21
MELACAK GENEALOGI NALAR ARAB Pengantar The only permanent aspect of science is reseach. 1 Penegasan Brown tersebut menyadarkan kembali akan arti pentingnya riset atau ijtihad dalam terma fiqh dalam pengembangan keilmuan Islam vis a vis arus global modernitas dan beragam problematika kehidupan kontemporer; kemiskinan, dekadensi moral, hak asasi manusia dan yang lainnya. Dengan begitu klaim Islam sebagai “s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n” dan kehadirannya merupakan “rah}mah li al-‘a>lami>n” menemukan relevansinya. Sejarah telah menunjukkan bagaimana geliat dinamika keilmuan Islam pada era-era awal merespon situasi sosial budaya kala itu. Akan tetapi pada era pasca tadwin ketika dihembuskan kabar bahwa pintu riset/ijtihad telah tertutup dan dibakukannya keilmuan Islam, nyaris perkembangan keilmuan Islam mengalami stagnasi yang akut. Di sinilah pentingnya menyuburkan kembali aktivitas ijtihad. Ijtihad adalah isu sentral keilmuan Islam yang mempunyai concern terhadap implementasi teks dan spirit keagamaan ke dalam berbagai lingkup sosial budaya yang terus berkembang. Akan tetapi persoalannya sebagaimana dilansir oleh al-Jabiri, nalar ijtihad/riset sebagaimana telah dibakukan di dalam teks-teks klasik atau dalam struktur mental umat Islam adalah nalar ijtihad yang mempunyai kelemahan metodologis yang fundamental dan Oleh : Abid Rohmanu. 1 A. Qodry Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), 7.

Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

  • Upload
    rohmanu

  • View
    418

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

MELACAK GENEALOGI NALAR ARAB

Pengantar

The only permanent aspect of science is reseach.1 Penegasan Brown

tersebut menyadarkan kembali akan arti pentingnya riset atau ijtihad dalam

terma fiqh dalam pengembangan keilmuan Islam vis a vis arus global

modernitas dan beragam problematika kehidupan kontemporer; kemiskinan,

dekadensi moral, hak asasi manusia dan yang lainnya. Dengan begitu klaim

Islam sebagai “s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n” dan kehadirannya

merupakan “rah}mah li al-‘a>lami>n” menemukan relevansinya. Sejarah

telah menunjukkan bagaimana geliat dinamika keilmuan Islam pada era-era

awal merespon situasi sosial budaya kala itu. Akan tetapi pada era pasca

tadwin ketika dihembuskan kabar bahwa pintu riset/ijtihad telah tertutup dan

dibakukannya keilmuan Islam, nyaris perkembangan keilmuan Islam

mengalami stagnasi yang akut.

Di sinilah pentingnya menyuburkan kembali aktivitas ijtihad. Ijtihad

adalah isu sentral keilmuan Islam yang mempunyai concern terhadap

implementasi teks dan spirit keagamaan ke dalam berbagai lingkup sosial

budaya yang terus berkembang. Akan tetapi persoalannya sebagaimana

dilansir oleh al-Jabiri, nalar ijtihad/riset sebagaimana telah dibakukan di

dalam teks-teks klasik atau dalam struktur mental umat Islam adalah nalar

ijtihad yang mempunyai kelemahan metodologis yang fundamental dan

kelemahan visi yang berakibat pada terabaikannya dimensi kesejarahan

tradisi.2 Nalar ijtihad ini hanya merupakan mekanisme untuk memelihara

Oleh : Abid Rohmanu.1 A. Qodry Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), 7.2 Muh}ammad ‘A<bid al-Ja>biri>, Al-Di>n wa al-Dawlah wa Tat}bi>q al-Shari>’ah (Libanon: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1996), 150

Page 2: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

tradisi masa lalu dalam konteks kehidupan kekinian dan menghindarkan diri

dari titik tolak realitas objektif.

Adalah Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri sosok pembaharu yang peduli

dengan persoalan rekonstruksi tradisi dengan mega-proyeknya “Kritik Nalar

Arab”. Tulisan-tulisan al-Jabiri mencoba menguak genealogi3 Nalar Arab

untuk bisa memberikan solusi yang mengakar terhadap problem tradisi.

Buku I dan II al-Jabiri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi

merupakan kerangka referensial untuk melihat genealogi tersebut. Dalam

buku pertamanya al-Jabiri mengkaji tentang perkembangan struktur

epistemologis nalar Arab pada masa-masa awal tadwi>n, sementara buku

keduanya menganalisis lebih lanjut tentang struktur nalar tersebut.

Sekilas Biografi al-Ja>biri

Muhammad ‘Abid al-Jabiri adalah Filosof Maroko Kontemporer yang lahir

pada tahun 1936 di kota fekik, Maroko tenggara,4 bagian dari wilayah

Maghribi yang telah banyak menelorkan Filosof-Filosof Klasik kenamaan

semisal Ibn Rushd, Ibn khaldu>n, Ibn H}azm dan al-Sha>tibi. Dan nyatanya

al-Ja>biri mengidolakan tokoh-tokoh tersebut karena dinilai sebagai motor

semangat rasionalisme dalam konstelasi ilmu-ilmu keislaman. Maroko juga

merupakan wilayah yang pernah menjadi daerah protektoriat Perancis.

