Upload
erna-waty
View
103
Download
27
Embed Size (px)
Citation preview
’Matriks perbandingan undang – undang tentang pemerintahan daerah mulai dari Undang – Undang No. 1 tahun 1945 sampai Undang – Undang no. 22 tahun 1999’
NO Ketentuan Pengertian Pemerintahan Daerah
Sistem Rumah Tangga yang diterapkan
1 UU No. 1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah
Pemerintahan Daerah disebut sebagai Komite Nasional Daerah, dibentuk sebagai pembantu pemerintah.
Ada tiga jenis daerah berotonom yaitu karesidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Masih belum dapat dilihat secara jelas sistem rumah tangga yang dianut.
2 UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
Tidak disebutkan apa pengertian pemerintahan daerah, hanya membagi pemerintahan daerah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintahan Daerah.
tidak dinyatakan secara jelas mengenaisistem rumah tangga yang dianutnya.
Tapi dapat disimpulkan dari pasal 23 yang menyebutkan bahwa ’DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya’ maka UU ini menganutsistem atau ajaran materiil.
Sistem otonomi material, yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Hanya saja sistem ini tidak dianut secara konsekuen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat (4) yang berbunyi ”Peraturan Daerah tidak berlaku lagi jika hal – hal yang diatur di dalamnya kemudian diatur dalam uu atau dalam peraturan pemerintah atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. Pasal ini merupakan ciri sistem rumah tangga formil.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa UU ini menganut dua sistem rumah tangga yaitu
formil dan materil, hanya sifat sistem materil lebih menonjol.
3 UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok – Pokok Pemerintahan Daerah
Tidak disebutkan pengertian pemerintahan daerah, hanya disebutkan pengertian daerah yaitu daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Pemerintahan daerah, sama seperti uu sebelumnya, masih terdiri dari DPRD dan DPD.
Secara tegas menyatakan menganut sistem otonomi riil. Ketentuan yang mencirikan tentang sistem otonomi terdapat pada pasal 31 ayat (1) dan (3).
4 Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah
Tidak disebutkan pengertian Pemerintah Daerah. Pasal 1 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian.
Dalam penjelasan dengan jelas disebutkan bahwa Penpres ini menganut paham desentralisasi teritorial.
5 Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat Daerah
Tidak menyebutkan pengertian pemerintahan daerah. Hanya menambahkan dua organ pemerintah daerah jadi ada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat Daerah.
Tidak disebutkan dengan jelas sistem otonomi yang diterapkan. Penpres ini berusaha menghilangkan dualisme pemerintahan di daerah dengan mengesahkan keberadaan DPRD GR dan SD.
6 UU No. 18 tahun 1965
Tidak disebutkan pengertian
Menganut sistem otonomi riil. Tapi Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya
tentang Pokok – Pokok Pemerintahan Daerah
pemerintahan daerah.
Menurut pasal 5 ayat (1), Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah. Sementara menurut ayat (2) Kepala Daerah melaksanakan politik Pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarchi yang ada.
menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara keseluruhan masih berupa penyerahan oleh pusat. daerah tetap menjadi actor yang pasif.
7 UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok – Pokok Pemerintahan di Daerah
UU ini membagi wilayah Indonesia menjadi daerah – daerah otonom dan wilayah – wilayah administratip.
Pemerintahan daerah dijalankan oleh Kepala Daerah dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah. Untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas – dinas Daerah.
UU nomor 5 tahun 1974 tidak menjelaskan mengenai sistem otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakanotonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai sistem ataufaham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Ada beberapa ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah, yaitu pasal 5, 7, 8, 9, dan 39. ketentuan-ketentuan tersebut mencerminkan bahwa UU ini menganut sistem atau ajaran rumah tangga material.
Akan tetapi dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari sistem
rumah tangga formil.
8 UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Disebutkan secara eksplisit apa pengertian pemerintahan daerah di pasal 1 huruf d, yaitu ”Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi.”
Kemudian di pasal 1 huruf b, disebutkan arti Pemerintah Daerah, yaitu Kepala Daerah beserta perangkat Daerah
Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
Tidak mengatur secara gamblang tentang sistem atau ajaran rumah tangga yang dianut.
Dari analisis undang – undang dapat diperhatikan bahwa ajaran rumah tangga yang digunakan atau dianutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11 dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga material.
Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya.
Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atauajaran rumah tangga formil.
JUN
10
Perbandingan Undang-undang Pemerintahan Daerah1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945
UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu:Karesidenan, Kota otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakartadan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD). Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah mengatur rumah tangga daerahnya. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin olehKepala Daerah.
Di sini tampak bahwa politik hubungan pusat-daerah pada awal kemerdekaan mengikuti model demokratisasi masyarakat lokal. Dengan dibentuknya BPRD maka kedudukan karesidenen, kota, dan kabupaten tidak hanya sebagai wilayah administrasi tapi juga sebagai daerah otonom. BPRD adalah representasi rakyat yang tinggal daerah yang bersangkutan kemudian bersama dengan Kepala Daerah menjalankan urusan rumah tangganya. Konstruksi ini memberi peran yang lebih besar dan dominan kepada masyarakat lokal untuk membuat kebijakan sendiri sepanjang menyangkut urusan rumah tangganya. BPRD tidak hanya terlibat dalam pembuatan kebijakan tapi juga pelaksanaannya karena BPRD memilih anggota Eksekutif Daerah untuk menjalankan kebijakan yang diambil. Eksekutif Daerah di bawah dan bertanggung jawab kepada BPRD.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, secara umum,
Indonesia memiliki dua jenis daerah otonomi, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus. Masing-masing daerah otonomi tersebut memiliki tiga tingkatan pemerintahan meliputi :
Tingkatan Daerah Otonom
Nomenklatur Daerah Otonom BiasaNomenklatur Daerah Otonom
Khusus
Tingkat I ProvinsiDaerah Istimewa Setingkat Provinsi
Tingkat II Kabupaten/Kota BesarDaerah Istimewa Setingkat Kabupaten
Tingkat IIIDesa, Negeri, Marga, atau nama lain/Kota Kecil
Daerah Istimewa Setingkat Desa
Pemerintahan daerah berupa dua macam,yakni :a. Pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak otonomi dan,b. Pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak medebewind.
