24
Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 1 Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA PENGUATAN PANCASILA DAN KEBHINEKAAN Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto Komnas HAM RI surel: [email protected] Abstract Indonesia is a nation state which involves a series of various ethnic, reli- gious, racial, class, cultural and political views. It is a social capital for the magnitude of a nation. But unfortunately, lately this social capital with the increasing of intolerant attitudes from most people that have an impact on the increasing of social conflicts based on racial intolerance in many regions also penetrated educational environment should be free from the problems of racism and politics. To response, the internalization of the Pancasila values is impSortant to do back in order to build the na- tion’s character. 45 values of Pancasila need to be revived and contextu- alisation with the present of situation as well as universal human rights values. On the other hand, the attitude and actions of tolerance for diver- sity of the Indonesian nation today is not enough to just set in the written rules and to enforced, but must be internalized as the basis for rebuilding the nation’s character. e values of universal human rights which in- cluded a tribute to human dignity, equality, non-discrimination, inclu- sion and tolerance in this case can strengthen revitalization nationalities to movement directed at strengthening the resilience of communities and “bhineka” nations to efforts nihilisasi from outsiders on positive cultural values of Indonesia nation. e internalisation of human rights values can be done with the civilizing in which the efforts of recognition and understanding, then learning, implementation, habituation, accultura- tion and imitation that conducted together by all elements of society in the life of the nation. e internalizing process of human rights values can also be done through the development of alternative methods is one of them forming a role model that will give more results and significant impact. at efforts are very strategic to start with education because ed- ucation is a vehicle for character development through cognitive, affective and psychomotor.

MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 1

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

ME MB UDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DAL AM RANGKA PENGUATAN

PANCASIL A DAN KE BHINEKAAN

Adoniati Meyria Widaningtyas H & TriyantoKomnas HAM RI

surel: [email protected]

AbstractIndonesia is a nation state which involves a series of various ethnic, reli-gious, racial, class, cultural and political views. It is a social capital for the magnitude of a nation. But unfortunately, lately this social capital with the increasing of intolerant attitudes from most people that have an impact on the increasing of social conflicts based on racial intolerance in many regions also penetrated educational environment should be free from the problems of racism and politics. To response, the internalization of the Pancasila values is impSortant to do back in order to build the na-tion’s character. 45 values of Pancasila need to be revived and contextu-alisation with the present of situation as well as universal human rights values. On the other hand, the attitude and actions of tolerance for diver-sity of the Indonesian nation today is not enough to just set in the written rules and to enforced, but must be internalized as the basis for rebuilding the nation’s character. The values of universal human rights which in-cluded a tribute to human dignity, equality, non-discrimination, inclu-sion and tolerance in this case can strengthen revitalization nationalities to movement directed at strengthening the resilience of communities and “bhineka” nations to efforts nihilisasi from outsiders on positive cultural values of Indonesia nation. The internalisation of human rights values can be done with the civilizing in which the efforts of recognition and understanding, then learning, implementation, habituation, accultura-tion and imitation that conducted together by all elements of society in the life of the nation. The internalizing process of human rights values can also be done through the development of alternative methods is one of them forming a role model that will give more results and significant impact. That efforts are very strategic to start with education because ed-ucation is a vehicle for character development through cognitive, affective and psychomotor.

Page 2: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

2 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

Keywords: bhineka, tolerance, human rights, internalization, role model

AbstrakIndonesia adalah negara bangsa yang di dalamnya terdiri dari berbagai suku, agama, ras, golongan, budaya dan pandangan politik. Hal tersebut adalah modal sosial yang kuat bagi besarnya suatu bangsa. Namun sayang akhir-akhir ini modal sosial tersebut dikoyak dengan berkembangnya sikap-sikap intoleran sebagian masyarakatnya yang berdampak pada berkembangnya konflik-konflik sosial berbasis SARA di berbagai wilayah yang juga merambah lingkungan pendidikan yang harusnya steril dari persoalan-persoalan SARA dan politik. Menyikapi hal tersebut, internalisasi nilai-nilai Pancasila penting dilakukan kembali dalam rangka membangun karakter bangsa. 45 butir Pancasila perlu untuk dihidupkan kembali dan mengkontekstualisasikannya dengan perkembangan situasi sekarang serta nilai-nilai HAM universal. Disisi yang lain, sikap dan tindakan toleransi atas kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia dewasa ini tidak cukup hanya diatur dalam peraturan tertulis berikut penegakannya saja, namun haruslah diinternalisasikan sebagai dasar membangun kembali karakter bangsa. Nilai-nilai HAM universal dimana di dalamnya terdapat penghargaan martabat manusia, kesetaraan, non diskriminasi, inklusi dan toleransi dalam hal ini dapat memperkuat gerakan revitalisasi kebangsaan yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa yang bhineka terhadap upaya nihilisasi pihak luar atas nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia. Penginternalisasian nilai-nilai HAM tersebut dapat dilakukan dengan upaya pembudayaan yang didalamnya ada upaya-upaya pengenalan dan pemahaman, selanjutnya upaya pembelajaran, penerapan, pembiasaan, pembudayaan dan peneladanan yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh unsur masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses internalisasi nilai-nilai HAM juga dapat dilakukan melalui pengembangan metode-metode alternatif yang salah satunya membentuk role model yang akan memberikan hasil dan dampak yang signifikan. Upaya-upaya tersebut sangat strategis dengan memulainya melalui pendidikan karena pendidikan adalah sarana bagi pembangunan karakter melalui aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

Kata kunci: bhineka, toleransi, HAM, internalisasi, role model

A. Latar Belakang

1. Indonesia dan Ke-Bhineka-anIndonesia adalah negara bangsa yang didalamnya terdiri dari berbagai

Page 3: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 3

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

suku, agama, ras, golongan, budaya dan pandangan politik. Hal tersebut ditun-jukkan dengan 17.000 pulau, 740 suku dan kebudayaan, 400an bahasa daerah, 6 agama besar yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu, sejumlah agama minoritas seperti Baha’i, Sikh, Yahudi, Tao serta agama-agama lokal/etnik seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Tolottang, Bissu, Ka-jang, Parmalim dan lain-lain yang dimiliki bangsa Indonesia. Kebhinekaan ter-sebut adalah kekayaan bangsa Indonesia sekaligus modal sosial yang kuat bagi besarnya suatu bangsa. Kebhinekaan Indonesia seringkali digambarkan dalam perumpamaan Melayu ”lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” yang berarti adanya perbedaan, keberagaman atau pluralisme yang hidup di Indonesia.

Kebhinekaan yang hidup di Indonesia tersebut bukanlah sesuatu yang ti-ba-tiba muncul pasca kemerdekaan, namun merupakan perjalanan sejarah ban-gsa yang berawal dari jaman kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Ma-japahit yang wilayahnya hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia sekarang. Kebhinekaan yang digambarkan Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma abad 14 menekankan tentang kerukunan umat beragama yang berkembang di jaman itu yaitu Siwa dan Budha, selain juga keberagaman masyarakatnya yang terhubung-kan oleh sektor perdagangan saat itu.

Secara antropologis kemudian, yang disebut bangsa dan negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah sebuah konsensus, cita-cita dan konstruksi politik yang di dalamnya terdiri dari himpunan ”ban-gsa-bangsa” (nations) yang kemudian disebut suku. Konsensus dan cita-cita terse-but telah tertuang dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan saloka Bhineka Tunggal Ika sebagai cara pandang bersama bangsa dalam menyikapi keberaga-man yang ada.

Modal sosial bangsa inilah yang kemudian oleh founding fathers menja-di dasar untuk membangun konsensus bangsa menuju kemerdekaan dari pen-jajahan. Dalam sidang-sidang BPUPKI diskusi untuk membentuk bangsa yang menjunjung tinggi keberagaman dan kebhinekaan yang ada pada akhirnya mene-mukan empat unsur pengikat yaitu: 1) Sejarah, yakni kesadaran akan kesamaan sejarah sebagai sebuah bangsa yang mengalami penjajahan dan keinginan bersa-ma untuk mendirikan sebuah negara yang merdeka; 2) Geo Politik, yaitu kesada-ran bangsa atas tempat atau tanah dimana mereka tinggal bersama sebagai sebuah kesatuan geo politik yang melatari kekuatan politik sebelumnya yaitu kerajaan Sriwijaya dan Majapahit; 3) Sosiokultural, yakni kesadaran akan persamaan seja-rah dan geopolitik yang mentakdirkan kemajemukan budaya, tradisi, bahasa, ni-lai serta keyakinan manusia yang menempati gugusan pulau-pulau dengan saling keterpautan dan persamaan yang mengikat satu dengan lainnya, dimana salah satu pengikat tersebut adalah bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi (lingua franca) dari beragam suku, etnis di wilayah kepulauan yang disebut nusantara; 4) Kesamaan cita-cita yaitu semangat Sumpah Pemuda yang menjadi spirit hidup dalam memupuk persatuan dan kesatuan di kalangan tokoh-tokoh perjuangan dan pemuda saat itu dengan saling keterpautan dan persamaan yang mengikat satu dengan lainnya.

Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 mengatakan, “Hendaknja

Page 4: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

4 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

negara Indonesia ialah negara jang tiap-tiap orangnja dapat menjembah Tuhannja dengan tjara jang leluasa. Segenap rakjat hendaknja ber-Tuhan setjara kebudajaan, ja’ni dengan tiada ”egoisme agama”. Dan hendaknja Negara Indonesia satu Negara jang ber-Tuhan!”. Bagi Soekarno, Ketuhanan adalah prinsip utama dalam mem-bangun bangsa, yaitu sebuah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, berperadaban luhur, dan saling menghargai satu dengan yang lainnya. Dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, pendiri bangsa Indonesia bermaksud mem-bangun Indonesia bukan menjadi negara agama, tetapi juga bukan negara yang tanpa agama. Hal ini berarti perbedaan agama dan keyakinan merupakan sesua-tu yang harus dihargai dan negara harus menjamin kebebasan setiap warganya dalam menjalankan keyakinannya. Ketuhanan harus dijadikan sebagai inspirasi dalam membangun karakter bangsa yang lebih toleran dan beradab. Oleh se-bab itu, dalam menyikapi perbedaan maka toleransi dan dialog harus dikedepan-kan dibandingkan cara-cara kekerasan dan pemaksaan terhadap keyakinan atau kepentingan lain. Toleransi dipahami sebagai sikap yang saling menghargai antar individu atau kelompok dalam masyarakat dimana didalamnya terkandung sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.

Cara berpikir dan memahami arti Ketuhanan Yang Maha Esa inilah yang kemudian menjadi penting dalam rangka menjaga dan mengembangkan tole-ransi dalam kebhinekaan oleh bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidu-pan. Walaupun tidak dapat dipungkiri pula bahwa saat ini banyak negara-negara bang sa yang pada akhirnya hancur karena tidak terpeliharanya sikap-sikap tole-ransi diikuti pula dengan kepentingan politik yang mempolitisasi keberagaman yang ada.

2. Toleransi Menjadi Intoleransi di Indonesia, Mengapa?Robert Merton dalam teori sosiologinya menyebutkan bahwa manusia

adalah homophilia yaitu lebih senang berhubungan baik, bersatu dengan yang memiliki banyak kesamaan atau memiliki ciri yang sama. Maka perbedaan dan keragaman (heterophily) cenderung mengganggu hubungan atau harmoni sosial. Sifat manusia yang homophilia tersebut memunculkan sikap dan perilaku yang mengarah pada intoleransi, yaitu sifat atau sikap yang tidak menenggang atau ti-dak menghargai terhadap segala sesuatu yang berbeda atau bertentangan sehing-ga memunculkan sikap dan perbuatan yang diskriminatif. Hal tersebut nampak ketika sifat dasar manusia bersinggungan dengan realitas sosiologis-politis me-munculkan persoalan-persoalan serius akibat pluralitas budaya atau keragaman seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa dan bahkan mulai nampak gejala-nya di Indonesia.

Indonesia sendiri sebagai sebuah Negara yang masih pada kondisi dimana identitas nasionalnya belumlah kokoh, kebhinekaan bisa menjadi karunia/berkat namun juga bisa menjadi konflik, pertentangan bahkan ben-cana. Keragaman agama dan etnis adalah dua hal yang dirasa paling rentan dan potensial memunculkan sentimen-sentimen kelompok yang berakibat konflik di Indonesia, apalagi jika kemudian diikuti dengan kondisi sosial

Page 5: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 5

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

ekonomi dimana kesenjangan sosial yang tinggi, kemiskinan dan ketidak-adilan dirasakan timpang antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Ted Gurr dalam teori deprivasinya menegaskan situasi yang terjadi di Indonesia saat ini, dimana menurutnya deprivasi relatif menyebabkan “Civil Strive” (putus asa sosial) yang mendorong massa mudah diprovokasi untuk ikut dalam aksi-aksi kekerasan. Deprivasi relatif yang dimaksud Ted Gurr adalah sua-tu kondisi dimana orang menjadi marah apabila terdapat jurang pemisah antara keinginan mendapatkan barang-barang berharga atau nilai-nilai yang berharga dengan kesempatan yang mereka anggap sebagai haknya yang sebenarnya.

Putus asa sosial sering mendorong kekerasan atas nama agama, agama se-ring “ditunggangi“ untuk melegitimasi dan mensakralkan kekerasan yang hake-katnya “bukan agama”. Bentuk kekerasannya termanifest dalam kekerasan antar suku, antar geng, antar “kampung”, antar agama dan sebagainya. Lebih parah lagi ketika putus asa sosial tersebut menjadi kekerasan yang bersifat latent ber upa berkembangnya ideologi intoleransi, dimana berbagai survei dan penelitan mem-buktikan tingginya tingkat intoleransi dan rendahnya nasionalisme di Indonesia beberapa tahun terakhir ini.

Kecenderungan praktik intoleransi saat ini bahkan telah berkembang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Beberapa lembaga survei menunjukkan potret intoleransi yang semakin berkembang di masyarakat Indo-nesia. Survei tingkat nasional yang dilakukan pada 1-8 Oktober 2012 terhadap 1200 responden di semua provinsi di Indonesia, dan telah dipublikasikan pula oleh LSI. Sebanyak 20 persen lebih koresponden setuju menggunakan kekerasan dalam menegakkan prinsip agama, keyakinan maupun ideologinya. Dan sikap intoleransi tersebut telah berujung pada justifikasi sekelompok orang untuk me-lakukan kekerasan terhadap kelompok lain yang berbeda. Persoalan intoleransi di Indonesia saat ini menjadi sorotan PBB, bukan hanya melalui catatan Sidang HAM atas Universal Periodic Review (UPR) yang disampaikan pemerintah Indo-nesia namun juga catatan dan temuan dari Navy Pillay, seorang utusan PBB yang datang ke Indonesia tahun 2012 yang lalu. Untuk itu perlu upaya untuk mende-katkan isu HAM, intoleransi dan juga kelalaian Negara (by omission) mengingat fakta di lapangan terkait kasus intoleransi, kepolisian sebagai institusi penegak hukum seringkali tidak sigap dan terkesan memandang remeh konflik sosial yang terjadi. Kepolisian masih dianggap belum serius menangani konflik-konflik yang dipicu oleh kasus intoleransi. Bahkan kasus-kasus intoleransi yang gagal ditanga-ni aparat kepolisian merembet ke tempat lain untuk dijadikan contoh (inspirasi) pelaku-pelaku intoleransi di daerah lain.

Temuan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam rilis hasil surveinya beberapa waktu lalu ten-tang toleransi beragama amat memprihatinkan. Dalam rilisnya, LSI memaparkan bahwa 15,1 persen responden mengaku tidak nyaman hidup berdampingan de-ngan tetangga berbeda agama. Angka persentase tersebut meningkat jika diban-dingkan dengan tahun sebelumnya, yang sebesar 8,2 persen. Opini pengesahan penggunaan kekerasan dalam penegakan prinsip agama pun meningkat dari 9,8 persen pada 2005 menjadi 24 persen pada 2012. Artinya, 1 dari 4 orang di In-

Page 6: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

6 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

donesia menganggap sah untuk menggunakan kekerasan dalam isu agama. CSIS pun mendapati tren serupa dalam isu yang sama. Sekitar 33,7 persen responden menjawab bahwa mereka berkeberatan tinggal bertetangga dengan orang yang beragama lain. Lebih jauh lagi, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya akan pembangunan rumah ibadah agama lain di lingku-ngannya. Dalam Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi 2011, The Wahid Institute mencatat ada 49 kasus pelarangan pendirian rumah ibadah di Indone-sia. Padahal pada tahun sebelumnya (2010) hanya tercatat 19 kasus pelarangan pendirian rumah ibadah. Fenomena ini adalah sebuah ironi di dalam komunitas politik yang mengklaim dirinya demokratis.

Deretan ironi ini tetap berlanjut dengan afirmasi yang diberikan oleh Pu-sat Penelitian Politik (P2P) LIPI dalam rilis hasil surveinya pada 11 Oktober 2012 lalu. Sebanyak 14,7 persen responden percaya bahwa orang yang berbe-da agama akan merugikan diri mereka. Survei yang dilakukan secara nasional, dengan sampel sebanyak 1.700 orang yang dipilih secara bertingkat (multistage random sampling), ini memperoleh temuan lain bahwa 13,8 persen responden berkeberatan tinggal bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Angka per-sentase ini senada dengan hasil temuan survei LSI. Dalam kaitan dengan sistem politik, responden yang berkeberatan memilih calon legislatif beda agama men-capai 35,6 persen. Sungguh sebuah tantangan berat yang harus dihadapi untuk demokratisasi ketika sentimen primordial seperti agama mendominasi preferensi politik (Yogi, 2012).

