56
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Perkembangan ilmu di bidang kesehatan pada masa sekarang ini semakin meningkat. Pada cabang ilmu kedokteran mengalami kemajuan yang sangat pesat diantaranya adalah dibidang radiodiagnostik yang perkembangannya diawali dengan ditemukannya sinar-X oleh seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman yang bernama Prof. Dr. Wilhelm Conrad Rontgen pada tanggal 8 November 1895. Dengan berjalannya waktu, Pemeriksaan radiologi colon juga mengalami perkembangan yang pesat. Pemeriksaan dengan menggunakan media kontras ganda, sebagaimana halnya pada saluran pencernaan khususnya pada colon, ternyata mampu menampilkan mukosa colon secara rinci. Salah satu pemeriksaan radiodiagnostik yang sering dilakukan untuk mendiagnosa adanya kelainan atau penyakit pada penderita yang mengalami gangguan pencernaan pada usus besar

Materi GIT

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Materi GIT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Perkembangan ilmu di bidang kesehatan pada masa sekarang ini semakin meningkat.

Pada cabang ilmu kedokteran mengalami kemajuan yang sangat pesat diantaranya

adalah dibidang radiodiagnostik yang perkembangannya diawali dengan

ditemukannya sinar-X oleh seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman yang bernama

Prof. Dr. Wilhelm Conrad Rontgen pada tanggal 8 November 1895. Dengan

berjalannya waktu, Pemeriksaan radiologi colon juga mengalami perkembangan yang

pesat. Pemeriksaan dengan menggunakan media kontras ganda, sebagaimana halnya

pada saluran pencernaan khususnya pada colon, ternyata mampu menampilkan

mukosa colon secara rinci. Salah satu pemeriksaan radiodiagnostik yang sering

dilakukan untuk mendiagnosa adanya kelainan atau penyakit pada penderita yang

mengalami gangguan pencernaan pada usus besar (colon) dikenal dengan

pemeriksaan Colon InLoop. Pemeriksaan Colon In Loop adalah pemeriksaan secara

radiologis sistim pencernaan dengan memasukkan bahan kontras kedalam usus besar

(Colon), Media kontras yang biasa digunakan adalah larutan barium dengan

konsentrasi untuk metode kontras ganda lebih tinggi dibandingkan dengan metode

kontras tunggal, untuk metode kontras tunggal menggunakan barium sulfat dengan

konsentrasi 12-25 % Weigh/Volume, sedangkan metode kontras ganda

dengankonsentrasi 75-95 % Weigh/Volume. Proyeksi yang biasa digunakan dalam

Page 2: Materi GIT

2

pemeriksaan colon in loop adalah proyeksi AP, PA, Obliq AP/PA, AP Aksial, PA

Aksial. Colon atau usus besar merupakan salah satu organ penting yang terdapat

dalam rongga abdomen yang berfungsi menyerap air dari makanan, tempat tinggal

bakteri koli dan tempat feses. Usus besar juga terdiri dari beberapa bagian yaitu

caecum, colon asenden, appendiks (usus buntu), colontransversum, colon descendens,

colon sigmoid, rectum dan anus. Kelainan-kelainan yang biasa terjadi pada colon ini

adalah carsinoma(keganasan), divertikel, megacolon, obstruksi atau illeus, stenosis,

volvulus,atresia dan colitis yang diangkat penulis dalam penulisan laporan kasus

ini.colitis merupakan penyakit yang etiologinya belum diketahui, ditandaioleh

peradangan dan ulcerasi colon. Penyakit ini selalu melibatkan rectum, bila lebih luas

ia meluas secara kontinu mengelilingi colon, kadang-kadang mengenai seluruh colon.

Maka untuk mengetahui lebih jelas kelainan inidiadakan pemeriksaan radiologis.

Pemeriksaan radiologi standar atas usus besar dengan menggunakan larutan barium

yang dialirkan ke colon melalui kanulayang dipasang ke dalam rectum sehingga dapat

memperlihatkan susunan anatomi dan fisiologi serta kelainan pada organ tersebut.