Tentang perbedaan hak otonomi dan medebewind adalah sebagai berikut :Pada pembentukan pemerintahan daerah yang hendak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri menurut Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah ini, maka oleh Pemerintahan Pusat ditentukan Kewajiban (pekerjaan) mana-mana saja yang dapat diserahkan kepada daerah. Penyerahan ini ada dua rupa yaitu :
a. Penyerahan penuh, artinya baik tentang azasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan kewajiban (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonomi) dan
b. Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedang prinsip-prinsipnya (azas-azasnya) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri (hak medewind).
Hak medebewind ini hendaknya jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atas saja, sekali-kali tidak, oleh karena pemerintah daerah berhak mengatur caranya menjalankan menurut pendapatannya sendiri, jadi masih mempunyai hak otonomi, sekalipun hanya mengenai cara menjalankan saja. Tetapi cara menjalankan ini bisa besar artinya bagi tiap-tiap daerah.
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950
Negara Bagian Negara Indonesia Timur diatur dengan UU NIT No. 44 Tahun 1950 yang mulai berlaku pada15 Juni 1950. Dalam UU ini NIT dibagi dalam tiga tingkatan daerah otonomi.
Tingkatan Daerah Otonom
Nomenklatur Daerah Otonom
Tingkat I Daerah
Tingkat II Daerah Bagian
Tingkat III Daerah Anak Bagian
Di wilayah NIT sebelum negara bagian itu melebur menjadi Negara Kesatuan sempat ada tiga belasDaerah yang terbentuk. Ketiga belas daerah itu adalah:(1) Sulawesi Selatan;(2) Minahasa;(3) Kepulauan Sangihe dan Talaud;(4) Sulawesi Utara;(5) Sulawesi Tengah;(6) Bali;(7) Lombok;(8) Sumbawa;(9) Flores;(10) Sumba;(11) Timor dan kepulaunnya;(12) Maluku Selatan; dan(13) Maluku Utara.
Daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian berdasarkan UU tersebut belum sempat terbentuk sampai NITmelebur menjadi Negara Kesatuan.
Isi UU NIT No. 44 Tahun 1950 sebagian besar mengadopsi isi UU RI-Yogyakarta No. 22 Tahun 1948. UU ini tetap berlaku pada masa Republik III di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku sampai tahun 1957.
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan UU NIT No. 44 Tahun 1950. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah otonomi yaitu daerah otonomi biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonomi khusus yang disebut dengan daerah istimewa yang masing-masing memiliki tingkatan sebagai berikut :
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom Biasa
Nomenklatur Daerah Otonom Khusus
Tingkat IDaerah Swatantra Tingkat ke I/Kotapraja Jakarta Raya
Daerah Istimewa Tingkat ke I
Tingkat IIDaerah Swatantra Tingkat ke II/Kotapraja
Daerah Istimewa Tingkat ke II
Tingkat III Daerah Swatantra Tingkat ke III Daerah Istimewa Tingkat ke III
Secara umum undang-undang ini bermaksud untuk mengatur sebaik-baiknya soal-soal yang semata-mata terletak dalam lapangan otonomi dan ”medebewind” diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Dalam pasal 31 dan 38, pasal-pasal mana cukup menjamin adanya kesempatan bagi daerah-daerah untuk menunaikan dengan sepenuhnya tugas itu, menurut bakat
dan kesanggupannya agar dapat berkembang secara luas. Sistim ini dapatlah disebut sistim otonomi yang riil.
Disamping itu, undang-undang ini juga merancang tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dimana Kepala Daerah haruslah seorang yang dekat kepada dan dikenal oleh masyarakat daerah yang bersangkutan, oleh karena itu Kepala Daerah haruslah seorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat tersebut dan diserahi kekuasaan atas kepercayaan rakyat itu. Akan tetapi meskipun pada azasnya seorang Kepala Daerah harus dipilih secara langsung, namun sementara waktu dipandang perlu memperhatikan pula keadaan yang nyata dan perkembangan masyarakat di daerah-daerah yang kenyataannya belum bisa sampai ke taraf itu, yang dapat menjamin berlangsungnya pemilihan dengan diperolehnya hasil dari pemilihan itu yang sebaik-baiknya. Untuk sementara waktu Kepala Daerah tetap dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan mmperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.Menurut Undang-Undang tersebut, secara umum Indonesia hanya mengenal satu
jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut kemudian dibagi menjadi tiga tingkatan daerah, yaitu :
Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom
Tingkat I Provinsi/Kotaraya
Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
Tingkat III Kecamatan/Kotapraja
UU No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18 Konstitusi Republik IV. Namun berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1948, UU ini secara tegas tidak lagi mengakomodasi daerah-daerah dengan otonomi khusus dan secara sistematis berusaha menghapuskan daerah otonomi khusus tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88. Hal tersebut juga diterangkan dengan lebih gamblang dalam penjelasan UU No. 18 Tahun 1965pasal 1-2 serta pasal 88.
