12
Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia ? Oleh : Asep Yunan Firdaus Koordinator Eksekutif HuMa periode 2005-2008, pernah menjabat Direktur LBH Semarang periode 2002-2005. Anggota Serikat Pengacara Indonesia (SPI).

Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

Makalah

ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat

(Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM

di Indonesia Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007

Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia ?

Oleh :

Asep Yunan Firdaus Koordinator Eksekutif HuMa periode 2005-2008,

pernah menjabat Direktur LBH Semarang periode 2002-2005. Anggota Serikat Pengacara Indonesia (SPI).

Page 2: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di

Indonesia ?1

Oleh : Asep Yunan Firdaus2

Pendahuluan Sebelum memasuki perdebatan mengenai posisi masyarakat yang

terbilang beradat atau memiliki hukum yang berlandaskan adat di dalam

konteks keindonesiaan, saya mencoba memahami dulu subjek yang

sedang dituju oleh tema diskusi kita pada hari ini. Tema kita pada hari ini

adalah “Eksistensi dan Keberadaan Hukum Masyarakat Adat di Indonesia”.

Sementara subtema yang dipilih untuk paper ini kurang lebih adalah

“Eksistensi Hak Masyarakat Adat, khususnya yang berkaitan dengan hak

Masyarakat Adat untuk mempertahankan Hukum Adat …”.

Secara mudah kita bisa menyebut bahwa yang dijadikan subjek

perbincangan kita adalah “Masyarakat Adat”. Konteksnya juga mudah

disebut, yaitu dalam ruang keindonesiaan. Dengan sedikit tafsir, maka bisa

dimaknai adanya kaitan erat antara masyarakat adat dengan politik,

hukum, dan segala aspek yang serba indonesia sebagai sebuah negara

yang berpemerintahan. Tetapi perlu diketahui, bahwa seringkali kita juga

menyebut istilah Masyarakat Hukum Adat, Komunitas Adat, Masyarakat

Tradisional, Indigineous People’s yang maksud dan artinya disamakan

dengan masyarakat adat. Bahkan dalam satu waktu yang sama kita

menggunakan semua istilah-istilah tersebut secara bergantian tanpa

memaksudkan adanya perbedaan arti.

1 Makalah disampaikan pada kegiatan “Advanced Training Tahap I tentang Hak-Hak Masyarakat Asli bagi dosen Pengajar Hukum dan HAM” Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007, diseleggarakan oleh Pusham UII bekerja sama dengan Norwegian Center For Human Rights (NCHR) Universitu of Oslo. 2 Koordinator Eksekutif HuMa periode 2005-2008, pernah menjabat Direktur LBH Semarang periode 2002-2005. Anggota Serikat Pengacara Indonesia (SPI).

Page 3: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

Saya sendiri tidak bermaksud untuk memperdalam debat peristilahan yang

seringkali dilatari oleh pilihan subjektif orang dalam memilih dan

menggunakan perspektif yang digunakan. Tapi pilihan menggunakan

istilah Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat

Tradisional, Komunitas Adat memiliki implikasi pada saat kita mencoba

menelusurinya dalam dokumen-dokumen peraturan negara Indonesia.

Jika kita menggunakan istilah masyarakat adat, maka kita tidak akan

menemukannya dalam UUD 1945 hasil amandemen I-IV dan sebagian

besar Undang-Undang yang diterbitkan pemerintah, kecuali dalam UU

Sisdiknas No.20/2003 dan UU Kehutanan No.41/1999, meskipun dalam

kedua UU yang dikecualikan tersebut, sama sekali tidak ada pengertian

mengenai istilah masyarakat adat. Bahkan dalam UU kehutanan,

pencantuman istilah masyarakat adat ditengarai akibat dari editing

bahasa yang buruk. Dengan demikian, sesungguhnya UU Kehutanan tidak

memaksudkan diri menyebut istilah masyarakat adat dalam pasal-

pasalnya.

Implikasi yang sama juga terjadi ketika kita menyebut istilah komunitas

adat dan masyarakat tradisional. Jarang sekali kita menemukan istilah

tersebut dalam “UU yang paling berpengaruh” dalam penyelenggaraan

negara. Meskipun istilah Komunitas Adat dipakai oleh Departemen Sosial

dengan menambahkan kata terpencil di belakangnya. Sementara

masyarakat tradisional digunakan dalam beberapa UUD 1945 hasil

amandemen I-IV dan tidak ditemukan dalam UU yang lainnya.