Karenanya, Bahasa Arab dan Bahasa Perancis merupakan bahasa resmi

3 Dalam perspektif Foucauldian, genealogi adalah sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concern) masa kini. Sejarah direkontruksi untuk pemenuhan kebutuhan masa kini. Masa kini yang selalu dalam proses transformasi mengandung implikasi bahwa masa lalu harus terus menerus dievaluasi ulang. Genealogi tidak bermaksud memelihara kontinuitas, akan tetapi justru mengidentifikasi hal-hal yang menyempal, retakan-retakan, tumpang tindihnya pengetahuan dan kenangan-kenangan yang bersifat lokal. Lihat, Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Integensia Muslim Indonesia Abad 20 (Jakarta: Mizan, 2005), 9.4al-Ja>biri>, Kritik Pemikiran Islam; Wacana Baru Filsafat Islam, ter. Burhan (Yogyakarta: Fakar Pustaka Baru, 2003), vi.

2

Page 3: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

wilayah ini. Dan karena itu pula al-Jabiri banyak berdialog dengan tradisi

pemikiran Perancis yang banyak diwarnai oleh analisa sejarah, kritik filsafat

dan kritik nalar serta jauh dari bentuk-bentuk formalisme.5 Pergumulan al-

Jabiri dengan dua tradisi sekaligus – tradisi Arab dan Perancis – di Maroko

bisa disebut sebagai cultural encounter (perjumpaan dua tradisi) yang

mengantarkan al-Jabiri pada pembacaan kritis-epistemologis terhadap tradisi

Arab.

al-Ja>biri merepresentasikan dirinya sebagai kelompok post-modernis,

sekelas dengan Abu Zayd, Hasan Hanafi dan Arkoun. Luthfi as-Syaukanie

menggolongkan tipologi pemikiran kelompok ini sebagai reformistik dengan

pendekatan yang dekonstruktif dalam membaca tradisi (tura>th). Kajian-

kajian yang sering mereka libatkan dalam metodologi mereka adalah

semiotika, antropologi dan sejarah dengan afiliasi sepenuhnya pada filsafat

strukturalisme dan post-strukturalisme.6

al-Ja>biri adalah seorang dosen, seminaris dan penulis yang cukup

produktif. Ada 17 karya dalam bentuk buku yang telah dihasilkan selain

goresan penanya yang berbentuk makalah seminar, artikel dan yang

semisalnya.7 Di antara karya-karyanya yang cukup popular adalah tiga buku

berseri-nya, seri I dirilis tahun 1982 kemudian seri II tahun 1986 dan seri III

5Muhammad Abed al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), xvi.6A Luthfi al-Syaukanie,  "Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer ", Paramadina, Vol. I, No. I (Juli – Desember 1998), 75 – 76. Baik strukturalisme maupun post-strukturalisme sama-sama menjadikan bahasa sebagai faktor dominan dalam objek studi. Karena keduanya mementingkan keteraturan logis, struktur yang mendasar serta makna-makna umum sebagaimana bahasa (linguistic) mempunyai pola-pola yang serupa, selain bahasa itu sendiri bisa menunjuk pada fenomena-fenomena sosial tertentu. Lihat, Pier Paolo Giglioli (ed.), Language and Social Context (New York: Penguin Books, 1985), 9.7Untuk mengetahui lebih lengkapnya karya-karyanya lihat antara lain, al-Ja>biri, Post, XIII.

3

Page 4: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

tahun 1990, yang mewadahi “kritik nalar Arab-nya” (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi).8

Karya-karyanya telah banyak mendapatkan respon dari kalangan akademisi,

baik dalam bentuk kajian-kajian maupun penterjemahan-penterjemahan.

Basis Epistemologis Nalar Arab

Dalam bukunya Takwi>n al-‘Arabi, al-Ja>biri mendefinisikan

epistemologi sebagai sejumlah konsep, prinsip dan cara kerja untuk mencari

pengetahuan dalam rentang sejarah dan kebudayaan tertentu dengan

struktur tak sadar yang melingkupinya.9 Sementara Nalar Arab dimaknai

sebagai al-‘aql al-mukawwan, yakni kumpulan aturan, dan kaidah berpikir

yang diberikan oleh budaya Arab terhadap penganutnya sebagai landasan

untuk memperoleh pengetahuan. Aturan dan kaidah berpikir tersebut

menurut al-Ja>biri, keberadaannya ditentukan dan dipaksakan secara tak

sadar.10

Sementara nalar Arab itu sendiri menurutnya mempunyai tiga sistem

pengetahuan atau epistemologi, yaitu epistem bahasa (baya>ni) yang

berasal dari kebudayaan Arab, epistem gnosis (‘irfa>ni) yang berasal dari

tradisi Persia dan Hermetis dan epistem rasionalis (burha>ni) yang berasal

dari Yunani.11

Epistem Baya>ni

8Buku I triloginya adalah Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, (Libanon : Markaz Dirasat al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1989) cet. IV, kemudian disusul buku II dan III-nya, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirâsah Tahli}liyyah Naqdiyyah li al-Nuz}um al-Ma’rifah fi al-Thaqa>fah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993) cet. III, dan al-‘Aql al-Siya>si al-‘Arabi; Muh}addidah wa Tajalliyyatuh (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1991).9 al-Ja>biri, Takwi>n, 37.10 Ibid., 15.11Al-Ja>biri>, Al-Tura>th wa al-H}ada>thah; Dira>sa>t .. wa Muna>qasha>t (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1999), 142.

