66
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir-akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning merupakan proses pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat kompleks (Safar, 2000). Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar penyakit 1

mati suri.doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mati suri mati yg bisa membuat orang sadar

Citation preview

Page 1: mati suri.doc

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan

yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai

permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di

atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat

besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan

akhir-akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses

alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika

pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning

merupakan proses pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat

kompleks (Safar, 2000).

Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam

bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar

penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non infeksi pun

sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan. Semua upaya

tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat untuk

memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan dalam proses

pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda

proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian (Sunatrio,

1998).

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu

pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu-satunya jawaban tersedia di dalam

1

Page 2: mati suri.doc

ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini,

merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menunda

sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya

(Sunatrio, 1998).

Adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas),

seseorang yang dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang

datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat,

fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjal pun masih berjalan sebagaimana mestinya,

selama dalam bantuan alat respirator tersebut (Safar, 2000).

Kematian somatik merupakan fase kematian di mana tidak didapati tanda

tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang

menurun dan tidak adanya aktivitas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu

dua jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan

kematian sel. Kurun waktu dua jam diantaranya itulah yang dikenal sebagai fase mati

batang otak. Jika dalam jarak waktu tersebut tindakan supporting life non therapy

seperti penghentian resusitasi, maka tindakan yang dilakukan oleh dokter dapat

dikatakan sebagai bentuk euthanasia (Safar, 2000).

Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam,

pelarangan ini terdapat pada euthanasia aktif/positif (taisir al-maut al-faal)

sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’(4):92

Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan

kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash yang merupakan tindakan

penghentian perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi,

tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat

kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri (Qardhwai, 2000).

2

Page 3: mati suri.doc

Perlakuan pasien MBO yang sembrono atau insensitif dapat menimbulkan

derita dan distres yang tak perlu bagi keluarga dan perawat. Kekurangan komunikasi

atau informasi sering menimbulkan kesalahpahaman, seperti pemakaian istilah

“mencabut pipa ventilator”, “menghentikan bantuan hidup” dan sebagainya. Perlu

dijelaskan (kepada keluarga dan juga khalayak yang lebih luas), bahwa sewaktu

melepas ventilator, dokter  tidak menghentikan terapi dan membiarkan seseorang

meninggal, tetapi sekedar menghentikan upaya yang sia-sia terhadap seseorang yang

telah meninggal (Achadiat, 2005).

Dalam Islam, penggunaan mesin life support jika tidak memberikan kearah

perbaikan pasien seperti pada lanjut usia, maka diwajibkan untuk menghentikan

penggunaan alat-alat life support karena menggunakannya berarti bertentangan

dengan syariah Islam karena yang lebih utama bagi mereka dan lebih mulia bagi si

mayit yang dalam kondisi MBO.

I.2 Permasalahan

1. Bagaimana definisi dan penentuan (diagnosis) mati ditinjau dari kedokteran ?

2. Bagaimana diagnosis dan gejala-gejala mati batang otak ditinjau dari

kedokteran ?

3. Bagaimana pandangan kedokteran mengenai supporting life therapy ?

4. Bagaimana pandangan Islam mengenai supporting life therapy pada kondisi

mati batang otak ?

I.3 Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui perkembangan teknologi kedokteran modern dalam

3

Page 4: mati suri.doc

mendiagnosis kematian seseorang ditinjau kedokteran dan Islam.

2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya definisi kematian dan penentuan diagnosis kematian

ditinjau dari kedokteran.

2. Mengetahui definisi mati batang otak termasuk dalam diagnosis dan

gejala-gejalanya.

3. Mengetahui pandangan kedokteran mengenai supporting life therapy.

4. Mengetahui pandangan Islam mengenai supporting life therapy pada

kondisi mati batang otak

I.4 Manfaat

1. Bagi penulis, yaitu menambah pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan

kematian dan bagaimana cara penulisan skripsi yang baik dan benar.

2. Bagi Universitas YARSI yaitu menambah sumber pengetahuan dalam

kepustakaan Universitas YARSI mengenai mati batang otak ditinjau dari

Kedokteran dan Islam.

3. Bagi masyarakat yaitu mengetahui pengertia kematian pada bidang medis

sehingga dapat mempersiapkan diri dalam menghadapinya.

4

Page 5: mati suri.doc

BAB II

TINJAUAN ETIKOLEGAL PENGGUNAAN MESIN LIFE

SUPPORT PADA PASIEN DENGAN MATIN BATANG OTAK

DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1. PENDAHULUAN

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan

yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai

permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di

atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat

besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan

akhir-akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses

alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika

pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia (Safar,

2000).

Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam

bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar

penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non infeksi pun

sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan. Semua upaya

tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat untuk

memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan dalam proses

pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda

proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian (Muhiman,

2000).

5

Page 6: mati suri.doc

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu

pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu-satunya jawaban tersedia di dalam

ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini,

merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda

sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.

2.2.    KEMATIAN DALAM SUDUT PANDANG KEDOKTERAN

Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak pernah

diketahui dengan tepat kapan saatnya terjadi. Pengertian tentang kematian itu sendiri

mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu

pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu: somatic death

(kematian somatik) dan biological death (kematian biologik) (Sunatrio, 1998).

Tanda-tanda kematian somatik selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi

begitu alat respirator tersebut dihentikan, maka dalam beberapa menit akan diikuti

tanda kematian somatik lainnya. Walaupun tanda tanda kematian somatik sudah ada,

sebelum terjadi kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai macam tindakan

seperti pemindahan organ tubuh untuk transplantasi, kultur sel ataupun jaringan dan

organ atau jaringan tersebut masih akan hidup terus, walaupun berada pada tempat

yang berbeda selama mendapat perawatan yang memadai (Sunatrio, 1998).

Jadi dengan demikian makin sulit seorang tenaga kesehatan menentukan

terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik secara lengkap harus

terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau cukup bila didapati salah satu

dari tanda kematian somatik, seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja atau

henti detak jantung saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian

6

Page 7: mati suri.doc

manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan

keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan.

Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa

hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti

akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan

salah satu bentuk dari euthanasia.

2.2.1. Definisi Mati

Adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas),

seseorang yang dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang

datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat,

fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana mestinya,

selama dalam bantuan alat respirator tersebut.

Resusitasi mutakhir dalam dunia kedokteran telah membawa perubahan-

perubahan pada definisi kematian dan pembagian kematian tersebut (Safar, 2000).

1. Mati klinis

Merupakan salah satu bentuk kematian di mana terjadi henti nafas (tidak

ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan

semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada awal proses ini

pemberian resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem

organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberi terapi optimal.

2. Mati biologis

Merupakan kematian semua organ yang selalu mengikuti mati klinis bila

tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi

dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan,

dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira satu jam

7

Page 8: mati suri.doc

tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru dan hati yang menjadi

nekrotik selama beberapa jam atau hari.

Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik

yang berat, denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat,

ketika tidak hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu

terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin untuk tetap hidup

lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada kematian normal seperti ini tidak

bertujuan dan tidak berarti lagi.

3. Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja pompa

jantung pada organisme yang utuh atau hampir utuh. Henti jantung yang terus

berlangsung sesudah jantung pertama kali berhenti mengakibatkan kematian

dalam beberapa menit. Dengan perkataan lain, hasil akhir henti jantung yang

berlangsung lebih lama adalah mati mendadak (sudden death). Diagnosis

mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila telah ada asistol

listrik membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit

30 menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal.

4. Mati serebral (kematian korteks)

Merupakan kematian di mana terjadi kerusakan ireversibel (nekrosis)

serebrum, terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah

mati serebral ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk

serebelum, otak tengah dan batang otak.

5. Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan

kerusakan otak berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak

responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa

refleks yang utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEGnya

8

Page 9: mati suri.doc

tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf

otak dan upaya nafas spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur

sadar-tidur (Safar, 2000).

2.3. MATI BATANG OTAK DALAM KEDOKTERAN

Mati batang otak (near-death experience (NDE), suspend animation,

apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan (susunan

saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan) yang ditentukan oleh alat

kedokteran sederhana. Dengan alat kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan

bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati batang otak sering ditemukan

pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.

Kematian somatik merupakan fase kematian di mana tidak didapati tanda

tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang

menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu

dua jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan

kematian sel. Kurun waktu dua jam diantaranya itulah yang dikenal sebagai fase mati

batang otak (Sutcliffe, 2003).

Mati batang otak yang merupakan kondisi terjadi diantara kematian somatik,

di mana tidak didapati tanda-tanda kehidupan, dan kematian biologis. Kondisi ini

merupakan salah satu bentuk kematian yang dikenal sebagai mati otak dalam dunia

kedokteran. Seseorang yang dalam kondisi mati otak, tanda-tanda kehidupan dapat

kembali lagi jika dilakukan resusitasi yang memberikan hasil maksimal. Penggunaan

ventilasi buatan dan cara-cara bantuan lain pada kasus-kasus kerusakan otak akibat

trauma atau sebab lain, bila kemudian kerusakan ini terbukti reversibel, jantung

kadang-kadang dapat terus berdenyut selama satu pekan atau lebih, atau bahkan

9

Page 10: mati suri.doc

sampai 14 hari, dengan sebagian besar otak mengalami dekomposisi. Dengan kondisi

seperti ini jantung dapat terus berdenyut sampai 32 hari (pada seorang anak umur 5

tahun) (Jennet, 2001).

Penghentian ireversibel semua fungsi otak disebut mati otak (MO).

Penghentian total sirkulasi ke otak normotermik selama lebih dari 10 menit tidak

kompatibel dengan kehidupan jaringan otak. Jadi penghentian fungsi jantung

mengakibatkan MO dalam beberapa menit, sedangkan penghentian fungsi otak

mengakibatkan kehilangan fungsi jantung dalam beberapa jam atau hari (Gorman,

2000).

Kebanyakan kalangan yang berwenang dalam kedokteran dan hukum

sekarang ini mendefinisikan kematian suri dalam pengertian MO walaupun jantung

mungkin masih berdenyut dan ventilasi buatan dipertahankan. Akan tetapi banyak

pula yang memakai mati batang otak sebagai konsep MBO. Menurut IDI (1988),

seseorang dinyatakan mati bila (IDI, 1988);

a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti, atau

b. Telah terbukti terjadi MBO. Secara klasis dokter menyatakan mati

berdasarkan butir (a) tersebut dan ini dapat dilakukan di mana saja, di dalam

atau di luar rumah sakit.

Fungsi spontan nafas dan jantung telah berhenti secara pasti setelah dicoba

melakukan resusitasi darurat. Pada resusitasi darurat, di mana tidak mungkin

menentukan MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila 1) terdapat tanda-tanda mati

jantung atau 2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai

resusitasi, pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks

muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien

hipotermik, di bawah pengaruh barbiturat atau anestesia umum (IDI, 1988).

10

Page 11: mati suri.doc

Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981, tentang bedah mayat

klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia,

meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang

berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah

berhenti. Menurut Sunatrio (2006), batasan mati ini mengandung dua kelemahan.

Yang pertama, pada henti jantung (cardiac arrest) fungsi otak, nafas dan jantung

telah berhenti, namun sebetulnya kita belum dapat menyatakan mati karena pasien

masih mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi. Yang kedua, dengan adanya

kata-kata “denyut jantung telah berhenti”, maka ini justru kurang menguntungkan

untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya

akan mengurangi viabilitas jaringan/organ (IDI, 1988).

2.3.1. Diagnosis Mati Batang Otak

Diagnosis mati batang otak atau mati batang otak (MBO) barangkali

merupakan diagnosis paling penting yang pernah dibuat oleh dokter, karena bila

telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan dari pasien dan henti jantung

akan terjadi tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang

terlaksana dengan sendirinya (self-ful filling prophecy). Kebanyakan dokter yang

merawat dapat membenarkan dilepaskannya ventilator dari pasien, karena

meneruskan ventilasi mekanis memberikan stres bagi keluarga pasien dan staf

perawatan. Selain itu, “terapi” yang diteruskan secara tidak langsung menyatakan

bahwa pemulihan masih dimungkinkan dan memberi keluarga pasien harapan palsu.

Namun ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis

MBO memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan transplantasi dan

seringkali dilakukan (Zamperetti, 1999).

11

Page 12: mati suri.doc

Penerimaan batang otak sebagai sumber kehidupan dan penghentian ventilasi

sebagai akibat diagnosis MBO potensial sulit bagi orang awam untuk menerimanya.

Tidaklah mudah untuk memberitahu famili pasien, yang berwarna merah, hangat dan

kelihatannya bernafas dengan nyaman pada ventilator, mati. Bahkan lebih sulit lagi

jika famili pasien melihat gerakan pasien yang dinyatakan dokter timbul pada tingkat

spinal dan tidak mengindikasikan fungsi otak. Masyarakat di negara maju seperti

Inggris sangat mempercayai dokter dan biasanya tidak dijumpai kesulitan tatkala

dibuat diagnosis MBO (Sutcliffe, 2003).

Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh

otak, pengatur respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk

mendapatkan kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal antara sistem saraf periferal

dan korteks. Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati, kontinyuitas

sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran

(Sutcliffe, 2003).

Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO.

Diagnosis MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari

pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang

otak (IDI, 1988).