Namun, ketika kita menggunakan istilah Masyarakat Hukum Adat, maka

kita akan segera tahu bahwa penggunaan istilah ini dalam dokumen-

dokumen peraturan negara sangat dominan. Dari UUD 1945 hasil

amandemen I-IV, sebagian besar UU sampai Peraturan Daerah serempak

menggunakan istilah masyarakat hukum adat.

--2--

Page 4: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

Tanpa bermaksud untuk mengkoreksi tema dan subtema yang diajukan,

saya memilih menggunakan istilah masyarakat hukum adat sebagai subjek

pembicaraan dengan tujuan untuk memudahkan dalam menakar derajat

pengakuan, penghormatan dan perlindungan masyarakat hukum adat

dan hak-haknya menurut hukum negara indonesia. Sebab, jika

menggunakan istilah masyarakat adat, diskusi pada hari ini hanya

membutuhkan waktu lima menit untuk menyimpulkan bahwa negara tidak

memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap

masyarakat adat.

Siapa itu Masyarakat Hukum Adat versi negara ? Jika kita menelusuri seluruh dokumen peraturan negara, maka kita tidak

akan menemukan pengertian masyarakat hukum adat, baik dalam bab

ketentuan umum maupun pasal-pasal dan ayat-ayat. Dimulai dari UUD

1945 hasil amandemen I-IV sampai Peraturan Daerah, kita hanya akan

menemukan bahwa masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan adalah :

1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban

(rechtsgemeenschap);

2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

3. ada wilayah hukum adat yang jelas;

4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat,

yang masih ditaati; dan

5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan

sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Membaca pengaturan tersebut di atas, kita tidak akan mendapatkan

siapa yang dimaksud sebagai masyarakat hukum adat. Sementara unsur-

--3--

Page 5: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

unsur yang akumulatif, masih diragukan kebenaran unsurnya. Sebagai

contoh, terdapat kesalahan fatal dalam membuat persamaan antara

paguyuban dengan rechtsgemeenschap. Paguyuban tidak bisa

disamakan dengan rechtsgemeenschap, yang secara harafiyah berarti

persekutuan hukum. karena sifat dari unsur tersebut akumulatif, maka, jika

salah satu unsur diragukan kebenarannya, ia akan menggugurkan

pengakuan meski telah memenuhi ke empat unsur lainnya.

Dalam situasi ketidakjelasan definisi mengenai masyarakat hukum adat,

kita menjadi sadar bahwa negara sebenarnya sedang mempersiapkan

kuburan bagi masyarakat hukum adat menuju kepunahan sosial, politik

dan budayanya. Serupa dengan pernyataan pada bagian sebelumnya,

akibat ketidakjelasan pengaturan masyarakat hukum adat sebagai subjek

hukum, akibat kekaburan dalam penentuan kriteria dan unsur pengakuan,

maka, keberadaan masyarakat hukum adat tidak memiliki jaminan hukum

apapun dari negara.

Meneropong sejumlah peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang Masyarakat hukum adat

Jumlah Undang-Undang yang diterbitkan Pemerintah Pusat sejak Tahun

1950 sampai dengan tahun 2005 kurang lebih berjumlah 1137 Undang-

Undang. Ribuan lainnya berupa peraturan pelaksana dari mulai PP sampai

Peraturan Presiden. Sementara pada tingkat Perda, hanya dalam waktu 7

tahun, sudah terdapat 13.530 Perda yang diterbitkan oleh Pemerintah

Daerah bersama DPRD. Dari belasan ribu peraturan yang diterbitkan,

cukup sulit untuk menelusuri seluruh pengaturan mengenai masyarakat

hukum adat. Dari sumber-sumber data yang tersedia, perda-online

(www.perdaonline.org) hanya mencatat 29 Perda yang mengatur

mengenai lembaga adat dari 2639 Perda. Sementara data Perda yang

disajikan oleh HuMa (CD Perda dan Aturan Lokal), hanya menemukan 3

buah Perda yang langsung menunjuk masyarakat hukum adat tertentu

--4--

Page 6: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

(misal Baduy, Rejang dan Desa Guguk) sebagai pemegang otoritas atas

wilayah adatnya.

Minimnya pengakuan langsung melalui peraturan perundang-undangan

khususnya perda terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan

lemahnya posisi masyarakat hukum adat terhadap otoritas pemerintah.

