11

Click here to load reader

Mari ke Kota

  • Upload
    mamady

  • View
    103

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

discus obout migration and urbanisation

Citation preview

Page 1: Mari ke Kota

Mari ke Kota Opini Rawa El Amady

Kota masih menjadi daya tarik warga desa, karenanya perkotaan menjadi sumpek, orang desa berebut ke kota. Perpindahan ke kota bukan saja merujuk pada perubahan tempat dari desa ke kota, tetapi juga merujuk pembentukan kota. Penkotaan, bukan semata-mata karena tumbuh kembanganya industri dan pemerintahan, tetapi juga perpindahan penduduk dari desa ke kota. Sebab itu, konsep urbanisasi bukan semata perpindahan masyarakat dari desa ke kota, tetapi urbanisasi dalam konsep yang lebih luas yang pembentukan kota.

Urbanisasi secara sosiologis menurut J.Clyde Mitchell (Breesse, G 1966) meliputi beberapa pengertian yaitu pertama, proses menuju gaya hidup kota, yaitu perubahan dari tipe masyarakat desa menuju masyarakat kota sebagaimana konsep Durkheim dari gemeinschaft ke gessellscaft. kedua, perpindahan ke kota, berpindahnya (migrasi) masyarakat desa ke kota dengan berbagai alasannya. ketiga, peralihan pekerjaan dari pertanian ke jenis pekerjaan perkotaan yang bersifat keahlian tertentu dan terrencana, dan keempat, berprilaku kota, yaitu dari prilaku yang lamban statis dan cepat berpuas diri pada tradisi menuju ke perilaku kota yang dinamis, ambisius, bebas dan terencana.

Selain itu, Nas (1979) memberi pengertian urbanisasi pada proses pembentukan kota, perluasan kota ke pedesaan yaitu pengaruh kota pada desa, pertumbuhan desa menjadi kota, peprindahan penduduk ke kota, kenaikan prosentase penduduk yang pindah ke kota.

Urbanisasi dalam arti perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan beberapa faktor-faktor migrasi ke kota atau dari kota ke kota lain tetap meminjam faktor-faktor perpindah penduduk dari desa ke kota. Mengambil dua alasan orang atau penduduk untuk pindah yaitu faktor penarik dan dorongan (Schoorl, 1988, Evers 2002, Nas 1979, Harun 1993, Foster-Carter 1989). Walaupun faktor penarik dan faktor pendorong ini bersifat statis tetapi setidaknya dapat menjadi acuan dasar untuk mengetahui alasan perpindahan.

Nas, P.J.M, (1979) memahami hubungan kota – desa atau kota lainnya sebagai interaksi ekonomi, yaitu beralihnya sumber daya ekonomi dari desa atau kota kecil ke kota atau ke kota besar. Secara spesifik Nas meminjam konsep Santos (1971) hubungan pusat dan pinggiran. Kota sebagai pusat yang menyedot sumber ekonomi pedesaan atau pinggiran yang disebut dengan pinggiran. Penyedotan sumber ekonomi ini diikuti oleh arus pepindahan manusia. Konsep Nas ini masuk dalam faktor-faktor pendorong dari perpindahan penduduk tersebut.

Kelebihan dari teori Nas ini adalah proses pembandaran (menjadi kota) tidak semata-mata sebagai hasil dari hubungan kota-desa. Tetapi lebih disebabkan oleh dominasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Apabila satu kota menjadi pusat pertumbuhan ekonomi maka kota lainnya berubah status menjadi pinggiran bagi kota tersebut. Batam sebagai contoh yang baik untuk ini, munculnya Batam sebagai kota metropolitan dari sebuah desa kecil bukan disebabkan oleh hubungan desa-kota tetapi disebabkan pertumbuhan ekonomi yang cepat di Batam. Dalam kasus Batam Tanjung Pinang tidak lagi menjadi kota pusat tetapi sudah menjadi pinggiran, sehingga orang-orang Tanjung Pinangpun banyak yang pindah ke Batam.