1 . 2 . R u m u s a n M a s a l a h

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan laporan kasus

ini, penulis perlu membatasi masalah-masalah yang akan dibahas

sehingga akan terfokus pada pokok pembahasan. Penulis menyajikan rumusan

masalah sebagai berikut:

Page 3: Materi GIT

3

1. Bagaimana anatomi radiologi struktur usus besar.

2. Bagaimana teknik pemeriksaan kolon inloop.

3. Bagaimana gambaran fisiologis dan patologis usus besar pada pemeriksaan

kolon inloop.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat ini yaitu :

1. Untuk mengetahui anatomi radiologi usus besar

2. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan kolon inloop.

3. Untuk mengetahui gambaran fisiologis dan patologis usus besar pada

pemeriksaan kolon inloop.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan referat ini menambah wawasan serta memperdalam

pengetahuan tentang teknik pemeriksaan BNO-IVP, baik untuk penulis maupun

pembaca.

Page 4: Materi GIT

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi inestinum crassum

Panjang usus besar (kolon dan rectum) 1.500cm, yang terdirI dari sekum,

apendik viriformis, asenden, kolon tranversum, kolon desenden, kolon sigmoid dan

rektum. Kolon normal akan terlihat bangunan haustrae sepanjang kolon. Mulai dari

distal kolon desenden sampai sigmoid, haustrae semakin tampak berkurang. Dalam

keadaan normal garis garis haustrae haruslah dapat diikuti dengan jelas dan normal.

Kaliber kolon berubah secara perlahan,mulai dari sekum sampai sigmoid ( 8,5 cm)

sampai sigmoid (2,5 cm). Mukosa kolon terlihat sebagai garis garis tipis dan halus,

melingkar teratur yang dinamakan linea innominata.1

Gambar 1. Panjang keseluruhan kolon.

Page 5: Materi GIT

5

1.secum

Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung

sekum. Sekum menepati dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup

ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan

mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal ke dalam usus halus. Normal

seccum menunjukan kontur yang rata dan licin. Appendik merupakan saluran

mirip umbai cacing dengan panjang antara 2,5-22,5 cm. Caecum sering

terenggang oleh gas dan dapat diraba melalui dinding anterior abdomen pada

orang hidup. Pars terminalis masuk ke intestinum crassum pada tempat

pertemuan caecum dengan kolon ascenden. Lubangnya mempunyai dua katup

yang membentuk sesuatu yang dinamakan papilla lienalis. Appendik

vermiforis berhubungan dengan rongga caecum melalui lubang yang terletak

di bawah dan belakang ostium ileale 1.

Hubungan kenaterior yaitu berhubungan dengan lengkung lenkung intestinum

majus, tenue dan dinding anterior abdomen pada region iliaca dextra. Pada

bagian posterior berhubungan dengan dengan musculus psoas major,

musculus iliacus, nervus femoralis, dan nervus cutaneus femoris lateralis.

Appendik vermiformis sering ditemukan dibelakang caecum. Sedangkan pada

bagian medial berhubungan dengan appendik vermiformis.

Page 6: Materi GIT

6

Perdarahan dari kolon caecum berasal dari arteri caecalis anterior dan

posterior membentuk arteri ileocolica,sebuah cabang arteri mesentrica

superior sedangkan vena mengalir ke vena mesentrika superior.

Aliran limfe berjalan sampai ke nodi mesentrika superior dan persarafan

berasl dari vervus vagus.2

2.Apendik vermiformis

Apendik vermiformis adalah organ yang sempit,berbentuk tabung yang

mempunyai otot dan banyak mengandung limfoid. Panjang appendik

vermiformis 8-13 cm. dasarnya melekat pada permukaan postero medial

caecum sekitar 2,5 cm dibawah junctura ileocalis. Bagian Apendik

vermiformisdiliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan

bawah mesentirum intestinum tenue melalui mesentriumnya sendiri yang

pendek,mesoappendik. Mesoappendik berisi arteria, vena appendikularis dan

saraf saraf. Appendik vermiformis terletak di region iliaca dextra, dan pangkal

proyeksinya ke dindin anterior abdomen yang disebut titik mc burney1.

