25
I. SEKILAS PEMAHAMAN SENI BUDAYA I.1 Pengertian Kebudayaan Kebudayaan menurut pandangan antropolog adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980: 193-239). Serupa dengan gagasan Honingmann yang membedakan tiga gejala kebudayaan yaitu ideas, aktivities, dan artifacts, Koentjaraningrat (1980:200) membedakan tiga wujud kebudayaan yang ia sebut: pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan; kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat; dan ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. Budaya merupakan keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kemampuan lain dan kebiasaan yang dicapai oleh individu sebagai anggota masyarakat (E. B. Taylor). Dalam setiap makna dan setiap jiwa, kebudayaan menurut Williams adalah hal-hal yang dialami dalam hidup sehari-hari (Barker, 2005:50). Dari pandangan antropologi, biasanya melihat kebudayaan sebagai unsur yang terintegrasi. Keseluruhan unsur-unsur

Materi SB

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Materi   SB

I. SEKILAS PEMAHAMAN SENI BUDAYA

I.1 Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan menurut pandangan antropolog adalah keseluruhan sistem gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980: 193-239). Serupa dengan gagasan

Honingmann yang membedakan tiga gejala kebudayaan yaitu ideas, aktivities, dan artifacts,

Koentjaraningrat (1980:200) membedakan tiga wujud kebudayaan yang ia sebut: pertama,

wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan; kedua,

wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat;

dan ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. Budaya merupakan

keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,

adat, dan kemampuan lain dan kebiasaan yang dicapai oleh individu sebagai anggota

masyarakat (E. B. Taylor). Dalam setiap makna dan setiap jiwa, kebudayaan menurut

Williams adalah hal-hal yang dialami dalam hidup sehari-hari (Barker, 2005:50).

Dari pandangan antropologi, biasanya melihat kebudayaan sebagai unsur yang

terintegrasi. Keseluruhan unsur-unsur tersebut disebut unsur-unsur kebudayaan universal,

artinya berbagai macam unsur itu ada dan bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan di

dunia. Dari berbagai unsur kebudayaan tersebut dapat dipilh-pilahkan menjadi tujuh unsur

yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisosial, sistem peralatan (teknologi), sistem mata

pencaharian, sistem kepercayaan, dan kesenian.

1.2 Pengertian Seni

Seni pada masa lampau selalu dihubung-hubungkan dengan tiga hal yaitu keindahan,

kebaikan, dan kebenaran. Hal tersebut juga pernah dihubungkan dengan pendapat filsuf

Jerman yang bernama Alexander Baumgarten yang membedakan tiga kesempurnaan di dunia

Page 2: Materi   SB

yaitu kebenaran, keindahan dan kebaikan (Soedarso, 1998). Keindahan berada dalam

cakupan tangkapan inderawi, kebaikan melalui penangkapan moral atau hati nurani, dan

kebenaran ditangkap melalui rasio. Karena seni berhubungan dengan olah rasa dan olah

pikiran maka seni sering dijadikan lencana bagi kebenaran moral dan etika kebaikan pada

umumnya. Oleh karenanya menurut pandangan teori seni klasik menyatakan bahwa seni

harus indah, baik, dan benar. Berdasarkan teori mimesis Plato dan Aristoteles kesenian adalah

suatu usaha untuk menyalin alam ke dalam berbagai macam bentuk.

Menurut Ki Hajar Dewantara seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari

hidup perasaannya dan bersifat indah, sehingga dapat menggerakan perasaan jiwa manusia

(Soedarso, 1998). Sebagai produk keindahan yang dihasilkan manusia menurut teori ini seni

selalu bersangkut paut dengan keindahan. Dengan demikian seni adalah berbagai cara untuk

mengkomunikasikan sesuatu. Keistimewaan seni dalam ekspresivitas, memperhalus dan

memperluas komunikasi menjadi suatu persentuhan rasa yang akrab dengan menularkan

kesan dan pengalaman subyektif, yaitu kesan dan pengalaman seniman kepada penonton atau

pengamat.