Sinyal akan adanya persemaian benih-benih intoleransi yang sedemikian masif di dalam masyarakat adalah kenyataan yang harus segera dicarikan solusi-nya. Terlebih jika sentimen sektarian ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu se-bagai amunisi untuk memantik konflik demi mendatangkan keuntungan ekono-mi-politik. Amat disayangkan, dalam banyak kompetisi politik seperti pemilihan kepala daerah di berbagai tempat, agama dan etnis masih digunakan sebagai ko-moditas politik. Efek destruktifnya sangat dalam sehingga merusak proses elekto-ral yang notabene manifestasi dari demokrasi. Sebab, dengan derajat intoleransi yang menguat, potensi konflik amat terbuka jika terseret masuk dalam medan politik. Terlebih di daerah-daerah yang masyarakatnya belum terlalu maju. Ber-semainya benih-benih intoleransi adalah fakta yang tidak boleh ditutup-tutupi. Semakin kita mengabaikan, daya ledaknya di kemudian hari nanti pasti akan sa-ngat besar bahkan bukan tidak mungkin adalah perpecahan bangsa (disintegrasi).

3. Intoleransi Merambah Lingkungan PendidikanPasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen-

didikan Nasional mengatur bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi ma-nusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Artinya bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan haruslah dikenalkan dan dikembangkan sikap-sikap yang menghargai orang lain dengan segala perbedaannya, sikap-si-kap respek dan empati, sikap toleran dan tidak diskriminatif. Nilai-nilai agama, nilai-nilai kultural yang berbeda haruslah dilihat sebagai sebuah kekayaan bagi

Page 7: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 7

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

dunia pendidikan dimana menjadi dasar bagi sekolah dan guru untuk mengenal-kan kemajemukan bangsa Indonesia pada siswanya sejak dini. Karena salah satu karakter bangsa yang dibangun kembali melalui pendidikan karakter adalah nilai toleransi.

Namun sangat disayangkan ketika penyelenggaraan pendidikan di Indo-nesia dalam lima tahun terakhir ini justru dihadapkan pada situasi dimana ni-lai-nilai toleransi tersebut makin terkikis bukan hanya pada siswa namun justru dimulai dari guru maupun sekolah sendiri. Sikap-sikap intoleransi tersebut di-mulai dari sikap, perilaku bahkan kebijakan yang diskriminatif. Diskriminasi atas sebuah identitas yang terjadi dalam lingkungan pendidikan diawali ketika persoalan kemampuan akademis, agama, keyakinan, suku, etnis, kondisi fisik dan orientasi seksual dipertentangkan pintar – tidak pintar, baik – tidak baik, normal – tidak normal, kafir-atheis – beragama juga dengan perbedaan agama dan keyakinan/kepercayaan, ras/etnis, disabilitas serta orientasi seksual dan lain sebagainya. Sayangnya pula, pemerintah seolah-olah “membiarkan” situasi terse-but terus menerus terjadi dan pendidikan seolah-olah pula justru menjadi lahan yang subur bagi diskriminasi dan bahkan tumbuhnya sikap perilaku intoleran.

Persoalan intoleransi yang berawal dari diskriminasi berdasar perbedaan agama dan kepercayaan lebih dari lima tahun terakhir menjadi meningkat terjadi dalam lingkungan pendidikan. Hal tersebut bahkan terjadi sejak pendidikan da-sar bukan hanya oleh guru tetapi juga siswa yang lain. Sebagai contoh, mulai dari penolakan enam sekolah Katolik di Blitar untuk menyediakan guru pendidikan agama Islam di sekolah tersebut, siswa penghayat kepercayaan yang mengalami diskriminasi dimana hal tersebut juga dialami oleh siswa yang orang tuanya pe-nganut ahmadiyah, dan terakhir yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil dimana siswa Kristen terpaksa belajar agama Islam karena tidak tersedianya guru aga-ma di kabupaten tersebut. Jauh sebelum kasus-kasus tersebut muncul, data-data yang dikeluarkan oleh Wahid Institute dalam riset yang dilakukan tahun 2015 di Wilayah Jakarta menunjukkan bahwa dari 306 siswa di Jakarta yang menun-jukkan kecenderungan intoleransi dan radikalisme yang terus menguat, dimana sebelumnya dilakukan riset oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipublikasikan pada tahun 2011 yang menunjukkan kondisi mengkhawa-tirkan dimana pandangan intoleransi dan Islamis menguat di lingkungan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pelajar.

Persoalan diskriminasi berdampak pada sikap dan perilaku intoleran ma-sih terus berlanjut, hal ini nampak dengan penelitian yang dilakukan Pusat Peng-kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam penelitian pada bulan Oktober 2016 di 11 Kabupaten/Kota di 5 provinsi yaitu Jawa Barat (Ciamis, Garut dan Tasikmalaya), Banda Aceh (Aceh Besar dan Pidie), NTB (Mataram dan Lombok Timur), Sulawesi Selatan (Maros, Bulukumba, dan Makasar), dan Jawa Tengah (Solo). Penelitian yang dilakukan pada 505 orang guru pendidikan agama dan menghasilkan data bahwa 78% guru agama setuju terhadap penerapan syari’at Islam, dukungan terhadap organisasi yang memper-juangkan syari’at Islam mencapai 77% sedangkan guru agama yang tidak setu-ju dengan syari’at Islam yang dimasukkan dalam Pancasila dan UUD 45 hanya

Page 8: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

8 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

18%. Demikian juga dengan guru agama yang tidak setuju kepala daerah dari non muslim mencapai 89%. Meskipun hasil penelitian ini tidak dapat serta mer-ta menggeneralisir bahwa seluruh guru agama Islam di seluruh Indonesia me-miliki pendapat demikian, namun patut menjadi perhatian bersama bahwa hal tersebut merupakan potensi berkembangnya intoleransi dalam lingkungan pen-didikan yang bukan tidak mungkin berpotensi pada berkembangnya paham-pa-ham radikalisme yang mengarah pada terorisme. Kompas 24 Desember 2016 menyebutkan bahwa perekrutan anak ke dalam jaringan teroris makin kencang dilakukan termasuk melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal, dan hal tersebut telah menjadi perhatian khusus jajaran Kementerian Koordina-tor Politik, Hukum dan Keamanan yang dibahas dalam rapat koordinasi terkait penanggulangan terorisme pada 23 Desember 2016.

Lingkungan pendidikan saat ini menjadi salah satu sasaran strategis meng -ingat saat ini siswa banyak berhubungan dengan internet dan informasi global yang tidak dapat terbendung. Diikuti pula dengan pemahaman dan keyakinan guru pribadi yang seringkali dibawa ke dalam lingkungan sekolah dan justru memberikan pengaruh negatif bagi siswa seperti hasil penelitian PPIM tersebut. Sebagai contoh terjadi di Banjarnegara dimana seorang guru PAI sekolah mene-ngah negeri menyusun soal test agama dengan mengangkat kasus berbasis agama dan etnis dengan memberikan pilihan ganda yang mengandung ujaran kebencian (hate speech) yang mengundang sikap intoleran antar siswa sekolah tersebut. Hal-hal tersebut patutlah untuk diwaspadai oleh para pemangku kebijakan dan pelak-sana pendidikan mengingat sekolah adalah lingkungan pendidikan yang harus-nya jauh dari sikap-sikap diskriminasi, intoleransi, kekerasan apalagi radikalisme dan terorisme (Triyanto dan Meyria, 2017).

B. HAM, Pancasila, dan Kebhinekaan: Nilai Dasar Toleransi

1. HAM dan PancasilaPancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa bersifat humanistik dan uni-

versalistik, humanistik karena memuat nilai-nilai kemanusiaan dan universalistik karena bersifat mendasar dan dapat berlaku bagi semua orang yang sejalan pula dengan nilai-nilai HAM universal (Dody, 2014). Pancasila juga bersifat hirarchis pyramidal dan abstrak umum universal dimana sila-sila dalam Pancasila merupa-kan satu kesatuan utuh (integralistik), bulat, dan tidak dapat dipisahkan karena masing-masing sila mendasari dan melandasi sila yang di bawahnya demikian juga sebaliknya (Dody, 2014: 2). Sila-sila dalam Pancasila mengandung nilai-ni-lai fundamental yang menjamin setiap sendi kehidupan bangsa Indonesia baik pada aspek nilai-nilai agama, nilai-nilai kemanusiaan (human values), pengakuan terhadap martabat manusia (human dignity), hak asasi manusia (human rights) dan kebebasan manusia (human freedom). Di dalamnya juga menjamin nilai-nilai kebhinekaan, nilai-nilai partisipasi dan demokrasi serta nilai-nilai keadilan. Pan-casila menurut Muhammad Yamin adalah lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku yang penting dan baik. Sedangkan menurut Noto-negoro, Pancasila merupakan dasar falsafah dan ideologi negara yang diharapkan

Page 9: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 9

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia, sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan, serta bagian pertahanan bangsa dan negara. Jadi, Pan-casila sebagai falsafah dan ideologi bangsa bukan hanya sebagai pemersatu dari kebhinekaan yang menjadi modal sosial bangsa Indonesia, namun juga pedoman bagi seluruh warga negara dalam bertingkah laku baik secara pribadi maupun bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan kata lain, Pancasila adalah ka-rakter bangsa Indonesia itu sendiri.

