32
APRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan Agama Upaya Serius Lestarikan Bentang Alam Mbeliling Adaptasi Warga Pesisir PulaU Kei Kecil Menghadapi Perubahan Iklim Global Dokter Kakao Andi Asri: “Membantu Orang Lain Juga Membuat Saya Sukses” Sebuah Cerita dari Wambuloli dan Bone Marambe Bisa Dirasakan dari Depan Rumah Sekarang Air Bersih

MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

  • Upload
    lephuc

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

APRIL - MEI 2013

MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA

www. bakt i .o r . id

EDISI 88

SUARA FORUM KTI PAPUASecercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan Agama

Upaya Serius Lestarikan Bentang Alam Mbeliling

Adaptasi Warga Pesisir PulaU Kei Kecil Menghadapi Perubahan Iklim Global

Dokter Kakao Andi Asri: “Membantu Orang Lain Juga Membuat Saya Sukses”

Sebuah Cerita dari Wambuloli dan Bone Marambe

Bisa Dirasakan dari Depan Rumah Sekarang Air Bersih

Page 2: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan
Page 3: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

BaKTINews adalah media pertukaran pengetahuan tentang pembangunan di Kawasan Timur lndonesia. Tujuan BaKTINews adalah mempromosikan praktik cerdas pembangunan dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia agar dapat diketahui oleh khalayak luas dan menginspirasi pelaku pembangunan di berbagai daerah dalam upaya menjawab berbagai tantangan pembangunan. BaKTINews terbit setiap bulan dalam dua bahasa, Indonesia dan lnggris, untuk memudahkan pembaca dalam mendapatkan informasi pembangunan dari Kawasan Timur Indonesia.

BaKTINews disirkulasi melalui pos kepada pembaca dengan target utama adalah para pelaku pembangunan yang berdomisili di daerah kepulauan dan daerah terpencil. Tidak dikenakan biaya apapun untuk berlangganan BaKTINews agar lebih banyak masyarakat yang dapat mengakses informasi pembangunan melalui majalah ini. Selain dalam bentuk cetak, BaKTINews juga dapat diakses di website BaKTI: www.bakti.or.id dan dikirimkan melalui email kepada pelanggan yang dapat mengakses internet.

BaKTINews dikelola oleh Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Seluruh artikel BaKTINews adalah kontribusi sukarela para pelaku pembangunan dari berbagai kalangan dan daerah yang ingin berbagi pengetahuan dengan khalayak luas.

BaKTINews is a knowledge exchange media platform for development issues in eastern Indonesia. BaKTINews aims to promote development smart practices from different regions in eastern Indonesia so that the practices become known to a wider audience and inspire development stakeholders in other regions in their efforts to answer development challenges. BaKTINews is published monthly in two languages, Indonesian and English, to facilitate readers who don't understand indonesian to gain a better understanding of development in eastern Indonesia.

BaKTINews is sent by post to readers and rhe main target is development stakeholders living in isolated regions and island regions. BaKTINews is provided free of charge so the development community can access relevant development information easily. BaKTINews is also provided in an electronic version that can be accessed on www.bakti.or.id and can be sent electronically to subscribers with internet access.

BaKTINews is managed by the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI). All articles are contributed voluntarily by development stakeholders from different areas in eastern Indonesia who wish to share their information with a wider audience.

Daftar Isi

3

BaKTINEWS DITERBITKAN OLEH YAYASAN BaKTI DENGAN DUKUNGAN PEMERINTAH AUSTRALIA /

PANDANGAN YANG DIKEMUKAKAN TAK SEPENUHNYA MENCERMINKAN PANDANGAN YAYASAN BaKTI MAUPUN PEMERINTAH AUSTRALIA. /

BaKTINEWS IS PUBLISHED BY THE BaKTI FOUNDATION WITH SUPPORT OF THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA.

THE VIEWS EXPRESSED DO NOT NECESSARILY REFLECT THE VIEWS OF YAYASAN BaKTI

AND THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA.

Editor MILA SHWAIKOVICTORIA NGANTUNG

Forum KTI ZUSANNA GOSALITA MASITA IBNU

Events at BaKTI SHERLY HEUMASSESmart Practices

Info Book & SUMARNI ARIANTODesign Visual

& Layout ICHSAN DJUNAID

Jl. H.A. Mappanyukki No. 32Makassar 90125Sulawesi Selatan - Indonesia T. +62 411 832228, 833383 F. +62 411 852146E. [email protected]

Redaksi

PERTANYAAN DAN TANGGAPAN

www.bakti.or.id

SMS BaKTINews 085255776165E-mail: [email protected]

Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook :

www.facebook.com/yayasanbakti

BERKONTRIBUSI UNTUK BaKTINews

BaKTINews menerima artikel tentang kemajuan pembangunan, pembelajaran dari suatu kegiatan, praktik cerdas pembangunan, hasil-hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, dan teknologi tepat guna dari berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua).

Panjang artikel adalah 1.000 - 1.100 kata,menggunakan Bahasa Indonesia maupun lnggris, ditulis dengan gaya populer. Foto-foto penunjang artikel sangat dibutuhkan. Tim editor BaKTINews akan melakukan edit terhadap setiap artikel yang akan dimuat untuk kesesuaian tempat dan gaya bahasa. Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.

BaKTINews accepts articles about development programs, lessons learnt from an activity, development smart practices, research results that can be applied, and applied technology from different stakeholders and regions in eastern Indonesia (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, and Papua). Articles should be 1,000-1, 100 words, in either Indonesian or English, and written in a popular style.

Articles should also be sent with photos that illustrate the article. The editors of BaKTINews will edit every article for reasons of space and style. BaKTINews does not provide payment to writers for articles.

MENJADI PELANGGAN BaKTINews Subscribing to BaKTINews

Untuk berlangganan BaKTINews, silakan mengirimkan data diri anda (organisasi, posisi, nomor HP, alamat email) lengkap dengan alamat lengkap yang disertai dengan kode pos melalui email [email protected] atau SMS 085255776165.

Bagi yang berdomisili di Makassar, Anda dapat mengambil BaKTINews di Display Corner Gedung BaKTI pada setiap hari kerja.

To subscribe to BaKTINews please send us your full contacts details (including organization. position, HP number and email address) with full postal address to [email protected] or SMS to 085255776165.

For those living in Makassar, please stop by the BaKTI office and pick up your copy from the display corner from Monday to Friday.

7

11

13

15

14

16

Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan

Sekarang Air Bersih Bisa Dirasakan dari Depan Rumah

23

1 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

UNICEF INDONESIA

Website Of The Month

21 Pekerjaan Sosial dan Usaha Ekonomi dalam Pelayanan Kesejahteraan Anak

17

Water, sanitation & hygieneUNICEF INDONESIA

Ingin mengadakan workshop,

pelatihan, diskusi pembangunan,

pemutaran film, peluncuran buku dan

kegiatan lainnyatapi bingung

mencari tempat? Ayo ke BaKTI saja!

Att: Sherly Heumasse (Client Relation Officer)Jl. H. A. Mappanyuki No.32 Makassar 90125 - Sulawesi Selatan. T. +62 411 832228 F. +62 411 852146; Email: [email protected]

Reservasi dan informasi lebih lanjut,

silahkan hubungi: Kantor Yayasan Bursa

Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI)

A PLACE WHEREKNOWLEDGEMEETSCREATIVITY

Menyediakan ruang pertemuan bagi para pelaku pembangunan yang dapat menampung sampai 80 orang. Ruang Pertemuan BaKTI dilengkapi dengan fasilitas Air-conditioning, Sound system dan Mic, LCD projector, Screen, White board, Flip Chart serta free akses internet dan WiFi.

Sebuah Cerita dari Wambuloli dan Bone Marambe

Upaya Serius Lestarikan Bentang Alam Mbeliling

Lingkungan

Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan Agama

Suara Forum KTI

Perlunya inisiatif generasi muda untuk percepat pembangunan Indonesia Timur

Gustav Yustisian

Dokter Kakao Andi Asri“Membantu Orang Lain Juga Membuat Saya Sukses”

19 Adaptasi Warga PesisirPulau Kei Kecil MenghadapiPerubahan Iklim Global

Suara Forum KTI

22 Perempuan dan PembangunanMasyarakat Lokal

Suara Forum KTI

Jurnalisme Warga “Selamat Datang Di Dunia Orang Biasa”

di

25 Tengok Bagaimana Masyarakat Merencanakan Pembangunan di Kabupaten Pohuwato

Suara Forum KTI

26 Mencari Titik TerangSebuah Catatan Perjalanan Menggali Pengetahuan dari Praktik Cerdas Mikro Hidro di Desa Batanguru, Sulawesi Barat

Update Praktik Cerdas

28NGO ProfilBuku dan pilihan warna masa depan anak di kawasan timur Indonesia

30 Kegiatan di BaKTI

31 Info Buku

Page 4: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

3 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan

Isu penting

anitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman berkontribusi terhadap 88 Spersen kematian anak akibat diare di seluruh dunia.

Bagi anak-anak yang bertahan hidup, seringnya menderita diare berkontribusi terhadap masalah gizi, sehingga menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang.

Di Indonesia, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun. Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai penyebab 31 persen kematian anak usia antara satu bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak usia antara satu sampai empat tahun. Angka diare pada anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan air ledeng, Selain itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66 persen pada anak-anak dari keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan septik tank. Peran penting kebersihan sering diabaikan. Kematian dan penyakit yang disebabkan oleh diare pada umumnya dapat dicegah. Bahkan tanpa perbaikan pada sistem pengairandan sanitasi, mencuci tangan secara tepat dengan menggunakan sabun dapat mengurangi resiko penyakit diare sebesar 42 sampai 47 persen.

Situasi masyarakat miskin perkotaan perlu mendapatkan perhatian segera. Di daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai, praktek kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta air yang terkontaminasi secara sekaligus dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat. Penyakit-penyakit terkait dengan ini meliputi disentri, kolera dan penyakit diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernapasan kronis dan infeksi parasit usus. Selain itu, keluarga miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan praktek-praktek kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan peningkatan resiko kematian anak. Studi tentang "mega-kota" Jakarta (yang disebut Jabotabek), Bandung dan Surabaya pada tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk miskin yang tinggal di daerah pinggiran kota Jakarta kurang berpendidikan dibandingkan warga Jakarta sendiri, dan memiliki tingkat tamat

sekolah menengah hanya seperempat dari mereka yang tinggal di pusat kota. Studi yang sama menghitung angka kematian anak sampai lima kali lebih tinggi di kecamatan-kecamatan miskin di pinggiran kota Jabotabek daripada di pusat kota Jakarta.

ada dekade-dekade sebelumnya, Indonesia telah m e n u n j u k k a n k e m a j u a n s i g n i f i k a n d a l a m Pmeningkatkan akses terhadap persediaan air bersih

dan pelayanan sanitasi. Air bersih dan sanitasi merupakan sasaran Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang ketujuh dan pada tahun 2015 diharapkan sampai dengan setengah jumlah penduduk yang tanpa akses ke air bersih yang layak minum dan sanitasi dasar dapat berkurang. Bagi Indonesia, ini berarti Indonesia perlu mencapai angka peningkatan akses air bersih hingga 68,9 persen dan 62,4 persen, untuk sanitasi.

Pola dan kecenderungan

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Di Yogyakarta

Gorontalo

Maluku Utara

Lampung

Bengkulu

Bali

Maluku

Riau

Jambi

Aceh

Banten

Papua

Bangka Belitung

DKI Jakarta

Kalteng

Kepri

Kalbar

Sumsel

NTT

Kaltim

Sulut

Papua Barat

Kalsel

Sulsel

Sumbar

Sulbar

Sumut

Jawa Barat

Sulteng

Sultra

Jawa Timur

NTB

Jawa Tengah

Gambar 1. Prosentase rumah tangga dengan akes ke sumber air bersih yang lebih baik, menurut provinsi.

Sumber: Riskesdas 2010. Kriteria JMP, tidak termasuk air botol kemasan

OLEH INDONESIA

RINGKASAN KAJIAN

4 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Saat ini, Indonesia tidak berada pada arah yang tepat untuk mencapai target MDG untuk masalah air bersih MDG pada tahun 2015. Perhitungan dengan menggunakan kriteria MDG nasional Indonesia untuk air bersih dan data dari sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia harus mencapai tambahan 56,8 juta orang dengan persediaan air bersih pada tahun 2015. Di sisi lain, jika kriteria Program Pemantauan Bersama WHO-UNICEF (JMP) untuk air bersih akan digunakan, Indonesia harus mencapai tambahan 36,3 juta orang pada tahun 2015. Saat ini, bahkan di provinsi-provinsi yang berkinerja lebih baik (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta), sekitar satu dari tiga rumah tangga tidak memiliki akses ke persediaan air bersih (Gambar 1).

Perbandingan dengan tahun 2007 menunjukkan akses air bersih pada tahun 2010 telah mengalami penurunan kira-kira sebesar tujuh persen. Kondisi terbalik ini pada umumnya disebabkan oleh penurunan di daerah perkotaan (sebesar 23 persen sejak tahun 2007, Gambar 2). Akses ke air bersih di Jakarta telah mengalami penurunan dari 63 persen pada 2010 menjadi 28 persen pada tahun 2007, menurut Riskesdas. Yang mengherankan, dua kelompok kuintil tertinggi juga mengalami penurunan akses terhadap air bersih masing-masing sebesar 8 dan 32 persen dibandingkan dengan tahun 2007. Mereka yang berasal dari kelompok mampu membeli air minum kemasan atau botol: sepertiga rumah tangga perkotaan di Indonesia melakukannya pada tahun 2010.

Sejak tahun 1993, Indonesia telah menunjukkan peningkatan dua kali lipat prosentase rumah tangga dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih baik, tetapi masih berada pada arah yang belum tepat untuk mencapai target sanitasi MDG 2015. Untuk mencapai target sanitasi nasional MDG, diperlukan pencapaian tambahan 26 juta orang dengan sanitasi yang lebih baik pada tahun 2015. Perencanaan pada jangka panjang memerlukan pencapaian angka-angka yang lebih besar: Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kira-kira 116 juta orang masih kekurangan sanitasi yang memadai.

Buang air besar di tempat terbuka merupakan masalah kesehatan dan sosial yang perlu mendapatkan perhatian segera. Sekitar 17 persen rumah tangga pada tahun 2010 atau

sekitar 41 juta orang masih buang air besar di tempat terbuka. Ini meliputi lebih dari sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut bahkan ditemukan di provinsi-provinsi dengan cakupan sanitasi yang relatif tinggi, dan pada penduduk perkotaan dan di seluruh kuintil (Gambar 3 dan 4).

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

kelompok 5

2010

2007

(kekayaan tertinggi)

kelompok 4

kelompok 3

kelompok 2

kelompok 1(kekayaan terendah)

kota

desa

Indonesia

Gambar 2. Prosentase rumah tangga yang dengan akses ke air bersih, menurut desa/kota dan kelompok kekayaan 2007 & 2010.

Sumber: Riskesdas 2007 dan 2010.

Fasilitassanitasi yanglebih baik

Fasilitassanitasi bersama/tidaklebih baik

Buang airbesar ditempatterbuka

Gambar 3. Prosentase rumah tangga yang menggunakancara-cara lain pembuangan kotoran.Sumber : Riskesdas 2010. Menggunakan kriteria JMP untuk sanitasi yang lebih baik

NTT

Gorontalo

Kalteng

Sulbar

Papua

NTB

Papua Barat

Sultra

Sulteng

Kalbar

Lampung

Maluku Utara

Sumsel

Maluku

Kalsel

Jambi

Aceh

Jawa Timur

INDONESIA

Jawa Barat

Riau

Bangka Belitung

Bengkulu

Sulsel

Jawa Tengah

Sumut

Banten

Sulut

Kaltim

DI Yogyakarta

Kepri

DKI Jakarta

Gambar 4. Prosentase rumah tangga yang menggunakancara-cara lain pembuangan kotoran, menurut kelompok desa-kotadan kekayaanSumber : Riskesdas 2010. Menggunakan kriteria JMP untuk sanitasi yang lebih baik

Rural

Urban

kelompok 3

Desa

Indonesia

kelompok 2

kelompok 4

kelompok 5(kekayaan

Tertinggi)

kelompok 1(kekayaan

Terendah)

Kota

Indonesia

Fasilitassanitasi yanglebih baik

Fasilitassanitasi bersama/tidaklebih baik

Buang airbesar ditempatterbuka

0% 20% 40% 60% 80% 100%

1 Daerah perkotaan di sekitar Jakarta: meliputi Bekasi; dan Bogor dan Depok di Provinsi Jawa Barat; Tangerang dan Tangerang Selatan di Provinsi Banten2 Kriteria JMP tidak menetapkan jarak antara persediaan air dan tempat pembuangan kotoran dan oleh karena itu kurang tepat.

Page 5: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

3 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan

Isu penting

anitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman berkontribusi terhadap 88 Spersen kematian anak akibat diare di seluruh dunia.

Bagi anak-anak yang bertahan hidup, seringnya menderita diare berkontribusi terhadap masalah gizi, sehingga menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan implikasi serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang.

Di Indonesia, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun. Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai penyebab 31 persen kematian anak usia antara satu bulan hingga satu tahun, dan 25 persen kematian anak usia antara satu sampai empat tahun. Angka diare pada anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka untuk air minum tercatat 34 persen lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga yang menggunakan air ledeng, Selain itu, angka diare lebih tinggi sebesar 66 persen pada anak-anak dari keluarga yang melakukan buang air besar di sungai atau selokan dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet pribadi dan septik tank. Peran penting kebersihan sering diabaikan. Kematian dan penyakit yang disebabkan oleh diare pada umumnya dapat dicegah. Bahkan tanpa perbaikan pada sistem pengairandan sanitasi, mencuci tangan secara tepat dengan menggunakan sabun dapat mengurangi resiko penyakit diare sebesar 42 sampai 47 persen.

Situasi masyarakat miskin perkotaan perlu mendapatkan perhatian segera. Di daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang tidak memadai, praktek kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk yang berlebihan, serta air yang terkontaminasi secara sekaligus dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat. Penyakit-penyakit terkait dengan ini meliputi disentri, kolera dan penyakit diare lainnya, tipus, hepatitis, leptospirosis, malaria, demam berdarah, kudis, penyakit pernapasan kronis dan infeksi parasit usus. Selain itu, keluarga miskin yang kurang berpendidikan cenderung melakukan praktek-praktek kebersihan yang buruk, yang berkontribusi terhadap penyebaran penyakit dan peningkatan resiko kematian anak. Studi tentang "mega-kota" Jakarta (yang disebut Jabotabek), Bandung dan Surabaya pada tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk miskin yang tinggal di daerah pinggiran kota Jakarta kurang berpendidikan dibandingkan warga Jakarta sendiri, dan memiliki tingkat tamat

sekolah menengah hanya seperempat dari mereka yang tinggal di pusat kota. Studi yang sama menghitung angka kematian anak sampai lima kali lebih tinggi di kecamatan-kecamatan miskin di pinggiran kota Jabotabek daripada di pusat kota Jakarta.

ada dekade-dekade sebelumnya, Indonesia telah m e n u n j u k k a n k e m a j u a n s i g n i f i k a n d a l a m Pmeningkatkan akses terhadap persediaan air bersih

dan pelayanan sanitasi. Air bersih dan sanitasi merupakan sasaran Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang ketujuh dan pada tahun 2015 diharapkan sampai dengan setengah jumlah penduduk yang tanpa akses ke air bersih yang layak minum dan sanitasi dasar dapat berkurang. Bagi Indonesia, ini berarti Indonesia perlu mencapai angka peningkatan akses air bersih hingga 68,9 persen dan 62,4 persen, untuk sanitasi.

Pola dan kecenderungan

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Di Yogyakarta

Gorontalo

Maluku Utara

Lampung

Bengkulu

Bali

Maluku

Riau

Jambi

Aceh

Banten

Papua

Bangka Belitung

DKI Jakarta

Kalteng

Kepri

Kalbar

Sumsel

NTT

Kaltim

Sulut

Papua Barat

Kalsel

Sulsel

Sumbar

Sulbar

Sumut

Jawa Barat

Sulteng

Sultra

Jawa Timur

NTB

Jawa Tengah

Gambar 1. Prosentase rumah tangga dengan akes ke sumber air bersih yang lebih baik, menurut provinsi.

Sumber: Riskesdas 2010. Kriteria JMP, tidak termasuk air botol kemasan

OLEH INDONESIA

RINGKASAN KAJIAN

4 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Saat ini, Indonesia tidak berada pada arah yang tepat untuk mencapai target MDG untuk masalah air bersih MDG pada tahun 2015. Perhitungan dengan menggunakan kriteria MDG nasional Indonesia untuk air bersih dan data dari sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia harus mencapai tambahan 56,8 juta orang dengan persediaan air bersih pada tahun 2015. Di sisi lain, jika kriteria Program Pemantauan Bersama WHO-UNICEF (JMP) untuk air bersih akan digunakan, Indonesia harus mencapai tambahan 36,3 juta orang pada tahun 2015. Saat ini, bahkan di provinsi-provinsi yang berkinerja lebih baik (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta), sekitar satu dari tiga rumah tangga tidak memiliki akses ke persediaan air bersih (Gambar 1).

Perbandingan dengan tahun 2007 menunjukkan akses air bersih pada tahun 2010 telah mengalami penurunan kira-kira sebesar tujuh persen. Kondisi terbalik ini pada umumnya disebabkan oleh penurunan di daerah perkotaan (sebesar 23 persen sejak tahun 2007, Gambar 2). Akses ke air bersih di Jakarta telah mengalami penurunan dari 63 persen pada 2010 menjadi 28 persen pada tahun 2007, menurut Riskesdas. Yang mengherankan, dua kelompok kuintil tertinggi juga mengalami penurunan akses terhadap air bersih masing-masing sebesar 8 dan 32 persen dibandingkan dengan tahun 2007. Mereka yang berasal dari kelompok mampu membeli air minum kemasan atau botol: sepertiga rumah tangga perkotaan di Indonesia melakukannya pada tahun 2010.

Sejak tahun 1993, Indonesia telah menunjukkan peningkatan dua kali lipat prosentase rumah tangga dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih baik, tetapi masih berada pada arah yang belum tepat untuk mencapai target sanitasi MDG 2015. Untuk mencapai target sanitasi nasional MDG, diperlukan pencapaian tambahan 26 juta orang dengan sanitasi yang lebih baik pada tahun 2015. Perencanaan pada jangka panjang memerlukan pencapaian angka-angka yang lebih besar: Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kira-kira 116 juta orang masih kekurangan sanitasi yang memadai.

Buang air besar di tempat terbuka merupakan masalah kesehatan dan sosial yang perlu mendapatkan perhatian segera. Sekitar 17 persen rumah tangga pada tahun 2010 atau

sekitar 41 juta orang masih buang air besar di tempat terbuka. Ini meliputi lebih dari sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut bahkan ditemukan di provinsi-provinsi dengan cakupan sanitasi yang relatif tinggi, dan pada penduduk perkotaan dan di seluruh kuintil (Gambar 3 dan 4).

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

kelompok 5

2010

2007

(kekayaan tertinggi)

kelompok 4

kelompok 3

kelompok 2

kelompok 1(kekayaan terendah)

kota

desa

Indonesia

Gambar 2. Prosentase rumah tangga yang dengan akses ke air bersih, menurut desa/kota dan kelompok kekayaan 2007 & 2010.

Sumber: Riskesdas 2007 dan 2010.

Fasilitassanitasi yanglebih baik

Fasilitassanitasi bersama/tidaklebih baik

Buang airbesar ditempatterbuka

Gambar 3. Prosentase rumah tangga yang menggunakancara-cara lain pembuangan kotoran.Sumber : Riskesdas 2010. Menggunakan kriteria JMP untuk sanitasi yang lebih baik

NTT

Gorontalo

Kalteng

Sulbar

Papua

NTB

Papua Barat

Sultra

Sulteng

Kalbar

Lampung

Maluku Utara

Sumsel

Maluku

Kalsel

Jambi

Aceh

Jawa Timur

INDONESIA

Jawa Barat

Riau

Bangka Belitung

Bengkulu

Sulsel

Jawa Tengah

Sumut

Banten

Sulut

Kaltim

DI Yogyakarta

Kepri

DKI Jakarta

Gambar 4. Prosentase rumah tangga yang menggunakancara-cara lain pembuangan kotoran, menurut kelompok desa-kotadan kekayaanSumber : Riskesdas 2010. Menggunakan kriteria JMP untuk sanitasi yang lebih baik

Rural

Urban

kelompok 3

Desa

Indonesia

kelompok 2

kelompok 4

kelompok 5(kekayaan

Tertinggi)

kelompok 1(kekayaan

Terendah)

Kota

Indonesia

Fasilitassanitasi yanglebih baik

Fasilitassanitasi bersama/tidaklebih baik

Buang airbesar ditempatterbuka

0% 20% 40% 60% 80% 100%

1 Daerah perkotaan di sekitar Jakarta: meliputi Bekasi; dan Bogor dan Depok di Provinsi Jawa Barat; Tangerang dan Tangerang Selatan di Provinsi Banten2 Kriteria JMP tidak menetapkan jarak antara persediaan air dan tempat pembuangan kotoran dan oleh karena itu kurang tepat.

Page 6: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

5

Cakupan sanitasi pada kelompok-kelompok yang berbeda menunjukkan perbedaan yang jauh lebih kuat daripada cakupan untuk air bersih (Gambar 4). Proporsi rumah tangga perkotaan dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih baik hampir dua kali lipat dari proporsi rumah tangga perdesaan. Proporsi rumah tangga yang memiliki fasilitas sanitasi yang lebih baik pada kuintil tertinggi adalah 2,6 kali proporsi kuintil terendah. Perbedaan geografis juga terlihat jelas. Tingkat akses ke sanitasi yang lebih baik di provinsi yang berkinerja terbaik (69,8 persen, DKI Jakarta) adalah tiga kali lebih tinggi daripada tingkat akses di provinsi yang berkinerja terburuk (22,4 persen, Nusa Tenggara Timur).

Kontaminasi feses terhadap tanah dan air merupakan hal yang umum di daerah perkotaan, hal ini diakibatkan oleh kepadatan penduduk yang berlebihan, toilet yang kurang sehat dan pembuangan limbah mentah ke tempat terbuka tanpa diolah. Sebagian besar rumah tangga di perkotaan yang menggunakan pompa, sumur atau mata air untuk persediaan air bersih mereka memiliki sumber-sumber air ini dengan jarak 10 meter dari septik tank atau pembuangan toilet. Di Jakarta, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta menunjukkan bahwa 41 persen sumur gali yang digunakan oleh rumah tangga berjarak kurang dari 10 meter dari septik tank. Septik tank jarang disedot dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3 persen penduduk memiliki sistem pembuangan kotoran. Sistem pipa rentan terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif yang disebabkan oleh pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana konsumen menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem perariran kota.Septik tank jarang disedot dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3 persen penduduk memiliki sistem pembuangan kotoran. Sistem pipa rentan terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif yang disebabkan oleh pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana konsumen menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem perariran kota.

Dibandingkan dengan kelompok kaya, kaum miskin perkotaan mengeluarkan biaya yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk air yang berkualitas lebih buruk. Misalnya, sistem pipa kota Jakarta hanya mencakup sebagian kecil penduduk, karena perluasan pelayanan tidak dapat mengimbangi perkembangan penduduk di daerah perkotaan. Penduduk lainnya tergantung pada berbagai sumber lain, termasuk sumur dangkal, penjual air keliling dan jaringan privat yang terhubung dengan sumur yang dalam. Banyak dari sumber-sumber alternatif ini memerlukan biaya yang lebih besar per satuan volume daripada pasokan air ledeng dan sering digunakan oleh masyarakat miskin.

Hambatan

iperlukan investasi yang lebih banyak di sektor air bersih dan sanitasi. Investasi pemerintah di sektor tersebut Dkurang dari satu persen dari PDB. Pemerintah sedang

melakukan upaya untuk mengatasi masalah ini. Setelah dimulainya PPSP (Program Percepatan Sanitasi Nasional) tahun 2010, alokasi anggaran sanitasi oleh pemerintah daerah meningkat sebesar 4 sampai 7 persen pada tahun 2011.

Beberapa kementerian dan lembaga yang terlibat dalam sektor air bersih dan sanitasi memerlukan koordinasi yang lebih kuat. Misalnya, kontraktor yang membangun sistem perairan perdesaan lebih bertanggung jawab kepada lembaga pemerintah, bukan pada pengguna jasa. Tanggung jawab

pemeliharaan sistem ini tidak jelas dan struktur manajemen masyarakat masih lemah. Dalam tahun-tahun terakhir, koordinasi tersebut telah meningkat dengan terbentuknya kelompok kerja yang disebut Pokja AMPL di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten untuk air bersih dan sanitasi lingkungan.

Setelah masa desentralisasi, banyak pemerintah kabupaten terhambat oleh kurangnya keahlian di sektor perairan dan kapasitas kelembagaan. Kabupaten-kabupaten terpencil mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga terampil, yang pada umumnya lebih memilih untuk tinggal dan bekerja di daerah perkotaan.

Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan perilaku kebersihan mereka. Situasi kebersihan seringkali buruk di pusat-pusat kesehatan dan tempat-tempat umum lainnya, seperti pasar lokal dan di antara para penjual makanan jalanan. Sebuah survei di enam provinsi, yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2005 untuk USAID, menyatakan bahwa kurang dari 15 persen ibu menyatakan mencuci tangan mereka dengan sabun setelah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak mereka, sebelum makan, atau sebelum membersihkan pantat anak.

Kunjungan lapangan menunjukkan perlunya meningkatkan kebersihan, air bersih dan sanitasi sekolah, tetapi tidak ada data yang memadaai tentang hal ini. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa 77 persen sekolah menengah pertama dilengkapi dengan persediaan air bersih dari sumur ledeng, yang berarti bahwa lebih dari 10.000 SMP tidak memiliki fasilitas tersebut. Perhitungan proporsi untuk semua 234.711 sekolah dasar dan menengah (2009) di Indonesia menunjukkan skala aksi yang diperlukan. Lebih dari 50.000 sekolah mungkin memerlukan persediaan air bersih.

Pemanfaatan air bersih di perkotaan tidak diatur dengan baik dan secara umum cakupannya kecil. Dari 402 perusahaan daerah air minum (PDAM), yang melayani sebagian besar daerah perkotaan, hanya 31 yang memiliki lebih dari 50.000 sambungan pada tahun 2009. Ukuran yang lebih kecil dari optimal menyebabkan biaya operasi yang tinggi. Pada tahun 2010, angka air bersih yang tidak dipertanggungjawabkan adalah antara 38-40 persen dan hanya 30 PDAM mampu menutup biaya operasional dan pemeliharaan secara penuh. PDAM mengalihkan sebagian pendapatan – diperkirakan sebesar 40 persen - kepada pemerintah kabupaten dengan sedikit tanggung jawab, dan memiliki sedikit atau tidak ada dana tersisa untuk operasi dan pemeliharaan. Tidak mengherankan, sistem persediaan air bersih perkotaan pada umumnya tidak terawat dan rusak. Beberapa PDAM telah mengadakan Kemitraan tetapi kompleksitas negosiasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten telah menyebabkan pembatalan dan penundaan. Sistem pembuangan kotoran dan air limbah di perkotaan pada umumnya kurang berkembang dan tidak ditangani dengan baik. Studi Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap tahun, rumah tangga tanpa fasilitas sanitasi yang layak di Jakarta dan di seluruh Indonesia membuang masing-masing sebesar 260.731 ton dan 6,4 juta ton kotoran manusia ke pengumpulan-pengumpulan air tanpa diolah.

Pengelolaan limbah padat di perkotaan dilakukan sedikit demi sedikit dan tidak diatur dengan baik. Badan yang secara resmi bertanggung jawab terhadap sektor tersebut mengadakan kontrak dengan pengusaha-pengusaha swasta kecil yang mengumpulkan dan membawa sampah dari rumah tangga ke fasilitas penyimpanan sementara untuk selanjutnya diangkut oleh badan tersebut. Rumah tangga membayar pelayanan ini melalui tukang sampah lokal. Penimbunan tanah sedang dikembangkan, tetapi tidak banyak mengalami kemajuan. Fasilitas, peralatan dan transportasi untuk pengelolaan limbah padat tetap terbatas.

5

Peluang untuk melakukan tindakan

ebijakan Nasional untuk Persediaan Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat memberikan Kkerangka kerja yang memungkinkan. Kebijakan tersebut

memanfaatkan dengan baik pengalaman yang diperoleh di bidang air bersih dan sanitasi di Indonesia dan negara-negara lain. Kebijakan ini mengikuti prinsip-prinsip kuat yang responsif terhadap permintaan, menggunakan pendekatan berbasis masyarakat, dan menekankan perlunya keterlibatan perempuan serta memfokuskan pada prinsip-prinsip operasional , pemeliharaan dan pembiayaan yang berkesinambungan.

Program Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan lima pilarnya merupakan kerangka kerja yang penting. Kelima pilar tersebut adalah penghapusan buang air besar di tempat terbuka, mencuci tangan dengan sabun, pengolahan air rumah tangga, pengelolaan sampah padat dan pengelolaan limbah cair. Kepemimpinan Kementerian Kesehatan sangat penting dalam meningkatkan STBM. Kabupaten dan provinsi perlu mempercepat upaya-upayanya, sesuai dengan standar dan pedoman nasional. Kelompok masyarakat termiskin perlu memiliki akses ke pembiayaan untuk memulai STBM.

STBM memerlukan pendekatan pemasaran sosial yang memobilisasi sejumlah besar penduduk dan meningkatkan permintaan fasilitas sanitasi yang lebih baik. Revitalisasi air bersih dan sanitasi sekolah dengan tema-tema kesehatan dan sosial akan memberikan beberapa peluang. Para siswa dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat dalam hal STBM dan praktek-praktek kesehatan dan kebersihan yang baik, yang sebaiknya juga mencakup penanganan tempat penggunaan air bersih, penyimpanan air bersih yang layak, penurunan diare, dan penanggulangan demam berdarah dan malaria. Advokasi yang berhubungan dengan gizi, pengembangan anak usia dini dan kinerja pendidikan akan lebih kuat daripada pesan-pesan tentang kesehatan preventif saja. Studi di tempat lain menunjukkan tingkat sifat persuasif dari alasan sosial, seperti keinginan untuk merasakan dan mencium sesuatu yang bersih dan mengikuti norma-norma sosial, dan penggunaan sabun sebagai produk konsumen yang diinginkan.

Sistem data perlu diperkuat. Pemerintah telah menunjukkan perhatiannya dalam mengembangkan program STBM Nasional di Sekolah. Program ini memerlukan sistem pengumpulan dan pemantauan data yang lebih baik daripada yang ada saat ini untuk air bersih dan sanitasi sekolah. Selain itu,

sistem untuk pengujian dan pelaporan kualitas air perlu diperkuat dan data tersebut diumumkan kepada masyarakat.

Keterlibatan baik pemerintah daerah maupun sektor swasta sangat penting untuk meningkatkan sistem perkotaan dan pinggiran kota.

Untuk daerah perkotaan, teknologi inovatif dalam penyediaan sanitasi dan air bersih perlu dikaji. Sistem sanitasi dan pembuangan kotoran di perkotaan memberikan tantangan yang lebih besar, karena teknologi sanitasi standar tidak dapat bekerja karena kepadatan penduduk yang berlebihan, kurangnya ruang, dan dekatnya jarak sumber air. Dalam penyediaan air, desentralisasi teknologi dan pendekatan, seperti pengolahan tempat penggunaan air bersih, akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan sistem sentralisasi, karena berbagai sumber yang berbeda dan banyaknya penyedia.

Untuk memperkuat tata kelola dan kapasitas PDAM, diperlukan pengkajian ulang terhadap berbagai tugas, proses dan akuntabilitas kelembagaan, khususnya kepala PDAM. Tingkat pusat harus menetapkan standar minimal kinerja untuk PDAM, dengan mekanisme pemantauan, penegakan dan insentif.

Lembaga-lembaga tingkat kabupaten memerlukan perencanaan dan sasaran yang tepat untuk membuat sistem perdesaan lebih berkesinambungan. Dalam proses perencanaan mereka, lembaga-lembaga tingkat kabupaten yang berbeda (pekerjaan umum, pemberdayaan desa, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Dinas Perencanaan Kabupaten) harus menetapkan sasaran masyarakat yang sama, sehingga mobilisasi masyarakat dan pelatihan berlangsung dalam komunitas yang sama dimana infrastruktur dibangun. Ini akan mengoptimalk an peran ser ta masyarak at dalam perencanaan, pembangunan dan pengelolaan pelayanan sanitasi dan pasokan air bersih.

Kesinambungan dan keberlanjutan persediaan air bersih perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Satu dari sepuluh rumah tangga mengalami kekurangan persediaan air bersih, khususnya pada musim kemarau. Optimalisasi kualitas, kuantitas dan kesinambungan air bersih memerlukan pengelolaan sumber air yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah telah memulai diskusi kebijakan tentang Rencana Keamanan Air Bersih, yang bertujuan untuk memastik an kual i tas, kuantitas, kontinuitas dan

Adair, T. (2004): 'Child Mortality in Indonesia's Mega-Urban Regions: Measurement, Analysis of Differentials, and Policy Implications.' 12th Biennial Conference of the Australian Population Association, 15-17 September 2004, Canberra.

Bakker, K. and Kooy, M. (2010): 'Citizens without a City: The Techno-Politics of Urban Water Governance', Chapter 5 in Beyond Privatization: Governance failure and the world's urban water crisis, K. Bakker. Ithaca: Cornell University Press.

Bappenas (2010): Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia (Roadmap for Acceleration of MDG Achievement in Indonesia) Jakarta: Bappenas (National Development Planning Agency) Available from: http://www.bappenas.go.id/node/118/2814/peta-jalan-percepatan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia/

Black, R.E., Morris, S.S. and Bryce, J. (2003): 'Where and why are 10 million children dying every year?' Lancet 361: 2226-34.

BPPSPAM (2010): Performance Evaluation of PDAMs in Indonesia. Jakarta: Ministry of Public Works, Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyedia Air Minum (Support Agency for the Development of Drinking Water Supply Systems)BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS.

