26
Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan Halaman1 Transformasi Ketenagakerjaan dan Keluar dari Perangkap Kemiskinan 1 Mohamad Ikhsan 2 LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Kantor Wakil Presiden RI Pendahuluan Data statistik pendapatan nasional BPS menunjukkan peranan sektor pertanian dalam sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 17,9 % pada tahun 1993 menjadi hanya 13 % dalam tahun 2010. Penurunan peran sektor pertanian dalam PDB merupakan hal yang normal dalam proses transformasi ekonomi. 3 Dari sisi ketenagakerjaan pun perubahan ini pun berjalan secara normal. Dengan pertumbuhan penduduk, penurunan luas lahan pertanian dan ekspansi perekonomian, petani secara natural akan berupaya untuk 1 Keynote speech dalam acara Seminar 3 FEUI, Indonesia Tanpa Kemiskinan: Pemberantasan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan, Depok, 31 Mei 2011. 2 Guru Besar FEUI, Peneliti Senior LPEM FEUI dan Staf Khusus Wakil Presiden, dapat dihubungi di [email protected] atau [email protected] Tulisan ini m p d r a erupakan pendapat pribadi enulis dan ti ak mence minkan p ndangan lembaga atau institusi penulis bekerja dan berafilisasi. 3 Penyebabnya berasal dari tiga sumber. Pertama, dari sisi permintaan, elastisitas permintaan barang permintaan umumnya kurang dari satu sehingga laju permintaan terhadap barang‐barang pertanian akan lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan pendapatan. Kedua, dari sisi penawaran sekurang‐kurangnya ada tiga faktor yang menyebabkan sektor pertanian tertinggal yaitu (i) intensitas teknologi di sektor pertanian juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor lain; (ii) tingkat profitabilitas dalam sektor pertanian juga kurang meyakinkan baik di lihat dari tingkat pengembaliannya maupun tingkat resiko yang dihadapi. Sebagian dari resiko di sektor pertanian ini sukar dikendalikan misalnya berkaitan dengan faktor alam dan jika dikendalikan membutuhkan biaya yang sangat mahal dan berakibat alokasi modal termasuk kredit cenderung berpaling dari sektor pertanian; (iii) Akibat dari (i) dan (ii) alokasi sumber daya manusia akan bergeser dari sektor pertanian menuju sektor lain karena tingkat upah yang relatif rendah. Kalau pun ada yang bersedia umumnya adalah tenaga kerja yang tidak trampil yang tersisih dari persaingan di pasar tenaga kerja formal.Ketiga, peningkatan pendapatan per kapita juga menyebabkan pergeseran selera atau preferensi. Misalnya preferensi untuk mendapatkan makanan yang tidak diproduksi di tempat yang sama atau di luar musim. Perubahan preferensi ini menimbulkan kegiatan baru di luar sektor pertanian yang nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh sektor luar pertanian melalui fungsi komplementaritas.

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan · Dengan pertumbuhan penduduk, penurunan luas lahan pertanian dan ... terhadap barang‐barang pertanian akan lebih lambat dibandingkan

Embed Size (px)

Citation preview

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Halaman1 

 

Transformasi Ketenagakerjaan dan Keluar dari Perangkap Kemiskinan1

 Mohamad Ikhsan2

LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Kantor Wakil Presiden RI 

 

Pendahuluan 

Data  statistik  pendapatan  nasional    BPS  menunjukkan  peranan  sektor pertanian dalam sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 17,9 % pada  tahun  1993  menjadi  hanya  13  %  dalam  tahun  2010.  Penurunan peran  sektor  pertanian  dalam  PDB  merupakan  hal  yang  normal  dalam proses transformasi ekonomi.3

Dari sisi ketenagakerjaan pun perubahan ini pun berjalan secara normal. Dengan  pertumbuhan  penduduk,  penurunan  luas  lahan  pertanian  dan ekspansi  perekonomian,  petani  secara  natural  akan  berupaya  untuk                                                             

1Keynote  speech  dalam  acara  Seminar  3  FEUI,  Indonesia  Tanpa  Kemiskinan: Pemberantasan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan, Depok, 31 Mei 2011. 2Guru  Besar  FEUI,  Peneliti  Senior  LPEM  FEUI  dan  Staf  Khusus  Wakil  Presiden,  dapat dihubungi di [email protected] atau [email protected] Tulisan ini m  p d r aerupakan pendapat pribadi enulis dan ti ak mence minkan p ndangan lembaga atau institusi penulis bekerja dan berafilisasi. 3Penyebabnya  berasal  dari  tiga  sumber.  Pertama,  dari  sisi  permintaan,  elastisitas permintaan  barang  permintaan  umumnya  kurang  dari  satu  sehingga  laju  permintaan terhadap  barang‐barang  pertanian  akan  lebih  lambat  dibandingkan  dengan  laju pertumbuhan  pendapatan.  Kedua,  dari  sisi  penawaran  sekurang‐kurangnya  ada  tiga faktor  yang  menyebabkan  sektor  pertanian  tertinggal  yaitu  (i)  intensitas  teknologi  di sektor pertanian  juga  relatif  lebih  rendah dibandingkan dengan  sektor  lain;  (ii)  tingkat profitabilitas dalam sektor pertanian  juga kurang meyakinkan baik di  lihat dari  tingkat pengembaliannya maupun  tingkat  resiko  yang  dihadapi.  Sebagian dari  resiko  di  sektor pertanian  ini  sukar  dikendalikan  misalnya  berkaitan  dengan  faktor  alam  dan  jika dikendalikan  membutuhkan  biaya  yang  sangat  mahal  dan  berakibat  alokasi  modal termasuk kredit cenderung berpaling dari  sektor pertanian;  (iii) Akibat dari  (i) dan (ii) alokasi    sumber daya manusia  akan bergeser  dari  sektor  pertanian menuju  sektor  lain karena tingkat upah yang relatif rendah. Kalau pun ada yang bersedia umumnya adalah tenaga  kerja  yang  tidak  trampil  yang  tersisih  dari  persaingan  di  pasar  tenaga  kerja formal.Ketiga, peningkatan pendapatan per kapita  juga menyebabkan pergeseran selera atau preferensi. Misalnya preferensi untuk mendapatkan makanan yang tidak diproduksi di tempat yang sama atau di luar musim. Perubahan preferensi ini menimbulkan kegiatan baru di  luar  sektor pertanian yang nilai  tambahnya  lebih banyak dinikmati oleh  sektor luar pertanian melalui fungsi komplementaritas. 

Mohamad Ikhsan 

mencari pekerjaan di  luar pertanian.    Jika petani menjadi  lebih produktif dan  mendapatkan  penghasilan  yang  lebih  baik  (better  paid)  karena bekerja  di  luar  sektor  pertanian,  bukan  hanya  yang  bersangkutan  yang mendapatkan  keuntungan  melainkan  perekonomian  secara  keseluruhan pun akan diuntungkan.4

Gambar 1: Tenaga Kerja yang bekerja di sektor pertanian dan persentase terhadaptotal angkatan kerja 

 

Gambar  2:  Produktivitas  Tenaga  Kerja  Menurut  Sektor  Ekonomi,  1990­2009 

 Sumber: diolah dari BPS 

 

Kalau proses ini berjalan normal, kita akan melihat bahwa sejalan dengan penurunan pangsa baik dari sisi output dan ketenagakerjaan, akan terjadi                                                             

4Sebagai contoh, tingkat kemiskinan pun dapat menurun jika petani memperoleh tambahan pendapatan akibat mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Akibatnya,kebutuhan dana untuk program untuk kemiskinan menurun sehingga bisa digunakan untuk kegiatan lain.  

Halaman2 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Halaman3 

 

kecenderungan konvergensi produktivitas tenaga kerja di masing‐masing sektor.  

Pertanyaannya  apakah  hal  ini  terjadi  di  Indonesia?  Gambar  1 menunjukkan  adanya  seolah‐olah  kecenderungan  proses  transformasi ketenagakerjaan di Indonesia tidak berjalan dengan perubahan dalam sisi output dan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan kecenderungan (pola  normal)  yang  terjadi  di  negara  lain.5  Perlambatan  ini makin  nyata terlihat  setelah  krisis  ekonomi  1998,  dimana  sektor  pertanian  “dipaksa” harus  menampung  tenaga  kerja  yang  diberhentikan  dari  sektor  lain. Tetapi seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2 Nilai tambah per pekerja di  sektor  pertanian  sempat  menurun  dan  kemudian  stagnan.  (lihat Gambar 2) 

Masalah  dalam  transformasi  ketenagakerjaan  ini  diduga  merupakan penyebab dari perlambatan penurunan kemiskinan di pedesaan Indonesia dibandingkan  dengan  periode  sebelum  krisis  1998.  Proses  transformasi ketenagakerjaan  yang  terjadi  dalam  era  pertengahan  1980an  hingga pertengahan  1990an  menjadi  salah  satu  determinan    penting  dalam penurunan  kemiskinan  di  pedesaan  khususnya  di  Jawa.    Penurunan kemiskinan  di  pedesaan  merupakan  sumber  kemiskinan  utama  bagi penurunan  kemiskinan  secara  keseluruhan  bukan  hanya  karena  2/3 keluarga miskin bertempat tinggal di desa tetapi juga akan mempengaruhi langsung  atau  tidak  langsung  kemiskinan  di  perkotaan  melalui  proses migrasi. 