Sementara pada tingkat Undang-Undang, sebagaimana telah disinggung

di atas, justru menempatkan masyarakat hukum adat berada dalam

ketidakjelasan status hukumnya.

Dampak penerapan Peraturan perundangan terhadap

keberadaan

Masyarakat Hukum Adat

Menurut Bappenas, dalam buku Biodiversity Action Plan for Indonesia,

1993, jumlah

masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan di Indonesia

adalah 12 juta

jiwa. Sedangkan menurut Owen Lynch dan Kirk Talbott, dalam buku

Balancing Acts:

Community-Based Forest Management and National Law in Asia and the

Pasifik,

Washington: World Resource Institute, 1995, jumlah masyarakat yang hidup

di dalam

dan sekitar kawasan hutan di Indonesia adalah antara 40-60 juta jiwa.

Meskipun tidak ada yang dapat memastikan berapa jumlah anggota/jiwa

masyarakat hukum adat dari 40-60 juta masyarakat, berdasarkan

pendampingan di sejumlah tempat, menunjukkan bahwa hampir seluruh

anggota masyarakat hukum adat hidup di dalam dan sekitar kawasan

hutan. Dengan banyaknya jumlah masyarakat hukum adat yang hidup di

--5--

Page 7: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

dalam dan sekitar kawasan hutan, maka penerapan peraturan mengenai

kehutanan, menjadi signifikan dampaknya kepada masyarakat hukum

adat.

Data luas kawasan hutan menurut pemerintah adalah 120 juta ha. Jumlah

luasan tersebut didapatkan melalui proses penunjukkan kawasan oleh

pemerintah. Dengan demikian, UU Kehutanan menjadikan kawasan hutan

dengan luas 120 ha tersebut sebagai objek pengaturan. Selanjutnya

menurut data yang dikumpulkan oleh HuMa di beberapa provinsi dan

kabupaten, kawasan hutan yang ditunjuk tersebut, faktanya berada di

atas hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Lihat contoh

gambar di bawah.

Pada peta tersebut sangat jelas bahwa wilayah ulayat masyarakat hukum

adat bertumpang tindih dengan kawasan hutan yang ditunjuk oleh

pemeritah. Tumpang tindih ini sesungguhnya tidak terjadi begitu saja,

tetapi disadari dan di dasari oleh klaim negara sebagai pemegang kuasa

atas seluruh kekayaan alam di Indonesia, termasuk hutan (HMN). HMN

yang juga dianut oleh UU Kehutanan dijadikan justifikasi untuk menguasai

--6--

Page 8: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

seluruh kawasan hutan yang ditunjuk secara sepihak, termasuk di

dalamnya ruang-ruang hidup masyarakat hukum adat.

Huma menemukan fakta-fakta lapangan mengenai dampak-dampak

penerapan UU Kehutanan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak

ulayatnya, Diantaranya :

a. Putusnya Hubungan Masyarakat Hukum Adat dengan Hutan

Karena hutan masyarakat hukum adat telah beralih menjadi

kawasan hutan negara, maka negara memiliki kewenangan untuk

membuat aturan di atasnya. Termasuk aturan yang membatasi dan

bahkan melarang orang untuk memasuki dan beraktivitas di dalam

kawasan hutan. Begitu juga aturan yang membolehkannya memberikan

hak kepada orang atau badan hukum tertentu untuk mengambil manfaat

atas hasil hutan. Pembatasan, pelarangan atau bahkan pengusiran

masyarakat hukum adat dari kawasan hutan berawal dari kewenangan

ini. Di dalam kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam, pada

zona dan blok tertentu dilarang untuk melakukan kegiatan apapun,

sementara pada zona dan blok lain hanya diperbolehkan melakukan

kegiatan tertentu saja. Pada kawasan yang telah dibebani izin atau hak,

pemerintah memberikan hak kepada pemegang izin atau hak untuk

melarang setiap orang yang memanfaatkan kawasan tersebut tanpa

seizin pemegang izin atau hak tersebut.

Tidak bisa disangkal bahwa pelarangan atau pembatasan masyarakat

hukum adat untuk masuk ke dalam kawasan hutan telah memenggal

relasi mereka dengan hutan. Dalam bentuk yang sederhana,

pemenggalan ini telah menyebabkan masyarakat hukum adat kehilangan

akses dalam mengelola hutan, seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem

Halimun. Pelarangan yang sama juga dapat ditemui di Kampung Ponti

Tapau, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Masyarakat di Desa

Maholo, Watutau, Tamadue, Wuasa, Alitupu, Winowanga dan Wanga di

--7--

Page 9: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

Kecamatan Lore Utara, bahkan dilarang untuk memasuki kebun dan

sawahnya.