Pancasila sebagai karakter bangsa Indonesia sudah seharusnya bukan ha-nya dihafal dan dipahami saja, namun haruslah terinternalisasikan dalam setiap sendi kehidupan. Upaya untuk membumikan dan membudayakan Pancasila da-lam setiap sendi kehidupan telah dimulai oleh Orde Baru dengan merumuskan butir-butir penjabaran dari 5 sila Pancasila dalam TAP MPR no.II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa yang menjabarkan dalam 36 butir dimana kemu-dian TAP MPR tersebut dicabut dengan TAP MPR no. I/MPR/2003 dimana di dalamnya terjadi pula perubahan menjadi 45 butir Pancasila. Nilai-nilai dalam Pancasila yang dijabarkan dalam butir-butir Pancasila sejatinya nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) yang apabila dijalan-kan dengan baik maka Indonesia akan mencapai kondisi yang damai dan adil seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa (founding fathers). Namun, ketika yang dilakukan adalah pendekatan doktrinasi maka yang muncul Pancasila hanya dipahami sebatas pengetahuan (knowledge) dan lebih buruk lagi sekedar hafalan, belum sampai terinternalisasi baik secara pribadi maupun dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut terbukti dengan berkembangnya situasi bangsa Indonesia dewasa ini yang diwarnai dengan tindakan intoleransi, kekera-san, konflik-konflik berbasis SARA, diskriminasi, pelanggaran HAM yang terus terjadi tanpa jaminan penyelesaian bahkan berkembangnya paham radikalisme dan tindakan terorisme. Persoalan tersebut telah mulai mengikis nilai-nilai Pan-casila dan mengarah pada hilangnya karakter bangsa dan terabaikannya hak-hak asasi manusia.

Di sisi yang lain, tuntutan atas pelanggaran dan pengabaian hak asasi manusia seringkali dibenturkan dengan nilai-nilai Pancasila karena ketidakpa-haman atas keterkaitan keduanya. Hak asasi manusia masih dipahami sebagai nilai dari barat (asing) yang “dipaksakan” masuk dan dijalankan di Indonesia, sehingga yang muncul adalah membenturkan hak asasi manusia dengan agama dan budaya yang tumbuh di Indonesia, menganggap hak asasi manusia seba-gai “ancaman” atas nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya yang sudah hidup di masyarakat. Jika menilik kembali pada butir-butir Pancasila, sejatinya nilai-nilai HAM universal maupun nilai-nilai HAM menurut Pancasila bukan untuk diper-tentangkan karena keduanya ibarat mata uang yang tidak terpisah namun saling melengkapi untuk diterapkan dan dipraktikkan sebagai sebuah kesatuan nilai-ni-lai yang harus dikembangkan dalam membangun pendidikan karakter bangsa.

Sehingga sejatinya ketika Pancasila sebagai ideologi bangsa diimplemen-tasikan dengan baik, maka sebenarnya pemenuhan dan penegakan HAM telah pula dijalankan. Demikian juga sebaliknya, ketika HAM dihormati, dilindungi, dipenuhi dan ditegakkan oleh Negara, maka sejatinya Pancasila telah dilaksa-

Page 10: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

10 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

nakan. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang berisi bu-tir-butir penjabaran dari 5 sila Pancasila ketika dipersandingkan dengan nilai-ni-lai HAM dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) maka akan ditemukan keterkaitan HAM dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Karena pada prinsipnya HAM dalam konteks bangsa Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila itu sendiri. HAM adalah nilai-nilai bangsa yang telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 bahkan jauh sebelum dilakukan Amandemen. Baik Pancasila maupun HAM lahir dari keberagaman yang memiliki memori kolektif bersa-ma dalam memperjuangkan hak-hak manusia sebagai individu maupun bangsa. Keduanya berisi nilai-nilai dan penghargaan atas martabat manusia yang di da-lamnya melekat hak-hak asasi. Ketika keduanya diimplementasikan dengan baik maka sejatinya pemenuhan dan penegakan HAM telah berjalan. Pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebenarnya adalah pelanggaran HAM itu sendiri.

Menyikapi hal tersebut, internalisasi nilai-nilai Pancasila penting dilaku-kan kembali dalam rangka membangun karakter bangsa. Butir-butir Pancasila perlu untuk dihidupkan kembali dan mengontekstualisasikannya dengan per-kembangan situasi sekarang serta nilai-nilai HAM universal. Penginternalisasian nilai-nilai HAM universal dengan menginternalisasikannya menurut nilai-nilai Pancasila dalam sebuah siklus yang berawal dari penghormatan dan peningkatan martabat manusia (human dignity) bahwa asal-muasal keberadaan diri manusia adalah dari Tuhan (Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa), kesatuan diri dengan sesama (Perikemanusiaan), kebersediaan menggunakan secara bersama lingkungan ala-miah maupun buatan (Keadilan Sosial), kebersediaan untuk bekerja bersama atas dasar saling menghormati dan menghargai (Demokrasi), dan semangat keterika-tan pada ruang dan waktu di dalam berkarya secara konkret meningkatkan kuali-tas kehidupan (Kebangsaan) (Raka Joni, 1983:32). Penginternalisasian nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai HAM universal tersebut sangat strategis dimulai dari pendidikan karena dari pendidikanlah karakter generasi muda dibangun melalui pengetahuan (kognitif ), pembiasaan, peneladanan dan pembudayaan (afektif ). Dalam penginternalisasian tersebut dibutuhkan pendekatan yang tidak lagi ber-sifat doktrinasi.

2. HAM dan Kebhinekaan Tidak dapat dipungkiri bahwa identitas individu dan atau kelompok

sangat dipengaruhi oleh budaya, agama, suku, ras, etnis yang melekat padanya, demikian juga dengan kecenderungan kenyamanan berinteraksi dengan mereka yang homogen. Namun, dalam sejarah bangsa Indonesia, homogenitas tersebut mengalami proses kompromi yang melahirkan konsensus bersama atas dasar ke-samaan nasib, sejarah, geografis dan perjuangan sehingga muncullah negara ban-g sa yang disebut Indonesia yang mengakui adanya heterogenitas sebagai modal sosial bangsa.

Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang artinya beragam perbedaan itu tetap satu juga, tidak ada kerancuan dalam kebenaran hingga saat ini sangat relevan menggambarkan realitas bangsa Indonesia. Dalam semboyan tersebut sejatinya terdapat cara berpikir yang memandang perbedaan pada diri

Page 11: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 11

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

manusia sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya berbeda, ada persamaan-per-samaan yang terkandung di dalam perbedaan tersebut dibalik perbedaan yang nampak di permukaan. Persamaan yang dimaksud disini adalah kesamaan seba-gai manusia ciptaan Tuhan dan kesamaan dalam menghayati nilai-nilai kema-nusiaannya. Disinilah nilai-nilai kebhinekaan tersebut mewujud dalam sikap to-leransi dimana manusia memahami dirinya dalam lingkungannya dan karenanya dapat menghargai martabat dirinya dan martabat orang lain yang berbeda-beda tetapi tetap satu sebagai mahluk ciptaan Tuhan tersebut (Listia; Januari 2016). Dan disinilah nilai-nilai HAM sejatinya mewujud dalam nilai-nilai kebhinekaan.

Sejalan dengan hal tersebut, dalam hak asasi manusia pengakuan dan per-lindungan atas perbedaan ras, etnis, agama, dan juga budaya dituangkan dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang bertujuan untuk mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persaha-batan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan (pasal 3). Hal tersebut berarti bahwa Negara mengakui adanya perbedaan, keragaman, dan kebhinekaan yang ada di Indonesia, sekaligus menjamin perlindungan dari tindakan-tindakan diskriminasi dan intoleransi.