Prasyarat-prasyarat tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Pada hakekatnya

sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa keraguan bahwa

pasien komatous dan bergantung pada ventilator dan mempunyai kondisi yang

konsisten dengan koma ireversibel dan hilangnya fungsi batang otak. Pasien dengan

MBO tidak dapat bernafas. Dokter-dokter yang tidak familiar dengan diagnosis

MBO kadang-kadang menyarankan dokter seniornya untuk melakukan testing pada

pasien yang tidak bergantung pada ventilator dengan cedera berat. Fenomena ini

12

Page 13: mati suri.doc

menonjolkan tiga hal. Pertama dokter-dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu

mengkaji langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa IDI yang

memang belum tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai melewatkan

langkah-langkah yang harus dijalani sebelum melakukan testing arefleksia batang

otak. Kedua adalah adanya kenyataan bahwa beberapa pasien menderita cedera otak

berat yang akhirnya inkompatibel dengan kehidupan yang lama, namun kausa

kematiannya bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada pasien-pasien ini dapat

mengindikasikan keputusan untuk menghentikan terapi aktif atau membatasi terapi

aktif. Keputusan penghentian atau limitasi terapi individual untuk tiap pasien dan

sangat kontras dengan diagnosis MBO yang identik bagi semua pasien. Hal ketiga

adalah perlunya tanpa keraguan memantapkan diagnosis cedera otak ireversibel yang

cukup untuk menyebabkan koma apneik. Diagnosis yang kompatibel adalah cedera

kepala, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraserebral, tenggelam dan henti

jantung. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan

klinis serta investigasi (biasanya CT Scan). Kausa koma yang reversibel yang

menyulitkan diagnosis primer harus pula disingkirkan. Khususnya sedatif, analgetik

dan pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa ketidaksadaran atau

arefleksia. Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari 35C. Intoksikasi

obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat menyebabkan

perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak boleh

dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab koma

primer ataupun faktor penunjang (IDI, 1988).

13

Page 14: mati suri.doc

Tabel 1. Meneggakkan Diagnosis Mati Batang Otak

Prasyarat Pasien koma dengan ventilator

Diagnosis dan kerusakan struktural otak yang menyebabkan koma

Ekslusi Obat-obatan, hipotermia, gangguan metabolik

Tes Refleks batang otak negatif

Sumber ; IDI (1988)

Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan

gangguan yang cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu, upaya

yang sungguh-sungguh harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek edema

serebri, hipoksia dan syok. Sebagai konsekuensi, untuk memenuhi prasyarat-

prasyarat, diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk menegakkan diagnosis MBO

sebelum 24 jam perawatan di rumah sakit.

Tabel 2. Beberapa Kesukaran dalam Diagnosis Mati Otak

Hasil pemeriksaan Kemungkinan Kausa

Pupil terfiksasi Obat antikolinergik, obat pelumpuh otot.

Refleks okulovestibular (-) Obat penekanan vestibular

Penyakit sebelumnya

Tidak ada nafas Henti nafas pasca hiperventilasi

Obat pelumpuh otot

Tidak ada aktifitas motorik Obat pelumpuh otot

Locked in state

Obat sedative

EEG isoelektrik Obat sedative

Anoksia

Hipotermia

Ensefalo

Sumber ; IDI (1988)

Pada hakekatnya sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan

tanpa keraguan bahwa pasien komatous dan bergantung pada ventilator dan

mempunyai kondisi yang konsisten dengan koma ireversibel dan hilangnya fungsi

batang otak. Pasien dengan MBO tidak dapat bernafas. Dokter-dokter yang tidak

familiar dengan diagnosis MBO kadang-kadang menyarankan dokter seniornya

14

Page 15: mati suri.doc

untuk melakukan testing pada pasien yang tidak bergantung pada ventilator dengan

cedera berat. Fenomena ini menonjolkan tiga hal (Safar, 2000);

1. Dokter yang bekerja di Intensive Care Unit (ICU) perlu lebih dahulu

mengkaji langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa

IDI yang memang belum tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai

melewatkan langkah-langkah yang harus dijalani sebelum melakukan testing

arefleksia batang otak.

2. Adanya kenyataan bahwa beberapa pasien menderita cedera otak berat yang

akhirnya inkompatibel dengan kehidupan yang lama, namun kausa

kematiannya bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada pasien-pasien ini

dapat mengindikasikan keputusan untuk menghentikan terapi aktif atau

membatasi terapi aktif. Keputusan penghentian atau limitasi terapi individual

untuk tiap pasien dan sangat kontras dengan diagnosis MBO yang identik

bagi semua pasien.

3. Perlunya tanpa keraguan memantapkan diagnosis cedera otak ireversibel

yang cukup untuk menyebabkan koma apneik. Diagnosis yang kompatibel

adalah cedera kepala, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraserebral,

tenggelam dan henti jantung. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis

yang cukup dan pemeriksaan klinis serta investigasi (biasanya CT Scan).

Kausa koma yang reversibel yang menyulitkan diagnosis primer harus pula

disingkirkan. Khususnya sedatif, analgetik dan pelumpuh otot hendaknya

disingkirkan, sebagai kausa ketidaksadaran atau arefleksia. Pasien hendaknya

mempunyai suhu sentral lebih dari 35°C. Intoksikasi obat, hipotermia,

gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat menyebabkan perubahan

berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak boleh

15

Page 16: mati suri.doc

dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab

koma primer ataupun faktor penunjang.

2.3.2. Pemeriksaan Tambahan dalam Penentuan Mati batang otak

Dalam membuat diagnosis MBO kadang-kadang dijumpai kesukaran. Bila

dokter yang bertugas masih ragu-ragu mengenai: a) diagnosis primer, b) kausa

disfungsi batang otak yang reversibel (obat atau gangguan metabolik), c)

kelengkapan tes klinis, maka hendaknya jangan dibuat diagnosis (Safar, 2000).

Sebelum melakukan tes formal, harus dipastikan dulu bahwa pasien tidak

menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak mempunyai

refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas kejang. Bila

ada salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak

dan selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak

berarti masih hidup. Tes formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping tempat

tidur dan memerlukan demonstrasi apnea dalam keadaan hiperkarbia dan tidak

adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan selain analisis gas

darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa menit

dan hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas

ada semua, maka hendaknya secara sistematis diperiksa lima refleks batang otak.

Kelima refleks harus negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan.

Tes terhadap refleks-refleks batang otak dapat menilai integritas fungsional

batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah otak lainnya yang dapat

diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati yang baru

secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia

bergantung pada integritas jaringan. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan

bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter

16

Page 17: mati suri.doc

atau perawat yang terlatih. Ini tidak bergantung pada mesin, atau super spesialis

(Safar, 2000).

Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas.

Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain

seperti ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre. Lagi-lagi perlu

ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat belum dipenuhi.

Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan prosedur sebab selalu ada

saja laporan kasus yang menggambarkan keadaan yang menyerupai MBO tetapi

ternyata dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tidak akan

terjadi kesalahan (IDI, 1988).

Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan

gangguan yang cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu, upaya

yang sungguh-sungguh harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek edema

serebri, hipoksia dan syok. Sebagai konsekuensi, untuk memenuhi prasyarat-

prasyarat, diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk menegakkan diagnosis MBO

sebelum 24 jam perawatan di rumah sakit. Seringkali pasien sudah dirawat di rumah

sakit jauh lebih lama.

CT Scan bermanfaat tidak saja untuk mengetahui kausa MBO, tetapi juga

untuk memperlihatkan efek herniasi lewat tentorium dan foramina magnum.

Kompresi arteri dan vena mengakibatkan edema sitotoksik dan tekanan intrakranial

dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh sumbatan

aquaduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahan-perubahan ini menyebabkan

herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga

cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan

mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah edema. Interpretasi

17

Page 18: mati suri.doc

perubahan-perubahan ini pada seksi aksial tradisional CT Scan memerlukan

pengalaman. Herniasi otak, bagi dokter nonradiologis, paling mudah dilihat pada

citra CT koronal (Plum dan Posner, 2002).