Akan tetapi, dilihat dari model kebijakannya, UU No. 18/1960 makin memperlemah demokratisasi lokal karena memperkuat sentralisasi kekuasaan sebagaimana diatur dalam Penpres No. 6/1959 dan Penpres No. 5/1960. Hal ini terlihat pada lima pengaturan pokok sebagai berikut. Pertama, dijadikannya Kepala Daerah sebagai pegawai negeri yang diangkat oleh pemerintah pusat. Kedua, Kepala Daerah diberi wakil yang juga diangkat dari pegawai negeri yang diangkat oleh pemerintah pusat. Ketiga, Kepala Daerah diberi wewenang untuk mengangkat BPH untuk menjadi penasihat. Keempat, Kepala Daerah diberi peran ganda: 1) sebagai alat daerah otonom dan 2) sebagai wakil pemerintah pusat. Kelima, Kepala Daerah diberi wewenang melakukan pengawasan preventif dan represif terhadap kebijakan yang dibuat DPRD.
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom sebagai pelaksanaan asas
desentralisasi dan wilayah administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.Daerah Otonom
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom
Tingkat I Daerah Tingkat I (Dati I)/Daerah Khusus Ibukota/Daerah Istimewa
Tingkat II Daerah Tingkat II (Dati II)
Wilayah Administrasi
TingkatanNomenklatur Wilayah Administratif
Tingkat I Provinsi/Ibukota Negara
Tingkat II Kabupaten/Kotamadya
Tingkat IIa Kota Administratif
Tingkat III Kecamatan
Prinsip yang dipakai bukan lagi “Otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Dengan demikian prinsip Otonomi yang riil atau nyata tetap merupakan prinsip yang harus melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada Daerah. Sedang istilah “seluas-luasnya” tidak lagi dipergunakan karena istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
Nyata, dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Bertanggungjawab, dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah.
Undang-undang ini disebut “Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah”, oleh karena dalam Undang-undang ini diatur tentang Pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah.
Undang-undang ini sangat kental dengan sentralisasi. Stuktur dalam pemerintahan daerah terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah diangkat oleh pemerintah pusat dari calon yang diusulkan oleh DPRD. Kepala Daerah diberi peran ganda: 1) sebagai alat pemerintah pusat dengan sebutan gubernur propinsi dan walikotamadya/ bupati dan 2) sebagai alat daerah otonom dengan sebutan Kepala Daerah Tingkat I dan Kepala Daerah Tingkat II. Daerah otonom tingkat I juga sekaligus sebagai wilayah administrasi propinsi dengan nomenklatur Propinsi Daerah Tingkat I. Propinsi merujuk pada wilayah administrasi, local state government sedangkan Daerah Tingkat I merujuk pada daerah otonom, local self government. Daerah otonom tingkat II sekaligus juga sebagai wilayah adminstrasi kotamadya/kabupaten dengan nomenklatur Kota Madya/Kabupaten Daerah Tingkat II. Kota Madya/Kabupaten merujuk pada local state government sedangkan Daerah Tingkat II merujuk pada daerah otonom, local self government, daerah tingkat II. Di sini dikenal dengan otonomi bertingkat. Artinya daerah otonom mempunyai tingkat I dan tingkat II sehingga mekanisme penyerahan urusan dari pusat ke daerah otonom juga dengan cara berjenjang: pusat menyerahkan ke Daerah Tingkat I lalu Daerah Tingkat I menyerahkan kembali kepada Daerah Tingkat II.
Menurut UU ini Kepala Daerah bertangung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, bukan kepada DPRD. Kepala Daerah hanya berkewajiban memberikan
laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Kepala Daerah diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan yang diajukan oleh DPRD.
7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.Dalam Undang-Undang ini, Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom
dengan mengakui kekhususan pada daerah Aceh, Jakarta dan Yogyakarta serta satu tingkat wilayah administratif.
Tiga jenis daerah otonom adalah daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara, dalam artian tidak ada hierarki daerah otonom. Daerah provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsiberkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
Dalam UU ini pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu keleluasan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah.
Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan
perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dandaerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaituAceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.
Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom
Tingkat I Provinsi
Tingkat II Kabupaten/Kota
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Diposkan 10th June 2012 oleh akku
Konsep Otonomi Seluas-luasnya, Nyata, dan Bertanggungjawab Adalah Solusi Persatuan dan Kesatuan Negara Republik Indonesia
24 MEI
oleh : Helmy Boemiya, SH
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara yang luas dan besar yang terdiri dari beberapa
pulau-pulau dan di kelilingi oleh lautan-lautan sehingga dapat disebut sebagai
negara kepulauan (archipelago state). Negara Indonesia juga terdiri dari beberapa
wilayah baik itu provinsi-provinsi, kabupaten-kabupaten, kota-kota dan desa-desa,
tentunya negara Indonesia mempunyai keragaman yang sangat beragam mulai dari
etnik, suku bangsa, ras dan golongan, namun patut disyukuri bahwa semua itu
dapat dipersatukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam NKRI terdapat pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945). Pencantuman tentang
pemerintah daerah dalam UUDNRI 1945 dilatar belakangi oleh kehendak untuk
menampung semangat otonomi daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan
masyarakat daerah[1]. Otonomi daerah adalah solusi terbaik untuk menjaga
persatuan dan kesatuan Indonesia. Berbicara mengenai otonomi daerah sangatlah
menarik karena pembahasan ini sudah dibahas semenjak para pendiri bangsa kita
merancang dasar negara kita melalui BPUPKI, PPKI hingga bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya.