Kesenian sebagai unsur kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai “hasil ciptaan”, suatu

hasil karya manusia, tetapi dalam hal ini lebih dipandang sebagai suatu simbol, lambang yaitu

“mengatakan sesuatu tentang sesuatu” jadi berhadapan dengan makna pesan yang perlu

diresapkan. Sebagaimana dinyatakan Langer (1957: 31-33) seni sebagai abstraksi bentuk-

bentuk simbolik dari macam-macam perasaan manusia dapat diungkapkan dengan berbagai

media. Simbol seni semata-mata tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan realitas

obyektif atau fakta, melainkan realitas subyektif atau subyektivitas si seniman, sehingga

bentuk simbolis yang dihasilkan mempunyai ciri-ciri yang khas, Langer menyebutnya

sebagai forma atau bentuk yang hidup (living form). Berkat ekspresi tersebut, simbol seni

tidak tinggal diam, beku atau bisu tetapi berbicara kepada orang lain (Sudiardja, 1983: 77-

Page 3: Materi   SB

80). Simbol seni dengan demikian satu dan padu. Ia tidak hanya menyampaikan makna untuk

dimengerti, tetapi lebih kepada “pesan” untuk diresapkan. Terhadap makna, orang hanya

dapat mengerti atau tidak mengerti tetapi terhadap pesan terutama dalam seni orang dapat

tersentuh secara mendalam dan intensif.

II. SENI KARAWITAN

Seni Karawitan adalah musik tradisional Indonesia baik vokal maupun instrumental yang

berlaras pelog atau selendro. Seni Karawitan dapat dibedakan menjadi dua yaitu seni karawitan vokal

dan seni karawitan instrumental. Seni karawitan vokal medianya suara manusia lazim disebut

tembang, sedangkan seni karawitan instrumental medianya alat bunyi-bunyian lazim disebut gamelan.

Seni karawitan terutama gamelan berkembang sangat pesat di Bali. Dari segi ragam

ansambelnya tak kurang dari 38 perangkat gamelan kini tersebar di seluruh Pulau Dewata.

Hampir setiap banjar memiliki sedikitnya satu barung gamelan. Fungsi utama dari masing-

masing gamelan tersebut adalah untuk mendukung kegiatan upacara agama dan upacara adat

bagi masyarakat setempat. Kini dengan gencarnya industri pariwisata sebagian masyarakat,

telah mengembangkan fungsi sekunder gamelan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan

hidup sekelompok masyarakat, terutama seni gamelan yang memiliki peran menopang

kegiatan seni turistik.

Jika dirunut berdasarkan penggolongannya seni karawitan terutama gamelan Bali

diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi yaitu: gamelan tua, gamelan madia dan gamelan

baru (Rembang, 1983). Klasifikasi ini didasarkan atas seberapa besar dominasi fungsi dan

kedudukan kendang dalam sebuah ansambel. Walaupun kriteria formal yang dijadikan

landasan penggolongan belum sahih benar, namun setidaknya gambaran umum tentang

eksistensi karawitan Bali dapat dijelaskan berdasarkan klasifikasi berikut. Kelompok gamelan

tua pada umumnya tidak menggunakan kendang atau fungsi kendangnya tidak dominan

diklasifikasikan ke dalam golongan tua. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah gamelan

Page 4: Materi   SB

Gambang, Caruk, Selonding, Gender Wayang, Gong Bheri, Gong Luang dan Angklung

Klentangan. Kelompok gamelan madia sudah mulai menggunakan kendang sebagai

pengendali dalam penyajian reportoar digolongkan ke dalam golongan madia. Termasuk

dalam kategori ini adalah Gamelan Gambuh, Gong Bebonangan, Semara Pagulingan,

Pelegongan, Joged Pingitan, Bebarongan, Gong Gede, Gamelan Pearjaan dan Batel.

Kelompok gamelan baru adalah gamelan-gamelan yang menempatkan fungsi kendang telah

berperan dominan. Sebagai tonggaknya adalah muncul sejak awal abad XX hingga sekarang.

Termasuk dalam klasifikasi ini adalah Gong Kebyar, Gamelan Jegog, Kendang Mabarung,

Joged Bumbung, Gamelan Salukat, Gamelan Bumbang (1982), Adi Merdangga (1984),

Genta Pinara Pitu (1985), Gamelan Terompong Beruk, Bala Ganjur, Tektekan, Bumbung

Gebyog, Grumbyungan, Gamelan Genggong, Gamelan Janger, Angklung Kebyar, Kembang

Kirang, Gamelan Tambur, Gong Suling, Gong Samara Dahana (1992), Gong Gede Saih Pitu

(2002), Gamelan Manika Santi (2006), dan Gamelan Siwa Nada (2010).

