Upload
hannisameliameiverina
View
49
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
woeeee
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
“ Informed Consent“ adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan dari
persetujuan tindakan medik. Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu Informed dan.
Informed diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau telah di informasikan dan
Consent yang berarti persetujuan yang diberikan oleh seseorang untuk berbuat sesuatu.
Dengan demikian pengertian bebas dari informed Consent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien kepada dokter untuk berbuat sesuatu setelah mendapatkan penjelasan atau
informasi.
Pengertian Informed Consent oleh Komalawati ( 1989 :86) disebutkan sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan informed Consent adalah suatu kesepakatan / persetujuan pasien
atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien
mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukanuntuk
menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.”
Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan melakukan malpraktik
makin meningkat di mana-mana, termasuk di Negara kita. Maraknya pengaduan tersebut
selain disebabkan oleh meningkatnya kesadaran hukum dan kesadaran kesadaran akan hak-
hak pasien, adalah karena masyarakat menganggap kegagalan upaya penyembuhan yang
dilakukan dokter terhadap pasien identik dengan kegagalan tindakan medic. Padahal dokter
tidak dapat disalahkan jika ia telah melaksanakan tugas profesinya sesuai dengan standar
medic, sesuai dengan standar prosedur yang telah disepakati oleh organisasi profesinya dan
rumah sakit tempat ia bekerja.
Seorang dokter tidak menjamin hasil akhir upayanya yang sungguh-sungguh untuk
kesembuhan pasien atau meringankan penderitaan pasiennya. Jadi, jika terjadi komplikasi
tidak terduga, cedera, bahkan pasiennya meninggal dunia, dokter tidak dapat dituntut. Yang
penting dokter telah bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan dan keselamatan pasien dan dalam hal tidak mampu ia
telah mengkonsultasikan pasiennya kepada dokter lain yang memiliki keahlian khusus
mengenai penyakit yang diderita pasiennya.
1
Harapan pasien dalam menerima pelayanan medic adalah kesembuhan dan sekecil
mungkin adanya risiko atau efek samping. Namun, dokter adalah manusia biasa yang tidak
luput dari human eror, apalagi bekerja dalam kondisi sarana pelayanan medic yang tidak
memadai, peralatan yang kurang, faktor lingkungan dan sebagainya. Di sisi lain para dokter
di tuntut untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan
penuh tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan
benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medic sesuai
dengan standar pelayanan medic, dan tidakan itu memang wajar dan diperlukan.
Di Negara maju tiga besar, dokter spesialis menjadi sasaran utama tuntutan
ketidaklayakan dalam praktik, yaitu spesialis bedah (ortopedi, plastic dan saraf), spesialis
anestes, dan spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Di Indonesia sengketa medic
terbanyak melibatkan Sp.OG, disusul oleh Sp.B, Sp.PD, Sp.An, dan Sp.A (MKEK IDI
Jakarta, 2004 dan Jawa Tenga, 2004).
Menurut keluarga korban malpraktek yang tergabung dalam Persaudaraan Korban
Sistem Kesehatan (PKSK) dalam kurun waktu 2 tahun (2004, 2005) terdapat 386 kasus
dugaan malpraktek yang dilaporkan ke polis, namun belum satupun dapat dituntaskan