Jika kita melihat kebelakang sejak negara ini merdeka, tentunya sudah banyak
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai otonomi daerah, antara
lain : Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1
Tahun 1957, Penpres No 6 Tahun 1959, Penpres No. 5 Tahun 1960, UU No 18
Tahun 1965, Tap No. XXI/MPRS/1966, Tap No. IV/MPR/1973, UU No. 5 Tahun
1974, Tap No. XV/MPR/1998, UU No, 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, UU
No. 10 Tahun 2008. Selain Undang-Undang dan ketetapan MPR tersebut terdapat
juga dasar undang-undang tersebut dibentuk yakni UUD 1945 sebelum
amandemen, Konstitusi Republik Indoensia Serikat (KRIS) 1949, Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS 1950 dan terakhir UUDNRI 1945.
Dari kesemua peraturan tersebut membuktikan otonomi daerah merupakan hal
yang sangat penting sehingga perlu diatur dan di tata sedemikian rupa dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Dari awal merdeka hingga saat ini pelaksanaan
otonomi daerah berubah-ubah dimulai dari pemaknaan adanya daerah besar dan
kecil hingga terbagi menjadi provinsi, kabupaten dan kota. Mengenai penggunaan
asas desentralisasi secara konsekuen juga mengalami fluktuatif dimana sempat
terjadi otoritarian dan sentralisasi di negara ini yang mengakibatkan adanya
keinginan daerah-daerah untuk memisahkan diri dari NKRI.
Mengenai konsep otonomi juga terjadi beberapa perubahan mulai dari otonomi
formal, materil riil (nyata), otonomi sebanyak-banyaknya, otonomi seluas-luasnya,
otonomi nyata dan bertanggung jawab hingga otonomi seluas-luasnya yang nyata
dan bertanggung jawab. Dari kesemua pola tersebut hingga saat ini masih dicari
bentuk yang tepat buat bangsa ini. Secara umum prinsip dasar yang harus
dipegang dalam persiapan dan pelaksanaan otonomi daerah adalah : 1) Prinsip
negara kesatuan 2) Prinsip desentralisasi 3) Prinsip pembagian kewenangan
organisasi personal dan keuangan 4) Adanya perimbangan keuangan yang baik
antar pusat dan daerah secara vertikal maupun horizontal 5) Fungsi pengawasan
pemerintah pusat masih sangat vital
Dari permasalahan di atas, penulis tertarik menulis mengenai konsep otonomi
seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab adalah solusi persatuan dan kesatuan
Negara Republik Indonesia. Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan di atas,
maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep otonomi daerah yang baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia sebagai negara dengan bentuk kesatuan ?
PEMBAHASAN
Konsep Otonomi Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di
Indonesia sebagai Negara dengan Bentuk Kesatuan.
Prinsip dasar negara demokrasi selalu menuntut dan mengharuskan adanya
pemencaran kekuasaan agar tidak terjadinya pemusatan kekuasaan yang
cenderung korup. Dalil umum yang terkenal mengenai ini ialah menurut Lord Acton
yang menyatakan “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.
Negara kita sesuai UUDNRI 1945 ialah negara republik yang berbentuk negara
kesatuan. Dimana dalam negara kesatuan kekuasaannya dipencar ke daerah-daerah
melalu pemberian otonomi atau pemberian wewenang ke daerah-daerah untuk
mengurus urusan rumah tangganya sendiri[2]. Dalam rangka menjaga keutuhan
bangsa kita jangan lupa dengan ideologi negara Pancasila dan semboyan bhinneka
tunggal ika.
I. Pemahaman Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Otonomi daerah
1. Negara Kesatuan
Menurut catatan Bank Dunia, dari 116 negara yang termasuk dalam negara
berkembang yang menjalankan desentralisasi, 106 diantaranya memiliki bentuk
negara kesatuan.[3] Menurut Fred Isjwara, negara kesatuan adalah kenegaraan
yang paling kokoh, jika dibandingkan dengan federal atau konfederasi. Dalam
negara kesatuan terdapat, baik persatuan (union) maupun kesatuan (unity).
[4]Negara kesatuan dibedakan dalam dua bentuk 1) negara kesatuan dengan sistem
sentralisasi 2) negara kesatuan dengan sistem desentralisasi dan negara Indonesia
melalui konsensus kenegaraan memilih negara kesatuan bersistem desentralisasi.
Model negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda dengan negara federal. Formasi
negara kesatuan di deklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara
dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara.[5] Dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia awal berdiri negara ini berbentuk negara
kesatuan hal tersebut merupakan konsensus setalah adanya perdebatan yang
panjang. Pada tahun 1949 dengan ditanda tanganinya Konferensi Meja Bundar
(KMB) di denhaag Belanda, negara Indonesia berubah bentuk menjadi negara
serikat tapi tidak sampai satu tahun kembali lagi kedalam bentuk negara kesatuan.
Negara kesatuan merupakan landasan batas dari sisi pengertian otonomi.
Berdasarkan landasan tersebut dikembangkanlah berbagai peraturan yang
menjelmakan keseimbangan antara tuntutan kesatuan dan tuntutan otonomi.
[6]Negara yang baik adalah yang berkiprah sesuai dengan dinamika
masyarakatnya, dalam kondisi itulah semestinya dilihat kecenderungan ke arah
kesatuan atau otonomi.
2. Desentralisasi
Menurut Van Der Pot desentralisasi terbagi dalam desentralisasi teritorial yakni
menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah(gebiedscorporaties),
sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang
didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu(doelcorporaties). Desentralisasi teritorial
terdiri dari otonomi dan tugas pembantuan.[7] Irawan Soejito , membedakan
desentralisasi menjadi desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan
desentralisasi administratif (dekonsentrasi), pengertian dekonsentrasi terjadi
apabila pemerintah melimpahkan sebagian dari kewenangannya kepada alat
perlengkapan atau organ pemerintah sendiri di daerah.[8]
Dalam melakukan pemerintahan secara luas pemerintah berpegang pada dua
macam asas yakni : asas keahlian dan asas kedaerahan. Asas kedaerahan terdiri
dari 2 macam prinsip yakni[9] :
1) Asas Dekonsentrasi ialah pelimpahan sebagian dari kewenangan pemerintah
pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah.