Tingginya tingkat inovasi seniman Bali telah memperkaya khazanah gamelan Bali dari

waktu ke waktu. Gamelan-gamelan tersebut, di samping memiliki kedudukan yang strategis

secara fungsional baik dalam kaitannya dengan fungsi wali (sakral), bebali (semi sakral) dan

balih-balihan (sekuler) juga dimanfaatkan sebagai media, wahana kreativitas bagi anggota

masyarakat pendukungnya. Itulah sebabnya seni karawitan Bali dapat menunjang segala

aktivitas kehidupan budaya masyarakatnya, seperti kegiatan ritual, adat, sosial, hari-hari

besar kenegaraan, pawai, lomba, termasuk dalam menunjang kegiatan bidang pariwisata dan

kepentingan politik bagi parpol dan ormas (kampanye, demonstrasi, dan atraksi pemilukada

lainnya).

Bali sudah sejak dulu dijuluki sebagai “Pulau Kesenian”. Hal ini tentu tidak terlepas dari

potensi kesenian Bali yang begitu variatif dan bercita rasa tinggi. Dalam kaitan dengan seni

pertunjukan, seni karawitan memiliki fungsi strategis untuk mendukung kehidupan seni-seni

Page 5: Materi   SB

yang lainnya seperti seni tari palegongan, kekebyaran, pajogedan, bebarongan, dan dramatari

lainnya seperti pagambuhan, petopengan, pearjaan, penyalonarangan, janger, wayang, dan

juga seni pasantian.

Kehidupan seni-seni tersebut umumnya diwadahi dalam sebuah organisasi yang disebut

sekaa, di bawah patronage lembaga tradisional seperti Banjar, Pemaksan, Desa Pakaraman,

Puri dan sebagainya. Kini dalam perkembangannya telah tumbuh berbagai organisasi-

organisasi sosial seperti yayasan, sanggar, group, baik yang terdapat di hotel, restauran,

lembaga-lembaga pemerintah seperti instansi-instansi, sekolah, dan perguruan tinggi dan

lembaga penyiaran publik seperti RRI, TVRI, dan TV lokal lainnya yang telah menjadi

pendukung sekaligus pengayom perkembangan seni di masyarakat.

Di Bali umumnya, hampir setiap Banjar memiliki kesenian Tari dan Tabuh terutama

dalam kaitan untuk menunjang kebutuhan pelaksanaan upacara keagamaan. Seni Tari kini

berkembang subur di Bali baik yang tradisi maupun ciptaan-ciptaan baru. Sebagai bagian dari

seni pertunjukan keberadaan seni tari juga sangat berkaitan dengan seni karawitan sebagai

iringannya. Baik untuk mengiringi seni tari yang berlakon seperti dramatari maupun seni tari

yang tidak berlakon. Dalam kaitan ini gamelan sebagai pengiring juga sangat diperlukan

untuk bidang seni tari seperti :

tari yang berlakon dan pelakunya berantawacana seperti drama tari Wayang

Wong diringi dengan gamelan Batel, Arja diringi dengan gamelan Geguntangan,

dramatari Calonarang diringi gamelan Bebarongan, Legong Kraton diringi

gamelan Palegongan, dramatari Gambuh diiringi gamelan Pagambuhan,

dramatari Topeng diiringi gamelan Gong Gede atau Gong Kebyar, Parwa diiringi

gamelan Batel, tari Janger diringi gamelan Batel dipadukan gamelan Gender

Page 6: Materi   SB

Wayang, dan Sendratari diiringi dengan gamelan Gong kebyar atau sering pula

dipadukan dengan Gong Gede dan Semar Pagulingan;

2) tari yang tidak berlakon yang mencakup berbagai jenis seperti: Tari Baris

diirngi Gong Gde, Tari Sanghyang diringi tembang atau musik vokal, Sutri

diringi Gong Kebyar, Tari Rejang diiringi Gong Gde/Kebyar, Tari Joged diiringi

Joged Bumbung, Tari Mageret Pandan dan Tari Mabuang diirngi gamelan

Selonding, Tari Makepung diirngi gamelan Jegog, Tari Godogan diiringi dengan

gamelan Genggong dan tari-tarian lepas diirngi dengan Gamelan Gong Kebyar.

Bagaimanapun keberhasilan penyajian sebuah tarian sangat ditentukan oleh

musik iringan untuk mendukung suasana, aksentuasi dan ekspresi geraknya.

III. GONG KEBYAR

Gong Kebyar adalah sebuah ansambel gamelan Bali yang dipekirakan muncul tahun

1915 (Mc Phee, 1966: 328) di daerah Bali Utara (Singaraja) tepatnya di desa Jagaraga

(Sawan). Ada pula informasi yang lain bahwa yang memulai tradisi Kebyar I Gst Bagus

Panji di desa Bungkulan.

