59
Penetapan Sifat ‘Uluw Dan Istiwa` Allah Ta’ala Disusun Oleh : MAWADAH WAROHMAH FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Materi kuliah pai semester ii

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Materi kuliah pai semester ii

Penetapan Sifat ‘Uluw Dan

Istiwa` Allah Ta’ala

Disusun Oleh :

MAWADAH WAROHMAH

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA

2013

Page 2: Materi kuliah pai semester ii

PENETAPAN SIFAT ‘ULUW DAN ISTIWA` ALLAH TA’ALA

Bagian dari kesempurnaan aqidah seorang Muslim adalah

mempercayai dan mengimani apa-apa yang diturunkan Allah Ta’ala

dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Al-

Qur’an dan As-Sunnah. Salah satu perkara pokok dalam masalah

aqidah islam yang telah menjadi kontroversial sejak dulu hingga

sekarang adalah sifat ‘Uluw dan Istiwa’ Allah Ta’ala. Mulai dari

kelompok Jahmiyah di zaman dulu, sampai kelompok-kelompok lain

zaman sekarang yang tak jauh beda keyakinan mereka dalam

mengingkari sifat Allah Ta’ala ini.  Maka dalam kesempatan ini akan

kita bahas sekilas tentang masalah ini.

I. Definisi ‘Uluw, Istiwa’ dan ‘Arsy

A. ‘Uluw

Secara bahasa kata ‘Uluw ( (ع*ل*و ) berasal dari kata عال, أي علو كل شيء

.Yang artinya meninggikan atau menaikkan sesuatu . و علوه, أي أرفعه

Dan ‘uluw berarti yang tinggi.

Sedangkan secara istilah syar’i, ‘Uluw terdiri dari tiga segi, yaitu:

1. ‘Uluw ad-Dzat : yaitu, ‘Uluw (Ketinggian) Dzat Allah Ta’ala atas segala

makhluk-Nya, dan sifat ini bersifat umum. Juga sifat ‘Uluw Allah Ta’ala,

yaitu Istiwa’-Nya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, dan ini secara khusus.

Dan inilah istilah yang dimaksudkan disini.

2. ‘Uluw al-Qadr wa al-Manzilah : yaitu, Allah Ta’ala Yang Maha

Mempunyai Kemampuan atas segala sesuatu, dan mempunyai

kedudukan yang Maha Tinnggi atas segala sesuatu yang tidak ada satu

makhluk pun yang dapat menyamai-Nya.

3. ‘Uluw al-Qahr : yaitu, Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa atas sekalian

hamba-Nya dan Makhluk-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang ada di

langit dan bumi ini, melainkan dengan Kuasa-Nya. Sebagaimana

firman-Nya,

ار* ه= د* الAق? Eو?احAو? الل=ه* ال ان?ه* ه* بAح? س*

“Maha Suci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”

(QS. Az-Zumar: 4)

B. Istiwa’

Secara bahasa, Istiwa’ berasal dari kata Istawa ( استوى ), yang

memiliki empat arti yang kesemuanya bersumber dari salaf, yaitu: ,عال

استقر و ارتفع, و صعد, Dan keempat arti ini memiliki satu makna . و

yaitu naik/menuju ke atas. Kecuali yang merupakan tambahan استقر

Page 3: Materi kuliah pai semester ii

yang artinya menetap di atas. Sedangkan secara istilah dalam tafsiran

kata Istawa yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagaimana riwayat

dari Abu al-‘Aliyah ar-Royahiy dan Mujahid bin Jubair dalam menafsiri

lafadz  ( ) : Yaitu .( إستوى ارتفع و tinggi dan naik”. Dan Allah“ ( عال

Ta’ala mempunyai sifat Istiwa’. Allah Ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya

setelah menciptakan langit dan bumi ini. Sebagaimana yang

ditegaskan dalam firman-Nya,

ت?و?ى ع?ل?ى AUUث*م= اس Xام =UUي? ت=ةE أ EUUي سEض? ف Aر? Aاأل او?اتE و? م? =UUق? الس ?UUل ب=ك*م* الل=ه* ال=ذEي خ? إEن= ر?

Eش Aع?رAال

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit

dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS.

Al-A’raf: 54, Yunus: 3)

Akan tetapi bukan berarti sebelum Allah Ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy-

Nya sebelum diciptakan seluruh makhluk Allah tidak Maha Tinggi. Allah

adalah Dzat Yang Maha tinggi sebelum dan sesudah diciptakannya

makhluk.[5]

C. ‘Arsy.

Pengertian ‘Arsy secara bahasa adalah : singgasana raja. Sebagaimana

firman Allah Ta’ala,

hيمEع?ظ hش Aا ع?ر ل?ه? و?

“…serta mempunyai singgasana yang besar”. (QS. An-Naml: 23)

Eش Aع?رAع?ل?ى ال EهAي ?ب?و? ع? أ ف? ر? و?

“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana”. (QS.

Yusuf: 100)

Sedangkan pengertian ‘Arsy Allah Ta’ala yang Dia beristiwa’ di atasnya

adalah: Singgasana yang sangat agung yang mempunyai penyangga-

penyangga. ‘Arsy juga sebagai atap dari surga firdaus, bahkan atap

seluruh makhluk. ‘Arsy adalah tempat yang paling tinggi, paling luas,

paling besar, dan yang tidak ada yang mengetahui kadarnya secara

pasti kecuali Allah I.[6] ‘Arsy ibarat kubah bagi alam semesta yang

Allah memerintahkan sebagian malaikat untuk menjunjung ‘Arsy-Nya.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

hي?ةEان ئEذX ث?م? مA ي?وAم? ه* وAق? بoك? ف? ش? ر? Aل* ع?رEم Aي?ح ا و? ائEه? ج? Aرل?ك* ع?ل?ى أ? الAم? و?

“Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada

hari itu delapan orang malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas

(kepala) mereka.” (QS. Al-Haqqoh: 17)

Page 4: Materi kuliah pai semester ii

D. Perbedaan antara ‘Uluw dan Istiwa’.

Perbedaan antara dua sifat ini terdiri dari tiga segi, yaitu :

1.  ‘Uluw adalah sifat Allah Ta’ala yang berarti Maha Tinggi di atas seluruh

makhluk-Nya secara umum dan keseluruhan. Sedangkan Istiwa’ adalah

sifat khusus Allah Ta’ala, yaitu Allah beristiwa’ di atas Arsy-Nya.

2.  ‘Uluw adalah sifat dzatiyah. Sedangkan Istiwa’ adalah sifat fi’liyah

ikhtiyariyah. Yaitu Allah berkehendak mengerjakannya sesuai

kehendak-Nya.

3.  ‘Uluw adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil naqli dari Al-

Qur’an dan As-Sunnah, dan juga dapat dicerna oleh akal dan fitrah

manusia. Sedangkan Istiwa’ adalah sifat Allah Ta’ala yang dijelaskan

hanya oleh dalil naqli, yaitu wahyu dari Allah Ta’ala, baik dalam Al-

Qur’an maupun As-Sunnah.

II. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah I berada di atas.

Sangat banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahihah

yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy, di atas langit, di

atas seluruh makhluk-Nya. Demikian banyaknya dalil itu sehingga tidak

terhitung jumlahnya. Imam al-Alusi menjelaskan di dalam tafsirnya,

“Dan engkau mengetahui bahwa mazhab Salaf menetapkan ketinggian

Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan oleh Imam At-Thahawi dan yang

selainnya, mereka berdalil dengan sekitar 1000 dalil”. Karena demikian

banyaknya dalil tersebut, tidak mungkin dapat dikemukakan semua.

Pada tulisan ini hanya sedikit dalil yang dapat dikemukakan. Kami

kutipkan beberapa yang diambil dari kitab Al-Intishor serta beberapa

keterangan dari kitab-kitab lain.

  Dalil-dalil dari Al-Qur’an.

Dalil-dalil tentang ketinggian Dzat Allah di atas ‘Arsy, di atas langit, di

atas seluruh makhluk-Nya terbagi dalam berbagai sudut pendalilan.

Pada tiap sudut pendalilan terdapat banyak dalil. Sudut-sudut

pendalilan tersebut di antaranya:

Penjelasan tentang Ketinggian (al-‘Uluw) Allah Ta’ala secara mutlak di

atas makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

و? الAع?لEيr الAع?ظEيم* و?ه*

“Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung” (QS. Al-Baqarah: 255)

و? الAع?لEيr الAك?بEير* و?ه*

“Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. Saba’: 28)

Page 5: Materi kuliah pai semester ii

Penjelasan tentang Ketinggian (al-Fauqiyyah) Allah Ta’ala di atas

seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

ون? ر* ا ي*ؤAم? ع?ل*ون? م? Aي?ف مA و? Eه EقAو مA مEنA ف? ب=ه* ون? ر? اف* ي?خ?

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan

melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-

Nahl: 50)

ب?ادEه Eق? عAو ر* ف? Eاه و? الAق? و?ه*

“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-

An’am: 18)

Penjelasan bahwa Allah I berada di atas langit. Sebagaimana firman-

Nya:

ور* إEذ?ا هEي? ت?م* ض? ف? Aر? Aك*م* األEف? ب EسAي?خ Aأ?ن Eاء م? نAت*مA م?نA فEي الس= Eم? ?أ أ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit

bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga

dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk: 16)

Perlu dipahami dalam bahasa Arab bahwa lafadz tidak في hanya

berarti di ‘dalam’, tapi juga bisa bermakna ‘di atas’. Hal ini

sebagaimana penggunaan lafadz tersebut dalam ayat:

Xر ه* Aب?ع?ة? أ?ش Aر? ضE أ Aر

? Aي األEوا ف يح* Eف?س

“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di atas bumi selama empat

bulan…”(QS.  At-Taubah: 2)

Penjelasan bahwa Al-Qur’an ‘diturunkan’ dari Allah Ta’ala. Ini jelas

menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berada di atas, sehingga Dia

menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dari-Nya. Dan tidaklah

diucapkan kata ‘diturunkan’ kecuali berasal dari yang di atas.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, di antaranya:

EيمEك ت?نAزEيل* الAكEت?ابE مEن? الل=هE الAع?زEيزE الAح?

“Kitab (Al-Quran ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi

Maha Bijaksana” (QS. Az-Zumar: 1).

Eيم Eح انE الر= م? Aح ت?نAزEيلh مEن? الر=

“(AlQur’an) diturunkan dari Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang.” (QS. Fusshilaat: 2)

Xيد Eم كEيمX ح? ت?نAزEيلh مEنA ح?

“(Al Qur’an) diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”

(QS. Fusshilat: 42).

Penjelasan tentang adanya sesuatu yang naik menuju Allah Ta’ala.

Lafaz “naik” yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan al-Hadits bisa

Page 6: Materi kuliah pai semester ii

berupa al-‘Uruuj atau as-Shu’uud. Sebagaimana firman-Nya:

EهAل?يE وح* إ rالر ال?ئEك?ة* و? ج* الAم? ع?ارEجE * ت?عAر* مEن? الل=هE ذEي الAم?

“(yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik.