Interpretasi  tentang  proses  transformasi  struktural  ini  perlu  dilakukan secara hati‐hati. Perekonomian Indonesia bukan merupakan struktur yang homogen.  Menggunakan  tipologi  yang  digunakan  dalam  World Development  Report  2008,  perekonomian  Indonesia  mempunyai  tiga karakteristik  sekaligus mulai  dari  agriculture based  region  (daerah  yang memiliki  sumber  pertumbuhan  ekonomi  dari  sektor  pertanian), transforming  region  (daerah  yang  masih  mempunyai  sektor  pertanian tetapi  mengalami  penurunan  perannya)  dan  urbanized  region  (daerah yang sama sekali tidak bergantung pada sektor pertanian. Biasanya negara yang memiliki wilayah yang demikian akan mengalami penurunan pangsa pertanian yang lebih lambat karena proses transformasinya terjadi secara internal,  sehingga  tidak  bisa  dibandingkan  berdasarkan  pola  global.  Di samping  itu  proses  transformasi  dalam  sektor  pertanian  (internal 

                                                            

5Analisis kuantitatif yang dilakukan oleh Prof  Timmer  dan Akkus (2008) menunjukkan pola transformasi struktural sektor pertanian Indonesia‐ kecuali penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB yang relatif lebih cepat (lebih cepat dibandingkan dengan pola normal), sebetulnya tidak banyak berbeda dengan pola yang terjadi di negara‐negara lain. Tetapi jika dibandingkan dengan proses transformasi di Thailand dan Malaysia, transformasi ketenagakerjaan di Indonesia tergolong lebih lambat. 

Mohamad Ikhsan 

transformation) belum sepenuhnya terjadi di Indonesia termasuk di pulau Jawa  yang  seharusnya  sudah  bergerak  pada  kegiatan  yang    bernilai tambah tinggi. 

Oleh  karena  itu  skenario  proses  transformasi  struktural  dalam  sektor pertanian  di  Indonesia  memiliki  beberapa  track.  Track  pertama, perubahan dari kegiatan sektor pertanian yang bernilai tambah rendah ke kegiatan nilai tambah tinggi. Kegiatan ini terutama akan terlihat di daerah pantai  utara  Jawa  terutama  Banten,  Jabotabek,  Jawa  Tengah  dan  Jawa Timur. Track kedua, berupa peningkatan produktivitas pangan khususnya padi yang akan terjadi di sebagian Jawa dan luar Jawa. Kegiatan ini masih menghasilkan  tambahan  kesempatan  kerja.  Track  ketiga,  akan  terjadi dalam  bentuk  perluasan  kegiatan  untuk  tanaman  perkebunan  yang dampak  tenaga  kerjanya  rendah.  Kegiatan  ini  terutama  terjadi  di  luar Jawa. 

Dengan  memperhitungkan  multiple  tracks  dari  proses  transformasi  ini, pengurangan  kemiskinan  di  Indonesia  khususnya  pedesaan  Indonesia akan terjadi melalui baik proses peningkatan produktivitas dalam sektor pertanian sendiri dan melalui proses dinamika perubahan dalam ekonomi pedesaan  dan  transformasi  ketenagakerjaan  ke  luar  sektor pertanian.Proses perpindahan tenaga kerja ke luar sektor pertanian  harus terjadi  dan  akan  dominan  dalam  rangka  untuk  menurunkan  tingkat kemiskinan melalui konvergensi produktivitas antar sektor. 

Sejumlah  pertanyaan  lainpatut  dimunculkan  berkaitan  dengan  proses transformasi  struktural  adalah  bagaimana  petani  tersebut  dapat melakukan pilihan‐pilihan rasional tanpa informasi yang memadai tentang berbagai kesempatan yang ada diluar kegiatan bercocoktanam (farming). Bagaimana  seorang  petani  dapat  bersaing  dengan  kawannya  dari perkotaan  jika mereka  tidak punya pendidikan dan keahlian? Bagaimana suatu entreprenur bisa mengembangkan usahanya jika institusi termasuk aturan  (rules)  dan  regulasi  masih  tidak  lengkap  bahkan  kalaupun  ada seringkali  tidak  dilaksanakan  secara  konsisten?  Bagaimana  pula pemerintah  dapat  mendisain  suatu  kebijakan  jika  pengambil  keputusan atau birokrasinya tidak punya pengetahuan tentang pasar tenaga kerja di pedesaan?  Kumpulan  pertanyaan  yang  tidak  terjawab  di  atas  mungkin mendasari  penjelasan  tentang  mengapa  proses  transformasi  tersebut tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tulisan pendek ini akan mencoba mendiskusikan  masalah‐masalah  ini  dan  memberikan  opsi  kebijakan sederhana untuk mengatasi hal ini. 

Halaman4 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Halaman5 

 

Jalur  Keluar  Kemiskinan  dari  Sektor  Pertanian  dan  Pendesaan: TTranformasi Ketenagakerjaan dan Dinamika Pasar  enaga Kerja6

Secara  konseptual,    ada  tiga  penyebab  utama  dari  kemiskinan  yaitu: pertama,  berkaitan  dengan  masalah  endowment,  kapasitas  dan  aset.  Masalah  ini  akan  tercermin  dari  rendahnya  nutrisi,  rendahnya  tingkat pendidikan dan keahlian dan rendahnya pemilikan aset. Kekurangan atau ketiadaan  kapasitas  dan  aset  ini  mempengaruhi  prilaku  pengambilan 

 keputusan dan kemampuan untuk mengadopsi teknologi baru.  

Penyebab  kedua  berkaitan  dengan  masalah  akses  kepada  pasar  input seperti  tenaga  kerja,  kapital  atau  kredit  dan  asuransi  dan  kemampuan pemasaran.  Ketiadaan  akses  ini  akan  mempengaruhi  kesempatan‐kesempatan  (opportunities)  untuk  berekspansi,  mengambil  resiko  dan kemampuan  untuk  memproteksi  dari  berbagai  goncangan  baik  yang bersifat individual (idiosyncratic) maupun global. 

Seringkali rumah tangga miskin juga menghadapi masalah social exclusion sehingga  mereka  praktis  tidak  punya  akses  untuk  mempengaruhi keputusan  pemerintah  terutama  dalam  alokasi  barang  publik  (voiceless dan  powerless).  Akibatnya,  seringkali  kebijakan  pemerintah  sering merugikan rumah tangga miskin. 

Masalah‐masalah  yang  demikian  akan  tercermin  pula  di  sisi  lain  dalam kinerja sektor atau kinerja perekonomian secara keseluruhan dan secara dinamis akan mempengaruhi pula proses transformasi perekonomian. 

Di pedesaan, kemiskinan merupakan pula produk kombinasi dari kinerja di sektor pertanian dan interaksinya dengan dinamika ekonomi pedesaan khususnya  pasar  tenaga  kerja  serta  migrasi  penduduk  ke  perkotaan. Perbaikan  dalam  sektor  (pertanian),  ceteris  paribus  akan  meningkatkan produktivitas dalam sektor pertanian dan meningkatkan pendapatan yang juga  pada  gilirannya  akan menimbulkan  dampak multiplier  pada  sektor lain  khususnya  di  daerah  pedesaan.  Studi  yang  dilakukan  oleh  Morley (1995) menunjukkan  bahwa  setiap  juta  rupiah  yang  dibelanja  di  daerah pedesaan  akan  menimbulkan  dampak  kenaikan  pendapatan  (PNB) sebesar Rp 3,3 juta – Rp 3,6 juta dan sebagian besar dampak ini akan tetap tinggal di daerah pedesaan.7

                                                            

6Bagian  ini  hampir  sepenuhnya  diambil  dari  Ikhsan,  forthcoming,  Kemiskinan  di Pedesaan  Indonesia:  Tren,  Determinan  dan  Kebijakan  Kemiskinan  di  Pedesaan,  LPEM Working Paper 7Dugaan spekulatif penulis jika studi serupa (Morley) dilakukan kembali dengan menggunakan data terbaru secara umumnya tidak mengubah kesimpulan tersebut. Namun demikian belum jelas apakah porsi yang tinggal di desa masih sama seperti masa 

Mohamad Ikhsan 

Ada dua  jalur keluar dari kemiskinan bagi penduduk miskin di pedesaan akibat  perubahan  dalam  sektor  pertanian  (within  sector).  Jalur  pertama, melalui  peningkatan  produktivitas  pada  jenis  tanaman  yang  sama. Peningkatan  produktivitas  per  hektar  lahan  padi  akan  meningkatkan surplus usaha petani padi dan pada gilirannya meningkatkan pengeluaran keluarga  tersebut.  Jika  peningkatan  pengeluaran  tersebut  melebihi kenaikan  biaya  hidupnya  yang  dihitung  dalam  garis  kemiskinan,  maka keluarga  tersebut  mampu  keluar  dari  perangkap  kemiskinan.  Dampak peningkatan produktivitas  ini akan meningkat  lagi dalam  jangka panjang karena  sebagian  dari  tambahan  pendapatan  ini  juga  dialokasikan  dalam bentuk investasi human capital. Jalur kedua adalah perubahan komoditas. Petani padi misalnya beralih fungsinya melalui petani sayur atau tanaman lain yang bernilai tambah tinggi. Karena setiap hektar lahan yang dimiliki akan  mempunyai  tingkat  pengembalian  yang  lebih  tinggi,  probabilitas petani  untuk  keluar  dari  perangkap  kemiskinan  akan  meningkat  pula. Kedua  jalur  keluar  dari  kemiskinan  melalui  pola  ini  dapat  disebutkan sebagai  akibat  peningkatan  produktivitas  farming  (farm  productivity 

himprovement  induced poverty pat way) 

Perkembangan  dalam  ekonomi  pedesaan  juga  akan  memberikan  dua dampak  yang  saling  memperkuat.  Pertama,  ekspansi  dalam  ekonomi  pertanian  (farming)  akan  memberikan  mendorong  peningkatan permintaan  lapangan  kerja  di  daerah  pedesaan  baik  untuk  menyerap tenaga  kerja  dari  sektor  pertanian  maupun  non  pertanian.  Kedua, tambahan  ekspansi  kegiatan  bukan  pertanian  memberikan  sumber pendapatan  tambahan  bagi  pekerja  di  sektor  pertanian  dengan mengekonomiskan waktu mereka.  Kedua‐duanya  saling melengkapi  dan meningkatkan  produktivitas  dan  pendapatan  petani  dan  memperbesar peluang  mereka  keluar  dari  kemiskinan.  Jalur  ini  dapat  kita  namakan sebagai  jalur  keluar  melalui  penyesuaian  di  lapangan  kerja  di  daerah pedesaan (labor market adjustment poverty pathway).  

