20
MASYARAKAT PLURAL MK. Politik Identitas dan Multikulturalisme

masyarakat multikultural

Embed Size (px)

Citation preview

MK. Politik Identitas dan Multikulturalisme

Pertemuan Ke-8/9

MASYARAKAT PLURAL

PendahuluanKemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas atau diversitas) masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan. Ini harus harus kita akui secara jujur, terima dengan lapang dada, kelola dengan cermat, dan jaga dengan penuh rasa syukur; bukan harus kita tolak, abaikan, sesalkan, biarkan, dan diingkari hanya karena kemajemukan dan keanekaragaman itu menimbulkan berbagai ekses negatif, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia

Demi hidup damai bagi semua, terlarang bagi kita mencita-citakan atau memimpikan lebih-lebih mengupayakan atau merekayasa ketunggalan (singularitas), kesatuan, dan keseragaman (homogenitas) masyarakat dan kebudayaan. Tidak ada pilihan lain, kita harus mampu hidup damai di dalam bingkai semangat multikultural(isme), plural(isme), dan heterogen(isme); bukan melakukan penunggalan, penyatuan, dan penyeragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia

Masyarakat Plural Masyarakat Plural adalah dua atau lebih tatanan atau elemen sosial yang hidup berdampingan satu sama lain, namun tidak terjadi tergabung dalam sebuah unit politik. Karakteristik masyarakat plural awal antara lain: 1. Unit Politik (negara) yang plural Tidak memiliki keinginan bersama (common will) dalam hal yang paling penting. Ex. Resistensi terhadap agresi kekuatan luar

Unit politik yang ada tergabung secara konfederatif dan tergabung melalui perjanjian terbatas semata sehingg membuka peluang dan instabilitas politik yang cenderung anarkis karena masing-masing hidup sendiri-sendiri Bila muncul ekspresi nasionalisme lebih disebabkan oleh dorongan faktor luar yang cenderung memperkeruh fragmentasi

Masyarakat Plural Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik. Furnivall menunjuk masyarakat Indonesia di zaman kolonial sebagai contoh yang klasik.

Plural SocietyMasyarakat Hindia Belanda waktu itu terpisah-pisah, tidak saja antara kelompok yang memerintah dan yang diperintah dipisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi secara fungsional masyarakatnya terbelah dalam unitunit ekonomi, antara pedagang Cina, Arab, dan India (Foreign Asiatic) dengan kelompok petani Bumi Putera. Menurut Furnivall masyarakat dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri (exclusive) pada lokasi-lokasi pemukiman tertentu dengan sistem sosialnya masingmasing. (Nasikun, 2001)

Beberapa Perspektif PluralitasSecara deduktif dapat dikatakan di sini bahwa masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia sangat majemuk dan beraneka ragam; jadi, derajat kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudaya-an (di) Indonesia sangat tinggi. Kemajemukan dan keanekaragaman tersebut dapat dilihat atau dipetakan dari pelbagai perspektif, di antaranya perspektif antropologis, sosiologis, kultural, dan historis, bahkan juga keberaksaraan dan kadar rasionalitas.

Perspektif AntropologisBerdasarkan perspektif antropologis, masyarakat (di) Indonesia dapat berupa atau berwujud (i) komunitas-komunitas masyarakat kesukuan-lokal-asli [etnis-tribal] seperti masyarakat Jawa, Madura, Sunda, Bali, dan Sasak serta Bima, (ii) komunitaskomunitas masyarakat peranakan seperti Peranakan Tionghoa, Indo-Belanda/Eropa, dan campuran-campuran lain yang makin lama makin banyak, dan (iii) komunitas-komunitas masyarakat asing (atau dari luar) seperti masyarakat Arab, India, Cina, Tamil, dan Eropa yang bisa jadi sudah turun-temurun berdiam di wilayah Indonesia.

Perspektif SosiologisBerdasarkan perspektif sosiologis masyarakat Indonesia dapat berupa (i) masyarakat perdesaan dan perkotaan, (ii) masyarakat perda-laman dan pesisiran, (iii) masyarakat darat[an] dan masyarakat pantai, (iv) masyarakat agraris, industrial, dan informasi, dan (v) masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah. Perbedaan masyarakat tersebut bisa tipis atau sedikit, dapat pula tebal atau besar. Misalnya, perbedaan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan di Pulau Jawa bisa jadi tipis akibat keterbukaan wilayah desa dan kota, interaksi masyarakat perdesaan dan perkotaan, dan terpaan komu-nikasi nasional atau global

Perspektif KulturalBerdasarkan perspektif kultural, masyarakat di Indonesia dapat dipetakan dari segi religiokultural dan sosiokultural. Dari segi religiokultural, masyarakat di Indonesia dapat berupa komunitas (i) masyarakat santri dan (ii) masyarakat abangan. Sekalipun berbeda, kedua masyarakat itu tidak jarang berinteraksi intensif dan bersimbiose mutualisme dalam kehidupan sehari-hari meskipun menurut Geertz selalu bersitegang. Kemudian dari segi sosiokultural, masyarakat (di) Indonesia dapat berupa komunitas (i) masyarakat priyayi dan atau bangsawan dan (ii) masyarakat kecil/rakyat kebanyakan.

