110

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA 2015.pdf · Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (M LI) ... Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan

Embed Size (px)

Citation preview

MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIADidirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)

merupakan organisasi profesi yang bertujuanmengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa.

PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIAKetua : Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaWakil Ketua : Fairul Zabadi, Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaSekretaris : Ifan Iskandar, Universitas Negeri JakartaBendahara : Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

DEWAN EDITORUtama : Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaPendamping : Lanny Hidajat, Universitas Katolik Indonesia Atma JayaAnggota : Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty, Universityof Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; TimothyAndrew McKinnon, Max Planck Institute; E. Aminudin Aziz, Universitas PendidikanIndonesia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto,Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A.Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, UniversitasKatolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Yassir Nasanius,Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, Sydney University,Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Istiarto Djiwandono, UniversitasMa Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Totok Suhardijanto,Universitas Indonesia.

JURNAL LINGUISTIK INDONESIALinguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasiberdasarkan SK Dirjen Dikti No. 040/P/2014, 18 Februari 2014. Jurnal ilmiah inidibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnyamelalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secaraperseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 200.000,00 (anggota dalamnegeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalahRp 250.000,00 dan luar negeri US$50 per tahun.

Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.mlindonesia.orgdikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagianbelakang sampul jurnal.

ALAMATMasyarakat Linguistik Indonesiad.a. Pusat Kajian Bahasa dan BudayaUniversitas Katolik Indonesia Atma JayaJI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesiaposel: [email protected]; [email protected]./Faks.: +62 21 571 9560

FORMAT PENULISAN NASKAHNaskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftarpustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi 1.15 dan jenishuruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan katakunci (keywords) maksimal tiga kata. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasaIndonesia dan bahasa Inggris, diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis.

Gaya penulisan kutipan hendaknya mengikuti format APA (American PsychologicalAssociation) versi 6 (petunjuk dasar mengenai cara menulis kutipan menurut format APA dapatdipelajari pada tautan berikut ini: https://owl.english.purdue.edu/owl/resource/560/02/). Untukkutipan pendek, yaitu kurang dari 40 kata, hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis. Kutipanpendek langsung diawali dan diakhiri dengan tanda petik; kutipan pendek tidak langsung tidak perlumenggunakan tanda petik. Untuk kutipan panjang, yaitu lebih dari 40 kata, kutipan diawali di barisbaru dengan indent ½ inch dari margin kiri, yaitu dalam tempat yang sama pada paragraf baru.Margin kiri seluruh kutipan mengikuti margin kiri pada awal kutipan. Margin kanan kutipan samadengan margin kanan paragraf yang lain. Spasi dan ukuran tulisan kutipan tidak berubah. Setiapkutipan harus disertai dengan sumber kutipan berupa nama belakang penulis dan tahun penerbitan,misalnya (Radford, 1997). Untuk kutipan langsung—baik panjang maupun pendek—sumber kutipanjuga harus dilengkapi dengan keterangan nomor halaman, misalnya (Radford, 1997, p. 215). Catatanditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagian bawah halaman (footnote).

Setiap sumber kutipan, baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya,diurutkan menurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Sesuai dengan formatAPA 6, daftar sumber kutipan ditulis sebagai berikut: Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6)

tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul buku cetak miring, (10) titik, (11) kotapenerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik, seperti pada contohberikut:Levinson, S.C. (2003). Space in language and cognition. Cambridge: Cambridge University

Press.Malt, B., & Wolff, P. (2010). Words and the mind. Oxford,UK: Oxford University Press. Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5)

kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul artikel, (10) titik, (11)nama jurnal cetak miring, (10) koma, (11) volume cetak miring, (12) nomor issue dalam kurungcetak tegak (kalau ada), (13) halaman, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut:Gentner, D., & Christie, S. (2010). Mutual bootstrapping between language and analogical

processing. Language and Cognition, 2(2), 261–283.Li, P., & Gleitman, L. (2002). Turning the tables: Language and spatial reasoning. Cognition,

83(3), 265–294. Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5)

kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) berilah kata “Dalam” untukartikel dalam Bahasa Indonesia atau “In” (untuk artikel dalam Bahasa Inggris), (10) inisialnama pertama editor, (11) titik, (12) nama akhir editor disusul (ed.), atau (eds.) jika lebih darisatu, (13) koma, (14) judul buku cetak miring, (15) kurung buka, (16) halaman, (17) kurungtutup, (10) titik, (11) kota penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik,seperti pada contoh berikut:Dryer, M.S. (2007). Noun phrase structure. Dalam T. Shopen (ed.), Complex Constructions,

Language Typology and Syntactic Description (II) (hlm. 151–205). Cambridge: CambridgeUniversity Press.

Gleitman, L., & Papafragou, A. (2005). Language and thought. Dalam K.J. Holyoak, & R.G.Morrison (Eds.), Cambridge handbook of thinking and reasoning (hlm. 117-142). Cambridge:Cambridge University Press.

Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis ulang,dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuti contoh ini:Swain, M. (1985). Communicative competence: Some roles of comprehensible input and

comprehensible output in its development. In S.M. Gass, & C.G. Madden (eds.), Input insecond language acquisition (pp. 235–253). Cambridge, MA: Newbury House.

Swain, M. (2000). The output hypothesis and beyond: Mediating acquisition throughcollaborative dialogue. In J.P. Lantold (ed.), Sociocultural theory and second languagelearning (pp. 97–114). Oxford, England: Oxford University Press.

Daftar Isi

Personal Pronouns of Dhao in Eastern IndonesiaJermy I. Balukh ................................................................................. 101

”Bentuk Hormat” Dialek Bahasa Bali Aga dalam Konteks AgamaHara Mayuko..................................................................................... 121

Javanese and Problems in the Analysis of Adversative PassiveIka Nurhayani.................................................................................... 135

Faktor dan Strategi Pengembangan Budaya Baca melalui MembacaPemahaman Mahasiswa

Pranowo, Antonius Herujiyanto ....................................................... 153

Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Bahasa Indonesia:Kajian Akronim, Blending, dan Kliping

M. Zaim ............................................................................................. 173

Resensi:Christopher Joseph Jenks

Transcribing Talk and Interaction: Issues in the Representation ofCommunication Data

Diresensi oleh Agustian Sutrisno ............................................................... 193

Jelajah Linguistik:Pengelolaan Data Digital dalam Rangkaian Metodologi PenelitianLinguistik

Faizah Sari ................................................................................................. 197

Bincang antara Kita dari Dunia Maya:Apa Arti “Free Test” ........................................................................ 201

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 101-120 Volume ke-33, No. 2 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

PERSONAL PRONOUNS OF DHAO IN EASTERN INDONESIA1

Jermy I. Balukh*

Leiden University Centre for Linguistics, STIBA Cakrawala Nusantara

[email protected]

Abstract

This paper describes the properties of personal pronouns in Dhao, a language spoken by

about 3000 people mainly on the island of Ndao in East Nusa Tenggara (NTT). Dhao is

genetically classified into Sumba-Hawu subgroup of Central Malayo-Polynesian (CMP)

branch of Austronesian languages. The focus of this paper is to describe the pronominal

system of Dhao, highlighting different types of pronouns and their syntactic distribution.

Dhao has three sets of morphologically independent personal pronouns and one set of

bound form (affixes). The three sets can occur as independent clausal arguments, except

for the clitics nga ‘1PL-ex’ and two variants of 3SG clitics which differ in syntactic

distribution. As for the bound forms, the affixes are cross-referenced with NPs or full

pronouns in subject positions. Personal pronouns also co-occur with other constituents

as identifying expressions.

Keywords: personal pronoun, clitics, argument, Dhao

Abstrak

Makalah ini membahas properti pronomina persona dalam Bahasa Dhao, sebuah bahasa

yang digunakan oleh sekitar 3000 orang terutama di Pulau Ndao, Nusa Tenggara Timur

(NTT). Secara genetis, Dhao diklasifikasikan ke dalam kelompok Sumba-Hawu dari sub-

rumpun Central Malayo Polynesian, Austronesia. Fokus makalah ini adalah untuk

mendeskripsikan sistem pronomina bahasa Dhao dengan menyoroti tipe-tipe pronomina

yang berbeda dan distribusi sintaksisnya. Bahasa Dhao memiliki tiga perangkat morfem

mandiri dan satu perangkat bentuk terikat (afiks). Ketiga perangkat morfem mandiri

dapat menempati argumen klausa secara independen, kecuali klitika nga ‘1PL-ex’ dan

dua varian klitika 3SG yang berbeda dalam hal distribusi sintaksis. Adapun bentuk

terikat afiks merujuk-silang dengan frasa nomina atau pronomina bebas pada posisi

subjek. Pronomina persona juga hadir bersama konstituen lain sebagai pengidentifikasi.

Kata kunci: pronomina persona, klitika, argumen, Dhao

INTRODUCTION2

Dhao is a language spoken by about 3000 people, mainly in Ndao, a tiny island west of Rote in

East Nusa Tenggara Province (NTT). Due to migration throughout the province, a few Dhao

speakers also live on the islands of Rote, Timor, and Flores. Dhao belongs to the Central

Malayo-Polynesian (CMP) branch of Austronesian languages which is genetically subclassified

into the Sumba-Hawu group, and thus is similar to languages spoken on the islands of Sumba

and Sawu (Blust, 2008, 2009, 2013; Donohue & Grimes, 2008). While Dhao is genetically

similar to Hawu (spoken in Sawu), it has no direct contact with Hawu. Instead, it is in contact

with Rote because of its geographic proximity and because Dhao falls under the same

administration as Rote (Balukh, 2013). Dhao is also said to have been influenced for a long time

by Rote due to socio-cultural contact (Fox, 1987).

Jermy I. Balukh

102

Dhao was previously considered a dialect of Hawu by Jonker (1903). More recently,

Walker (1982) and Grimes (2010) have argued that Dhao is a separate language from Hawu,

though they show many lexical and phonological similarities. One salient difference between

the two languages is that, in Hawu, the basic word order is VS(O), while Dhao has SV(O) word

order. Another important difference between these languages is that Dhao has a more complex

pronominal system than Hawu. Hawu only has full personal pronouns, while Dhao has full and

reduced pronouns, as well as clitics pronouns and affixes. Dhao’s full pronouns are similar to

those found in Hawu, but the clitics and affixes are similar to those found in the neighboring

language of Rote, and some other languages in the Timor area. These linguistic observations

have led Balukh (2013) to support Fox’s (1987) anthropological claim that Dhao is intermediate

between Sawu and Rote.

This paper examines the morphosyntactic behaviour of personal pronouns of Dhao and

their use in argument positions. Other related points, such as the phonological constraints on the

pronouns and other constituents appearing as identifying expressions, are also discussed in brief

to support the proposed analysis. Before describing personal pronouns, it is important to briefly

introduce the basic clause structure and the distribution of the noun phrase (NP) in Dhao. One-

place predicates can be either verbal or non-verbal and they have the order subject–predicate

(SP). Moreover, two-place predicates are always verbal and have fixed subject-predicate-object

(SPO) order. As illustrated in (1) and (2) below, the changes in word order are not possible.

(1) nèngu pa-kajape èsu ana ne'e (NP VP NP)

3SG CAUS-to.hang navel child PROX.SG

‘She hangs the umbilical cord of the baby’

(2) ?èsu ana ne'e pa-kajape nèngu (NP VP NP)

navel child PROX.SG CAUS-to.hang 3SG

‘The navel of the baby hangs her’

In argument position, NPs can be modified by demonstratives (such as èèna ‘DIST.SG’

and ne’e ‘PROX.SG’), numerals or quantifiers, and can occur in prepositional phrases. As

mentioned above, Dhao employs non-verbal predicates, such as the nominal predicate dhèu

dedha liru ‘a person living on the sky’ as in example (3). Therefore, NPs and VPs can only be

syntactically distinguished by their position in a sentence. For instance, the word lii ‘to say’ in

example (4) is a noun and is the head of the object NP lii èèna ‘that voice’ but it is a verb in

example (5) as it describes an action lii ‘to say’ that takes arguments.

(3) ina nèngu dhèu dedha liru

mother 3SG person above sky

‘His mother is a person living on the sky’

(4) ja’a tadèngi lii èèna

1SG hear voice DIST.SG

‘I heard that voice’

(5) nèngu lii boe dènge ina =na

3SG to.say not with mother 3SG

‘He does not say (anything) to his mother’

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

103

The discussion of personal pronouns of Dhao in this paper is organized as follows. The

next section presents pronominal paradigms followed by the discussion on the distribution of

pronouns in argument positions and other syntactic functions. This paper closes off with a

summary and a conclusion.

PERSONAL PRONOUN PARADIGMS

Dhao has four sets of personal pronouns; three of which are morphologically independent (full

pronouns, reduced pronouns and clitic pronouns), while one is bound (affixes). These affixes are

in turn considered cross-reference affixes. All full forms are bisyllabic, except ‘2SG’, and have

monosyllabic counterparts that are labeled here as reduced forms. Clitic pronouns are

monosyllabic. The paradigms for these pronouns are shown in Table 1 below.

Table 1. Dhao Personal Pronoun Paradigms

Pron. Full Reduced Clitics Affixes

Pref. Suf.

First

1SG ja’a ja ku kU- -ku

1PL-ex ji’i ji (nga)3 ngA

4- -’a

1PL-in èdhi (ti) ti tA- -ti

Second 2SG èu - mu mU- -mu

2PL miu (mi) mi mI- -mi

Third 3SG nèngu nu na / ne nA- -’e

3PL rèngu ru ra rA- -si

The table shows that the pronouns are distinguished into two categories: person and

number. Dhao has first, second, and third persons, and singular and plural number. The plural

form for first person is distinguished between exclusive and inclusive. Gender and case are not

distinguished in Dhao. The reduced forms occur only in rapid speech. Pronouns are amongst the

most frequently used words in many languages, making them particularly susceptible to

phonological reduction (Dixon, 2010a:192). There are two types of phonological reduction. In

the first type, the initial syllable remains, while the final syllable is reduced: this applies to

‘1SG’, ‘1PL-ex’, and ‘2PL’. In the second type, the tonic sounds are reduced: this applies to

‘1PL-in’, ‘3SG’, and ‘3PL’. The sound orthographically symbolized as è is a schwa /ə/ that, in

Dhao phonology, lacks syllable weight, i.e. it neither occupies the syllable nucleus nor the root

final position, although Dhao exhibits an open syllabic system in word. Whenever the schwa /ə/ occurs, the following consonant is geminated, for instance èna [ən:a] ‘six’ and kètu [kət:u]

‘head’. In root final position, it is always followed by high vowels, /i/ and /u/, for example bèi

[bəi] ‘grandmother’ and rèu [rəu] ‘leaf’.

The table also shows that there is a clear phonological relationship between full

pronouns and their reduced pronoun counterparts. Clitic pronouns and their corresponding

affixes5 also exhibit very similar phonological forms. However, clitic pronouns and affixes are

clearly different from full/reduced pronouns, suggesting that they are not derived from the same

source historically. One explanation for this is that Dhao borrowed the clitic forms from

neighboring languages through contact. Jonker (1903) claims that the clitics are historically

borrowed from Rote.

Jermy I. Balukh

104

Syntactically, clitics and affixes behave differently. While clitics can be true arguments,

like full pronouns, affixes can only be referential elements. Therefore, instead of pronominal

affixes, I use the term “cross-reference affixes.”

PRONOUNS AND ARGUMENT POSITION

Personal pronouns in Dhao can substitute full NPs as clausal arguments, either as subject (S),

object (O), or as the complement of a preposition. The following subsections provide a

discussion of full pronouns and their distribution in argument positions.

Full Pronouns as S of Intransitive Predicates

Intransitive constructions in Dhao can take verbal and non-verbal predicates which have only

one core argument. With such predicates, additional arguments are marked, for example with a

preposition. The S argument of intransitive predicates may involve different semantic roles,

depending on the meaning or semantic properties of the verb; S may be an agent or patient.

Examples (6) through (8) below show that full pronouns can occur in the S argument position of

intransitive verbs. In (6) and (7) the semantic role of S is agent, while in (8), S is a patient. In (6)

an additional argument is marked with the preposition ngèti ‘from’, which is optional in the

clause.

(6) ja'a mai (ngèti Sahu)

1SG come from Sawu

‘I came from Sawu’

(7) bèli èèna èdhi la-ti

tomorrow DIST.SG 1PL go-1PL

‘In the following day, we left’

(8) nèngu madhe

3SG die

‘S/he died’

The S argument in Dhao is canonically pre-verbal, but for a few verbs, which have a patient S

argument, it is possible for this argument to appear in post-verbal position. This is in line with

the clause structure for transitive constructions wherein O occurs in the post-verbal position.

One such example is presented in (9). The verb madhe ‘die’ is an intransitive verb that

syntactically requires a single patient core argument. In the case of this verb, and others like it,

we observe a split in the alignment properties of the verb, since the intransitive S argument

looks like a transitive O argument in terms of syntactic position (cf. Dixon, 2010a:140).

(9) madhe ja'a, bèi e

die 1SG grandmother PRT

‘I would be in difficulty, grandmother’ (Lit: I die, grandmother)

As already mentioned, Dhao allows non-verbal predicates. The non-verbal predicates in

Dhao express attributes, location, and existence, and, in terms of syntactic category, can be

headed by a noun, adjective, adverb, numeral, or preposition (Payne, 1997:111-125). The S

argument for intransitive non-verbal predicates must come before the predicate. The non-verbal

subject and predicate are juxtaposed because Dhao does not have any specific marker to link

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

105

them. Examples (10) through (12) are non-verbal predicates which occur with a full pronoun as

S arguments.

(10) rèngu [dhèu Lodho]NP

3PL person Lodho

‘They are people of Lodho clan’

(11) nèngu [ètu suu haa]PP

3SG LOC tip west

‘S/he is at the west side’

(12) nèngu [kapai]Adj

3SG big

‘S/he is big’

Full Pronouns as Arguments of Transitive Predicates

In Dhao, transitive verbs can appear as ‘single’ or serial verbs. The arguments of transitive

verbs have fixed positions: S is pre-verbal and O is post-verbal. The examples in (13) and (14)

present full pronouns as S and NPs as O. In (15), full pronouns function as O and NPs as S.

Pronouns in both S and O positions are shown in example (16).

(13) ja'a puu hua

1SG pick fruit

‘I picked the fruit’

(14) èdhi t-inu èi di mèra

1PL 1PL-drink water only just

‘We only drink water’

(15) busa n-a'a aa'i èu

dog 3SG-eat all 2SG

‘The dog kills you’ (Lit: the dog eats the whole of your body)

(16) èu pa-madhe ja'a

2SG CAUS-die 1SG

‘You kill me’

Transitive constructions consisting of serial verbs are presented in (17) and (18). Serial

verbs in Dhao include two verbs that occupy one functional slot in a clause (Aikhenvald,

2006:4). In (17), both verbs ngee ‘think’ and -èdhi ‘see’ are intransitive. Example (18) involves

the intransitive verb la- ‘go’ and the transitive verb karèi ‘ask’. In both cases, the serial verb

requires two arguments, S and O. The prefix k- is attached to the verb –èdhi ‘see’ as in (17). In

(18), the suffix –si is attached to the verb la- ‘go’. These affixes are co-indexed with the full

pronouns in the subject position.

(17) ja’ai ngee ki-èdhi sa-saba èci ka ne'e

1SG think 1SG-see DUP-work one PRT PROX.SG

‘I remember I work here’

Jermy I. Balukh

106

(18) rèngui la-sii karèi ana bhèni dhèu dua dara dhasi

3PL go-3PL ask child girl person two inside sea

‘They proposed to two girls from sea’

In ditransitive constructions, both objects can appear as bare NPs. As shown in (19), the

full pronoun ja’a ‘1SG’ functions as the direct object of the verb hia ‘give’ and is immediately

followed by the indirect object. In (19), the verb hia ‘give’ is immediately followed by the

indirect object NP doi ca nguru riho ‘ten thousand rupiahs’. The full pronoun ja’a ‘1SG’ occurs

in a peripheral position, marked by the preposition asa ‘to’.

(19) a. Rini hia ja'a doi ca nguru riho

Rini give 1SG money a ten thousand

‘Rini gives me ten thousand’

b. Rini hia doi ca nguru riho asa ja'a

Rini give money a ten thousand to 1SG

‘Rini gives ten thousand for me’

Reduced Pronouns

Unlike full pronouns, reduced pronouns are only found in non sentence-final positions. As

shown in (20) and (21), the reduced pronouns occur in sentence initial position as a subject. The

reduced forms like ja ‘1SG’ in (20) and nu ‘3SG’ in (21) cannot occur as O arguments in

sentence final position. However, the reduced pronoun nu ‘3SG’ does occur as an O argument

in non-final position, as shown in (22).

(20) a. ja lolo dua bèla

1SG roll two sheet

‘I roll two sheets of yarn’

b. èu ne’e aka ja'a/*ja

2SG PROX.SG trick 1SG

‘You fooled me’

(21) a. nu ètu suu haa

3SG prep tip west

‘She was at the west part’

b. èu ne’e aka nèngu / *nu

2SG PROX.SG trick 3SG

‘You fooled him’

(22) anai [dhu bantu nu] sèrai kako hari la-sii

child REL help 3SG DIST.PL walk again go-3PL

‘The children who helped him already left’

Clitic Pronouns

Like reduced pronouns, all clitic pronouns cannot occur in sentence final positions. With the

exception of ‘1PL.ex’ and ‘3SG’, they can replace their corresponding full pronouns in any

other argument position. As shown in (23), the clitic ra ‘3PL’ appears in S position, the same as

its full pronoun counterpart rèngu ‘3PL’. Likewise, in (24) and (25), the S argument positions

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

107

are filled with the full pronoun èdhi ‘1PL.in’ and its clitic counterpart ti respectively. In O

position, clitics are restricted to non-final positions. Therefore, the clitic ra ‘3PL’ is acceptable

in (26a), but not in (26b). The full pronouns are preferred in final position.

(23) a. rèngu mai heka

3PL come no.more

‘They did not come anymore’

b. ra mai heka

3PL come no.more

‘They did not come anymore’

(24) èdhi tao rèu sabha

1PL.in make leaf water.container

‘We took palm leaves’

(25) ti= abhu doi dhari ho hèli èi mènyi rai do…

1PL get money rope so.that buy water oil land or

‘We can make some money to buy some kerosene or …’

(26) a. ja’a pa-kajape =ra ètu kolo aj’u

1SG CAUS-hook 3PL LOC top tree

‘I hook them on the tree’

b. ja’a pa-kajape *=ra/rèngu

1SG CAUS-hook 3PL

‘I hook them’

The two forms of the clitic ‘3SG’ have distinct syntactic functions. The variant na

preferably occurs in S position, while ne can only occur in O position. As illustrated in (27), it is

the clitics na ‘3SG’, not ne, that is acceptable in S position. While only ne is acceptable as O in

(28a), either na or ne is acceptable in (28b).

(27) na/*ne= puu hua

3SG pick fruit

‘He is picking fruit’

(28) a. ja’a game =ne/*na

1SG hit 3SG

‘I hit him/her’

b. ja’a game na/ne pake hadhu

1SG hit 3SG use stone

‘I hit him using stone’

Walker (1982) and Grimes (2010, 2012) list nga ‘1PL.ex’ in the pronoun inventory of

Dhao, but they did not demonstrate any supporting examples. In my data, it did not occur as an

independent pronoun. Example (29) illustrates the use of the full pronoun ji'i ‘1PL.ex’ in S

position. Walker’s and Grimes’ pronoun inventory suggests that the clitic counterpart nga fills

the same position in (29), yet it is ill-formed. Similarly, in (30), while it is grammatical for the

clitic ra ‘3PL’ to occupy an S position, it is not for the clitic ‘nga ‘1PL.ex’. As such, the clitic

nga does not appear to exist in Dhao.

Jermy I. Balukh

108

(29) a. ji’i heka tutu kadèna ka èèna

1PL.ex just cut firewood PRT DIST.SG

‘We just cut the fire wood’

b. *nga heka tutu kadèna ka èèna

1PL.ex just cut firewood PRT DIST.SG

c. dhèu aae èèna piara ji'i /*nga

person big DIST.SG look.after(IND) 1PL.ex

‘The king took care of us’

(30) a. ra la-si

3PL go-3PL

‘They go’

b. *nga la-’a

1PL-ex go-1PL.ex

‘We go’

Cross-reference Affixes

In the case of inflection, Dhao has eight vowel initial verbs that obligatorily take prefixes. Only

one verb, which is la- ‘go’, takes suffixes. The affixes in turn “agree” with S arguments. They

are called cross-reference affixes here because the affix and the verb already constitute a

complete clause. Furthermore, the dependent NP requires the affix on the verbal head, whereas

the head and the marker can occur without the dependent NP (Bloomfield, 1933:193;

Haspelmath, 2013). This phenomenon is not unique in Dhao, since the languages in the

neighboring areas also have similar phenomena, such as Kambera in Sumba (Klamer, 1998),

Rote (Balukh, 2005), and Tetun (Van Klinken, 1999). The eight vowel initial verbs that require

prefixes are listed in Table 2 below.

Table 2. Dhao Verb Inflection with Prefixes

Pron. Pref. -a’a

‘eat’

-are

‘take’

-e’a

‘know’

-èdhi

‘see’

-èti

‘bring’

-o’o

‘want’

-inu

‘drink’

-èd’u

‘hold’

1SG kU- ku’a kore ke’a kèdhi kèti ko’o kinu kèd’u

2SG mU- mu’a more me’a mèdhi mèti mo’o minu mèd’u

3SG nA- na’a nare ne’a nèdhi nèti no’o ninu nèd’u

1PL-in tA- ta’a tare te’a tèdhi tèti to’o tinu tèd’u

1PL-ex ngA- nga’a ngare nge’a ngèdhi ngèti ngo’o nginu ngèd’u

2PL mI- mi’a mere me’a mèdhi mèti mo’o minu mèd’u

3PL rA- ra’a rare re’a rèdhi rèti ro’o rinu rèd’u

As shown in Table 2, there are two types of inflected verbs. The first type is labeled as irregular

that includes the verbs –a’a ‘eat’ and –are ‘take’. The second type is regular and includes the

other six verbs. In the case of the irregular inflected verbs, the vowel within the prefix

assimilates with the initial vowel of the verb root. In contrast, in the regular verbs, the vowel in

the prefix is deleted, only the consonant is retained.

The illustrations of the cross-references are given in (31) and (32). As illustrated in (31),

the same verb root -a’a ‘eat’ takes different prefixes -- k- and r- respectively – according to the

S argument with which they are co-indexed. Another evidence is given in (32). With a control

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

109

verb neo ‘want’, the prefix k- is also co-indexed with the full pronoun ja’a ‘1SG’ in the matrix

clause. It indicates that both clauses share the same subject, that is ja’a ‘1SG’.

(31) a. ja'ai ki-u'a tarae-sina

1SG 1SG-eat corn

‘I eat corn’

b. rèngui ri-a'a tarae-sina

3PL 3PL-eat corn

‘They eat corn’

(32) ja'ai neo ki-u'a katuka se’e

1SG want 1SG.eat rice.cake PROX.PL

‘I wanted to eat the rice cakes’

When the full NP or pronoun has been made clear in the previous discourse or clause, it

is absent in S position. A construction as such is judged grammatical, since the prefix itself on

the verb already provides information about the subject referent. As shown in (33), the prefix n-

signals that the S argument must be a 3SG referent. Likewise, in (34), the prefix r- gives

information that the S argument must be a 3PL referent.

(33) n-o'o boe bhèni aae èèna conge èmu

3SG-want NEG woman big DIST.SG open house

‘(S/he) didn’t want the queen to open the door’

(34) r-inu sèna ka ana madha baku sakaa

3PL-drink so.that PRT child eye NEG.PROH. sleepy

‘(They) drink in order not to be sleepy’

As mentioned previously, cross-reference suffixes are applied only to one verb, that is

la- ‘go’.6 The paradigm is shown in Table 3 below.

Table 3. Dhao Inflectional Suffix

Pronoun Suffix la- ‘go’

1SG -ku la-ku

2SG -mu la-mu

3SG -’e la-’e

1PL-in -ti la-ti

1PL-ex -’a la-’a

2PL -mi la-mi

3PL -si la-si

The suffix “agrees” with the subject of the verb. It is proven by the fact the suffix is co-indexed

with both full pronoun and full NP appearing as the clausal subject before the inflected verb. In

(35), for example, the suffix –ku is attached to the verb la- ‘go’ and it is co-indexed with the full

pronoun ja’a ‘1SG’. Another example is also shown in (36) with the suffix –ti which is co-

referential with the full pronoun èdhi ‘1PL.in’ in clause-initial position. The imperative sentence

in (37) and prohibitive sentence in (38) demonstrate that the co-referential NPs or full pronouns

are absent. The suffixes themselves are already enough to indicate the subject referents. The

subject of imperative sentences is in general unexpressed (Aikhenvald, 2010:145). However, in

Jermy I. Balukh

110

this regard the information of the subject is made available by the suffixes and therefore, the

person and number of the subject are obviously seen by the presence of the suffixes. Example

(39) contains subordinate clauses where the suffix –ku represents the subject of the subordinate

clause and it is indexed to the subject of the matrix clause, which is the full pronoun ja’a ‘1SG’.

(35) ja'ai la-kui èmu, aku nèngu

1SG go-1SG house according.to 3SG

‘He said, 'I went home'’

(36) èdhii la-tii dhasi

1PL.in go-1PL.in sea

‘We went to the beach’

(37) la-mi pare ku a'ju

go-2PL slaughter tag wood

‘Please (you all) go to cut the wood’

(38) baku la-ti ku

PROH.NEG go-1PL.in tag

‘Please don't go’

(39) ja'ai neo la-kui babha

1SG want go-1SG gong

‘I wanted to play gong’

The clitics are in complementary distribution with full pronouns in that either one of

them appears as the subject referent. The affixes are obligatory elements in this case. As

illustrated in (40), either a clitic or full pronoun occurs as the S argument of the clauses and

therefore (40) is not acceptable. Another example is given in (41) where the suffix is obligatory

and S argument is denoted by either a full pronoun or a clitic, not both.

(40) a. ra= r-èti dènge babha

3PL 3PL-bring with gong

‘They brought gongs’

b. rèngu r-èti dènge babha

3pl 3pl.bring with gong

‘They brought gongs’

c. *rèngu ra= r-èti dènge babha

3PL 3PL 3PL.bring with gong

(41) a. mai èdhi/ti la-ti pèci eele asa dara dhasi

come 1PL.in go-1PL.in throw PRT to inside sea

‘Let us go to throw (something) into the sea’

b. *mai èdhi ti la-ti pèci eele asa dara dhasi

come 1PL.in 1PL.in go-1PL.in throw PRT to inside sea

‘Let us go to throw (something) into the sea’

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

111

Prepositional Complements

Dhao allows only full pronouns to occur as complements of prepositions. Clitics never occur in

this position. As complements, pronouns appear after prepositions. The prepositions that permit

personal pronouns are presented in (42) below.

(42) Prepositions

ètu ‘LOC’

mi ‘unto’

ma ‘toward’

ngèti ‘from’

asa ‘to’

dènge ‘with’

sèmi ‘as, like’

As illustrated in (43), the full pronoun èu ‘2SG’ follows the locative preposition ètu ‘LOC’. The

same full pronoun is replaced by the corresponding clitics mu in (43), but it becomes

ungrammatical. The same is also true when the pronouns follow the prepositions mi and ma in

(44) and (45). These examples give evidence that prepositions require full pronouns only.

(43) a. ja'a lèka mèdha èèna ètu èu

1SG believe goods DIS.TSG LOC 2SG

‘I entrust this thing to you’

b. *ja'a lèka mèdha èèna ètu mu

1SG believe goods DIS.TSG LOC 2SG

‘I entrust this thing to you’

(44) da-dui ne’e ja'a kahero mi èu/*mu

DUP-carry PROX.SG 1SG strike unto 2SG

‘This stick I hit unto you’

(45) èu neo ngaa dhu ja'a tao ma èu/*mu

2SG want what REL 1SG make toward 2SG

‘You want what I am doing toward you’

Personal Pronouns as Possessors

This section does not discuss in detail the types of possessive construction attested in Dhao,7 but

rather focuses on the position of personal pronouns in possessive constructions within an NP.

Possessive constructions that countain a pronoun in Dhao can be expressed through NP

structures in which the possessor is a pronoun or clitic pronoun. The possessor occurs to the

right of the possessed NP. There is no dedicated possessive marker. This construction is an NP-

internal possessive construction (Dixon, 2010a). There is no distinction between alienable and

inalienable possession in this case.8 In such a construction, the reduced pronouns are rarely

used, unless they are in non-sentence final positions. A typical possessive construction that

countains a full NP is given in (46). In this example, the first noun ngara ‘name’ is the

possessum and the second noun rai ‘land’ is the possessor. There is no marker at all. While all

full pronouns can be possessors in any position, most clitics occur only in subject position.

Examples (47a) and (47b) show full clitic pronouns as possessors in subject position. As

Jermy I. Balukh

112

illustrated in (48b), only 3SG clitic can occur as a possessor within the NP in object position.

There must be a pragmatic reason for this, which is beyond the scope of the present paper.

(46) [ngara rai] dhu miu pea ne'e…

name land REL 2PL stay PROX.SG

‘The name of the place where you are living …’

(47) a. [ma-muri ji'i] dhoka hua a'ju di

DUP-live 1PL.ex only fruit wood only

‘Our life only depends on fruits’

b. [ma-muri ku] dhoka hua a'ju di

DUP-live 1SG only fruit wood only

‘My life only depends on fruits’

(48) a. ja’a pua nèngu dame dara [èmu ja’a/*ku/*ti]

1SG ask 3SG paint inside house 1SG/1PL.in/

‘I asked him to paint the inside part of my house’

b. ja’a pua nèngu dame dara [èmu na]

1SG ask 3SG paint inside house 3SG

‘I asked him to paint the inside part of his house’

In cases where the possessum is clear from the previous discourse, it can be substituted

by unu ‘own’. Within this type of NP, clitic possessors are possible. For example, (49a) explains

a situation where a group of people went fishing and brought back all the fish that they caught,

leaving nothing behind for others. The unexpressed ‘fish’ is interpreted as the possession, which

is, since it is clear from previous discourse, substituted by the word unu ‘own’. It is seen in

(49b) that the possessum i’a ‘fish’ is in the same position as unu ‘own’ and it is acceptable. The

co-occurrence of the possessum i’a ‘fish’ and unu ‘own’ as in (49c) violates the construction.

(49) a. dhèu se'e r-are aa'i [unu =ra] ka...

person PROX.PL 3PL-take all own 3PL PRT

‘The people brought all (the fish) that they had, then…’

b. dhèu se'e r-are aa'i [i’a =ra] ka...

person PROX.PL 3PL-take all fish 3PL PRT

‘The people brought all the fish that they had, then…’

c. *dhèu se'e r-are aa'i [i’a unu =ra] ka...

person PROX.PL 3PL-take all fish own 3PL PRT

PRONOUNS AND OTHER CONSTITUENTS

Pronouns with Demonstratives

Like full NPs, full pronouns in Dhao are allowed to take demonstratives as modifiers. These

demonstratives in turn are used by the speaker for evaluating or appraising oneself. The

demonstratives follow the full pronouns, both in S and O positions. Other sets of personal

pronouns cannot take modifiers. It is cross-linguistically common that the modification of

pronouns exhibits a constraint on space and number (cf. Bhat, 2004:37–57; Dixon, 2010:198–

223). Thus, the pronoun ja’a ‘1SG’ and èu ‘2SG’ can only be modified by the proximal singular

demonstrative ne’e ‘PROX.SG’, whereas nèngu ‘3SG’ can take all singular demonstratives. For

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

113

plural pronouns, only rèngu ‘3PL’ can be modified by any plural demonstrative, while the other

three pronouns, ji’i ‘1PL.ex’, èdhi ‘1PL.in’ and miu ‘2PL’ can only be modified by the proximal

plural se’e ‘PROX.PL’. As illustrated in (50), the second singular pronoun is modified by

proximal singular demonstrative; while, in (51) and (52), the third singular pronoun can be

modified by both proximal and remote singular demonstratives. Furthermore, the first plural

pronoun in (53) takes a proximal demonstrative, whereas the third plural pronoun in (54) takes a

remote demonstrative.

(50) [èu ne’e] pa-j'èra ja'a sèmi ngaa

2SG PROX.SG CAUS-suffer 1SG like what

‘You make me in a big trouble’

(51) nèngu ne’e dhèu hiu ètu ne'e

3SG PROX.SG person new LOC PROX.SG

‘S/He is a new comer here’

(52) ja’a pa-èi [nèngu nèi]

1SG CAUS-water 3SG REM.SG

‘I soldered it’

(53) [èdhi se’e] dhèu a'a ari

1PL.in PROX.PL person older.sibling younger.sibling

‘We are brothers and sisters’

(54) [rèngu sèi] dhèu limuri

3PL REM.PL person latest

‘They are young people’

Unlike full pronouns, clitics cannot take demonstratives as modifiers. As shown in

(55a), the full pronoun nèngu ‘3SG’ is modified by the demonstrative ne’e ‘PROX.SG’. If the

full pronoun is replaced with the clitic na ‘’3SG’, as in (55b), the sentence is judged

ungrammatical. The sentence is grammatical only if the clitic na ‘3SG’ is not modified by ne’e,

as shown in (55c). One possible explanation for this condition is that clitics are prosodically

dependent elements (cf. Dixon, 2010:20-27). Further research is required to verify this

assumption, which is beyond the scope of this paper.

