23
Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok Oleh: Daud Azhari, SH. a. Geografis dan Keadaan Tanah Pulau Lombok adalah salah satu dari gugusan kepulauan Nusantara yang terletak di sebelah timur Pulau Bali dan sebelah barat Pulau Sumbawa. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Samudara Hindia di sebelah selatan. Di pulau ini terdapat tiga kabupaten yakni, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kabupaten Lombok Timur, dan satu Kotamadya yaitu ; Kotamadya Mataram. Kota Mataram merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penduduk Pulau Lombok mayoritas Suku Sasak, di samping itu ada Suku Bali, Jawa, Sumbawa, Arab, dan Cina. Lapangan pekerjaan utama masyarakat Lombok adalah petani, nelayan, kerajinan tangan, pertukangan, dan jual-beli. Sejarah pembentukan daerah ini tidak lepas dari politik dan system pemerintahan yang pernah ada. Pada tanggal 19 Agustus 1945 dua hari setelah proklamasi kemeerdekaan Pulau Bali, Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, Pulau Timor Rote, Pulau Sumba, dan Pulau Sawu digabung ke dalam Provinsi Sunda Kecil dengan ibukota di Singaraja Bali dan dipimpin oleh seorang Gubernur I Gusti Ketut Pudja. Pada tanggal 14 Agustus 1958 provinsi ini kemudian dipecah menjadi tiga provinsi

Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau LombokOleh: Daud Azhari, SH.

a. Geografis dan Keadaan Tanah

Pulau Lombok adalah salah satu dari gugusan kepulauan Nusantara yang

terletak di sebelah timur Pulau Bali dan sebelah barat Pulau Sumbawa. Di sebelah

utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Samudara Hindia di sebelah selatan. Di

pulau ini terdapat tiga kabupaten yakni, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten

Lombok Tengah, dan Kabupaten Lombok Timur, dan satu Kotamadya yaitu ;

Kotamadya Mataram. Kota Mataram merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara

Barat. Penduduk Pulau Lombok mayoritas Suku Sasak, di samping itu ada Suku

Bali, Jawa, Sumbawa, Arab, dan Cina. Lapangan pekerjaan utama masyarakat

Lombok adalah petani, nelayan, kerajinan tangan, pertukangan, dan jual-beli.

Sejarah pembentukan daerah ini tidak lepas dari politik dan system

pemerintahan yang pernah ada. Pada tanggal 19 Agustus 1945 dua hari setelah

proklamasi kemeerdekaan Pulau Bali, Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau

Flores, Pulau Timor Rote, Pulau Sumba, dan Pulau Sawu digabung ke dalam

Provinsi Sunda Kecil dengan ibukota di Singaraja Bali dan dipimpin oleh seorang

Gubernur I Gusti Ketut Pudja. Pada tanggal 14 Agustus 1958 provinsi ini kemudian

dipecah menjadi tiga provinsi yaitu, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa

Tenggara Timur (NTT).

Di pulau ini terdapat dua geologi utama yaitu, lingkungan gunung berapi di

sebelah utara dan lingkungan rendah tua di bagian selatan. Daerah yang paling

berpengaruh dengan adanya gunung berapi di lapisan atasnya dan bergunung tua di

lapisan bawah adalah Gunung Rinjani, Gunung Pinikan, dan Gunung Nangi. Dan

pegunungan bagian selatan merupakan daerah geologi yang terutama tersusun dari

batuan tertier yang gunung terdiri dari Gunung Mareje dan Gunung Sasak.

Ditilik dari iklimnya Pulau Lombok merupakan daerah yang beriklim tropis.

Ada dua nusim yang mempengaruhi daerah ini sepanjang tahun yaitu musim hujan

pada bulan November sampai dengan bulan April dan musim kemarau antara bulan

Mei sampai dengan bulan Oktober. Musim basah berkisar antara bulan April dan

bulan November.

Page 2: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

Sungai-sungai di pulau ini ada yang bermuara ke utara seperti sungai (kokok

disingkat K) K. Puleh, K. Sosong, K. Sengak, K. Amor-amor, K. Ree, k. Muntur, K.

Rasing, K. Salut, K. Mayung, dan K. Rajak. Yang bermuara ke sebelah selatan

barat : K. Meninting, K. Jangkuk, K. Sesaot, K. Babak, K. Dodokan, K. Jelanteng,

dan K. Air Sayang. Yang bermuara ke selatan : K. Menanga dan K. Gianti. Dan

yang bermuara ke sebelah timur dan tenggara : K. Leper, K. Deso, K. Meringgik, K.