Nas menggunakan pedekatan struktural untuk mempelajari perkembangan kota. Mengutip Galtung, Nas menjelaskan pendekatan struktural dengan menggunakan konsep imprelalisme sebagai pendekatan sebagai suatu sistem memecah kolektivitas sambil menghubungkan berbagai bagian yang mana mana hubungannya bersifat selaras dalam kepentingan. Maka pembentukan suatu kota sangat dipengaruhi keselarasan kepentingan pusat dan kepentingan pinggiran.

Ada dua mekanisme penting mengenai imprealisme menurut Galtung yaitu hubungan interkasi vertical dan struktur interkasi feudal. Hubungan interaksi vertical berarti bahwa seluruh sistem adalah simetris mengenai pertukaran nilai-nilai antara pusat dan pinggiran

Page 2: Mari ke Kota

maupun akibatnya. Pusat memanfaat pinggiran dalam bentuk perampasan, pertukaran tidak sama, dan pertukaran sama tetapi dengan intra aktor yang berlainan.

Akibat dari struktur interkasi feodal adalah adanya pemusatan sekutu perdangangan, pemusatan barang-barang perdangangan dan pemusatan modal. Pada daerah pinggiran hanya melakukan perdangangan dengan daerah pusat dan barang yang dihasilkan daerah pinggiran sangat kecil dibandingan dengan darah pusat.

Aditjondro, (1994:113-123) menemukan bahwa kehadiran industri di desa menyebabkan penggusuran petani, pencemaran lingkungan dan penurunan mutu lingkungan yang dekat industri tersebut. Begitu juga studi M.Yamin Sani (1990), Adnan Abdullah (1993) dan Budhi Tjahjati S.Soegijoko (1985) menjumpai bahwa kehadiran industri menyebabkan hilangnnya pekerjaan agraris dan perubahan fungsi ekonomi dalam keluarga. Bagi masyarakat desa, pindah ke kota merupakan langkah penyelamatan diri melalui langkah kontrukstif terhadap lingkungnnya. Di kota, mereka akan bekerja disektor informal atau sektor jasa sisa perkotaan lainnya.

Perpindahan ke satu kota dari kota-kota lain dapat dengan jelas dipahami dengan menggunakan teori dwi polar dari Heidi (1965) lalu dikembangkan oleh Lee (1967) yang mengemukakan bahwa ada empat faktor proses migrasi, faktor yang berhubungan dengan daerah asal, faktor yang berhubungan dengan daerah pemukiman baru, faktor rintangan antara daerah asal dengan daerah baru dan faktor manusia secara pribadi.

Baik di daerah asal maun di daerah baru yang menjadi tujuan terdapat tiga kondisi yang menyebabkan seseorang bermigrasi, yaitu positif yaitu faktor yang membantu orang bermigrasi, faktor negatif yaitu faktor yang tidak membantu migrasi dan faktor ‘0’ sebagai faktor yang tidak mempengaruhi. Makin besarnya faktor positif pada daerah asal dan tujuan maka akan memperbesar migrasi di kedua derah tersrebut yaitu emigrasi dan imigrasi. Tetapi proses migrasinya akan dipengaruhi pula oleh hambatan yang dijumpai ketika menuju daerah tujuan, hambatan transfortasi, tempat sementara yang dituju, keadaan personal yang bermigrasi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan lain-lainnya.

Selain dari tiga faktor dan hambatan-hambatan di atas, faktor keempat adalah faktor manusia secara pribadi yang mampu melewati batas-batas di atas sesuai dengan kepentingan dan tujuan dari pribadi tersebut untuk pindah. Kapasitas pribadi meliputi pendidikan, jenis kelamin, usia, keterampilan tempat yang dituju menjadi pendorong utama bagi pribadi-pribadi tertentu untuk bermigrasi.

Nas mengingatkan bahwa memahami migrasi penduduk tidak dengan mudah begitu saja, ada faktor yang sering diabaikan oleh banyak pihak seperti migrasi dimulai karena telah terjadi migrasi terlebih dahulu. Dimana setiap gelombang migrasi menimbulkan suatu gelombang migrasi lain yang kadang berlawanan dengan faktor semula.