4

Page 5: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

Secara etimologis al-baya>n bermakna proses penampakan dan

menampakkan (al-z}uhu>r dan al-iz}ha>r) serta aktivitas memahami dan

memahamkan (al-fahm dan al-ifha>m). Terma al-baya>n mengungkap pola

persepsi (world view) dan pola epistemologi yang khas Arab.12 Sedangkan

makna terminologis dari al-baya>n adalah himpunan kaidah dan aturan

untuk menafsirkan wacana (khit}a>b) yang terungkap dari teks atau dalam

bahasa al-Sha>fi’i, aturan bagaimana mengorientasikan al-far’ (kasus yang

tidak terekam teks) pada teks sebagai al-as}l.13

Dari pengertian di atas bisa dipahami bahwa sumber pengetahuan

dalam epistem baya>ni adalah teks (wahyu). Hal ini relevan dengan

pendapat Nasr Hamid Abu Zaid yang mengatakan bahwa peradaban Arab-

Islam adalah peradaban teks. Itu artinya bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya

Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan teks sebagai titik

sumbunya.14 Dalam kajian epistemologi, ada keterkaitan yang erat antara

bahasa dengan pengetahuan. Dalam kerangka ini, genealogi pemikiran Arab

pertama kali harus ditelusuri dari Bahasa Arab dan metode baya>niyah-

nya.15

Karena teks merupakan sumber asasi dalam epistem baya>ni, maka

bahasa menepati posisi yang strategis dalam epistem ini. Perhatian yang

begitu besar terhadap bahasa bisa kita lihat sejak awal sejarah Islam dan

mencapai puncaknya ketika terjadi intensifikasi kontak dan komunikasi

dengan pihak non-Arab dan melahirkan apa yang disebut dengan lah}n.16 Hal

ini menuntut adanya pembakuan bahasa yang bahan bakunya diambil dari

12 al-Ja>biri, Bunyah, 556.13 Ibid., 17.14 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2002), 1.15 al-Ja>biri, Takwi>n, 130.16 Lah}n adalah kesalahan dalam berbahasa baik menyangkut kesalahan gramatika (gramatical mistake), bacaan, dan penyusunan kata. Lihat Muhammad al-Tiwanji, al-Mu’jam al-Mufas}s}al fi> al-Adab, Vol. II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 735.

5

Page 6: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

kalangan pedalaman Badui yang otentisitas bahasanya dianggap masih

terjaga. Pembakuan atau kodifikasi bahasa menurut al-Ja>biri> sangat

berperan terhadap pembentukan pola pemahaman dan penafsiran terhadap

teks-teks keagamaan, selain itu juga merupakan pembentukan bahasa

budaya yang tunggal bagi masyarakat Arab.17

Padahal pembakuan bahasa dari sumber tersebut justru kontra-

produktif bagi pengembangan keilmuan Islam. Karena karakter a-historis dan

fisik dari masyarakat Badui menurun pada bahasanya.18 Hal itu bisa dilihat

dari karateristik metodologi baya>n bahasa Arab, yaitu aspek bala>ghah

dari bahasa Arab. Aspek bala>ghah merupakan logika dari bahasa Arab itu

sendiri, ia berfungsi seperti model penalaran deduktif (istidla>l) dalam

wacana mantiq. Menurut al-Sakka>ki>, sebagaimana dikutip oleh al-

Ja>biri>, mengatakan bahwa barang siapa menguasai salah satu konsep

dari ilmu baya>n (bala>ghah), seperti konsep Tashbi>h, kina>yah dan

isti’a>rah dan mampu menggunakannya dalam rangka mencari

pengetahuan maka tersingkap baginya jalan menggunakan sistem penalaran

yang sistematis.19

Di antara ketiga konsep tersebut, tashbi>h merupakan konsep inti

dalam bala>ghah bahasa Arab. Masih menurut al-Sakka>ki, ia mengatakan

bahwa siapapun menguasai konsep tashbi>h maka ia pun bakal menguasai

berbagai aspek sihir ilmu baya>ni.20 Begitu dominannya tashbi>h dalam

bahasa budaya Arab, pada gilirannya menjadikan analogi sebagai sebuah

17 Al-Ja>biri>, al-Tura>th, 143.18 Karakter a-historis bahasa Arab antara lain karena dinamisasi internal bahasa Arab hanya bertumpu pada derivasi kata. Ini sekaligus memprotek bahasa ini dari perubahan dan perkembangan sesuai dengan kehendak sejarah. Sedang karakter fisik bahasa Arab jelas merupakan turunan dari kondisi kehidupan, pola pikir dan persepsi fisikal orang Badui. System bahasa ini tidak memberikan konsep-konsep yang bersifat abstraktif. Lihat al-Ja>biri, Takwi>n, 79.19 Ibid., 15020 Ibid., 152.

6

Page 7: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

sistem penalaran dalam tradisi baya>ni. Al-Jurjani, sebagaimana dikutip oleh

al-Ja>biri> mengatakan bahwa tashbi>h adalah qiya>s itu sendiri.