Lebih jauh lagi, pengakuan atas keterkaitan kebhinekaan dan hak asasi manusia dapat dilihat pada penjelasan umum UU No. 40 tahun 2008 tersebut dimana dijelaskan bahwa Negara mengakui setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa dan manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu, sehingga perbedaan ras dan etnis tidak berakibat me-nimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan etnis dalam masyarakat dan negara. Negara menyadari bahwa kondisi masyarakat Indone-sia memiliki dimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong ro-yong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawa-rah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis. Untuk itulah kemudian undang-un-dang tersebut disusun.

Sikap toleransi dalam kebhinekaan haruslah dimaknai positif sehingga menciptakan situasi yang harmonis penuh kedamaian, interaksi yang dibangun antar kelompok yang berbeda seharusnyalah dalam rangka saling menghargai, saling mengisi dan saling merekatkan kebersamaan yang lebih bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Untuk itu, Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hendaknya dimaknai sebagai: 1) membangkitkan semangat toleransi dalam kehidupan sosial, budaya dan agama; 2) mewuju d kan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial; 3) pengakuan terhadap hak asasi manusia dan tanggung jawab setiap orang untuk membangun diri dan kelompoknya dalam kehidupan yang beragam dengan menghormati hak asasi manusia; 4) mengembangkan upaya-upaya pencegahan konflik sosial/komunal sebagai akibat primordialisme.

Page 12: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

12 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

Sikap dan tindakan toleransi atas kebhinekaan yang dimiliki bangsa In-donesia dewasa ini tidak cukup hanya diatur dalam peraturan tertulis berikut penegakannya saja, namun harusnya kembali dikenalkan, dipahamkan, disadar-kan, dan diinternalisasikan kembali sebagai dasar membangun kembali karakter bangsa. Nilai-nilai HAM universal dimana martabat manusia, kesetaraan, non diskriminasi, inklusi dan toleransi dalam hal ini dapat memperkuat gerakan revi-talisasi kebangsaan yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyara-kat dan bangsa yang bhineka terhadap upaya nihilisasi pihak luar atas nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia.

C. Internalisasi Nilai-Nilai HAM Melalui Sekolah Ramah HAM: Upaya Mem-perkuat Toleransi Dalam Kebhinekaan

1. Apa dan Mengapa Internalisasi Nilai-Nilai HAM?Internalisasi nilai-nilai HAM adalah sebuah upaya untuk mentransforma-

sikan nilai-nilai HAM universal dengan nilai-nilai Pancasila dalam sebuah siklus yang berawal dari penghormatan dan peningkatan martabat manusia (human dig-nity) sebagai ciptaan Tuhan. Internalisasi nilai-nilai HAM berarti juga membumi-kan nilai-nilai HAM universal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui transformasi nilai-nilai HAM tersebut sebagai basis pembangunan karakter bangsa yang toleran, non diskriminasi, nir kekerasan, menghargai keberagaman, keseta-raan dan partisipasi secara menyeluruh. Penginternalisasian nilai-nilai HAM dila-kukan dengan perubahan mindset seluruh unsur bangsa karena berbicara tentang nilai-nilai HAM pada dasarnya berbicara pula tentang nilai-nilai agama, nilai-nilai budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kebhinekaan dan nilai-nilai bu-daya yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia. Menginternalisasi didalamnya mengandung upaya menanamkan simpati, apresiasi, dan empati terhadap kebera-gaman yang ada, meneguhkan sikap akan penghormatan dan pengakuan hak dan kemerdekaan semua warga negara untuk beragama, berkeyakinan, mengekspresi-kan kebudayaannya dan berpemikiran, meningkatkan pemahaman bahwa kebhi-nekaan Indonesia adalah kekuatan bangsa yang harus diperkuat serta penerimaan perbedaan dan keragaman (pluralitas) yang ada dalam masyarakat.

Penginternalisasian nilai-nilai HAM adalah upaya pembudayaan yang dida-lamnya ada upaya-upaya pengenalan dan pemahaman, selanjutnya upaya pembe-lajaran, penerapan, pembiasaan, pembudayaan dan peneladanan yang dilakukan bersama-sama oleh seluruh unsur masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, internalisasi nilai-nilai HAM dalam pelaksanaannya dapat pula dengan menghidupkan kembali dan mengembangkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan multikultural yaitu pendidikan yang nasionalistik yang berdasar pada prinsip budaya bangsa, juga pendidikan yang universal yang bisa dinikmati oleh berbagai golongan, kelompok, ras, suku, bangsa dan agama sekali-pun. Inti pendidikan multikultural Ki Hadjar menitikberatkan pada ajaran budi pekerti (karakter), kemanusiaan (humanism), kemerdekaan (kebebasan) dan budaya bangsa (multikultural).

Page 13: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 13

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

Seluruh pemikiran Ki Hadjar Dewantara melalui filosofi pendidikannya sejatinya menekankan pentingnya menanamkan sejak awal pendidikan menjadi media bagi penghormatan pribadi yang juga menghormati perbedaan orang lain, artinya Ki Hadjar sendiri telah menanamkan bahwa pendidikan bukanlah sema-ta-mata dirancang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang hanya paham pengetahuan dan punya keterampilan ibarat mesin, namun juga haruslah memi-liki karakter yang menghormati martabat manusia serta menekankan pentingnya pendidikan multikultural karena keberagaman itulah yang hidup di Indonesia. Pada titik ini Ki Hadjar telah mengenalkan pula pentingnya penghormatan mar-tabat manusia yang menjadi inti dari nilai-nilai HAM itu sendiri.

Penginternalisasian nilai-nilai HAM sangatlah strategis dimulai dari pendidikan, karena pendidikan adalah sarana bagi upaya-upaya pengembalian dan pembangunan nilai-nilai karakter bangsa yang menyentuh pikiran, akal budi, nilai-nilai dan sikap mental setiap individu, komunitas atau masyarakat, ber ba n gsa dan bernegara yang dikembangkan melalui proses pendidikan sebagai sarana untuk membangun kebudayaan dan peradaban yang maju dan modern. Pendidikan berbeda dengan pembelajaran karena dalam pendidikan ada proses belajar sepanjang hayat (lifelong education) yang berawal dari lingkungan sekolah, disinilah titik awal penginternalisasian nilai-nilai HAM dimulai dengan pembelajaran, peneladanan dan pembiasaan.

Pasal 29 Konvensi Hak Anak di dalamnya menegaskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada dua hal yaitu: (1) pengembangan kepribadian yang me-n garah pada nilai internal kebudayaannya sendiri dan (2) mempersiapkan anak menghormati budaya kelompok lain. Berdasarkan pasal tersebut, peran pendidikan menjadi sangat penting dalam membekali anak atau siswa dengan nilai-nilai HAM universal, nilai-nilai HAM menurut Pancasila dan nilai-nilai keberagaman secara bersama-sama untuk mengembangkan kepribadian atau karakter manusia yang menghargai kemanusiaan, keragaman dan hak-hak asasi manusia dibangun baik melalui pendidikan dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat seperti yang diuraikan dalam filosofi tripusat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara (Fuad Hassan; 2004). Proses internalisasi nilai-nilai HAM akan memberikan hasil dan dampak yang signifikan melalui pengembangan metode-metode alternatif yang salah satunya membentuk role model internalisasi nilai-nilai HAM baik universal maupun menurut Pancasila, pengembangan kurikulum pendidikan berbasis nilai-nilai HAM, peningkatan pemahaman nilai-nilai HAM serta pendidikan sadar HAM bagi masyarakat, kelompok muda, perempuan dan kelompok minoritas.

2. Sekolah Ramah HAM: Role Model Internalisasi Nilai-Nilai HAM Melalui PendidikanSekolah dalam sistem pendidikan Indonesia adalah gambaran dari mas y-

arakat dalam bentuk mini (mini society) dimana terdapat keragaman manusianya yang berbeda-beda latar belakang, karakter, pendapat, kepentingan, persoalan, agama, suku, dan lain-lain. Berangkat dari pemahaman tersebut, konsep dasar Sekolah Ramah HAM dibangun sebagai salah satu metode/pendekatan

Page 14: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

14 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

internalisasi nilai-nilai HAM melalui proses pendidikan. Sekolah Ramah HAM adalah program yang bersifat transformasi dan internalisasi nilai-nilai HAM sebagai dasar pembentukan karakter. Karakter dalam hal ini adalah karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, nilai-nilai budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai budaya/adat istiadat dan juga nilai-nilai kebhinekaan dan kebangsaan yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia, seperti dalam skema berikut.

Sekolah Ramah HAM bukanlah bentuk sekolah karakter tetapi sebuah program yang didalamnya sekolah sebagai “laboratorium” atau media penerapan penginternalisasian nilai-nilai HAM sebagai basis pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan. Sekolah Ramah HAM memandang bahwa pendidikan ada-lah aspek strategis dalam membangun karakter generasi muda sejak dini, seda n -gkan sekolah adalah institusi terkecil dalam pelaksanaan pendidikan dimana di dalamnya terdiri dari berbagai unsur yang berbeda-beda baik dari latar belakang sosial, agama, suku, etnis, ekonomi dan lain-lain yang dapat disebut sebagai ma-syarakat dalam lingkup kecil atau mini society dari keberagaman yang dimiliki Indonesia.

