10
1 Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter Berbasis Multiple Intelligences Zainal Arifin Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: [email protected] Abstrak: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter Berbasis Multiple Intelligences. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemikiran Munif Chatib tentang konsep Sekolahnya Manusia. Analisis dari kajian pustaka menghasilkan temuan bahwa Sekolahnya Manusia adalah sekolah berbasis Multiple Intelligences (MI), yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis kecerdasan siswa. Dengan pendekatan teori Multiple Intelligence (MI) Howard Gardner, Munif Chatib mencoba membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter dan humanis untuk mengenali dan melejitkan kecerdasan setiap anak, yaitu menggunakan alat riset yang dinamakan Multiple Intelligences Reseacrh (MIR) untuk mengetahui kecerdasan siswa yang paling menonjol. Kata kunci: Sekolahnya Manusia, Munif Chatib, Multiple Intelligence Pendahuluan Membangun sekolah hakikatnya adalah human investment untuk kemajuan masa depan bangsa. Sekolah adalah tempat di mana setiap siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan menikmati fasilitas pendidikan. Sekolah adalah tempat pengembangan potensi, kecerdasan, bakat, maupun keterampilan siswa. Sekolah adalah tempat pembudayaan perilaku atau karakter terpuji. Sayangnya, menurut Munif Chatib, banyak sekolah yang sadar atau tidak, malah membunuh banyak potensi siswa-siswa didiknya. 1 Hal ini dikarenakan, sekolah tidak menghargai potensi kecerdasan siswa selain kecerdasan inteligensi. Realitas menunjukan masih banyak guru di sekolah menganggap siswa cerdas adalah siswa yang memiliki kecerdasan inteligensi (IQ) tinggi. Realitas membuktikan bahwa masih banyak guru maupun sekolah, bahkan orang tua dan masyarakat hanya memandang siswa cerdas adalah siswa yang memiliki nilai matematika: 9, Kimia: 9, Fisika: 9, dan Bahasa Indonesia 8 atau nilai Ujian Nasional (UN) dengan rata-rata 8. Sedangkan, siswa dengan kecerdasan lain, misalnya musik, kinestetik, naturalis, emosional, spiritual, kurang dihargai. Penilaian yang dilakukan oleh guru maupun sekolah masih banyak menggunakan penilaian dengan angka-angka (kognitif), belum menekankan pada penilaian afektif (moral), maupun psikomotoriknya. Maka, tidak heran jika masih banyak anak yang mendapatkan nilai 9 dalam pelajaran agama tapi jarang melakukan sholat atau bahkan gerakan sholatnya belum sempurna. Berdasarkan latar belakang masalah ini, artikel ini akan membahas pandangan Munif Chatib tentang Sekolahnya Manusia, yang memanusiakan manusia (humanis), di mana seorang guru atau sekolah menghargai setiap potensi, 1 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,(Bandung: Kaifa, 2010), hlm. xxi

Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

Embed Size (px)

DESCRIPTION

this good for student

Citation preview

Page 1: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

1

Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

Berbasis Multiple Intelligences

Zainal Arifin

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Email: [email protected]

Abstrak: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter Berbasis

Multiple Intelligences. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemikiran

Munif Chatib tentang konsep Sekolahnya Manusia. Analisis dari kajian pustaka

menghasilkan temuan bahwa Sekolahnya Manusia adalah sekolah berbasis

Multiple Intelligences (MI), yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis

kecerdasan siswa. Dengan pendekatan teori Multiple Intelligence (MI) Howard

Gardner, Munif Chatib mencoba membangun Sekolahnya Manusia yang

berkarakter dan humanis untuk mengenali dan melejitkan kecerdasan setiap anak,

yaitu menggunakan alat riset yang dinamakan Multiple Intelligences Reseacrh

(MIR) untuk mengetahui kecerdasan siswa yang paling menonjol.

Kata kunci: Sekolahnya Manusia, Munif Chatib, Multiple Intelligence

Pendahuluan

Membangun sekolah hakikatnya adalah human investment untuk kemajuan

masa depan bangsa. Sekolah adalah tempat di mana setiap siswa mendapatkan

kesempatan yang sama untuk belajar dan menikmati fasilitas pendidikan. Sekolah

adalah tempat pengembangan potensi, kecerdasan, bakat, maupun keterampilan

siswa. Sekolah adalah tempat pembudayaan perilaku atau karakter terpuji.

Sayangnya, menurut Munif Chatib, banyak sekolah yang sadar atau tidak, malah

membunuh banyak potensi siswa-siswa didiknya. 1 Hal ini dikarenakan, sekolah

tidak menghargai potensi kecerdasan siswa selain kecerdasan inteligensi.