Pandangan Nas ini ternyata relevan dengan temuan Arif Nasution, M (1997) bahwa bersarnya migrasi pekerja illegal ke Malaysia tidak terlepas dari bantuan pihak lain terutama yang lebih dahulu datang ke Malaysia. Pihak-pihak yang terlibat membantu kedatangan para migran ini adalah 70,3 % adalah tekong sisanya diurus oleh keluarga taua teman. Pendapat ini membenarkan temuan Hugo (1993), (Choucri (1983) Sulivan (1992), Ling (1984) Phuphongsakorn (1992) yang mengemukan bahwa besarnya peranan organisasi pendatang yang lebih dahulu terhadap mobilisasi kedatang migrasi baru.

Berdasarkan kecenderungan migrasi antara negara, bahwa pola mingrasi global telah terjadi arus balik-balik. Jutaan menusia bermigrasi ke negara-negara pusat untuk mendapatkan perobahan pekerjaan dan perbaikan derjat hidup. Sebaliknya jutaan migrasi negara pusat ke negara pinggiran yang bertindak sebagai agen pengembangan modal dengan keahlian yang dimilikinya (Abdul Samad Hadi, 1997).

Dalam kasus migrasi pekerja illegal Indonesia ke Malaysia bukan semata faktor dorongan dan tarikan, tetapi lebih merupakan suatu bisnis tenaga kerja yang mengorganisir

Page 3: Mari ke Kota

pendatang illegal ini. Bisnis illegal itu berkembang dengan pesat karena besar dukungan dari industri-industri di Malaysia yang mendapat keuntungan besar dengan pekerja illegal ini. Walaupun berbeda temuan ini tetap relevan dengan pendapat Lee (1966) bahwa tersedianya peluang kerja di daerah tujuan akan mendorong pekerja untuk bermigrasi walau gajinya belum tentu lebih besar.

Faktor dorongan lain penduduk pindah dari desa ke kota atau dari satu kota ke kota lain adalah terjadinya perubahan lingkungan dan demografis secara cepat ditempat asal. Pola perubahan adalah dari lingkungan pedesaan ke perkotaan, atau dari kota kecil ke kota besar. (Pelly 1996 ; Embong 1996). Perubahan ini meningkatkan beban prikologis untuk tetap bertahan di tempat asal. Kesadaran bermigrasi ini semakin meningkatkan dengan makin besarnya jumlah pendatang ke tempat asal yang memiliki kemampuan ekonomi dan skill. Sementara pekerjaan-pekerjaan sektor pertanian berkurang dan pekerjaaan sektor informal sudah diambli alih pendatang. Apalagi sampai kepada kondisi menjadi minoritas di daerah sendiri.

Perubahan lingkungan dari agraris ke industri menimbulkan satu situasi krisis ketahanan pangan atau kemiskinan. Merka yang kalah secara ekonomi di daerah asal mencari pilihan ketempat lain. Kecenderungan penduduk miskin yang bermigrasi ke Pekanbaru berada di daerah pinggiran kota dengan mengandalkan sektor pertanian. Kecenderungan ini mengambarkan bahwa penduduk miskin yang pindah ke Pekanbaru adalah penduduk yang kalah di daerah asalnya dan mencari pilihan tempat dengan sumber daya ekonomi yang sama. Walaupun sumber ekonomi yang tersedia hanya sebatas sumber ekonomi sekunder (Anderson 1924) pertanian subsisten (Pelly 1996) tanpa pertanian primer.

Selain itu, penduduk ditempat asalnya ini akan menghadapi apa yang dikenal dengan involusi pertanian (Geertz 1970), dimana tanah atau rumah tidak bertambah sementara jumlah anggota keluarga bertambah. Situasi ini tentu mendesak anggota keluarganya untuk mencari piliha-pilihan strategis agar bisa bertahan hidup. Diantara strategi yang diambil adalah pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk menyerbu ekonomi uang dengan pergi ke kota mencari serpihan ke kota atau mencari tempat pertanian baru yang tidak memerlukan pengerluaran modal yang besar tetapi mampu menjamin keberlangsungan pangan.