Jalur ketiga migrasi  ke daerah perkotaan di dorong oleh baik perbedaan upah  di  sektor  perkotaan  di  bandingkan  dengan  di  daerah  pedesaan maupun aksesibilitas dalam pasar  tenaga kerja.  Jika upah mencerminkan marginal  product  of  labor,  migrasi  tenaga  kerja  dari  desa  ke  kota merefleksikan  pula  peningkatan  produktivitas  tenaga  kerja  secara keseluruhan.  Fenomena  migrasi  dari  desa  ke  kota  telah  diangkat  oleh Lewis dan kemudian dituangkan dalam model yang sederhana oleh Harris                                                                                                                                                              

lalu. Perlu ada studi lebih lanjut mengingat terdapat kemungkinan terjadi capital outflows dari pedesaan melalui perbankan. Dana simpedes yang dikumpulkan oleh BRI kurang lebih 2 kali dari dana Kupedes. Artinya separuh dari Simpedes ditransfer ke kota. Sebagian proses transfer ini melalui transfer dana pendidikan dari anak penduduk desa yang bersekolah di kota. Adanya kebocoran ini menyebabkan sebagian dari koefisien multplier ini akan terjadi di daerah perkotaan. 

Halaman6 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

dan Todaro  (1976). Migrasi  desa ke kota bisa berjalan dengan beberapa cara  yaitu  (i)  yang  paling  sederhana  dengan  mencari  pekerjaan  pada sektor informal (umumnya non tradable) dengan insentif upah yang lebih tinggi atau memanfaatkan waktu luar (di luar musim panen). Sektor yang menjadi  favorit  adalah sektor konstruksi dimana para petani atau buruh tani  akan  mencari  pekerjaan  pada  di  luar  musim  panen.  Kelompok  ini dapat  keluar  dari  perangkap  kemiskinan  karena  mendapatkan pendapatan  yang  lebih  tinggi  –  akibat  upah  yang  lebih  tinggi  –  atau utilisasi  waktu  yang  lebih  panjang.  Selama  mereka  bekerja  di  sektor informal,  dimensi  kemiskinan  yang  bisa  dihindari  kemungkinan  hanya pada  dimensi  pengeluaran,  sementara  kebutuhan  dasar  lain  seperti perumahan  masih  di  bawah  standar  dan  memberikan  beban  tambahan bagi  daerah  perkotaan  (ii)  melalui  peningkatan  keahlian  (melalui pendidikan), penduduk desa mencari pekerjaan di kota terutama di sektor formal.  Sebagian  dari  mereka  langsung  tertampung  di  sektor  formal, sementara  lainnya  menggunakan  sektor  informal  sebagai  sektor  transit sebelum mendapatkan  pekerjaan  di  sektor  formal.  Untuk  yang  terakhir, status  kemiskinannya  secara  sementara  belum  berubah  dan  cenderung memindahkan  kemiskinan  ke  perkotaan,  dengan  biaya  penanggulangan 

Halaman7 

 

kemiskinan yang lebih mahal. 

Secara  teoritis,  dampak  keluar  dari  sektor  pertanian  (moving  out  of agriculture)  akan mempunyai pengaruh  lebih besar  terhadap penurunan kemiskinan  karena  dampaknya  bekerja  secara  langsung  maupun  tidak langsung.  Pertama,  upah  di  sektor  pertanian  umumnya  lebih  rendah dibandingkan  dengan  upah  di  sektor  non  pertanian  (lihat  Gambar  3). Perpindahan  rumah  tangga  miskin  dari  sektor  pertanian  ke  sektor  non pertanian  akan  meningkatkan  probabilitas  keluarga  miskin  keluar  dari kemiskinan.  Kedua,  mengingat    kegiatan  non  pertanian  umumnya mempunyai  pola  laju  pertumbuhan  ekonomi  yang  lebih  tinggi dibandingkan  sektor  pertanian  baik  karena  faktor‐faktor  yang  bekerja permintaan (Hukum Engel) maupun dari faktor –faktor di sisi penawaran. Teknologi non pertanian relatif tersedia dan mudah ditransfer dari suatu negara (daerah) ke negara lain. Teknologi ini juga umumnya tidak sensitif dengan faktor cuaca (climate) atau geografis. Sektor‐sektor non pertanian umumnya tidak tergantung pada faktor produksi yang tetap seperti halnya sektor pertanian yaitu tanah.  Karakteristik yang demikian memungkinkan produktivitas  sektor  non  pertanian  untuk  tumbuh  lebih  cepat dibandingkan  sektor  pertanian.  Kenaikan  produktivitas  di  sektor  non pertanian  ini  akan  meningkatkan  value  of marginal  product  dari  tenaga kerja  di  sektor  tersebut  (VMPLNA).  Kenaikan  VMPLNA  akan  mendorong perpindahan  tenaga  kerja  dari  sektor  pertanian  dan  akan meningkatkan rasio  tanah  terhadap  tenaga  kerja.  Perpindahan  ini  akan  berkurang  dari waktu ke waktu mengingat adanya diminishing marginal returns terhadap tanah sebagai  faktor produksi yang  tetap, upah di  sektor pertanian akan 

Mohamad Ikhsan 

meningkat.  Dampak  kedua  ini  akan  meningkatkan  probabilita  keluarga miskin  yang  tinggal  di  sektor  pertanian  untuk  keluar  dari  perangkap kemiskinan.  Kenaikan  tingkat  upah    tentunya  sangat  tergantung  pada berapa  banyak  lapangan  kerja  baru  tercipta  di  sektor  non  pertanian seperti yang dijelaskan di atas.  

 

Skema 1 merangkum tiga jalur keluar dari kemiskinan tersebut. Tidak ada jalur  yang  superior  dibandingkan  dengan  lainnya.  Pengalaman  sejarah menunjukkan  adanya  eksistensi  ketiga  jalur  secara  bersama  dan  saling melengkapi dalam proses pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) di banyak negara. 

Skema 1:  Jalur Keluar dari Perangkap Kemiskinan

 

                                                                                                                    Perkotaan 

                                           Pedesaan                                                                                          Produktivitas 

                                                                                                                                                        Tinggi  

  Produktivitas 

  Tinggi          Ppetani Komersial  

 

                                                                                                                                                       Rendah 

 

 

  Rendah 

    

                      Pangsa Pendapatan dari Non‐Farm 

                 Rendah                                                                                                               Tinggi 

 

Petani Komersial 

Formal Non Farm Enterprises 

 

Petani Gurem 

 

Nontradable Non Farm Enterprises 

Formal Non Farm Enterprises 

Non Tradable Non Farm Enterprises 

 

 

Halaman8 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Pertumbuhan Penduduk dan Penguasaan Lahan 

Bagian  berikut  ini  akan melihat  secara  empiris  dari  proses  transformasi ini  khususnya  di  Indonesia.  Pembahasan  akan  dimulai  dengan  melihat perkembangan penguasaan lahan sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan  dinamika  dalam  ekonomi  pedesaan  khususnya  kegiatan  bukan pertanian  pangan.  Yang  terakhir  sebetulnya  sangat  menarik  khususnya melihat  dinamika  perkembangan  di  Jawa  ‐  yang  sampai  sekarang masih menjadi  penyumbang  keluarga  miskin  dan  nyaris  miskin  terbesar  – terhadap upaya penurunan kemiskinan di Indonesia. 

Berbagai  sensus  ekonomi  dan  survey  (ekonomi) menunjukkan  rata‐rata pemilikan  cenderung  mengalami  penurunan.  Sensus  Pertanian menunjukkan rata‐rata pemilikan  lahan pertanian mengalami penurunan dari 0.9 hektar (1983) menjadi 0.78 (2003). Penurunan ini terjadi sebagai akibat  jumlah rumah tangga pertanian meningkat sebesar 2.2 persen per tahun  dimana  RT  pertanian  di  Jawa meningkat  sebesar  2  persen  dan  di luar  Jawa  sebesar  2.6  persen  jauh  di  atas  laju  pertumbuhan  penduduk sebesar 1.6 persen. Tetapi sebagian besar peningkatan ini disumbangkan oleh kegiatan‐kegiatan  yang  tidak menggunakan  lahan  seperti  budi  daya ikan di laut dan jasa pertanian yang meningkat lebih dari 10 persen dalam kurun  sepuluh  tahun  terakhir.  Namun  demikian  kegiatan  penggunaan lahan pertanian masih tetap tergolong tinggi yaitu tumbuh masing‐masing 1.8% untuk total  Indonesia, 1.5% untuk Jawa dan 2,1 % untuk  luar  Jawa yang  masih  di  atas  laju  pertumbuhan  penduduk.  Tidak  mengherankan kemudian  jumlah  petani  gurem  meningkat  sangat  tajam  dalam  dekade terakhir.  Di  Jawa  persentase  petani  gurem  mencapai  75  %  pada  tahun 2003 meningkat dari 69% pada tahun 1993 sementara di luar Jawa terjadi pula  peningkatan  dalam  persentase  yang  lebih  besar  yaitu  dari  30  % tahun 1993 menjadi sekitar 34 % pada tahun 2003 atau meningkat  3,4 % per  tahun.  Secara  keseluruhan  jumlah  petani  gurem  telah  melebihi separuh petani pengguna lahan di  Indonesia yaitu 56% pada tahun 2003 dari 52% pada tahun 1993. (lihat Gambar 4 dan 5 di bawah ini) 

Sumber: diolah dari data BPS 

Halaman9 

 

Mohamad Ikhsan 

 Sumber: diolah data BPS 

Disagregasi lebih lanjut menunjukkan sebagian besar peningkatan rumah tangga  pertanian  umumnya  terjadi  pada  rumah  tangga  bukan  pengguna lahan dan rumah tangga kegiatan pertanian bukan beras/palawija. Bahkan di  luar  Jawa  rumah  tangga  pertanian  penghasil  besar  mengalami penurunan 0,2 persen per tahun tetapi di  Jawa masih meningkat sebesar 0,6% per tahun. 