(55) a. nèngu ne’e ka dhu mai meda èèna

3SG PROX.SG PRT REL come yesterday DIST.SG

‘He was the one who came yesterday’

b. *na= ne’e ka dhu mai meda èèna

3SG PROX.SG PRT REL come yesterday DIST.SG

c. na= ca’e hari asa kolo ana aj’u

3SG climb again to top child wood

‘He climbs again to the top of the tree’

Pronouns with Numerals/Quantifiers

In Dhao, pronouns can co-occur with numerals and quantifiers. Numerals are used to specify the

exact number of referents that pronouns have left unspecified. Only plural pronouns take

numerals. They do not directly modify pronouns, but rather provide additional information with

Jermy I. Balukh

114

regard to the identity of their referents. The pronoun-numeral construction must be interpreted

as referring to a selection of the persons that belong to a particular group, instead of referring to

the whole group (Bhat, 2004:55). Meanwhile, quantifiers are used to refer to the whole group.

Example (56a) shows a typical noun phrase where the noun dhèu ‘person’ functions as the head

and is modified by the numeral dua ‘two’ followed by the plural demonstrative se’e

‘PROX.PL’. When the noun head is absent, the numeral becomes the head, indicating the

number of referents, leaving the type of referent (animate or inanimate) unspecified, as in (56b).

In (56c), deleting the numeral makes the number of the referent unspecified. With numeral, the

relevant demonstrative (either singular or plural) is obligatory, otherwise the construction is

ungrammatical, as in (56d).

(56) a. dhèu dua se’e ètu èmu

person two PROX.PL LOC house

‘These two people are in the house’

b. dua se’e ètu èmu

two PROX.PL LOC house

‘These two (people) are in the house’

c. dhèu se’e ètu èmu

person PROX.PL LOC house

‘These two (people) are in the house’

d. *dhèu dua ètu èmu

person two LOC house

‘These two (people) are in the house’

When numerals co-occur with pronouns, the clitic version of the pronoun is obligatorily

present. The clitic is a necessary extra nominal modifier in this specific construction with no

independent semantic contribution. In pronoun-numeral constructions, only the third plural

person rèngu ‘3PL’ is acceptable with both the relevant demonstrative, resembling a full NP

construction, as in (56) above, and the clitic counterpart. For instance, (57a) shows that the clitic

ra ‘3PL’ appears after the numeral dua ‘two’, whereas (57b) applies a plural demonstrative sèi

‘REM.PL’ in the same position as the clitic. The full pronoun rèngu ‘3PL’ can be deleted, as

indicated between brackets, without affecting the meaning of the subject referent. Either a clitic

or a demonstrative is obligatory, otherwise the construction is ungrammatical, as shown in

(57c).

(57) a. (rèngu) dua ra= pa-raga

3PL two 3PL RECIP-meet

‘The two of them met?’

b. (rèngu) dua sèi pa-raga

3PL two REM.PL RECIP-meet

‘The two of them met?’

c. *rèngu dua pa-raga

3PL two RECIP-meet

Other pronouns do not allow demonstratives in pronoun-numeral constructions, but

only the corresponding clitics. As demonstrated in (58a) , the full pronoun èdhi ‘1PL.in’

requires its corresponding clitic ti to follow the numeral dua ‘two’. When the proximal plural

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

115

demonstrative se’e in (58b) appears in the position of a clitic, the sentence is judged

ungrammatical. Another evidence comes from the pronoun-numeral construction in object

position as illustrated in (59) where only clitics applies, not demonstrative.

(58) a. (èdhi) dua ti= t-a'a

1PL.in two 1PL.in 1PL.in-eat

‘We two of us eat (together)?’

b. *(èdhi) dua se’e t-a'a

1PL.in two PROX.PL 1PL.in-eat

‘We two of us eat (together)?’

(59) rèngu pua èdhi telu =ti/*se’e

3PL ask 1PL.in three 1PL.in/PROX.PL

‘They asked three of us’

Contrastively, both the clitic and the demonstrative are acceptable when the identifying

element is a quantifier, aa’i ‘all’, as shown in (60). Like pronoun-numeral construction,

pronouns are optional in this construction. With the quantifier, only plural pronouns apply.

Since the clitic already provides information about the referent, the absence of pronouns does

not violate to the construction. Other quantifying expressions use ciki ‘a few’ and pèri ‘how

many’. They have a different grammatical constraint in that they require a human classifier dhèu

‘person’,9 as illustrated in (61) and (62) below.

(60) ja'a mengajak (èdhi) aa'i =ti/se’e

1SG urge(IND) 1PL.in all 1PL.in/PROX.SG

‘I am asking all of us’

(61) (ji’i) dhèu ciki ood’e di dhu la-’a

1PL.ex person a.few INT only REL go-1PL.ex

‘Only a very few of us go’

(62) (ji’i) dhèu pèri di ètu èmu

1PL.ex person how,many only LOC house

‘Some of us are at home’

Pronouns with Relative Clauses

Like modifying NPs, relative clauses follow pronouns. The relative clauses in Dhao are marked

with dhu ‘REL’, as exemplified in (63) . Such a relative clause specifies the context of the

referent of the pronoun èu ‘2SG’, that is the one who does not want to be a king. Clitics never

take relative clauses, thus a clitic as exemplified in (64) is unacceptable. It is only acceptable

when clitics co-occur with a numeral, as shown in (65).

(63) èu [dhu neo boe j'aj'i dhèu aae na]REL mai kalua

2SG REL want not become person great COMPL come exit(IND)

asa li'u mai

to outside come

‘You, who do not want to be a king, go out and come here’

Jermy I. Balukh

116

(64) rèngu/*ra dhu padhae lii r-èdhi boe

3PL REL speak voice 3PL-see not

‘They who have not had conversation’

(65) ja'a ngee na dua ra dhu mahu

1SG think COMPL two 3PL REL drunk

‘I think that two of them are the drunk ones’

Pronouns with NPs

In situations in which the speakers intend to provide information regarding the identity of the

referents, they will use full NPs in addition to the personal pronouns. This construction is

employed by speakers to prevent contextual ambiguity in the situation in which, when the

speaker has an assumption that the addressee might not be able to identify the referent other

than the speaker him/herself (Bhat, 2004:45). In Dhao, third person pronouns require NPs to

precede them in a topical position, whereas other pronouns require NPs to follow them in an

appositional position. The third singular pronoun is illustrated in (66a) and (67), and the third

plural pronoun is given in (68). In those sentences the NPs and the full pronouns refer to the

same referent. The NP-pronoun order is fixed; therefore (66b) is unacceptable.

(66) a. [Pesa.Kèli] nèngu ètu talora

Pesa Kèli 3SG LOC middle

‘Pesa Kèli, he was in the middle part’

b. *nèngu [Pesa.Kèli] ètu talora

3SG Pesa Kèli LOC middle

(67) [oka ne’e] nèngu kapai

garden PROX.SG 3SG big

‘This garden, it is big’

(68) [mone èci dènge bhèni èci] rèngu padhai lii

male one with female one 3PL speak voice

‘A man and a woman, they are talking’

Two examples of other pronouns are exemplified as follows. In (69), the speaker uses

the full pronoun ji’i ‘1PL.ex’ with the noun phrase dhèu Dhao ne’e ‘Dhaonese here’ as an

identifying expression for the sake of disambiguation of the subject ji’i ‘1PL.ex’. Likewise,

example (70a) employs the noun phrase ana sakola ‘school children’ to specify the individuals

intended by the speaker as miu ‘2PL’. Unlike third person pronouns, these pronouns do not

allow the NPs to precede them; therefore (70b) is unacceptable.

(69) ji'i dhèu Dhao ne’e parlu boe tenge èi

1PL.ex person Dhao PROX.SG need(IND) not look.for water

‘We, Dhaonese here, do not need to look for water’

(70) a. miu ana sakola mai ka ne’e

2PL child school(IND) come PRT PROX.SG

‘You, school children, come here’

b. *ana sakola miu mai ka ne’e

child school(IND) 2PL come PRT PROX.SG

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

117

SUMMARY

As has been discussed in the preceding sections, personal pronouns in Dhao function as the

heads of NPs, which in turn fill the grammatical functions of subject, object, prepositional

complements, and possessor within an NP possessor construction. Personal pronouns belong to

two distinct paradigms, based on their phonological relationship: the first consisting of full

pronouns and reduced pronouns, and the second consisting of clitic pronouns and cross-

reference affixes. Each group has two distinct types of syntactic behavior. Full pronouns can fill

in any argument position without any constraints, while reduced pronouns are limited to S and

non-sentence final position. This is also the case for clitics and affixes. While clitics occur in

any position, except nga ‘1PL.ex’ and 3SG clitics, affixes only occur as S arguments.

The above-mentioned description has explicitly confirmed that the pronominal system

of Dhao has morphological and syntactic strategy; the affixes are attached only to selected verbs

that require inflection. Clitic pronouns exhibit a more ‘flexible’ distribution, since they

constitute separate syntactic words. Clitic pronouns constitute independent syntactic words, but

not independent phonological words (Dixon, 2010a:212). The use of personal pronouns of Dhao

in different syntactic roles can be summarized in Table 4 below.

Table 4. Summary of Personal Pronouns in Different Syntactic Roles

Forms S A P Poss.

Full Pron. √ √ √ √

Reduced

Pron.

nu ‘3SG’

ru ‘3PL’

nu ‘3SG’

ru ‘3PL’

?

?

-

-

Pron.

Clitics

*nga ‘1PL.ex’

*ne ‘3SG’

na ‘3SG’

*nga ‘1PL.ex’

*ne ‘3SG’

na ‘3SG’

*nga ‘1PL.ex’

ne ‘3SG’

*na ‘3SG’

*nga ‘1PL.ex’

*ne ‘3SG’

na ‘3SG’

Prefixes √ √ - -

Suffixes √ - - -

It has also been described that personal pronouns can co-occur with other constituents,

such as demonstratives, relative clauses, NPs, and numerals/quantifiers. When applying

demonstratives, they have constraints on number and space. Only third persons can occur with

all types of demonstratives, while others can only occur with proximal demonstratives. All full

pronouns can be modified by relative clauses. In this case, the relative clauses restrict the

context of the referents in argument position. When co-occurring with other NPs and

numerals/quantifiers, only plural pronouns apply. Except for 3SG, singular pronouns do not take

NPs in this kind of construction. This is perhaps because the singular pronouns have already

implied definiteness; therefore, they do not require additional information as identifying element

to refer to the referent. The summary of the co-occurrence of personal pronouns and other

constituents is presented in Table 5 below.

Jermy I. Balukh

118

Table 5. Summary of Personal Pronouns and Other Constituents

Pron. Full DEM REL NP NUM

1SG ja’a √ √ - -

2SG èu √ √ - -

3SG nèngu √ √ √ -

1PL-in èdhi √ √ √ √

1PL-ex ji’i √ √ √ √

2PL miu √ √ √ √

3PL rèngu √ √ √ √

CONCLUSION

This paper has shown that Dhao has three sets of morphologically independent personal

pronouns and one set of bound form (affixes). In argument positions, full pronouns and clitics

are in complementary distribution. While full pronouns can occur in any argument position, the

reduced pronouns can only occur in non-sentence final positions. Furthermore, clitics except for

nga ‘1PL.ex’ and 3SG clitics can occupy any argument position. Affixes exclusively co-refer to

subjects, whether they are present or not. Only full pronouns are employed as prepositional

complements. Both full pronouns and clitics can occur as possessors in NP constructions. In

argument positions, pronouns can also co-occur with other elements that function as additional

information for identifying the referents. In this case, pronouns are followed by demonstratives,

relative clauses, and numerals/quantifiers. These constituents function as identifying

expressions to restrict the context in which the pronouns are employed. Identifying NPs have

constraints: plural pronominal subjects require identifying NPs to follow, whereas third

pronominal subjects allow them to precede.

NOTES

* The authors would like to thank the two anonymous reviewers for their helpful comments on the earlier version of this paper. 1 The earlier version of this paper was presented in the International Congress of Linguistic Society of

Indonesia, February 18-22, 2014 at Sheraton Hotel Bandar Lampung. 2 Some consonants used in this paper that are orthographically different from IPA symbols are transcribed

as follows: b’ /ɓ/, d’ /ɗ/, j’ /ʄ/, bh /b͡β/, dh /ɖ͡ʐ/, ng /ŋ/ ny /ɲ/, ’ /ʔ/ and vowel è /ə/. 3 This clitics pronoun is never attested in any argument position .

4 It is phonemically an open mid unrounded vowel /ʌ/.

5 The clitics and affixes are in fact the reflexes from proto-AN pronouns (Ross, 2006) that are retained in

Dhao and some neighboring languages, such as Kambera (Klamer, 1998) and Rote (Balukh, 2005; Jonker, 1915) (but not in Hawu (Walker, 1982)). The capital symbols of the prefixes represent abstract vowels that will account for the phonological conditions of irregular inflected verbs (see Table 2, see also Grimes, 2010:267; 2012:30). Another different form comes from the suffix -si ‘3pl’ which is most probably grammaticalized from Dhao’s remote plural demonstrative sèi ‘Rem.pl’ (Ross, 2006:536). In addition to that, the pronoun rèngu ‘3pl’ in Dhao can also refer to a non-human entity indicating plurality, while its clitics counterpart ra ‘3pl’ is not attested as a plural marker in Dhao. 6 Grimes (2010:267) calls the cross-reference suffixes.

7 Dhao has three strategies for possessive constructions; one is the NP structure, and the other two are

predicative unu ‘own’ and dènge ‘with’. The word unu ‘own’ can be nominal and verbal but dènge ‘with’ can only be verbal for this regard. 8 While NP-internal possessive constructions apply to both types, predicative possessive constructions can

only apply to alienable possession. 9 The discussion of grammatical properties of classifiers is beyond this topic.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

119

REFERENCES

Aikhenvald, A.Y. (2006). Serial verb constructions in typological perspective. In A.Y.

Aikhenvald & R.M.W. Dixon (Eds.), Serial verb constructions: A cross-linguistic

typology (pp. 1-68). Oxford, U.K.; New York: Oxford University Press.

Aikhenvald, A.Y. (2010). Imperatives and commands. Oxford: Oxford University Press.

Balukh, J.I. (2005). Mekanisme perubahan valensi dalam bahasa Rote (Unpublished Master

Thesis). Linguistic Department, University of Udayana, Denpasar.

Balukh, J.I. (2013). Two grammars, one surface form: A preliminary study on Dhao. Presented

at the EuroSEAS Conference, July 2-5, 2013, Lisbon, Portugal.

Bhat, D.N. (2004). Pronouns. Oxford [England]; New York: Oxford University Press.

Bloomfield, L. (1933). Language. New York: Holt and Company.

Blust, R. (2008). Is there a Bima-Sumba subgroup? Oceanic Linguistics, 47(1), 45–113.

Blust, R. (2009). The position of the languages of Eastern Indonesia: A reply to Donohue and

Grimes. Oceanic Linguistics, 48 (June 2009)(2), 36–77.

Blust, R. (2013). The Austronesian languages. Canberra: Asia-Pacific Linguistics.

Dixon, R.M.W. (2010). Basic linguistic theory: Grammatical topics (Vol. 2). Oxford, New

York: Oxford University Press. Retrieved from http://site.ebrary.com/id/10674477.

Donohue, M., & Grimes, C.E. (2008). Yet more on the position of the languages of Eastern

Indonesia and East Timor. Oceanic Linguistics, 47 (June 2008)(1), 114–158.

Fox, J.J. (1987). Between Savu and Rote: The transformation of social categories on the island

of Ndao. In D.C. Laycock & W. Winter (Eds.), A world of language (pp. 195–203).

Canberra: Pasific Linguistics.

Grimes, C.E. (2010). Hawu and Dhao in eastern Indonesia. In M. Klamer & M. Ewing (Eds.),

East Nusantara, typological and areal analyses (pp. 251–280). Canberra: Pasific

Linguistics.

Grimes, C.E. (2012). Panduan menulis bahasa Ndao (Lii Dhao). Kupang: Unit Bahasa dan

Budaya.

Haspelmath, M. (2013). Argument indexing: a conceptual framework for the syntactic status of

bound person forms. In Languages across boundaries: Studies in memory of Anna

Siewierska (pp. 197–226). De Gruyter Mouton.

Jonker, J.C.G. (1903). Iets Over de Taal van Dao. In Album-Kern; Opstellen geschreven ter eere

van Dr. H. Kern (pp. 85–89). Leiden: E.J. Brill.

Jonker, J.C.G. (1915). Rottineesche spraakkunst. Leiden: Brill.

Klamer, M.A.F. (1998). A grammar of Kambera. Berlin: Mouton de Gruyter.

Payne, T.E. (1997). Describing morphosyntax: A Guide for field linguists. United Kingdom:

Cambridge University Press.

Jermy I. Balukh

120

Ross, M.D. (2006). Reconstructing case marking and personal pronoun system of Proto

Austronesian. In H.Y. Chang, L.M. Huang, & D. Ho (Eds.), Streams converging into an

ocean: Festschrift in honor of Professor Paul Jen-Kuei Li on his 70th birthday (pp. 521–

563). Taipei: Institute of Linguistics, Academia Sinica.

Van Klinken, C.L. (1999). A grammar of the Fehan dialect of Tetun: An Austronesian language

of West Timor. Canberra: Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian

Studies, The Australian National University.

Walker, A.T. (1982). A Grammar of Sawu. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA,

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 121-133 Volume ke-33, No. 2 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

“BENTUK HORMAT” DIALEK BAHASA BALI AGA DALAM KONTEKS AGAMA1

Hara Mayuko2

Osaka University

[email protected]

Abstrak

Bahasa Bali mempunyai dua dialek utama, dialek Bali Dataran (BD) dan dialek Bali Aga

(BA). Dialek BD mempunyai bentuk hormat (Sor Singgih Basa, Unda Usuk Basa) yang

sistematis berdasarkan beberapa faktor yang berkaitan dengan latar belakang

percakapan, terutama perbedaan kasta antarpartisipan, sedangkan dalam masyarakat

BA tidak terdapat perbedaan pengelompokan status sosial (kasta). Dengan demikian,

pada prinsipnya dialek BA tidak mengenal pemakaian bentuk hormat. Namun, ucapan

pada waktu berdoa (mesapayang) yang berisi kata-kata ‘alus’ bentuknya sama atau

mirip dengan Kruna Alus, Kruna Alus Singgih, dan Kruna Alus Sor dari dialek BD.

Makalah ini dimaksudkan untuk memerikan “bentuk hormat” dialek BA yang digunakan

di desa Pedawa berdasarkan analisis ucapan doa waktu upacara, dan mengasumsikan

kemungkinan interferensi dan peminjaman dari dialek BD ke dialek BA melalui ranah

agama dan upacara.

Kata kunci: bentuk hormat, dialek Bali Aga, dialek Bali Dataran

Abstract

Balinese language has two major dialects, Lowland Balinese dialect (BD dialect) and

Mountain Balinese dialect (BA dialect). BD dialect has a systematic form of respect (Sor

Singgih Basa, Unda Usuk Basa) which is based, mainly, on the differences of caste

between speakers in the society. In the BA community, however, there is no difference of

social status groupings. Thus, in principle BA dialect does not have the system and use of

honorifics. However, speeches at prayers contain the honorific words which are the same

as or similar to Kruna Alus, Kruna Alus Singgih, Kruna Alus Sor of BD dialect. This

paper describes the “honorifics” of BA dialect used in the Pedawa village based on

analysis of speeches at prayers, and points the possibility of interference and borrowing

from BD dialect to BA dialect through religious domain.

Keywords: honorifics, Mountain Balinese Dialect, Lowland Balinese Dialect

PENDAHULUAN

Bahasa Bali mempunyai dua dialek utama, dialek Bali Dataran (BD) dan dialek Bali Aga (BA)

(Denes, 1982; Bawa, 1983; Clynes, 1995). Dialek BD umumnya digunakan di daerah dataran

Pulau Bali termasuk daerah perkotaan seperti Denpasar dan jumlah penuturnya cukup banyak.

Sebaliknya dialek BA kebanyakan digunakan di daerah pegunungan yang belum begitu

berkembang dan jumlah penuturnya jauh lebih sedikit dibandingkan penutur dialek BD.3

Dialek BD dan BA dapat dibedakan dari segi (i) variasi kosakata, (ii) fonologi

(distribusi bunyi vokal [a] dan [ə] di akhir kata), dan (iii) bentuk hormat (honorific system) serta

kosakatanya (Bawa, 1983). Tentu juga selain perbedaan dialek, antara masyarakat BD dan BA,

Hara Mayuko

122

adat-istiadat budaya dan agama juga ada banyak perbedaan lain. Makalah ini berfokus pada segi

(iii) dan kaitannya dengan budaya dan agama.

SISTEM KASTA DAN BENTUK HORMAT

Dialek BD mempunyai bentuk hormat (sor singgih basa, unda usuk basa, anggah-ungguhing

basa4) sistematis yang mengatur dan mengubah ragam tingkat hormat dengan menggantikan

kata dari pasangan padanan bentuk hormat, berdasarkan beberapa faktor yang berkaitan dengan

latar belakang percakapan, terutama berdasarkan perbedaan kasta antarpartisipan dalam

masyarakat yang menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu dalam

masyarakat BA tidak terdapat perbedaan status sosial (dari pandangan masyarakat BD tidak ada

sistem pengelompokan sosial yang umum dikenal sebagai kasta).

Seperti ditunjukkan pada figur berikut, leksikon dialek BD secara garis besar terdiri dari

“leksikon netral” dan “leksikon bentuk hormat”. Leksikon netral terdiri dari “kata netral”5.

Leksikon bentuk hormat terdiri dari “leksikon biasa” dan “leksikon alus”. Leksikon biasa terdiri

dari “kata biasa” (kruna biasa), sementara leksikon alus dibagi lagi menjadi “kata alus” (kruna

alus), “kata alus singgih” (kruna alus singgih), dan “kata alus sor” (kruna alus sor). Kata biasa

mempunyai satu atau dua padanan dari leksikon alus dan membentuk “pasangan padanan

bentuk hormat” (Sakiyama dan Shibata, 1992), yaitu kata biasa-kata alus (mis. ibi-dibi

‘kemarin’), kata biasa-kata alus singgih (mis. gelem-sungkan ‘sakit’), dan kata biasa-kata alus

singgih-kata alus sor (mis. ia-dane-ipun ‘dia’). Dalam hal ini kata netral tidak mempunyai

padanan dan dapat dipakai untuk semua tingkat kehalusan (mis. panes ‘panas’).

Figur 1. Struktur Leksikon Dialek BD dan BA

——: leksikon dialek BD

------: leksikon dialek BA

Kalimat dalam dialek BD yang berarti “kemarin dia sakit panas” bisa bervariasi tergantung

tingkat kehalusannya seperti berikut.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

123

(1) Ibi ia gelem panes

biasa biasa biasa netral

(2) Dibi dane sungkan panes

alus alus singgih alus singgih netral

(3) Dibi ipun gelem panes

alus alus sor biasa netral

(4) Ibi dane sungkan panes

biasa alus singgih alus singgih netral

Kalimat (1) bisa muncul dalam percakapan dengan partisipan yang sederajat atau yang berstatus

lebih rendah. Pihak ketiga yang sedang dibicarakan juga sederajat dengan si pembicara atau

berstatus lebih rendah (terutama berdasarkan kasta), jadi kata yang dipilih semuanya kata biasa.

Kalimat (2) bisa muncul dalam percakapan dengan yang berstatus lebih tinggi dan pihak

ketiga yang sedang dibicarakan juga lebih tinggi daripada si pembicara (terutama berdasarkan

kasta). Kata alus (dibi) dipilih untuk membuat kalimatnya sendiri lebih halus dengan

mencerminkan perbedaan tingkat status antarpartisipan. Ini secara tidak langsung bisa

menunjukkan rasa hormat atau sungkan kepada pihak yang diajak berbicara. Oleh karena

fungsinya yang demikian, kata alus kebanyakan berupa kata gramatikal seperti preposisi,

adverbia, dan konjungsi. Kata alus singgih berfungsi untuk menunjukkan kehormatan kepada

partisipan yang diajak berbicara atau partisipan yang sedang dibicarakan. Kata alus singgih yang

dipakai pada kalimat ini (dane, sungkan) menunjukkan kehormatan kepada si pihak ketiga yang

sedang dibicarakan. Seperti terlihat dari dua kata ini, kata alus singgih bukan hanya pronomina

persona saja, tetapi ada juga verba, ajektiva, dan nomina yang bermakna aktivitas, sifat, bagian

tubuh, milik partisipan, dan sebagainya.

Kalimat (3) juga muncul dalam percakapan antara si pembicara yang berstatus lebih

rendah daripada yang diajak berbicara, tetapi pihak ketiga yang sedang dibicarakan lebih rendah

daripada partisipan yang diajak berbicara (terutama berdasarkan kasta). Kata alus (dibi)

berfungsi sama dengan kalimat (2), yaitu membuat kalimatnya halus agar secara tidak langsung

menunjukkan kehormatan kepada yang diajak berbicara. Kata alus sor berfungsi untuk

merendahkan si pembicara sendiri atau pihak ketiga yang dibicarakan yang berstatus lebih

rendah daripada lawan bicara, sehingga bisa diketahui rasa kehormatan kepada lawan bicara

yang berstatus lebih tinggi. Seperti halnya kata alus singgih, kata alus sor juga kebanyakan

bermakna aktivitas, sifat, bagian tubuh, dan milik partisipannya. Kata alus sor yang dipakai

pada kalimat ini (ipun) merendahkan pihak ketiga yang sedang dibicarakan, sehingga bisa

diketahui adanya rasa hormat kepada pihak yang diajak berbicara. Kata biasa (gelem) yang

dipakai pada kalimat ini dipakai sebagai fungsi kata alus sor, yaitu untuk merendahkan pihak

ketiga yang dibicarakan. Kata biasa yang menjadi bagian dari pasangan kata biasa-kata alus

singgih memiliki dua fungsi, yaitu fungsi kata biasa dan fungsi kata alus sor.

Kalimat (4) bisa muncul dalam percakapan dengan partisipan sederajat atau yang

berstatus lebih rendah (terutama berdasarkan kasta), maka dipilih kata biasa (ibi) seperti kalimat

(1). Pihak ketiga yang dibicarakan berstatus lebih tinggi daripada si pembicara, maka dipilih

kata alus singgih (dane, sungkan) seperti kalimat (2). Di keempat kalimat yang bervariasi dari

segi tingkat kehalusan terdapat satu kata netral (panes). Kata ini tidak mempunyai padanan

bentuk hormat, sehingga bisa dipakai dalam keempat contoh kalimat di atas yang berbeda

tingkat kehalusannya.

Hara Mayuko

124

Sementara itu, leksikon dialek BA hanya terdiri dari leksikon yang bersifat netral saja

dan tidak mempunyai padanan kata, sehingga tidak membentuk pasangan tersebut. Dalam dialek

BA, contoh kalimat dialek BD yang disebut di atas diwujudkan dengan satu kalimat saja seperti

berikut.

(5) Ibi ia gelem panes

Empat kata yang membentuk kalimat ini terdapat juga dalam kalimat (1). Hanya saja bunyi

vokal di akhir kata dari pronomina persona ketiga ia ‘dia’ berlainan antara dialek BD dan BA:

kalimat (1) [ə], kalimat (5) [a], seperti disebut di bagian atas. Bukan hanya panes, tiga kata yang

lain juga tidak mempunyai padanan kata bentuk hormat dalam leksikon dialek BA dan tidak

mempunyai konotasi seperti halus atau biasa. Sementara itu dalam dialek BD tiga kata selain

panes digolongkan sebagai kata biasa yang merupakan bagian pasangan padanan bentuk hormat.

Perlu dicatat bahwa pronomina persona dialek BA memiliki kata berkonotasi halus yang

tidak bisa digolongkan sebagai kata netral, yaitu pronomina persona pertama nira dan

pronomina persona kedua dane (Hara, 2015). Baik pronomina pertama maupun pronomina

kedua dialek BA, masing-masingnya memiliki dua kata yang boleh dikatakan membentuk

pasangan padanan bentuk hormat seperti dialek BD (aku-nira, ko-dane). Kata nira berfungsi

seperti kata alus sor dialek BD, yakni merendahkan diri dan kata dane seperti kata alus singgih

dialek BD, yakni memuliakan partisipan yang lain, tetapi pemakaian nira dan dane terbatas di

hadapan partisipan tertentu atau pada waktu tertentu saja. Kata nira dipakai dalam keluarga saja,

oleh orang yang menjadi keluarga melalui perkawinan, kepada anggota keluarga yang

berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah; artinya generasi lebih atas daripada suami atau

istrinya sendiri. Misalnya, menantu menyebut diri sendiri sebagai nira waktu berbicara dengan

mertua untuk menunjukkan kehormatan dengan merendahkan diri. Kalau tidak ada hubungan

demikian, pronomina pertama yang satu lagi, aku yang digunakan. Pronomina persona kedua,

dane dipakai kepada (1) pemimpin upacara keagamaan termasuk balian desa dan (2) enam

orang berjabatan teratas desa (pengulu/ulu desa)6. Kecuali untuk balian desa, kata dane dipakai

hanya pada saat peran bersangkutan dimainkan saja, seperti waktu upacara dan rapat.7 Kedua

kata ini (nira, dane) terdapat juga dalam kosakata dialek BD, namun maknanya berbeda dengan

dialek BA (mengenai kata dane dialek BD lihat contoh kalimat 2 dan 4). Kosakata selain

pronomina pertama dan kedua ini bisa digolongkan sebagai kata yang bersifat netral seperti

contoh kalimat (5) di atas.

Dengan demikian, pada prinsipnya dialek BA tidak mengenal pemakaian bentuk

hormat, seperti telah disebut dalam Bawa (1983) dan Clynes (1995), dan sebagainya. Seperti

ditunjukkan dengan garis putus-putus pada Figur 1, leksikon dialek BA sebagian besar sama

dengan leksikon netral dan biasa dari leksikon dialek BD (mis. ibi, ia, gelem, panes), dan

sebagian kecil hanya terlihat dalam dialek BA.8

DIALEK BALI AGA DI DESA PEDAWA

Di antara penelitian-penelitian sebelumnya yang mendeskripsikan distribusi geografik daerah

dialek BA, ada tiga karya utama, yaitu Denes (1982), Bawa (1983), dan Foley (1983). Ketiga

karya tersebut memiliki perbedaan dari segi garis isoglos. Denes (1982) menganggap daerah BA

terletak di daerah utara Kabupaten Tabanan sampai Kabupaten Buleleng (sebutan sementara

daerah barat) dengan memperhatikan pentingnya variasi afiks. Bawa (1983) mengatakan bahwa

daerah BA berdistribusi di daerah barat, Kabupaten Bangli (yaitu daerah tengah), dan

Kabupaten Karangasem (yaitu daerah timur) dengan mempertimbangkan ciri fonologi. Menurut

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

125

Foley (1983), daerah dialek BA terletak di daerah barat, sebagian dari sebelah utara daerah

tengah, serta daerah timur tanpa menjelaskan alasannya. Penelitian ini diadakan di Desa

Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, yang terletak di daerah barat menurut

keterangan di atas.

Letak Desa Pedawa berdampingan dengan empat desa Bali Aga yang lain, yaitu Desa

Sidetapa, Cempaga, Tigawasa, dan Banyuseri. Menurut orang Pedawa, bahasa atau dialek yang

digunakan di desa-desa itu mempunyai banyak perbedaan dibandingkan dengan bahasa yang

digunakan di Desa Pedawa walaupun lokasinya dekat. Kendati demikian mereka masih bisa

berkomunikasi dengan penutur dari empat desa tersebut dengan memakai bahasa atau dialek

masing-masing. Selain itu, juga dikatakan bahwa bahasa atau dialek yang dipakai di Desa

Banyuseri sudah dipengaruhi dialek BD dan lebih dekat dengan dialek BD, bukan dialek BA

lagi. Orang Pedawa juga menyatakan bahwa mereka pernah bisa berkomunikasi dengan orang

BA yang tinggal lebih jauh, seperti di Kintamani dan Tenganan, dengan memakai bahasanya

masing-masing. Oleh karena jarak dialektik dan persamaan antara beberapa dialek BA yang

terdapat di daerah-daerah yang berbeda (daerah barat, daerah tengah, dan daerah timur) belum

jelas, dialek BA yang akan dibahas dalam makalah ini dibatasi pada dialek BA yang digunakan

di Desa Pedawa saja.

Dialek BA tidak mempunyai sistem bentuk hormat. Namun, setelah penulis memantau

ranah-ranah bahasa (domain) di Desa Pedawa, bahasa atau ragam dalam ranah agama berbeda

dari ranah-ranah yang lain. Perbedaan itu terutama terdapat pada ucapan waktu berdoa

(mesapayang, nyapayang) yang berisi kata-kata alus yang bentuknya sama atau mirip dengan

kata alus singgih dan kata alus sor dari dialek BD. Menurut penutur asli, ucapan dalam berdoa

dilakukan dengan dialek BA, tetapi diakui juga tidak sama dengan ranah lain, seperti ranah

keluarga dan teman. Contoh di bawah adalah petikan dari ucapan doa kepada leluhur yang akan

disebut pada bagian “Cara Pengambilan Data”.

...Nah, ditu kocap ngenah yen manut nang dedukun asana ampura asana dane

nyerewadi nang pianak buka I xxx (nama orang), I xxx (nama orang) ngidih

bebaktian ane buka Suci, nah ne jani kedagingan danene ane madan pinunase

ane madan Suci jani dane, nguningang cen patut inggian katur ane patut Ida

Betara9 ane sungsunga dini jajar kemirianga dane...

‘...Nah, kalau menuruti perkataan dukun, mohon maaf, katanya kelihatan ada

leluhur yang menjelma di anak si xxx, yaitu si xxx dan Anda (leluhur) minta

persembahan banten Suci. Nah, sekarang dipenuhi permintaan Anda, telah

dibuatkan banten Suci tersebut, sekarang Anda yang harus mempersembahkan

banten Suci tersebut kepada Tuhan/dewa yang dipuja di sini, disanggah jajaran…’

Kata yang berlatar belakang abu-abu adalah kata yang sama atau sangat mirip dengan leksikon

alus (kata alus, kata alus singgih, kata alus sor) dialek BD kecuali perbedaan bunyi vokal akhir

kata antara [a] dan [ə]. Secara khusus kocap ‘katanya’, manut ‘menurut’, ampura ‘maaf’,

kedagingan ‘dipenuhi’ (mungkin salah ucap kedagingin), inggian ‘ya, yaitu’ tergolong sebagai

kata alus dialek BD. Pinunase ‘permintaannya’, katur ‘dihaturkan’, dan nguningang

‘memberitahu’ tergolong sebagai kata alus sor dialek BD. Kata yang bercetak tebal adalah kata

atau ungkapan yang khusus terdapat dalam dialek BA dari segi bentuk dan makna. Kata dane

juga terlihat dalam leksikon alus dialek BD sebagai kata alus singgih yang berfungsi pronomina

persona ketiga (‘beliau’) (lihat contoh kalimat 2), tetapi dalam dialek BA dane berfungsi

sebagai pronomina persona kedua seperti disebut di atas, dan di contoh atas dimaksudkan

Hara Mayuko

126

leluhur yang ditujukan ucapan doa. Yang tersisa adalah kata yang terdapat dalam kedua dialek,

yaitu kata yang tergolong sebagai leksikon biasa dan leksikon netral dialek BD dari segi bentuk

dan makna, kecuali perbedaan bunyi vokal akhir kata tersebut di atas. Kata-kata dalam huruf

tebal di atas tidak dipakai dalam percakapan biasa, tetapi dalam ucapan doa sering muncul

seperti contoh ini. Dengan demikian, dalam pengertian ini dialek BA bisa dikatakan memiliki

“bentuk hormat” walaupun tidak bersistem dan hanya terbatas pada ranah tertentu.

Tujuan makalah ini adalah untuk memerikan “bentuk hormat” dialek BA yang

digunakan di Desa Pedawa. Khususnya topik yang akan dibahas adalah:

1) Pengucapan doa yang bagaimana muncul dalam kata-kata alus?

2) Kata-kata alus apa saja yang termasuk dalam kelompok ini bila ditilik dari segi makna dan

kelas kata?

3) Apa persamaan dan perbedaan antara “bentuk hormat” dialek BA dengan dialek BD?