2) Asas Desentralisasi ialah pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan
golongan-golongan dalam masyarakat daerah tertentu untuk mengurus rumah
tangganya sendiri.
Menurut Amran Muslimin, dalam sistem desentralisasi dikenal ada 3 macam
desentralisasi yakni[10] :
1) Desentralisasi politik adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat,
yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri bagi
badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah
tertentu.
2) Desentralisasi fungsionil adalah pemberian hak dan kewenangan pada
golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam
masyarakat baik terikat ataupun tidak pada suatu daerah tertentu.
3) Desentralisasi kebudayaan adalah memberikan hak pada golongan-golongan
kecil dalam masyarakat menyelenggarakan kebudayaannya sendiri.
Pandangan para ahli di atas membagi berbagai macam desentralisasi yang
kemudian hingga hari ini pemaknaan desentralisasi hampir sama dengan apa yang
telah dikemukan di atas. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah [11]:
(7) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dan pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(8) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
(9) Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta
dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
3. Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi. Istilah otonomi
berasal dari penggalan dua kata bahasa yunani, yakni autos yang berarti berdiri
dan nomos yang berarti undang-undang. Otonomi bermakna membuat perundang-
undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangannya, konsepsi
otonomi daerah selain mengandung zelfwetgeving juga utamanya
mencakup zelfbestur (pemerintahan sendiri). C.W. Van der Pot memahami konsep
otonomi daaerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah tangganya
sendiri).[12]
Di dalam otonomi, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah bertalian
dengan cara pembagian penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga otonomi dapat
di bedakan anatar otonomi luas dan otonomi terbatas. Tentang bagaimana otonomi
diberikan dan bagaimana batas cakupannya para sarjana mengidentifikasikan
kedalam tiga ajaran yaitu, formal, materiil dan nyata (riil) serta yang terbaru ialah
residu ,nyata, dinamis dan bertanggungjawab. Di kalangan sarjana terjadi
perbedaan istilah, Bagir Manan menyebut dengan dengan istilah sistem rumah
tangga daerah, Koentjoro Poerbopranoto menyebut asas, Mahfud Md menyebut
asas sedangkan R. Tresna menyebut kewenangan mengatur rumah tangga.
Terlepas dari perbedaan istilah ternyata mereka berpijak pada pengertian yang
sama bahwa ajaran-ajaran (formal, materil, dan nyata) menyangkut tatanan yang
berkaitan dengan cara pembagian wewenang tugas dan tanggungjawab bentuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.[13] Dari
pandangan para sarjana di atas, cakupan otonomi dapat digolongkan menjadi[14]:
1) Sistem Rumah Tangga Formal, pada sistem rumah tangga formal, pembagian
wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan tertentu tidak ditetapkan secara rinci.
Sehingga urusan pemerintah pusat dan daerah tidak di bedakan. Secara teoritik
sistem ini memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
urusan rumah tangganya sendiri.
2) Sistem Rumah Tangga Meteril
Dalam sistem rumah tangga materil ini ada pembagian wewenang, tugas dan
tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang
masuk dalam sistem rumah tangga daerah diatur secara rinci. Sistem ini
berpangkal pada pemikiran bahwa urusan-urusan pemerintahan itu dapat dipilah-
pilah dalam satuan pemerintahan.
3) Sistem Rumah Tangga Nyata (Riil)
Dalam sistem ini penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan daerah
didasarkan pada faktor yang nyata atau riil , sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan yang nyata dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan
kehidupan masyarakat yang terjadi.
4) Sistem Rumah Tangga Sisa (Residu)
Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang
menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah
tangga daerah.
5) Sistem Rumah Tangga Nyata, Dinamis dan Bertanggungjawab
Prinsip ini merupakan salah satu variasi dari sistem otonomi nyata. Esensi otonomi
yang nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan
pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan, dan tindakan-tindakan atas
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang
bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Maksud
bertanggung jawab disini ialah pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan
dengan tujuannya dan menjamin hubungan yang serasi antara pemrintah pusat dan
daerah. Sementara kata dinamis disini hanyalah penekanan saja.
II. Pola Hubungan Pusat dan daerah di Indonesia
Perdebatan mengenai bentuk negara hingga saat ini masih terus terjadi walau
sudah disepakati bahwa negara kita kesatuan, hal ini terjadi dikarenakan
penerapan desentralisasi yang kurang terlaksana dengan baik. Sejak awal
kemerdekaan, politik hukum otonomi daerah tak kunjung selesai dan belum
menemukan konsep yang tepat. Dari awal kemerdekaan hingga saat ini telah
banyak undang-undang tentang otonomi daerah yang lahir dengan ciri yang
berbeda-beda. Ada yang bercirikan sisten otonomi formal, materil, nyata (riil),
sebanyak-banyaknya dan seluas-luasnya serta ada yang nyata dinamis, dan
berdtanggung jawab.
a. Periode Awal Kemerdekaan (1945-1949)
Dasar negara pada periode ini adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD
1945) dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949. Undang-Undang (UU)
yang pertama kali lahir yakni UU No. 1 tahun 1945 dengan dasarnya ialah UUD
1945. UU ini dibuat dengan semangat demokrasi menyusul proklamasi
kemerdekaan yang meemang menggelorakan kebebasan. UU tersebut hanya berisi
6 pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting bagi Komite Nasional Daerah
sebagai alat kelengkapan demokrasi di daerah[15].