Ke Kota Untuk Bertahan HidupStudi-studi ekonomi mikro yang dilakukan beberapa pakar mengemukakan bahwa

pada masyarakat yang agraris tradisonal menganut sistem ekonomi subsisten. Chayanov (1966) Scott, Ever, Wong, Dan Claus (1984). Sebuah sistem pemikiran yang berkembang dalam masyarakat miskin yang disebut Oscar Lewis sebagai budaya kemiskinan. Pada tipe masyarakat ini sebesar apapun produksi, out pu-tnya tetap miskin karena sudah merupakan budaya. Maka perpindahan penduduk miskin ke Pekanbaru akan menghabiskan perode yang panjang untuk merubah budaya kemiskinannya.

Chayanov mengambarkan ekonomi subsisten ini dengan houseshold utility maximisation (menggunakan secara berlebihan). Assumsi kunci dari teori mikro ekonomi rumah tangga petani, yaitu pertama tidak ada pasar tenaga kerja, misalnya tenaga kerja tidak disewa oleh keluarga, dan tidak ada bantuan kerja dari anggota keluarga dari luar rumah. Kedua, produksi hanya untuk konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar. Ketiga, semua keluarga lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Keempat, dalam komunitas ini, norma sosial membuat rendahnya pendapatan.

Lebih jelas Chayanov menerangkan household utulity maximisation sebagai usaha memaksimal potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Setiap produksi dicoba untuk

Page 4: Mari ke Kota

mencapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Semakin tinggi produksi semakin besar konsumsi. Semakin kecil produksi semakin kurang konsumsi.

Hampir sama dengan Chayanov, Ellis (1988) dalam bukunya Peasant Economics, Farm Households And Agrarian Development mengemukan bahwa ekonomi subsisten meliputi tiga unit, yaitu pertama, aktivitas ekonomi adalah sebagai pekebun (farmer), Kedua, tanah sebagai basis ekonomi, ketiga, pekerja berasal dari keluarga yang tidak dibayar. Keempat, modal, jumlah produksi sama dengan konsumsi, dan kelima konsumsi adalah konsumsi subsisten.

Elis juga menyebut tiga indikator penting ekonomi petani subsistens, yaitu tiada tempat secara khusus dalam ekonomi nasional; merupakan ekonomi tradisional, kecil dan subsisten yang wujud dalam ekonomi pertanian; tidak mempunyai pasar yang luas, cenderung merupakan ekonomi keluarga. Famili sebagai unit sosial yang menjalin hubungan persahabatan antara penduduk, sedangkan rumah tangga sebagai unit sosial dimaksudkan untuk kebersamaan dalam senang dan susah.

Pendapat Ellis berbeda dengan pendapat Ever (1993) yang memberi dua varibel utama ekonomi subsisten, yaitu unit rumah tangga dan unit komunitas. Kedua unit tersebut mempunyai hubungan keterkaitan yang sangat kuat baik dalam proses produksi maupun konsumsi. Rumah tangga merupakan unit produksi dan konsumsi yang menjadi teras utama ekonomi, pekerja adalah anggota keluarga tanpa bayar. Selain menjadi buruh rumah tangga, anggota keluarga juga menjadi buruh tanpa bayar dalam hubungan dengan komunitas. Pada sistem ekonomi subsisten nilai produksi dan konsumsi tidak dapat dipisahkan, bergotong royong membangun rumah warga merupakan produksi jasa yang secara otomatis juga memperoleh konsumsi dan nilai saving jasa.