CARA PENGAMBILAN DATA

Di setiap upacara pasti ada proses mengucapkan doa (nyapayang, mesapayang). Aktivitas tersebut

secara garis besar ditujukan kepada tiga pihak, yaitu dewa-dewa, butakala, dan leluhur. Pada

dasarnya dalam satu upacara terdapat ketiga macam pengucapan doa walaupun jenis upacara dan

tujuan utama doa itu berlainan. Apabila doa ditujukan kepada pihak yang sama (misalnya

dewa-dewa), maka inti ucapan hampir sama satu sama lain dan perbedaan bisa dianggap bervariasi

saja. Oleh karena itu, tiga jenis doa dipilih sebagai kasus untuk menganalisis ranah agama

berdasarkan pihak yang dituju, yaitu (i) doa kepada dewa-dewa, (ii) doa kepada butakala, dan (iii)

doa kepada leluhur. Melakukan aktivitas mengucapkan doa pada umumnya disebut nyapayang

dan mesapayang; tetapi, menurut penutur asli dialek Pedawa, untuk khusus jenis (iii) lebih banyak

dipakai istilah ngucapin tua-tua daripada nyapayang dan mesapayang.

Data untuk jenis (i) dan (iii) diucapkan oleh seorang pemimpin upacara keagamaan desa

(balian desa10) pada upacara melukat untuk seorang anak di kuil keluarga besar (sanggah

kemulan), pada bulan September tahun 2012. Upacara melukat adalah upacara untuk

membebaskan nasib buruk waktu ada gangguan atau kelainan yang sudah lama dan tidak dapat

hilang seperti sakit. Untuk kasus ini, salah satu alasan untuk melaksanakan upacara karena ada

suatu permintaan dari leluhur yang menjelma di anak sakit itu, yaitu ingin memberikan

persembahan kepada dewa. Keluarga besar yang bersangkutan mengadakan upacara tersebut

untuk memenuhi permintaan tersebut demi keselamatan anak mereka dengan mengundang

pemimpin upacara keagamaan desa (balian desa). Dalam upacara itu balian desa berdoa kepada

dewa-dewa dan selanjutnya kepada leluhur. Isi dari ucapan berdoa kepada dewa-dewa, jenis (i),

adalah pemberitahuan pelaksanaan upacara dan latar belakangnya serta permohonan bantuan

dan doa restu agar pelaksanaan upacara tersebut berhasil serta keadaan anak itu akan membaik.

Terkait dengan ucapan berdoa kepada leluhur, jenis (iii), isinya mirip, tetapi tujuan atau latar

belakang pelaksanaan upacara berkaitan dengan leluhur, sehingga terdapat banyak hal yang ada

hubungannya dengan leluhur. Data untuk jenis (ii) direkam pada upacara menyiram pekarangan

rumah (ngeyain karang), pada bulan Maret tahun 2013. Upacara ini merupakan pembersihan

pekarangan rumah (natah) untuk menenangkan roh-roh halus di bawah tanah dengan memberi

korban daging ayam agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Upacara untuk kasus ini

dilaksanakan oleh pemimpin upacara keagamaan (permas11

). Untuk upacara ini, keluarga juga

berada di tempat upacara; bahkan tetangga yang tinggal di satu pekarangan juga ikut hadir. Isi

dari ucapan doa adalah pemberitahuan tentang pelaksanaan upacara tersebut dan permintaan

pihak manusia kepada butakala agar tidak mengganggu kehidupannya.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

127

Tiga contoh doa upacara yang direkam ini dicatat bersama informan dari Desa Pedawa

yang pernah tinggal di daerah BD. Peneliti mencatat sambil menanyakan arti kata dan kalimat,

perbedaan dengan dialek BD, dan penggunaan di ranah-ranah yang lain dan sebagainya. Di

samping informan tersebut, beberapa pertanyaan juga diajukan kepada pemimpin upacara

sendiri yang mengucapkan doa tersebut dan keluarga yang mengadakan upacara jika konfirmasi

diperlukan. Selanjutnya, hasil teks tersebut dianalisis dan dibandingkan dari segi frekuensi

pemunculan kata setiap dialek atau tingkat hormat, yaitu kata biasa atau netral dialek BD yang

sama dengan dialek BA (leksikon biasa dan leksikon netral di dalam Figur 1), kata-kata bersifat

halus dialek BD seperti kata alus, kata alus singgih, kata alus sor (leksikon alus), dan kata yang

khusus muncul di dialek BA, serta dari segi bidang makna, kelas kata, pengaruh dialek BD, dan

sebagainya.

Perlu dicatat bahwa kebiasaan mengucapkan doa dalam BA berbeda dengan yang

terdapat di BD. Kalau di daerah BD, ucapan doa waktu upacara biasanya dilakukan dengan

mantra, yaitu ucapan yang mengandung kekuatan sakti, berirama, serta sering muncul

pengulangan ucapan. Dari segi bahasa, umumnya banyak mengandung unsur bahasa Sansekerta,

sehingga hanya bisa dilakukan oleh pendeta (pedanda, pemangku) saja.12 Sebaliknya, di daerah

BA ucapan doa tidak memakai mantra dan pada dasarnya bisa dilakukan oleh orang yang

mempunyai kemampuan untuk itu sesuai tingkat dan jenis upacara.

PERBANDINGAN TIGA TEKS UCAPAN DOA

Jumlah Kata Berdasarkan Perbedaan Tingkat Kehalusan

Untuk mengetahui seberapa banyak kata dari leksikon alus dialek BD muncul di ranah dialek

BA, ketiga jenis teks ucapan doa di atas dihitung jumlah katanya berdasarkan perbedaan dialek

dan tingkat kehalusan. Perhitungan dilakukan berdasarkan satuan kata. Unsur artikel atau

pronomina (demonstratif, persona) seperti -(n)e, -ne, -(n)ipun, atau ‘-nya’, yang berfungsi

sebagai modifier untuk membentuk frasa dengan nomina yang muncul di depannya juga

dihitung sebagai kata (misalnya, pinunase ‘permintaannya’). Aspek fonologi juga diamati

karena aspek tersebut merupakan salah satu unsur utama yang membedakan dialek BD dan BA.

Hasil perhitungan tertera pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jumlah Kata Leksikon Alus dalam Tiga Jenis Ucapan Doa

Tujuan Doa Dewa Butakala Leluhur

kata\jumlah jenis kata token jenis kata token jenis kata token

Kata netral BD13

1 1 0 0 0 0

Leksikon alus BD 188 (64%) 992 (72%) 45 (51%) 172 (67%) 28 (16%) 47 (9%)

Kata alus 140 713 28 89 23 41

Kata alus singgih 19 109 13 67 0 0

Kata alus sor 29 170 4 17 5 6

Kata biasa BD=BA 82 (28%) 321 (23%) 36 (40%) 71 (28%) 118 (68%) 362 (72%)

Kata BA khusus 7 (2%) 30 (2%) 7 (8%) 12 (5%) 16 (9%) 66 (13%)

Kata nama diri 17 (6%) 43 (3%) 1 (1%) 2 12 (7%) 28 (6%)

Total 295 (100%) 1387 (100%) 89 (100%) 257 (100%) 174 (100%) 503 (100%)

Bunyi [ə] _# 172 (84%) 33 (97%) 0

Bunyi [a] _# 32 (16%) 1 (3%) 73 (100%)

Total 204 (100%) 34 (100%) 73 (100%)

Angka-angka yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa baik dari perhitungan jenis

kata maupun dari token, kebanyakan unsur yang muncul di ucapan doa kepada dewa dan

Hara Mayuko

128

butakala adalah kata-kata dari leksikon alus dialek BD (di bawah ini ditulis sebagai “kata

leksikon alus BD”); sedangkan kata biasa atau netral dialek BD dari leksikon biasa dan netral

dialek BD yang sama dengan dialek BA (“kata biasa BD=BA”) dan kata yang muncul khusus di

dialek BA (“kata BA khusus”) sangat sedikit. Sebaliknya di ucapan doa kepada leluhur sangat

sedikit unsur kata leksikon alus BD dan kebanyakan unsur berasal dari kata biasa BD=BA dan

kata BA khusus.

Perincian leksikon alus BD yang muncul di setiap ucapan doa juga ditunjukkan pada

Tabel 1 di atas. Di ketiga jenis teks ucapan doa jumlah kata alus paling banyak. Kenyataan ini

sesuai dengan persentase perincian leksikon alus BD. Di ucapan doa kepada leluhur kata alus

singgih tidak terlihat, tetapi ini bisa dianggap tidak aneh karena seluruh jumlah kata dari

leksikon alus BD pada ucapan doa kepada leluhur memang sedikit.

Dari segi fonologi, seperti telah disebutkan pada bagian “Sistem Kasta dan Bentuk

Hormat”, terdapat perbedaan fonologis antara dialek BD dan BA pada perwujudan bunyi vokal

[a] dan [ə] di akhir kata, yaitu di dialek BD hanya muncul [ə], sedangkan di dialek BA hanya

muncul [a]. Seperti terlihat pada baris bawah Tabel 1, jumlah token untuk kata-kata yang

berakhir dengan bunyi [ə] jauh lebih banyak daripada yang berakhir dengan bunyi [a] dalam

ucapan doa kepada dewa dan butakala.14 Tentu saja kata-kata dari leksikon alus BD yang

berakhir dengan [ə] diucapkan demikian (misalnya, punikə ‘itu’). Kata-kata biasa BD=BA yang

berakhir dengan [a] dalam dialek BA juga diucapkan sebagai [ə] seolah-olah dialek BD

(misalnya, sranə ‘bahan’). Nama orang dan kata yang khusus di dialek BA yang berakhir

dengan [a] juga diucapkan dengan [ə] (misalnya, Surə [nama orang]). Jadi ucapan doa dua jenis

ini bisa dikatakan cenderung memakai kata dari leksikon alus BD dan mengikuti pengucapan

dialek BD. Sementara itu, teks ucapan doa kepada leluhur memberi kesan mengikuti dialek BA.

Pada teks ucapan doa kepada leluhur ini, terdapat enam kata dari leksikon alus BD yang

seharusnya diucapkan sebagai [ə] kalau dalam dialek BD, tetapi semua kata tersebut terwujud

sebagai [a] (misalnya, prasida ‘dapat’). Berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwa yang

menentukan pemunculan bunyi vokal [a] atau [ə] di akhir kata adalah jenis ucapan, bukan kata,

karena tidak ada kata yang bunyi vokal akhirnya selalu terwujud sebagai salah satu dari kedua

bunyi tersebut.

Dengan demikian, dari segi bentuk kata termasuk fonologi, ucapan doa kepada dewa

dan butakala bisa dikatakan cenderung diucapkan dalam dialek BD dengan ragam tingkat halus,

sedangkan ucapan doa kepada leluhur diucapkan dalam dialek BA. Namun, pada satuan frasa

atau kalimat, dalam ketiga teks ini ditemukan ungkapan atau ekspresi yang hanya muncul dalam

dialek BA dan tidak umum dalam dialek BD.15

Ini berarti bukan hanya ucapan doa kepada

leluhur, tetapi ucapan doa kepada dewa dan butakala juga setidaknya menunjukkan adanya ciri

khas dari dialek BA.

Kelas Kata dan Kategori Kosakata

Jika kata-kata yang muncul pada tiga contoh ucapan doa ditilik dari segi kelas kata atau kategori

kata, terlihat juga perbedaan antara ucapan doa kepada dewa dan butakala di satu sisi, dan

ucapan doa kepada leluhur di sisi lain (lihat Tabel 2). Dalam ucapan doa kepada dewa dan

butakala, pronomina (persona dan demonstratif), preposisi, konjungsi, adverbia, dan verba

bantu kebanyakan merupakan kata dari leksikon alus BD saja, sedangkan kata penuh seperti

verba, nomina, ajektiva terdiri baik dari kata leksikon alus BD maupun kata biasa BD=BA.

Sebaliknya, dalam ucapan doa kepada leluhur, pronomina (persona, demonstratif), dan unsur

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

129

gramatikal seperti preposisi dan konjungsi kebanyakan berasal dari kata biasa BD=BA dan kata

BA khusus.

Tabel 2. Unsur Gramatikal dan Leksikal dalam Tiga Jenis Ucapan Doa

Tujuan Doa Dewa Butakala Leluhur

kata\unsur gramatikal leksikal gramatikal leksikal gramatikal leksikal

Kata netral BD 1 0 0 0 0 0

Leksikon alus BD 57 (81%) 131 (63%) 20 (83%) 25 (39%) 4 (7%) 24 (22%)

Kata biasa BD=BA 11 (16%) 71 (34%) 4 (17%) 32 (50%) 41 (73%) 77 (73%)

Kata BA khusus 1 6 (3%) 0 7 (11%) 11 (20%) 5 (5%)

Total jenis 70 (100%) 208 (100%) 24 (100%) 64 (100%) 56 (100%) 106 (100%)

Catatan: Nama diri diabaikan sebagai perhitungan. Pronomina digolongkan ke unsur gramatikal16.

Contoh-contoh pronomina persona diberikan di Tabel 3. Kata-kata dalam kelas ini sangat

penting untuk menentukan tingkat hormat sebuah kalimat atau wacana. Dalam ketiga jenis

ucapan doa dalam penelitian ini, semua pronomina persona pertama mengacu pada pihak

manusia yang mengadakan upacara masing-masing. Namun, karena pihak yang diajak berbicara

berbeda, bentuk pronomina persona pertama yang digunakan dalam ketiga doa tersebut berbeda.

Dalam ucapan kepada dewa dan butakala dipakai kata alus sor BD, titiang ‘saya’; sedangkan

dalam ucapan kepada leluhur dipakai kata BA khusus, aku ‘saya’.17

Oleh karena pihak yang dituju dari ketiga jenis ucapan doa yang dipelajari berbeda,

pronomina persona kedua dan bentuk sapaannya dalam ketiga doa ini juga berbeda satu sama

lain. Dalam ucapan doa kepada dewa, bentuk sapaan yang bervariasi digunakan, seperti cokor

dewə/cokor i dewə, idə gede kemulan sakti/i gede sakti kemulan. Kedua sapaan ini ditujukan

kepada dewa yang sama. Kata-kata dari sapaan ini semua ada dalam kosakata dialek BD, tetapi

tidak umum dipakai sebagai bentuk sapaan dalam dialek BD.18

Dalam ucapan doa kepada

butakala, dipakai kata pronomina persona kedua, jero waktu memanggil butakala. Kata ini

terlihat juga dalam kosakata dialek BD. Dalam ucapan doa kepada leluhur, ada tiga jenis

pronomina persona kedua dan bentuk sapaannya, yaitu, ko, dane, dan dane yang kompiang.

Kata ko merupakan pronomina persona kedua yang biasa dipakai dalam percakapan dialek BA,

dan dalam ucapan ini dipakai untuk “leluhur bawah”, yaitu arwah orang yang belum lama

meninggal dan masih dikenal waktu hidup oleh keturunan yang mengadakan upacara.19 Dane

atau dane yang kompiang ditujukan untuk “leluhur atas”, yaitu arwah orang yang sudah lama

meninggal dan tidak dikenal oleh keturunannya. Dalam percakapan BA biasa, seperti telah

disebut di atas, dane dipakai sebagai pronomina persona kedua dan bentuk sapaan kepada orang

yang terbatas (pemimpin upacara keagamaan dan enam orang yang berjabatan teratas desa,

pengulu/ulu desa)20. Lain halnya dengan dane yang kompiang yang khusus ditujukan kepada

leluhur saja dan tidak pernah digunakan untuk manusia.

Untuk pronomina persona ketiga, dalam ucapan doa kepada dewa, pihak persona ketiga

adalah manusia sehingga dipakai kata alus sor, ipun, yang bermakna merendahkan di hadapan

dewa. Dalam ucapan doa kepada butakala ada dua pihak persona ketiga, yaitu dewa dan

manusia. Untuk menyebut dewa, dipilih kata alus singgih, idə; sedangkan untuk menyebut

manusia kata yang muncul bukan pronomina melainkan istilah untuk manusia, yaitu lampuan

tuane, yang khusus muncul hanya dalam ucapan doa BA. Dalam ucapan doa kepada leluhur,

pihak persona ketiga ada dua, yaitu dewa dan manusia. Untuk menyebut dewa dipilih istilah

“ida betara”. Dari segi bentuk (selain bunyi vokal di akhir kata) dan makna, istilah ini bisa

dianggap sama antara dialek BA dan BD. Untuk menyebut manusia dipakai ia. Kata ini adalah

Hara Mayuko

130

pronomina persona ketiga yang biasa dipakai dalam percakapan BA sehari-hari. Bentuk ia ini

unsur cognate yang serupa dialek BD, tetapi bunyi vokal di akhir katanya berlainan (dialek BA

[a], dialek BD [ə]) seperti telah disebut di atas.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam ucapan doa kepada dewa dan butakala,

pronomina persona atau bentuk sapaan pada umumnya muncul dalam bentuk kata alus sor dan

alus singgih dialek BD, walaupun ada juga yang khusus muncul dalam dialek BA. Sementara

dalam ucapan doa kepada leluhur, semua pronomina dan bentuk sapaan muncul dalam bentuk

kata dialek BA dan kata BD=BA.

Tabel 3. Pronomina Persona dan Bentuk Sapaan

Ucapan kepada Dewa Ucapan kepada Butakala Ucapan kepada Leluhur

1st titiang (alus sor) titiang (alus sor) aku (BA)

2nd

cokor dewə/cokor i dewə, idə

gede kemulan sakti/i gede

sakti kemulan (BA)

jero (alus singgih) bawah: ko (BA)

atas: dane, dane yang

kompiang (BA)

3rd manusia: ipun (alus sor),

lampuan tuane (BA)

dewa: idə (alus singgih)

manusia: lampuan tuane

(BA)

dewa: ida betara (BD=BA)

manusia: ia (BA)

Umumnya sintaksis, termasuk unsur gramatikal, berfungsi untuk menentukan kerangka kalimat,

dan pronomina persona berperan besar untuk ikut memastikan tingkat hormat atau tingkat halus

dari kalimat. Oleh karena tata urutan kata dialek BD dan BA hampir sama, perbedaan distribusi

kategori kata bisa menunjukkan bahasa atau ragam yang memastikan kerangka kalimat. Dengan

demikian bisa dikatakan bahwa dalam ucapan doa kepada dewa dan butakala, dasar kerangka

kalimat adalah ragam halus dialek BD dengan unsur-unsur yang bersifat lebih gramatikal dan

fungsional serta pronomina persona yang halus. Sementara, dasar kerangka kalimat ucapan doa

kepada leluhur adalah kalimat tingkat biasa (dari pandangan BD). Ini sesuai dengan banyaknya

kata biasa BD=BA yang mencirikan dialek BA dengan kata BA khusus. Dengan demikian, di

samping bentuk kata dan fonologi, dari kelas kata juga terlihat jelas bahwa ucapan doa kepada

dewa dan butakala berdasarkan ragam halus dialek BD; sedangkan ucapan doa kepada leluhur

berdasarkan dialek BA.

KESIMPULAN

Dari penelitian teks ucapan doa dengan perhitungan jumlah pemunculan kata dari segi tingkat

halus dan jenis kelas kata, serta pemantauan aspek fonologis, dapat diperoleh gambaran bahwa

struktur leksikon dialek BA terkait bentuk hormat dan aspek sosiolinguistik seperti register

agama BA. Dalam ranah agama, yaitu komunikasi dengan “dunia sana”, dalam doa yang

ditujukan kepada siapa pun bisa dilihat kata-kata dari leksikon alus yang dianggap hampir

menuruti dialek BD, namun tingkat kehalusannya berbeda tergantung pada pihak yang dituju.

Jadi bisa dikatakan bahwa dialek BA mempunyai bentuk hormat yang terbatas dalam ucapan

doa. Temuan ini menyimpang dari yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dialek BA tidak

mengenal bentuk hormat.

Untuk menutup makalah ini, saya mencatat suatu gejala yang berkaitan dengan isi

diskusi di atas dan perlu diteliti dengan lebih dalam sebagai langkah lanjut. Di samping ranah

keagamaan, terdapat beberapa kata alus dialek BD dalam percakapan sehari-hari BA.

Kebanyakan dari kata-kata alus itu digolongkan sebagai kata yang bersifat leksikal di bidang

agama. Menurut asumsi sementara, gejala ini dikarenakan sistem tatanan masyarakat BA yang

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

131

terdiri dari satu lapisan saja. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat BA tidak perlu memakai

bentuk hormat kepada siapa pun kecuali orang yang patut digunakan pronomina persona

pertama nira dan pronomina persona kedua dane. Selain itu, pihak yang perlu diberi bentuk

hormat adalah dewa, butakala, dan roh leluhur di luar sistem pengelompokan masyarakat, yang

dianggap lebih tinggi daripada manusia. Oleh karena itu, jika ada proses interferensi, antara lain

peminjaman leksikon alus dari dialek BD pada dialek BA, diprediksikan lebih cenderung akan

terjadi lewat kosakata bidang agama dan kepercayaan.

Sebagai satu studi kasus dialek BA, penelitian yang diadakan di Desa Pedawa ini bisa

membantu dialektologi bahasa Bali, dan juga sosiolinguistik bahasa Bali. Untuk langkah lanjut,

topik yang disebut di atas perlu diteliti. Di samping itu, desa-desa BA yang lain juga perlu

diteliti untuk dibandingkan dengan Desa Pedawa. Dari perbandingan tersebut dapat diketahui

persamaan dan perbedaan antar desa BA.

CATATAN

1 Tulisan ini berdasarkan makalah yang disajikan dengan judul yang sama pada Kongres Internasional

Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) yang diselenggarakan di Lampung pada tanggal 19-22

Februari 2014. Penelitian ini didukung oleh JSPS KAKENHI Grant Number 24520464. 2 Penulis berterima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Pedawa, terutama Bapak I Wayan Sukrata

sebagai informan utama, atas bantuan yang diberikan selama penelitian di Desa Pedawa. 3 Jumlah penutur bahasa Bali diasumsikan 3.300.000 jiwa berdasarkan sensus tahun 2000 oleh Lewis et

al. (2013). Namun jumlah penutur setiap dialek belum dilaporkan selama ini. Joshua Project

mengumumkan bahwa jumlah penduduk Bali Aga adalah 55.600 jiwa dan jumlah penduduk Bali (bisa

dianggap sebagai Bali Dataran) mencapai 3.626.000 jiwa (http://www.joshuaproject.net). Jika

berdasarkan data tersebut, penutur dialek Bali Aga diasumsikan tidak melebihi 55.600 jiwa. 4 Udara Naryana (1978:5-6) menyinggung perkembangan beberapa istilah yang menyebut sistem bentuk

hormat bahasa Bali. Menurutnya, nama anggah-ungguhing basa dibakukan pada Pasamuhan Agung Basa

Bali tahun 1974. Nama unda usuk basa berasal dari bahasa Jawa dan dipakai untuk menyebut sistem

tingkat-tingkatan bahasa Jawa. Istilah ini diambil oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk

menyebut sistem bahasa yang bertingkat-tingkat seperti bahasa Sunda, Bali, Sasak, dan bahasa daerah

lainnya di Indonesia yang juga serupa. Ini terlihat pada judul laporan proyek penelitian yang dipesan oleh

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Unda Usuk Bahasa Bali (Tim Peneliti Fakultas Sastra

Universitas Udayana, 1978/1979). 5 “Kata netral” yang dimaksudkan di sini tidak ada istilah bahasa Bali. Biasanya disebut “kata biasa”

(kruna biasa) saja. 6 Dalam keluarga, pronomina persona kedua ko digunakan kepada generasi yang sama atau lebih rendah

dalam silsilah, misalnya adik dan kakak saling menyebut ko; sedangkan kepada generasi yang lebih tinggi

dipakai nama anggota keluarga sebagai persona kedua, misalnya cucu memakai kata kaki ‘kakek’ waktu

berbicara dengan kakeknya. Dengan orang di luar keluarga, pada dasarnya ko saja yang dipakai. 7 Bentuk sapaan untuk balian desa adalah ‘dane balian’. Untuk enam orang pengulu/ulu desa

masing-masing disebut ‘dane nawan’, ‘dane manis’, ‘dane paing’, ‘dane pon’, ‘dane wage’, dan ‘dane

baan’. 8 Kosakata dasar (998 kata) terdiri dari 957 kata cognate dan 41 kata yang bukan cognate (Hara, 2009).

Perlu dicatat juga bahwa ada kata cognate yang maknanya sedikit berlainan antara dialek BD dan BA

seperti diketahui di endnote 15 dan 18. 9 Ida Betara ‘Tuhan, dewa’ terlihat dalam kedua dialek. Namun, ida sebagai satu kata saja, tidak muncul

dalam percakapan dialek BA, hanya terlihat dalam dialek BD saja. Ida ‘beliau’ merupakan pronomina

persona ketiga dan sapaan yang tergolong sebagai kata alus singgih dalam dialek BD. 10

Balian desa dipilih oleh desa sebagai pemimpin upacara keagamaan desa satu-satunya yang membantu

pengulu/ulu desa (enam orang yang berjabatan teratas desa) untuk menyelenggarakan upacara desa, jadi

upacara yang diadakan oleh desa harus dituntun dan diselesaikan oleh balian desa. Selain upacara

keagamaan desa, upacara tingkat keluarga besar atau perorangan juga boleh dipimpin oleh balian desa

seperti upacara melukat untuk kasus ini.

Hara Mayuko

132

11

Permas ada beberapa orang di desa dan dalam upacara keagamaan desa ikut membantu balian desa.

Jika di luar upacara tingkat desa, tidak harus dipimpin oleh balian desa, boleh dituntun oleh pemimpin

upacara yang mampu, sesuai tingkatan dan jenis upacara. Biasanya upacara tingkat keluarga besar (dadia)

dan upacara tingkat kelompok (subak) dipimpin oleh permas. Pada upacara tingkat perorangan, walaupun

bukan balian desa atau permas, orang yang dipercayai mempunyai kemampuan boleh melakukannya.

Upacara ngeyain karang yang menjadi kasus di sini juga boleh dipimpin oleh orang yang mempunyai

kemampuan. 12 Seperti terlihat dalam Hooykaas (1977) terdapat berbagai mantra di Bali. 13

Kata partikel ‘ja’ ini hanya muncul dalam dialek BD dan tidak dipakai dalam percakapan dialek BA.

Kata ini hanya muncul satu kali saja, tidak jelas apakah itu betul-betul kata ja dialek BD atau salah ucap. 14 Kalau melihat kata-kata dalam ucapan doa yang berakhir dengan [a] atau [ə] di setiap dialek, kata

tersebut belum tentu selalu muncul sebagai [a] saja atau [ə] saja di akhir kata dalam satu teks yang sama.

Artinya dalam satu jenis kata demikian yang muncul lebih dari satu kali, bisa kadang terwujud sebagai

[a], kadang sebagai [ə]. 15 Misalnya, ‘tedung payung tulung sangku’ (perlindungan dan pembersihan) terdapat dalam ucapan doa

kepada dewa. Keempat kata ini terlihat dalam kosakata dialek BD maupun BA, tetapi menurut informan,

ekspresi ini tidak ada dalam dialek BD. 16

Pronomina (persona, demonstratif) merupakan kategori yang mempunyai kedua ciri dan sifat:

gramatikal dan leksikal, tetapi dalam analisis ini terlihat bahwa unsur gramatikal lebih menonjol. 17

Untuk kasus ini pronomina persona pertama aku yang dipakai karena pemimpin upacara yang

mengucapkan doa tidak mempunyai hubungan keluarga dengan leluhur yang ditujukannya. Seandainya

pemimpin upacara mengucapkan doa kepada leluhur yang berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah

daripada suami atau istrinya, pronomina persona pertama nira yang dipakai. 18

Kamus Bahasa Bali (Kersten, 1984) yang berdasarkan dialek BD memuat ‘Cokor i Dewa’ sebagai

bentuk sapaan kepada raja. Memang bentuknya sama dengan dialek BA, tetapi pihak yang ditujukannya

lain, jadi dalam makalah ini Cokor i Dewa dianggap sebagai kata BA khusus, bukan kata alus singgih. 19 Untuk kasus ini pronomina persona kedua ko dipakai karena pemimpin upacara yang mengucapkan

doa tidak mempunyai hubungan keluarga dengan leluhur yang ditujukannya. Seandainya pemimpin

upacara mengucapkan doa kepada leluhur yang berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah daripada suami

atau istrinya, nama anggota keluarga yang digunakan. Mengenai nama-nama anggota keluarga dan

penerapan untuk pronomina persona serta bentuk sapaannya lihat Hara (2015). 20

Lihat endnote 7.

BIBLIOGRAFI

Bawa, I.W. (1983). Bahasa Bali di daerah Propinsi Bali: Sebuah kajian geografi dialek.

Disertasi. Universitas Indonesia.

Clynes, A. (1995). “Balinese”. D. Tryon (Ed.). Comparative Austronesian dictionary: An

introduction to Austronesian studies (pp. 495-509).

Denes, I.M. (1982). Geografi dialek bahasa Bali. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Foley, W.A. (1983). “Jawa and Bali”. S.A. Wurm dan Shiro Hattori (Eds.). Language atlas of

the Pacific Area. Part II. Japan area, Taiwan (Formosa), Philipines, Mainland and

Insular South-East Asia. Pacific Linguistics Series C-67. Australian National

University.

Hara, M. (2010). “Basic vocabulary of mountain Balinese dialect”. Asian and African

Languages and Linguistics, No. 4. Tokyo University of Foreign Studies, 259-296

(dalam bahasa Jepang).

Hara, M. (2015). “Bentuk hormat dialek bahasa Bali Aga dalam pronomina persona dan bentuk

sapaan”. Bahasa dan Budaya: Jurnal Himpunan Pengkaji Indonesia Seluruh Jepang,

21, 1-11 (dalam bahasa Jepang).

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

133

Hooykaas, C. (1977). A Balinese temple festival. Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land-, en

Volkenkunde.

Joshua Project, http://www.joshuaproject.net (diakses pada bulan Desember 2013).

Kersten, S.V.D. (1984). Bahasa Bali. Ende: Nusa Indah.

Lewis, M.P., Simons, G.F., dan Fenning, C.D. (Eds.). (2013). Ethnologue: Languages of the

World, Seventeenth edition. SIL International. Online Version: http://www.ethnologue.

com (diakses pada bulan Desember 2013).

Sakiyama, S. dan Shibata, N. (1992). “Balinese”. T. Kamei, R. Kono, dan E. Chino (Eds.). The

Sanseido Encyclopedia of Linguistics. Vol. 3. Language of the World, Part Three.

Sanseido, 292-298 (dalam bahasa Jepang).

Naryana, I.B.U. (1978). Anggah-ungguhing basa Bali dan peranannya sebagai alat komunikasi

bagi masyarakat suku Bali. Jurusan Bahasa dan Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas

Udayana.

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 135-151 Volume ke-33, No. 2 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

JAVANESE AND PROBLEMS IN THE ANALYSIS OF

ADVERSATIVE PASSIVE1

Ika Nurhayani*

Brawijaya University

[email protected]; [email protected]

Abstract

Adversative passive is one of the means that languages use to code that an event may

have detrimental effect on someone. The adversative passive differs from the standard

passive in that the speaker perceives an event as unpleasant or unfortunate. The adversity

semantic effect is normally encoded with an adversative passive affix attached to the

verb. Javanese has such coding with (1) prefix ke- and (2) the circumfix ke-I-an.

However, Javanese adversative passive is not always associated with adversity. In fact,

an event described by Javanese adversative passive may have neutral or pleasant

consequences. This proves to be problematic for the current frameworks on adversative

passives such as Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) because their frameworks

assume that an adversative passive carries an adversative semantic property encoded in

the malefactive head or with a passive morphology. Moreover, the subject of the

‘adversative passive’ in Javanese does not have to possess an object because the passive

can have a reading in which the passive subject held an object belonging to someone else

while experiencing a situation related to the object. This also poses a problem for

Pylkkänen’s (2002) because she bases her adversative passive analysis on the possessor

raising theory which requires a possesive relation between the theme and the affected

argument. I argue that Javanese ‘adversative passive’ is best described as a combination

of the prefix ke- and suffix –an (the circumfix ke-I-an) with the prefix ke- carrying the

accidental semantics property and the suffix –an as an applicative suffix adding an

affected argument to the construction.

Keywords: adversative, accidental, Javanese, passive, applicative

Abstrak

Pasif adversatif adalah perangkat yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia untuk menandai

bahwa sebuah peristiwa menimbulkan akibat negatif pada seseorang. Adversatif pasif

berbeda dengan pasif biasa karena pembicara dalam konstruksi adversatif pasif

menganggap sebuah peristiwa tidak menyenangkan atau menguntungkan. Makna

adversatif biasanya disandikan dengan menggunakan imbuhan adversatif pasif pada

verba. Bahasa Jawa memiliki imbuhan adversatif dengan kombinasi prefiks ke- dan

sufiks –an. Walaupun demikian, konstruksi ‘pasif adversatif’ dalam bahasa Jawa tidak

selalu mengandung makna adversatif dan bahkan dapat mempunyai akibat yang netral

atau menyenangkan. Hal ini menyebabkan ‘pasif adversatif’ bahasa Jawa tidak mudah

untuk dianalisis dengan menggunakan teori-teori mengenai pasif adversatif seperti yang

diungkapkan oleh Kubo (1992) dan Pylkkänen (2002) karena teori-teori tersebut

berdasar pada asumsi bahwa pasif adversatif selalu mengandung makna yang

diwujudkan dalam sebuah inti (head) malefactive atau pemarkah pasif. Lebih jauh,

subjek adversatif pasif tidak harus selalu memiliki objek dalam sebuah konstruksi pasif

adversatif karena subjek dapat saja sedang memegang objek milik orang lain saat

Ika Nurhayani

136

mengalami sebuah peristiwa yang berhubungan dengan objek tersebut. Hal ini

menyulitkan pasif adversatif bahasa Jawa untuk dianalisis dengan menggunakan teori

Pylkkänen karena analisisnya mengenai pasif adversatif berlandaskan pada teori

possessor raising yang mengharuskan adanya hubungan kepemilikan sehingga subjek

pasif atau penderita yang terkena tindakan pada verba harus memiliki objek dalam

konstruksi tersebut. Dalam makalah ini penulis mengusulkan bahwa pasif adversatif

bahasa Jawa lebih baik dianalisis sebagai kombinasi prefiks ke- dan suffiks –an karena

prefiks ke- menyandikan pasif aksidental dan sufiks –an berfungsi sebagai sufiks aplikatif

yang menambahkan penderita yang terkena tindakan verba.

Kata kunci: adversatif, aksidental, bahasa Jawa, pasif, aplikatif

INTRODUCTION

In this paper, I show that current frameworks on adversative passive are problematic for

Javanese due to their semantics of the adversative passive and their analysis of the ‘possessor

raising’ construction. Malefactive or adversative is a linguistic coding of an event describing

that something is done to the detriment of somebody (Kittila, 2010:203). Human beings can

perceive an event as being fortunate or unfortunate and include their interpretation in an

utterance (Radetzky and Smith, 2010:98). Languages have options to express this interpretation.

First, they can lump both benefactive and malefactive meanings into one single construction, the

affectedness construction. Second, they can encode fortunate events into benefactive

construction in which the affected argument is called a benefactee, and unfortunate events into

malefactive or adversative construction in which the affected argument is called the malefactee

(Radetzky and Smith, 2010:98-99) .

Languages use different strategies to encode adversity or unfortunate events, among

others with (i) case, (ii) serial verb construction, (iii) adposition, (iv) applicative affix, and (v)

adversative passive (Kittila and Zuniga, 2010:7-10).

(1) Lezgian dative case

Čna a ᷉qe᷉qwerag suna-di-z wǔc-na q’wan?

We.ERG that poor Suna-OBL-DAT do.what-AOR PTL

‘What did we do to that poor Suna?’

(Haspelmath, 1993:88)

(2) Fula malefactive marker GIVE

O ngma la zirii ko Amai oi yideme yele

He cut a.m. lies GIVE Ama she housepeople matter

‘He lied to Ama about her family’

(Fagerli, 2001:214)

(3) Finnish adposition

Men-i-n kaupunki-in hä̈ne-n harmikse-en

go-PASS-1Sg town-ILL 3sg-GEN to.the.detriment-3.PSR

‘I went to town to his/her detriment’

(Kittila and Zuniga, 2010:8).

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

137

(4) Applicative in Kunuz Nubian

Ay-gi ir:-g noddi-de:s-s-a

1sg-ACC rope:ACC cut-BEN-PST-3PL

‘They cut the rope (to my detriment)’

(Kittila and Zuniga, 2010:6).

(5) Japanese adversative passive marker for verb

Kinoo ame-ni hur-are-ta

yesterday rain-DAT fall-PASS-PAST

‘[We] got rained on yesterday’

(Radetzky and Smith, 2010: 114)

In (1), Lezgian uses dative case with suffix –z to mark the malefactee, Suna, while Fula

uses malefactive marker ko in (2). On the contrary, Finnish applies adposition harmikse to mark

adversity in (3) while Kunuz Nubian uses applicative suffix de:s to indicate that the action

described by the verb is done to the detriment of somebody in (4). The last one is adversative

passive as can be seen in (5) with passive suffix –are in Japanese.