Apa  yang  terjadi  di  Indonesia  juga  dialami  oleh  negara‐negara  lain  di dunia.  Macours  dan  Sadoulet  (2009)  menunjukkan  di  Malawi,  rata‐rata pemilikan  lahan  menurun  menjadi  0,8  hektar  pada  tahun  1993 dibandingkan dengan 1,2 hektar pada tahun 1981. Keadaan serupa terjadi di India, rata pemilikan lahan menurunan dari 2,6 hektar pada tahun 1960 menjadi  1,4  hektar  2000  dan menurun  lagi  dalam  tahun  belakangan  ini. Keadaan  yang  sama  terjadi  di  Bangladesh  yang  mengalami  penurunan rata‐rata pemilikan lahan yang lebih cepat. Apa yang terjadi di  Indonesia dan negara berkembang lainnya sebagian merupakan proses dari budaya warisan.  Dengan  pertambahan  penduduk  –  yang  umumnya  tergolong cepat  di  negara  berkembang  ‐,  budaya  warisan  secara  natural  akan mengurangi pemilikan lahan. Penurunan pemilikan lahan ini, terlepas dari adanya  kemungkinan  hubungan  terbalik  dari  ukuran  pemilikan  tanah dengan  produktivitas,  memberikan  tekanan  pada  perekonomian  dan kemiskinan  di  negara‐negara  yang  struktur  perekonomian  tergantung pada  sektor  pertanian. Masalah  tanah  ini  sering menjadi  sumber  konflik sosial di masyarakat. 

Trend  pemilikan  tanah  juga  mengalami  perkembangan  yang  tergolong paradoks  dengan  pada  saat  yang  sama  terjadi  ekspansi  pemilikan  tanah pada  petani  besar.  Dengan  trend  dimana  terjadi  penurunan  pemilikan tanah pada petani kecil dan pada saat yang sama peningkatan lahan pada 

Halaman10 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Halaman11 

 

petani  besar  menyebabkan  terjadinya  peningkatan  dalam  ketimpangan pemilikan lahan.8

 

Mengatasi  Dampak  Penurunan  Pemilikan  Lahan  dengan Peningkatan Produktivitas di Sektor Pertanian ternyata tidak cukup 

Dampak  penurunan  ukuran  lahan  ini  sebagian  bisa  memang  diatasi dengan  perpindahan  kegiatan  ekonomi  ke  arah  pertanian  padat  karya, seperti  hortikultur,  peternakan,  perikanan  darat  dan  kegiatan  pertanian lain  yang  menghasilkan  kesempatan  kerja  yang  lebih  banyak.  Kegiatan‐kegiatan  ini    sekaligus  menghasilkan  pendapatan  per  hektar  yang  lebih tinggi dibandingkan kegiatan cocok tanam tradisional. Kegiatan produksi tomat  misalnya  membutuhkan  122  hari  tenaga  kerja  per  hektar.  Data Sensus Ekonomi 2003 menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja yang diukur  dengan  man/day  tenaga  hias  sebanyak  762  hari  tenaga  kerja  – yaitu  lebih  dari  tiga  kali  lipat  dari  penyerapan  tenaga  kerja  untuk  padi. Begitu  pula  dengan  buah‐buah  dan  sayuran musiman  kebutuhan  tenaga 

ibandkerjanya relatif lebih tinggi d ingkan dengan padi. 

Revolusi  hijau  di  Indonesia  dan  negara  Asia  lainnya  sebetulnya  dengan mengandalkan  ekspansi  produksi  padi  berperan  meningkatkan penggunaan  tenaga  kerja  dengan  peningkatan  masa  tanam  (cropping system)  yang  pada  gilirannya  meningkatkan  upah  riil  dan  menurunkan tingkat kemiskinan. Padi jenis unggul memiliki waktu panen yang pendek dan  memungkinkan  ditanam  lebih  dari  sekali  per  tahun.  Pemendekan waktu panen  ini memungkinkan pemanfaatan waktu buruh  tani menjadi lebih  ekonomis.  Pengunaan  input  yang  lebih  intensif  juga menyebabkan penggunaan  man‐day  lebih  banyak.9  Penggunaan  bibit  unggul  melalui 

                                                            

8Data Sensus Pertanian menunjukkan aglomerasi pemilikan lahan tidak terlalu signifikan terjadi di Jawa, tetapi cukup nyata terjadi di luar Jawa. Penyebabnya diduga berkaitan tanah pertanian yang tersedia di Jawa terbatas dan penurunan lahan pertanian terjadi akibat konversi untuk kepentingan luar pertanian seperti lahan perumahan dan industri. Sementara di luar Jawa peningkatan konsentrasi berkaitan dengan perluasan lahan perkebunan. 9Penggunaan jenis pupuk juga menghasilkan jumlah man‐day yang berbeda. Pupuk urea yang disebarkan membutuhkan man‐day yang lebih sedikit dibandingkan pupuk majemuk yang diramu dalam bentuk kapsul – yang membutuhkan jumlah man‐day yang lebih banyak. Keberhasilan untuk mendorong petani untuk menggunakan pupuk majemuk secara rasional bukan hanya akan menjaga tingkat kesuburan tanah tetapi juga akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja (man‐day). Keputusan petani untuk beralih pada pupuk majemuk tablet sangat tergantung pada tambahan produktivitas (penerimaan marjinal) padi per hektar dibandingkan dengan biaya tenaga kerja plus biaya pupuk. Jika tambahan penerimaan marjinal lebih besar dari tambahan biaya maka petani akan beralih pada pupuk majemuk pada setiap harga pupuk tertentu. 

Mohamad Ikhsan 

revolusi  hijau  ini  juga  meningkatkan  employment  multiplier  yang  lebih tinggi karena penggunaan input dan kegiatan pendukung yang lebih tinggi. 

 

Petani  di  Lembang  Jawa  Barat  atau  Malang  Jawa  Timur  mengatasi persoalan  sempitnya  lahan  ini  dengan  menanam  sayur‐sayuran  atau tanaman hias. Perkembangan tanaman hortikultur ini berkembang sejalan dengan peningkatan permintaan dan munculnya supply chain modern yang membayar  petani  dengan  harga  lebih mahal  dan  permintaan  yang  lebih pasti.  Revolusi  Supermarket  tidak  selamanya  buruk.  Dengan mendorong permintaan  akan  tanaman  hortikultur,  jaringan  outlet  pasar  modern memberikan kontribusi yang positif  terhadap permintaan  lapangan kerja di tingkat petani. 

 Jadi,  peningkatan  intensitas  dalam  sektor  pertanian  dapat  sebagian menutupi  atau  mengkompensasikan  penurunan  ukuran  lahan  pertanian dan  bahkan  dalam  banyak  kasus meningkatkan  permintaan  kesempatan 

 kerja.

Riset  yang  ada  juga  menunjukkan  bahwalebih  separuh  dari  keluarga miskin  pedesaan  berhasil  keluar  dari  perangkap  kemiskinan  tanpa mengubah status lapangan kerjanya. Artinya sepanjang ruang peningkatan produktivitas  pada  sektor  pertanian  tersedia,  peningkatan  produktivitas masih  seperti  halnya  pada  era  1970an  masih  menjadi  opsi  yang  efektif bagi  peningkatan  kesejahteraan  masyarakat  pedesaan.    Ruang peningkatan  produktivitas  ini  tidak  terbatas  pada  peningkatan produktivitas satu jenis komoditas saja tetapi juga membuka kesempatan 

Halaman12 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Halaman13 

 

  

petani untuk melakukan diversifikasi  tanaman sehingga tidak tergantung pada satu tanaman saja. 

Transforma  Ketenagakerjaan 

Pengalaman  di  banyak  negara  menunjukkan  bahwa  peningkatan intensitas  kegiatan  pertanian  tidak  sepenuhnya  cukup  untuk  mengatasi masalah  kelebihan  tenaga  kerja  di  sektor  pertanian  (dan  pedesaan)  ini. Kelebihan  tenaga  kerja  ini  memerlukan  outlet  lain  berupa  kesempatan kerja  di  luar  sektor  pertanian.  Hal  ini  terlihat  jelas  pula  dari  Gambar  3 dimana  ekspansi  kegiatan  perkebunan  di  luar  Jawa  tidak  akan menghasilkan tambahan pekerjaan mengingat intensitas tenaga kerja per hektar  untuk  tanaman  perkebunan  –  dengan  perkecualian  kopi  – 

si

tergolong rendah. 

Ada tiga pola yang bisa mendorong proses ini. Pertama, tentunya dengan mendorong  perpindahan  secara  penuh  pekerja  pertanian  ke  sektor  lain. Perubahan ini tidak mudah mengingat komposisi ketrampilan dan tingkat pendidikan  pekerja  di  sektor  pertanian  umumnya  rendah.  Akibatnya, mobilitas pekerja yang bekerja di sektor pertanian tergolong rendah. Yang mungkin adalah mendorong  sebanyak mungkin generasi berikutnya dari sektor pertanian untuk bekerja di luar sektor pertanian.  