Istilah kebyar dari kata “byar-byar” yaitu sinar yang datang secara tiba-tiba. Sesuai

dengan namanya gamelan ini bermakna cepat, tiba-tiba dan keras. Musik yang dihasilkan dari

gamelan ini memang penuh dengan kejutan-kejutan secara tiba-tiba, menghentak secara keras

dengan tempo cepat yang dinamis. Gamelan ini selain untuk menyajikan tabuh-tabuh

instrumental juga untuk mengiringi tari-tarian kekebyaran.

Secara fisik Gamelan Gong Kebyar adalah pengembangan kemudian dari gamelan

Gong Gede dengan pengurangan peranan dan peniadaan beberapa buah instrumennya seperti

peranan Instrumen Terompong dikurangi bahkan dalam beberapa reportoar tidak digunakan

sama sekali. Gangsa jongkok Gong Gde yang berbilah lima dalam Gamelan Kebyar

dikembangkan menjadi 10 bilah dan dirubah menjadi gangsa gantung. Cengceng Kopyak

Page 7: Materi   SB

yang berjumlah 6-8 pasang diganti dengan 1 atau 2 set cengceng kecil. Kendang yang

dimainkan dengan panggul kemudian diganti dengan menggunakan pukulan tangan.

Secara konsep Gong Kebyar adalah perpaduan antara rasa musikal Gender Wayang

yang lincah, Gong Gede yang kokoh dan pelegongan yang melodis. Dalam perkembangannya

Gong Kebyar juga mengadopsi berbagai reportoar gamelan Bali lainnya seperti pagambuhan,

leluangan, pejogedan, dan gegambangan.

Gong Kebyar pada masa awal perkembangannya adalah ikon musik Bali modern.

Masyarakat Bali seakan-akan terhipnotis dengan gerak laju perkembangan Gong Kebyar.

Akibatnya banyak jenis gamelan Bali yang dilebur dijadikan Gong Kebyar. Tahun tiga

puluhan, ansambel palegongan, Gong Gde, dan boleh jadi gamelan Bali lainnya banyak

yang menjadi korban, dilebur dijadikan Gong Kebyar.

Munculnya tari Kebyar Legong karya Pan Wandres yang dikembangkan menjadi tari

Teruna Jaya oleh Gde Manik semakin menunjukkan identitas gamelan ini yang cepat dan

dinamis. Kemudian dengan datangnya seorang penari Jauk bernama I Ketut Mario dari

Tabanan berhasil menciptakan tari Kebyar Duduk tahun 1925, dan tari Oleg Tamulilingan

tahun 1952. Tari Kebyar Duduk disebut juga tari Kebyar Terompong, karena sambil duduk

penarinya dengan lincah memainkan instrumen Terompong. Tarian-tarian ini sampai

sekarang masih eksis dan menjadi ikon tarian Kebyar. Selain kedua tarian di atas, dalam

perkembangannya muncul juga beberapa tarian seperti:

1. Tari Margepati (Raja Hutan) yang diciptakan seniman Nyoman Kaler tahun 1942. Ia

juga menciptakan tari Demang Miring, Panji Semirang.

2. Tarian Wiranata diciptakan oleh Nyoman Ridet.

3. Tari Nelayan oleh Ketut Merdana (Singaraja) tahun 60-an,

4. Tari Tenun oleh Wayan Likes tahun 1957.

Page 8: Materi   SB

5. Tari Tani tahun 1957 oleh Wayan Beratha

6. Tari Kupu-kupu oleh Wayan Berata tahun 1960-an.

7. Tari Gabor oleh I Gusti Gde Raka dari Saba Blahbatuh Gianyar tahun 1969.

8. Pada era tahun 80-an muncul beberapa karya tari kreasi baru dengan corak yang agak

berbeda seperti :

9. Manuk Rawa tahun 1981 oleh Wayan Dibia dan Wayan Beratha,

10. Puspawresti Karya I Wayan Dibia dengan I Nyoman Windha (1981),

11. Tari Jaran Teji (1985), Yudhapati dan Cilinaya karya Wayan Dibia tahun 1986.

12. Tari Kijang Kencana dan Srikandi Duta karya I Gusti Agung Ngurah Supartha dan I

Wayan Beratha tahun 1982,

13. Sekaribing karya I Nyoman Suarsa dan Ketut Gde Asnawa (1983),

14. Tari Gopala Nyoman Suarsa dengan I Ketut Gde Asnawa (1983),

15. Jalak Putih tahun 1984 Karya I Gusti Bagus Arsadja.

16. Kembang Pencak karya Nyoman Catra dengan Nyoman Windha)

17. Tahun 1988 muncul tari Cendrawasih karya NLN Swasti Wijaya Bandem bersama

Nym. Windha. Karya bersama lainnya Puspanjali (1989), Sekarjagat (1993), Bebilis

(1983), Saraswati (1994).

