Ini tidak masuk akal,” ujar sumber SP di Jakarta, Sabtu (3/6).

Menurutnya, ambang ba-tas Pres-T berapa pun yang disepakati oleh DPR dan pe-merintah pasti akan di-judici-al review ke Mahkamah

Konstitusi (MK). Alasannya, karena Pemilu dilakukan se-cara serentak dan tak perlu ambang batas.

“Ini hanya akal-akalan fraksi besar dan pe-merintah untuk mem-batasi capres yang akan maju di Pemilu 2019. Belum ber-

tanding saja sudah takut ka-lah,” kata dia.

Salah satu tujuan fraksi tersebut, ungkap dia, karena adanya keinginan kuat untuk membatasi capres dengan ca-ra apapun. Ia mengungkap-

kan adanya keinginan sejum-lah fraksi pendukung ambang batas di atas 20% agar kader partai bisa dipaksakan maju sebagai calon wapres Jokowi di Pilpres 2019.

“Padahal kalau (ambang batas) nol persen, partai kecil bahkan partai baru pun bisa mengusung Jokowi di Pilpres 2019. Dengan begitu Jokowi tak perlu dukungan parpol besar untuk maju sebagai capres lagi. Jokowi juga akan terbebas dari intervensi par-pol seperti yang selama ini terjadi,” katanya. [H-14]

nakan ambang batas

Parpol Kecil Ingin Usung Jokowi

Maraknya Persekusi Diduga Didesain Pihak Tertentu

SP/JOANITO DE SAOJOAO

Petugas membawa tersangka kasus persekusi Abdul Mujid (dua kanan) dan Matsunin (kanan) saat rilis kasus tersebut di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (2/6). Polda Metro Jaya menetapkan Abdul Mujid dan Matsunin menjadi tersangka atas pemukulan terhadap se-orang anak di bawah umur.