Dari pemikiran Evers dan Chayanov, dapat disimpulkan bahwa ekonomi subsisten adalah produksi yang dihasilkan oleh pekerja rumah tangga tanpa bayar yang bertujuan untuk konsumsi langsung, di mana sumber produksi adalah alam atau jasa. Produksi rumah tangga ekonomi subsisten tidak terikat dengan pasar dan juga lepas dari statistik pemerintah. Definisi ini tentu berbeda dengan definisi subsistensinya Scott (1966) sebagai usaha maksimal rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan minimal rumah tangga.

Jumlah produksi bukan hanya menentukan konsumsi tetapi juga menentukan jam kerja. Jika kerja dalam 60 jam cukup untuk konsumsi sebulan maka dalam sebulan mereka hanya bekerja selama maksimal 65 jam. Dengan sumber produksi yang terdiri dari sektor primer tanah petanian, sektor skunder alam, kebun rakyat serta jasa dan sektor tertier dari keluarga dan kemunitas.

Sebaliknya, jika produksi selama sebulan tidak mencukupi konsumsi minimum rumah tangga, maka total konsumsi akan diminimalis jam kerjapun akan semakin banyak. Termasuk misalnya dari makan dua kali sehari menjadi satu kali sehari. Sebagaimana yang dinyalir Scott bahwa apabila petani sudah sampai batas etika subsistensi mereka akan mengganti jenis konsumsi dari beras ke umbi-umbi.

Pada ekonomi subsisten masyarakat tidak mempunyai standar kebutuhan dasar. Standar petani adalah produksi, makin tinggi produksi maka standar belanja dalam rumah tangga juga tinggi. Apabila produksi tahun ini bisa mencukupi sampai panen tahun berikutnya, hasil kerja bulanan dan mingguan akan digunakan untuk membelanjakan keperluan skunder lainnya, artinya hutang akan berkurang. Sayur-mayur, buah-buahan, daging merupakan produksi sendiri, hanya minyak, gula, kopi, garam, korek dan pakaian dan keperluan skunder lainnya dibeli dari hasil kerja mingguan atau bulanan.

Kelebihan produksi dari konsumsi akan didistribusikan kepada kerabat dekat, bahkan dialokasikan untuk dana sosial menyumbang pembangunan fasilitas desa atau bahkan membantu kerabat dalam melaksanakan perayaan. Saving dalam arti ekonomi moderen tidak berlaku pada ekonomi subsisten, yang berlaku adalah persiapan modal untuk konsumsi besar

Page 5: Mari ke Kota

seperti perayaan lebaran, pesta perkawinan, pesta kelahiran dan pesta desa lainnya. Setelah berbagai upacara tersebut selesai kondisi ekonomi rumah tangga kembali semula bahkan cenderung makin sulit karena beban hutang dari konsumsi besar tersebut.

Memahami ekonomi subsisten dapat dengan mudah karena ekonomi subsisten hanya mempunyai dua variabel yaitu variabel produksi dan variabel konsumsi. Prinsip-perinsip ekonomi pasar tetap diadopsi secara tidak tepat pada ekonomi subsisten, yaitu produksi, konsumsi, saving dan hutang. Tujuan produksi pada ekonomi subsisten adalah konsumsi. Jenis produksi sama dengan jenis konsumsi, atau jenis produksi dipengaruhi oleh jenis konsumsi. Ever membagi konsumsi pedesaan menjadi dua yaitu konsumsi rumah tangga dan konsumsi komunitas. Konsumsi rumah tangga diproduksi oleh rumah tangga dan subsidi komunitas, sedangkan konsumsi massal berasal dari subsidi dari masing-masing rumah tangga.

Saving (menabung) ditujukan untuk konsumsi massal, seperti menabung untuk menikah, menabung untuk pergi haji, dan pesta adat lainnya. Bentuk produksi adalah membuka lahan kemudian menanamnya dengan tanaman keras seperti karet, ketika prosesi konsumsi massal dilakukan maka kebun dan tanah tersebut dijual sebagai sumber utama keuangan. Saving juga sama dengan produksi massal untuk konsumsi jangka panjang. Contoh berladang menanam padi dan hasil panen dijadikan persediaan konsumsi sepanjang tahun.