18. Tarian Satya Brasta (1989) karya hasil Ujian Sarjana Nyoman Cerita dan I Nyoman

Pasek,

19. Garuda Wisnu Kencana karya Nyoman Cerita dengan Arya Sugiartha dalam rangka

Peksiminas di Bandung 1997. Tarian Kreasi ini semakin menjamur dengan di

masukkannya materi Tari Kreasi yang difestivalkan dalam lomba Gong Kebyar.

Selain Tarian Kebyar muncul juga pengrawit selaku komposer muda setelah generasi

Wayan Beratha, muncul Seniman Nyoman Rembang (gamelan Bumbang), Wayan

Sinthi ( membuat gamelan Manika Santi, dan Siwanada), seperti Nyoman Astita,

Page 9: Materi   SB

Ketut Gde Asnawa, Nyoman Windha, Gst Ngurah Padang, Nyoman Sudarna, I Made

Arnawa, Ketut Tama, yang banyak menciptakan karya-karya karawitan kreasi baru.

Generasi berikutnya adalah Sutama, Widya, Dewa Darmayasa, Japa, Darya, Cater,

Suanditha, Dewa Alit, Sukarya, dan seterusnya.

Selain musik dan tari-tarian Kebyar, juga dengan Gong Kebyar mampu

mempopulerkan Sendratari (seni, drama, tari) di Bali. Sendratari yang pertama adalah Jaya

Prana digubah oleh Wayan Beratha tahun 1962. Kemudian baru muncul sendratari berikutnya

gubahan Wayan Beratha bersama guru Kokar lainnya. Ramayana tahun 1965, Sendratari

Mayadenawa 1966, Sendratari Rajapala tahun 1967, dan Sendratari ArjunaWiwaha tahun

1970. Setelah itu muncul sendratari Mahabarata garapan Nyoman Jayus di Tanjung Bungkak,

Sendratari Gatut Kaca Sraya oleh Wayan Dibia di Baturiti, dan Sendratari Puputan

Margarana oleh Nyoman Sumiasa dari Kedisan Singaraja. Era tahun 1980-an ASTI dan

Kokar bergabung menciptakan sendratari Mahabaratha dan Ramayana 7 kanda. Pada masa

berikutnya di samping masing-masing lembaga seni ini telah mampu berkarya secara

mandiri, tiap-tiap kabupaten juga mendapat kesempatan menampilkan sendratari di panggung

besar Arda Candra. Seperti Karangasem dengan Sendratari “Tanah Aron”, Gianyar dengan

Sendratari Ki Pasung Gerigis, Buleleng dengan Sendratari Ki Barak Panji (perang Jagaraga),

Klungkung dengan Puputan Klungkung, Denpasar dengan Puputan Badung, Negara dengan

Jimbarwana, Bangli dengan Satria Taman Bali, Tabanan dengan Puputan Margarana. Pada

masa-masa berikutnya tampak semangat masyarakat bawah seperti banjar, clen

(warga/soroh), yang turut berpartisipasi dalam PKB, seperti munculnya Sendratari Angkus

Prana Banjar Mukti, Singapadu (2009), Sendratari MGSDT(Mahagotra Sentana Dalem

Tarukan) pada PKB XXXIII tahun 20011.

Gong Kebyar adalah sebuah ansambel yang berlaras pelog lima nada. Laras adalah

tangga nada dalam gamelan Bali, yakni urutan nada-nada dalam satu oktaf. Dalam gamelan

Page 10: Materi   SB

Bali dikenal dua laras yakni laras pelog (mayor) dan laras selendro (minor). Laras pelog

adalah urutan nada-nada dalam satu oktaf yang terdiri dari lima nada pokok dengan interval

yang tidak sama, sedangkan laras selendro adalah urutan nada-nada dalam satu oktaf yang

intervalnya hampir sama. Laras pelog lima nada terdapat dalam gamelan Gong Kebyar, Gong

Gede, Bebarongan, Adi Merdangga, Pelegongan, Babonangan. Selain laras pelog lima nada

dalam gamelan Bali juga terdapat gamelan laras pelog tujuh nada seperti terdapat dalam

gamelan Gambang, Gong Luang, Semar Pagulingan, Pagambuhan, Semarandana, Gong Gede

Saih PItu, Genta Pinara Pitu, Manika Santi, dll. Sementara larasselendro terdapat pada

gamelan Angklung, Gender Wayang, Genggong, Joged Bumbung, dll.