Ujung Apendik vermiformis mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada

a. Tergantung di bawah ke dalam pelvis berhubungan dengan dinding

pelvis dextra.

b. Melengkung di belakang caecum

c. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum

Page 7: Materi GIT

7

d. Di depan atau di belakang ileum terminalis.

Perdarahan dari Apendik vermiformis berasal dari arteri appendikularis dan

vena appendikularis. Sedangkan aliran limfe masuk ke nodi mesentirici

superior. Apendik vermiformis dipersarafi saraf yang berasal dari nervus

vagus 2.

Gambar 2 appendik

3.Colon Ascenden

Kolon ascenden melintas dari caecum ke arah cranial pada sisi kanan cavitas

abdominalis ke hepar, dan membelok ke kiri sebagai flexura coli dextra.

Colon ascenden terletak retroperitoneal sepanjang sisi kanan dinding abdomen

Page 8: Materi GIT

8

dorsal,tetapi sebelah ventral dan pada sisi sisinya tertutup oleh peritoneum.

Peritoneum sebelah kanan dan kiri kolon ascenden membentuk fossa

paracolica. Colon ascenden biasanya terpisah dari dinding abdomen ventral

oleh liku-liku intestinum tenue dan majus 2.

Perdarahan kolon ascenden dan flexura colli dextra terjadi melalui arteri

ileocolica dan arteri colica dextra, cabang dari arteri mesentrika superior.

Vena ileocolica dan vena colica dextra anak cabang evna mesentrika superior

mengalirkan balik darah dari kolon ascenden 1.

Gambar 2. Anatomi kolon

4.Colon Transversum

Page 9: Materi GIT

9

Colon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis darifleksura coli

dekstra sampai fleksura coli sinistra. Colon transversum membentuk lengkungan

seperti huruf U. Pada posisi berdiri, bagian bawahU dapat turun sampai pelvis. Colon

transversum, waktu mencapai daerah limpa, membelok ke bawah membentuk

fleksura coli sinistra (fleksuralienalis) untuk kemudian menjadi Colon descendens.

Hubungan dengan organ sekitarnya

Ke anterior berhubungan dengan pmentum majus, dan dinding anterior abdomen

sedadangkan ke posterior berhubungan denngan pars descenden duodenum, caput

pancreas,lengkung jejunum dan ileum. Perdarahan Arteriae dua pertiga bagian

proximal kolon transversum diperdarahi arteri kolika1

5.Colon Descendens

Colon descendens terletak pada regio illiaca kiri dengan panjangsekitar 25 cm. Colon

descendens ini berjalan ke bawah dari fleksura lienalis sampai pinggir pelvis

membentuk fleksura sigmoideum dan berlanjutsebagai colon sigmoideum. Batas

yang tegas antara kolon descenden dengan sigmoid sukar ditentukan, namun Krista

iliaka mungkin dapat dianggap sebagai batas peralihannya1.

Hubungan kesekitarnya Ke anterior berhubungan dengan lengkung intestininum

tenue, omentum majus dan dinding anterior abdomen sedangan dinding posterior

berhubungan dengan mago lateralis ren sinistra,origo musculus rnsvrsalis abdominis,

usculus quadraus luborum,rista iliaca, musclus iliopsoas 2.

Page 10: Materi GIT

10

Perdarahan colon descenden di perdarahi arteri colica sinistrayang merupakan cabang

arteri mesentrica inferior.