Tebusilung, K. Jurangkaol, K. Aik Amapak, K. Palung, dan K. Tonggak.

b. Adat Istiadat

Masyarakat Pulau Lombok terutama etnis Sasak yang tinggal di desa-desa

sangat mempertahankan adat-istiadat dan system norma dalam kehidupan

kesehariannya. Masing-masing dusun atau desa mempunyai awiq-awiq dusun

(aturan dusun atau desa) yang ditetapkan oleh para tokoh agama dan tokoh

masyarakat dan bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi sesuai

kesepakatan.

System pelapisan social (Social Startification) tradisional masyarakat Suku

Sasak berasaskan triwangsa. Asas Triwangsa (tiga keturunan) pada masyarakat

Suku Sasak umumnya terdiri dari : Pertama, tingkat tertinggi yang termasuk

didalamnya Raden atau Datu. Strata tertinggi ini biasanya dipanggil Raden atau

Danune bagi kaum laki-laki dan dende untuk kaum perempuan. Kedua, tingkat

perdana yang termasuk di dalamnya permenak dan perbapa. Sedangkan kaum

perempuan dari strata kedua ini sering disebut lale atau baiq dan jika telah kawin

dipanggil mamiq bini. Ketiga, tingkat kaula bala yang terdiri dari jajar karang dan

panjak pinak (hamba sahaya). Masyarakat dari tingkat ini sering dipanggil Lok

untuk laki-laki yang belum kawin, dan le bagi perempuan yang belum kawin. Dan

jika telah kawin maka akan dipanggil amaq untuk dan inaq untuk perempuan.

Penetapan pelapisan social berdasarkan keturunan ini kemudian diaplikasikan

pada tatanan yang normative yang sering disebut aji krame1. Dalam catatannya

1 Aji krame terdiri dari dua suku kata : aji dan karma. Aji berarti harga atau nilai sedangkan karma berarti suci atau terkadang berarti aerah atau kesatuan penduduk dalam suatu wilayah dalam wilayah adat. Dengan demikian Aji Krama berarti lambing adat atau nilai suci dari suatu strata social adat sasak berdasarkan wilayah adatnya.

Page 3: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

tentang aj kramenya masing-masing strata. Masyarakat yang berasal ari strata

terendah (sepangan atau panajak) atau yang disebut strata perwangsa perbapa

dengan aji karma 66 samapi 99, dan yang tertinggi strata perwangsa permenak atau

datu raden dengan aji karma 100 sampai 200.16 2. Namun demikian, menurut Gde

Parman terjadi Aji Krama sebagai lambang adat antara daerah dengan daerah lain.

Di Desa Pujut atau Bon Jeruk Raden aji kramanya 200 (ini sudah tidak ada) ,

Menak aji kramenya 100, Perbape sebesar 66, Perdanan sebesar 50, Jajar Karang

sebesar 33-7/400, dan Sepangan sebsar 3/400 (sudah tidak ada). Di Gerung dan

Kuripan ; Raden : 200 (sudah tidak ada). Di Praya ; Raden (sudah tidak ada),

Permenak : 100, Perwangsa : 66, Jajar Karang : 33, dan Sepangan : 17. Dan di

Tanjung Lombok Utara : Datu : 10.000, Raden : 8.000, Luput : 6.850, dan Perjaka :

4.850. dan yang merupakan consensus, pokok-pokok aji karma tersebut adalah :

Raden : 200, Permenak : 100, Perbape : 66, dan Jajar Karang : 33, serta Sepangan :

17 3.

Asas Triwangsa sebagai pelapisan social tradisional menentukan keturunan

dari garis laki-laki. Artinya anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan akan

mengikuti nasab (pertalian darah) pihak laki-laki (bapaknya), sehingga jika seorang

laki-laki yang berstrata Lalu atau Gede mengawini wanita berstrata Jajar Karang

maka anak yang lahir tersebut akan mengikuti strata bapaknya. Anak yang

dilahirkan dapat dipanggil Lalu, Gede, Baiq, atau Lale. Sebaliknya jika laki-laki

berstrata Jajar Karang mengawini wanita berstrata raden atau permenak, maka anak

yang dilahirkan tidak mengikuti strata ibunya, melainkan akan mengikuti strata

ayahnya.

System perkawinan seperti ini memang sering kali menimbulkan konflik serta

prcekcokan antara kedua belah pihak yang bahkan sering kali menimbulkan

peemutusan tali kekeluargaan. Dan perwaliannya pun tidak jarang diserahkan

kepada wali hakim (wali ‘adilal). Dan system ini selalu menjadi tumbal kritikan dari

berbagai kalangan karena dianggap sebagai warisan dari ajaran Hindu-Bali yang

mengabsahkan adanaya kasta (pelapisan dari aspek keturunan). Dan dalam nada

2 Fat Zakaria, Mozaik, hal 1843 Gde Parman, Kitab Adat Sasak Dulang I Perkawinan. Aji Kraka Pembayun, Cendrasengkala,

Mataram, Lembaga Pembakuan Dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok, 1995, hal 23-24.