Crompton, D.W.T. and Savioli, L. (1993): 'Intestinal parasitic infections and urbanization' Bulletin of the World Health Organization, 71 (1): 1-7 Curtis, V. and Cairncross, S. (2003): 'Effect of washing hands with soap on diarrhoea risk in the community: A systematic review.' Lancet Infect Dis 2003; 3: 275-281

Fewtrell, L., Kaufmann, R.B., Kay, D., Enanoria, W., Haller, L. and Colford Jr, J.M. (2005): 'Water, sanitation, and hygiene interventions to reduce diarrhoea in less developed countries: A systematic

review and meta-analysis' Lancet Infect Dis 2005; 5: 42–52

Jakarta Environmental Agency (BPLHD) (2012): Neraca Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta 2011. Jakarta: Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)

Ministry of Health (2008): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

PERPAMSI (2010): Pemetaan Masalah PDAM di Indonesia (Mapping of PDAM Problem in Indonesia). Jakarta: Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Indonesian Water Supply Association)

Unger, A. and Riley, L.W. (2007) Slum health: From understanding to action. PLoS Med 4(10): e295. doi:10.1371/journal.pmed.0040295.

University of Indonesia Center for Health Research (2006): Survei rumah tangga pelayanan kesehatan dasar di 30 kabupaten di 6 provinsi di Indonesia 2005. Final report. Jakarta: USAID - Indonesia Health Services Program

Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): 'Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.' Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

World Bank (2008): Economic Impacts of Sanitation in Indonesia: A five-country study conducted in Cambodia, Indonesia, Lao PDR, the Philippines, and Vietnam under the Economics of Sanitation Initiative (ESI). Research Report August 2008. Jakarta: World Bank, Water and Sanitation Program.

Hubungi [email protected] atau klik www.unicef.or.id

SUM

BER

6 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Page 7: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

5

Cakupan sanitasi pada kelompok-kelompok yang berbeda menunjukkan perbedaan yang jauh lebih kuat daripada cakupan untuk air bersih (Gambar 4). Proporsi rumah tangga perkotaan dengan akses ke fasilitas sanitasi yang lebih baik hampir dua kali lipat dari proporsi rumah tangga perdesaan. Proporsi rumah tangga yang memiliki fasilitas sanitasi yang lebih baik pada kuintil tertinggi adalah 2,6 kali proporsi kuintil terendah. Perbedaan geografis juga terlihat jelas. Tingkat akses ke sanitasi yang lebih baik di provinsi yang berkinerja terbaik (69,8 persen, DKI Jakarta) adalah tiga kali lebih tinggi daripada tingkat akses di provinsi yang berkinerja terburuk (22,4 persen, Nusa Tenggara Timur).

Kontaminasi feses terhadap tanah dan air merupakan hal yang umum di daerah perkotaan, hal ini diakibatkan oleh kepadatan penduduk yang berlebihan, toilet yang kurang sehat dan pembuangan limbah mentah ke tempat terbuka tanpa diolah. Sebagian besar rumah tangga di perkotaan yang menggunakan pompa, sumur atau mata air untuk persediaan air bersih mereka memiliki sumber-sumber air ini dengan jarak 10 meter dari septik tank atau pembuangan toilet. Di Jakarta, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta menunjukkan bahwa 41 persen sumur gali yang digunakan oleh rumah tangga berjarak kurang dari 10 meter dari septik tank. Septik tank jarang disedot dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3 persen penduduk memiliki sistem pembuangan kotoran. Sistem pipa rentan terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif yang disebabkan oleh pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana konsumen menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem perariran kota.Septik tank jarang disedot dan kotoran merembes ke tanah dan air tanah sekitarnya. Laporan Bank Dunia tahun 2007 menyebutkan bahwa hanya 1,3 persen penduduk memiliki sistem pembuangan kotoran. Sistem pipa rentan terhadap kontaminasi akibat kebocoran dan tekanan negatif yang disebabkan oleh pasokan yang tidak teratur. Ini merupakan masalah khusus dimana konsumen menggunakan pompa hisap untuk mendapatkan air bersih dari sistem perariran kota.

Dibandingkan dengan kelompok kaya, kaum miskin perkotaan mengeluarkan biaya yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk air yang berkualitas lebih buruk. Misalnya, sistem pipa kota Jakarta hanya mencakup sebagian kecil penduduk, karena perluasan pelayanan tidak dapat mengimbangi perkembangan penduduk di daerah perkotaan. Penduduk lainnya tergantung pada berbagai sumber lain, termasuk sumur dangkal, penjual air keliling dan jaringan privat yang terhubung dengan sumur yang dalam. Banyak dari sumber-sumber alternatif ini memerlukan biaya yang lebih besar per satuan volume daripada pasokan air ledeng dan sering digunakan oleh masyarakat miskin.

Hambatan

iperlukan investasi yang lebih banyak di sektor air bersih dan sanitasi. Investasi pemerintah di sektor tersebut Dkurang dari satu persen dari PDB. Pemerintah sedang

melakukan upaya untuk mengatasi masalah ini. Setelah dimulainya PPSP (Program Percepatan Sanitasi Nasional) tahun 2010, alokasi anggaran sanitasi oleh pemerintah daerah meningkat sebesar 4 sampai 7 persen pada tahun 2011.

Beberapa kementerian dan lembaga yang terlibat dalam sektor air bersih dan sanitasi memerlukan koordinasi yang lebih kuat. Misalnya, kontraktor yang membangun sistem perairan perdesaan lebih bertanggung jawab kepada lembaga pemerintah, bukan pada pengguna jasa. Tanggung jawab

pemeliharaan sistem ini tidak jelas dan struktur manajemen masyarakat masih lemah. Dalam tahun-tahun terakhir, koordinasi tersebut telah meningkat dengan terbentuknya kelompok kerja yang disebut Pokja AMPL di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten untuk air bersih dan sanitasi lingkungan.

Setelah masa desentralisasi, banyak pemerintah kabupaten terhambat oleh kurangnya keahlian di sektor perairan dan kapasitas kelembagaan. Kabupaten-kabupaten terpencil mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga terampil, yang pada umumnya lebih memilih untuk tinggal dan bekerja di daerah perkotaan.

Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan perilaku kebersihan mereka. Situasi kebersihan seringkali buruk di pusat-pusat kesehatan dan tempat-tempat umum lainnya, seperti pasar lokal dan di antara para penjual makanan jalanan. Sebuah survei di enam provinsi, yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2005 untuk USAID, menyatakan bahwa kurang dari 15 persen ibu menyatakan mencuci tangan mereka dengan sabun setelah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak mereka, sebelum makan, atau sebelum membersihkan pantat anak.

Kunjungan lapangan menunjukkan perlunya meningkatkan kebersihan, air bersih dan sanitasi sekolah, tetapi tidak ada data yang memadaai tentang hal ini. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa 77 persen sekolah menengah pertama dilengkapi dengan persediaan air bersih dari sumur ledeng, yang berarti bahwa lebih dari 10.000 SMP tidak memiliki fasilitas tersebut. Perhitungan proporsi untuk semua 234.711 sekolah dasar dan menengah (2009) di Indonesia menunjukkan skala aksi yang diperlukan. Lebih dari 50.000 sekolah mungkin memerlukan persediaan air bersih.

Pemanfaatan air bersih di perkotaan tidak diatur dengan baik dan secara umum cakupannya kecil. Dari 402 perusahaan daerah air minum (PDAM), yang melayani sebagian besar daerah perkotaan, hanya 31 yang memiliki lebih dari 50.000 sambungan pada tahun 2009. Ukuran yang lebih kecil dari optimal menyebabkan biaya operasi yang tinggi. Pada tahun 2010, angka air bersih yang tidak dipertanggungjawabkan adalah antara 38-40 persen dan hanya 30 PDAM mampu menutup biaya operasional dan pemeliharaan secara penuh. PDAM mengalihkan sebagian pendapatan – diperkirakan sebesar 40 persen - kepada pemerintah kabupaten dengan sedikit tanggung jawab, dan memiliki sedikit atau tidak ada dana tersisa untuk operasi dan pemeliharaan. Tidak mengherankan, sistem persediaan air bersih perkotaan pada umumnya tidak terawat dan rusak. Beberapa PDAM telah mengadakan Kemitraan tetapi kompleksitas negosiasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten telah menyebabkan pembatalan dan penundaan. Sistem pembuangan kotoran dan air limbah di perkotaan pada umumnya kurang berkembang dan tidak ditangani dengan baik. Studi Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap tahun, rumah tangga tanpa fasilitas sanitasi yang layak di Jakarta dan di seluruh Indonesia membuang masing-masing sebesar 260.731 ton dan 6,4 juta ton kotoran manusia ke pengumpulan-pengumpulan air tanpa diolah.

Pengelolaan limbah padat di perkotaan dilakukan sedikit demi sedikit dan tidak diatur dengan baik. Badan yang secara resmi bertanggung jawab terhadap sektor tersebut mengadakan kontrak dengan pengusaha-pengusaha swasta kecil yang mengumpulkan dan membawa sampah dari rumah tangga ke fasilitas penyimpanan sementara untuk selanjutnya diangkut oleh badan tersebut. Rumah tangga membayar pelayanan ini melalui tukang sampah lokal. Penimbunan tanah sedang dikembangkan, tetapi tidak banyak mengalami kemajuan. Fasilitas, peralatan dan transportasi untuk pengelolaan limbah padat tetap terbatas.

5

Peluang untuk melakukan tindakan

ebijakan Nasional untuk Persediaan Air Bersih dan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat memberikan Kkerangka kerja yang memungkinkan. Kebijakan tersebut

memanfaatkan dengan baik pengalaman yang diperoleh di bidang air bersih dan sanitasi di Indonesia dan negara-negara lain. Kebijakan ini mengikuti prinsip-prinsip kuat yang responsif terhadap permintaan, menggunakan pendekatan berbasis masyarakat, dan menekankan perlunya keterlibatan perempuan serta memfokuskan pada prinsip-prinsip operasional , pemeliharaan dan pembiayaan yang berkesinambungan.

Program Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan lima pilarnya merupakan kerangka kerja yang penting. Kelima pilar tersebut adalah penghapusan buang air besar di tempat terbuka, mencuci tangan dengan sabun, pengolahan air rumah tangga, pengelolaan sampah padat dan pengelolaan limbah cair. Kepemimpinan Kementerian Kesehatan sangat penting dalam meningkatkan STBM. Kabupaten dan provinsi perlu mempercepat upaya-upayanya, sesuai dengan standar dan pedoman nasional. Kelompok masyarakat termiskin perlu memiliki akses ke pembiayaan untuk memulai STBM.

STBM memerlukan pendekatan pemasaran sosial yang memobilisasi sejumlah besar penduduk dan meningkatkan permintaan fasilitas sanitasi yang lebih baik. Revitalisasi air bersih dan sanitasi sekolah dengan tema-tema kesehatan dan sosial akan memberikan beberapa peluang. Para siswa dapat menjadi agen perubahan dalam masyarakat dalam hal STBM dan praktek-praktek kesehatan dan kebersihan yang baik, yang sebaiknya juga mencakup penanganan tempat penggunaan air bersih, penyimpanan air bersih yang layak, penurunan diare, dan penanggulangan demam berdarah dan malaria. Advokasi yang berhubungan dengan gizi, pengembangan anak usia dini dan kinerja pendidikan akan lebih kuat daripada pesan-pesan tentang kesehatan preventif saja. Studi di tempat lain menunjukkan tingkat sifat persuasif dari alasan sosial, seperti keinginan untuk merasakan dan mencium sesuatu yang bersih dan mengikuti norma-norma sosial, dan penggunaan sabun sebagai produk konsumen yang diinginkan.

Sistem data perlu diperkuat. Pemerintah telah menunjukkan perhatiannya dalam mengembangkan program STBM Nasional di Sekolah. Program ini memerlukan sistem pengumpulan dan pemantauan data yang lebih baik daripada yang ada saat ini untuk air bersih dan sanitasi sekolah. Selain itu,

sistem untuk pengujian dan pelaporan kualitas air perlu diperkuat dan data tersebut diumumkan kepada masyarakat.

Keterlibatan baik pemerintah daerah maupun sektor swasta sangat penting untuk meningkatkan sistem perkotaan dan pinggiran kota.

Untuk daerah perkotaan, teknologi inovatif dalam penyediaan sanitasi dan air bersih perlu dikaji. Sistem sanitasi dan pembuangan kotoran di perkotaan memberikan tantangan yang lebih besar, karena teknologi sanitasi standar tidak dapat bekerja karena kepadatan penduduk yang berlebihan, kurangnya ruang, dan dekatnya jarak sumber air. Dalam penyediaan air, desentralisasi teknologi dan pendekatan, seperti pengolahan tempat penggunaan air bersih, akan jauh lebih efektif dibandingkan dengan sistem sentralisasi, karena berbagai sumber yang berbeda dan banyaknya penyedia.

Untuk memperkuat tata kelola dan kapasitas PDAM, diperlukan pengkajian ulang terhadap berbagai tugas, proses dan akuntabilitas kelembagaan, khususnya kepala PDAM. Tingkat pusat harus menetapkan standar minimal kinerja untuk PDAM, dengan mekanisme pemantauan, penegakan dan insentif.

Lembaga-lembaga tingkat kabupaten memerlukan perencanaan dan sasaran yang tepat untuk membuat sistem perdesaan lebih berkesinambungan. Dalam proses perencanaan mereka, lembaga-lembaga tingkat kabupaten yang berbeda (pekerjaan umum, pemberdayaan desa, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Dinas Perencanaan Kabupaten) harus menetapkan sasaran masyarakat yang sama, sehingga mobilisasi masyarakat dan pelatihan berlangsung dalam komunitas yang sama dimana infrastruktur dibangun. Ini akan mengoptimalk an peran ser ta masyarak at dalam perencanaan, pembangunan dan pengelolaan pelayanan sanitasi dan pasokan air bersih.

Kesinambungan dan keberlanjutan persediaan air bersih perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Satu dari sepuluh rumah tangga mengalami kekurangan persediaan air bersih, khususnya pada musim kemarau. Optimalisasi kualitas, kuantitas dan kesinambungan air bersih memerlukan pengelolaan sumber air yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah telah memulai diskusi kebijakan tentang Rencana Keamanan Air Bersih, yang bertujuan untuk memastik an kual i tas, kuantitas, kontinuitas dan

Adair, T. (2004): 'Child Mortality in Indonesia's Mega-Urban Regions: Measurement, Analysis of Differentials, and Policy Implications.' 12th Biennial Conference of the Australian Population Association, 15-17 September 2004, Canberra.

Bakker, K. and Kooy, M. (2010): 'Citizens without a City: The Techno-Politics of Urban Water Governance', Chapter 5 in Beyond Privatization: Governance failure and the world's urban water crisis, K. Bakker. Ithaca: Cornell University Press.

Bappenas (2010): Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia (Roadmap for Acceleration of MDG Achievement in Indonesia) Jakarta: Bappenas (National Development Planning Agency) Available from: http://www.bappenas.go.id/node/118/2814/peta-jalan-percepatan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia/

Black, R.E., Morris, S.S. and Bryce, J. (2003): 'Where and why are 10 million children dying every year?' Lancet 361: 2226-34.

BPPSPAM (2010): Performance Evaluation of PDAMs in Indonesia. Jakarta: Ministry of Public Works, Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyedia Air Minum (Support Agency for the Development of Drinking Water Supply Systems)BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS.

Crompton, D.W.T. and Savioli, L. (1993): 'Intestinal parasitic infections and urbanization' Bulletin of the World Health Organization, 71 (1): 1-7 Curtis, V. and Cairncross, S. (2003): 'Effect of washing hands with soap on diarrhoea risk in the community: A systematic review.' Lancet Infect Dis 2003; 3: 275-281

Fewtrell, L., Kaufmann, R.B., Kay, D., Enanoria, W., Haller, L. and Colford Jr, J.M. (2005): 'Water, sanitation, and hygiene interventions to reduce diarrhoea in less developed countries: A systematic

review and meta-analysis' Lancet Infect Dis 2005; 5: 42–52

Jakarta Environmental Agency (BPLHD) (2012): Neraca Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta 2011. Jakarta: Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)

Ministry of Health (2008): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

PERPAMSI (2010): Pemetaan Masalah PDAM di Indonesia (Mapping of PDAM Problem in Indonesia). Jakarta: Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Indonesian Water Supply Association)

Unger, A. and Riley, L.W. (2007) Slum health: From understanding to action. PLoS Med 4(10): e295. doi:10.1371/journal.pmed.0040295.

University of Indonesia Center for Health Research (2006): Survei rumah tangga pelayanan kesehatan dasar di 30 kabupaten di 6 provinsi di Indonesia 2005. Final report. Jakarta: USAID - Indonesia Health Services Program

Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): 'Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.' Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

World Bank (2008): Economic Impacts of Sanitation in Indonesia: A five-country study conducted in Cambodia, Indonesia, Lao PDR, the Philippines, and Vietnam under the Economics of Sanitation Initiative (ESI). Research Report August 2008. Jakarta: World Bank, Water and Sanitation Program.

Hubungi [email protected] atau klik www.unicef.or.id

SUM

BER

6 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Page 8: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

7 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Water, sanitation & hygiene

Critical issues

oor sanitation and hygiene practices and unsafe water contribute to 88 per cent of deaths from diarrhoea Pamongst young children worldwide. In those who survive,

frequent diarrhoea episodes contribute to malnutrition, which prevents the child from reaching his or her full potential. This, in turn, has serious implications for the quality of human capital and the future earning capability of a nation.

In Indonesia, diarrhoea is still a major cause of death amongst children under the age of five. Riskesdas 2007 reports diarrhoea as the cause of 31 per cent of deaths between the ages of 1 month to a year, and 25 per cent of deaths between the ages of one to four years old. Compared to children from households using piped water, diarrhoea rates are higher by 34 per cent amongst young children from households using an open well for drinking water. Moreover, diarrhoea rates are higher by 66 per cent in young children from families practising open defecation in rivers or streams than those in households with a private toilet facility and septic tank. The important role of hygiene is often neglected. Diarrhoea-related deaths and illnesses are largely preventable. Even without improvements in water and sanitation systems, proper hand washing with soap can reduce the risk of diarrhoeal diseases by 42 to 47 per cent.

The situation of the urban poor requires urgent attention. In urban slum areas, inadequate sanitation, poor hygiene practices, overcrowding and contaminated water converge to create unhealthy conditions. The associated diseases include dysentery, cholera and other diarrheal diseases, typhoid, hepatitis, typhus, leptospirosis, malaria, dengue, scabies, chronic respiratory diseases and intestinal parasitic infections. Moreover, poorer families who are less educated tend to have poor hygiene practices, which contribute to spreading disease and increasing the child mortality risk. A study of "mega-urban" Jakarta (called Jabotabek1), Bandung and Surabaya in 2000 showed that the poor living in Jakarta's peri-urban areas are less educated than other Jakartans, having high school completion rates that are only one-fourth of those in the city centre. The same study calculated child mortality rates up to five times higher in Jabotabek's poor peri-urban subdistricts than in Jakarta city centre.

Patterns and trends

n earlier decades, Indonesia made significant progress in increasing access to safe water supply and sanitation Iservices. Water, sanitation & hygiene Critical issues n earlier

decades, Indonesia made significant progress in increasing access to safe water supply and sanitation services. The water and sanitation targets of the seventh Millennium Development Goal (MDG) are to halve by 2015 the proportion of households without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation. For Indonesia, this means achieving access rates of 68.9 and 62.4 per cent, respectively, for safe water and sanitation.

Indonesia is currently not on track to achieve the 2015 MDG target in safe water. Calculations using united for children Indonesia's national MDG criteria for safe water and data from the 2010 census show that Indonesia needs to reach an additional 56.8 million people with safe water supply by 2015. Alternatively, if the criteria of the WHO-UNICEF Joint Monitoring Programme (JMP) for safe water2 were to be used, Indonesia

BY INDONESIA

0% 20% 40% 60% 80% 100%

DI Yogyakarta

Gorontalo

North Maluku

Lampung

Bengkulu

Bali

Maluku

Riau

Jambi

Aceh

Banten

Papua

Bangka Belitung

DKI Jakarta

Central Kalimantan

Riau Islands

West Kalimantan

South Sumatra

East Nusa Tenggara

East Kalimantan

South Sulawesi

West Papua

South Kalimantan

South Sulawesi

West Sumatra

West Sulawesi

North Sumatra

West Java

Central Sulawesi

Southeast Sulawesi

East Java

West Nusa Tenggara

Central Java

Figure 1. Percentage of households with access to improved water sources, by province

Source : Riskesdas 2010. JMP criteria, bottled water not included

ISSUE BRIEFS

8 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

would need to reach an additional 36.3 million people by 2015. Currently, even in the better-performing provinces (Central Java and DI Yogyakarta), around one in three households lacks access to safe water supply (Figure 1).

Comparison with 2007 shows safe water access in 2010 has declined by about seven per cent. This reversal is largely due to a decline in urban areas (by 23 per cent of 2007 levels, Figure 2). Access to safe water in Jakarta has decreased from 63 per cent in 2010 to 28 per cent in 2007, according to Riskesdas. Surprisingly, the two highest wealth quintiles have also seen a decline in safe water access by 8 and 32 per cent respectively compared to 2007. Those who can afford it buy packaged or bottled drinking water: one-third the urban households in Indonesia did so in 2010.

Since 1993, Indonesia has doubled the percentage of households having access to improved sanitation facilities, but it is still not on track to achieve the 2015 MDG sanitation target. To achieve the national MDG target in sanitation will require reaching an additional 26 million people with improved sanitation by 2015. Planning for the longer term requires dealing with even larger numbers: Riskesdas 2010 data show that overall, some 116 million people still lack adequate sanitation.

Open defecation is a health and social issue that needs urgent attention. Some 17 per cent of households in 2010 or about 41 million people still defecate in the open. This includes more than one-third of the population in Gorontalo, West Sulawesi, Central Sulawesi, West Nusa Tenggara and West Kalimantan. The practice is even found in provinces with relatively high sanitation coverage, and amongst the urban population and across all wealth quintiles (Figures 3 and 4).

Sanitation coverage amongst different groups shows much stronger disparities than that for water (Figure 4). The proportion of urban households having access to improved sanitation facilities is nearly twice that of rural households. The proportion of households served by improved sanitation facilities in the highest wealth quintile is 2.6 times that in the lowest wealth quintile. Geographic disparities are also marked. The rate of access to improved sanitation in the best performing province (69.8 per cent, DKI Jakarta) is three times higher than that in the worst performing province (22.4 per cent, East Nusa Tenggara).

Faecal contamination of soil and water is common in urban areas, due to overcrowding, insanitary toilets and the release of raw sewage into the open without treatment. A significant proportion of all urban households using a pump, well or spring for their water supply have these sources within 10 metres of a septic tank or toilet discharge. In Jakarta, the Jakarta Environmental Agency (BPLHD) reports that 41 per cent of dug wells used by households are less than 10 metres from the septic tank. Septic tanks are seldom pumped out and leak sewage into the surrounding soil and groundwater. A 2007 World Bank report mentions that only 1.3 per cent of the population is connected to a sewerage system. Piped systems are prone to contamination due to leaks and negative pressure created by intermittent supply. This is a particular problem where consumers use suction pumps to obtain water from the city system.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Quintile 5

2010

2007

(highest wealth)

(lowest wealth)

Urban

Rural

Indonesia

Figure 2. Percentage of households with access to safe water, by rural/urban and wealth quintile, 2007 & 2010.

Sumber: Riskesdas 2007 dan 2010.

Quintile 4

Quintile 3

Quintile 2

Quintile 1

Improvedsanitationfacilities

Shared/unimprovedsanitation facilities

Open defecation

Figure 3. Percentage of households using different meansof excreta disposal by provinceSource : Riskesdas 2010. Using JMP criteria for improved

East Nusa Tenggara

Gorontalo

Central Kalimantan

West Sulawesi

Papua

West Nusa Tenggara

West Papua

West Sumatra

Southeast Sulawesi

Central Sulawesi

West Kalimantan

Lampung

North Maluku

South Sumatra

Maluku

South Kalimantan

Jambi

Aceh

East Java

INDONESIA

West Java

Riau

Bangka Belitung

Bengkulu

South Sulawesi

Central Java

North Sumatra

Banten

North Sulawesi

East Kalimantan

Bali

DI Yogyakarta

Riau Islands

DKI Jakarta

Figure 4. Percentage households using different means of excreta disposal, by rural/urban & wealth quintile

Source : Riskesdas 2010.

Rural

Urban

Indonesia

Quintile 5(highest wealth)

Improvedsanitation facilities

Open defecation

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Quintile 4

Quintile 3

Quintile 2

Quintile 1(lowest wealth)

Shared/unimprovedsanitation facilities

Page 9: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

7 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Water, sanitation & hygiene

Critical issues

oor sanitation and hygiene practices and unsafe water contribute to 88 per cent of deaths from diarrhoea Pamongst young children worldwide. In those who survive,

frequent diarrhoea episodes contribute to malnutrition, which prevents the child from reaching his or her full potential. This, in turn, has serious implications for the quality of human capital and the future earning capability of a nation.

In Indonesia, diarrhoea is still a major cause of death amongst children under the age of five. Riskesdas 2007 reports diarrhoea as the cause of 31 per cent of deaths between the ages of 1 month to a year, and 25 per cent of deaths between the ages of one to four years old. Compared to children from households using piped water, diarrhoea rates are higher by 34 per cent amongst young children from households using an open well for drinking water. Moreover, diarrhoea rates are higher by 66 per cent in young children from families practising open defecation in rivers or streams than those in households with a private toilet facility and septic tank. The important role of hygiene is often neglected. Diarrhoea-related deaths and illnesses are largely preventable. Even without improvements in water and sanitation systems, proper hand washing with soap can reduce the risk of diarrhoeal diseases by 42 to 47 per cent.

The situation of the urban poor requires urgent attention. In urban slum areas, inadequate sanitation, poor hygiene practices, overcrowding and contaminated water converge to create unhealthy conditions. The associated diseases include dysentery, cholera and other diarrheal diseases, typhoid, hepatitis, typhus, leptospirosis, malaria, dengue, scabies, chronic respiratory diseases and intestinal parasitic infections. Moreover, poorer families who are less educated tend to have poor hygiene practices, which contribute to spreading disease and increasing the child mortality risk. A study of "mega-urban" Jakarta (called Jabotabek1), Bandung and Surabaya in 2000 showed that the poor living in Jakarta's peri-urban areas are less educated than other Jakartans, having high school completion rates that are only one-fourth of those in the city centre. The same study calculated child mortality rates up to five times higher in Jabotabek's poor peri-urban subdistricts than in Jakarta city centre.

Patterns and trends

n earlier decades, Indonesia made significant progress in increasing access to safe water supply and sanitation Iservices. Water, sanitation & hygiene Critical issues n earlier

decades, Indonesia made significant progress in increasing access to safe water supply and sanitation services. The water and sanitation targets of the seventh Millennium Development Goal (MDG) are to halve by 2015 the proportion of households without sustainable access to safe drinking water and basic sanitation. For Indonesia, this means achieving access rates of 68.9 and 62.4 per cent, respectively, for safe water and sanitation.

Indonesia is currently not on track to achieve the 2015 MDG target in safe water. Calculations using united for children Indonesia's national MDG criteria for safe water and data from the 2010 census show that Indonesia needs to reach an additional 56.8 million people with safe water supply by 2015. Alternatively, if the criteria of the WHO-UNICEF Joint Monitoring Programme (JMP) for safe water2 were to be used, Indonesia

BY INDONESIA

0% 20% 40% 60% 80% 100%

DI Yogyakarta

Gorontalo

North Maluku

Lampung

Bengkulu

Bali

Maluku

Riau

Jambi

Aceh

Banten

Papua

Bangka Belitung

DKI Jakarta

Central Kalimantan

Riau Islands

West Kalimantan

South Sumatra

East Nusa Tenggara

East Kalimantan

South Sulawesi

West Papua

South Kalimantan

South Sulawesi

West Sumatra

West Sulawesi

North Sumatra

West Java

Central Sulawesi

Southeast Sulawesi

East Java

West Nusa Tenggara

Central Java

Figure 1. Percentage of households with access to improved water sources, by province

Source : Riskesdas 2010. JMP criteria, bottled water not included

ISSUE BRIEFS

8 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

would need to reach an additional 36.3 million people by 2015. Currently, even in the better-performing provinces (Central Java and DI Yogyakarta), around one in three households lacks access to safe water supply (Figure 1).

Comparison with 2007 shows safe water access in 2010 has declined by about seven per cent. This reversal is largely due to a decline in urban areas (by 23 per cent of 2007 levels, Figure 2). Access to safe water in Jakarta has decreased from 63 per cent in 2010 to 28 per cent in 2007, according to Riskesdas. Surprisingly, the two highest wealth quintiles have also seen a decline in safe water access by 8 and 32 per cent respectively compared to 2007. Those who can afford it buy packaged or bottled drinking water: one-third the urban households in Indonesia did so in 2010.

Since 1993, Indonesia has doubled the percentage of households having access to improved sanitation facilities, but it is still not on track to achieve the 2015 MDG sanitation target. To achieve the national MDG target in sanitation will require reaching an additional 26 million people with improved sanitation by 2015. Planning for the longer term requires dealing with even larger numbers: Riskesdas 2010 data show that overall, some 116 million people still lack adequate sanitation.

Open defecation is a health and social issue that needs urgent attention. Some 17 per cent of households in 2010 or about 41 million people still defecate in the open. This includes more than one-third of the population in Gorontalo, West Sulawesi, Central Sulawesi, West Nusa Tenggara and West Kalimantan. The practice is even found in provinces with relatively high sanitation coverage, and amongst the urban population and across all wealth quintiles (Figures 3 and 4).

Sanitation coverage amongst different groups shows much stronger disparities than that for water (Figure 4). The proportion of urban households having access to improved sanitation facilities is nearly twice that of rural households. The proportion of households served by improved sanitation facilities in the highest wealth quintile is 2.6 times that in the lowest wealth quintile. Geographic disparities are also marked. The rate of access to improved sanitation in the best performing province (69.8 per cent, DKI Jakarta) is three times higher than that in the worst performing province (22.4 per cent, East Nusa Tenggara).

Faecal contamination of soil and water is common in urban areas, due to overcrowding, insanitary toilets and the release of raw sewage into the open without treatment. A significant proportion of all urban households using a pump, well or spring for their water supply have these sources within 10 metres of a septic tank or toilet discharge. In Jakarta, the Jakarta Environmental Agency (BPLHD) reports that 41 per cent of dug wells used by households are less than 10 metres from the septic tank. Septic tanks are seldom pumped out and leak sewage into the surrounding soil and groundwater. A 2007 World Bank report mentions that only 1.3 per cent of the population is connected to a sewerage system. Piped systems are prone to contamination due to leaks and negative pressure created by intermittent supply. This is a particular problem where consumers use suction pumps to obtain water from the city system.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Quintile 5

2010

2007

(highest wealth)

(lowest wealth)

Urban

Rural

Indonesia

Figure 2. Percentage of households with access to safe water, by rural/urban and wealth quintile, 2007 & 2010.

Sumber: Riskesdas 2007 dan 2010.

Quintile 4

Quintile 3

Quintile 2

Quintile 1

Improvedsanitationfacilities

Shared/unimprovedsanitation facilities

Open defecation

Figure 3. Percentage of households using different meansof excreta disposal by provinceSource : Riskesdas 2010. Using JMP criteria for improved

East Nusa Tenggara

Gorontalo

Central Kalimantan

West Sulawesi

Papua

West Nusa Tenggara

West Papua

West Sumatra

Southeast Sulawesi

Central Sulawesi

West Kalimantan

Lampung

North Maluku

South Sumatra

Maluku

South Kalimantan

Jambi

Aceh

East Java

INDONESIA

West Java

Riau

Bangka Belitung

Bengkulu

South Sulawesi

Central Java

North Sumatra

Banten

North Sulawesi

East Kalimantan

Bali

DI Yogyakarta

Riau Islands

DKI Jakarta

Figure 4. Percentage households using different means of excreta disposal, by rural/urban & wealth quintile

Source : Riskesdas 2010.

Rural

Urban

Indonesia

Quintile 5(highest wealth)

Improvedsanitation facilities

Open defecation

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Quintile 4

Quintile 3

Quintile 2

Quintile 1(lowest wealth)

Shared/unimprovedsanitation facilities

Page 10: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

Compared to the rich, the urban poor pay a larger proportion of their income for water that is of poorer quality. For example, Jakarta's municipal piped system covers only a small proportion of its population, as service expansion cannot keep pace with the burgeoning population in urban areas. The rest of the population rely on a variety of sources, including shallow wells, water vendors and private networks connected to deep wells. Many of these alternative sources cost more per unit volume than piped water supply and are often used by the poor.

Barriers

ore investment is needed in the water and sanitation sector. The government investment in the sector is less than one per cent of GDP. The government is M

making efforts to address the issue. Following the initiation of PPSP (the National Sanitation Acceleration Programme) in 2010, the sanitation budget allocation by local governments increased in 2011 by 4 to 7 per cent.

Different ministries and agencies involved in the water and sanitation sectors need stronger coordination. For example, contractors who build rural water systems are answerable to government agencies, rather than to the users of services. Responsibilities for maintenance are unclear and community management structures are weak. In recent years, the coordination has improved with the establishment of working groups called Pokja AMPL at national, provincial and district levels on drinking water and environmental sanitation.

Following decentralization, many district governments are constrained by a lack of sector expertise and institutional capacity. Remote districts find it difficult to recruit skilled personnel, who generally prefer to live and work in urban areas.

Communities need to improve their hygiene awareness and practices. The hygiene situation is often poor in health centres and other public places, such as local markets and among street food vendors. A survey of six provinces, conducted by the University of Indonesia in 2005 for USAID, found that less than 15 per cent of mothers reported washing their hands with soap after defecation, before preparing food, before feeding their child, before eating, or before cleaning the child's bottom.

Field visits indicate the need to improve school hygiene, water and sanitation, but robust data are lacking in this respect. Data from the Ministry of Education and Culture indicate that 77 per cent of junior secondary schools are equipped with safe water supply from pipes or tube wells, meaning that over 10,000 junior secondary schools are without such facilities. Extrapolating the proportion to all of Indonesia's 234,711 primary and secondary schools (2009) indicates the scale of action required. More than 50,000 schools are likely to need safe water supply.

Urban water utilities are poorly governed and generally small in coverage. Of the 402 local government-owned water utilities (PDAM), which serve mostly urban areas, only 31 had more than 50,000 connections in 2009. The smaller than optimal size leads to high operating costs. In 2010, the levels of unaccounted-for-water were between 38-40 per cent and only 30 PDAMs were able to recover full operating and maintenance costs. PDAMs divert a significant proportion of revenue – as much as an estimated 40 per cent – to the district government with little accountability, and have little or no funds left for operations and maintenance. Not surprisingly, urban water supply systems are generally in a state of neglect and deterioration. Some PDAMs have entered into Public-Public Partnerships, but the

complexities of negotiations between the central, provincial and district governments have caused cancellations and delays.

Urban sewerage and wastewater systems are generally under-developed and poorly managed. A World Bank study estimates that each year, households without proper sanitation facilities in Jakarta and across Indonesia release respectively 260,731 tons and 6.4 million tons of human faeces into water bodies without treatment.

Arrangements for urban solid waste management are piecemeal and unregulated. The agency officially in charge of the sector contracts with small private entrepreneurs who collect and bring the waste from households to temporary storage facilities for onward transport by the agency. Neighbourhoods pay for these services through the local collectors. Landfills are being developed but progress is slow. Facilities, equipment and transport for solid waste management remain limited.

he National Policy for Community-Based Water Supply and Environmental Sanitation provides an enabling Tframework. The policy makes good use of lessons

learned in the water and sanitation sector in Indonesia and other countries. It follows sound principles of demand-responsive, community-based approaches, emphasizing the need for women's involvement, and it focuses on the principles of sustainable operation, maintenance and cost-recovery.

The National Programme of Community-Based Total Sanitation (STBM) and its five pillars form a useful framework. The five pillars are the elimination of open defecation, hand washing with soap, household water treatment, solid waste management and liquid waste management. The leadership of the Ministry of Health is crucial in scaling up STBM. Districts and provinces will need to accelerate efforts, keeping to national standards and guidelines. The poorest groups will need to have access to financing in order to initiate STBM.

STBM needs social marketing approaches that mobilize large numbers of people and scale up the supply of and demand for improved sanitation facilities. Revitalizing school water and sanitation around health and social themes offers several opportunities. Students could become change agents in their communities for STBM and good health and hygiene practices, which should include point-of-use water treatment, appropriate water storage, diarrhoea reduction, and the prevention of dengue and malaria. Advocacy that makes the links with nutrition, early childhood development and education performance would be more powerful than messages on preventive health alone. Studies elsewhere suggest the persuasiveness of social reasons, such as the desire to feel and smell clean and follow social norms, and the use of soap as a desirable consumer product.

Data systems need to be strengthened. The Government has expressed an interest indeveloping a National Schools STBM programme. This will require better data collection and monitoring systems than currently exist for school water and sanitation. In addition, systems for water quality testing and reporting need to be strengthened and the data made public.

Opportunities for action

The involvement of both local government and private sector is essential for improving urban and peri-urban systems.

For urban areas, innovative technologies in sanitation and water provision need to be explored. Urban sanitation and sewerage systems present the greater challenge, since standard sanitation technologies may not work due to overcrowding, lack of space, and the proximity of water sources. In water supply, decentralized technologies and approaches, such as point-of-use water treatment, would be much more effective than centralized systems, due to the range of disparate sources and multiple providers.

Strengthening PDAMs' governance and capacity will require the review of various roles, institutional processes and accountabilities, especially of PDAM heads. The central level should establish minimum standards of performance for PDAMs, with monitoring, enforcement and incentive mechanisms.

District agencies need convergent planning and targeting to make rural systems more sustainable. In their planning processes, the different district level agencies (public works, rural empowerment, district health office and the district planning office) should target the same communities, so that community mobilization and training takes place in the same communities where the infrastructure is built. This would optimize community participation in planning, construction and management of water supply and sanitation services.

Increasingly, the sustainability and continuity of water supply demand attention. One in ten households already suffers from irregular water supply, especially in the dry season. Optimizing water quality, quantity and sustainability will require water resource management involving a broad array of stakeholders. The government has initiated policy discussions on Water Safety Plans, which are aimed at ensuring the quality, quantity, continuity and affordability of water services.

Adair, T. (2004): 'Child Mortality in Indonesia's Mega-Urban Regions: Measurement, Analysis of Differentials, and Policy Implications.' 12th Biennial Conference of the Australian Population Association, 15-17 September 2004, Canberra.