Ruang lingkup atau cakupan Sekolah Ramah HAM bukanlah semata-ma-ta menekankan pada nilai-nilai HAM universal, namun menekankan pula pada nilai-nilai HAM menurut Pancasila yang di dalamnya terdapat penghormatan terhadap nilai-nilai agama, martabat manusia (nilai kemanusiaan), non diskrimi-nasi, toleransi, inklusi, partisipasi, kesamaan akses sumber daya dan informasi, transparan, akuntabilitas, pemberdayaan, kesetaraan dan jaminan perlindungan khususnya bagi kelompok minoritas, rentan dan marjinal. Dalam Sekolah Ra-mah HAM dikembangkan keterbukaan diantara seluruh unsur komunitas se-kolah dalam sebuah relasi sosial yang heterogen. Keterbukaan tersebut dilaku-kan dengan menyediakan “ruang-ruang” publik atau “ruang-ruang” perjumpaan untuk memutus mata rantai sekat perbedaan yang sebenarnya berpotensi terja-dinya penguatan diskriminasi dan intoleransi. Disinilah Sekolah Ramah HAM mengembangkan upaya, metode, kegiatan maupun materi pendidikan HAM yang mengembangkan sikap-sikap toleransi diantara seluruh unsur komunitas sekolah, sehingga nilai-nilai HAM dipahami sebagai nilai-nilai yang menguatkan nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan.

Dalam Sekolah Ramah HAM, keseluruhan unsur dalam sekolah dipan-dang sebagai satu kesatuan holistik (holistic approach/whole school approach) un-tuk mengintegrasikan HAM pada tata kehidupan sekolah. Pendidikan HAM (human rights education/HRE) bukan hanya sebagai materi pelajaran tetapi juga

Page 15: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 15

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

sebagai sebuah metode/pendekatan dalam kehidupan sekolah yang menerapkan nilai atau prinsip HAM itu sendiri (Rights Based Approach). Melalui pendekatan holistik tersebut, seluruh unsur dalam lingkungan sekolah akan melihat tidak hanya apa yang dibicarakan atau diajarkan tetapi juga bagaimana mengajarkan dengan membangun budaya HAM (human rights culture) di dalam komunitas se-kolah itu sendiri melalui pembelajaran (learned), praktik (practiced), penghargaan (respected), perlindungan (protected) dan pemajuan (promoted). Nilai-nilai HAM tersebut diinternalisasikan dalam pendidikan melalui proses “pembudayaan” nilai bukan sekedar sebuah materi pelajaran, namun menyangkut sikap dan perilaku seluruh unsur komunitas sekolah sehingga menjadi budaya sekolah (school cultu-re) seperti dalam skema berikut.

Skema Pendekatan Whole School Approach

Sekolah Ramah HAM melingkupi pula pengembangan pendidikan mul-tikultural kebhinekaan, pendidikan perdamaian, pendidikan keragaman, pendi-dikan interreligius, pendidikan inklusi, teaching respect for all dan upaya-upaya anti radikalisme sebagai bagian dari keseluruhan pendekatan holistik yang men-jadi dasar Sekolah Ramah HAM.

Sekolah Ramah HAM sebagai program penginternalisasian nilai-nilai HAM melalui pendidikan juga melakukan upaya-upaya membangun dan men-gembangkan relasi, interaksi dan koordinasi dalam lingkungan internal sekolah maupun sekolah dengan lingkungan eksternal di sekitarnya sehingga terbangun budaya sekolah yang menerapkan nilai-nilai HAM. Upaya pembudayaan terse-but dilakukan dengan melibatkan seluruh unsur komunitas sekolah dan juga ma-syarakat dengan membuka ruang-ruang perjumpaan (ruang publik) dan ruang-ruang dialog dimana interaksi, komunikasi dan relasi yang terbangun menjadi lebih luas tanpa sekat-sekat perbedaan, terbangun toleransi, kesetaraan, peng-hormatan terhadap keragaman/kebhinekaan, demokrasi dan sense of emphaty diantara seluruh unsur komunitas sekolah sehingga terbangun budaya sekolah (school culture) sebagai bentuk terinternalisasikannya nilai-nilai HAM. Sehingga nilai-nilai HAM bukan hanya menyasar aspek kognitif namun juga aspek afektif

Page 16: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

16 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

yang membangun aspek kesadaran untuk menggerakkan dan selanjutnya men-jadi sebuah gerakan snowballing effect yang terus menggelinding membudayakan nilai-nilai HAM sebagai basis pembangunan karakter bangsa yang meneguhkan toleransi dalam kebhinekaan.

Sekolah Ramah HAM dalam pelaksanaannya dilakukan dengan memben-tuk model pilot-pilot project (role model) untuk mendapatkan sekolah-sekolah yang menerapkan nilai-nilai HAM dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai/bu-daya lokal, kekhususan dan keistimewaan masing-masing dalam rangka pendidi-kan karakter. Hal tersebut agar dapat diukur dampaknya bagi penguatan toleransi dan kebhinekaan, sehingga diperlukan prasyarat-prasyarat seperti: 1) pengkondi-sian agar seluruh unsur komunitas dalam sekolah memiliki sikap inklusif dan positif terhadap orang lain dan kelompok yang berbeda; 2) desain pembelaja-ran, pendidikan dan kultur/budaya sekolah yang dirancang sedemikian rupa se-hingga siswa mengalami langsung makna kebhinekaan; dan 3) mengembangkan metode-metode yang kreatif dan inovatif dalam rangka menanamkan nilai-nilai HAM baik universal maupun menurut Pancasila yang didalamnya mengandung sikap-sikap toleransi dapat terinternalisasi dalam sikap dan perilaku seluruh un-sur sekolah. Ketiga prasyarat tersebut selanjutnya diterapkan dalam empat area kunci sekolah yaitu kebijakan, kurikulum dan ekstrakurikuler, relasi – interaksi – komunikasi, serta lingkungan – etos – budaya sekolah dimana nilai-nilai HAM dapat diintegrasikan dan selanjutnya diinternalisasikan.

3. Nilai-Nilai HAM Dalam Sekolah Ramah HAM serta Keterkaitannya dengan Pendidikan KarakterMenurut T. Ramli (2003) bahwa pendidikan karakter hakikatnya ada-

lah pendidikan nilai yaitu nilai-nilai yang berasal dari nilai-nilai sosial budaya bangsa, nilai moral universal (bersifat absolut) dan nilai-nilai agama. Nilai-nilai HAM atau juga sering disebut prinsip HAM yang dikembangkan Sekolah Ra-mah HAM berangkat dari nilai-nilai moral universal karena hak asasi manusia bersifat universal dan melekat pada keberadaan manusia itu sendiri. Namun be-gitu, Sekolah Ramah HAM mengkontekskan nilai-nilai yang bersifat universal tersebut dalam nilai-nilai yang telah dimiliki bangsa Indonesia sebagai karakter bangsa, mengingat karakter bangsa sangat ditentukan oleh karakter individu ma-syarakatnya. Untuk itu, Sekolah Ramah HAM menekankan pada upaya-upaya membangun nilai-nilai individu sebagai manusia ciptaan Tuhan yang memiliki martabat yang sama karena disitulah esensi nilai-nilai HAM tersebut.

Nilai-nilai HAM yang dikembangkan dalam Sekolah Ramah HAM me-liputi: (1) martabat manusia (human dignity); (2) persamaan (equality); (3) non diskriminasi; (4) toleransi; (5) keadilan (equity); (6) penghormatan (respect); (7) nir kekerasan; (8) inklusi; (9) partisipasi (participation); (10) pemberdayaan (em-powering); (11) kerjasama; (12) tanggung jawab; dan (13) akuntabilitas dan tran-sparansi. Dalam Sekolah Ramah HAM internalisasi ketigabelas nilai-nilai HAM dalam pendidikan sangat penting terutama dikaitkan dengan pendidikan karak-ter dan persoalan-persoalan bangsa yang mengikis nilai-nilai luhur bangsa.