Sebaliknya, menurut al-Ja>biri> sendiri, al-qiya>s tashbi>h. Itu artinya,

qiya>s yang sejak dulu hingga sekarang memproduk pengetahuan (menjadi

kerangka teori) dalam kebudayaan Arab pada hakikatnya merupakan fungsi

yang sama dengan metode penalaran tashbi>h dalam disiplin bala>ghah,21

yakni fungsi menyamakan dan mendekatkan (al-muqa>rabah) antara dua

hal. Unsur-unsur metode penalaran tashbi>h dan qiya>s dapat

dipersandingkan sebagai berikut :

Unsur Qiya>s Unsur Tashbi>h

Miqya>s/Far’ Mushabbah

Miqya>s

‘alaih/Asl}

Mushabbah bih

‘Illah/Isna>d al-

h}ukm

Wajh al-Shabah

Epistem ‘Irfa>ni

‘Irfa>n dalam terma bahasa Arab bermakna al-‘ilm sebagaimana

makna kata al-ma’rifah dari akar kata yang sama. Kata ini dalam konteks

tasawuf dipakai untuk menunjukkan model pengetahuan yang tertinggi yang

ditiupkan ke dalam sanubari (intuisi) seseorang dengan mekanisme

kashf/ilha>m sebagai sumber otoritatif pengetahuan.22 Sementara al-‘irfa>n

21 Ibid., 155.22 al-Ja>biri, Bunyah, 251.

7

Page 8: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

dalam bahasa Yunani adalah gnosis yang juga berarti al-ma’rifah

(pengetahuan), al-‘ilm dan al-h}ikmah.23

Al-‘irfa>n adalah fenomena system pengetahuan yang dikenal oleh

agama-agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam) bahkan oleh kelompok

agama-agama pagan. Karenanya, al-‘irfa>niyyah (gnosticisme) menunjuk

pada pola madzab yang plural.24 Konsep al-‘irfa>n dalam keilmuan Islam

menurut al-Ja>biri bisa dilacak sejak pra Islam. Imlikh Jamlichus pada abad II

atau III M, seorang Filosof keturunan Syiria beraliran Neo-Platonis, sejak awal

lebih memilih tradisi filsafat Hermes daripada filsafat Aristoteles dalam

menyelesaikan persoalan. Dan sosok ini cukup populer dalam karya

terjemahan dan penulis-penulis Arab. Sejak akhir era Yunani sampai pada

pertengahan abad ke-7 M, bersamaan dengan kemunculan Islam bahkan

penyebarannya, tradisi ‘irfa>n merupakan mazhab pemikiran yang

berkembang dan bersifat oposan terhadap tradisi rasionalisme Yunani. .25

Sejak awal dalam dunia tasawuf, telah dibedakan derajat pengetahuan

menjadi tiga sistem pengetahuan, kemudian dicari rujukannya dari teks al-

Qur’an. Teks tersebut adalah : QيِنQِقU Vي Uُه[َوU َحUُّقY اْل Qَّنa َهUَذUا ْل h}aq al-yaqi>n adalah ,ِإ

pengetahuan ‘irfa>ni, QيِنQِقU Vي VَمU اْل ْل Qِع Uُم[َوَّنU UْعVْل UَوV َت Uاَّلa ْل ilm al-yaqi>n adalah‘ ,َك

pengetahuan burha>ni dan QيِنQِقU Vي VِنU اْل aُهUا ِعUي ُو[َّن UَرU Uَت [َمa ْل ayn al-yaqi>n untuk‘ ,ُث

pengetahuan baya>ni, demikian al-Qushayri menjelaskan.26

Al-‘irfa>ni adalah tradisi yang dikembangkan dalam dunia tasawwuf,

Syi’ah dan filsafat iluminasi serta penafsiran esoteris terhadap al-Qur’an.

Al-‘Irfa>ni menurut al-Ja>biri mempunyai dua sisi yang berkaitan. Satu sisi

sebagai world view penganutnya yang bersifat pribadi dalam mengatur

segenap tingkah laku bahkan cara berpikir yang intinya bermuara pada

23 Ibid., 253.24Ibid., 254.25 Ibid., 252.26 Berturut-turut teks di atas adalah surat al-Wa>qi’ah : 95 dan al-Taka>thu>r : 5, 7. Lihat Ibid.

8

Page 9: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

A/B seperti C/D, C/D seperti E/F, E/F seperti G/H dan

seterusnya

Melacak Genealogi Nalar Arab

pelarian diri dari realitas. Di sisi yang lain al-‘irfa>ni juga menelorkan

referensi teoritis untuk menafsirkan alam dan manusia serta realitas lainnya.

Dalam epistem ‘irfa>ni pasangan zahir-batin dan wilayah-nubuwwah

cukup strategis dalam membentuk metode dan pola pandang mereka

terhadap realitas. Pasangan pertama menunjuk pada proses penalaran yang

berangkat dari yang batin menuju yang zahir, atau dari lafaz menuju makna.

Sementara hubungan antara keduanya bukan hubungan yang dibangun

berdasar asas kemestian dan universalitas, akan tetapi hanya bersifat

individual dan parsial.27 Sementara itu metode untuk mengkaitkan pasangan

batin sebagai al-as}l dan zahir sebagai al-far’ tersebut adalah riya>d}ah dan

muja>hadah dengan qiya>s sebagai kerangka teoritiknya. Qiya>s ‘irfa>ni

ini berbeda dengan qiya>s baya>ni, apalagi dengan qiya>s burha>ni. Al-

Ja>biri menggambarkannya sebagai berikut :

Maknanya adalah bahwa keterkaitan antara A dan B adalah seperti

keterkaitan antara C dan D dan seterusnya. Contohnya dalam hal ini adalah

tafsiran syi’ah terhadap surat al-Rahman : 19 -22.

“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan”.