Pola  kedua  adalah  dengan  memberikan  kesempatan  bagi  pekerja pertanian untuk memanfaatkan waktunya bekerja paruh waktu di sektor non pertanian. Gambar 3 menunjukkan 47 persen underempoyed workers adalah  petani  yang  secara  terpaksa  tidak  dapat  mengekonomiskan waktunya  untuk  bekerja.  Petani  ini  hanya  bekerja  3‐5  jam  sehari.  Bagi yang  dekat  dengan  perkotaan  mereka  bisa  mengekonomiskan  waktu senggang ini dengan bekerja di pasar tenaga kerja informal seperti sebagai 

gburuh bangunan atau buruh an kut di sektor transportasi.10

Pilihan  bagi  jalur  ini  berupa  penciptaan  lapangan  kerja  bagi  kegiatan terutama  pekerjaan  unskill  (blue  collar  jobs)  dalam  perekonomian. Peningkatan  mobilitas  ini  bisa  terjadi  jika  kegiatan  non  farm  dapat berkembang  di  pedesaan  sendiri,  sehingga  cross  mobility  antar  sektor dapat  berlangsung  tanpa  biaya  yang  terlalu  besar.  Kegiatan  non  farm  tidak  berarti  tidak  ada  kaitan  dengan  sektor  pertanian  sendiri. Misalnya perluasan  tanaman  hortikultura  atau  tanaman  hias  memerlukan dukungan  yang  intensif  dan  ekstensif  dari  kegiatan  non  farm.Contoh kongkritnya  penanaman  sayuran memerlukan  infrastruktur  seperti  cold                                                           

10Beberapa waktu lalu, sebagian petani yang underemployed ini bekerja sebagai sopir ojek motor. Tetapi belakangan sejalan makin meluasnya pemilikan sepeda motor – terutama melalui perluasan kredit pemilikan sepeda motor oleh perusahaan pembiayaan bukan bank – di kalangan petani, kegiatan ojek sepeda motor pun tidak menarik lagi karena penurunan permintaan dan peningkatan supply. 

Mohamad Ikhsan 

storage  atau  jasa  logistik  lainnya  yang padat  karya  –  yang  sebagian bisa dikerjakan oleh tenaga kerja paruh waktu. Serupa pula ekspansi kegiatan perkebunan di  luar  Jawa telah menimbulkan kegiatan ekonomi baru – di luar  kegiatan  pertanian.  di  pedesaan.11  Boom  harga  komoditas  telah menimbulkan  dampak peningkatan  konsumsi  barang  tahan  lama  seperti elektronik  dan  alat  transportasi  (sepedamotor  atau  kenderaan  roda  4). Kenaikan  pemilikan  alat  elektronik  dan  transportasi  kemudian menimbulkan permintaan akan  jasa purna  jual  (jual beli pulsa misalnya) atau bengkel yang umumnya memiliki intensitas tenaga kerja yang tinggi. Untuk  mendorong  efisiensi  kegiatan‐kegiatan  seperti    ini  memerlukan aturan ketenagakerjaan yang lebih fleksibel. 

 

Pilihan  kedua  seperti  yang  terjadi  dewasa  ini  dimana  banyak  pekerja sektor  pertanian  bekerja  paruh waktu  sebagai  buruh  bangunan  di  kota. Mobilitas ini memerlukan biaya transaksi yang lebih tinggi karena pekerja ini harus mengeluarkan dana tambahan untuk biaya mobilitasnya seperti biaya transportasi dan biaya tempat tinggal selama tinggal di kota. Biaya mobilitas  ini  dapat  dikurangi  dengan  menyediakan  transportasi  umum yang terjangkau.1213

                                                            

11Analisis kuantitatif yang dilakukan oleh Suryahadi dkk (2009) menunjukkan bahwa perkembangan nilai tambah bruto sektor bukan pertanian di pedesaan  mempunyai asosiasi yang positif dengan pertumbuhan sektor pertanian (di pedesaan sendiri). Artinya perkembangan positif sektor pertanian akan memberikan dampak komplemen dan merupakan prime mover terhadap sektor bukan pertanian di pedesaan. Pekerjaan di sektor bukan pertanian di pedesaan menjadi lebih sukar tercipta tanpa perkembangan positif dalam sektor pertanian.  12Pilihan subsidi angkutan umum masal adalah solusi ekonomi yang rasional mengingat eksternalitas positif yang dihasilkan akibat ketersediaan angkutan umum. Tantangannya adalah bagaimana memisahkan pengguna yang merupakan bagian dari pencipta 

Halaman14 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Opsi kerja ganda (multiple  jobs)  ini dapat menjadi salah satu solusi yang efektif untuk mendorong pekerja pertanian untuk keluar dari perangkap kemiskinan. Sayang data Susenas dan Sakernas belum memungkinkan kita untuk  menyelidiki  lebih  lanjut  pengaruh  pekerjaan  ganda  ini  terhadap peluang  petani  (gurem)  atau  buruh  tani  untuk  keluar  dari  kemiskinan. Tetapi  informasi  sumber  pendapatan  dari  Susenas  memberikan  isyarat bahwa  pekerja  pertanian  atau  petani  gurem  yang  memiliki  sumber pendapatan dari  sumber non pertanian mempunyai  insidens kemiskinan yang  lebih  rendah  dibandingkan  yang  hanya  mengandalkan  dari  satu sumber pendapatan saja. 

Kenyataan  empiris  menunjukkan  bahwapilihan  pertama  dan  pilihan kedua  bukanlah  opsi  yang  saling  bersubstitusi.  Hampir  di  semua  negara mobilitas  pekerja  antar  daerah  perkotaan‐  tidak  bisa  dielakkan.  Dalam banyak  kasus  membiarkan  mobilitas  pekerja  secara  harian  secara ekonomi  lebih  menguntungkan  dibandingkan  dengan  memindahkan penduduk ke daerah perkotaan. 

Gambar 8: Indonesia: Rasio Upah terhadap Nilai Tambah Per Tenaga Kerja 

 

Walaupun  data    menunjukkan  perbedaan  yang  signifikan  antara  upah sektor  pertanian  dan  sektor  non  pertanian,  tetapi  perbedaan  yang  lebih                                                                                                                                                              

eksternalitas dengan yang bukan. Fenomena free rider akan selalu merupakan tantangan. Di samping itu pemberiaan subsidi melalui mekanisme anggaran  pemerintah tidak terlepas dari proses politik. Akibatnya, kemungkinan segala macam distorsi akan mudah te

Halaman15 

rjadi yang pada gilirannnya hanya akan berakibat pada dua kemungkinan yaitu pembengkakan subsidi atau keberlangsungan pelayanan umum ini. 13Eksternalitas dari pelayanan transportasi umum ini antara berkurangnya tekanan atau kebutuhan pembangunan fasilitas umum akibat urbanisasi penduduk sementara ini.  

 

Mohamad Ikhsan 

besar dijumpai antara tingkat pengembalian tenaga kerja di kedua sektor. Upah  di  sektor  luar  pertanian  kira‐kira  80%  lebih  tinggi  dibandingkan sektor  pertanian,  sementara  rasionilai  tambah  per  pekerja    pada perusahaan non pertanian yang memperkerjakan 10 pekerja  lebih dari 6 kali dari rasio yang sama pada unit usaha pertanian yang mempekerjakan 3 orang. Perbedaan yang besar ini merefleksikan perbedaan produktivitas pekerja dibandingkan perbedaan  tingkat pengembalian antar  sektor. Hal ini  ditunjukkan  oleh  fakta  bahwa  perbedaan  upah  sektor  pertanian  dan non pertanian dengan  tingkat keahlian atau pendidikan yang  sama  tidak terlalu  besar.  Hal  ini  memberikan  implikasi  bahwa  transformasi ketenagakerjaan  tidak  akan  mempunyai  dampak  yang  berarti  jika  tidak diikuti  oleh  peningkatan  tingkat  pendidikan  dan  keahliaan  dari  tenaga kerja pertanian. 

Pilihan ketiga adalah meningkatkan partisipasi anggota keluarga di pasar tenaga  kerja.  Analisis  kuantitatif  yang  dilakukan  oleh  Ikhsan  (1998) menunjukkan  peluang  keluar  dari  perangkap  kemiskinan  akan menurun jika  jumlah  anggota  keluarga  yang  bekerja  dalam  suatu  keluarga miningkat. Praktek  ini  sebetulnya  telah  terjadi dewasa  ini dimana makin banyak  anggota  keluarga  ikut  berpartisipasi  dalam  pasar  tenaga  kerja. Umumnya pekerja semacam ini tercatat sebagai pekerja paruh waktu yang sukarela.14Sebagian  lagi  dari  mereka  ini  bekerja  sebagai  TKI  atau pembantu rumah tangga atau baby sitter di kota. 

 

Upgrading Pendidikan dan tingkat K  merupakan Kunci 

Perluasan  lapangan kerja di kegiatan off­farm merupakan salah satu opsi yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan –  dan  merupakan  jalan  bagi  penurunan  kemiskinan.  Namun  bagi penduduk  pedesaan,  kesempatan  ini  dibatasi  oleh  rendahnya  tingkat pendudikan dan besarnya perbedaan pencapaian pendidikan antara desa‐kota. Yang membedakan antara high­paid  job dengan  low paid  job adalah keahlian.  Pekerja  desa  yang  berpendidikan  memiliki  kesempatan  untuk memperoleh  pekerjaan  dengan  upah  yang  lebih  tinggi  di  luar  sektor pertanian.  Data  Susenas  juga  menunjukkan  pula  penduduk  dengan pendidikan  yang  lebih  baik mempunyai  peluang  keluar  dari  kemiskinan 

a n n

eahlian

dibandingk n denga  yang tidak punya pendidika . 

Penduduk  dengan  pendidikan  dan  keahlian  lebih  baik  cenderung meninggalkan desa untuk mencari pekerjaan di kota. Tetapi terlepas dari dinamika tersebut kondisi tingkat pendidikan di desa tetap relatif rendah. 