Realitas menunjukan masih banyak guru di sekolah menganggap siswa

cerdas adalah siswa yang memiliki kecerdasan inteligensi (IQ) tinggi. Realitas

membuktikan bahwa masih banyak guru maupun sekolah, bahkan orang tua dan

masyarakat hanya memandang siswa cerdas adalah siswa yang memiliki nilai

matematika: 9, Kimia: 9, Fisika: 9, dan Bahasa Indonesia 8 atau nilai Ujian

Nasional (UN) dengan rata-rata 8. Sedangkan, siswa dengan kecerdasan lain,

misalnya musik, kinestetik, naturalis, emosional, spiritual, kurang dihargai.

Penilaian yang dilakukan oleh guru maupun sekolah masih banyak menggunakan

penilaian dengan angka-angka (kognitif), belum menekankan pada penilaian

afektif (moral), maupun psikomotoriknya. Maka, tidak heran jika masih banyak

anak yang mendapatkan nilai 9 dalam pelajaran agama tapi jarang melakukan

sholat atau bahkan gerakan sholatnya belum sempurna.

Berdasarkan latar belakang masalah ini, artikel ini akan membahas

pandangan Munif Chatib tentang Sekolahnya Manusia, yang memanusiakan

manusia (humanis), di mana seorang guru atau sekolah menghargai setiap potensi,

1

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di

Indonesia,(Bandung: Kaifa, 2010), hlm. xxi

Page 2: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

2

kecerdasan, bakat, maupun keterampilan siswa. Dengan pendekatan teori Multiple

Intelligences Howard Gardner, Munif Chatib berusaha membangun Sekolahnya

Manusia yang berkarakter berbasis Multiple Intelligences.

Pembahasan

Biografi Munif Chatib

Munif Chatib lahir di Sidoarjo. Ketertarikannya di dunia pendidikan di

awali ketika masih di bangku SMA. Meskipun masih berstatus siswa kelas 3,

beliau ikut membantu gurunya memberi bimbingan belajar kepada teman-

temannya. Meskipun ia suka mengajar namun waktu itu tidak ada orang yang

mengarahkan untuk jenjang S1 mengambil kuliah di fakultas pendidikan,

sehingga beliau merasa salah jurusan. “Saya masuk di fakultas Hukum Universitas

Brawijaya Malang, dan tahun pertama saya seperti masuk ke dunia lain,” kenang

bapak yang senang menulis puisi. Karena itulah beliau tidak begitu tertarik pada

dunia hukum, seperti menjadi hakim, jaksa atau pengacara, meskipun profesi

pengacara pernah dijalaninya pada tahun pertama kelulusannya menjadi sarjana

hukum. Namun hatinya lebih mantap menjadi pengajar. Dan pada tahun 1992

sebelum diwisuda beliau dipercayakan untuk menjadi seorang asisten dosen di

fakultas hukum sebuah universitas baru di Sidoarjo. Namun malang, hanya 1

bulan, beliau dikeluarkan dari kampus tersebut karena mengkritik dosennya dalam

memberikan kuliah yang monoton dan menjemukan.2

“Mutiara dari Sidoarjo” ini, Neno Warisman menjulukinya, pada tahun

1998 sampai 1999 telah menyelesaikan studi dengan Distance Learning di

Supercamp Oceanside California USA yang dipimpin oleh Bobby de Porter. Dari

73 lulusan alumni pertama tersebut, beliau menduduki rangking 5 dan satu-

satunya lulusan dari Indonesia. Tesisnya,”Islamic Quantum Learning”, cukup

menggemparkan dan sampai sekarang dijadikan referensi yang diminati di

Supercamp. “Islamic Quantum Learning” adalah kritik tentang penokohan fiktif

yang dikembangkan oleh Bobby dePorter. Dan sepertinya saya menemukan hal

yang luar biasa, yaitu ternyata mereka mengakui bahwa nilai-nilai Islam adalah

nilai-nilai terbaik dalam penerapan penokohan dan character building yang

diajarkan di sekolah-sekolah. Seperti seorang menimba air dari dalam sumur. Air

sumur itu adalah nilai Islam dan mereka menyedotnya dengan mesin yang

canggih. Sedangkan kita di Indonesia atau di sekolah-sekolah Islam mengambil

air itu dengan timba bocor. Inilah kelemahan kita yaitu terletak pada

metodologi,” ujar Munif Chatib yang selalu yakin bahwa sekolah Islam mestinya

dapat menjadi sekolah terbaik dan unggul.3

Redefinisi Kecerdasan, Sebuah Awal yang Manusiawi

Setiap suku bangsa di dunia ini mempunyai kriteria tertentu untuk

menentukan definisi kecerdasan. Bangsa Yunani Kuno sangat menghargai orang

yang cerdas mempunyai fisik kuat, pemikiran yang rasional, dan menunjukkan

2 http://munifchatib.wordpress.com/2008/07/22/munif-chatib-mutiara-dari-sidoarjo/. Diakses