6.Colon Sigmoideum

Colon sigmoideum mulai dari pintu atas panggul. Colon sigmoideum

merupakan lanjutan kolon desenden dan tergantung ke bawah dalam rongga

pelvis dalam bentuk lengkungan. Colon sigmoideum bersatu dengan rectum di

depan. Dalam perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus

embrional sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang

bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar

usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang pada

kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit .1

Kolon sigmoid meluas dari tepi pelvis sampai segmen sakrum ketiga untuk

beralih menjadi rectum.berakhirnya taenia coli menunjukan permulaan rektum.

Peralihan rectosigmoid kira kira 15 cm dari anus. Kolon sigmoid biasanya

mempunyai mesentrium.2

7.Rectum

Rectum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum merupakan lanjutan dari

kolon sigmoideum dan berjalan turun di depan caecum, meninggalkan pelvis dengan

menembus dasar pelvis. Setelah itu rektum berlanjut sebagai anus dalam perineum.

Menurut Pearce (1999), rektum merupakan bagian 10 cm terbawah dari usus besar,

Page 11: Materi GIT

11

dimulai pada colon sigmoideum dan berakhir ke dalam anus yang dijaga oleh otot

internal dan eksternal.

Gambar 1.haustra kolon

Fungsi usus besar adalah :

1) Absorbsi air dan elektrolit

air dan elektrolit sebagian besar berlangsung diseparuh atas colon. Dari

sekitar 1000 ml kimus yang masuk ke usussetiap hari, hanya 100 ml cairan

dan hampir tidak ada elektrolit yangdiekskresikan. Dengan mengeluarkan

sekitar 90 % cairan, colon mengubah 1000-2000 ml kimus isotonik menjadi

sekitar 200-250 mltinja semi padat). Dalam hal ini colon sigmoid berfungsi

sebagai reservoir untuk dehidrasi masa feases sampai defekasi berlangsung 4.

2).Sekresi mukus.

Mukus adalah suatu bahan yang sangat kental yang membungkusdinding

usus. Fungsinya sebagai pelindung mukosa agar tidak dicernaoleh enzim-

Page 12: Materi GIT

12

enzim yang terdapat didalam usus dan sebagai pelumasmakanan sehingga

mudah lewat. Tanpa pembentukan mukus,integritas dinding usus akan sangat

terganggu, selain itu tinja akanmenjadi sangat keras tanpa efek lubrikasi dari

mukus. Sekresi usus besar mengandung banyak mukus. Hal ini menunjukkan

banyak reaksi alkali dan tidak mengandung enzim. Padakeadaan peradangan

usus, peningkatan sekresi mukus yang banyak sekali mungkin bertanggung

jawab dan kehilangan protein dalam feases 4.

Keterangan :

1.Appendiks

Page 13: Materi GIT

13

2.Caecum

3.Persambungan ileosekal

4.Apendises epiploika

5.Colon ascendens

6.Fleksura hepatika

7.Colon transversal

8.Fleksura lienalis

9.Haustra

10.Colon descendens

11.Taenia koli

12.Colon sigmoid

13.Canalis Ani

14.Rectum

15.Anus

3). Menghasilkan bakteri

Bakteri usus besar melakukan banyak fungsi yaitu sintesisvitamin K dan

beberapa vitamin B. Penyiapan selulosa yang berupahidrat karbon di dalam

tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayuran hijaudan penyiapan sisa protein

yang belum dicernakan merupakan kerja bakteri guna ekskresi.

Mikroorganisme yang terdapat di colon terdiri tidak saja dari eschericia coli

dan enterobacter aerogenes tetapi juga organisme-organisme pleomorfik

seperti bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar melalui tinja. Pada

Page 14: Materi GIT

14

saat lahir colon steril, tetapi flora bakteri usus segera tumbuh pada awal masa

kehidupan 4.

4).Defikasi (pembuangan air besar)

Defikasi terjadi karena kontraksi peristaltik rektum. Kontraksi inidihasilkan

sebagai respon terhadap perangsangan otot poloslongitudinal dan sirkuler

oleh pleksus mienterikus. Pleksusmienterikus dirangsang oleh saraf

parasimpatis yang berjalan disegmen sakrum korda sinalis. Defekasi dapat

dihambat denganmenjaga agar spingter eksternus tetap berkontraksi atau

dibantudengan melemaskan spingter dan mengkontraksikan otot-otot

abdomen 4.