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya”(QS. Al-

Ma’aarij: 3-4)

ع*ه* ف? Aح* ي?رEال الAع?م?ل* الص= ع?د* الAك?لEم* الط=يoب* و? Aي?ص EهAل?يE إ

“Kepada-Nyalah naik ucapan yang baik dan amal soleh dinaikkannya”

(QS. Fathir: 10)

Penjelasan bahwa Allah Ta’ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy. Lafaz istiwa’

diikuti dengan penghubung sehingga على bermaknaAl-Qur’an di 7

tempat. Di antaranya yaitu: ‘tinggi di atas’ ‘Arsy. Sebagaimana yang

disebutkan di dalam

ت?و?ى Aاس Eش Aع?رAم?ن* ع?ل?ى ال Aح الر=

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy”

(QS. Thoha: 5)

Eش Aع?رAت?و?ى ع?ل?ى ال Aث*م= اس Xي=ام? ت=ةE أ Eي سEض? ف Aر? Aو?األ Eاو?ات م? ل?ق? الس= و? ال=ذEي خ? ه*

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:

Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy” (QS. Al-Hadid: 4)

  Dalil-dalil dari As-Sunnah

Ketinggian Allah Ta’ala di atas langit juga ditegaskan dalam banyak

sekali hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan

beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir

(persetujuan). Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

بEي تA غ?ض? ب?ق? تEيA س? م? Aح هE إEن= ر? Eش Aق? ع?رAو نAد?ه* ف? Eق? ك?ت?ب? عAل ا ق?ض?ى الAخ? إEن= الله? ل?م=

Sesungguhnya Allah tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di

sisi-Nya di atas ‘arsy: “Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.”

Dan juga sabda Nabi r :

Eاء م? يAن* م?نA فيE الس= Eن?ا أ?م? أ نEيA و? Aن*و م?Aأ?ال? ت?أ

Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang

di atas langit.[10]

Dan telah tetap pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

mengangkat tangannyake atas langit pada saat khutbah di Arafah

ketika mereka mengatakan,

“Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan

serta menasehati.” Di saat itu beliau r menjawab, “Ya Allah

saksikanlah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menetapkan sifat ini

Page 7: Materi kuliah pai semester ii

untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:

Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi

wa sallam memegang tangannya (Abu Hurairah) dan berkata :

امX، ث*م= =UUي? ت=ةE أ Eي سEا ف م? ا ب?يAن?ه* م? يAن? و? Eض ر?اAأل? او?اتE و? م? ل?ق? الس= ة?، إEن= الله? خ? يAر? ر? ?ب?ا ه* ي?ا أ

Eش Aع?رAت?و?ى ع?ل?ى ال Aاس

“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan

bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari,

kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”

ع?ى Aت?ر hي?ة Eار ك?ان?تA لEيA ج? : …و? ال? ل?مEيo رضي الله عنه ق? rالس Eك?م ي?ة? بAنE الAح? Eع?او ع?نA م*

Xاة ?UUشEذ?ه?ب? ب Aد ?UUق EبAئoذUUالEذ?ا بEإ ?UUف ,XمAت* ذ?ات? ي?وAاط=ل?ع انEي?ةE ف? و= الAج? دX و? ب?ل? أ*ح* Eق AيEا ل غ?ن?م�

ك=ة�, ?Uا ص ك?كAت*ه? ?Uص AيoنEل?ك , وAن? ف* ?UUسAا ي?أ ف* ك?م? , آس? لh مEنA ب?نEيA آد?م? ج* ?ن?ا ر? أ ا, و? ه? Eغ?ن?م AنEم

, ك? ع?ل?ي= EUUع?ظ=م? ذ?ل وAل? اللهE صUUلى اللUUه عليUUه و سUUلم عليUUه و سUUلم ف? س* ?ت?يAت* ر? أ ف?

?يAن? اللUUه*؟ ا: أ ?UUال? ل?ه ?UUق ا, ف? ?UUهEب AيEنEتAائ : ال? ?UUا؟ ق ?UUه ال? أ*عAتEق* وAل? اللUUهE, أ?ف? *UUس : ي?ا ر? لAت* ق*

ا ?UUه AقEتAأ?ع : ف? ال? ?UUق ,EهUUل* اللAو *UUس ?نAت? ر? : أ Aال?ت ?UUا؟ ق ?UUن? : م?نA أ ال? ?UUق ,Eاء م? : فEيA الس= Aال?ت ق?

hن?ة EمAؤ ا م* Eن=ه? إ ف?

Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…

Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai

pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat

dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor

serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani

Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga

saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya

berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?”

Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi

wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas

langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Siapa saya?”.

Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia

seorang wanita mukminah”.

Dan masih banyak lagi hadit-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam yang menerangkan dan menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa

Allah Ta’ala mempunyai sifat beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya yang tidak

mungkin kami tuliskan seluruhnya.

  Dalil-dalil dari Ijma’ (kesepakatan ulama)

v  Imam al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat

mengatakan, Allah berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua

Page 8: Materi kuliah pai semester ii

mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.”

v  Imam Abdullah Ibnu Mubarak berkata, “Kami mengetahui Rabb

kami, Dia bersemayam di atas ‘arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan

kami tidak mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyah yang

mengatakan bahwa Allah ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).”

v  Imamul Aimmah Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata,

من لم يقر بأن الله على عرشه استوى فوق سUUبع سUUمواته بUUائن من خلقUUه

فهو كافر يستتاب فإن تاب وإال ضUربت عنقUه وألقي على مزبلUة لئال يتUأذى

بريحته أهل القبلة وأهل الذمة

“Barang siapa yang tidak menetapkan bahwa Allah Ta’ala beristiwa’ di

atas ‘Arsy-Nya, di atas langit ke tujuh dan terpisah dari makhluk-Nya,

maka dia telah kafir. Jika dia bertaubat maka diterima taubatnya. Jika

tidak bertaubat maka dipukul tengkuknya (dibunuh) kemudian dibuang

ke tempat sampah agar bau busuknya tidak membahayakan ahli kiblat

dan ahli dzimmah.”

v  Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah an Ushul ad-

Diyanah menceritakan aqidahnya: “Dan bahwasanya Allah di atas arsy-

Nya sebagaimana firman-Nya: ‘Ar-Rahman tinggi di atas arsy’”.

Beliau juga memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang

keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Di antara perkataan beliau:

“Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a,

mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah

tinggi di atas ‘Arsy dan ‘Arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak

berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya

ke arah ‘Arsy”.

“Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa

Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah

berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini

menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.”

Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini,

semua ini telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab

mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini

dalam kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil

Aliyyil Azhim.

Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah

mengatakan –setelah menyebutkan 18 segi dalil–, “Dan jenis-jenis

dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis

Page 9: Materi kuliah pai semester ii

kurang lebih seribu dalil. Oleh karena itu, kepada para penentang

masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Tapi sungguh

sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya dengan jawaban

yang benar.”

Maka, seharusnya orang yang mempunyai akal yang sehat dan tidak

mengikuti hawa nafsunya, akan mengakui hal ini. Terlebih setelah jelas

dengan berbagai dalil-dalil shahih.

III. Allah I berada di atas ‘Arsy berlepas dari makhluk-Nya tanpa

kaifiyyah.

Allah Ta’ala baa’in (terlepas) dari makhluk-Nya dengan artian

bahwa, Allah Ta’ala terpisah dari makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun

dari makhluk-Nya yang terdapat pada Dzat-Nya dan sebaliknya. Lafadz

baa’in min kholqihi belum dikenal pada masa sahabat. Adapun ulama’

salaf mereka meletakkan lafadz ini untuk membantah paham al-

khaluliyah. Paham ini berkeyakinan bahwa ada masanya dimana Dzat

Allah Ta’ala menyatu dengan manusia.

Juga paham Al-Mu’atthilah yang menetapkan bahwa Allah Ta’ala

beristiwa’ di atas ‘Asry. Akan tetapi mereka mengartiakan istiwa’ disini

dengan istila’( ( استيالء . Atau mereka meyakini yang tahu makna

istiwa’ hanyalah Allah, lalu merka melimpahkan sepenuhnya pada

Allah Ta’ala.Oleh karenanya ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah

menjadikan lafadz ini sebagai kaidah dalam masalah Istiwa’. Sangat

banyak perkataan para ulama yang menegaskan masalah ini

sebagaimana yang tercantum di atas. Dan perkataan lain mereka di

antaranya: Imam Ishaq bin Rohawaih ketika ditanya tentang firman

Allah Ta’ala surat Al-Mujadilah ayat 7, “Tiada pembicaraan rahasia

antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” Beliau berkata,

“Dimanapun engkau berada, maka Allah Ta’ala lebih dekat kepadamu

dari pada urat lehermu, dia berlepas dari makhluk-Nya.” Kemudian

beliau menyebutkan perkataan Imam Ibnul Mubarok “Dia berada di

atas ‘Arsy-Nya dan berlepas dari makhluk-Nya”. Suatu ketika Imam

Ahmad ditanya, “Apakah Allah I berada di atas langit ke tujuh di atas

‘Arsy-Nya, berlepas dari makhluk-Nya. Lalu Kekuasaan dan Ilmu-Nya di

setiap tempat?” Imam Ahmad berkata, “Ya, Dia berada di atas ‘Arsy,

dan tidak ada sesuatupun yang terlepas dari ilmu-Nya”. Dan beberapa

keterangan lainnya dari ulama’-ulama’ Ahlus sunnah wal Jama’ah

Page 10: Materi kuliah pai semester ii

berkenaan dengan ini.

Sifat Tinggi dan Istiwa’ Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya wajib kita

imani. Sedangkan kaifiyyahnya (bagaimananya) tidak dapat dijangkau

oleh akal pikiran manusia. Karena hanya Allah sendirilah yang

mengetahuinya. Manusia tidak dapat mengetahui hakikat dari Dzat

Allah, maka juga tidak dapat mengetahui kaifiyyah sifat Allah Ta’ala.

Banyak sekali atsar yang melarang kita bertanya tentang kaifiyyah

Allah Ta’ala. di antaranya kisah Imam Malik ketika ditanya oleh

seseorang tentang kaifiyyah (bagaimana) Allah Ta’ala beristiwa’ di atas

‘Arsy. Maka seketika Imam Malik marah, kepalanya tertunduk,

wajahnya memerah, dan keluar keringat, lalu berkata perkataan yang

sudah tak asing lagi,

ؤ?ال* rو? الس , hبEو?اج EهEان* ب , و? اAالEيAم? hلAو عAق* Aلك?يAف* غ?يAر* م? , و? ا hلAو ه* Aر* م?جAاء* غ?ي تEو? AسEالAا ”

“ hع?ةAدEه* بAع?ن

“Istiwa’ itu tidak majhul (diketahui), dan kaif (bagaimananya) tidak

ma’qul (tidak dapat dicerna akal), sedangkan iman kepadanya (istiwa’)

adalah wajib, dan bertanya tentangnya (kaifiyyah) adalah bid’ah

Maksud dari Al-Istiwa’ ghairu majhul, yaitu ghairu majhul makna fil

lughoh (arti bahasanya sudah tidak asing lagi). Dengan artian bahwa

lafadz Istiwa’ tidak asing lagi artinya adalah: tinggi, naik, dan menetap.

Maksud kaifiyyah ghoiru ma’qul, yaitu bagaimana bentuk, cara, dan

gambaran Allah beristiwa’ tidak dapat diketahui akal manusia.

Sedangkan Allah tidak memberikan khabar tentang hal itu, maka

kewajiban kita adalah diam dan tidak bertanya tentang kaifiyyah

istiwa’ Allah Ta’ala. Kaifiyyah tentang sifat Allah Ta’ala tidak diketahui

oleh akal karena tiga hal, yaitu:

1.  Allah Ta’ala mengkhabarkan tentang Istiwa’, tapi tidak mengkhabarkan

tentang kaifiyyahnya.

2.  Jika kita tidak mengetahui kaifiyyah Dzat Allah Ta’ala, maka kita juga

tidak akan tahu kaifiyyah tentang sifat-Nya.