pada 14 April 2012. 3 http://munifchatib.wordpress.com/2008/07/22/munif-chatib-mutiara-dari-sidoarjo/. Diakses

pada 14 April 2012.

Page 3: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

3

perilaku yang baik dan bermoral. Bangsa Romawi pada sisi lain sangat

menghargai keberanian. Bangsa Cina, dibawah pengaruh filsuf Confusius, sangat

menghargai orang yang mahir di bidang puisi, musik, kaligrafi, ilmu perang, dan

melukis. Sedangkan pada orang-orang Keres, dari suku Indian Pueblo, sangat

menghargai orang yang peduli dengan orang lain.4 Definisi kecerdasan di sini

lebih menitik beratkan pada keahlian dalam bidang tertentu dan karakter yang

baik.

Charles Darwin, dalam bukunya Origin of Species mengenai teori evolusi

yang sangat berpengaruh pada tahun 1959, berpendapat bahwa makhluk yang ada

saat ini adalah makhluk yang bisa bertahan dari seleksi alam. Makhluk yang tidak

bisa lolos dari seleksi alam akan mati dan punah. Makhluk yang lolos dari seleksi

alam ini dipercaya mempunyai kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

makhluk yang gagal melewati seleksi alam.5 Kecerdasan bagi Charles Darwin

adalah makhluk yang pandai beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Dia dapat

bertahan dan beradaptasi dengan perubahan alam dan lingkungan. Sehingga,

makhluk tersebut dapat selamat dari seleksi/persaingan alam. Punahnya

Dinasaurus salah satu indikator bahwa kecerdasan tidak menunjukan pada

kekuatan (power) tapi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan.

Sebelum datangnya teori Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk)

yang dicetuskan Howard Gardner, selama bertahun-tahun Kecerdasan Intelegensi

(IQ) telah menjadi ukuran standar kecerdasan dan kesuksesan seseorang. Semakin

tinggi tes IQ yang diperoleh seseorang, maka semakin dia dianggap cerdas bahkan

jenius. Pendapat ini menyebabkan tidak dihargainya bentuk kecerdasan lain,

misalnya kecerdasan emosional, spiritual, kinestetik, intrapersonal, interpersonal,

dan lain sebagainya. Padahal, Menurut penelitian Psikolog Daniel Goleman, IQ

yang lebih menekankan pada pola berpikir logis matematis dan bahasa itu ternyata

hanya menyumbangkan sekitar 5 – 20 % bagi kesuksesan hidup seseorang.

Sisanya adalah kombinasi beragam faktor yang salah satunya kecerdasan emosi.6

Tes IQ yang kita kenal sekarang ini lahir dari karya Psikolog Perancis

Alfred Binet. Selain sebagai pencipta tes IQ, Alferd Binet sebenarnya mempunyai

teori kecerdasan, yaitu terdiri 3 elemen yang dinamakan arah (direction), adaptasi

(adaptation), dan kritik (criticism). Yang dimaksud dengan arah adalah

mengetahui apa yang harus dikerjakan caranya. Adaptasi adalah cara atau strategi

yang dibuat untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan menerapkan strategi itu

sambil melakukan adaptasi sesuai dengan implementasi. Sedangkan kritik adalah

kemampuan untuk melakukan kritik terhadap pikiran dan tindakan sendiri.7

Pada awal abad ke-20, Alferd Binet melakukan ujicoba untuk

mengindentifikasi anak-anak yang masalah belajarnya membutuhkan pendidikan

perbaikan. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford membakukannya

4 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 153

5 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, hlm. 155

6 Hanifudin, Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multiple

Intelligences (MI) (Studi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang SMP, (Desertasi),

(Yogyakarta: Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 60 Atau baca Daniel

Goleman, Emotional Intelligence, terj. (Jakarta: Gramedia Psutaka, 1999), hlm.14 7 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, hlm. 157-158.