1.2 KELAINAN INTESTINUM CRASSUM

1.kolitis

a.Kolitis Ulserativa

1.DEFINISI

Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar

mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram

perut dan demam. Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi

biasanya dimulai antara umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn,

Page 15: Materi GIT

15

kolitis ulserativa tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus

dan tidak pernah mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di

rektum atau kolon sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya

menyebar ke sebagian atau seluruh usus besar. Sekitar 10% penderita

hanya mendapat satu kali serangan. Proktitis ulserativa merupakan

peradangan dan perlukaan di rektum.Pada 10-30% penderita, penyakit ini

akhirnya menyebar ke usus besar. Jarang diperlukan pembedahan dan

harapan hidupnya baik.

2.PENYEBAB

Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon

sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam

terjadinyakolitisulserativa.

3.GEJALA

Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat,

demam tinggi, sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama

serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah

serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk

buang air besar yang sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang

berdarah dan berlendir.

Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin

normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air

Page 16: Materi GIT

16

besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah

dan sel darah putih. Gejala umum berupa

demam,bisaringanataumalahtidakmuncul.

Jika penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang

air besar sebanyak 10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut

yang berat, kejang pada rektum yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk

buang air besar yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang.

Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling

sering ditemukan adalah tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan

nanah. Penderita bisa demam, nafsu makannya menurun dan berat

badannyaberkurang.

4.KOMPLIKASI

a. Perdarahan

Merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia karena

kekurangan zat besi. Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi

berat, dengan perdarahan yanghebat,perforasiataupenyebaraninfeksi.

b. Kolitis Toksik

terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus. Kerusakan ini

menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti,

sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak

menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya

Page 17: Materi GIT

17

mengalami pelebaran. Rontgen perut akan menunjukkan adanya gas di

bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar sangat melebar, keadaannya

disebut megakolon toksik. Penderita tampak sakit berat dengan demam

yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih meningkat.

Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari 4% penderita yang

meninggal. Jika perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus

(perforasi), maka resiko kematian akan meningkat.

c.Kanker Kolon (Kanker Usus Besar).

Resiko kanker usus besar meningkat pada orang yang menderita kolitis

ulserativa yang lama dan berat. Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus

besar terkena dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari

10 tahun, tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan

untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar)

secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker,

selama periode bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan

untuk diperiksa dibawah mikroskop.

5.DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan tinja.

1.Pemeriksaan darah menunjukan adanya:

Page 18: Materi GIT

18

-anemia

-peningkatanjumlahseldarahputih

-peningkatanlajuendapdarah.

2. Sigmoidoskopi

Pemeriksaan sigmoid akan memperkuat diagnosis dan memungkinkan

dokter untuk secara langsung mengamati beratnya peradangan. Bahkan

selama masa bebas gejalapun, usus jarangterlihatnormal. Contoh jaringan

yang diambil untuk pemeriksaan mikroskopik menunjukansuatu peradangan

menahun.

3. Barium enema dan kolonoskopi

Biasanya tidak dikerjakan sebelum pengobatan dimulai, karena adanya

resiko perforasi (pembentukan lubang) jika dilakukan pada stadium aktif

penyakit. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran

penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker.

PENGOBATAN

Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi

gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang.Penderita sebaiknya

Page 19: Materi GIT

19

menghindari buah dan sayuran mentah untukmengurangi cedera fisik pada

lapisan usus besar yang meradang.

Diet bebas susu bisa mengurangi gejala. Penambahan zat besi bisa

menyembuhkan anemia yang disebabkan oleh hilangnya darah dalam tinja.