Meskipun terjadi interaksi atau hubungan intensif yang tentu saja hierarkis atau bertingkat, kedua masyarakat itu tetap mempertahankan karakteristik masing-masing. Sampai sekarang jarak perbedaan keduanya tetap besar dibandingkan dengan persa-maan yang ada. Sementara itu, secara kultural pula, kebudayaan (di) Indonesia dapat berwujud nebula (i) kebudayaan santri, (ii) kebudayaan abangan, (iii) kebudayaan tradisi besar atau priyayi dan bangsawan, dan (iv) kebudayaan tradisi kecil atau rakyat keba-nyakan. Kebudayaan (i) dan (ii) bersifat religiokultural, sedang kebudayaan (iii) dan (iv) bersifat sosiokultural. Keempat nebula kebudayaan tersebut memang saling bertemu, berinteraksi, dan bersinggungan, bahkan mungkin saling memperkaya, tetapi perbedaan masing-masing masih tetap tegas-kuat dibanding-kan persamaan keempatnya. Oleh karena itu, karakteristik masing-masing nebula kebudayaan tersebut tetap mantap, sedikit pun tidak buram.

Perspektif Historis-Kronologis

Berdasarkan perspektif historis-kronologis, masyarakat (di) Indone-sia dapat berupa komunitas (i) masyarakat zaman pra-Hindu-Budha, (ii) masyarakat zaman HinduBudha, (iii) masyarakat zaman [peng-aruh] Cina, (iv) masyarakat zaman Arab-Islam, dan (iv) masyarakat zaman Barat-Nasrani [Portugis, Belanda, Inggris, dan Amerika].

Secara kronologis, kurun waktu hidup keempat masyarakat tersebut memang berbeda. Namun, kenyataan membuktikan bahwa timbul-nya masyarakat Hindu-Budha ternyata tidak seratus persen atau total menggantikan masyarakat pra-Hindu-Budha; timbulnya ma-syarakat zaman Cina tidak otomatis menggantikan masyarakat Hindu-Budha; timbulnya masyarakat zaman Arab-Islam tidak serta merta menggantikan ma-syarakat zaman HinduBudha dan Cina; demikian juga timbulanya masyarakat zaman [pengaruh] Barat tidak seratus persen menggusur masyarakat zaman pra-Hindu-Budha, Hindu-Budha, Cina, dan Arab-Islam. Sampai sekarang ternyata pel-bagai komunitas masyarakat tersebut tetap ada [hidup] meskipun populasi dan domisilasinya tidak sama

Perspektif Pencapaian KeberaksaraanBerdasarkan tahap pencapaian keberaksaraan, masyarakat (di) Indonesia dapat berupa (i) masyarakat lisan, (ii) masyarakat manuskrip atau naskah, (iii) masyarakat beraksara, dan (iv) masya-rakat lisan sekunder. Kemunculan masing-masing masyarakat tersebut tidak sama atau kronologis. Meskipun demikian, terbukti timbulnya satu jenis masyarakat menggantikan secara total jenis masyarakat lain. Timbulnya masyarakat beraksara tidak meng-gantikan secara total masyarakat lisan

Perspektif Kadar RasionalitasBerdasarkan kadar rasionalitas atau taraf kesadaran berpikir, masyarakat (di) Indonesia dapat berwujud (i) masyarakat mitis, (ii) masyarakat ontologis, dan (iii) masyarakat fungsional. Demikian juga, berdasarkan taraf kesadaran berpikir, kebudayaan (di) Indonesia dapat berwujud (i) kebudayaan mitis, (ii) kebudayaan ontologis, dan (iii) kebudayaan fungsional. Menurut van Peursen, kemunculan ma-syarakat dan kebudayaan tersebut bersifat kronologis: mitis dulu, kemudian ontologis, dan terakhir fungsional.

Meskipun demikian, kenyataan membuktikan bahwa ketiga jenis atau nebula masyarakat dan kebudayaan tersebut tetap ada (eksis) sampai sekarang. Sebagi-an masyarakat perdalaman Kalimantan dan Irian, misalnya, sampai sekarang masih termasuk masyarakat mitis. Kebudayaan mereka juga masih merupakan kebudayaan mitis. Tetapi, sebagian besar masyarakat perkotaan merupakan masyarakat ontologis. Kebudaya-an mereka juga merupakan kebudayaan ontologis. Bahkan sebagian besar masyarakat dan kebudayaan di kota-kota besar sudah menjadi masyarakat dan kebudayaan fungsional.

Uraian di atas menunjukkan betapa luar biasa kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia. Kemaje-mukan dan keanekaragaman tersebut rasanya mustahil ditunggalkan, diseragamankan, dihancurkan, dan dimatikan meskipun dapat ditolak, disembunyikan, dan diingkari

Dalam masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia yang sangat majemuk dan beraneka ragam kegagalan mengelola transformasi pastilah menimbulkan sangat banyak masalah, di antaranya involusi tidak berkesudahan, disintegrasi berkepanjangan, deinstitusionalisasi berpanjangan, dan dekonstruksi berkepanjangan masyarakat dan ke-budayaan. Dalam perspektif ini, segala pertikaian, pertentangan, perbenturan, dan atau konflik yang terjadi selama ini merupakan cerminan kegagalan kita mengelola dan mengarahkan transformasi kemajemukan dan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan (di) Indonesia.