Page 4: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

4

dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga tes tersebut menjadi

dikenal sebagai Stanford-Binet.8 Terman kemudian menggabungkan pandangan

Psikolog William Stern tentang angka kecerdasan. IQ, seperti yang telah dikenal

secara global, adalah usia mental seseorang, sebagaimana ditentukan berdasarkan

pengujian kecerdasan, dibagi dengan usia kronologis seseorang - dan hasil

baginya dikalikan 100. 9 Rumus tes IQ adalah:

IQ = MA/CA x 100

MA adalah Mental Age dan CA adalah Chronological Age

Jadi, jika usia mental seseorang sama dengan usia kronologis, IQ orang itu

adalah 100. Kemudian, angka IQ tersebut dimasukkan ke sebuah daftar yang

memuat angka IQ dari banyak orang, lalu dibuat sebuah grafik dan dibandingkan

antara angka orang satu dengan yang lainnya. Metode perhitungan inilah yang

menimbulkan perdebatan di kalangan ahli. Jika, ada sejuta anak yang dites IQ,

maka akan menghasilkan angka IQ yang dipaksa masuk dalam range angka anak

bodoh, anak normal, anak cerdas, dan anak jenius.10

Menurut Adi W. Gunawan, kalau nilainya (tes IQ) di antara 100-110,

maka ia termasuk golongan yang biasa-biasa saja. Kalau di bawah 100, maka ia

termasuk yang agak bodoh. Kalau di atas 110, maka ia masuk golongan yang

cerdas. Semakin tinggi hasil tesnya berarti semakin cerdas.11

Bahkan, jika hasil tes

IQ-nya di atas 140 maka dia digolongkan anak jenius, sebagaimana pendapat

Robert Woodworth dalam Psychology, anak jenius adalah anak yang memiliki IQ

di atas 140.12

Sebenarnya, apa yang diukur oleh tes IQ itu? Secara khusus, tes IQ

mengukur kemampuan individu dengan soal-soal linguistik (kebahasaan) dan

logis-matematis di samping beberapa tugas pandang dan ruang (visual dan

spasial).13

Berdasarkan penjelasan ini, tes IQ hanya mengukur tiga kecerdasan

manusia, yaitu linguistik, logis-matematis, dan visual dan spasial. Maka bisa

dibayangkan, jika nilai tes IQ – yang hanya mengukur tiga kecerdasan tersebut –

rendah (di bawah skor 100), maka orang tersebut digolongkan agak bodoh,

walaupun mungkin orang tersebut ahli dalam bidang olah raga tertentu, memiliki

kepribadian yang baik, dan lain sebagainya. Menurut Munif, Alfert Binet,

pembuat tes (IQ), adalah seorang psikolog yang professional, tetapi dia tidak

mampu menolak permintaan penguasa dan birokratis yang tidak professional

untuk menghubungkan kecerdasan seseorang dengan eugenic (faktor keturunan).

Permintaan ini dilatarbelakangi oleh fakta sejarah yang terjadi pada tahun 1990-an

8 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21

st Century, Cara

Belajar Cepat Abad XXI, (Bandung: Nuansa, 2002), hlm. 57 9 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21

st Century,… hlm. 57

10 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia… hlm. 74

11 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, hlm. 159.

12 Jamal Ma’mur Asmani, Mencetak Anak Genius, (Yogyakarta: Dive Press, 2009), hlm. 42.

13 Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21

st Century,… hlm. 57

Page 5: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

5

di Perancis dan negara Eropa lainnya bahwa peran kaum buruh dalam konstelasi

politik domistik meningkat tajam.14

Jika diteliti secara mendalam, tes IQ yang diciptakan Binet mengandung

konsep eugenic (keturunan). Sebenarnya, hasil tes ini ingin menggabungkan

faktor keturunan dengan faktor kecerdasan. Argumentasi yang ingin

dikembangkan pada saat itu adalah penguasa atau bangsawan pasti memiliki

keturunan anak-anak yang cerdas sebab penguasa dan bangsawan adalah

kelompok masyarakat yang cerdas. Sebaliknya, kelompok buruh yang notabene

pekerja kasar adalah mereka yang tidak cerdas, dan oleh karena itu pasti akan

melahirkan keturunan-keturunan yang bodoh. Hal yang berbahaya lagi sebuah

negara jika dipimpin oleh generasi yang bodoh dan tidak cerdas.15

Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Belajar Cerdas Belajar Berbasiskan