Obat-obatan antikolinergik atau dosis kecil loperamide atau difenoksilat,

diberikan pada diare yang relatif ringan.Untuk diare yang lebih berat,

mungkin dibutuhkan dosis yang lebih besar dari difenoksilat atau Opium

yang dilarutkan dalam alkohol,loperamide atau codein.

Pada kasus-kasus yang berat, pemberian obat-obat anti-diare ini harus

secara ketat, untukmenghindariterjadinyamegakolontoksik. Sulfasalazine,

olsalazine atau mesalamine sering digunakan untuk mengurangi

peradangan pada kolitis ulserativa dan untuk mencegah timbulnya gejala

Obat-obatan ini biasanya diminum namun bisa juga diberikan sebagai

enema (cairan yang disuntikkan ke dalam usus) atau supositoria (obat yang

dimasukkan melaluidubur). Penderita dengan kolitis berat menengah yang

tidak menjalani perawatan rumah sakit, biasanya mendapatkan

kortikosteroid per-oral (melalui mulut), seperti prednisone. Prednisone

dosis tinggi sering memicu proses penyembuhan. Setelah prednisone

mengendalikan peradangannya, sering diberikan sulfasalazine, olsalazine

atau mesalamine. Secara bertahap dosis prednisone diturunkan dan

akhirnya dihentikan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang menimbulkan

Page 20: Materi GIT

20

efek samping, meskipun kebanyakan akan menghilang jika pengobatan

dihentikan.

Bila kolitis ulserativa yang ringan atau sedang terbatas pada sisi kiri usus

besar (kolon desendens) dan di rektum, bisa diberikan enema dengan

kortikosteroidataumesalamine.

Bila penyakitnya menjadi berat, penderita harus dirawat di rumah sakit dan

diberikan kortikosteroid intravena(melaluipembuluhdarah). Penderita

dengan perdarahan rektum yang berat mungkin memerlukan transfusi

darah dan cairan intravena.Untuk mempertahankan fase

penyembuhan, diberikan azathioprine dan merkaptopurin.

Siklosporin diberikan kepada penderita yang mendapat serangan berat dan

tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid. Tetapi sekitar 50% dari

penderita ini, akhirnya memerlukan terapi pembedahan.

PEMBEDAHAN

Kolitistoksik merupakansuatu keadaan gawat darurat. Segera setelah

terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-

diare dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam

lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan

diberikan melalui pembuluhdarah. Pasien diawasi dengan ketat untuk

menghindari adanya peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak

berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan

Page 21: Materi GIT

21

pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besa

rdiangkat.

b.krohn disease

b.1 definisi

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada

saluran cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease

dapat melibatkan setiap bagian dari saluran cerna mulai dari mulut

hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan colon (6).

b.1.1 Aspek sejarah crohn’s disease

Kasus Crohn’s disease pertama kali didokumentasikan dan

dideskripsikan oleh Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931,

Dalziel, seorang ahli bedah berkebangsaan Skotlandia,

mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi saluran cerna.

Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci

mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan

Page 22: Materi GIT

22

Oppenheimer pada tahun 1932 (6). Meskipun penyakit ini akhirnya

diberi nama Crohn’s disease, namun masih belum dibedakan secara

sempurna dari penyakit colitis ulcerativa hingga tahun 1959 ([7]).

Saat ini, diagnosis Crohn’s disease mencakup aspek klinis, radiologis,

endoskopis, patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi

dengan menggunakan zat kontras dapat menentukan luasnya kelainan,

tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan computed

tomography (CT scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang

untuk menentukan keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi

memungkinkan visualisasi langsung ke mukosa dan memungkinkan

pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan pemeriksaan

histologis. Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan

potong lintang terhadap individu-individu yang tidak memungkinkan

menerima paparan radiasi (7).

b.3. EPIDEMIOLOGI

Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer usus

halus, dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens

tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Utara (6). Di Amerika

Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohn’s disease mencapai 2 kasus

per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 – 40 kasus per

Page 23: Materi GIT

23

100.000 populasi (7). Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan

insidens Crohn’s disease secara dramatis di Amerika Serikat antara

tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada

tahun 1980-an ([8]).