Bakker, K. and Kooy, M. (2010): 'Citizens without a City: The Techno-Politics of Urban Water Governance', Chapter 5 in Beyond Privatization: Governance failure and the world's urban water crisis, K. Bakker. Ithaca: Cornell University Press.

Bappenas (2010): Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia (Roadmap for Acceleration of MDG Achievement in Indonesia) Jakarta: Bappenas (National Development Planning Agency) Available from: http://www.bappenas.go.id/node/118/2814/peta-jalan-percepatan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia/

Black, R.E., Morris, S.S. and Bryce, J. (2003): 'Where and why are 10 million children dying every year?' Lancet 361: 2226-34.

BPPSPAM (2010): Performance Evaluation of PDAMs in Indonesia. Jakarta: Ministry of Public Works, Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyedia Air Minum (Support Agency for the Development of Drinking Water Supply Systems)

BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS.

Crompton, D.W.T. and Savioli, L. (1993): 'Intestinal parasitic infections and urbanization' Bulletin of the World Health Organization, 71 (1): 1-7

Curtis, V. and Cairncross, S. (2003): 'Effect of washing hands with soap on diarrhoea risk in the community: A systematic review.' Lancet Infect Dis 2003; 3: 275-281

Fewtrell, L., Kaufmann, R.B., Kay, D., Enanoria, W., Haller, L. and Colford Jr, J.M. (2005): 'Water, sanitation, and hygiene interventions to reduce diarrhoea in less developed countries: A systematic review and meta-analysis' Lancet Infect Dis 2005; 5: 42–52

Jakarta Environmental Agency (BPLHD) (2012): Neraca Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta 2011. Jakarta: Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)

Ministry of Health (2008): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

PERPAMSI (2010): Pemetaan Masalah PDAM di Indonesia (Mapping of PDAM Problem in Indonesia). Jakarta: Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Indonesian Water Supply Association)

Unger, A. and Riley, L.W. (2007) Slum health: From understanding to action. PLoS Med 4(10): e295. doi:10.1371/journal.pmed.0040295.

University of Indonesia Center for Health Research (2006): Survei rumah tangga pelayanan kesehatan dasar di 30 kabupaten di 6 provinsi di Indonesia 2005. Final report. Jakarta: USAID - Indonesia Health Services Program

Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): 'Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.' Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

World Bank (2008): Economic Impacts of Sanitation in Indonesia: A five-country study conducted in Cambodia, Indonesia, Lao PDR, the Philippines, and Vietnam under the Economics of Sanitation Initiative (ESI). Research Report August 2008. Jakarta: World Bank, Water and Sanitation Program.

RES

OU

RC

ES

1 The urban area surrounding Jakarta; includes Bekasi; and Bogor and Depok in West Java Province; Tangerang and South Tangerang in Banten Province.2 JMP criteria do not specify the distance between the water supply and excreta disposal site and are therefore less rigorous

9 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 10 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Page 11: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

Compared to the rich, the urban poor pay a larger proportion of their income for water that is of poorer quality. For example, Jakarta's municipal piped system covers only a small proportion of its population, as service expansion cannot keep pace with the burgeoning population in urban areas. The rest of the population rely on a variety of sources, including shallow wells, water vendors and private networks connected to deep wells. Many of these alternative sources cost more per unit volume than piped water supply and are often used by the poor.

Barriers

ore investment is needed in the water and sanitation sector. The government investment in the sector is less than one per cent of GDP. The government is M

making efforts to address the issue. Following the initiation of PPSP (the National Sanitation Acceleration Programme) in 2010, the sanitation budget allocation by local governments increased in 2011 by 4 to 7 per cent.

Different ministries and agencies involved in the water and sanitation sectors need stronger coordination. For example, contractors who build rural water systems are answerable to government agencies, rather than to the users of services. Responsibilities for maintenance are unclear and community management structures are weak. In recent years, the coordination has improved with the establishment of working groups called Pokja AMPL at national, provincial and district levels on drinking water and environmental sanitation.

Following decentralization, many district governments are constrained by a lack of sector expertise and institutional capacity. Remote districts find it difficult to recruit skilled personnel, who generally prefer to live and work in urban areas.

Communities need to improve their hygiene awareness and practices. The hygiene situation is often poor in health centres and other public places, such as local markets and among street food vendors. A survey of six provinces, conducted by the University of Indonesia in 2005 for USAID, found that less than 15 per cent of mothers reported washing their hands with soap after defecation, before preparing food, before feeding their child, before eating, or before cleaning the child's bottom.

Field visits indicate the need to improve school hygiene, water and sanitation, but robust data are lacking in this respect. Data from the Ministry of Education and Culture indicate that 77 per cent of junior secondary schools are equipped with safe water supply from pipes or tube wells, meaning that over 10,000 junior secondary schools are without such facilities. Extrapolating the proportion to all of Indonesia's 234,711 primary and secondary schools (2009) indicates the scale of action required. More than 50,000 schools are likely to need safe water supply.

Urban water utilities are poorly governed and generally small in coverage. Of the 402 local government-owned water utilities (PDAM), which serve mostly urban areas, only 31 had more than 50,000 connections in 2009. The smaller than optimal size leads to high operating costs. In 2010, the levels of unaccounted-for-water were between 38-40 per cent and only 30 PDAMs were able to recover full operating and maintenance costs. PDAMs divert a significant proportion of revenue – as much as an estimated 40 per cent – to the district government with little accountability, and have little or no funds left for operations and maintenance. Not surprisingly, urban water supply systems are generally in a state of neglect and deterioration. Some PDAMs have entered into Public-Public Partnerships, but the

complexities of negotiations between the central, provincial and district governments have caused cancellations and delays.

Urban sewerage and wastewater systems are generally under-developed and poorly managed. A World Bank study estimates that each year, households without proper sanitation facilities in Jakarta and across Indonesia release respectively 260,731 tons and 6.4 million tons of human faeces into water bodies without treatment.

Arrangements for urban solid waste management are piecemeal and unregulated. The agency officially in charge of the sector contracts with small private entrepreneurs who collect and bring the waste from households to temporary storage facilities for onward transport by the agency. Neighbourhoods pay for these services through the local collectors. Landfills are being developed but progress is slow. Facilities, equipment and transport for solid waste management remain limited.

he National Policy for Community-Based Water Supply and Environmental Sanitation provides an enabling Tframework. The policy makes good use of lessons

learned in the water and sanitation sector in Indonesia and other countries. It follows sound principles of demand-responsive, community-based approaches, emphasizing the need for women's involvement, and it focuses on the principles of sustainable operation, maintenance and cost-recovery.

The National Programme of Community-Based Total Sanitation (STBM) and its five pillars form a useful framework. The five pillars are the elimination of open defecation, hand washing with soap, household water treatment, solid waste management and liquid waste management. The leadership of the Ministry of Health is crucial in scaling up STBM. Districts and provinces will need to accelerate efforts, keeping to national standards and guidelines. The poorest groups will need to have access to financing in order to initiate STBM.

STBM needs social marketing approaches that mobilize large numbers of people and scale up the supply of and demand for improved sanitation facilities. Revitalizing school water and sanitation around health and social themes offers several opportunities. Students could become change agents in their communities for STBM and good health and hygiene practices, which should include point-of-use water treatment, appropriate water storage, diarrhoea reduction, and the prevention of dengue and malaria. Advocacy that makes the links with nutrition, early childhood development and education performance would be more powerful than messages on preventive health alone. Studies elsewhere suggest the persuasiveness of social reasons, such as the desire to feel and smell clean and follow social norms, and the use of soap as a desirable consumer product.

Data systems need to be strengthened. The Government has expressed an interest indeveloping a National Schools STBM programme. This will require better data collection and monitoring systems than currently exist for school water and sanitation. In addition, systems for water quality testing and reporting need to be strengthened and the data made public.

Opportunities for action

The involvement of both local government and private sector is essential for improving urban and peri-urban systems.

For urban areas, innovative technologies in sanitation and water provision need to be explored. Urban sanitation and sewerage systems present the greater challenge, since standard sanitation technologies may not work due to overcrowding, lack of space, and the proximity of water sources. In water supply, decentralized technologies and approaches, such as point-of-use water treatment, would be much more effective than centralized systems, due to the range of disparate sources and multiple providers.

Strengthening PDAMs' governance and capacity will require the review of various roles, institutional processes and accountabilities, especially of PDAM heads. The central level should establish minimum standards of performance for PDAMs, with monitoring, enforcement and incentive mechanisms.

District agencies need convergent planning and targeting to make rural systems more sustainable. In their planning processes, the different district level agencies (public works, rural empowerment, district health office and the district planning office) should target the same communities, so that community mobilization and training takes place in the same communities where the infrastructure is built. This would optimize community participation in planning, construction and management of water supply and sanitation services.

Increasingly, the sustainability and continuity of water supply demand attention. One in ten households already suffers from irregular water supply, especially in the dry season. Optimizing water quality, quantity and sustainability will require water resource management involving a broad array of stakeholders. The government has initiated policy discussions on Water Safety Plans, which are aimed at ensuring the quality, quantity, continuity and affordability of water services.

Adair, T. (2004): 'Child Mortality in Indonesia's Mega-Urban Regions: Measurement, Analysis of Differentials, and Policy Implications.' 12th Biennial Conference of the Australian Population Association, 15-17 September 2004, Canberra.

Bakker, K. and Kooy, M. (2010): 'Citizens without a City: The Techno-Politics of Urban Water Governance', Chapter 5 in Beyond Privatization: Governance failure and the world's urban water crisis, K. Bakker. Ithaca: Cornell University Press.

Bappenas (2010): Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia (Roadmap for Acceleration of MDG Achievement in Indonesia) Jakarta: Bappenas (National Development Planning Agency) Available from: http://www.bappenas.go.id/node/118/2814/peta-jalan-percepatan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia/

Black, R.E., Morris, S.S. and Bryce, J. (2003): 'Where and why are 10 million children dying every year?' Lancet 361: 2226-34.

BPPSPAM (2010): Performance Evaluation of PDAMs in Indonesia. Jakarta: Ministry of Public Works, Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyedia Air Minum (Support Agency for the Development of Drinking Water Supply Systems)

BPS-Statistics Indonesia and Macro International (2008): Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS 2007). Calverton, Maryland, USA: Macro International and Jakarta: BPS.

Crompton, D.W.T. and Savioli, L. (1993): 'Intestinal parasitic infections and urbanization' Bulletin of the World Health Organization, 71 (1): 1-7

Curtis, V. and Cairncross, S. (2003): 'Effect of washing hands with soap on diarrhoea risk in the community: A systematic review.' Lancet Infect Dis 2003; 3: 275-281

Fewtrell, L., Kaufmann, R.B., Kay, D., Enanoria, W., Haller, L. and Colford Jr, J.M. (2005): 'Water, sanitation, and hygiene interventions to reduce diarrhoea in less developed countries: A systematic review and meta-analysis' Lancet Infect Dis 2005; 5: 42–52

Jakarta Environmental Agency (BPLHD) (2012): Neraca Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta 2011. Jakarta: Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)

Ministry of Health (2008): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

Ministry of Health (2011): Laporan Nasional: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Jakarta: Ministry of Health, National Institute of Health Research and Development.

PERPAMSI (2010): Pemetaan Masalah PDAM di Indonesia (Mapping of PDAM Problem in Indonesia). Jakarta: Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Indonesian Water Supply Association)

Unger, A. and Riley, L.W. (2007) Slum health: From understanding to action. PLoS Med 4(10): e295. doi:10.1371/journal.pmed.0040295.

University of Indonesia Center for Health Research (2006): Survei rumah tangga pelayanan kesehatan dasar di 30 kabupaten di 6 provinsi di Indonesia 2005. Final report. Jakarta: USAID - Indonesia Health Services Program

Victora, C.G., Adair, L., Fall, C., Hallal, P.C., Martorell, R., Richter, L. and Sachdev, H.S. (2008): 'Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital.' Maternal and Child Undernutrition 2, Lancet 371: 340-357

World Bank (2008): Economic Impacts of Sanitation in Indonesia: A five-country study conducted in Cambodia, Indonesia, Lao PDR, the Philippines, and Vietnam under the Economics of Sanitation Initiative (ESI). Research Report August 2008. Jakarta: World Bank, Water and Sanitation Program.

RES

OU

RC

ES

1 The urban area surrounding Jakarta; includes Bekasi; and Bogor and Depok in West Java Province; Tangerang and South Tangerang in Banten Province.2 JMP criteria do not specify the distance between the water supply and excreta disposal site and are therefore less rigorous

9 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 10 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Page 12: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Sekarang Air Bersih Bisa Dirasakan dari Depan Rumah

11 12 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

ACC E S S

Sekarang Air Bersih Bisa Dirasakan dari Depan Rumah

Sebuah Cerita dari Wambuloli dan Bone Marambe

ir bersih bagi masyarakat desa Wambuloli dan Bone Marambe yang terdiri dari 388 kepala keluarga di AKabupaten Buton, Sulawesi Tenggara merupakan

barang yang mahal dan susah didapat. Untuk mendapatkannya mereka harus menempuh perjalanan dengan naik perahu ke pulau di seberang desa selama sekitar 30 menit (dengan syarat sedang tidak musim angin barat) itupun masih harus membayar Rp. 1.000,- untuk 60 liter air yang mereka ambil. Akibatnya aktifitas mencari nafkah banyak tersita karena persoalan air. Kalaupun memaksa untuk mengambil air di lokasi yang lebih dekat dengan desa mereka (sekitar 100 meter dari pemukiman warga), kualitas air yang didapat jauh dari kriteria air yang sehat. Warna yang tidak begitu jernih dan rasa yang payau, berdampak munculnya penyakit seperti mutaber dan penyakit kulit bagi warga di kedua desa tersebut.

Awal tahun 1980-an pemerintah mulai memberi perhatian pada kondisi tersebut. Perhatian ini muncul karena usulan yang seringkali diutarakan dalam musrenbangdes di dua desa tersebut. PAH (Penadah Air Hujan) berupa bak-bak besar mulai dibangun, tapi fungsinya tidak berlangsung lama dinikmati. Masyarakat yang sedari awal tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan PAH tidak begitu mempedulikan ketika mulai muncul kerusakan di bak-bak tersebut. Akhirnya sisa dari pembangunan PAH waktu itu sekarang tidak terekam lagi jejaknya.

Tapi itu cerita dulu. Sejak tahun 2005 warga dua desa tersebut yang ketika itu didampingi oleh SINTESA yang bermitra dengan sebuah LSM dari Jerman (Komite Jerman) menyepakati bahwa kebutuhan akan air bersih menjadi salah satu kunci pokok untuk merubah hidup warga desa tersebut. Kesepakatan yang di lakuk an secara par t is ipati f ak hirnya menyetujui pembangunan sarana/saluran air bersih yang diambil dari mata air yang terletak di kedalaman 50 meter di Desa Wambuloli. Alhasil 200 KK di Desa Wambuloli dan 188 KK di Desa Bone Marambe saat ini bisa mengakses air bersih dengan mudah, murah, dan berkualitas langsung dari depan rumah mereka. Sedikit demi sedikit kehidupan masyarakat di dua desa tersebut

l e a n wa t e r i s e x p e n s i v e a n d hard to find for the Cc o m m u n i t y i n

Wambuloli and Bone Marambe villages, Buton in Southeast Sulawesi, which consist of 388 households. They must travel by boat for + 30 minutes to the island opposite their village to get water (provided it is not the time of year with westerly winds). They must also pay Rp. 1 000 for every 60 litres of water that they get. As a result, livelihood activities are compromised due to water issues. Even when they are forced to get water from a location closer to their village (+100 meters from their residence) the quality of water does not meet healthy water standards. The water is not clear, has a brackish taste and has caused residents of these two villages to become ill with diarrhoea and vomiting and skin diseases.

In the early 1980's the government began to pay attention to the water problem. This concern arouse due to the frequent proposals submitted in the musrenbangdes (consultative village development planning) in these two villages. Large rain water collection tanks (PAH) were built but they were not enjoyed for long. From the outset, the community wasn't involved in the development process for the rainwater tanks and so they were not that concerned when the tanks started to get damaged. In addition, there are now no records of the remaining funds for the development of the PAH at that time.

But that was the story back then. Since 2005, when SINTESA, a partner of a German NGO (Komite Jerman) began to facilitate these two villages, residents agreed that the need for clean water was one of the core keys to transforming their lives. Finally, an agreement that was reached in a participatory manner approved the development of clean water facilities/channels connected to a water spring located 50 meters underground in Wambuloli village. Consequently, 22 households in Wambuloli village and 188 households in Bone Marambe village can now easily access clean

mulai berubah, terlebih untuk mutu kesehatan. Tetapi masalah yang muncul adalah belum ada kesepakatan terkait dengan pengelolaan dan perawatan sarana air bersih tersebut.

Sejak tahun 2010, SINTESA dengan dukungan ACCESS Phase II melakukan pendampingan di Desa Wambuloli dalam hal penguatan PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Alam) dan kelembagaan ekonomi rakyat. Salah satu yang merasakan dampak dari pendampingan tersebut adalah BPSABS (Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi), sebuah organisasi yang dibentuk oleh warga untuk mengelola sarana air bersih di kedua desa tersebut. Pendampingan yang dilakukan oleh SINTESA adalah untuk memperkuat kepengurusan BPSABS Wambuloli dengan memberikan pelatihan teknis dan manajemen pengelolaan BPSABS. Penguatan ini dirasa menjadi hal penting karena pada awal berdirinya BPSABS, teknik pengelolaan serta pengembangan organisasi belum dipahami oleh para pengurus BPSABS. Selain melakukan penguatan kepengurusan BPSABS, pendampingan lainnya adalah melakukan penyadaran dan pelatihan tentang bagaimana menjaga sumber mata air yang terletak di Desa Wambuloli tetap terjaga.

BPSABS yang dibentuk secara partisipatif oleh warga dan dipercaya untuk mengelola sumber mata air di Desa Wambuloli sukses dalam melaksanakan perannya. Kesuksesan tersebut tidak lepas dari pendampingan yang dilakukan oleh SINTESA bersama dengan ACCESS Phase II yang didukung pula dengan aturan dan mekanisme yang jelas, dari iuran pelanggan, biaya abonemen pelanggan, tarif dasar air, biaya pemasangan baru, dan kenaikan harga dasar air semuanya disepakati bersama oleh seluruh warga. Kesepakatan bersama juga diambil bersama untuk memberikan masing-masing 5% dari jumlah tagihan air kepada kas desa untuk pembangunan desa dan dana cadangan, serta 20% untuk insentif pengurus BPSABS, serta 70% sebagai pengembalian dana infestasi. Hal tersebut yang membuat sarana air bersih di Desa Wambuloli dan Bone Marambe terpelihara dan berkelanjutan hingga saat ini. Terlebih karena masyarakat selalu dilibatkan dalam setiap keputusan yang diambil oleh BPSABS. Intinya, semua yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam pengelolaan serta pemanfaatan sumber air, pengurus beserta warga dua desa tersebut terlibat aktif secara partisipatif.

Maka tidaklah mengherankan ketika BPSABS Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur pada tahun 2011 ditetapkan oleh BAPPENAS sebagai salah satu penerima “Penghargaan Inisiatif Pembangunan AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan)”. BPSABS ini memenangkan kategori komunitas terbaik yang menjalankan prakarsa pengelolaan air minum secara swadaya.

Masyarakat Desa Wambuloli dan Bone Marambe sekarang sudah mempunyai waktu yang lebih banyak untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka. Para perempuan di dua desa tersebut sekarang sudah memiliki banyak waktu untuk membantu menambah penghasilan keluarga mereka dengan menenun sarung. Dulu, waktu mereka banyak terpakai untuk mengambil air, tapi sekarang mereka tinggal memutar kran yang ada di depan rumah, di dapur, atau penampungan air di dalam rumah. Mereka sudah tidak lagi harus mengkayuh sampan ke pulau seberang untuk bisa menikmati air bersih. “Sekarang kami tinggal putar kran dan air bersih yang menjadi impian kami sudah ada di depan mata. Ditambah lagi biaya yang kami

3keluarkan jauh lebih murah, hanya dengan Rp. 1.500,- per m yang bisa dijangkau oleh semua warga di desa kami,” ujar Ibu Hasimu (45) yang berprofesi sebagai petani rumput laut dan pembuat tenun sarung. Pekerjaan yang banyak dilakukan oleh penduduk di dua desa tersebut.

water that is cheap and in front of their houses. Little by little, the lives of the residents in these two villages have begun to change, particularly in terms of their health. However, a problem that has arisen is that there is still no agreement related to the management and maintenance of this clean water facility. Since 2010, SINTESA with the support of ACCESS Phase II has provided mentoring to Wambuloli village to strengthen natural resource management and community economic institutes. BPSABS - Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi (Clean Water and Sanitation Board), an organisation established by residents to manage clean water facilities in both villages has really benefited from this mentoring. SINTESA provided mentoring to strengthen the management of BPSABS Wambuloli through technical training and BPSABS management training. BPSABS felt this strengthening was really important because when they were first established, BPSABS management did not have an understanding of management techniques or organisational development. Aside from strengthening the management of BPSABS, SINTESA has also provided awareness and training on how to maintain spring located in Wambuloli in a sustainable way.

BPSABS was formed by citizens in a participatory manner and has been trusted in its role to successfully manage the water spring in Wambuloli village. This success is related to the mentoring provided by SINTESA together with ACCESS Phase II and also supported by clear regulations and mechanisms like customers fees, cost of customers monthly fee, basic water tariff, cost of new installations and increases to the basic cost of water, which are unanimously agreed upon by all citizens. A collective agreement was also made for everyone to contribute 5% of the total water bill to the village treasury for village development and allocation funds and 20% for BPSABS management incentives and 70% as a return on the investment funds. This is what has prompted the maintenance and sustainability of the clean water facility in Wambuloli and Bone Marambe villages to this day, particularly, because the communities have always been involved in every decision made by BPSABS. The management and citizens of both villages were actively involved in a participatory manner in everything related to decision making in management and utilisation of the water spring.

So, it was not surprising when BAPPENAS selected Wambuloli village BPSABS in Mawasangka Timur sub-district as one of the recipients of the 'AMPL Development Initiative Award (Drinking Water and Healthy Environment) in 2011. BPSABS won the category for best community to develop drinking water management initiatives in a self-reliant manner.

The Wambuloli and Bone Marambe village communities now have more time to earn an income for their families. The women in these two villages now have plenty of time to weave sarongs to help supplement the family income. Previously, a lot of their time was used to collect water but now they only have to turn on the tap in front of their house, in the kitchen or at the water tank on their property. They no longer have to take the boat out to the island to enjoy clean water. “Now we only have to turn the tap on and the clean water we dreamed of is right there in front of our eyes. What's

3more, the cost is far cheaper at Rp. 1.500 per m , which is affordable for everyone in our village,” said Ms Hasimu (45) who works as a seaweed farmer and a weaver as do many others in these two villages.

Now I Can Access Clean Water in the Front of My House A Story from Wambuloli and Bone Marambe

mengenai program ACCESS Tahap II, Anda dapat menghubungi Widya P Setyanto (RYAN) | Media & Communication Officer | ACCESSJl. Bet Ngandang I , No.1 xx, Sanur Bali | Indonesia Tel (+62) 361 288428 | Fax (62) 361 287509 | MP (+62) 811 380 8925 E: [email protected] W: www.access-indo.or.id

Australia Community Development andCivil Society Strengthening Scheme(ACCESS) Phase II

Australian Aid Managed by IDSS on behalf of AusAID

OLEH WIDYA P SETYANTO

Page 13: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Sekarang Air Bersih Bisa Dirasakan dari Depan Rumah

11 12 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

ACC E S S

Sekarang Air Bersih Bisa Dirasakan dari Depan Rumah

Sebuah Cerita dari Wambuloli dan Bone Marambe

ir bersih bagi masyarakat desa Wambuloli dan Bone Marambe yang terdiri dari 388 kepala keluarga di AKabupaten Buton, Sulawesi Tenggara merupakan

barang yang mahal dan susah didapat. Untuk mendapatkannya mereka harus menempuh perjalanan dengan naik perahu ke pulau di seberang desa selama sekitar 30 menit (dengan syarat sedang tidak musim angin barat) itupun masih harus membayar Rp. 1.000,- untuk 60 liter air yang mereka ambil. Akibatnya aktifitas mencari nafkah banyak tersita karena persoalan air. Kalaupun memaksa untuk mengambil air di lokasi yang lebih dekat dengan desa mereka (sekitar 100 meter dari pemukiman warga), kualitas air yang didapat jauh dari kriteria air yang sehat. Warna yang tidak begitu jernih dan rasa yang payau, berdampak munculnya penyakit seperti mutaber dan penyakit kulit bagi warga di kedua desa tersebut.

Awal tahun 1980-an pemerintah mulai memberi perhatian pada kondisi tersebut. Perhatian ini muncul karena usulan yang seringkali diutarakan dalam musrenbangdes di dua desa tersebut. PAH (Penadah Air Hujan) berupa bak-bak besar mulai dibangun, tapi fungsinya tidak berlangsung lama dinikmati. Masyarakat yang sedari awal tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan PAH tidak begitu mempedulikan ketika mulai muncul kerusakan di bak-bak tersebut. Akhirnya sisa dari pembangunan PAH waktu itu sekarang tidak terekam lagi jejaknya.

Tapi itu cerita dulu. Sejak tahun 2005 warga dua desa tersebut yang ketika itu didampingi oleh SINTESA yang bermitra dengan sebuah LSM dari Jerman (Komite Jerman) menyepakati bahwa kebutuhan akan air bersih menjadi salah satu kunci pokok untuk merubah hidup warga desa tersebut. Kesepakatan yang di lakuk an secara par t is ipati f ak hirnya menyetujui pembangunan sarana/saluran air bersih yang diambil dari mata air yang terletak di kedalaman 50 meter di Desa Wambuloli. Alhasil 200 KK di Desa Wambuloli dan 188 KK di Desa Bone Marambe saat ini bisa mengakses air bersih dengan mudah, murah, dan berkualitas langsung dari depan rumah mereka. Sedikit demi sedikit kehidupan masyarakat di dua desa tersebut

l e a n wa t e r i s e x p e n s i v e a n d hard to find for the Cc o m m u n i t y i n

Wambuloli and Bone Marambe villages, Buton in Southeast Sulawesi, which consist of 388 households. They must travel by boat for + 30 minutes to the island opposite their village to get water (provided it is not the time of year with westerly winds). They must also pay Rp. 1 000 for every 60 litres of water that they get. As a result, livelihood activities are compromised due to water issues. Even when they are forced to get water from a location closer to their village (+100 meters from their residence) the quality of water does not meet healthy water standards. The water is not clear, has a brackish taste and has caused residents of these two villages to become ill with diarrhoea and vomiting and skin diseases.

In the early 1980's the government began to pay attention to the water problem. This concern arouse due to the frequent proposals submitted in the musrenbangdes (consultative village development planning) in these two villages. Large rain water collection tanks (PAH) were built but they were not enjoyed for long. From the outset, the community wasn't involved in the development process for the rainwater tanks and so they were not that concerned when the tanks started to get damaged. In addition, there are now no records of the remaining funds for the development of the PAH at that time.

But that was the story back then. Since 2005, when SINTESA, a partner of a German NGO (Komite Jerman) began to facilitate these two villages, residents agreed that the need for clean water was one of the core keys to transforming their lives. Finally, an agreement that was reached in a participatory manner approved the development of clean water facilities/channels connected to a water spring located 50 meters underground in Wambuloli village. Consequently, 22 households in Wambuloli village and 188 households in Bone Marambe village can now easily access clean

mulai berubah, terlebih untuk mutu kesehatan. Tetapi masalah yang muncul adalah belum ada kesepakatan terkait dengan pengelolaan dan perawatan sarana air bersih tersebut.

Sejak tahun 2010, SINTESA dengan dukungan ACCESS Phase II melakukan pendampingan di Desa Wambuloli dalam hal penguatan PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Alam) dan kelembagaan ekonomi rakyat. Salah satu yang merasakan dampak dari pendampingan tersebut adalah BPSABS (Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi), sebuah organisasi yang dibentuk oleh warga untuk mengelola sarana air bersih di kedua desa tersebut. Pendampingan yang dilakukan oleh SINTESA adalah untuk memperkuat kepengurusan BPSABS Wambuloli dengan memberikan pelatihan teknis dan manajemen pengelolaan BPSABS. Penguatan ini dirasa menjadi hal penting karena pada awal berdirinya BPSABS, teknik pengelolaan serta pengembangan organisasi belum dipahami oleh para pengurus BPSABS. Selain melakukan penguatan kepengurusan BPSABS, pendampingan lainnya adalah melakukan penyadaran dan pelatihan tentang bagaimana menjaga sumber mata air yang terletak di Desa Wambuloli tetap terjaga.

BPSABS yang dibentuk secara partisipatif oleh warga dan dipercaya untuk mengelola sumber mata air di Desa Wambuloli sukses dalam melaksanakan perannya. Kesuksesan tersebut tidak lepas dari pendampingan yang dilakukan oleh SINTESA bersama dengan ACCESS Phase II yang didukung pula dengan aturan dan mekanisme yang jelas, dari iuran pelanggan, biaya abonemen pelanggan, tarif dasar air, biaya pemasangan baru, dan kenaikan harga dasar air semuanya disepakati bersama oleh seluruh warga. Kesepakatan bersama juga diambil bersama untuk memberikan masing-masing 5% dari jumlah tagihan air kepada kas desa untuk pembangunan desa dan dana cadangan, serta 20% untuk insentif pengurus BPSABS, serta 70% sebagai pengembalian dana infestasi. Hal tersebut yang membuat sarana air bersih di Desa Wambuloli dan Bone Marambe terpelihara dan berkelanjutan hingga saat ini. Terlebih karena masyarakat selalu dilibatkan dalam setiap keputusan yang diambil oleh BPSABS. Intinya, semua yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam pengelolaan serta pemanfaatan sumber air, pengurus beserta warga dua desa tersebut terlibat aktif secara partisipatif.

Maka tidaklah mengherankan ketika BPSABS Desa Wambuloli Kecamatan Mawasangka Timur pada tahun 2011 ditetapkan oleh BAPPENAS sebagai salah satu penerima “Penghargaan Inisiatif Pembangunan AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan)”. BPSABS ini memenangkan kategori komunitas terbaik yang menjalankan prakarsa pengelolaan air minum secara swadaya.

Masyarakat Desa Wambuloli dan Bone Marambe sekarang sudah mempunyai waktu yang lebih banyak untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka. Para perempuan di dua desa tersebut sekarang sudah memiliki banyak waktu untuk membantu menambah penghasilan keluarga mereka dengan menenun sarung. Dulu, waktu mereka banyak terpakai untuk mengambil air, tapi sekarang mereka tinggal memutar kran yang ada di depan rumah, di dapur, atau penampungan air di dalam rumah. Mereka sudah tidak lagi harus mengkayuh sampan ke pulau seberang untuk bisa menikmati air bersih. “Sekarang kami tinggal putar kran dan air bersih yang menjadi impian kami sudah ada di depan mata. Ditambah lagi biaya yang kami

3keluarkan jauh lebih murah, hanya dengan Rp. 1.500,- per m yang bisa dijangkau oleh semua warga di desa kami,” ujar Ibu Hasimu (45) yang berprofesi sebagai petani rumput laut dan pembuat tenun sarung. Pekerjaan yang banyak dilakukan oleh penduduk di dua desa tersebut.

water that is cheap and in front of their houses. Little by little, the lives of the residents in these two villages have begun to change, particularly in terms of their health. However, a problem that has arisen is that there is still no agreement related to the management and maintenance of this clean water facility. Since 2010, SINTESA with the support of ACCESS Phase II has provided mentoring to Wambuloli village to strengthen natural resource management and community economic institutes. BPSABS - Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi (Clean Water and Sanitation Board), an organisation established by residents to manage clean water facilities in both villages has really benefited from this mentoring. SINTESA provided mentoring to strengthen the management of BPSABS Wambuloli through technical training and BPSABS management training. BPSABS felt this strengthening was really important because when they were first established, BPSABS management did not have an understanding of management techniques or organisational development. Aside from strengthening the management of BPSABS, SINTESA has also provided awareness and training on how to maintain spring located in Wambuloli in a sustainable way.

BPSABS was formed by citizens in a participatory manner and has been trusted in its role to successfully manage the water spring in Wambuloli village. This success is related to the mentoring provided by SINTESA together with ACCESS Phase II and also supported by clear regulations and mechanisms like customers fees, cost of customers monthly fee, basic water tariff, cost of new installations and increases to the basic cost of water, which are unanimously agreed upon by all citizens. A collective agreement was also made for everyone to contribute 5% of the total water bill to the village treasury for village development and allocation funds and 20% for BPSABS management incentives and 70% as a return on the investment funds. This is what has prompted the maintenance and sustainability of the clean water facility in Wambuloli and Bone Marambe villages to this day, particularly, because the communities have always been involved in every decision made by BPSABS. The management and citizens of both villages were actively involved in a participatory manner in everything related to decision making in management and utilisation of the water spring.

So, it was not surprising when BAPPENAS selected Wambuloli village BPSABS in Mawasangka Timur sub-district as one of the recipients of the 'AMPL Development Initiative Award (Drinking Water and Healthy Environment) in 2011. BPSABS won the category for best community to develop drinking water management initiatives in a self-reliant manner.

The Wambuloli and Bone Marambe village communities now have more time to earn an income for their families. The women in these two villages now have plenty of time to weave sarongs to help supplement the family income. Previously, a lot of their time was used to collect water but now they only have to turn on the tap in front of their house, in the kitchen or at the water tank on their property. They no longer have to take the boat out to the island to enjoy clean water. “Now we only have to turn the tap on and the clean water we dreamed of is right there in front of our eyes. What's

3more, the cost is far cheaper at Rp. 1.500 per m , which is affordable for everyone in our village,” said Ms Hasimu (45) who works as a seaweed farmer and a weaver as do many others in these two villages.

Now I Can Access Clean Water in the Front of My House A Story from Wambuloli and Bone Marambe

mengenai program ACCESS Tahap II, Anda dapat menghubungi Widya P Setyanto (RYAN) | Media & Communication Officer | ACCESSJl. Bet Ngandang I , No.1 xx, Sanur Bali | Indonesia Tel (+62) 361 288428 | Fax (62) 361 287509 | MP (+62) 811 380 8925 E: [email protected] W: www.access-indo.or.id

Australia Community Development andCivil Society Strengthening Scheme(ACCESS) Phase II

Australian Aid Managed by IDSS on behalf of AusAID

OLEH WIDYA P SETYANTO

Page 14: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

LINGKUNGAN

egiatan yang diikuti 30 peserta dari berbagai daerah di Flores dan Sumba ini difasilitasi oleh Burung Indonesia-KProgram Mbeliling. Workshop ini dimaksudkan untuk

menciptakan ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman antar forum masyarakat. Pembelajaran bersama ini diharapkan dapat mendorong FKPM sebagai ujung tombak pelestarian Bentang Alam Mbeliling (BAM) agar bisa meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan kreatifitasnya dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan di kawasan.

Workshop dibuka oleh Team Leader Burung Indonesia-Program Mbeliling, Tiburtius Hani. Dalam presentasinya, Tiburtius menyatakan bahwa salah satu upaya pelestarian kawasan Mbeliling adalah dengan menjaganya tetap produktif sehingga dapat memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Itulah mengapa juga perlu memahami bukan hanya soal advokasi dan pengorganisasian, melainkan juga bagaimana meningkatkan posisi tawar masyarakat dalam hal ekonomi serta pemanfaatkan komoditi secara berkelanjutan. Karena itu sebagai ujung tombak pelestarian BAM, FPKM perlu belajar dari forum masyarakat di daerah lain.

Menanggapi hal ini Ketua FPKM, Ferdinand Hamin, menyatakan bahwa masyarakat di kawasan Mbeliling sangat terbantu dengan adanya inisiatif dan pendampingan untuk melestarikan alam. "Selama ini masyarakat di kawasan belum menjadi aktor utama dalam pengelolaan kawasan yang berkelanjutan, sehingga perlu terus-menerus membangun kapasitasnya untuk membuktikan potensinya," papar Ferdinand di sela-sela kegiatan.

Selama dua hari lamanya, masyarakat dari berbagai wilayah seperti Bajawa, Sumba, Nagakeo dan Manggarai Barat, saling berbagi pengalaman, kiat dan semangat demi keberlanjutan sosial dan lingkungan. Sehingga pembelajaran dan diskusi ini tidak saja berguna untuk FPKM dan masyarakat di kawasan Mbeliling, melainkan seluruh masyarakat yang terkait dalam aktivitas pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat.

Umbu Sangadji, salah seorang partisipan dari Sumba, menyatakan bahwa dirinya banyak mendapatkan pelajaran dari proses ini. "Saya mendapatkan pengetahuan baru dan semangat dari teman-teman di Flores, yang bisa saya teruskan ke masyarakat di daerah saya sehingga bisa lebih maju dan berkembang seperti di sini," kata Koordinator Jaringan JAMATADA, Sumba ini.

Karena latar belakang dan fokus masing-masing organisasi dan lembaga yang berbeda-beda, proses pembelajaran menjadi lebih beragam. Di hari pertama peserta berdiskusi mengenai proses advokasi dan pengorganisasian masyarakat sebagai upaya untuk mengembalikan hak kelola rakyat, sementara di hari kedua peserta berdiskusi dan berbagi pengalaman mengenai praktek pertanian organik dan pemasaran bersama.

Klemes, yang tergabung dalam Asosiasi Petani Organik Mbay (ATOM) mengaku sangat bahagia bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada forum masyarakat di daerah lain. "Ilmu harus dibagi agar kebaikan dapat dimiliki oleh semua orang," ujar petani yang telah bertani organik sejak 2010 lalu ini.

Bentang Alam Mbeliling merupakan salah satu daerah penting secara ekologis di Flores. Kawasan seluas 94 ribu hektar ini adalah habitat bagi 3 dari 4 spesies burung endemik Flores. Selain itu hasil valuasi (penghitungan) ekonomi Burung Indonesia mencatat bahwa nilai ekonomi komoditas BAM mencapai 14 mil iar rupiah per tahun. Jumlah ini cukup untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga BAM perlu dilestarikan melalui pemanfaatan yang arif dan berkelanjutan. Singkatnya, belajar dari keberhasilan maupun kegagalan pihak lain adalah bukti keseriusan melestarikan BAM yang telah menyediakan layanan alam dan potensi produktif yang cukup tinggi.

alah satu wujud keseriusan untuk melestarikan lingkungan adalah dengan belajar dari pengetahuan dan pengalaman masyarakat di tempat lain. Inilah yang Smelandasi diadakannya "Workshop Pembelajaran Bersama" Forum Peduli

Kawasan Mbeliling (FPKM) dengan Organisasi/Forum Masyarakat Sipil di Flores dan Sumba, yang diadakan di Hotel Pelangi, Labuan Bajo, pada 5-6 Desember 2012.