                                                            

14Dalam Sakernas, pekerja paruh waktu semacam ini menjawab tidak mau meningkatkan jam kerjanya walau jika kesempatan untuk menambah jam kerja tersedia. 

Halaman16 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Data Susenas menunjukkan perbedaan tingkat pendidikan antar desa‐kota (dan miskin dan bukan miskin) makin membesar pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pada tingkat SD terlihat perbedaan ini makin kecil, tetapi pada tingkat SMP ke atas, pencapaian tingkat pendidikan desa‐kota masih kentara dan cenderung lebar. 

Mobilitas  tenaga  kerja  antar  sektor  memerlukan  tenaga  kerja  yang fleksibel  khususnya  pada  tahapan  perekonomian  dan  (tingkat industrialisasi) telah mencapai tingkat sofistikasi tertentu. Mengacu pada pengalaman  Cina,  tingkat  pendidikan  minimal  yang  dibutuhkan  adalah SMP  plus  training.  Tingkat  pendidikan  minimal  ini  cukup  untuk memindahkan tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri padat karya seperti  pekerja  sektor  tekstil,  pakaian  jadi  dan  sepatu  olah  raga.  Proses peningkatan  nilai  tambah  lebih  lanjut  tentu  membutuhkan  upgrading pendidikan lebih lanjut.Tanpa pendidikan yang memadai makin sukar bagi penduduk  desa  untuk  bersaing  pada  kegiatan  formal  dan menyebabkan mereka  harus  menerima  pekerjaan  di  sektor  informal  yang  membayar upah yang rendah. 

Peningkatan tingkat pendidikan di daerah pedesaan menghadapi sejumlah persoalan. Dari sisi supply, akses penduduk desa dihalangi oleh berbagai kendala  seperti  jumlah  sekolah  yang  terbatas,  guru  yang  tidak  cukup, tingkat  kemungkiran  guru  yang  tinggi,  lokasi  sekolah  yang  sukar dijangkau  dari  kediaman  serta  kualitas  guru  yang  rendah.  Dari  sisi permintaan,  kemiskinan  telah  menyebabkan  opportunity  costs  untuk menempuh  pendidikan  menjadi  sangat  tinggi.  Rendahnya  partisipasi penduduk  dari  kelompok  berpendapatan  rendah  ini  seringkali menyebabkan di tengah kelangkaan sekolah kerap dijumpai banyak kelas yang tidak terisi dan kosong sehingga ongkos mendatangkan guru menjadi sangat mahal. 

Kondisi  seperti  ini  menuntut  intervensi  pemerintah  (pendekatan  non market)  yangtidak  terbatas  pada  perbaikan  di  sisi  penawaran  (dalam menghilangkan atau minimal mengurangi kandala‐kendala di atas), tetapi juga  intervensi  di  sisi  permintaan.  Kombinasi  intervensi  sisi  penawaran dan  permintaan  merupakan  jawaban.  Intervensi  dari  sisi  permintaan ditujukan  untuk meningkatkan  partisipasi  keluarga miskin  khususnya  di pedesaan  pada  tingkat  pendidikan  SMP  ke  atas.  Tanpa  peningkatan partisipasi  keluarga  miskin  (dan  nyaris  miskin),  setiap  transfer pemerintah  dalam  sisi  penawaran  hanya  akan  mendorong  pemburukan distribusi  pendapatan  –  seperti  yang  dialami  oleh  negara  Amerika  Latin 

Halaman17 

 

Mohamad Ikhsan 

saat belum menerapkan program bantuan langsung bersyarat (conditional fcash trans er). 1516

Program  Keluarga  Harapan  yang  merupakan  program  CCT  yang diperkenalkan  tahun  2007  ‐    mengandung  elemen  permintaan dikombinasikan  dengan  program  perbaikan  akses  dan  kualitas pendidikan. Sejauh ini PKH masih merupakan pilot percontohan sesudah 3 tahun  dirintis.  Ekspansi  program  ini  masih  tergolong  lambat  yang sebagian  akibat  rendahnya  komitmen  di  tingkat  manajemen  program (pemerintah  pusat)  dan  implementasi  di  tingkat  lokal.  Pelaksanaan program PKH juga menuntut kerjasama dan koordinasi antara manajemen program  (Kemensos)  dan  supplier  (Kemendiknas  dan  Kemenkes).  Di samping  itu  upgrading  kemampuan  manajemen  pelaksana  mulai  dari Kemensos  hingga  pelaksana  di  lapangan menjadi mutlak  bagi  suksesnya 

Pprogram  KH ini.   

Terlepas  dari  keberhasilan  program  CCT  ini,  beberapa  kalangan melontarkan pandangan skeptis terhadap program ini. Kritiknya terutama menyangkut  cost  effectiveness  dari  program  ini.  Program  ini membutuhkan  beberapa persyaratan yaitu : (i) kelengkapan sisi supply – sekolah  dan  guru  dan  (ii)  kapasitas  pelaksana.    Keberhasilan  di  Mexico dan  Brazil  terutama  karena  jumlah  sekolahnya  cukup  memadai.  Serupa pula kemampuan pelaksanan. 

Mahalnya biaya administrasi ini membuat banyak kalangan menyarankan negara  berkembang  lebih  mengutamakan  pendekatan  broad  based terlebih  dahulu  sebelum  mencoba  mengaplikasikan  program  ini. Keberhasilan di Amerika Latin  lebih disebabkan  ibarat penyakit masalah ketimpangan  di  sana  telah mencapai  kanker  stadium  yang  tinggi.  Hanya terapi  yang  radikal  seperti  chemotherapy  yang  bisa  menyembuhkan penyakit tersebut. 

Dalam  kasus  Indonesia,  pelaksanaan  program  ini  memerlukan peningkatan  kapasitas  daerah.  Di  samping  secara  legal,  tanggung  jawab jasa publik bidang pendidikan dan kesehatan telah dilimpahkan ke daerah, karakteristik kemiskinan dewasa ini yang beragam memerlukan tindakan yang berbeda‐beda tergantung pada kondisi daerah. Perbedaan kapasitas dari  sisi  penawaran  di  setiap  daerah  tentu  akan  mempengaruhi keberhasilan  program  semacam  ini.  Kondisi  sosial‐ekonomi  masyarakat 

                                                            

15Program ini memperbaiki distribusi pendapatan melalui dua saluran yaitu (1) m l eningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin; dan (ii) mengurangi premium skildari tingkat pendidikan yang lebih tinggi akibat tambahan pasokan pekerja trampil 16Keberhasilan Program CCT di Mexico dan Brazil telah mendorong banyak negara di semua benua termasuk Amerika Serikat untuk menerapkannya untuk menggantikan program proteksi sosial lainnya.  

Halaman18 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

lokal  juga  akan  menentukan  intensitas  program  dan  biaya  yang  harus dikeluarkan.  Kondisi  di  sisi  penawaran  dan  permintaan  ini  tentu  hanya bisa  diatasi  dengan  pembangunan  kelembagaan  baik  di  tingkat  pusat maupun daerah. 

 

Perbaikan Akses kepada Pembiayaan elemen penting Lainnya untuk gMendoron  Transformasi ini. 

Mengingat  sebagian  proses  transformasi  ketenagakerjaan  ini  terjadi melalui proses peningkatan nilai tambah di sektor pertanian sendiri, maka akses  kepada  pembiayaan  menjadi  salah  satu  elemen  penting.  Kegiatan pertanian  dengan  nilai  tambah  tinggi  terjadi  melalui  penggunaan teknologi dan proses bisnis baru. Teknologi baru sepertinya hanya dengan revolusi  hijau  membutuhkan  lebih  banyak  input  –  bibit  dan  pupuk misalnya.  Semuanya  membutuhkan  modal  yang  lebih  besar  baik  untuk keperluan investasi maupun modal kerja. 

Masalah akses pembiayaan ini menjadi elemen penting dalam upaya untuk menjamin  proses  transformasi  ini  bisa  berjalan  baik.Survey  Iklim Investasi  Pedesaan  2006  menunjukkan  petani/pengusaha  di  pedesaan menempatkan  masalah  pembiayaan  sebagai  hambatan  utama  dalam lingkungan  bisnis  pedesaan.  Akses  pembiayaan  –  walaupun  dengan berbagai  intervensi yang  luas dari pemerintah – masih menjadi kendala  . Kalaupun  akses  ada  harganya  masih  sangat  mahal  –  apalagi  jika dibandingkan apa yang diperoleh pengusaha dengan skala besar sehingga cenderung memperburuk distribusi pendapatan. Kesemua  ini membatasi kemampuan petani kecil untuk berkompetisi.Survey yang dilakukan oleh Bank  Dunia  menunjukkan  bahwa  masih  terdapat  50‐58  persen  usaha mikro  dan  kecil  yang  belum  terlayani  oleh  lembaga  keuangan.Bahkan, hanya  16‐20persensaja  yang  memiliki  akses  kepada  lembaga  keuangan formal.Survey  tersebut  menunjukkan  perbedaan  yang  mencolok  antara suku  bunga  yang  harus  dibayarkan  nasabah  skala  kecil  dengan  nasabah besar; antara sektor formal dan nonformal. Sensus Pertanian Update 2009 dan Survey Biaya Pokok Pertanian menunjukkan kesimpulan yang  sama. Petani  umumnya  mengandalkan  modal  sendiri  sebagai  sumber pembiayaannya.  Lebih jauh lagi, Gambar 9 menunjukkan masih ada 45% petani di Indonesia yang tidak memiliki akses kepada sektor keuangan. 

Halaman19 

 

Mohamad Ikhsan 

 

 

Bukti  empiris  di  atas  menunjukkan  adanya  persoalan  kegagalan  pasar dalam pasar keuangan pedesaan. Literatur – baik yang melihat dari aspek teoritis maupun pengujian empiris menunjukkan penyebab dari kegagalan pasar  berasal  dari  sisi  penawaran  termasuk  biaya  transaksi  yang  tinggi hingga ketidaksempurnaan informasi dan juga dari sisi permintaan (moral hazard). 