3.      Kita tidak dapat mengetahui kaifiyyah sesuatu kecuali dengan

tiga hal, yaitu: menyaksikan secara langsung sesuatu tersebut,

menyaksikan yang semisal dengannya, atau melalui khabar yang

benar akan hal tersebut. Maksud as-su’alu ‘anhu bid’ah, yaitu bertanya

tentang kaifiyyah istiwa’ Allah Ta’ala adalah suatu bid’ah karena tiga

hal, yaitu:

1.  Bahwasanya tidak ada contoh dari sahabat y bahwa merka bertanya

Page 11: Materi kuliah pai semester ii

tentang hal itu. Padahal mereka adalah orang-orang yang gigih dalam

menuntut ilmu tentang Rabb mereka. Padahal jika mereka mau

bertannya, di sisi mereka ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2.  Penyebutan bid’ah sesuai dengan orang-orang yang terlalu dalam

menceburkan diri dalam menggali tentang Allah Ta’ala dan sifat-Nya.

Mereka juga disebut ahlul bid’ah.

3.  Bahwasannya tidak ada jalan lagi untuk mengetahui dan menjawab

tentang kaifiyyah Allah dan sifat-Nya.

1.  V. Kedudukan orang yang tidak mengakui Istiwa’ Allah I di atas ‘Arsy.

Ada beberapa perkataan ulama’ tentang orang-orang maupun

kelompok yang tidak mengakui dan mepercayai sifat Istiwa’ Allah

Ta’ala, atau Ketinggian-Nya. Di antaranya yaitu:

-       Perkataan Abu Hanifah. Riwayat dari Syaikhul Islam Abu Ismail Al-

Anshori dalam kitabnya Al-Faruq, dengan sanad sampai Abi Muthi’ Al-

Balkhi: bahwasanya Abu Hanifah ditannya tentang orang yang

mengatakan, “Aku tidak tahu Rabb-ku di atas langit atau di bumi.”

Maka Abu Hanifah menjawab, “Dia telah kafir” lalu menyebutkan

firman Allah surat Thoha ayat 5.

-       Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimiy berkata, “Di dalam hadits

Rasulullah r ini (hadits ketika haji wada’ di Arafah di atas) merupakan

dalil bahwa seseorang yang tidak mengetahui bahwa Allah Ta’ala di

atas langit, bukan di bumi, maka dia bukan orang mukmin.”

-       Imamul Aimmah Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata,

“Barang siapa yang tidak menetapkan bahwa Allah I beristiwa’ di atas

‘Arsy-Nya, di atas langit ke tujuh dan terpisah dari makhluk-Nya, maka

dia telah kafir. Jika dia bertaubat maka diterima taubatnya. Jika tidak

bertaubat maka dipukul tengkuknya (dibunuh) kemudian dibuang ke

tempat sampah agar bau busuknya tidak membahayakan ahli kiblat

dan ahli dzimmah.”

Adapun kesimpulan hukum orang seperti ini, maka perlu dirinci

bagaimana bentuk pengingkarannya, apakah dengan tahrif, ta’thil,

tamtsil, tasybih, takyif, dan semacamnya. Maka hukum orang tersebut

berkaitan erat dengan hal-hal tadi.

Makna Syahadatain

Page 12: Materi kuliah pai semester ii

Makna syahadat la ilaha illallah adalah meyakini bahwa tidak

ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Allah, konsisten dengan

pengakuan itu dan mengamalkannya. La ilaha menolak keberhakan

untuk diibadahi pada diri selain Allah, siapapun orangnya. Sedangkan

illallah merupakan penetapan bahwa yang berhak diibadahi hanyalah

Allah. Sehingga makna kalimat ini adalah la ma’buda haqqun illallah

atau tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Sehingga keliru

apabila la ilaha illallah diartikan tidak ada sesembahan/tuhan selain

Allah, karena ada yang kurang. Harus disertakan kata ‘yang benar’

Karena pada kenyataannya sesembahan selain Allah itu banyak. Dan

kalau pemaknaan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ itu dibenarkan

maka itu artinya semua peribadahan orang kepada apapun disebut

beribadah kepada Allah, dan tentu saja ini adalah kebatilan yang

sangat jelas.

Kalimat syahadat ini telah mengalami penyimpangan penafsiran di

antaranya adalah :

  Pemaknaan la ilaha illalah dengan ‘la ma’buda illallah’ tidak ada

sesembahan selain Allah, hal ini jelas salahnya karena yang disembah

oleh orang tidak hanya Allah namun beraneka ragam

  Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la khaliqa illallah’ tidak ada pencipta

selain Allah. Makna ini hanya bagian kecil dari kandungan la ilaha

illallah dan bukan maksud utamanya. Sebab makna ini hanya

menetapkan tauhid rububiyah dan itu belumlah cukup.

  Pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘la hakimiyata illallah’ tidak ada

hukum kecuali hukum Allah, maka inipun hanya sebagian kecil

maknanya bukan tujuan utama dan tidak mencukupi.

Sehingga penafsiran-penafsiran di atas adalah keliru. Hal ini perlu

diingatkan karena kekeliruan semacam ini telah tersebar melalui

sebagian buku yang beredar di antara kaum muslimin. Sehingga

penafsiran yang benar adalah sebagaimana yang sudah dijelaskan

yaitu : ‘la ma’buda haqqun illallah’ tidak ada sesembahan yang benar

selain Allah

Makna Muhammad Rasulullah

Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 46

Sedangkan makna syahadat anna Muhammadar rasulullah adalah

mengakui secara lahir dan batin bahwa beliau adalah hamba dan

utusan-Nya yang ditujukan kepada segenap umat manusia dan harus

Page 13: Materi kuliah pai semester ii

disertai sikap tunduk melaksanakan syari’at beliau yaitu dengan

membenarkan sabdanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi

larangannya dan beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunannya.

Rukun dan Syarat Syahadat

Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 46-48

La ilaha illallah terdiri dari dua rukun : nafi/penolakan, yaitu yang

terkandung di dalam la ilaha dan itsbat/penetapan, yaitu yang

terkandung dalam illallah. Maka dengan la ilaha dihapuslah segala

bentuk kesyirikan dan mengharuskan mengingkari segala sesembahan

selain Allah. Sedangkan dengan illallah maka ibadah hanya boleh

ditujukan kepada Allah dan harus tunduk melaksanakannya. Ayat-ayat

yang mengungkapkan dua rukun ini banyak, di antaranya adalah

firman Allah tentang ucapan Nabi Ibrahim (yang artinya),

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua sesembahan kalian,

selain (Allah) yang telah menciptakan diriku.” (QS. az-Zukhruf : 26).

Sedangkan rukun syahadat anna Muhammad rasulullah ada dua yaitu ;

pernyataan bahwa beliau adalah hamba Allah dan sebagai rasul-Nya.

Beliau adalah hamba, maka tidak boleh diibadahi dan diperlakukan

secara berlebihan. Dan beliau adalah rasul maka tidak boleh

didustakan ataupun diremehkan. Beliau membawa berita gembira dan

peringatan bagi seluruh umat manusia.

Syarat-syarat la ilaha illallah adalah :

  Mengetahui maknanya, lawan dari bodoh

  Meyakininya, lawan dari ragu-ragu

  Menerimanya, lawan dari menolak

  Tunduk kepadanya, lawan dari membangkang

  Ikhlas dalam beribadah, lawan dari syirik

  Jujur dalam mengucapkannya, lawan dari dusta

  Mencintai isinya dan tidak membencinya

Syarat-syarat anna Muhammadar rasulullah adalah :

  Mengakui risalahnya secara lahir dan batin

  Mengucapkan dan mengakuinya dengan lisan

  Mengikutinya, yaitu dengan mengamalkan kebenaran yang beliau bawa

dan meninggalkan kebatilan yang beliau larang

  Membenarkan beritanya, baik yang terkait dengan perkara gaib di masa

silam atau masa depan

  Mencintai beliau lebih dalam daripada kecintaan terhadap diri sendiri,

Page 14: Materi kuliah pai semester ii

harta, anak, orang tua dan seluruh umat manusia

  Menjunjung tinggi sabdanya di atas semua ucapan manusia dan

mengamalkan sunah/tuntunannya

Konsekuensi Syahadatain

Rujukan : Kitab Tauhid li Shafil Awwal hal. 50 dengan sedikit perubahan

dan penambahan

Konsekuensi syahadat la ilaha illallah adalah meninggalkan segala

bentuk peribadahan dan ketergantungan hati kepada selain Allah.

Selain itu ia juga melahirkan sikap mencintai orang yang bertauhid dan

membenci orang yang berbuat syirik. Sedangkan konsekuensi

syahadat Muhammad Rasulullah adalah menaati Nabi, membenarkan

sabdanya, meninggalkan larangannya, beramal dengan sunnahnya dan

meninggalkan bid’ah, serta mendahulukan ucapannya di atas ucapan

siapapun. Selain itu, ia juga melahirkan sikap mencintai orang-orang

yang taat dan setia dengan sunnahnya dan membenci orang-orang

yang durhaka dan menciptakan perkara-perkara baru dalam urusan

agama yang tidak ada tuntunannya.

Mengenal Nama dan Sifat Allah

Pembaca yang budiman, ilmu tentang mengenal Alloh dan Rosul-Nya

merupakan ilmu yang paling mulia. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh

mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan objek yang

dipelajarinya.” Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan

yang paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan

tentang Alloh di mana tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah

kecuali Dia semata, Robb semesta alam. Ilmu Tentang Alloh Adalah

Pokok dari Segala Ilmu

Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka

barangsiapa mengenal Alloh, dia akan mengenal yang selain-Nya dan

barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya, niscaya dia akan lebih jahil

terhadap yang selainnya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan

janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh, lalu Alloh

menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Al-Hasyr: 19).

Ketika seseorang lupa terhadap dirinya, dia pun tidak mengenal

hakikat dirinya dan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan)

bagi dirinya. Bahkan ia lupa dan lalai terhadap apa saja yang

merupakan sebab bagi kebaikan dan kemenangannya di dunia dan di

Page 15: Materi kuliah pai semester ii

akhirat. Maka, jadilah dia seperti orang yang ditinggalkan dan

ditelantarkan, yang berstatus seperti binatang ternak yang dilepas dan

dibiarkan pergi sekehendaknya, bahkan mungkin saja binatang ternak

lebih mengetahui kepentingan dirinya daripadanya.Imam Ibnul Qoyyim

rohimahulloh berkata, “Manusia yang paling sempurna ibadahnya

adalah seorang yang beribadah kepada Alloh dengan semua nama dan

sifat-sifat Alloh yang diketahui oleh manusia”. Beliau juga berkata,

“Yang jelas, bahwa ilmu tentang Alloh adalah pangkal segala ilmu dan

sebagai pokok pengetahuan seorang hamba akan kebahagiaan,

kesempurnaan dan kemaslahatannya di dunia dan di akhirat.” (Miftaah

Daaris Sa’aadah).

Alloh telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-

Nya dengan memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan

sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab-

Nya dan Sunnah Rosul-Nya. Bahkan kita jumpai, hampir pada setiap

ayat Alqur’an yang kita baca selalu berakhir dengan peringatan atau

penyebutan salah satu dari nama-nama Alloh atau salah satu dari sifat-

sifat-Nya. Sebagai contoh, firman Alloh yang artinya, “…Sesungguhnya

Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5) dan juga

firman-Nya yang artinya, “…Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha

Bijaksana.” (An-Nisaa’: 17). Hal ini semua disebabkan karena nama-

nama yang terbaik dan sifat-sifat yang mulia ini memiliki daya

pengaruh dan membekas dalam hati seorang yang mengetahui-Nya,

hingga ia selalu merasa terawasi oleh Alloh dalam segala aspek

kehidupannya. Dengan demikian, sempurnalah rasa malunya dari

bermaksiat kepada Alloh.

