Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
40 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCABIES DI RUMAH SAKIT
UMUM ANUTAPURA PALU
(RISK FACTORS SCABIES AT GENERAL HOSPITAL ANUTAPURA PALU)
Adhar Arifuddin*, Herman Kurniawan**, Fitriani***
* Bagian Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan
** Bagian Promosi Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
kesehatan Universitas Tadulako, Jl. Soekarno Hatta KM 9, Palu, 94116, Indonesia. E-mail:
*** Bagian Epidemiologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan
ABSTRACT
Scabies is a contagious skin disease caused by sarcoptes scabiei and can cause skin
irritation. Globally, every year there are 300 million cases of scabies and in Indonesia
4.60% - 12.95% ranks three of the 12 most skin diseases. This study aimed to determine
the incidence of risk factors Scabies at General Hospital Anutapura Palu. The research
method uses analytic observational case control approach. Scabies is a case of patient
samples and control samples is not Scabies patients with a ratio of 1: 2. The number of
samples is 174 consisting of 58 sample cases and 116 control samples. Sampling with
accidental sampling. Data were analyzed by OR the significance limit (α = 5%). The
results showed gender (OR = 1.879 at 95%, CI 0.987 to 3.576), knowledge (OR = 1.358 at
95%, CI 0.661 to 2.791), personal hygiene (OR = 2.275 at 95%, CI 1.107 to 4.676) and
contact history (OR = 7.291 at 95%, CI 2.904 to 18.307) Scabies is a risk factor with OR>
1. Men are expected to be able to prevent the transmission of scabies , to the public in
order to increase knowledge about Scabies , improving personal hygiene and avoid
contact with the patient so as to prevent the occurrence Scabies Scabies.
Keywords: Scabies, Risk Factors
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
41 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
ABSTRAK
Scabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei
dan dapat menyebabkan iritasi kulit. Secara global setiap tahun terdapat 300 juta kasus
Scabies dan di Indonesia 4,60% - 12,95% menduduki urutan ke tiga dari 12 penyakit kulit
terbanyak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian Scabies di
Rumah Sakit Umum Anutapura Palu. Metode penelitian menggunakan observasional
analitik dengan pendekatan case control. Sampel kasus adalah penderita Scabies dan
sampel kontrol adalah bukan penderita Scabies dengan perbandingan 1:2. Jumlah sampel
yaitu 174 yang terdiri dari 58 sampel kasus dan 116 sampel kontrol. Pengambilan sampel
dengan accidental sampling. Data dianalisis dengan uji OR pada batas kemaknaan (α=5%).
Hasil penelitian menunjukan jenis kelamin (OR = 1,879 pada 95%, CI 0,987-3,576),
pengetahuan (OR = 1,358 pada 95%, CI 0,661-2,791), personal hygiene (OR = 2,275 pada
95%, CI 1,107-4,676) dan riwayat kontak (OR = 7,291 pada 95%, CI 2,904-18,307)
merupakan faktor risiko kejadian Scabies dengan nilai OR>1. Diharapkan laki-laki untuk
dapat mencegah penularan Scabies, kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan
pengetahuan tentang Scabies, meningkatkan personal hygiene dan menghindari kontak
dengan penderita Scabies sehingga dapat mencegah kejadian Scabies.
Kata Kunci : Scabies, Faktor Risiko
PENDAHULUAN
Scabies merupakan penyakit kulit
menular yang disebabkan oleh sarcoptes
scabiei dan dapat menyebabkan iritasi
kulit. Parasit ini menggali parit-parit di
dalam epidermis sehingga menimbulkan
gata-gatal dan merusak kulit penderita.
Penyakit Scabies pada umumnya
menyerang individu yang hidup
berkelompok seperti masyarakat yang
tinggal ditempat padat penduduknya[1]
.
Tingginya kepadatan hunian dan
kontak fisik antar individu memudahkan
transmisi dan investasi tungau Scabies.
Oleh karena itu, prevalensi Scabies tinggi
umumnya ditemukan di lingkungan
dengan kepadatan penghuni dan kontak
interpersonal tinggi seperti penjara, panti
asuhan, dan pondok pesantren. Namun,
Scabies sering diabaikan karena tidak
mengancam jiwa sehingga prioritas
penanganannya rendah, sebenarnya
Scabies kronis dan berat dapat
menimbulkan komplikasi berbahaya.
Scabies banyak menyerang masyarakat di
negara berkembang. Faktor yang
berperan tingginya prevalensi Scabies di
negara berkembang terkait dengan
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
42 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
kemiskinan, rendahnya tingkat
kebersihan, akses air sulit dan kepadatan
hunian[2]
.
Badan Kesehatan Dunia menganggap
penyakit Scabies sebagai pengganggu dan
perusak kesehatan. Scabies bukan hanya
sekedar penyakitnya orang miskin karena
penyakit Scabies masa kini telah merebak
menjadi penyakit kosmopolit yang
menyerang semua tingkat sosial. Scabies
merupakan satu dari enam penyakit kulit
terbesar yang lazim pada penduduk
miskin, seperti dilaporkan dalam Buletin
Organisasi Kesehatan Dunia pada bulan
Februari 2009, angka kejadian tertinggi
terdapat pada suku-suku asli di Australia,
Afrika, Amerika Selatan dan negara
berkembang lainnya di dunia[3]
.
Scabies merupakan masalah
kesehatan secara global, karena 300 juta
kasus terjadi setiap tahunnya di dunia.
World Health Organization (WHO)
menyatakan Scabies merupakan salah
satu dari enam penyakit parasit epidermal
kulit yang angka kejadiannya terbesar di
dunia. Insiden di Amerika hampir
mencapai 1 juta kasus per tahun. Rata-
rata prevalensi kejadian Scabies di
Inggris adalah 2,27 per 1000 orang (laki-
laki) dan 2,81 per 1000 orang
(perempuan), dimana 1 dari 1000 orang
datang ke pusat-pusat kesehatan dengan
keluhan gatal yang menetap[4]
.