UU tersebut menggunakan asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-
urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang
urusannya[16]. Kemudian lahir sesudah itu yakni UU No. 22 Tahun 1948 yang
menganut asas otonomi formal dan materil sekaligus dengan memakai istilah
otonomi sebanyak-banyaknya. Istilah sebanyak- banyaknya mengandung arti
beraneka urusan pemerintahan sedapat mungkin akan diserahkan kepada daerah.
Otonomi daerah akan mencakup berbagai urusan pemerintahan yang luas, dengan
demikian sebanyak-banyaknya akan sama artinya dengan seluas-luasnya.
[17] Susunan pemerintahan di daerah menurut UU No 1 Tahun 1945 terdapat dua
macam susunan pemeritaha yakni satuan pemerintahan otonom dan satuan
pemeritahan administratif. Sedangkan UU No. 22 Tahun 1948 hanya satu yakni
satuan pemerintahan daerah otonom.
b. Periode Demokrasi liberal (1950-1959)
Dalam periode ini negara Indonesia berubah bentuk dari negara kesatuan menjadi
negara serikat tetapi hanya bertahan 1 tahun. Periode ini berlaku Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950 sebagai dasar negara serta menggunakan sistem
pemerintahan parlementer. Dalam UUDS 1950, gagasan otonomi nyata yang seluas-
luasnya tertampung dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1957. UU ini belum terlaksana
dengan baik negara Indoensia kembali terjadi gejolak politik dimana Presiden
Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD
1945. UU No. 1 Tahun 1957 menganut asas otonomi seluas-luasnya yang tertuag di
dalam pasal 31 ayat 1 berikut penjelasannya. Sistem rumah tangga yang di gunakan
ialah sistem rumah tangga nyata.
c. Periode Demokrasi Terpimpin/Orde Lama (1959-1966)
Pada periode demokrasi terpimpin ini yang berlaku ialah UUD 1945, politik hukum
otonomi daerah berbalik dari desentralisasi ke sentralisasi. Presiden Soekarno
mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No.6 Tahun 1959 yang mempersempit
otonomi daerah. Otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi
elaborasinya di dalam sistem pemerintahan justru pengekangan luar biasa atas
daerah. Kemudian Penpres tersebut dikuatkan dengan diundangkannya UU No. 18
tahun 1965 yang substansi tidak mengubah apa yang ada di alam Penpres
sebelumnya. Sehingga masih tentap menggunakan otonomi seluas-luasnya namun
dalam praktiknya yang terjadi adalah sentralisasi bukannya desentralisasi.
d. Periode Orde Baru (1966-1998)
Dalam Periode ini dasar negara yang berlaku ialah UUD 1945. Kemudia lagi-lagi
Indonesia mengalami guncangan politik dengan adanya tragedi G30S PKI sehingga
memaksa Presiden Soekarno lengser dan digantikan oleh Jendral Soeharto yang
kemudian mengundurkan diri karena gelombang reformasi pada tahun 1998.
Melalui TAP MPRS No. XXI/MPRS/1966 mengamanatkan otonomi seluas-luasnya
yang sesungguhnya agar daerah mampu menangani urusan rumah tangganya
sendiri.
Amanah Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966 belum dilaksanakan kemudian digantikan
dengan Tap MPRS No. XXI/MPRS/1973 tentang GBHN serta lahirnya UU No. 5
Tahun 1974 yang merubah dari otonomi seluas-luasnya menjadi otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab. UU ini merupakan alat politik pemerintah pusat untuk
menjaga kestabilan politik demi terwujudnya ekonomi yang kuat namun ini
mematikan nilai nilai demokrasi dan menumbuhkan sentralisasi yang menjurus
terhadap otoritarian penguasa sehingga daerah hanya menjadi kepanjangan tangan
pemerintah pusat belaka dan tidak memiliki otonomi yang seluas-luasnya. dalam
periode ini penekanan yang dilakukan lebih pada dekonsentrasi dari pada
desentralisasi. Susunan pemerintah pada periode ini terdiri dari pemerintah daerah
tingkat I (Gubernur) dan pemerintah daerah tingkat II (Bupati/Walikota).
d. Periode Reformasi (1998-sekarang)
Ketika reformasi tahun 1998, kembali yang banyak dibahas mengenai otonomi
daerah karena banyak sekali daerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI sehingga
UU No. 5 tahun 1974 direvisi dan dan diganti dengan UU No 22 tahun 1999 yang
berbeda 180 derajat. Dalam UU ini kembali meletakkan prinsip otonomi seluas-
luasnya untuk pemerintahan daerah sesuai amanat Tap MPR No. XV/MPR/1998.
Pada periode ini sempat muncul gagasan federalisme yang diutarakan oleh Amien
Rais yang kemudian di tolak oleh banyak kalangan dan tetap bersepakat negara
Indonesia tetap berbentuk kesatuan dengan otonomi luas.
Paradigma yang ingin di bangun dalam UU no 22 Tahun 199 ialah paradigma
pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik.
Kemudian dikarenakan UUD 1945 di amandemen menjadi UUDNRI 1945 maka UU
No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 namun paradigma yang
dibangun tetap sama dengan menggunakan otonomi seluas-luasnya, nyata dan
bertanggung jawab.
UU No 32 Tahun 2004 yang sudah merupakan hasil perubahan kesekian kalinya
sangat mungkin masih harus segera diubah kembali guna mengatasi persoalan-
persoalan yang ada. Kemudian UU ini dilakukan perubahan secara parsial
menyangkut pemilihan kepala daerah, wakil kepala daerah serta kedudukan kepala
daerah dengan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) yang dituangkan dalam
UU No. 10 Tahun 2008.