Yang Paling Takut Kepada Alloh Adalah yang Paling Mengenal Alloh.

Semakin tinggi pengetahuan seorang hamba kepada Robb-nya, maka

ia akan semakin takut kepada-Nya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya

yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para

ulama.” (Faathir: 28). Orang yang paling mengenal dan paling

mengetahui Alloh adalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh

karena itu, beliau senantiasa dalam keadaan takut dari perbuatan

durhaka terhadap Robb-nya, dan tentu kita telah mengetahui siapa

beliau. Karena Alloh telah memerintahkannya untuk mengatakan,

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar

(hari Kiamat), jika aku mendurhakai Robbku’.” (Al-An’aam: 15). Sebab,

Page 16: Materi kuliah pai semester ii

ahli tauhid yang benar-benar mengenal Alloh memandang bahwa

kemaksiatan itu, meskipun kecil, ibarat sebuah gunung yang sangat

besar. Karena mereka mengetahui keagungan Dzat (Rabb) yang Maha

Esa serta Maha Kuasa dan mengenal hak-hak-Nya, oleh sebab itu,

mereka menjadi orang-orang yang paling takut kepada-Nya di antara

manusia.

Kebodohan Akan Keagungan Alloh Adalah Induk Kemaksiatan

Dari Abul ‘Aliyah, beliau pernah bercerita bahwa para Shahabat

Rosululloh mengatakan, “Setiap dosa yang dikerjakan seorang hamba,

penyebabnya adalah kejahilan.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir,

dengan sanad yang shahih). Imam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh

berkata, “Setiap pelaku kemaksiatan adalah seorang jahil dan setiap

orang yang takut kepada-Nya adalah seorang alim yang taat kepada

Alloh. Dia menjadi seorang yang jahil hanya karena kurangnya rasa

takut yang dimilikinya, kalau saja rasa takutnya kepada Alloh

sempurna, pastilah dia tidak akan bermaksiat kepada-Nya.”. Syirik

merupakan kemaksiatan yang terbesar di antara maksiat yang ada.

Tidaklah manusia berbuat syirik kecuali memang karena ia bodoh

dalam pengenalannya terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, ketika Nabi

Nuh ‘alaihis salaam mengajak kaumnya (kepada tauhid) lalu mereka

menolaknya, maka beliau pun mengetahui bahwa penolakan tersebut

disebabkan karena ketidaktahuan mereka akan kebesaran Alloh. Alloh

Ta’ala berfirman yang artinya, “Mengapa kamu tidak percaya akan

kebesaran Alloh?” (Nuuh: 13). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan

ayat ini, “Kalian tidak mengetahui keagungan atau kebesaran-Nya.”

(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui beberapa jalan yang saling

menguatkan). Apa yang dikatakan di atas sangat beralasan, karena

seandainya manusia mengenal Alloh dengan sebenarnya, niscaya

mereka tidak terjerat dalam kesyirikan mempersekutukan Alloh

dengan sesuatu. Sebab, segala kebaikan berada di tangan-Nya, maka

bagaimana mungkin mereka bersandar kepada selain-Nya?

Nama Alloh Semuanya Husna

Nama-nama Alloh semuanya husnaa, maksudnya, mencapai puncak

kesempurnaannya. Karena nama-nama itu menunjukkkan kepada

pemilik nama yang mulia, yaitu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala dan juga

mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada cacat sedikit pun

ditinjau dari seluruh sisinya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya,

Page 17: Materi kuliah pai semester ii

“Hanya milik Alloh-lah nama-nama yang husna.” (Al-A’roof: 18).

Kewajiban kita terhadap nama-nama Alloh ada tiga, yaitu beriman

dengan nama tersebut, beriman kepada makna (sifat) yang

ditunjukkan oleh nama tersebut dan beriman dengan segala pengaruh

yang berhubungan dengan nama tersebut. Maka, kita beriman bahwa

Alloh adalah Ar-Rohiim (Yang Maha Penyayang), memiliki sifat rahmah

(kasih sayang) yang meliputi segala sesuatu dan menyayangi semua

hamba-Nya.

Nama dan Sifat Alloh Tidak Dibatasi Dengan Bilangan Tertentu

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,

“Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi

nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau

yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau

turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu

ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, shahih). Tidak

ada seorang pun yang dapat membatasi dan mengetahui apa yang

masih menjadi rahasia Alloh dan menjadi perkara yang ghaib. Adapun

sabda beliau, “Sesungguhnya Alloh memiliki 99 nama, yaitu seratus

kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan faham maknanya,

niscaya masuk syurga.” (HR. Bukhari-Muslim) tidak menunjukkan

pembatasan nama-nama Alloh dengan bilangan sembilan puluh

sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya nama-nama Alloh

yang 99 itu, mempunyai keutamaan bahwa siapa saja yang menhafal

dan memahaminya akan masuk syurga. Demikianlah, semoga kita

benar-benar mengenal Alloh dengan sebenar-benar pengenalan dan

mengagungkan Alloh dengan sebenar-benar pengagungan sehingga

bisa menyelamatkan kita dari berbuat syirik kepada-Nya.

Prioritas Utama: Akhlaq Kepada Allah

Dari An Nawas bin Sam’an radhiyallahu anhu, dari Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

 “Kebajikan itu keluhuran akhlaq.

Hadits ini menunjukkan urgensi akhlak dalam agama ini, karena

nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa seluruh

kebajikan terdapat dalam keluhuran akhlak. Dengan demikian, seorang

yang baik adalah seorang yang luhur akhlaknya. Imam Ibnu Rajab al

Hambali rahimahullah menjelaskan makna kata al birr (kebajikan) yang

Page 18: Materi kuliah pai semester ii

terdapat dalam hadits di atas. Beliau berkata, Diantara makna al birr

adalah mengerjakan seluruh ketaatan, baik secara lahir maupun batin.

(Makna seperti ini) tertuang dalam firman Allah ta'ala:

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman

kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi

dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak

yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)

dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba

sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang

yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar

dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. MerekaiItulah

orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang

yang bertakwa." (Al Baqarah: 177).

Dari penjelasan Ibnu Rajab dan teks ayat dalam surat Al

Baqarah tersebut, kita dapat memahami dengan jelas bahwa yang

dinamakan kebajikan (al birr) turut mencakup keimanan yang benar

terhadap Allah, mengerjakan perintah-Nya (dan tentunya

meninggalkan larangan-Nya), serta berbuat kebajikan terhadap

sesama makhluk Allah. Kita juga bisa menyatakan, – berdasarkan

hadits An Nawwas radhiallahu ‘anhu di atas-, bahwa seorang yang

beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, mengerjakan

perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan berbuat kebajikan terhadap

sesama adalah seorang yang berakhlak luhur, karena nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam mendefinisikan al birr dengan keluhuran akhlak, dan

pada ayat 177 surat Al Baqarah di atas Allah menjabarkan berbagai

macam bentuk al birr.

Dengan kata lain, seorang yang berakhlak luhur adalah seorang

yang mampu berakhlak baik terhadap Allah ta’ala dan sesamanya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

Keluhuran akhlak itu terbagi dua. Pertama, akhlak yang baik

kepada Allah, yaitu meyakini bahwa segala amalan yang anda kerjakan

mesti (mengandung kekurangan/ketidaksempurnaan) sehingga

membutuhkan udzur (dari-Nya) dan segala sesuatu yang berasal dari-

Nya harus disyukuri. Dengan demikian, anda senantiasa bersyukur

kepada-Nya dan meminta maaf kepada-Nya serta berjalan kepada-Nya

sembari memperhatikan dan mengakui kekurangan diri dan amalan

Page 19: Materi kuliah pai semester ii

anda. Kedua, akhlak yang baik terhadap sesama. kuncinya terdapat

dalam dua perkara, yaitu berbuat baik dan tidak mengganggu sesama

dalam bentuk perkataan dan perbuatan.

Terdapat persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa

makna keluhuran akhlak (akhlakul karimah) terbatas pada interaksi

sosial yang baik dengan sesama. Hal ini kurang tepat, karena

menyempitkan makna akhlakul karimah, silahkan anda lihat kembali

penjelasan di atas. Bahkan, terkadang terdapat selentingan perkataan

yang terkadang terucap dari seorang muslim, yang menurut kami

cukup fatal, seperti perkataan, “Si fulan yang non muslim itu lebih baik

daripada fulan yang muslim” atau ucapan semisal. Ucapan ini terlontar

tatkala melihat kekurangan akhlak pada saudaranya sesama muslim,

kemudian dia membandingkan saudaranya tersebut dengan seorang

kafir yang memiliki interaksi sosial yang baik dengan sesamanya.

Perkataan itu cukup fatal karena seorang muslim yang bertauhid

kepada Allah, betapa pun buruk akhlaknya, betapapun besar dosa

yang diperbuat, tetaplah lebih baik daripada seorang kafir, yang

berbuat syirik kepada Allah ta’ala. Hal ini mengingat dosa syirik

menduduki peringkat teratas dalam daftar dosa.

Seorang yang memiliki interaksi sosial yang baik terhadap

sesama, namun dia tidak menyembah Allah atau tidak

menauhidkannya dalam segala bentuk peribadatan yang dilakukannya,

maka dia masih dikategorikan sebagai seorang yang berahlak buruk.

Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan dia tidak merealisasikan

pondasi keluhuran akhlak, yaitu berakhlak yang baik kepada sang

Khalik yang telah mencurahkan berbagai nikmat kepada dirinya dan

seluruh makhluk. Dan bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah

dengan menauhidkan-Nya dalam segala peribadatan, karena tauhid

merupakan hak Allah kepada setiap hamba-Nya sebagaimana

dinyatakan dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu.

Hal ini pun dipertegas dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu. Beliau

bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, [Wahai

rasulullah! Ibnu Jud'an, dahulu di zaman jahiliyah, adalah seorang yang

senantiasa menyambung tali silaturahim dan memberi makan orang

miskin, apakah itu semua bermanfaat baginya kelak di akhirat? Nabi

shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,

Page 20: Materi kuliah pai semester ii

SينVالد Zو\مZ Sى ي Zت بV اغ\فSر\ لSى خZطSيئ Zا رjو\مZ Zقmل\ ي Zم\ ي qهm ل Sن \فZعmهm إ Zن Z ي ال

"Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak pernah sedikit pun

mengucapkan, "Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat

kelak."

Ibnu Jud’an adalah seorang yang memiliki akhlak yang baik kepada

sesama manusia, meskipun demikian, keluhuran akhlaknya kepada

manusia tidak mampu menyelamatkannya dikarenakan dia tidak

menegakkan pondasi akhlak, yaitu akhlak yang baik kepada Allah

dengan beriman dan bertauhid kepada-Nya.

Telah disebutkan di atas bahwa bentuk akhlak yang baik kepada Allah

adalah dengan menauhidkan-Nya. Berdasarkan hal ini kita bisa

menyatakan bahwa seorang yang mempersekutukan Allah dalam

peribadatannya (berbuat syirik) adalah seorang yang berakhlak buruk,

meski dia dikenal sebagai pribadi yang baik kepada sesama.

Demikian pula, kita bisa menyatakan dengan lebih jelas lagi bahwa

seorang yang dikenal akan kebaikannya kepada sesama manusia, jika

dia berbuat syirik seperti memakai jimat, mendatangi dukun,

menyembelih untuk selain Allah mendatangi kuburan para wali untuk

meminta kepada mereka maka dia adalah seorang yang berakhlak

buruk.Maka, dari penjelasan di atas, kita bisa memahami perkataan

Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berikut,

["Berbagai dosa (yang terdapat pada diri seorang), namun masih

dibarengi dengan tauhid yang benar itu masih lebih baik daripada

tauhid yang rusak meskipun tidak dibarengi dengan berbagai dosa."