Masalah  akses  ini  bermula  dari  ketiadaan  asset  yang  bisa  berfungsi sebagai kolateral. Kemungkinan lain adalah walaupun petani mempunyai aset  fisik  berupa  tanah,  tetapi  mereka  enggan  menempatkan  asset tersebut  sebagai  kolateral  karena  aset  ini  merupakan  benteng  terakhir dari petani. (Morduch, 2007) 

Upaya untuk mengatasi akses pembiayaan ini telah dilakukan oleh banyak negara  termasuk  Indonesia.  Bentuk  intervensi  pemerintah  pun  beragam mulai pemilikan bank, jaminan kredit, liabilities guarantee hingga regulasi alokasi  kredit  hingga  subsidi  bunga.  Terlepas  dari  pembenaran  teoritis dari  intervensi  tersebut  yang  relatif  solid,  kenyataan  empiris menunjukkan  hasil  yang  berbeda.  Berbagai  program  intervensi pemerintah tidak mencapai tujuannya dan bahkan menimbulkan dampak sampingan  yang  tidak  sedikit  baik  dalam  distribusi  pendapatan  hingga fiscal drain.17

                                                            

17Lihat de la Torre, Gozzi dan Schmukler (2007) untuk survey yang intensif terhadap program kredit yang disponsori oleh pemerintah. Walaupun mengkritik model intervensi pemerintah yang tradisional, penulis ini tetap menekankan pentingnya peran pemerintah dalam berkoloborasi dengan masyarakat untuk mendorong pengembangan sektor keuangan. 

Halaman20 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Pemikiran  yang  berkembang  sekarang  adalah  mendorong  lembaga keuangan  mikro  yang  diinisiasi  oleh  partisipasi  masyarakat  dan pemerintah  dengan  mendasari  pemberian  kredit  berdasarkan  proses 

a.bisnis bias 18

Lembaga  keuangan  mikro  merupakan  harapan  tetapi  bukan panaceakarena   memberikan akses kepada petani. Tetapi pengalaman di banyak  Negara  termasuk  di  Indonesia  lembaga  keuangan    tetapi  belum menjangkau  sebagian  besar  kegiatan  sektor  pertanian  kecuali  kegiatan yang  memiliki  perputaran  yang  tinggi,  seperti  peternakan  dan horticultural. Meskipun demikian  – walaupun dalam  tahapan  permulaan ekspansi sektor keuangan sudah berjalan bukan hanya memberikan kredit tetapi  juga memobilisasi  dana  tabungan,  jasa  pengiriman  uang,  jasa‐jasa asuransi, dan opsi‐opsi leasing.  

Ekspansi  lembaga  keuangan  sebetulnya  makin  terbuka  dengan  adanya teknologi  komunikasi  yang  memungkinkan  penurunan  biaya transaksi.Contohnya  Bank  Danamon  dan  Bank  BPTN menggunakan  jasa telepon selular untuk mengirimkan informasi transaksi untuk mengurangi biaya  transaksi.Grameen  Telcom  dan  Grameen  Bank  menggunakan  jasa terintegrasi  bukan  hanya  melayani  transaksi  perbankan  dan  sekaligus memperluas  jaringan  pelanggan  dari  Grameen  Telcom.  Pola  integrasi  memungkinkan Grameen Bank  berbagi  biaya  overhead dengan Grameen Telcom  sehingga  mengurangi  biaya  transaksi.  Penggunaan  kartu  kredit juga  alternative  lain  karena  mempermudah  proses  penyaluran kredit.Dengan  kartu  kredit,  proses  screening  nasabah  cukup  dilakukan sekali  saja.  Penurunan  biaya  transaksi  juga  dapat  dilakukan  dengan pendirian  biro  kredit.Dengan  informasi  tingkah  laku  nasabah  yang diperoleh  dari  biro  kredit,  lembaga  perbankan  dapat  membedakan nasabah yang patuh dan baik – resiko rendah – dan nasabah dengan resiko tinggi.19

Perbaikan  akses  kepada  petani  memerlukan  fleksibelitas  dari  sisi penawaran.  Peningkatan  secara  dramatis  pembiayaan  kredit  sepeda motor oleh perusahaan pembiayaan sebagian merupakan inovasi dari sisi penawaran dalam mengatasi masalah akses pembiayaan ini.                                                              

18Sebetulnya tidak ada lembaga keuangan mikro yang tidak lepas dari subsidi. Tetapi umumnya termasuk Grameen tidak mensubsidi biaya pokok dananya (bunganya). Perbedaan satu sama lain terletak pada besarnya marjin keuntungan yang diambil. Umumnya lembaga keuangan mikro yang  modalnya berasal dari partisipasi sosial atau b ga dapat 

Halaman21 

 

antuan donor dapat menutupi biaya overhead dari subsidi awal ini sehingmenetapkan bunga yang lebih rendah. Lihat (Cull, Asli dan Morduch, 2008) 19Lihat Jack dan, Suri (2010) tentang pengaruh teknologi komunikasi pada pengembangan lembaga keuangan (financial inclusion) di kenya. Pakistan juga menggunakan kombinasi teknologi dengan electronic single id dalam mengembangkan financial inclusion. 

Mohamad Ikhsan 

Akses  keuangan  mencakup  pula  masalah  manajemen  resiko.Resiko  di sektor  pertanian  lebih  sukar  dikendalikan.  Eksposur  kepada  resiko  yang tidak  terasuransikan  mempunyai  dampak  inefisiensi  dan  welfare  costs yang  besar  bagi  keluarga  petani.  Ketiadaan  akses  terhadap  instrumen asuransi  yang modern,  banyak  petani  terpaksa melepaskan  kesempatan aktivitas  yang  atraktif  dan  menjanjikan.  Menjual  asset  untuk  mengatasi guncangan  dapat  menimbulkan  biaya  dan  akibat  jangka  panjang  akibat dekapitalisasi  (penjualan  terpaksa  ‐‐  pada  harga  rendah  –  tanah  dari investor) menciptakan irreversibilities or slow recovery dalam kepemilikan asset pertanian. 

Walaupun  banyak  inisiatif  yang  muncul  dari  masyarakat  dalam mengembangkan  lembaga  keuangan  mikro,  driver  utama  tetap  pada pemerintah. Beberapa kebijakan yang dapat diambil antara lain: pertama, untuk  mendorong  tumbuh  berkembangnya  inisiatif  masyarakat  dalam pengembangan  lembaga  keuangan mikro  diperlukan  payung  hukum dan institusi  regulatornya.  Tumbuh  dan  berkembangnya  lembaga  keuangan mikro ini akan mendorong kompetisi dan dengan bantuan teknologi akan menurunkan biaya transaksi dan sekaligus ketidaksempurnaan informasi yang pada gilirannya menurunkan suku bunga. Kedua, Pemerintah sebagai pemilik  BRI  harus  secara  aktif  mempromosikan  perluasan  akses  ini. Langkah  kongkrit  misalnya  dengan  mengikuti  jejak  investor  yang  tidak mencari  keuntungan  dengan  menginvestasikan  kembali  keuntungan untuk  pengembangan  jaringan  dan  upaya  penurunan  biaya  transaksi. Pemerintah juga bisa meminta Pemda selaku pemilik Bank Pembangunan Daerah untuk mengembangkan unit  keuangan mikro.  Pengembangannya dapat dilakukan melalui pembentukan  join venture beberapa BPD untuk menghindari  penggunaan  politik  dalam  alokasi  kredit  di  tingkat  akar rumput.  Ketiga,  menyempurnakan  secara  terus  menerus  pelaksanaan penjaminan kredit KUR dengan menfokuskan pada tujuan perluasan akses ketimbang menekan suku bunganya. 

 

Rekapulasi 

Pembahasan  di  atas  menunjukkan  secara  garis  besar  pengurangan kemiskinan  masih  dapat  dilakukan  dengan  kombinasi  peningkatan produktivitas  pada  sektor‐sektor  (pertanian  dan  jasa  informal)  yang insiden  kemiskinan  dan  dikombinasikan  dengan  perpindahan  penduduk pada sektor‐sektor yang tumbuh lebih cepat (industri dan jasa).  

Heterogenitas dari profil kemiskinan – yang dilihat dari berbagai aspek – memerlukan modifikasi yang fundamental dalam strategi penanggulangan kemiskinan.  Pertama,  program  anti  kemiskinan  harus  dilakukan  pada sumbernya  dan  dikembangkan  berdasarkan  karakteristik  lokal. Karenanya  pendekatan  top‐down  –  walaupun  dalam  beberapa  kasus 

Halaman22 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Halaman23 

 

  

masih  tergolong  efektif  khususnya  dalam  masa  transisi  –  harus  diubah menjadi  pendekatan  yang  lebih  partisipatif  dan  bottom‐up  yang melibatkan  masyarakat  sebagai  pelaku.  Kesuksesan  program pemberdayaan  masyarakat  seperti  PNPM  perlu  dilanjutkan  dengan modifikasi  secara  bertahap  dan  melibatkan  pemerintah  daerah  sebagai ujung tombak secara gradual di masa mendatang. 

