7
Mempertanyakan UN (Kejanggalan dalam Dunia Pendidikan) (Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana, no. 138/ Mei 2010) (Oleh: Gusti Omkang Hingmane, mahasiswa FKIP Bahasa Inggris, Undana) Banyak di antara kita yang sangat menggelengkan kepala, sebagai akibat dari terdepannya tingkat ketidaklulusan SMA/SMK di NTT, di mata bangsa Indonesia. Di sini, banyak di antara kita yang menyalahkan para guru karena kurang berpendidikan atau kurang serius mengajar; menyalahkan sekolah karena ketiadaan bahkan kekurangan fasilitas yang menunjang proses belajar mengajar; bahkan menyalahkan para siswa karena ketidaksiapan para siswa dalam mengikuti ujian, yang kemudian dibuktikan hasil UN yang sangat tidak menggembirakan. Namun, sebenarnya, yang patut dipertanyakan juga sejauh mana pemerintah pusat telah memberikan kewenangan kepada sekolah dalam menggolkan para siswanya (desentralisasi pendidikan), dimana kewenangan untuk meluluskan para siswa sebenarnya harus berada di tangan sekolah. Hal ini membuat

Mempertanyakan UN

  • Upload
    gusti

  • View
    216

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Mempertanyakan Ujian Nasional

Citation preview

Ada apa dibali UAN

Mempertanyakan UN(Kejanggalan dalam Dunia Pendidikan)

(Sudah dipublikasikan di Media Informasi dan Komunikasi Undana, no. 138/ Mei 2010)

(Oleh: Gusti Omkang Hingmane, mahasiswa FKIP Bahasa Inggris, Undana)

Banyak di antara kita yang sangat menggelengkan kepala, sebagai akibat dari terdepannya tingkat ketidaklulusan SMA/SMK di NTT, di mata bangsa Indonesia. Di sini, banyak di antara kita yang menyalahkan para guru karena kurang berpendidikan atau kurang serius mengajar; menyalahkan sekolah karena ketiadaan bahkan kekurangan fasilitas yang menunjang proses belajar mengajar; bahkan menyalahkan para siswa karena ketidaksiapan para siswa dalam mengikuti ujian, yang kemudian dibuktikan hasil UN yang sangat tidak menggembirakan. Namun, sebenarnya, yang patut dipertanyakan juga sejauh mana pemerintah pusat telah memberikan kewenangan kepada sekolah dalam menggolkan para siswanya (desentralisasi pendidikan), dimana kewenangan untuk meluluskan para siswa sebenarnya harus berada di tangan sekolah. Hal ini membuat para ahli pendidikan angkat bicara adanya otonomi daerah yang dilanjutkan dengan otonimi pendidikan yang dibuat DPR bersama pemerintah, menunjukkan bahwa pendidikan seolah-olah dan sengaja ingin dilepaskan dari pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab. Pendidikan dilepaskan dengan menggunakan alat DPR selaku lembaga yang membuat aturan tersebut (Moh Yamin, 2009: 33). Benny Susetyo pun berargumen (dalam Moh Yamin, 2009: 34), ternyata pelaksanaan otonomi tersebut tidak dapat dilakukan secara menyeluruh. Terbukti pemerintah pusat masih melakukan sentralisasi beberapa kebijakan dalam dunia pendidikan, sebut saja penetapan sejumlah standarisasi pengelolaan, baik kurikulum, kompetensi siswa, penilaian hasil belajar, dan lain seterusnya sehingga proses pelaksanaan tersebut terkesan desentralisasi setengah hati.

Di samping itu pula, saya sebagai calon guru, dalam hati kecil saya sangat kecewa, menyaksikan kebanggaan semu para pengambil keputusan di Depdiknas. Mereka merasa selesai dengan menaikkan patokkan angka kelulusan, sementara menutup mata dengan proses dan pelaksanaan di lapangan. Seperti bunyi kalimat bijak yang belum usang the goal is also in the process, hasil pun ada pada proses. Kalau gedung-gedung sekolah masih berantakan, kurikulum masih babak belur dan para guru tersaruk-saruk profesionalitasnya, upaya sistem macam apa yang telah dilakukan untuk memperbaiki mutu pelayanan pendidikan sehingga angka kelulusannya meningkat?