III. Konsep Otonomi Seluas-luasnya, Nyata dan Bertanggungjawab adalah Solusi
Terbaik Persatuan dan Kesatuan Negara Republik Indonesia.
Otonomi daerah merupakan isu menarik bila kita amati perkembangannya
khususnya di Indonesia, karena semenjak para pendiri negara menyususn format
negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam pasal 18
UUD 1945 sebelum amandemen beserta penjelasannya. Dalam masa itu telah lahir
6 undang-undang mengenai otonomi daerah. Kemudian setelah perubahan undang-
undang dasar negara republik Indonesia 1945 (UUDNRI) 1945, lahirlah 3 undang-
undang mengenai otonomi daerah.
Bagir Manan mengatakan dasar-dasar hubungan pusat dan daerah dalamkerangka
desentralisasi ialah dasar pemusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
dasar pemeliharaan dan pengembangan pemerintahan asli, dasar kebihinekaan dan
dasar negara hukum. Mahfud Md mengatakan ada kemungkinan UU tentang
pemerintahan yang ada saat ini dirubah kembali, hanya saja perubahan itu tidak
perlu mengubah dasar-dasar politik hukum yang telah digariskan dalam konstitusi,
yakni politik hukum Negara kesatuan, politik hukum otonomi luas dengan sistem
desentralisasi dan dekonsentrasi yang memperhatikan hak asal-usul daerah.[18]
Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah adalah keliru jika hanya berorientasi
pada tuntutan penyerahan kewenangan tanpa menghiraukan makna otonomi
daerah itu sendiri yang lahir dari suatu kebutuhan akan efisiensi dan efektifitas
manajemen penyelenggaraan pemerintahan yang bertujuan untuk member
pelayanan yang lebih baik pada masyarakat[19].
Dalam mencari bentuk konsep otonomi yang baik kita harus merujuk historis
negara Indonesia dan ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila kemudian merujuk
pada hierarki peraturan perundang-undang. Sebelum lahirnya UUDNRI 1945
diawali dengan lengsernya rezim orde baru dan terbuka lebar untuk masyarakat
berpendapat dan mengeluarkan pikiran yang sebelumnya sangat sulit akibat
pengakangan pemerintah yang bertindak otoriter.
Masa reformasi merupakan asal-muasal berlakunya otonomi daerah yang
sesungguhnya, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) mengeluarkan
TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan
dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI yang mengatur beberapa aspek
penyenggaraan otoda [20]:
1. Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional, melalui
otnomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. Otonomi daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab di daerah secara proporsional, dengan pengaturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
3. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan
memperhatikan keanekaragaman daerah.
4. Pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat dan
daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa
secara keseluruhan.
5. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien dan
bertanggungjawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan yang luas kepada usaha kecil menengah dan koperasi
6. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan potensi, luas, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat
pendapatan masyarakat di daerah
7. Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung
jawab memlihara kelestarian lingkungan
8. Penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka mempertahankan dan
memperkokoh NKRI, dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan dan
berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan masyarakat.
Melihat Tap MPR diatas jelas sekali amanat yang harus dijalankan ialah Otonomi
daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab di daerah secara proporsional, kalau kita memperhatikan ketetapan MPR ini
hampir sama dengan Tap No. XXI/MPRS/1966 yang mengamanatkan pemberian
otonomi seluas-luasnya terhadap daerah.
Kemudian kita harus memperhatikan UUDNRI yang mengatur tentang
pemerintahan daerah dalam Pasal 18 [21]:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu di bagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
undang.
(2) Pemeritah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki dewan
perwakilan rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Setelah kita melihat Pasal 18 UUDNRI juga sesuai dengan Tap MPR No.
XV/MPR/1998 yang mengamanatkan otonomi seluas-luasnya. sehingga sudah
sepatutunya otonomi seluas-luasnya terus dipertahankan dan disempurnakan.
Karena hanya dengan cara tersebut keutuhan NKRI dapat terjaga hingga saat ini.
Konsep yang bagus ini hendaknya di aktualisasikan dan di aplikasikan secara baik.
Otonomi seluas-luasnya sebenarnya dari UUD 1945 hingga UUDNRI 1945 sudah
ada singkronisasi sehingga tinggal eksekusi dilapangan saja, juga tidak lupa dalam
otonomi seluas-luasnya ini bukanlah penyerahan sebanyak-banyaknya urusan
pemerintahan kepada daerah, melainkan pengakuan atas kebebasan daerah untuk
berprakarsa mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai dengan tata cara
dan pembatasan-pembatasan yang ditentukan dengan undang-undang.
Otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah dan bukan
otonomi “daerah” dalam pegertian suatu wilayah/territorial tertentu di tingkat
lokal. maka kewenangan yang didapat oleh daerah diarahkan dikelola secara adil.
Jujur, demokratis dan amanah. Cara pandang yang demikian inilah yang tepat
untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya. Fungsi pemerintahan yang pokok
sebenarnya ialah pelayanan kepada masyarakat, membuat pedoman/arah dan
ketentuan pada masyarakat serta memberdayakan masyarakat.