Scabies merupakan penyakit kulit
endemis di wilayah beriklim tropis dan
subtropis, seperti Afrika, Amerika
selatan, Karibia, Australia tengah,
Australia selatan dan Asia. Prevalensi
Scabies pada anak berusia 6 tahun di
daerah kumuh Bangladesh adalah 23-
29% dan Kamboja 43%. Studi di rumah
kesejahteraan Malaysia tahun 2010
menunjukkan prevalensi Scabies 30%
dan Timor Leste prevalensi Scabies
17,3%[2]
. Prevalensi Scabies di Brazil
(Amerika Selatan) mencapai 18%, Benin
(Afrika Barat) 28,33%, kota Enugu
(Nigeria) 13,55% dan Pulau Pinang
(Malaysia) 31%. Scabies lebih sering
terlihat pada anak laki-laki (50%)
dibandingkan anak perempuan (16%)[5]
.
Indonesia mempunyai prevalensi
Scabies cukup tinggi dan cenderung
tinggi pada anak-anak sampai dewasa[6]
.
Menurut data Departemen Kesehatan
Republik Indonesia prevalensi Scabies di
puskesmas seluruh Indonesia pada tahun
2008 adalah 5,6%-12,95% dan Scabies
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
43 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit
kulit tersering[7]
.
Berdasarkan data Departemen
Kesehatan kasus Scabies di Indonesia
tahun 2012 sebesar 4,60-12,95% dan
Scabies menduduki urutan ke tiga dari 12
penyakit kulit terbanyak. Masalah ini
dominan terjadi pada anak-anak, karena
individu tersebut belum mampu secara
mandiri melakukan kebersihan diri dan
kebersihan lingkungan. Anak-anak
senang bermain dengan teman-temannya
tanpa memperhatikan kebersihan diri,
sehingga memungkinkan terjadinya
penularan penyakit melalui kontak
langsung seperti berjabat tangan,
kurangnya perhatian dalam hal
membersihkan diri atau mandi, serta
bermain di area yang kurang bersih[3]
.
Kasus Scabies di Sulawesi Tengah
tahun 2012 berdasarkan data profil dinas
kesehatan yaitu 655 kasus dengan Case
Fatality Rate (CFR) 0,2% dan pernah
terjadi 1 kasus kematian Scabies[8]
. Pada
tahun 2013 kasus Scabies di Sulawesi
Tengah yaitu 3779 kasus dan berdasarkan
tabel lampiran profil dinas kesehatan
Propinsi Sulawesi Tengah telah terjadi
Kejadian Luar Biasa (KLB) Scabies di
desa Silondoa dengan 52 orang, desa
Kayulompa terdapat 29 orang, Puskesmas
Batui/Bugis, Batui, Tolando, Balantang
dengan 88 orang penderita, Lawanga,
Kasintuwu, Bonesompe, Tegal Rejo dan
Madale terdapat 200 orang penderita[9]
.
Prevalensi penyakit Scabies di kota
Palu pada tahun 2012 yaitu 1066 kasus.
Kasus pada laki-laki yaitu 53% lebih
tinggi dibanding perempuan 47%. Tahun
2013 kasus Scabies meningkat menjadi
2293, lebih tinggi pada laki-laki yaitu
51% dibanding perempuan 49%. Pada
tahun 2014 kasus Scabies yaitu 2527
kasus, pada laki-laki lebih tinggi yaitu
53% dibanding perempuan yaitu 47%[10]
.
Berdasarkan survei pendahuluan
yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Anutapura Palu, menunjukan bahwa
Scabies merupakan salah satu penyakit
yang masuk 10 besar di bagian Poliklinik
Kulit dan Kelamin. Scabies selalu
menduduki urutan pertama dari tahun
2012 sampai dengan tahun 2014. Jumlah
kasus Scabies pada tahun 2012 yaitu 236
kasus (32,8%), tahun 2013 yaitu 327
kasus (47,2%) dan tahun 2014 yaitu 290
(41,1%)[11]
.
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
44 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
Scabies berhubungan dengan jenis
kelamin, yaitu prevalensinya lebih tinggi
pada laki-laki dan laki-laki lebih berisiko
terinvestasi Scabies dibandingkan
perempuan. Prevalensi Scabies pada laki-
laki (57,4%) lebih tinggi dibandingkan
perempuan (42,9%)[2]
. Pengetahuan
merupakan salah satu faktor penyebab
Scabies, terutama seseorang yang
memiliki pengetahuan kurang. Hasil
penelitian Setyowati (2014),
menunjukkan bahwa responden yang
memiliki pengetahuan kurang tentang
penyakit Scabies yaitu sebanyak 74,5%,
sedangkan yang memiliki pengetahuan
baik sebanyak 19,7%.
Personal hygiene merupakan faktor
yang berperan dalam penularan Scabies.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Ria (2014) menunjukkan bahwa
terdapat 58,7% orang memiliki personal
hygiene kurang dan 41,3% orang dengan
personal hygiene cukup. Terdapat 37
orang dengan hygiene perorangan kurang
yang menderita Scabies sebanyak 49,2%
dan tidak menderita Scabies sebanyak
9,5%, dari 26 orang dengan hygiene
perorangan cukup menderita Scabies
sebanyak 20,6% dan tidak menderita
Scabies sebanyak 20,6%.