Sebagai bentuk ansambel yang lengkap Gong Kebyar terdiri dari 10 buah gangsa

berbilah dengan rincian dua ugal, empat pemade, dan empat kantilan; 2 jegogan, 2 jublag,

dua penyacah, satu tungguh reyong berpencon 12, satu tungguh terompong berpencon 10,

sepasang kendang lanang wadon, satu tungguh kajar, satu tungguh kempli, satu tungguh

kempul, satu tungguh kemong, sepasang Gong lanang-wadon, sepangkon cengceng , 1-3

buah suling, dan satu tungguh rebab.

Jika dilihat dari fungsi instrumennya dapat dibagi tiga kelompok yaitu sebagai

pemangku lagu yaitu instrumen-intrumen yang memagang jalannya lagu seperti kantilan,

pemade, ugal, penyacah, jublag, jegogan, terompong, rebab dan suling; sebagai pemangku

irama yaitu kemong, kempul, kajar, kempli, gong, dan sebagai pemurba irama adalah

kendang bersama-sama dengan cengceng yaitu instrumen yang mengatur cepat lambat, keras

lemah, dan memberhentikan lagu. Selain itu instrumen kolotomik yang memegang ruas-ruas

dan hukum-hukum lagu adalah penyacah, jublag, jegogan, kemong, kempli, kempul, dan

gong.

Page 11: Materi   SB

IV. SEJARAH GAMELAN BALI

a. Gol Tua (Gender Wayang, Selonding, Gambang, Angklung, Gong Luang, Caruk)

b. Gol. Madya (Gong Gede, Pagambuhan, Palegongan, Babarongan, Joged

Pingitan/Gandrung, Semar Pagulingan)

c. Gol. Baru (Gong Kebyar, Gong Suling, Adi Merdangga, Bumbang, Semarandana, Genta

Pinarapitu, Gong Gede Saih Pitu, Salukat, Balaganjur, Tektekan, Bumbung Gebyog,

Okokan, Batel Ramayana, Manika Santi, Siwanada, Kendang Mabarung, Jegog,

Terompong Beruk, Kembang Kirang, Angklung Kebyar, Geguntangan, Joged Bumbung,

Gamelan Janger, Pereret, Balaganjur Semarandana, Genggong ) dll.

Perkembangan reportoar (klasik, modern, kontemporer)

Reportoar Klasik adalah jenis reportoar yang mana pola-pola lagunya telah diikat

dengan hukum-hukum atau uger-uger tertentu yang tidak boleh dilanggar. Contoh

tabuh-yabuh pegongan klasik seperti tabuh Pisan Pisang Bali, Tabuh Telu Gajah

Nongklang, Tabuh Telu Buaya Mangap, Tabuh Pat Semarandana, Tabuh Pat Jagul,

Tabuh Pat Banda Sura, Tabuh Nem Galang Kangin, Tabuh Kutus Pelayon, dsb.

Begitu pjula pada beberapa asambel lainnya seperti dalam pagambuhan, paarjaan,

dan palegongan telah memiliki pakem tersendiri. Dalam lagu pegongan strukturnya

masih kuat dengan pola kawitan, pengawak, pengiba, pengisep, pengecet, dan pekaad.

Reportoar Kreasi adalah sebuah reportoar yang beranjak dari pengembangan tradisi

namun telah menunjukkan adanya modifikasi, variasi, baik secara bentuk maupun

isinya. Dalam konteks ini ditekankan pada sikap penggarap yang lebih terbuka dalam

mengekspresikan gagasannya baik dalam penggarapan karawitan instrumental

maupun iringan tari. Beberpa contoh karya tabuh kreasi baru adalah Tabuh Purwa

Page 12: Materi   SB

Pascima, Candra Metu, Kosalia Arini, Palguna Warsa, Swa Buana Paksa Karya

maestro tabuh I Wayan Beratha, Paksi Angelayang karya Nyoman Astita, Wahyu

Giri Suara (87), Candra Baskara (1998) Lekesan (2000), Kuda Mandara Giri (2001),

Gelar Sanga (2007), Mas Kumambang (2010) karya Nyoman Windha. Demikian pula

karya-karya generasi berikutnya seperti Darya, Widia, Subandi, Suandita, dll. Dalam

penataan iringan tari seperti Kidang Kencana, Belibis, Manuk Rawa, Jaran Teji oleh

