7
Membangun Peradaban Bangsa Melalui Masjid Dapat kita saksikan bahwa kebanyakan masjid di Indonesia mengalami degradasi fungsi masjid. Salah satu contoh sebagian dari masjid adalah adzan. Masyarakat umum kebanyakan menganggap adzan sebagai pengingat atau penanda waktu. Padahal esensi dari adzan itu sendiri adalah panggilan, yaitu panggilan yang sangat mulia untuk menegakkan sholat dan memperkuat tiang agama. Padahal di Indonesia terdapat lebih dari 1.000.000 masjid. Tentunya ini menjadi pemikiran umat islam yang mana “status” idealnya adalah pembawa kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam. Dalam kenyataanya orang – orang (khususnya para remaja - pemuda) lebih menyukai pasar dari pada masjid. Mereka menyukai pasar modern dengan berbagai fasilitas, mulai dari film bioskop, restoran, hingga games berteknologi tingi. Padahal di bumi ini, tempat yang paling disukai Allah adalah masjid, tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar. Pasar adalah tempat ekspresi hawa nafsu, orang yang dimuliakan adalah manusia yang bermodal (kapitalisme). Sedangkan dalam masjid, bisa jadi yang dimuliakan adalah orang yang tidak berharta atau pun tidak bertahta. Seorang imam besar, pengurus takmir masjid, orang yang memiliki ketaqwaan kepada Allah SWT yang tinggi, merupakan orang yang mulia di masjid. Tentunya mereka memiliki ilmu karena ilmulah yang membuat derajat seseorang berbeda – beda. Yang menjadi tantangan masjid di masa sekarang

Membangun Peradaban Bangsa Melalui Masjid

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Membangun Peradaban Bangsa Melalui Masjid

Membangun Peradaban Bangsa Melalui Masjid

Dapat kita saksikan bahwa kebanyakan masjid di Indonesia mengalami degradasi

fungsi masjid. Salah satu contoh sebagian dari masjid adalah adzan. Masyarakat umum

kebanyakan menganggap adzan sebagai pengingat atau penanda waktu. Padahal esensi dari

adzan itu sendiri adalah panggilan, yaitu panggilan yang sangat mulia untuk menegakkan

sholat dan memperkuat tiang agama. Padahal di Indonesia terdapat lebih dari 1.000.000

masjid. Tentunya ini menjadi pemikiran umat islam yang mana “status” idealnya adalah

pembawa kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam.

Dalam kenyataanya orang – orang (khususnya para remaja - pemuda) lebih menyukai

pasar dari pada masjid. Mereka menyukai pasar modern dengan berbagai fasilitas, mulai dari

film bioskop, restoran, hingga games berteknologi tingi. Padahal di bumi ini, tempat yang

paling disukai Allah adalah masjid, tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar. Pasar

adalah tempat ekspresi hawa nafsu, orang yang dimuliakan adalah manusia yang bermodal

(kapitalisme). Sedangkan dalam masjid, bisa jadi yang dimuliakan adalah orang yang tidak

berharta atau pun tidak bertahta. Seorang imam besar, pengurus takmir masjid, orang yang

memiliki ketaqwaan kepada Allah SWT yang tinggi, merupakan orang yang mulia di masjid.

Tentunya mereka memiliki ilmu karena ilmulah yang membuat derajat seseorang berbeda –

beda. Yang menjadi tantangan masjid di masa sekarang adalah menjadikan masjid sebagai

pusat peradaban yang disegani masyarakat.

Mari kita mempelajari sejarah sejenak tentang peristiwa di masa lalu, ketika penjajah

masuk dengan politik domba kerajaan – kerajaan islam yang ada di Indonesia. Salah satunya

adalah peristiwa VOC beserta pasukkannya membuat perjanjian dengan Raja Amangkurat,

Hamengkubowono dan takmirnya. Kolonialisme membutuh kekuatan, kemudian lahirlah

imperialism. Imperialism politik = imperialism ekonomi.

Menurut Moch. Hatta, imperialism adalah sistem riba, sedangkan perekonomian

nasional adalah berasaskan kerjasama dan kekeluargaan. Tentu sangat jauh perbedaan kedua

sistem perekonomian tersebut.