1.2. Masalah
1. Apakah penyebab dari malpraktik?
2. Sebutkan jenis-jenis malpraktik?
3. Bagaimana tindakan dokter pada scenario yang dapat digolongkan malpraktik?
4. Bagaimana penanganan dugaan malpraktik?
5. Sebutkan sanksi malpraktik?
6. Bagaimana upaya mencegah malpraktik?
7. Sebutkan dasar hukum yang mengatur tentang malpraktik?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui penyebab dari malpraktik
2. Mengetahui teori tentang malpraktik
3. Menjelaskan jenis-jenis malpraktik
4. Mengetahui tindakan dokter pada skenario
5. Mengetahui penanganan dugaan malpraktik
6. Mejelaskan sanksi malpraktik
2
7. Mengetahui upaya pencegahan malpraktik
8. Menjelaskan dasar hukum yang mengatur tentang malpraktik
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Skenario 1
Pasien anak laki-laki berumur 12 tahun datang dalam keadaan sadar k IGD rumah sakit
diantar oleh ibunya dengan keluhan Pharyngitis dan nyeri pada leher sejak 3 jam yang lalu
setelah makan coklat. Pada pasien terdapat riwayat alergi debu dan beberapa jenis makanan
dan sudah sering kali datang ke rumah sakit tersebut dengan keluhan yang sama. Pasien ini
sebelumnya membaik dengan injeksi cortisone 2 ml dan dipenhydramine 2 ml. tanpa
melakukan pemeriksaan terhadap pasien tersebut, dokter jaga IGD langsung menulis di
rekam medis “ditemukan hiperemis pada mukosa faring, tonsil T1/T1 dan didiagnosis
pharyngitis dengan differensial diagnosis reaksi alegi”. Pasien terseut segera diberi injeksi
cortisone : dela = 2:2. Setelah diobservasi selama 45 menit, nyeri tidak menghilang, pasien
kemudian dikonsulkan ke bagian penyakit dalam.
Dari hasil pemeriksaan bagian penyakit dalam, ditemukan kesadaran E3V5M6, tampak
gelisah, tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 110 kali/menit, pernafasan 24 kali/menit, leher
tampak membengkak, wheezing +/+. Oleh dokter penyakit dalam, didiangnosis dengan
reaksi anafilaktik berat. Dokter penyakit dalam menjelaskan kondisi pasien kepada ibunya
dan tindakan yang akan dilakukan. Pasien kemudian dalam keadaan kritis, oleh dokter
penyakit dalam, diberikan injeksi adrenalin pada lengan kiri. Setelah diinjeksi, kesadaran
pasien menurun, tampak kongesti dan ujung jari sianosis. Dilakukan resusitasi, akan tetapi
mengalami kesulitan saat dilakukan intubasi karena spasme dan oedem laring. Lima menit
kemudian pasien meninggal. Ayah pasien menuntut dokter penyakit dalam karena
menganggap dokter tersebut yang melakukan kesalahan dan menyebabkan anaknya
meninggal setelah diinjeksi tanpa memberitahu terlebih dahulu.
2.2. Terminologi
Malpraktik medis adalah kelalaian atau kegagalan seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati
pasien atau orang cedera menurut ukuran dilingkungan yang sama.
4
Reaksi anafilaktik adalah suatu syndrome yang terjadi karena adanya peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan penyempitan bronkus yang mendadak.
Rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada
pasien.
Sianosis adalah suatu keadaan dimana kulit dan membrane mukosa berwarna kebiruan
akibat penumpukan deoksihemoglobin pada pembuluh darah kecil pada area tersebut.
E3V5M6 adalah E3 (membuka mata dengan jeritan/suara), V5 (berorientasi baik) dan M6
(menurut perintah).
2.3. Keyword
Laki-laki 12 tahun
Pharyngitis dan nyeri pada leher 3 jam lalu
RPD : Alergi debu dan beberapa jenis makanan
Membaik dengan injeksi cortisone 2 ml dan dipenhydramine 2 ml
Tanpa melakukan pemeriksaan, dokter jaga IGD langsung menulis di rekam medis
“ditemukan hiperemis pada mukosa faring, tonsil T1/T1 dan didiagnosis pharyngitis
dengan differensial diagnosis reaksi alegi”.
Pasien diberi injeksi cortisone : dela = 2:2. Setelah diobservasi selama 45 menit, nyeri
tidak menghilang, pasien kemudian dikonsulkan ke bagian penyakit dalam.
Kesadaran E3V5M6
Vital sign:
- TD : 90/60 mmHg
- HR : 110 kali/menit
- RR : 24 kali/menit
Leher tampak membengkak, wheezing +/+.