Kedua,  proses  transformasi  ekonomi  untuk  pengurangan  kemiskinan menuntut  perbaikan  kapasitas  keluarga  miskin  yaitu  pendidikan  dan kesehatan  dan  sekaligus  akses  mereka  terhadap  pasar  input  terutama akses terhadap pembiayaan dan pasar output.  Kesimpulan ini didasarkan –  sekali  lagi  ‐  akibat heterogenitas dari kelompok miskin. Mayoritas dari mereka tetap menjadi pekerja atau obyek. Artinya mereka belum mampu menanggapi dengan baik perubahan sistem insentif dengan baik. Mereka pada  dasarnya  tidak  sama  dengan  karakteristik  pelaku  ekonomi  yang digambarkan dalam teori ekonomi neoklasik: unbounded rational, forward looking  dan  internally  consistent.  Behavioral  economist  seperti Mullainathan atau Development Economists seperti Ester Duflo dan Abhijit Banarjee dari MIT berpendapat manusia akan bertingkahlaku berbeda jika ia miskin  dibandingkan  jika  ia  tidak miskin.  Ada  tiga  hal  yang membuat orang miskin berdeviasi dari asumsi pelaku ekonomi dalam teori ekonomi standar  yaitu:  (i)  Kemampuan  mereka  dalam  menganalisis  informasi, komputasi  dan mengingat  adalah  terbatas;  (ii) Keinginan  (willpower)nya juga  terbatas  (bounded);  sehingga  mereka  tidak  selalu  membuat keputusan dan pilihan pada hasil yang optimal pada  jangka panjang; (iii) mereka  tidak  selalu purely  self‐interested.20 Mengikuti  cara pandang  ini, pendekatan dengan mengutamakan akses kepada pasar kredit tidak selalu efektif  mengentaskan  kemiskinan.  Lagi  pula  lapisan  entreprenur  dalam suatu  bangsa  tergolong  tipis.  Karenanya,  fokus  pengentasan  kemiskinan adalah  bagaimana  mendorong  keluarga  miskin  mendapatkan  pekerjaan. Karenanya  upgrading  pendidikan  menjadi  esensial  mengingat  proses screening pertama di pasar  tenaga kerja berdasarkan kredensial  (ijazah) dan  kemudian  kecakapan  (skill)  dalam  praktek.21Tentu  sebagian  dari mereka  akan menjadi  entreprenur  yang membutuhkan  akses  yang  lebih baik  kepada  pasar  input  dan  output.  Untuk  kelompok  inilah  yang jumlahnya  cukup  besar  khususnya  dalam  menciptakan  lapangan  kerja baru, perluasan akses yang dimaksud diperlukan. 

                                                          

20Lihat Duflo (2006), Banerjee (2008) dan Mullainathan and Thaler (2000) untuk diskusi lebih lanjut. Prilaku yang demikian menyebabkan asset market failures dan preferensi terhadap resiko sudah cukup menjelaskan mengapa pemilikan aset menjadi penting, m  dan engapa transaksi‐transaksi bernilai dan investasi penting tidak selalu terwujudmengapa orang miskin tetap miskin. 21Upgrading pendidikan memungkinkan keluarga miskin untuk menikmati wage premium yang relatif tinggi jika mampu menamatkan satu jenjang pendidikan. 

Mohamad Ikhsan 

Terakhir, pelajaran dari sejumlah kegagalan intervensi pemerintah dalam memperluas  akses  keluarga  miskin  terhadap  pembiayaan  menuntut perubahan  paradigma  dalam  mengatasi  kegagalan  pasar  tersebut. Perubahan  ini  adalah  dengan  memberikan  kesempatan  seluas‐luasnya kepada  masyarakat  untuk  berpartisipasi  dalam  upaya  menurunkan kemiskinan. Perubahan  ini  tidak berarti pengurangan peran pemerintah, tetapi  lebih  pada  menekankan  pada  fokus  pembangunan  kelembagaan tersebut terutama pada penyediaan barang publik yang esensial yaitu : (i) market supporting public goods dan (ii) market augmented public goods22. Yang dimaksud dengan market supporting public goods  adalah  intervensi pemerintah  yang  memungkinkan  rumah  tangga  berpendapatan  rendah berpartisipasi  dalam  perekonomian  dan  mengambil  manfaat  yang maksimum  dari  pertumbuhan  ekonomi.  Adapun  jenis  barang  publik penting dalam kelompok ini adalah iklim berusaha dan penegakan hukum (law  and  order).  Ketiadaan  barang  publik  ini  menyebabkan  terjadinya social  exclusion  terhadap  kelompok  rumah  tangga  miskin.  Sementara kelompok market augmented public goods adalah jenis barang publik yang walau  mekanisme  pasar  berjalan  dengan  baik,  sektor  privat  tidak  akan mampu  menyediakan  tingkat  yang  tepat  dari  jenis  barang  publik  ini. Contoh  dari  kelompok  barang  publik  ini  adalah  sejumlah  merit  goods seperti  pendidikan  dan  kesehatan  serta  infrastruktur  dasar.  Kasus penyediaan pendidikan misalnya intervensi pemerintah akan menentukan intensitas intervensi pemerintah. Misalnya dalam kasus pendidikan dasar dan  menengah,  tanpa  intervensi  dalam  sisi  permintaan  menyebabkan partisipasi  keluarga  miskin  akan  tetap  rendah  dan  menyebabkan walaupun akses di pasar tenaga kerja terbuka keluarga miskin akan tetap kalah  dalam  persaingan  dan  terus  tertinggal.  Oleh  karenanya,  ekspansi program  conditional  cash  transfer  –  atau  yang  dikenal  dengan  program keluarga harapan – perlu dipercepat. Tetapi sekali lagi efektifitas program ini  menuntut  peningkatan  kapasitas  mulai  dari  perencana  (pemerintah pusat) hingga pengelola (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) serta pelaksana  di  sekolah maupun  puskemas.  Peningkatan  kapasitas  ini  juga ibutuhkan karena sebagian besar dari kebijakan kemiskinan  d

 

Referensi 

Banerjee, Abhijit V, 2008,  “Why Fighting Poverty  is Hard?” BREAD Policy Paper. September 

Besley, Timothy and Maitreesh Ghatak, 2006, “Public Goods and Economic Development”,    dalam  dalam  A.V.  Benerjee,  R.  Benabou  dan  D. 

                                                            

22Lihat Besley dan Ghatak (2009) untuk deskripsi lebih lanjut dari dua jenis barang publik ini. 

Halaman24 

Mempercepat Proses Transformasi Ketenagakerjaan 

Mookherjee  (eds)  Understanding  Poverty,  New  York,  Oxford U y P . niversit ress

Cull,  Robert,  Asli  Demirgüç‐Kunt  &  Jonathan  Morduch,  2008, “Microfinance  Meets  the  Market”,  the  Financial  Access  Intiatiative dan NYU Wagner Graduate School 

Duflo, Ester (2006) ,” Is Farmer rational?” dalam A.V. Benerjee, R. Benabou dan D. Mookherjee  (eds) Understanding Poverty,  New  York,  Oxford University Press. 

De  la  Torre,  Ausguto,  Juan  Carlo  Gozzi  dan  Sergio  L.  Schmukler,  2007, Innovative Experiences  in Access to Finance: Market Friendly Roles for the Visible Hand, World Bank Policy Research Working Paper No 4326. 

Ikhsan, Mohamad  (1999),  "Disaggregation  of  Indonesian  Poverty:  Policy and Analysis", Unpublished dissertation, University of Illinois. 

Ikhsan, Mohamad, 2011,Kemiskinan di Pedesaan Indonesia: Tren, Determinan dan Kebijakan Kemiskinan di Pedesaan, LPEM Working Paper 

Jack, William dan Tavneet Suri, 2010, The Economics of M‐PESA, processed 

Lopez‐Calva, Luis Felipe, 2010, Declining Inequality in Latin America: A Decade of Progress, Brooking Institution Press, Washington D.C 

Macour,  Karen  dan  Elisabeth  Sadoulet.  2008,  “Managing  the  Exodus: Helping some farmers get out of agriculture”, Development Outreach, World Bank Institute, October 2008 pp 23‐26 

McCollough. Neil dan C Peter Timmer (special editors) 2008, “Rice Policy 4 No, 1 in Indonesia” Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 4

McCollough. Neil,  2008,  “Rice Price and Poverty in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 44 No, 1 

McCulloch, Neil, C. Peter Timmer and Julian Weisbrod,( 2006), “Pathways Out of Poverty During an Economic Crisis: An Empirical Assessment of  Rural  Indonesia”,  Center  for  Global  Development Working  Paper No.115 

Moeis,  Jossy.  1989,  “Sektor  Informal:  Aspek  Penting  dalam Perencanaan 

Halaman25 

 

Pembangunan di Indonesia”, Skripsi tidak dipublikasikan, FEUI 

Morduch,  Jonathan, 2007, “The Unbanked: Evidence from Indonesia”, the Financial Access Intiatiative dan NYU Wagner Graduate School., Maret 

Mohamad Ikhsan 

‐‐‐‐‐‐,  2008  “Can  the  Poor  Afford  Microcredit?the  Financial  Access   uate SIntiatiative dan NYUWagner Grad chool. May 

Morley,  Samuel,  1995,  “Keynes  in  the  Country‐side:  The  Case  for Increasing  Rural  Publicworks  Expenditures”,  Journal  Asia  Pasific Economics, Vol. 2 No 1. 

Mullainathan, Sendhil, dan Richard Thaler, 2000, “Behavioral Economics”, NBER working paper 7948 

Suryahadi,  Asep,  Daniel,  S,  Sudarno,  S.  2006,    “Economic  Growth  and Poverty Reduction in Indonesia:The Effects of Location and Sectoral Components  of  Growth”,  SMERU  Working  Paper,  http://www.smeru.or.id/publicationdetail.php?id=88

Suryahadi, Asep, Daniel, S, Sudarno, S, Jack Molyneaux, 2009, “Agricultural Demand Linkages and Growth Multiplier in Rural Indonesia”, dalam Neil McMcCullogh (ed), Rural Investment Climate in Indonesia, ISEAS 

Timmer, Peter dan Selvin Akkus. 2008, The Structural Transformation as a Pathway out of Poverty: Analytics, Empirics and Politics, Center  for 

ment Working Paper No 150, July Global Develop

World  Bank.  2007, World  Development  Report  2008,  New  York:  Oxford University Press 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Halaman26