27 Ibid., 290.

9

Page 10: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

Kaum Syi’ah menafsirkan al-bah}rayn sebagai ‘Ali dan Fatimah,

barzakh sebagai Muhammad saw dan al-lu`lu` wa al-marja>n sebagai

H}asan H}usayn. Model penalaran mereka adalah bahwa Muhammad dalam

hubungannya dengan ‘Ali dan Fatimah (al-as}l) adalah seperti keterkaitan

antara barzakh dengan bah}rayn (al-far’). Terlihat bahwa penyerupaan di

atas lebih pada penyerupaan relasi bukan pada relasi keserupaan. 28

Epistem Burha>ni

Al-Burha>n dalam terma bahasa Arab bermakna “al-h}ujjah al-

fa>si}lah al-bayyinah” (argumentasi yang definitif dan jelas). Dalam bahasa

Eropa al-burha>n disebut demonstration yang pemaknaannya merujuk pada

bahasa Latin demonstratio; isyarat, sifat, penjelasan dan menampakkan.

Sedang dalam istilah epistemologis, al-burha>n bermakna aktivitas mental

yang menetapkan kebenaran sebuah preposisi dengan metode deduksi, atau

mengaitkan satu preposisi dengan preposisi yang lain yang bersifat

aksiomatik dan terbukti kebenarannya.29

Sumber keilmuan yang otoritatif dalam epistem burha>ni adalah

eksperimentasi dan penalaran akal dengan kerangka teoritis dalil-dalil logika

yang dalam epistem burhani ini dikenal dengan silogisme atau al-qiya>s al-

ja>mi’ dalam bahasa al-Ja>biri. Nalar dan eksperimentasi adalah dua hal

yang saling menguatkan. Tatkala eksperimentasi tidak mampu menembus

realitas karena keterbatasan indera manusia, maka nalar akan

menguraikannya. Disiplin yang bisa disentuh epistem ini adalah logika,

matematika, fisika (semua cabang ilmu-ilmu alam), bahkan metafisika serta

ilmu-ilmu sosial. Validitas kebenaran dalam epistem ini adalah tidak saja

pemakaian logika secara absah akan tetapi juga kesesuaian antara nalar

28 Ibid., 305, 306.29 Ibid., 383.

10

Page 11: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

dengan realitas dan hukum-hukum alam. Ini sesuai dengan prinsip yang

dikemukan Hegel, sebagaimana dikutip al-Ja>biri, bahwa setiap hal yang

“berbau” waqi’i adalah rasional. Lebih jauh Hegel menegaskan bahwa hanya

melihat kesesuaian antara nalar dengan realitas saja adalah pandangan yang

statis. Menurutnya, pandangan yang dinamis menuntut tidak saja nalar

relevan dengan realitas, tapi juga dengan aspek kesejarahan.30

Peran nalar antara lain dalam melihat realitas adalah memproduk

pengetahuan dengan menyingkap sebab (idra>k al-sabab) atau menemukan

hukum kausalitas di balik sesuatu. Karena pada dasarnya makna “eksistensi

sesuatu” adalah kehadirannya yang didahului oleh sebab, baik sabab fa>’il

(aktif) atau sabab gha`iy (tujuan akhir). Karenanya “menalar sesuatu”

maksudnya adalah menemukan kedua sebab tersebut.31 Sebab menurut

Aristoteles terpilah menjadi empat macam; sebab materi, sebab bentuk,

sebab pelaku dan sebab tujuan. Eksistensi kursi, misalnya, mengharuskan

empat sebab; materi (bahan dasar kayu), bentuk (gambaran kursi), pelaku

(tukang), tujuan (sebagai tempat duduk).32

Al-Burha>n sebagai sebuah epistem hadir sejal awal mula muncul

disiplin filsafat dan aktivitas ilmiah di Yunani tiga abad sebelum Aristoteles.

Sumbangsih Aristoteles kemudian adalah mensistematisasi dan menjadikan

disiplin ini sebagai mahkota keilmuan. Pengaruh Aristoteles terhadap

pemikiran burha>n dalam konteks peradaban Arab tidak disangsikan lagi.

Epistem Burha>ni masuk dalam tradisi pemikiran Arab pada abad-abad

pertengahan melengkapi dua tradisi pemikiran sebelumnya yang lebih dulu

eksis, epistem bayan>i dan ‘irfa>ni. Wajar bila kemudian, kehadiran epistem

burhani berbenturan keras dengan tradisi pemikiran yang telah mengakar

sebelumnya, utamanya tradisi pemikiran “tuan rumah” (s}a>h}ib al-da>r)

30 Al-Ja>biri, Takwi>n, 22-23.31 Ibid., 22. 32 Lihat, al-Ja>biri, Bunyah, 398.

11

Page 12: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

dalam istilah al-Ja>biri. Hal tersebut dibuktikan oleh al-Kindi, al-Farabi, dan

Ibn Rushd dalam usahanya membumikan tradisi burha>ni dalam ranah

peradaban Arab.