Otak menyampaikan seberapa besar pengaruh hereditas (keturunan) pada

kecerdasan. Secara singkat, para peneliti umumnya menilai perbandingan kedua

pengaruh itu secara “fifty-fifty”. Setengah disebabkan oleh keturunan dan

setengahnya lagi oleh lingkungannya. Jika hasil tes IQ 20 poin di atas rata-rata –

kira-kira 120 – maka 10 poin berasal dari orang tua dan 10 poin berasal dari

lingkungan.16

Hal senada disampaikan Valentine Dmitriev, dalam bukunya, Smart

Baby, Clever Child, ada dua faktor dalam perkembangan otak manusia yang

menjadikan beberapa orang lebih pandai daripada orang lain. Faktor itu adalah

keturunan dan lingkungan.17

Tetapi lebih lanjut Jalaluddin Rakhmat menekankan,

secara keseluruhan, lingkungan pada akhirnya lebih menentukan daripada

keturunan. Memang betul, gen dan pengaruh orangtua ikut membentuk otak.

Tetapi gen tidak menentukan nasib.18

Pada awal 1970-an, tak sedikit Psikolog dunia yang berpendapat bahwa tes

IQ yang banyak diterapkan di dunia pendidikan itu tidak valid. Gardner menulis

tentang konsep multiple Intelligences dalam bukunya Frames of Mind, yang

diterbitkan pada 1983. Buku ini dipublikasikan dengan tujuan memberikan kritik

yang mendalam tentang ketidakvalidan tes IQ.19

Gardner mengatakan bahwa IQ

tidak boleh dianggap sebagai gambaran mutlak seperti halnya tinggi, berat, dan

tekanan darah. Menurut Gardner, manusia memiliki sejumlah keterampilan untuk

memecahkan berbagai jenis masalah yang berbeda. Kecerdasan adalah

kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang

bernilai dalam satu latar belakang budaya atau lebih.20

Dalam bukunya, Frames of Mind, Howard Gardner membagi delapan

kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, yaitu: Kecerdasan Linguistik (bahasa),

Logis-Matematis, Visual-Spasial (Kemampuan berpikir menggunakan gambar),

Musikal (musik), Kinestetik-Tubuh, Interpersonal (Sosial), dan Kecerdasan

14

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, …hlm. 72 15

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia…, hlm. 72-73. 16

Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas Belajar Berbasis Otak, (Bandung: Kaifa, 2010), hlm.

35. 17

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia,… hlm. 73 18

Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas Belajar Berbasis Otak,… hlm. 37 19

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia…, hlm. 72 20

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century,… hlm. 57

Page 6: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

6

Intrapersonal (kemampuan menganalisis diri sendiri). Pada tahun 1996, 21

Gardner

menambahkan satu jenis kecerdasan lagi, yaitu kecerdasan Naturalis (kemampuan

mengenal flora dan fauna).22

Kendati pun banyak pendapat yang menentang, ada godaan untuk

menambahkan yang kesembilan, yaitu kecerdasan spiritual.23

Tetapi, menurut Adi

W. Gunawan, Howard Gardner tidak menggunakan istilah kecerdasan spiritual,

tetapi kecerdasan eksistensial. Menurut Gardner, istilah spiritual ini mempunyai

konotasi yang berbeda dengan di setiap agama maupun aliran kepercayaan. Oleh

karena itu, ia menggunakan istilah yang netral, yaitu eksistensial. Kecerdasan

eksistensial adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kapasitas atau

kemampuan untuk berpikir kosmis atau hal-hal yang berhubungan dengan

keberadaan; mulai dari keberadaan dan tujuan manusia di alam semesta hingga

pada sifat kehidupan itu sendiri seperti kebahagiaan, tragedi, penderitaan, hidup,

mati, dan ke mana manusia setelah mati.24

Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter Berbasis Multiple

Intelligences

Menurut Munif Chatib, Sekolahnya Manusia adalah sekolah berbasis MI

(Multiple Intelligences), yaitu sekolah yang menghargai berbagai jenis kecerdasan

siswa.25

Konsep MI yang menitik beratkan pada ranah keunikan selalu

menemukan kelebihan setiap anak. Lebih jauh, konsep ini percaya bahwa tidak

ada anak bodoh sebab setiap anak pasti memiliki minimal satu kelebihan. Apabila

kelebihan tersebut dapat dideteksi sedari awal, otomatis kelebihan itu adalah

potensi kepandaian sang anak.26

Atas dasar itu, seyogianya Sekolah menerima

siswa barunya dalam kondisi apa pun. Tugas sekolahlah meneliti kondisi siswa

secara psikologis dengan cara mengetahui kecenderungan kecerdasan siswa

melalui metode riset yang dinamakan Multiple Intelligences Research (MIR).27

MIR adalah instrument riset yang dapat memberikan deskripsi tentang

kecenderungan-kecenderungan seseorang. Dari analisis terhadap kecenderungan

kecerdasan tersebut, dapat disimpulkan gaya belajar terbaik bagi seseorang. Gaya

belajar di sini diartikan dengan cara dan pola bagaimana sebuah informasi dapat

dengan baik dan sukses diterima oleh otak seseorang. Oleh karena itu, seharusnya

setiap guru memiliki data tentang gaya belajar siswanya masing-masing.