Jangan dipahami bahwa beliau mengenyampingkan atau menganggap

ringan perbuatan dosa dengan perkataan tersebut. Namun, beliau

menerangkan bahwa perbaikan tauhid dengan menjauhi kesyirikan

merupakan proritas pertama yang harus diperhatikan oleh kita

sebelum menjauhi berbagai bentuk dosa lain yang tingkatannya

berada di bawah dosa syirik.

Imbas lain dari penyempitan makna akhlak sebagaimana dikemukakan

di atas adalah anggapan bahwa akhlak yang baik kepada manusia itu

lebih penting daripada tauhid. Akibatnya, rata-rata materi dakwah para

da’i adalah berkutat pada upaya menyeru manusia untuk berbuat baik

Page 21: Materi kuliah pai semester ii

pada sesamanya dan menomorduakan dakwah tauhid, kalau tidak mau

dikatakan bahwa mereka memang tidak pernah menyampaikan materi

tauhid kepada mad’u. Hal ini tidak lain disebabkan karena mereka

belum mengetahui definisi akhlak yang disebutkan oleh para ulama

seperti yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Rajab dan Ibnul Qayyim

rahimahumallah di atas. Sehingga, tatkala mereka membaca hadits-

hadits nabi seperti, “ Kebajikan itu keluhuran akhlaq “; “Tidak ada

amalan yang lebih berat apabila diletakkan di atas mizan daripada

akhlak yang baik.”; “Apa karunia terbaik yang diberikan kepada

hamba?, nabi menjawab. “Akhlak yang baik.”, mereka berkeyakinan

bahwa hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa berakhlak baik

kepada sesama lebih tinggi derajatnya daripada menauhidkan Allah

ta’ala secara mutlak.

Di akhir artikel ini, kami kembali mengingatkan bahwa akhlak yang

baik kepada Allah, itulah yang harus menjadi fokus perhatian dalam

pembenahan diri kita, dan yang menjadi fokus utama adalah

bagaimana kita berusaha membenahi tauhid kita kepada Allah. Jika

kita memiliki interaksi yang baik dengan-Nya, dengan menauhidkan-

Nya, mengerjakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, niscaya

Allah ta’ala akan memudahkan kita untuk berinteraksi yang baik (baca:

berakhlak yang baik) dengan sesama. Itulah makna yang kami pahami

dari sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

["Barangsiapa mencari ridha Allah meski dengan mengundang

kemurkaan manusia, niscaya Allah akan ridha kepadanya dan akan

membuat manusia juga ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang

mencari ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, niscaya

Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia turut murka

kepadanya."

Muamalah Allah Terhadapmu

Di dalam sebuah Hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala hanya merahmati hamba-

hambaNya yang pengasih.” (HR. Bukhari).

Bukankah perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan? Barang siapa

yang mengasihi makhluk, maka ia akan dikasihi al-Kholiq (pencipta),

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang

pengasih akan di kasihi Dzat yang Maha Pengasih, kasihilah yang di

Page 22: Materi kuliah pai semester ii

bumi, maka yang di langit akan mengasihimu.” (HR. Tirmidzi)

Balasan suatu perbuatan sesuai dengan perbuatan tersebut. Allah

ta’ala bermuamalah dengan hamba sesuai muamalah hamba terhadap

sesamanya, maka bermuamalah-lah dengan hamba Allah ta’ala

dengan muamalah yang mana engkau mengharapkan Allah ta’ala

bermuamalah seperti itu terhadapmu.Allah ta’ala berfirman:

 “Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni

mereka maka sesungguhnya Allah ta’ala Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.” (QS. at-Taghobun: 14). firman Allah ta’ala: “Dan

hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu

tidak ingin jika Allah ta’ala mengampunimu.” (QS. an-Nuur: 22)

Hendaklah engkau senantiasa meringankan beban orang lain supaya

Allah ta’ala meringankan bebanmu.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda:

“Barang siapa yang menolong kesusahan orang muslim, maka Allah

ta’ala akan menolongnya dari kesusahan pada hari kiamat.” (HR.

Bukhari). Beliau juga bersabda: “Barang siapa yang menyelamatkan

orang dari kesusahan, maka Allah ta’ala akan menyelamatkannya dari

kesusahan pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)

Tolonglah orang yang membutuhkan pertolongan, maka kamu akan

ditolong Allah ta’ala.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah ta’ala menolong seorang hamba selagi hamba tersebut

menolong sesamanya.” Beliau juga bersabda: “Barang siapa menolong

saudaranya yang membutuhkan maka Allah ta’ala akan

menolongnya.” (HR. Muslim)

Jadilah engkau orang yang mempermudah kesulitan orang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang mempermudah kesulitan orang lain, maka

Allah ta’ala akan mempermudah urusannya di dunia dan akhirat.” (HR.

Muslim). Beliau juga bersabda: “Terdapat pada umat sebelum mu

seorang pedagang yang sering memberi pinjaman kepada orang lain,

jika dia melihat si peminjam dalam kesulitan dia berkata kepada anak-

anaknya: ‘Maafkan dia (jangan ditagih hutangnya) mudah-mudahan

Allah ta’ala mengampuni kita’, maka Allah ta’ala pun

mengampuninya.” (HR. Bukhari)

Berlemah-lembutlah terhadap hamba Allah ta’ala maka kamu akan

termasuk orang yang didoakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Page 23: Materi kuliah pai semester ii

“Ya Allah, barang siapa yang berlemah-lembut terhadap umatku maka

berlemah-lembutlah terhadapnya, dan barang siapa yang mempersulit

umatku maka persulitlah ia.” (HR. Ahmad)

Beliau juga bersabda:

“Sesungguhnya Allah ta’ala adalah Dzat yang maha lemah lembut

mencintai kelembutan dan memberi pada kelembutan suatu kebaikan

yang tidak pernah diberikan pada kekerasan.” (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda:

“Barang siapa yang tidak memiliki kelembutan maka ia kehilangan

suatu kebaikan.” (HR. Muslim)

Tutupilah kejelekan (aib) orang lain maka Allah ta’ala akan menutupi

kejelekan (aib) mu.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang menutupi kejelekan (aib) seorang muslim maka

Allah ta’ala akan menutupi kejelekan (aib) nya.” (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda:

“Barang siapa yang menutupi aurat (aib) saudaranya (muslim) maka

Allah ta’ala akan menutupi aurat (aib) nya pada hari kiamat.” (HR. Ibnu

Majah)

Pandanglah sedikit kesalahan saudaramu, maka Allah ta’ala akan

memandang sedikit pula kesalahan mu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang memandang sedikit kesalahan seorang muslim

maka Allah ta’ala akan memandang sedikit kesalahannya.” (HR. Abu

Dawud)

Berilah makan faqir miskin, maka Allah ta’ala akan memberimu makan

pula. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi makan mukmin

yang lapar, maka Allah ta’ala akan memberinya makan dari buah-

buahan Surga.” (HR. Tirmidzi)

Berilah minum orang yang kehausan, maka Allah ta’ala akan

memberimu minum pula.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda:

“Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi minum mukmin

lainnya yang kehausan, maka Allah ta’ala akan memberinya minum

pada hari kiamat dari khamar murni yang dilak (tempatnya).” (HR.

Tirmidzi)

Berilah pakaian kepada kaum muslimin maka Allah ta’ala akan

Page 24: Materi kuliah pai semester ii

memberimu pakaian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa saja di antara orang mukmin yang memberi pakaian orang yang

telanjang maka Allah ta’ala akan memberinya pakaian hijau dari

surga.” (HR. Tirmidzi)

Muamalah (hubungan) Allah ta’ala terhadapmu sebagaimana

hubunganmu terhadap hamba-Nya, maka pilihlah muamalah yang kau

sukai yang mana Allah ta’ala akan me-muamalahimu dengannya, dan

pergaulilah hamba-hamba-Nya dengan (pilihanmu) itu maka kamu

akan mendapat ganjarannya. Jauhilah menyakiti sesama (Jika kamu

melakukannya) maka Allah ta’ala akan menyiksamu. Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah ta’ala akan menyiksa orang-orang yang

menyakiti manusia.” (HR. Muslim)

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan

pengikut-pengikutnya mereka menimpa kepadamu siksaan yang

seberat-beratnya.” (QS. al-Baqarah: 49)

“Dan pada hari terjadinya kiamat dikatakan kepada malaikat,

‘masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat pedih.”

(QS. Ghofir: 46)

Jauhilah menyusahkan hamba-hamba Allah ta’ala (Jika kamu

melakukannya), maka engkau akan terkena doa Nabi shallallahu ‘alaihi

wa sallam: “Ya Allah, barang siapa yang mengurus perkara umatku lalu

mempersulit mereka maka persulitlah dia dan barang siapa yang

mempermudah mereka maka permudahkanlah dia.” (HR. Muslim)

Janganlah engkau mencari-cari kesalahan kaum muslimin. Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang senantiasa mencari kesalahan seorang muslim,

maka Allah ta’ala akan senantiasa mencari kesalahannya pula,

sehingga akan terbuka kesalahannya meskipun (tersembunyi) di dalam

mulut unta (kendaraan) nya.” (HR. Tirmidzi)

Beliau juga bersabda:

“Barang siapa yang membuka aib saudaranya maka Allah ta’ala akan

membuka aibnya sampai diperlihatkan kepada keluarganya.” (HR. Ibnu

Majah)

Janganlah engkau berhati batu (tidak punya belas kasihan). Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Page 25: Materi kuliah pai semester ii

“Barang siapa yang tidak menaruh belas kasihan terhadap sesamanya,

maka Allah ta’ala tidak akan mengasihinya.” (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda: “Tidaklah dicabut rasa belas kasihan itu kecuali

dari hati orang-orang yang celaka.” (HR. Tirmidzi)

Apapun muamalah yang engkau suguhkan terhadap manusia, maka

kamu akan mendapatkan balasan yang sama di sisi Allah ta’ala. Ibnul

Qoyyim berkata: “Sesungguhnya Allah ta’ala adalah Dzat yang Maha

mulia, mencintai yang mulia dari hamba-hamba-Nya. Dia adalah Dzat

yang Maha Mengetahui, mencintai orang-orang yang berilmu. Dia

adalah Dzat yang Maha Kuasa, mencintai yang gagah berani. Dia

adalah Dzat yang Maha Indah, mencintai keindahan. Dia adalah Dzat

yang Maha Pengasih, mencintai orang yang pengasih. Dia adalah Dzat

yang Maha Menutupi, mencintai orang yang menutupi aib hamba-

hamba-Nya. Maha Pemaaf, mencintai yang memaafkan hamba-hamba-

Nya. Maha Pengampun, mencintai yang suka mengampuni hamba-Nya.

Maha lemah lembut, mencintai yang lemah lembut dari hamba-hamba-

Nya serta membenci yang keras perangainya. Dia adalah Dzat yang

Maha Penyantun, mencintai sifat penyantun. Dzat yang Melimpahkan

kebaikan, mencintai perbuatan baik serta pelakunya. Dzat yang Maha

Adil, mencintai keadilan. Dzat yang Menerima uzur, mencintai orang

yang menerima uzur hamba-hamba-Nya. membalas hamba sesuai

dengan ada atau tidak adanya sifat-sifat tersebut pada diri seorang

hamba… maka (sesungguhnya) muamalah Allah ta’ala terhadap

hambanya sesuai dengan muamalah hamba terhadap sesamanya…

berbuatlah semaumu maka Allah ta’ala akan membalasmu sesuai

dengan perbuatanmu terhadap-Nya dan terhadap hamba-hamba-Nya.