Sebenarnya yang harus dipertanyakan juga, sejauh mana ke-fair-an dalam pemeriksaan lembaran jawaban yang dikerjakan oleh para siswa. Karena kenyataan berbicara, banyak siswa yang mengerjakan soal tidak secara sempurna, toh mendapat nilai 10. Ada yang memperkirakan mendapat nilai 3, toh keluarnya 5? Mungkin juga banyak sekolah yang tercengang dengan nilai-nilai siswanya yang melebihi hasil quickcount, setelah ujian berlangsung. Pasti bukan kebetulan, kalau selisih itu terjadi merata pada hampir seluruh siswa. Lalu ada apa dengan pemprosesan ujian itu? Saya pikir ini perlu ditelusuri, karena banyak siswa yang mendapat ranking dari kelas-kelas sebelumnya, nyatanya tidak lulus. Sedangkan yang lulus adalah siswa-siswa yang mau dibilang tidak lulus, kalau dilihat dari rankingnya yang sangat memprihatinkan.

Yang patut dipertanyakan pula, di mana teori kedua domain yang sebenarnya, yang harus digunakan dalam menentukan kelulusan para siswa, karena di mata penulis, ujian nasional ini hanya mengukur pengetahuan para siswa, tanpa juga menghitungkan nilai kedua domain tersebut. Jadi yang harus dilakukan agar ketiga domain tersebut diterapkan, dan ada kesesuaian dengan desentralisasi pendidikan, maka seharusnya untuk meluluskan para siswa ini harus dikembalikan kepada sekolah untuk menentukan kelulusan dan kefairannya.

SolusiUntuk memperbaiki tingkat kelulusan, agar tidak dikatakan sebagai propinsi yang terdepan ketidaklulusannya, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan adalah: pertama, pemerintah bersama DPR harus mendefinisi ulang istilah desentralisasi, dimana untuk kelulusan ujian dari para siswa ditentukan oleh sekolah atau pusat. Hal ini yang belum jelas. Kenyataan berbicara, sentralisasi masih menguasai ranah sekolah (desentralisasi). Apakah sebenarnya, seperti: penetapan sejumlah standarisasi pengelolaan, baik kurikulum, kompetensi siswa, penilaian hasil belajar, dan lain seterusnya kewenangan sekolah atau pusat? Pemerintah dan DPR jangan menutup mata dan seolah-olah tidak tahu pendidikan di negeri ini.Kedua, jika masih disentralisasikan, khususnya penentuan kelulusan siswa, para pemangku jabatan pendidikan (Mendiknas dan bawahannya) tolong gunakan tiga domain (kognitif, afektif, dan psikomotor) dalam menentukan kelulusan, karena kenyataan berbicara UN hanya mengukur pengatahuan (kognitif) saja. Hal ini sangat bertentangan dengan evaluasai yang diterapkan di sekolah, yakni seperti penilaian yang ada pada lopornya siswa (penilain berupa: kognitif, afektif, dan psikomotor). Ujian Nasional dan Ujian sekolah benar-benar sangat berjauhan. Laksana air dan minyak. Ketiga, dan jika mau nilai ujian distandarisasikan dan kelulusannya tetap ditentukan oleh pusat, maka pemerintah harus segera memperbaiki seluruh kendala yang dihadapai sekolah, seperti fasilitas yang menunjang standarisasi, pengizinan para guru untuk meningkatkan tingkat qualitas mereka melalui studi bahkan perlu ikut sertifikasi untuk mendukung profesinalitas mereka, karena banyak sekolah yang ada di pelosok di Indonesia, dan khususnya NTT ini yang belum bahkan tidak dapat diakui untuk mengikuti standarisasi UN.