Kemudian setiap guru harus menyesuaikan gayanya dalam mengajar dengan gaya

belajar siswa yang telah diketahui dari hasil MIR. Yang selanjutnya terjadi adalah

quantum. Setiap guru akan masuk ke dunia siswa sehingga siswa merasa nyaman

21

Adi W. Gunawan dalam bukunya Born to be Genius menyatakan, pada tahun 1995,

Howard Gardner menambahkan kecerdasan naturalis ke daftar Multiple Intelligences. Semula

kecerdasan naturalis sebagai bagian dari kecerdasan logika-matematika. (Adi W. Gunawan, Born

to be Genius, hlm. 131) 22

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century,.. hlm. 59-

60 23

Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning For The 21st Century,… hlm. 60

24 Adi W. Gunawan, Born to be a genius, hlm. 133-134

25 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia…, hlm. xxi

26 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia…, hlm. 92

27 Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 92

Page 7: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

7

dan tidak berhadapan dengan resiko kegagalan dalam proses belajar. Inilah yang

dimaksud asas utama quantum learning oleh Bobbi DePorter, yaitu masuk ke

dunia siswa. Apabila guru berhasil masuk ke dalam dunia siswa lewat

penyesuaian gaya belajar siswa, siswa akan rela memberikan hak mengajarnya

kepada guru. 28

Sebagaimana asas utama Quantum Teaching adalah Bawalah Dunia

Mereka ke Dunia Kita, Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. Menurut dePorter,

hak mengajar berbeda dengan kewenangan mengajar. Untuk mendapatkan hak

mengajar, guru harus membangun jembatan autentik memasuki kehidupan murid.

Sertifikat mengajar atau dokumen yang mengizinkan guru mengajar atau melatih

hanya berarti mempunyai memiliki kewenangan untuk mengajar. Hal ini tidak

berarti bahwa guru mempunyai hak mengajar. Mengajar adalah hak yang harus

diraih, dan diberikan oleh siswa, bukan oleh Kementerian Pendidikan.29

Dalam membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter berbasis

Multiple Intelligences, diperlukan prinsip keadilan bagi seluruh siswa untuk

mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan. Misalnya dalam proses

Penerimaan Siswa Baru (PSB), Sekolahnya Manusia memegang prinsip The Best

Process (Proses pembelajaran terbaik di sekolah) bukan The Best Input (In Put

atau masukan siswa terbaik melalui tes seleksi). Artinya adalah setiap calon siswa

yang mendaftar masuk di Sekolahnya Manusia pasti diterima dalam keadaan apa

pun tanpa tes seleksi. Sekolah tidak melihat, apakah anak ini pandai atau bodoh,

normal atau difabel. Sekolahnya Manusia hanya menentukan kuota berapa siswa

yang harus diterima dalam tahun pelajaran tertentu. Misalnya, dalam tahun

pelajaran 2012/2013, Sekolahnya Manusia menentukan kuota 100 siswa yang

akan diterima masuk, maka siswa yang mendaftar di Sekolahnya Manusia nomor

urut 1 hingga 100 langsung diterima tanpa tes. Setelah itu, baru dilakukan MIR

untuk mengetahui kecerdasan (potensi) setiap calon siswa.

Model Penerimaan Siswa Baru (PSB) seperti ini berbeda dengan sekolah

lain, yang biasanya menekankan the best input melalui tes seleksi untuk menjaring

siswa-siswa yang pintar. Menurut Munif Chatib, sikap seperti ini tidak manusiawi

(dehumanisasi) atau dengan bahasa penulis, sekolah yang kurang berkarakter baik.

Karena, stigma sebagai anak yang gagal masuk sekolah akan terus melekat

seumur hidup dan membayang dalam pikiran siswa selamanya. Di sinilah, maksud

dari membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter. Selama ini, yang sering

dibahas adalah bagaimana menjadikan siswa berkarakter, bukan Sekolahnya dulu

yang harus berkarakter, atau bahkan gurunya dulu yang harus berkarakter.