2.4. ASPEK ETIKOLEGAL PENGGUNAAN MESIN LIFE SUPPORT

PADA PASIEN DENGAN MATI BATANG OTAK

Diagnosis mati batang otak ditegakkan dengan cara tidak benar, sehingga ada

pasien yang sudah dinyatakan MBO ternyata tetap hidup; dan pada kasus lain pasien

menjadi mati padahal sebenarnya bukan MBO dan masih mungkin dapat

diselamatkan (Safar, 2000).

Sebagai contoh telah terjadi kasus berikut ini: Seorang pasien koma

dikonsulkan ke dokter spesialis saraf. Setelah memeriksa dokter tersebut menyatakan

mati batang otak dan memberitahu famili pasien yang kemudian bersiap-siap untuk

mengubur jenazah. Namun ada dokter spesialis anestesiologi yang mengetahui

proses tahapan-tahapan dalam menegakkan diagnosis mati batang otak, sehingga

pasien tetap dirawat terus dan akhirnya sadar dan tetap hidup. Jadi diagnosis MBO di

sini tidak betul karena tidak mengikuti tahapan diagnosis MBO.

Setelah pasien dinyatakan MBO, dokter yang merawat menyatakan bahwa

ventilator belum bisa dilepas karena belum ada izin dari famili pasien. Di sini,

seakan-akan famili pasien yang menentukan kematian pasien tersebut. Seorang

pasien dalam kondisi MBO, tetapi tim dokter yang merawat melanjutkan tidak

ventilasi buatan, dan tidak memberikan terapi sebagaimana layaknya pasien dalam

keadaan terminal. Dengan demikian seseorang yang dalam kondisi tersebut yang

dapat menjadi hidup kembali, tetap tidak mendapat terapi secara medis sehingga

seseorang tersebut dalam kondisi mati biologis. Ini berarti dokter tersebut telah

18

Page 19: mati suri.doc

melakukan euthanasia, baik itu atas keinginan keluarga.

Tindakan medis ini disebut sebagai tindakan euthanasia aktif, untuk

membedakan dari istilah euthanasia pasif. Euthanasia pasif adalah keputusan medis

untuk menghentikan sama sekali pengobatannya. Namun istilah euthanasia pasif

tidak lagi dipakai karena masalah etika kedokteran sudah dapat diatasi. Euthanasia

pasif biasanya diganti dengan sebutan membiarkan pasien meninggal karena harapan

hidup sudah tidak ada lagi (supporting non life therapy) (Herawan, 2005).

Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) merumuskan tiga pengertian

berkaitan dengan euthanasia, yaitu: (1) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan

aman, tanpa penderitaan, untuk beriman dengan nama Allah SWT di bibir; (2) Ketika

hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang;

dan (3) Mengakhiri derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Pada penjelasan pasal 10 Kodeki,

ditegaskan bahwa seorang dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seseorang

yang menderita sakit, atau jelasnya melakukan euthanasia (Achadiat, 2005).

Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas

mengenai kematian seseorang. Hanya, disebutkan bahwa kematian adalah hilangnya

nyawa seseorang, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut. Padahal, dengan

kemajuan iptek kedokteran masa kini, detak jantung dan napas seseorang dapat terus

dipertahankan karena fungsi otonomnya (dengan bantuan peralatan medis tertentu),

walaupun sebenarnya otak atau batang otaknya telah berhenti berfungsi. Inilah yang

di kalangan kedokteran dikenal sebagai keadaan vegetatif (vegetative state). Kasus

Mary-Ann Quinland di AS, misalnya, pernah bertahan dalam keadaan seperti ini

selama hampir 14 tahun, sebelum keluarganya meminta keputusan pengadilan agar

alat-alat bantu mediknya dicabut saja dan setelah itu ia meninggal dunia dalam

19

Page 20: mati suri.doc

pengertian yang sebenar-benarnya (Achadiat, 2005).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah

mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila

dikaji lebih mendalam ternyata beberapa pasal mencakup pengertian itu. Pasal 344

yang dikenal sebagai pasal euthanasia, misalnya, menyebutkan "Barang siapa

menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya

dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun".

Pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP juga dapat dikatakan bersangkut paut

dengan masalah euthanasia (Achadiat, 2005).

Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang

tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga media

dan dokter), sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat dari

pasal 334 di atas, yang jelas-jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif,

dengan atau tanpa permintaan pasien/keluarganya. Menariknya, UU No. 23/1992

tentang kesehatan (yang dikenal sebagai UU Kesehatan) ternyata belum

mengakomodasi soal euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak

beberapa pasal KUHP tadi masih belum memberikan batasan yang tegas dalam hal

euthanasia (Hanafiah dan Amir, 1999).

Penggunaan mesin life support pada pasien dengan MBO termasuk dalam

perawatan paliatif. Menurut WHO pada 1990 perawatan paliatif adalah perawatan

total dan aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidak lagi responsif terhadap

pengobatan kuratif. Berdasarkan definisi ini maka jelas Perawatan Paliatif hanya

diberikan kepada penderita yang penyakitnya sudah tidak resposif terhadap

pengobatan kuratif. Artinya sudah tidak dapat disembuhkan dengan upaya kuratif

apapun. Tetapi definisi Perawatan Paliatif menurut WHO 15 tahun kemudian sudah

20

Page 21: mati suri.doc

sangat berbeda. Definisi Perawataan Paliatif yang diberikan oleh WHO pada tahun

2005 bahwa perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan

meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lain,

memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan

sampai akhir hayat dan dukungan terhadap keluarga yang kehilangan/berduka. Di

sini dengan jelas dikatakan bahwa Perawatan Paliatif diberikan sejak diagnosa

ditegakkan sampai akhir hayat. Artinya tidak meperdulikan pada stadium dini atau

lanjut, masih bisa disembuhkan atau tidak, mutlak Perawatan Paliatif harus diberikan

kepada penderita itu. Perawatan Paliatif tidak berhenti setelah penderita meninggal,

tetapi masih diteruskan dengan memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang

berduka. Perawatan paliatif tidak hanya sebatas aspek fisik dari penderita itu yang

ditangani, tetapi juga aspek lain seperti psikologis, sosial dan spiritual.

Tujuan yang akan dicapai dalam perawatan paliatif dibuat dengan

memperhatikan hal  realistik yang ingin dicapai oleh pasien. Menurut penelitian pada

pasien kanker stadium terminal,  keinginan mereka adalah terbebas dari keluhan fisik

yang menimbulkan penderitaan, tetap dilibatkan dalam pengambilan keputusan akan

tindakan yang akan dilakukan, menghindari intervensi yang sia sia yang hanya

memperpanjang proses kematian seperti penggunaan ventilator.  Sedang bagi

keluarga hal hal di bawah ini sangat penting ketika menghadapi pasien dalam saat

saat akhir kehidupan, yaitu:  bisa mendampingi pasien, bisa membantu atau

melakukan sesuatu untuk pasien, diberi keyakinan bahwa pasien dalam keadaan

nyaman, mendapat informasi tentang kondisi terakhir, mendapat keterangan pada

saat kematian sudah dekat, diberi kesempatan untuk mengekspresikan emosinya,

mendapat dukungan pada saat menghadapi saat sulit tersebut dari petugas kesehatan

dan teman serta keluarga lain.  Mengingat hal tersebut di atas, tempat perawatan

21

Page 22: mati suri.doc

menjadi hal yang perlu diputuskan oleh pasien dan keluarganya, sehingga tujuan

yang hendak dicapai dapat terwujud (Achadiat, 2005).

Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum

yang sangat rumit pada pasien dengan MBO. Dasar dari penilaian kapasitas

pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional

penderita dan bukan atas dasar label diagnosis, antara lain terlihat dari : Apakah

penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?, dapatkah penderita memberi

alasan tentang pilihan yang dibuat ?, apakah alasan penderita tersebut rasional

(artinya setelah penderita mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar) ? apakah

penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang keuntungan dan

kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula berbagai pilihan yang ada) ?.

(Achadiat, 2005).

Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih

terdapat fungsi yang baik dari satu aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik,

sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada pasien MBO perlu waktu untuk

upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional penderita.

Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita untuk

mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :

1. Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan, maka

keputusan bisa dialihkan kepada wakil hukum atau wali keluarga

(istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut

sebagai surrogate decission maker.

2. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek

medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hukum, harta benda dll)

maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi

22

Page 23: mati suri.doc

kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan hukum

(guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).

Dalam kenyatannya pengambila keputusan ini sering dilakukan berdasarkan

keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dibanding keadaan de-jure

oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis, waktu lama, dan

sering melelahkan baik secara fisik maupun emosional. Oleh karena suatu hal,

misalnya gangguan komunikasi dapat menyebabkan penderita mengambil keputusan

yang salah (antara lain menolak tramfusi / tindakan bedah yang live saving). Dalam

hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita

tetap harus dihargai (Achadiat, 2005).

Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut

sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang

diucapkan pada saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yagn baik.

Arahan keinginan yang diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian

digunakan sebagai pedoman bilamana diperlukan untuk pengam,bilan keputusan

pada saat kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun. Bahkan apabila

arahan tersebut tidak dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan hukum, asalkan

terdapat saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut diucapkan.

Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa yang disebut

sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu pernyataan dari penderita saat

masih kapabel secara fungsional didepan seorang petugas hukum

(pengacara/notaries). Testament kematian ini bisa memberi kekuatan hukum atas

tindakan dokter untuk memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan

pemberian alat bantu perpanjangan hidup.

23

Page 24: mati suri.doc

Salah satu aspek etika yang penting dan tetap kontroversial pada pasien MBO

adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya

perpanjangan hidup yang lain (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita

dewasa muda hal ini sering kali tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan

hidup penderita masih akan berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia

lanjut apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan

tersebut seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang “kejam” (futile

treatment).

Dikatakan sebagai “kekejaman fisiologik” bila terapi/tindakan yang diberikan

tidak akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada kesehatan

penderita. “Kekejaman kuantitatif” bila tindakan atau terapi tampaknya tidak ada

gunanya. “Kekejaman kualitatif” bila tindakan atau terapi perpanjangn hidup tidak

menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup penderita.

Walaupun sering menimbulkan tanggapan emosional dari keluarga,

penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi

pertimbangan yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang

atau tidak. Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi untuk suatu

saat menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi (Achadiat, 2005).

Dokter harus menjelaskan hal ini kepada  keluarga penderita dan memberi

pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu

dihentikan (Pearlman, 2000). Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaan

terminal tidak terbatas hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa

dimungkiri bahwa sebagaian besar merupakan penderita berusia lanjut. Oleh karena

itulah perawatan paliatif bagi penderita terminal atau menuju kematian merupakan

bagian yang penting dari pelayanan pasien dengan MBO. Dari prinsip otonomi

24

Page 25: mati suri.doc

seperti dijelaskan diatas jelas bahwa penderita harus diberitahu keadaan yang

sebenarnya. Walaupun di Indonesia, seringkali atas pertimbangan keluarga hal ini

sering tidak dilaksanakan.

25

Page 26: mati suri.doc

BAB III

TINJAUAN ETIKOLEGAL PENGGUNAAN MESIN LIFE

SUPPORT PADA PASIEN DENGAN MATI BATANG

OTAK DITINJAU DARI AGAMA ISLAM

3.1. Mati Batang Otak dalam Pandangan Islam

Mati batang otak (near-death experience (NDE), suspend animation,

apparent death) dalam dunia kedokteran adalah suatu kondisi dimana ketiga sistem

penunjang kehidupan (susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem

pernafasan) yang ditentukan oleh alat kedokteran sederhana, sedangkan dengan alat

kedokteran modern ketiga sistem tersebut masih dapat dibuktikan berfungsi.

Kematian dalam dunia kedokteran juga dibagi menjadi beberapa fase yaitu

fase somatik di mana tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung,

gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifitas listrik otak

pada rekaman EEG. Dalam waktu dua jam, kematian somatik akan diikuti fase

kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu dua jam

diantaranya itulah yang dikenal sebagai fase mati batang otak (Sutcliffe, 2003).

Mati batang otak merupakan kondisi antara kematian somatik dan kematian

biologis. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk kematian yang dikenal sebagai

mati otak dalam dunia kedokteran. Seseorang yang dalam kondisi mati otak, tanda-

tanda kehidupan dapat kembali lagi jika dilakukan resusitasi yang memberikan hasil

maksimal. Penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara bantuan lain pada kasus-kasus

kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila kemudian kerusakan ini terbukti

reversibel, jantung kadang-kadang dapat terus berdenyut selama satu pekan atau

26

Page 27: mati suri.doc

lebih, atau bahkan sampai 14 hari, dengan sebagian besar otak mengalami

dekomposisi. Dengan kondisi seperti ini jantung dapat terus berdenyut sampai 32

hari (pada seorang anak umur 5 tahun) (Jennet, 2001).

Mati masih misteri saat ini. Meskipun demikian, keyakinan bahwa yang

hidup akan mati, itu pasti ada. Medis klinis sering menggunakan definisi mati adalah

penghentian komplit dari semua fungsi vital sesuatu yang hidup tanpa kemungkinan

dihidupkan lagi. Ilmu kedokteran forensik melihat kepastian adanya kematian

dengan munculnya lebam mayat. Secara sederhana sering mati didefinisikan dengan

menggunakan ‘TRIAS BICHAT”, yaitu berhentinya ketiga sistem penunjang

kehidupan, yaitu sistem saraf, jantung, dan paru secara permanen (IDI, 1988).

Berhentinya fungsi respirasi, fungsi saraf, dan fungsi sirkulasi membuat

orang disebut mati. Berhenti ketiga organ vital ini sering disebut sebagai mati

somatik. Menentukan waktu mati menemukan kesulitan, karena kematian dapat

dilihat dari berbagai sudut pandang. Sudut pandangan budaya atau sosiologis, maka

waktu kematian dari tiap-tiap daerah mempunyai keyakinan yang berbeda-beda.

Sebuah tradisi di negara Jepang orang baru akan disebut mati jika denyut jantungnya

benar-benar sudah berhenti. Sementara orang di Jawa akan menentukan kematian

jika mayat sudah teraba dingin. Mungkin di daerah lain akan menentukan mati

berbeda pula (Muhiman, 2000).