Adversative passive differs from the standard passive because it has an adversative

meaning in which the speaker perceives an event as unpleasant or unfortunate (Prasithrathsint,

2006:116). It is also a valency increasing construction rather than valency decreasing

construction like the standard passive (Tsuboi, 2010).

(6) Japanese Adversative Passive

Taro-wa Hanako-ni piano-o hik-are-ta

Taro-TOP Hanako-DAT piano-ACC play-PASS-PAST

‘Lit. Taro was played piano by Hanako’

‘Taro was adversely affected by Hanako playing piano’

(Tsuboi, 2010: 420).

In (6), the subject of the passive Taro was negatively affected by the agent Hanako playing

piano nearby. In addition, the adversative passive increases the valency of the construction from

two arguments (Hanako, piano) into three arguments (Taro, Hanako, piano).

In their previous framework, Kubo (1992) and Pylkkänen (2002) argue that the

adversative passive is divided into two types, the regular adversative passive as in (7) and the

‘possessor raising’ as in (8).

(7) Japanese regular adversative passive a. Kinoo ame-ni hur-are-ta

yesterday rain-DAT fall-PASS-PST

‘[We] got rained on yesterday’

(Radetzky and Smith, 2010: 114)

b. Taro-wa Hanako-ni piano-o hik-are-ta

Taro-TOP Hanako-DAT piano-ACC play-PASS-PST

‘Lit. Taro was played piano by Hanako’

‘Taro was adversely affected by Hanako playing piano’

(Tsuboi, 2010:420)

Ika Nurhayani

138

(8) Kinyarwanda possessor raising a. Ingurube z-a-ri-iye ibíryo by’ábáana.

pigs they-PST-eat-ASP food of children

‘The pigs ate the children’s food’

b. Abáana ba-a-ri-ir-iw-e ibíryo n’îngurube.

Children they-PST-eat-APP-PASS-ASP food by pigs

‘The children were eaten (their) food by pigs’

(Davies and Dubinsky, 2004:133-134)

The regular adversative has an implicit subject who suffers from the event described by

the verb. In (7a), the regular adversative passive in Japanese is formed with the addition of the

passive suffix -are to the verb hur ‘to fall’. The implicit subject ‘we’ suffers from the event rain

described by the verb. In (7b), the subject Taro suffers from the event of Hanako playing piano

near him.

On the other hand, the ‘possessor raising’ has a construction in which the possessor of

the object seemingly raises as the subject of the passive. In (8), the ‘possessor raising’

construction in Kinyarwanda is formed with the addition of suffix -iw to the verb. The

possessors Abáana‘the children’ seem to raise as the subject of the passive sentence away from

the item ibiryo ‘food’ that they possessed.

I show in this paper that the adversative semantics and the possessor raising approach in

the current frameworks of adversative passive are problematic for Javanese because (i) Javanese

‘adversative passive’ does not always carry adversative semantics and (ii) the subject of

Javanese ‘adversative passive’ does not have to directly possess the object. For this purpose, I

provide supporting evidence from the well-known Japanese adversative passive. Lastly, I posit

that Javanese adversative passive is best analyzed as the result of the combination of

passivization and applicativization. The passivization with specific accidental information is

done with with prefix -ke, and the applicativization with special applicative suffix –an.

THE MORPHOLOGY OF THE ADVERSATIVE PASSIVE

In this section, I discuss the morphology of the Javanese ‘adversative passive’. The adversative

passive in Javanese is derived with (1) the prefix ke-, and (2) the circumfix ke-I-an added to the

base verb. The construction with prefix ke- is compatible with transitive verb and serves to

passivize the verb and to add an accidental information.

(9) a. Pardi nabrak Amir

Pardi ACCD-hit Amir

‘Pardi hit Amir’

b. Amir ke-tabrak Pardi

Amir ACCD-hit Pardi

‘Amir accidentally hit Pardi’

In (9b), with the addition of prefix ke-, the theme argument Pardi raises to be the subject of the

passive and the sentence receives an accidental semantic reading.

On the other hand, the circumfix ke-I-an are compatible with both intransitive and

transitive verbs. The addition of circumfix ke-I-an to an unergative verb adds an accidental

reading but does not change the construction into passive as can be observed in (10a). On the

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

139

contrary, the circumfix ke- an attached to an unaccusative verb results in both accidental reading

and a passive construction as seen in (10b). It can also be observed that the affixation increases

the valency of the verb in (10b) with the addition of an affected argument.

(10) a. Pardi turu

Pardi sleep

‘Pardi slept’

Pardi ke-turu-an (keturon)

Pardi ACCD-sleep-ACCD

‘Pardi accidentally fell asleep (he did not intend to sleep)’

b. Asu kuwi ng-uyuh

Dog that ACT-urinate

‘The dog urinated’

Tanduran kuwi k-uyuh-an asu kuwi

Plant that ACCD-urinate-APPL dog that

‘The plant was urinated on by the dog’

It should be noted that unergative verbs resists the addition of a new argument or

applicativization. It has been known that only certain languages are able to applicativize their

unergative verbs. Pylkkänen (2002) points out that a double object construction with an applied

argument for unergative verb is not possible in English. However, it is interesting to observe

that although unergative verbs in Indonesia does not undergo applicativization, the construction

still maintains the applicative suffix –an as seen in (10a). In this paper, I do not offer a further

discussion on the matter. For the moment, I treat it as an irregularity or an anomaly.

The addition of circumfix ke–an to an unaccusative verb results in both accidental

reading and a passive construction as seen in (11). In addition, the construction also displays an

increase of valency in the form of an affected argument.

(11) Nangka tiba

Jackfruit fall

‘The jackfruit fell’

Pardi ke-tiba-nan nangka

Pardi ACCD-fall-APPL jackfruit

‘Pardi was fallen on by a jackfruit’

The combination of the circumfix ke-I-an can also be applied to a transitive verb to add

an affected argument to the construction.

(12) Pardi ke-colong-an duit

Pardi ACCD-steal-APPL money

‘Pardi suffered from his money stolen (by someone).

It can be noted that the theme argument is not obligatory from the construction . Hence the

theme argument duit ‘money’ can be omitted in example (12). Therefore, one might ask whether

–an is a legit applicative suffix. However, the applicative suffix –an serves to add an affected

argument, which is Pardi in (12). Therefore, an implied theme argument in a sentence would

not hinder the ability of –an to applicativize a verb and add an affected argument.

Ika Nurhayani

140

THE SEMANTICS OF THE JAVANESE ACCIDENTAL PASSIVE

The term adversative passive originates from the perception that the subject of the sentence is

adversely affected by the action described by the verb (Prasithrathsint, 2006) as shown in (6).

However, this is not the case with Javanese since its ‘adversative passive’ can have neutral or

even pleasant consequences (Nurhayani, 2013:178).

(13) Aku ke-temu Ani neng pasar

I ACCD-meet Ani at market

‘Lit. I was accidentally found by Pardi at the market’

‘I accidentally met Ani at the market’

(14) Aku ke-potret wartawan pas neng sekolahan

I ACCD-take a picture journalist when at school

‘Lit. I was accidentally taken a picture by a journalist when I was at school (the

journalist intended to take a picture of an object but I was accidentally in the

background of the picture)’

‘A journalist accidentally took a picture of me when I was at school’

(15) Amir ke-pilih dadi lurah

Amir ACCD-choose become head of district

‘Amir was unexpectedly chosen to be the head of the village’

(16) Pardi ke-terima dadi pegawai negeri

Pardi ACCD-accept become civil servant

‘Pardi was unexpectedly selected as a new civil servant’

In (13) the subject aku ‘I’ was neutrally affected by the action temu ‘to meet’ described

by the verb. Hence the subject was neither negatively nor positively affected by the action. This

is also the case with (14) in which the subject aku ‘I’ is neutrally affected by the action potret

‘take a picture’ described by the verb. On the other hand, in (15) and (16), the subjects of the

passive are positively affected by the actions described by the verbs pilih ‘to choose’ and terima

‘to accept’. In (15), the adversative passive yields a pleasant consequence in which the subject

Amir was unexpectedly chosen to be the head of the village, whereas in (16), the passive

construction also results in a pleasant consequence in which the subject Pardi was unexpectedly

selected as a new civil servant.

(17) Aku ke-tendhang adhi-ku

I ACCD-kick younger sibling-my

‘I was accidentally kicked by my younger sibling’

(18) Ani ke-tiba-nan nangka

I ACCD-fall-an jackfruit

‘Ani was knocked down by a jackfruit’

As seen in (17), the subject aku ‘I’ was accidentally kicked by adhiku ‘my younger

sibling’. Though the agent adhiku performed the action described by the verb voluntarily, he did

not intend to affect the subject aku. In contrast, the consequences suffered by the subject in (18)

are unintentional, since the event of falling is accidental in nature and a jackfruit cannot have a

volition. Hence, it is probably more appropriate to term the construction as accidental passive.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

141

It should also be noticed that Javanese passive has no speficic verbal marker for

adversative semantics. While the regular passive is done with prefix di-, the accidental

semantics is morphologically expressed by a verbal prefix ke-.

(19) Aku di-wenehi Pardi duit

I PASS-hit Pardi money

‘I was given some money by Pardi’

(20) Aku di-penthung Pardi

I PASS-hit Pardi

‘I was hit by Pardi’

(21) Aku ke-penthung Pardi

I ACC-hit Pardi

‘I was accidentally hit by Pardi’

In (19) and (20), the regular passive is expressed with the prefix di- regardless of whether the

sentence has a pleasant consequence in (19) or an unpleasant consequence in (20). On the other

hand, the accidental passive semantics is expressed with the verbal prefix ke- in (21).

It immediately poses a question whether other languages also have similar adversative

semantics. I argue that this is the case with Japanese. Unlike Javanese, Japanese adversative

passive is encoded with the passive suffix –are instead of a prefix. However, similar to

Javanese, Japanese adversative can be applied to both transitive and intransitive verbs.

(22) Japanese adversative passive with intransitive verb Kinoo ame-ga fut-ta

yesterday rain-DAT fall-PAST

‘The rain fell yesterday (It rained yesterday)’

Kinoo ame-ni hur-are-ta

yesterday rain-DAT fall-PASS-PAST

‘[We] got rained on yesterday’

(Radetzky and Smith, 2010:114)

(23) Japanese adversative passive with transitive verb base Mary-ni kodomo-o home-ta

Mary-DAT child-ACC praise-PAST

‘Mary praised the child’

John-ga Mary-ni kodomo-o home-rare-ta

John-NOM Mary-DAT child-ACC praise-PASS-PAST

‘John was affected by his child’s being praised by Mary’

(Lee, 2006:271)

In (22), the suffix –are adds an affected argument to the unaccusative verb hur ‘to fall’ by

adding the implicit affected argument ‘we’ to the construction. In (23) the suffix -are behaves

as an applicative suffix by adding the affected argument John to the construction.

Similar to Javanese, Japanese adversative passive can have either neutral or non-

adversative reading. Under inclusive reading in which John is the child’s father, the passive

results in a neutral or non-adversative reading. Only when the child is someone else’s like

Mary’s, the sentence yields an adversative reading despite the positive connotation of the verb

Ika Nurhayani

142

to praise (Lee, 2006:271). Mary might be loud or inconsiderate when praising her own child

and John who was nearby was disturbed by the act.

In addition, the adversative semantics in Japanese adversative passive also does not

have any overt verbal marker since it is pragmatically induced as seen in (24-26). Hence the

regular passive and the adversative passive are expressed with the same verbal suffix -are.

(24) John-ga Mary-ni kami-o kir-are-ta

John-NOM Mary-DAT hair-ACC cut-PASS-PAST

‘John had his hair cut by Mary’

(Lee, 2006:277)

(25) Taroo-ga Hanako-ni nagur-are-ta

Taro-NOM Hanako-DAT hit-PASS-PAST

‘Taro was hit by Hanako’

(Lee, 2006:270)

(26) Keiko-ga Hanako-ni Taroo-o nagur-are-ta

Keiko-NOM Hanako-DAT Taro-ACC hit-PASS-PAST

‘Keiko was adversely affected by Hanako’s hitting Taro’

(Lee, 2006:270)

In (24), the passive sentence John’s hair is cut by Mary is a regular passive with a

neutral reading. However, the same suffix is also used for passive sentences with adversative

readings in (25) and (26).

Javanese ‘adversative passive’ behaves instead like an accidental passive. The

accidental semantics is encoded with prefix–ke. I start my discussion with a brief historical

review of the prefix. Old Javanese has two passive affixes, the infix –in and the prefix ka-. The

infix –in emphasizes the action described by the verb, while the prefix ka- focuses on the result

of the action (Zoetmulder and Poedjawijatna, 1961:78). To be precise, the prefix ka- denotes

involuntary or accidental actions, or resultative aspect (Oglobin, 2005:617).

(27) Suffix ka- in Old Javanese

Yan hana ka-teka-n danda de sang prabhu

If exist ACCD-arrive-TR punishment by det king

‘If there is one who was given punishment by the king’

(Zoetmulder and Poedjawijatna, 1961:81)

In Modern Javanese, the prefix ke- serves as accidental passive prefix (Uhlenbeck,

1978:71) denoting an involuntary transition into a state or the resultative state caused by the

transition, or the state of being affected by an action described by the verb (Oglobin, 2005:612),

and has the semantic value of the event or condition which is either unexpected, unintentional,

or unavoidable, and the effect is adversative (Dardjowidjojo 1978, Uhlenbeck 1978, Subroto

1998). Nurhayani (2013) further specifies that Javanese adversative passive has a distinct

semantic property in that the subject is not adversely affected by the action, but rather certain

consequences or an action are not intended by the agent while performing the action described

by the verb.

(28) Aku ke-sikut Pardi

I ACCD-elbow Pardi

‘I was accidentally elbowed by Pardi (Pardi did not intend to elbow me).

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

143

I posit in this paper that the accidental passive also carries a reading in which the

affected argument perceives an action or an event as being unexpected or unintentional.

(29) Pardi ke-ambruk-an empring

Pardi ACCD-fall-APPL bamboo

‘Pardi was accidentally fallen on by a bamboo

(Pardi did not expect the bamboo to fall on him)’

It can be concluded that Javanese ‘adversative passive’ is best termed as an accidental

passive due to the accidental semantics property encoded by the prefix ke-. This semantics is

problematic for Pylkkanen’s (2002) framework since it proposes that the passive morphology in

the framework assigns a malefactive θ-role to the adversative construction. As a consequence,

the construction cannot accomodate the accidental semantics of Javanese accidental passive.

THE POSSESSOR RAISING THEORY

Next, I show that Kubo (1992) and Pylkkänen’s (2002) frameworks on possessor raising in

adversative passive are problematic for Javanese. Kubo (1992) proposes two types of

adversative passive; the first type is a regular adversative passive with a malefactive-affected

argument, while the other is a possessor raising construction. The possessive reading is derived

by a possessor raising to the subject position and the malefactive construction is derived by a

passive morphology introducing an affected argument. In the malefactive construction, the

passive morphology is claimed to assign an external malefactive θ-role. The examples below are

in Japanese and taken from the original examples used by Kubo (1992) and Pylkkänen (2002) to

explain their frameworks.

(30) Regular Japanese adversative passive with adversative/malefactive reading Taroo-ga Hanako-ni shinkoushukyoo-o hajime-rare-ta.

Taroo-NOM Hanako-DAT new.religion-ACC begin-PASS-PAST

‘Taro was adversely affected by Hanako starting a new religion on him’

Kubo (1992), Pylkkänen (2000)

Ika Nurhayani

144

(31) Japanese possesive adversity passive (possessor raising) Hanoko-ga dorobou-ni yubiwa-o to-rare-ta

Hanoko-NOM thief-DAT ring-ACC steal-PASS-PAST

‘Hanoko was affected by the thief stealing her ring’

Kubo (1992), Pylkkänen (2000)

In (30), the passive morphology –rare introduces a malefactive-affected argument,

Taro, to the passive construction. The malefactive θ-role is assigned by the passive

morphology. On the other hand, in (31), the possessor Hanako raises from the Spec of a lower

NP in the VP to the Spec of IP.

Pylkkänen (2002) argues that there are two types of adversative applicative, the high

adversative applicative and the low adversative applicative. She bases her arguments on her

applicative theory which proposes two different types of applicative heads: high applicatives,

which denote a relation between an event and an individual and low applicatives, which denote

a relation between two individuals (Pylkkänen, 2002:3).

(32) high applicative low applicative

In the low applicative, the affected argument bears a possession relation while that is

not the case for the high applicative. Hence the low applicative can be interpreted as directional

possessive relations: [him[TO-THE-POSSESSION OF[cake]]] (Pylkkänen, 2002:3). Therefore,

Pylkkänen (2002) argues that the possesor raising adversative resembles to the low applicative

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

145

by having a possessive relation between the affected and the theme argument. On the other

hand, the regular adversative resembles the high applicative because of the absence of

possessive relation between the affected argument and the theme argument.

(33) Japanese regular adversative

(34) Japanese possesive adversity passive

I now apply Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) analyses to Javanese and they seem

to be problematic for Javanese accidental passive. First, Javanese accidental passive does not

require an obligatory theme argument. Since there is no theme argument, it is difficult to set up

a possessive relation between the affected and the theme argument

(35) No obligatory theme argument a. Parto ke-copet-an duit

Parto ACC-steal-APPL money

‘Parto suffered from his money being stolen’

b. Parto ke-copet-an.

Parto ACC-steal-APPL

‘Parto suffered [from something] being stolen from him’

(36) a. Ani ke-colong-an tas

Ani ACC-steal-APPL bag

‘Ani suffered from her bag being stolen’

b. Ani ke-colong-an

Ani ACC-steal-APPL

‘Ani suffered [from something] being stolen from her’

Second, the affected argument does not have to possess the theme argument.

(37) No direct possession between the affected and the theme argument a. Parto ke-copet-an kalung-e Ani

Parto ACCD-steal-APPL necklace-POSS Ani

‘Parto suffered from Ani’s necklace stolen from him (when he was carrying it)’

Ika Nurhayani

146

b. Ani ke-colong-an tas-e Amir

Ani ACCD-steal-APPL bag-POSS Amir

‘Ani suffered because Amir’s bag was stolen while she was holding it’

Example (37a) shows that the affected argument need not have a possessive relation with the

theme argument. In fact, it can be argued that the possesive relation results from the pragmatic

assumptions that under normal circumstances, the affected subject would most likely possess

the theme argument. Hence, it is natural to infer that Parto is the possessor of the money if it

was stolen when he was holding it in (37a). However, this assumption can be reversed in

appropriate circumstances.

Applying Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) frameworks to Javanese, it can be

assumed that the possessor Ani raises as the subject of the sentence and leaves the possessed item

tas ‘bag’ behind in (37b). However, it can be seen in (37b) that Ani does not have to be the

possessor of the bag. In fact, the bag can be of Amir’s. Hence, example (37b) can result in a

reading in which Amir’s bag was stolen when Ani was holding it. It might be assumed that

because Ani was in fact holding the bag when the theft happened, she was somehow in the

‘possession of the bag’ at that moment. However, it would be nonetheless difficult to generate the

derivation for both the posessor and the person holding it with Pylkkänen’s (2002) framework.

Therefore, it is best to analyze the possessor raising construction as an applicative

construction in which an indirect affected subject is added to a transitive sentence. This is in line

with Tsuboi’s (2010) claims that adversative passive is valency increasing rather than valency

decreasing like other types of passive.

There is another problem with Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2000) frameworks.

They cannot explain why the possessor raising construction in their framework does not

necessarily entail malefactive semantics. In Kubo’s (1992) framework, the affected argument in

possessor raising is not introduced by the same passive morphology assigning external

Malefactive θ-role in the regular adversative passive. In Pylkkänen’s (2000) framework, only

the regular adversative passive that carries the malefactive head but not the possessor raising. If

Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2000) frameworks of possessor raising are applied to

Javanese, it would be difficult to account for the accidental semantics since the frameworks do

not entail additional semantic property such as malefactive or accidental information.

THE COMBINATION OF PASSIVIZATION AND APPLICATIVIZATION

I argue in this section that Javanese adversative passive with the circumfix ke-I-an is best

analyzed as a combination of passivization and applicativization. I have also demonstrated that

Javanese ‘adversative passive’ can be encoded with (1) prefix ke- and (2) the circumfix ke-I-an.

The prefix ke- is compatible with a transitive verb base while the circumfix ke-I-an can be

attached to both intransitive and transitive verbs to add an affected argument.

We have seen that suffix ke- conveys the accidental semantics of the Javanese

adversative passive and the intuition is that the suffix -an adds another component meaning to

the passive. It is commonly assumed that the adversative passive is based on the regular passive.

Horne (1961), Poedjosoedarmo (1986), and Davies (1995) claim that the suffix –an in Javanese

adversative passive is the counterpart of the goal suffix –i in the regular passive. Davies (1995)

bases his observation on the fact that similar verbs can take both suffixes and that they have

parallel word order as seen in (38).

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

147

(38) Similar Verbs with Suffix –i and –an a. Siti di-ciprat-i Bambang banyu panas

Siti PASS-splash-LOC Bambang water hot

‘Siti was splashed with hot water by Bambang’

b. Siti ke-ciprat-an Bambang banyu panas

Siti ACCD-splash-APPL Bambang water hot

‘Siti was splashed with hot water by Bambang’

However, not all verbs in the regular passive with suffix –i can be converted into

adversative passive with suffix –an.

(39) Verb with –i but incompatible with adversative passive a. Ani n-dolan-i bayi kuwi

Ani ACT-play-LOC baby that

‘Lit: Ani played in front of that baby for that baby’s amusement’

‘Ani entertained the baby’

b. Bayi kuwi di-dolan-i Ani

Baby that PASS-play-LOC Ani

‘That baby was entertained by Ani’

c. *Bayi kuwi ke-dolan-an Ani

Baby that ACCD-play-APPL Ani

‘That baby was accidentally entertained by Ani’

It can be seen that the verb dolan ‘to play’ takes the suffix –i but resists the suffix –an.

It appears that volitionality and unintended consequences for the affected subject play part in the

resistance. The verb dolan involves a higher degree of volition since it is normally impossible

for an agent to play accidentally. Moreover, the action to play described in (39) is intended to

affect a subject.

Further observation proves that certain unergative verbs are compatible with suffix –i

but not with suffix –an. If suffix –an is the adversative passive variant of suffix –i, then all verbs

sith suffix –i should be able to convert into adversative passive with –an. However, this is not

the case.

Table 1. Unergative Verbs with Suffix –i and Adversative Passive

Unergative Suffixation with –i Adversative Passive

Ati ndolan

Ati play

‘Ati played’

Ati n-dolan-i anak-e

Ati ACT-LOC child-POSS

‘Ati played in front of her child to

entertain the child.’

* Ati ke-dolan-an Ani

Ati ACCD-play-APPL Ani

‘Ati suffered from Ani accidentally played in

front of her.’

Ati njoged

Ati dance

‘Ati danced’

Ati n-joged-i anak-e

Ati ACT-dance-LOC child-POSS

‘Ati danced in front of her child to

entertain her.’

*Anak kuwi ke-joged-an Ati

Child that ACCD-dance-APPL Ati

‘The child suffered because Ati accidentally

danced in front of her.’

Ati ndonga

Ati act-pray

‘Ati prayed’

Ati n-donga-ni Marni

Ati ACT-pray-LOC Marni

‘Ati prayed for Marni.’

* Marni ke-donga-nan Ati

Marni ACCD-pray-APPL Ati

‘Marni suffered because Ati accidentally

prayed in front of her.’

Adi mlayu

Adi run

‘Adi ran’

Adi mlayu-ni Marni

Adi run-LOC Marni

‘Adi ran toward Marni.’

* Marni ke-playu-an Adi

Marni ACCD-run-APPL Adi

‘Marni was accidentally run on by Adi.’

Ika Nurhayani

148

Hence, the claim that suffix –an is an adversative counterpart of the suffix –i is

problematic. I propose instead that suffix –an is an applicative suffix for accidental passive in

Javanese. This accords with the idea that adversative passive increases valence (Tsuboi, 2010).

As evidence, the suffix is obligatory for intransitive verbs as seen in (40) and (41).

(40) Intransitive Verb Base: Suffix -an

Unergative

a. Tanduran-e Pardi k-uyuh-an asu kuwi

Plant-poss Pardi ACCD-urinate-Appl dog that

‘Pardi’s plant was urinated on by the dog’

b. * Tanduran-e Pardi k-uyuh asu kuwi

Plant-poss Pardi ACCD-urinate dog that

‘Pardi’s plant was urinated on by the dog’

(41) Unaccusative

c. Pardi ke-ambruk-an empring

Pardi ACCD-fall-APPL bamboo

‘Pardi was fallen over by a bamboo’

d. * Pardi ke-ambruk empring

Pardi ACCD-fall bamboo

‘Pardi was fallen over by a bamboo

However, the suffix is not applicable for transitive verbs as seen in (42).

(42) Transitive verb base: no suffix –an a. Pardi ke-pidak kanca-ne

Pardi ACCD-step-on friend-POSS

‘Pardi was accidentally stepped on by his friend’

b. * Pardi ke-pidhak-an Ani

Pardi ACCD-step on-APPL Ani

‘Pardi was accidentally stepped on by Ani’

c. Pardi ke-tuthuk kanca-ne

Pardi ACCD-hit friend-POSS

‘Pardi was accidentally hit by his friend’

d. * Pardi ke-tuthuk-an kanca-ne

Pardi ACCD-hit-APPL friend-POSS

‘Pardi was accidentally hit by his friend’

This proves that the suffix –an adds violence to the verb, as an applicative morpheme

should do. In an adversative passive construction, the applicative suffix introduces an affected

argument as seen in (43).

(43) The Introduction of an Affected Argument with suffix -an a. Parto ke-copet-an dompet

Parto ACCD-steal-APPL wallet

‘Parto suffered from a wallet being stolen when he was holding it’

b. * Parto ke-copet dompet

Parto ACCD-steal wallet

‘Parto suffered from a wallet being stolen when he was holding it’

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

149

In (43a), the suffix -an is obligatory because of the presence of the indirect affected argument,

Parto. In fact, a construction without -an is ungrammatical as seen in (43b).

To sum up, the prefix ke- adds an accidental passive semantics to a verb and, therefore,

it is best to call Javanese ‘adversative passive’ as Javanese ‘accidental passive’. The accidental

reading denotes that an unintended or unexpected result by the agent or the subject of the

passive. On the other hand, the suffix –an serves as an applicative suffix to add an argument to

an intransitive or transitive verb.

CONCLUSION

It can be concluded that the previous frameworks on adversative passive, notably by Kubo

(1992) and Pylkkänen (2002), cannot offer a satisfying analysis for the Javanese ‘adversative

passive’. Firstly, instead of adversative semantics, Javanese ‘adversative passive’ carries an

accidental semantics which perceives that the action or the event is unexpected or unintentional.

Hence the agents of the passive do not intend to affect the affected argument with his or her

action while the affected argument also does not expect to be affected by the event or the action

described by the verb. Moreover, the accidental semantics is encoded with the prefix ke- which

serves as a specific accidental passive prefix. The prefix works for transitive or intransitive

verbs, except for unergative verbs which are only compatible with the circumfix ke-I-an.

Second, the possessor raising/low applicative framework proposed by Pylkkänen (2002)

is also problematic for Javanese accidental passive because the passive shows the following

traits: (1) the theme arguments are not obligatory and (2) the subject of the passive (the affected

argument) does not have to possess the theme argument. This poses a problem for Pylkkänen’s

(2002) framework since it requires a direct possesive relation between the affected and the

theme arguments.

I argue that Javanese accidental passive is best analyzed as a combination of prefix ke-

and suffix –an. The prefix ke- serves to passivize the construction and assign accidental

semantics. On the contrary, the suffix –an serves as an applicative suffix to add an affected

argument to an unaccusative verb or a transitive verb. The combination of prefix ke- and suffix

–an is not compatible with unergative verbs which are only compatible with the circumfix ke-I-

an. An overviewof Javanese accidental passive can be seen in Table 2.

Table 2. An Overview of Javanese Accidental Passive

Types of Verbs Affix Passivization Accidental Semantics Applicativization

Unaccusative Circumfix ke-I-an Yes Yes Yes

Unergative Circumfix ke-I-an No Yes No

Transitive Prefix ke- Yes Yes No

Transitive Circumfix ke-I-an Yes Yes Yes

Lastly, I am aware that the examples used in this research are limited to only several

verbs and I understand that more examples are needed in future studies to further confirm the

conclusion I came to in this paper. I see my work as a preliminary research toward a unified

account of the Javanese accidental passive.

Ika Nurhayani

150

NOTES

* The authors would like to thank the two anonymous reviewers for their helpful comments on the earlier

version of this paper. 1 List of Abbreviations: ACT: Active, ACC: Accusative, ACCD: Accidental, ADV: Adversative, AOR:

Aorist, APPL: Applicative, BEN: Benefactive, DAT: Dative, ERG: Ergative, ILL: Illative, OBL: Oblique,

PASS: Passive, PL: Plural, POSS: Possesive, TR: Transitive.

REFERENCES

Dardjowidjojo, S. (1978). Sentence patterns of Indonesian. Honolulu: University of Hawaii

Press.

Davies, W.D. (1995). Javanese adversatives, passives and mapping theory. Journal of

Linguistics, 31, 15-31.

Davies, W. and Dubinski, S. (2004). The grammar of raising and control: A course in syntactic

augmentation. Malden, MA: Blackwell.

Fagerli, O. (2001). Malefactive by means of GIVE. In H. Simonsen and R. Endresen (Eds.), A

cognitive approach to the verb: Morphological and constructional perspectives (pp.

203-222). Berlin, New York: Mouton de Gruyter.

Haspelmath, M. (1993). A grammar of Lezgian. Berlin, New York: Walter de Gruyter.

Horne, E.C. (1961). Beginning Javanese. New Haven: Yale University Press.

Kittila, S. (2010). On distinguishing between recipient and beneficiary in Finnish. In M-L.

Helasvou and L. Campbell, Grammar from the human perspective (pp. 129-152).

Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins.

Kittila, S. and Zuniga, F. (2010). Benefactive and malefiction from a crosslinguistic perspective.

In S. Kittila & F. Zuniga (Eds.). Benefactives and malefactives: A typological

perspectives and case studies (pp. 1-28). Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins.

Kubo, M. (1992). Japanese passives. Working papers of the department of languages and

cultures university of Hokkaido, 23, 231-302.

Lee, J-E. (2006). A critical review of analyses of indirect passive. Studies in Generative

Grammar, 16(2), 269-285.

Nurhayani, I. (2013). A unified account of the syntax of valence in Javanese (Doctoral

dissertation), Cornell University, Ithaca, New York.

Oglobin, A. (2005). Javanese. In A. Adelaar & N.P. Himmelman (Eds.) The Austronesian

languages of Asia and Madagascar (pp. 590-624). New York: Routledge.

Poedjosoedarmo, G.R. (1986). Role structure in Javanese. Jakarta: Badan Penerbit Seri NUSA,

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Pylkkänen, L. (2002). Deriving adversity. In Billerey and Lillehaugen (Eds). Proceedings of

WCCFL, 19, 339-410. Somerville: MA.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

151

Prasithrathsint, A. (2006). Development of the Tuuk passive marker. In Werner Abraham and L.

Leisio (Eds.). Thai passivization and typology: Form and function (pp. 115-131).

Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins B.V.

Radetzky, P. and Smith, T.Y. (2010). An areal and crosslinguistic study of benefactive and

malefactive construction. In S. Kittila and F. Zuniga (Eds.). Benefactives and

malefactives: Typological perspective and case studies (pp. 97-120). Amsterdam,

Philadephia: John Benjamins.

Subroto, E. (1998). Adversative-passive verbs in standard Javanese. In M. Janse (Ed.).

Productivity and creativity: Studies in general and descriptive linguistics in honor of

E.M. Uhlenbeck (pp. 357-368). New York: Mouton de Gruyter.

Tsuboi, E. (2010). Malefactivity in Japanese. In S. Kittila and F. Zuniga (Eds.). Benefactives

and malefactives: A typological perspectives and case studies (pp. 419-435).

Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins.

Uhlenbeck, E.M. (1978). Studies in Javanese morphology. The Hague: Martinus Nijhoff.

Zoetmulder, P.J. and Poedjawijatna, I.R. (1961). Bahasa Parwa: Tata bahasa Djawa Kuno.

Jakarta: Obor.

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 153-171 Volume ke-33, No. 2 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

FAKTOR DAN STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA BACA

MELALUI MEMBACA PEMAHAMAN MAHASISWA

Pranowo*

Universitas Sanata Dharma

[email protected]

Antonius Herujiyanto

Universitas Sanata Dharma

[email protected]

Abstrak

Budaya baca adalah sikap, perilaku, dan pola pikir dalam membaca seseorang yang

sudah mengakar dan tidak lagi mudah berubah. Budaya baca masyarakat Indonesia

masih tergolong rendah. Hasil penelitian pada tahun 2009 oleh Organisasi

Pengembangan Kerja Sama Ekonomi, budaya baca masyarakat Indonesia menempati

posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Di samping itu, indeks minat

baca masyarakat Indonesia berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2012 juga

rendah, berada pada indeks 0,001. Artinya, dari 1000 orang Indonesia hanya ada satu

orang yang memiliki minat baca baik. Kajian ini ingin mendeskripsikan berbagai faktor

yang mempengaruhi kemampuan membaca pemahaman dan strategi membaca

pemahaman yang sesuai untuk menumbuhkan budaya baca mahasiswa. Subjek

penelitiannya adalah mahasiswa PBSI USD dan UST semester 5 tahun akademik

2015/2016 dengan data penelitian berupa hasil angket faktor kemampuan membaca

pemahaman dan model pengembangan strategi budaya baca. Hasil penelitian

menemukan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca

pemahaman, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, dan model pengembangan

strategi membaca pemahaman yang sesuai, yaitu strategi K-W-L (Know-Want-Learnt)

dan MURDER (Mood-Understand-Recall-Digest-Expand-Review).

Kata kunci: faktor membaca, strategi membaca, membaca pemahaman, budaya baca

Abstract

A reading habit can be defined as one’s attitude, behaviour, and mind-set patterns in

reading which has been strongly rooted and unchangeable. Indonesians’ reading habit is

still low. According to the 2009 research conducted by the Economic Co-operation

Developing Organization [OPKE], the reading interest index of Indonesian people is the

lowest among that of 52 East Asian countries. Similarly according to the 2012 data from

UNESCO, the Indonesians’ reading index is 0,001, which means that there is only one

out of 1000 Indonesians who is interested in reading. This study aims to describe many

different factors affecting the reading comprehension skills and strategies which are in

line with those efforts to develop the student’s reading habit. The subjects of the research

are the fifth semester students of 2015/2016 academic year of the Department of

Language (Indonesian) of USD and UST Yogyakarta. The data are the questionnaire

results on the factors of reading comprehension competency and reading habit strategy

developing model. The findings reveal that there are two factors which affect one’s

reading comprehension competency, namely, internal and external factors, and the

appropriate reading habit strategy developing models are K-W-L (Know-Want-Learnt)

and MURDER (Mood-Understand-Recall-Digest-Expand-Review).

Keywords: reading factors, reading strategies, reading comprehension, reading habit

Pranowo, Antonius Herujiayanto

154

PENDAHULUAN

Membaca merupakan kebutuhan pokok mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena

itu, mahasiswa harus memiliki kemampuan membaca pemahaman (KMP) yang baik. KMP akan

baik jika mahasiswa memiliki budaya baca yang baik pula. Namun, harus disadari bahwa

banyak faktor yang ikut menentukan terbentuknya budaya baca mahasiswa. Di samping

banyaknya faktor yang menentukan budaya baca, juga ada berbagai strategi pengembangan

budaya baca.

Sebenarnya, seorang anak yang sudah mampu menyelesaikan pendidikan SMA/SMK

dan masuk ke perguruan tinggi bukanlah anak bodoh. Kegagalan mahasiswa untuk meraih

sukses studi maupun sukses hidup, salah satunya karena tidak dimilikinya budaya baca. Oleh

karena itu, perlu ditelusuri bukti empiris faktor yang menyebabkan lemahnya budaya baca

mahasiswa. Secara hipotetis, berbagai faktor yang menyebabkan lemahnya budaya baca

mahasiswa didominasi oleh diri mereka sendiri (faktor pembaca). Memang, kita juga tidak

boleh menutup mata bahwa faktor di luar diri mahasiswa juga ikut memberi kontribusi terhadap

lemahnya budaya baca. Namun, semua itu akan dapat diatasi apabila mahasiswa memiliki daya

juang yang tangguh untuk mengatasi berbagai faktor di luar dirinya.