Saya yakin, semua masalah yang tertera di atas jika diperbaiki dengan mengikuti beberapa terobosan tersebut, baru kemudian distandarisasikan, tingkat kelulusan, saya pikir akan naik. Saya pikir ini adalah sesuatu yang sangat rasional karena menstandarkan pada tingkat keseimbangan antara sekolah di pusat dan sekolah di daerah. Jika tidak, kasihan kelengkapan sekolah di perkotaan yang serba lengkap mau disamakan dengan sekolah di pelosok yang belum, bahkan tidak ada fasilitas sama sekali, dan ditambah dengan guru yang belum layak dikatakan guru. Tak heran banyak ketidaklulusan ujian kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah yang ada di daerah.

Keempat, jika masih disentralisasikan (penentuan kelulusan), maka hal yang harus dilakukan oleh sekolah sedini mungkin adalah keefektifitasan harus di mulai dari kelas satu, jangan pada kelas tiga saja, seperti yang diutarakan Soleman Dapa Taka, kepala sekolah Mercusuar Kupang (Timex, 29/04/2010) konsep yang efektif untuk meraih hasil maksimal itu harus dimulai sejak kelas satu, bukan hanya pada kelas tiga. Jadi sesuai dengan komitmen kita, maka seperti apa pun penilaian serta pengawalan yang super ketat sekalipun, peserta UN kita tidak pernah takut atau raguKelima, satu hal yang juga sebagai penentu kelulusan adalah guruguru tidak menerapkan penguatan dalam kegiatan pembelajaran yang dimana mendorong siswa meningkatkan usahanya dalam pembelajaranan. Clemen Kollo mengatakan memberikan penguatan dalam kegiatan belajar mengajar kelihatannya sederhana saja, yaitu tanda persetujuan guru terhadap tingkah laku siswa, yang antara lain dinyatakan dalam bentuk kata-kata membenarkan, kata-kata pujian, senyum atau anggukan...Pada hal memberikan penguatan dalam kelas akan mendorong siswa meningkatkan usahanya dalam kegiatan pembelajaran dan mengembangkan hasil usahanya (modul Micro Teaching, hlm 29). Dalam kulianya, Clemens Kollo juga pernah katakan banyak guru yang selalu menjaga gengsinya, sehingga membuat banyak murid yang tidak merindukan kehadiran guru dalam kelas. Dan hal ini yang membuat ketidaklulusan peserta didik semakin meningkatKeenam, bagi seluruh peserta didik, jangan belajar karena mau ujian, tetapi belajar karena rasa ingin tahu dan mau berubah. Jika belajar karena ujian, secara otomatis apa yang dipelajari tidak akan teserap secara sempurna yang kemudian akan berakibat terhadap kegagalan ujian. Ada satu pesan untukmu, para pelajar where is a will there is a way. Dengan adanya kemamuan ingin tahu (belajar) pasti apa yang dicita-citakan akan tercapai.Dari dari beberapa solusi di atas jika diterapkan, ketidaklulusan yang besar yang terjadi di NTT dapat teratasi secara perlahan-lahan bahkan bisa secara drastis, jika para aktor juga, dalam hal ini DPR, pemerintah, dan sekolah (guru, dan murid) benar-benar menjalankan tugasnya masing-masing secara baik, tepat, dan bertanggungjawab. Apalagi, menghayati hari pendidikan Nasional, 2 Mei 2010. Saya yakin, kesadaran kita pasti lebih meningkat dari hari-hari kemarin, dan secara pasti pendidikan (UN) mendatang akan lebih membanggakan dibandingkan sekarang. Dan hal ini akan membuat para siswa berkata UN itu makanan ringan dengan wajah yang penuh bahagia, bukan dengan menangis dan aksi brutal bahkan memungut siswa-siswi yang stress akibat ketidakpedulian pemerintah dan DPR. Selamat hari pendidikan! Merdeka!