Dalam interaksinya, tiga epistem dalam peradaban Arab mengalami

tiga fase interaktif. Fase I, al-tada>khul al-takwi>ni dengan ditandai masing-

masing epistem mencari eksistensi dan memberikan pengaruh secara

independent terhadap peradaban Arab yang akhirnya pada abad ke-5 H

terjadi benturan antar epistem. Selanjutnya pada fase II, al-al-tada>khul al-

talfi>qi, terjadi rekonsiliasi antar epistem. Rekonsiliasi pertama terjadi antara

epistem baya>ni dan ‘irfa>ni di tangan al-Ha>rith al-Muha>sibi, antara

baya>n dan burha>n di tangan al-Kindi dan antara burhani dan ‘irfani di

tangan Ikhwa>n al-S}afa dan Filosof Isma’ili.33 Pada fase rekonsiliasi ini

menurut al-Ja>biri, nalar Arab tidak mengalami perkembangan signifikan,

karena rekonsiliasi hanya dimaksudkan untuk kepentingan-kepentingan

ideologis dan partisan untuk mengukuhkan salah satu epistem. Ini terlihat

umpamanya pada epistemologi al-Ghazali – epistem yang kemudian menjadi

mainstream - yang menjadikan al-burha>n sebagai alat untuk mentahtakan

al-baya>n dan menyerang al-burha>n itu sendiri. Fase yang terakhir

menurut al-Jabiri adalah fase ‘iadah al-ta’si>s, penyusunan ulang relasi antar

epistem.

Qiyas; Teori Par Excellence Keilmuan Islam

Di antara ketiga epistem tersebut di atas, epistem baya>ni merupakan

sistem pengetahuan yang bersifat hegemonik dalam tradisi Arab-Islam.

Dalam epistem ini teori yang dimunculkan adalah al-qiya>s al-baya>ni –

33 al-Ja>biri, Bunyah, 486.

12

Page 13: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

sebagai imbangan dengan sebutan al-qiya>s al-‘irfa>ni dan al-qiya>s al-

burha>ni.

Qiya>s baya>ni adalah teori sekaligus esensi struktur mental dalam

medan baya>ni, meliputi disiplin bahasa, akidah dan fiqh. Berdasarkan

konstruksinya, teori qiya>s, sebagai produk dari nalar Arab, dapat

dikerangkakan pada tiga otoritas (kekuasaan), otoritas as}l (sult}at as}l),

otoritas kata (sult}at al-lafz}) dan otoritas keserbabolehan (sult}at al-

tajwi>z).34

Al-Sha>fi’i sebagai Founding Father Us}u>l al-Fiqh, kata al-Ja>biri,

adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap pelembagaan teori

qiya>s dalam ranah peradaban Arab. Ketika al-Sha>fi’i memberikan batasan

sumber hukum secara hirarkis; al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan qiya>s, pada

dasarnya ia bermaksud membatasi skop nalar Arab dalam bingkai sumber-

sumber tersebut. Karena sumber-sumber tersebut telah dikenal sebelum al-

Sha>fi’i. Dan yang lebih naif lagi bahwa qiya>s yang ia promosikan adalah

sebuah metode penalaran yang ia timba dari lingkungan bahasa Arab.

Sebelum al-Shafi’I merilis kitabnya al-Risa>lah, qiya>s sudah menjadi

kerangka teoritik yang mapan dalam keilmuan bahasa Arab, dalam ungkapan

sederhana al-Kasa`i " يَتبع قياس اْلنحَو ِإَّنُما ". Al-Sha>fi’i bukan pencipta teori

qiya>s, tapi megembangkannya dari logika bahasa.35

Wajar bila kemudian aktivitas nalar peradaban Arab lebih banyak

berkisar pada teks (َحَول اْلنص). Produksi pengetahuan lebih banyak

didasarkan pada prinsip ‘al-asl fi al-nas}, la fi al-wa>qi’). Dari perspektif

epistemologis, konstruksi nalar Arab berkisar pada persoalan dila>lat al-

khit}ab (petunjuk wacana), baik itu petunjuk teks (dila>lat al-nas}) atau

petunjuk kandungan teks (ma’qu>l al-nas}). Dila>lat al-nas} berujung pada

34 Ibid., 560-561.35 Al-Ja>biri>, Takwi>n, 124.

13

Page 14: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

pembahasan hubungan antara lafaz dan makna. Sedangkan ma’qu>l al-nas}

bermuara pada bahasan teori qiya>s. Itu artinya bahwa penyelesaian

persoalan baru (al-far’) mesti dirujukkan pada as}l dengan berpegang pada

kandungan teks (ma’qu>l al-nas) dan dengan tetap berpijak pada persoalan

hubungan lafaz dan makna,36 karena tanpa hal ini mustahil diperoleh

kandungan teks.

Hubungan lafaz dan makna memunculkan ishka>liyya>t al-lafz} wa al-

ma’na (problematika kata dan makna) yang merupakan determinan utama

teori qiya>s. Teori ini sering kali terjebak pada eksplanasi kebahasaan dari

pada intelektual-logis dan lebih banyak mempatkan dirinya dalam ranah

sistem wacana (niz}a>m al-khit}a>b) dari pada sistem nalar (niz}a>m

al-‘Aql/niz}a>m al-sababiyyah). Relasi yang dibangun antara pasangan lafaz

dan makna, asl dan far’, dali>l dan madlu>l adalah relasi spekulatif, bukan

relasi kemestian.

Menuju Rekontruksi Nalar Arab

Problem rekontruksi nalar Arab, menurut al-Ja>biri, adalah bagaimana

membangun kembali relasi antar epistem. Relasi antar epistem tersebut

seharusnya juga harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, dan

bukan bangunan relasi yang dimaksudkan untuk kepentingan ideologis.