Dalam literatur klasik disebutkan bahwa bahasa mempengaruhi perilaku manusia

(Sapir, 1921). Perilaku manusia dapat berubah karena bahasa. Sebagai ilustrasi, ketika

seseorang melihat rambu lalu lintas “dilarang parkir”, seseorang pasti akan tunduk pada rambu

itu untuk tidak parkir di tempat tersebut. Itulah hakikat fungsi bahasa. Dengan demikian, ketika

seseorang mampu membaca dengan baik, mereka akan mendapatkan informasi yang diperlukan

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sayangnya, kemampuan membaca masyarakat Indonesia

masih sangat memprihatinkan.

Kemampuan membaca permulaan, seperti membaca pada taraf “melek huruf” (artinya

baru bebas dari buta huruf) dan minat baca yang masih sangat rendah merupakan salah satu

indikator rendahnya kemampuan membaca masyarakat Indonesia. Beberapa data penelitian

yang berkaitan dengan melek huruf, indeks minat baca, dan budaya baca menunjukkan kondisi

yang memprihatinkan. Hasil penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis

UNDP pada tahun 2002 menyebutkan bahwa data melek huruf orang Indonesia berada di posisi

110 dari 173 negara. Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009

(http://hdr.undp.org/sites/ default/files/reports/14/hdr2013 _en_complete.pdf).

Pada tahun 2009, berdasarkan hasil penelitian yang diumumkan Organisasi Pengembangan

Kerja Sama Ekonomi, budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52

negara di kawasan Asia Timur (http://en.unesco.org/ themes/education-21st-century). Data lain

yang juga memprihatinkan adalah masih rendahnya indeks minat baca masyarakat. Indeks minat

baca masyarakat Indonesia berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2012 berada pada

indeks 0,001. Artinya, setiap 1000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca

baik (http://www. unesco.org/new/en/unesco/about-us/).

Jika angka melek huruf dan indeks minat baca masih serendah itu, bangsa Indonesia

akan sangat sulit untuk memiliki budaya baca. Apa lagi jika yang dimaksud itu adalah budaya

membaca untuk menyerap informasi dan memberi tanggapan kritis terhadap berbagai jenis

informasi dalam bacaan, masyarakat Indonesia masih membutuhkan waktu cukup lama untuk

memiliki budaya baca.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

155

Berdasarkan data di atas, sejak tahun 2002, kondisi baca masyarakat Indonesia hampir

tidak mengalami perubahan. Walaupun proses pendidikan sudah berjalan puluhan tahun dengan

biaya triliunan rupiah, para pelaku pendidikan tidak mampu membuat perubahan yang

signifikan terhadap kemampuan membaca masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ada sesuatu

yang salah dalam pendidikan kita.

Data seperti itu dapat dimaknai bahwa daya saing dan daya tawar bangsa Indonesia

sangat rendah terhadap bangsa lain. Jika tidak segera diambil langkah konkret untuk

mengatasinya, tidak ada lagi yang dapat diharapkan bangsa Indonesia untuk dapat keluar dari

kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Melihat kondisi seperti itu, perlu ada terobosan

yang bersifat inovatif dan kreatif agar terjadi perubahan secara signifikan.

Pada saat ini, yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah kemampuan membaca

tingkat tinggi, yaitu kemampuan membaca pemahaman (KMP). Jika yang dimiliki hanyalah

kemampuan membaca pada taraf “melek huruf” dan “minat baca” yang rendah, pasti daya

tawar bangsa Indonesia terhadap bangsa lain akan terus rendah.

Bangsa Indonesia harus mampu membangun budaya baca masyarakat. Namun, jika

modal dasar yang dimiliki hanya seperti data di atas (minat baca rendah, kemampuan baca pada

level “melek huruf” saja masih rendah), tantangan yang dihadapi sangat berat. Oleh karena itu,

opsi yang mungkin dapat dipilih adalah menyelesaikan persoalan secara bertahap. Tahap

pertama yang harus segera dijalankan adalah membangun budaya baca mahasiswa karena (a)

aktivitas mahasiswa setiap hari berkaitan dengan aktivitas keilmuan, (b) tidak lama lagi, setelah

mahasiswa lulus akan memasuki dunia kerja yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan dan

teknologi, (c) meskipun belum menjadi budaya baca, aktivitas mahasiswa adalah membaca

untuk menyerap dan mengkritisi informasi, dan (d) mengembangkan budaya baca mahasiswa

akan lebih mudah karena bekal minat baca yang dimiliki tinggal “membesut” (memberi

sentuhan sedikit) dapat menjadi budaya baca.

Oleh karena mendesaknya kebutuhan, di samping pengembangan budaya baca

mahasiswa, juga harus dipilih jenis membaca yang perlu dibudayakan, yaitu membaca

pemahaman. Budaya baca yang perlu dibangun oleh bangsa Indonesia bukan sekadar budaya

baca terhadap teks-teks sederhana, tetapi juga teks yang di dalamnya mengandung informasi

yang berkaitan dengan kemajuan iptek. Jika budaya baca seperti itu dapat diwujudkan, hal

tersebut akan menjadi lompatan luar biasa bagi bangsa Indonesia karena kondisi kemampuan

membaca bangsa Indonesia akan meningkat lebih cepat.

Tahap kedua, membangun budaya baca pada level pendidikan dasar dan menengah.

Pada level ini, budaya baca perlu dikembangkan untuk memberi dasar sedini mungkin kepada

anak agar di masa mendatang tumbuh budaya baca.

Atas dasar uraian di atas, ada dua permasalahan dalam artikel ini:

a) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terbentuknya budaya baca membaca

pemahaman mahasiswa?

b) Strategi membaca seperti apakah yang sesuai untuk mengembangkan budaya baca membaca

pemahaman mahasiswa?

FAKTOR MEMBACA UNTUK MEMBANGUN BUDAYA BACA

Membaca pemahaman merupakan salah satu jenis membaca intensif. Beberapa ahli menyatakan

bahwa membaca intensif mencakup membaca pemahaman, membaca kritis, membaca

Pranowo, Antonius Herujiayanto

156

interpretatif, dan membaca kreatif (Broughton, dkk. 1989 dalam Tarigan, 2008:13). Jika

pendapat Broughton di atas dicermati, seakan-akan membaca pemahaman merupakan tahap

awal sebelum mencapai tahap membaca kritis, membaca interpretatif, dan yang tertinggi sampai

pada membaca kreatif. Padahal, sebenarnya ketika seseorang melakukan kegiatan membaca

pemahaman di dalamnya terdapat membaca kritis, interpretatif, dan membaca kreatif. Dengan

demikian, membaca pemahaman di dalamnya termasuk pemahaman literal, membaca

interpretatif, membaca kritis, dan membaca kreatif (Smith, 2006 dalam http://massofa.

wordpress.com/200811/strategi-pemelajaran-membaca//). Oleh karena itu, Burns, dkk. (2004)

mengemukakan bahwa mengevaluasi kemampuan membaca pemahaman harus sekaligus

mengevaluasi (a) kemampuan membaca literal (literal reading), (b) kemampuan membaca

interpretatif (interpretative reading), (c) kemampuan membaca kritis (critical reading), dan (d)

kemampuan membaca kreatif.

Sejalan dengan pendapat Burns (2004:80), Smith (2006) dan Hagaman, dkk. (2010:

125) beranggapan bahwa pembaca harus melakukan banyak hal berkaitan dengan teks yang

dibacanya, seperti (a) menganalisis isi teks yang dibacanya, (b) menghubungkan pengetahuan

lama dengan pengetahuan baru yang diperoleh dari teks yang dibacanya, (c) membuat

kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki, (d) mengevaluasi teks yang

dibacanya berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, (e) menginterpretasi maksud penulis, (f)

membuat prediksi yang mungkin terjadi setelah membaca teks, (g) menciptakan pemikiran baru

atas apa yang dibacanya berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Semua itu dilakukan dalam

satu kesatuan waktu ketika mereka sedang memahami teks.

Agar mahasiswa dapat melakukan seluruh proses berpikir seperti itu, terdapat banyak

faktor yang mempengaruhi kegiatan membacanya, yaitu (a) faktor pembaca, (b) faktor tingkat

kesulitan teks yang dibaca, dan (c) jenis teks yang dibaca. Faktor pembaca mencakup banyak

hal, seperti faktor kebahasaan (kemampuan berbahasa, penguasaan kosakata dan struktur

sintaksis, serta tingkat kelancaran dalam membaca), faktor kepribadian (minat, motivasi,

keadaan emosi, kebiasaan), IQ, latar belakang sosial budaya, pengetahuan dan pengalaman yang

dimiliki sebelumnya, sikap mental, dsb. Faktor teks yang dibaca berkaitan dengan tingkat

kesulitan teks yang dibaca. Oleh karena itu, pembaca memerlukan strategi tertentu dan tingkat

kemahiran membaca pemahaman yang tinggi. Sementara itu, faktor yang berkaitan dengan jenis

teks yang dibaca, pembaca akan dihadapkan pada berbagai genre teks (teks ilmiah, teks literer,

teks berita, dll.).

National Reading Panel (2000) mengidentifikasi bahwa faktor yang mempengaruhi

kemampuan membaca pemahaman digolongkan menjadi dua, yaitu faktor pembaca dan faktor

teks. Faktor pembaca meliputi latar belakang pengetahuan pembaca, penguasaan kosakata,

tingkat kemahiran membaca, strategi pemahaman, keterampilan pemahaman, dan motivasi

pembaca. Sementara faktor yang berhubungan dengan teks meliputi jenis teks yang dibaca,

struktur teks, dan ciri khas teks. Di samping itu, Torgesen (2006:21) menambahkan bahwa

faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca adalah faktor tujuan, yaitu tujuan untuk

memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai isi teks yang dibacanya.

Atas dasar uraian di atas, pengembangan budaya baca perlu memperhatikan berbagai

faktor yang mempengaruhi KMP. Faktor internal yang perlu ditingkatkan, seperti membangun

minat yang kuat, membangun dan mempertahankan motivasi, menjaga emosi agar tetap stabil,

membangun kebiasaan, memperkaya latar belakang pengetahuan pembaca, menambah jumlah

penguasaan kosakata, dan meningkatkan kemahiran membaca. Faktor eksternal yang perlu

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

157

ditingkatkan antara lain latar belakang sosial budaya, membiasakan membaca berbagai jenis

teks, membiasakan membaca tingkat kesulitan teks yang semakin rumit, memperhatikan faktor

sosial ekonomi keluarga, dan menjaga atmosfir lingkungan agar tetap kondusif.

Kemampuan Membaca Pemahaman dan Membaca Kritis

KMP merupakan kunci utama untuk menyerap informasi secara sahih dalam dunia ilmu

pengetahuan dan teknologi. KMP merupakan usaha memahami dan menyerap informasi melalui

teks. Berdasarkan taksonomi Bloom yang telah direvisi Anderson (2011:25), domain

pemahaman merupakan domain kognitif kategori 2 dari enam kategori kognitif, yaitu

mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.

Kategori pemahaman pada ranah kognitif di atas sebenarnya masih level rendah, yaitu

level 2. Namun, penerapannya dalam membaca, kategori pemahaman (baca: membaca

pemahaman), jika mengikuti pendapat Burns, dkk (2004:75) sudah cukup kompleks karena

Burns memasukkan unsur membaca kritis dan membaca kreatif. Membaca kritis merupakan

kegiatan membaca untuk menganalisis, mengevaluasi materi, dan memberi tanggapan terhadap

informasi yang terdapat dalam teks bacaan, membandingkan ide dalam tulisan dengan

pengetahuan yang dimiliki, serta memberi simpulan mengenai keakuratan, kesesuaian, dan

keefektifan bahan bacaan. Aktivitas yang dilakukan pembaca kritis, yaitu (1) memahami makna

teks, dalam arti pembaca memahami isi bacaan berdasarkan informasi yang terkandung di

dalam teks (informasi tekstual), (2) memahami maksud yang ingin disampaikan oleh penulis,

dan (3) menciptakan pemahaman baru, dalam arti pembaca membangun pengetahuan baru

berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dan maksud penulis.

Menurut The IRA Dictionary (dalam Haller, 2000:17), membaca pemahaman meliputi

(a) kegiatan memahami apa yang dibaca, (b) kegiatan memahami hubungan secara hierarkis

terhadap sesuatu yang dibaca, serta (c) kegiatan penginterpretasian, pengevaluasian, serta reaksi

yang dilakukan dengan cara kreatif dan intuitif. Dengan demikian, KMP adalah suatu kegiatan

yang berusaha memahami informasi bacaan secara keseluruhan dengan mendalam, menangkap

maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, dan menghubungkan isi bacaan dan maksud

penulis dengan pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki pembaca.

Dengan acuan teori di atas, untuk mengukur tingkat KMP dapat mengikuti pendapat

Burns, dkk. (2004:80) yaitu dengan mengukur (a) kemampuan membaca literal (literal reading),

(b) kemampuan membaca interpretatif (interpretative reading), (c) kemampuan membaca kritis

(critical reading), dan (d) kemampuan membaca kreatif (creative reading). Jika keempat

kemampuan membaca tersebut telah dimiliki dengan baik, berarti kompetensi kemampuan

membaca pemahaman mahasiswa sudah dapat dikategorikan memadai.

Dari keempat aspek KMP di atas, membaca kritis merupakan salah satu langkah

membaca pemahaman. Pembaca berusaha menyerap informasi dengan memberikan

pertimbangan kelebihan dan kekurangan suatu informasi dengan menggunakan penalaran

berdasarkan pemikiran logis untuk sampai pada kesimpulan. Kegiatan membaca kritis hanya

dapat dilakukan oleh seorang pemikir kritis. Pemikir kritis yaitu pemikir yang mampu berpikir

secara sistematis untuk menemukan kebenaran dengan mengevaluasi bukti-bukti, asumsi,

logika, dan bahasa orang lain yang mendasari pernyataan yanag diungkapkan (Elaine,

2007:125).

Pranowo, Antonius Herujiayanto

158

Pembaca kritis tidak sekadar menyerap apa yang ada, tetapi ia bersama-sama penulis

berpikir tentang masalah yang dibahas. Membaca secara kritis berarti membaca secara analitis

dengan penilaian. Pembaca harus berinteraksi dengan penulis dan saling mempengaruhi

sehingga terbentuk pengertian baru (Sudarso, 2001:20). Pembaca kritis harus mampu

mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan hati-hati untuk memutuskan apakah pembaca

akan menerima, menolak, atau menunda penilaian tentang suatu pernyataan (Moore, 2008:15).

Fisher (2008:125) menyatakan bahwa berpikir kritis harus selalu mempertimbangkan

secara aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan dengan mempertimbangkan

alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan yang menjadi

kecenderungannya. Jenis membaca kritis penting karena berguna untuk menyeleksi jenis

informasi yang diserap agar memperoleh informasi yang terpercaya (sahih) dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Jika dikembalikan pada domain kognitif dari Bloom, membaca pemahaman, meskipun

masih tergolong level 2, sebenarnya sudah termasuk membaca kritis. Aktivitas pembaca sudah

mencakup seluruh kategori, yaitu (a) menerapkan konsep-konsep teoretis, (b) menganalisis

setiap pernyataan, (c) mengevaluasi pernyataan, dan (d) mencipta konsep baru berdasarkan

pernyataan yang sudah ada.

Dengan demikian, KMP membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Dam dan Volman

(2004:21) menekankan bahwa critical thinking merupakan kompetensi wajib bagi pembaca.

Oleh karena itu, penguasaan kompetensi berpikir kritis ini harus menjadi tujuan pendidikan bagi

setiap mahasiswa.

Pendapat lain dikemukakan oleh Beck & Dole (1985, dalam Burns, 1986:80) bahwa

kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan mengolah bahan bacaan untuk menemukan

makna, baik yang tersurat maupun yang tersirat melalui tahap mengenal, memahami,

menganalisis, menilai, dan mencipta. Mengolah bahan bacaan secara kritis, artinya, pembaca

tidak hanya menangkap makna yang tersurat (reading on the lines), tetapi juga menemukan

makna antarbaris (reading between the lines), dan makna di balik baris (reading beyond the

lines).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa kemampuan membaca kritis

dibutuhkan dalam KMP. Seorang pembaca kritis pada hakikatnya adalah pemikir kritis. Pemikir

kritis harus selalu mempertimbangkan secara aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah

keyakinan dengan mempertimbangkan alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-

kesimpulan yang menjadi kecenderungannya. Dengan demikian, KMP membutuhkan

kemampuan berpikir kritis, dalam arti pembaca harus mengolah bahan bacaan untuk

menemukan makna tersurat (reading on the lines), makna antarbaris (reading between the

lines), dan makna di balik baris (reading beyond the lines).

METODE PENELITIAN

Sumber data penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia FKIP Universitas Sanata Dharma, Universitas Tamansiswa, dan Universitas Ahmad

Dahlan Yogyakarta semester VI tahun 2015/2016. Data penelitian berupa hasil angket faktor

yang mempengaruhi pembentukan budaya baca mahasiswa, dan hasil kajian strategi yang

digunakan untuk membentuk budaya baca mahasiswa.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

159

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Artinya, di samping

penelitian dapat menggambarkan berbagai faktor membaca secara deskriptif dengan angka-

angka persepsi mahasiswa, juga didukung argumen-argumen secara kualitatif. Metode

pengumpulan datanya berupa angket dan studi dokumentasi. Angket digunakan untuk

mendapatkan gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi terbentuknya budaya baca

mahasiswa, dan strategi yang digunakan untuk membentuk budaya baca mahasiswa.

Analisis data berupa angket dilakukan dengan langkah sebagai berikut: (1) membuat

tabulasi angket faktor yang mempengaruhi pembentukan budaya baca, (2) mengklasifikasikan

hasil angket, dan (3) menentukan frekuensi pengaruh faktor terhadap pembentukan budaya

baca. Studi dokumentasi digunakan untuk mendeskripsikan aneka kajian mengenai strategi

pengembangan budaya baca. Langkah analisis yang dilakukan adalah (1) meninjau ulang

berbagai teori kajian strategi membaca, (2) membedakan hasil kajian strategi satu dengan

strategi yang lain, dan (3) memformulasikan aneka hasil kajian menjadi satu rumusan strategi

pengembangan budaya baca yang sesuai untuk mahasiswa.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Faktor yang Mempengaruhi Budaya Baca

Ada dua faktor yang mempengaruhi budaya baca mahasiswa, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal (Tompkins, 2014). Persepsi mahasiswa terhadap setiap faktor diidentifikasi melalui

beberapa indikator. Atas dasar indikator tersebut, persepsi mahasiswa dideskripsikan dengan

menggunakan kriteria Setuju (S), tidak setuju (TS), dan tidak memiliki pilihan (TMP).

Faktor Internal

Hasil analisis faktor internal yang mempengaruhi budaya baca (Tompkins, 2014) disajikan

sebagai berikut.

1) Faktor motivasi

Faktor motivasi mencakup motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Kedua jenis motivasi

tersebut memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca mahasiswa. Berdasarkan

aktivitas dan sikap yang dilakukan oleh mahasiswa, baik faktor motivasi intrinsik maupun

ekstrinsik diidentifikasi melalui lima indikator. Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini.

Tabel 1. Faktor Motivasi

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

motivasi

1. Jika diberi tugas membaca oleh dosen, saya berusaha

menyelesaikannya tepat waktu.

73 12 15

2. Dalam keseharian, dorongan membaca saya tidak hanya tertuju

pada bacaan-bacaan hiburan.

43 12 45

3. Selama perkuliahan, saya ingin mencapai prestasi setinggi-

tingginya dengan cara rajin membaca.

70 6 24

4. Jika akan menempuh ujian tengah semester atau akhir semester,

dorongan membaca saya sangat kuat.

88 3 9

5. Jika berhasil menyelesaikan tugas membaca, merasa dihargai jika

mendapat pujian dari dosen atau teman.

61 12 27

Rata-rata dalam % 67 9 24

Pranowo, Antonius Herujiayanto

160

Berdasarkan tabel di atas, pengaruh faktor motivasi terhadap terbentuknya budaya baca

memberi kontribusi sebesar 67%. Berdasarkan faktor tersebut, ada beberapa indikator yang

cukup kuat pengaruhnya terhadap pembentukan budaya baca, yaitu (1) peranan dosen dalam

perkuliahan, (2) keinginan mencapai prestasi setinggi-tingginya, (4) dorongan membaca saat

menghadapi ujian, dan (5) perlunya pujian oleh dosen atau teman atas keberhasilan yang

dicapai. Jika keempat indikator motivasi tersebut dapat dimanfaatkan secara benar, KMP

mahasiswa akan semakin baik dan dapat menumbuhkan terbentuknya budaya baca.

2) Faktor minat

Faktor minat memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca. Berdasarkan aktivitas

yang dilakukan oleh mahasiswa, faktor minat dapat diidentifikasi melalui lima indikator.

Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini.

Tabel 2. Faktor Minat

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

minat

1. Saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui membaca. 76 18 6

2. Jika ada teman yang memiliki buku baru, saya ingin mengajak

untuk mendiskusikan isinya.

49 15 36

3. Saya lebih suka membaca sendiri sumber informasi dari pada

mengikuti pendapat orang lain.

77 14 9

4. Setelah membaca, saya berkeinginan mengungkapkan gagasan

hasil membaca secara tertulis dalam bentuk artikel, makalah, atau

bentuk lain.

30 27 43

5. Saya ingin membaca kembali bacaan yang pernah saya baca untuk

menyegarkan ingatan.

49 15 36

Rata-rata dalam % 56,2 17,8 26

Berdasarkan tabel di atas, pengaruh faktor minat terhadap pembentukan budaya baca memberikan

sumbangan sebesar 56,2%. Indikator faktor minat yang memiliki pengaruh kuat terhadap

pembentukan budaya baca, yaitu (1) minat mencari jawaban terhadap suatu masalah melalui

membaca, dan (3) minat membaca sendiri sumber informasi untuk menemukan jawaban suatu

masalah. Sebenarnya, faktor-faktor lain juga memiliki pengaruh tetapi belum nanpak secara

signifikan, seperti (2) kemauan untuk mendiskusikan isi buku yang dibacanya, (4) kemauan

mengungkapkan gagasan hasil membacanya secara tertulis, dan (5) kemauan membaca kembali

bacaan yang pernah dibacanya untuk menyegarkan ingatan juga memiliki peran penting dalam

menumbuhkan budaya baca. Namun, hal ini belum mendapat perhatian mahasiswa.

3) Faktor kebiasaan

Pengaruh faktor kebiasaan dalam pembentukan budaya baca dapat diidentifikasi melalui dua

indikator. Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini.

Tabel 3. Faktor Kebiasaan

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

kebiasaan

1. Saya menyusun jadwal teratur untuk membaca setiap hari. 21 55 24

2. Buku-buku yang akan saya baca saya siapkan di tempat yang

mudah saya jangkau.

58 33 9

Rata-rata dalam % 39,50 44 16,50

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

161

Berdasarkan tabel pada halaman 160, faktor kebiasaan terhadap pembentukan budaya baca

memberi kontribusi sebesar 39,50%. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa,

indikator yang memiliki pengaruh terhadap terbentuknya kebiasaan adalah kesediaan

menyiapkan buku yang akan dibaca di tempat yang mudah dijangkau. Sebaliknya, indikator

faktor kebiasaan yang belum tumbuh dengan baik pada mahasiswa adalah belum memiliki

jadwal teratur untuk membaca setiap hari. Padahal keteraturan jadwal baca merupakan salah

satu wujud disiplin untuk membentuk kebiasaan. Dengan demikian, untuk menumbuhkan

kebiasaan membaca, mahasiswa masih perlu peningkatan disiplin, antara lain dengan menyusun

jadwal baca secara teratur.

4) Faktor Kondisi Emosi

Pengaruh faktor kondisi emosi terhadap pembentukan budaya baca diidentifikasi melalui dua

indikator. Hasil analisis dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 4. Kondisi Emosi

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

kondisi

emosi

1. Setelah selesai membaca, saya merasa bangga jika hasil

membaca yang saya lakukan dan saya presentasikan di kelas

mendapat kritik dan masukan dari dosen.

85 9 6

2. Saya merasa puas jika dapat menyelesaikan secara maksimal

tugas yang diberikan kepada saya.

82 15 3

Rata-rata dalam % 83,50 12 4,50

Berdasarkan tabel di atas, sumbangan faktor kondisi emosi terhadap pembentukan budaya baca

sebesar 83,50%. Indikator faktor kondisi emosi yang memiliki pengaruh besar terhadap budaya

baca adalah (1) adanya rasa bangga jika presentasi hasil membacanya mendapat kritik dan

masukan dari dosen, dan (2) kesediaan menyelesaikan tugas secara maksimal.

5) Faktor cara membaca

Faktor cara membaca memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca. Berdasarkan

aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, cara membaca dilihat melalui enam indikator. Hasil

analisis data dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Faktor Cara Membaca

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

Cara

Membaca

1. Agar memahami isi bacaan, saya merumuskan dengan bahasa

saya sendiri.

82 3 15

2. Dengan memahami berbagai teknik membaca, ternyata sangat

membantu mempermudah memahami isi bacaan.

70 6 24

3. Untuk mempermudah memahami isi bacaan, saya membuat

skema gagasan setiap kali membaca.

58 9 33

4. Agar memahami isi bacaan, saya cukup mengingat-ingat isinya

saja.

48 34 18

5. Sambil membaca, saya membuat ringkasan isi bacaan. 45 15 40

6. Untuk memahami isi bacaan, saya membuat pertanyaan

berdasarkan isi bacaan yang saya baca.

27 40 33

Rata-rata dalam % 55 17,83 27,17

Pranowo, Antonius Herujiayanto

162

Faktor cara membaca memberikan pengaruh sebesar 55%. Indikator yang memiliki pengaruh

cukup besar adalah (1) membaca sambil merumuskan isi bacaan dengan bahasa sendiri, (2)

membaca dengan memahami berbagai teknik membaca, dan (3) membaca dengan membuat

skema gagasan. Sementara itu, ada tiga indikator penting cara membaca tetapi belum

berkembang pada mahasiswa untuk pembentukan budaya baca, yaitu (4) membaca sambil

mengingat-ingat isi bacaan, (5) membaca sambil membuat ringkasan isi bacaan, dan (6)

membaca sambil membuat pertanyaan tentang isi bacaan. Tiga indikator terakhir tentang faktor

cara membaca belum tumbuh pada mahasiswa. Hal ini perlu mendapat perhatian, dalam arti

perlu ditingkatkan karena belum memadai.

6) Faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya

Faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya memiliki pengaruh terhadap pembentukan

budaya baca. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, pengetahuan yang dimiliki

sebelumnya dilihat melalui tujuh indikator. Hasil analisis ketujuh indikator tersebut dapat dilihat

melalui tabel berikut.

Tabel 6. Pengetahuan yang Dimiliki Sebelumnya

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Pengetahuan

yang

dimiliki

sebelumnya

1. Melalui membaca, saya mampu berpikir lebih kritis

ketika memberi tanggapan terhadap pendapat orang lain.

81 9 10

2. Dengan rajin membaca, kemampuan berbicara saya

menjadi baik.

79 9 12

3. Saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui

membaca.

70 21 9

4. Jika ada pendapat ahli yang dikutip dalam suatu artikel,

buku, atau hasil penelitian, saya ingin melacak sumber

aslinya agar dapat memahami secara lebih

komprehensif.

70 12 18

5. Saya tidak mudah percaya dengan pendapat orang lain

sebelum membaca sendiri sumber aslinya.

52 12 36

6. Saya ingin merujuk pada bacaan setiap berargumentasi

dengan orang lain.

43 18 39

7. Saya merasa tidak puas dengan bacaan yang telah saya

baca sebelum membandingkan dengan bacaan lain.

40 27 33

Rata-rata dalam % 62,14 15,43 22,43

Berdasarkan hasil pada Tabel 6, faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya memberikan

pengaruh terhadap pembentukan budaya baca sebesar 62,14%. Dari ketujuh indikator tersebut

terdapat lima indikator yang memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap pembentukan budaya

baca, yaitu (1) melalui membaca, saya mampu berpikir lebih kritis ketika memberi tanggapan

terhadap pendapat orang lain, (2) dengan rajin membaca, kemampuan berbicara saya menjadi

baik, (3) saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui membaca, (4) jika ada

pendapat ahli yang dikutip dalam suatu artikel, buku, atau hasil penelitian, saya ingin melacak

sumber aslinya agar dapat memahami secara lebih komprehensif, dan (5) saya tidak mudah

percaya dengan pendapat orang lain sebelum membaca sendiri sumber aslinya. Sementara itu,

indikator lain yang belum disadari pentingnya oleh mahasiswa adalah (6) kesediaan merujuk

pada bacaan setiap berargumentasi dengan orang lain dan (7) kesediaan membandingkan

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

163

dengan bacaan lain dengan bacaan yang pernah dibacanya. Padahal, kedua indikator terakhir ini

sangat penting dalam pembentukan budaya baca, terutama budaya baca untuk membaca

pemahaman. Di sisi lain, mahasiswa kurang memperlihatkan jiwa tangguh dalam menemukan

kebenaran, dan keinginan untuk selalu merujuk pada bacaan setiap berargumentasi dengan

orang lain juga belum terlihat dengan baik.

7) Faktor ketertarikan terhadap manfaat membaca

Faktor ketertarikan manfaat membaca terhadap pembentukan budaya baca diidentifikasi melalui

tiga indikator. Hasil analisis ketiga indikator tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 7. Ketertarikan terhadap Manfaat Membaca

Faktor Indikator

Kategori dalam

%

S TS TMP

Faktor

ketertarikan

terhadap bacaan

dan

kebermanfaatan

1. Meskipun tidak berkaitaan dengan bidang yang saya

pelajari, jika bacaan itu menarik, saya membacanya.

73 12 15

2. Sesulit apapun isi dalam bacaan, jika berkaitan dengan

bidang ilmu yang saya pelajari, saya akan berusaha

sampai dapat memahami isi bacaan.

82 2 16

3. Saya menyadari bahwa membaca merupakan kebutuhan

pokok bagi seorang mahasiswa jika ingin memiliki

wawasan dan pengetahuan luas.

91 3 6

Rata-rata dalam % 82 5,67 12,33

Atas dasar hasil analisis data di atas, ketertarikan terhadap manfaat membaca memiliki

sumbangan sangat besar terhadap pembentukan budaya baca, yaitu sebesar 82%. Sumbangan

dari ketiga indikator tersebut adalah (1) ketertarikan membaca jenis bacaan yang bukan bidang

ilmunya, (2) kesadaran untuk mengatasi kesulitan dalam bidang ilmu yang dipelajari melalui

membaca, dan (3) tumbuhnya kesadaran akan pentingnya membaca. Jika pengaruh positif

seluruh indikator pembentuk budaya baca dapat tergambar seperti itu, budaya baca mahasiswa

akan sangat mudah berkembang di kampus. Sayangnya, masih banyak indikator lain yang tidak

tergambar pengaruhnya secara positif.

8) Faktor intelegensi

Faktor intelegensi terhadap pembentukan budaya baca menurut pendapat mahasiswa tidak

begitu penting. Hal ini diidentifikasi melalui satu indikator saja. Hal ini dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 8. Faktor Intelegensi

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

intelegensi

Tingkat intelegensi tidak begitu penting, jika tekun dan rajin

membaca pasti dapat memahami isi bacaan.

61 21 18

Dengan merujuk pada data tersebut, berdasarkan pendapat mahasiswa, intelegensi memiliki

pengaruh sebesar 61%. Mahasiswa mengatakan bahwa budaya baca lebih ditentukan oleh

ketekunan membaca daripada tingkat intelegensi. Tentu harus disikapi secara hati-hati. Jika

maksud sikap mahasiswa tersebut sebagai usaha memotivasi diri untuk terus belajar meskipun

Pranowo, Antonius Herujiayanto

164

IQ yang dimiliki terbatas, sikap ini dapat dipandang sebagai sikap positif. Meskipun demikian,

tidak berarti bahwa peranan IQ tidak lagi penting.

Analisis Faktor Eksternal

Hasil analisis faktor eksternal yang mempengaruhi budaya baca (Tompkins, 2014) disajikan

sebagai berikut.

1) Faktor kesulitan bahan bacaan

Kesulitan bahan bacaan menjadi salah satu faktor penting untuk membentuk budaya baca.

Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, faktor kesulitan bahan bacaan

diidentifikasi melalui dua indikator. Hasil analisis dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 9. Faktor Kesulitan Bacaan

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

kesulitan

bacaan

Bacaan yang tidak berkaitan dengan bidang yang saya pelajari, saya

sering mengalami kesulitan untuk memahami isinya.

68 10 22

Meskipun berkaitan dengan bidang ilmu yang saya pelajari,

kadang-kadang saya mengalami kesulitan untuk memahami isi

bacaan.

82 9 9

Rata-rata dalam % 75 9,5 15,5

Berdasarkan tabel hasil analisis data di atas, faktor kesulitan bahan bacaan memberi sumbangan

sebesar 75%. Hal ini diidentifikasi melalui dua indikator, yaitu (1) kesulitan memahami isi

bacaan yang tidak berkaitan dengan bidang ilmunya, dan (2) kesulitan memahami isi bacaan

meskipun dalam bidang ilmunya. Jika demikian kondisinya, berarti tingkat kesulitan bahan

bacaan, baik dalam bidang ilmu yang dipelajari maupun yang bukan bidang ilmu yang dipelajari

sangat mempengaruhi pembentukan budaya baca mahasiswa.

Kesulitan memahami isi jenis bacaan yang tidak berkaitan dengan hidang ilmunya

memang banyak dialami oleh setiap orang. Faktor latar belakang ilmu yang tidak dimiliki oleh

mahasiswa menjadi salah satu penyebab sulitnya memahami jenis bacaan tersebut. Begitu juga,

jenis bacaan yang terlalu sulit (kosakata yang digunakan, struktur kalimat yang digunakan)

sangat wajar jika menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab sulitnya memahami isi

bacaan.

2) Faktor latar belakang sosial ekonomi keluarga

Faktor latar belakang ekonomi keluarga memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca

diidentifikasi melalui dua indikator. Hasil analisis dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 10. Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor latar

belakang sosial

ekonomi keluarga

Saya tidak pernah mengalami kesulitan untuk

memperoleh bahan bacaan yang saya butuhkan.

33 52 15

Saya merasa gelisah di saat ingin membaca tetapi tidak

tersedia bahan bacaan.

43 39 18

Rata-rata dalam % 38 45,50 16,50

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

165

Faktor ekonomi keluarga berpengaruh besar terhadap pengembangan budaya baca. Indikator

tersebut semakin diperkuat dengan tidak adanya daya juang mahasiswa untuk mendapatkan

bahan bacaan. Hal ini diidentifikasi melalui dua indikator, yaitu (1) tidak pernah mengalami

kesulitan untuk memperoleh bahan bacaan yang dibutuhkan ternyata masih cukup besar, yaitu

52%, dan (2) perasaan gelisah ketika akan membaca tetapi tidak tersedia bahan bacaan yang

dibutuhkan sebesar 43%.

3) Faktor suasana lingkungan

Faktor suasana lingkungan memiliki pengaruh yang cukup terhadap pembentukan budaya baca.

Berdasarkan pengakuan mahasiswa, hasil analisis data dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 11. Faktor Suasana Lingkungan dan Waktu

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

suasana

lingkungan

1. Saya ke perpustakaan untuk membaca jika ada masalah yang

perlu diselesaikan.

33 52 15

2. Jadwal membaca saya sering terganggu, jika tiba-tiba ada

orang yang datang bertamu.

43 39 18

Rata-rata dalam % 38 45,5 16,5

Berdasarkan hasil analisis tersebut, faktor suasana lingkungan tidak begitu penting bagi

mahasiswa dalam pembentukan budaya baca, yaitu hanya didukung oleh 38%. Namun, jika

pengakuan mahasiswa benar bahwa mereka tidak pernah mengunjungi perpustakaan meskipun

ada masalah yang harus diselesaikan, sebenarnya ada faktor lain yang lebih berpengaruh

terhadap “kemalasan” mahasiswa berkunjung ke perpustakaan. Hal ini diperkuat dengan

pengakuan bahwa “kunjungan tamu” dianggap tidak mengganggu jadwal baca. Kedua hal

tersebut menjadi konsisten bahwa sebenarnya mahasiswa belum memiliki budaya baca yang

baik karena kemalasan.

3) Faktor pengaruh budaya lisan

Pengaruh budaya lisan memiliki peranan besar terhadap pembentukan budaya baca, terutama

pengaruh bahasa lisan yang sering mempersulit pemahaman isi bacaan. Hasil analisis data dapat

dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 13. Faktor Pengaruh Budaya Lisan

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor pengaruh

budaya lisan

Masih kuatnya pengaruh bahasa lisan dalam hidup saya,

sering mempersulit pemahaman isi bacaan.

61 23 16

Berdasarkan hasil analisis data tersebut, pengaruh budaya lisan terutama bahasa lisan disetujui

oleh 61% mahasiswa. Meskipun hanya diidentifikasi melalui satu indikator, pengaruh budaya

lisan dapat merasuk ke seluruh aspek kehidupan mahasiswa.