Riwayat kontak merupakan salah
satu variabel yang mempengaruhi
kejadian Scabies, dimana pada kelompok
kasus, 96,2% diantaranya pernah kontak
dengan penderita Scabies dan 3,8% orang
tidak pernah kontak dengan penderita
Scabies, tetapi menderita Scabies. Kontak
dengan penderita Scabies berisiko tertular
Scabies 48 kali dibandingkan mereka
yang tidak ada kontak dengan
penderita[14]
. Berdasarkan data kejadian
penyakit Scabies yang masih tinggi maka
penulis tertarik untuk melakukan
penelitian di Rumah Sakit Umum
Anutapura Palu.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian
epidemiologi observasional analitik
dengan pendekatan case control study
(Kasus kontrol). Penelitian ini
dilaksanakan di bagian Poliklinik Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum
Anutapura Palu pada bulan Mei sampai
dengan Juni tahun 2015. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien rawat
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
45 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
jalan yang berkunjung di bagian
Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah
Sakit Umum Anutapura Palu. Besar
sampel minimal pada penelitian ini
adalah sebanyak 58 reponden untuk
kelompok kasus dan 116 responden untuk
kelompok kontrol dengan perbandingan 1
: 2 dan total keseluruhan 174 responden.
Teknik pengambilan sampel dilakukan
secara sampling Aksidental (accidental
sampling) yaitu siapa saja yang secara
kebetulan bertemu dengan peneliti, dapat
digunakan sebagai sampel, bila
dipandang orang yang kebetulan ditemui
cocok sebagai sumber data. Setiap sampel
dipilih berdasarkan umur sebagai
matching, dengan umur yang ditentukan,
sampai besar sampel dibutuhkan
terpenuhi.
HASIL PENELITIAN
Risiko Jenis Kelamin TerhadapScabies
Berdasarkan hasil analisis bivariat
pada tabel 1 diperoleh responden laki-laki
lebih banyak pada kelompok kasus yaitu
36 responden (62,1%) dibanding pada
kelompok kontrol yaitu 54 responden
(46,6%). Responden perempuan pada
kelompok kasus lebih sedikit yaitu 22
responden (37,9%) dibanding kelompok
kontrol yaitu 62 responden (53,4%).
Hasil uji statistik didapat nilai OR yaitu
1,879 pada CI 95% (0,987-3,576), artinya
risiko jenis kelamin laki-laki untuk
menderita Scabies adalah 1,879 kali lebih
besar dibanding dengan perempuan,
namun tidak signifikan.
Risiko Pengetahuan Terhadap Scabies
Berdasarkan hasil analisis bivariat
pada tabel 1 diperoleh responden yang
mempunyai pengetahuan kurang lebih
banyak pada kelompok kasus yaitu 44
responden (75,9%) dibanding pada
kelompok kontrol yaitu 81 responden
(69,8%). Responden yang mempunyai
pengetahuan cukup lebih sedikit pada
kelompok kasus yaitu 14 responden
(24,1%) dibanding kelompok kontrol
yaitu 35 responden (30,2%). Hasil uji
statistik didapat nilai OR yaitu 1,358
pada CI 95% (0,661-2,791), artinya risiko
responden dengan pengetahuan kurang
untuk menderita Scabies adalah 1,358
kali lebih besar dibanding responden
dengan pengetahuannya cukup, namun
tidak signifikan.
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
46 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
Risiko Personal Hygiene Terhadap
Scabies
Berdasarkan hasil analisis bivariat
pada tabel 1, diperoleh responden yang
mempunyai personal hygiene kurang,
lebih banyak pada kelompok kasus yaitu
45 responden (77,6%) dibanding
kelompok kontrol yaitu 70 responden
(60,3%). Responden yang mempunyai
personal hygiene cukup lebih sedikit
pada kelompok kasus yaitu 13 responden
(22,4%) dibanding kelompok kontrol
yaitu 46 responden (39,7%). Hasil uji
statistik didapat nilai OR yaitu 2,275
pada CI 95% (1,107-4676), artinya risiko
responden dengan personal hygiene
kurang untuk menderita Scabies adalah
2,275 kali lebih besar dibanding
responden dengan personal hygiene
cukup dan signifikan.
Risiko Riwayat Kontak Terhadap
Scabies
Berdasarkan hasil analisis bivariat
pada tabel 1, diperoleh responden yang
mempunyai riwayat kontak lebih banyak
pada kelompok kasus yaitu 52 responden
(89,7%) dibanding kelompok kontrol
yaitu 63 responden (54,3%). Responden
yang tidak mempunyai riwayat kontak
lebih sedikit pada kelompok kasus yaitu 6
responden (10,3%) dibanding kelompok
kontrol yaitu 53 responden (45,7%).
Hasil uji statistik didapat nilai OR yaitu
7,291 pada CI 95% (2,904-18,307),
artinya risiko responden dengan riwayat
kontak untuk menderita Scabies adalah
7,291 kali lebih besar dibanding dengan
responden yang tidak mempunyai riwayat
kontak dan signifikan.
PEMBAHASAN
Risiko Jenis Kelamin Terhadap
Scabies
Jenis kelamin merupakan salah satu
determinan yang mempengaruhi kejadian
Scabies. Hasil uji statistik diperoleh nilai
Odds Ratio (OR) yaitu 1,879 lebih besar
dari 1, hal ini menunjukan bahwa jenis
kelamin merupakan faktor risiko kejadian
Scabies atau laki-laki berisiko 1,879 kali
lebih besar menderita Scabies
dibandingkan perempuan. Nilai lower
limit dari uji statistik yaitu 0,987 dan
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
47 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
upper limit yaitu 3,576, karena nilai
lower limit <1 maka hasil analisis tidak
signifikan. Variabel jenis kelamin tidak
signifikan, karena dari tingkat
pengetahuan tidak terlalu terlihat
perbedaan antara responden laki-laki dan
perempuan. Terdapat 36,2% laki-laki dan
35,6% perempuan mempunyai
pengetahuan kurang, dimana 21,3% laki-
laki dan 23% perempuan tidak
mengetahui bagian tubuh yang sering
tertular Scabies, 29,3% laki-laki dan
30,5% tidak mengetahui bahwa dengan
saling bertukar pakaian dapat tertular
Scabies, 25,3% laki-laki dan 24,7%
perempuan tidak mengetahui cara
mencegah penyakit Scabies. Selain itu,
responden laki-laki dan perempuan
hampir sama mempunyai personal
hygiene kurang. Terdapat 35,1% laki-laki
dan 31% perempuan mempunyai
personal hygiene kurang, dimana 24,7%
laki-laki dan 23% perempuan pernah
memakai pakaian temannya dan 37,9%
laki-laki dan 36,2% perempuan
mengganti pakaian setelah berkeringat.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
Ratnasari (2014), menunjukan ada
hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian Scabies dengan nilai chi-square
p = 0,048. Laki-laki lebih berisiko
terinvestasi Scabies dibandingkan
perempuan. Hal ini disebabkan responden
perempuan lebih memperhatikan
kesehatan kulit dibandingkan laki-laki,
karena responden laki-laki mempunyai
tingkat pendidikan rendah, sehingga
memiliki kesadaran rendah mengenai
pentingnya hygiene pribadi. Hygiene
pribadi yang buruk berperan penting
dalam penularan penyakit Scabies.