Menengok kembali fungsi pendidikan karakter yang dikembangkan Ke-

Page 17: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 17

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

menterian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2010 yang meliputi: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik dan berperila-ku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia, dima-na dalam pelaksanaannya dikembangkan 18 nilai karakter memiliki korelasi yang sangat kuat dengan Sekolah Ramah HAM. Keduanya bukanlah nilai-nilai yang saling bertentangan namun justru saling menguatkan. Melalui ketigabelas nilai yang dikembangkan dalam Sekolah Ramah HAM diharapkan sekolah melalui proses pendidikan maupun tata kehidupannya bukan hanya mengajarkan pada siswa tentang nilai-nilai tersebut namun juga membiasakan dan menjadikannya budaya sekolah yang mencakup siswa, guru, tenaga kependidikan hingga orang tua siswa dan masyarakat di sekitar sekolah. Sikap-sikap respek, empati, koope-ratif, dan penerimaan (acceptance) atas segala perbedaan atau keragaman yang di-tunjukan oleh seluruh unsur sekolah diharapkan dapat meminimalisir tindakan anti sosial seperti intoleransi, diskriminasi, kekerasan bahkan radikalisme yang telah merambah dunia pendidikan.

Keberadaan Sekolah Ramah HAM tidak hanya bermanfaat bagi sekolah itu sendiri namun juga bagi unsur-unsur komunitas sekolah baik secara indi-vidu maupun kelompok, masyarakat, pemerintah maupun bagi pengembangan pendidikan HAM baik secara formal maupun non formal. Perubahan karakter semua orang yang ada dalam komunitas sekolah yang dalam kesehariannya men-ginternalisasikan nilai dan prinsip HAM dalam hubungan antar personal, antar kelompok dan juga dengan masyarakat di sekitarnya diharapkan akan menum-buhkan perubahan sosial yang di dalamnya penghormatan terhadap hak asasi manusia menjadi mainstreaming. Dengan menjadikan nilai-nilai HAM tersebut sebagai budaya sekolah secara langsung maupun tidak langsung sekolah telah memberikan pondasi yang kuat dan arah bagi pendidikan karakter.

4. Sekolah Ramah HAM: Penguatan Kebhinekaan Melalui Pembudayaan Nilai-Nilai HAM Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa pendidikan adalah pembuda-

yaan karena di dalamnya terdapat proses peneladanan dan pembiasaan. Sebalik-nya, pembudayaan adalah proses pencapaian hasil dari pendidikan itu sendiri berupa penghayatan segenap pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) yang didapat seseorang melalui pendidikan ke dalam bentuk tindakan nyata (ac-tion) yang bermanfaat bagi kehidupannya dan/atau kehidupan orang lain. Menu-rut UNESCO proses pembudayaan melalui pendidikan dilakukan melalui empat pilar pendidikan, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar un-tuk melakukan (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar untuk mandiri (learning to be).

Sekolah Ramah HAM dalam rangka pembangunan karakter melalui pen-didikan menempatkan pembudayaan nilai-nilai HAM dengan proses pengeta-huan, pemahaman, peneladanan dan pembiasaan melalui sekolah, keluarga dan masyarakat. Dalam gerakan budaya atau pembudayaan nilai-nilai HAM tersebut menekankan pada penghormatan dan peningkatan martabat manusia (human

Page 18: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

18 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

dignity), nilai-nilai ke-Tuhan-an, nilai-nilai perikemanusiaan, nilai-nilai kebhi-nekaan dan kebangsaan, nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai keadilan sosial. Hal tersebut mendasarkan pada pemahaman atas nilai-nilai HAM universal dan ni-lai-nilai HAM menurut Pancasila dalam sebuah siklus kemanusiaan.

Untuk itulah, Sekolah Ramah HAM sebagai sebuah gerakan budaya seka-ligus gerakan nilai yang mendasarkan nilai-nilai HAM universal pada nilai-nilai luhur konsensus bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945 dan kebhinekaan. Salah satu pendekatan yang dikembangkan dalam Sekolah Ramah HAM adalah dengan pendidikan multikultural dan wawasan kebangsaan yang memberikan pemaha-man dan keterbukaan pada seluruh unsur yang terlibat tentang relasi, interak-si dan komunikasi tanpa memandang latar belakang agama, etnis, ras, budaya, status sosio ekonomi, maupun gender. Pendekatan ini juga diharapkan mem-bantu guru dapat mengembangkan metode pembelajaran dimana siswa tidak belajar dalam kekosongan, budaya mereka dapat menjadi bahan untuk belajar tentang keragaman bangsa dan tentang bagaimana memandang kebangsaan da-lam wawasan yang terbuka dan toleran. Pendidikan multikultural dan wawasan kebangsaan dalam Sekolah Ramah HAM dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice dalam relasi, komunikasi dan inte-raksi. Pendidikan multikultural juga dapat dijadikan instrument strategis untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan siswa terhadap bangsanya atau yang selama ini dikenal dengan wawasan kebangsaan.

Kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang mampu membentuk karakter bangsa dan sebagai gerakan budaya, Sekolah Ramah HAM menggunakan nilai-nilai HAM yang dituangkan dalam indikator Sekolah Ramah HAM sebagai pedoman yang bersifat umum dimana dalam pe-nerapannya dimungkinkan masing-masing wilayah atau sekolah mengembang-kan strategi, pendekatan, metode, cara maupun materi dengan nilai-nilai dan budaya lokal yang ada. Selain itu, Sekolah Ramah HAM memfasilitasi guru mau-pun sekolah secara lebih luas untuk menggali nilai-nilai budaya tersebut yang se-jalan dengan nilai-nilai HAM baik universal maupun menurut Pancasila sebagai materi pendidikan karakter. Sebaliknya, Sekolah Ramah HAM juga memfasilitasi upaya-upaya penyelarasan nilai-nilai budaya dengan nilai-nilai HAM universal yang diarahkan pada pengenalan, pembiasaan dan peneladanan dalam kehidu-pan sekolah sebagai mini society maupun dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas.

Pada gerakan pembudayaan ini, guru yang memberikan pendidikan terse-but harus memiliki keyakinan bahwa perbedaan budaya memiliki kekuatan dan nilai, sekolah harus menjadi teladan untuk ekspresi hak-hak manusia dan peng-hargaan untuk perbedaan budaya dan kelompok, keadilan dan kesetaraan sosial harus menjadi kepentingan utama dalam kurikulum, sekolah dapat menyediakan pengetahuan, keterampilan, dan karakter (yaitu nilai, sikap, dan komitmen) un-tuk membantu siswa dari berbagai latar belakang, sekolah bersama keluarga dan komunitas dapat menciptakan lingkungan yang mendukung multibudaya. Guru dan sekolah haruslah menjadi pioner dan pelaku bagi gerakan budaya menum-

Page 19: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 19

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

buhkan kemampuan para siswa menyerap nilai-nilai bersama dari keberagaman serta mempertebal nilai-nilai luhur di kalangan anak didik tentang hidup ber-sama seperti toleransi, tenggang rasa, tepo seliro terhadap orang yang berbeda dan meningkatkannya menjadi “mensyukuri perbedaan” dan mengembangkan kesediaan bekerjasama.

5. Ruang Publik Sekolah: Media Pengelolaan Kebhinekaan Seperti telah diuraikan sebelumnya, Sekolah Ramah HAM mendasarkan

pada prinsip bahwa sekolah adalah mini society keragaman dan kebhinekaan ma-syarakat yang membutuhkan media-media untuk mempertemukan keragaman tersebut sehingga terbangun suasana perjumpaan, relasi dan dialog yang inklusi dalam sekolah. Prinsip dari ruang publik sekolah sebagai media pengelolaan ke-bhinekaan adalah upaya untuk memberikan pengakuan dan ruang akses dalam berekspresi bagi siswa dan semua unsur komunitas sekolah yang bersandar pada jati diri masing-masing, dan kemudian berinteraksi dan berelasi tanpa saling me-minggirkan dan mendiskriminasi satu dengan yang lain. Pembentukan karakter yang berdasarkan pada prinsip pengakuan terhadap kebhinekaan melalui sikap empaty, inklusi dan toleran dapat dilakukan dan siswa belajar langsung dalam media ruang sosial masyarakat. Sehingga, salah satu peran kebijakan sekolah da-lam Sekolah Ramah HAM ditujukan untuk membangun relasi, interaksi, ling-kungan dan budaya sekolah serta menjaga ruang publik di sekolah agar tetap ter-buka dan memberikan ruang yang sama bagi semua siswa dan unsur komunitas sekolah lainnya, yang berfungsi sebagai arena persemaian toleransi, inklusi, non diskriminasi, nir kekerasan dan juga demokratisasi.

Manakala melalui pembelajaran (kurikulum) dalam kelas siswa telah di-kenalkan dengan Indonesia dan kebhinekaannya, maka selanjutnya perlu dibuka ruang-ruang perjumpaan atau ruang-ruang publik dimana siswa dapat memp-raktikkan sikap dan perilaku yang telah diajarkan tersebut langsung pada lingku-ngan sosial terdekat yaitu lingkungan sekolah. Praktik tersebut akan menjadi me-dia pelatihan dan penyadaran bagi siswa dan seluruh komunitas sekolah untuk menerima perbedaan agama, ras, etnis, budaya dan mengembangkan pola-pola relasi yang saling menghormati.