4) Faktor pengaruh televisi

Televisi sebagai media audiovisual merupakan media hiburan yang paling murah dalam

keluarga. Oleh karena itu, sangat wajar jika sebagian waktu luang mahasiswa digunakan untuk

menonton televisi. Bahkan, karena jumlah saluran televisi cukup banyak, acara hiburan juga

cukup variatif. Perhatikan tabel pada halaman 166.

Pranowo, Antonius Herujiayanto

166

Tabel 14. Faktor Pengaruh Televisi

Faktor Indikator Kategori dalam %

S TS TMP

Faktor

pengaruh

televisi

Jika acara televisi menarik, kegiatan membaca saya tinggalkan

terlebih dahulu untuk menonton acara televisi.

73 21 6

Berdasarkan tabel di atas, pengaruh televisi sebagai media hiburan cukup besar, yaitu 73%. Data

di atas juga menunjukkan bahwa pengaruh televisi dapat bersifat positif maupun negatif.

Pengaruh positif bagi mahasiswa ketika menonton televisi adalah diperolehnya berbagai macam

informasi yang aktual dan faktual. Namun, jika tidak selektif dalam menonton televisi,

mahasiswa dapat terjerumus pada hal-hal yang bersifat hiburan semata sehingga kehilangan

waktu untuk belajar.

Analisis Dokumen Strategi Pengembangan Budaya Baca

Untuk membangun budaya baca, mahasiswa memerlukan strategi tertentu. Strategi membaca

pemahaman pada dasarnya adalah siasat agar ketika membaca dapat memahami isi teks, mampu

mengkritisi isi teks, mampu menginterpretasi maksud penulis teks, dan mampu mencipta teks

baru berdasarkan teks yang dibacanya. Beberapa strategi membaca dapat dikaji sebagai berikut.

Pertama, strategi terstruktur dan strategi mandiri (UT, 2014). Strategi terstruktur masih

menekankan peran dosen melalui perkuliahan, yaitu (a) pemelajaran dipandu oleh dosen, (b)

terjadi tatap muka, dan (c) tersedia buku teks. Strategi mandiri menuntut aktivitas pembaca

untuk belajar secara mandiri, yaitu (a) memiliki disiplin diri, (b) mampu berinisiatif, (c)

memiliki motivasi belajar yang kuat, (d) mampu mengatur waktu secara efisien untuk belajar,

dan (e) biasanya tersedia modul (media cetak) maupun noncetak (audio/video, komputer/

internet, siaran radio, dan televisi). Strategi ini kurang tepat diterapkan bagi mahasiswa karena

aktivitas membaca masih membutuhkan panduan dosen.

Kedua, strategi SQ3R (Andrew, 2008) menuntut pembaca memulai kegiatan membaca

dengan (a) Survey, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur teks yang dibacanya, seperti judul buku,

nama pengarang, daftar isi, jumlah bab, topik setiap bab, indeks, daftar pustaka, (b) Question,

yaitu menyusun daftar pertanyaan yang dipikirkan oleh pembaca sebelum membaca buku,

seperti (i) apa yang dibahas oleh pengarang dalam buku, (ii) dasar teori apa yang digunakan

oleh pengarang dalam menulis buku, (iii) apa kelebihan yang dimiliki oleh buku yang akan

dibacanya, (iv) unsur kebaruan apa yang terdapat dalam buku, dan sebagainya, (c) Read, yaitu

membaca bahan. Dalam membaca bahan, pembaca harus berusaha memahami (i) arti kata sukar,

idiom, ungkapan, (ii) memahami makna tersurat, (iii) memahami makna tersirat, (iv)

menyimpulkan isi bacaan, (v) mengevaluasi bacaan baik dari aspek isi, organisasi, maupun

bahasa yang digunakan dalam bacaan, (vi) menangkap maksud penulis, dan (vii) membuat

prediksi setelah bacaan dibaca oleh pembacanya, (d) Resite, yaitu melakukan tanya jawab

mengenai isi bacaan, dan (e) Review, yaitu mengulas keseluruhan isi bacaan dengan

menggunakan rumusan bahasa sendiri. Strategi ini kurang tepat diterapkan untuk mahasiswa

karena tahap-tahap kegiatannya masih terlalu elementer.

Ketiga, strategi PQ4R memiliki aktivitas pembaca mirip dengan SQ3R tetapi lebih

ditekankan pada kegiatan pembaca untuk membuat elaborasi isi bacaan (Thomas and Robinson,

1972). Kegiatan PQ4R mencakup (a) Preview (membaca selintas dengan cepat), (b) Question

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

167

(bertanya), (c) Read, (d) Refleksi, (e) Resite (melakukan tanya jawab), dan (f) Review

(mengulang secara menyeluruh isi bacaan menggunakan rumusan bahasa sendiri) (Trianto,

2007). Strategi ini kurang tepat diterapkan untuk mahasiswa karena tahap-tahap kegiatannya

masih masih sama dengan SQ3R.

Keempat, strategi KWL (Ogle,1986) sebagai singkatan dari What I Know (apa yang

ingin saya ketahui), What Do I Want to Learn (apa yang ingin saya pelajari), dan What I

Learned (apa yang telah saya pelajari). Renaldi (2002) menyatakan bahwa K-W-L berguna

untuk penjelajahan sebuah topik dan isi bacaan secara cepat. Keistimewaan K-W-L ialah

memungkinkan pembaca menjajaki sebuah topik melalui multiple perspective. Strategi ini

menekankan pada pentingnya latar belakang pengetahuan pembaca. Langkah pemelajaran

menggunakan KWL adalah sebagai berikut. Pertama, langkah What I Know mencakup empat

langkah, yaitu (a) membimbing mahasiswa menyampaikan ide-ide tentang topik bacaan yang

akan di baca, (b) mencatat ide-ide mahasiswa tentang topik yang akan dibaca, (c) mengatur

diskusi tentang ide-ide yang diajukan mahasiswa, dan (d) memberikan stimulus atau

penyelesaian contoh mengenai kategori ide. Kedua, langkah What Do I Want to Learn

mencakup dua langkah, yaitu (a) membimbing mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan yang

terkait dengan topik bacaan, dan (b) membimbing mahasiswa untuk membuat skala prioritas

tentang pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar mereka inginkan jawabannya. Ketiga, langkah

What I Learned, dosen membimbing mahasiswa menuliskan kembali apa yang telah dibaca

dengan bahasanya sendiri. Strategi ini cocok diterapkan untuk mahasiswa karena aktivitasnya

ditekankan pada tumbuhnya kesadaran untuk mengetahui alasan “mengapa seseorang harus

belajar” dan “tahu apa yang harus dipelajari”.

Kelima, strategi MURDER (Kagan dan Kagan, 2009) merupakan salah satu strategi

membaca yang cocok untuk belajar mandiri bagi mahasiswa. MURDER merupakan singkatan

dari Mood–Understand–Recall–Digest–Expand dan Review. Mood (suasana hati) maksudnya

berusaha menciptakan suasana hati yang lebih tenang. Pembaca berusaha mengenali materi agar

timbul rasa senang pada materi yang dibacanya. Pembaca juga berusaha menciptakan suasana

senang setiap kali membaca. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih waktu yang tepat,

memilih lingkungan yang nyaman, dan menyesuaikan belajar dengan suasana hati masing-

masing. Understand (pemahaman) maksudnya pembaca mulai membaca keseluruhan materi

kemudian memberi tanda kata atau kalimat yang tidak dimengerti artinya. Pembaca kemudian

berusaha mencari tahu melalui sumber-sumber tertentu (kamus atau bertanya kepada teman,

dosen, atau pihak lain). Recall (ulangi) maksudnya materi yang sudah dibaca diulangi berkali-

kali dengan membuat rangkuman dengan kata-kata sendiri. Digest (telaah) maksudnya

membaca kembali rangkuman yang dibuat dan jika belum paham mencari penjelasan lebih

lanjut pada narasumber. Expand (kembangkan) maksudnya materi yang sudah dirangkum

kemudian dicoba dikembangkan dengan cara menerapkan pada kehidupan nyata sehari-hari,

misalnya, dicoba diterapkan dalam perkuliahan sambil mencacat apa sajakah kekurangannya.

Cara lain dapat juga diterapkan, misalnya membuat daftar pertanyaan untuk dijawab sendiri.

Review (pelajari kembali) maksudnya setiap materi yang pernah dipelajari kemudian diulang

lagi berkali-kali agar dapat terserap dalam memori jangka panjang sehingga tidak lupa. Strategi

ini cocok diterapkan bagi mahasiswa yang sudah mulai banyak belajar secara mandiri karena

setiap langkah terdapat kegiatan yang mengharuskan mahasiswa melakukan pendalaman materi

yang dibacanya.

Pranowo, Antonius Herujiayanto

168

Berdasarkan beberapa strategi memahami isi teks di atas, butir penting dalam setiap

strategi yang dapat dicatat adalah (a) mahasiswa harus dibimbing agar dapat belajar secara

mandiri. Mahasiswa dibiasakan berdisiplin, mampu berinisiatif, memiliki motivasi belajar yang

kuat, dan mampu mengatur waktu secara efisien untuk belajar. Semua itu dilakukan untuk

menciptakan mood agar tercipta suasana hati yang positif terhadap materi yang akan dipelajari,

(b) mahasiswa mampu menangkap berbagai informasi dengan cara mengulangi materi yang

pernah dibaca, yaitu dengan cara membuat ringkasan, menelaah dan mencari informasi yang

belum dipahami, lalu mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, mempelajari

kembali materi yang pernah dipelajari agar semakin teringat isinya, dan (c) mahasiswa

melakukan survey, mengajukan pertanyaan, bertanya jawab isi bacaan, dan mengulang secara

menyeluruh isi bacaan dengan bahasa sendiri.

Berdasarkan kajian di atas, strategi yang dibutuhkan adalah sejenis strategi K-W-L dan

MURDER yang lebih difokuskan pada kegiatan (a) menangkap makna tersurat dan tersirat, (b)

menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh penulis melalui bacaan, (c) menarik

kesimpulan atas teks yang dibacanya, (d) membuat prediksi yang mungkin terjadi setelah

bacaan dibacanya, (e) mengevaluasi bacaan, baik evaluasi isi maupun bahasa, (f) mengulas isi

bacaan dengan bahasa sendiri, dan (g) mengkreasi beberapa bacaan yang telah dibacanya

menjadi satu bacaan baru. Strategi inilah yang tepat dipergunakan untuk pemelajaran membaca

pemahaman agar budaya baca mahasiswa berkembang. Jika kedua strategi tersebut telah

dimiliki oleh mahasiswa, dan secara terus-menerus dipraktikkan dalam kegiatan belajar, secara

perlahan budaya baca akan tumbuh di kalangan mahasiswa.

PEMBAHASAN

Pembentukan budaya baca bagi mahasiswa ternyata ditentukan oleh banyak faktor. Atas dasar

hasil analisis data, ternyata dari delapan faktor terdapat tujuh faktor internal yang memberikan

kontribusi 50% ke atas terhadap pembentukan budaya baca. Dari ketujuh faktor tersebut jika

diurutkan dari faktor yang memberi kontribusi terbesar adalah (a) faktor manfaat membaca

memberikan kontribusi sebesar 82%, (b) faktor motivasi memberikan kontribusi sebesar 67%,

(c) faktor pengaruh kondisi emosi memberikan kontribusi sebesar 83,5%, (d) faktor pengetahuan

yang dimiliki sebelumnya memberikan kontribusi sebesar 67%, (e) faktor intelegensi memberi

kontribusi sebesar 61%, (f) faktor minat memberikan kontribusi sebesar 56,2%, dan (g) faktor

cara membaca memberi kontribusi sebesar 55%.

Sementara itu, dari lima faktor eksternal yang memberikan kontribusi 50% ke atas

dalam pembentukan budaya baca sebanyak 3 faktor, yaitu (a) faktor kesulitan bahan bacaan

memberi kontribusi sebesar 75%, (b) faktor pengaruh televisi sebagai media hiburan memberi

kontribusi sebesar 73%, dan (c) faktor pengaruh budaya lisan memberi kontribusi sebesar 61%.

Ketujuh faktor internal dan tiga faktor eksternal tersebut jika benar-benar

dipertimbangkan dalam pemelajaran membaca pemahaman akan sangat membantu

pembentukan budaya baca mahasiswa. Namun, meskipun faktor-faktor tersebut telah

memperlihatkan kontribusinya masing-masing, jika pemelajaran membaca pemahaman tidak

diberi porsi memadai, budaya baca tidak dapat terwujud.

Begitu juga, atas dasar kajian teoretis, strategi yang cocok untuk pemelajaran membaca

pemahaman bagi mahasiswa agar dapat menumbuhkan budaya baca adalah strategi K-W-L dan

strategi MURDER. Kedua strategi tersebut memiliki kontribusi dalam pembentukan budaya

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

169

baca karena pemelajaran membaca pemahaman difokuskan pada kegiatan (a) menangkap makna

tersurat dan tersirat, (b) menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh penulis melalui

bacaan, (c) menarik kesimpulan atas teks yang dibacanya, (d) membuat prediksi yang mungkin

terjadi setelah bacaan dibacanya, (e) mengevaluasi bacaan, baik evaluasi isi maupun bahasa, (f)

mengulas isi bacaan dengan bahasa sendiri, dan (g) mengkreasi beberapa bacaan yang telah

dibacanya menjadi satu bacaan baru.

Oleh karena itu, jika keenam fokus tersebut secara terus-menerus dipraktikkan dalam

pemelajaran membaca pemahaman, secara perlahan mahasiswa akan tumbuh budaya bacanya.

Namun, jika fokus itu dilakukan secara tidak teratur, meskipun pemelajaran membaca

pemahaman menggunakan kedua strategi tersebut, budaya baca tidak akan terbentuk.

KESIMPULAN

Atas dasar uraian di atas, dapat dipetik beberapa butir kesimpulan sebagai berikut. Pertama,

sasaran pengembangan budaya baca adalah mahasiswa dengan pertimbangan bahwa (a)

aktivitas mahasiswa setiap hari berkaitan dengan aktivitas keilmuan, (b) tidak lama lagi

mahasiswa setelah lulus akan memasuki dunia kerja yang selalu bergulat dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi, (c) meskipun belum menjadi budaya baca, aktivitas mahasiswa

adalah membaca untuk menyerap dan mengkritisi informasi, dan (d) pengembangan budaya

baca mahasiswa akan lebih mudah karena bekal minat baca yang dimiliki oleh mahasiswa relatif

lebih baik sehingga tinggal “membesut” untuk menjadi budaya baca.

Kedua, banyak faktor yang dapat membantu terbentuknya budaya baca. Faktor internal

yang perlu terus-menerus mendapat perhatian adalah manfaat membaca, memperkuat motivasi,

menjaga agar kondisi emosi tetap stabil, memperluas pengetahuan yang dimiliki sebelumnya,

memperhatikan intelegensi, terus-menerus menumbuhkan minat, dan memperhatikan cara

membaca. Sementara itu, faktor eksternal yang perlu terus diperhatikan adalah memperhatikan

faktor kesulitan bahan bacaan, menjaga pengaruh televisi yang hanya dimanfaatkan sebagai

media hiburan, dan mengurangi pengaruh budaya lisan yang masih mendominasi mahasiswa.

Ketiga, untuk membangun budaya baca diperlukan strategi membaca agar memperoleh

hasil membaca secara optimal. Strategi yang dipilih adalah strategi K-W-L dan strategi

MURDER. Jika kedua strategi tersebut dipraktikkan secara terus-menerus akan dapat

meningkatkan kemampuan membaca pemahaman dan dapat mengembangkan budaya baca.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk

perbaikan makalah ini.

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, L.W. dan Krathwohl, D.R. (Ed.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and

assessing: A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives. New York: David

McKay.

Andrew, B.A. (2008). Improving marketing students, reading comprehension with the SQ3R

method. Journal of Marketing Education, 30(2), 130-137.

Pranowo, Antonius Herujiayanto

170

Baier, R.J. (2005). Reading comprehension and reading strategies (5th edition). The Graduate

School University of Wisconsin-Stout. American Psychological Association.

Bloom, B.S., Engelhart, M., Furst, E., Hill, W., dan Krathwohl, D. (1956). Taxonomy of

educational objectives: The classification of educational goals. Handbook 1: Cognitive

domain. New York: Longmans, Green.

Burns, M.K., Dean, V.J., dan Foley, S. (2004). Preteaching unknown key words with

incremental rehearsal to improve reading fluency and comprehension with children

identified as reading disabled. Journal of School Psychology, 42, 303-314.

Dunn, K.E. dan Mulvenon, S.W. (2009). A critical review of research on formative assessment:

The limited scientific evidence of the impact of formative assessment in education.

Practical assessment, research & evaluation, 14(7).

Fisher, A. (2008). Berpikir kritis: Sebuah pengantar. Jakarta: Erlangga.

Hagaman, J.L., Luschen, K., dan Reid, R. (2010). The “rap” on reading comprehension”.

Teaching exceptional children, 42(4), 22-28.

Human Development Index (HDI). (2009). http://hdr.undp.org/sites/default/files/ reports/14/

hdr2013_en_complete.pdf.

Johnson, E.B. (2007). Contextual teaching and learning. Bandung: Mizan Media Utama.

Jones, R. (2007). Strategies for reading comprehension: Summarizing. Diunduh tanggal 29

Januari 2008 dari http://www.readingquest.org/strat/summarize.html.

Kagan, S. dan Kagan, M. (2009). Kagan cooperative learning. San Clemente, California:

Kagan Publishing.

Moore, C. dan Lo, L. (2008). Reading comprehension strategy: Rainbow dots. The Journal of

the International Association of Special Education, 9(1), 124-127.

Ogle, D.M. (1986). “K-W-L: A teaching model that develops active reading of expository text.

The Reading Teacher, 39(6), 564–570. doi: 10.1598/RT.39.6.11.

Pranowo. (2012). Konsep dasar CTL dalam pemelajaran bahasa Indonesia. Makalah.

Yogyakarta: PBSI, FKIP, USD.

Rahim, F. (2011). Strategi know-want to know-learned (KWL). Jakarta: Bumi Aksara.

Ridge, A. dan Skinner, C. (2010). Using the TELLS reading procedure to enhance

comprehension levels and rates in secondary students. Psychology in the Schools, 48,

46-58.

Sapir, E. (1921). Language an introduction to study of speech. New York: Brace and Co.

Soedarso. (2001). Speed reading sistem membaca cepat dan efektif. Jakarta: Gramedia.

Stern, H.H. (1971). Psycholinguistics and second language teaching. Dalam H.H. Stern (Ed.),

Perspectives on second langauge teaching, 47-56. Toronto: Ontario Institut for Studies

in Education.

Tarigan, H.G. (2008). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

171

Tompkins, G.E. (2014). Reading comprehension factors. Pearson Allyn Bacon Prentice Hall.

Trianto. (2007). Model-model pemelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Jakarta:

Katalog dalam Terbitan.

UNESCO. (2009). Organisasi pengembangan kerja sama ekonomi. Diunduh dari http://

en.unesco.org/ themes/education-21st-century.

UNESCO. (2012). http://www.unesco.org/new/en/unesco/about-us/.

Universitas Terbuka. (2014). Strategi mandiri di Universitas Terbuka. Jakarta: UT.

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 173-192 Volume ke-33, No. 2 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

PERGESERAN SISTEM PEMBENTUKAN KATA BAHASA

INDONESIA: KAJIAN AKRONIM, BLENDING, DAN KLIPING

M. Zaim*

Universitas Negeri Padang

[email protected]

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan aturan pembentukan kata dan pergeseran

pembentukan kata, khususnya pada akronim, blending, dan kliping dalam bahasa tulis

bahasa Indonesia. Data diambil dari beberapa surat kabar dan majalah yang terbit

secara nasional maupun lokal di Indonesia. Temuan penelitian menunjukkan bahwa

terjadi pergeseran pembentukan kata pada akronim, blending, dan kliping. Pergeseran

terjadi pada penyerapan akronim, blending, dan kliping yang berasal dari bahasa asing.

Selain itu terjadi pula berbagai ubah bentuk pada akronim, unsur bagian kata yang

digabung pada blending, dan unsur kata yang dipenggal pada kliping.

Kata kunci: pembentukan kata, akronim, blending, kliping

Abstract

This article aims at describing word formation rules, and word formation shift on

acronym, clipping, and blending found in written language of bahasa Indonesia. Data

were taken from selected newspaper and magazines published nationally and locally in

Indonesia. The findings indicates that there are some shifts in the Indonesian word

fomation rules of bahasa Indonesia especially for acronym, blending, and clipping. The

shift occurs in the absorption of acronyms, blendings, and clippings of foreign languages.

Apart from that, there is a variety of changes to the new forms of acronyms, blendings,

and clippings.

Keywords: word formation, acronym, blending, clipping

PENDAHULUAN

Munculnya kata-kata baru bahasa Indonesia melalui proses pemendekan, seperti akronim,

blending, dan kliping, telah memberi warna pada gejala pembentukan kata bahasa Indonesia.

Warna baru yang muncul adalah kecenderungan untuk menjadikan pemendekan itu menjadi

kata yang mudah dibaca dan memberi kesan tertentu bagi pendengarnya. Gejala seperti ini

merupakan cerminan pengaruh perubahan sosial budaya masyarakat yang muncul pada perilaku

berbahasa mereka. Masyarakat yang dulu patuh dengan aturan yang ditetapkan cenderung

melakukan pemberontakan terhadap batasan-batasan yang diberikan sehingga tingkah laku

kebahasaan mereka pun keluar dari aturan kelaziman yang ada. Akronim, blending, dan kliping

sebagai proses pembentukan kata baru tidak lagi mengikuti pola dasar yang sudah baku, tetapi

cenderung mengutamakan bunyi yang bagus atau enak didengar sehingga mudah diingat oleh

pendengar.

Dengan sifat bahasa yang arbitrer, kemunculan kosakata baru dimungkinkan karena ada

setiap saat dan dapat dilakukan oleh siapa saja dari penutur bahasa tersebut. Kearbitreran bahasa

mengundang penutur yang kreatif menciptakan hal-hal yang baru. Hal ini biasanya muncul

M. Zaim

174

karena bermula dari keisengan penutur. Kemudian, karena enak didengar dan sesuai dengan

konteks pembicaraan, kata iseng tersebut lalu digunakan oleh penutur lain. Akhirnya, ungkapan

baru itu tersebar dan digunakan oleh kelompok tersebut dalam tulisannya maupun

percakapannya.

Perkembangan bahasa tidak terlepas dari perubahan sosial yang terjadi dalam

masyarakat. Dengan kata lain, perubahan sosial akan berpengaruh pada bentuk-bentuk bahasa

yang digunakan. Hal ini tidak terlepas dari sifat bahasa yang merupakan fenomena sosial. Oleh

karena itu, bahasa tidak akan statis. Perubahan-perubahan yang terjadi bukan hanya karena

ketidakpuasan akan bahasa yang ada, melainkan juga lebih cenderung untuk mencari sesuatu

yang baru yang berbeda dari apa yang ada saat itu. Kaum remaja, sebagai kelompok pengguna

bahasa generasi baru, mempunyai kreativitas tersendiri dalam berkomunikasi, baik sesama

remaja maupun dengan orang yang lebih tua atau lebih muda umurnya. Banyak istilah baru

yang muncul dalam berkomunikasi. Kadang-kadang mereka menggunakan istilah baru yang

dikembangkan dari kosakata lama yang mereka miliki. Fenomena ini perlu dicermati, terutama

untuk pengembangan ilmu bahasa (linguistik).

Zaim (2008 dan 2009) dalam tulisannya tentang pembentukan kata bahasa Indonesia di

media surat kabar menyatakan bahwa kemunculan akronim dalam headline surat kabar adalah

sebagai upaya efisiensi komunikasi. Pembentukan kata baru ini tidak hanya muncul dalam

bahasa tulis, tetapi juga dalam bahasa lisan seperti acara di televisi dan radio.

Secara teoritis, pembentukan kata merupakan kajian morfologi bahasa, yaitu kajian

unsur terkecil yang mempunyai makna. Penggabungan dari dua atau lebih unsur yang

mempunyai makna akan membentuk konstruksi baru dengan makna gabungan dua atau lebih

unsur yang ada atau makna baru yang terlepas dari makna unsur yang membentuknya. Inilah

unsur bahasa yang disebut kata (word). Ketika digunakan dalam berkomunikasi, kata itu akan

dipengaruhi oleh lingkungan pengguna bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, di dalam

sosiolinguistik ada istilah register, kata-kata yang digunakan dalam konteks penutur tertentu

yang hanya muncul dan mempunyai makna dalam konteks tersebut.

Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia diatur dalam Pedoman Umum Pembentukan

Istilah sebagai lampiran II dari Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Moeliono, 1988; Alwi

dkk. et al., 2003; Pusat Bahasa, 2007). Di dalam buku ini dijelaskan aspek tata bahasa

peristilahan yang mencakup penggunaan kata dasar, pengimbuhan, pengulangan, dan

penggabungan. Buku lainnya, Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing cenderung hanya

menjelaskan bagaimana garis haluan penggantian kata dan ungkapan asing ke dalam bahasa

Indonesia (Sugono, 2009). Selain itu ada juga buku lain yang membahas tentang pembentukan

kata, yaitu Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia Yang Disempurnakan terbitan Pusat

Bahasa (2004) yang mengatur cara penulisan singkatan dan akronim. Jadi, penjelasan tentang

pembentukan kata bahasa Indonesia dibahas secara terpisah dalam beberapa buku terbitan Pusat

Bahasa.

Dibandingkan dengan teori pembentukan kata (word formation/lexical formation),

seperti diungkapkan oleh beberapa ahli tatabahasa (lihat McManis dkk., 1987; Katamba, 1993;

Booij, 2007; Lieber, 2009; Zaim, 2009), penjelasan tentang pembentukan kata bahasa Indonesia

belum memadai, apalagi kalau dilihat dari maraknya perkembangan pembentukan kata baru

oleh pengguna bahasa Indonesia saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang

komprehensif tentang sistem pembentukan kata bahasa Indonesia berdasarkan penggunaan

bahasa oleh penuturnya.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

175

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana sistem

pembentukan kata bahasa Indonesia tulis, khususnya akronim, blending, dan kliping? (2)

Bagaimana pergeseran sistem pembentukan kata bahasa Indonesia tulis, khususnya pada

akronim, blending, dan kliping?

TINJAUAN PUSTAKA

Pembentukan Kata

Pembentukan kata baru dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengubah kata yang sudah ada

atau menciptakan kata yang betul-betul baru. Pembentukan kata yang paling lazim adalah

mengubah kata yang ada menjadi bentuk kata baru. Sangat jarang kita jumpai kata baru yang

muncul itu betul-betul baru dalam pengertian bukan pinjaman atau ubahan dari kata yang sudah

ada, baik dalam bahasa itu maupun dari bahasa lain. Pengubahan yang paling lazim dilakukan

adalah dengan afiksasi. Afiks mempunyai fungsi gramatika, yaitu mempunyai kesanggupan

mengubah kelas kata. Di samping itu, afiks juga mempunyai kesanggupan mengubah makna

kata (Sutawijaya, 1996). Dengan kata lain, apabila afiks melekat pada bentuk dasar, dia

memiliki fungsi tertentu, yaitu fungsi gramatika dan fungsi semantik. Dalam bahasa Indonesia,

selain afiksasi, pengubahan kata bisa juga dilakukan dengan reduplikasi, pemajemukan, dan

abreviasi.

Booij (2007) menyatakan bahwa secara tradisional pembentukan kata terdiri atas dua

macam, yaitu derivasi (derivation) dan pemajemukan (compounding). Menurut Booij, pengguna

bahasa juga dapat membuat kata baru (word creation atau word manufacturing) dengan cara

singkatan (blends), akronim (acronyms), alphabetisms, dan pemenggalan (clipping). Sementara

itu, McManis dkk. (1987) menyatakan bahwa ada lima jenis pembentukan kata dalam berbagai

bahasa, yaitu compounding, affixation, reduplication, morpheme internal change, dan

suppletion. Dalam bahasa Inggris, menurut McManis dkk. (1987), ada sepuluh jenis

pembentukan kata, yaitu derivation, compounding, acronyms, backformation, blending,

clipping, coinage, functional shift, morphological misanalysis, dan proper names. Lieber (2009)

menggunakan istilah “Lexeme Formation” untuk makna pembentukan kata. Menurut Lieber,

ada tujuh jenis pembentukan kata, yaitu derivation, affixation, compounding, conversion,

coinage, blending, dan backformation. Istilah “conversion” sama dengan functional shift,

menurut McManis dkk. (2007). Jenis pembentukan kata Lieber ini lebih sedikit dibanding

McManis.

Abreviasi

Dari berbagai bentuk sistem pembentukan kata di atas, abreviasi merupakan proses

pembentukan kata baru yang paling banyak digunakan oleh pengguna bahasa. Hampir setiap

hari kita menemukan abreviasi baru dalam surat kabar, majalah, dan media masa lainnya serta

percakapan lisan sehari-hari. Abreviasi adalah proses penanggalan satu atau beberapa bagian

leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi

bertujuan untuk menghasilkan sebuah bentuk yang lebih singkat dari bentuk aslinya. Dalam

bahasa Indonesia abreviasi itu dapat berwujud singkatan, penggalan, akronim, kontraksi, dan

lambang huruf (Sutawijaya, 1996).

Abreviasi diciptakan untuk kepraktisan dalam berbahasa. Sebuah ungkapan yang

panjang dan maksud keseluruhannya sulit ditangkap dapat disampaikan secara praktis dan lebih

M. Zaim

176

komunikatif dengan menggunakan abreviasi. Kepraktisan dan kekomunikatifan penggunaan

abreviasi akan terasa jika abreviasi itu sudah menjadi sesuatu yang sangat populer, seperti

PRRI, Tabanas, Sembako, Narkoba dan sebagainya. Kata-kata ini sudah terasa sebagai sebuah

kata yang mempunyai referensi langsung dengan yang dilambangkannya tanpa melalui

pemahaman terhadap kepanjangannya.

Istilah lain untuk abreviasi adalah kependekan. Kependekan, menurut Kridalaksana,

(1983), adalah bentuk kata atau frase yang diringkaskan yang dipakai di samping bentuk

panjangnya. Jenis-jenis kependekan adalah akronim, kontraksi, lambang huruf, penggalan, dan

singkatan. Moeliono (1988) dan Alwi dkk. (2003) membagi kependekan ini atas dua jenis, yaitu

singkatan dan akronim. Singkatan dinyatakan sebagai bentuk yang dipendekkan yang terdiri

dari satu huruf atau lebih. Singkatan dapat berupa singkatan nama orang, nama gelar, sapaan,

jabatan atau pangkat (misalnya Muh. Yamin, M.Hum, Bpk., Kol.), singkatan nama resmi

lembaga pemerintah, badan atau organisasi, serta nama dokumen (misalnya DPR, PGRI, KTP),

singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih (misalnya dll., dsb.), lambang kimia,

singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang (misalnya Cu, cm, l, kg, Rp).

Akronim dinyatakan sebagai singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata,

ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata. Dari segi

pembentukannya ada dua jenis akronim, yaitu: (1) akronim yang berupa gabungan huruf awal

dari deret kata (misalnya SIM, UNP), (2) akronim yang berupa gabungan suku kata atau

gabungan huruf dan suku kata dari deret kata (misalnya Bappenas, Sespa). Dari penjelasan ini

kelihatannya Moeliono memasukkan istilah penggalan ke dalam kelompok singkatan. Dalam

bahasa Inggris sendiri dibedakan antara akronim (acronym), singkatan (blending), dan

pemenggalan (clipping) (McManis dkk., 1987).

Selanjutnya, Moeliono (1988) dan Alwi dkk. (2003) menambahkan bahwa dalam

membentuk akronim perlu diperhatikan syarat-syarat berikut: (1) jumlah suku kata akronim

jangan melebihi jumlah suku kata Indonesia yang lazim dan (2) akronim dibentuk dengan

mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata

Indonesia yang lazim. Zaim (2000, 2001, 2008) telah mencoba menelusuri pembentukan kata

bahasa Indonesia mutakhir dalam berita surat kabar terbitan Padang. Dari kata-kata baru yang

muncul akhir-akhir ini, bentuk akronim (acronym) dan singkatan (blending) merupakan gejala

yang kerap muncul. Bentuk-bentuk ini bervariasi kemunculannya, dalam arti ada yang patuh

dengan kaidah yang ada dan banyak pula yang menyimpang dari kaidah yang ada. Dalam

tulisan ini, penulis menggunakan istilah blending untuk mengacu pada istilah singkatan dan

kliping untuk istilah pemenggalan.

Akronim

Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan

huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlukan sebagai kata (Meliono, 1988; Alwi dkk.,

2003). Pengertian akronim di sini terlalu umum sehingga semua bentuk kependekan dapat

dikategorikan ke dalam akronim. McManis dkk. (1987) membedakan antara akronim

(acronym), singkatan (blending), dan penggalan (clipping). Menurut McManis,

Acronyms are those words that are formed by taking the initial sounds (or

letters) of the words of a phrase and uniting them into a combination which is

itself pronounceable as a separate word. For examples: laser (light

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

177

amplification through the stimulated emission of radiation), and radar (radio

detection and ranging).

Blending is a combination of the parts of two words, usually the beginning

of one word and the end of another. For examples, smog from smoke and fog,

and brunch from breakfast and lunch.

In clipping, we shorten words without paying attention to the derivational

morphology of the words (or related words). For examples, exam has been

clipped from examination, and dorm from dormitory.

Akronim dalam pengertian ini adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal dari

deret kata yang ada. Bentuk akronim baru yang ditemukan rata-rata mematuhi aturan yang ada,

yaitu mengambil huruf pertama dari setiap kata yang diakronimkan. Dalam bahasa Indonesia

contohnya adalah: PIL (pria idaman lain), WIL (wanita idaman lain), BPSK (Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen), IKR (Instalasi Kabel rumah), KKSK (Komite Kebijakan

Sektor Keuangan), HAKI (hak atas kekayaan intelektual), dsb. Pengembangan dari bentuk ini

adalah dengan menambahkan angka apabila muncul dua atau lebih huruf sama yang

berdampingan, misalnya: KP3T (Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM

Tanjung Priok), B3 (bahan berbahaya dan beracun). Namun, penggunaan angka ini kadang-

kadang meragukan karena digunakan juga untuk menunjukkan maksud lain, misalnya: PPD2

(Panitia Pemilihan Daerah Tingkat 2). Jadi, angka 2 di sini menunjukkan tingkat 2, bukan huruf

D-nya yang dua, seperti huruf P pada contoh KP3T (Zaim, 2008).

Akronim yang muncul belakangan ini tidak mempertimbangkan jumlah huruf yang

diakronimkannya, misalnya beberapa akronim berikut ini: PP PTHKTI (Pengurus Pusat Pemuda

Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), PT PLN-PJB II (Pembangkit Tenaga Listrik Jawa

Bali II), Menneg PM/PBUMN (Menteri Negara Penanaman Modal/Pengelolaan Badan Usaha

Milik Negara), dsb.

Gejala baru yang muncul dalam membuat akronim ini adalah tidak selalu harus

menuliskan huruf awal kata itu seperti adanya, tetapi justru menuliskan salah satu hurufnya

seperti pelafalannya, misalnya: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Gejala ini

juga nampak pada akronim ELTEHA (alih-alih LTH) (Zaim 2001).

Gejala lain adalah mencampurkan huruf besar (kapital) dengan huruf kecil. Hal ini

terutama untuk menghindari akronim yang sama dalam bidang yang sama. Misalnya, PPn untuk

akronim dari Pajak Pertambahan Nilai, sementara PPnBM untuk akronim dari Pajak Penjualan

Barang Mewah. Kenapa tidak PPBM saja?

Ada beberapa akronim yang berasal dari bahasa asing yang dipertahankan

pemakaiannya, misalnya pada akronim LoI (letter of intent), MoU (memorandum of

understanding). Bahkan, pada akronim IMF, meskipun sudah ada padanan kata Indonesianya

“Dana Moneter Internasional”, tetap saja akronim IMF digunakan untuk mengacu kepada

lembaga keuangan dunia tersebut, tidak ada keinginan untuk menggantinya menjadi DMI,

seperti yang dilakukan pada penyingkatan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sebagai pengganti

dari UN (United Nations).

Akronim tidak hanya digunakan untuk menyatakan nama diri atau institusi, tetapi dapat

juga digunakan untuk menyatakan ungkapan-ungkapan khusus. Misalnya: memang disingkat

menjadi mm (em-em), pendekatan menjadi pdkt (pedekate).