Kejadian lebih ironis dialami oleh warga Nagari Simarasok. Sekitar tahun 80-

an, penduduk Nagari ini diperintahkan oleh pegawai Dinas Kehutanan

Propinsi untuk menanam pohon pinus. Karena menganggap bahwa lahan

yang akan ditanami pinus tersebut termasuk ke dalam hak ulayat nagari,

penduduk pun dengan senang melakukannya. Lahan yang ditanam

mencapai 100 Ha. Ternyata, setelah besar dan siap panen, penduduk

dilarang mengambil kayu tersebut dengan alasan bahwa pohon pinus

tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung.

Larangan memasuki kawasan hutan bukan hanya menghilangkan akses

untuk mengelola hutan tetapi juga menyebabkan punahnya situs-situs

budaya. Situs-situs itu punah karena masyarakat hukum adat tidak bisa lagi

merawatnya sejak dilarang memasuki kawasan hutan seperti yang terjadi

di Kampung Banglo, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi

Selatan. Sementara di sejumlah desa di Kabupaten Donggala dan Poso,

kepunahan situs-situs budaya ditandai dengan kenyataan-kenyataan

berikut ini:

1. Hilangnya situs-situs megalith; 2. Rusaknya kuburan-kuburan tua; dan 3. Punahnya tempat-tempat bersejarah antara lain kampung tua,

kuburan leluhur, tempat-tempat ritual keagaaman, simbol-simbol ketahanan pangan.

Karena hutan merupakan bagian dari wilayah atau ruang hidup

(lebensraum) masyarakat hukum adat, pemisahannya dengan

masyarakat hukum adat selalu menyebabkan perubahan atau

pergeseran pada faham, nilai dan tatanan sosial. Faham, nilai dan

tatanan sosial masyarakat lokal lahir dari hasil melakukan interaksi dengan

alam, termasuk hutan. Logikanya, bila hutan dipisahkan dari mereka sama

artinya meniadakan sumber lahirnya faham, nilai dan tatanan sosial

--8--

Page 10: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

tersebut. Mengambil hutan dari mereka identik dengan mengambil

faham, nilai dan tatanan sosial mereka. Kini, masyarakat hukum adat di

Melawi (Kalbar) berpotensi meninggalkan faham komunal mereka yang

mengibaratkan rimba sebagai ibu yang mampu menyediakan dan

memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat.

Bersamaan dengan hilangnya hutan dari kehidupan mereka, orientasi nilai

juga turut berubah. Hutan tidak lagi dilihat sebagai manifestasi simbolik

(misalnya hutan sebagai Ibu) melainkan komoditas. Begitu juga dengan

tanah yang menjadi wadah bertumbuhnya hutan. Bila sebelumnya hutan

rimba dipandang sebagai milik bersama yang memiliki fungsi religi dan

ekologis, saat ini ia diperebutkan dan diklaim sebagai milik perorangan

dengan pertimbangan keuntungan ekonomi semata. Bahkan, tanah-

tanah yang tidak berhutan lagi dijual kepada perusahaan kelapa sawit

atau kepada perusahaan pertambangan. Masyarakat dengan mudah

melepaskan tanah-tanah tersebut walaupun perusahaan hanya

menyampaikan janji-janji kesejahteraan. Semakin masyarakat terintegrasi

ke dalam budaya modern, semakin merosot pengetahuan ekologi mereka

seperti yang terjadi di Kawasan Ekosistem Halimun.

b. Kerusakan Sosial dan Biofisik

Di Kampung Ponti Tapau (Sanggau), kehadiran Hak Pemungutan

Hasil Hutan milik PT. SGB telah mendatangkan sejumlah kerusakan fisik.

Diantaranya, sawah masyarakat jadi tergenang, air sungai tersumbat dan

ikan-ikan menjadi punah akibat limbah dan lumpur. Selain di Kampung

Ponti Tapau, kerusakan juga terjadi di Kampung Lanong. Hutan milik

masyarakat kampung ini rusak akibat beroperasinya HTI milik PT. Pinantara.