Maka hendaklah engkau senantiasa memberikan manfaat kepada

hamba-hamba Allah ta’ala sebagaimana yang telah disabdakan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa yang mampu memberikan kemanfaatan kepada

saudaranya hendaklah ia lakukan.” (HR. Muslim)

Berbuat baiklah terhadap mereka, karena sesungguhnya Allah ta’ala

mencintai hamba yang berbuat baik. jadilah engkau orang yang

senantiasa mempermudah urusan hamba Allah ta’ala serta berlemah-

lembut terhadap mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda: “Diharamkan masuk Neraka setiap orang yang pemudah,

lemah lembut, dekat dengan manusia.” (HR. Ahmad)

Page 26: Materi kuliah pai semester ii

Maafkanlah mereka, mudah-mudahan Allah ta’ala mengampuni dosa-

dosamu, sesungguhnya Allah ta’ala tidak akan menyia-nyiakan pahala

orang-orang yang berbuat baik.

Keutamaan Taubat

Hakikat taubat adalah kembali tunduk kepada Allah dari

bermaksiat kepada-Nya kepada ketaatan kepada-Nya. Taubat ada dua

macam: taubat mutlak dan taubat muqayyad (terikat). Taubat mutlak

ialah bertaubat dari segala perbuatan dosa. Sedangkan taubat

muqayyad ialah bertaubat dari salah satu dosa tertentu yang pernah

dilakukan. Syarat-syarat taubat meliputi: beragama Islam, berniat

ikhlas, mengakui dosa, menyesali dosa, meninggalkan perbuatan dosa,

bertekad untuk tidak mengulanginya, mengembalikan hak orang yang

dizalimi, bertaubat sebelum nyawa berada di tenggorokan atau

matahari terbit dari arah barat. Taubat adalah kewajiban seluruh kaum

beriman, bukan kewajiban orang yang baru saja berbuat dosa. Karena

Allah berfirman,

“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman

supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31) (lihat Syarh Ushul min

Ilmil Ushul Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah, tentang pembahasan isi

khutbatul hajah).

Allah Maha Pengampun, Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.

Allah menyifati diri-Nya di dalam Al Quran bahwa Dia Maha pengampun

lagi Maha Penyayang hampir mendekati 100 kali. Allah berjanji

mengaruniakan nikmat taubat kepada hamba-hambaNya di dalam

sekian banyak ayat yang mulia. Allah ta’ala berfirman:

“Allah menginginkan untuk menerima taubat kalian, sedangkan orang-

orang yang memperturutkan hawa nafsunya ingin agar kalian

menyimpang dengan sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 27)

Allah ta’ala juga berfirman:

“Dan seandainya bukan karena keutamaan dari Allah kepada kalian

dan kasih sayang-Nya (niscaya kalian akan binasa). Dan sesungguhnya

Allah Maha penerima taubat lagi Maha bijaksana.” (QS. An Nuur: 10)

Allah ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas ampunannya.” (QS. An Najm:

32)

Allah ta’ala berfirman,

“Rahmat-Ku amat luas meliputi segala sesuatu.” (QS. Al A’raaf: 156)

Page 27: Materi kuliah pai semester ii

Oleh Karenanya, Saudaraku yang Tercinta, Pintu taubat ada di

hadapanmu terbuka lebar, ia menanti kedatanganmu… Jalan orang-

orang yang bertaubat telah dihamparkan. Ia merindukan pijakan

kakimu… Maka ketuklah pintunya dan tempuhlah jalannya. Mintalah

taufik dan pertolongan kepada Tuhanmu… Bersungguh-sungguhlah

dalam menaklukkan dirimu, paksalah ia untuk tunduk dan taat kepada

Tuhannya. Dan apabila engkau telah benar-benar bertaubat kepada

Tuhanmu kemudian sesudah itu engkau terjatuh lagi di dalam maksiat,

sehingga memupus taubatmu yang terdahulu, janganlah malu untuk

memperbaharui taubatmu untuk kesekian kalinya. Selama maksiat itu

masih berulang padamu maka teruslah bertaubat. Allah ta’ala

berfirman:

“Karena sesungguhnya Dia Maha mengampuni kesalahan hamba-

hamba yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.” (QS. Al Israa’: 25)

Allah ta’ala juga berfirman:

“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap

diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.

Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah

Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka kembalilah

kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya

azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS.

Az Zumar: 53-54)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Seandainya

kalian berbuat dosa sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit

kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan menerima

taubat kalian.” (Shahih Ibnu Majah). Maka di manakah orang-orang

yang bertaubat dan menyesali dosanya? Di manakah orang-orang yang

kembali taat dan merasa takut siksa? Di manakah orang-orang yang

ruku’ dan sujud?

Berbagai Keutamaan Taubat

Pada hakikatnya taubat itulah isi ajaran Islam dan fase-fase

persinggahan iman. Setiap insan selalu membutuhkannya dalam

menjalani setiap tahapan kehidupan. Maka orang yang benar-benar

berbahagia ialah yang menjadikan taubat sebagai sahabat dekat

dalam perjalanannya menuju Allah dan negeri akhirat. Sedangkan

orang yang binasa adalah yang menelantarkan dan mencampakkan

taubat di belakang punggungnya. Beberapa di antara keutamaan

Page 28: Materi kuliah pai semester ii

taubat ialah:

Pertama: Taubat adalah sebab untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa

jalla. Allah ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan

mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri.” (QS. Al Baqarah:

222)

Kedua: Taubat merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala

berfirman:

“Dan bertaubatlah kepada Allah wahai semua orang yang beriman,

supaya kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31)

Ketiga: Taubat menjadi sebab diterimanya amal-amal hamba dan

turunnya ampunan atas kesalahan-kesalahannya. Allah ta’ala

berfirman:

“Dialah Allah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan Maha

mengampuni berbagai kesalahan.” (QS. Asy Syuura: 25)

Allah ta’ala juga berfirman

“Dan barang siapa yang bertaubat dan beramal saleh maka

sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya.” (QS. Al Furqaan: 71)

artinya taubatnya diterima

Keempat: Taubat merupakan sebab masuk surga dan keselamatan dari

siksa neraka. Allah ta’ala berfirman:

“Maka sesudah mereka (nabi-nabi) datanglah suatu generasi yang

menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, niscaya

mereka itu akan dilemparkan ke dalam kebinasaan. Kecuali orang-

orang yang bertaubat di antara mereka, dan beriman serta beramal

saleh maka mereka itulah orang-orang yang akan masuk ke dalam

surga dan mereka tidaklah dianiaya barang sedikit pun.” (QS. Maryam:

59, 60)

Kelima: Taubat adalah sebab mendapatkan ampunan dan rahmat.

Allah ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa kemudian bertaubat

sesudahnya dan beriman maka sesungguhnya Tuhanmu benar-benar

Maha Pengampun dan Penyayang.” (QS. Al A’raaf: 153)

Keenam: Taubat merupakan sebab berbagai kejelekan diganti dengan

berbagai kebaikan. Allah ta’ala berfirman:

“Dan barang siapa yang melakukan dosa-dosa itu niscaya dia akan

menemui pembalasannya. Akan dilipatgandakan siksa mereka pada

Page 29: Materi kuliah pai semester ii

hari kiamat dan mereka akan kekal di dalamnya dalam keadaan

terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman serta

beramal saleh maka mereka itulah orang-orang yang digantikan oleh

Allah keburukan-keburukan mereka menjadi berbagai kebaikan. Dan

Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al Furqaan: 68-70)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat

dari suatu dosa sebagaimana orang yang tidak berdosa.” (HR. Ibnu

Majah, dishahihkan oleh Al Albani)

Ketujuh: Taubat menjadi sebab untuk meraih segala macam kebaikan.

Allah ta’ala berfirman:

“Apabila kalian bertaubat maka sesungguhnya hal itu baik bagi kalian.”

(QS. At Taubah: 3)

Allah ta’ala juga berfirman,

“Maka apabila mereka bertaubat niscaya itu menjadi kebaikan bagi

mereka.” (QS. At Taubah: 74)

Kedelapan: Taubat adalah sebab untuk menggapai keimanan dan

pahala yang besar. Allah ta’ala berfirman:

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri dan berpegang

teguh dengan agama Allah serta mengikhlaskan agama mereka untuk

Allah mereka itulah yang akan bersama dengan kaum beriman dan

Allah akan memberikan kepada kaum yang beriman pahala yang amat

besar.” (QS. An Nisaa’: 146)

Kesembilan: Taubat merupakan sebab turunnya barakah dari atas

langit serta bertambahnya kekuatan. Allah ta’ala berfirman:

“Wahai kaumku, minta ampunlah kepada Tuhan kalian kemudian

bertaubatlah kepada-Nya niscaya akan dikirimkan kepada kalian awan

dengan membawa air hujan yang lebat dan akan diberikan kekuatan

tambahan kepada kalian, dan janganlah kalian berpaling menjadi

orang yang berbuat dosa.” (QS. Huud: 52)

Kesepuluh: Keutamaan taubat yang lain adalah menjadi sebab

malaikat mendoakan orang-orang yang bertaubat. Hal ini sebagaimana

difirmankan Allah ta’ala:

“Para malaikat yang membawa ‘Arsy dan malaikat lain di sekelilingnya

senantiasa bertasbih dengan memuji Tuhan mereka, mereka beriman

kepada-Nya dan memintakan ampunan bagi orang-orang yang

beriman. Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu maha luas meliputi segala

sesuatu, ampunilah orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-

Page 30: Materi kuliah pai semester ii

Mu serta peliharalah mereka dari siksa neraka.” (QS. Ghafir: 7)

Kesebelas: Keutamaan taubat yang lain adalah ia termasuk ketaatan

kepada kehendak Allah ‘azza wa jalla. Hal ini sebagaimana difirmankan

Allah ta’ala: “Dan Allah menghendaki untuk menerima taubat kalian.”

(QS. An Nisaa’: 27). Maka orang yang bertaubat berarti dia adalah

orang yang telah melakukan perkara yang disenangi Allah dan diridhai-

Nya.

Kedua belas: Keutamaan taubat yang lain adalah Allah bergembira

dengan sebab hal itu. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Sungguh Allah lebih

bergembira dengan sebab taubat seorang hamba-Nya ketika ia mau

bertaubat kepada-Nya daripada kegembiraan seseorang dari kalian

yang menaiki hewan tunggangannya di padang luas lalu hewan itu

terlepas dan membawa pergi bekal makanan dan minumannya

sehingga ia pun berputus asa lalu mendatangi sebatang pohon dan

bersandar di bawah naungannya dalam keadaan berputus asa akibat

kehilangan hewan tersebut, dalam keadaan seperti itu tiba-tiba hewan

itu sudah kembali berada di sisinya maka diambilnya tali kekangnya

kemudian mengucapkan karena saking gembiranya, ‘Ya Allah,

Engkaulah hambaku dan akulah tuhanmu’, dia salah berucap karena

terlalu gembira.” (HR. Muslim)

Ketiga belas: Taubat juga menjadi sebab hati menjadi bersinar dan

bercahaya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat dosa maka di dalam

hatinya ditorehkan sebuah titik hitam. Apabila dia meninggalkannya

dan beristighfar serta bertaubat maka kembali bersih hatinya. Dan jika

dia mengulanginya maka titik hitam itu akan ditambahkan padanya

sampai menjadi pekat, itulah raan yang disebutkan Allah ta’ala,:

“Sekali-kali tidak akan tetapi itulah raan yang menyelimuti hati mereka

akibat apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Muthaffifin: 14) (HR.

Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dihasankan Al Albani)

Oleh karena itu, saudaraku yang kucintai. Sudah sepantasnya setiap

orang yang berakal untuk bersegera menggapai keutamaan dan

memetik buah memikat yang dihasilkan oleh ketulusan taubat itu…,

Saudaraku:

Tunaikanlah taubat yang diharapkan Ilahi

demi kepentinganmu sendiri

Page 31: Materi kuliah pai semester ii

Sebelum datangnya kematian dan lisan terkunci

Segera lakukan taubat dan tundukkanlah jiwa

Inilah harta simpanan bagi hamba yang kembali taat dan baik amalnya

Tingkatan Jihad Melawan Syaitan

Syarat Agar Taubat Diterima

Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun

manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan

dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia

yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada

Alloh dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang

diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah

agar taubat seorang hamba itu diterima?

Syarat Taubat Diterima. Agar taubat seseorang itu diterima,

maka dia harus memenuhi tiga hal yaitu: (1) Menyesal, (2) Berhenti

dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya. Taubat

tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang

dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan

bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi

bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah kita percaya

bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridho masih

terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia membangun

tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak main-

main. Bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan syarat yang

keempat, yaitu tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. sehingga

kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa

taubatnya tidak benar. Akan tetapi sebagian besar para ulama tidak

mensyaratkan hal ini.

Tunaikan Hak Anak Adam yang Terzholimi. Jika dosa tersebut

berkaitan dengan hak anak Adam, maka ada satu hal lagi yang harus

ia lakukan, yakni dia harus meminta maaf kepada saudaranya yang

bersangkutan, seperti minta diikhlaskan, mengembalikan atau

mengganti suatu barang yang telah dia rusakkan atau curi dan

sebagainya. Namun apabila dosa tersebut berkaitan dengan ghibah

(menggunjing), qodzaf (menuduh telah berzina) atau yang semisalnya,

yang apabila saudara kita tadi belum mengetahuinya (bahwa dia telah

Page 32: Materi kuliah pai semester ii

dighibah atau dituduh), maka cukuplah bagi orang telah melakukannya

tersebut untuk bertaubat kepada Alloh, mengungkapkan kebaikan-

kebaikan saudaranya tadi serta senantiasa mendoakan kebaikan dan

memintakan ampun untuk mereka. Sebab dikhawatirkan apabila orang

tersebut diharuskan untuk berterus terang kepada saudaranya yang

telah ia ghibah atau tuduh justru dapat menimbulkan peselisihan dan

perpecahan diantara keduanya.

Nikmat Dibukanya Pintu Taubat

Apabila Alloh menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka

Alloh bukakan pintu taubat baginya. Sehingga ia benar-benar

menyesali kesalahannya, merasa hina dan rendah serta sangat

membutuhkan ampunan Alloh. Dan keburukan yang pernah ia lakukan

itu merupakan sebab dari rahmat Alloh baginya. Sampai-sampai setan

akan berkata, “Duhai, seandainya aku dahulu membiarkannya. Andai

dulu aku tidak menjerumuskannya kedalam dosa sampai ia bertaubat

dan mendapatkan rahmat Alloh.” Diriwayatkan bahwa seorang salaf

berkata, “Sesungguhnya seorang hamba bisa jadi berbuat suatu dosa,

tetapi dosa tersebut menyebabkannya masuk surga.” Orang-orang

bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Dia

berbuat suatu dosa, lalu dosa itu senantiasa terpampang di

hadapannya. Dia khawatir, takut, menangis, menyesal dan merasa

malu kepada Robbnya, menundukkan kepala di hadapan-Nya dengan

hati yang khusyu’. Maka dosa tersebut menjadi sebab kebahagiaan

dan keberuntungan orang itu, sehingga dosa tersebut lebih bermanfaat

baginya daripada ketaatan yang banyak.”

Buah dari Tawakkal

Buah dari tawakkal kepada Allah Ta’ala amatlah banyak. Yang

paling utama adalah “Allah akan mencukupi segala urusan orang yang

bertawakkal. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan

mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)

Barangsiapa yang menyandarkan urusannya pada Allah, hanya

menyandarkan kepada Allah semata, ia pun mengakui bahwa tidak ada

yang bisa mendatangkan kebaikan dan menghilangkan bahaya selain

Allah, maka sebagaimana dalam ayat dikatakan, “Allah-lah yang akan

mencukupinya.” Yaitu Allah menyelamatkannya dari berbagai bahaya.

Page 33: Materi kuliah pai semester ii

Karena yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan. Ketika

seseorang bertawakkal pada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal,

Allah pun membalasnya dengan mencukupinya, yaitu memudahkan

urusannya. Allah yang akan memudahkan urusannya dan tidak

menyandarkan pada selain-Nya. Inilah sebesar-besarnya buah

tawakkal. Allah Ta’ala berfirman:

“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu.” (QS. Al Anfal:

64)“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya

cukuplah Allah (yang akan mencukupimu). Dialah yang

memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.”

(QS. Al Anfal: 62)

Jadi buah yang paling utama dari tawakkal pada Allah adalah

Allah akan memberi kecukupan pada orang yang bertawakkal pada-

Nya. Oleh karenanya, Allah berfirman mengenai keadaan Nabi Nuh

‘alaihis salam, di mana beliau berkata pada kaumnya:

“Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan

peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-

lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan

(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian

janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap

diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.” (QS. Yunus:

71)

Allah berfirman mengenai Nabi Hud ‘alaihis salam:

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan,

dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya

terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.

Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu.

Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang

memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang

lurus.” (QS. Hud: 54-56)

Allah berfirman mengenai Nabi Syu’aib alaihis salam,

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.

Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku

kembali.” (QS. Hud: 88)

Allah berfirman mengenai Nabinya –Muhammad- ‘alaihish sholaatu was

salaam:

“Katakanlah: “Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu

Page 34: Materi kuliah pai semester ii

Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa

memberi tangguh (kepada-ku)”. Sesungguhnya Pelindungku ialah yang

telah menurunkan Al kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang

yang shaleh. Dan berhala-berhala yang kamu seru selain Allah tidaklah

sanggup menolongmu, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri.”

(QS. Al A’rof: 195-197)

Dari penjelasan di atas, Allah subhanahu wa ta’ala

menceritakan mengenai para rasul-Nya yang mulia di mana mereka

tidak mendapatkan bahaya dari kaum dan sesembahan kaum mereka.

Apa kuncinya? Karena mereka bertawakkal pada Allah. Siapa saja yang

bertawakkal pada Allah, pasti Allah akan mencukupinya.

Buah tawakkal yang kedua, buah tawakkal yang lain adalah

mendapatkan cinta Allah. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-

Nya.” (QS. Ali Imron: 159)

Barangsiapa yang benar-benar bertawakkal pada Allah, maka Allah

akan mencintainya. Jika Allah telah mencintainya, maka ia akan

merasakan kebahagiaan di dunia dan akhirat, ia akan menjadi orang-

orang yang dicintai di sisi-Nya dan menjadi wali-Nya.

Buah tawakkal yang ketiga, orang yang bertawakkal akan

mudah mengerjakan hal yang bermanfaat tanpa ada rasa takut dan

gentar kecuali pada Allah. Contohnya, orang yang berjihad di medan

perang melawan orang-orang kafir, mereka melakukan  hal ini karena

mereka tawakkal pada Allah. Usaha mereka dengan tawakkal inilah

yang mendatangkan keberanian dan kekuatan saat itu. Musuh-musuh

dan kesulitan di hadapan mereka dianggap ringan berkat tawakkal.

Mereka akhirnya jika toh mati, akan merasakan mati di jalan Allah.

Merekalah yang mendapatkan syahid di jalan Allah. Ini semua karena

sebab tawakkal. Buah tawakkal yang keempat, seseorang akan

bersemangat dalam mencari rizki, mencari ilmu dan melakukan segala

sesuatu yang bermanfaat. Itulah yang namanya orang yang

bertawakkal, ia punya semangat dalam melakukan hal-hal bermanfaat

semacam ini. Karena ia tahu bahwa Allah akan bersama dan menolong

setiap orang yang bertawakkal. Akhirnya ia pun bersamangat ketika

dalam perkara agama dan dunianya yang bermanfaat, ia jadinya tidak

bermalas-malasan.

Page 35: Materi kuliah pai semester ii

Kita dapat menyaksikan bahwa para sahabat radhiyallahu

‘anhum, merekalah orang yang paling bersemangat. Mereka benar-

benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Sampai-sampai karena sifat

ini yang mereka miliki, mereka bisa menaklukan berbagai negeri di

ujung timur dan barat melalui jihad mereka. Mereka pun membuka hati

melalui dakwah mereka di jalan Allah. Ini semua bisa terwujud karena

mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Allah Ta’ala

berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang

murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu

kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya,

yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang

bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah,

dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah

karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan

Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al

Maidah: 54). Mereka sama sekali tidak takut pada celaan orang yang

mencela ketika mereka berjuang di jalan Allah. Bisa demikian karena

mereka benar-benar merealisasikan tawakkal pada Allah. Mereka

benar-benar menyandarkan dirinya pada Allah dan mereka tidak

berpaling pada yang lain, baik ketika itu manusia ridho atau pun tidak.

Yang senantiasa mereka cari adalah ridho Allah. Dalam hadits

disebutkan:

“Barangsiapa yang mencari ridho Allah dan awalnya manusia murka

(tidak suka), maka Allah akan ridho padanya dan membuat manusia

pun akan ridho padanya. Sedangkan barangsiapa yang mencari ridho

manusia dan membuat Allah murka, maka Allah akan murka padanya

dan akan membuat manusia pun murka.”

Bersandar pada Allah dan tawakkal pada-Nya serta menyerahkan

segala urusan pada Allah Ta’ala, itulah yang menjadi asas tauhid, asas

amal dan asas kebaikan. Bahkan Allah menjadi tawakkal ini syarat

keimanan. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu

benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al Maidah: 23)

Pelajaran Penting

Ada pelajaran penting yang mesti diperhatikan dalam

memahami arti tawakkal. Tawakkal harus terkumpul dalamnya dua

Page 36: Materi kuliah pai semester ii

syarat yaitu: (1) menyandarkan hati pada Allah, dan (2) melakukan

usaha (sebab). Sehingga tidak benar jika orang hanya berusaha namun

tidak menyandarkan hatinya pada Allah karena segala sesuatu di

tangan Allah. Dan tidak tepat pula jika seseorang hanya bersandar

pada Allah, namun tidak ada usaha yang ia lakukan. Ada sebuah kisah

yang bisa jadi pelajaran. ‘Umar bin Khottob pernah melihat sekelompok

orang yang ngaku-ngaku sebagai orang yang bertawakkal, namun

mereka tidak melakukan usaha apa-apa. ‘Umar bertanya pada mereka,

“Siapa kalian?” “Kami adalah mutawakkiluun, orang yang

bertawakkal”, jawab mereka. ‘Umar lantas menjawab, “Tidak. Kalian

adalah muta-akkalun (artinya, orang yang hanya menanti diberi

makan).” Yaitu mereka itu sebenarnya hanyalah orang yang hanya

butuh pada uluran tangan orang lain dan bukan orang yang

bertawakkal. Karena orang yang bertawakkal harusnya melakukan

usaha.

‘Umar bin Al Khottob pun pernah mengatakan,“Kalian telah

mengetahui bahwa langit sama sekali tidak menurunkan hujan emas

atau hujan perak.” Ini beliau katakan untuk mengingkari orang yang

hanya duduk untuk ibadah namun tidak punya untuk meraih rizki.

Mereka sebenarnya orang-orang pemalas yang butuh ularan tangan

orang lain. Lantas ‘Umar pun menghardik mereka. Lalu mengatakan

perkataan di atas. Demikian penjelasan singkat mengenai buah

tawakkal yang kami sarikan dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan

hafizhohullah (Ulama besar di Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia, anggota

Al Lajnah Ad Daimah) dalam kumpulan risalahnya.