Penelitian lain yang sejalan yaitu
penelitian Al Audhah (2012), secara
statistik laki-laki lebih berisiko 24 kali
lebih besar dibanding perempuan,
disebabkan karena kebanyakan laki-laki
menggunakan air berasal dari irigasi yang
tidak diolah dengan baik. Namun,
penelitian ini tidak sejalan dengan
Admadinata (2014), hasil analisis
diperoleh nilai uji chi-square dengan p
value = 0,607 artinya tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian
Scabies, dimana laki-laki dan perempuan
tidak terlalu terlihat perbedaan dalam hal
personal hygiene.
Scabies lebih berisiko pada laki-
laki dibanding perempuan, karena pada
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
48 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
laki-laki Scabies biasanya terdapat pada
area genitalia. Area genitalia merupakan
lokasi lesi tersering, karena tungau
Scabies lebih mudah membuat
terowongan pada stratum korneum yang
lembab dan tersembunyi. Salah satu
bentuk Scabies yaitu Scabies noduler.
Scabies yang sering terdapat pada daerah
tertutup, terutama pada genitalia laki-laki,
inguinal dan aksila.
Berdasarkan hasil penelitian ini dari
90 responden berisiko tinggi, terdapat 36
responden (62,1%) yang menderita
Scabies. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan dari responden
mengenai Scabies, dimana terdapat
51,7% responden tidak mengetahui
penyebab Scabies, 36,1% tidak
mengetahui gejala Scabies dan 37,9%
tidak mengetahui cara penularan Scabies.
Selain itu, responden cenderung kurang
memperhatikan kebersihan diri, dimana
terdapat 39,7% responden melakukan
kebiasaan berganti-gantian menggunakan
sabun dengan keluarga, 50% pernah
menggunakan sabun mandi temannya,
37,9% pernah bertukar pakaian dengan
temannya dan 39,7% melakukan
kebiasaan meminjamkan pakaian kepada
temannya, 58,6% menggunakan handuk
bersama keluarga dan 39,7%
meminjamkan handuk kepada temannya.
Praktik tukar menukar barang atau benda
akan memudahkan penularan Scabies
secara tidak langsung antara penderita
Scabies dengan yang tidak menderita
Scabies. Benda atau barang yang
digunakan menjadi media transmisi
tungau sarcoptes scabiei untuk berpindah
tempat[15]
. Responden yang mempunyai
keluarga penderita Scabies sebanyak 26
responden (59,1%) dan teman penderita
Scabies sebanyak 23 responden (52,3%).
Responden yang pernah tidur bersama
dengan keluarganya penderita Scabies
sebanyak 43,1%, pernah bersentuhan
kulit dengan keluarganya penderita
Scabies sebanyak 50% dan pernah
bersentuhan kulit dengan temannya
penderita Scabies sebanyak 48,3%.
Sesuai dengan teori yang diungkapkan
Handoko (2007), bahwa transmisi tungau
biasanya terjadi melalui kontak langsung
misalnya tidur bersama dan bersentuhan
kulit dengan penderita Scabies.
Responden risiko tinggi, namun
tidak menderita Scabies berjumlah 54
responden (46,6%). Hal ini disebabkan
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
49 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
52,8% responden berusia dewasa
sehingga tidak mudah terpapar Scabies.
Scabies merupakan penyakit yang
menyerang semua kelompok umur namun
umumnya lebih sering menyerang usia
anak-anak dan remaja.
Kasus Scabies pada responden
risiko rendah berjumlah 22 responden
(37,9%). Kurangnya personal hygiene
dari responden merupakan salah satu
penyebabnya, dimana terdapat 25,9%
perempuan menggunakan sabun secara
bergantian dengan keluarganya, 25,9%
meminjamkan pakaian kepada temannya,
22,4% pernah memakai pakaian
temannya, 36,2% menggunakan handuk
bergantian dengan keluarga dan 24,1%
meminjamkan handuk kepada temannya.
Sering berganti-gantian menggunakan
benda yang sama dengan penderita
memudahkan penularan kutu sarcoptes
scabiei secara tidak langsung. Selain itu,
penularan Scabies bisa melalui kontak
langsung yaitu terdapat 19 responden
(86,4%) mempunyai keluarga penderita
Scabies dan 12 responden (54,5%)
mempunyai teman penderita Scabies.
Responden perempuan yang kontak
dengan penderita Scabies yaitu
melakukan kebiasaan tidur bersama
dengan keluarganya sebanyak 25,9%,
tidur bersama temannya sebanyak 24,1%,
pernah bersentuhan kulit dengan
keluarganya sebanyak 32,8% dan 20,7%
responden pernah bersentuhan kulit
dengan temannya.
Risiko Pengetahuan Terhadap Scabies
Pengetahuan merupakan determinan
yang mempengaruhi kejadian Scabies.
Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds
Ratio (OR) yaitu 2,791 lebih besar dari 1,
hal ini menunjukan bahwa pengetahuan
merupakan faktor risiko kejadian Scabies,
atau responden dengan pengetahuan
kurang 2,791 kali lebih besar menderita
Scabies dibandingkan responden dengan
pengetahuan cukup. Nilai lower limit dari
uji statistik yaitu 0,661 dan upper limit
yaitu 2,791, karena nilai lower limit <1
maka hasil analisis tidak signifikan.
Variabel pengetahuan tidak signifikan
karena responden laki-laki dan
perempuan hampir sama mempunyai
pengetahuan kurang mengenai Scabies
yaitu sebanyak 36,2% pada laki-laki dan
35,6% perempuan. 21,3% responden laki-
laki dan 23% perempuan tidak
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
50 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
mengetahui bagian tubuh yang sering
tertular Scabies, 29,3% laki-laki dan
30,5% tidak mengetahui bahwa dengan
saling bertukar pakaian dapat tertular
Scabies, 25,3% laki-laki dan 24,7%
perempuan tidak mengetahui cara
mencegah penyakit Scabies.
Hasil analisis penelitian ini sejalan
dengan penelitian Aminah (2015),
hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan kejadian Scabies. Responden
yang memiliki tingkat pengetahuan baik
tidak satupun menderita Scabies. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p = 0,001 maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan kejadian Scabies, karena
masyarakat tidak mengetahui bahwa
kejadian Scabies dipengaruhi oleh kontak
langsung yaitu dari faktor kebersihan
kulit, tangan dan kuku, rambut dan
kebersihan badan serta dipengaruhi oleh
kontak tidak langsung yaitu kelembaban,
suhu, penyediaan air dan pajanan sinar
matahari.
Penelitian lain yang sejalan yaitu
penelitian Ria (2014), hasil uji chi-square
diperoleh nilai p = 0,022 berarti kurang
dari α = 0,05, bahwa ada hubungan antara
pengetahuan dengan kejadian Scabies.
Hal ini disebabkan karena sebagian
responden tidak memahami apa saja yang
berkaitan dengan penyakit Scabies, baik
kondisi lingkungan tempat berkembang
biak kutu sarcoptes scabiei, cara
penularan dan pencegahannya. Sejalan
dengan penelitian Anggraeni (2014),
bahwa ada hubungan antara tingkat
pengetahuan responden dengan kejadian
Scabies, diperoleh nilai p = 0,013 dan
nilai OR= 3,182, disebabkan karena
responden kurang mengetahui dan
memahami penyakit Scabies, cara
penularannya dan cara pencegahannya.
Namun, tidak sejalan dengan penelitian
Lathifa (2014), sebagian responden
mengalami suspect Scabies memiliki
pengetahuan tinggi yaitu sebesar 75%,
sedangkan hasil uji statistik didapatkan p-
value sebesar 0,762 (p>0,05), artinya
pada α = 5% didapatkan hasil bahwa
tidak ada hubungan antara pengetahuan
dengan suspect Scabies, karena mereka
selalu berusaha mencari tahu hal-hal
mengenai Scabies.
Tingkat pengetahuan berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku sehari-hari
dalam praktik kebersihan diri sehingga
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
51 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
seseorang yang memiliki tingkat
pengetahuan rendah cenderung tidak
memperhatikan personal hygiene.
Scabies merupakan penyakit yang sangat
terkait dengan kebersihan diri, karena
kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai faktor penyebab dan bahaya
penyakit Scabies, mereka menganggap
bahwa Scabies tidak membahayakan
jiwa. Selain itu rendahnya pengetahuan
masyarakat tentang cara penyebaran dan
pencegahan Scabies menyebabkan angka
kejadian Scabies tinggi pada kelompok
masyarakat[17]
.
Penelitian ini menunjukan bahwa
dari 125 responden berisiko tinggi,
terdapat 44 responden (75,9%) penderita
Scabies. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan responden
tentang Scabies, dimana 63,8%
responden tidak mengetahui penyebab
dari Scabies, 41,4% tidak mengetahui
gejala Scabies, 29,3% tidak mengetahui
bagian tubuh yang sering tertular Scabies,
51,7% tidak mengetahui cara penularan
Scabies, 53,4% tidak mengetahui saling
bertukar pakaian dengan penderita
Scabies dapat tertular dan 50% tidak
mengetahui cara mencegah Scabies. Hal
ini sesuai dengan teori Muzakir (2008),
kurangnya pengetahuan mengenai
Scabies dapat menyebabkan cepatnya
penularan Scabies di masyarakat.
Responden risiko tinggi, namun tidak
menderita Scabies berjumlah 81
responden (69,8%). Hal ini disebabkan
karena kebanyakan responden berjenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak
55,8%. Responden mempunyai personal
hygiene baik, dimana terdapat 45,7%
responden tidak berganti-gantian
menggunakan sabun, 43,5% tidak
berganti-gantian menggunakan pakaian
sama dengan keluarganya dan 45,7%
responden tidak pernah meminjamkan
pakaian sama temannya.
Kasus Scabies pada responden risiko
rendah dalam penelitian ini berjumlah 14
responden (24,1%), disebabkan karena
kurangnya personal hygiene dari
responden. Terdapat 17,2% responden
sering berganti-gantian menggunakan
sabun dengan keluarganya, 20,7% pernah
menggunakan sabun temannya, 19%
responden pernah meminjamkan pakaian
kepada temannya dan 17,2% pernah
meminjamkan handuk kepada temannya.
Berganti-gantian menggunakan barang
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
52 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
atau benda yang sama akan memudahkan
untuk tertular penyakit Scabies.