Page 4: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

kualitas kedirian manusia sebagai hamba dan sekaligus khalifah yang mempunyai

kewajiban dan hak yang sama.

Sejalan dengan perkembanagn pemikiran dan orientasi hidup, selain pelapisan

social yang tradisional yang berdasarkan keturunan (triwangsa) diatas, pada

umumnya di masyarakat Suku Sasak terdapat pelapisan sosialnya ; seperti pelapisan

social berdasarkan kedudukan dan kemampuan ekonomi. Namun demikian factor

usia tetap menjadi ukuran. Menghormati orang tua atau yang seuisa sangat

diperhatikan dan ditaati oleh masyarakat Sasak. Hal ini tampak dalam hubungan

dnegan kekerabatan di lingkungan pergaulan dan rumah tangga.

c. Pranata Sosial

1. Kehidupan Keluarga

Keluarga terkecil (ayah, Ibu, dan anak-anak) bagi orang Sasak meruoakan

sebagian yang snagat diperhatikan. Mereka tinggal dalam satu ruamh tangga

yang disebut bale (rumah). Anak yang membangun rumah tangga (suami-istri)

untuk sementara waktu akan bersama keluarga besarnya sampai pada akhirnya

dianggap mampu untuk berdiri sendiri. Dan jika telah berdiri sendiri, maka dia

akan menjadi keluarga baru yang bertanggungjawab terhadap kelangsungannya.

Hubungan-hubungan garis keturunan terbentuk atas dasar pertalian darah

(semeton kuni) dan perkawinan. Hubungan keluarga dari semeton kuni

merupakan hubungan kekerabatan dalam arti biologis yang dijalin atau dasar

satu sumber darah, yaitu dari orang tua yang sama. Sedangkan hubungan

hubungan kekerabatan dengan perkawinan merupakan hubungan dalam arti

sosiologis yang terjadi karena adanya perkawinan.

Rumpun kerabat (keluarga) dibangun atas pandangan kosmogini segi

empat yang dikenal dengan empat generasi orang tua (nenek), empat garis anak

cucu, dan empat lapis sepupu ari satu talian darah. Pungutan garis kekerabatan

ini sering dirangkai dengan mengadakan acara-acara seperti : pertama , acara

keluarga yang diselenggarakan pada acara adat perkawinan, kematian (kepaten)

anggota, dan khitanan anak, serta daur hidup keluarga baru ; kedua, pada acara

keagamaan seperti : Maulid Nabi dan Isra Mi’raj.

Page 5: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

Istilah-istilah kekerabatan orang Sasak seperti di bawah ini ; amaq untuk

sebutan ayah, inaq untuk ibu, semeton kuni untuk saudara kandung, naken

untuk anak-anak saudara kandung dan tiri, anak sepupu sekali, atau anak sepupu

dua kali, tuak dan amaq kake (amaq rari) untuk sebutan-sebutan sarudara ayah,

dan kadang-kadang varian panggilan tersebut terjadi perbedaan antraa satu

tempat dnegan lainnya.

2. Perkawinan.

Dalam Kitab Adat Sasak Dulang I Perkawinan yang ditulis oelh Gde

Perman disebutkan ada beberapa macam cara orang Sasak yang akan

melakukan perkawinan. Cara-cara tersebut ada yang baik (solah) dan masih

berlaku dan ada yang tidak baik. Cara-cara tersebut anatara lain :

1. Cara Teperondong atau disebutkan juga tabulungan atau tasegar yaitu

suatu cara dimana seseorang yang menikah (merari’) laki-laki atau

perempuan tersebut telah dijanjiakn sejak kecilnya. Biasanya yang

melakukan perkawinan cara ini adalah mereka yang ada pertalian carah

dan secara suka sama suka ;

2. Cara Kepanjing yaitu seorang anak perempuan yang dianggap cantik

diambil begitu saja oleh para datu (penguasa) dengan cara pemaksaan.

Cara ini sudah ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak cocok dan

bertentangan dengan ajaran agama Islam ;

3. Cara Kahambil yaitu seorang anak gadis orang dari lapisan Jajar

Karang diambil oleh lapis yang lebih tinggi (datu raden atau menak-

perbape) hanya dengan proses musyarawarah, namun tetap atas

persetujuan si perempuan tanpa paksa ;

4. Cara Merari’ atau Memaling yaitu seorang anak gadis (dedare) atau

seorang janda (bebalu) diambil secara diam-diam ; tidak diketahui oleh

bapak dan ibunya serta sanak saudaranya. Cara ini masih berlangsung dan

banyak dilakukan oleh orang-orang Sasak4.