Upaya Serius Lestarikan Bentang Alam MbelilingOLEH IRFAN SAPUTRA

image : www.burung.org

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

mengenai program pelestarian bentang alam Mbeliling, Anda dapat menghubungi penulis melalui email [email protected]

13 14 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

esa Warloka berbatasan dengan Cagar Alam Wae Wuul di bagian barat Flores. M inimnya akses untuk Dmemanfaatkan hasil hutan mendorong 65% warga

Warloka menggantungkan pendapatan mereka pada usaha bercocok tanam padi dan pisang serta membudidayakan ternak. Tiga puluh lima persen sisanya mencari peruntungan dengan menjadi nelayan.

Lantaran Warloka memiliki curah hujan rendah dan minim sarana irigasi, petani hanya menanam padi sekali setahun pada musim hujan. Mereka sadar bahwa menanam padi di sawah tadah hujan pada musim kemarau tidak akan memberikan hasil optimal, karena minimnya pengairan dan tingginya biaya produksi.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, sejak 2011 Kelompok Tani Kompo Nepa yang difasilitasi Burung Indonesia menginisiasi pengoptimalan produktivitas sawah di desa mereka. Caranya, saat kemarau, petani menanami sawah tadah hujan tersebut dengan kacang hijau. Selain menambah penghasilan, usaha ini juga meningkatkan produktivitas sawah. Cara ini juga merupakan salah satu implementasi kesepakatan pelestarian alam desa untuk menjaga alam dan hutan desa mereka. Dengan meningkatnya penghasilan, warga tak perlu mengeksplotasi hutan guna bertahan hidup.

Mereka sengaja memilih kacang-kacangan karena tanaman ini tahan kekeringan dan dapat memberikan asupan nitrogen ke tanah. Sementara itu, petani di sawah irigasi menanam padi dengan sayuran. Saat ini tercatat delapan orang dari Kelompok Tani Kompo Nepa menjadi perintis budidaya sayuran dan kacang hijau, masing-masing di lahan seluas ¼ hektar dan ½ hektar.

Penanaman pertama membuahkan hasil cukup bagus. Petani di sawah irigasi berhasil menuai 360 kg sayuran. Hasil ini setara Rp3,5-juta. Para petani tersebut menjual langsung sayuran dari sawah mereka ke pasar tradisional mingguan di Warloka. Mereka juga berhasil menyisakan sebagian hasil panen untuk benih. Para petani di sawah tadah hujan yang menanam kacang hijau pun merasakan hal serupa.

Sebagai gambaran, biaya produksi menanam padi di sawah seluas 1 hektar adalah Rp3.420.000. Biaya tersebut meliputi biaya pengolahan lahan, penanaman, pupuk, pestisida, dan biaya panen. Dari lahan itu, petani biasanya memperoleh 3 ton gabah atau 1,8 ton beras senilai Rp7,2-juta. Sehingga, keuntungan yang diperoleh petani padi di Warloka rata-rata Rp3.780.000.

Sementara itu, biaya produksi penanaman kacang hijau di 1 hektar lahan hanya Rp1.665.000. Penanamannya pun lebih mudah dan tidak membutuhkan pupuk maupun pestisida. Hasil panen yang diperoleh rata-rata 890 kg kacang hijau senilai Rp.10.680.000. Dengan demikian, petani memperoleh laba Rp.9.015.000 dari menanam kacang hijau. Laba tambahan yang diperoleh petani di sawah tadah hujan itu justru lebih dari dua kali lipat keuntungan yang mereka peroleh dari menanam padi. Manfaat lain, produktivitas padi di sawah mereka pun meningkat hingga 30% karena lahan mereka menjadi lebih subur.

Kini, para petani di Kelompok Kompo Nepa rutin menanam padi dan sayuran tiap musim kemarau. Mereka juga telah mampu memilah benih yang bagus untuk musim tanam selanjutnya. Jejak mereka juga telah diikuti petani lain di luar kelompok. Tercatat 2 orang petani lain di Warloka mengikuti jejak mereka menanam kacang hijau dan 5 petani lain menanam sayuran. Anggota Kelompok Tani Kompo Nepa berharap makin banyak petani lain yang mencontoh usaha mereka.

Sayur dan Kacang Hijau: Harapan Baru Petani WarlokaOLEH LODI & HILDA LIONATA

Untuk informasi lebih lanjut : Anda dapat menghubungi penulis melalui email [email protected]

ndonesia yang sangat luas dari barat hingga timur masih belum bisa memberikan pembangunan yang adil. Masalah ini telah sering menjadi pembahasan. Lantas bagaimana pandangan generasi muda dari kawasan timur soal ini?Gustav Yustisian, salah satu delegasi I

World Model United Nations yang digelar di Melbourne, mengatakan generasi muda memiliki peranan penting untuk membantu percepatan pembangunan Indonesia Timur. Menurutnya, para pemuda di Indonesia tidak kalah dan memiliki kualitas yang sama dengan para pemuda di kawasan barat, seperti di Pulau Jawa. Yang membedakannya hanyalah soal kesempatan dan infrastruktur. Untuk masalah kesempatan ini, Gustav berpendapat sudah saatnya untuk Indonesia Timur lebih menjemput bola, dibandingkan dengan hanya menunggu. "Yang perlu dilakukan sebenarnya adalah inisiatif dari pemuda-pemuda dari Indonesia untuk bagaimana bisa berkembang," ujarnya. "Mereka harus berani untuk tidak hanya menunggu kesempatan, tapi mencari kesempatan tersebut. Dan bila kesempatan tersebut tercapai, maka bagikanlah kepada teman-teman yang masih ada di kawasan Timur." Gustav membandingkan Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi dimana ia berasal, dengan Bali. Ia menyayangkan karena hingga saat ini baru Bali yang bisa berhasil mempromosikan pariwisatanya. "Sumbawa sebenarnya memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Bahkan jika dibandingkan dengan Bali, Sumbawa memiliki kelebihan tersendiri." Gustav juga meminta agar pemerintah pusat di Jakarta memperbaiki sistem birokrasi, yang menurutnya, "jangan dibikin susah dan juga perhatikan masyarakat di daerah timur". Selain itu juga ia memiliki saran agar ibu kota dipindahkan ke Indonesia sebelah timur, agar memiliki kesempatan berkembang yang sama. Sementara untuk pemerintahan lokal di Indonesia Timur, Gustav berharap agar lebih ikut secara aktif, melalui tindakan nyata tidak melulu memberikan janji-janji.

Perlunya inisiatif generasi muda untuk percepat pembangunan Indonesia Timur

Gustav Yustisian

Foto: Erwin Renaldi

Page 15: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

LINGKUNGAN

egiatan yang diikuti 30 peserta dari berbagai daerah di Flores dan Sumba ini difasilitasi oleh Burung Indonesia-KProgram Mbeliling. Workshop ini dimaksudkan untuk

menciptakan ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman antar forum masyarakat. Pembelajaran bersama ini diharapkan dapat mendorong FKPM sebagai ujung tombak pelestarian Bentang Alam Mbeliling (BAM) agar bisa meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan kreatifitasnya dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan di kawasan.

Workshop dibuka oleh Team Leader Burung Indonesia-Program Mbeliling, Tiburtius Hani. Dalam presentasinya, Tiburtius menyatakan bahwa salah satu upaya pelestarian kawasan Mbeliling adalah dengan menjaganya tetap produktif sehingga dapat memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Itulah mengapa juga perlu memahami bukan hanya soal advokasi dan pengorganisasian, melainkan juga bagaimana meningkatkan posisi tawar masyarakat dalam hal ekonomi serta pemanfaatkan komoditi secara berkelanjutan. Karena itu sebagai ujung tombak pelestarian BAM, FPKM perlu belajar dari forum masyarakat di daerah lain.

Menanggapi hal ini Ketua FPKM, Ferdinand Hamin, menyatakan bahwa masyarakat di kawasan Mbeliling sangat terbantu dengan adanya inisiatif dan pendampingan untuk melestarikan alam. "Selama ini masyarakat di kawasan belum menjadi aktor utama dalam pengelolaan kawasan yang berkelanjutan, sehingga perlu terus-menerus membangun kapasitasnya untuk membuktikan potensinya," papar Ferdinand di sela-sela kegiatan.

Selama dua hari lamanya, masyarakat dari berbagai wilayah seperti Bajawa, Sumba, Nagakeo dan Manggarai Barat, saling berbagi pengalaman, kiat dan semangat demi keberlanjutan sosial dan lingkungan. Sehingga pembelajaran dan diskusi ini tidak saja berguna untuk FPKM dan masyarakat di kawasan Mbeliling, melainkan seluruh masyarakat yang terkait dalam aktivitas pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat.

Umbu Sangadji, salah seorang partisipan dari Sumba, menyatakan bahwa dirinya banyak mendapatkan pelajaran dari proses ini. "Saya mendapatkan pengetahuan baru dan semangat dari teman-teman di Flores, yang bisa saya teruskan ke masyarakat di daerah saya sehingga bisa lebih maju dan berkembang seperti di sini," kata Koordinator Jaringan JAMATADA, Sumba ini.

Karena latar belakang dan fokus masing-masing organisasi dan lembaga yang berbeda-beda, proses pembelajaran menjadi lebih beragam. Di hari pertama peserta berdiskusi mengenai proses advokasi dan pengorganisasian masyarakat sebagai upaya untuk mengembalikan hak kelola rakyat, sementara di hari kedua peserta berdiskusi dan berbagi pengalaman mengenai praktek pertanian organik dan pemasaran bersama.

Klemes, yang tergabung dalam Asosiasi Petani Organik Mbay (ATOM) mengaku sangat bahagia bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada forum masyarakat di daerah lain. "Ilmu harus dibagi agar kebaikan dapat dimiliki oleh semua orang," ujar petani yang telah bertani organik sejak 2010 lalu ini.

Bentang Alam Mbeliling merupakan salah satu daerah penting secara ekologis di Flores. Kawasan seluas 94 ribu hektar ini adalah habitat bagi 3 dari 4 spesies burung endemik Flores. Selain itu hasil valuasi (penghitungan) ekonomi Burung Indonesia mencatat bahwa nilai ekonomi komoditas BAM mencapai 14 mil iar rupiah per tahun. Jumlah ini cukup untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga BAM perlu dilestarikan melalui pemanfaatan yang arif dan berkelanjutan. Singkatnya, belajar dari keberhasilan maupun kegagalan pihak lain adalah bukti keseriusan melestarikan BAM yang telah menyediakan layanan alam dan potensi produktif yang cukup tinggi.

alah satu wujud keseriusan untuk melestarikan lingkungan adalah dengan belajar dari pengetahuan dan pengalaman masyarakat di tempat lain. Inilah yang Smelandasi diadakannya "Workshop Pembelajaran Bersama" Forum Peduli

Kawasan Mbeliling (FPKM) dengan Organisasi/Forum Masyarakat Sipil di Flores dan Sumba, yang diadakan di Hotel Pelangi, Labuan Bajo, pada 5-6 Desember 2012.

Upaya Serius Lestarikan Bentang Alam MbelilingOLEH IRFAN SAPUTRA

image : www.burung.org

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

mengenai program pelestarian bentang alam Mbeliling, Anda dapat menghubungi penulis melalui email [email protected]

13 14 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

esa Warloka berbatasan dengan Cagar Alam Wae Wuul di bagian barat Flores. M inimnya akses untuk Dmemanfaatkan hasil hutan mendorong 65% warga

Warloka menggantungkan pendapatan mereka pada usaha bercocok tanam padi dan pisang serta membudidayakan ternak. Tiga puluh lima persen sisanya mencari peruntungan dengan menjadi nelayan.

Lantaran Warloka memiliki curah hujan rendah dan minim sarana irigasi, petani hanya menanam padi sekali setahun pada musim hujan. Mereka sadar bahwa menanam padi di sawah tadah hujan pada musim kemarau tidak akan memberikan hasil optimal, karena minimnya pengairan dan tingginya biaya produksi.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, sejak 2011 Kelompok Tani Kompo Nepa yang difasilitasi Burung Indonesia menginisiasi pengoptimalan produktivitas sawah di desa mereka. Caranya, saat kemarau, petani menanami sawah tadah hujan tersebut dengan kacang hijau. Selain menambah penghasilan, usaha ini juga meningkatkan produktivitas sawah. Cara ini juga merupakan salah satu implementasi kesepakatan pelestarian alam desa untuk menjaga alam dan hutan desa mereka. Dengan meningkatnya penghasilan, warga tak perlu mengeksplotasi hutan guna bertahan hidup.

Mereka sengaja memilih kacang-kacangan karena tanaman ini tahan kekeringan dan dapat memberikan asupan nitrogen ke tanah. Sementara itu, petani di sawah irigasi menanam padi dengan sayuran. Saat ini tercatat delapan orang dari Kelompok Tani Kompo Nepa menjadi perintis budidaya sayuran dan kacang hijau, masing-masing di lahan seluas ¼ hektar dan ½ hektar.

Penanaman pertama membuahkan hasil cukup bagus. Petani di sawah irigasi berhasil menuai 360 kg sayuran. Hasil ini setara Rp3,5-juta. Para petani tersebut menjual langsung sayuran dari sawah mereka ke pasar tradisional mingguan di Warloka. Mereka juga berhasil menyisakan sebagian hasil panen untuk benih. Para petani di sawah tadah hujan yang menanam kacang hijau pun merasakan hal serupa.

Sebagai gambaran, biaya produksi menanam padi di sawah seluas 1 hektar adalah Rp3.420.000. Biaya tersebut meliputi biaya pengolahan lahan, penanaman, pupuk, pestisida, dan biaya panen. Dari lahan itu, petani biasanya memperoleh 3 ton gabah atau 1,8 ton beras senilai Rp7,2-juta. Sehingga, keuntungan yang diperoleh petani padi di Warloka rata-rata Rp3.780.000.

Sementara itu, biaya produksi penanaman kacang hijau di 1 hektar lahan hanya Rp1.665.000. Penanamannya pun lebih mudah dan tidak membutuhkan pupuk maupun pestisida. Hasil panen yang diperoleh rata-rata 890 kg kacang hijau senilai Rp.10.680.000. Dengan demikian, petani memperoleh laba Rp.9.015.000 dari menanam kacang hijau. Laba tambahan yang diperoleh petani di sawah tadah hujan itu justru lebih dari dua kali lipat keuntungan yang mereka peroleh dari menanam padi. Manfaat lain, produktivitas padi di sawah mereka pun meningkat hingga 30% karena lahan mereka menjadi lebih subur.

Kini, para petani di Kelompok Kompo Nepa rutin menanam padi dan sayuran tiap musim kemarau. Mereka juga telah mampu memilah benih yang bagus untuk musim tanam selanjutnya. Jejak mereka juga telah diikuti petani lain di luar kelompok. Tercatat 2 orang petani lain di Warloka mengikuti jejak mereka menanam kacang hijau dan 5 petani lain menanam sayuran. Anggota Kelompok Tani Kompo Nepa berharap makin banyak petani lain yang mencontoh usaha mereka.

Sayur dan Kacang Hijau: Harapan Baru Petani WarlokaOLEH LODI & HILDA LIONATA

Untuk informasi lebih lanjut : Anda dapat menghubungi penulis melalui email [email protected]

ndonesia yang sangat luas dari barat hingga timur masih belum bisa memberikan pembangunan yang adil. Masalah ini telah sering menjadi pembahasan. Lantas bagaimana pandangan generasi muda dari kawasan timur soal ini?Gustav Yustisian, salah satu delegasi I

World Model United Nations yang digelar di Melbourne, mengatakan generasi muda memiliki peranan penting untuk membantu percepatan pembangunan Indonesia Timur. Menurutnya, para pemuda di Indonesia tidak kalah dan memiliki kualitas yang sama dengan para pemuda di kawasan barat, seperti di Pulau Jawa. Yang membedakannya hanyalah soal kesempatan dan infrastruktur. Untuk masalah kesempatan ini, Gustav berpendapat sudah saatnya untuk Indonesia Timur lebih menjemput bola, dibandingkan dengan hanya menunggu. "Yang perlu dilakukan sebenarnya adalah inisiatif dari pemuda-pemuda dari Indonesia untuk bagaimana bisa berkembang," ujarnya. "Mereka harus berani untuk tidak hanya menunggu kesempatan, tapi mencari kesempatan tersebut. Dan bila kesempatan tersebut tercapai, maka bagikanlah kepada teman-teman yang masih ada di kawasan Timur." Gustav membandingkan Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi dimana ia berasal, dengan Bali. Ia menyayangkan karena hingga saat ini baru Bali yang bisa berhasil mempromosikan pariwisatanya. "Sumbawa sebenarnya memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Bahkan jika dibandingkan dengan Bali, Sumbawa memiliki kelebihan tersendiri." Gustav juga meminta agar pemerintah pusat di Jakarta memperbaiki sistem birokrasi, yang menurutnya, "jangan dibikin susah dan juga perhatikan masyarakat di daerah timur". Selain itu juga ia memiliki saran agar ibu kota dipindahkan ke Indonesia sebelah timur, agar memiliki kesempatan berkembang yang sama. Sementara untuk pemerintahan lokal di Indonesia Timur, Gustav berharap agar lebih ikut secara aktif, melalui tindakan nyata tidak melulu memberikan janji-janji.

Perlunya inisiatif generasi muda untuk percepat pembangunan Indonesia Timur

Gustav Yustisian

Foto: Erwin Renaldi

Page 16: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

inamika hubungan agama-agama di Papua yang menjurus pada ketegangan antar pemeluknya Dmerupakan suatu keniscayaan. Bahwa, harmonisasi

hubungan antar kelompok agama yang ada saat ini lebih ditopang oleh nilai-nilai kultural masyarakat adat Papua. Namun demikian, transformasi nilai-nilai baru yang cenderung kapital dengan semangat uang nyaris sebagai agama, telah dan sedang memporak-porandakan sendi-sendi kearifan lokal yang menjadi semangat kebersamaan. Di sisi lain, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural, agama-agama, dan perempuan yang menjadi harapan rakyat Papua belum mampu memproteksi kemungkinan-kemungkinan buruk dan atau merekonstruksi berbagai pendekatan melalui regulasi Perdasus yang sesuai dengan tuntutan dan tantangan peradaban kekinian.

Secercah harapan telah terpampang di hadapan seluruh rakyat Papua dengan tekad yang di usung oleh Gubernur baru yang dengan tegas mengatakan bahwa, Visi dan Misi besar dirinya yakni Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera untuk menata pembangunan Papua menuju Peradaban Baru dengan merangkul adat dan agama, koordinasi yang konstruktif antara Gubernur, DPRP, dan MRP patut disambut oleh seluruh rakyat Papua. Kelompok masyarakat agama-agama di Papua mesti pro aktif dalam mengawal visi pro rakyat yang di usung oleh Gubernur Lukas Enembe, sehingga keharmonisan antar agama yang ada ini tetap terjaga dan lebih baik lagi di masa mendatang.

Namun demikian, menurut hemat kami hampir sebagian besar tokoh-tokoh sentral kelompok sosial kemasyarakatan dan agama-agama yang ada di Papua tampak terpolarisasi dalam dinamika politik pragmatis dan melupakan fungsi utamanya sebagai penerang jalan kebenaran, sehingga umat tidak lagi menaruh kepercayaan dan lalu menerjemahkan nilai-nilai

kebenaran secara serampangan sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Melihat kenyataan ini, maka pemerintah mesti memperkuat isntitusi kelompok sosial masyarakat dan agama-agama tentunya. Pemerintah juga mesti memberikan perhatian ekstra pada pertumbuhan kelompok sosial kemasyarakatan dan agama-agama di Papua yang sangat pesat, karena sejauh ini belum ada kontrol yang efektif dari pemerintah. Sikap tegas pemerintah dibutuhkan dalam hal menertibkan pertumbuhan seperti jamur ini.

Satu hal lain yang miris dan luput dari perhatian pemerintah Provinsi Papua di masa-masa yang lalu adalah kelompok masyarakat adat minoritas dan aviliasinya dalam dinamika kelompok sosial masyarakat dan agama-agama pada peradaban terkini. Pemetaan yang jelas terhadap kelompok masyarakat adat dalam dinamika ini menjadi sangat penting guna ketercapaian program pemberdayaan pada masyarakat adat secara proporsional dan tepat guna.

Arus urbanisasi harus dan sesegera mungkin dikendalikan, jika Pemerintah Provinsi Papua dalam kepemimpinan anak Koteka, Kakak Lukas Enembe hendak memaksimalkan fungsi proteksi dan program afirmative action dapat berhasil guna sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kesenjangan sosial ekonomi yang tampak sangat tidak seimbang harus diantisipasi dengan regulasi ketenagakerjaan yang berpihak pada masyarakat adat Papua.

Kebijakan Gubernur Lukas Enembe dengan membagi anggaran 80% untuk Kota/Kabupaten dan 20% untuk Provinsi sangat mengagumkan karena sampai sekarang masyarakat adat masih pakai koteka dan Mayoritas buta aksara. Rumah mereka masih tradisional (honai atau lese), masyarakat adat masih menanam ubi jalar dan menokok sagu hanya untuk makanan sehari-hari

SUARA FORUM KTI PAPUA

Secercah Harapan untuk Masyarakat

Adat dan AgamaOLEH PONTO YELIPELE

Hari ini masyarakat adat Papua bagaikan telur di ujung tanduk, mereka terasing di

tanah kelahirannya, ditengah-tengah eufhoria Otonomi Khusus (Otsus). Secara

kualitas dan kuantitas terus berkurang.

of the Month

15 16 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

dan belum mampu menanam tanaman yang bernilai ekonomis, Mereka memikul kayu buah, balok atau papan, kayu bakar dan lainnya ke Kota berkilo-kilo untuk dijual. Bila uangnya cukup, mereka membeli parang, sekop, garam, penyedap rasa, dan lainnya. Bila ditelisik lebih dalam. Masyarakat adat memiliki daya untuk maju, namun ada kesan pembiaran, maka menjadi PR besar untuk Kakak Enembe dan Klemen Tinal.

Masyarakat adat juga masih sangat resisten dengan semua transformasi nilai-nilai baru dan sebagian besar kebijakan pembangunan yang digalakan oleh Pemerintah, tetapi mereka juga tidak memiliki daya untuk menolak kesemuanya. Berbagai pola pendekatan yang digunakan oleh banyak pihak untuk membangun masyarakat adat nyaris tak menghasilkan apa-apa dan sebaliknya, keadaan mereka kian terperosok dan terpuruk oleh mayoritas kebijakan yang anti realitas ditambah dengan arus globalisasi yang sangat deras. Proses difusi oleh pemerintah lebih menempatkan masyarakat adat tidak sebagai subjek tetapi sebagai objek sehingga kehendak Adopsi lebih sebagai sikap mencoba-coba dan kepasrahan, hasilnya adalah masyarakat konsumtif dan anti inovasi yang tetap berpedoman pada pola hidup warisan leluhur. Masyarakat adat harus dibangun berdasarkan daya yang ada pada mereka sehingga alasan geografis, topografi, dan etnografi tidak lagi menjadi taruhan para elit. Masyarakat Adat Papua adalah masyarakat yang tingkat kebudayaannya sangat tinggi dan masih orisinil di peradaban kini. Aset Bangsa yang sangat berharga tentunya, sangat disayangkan dan bahkan naif jika dibiarkan tertelan oleh arus globalisasi.

Hari ini masyarakat adat Papua bagaikan telur di ujung tanduk, mereka terasing di tanah kelahirannya, ditengah-tengah eufhoria Otonomi Khusus (Otsus). Secara kualitas dan kuantitas terus berkurang. Realitas terkini masyarakat adat Papua, terutama generasi mudanya “di persimpangan jalan”, mereka sulit dikontrol dengan nilai leluhur adat maupun agama, karena orang tua mereka bimbang. Mayoritas tetua adat ingin mewariskan seluruh nilai dan praktek ritual adat kepada anak-anak mereka disatu sisi dan disisi lain mereka juga merelakan anak-anaknya ke sekolah formal terdekat, namun anak-anak menjumpai pengajar yang berbeda dengan dirinya dan juga dengan pendekatan serta metodenya yang anti realitas. Tentu bisa dibayangkan, ouput seperti apa dari situasi pembelajaran seperti itu. Tak perlu repot-repot untuk dibayangkan, karena secara kasat mata anda akan banyak menjumpai anak-anak usia 6 sampai dengan 16 tahun yang mencuri uang orangtuanya dan juga orang lain atau bekerja apapun. Bukan untuk membeli makan, tetapi untuk membeli lem perekat lalu mereka isap sampai habis. Julukan keren mereka adalah “anak-anak aibon”, dan ironisnya, julukan semacam itu gemar diucapkan oleh para pengkhotbah dan juga pembuat kebijakan pembangunan. “Miris, ironis, dan bom waktu”.

Semua ini menjadi tanggung jawab kita semua tentunya, terutama kelompok sosial masyarakat, adat, dan agama-agama dengan mengefektifkan perannya, karena kitalah yang lebih dekat dengan mereka dan sekali lagi di bawah kepemimpinan Kakak Lukas Enembe dan Klemen Tinal, kami, masyarakat adat, gantungkan harapan.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Pemerhati Perubahan Sosial dan Mutu PendidikanArtikel juga dapat dibaca di Tabloid Jubi Online pada link berikuthttp://tabloidjubi.com/2013/05/08/secercah-harapan-untuk-masyarakat-adat-dan-agama/

ercerita dalam media ini adalah sebuah upaya Institut Mosintuwu membuka Br u a n g k o m u n i k a s i u n t u k

menyampaikan suara dari masyarakat akar rumput yang masih memperjuangkan hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik. Sahabat Mosintuwu dapat melihat beberapa kegiatan yang dilakukan di Mosintuwu untuk mencapai kedaulatan rakyat atas hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik, sesuai visi Mosintuwu. Ruang Sekolah Pe r e m p u a n , m e m b e r i k a n g a m b a ra n mengenai proses belajar bersama para perempuan dari berbagai latar belakang agama, suku dan dari beberapa desa di Kabupaten Poso yang membangun sebuah h a ra p a n a d a ny a g e ra k a n i n te r f a i t h perempuan untuk hak EKOSOB SIPOL. Di ruang Sanggar Anak, kawan akan mengikuti sebuah proses dimana anak-anak dapat membangun sebuah gerak an perdamaian melalui seni dan budaya, terutama melalui buku. Bagi kami buku adalah jendela bagi kehidupan tetapi juga sebuah

jembatan perdamaian, ini digambarkan melalui Project Sophia, perpustakaan keliling Sophia. Ruang Cerita Perempuan adalah ruang bagi suara-suara perempuan saat konflik dan pasca konflik yang selama ini diabaikan, tidak didengar bahkan ditenggelamkan; sebuah sejarah dari sudut pandang perempuan. Analisis mengenai konteks ekonomi, sosial, budaya dan politik diulas dalam ruang Artikel Academis.

erakan sosial dan sumber infomasi tentang ASI dari sudut pandang cowok. Pertemuan pertama kali tersebut hanya Gberupa sharing pengalaman masing-masing sama

menyusui dan ASI. Awalnya adalah ide @shafiqpontoh untuk membuat buku cerita pengalamannya sendiri dalam mendukung istri untuk memberikan ASI. Ide itu disambut yang lainnya untuk dibuat buka sharing para #AyahASI, semakin banyak sharing dari para ayah akan semakin baik.Akhirnya, terkumpullah 8 orang #AyahASI yang niat untuk bikin project “The Milkmen Diary”. Ke-8 orang itu adalah @ e r n e s t p r a k a s a , @ d i p a a a , @ b a n g a i p , @ s i p a n d u , @a_rahmathidayat, @shafiqpontoh, @sisogi dan @siadit. Ide membuat buku cerita ASI dari sudut pandang ayah ini, disambut baik oleh pihak penerbit, namun mereka masih ragu dengan ide #AyahASI. Karena memang, umumnya ASI hanya dibahasolehibu-ibu.Akhirnya kita sepakat untuk “testing” dulu ide #AyahASI ini dengan twitter, akhirnya Selasa, 27 September 2011, d i m u l a i l a h p e t u a l a n g a n s i m i m i n @ I D _ A y a h A S ITanggapannya keren- dalam 2 hari followersnya tembus 2,000. Tepat seminggu, followersnya tembus di angka 3,000. Sekarang sudah 80,000. Sejak saat itu, akun @ID_AyahASI konsisten ngobrolin ASI dari sudut pandang cowok- “boys will be boys”

www.perempuanposo.com

Web

site

www.ayahasi.org dan www.twitter.com/ID_ayahasi

Page 17: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

inamika hubungan agama-agama di Papua yang menjurus pada ketegangan antar pemeluknya Dmerupakan suatu keniscayaan. Bahwa, harmonisasi

hubungan antar kelompok agama yang ada saat ini lebih ditopang oleh nilai-nilai kultural masyarakat adat Papua. Namun demikian, transformasi nilai-nilai baru yang cenderung kapital dengan semangat uang nyaris sebagai agama, telah dan sedang memporak-porandakan sendi-sendi kearifan lokal yang menjadi semangat kebersamaan. Di sisi lain, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kultural, agama-agama, dan perempuan yang menjadi harapan rakyat Papua belum mampu memproteksi kemungkinan-kemungkinan buruk dan atau merekonstruksi berbagai pendekatan melalui regulasi Perdasus yang sesuai dengan tuntutan dan tantangan peradaban kekinian.

Secercah harapan telah terpampang di hadapan seluruh rakyat Papua dengan tekad yang di usung oleh Gubernur baru yang dengan tegas mengatakan bahwa, Visi dan Misi besar dirinya yakni Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera untuk menata pembangunan Papua menuju Peradaban Baru dengan merangkul adat dan agama, koordinasi yang konstruktif antara Gubernur, DPRP, dan MRP patut disambut oleh seluruh rakyat Papua. Kelompok masyarakat agama-agama di Papua mesti pro aktif dalam mengawal visi pro rakyat yang di usung oleh Gubernur Lukas Enembe, sehingga keharmonisan antar agama yang ada ini tetap terjaga dan lebih baik lagi di masa mendatang.

Namun demikian, menurut hemat kami hampir sebagian besar tokoh-tokoh sentral kelompok sosial kemasyarakatan dan agama-agama yang ada di Papua tampak terpolarisasi dalam dinamika politik pragmatis dan melupakan fungsi utamanya sebagai penerang jalan kebenaran, sehingga umat tidak lagi menaruh kepercayaan dan lalu menerjemahkan nilai-nilai

kebenaran secara serampangan sesuai dengan kadar pengetahuan mereka. Melihat kenyataan ini, maka pemerintah mesti memperkuat isntitusi kelompok sosial masyarakat dan agama-agama tentunya. Pemerintah juga mesti memberikan perhatian ekstra pada pertumbuhan kelompok sosial kemasyarakatan dan agama-agama di Papua yang sangat pesat, karena sejauh ini belum ada kontrol yang efektif dari pemerintah. Sikap tegas pemerintah dibutuhkan dalam hal menertibkan pertumbuhan seperti jamur ini.

Satu hal lain yang miris dan luput dari perhatian pemerintah Provinsi Papua di masa-masa yang lalu adalah kelompok masyarakat adat minoritas dan aviliasinya dalam dinamika kelompok sosial masyarakat dan agama-agama pada peradaban terkini. Pemetaan yang jelas terhadap kelompok masyarakat adat dalam dinamika ini menjadi sangat penting guna ketercapaian program pemberdayaan pada masyarakat adat secara proporsional dan tepat guna.

Arus urbanisasi harus dan sesegera mungkin dikendalikan, jika Pemerintah Provinsi Papua dalam kepemimpinan anak Koteka, Kakak Lukas Enembe hendak memaksimalkan fungsi proteksi dan program afirmative action dapat berhasil guna sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kesenjangan sosial ekonomi yang tampak sangat tidak seimbang harus diantisipasi dengan regulasi ketenagakerjaan yang berpihak pada masyarakat adat Papua.

Kebijakan Gubernur Lukas Enembe dengan membagi anggaran 80% untuk Kota/Kabupaten dan 20% untuk Provinsi sangat mengagumkan karena sampai sekarang masyarakat adat masih pakai koteka dan Mayoritas buta aksara. Rumah mereka masih tradisional (honai atau lese), masyarakat adat masih menanam ubi jalar dan menokok sagu hanya untuk makanan sehari-hari

SUARA FORUM KTI PAPUA

Secercah Harapan untuk Masyarakat

Adat dan AgamaOLEH PONTO YELIPELE

Hari ini masyarakat adat Papua bagaikan telur di ujung tanduk, mereka terasing di

tanah kelahirannya, ditengah-tengah eufhoria Otonomi Khusus (Otsus). Secara

kualitas dan kuantitas terus berkurang.

of the Month

15 16 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

dan belum mampu menanam tanaman yang bernilai ekonomis, Mereka memikul kayu buah, balok atau papan, kayu bakar dan lainnya ke Kota berkilo-kilo untuk dijual. Bila uangnya cukup, mereka membeli parang, sekop, garam, penyedap rasa, dan lainnya. Bila ditelisik lebih dalam. Masyarakat adat memiliki daya untuk maju, namun ada kesan pembiaran, maka menjadi PR besar untuk Kakak Enembe dan Klemen Tinal.

Masyarakat adat juga masih sangat resisten dengan semua transformasi nilai-nilai baru dan sebagian besar kebijakan pembangunan yang digalakan oleh Pemerintah, tetapi mereka juga tidak memiliki daya untuk menolak kesemuanya. Berbagai pola pendekatan yang digunakan oleh banyak pihak untuk membangun masyarakat adat nyaris tak menghasilkan apa-apa dan sebaliknya, keadaan mereka kian terperosok dan terpuruk oleh mayoritas kebijakan yang anti realitas ditambah dengan arus globalisasi yang sangat deras. Proses difusi oleh pemerintah lebih menempatkan masyarakat adat tidak sebagai subjek tetapi sebagai objek sehingga kehendak Adopsi lebih sebagai sikap mencoba-coba dan kepasrahan, hasilnya adalah masyarakat konsumtif dan anti inovasi yang tetap berpedoman pada pola hidup warisan leluhur. Masyarakat adat harus dibangun berdasarkan daya yang ada pada mereka sehingga alasan geografis, topografi, dan etnografi tidak lagi menjadi taruhan para elit. Masyarakat Adat Papua adalah masyarakat yang tingkat kebudayaannya sangat tinggi dan masih orisinil di peradaban kini. Aset Bangsa yang sangat berharga tentunya, sangat disayangkan dan bahkan naif jika dibiarkan tertelan oleh arus globalisasi.

Hari ini masyarakat adat Papua bagaikan telur di ujung tanduk, mereka terasing di tanah kelahirannya, ditengah-tengah eufhoria Otonomi Khusus (Otsus). Secara kualitas dan kuantitas terus berkurang. Realitas terkini masyarakat adat Papua, terutama generasi mudanya “di persimpangan jalan”, mereka sulit dikontrol dengan nilai leluhur adat maupun agama, karena orang tua mereka bimbang. Mayoritas tetua adat ingin mewariskan seluruh nilai dan praktek ritual adat kepada anak-anak mereka disatu sisi dan disisi lain mereka juga merelakan anak-anaknya ke sekolah formal terdekat, namun anak-anak menjumpai pengajar yang berbeda dengan dirinya dan juga dengan pendekatan serta metodenya yang anti realitas. Tentu bisa dibayangkan, ouput seperti apa dari situasi pembelajaran seperti itu. Tak perlu repot-repot untuk dibayangkan, karena secara kasat mata anda akan banyak menjumpai anak-anak usia 6 sampai dengan 16 tahun yang mencuri uang orangtuanya dan juga orang lain atau bekerja apapun. Bukan untuk membeli makan, tetapi untuk membeli lem perekat lalu mereka isap sampai habis. Julukan keren mereka adalah “anak-anak aibon”, dan ironisnya, julukan semacam itu gemar diucapkan oleh para pengkhotbah dan juga pembuat kebijakan pembangunan. “Miris, ironis, dan bom waktu”.

Semua ini menjadi tanggung jawab kita semua tentunya, terutama kelompok sosial masyarakat, adat, dan agama-agama dengan mengefektifkan perannya, karena kitalah yang lebih dekat dengan mereka dan sekali lagi di bawah kepemimpinan Kakak Lukas Enembe dan Klemen Tinal, kami, masyarakat adat, gantungkan harapan.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Pemerhati Perubahan Sosial dan Mutu PendidikanArtikel juga dapat dibaca di Tabloid Jubi Online pada link berikuthttp://tabloidjubi.com/2013/05/08/secercah-harapan-untuk-masyarakat-adat-dan-agama/

ercerita dalam media ini adalah sebuah upaya Institut Mosintuwu membuka Br u a n g k o m u n i k a s i u n t u k

menyampaikan suara dari masyarakat akar rumput yang masih memperjuangkan hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik. Sahabat Mosintuwu dapat melihat beberapa kegiatan yang dilakukan di Mosintuwu untuk mencapai kedaulatan rakyat atas hak ekonomi, sosial, budaya dan hak sipil politik, sesuai visi Mosintuwu. Ruang Sekolah Pe r e m p u a n , m e m b e r i k a n g a m b a ra n mengenai proses belajar bersama para perempuan dari berbagai latar belakang agama, suku dan dari beberapa desa di Kabupaten Poso yang membangun sebuah h a ra p a n a d a ny a g e ra k a n i n te r f a i t h perempuan untuk hak EKOSOB SIPOL. Di ruang Sanggar Anak, kawan akan mengikuti sebuah proses dimana anak-anak dapat membangun sebuah gerak an perdamaian melalui seni dan budaya, terutama melalui buku. Bagi kami buku adalah jendela bagi kehidupan tetapi juga sebuah

jembatan perdamaian, ini digambarkan melalui Project Sophia, perpustakaan keliling Sophia. Ruang Cerita Perempuan adalah ruang bagi suara-suara perempuan saat konflik dan pasca konflik yang selama ini diabaikan, tidak didengar bahkan ditenggelamkan; sebuah sejarah dari sudut pandang perempuan. Analisis mengenai konteks ekonomi, sosial, budaya dan politik diulas dalam ruang Artikel Academis.

erakan sosial dan sumber infomasi tentang ASI dari sudut pandang cowok. Pertemuan pertama kali tersebut hanya Gberupa sharing pengalaman masing-masing sama

menyusui dan ASI. Awalnya adalah ide @shafiqpontoh untuk membuat buku cerita pengalamannya sendiri dalam mendukung istri untuk memberikan ASI. Ide itu disambut yang lainnya untuk dibuat buka sharing para #AyahASI, semakin banyak sharing dari para ayah akan semakin baik.Akhirnya, terkumpullah 8 orang #AyahASI yang niat untuk bikin project “The Milkmen Diary”. Ke-8 orang itu adalah @ e r n e s t p r a k a s a , @ d i p a a a , @ b a n g a i p , @ s i p a n d u , @a_rahmathidayat, @shafiqpontoh, @sisogi dan @siadit. Ide membuat buku cerita ASI dari sudut pandang ayah ini, disambut baik oleh pihak penerbit, namun mereka masih ragu dengan ide #AyahASI. Karena memang, umumnya ASI hanya dibahasolehibu-ibu.Akhirnya kita sepakat untuk “testing” dulu ide #AyahASI ini dengan twitter, akhirnya Selasa, 27 September 2011, d i m u l a i l a h p e t u a l a n g a n s i m i m i n @ I D _ A y a h A S ITanggapannya keren- dalam 2 hari followersnya tembus 2,000. Tepat seminggu, followersnya tembus di angka 3,000. Sekarang sudah 80,000. Sejak saat itu, akun @ID_AyahASI konsisten ngobrolin ASI dari sudut pandang cowok- “boys will be boys”

www.perempuanposo.com

Web

site

www.ayahasi.org dan www.twitter.com/ID_ayahasi

Page 18: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

OLEH YUE YUE WANG

ndi Asri adalah seorang Doktor Kakao di Desa Awo, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pertama kali saya bertemu AAndi di bulan Desember 2012 di 'Best Cocoa Village

Center Comeptition' di CDC Tarengge. Dibandingkan dengan dokter kakao lainnya, yang juta terlihat cukup nervus saat berbicara dengan audiens, gaya interaksi Andi yang santai dalam mempresentasikan CVC-nya membuat kita semua terkesan.

Karena kita sedang menyiapkan sebuah interview video tentang keberhasilan CVC, nama Andi otomatis muncul dalam benak saya. Sekali lagi, Andi membuat kita terkejut: dia tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam menjalankan CVC yang sukses, namun juga berhasil menyentuh kita dengan semangat dan dedikasinya dalam membantu petani-petani kakao lainnya.

Andi bergabung dengan program kakao lestari Mars pada tahun 2010. Semua dimulai dengan kunjungan ke Mars CDC di Tarengge, dan ia sangat terkesan dengan apa yang dilihatnya di kebun percontohan. Misalnya, pemangkasan sepenuhnya adalah konsep yang baru untuk Andi saat itu, sebab ia sebelumnya percaya semakin banyak daun yang dimiliki pohon, s e m a k i n b a i k h a s i l b u a h y a n g a k a n d i b e r i k a n . Melihat perbedaan signifikan antara pohon yang dipangkas dan dirawat dan kelompok kontrol, Andi menyadari bahwa ada potensi yang sangat besar tidak hanya di kebun kakaonya saja, t a p i j u g a d i k e b u n w a r g a l a i n d i d e s a n y a . Andi segera mendaftarkan diri untuk program CVC Mars.

Pelatihan di CDC tidaklah mudah, terdiri dari banyak kelas, diskusi, dan praktik. Kelas pagi dimulai jam 8 pagi dan kelas malam jam 7. Terkadang, karena semua orang harus terlibat, kelas malam berlangsung hingga jam 2 dini hari.

Pelatihan tersebut berlangsung selama sebulan. Pada April 2010, Andi menyelesaikan semua ujian akhir dan menjadi ”Doktor Kakao”. Mars terus mendukung semua doktor kakao dengan memeberikan bibit gratis dari tumbuhan kakao terbaik. Andi tak sabar menunggu untuk memulai pusat kakao desanya dan berbagi apa yang ia pelajari di CDC.

”Saya sangat terkesan dan yakin dengan adanya kebun percontohan, jadi hal pertama yang akan saya lakukan saat kembali nanti adalah untuk mengubah kebun saya menjadi kebun percontohan,” kata Andi saat diwawancara, ”Dengan begitu saya bisa meyakinkan lebih banyak orang, bahwa perubahan itu mungkin dilakukan”. Andi benar-benar melakukannya. Setelah kerja keras selama setahun, hasil dari kebunnya mennigkat dari 400 kg per hektar menjadi 1,8 ton per hektar! Saat ditanya apakah dia puas dengan hasilnya, kami terkejut saat Andi menggelengkan kepala,”Saya berharap 2 ton per hektar. Pohon yang baru ditanam memerlukan waktu. Ayo berkunjung ke tempat saya tahun berikut dan saya janji Anda bisa melihat hasil kebun saya 2 ton per hektar”.

ndi Asri is a cocoa doctor in Awo Village, south Sulawesi, Indonesia. The first time I met Andi was in Dec 2012 at the Afirst “Best Cocoa Village Center Competition” in CDC

Tarengge. Compared with other cocoa doctors, who were quite nervous talking to the audience, Andi's interactive and relaxed way of presenting his CVC impressed all of us.

As we were preparing for a video interview about successful CVCs, Andi's name came to my mind automatically. Once again, Andi surprised us: he not only shared his knowledge and experience in running a successful CVC, but also touched us with his passion and dedication to helping other cocoa farmers.

Andi joined the Mars sustainable cocoa program in 2010. It all started from a visit to the Mars CDC in Tarengge, and he was impressed by what he saw at the demonstration farm. For instance, pruning was a completely new concept to Andi at that time, because he used to believe the more leaves the tree has, the more yield it will give. Seeing the significant difference between the rehabilitated trees and control group, Andi realized that there's huge potential for not only his cocoa farms, but for his neighbors in his village. Andi immediately registered for the Mars CVC program.

The course at the CDC was not easy, consisting of intensive lecture, discussion and practice. The morning class started at 8am and evening class at 7pm. Sometimes, because everyone would get so involved, the evening class would last to 2am.

The training took about one month. In April 2010, Andi passed the final exam and became a “Cocoa Doctor.” Mars continuously supports all cocoa doctors, providing free seedlings of the best cocoa clones, materials to build his cocoa nursery, and ongoing support on difficult cases. Andi just couldn't wait any longer to start

his own village cocoa center and share what he learned at the CDC.

“I was touched and convinced by the demo farm, so the first thing I wanted to do when I

came back home was to change mine into a demo farm, “ Andi said at the interview, “so that I will be able to convince more people, to tell them that change is possible.” Andi made it. After one year of hard work, the yield of his farm increased from 400kg/Ha

to 1.8 ton/Ha! When asked if he was happy about the yield, to our

surprise, Andi shook his h e a d , “ I w a s

expecting 2 ton/ Ha. The newly

grafted trees need some Dokter Kakao Andi Asri

“Membantu Orang Lain Juga Membuat Saya Sukses”

17 18 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Kebun Andi menjadi terkenal di desanya. Para tetangga mulai datang dan melihat kebunnya dan menjadi terinspirasi oleh potensi kakao yang dimiliki Andi. Menyusul efek ”Wow”, warga desa beramai-ramai meminta Andi mengajarkan cara merehabilitasi kebun mereka.

“Saya senang sekali saat melihat perkembangan di kebun saya, sebab itu adalah yang paling penting bagi petani”, ujar Andi. ”Saya ingin orang lain untuk melihat kemajuan ini dan saya senang membantu mereka – dan hasilnya mereka juga membayar jasa saya!”. Selain paket teknis, Andi belajar paket bisnis di CDC, yang juga sangat membantunya menjalankan CVC. Andi mulai memperkenalkan sistem cangkok sisi kepada warga desa, membawa material tanaman yang lebih baik dengan menjual pembibitan dan menawarkan jasa mencangkok. Seiring kebutuhan warga desa yang meningkat, Andi mulai membangun persemaian kakaonya yang pertama. Andi sangat senang dengan usaha ini, “Di tahun 2012, pendapatan saya per tahun sekitar 9.000 USD (sekitar Rp. 9 juta), dan 79 % adalah dari menjual bibit”. Pelanggan Andi juga senang dengan hasilnya, sebab dapat meningkatkan hasilnya dari 200 kg per hektar menjadi 800 kg per hektar, dan mereka berharap hasil ini masih bisa meningkat di masa depan.

Andi punya beberapa rencana bagus dalam menggunakan uang yang diperolehnya. Ia merenovasi rumah ayah mertuanya dan berinvestasi lebih banyak di bisnisnya. Saat ini, dengan bantuan dari CDC, Andi mengembangkan usahanya dengan membuka usaha pupuk dan alat-alat pertanian untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya.

Saya memberikan beberapa cokelat untuk Andi saat wawancara selesai. ”Cokelat dari Amerika!” Andi tersenyum lebar di depan kamera. Saat membagikan cokelat ke keluarga dan teman-temannya, Andi berujar, ”Tau tidak, mereka menggunakan biji cokelat dari kebun saya!”.

more time. Come to visit me next year and I promise that you will see my farm at 2 ton/ Ha.”

Andi's farm became the hit in his village. Neighbors came and visited his farm and were inspired by the potential of cocoa. Followed by the “Wow” effect, villagers asked Andi to teach them how to rehabilitate their farms.

“I knew how happy I was when I saw progress in my farm, because that's the most important thing to the farmer.” Andi said, “I want others to see progress, and I enjoy helping them — and in return they also pay for my service!” Besides the technical package, Andi learned the business package at the CDC, which also helped him a lot in running his CVC. Andi started introducing side grafting to villagers, bringing in better planting materials through selling seeding and offering grafting service. As the villagers' needs increased, Andi built his first cocoa nursery.

Andi is very happy about his business, “In 2012, my annual income was about 9000 USD, and 79% was from selling seedling.” His customers were also happy about the results, because on average, they increased their yield from 200 Kg/Ha to 800 Kg/Ha, and they expect to see more increases in the future

Andi has some good plans for using the money. He renovated his father-in-law's house and reinvested in his business. Right now, with the help from CDC, Andi is expanding his business to fertilizer and agricultural tools, to fulfill his customers' needs.I brought some chocolate for Andi when we finished the interview. “Chocolate made in US!” Andi gave us a big smile in the camera. As he shared the chocolate with his family and friends, Andi continued, “and you know what, they are using cocoa beans from my farm!”.

1 2

1. Andi berbagi rahasia kesuksesannya di depan kamera.Andi shares his secret of success in front of the camera.

2. Pohon-pohon kakao di kebun percontohan di CDC: pohon-pohon di bagian belakang adalah kelompok kontrol sementara yang berada pada berisan depan adalah yang di barisan belakang adalah yang telah dicangkok dan dipangkas secara teratur. Pohon-pohon yang telah direhabilitasi memberikan hasil yang lebih tinggi, dan bentuk yang lebih baik, lebih muda dirawat, khususnya terkait hama dan penyakit kakao.Cocoa trees at the demo farm in CDC: Trees at back are control group while trees in the front have been side grafted and regularly pruned. The rehabilitated trees give higher yield increases, and with better architecture, they are easier to manager, especially for cocoa pest and disease.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah kontributor pada Sustainable Cocoa Initiative http://cocoasustainability.com/2013/05/cocoa-doctor-andi-asri-helping-others-also-makes-me-succeed/

Cocoa Doctor Andi Asri: “Helping Others Also Makes Me Succeed”

P E R TA N I A N

Page 19: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

OLEH YUE YUE WANG

ndi Asri adalah seorang Doktor Kakao di Desa Awo, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pertama kali saya bertemu AAndi di bulan Desember 2012 di 'Best Cocoa Village

Center Comeptition' di CDC Tarengge. Dibandingkan dengan dokter kakao lainnya, yang juta terlihat cukup nervus saat berbicara dengan audiens, gaya interaksi Andi yang santai dalam mempresentasikan CVC-nya membuat kita semua terkesan.

Karena kita sedang menyiapkan sebuah interview video tentang keberhasilan CVC, nama Andi otomatis muncul dalam benak saya. Sekali lagi, Andi membuat kita terkejut: dia tidak hanya berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam menjalankan CVC yang sukses, namun juga berhasil menyentuh kita dengan semangat dan dedikasinya dalam membantu petani-petani kakao lainnya.

Andi bergabung dengan program kakao lestari Mars pada tahun 2010. Semua dimulai dengan kunjungan ke Mars CDC di Tarengge, dan ia sangat terkesan dengan apa yang dilihatnya di kebun percontohan. Misalnya, pemangkasan sepenuhnya adalah konsep yang baru untuk Andi saat itu, sebab ia sebelumnya percaya semakin banyak daun yang dimiliki pohon, s e m a k i n b a i k h a s i l b u a h y a n g a k a n d i b e r i k a n . Melihat perbedaan signifikan antara pohon yang dipangkas dan dirawat dan kelompok kontrol, Andi menyadari bahwa ada potensi yang sangat besar tidak hanya di kebun kakaonya saja, t a p i j u g a d i k e b u n w a r g a l a i n d i d e s a n y a . Andi segera mendaftarkan diri untuk program CVC Mars.

Pelatihan di CDC tidaklah mudah, terdiri dari banyak kelas, diskusi, dan praktik. Kelas pagi dimulai jam 8 pagi dan kelas malam jam 7. Terkadang, karena semua orang harus terlibat, kelas malam berlangsung hingga jam 2 dini hari.

Pelatihan tersebut berlangsung selama sebulan. Pada April 2010, Andi menyelesaikan semua ujian akhir dan menjadi ”Doktor Kakao”. Mars terus mendukung semua doktor kakao dengan memeberikan bibit gratis dari tumbuhan kakao terbaik. Andi tak sabar menunggu untuk memulai pusat kakao desanya dan berbagi apa yang ia pelajari di CDC.

”Saya sangat terkesan dan yakin dengan adanya kebun percontohan, jadi hal pertama yang akan saya lakukan saat kembali nanti adalah untuk mengubah kebun saya menjadi kebun percontohan,” kata Andi saat diwawancara, ”Dengan begitu saya bisa meyakinkan lebih banyak orang, bahwa perubahan itu mungkin dilakukan”. Andi benar-benar melakukannya. Setelah kerja keras selama setahun, hasil dari kebunnya mennigkat dari 400 kg per hektar menjadi 1,8 ton per hektar! Saat ditanya apakah dia puas dengan hasilnya, kami terkejut saat Andi menggelengkan kepala,”Saya berharap 2 ton per hektar. Pohon yang baru ditanam memerlukan waktu. Ayo berkunjung ke tempat saya tahun berikut dan saya janji Anda bisa melihat hasil kebun saya 2 ton per hektar”.

ndi Asri is a cocoa doctor in Awo Village, south Sulawesi, Indonesia. The first time I met Andi was in Dec 2012 at the Afirst “Best Cocoa Village Center Competition” in CDC

Tarengge. Compared with other cocoa doctors, who were quite nervous talking to the audience, Andi's interactive and relaxed way of presenting his CVC impressed all of us.

As we were preparing for a video interview about successful CVCs, Andi's name came to my mind automatically. Once again, Andi surprised us: he not only shared his knowledge and experience in running a successful CVC, but also touched us with his passion and dedication to helping other cocoa farmers.

Andi joined the Mars sustainable cocoa program in 2010. It all started from a visit to the Mars CDC in Tarengge, and he was impressed by what he saw at the demonstration farm. For instance, pruning was a completely new concept to Andi at that time, because he used to believe the more leaves the tree has, the more yield it will give. Seeing the significant difference between the rehabilitated trees and control group, Andi realized that there's huge potential for not only his cocoa farms, but for his neighbors in his village. Andi immediately registered for the Mars CVC program.

The course at the CDC was not easy, consisting of intensive lecture, discussion and practice. The morning class started at 8am and evening class at 7pm. Sometimes, because everyone would get so involved, the evening class would last to 2am.

The training took about one month. In April 2010, Andi passed the final exam and became a “Cocoa Doctor.” Mars continuously supports all cocoa doctors, providing free seedlings of the best cocoa clones, materials to build his cocoa nursery, and ongoing support on difficult cases. Andi just couldn't wait any longer to start

his own village cocoa center and share what he learned at the CDC.

“I was touched and convinced by the demo farm, so the first thing I wanted to do when I

came back home was to change mine into a demo farm, “ Andi said at the interview, “so that I will be able to convince more people, to tell them that change is possible.” Andi made it. After one year of hard work, the yield of his farm increased from 400kg/Ha

to 1.8 ton/Ha! When asked if he was happy about the yield, to our

surprise, Andi shook his h e a d , “ I w a s

expecting 2 ton/ Ha. The newly

grafted trees need some Dokter Kakao Andi Asri

“Membantu Orang Lain Juga Membuat Saya Sukses”

17 18 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Kebun Andi menjadi terkenal di desanya. Para tetangga mulai datang dan melihat kebunnya dan menjadi terinspirasi oleh potensi kakao yang dimiliki Andi. Menyusul efek ”Wow”, warga desa beramai-ramai meminta Andi mengajarkan cara merehabilitasi kebun mereka.

“Saya senang sekali saat melihat perkembangan di kebun saya, sebab itu adalah yang paling penting bagi petani”, ujar Andi. ”Saya ingin orang lain untuk melihat kemajuan ini dan saya senang membantu mereka – dan hasilnya mereka juga membayar jasa saya!”. Selain paket teknis, Andi belajar paket bisnis di CDC, yang juga sangat membantunya menjalankan CVC. Andi mulai memperkenalkan sistem cangkok sisi kepada warga desa, membawa material tanaman yang lebih baik dengan menjual pembibitan dan menawarkan jasa mencangkok. Seiring kebutuhan warga desa yang meningkat, Andi mulai membangun persemaian kakaonya yang pertama. Andi sangat senang dengan usaha ini, “Di tahun 2012, pendapatan saya per tahun sekitar 9.000 USD (sekitar Rp. 9 juta), dan 79 % adalah dari menjual bibit”. Pelanggan Andi juga senang dengan hasilnya, sebab dapat meningkatkan hasilnya dari 200 kg per hektar menjadi 800 kg per hektar, dan mereka berharap hasil ini masih bisa meningkat di masa depan.

Andi punya beberapa rencana bagus dalam menggunakan uang yang diperolehnya. Ia merenovasi rumah ayah mertuanya dan berinvestasi lebih banyak di bisnisnya. Saat ini, dengan bantuan dari CDC, Andi mengembangkan usahanya dengan membuka usaha pupuk dan alat-alat pertanian untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya.

Saya memberikan beberapa cokelat untuk Andi saat wawancara selesai. ”Cokelat dari Amerika!” Andi tersenyum lebar di depan kamera. Saat membagikan cokelat ke keluarga dan teman-temannya, Andi berujar, ”Tau tidak, mereka menggunakan biji cokelat dari kebun saya!”.

more time. Come to visit me next year and I promise that you will see my farm at 2 ton/ Ha.”

Andi's farm became the hit in his village. Neighbors came and visited his farm and were inspired by the potential of cocoa. Followed by the “Wow” effect, villagers asked Andi to teach them how to rehabilitate their farms.

“I knew how happy I was when I saw progress in my farm, because that's the most important thing to the farmer.” Andi said, “I want others to see progress, and I enjoy helping them — and in return they also pay for my service!” Besides the technical package, Andi learned the business package at the CDC, which also helped him a lot in running his CVC. Andi started introducing side grafting to villagers, bringing in better planting materials through selling seeding and offering grafting service. As the villagers' needs increased, Andi built his first cocoa nursery.

Andi is very happy about his business, “In 2012, my annual income was about 9000 USD, and 79% was from selling seedling.” His customers were also happy about the results, because on average, they increased their yield from 200 Kg/Ha to 800 Kg/Ha, and they expect to see more increases in the future

Andi has some good plans for using the money. He renovated his father-in-law's house and reinvested in his business. Right now, with the help from CDC, Andi is expanding his business to fertilizer and agricultural tools, to fulfill his customers' needs.I brought some chocolate for Andi when we finished the interview. “Chocolate made in US!” Andi gave us a big smile in the camera. As he shared the chocolate with his family and friends, Andi continued, “and you know what, they are using cocoa beans from my farm!”.

1 2

1. Andi berbagi rahasia kesuksesannya di depan kamera.Andi shares his secret of success in front of the camera.

2. Pohon-pohon kakao di kebun percontohan di CDC: pohon-pohon di bagian belakang adalah kelompok kontrol sementara yang berada pada berisan depan adalah yang di barisan belakang adalah yang telah dicangkok dan dipangkas secara teratur. Pohon-pohon yang telah direhabilitasi memberikan hasil yang lebih tinggi, dan bentuk yang lebih baik, lebih muda dirawat, khususnya terkait hama dan penyakit kakao.Cocoa trees at the demo farm in CDC: Trees at back are control group while trees in the front have been side grafted and regularly pruned. The rehabilitated trees give higher yield increases, and with better architecture, they are easier to manager, especially for cocoa pest and disease.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah kontributor pada Sustainable Cocoa Initiative http://cocoasustainability.com/2013/05/cocoa-doctor-andi-asri-helping-others-also-makes-me-succeed/

Cocoa Doctor Andi Asri: “Helping Others Also Makes Me Succeed”

P E R TA N I A N

Page 20: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

Seluruh bumi akan merasakan dampak perubahan iklim. Uni

Eropa dan Amerika Serikat termasuk lima penyumbang

terbesar emisi gas rumah kaca. Baik dari segi industri, maupun

gaya hidup konsumerisme masyarakat di kota besar itu.

i Inggris, salah satu negara di Eropa, sebuah band menunjukkan langkah nyata mereka dalam menjaga Dnilai musik dan kepekaan lingkungan; Radiohead.

Radiohead menyewa konsultan lingkungan; Best Foot Forward Ltd, untuk membuat laporan tentang jumlah karbon yang dihasilkan sepanjang tur mereka di Amerika Utara sejak 2003 hingga 2006. Di saat beberapa aktor global yang malu dan selalu mencari cara sembunyi dari kenyataan besarnya sumbangsih karbon mereka, Radiohead hadir dengan keberaniannya mempublikasikan hal tersebut sebagai sentilan kecil. Setiap kegiatan jelas berpotensi untuk menyumbang karbon pada dunia, tinggal bagaimana kita sebagai konsumen bisa tetap kritis dalam menjaga iklim global yang masih dibutuhkan oleh generasi berikutnya.

Pada Juli 2007, perusahaan tersebut menerbitkan “The Ecological Footprint and Carbón Audit of Radiohead North American Tours, 2003 dan 2006”. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa total dampak dari kedua turnya mencapai

211.368 ton CO dengan area penelitian ekologi seluas 4.557 ha. Sejak itu, Radiohead mengusahakan bermusik dengan meminimalisir karbon yang dihasilkan dengan cara penerangan hemat energi, penggunaan barang-barang daur ulang untuk gelas minum, kertas poster, foto, dan lirik lagu, juga meminimalisir penggunaan barang-barang plastik. Gerakan

Radiohead ini hanya sebagian kecil dari upaya mitigasi di Eropa yang masih saja menjadi lima penyumbang terbesar emisi

2CO . Sedangkan, beberapa negara berkembang seperti Indonesia tergolong paling rentan terkena dampak bencana dari perubahan iklim, terutama kepulauan kecil di Indonesia bagian timur.

Sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 1942 di Oxford, Inggris, telah memiliki jaringan luas di banyak negara. Oxfam adalah konfederasi International dari tujuh belas organisasi yang bekerja di 92 negara bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Di Indonesia, Oxfam bekerja sejak tahun 1957 untuk mendorong pengentasan kemiskinan melalui kegiatan pengembangan kehidupan berkelanjutan. Di wilayah Indonesia Timur, Oxfam banyak bekerja di area rawan bencana dan desa pesisir untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam adaptasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan perubahan iklim.

Di Kepulauan Kei, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, masyarakat di pesisir barat pulau ini menyaksikan perubahan garis pantai di kampung mereka yang kian tergerus. Pada tahun 1960an, di Desa Wab Ngufar dan Watngil masih terdapat bentangan pasir sekira 30 meter ke arah laut yang ditumbuhi tanaman tandan dan semak belukar. Pada tahun 1970an, garis

ADAPTASI WARGA PESISIR PULAU KEI KECIL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

pantai mencapai barisan pertama permukiman lama, sehingga satu persatu rumah gantung tersebut mulai berpindah puluhan meter dari pantai dan membentuk permukiman baru. Sekarang, tersisa empat rumah di permukiman lama tersebut.

Pada suatu pagi di Bulan Oktober, yang merupakan puncak musim kemarau, dan bertepatan saat meti kei, yaitu saat di mana air laut surut di titik terendah setiap tahunnya, seorang nelayan sedang duduk di atas batu karang datar yang berpasir, tepat di batas air surut. Ia mengamati jaring yang telah dipasangnya sambil menunggu air laut di depannya kian surut. Saya mendatanginya. Walaupun rintik hujan mengguyur kepala, kami tetap asyik berbicara. Ia menjelaskan bahwa cara menangkap ikan seperti yang dilakukannya dinamakan tutup meti. Ikan jarang di depan Tanjung Karang Wab, tetapi banyak di Pulau Tarwa, pulau yang ditempuh selama 15 menit dari Tanjung Karang Wab dengan menggunakan katinting (sampan kayu yang bermesin), jelasnya.

Ketika musim barat tiba dan gelombang air laut tinggi, para nelayan tetap akan menangkap ikan. Musim kemarau di Pulau Kei Kecil semakin panjang dan musim hujannya tinggal 3 atau 2 bulan. Perubahan itu terjadi sejak 15 tahun terakhir, menurut pengamatan nelayan tadi.

Tahun 2007, Yayasan Nen Mas Il memberi bantuan kepada 15 kelompok petani rumput laut. Setahun setelah budidaya berlangsung, harga beli rumput laut mencapai Rp 13.000,-/kg. Harga sempat mencapai Rp 17.000,-/kg, namun hanya bertahan dua minggu, lalu turun menjadi Rp 8.000,-/kg. Pada bulan November 2011, harga rumput laut turun sebesar Rp 6.500,-/kg.

Wa l a u p u n h a r g a y a n g f l u k t u a t i f , m e r e k a t e t a p menggantungkan hidupnya pada rumput laut.

Sehingga pada bulan Mei-Juni tahun 2011, harga enbal – makanan dari ubi beracun yang difermentasi menjadi tepung enbal, yang semula seharga Rp. 20.000/bungkus naik menjadi Rp. 50.000/bungkus selama hampir dua bulan. Pangan lokal utama tersebut menjadi langka.

Hujan yang tidak menentu, menimbulkan penyakit pada rumput laut. Seorang petani rumput laut, Pak Abe Jamlean, mengutarakan, “Pada bulan Oktober-November seharusnya musim kemarau, tapi sekarang cuaca tidak menentu, hujan-panas saling bergantian. Rumput laut di muka kampung diserang penyakit ice-ice (penyakit dimana batang rumput laut berlendir dan mudah patah), sehingga panen dilakukan lebih cepat saat berumur 20-30 hari. Cuaca yang tidak menentu juga menyulitkan para nelayan tradisional untuk menentukan waktu melautnya.”

Saat musim barat mulai tiba, jumlah orang yang menanam di meti (laut dangkal) berkurang. Hanya petani di 'laut biru' (laut dalam) yang bertahan. Itupun hanya untuk penanaman bibit. Gelombang dan angin yang membuat tali long line putus menjadi alasan bagi warga untuk menggantung batu sebagai pemberat agar rumput laut tenggelam dan bola pelampung sedikit ke dalam untuk menghindari pecahan ombak. Setelah

musim barat berlalu, wilayah meti kembali menjadi ramai ditanami rumput laut.

Pada musim timur tahun 2011, petani memakai hitungan 'orang tua-tua' untuk menanam kacang hijau, akan tetapi hitungannnya meleset. Pada bulan Maret-April, Meki membantu ayahnya menanam kacang hijau seluas satu hektare. Saat menunggu panen pada bulan Mei-Juni yang seharusnya musim panas, malah musim hujan yang datang. Cuaca tidak menentu ini menyebabkan gagal panen. Di Jawa kekeringan, Maluku Tenggara malah turun hujan.

Penduduk Kei menandai datangnya musim barat dengan istilah musim laur, yaitu saat dimana laur (cacing laut) bermunculan pada saat bulan bundar (purnama) pada Bulan Februari. Warga di beberapa desa pesisir barat Pulau Kei Kecil sudah mempersiapkan diri pada kegiatan Timba Laur yang dilaksanakan setiap tahun. Dalam kegiatan ini, warga ditemani cahaya lampu gas berkelompok menimba laur yang muncul di permukaan air laut dengan jaring atau sarung.

Warga Desa Wab sudah menyeberang ke Pulau Tarwa yang berada di depan kampung sejak sore hari. Sebelum ke Pulau Tarwa, speed yang saya tumpangi menuju ke Pulau Warbal, sekitar lima menit dari Pulau Tarwa. Sebelum mendekati Pulau Warbal, air laut terlihat sudah menggenangi pemukiman di pesisir pantai. Beberapa warga pun menggayung sampan di sekitar permukiman. Karena intrusi, beberapa sumur air tawar warga akhirnya tercampur dengan air laut. Menurut bidan yang bertugas di pulau ini, penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk adalah penyakit ISPA.

Pada tengah malam, hujan deras disertai angin kencang melanda pulau ini. Para nelayan kembali ke daratan. Tidak ada satu pun yang berani melaut. Sampai dini hari, mereka hanya menambat perahu mesin, sembari mengontrolnya sesekali agar tidak hanyut terbawa arus. Cuaca dimana hujan dan angin semakin kencang disebut mereka dengan istilah musim barat nenek moyang, yaitu musim barat yang sangat ekstrem. Pada pagi hari, semua sampan bermesin terbalik. Hanya speed (perahu modern) besar yang mampu bertahan. Beberapa alat tangkap ikan, penggayung, dan ikan hasil tangkapan hanyut. Bahkan beberapa katinting terpaksa diangkut ke darat untuk diservis. Matahari mulai bersinar, mereka pun merapikan tenda dan barang bawaan untuk kembali ke kampung Wab.

Umumnya, masyarakat di Kepulauan Kei memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan. Mereka masih memiliki kapasitas berupa praktik tata guna lahan darat dan laut yang digunakan secara turun-temurun. Misalnya untuk menjaga mata air di Desa Wab, kawasan hutan dikeramatkan agar tetap terjaga. Namun berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), kawasan tersebut dimasukkan ke Areal Penggunaan Lain (APL), yakni kawasan yang tidak dikategorikan jelas tergolong dalam hutan primer atau sekunder. Sehingga, diperlukan upaya sinkronisasi praktik lokal dengan kebijakan kehutanan kabupaten serta RTRW yang belum disahkan.

19 20 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Petani Desa Wab sedang menjemur rumput laut Rumput Laut tetap dijemur meski intrusi air laut masuk dalam pemukiman

Warga Pesisir Pulau Kei Kecil

SUARA FORUM KTI KEPULAUAN KEI

Page 21: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

Seluruh bumi akan merasakan dampak perubahan iklim. Uni

Eropa dan Amerika Serikat termasuk lima penyumbang

terbesar emisi gas rumah kaca. Baik dari segi industri, maupun

gaya hidup konsumerisme masyarakat di kota besar itu.

i Inggris, salah satu negara di Eropa, sebuah band menunjukkan langkah nyata mereka dalam menjaga Dnilai musik dan kepekaan lingkungan; Radiohead.

Radiohead menyewa konsultan lingkungan; Best Foot Forward Ltd, untuk membuat laporan tentang jumlah karbon yang dihasilkan sepanjang tur mereka di Amerika Utara sejak 2003 hingga 2006. Di saat beberapa aktor global yang malu dan selalu mencari cara sembunyi dari kenyataan besarnya sumbangsih karbon mereka, Radiohead hadir dengan keberaniannya mempublikasikan hal tersebut sebagai sentilan kecil. Setiap kegiatan jelas berpotensi untuk menyumbang karbon pada dunia, tinggal bagaimana kita sebagai konsumen bisa tetap kritis dalam menjaga iklim global yang masih dibutuhkan oleh generasi berikutnya.

Pada Juli 2007, perusahaan tersebut menerbitkan “The Ecological Footprint and Carbón Audit of Radiohead North American Tours, 2003 dan 2006”. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa total dampak dari kedua turnya mencapai

211.368 ton CO dengan area penelitian ekologi seluas 4.557 ha. Sejak itu, Radiohead mengusahakan bermusik dengan meminimalisir karbon yang dihasilkan dengan cara penerangan hemat energi, penggunaan barang-barang daur ulang untuk gelas minum, kertas poster, foto, dan lirik lagu, juga meminimalisir penggunaan barang-barang plastik. Gerakan

Radiohead ini hanya sebagian kecil dari upaya mitigasi di Eropa yang masih saja menjadi lima penyumbang terbesar emisi

2CO . Sedangkan, beberapa negara berkembang seperti Indonesia tergolong paling rentan terkena dampak bencana dari perubahan iklim, terutama kepulauan kecil di Indonesia bagian timur.

Sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 1942 di Oxford, Inggris, telah memiliki jaringan luas di banyak negara. Oxfam adalah konfederasi International dari tujuh belas organisasi yang bekerja di 92 negara bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Di Indonesia, Oxfam bekerja sejak tahun 1957 untuk mendorong pengentasan kemiskinan melalui kegiatan pengembangan kehidupan berkelanjutan. Di wilayah Indonesia Timur, Oxfam banyak bekerja di area rawan bencana dan desa pesisir untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam adaptasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan perubahan iklim.

Di Kepulauan Kei, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, masyarakat di pesisir barat pulau ini menyaksikan perubahan garis pantai di kampung mereka yang kian tergerus. Pada tahun 1960an, di Desa Wab Ngufar dan Watngil masih terdapat bentangan pasir sekira 30 meter ke arah laut yang ditumbuhi tanaman tandan dan semak belukar. Pada tahun 1970an, garis

ADAPTASI WARGA PESISIR PULAU KEI KECIL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

pantai mencapai barisan pertama permukiman lama, sehingga satu persatu rumah gantung tersebut mulai berpindah puluhan meter dari pantai dan membentuk permukiman baru. Sekarang, tersisa empat rumah di permukiman lama tersebut.

Pada suatu pagi di Bulan Oktober, yang merupakan puncak musim kemarau, dan bertepatan saat meti kei, yaitu saat di mana air laut surut di titik terendah setiap tahunnya, seorang nelayan sedang duduk di atas batu karang datar yang berpasir, tepat di batas air surut. Ia mengamati jaring yang telah dipasangnya sambil menunggu air laut di depannya kian surut. Saya mendatanginya. Walaupun rintik hujan mengguyur kepala, kami tetap asyik berbicara. Ia menjelaskan bahwa cara menangkap ikan seperti yang dilakukannya dinamakan tutup meti. Ikan jarang di depan Tanjung Karang Wab, tetapi banyak di Pulau Tarwa, pulau yang ditempuh selama 15 menit dari Tanjung Karang Wab dengan menggunakan katinting (sampan kayu yang bermesin), jelasnya.

Ketika musim barat tiba dan gelombang air laut tinggi, para nelayan tetap akan menangkap ikan. Musim kemarau di Pulau Kei Kecil semakin panjang dan musim hujannya tinggal 3 atau 2 bulan. Perubahan itu terjadi sejak 15 tahun terakhir, menurut pengamatan nelayan tadi.

Tahun 2007, Yayasan Nen Mas Il memberi bantuan kepada 15 kelompok petani rumput laut. Setahun setelah budidaya berlangsung, harga beli rumput laut mencapai Rp 13.000,-/kg. Harga sempat mencapai Rp 17.000,-/kg, namun hanya bertahan dua minggu, lalu turun menjadi Rp 8.000,-/kg. Pada bulan November 2011, harga rumput laut turun sebesar Rp 6.500,-/kg.

Wa l a u p u n h a r g a y a n g f l u k t u a t i f , m e r e k a t e t a p menggantungkan hidupnya pada rumput laut.

Sehingga pada bulan Mei-Juni tahun 2011, harga enbal – makanan dari ubi beracun yang difermentasi menjadi tepung enbal, yang semula seharga Rp. 20.000/bungkus naik menjadi Rp. 50.000/bungkus selama hampir dua bulan. Pangan lokal utama tersebut menjadi langka.

Hujan yang tidak menentu, menimbulkan penyakit pada rumput laut. Seorang petani rumput laut, Pak Abe Jamlean, mengutarakan, “Pada bulan Oktober-November seharusnya musim kemarau, tapi sekarang cuaca tidak menentu, hujan-panas saling bergantian. Rumput laut di muka kampung diserang penyakit ice-ice (penyakit dimana batang rumput laut berlendir dan mudah patah), sehingga panen dilakukan lebih cepat saat berumur 20-30 hari. Cuaca yang tidak menentu juga menyulitkan para nelayan tradisional untuk menentukan waktu melautnya.”

Saat musim barat mulai tiba, jumlah orang yang menanam di meti (laut dangkal) berkurang. Hanya petani di 'laut biru' (laut dalam) yang bertahan. Itupun hanya untuk penanaman bibit. Gelombang dan angin yang membuat tali long line putus menjadi alasan bagi warga untuk menggantung batu sebagai pemberat agar rumput laut tenggelam dan bola pelampung sedikit ke dalam untuk menghindari pecahan ombak. Setelah

musim barat berlalu, wilayah meti kembali menjadi ramai ditanami rumput laut.

Pada musim timur tahun 2011, petani memakai hitungan 'orang tua-tua' untuk menanam kacang hijau, akan tetapi hitungannnya meleset. Pada bulan Maret-April, Meki membantu ayahnya menanam kacang hijau seluas satu hektare. Saat menunggu panen pada bulan Mei-Juni yang seharusnya musim panas, malah musim hujan yang datang. Cuaca tidak menentu ini menyebabkan gagal panen. Di Jawa kekeringan, Maluku Tenggara malah turun hujan.

Penduduk Kei menandai datangnya musim barat dengan istilah musim laur, yaitu saat dimana laur (cacing laut) bermunculan pada saat bulan bundar (purnama) pada Bulan Februari. Warga di beberapa desa pesisir barat Pulau Kei Kecil sudah mempersiapkan diri pada kegiatan Timba Laur yang dilaksanakan setiap tahun. Dalam kegiatan ini, warga ditemani cahaya lampu gas berkelompok menimba laur yang muncul di permukaan air laut dengan jaring atau sarung.