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, di dalam surat keputusannya

membuat definisi mati sebagai berikut: Seseorang dinyatakan mati bilamana:

a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau

b. Bila telah terbukti terjadi kematian otak. Seseorang dinyatakan mati jika fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible, yaitu misalnya pada kematian normal yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat. Pada keadaan ini denyut jantung dan nadi berhenti pada suatu saat ketika jantung dan organ-organ lain secara keseluruhan juga terpengaruh oleh penyakit tersebut, sehingga orang yang bersangkutan tidak

27

Page 28: mati suri.doc

mungkin untuk hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada keadan ini tidak berarti lagi (IDI, 1988).

Sudut pandang dari ilmu pengetahuan mengenai kematian juga berbeda-beda.

Jika melihat kehidupan badani ini hanya ditentukan oleh tiga organ vital (jantung,

paru dan otak), maka berhentinya fungsi dari tiga organ tersebut maka masuk dalam

kategori mati. Perkembangan iptek memungkinkan membuat jantung dan paru atau

pernafasan- artifisial. Fungsi dari kedua organ ini sudah ada alat gantinya, sementara

fungsi otak sampai saat ini belum ada, sehingga kematian ditentukan oleh tidak

berfungsinya otak. Jika seorang seorang pasien, jantung dan paru-parunya diberi alat

bantu maka penentuan kehidupan dari badan manusia itu hanya dari keberadaan

fungsi otaknya (Achadiat, 2005).

Kematian otak (cerebral death) merupakan akhir dari kehidupan. Otak terdiri

dari beberapa bagian, yaitu otak besar, otak kecil, dan batang otak. Dari ketiga

bagian otak tersebut batang otak merupakan bagian yang paling tahan terhadap risiko

kematian akibat hipoksia-anoksia. Sehingga, terjadi reduksi jika melihat dari

keberadaan bagian fungsi otak terhadap kematian. Jika kematian otak terjadi pada

batang otak (mati batang otak = MBO), maka korban sudah dapat ditetapkan mati

(Safar, 2000).

Pembahasan tentang definisi mati telah dibahas dalam Islam. Definisi hidup

menurut syarak jika atau karena ia memiliki ruh, sebagaimana dinyatakan dalam ayat

al-Qur’an:

Artinya : “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. ( Q. S. Al-Sajdah (32):9 )

28

Page 29: mati suri.doc

Kata “hidup” kadang digunakan dalam berbagai maksud, di antaranya untuk

potensi/daya tumbuh yang ada pada tumbuhan dan hewan seperti terdapat dalam al-

Quran :

Artinya : “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Q.S. Al-Anbiya’ (21):30 )

Kadang ditunjukkan adanya potensi rasa seperti yang dimiliki pada hewan.

Kadang-kadang pada adanya potensi intelektual sebagaimana dimiliki pada manusia,

seperti terdapat dalam ayat :

Artinya : “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. ( Q. S. Al-An’am (6): 122 )

Bisa juga menunjukan pada kehidupan ukhrawi yang abadi tidak akan

mengalami mati, seperti dinyatakan dalam ayat;

Artinya : Dia mengatakan: ”Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini. (Q. S. Al-Fajr (89): 24 )

Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak,

penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan makanan. Hidup

29

Page 30: mati suri.doc

merupakan kebalikan dari mati.

Dalam Islam atau hukum apapun, masalah kematian sebagai suatu

keniscayaan. Dalam keyakinan Islam yang menentukan adalah Allah semata,

sebagaimana dinyatakan dalam ayat al-Quran :

Artinya : “Tiap–tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (Nya)”. (Q.S. Yunus (10): 49)

Kendati banyak ayat al-Quran dan hadist nabi menyebutkan masalah titik

waktu kapan terjadinya pencabutan ruh, penahanan jiwa, dan berhentinya kehidupan.

Hadits hanya menjelaskan mati terjadi pada saat ruh dicabut yang akan diikuti oleh

pandangan mata. Titik pencabutan ruh disinggung dalam al-Quran :

Artinya : “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat” (Q.S. al-Waqi’ah (56): 83-84)

Pada saat itu akan dicabut ruhnya, seseorang akan mengalami sakratul maut,

seperti dinyatakan dalam ayat:

Artinya : “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar–benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya”. (Q.S. Qaaf (50): 19)

30

Page 31: mati suri.doc

3.2. Aspek Etikolegal Penggunaan Mesin Life Support Therapy pada Pasien

dengan Mati Batang Otak dalam Islam

Manusia memang tidak berkuasa untuk mematikan dirinya di dalam agama

Islam, tetapi Allah telah melapangkan jalan untuk mati dalam Islam bagi manusia.

Jika seseorang menghendaki untuk mati dalam Islam, maka hendaklah ia

menjalankan segala perintah Allah yang diwajibkan atasnya, dan senantiasa

mengikuti segala petunjuk-Nya. Demikianlah cara memilih mati di dalam Islam,

dengan mencintai mati di dalam Islam, berharap dan ber’azam (bertekad bulat) untuk

mencapainya. Di samping itu, hendaklah dia membenci mati di dalam kepercayaan

selain Islam, dan senantiasa berdoa, memohon, dan meminta kepada Allah Ta’ala

agar Dia berkenan mewafatkannya sebagai seorang Muslim (Qaradawi, 2000).

Dengan itulah Allah menyifatkan para Nabi-Nya dan orang-orang shalihin

dari hamba-hamba-Nya. Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Yusuf putera

Nabi Ya’qub dalam mengharapkan wafat di dalam Islam:

Artinya : “Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih” (QS. Yusuf (12):101)

Begitu pula Allah telah menceritakan tentang ahli sihir Fir’aun yang

bertaubat dan beriman pada Allah, lalu Fir’aun mengancam mereka dengan siksaan.

Artinya : “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami sebagai Muslim (berserah diri kepada Allah)”. (Q.S. Al-A’raf (7):126)

31

Page 32: mati suri.doc

Kemudian Allah menceritakan pula tentang Nabi Ibrahim as dan Nabi

Ya’qub as, yang keduanya telah berwasiat kepada anak-cucunya agar mati dalam

keadaan Islam.

Artinya : “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (Q.S. al-Baqarah (2):132)

Ditegaskan kembali bahwa tindakan penghentian bantuan medis setelah

pasien dinyatakan MBO bukan tindakan eunathasia karena euthanasia dilakukan

pada pasien yang masih hidup sedangkan bila pasien dinyatakan mbo maka pasien

tersebut dinyatakan sudah mati.

Di masyarakat yang kerap terjadi adalah, kita sering menunggu seseorang

yang untuk mendapatkan mati secara klasik atau mati alami tanpa bantuan life

support seperti ventilator. Selama ini, banyak yang dilakukan pun adalah menunggu

mati klasik tadi. Namun, ada pula kasus yang memperlihatkan bahwa meski sudah

dinyatakan mati secara medis, namun ventilator tidak dilepas. Ini tidak boleh

dilakukan (Achadiat, 2005).