Mengalami kesulitan saat dilakukan intubasi karena spasme dan oedem laring.
5
2.4. Jawaban Permasalahan
1. Penyebab dari malpraktik
Beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan
malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medis sesuai dengan:
Standar Profesi Kedokteran
Dalam prafesi kedokteran tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu
kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum
Standar Presedur Operasional (SPO)
SPO adalah suatu perangkat intruksi / langkah-langkah yang dilakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tersebut.
Informed Consent
Substansi Infomed Consent adalah memberikan informasi tentang metode dan jenis
rawatan yang dilakukan terhadap pasiend, termasuk peluang kesembuhan dan resiko
yang akan dialami oleh pasien.
2. Teori tentang malpraktik
a. Teori Pelanggaran Kontrak
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah karena
terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga
kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana diantara
keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan
pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru terjadi apabila telah
terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut. Sehubungan dengan adanya
hubungan kontrak pasien dengan tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan
tenaga kesehatan dengan pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan
bersama. Dalam keadaan penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat
misalnya, seorang penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya. Apabila
terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak tenaga kesehatan
pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga penderita yang bertindak atas
nama dan mewakili kepentingan penderita. Apabila hal ini juga tidak mungkin,
misalnya dikarenakan penderita gawat darurat tersebut datang tanpa keluarga dan
hanya diantar oleh orang lain yang kebetulan telah menolongnya, maka demi
6
kepentingan penderita, menurut perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga
kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini,
secara hukum telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b. Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga
kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja
(intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera
(asssult and battery).
c. Teori Kelalaian
Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian
(negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan
dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang
dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk
membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah
bagi aparat penegak hukum.
Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan malpraktek, yang
apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi
pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena dengan teori-teori tersebut
pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar suatu gugatan dan bagi aparat hukum
dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan. Ada juga teori yang dapat
dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan
malpraktek. Teori-teori itu adalah:
a) Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari
tuntutan malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk
melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala resiko
dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori ini
mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama
tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.
b) Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
7
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh pengadilan
sama-sama melakukan kelalaian.
c) Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan malpraktek
adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan
penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau rumah sakit
bila terjadi misalnya kelalaian malpraktek. Teori pembelaan ini bersifat spekulasi
karena berhasil tidaknya tenaga kesehatan menggunakan pembelaannya, yang
dalam hal ini berupa perjanjian khusus dengan pasien, hasinya sangat tergantung
pada penilaian pengadilan.
d) Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat
darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat
dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktek kecuali jika terdapat indikasi terjadi
suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e) Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh
tuntutan malpraktek, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan
penyelesaian bersama. Teori pembelaan yang berupa pembebasan ini, hanya dapat
dilaksanakan sepanjang kesalahan tenaga kesehatan tersebut menyangkut
tanggungjawab perdata (masuk kategori hukum perdata), misalnya wanprestasi,
sebab dalam kasus ini hanya melibatkan kedua belah pihak yang saling
mengadakan kontrak atau janji saja. Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat
bersepakat untuk menyelesaikan bersama dengan damai, itu lebih baik, karena
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata,
yaitu adanya suatu perdamaian antara kedua belah pihak.
f) Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktek hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu
tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan hukum
yang lain.
g) Workmen’s Compensation
8
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus
malpraktek keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang sama,
maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus malpraktek
yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan menurut peraturan
workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja menerima ganti rugi bagi
setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak menjadi persoalan kesalahan siapa
dan apa sebenarnya penyebab cedera atau luka.
3. Jenis-jenis malpraktik
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk,
yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridis (yuridical
malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
a. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang
bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika
kebidanan yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis,
prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
b. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek
perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administratif (administrative malpractice).
1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga
kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad),
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat
melaksanakannya.
9
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat seperti:
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian
tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:
a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.
b. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan.
c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
d. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res
ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga
kesehatan itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Dalam
malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh
kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang
terjadi adalah kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut
termasuk dalam malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek perdata, misalnya
seorang dokter yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam
tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian
dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal
10
ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan
akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
2) Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan
upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi
tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal
diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan yang tidak benar.
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-
hati.
3) Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran
terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek
bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
4. Tindakan dokter pada scenario yang dapat digolongkan malpraktik
Tindakan dokter IGD termasuk dugaan malpraktek , yaitu
a. Tidak melakukan inform consent sebelum melakukan tindakan
b. Tidak melakukan pemeriksaan Fisik.
c. Menulis Rekam Medis tanpa melakukan pemeriksaan pada pasien
Tindakan dokter Penyakit dalam termasuk dugaan medical error, oleh karena telah
diberikan penatalaksanaan yang tepat (injeksi adrenalin) akan tetapi kondisi pasien tidak
membaik.
11
5. Penanganan dugaan malpraktik
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
Duty (kewajiban) : Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien,
tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan :
o Adanya indikasi medis
o Bertindak secara hati-hati dan teliti
o Bekerja sesuai standar profesi
o Sudah ada informed consent.
Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) : Jika seorang tenaga perawatan
melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga
perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
Direct Causation (penyebab langsung) : Penyebab langsung yang dimaksudkan
dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang mengakibatkan kecacatan pada
pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan perawatan terhadap pasien.
Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi bukti penyebab
langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun. Untuk berhasilnya suatu
gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada hubungan kausal
yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage) yang
menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan
penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk
mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu
sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien
tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu
kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta
pertanggungjawaban hukumannya.
Damage (kerugian) : adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.
Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika
12
tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada
pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja
dala bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental
yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi
orang lain.
Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin
res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi criteria :
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
d. Gugatan pasien
Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan
kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam
makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih kearah
hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan
malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari sisi hukum.
Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan
rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluargaatau kuasanya, dapat diselesaikan
melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dancara non litigasi (di luar
proses peradilan).
Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan
mengajukan gugatannya kepengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan
menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan
umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan
bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi
yang "layak" dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan
benar,salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan
13
dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam
memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi
kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata).
Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka
kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa
(mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak
secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi,
danarbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan,
sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam
proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan
pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-
based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum
dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya
mediasi oleh mediator tertentu.
Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka
pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti
permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan
penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para
saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan by laws, standar
dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin
saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa
penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya.Dalam hal penyidik tidak menemukan
bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian
penyidikan.
Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal,
juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna
mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama
ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi
(profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi –
tetapi memberlakukan koreksiatas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab
terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit
14
klinis, dandapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat
Komite Medis, konferensi kematian, presentasikasus, audit klinisterstruktur, proses
lanjutandalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebihtinggi
(misalnyadalamsidangDewanEtikPerhimpunanSpesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll).
Bilaputusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan
standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan
oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan.
6. Upaya mencegah malpraktik
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena
adanya malpraktik diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-
hati, yakni :
15
PENGADUANMajelis
Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI)
Malpraktik Etik
MKEK
Bebas
Tuntutan lisan
, tertulis
Tindakan Administratif
1. Gaji/pangkat (tunda kenaikan, atau penurunan)
2. Cabut SIP sementara/ selama-lamanya
3. Hukuman kepegawaian
Disiplin Kedokteran
Bebas
Hukuman Disiplin
1. Teguran tertulis
2. Pencabutan STR
3. Pencabutan SIP
4. Wajib Pendidikan
Malpraktik Medik
Penegak Hukun (Penyidik)
Pengadilan
BebasPidana
(Penjara ± denda)
a. Senantiasa berpedoman pada standar pelayanan medic dan standar prosedur
operasional
b. Bekerjalah secara professional, berlandaskan etik dan moral yang tinggi
c. Ikuti peraturan perundangan yang berlaku, terutama tentang kesehatan dan praktik
kedokteran
d. Jalin komunikasi yang harmonis dengan pasien dan keluarganya dan jangan pelit
informasi baik tentang diagnosis, pencegahan dan terapi.
e. Tingkatkan rasa kebersamaan, keakraban dan kekeluargaan sesame sejawat dan
tingkatkan kerja sama tim medic demi kepentingan pasien.
f. Jangan berhenti belajar, selalu tingkatkan ilmu dan keterampilan dalam bidang yang
ditekuni.
g. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
h. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
i. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
j. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada dokter.
k. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
l. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Terdapat pencegahan-pencegahan tertentu yang dapat dilakukan secara rutin sehingga
tuduhan malpraktik dapat dielakkan. Hal ini termasuk :
o Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai asisten tersebut
dapat memenuhi standar kualifikasi yang ada
o Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di tempat praktik.
o Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.
o Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah diakses oleh
pasien. Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien membaca dan
menyalahartikan literatur yang ada.
16
o Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.
o Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.
o Jangan memberikan resep obat lewat telepon.
o Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang ada.
o Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan membocorkan
informasi yang ada kepada siapapun. Rahasia ini hanya diketahui oleh dokter dan
pasien.
o Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau mengubah isi yang
ada.
o Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu di rekam
medis
o Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah alat bantu
yang penting dalam menyimpan surat persetujuan yang telah dibuat.
o Jangan mengabaikan pasien.
o Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter yang terlampau
mahal. Buatlah diskusi dan pengertian dengan pasien mengenai tarif dokter yang
wajar.
o Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien.
o Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini tata laksana
akan menjadi komprehensif.
o Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan penipuan kepada
pasien. Jangan mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.
o Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata laksana jika
pasien masih berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh pengobatan yang
mengandung narkotika.
o Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan dana sendiri.
Jika pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi yang pasien miliki, maka
jangan limpahkan kepada polis asuransi yang kita miliki.
o Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawat.
7. Dasar hukum yang mengatur tentang malpraktik
17
Dasar pengadaan VER
Pasal 133 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut
dan diberi label yang memuat identitas mayat dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Penjelasan pasal 133 KUHAP
(2) keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman
disebut keterangan.
Pejabat peminta V isum et Repertum
a. Tindak pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia termasuk tindak pidana umum
b. Tindak pidana umum sebagai penyidiknya adalah polisi
c. Jadi yang berwenang menerbitkan SPV : Penyidik Polri dan Polisi Militer
Pasal 11 KUHAP
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam pasal 7 (1), kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik
yang berwenang :
Jadi: Penyidik pembantu POLRI dan Polisi Militer juga berwenang.
Pasal 2 PP No 27 tahun 1983
Penyidik adalah : Pejabat Polisi Negara RI yang sekurang-kurangnya berpangkat
Pembantu Letnan Dua Polisi (AIPDA).
Penyidik pembantu adalah Pejabat Polisi Negara RI yang sekurang-kurangnya
berpangkat Sersan Dua Polisi (Brigda)
18
Kepangkatan
Pasal 2 ayat (2) PP No 27 tahun 1983
(2) dalam hal di suatu Sektor Kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Kepolisian yang berpangkat bintara
dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik.
19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Praktek kedokteran merupakan suatu praktek yang juga berkaitan dengan hukum mengenai
permasalahan medik. Praktek kedokteran ini juga sangat kompleks dan rentan terjadi kecelakaan,
kelalaian, dan medical error, sehingga perlu dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan hukum
yang berlaku. Sikap dan perilaku yang sesuai etika profesi dan standar profesi juga perlu
dilaksanakan untuk menjalin hubungan yang baiuk antara dokter dan pasien.
20
DAFTAR PUSTAKA
Budianto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A, Sidhi, Hertian S, et al. Ilmu
Kedokteran Forensik. First Edition. Jakarta : Bagian Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
21