M. Zaim

178

Blending

Blending dalam pengertian ini adalah bentuk singkatan berupa gabungan suku kata atau huruf

dan suku kata dari deret kata yang ada. McManis dkk. (1987) menjelaskan bahwa pada dasarnya

blending merupakan gabungan suku kata awal kata pertama dengan suku kata akhir kata kedua

seperti brunch yang berasal dari kata breakfast dan lunch. Dalam bahasa Indonesia ditemukan

blending berikut, Polantas = polisi lalu lintas

Ada kecendrungan bahwa pada blending tidak semua unsur kata yang disingkat

terwakili. Unsur huruf dan suku kata yang diambil hanyalah yang dapat membuat singkatan

yang enak diucapkan serta enak didengar dan dapat dijadikan kata. Lihatlah contoh berikut ini:

Organda = Organisasi Pengusaha Angkutan Darat

Kontras = Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

Galibu = Gerakan Lima Ribu Rupiah

Unimed = Universitas Negeri Medan

Contoh di atas menunjukkan bahwa blending cenderung dilakukan dengan mengambil unsur

kata di mana saja, yang terpenting tercipta kata baru yang berkesan dan mudah diingat oleh

pendengar.

Blending juga dilakukan tanpa mengindahkan suku kata atau bukan suku kata, yang

penting enak didengar dan agak asing untuk didengar. Misalnya, curhat (curahan hati), bigos

(biang gossip), taplau (tapi lauik), dsb.

Kliping

Kliping adalah singkatan yang berupa pemenggalan satu kata dengan menyebut bagian yang

dianggap bisa mewakili kata itu sendiri. Misalnya, laboratorium disingkat menjadi lab, bapak

menjadi pak. Kliping seperti contoh tadi masih mempertimbangkan kata dasarnya. Namun,

kliping sekarang cenderung seenaknya tanpa mengindahkan imbuhan yang ada, misalnya

perpustakaan dipenggal menjadi perpus (gabungan bagian afiks per- dan bagian kata dasar

pus).

Dalam bahasa gaul, kliping biasanya disertai dengan sisipan tertentu, yang kelihatannya

sudah menjadi kesepakatan. Misalnya, kata bapak dipenggal menjadi bap dan diberi sisipan –

ok– setelah huruf awal penggalan kata tersebut sehingga muncul kata baru bokap. Lihatlah

contoh kata bahasa gaul berikut ini: rokum, doku. Kedua kata ini kalau diambil sisipan –ok– nya

akan menjadi rum (penggalan dari rumah), dan du (penggalan dari duit). Dengan rumus itu,

amatlah mudah bagi anak gaul untuk membuat istilah baru dan memahami istilah baru yang

dimunculkan berdasarkan konteks yang ada.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah

memerikan gejala bahasa seperti apa adanya. Pendeskripsian bahasa adalah menggambarkan

bahasa sebagaimana adanya (Zaim, 2014). Dalam linguistik dikenal dengan linguistik deskriptif.

Istilah ini bertentangan dengan linguistik preskriptif, mendeskripsikan bahasa sebagaimana

seharusnya sesuai dengan ukuran yang ditetapkan untuk peristiwa kebahasaan tertentu yang

dipandang baik dan benar (Sudaryanto, 1993).

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

179

Objek penelitian ini adalah kata bentukan bahasa Indonesia. Data penelitian adalah

kalimat yang di dalamnya terdapat kata bentukan. Sumber data penelitian ini adalah bahasa

Indonesia tulis yang terdapat dalam berita dan artikel di surat kabar umum Kompas, Republika,

Media Indonesia, surat kabar khusus Nova, Aneka, Sport, dan majalah berita dan hobi Tempo,

Intisari, Pulsa. Alasan pemilihan ini adalah bahwa penggunaan bahasa Indonesia (BI) pada

sumber-sumber itu mencerminkan penggunaan BI masa kini dengan segala persoalan kehidupan

penuturnya. Dengan demikian, diperoleh data yang mencerminkan penggunaan pembentukan

kata dengan semua tipe atau gejala kebahasaan. Dari sumber data penelitian ini diperoleh 861

data, terdiri atas 324 akronim, 411 blending, dan 126 kliping.

Populasi penelitian ini adalah keseluruhan kalimat yang memiliki bentukan kata dalam

BI dan digunakan oleh penutur BI. Teknik penyamplingan adalah teknik purposive sampling

(sampling bertujuan). Sampel dipilih sesuai dengan tujuan untuk memperoleh data penelitian

berupa kalimat-kalimat (tuturan) BI yang memiliki verba atau nomina afiksasi. Sampel

penelitian ini adalah data yang menggambarkan penggunaan semua tipe pembentukan kata BI

(populasi) dengan semua gejala morfologisnya.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak

(Sudaryanto, 1993). Metode simak adalah cara memperoleh data dengan menyimak penggunaan

bahasa yang diteliti. Istilah metode simak ini tidak hanya berkaitan untuk menyimak bahasa

lisan, tetapi juga untuk menyimak bahasa tulis (Mahsun, 2005). Metode analisis yang digunakan

adalah metode agih seperti yang dikemukakan Sudaryanto (1993), yaitu metode analisis yang

alat penentunya bagian dari bahasa itu sendiri, yaitu unsur dari bahasa objek sasaran penelitian.

Metode agih mempunyai teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang digunakan adalah

teknik bagi unsur langsung (BUL), yang satuan lingual datanya dibagi menjadi beberapa unsur

atau bagian. Unsur-unsur tersebut dianggap sebagai bagian yang langsung membentuk satuan

lingual data yang dianalisis (Zaim, 2009). Teknik ini digunakan untuk menjawab masalah

penelitian 1 dan 2, yaitu sistem pembentukan kata dan pergeseran sistem pembentukan kata.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temuan penelitian ini mencakup dua hal, yaitu (1) sistem pembentukan kata bahasa tulis bahasa

Indonesia pada akronim, blending, dan kliping, dan (2) pergeseran sistem pembentukan kata

bahasa tulis bahasa Indonesia pada akronim, blending, dan kliping.

Sistem Pembentukan Kata Bahasa Tulis Bahasa Indonesia pada Akronim, Blending, dan

Kliping

Secara umum, pembentukan kata bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) pada akronim,

blending, dan kliping dapat dikategorikan dalam dua cara, yaitu penyerapan bahasa asing dan

ubah-bentuk dari kata yang ada.

a. Penyerapan bahasa asing

Penyerapan adalah pengambilan kosakata bahasa asing secara utuh menjadi kosakata bahasa

Indonesia yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Penyerapan merupakan cara

pembentukan kata bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) yang kerap ditemukan dalam

bahasa Indonesia. Kata-kata yang diserap pada umumnya berasal dari bahasa Inggris. Meskipun

demikian, ditemukan juga pembentukan kata bahasa Indonesia melalui penyerapan kata bahasa-

bahasa asing lain seperti bahasa Arab, bahasa Italia, dan bahasa Spanyol. Jenis PKBT BI

M. Zaim

180

melalui penyerapan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu penyerapan langsung

(adopsi) dan penyerapan dengan penyesuaian (adaptasi). Namun, untuk akronim, bending, dan

kliping, bentuk penyerapan yang ditemukan adalah penyerapan langsung (adopsi).

Penyerapan langsung merupakan jenis pembentukan kata tanpa penyesuaian ejaan dan

lafal. Artinya, baik ejaan maupun pengucapan kata-kata tersebut merujuk ke bahasa sumbernya.

Penyerapan langsung dapat dilakukan dengan proses penyerapan kata berupa akronim, blending,

dan kliping serta gabungan antara akronim, dengan blending atau kliping.

1. Penyerapan berupa akronim

Penyerapan berupa akronim adalah pemungutan akronim kata asing dalam kalimat bahasa tulis

bahasa Indonesia. Lihatlah contoh berikut ini.

o Payakumbuh pemenang MDGs Award 2012 (Padang Ekspres, 28 Maret 2013).

o Bolpoin ini menyediakan kapasitas simpan 1 GB, dapat menampung 1.000 gambar

(Tempo, 11 Februari 2013).

o Indonesia mesti gunakan APEC; Ekspansi korporasi global ubah paradigm (Kompas, 27

Agustus 2013)

Pada kalimat di atas, kata MDGs, GB, dan APEC merupakan akronim dalam bahasa Inggris

yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. MDGs adalah akronim dari Millenium

Development Goals, GB adalah akronim dari Giga Bite, dan APEC adalah akronim dari Asia

Pacific Economic Countries.

Hampir semua serapan akronim yang diperoleh merupakan kelas kata nomina, hanya

satu di antaranya, yaitu yoy (year on year), yang merupakan kelas kata adverbia.

WO walk out

WAGs wife and girlfriends

IBX Indonesia Broadcasting Expo

yoy year on year

2. Penyerapan berupa blending

Penyerapan berupa kata blending adalah pemungutan kata asing yang telah mengalami proses

penyingkatan (blending) dalam bahasa aslinya. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.

o Perkenalkan juga anak anda dengan netiquette atau etiket di dunia maya. (Nova, 4-10

Maret 2013).

o Bolpoin ini disertai fasilitas Wi-Fi dan USB (Tempo, 11 Februari 2013).

Kata “netiquette” dan “Wi-Fi” pada kalimat di atas merupakan bentuk blending dalam bahasa

Inggris. Netiquette adalah blending dari network etiquette, dan Wi-Fi adalah blending dari

wireless fidelity. Berikut ini beberapa kata blending lain yang ditemukan dalam kalimat bahasa

Indonesia yang diserap dari bahasa Inggris.

edutainment education entertainment

phablet phone tablet

3. Penyerapan berupa kliping

Penyerapan berupa kliping adalah pemungutan kata asing yang telah mengalami proses

pemenggalan (kliping) dalam bahasa aslinya. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

181

o Apa keuntungan prenup? (Nova, 11-17 Maret 2013)

o Spek Maxi, Harga Terjangkau. (Tabloid Pulsa, 13-26 Februari 2013)

Kata “prenup” merupakan bentuk kliping dari kata bahasa Inggris “prenuptial agreement”, dua

kata yang dipenggal dengan menyisakan unsur kata awal yang pertama, sedangkan “Maxi”

merupakan kliping dari “Maximum”.

4. Penyerapan berupa gabungan akronim dan kliping

Penyerapan gabungan akronim dan kliping adalah pemungutan kata yang sudah melalui proses

akronim dan kliping serta menjadi satu kata baru dan ditulis sebagai satu kata dalam bahasa

Indonesia. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.

o Namun, untuk bisa diterapkan, software ini masih perlu diuji coba menggunakan data

real time supaya bisa diintegrasikan dengan InaTEWS milik BMKG (Tempo, 25

Februari 2013)

o Man-U memang memegang kendali permainan namun tak banyak membuat peluang

dimana hanya empat on target dari 16 tembakan yang dibuat sepanjang laga

(Singgalang, 18 Maret 2013)

InaTEWS merupakan singkatan dari Indonesia Tsunami Early Warning System. Proses

pembentukannya adalah melalui kliping dan akronim. Kata “Indonesia” dipenggal/kliping

menjadi “Ina” dan “Tsunami Early Warning System” diakronimkan menjadi TEWS, kemudian

digabung menjadi kata InaTEWS (proses gabungan akronim dan kliping). Man-U adalah

singkatan dari Manchester United. Proses pembentukannya adalah kata “Manchester”

dipenggal/kliping menjadi “Man” dan kata “United” diambil huruf awal katanya saja ”U”

(akronim) sehingga hasil bentukan kedua proses ini menjadi kata baru “Man-U”.

b. Ubah Bentuk

Meskipun banyak kata yang dibentuk dengan cara penyerapan dari bahasa asing, pembentukan

kata dengan cara ubah bentuk dari kata yang sudah ada juga tidak dapat dikesampingkan. Dari

hasil pengolahan data, ditemukan banyak kata yang dibentuk dengan cara ubah bentuk.

Pembentukan kata baru bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) dengan cara ini dibagi

menjadi empat jenis, yaitu akronim, blending, kliping, dan gabungan akronim dan kliping atau

blending.

1. Akronim

Akronim merupakan jenis pembentukan kata dengan sistem penyingkatan kata melalui

pengambilan inisial kata dari setiap kata yang disingkat. Penelitian ini menemukan beberapa

variasi pembentukan kata dengan sistem akronim. Akronim dapat dilakukan dengan cara

mengambil huruf-huruf awal dari setiap kata (inisiasi) dan dengan menggabungkan huruf-huruf

awal kata dengan angka.

a) Inisiasi huruf

Akronim dengan cara mengambil inisiasi huruf (huruf awal) kata dapat berupa kata tunggal dan

dapat pula berupa kata majemuk. Perhatikan kalimat berikut ini.

o YOAI mengunjungi anak-anak penderita kanker di RSK Dharmais, Jakarta (NOVA,

18–24 Oktober 2013).

o BPK melakukan audit investigatif terhadap proyek PLIK (PULSA, 24 April–7 Mei

2013).

M. Zaim

182

Pada kalimat di atas, kata YOAI, RSK, BPK, dan PLIK merupakan akronim dalam bahasa

Indonesia yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Sebagaimana yang terdapat di

kalimat (10), YOAI adalah akronim dari “Yayasan Onkologi Anak Indonesia”, dan RSK adalah

akronim dari “Rumah Sakit Kanker”. Sementara itu kata BPK di kalimat (11) adalah akronim

dari “Badan Pemeriksa Keuangan”, dan kata PLIK adalah akronim dari “Pusat Layanan

Internet Kecamatan”. Semua akronim di atas dibuat dengan cara mengambil huruf awal dari

rangkaian kata yang diakronimkan.

Berdasarkan kelas katanya, hampir semua akronim mempunyai kelas kata nomina (N),

sementara hanya terdapat dua akronim, yang mempunyai kelas kata adjektiva (Adj) dan

adverbia (Adv) seperti yang terdapat di kalimat berikut ini.

o Mereka akan dibina dalam program yang bernama CIBI. (Republika, 9 April 2013)

o Produksi minyak sebesar 28 ribu bph. (Republika, 22 Maret 2013)

“CIBI” adalah akronim dari “Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa” dan “bph” adalah akronim

dari “barel per hari”.

Secara umum, akronim ditulis dengan menggunakan huruf kapital seperti yang terdapat

di bawah ini, namun ada juga akronim yang ditulis dengan huruf kecil (lihat akronim “bph”).

OTT (N) → operasi tangkap tangan

BOS (N) → bursa otomotif seken

BPKP (N) → Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi

CIBI (Adj) → cerdas istimewa dan bakat istimewa

bph (Adv) → barel per hari

Dalam penyingkatan (proses menyingkat), kata yang berkelas kata preposisi (seperti

kata untuk, dalam, atas, ataupun dan) sering tidak digunakan. Meskipun demikian, untuk tujuan

tertentu, preposisi juga berperan dalam penyingkatan. Pada akronim FITRA (Forum Indonesia

untuk Transparasi Anggaran), preposisi untuk tidak dilibatkan dalam penyingkatan; akan tetapi

pada akronim SALUD (Solidaritas Anak Jalanan untuk Demokrasi), preposisi dilibatkan dalam

penyingkatan.

BPHTB → Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

DAUN → Dana Alokasi untuk Nagari

FITRA → Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran

DUIT → duit, usaha, ikhlas, dan tawakal

KDRT → kekerasan dalam rumah tangga

Sementara itu, ditemukan beberapa akronim dalam bentuk kata majemuk seperti yang

terdapat di bawah ini.

ATM BCA → Anjungan Tunai Mandiri Bank Central Asia

KTT APEC → Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pasific Economic Cooperation

TP PKK → Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan keluarga

KPU RI → Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia

b) Inisiasi huruf dan angka

Akronim juga dapat melibatkan huruf dan angka. Perhatikan contoh kalimat berikut ini.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

183

o Sekarang ada Hers Protex kemasan praktis yang bisa jadi P3K. (NOVA, 17-23 Mei

2013)

Penggunaan angka dalam akronim di atas menunjukkan jumlah kemunculan huruf tersebut di

dalam akronim yang dimaksud. Hal ini memungkinkan apabila awal setiap kata tersebut sama

seperti pada kata P3K (pertolongan penuh pada kebocoran). Dalam kata tersebut, terdapat tiga

kata yang diawali dengan huruf “P” sehingga ketiga kata tersebut yang seharusnya disingkat

PPP dapat dituliskan dengan P3. Beberapa bentuk akronim yang melibatkan huruf dan angka

dapat dilihat di bawah ini:

P2TP2A → Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

B2SA → Beragam Bergizi Seimbang dan Aman

P3K → Pertolongan Penuh pada Kebocoran

MP3EI → Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia

Pada beberapa akronim, ditemukan angka yang diletakkan di depan huruf, misalnya:

SM3T → Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal

Angka 3 pada akronim ini merujuk ke huruf T bukan ke huruf M. Kalau mengikuti kaidah

sebelumnya, seharusnya bentuk akronim ini adalah SMT3, bukan SM3T.

2. Kliping

Kliping merupakan jenis pembentukan kata baru dengan memenggal bagian dari kata. Bagian

kata yang dipenggal dapat berupa bagian awal kata, bagian belakang kata, maupun bagian awal

dan belakang kata.

a) Kliping bagian awal kata

Berdasarkan hasil mengolah data, kliping bagian awal kata kerap digunakan dalam bahasa tulis

bahasa Indonesia. Lihatlah contoh kalimat di bawah ini.

o Juventus mentas memakai sistem berbeda kala menghadapi Lazio (BOLA, 18-19 April

2013)

o GANTI dimaksudkan untuk membantu dan mensejahterakan kaum nelayan dan tani

(Republika, 13 April 2013)

Pada kalimat di atas terdapat kata kala yang merupakan bentuk kliping dari kata asal tatkala.

Bagian awal kata dipenggal sehingga hanya menyisakan kata kala. Sementara itu, pada kalimat

dia atas terdapat kata tani yang merupakan bentuk kliping dari kata petani. Hanya terdapat dua

kelas kata yang mengalami kliping bagian awalnya: nomina (N) dan adverbia (Adv) seperti

yang terdapat di bawah ini.

halaman → laman (N)

petani → tani (N)

tatkala → kala (Adv)

b) Kliping bagian belakang kata

Kliping bagian belakang kata merupakan sistem pemenggalan yang paling sering ditemukan

dalam jenis ini. Hal ini disebabkan bagian depan kata lebih mewakili sebuah kata dibandingkan

bagian belakang kata. Oleh karena itu, bagian depan kata lebih sering dipertahankan, sementara

bagian belakang kata sering mengalami pemenggalan. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.

M. Zaim

184

o Lelang jabatan hanya berhenti pada pengisian orang baru untuk pos camat dan lurah

(Republika, 12 Oktober 2013)

o Semuanya laki-laki dan satu staf admin perempuan yaitu Dina (NOVA, 18-24 Oktober

2010)

o Keberhasilan lain terlihat ditetapkannya klom kakao lokal Limapuluh Kota sebagai

klom unggul nasional. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013)

o Tindakan penonaktifan dan pemecatan bagi pegawai yang korup juga harus lebih tegas

(Republika, 12 April 2013)

Kata-kata pos, admin, klom, dan korup merupakan kata-kata yang dibentuk dengan

kliping bagian belakang kata. Kata pos merupakan bentuk kliping dari posisi, admin dari kata

administrasi, klom dari kata kelompok, dan korup dari kata korupsi. Dari hasil mengolah data,

ditemukan hampir seluruh kelas kata mengalami kliping bagian belakangnya, kecuali kelas kata

adverbia.

momentum → momen (N) perumahan → perum (N)

posisi → pos (N) demonstrasi → demo (N)

promosi → promo (N) korupsi → korup (V)

administrasi → admin (N) profesional → pro (Adj)

almarhum → alm (N) egois → ego (Adj)

Dari hasil mengolah data dijumpai bahwa kliping juga dapat melibatkan kata majemuk

seperti yang terdapat pada kata Idul Fitri. Pada kata ini, kliping dilakukan pada akhir kata yang

pertama dan semua kata kedua. Dengan demikian kata tersebut menjadi Id.

c) Kliping bagian awal dan belakang kata

Kliping juga dapat dilakukan pada bagian awal dan bagian belakang kata bahasa tulis bahasa

Indonesia. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa hanya satu kata yang diperoleh melalui

sistem ini.

penyelidikan → lidik (N)

3. Blending

Blending merupakan jenis PKBT BI yang kerap ditemukan penggunaannya di media massa

Indonesia. Blending dilakukan dengan menggabungkan bagian dari dua kata atau lebih menjadi

sebuah kata. Bagian kata yang digabungkan dapat berupa bagian awal, tengah, dan akhir kata.

Bagian-bagian kata yang digabungkan memiliki beberapa variasi sistem: bagian awal setiap

kata, bagian awal dan akhir kata, bagian awal dan tengah kata, bagian tengah setiap kata, bagian

tengah dan akhir kata, bagian akhir setiap kata, dan bagian awal, tengah dan akhir kata. Hampir

semua sistem penggabungan tersebut dapat diperoleh, kecuali penggabungan yang hanya

melibatkan bagian tengah kata.

a) Penggabungan bagian awal dan akhir kata

Istilah blending pertama sekali diperkenalkan dalam bahasa Inggris dengan sistem dasar

penggabungan bagian awal kata dan bagian akhir kata. Penggabungan dengan sistem seperti ini

juga sering ditemukan dalam media massa Indonesia seperti yang terdapat pada contoh kalimat

di bawah ini.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

185

o Warga Jalan Niaga Pondok resah, menyusul maraknya penjualan miras oplosan di

kawasan itu. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013)

o Ikanita Universitas Bung Hatta melakukan lawatan ke Persatuan Wanita Teknologi

(Wangi) Universitas Teknologi Malaysia di Johor. (Padang Ekspress, 16 Mei 2012)

Kata-kata miras (minuman keras), Ikanita (ikatan wanita), dan Wangi (wanita

teknologi) merupakan kata yang dibentuk dengan menggabungkan bagian awal kata dengan

bagian akhir kata. Sama halnya dengan sistem penggabungan sebelumnya, pada umumnya kata

yang dibentuk berkelas kata nomina. Ditemukan satu bentuk penggabungan dengan sistem ini

yang melibatkan kelas kata verba, akan tetapi bentuk kata itu sendiri lebih mirip bentuk klausa

seperti yang terdapat di bawah ini.

jas merah → jangan sampai melupakan sejarah

Sistem blending dengan melibatkan bagian awal dan akhir kata dapat disusun secara

acak. Penggabungan kata dapat diawali baik oleh bagian awal kata maupun bagian akhir kata.

gaptek → gagap teknologi mendagri → menteri dalam negeri

danrem → komandan resort militer miras → minuman keras

danjen → komandan jenderal senpi → senjata api

ponsel → telepon seluler wangi → wanita teknologi

amari → angkutan malam hari tagana → taruna siaga bencana

b) Penggabungan bagian awal kata

Penggabungan yang hanya melibatkan bagian awal kata merupakan sistem blending yang paling

sering digunakan media massa. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.

o Selama ini aku tidak suka dugem (NOVA, 18-24 Oktober 2010)

o Jumlah ternak sebanyak 4.818 ekor dengan rincian 4.607 ekor doka dan 211 ekor sapi

(Republika, 22 Maret 2013)

o Iven yang baru pertama kali diangkat Dekranasda Payakumbuh bersama Disparpora

kota ini. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013)

Dalam kalimat-kalimat di atas terdapat beberapa kata yang dibentuk secara blending

dengan menggabungkan bagian awal dari setiap kata, yaitu dugem adalah blending dari dunia

gemerlap, dan doka adalah blending dari domba kambing. Pada umumnya, kelas kata yang

dibentuk adalah nomina, sementara hanya satu bentuk verba yang ditemukan, yaitu nobar

(nonton bareng). Adapun kelas kata adjektiva dan adverbia tidak ditemukan dalam penelitian

ini.

pengprov → pengurus provinsi kanca → kantor cabang

batita → bawah tiga tahun doka → domba kambing

tipikor → tindak pidana korupsi spiker → spiritualitas kerja

pencaker → pencari kerja dapil → daerah pemilihan

murmer → murah meriah menkeu → menteri keuangan

Meskipun pada prinsipnya penggabungan terjadi pada bagian awal kata, muncul varian

penggabungan yang juga melibatkan unsur lain di luar awal kata, seperti pada contoh

dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah), Disparpora (Dinas Pariwisata Pemuda

Olahraga), dan dapil (daerah pemilihan).

M. Zaim

186

c) Penggabungan bagian awal dan tengah kata

Selanjutnya, penggunaan penggabungan awal dan tengah kata juga ditemukan dalam tulisan di

media masa Indonesia. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.

o Technical Meeting dilaksanakan di ruang sidang khusus Disdikpora Sumbar (Padang

Ekspress, 21 Juni 2011)

Kata Disdikpora merupakan gabungan dari kata Dinas Pendidikan Pemuda dan

Olahraga. Kata yang diambil dari bagian tengahnya adalah Pendidikan, yaitu dik, sementara kata-

kata yang lain diambil bagian awalnya. Dilihat dari kelas kata pembentukan, temuan penelitian

menunjukkan bahwa semua pembentukan blending dengan sistem ini berkelas kata nomina.

prima → program Indonesia emas polres → kepolisian resort

pinca → pimpinan cabang mentan → menteri pertanian

tipibank → tindak pidana perbankan naker → tenaga kerja

sekbang → sekolah penerbangan komjak → komisaris kejaksaan

sprindik → surat perintah penyelidikan disdik → dinas pendidikan

Dari data di atas dapat dinyatakan bahwa penggabungan yang melibatkan bagian awal dan

tengah kata dapat berposisi secara bergantian. Bagian tengah kata dapat mengawali kata

penggabungan seperti pada kata pinca, ataupun bagian awal kata mengawali kata penggabungan

seperti pada kata komjak.

d) Penggabungan bagian tengah dan akhir kata

Temuan penelitian juga menyebutkan bahwa blending dengan sistem penggabungan bagian

tengah kata tidak ditemukan. Selanjutnya, sistem pembentukan blending yang ditemukan adalah

gabungan bagian tengah dan bagian akhir kata. Meskipun demikian, jumlahnya tidak sebanyak

pada sistem penggabungan sebelumnya.

curanmor → pencurian kendaraan bermotor

gakum → penegakan hukum

Kata-kata tersebut digunakan dalam kalimat seperti yang terlihat di bawah ini.

o Tiga pelaku pencurian kendaraan bermotor (curanmor) ditangkap (Padang Ekspress, 3

September 2013)

o Kasubdit Penegakan Hukum (Gakum) Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro

Jaya mengatakan (Republika, 12 Agustus 2013)

e) Penggabungan dua bagian akhir kata

Berikutnya, berdasarkan hasil mengolah data, penggabungan bagian akhir setiap kata juga

ditemukan dalam kata yang digunakan oleh media massa. Meskipun demikian, hanya sedikit

ditemukan blending yang menggunakan sistem pembentukan seperti ini.

gakin → keluarga miskin

raskin → beras miskin

f) Penggabungan bagian tengah, awal, akhir kata

Selanjutnya, sistem pembentukan kata dengan penggabungan adalah dengan menggabungkan

bagian tengah, awal, dan akhir kata. Untuk sistem ini, hanya satu kata yang ditemukan.

polsekta → kepolisian sektor kota

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

187

4. Gabungan Akronim dan Blending

PKBT BI juga dapat dilakukan dengan cara penggabungan akronim dan blending. Sistem

penggabungan ini dapat dilakukan dengan meletakkan akronim di bagian awal ataupun di

bagian akhir penggabungan. Lihatlah contoh kalimat di bawah ini.

o Penyidik satuan khusus JAM Pidsus Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan.

o Timnas U-19 telah berhasil menetapkan pemain yang akan bermain pada laga

berikutnya.

Kata JAM Pidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) pada kalimat di atas merupakan kata

yang dibentuk dengan menggabungkan akronim (JAM) dan blending (Pidsus). Bagian awal kata

merupakan bentuk akronim dengan mengambil huruf-huruf awal di setiap kata JAM, sementara

itu bagian akhir kata Pidsus merupakan bentuk penggalan (pid = pidana) dan (sus = khusus).

Timnas PEPI → Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi

Timnas U-19 → Tim Nasional Usia 19

5. Gabungan Akronim dan Kliping

Pembentukan kata dapat juga dilakukan dengan menggabungkan Akronim dan Kliping. Lihatlah

contoh kalimat berikut ini.

o Kemen PAN-RB mengeluarkan kebijakan baru tentang Pegawai negeri Sipil.

Pada kalimat di atas Kemen merupakan kliping dari Kementerian dan PAN-RB merupakan

akronim dari Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Akronim, Blending, dan Kliping Bahasa Tulis

Bahasa Indonesia

a. Pergeseran dalam akronim, blending, dan kliping serapan bahasa asing

1. Penyerapan akronim bahasa asing

Peminjaman langsung berupa akronim kerap ditemukan di media masa. Peminjaman langsung

ini menunjukkan bahwa penyerapan kata bahasa asing tidak hanya pada kata dasar seperti kata

internet dan gadget, tetapi juga menyerap akronim. Teori dasar pembentukan akronim dalam

berbagai bahasa di dunia adalah dengan mengambil huruf-huruf awal kata dan ditulis dengan

menggunakan huruf kapital seperti yang terdapat pada kata APEC, GB, WO, SEAG, AMA, dan

lain-lain. Dalam perkembangannnya, terjadi beberapa pergeseran sehingga pembentukan

akronim keluar dari pakem aturan dasar pembentukan akronim. Pergeseran pembentukan

akronim tersebut dapat dinyatakan dengan ditemukannya bentuk akronim sebagai berikut.

a) Penggabungan inisial kata huruf kapital dan huruf kecil, misalnya: MoU (Memorandum of

Understanding), LoI (Letter of Intent), TdS (Tour de Singkarak), MDGs (Millenium

Development Goals).

b) Gabungan akronim dan kata, misalnya YMJet-FI (Yamaha Mixture Jet Fuel Injection).

c) Pelafalan huruf inisial kata yang diakronimkan, misalnya hape (HP=Handphone).

d) Penulisan huruf sebagai pengganti pelafalan, misalnya IBX (Indonesia Broadcasting Expo).

M. Zaim

188

2. Penyerapan blending bahasa asing

Di dalam aturan pembentukan kata dalam bahasa Indonesia belum dikenal adanya penyerapan

blending. Namun, dalam penelitian ini ditemukan beberapa kata blending bahasa asing yang

digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Lihatlah kalimat berikut ini.

o PT Unilever Indonesia mengembangkan program trashion (NOVA, 18–24 Oktober

2013)

o Kegiatan pentas yang fokus terhadap konsep edutainment bagi seluruh pelajar. (NOVA,

02–08 Agustus 2013)

Kata-kata trashion dan edutainment merupakan bentuk blending yang diserap dari

bahasa Inggris. Kata trashion merupakan blending dari kata trash fashion, sementara kata

edutainment merupakan blending dari kata education entertainment. Kedua kata tersebut sama-

sama dibentuk dengan mengambil bagian awal kata pada kata pertama, yaitu tra dan edu, dan

selanjutnya digabungkan dengan bagian akhir kata dari kata kedua, yaitu shion dan tainment.

3. Penyerapan gabungan akronim dan kliping bahasa asing

Seperti halnya akronim dan blending, tidak ada aturan yang menjelaskan adanya penyerapan

gabungan akronim dan kliping. Dalam kenyataannya, dapat ditemukan beberapa kata berupa

gabungan akronim dan kliping. Lihatlah kalimat berikut ini.

o Namun, untuk bisa diterapkan, software ini masih perlu diuji coba menggunakan data

real time supaya bisa diintegrasikan dengan InaTEWS milik BMKG (Tempo, 25

Februari 2013)

o Man-U memang memegang kendali permainan namun tak banyak membuat peluang

dimana hanya empat on target dari 16 tembakan yang dibuat sepanjang laga

(Singgalang, 18 Maret 2013)

InaTEWS adalah singkatan dari Indonesia Tsunamy Early Warning System dan Man-U adalah

singkatan dari Manchester United.

Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyerapan kata bahasa asing,

yang semula hanya berupa kata dasar, saat ini telah bergeser menjadi tidak hanya kata dasar

tetapi juga akronim, blending, dan gabungan akronim dan blending.

b. Pergeseran akronim, blending, dan kliping pada proses ubah bentuk

1. Pergeseran pembentukan akronim

Pergeseran pembentukan akronim pada proses ubah bentuk terjadi pada proses pembentukan

akronim. Pembentukan akronim pada dasarnya harus didasari atas huruf-huruf yang terdapat di

dalam kata yang diakronimkan dan ditulis dengan huruf kapital. Pergeseran terjadi dengan

muculnya akronim yang menggunakan angka, inisiasi huruf kecil, penyerapan dari bahasa asing,

dan pelafalan baik pelafalan inisial kata maupun pelafalan huruf dalam penulisan. Pergeseran

pembentukan akronim dalam bahasa tulis bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

189

Gambar 1. Pergeseran Pembentukan Akronim dalam Bahasa Indonesia

Gambar 1 menunjukkan bahwa pada awalnya bentuk akronim dalam bahasa Indonesia

adalah inisiasi huruf (awal) dan hanya terdiri atas satu kata (misalnya, Badan Pemeriksa

Keuangan diakronimkan menjadi BPK). Setelah itu terjadi pergeseran bentuk menjadi enam

varian, yaitu penggunaan angka untuk menunjukkan pengulangan huruf yang sama (misalnya,

Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal diakronimkan menjadi SM3T).

Kemudian muncul akronim yang ditulis dengan huruf kecil (misalnya, barel perhari

diakronimkan menjadi bph). Kemudian berkembang menjadi akronim berbentuk kata majemuk

(misalnya, Anjungan Tunai Mandiri Bank Central Asia diakronimkan menjadi ATM BCA).

Lalu, sejalan dengan munculnya akronim berbahasa asing (terutama bahasa Inggris), terjadi

peminjaman akronim bahasa asing dalam bahasa tulis bahasa Indonesia (misalnya, MoU, LoI,

MDGs). Pergeseran berikutnya adalah perubahan pada bentuk inisiasi kata dengan

memunculkan pelafalan inisial kata pada sebagian atau semua inisial kata (misalnya, ELSAM,

ELTEHA, dan hape) serta terjadinya perubahan inisial kata berupa perubahan pelafalan huruf

dalam penulisan (misalnya, GAZA dari seharusnya GAJA).

2. Pergeseran pembentukan blending

Pergeseran pembentukan blending terjadi pada jenis pembentukan blending, dan penggabungan

bagian kata. Menurut aturan dasarnya, blending dilakukan dengan menggabungkan suku kata

awal dari kata pertama dengan suku kata akhir dari kata berikutnya. Pergeseran terjadi dengan

munculnya penggabungan suku kata awal dari kata pertama dengan suku kata awal dari kata-

kata berikutnya, penggabungan bagian awal kata dengan bagian tengah kata, dan penggabungan

bagian akhir kata. Selanjutnya, pergeseran juga terjadi ketika penggabungan kata dilakukan

dengan mencampurkan unsur kata utuh dengan bagian kata. Pergeseran pembentukan blending

dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut.

Gambar 2. Pergeseran Pembentukan Blending dalam Bahasa Indonesia

Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pembentukan kata berbentuk

blending, dari semula yang hanya berupa penggabungan bagian awal dan akhir kata (misalnya,

M. Zaim

190

minuman keras menjadi miras, dan senjata api menjadi senpi) berkembang menjadi

penggabungan bagian awal kata (misalnya, tindak pidana korupsi menjadi tipikor). Kemudian

pembentukan kata tersebut berkembang menjadi penggabungan bagian awal dan tengah kata

(misalnya, tenaga kerja menjadi naker dan pencurian kendaraan bermotor menjadi curanmor),

lalu muncul lagi blending berupa penggabungan akhir kata (misalnya, beras miskin menjadi

raskin). Selanjutnya, penggabungan berkembang menjadi penggabungan kata utuh dengan

bagian kata seperti tim nasional menjadi timnas.

3. Pergeseran pembentukan kliping

Pergeseran juga terjadi pada pembentukan kata dengan cara kliping. Menurut teori, pemendekan

dilakukan dengan cara memenggal bagian awal ataupun bagian akhir dari suatu kata. Dari hasil

analisis data, ditemukan kliping dengan memenggal bagian awal dan akhir kata sehingga

menyisakan bagian tengah kata saja, memenggal bagian-bagian dari suku kata dan menyisakan

huruf awal dari suku-suku kata, dan penggunaan angka sebagai pengganti huruf atau bagian

kata. Berdasarkan temuan di atas, dapat dinyatakan bahwa pergeseran pembentukan kliping

dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut.

Gambar 3. Pergeseran Pembentukan Kliping dalam Bahasa Indonesia

Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pembentukan kliping dalam

bahasa Indonesia. Perubahan terjadi dari bentuk awal berupa pemotongan awal atau akhir kata

(misalnya, bapak menjadi pak, dan ibu menjadi bu) menjadi pemotongan awal dan akhir kata

(misalnya, penyelidikan menjadi lidik, dan kecelakaan menjadi laka), penghilangan huruf vokal

pada kata (misalnya, tapi menjadi tp, bisa menjadi bs), dan penggunaan angka sebagai

pengganti huruf, bagian kata, dan kata (misalnya, setuju menjadi s7, benar menjadi b3n4r,

berempat menjadi ber4).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan temuan penelitian sebagaimana telah dinyatakan di atas,

hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Sistem pembentukan kata akronim, blending, dan kliping bahasa tulis bahasa Indonesia

mengikuti sistem pembentukan kata secara morfologis sesuai dengan teori morfologi yang

berkembang. Namun, terjadi penyesuaian sistem pembentukan kata sesuai dengan ciri khas

bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan berkembang mengikuti tren penuturnya.