4. Kata merari’ diambil dari kata “lari” , berlari. Merari’ berate mela’iang artinya melarikan. Seseorang yang akan merari’ dalam adat Sasak seyogyanya menaati aturan dan tata karma. (awiq-awiq). Awiq-awiq itu antara lain : a. Perempuan di rumahnya (ruamh ibu-bapaknya) tidak boleh diambil di sekolah, tempat orang pesta atau persantaian. b. Kedua pihak yang akan merari’ memang saling suka dan cinta. c. harus diambil di malam hari dan tidak boleh lewat dari jam 23.00 (11.00 malam). d. Perempuan

Page 6: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

5. Cara Bekako’ atau disebut juga Memadik dan Ngelamar yaitu

perkawinan dengan cara si gadis diminta (lako’) pada orang tuanya.

Adapun ketentuan urutan belako’ sebagai berikut : a. penawer : Si perjaka

datang berkunjung ke si gadis yang sama-sama saling suka ; b. Si perjaka

memberikan tanda pengikat janji ; c. Melatos : yaitu keluarga dari pihak

laki-laki datang ke keluarga perempuan untuk menetukan wkatu

pengambilan.5

3. Pendidikan

Tradisi masyarakat sasak pada usia di (pra sekolah) anak-anak mereka

terlebih dahulu diberitahukan pendidikan agama Islam. Pendidiakn agama ini

dimulai dnegan belajar mengaji (membaca al-Qur’an) dan tauladan praktek-

praktek ibadah. Pelajaran al-Qur’an biasanya dimulai dengan belajar alif, ba, ta

(system belajar mengeja ala al-bagdadi dna atau sekarang Iqra’). Kemudian

pindah ke al-Qur’an kecil ( Juz ‘Amma) lalu pindah ke al-Qur’an besar.

Setelah menyelesaikan pendidikan al-Qur’an dan sejalan dengan

pendidikan formalnya di sekolah dasar, anak yang mampu (secara material) dan

berminat memeperdalam pelajaran agamanya mencari ulama (Tuan Guru) yang

mempunyai pesantren. Kurikulum pendidiakn pesantren terdiri ilmu alat (nahwu

dan sharqf), fiqih, dan tauhid dan ilmu-ilmu agama yang lainnya. Dan bagi

mereka yang tidak masuk pesantren secara aktif mengikuti pengajian-pengajian

umum yang diadakan di masjid-masjid, mushalla (santen), atau langgar-langgar.

Pendidikan non formal (terutama pendidikan agama) pada masayrakat Sasak

telah erjalan lama sejak pertengahan abad ke-19, ketika para guru mengaji

(Tuan Guru) mengadakan pengajian dengan system halaqah ala masjidil Haram

Makkah di tempat tinggal mereka. Para Tuan Guru ini biasanya mengajarkan al-

Qur’an dan al-Hadits, Fiqih, dan Tauhid dan juga Tassawuf.

yang diambil harus didampingi oleh wanita lain (tidak boleh sendriran) dan tidak boleh dibawa langsung ke rumah pengantin laki-laki (pesebok). e. Kedua pengantin yang merari’ tidak boleh saling berdekatan sebelum dilaksanakan akad nokah. f. Segera mungkin (maksimal 3 hari untuk yang dekat dan 7 bhari bagi yang jauh)nharus sudah diberitahukan (selabarkan) ke pihak perempuan (Gde. Parman, Kitab Adat, hal 16-17)

5 Ibid Hal 10-11

Page 7: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

Dalam perkembangan lebih lanjut, gerakan pendidikan agama Islam

mengalami kemajuan yang pesat pasca kemerdekaan. Pada tahun 1950-an Tuan

Guru Saleh Hambali di Lombok Barat mendirikan Pesantren dan Madrasah

Darul al-Qur’an di Desa Bengkel, Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Majid di

Lombok Timur mendirikan Pesantren Nadhatul Wathan. Dan sejak itulah

pesnatren-pesantren dan madrasah-madrasah semakin menjamur, dengan

memadukan system pendidikan tredisional (salafiah) dengan system pendidikan

modern.

Pranata pendidikan agama di Lombok saat ini telah mampu sejajar dengan

pendidikan umum mulai dari tingkat para-sekolah (TK-RA), tingkat dasar (SD-

MI), tingkat menengah (SMP-MTS) atau (SMU-MA), dan bahkan di tingkat

Perguruan Tinggi dnegan keluarnya surat keputusan tiga Menteri serta rakyat

diberikan kesempatan untuk mengelola lembaga pendidikan.