Dalam kasus seperti ini sering kali epistem burha>ni menjadi korban,

sebagaimana yang telah dilakukan al-Ghazali, Ibn Sina, Filosof Isma’ili dan

Ibn ‘Arabi.

Relasi antar epistem tersebut, menurut al-Jabiri, hendaknya dibangun

baik dalam tataran manha>j (bahasa dan logika) maupun tataran world view

(teologi dan filsafat). Dalam membangun relasi antar epistem, al-Ja>biri

mengeluarkan epistem ‘irfa>ni karena dianggap justru telah menyerang

36 Ibid., 56.

14

Page 15: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

epistem baya>ni dari dalam. Al-Ja>biri> menginginkan membangun prinsip-

prinsip epistem baya>ni> di atas pondasi epistem burha>ni> (I’a>dah

ta’si>s al-baya>n ‘ala al-burha>n). Dalam hal ini al-Ja>biri> mengambil

semangat dari proyek pemikiran Ibn Hazm. Menurutnya, secara

epistemologis rekontruksi yang dilakukan Ibn Hazm hanya dengan memberi

landasan burha>ni> atas epistem baya>ni> dan sama sekali tidak

melibatkan epistem ‘irfa>ni> dari tradisi Syi’ah maupun tasawuf. 37

Epistem burha>ni> adalah sistem pengetahuan yang mendasarkan

diri pada metode burha>n untuk merumuskan suatu kebenaran, yaitu

pengetahuan yang bersifat benar dan mencapai derajat meyakinkan

(aksiomatik). Piranti yang digunakan adalah mengaitkan akibat dengan

sebab, atau yang lebih dikenal dengan hukum kausalitas (idra>k al-sabab wa

al-musabbab).38 Untuk mencari hukum kausalitas yang terjadi pada

peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal tidak

memerlukan teks keagamaan, karena sumber pengetahuan epistemologi

burha>ni> adalah realitas (al-wa>qi’), baik realitas alam, sosial, humanitas

atau keagamaan.39

Untuk memahami realitas-realitas tersebut akan lebih memadai bila

dipergunakan pendekatan-pendekatan semisal sosiologi, antropologi,

kebudayaan dan sejarah. Dengan model penalaran burha>ni> ini, fungsi

dan peran akal tidak untuk mengukuhkan otoritas teks, seperti pada

penalaran baya>ni>, akan tetapi melakukan analisis dan menguji secara

terus menerus sebuah konklusi secara dialektis.40 Dengan demikian model

epistem ini lebih berorientasi pada otoritas akal (sult}at al-‘aql). Dalam hal

37 lihat. Al-Ja>biri>, al-Tura>th wa al-H}ada>thah, 188.38 Lihat Al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000), 149.39 M. Amin Abdullah dalam tulisannya “Al-Ta’wil al-‘Ilmi; Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” Al-Jami’ah, 39 (Juli-Desember 2001), 378.40 Ibid., 379.

15

Page 16: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

ini perangkat metode penalaran yang dikedepankan adalah deduksi (qiya>s

al-ja>mi’/silogisme) induksi41 (al-istiqra>`), inferensia42 (al-istinta>j), dengan

mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan (al-maqa>s}id), universalia-

universalia (al-kulliya>t), dan pendekatan kesejarahan (al-naz}rah al-

tarikhiyah).43

Rekonstruksi nalar Arab mensyaratkan pemakaian logika dalam

bernalar. Logika adalah disiplin yang mengkaji metode-metode dan prinsip-

prinsip yang dipakai untuk membedakan yang benar dari yang salah dari

proses penalaran. 44 Mut}a>baqah bayn al-‘aql wa al-wa>qi harus juga

didukung oleh adanya konsistensi logik dalam bentuk form berpikir.45 Selain

itu dengan tetap mempertimbangkan al-maqa>s}id al-shari>’ah yang

subtansinya adalah kemaslahatan, maka aspek practical life juga menjadi

tolak ukur.

Al-Jabiri mengutip al-Farabi menunjukkan perbedaaan signifikan antara

logika dan tata bahasa. Logika bersifat universal. Ia berkaitan dengan nalar,

sementara nalar tersebut satu bagi semua manusia. Sedangkan tata bahasa

adalah sangat bervariasi. Tiap-tiap bahasa mempunyai tata bahasa.46 Dari

sini dapat diperbandingkan antara kebenaran yang diperoleh berdasar

tata/logika bahasa dengan kebenaran yang disandarkan pada logika/mantik.

41 Induksi sebagai piranti metode keilmuan pada dasarnya mensyaratkan determinasi analitis dari relasi sebab-akibat dalam sejumlah fenomena, kemudian diiringi dengan proses generalisasi dari hasil relasi tersebut. Lihat, John Grier Hibben, Logic; Deductive and Inductive (New York, Chicago, Boston: Charles Scribner’s Sons, 1905), 195.42 Inferensia secara esensial adalah proses yang memfasilitasi pemikiran kita untuk mengkombinasikan elemen-elemen yang didapat dengan cara tertentu di mana konklusinya berisi sesuatu yang tak mungkin disingkap bila elemen-elemen tersebut dalam keadaan terisolir satu dengan yang lain. Lihat John Grier Hibben, Logic, 9.43 Al-Ja>biri>, Bunyah, 567.44 Lihat, Irving M. Copy, Introduction to Logic (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1978), 3.45Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 33.46 Al-Jabiri, al-Bunyah, 427.