Keputusan hidup matinya seseorang, memang itu adalah kuasa Tuhan. Hanya

saja, sejauh ketika didiagnosis otaknya masih berfungsi, maka ventilator tetap

dipasang. Tapi, kalau otaknya sudah tak berfungsi atau mati, ventilator dicabut.

Ini adalah istilah euthanasia pasif, pasien diberi kesempatan untuk mati secara wajar.

Kapan seseorang itu dinyatakan mati secara medis? Memang hal ini belum

tersosialisasikan dengan baik di masyarakat. Sebenarnya kita tak boleh

memperpanjang hidup dari pasien yang sudah dinyatakan MBO. Berdasrkan fatwa

IDI dalam Pedoman Etik Spesialis Anastesi, dalam penentuan mati secara medis,

32

Page 33: mati suri.doc

dinyatakan bahwa bila seseorang sudah jelas, lewat beberapa pengujian dan

diagnosis, ternyata sudah MBO atau MO, maka dinyatakan mati dan ventilator harus

dicabut (Achadiat, 2005).

Hal tersebut dilakukan karenna adanya beberapa pertimbangan dalam

menentukan MBO seseorang, yaitu (Muhiman, 2000):

1. Menghentikan usaha yang sia sia atau tak jujur, yang disebabkan oleh

pencarian keuntungan. Jelas, bila kita mengambil keuntungan dari pasien, ini

tidak etis.

2. Dengan pencabutan ventilator, bisa menghilangkan stress keluarga, juga

menghemat biaya.

3. Dalam agama manapun tentang seseorang yang mati. Bila memang sudah

meninggal, kita tidak boleh menyakiti mayat. Di agama Islam, mayat harus

sesegera mungkin dikuburkan, kalau diperpanjang lagi hidup pasien yang

sudah jelas MBO dengan ventilator, jelas ini merupakan siksaan.

4. Ada pengecualian bagi pasien yang mengalami MBO sebagai donor organ.

Bila memang diketahui pasien sebagai pendonor, maka ketika dinyatakan

mati, ventilator tetap dipasang hingga organ yang didonorkan diangkat.

Setelah itu ventilator dicabut.

Islam sangat menghargai jiwa, lebih- lebih terhadap jiwa manusia. Banyak

ayat al-Quran maupun hadits Nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan

memelihara jiwa manusia (hifzh al-Nafs). Oleh karenanya, seseorang tidak

diperkenankan melenyapkannya tanpa ada alasan syar’i yang kuat (hak). Manusia

dilarang memperlakukan jiwa manusia dengan tidak hormat, Allah memberikan

ancaman tegas bagi mereka yang meremehkannya (Qaradhawi, 1999). Tindakan

menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan sesuai dengan

33

Page 34: mati suri.doc

aturan Pidana Islam. Inipun dilakukan dalam rangka memelihara dan melindungi

manusia secara keseluruhan, sebagaimana tergambar dalam penegasan Allah dalam

al-Quran:

Artinya : “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.. (Q.S. Al-Baqarah (2): 179)

Orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan syar’i yang

dibenarkan sama halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat seluruhnya,

sebagaimana dinyatakan dalam ayat al-Quran:

Artinya : “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (Q. S. Al-Maidah (5): 32)

Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan

yang dapat merusak atau menghilangkan jiwa manusia dengan hukuman berat dan

setimpal dalam bentuk qishash atau diyat. Dampak dari kerusakan sosial sebagai

akibat dari pembunuhan seperti digambarkan dalam ayat di atas, menurut para ahli

tafsir, tidak hanya berlaku bagi Bani Israil saja tetapi juga manusia seluruhnya

(Qaradhawi, 1999).

34

Page 35: mati suri.doc

Perlakuan pasien MBO yang sembrono atau insensitif dapat menimbulkan

derita dan distres yang tak perlu bagi keluarga dan perawat. Kekurangan komunikasi

atau informasi sering menimbulkan kesalahpahaman, seperti pemakaian istilah

“mencabut pipa ventilator”, “menghentikan bantuan hidup” dan sebagainya. Perlu

dijelaskan (kepada keluarga dan juga khalayak yang lebih luas), bahwa sewaktu

melepas ventilator, dokter  tidak menghentikan terapi dan membiarkan seseorang

meninggal, tetapi sekedar menghentikan upaya yang sia-sia terhadap seseorang yang

telah meninggal (Achadiat, 2005).

Jika keluarga si sakit memahami agama dengan baik dan benar serta mengerti

hakikat masalah yang sebenarnya, niscaya akan timbul keyakinan bahwa yang lebih

utama bagi mereka dan lebih mulia bagi si mayit, yang dalam kondisi mati batang

otak, adalah menghentikan penggunaan peralatan tersebut. Maka ketika itu akan 

berhentilah aliran darahnya, dan dengan demikian semua orang tahu bahwa dia

benar-benar sudah meninggal dunia. Dengan begitu, keluarga si sakit dapat 

menghemat tenaga dan biaya. Disamping itu, tempat tidur bekas si sakit dan

peralatan-peralatan tersebut dapat dimanfaatkan pasien lain yang memang masih

hidup (Shihab, 2000).

Menurut syara', seseorang dianggap telah mati dan diberlakukan atasnya

semua hukum syara' yang berkenaan dengan kematian, apabila telah nyata padanya 

salah satu dari dua indikasi berikut ini (Shihab, 2000):

1. Apabila denyut jantung dan pernapasannya sudah berhenti secara total, dan

para dokter telah menetapkan bahwa keberhentian ini tidak akan pulih

kembali.

2. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter

ahli sudah menetapkan tidak akan pulih kembali, otaknya sudah tidak

35

Page 36: mati suri.doc

berfungsi.

3. Dalam kondisi seperti ini diperbolehkan melepas instrumen-instrumen yang 

dipasang pada seseorang (si sakit), meskipun sebagian organnya seperti

jantungnya masih  berdenyut karena kerja instrumen tersebut.

Dari penjelasan di atas, mati batang otak merupakan suatu kondisi mati

batang otak di mana dalam Islam kondisi tersebut dinyatakan sebagai bentuk

kematian. Dalam kondisi tersebut hal-hal yang berhubungan dengan kewajiban

penderita seperti shalat, puasa dan lain sebagainya dalam urusan syariat akan gugur

(Shihab, 2000).

Ulama menyatakan bahwa hukum berobat termasuk penggunaan mesin life

support ditentukan berdasarkan illat, situasi, dan kondisi, hukum dapat sunnah,

wajib, mubah, atau haram. Jika tidak ada harapan sembuh sesuai dengan sunnatullah

dan hukum kausalitas, sesuai dengan diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, dan

hanya menyusahkan berbagai pihak terkait, maka tidak seorang pun yang

mengatakan sunnah apalagi wajib (Zuhroni, 2010).

Apabila penderita dengan MBO diberi berbagai macam cara pengobatan

dengan cara minum obat, suntikan, dan sebagainya atau menggunakan alat-alat

pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan teori kedokteran modern dalam waktu

yang relatif lama tetapi penyakitnya tetap saja tidak berubah maka melanjutkan

pengobatan seperti itu tidak wajib dan tidak pula sunnah, bahkan mungkin

kebalikannya (tidak mengobatinya) adalah wajib atau sunnah (Zuhroni, 2010).