Menurut jenis kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada

perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1.

Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan

dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohn’s disease (7).

Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok

usia. Puncak insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun. Puncak usia

berikutnya adalah antara 60 – 80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih

muda dari 20 tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang usus

halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohn’s disease

lebih banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit

ini tidak diketahui (7,8).

Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran

cerna, namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun

anatomis yang paling sering, yaitu hanya usus halus saja (30%), usus

halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%). 30%

dari seluruh kasus Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit

Page 24: Materi GIT

24

rektal, dan 33 – 50% terjadi bersamaan dengan penyakit perianal

seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula perianal (6,7).

b.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO

Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui (6,7,8,[9]). Terdapat

beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama

menimbulkan Crohn’s disease, yang paling mungkin adalah infeksi,

imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan,

diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. (6,7,8,[10]).

b.4.1. Faktor Infeksi

Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga

merupakan penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua

agen infeksi yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria,

khususnya Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles (6).

Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease

adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan

retrovirus (8).

b.4.2. Faktor Imunologis

Page 25: Materi GIT

25

Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-

pasien dengan Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas

humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang

menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga

berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease

mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan

TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada Crohn’s

disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari

proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit (6).

b.4.3. Faktor Genetik

Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam

patogenesis Crohn’s disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk

timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan

Crohn’s disease (6). Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease

(20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit

yang sama (8). Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohn’s

disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 dan

DQw5 (7).

b.4.4. Faktor-faktor Lain

Page 26: Materi GIT

26

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan

faktor proteksi terhadap timbulnya Crohn’s disease (8). Merokok dan

penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s

disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan

(7).

b.5. PATOLOGI

Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif

dan pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan

submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid

yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada

pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus

kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm

dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa

menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi

tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus (8,10).

Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih

dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin

buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan

Page 27: Materi GIT

27

adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan

pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga

mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi

saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga

keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan

usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus

yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang

peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum (10).

b.6. DIAGNOSIS

b.6.1. Anamnesis

Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri

abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen

merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih

jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang

menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen (6,7,10).

b.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah

abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien

Page 28: Materi GIT

28

juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan

LED (7).

Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering

terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat

edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin

memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat

menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi

sebagai akibat penyempitan lumen usus (7).

Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses,

malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap,

atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus

sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini (6,7).

b.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto

kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus

halus atau enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda

usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika

terdapat masalah dengan penggunaan kontras.

Page 29: Materi GIT

29

Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang

berguna dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan

dengan aktivitas klinis penyakit.

b.7. DIAGNOSIS BANDING

Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding

Crohn’s disease antara lain (7):

Cholangitis

Colitis iskemik

Colitis pseudomembranosa

Diverticulitis colon

Tuberculosis gastrointestinalis

Colitis ulserativa

Enteritis infeksiosa

Colitis infeksiosa

b.8. PENATALAKSANAAN

Page 30: Materi GIT

30

b.8.1. Terapi Medikamentosa

Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi menjadi

terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam

terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang

mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus

dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya ter7api

glukokortikoid intravena (7).

Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease

mencakup antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan

imunomodulator (8).

Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau

metilprednisolon intravena sering digunakan sebagai tambahan

terhadap metronidazole dan pengistirahatan usus. Penggunaan terapi

steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu

singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai

efek samping, seperti osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan

gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang

diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien

menunjukkan respons yang buruk terhadap terapi kortikosteroid (6,7).

Page 31: Materi GIT

31

Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus.

Aminosalisilat merupakan terapi pilihan karena aktivitas

antiinflamasinya. Berbagai obat telah digunakan, yang masing-masing

mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan

balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol

terutama dilepaskan di ileum distal dan colon. Pentasa dapat

dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal, sementara

Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian

distal (6,7).

Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator

sistem imun non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik.

Azathioprine, yang secara non-enzymatis dikonversi di dalam tubuh

menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi asam

thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping

dari azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan

dengan steroid (6,7).

Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan

respons terhadap azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping

utamanya mencakup leukopenia, nyeri pada saluran cerna, dan

pneumonitis hipersensitivitas (6,7).

Page 32: Materi GIT

32

Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang

merupakan anti TNF-α, yang semakin luas dipergunakan dan

menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan adanya peningkatan

tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan

penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari

pemberian infliximab. Obat-obat lain seperti mycophenolate telah

dikembangkan untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan oleh

karena itu menghambat limfosit B dan T (6,7).

b.8.2. Terapi Bedah

Antara 70 – 80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan terapi

bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup

kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi,

seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan

fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna,

komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit

perianal (6,7). Terapi bedah pada pasien dengan Crohn’s disease harus

ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat

Page 33: Materi GIT

33

dalam komplikasi saja yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk

menghindari terjadinya short bowel syndrome (6).

Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik

seperti gangguan tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan

dengan menjalani terapi bedah reseksi usus. Meskipun komplikasi

ekstraintestinal Crohn’s disease bukan merupakan indikasi utama

terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus

(6).

Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti

dengan anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah

Crohn’s disease. Alternatif prosedur lain dari reseksi segmental dari

lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty. Teknik ini

memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama

cocok untuk pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah

mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani

operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel

syndrome. Namun teknik stricturoplasty mempunyai risiko

kekambuhan yang cukup tinggi. Prosedur-prosedur bypass usus

kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses

intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk

Page 34: Materi GIT

34

massa inflamasi yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya

mobilisasi usus. Prosedur bypass (gastrojejunostomy) juga digunakan

jika telah terjadi striktura duodenum, dimana prosedur stricturoplasty

maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah

dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien

dengan Crohn’s disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan

teknik operasinya sulit (8).

b.9. KOMPLIKASI

Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral,

ulkus, eritema nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari

malabsorpsi kronis; osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis;

pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang

menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal

sebagai akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari

terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 6-mercaptopurine;

pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah;

dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi

tromboembolik, penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis

primer (6,7,8,10).

b.9.1. Abses

Page 35: Materi GIT

35

Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s disease

sebagai akibat dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai

komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di mesenterium,

cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi

ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal adalah fossa

ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas. Ileum terminal

merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu

penyebab utama kematian pada Crohn’s disease (7).

b.9.2. Obstruksi

Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease. Pada

awal perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan

hilang timbul pada saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema

dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini

akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur

lumen akibat fibrostenotik (7).

Page 36: Materi GIT

36

b.9.3. Fistula

Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohn’s

disease pada colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau

penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini terjadi pada pasien

dengan Crohn’s disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah

untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif

sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu

dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada

kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang

sakit. Fistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1 – 2%

pasien (7).

b.9.4. Keganasan

Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada

Crohn’s disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah

dimana terjadi penyakit kronis. Sayangnya, sebagian besar kanker

yang berhubungan dengan Crohn’s disease tidak terdeteksi hingga

tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan

saluran cerna, keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell

Page 37: Materi GIT

37

carcinoma pada pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal,

vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga

terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease

(7).

1.10. PROGNOSIS

Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohn’s disease

yang sudah menjalani terapi bedah adalah antara 15 – 30%.

Komplikasi bedah yang paling sering terjadi adalah infeksi luka

operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran

anastomosis (6,8).

Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami

kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi

dan 85% dalam waktu 3 tahun setelah operasi. Kekambuhan klinis

ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohn’s disease. Sekitar ⅓

pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah

operasi yang pertama (6,8).