Risiko Personal Hygiene Terhadap
Scabies
Personal hygiene adalah suatu
tindakan memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan
fisik dan psikis. Hasil uji statistik
diperoleh nilai Odds Ratio (OR) yaitu
2,275 lebih besar dari 1, hal ini
menunjukan bahwa personal hygiene
merupakan faktor risiko kejadian Scabies
atau responden dengan personal hygiene
kurang 2,275 kali lebih besar menderita
Scabies dibandingkan responden dengan
personal hygiene cukup. Nilai lower limit
dari uji statistik yaitu 1,107 dan upper
limit yaitu 4,676, karena nilai lower limit
<1 maka hasil analisis signifikan. Hal ini
disebabkan karena responden yang
mempunyai personal hygiene kurang
lebih banyak yaitu 66,1% dibanding
responden personal hygiene cukup yaitu
sebanyak 33,9%.
Penelitian ini sejalan dengan Putri
(2011), menunjukan bahwa ada hubungan
bermakna antara hygiene perseorangan
dengan kejadian Scabies dengan nilai p
sebesar 0,001 (p < 0,05). Hygiene
perseorangan merupakan salah satu usaha
untuk mencegah kejadian Scabies, karena
media transmisi tungau sarcoptes scabiei
berpindah tempat melalui penularan
secara langsung maupun tak langsung.
Pada hygiene perseorangan kurang
penularan Scabies lebih mudah terjadi.
Melakukan kebiasaan seperti kebiasaan
mencuci tangan, mandi menggunakan
sabun, menganti pakaian dan pakaian
dalam, tidak saling bertukar pakaian,
kebiasaan keramas menggunakan
shampo, tidak saling bertukar handuk dan
kebiasaan memotong kuku, dapat
mengurangi risiko tertular Scabies.
Penelitian lain yang sejalan yaitu
penelitian Anggraeni (2014), ada
hubungan antara hygiene perorangan
dengan kejadian Scabies, dimana
diperoleh nilai p-value = 0,024 dan OR
= 2,829 kali, hal ini disebabkan karena
kebiasaan responden tidur bersama
penderita Scabies, saling meminjam
pakaian, memakai handuk secara bersama
dan tidak adanya perbedaan mencuci
pakaian penderita Scabies dengan yang
bukan pederita Scabies. Namun,
penelitian ini tidak sejalan dengan Al
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
53 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
Audhah (2012) yaitu tidak terdapat
hubungan antara personal hygiene
dengan kejadian Scabies didapatkan nilai
OR= 3,3 dengan CI 95%
(0,83<OR<13,25). Tidak terdapat
hubungan antara personal hygiene
dengan kejadian Scabies, karena
dipengaruhi oleh faktor lain yaitu faktor
lingkungan, dimana air yang digunakan
untuk mandi dan mencuci bukan
merupakan air yang diolah menjadi air
bersih. Selain itu, dipengaruhi oleh
tingkat sosial ekonomi responden rendah.
Penelitian lain yang tidak sejalan yaitu
penelitian Desmawati (2015),
berdasarkan hasil uji statistik chi-square
didapatkan p value = 0.781 > (0.05),
berarti Ho ditolak sehingga tidak ada
hubungan antara personal hygiene
dengan kejadian Scabies. Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi timbulnya
Scabies, dan faktor lain adalah tingkat
pendidikan.
Penelitian ini menunjukan bahwa
dari 115 responden berisiko tinggi,
terdapat 45 responden (77,6%) menderita
Scabies. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan responden
mengenai personal hygiene. Terdapat
48,3% responden menggunakan sabun
yang sama dengan keluarganya, 67,2%
pernah menggunakan sabun temannya,
51,7% pernah menggunakan pakaian
sama dengan keluarganya, 58,6% pernah
meminjamkan pakaian kepada temannya,
41,4% pernah memakai pakaian
temannya, 76% menggunakan handuk
sama dengan keluarganya dan 55,2%
pernah meminjamkan handuk kepada
temannya. Kebiasaan menggunakan
barang sama dengan penderita akan
memudahkan tertular penyakit Scabies
melalui kontak tak langsung, sesuai
dengan teori yang diungkapkan Mansyur
(2007), penularan Scabies secara tidak
langsung dapat melalui perlengkapan
tidur, pakaian atau handuk, alat mandi
yang digunakan bergantian dengan
penderita Scabies.
Responden risiko tinggi, namun tidak
menderita Scabies berjumlah 70
responden (60,3%), disebabkan karena
responden dalam penelitian ini lebih
banyak jenis kelamin perempuan yaitu
52,9%. Terdapat 38,8% responden tidak
bergantian menggunakan sabun dengan
keluarganya dan 36,2% responden tidak
pernah memakai pakaian temannya.
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
54 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
Kasus Scabies risiko rendah
berjumlah 13 responden (22,4%),
disebabkan karena pengetahuan
responden masih kurang mengenai
Scabies dan adanya riwayat kontak
dengan penderita, dimana terdapat 19%
responden tidak mengetahui penyebab
Scabies, 17,2% tidak mengetahui cara
penularan Scabies, 15,5% tidak
mengetahui cara memutus rantai
penularan Scabies dan 13,8 tidak
mengetahui cara mencegah Scabies.
Responden yang mempunyai keluarga
dan teman penderita Scabies sebanyak 9
orang (15,5%), dimana 17,2% responden
tidur bersama keluarganya penderita
Scabies, 15,5% responden pernah tidur
bersama temannya penderita Scabies,
17,2% responden bersentuhan kulit
dengan keluarganya penderita Scabies
dan 19% responden pernah bersentuhan
kulit dengan temannya penderita
Scabies.
Risiko Riwayat Kontak Terhadap
Scabies
Penularan Scabies melalui kontak
langsung yaitu dengan cara tidur
bersama, berjabat tangan dan bersentuhan
kulit dengan penderita Scabies. Hasil uji
statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR)
yaitu 7,291 lebih besar dari 1, hal ini
menunjukan bahwa riwayat kontak
merupakan faktor risiko kejadian Scabies
atau responden yang mempunyai riwayat
kontak dengan penderita Scabies 7,291
kali lebih besar menderita Scabies
dibandingkan responden yang tidak
mempunyai riwayat kontak. Nilai lower
limit dari uji statistik yaitu 2,904 dan
upper limit yaitu 18,307, karena nilai
lower limit <1 maka hasil analisis
signifikan, karena lebih banyak
responden yang pernah kontak dengan
penderita yaitu 66,1% dibanding yang
tidak pernah kontak dengan penderita
yaitu 33,9%.