4. Ekonomi

Sebagian besar masyarakat Sasak bermata pencaharian hidup dari bertani

kemudian nelayan, kerajinan tangan, dan usaha dagang. Dan bahkan karena

alasan ekonomi ini masyarakat Sasak mernatau ke Negeri Jiran sebagai tenaga

kerja dan buruh,

Lahan pertanian pada umumnya adalah tanah basah (subur) di Lombok

Barat dan sebagian besar Lombok Timur, sementara di Lombok Tengah

sebagian besarnya adalah tanah kering. System irigasi dna pengairannya masih

snagat dipengaruhi oleh system pembagian wilayah perairan (subag) Bali.

Masing-masing wilayah pengairan (subag) diatru system pembagiannya oleh

seorang petugas yaitu pekasih. Dalam melaksanakan tugasnya seorang pekasih

diberikan menggarap sebidang tanah yang disebut tanah pecatu 6 dengan luas

antara 3.500 M ² (50 are).

6 Tanah pecatu adalah tanah adapt yang diberikan kepada seseorang karena mereka baik dalam bidang agama (penghulu), kebudayaan dan peran sosisal seperti keliang (kepala dusun) atau pekasih. Kepemilikan terhadap tanah pecatu ini bersifat sementara sebab bila bila tokoh tersebut mengundurkan diri dari tugas-tugasnya, maka menggarap tanah pecatu tersebut berpindah ke tangan petugas baru yang menggantikannya.

Page 8: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

System penggarapan tanah oleh masyarakat masih lebih banyak

menggunakan pestisida. Pada umumnya keluarga petani masih merupakan

petani subsistem. Penggunaan tenaga luar pada proses pembukaan dna

penggarapan serta pada saat memanen. Petani yang tidak mempunyai sawha

atau mempunyai lahan sempit biasanya bertindak sebagai penyakap (pengaro)

artinya mereka mengerjakan tanah orang lain dengan cara bagi hasil atau ada

yang sekedar mengambil upah menjaga (pengairan dan pemeliharaan). Dan

sebagian lai dari masyarakat petani ada yang bertani dnegan system sewa dan

ataupun beli tanah sementara (jangka waktu yang ditentukan oleh pihak penjual

dan pembeli).

Dalam pembukaan sawah (turun bangket) pada pergantian musim kemarau ke

musim hujan pada sebagian masyarakat (secara khusus sebagian Lombok Barat)

masih sangat kental pengaruh budaya Hindu. Mereka menandai datangnya

musim hujan dengan membawa sesajian (pejawali) dan dirangakai dengan

perang tupat (sasak topat) di Lingsar Narmada Lombok Barat.

Secara umum ciri-ciri perekonomian masyarakat Suku Sasak yang tinggal di

pedesaan seperti :

1. Pembagian kerja dlam bidang pertanian dan bidang-bidang

produksi lainnya didasarkan pada jenis kelamin dan usia ;

2. Kalkulasi dan penentuan harga tidak diimbangi dengan

penggunaan tenaga, waktu, peralatan, dan personil. Perlindungan mereka

lebih manusiawi daripada merenggut keuntungan ;

3. Kegiatan perekonomian mereka terutama yang tinggal di

pedesaan bertumpu ekonomi yang bersifat normatif, yaitu kegaiatan yang

sejalan dengan nilai-nilai umum masyarakat. Dan mereka memperlihatkan

hubungan erat dan saling ketergantungan fungsional dengan kegiatan social

ekonomi ;

4. Pola konsumsi pada umumnya terdiri dari nasi, ikan, dan

sayur-mayur. Makan buah dianggap sebagai pelengkap. Bagi masyarakat

petani mereka mendapatkan ikan terkadang dengan barter dengan pedagang,

Page 9: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

sementara sayur-mayur dapat mereka penuhi dari hasil yang ditanam di

tanah persawahan ;

5. Makanan pokok mereka adalah.

5. Agama dan Kepercayaan.

Tradisi keagamaan yang berkembangan pada masyarakat Sasak pada

umumnya dapat diklasifikasinya kepada daua azas, yaitu : Pertama, tradisi

kepercayaan yang bersumber dari tradisi kepercayaan nenenek moyang ;

Kedua, tradisi kepercayaan yang bersumber dari idela Islam (Rukun Islam dan

Rukun Iman). Kedua azas ini bercampurbaur dalam praktek upacara-upacara

serta keagamaan. Percampuran ini kemudian melahirkan varian praktek Islam

yang terikat kuat dengan pola-pola piker ulama fiqih (hukum Islam) Empat

Mazhab dan secara khusus Mazhab Imam Syafi’i. Varian pertama kemudian

disebut Islam Waktu (Wetu) Telu, sedangkan varian kedua disebut Islam Waktu

Lima.