Di Kabupaten Melawi, kehadiran HPH dan HPHH telah mendatangkan

banjir dan tanah longsor. Pada tahun 1995, banjir dan tanah longsor

pernah menimpa dusun Senempa, Kecamatan Nangga Pinau yang

lokasinya tidak jauh dari sungai Melawi dan sungai Serawai. Di Kabupaten

--9--

Page 11: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

Mamuju Utara (Sulteng) dihantam oleh bencana longsor. Bukan hanya

longsor, Mamuju Utara juga dilanda banjir, pencemaran air, hama

tanaman dan kekurangan air bersih. Kota Samarinda, Melak (Kutai Barat)

dan Tenggarong (Kutai Kertanegara) di Kalimantan Timur, terus diancam

banjir oleh luapan Sungai Mahakam. Kuat dugaan bahwa banjir ini berasal

dari praktek pemberian HPHH dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), yang

cenderung tak terkendali sejak sebagian kewenangan pemberian izin

usaha di bidang kehutanan didesentralisasi kepada pemerintah daerah.

Kerusakan biofisik juga berlangsung pada sejumlah tempat di Kabupaten

Donggala dan Mamuju Utara. Kerusakannya muncul dalam bentuk: (i)

punahnya bentuk vegetasi hutan akibat kehadiran HPH dan konversi

hutan; (ii) erosi dan banjir; (iii) kesulitan mendapatkan air bersih; dan (iv)

merebaknya hama tanaman. Bukan hanya dilanda oleh kerusakan bio-

fisik, sejumlah tempat di dua kabupaten ini juga mengalami kerusakan

sosial. Pembakaran Ngata Tompu di Kecamatan Sigi Biromaru (Donggala),

berikut pengusiran Orang Tompu dari kampung tersebut, sekaligus telah

meruntuhkan bangunan tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang

memiliki kaitan dengan hutan. Di Kabupaten Melawi, pemberian HPHH

telah menyulut konflik sesama anggota masyarakat seperti yang terjadi

antara sebagian penduduk Guhung Keruap dengan penduduk Dusun

Bunyau di Kecamatan Menukung. Keduanya terlibat dalam konflik akibat

penerbitan HPHH oleh Bupati Sintang pada tahun 2001.

c. Kemiskinan

Masyarakat yang hutannya diambil paksa dan tidak memiliki lahan

lain untuk diusahakan, akan berubah menjadi penganggur seperti yang

berlangsung Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Pemalang (Jawa

Tengah). Terpotongnya akses masyarakat untuk memanfaatkan hasil

hutan telah turut menjadi penyebab kemiskinan. Mayoritas penduduk,

--10--

Page 12: Masih Eksis kah Hukum Masyarakat (hukum) Adat di Indonesia · Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta,

yang ditaksir berjumlah antara 40 – 60 juta jiwa yang tinggal di dalam dan

di sekitar kawasan hutan, digolongkan miskin menurut ukuran pemerintah.

Anehnya, di saat masyarakat marak kembali menggugat hutan mereka

yang dimasukkan ke dalam kawasan hutan negara, UU Kehutanan Baru

malah membuat ketentuan yang memustahilkan berhasilnya gugatan

tersebut. Sekalipun UU ini mengakui keberadaan masyarakat hukum adat

dan hutan adat, tapi tidak merumuskan syarat dan tata cara yang singkat

dan sederhana untuk keperluan pengakuan keberadaan dan hak

masyarakat lokal. UU ini hanya mempertahankan ketentuan-ketentuan

yang berlaku sebelumnya. Apabila diminta untuk mengakui keberadaan

hutan adat, Departemen Kehutanan selalu berdalih bahwa prosesnya

harus didahului oleh pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat

oleh Pemda. Sementara itu, identifikasi keberadaan masyarakat hukum

adat bukanlah kegiatan yang bisa ditemukan nomenklaturnya dalam

tugas pokok dan fungsi dinas/badan Pemda serta alokasi pendanaan

pembangunan daerah. Konservatisme dalam syarat dan tata cara

pengakuan dalam UU Kehutanan Baru lantas menyebabkan sengketa

klaim antara masyarakat dengan pemerintah dan swasta tidak pernah

padam.

Pengakhiran Melihat model pengaturan dalam perundang-undangan dan dampak-

dampak penerapan peraturan pada sektor kehutanan, nampak jelas

bahwa sebenarnya keberadaan hukum masyarakat (hukum) adat serta

hak ulayat yang di milikinya sudah di kebiri.

--11--