Penelitian ini sejalan dengan Al
Audhah (2012), responden yang pernah
kontak dengan penderita Scabies
sebanyak 109 orang (48,2%) dan 117
orang (51,8%) tidak pernah kontak serta
2 orang (3,8%) tidak pernah kontak
dengan penderita Scabies tetapi
menderita Scabies. Pada kelompok
kontrol 115 orang (66,1%) diantaranya
tidak pernah kontak dengan penderita
sehingga tidak menderita Scabies, tetapi
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
55 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
ada 59 orang (33,9%) pernah kontak
dengan penderita Scabies dan tidak
menderita Scabies. Kontak dengan
penderita Scabies berisiko tertular
Scabies 48 kali dibandingkan mereka
yang tidak pernah kontak dengan
penderita. Hal ini menunjukan ada
hubungan antara riwayat kontak dengan
kejadian Scabies didapatkan nilai OR =
48,7 (CI 95% = 11,5<OR<207,3). Hal ini
karena kebiasaan responden mandi
bersama, bermain bersama, tidur bersama
secara statistik bermakna terhadap
penularan Scabies.
Penularan Scabies melalui kontak
fisik dengan penderita Scabies. Seringkali
berpegangan tangan dalam waktu sangat
lama merupakan penyebab umum
terjadinya penyebaran penyakit ini. Tidur
bersama dan berhimpitan dengan
penderita Scabies memberikan
kesempatan untuk kontak langsung
maupun tidak langsung dengan penderita
Scabies. Penularan Scabies melalui
kontak langsung terjadi ketika penderita
bersentuhan kulit dengan anggota
keluarganya, akibat tidur berhimpitan
tungau sarcoptes scabiei yang ada pada
permukaan kulit penderita Scabies akan
berpindah ke kulit keluarganya.
Penularan secara tidak langsung yaitu
pada saat tidur bersama dan berhimpitan
dengan penderita Scabies dapat menular
melalui alas tidur dan selimut yang
digunakan secara bersama-sama[22]
.
Penelitian ini menunjukan bahwa
dari 115 responden berisiko tinggi,
terdapat 52 responden (89,7%) menderita
Scabies. Hal ini karena 45 orang (77,6%)
mempunyai keluarga penderita Scabies
dan 29 orang (50%) mempunyai teman
penderita Scabies, dimana 69%
responden tidur bersama keluarganya
penderita Scabies, 67,2% responden
pernah tidur dengan temannya penderita
Scabies, 79,3% responden bersentuhan
kulit dengan keluarganya penderita
Scabies dan 62,1% responden pernah
bersentuhan kulit dengan temannya
penderita Scabies. Sesuai dengan teori
menyebutkan bahwa transmisi tungau
Scabies biasanya terjadi melalui kontak
langsung misalnya tidur bersama dan
bersentuhan kulit dengan penderita
Scabies[16]
.
Responden risiko tinggi, namun tidak
menderita Scabies dalam penelitian ini
berjumlah 63 responden (54,3%),
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
56 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
disebabkan karena 41,4% responden
tidak pernah tidur bersama dalam waktu
lama dengan temannya penderita Scabies
dan 29,3% responden tidak bersentuhan
kulit dengan temannya penderita Scabies.
Selain itu, dipengaruhi oleh pengetahuan
responden yang cukup yaitu 33,6%
responden mengetahui cara penularan
Scabies dan 35,5% responden
mengetahui cara memutus rantai
penularan Scabies.
Kasus Scabies risiko rendah terdapat
6 responden (10,3%), karena kurangnya
pengetahuan mengenai Scabies. Terdapat
10,3% responden tidak mengetahui
bahwa dengan saling menukar pakaian
dapat tertular penyakit Scabies, 8,6%
responden tidak mengetahui cara
memutus rantai penularan Scabies dan
8,6% responden tidak mengetahui cara
mencegah penyakit Scabies. Hal ini
sesuai dengan teori Anggaraeni (2014),
tingkat pengetahuan yang rendah tentang
Scabies, cara penularan dan
pencegahannya berisiko menderita
Scabies dibandingkan dengan tingkat
pengetahuan cukup.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit Umum
Anutapura Palu, didapatkan kesimpulan
sebagai berikut:
1. Jenis kelamin merupakan faktor risiko
kejadian Scabies di Rumah Sakit
Umum Anutapura Palu. Laki-laki
mempunyai risiko 1,879 lebih besar
menderita Scabies dibanding
perempuan.
2. Pengetahuan merupakan faktor risiko
kejadian Scabies di Rumah Sakit
Umum Anutapura Palu. Pengetahuan
kurang mempunyai risiko 1,358 lebih
besar menderita Scabies dibanding
pengetahuan cukup.
3. Personal hygiene merupakan faktor
risiko kejadian Scabies di Rumah
Sakit Umum Anutapura Palu.
Personal hygiene kurang mempunyai
risiko 2,275 lebih besar menderita
Scabies dibanding personal hygiene
cukup.
4. Riwayat kontak merupakan faktor
risiko kejadian Scabies di Rumah
Sakit Umum Anutapura Palu. Pernah
kontak langsung dengan penderita
Scabies mempunyai risiko 7,291
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
57 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
menderita Scabies dibanding tidak
pernah kontak dengan penderita.
SARAN
1. Diharapkan kepada laki-laki agar
dapat mencegah penularan Scabies
dengan meningkatkan Personal
hygiene.