Fenomena keagamaan dari masyarakat Islam Waktu Telu adalah masih

tersisanya pengaruh ajaran agama tradisional pribumi, sedangkan pada

masyarakat Islam Waktu Lima lebih ditekankan pada termanifestasikannya

ideal Islam dalam pengertian normatifnya. Dalam praktek peribadatan sehari-

harinya, Islam Waktu Telu ini mempercayai dan menjalankan syari’at Islam

seperti sembahyang atau puasa, hanya saja pelaksanaannya tersebuit dapat

diwakili oleh para kyai dan penghulu, sementara masayrakat lain terbebaskan.

Dalam pelaksanaannya sangat variatif ; ada yang melaksanakan

sembahyang Zuhur hanya pada hari Jum’at yang atau ada yang melaksanakan

sembahyang subuh pada dua hari raya kamis sore dan juga ada yang hanya

smebahyang subuh dua hari raya saja. Mereka berkumpul di masjid hanya pada

dua hari raya : Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara itu puasa pada bulan

Ramadhan dilaksnakan tiga yaitu pada awal, tengah, dan akhir. Dan dalam

penentuan tanggal 1 bulan Ramadhan ada di antara mereka berpegang pada

tanggal aboge (Rebo Wage), dan Kamis Pahing untuk menentukan tanggal 2

Page 10: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

Ramadhan, serta ada yang berpegang pada Jum’at Pahing untuk tanggal 3

Ramadhan.

Di samping ritual keagamaan di atas, terdapat beberapa ritus kepercayaan

atau upacara-upacara yang selalu dilakukan oleh masyarakat Islam Waktu Telu

tersebut seperti ritus yang terkait dengan pemahaman terhadap roh. Dalam

pemahaman masyarakat Waktu Telu leluhur nenek moyang masih hidup ro

yang disebut alam halus yang suci dna keramat. Untuk mencapai harus

dilakukan mencapai roh nenek moyang yang telah meninggal harus dilakukan

ritual-ritual setelah kematian (gawe pati) yang dilaksanakan pada hari

kematiannya (nyelamat gumi) pada hari ke tiga, hari ke tujuh, ke sembilan, ke

empat puluh, ke seratus, dan ke seribu setelah kematiannya.

Berbeda dengan varian Islam Waktu (Wetu) Telu di atas, varian Islam

Waktu Lima merupakan varian keagamaan yang didominasi oelh ajaran Kitab

Suci (al-Qur’an al-Karim) dan Sunnah Rasulullah. Al-Qur’an diyakini sebagai

kitab suci yang diwahyukan oelh Alllah SWT kepada Nabi Muhammad SAW

sebagai primer hukum Islam. Sedangkan Hadits Nabi (Sunnah Nabi) yang

merupakan ucapan dan tindakan serta ketetapan Nabi Muhammad SAW

berfungsi sebagai penjelas kitab suci dan menjadi sumber sekunder hukum

Islam. Kelompok penganut penganut Islam Waktu Lima ini merupakan

kelompok mayoritas yang membangun system kepercayaan pada pemahaman

secara ketat Rukun Iman dan Rukun Islam. Mereka menjalankan ritus-ritus

keagamaan seperti syahadat, shalat, puasa, berzakat, dan berhaji sesuai dengan

apa yang disyari’atkan. Dan mereka pada umumnya adalah penganut

Ahlussunnah wal Jama’ah.