Wayan Beratha, Cendrawasih, Puspanjali, Sekar Jagat, Iringan Gopala oleh Ktut Gde

Asnawa, Tari Satya Brasta dan Garuda Wisnu Kencana oleh Nyoman Cerita, tari

Puspanjali Sekar Jagat, Gadung Kasturi, Cendrawasih, Belibis,oleh NLN Swasti

Wijaya.

Reportoar kontemporer adalah sebuah karya yang telah mengekspresikan gagasan

baru, yang tidak lagi terikat dengan aturan-aturan tradisi. Orientasi ditekankan pada hasil

penemuan baru dan kosep-konsep secara eksperimental. Dalam karya kontemporer justru

kebaharuan adalah menjadi tantangan utama dalam konsep karyanya. Selain originalitas,

kepekaan kreatif, dan juga ide dan konsep yang ditawarkan. Contoh karya Ketut Gde Asnawa

yang bejudul ” Kosong”, Eka Dasa Rudra (Astita), Sangkep (Windha), Jass Fusion (Windha),

Body Cak (Dibia), Ngelawang (Suteja),

Seniman yang kini masih getol berkarya kontemporer adalah Made Yudana, I Nyoman

Windha, Made Subandi, Agus Teja, Dewa Alit, Arnawa, Gde Arsana, Wayan Sudiarsa

(Pacet) sementara di bidang Tari yang kini masih tekun membidangi dunia konetmporer

adalah Nyoman Sura, Ketut Suteja, Gde Tegeh, dan Gung Rama.

Page 13: Materi   SB

IV. Fungsi seni

Curt Sachs dalam Word History of the Dance merumuskan ada dua fungsi utama tari

yakni untuk tujuan-tujuan magis dan sebagai tontonan. Gertrude Prokosch (G.P.) Kurath

dalam artikelnya Panorama of Dance Etnology secara rinci mengutarakan ada 14 fungsi tari

dalam kehidupan manusia yaitu: untuk inisiasi kedewasaan, 2) percintaan, 3), persahabatan,

4) perkawinan, 5) pekerjaan, 6) pertanian, 7) perbintangan, 8) perburuan, 9) menirukan

binatang, 10) menirukan perang, 11) penyembuhan, 12) kematian, 13) kerasukan, 14)

lawakan.

Seorang pakar tari dari Indonesia bernama RM. Soedarsono mengelompokan

fungsi seni menjadi tiga yaitu sebagai 1) sebagai sarana ritual, 2) sebagai ungkapan

dan hiburan pribadi, dan 3) sebagai presentasi estetis.

Seorang etnomusikolog bernama Alan P. Merriam menjelaskan ada 9 fungsi musik

etnis yaitu:

1) Sebagai kenikmatan estetis (pencipta maupun penonton)

2) Hiburan bagi seluruh warga masyarakat

3) Komunikasi bagi warga masyarakat yang memahami musik

4) Representasi simbolis

5) Respon Fisik

6) Memperkuat komformitas norma-norma sosial

7) Pengsahan isntitusi-institusi sosial dan ritual-ritual keagamaan

8) Sumbangan pada pelestarian dan stabilitas kebudayaan

9) Sebagai pengikat solidaritas sosial

Page 14: Materi   SB

Proses modernisasi melalui gelombang arus pariwisata tidak dipungkiri

mengakibatkan terjadinya proses kreativitas kesenian yang mengarah pada proses

komodifikasi. Hal ini terjadi karena ada upaya-upaya untuk mengkemas bentuk kesenian

tertentu untuk pemenuhan kebutuhan seni wisatawan. Akibatnya, komersialisasi dalam

bidang seni tak terhindarkan. Muncul keinginan untuk menyuguhkan potensi kesenian yang

unik dan eksotik. Mengantisipasi desakralisasi dalam bidang kesenian, maka tahun 1971

pemerintah propinsi Bali melalui Listibiya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan

Kebudayaan) telah menetapkan bentuk-bentuk kesenian Bali yang boleh dan tidak boleh

disajikan untuk wisatawan. Keputusan tersebut melahirkan pengklasifikasian kesenian Bali

menjadi tiga golongan yakni jenis kesenian wali (sakral), bebali (semi sakral), dan balih-

balihan (sekuler). Kesenian sakral sangat ditabukan untuk dipertunjukkan sebagai konsumsi

wisatawan. Untuk memenuhi tuntutan wisatawan akan seni yang eksotik maka oleh seniman

Bali dilakukan upaya pengkemasan seni turistik. Kemasan seni wisata ini tidak melanggar

prosedur seni sakral, karena dalam proses penciptaannya memang jauh dari atribut yang sarat

dengan makna-makna simbolis. Untuk membedakan dengan seni sakral, ada lima ciri seni

wisata yang dikemukakan oleh Soedarsono (1999:3) yaitu; (1) tiruan dari aslinya; (2) singkat,

padat atau bentuk mini dari aslinya; (3) penuh variasi; (4) ditanggalkan nilai-nilai sakral,

magis, serta simbolisnya; dan (5) murah harganya. Jadi untuk membedakan seni sakral dan

seni profan juga dapat diamati dari proses penciptaannya. Sebuah barong atau rangda yang

akan disakralkan dalam proses penciptaannya memerlukan berbagai sarana upacara (sesajen)

dari sejak perencanaan menentukan pohon kayu yang akan dijadikan tapel (topeng), sampai

proses sakralisasi (mingetin, ngepel, napak, melaspas, pasupati dan ngerehang/mintonin).

Sementara produk kemasan seni wisata tanpa melalui proses yang rumit. Bahan dasar kayu

dapat dibeli di mana saja. Untuk memulai proses pengerjaan tidak memerlukan sarana

upacara khusus. Namun dari segi produk tidak jarang sepintas kelihatan sama dengan produk

Page 15: Materi   SB

benda-benda sakral. Hal ini terjadi karena memang produk kemasan wisata mengimitasi

produk sakral sebelumnya hanya simbol-simbol sakralnya telah distorsi untuk memenuhi

kebutuhan seni turistik yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.

Dilihat dari proses kemasan seni yang demikian, terkait seni pertunjukan wisata maka

muncul beberapa istilah, yang oleh J. Maquet disebut sebagai art by destination (seni yang

ditujukan bagi masyarakat setempat), tourist art (seni wisata/turistik), art of acculturation

(seni akulturasi) atau pseudo tradisonal art (seni pseudo-tradisional), art by metamorphosis

(seni yang telah mengalami perubahan bentuk) (Soedarsono,1999:3)

Dampak dari kemasan seni wisata adalah semakin berkembangnya kesenian tertentu yang

dulunya sangat ditabukan untuk umum. Ini berarti seni sakral yang dulunya hanya hidup

dalam sebuah komunitas kini telah semakin eksis dan berkembang pesat dengan fungsi yang

semakin berkembang pula. Sebagai contoh gamelan Selonding yang sangat disakralkan,

dulunya hanya hidup dan berkembang di daerah Karangasem, kini telah tersebar luas tidak

hanya di Bali tetapi juga sampai ke luar negeri. Demikian pula fungsi awalnya untuk

mendukung upacara ritual kini telah difungsikan juga untuk olah kreativitas dalam bidang

musik kreasi baru bahkan kontemporer.

Begitu kuatnya tradisi musik instrumental yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok desa,

secara tidak langsung telah memberikan apresiasi terhadap seni suara berlaras pelog atau

selendro. Implikasinya, nada-nada yang didengar dalam gamelan ternyata juga menjadi

tangga nada yang digunakan dalam seni olah vokal. Habitus seperti ini sedikit tidak

berpengaruh terhadap proses pembelajaran penguasaan tembang secara lebih mudah.

Logikanya, orang yang telah memiliki sensitivitas titi laras tentu akan lebih mudah untuk

menguasai reportoar lagu.

Page 16: Materi   SB

Refrensi

Aryasa, IWM. 1983. Pengetahuan Karawitan Bali.Jakarta: Depdikbud. Dirjen. Dikdasmen., Dirdikmenjur.

Collin McPhee, 1966. Music in Bali.Yale University Press.

Dibia, I Wayan. 1997. Selayang Pandang Seni Pertunjukan. Denpasar:

Soedarso. 1998. “Seni dan Keindahan” dalam Pidato Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, 30 Mei 1998.

Sudiardja, A. 1983. Susanne K. Langer Pendekatan Baru dalam Estetika, dalam M.Sastrapratedja (ed). Manusia Multi Dimensional:Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: PT Gramedia.