Hutang bagi penduduk pendesaan ditujukan untuk pemenuhan kekurangan kebutuhan primer dan biaya massal. Hutang terjadi karena hubungan antara masyarakat dengan tauke, yang dibayar melalui hasil kerja harian atau bulanan serta jasa yang tidak dibayar. Tauke mempunyai inisiatif meningkatkan jumlah hutang setiap hari yang bertujuan untuk peningkatan ketergantungan. Kelas tauke ini sangat berpengaruh terhadap persepsi petani pada perubahan. Semakin tergantung petani pada tauke semakin sulit perubahan terjadi. Karena perubahan bagi tauke adalah ancaman kestabilan ekonomi, politik dan struktur sosial.

Konsumsi dalam masyarakat subsisten merupakan tujuan utama produksi. Maka produksi ditentukan beberapa besar konsumsi yang diperlukan. Jika gambaran konsumsi lebih besar sementara faktor produksi juga besar maka aktivitas produksi akan tinggi guna memenuhi asumsi konsumsi. Chayanov (1966) menyebutnya dengan labor consume balance, Ellis (1988) dan Evers (1991) menyebutnya penggunaan produksi langsung.

Konsumsi secara umum dibagi menjadi dua konsumsi utama, yaitu konsumsi rumah tangga dan konsumsi sosial. Konsumsi rumah tangga merupakan sejumlah penghasilan yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Sedangkan konsumsi sosial merupakan sejumlah penghasilan dikeluarkan untuk keperluan sosial, seperti sumbangan mesjid, sumbangan pesta perkawinan dan hantar ketika hari besar.

Tauke atau rentenir merupakan sumber over consumption, ketika produksi menurun sementara konsumsi meningkat, petani sering mengabaikan hukum household utulity maximisation. Konsumsi selalu saja dipenuhi melalui hutang, sementara produksi sangat minim. Akibatnya seluruh produksi tahunan dan bulanan diserahkan semuanya ke tauke untuk membayar hutang. Jika kondisi ini berlaku maka tingkat ketergantungan petani tersebut akan semakin besar pada tauke, bahkan tauke bisa menjadi tuan bagi keluarga tersebut.Kondisi over consumption terjadi pada pertama, suatu massa tertentu terjadi penurunan harga komoditas, atau terjadi persitiwa alam yang dipandang tidak lama atau kepala rumah tangga sakit keras.

Kedua, hari-hari besar agama seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, muharam atau hari-hari besar adat. Pada hari itu semua masyarakat memaksimalkan konsumsi untuk merayakan hari besar tersebut sampai tiga hari. Selain biaya untuk makan juga pembelanjaan tahunan berupa pakaian dan penghiasan rumah.

Page 6: Mari ke Kota

Ketiga, perayaan perkawinan, kelahiran anak, tujuh bulanan, kematian dan lainnya. Semua jenis perayaan ukuran jumlah konsumsi adalah kampung. Satu rumah tangga menyediakan konsumsi untuk satu kampung. Sumber konsumsi tersebut biasanya berasal dari harta kekayaan berupa tanah, kebun dan binatang ternak yang dijual dan berhutang pada tauke dan juga pemberian dari anggota komunitasnya.

Keempat, ada sebagian kecil dari keluarga petani yang ingin memperbaiki hari tuanya melalui pendidikan, sekarang keadaan ini sudah menjadi kecendrungan umum. Anak bagi keluarga desa adalah saving yang berguna di hari tua. Anak yang sekolah memerlukan dana besar apalagi kalau sampai kuliah di perguruan tinggi. Sumber biayanya kekayaan berupa tanah, kebun, ternak dan perhiasan dan meminjam uang ke tauke.