16

Page 17: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

Dari persoalan relasi logika dan bahasa ini dapat diturunkan pada persoalan

relasi antara al-lafz dan al-ma’qu>la>t (ide dan gagasan). Menurut al-Farabi,

ide dan makna hadir lebih dahulu dari pada kata/lafz, bukan kata/lafz

kemudian ide. Kata, lafz dan bahasa hanyalah sarana untuk

mengekspresikan ide, bukan ide itu sendiri.47 Karena itu sangat ironis bila ide

dan gagasan subtantif harus terpenjara oleh teks dan lafaz. Memang kita

berpikir menggunakan bahasa dan teks, akan tetapi, sekali lagi, itu hanya

sebagai media ekspresi ide dan gagasan.

Penutup

Berdasar paparan genealogi nalar Arab di atas dapat dipahami kenapa

ethos riset/ijtihad dalam konteks keilmuan Islam mengalami stagnasi. Apa

yang dilakukan al-Jabiri dengan kritik epistemologisnya terhadap

epistemologi nalar Arab menyadarkan kita terhadap problem dunia

intelektualitas muslim yang selama ini menjadi bagian dari ketidaksadaran

kita dan berpengaruh terhadap banyak segi kehidupan. Kedalaman wawasan

filsafat dan tradisi pemikiran Perancis-nya dan kemampuan

mensistematisasikan gagasan pembaharuan berdasar ketepatan dalam

melihat akar permasalahan patut untuk mendapatkan apresiasi yang layak.

Walaupun tidak berarti tidak ada kritik terhadap pemikirannya.

Sebagian menganggap bahwa rasionalitas dan tradisi Yunani yang

diagungkan al-Jabiri hanya akan memarjinalkan tradisi dan justru akan kontra

produktif terhadap konsep autentisitas yang ditawarkan al-Jabiri sendiri.

Termasuk pemikirannya untuk mendepak epistem ‘irfani, tentu akan

menimbulkan resistensi tersendiri. Bagaimanapun, kalau kita melihat sejarah

47 Ibid., 431.

17

Page 18: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

intelektual muslim, tradisi ‘irfa>ni merupakan bagian dan menyatu dalam

tradisi muslim.

Kekurangan yang ada pada epistem ‘irfa>ni selayaknya ditindaklanjuti

dengan merekontruksi epistem ini, bukan membuangnya. Karena dalam

perjalanan sejarahnya, menurut Amin Abdullah, epistem ‘irfa>ni lebih

banyak dicitrakan sebagai kelompok-kelompok tarekat dengan praksis

keagamaan yang ekslusif. Karenanya relevan juga, pendapat Amin Abdullah

untuk membangun relasi antar epistem dengan pola sirkuler dalang rangka

saling bekerja sama dan menutupi kelemahan epistem lain.48 Nalar ‘irfa>ni

misalnya, dengan prinsip simpati dan empatinya dan dengan metode olah

rasanya, akan merespon kehampaan spiritual masyarakat modern dan

membangun kesetiakawanan sosial di tengah kondisi kemasyarakatan yang

plural.

Dengan terintegrasnya tiga epistem nalar Arab, akan mudah

dipetakan mana wilayah religiousity sebagai medan burha>ni yang objektif,

wilayah religion yang subjektif sebagai medan baya>ni dan wilayah being

religious yang bersifat intersubjektif sebagai medan ‘irfa>ni.

DAFTAR PUSTAKA

48 M. Amin Abdullah dalam tulisannya “Al-Ta’wil al-‘Ilmi . . .”, 387.

18

Page 19: Melacak Genealogi Nalar Arab-Abid R

Melacak Genealogi Nalar Arab

A Luthfi al-Syaukanie,  "Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer ", Paramadina, Vol. I, No. I (Juli – Desember 1998).

A. Qodry Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Semarang: Aneka Ilmu, 2004.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Al-Ja>biri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirâsah Tahli}liyyah Naqdiyyah li al-Nuz}um al-Ma’rifah fi al-Thaqa>fah al-‘Arabiyyah. Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993.

__________, Kritik Pemikiran Islam; Wacana Baru Filsafat Islam. ter. Burhan. Yogyakarta: Fakar Pustaka Baru, 2003.

__________, Al-Di>n wa al-Dawlah wa Tat}bi>q al-Shari>’ah. Libanon: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1996.

__________>, Al-Tura>th wa al-H}ada>thah; Dira>sa>t .. wa Muna>qasha>t (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1999), 142.

__________>, Post Tradisionalisme Islam. ter. Ahmad Baso. Yogyakarta: LkiS, 2000.

__________, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi. Libanon : Markaz Dirasat al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1989.

__________, al-‘Aql al-Siya>si al-‘Arabi; Muh}addidah wa Tajalliyyatuh Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1991.

John Grier Hibben, Logic; Deductive and Inductive. New York, Chicago, Boston: Charles Scribner’s Sons, 1905.

M. Amin Abdullah dalam tulisannya “Al-Ta’wil al-‘Ilmi; Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” Al-Jami’ah. 39 (Juli-Desember 2001).

Muhammad Abed al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme Islam. ter. Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS, 2000.

Muhammad al-Tiwanji, al-Mu’jam al-Mufas}s}al fi> al-Adab. Vol. II. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2002.

Pier Paolo Giglioli (ed.), Language and Social Context. New York: Penguin Books, 1985.

Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Integensia Muslim Indonesia Abad 20. Jakarta: Mizan, 2005.

19