Pembentukan kata dapat dilakukan melalui proses peminjaman/penyerapan dari bahasa

asing dalam bentuk akronim, blending, dan gabungan akronim dan kliping. Pembentukan

kata juga dapat dilakukan melalui ubah bentuk dari kata yang ada, baik berupa akronim,

blending, maupun kliping dengan berbagai variasi bentuknya.

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

191

2. Pergeseran sistem pembentukan kata akronim, blending, dan kliping bahasa Indonesia tulis

terjadi dengan ditemukannya varian dari sistem baku seperti dinyatakan dalam buku

Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman Pembentukan Istilah Bahasa Indonesia.

Bentuk pergeseran itu berupa penyerapan akronim, blending, dan kliping dari bahasa asing

dan berbagai ubah bentuk pada bentukan akronim, blending, dan kliping baru. Pada akronim

muncul akronim dalam bentuk kata majemuk dan gabungan penggunaan inisiasi huruf dan

angka. Pada blending, penggabungan bagian kata tidak terbatas hanya awal dan akhir kata,

tetapi hampir pada semua bagian kata. Pada kliping, pemenggalan tidak hanya terjadi pada

akhir kata, tetapi juga pada awal kata dan juga pada awal dan akhir kata.

CATATAN

* Penulis berterima kasih kepada mitra bestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan artikel

ini.

** Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian fundamental yang didanai oleh Kemdiknas RI pada

tahun 2013/2014.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H., Lapoliwa, H., dan Darmowidjojo, S. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia

(Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.

Aronoff, M., dan Ress-Miller, J. (2001). The handbook of linguistics. Oxford: Blackwell

Publishers Inc.

Booij, G. (2007). The grammar of words; An introduction to morphology. Oxford: Oxford

University Press.

Katamba, F. (1993). Morphology. London: Macmillan Press Ltd.

Kridalaksana, H. (1983). Kamus linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Kridalaksana, H. (1990). Kelas kata dalam bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Lieber, R. (2009). Introducing morphology. Cambridge: Cambridge University Press.

Mahsun. (2005). Metode penelitian bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

McManis, C., Stollenwerk, D., Zhang, Z., Bissantz, A.S. (1987). Language files: Materials for

an introduction to language. Ohio: Advocate Publishing Group.

Moeliono, A.M. (1988). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan.

Nababan. (1984). Sosiolinguistik: Suatu pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Pusat Bahasa. (2004). Pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Jakarta:

Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Pusat Bahasa. (2007). Pedoman umum pembentukan istilah. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen

Pendidikan Nasional.

Sudaryanto. (1993). Metode dan aneka teknik analisis bahasa: Pengantar penelitian wahana

kebudayaan secara linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

M. Zaim

192

Sugono, D. (2009). Pengindonesiaan kata dan ungkapan asing. Jakarta: Pusat Bahasa,

Departemen Pendidikan Nasional.

Sumarsono dan Partana, P. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Sutawijaya, H.A. (1996). Morfologi bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Zaim, M. (2000). Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, Makalah Seminar Linguistik

MLI Unand, 11 Mei 2000.

Zaim, M. (2001). Pembentukan kata dengan akronim, singkatan dan penggalan dalam bahasa

Indonesia mutakhir. Humanus, 4(1).

Zaim, M. (2008). Pergeseran sistem pembentukan kata bahasa Indonesia pasca Orde Baru.

Laporan hasil penelitian. Jakarta: Depdiknas.

Zaim, M. (2009). English morphology. Padang: Fakultas Bahasa Sastra dan Seni, Universitas

Negeri Padang.

Zaim, M. (2014). Metode penelitian bahasa: Pendekatan struktural. Padang: FBS UNP Press.

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 193-195 Volume ke-33, No. 2 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

Resensi Buku

Judul : Transcribing Talk and Interaction: Issues in the Representation of

Communication Data

ISBN : 9789027211835

Penulis : Christopher Joseph Jenks

Tebal : xi, 120 halaman

Penerbit : John Benjamins Publishing Company, 2011

Agustian Sutrisno

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

[email protected]

“The only good thing to say about the transcription process is that it allows us to

get to know our data thoroughly, otherwise it is usually a far-too-long and less-

than-enjoyable process (to say the least)” (Dörnyei, 2007:246).

Proses membuat transkrip dari data yang berbentuk rekaman audio adalah

momok bagi kebanyakan peneliti kualitatif dan peneliti linguistik, seperti yang

diungkapkan oleh Dörnyei dalam kutipan di atas. Hampir tidak ada yang dapat

dinikmati dari proses yang menyita banyak waktu tersebut, selain dari

keuntungan bahwa sang peneliti, jika melakukan transkripsi itu sendiri, dapat

mengenal dengan saksama data penelitiannya.

Berkat kemajuan teknologi, kesulitan dan kejenuhan melakukan transkripsi dapat diatasi dengan

penggunaan perangkat lunak yang dapat mengubah rekaman audio menjadi transkrip tertulis

(computer-assisted transcription software) (Dörnyei, 2007). Akan tetapi, kebanyakan perangkat

lunak yang tersedia tidak dapat mentranskripsikan data audio yang tidak berbahasa Inggris.

Dengan demikian, bagi para peneliti linguistik Indonesia, belum ada jalan keluar dari proses

transkripsi yang melelahkan tersebut.

Transcribing talk and interaction: Issues in the representation of communication data

oleh Jenks adalah judul yang tepat untuk buku yang tidak berusaha menyederhanakan proses

transkripsi. Jenks menyajikan dengan rinci langkah-langkah yang perlu diambil dalam

menyajikan data komunikasi wicara dan interaksi manusia dan berbagai problematika praktis

dalam mengubah data komunikasi verbal dan non-verbal manusia menjadi data berbentuk

tulisan. Dalam beberapa bagian, barangkali Jenks terlihat sangat preskriptif. Misalnya, dia

merekomendasikan tipe huruf (font) yang sebaiknya dipakai untuk transkripsi, yaitu Courier

New dan Consolas (lihat halaman 39-41). Jenks berargumen kedua tipe huruf itu mempunyai

jarak spasi yang konsisten sehingga memudahkan proses analisis terhadap ujaran dari beberapa

pembicara yang kadang tumpang tindih dan memberikan tampilan yang kurang professional

dalam menyajikan data. Walau sekilas terlihat sangat preskriptif, memberikan pembaca dapat

menilai sendiri apakah penjelasan, saran, dan argumen yang Jenks sajikan bermanfaat atau

tidak. Saran yang rinci semacam ini jarang dijumpai dalam buku-buku metodologi penelitian

linguistik yang biasanya hanya menyajikan transkripsi dalam salah satu babnya (lihat, misalnya,

Wray dan Bloomer, 2011).

Resensi Buku

194

Seperti judul bukunya, Jenks membahas banyak segi interaksi manusia yang perlu

diperhatikan peneliti linguistik, seperti intonasi, tekanan, postur tubuh, dan ekspresi wajah. Dua

hal terakhir ini, postur tubuh dan ekspresi wajahb seringkali terlewat dalam analisis dan

transkripsi di kalangan peneliti linguistik dan peneliti ilmu sosial lainnya. Walau rekaman video

sekarang mudah dilakukan untuk mendukung penelitian dan dapat menyajikan data yang sangat

kaya dan beragam (Heath, 2011), menyajikan data yang tertangkap melalui rekaman video tetap

sulit untuk dilakukan. Buku-buku metode penelitian yang lain walau memberikan perhatian

pada transkripsi data audio, sering alpa membahas transkripsi data dari rekaman video.

Inilah barangkali keunggulan utama tulisan Jenks. Dalam Bab 5, tersaji petunjuk

lengkap melakukan transkripsi data audio-visual yang dipadukan dengan gambar-gambar

cuplikan video. Misalnya, pada halaman 79, terdapat contoh transkrip data audio-visual

percakapan antara seorang pedagang dengan tokoh yang bernama Peter.

Merchant: hello sir. (0.5)

doց youր waց nnaր something? ( (merchant extends left arm out) ) (0.5)

Peter: walk in here and have a look.

Seperti terlihat dari contoh yang diberikan Jenks di atas, data visual ditampilkan secara

tertulis melalui kurung ganda, yaitu ( ( merchant extends left arm out) ) [pedagang menjulurkan

lengan kirinya]. Selain penggambaran tindakan sang pedagang, Jenks juga memberikan

keterangan waktu berapa lama tindakan itu berlangsung, yang terlihat dari angka di dalam

kurung (0.5). Adapun intonasi bicara sang pedagang terlihat melalui tanda panah naik atau turun

ր ց). Penggambaran terperinci semacam ini tentunya membuat proses transkripsi data audio-

visual sangat panjang dan melelahkan. Akan tetapi, untuk memperoleh data dan analisis yang

sahih, rasanya memang tidak ada (atau belum ada) jalan pintas. Para peneliti pemula yang

merasa bahwa rekaman video dapat dengan mudah menambah kesan berlangsungnya penelitian

observasional yang baik perlu membaca buku Jenks untuk memahami kompleksitas penyajian

data audio-visual untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Harus diakui, buku Jenks bukan panduan universal untuk semua peneliti yang berminat

melakukan transkripsi dan analisis linguistik. Di antara pembaca jurnal ini barangkali ada yang

berpendapat bahwa penyajian transkrip seperti yang disarankan oleh Jenks agak berlebihan. Hal

ini mungkin benar adanya bagi para peneliti yang tertarik untuk melakukan analisis tematis atas

data audio, seperti rekaman wawancara dengan narasumber. Analisis tematis (seperti misalnya

yang diusulkan oleh Braun dan Clarke, 2006) lebih menekankan makna dan tema yang muncul

dari wawancara dengan narasumber, bukan rincian ujaran dan tindakan. Untuk tujuan ini

agaknya tidak dibutuhkan catatan rinci tentang intonasi dan raut wajah narasumber seperti yang

disajikan dalam buku Jenks.

Di samping itu, bagi para peneliti dalam bidang fonologi dan fonetik, buku Jenks juga

barangkali agak mengecewakan. Dia menghindari penggunaan International Phonetic Alphabet

(IPA) dalam transkripsinya. Akan tetapi, seperti yang dapat diduga, Jenks memberikan alasan

yang jelas mengapa penggunaan IPA tidak disarankannya. Menurut Jenks, IPA terlalu teknis

dan spesifik pada bidang ilmu tertentu, sehingga transkripsi yang menggunakan IPA sulit

diakses oleh pembaca luas.

Buku Jenks memang berguna sebagai pelengkap untuk kebanyakan buku metodologi

penelitian linguistik, bukan penggantinya. Jenks sama sekali tidak membahas teori linguistik

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

195

dan metodologi analisis data tertentu. Sesuai dengan sub-judul yang diberikan, “Issues in the

representation of communication data”, Jenks berfokus pada bagaimana data komunikasi verbal

dan non-verbal disajikan dalam bentuk tulisan dan gambar. Para peneliti yang selama ini

menghadapi kesulitan mencari cara menyajikan data tersebut akan sangat tertolong oleh karya

Jenks yang kaya dengan contoh dan rincian ini. Untuk memahami metodologi penelitian yang

lebih luas dan menyeluruh, mereka perlu membaca buku lain, seperti misalnya Research

Methods in Applied Linguistics karya Dörnyei (2007), yang dikutip di awal resensi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Braun, V. dan Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research

in Psychology, 3(2), 77-101.

Dörnyei, Z. (2007). Research methods in applied linguistics. Oxford: Oxford University Press.

Heath, C. (2011). Embodied action: Video and the analysis of social interaction. Dalam D.

Silverman (Ed.) Qualitative research (hlm. 250-269). Los Angeles: Sage.

Wray, A. dan Bloomer, A. (2011). Projects in linguistics and language studies. London dan

New York: Routledge.

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 197-200 Volume ke-32, No. 2Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

JELAJAH LINGUISTIK

Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini:a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakanb. daur-ulang metodologi penelitian linguistikc. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya

berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulud. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang

membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan

PENGELOLAAN DATA DIGITAL DALAM RANGKAIANMETODOLOGI PENELITIAN LINGUISTIK

Faizah SariSurya University

[email protected]

Penelitian linguistik kontemporer yang berhasil berakar dari pengelolaan data yang akurat.Chelliah (2013) mendefinisikan, “[data management]… includes skillful note-taking, detailedmetadata collection, and safe storage and documentation of media” (hlm. 68). Ketiga kata sifat,yaitu ‘terampil’ (skillful), ‘terperinci’ (detailed), dan ‘aman’ (safe), merupakan karakteristikpengelolaan data yang baik, terlebih dalam bentuk digital. Diperlukan persiapan, perencanaan,pelaksanaan, dan pemeliharaan data yang lebih rapih, akurat, dan lengkap agar penelitianmenghasilkan luaran berkualitas dan memiliki keberlangsungan (sustainability) tinggi. Melaluipengelolaan yang baik, peneliti dapat mengolah data, memberi kesimpulan, dan menggunakandata untuk contoh-contoh pada makalah ilmiah, dan untuk penelitian selanjutnya.

Lebih jauh, pengelolaan data linguistik lekat hubungannya dengan langkah penyusunantranskripsi (transcription). Literatur metode linguistik kontemporer seringkali menekankanbahwa transkripsi merupakan langkah penting dalam rangkaian metode penelitian linguistikyang dapat menentukan keberlangsungan data.

Transcription serves as a tool, a “handle” for the original oral recordings,both during primary analysis and for later use of the data, which may be yearslater and not necessarily by the original researcher. (Nagy & Sharma, 2013,hlm. 239).Transkripsi berfungsi sebagai suatu alat, suatu "pegangan" terhadap rekamanlisan asli, baik selama analisis primer dan untuk penggunaan data selanjutnya,yang mungkin bertahun-tahun kemudian dan belum tentu dilakukan lagi olehpeneliti asli.

Ramifikasi terdapatnya transkripsi yang baik mengarah kepada seberapa baiknyapeneliti merencanakan dan menguraikan rancangan penelitian (research design) yang terperincidan jelas. Seringkali rancangan penelitian dibahas dalam penjelasan tentang metodologi padaliteratur kontemporer mengenai metode penelitian linguistik (linguistic research methods) ataupembangunan korpora (corpora-building methods), misalnya seperti yang terdapat padaPodesva & Sharma (2013), Leńko-Szymańska & Boulton (2015), dan Chiarcos, Nordhoff, &

Jelajah Linguistik

198

Hellmann (2012). Tidak pelak lagi bahwa rancangan penelitian yang baik dapat membantupengelolaan penelitian menjadi lebih berhasil. Dari perspektif peneliti, untuk menghasilkantranskripsi yang baik, pengelolaan data pun harus baik. Langkah ini menentukan alur kerja yangrapih dan sistematik. Apabila ini dipatuhi oleh tim peneliti, data bersih yang diperoleh menjadiakurat dan waktu yang direncanakan untuk digunakan bagi analisis data menjadi lebih efisien.

Di samping bertanggung jawab atas perencanaan umum penelitian, termasukmemastikan ada bukti izin melibatkan subjek manusia (informed consent), peneliti linguistikkontemporer mengutamakan data primer dan pendigitalan data. Oleh karena itu, diperlukanperencanaan kuat, di antaranya menyiapkan langkah-langkah dasar dan nyata dalamperencanaan sebelum mengambil data. Perencanaan secara sekuensial dapat dibagi tiga tahap,yaitu: (1) tahap prapengumpulan data (pre-data collection), (2) tahap selama pengumpulan data(during data collection), dan (3) tahap pascapengumpulan data (post-data collection).

Pada tahap pertama, atau prapengumpulan data, tim peneliti menginventorisir danmengalibrasi semua instrumen penelitian. Saat sebelum berangkat ke lapangan merupakan saatyang tepat untuk memastikan semua instrumen di bawah ini terinventori dan terkalibrasi denganbaik, siap dibawa untuk ke lapangan pada hari pelaksanaan tanpa kecuali, apalagi bilaperjalanan memakan waktu cukup lama atau jarak cukup jauh: Alat rekam video Alat rekam audio, dan pastikan sistem audio merekam dalam file .wav. Clapper, untuk menentukan titik mulai speech sample Mikrofon berjenis clip-on atau boom, untuk hasil suara yang bagus Kartu digital terkunci (secure digital cards/SD cards) dalam berbagai bentuk External harddrive berkapasitas besar, untuk menyimpan data rekaman apabila kapasitas

chip/SD cards telah melampaui batas agar dapat digunakan lagi Charger dan extension cords Baterai tambahan, dan sumber energi lainnya

Ketua tim peneliti dapat menugaskan anggota-anggota tim untuk bertanggung jawabkhusus pada alat tertentu, misalnya alat rekam, baik video ataupun audio, sehingga merekadapat belajar merekam suara dan mengambil data primer lain di lapangan. Dengan demikian,akan mudah bagi pemimpin penelitian untuk menelusuri sumber rekaman dan mencatat progrespengambilan data.

Pada tahap kedua, atau selama pengumpulan data, tim peneliti memastikan dua halesensial selama masa pengambilan data di lapangan. Pertama, tim memastikan data mentahberupa audio dan video tersimpan baik dalam data storage (SD cards) dan cadangan (backup)untuk mencegah data kehilangan, tertukar, terekam ulang, dan terhapus. Kedua, tim mencatatsemua aktivitas metadata pada catatan lapangan (fieldnotes) karena semua sample memerlukanbukti konteks. Kehilangan atau kerusakan alat penyimpan fisik data digital dapat mengganggukelancaran pengumpulan data di lapangan. Lebih jauh, walaupun kehilangan atau kerusakan alatpenyimpan fisik (storage) merupakan risiko lumrah dalam penelitian, tim peneliti dapatmeminimalkan terbuangnya energi, waktu, atau bahkan dana atas kehilangan atau kerusakandengan memastikan ada beberapa SD cards pada multiple electronic instruments untukmemastikan speech sample yang direkam tidak terputus hanya karena kapasitas chip penuh,baterai alat perekam habis, atau alat hilang.

199

Pada tahap terakhir, atau setelah pengumpulan data, tim peneliti langsung bertugasmendigitalkan segala bentuk data. Setelah kembali dari lapangan, anggota-anggota tim yangtelah diberi tanggung jawab terhadap satu alat segera dibagi menjadi kelompok-kelompok kecilpengelola data digital dan menginventorisir perolehan data di lapangan dengan menggunakandaftar piranti lunak berikut yang juga direkomendasikan pada literatur metodologi linguistikkontemporer (Nagy & Sharma, 2013, 248-251) dan dapat diunduh secara gratis. Audacity (http://www.audacityteam.org/), atau program audio editing sejenis, yang dapat

digunakan untuk melihat frekuensi bunyi dan mengubah file extension audio. Eudico Language Annotation (ELAN) (https://tla.mpi.nl/tools/tla-tools/elan/download/), yaitu

program anotasi komprehensif terhadap file audio dan video. Program ini dapat membantupeneliti mengelola data digital dalam satu platform. Program ini mudah untuk diunduh dandigunakan, tidak terlalu membebani memory pada harddisk komputer, dan peneliti dapatmengunggah file video maupun audio pada program ini. Program ini pun dapat mengeksporfile langsung ke program toolbox untuk menyusun daftar lema untuk membangun kamus(lihat di butir kedua sebelum terakhir). Praat (http://www.fon.hum.uva.nl/praat/), yaitu program analisis fonetik yang dapat

membantu peneliti memeriksa formant, intonasi, pitch, dan analisis akustik lainnya. CLAN (http://childes.psy.cmu.edu/clan/), yaitu program untuk mentranskripsi (transcribing)

dan mengkode (coding). Program ini cocok untuk analisis percakapan (conversation analysis)dan konkordansi. Akan tetapi, program ini tidak dapat memperlihatkan file video. Toolbox (http://www-01.sil.org/computing/toolbox/), yaitu program pengelolaan dan analisis

data leksikal. Umumnya toolbox dapat membantu peneliti mengelola daftar lema. Program inicukup sederhana dan mudah dipelajari. Program ini juga tidak terlalu membebani memorypada harddisk komputer dan dapat ber-interface dengan ELAN. FLEx (http://fieldworks.sil.org/flex/), merupakan program pengelolaan dan analisis data

leksikal yang lebih komprehensif dibandingkan Toolbox. Dengan FLEx peneliti tidak hanyadapat menganalisa leksis dan menyusun kamus, tetapi juga menganalisis morfologi dan fiturwacana (discourse features). Akan tetapi, installer FLEx memerlukan waktu yang lama karenafile-nya besar. Dengan demikian, peneliti perlu memastikan apakah kapasitas memori dikomputer memadai untuk aplikasi FLEx.

Dalam tahap ketiga (post-data collection) ini pun, ada baiknya sistem penyimpanan filejuga dikelola dengan baik, sampai pada hal-hal yang terlihat trivial, misalnya menyimpan dalamfolder yang diberi label jelas. Pengelolaan folder digital sama pentingnya dengan pengelolaandata digital, dan dapat dilakukan oleh langsung oleh peneliti, di antaranya: Pengaturan (set up) satu folder khusus di komputer untuk mengakomodasi semua file berisi

data digital. Beri judul ‘Data Digital’ pada folder itu. Di dalam folder ‘Data Digital’, penelitidapat membuat serangkaian folder yang akan membantu mengidentifikasi file dengan cepatpada saat diperlukan. Misalnya, satu folder berisi jenis-jenis file extensions, satu folderberdasarkan tanggal perolehan data di lapangan, nama bahasa, atau topik. Pastikan ada satufolder berjudul program analisis bahasa yang berisi file-file dalam aplikasi tersebut. Contoh,satu folder berjudul ‘ELAN files on Kupang Malay, Feb 5th, 2016’ berisi file aplikasi ELANyang mengompilasi analisis data bahasa Melayu Kupang. Singkat kata, berikan akses yangmudah dan cepat pada folder data.

Jelajah Linguistik

200

Retrodigitation, yaitu mengubah dan menyimpan data fisik menjadi elektronik. Biasanyalangkah ini dilakukan apabila hanya data fisik, atau hardcopy, yang tersedia, misalnya: foto,naskah lama, tulisan lama, dan buku. Retrodigitation dilakukan dengan memindai (scanning)objek-objek fisik tersebut. Langkah ini baik untuk memperkaya metadata dan informasidokumentasi bagi topik penelitian. Penyimpanan cloud dapat dilakukan apabila peneliti tidak memiliki server sendiri atau server

yang cukup besar untuk menampung dan menyimpan semua data digital sebagai cadangan(backup). Umumnya penyimpanan data di cloud dapat dilakukan dengan berlangganan denganserver cloud (https://cloud.google.com/).

Pengelolaan data digital yang baik merupakan sumber reliabilitas data penelitian danlangkah awal menuju kinerja penulisan ilmiah berisikan hasil analisis data yang akurat.Perkembangan piranti lunak linguistik (linguistic software) berjalan cukup cepat, sehingga mautidak mau kita harus dapat mengejar perkembangan itu dan bersedia memperbarui keterampilanmeneliti dengan belajar menggunakan software yang relevan. Keterampilan bermetodologi yangbersinergi dengan disiplin ilmu yang lain, terutama teknologi informatika, tidak hanya berujungpada hasil analisis yang lebih berkualitas, namun juga menjadikan penelitian linguistik lebihmenarik, ilmiah, dan interdisipliner.

RUJUKAN PUSTAKA

Chelliah, S. (2013). Fieldwork for language description. Dalam R.J. Podesva, dan D. Sharma(Ed.). Research methods in linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.

Chiarcos, C., Nordhoff, S., dan Hellmann, S. (2012). The open linguistics working group of theopen knowledge foundation. Dalam C. Chiarcos, S. Nordhoff, dan S. Hellmann (Ed.).Linked data in linguistics: Representing and connecting language data and languagemetadata. Berlin: Springer.

Leńko-Szymańska, A. dan Boulton, A. (Ed.). (2015). Multiple affordances of language corporafor data-driven learning. Amsterdam: John Benjamins.

Nagy, N. dan Sharma, D. (2013). Transcription. Dalam R.J. Podesva, dan D. Sharma (Ed.).(2013). Research methods in linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.

Podesva, R.J. dan Sharma, D. (Ed.). (2013). Research methods in linguistics. Cambridge:Cambridge University Press.

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 201-205 Volume ke-33, No. 2 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

BINCANG ANTARA KITA DARI DUNIA MAYA

APA ARTI “FREE TEST”?

From: [email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo

Sent: Friday, 12 June 2015 12:03 PM

To: [email protected]

Reply To: [email protected]

Subject: [mlindo] apa arti "free test"?

Para anggota milis MLI:

Apabila membaca “free test” pada cuplikan iklan untuk masuk menjadi mahasiswa Program

Pascasarjana salah satu universitas ini, apa yang dimaksudkan dengan “free test” itu: (a) atau

(b), atau ambigu [bisa (a), bisa (b)]?

(a) bebas tes [dibebaskan dari kewajiban mengikuti tes]

(b) tes gratis [tidak perlu membayar untuk ikut tes]

Terima kasih telah meluangkan waktu menjawab surel ini.

Bambang Kaswanti

From: [email protected] On behalf of Evand Halim

Sent: Friday, 12 June 2015 12:40 PM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Dear Prof Bambang,

Kalau pendapat saya pribadi menangkapnya (terlepas dari contextual clues, common practice

atau common sense) "Free Test" itu artinya pasti yang (b) tes gratis.

Menurut saya, hanya ini kemungkinannya, dan tidak ada keambiguan sama sekali. Analaoginya

adalah ungkapan-ungkapan seperti: free samples, free consultation.

Kalau yang dimaksudkan adalah (a) bebas tes (exemption), saya (hanya feeling tanpa bisa

memberikan penjelasan linguistik yang kompleks) mengharapkan struktur yang digunakan agak

berbeda, yaitu [ X-free something], sehingga semestinya ditulis "Test-free Admission".

Analoginya adalah fat-free yoghurt, tax-free goods.

Bincang antara Kita dari Dunia Maya

202

Tapi mungkin ini juga akan menarik kalau ada anggota MLI yang merupakan penutur asli

bahasa Inggris (inner circle) bisa dimintai pendapatnya.

Apakah mungkin kasus di atas merupakan contoh interferensi L1? [bebas (=free); tes (=test),

sehingga bebas tes = free + test = free test]

Menurut pengamatan saya, sering terjadi kasus serupa. Beberapa teman mengatakan inilah

gejala penggunaan bahasa Inggris sebagai lingua franca. Dialek-dialek regional bermunculan

dan ungkapan-ungkapan baru dibentuk oleh komunitas penutur bahasa Inggris di luar lingkar

dalam. Di kelas penerjemahan saya, pernah seorang juru bahasa di sebuah NGO bercerita bahwa

dia menerjemahkan kalimat "UU baru ini perlu disosialisasikan segera" menjadi "the new law

must be socialized immediately." Pertama-tama, atasannya yang orang Australia memprotes

penggunaan kata socialize dalam konteks tersebut. Menurutnya 'socialize' artinya 'bertemu

dengan orang-orang' (semacam hang out begitu). Tapi kemudian teman-teman juru bahasa lain

di kantornya terus menggunakan istilah 'socialize' untuk maksud yang sama. Mengejutkannya,

di suatu event, si atasannya yang orang Australia tadi malah ikutan menggunakan kata 'socialize'

dalam konteks yang sama. Kata teman saya itu, "Akhirnya dia nyerah juga Pak, sama kita".

Regards,

Evand Halim

From: [email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo Sent: Friday, 12 June, 2015 1:31 PM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Mungkin perlu dibedakan dua kelompok ini –

arti “free test” bagi kita (1) yang kurang menguasai bahasa Inggris dan (2) yang menguasai

bahasa Inggris?

Menarik cerita kasus di NGO itu. Berarti kita berhasil melakukan “kudeta” terhadap penguasa

lingkar dalam, ya?

Ini hasil iseng tanya ke “google”:

Eng-Ind free test – tes gratis

Ind-Eng tes gratis – free test

bebas tes – free test

bebas narkoba – drug free

Apakah untuk kasus “free test” ini google sudah terkena pengaruh lingkar luar, sampai-sampai

tidak kenal lagi kata exemption?

bk

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

203

From: [email protected] On behalf of Evand Halim

Sent: Friday, 12 June 2015 2:12 PM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Iya Prof, jangan-jangan ke depannya, atas nama "English as a lingua franca", pembelajaran

bahasa Inggris sebagai bahasa asing akan menjadi lebih permissive, menoleransi ungkapan-

ungkapan yang 'ungrammatical" atau yang mungkin hanya masuk dalam kelompok "breach of

idiomaticity". Maksud saya, ungkapan-ungkapan yang terdengar kaku dari kaca mata penutur

asli tapi karena dimengerti oleh komunitas pengguna bahasa itu akan dijadikan pembenaran dan

pada akhirnya menjadi beda-beda tipis antara register formal, informal, ungrammatical,

dialectal. "As long as you understand, I understand, - Ok-lah...".

Yang juga menarik, masih dalam teks tersebut, ungkapan "Special for Alumni of ...", saya kok

merasa ini juga 'doesn't sound English'. Dugaan saya ini juga interferensi L1. [ Special = khusus;

untuk = for ; special for = khusus untuk ].

Tapi kok rasanya (lagi-lagi) terdengar aneh ya, kalau kita bilang "This test exemption is special

for Alumni of..." (untuk maksud "exclusively/solely/limited"). Apa tidak cukup dengan "Only

for..." atau langsung "For alumni of..." atau lainnya semacam itu. Atau mungkin saja bisa

diterima karena penggalan itu bukan dalam kalimat penuh ya?

Ini menarik sih. Saya ingat pengalaman sewaktu di Thailand. Di toko-toko, kalau mencari baju

dengan ukuran L, saya akan tanya "Do you have L size?", dan kalau tidak ada, hampir semua

penjaga toko akan menjawab "Oh, sorry sir, no have L size, but M size have." Nah di mana-

mana hampir selalu dijawab begitu (no have = tidak ada). Nah besok-besoknya kalau

menanyakan ukuran dan tidak ada, saya jawab balik seperti ini, "Oh no have? too bad, ok lah,

thank you." Nah ini tampaknya menular .

Bagaimana pendapat rekan-rekan anggota MLI yang lain?

Regards,

Evand Halim

From: [email protected] On behalf of Wayan Sidhakarya

Sent: Saturday, 13 June 2015 3:47 PM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

bukankah penutur asli juga memiliki jargon-jargon atau slang-slang yang bisa dikatakan

ungrammatical. Di Amerika ada black English, seperti:

I dont like no milk.

I aint the kind to hang around. (song)

kenapa orang Asia bicara slang Asia di salahkan?

apa kita mau menyamakan slang dan jargonnya orang indonesia dan dan malaysia?

ingat! Orang Amerika bilang cookies orang inggris bilang biscuit; coba orang Am

bilang janitor orang inggris atau Ausie bilang apa ..

ayo!

Bincang antara Kita dari Dunia Maya

204

From: [email protected] On behalf of Prihantoro

Sent: Sunday, 14 June 2015 7:07 AM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Prof Bambang,

Berdasarkan hasil penelusuran Corpus of Contemporary American English (COCA), frasa 'free

test' hanya terdeteksi sebanyak 10 hits. Frasa 'test-free' malah 0 hit, sedangkan tanpa hypen 'test

free' menghasilkan 4 hit. Sangat rendah pada sisi produktifitasnya. Ada kemungkinan dimana

memang ungkapan ini jarang digunakan oleh penutur asli bahasa inggris.

mengenai makna frasa 'free test' sendiri ada satu lagi makna yang didapatkan dari hasil

penelusuran COCA, yaitu hasil tes kesehatan yang menyatakan seseorang tidak mengidap satu

penyakit:

A free test that proves positive should probably be repeated by your own physician; that is

usually covered by insurance

An angiogram is not what's known, in medical jargon, as a " free test " - an easy way to get

information about a patient

Can yon tell me where in the Kansas City, Missouri, area I could get the free test for peripheral

vascular disease (PVD)? Betty Lamb Grain Valley, Kansas

Ada satu frasa dimana 'free' berarti 'gratis' yang dapat diindikasikan dari collocate pada left

handside 'discounted'. Namun perlu dipahami bahwa di sini peran 'test' bukanlah sebagai head.

At the same time, EPA is researching incentive programs to promote radon testing and

mitigation, such as discounted or free test kits, especially for high risk populations.

Demikian hasil pembacaaan COCA, yang akan sangat menarik kalau di-counter dengan korpus

lain, semisal BNC atau beberapa korpus English as a Foreign Language.

Prihantoro

Semarang

From: [email protected] On behalf of Stephanus Bala

Sent: Sunday, 14 June 2015 3:13 PM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Saya tidak berani berkomentar terhadap struktur "free test". Saya hanya berharap bahasa

Indonesia mau menggunakan "nirtes = bebas tes" dan "tes gratis = bebas biaya tes". Salam

bahasa.

Stephanus Bala

From: [email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo

Sent: Monday, 15 June 2015 8:43 AM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Terima kasih info dari hasil penelusuran corpus ini. Dalam bahasa kita bagaimana, ya,

mengatakan pelbagai makna ini?

bk

Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015

205

From: [email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo

Sent: Monday, 15 June 2015 8:48 AM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Ya, tantangan kita untuk memikirkan bagaimana mengatakannya dalam bahasa Indonesia.

Apa sesungguhnya makna dari kata bebas? Dalam bahasa Indonesia “bebas rokok” dan “bebas

merokok” berlawanan maknanya.

bk

From: [email protected] On behalf of Yunanfathur Rahman

Sent: Monday, 15 June 2015 9:44 AM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Begitu juga "bebas parkir" dan "bebas becak"

From: [email protected] On behalf of Dewi Ratnasari

Sent: Tuesday, 16 June 2015 12:08 AM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

Saya sangat setuju dg harapan/gagasan pak Stephanus Bala untuk menggunakan istilah "nirtes"

dan "tes gratis" sebagai pengganti "free test".

Salam,

Dewi Ratnasari

Prodi Bahasa dan Sastra Jerman FIB Unpad

From: [email protected] On behalf of Wayan Sidhakarya

Sent: Wednesday, 17 June 2015 12:05 PM

To: [email protected]

Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?

jangan terlalu percaya pada google.

Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 207-208 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846

INDEKS PENULIS

Balukh 101

Hara Mayuko 121

Nurhayani 135

Pranowo, Herujiyanto 153

Zaim 173

Indeks

208

INDEKS SUBJEK

Personal Pronouns of Dhao in Eastern Indonesia 101

personal pronoun 101, 102, 103, 104, 111, 112, 116, 117, 118, 120

clitics 101, 102, 103, 104, 106, 107, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118

argument 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 117, 118, 119,

Dhao 101, 102, 103, 104, 105, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119

”Bentuk Hormat” Dialek Bahasa Bali Aga dalam Konteks Agama 121

bentuk hormat 121, 122, 124, 125, 126, 128, 130, 131, 133

dialek Bali Aga 121, 124, 131

dialek Bali Dataran 121

Javanese and Problems in the Analysis of Adversative Passive 135

adversative 135, 136, 137, 138, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150

accidental 135, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 149, 150

Javanese 135, 136, 138, 140, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150

passive 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150

applicative 135, 136, 137, 138, 139, 141, 144, 145, 146, 148, 149, 150

Faktor dan Strategi Pengembangan Budaya Baca melalui Membaca Pemahaman

Mahasiswa 153

faktor membaca 153, 155, 158

strategi membaca 153, 155, 159, 166, 167, 168, 170

membaca pemahaman 153, 154, 155, 156, 157, 158, 163, 166, 169, 170

budaya baca 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 169, 170

Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Bahasa Indonesia: Kajian Akronim, Blending,

dan Kliping 173

pembentukan kata 173, 174, 175, 176, 179, 180, 181, 183, 186, 187, 188, 190, 191

akronim 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 187, 188, 189, 190, 191

blending 173, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191

kliping 173, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 183, 184, 187, 188, 190, 191

Terima Kasih

Redaksi Linguistik Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para

mitra bebestari yang telah berkenan mereview artikel-artikel yang

diterbitkan dalam Linguistik Indonesia edisi Februari dan Agustus 2015,

yaitu:

1. Katharina Endriati Sukamto Unika Atma Jaya

2. Hasan Basri Universitas Tadulako

3. Mahyuni Universitas Mataram

4. Bahren Umar Siregar Unika Atma Jaya

5. Totok Suhardijanto Universitas Indonesia

6. Yanti Unika Atma Jaya

7. Umar Muslim Universitas Indonesia

8. Erni Farida Ginting Max Planck Institute for

Evolutionary Anthropology,

Jakarta Field Station

9. Amalia Candrayani Unika Atma Jaya

Jakarta, Agustus 2015

Redaksi Linguistik Indonesia