Ikhlas dan syukur.

Di kala impian belum terwujud, kita selalu banyak memohon dan

terus bersabar menantinya. Namun di kala impian sukses tercapai,

kadang kita malah lupa daratan dan melupakan Yang Di Atas yang

telah memberikan berbagai kenikmatan. Oleh karenanya, apa kiat

ketika kita telah mencapai hasil yang kita idam-idamkan? Itulah yang

sedikit akan kami kupas dalam tulisan sederhana  ini.

Akui Setiap Nikmat Berasal dari-Nya

Inilah yang harus diakui oleh setiap orang yang mendapatkan nikmat.

Nikmat adalah segala apa yang diinginkan dan dicari-cari. Nikmat ini

harus diakui bahwa semuanya berasal dari Allah Ta’ala dan jangan

Page 37: Materi kuliah pai semester ii

berlaku angkuh dengan menyatakan ini berasal dari usahanya semata

atau ia memang pantas mendapatkannya. Coba kita renungkan firman

Allah Ta’ala,

“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa

malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (QS. Fushshilat:

49). Atau pada ayat lainnya, “Dan apabila Kami memberikan nikmat

kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia

ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (QS. Fushshilat: 51)

Inilah tabiat manusia, yang selalu tidak sabar jika ditimpa kebaikan

atau kejelekan. Ia akan selalu berdo’a pada Allah agar diberikan

kekayaan, harta, anak keturunan, dan hal dunia lainnya yang ia cari-

cari. Dirinya tidak bisa merasa puas dengan yang sedikit. Atau jika

sudah diberi lebih pun, dirinya akan selalu menambah lebih. Ketika ia

ditimpa malapetaka (sakit dan kefakiran), ia pun putus asa. Namun

lihatlah bagaimana jika ia mendapatkan nikmat setelah itu? Bagaimana

jika ia diberi kekayaan dan kesehatan setelah itu? Ia pun lalai dari

bersyukur pada Allah, bahkan ia pun melampaui batas sampai

menyatakan semua rahmat (sehat dan kekayaan) itu didapat karena ia

memang pantas memperolehnya. Inilah yang diisyaratkan dalam

firman Allah Ta’ala:

“Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami

sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: “Ini adalah

hakku.”(QS. Fushshilat: 50)

Sifat orang beriman tentu saja jika ia diberi suatu nikmat dan

kesuksesan yang ia idam-idamkan, ia pun bersyukur pada Allah.

Bahkan ia pun khawatir jangan-jangan ini adalah istidroj (cobaan yang

akan membuat ia semakin larut dalam kemaksiatan yang ia terjang).

Sedangkan jika hamba tersebut tertimpa musibah pada harta dan anak

keturunannya, ia pun bersabar dan berharap karunia Allah agar lepas

dari kesulitan serta ia tidak berputus asa.

Ucapkanlah “Tahmid”

Inilah realisasi berikutnya dari syukur yaitu menampakkan nikmat

tersebut dengan ucapan tahmid (alhamdulillah) melalui lisan. Ini

adalah sesuatu yang diperintahkan sebagaimana firman Allah

Ta’ala:“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu

menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh Dhuha: 11).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:“Membicarakan

Page 38: Materi kuliah pai semester ii

nikmat Allah termasuk syukur, sedangkan meninggalkannya

merupakan perbuatan kufur.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani

mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al

Jaami’ no. 3014).

Lihat pula bagaimana impian Nabi Ibrahim tercapai ketika ia

memperoleh anak di usia senja. Ketika impian tersebut tercapai, beliau

pun memperbanyak syukur pada Allah sebagaimana do’a beliau ketika

itu,“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di

hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar

Maha Mendengar (memperkenankan) doa. ” (QS. Ibrahim: 39). Para

ulama salaf ketika mereka merasakan nikmat Allah berupa kesehatan

dan lainnya, lalu mereka ditanyakan, “Bagaimanakah keadaanmu di

pagi ini?” Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah (segala puji hanyalah

bagi Allah).”

Oleh karenanya, hendaklah seseorang memuji Allah dengan

tahmid (alhamdulillah) atas nikmat yang diberikan tersebut. Ia

menyebut-nyebut nikmat ini karena memang terdapat maslahat dan

bukan karena ingin berbangga diri atau sombong. Jika ia malah

melakukannya dengan sombong, maka ini adalah suatu hal yang

tercela.

Memanfaatkan Nikmat dalam Amal Ketaatan

Yang namanya syukur bukan hanya berhenti pada dua hal di

atas yaitu mengakui nikmat tersebut pada Allah dalam hati dan

menyebut-nyebutnya dalam lisan, namun hendaklah ditambah dengan

yang satu ini yaitu nikmat tersebut hendaklah dimanfaatkan dalam

ketaaatan pada Allah dan menjauhi maksiat. Contohnya adalah jika

Allah memberi nikmat dua mata. Hendaklah nikmat tersebut

dimanfaatkan untuk membaca dan mentadaburi Al Qur’an, jangan

sampai digunakan untuk mencari-cari aib orang lain dan disebar di

tengah-tengah kaum muslimin. Begitu pula nikmat kedua telinga.

Hendaklah nikmat tersebut dimanfaatkan untuk mendengarkan

lantunan ayat suci, jangan sampai digunakan untuk mendengar

lantunan yang sia-sia. Begitu pula jika seseorang diberi kesehatan

badan, maka hendaklah ia memanfaatkannya untuk menjaga shalat

lima waktu, bukan malah meninggalkannya. Jadi, jika nikmat yang

diperoleh oleh seorang hamba malah dimanfaatkan untuk maksiat,

maka ini bukan dinyatakan sebagai syukur.Muhammad bin Ahmad bin

Page 39: Materi kuliah pai semester ii

Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu

Hazim mengatakan:.“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk

mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”Mukhollad bin Al

Husain mengatakan:“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”

Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3

rukun syukur:   mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati),

membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan

menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah

(dengan anggota badan).Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah

mengatakan:“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam

hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota

badan.”

Merasa Puas dengan Rizki Yang Allah Beri

Karakter asal manusia adalah tidak puas dengan harta. Hal ini

telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam

berbagai haditsnya. Ibnu Az Zubair pernah berkhutab di Makkah, lalu ia

mengatakan “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh

dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua

semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan

lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan

tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.”

(HR. Bukhari no. 6438)

Inilah watak asal manusia. Sikap seorang hamba yang benar

adalah selalu bersyukur dengan nikmat dan rizki yang Allah beri

walaupun itu sedikit. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda,“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia

tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad,

4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan

sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)

Jadilah Hamba yang Rajin Bersyukur

Pandai-pandailah mensyukuri nikmat Allah apa pun itu. Karena

keutamaan orang yang bersyukur amat luar biasa. Allah Ta’ala

berfirman:

“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang

bersyukur.” (QS. Ali Imron: 145) “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu

memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan

Page 40: Materi kuliah pai semester ii

menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-

Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” (QS. Ibrahim: 7)

Ya Allah, anugerahkanlah kami sebagai hamba -Mu yang pandai

bersyukur pada-Mu dan selalu merasa cukup dengan segala apa yang

engkau beri.

Mana Bukti Cintamu pada Nabi?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam

kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-

orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya

untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan

pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya

berbagai cara untuk membuktikannya. Namun tidak semua cara

tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti

diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan

memberikan kepahaman.

Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah

Ta’ala berfirman:

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-

isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,

perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal

yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya

dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah

mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk

kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir

rahimahullah mengatakan,  “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai

daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka

tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”

Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan

tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan

pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman:“Nabi itu (hendaknya) lebih

utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.” (QS. Al

Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak

ridho pada umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan

keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri. Jiwa

Page 41: Materi kuliah pai semester ii

tersebut selalu mengajak pada keburukan.” Oleh karena itu, kecintaan

pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri

sendiri.‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin

Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah,

sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap

diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata:

”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum

sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu

sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau

(Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi

shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar,

(imanmu telah sempurna).”

Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :

Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai. Semakin

sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya

kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah

manusia yang paling luar biasa dan sempurna dalam akhlaq,

kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau adalah begitu

perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada

umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-

Nya:”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu

sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan

(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi

penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika

seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara

faedah tersebut adalah: Mendapatkan manisnya iman, Dari Anas

radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:“Tiga

perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman

yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya;

mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada

kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.”

Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhiratDari Anas

bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai

Page 42: Materi kuliah pai semester ii

Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang

telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut

menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari

tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah.

Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau

shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Kalau begitu) engkau akan

bersama dengan orang yang engkau cintai.” Dalam riwayat lain, Anas

mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana

rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang

yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku

mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar.

Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada

mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Akan memperoleh kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tidaklah beriman (dengan

sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya

serta manusia seluruhnya.”

Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa

pun. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah

makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang

terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari

Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari Quraisy. Lalu

Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.” Di antara

bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz

yang menjadi rujukannya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam

Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa

saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena

perkataan yang lainnya.”

Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi

shallallahu ’alaihi wa sallam.Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya

Page 43: Materi kuliah pai semester ii

yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa

sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang

dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan

akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman:”Demi bintang ketika

terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan

hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 1-4)

Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Di

antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah

memuji beliau dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling

mendalam ialah pujian yang diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau

terhadap dirinya sendiri, dan yang paling utama adalah shalawat dan

salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut

di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”

Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

serta berpegang pada petunjuknya. Allah Ta’ala

berfirman:“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,

ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-

dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31). Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah

membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian.

Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah) adalah

sesat .”

Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa

sallam. Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi

wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’

(mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada iman bagi

orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya

syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka

(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu

hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka

tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan

yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.

An-Nisa’: 65) Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang

yang keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

Page 44: Materi kuliah pai semester ii

sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang disucikan,

bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di

antara mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada

dalam hati mereka rasa keberatan terhadap hukumnya.”

Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Membela

dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah

satu tanda kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman: “(Juga)

bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan

dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan

keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka

itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr: 8). Di antara contoh

pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti

diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami

kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah,

aku memohon ampun kepadamu terhadap perbuatan para sahabat

dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum musyrik.” 

Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai

Sa’ad bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku

mencium bau surga dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu

berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik

berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang, tikaman

tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan

kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun

yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang

mengenalinya dari jari telunjuknya.”

Adab Membaca Al-Quran

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung

kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan

memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh

perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan

dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat

dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari

oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an.

Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik

Page 45: Materi kuliah pai semester ii

kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

(HR. Bukhari)

Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu

memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan

kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan

tenang. Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam

keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam

keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang

membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan

mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu

yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)

2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat

menghayati ayat yang dibaca. Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang

membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak

memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan).

Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari

semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah

memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an

setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang

dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit,

mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.

3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena

sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan

perasaan. Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya

yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil

menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109). Namun

demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura

menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya. Sebagaimana sabda

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan

suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain

dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-

Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca

Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj

hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari

ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-

Page 46: Materi kuliah pai semester ii

lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah. Alloh Subhanahu wa

Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-

Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-

godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98). Membaca Al-

Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak

perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat

yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya

setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah

satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak

boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-

Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.

MARAJI”:

Majmu’ Fatawa,

As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat,

Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh, 1/266, Asy

Syamilah

Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh, 1/266, Asy

Syamilah

Minhajus Sunnah An Nabawiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7/459,

Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1406 H.

I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/7,

Darul Jail, 1973

Mukhtashor Minhajil Qoshidin