Di samping merumuskan Sekolahnya Manusia, Munif Chatib berpendapat

bahwa, sekolah unggul adalah sekolah yang fokus pada kualitas proses

pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses pembelajaran

bergantung pada kualitas para guru yang bekerja di sekolah tersebut. Apabila

kualitas guru di sekolah tersebut baik, mereka akan berperan sebagai “agen

pengubah” siswanya. Sekolah unggul adalah sekolah yang para gurunya mampu

menjamin semua siswa akan dibimbing ke arah perubahan yang lebih baik,

28

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 101-102. 29

Bobbi DePorter, Mark Reardon, Sarah Singer-Nourie, Quantum Teaching: Mempraktekkan

Qauntum Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm. 6

Page 8: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

8

bagaimana pun kualitas akademis dan moral yang mereka miliki. Dalam kata lain,

sekolah yang guru-gurunya mampu mengubah kualitas akademis dan moral

siswanya dari negatif (baca: bodoh dan nakal) menjadi positif, itulah sekolah

unggul.30

Resiko bagi pengurus sekolah yang berani mengklaim sekolahnya adalah

sekolah unggul: mereka harus dengan senang hati menerima semua siswa apa

adanya, tanpa pandang bulu, dan tanpa memilih siswa dengan tes seleksi. Ini

karena prinsip sekolah tersebut: tidak ada siswa yang bodoh.31

Kesimpulannya,

sekolah unggul adalah sekolah yang memanusiakan manusia, dalam arti

menghargai setiap potensi yang ada pada diri siswa. Sekolah yang membuka

pintunya pada semua siswa, bukan dengan menyeleksinya dengan tes-tes formal

yang memiliki interval nilai berupa angka-angka untuk menyatakan batasan

diterima atau tidak.32

Konsep sekolah unggul ini berbeda pada umumnya, baik sekolah unggul

yang didirikan oleh masyarakat maupun pemerintah. Pada umumnya, yang

namanya sekolah unggul selalu identik dengan tes seleksi masuk yang sangat ketat

dan biaya pendidikan yang mahal. Contohnya: Rintisan Sekolah Bertaraf

Internasional (RSBI/SBI). Munculnya proyek RSBI terkesan adanya kastanisasi

pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas siswa RSBI adalah siswa

pintar dan anak orang kaya (the have), walaupun biasanya ada beasiswa bagi anak

miskin yang pandai, tapi kuota tidak banyak. Siswa RSBI mendapatkan fasilitas

pendidikan yang mewah dan media pembelajaran canggih (multimedia) berbeda

dengan fasilitas pendidikan di sekolah reguler pada umumnya, atau bahkan di

sekolah swasta.

Dalam membangun Sekolahnya Manusia yang berkarakter, dibutuhkan

Gurunya Manusia yang berkarater pula. Guru adalah ujung tombak keberhasilan

kemajuan suatu bangsa. Melalui guru yang hebat, sebuah negara dapat

menyiapkan generasi masa depan yang hebat pula. Sebaliknya, jika kualitas guru

rendah sama artinya mempersiapkan generasi lemah bagi bangsa. Gambaran ini

tidak berlebihan. Kaisar Hirohito saat Hiroshima dan Nagasaki hancur pada 1945.

Saat itu, dia langsung menanyakan banyaknya guru yang masih hidup setelah

peristiwa pengeboman terjadi.33

Tak heran, sekarang, Jepang menjadi salah satu

negara maju karena peran besar guru yang hebat.

Miriam Kronish, Kepala Sekolah SD John Eliot, Needham, Massachusetts

yang merupakan sekolah terbaik di Amerika, mengatakan dalam sebuah pidato:

“Masa depan pendidikan Amerika ditentukan oleh sebuah kekuatan. Dan

jika saja kami memiliki kekuatan, kekuatan tersebut adalah program

utama di sekolah kami, yaitu pelatihan guru. Guru tidak hanya cukup

membaca metode-metode pembelajaran terbaru. Guru harus dilatih

didalamnya, seperti halnya aktor atau penyair perlu dilatih. Setelah itu,

30

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 93-94 31

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 94 32

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 96 33

Munif Chatib, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak

Juara, (Bandung: Kaifa, 2011), hlm. 30

Page 9: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

9

guru baru bisa mengajarkannya kepada orang lain. Guru professional

adalah gelombang masa depan Amerika.34

Pidato Miriam Kronish tersebut dengan tegas mengatakan, di tangan guru

profesional kemajuan masa depan suatu bangsa dipertaruhkan. Jika melihat

realitas guru di Indonesia, tentu keadaannya berbeda. Kualitas guru di Indonesia

masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari jenjang pendidikan dan linieritas

pendidikan guru bidang studi, dan profesionalisme guru. Akan tetapi, akhir-akhir

ini pemerintah telah mencanangkan pelbagai program beasiswa bagi guru-guru

yang belum S1 untuk kuliah S1. Bahkan, pemerintah Indonesia sekarang

mewajibkan sarjana S1 sebagai syarat mengajar. Semoga, kebijakan ini dapat

memperbaiki kualitas guru menjadi lebih baik seiring sejalan dengan kualitas

lulusan menjadi lebih baik.