Namun demikian dalam prakteknya, selain ritus-ritus keagamaan (ibadah

mahdaha) yang menjadi indikator pembeda kedua varian keagamaan di atas

terdapat sejumlah praktek ritual lainnya merupakan pengaruh dari system

kepercayaan dan budaya local. Berbagai ritus yang dilakukan oleh masyarakat

Islam Waktu Lima ada yang terkait dengan peristiwa penting dalam sejarah

perkembangan Islam seperti peringatan Nuzul al-Qur’an (peringatan turunnya

al-Qur’an), Isra’ Mi’raj (perjalanan nabi di waktu malam dari Masjid al-Haram

Page 11: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

ke Masjid al-Aqsa di Palestina dan naiknya Nabi ke Bait al-Izzah menghadap

Allah), Maulid Nabi (Kelahiran Nabi SAW), ada juga yang terkait dengan

peralihan hidup manusia dari satu tahapan ke tahapan lainnya. Upacara-upacara

tersebut seperti peringatan kehamilan tujuh bulan kelahiran, sunatan,

perkawinan, dan kematian. Upacara-upacara tersebut dilaksanakan sangat

variatif sesuai denagn kemampuan. Orang kaya (mampu), misalnya menyambut

dan merayakan kelahiran anaknya dengan acara besar segala keramaiannya

terutama anak pertama. Hal ini biasanya dilaksanakan pada saat anak berumur

tujuh hari, dan dalam acara ini dibacakan kitab Barzanji oleh agama (Tuan Guru

atau Kiai) dan diadakan acara potong rambut (ngurisan) dan ini biasanya disebut

Aqiqah dalam konsep Islam. Sementara bagi masyarakat lemah acara ngurisan

biasanya dilakukan pad asaat hari-hari besar di masjid-masjid mereka.

Dalam tradisi masyarakat Islam Sasak membaca kitab Barzanji juga

dilakukan pada saat akan menempati rumah baru, akan menunaikan ibadah haji

ke Tanah Suci, atau momentum-momentum lainya. Prosesi lain yang terkait

dengan peralihan kehidupan adalah diadakannya upacara perkawinan dengan

berbagai tahapannya, dan juga diadakan diadakan upcara kematian. Dalam

upacara ini muatan-muatan Islam (shadaqah, ta’ziah, zikir, dan do’a) dan atau

cara-cara pelaksanaannya lebih banyak ditampilkan cara-cara adat. Pada hari-

hari kematian lebih banyak diadakan Tadarus al-Qur’an, yaitu membaca dnegan

tartil dna melagu menurut tajwid dilakukan secara bergilir. Tujuan utama dari

upacar ini adalah memberikan barkah kepada arawah orang yang telah meningal

dan penyebaran syariah Islam. Dan dapat pula rangkaian acara tersebut sebagai

bentuk Ta’ziah terhadap ahli waris yang ditinggalkan.

d. Pranata Kultural Penyelesaian Sengketa.

Bagi masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok pranata penyelesaian sengketa

(konflik) di bidang pengairan, maka lembaga penyelesaian sengketa disebut

“Rembuq Subag”. Pranata rembuq subag dipergunakan oleh masyarakat Suku

Sasak dalam rangka menyelesaikan sengketa air (pesiak aik) penggunaan “rembuq

subag” tersebut yang bertindak sebagai hakim adalah “pekasih”. Pekasih sebagai

Page 12: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

hakim pengadil di tingkat subak diangkat oleh masyarakat desa (khususnya

pengguna air) dengan masa waktu jabatan yang terbatas lamanya, sehingga tidak

musathil seorang “pekasih” baru diganti manakala telah meningal dunia. Seorang

pekasih bagi masyarakat Suku Sasak adalah figur seorang yang faham tentang

pengairan, tokoh yang jujur, dan adil, serta dapat mengemong (mengayomi) semua

pihak putusan “rembuq subag” disebut “ngemong”

Sedangkan lembaga penyelesaian sengketa di bidang arisan dan perkawinan

bagi mayarakat Suku Sasak adalah “Majelis Adat Dese” atau “Kerama Desa atau

Kerama Gubuk”. Anggota Majelis Adat Dese atau Kerama Dese atau Kerame

Gubuk diangkat oleh masyarakat dari unsur tua-tua adat, tokoh masyarakat, tokoh-

tokoh agama, dan formal pemerintahan. Pranata “Majelis Adat Dese” atau “Kerama

Desa” atau “Kerama Gubug” juga dipergunakan sebagai lembaga yang

menyelesaikan atau mengadili sengketa di bidang kepidanaan, misalnya perkelahian

missal (mesiat), terjadinya pelanggaran adat yang meresahkan masyarakat

(Ngeletuhing Jagar) atau Ngaweng pati (memanggil maut).

e. Prosedur dan Prinsip-Prinsip Penyelesaian Konflik

Pranata local penyelesaian sengketa (konflik) Suku Sasak dalam

melaksanakan tugasnya tidak bergantung pada ada tidaknya kasus yang diaukan

kepadanya pada ada tidaknya kasus yang diadukan kepadanya, artinya “Rembug

Subak atau Kerama Desa atau Kerama Gubug” dalam melaksanakan tugasnya

harus pro aktif dalam mengantisipasi terjadinya sengketa, oleh karena itu sebelum

adanya sengketa pun lembaga ini melaksanakan fungsinya secara aktif.