2. Perlunya dilaksanakan penyuluhan
kesehatan tentang Scabies untuk
meningkatkan pengetahuan
masyarakat terutama penyebab
Scabies, cara penularannya, gejala-
gejala yang timbul dan cara
pencegahannya.
3. Diharapkan kepada seluruh
masyarakat agar selalu meningkatkan
kebersihan diri dengan tidak berganti-
gantian menggunakan barang atau
benda yang sama dengan penderita
Scabies untuk mencegah penularan
penyakit Scabies.
4. Diharapkan kepada masyarakat agar
dapat menghindari kontak langsung
yaitu dengan tidak bersentuhan kulit
dan tidur bersama penderita Scabies.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahariyani, Dwi, Loetfia, 2008. Buku
Ajar Asuhan Keperawatan Klien
Gangguan System Integumen.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
2. Ratnasari, F.A, Saleha, Sungkar.
2014. Prevalensi Scabies dan Faktor-
Faktor Yang Berhubungan di
Pesantren X, Jakarta Timur. Jurnal
Fkui Vol. 2, No. 1, Hal 251-256.
3. Anggraeni, Reni. 2014. Hubungan
Pengetahuan dan Hygiene Perorangan
Dengan Kejadian Scabies Di Desa
Wombo Mpanau Kecamatan
Tanantovea Kabupaten Donggala.
Karya Tulis Ilmiah Jurusan
Kesehatan Lingkungan Poltekkes
Kemenkes Palu.
4. Griana, Pramesti. 2013. Scabies :
Penyebab, Penanganan Dan
Pencegahannya. El-Hayah Vol. 4,
No.1, Hal. 37-46.
5. Sistri, Yulia. 2013. Hubungan
Personal hygiene dengan Kejadian
Scabies di Pondok Pesantren As-
Salam Surakarta 2013. Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
58 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
6. Akmal, C.S, Rima.S & Gayatri. 2013.
Hubungan Personal Hygiene dengan
Kejadian Scabies Di Pondok
Pendidikan Islam Darul Ulum,
Palarik Air Pacah, Kecamatan Koto
Tangah Padang Tahun 2013. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2013; 2(3).
7. Azizah, N.I, Widyah,Setiyowati.
2011. Hubungan Tingkat
Pengetahuan Ibu Pemulung Tentang
Personal Hygiene Dengan Kejadian
Scabies Pada Balita Di Tempat
Pembuangan Akhir Kota Semarang.
Jurnal Akademi Kebidanan Abdi
Husada Semarang, Vol.1/ No.1.
8. Anshayari. 2012. Profil Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.
UPT Surveilans Data dan Informasi
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Tengah. Palu.
9. , 2013. Profil Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.
UPT Surveilans Data dan Informasi
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Tengah. Palu.
10. Fitri, 2015. Data Penyakit Dinas
Kesehatan Kota Palu. Pengelola
SP2TP. Palu.
11. Lamadjido, Reni. 2015. Profil RSU
Anutapura. Rekam medik RSU
Anutapura. Palu.
12. Setyowati, D., & Wahyuni. 2014.
Hubungan Pengetahuan Santriwati
Tentang Penyakit Scabies Dengan
Perilaku Pencegahan Penyakit
Scabies di Pondok Pesantren. Gaster
Vol. 11 No. 2, Hal 25-37.
13. Ria & Darwis. 2014. Kejadian
Scabies Pada Anak Usia Sekolah.
Journal Of Pediatric Nursing Vol.
1(3), Pp. 137-142.
14. AL audhah, N, Siti, R. & Agnes, S.
2012. Faktor Risiko Scabies Pada
Siswa Pondok Pesantren (Kajian di
pondok pesantren Darul Hijrah,
kelurahan Cindai Alus, kecamatan
Martapura, kabupaten Banjar,
provinsi Kalimantan Selatan). Jurnal
epidemiologi dan penyakit bersumber
binatang, Vol. 4 No.1, Hal 14-22.
15. Harahap, Marwali. 2000. Ilmu
Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta.
16. Handoko RP. Scabies. Dalam:
Djuanda A, Hamzah A, Aisah S,
editor. 2007. Ilmu Penyakit Kulit
Dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit
MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 3 September 2016
59 Adhar Arifuddin, Herman Kurniawan, & Fitriani, Faktor Resiko Kejadian Scabies ...
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
17. Aminah, Hendra & Maya. 2015.
Hubungan Tingkat Pengetahuan
dengan Kejadian Scabies. Artikel
Penelitian J MAJORITY, Volume 4
Nomor 5, Hal. 54-59.
18. Lathifa, Mushallina. 2014. Faktor-
Faktor Yang Berhubungan Dengan
Suspect Scabies Pada Santriwati
Pondok Pesantren Modern Diniyyah
Pasia, Kecamatan Ampek Angkek,
Kab. Agam, Sumatera Barat Tahun
2014. Skripsi FKIK UIN
Hidayahtullah. Jakarta.
19. Muzakir. 2008. Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian
Penyakit Scabies Pada Pesantren di
Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007.
Tesis Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatra Utara Medan.
20. Putri, Ardana S.S.B, & Ani,
Margawati. 2011. Hubungan Higiene
Perseorangan, Sanitasi Lingkungan
Dan Status Gizi Terhadap Kejadian
Scabies Pada Anak. Artikel Penelitian
Karya Tulis Ilmiah Fk UNDIP.
Semarang.
21. Desmawati, Ari, P.D . & Oswati, H.
2015. Hubungan Personal Hygiene
Dan Sanitasi Lingkungan Dengan
Kejadian Scabies Di Pondok
Pesantren Al-Kautsar Pekanbaru.
JOM Vol 2 No 1, Hal. 628-637.
22. Aina, F.A.I, Ibrohim, & Endang
Suarsini. 2013. Hubungan Antara
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
(PHBS) Dengan Timbulnya Penyakit
Skabies Di Wilayah Kecamatan
Tlanakan Kabupaten Pamekasan.
Jurnal Universitas Negeri Malang.