Membiarkan penderita dengan MBO dalam kondisi dengan mesin life support

hanya akan menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan

alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat

36

Page 37: mati suri.doc

memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien yang sudah tidak dapat

merasakan apa-apa itu hanya menjadikan keluarganya dalam keadaan sedih dan

menderita, yang mungkin memakan waktu relatif lama (Zuhroni, 2010).

Sebagian ulama mewajibkan menghentikan penggunaan alat-alat life support

karena menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah Islam dengan alasan

tindakan itu berarti menunda pengurusan jenazah dan penguburannya tanpa alasan

darurat, menunda pembagian warisan, menunda masa ‘iddah bagi isterinya dan

hukum-hukum lain yang terkait dengan kematian. Juga berarti menyia-nyiakan harta

dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak ada gunanya, juga memberi

mudarat kepada orang lain dengan menghalangi mereka memanfaatkan alat-alat yang

sedang dipergunakan orang yang telah MBO (Zuhroni, 2010).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan mesin life

support pada penderita MBO yang terdiagnosa oleh dokter dengan kompetensinya

(dokter spesialis saraf dan anastesi) hukumnya bisa menjadi tidak wajib karena

kurangnya manfaat dari penggunaan alat tersebut dan memperpanjang penderita dari

penderita. Oleh karena itu, pasien yang dalam kondisi MBO perlu segera

diselesaikan sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta

peninggalan pasien seperti keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris dan

utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu.

37

Page 38: mati suri.doc

BAB IV

KAITAN PANDANGAN ANTARA ILMU KEDOKTERAN DAN

ISLAM MENGENAI TINJAUAN ETIKOLEGAL PENGGUNA-

AN MESIN LIFE SUPPORT PADA PASIEN DENGAN

MATI BATANG OTAK

Berdasarkan uraian di atas, penulis mendapatkan kaitan antara pandangan

Kedokteran dan Islam, yaitu sebagai berikut:

Mati batang otak (near-death experience (NDE), suspend animation,

apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan (susunan

saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan) yang ditentukan oleh alat

kedokteran sederhana. Dengan alat kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan

bahwa ketiga sistem tersebut masih berfungsi. Mati batang otak yang merupakan

kondisi terjadi di antara kematian somatik, di mana tidak didapati tanda-tanda

kehidupan, dan kematian biologis. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk kematian

yang dikenal sebagai mati otak dalam dunia kedokteran. Seseorang yang dalam

kondisi mati otak, tanda-tanda kehidupan dapat kembali lagi jika dilakukan resusitasi

yang memberikan hasil maksimal. Penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara

bantuan lain pada kasus-kasus kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila

kemudian kerusakan ini terbukti reversibel, jantung kadang-kadang dapat terus

berdenyut kembali. Oleh karena itu, dalam kondisi MBO penggunaan mesin life

support merupakan salah satu bentuk perawatan paliatif yaitu perawatan total dan

aktif dari untuk penderita yang penyakitnya tidak lagi responsif terhadap pengobatan.

Tujuan yang akan dicapai dalam penggunaan alat tersebut dibuat dengan

memperhatikan hal  realistik yang ingin dicapai oleh pasien MBO. Dokter harus

menjelaskan hal ini kepada  keluarga penderita dan memberi pengertian penggunaan

38

Page 39: mati suri.doc

peralatan tersebut.

Menurut pandangan Islam memudahkan proses kematian secara aktif

(euthanasia positif) seperti melepas mesin life support dengan tujuan menghilangkan

penderitaan pasien MBO dengan memberhentikan bantuan hidup pada kondisi MBO,

tidak diperkenankan oleh syara'. Pasien dengan MBO dalam kondisi yang tidak

memberikan respon positif terhadap mesin life support ditentukan berdasarkan illat,

situasi, dan kondisi, hukum dapat sunnah, wajib, mubah, atau haram. Jika tidak ada

harapan sembuh sesuai dengan sunnatullah dan hukum kausalitas, sesuai dengan

diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, dan hanya menyusahkan berbagai pihak

terkait, maka tidak seorang pun yang mengatakan sunnah apalagi wajib

Kedokteran dan Islam tidak bertentangan tentang penggunaan mesin life

support yang merupakan salah satu bentuk perawatan maksimal pada pasien dengan

MBO yang dapat memberikan respon terhadap penggunaan mesin life support.

Namun jika diagnosa MBO yang telah ditegakkan oleh dokter dimana dengan

penggunaan mesin tersebut tidak memberikan kearah perbaikan pasien seperti pada

lanjut usia, maka diwajibkan untuk menghentikan penggunaan alat-alat life support

karena menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah Islam.

39

Page 40: mati suri.doc

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

1. Definisi mati dalam dunia kedokteran mengalami perkembangan dari waktu

ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di mana terdapat

dua tahap yaitu somatic death (kematian somatik) dan biological death

(kematian biologik).

2. Mati batang otak (near-death experience (NDE), suspend animation,

apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan

(susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler, dan sistem pernafasan) yang

ditentukan oleh alat kedokteran sederhana tetapi dengan alat kedokteran yang

canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih

berfungsi. Kondisi ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,

tersengat aliran listrik dan tenggelam.

3. Penggunaan supporting life therapy pada kondisi mati batang otak merupakan

perawatan paliatif dimana perawatan total dan aktif dari untuk penderita yang

penyakitnya tidak lagi responsif terhadap pengobatan kuratif. Seorang dokter

secara etika harus menjelaskan hal ini kepada  keluarga penderita dan

memberi pengertian mengenai penggunaan alat tesebut kapan digunakan dan

kapan dihentikan. Adanya komunikasi yang baik dokter dan pasien (keluarga)

menghindari tindakan sembrono dokter yang dapat menimbulkan derita dan

distres bagi keluarga. Kekurangan komunikasi atau informasi sering

menimbulkan kesalahpahaman

4. Penggunaan mesin life support yang merupakan salah satu bentuk perawatan

40

Page 41: mati suri.doc

maksimal pada pasien dengan MBO yang dapat memberikan respon terhadap

penggunaan mesin life support. Namun jika diagnosa MBO yang telah

ditegakkan oleh dokter dimana dengan penggunaan mesin tersebut tidak

memberikan kearah perbaikan pasien seperti pada lanjut usia, maka

diwajibkan untuk menghentikan penggunaan alat-alat life support karena

menggunakannya berarti bertentangan dengan syariah Islam karena yang

lebih utama bagi mereka dan lebih mulia bagi si mayit yang dalam kondisi

MBO

5.2. SARAN

1. Bagi masyarakat masyarakat agar dapat mengetahui informasi mengenai mati

batang otak dan sikap apa saja yang perlu dilakukan dalam kondisi tersebut.

2. Untuk dokter agar selalu menjaga etik kedokteran dan moral kedokteran

ini dengan sebaik-baiknya. Para dokter Indonesia adalah ‘the guardians’,

pengawal etik, pengawal moral dan pengawal hukum, sebagai advokator,

sebagai profesional, dan sebagai perilaku pengubah ( the agent of change)

untuk kemaslahatan dan kemanusiaan yang beradab.

3. Untuk ulama agar dapat menjadi tempat konsultasi masyarakat mengenai

kesehatan dalam Islam.

41