Pola konsumsi di atas mengambarkan pola produksi. Semakin besar konsumsi semakin meningkat dan beragam aktivitas produksi. Ever, (1988) menjelaskan produksi melalui dua variable, yaitu variabel rumah tangga dan variabel komunitas. Adapun variabel rumah tangga meliputi tenaga kerja, jenis lahan dan jenis pekerjaan dan reproduksi. Tenaga kerja dibagi berdasarkan sex dan umur. Kerja-kerja reproduksi dilakukan oleh perempuan dengan dibantu oleh anak-anak perempuan. Reproduksi meliputi reproduksi tenaga kerja rumah tangga dan reproduksi hasil kerja dari suami atau lelaki yang bekerja di luar rumah tangga terutama yang dimaksud Ever dengan sektor skunder dan tertier. Isteri selain berfungsi reproduksi juga melakukan produksi perkarangan, kraf tangan, pemeliharaan ternak dan pendidikan anak.

Sistem produksi subsisten ini sangat beragam berdasarkan ekologi di mana berada. Untuk yang tinggal yang hutannya masih luas umumnya berladang berpindah-pindah, mengambil hasil hutan dan sungai, sementara petani yang tinggal di tanah yang terbatas mengelola pertanian dan mengembangkan sektor jasa non formal.

Perubahan-perubahan sumber daya ekonomi pedesaan mengancam ketahanan pangan dan keberlangsungan hidupnya selalu disiasati melalui beberapa strategi. pertama, pendalaman pada bentuk-bentuk setempat dari usaha swadaya dalam bentuk pertukaran jenis tanaman ke peralihan padat karya dan peralihan ketanaman komersial. Kedua, pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk menyerbu ekonomi uang dengan pergi ke kota mencari serpihan ke kota. ketiga, pengandalan pada bentuk patronase dan bantuan dukungan dari negara, berupa projek negara berupa subsidi pangan dan bantuan untuk daerah yang tertimpa kelaparan. Keempat, pengandalan pada struktur-struktur proteksi dan bantuan yang bersifat keagamaan atau oposisi. (Rawa, 2004)

Perpindahan penduduk miskin dari desa ke kota diterjemahkan sebagai pilihan strategi bertahan dari ancaman ketahanan pangan dan ancaman keberlangsungan hidup. Perpindahan mereka tidak serta merta merubah pola pemikiran ekonomi keluarga. Pemikiran dan aktivitas ekonomi rumah tangga tetap melaksanakan aktivitas ekonomi subsisten yaitu berkeja untuk bertahan hidup. Walaupuin demikian setelah di kota potensi perubahan sangat besar karena besarnya penetrasi perubahan yang tidak mampu mereka terkontrol sehingga akan merombak tatanan struktur sosial menuju ke arus perubahan. Perubahan struktur sosial menjadikan pengembangan pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat dengan struktur sosial lama. Kemerdekaan untuk memiliki bebagai alternatif tersebut menyebabkan terjadinya perubahan cara pikir, budaya dan prilaku ekonomi. (rawa 2005)

Perubahan ini didorong oleh makin konperehensif berbagai aspek yang lekat pada permasalahan ekonomi rumah tangganya yang berada dilingkungan perkotaan. Apalagi Hans Dieter Ever (1993) juga menjelaskan bahwa petani di Asia Tenggara tidak tergantung pada lahan pertanian, tetapi tergantung pada sektor skunder dan tertier. Sektor skunder adalah seperti tersedianya alam, perkebunan rakyat serta buruh harian. Sedangkan sektor tertier adalah dana keluarga dan jasa.

Page 7: Mari ke Kota

Evers sudah secara jelas mengemukan bahwa ekonomi subsisten bukan hanya terbatas pada petani di pedesaan tetapi memberi pengertian yang lebih luas tentang ekonomi kelas bawah, buruh dan kaum miskin kota. Secara sosiologis di negara ketiga sektor ekonomi kelas bawah ini masih sangat kuat memegang perinsip ekonomi subsisten. Buruh dan masyarakat miskin perkotaan tidak mengalami perubahan bukan semata-mata disebabkan permikiran ekonomi susbsiten tetapi juga disebabkan faktor struktural modal dan peluang usaha. Situasi berkembangan pemikiran ekonomi subsisten oleh yang lebih dulu berada di kota mempengaruhi lambat perubahan sikap dari miskin ke tidak miskin. *****