Ruang publik sekolah tersebut dapat berupa berbagai aktivitas atau ke-giatan yang melibatkan seluruh unsur komunitas sekolah tersebut atau tempat terbuka yang ada di lingkungan sekolah yang memungkinkan adanya interaksi terbuka, misalnya taman sekolah. Bentuk-bentuk aktivitas dan kegiatan yang da-pat dikembangkan sekolah seperti ekstrakurikuler dimana sekolah dapat mengin-tegrasikan nilai-nilai HAM, nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai kebhinekaan dalam kegiatan-kegiatan tersebut, misalnya Pramuka, OSIS, jurnalisme dan lain-lain. Selain itu, ruang publik sekolah dapat juga diartikan sebagai metode saling men -genal setiap perbedaan yang ada dengan diskusi interreligius siswa, live in siswa, school expo, pentas seni daerah, dan lain-lain. Kesemuanya itu dikerangkakan da-lam sebuah proses pendidikan pengelolaan kebhinekaan.

Penting pula untuk dipertimbangkan bahwa aktivitas dan kegiatan dalam ruang publik sekolah haruslah juga bersifat beyond atau jauh melampaui kebutu-

Page 20: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

20 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

han pengelolaan kebhinekaan saja, namun juga menciptakan sebuah kebudayaan atau “peradaban” di lingkup sekolah yang di dalamnya terdapat empat karakter utama yaitu kerjasama, komunikasi, kritis dan kreatif. Dan dalam hal ini sekolah adalah ruang publik untuk menempatkan heterogenitas yang ada sebagai titik awal sebuah pendidikan yang multikultural, dimana keberagaman nilai, kebe-ragaman budaya menjadi modal dasar bagi anak-anak/siswa untuk membangun kebudayaan atau peradabannya di masa mendatang. Peran sekolah disini baik guru, kepala sekolah maupun komunitas sekolah yang lain adalah sebagai peng-hantar, yang dalam pemikiran Ki Hadjar, pendidikan sebagai usaha kebudayaan yang bermaksud memberi tuntunan di dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak-anak, agar kelak dalam garis-garis kodrat pribadinya dan pengaruh segala kea-daan yang mengelilinginya, anak-anak mendapat kemajuan alam hidupnya lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan dimana toleransi dijunjung tinggi untuk menghormati hak asasi manusia.

D. PenutupTidak dapat dipungkiri atau bahkan dihindari bahwa ke-Indonesia-an

bangsa ini sedang mengalami persoalan dan bahkan tantangan yang berat. Ban -g s a Indonesia mengalami bahaya disintegrasi bangsa yang disebabkan sikap dan tindakan intoleransi yang seolah “dibiarkan”. Intoleransi yang terus menerus terjadi telah berdampak pada ujaran kebencian (hate speech), kekerasan bahkan konflik sosial yang tidak kunjung berhenti bahkan mulai mengikis sendi-sendi kehidupan dan karakter bangsa. Intoleransi bukan hanya terjadi di masyarakat namun mulai masuk dalam lingkungan pendidikan dimana karakter sebuah ban-gsa dibangun melalui generasi mudanya. Intoleransi yang mewujud dalam ben-tuk ujaran kebencian, diskriminasi, perundungan (bullying) dan bahkan kekera-san bukan hanya secara fisik namun juga verbal dan simbolik dalam buku-buku pelajaran.

Sangat penting upaya-upaya untuk mengembalikan karakter luhur bangsa dimana nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai HAM dan nilai-nilai kebhinekaan men-jadi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu upaya strategis yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan itu sendiri, baik mela-lui kurikulum, metode pembelajaran hingga membangun budaya sekolah (school culture) yang mengembangkan sikap-sikap toleransi, inklusi dan non diskrimina-si. Internalisasi nilai-nilai HAM yang didalamnya terdapat pula nilai-nilai Pan-casila dan kebhinekaan dilakukan bukan hanya sebatas pengetahuan (knowledge) namun juga pembiasaan, pembudayaan dan peneladanan sebagai sikap (affektif).

Sekolah Ramah HAM yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah strategi internalisasi nilai-nilai HAM sebagai upaya mengembalikan sikap toleransi dan penghormatan atas kebhinekaan melalui role model sekolah sebagai mini society dengan pendekatan holistic (whole school approach) yang bukan hanya melibat-kan guru dan siswa namun seluruh unsur komunitas sekolah. Sekolah Ramah HAM mencoba untuk mengenalkan metode dan pendidikan karakter dengan menginternalisasikan nilai-nilai HAM menjadi sebuah gerakan budaya dalam ruang-ruang publik sekolah yang mengenalkan kebhinekaan dan keragaman

Page 21: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 21

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

yang ada. Melalui tulisan ini penulis berharap sekaligus mengajak seluruh unsur komunitas sekolah, masyarakat dan juga bangsa Indonesia untuk bersama-sama membangun kembali karakter bangsa Indonesia yang toleran untuk meneguhkan kebhinekaan sebagai modal sosial bangsa. Semoga bermanfaat.

Page 22: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

22 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan

DAFTAR PUSTAKA

Abdallah (Peneliti PPIM UIN Jakarta) (13 September 2016); Pendidikan Aga-ma dan Akar Radikalisme; Tempo.com; file://localhost/J:/2016/PRO-GRAM/ppim%20uin/Pendidikan%20Agama%20dan%20Akar%20Radikalisme%20_%20tempo.co.mht

Bagir, Zainal Abidin, AA GN Ari Dwipayana dkk (September 2016); Pluralis-me Kewargaan : Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia; Cetakan Kedua; CRCS; Yogyakarta;

Dja’far, Alamsyah M (23 Maret 2015); Intoleransi Kaum Pelajar; The Wahid Institute : Seeding Plural and Peaceful Islam;

Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) (Mei 2014); Teaching Respect for All: Panduan Menuju Sekolah Bebas Diskriminasi; Jakarta;;

Listia, Purwono Nugroho Adhi dan Sartana (Januari 2016); Pendidikan Interre-ligius : Gagasan Dasar dan Modul Pelaksanaan; CDCC;

Meyria, Adoniati (Februari 2017); Grand Desain : Transformasi dan Interna-lisasi Nilai-Nilai HAM dalam Rangka Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Sekolah Ramah HAM;

Muthoifin (2015); Ki Hadjar Dewantara : Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa dalam tulisan Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara; Intizar Vol. 21;

Panjaitan, Ade Putra, Alan Darmawan dkk (2014); Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan : Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal; Yayasan Pustaka Obor Indonesia; Jakarta;

Permana, Yogi Setya (November 2012); Mengukur Derajat Intoleransi Kolektif; Opini Koran Tempo;

Sen, Amartya (Februari 2016); Kekerasan dan Identitas; Edisi Kedua; Marjin Kiri;

Suhadi dkk (Editor) (Februari 2016); Mengelola Keragaman di Sekolah : Gaga-san dan Pengalaman Guru; CRCS; Yogyakarta;

Susanto, Dody (Agustus 2014); Sekolah Toleransi; Klinik Pancasila dan Mabes Polri; Jakarta;

Tim Komnas HAM (2016); Upaya Negara Menjamin Hak-hak Kelompok Mi-noritas di Indonesia : Sebuah Laporan Awal; Komnas HAM;

Triyanto dan Adoniati Meyria (Februari 2017); Kertas Posisi Komnas HAM: Transformasi dan Internalisasi Nilai-Nilai HAM dalam Rangka Pem-bangunan Karakter Bangsa Melalui Sekolah Ramah HAM;

Widiastono, Tonny D (Desember 2004); Pendidikan Manusia Indonesia; Kom-pas dan Yayasan Toyota – Astra; Jakarta;

Zubaedi, Dr.,Mag.,MPd (November 2006); Pendidikan Berbasis Masyarakat : Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial; Pustaka Pelajar; Yogyakarta;

-----------(n.d);http://www.dw.com/id/nasib-kaum-minoritas-di-indone-sia-yang-terpinggirkan/a-2958047;

Page 23: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017 ■ 23

Adoniati Meyria Widaningtyas H & Triyanto

-----------(n.d);http://www.sinarharapan.co/news/read/150907133/penghay-at-kepercayaan-keluhkan-diskriminasi-pendidikan;

-----------(n.d);http://www.pelitaperdamaian.org/penganut-kepercay-aan-dan-diskriminasi-pendidikan/

-----------(n.d);http://kbr.id/03-2016/siswa_kristen_terpaksa_belajar_agama_Islam_di_aceh_singkil__ini_sikap_pgi_/79810.html

Page 24: MEMBUDAYAKAN NILAI-NILAI HAM DALAM RANGKA …

24 ■ Waskita, Vol. 1, No. 1, 2017

Membudayakan Nilai-nilai Ham Dalam Rangka Penguatan Pancasila Dan Kebhinekaan