Jika terjadi sengketa atau konflik yang diketahui terjadi (dan diadukan

kepadanya), maka Pekasih atau Ketua Kerama Dese atau Kerama Gubug

melakukan pemeriksaan perkasra (kasus) tersebut dengan mengundang seluruh

anggota Kerama Desa dan pihak yang berkepentingan (yang bersengketa) dalam

suatu pertemuan yang disebut dengan istilah “Sangkep atau Begundem” atau

musyawarah. Sangkep atau Begundem tersebut diadakan pada malam hari di satu

tempat yang netral yang biasanya di tempat “sekenem (rumah panggung berkaki

enam) atau masjid”.

Page 13: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

Dalam proses sangkep dan begundem dilalui melalui sedikitnya 3 fase, yaitu :

1. Pihak yang dihadiri bersengketa mengemukakan masalahnya masing-masing

dengan dihadiri pula dengan saksi-saksi yang meringankan atau yang

memberatkan.

2. Kemudian masing-masing anggota “kerama” memberikan fatwa berdasarkan

hukum adat dan fatwa agama keapada yang bersengketa agar bersedia

berdamai atau menaati hukum adat ynag berlaku. Proses pemberian fatwa ini

dinamakan ”petinang wadi temah”.

3. Setelah proses pemeriksaan (musyawarah) selesai, maka akan diakhiri dengan

pemberian keputusan, yaitu keputusan berupa perdamaian (soloh) atau

penjatuhan hukuman.

Kesepakatan damai (soloh) tersebut sangat mengikat baik individu yang

bersengketa mauoun terhadap masyarakat dan oleh karena itu acapkali keputusan

“soloh” mempunyai kekuatan hokum yang sangat kuat karena acapkali dijadikan

landasan hukum oleh pengadilan. Keputusan lain yang mungkin dijatuhkan oleh

“Kerama” adalah dengan pemberian hukuman berupa denda dnegan

mempergunakan standar uang bolong (kepeng) dan hewan atau dedosan. Sedangkan

bagi masyarakat yang melakukan kesalahan besar seperti Ngeletuhing Jagad-

meresahkan dunia, misalnya perzinaan, penduruan, dan lain-lain, maka

hukumannya berupa diasingkan dari masyarakat (eteh selon).

Pemeriksaan atau persidangan kasus-kasus oleh “Krama Desa” dilakukan

secara terbuka dimana seluruh anggota kerama dan masyarakat boleh menyaksikan

baik yua maupun muda, pria maupun wanita, dan benar-benar dilaksanakan secara

kekeluargaan, suasana silaturrahmi, tidak memihak, dan cepat serta

sederhana.

Page 14: Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak Di Pulau Lombok

f. Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Masyarakat Suku Sasak

Mempergunakan Pranata Lokal Dalam Penyelesaian Sengketa.

Menurut data penelitian di Pulau Lombok yang dilakukan penelitian pada

etnis Sasak, ada beberapa factor yang mempengaruhi masyarakat menyelesaikan

konfliknya kepada pranata cultural, yaitu :

1. Penghormatan kepada system nilai hokum adat dan nilai-nilai agama yang

meresap di sanubari masyarakat Sasak yang dikenal sebagai masyarakat yang

patuh dan taat beribadah dab pulaunya dijuluki “Pulau Seribu Masjid”.

2. Adanya penghormatan yang tulus dna tinggi kepad apemuka agama (Tuan

Guru). Pemuka adat dan masyarakat (Penghulu Desa) yang akan mampu

menyelesaikan konfliknya secara damai dan jujur.

3. Untuk menjaga hubungan “silaturrahmi” dan menjaga hubungan agar tidak

terputus (sifat anak empat tao pesopok dirik).

4. Menghindari adanay istilah “kalah dan menang dalam perkara” yang dapat

merugikan kedua belah pihak.

g. Kasus Sengketa Yang Diselesaikan Melalui Pranata Lokal

Beberapa kasus sengketa yang menjadi kompetensi Kerama Gubug atau

Kerama Desa atau Rembug Subak, yaitu di bidang pengairan bagi masyarakat

Sasak sepenuhnya menjadi kompetensi mengadili dari “Rembig Subag” yang

termasuk dalam bidang hokum keperdataan. Sedangkan bagi Kerama Dea atau

Kerama Desa kompetensinya meliputi sengketa di luar masalah pengairan, baik

perkara yang berdimensi perdata adapt aupun delik adat (pidana adat).

Perkara berdimensi perdata adat, antara lain : sengketa perkawinan (merari’),

sengketa waris (bagi ahli waris), dan lain-lain. Sedangkan dalam konflik yang

berdimensi pidana meliputi tawuran dan pembunuhan secara missal (mesiat),

perbuatan perzinahan atau kesusilaan dan moral (bekekaruh), dan meresahkan

dunia (ngeletuhing jagat).