Kemudian dengan otonomi seluas-luasnya harus diimbangi dengan sistem rumah
tangga yang nyata (riil) agar tepat sasaran pembangunan di daerah. Secara logika
yang mengetahui kebutuhan dan kemampuan suatu daerah yakni tidak lain adalah
daerah itu sendiri, sehingga sistem rumah tangga nyata sangatlah tepat. Faktor
yang teramat penting ialah sisten rumah tangga nyata ini didasarkan pada faktor-
faktor nyata suatu daerah. Kemudian dari pada itu yang tidak kalah pentingnya
yakni selain otonomi seluas-luasnya dan sistem rumah tangga nyata (riil) juga
diperlukannya prinsip bertanggungjawab, karena dalam melaksanakan otonomi
daerah perlu adanya suatu pertanggungjawaban dalam mencapai tujuan negara :
melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Dengan otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab diharapkan daerah
akan kokoh sehingga jika daerah di seluruh Indonesia kokoh maka negara
Indonesia sudah pasti akan kokoh karena jika ingin membangun suatu bangsa yang
kuat harus dari bawah atau daerah terkecil sebagai pondasi. Jadi dapat dikatakan
otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab adalah solusi terbaik
persatuan dan kesatuan Indonesia negara republik Indonesia.
PENUTUP
KESEIMPULAN
Hukum itu untuk membahagiakan masyarakat menuju kesejahteraan yang
sesungguhnya, sehingga jika terjadi perubahan atau gerak dinamis dalam
masyarakat yang dirubah ialah hukumnya bukan masyarakatnya. Sampai kapanpun
hukum akan selalu dalam proses menjadi setidaknya mendekati kesempurnaan.
Karena hukum terbaik ialah datangnya dari Tuhan.
Pemahaman negara kesatuan yang menggunakan sistem desentralisasi pasti
menghasilkan otonomi daerah. Pemerintahan yang baik ialah yang sesuai dengan
kehendak rakyatnya. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah konsep otonomi
daerah seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab adalah paling sesuai dengan
negara republik Indonesia setidaknya hingga saat ini telah menjaga keutuhan
bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan dengan ideologi Pancasila dan
semboyan Bhinneka tungal ika.
SARAN
Hendaknya pemerintah harus cerdas dalam melaksanakan ketentuan otonomi
daerah, dikarenakan konsep yang ada sebenarnya sudah bagus dengan otonomi
seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab pemerintah lebih persuasif dalam
melakukan pendekatan, pembinaan, koordinasi dan pengawasan terhadap
pemerintah daerah.
Hendaknya pemerintah pusat dalam mencegah potensi disintegrasi dilakukannya
pendekatan personal dengan mengerahkan segala sumber daya yang ada. Otonomi
hanya sebuah cara untuk melaksanakan tujuan pemerintah sehingga dengan cara
yang tepatlah tujuan itu tercapai, sehingga dalam RUU Pemerintahan Daerah, RUU
Pilkada, dan RUU Desa dilakukan sinergi, singkronisasi dan harmonisasi agar
sesuai dengan amanat Pancasila, UUDNRI dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Huda Ni’matul, 2009, Otonomi Daerah (filosofi, Sejarah Perkembangan dan
Problematika), Pustaka Pelajar (cetakan ke-2), Yogyakarta.
____________, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, bandung
____________, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta.
Kaloh J., 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah (suatu solusi dalam menjawab
kebutuhan lokal dan tantangan global), PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Mahfud MD Moh, 2011, Politik Hukum di Indonesia (edisi revisi), PT. RajaGrafindo
Persada (cetakan ke-4), Jakarta.
_______________, 2011, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT.
RajaGrafindo Persada (cetakan ke-2), Jakarta.
Manan Bagir, 1994, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.,
Muslimin Amran, 1986, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, PT. Alumni,
Bandung.
Soehino, 2004, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, BPFE (edisi
ke-2), Yogyakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966
Ketetapan MPR No. IV/MPR.1973
Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Pengaturan Mengenai Kedudukan
Komite Nasional Daerah
Undang-Undang No 22 Tahun 1948 Peraturan tentang penetapan aturan-aturan
pokok mengenai Pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas-Tugas Pemrintah
Pusat dalam Bidang Pemrintahan Umum, Perbantuan pegawai Negeri dan
Penyerahan Keuangannya, Kepada Pemerintahan Daerah
Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1950 Penetapan Presiden tentang pemrintahan
Daerah
C. Sumber Lain
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2012. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta:Setjen MPR RI.
[1] MPR RI. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia,.Sekjen MPR RI, Jakarta, 2012, Hlm. 119
[2] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT.
RajaGrafindo Persada (cetakan ke-2), Jakarta. 2011. Hlm 218
[3] Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung, 2009. Hlm
27
[4] Ibid, Fred Isjwara dalam Ni’maul Huda, hlm 28
[5] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (filosofi, sejarah perkembangannya dan
problematikanya), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Hlm 54.
[6] Ibid, Bagir manan dalam Ni’Matul Huda, Hlm 55
[7] Bagir manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta. 1994. Hlm 21.
[8] Ibid, Irwan Soejito dalam Bagir manan, hlm 21
[9] Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, PT. Alumni, Bandung,
1986.
Hlm 5
[10] Ibid, Hlm 6
[11] Lihat Pasal 1 butir 7,8 dan 9Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
[12] Laica Marzuki dalam Ni’ Matul Huda Hukum Pemerintahan Daerah Op.cit hlm
83
[13] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (edisi revisi), PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2011. Hlm 97.
[14] Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007. Hlm 20-25
[15] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT.
RajaGrafindo Persada (cetakan ke-2), Jakarta. 2011. Hlm 218.
[16] Ibid,
[17] Op. Cit, Bagir Manan, Hlm 136
[18] Ibid,,
[19] J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah (suatu solusi dalam menjawab
kebutuhan lokal dan tantangan global), Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002. Hlm. 6
[20] Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI
[21] Lihat Pasal 18 ayat (1)-(7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945