Salah satu motif kolonialisme adalah untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang

sebesar-besarnya dari tanah jajahan. Sebagai buktinya, penjajahan pertama kali yang dialami

Indonesia berawal dari eksploitasi ekonomi perusahaan public Belanda (VOC). Perusahaan

Page 2: Membangun Peradaban Bangsa Melalui Masjid

ini bukanlah persekutuan politik dan dan tugas utamanya bukanlah merebut kekuasaan raja –

raja pribumi, melainkan melakukan monopoli perdagangan antar pulau di kawasan nusantara

(Baswir, 2004). Karl Marx (dalam Grant and Wood, 1998) mengatakan bahwa kolonialisme

adalah salah satu cara untuk mencegah kecenderungan akumulasi modal yang semakin

menurun. Nikolai Lenin (dalam C. Wright Mills 2003:214) mengatakan bahwa inti

perekonomian imperialism adalah kapitalisme monopoli yang muncul dari persaingan bebas

dan merupakantransisi dari sistem kapitalis menjadi tatanan sosial yang lebih tinggi.

Imperialisme adalah tahapan monopoli dalam kapitalisme karena mencakup beberapa

hal,. Pertama, modal finansial merupakan modal sejumlah bank besar yang monopolistic

digabung dengan sejumlah pengusaha yang monopolis. Kedua, pembagian dunia merupakan

proses perubahan dari kebijakan colonial yang telah meluas tanpa hambatan ke wilayah yang

tidak dikuasai oleh kaum kapitalis menjadi kebijakan colonial kepemilikan monopolistik atas

wilayah dunia yang terbagi-bagi.

Yang dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bimg Hatta ketika itu tentu tidak lain dari

ekonomi kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandmgkan dengan

ekonomi kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yang

berada di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat jauh tertinggal.

Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan penderitaan rakyat pada masa

itu, meika tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah artikel dengan nada serupa. Judulnya

kali ini adalah Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya dengan mudah

dapat diketahui betapa semakin mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan

kemerosotan ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.

Pada masa perjuangan melawan penjajah munculah berbagai gerakan jamaah islam

yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sekaligus mengganti peradaban baru yang

lebih adil. Mulai berdatangan para syaikh luar negeri dan pemuka agama yang ahli sesuai

dengan bidangnya ke tanah jawa. Mereka mendakwahkan islam dan membuat peradaban

generasi masjid. Maulana Malik Ibrahim ahli di bidang irigasi dan politik. Maulana Ishak,

datang dari Rusia, ahli pengobatan menetap di Pasai. Syaikh Subaghir, Ahli rukhyah dari Irak

(sunan gunung Tidar), serta syaikh – syaikh lainnya yang mempelajari budaya, ahli siasat

berperang, mengimplementasikan ilmunya untuk membangun peradaban di Indonesia.

Page 3: Membangun Peradaban Bangsa Melalui Masjid

Dari sunan sunan inilah kerajaan islam mulai bermunculan dan membesarkan

kepemimpinan Islam. Contoh kerajaan mataram. Pada tahun masa Sultan Agung, Belanda

masuk di Jayakarta, mengganti dengan Batavia. Mataram islam mulai melemah, sejak itulah

ada politik devide et empera lewat Jean Peter Coan.

Haji Miskin menggerakkan gerakkan salafi di Sumatera yang melawan adat minang,

sehingga disebut pendeta (father), Padri. Sampai dengan kepemimpinan pahlawan Malik

Barsyah (Tuanku Imam Bonjol). 1822 – 1837 ada perang VOC melawan kaum salaf, sampai

ada kesepakatan damai kaum adat dengan kaum salaf. Adat boleh tapi bersendi sara’, sara’

berdasarkan kitabullah.

Tahun 1901 berdiri jamiat khoir di Jakarta, didirikan Ibnu syihab. Seminar Khilafah

diadakan mengundang Ahmad, “Haram Kaum Muslimin Tunduk Pada Kaum Kafir”. Ini

menjadi bibit bibit gerakan kemerdekaan. Jamiat khoir ini lah memiliki murid – murid yang

aktif. Setelah pulang dari haji, Haji Samanhudi mendirikan Sarikat Dagang Islam. Begitu pula

Muhammad Darwis / KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Semangat

kemerdekaan dan rasa kebangsaan resmi dimulai dari kalangan islam, di suarakan National

Indiche Konggres. Tahun 1918 Serikat Islam memperjuangkan rakyat miskin, menghapus

kerja paksa. Hingga muncul kesepakatan “Kapitalisme Berdosa, dan Bersatulah Kaum

Melarat”.

Umat islam dahulu menyebut perjuangan rakyat, namun timbul penyempitan pola

penyebutan umat. Sampai hari ini partai islam memikirkan umat – umat – umat. Ini

menimbulkan paradigma yang sangat bodoh kepada pemuda sehingga memiliki paradigma

hanya kepentingan umat, bukan lagi kepemimpinan yang memikirkan rakyat.

Pemimpin NU, Perdana Mentri Masyumi, Bung karno, moh.hatta, natsir, Sri Sultan HB I

saat umur masih muda dan produktif! Santri lain yang berjuang melawan penjajah antara

lain adalah Ki Hajar Dewantoro dan Jendral Sudirman.

Setiap zaman memiliki tantangan masing – masing. Sekarang yang kita hadapi adalah

generasi yang ada pada zaman informasi dan teknologi. Alur komunikasi, informasi dan

media sangat kuat pengaruhnya. Sarana prasarana canggih yang memudahkan kerja

manusia semakin merebak. Dunia hiburan, musik, dan film menjadi kebutuhan dalam

Page 4: Membangun Peradaban Bangsa Melalui Masjid

membentuk karakter seseorang. Tantangan ini tentu saja tidak dialami oleh pemuda, namun

mulai dari anak – anak hingga orang tua turut dinaungi masalah yang ada.

Lalu bagaimana caranya agar masjid menjadi pembangun peradaban di era sekarang

antara lain dengan membentuk masjid yang informatif dan berteknologi. Pembentukan

kader - kader yang mencintai IT perlu digalakkan agar nantinya masjid dapat memimpin

informasi di masyarakat sekitar. Sudah seharusnya masjid menjadi pusat peradaban seperti

halnya masjid di zaman rasul.

Masjid di zaman rasul merupakan pusat peradaban, pusat ibadah, pusat informasi

masyarakat, ruang bertamu, tempat zakat, mengatur kegiatan masyarakat, tempat menginap,

penyelesaian sengketa, sampai dengan urusan ijab qobul pernikahan. Jangan sampai

kemajuan informasi dan teknologi di zaman sekarang membuat generasi masjid mengalami

disorientasi dalam menjalanjan fungsi masjid di masyarakat.

Selain itu, program kerja masjid yang utama adalah membuat para jamaah mencintai

masjid, merawat masjid, mengelola masjid dengan sepenuh hati. Jika kita menilik salah satu

pemimpin islam, Sri Sultan yang bergelar khalifatullah ngabdurrahman sayidin panatagama,

merupakan contoh pemimpin yang dapat mengaitkan masyarakat dengan masjid. Raja dekat

dengan masjid sehingga raja dekat dengan rakyat. Di buatlah filosofi caturmanunggal, yaitu

antara kraton, masjid, lapangan, pasar (yang agak jauh dari masjid) menjadi suatu tatanan

yang sinergis. Hal ini merupakan penerapan dari prinsip peradaban masjid, antara lain

kesamaan (egaliter), tolong menolong, dan keseimbangan. Hal ini pula yang seharusnya

diterapkan pada masjid di zaman informasi dan teknologi. Siapa yang berinovasi, maka dia

yang akan bernilai. Tentunya inovasi dalam pengembangan masjid sesuai dengan syari’at

islam.

Masjid menjadi pusat pelayanan rakyat adalah kunci dekatnya masjid dengan rakyat.

Mulai dari pelayanan fisik, hingga pelayanan psikis. Pelayanan kesehatan, olahraga,

pendidikan, pelatihan internet, pengelolaan zakat infak shodaqoh, bakti sosial, hingga pusat

informasi berita nasional dan internasional menjadi unsur penting dalam membangun

peradaban masjid. Sampai pada akhirnya jamaah masjid atau bukan, masyarakat islam atau

bukan, akan menganggap masjid adalah naungan kehidupan bersama.