Warga Desa Wab sudah menyeberang ke Pulau Tarwa yang berada di depan kampung sejak sore hari. Sebelum ke Pulau Tarwa, speed yang saya tumpangi menuju ke Pulau Warbal, sekitar lima menit dari Pulau Tarwa. Sebelum mendekati Pulau Warbal, air laut terlihat sudah menggenangi pemukiman di pesisir pantai. Beberapa warga pun menggayung sampan di sekitar permukiman. Karena intrusi, beberapa sumur air tawar warga akhirnya tercampur dengan air laut. Menurut bidan yang bertugas di pulau ini, penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk adalah penyakit ISPA.

Pada tengah malam, hujan deras disertai angin kencang melanda pulau ini. Para nelayan kembali ke daratan. Tidak ada satu pun yang berani melaut. Sampai dini hari, mereka hanya menambat perahu mesin, sembari mengontrolnya sesekali agar tidak hanyut terbawa arus. Cuaca dimana hujan dan angin semakin kencang disebut mereka dengan istilah musim barat nenek moyang, yaitu musim barat yang sangat ekstrem. Pada pagi hari, semua sampan bermesin terbalik. Hanya speed (perahu modern) besar yang mampu bertahan. Beberapa alat tangkap ikan, penggayung, dan ikan hasil tangkapan hanyut. Bahkan beberapa katinting terpaksa diangkut ke darat untuk diservis. Matahari mulai bersinar, mereka pun merapikan tenda dan barang bawaan untuk kembali ke kampung Wab.

Umumnya, masyarakat di Kepulauan Kei memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan. Mereka masih memiliki kapasitas berupa praktik tata guna lahan darat dan laut yang digunakan secara turun-temurun. Misalnya untuk menjaga mata air di Desa Wab, kawasan hutan dikeramatkan agar tetap terjaga. Namun berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), kawasan tersebut dimasukkan ke Areal Penggunaan Lain (APL), yakni kawasan yang tidak dikategorikan jelas tergolong dalam hutan primer atau sekunder. Sehingga, diperlukan upaya sinkronisasi praktik lokal dengan kebijakan kehutanan kabupaten serta RTRW yang belum disahkan.

19 20 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Petani Desa Wab sedang menjemur rumput laut Rumput Laut tetap dijemur meski intrusi air laut masuk dalam pemukiman

Warga Pesisir Pulau Kei Kecil

SUARA FORUM KTI KEPULAUAN KEI

Page 22: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

21 22 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Mereka juga mempunyai kapasitas untuk bertani di lahan yang miskin unsur hara dengan mengembangkan pangan alternatif yang masih tersedia seperti umbi-umbian. Di Kepulauan Kei juga terdapat hutan sagu (meon) dan beberapa hasil hutan yang dimanfaatkan untuk sayur dan obat-obatan alternatif. Untuk energi alternatif, warga khususnya Ibu rumah tangga memanfaatkan kayu bakar yang masih banyak tersedia di bekas lahan dan hutan.

Penduduk Desa Wab memiliki beragam pekerjaan. Selain bekerja di desa sebagai petani rumput laut, petani darat, dan nelayan, mereka juga bekerja mengerjakan proyek pemerintah atau menjadi tukang bangunan di kota.

Selain itu, ada beberapa program pemerintah yang berjalan di Desa Wab. Diantaranya, Program Penanaman Pohon Bintanggur dan Ketapang untuk memulihkan garis pantai. Pemerintah dan Angkatan Muda Gereja Wab bekerja sama dalam pelaksanaan ini. Yayasan Nen Mas Il juga bekerja sama dengan warga untuk menanam bakau di sepanjang pantai di sekitar pemukiman. Yang tak kalah pentingnya adalah ikatan sosial adat serta budaya maren (gotong royong) yang masih kuat. Misalnya, saat rumah warga di kampung Wab terkena angin puting beliung, mereka beramai-ramai saling membantu.

Fenomena Perubahan Iklim sama sekali tidak mengenal batas wilayah. Sebab yang mungkin saja hanya berasal dari satu wilayah sempit dapat berdampak global hingga ke belahan dunia lain. Beberapa aktor penyumbang emisi terbesar seperti tidak punya atau tidak mau keluar dari zona nyaman yang sebenarnya menyesakkan Bumi untuk mempertahankan kenyamanannya bagi masyarakat dunia. Adaptasi warga Penduduk Kei Kecil untuk menghadapi perubahan iklim yang mulai dirasakan dampaknya secara ekonomi, sosial, dan budaya patut menjadi tauladan dunia. Mereka semangat dalam praktik dan menjaga pengetahuan lokalnya sebagai warga pesisir.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATIONhttp://petikdua.wordpress.com/2013/03/01/adaptasi-warga-pesisir-pulau-kei-kecil-menghadapi-perubahan-iklim-global/

Anak merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang telah diharapkan mampu untuk memikul tugas dan tanggung jawab demi kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia di masa depan.

Untuk itu anak perlu mendapatkan perhatian khusus dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secar aoptimal, agar mampu hidup layak dan berkembang dengan wajah baik secara jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya.

Pekerjaan Sosial merupakan profesi pemberian pertolongan yang tugas utamanya adalah menolong keluarga dan kelompok masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dengan cara-cara memeprbaiki dan mengangkat keberfungsian sosial mereka.

Keberfungsian sosial mengacu kepada cara-cara yang digunakn orang sebagai individu maupun keluarga dan kelompok masyarakat dalam bertingkah laku atau bertindak melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Dalam pekerjaan sosial secara khusus sebagai suatu pelajaran profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui kmenusiaan keluarga dan kelompok m a s y a r a k a t u n t u k m e n c a p a i k e p u a s a n d a n ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial. Berdasarkan hal tersebut maka pekerjaan sosial disamping bersifat akademis, juga memiliki tujuan praktis yang sasarannya ditujukan terhadap interaksi di antara orang dengan sistem sumber.

Sejalan dengan itu, pekerjaan sosial mempunyai tujuan sebagai berikut.1. Meningkatkan kemampuan orang untuk menghadapi

tugas-tugas kehidupan dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya

2. Mengatikan orang dengan sistem sumber yang dapat menyediakan sumber-sumber pelayanan dan kesempatan-kesempatan yang dibutuhkannya

3. Mengaitkan kemampuan pelaksana sistem-sistem tersebut ecara lebih efektif dan berkemanusiaan

4. Memberikan sumbangan bagi perubahan perbaikan dan perkembangan kebijaksanaan serta perundang-undangan sosial.

Dalam usaha untuk melaksanak an pelayanan kesejahteraan sosial ditujukan pada peningkatan kemampuan berfungsinya individu, keluarga maupun kelompok masyarakat dalam melaksanakan dan memelihara kesejahteraan anak.

Sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan anak perul dilakukan kegiatan atau usaha ekonomi yang dapat membantu anak dalam memenuhi kebutuhan mereka, sehingga kegiatan atau usaha yang dilakukan dapat melibatkan keluarga dan anak tersebut, dalam kegiatan-kegiatan di bidang pertanian, peternakan, perikanan secara praktis dan produktif untuk meningkatkan pendapatan sehari-hari, selama anak-anak masih tinggal di panti asuhan atau asrama.

Untuk pelaksanaan kegaitan tersebut memerlukan modal dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan usaha merek a, melalui pekerjaan sosia l dapat berusaha membangkitkan kesadaran keluarga dan masyarakat akan pentingnya peningkatan kesejahteraan anak, sehingga timbul kesederhanaan untuk memberikan bentuand alam usaha kesejahteraan anak. Dan selanjutnya pekerja sosial sebagai pembimbing dan pengasuh bagi anak-anak dapat memberikan kemungkinan serta menciptakan situasi bagi anak untuk melaksanakan fungsi sosialnya.

Dalam pelaksanaan fungsi ini, peranan pekerja sosial sebagai pegnasuh dan pembimbing bagi anak perlu memberikan pemahaman yang mendalam terhadap perilaku anak dan meningkatkan keterampilan dalam memelihara dan membimbing anak, serta tindakan langsung tanpa kekerasan.

Sesuai dengan peranannya, pekerja sosial atau pengasuh anak dapat berupaya memelihara lingkungan di mana anak-anak itu berada, baik di dalam panti, di luar panti atau asrama, sehingga dapat mewujudkan keadaan yang aman dan nyaman agar dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Ketua Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial Anamaraka Serui Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua .dapat dihubungi di no. HP 0812 4825 8896

PEKERJAAN SOSIAL PAPUA

Pekerjaan Sosial dan Usaha Ekonomidalam Pelayanan Kesejahteraan Anak

OLEH YAN IZAK NENEPAT

entralistik pembangunan nasional selama tiga dekade terakhir seringkali dipandang telah memarjinalkan Smasyarakat lokal. Gaya perencanaan dan pelaksanaan

program pembangunan yang bersifat sentralisitik, dengan pendekatan dari atas ke bawah telah mengurangi inisiatif masyarakat lokal sekaligus menjauhkannya dari sumberdaya sosial ekonomi yang seharusnya menjadi hak masyarakat tersebut. Dampak dari pembangunan nasional yang serba sentralistik tersebut akhirnya akan menimbulkan kemiskinan bagi kalangan masyarakat. Dampak dari pola pembangunan seperti itu juga akan menimbulkan ragam bentuk gerakan protes yang menuntut keadilan, mulai dari bentuk apatisme, penarikan diri, dan unjuk rasa.

Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam upaya untuk meminimalkan dampak kemiskinan yang tengah dihadapi masyarakat. Salah satunya adalah dengan cara meningkatkan perekonomian lokal. Upaya pengembangan ekonomi lokal ini juga sekaligus membangun sinergi berbagai pihak dengan mengutamakan prinsip-prinsip dasar keberhasilan pengembangan e k o n o m i l o k a l , s e p e r t i desentralisasi yang konsisten, tata pemerintahan yang baik a t a u g o o d c o r p o r a t e governance, kegiatan pro-masyarakat miskin, kesetaraan gender, dan pembangunan berkelanjutan.

P e n i n g k a t a n pembangunan ekonomi lokal dapat d i lakuk an dengan membangun daya tarik daerah. B e b e r a p a c a r a u n t u k membangun daya tarik daerah a n t a r a l a i n d e n g a n ( 1 ) menyehatkan iklim investasi dan dinamisme ekonomi daerah, peningkatan sumber d a y a m a n u s i a , m e m p r o m o s i k a n c i t r a komoditi dan produk unggulan daerah; (2) membangun daya tahan, yang berupa diversifikasi usaha dan transformasi produk, p e n g e m b a n g a n kewirausahaan, peningkatan akses sumber daya ekonomi dan pengembangan modal sosial; serta (3) membangun d a y a s a i n g , m e l a l u i peningkatan produktifitas, efisiensi sumber daya penduduk miskin menuju pasar, mendukung keberlanjutan inovasi produk unggulan, dan kemitraan regional.

Forum Perempuan lahir dari sebuah tekad sesama perempuan yang peduli terhadap kepentingan dan kemajuan perempuan yang selama ini masih di pandang sebelah mata atau masih termarginalkan oleh budaya dan lain-lain. Keanggotaan Forum Perempuan merupakan semangat pergerakan perempuan dalam membangun basis perekonomian dan penguatan kapasitas perempuann serta menampilkan jati diri perempuan dalam turut membangun bangsa dan citra kemandirian.

Perempuan yang tergabung dalam Forum Perempuan memiliki semangat dan ruang gerak kemandirian yang luar biasa dalam mempertahankan usaha perempuan dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan kesetaraaan gender. Dalam perjalanannya Forum Perempuan telah memberikan kontribusinya dalam menopang ekonomi perempuan serta

perannya dalam berbagai ruang publik, yaitu melakukan peran Musrenbang perempuan tingkat kelurahan dan kecamatan untuk mengangkat hal-hal yang menyangkut hak-hak dasar perempuan.

Perempuan dengan potensi yang dimiliki berupaya maksimal untuk bisa mempertahankan keberlanjutan uasaha yang dikembangkan serta hak-hak dasar lainnya seperti upaya ketahanan pangan melalui berbagai usaha yang dikembangkan oleh perempuan seperti pertanian, peternakan dan perikanan memberikan kontribusi terhadap kehidupan keluarga untuk mencapai kesejahteraan dan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain di sekitarnya.

Seperti yang diketahui bersama bahwa ada upaya pemerintah untuk menghapus segala diskriminasi terhadap perempuan, yaitu dengan membuat konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) tapi d a l a m k e n y a t a a n n y a p e r j u a n g a n u n t u k mengimplementasikannya tidak mudah.

Nilai-nilai sosial budaya yang bias gender, telah sangat melekat dan berakar dalam kehidupan masyarakat kita yang kemudian melahirkan berbagai macam ketidakadilan pada perempuan dan hal ini sangat merugik an k aum perempuan. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak sedikit realitas yang menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam masyarakat.

S e o r a n g p e r e m p u a n harus memikul beban ganda yakni menjalani peran sebagai ibu rumah tangga (peran domestik), istri dan pencari nafkah (peran publik). Rumah yang seharusnya menjadi t e m p a t t e r a m a n b a g i perempuan namun dalam kenyataannya tidak demikian. Secara budaya, perempuan dipaksa menerima kenyataan ketidakadilan tersebut sebagai sesuatu yang wajar karena dia adalah seorang perempuan.

Dalam konteks bernegara, perempuan juga mengalami marginalisasi dan diskriminasi terutama berkaitan dengan kebijakan-kebijakan negara

yang diskriminatif dan melanggar secara langsung hak dan kepentingan aspirasi perempuan. Sebagai contoh pembatasan kelahiran (Keluarga Berencana) yang dalam pelaksanaannya sering kali melanggar hak-hak dasar perempuan sebagai seorang manusia. Seorang perempuan wajib menjalankan program KB sedangkan suamitidak diwajibkan menjalankan program ini. Sering kali, alat kontrasepsi yang diperkenalkan oleh Pemerintah kepada masyarakat adalah yang hanya dikenakan oleh perempuan.

Pelanggaran negara terhadap hak asasi perempuan juga terjadi dengan diabaikannya persoalan hak dasar perempuan seperti hak atas pendidikan, kesehatan reproduksi, ekonomi (ahli waris), juga keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan sering dibatasi serta hak-hak yang lainnya. Hal inilah yang membuat ruang gerak perempuan semakin terbatas.

Berangkat dari kondisi di atas maka Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK) SEHATI MANUTAPEN Kota Kupang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam

SUARA FORUM KTI NTT

Masyarakat Lokal

Perempuan dan Pembangunan

OLEH JOHANNES MELKY SUBANI

Page 23: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

21 22 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Mereka juga mempunyai kapasitas untuk bertani di lahan yang miskin unsur hara dengan mengembangkan pangan alternatif yang masih tersedia seperti umbi-umbian. Di Kepulauan Kei juga terdapat hutan sagu (meon) dan beberapa hasil hutan yang dimanfaatkan untuk sayur dan obat-obatan alternatif. Untuk energi alternatif, warga khususnya Ibu rumah tangga memanfaatkan kayu bakar yang masih banyak tersedia di bekas lahan dan hutan.

Penduduk Desa Wab memiliki beragam pekerjaan. Selain bekerja di desa sebagai petani rumput laut, petani darat, dan nelayan, mereka juga bekerja mengerjakan proyek pemerintah atau menjadi tukang bangunan di kota.

Selain itu, ada beberapa program pemerintah yang berjalan di Desa Wab. Diantaranya, Program Penanaman Pohon Bintanggur dan Ketapang untuk memulihkan garis pantai. Pemerintah dan Angkatan Muda Gereja Wab bekerja sama dalam pelaksanaan ini. Yayasan Nen Mas Il juga bekerja sama dengan warga untuk menanam bakau di sepanjang pantai di sekitar pemukiman. Yang tak kalah pentingnya adalah ikatan sosial adat serta budaya maren (gotong royong) yang masih kuat. Misalnya, saat rumah warga di kampung Wab terkena angin puting beliung, mereka beramai-ramai saling membantu.

Fenomena Perubahan Iklim sama sekali tidak mengenal batas wilayah. Sebab yang mungkin saja hanya berasal dari satu wilayah sempit dapat berdampak global hingga ke belahan dunia lain. Beberapa aktor penyumbang emisi terbesar seperti tidak punya atau tidak mau keluar dari zona nyaman yang sebenarnya menyesakkan Bumi untuk mempertahankan kenyamanannya bagi masyarakat dunia. Adaptasi warga Penduduk Kei Kecil untuk menghadapi perubahan iklim yang mulai dirasakan dampaknya secara ekonomi, sosial, dan budaya patut menjadi tauladan dunia. Mereka semangat dalam praktik dan menjaga pengetahuan lokalnya sebagai warga pesisir.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATIONhttp://petikdua.wordpress.com/2013/03/01/adaptasi-warga-pesisir-pulau-kei-kecil-menghadapi-perubahan-iklim-global/

Anak merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang telah diharapkan mampu untuk memikul tugas dan tanggung jawab demi kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia di masa depan.

Untuk itu anak perlu mendapatkan perhatian khusus dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secar aoptimal, agar mampu hidup layak dan berkembang dengan wajah baik secara jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya.

Pekerjaan Sosial merupakan profesi pemberian pertolongan yang tugas utamanya adalah menolong keluarga dan kelompok masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dengan cara-cara memeprbaiki dan mengangkat keberfungsian sosial mereka.

Keberfungsian sosial mengacu kepada cara-cara yang digunakn orang sebagai individu maupun keluarga dan kelompok masyarakat dalam bertingkah laku atau bertindak melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Dalam pekerjaan sosial secara khusus sebagai suatu pelajaran profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui kmenusiaan keluarga dan kelompok m a s y a r a k a t u n t u k m e n c a p a i k e p u a s a n d a n ketidaktergantungan secara pribadi dan sosial. Berdasarkan hal tersebut maka pekerjaan sosial disamping bersifat akademis, juga memiliki tujuan praktis yang sasarannya ditujukan terhadap interaksi di antara orang dengan sistem sumber.

Sejalan dengan itu, pekerjaan sosial mempunyai tujuan sebagai berikut.1. Meningkatkan kemampuan orang untuk menghadapi

tugas-tugas kehidupan dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya

2. Mengatikan orang dengan sistem sumber yang dapat menyediakan sumber-sumber pelayanan dan kesempatan-kesempatan yang dibutuhkannya

3. Mengaitkan kemampuan pelaksana sistem-sistem tersebut ecara lebih efektif dan berkemanusiaan

4. Memberikan sumbangan bagi perubahan perbaikan dan perkembangan kebijaksanaan serta perundang-undangan sosial.

Dalam usaha untuk melaksanak an pelayanan kesejahteraan sosial ditujukan pada peningkatan kemampuan berfungsinya individu, keluarga maupun kelompok masyarakat dalam melaksanakan dan memelihara kesejahteraan anak.

Sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan anak perul dilakukan kegiatan atau usaha ekonomi yang dapat membantu anak dalam memenuhi kebutuhan mereka, sehingga kegiatan atau usaha yang dilakukan dapat melibatkan keluarga dan anak tersebut, dalam kegiatan-kegiatan di bidang pertanian, peternakan, perikanan secara praktis dan produktif untuk meningkatkan pendapatan sehari-hari, selama anak-anak masih tinggal di panti asuhan atau asrama.

Untuk pelaksanaan kegaitan tersebut memerlukan modal dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan usaha merek a, melalui pekerjaan sosia l dapat berusaha membangkitkan kesadaran keluarga dan masyarakat akan pentingnya peningkatan kesejahteraan anak, sehingga timbul kesederhanaan untuk memberikan bentuand alam usaha kesejahteraan anak. Dan selanjutnya pekerja sosial sebagai pembimbing dan pengasuh bagi anak-anak dapat memberikan kemungkinan serta menciptakan situasi bagi anak untuk melaksanakan fungsi sosialnya.

Dalam pelaksanaan fungsi ini, peranan pekerja sosial sebagai pegnasuh dan pembimbing bagi anak perlu memberikan pemahaman yang mendalam terhadap perilaku anak dan meningkatkan keterampilan dalam memelihara dan membimbing anak, serta tindakan langsung tanpa kekerasan.

Sesuai dengan peranannya, pekerja sosial atau pengasuh anak dapat berupaya memelihara lingkungan di mana anak-anak itu berada, baik di dalam panti, di luar panti atau asrama, sehingga dapat mewujudkan keadaan yang aman dan nyaman agar dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Ketua Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial Anamaraka Serui Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua .dapat dihubungi di no. HP 0812 4825 8896

PEKERJAAN SOSIAL PAPUA

Pekerjaan Sosial dan Usaha Ekonomidalam Pelayanan Kesejahteraan Anak

OLEH YAN IZAK NENEPAT

entralistik pembangunan nasional selama tiga dekade terakhir seringkali dipandang telah memarjinalkan Smasyarakat lokal. Gaya perencanaan dan pelaksanaan

program pembangunan yang bersifat sentralisitik, dengan pendekatan dari atas ke bawah telah mengurangi inisiatif masyarakat lokal sekaligus menjauhkannya dari sumberdaya sosial ekonomi yang seharusnya menjadi hak masyarakat tersebut. Dampak dari pembangunan nasional yang serba sentralistik tersebut akhirnya akan menimbulkan kemiskinan bagi kalangan masyarakat. Dampak dari pola pembangunan seperti itu juga akan menimbulkan ragam bentuk gerakan protes yang menuntut keadilan, mulai dari bentuk apatisme, penarikan diri, dan unjuk rasa.

Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam upaya untuk meminimalkan dampak kemiskinan yang tengah dihadapi masyarakat. Salah satunya adalah dengan cara meningkatkan perekonomian lokal. Upaya pengembangan ekonomi lokal ini juga sekaligus membangun sinergi berbagai pihak dengan mengutamakan prinsip-prinsip dasar keberhasilan pengembangan e k o n o m i l o k a l , s e p e r t i desentralisasi yang konsisten, tata pemerintahan yang baik a t a u g o o d c o r p o r a t e governance, kegiatan pro-masyarakat miskin, kesetaraan gender, dan pembangunan berkelanjutan.

P e n i n g k a t a n pembangunan ekonomi lokal dapat d i lakuk an dengan membangun daya tarik daerah. B e b e r a p a c a r a u n t u k membangun daya tarik daerah a n t a r a l a i n d e n g a n ( 1 ) menyehatkan iklim investasi dan dinamisme ekonomi daerah, peningkatan sumber d a y a m a n u s i a , m e m p r o m o s i k a n c i t r a komoditi dan produk unggulan daerah; (2) membangun daya tahan, yang berupa diversifikasi usaha dan transformasi produk, p e n g e m b a n g a n kewirausahaan, peningkatan akses sumber daya ekonomi dan pengembangan modal sosial; serta (3) membangun d a y a s a i n g , m e l a l u i peningkatan produktifitas, efisiensi sumber daya penduduk miskin menuju pasar, mendukung keberlanjutan inovasi produk unggulan, dan kemitraan regional.

Forum Perempuan lahir dari sebuah tekad sesama perempuan yang peduli terhadap kepentingan dan kemajuan perempuan yang selama ini masih di pandang sebelah mata atau masih termarginalkan oleh budaya dan lain-lain. Keanggotaan Forum Perempuan merupakan semangat pergerakan perempuan dalam membangun basis perekonomian dan penguatan kapasitas perempuann serta menampilkan jati diri perempuan dalam turut membangun bangsa dan citra kemandirian.

Perempuan yang tergabung dalam Forum Perempuan memiliki semangat dan ruang gerak kemandirian yang luar biasa dalam mempertahankan usaha perempuan dari aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan kesetaraaan gender. Dalam perjalanannya Forum Perempuan telah memberikan kontribusinya dalam menopang ekonomi perempuan serta

perannya dalam berbagai ruang publik, yaitu melakukan peran Musrenbang perempuan tingkat kelurahan dan kecamatan untuk mengangkat hal-hal yang menyangkut hak-hak dasar perempuan.

Perempuan dengan potensi yang dimiliki berupaya maksimal untuk bisa mempertahankan keberlanjutan uasaha yang dikembangkan serta hak-hak dasar lainnya seperti upaya ketahanan pangan melalui berbagai usaha yang dikembangkan oleh perempuan seperti pertanian, peternakan dan perikanan memberikan kontribusi terhadap kehidupan keluarga untuk mencapai kesejahteraan dan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain di sekitarnya.

Seperti yang diketahui bersama bahwa ada upaya pemerintah untuk menghapus segala diskriminasi terhadap perempuan, yaitu dengan membuat konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) tapi d a l a m k e n y a t a a n n y a p e r j u a n g a n u n t u k mengimplementasikannya tidak mudah.

Nilai-nilai sosial budaya yang bias gender, telah sangat melekat dan berakar dalam kehidupan masyarakat kita yang kemudian melahirkan berbagai macam ketidakadilan pada perempuan dan hal ini sangat merugik an k aum perempuan. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak sedikit realitas yang menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam masyarakat.

S e o r a n g p e r e m p u a n harus memikul beban ganda yakni menjalani peran sebagai ibu rumah tangga (peran domestik), istri dan pencari nafkah (peran publik). Rumah yang seharusnya menjadi t e m p a t t e r a m a n b a g i perempuan namun dalam kenyataannya tidak demikian. Secara budaya, perempuan dipaksa menerima kenyataan ketidakadilan tersebut sebagai sesuatu yang wajar karena dia adalah seorang perempuan.

Dalam konteks bernegara, perempuan juga mengalami marginalisasi dan diskriminasi terutama berkaitan dengan kebijakan-kebijakan negara

yang diskriminatif dan melanggar secara langsung hak dan kepentingan aspirasi perempuan. Sebagai contoh pembatasan kelahiran (Keluarga Berencana) yang dalam pelaksanaannya sering kali melanggar hak-hak dasar perempuan sebagai seorang manusia. Seorang perempuan wajib menjalankan program KB sedangkan suamitidak diwajibkan menjalankan program ini. Sering kali, alat kontrasepsi yang diperkenalkan oleh Pemerintah kepada masyarakat adalah yang hanya dikenakan oleh perempuan.

Pelanggaran negara terhadap hak asasi perempuan juga terjadi dengan diabaikannya persoalan hak dasar perempuan seperti hak atas pendidikan, kesehatan reproduksi, ekonomi (ahli waris), juga keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan sering dibatasi serta hak-hak yang lainnya. Hal inilah yang membuat ruang gerak perempuan semakin terbatas.

Berangkat dari kondisi di atas maka Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK) SEHATI MANUTAPEN Kota Kupang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam

SUARA FORUM KTI NTT

Masyarakat Lokal

Perempuan dan Pembangunan

OLEH JOHANNES MELKY SUBANI

Page 24: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

pengelolaan usaha kecil, peningkatan keterampilan perempuan dalam usaha kecil, serta membangun jaringan perempuan usaha kecil yang berdaya dan berhasil guna berinisiatif melakukan diskusi yang difasilitasi oleh Forum Kawasan Timur Indonesia Wilayah Nusa Tenggara Timur.

Diskusi yang bertujuan untuk berbagi informasi, praktik dan inisiatif cerdas dari KPUK SEHATI MANUTAPEN terkait pengelolaan usaha kecil menengah. Dalam diskusi ini, beberapa informasi penting yang mengemuka seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Kupang melibatkan KPUK SEHATI MANUTAPEN dalam kegiatan-kegiatan pelatihan untuk penguatan kapasitas kelompok, baik untuk pengelolaan keuangan kelompok maupun praktik pembuatan makanan dari bahan-bahan lokal. Pada tahun 2010 FAO juga mulai bekerjasama dengan KPUK SEHATI MANUTAPEN dalam memberikan pelatihan-pelatihan untuk penguatan kapasitas dan juga membantu mendesain kemasan dan label untuk produk kerupuk ikan.

Belum lagi dalam hal pengembangan ekonomi usaha kecil yang banyak melibatkan kaum perempuan. Semakin hari semakin baik karena para pengolah usaha telah dibekali dengan pengetahuan tentang bagaimana mengelola usahanya sendiri sehingga bisa berkembang.

Pada umumnya pengelola hanya menjalankan usahanya dengan berpikir yang penting mendapat untung,tetapi setelah dibekali dengan pelatihan-pelatihan yang di selenggarakan oleh pemerintah maupun NGO para pengelola usaha kecil mulai tahu bahwa pencatatan hasil produksi dan penjualan lewat pembukuan juga sangat penting untuk mengetahui apakah usahanya mengalami keuntungan dan kemajuan atau tidak.

Banyak upaya yang dilakukan oleh pihak terkait seperti Dinas Koperasi dan Disperindag dalam penguatan kapasitas bagi pelaku usaha dalam mengelola usahanya, lewat pelatihan pembukuan sederhana dan bagaimana cara mengakses dana koperasi juga bagaimana mengelola keuangan itu sendiri dalam mengembangkan usahanya, selain itu ada LSM yang juga mengadakan pelatihan-pelatihan yang melibatkan para pelaku usaha,seperti pelatihan strategi merancang pasar untuk bagaimana bisa memasarkan produk para pelaku usaha.

Bagaimana dapat mengakses dana dari pihak lain seperti Bank atau koperasi, karena kendala utama yang dihadapi oleh para pelaku usaha kecil ini yaitu susah mengakses dana untuk pengembangan usahanya,karena urusan atu persyaratannya sangat tidak berpihak kepada perempuan atau pelaku usaha itu sendiri, bagaimana memasarkan produknya sedangkan ada tuntutan-tuntuan peraturan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha agar bisa produknya diterima di pasaran seperti ijin Dinkes untuk mendapatkan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) juga Sertifikat Halal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BP POM) MUI Nusa Tenggara Timur.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Koordinator Forum KTI Wilayah Nusa Tenggara TimurBappeda Nusa Tenggara Timur Jl. Polisi Militer No. 2 Kupang NTT [email protected] dan [email protected]

Pengalaman untuk mengakses dana dari luar untuk penguatan modal usaha memang harus disertai dengan administrasi yang baik sehingga pihak bank atau kopersi bisa melihat kelayakan untuk mendapatkan pinjaman atau tidak bagi pelaku usaha. Untuk pemasaran atau penjualan produk ke pasaran juga sangat di tentukan oleh ketentuan PIRT dan kehalalan dari produk itu sendiri karena itu memberi kenyamanan bagi konsumen atau pembeli. Oleh karena itu para pelaku usaha harus bisa membuka diri dengan pihak-pihak terakit untuk mendapatkan informasi dalam mengurus ketentuan-ketentuan itu sehingga bisa memajukan usahanya. Adanya show room untuk bisa menampung semua produk lokal yang dihasilkan oleh para pelaku usaha dan dari dinas terkait bisa membantu mempromosikan produk-produk lokal hasil olahan para pelaku usaha.

Sebagai penutup, diharapkan adanya perhatian yang merata dari berbagai pihak terkait, untuk bisa mendampingi para pelaku usaha kecil yang tersebar di wilayah kota sehingga dapat menyerap setiap bantuan yang diperuntukkan kepada pelaku usaha kecil dan juga membantu mempromosikan dan memasarkan produk yang diolah oleh para pelaku usaha, selain itu dari sisi pelaku usaha juga harus bisa membangun jaringan dengan pengusaha luar untuk bisa kerjasama dalam pengembangan usahanya dan kedepannya dapat mengelola usahanya secara mandiri dan tidak berharap pada pihak lain.

JURNALISME WARGA : “SELAMAT DATANG DI DUNIA ORANG BIASA”

urnalisme warga merupakan paradigma dan tren baru tentang bagaimana pembaca atau pemirsa membentuk informasi dan berita pada masa mendatang. Perkembangan di Indonesi a Jdipicu ketika pada tahun 2004 terjadi tragedi Tsunami Aceh yang diliput sendiri oleh korban

tsunami. Terbukti berita langsung dari korban dapat mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis profesional.

OLEH ITA MASITA IBNU

SUARA FORUM KTI

ecara umum pengertian Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) adalah kegiatan partisipasi aktif yang Sdilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan,

pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Hal ini sekaligus mematahkan jurnalisme tradisional yang menjadikan wartawan sebagai satu-satunya pekerja profesional yang dan bertugas meliputi dan menyiarkan informasi kepada publik, jurnalisme warga justru menjadikan semua warga dapat bertugas sebagai reporter tanpa memandang latar belakang pekerjaan, pendidikan dan keahlian untuk kemudian melaporkan kegiatan dan menginformasikan baik dalam bentuk tulisan, gambar, foto, tuturan dan video melalui media online, cetak dan elektronik yang dapat diakses oleh publik (Pepih Nugraha, 2013).

Trend Jurnalisme Warga ternyata diapresiasi baik oleh media-media nasional dan lokal dengan memberikan ruang kepada jurnalisme warga seperti halnya di Kompas dengan Kompasiana di http:www.//kompasiana.com dan kolom khusus Citizen Journalism di koran harian Tribun Timur Makassar. Prinsip ini sekaligus menempatkan masyarakat sebagai penyedia informasi dan bukanlah sebagai obyek penerima informasi yang pasif.

Seiring perkembangan tekhnologi informasi yang sangat pesat saat ini, warga dunia semakin terbantu untuk dapat saling terhubung satu sama lain tanpa batas sehingga lambat laun akan terjadi pola pikir dan cara-cara mendapatkan informasi. Searah dengan apa yang dilakukan oleh BaKTI selama kurun waktu 9 tahun hadir untuk membantu mengatasi keterbatasan akses informasi mengenai pembangunan khususnya di Indonesia Timur melalui pemanfaatan produk-produk media seperti Media Online (Website, portal dan social media) dan media cetak melalui buletin dua bulanan BaKTINews.

Melalui media ini, BaKTI membuka ruang interaktif dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat/pelaku pembangunan menginformasikan mengenai kegiatan pembangunan dan inisiatif cerdas di masyarakat, BaKTI aktif mencari informasi tentang kisah-kisah sukses dan inspiratif dalam pembangunan dengan berbagai cara dan dari beragam sumber, baik dalam diskusi-diskusi lepas maupun pertemuan-pertemuan formal yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi sampai tingkat Regional KTI. Walaupun tak dapat dipungkiri, setiap cerita keberhasilan selalu memuat aneka tantangan dan kegagalan di dalamnya.

Oleh karena itulah jurnalis warga menjadi cara penting untuk dapat menyebarluaskan serta mendorong replikasi praktik cerdas, selain itu dapat mengajak orang lain untuk belajar dan mengantisipasi tantangan serupa. Dengan belajar dari pengalaman lain, kita dapat membantu mengefisienkan waktu, menghemat biaya, dan menghindari kesalahan yang sama dan bermuara pada semakin efektifnya pembangunan di Kawasan Timur Indonesia.

Hal ini pula yang mendorong BaKTI untuk mengadakan pelatihan citizen reporter pada 6 dan 7 April lalu. Pelatihan ini dikhususkan bagi koordinator Forum KTI Wilayah di 12 Provinsi di KTI. Harapannya dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang bagaimana proses menulis sebagai jurnalisme warga, mampu membuat opini serta aktif menjadi kontributor di media BaKTI khususnya buletin BaKTINews dan Batukar.info. Hadir sebagai narasumber adalah Pepih Nugraha, creator kompasiana.com.

Di awal pelatihan, peserta diarahkan untuk membuat menuliskan cerita singkat mengenai kejadian nyata yang paling berkesan yang dialami oleh peserta, kemudian dilanjutkan dengan presentasi tips-tips menulis, bagaimana menulis berita yang baik serta teknik bercerita atau narasi (tutur, cerita dan tulis). Selain dasar-dasar jurnalisme warga, pada pelatihan ini peserta juga dibekali dengan ilmu jurnalisme investigasi. Berbeda dengan jurnalisme warga, jurnaslime investigasi merupakan suatu bentuk peliputan berdasarkan inisiatif dan

hasil kerja seseorang terhadap masalah-masalah penting yang dirahasiakan oleh seseorang atau organisasi.

Kehadiran citizen journalism dapat diibaratkan sebagai angin segar yang membawa perubahan dalam persoalan minimnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasinya. Sebagai pewarta non profesional justru diharapkan akan mengisi ruang-ruang komunikasi timbal balik kepada penentu keputusan dalam hal ini pemerintah.

Citizen journalism sebagai media baru akan bersifat saling melengkapi dan memenuhi kekurangan media rakyat yang bersifat lokal menjadi sumber informasi yang massif dan dibutuhkan oleh semua pihak. Tentu tidak semua orang dapat dengan mudah mengakses kesempatan ini, namun dengan berkembang dan maraknya teknologi komunikasi yang lebih mudah didapatkan oleh masyarakat termasuk yang tinggal di pedesaan, ak an memungk ink an adanya akselerasi pembangunan yang lebih mengena dan dibutuhkan masyarakat itu sendiri.

Pemahaman akan nilai-nilai dan budaya lokal akan menjadikan reportase yang dilakukan oleh warga lebih diterima oleh masyarakat. Mereka lebih mudah menerima informasi pembangunan yang ada dan sesuai dengan kearifan lokal yang telah mereka miliki dibanding informasi yang berbeda dengan norma-norma yang mereka anut.

Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan informasi khususnya informasi pembangunan, sementara di sisi lain perkembangan citizen journalism juga demikian marak maka pada saatnya akan terjadi seleksi alamiah dalam proses akses informasi oleh masyarakat. Karena itu, pelaku citizen journalism khususnya yang terkait dengan pembangunan semestinya memahami dimana mereka akan menyebarkan informasi atau mengetahui target sasaran dan sekaligus latar belakang budayanya. Oleh sebab itu, memahami kearifan lokal masyarakat menjadi sesuatu hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam pembangunan di Indonesia.

23 24 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Page 25: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

pengelolaan usaha kecil, peningkatan keterampilan perempuan dalam usaha kecil, serta membangun jaringan perempuan usaha kecil yang berdaya dan berhasil guna berinisiatif melakukan diskusi yang difasilitasi oleh Forum Kawasan Timur Indonesia Wilayah Nusa Tenggara Timur.

Diskusi yang bertujuan untuk berbagi informasi, praktik dan inisiatif cerdas dari KPUK SEHATI MANUTAPEN terkait pengelolaan usaha kecil menengah. Dalam diskusi ini, beberapa informasi penting yang mengemuka seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Kupang melibatkan KPUK SEHATI MANUTAPEN dalam kegiatan-kegiatan pelatihan untuk penguatan kapasitas kelompok, baik untuk pengelolaan keuangan kelompok maupun praktik pembuatan makanan dari bahan-bahan lokal. Pada tahun 2010 FAO juga mulai bekerjasama dengan KPUK SEHATI MANUTAPEN dalam memberikan pelatihan-pelatihan untuk penguatan kapasitas dan juga membantu mendesain kemasan dan label untuk produk kerupuk ikan.

Belum lagi dalam hal pengembangan ekonomi usaha kecil yang banyak melibatkan kaum perempuan. Semakin hari semakin baik karena para pengolah usaha telah dibekali dengan pengetahuan tentang bagaimana mengelola usahanya sendiri sehingga bisa berkembang.

Pada umumnya pengelola hanya menjalankan usahanya dengan berpikir yang penting mendapat untung,tetapi setelah dibekali dengan pelatihan-pelatihan yang di selenggarakan oleh pemerintah maupun NGO para pengelola usaha kecil mulai tahu bahwa pencatatan hasil produksi dan penjualan lewat pembukuan juga sangat penting untuk mengetahui apakah usahanya mengalami keuntungan dan kemajuan atau tidak.

Banyak upaya yang dilakukan oleh pihak terkait seperti Dinas Koperasi dan Disperindag dalam penguatan kapasitas bagi pelaku usaha dalam mengelola usahanya, lewat pelatihan pembukuan sederhana dan bagaimana cara mengakses dana koperasi juga bagaimana mengelola keuangan itu sendiri dalam mengembangkan usahanya, selain itu ada LSM yang juga mengadakan pelatihan-pelatihan yang melibatkan para pelaku usaha,seperti pelatihan strategi merancang pasar untuk bagaimana bisa memasarkan produk para pelaku usaha.

Bagaimana dapat mengakses dana dari pihak lain seperti Bank atau koperasi, karena kendala utama yang dihadapi oleh para pelaku usaha kecil ini yaitu susah mengakses dana untuk pengembangan usahanya,karena urusan atu persyaratannya sangat tidak berpihak kepada perempuan atau pelaku usaha itu sendiri, bagaimana memasarkan produknya sedangkan ada tuntutan-tuntuan peraturan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha agar bisa produknya diterima di pasaran seperti ijin Dinkes untuk mendapatkan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) juga Sertifikat Halal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BP POM) MUI Nusa Tenggara Timur.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Koordinator Forum KTI Wilayah Nusa Tenggara TimurBappeda Nusa Tenggara Timur Jl. Polisi Militer No. 2 Kupang NTT [email protected] dan [email protected]

Pengalaman untuk mengakses dana dari luar untuk penguatan modal usaha memang harus disertai dengan administrasi yang baik sehingga pihak bank atau kopersi bisa melihat kelayakan untuk mendapatkan pinjaman atau tidak bagi pelaku usaha. Untuk pemasaran atau penjualan produk ke pasaran juga sangat di tentukan oleh ketentuan PIRT dan kehalalan dari produk itu sendiri karena itu memberi kenyamanan bagi konsumen atau pembeli. Oleh karena itu para pelaku usaha harus bisa membuka diri dengan pihak-pihak terakit untuk mendapatkan informasi dalam mengurus ketentuan-ketentuan itu sehingga bisa memajukan usahanya. Adanya show room untuk bisa menampung semua produk lokal yang dihasilkan oleh para pelaku usaha dan dari dinas terkait bisa membantu mempromosikan produk-produk lokal hasil olahan para pelaku usaha.

Sebagai penutup, diharapkan adanya perhatian yang merata dari berbagai pihak terkait, untuk bisa mendampingi para pelaku usaha kecil yang tersebar di wilayah kota sehingga dapat menyerap setiap bantuan yang diperuntukkan kepada pelaku usaha kecil dan juga membantu mempromosikan dan memasarkan produk yang diolah oleh para pelaku usaha, selain itu dari sisi pelaku usaha juga harus bisa membangun jaringan dengan pengusaha luar untuk bisa kerjasama dalam pengembangan usahanya dan kedepannya dapat mengelola usahanya secara mandiri dan tidak berharap pada pihak lain.

JURNALISME WARGA : “SELAMAT DATANG DI DUNIA ORANG BIASA”

urnalisme warga merupakan paradigma dan tren baru tentang bagaimana pembaca atau pemirsa membentuk informasi dan berita pada masa mendatang. Perkembangan di Indonesi a Jdipicu ketika pada tahun 2004 terjadi tragedi Tsunami Aceh yang diliput sendiri oleh korban

tsunami. Terbukti berita langsung dari korban dapat mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis profesional.

OLEH ITA MASITA IBNU

SUARA FORUM KTI

ecara umum pengertian Jurnalisme Warga (Citizen Journalism) adalah kegiatan partisipasi aktif yang Sdilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan,

pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Hal ini sekaligus mematahkan jurnalisme tradisional yang menjadikan wartawan sebagai satu-satunya pekerja profesional yang dan bertugas meliputi dan menyiarkan informasi kepada publik, jurnalisme warga justru menjadikan semua warga dapat bertugas sebagai reporter tanpa memandang latar belakang pekerjaan, pendidikan dan keahlian untuk kemudian melaporkan kegiatan dan menginformasikan baik dalam bentuk tulisan, gambar, foto, tuturan dan video melalui media online, cetak dan elektronik yang dapat diakses oleh publik (Pepih Nugraha, 2013).

Trend Jurnalisme Warga ternyata diapresiasi baik oleh media-media nasional dan lokal dengan memberikan ruang kepada jurnalisme warga seperti halnya di Kompas dengan Kompasiana di http:www.//kompasiana.com dan kolom khusus Citizen Journalism di koran harian Tribun Timur Makassar. Prinsip ini sekaligus menempatkan masyarakat sebagai penyedia informasi dan bukanlah sebagai obyek penerima informasi yang pasif.

Seiring perkembangan tekhnologi informasi yang sangat pesat saat ini, warga dunia semakin terbantu untuk dapat saling terhubung satu sama lain tanpa batas sehingga lambat laun akan terjadi pola pikir dan cara-cara mendapatkan informasi. Searah dengan apa yang dilakukan oleh BaKTI selama kurun waktu 9 tahun hadir untuk membantu mengatasi keterbatasan akses informasi mengenai pembangunan khususnya di Indonesia Timur melalui pemanfaatan produk-produk media seperti Media Online (Website, portal dan social media) dan media cetak melalui buletin dua bulanan BaKTINews.

Melalui media ini, BaKTI membuka ruang interaktif dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat/pelaku pembangunan menginformasikan mengenai kegiatan pembangunan dan inisiatif cerdas di masyarakat, BaKTI aktif mencari informasi tentang kisah-kisah sukses dan inspiratif dalam pembangunan dengan berbagai cara dan dari beragam sumber, baik dalam diskusi-diskusi lepas maupun pertemuan-pertemuan formal yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi sampai tingkat Regional KTI. Walaupun tak dapat dipungkiri, setiap cerita keberhasilan selalu memuat aneka tantangan dan kegagalan di dalamnya.

Oleh karena itulah jurnalis warga menjadi cara penting untuk dapat menyebarluaskan serta mendorong replikasi praktik cerdas, selain itu dapat mengajak orang lain untuk belajar dan mengantisipasi tantangan serupa. Dengan belajar dari pengalaman lain, kita dapat membantu mengefisienkan waktu, menghemat biaya, dan menghindari kesalahan yang sama dan bermuara pada semakin efektifnya pembangunan di Kawasan Timur Indonesia.

Hal ini pula yang mendorong BaKTI untuk mengadakan pelatihan citizen reporter pada 6 dan 7 April lalu. Pelatihan ini dikhususkan bagi koordinator Forum KTI Wilayah di 12 Provinsi di KTI. Harapannya dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang bagaimana proses menulis sebagai jurnalisme warga, mampu membuat opini serta aktif menjadi kontributor di media BaKTI khususnya buletin BaKTINews dan Batukar.info. Hadir sebagai narasumber adalah Pepih Nugraha, creator kompasiana.com.

Di awal pelatihan, peserta diarahkan untuk membuat menuliskan cerita singkat mengenai kejadian nyata yang paling berkesan yang dialami oleh peserta, kemudian dilanjutkan dengan presentasi tips-tips menulis, bagaimana menulis berita yang baik serta teknik bercerita atau narasi (tutur, cerita dan tulis). Selain dasar-dasar jurnalisme warga, pada pelatihan ini peserta juga dibekali dengan ilmu jurnalisme investigasi. Berbeda dengan jurnalisme warga, jurnaslime investigasi merupakan suatu bentuk peliputan berdasarkan inisiatif dan

hasil kerja seseorang terhadap masalah-masalah penting yang dirahasiakan oleh seseorang atau organisasi.

Kehadiran citizen journalism dapat diibaratkan sebagai angin segar yang membawa perubahan dalam persoalan minimnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasinya. Sebagai pewarta non profesional justru diharapkan akan mengisi ruang-ruang komunikasi timbal balik kepada penentu keputusan dalam hal ini pemerintah.

Citizen journalism sebagai media baru akan bersifat saling melengkapi dan memenuhi kekurangan media rakyat yang bersifat lokal menjadi sumber informasi yang massif dan dibutuhkan oleh semua pihak. Tentu tidak semua orang dapat dengan mudah mengakses kesempatan ini, namun dengan berkembang dan maraknya teknologi komunikasi yang lebih mudah didapatkan oleh masyarakat termasuk yang tinggal di pedesaan, ak an memungk ink an adanya akselerasi pembangunan yang lebih mengena dan dibutuhkan masyarakat itu sendiri.

Pemahaman akan nilai-nilai dan budaya lokal akan menjadikan reportase yang dilakukan oleh warga lebih diterima oleh masyarakat. Mereka lebih mudah menerima informasi pembangunan yang ada dan sesuai dengan kearifan lokal yang telah mereka miliki dibanding informasi yang berbeda dengan norma-norma yang mereka anut.

Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan informasi khususnya informasi pembangunan, sementara di sisi lain perkembangan citizen journalism juga demikian marak maka pada saatnya akan terjadi seleksi alamiah dalam proses akses informasi oleh masyarakat. Karena itu, pelaku citizen journalism khususnya yang terkait dengan pembangunan semestinya memahami dimana mereka akan menyebarkan informasi atau mengetahui target sasaran dan sekaligus latar belakang budayanya. Oleh sebab itu, memahami kearifan lokal masyarakat menjadi sesuatu hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam pembangunan di Indonesia.

23 24 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Page 26: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

menggunakan turbin sebagai alat utamanya ser ta memanfaatkan aliran sungai sebagai potensi alam yang banyak terdapat didaerah ini. Usaha ini dimotori dan juga kemudian dikembangkan oleh seorang putera daerah yang begitu besar perhatian serta dedikasinya kepada masyarakat di tanah

kelahirannya, beliau adalah Pak Linggi. Seorang lulusan sarjana teknologi pertanian Universitas Hasanuddin.

Saat ini teknologi turbin yang dikembangkan Pak Linggi untuk desa ini sangat terkenal baik

d a l a m l i n g k u p n a s i o n a l m a u p u n internasional, karena faktanya beberapa

peneliti dari luar negeri melakukan penelitian di tempat ini dan juga lembaga luar negeri yang bekerjasama dengan Pak Linggi.

Keunggulan teknologi turbin yang dikembangkan oleh Pak Linggi serta p o p u l a r i t a s n y a k e m u d i a n mengantarkan Jared Oreri Momanyi

yang biasa dipanggil Momanyi, seorang pria Afrika berkebangsaan Kenya.

Momanyi adalah seorang teknisi, ia bekerja pada sebuah lembaga non

pemerintah di Afrika, yaitu ACREST (African Centre for Renewable Energy & Sustainable

Technology), salah satu NGO yang fokus pada pembangunan energi alternatif dan terbarukan di

25 26 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Institutionalisasi mekanisme kolaborasi perlu melakukan identifikasikan bentuk proses fasilitasi yang digunakan fasilitator masyarakat. Selain itu juga mengidentifikasi saluran yang akan dilalui masyarakat dalam mengajukan proposal untuk penyediaan sumberdaya kepada pemerintah berdasarkan rencana aksi yang mereka persiapkan.

Mengembangkan sebuah format baru yang disusun berdasarkan rencana aksi untuk membedakannya dengan proposal-proposal Musrenbang yang sudah ada, yang didasarkan atas persepsi atau harapan belaka.

Mengindentifikasi proses dan kriteria untuk menilai proposal agar pemerintah dapat menilai keterlaksanaan dan tingkat kesiapan masyarakat untuk mengelola sumberdaya yang disediakan oleh pemerintah dalam mekanisme ini.

Mengindentifikasi proses musyawarah pengajuan proposal, penilaian, dan penyediaan sumberdaya agar masyarakat dapat terlibat dalam proses dan memelihara rasa kepemilikan.

Mengindentifikasi proses rutin baik dalam monitoring maupun evaluasi efektivitas, efisiensi, dampak, dsb, yang secara berkala dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan masyarakat dan fasilitator masyarakat. Mengindentifikasi sebuah sistem untuk menyusun dan mengajukan proposal secara berkala oleh para stakeholder agar para pengambil kebijakan memahami efektivitas, efisiensi, dampak, dan

SUARA FORUM KTI GORONTALO

Kesinambungan pekerjaan inisiator

Prakarsa Masyarakat dan Fasilitator Masyarakat

Pentingnya memilih orang yang akan mengikuti seminar/diklat/pelatihan dan akan menjadi stakeholder inti sebagai 'mesin' dalam kabupaten/kota, memiliki sikap review sendiri dan keinginan belajar secara terbuka untuk memperbaiki sesuatu dalam pembangunan serta orang yang memiliki potensi perubahan perilaku dan aksi setelah menemukan/mendapatkan hal-hal yang penting.

Pentingnya membuat sistem dukungan yang didukung oleh pengambil kebijakan seperti Bupati/Walikota kepada orang-orang yang beraktif agar mereka bekerja secara terus-menerus. Kabupaten/Kota diharap mendapat pengetahuan dasar tentang mekanisme kolaborasi berbasis pendekatan partisipatoris, fungsi/peran fasilitator masyarakat dalam fasilitasi masyarakat serta proses pelatihan fasilitator masyarakat terdiri lima seri dan prakatek antara sesi dan sesi berikutnya pada seawal mungkin.

Prakarsa masyarakat hanya akan tumbuh dengan baik dan berkelanjutan jika fasilitator masyarat memiliki kapasitas dan komitmen yang baik dalam mengimplementasikan 5 seri pelatihan yang di terima di masyarakat.

Seleksi calon fasilitator masyarakat sangat penting. Pengidentifikasian peranan fasilitator masyarakat akan menjadi bahan penting untuk memastikan persyaratan/kriteria memilih calonnya. Untuk mengidentifikasikan peranan fasilitator masyarakat, sistem/wadah tugas fasilitator masyarakat sebagai mitra pemerintah harus disediakan/siapkan dengan mekanisme tugas yang jelas.

Selama dan setelah serial pelatihan dan praktek, pengorganisasian para fasilitator masyarakat dan peningkatan kemampuan fasilitator masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus. Peningkatan kemampuan fasilitator masyarakat secara individu perlu direncanakan dan dilakukan sharing pengalaman dalam organisasi fasilitator masyarakat. Selain dari itu, monitoring dan konsultasi oleh Master Fasilitator juga perlu direncanakan. Kemampuan penulisan laporan atau konsultasi dengan pemerintah sebagai kewajiban mitra pemerintah juga perlu direncanakan dan dilakukan.

Tentang Fasilitasi MUSRENBANG atau pendampingan masyarakat dalam kegiatan perencanaan di desa, sebaiknya fasilitator masyarakat yang sudah melaksanakan fasilitasi masyarakat yang lebih optimal. Ini memang sangat tergantung k o n d i s i k a b u p a t e n / K o t a , t e t a p i d i h a r a p a g a r memper t imbangk an bahwa fas i l i tator masyarak at dipercayakan banyak tugas sebelum fasilitator masyarakat mampu fasilitasi masyarakat.

Penambahan fasilitator masyarakat juga adalah hal penting selain dari peningkatan kemampuan fasilitator masyarakat. Pelatihan fasilitator masyarakat baru dilaksanakan oleh fasilitator masyarakat yang sudah dilatih dalam kabupaten/kota dan konsultasi dengan Master Fasilitator perlu dilakukan agar penambahan fasilitator masyarakat akan dilaksanakan dengan lancar.

sebagainya. Mengindentifikasi proses pengkajian ulang oleh para stakeholder dalam rangka mempertimbangkan kembali arah yang baru berdasarkan pelajaran melalui 'aksi dan refleksi'.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Koordinator FKTI Wilayah Gorontalo dan dapat dihubungi di Email: [email protected]

Tengok Bagaimana Masyarakat Merencanakan Pembangunan

Kabupaten Pohuwatodi

OLEH IR. ARYANTO HUSAIN, MMP

UPDATE PRAKTIK CERDAS

OLEH ARIEF PRIBADI

Sebuah Catatan Perjalanan Menggali Pengetahuan dari Praktik Cerdas Mikro Hidro

di Desa Batanguru, Sulawesi Barat

Mencari Titik Terang

atahari pagi bersinar terang, namun cahayanya bergerak lambat pada punggung-punggung bukit Myang masih diselimuti kabut, lalu menguapkan

bulir-bulir embun pada daun dan atap-atap rumah yang basah seakan menghapus jejak dingin yang ditinggal malam. Udara sejuk dari sisi - sisi rimbun pepohonan, sejauh mata memandang adalah hamparan karya indah alam dari Sang Pencipta untuk Batang Uru, sebuah desa terpencil di Kabupaten Mamasa, provinsi Sulawesi Barat. Karena letaknya yang terpencil serta kontur geografisnya yang diliputi pegunungan maka daerah ini berpotensi terhadap ancaman bencana tanah longsor, bahkan selama melintasi jalan-jalan disini dengan mudah kita bisa melihat sisa-sisa longsor yang terjadi pada tebing di sisi jalan. Buruknya fasilitas jalan membuat desa ini terisolir, juga jauh dari perhatian pemerintah. Bukan hanya fasilitas jalan yang buruk, begitu juga dengan ketersedian fasilitas listrik dari pemerintah. Akan tetapi kondisi ini justru melecutkan semangat untuk menjadi desa mandiri energi. Teknologi pembangkit listrik mikrohidro dikembangkan dan dijadikan sebagai sumber utama energi listrik dengan

Keberadaan desa yang terpencil dengan

begitu banyak keterbatasan seperti kondisi

jalan yang buruk, jaringan telepon yang sangat terbatas

serta tidak adanya koneksi internet, ternyata mampu

melahirkan teknologi turbin yang luar biasa.

raktek Cerdas di Kabupaten Pohuwato ini dimulai dari inisiatif seorang staf BAPPEDA Kabupaten Pohuwato Puntuk mempraktekan perencanaan yang berbasis

masyarakat. Inisiatif ini muncul setelah dia mengikuti Diklat Manajemen Perencanaan Pembangunan Daerah Berbasis Komunitas dan Mekanisme Kolaborasi selama sepuluh hari. Salah satu manfaat utama yang didapatkan dari pelatihan ini adalah pentingnya komunitas dalam suatu proses pembangunan daerah dan bagaimana komunitas itu dilibatkan melalui mekanisme kolaborasi.

Penguatan kapasitas ini kemudian diikuti pelatihan para fasilitator masyarakat. Setelah melalui rangkaian panjang proses dan interaksi maka lahirlah prakarsa-prakarsa di tengah komunitas serta perbaikan mekanisme interaksi antar para pemangku kepentingan di daerah tersebut.

Hasil perencanan kolaborasi berbasis masyarakat ini menghasilkan antara lain pembukaan jalan sepanjang 500 meter oleh dusun yang terisolir di desa Taluduyunu Kecamatan Buntulia. Saat ini jalan tersebut sangat bermanfaat bagi warga dusun tersebut; perbaikan jalan penghubung desa dengan ibukota kecamatan yang dilaksanakan secara bergilir di Dusun Hutino Desa Taluduyunu Kecamatan Buntulia; pembibitan dan penanaman tak kurang dari 20.000 bibit pohon oleh tiga kelompok masyarakat di desa Marisa Kecamatan Popayato Timur; dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang disusun oleh masyarakat bersama fasilitator masyarakat.

Terlihat bahwa melihat langsung kegiatan-kegiatan masyarakat yang difasilitasi oleh fasilitator masyarakat dan mempelajari bahwa masyarakt juga boleh melakukan berbagai kegiatan pembangunan untuk mengatasi isu mereka sendiri jika mereka menyadari dampak hingga muncul rasa memiliki yang kuat terhadap desanya. Hal ini sangat penting karena pendekatan partisipatoris yang berdasar pada peran dan fungsi fasilitator masyarakat dari diklat perencana baru disadari sendiri.

Terdapat empat poin penting untuk merumuskan kerangka kolaborasi yang baru sebagai berikut :

Prakarsa masyarakat hanya akan tumbuh dengan baik dan berkelanjutan jika fasilitator masyarakat memiliki kapasitas dan komitmen yang baik dalam mengimplementasikan 5 seri pelatihan yang ia terima di masyarakat.Teknik fasilitasi yang dilakukan fasilitator masyarakat perlu mampu menghasilkan rencana aksi masyarakat ternyata mampu memberi dorongan terhadap berperannya lembaga BPD dan Pemerintah Desa.Lahirnya Prakarsa masyarakat juga mampu memberikan bukti kepada pemerintah desa, kecamatan bahkan kabupaten bahwa pada dasarnya masyarakat mau berpartisipasi dalam pembangunan jika mereka dituntun dengan benar, dalam hal ini fasilitator masyarakat mampu berkontribusi dalam peran tersebut.

Merumuskan kerangka kolaborasi baru

1

4

2

3

Prakarsa masyarakat akan tumbuh dan lestari dengan baik jika pemerintah memberikan dukungan baik dalam bentuk kebijakan maupun penghargaan bagi desa-desa berprestasi.

Page 27: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

menggunakan turbin sebagai alat utamanya ser ta memanfaatkan aliran sungai sebagai potensi alam yang banyak terdapat didaerah ini. Usaha ini dimotori dan juga kemudian dikembangkan oleh seorang putera daerah yang begitu besar perhatian serta dedikasinya kepada masyarakat di tanah

kelahirannya, beliau adalah Pak Linggi. Seorang lulusan sarjana teknologi pertanian Universitas Hasanuddin.

Saat ini teknologi turbin yang dikembangkan Pak Linggi untuk desa ini sangat terkenal baik

d a l a m l i n g k u p n a s i o n a l m a u p u n internasional, karena faktanya beberapa

peneliti dari luar negeri melakukan penelitian di tempat ini dan juga lembaga luar negeri yang bekerjasama dengan Pak Linggi.

Keunggulan teknologi turbin yang dikembangkan oleh Pak Linggi serta p o p u l a r i t a s n y a k e m u d i a n mengantarkan Jared Oreri Momanyi

yang biasa dipanggil Momanyi, seorang pria Afrika berkebangsaan Kenya.

Momanyi adalah seorang teknisi, ia bekerja pada sebuah lembaga non

pemerintah di Afrika, yaitu ACREST (African Centre for Renewable Energy & Sustainable

Technology), salah satu NGO yang fokus pada pembangunan energi alternatif dan terbarukan di

25 26 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Institutionalisasi mekanisme kolaborasi perlu melakukan identifikasikan bentuk proses fasilitasi yang digunakan fasilitator masyarakat. Selain itu juga mengidentifikasi saluran yang akan dilalui masyarakat dalam mengajukan proposal untuk penyediaan sumberdaya kepada pemerintah berdasarkan rencana aksi yang mereka persiapkan.

Mengembangkan sebuah format baru yang disusun berdasarkan rencana aksi untuk membedakannya dengan proposal-proposal Musrenbang yang sudah ada, yang didasarkan atas persepsi atau harapan belaka.

Mengindentifikasi proses dan kriteria untuk menilai proposal agar pemerintah dapat menilai keterlaksanaan dan tingkat kesiapan masyarakat untuk mengelola sumberdaya yang disediakan oleh pemerintah dalam mekanisme ini.

Mengindentifikasi proses musyawarah pengajuan proposal, penilaian, dan penyediaan sumberdaya agar masyarakat dapat terlibat dalam proses dan memelihara rasa kepemilikan.

Mengindentifikasi proses rutin baik dalam monitoring maupun evaluasi efektivitas, efisiensi, dampak, dsb, yang secara berkala dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan masyarakat dan fasilitator masyarakat. Mengindentifikasi sebuah sistem untuk menyusun dan mengajukan proposal secara berkala oleh para stakeholder agar para pengambil kebijakan memahami efektivitas, efisiensi, dampak, dan

SUARA FORUM KTI GORONTALO

Kesinambungan pekerjaan inisiator

Prakarsa Masyarakat dan Fasilitator Masyarakat

Pentingnya memilih orang yang akan mengikuti seminar/diklat/pelatihan dan akan menjadi stakeholder inti sebagai 'mesin' dalam kabupaten/kota, memiliki sikap review sendiri dan keinginan belajar secara terbuka untuk memperbaiki sesuatu dalam pembangunan serta orang yang memiliki potensi perubahan perilaku dan aksi setelah menemukan/mendapatkan hal-hal yang penting.

Pentingnya membuat sistem dukungan yang didukung oleh pengambil kebijakan seperti Bupati/Walikota kepada orang-orang yang beraktif agar mereka bekerja secara terus-menerus. Kabupaten/Kota diharap mendapat pengetahuan dasar tentang mekanisme kolaborasi berbasis pendekatan partisipatoris, fungsi/peran fasilitator masyarakat dalam fasilitasi masyarakat serta proses pelatihan fasilitator masyarakat terdiri lima seri dan prakatek antara sesi dan sesi berikutnya pada seawal mungkin.

Prakarsa masyarakat hanya akan tumbuh dengan baik dan berkelanjutan jika fasilitator masyarat memiliki kapasitas dan komitmen yang baik dalam mengimplementasikan 5 seri pelatihan yang di terima di masyarakat.

Seleksi calon fasilitator masyarakat sangat penting. Pengidentifikasian peranan fasilitator masyarakat akan menjadi bahan penting untuk memastikan persyaratan/kriteria memilih calonnya. Untuk mengidentifikasikan peranan fasilitator masyarakat, sistem/wadah tugas fasilitator masyarakat sebagai mitra pemerintah harus disediakan/siapkan dengan mekanisme tugas yang jelas.

Selama dan setelah serial pelatihan dan praktek, pengorganisasian para fasilitator masyarakat dan peningkatan kemampuan fasilitator masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus. Peningkatan kemampuan fasilitator masyarakat secara individu perlu direncanakan dan dilakukan sharing pengalaman dalam organisasi fasilitator masyarakat. Selain dari itu, monitoring dan konsultasi oleh Master Fasilitator juga perlu direncanakan. Kemampuan penulisan laporan atau konsultasi dengan pemerintah sebagai kewajiban mitra pemerintah juga perlu direncanakan dan dilakukan.

Tentang Fasilitasi MUSRENBANG atau pendampingan masyarakat dalam kegiatan perencanaan di desa, sebaiknya fasilitator masyarakat yang sudah melaksanakan fasilitasi masyarakat yang lebih optimal. Ini memang sangat tergantung k o n d i s i k a b u p a t e n / K o t a , t e t a p i d i h a r a p a g a r memper t imbangk an bahwa fas i l i tator masyarak at dipercayakan banyak tugas sebelum fasilitator masyarakat mampu fasilitasi masyarakat.

Penambahan fasilitator masyarakat juga adalah hal penting selain dari peningkatan kemampuan fasilitator masyarakat. Pelatihan fasilitator masyarakat baru dilaksanakan oleh fasilitator masyarakat yang sudah dilatih dalam kabupaten/kota dan konsultasi dengan Master Fasilitator perlu dilakukan agar penambahan fasilitator masyarakat akan dilaksanakan dengan lancar.

sebagainya. Mengindentifikasi proses pengkajian ulang oleh para stakeholder dalam rangka mempertimbangkan kembali arah yang baru berdasarkan pelajaran melalui 'aksi dan refleksi'.

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Penulis adalah Koordinator FKTI Wilayah Gorontalo dan dapat dihubungi di Email: [email protected]

Tengok Bagaimana Masyarakat Merencanakan Pembangunan

Kabupaten Pohuwatodi

OLEH IR. ARYANTO HUSAIN, MMP

UPDATE PRAKTIK CERDAS

OLEH ARIEF PRIBADI

Sebuah Catatan Perjalanan Menggali Pengetahuan dari Praktik Cerdas Mikro Hidro

di Desa Batanguru, Sulawesi Barat

Mencari Titik Terang

atahari pagi bersinar terang, namun cahayanya bergerak lambat pada punggung-punggung bukit Myang masih diselimuti kabut, lalu menguapkan

bulir-bulir embun pada daun dan atap-atap rumah yang basah seakan menghapus jejak dingin yang ditinggal malam. Udara sejuk dari sisi - sisi rimbun pepohonan, sejauh mata memandang adalah hamparan karya indah alam dari Sang Pencipta untuk Batang Uru, sebuah desa terpencil di Kabupaten Mamasa, provinsi Sulawesi Barat. Karena letaknya yang terpencil serta kontur geografisnya yang diliputi pegunungan maka daerah ini berpotensi terhadap ancaman bencana tanah longsor, bahkan selama melintasi jalan-jalan disini dengan mudah kita bisa melihat sisa-sisa longsor yang terjadi pada tebing di sisi jalan. Buruknya fasilitas jalan membuat desa ini terisolir, juga jauh dari perhatian pemerintah. Bukan hanya fasilitas jalan yang buruk, begitu juga dengan ketersedian fasilitas listrik dari pemerintah. Akan tetapi kondisi ini justru melecutkan semangat untuk menjadi desa mandiri energi. Teknologi pembangkit listrik mikrohidro dikembangkan dan dijadikan sebagai sumber utama energi listrik dengan

Keberadaan desa yang terpencil dengan

begitu banyak keterbatasan seperti kondisi

jalan yang buruk, jaringan telepon yang sangat terbatas

serta tidak adanya koneksi internet, ternyata mampu

melahirkan teknologi turbin yang luar biasa.

raktek Cerdas di Kabupaten Pohuwato ini dimulai dari inisiatif seorang staf BAPPEDA Kabupaten Pohuwato Puntuk mempraktekan perencanaan yang berbasis

masyarakat. Inisiatif ini muncul setelah dia mengikuti Diklat Manajemen Perencanaan Pembangunan Daerah Berbasis Komunitas dan Mekanisme Kolaborasi selama sepuluh hari. Salah satu manfaat utama yang didapatkan dari pelatihan ini adalah pentingnya komunitas dalam suatu proses pembangunan daerah dan bagaimana komunitas itu dilibatkan melalui mekanisme kolaborasi.

Penguatan kapasitas ini kemudian diikuti pelatihan para fasilitator masyarakat. Setelah melalui rangkaian panjang proses dan interaksi maka lahirlah prakarsa-prakarsa di tengah komunitas serta perbaikan mekanisme interaksi antar para pemangku kepentingan di daerah tersebut.

Hasil perencanan kolaborasi berbasis masyarakat ini menghasilkan antara lain pembukaan jalan sepanjang 500 meter oleh dusun yang terisolir di desa Taluduyunu Kecamatan Buntulia. Saat ini jalan tersebut sangat bermanfaat bagi warga dusun tersebut; perbaikan jalan penghubung desa dengan ibukota kecamatan yang dilaksanakan secara bergilir di Dusun Hutino Desa Taluduyunu Kecamatan Buntulia; pembibitan dan penanaman tak kurang dari 20.000 bibit pohon oleh tiga kelompok masyarakat di desa Marisa Kecamatan Popayato Timur; dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang disusun oleh masyarakat bersama fasilitator masyarakat.

Terlihat bahwa melihat langsung kegiatan-kegiatan masyarakat yang difasilitasi oleh fasilitator masyarakat dan mempelajari bahwa masyarakt juga boleh melakukan berbagai kegiatan pembangunan untuk mengatasi isu mereka sendiri jika mereka menyadari dampak hingga muncul rasa memiliki yang kuat terhadap desanya. Hal ini sangat penting karena pendekatan partisipatoris yang berdasar pada peran dan fungsi fasilitator masyarakat dari diklat perencana baru disadari sendiri.

Terdapat empat poin penting untuk merumuskan kerangka kolaborasi yang baru sebagai berikut :

Prakarsa masyarakat hanya akan tumbuh dengan baik dan berkelanjutan jika fasilitator masyarakat memiliki kapasitas dan komitmen yang baik dalam mengimplementasikan 5 seri pelatihan yang ia terima di masyarakat.Teknik fasilitasi yang dilakukan fasilitator masyarakat perlu mampu menghasilkan rencana aksi masyarakat ternyata mampu memberi dorongan terhadap berperannya lembaga BPD dan Pemerintah Desa.Lahirnya Prakarsa masyarakat juga mampu memberikan bukti kepada pemerintah desa, kecamatan bahkan kabupaten bahwa pada dasarnya masyarakat mau berpartisipasi dalam pembangunan jika mereka dituntun dengan benar, dalam hal ini fasilitator masyarakat mampu berkontribusi dalam peran tersebut.

Merumuskan kerangka kolaborasi baru

1

4

2

3

Prakarsa masyarakat akan tumbuh dan lestari dengan baik jika pemerintah memberikan dukungan baik dalam bentuk kebijakan maupun penghargaan bagi desa-desa berprestasi.

Page 28: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

Afrika. Diantara energi alternatif yang mereka kembangkan diantaranya adalah pemanfaatan energi matahari, energi angin, mikrohidro, biogas dan sumber energi alternatif lainnya. Tujuan khusus dari kedatangan Momanyi ke desa Batang Uru adalah mempelajari teknologi turbin yang rencananya akan direplikasi di Afrika, khususnya di Kamerun. Seperti dituturkan oleh Momanyi bahwa terdapat banyak potensi sungai di Kamerun, juga kondisi alam pedesaan yang berpegunungan serupa dengan kondisi geografis desa Batang uru, sehingga sangatlah penting baginya untuk mengembangkan teknologi turbin di negara tersebut.

Momanyi memahami bahwa sebenarnya ada dua tantangan besar yang dihadapi ACREST dalam penerapan teknologi mikrohidro, pertama belum adanya teknologi serta desain turbin yang sempurna, dan kedua adalah kemampuan finansial masyarakat. Solusi untuk tantangan yang pertama adalah ACREST senantiasa mencari sekaligus mempelajari informasi mengenai turbin, hingga akhirnya mendapati bahwa Indonesia adalah tempat yang tepat untuk belajar. Beliau mengatakan bahwa teknologi turbin mikrohidro yang ada di Indonesia secara umum sangat terkenal, beliau mengisahkan bahwa ada turbin milik pemerintah Nigeria yang sampai saat ini beroperasi adalah turbin yang didatangkan dari Indonesia, namun sayang beliau tidak bisa mendapatkan informasi lebih detail tentang siapa produsen dan dari daerah mana di Indonesia turbin ini diproduksi. Solusi untuk tantangan kedua yaitu dengan berusaha mencari donator yang bersedia mendanai pembuatan turbin, sehingga nantinya masyarakat dapat menikmati listrik dari turbin tersebut secara cuma-cuma.

Kedatangan Momanyi secara khusus untuk menggali dan mempelajari teknologi turbin di Batang Uru merupakan gagasan dari pimpinan NGO tempat beliau bekerja yaitu Dr. Vincent. Informasi tentang Batang Uru didapatkan setelah Dr Vincent mengikuti konferensi internasional mengenai energi terbarukan dan berkelanjutan yang berlangsung di Jepang pada bulan Maret tahun 2013. Salah satu peserta mempresentasikan mengenai inisiatif mikro hidro Batang Uru yang informasinya diperoleh dari Yayasan BaKTI. Berangkat dari pertemuan tersebut akhirnya sang pimpinan mengutus Momanyi untuk belajar ke desa Batang Uru, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dan difasilitasi oleh Yayasan BaKTI.

Teknologi turbin sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi Momanyi. Sejak tahun 2008 beliau telah mempelajari dan mencoba membuat turbin, berbekal dari beberapa literatur tentang turbin yang dimiliki ACREST. Hasil dari eksplorasi turbin yang beliau dapatkan melalui sumber bacaan tersebut, menghasilkan 8 buah turbin. Tetapi sayangnya 6 buah turbin gagal (tidak dapat dioperasikan) dan hanya 2 buah yang bisa dioperasikan. Kedua turbin tersebutlah yang saat ini beroperasi dan mensuplai listrik bagi kebutuhan kantor dan bengkel ACREST, serta didistribusikan ke 30 kepala keluarga di Kamerun. Faktanya, kedua turbin yang beroperasi tersebut tidak sepenuhnya mampu menghasilkan energi secara maksimal juga banyak terdapat kendala-kendala yang kerap kali muncul, seperti kapasitas listrik berlebih pada waktu tertentu serta kebocoran pada turbin sehingga menurunkan kinerja mesin. Keadaan ini membuat ACREST tidak siap untuk menerapkan teknologi turbin yang mereka miliki untuk diaplikasikan pada masyarakat secara luas.

Pencerahan mungkin merupakan kata yang cukup tepat untuk menggambarkan antusiasme dan ketakjubannya melihat proses kerja pembuatan turbin di Bengkel Turbin Pak Linggi. Kepiawaian para pekerja, lokasi kerja, dan yang utama adalah kinerja turbin yang maksimal membuatnya kagum sehingga beliau berkali-kali mengungkapkan kekagumannya atas sebuah keadaan yang jauh lebih maju dengan bengkel tempat dimana ia bekerja. Di negaranya, mereka membuat 8 buah turbin dalam kurun waktu 5 tahun. Sementara, di bengkel ini mampu memproduksi 4 buah turbin dalam 1 bulan. Kemampuan produksi yang cepat di bengkel Pak Linggi sangat didukung oleh

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

mengenai Praktik Cerdas, Anda dapat menghubungi Ibu Sumarni melalui email [email protected]

ketersediaan peralatan juga kelengkapan mesin sehingga setiap perangkat turbin dapat dibuat secara cepat dan presisi. Beberapa peralatan bahkan ada yang dibuat dan direkayasa sendiri oleh Pak Linggi untuk kebutuhan pembuatan bagian-bagian turbin misalnya mesin bending, yaitu mesin pembengkok besi plat untuk dijadikan pipa ukuran tertentu dan alat pembentuk cakram yang berfungsi sebagai runner. Hal yang tidak pernah terbayangkan bagi Momanyi karena biasanya beliau membeli cakram tersebut dengan harga yang cukup mahal, sekalipun terdapat perbedaan pada tingkat kerapihan, ternyata secara fungsional dapat bekerja dengan baik. Kemampuan para pekerja dalam bekerja tentu menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan. Pekerja disini mampu melakukan lebih dari satu pekerjaan dan mampu mengoperasikan lebih dari satu mesin. Para pekerja selalu melakukan pekerjaan berbeda setiap saat, tidak ada diantara mereka yang terpaku pada satu pekerjaan. Menurut Momanyi apa yang mereka lakukan adalah hal yang luar biasa.

Di tempat ini Momanyi mempelajari bagaimana proses pembuatan turbin dikerjakan dengan sangat detail dan hitungan matematis yang sangat teliti, namun begitu terbuka untuk berbagi pengetahuan sehingga tidak ada sesuatu hal pun yang disembunyikan. Semua pekerja secara rinci mengajari teknik pembuatan bagian-bagian dari turbin, mulai dari proses manual hingga bagian-bagian yang hanya bisa dikerjakan dengan mesin tertentu, Selanjutnya bahkan beliau diajarkan tentang bagaimana mengoperasikan mesin-mesin tersebut. Seorang pekerja yang sangat trampil, bahkan merupakan pekerja yang sangat diandalkan oleh Pak Linggi yaitu Herwandi (32 th) yang biasa dipanggil pak Nisa, bersedia meluangkan waktu-waktu khusus untuk mengajari dan mengsupervisi kemajuan belajar Momanyi selama dibengkel ini. Mulai dari cara penggunaan alat ukur sigma, mengoperasikan mesin bubut, dan juga teknik las. Menurut Pak Nisa sangatlah penting bagi Momanyi untuk memahami proses kerja untuk mendapatkan hasil turbin maksimal. Jika pengerjaannya tidak teliti dan benar maka hasilnya adalah kegagalan, seperti yang selama ini Momanyi alami ketika membuat turbin. Tidak hanya dengan Pak Nisa, Momanyi belajar dari seluruh pekerja bengkel mengingat proses pengerjaan turbin begitu kompleks.

Keberadaan desa yang terpencil dengan begitu banyak keterbatasan seperti kondisi jalan yang buruk, jaringan telepon yang sangat terbatas serta tidak adanya koneksi internet, ternyata mampu melahirkan teknologi turbin yang luar biasa. Memperhatikan hal ini kami sependapat bahwa ini adalah paradoks. Teknologi yang merupakan buah dari ilmu pengetahuan sepatutnya lahir dari institusi pendidikan, ternyata teknologi itu lahir dan dikembangkan di desa terpencil Batang Uru dengan segenap keterbatasannya. Lebih dari itu Momanyi berkata bahwa orang-orang di negaranya tidak akan percaya bahwa teknologi pembuatan turbin ternyata berada di desa yang sangat terpencil, Desa Batang Uru di Kabupaten Mamasa. Pada perjalanan pulang dari Batang Uru ke Makassar, Momanyi mengatakan pengalaman praktis dari alih teknologi ini merupakan momen yang sangat berharga bagi dirinya. Terima kasih buat Pak Linggi dan seluruh pekerja bengkel, terima kasih buat BaKTI yang sudah memfasilitasi pengalaman belajar ini.

NGO PROFIL

Menutup tahun 2012, Taman Bacaan Pelangi merayakannya dengan mendirikan perpustakaan yang ke-25. Kali ini di Pulau Banda Neira, Maluku. Pulau Banda Neira adalah satu dari sembilan Pulau di Banda. Dulunya, Pulau Banda dikenal sebagai Kepulauan Rempah-Rempah dan menjadi tempat yang paling diinginkan di dunia untuk kenari, pala, dan rempah-rempah lainnya.

Kami sangat senang dapat mendirikan perpustakaan di pulau bersejarah Banda Neira. Di pulau ini masih terdapat banyak bangunan bersejarah dari masa kolonial. Bahkan Taman Bacaan Pelangi bertempat di sebuah rumah kolonial yang cantik! Kami sangat beruntung bisa mendapatkan ruang yang luas di rumah tua di Banda Neira. Terimakasih untuk Warna-Warni Kids, mitra kami di pulau ini. Para sukarelawan juga melakukan berbagai aktivitas di sana, seperti mendongeng, setiap Jumat dan Sabtu.

Seorang anak membaca buku 'Dinosaur' menunjuk ke gambar seekor Dinosaur dan bertanya ke temannya. ”Kamu tau ini jenis dinosaurus apa?”. Temannya menjawab, ”Itu trenggiling!”. Percakapan antara dua anak ini berakhir menjadi obrolan seru dan tanpa menyadarinya, kelompok yang membahas itu jadi semakin besar! Anak-anak lain juga ikut membahas sampai 7 orang mulai membaca buku Dinosaurus itu bersama-sama! Betapa menyenangkan!

Kami mengucapkan terimakasih pada British Community Charity yang telah mendukung perpustakaan ini. Juga terimakasih pada Warna-Warni Kids yang telah bermitra dengan kami dalam mengelola perpustakaan di Banda Neira dan untuk semua kerja keras dalam acara pembukaan.

Kami juga berterimakasih kepada semua yang terus memberikan dukungan. Dukungan Anda sangat berarti bagi kami dan terus mendorong mimpi kami tetap hidup serta menguatkan motivasi kami.

Para sukarelawan di Taman Bacaan Pelangi & Warna-Warni Kids di Banda Neira, Maluku.

Sabtu sore, 30 Desember 2012, kami mengadakan pembukaan perpustakaan di pulau tersebut. Lebih dari 60 anak menghadiri acara tersebut. Dalam pembukaan, beberapa warga setempat memainkan alat musik tradisional yang disebut totobuang. Alat ini mirip dengan gamelan yang dikenal di Jawa, tapi bunyinya berbeda.

Di Taman Bacaan Pelangi, buku-buku hanya dapat dibaca di tempat, tidak boleh dibawa pulang. Pendiri Taman Bacaan Pelangi, Nila Tanzil dalam acara pembukaan juga menunjukkan bagaimana cara yang baik membuka halaman buku agar tidak mudah rusak. Ia juga berharap anak-anak di Pulau Banda menikmati membaca buku-buku di Taman Bacaan Pelangi.

Anak-anak terlihat gembira dan bersemangat saat melihat koleksi buku-buku yang tersedia. Ini juga membuat kami samgat gembira. Dalam acara pembukaan, anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok dan setiap sukarelawan memimpin satu kelompok. Kelompok-kelompok tersebut melakukan kegiatan berbeda, ada yang menggambar, mendengarkan dongeng, bermain play dough¸ menikmati musik, dan belajar Bahasa Inggris. Sangat menyenangkan!

Lebih menarik lagi, setelah setiap kelompok menyelesaikan sesinya, anak-anak segera berlaru ke rak buku dan memilih satu bukun untuk dibaca! Seorang sukarelawan dari Inggris mengatakan, “Saya belum pernah melihat anak-anak seantusias ini melihat buku. Saya sendiri malah susah menyuruh anak-anak saya membaca buku! Anak-anak di sini, mereka langsung ke rak buku seusai menggambar. Luar biasa!”

Buku dan pilihan warna masa depan anak di kawasan timur Indonesia

27 28 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Page 29: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

Afrika. Diantara energi alternatif yang mereka kembangkan diantaranya adalah pemanfaatan energi matahari, energi angin, mikrohidro, biogas dan sumber energi alternatif lainnya. Tujuan khusus dari kedatangan Momanyi ke desa Batang Uru adalah mempelajari teknologi turbin yang rencananya akan direplikasi di Afrika, khususnya di Kamerun. Seperti dituturkan oleh Momanyi bahwa terdapat banyak potensi sungai di Kamerun, juga kondisi alam pedesaan yang berpegunungan serupa dengan kondisi geografis desa Batang uru, sehingga sangatlah penting baginya untuk mengembangkan teknologi turbin di negara tersebut.

Momanyi memahami bahwa sebenarnya ada dua tantangan besar yang dihadapi ACREST dalam penerapan teknologi mikrohidro, pertama belum adanya teknologi serta desain turbin yang sempurna, dan kedua adalah kemampuan finansial masyarakat. Solusi untuk tantangan yang pertama adalah ACREST senantiasa mencari sekaligus mempelajari informasi mengenai turbin, hingga akhirnya mendapati bahwa Indonesia adalah tempat yang tepat untuk belajar. Beliau mengatakan bahwa teknologi turbin mikrohidro yang ada di Indonesia secara umum sangat terkenal, beliau mengisahkan bahwa ada turbin milik pemerintah Nigeria yang sampai saat ini beroperasi adalah turbin yang didatangkan dari Indonesia, namun sayang beliau tidak bisa mendapatkan informasi lebih detail tentang siapa produsen dan dari daerah mana di Indonesia turbin ini diproduksi. Solusi untuk tantangan kedua yaitu dengan berusaha mencari donator yang bersedia mendanai pembuatan turbin, sehingga nantinya masyarakat dapat menikmati listrik dari turbin tersebut secara cuma-cuma.

Kedatangan Momanyi secara khusus untuk menggali dan mempelajari teknologi turbin di Batang Uru merupakan gagasan dari pimpinan NGO tempat beliau bekerja yaitu Dr. Vincent. Informasi tentang Batang Uru didapatkan setelah Dr Vincent mengikuti konferensi internasional mengenai energi terbarukan dan berkelanjutan yang berlangsung di Jepang pada bulan Maret tahun 2013. Salah satu peserta mempresentasikan mengenai inisiatif mikro hidro Batang Uru yang informasinya diperoleh dari Yayasan BaKTI. Berangkat dari pertemuan tersebut akhirnya sang pimpinan mengutus Momanyi untuk belajar ke desa Batang Uru, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dan difasilitasi oleh Yayasan BaKTI.

Teknologi turbin sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi Momanyi. Sejak tahun 2008 beliau telah mempelajari dan mencoba membuat turbin, berbekal dari beberapa literatur tentang turbin yang dimiliki ACREST. Hasil dari eksplorasi turbin yang beliau dapatkan melalui sumber bacaan tersebut, menghasilkan 8 buah turbin. Tetapi sayangnya 6 buah turbin gagal (tidak dapat dioperasikan) dan hanya 2 buah yang bisa dioperasikan. Kedua turbin tersebutlah yang saat ini beroperasi dan mensuplai listrik bagi kebutuhan kantor dan bengkel ACREST, serta didistribusikan ke 30 kepala keluarga di Kamerun. Faktanya, kedua turbin yang beroperasi tersebut tidak sepenuhnya mampu menghasilkan energi secara maksimal juga banyak terdapat kendala-kendala yang kerap kali muncul, seperti kapasitas listrik berlebih pada waktu tertentu serta kebocoran pada turbin sehingga menurunkan kinerja mesin. Keadaan ini membuat ACREST tidak siap untuk menerapkan teknologi turbin yang mereka miliki untuk diaplikasikan pada masyarakat secara luas.

Pencerahan mungkin merupakan kata yang cukup tepat untuk menggambarkan antusiasme dan ketakjubannya melihat proses kerja pembuatan turbin di Bengkel Turbin Pak Linggi. Kepiawaian para pekerja, lokasi kerja, dan yang utama adalah kinerja turbin yang maksimal membuatnya kagum sehingga beliau berkali-kali mengungkapkan kekagumannya atas sebuah keadaan yang jauh lebih maju dengan bengkel tempat dimana ia bekerja. Di negaranya, mereka membuat 8 buah turbin dalam kurun waktu 5 tahun. Sementara, di bengkel ini mampu memproduksi 4 buah turbin dalam 1 bulan. Kemampuan produksi yang cepat di bengkel Pak Linggi sangat didukung oleh

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

mengenai Praktik Cerdas, Anda dapat menghubungi Ibu Sumarni melalui email [email protected]

ketersediaan peralatan juga kelengkapan mesin sehingga setiap perangkat turbin dapat dibuat secara cepat dan presisi. Beberapa peralatan bahkan ada yang dibuat dan direkayasa sendiri oleh Pak Linggi untuk kebutuhan pembuatan bagian-bagian turbin misalnya mesin bending, yaitu mesin pembengkok besi plat untuk dijadikan pipa ukuran tertentu dan alat pembentuk cakram yang berfungsi sebagai runner. Hal yang tidak pernah terbayangkan bagi Momanyi karena biasanya beliau membeli cakram tersebut dengan harga yang cukup mahal, sekalipun terdapat perbedaan pada tingkat kerapihan, ternyata secara fungsional dapat bekerja dengan baik. Kemampuan para pekerja dalam bekerja tentu menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan. Pekerja disini mampu melakukan lebih dari satu pekerjaan dan mampu mengoperasikan lebih dari satu mesin. Para pekerja selalu melakukan pekerjaan berbeda setiap saat, tidak ada diantara mereka yang terpaku pada satu pekerjaan. Menurut Momanyi apa yang mereka lakukan adalah hal yang luar biasa.

Di tempat ini Momanyi mempelajari bagaimana proses pembuatan turbin dikerjakan dengan sangat detail dan hitungan matematis yang sangat teliti, namun begitu terbuka untuk berbagi pengetahuan sehingga tidak ada sesuatu hal pun yang disembunyikan. Semua pekerja secara rinci mengajari teknik pembuatan bagian-bagian dari turbin, mulai dari proses manual hingga bagian-bagian yang hanya bisa dikerjakan dengan mesin tertentu, Selanjutnya bahkan beliau diajarkan tentang bagaimana mengoperasikan mesin-mesin tersebut. Seorang pekerja yang sangat trampil, bahkan merupakan pekerja yang sangat diandalkan oleh Pak Linggi yaitu Herwandi (32 th) yang biasa dipanggil pak Nisa, bersedia meluangkan waktu-waktu khusus untuk mengajari dan mengsupervisi kemajuan belajar Momanyi selama dibengkel ini. Mulai dari cara penggunaan alat ukur sigma, mengoperasikan mesin bubut, dan juga teknik las. Menurut Pak Nisa sangatlah penting bagi Momanyi untuk memahami proses kerja untuk mendapatkan hasil turbin maksimal. Jika pengerjaannya tidak teliti dan benar maka hasilnya adalah kegagalan, seperti yang selama ini Momanyi alami ketika membuat turbin. Tidak hanya dengan Pak Nisa, Momanyi belajar dari seluruh pekerja bengkel mengingat proses pengerjaan turbin begitu kompleks.

Keberadaan desa yang terpencil dengan begitu banyak keterbatasan seperti kondisi jalan yang buruk, jaringan telepon yang sangat terbatas serta tidak adanya koneksi internet, ternyata mampu melahirkan teknologi turbin yang luar biasa. Memperhatikan hal ini kami sependapat bahwa ini adalah paradoks. Teknologi yang merupakan buah dari ilmu pengetahuan sepatutnya lahir dari institusi pendidikan, ternyata teknologi itu lahir dan dikembangkan di desa terpencil Batang Uru dengan segenap keterbatasannya. Lebih dari itu Momanyi berkata bahwa orang-orang di negaranya tidak akan percaya bahwa teknologi pembuatan turbin ternyata berada di desa yang sangat terpencil, Desa Batang Uru di Kabupaten Mamasa. Pada perjalanan pulang dari Batang Uru ke Makassar, Momanyi mengatakan pengalaman praktis dari alih teknologi ini merupakan momen yang sangat berharga bagi dirinya. Terima kasih buat Pak Linggi dan seluruh pekerja bengkel, terima kasih buat BaKTI yang sudah memfasilitasi pengalaman belajar ini.

PROFIL LSM

Menutup tahun 2012, Taman Bacaan Pelangi merayakannya dengan mendirikan perpustakaan yang ke-25. Kali ini di Pulau Banda Neira, Maluku. Pulau Banda Neira adalah satu dari sembilan Pulau di Banda. Dulunya, Pulau Banda dikenal sebagai Kepulauan Rempah-Rempah dan menjadi tempat yang paling diinginkan di dunia untuk kenari, pala, dan rempah-rempah lainnya.

Kami sangat senang dapat mendirikan perpustakaan di pulau bersejarah Banda Neira. Di pulau ini masih terdapat banyak bangunan bersejarah dari masa kolonial. Bahkan Taman Bacaan Pelangi bertempat di sebuah rumah kolonial yang cantik! Kami sangat beruntung bisa mendapatkan ruang yang luas di rumah tua di Banda Neira. Terimakasih untuk Warna-Warni Kids, mitra kami di pulau ini. Para sukarelawan juga melakukan berbagai aktivitas di sana, seperti mendongeng, setiap Jumat dan Sabtu.

Seorang anak membaca buku 'Dinosaur' menunjuk ke gambar seekor Dinosaur dan bertanya ke temannya. ”Kamu tau ini jenis dinosaurus apa?”. Temannya menjawab, ”Itu trenggiling!”. Percakapan antara dua anak ini berakhir menjadi obrolan seru dan tanpa menyadarinya, kelompok yang membahas itu jadi semakin besar! Anak-anak lain juga ikut membahas sampai 7 orang mulai membaca buku Dinosaurus itu bersama-sama! Betapa menyenangkan!

Kami mengucapkan terimakasih pada British Community Charity yang telah mendukung perpustakaan ini. Juga terimakasih pada Warna-Warni Kids yang telah bermitra dengan kami dalam mengelola perpustakaan di Banda Neira dan untuk semua kerja keras dalam acara pembukaan.

Kami juga berterimakasih kepada semua yang terus memberikan dukungan. Dukungan Anda sangat berarti bagi kami dan terus mendorong mimpi kami tetap hidup serta menguatkan motivasi kami.

Para sukarelawan di Taman Bacaan Pelangi & Warna-Warni Kids di Banda Neira, Maluku.

Sabtu sore, 30 Desember 2012, kami mengadakan pembukaan perpustakaan di pulau tersebut. Lebih dari 60 anak menghadiri acara tersebut. Dalam pembukaan, beberapa warga setempat memainkan alat musik tradisional yang disebut totobuang. Alat ini mirip dengan gamelan yang dikenal di Jawa, tapi bunyinya berbeda.

Di Taman Bacaan Pelangi, buku-buku hanya dapat dibaca di tempat, tidak boleh dibawa pulang. Pendiri Taman Bacaan Pelangi, Nila Tanzil dalam acara pembukaan juga menunjukkan bagaimana cara yang baik membuka halaman buku agar tidak mudah rusak. Ia juga berharap anak-anak di Pulau Banda menikmati membaca buku-buku di Taman Bacaan Pelangi.

Anak-anak terlihat gembira dan bersemangat saat melihat koleksi buku-buku yang tersedia. Ini juga membuat kami samgat gembira. Dalam acara pembukaan, anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok dan setiap sukarelawan memimpin satu kelompok. Kelompok-kelompok tersebut melakukan kegiatan berbeda, ada yang menggambar, mendengarkan dongeng, bermain play dough¸ menikmati musik, dan belajar Bahasa Inggris. Sangat menyenangkan!

Lebih menarik lagi, setelah setiap kelompok menyelesaikan sesinya, anak-anak segera berlaru ke rak buku dan memilih satu bukun untuk dibaca! Seorang sukarelawan dari Inggris mengatakan, “Saya belum pernah melihat anak-anak seantusias ini melihat buku. Saya sendiri malah susah menyuruh anak-anak saya membaca buku! Anak-anak di sini, mereka langsung ke rak buku seusai menggambar. Luar biasa!”

Buku dan pilihan warna masa depan anak di kawasan timur Indonesia

27 28 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Page 30: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

awasan timur Indonesia memiliki banyaks ekali potensi, namun masih belum berkembang Kdengan baik dan masih memiliki infrastruktur

yang terbatas. Kawasan timur Indonesia juga memiliki tingkat melek aksara yang rendah. Tantangan inilah yang mendorong Taman Bacaan Pelangi untuk fokus pada belahan timur Indonesia, menyediakan berbagai buku bagi anak-anak di daerah-daerah terpencil sebagau upaya untuk meningkatkan minat baca anak-anak.

Taman Bacaan Pelangi didirikan pada November 2009 di Flores. Bekerja bersama para pemimpin desa, Nila Tanzil, pendiri lembaga ini, membuka perpustakaan pertama di Roe, sebuah desa kecil di kaki bukit di Flores, dengan hanya 200 buku. Saat ini, dengan bantuan donor dan sukarelawan, Roe telah menampung lebih dari 2.000 buku anak-anak.

Dengan dukungan para sukarelawan dan donor dari seluruh dunia, LSM dan perusahaan swasta, Taman Bacaan Pelangi telah berkembang dari sebuah cara untuk memberi menjadi sebuah gaya hidup. Dalam tiga tahun, kami telah mengembangkan 26 perpustakaan anak-anak di 11 pulau di kawasan timur Indonesia. Tujuan kamis ederhana: lebih banyak buku dan lebih banyak perpustakaan berarti anak-anak di daerah terpencil di Indonesia memiliki akses ke buku dan kisah-kisah yang dapat membuka dunia baru dan kesempatan.

T u j u a n k a m i a d a l a h m e n d o r o n g d a n mengembangkan minat anak-anak untuk membaca dengan menyediakan akses terhadap buku-buku yang bagus. Kami eprcaya ini adalah tahap penting dalam pendidikan anak-anak dan sekaligus dapat memperluas cakrawala dan kesempatan mereka.

Di Taman Bacaan Pelangi kami mendorong anak-anak untuk bermimpi besar. Dan buku-buku dapat menginspirasi, memperlebar cakrawala dan memotivasi mereka untuk meraih mimpinya.

Melalui berbagai program, kami juga ingin mengembangkan keterampilan mereka. Anak-anaka akan menyadari potensinya dan menjadi bintang yan sesungguhnya di lapangan. Di masa depan, mereka d a p a t m e m b e r i k o n t r i b u s i p o s i t i f te r h a d a p masyarakatnya, menjadi agen perubahan, dan sumber inspirasi bagi orang lain. Dan mereka akan menjadi orang yang bisa memutuskan ranti kemiskinan dan mengubah kehidupan.

Taman Bacaan Pelangi juga menjadi tempat dimana orang-orang berbagi dan berkontribusi. Semakin banyak orang yang memberi kontribusi, semakin banyak anak di daerah terpencil di kawasan timur Indonesia yang m e m p e r o l e h a k s e s t e r h a d a p b u k u d a n mengembangkan keterampilan mereka.

silakan cek website kami di

Twitter: @pelangibook Facebook Fan Page: www.facebook.com/pelangibook Email: [email protected] Atau hubungi:

Email: [email protected]: http://nilatanzil.blogspot.comTwitter: @nilatanzil Sebagian tulisan diambil dari Our 25th Library: Banda Neira Island, Malukuhttp://tamanbacaanpelangi.com/blog/2012/12/31/our-25th-library-banda-neira-island-maluku/

Taman Bacaan Pelangi selalu menerima dukungan dan kontribusi. Jika Anda ingin menyumbangkan buku, jenis buku yang kami butuhkan untuk anak-anak di perpustakaan kami adalah:

Buku cerita anak-anak usia 5-13 tahunTipe buku: cerita rakyat, dongeng, fabel, buku petualangan seperti komik Tintin, majalah anak-anak, ensiklopedia untuk anak-anak

Jl. Taman Rawapening I No 19, Bendungan Hilir, Jakarta 10210. Indonesia

kunjungi :http://tamanbacaanpelangi.com/fund-donation/

kunjungi : http://tamanbacaanpelangi.com/volunteers/

http://tamanbacaanpelangi.com/

NILA TANZIL

UNTUK MENDONASIKAN BUKU

MOHON KIRIMKAN BUKU KE:

UNTUK MEMBERIKAN SUMBANGAN DANA,

UNTUK MENJADI SUKARELAWAN,

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Sejarah

29 30 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) Makassarpreneur menggelar diskusi dengan tema “Tinjauan

Keuangan Bisnis”, bertempat di Ruang pertemuan BaKTI Makassar. Hadir sebagai narasumber

Drs.Bambang Ardi Yunisworo, MBA. (Direktur PT Global Parakasi). “Ada banyak hal yang harus

menjadi perhatian utama dalam mengelola usaha, dan salah satu yang utama yaitu aspek keuangan.

Aspek keuangan sebuah usaha adalah segala hal yang menyangkut keuangan usaha yang diatur

sedemikian baik sehingga usaha menjadi terarah” ungkap Bambang dalam presentasinya. Diskusi bulanan ini bertujuan untuk saling berbagi antar

pelaku usaha dan praktisi tentang kewirausahaan. Acara ini dihadiri oleh ± 48 peserta berasal dari pengusaha dan calon pengusaha.

PT Zamrud Khatulistiwa Technology dan e-Broadcasting Institute, dengan dukungan dari PT. Tekom, menyelenggarakan Program Nasional Pelatihan teknologi Radio 2.0 Indonesia (@Radio) di Kantor BaKTI Makassar. Dalam pelatihan ini, materi pelatihan dikemas dan dipresentasikan sendiri oleh para praktisi radio siaran sehingga para peserta pelatihan yang datang dari berbagai penjuru tanah air bisa cepat beradaptasi tanpa kendala teknis. Teknologi Radio 2.0 diyakini sebagai salah satu solusi mengatasi keterpurukan Industri siaran radio yang mengalami penurunan pendapatan yang signifikan akibat pergeseran pola konsumsi media masyarakat, seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Program pelatihan ini bertujuan untuk mentransformasikan industri radio siaran dengan teknologi @RaDIO sehingga stasiun radio mitra binaan dapat melakukan inovasi proses bisnis, inovasi model bisnis, dan membangun ekosistem radio secara kolaboratif. Teknologi

Radio 2.0. dipersembahkan kepada entitas industri radio siaran dengan biaya yang sangat murah bahkan disertai dengan pemberian skema bisnis masa depan yang sangat progresif terkait dengan aspek periklanan dan ekonomi. Pelatihan ini diikuti oleh 25 peserta yang berasal dari beberapa di Makassar dan daerah sekitarnya

BaKTI kembali menggelar acara Diskusi Inspirasi BaKTI yang kali ini agak berbeda dengan menghadirkan “Praktik Cerdas Geng Motor Imut” dari Nusa Tenggara Timur dalam 3 rangkaian acara sekaligus di Makassar yaitu sharing inisiatif TTG kompor biogas bagi dinas terkait dan kelompok tani-ternak di Kabupaten Gowa yang bekerjasama dengan Rumah Hijau Denassa Gowa; (2) Diskusi malam di Kantor BaKTI dengan berbagai stakeholders pembangunan; dan visioning kelembagaan dengan beberapa komunitas di Makassar. “Modal uang bukanlah kendala bagi komunitas ini. Kami berangkat dengan dasar kekuatan dari kami sendiri dan bukan dari masalah yang ada. Mencari potensi adalah kegiatan utama yang kami lakukan” ungkap Noverius (Frits) Nggili, Koordinator Geng Motor iMUt, yang menjadi pembicara tunggal dalam presentasinya di BaKTI. Kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan praktik cerdas yang dilakukan oleh komunitas anak muda dalam membawa perubahan di masyarakat dan juga untuk mendorong adopsi/replikasi inisiatif ini.

KEGIATAN di BaKTI

19-20 April 2013

15-16 April 2013 PELATIHAN TEKNOLOGI RADIO 2.0

3 April 2013 DISKUSI ENTREPRENEUR CLUB : TINJAUAN KEUANGAN BISNIS

INSPIRASI BAKTI “PRAKTIK CERDAS

GENG MOTOR IMUT”

Page 31: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

awasan timur Indonesia memiliki banyaks ekali potensi, namun masih belum berkembang Kdengan baik dan masih memiliki infrastruktur

yang terbatas. Kawasan timur Indonesia juga memiliki tingkat melek aksara yang rendah. Tantangan inilah yang mendorong Taman Bacaan Pelangi untuk fokus pada belahan timur Indonesia, menyediakan berbagai buku bagi anak-anak di daerah-daerah terpencil sebagau upaya untuk meningkatkan minat baca anak-anak.

Taman Bacaan Pelangi didirikan pada November 2009 di Flores. Bekerja bersama para pemimpin desa, Nila Tanzil, pendiri lembaga ini, membuka perpustakaan pertama di Roe, sebuah desa kecil di kaki bukit di Flores, dengan hanya 200 buku. Saat ini, dengan bantuan donor dan sukarelawan, Roe telah menampung lebih dari 2.000 buku anak-anak.

Dengan dukungan para sukarelawan dan donor dari seluruh dunia, LSM dan perusahaan swasta, Taman Bacaan Pelangi telah berkembang dari sebuah cara untuk memberi menjadi sebuah gaya hidup. Dalam tiga tahun, kami telah mengembangkan 26 perpustakaan anak-anak di 11 pulau di kawasan timur Indonesia. Tujuan kamis ederhana: lebih banyak buku dan lebih banyak perpustakaan berarti anak-anak di daerah terpencil di Indonesia memiliki akses ke buku dan kisah-kisah yang dapat membuka dunia baru dan kesempatan.

T u j u a n k a m i a d a l a h m e n d o r o n g d a n mengembangkan minat anak-anak untuk membaca dengan menyediakan akses terhadap buku-buku yang bagus. Kami eprcaya ini adalah tahap penting dalam pendidikan anak-anak dan sekaligus dapat memperluas cakrawala dan kesempatan mereka.

Di Taman Bacaan Pelangi kami mendorong anak-anak untuk bermimpi besar. Dan buku-buku dapat menginspirasi, memperlebar cakrawala dan memotivasi mereka untuk meraih mimpinya.

Melalui berbagai program, kami juga ingin mengembangkan keterampilan mereka. Anak-anaka akan menyadari potensinya dan menjadi bintang yan sesungguhnya di lapangan. Di masa depan, mereka d a p a t m e m b e r i k o n t r i b u s i p o s i t i f te r h a d a p masyarakatnya, menjadi agen perubahan, dan sumber inspirasi bagi orang lain. Dan mereka akan menjadi orang yang bisa memutuskan ranti kemiskinan dan mengubah kehidupan.

Taman Bacaan Pelangi juga menjadi tempat dimana orang-orang berbagi dan berkontribusi. Semakin banyak orang yang memberi kontribusi, semakin banyak anak di daerah terpencil di kawasan timur Indonesia yang m e m p e r o l e h a k s e s t e r h a d a p b u k u d a n mengembangkan keterampilan mereka.

silakan cek website kami di

Twitter: @pelangibook Facebook Fan Page: www.facebook.com/pelangibook Email: [email protected] Atau hubungi:

Email: [email protected]: http://nilatanzil.blogspot.comTwitter: @nilatanzil Sebagian tulisan diambil dari Our 25th Library: Banda Neira Island, Malukuhttp://tamanbacaanpelangi.com/blog/2012/12/31/our-25th-library-banda-neira-island-maluku/

Taman Bacaan Pelangi selalu menerima dukungan dan kontribusi. Jika Anda ingin menyumbangkan buku, jenis buku yang kami butuhkan untuk anak-anak di perpustakaan kami adalah:

Buku cerita anak-anak usia 5-13 tahunTipe buku: cerita rakyat, dongeng, fabel, buku petualangan seperti komik Tintin, majalah anak-anak, ensiklopedia untuk anak-anak

Jl. Taman Rawapening I No 19, Bendungan Hilir, Jakarta 10210. Indonesia

kunjungi :http://tamanbacaanpelangi.com/fund-donation/

kunjungi : http://tamanbacaanpelangi.com/volunteers/

http://tamanbacaanpelangi.com/

NILA TANZIL

UNTUK MENDONASIKAN BUKU

MOHON KIRIMKAN BUKU KE:

UNTUK MEMBERIKAN SUMBANGAN DANA,

UNTUK MENJADI SUKARELAWAN,

INFORMASI LEBIH LANJUT FOR MORE INFORMATION

Sejarah

29 30 APRIL - MEI 2013News Edisi 88 APRIL - MEI 2013News Edisi 88

Lembaga Pengembangan Bisnis (LPB) Makassarpreneur menggelar diskusi dengan tema “Tinjauan

Keuangan Bisnis”, bertempat di Ruang pertemuan BaKTI Makassar. Hadir sebagai narasumber

Drs.Bambang Ardi Yunisworo, MBA. (Direktur PT Global Parakasi). “Ada banyak hal yang harus

menjadi perhatian utama dalam mengelola usaha, dan salah satu yang utama yaitu aspek keuangan.

Aspek keuangan sebuah usaha adalah segala hal yang menyangkut keuangan usaha yang diatur

sedemikian baik sehingga usaha menjadi terarah” ungkap Bambang dalam presentasinya. Diskusi bulanan ini bertujuan untuk saling berbagi antar

pelaku usaha dan praktisi tentang kewirausahaan. Acara ini dihadiri oleh ± 48 peserta berasal dari pengusaha dan calon pengusaha.

PT Zamrud Khatulistiwa Technology dan e-Broadcasting Institute, dengan dukungan dari PT. Tekom, menyelenggarakan Program Nasional Pelatihan teknologi Radio 2.0 Indonesia (@Radio) di Kantor BaKTI Makassar. Dalam pelatihan ini, materi pelatihan dikemas dan dipresentasikan sendiri oleh para praktisi radio siaran sehingga para peserta pelatihan yang datang dari berbagai penjuru tanah air bisa cepat beradaptasi tanpa kendala teknis. Teknologi Radio 2.0 diyakini sebagai salah satu solusi mengatasi keterpurukan Industri siaran radio yang mengalami penurunan pendapatan yang signifikan akibat pergeseran pola konsumsi media masyarakat, seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Program pelatihan ini bertujuan untuk mentransformasikan industri radio siaran dengan teknologi @RaDIO sehingga stasiun radio mitra binaan dapat melakukan inovasi proses bisnis, inovasi model bisnis, dan membangun ekosistem radio secara kolaboratif. Teknologi

Radio 2.0. dipersembahkan kepada entitas industri radio siaran dengan biaya yang sangat murah bahkan disertai dengan pemberian skema bisnis masa depan yang sangat progresif terkait dengan aspek periklanan dan ekonomi. Pelatihan ini diikuti oleh 25 peserta yang berasal dari beberapa di Makassar dan daerah sekitarnya

BaKTI kembali menggelar acara Diskusi Inspirasi BaKTI yang kali ini agak berbeda dengan menghadirkan “Praktik Cerdas Geng Motor Imut” dari Nusa Tenggara Timur dalam 3 rangkaian acara sekaligus di Makassar yaitu sharing inisiatif TTG kompor biogas bagi dinas terkait dan kelompok tani-ternak di Kabupaten Gowa yang bekerjasama dengan Rumah Hijau Denassa Gowa; (2) Diskusi malam di Kantor BaKTI dengan berbagai stakeholders pembangunan; dan visioning kelembagaan dengan beberapa komunitas di Makassar. “Modal uang bukanlah kendala bagi komunitas ini. Kami berangkat dengan dasar kekuatan dari kami sendiri dan bukan dari masalah yang ada. Mencari potensi adalah kegiatan utama yang kami lakukan” ungkap Noverius (Frits) Nggili, Koordinator Geng Motor iMUt, yang menjadi pembicara tunggal dalam presentasinya di BaKTI. Kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan praktik cerdas yang dilakukan oleh komunitas anak muda dalam membawa perubahan di masyarakat dan juga untuk mendorong adopsi/replikasi inisiatif ini.

KEGIATAN di BaKTI

19-20 April 2013

15-16 April 2013 PELATIHAN TEKNOLOGI RADIO 2.0

3 April 2013 DISKUSI ENTREPRENEUR CLUB : TINJAUAN KEUANGAN BISNIS

INSPIRASI BAKTI “PRAKTIK CERDAS

GENG MOTOR IMUT”

Page 32: MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA - bakti.or.id fileAPRIL - MEI 2013 MEMAHAMI KTI DENGAN SEKSAMA www. bakti.or.id EDISI 88 SUARA FORUM KTI PAPUA Secercah Harapan untuk Masyarakat Adat dan

Paradoks Representasi Politik Perempuan

Ring of Fire ; Indonesia dalam Lingkaran Api

Karir dan Rumah Tangga: Jurnal Perempuan

Upaya affirmative untuk mendorong representasi perempuan dalam politik berupa kuoto 30% mencapai paradoksnya. Situasi paradox terjadi karena pilihan electoral menjadi tak terhindarkan bagi perempuan jika hendak masuk dalam institusi representasi politik dan bertarung dalam proses kebijakan public. Meski memenuhi kuota, partai politik belum berpihak pada isu-isu marginilitas dimana perempuan mengalami kondisi keterpurukan. Buku ini sebagai upaya untuk membuka mata terhadap persoalan representasi politik perempuan yang kritis dewasan ini.

Dua kakak beradik selama 10 tahun berpetualang di kepulauan paling besar di dunia yaitu Indonesia. Selain menulis buku keduanya juga membuat film dokumenter tentang keberagaman budaya, kekayaan alam yang mereka temui di pulau-pulau nusantara yang mereka kunjungi. Keluar masuk hutan hujan, bertemu dengan suku-suku terasing dan bertemu hewan-hewan langka menjadikan petualangan keduanya lebih menawan. Namun baginya Indonesia tetap merupakan potongan liar terakhir di pojok taman dunia.

Salah satu cara menunjukkan eksistensi manusia adalah dengan bekerja. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik-biologis saja namun juga memenuhi kebutuhan psiko-etis. Kerja menimbulkan harga diri. Namun untuk perempuan yang bekerja, tidak dipandang sebagai perempuan yang eksis namun dipandang ambisius, gagal menyelenggarakan tugas utama yaitu rumah tangga. Stigma ambisius kemudian menjadi penghalang perempuan atas hak untuk kerja.

Penerbit

Jurnal Perempuan 76

Surat dari dan untuk Pemimpin; Menjadi Indonesia

Buku ini merupakan rangkaian dari program Tempo Institute “Menjadi Indonesia” yang bertujuan untuk mendorong Indonesia yang lebih baik. Dengan pendekatan ikatan emosional dengan pembacanya, buku ini berisi surat-surat dari para pemimpin dan tokoh-tokoh di Indonesia yang ditujukan kepada generasi muda calon pemimpin bangsa ini. Tulisan personal yang dibuat dalam bentuk surat memang berniat untuk menjalin ikatan emosional dengan pembaca—khususnya generasi muda. Buku ini membawa spirit “menjadi Indonesia”, mengajak bertumbuh dan berproses memaknai Indonesia.

Buku-buku tersebut diatas tersedia di Perpustakaan BaKTI.Perpustakaan BaKTI berada di Kantor BaKTI Jl. H.A. Mappanyukki No. 32, Makassar Fasilitas ini terbuka untuk umum setiap hari kerja mulai dari jam 08:00 – 17:00.

Penulis/Peneliti

Irwansyah, Anna Margaret, Yolanda Panjaitan & Mia Novitasari

Lawrence Blair dan Leorne Blair

ISBN

978-979-19089-5-5

Penerbit

PT. Tempo Inti Media

Penulis ISBN

978-602-9346-07-7

ISBN

1410-153x

ISBN

978-602-19607-1-4

INFO BUKU

Penerbit

Puskapol

Penerbit

Ufuk