Munif Chatib membagi guru dilihat dari faktor kemauan untuk maju

menjadi tiga: 1). Guru robot, yaitu guru yang persis seperti robot. Mereka hanya

masuk kelas, mengajar, lalu pulang. Mereka hanya peduli pada beban materi yang

harus disampaikan kepada siswa. Mereka tak punya kepedulian terhadap kesulitan

siswa dalam menerima materi, apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru

dan sekolah pada umumnya. 2). Guru Materialis, yaitu guru yang selalu

melakukan perhitungan, mirip dengan aktivitas jual-beli. Parahnya, yang dijadikan

patokan adalah hak yang mereka terima, barulah kewajiban mereka akan

dilaksanakan sesuai hak yang mereka terima. 3). Gurunya manusia, yaitu guru

yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan

bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami

materi-materi yang diajarkan. Guru yang meluangkan waktu belajar, mengikuti

pelatihan, dan pengembangan kompetensi.35

Untuk menjadi Gurunya Manusia memang diperlukan keikhlasan dalam

mengajar dalam kondisi apa pun. Gurunya Manusia selalu melihat bahwa setiap

anak di hadapannya adalah sang juara. Gurunya Manusia mengajar dengan hati,

lemah lembut, dan penuh kasih sayang. Gurunya Manusia mengajar dengan cara

menyenangkan bukan mengancam.

Simpulan

Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran untuk menjadi lebih baik.

Dalam pelaksanaan pendidikan, diperlukan sikap keadilan dalam memandang

potensi siswa, bahwa semua siswa berhak untuk mendapat pendidikan yang baik

dan bermutu. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas No. Tahun 2003 Pasal 5 ayat 1.

Sekolah adalah tempat yang biasanya digunakan untuk pembelajaran. Seharusnya,

di sekolah semua siswa dapat mengembangkan potensi, kecerdasan, bakat, dan

keterampilannya dengan baik. Akan tetapi, sadar atau tidak sadar, banyak sekolah

yang kurang menghargai potensi siswa, bahkan membunuhnya. Hal ini

dikarenakan sekolah tidak menghargai potensi kecerdasan siswa selain kecerdasan

inteligensi. Maka dari itu, perlu dibangun Sekolahnya Manusia yang berkarater

34

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, hlm. 148 35

Munif Chatib, Gurunya Manusia, hlm. 56-57

Page 10: Membangun Sekolahnya Manusia Yang Berkarakter

10

berbasis Multiple Intelligences yang menghargai semua kecerdasan siswa untuk

membangun generasi masa depan yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Chatib, Munif, Sekolahnya Manusia Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di

Indonesia,(Bandung: Kaifa, 2010)

Chatib, Munif, Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua

Anak Juara, (Bandung: Kaifa, 2011)

Daniel Goleman, Emotional Intelligence, terj. (Jakarta: Gramedia Psutaka, 1999)

DePorter, Bobbi, Reardon, Mark, Singer-Nourie, Sarah, Quantum Teaching:

Mempraktekkan Qauntum Learning di Ruang-Ruang Kelas, (Bandung: Kaifa,

2000).

Hanifudin, Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Multiple

Intelligences (MI) (Studi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang

SMP, (Desertasi), (Yogyakarta: Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga, 2010)

Gunawan, Adi W, Born to be a genius, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003)

Rakhmat, Jalaluddin, Belajar Cerdas Belajar Berbasis Otak, (Bandung: Kaifa,

2010)

Rose, Colin dan Nicholl, Malcolm J, Accelerated Learning For The 21st Century,

Cara Belajar Cepat Abad XXI, (Bandung: Nuansa, 2002)

Ma’mur Asmani, Jamal, Mencetak Anak Genius, (Yogyakarta: Dive Press, 2009)

http://munifchatib.wordpress.com/2008/07/22/munif-chatib-mutiara-dari-sidoarjo/.

Diakses pada 14 April 2012.

Artikel ini sudah diproceeding dalam

Seminar Nasional Pendidikan Karakter-Spiritual Anak

yang diadakan oleh Prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga,

28 April 2012

Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga