331

MENATA ULANG SISTEM PEMILU

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENATA ULANG SISTEM PEMILU
Page 2: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

i

MENATA ULANG

SISTEM PEMILU

Page 3: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

ii –

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Menata Ulang Sistem Pemilu Medan, Pustaka Prima, 2021 vi+187 - 16,5x24 cm ISBN :978-623-95557-4-6

Editor : Zainuddin I Muhammad Taufik Nasution Desain/Layout : Tim Pustaka Prima

Diterbitkan oleh: CV. Pustaka Prima Jalan Pinus Raya No.138 Komplek.DPRD Tk.I Medan Email : [email protected] Website : www.pustaka-prima.com

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk fotokopi, merekam atau dengan system penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

Page 4: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- iii

Kata Pengantar

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Assalamu‟alaikum, wr.wb.

Puji dan syukur, kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat segala nikmat dan pentunjuk dari-Nya kegiatan Konferensi Nasional Pemilihan Umum di Masa Mendatang, dapat terselenggara dengan baik. Shalawat beriring salam tidak lupa kita hanturkan kepada junjungan dan tauladan, Nabi Muhammad SAW, atas peran besar beliau kita dapat menyelami dunia terang benderang berupa ilmu yang bermanfaat.

Ucapan terimakasih yang seluas-luasnya kami haturkan kepada segenap panitia pelaksana kegiatan yang telah bekerja secara maksimal dari persiapan kegiatan hingga acara ini terselenggara, bahkan sampai diterbitkannya buku Menata Ulang Sistem Pemilu, sebagai kumpulan makalan dari peserta konferensi. Kami juga mengucapkan terimakasih yang tidak terbatas kepada seluruh pembicara kunci serta lembaga-lembata yang turut serta dalam konferensi nasional, Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama), Pusat Kajian Konstitusi dan Anti Korupsi (Puskasi-UMSU), Kolegium Jurist Institute (KJI), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT).

Buku ini dihadirkan agar hasil kajian yang sedemikian bagus dan mendalam, bisa dinikmati dan dikaji lebih jauh lagi oleh sebanyak-banyaknya orang. Sebagai salah satu bentuk Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka kehadiran buku ini akan membantu kita dalam mengkaji Pemilu sebagai salah satu pilar terwujudnya demokrasi di Indonesia.

Pada akhirnya, saya menyampaikan selamat atas terbitnya buku ini, dan semoga akan hadir kajian-kajian lainnya yang lebih mendalam terkait dengan tema-tema dalam buku ini di masa mendatang.

Page 5: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

iv –

Wassalamua'alaikum Wr. Wb.

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Dr. Ida Hanifah, SH., MH

Page 6: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- v

Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................ iii Daftar Isi ................................................................................... v

� Fenomena Kotak Kosong Dan Masa Depan

Demokrasi Lokal…………………………………………………………..1 Marzuki

� Regresi Demokrasi Pasca Pemilu ………………….….………19 Ibnu Sina Chandranegara

� Penyelesain Sengketa Pemilihan Umum Yang Berbeda Dan Berubah Di Indonesia ................................................ 35 Budiman N.P.D Sinaga

� Penentuan Ambang Batas Pencalonan Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden ................. 47

Eka NAM Sihombing

� Format Ideal Partai Politik Dalam Pencalonan Kepala Daerah ................................................................... 57 Faisal dan Benito Asdhie Kodiyat

� Dinamika Pemilihan Kepala Daerah Dalam Perspektif Pembangunan Legislasi .................................................... 75 Rudi Wijaya dan Srining Widati

� Pemilu Digital Asimetris Di Indonesia ............................. 87 M. Ilham Fadhlan Putuhena

� Konstitusionalitas Presidential Threshold ................... 101 Ida Hanifah dan Andryan

� Urgensi Pembentukan Badan Peradilan Khusus Penyelesaian Sengketa Pilkada ...................................... 113 Christian Hutahaean, Ariel Sinaga, Khopipah Dalimunthe

� Efisiensi Apbn Dalam Pemilu Serentak Kongruen……...119 Usep Hasan Sadikin

� Persyaratan Domisili Bagi Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah .............................................. 127 Ali Marwan HSB

Page 7: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

vi –

� Dinamika Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia Dan Ancaman Politik Identitas ..................................... 157 Afifa Rangkuti

� Desain Pilkada Asimetris Aceh ....................................... 169 Muhammad Heikal Daudy

� Reformulasi Netralitas Asn Pada Pemilihan Kepala Daerah Di Indonesia ........................................... 179 Firna Novi Anggoro

� Penegakan Kode Etik Penyelenggaraan Pilkada Oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ....... 187 Hidayat, Budi Bahreisy

� Paradigma Pemilihan Kepala Daerah Asimetris Dalam Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia .......................... 205 Cynthia Hadita dan Irwansyah

� Hal Baru Dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Di Masa Pandemi Covid-19 ............................................. 215 Anang Dony Irawan

� Pengawasan Dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum Oleh Badan Pengawasan Pemilihan Umum Dalam Menanggulangi Kejahatan Money Politics ................................................................. 227 Aras Firdaus, Rudy Hendra Pakpahan, M. Yusrizal

� Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Delik Percobaan Tindak Pidana Pada Undang-Undang Pilkada ................. 243 Mhd Teguh Syuhada Lubis

� Pelanggaran Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilu 2019 Di Provinsi Riau ........................................ 275 Adrian Faridhi

� Penegakan Hukum Pidana Pemilu Dalam Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ....................... 289 Ismail Koto

� Netralitas Aparatur Sipil Negara (Asn) Pada Pemilu Dan Pemilihan…………………………………………………………….307 Taufik Hidayat Lubis, Randa Faturrahman Hakim

Page 8: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 1

FENOMENA KOTAK KOSONG DAN MASA DEPAN DEMOKRASI LOKAL

Dr. Marzuki, SH., M.Hum

Dosen pada Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah I DPK Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara

Pemilu Sebagai Paradigma Demokrasi

Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi di Indonesia (baca, demokrasi Pancasila) diharapkan menjadi representasi dari rakyat, karena Pemilu merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijakan (Policy).

Realitas demikian dapat diperhatikan dari berbagai unsur yang melekat pada suatu negara demokrasi (Lyman Tower Sargent: 1984, 32-33):

1. Citizen involvement in political decision making; 2. Some degree of equality among citizen; 3. Some degree of liberty or freedom granted to or retained

by citizens; 4. A system of representation; 5. An electoral system majority rule.

Memperhatikan berbagai unsur tersebut, berarti sistem pemilu dan sistem perwakilan adalah merupakan condition sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat.

Wujud dari sikap demokrastis tersebut adalah partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Partisipasi dilakukan bukan hanya dimaksudkan untuk memperoleh legitimasi kekuasaan dari warga negara, namun

Page 9: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

2 –

lebih jauh lagi dilakukan untuk mengikutsertakan masyarakat dalam semua proses pembangunan.

Konteks yang demikian berarti partisipasi tersebut bukan merupakan hasil rekayasa dari kekuasaan (mobilized participation), melainkan partisipasi itu atas kehendak penuh dari warga negara yang memiliki political will tinggi terhadap pembangunan bangsa (autonomic participation).

Secara lebih sistematis pemilu dalam sistem politik demokratis mempunyai beberapa fungsi:

Pertama, sarana legitimasi politik. Melalui Pemilu keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu juga program dan kebijakan yang dihasilkannya. Pemilu merupakan sarana paling demokratis untuk membentuk representative government. Pemilu merupakan the expression of democratic struggle, dimana rakyat menentukan siapa saja yang memerintah serta apa yang dikehendaki rakyat untuk dilakukan oleh pemerintah.

Kedua, pemilu berfungsi sebagai sarana peralihan pemerintahan secara aman dan tertib. Dalam hal ini pemilu diharapkan mampu menghasilkan regenerasi kepemimpinan secara pasti dan legitimate. Oleh karena itu, pemilu merupakan mekanisme politik untuk menjamin keberlangsungan pergantian pemerintahan secara teratur (Harmaily Ibrahim dan Moh. Kusnardi: 1983, 330).

Ketiga sebagai penciptaan political representativeness (keterwakilan politik) untuk mengaktualisasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Dalam kaitan ini Pemilu tidak hanya berfungsi sebagai pengejawantahan dari berlakunya asas kedaulatan rakyat, namun yang lebih penting adalah membangun kepercayaan rakyat terhadap pemerintah untuk melaksanakan kebijakan dan pogram-program yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan mendasar dari masyarakat selaku stakeholder dalam negara.

Keempat, sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik rakyat. Dalam fungsi ini pemilu diharapkan mampu mengimplementasikan kepada rakyat untuk memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku bagi masyarakat dimana ia berada. Sosialisasi dan pendidikan politik itu diharapkan mampu memberikan kepercayaan kepada masyarakat agar partisipasinya dapat dimanifestasikan dalam

Page 10: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 3

suasana yang bebas menyatakan pendapat, menyatakan dan mengakses informasi serta bebas berserikat.

Dalam kerangka otonomi daerah, pemilihan umum juga dilaksanakan untuk memilih Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota), sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Ketentuan ini kemudian diimplementasikan ke dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang, yang menegaskan bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota adalah merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara ”langsung dan demokratis” (Pasal 1 Angka 1 Undang-undang No. 8 Tahun 2015).

Dengan demikian keberadaan pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan keniscayaan sebagai institusi pokok pemerintahan daerah yang demokratis, karena pada hakekatnya wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari warga negara yang memilihnya. Hasil suatu pilkada yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan disertai dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat dipandang relevan mencerminkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.

Meski demikian, dalam perkembangan pilkada muncul fenomena lawan kotak kosong, dalam arti hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon, sehingga hak masyarakat untuk memperoleh alternatif pilihan politik dalam pilkada terabaikan. Dalam Pilkada serentak 2018 di seluruh Indonesia, berdasarkan data pada KPU Pusat, terdiri dari 171 daerah yang akan melakukan pemilihan kepala daerah, yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, diantaranya Sumatera Utara, selain pemilihan Gubernur, juga terdapat pemilihan kepala daerah pada 8 (delapan) kabupaten/kota, yaitu :

Page 11: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

4 –

Kabupaten Langkat, Kabupaten Deliserdang, Kabupaten Dairi, Kabupaten Batubara, Kabupaten Tapanuli Utara, Kota Padangsidempuan, Kabupaten Padanglawas dan Kabupaten Padanglawas Utara. Dari keseluruhan daerah yang menyelenggarakan pilkada tersebut, berdasarkan data KPU terdapat 16 pasangan calon (paslon) kepala daerah-wakil kepala daerah akan melawan kotak kosong. Demikian juga dalam pilkada serentak 2020, terdapat 270 daerah: 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sedangkan 25 Kabupaten/Kota pemilihan serentak dengan calon tunggal.

Konstelasi yang demikian berarti pilkada sebagai cara yang digunakan dalam kerangka negara demokrasi dan otonomi daerah di Indonesia, telah menimbulkan fenomena baru yang dapat mencederai nilai-nilai demokrasi, karena akan mempersempit ruang partisipasi masyarakat dalam menentukan pilihan pemimpin daerah untuk menjalankan sebuah pemerintahan daerah yang dapat mewujudkan demokratisasi dan kesejahteraan rakyat.

Fenomena Kotak Kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak telah dimulai

sejak 9 Desember, tidak kurang dari 264 daerah, yang terdiri dari 9 provinsi, 34 kota dan 224 kabupaten minus Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kota Pemantangsiantar, Kabupaten Simalungun, dan Kota Manado karena mengalami penundaan hingga 2017, telah menyelenggarakan pilkada secara serentak. Era baru dalam sistem pemilihan, yang tentu bukan hanya soal waktu pelaksanaan, tetapi juga menciptakan local accountability, political equity dan local responsiveness, khususnya untuk melihat sejauh mana rakyat di daerah bisa menentukan sendiri nasib, pemimpin dan pemerintahannya (Idil Akbar: Jurnal Ilmu Pemerintahan CosmoGov, Vol. 2, No. 1, April 2026, 96-97).

Pada tahun 2020 ini Indonesia juga telah melaksanakan pesta demokrasi yaitu dengan pemilihan kepala daerah secara serentak, meskipun dibayang-bayangi dengan wabah Pandemi Covid 19, yang merupakan pilkada serentak keempat . untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik Gubernur dan Wakil Gubernur untuk

Page 12: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 5

provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten, maupun Walikota dan Wakil Walikota utuk daerah kota. Dalam hal ini terdapat 270 daerah di Indonesia akan menggelar Pilkada serentak 2020, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada Serentak 2020 seharusnya diikuti 269 daerah, namun menjadi 270 karena Pilkada Kota Makassar diulang pelaksanaannya.(Aprita Ristyawati: Jurnal Crepido, Volume 02, Nomor 02, November 2020, 87-88).

Dalam konteks demokrasi, dinamika politik dan pemerintahan lokal seperti ini akan menentukan wajah demokrasi Indonesia secara nasional, karena pilkada serentak juga merupakan akses bagi masyarakat untuk berpatisipasi lebih luas, menghimpun banyak kepercayaan terhadap calon kandidat, sehingga penyelenggaraan pilkada secara profesional dan demokratis, diharapkan dapat menghantarkan masyarakat pada kondisi sosial, politik dan ekonomi yang lebih baik, dengan pemimpin daerah yang merepresentasikan kepentingan rakyat, sehingga akan melahirkan pemerintahan yang demokratis dan membawa kesejahteraan.

Meski demikian, dalam tataran implementasi, terdapat fenomena baru dalam kontestasi pilkada serentak, yaitu munculnya calon tunggal melawan kotak kosong dalam kontestasi pilkada, berkaitan dengan konfigurasi kekuatan partai politik disuatu daerah yang hanya memunculkan satu calon kepala daerah yang mendapat dukungan dari semua atau mayoritas partai politik. Fenomena ini ternyata semakin lama semakin meningkat, pada 2015 terdapat 3 calon tunggal di 3 kabupaten/ kota, pilkada 2017, bertambah menjadi 9 calon tunggal. Kemudian naik lagi pada 2018 menjadi 16 calon tunggal, dan pada pilkada 2020, dari 270 daerah yang menyelenggarakan: 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sedangkan 25 Kabupaten/Kota calon tunggal, dan meskipun ada jalur melalui calon perseorangan harus dengan persyaratan dan kriteria yang sangat ketat. (Yoes Kenawas, Bisnis.com, 4 Agustus 2020).

Pada pilkada 2020, dari 25 calon tunggal tersebut mengantongi suara di atas 70 persen bahkan ada juga yang di atas, kecuali Humbang Hasundutan hanya 52, 5%. Kabupaten Boyolali 95,5%, Kota Semarang 91,4 %, dan Kabupaten Badung meraih suara 94,6%. Akan tetapi dalam sejarah pilkada

Page 13: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

6 –

serentak, juga pernah calon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong, yaitu pada pilkada Kota Makassar yang digelar tahun 2018 lalu, paslon tunggal, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu), hanya meraih 264.245 suara atau 46,77 persen suara sah, sedangkan kotak kosong mendapatkan 300.795 suara atau 53,23 persen dari total suara sah sebanyak 565.040 suara.

Berdasarkan realitas ini, fenomena kotak kosong adalah merupakan bentuk dari kemerosotan demokrasi, karena sejatinya demokrasi itu bentuk utamanya adalah partisipasi politik yang lebih luas untuk memungkinkan masyarakat menentukan alternatif pilihan, dan rata-rata calon tunggal ini didominasi oleh petahana yang sangat kuat.

Terjadinya konstelasi yang demikian, dapat dilihat dari beberapa sudut pendekatan:

Pertama, segi substansi hukum. Bila dilihat ketentuan Undang-undang Pilkada, baik Undang-undang No. 8 Tahun 2015 maupun Undang-undang No. 10 Tahun 2016, mencalonkan jadi Kepala Daerah cukup sulit, baik yang berasal dari parpol maupun perseorangan. Calon dari Parpol harus memperoleh kursi paling sedikit 20% jumlah kursi DPRD atau 25% suara sah dalam Pemilu anggota DPRD yang bersangkutan. Demikian juga calon perseorangan, dukungan penduduk antara 6,5% s/d 10% sesuai jumlah penduduk dari total daftar pemilih tetap, dan tersebar lebih dari 50% Kabupaten/Kota atau Kecamatan. Di sisi lain, undang-undang juga mempersyaratkan harus berhenti dari jabatan tertentu bila sudah ditetapkan sebagai pasangan calon, ketentuan ini tentu dapat menyurutkan keinginan dari calon yang punya kemampuan dan dikenal masyarakat untuk mencalonkan diri, karena tidak mungkin mengambil resiko “Trial and Error”. Implikasi dari pengaturan tersebut, menurut Burhanuddin Muhtadi ―Menciptakan kawin paksa politik, karena ada calon yang diusulkan, tapi karena kursinya tidak cukup akhirnya menggandeng calon dari partai lain‖ (Sasmito Madrim: VOA, 8 September 2020).

Kedua, segi struktur hukum partai politik. Sistem pengkaderan dan rekrutmen sebagai salah satu fungsi partai politik belum berjalan dengan baik dan maksimal, masih terdapat kecenderungan sikap pragmatis dari elit partai politik yang mengutamakan strategi pemenangan, dan tidak jarang

Page 14: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 7

mengabaikan kader sendiri, apalagi dihubungkan dengan fenomena kotak kosong ini didominasi oleh petahana.

Ketiga, budaya hukum masyarakat. Dalam pilkada, budaya hukum masyarakat juga masih digolongkan partisipasi pasif, dalam arti kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap politik masih rendah, akan tetapi kepercayaan masyarakat terhadap politik tinggi, bahkan ada yang partisipasi apatis dan dissident. Implikasi dari partisipasi pasif tersebut masyarakat cenderung pragmatis, yang tidak jarang menggadaikan hak pilihnya melalui politik uang (money politic). Dalam hubungan ini, diharapkan pada masa yang akan dating harus ada kesadaran kolektif masyarakat untuk menghukum petahana calon tunggal, apabila sikap politiknya selama ini tidak memiliki keberpihakan yang kuat kepada masyarakat.

Meretas Jalan Menuju Pemilihan Kepala Daerah Berkualitas

Memperhatikan esensi pilkada dalam rangka demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, sejalan dengan munculnya fenomena kotak kosong, paling tidak ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar pilkada menjadi parameter demokrasi: Pertama, pelaksanaan pilkada harus didukung oleh perangkat peraturan yang menganut asas kebebasan, kejujuran dan keadilan. Kedua, pelaksanaan pilkada harus memperhatikan instrument serta penyelenggaranya agar benar-benar merupakan pilkada yang demokratis dan dipercaya oleh masyarakat. Ketiga, pelaksanaan pilkada harus melibatkan semua warga negara tanpa diskriminasi dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat, sehingga memperoleh partisipasi masyarakat. Keempat, pelaksanaan pilkada harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua calon yang diusung oleh partai politik maupun calon perseorangan untuk berkompetisi secara bebas, jujur, dan adil. Kelima, pelaksanaan pilkada dimaksudkan untuk memilih kepala daerah yang berkualitas, dan memiliki integritas moral, serta mencerminkan kehendak rakyat.

Apabila dicermati berbagai pranata hukum yang disiapkan untuk penyelenggaraan Pemilukada 2018, seperti Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum maupun Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua

Page 15: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

8 –

Atas Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang, sudah cukup memadai untuk memberi ruang terwujudnya pemilukada yang berkualitas berdasarkan prinsip kejujuran dan keadilan.

Meski demikian, tentu untuk mengaplikasikan norma tersebut, diperlukan berbagai upaya yang signifikan berkenaan dengan peilkada demokratis.

Pertama, Membangun komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta instrumen pendukungnya, sebagai penyelenggara pilkada yang dipercaya masyarakat. Dipercaya masyarakat dalam konteks ini dimaksudkan penyelenggara pemilu yang memiliki integritas, netralitas dan profesional, Upaya ini sangat diperlukan, baik secara personal maupun secara kelembagaan, sehingga diharapkan sedikit banyak mengurangi ketidakpercayaan masyarakat atas hasil pilkada. Praktik yang terjadi selama ini, terdapat beberapa anggota KPU di Daerah maupun dan Bawaslu di Daerah yang kemudian berubah dari “wasit” menjadi “pemain”, sehingga prinsip fair play dalam penyelenggaraan pilkada ternodai. Indikasi ini dapat dilihat dari adanya 76 perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dari Januari sampai dengan Februari 2018 yang melibatkan 163 oknum, dan telah diperiksa, dan ternyata 61,2 persen diantaranya melanggar kode etik, dan menurut Ida Budhiati (anggota DKPP) telah dilakukan tindakan tindakan berupa 37 peringatan keras, 27 orang diperingatkan, 3 orang diberhentikan sementara, 11 orang diberhentikan tetap, 3 orang diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua, serta 76 direhabilitasi, dan sebagaian besar adalah merupakan pelanggaran profesionalisme padahal kerangka hokum pemilu didesain agar penyelenggara pemilu bekerja secara professional tidak hanya menyangkut prosedur tetapi juga integritas (INDOPOS.CO.ID, 27 Februari 2018). Apabila hal ini tidak diatasi akan mempunyai implikasi yang luas baik bagi masyarakat, peserta pemilu (partai politik dan perseorangan), baik terkait dengan sengketa pemilu maupun tindakan masyarakat yang dapat memunculkan anarkisme.

Oleh karena itu, diharapkan penyelenggara pemilu (KPU di Daerah dan Bawaslu di Daerah) harus mempunyai komitmen menyelenggarakan pemilukada 2018 sesuai dengan asas

Page 16: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 9

pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-undang No. 7 Tahun 2017: mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesionali, akuntabel, efektif dan efisien.

Bila hal ini dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilukada, maka legitimasi pemilukada 2018 yang dihasilkan semakin kuat, guna lahirnya pemerintah daerah baru yang sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat.

Kedua, meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Apabila pengetahuan politik masyarakat masih relatif rendah, akan mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi partisipasi masyarakat semakin legitimate kualitas pelaksanaan pilkada. Secara kuantitatif keberhasilan pilkada diukur dari jumlah kedatangan ke TPS, sedangkan secara kualitatif dilihat dari rasionalitas pemilihan dan peran aktif dari masyarakat. Oleh karena itu diharapkan peran tokoh masyarakat dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pilkada.

Ketiga, kesiapan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah beserta pendukungnya yang mempuyai kepentingan langsung adalah merupakan suatu keniscayaan. Oleh sebab itu menjadi sangat relevan peserta pilkada serentak, seperti halnya di Provinsi Sumatera Utara menjalankan kampanye dengan semangat kebersamaan demi terwujudnya pemerintahan daerah yang maju dan sejahtera, kampanye pilkada bukan pertandingan calon melainkan adu gagasan untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka harus dihindari kecurangan pilkada, termasuk Black Campaign, sehingga diperoleh pemimpin yang mempunyai integritas untuk membangun demokrasi yang bersih dan berkualitas di daerah.

Keempat, penegakan hukum (law enforcement) pilkada. Guna menciptakan pilkada yang berkualitas, tentu harus diimbangi dengan penegakan hukum yang efektif bagi pelaku pelanggaran pilkada, sehingga dapat terwujud rasa keadilan dan kepastian hukum bagi setiap peserta pilkada. Pilkada yang berkualitas dapat dilihat dari minimnya pelanggaran dalam pelaksanaan pilkada, dan realitas yang demikian, tentu harus diimbangi dengan law enforcement yang memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga dapat mengurangi

Page 17: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

10 –

tingkat ketidakpercayaan masyarakat pada hasil pilkada. Apabila tidak ditindaklanjuti pada jangka panjang, tentu kondisi ini dapat mengurangi legitimasi penyelenggara pemerintahan daerah yang dibentuk.

Kelima, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam hubungan ini keterlibatan lembaga-lembaga masyarakat baik dalam bentuk sosialisasi pilkada, pendidikan politik bagi pemilih, survey atau jajak pendapat tentang pilkada, dan penghitungan cepat tentang hasil pilkada haruslah diapresiasi sebagai sarana mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pilkada, akan tetapi haruslah mematuhi berbagai pranata hukum pilkada, sebagaimana antara lain disebutkan dalam Pasal 131 Undang-undang No. 8 Tahun 2015: tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilihan; bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilihan yang aman, damai, tertib dan lancar.

Salah satu unsur penting dalam konteks ini adalah media, baik elektronik maupun media massa cetak, karena dapat memberikan pengawasan terhadap penyelenggaraan pilkada yang bersih, jujur, adil, taransparan dan profesional. Media elektronik dan media massa cetak merupakan sarana bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, termasuk rekam jejak Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah dalam rangka memberikan pendidikan politik, sehingga pilkada tidak dimaksudkan seperti ―membeli kucing dalam karung‖ .

Esensi Penguatan Pengawasan Pemilihan Kepala Daerah Serentak

Memperhatikan realitas pilkada serentak yang telah berlangsung di Indonesia, baik pada pilkada serentak 2015 sampai dengan 2020 telah berjalan dengan baik, akan tetapi hasil peilkada tidak hanya melahirkan pemimpin-pemimpin baru hasil pilihan rakyat, tetapi juga melahirkan berbagai permasalahan, seperti munculnya fenomena kotak kososng, praktik politik uang yang semakin massif, konflik, sengketa,

Page 18: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 11

bahkan kerusuhan selalu membayangi penyelenggaraan Pilkada. Memang, kondisi ini tidak terjadi di semua daerah, karena ada kepala daerah hasil pilkada yang berhasil memimpin daerahnya.

Dalam kaitan dengan pelaksanaan pilkada Anthon Raharusun mengemukakan:

Namun, jika melihat data bahwa sejak 2004, sudah ratusan lebih kepala daerah dan mantan kepala daerah menjadi tersangka atau dipidana dalam pelbagai perkara korupsi yang tiap tahun terus meningkat. Hal ini tentu menjadi problem tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga Pilkada perlu dibenahi secara komprehensif. Selain itu, besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah disinyalir menjadi salah satu pangkal terseretnya para kepala daerah dalam pusaran penyelewengan anggaran. Permasalahan Pilkada yang semakin menyeruak ini kemudian oleh Kementerian Dalan Negeri –mengambil inisitif untuk menata Pilkada melalui Pilkada serentak sebagai pintu masuk untuk menata sistem penyelenggaraan Pilakda secara menyeluruh agar jauh lebih baik dan efisien (Anthon Raharusun, 2017).

Sejalan dengan realitas tersebut, maka salah satu upaya yang strategis dalam memperbaiki penyelenggaraan pemilukada adalah dengan melakukan penguatan fungsi pengawasan.

1. Penguatan Fungsi Pengawasan pada Badan Pengawas Pemilu

Apabila diperhatikan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka penguatan fungsi pengawasan yang diberikan kepada Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, Panitia Pengawas Lapangan, dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara, sehingga diharapkan dapat menyelenggarakan pemilukada yang lebih adil, bersih, dan demokratis.

Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa alasan perlunya transformasi Bawaslu dalam konteks penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pilkada:

Pertama, transformasi Bawaslu didasarkan pada upaya untuk menguatkan eksistensi masyarakat sebagai principal

Page 19: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

12 –

dari demokrasi. Hal ini bertolak dari semakin lemahnya pengawasan oleh masyarakat ketika ada upaya untuk menguatkan kelembagaan Bawaslu. Karena itu upaya transformasi Bawaslu tersebut juga harus dimaknai sebagai upaya untuk menguatkan peran pengawasan

pemilu oleh masyarakat. Dengan kata lain mengembalikan fungsi pengawasan kepada pemiliknya yakni masyarakat. Kedua, upaya mendorong transformasi Bawaslu juga dipandang sebagai upaya menciptakan sistem penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilu yang efektif dan efisien. Salah satu penyebab dari tidak efektif dan efisiennya penegakan hukum Pemilu adalah terlalu banyak lembaga yang terlibat dalam urusan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilu, sehingga yang terjadi adalah teknis penindakan dan penyelesaian perkara Pemilu menjadi proses yang rumit dan memerlukan waktu yang lama. Akibat banyaknya lembaga yang menangani pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilu adalah terjadi tumpang tindih kewenangan, yang pada akhirnya berdampak pada ketidak pastian hukum. Ketiga, upaya transformasi haruslah menghadirkan sistem penegakan hukum Pemilu yang terintegrasi dan berdaulat (Ramlan Surbakti dan Hari Fitrianto, 2015: 28).

Dalam konteks ini, melalui transformasi tersebut, Bawaslu melalui undang-undang pemilu 2017 bertugas melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu, mengawasi semua tahapan pemilu, mencegah terjadinya praktik politik uang. Bawaslu juga bertugas mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN), netralitas anggota TNI dan Polri, mengawasi pelaksanaan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), putusan pengadilan, keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas ASN, anggota TNI, dan anggota Polri, serta menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu kepada DKPP (Pasal 93 Undang-undang No. 7 Tahun 2017).

Berdasarkan pengaturan tersebut, maka terdapat pergeseran paradigma pengawasan, yang pada awalnya diarahkan pada penemuan pelanggaran (represif), maka saat ini

Page 20: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 13

pengawasan yang diamanahkan untuk mengedepankan pencegahan (preventif) terjadinya pelanggaran. Berdasarkan pergeseran paradigma ini, maka tolak ukur keberhasilan pengawasan tahapan pemilukada yang saat ini sedang berlangsung tidak lagi ditentukan oleh banyaknya temuan pelanggaran dan tindak lanjutnya oleh lembaga pengawas pilkada, melainkan lebih pada seberapa efektif upaya pencegahan pelanggaran pilkada dapat dilakukan oleh lembaga pengawas pemilu.

Dalam konstruksi ini, khususnya dalam pengawasan represif, Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota diperkuat dengan kewenangan memutus sengketa proses Pemilu di Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota (Pasal 98 Ayat (3) huruf c dan Pasal 103 Ayat (3) huruf c Undang-undang No. 7 Tahun 2017).

Realitas demikian menunjukkan, maka keberadaan Bawaslu dan seluruh perangkatnya dalam melakukan pengawasan yang intensif, baik pencegahan dan penindakan secara dini, akan melahirkan fungsi pengawasan yang efektif. Untuk itu sangat diharapkan adanya kerja sama dan kordinasi yang terintegrasi dengan KPU di semua tingkatan dalam melakukan upaya-upaya preventif pengawasan. Dalam hubungan ini, diharapkan baik Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan KPU di daerah harus dapat bersinergi dan menjadi mitra dalam penyelenggaraan pilkada, dan bukan sebaliknya satu sama lain menjadi kompetitor dalam melakukan fungsi pencegahan dan pengawasan pelanggaran yang bersifat administratif dan pidana dalam pilkada.

2. Penguatan Pengawasan Partisipatif

Keberhasilan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas pemilu dalam pemilukada, tentunya harus diimbangi denganpengawasan yang bersifat independen dan partisipasi masyarakat, sehingga berbagai bentuk pelanggaran dapat diketahui oleh lembaga pengawas pemilu pada pemilihan kepala daerah melalui laporan yang disampaikan, baik oleh orang perorangan, organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik.

Pengawasan partisipatif ini sudah diberi ruang oleh Undang-undang No. 10 Tahun 2016 sebagaimana ditentukan

Page 21: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

14 –

dalam Pasal 123 yang menyebutkan ―bahwa pilkada dalam pelaksanaanya dapat dipantau oleh pemantau Pemilihan, baik organisasi kemasyarakatan dalam negeri yang terdaftra di Pemerintah maupun lembaga pemantau Pemilihan asing.

Dalam pelaksanaan pengawasan pilkada serentak ini, maka keberadaan pemantau pemilihan di luar penyelenggara tentunya mempunyai peranan yang signifikan, terutama dalam menemukan berbagai pelanggaran baik yang dilakukan oleh penyelenggara maupun peserta pemilihan kepala daerah, meskipun pemantau pemilihan ini tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penindakan, tetapi tentunya berbagai laporan yang disampaikan harus ditindaklanjuti oleh lembaga pengawas pemilihan, termasuk sentra penegakan hukum terpadu.

Keberadaan lembaga pemantau pemilihan ini tentunya dapat meningkatkan pilkada yang berkualitas, karena semakin banyak pemantau pemilihan yang ikut mengawasi pemilihan kepala daerah, maka penyelenggaraan pemilihan akan semakin terawasi, yang tentunya akan bisa mengurangi potensi terjadinya pelanggaran dan sengketa pilkada. Meski demikian, harus diperhatikan bahwa pemantau pemilihan ini harus terdaftar pada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan tidak mengganggu proses penyelenggaraan pilkada, dengan melaksanakan hak dan kewajiban serta larangan sebagaimana diatur dengan undang-undang.

Selain adanya lembaga pemantau pemilihan, dalam pilkada serentak ini juga harus melibatkan partisipasi masyarakat yang lebih luas sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 131 Undang-undang No. 10 Tahun 2016, terutama dalam melakukan pengawasan pada setiap tahapan pemilihan, sosialisasi pemilihan, pendidikan politik bagi pemilih, survey atau jajak pendapat tentang pemilihan maupun penghitungan cepat hasil pemilihan kepala daerah, dengan ketentuan: tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilihan; bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilihan yang aman, damai, tertib dan lancar.

Page 22: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 15

Memperhatikan pengaturan tersebut, maka penguatan partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, dan meliputi beberapa kegiatan :

Pertama, melakukan pendidikan pemilih. Kedua, melakukan sosialisasi tata cara setiap tahapan Pemilu. Ketiga, melakukan pemantauan atas setiap tahapan Pemilu dan menyampaikan penilaian atas Pemilu berdasarkan hasil pemantauan. Keempat, melaporkan dugaan pelanggaran Pemilu baik pelanggaran Kode Etik Penyelenggara pemilu maupun pelanggaran ketentuan administrasi Pemilu dan pelanggaran ketentuan Pidana Pemilu. Kelima, mendaftarkan diri sebagai pemilih dan mengajak pihak lain untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih (termasuk mengecek nama sendiri dan anggota keluarga lain dalam Daftar Pemilih Sementara). Keenam, menjadi peserta kampanye Pemilu (mendukung peserta Pemilu tertentu dan/atau mengkritik peserta Pemilu lainnya). Ketujuh, memberikan suara pada hari pemungutan suara, menyaksikan proses penghitungan suara di TPS, menjadi Saksi yang mewakili Peserta Pemilu, dan/atau menjadi anggota KPPS/PPS/PPK. Kedelapan, ikut berperan dalam proses pemberitaan tentang Pemilu di media cetak atau proses penyiaran tentang Pemilu di media elektronik. Kesembilan, ikut berperan dalam Lembaga Survey yang melaksanakan proses penelitian tentang Pemilu dan penyebar luasan hasil penelitian kepada masyarakat umum. Kesepuluh, ikut serta dalam proses Penghitungan Cepat (Quick Count) atas hasil Pemilu di TPS dan menyebar-luaskan hasilnya kepada masyarakat. Kesebelas, menjadi relawan untuk memastikan integritas hasil Pemilu dengan merekam dan menyebarluaskan hasil perhitungan suara di TPS kepada masyarakat melalui berbagai media yang tersedia (Ramlan Surbakti dan Hari Fitrianto, 2015: 51).

Penutup Dilihat dari perspektif pengaturan penyelenggaraan

pilkada, terdapat upaya yang signifikan untuk terciptanya pilkada yang demokratis dan berkualitas. Akan tetapi dalam implementasi masih terdapat kelemahan, seperti munculnya

Page 23: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

16 –

fenomena kotak kosong, baik karena persoalan substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum masyarakat yang dapat mencederai nilai-nilai demokrasi, terutama mewujudkan partisipasi politik yang menghendaki adanya alternatif pilihan masyarakat dalam pilkada.

Demikian juga dalam fungsi pengawasan yang telah diperkuat secara normatif, baik oleh lembaga pengawas maupun partisipasi masyarakat harus diimbangi dengan penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan secara efektif, sehingga dapat menciptakan kesadaran hukum masyarakat yang lebih baik, termasuk partisipasi masyarakat yang harus membuka ruang kesadaran politik masyarakat, bukan malah menambah persoalan baru.

Akhirnya, semoga pemilihan kepala daerah serentak yang diselenggarakan di Indonesia dapat mewujudkan pilkada yang bersih dan berkualitas sesuai dengan berbagai pranata hukum yang melingkupinya guna melahirkan para pemimpin daerah yang mengedepankan kepentingan masyarakat, terutama kesejahteraan rakyat dan otonomi daerah.

Daftar Referensi: Anthon Raharusun, Pilkada Serentak dan Penguatan Demokrasi

dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, DPC Peradi, Jayapura, 2017.

Lyman Tower, Sargen, Contemporary Political Ideologies, The Dorsey Press, Chicago, 1984.

Harmaily Ibrahim dan Moh. Kusnardi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, CV Sinar Bakti, Jakarta, 1983.

Ramlan Surbakti dan Hari fitrianto, Transformasi Bawaslu dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu, Kemitraan Partnership, Jakarta 2015

Jurnal Crepido, Volume 02, Nomor 02, November 2020,

Jurnal Ilmu Pemerintahan CosmoGov, Vol. 2, No. 1, April 2020,.

Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang

Page 24: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 17

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang.

Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Bisnis.com, 4 Agustus 2020

Detiknews, 20 April 2017

INDOPOS.CO.ID, 27 Februari 2018.

Metrotvnews.com, Kamis, 26 Februari 2017

Sumutpos.Co, 18 Oktober 2017.

VOA, 8 September 2020

Page 25: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

18 –

Page 26: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 19

REGRESI DEMOKRASI PASCA PEMILU

Ibnu Sina Chandranegara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

[email protected] Pendahuluan Apa yang diharapkan dari kegiatan memilih?. Dalam konteks pembentukan hukum, kegiatan memilih jelas adalah suatu hal yang krusial. Krusial kegiatan memilih bagi praktik ketatanegaran merupakan upaya merealisasikan tujuan yang telah dicita-citakan sebuah negara. Kegiatan memilih dalam suatu tatanan negara bahkan dilekatkan dengan pelaksanaan sebuah kedaulatan.1 Dalam konteks pemilihnya adalah seluruh rakyat, jelas kegiatan pemilihan tersebut menunjukan bahwa letak kedaulatan suatu negara berada ditangan rakyat. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah apakah setelah melakukan kegiatan memilih tersebut si pemilih (baca: rakyat) mempunyai kekuasaan yang sama untuk mencabut pilihan sebelumnya apabila ternyata segala harapan pemilihan jauh dari ekspektasi pencapaian tujuan suatu negara?.

Beragam teori sistem pemerintahan dan konsep negara hukum menghendaki bahwa pemerintahan harus efektif dan terbatas, sehingga efektif dan jaminan adanya suatu limited government menjadikan pemilih harus menerima kenyataan, bahwa apapun hasil pilihannya, siapapun yang terpilih untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan mendapatkan perlindungan hukum untuk terus melaksanakan jabatannya meskipun tidak sesuai harapan, padahal kedaulatan sendiri berada di tangan rakyat.2 Apabila demikian, pemilih seolah-olah memberikan ―cek‖ yang dapat dicairkan tanpa ada upaya kontrol lain dengan bebas dipesta porakan oleh yang terpilih. Sarana

1 Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections,

Clientelism, and the State in Indonesia (Cornell University Press, 2019); Leon D. Epstein, Vernon Bogdanor, and David Butler, ―Democracy and Elections: Electoral Systems and Their Political Consequences.,‖ Political Science Quarterly, 1984, https://doi.org/10.2307/2149962.

2 Angelique Haugerud, ―Elections Without Democracy,‖ The Journal of African History, 2002; Dag Anckar and Carsten Anckar, ―Democracies without Parties,‖ Comparative Political Studies 33, no. 2 (2000): 225–47.

Page 27: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

20 –

untuk memilih tersebut itulah yang kemudian diistilahkan sebagai pemilu.

Analisis sarkastik sebagaimana terurai diatas, merupakan kegelisahan yang umum dialami dalam meninjau pemilu setelah reformasi. Penegasan jujur dan adil sebagai asas pemilu menurut UUD 1945 nyatanya masih jauh menhadirkan elit terpilih yang jujur dan adil, bahkan sebelum pemilu dimulai saja, setiap pihak masing-masing mempersiapkan strategi untuk mempersengketakan proses atau hasil pemilu apabila ada ketidakpuasan. Ironi?, nyatanya sepanjang sejarah hal-hal yang memilukan kerap kali hadir dalam praktek pemilu khususnya dalam era orde baru. Pada era ini, pemilu menjadi teror yang menakutkan bagi masyarakat kecil dikarenakan penyelenggarannya dilakukan dengan berbagai kekerasan politik oleh rezim yang berkuasa. Pemilu era orde baru hanya merupakan alat formal legitimasi yang praktiknya dilakukan dengan mobilisasi dan pemaksaan dalam mendukung pemerintah melalui ―kewajiban‖ memilih Golkar. Hal-hal kelam ini yang pada akhirnya mendapatkan perlawanan dan pada akhirnya meruntuhkan orde baru melalui dan melahirkan era reformasi.3

Sejak jatuhnya Orde Baru di tahun 1998, pemilu di desain sedemikian rupa untuk melenyapkan segala mimpi buruk dimasa lalu. Lembaga penyelenggara pemilu yang sebelumnya dikendalikan oleh Departemen Dalam Negeri berpindak kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dijamin kenetralannya oleh UUD 1945. Pada Pemilu Pertama di era reformasi yaitu Tahun 1999, KPU dikendalikan oleh semua partai politik (parpol) peserta pemilu yang pada saat itu jumlahnya berlipat-lipat dari jumlah parpol di era orde baru.4 Akan tetapi, politik hukum yang

3 Ibnu Sina Chandranegara, Syaiful Bakhri, and Nanda Sahputra Umara,

―Optimalisasi Pembatasan Dana Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Pencegahan Investasi Politik Yang Koruptif,‖ Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 32, no. 1 (February 2020): 30, https://doi.org/10.22146/jmh.47512.

4 Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan daftar stelsel tertutup dan diikuti oleh 48 partai politik, yaitu: Partai Indonesia Baru, Partai Kristen Nasional Indonesia, Partai Nasional Indonesia – Supeni, Partai Aliansi Demokrat Indonesia, Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, Partai Ummat Islam, Partai Kebangkitan Ummat, Partai Masyumi Baru, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Abul Yatama, Partai Kebangsaan

Page 28: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 21

dibangun diawal-awal reformasi kurang baik dikarenakan banyaknya konflik kepentingan antar partai yang menghambat proses pemilu terutama penetapan hasilnya. Oleh karenanya penyelenggarakan pemilu di tahun 2004 dilakukan oleh KPU yang netral dari partai politik peserta pemilu. Sistem pemilu juga dikembangkan melalui beragam modifikasi, mulai dari sistem proporsional tertutup (sistem nomor urut), menjadi sistem proporsional terbuka (sistem urutan suara terbanyak setelah melewati ambang bilangan pemilih pembagi tertentu) dan kemudian menjadi sistem proporsional terbuka murni (tanpa ambang bilangan pemilih tertentu).

Terlepas berbagai pembaruan dan modifikasi yang sudah berjalan 20 tahun belakangan ini, namun persoalan penyelenggaraan pemilu dan bagaimana sikap dalam menerima hasil pemilu masih jauh dari harapan. Beberapa pihak berpendapat pemilu tahun 1999 dianggap lebih fair dibandingkan pemilu-pemilu sesudah itu (pemilu 2004, 2009, dan 2014) dan khususnya pemilu kepala daerah. Pemilu maupun Pemilukada kerap kali berjalan dengan banyak kekerasan politik, kecurangan, dan persaingan yang cenderung brutal. Apabila dimasa lalu beragam kekerasan politik dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya, maka saat ini dilakukan oleh dari peserta pemilu satu dengan peserta pemilu lainnya dan juga secara horizontal dari kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya. Selain itu, maraknya praktik money politics, pencurian suara, penghadangan kebebasan memilih, persaingan tidak sehat antar kandidat baik secara

Merdeka, Partai Demokrasi Kasih Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Rakyat Demokratik, Partai Syarikat Islam, Indonesia 1905, Partai Katolik Demokrat, Partai Pilihan Rakyat, Partai Rakyat Indonesia, Partai Politik, Islam Indonesia Masyumi, Partai Bulan Bintang, Partai Solidaritas Pekerja, Partai Keadilan, Partai Nahdlatul Ummat, Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Republik, Partai Islam Demokrat, Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen, Partai, Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Uni Demokrasi Indonesia, Partai Buruh Nasional, Partai Musyawarah, Kekeluargaan Gotong Royong, Partai Daulat Rakyat, Partai Cinta Damai, Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia, Partai Nasional Bangsa Indonesia, Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia, Partai Nasional Demokrat, Partai Ummat Muslimin Indonesia, Partai Pekerja Indonesia

Page 29: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

22 –

internal parpol maupun secara eksternal dengan kandidat lainnya menjadi fakta yang sulit dinafikan. Akhirnya setelah pemilu, proses penetapan hasil kerapkali menghadirkan kericuhan, bagi kandidat yang ditetapkan sebagai pemenang harus bersiap-siap menghadapi sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi, bagi yang ditetapkan kalah maka banyak yang mengalami frustasi berat sampai menjadi setengah gila, bunuh diri, atau bahkan dililit hutang akibat habis-habisan bertarung di masa kampanye.5

Dengan berbagai macam persoalan sebagaimana terurai, banyak pihak yang pada akhirnya mempersoalkan soal sistem, mekanisme, maupun model demokrasi yang dianut dalam bernegara. Bahkan, terdapat pihak yang secara ekstrem menggugat demokrasi yang dianggap tidak tepat dan mengandung banyak kelemahan. Demokrasi digugat karena dianggap sebagai alat seremonial untuk merampas hak-hak rakyat melalui pemungutan suara. Demokrasi yang oleh Abraham Lincoln disebutnya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, nyatanya bergeser menjadi pemerintahan dari rakyat oleh elit, dan untuk elit. Pemilu kemudian ditempatkan sebagai alat menerapkan demokrasi yang pada akhirnya melahirkan harapan yang jauh lebih sesat daripada yang sebelumnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menguraikan bagaimana menghadapi pemilu serentak yang pastinya berada di dua anggapan yang diamterikal perbedaannya. Disatu sisi pemilu serentak sebagai pembuka harapan baru untuk menutup masalah-masalah yang muncul dimasa lalu, disatu sisi banyak pihak yang beranggapan pemilu serentak hanya akan membawa bentuk demokrasi formalitas semata.

Pemilu dan Demokrasi Formalistis Ibarat pembunuh berdarah dingin, desain struktur dan

fungsi demokrasi Pemilu kali ini, telah menelan ratusan korban jiwa, tanpa ada upaya secara jelas dan pasti yang meyakinkan,

5 Ibnu Sina Chandranegara, Menyoal (Kembali) Regulasi Dana Kampanye,

Makalah untuk Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-5, ―Tantangan Menjaga Daulat Rakyat dalam Pemilihan Umum‖ (Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas), Batusangkar, 9-12 November 2018. hlm 4

Page 30: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 23

bagaimana menghindarinya, apalagi menghentikannya. Korban yang meninggal dan sakit terus bertambah, baik di pihak KPU, maupun di Bawaslu. Tak terkecuali, bahkan korban juga terjadi di pihak kepolisian yang sama kita tahu memiliki daya tahan fisik dan kesehatan yang prima. Lebih menyedihkan lagi, karena desain demokrasi saat ini tidak hanya mematikan jiwa dan raga, tetapi juga rentan mematikan akal sehat dan hati nurani dalam menilai sebuah fakta kebenaran dalam berdemokrasi. Realitas praktik demokrasi kita saat ini telah membelah rakyat dalam perkubuan persepsi yang masing-masing meyakini menang.6

Pipa Norris mengemukakan ―Truth has been displaced be Believability‖.7 Kebenaran telah digantikan oleh kepercayaan. Dalam kontestasi demokrasi, kepercayaan itu akan bermetamorfosis menjadi prinsip bahwa pihaknyalah yang benar dan menang. Keyakinan semacam itu, akan semakin menguat di tengah terjadinya distrust yang masif dan sistematis terhadap praktik otoritas fungsional lembaga demokrasi. Celakanya, kemudian diperparah oleh persepsi publik atas menguatnya dugaan keberpihakan dan pengabaian standar obyektivitas media mainstream, khususnya beberapa media penyiaran (TV) dalam menyiarkan liputan Pemilu. Sesungguhnya, fenomena keberpihakan media tersebut telah terjadi sejak Pemilu Presiden 2014.8

Memang, dalam politik, kemenangan itu, tidak selalu identik dan atau seiring dengan kebenaran. Keyes pun menyatakan, bahwa di era Post Truth, kebenaran dan kejujuran tidak lagi absolut. Tetapi meski pun demikian, sebuah sistem demokrasi, seharusnya bisa menyediakan mekanisme dan prosedure sistem koreksi diri, untuk mengungkap dan memenangkan kebenaran yang telah dimanipulasi atau disembunyikan karena terjadinya penunggangan untuk

6 Alexander R Arifianto, ―What the 2019 Election Says about Indonesian

Democracy,‖ Asia Policy 26, no. 4 (2019): 46–53. 7 Pippa Norris, Richard W Frank, and Ferran Martinez i Coma, ―Assessing the

Quality of Elections,‖ Journal of Democracy 24, no. 4 (2013): 124–35; Epstein, Bogdanor, and Butler, ―Democracy and Elections: Electoral Systems and Their Political Consequences.‖

8 Nuurrianti Jalli and I Idris, ―Fake News and Elections in Two Southeast Asian Nations: A Comparative Study of Malaysia General Election 2018 and Indonesia Presidential Election 2019,‖ 2019.

Page 31: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

24 –

pemamfaatan celah kecacatan sistem demokrasi itu sendiri.9 Dalam sebuah kontestasi demokrasi, terlebih jika sistem dan praktik demokrasi itu tidak menjadikan nilai moralitas, etik, dan spiritual agamis sebagai fundamental value, praktik kecurangan sangat mungkin terjadi, baik di rana opini publik, terlebih di ranah struktur prosedur sistem Pemilu untuk menjadikan paktik kecurangan menuju kemenangan. Kekhawatiran itu semakin menguat, ketika aspek transparansi hanya bersifat retorika dalam wacana publik berdasarkan kalimat undang-undang yang rapih, tanpa pernah teruji dan terbukti dalam praktik demokrasi Pemilu yang saat ini tengah berproses.

Sejatinya, desain sistem demokrasi Pemilu kita, bisa mencegah kemarahan publik di muara tahapan Pemilu, dengan jalan menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa di tahap terendah lebih awal secara cepat dan murah, serta menyediakan mekanisme banding untuk menguji kebenaran sebuah keadilan politik pada putusan legalitas hukum di tingkat selanjutnya. Hal ini juga bisa menjadi moment pendidikan politik untuk berkesadaran hukum dalam bernegara. Politik tanpa bingkai hukum adalah otoritarian kekuasaan. Sebaliknya, hukum tanpa politik adalah kemandulan visi orientasi sebuah kekuasaan. Keduanya tidak boleh terpisah dalam balutan etika moral politik. Namun ketiga hal tersebut, seolah buram di mata rakyat dalam berdemokrasi. Saat ini Indonesia, praktik demokrasi dan oleh dunia telah dianggap terdepan dalam praktik prosedur demokrasi. Meski pun masih belum secara subtansial dalam berdemokrasi.10 Artinya praktik demokrasi kita masih dalam aras retorika politik yang indah dalam wacana publik. Sesungguhnya, rakyat sudah sangat siap berdemokrasi, dalam arti bisa menerima dan melaksanakan konsep demokrasi yang disodorkan oleh pemerintahan negara. Masalahnya kemudian, adalah desain model dan konsep praktik demokrasi yang ditawarkan oleh pemerintahan negara, belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan hak dan kebutuhan kedaulatan rakyat dalam berdemokrasi. Konsep demokrasi sebagai keputusan politik negara, masih dimuati bias kepentingan elite

9 Steven Levitsky and Lucan Way, ―Elections without Democracy: The Rise of

Competitive Authoritarianism,‖ Journal of Democracy, 2002. 10 Edward Aspinall and Marcus Mietzner, ―Southeast Asia‘s Troubling

Elections: Nondemocratic Pluralism in Indonesia,‖ Journal of Democracy 30, no. 4 (2019): 104–18.

Page 32: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 25

politik partai untuk kelanggengan kekuasaan.11 Kedaulatan rakyat masih diposisikan sebagai obyek politik. Sementara itu, pendidikan politik untuk pemenuhan kualitas demokrasi, masih tersandera oleh keterbatasan dan kepentingan untuk kebutuhan partai. Masalahnya kemudian tidak tambah terselesaikan, karena masih ada diantara partai yang dikelola laksana perusahaan milik keluarga, demi mengejar keuntungan politik keluarga ataupun untuk kepentingan politik oligarki. Padahal partai sebagai alat kepentingan rakyat, seharusnya dikelola atas dasar kepentingan dan kebutuhan dari rakyat untuk rakyat dan dengan rakyat.

Kedaulatan rakyat telah dimanipulasi tanpa tersadarai oleh rakyat bahwa artikulasinya itu, sesungguhnya bukan untuk dirinya, tetapi hanya lewat dari dirinya sebagai rakyat, sebagaimana yang dinormakan oleh undang-undang. Nampaknya, Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 membawa harapan baru terkait penyempurnaan penyelenggaraan pemilu yang sepenuhnya diamanatkan oleh UUD 1945. Pemilu yang kerapkali disebut-sebut sebagai ‗pesta rakyat‘ dalam demokrasi dan seringkali pula pemilu disebut ‗pesta demokrasi‘ nyatanya sulit menghindari fakta sejarah yang sesungguhnya kelam. Di masa-masa lalu pemilu merupakan ‗sarana demokrasi‘ yang sesungguhnya bekerja rapi dalam suatu sistem ‗politik bonsai‘. Ia tumbuh, dirawat dan berkembang, sekalipun indah, tetapi dalam pagar dan tak pernah besar‘. Pemilu, dalam situasi itu hanya melegitimasi kepentingan kuasa otoritarian dari rezim Soeharto yang begitu militeristik. Tak hanya pemilu, segala infrastruktur ketatanegaraan telah dikendalikan secara dominan dengan piranti ideologisasi dan pendisiplinan. Kuasa otoritarianisme secara politik itu bertahan dalam kurun panjang, berlangsung secara terus menerus, hirarkis, dan tak segan memangsa korban warga negaranya, yang mengkritiknya, atau bahkan sekadar kriminalisasi atas upaya golput (boikot pemilu).

Demokratisasi politik melalui instrumentasi hukum pemilu yang telah mengalami sejumlah perubahan lebih baik khususnya setelah orde baru, pada kenyataannya tidak banyak mengubah

11 Vedi Hadiz and Richard Robison, ―Neo-Liberal Reforms and Illiberal

Consolidations: The Indonesian Paradox,‖ The Journal of Development Studies 41, no. 2 (2005): 220–41; Alexander R Arifianto, ―What the 2019 Election Says about Indonesian Democracy,‖ Asia Policy 26, no. 4 (2019): 46–53; Arifianto.

Page 33: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

26 –

kontestasi politik kartel. Oligarki kekuasaan politik-ekonomi rupanya secara rapi bermanuver melalui instrumentasi hukum untuk merawat relasi kuasanya. Sehingga, dalam perkembangannya, pemilu lagi-lagi memperlihatkan pesta elit, yang memang tak lagi tersentralisasi layaknya masa rezim otoritarian Soeharto, melainkan elit-elit politik ekonomi yang bekerja di sejumlah lapisan, di pusat dan daerah, berkompetisi sekaligus merawat relasi kuasanya (bahkan dengan oposisi), dengan partai dan instrumen pemilunya.12 Sebagaimana kita saksikan dengan Pemilu 2014, partai-partai begitu mendominasi, memiliki daya tawar mempengaruhi pemerintahan, dan bahkan uniknya bisa mengikutsertakan mereka ke dalam kabinet, meski tak memberikan dukungan saat pilpres. Apalagi dengan kenyataan saat ini yang mempertahankan ambang batas dalam pemilihan presiden (presidential threshold)13 serta beratnya syarat kepesertaan pemilu, menjadi penanda bahwa instrumentasi hukum pemilu dikunci kembali masuk dalam perangkap oligarki politik yang demikian mudah menangguk keuntungan dari sistem pemilu saat ini.

Sebagaimana banyak diketahui bahwa aturan presidential threshold akan melahirkan proses politik yang demikian pragmatis dan transaksional di antara partai-partai politiknya. Syarat ambang batas tersebut pencalonan presiden/wakil presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional menyebabkan tidak ada satu pun partai hasil Pemilu 2014 dapat mengusung calon presiden/wakil presiden sendiri. Bukan tak mungkin, dalam Pemilu 2019, situasi tersebut akan berulang. Pengalaman pemilu 2014 dan 2019, hanya melahirkan dua pasang calon presiden/wakil presiden. Realitas politik yang saling berhadap-hadapan (head to head) tersebut dari sudut pandang realisme politik, justru menebalkan praktik koalisi politik pragmatisme. Bila dibandingkan dengan konteks politik pemilu di Amerika Serikat, tentu berbeda situasi dan

12 Dan Slater, Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing

and The Contingency of Democratic Opposition. (Journal of East Asian Studies. Vol. 18, Issue 1, Maret 2018). hlm 29

13 Presidential threshold ini terkait dengan Pasal 222 UU Pemilu: ―Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Page 34: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 27

karakternya, terutama dikaitkan dengan absennya pertarungan politik yang lebih ideologis. Indonesia, praktek pemilu yang ‗head to head‘, justru lebih menampilkan karakter ‗politik keroyokan‘ (gang politics), daripada karakter ‗politik ideologis‘ (ideological politics).14

Bahaya lain, yang sangat mungkin terjadi akibat ‗politik keroyokan‘ adalah dimungkinkannya partai-partai yang kesulitan mendapatkan koalisi tidak lagi berkemampuan mengusung calon presiden/wakil presiden. Dilema tentunya buat partai politik yang prosentase perolehan suara dan atau kursinya sedikit. Abstain, tentu bukan pilihan. Menjadi oposisi pun tak berdaya dalam sistem politik. Karena, dalam ketentuan pasal 235 (5) UU Pemilu, ―Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.‖ Dalam konteks inilah, maka sangat dimungkinkan dengan ‗politik keroyokan‘ justru melahirkan kartel politik peserta pemilu, atau disebut pula ‗koalisi kartel‘15 atau ‗cartelized party system‘16 Alih-alih untuk memperkuat sistem presidensial, yang justru hadir adalah berpandangan sebaliknya dengan argumen hukum putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa kedudukan kelembagaan kepresidenan yang kuat dan bertahan dalam sistem demikian adalah lebih terkait dengan sejauh mana presiden/wakil presiden terpilih dapat mengakomodasi kepentingan koalisi kartel tersebut, dan kebijakan-kebijakan yang ramah dengan kuasa kartel (cartel friendly policies). Sehinggabila kombinasi sistem pultipartai-presidensial-proporsional terbuka membutuhkan ambang batas pencalonan presiden/wakil presiden, bisa dilakukan simulasi untuk mencari syarat ideal. Syarat yang ideal itu ialah mendorong formula pemilu presiden/wakil presiden sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945, yaitu Pilpres yang menghasilkan calon

14 Herlambang P Wiratraman, Politik Berlusconian dan Kebebasan Pers di

Indonesia: Studi Sosio-Legal, dalam R Siti Zuhro dan Zainuddin Maliki (eds) Membangun Negeri Memihaki Bangsa Sendiri: Buku 1. (Surabaya: Hikmah Press. 2017). Hlm 413

15 Moch. Nurhasim, ―Ambang Batas Pencalonan dan Kecenderungan Koalisi‖, Kompas, 8 November 2018.

16 Kuskridho Ambardi, The Making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized Party System and Its Origin. (PhD Dissertation, The Ohio State University. 2008) hlm 66

Page 35: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

28 –

presiden/wakil presiden yang menang 50 persen + 1 (majority), bukan calon presiden yang menang suara terbanyak (plurality).17

Neo-otoritarianisme dan perangkapnya Apabila merujuk kepada Woo-Cumings yang menggunakan

istilah ‗otoritarianisme baru‘ untuk mendeskripsikan tipe ideal ‗statist utopia‘ yang dijalankan pasca-Mao China, sebagaimana elit Partai Komunis berusaha untuk memodelkan developmentalisme yang dipimpin negara (state-led developmentalism), seperti pada pengalaman Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Dia membandingkan ‗otoritarianisme baru‘ dengan ‗otoritarianisme birokrasi lama‘ yang telah dipelajari oleh ahli teori ketergantungan dalam memahami sistem dunia semi-marginal di Amerika Latin. Melalui intervensi negara dalam pemerintahan dan pasar, ‗otoritarianisme baru‘ memberikan stabilitas politik dan keuangan bagi program pembangunan industrialisasi berorientasi ekspor.18 Ringkasnya, neo-authoritarianism menggambarkan suatu sistem yang memiliki karakteristik-karakteristik berikut: (i) ekonomi adalah kapitalis yang diliberalisasi atau meliberalisasikan; (ii) negara memiliki kepemilikan luas atas alat-alat produksi dan terus berpartisipasi dalam ekonomi kapitalis melalui perusahaan-perusahaan yang berorientasi laba yang terdesentralisasi; (iii) institusi masyarakat sipil dan ranah publik diatur secara ketat atau dikontrol oleh negara, yaitu otoritarianisme; (iv) elit penguasa mempertahankan jaringan ahli teknokratis, pengusaha publik, dan kapitalis lokal; dan (v) elit penguasa mempertahankan hegemoni dengan memobilisasi persetujuan untuk ideologi yang memiliki perbedaan peradaban dan pembedaan yang berakar pada identitas kelompoknya.19

Warisan otoritarianisme merupakan salah satu aspek masalah yang tentu saja membutuhkan tingkat penekanan yang signifikan dalam kasus Indonesia. Segera setelah jatuhnya Soeharto, kekuatan-kekuatan sosial yang tidak secara langsung diasuh oleh tatanan baru dan, oleh karena itu, mungkin

17 Moch Nurhasim,. ―Ambang Batas Pencalonan…Op. Cit 18 Kim Yung- myung, Understanding East Asian Political Systems: Origins,

Characteristics, and Changes, (Sungkyun Journal of East Asian Studies, Vol. 3, No. 1, 2003), hlm 48

19 Herlambang P Wiratraman, Politik Berlusconian……Op. Cit, hlm 418

Page 36: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 29

memiliki kepentingan dalam menantang sistem kapitalisme predator yang ditempa (misalnya, bagian dari kelompok intelektual dan profesional liberal di masyarakat, atau kelas pekerja atau kaum tani yang terpinggirkan secara politis) tidak mampu berorganisasi dan berkembang menjadi kekuatan sosial yang koheren. Sementara proses politik yang berkembang terus menaikkan peran rezim lama secara lebih terorganisasi, koheren dan diberkahi dengan sumber daya material, dan diuntungkan dengan bentuk demokrasi liberal yang terutama harus dijalankan oleh logika politik uang. Singkatnya, elemen-elemen ini lebih baik diposisikan daripada yang lain dalam mengambil keuntungan dari pembukaan politik Indonesia setelah 1998.20 Dalam studi Vedi R Hadiz ia bahkan mengambil contohkasus pemilihan Gubernur di Jawa Timur tahun 2003, khususnya untuk memahami bagaimana bekerjanya politik uang dan pemilihan umum di Indonesia pasca-otoriter, terutama sebelum lembaga pemilihan umum langsung di tahun 2005. Rusuh politik dalam pemilu memang tidak terjadi karena dikontrol kuat. Sekalipun demikian tak berarti damai situasinya, karena terdapat ketegangan-ketegangan karena adanya tekanan dari preman maupun milisi sipil untuk mendatangi kandidat-kandidat yang berproses dalam elektoral, sebagai kompensasi pengamanan atas praktik culasnya.

Kenyataan berdemokrasi dalam konteks demikian, kontestasi politik dalam pemilu menjadi kendaraan untuk legitimasi sekaligus merasionalisasi kepentingan privat di ruang publik. Akibatnya, ruang publik sebagai kendaraan aspirasi rakyat tidak terjadi secara bermakna. Tak mengherankan, absennya ruang publik menyebabkan pengawalan demokrasi semakin lemah. Sehingga tak terhindarkan bahwa rezim tirani kian dan terus menguat menguasai ruang publik politik untuk menegosiasikan (bahkan memaksakan) aspirasi-aspirasi privatnya. Para aktor itu memiliki determinasi ekonomi dan kekuasaan politik.21 Demokrasi, dalam arti lebih susbtantif, justru menjadi presentasi keprivatan. Dengan penjelasan 20 Vedi R. Hadiz,. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast

Asia Perspective. (California: Stanford University Press. 2010) hlm 119 21 Herlambang P Wiratraman, Pemilu dan Neo Otorianisme, Makalah untuk

Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-5, ―Tantangan Menjaga Daulat Rakyat dalam Pemilihan Umum‖ (Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas), Batusangkar, 9-12 November 2018. 10

Page 37: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

30 –

demikian, maka pertanyaannya, apakah realitas politik hukum pemilu memiliki kerangka hukum yang bisa membatasi, atau keluar dari perangkap neo-otoritarianisme? Tidak mudah tentunya.

Pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, menarik kita simak apa yang terjadi dalam kasus kemenangan kotak atau kolom kosong atas pasangan calon tunggal di Kota Makassar. Kotak kosong di Kota Makassar memperoleh suara lebih besar dari pasangan Munaffri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Apa yang terjadi dalam kasus tersebut merupakan ekspresi politik perlawanannya terhadap kesewenang-wenangan koalisi parpol yang mengusung satu calon yang jelas tidak sesuai aspirasi publik meskipun sah secara hukum. Itu sebabnya, politik hukum regulasi pemilu harus diarahkan untuk membatasi atau bahkan melawan koalisi partai politik yang hendak memangsa ruang publik menjadi artikulasi kepentingan privatnya. Sejumlah dinasti politik yang telah lama berkuasa dan berkontestasi dalam pemilu memang telah banyak yang gagal memenangkan Pilkada 2018. Namun, ini tak berarti ada jaminan tak berulang di masa depan, karena politik dinasti dalam pemilu merupakan cerminan dari kuat dan bertahannya neo-authoritarianism. Cerminan dari otokrasi yang menggunakan langkah secara tidak demokratis untuk meneguk keuntungan pembangunan ekonomi. Lalu, bagaimana ideal politik hukum regulasi pemilu untuk menopang perlawanan atas praktik dinasti politik, upaya untuk membatasi bekerjanya kuasa neo-otoritarianisme, serta mendorong proses-proses demokratisasi?

Penutup Fenomena sebagaimana terurai, bukan lagi semata soal

resistensi bekerjanya politik kartel, melainkan lebih dari itu, yakni masih bekerjanya sel politik koruptif warisan rezim otoritarian Soeharto. Kepentingan untuk tetap bisa menggunakan medium pemilu sebagai sarana kontestasi demokratik dalam rangka terus bisa memproduksi sekaligus mendulang keuntungan pembangunan politik ekonomi. Platform ideologis partai, sebenarnya tidak dijadikan sumber kekuatan dan perubahan politiknya, melainkan lebih pada memperjumpakan sekaligus merawat kepentingan reproduksi modal, melalui organ-organ ketatanegaraan yang diisi

Page 38: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 31

formasinya melalui pemilu. Otoritas yang diperoleh melalui saluran demokrasi elektoral dalam pemilu, menjadi dasar pembenar untuk lebih bisa mengartikulasikan kepentingan-kepentingan reproduksi tersebut secara lebih legal, dan secara praktik politik lebih bisa diterima. Sebagai contoh, dalam suatu kontestasi pemilu di daerah, suatu korporasi yang memperoleh keuntungan dari eksploitasi eksesif sumberdaya alam dan kerap merusak ekologi (lingkungan), akan selalu mengincar kontestan dalam politik elektoral yang bisa merepresentasikan pihak yang mengamankan usaha bisnis tersebut. Atau bahkan, pemilik korporasi itu sendiri yang terjun dalam dunia politik untuk ikut mengamankan jaringan ekonomi politik reproduksi modalnya. Bagi mereka, keikutsertaan dalam pemilu melengkapi sarana formal-demokratis yang memastikan lingkar kekuasaan memberikan keamanan, yang tidak cukup hanya mengandalkan organ-organ kekerasan yang diprivatkan mengamankannya (privatised gangsterism).

Fase ini sesungguhnya praktek yang telah tumbuh subur di masa otoritarianisme Soeharto, namun yang tersaksikan saat ini lebih pada politik lokal yang benihnya telah terinkubasi lama dalam tradisi dan sistem warisan otoritarianisme itu sendiri. Ini yang disebut oleh Vedi R Hadiz sebagai ‗re-link the experiences of post-authoritarianism with the localisation of power‘.22 Itu sebabnya, politik hukum regulasi pemilu ke depan menjadi penting untuk mengagendakan secara kuat dengan benteng demokrasi yang tak hanya menjalankan ‗pesta dan ritualitas‘ lima tahunan. Hukum pemilu harus menata bagaimana, oligarki kuasa lokal (berikut dinasti politik) yang saling bertarung memanfaatkan ‗zona nyaman neo-otoritarianisme‘, bisa dilawan atau setidaknya dibatasi dominasinya dalam sistem politik elektoral Indonesia. Politik hukum pemilu ke depan harus memiliki kemampuan menyaring kepemimpinan politik yang lebih berintegritas, tidak hanya soal menjamin pluralitas calon, atau menyisir para aktor politik yang koruptif, melainkan pula kemampuannya mendepak calon-calon yang jelas terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan lingkungan dan jenis kejahatan pidana lainnya yang telah diberikan kerangka hukumnya oleh UU Pemilu.

22 Vedi R. Hadiz,. Localising Power in…….Op. Cit, hlm 200

Page 39: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

32 –

Daftar Pustaka Alexander R Arifianto, ―What the 2019 Election Says about

Indonesian Democracy,‖ Asia Policy 26, no. 4 (2019): 46–53.

Angelique Haugerud, ―Elections Without Democracy,‖ The Journal of African History, 2002

Dag Anckar and Carsten Anckar, ―Democracies without Parties,‖ Comparative Political Studies 33, no. 2 (2000): 225–47.

Dan Slater, Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and The Contingency of Democratic Opposition. (Journal of East Asian Studies. Vol. 18, Issue 1, Maret 2018). hlm 29

Edward Aspinall and Ward Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia (Cornell University Press, 2019)

Edward Aspinall and Marcus Mietzner, ―Southeast Asia‘s Troubling Elections: Nondemocratic Pluralism in Indonesia,‖ Journal of Democracy 30, no. 4 (2019): 104–18.

Herlambang P Wiratraman, Pemilu dan Neo Otorianisme, Makalah untuk Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-5, ―Tantangan Menjaga Daulat Rakyat dalam Pemilihan Umum‖ (Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas), Batusangkar, 9-12 November 2018.

Ibnu Sina Chandranegara, Syaiful Bakhri, and Nanda Sahputra Umara, ―Optimalisasi Pembatasan Dana Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah Sebagai Pencegahan Investasi Politik Yang Koruptif,‖ Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 32, no. 1 (February 2020): 30, https://doi.org/10.22146/jmh.47512.

Ibnu Sina Chandranegara, Menyoal (Kembali) Regulasi Dana Kampanye, Makalah untuk Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-5, ―Tantangan Menjaga Daulat Rakyat dalam Pemilihan Umum‖ (Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas), Batusangkar, 9-12 November 2018. hlm 4

Kim Yung- myung, Understanding East Asian Political Systems: Origins, Characteristics, and Changes, (Sungkyun Journal of East Asian Studies, Vol. 3, No. 1, 2003)

Page 40: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 33

Kuskridho Ambardi, The Making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized Party System and Its Origin. (PhD Dissertation, The Ohio State University. 2008)

Leon D. Epstein, Vernon Bogdanor, and David Butler, ―Democracy and Elections: Electoral Systems and Their Political Consequences.,‖ Political Science Quarterly, 1984, https://doi.org/10.2307/2149962.

Moch Nurhasim,. ―Ambang Batas Pencalonan dan Kecenderungan Koalisi‖, Kompas, 8 November 2018.

Nuurrianti Jalli and I Idris, ―Fake News and Elections in Two Southeast Asian Nations: A Comparative Study of Malaysia General Election 2018 and Indonesia Presidential Election 2019,‖ 2019.

Pippa Norris, Richard W Frank, and Ferran Martinez i Coma, ―Assessing the Quality of Elections,‖ Journal of Democracy 24, no. 4 (2013): 124–35

R Siti Zuhro dan Zainuddin Maliki (eds) Membangun Negeri Memihaki Bangsa Sendiri: Buku 1. (Surabaya: Hikmah Press. 2017)

Steven Levitsky and Lucan Way, ―Elections without Democracy: The Rise of Competitive Authoritarianism,‖ Journal of Democracy, 2002.

Vedi R. Hadiz,. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. (California: Stanford University Press. 2010)

Vedi Hadiz and Richard Robison , “Neo-Liberal Reforms and Illiberal Consolidations: The Indonesian Paradox,” The Journal of Development Studies 41, no. 2 (2005): 220–41.

Page 41: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

34 –

Page 42: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 35

PENYELESAIN SENGKETA PEMILIHAN UMUM YANG

BERBEDA DAN BERUBAH DI INDONESIA

Budiman N.P.D Sinaga Dosen Fakultas Hukum HKBP Nomensen

Pendahuluan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) antara lain telah menambahkan Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi: ―Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal lain yang dihasilkan Perubahan Ketiga UUD 1945 adalah Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi: ―Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Beberapa ketentuan baru hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 di atas telah melahirkan lembaga negara baru bernama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan kewenangan sebagai berikut: Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Memutus pembubaran partai politik, dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Satu dari beberapa kewenangan itu berkaitan langsung dengan pemilihan umum, yakni kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewenangan MK

Page 43: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

36 –

yang lain sebenarnya berhubungan juga dengan pemilihan umum walaupun tidak secara langsung terkhusus kewenangan pembubaran partai politik karena partai politik merupakan peserta pemilihan umum yang terutama dan terpenting. Dapat dikatakan hanya pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tidak melibatkan partai politik. Meskipun diakui atau tidak diakui masih ada saja kaitan antara Partai Politik dengan pemilihan anggota DPD karena pada kenyataanya cukup banyak anggota DPD yang sebelumnya merupakan anggota partai politik.

Kemunculan suatu ketentuan baru, termasuk ketentuan dalam Undang-Undang Dasar, sering dilatarbelakangi permasalahan yang terjadi pada masa lalu. Ketentuan tentang salah satu kewenangan MK, yakni memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dapat diduga dilatarbekangi kenyataan pada masa lalu ada permasalahan berkaitan dengan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kalaupun pada masa itu sudah ada lembaga yang diberikan kewenangan menangani perselisihan tentang hasil pemilihan umum tetapi dianggap belum memadai sehingga harus dibentuk lembaga baru bahkan lembaga negara baru.

Kehadiran MK sebagai lembaga yang secara khusus menangani perselisihan tentang hasil pemilihan umum sejak beberapa tahun lalu patut disyukuri karena telah menyelesaikan banyak perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Meskipun belum dapat dikatakan telah menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum dengan hasil yang dapat diterima atau memuaskan semua pihak yang terlibat. Ketidakpuasan salah satu pihak atau sebagian pihak yang bersengketa memang menjadi hal yang biasa dalam penyelesaian sengketa tetapi bukan berarti tidak mungkin dihilangkan sama sekali.

Ketegasan pengaturan mengenai kewenangan MK menangani perselisihan tentang hasil pemilihan umum dalam UUD 1945 tentu bukan tanpa alasan dan kelebihan tetapi mengandung kelemahan pula. Ketegasan itu seolah-olah menyatakan bahwa perselisihan tentang hasil pemilihan umum merupakan satu-satunya perselisihan atau permasalahan yang berkaitan dengan pemilihan umum. Padahal banyak perselisihan lain yang berkaitan dengan pemilihan umum. Terlebih pengertian pemilihan umum sendiri masih sering diperdebatkan ketika memasukkan pemilihan kepala daerah atau pemilihan

Page 44: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 37

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Sebagaimana telah disampaikan bahwa menurut Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh MK melainkan oleh Mahkamah Agung (MA) juga. Permasalahan pemilihan umum yang menjadi kewenangan MK berdasarkan Pasal 24C ayat (1) hanya menangani perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan ketentuan ini, apakah permasalahan lain secara otomatis menjadi kewenangan MA? Apakah masih terbuka kemungkinan lembaga selain MK dan MA yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan dapat menangani perselisihan yang berkaitan dengan pemilihan umum? Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan saya tertarik melakukan penelitian dan menulis paper dengan judul: Penyelesain Sengketa Pemilihan Umum Yang Berbeda dan Berubah di Indonesia.

Pembahasan Dan Analisis A. Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan dan Peradilan Kekuasaan adalah kapasitas untuk memengaruhi sikap dan perilaku orang lain dalam arah yang diinginkan. Wewenang adalah hak untuk memengaruhi orang lain dengan cara tertentu dan menjadi dasar yang penting dalam organisasi formal.23 Dalam rangka kekuasaan kehakiman bisa digunakan beberapa istilah, yaitu pengadilan, peradilan, dan mengadili menurut Jimly Asshiddiqie.24 Lantas, apakah istilah-istilah itu mempunyai arti yang sama atau berbeda?

Istilah pengadilan, peradilan, dan mengadili bukanlah istilah-istilah yang baru muncul. Istilah-istilah ini telah dikenal masyarakat secara luas dan digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Akan tetapi pemahaman masing-masing bisa saja berbeda bahkan bertentangan satu sama lain. Kenyataan ini bahkan bisa terjadi di kalangan para ahli ketika menjelaskan mengenai pengadilan dan peradilan.

23 Yukl Gary, Kepemimpinan Dalam Organisasi, 7th ed. (Jakarta: Indeks, 2015), 212. 24 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008), 509.

Page 45: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

38 –

Menurut Sjachran Basah, penggunaan istilah pengadilan ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan, sedangkan peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan di dalam rangka menegakkan hukum atau ―het rechtspreken‖. Jadi pengadilan itu bertalian erat dengan peradilan, namun pengadilan bukanlah merupakan satu-satunya wadah yang menyelenggarakan peradilan.25 Berdasarkan pendapat ini terbuka kemungkinan lembaga lain, selalin MK dan MA, menyelenggarakan peradilan untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan perselisihan pemilihan umum yang lain.

Lebih lanjut Sjachran Basah menjelaskan bahwa peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum ―in concreto‖ dalam mempertahankan dana menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.26 Peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, karena tidak tahu apa yang akan dijelmakannya, sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar (dapat bertindak semaunya) sebab tidak ada batas-batas yang jelas dalam melakukan wewenangnya.27 Penjelasan yang lebih ringkas disampaikan Jimly Asshiddiqie dengan mengatakan bahwa pengadilan itu menunjuk kepada pengertian organnya, sedangkan peradilan merupakan fungsinya.28

Dari berbagai pendapat di atas dapat diketahui bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dapat dijalankan oleh pengadilan jika dimaknai sebagai peradilan. Oleh sebab itu, terbuka kemungkinan penyelesaian berbagai perselisihan pemilihan umum dilakukan oleh lembaga lain selain pengadilan. Meskipun tetap saja ada kemungkinan kembali ke pengadilan ketika para pihak masih belum puas dengan penyelesaian perselisihan yang dilakukan di luar pengadilan.

Dalam hal penyelesaian perselisihan pemilihan umum sebenarnya sejak beberapa tahun lalu sudah ada lembaga di luar

25 Basah Sjachran, Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia (Bandung: Alumni, 1997), 23–24. 26 Ibid., 29. 27 Ibid., 31. 28 Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori, & ILMU HUKUM: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), 343.

Page 46: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 39

pengadilan yang diberikan wewenang menyelesaikan perselisihan atau sengketa pemilihan umum antara lain Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Akan tetapi dalam perkembangannya lembaga ini menjadi semakin menyerupai pengadilan terutama proses yang dijalankannya. Selain itu, terhadap putusan dari lembaga ini terbuka kemungkinan dilanjutkan ke Pengadilan jika masih belum memuaskan para pihak sehingga terkesan masih merupakan bagian dari pengadilan.

B. Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno29 pernah mengingatkan bahwa kita harus sadar, bahwa nilai-nilai yang lebih banyak berkembang dewasa ini secara nasional maupun internasional semakin cenderung bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Secara ideologis kita sudah semakin jauh dari ideologi Pancasila dan cenderung liberalistis, yang mengakibatkan masyarakat semakin kurang peduli terhadap lingkungannya dan lebih mementingkan kehidupan pribadi daripada kehidupann bersama. Masyarakat yang semula berkembang dalam kehidupan demokrasi musyawarah/mufakat akhirnya tersesat ke dalam kehidupan politik antar kelompok yang cenderung lebih mementingkan kelompok daripada kepentingan masyarakat luas secara bersama-sama (gotong-royong). Padahal pelaksanaan pemilihan umum sejatinya merupakan sebagian dari pelaksanaan atau pengamalan dari sila-sila Pancasila.

Berdasarkan pernyataan Try Sutrisno di atas, tidak perlu heran jika penyelesaian sengketa pemilihan umum juga semakin cenderung bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila terutama musyawarah untuk mufakat. Sejak beberapa tahun belakangan ini dapat dikatakan sebagian besar bahkan hampir seluruh sengketa pemilihan umum diselesaikan lewat pengadilan. Padahal penyelesaian sengketa semacam ini lebih banyak menimbulkan ketidakpuasan bagi para pihak. Termasuk pihak-pihak yang menurut istilah umum dikatakan sebagai pihak yang menang.

29 Sutrisno Try, ―Kembali Ke Cita-Cita Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945,‖ in 70 Tahun Indonesia Merdeka, ed. Baktinendra Prawiro (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2015), 17.

Page 47: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

40 –

Tujuan hukum berdasarkan Cita Hukum Pancasila adalah mewujudkan pengayoman bagi manusia, yakni melindungi manusia secara pasif dengan mencegah tindakan sewenang-wenang dan secara aktif dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh.30

Sementara itu, tujuan penyelenggaraan pemilihan umum (general election) pada pokoknya adalah untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai, untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan, untuk melaksanakan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, dan untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.31 Terjadinya ketertiban dan perdamaian merupakan tujuan pemilihan umum. Oleh sebab itu, ketika terjadi sengketa pemilihan umum maka penyelesaian sengketa pemilihan umum pun harus dipilih penyelesaian sengketa yang akan menghasilkan ketertiban dan perdamaian.

Penegakan hukum pada masyarakat yang relatif homogen di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, semestinya berbeda dengan penegakan hukum pada masyarakat majemuk (bhineka). Pada masyarakat majemuk, politik hukum penegakan hukum yang serba menyamakan (uniformitas) dapat menimbulkan masalah politik, ekonomi maupun sosial. Karena itu politik hukum seperti unifikasi harus dipertimbangkan dengan matang kemanfaatannya pada masyarakat majemuk (heterogen).32 Penyelesaian sengketa pemilihan umum yang sukses bagi suatu masyarakat tertentu pun belum tentu akan sukses pula ketika diterapkan bagi masyarakat lain..

30 Sidharta Bernard Arief, ILMI HUKUM INDONESIA. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, 1st ed. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), 105. 31 Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, 754. 32 Prasetyo, Filsafat, Teori, & ILMU HUKUM: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat, 343.

Page 48: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 41

Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Daniel S Lev33 bahwa hukum, seperti halnya air, cenderung menemukan permukaaan yang datar. Permukaan yang datar itu tidak hanya berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, tetapi juga berubah-ubah pada masing-masing masyarakat yang bersangkutan. Penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum akan berbeda untuk masyarakat yang berbeda bahkan pada masyarakat yang sama bisa berbeda karena mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat itu sendiri beriringan dengan perjalanan waktu.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. Berdasarkan kenyataan ini maka penyelesaian sengketa termasuk penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum tidak harus sama untuk semua masyarakat dan untuk semua sengketa. Keharusan untuk menyelesaikan sengketa hanya melalui satu lembaga tidak akan menyelesaikan sengketa dengan baik jika diterapkan di Indonesia mengingat kemajemukan bangsa Indonesia.

Keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih penyelesaian sengketa termasuk penyelesaian sengketa pemilihan umum merupakan kebutuhan masyarakat. Sehubungan dengan itu perlu dibuka kemungkinan bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa dengan cara-cara yang selama ini sudah digunakan untuk menyelesaikan sengketa di masyarakat tersebut terutama yang berkaitan dengan kearifan lokal. Hal ini mengingat nilai-nilai kearipan lokal adalah model demokrasi yang esensinya hanya dimiliki oleh bangsa-bangsa Indonesia.34 Dengan demikian penyelesaian sengketa termasuk pennyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum tidak selalu harus diselesaikan melalui pengadilan terlebih hanya melalui Mahkamah Konstitusi.

Sebenarnya di Indonesia sudah sejak lama dikenal alternatif penyelesaian sengketa bahkan sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang alternatif penyelesaian sengketa, antara lain Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian 33 Daniel S Lev, Hukum Dan Politik Ddi Indonesia, 4th ed. (Jakarta: LP3ES, 2014), 197. 34 H Mz Ismail, ―Perkembangan Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Lansung Dan Serentak Dalam Rangka Penguatan Demokrasi Lokal Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia,‖ Muhakkamah 5, no. 1 (2020): 98.

Page 49: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

42 –

Sengketa (UU Arbitrase dan APS). Patut disayangkan dalam UU ini sebagian besar bahkan dapat dikatakan hampir seluruhnya berisi tentang arbitrase sedangkan tentang alternatif penyelesaian sengketa sangat sedikit. Adapun alternatif penyelesaian sengketa yang sudah dikenal luas antara lain adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, good offices, mini-trial, summary jury trial, rent a judge, dan med-arb.35

Dalam UU Arbitrase dan APS ditemukan pernyataan bahwa UU itu untuk penyelesaian sengketa perdata bahkan hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Akibatnya, seolah-olah sengketa di luar perdagangan tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa termasuk sengketa pemilihan umum padahal kenyataannya tidak seperti itu. Pada masa datang perlu dibuka kemungkinan penyelesaian sengketa pemilihan umum melalu lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau melalui proses yang lazim diterapkan dalam alternatif penyelesaian sengketa meskipun diselesaikan di pengadilan.

Kemungkinan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa pernah digunakan dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum tetapi gagal membuahkan hasil yang memuaskan para pihak sehingga tidak digunakan lagi atau paling tidak menjadi sangat jarang dipilih. Kegagalan semacam ini tentu saja tidak dapat dikesampingkan begitu saja melainkan perlu dipelajari sehingga ditemukan penyebab kegagalan itu untuk diperbaiki pada penyelesaian sengketa pemilihan umum lainnya atau berikutnya. Oleh karena itu, tidak heran jika muncul pandangan yang agak miring tentang alternatif penyelesaian sengketa seperti terhadap negosiasi.

Kata ―nego‖ cenderung diartikan sebagai pembicaraan yang tidak baik bahkan melanggar hukum dalam rangka penyelesaian sengketa tertentu. Padahal negosiasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang baik dan membuka kemungkinan keberhasilan yang besar jika telah dipelajari dengan baik sebagaimana dikatakan oleh Robert H Mnookin: ― Negotiation is different from any other type of conversation you‟ll

35 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006), 35.

Page 50: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 43

ever have – different in two main ways from storytelling, information sharing, just plain gosip, First, negotiation is structured to achieve a specific outcome, usually in the form of an agreement. Second, negotiation is the only form of conversation that carries with it the constant possibility of success or failure – meaning you might not get what you want or you may fail to reach an agreement at all. Success in negotiation can come only when you‟ve learned to control the flow of conversation toward agreement and minimized your fear of failure.36

Pada akhirnya, para pihak yang bersengketa atau berselisih yang harus memilih penyelesaian sengketa dari berbagai penyelesaian sengketa atau berbagai penyelesaian sengketa pemilihan umum yang ada sebagaimana tercermin dalam pernyataan Robert H Mnookin berikut ini: ―A disputant must decide: Should I bargain with the Devil, or resist? By 'bargain" I mean attempt to make a deal -try to resolve the conflict through negotiation- rather than fighting it out. By "Devil", I mean an enemy who has intentionally harmed you in the past or appears willing to harm you in the future. Someone you don't trust. An adversary whose behavior you may even see as evil.37

Menurut Mochtar Kusumaatmadja38 hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyatakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Kenyataan selama ini kebanyakan perbincangan mengenai hukum berkaitan dengan kaidah sedangkan asas, lembaga, dan proses sering sekali diabaikan padahal satu sama lain saling berkaitan bahkan saling mempengaruhi. Dengan demikian perbincangan mengenai penyelesaiakan sengketa pemilihan umum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang berisi kaidah melainkan mengenai asas, lembaga, dan proses. Dalam hal penyelesaian sengketa pemilihan umum maka terbuka kemungkinan pengadilan 36 Collins Patrick, Negotiate To Win! Talking Your Way To What You Want (New York: Sterling, 2009), 9. 37 Mnookin Robert H., BARGAINING WITH THE DEVIL. When to NEGOTIATE, When to FIGHT (New York: Simon & Schuster, 2010), 1. 38 Salman Otje, ed., Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan Karya Tulis Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., 1st ed. (Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerja sama dengan Alumni, 2002), 30.

Page 51: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

44 –

menyelesaikan sengketa pemilihan umum dengan menerapkan proses yang lazim berlaku pada lembaga di luar pengadilan atau sebaliknya agar sesuai dengan penyelesaian sengketa yang sudah dikenal dan diterapkan masyarakat.

Penutup Setiap sengketa mempunyai perbedaan termasuk sengketa pemilihan umum maka penyelesaian sengketa pemilihan umum pun tidak harus disamakan untuk semua sengketa melainkan boleh bahkan harus dilakukan secara berbeda baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan melalui berbagai alternatif penyelesian sengketa. Sehubungan dengan kenyataan ini, setiap kali muncul sengketa pemilihan umum maka perlu dipertimbangkan secara matang penyelesaian sengketa yang cocok. Oleh karena itu perlu dipahami berbagai penyelesaian sengketa baik di pengadilan maupun di luar pengadilan supaya ketika muncuk sengketa ada keleluasaan untuk memilih penyelesaian sengketa yang terbaik bagi para pihak bahkan bagi masyarakat secara keseluruhan sesuai kebutuhan masing-masing. Penyelesaian sengketa pemilihan umum di Indonesia akan berbeda untuk setiap sengketa dan akan terus berubah seiring dengan perkembangan bangsa.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008.

Bernard Arief, Sidharta. ILMI HUKUM INDONESIA. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat. 1st ed. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.

Gary, Yukl. Kepemimpinan Dalam Organisasi. 7th ed. Jakarta: Indeks, 2015.

Lev, Daniel S. Hukum Dan Politik Ddi Indonesia. 4th ed. Jakarta: LP3ES, 2014.

Mz Ismail, H. ―Perkembangan Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Lansung Dan Serentak Dalam Rangka Penguatan Demokrasi Lokal Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia.‖ Muhakkamah 5, no. 1 (2020): 98.

Page 52: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 45

Otje, Salman, ed. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan Karya Tulis Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M. 1st ed. Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan bekerja sama dengan Alumni, 2002.

Patrick, Collins. Negotiate To Win! Talking Your Way To What You Want. New York: Sterling, 2009.

Prasetyo, Teguh. Filsafat, Teori, & ILMU HUKUM: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.

Robert H., Mnookin. BARGAINING WITH THE DEVIL. When to NEGOTIATE, When to FIGHT. New York: Simon & Schuster, 2010.

Sjachran, Basah. Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia. Bandung: Alumni, 1997.

Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Citra Media, 2006.

Try, Sutrisno. ―Kembali Ke Cita-Cita Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945.‖ In 70 Tahun Indonesia Merdeka, edited by Baktinendra Prawiro. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2015.

Page 53: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

46 –

Page 54: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 47

PENENTUAN AMBANG BATAS PENCALONAN

PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Eka NAM Sihombing Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Jl. Kapten Muchtar Basri No. 1 Medan E-mail : [email protected]

Pendahuluan Salah satu perubahan fundamental dalam amandemen

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah dengan berubahnya sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang semula dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal tersebut ditandai dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa ― Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat‖. Kemudian lebih lanjut dalam Pasal 6A ayat (5) disebutkan bahwa ―Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang‖.

Untuk melaksanakan amanat tersebut, kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berturut-turut dicabut dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan terakhir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam undang-undang tersebut, diterapkan aturan baru terkait dengan ambang batas suara minimum partai politik agar dapat mengirimkannya calonnya dalam ajang pemilihan presiden yang pertama kali diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.39

39 Eka NAM Sihombing, ―Dinamika Legislasi Di Era Post Truth: Telaah

Atas Ketentuan Threshold Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum,‖ in Menemukan Kebenaran Hukum Dalam Era Post-

Page 55: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

48 –

Dalam Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden diatur bahwa pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilihan umum anggota DPR. Ketentuan tersebut mengalami peningkatan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di mana, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilihan umum anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan ini tidak mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di mana, persyaratan pengusulan Calon Presiden dan Wakil Presiden menggunakan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Adanya perubahan ketentuan mengenai ambang batas pencalonan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden tentunya menarik untuk melihat apa alasan atau pertimbangan dalam penentuan ambang batas tersebut. Oleh karena itu, akan dilihat bagaimana proses penentuan ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pembahasan Dengan alasan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tidak konstitusional, sehingga pada pemilihan umum Truth, ed. Tristam Pascal Moeliono and Widodo Dwi Putro (Mataram: Sanabil & Metajuridika, 2020)., hlm. 373 – 374.

Page 56: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 49

tahun 2019, penyelenggaraan 2 (dua) pemilihan umum tersebut harus diserentakkan, maka kemudian undang-undang yang mengatur mengenai pemilihan umum kemudian disatukan dalam satu undang-undang tentang pemilihan umum. Dalam proses penyatuan undang-undang tersebut ada beberapa permasalahn atau kendala yang dihadapi, yaitu: 1) mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi dengan menghapus ketentuan-ketentuan atau pasal yang telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi; 2) mereview substantif undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum; dan 3) membuat kerangka besar penggabungan undang-undang tentang pemilihan umum.40

Salah satu hal yang menjadi perdebatan dalam pembentukan undang-undang pemilihan umum terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah terkait dengan ambang batas pencalonan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai ambang batas pencalonan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah open legal policy (kebijakan hukum terbuka). Terkait dengan hal tersebut ada beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dalam putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang kembali ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 diperoleh penjelasan sebagai berikut:41

1) pertimbangan hukum mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai kebijakan pembentuk undang-undang (legal policy) sama sekali tidak dikaitkan dengan keberadaan

40 Kementerian Dalam Negeri, Naskah Akademik Rancangan Undang-

Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Jakarta: Kemeterian Dalam Negeri, 2016)., hlm. 9 – 10.

41 Abdul Ghofar, ―Problematika Presidential Threshold: Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Pengalaman Di Negara Lain,‖ Jurnal Konstitusi 15, no. 3 (2018)., hlm. 489 – 490.

Page 57: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

50 –

norma undang-undang yang mengatur tentang dipisahkannya penyelenggaraan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD;

2) argumentasi teoretik konstitusionalitas persyaratan mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden bukanlah diturunkan dari logika disatukan atau dipisahkannya Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD melainkan dari argumentasi teoretik untuk memperkuat sistem Presidensial dalam pengertian mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan yang makin mendekati ciri/syarat ideal sistem pemerintahan Presidensial sehingga tercegahnya praktik yang justru menunjukkan ciri-ciri sistem Parlementer.

3) sementara itu, argumentasi sosio-politik konstitusionalitas persyaratan mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah memperkuat lembaga Kepresidenan sebagai lembaga yang mencerminkan legitimasi sosio-politik representasi masyarakat Indonesia yang berbhinneka.

4) Terhadap dalil Pemohon bahwa ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu merusak sistem Presidensial dan mengeliminasi fungsi evaluasi penyelenggaraan Pemilu, Mahkamah telah menegaskan bahwa ketentuan yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu justru bersesuaian dengan gagasan penguatan sistem Presidensial yang menjadi desain konstitusional UUD 1945. Sementara itu, jika yang dimaksud dengan ―mengeliminasi evaluasi penyelenggaraan Pemilu‖ adalah anggapan Pemohon tentang adanya ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR dan Presiden-Wakil Presiden yang terpilih dalam Pemilu 2014 dengan asumsi bahwa rakyat akan dihadapkan pada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019 sebagaimana ditegaskan Pemohon dalam Permohonannya, anggapan demikian terlalu prematur

Page 58: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 51

sebab belum tentu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019 adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama dengan mereka yang berkontestasi dalam Pemilu 2014. Anggapan demikian baru akan terbukti secara post factum. Lagi pula, kalaupun anggapan demikian benar, quod non, hal itu tidaklah serta-merta menjadikan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU Pemilu menjadi tidak konstitusional.

5) terhadap dalil Pemohon bahwa ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bersifat diskriminatif karena memangkas hak Pemohon sebagai partai politik peserta Pemilu untuk mengusulkan ketuanya (in casu Rhoma Irama) sebagai calon Presiden, Mahkamah berpendapat bahwa dalil diskriminasi tidak tepat digunakan dalam hubungan ini karena tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta berarti diskriminasi. Diskriminasi baru dikatakan ada atau terjadi manakala terhadap hal yang sama diperlakukan secara berbeda dan pembedaan itu semata-mata didasari oleh pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif, dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam kasus tersebut, perbedaan perlakuan yang dialami Pemohon bukanlah didasarkan pada alasan-alasan yang terkandung dalam pengertian diskriminasi sebagaimana diuraikan di atas melainkan karena Pemohon adalah partai politik baru yang baru akan berkontestasi dalam Pemilu 2019 sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU Pemilu adalah diberlakukan terhadap partai-partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu dan telah memperoleh dukungan suara tertentu. Bahkan, andaikatapun terhadap partai-partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu itu diberlakukan ketentuan yang berbeda, hal itu juga tidak serta- merta dapat dikatakan sebagai diskriminasi sepanjang pembedaan itu tidak

Page 59: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

52 –

didasari semata-mata oleh alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam pengertian diskriminasi di atas

Dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ada 3 (tiga) pilihan terkait dengan ambang batas pencalonan Presiden yaitu:

1. ambang batas pencalonan presiden 20% atau 25% yakni pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang memenuhi persyaratan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilihan umum anggota DPR periode sebelumnya.

2. ambang batas pencalonan presiden 10% atau 15% yakni pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 10% dari jumlah kursi DRP atau memperoleh 15% dari jumlah suara sah secara nasional pada pemilihan umum anggota DPR periode sebelumnya.

3. ambang batas pencalonan presiden 0% yakni pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diusulkan oleh semua partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.

Kemudian dalam perkembangannya dalam rapat paripurna DPR, opsi tersebut mengerucut menjadi 2 (dua) opsi yaitu opsi A ambang batas 20% atau 25% sedangkan opsi B ambang batas 0%. Pada saat rapat paripurna DPR kemudian memutuskan bahwa dari 10 (sepuluh) fraksi, 6 (enam) fraksi menyatakan memilih opsi A sedangkan 4 (empat) fraksi menyatakan memilih opsi B dan menyatakan walk out dari sidang paripurna.

Adapun fraksi-fraksi yang setuju dengan ambang batas 20% atau 25% adalah fraksi PDI Perjuangan, fraksi Partai Golkar, fraksi Partai Nasdem, fraksi PKB, fraksi PPP, dan fraksi Partai Hanura. Sedangkan fraksi yang memilih opsi B dengan ambang batas 0% adalah fraksi Partai Gerindra, fraksi PAN, fraksi Partai Demokrat, dan fraksi PKS. Terkait dengan alasan fraksi-fraksi di DPR dalam rapat paripurna DPR ketika menentukan pilihan dapat dilihat bahwa hal tersebut terkait dengan kepentingan partai-partai dalam menentukan calon Presiden dan Wakil

Page 60: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 53

Presiden. Fraksi-fraksi yang memilih opsi A dengan ambang batas 20% atau 25% menyatakan beberapa alasan antara lain:42

1. Fraksi PPP menyatakan bahwa fraksi PPP sudah menentukan sikap dan berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan pemilihan umum serentak tidak ada satu kalimat pun yang membatalkan tentang ketentuan presidential threshold. Artinya meskipun undang-undang ini mengatur tentang threshold Presiden juga tidak melanggar konstitusi.

2. Fraksi Partai Nasdem menyatakan bahwa ambang batas pemilihan Presiden dengan 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional telah digunakan 2 (dua) kali di dalam pemilihan Presiden dan menghasilkan Presiden yang legitimate, menghasilkan Presiden yang legal konstitusional dan karenanya ambang batas itu tidak menabrak dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, ambang batas Presiden dibutuhkan agar mampu menghasilkan Presiden dalam pemerintahan Presidensial yang efektif, Presiden yang kuat, Presiden yang didukung dengan dukungan parlemen yang juga memadai.

3. Fraksi Partai Hanura menyatakan bahwa dengan melihat putusan Mahkamah Konstitusi ambang batas merupakan open legal policy untuk mendapatkan calon Presiden yang kredibel yang betul-betul bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang sejahtera, dan bangsa yang semuanya diakui oleh rakyatnya.

Sedangkan fraksi yang memilih opsi B dengan ambang batas 0% juga mengajukan beberapa alasan antara lain:43

1. Fraksi Partai Gerindra menyatakan bahwa landasan demokrasi dilakukan dengan asas konstitusionalitas dan ambang batas berapa pun baik 20%, 10%, 5% atau 25% tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan undang-undang.

2. Fraksi Partai Demokrat menyatakan bahwa berkaitan dengan ketentuan ambang batas 20% atau 25% untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak ada

42 Dewan Perwakilan Rakyat, Risalah Rapat Paripurna DPR RI Mengenai

Pembicaraan Tingkat II RUU Tentang Pemilihan Umum (Jakarta: Bidang Arsip dan Museum DPR RI, 2017).

43 Ibid.

Page 61: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

54 –

relevansinya diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Ada sejumlah alasan yaitu ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memperoleh 20% kursi di dewan atau 25% perolehan suara sah dalam Pemilu 2014 yang lalu jelas tidak sesuai dengan hukum dan juga tidak sesuai dengan logika dan akal sehat. Selain itu, adanya ketentuan ambang batas itu juga sangat jelas terkandung maksud dan niat untuk membatasi dan menutup peluang bagi munculnya tokoh-tokoh alternatif supaya persaingan dalam demokrasi elektoral semakin meningkat dan semakin baik, termasuk meningkatkatkan partisipasi dan kualitas pemimpinnya.

3. Fraksi PKS menyatakan bahwa fraksi PKS memandang bahwa ambang batas terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum serentak pada tahun 2019 perlu ditiadakan. Hal ini lebih sejalan dengan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 dan juga sejalan dengan hasil kajian dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi yang menyimpulkan bahwa presidential threshold sebaiknya ditiadakan.

Dari pandangan-pandangan fraksi yang disampaikan dalam rapat paripurna mengenai Pembicaraan Tingkat II RUU tentang Pemilihan Umum ini dapat dicermati bahwa alasan-alasan yang dikemukakan adalah apakah nilai ambang batas tersebut bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Jika alasan tersebut yang dipakai maka tidak ada ketentuan dalam undang-undang dasar yang jelas-jelas menyatakan ketentuan mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Yang ada hanyalah Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah kebijakan hukum umum dan terserah kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan berapa nilai ambang batasnya. Namun, apakah ketiadaan pengaturan di dalam undang-undang dasar selalu menjadi open legal policy. Namun, apabila dipakai logika sebaliknya bahwa ketiadaan pengaturan di dalam undang-undang dasar berarti bahwa hal tersebut tidak boleh diatur.

Page 62: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 55

Penutup Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa

penentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak menemukan dasar yang jelas, dikarenakan Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan dalam beberapa putusannya bahwa ketentuan mengenai ambang batas merupakan open legal policy dari pembentuk undang-undang, padahal dalam menentukannya pembentuk undang-undang kerap berbeda pendapat sesuai dengan kepentingan masing-masing dengan menggunakan alasan masing-masing. Di mana, alasan-alasan tersebut tentunya masih dapat diuji kembali dan diperdebatkan. Sehingga penentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden ke depan tentunya akan dapat berubah-ubah seiring dengan susunan kekuatan politik yang ada di DPR sebagai pembentuk undang-undang.

Daftar Pustaka Dewan Perwakilan Rakyat. Risalah Rapat Paripurna DPR RI

Mengenai Pembicaraan Tingkat II RUU Tentang Pemilihan Umum. Jakarta: Bidang Arsip dan Museum DPR RI, 2017.

Ghofar, Abdul. ―Problematika Presidential Threshold: Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Pengalaman Di Negara Lain.‖ Jurnal Konstitusi 15, no. 3 (2018).

Kementerian Dalam Negeri. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Jakarta: Kemeterian Dalam Negeri, 2016.

Sihombing, Eka NAM. ―Dinamika Legislasi Di Era Post Truth: Telaah Atas Ketentuan Threshold Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.‖ In Menemukan Kebenaran Hukum Dalam Era Post-Truth, edited by Tristam Pascal Moeliono and Widodo Dwi Putro. Mataram: Sanabil & Metajuridika, 2020.

Page 63: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

56 –

Page 64: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 57

FORMAT IDEAL PARTAI POLITIK DALAM

PENCALONAN KEPALA DAERAH

Faisal

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara [email protected]

Benito Asdhie Kodiyat MS

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Jl. Kapten Muchtar Basri No. 1 Medan

E-mail : [email protected]

Pendahuluan Agenda reformasi yang bergulir dalam sejarah Indonesia,

secara signifikan mengubah tatanan politik dan struktur tata negara Indonesia, perubahan tersebut diwujudkan melalui perubahan-perubahan konstitusi Indonesia. Salah satu perubahan dalam konteks perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), adalah mengenai hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mengalami pergeseran dari kekuasaan sentralistik-otoritarian kearah desentralistik-otonom. Penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah yang menempatkan kedudukan daerah menjadi local state government malah mengesampingkan peran daerah dalam berbagai aspek. Pergerakan politik dari grass root daerah menampakan tajinya ketika agenda reformasi bergulir dan menitipkan tujuan realisasi demokrasi daerah.

Penguatan kedudukan demokrasi daerah di muat dalam konstitusi pada Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 yang dibarengi dengan pemuatan asas desentralisasi dan otonomi daerah. Kedaan ini membawa dampak tidak hanya pada proses pelaksanaan pemerintahan di daerah, namun juga berdampak pada proses pemilihan pemimpin daerah yang mengharuskan terjadinya pergeseran dari pemilihan oleh DPRD kepada rakyat di daerah secara langsung.

Agenda pemilihan kepala daerah (pilkada) yang di laksanakan secara langsung di mulai sejak 1 Juni 2005 yang

Page 65: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

58 –

sampai pada kurun waktu 2020 sudah ribuan pilkada yang telah dilaksanakan di Indonesia. Pelaksanaan pilkada ini sebagaimana dengan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) pastinya tidak terlepas dari pengaruh dan intervensi partai politik dalam setiap aspek, baik dalam proses pra-pilkada, pilkada (on going), dan pasca-pilkada.

Meskipun demikian, realitas politik pada era reformasi menunjukan adanya penurunan kepercayaan (kredibilitas) masyarakat terhadap partai politik. Partai politik seakan gagal dalam memahami fungsi dan tujuan esensialnya. Sehingga partai politik tidak memiliki peran startegis dalam pembangunan kehidupan yang demokratis. Dilain hal, proses institusionalisasi yang kurang baik juga menjadikan partai politik gagal dalam memposisikan dirinya sebagai institusi publik.

Secara lebih khusus, kebijakan sentralistik partai politik memberikan sumbangsih yang besar terhadap hancurnya tatanan demokrasi di internal partai politik. Penetapan calon kepala daerah dalam kandidasi pilkada menunjukan realitas yang tidak demokratis dimana kewenangan pengambilan keputusan hanya terpusat di tataran puncak pengurus partai nasional. Yang bahkan apabila pengurus daerah melakukan penolakan terhadap kebijakan yang kerapkali tidak di ambil berdasarkan musyawarah tersebut, akan berujung pemecatan.44 Yang pada tataran lebih kompleks akan menghasilkan konflik internal partai atau bahkan sampai merebak keluar tatanan masyarakat.

Jika dilihat dalam pendekatan sejarah, kekuasaan orde baru yang sangat sentralistik memberikan jejak politik lokal yang dapat dibagi kedalam dua hal: (i) kendali politik lokal yang dipimpin elit yang merupakan kolaborasi nasional dan daerah atau (ii) munculnya orang-orang kuat di daerah. Yang sesungguhnya pemerintahan demokratis oleh rakyat lokal tidak benar-benar tercapai.

Secara realitas pada masa sekarang ini dapat dilihat secara nyata melalui kejadian kandidasi calon kepala daerah di berbagai wilayah di Indonesia. Secara khusus, proses pengusungan calon kepala daerah untuk Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2020 di Kota Medan, terdapat indikasi-

44 Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia, Jurnal of Governance, Juni 2017 Vol.2, hal.39

Page 66: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 59

indikasi menguatnya sentralisasi kebijakan partai politik dalam menentukan calon kepala daerah yang akan maju ke pilkada serentak tersebut. Sejauh ini, realitas politik pencalonan kepala daerah di Kota Medan hanya menunjukan satu calon (tunggal) yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah (Walikota) di Kota Medan.

Hal ini dipengaruhi indikasi-indikasi kebijakan sentralistik partai politik di tingkat nasional yang dalam pengambilan keputusanya tidak mengindahkan argumentasi dari partai politik di tingkat lokal. Padahal sesungguhnya, agenda reformasi yang memasukan politik hukum penguatan kedudukan daerah dengan penerapan prinsip desentralisasi-otonomi dalam pelaksanaan pemerintahan, harus dibarengi dengan kewenangan desentralisasi-otonom penetapan dan pemilihan calon pemimpin daerah.

Agak sulit dibayangkan, realisasi desentralisasi-otonom daerah akan berhasil di capai apabila dalam proses penentuan pemimpin daerah masih dalam bayang-bayang elit politik nasional. Yang secara lebih luas, hal ini tidak memberikan kesempatan kepada rakyat didaerah untuk dengan leluasa menentukan calon pemimpin nya di daerah. Yang dalam taraf tertentu, proses semacam ini akan mendestruksi demokratisasi daerah.

Padahal seharusnya, perkembangan otonomi daerah dan desentralisasi politik juga dibarengi dengan otonomi daerah dari sistem partai politik, yang dimana menghapuskan kekuasaan otonom pusat dan sifat dependen daerah terhadap pusat. Sebagaimana Harry Mulya Zein45 memaparkan pentingnya desentralisasi partai politik sebagai berikut:

Desentralisasi partai politik sangat penting, memberikan kewenangan secara otonom kepada pengurus DPD dan DPC untuk menentukan calon kepala daerah yang diusung bisa menghambat proses politik transaksional. Yang patut diperhatikan juga adalah otonomi fiskal partai politik daerah bertujuan agar partai politik tingkat lokal memiliki kemanirian finansial dalam menggerakan roda organisasi. Terakhir, meningkatkan kekuatan masyarakat sipil untuk membuat

45 HM Harry Mulya Zein, dalam Lutfi Widagdo Eddyono, Wacana

Desentralisasi Partai Politik: Kajian Original Intent dan Pemaknaan Sistematik UUD 1945, P4TIK MKRI, hlm. 87

Page 67: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

60 –

program dan platform yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Untuk menjawab pertanyaan esensial terkait bagaimana pengaruh sentralisasi kebijakan partai politik dalam kaitanya dengan pemilihan dan penetapan calon kepala daerah yang diusung partai politik, perlu kitanya membahas terlebih dahulu terkait hal apa yang menjadi penyebab pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan bagaimana peran partai politik dalam melakukan rekrutmen calon kepala daerah. Kedua variabel ini akan membantu untuk memberikan jawaban bagaimana pengaruh kebijakan partai politik yang sangat sentralistik di pengurus pusat partai bahkan berada di tangan sosok ketua umum partai yang karismatik mempengaruhi kandidasi pemilihan kepala daerah dan juga pada taraf tertentu akan mempengaruhi kondisi internal partai politik di daerah.

Pembahasan Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara

langsung merupakan sebuah konsekuensi dari agenda reformasi. Penyelenggaraan pilkada secara langsung yang dimulai pada tahun 2005 menggunakan instrumen hukum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian mengalami perubahan melalui UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan kedua melalui UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Namun, selanjutnya telah dirubah melalui UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan telah diubah dua kali melalui UU No. 2 Tahun 2015 dan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Jika ditelisik lebih jauh kebelakang, melalui UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, proses pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD yang dimana penentu utama calon yang menjadi kepala daerah adalah Menteri Dalam Negeri, Golkar, TNI dan restu presiden. Hal ini menunjukan bahwa proses pemilihan kepala daerah sangat parsial dan sentralistik. Kemudian melalui UU No. 22 Tahun

Page 68: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 61

1999 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki peran utama untuk memilih kepala daerah. Yang seiring berjalanya waktu, hal tersebut malah memberikan dampak yang juga kurang baik bagi demokrasi, seperti timbulnya politik uang. Yang kemudian di ubah kewenagan memilih kepala daerah dari DPRD kepada rakyat secara langsung melalui UU No. 32 Tahun 2004 untuk pilkada pertama kali di tahun 2005.

Meskipun kewenangan pemilihan sudah di geser kepada rakyat yang secara teori hal ini memberikan dampak signifikan bagi konstruksi demokrasi substansial di Indonesia. Namun, bayang-bayang institusi partai politik masih saja menjadi momok yang menakutkan dalam setiap proses pemilihan kepala daerah. Salah satunya dapat dilihat melalui proses kandidasi calon kepala daerah dimana partai politik memiliki peran yang sangat sental dalam menentukan pasangan calon kepala daerah.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa partai politik merupakan satu-satunya institusi yang bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah. Pada periode pilkada langsung tahun 2005-2008 sebelum terjadinya perubahan UU No. 32 Tahun 2004, partai politik memiliki kuasa yang sangat istimewa. Dalam artian partai politik memiliki hak mutlak mengajukan pasangan calon dalam kontestasi pilkada, berbeda dengan institusi lainya. Jika pasangan calon ingin berkompetisi di dalam pilkada, maka pintunya hanya melalui partai politik.

Pola atau kerangka pelembagaan pencalonan kepala daerah menggunakan party system dikarenakan orang yang ingin mencalonkan sebagai kepala daerah harus melalui partai politik. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 59 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pada ayat 2 nya menyatakan partai politik yang di maksud ayat 1 dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD daerah.46 Meskipun demikian, pada ayat 3 dibuka peluang untuk pencalonan perseorangan, namun pada

46 Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Page 69: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

62 –

praktiknya hal demikian tidak terjadi karena tidak ada ketentuan yang mengatur secara jelas.

Dalam perumusanya di parlemen (DPR RI) ketika penyusunan norma undang-undang, timbul perdebatan terkait ketentuan pencalonan dan siapa yang berhak mencalonkan pasangan calon. Yang akhirnya mengkerucut menjadi tiga opsi proses pencalonan. Pertama, semua kandidat adalah independen yang diusulkan kalangan non partai politik. Kedua, sebagian kandidat dicalonkan partai politik dan Sebagian lagi di calonkan oleh independen. Ketiga, keseluruhan kandidat dicalonkan partai politik dengan ketentuan perolehan suara tertentu di kursi DPRD. Yang pada akhirnya opsi-opsi tersebut ditolak oleh DPR.47

Syamsuddin Haris menjelaskan bahwa seluruh proses pencalonan pilkada yang berlangsung dilembaga partai cenderung mengabaikan urgensi akses publik. Masyarakat cenderung tidak mengetahui secara transparan proses seleksi calon oleh partai politik maupun gabungan partai politik. Lebih lanjut, pilkada langsung meskipun sudah memberikan pergeseran-konstruktif dari yang sebelumnya kekuasaan berada di tangan DPRD menjadi kekuasaan rakyat. Namun pada praktiknya banyak ditemukan kepincangan demokrasi dimana terdapat banyak kekecewaan publik terhadap kualitas proses elektoral pilkada. Hal ini disebabkan oleh elit partai dan sponsor politik yang memegang kendali seluruh proses elektoral yang pada akhirnya menggerus peran masyarakat luas selaku pemegang kedaulatan, yang pada akhirnya para pemilih ini menjadi kelompok yang sangat marjinal dalam proses kandidasi.48

Atas hasil dari berbagai dinamika politik yang ada, melalui UU No. 12 Tahun 2008, dilakukan upaya pengurangan monopoli partai dimana norma di dalam undang-undang tersebut memberikan partisipasi bagi kandidat yang akan maju melalui jalur independen atau perseorangan dalam pemilihan kepala daerah langsung. Buchler berpandangan bahwa pergeseran ini merupakan suatu inovasi politik yang cenderung melahirkan

47 Pratikno, Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan

Parpol, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 10 No. 3 Maret 2007, h. 415-438

48 Syamsudin Haris dalam Ridho Imawan Hanafi, 2014, Pemilihan Langsung…, h. 7

Page 70: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 63

pemilihan kepala daerah yang lebih kompetitif dan inklusif.49 Pratikno juga menambahkan bahwa ketentuan ini akan memberikan dampak yang konstruktif pula bagi internal partai politik, dimana jalur independen secara tidak langsung akan menggugah partai politik untuk menyiapkan kader yang memiliki figur terbaik untuk bersaing di dalam kontestasi politik.50

Lebih lanjut, jika kita lihat Pasal 42 ayat 5 dan 6 UU No. 10 Tahun 2016, pasangan calon kepala daerah harus diusulkan pengurus daerah partai untuk mendapatkan rekomendasi dari pengurus pusat partai. Yang merupakan suatu syarakt mutlak untuk mengajukan pendaftaran sebagai calon gubernur, bupati ataupun walikota.

Disini dapat kita lihat, cita desentralisasi-otonomi di daerah tidak berjalan lurus dengan konfigurasi pengambil kebijakan pada tubuh partai politik itu sendiri. Dengan Bahasa sederhana kita dapat mengatakan, sentralisasi di kritik tapi masih di budidayakan di tubuh partai politk yang pada hakikatnya menjadi pilar demokrasi.

Dalam konteks kandidasi pemilihan kepala daerah, peran partai politik lebih kepada peran penyediaan legitimasi pencalonan. Peran ini cenderung dipresentasikan dengan ―beli perahu‖ atau mungkin lebih kompatibel jika menggunakan istilah ―sewa perahu‖ yang menjadi rahasia umum bahwa membeli formalitas partai sebagai tiket pencalonan. Yang secara destruktif ini dimanfaatkan elit politik sebagai ajang bisnis dengan memasang tarif tertentu bagi kandidat yang akan menaiki perahu tersebut. Tidak dapat dipungkiri, Robert Michels pernah menyatakan bahwa partai politik juga seperti organisasi pada umunya, yang selalu melahirkan dominasi yang bersifat oligarkis.51

49 Michael Buchler, Decentralisation and Local Democracy in Indonesia:

The Marginalisation of The Public Sphere, dalam Edward, 2010, Problem of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society, Singapore: ISEAS, h. 271

50 Pratikno, Calon Independen… Op.Cit. 51 Robert Michels, Political Parties: A Sociological Study of the

Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, dalam edisi bahasa Indonesia Arbi Sanit, 1984, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, Jakarta: Rajawali, h.xiii-xiv

Page 71: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

64 –

Catatan lain dapat dilihat bahwa dalam proses pencalonan, inisiatif kandidasi timbul dari pasangan calon yang merasa memiliki kapabilitas atau finansial yang memadai ketimbang dari segi inisiatif partai. Hal ini dapat dikecualikan jika pada daerah atau partai tertentu memang sudah memiliki kader yang siap bertarung. Hal ini menggambarkan bahwa pilkada langsung memberikan tugas yang tidak mudah bagi partai politik untuk melakukan revitalisasi peran demokrasi substansial ketimbang hanya menjadi sekadar perahu.52

Selain dari pada itu, isu sentralisasi dan desentralisasi kewenangan di internal partai politik juga memiliki peran startegis. Mekanisme terkait kewenangan besar kepada daerah untuk memilih calon atau malah kewenangan itu berada di struktur partai politik pusat menyimpan dampak masing-masing bagi setiap partai politik. Jika pilihan partai politik ada di sisi desentralisasi, maka pengurus pusat tidak dapat mengontrol pemilihan kandidat dan akan membuka ruang terpilihnya calon yang tidak berpotensial menang. Dan jika pilihan berada di sisi sentralisasi partai, maka tidak akan memberikan dampak baik bagi proses pengkaderan dan pematangan struktur partai politik di daerah. Dikarenakan partai politik lebih memilih nama yang berpotensial menang, maka calon kepala daerah akan ditentukan oleh kepentingan pengurus pusat partai politik.53 Tidak sampai disitu, proses seleksi yang sentralistik dan elitis akan menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan adanya disparitas pilihan calon antara pengurus daerah dan pengurus pusat partai. Meskipun hal ini dapat diselesaikan melalui mekanisme di internal partai, namun tidak jarang persoalan ini akan menghasilkan dampak yang kurang baik bagi partai itu sendiri, dimana akan terbangun konflik antara pusat dan daerah.

Sebagai contoh, kasus disparitas pengusungan calon kepala daerah di Jawa Tengah dimana DPP Partai Demokrat mengusung Totok Mintarto dan John M, sedangkan DPC Partai Demokrat mengusung nama Warsa Susilo dan M Haris. Meskipun proses tersebut sudah sesuai dengan petunjuk pelaksana DPD Partai Demokrat Jawa Tengah. Lebih lanjut, dapat dilihat dari pemilihan gubernur DKI Jakarta di tahun 2007 dimana partai politik cenderung lebih memilih calon yang

52 Ridho Imawan Hanafi, Pemilihan Langsung…..Op.Cit., h. 8 53 Ahmad Nyarwi, Siasat Partai Politik dan Strategi Pencalonan, Kajian

Bulanan LSI Edisi 03, Juli 2007, h. 17-27

Page 72: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 65

berasal dari luar partai ketimbang dari kader partai itu sendiri. Dimana PDIP, PKS dan Partai Demokrat berhak mengajukan pasangan calon, kanidasi hanya di ikuti oleh dua pasang calon yaitu Fauzi Bowo-Prijanto dengan 19 koalisi dan Adang-Dani dari PKS, dimana hanya Dani Anwar saja yang berasal dari partai politik (kader). Saiful Mujani menganalisa fenomena ini sebagai suatu gambaran macetnya pengkaderan partai politik, sehingga tidak memiliki popularitas dan elektabilitas yang baik di hadapan publik.54

Dalam pilkada Sleman di tahun 2010 juga terjadi hal yang sama, dimana terjadi kemerosotan kedaulatan kader untuk terlibat dalam proses seleksi kandidat. Yang diiringi kuatnya sikap pragmatisme partai dan pola transaksional untuk perebutan kekuasaan.55

Di sisi lain, pragmatisme partai politik juga memberikan dampak sendiri. Fenomena unik terjadi di Jambi, dimana partai politik lebih menerima posisi bawah padahal memiliki potensi legislatif yang kuat. Di Provinsi Jambi, Partai Golkar pada pemilu 2004 memiliki kursi sebesar 24.71%, namun pada kandidasi kepala daerah Golkar hanya memposisikan dirinya sebagai wakil kepala daerah untuk mendampingi calon dari Partai Amant Nasional (Zulkifli Nurdin).56

Hal yang sama juga terjadi di Banten dimana Golkar pada Pileg 2004 memiliki 24% suara namun hanya mampu mengusung wakil kepala daerah saja (Muhammad Masduki) menadampingi calon dari PDI-P. Di Batam pun demikian, PKS dengan perolehan suara 13.42% hanya mampu mengantarkan calonya menjadi wakil walikota mendampingi calon walikota dari Partai Golkar.

Struktur partai politik secara hirearkis terdiri dari Dewan Pimpinan Pusat sampai Dewan Pimpinan Cabang yang berada di kabupaten/kota. Dalam konteks penjaringan calon kepala daerah, meskipun proses penjaringan berada ditangan daerah, namun pengambilan keputusan masih berada di tangan pengurus pusat. Permasalahan ini menjadi sangat menarik

54 Budiman Tanuredjo, 2007, Jakarta Memilih: Pilkada dan

Pembelajaran Demokrasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, h. 57-59 55 Ridho Imawan Hanafi, Pemilihan Langsung Kepala…, Op.Cit., h. 11 56 Ahmad Nyarwi.. Op.Cit.

Page 73: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

66 –

untuk ditelisik soal rekrutmen dan seleksi kandidat yang dilakukan oleh partai politik tersebut.

Cross dan Bottomore mengatakan bahwa dengan mengetahui rekrutmen politik kita dapat mengetahui beberapa hal seperti (i) menunjukan lokus kekuasaan partai politik yang sebenarnya, (ii) menunjukan proses sirkulasi elit politik di partai, (iii) dikarenakan rekrutmen menjadi posisi sentral, dimana hal tersebut akan menjelaskan tipe partai politik. Dengan mengidentifikasi tipe kepartaian, maka kita akan mampu menjelaskan problem yang terjadi di partai tersebut.57

Peran partai politik sebagai kendaraan untuk memenangkan pemilihan umum dikemukakan juga oleh Barrie Axford.58 Selanjutnya ia juga memaparkan fungsi partai politik yang terkait erat dengan pemilihan umum di negara-negara demokratis di dunia, yaitu: (i) structuring the vote, (ii) socialization and mobilization, (iii) interest articulation and aggregation, (iv) representation, (v) activist and elite recruitment, (vi) policy and issue development, (vii) legitimation dan (viii) organizing government.

Pentingnya fungsi rekrutmen juga dikemukakakn oleh Katz dan Crotty59 dimana partai politik memiliki tiga fungsi yaitu fungsi sosial, fungsi perekrutan, fungsi seleksi calon. Dalam konteks ini, fungsi perekrutan dalam agenda kandidasi pemimpin baik di daerah maupunj di level nasional membicarakan hal-hal seperti Pertama, siapa yang memenuhi syarat dalam sertifikasi perekrutan. Kedua, membahas siapa yang mencalonkan. Ketiga, membahas tentang siapa yang dicalonkan. Keempat, tentang konsekuensi rekrutmen. Yang melalui fungsi ini partai politik memiliki peran startegis untuk menyiapkan pemimpin bermutu yang siap masuk ke arena pertarungan pemilihan.

Terdapat dua model rekrutmen politik di negara demokratis. Pertama, descriptive style dimana di dalamnya sarat akan ikatan primordial. Kedua, model oriented style, dengan

57 Siti Witianti dan Hendra, Peran Ketua Umum Partai Politik dalam Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Indonesia, Jurnal Wacana Politik Vol. 4 No. 1 Maret 2019, h. 57

58 Barrie Axford, 2002, An Introduction Politics, Second Edition, Lanson and New York: Routledge, h. 376-377

59 Katz dan William V Crotty, 2014, Hand Book Partai Politik, Bandung: Nusa Media, h. 123-198

Page 74: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 67

standart yang ideal dimana diukur dengan kemampuan calon seperti loyalitas dan kemampuan memipin.60

Sedangkan menurut Barbara Geddes, terdapat empat model rekrutmen politik yang dapat dilakukan oleh partai politik61 yaitu: (i) partisanship, dengan mempertimbangkan loyalitas dan sedikit mengabaikan kompetensi, (ii) meritocratic, rekrutmen dari calon yang memiliki kompetensi tinggi seperti teknokrat, pengusaha, guru, dan ahli, (iii) compartmentalization, rekrutmen dengan mendasarkan pada pengangkatan meritrokasi informal, (iv) survival, rekrutmen dengan prinsip balas jasa dan sumber daya pelamar yang cenderung berwarna patronase.

Menurut Rahat dan Hazan62 mengklasifikasikan metode seleksi calon didasarkan pada kriteria selektorat, pencalonan, desentralisasi, dan voting versus penunjukan. Menurut Norris dan Lowenduski proses penentuan keputusan memiliki dua dimensi terkait dengan kekuasaan partai yang disebarkan yaitu terpusat atau regional dan bagaimana formalisasi keputusan di buat yaitu formal atau informal. Pada dimensi kedua ini, terdapat beberapa model, yakni (i) informal-terpusat, mekanisme konstitusional dengan kombinasi patronse kepemimpinan dimana peran anggota terbatas dan hanya melayani fungsi simbolis (ii) informal-regional, faksi pemimpin melakukan tawar menawar yang menempatkan kandidat terbaik, (iii) informal-terlokal, pengurus lokal memutuskan prosedur umum rekrutmen yang rentan akan manupulasi kelompok kecil, (iv) formal-terpusat, pengurus eksekutif pusat partai memiliki otoritas konstitusional untuk memutuskan calon, (v) formal-regional, identik dengan formal terpusat, namun regional tetap memiliki otoritas, (vi) formal-terlokal, konstitusional dan panduan rekrutmen nasional mapan yang memungkinkan proses rekrutmen yang memiliki integritas, transparansi dan gradasi keadilan yang baik.63

Pola seleksi kandidat dan pengambilan keputusan dalam pencalonan kandidat kepala daerah tergantung oleh faktor peran ketua umum partai dalam seleksi kandidat calon yang pada tahap selanjutnya di pengaruhi oleh faktor-faktor lainya.

60 Siti Witianti dan Hendra, Peran Ketua Umum.. Op.Cit., h. 57-58 61 Katz dan William V Crotty, 2014, Hand Book…Op.Cit. 62 Katz dan William V Crotty, 2014, Hand Book…Op.Cit., h. 180 63 Pamungkas, 2011, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia,

Yogyakarta:Institute Democracy and Welfarisme, h. 59

Page 75: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

68 –

Menurut Labolo dan Ilham64 masa depan partai politkk dan pemilu dalam konteks Indonesia mengahadapi tiga masalah, yaitu menyusutnya ideologi partai, kurangnya finansial, dan mandeknya rekrutmen politik. Masalah ini sedikit banyak di akibatkan oleh menguatnya karakter ketua umum partai yang cenderung sentralistik dalam pengambilan keputusan.

Namun, permasalahan organisasi partai politik juga memiliki masalah kelembagaan sendiri, yang pada taraf tertentu akan berakibat pada pengambilan kebijakan partai. Yves Meny dan Andrew Knap menyebutkan tingkat kelembagaan partai politik dalam sistem demokrasi tergantung pada tiga parameter, yaitu (i) its age, dimana jika semakin tua usianya, maka ide dan nilai partai akan semakin terlembagakan (institutionalized) (ii) the depersonalization of organization, dimana seiring berjalanya waktu kepentingan pribadi akan tergerus oleh dinamika di internal oragnisasi dan (iii) organizational differentiation.

Untuk melihat interaksi internal partai dapat dilihat melalui aturan formal. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang biasanya struktur terdiri dari (i) pimpinan tertinggi partai politik di tingkat nasional dengan nama yang lazim digunakan Dewan Pembina, Majelis Pembangunan, Dewan Penasehat, Dewan Kehormatan, atau Majelis Syuro, (ii) Dewan Pimpinan Pusat Partai di nasional, yang terdiri dari Ketua Umum, Sekjend, Bendahara Umum dengan keterwakilan setidaknya 30% perempuan, (iii) Dewan Pimpinan Daerah di Provinsi serta kepengurusan partai ditingkat daerah setidaknya 60 persen dari jumlah provinsi, (iv) Dewan Pimpinan Cabang di kabupaten/kota dengan setidaknya terpenuhi 60% jumlah provinsi di daerah. Yang selanjutnya terdapat (v) Pimpinan Anak Cabang dan (vi) Ranting sampai di pelosok desa. Struktur yang mengakar sampai ke ―akar-rumput‖ menjadi sarana penting bagi proses rekrutmen dan kaderisasi partai yang memang berjenjang dan memiliki proses tersendiri di tiap tingkatanya.

Meskipun demikian, struktur dan kelembagaan partai tetap memiliki warna tersendiri berdasarkan aturan internal partai yang tertian di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai itu sendiri. Pada umumnya,

64 Labolo, 2015, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

(teori, konsep dan isu strategis), Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. xii

Page 76: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 69

kepemimpinan harian berada di tangan Ketua Umum, meskipun dalam pengambilan keputusan strategis berada di pimpinan tertinggi partai seperti Dewan Pembina. Meskipun dalam kondisi tertentu hal tersebut sedikit mengalami anomali. Dimana jika di dalam partai terdapat satu figure yang karismatik, maka pengambilan keputusan sedikit banyak akan dipengaruhi sosok tersebut. hal ini dapat kita lihat di dalam beberapa partai politik, seperti sosok Megawati di PDI Perjuangan, Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat, Prabowo di Partai Gerindra.65

Memang partai politik memiliki ketentuan AD/ART masing-masing. Namun berdasarkan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa kedaulatan partai politik berada di tangan anggota, meskipun dalam kenyataanya di tubuh partai politik hanya dikuasai oleh beberapa elit pimpinan saja. Hal ini yang menjadikan keputusan penting di parpol hanya ditentukan segelintir sosok kuat yaitu ketua umum partai yang keputusanya cenderung mutlak otoriter.

Menurut Siti Witianti dan Hendra,66 terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong tubuh partai politik melakukan sentralisasi kebijakan secara khusus terhadap penentuan calon kepala daerah. Pertama, diakibatkan dari sistem pembentukan struktur partai yang bersifat top down. Yang pada taraf tertentu hal ini akan menimbulkan ketergantungan kepada figur. Kedua, partai belum memiliki institusionalisasi yang baik. Scott Mainwaring menyatakan terdapat empat dimensi ketika partai sudah terinstitusionalisasi dengan baik, (i) terdapat pola kompetisi partai yang stabil, (ii) partai memiliki hubungan keterkaitan yang kuat dengan masyarakat di level akar-rumput, (iii) adanya legitimasi dari rakyat bahwa partai politik adalah hal yang esensial dalam negara demokrasi, (iv) dari segi struktur kepartaian, prosedur dan rutinitas, partai memiliki agenda yang jelas, serta tergambarnya proses pergantian kepemimpinan di tubuh partai tanpa konflik. Ketiga, kualitas institusionalisasi partai yang dilihat dari aspek internal-eksternal dan aspek struktural-attitudinal. Lebih lanjut, Yves Meny dan Andrew Knapp menggunakan kriteria depersonalisasi organisasi sebagai tolak ukur pelembagaan partai politik. Keempat, adalah faktor pragmatisme dimana pastinya partai politik memiliki kepentingan untuk menang dalam pilkada, yang pastinya akan

65 Siti Witianti dan Hendra, Peran Ketua Umum…..Op.Cit., h. 62 66 Ibid., h. 63

Page 77: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

70 –

fokus kepada pertimbangan elektabilitas dan peluang menang bagi pasangan calon.

Kecenderungan partai politik melakukan penjaringan cenderung pragmatis dan tidak bisa dihindarkan lahirnya perpecahan di internal partai politik, hal ini bisa disebabkan oleh direkrutnya calon yang memiliki potensi menang besar meskipun bukan kader dari partai politik tersebut. Menurut Rahat dan Hazan, terdapat dua sistem seleksi kandidat. Pertama, secara inklusif (terbuka) dimana setiap orang secara terbuka dapat mendaftar dengan beberapa syarat ringan (eligible) tanpa ada syarat menjadi kader partai atau bahkan kesamaan warna ideologi. Yang didalamnya terdapat dua faktor penentu rekrutmen calon diluar partai yaitu: (i) syarat jaminan terpilih atau elektabilitas calon yang dapat dilihat dari rekan jejak lintas kelompok, etnis, agama, (ii) syarat biaya, hal ini berkaitan dengan keikutsertaan dalam pilkada tidak terlepas dari kebutuhan dana pilkada yang sangat inheren dengan proses politik saat ini.

Kedua, pola tertutup atau ekslusif, dimana melalui sistem ini para calon di haruskan memenuhi syarat tertentu untuk ikut dalam seleksi. Helmi Mahadi mengatakan, semakin eksklusif seleksi kandidat maka semakin tidak demokratis prosesnya. Namun sebaliknya, jika semakin insklusif proses seleksi kandiat, maka semakin demokratis lah prosesnya. Karena, dalam mekanisme yang eksklusif hanya elit partai sajalah yang memiliki andil kuat dalam penyeleksian dan penentuan kandidat.67

Dalam konteks pemilihan kepala daerah langsung yang dilaksanakan serentak di beberapa wilayah di Indonesia, Kota Medan yang notabene nya adalah salah satu dari kota besar di Indonesia juga turut serta untuk mengikuti pesta rakyat daerah untuk memilih calon kepala daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota Medan yang akan dilaksanakan di tahun 2020 ini. Jika dilihat dari kondisi yuridis-normatif pengaturan tentang pencalonan kepala daerah baik melalui Undang Undang Pemerintahan Daerah, Undang Undang Partai Politik dan Undang Udang Pemilihan Kepala Daerah masih membuka

67 Helmi Mahadi, Pragmatisme Politik: Studi Kasus Proses Rekrutmen

Politik PDIP pada Pilkada Sleman, Jurnal Studi Pemerintahan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2011

Page 78: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 71

kemungkinan untuk munculnya isu sentralisme pengambilan kebijakan pencalonan yang dilakukan oleh pengurus pusat partai politik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa bakal calon kepala daerah yang merupakan kader partai yang sudah berkiprah di partai dan bahkan di pemerintahan, malah cenderung berpotensi tidak di usung oleh partai mereka sendiri, yang notabene dari segi partisipasi, loyalitas dan kontribusi kepartaian sudah jelas. Terang saja, sosok Plt. Walikota Medan saat ini Akhyar Nasution yang notabene adalah kader dari Partai PDI-Perjuangan malah memiliki potensi kuat tidak diusung oleh partainya sendiri. Begitu pula sosok Iwan Ritonga yang notabene adalah seorang Wakil Ketua DPRD Kota Medan yang juga memiliki potensi tidak diusung partai mereka dikarenakan belum mendapatkan ―restu‖ dari pengurus pusat partai. Padahal dapat diketahui bahwa mereka ini sudah ―mengantongi‖ restu dari pengurus partai mereka di daerah.

Dalam agenda perbaikan sistem penjaringan calon kepala daerah terdapat beberapa alternatif isu, antara lain Pertama, proses penjaringan yang selama ini ditentukan oleh mereka yang menjadi elit partai, seharusnya partai membuka akses seluas-luasnya kepada publik untuk bisa masuk dalam proses ini. Hanya melalui akses terbuka, kesempatan publik terbuka untuk mengetahui lebih jauh mengenai calon kepala daerah yang akan diusung. Lebih jauh publik dapat melakukan pengawasan terhadap proses penentuan calon tersebut. Kedua, seringkali partai tidak secara proporsional memberikan kesempatan kepada kader mereka sendiri untuk maju dalam pilkada, karena partai secara pragmatis akan lebih memilih sosok yang memiliki peluang menang yang lebih tinggi. Hal ini akan berimplikasi pada macetnya kaderisasi di internal partai dan timbulnya konflik di internal partai. Pada tahap inilah, partai seyogyanya membuka peluang yang lebih besar kepada para kadernya untuk memiliki kesempatan dalam proses pencalonan. Ketiga, proses yang sering diduga memunculkan praktik mahar politik, maka dari itu praktik demokrasi berbasis meritrokasi seharusnya menjadi dasar partai untuk melakukan perekrutan calon. Keempat, dalam taraf permasalahan isu kekerabatan di pilkada, rantai ini harus di putus dengan mekanisme perekrutan yang objektif dan transparan.

Desentralisasi kebijakan partai politik (devolution of power) secara normatif mulai diterapkan melalui UU No. 22 Tahun 1999

Page 79: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

72 –

sampai dengan pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014 memang belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap devolusi kebijakan pencalonan kepala daerah di internal partai politik. Sholikin memberikan dua tawaran,68 Pertama melalui pengaturan yang assertif terkait desentralisasi partai politik dan kewenangan partai politik di daerah dan dituangkan kedalam UU Partai Politik dan UU Pilkada. Klausul partai yang selama ini bercorak patron-client dan sentralis, akan menjadi lebih inklusif jika daerah memiliki peran yang lebih leluasa dalam perekrutan calon yang pada taraf tertentu akan memberikan dampak pematangan kaderisasi di akar-rumput partai.

Kedua, melalui pemisahan tegas antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Sholikin melanjutkan, pemisahan ini berpotensi memberikan signifikasi positif bagi penguatan partai, (i) pemisahan akan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tentang disparitas politik daerah dan nasional yang secara tidak langsung akan menggerus stigma Jakarta-sentris. (ii) politisi daerah akan lebih responsif dengan isu daerah dan akan lebih menggerakan roda partai di daerah, (iii) akan membangun isu daerah yang lebih konstruktif dalam kehidupan sehari-hari di daerah, (iv) politisi akan lebih ―mengakar‖ kepada masyarakat di daerah. Ketiga, supremasi partai politik di daerah akan memberikan penguatan eksekutif di daerah. Dimana kepala daerah juga akan terlepas dari kepentingan pragmatis pusat yang malah akan mereduksi kebijakan positif daerah.

Penutup Format partai politik perlu dilakukan melalui transisi

sentralisasi ke desentralisasi dengan melakukan pengaturan secara jelas dan tegas dalam UU Partai Politik dan UU Pilkada, sehingga tidak mencederai sistem demokrasi di Indonesia dan memberikan oportunitas yang lebih besar terhadap calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah, lebih krusial lagi, untuk menghilangkan stigma adanya proses ‗beli perahu‘ dalam tubuh partai sehingga lebih mengakomodir adanya eksistensi akses publik. Dengan demikian, daerah yang lebih mengetahui kader yang berpotensi memimpin daerah akan lebih memiliki

68 Ahmad Solikhin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik

di Indonesia, Journal of Governance, Vol. 2 No. 1 Juni 2017, h. 57-61

Page 80: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 73

otonomi dan kemandirian sehingga tidak mendapat intervensi dari pusat.

Daftar Pustaka Sholikin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di

Indonesia, Jurnal of Governance, Juni 2017 Vol.2.

HM Harry Mulya Zein, dalam Lutfi Widagdo Eddyono, Wacana Desentralisasi Partai Politik: Kajian Original Intent dan Pemaknaan Sistematik UUD 1945, P4TIK MKRI.

Pratikno, Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 10 No. 3 Maret 2007.

Michael Buchler, Decentralisation and Local Democracy in Indonesia: The Marginalisation of The Public Sphere, dalam Edward, 2010, Problem of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society, Singapore: ISEAS.

Robert Michels, Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, dalam edisi bahasa Indonesia Arbi Sanit, 1984, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, Jakarta: Rajawali.

Ahmad Nyarwi, Siasat Partai Politik dan Strategi Pencalonan, Kajian Bulanan LSI Edisi 03, Juli 2007.

Budiman Tanuredjo, 2007, Jakarta Memilih: Pilkada dan Pembelajaran Demokrasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Siti Witianti dan Hendra, Peran Ketua Umum Partai Politik dalam Pencalonan Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Indonesia, Jurnal Wacana Politik Vol. 4 No. 1 Maret 2019.

Barrie Axford, 2002, An Introduction Politics, Second Edition, Lanson and New York: Routledge.

Katz dan William V Crotty, 2014, Hand Book Partai Politik, Bandung: Nusa Media.

Pamungkas, 2011, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, Yogyakarta:Institute Democracy and Welfarisme.

Labolo, 2015, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (teori, konsep dan isu strategis), Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Page 81: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

74 –

Helmi Mahadi, Pragmatisme Politik: Studi Kasus Proses Rekrutmen Politik PDIP pada Pilkada Sleman, Jurnal Studi Pemerintahan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2011.

Ahmad Solikhin, Menimbang Pentingnya Desentralisasi Partai Politik di Indonesia, Journal of Governance, Vol. 2 No. 1 Juni 2017.

Page 82: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 75

DINAMIKA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM

PERSPEKTIF PEMBANGUNAN LEGISLASI

Rudi Wijaya, Srining Widati Biro Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Pendahuluan Saat membincangkan mengenai bentuk dari praktik

demokrasi, hampir bisa dipastikan satu contoh yang dibahas adalah pemilihan umum (pemilu). Konsep pemilu dalam konteks Indonesia sebagai negara kesatuan, menimbulkan efek domino ke pemerintahan di tingkat daerah, sehingga kemudian muncul konsep dan nomenklatur pemilihan kepala daerah (pilkada). Ide dasar dari praktik pemilu dan pilkada ini adalah bahwa orang-orang yang menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan akan membentuk kebijakan yang menyangkut rakyat, sehingga harus dipilih pula oleh rakyat.

Pengarusutamaan rakyat dalam memilih kepala pemerintahan ini dalam tataran teoretis erat kaitannya dengan kedaulatan rakyat69. Dalam beberapa model kedaulatan, kedaulatan rakyat ini menempati posisi yang banyak dianut oleh negara-negara di dunia saat ini terutama yang berbentuk republik70, hal demikian mencerminkan bahwa kedaulatan rakyat ini merupakan model kedaulatan yang lebih baik daripada beberapa model kedaulatan yang ada sebelumnya.71

Sama halnya dengan pemilu, pilkada mengalami dinamika yang cukup kompleks. Dinamika tersebut dalam konteks politis sebetulnya hal yang wajar, karena menjadi ajang partai politik untuk mengajukan calon kepala daerah, atau dalam istilah lain

69 Dalam konteks Indonesia, kedaulatan rakyat ini telah dituliskan secara jelas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 70 Rudy, dkk, Transformasi Kedaulatan Konstitusional, 2020, Bandar Lampung: AURA Publishing. Hlm. 16. 71 Model kedaulatan yang dimaksud antara lain kedaulatan tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara, dan kedaulatan hukum, dalam Rudy, ibid, hlm. 38.

Page 83: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

76 –

adalah adalah ajang partai politik untuk berkuasa di suatu daerah. Hal ini dapat dipahami

Lepas dari konteks politik tersebut, dalam prosesnya konstelasi pilkada ini berpengaruh juga pada pembangunan legilaslasi, karena pada setiap model pemilihan yang digunakan, pasti akan menggunakan dasar hukum berupa undang-undang. Artinya, setiap kali pemerintah merubah model pemilihan kepala daerah, akan ada satu undang-undang yang dibentuk, baik undang-undang baru maupun undang-undang perubahan.

Pembangunan legislasi akan berfokus pada perkembangan produk legislasi yaitu UU. Pembangunan legislasi ini menjadi hal yang semakin sering dibahas, karena perkembangan produk legislasi akan memiliki pengaruh yang besar bukan hanya bagi penyelenggara negara tetapi juga masyarakat, termasuk sistem-sistem didalamnya.72 Llebih jauh lagi, pembangunan legislasi yang telah dilakukan dapat memberikan sinyalemen terhadap legislasi pada masa berikutnya.

Artikel ini akan mencoba melihat pengaturan pilkada dalam undang-undang dalam perspektif pembangunan legislasi, sehingga akan menggunakan pendekatan statute approach. Data yuridis yang akan digunakan dibatasi norma UUD NRI Tahun 1945 dan produk legislasi berbentuk undang-undang atau yang disetarakan, karena kedudukan UU yang melandasi berbagai peraturan perundang-undangan dibawahnya. Melalui analisis yuridis, juga akan dilihat probabilitas bentuk pengaturan pada masa mendatang.

Pembahasan Pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam konteks

pengaturannya di dalam undang-undang mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Hal ini dapat dilihat pada beberapa fakta bahwa undang-undang tentang pilkada dan di era reformasi73 beberapa kali mengalami pengubahan. Dampak dari pengubahan-pegubahan tersebut bukan hanya mengenai di

72 Rudy, Pembangunan Hukum di Daerah Membangun Legislasi yang Mengayomi. Bandar Lampung: AURA Publishing. Hlm. 8. 73 Pembahasan dalam artikel ini akan difokuskan dalam periode pasca reformasi, dengan alasan utama yakni pada sistem ketatanegaraan yang didesain melalui UUD NRI Tahun 1945 pasca perubahan.

Page 84: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 77

undang-undang mana materi pilkada diatur, namun juga menyangkut cara pemilihan sebagai hal yang bersifat teknis namun sekaligus esensial.

Dalam lintasan sejarahnya, sebelum reformasi dikenal setidaknya 4 (empat) cara pemilihan kepala daerah, yakni penunjukan/pengangkatan oleh pemerintah pusat74, penunjukan dalam situasi yang memaksa75, pemilihan melalui perwakilan dengan campur tangan pemerintah pusat, dan pemilihan melalui perwakilan tanpa campur tangan pemerintah pusat. Pengaturan masing-masing metode ini sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 1

Pengaturan Pilkada dan cara pemilihannya dalam undang-undang

sebelum reformasi

Cara Pemilihan Undang-Undang yang mengatur Keterangan

74 Mengenai cara ini, telah dipraktikkan sebelum Indonesia merdeka yang kemudian tetap diberlakukan pasca kemerdekaan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, dan Undang-Undang Nnomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 75 Konteks keadaan memaksa ini adalah keadaan sebagaimana latar belakang Dekrit Presiden.

Page 85: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

78 –

Penunjukan oleh pemerintah pusat

� Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

� Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri

� Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Karena merupakan masa awal kemerdekaan, maka sistem yang dibangun memang masih sederhana. Penunjukan mengedepankan agar cepat terbentuk susunan pemerintahan negara sampai ke daerah.

Penunjukkan oleh pemerintah Pusat dalam keadaan memaksa

Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah juncto Penetapan Presiden 5/1960 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat Daerah

Keadaan memaksa ini berkenaan dengan era Dekrit Presiden. Dapat dilihat bahwa nomenklatur yang digunakan bukan undang-undang, namun penetapan presiden.

Page 86: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 79

Pemilihan melalui perwakilan dengan campur tangan pemerintah pusat

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah

Melalui sistem ini, DPRD mengusulkan 3 sampai 5 orang kepada Pemerintah Pusat; Gubernur dipilih oleh Presiden dan Bupati/Walikota dipilih oleh Mendagri

Pemilihan melalui perwakilan tanpa campur tangan pemerintah pusat

� Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

� Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Melalui sistem ini, DPRD tidak lagi mengusulkan calon Kepala Daerah kepada Pemerintah Pusat namun langsung memilihnya.

Adapun setelah reformasi, orientasi cara pemilihan kepala daerah bergeser pada pemilihan langsung oleh rakyat. Hal ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tentunya mengakomodir Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 pasca amandemen. Dinamika yang terjadi dari masa awal kemerdekaan hingga wawal reformasi ini cenderung bersifat stabil dan progresif, karena didasari oleh kehendak rakyat dan memiliki tingkat akseptabilitas dari rakyat yang baik pula.

Dinamika yang kemudian sempat terjadi adalah saat DPR dan Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. UU ini mengembalikan model pemilihan oleh DPRD yang dipraktikan sebelum era reformasi. Disamping alasan-alasan politis sebagaimana disinggung sebelumnya, alasan yang melandasi

Page 87: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

80 –

pengembalian sistem pilkada ini antara lain efisiensi pengeluaran keuangan negara serta rumusan yang fleksibel dari Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Hal yang dikedepankan dalam pemilukada ini adalah asas ―secara demokratis‖, sehingga pilkada dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun secara tidak langsung oleh DPRD.76

Namun demikian, pilihan model pemilihan baik dalam pemilu maupun pilkada merupakan hal esensial yang penting untuk diterima oleh rakyat. Berpendapat bahwa sistem pemilihan umum dapat menjadi ukuran mengenai sejauhmana konstistensi penyelenggara negara terhadap prinsip kedaulatan rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945. Semakin sistem tersebut memberikan ruang lebih banyak bagi rakyat, maka sistem semakin tersebut mendekati hakekat kedaulatan rakyat.77

Karena tidak akseptabel bagi banyak rakyat, sistem ini dikembalikan lagi pada model pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga pilkada langsung oleh rakyat melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pilkada).78

Dalam perspektif pembangunan legislasi, dapat dilihat bahwa dinamika pengaturan pilkada diatur dalam UU yang semakin spesifik. Sejak awal kemerdekaan, pengaturan pilkada diatur dalam UU yang bercorak pemerintah pusat (saat itu disebut sebagai Komite Nasional Daerah). Pada masa selanjutnya, pengaturan Pilkada selalu masuk ke dalam UU

76 Rudy dan Charlyna Purba, Karakteristik, Karakteristik Ssengketa Pemilukada di Indonesia Evaluasi 5 Tahun Kewenangan MK Memutus Sengketa Pemilukada, Jurnal Konstitusi Volume 11 Nomor 1 Maret 2014. Hlm. 199 77 Khairul Fahmi, Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum Anggota Legilastif, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 3 Juni 2010. Hlm. 121. 78 UU Pilkada ini dalam perkembangannya saat ini telah mengalami 3 kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Perubahan ini dilakukan dengan alasan utama pandemi Covid-19.

Page 88: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 81

Pemerintahan Daerah, sehingga pilkada dianggap sebagai bagian dari rezim hukum pemda. Sedangkan saat ini, Pilkada diatur dalam satu undang-undang sendiri (lex specialis). Artinya, telah terjadi pengembangan pengaturan pilkada yang sebelumnya hanya menempati satu bab dalam UU Pemda, menjadi UU yang berdiri sendiri.

Menilik pada perkembangan tersebut, maka pada masa mendatang, dapat saja terjadi repetisi yang mencacah bagian tertentu dari UU Pilkada menjadi UU tersendiri Hal demikian dapat terjadi ketika pilkada dalam praktiknya menemukan masalah baik yang bersifat esensial maupun operasional. Beberapa materi muatan yang dapat diatur dalam UU tersendiri, misalnya saja penyelenggara pilkada (saat ini masih dilaksanakan oleh KPU di daerah, yang secara kelembagaan merupakan bagian dari KPU sebagai penyelenggara Pemilu) atau Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada.

Praktik penyelesaian sengketa hasil pilkada sebagai contoh, dapat dipastikan menimbulkan berbagai permasalahan yang belum tentu telah diakomodir dalam UU Pilkada saat ini. Misalnya saja mengenai kelembagaan penyelesaian, yang nampak masih terjadi tarik-ulur. Saldi Isra berpendapat bahwa pembentuk UU harus menetapkan dengan tegas mengenai siapa yang diberikan tugas tersebut, apakan dengan tetap memaksakan MA, mengembalikan ke MK, atau melalui badan khusus.79

Pendapat Saldi Isra di atas sebetulnya telah menggambarkan bahwa perubahan UU Pilkada masih sangat dibutuhkan. Perubahan tersebut, dalam konteks pembentukan undang-undang dapat saja dilakukan dengan pembentukan UU Pilkada baru, perubahan UU Pilkada (lagi), atau pembentukan UU baru yang spesifik mengenai penyelesaian sengketa pilkada. Hal lain yang perlu juga diperhatikan oleh para pembentuk UU dalam konteks pengaturan penyelesaian sengketa pilkada, adalah batas waktu penyelesaian yang lebih rasional80 sehingga

79 Saldi Isra Bahas Tuntas Sengketa Pilkada, berita dimuat dalam laman MK Tanggal 11 Oktober 2020, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16651&menu=2, diakses 14 April 2021 pukul 21:18. 80 Sebagai contoh, dalam Putusan MA Nomor 1P/PAP/2021 yang memutus sengketa pelanggaran administrasif Pilkada Kota Bandar Lampung, dengan pihak terlibat yakni salah satu pasangan calon walikota yang menggugat

Page 89: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

82 –

hak para pihak yang berkaitan dalam sengketa pilkada dapat diakomodir. Preseden yang kurang baik dalam hal singkatnya waktu MA memutus sengketa administrasi ini adalah, para calon kepala daerah ke depan dapat saja memilih membanding Putusan KPU yang telah disidangkan oleh Bawaslu kepada MA karena tahu mengenai waktu yang ringkas ini.

Dalam perspektif pembangunan legislasi lainnya, hal yang perlu dipertimbangkan adalah mengenai UU Pilkada yang saat ini sebetulnya merupakan penetapan Perppu. Perppu Pilkada ini kemudian menjadi Perppu yang berlaku paling lama, yang perubahannya dilakukan 3 (tiga) kali sehingga letika ditetapkan sama dengan merubah 3 (tiga) kali Undang-Undang Pilkada.

Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang ditempatkan pada kedudukan yang setara, karena esensi Perppu sendiri adalah sebagai pengganti undang-undang. Namun demikian perlu juga diperhatikan mengenai konsistensi bentuk pengaturan yang jadi tidak efisien. Dalam model seperti ini, maka Perppu yang sebetulnya telah ditetapkan menjadi UU, harus dirubah dengan Perppu lain, baru kemudian Perppu perubahan ini ditetapkan menjadi UU lagi.

Hal demikian pada akhirnya tetap akan mengalami proses politik yang sama dengan proses pembentukan UU secara normal, karena Perppu tidak menganut otomatisasi keberlakuan UU dan harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan selanjutnya.81 Pemerintah jadi melalukan 2 tahapan, yakni pengubahan Perppu, dan penetapan Perppu menjadi UU bersama DPR. Keputusan KPU Kota Bandar Lampung yang membatalkan kemenangan dirinya atas perintah dari Bawaslu Provinsi Lampung. MA menolak permohonan intervensi (tussenkomst) dari pasangan calon kepala daerah lainnya, dengan pertimbangan keterbatasan waktu yang dalam UU Pilkada sudah diatur secara rigid, sehingga permohonan intervensi dianggap tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Perimbangan MA menolak permohonan intervensi ini benar-benar hanya dilandasi waktu yang tidak memungkinkan, bukan menimbang mengenai legal standing atau bukti yang dibawa oleh para pemohon intervensi. Padahal, dalam konteks ini, pemohon intevensi adalah calon walikota lain yang dalam proses peradilan sebelumnya di Bawaslu Provinsi Lampung, telah membuktikan kecurangan dalam pilkada. Sehingga legal standingnya bukan hanya atas dirinya sebagai kontestan pilkada, namun juga berkaitan dengan penegakan demokrasi. Namun, kembali pada keterbatasan waktu, pada akhirnya intervensi tidak dapat dilakukan. 81 Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945.

Page 90: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 83

Pada prosesnya Pemerintah tetap harus mencapai konsensus dengan DPR. Bedanya, dalam konteks penetapan Perppu menjadi UU, Pemerintah telah memiliki Perppu yang sudah disahkan dan berlaku mengikat. Artinya, pemerintah melakukan 2 tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga jadi tidak efisien. Dalam hemat penulis, lebih elegan dan efisien jika memasukan perubahan UU Pilkada –ataupun memisahkan bagian tertentu dari UU Pilkada menjadi UU lain ke dalam prolegnas.

Selain dari itu, sistematika penulisan UU juga menjadi lebih ―sulit‖, karena mengandung Perppu yang ditetapkan dalam UU. Salah satu asa yang sbetulnya dianut dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah kejelasan rumusan,82 yang dalam penjelasannya mencakup kemudahan untuk dimengerti. Tidak berlebihan nampaknya jika disebut bahwa membaca judul UU Pilkada terbaru saja, membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk memilah peraturan yang dimaksud. Dalam istilah lebih jauh, kerumitan ini membuat masyarakat luas terutama yang awam ―semakin jauh‖ untuk memahami UU.

Penutup Berdasarkan paparan di atas, dapat ditemukan beberapa

hal, yaitu, pertama, pembangunan legislasi UU Pilkada merupakan legislasi yang sangat dinamis, yang bahkan menimbulkan tarik ulur model pelaksanaannya, kedua, pengaturan Pilkada dalam UU mengalami pengembangan karena semakin mengarah pada materi pengaturan yang semakin spesifik. Selanjutnya, dapat saja dibuat pengaturan yang lebih spesifik lagi/dekodifikasi yang mencacah materi muatan UU Pilkada menjadi beberapa UU.

Ketiga, secara eksisting, pengaturan Pilkada dalam UU masih bertumpu pada Perppu, yang belum ditemukan pada undang-undang lainnya. Sehingga, prosedur perubahannya harus melalui tahapan yang lebih panjang dari pada pembentukan UU normal. Ada baiknya pembentuk UU melakukan unifikasi dengan memprioritaskan pembentukan UU

82 Pasal 5 Huruf F UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan penjelasannya.

Page 91: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

84 –

Pilkada yang benar-benar baru, atau dengan melakukan dekodifikasi pengaturan.

Daftar Pustaka Khairul Fahmi, Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Penentuan

Sistem Pemilihan Umum Anggota Legilastif, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 3 Juni 2010. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Rudy dan Charlyna Purba, Karakteristik, Karakteristik Ssengketa Pemilukada di Indonesia Evaluasi 5 Tahun Kewenangan MK Memutus Sengketa Pemilukada, Jurnal Konstitusi Volume 11 Nomor 1 Maret 2014.

Rudy, 2017. Pembangunan Hukum di Daerah Membangun Legislasi yang Mengayomi. Bandar Lampung: AURA Publishing.

Rudy, dkk, 2020. Transformasi Kedaulatan Konstitusional. Bandar Lampung: AURA Publishing

Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Pengadilan

UUD NRI Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah juncto Penetapan Presiden 5/1960 Dewan

Page 92: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 85

Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat Daerah

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1P/PAP/2021

Laman Internet

Saldi Isra Bahas Tuntas Sengketa Pilkada, berita dimuat dalam laman MK Tanggal 11 Oktober 2020, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16651&menu=2 diakses 14 April 2021 pukul 21:18

Page 93: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

86 –

Page 94: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 87

PEMILU DIGITAL ASIMETRIS DI INDONESIA

M. Ilham Fadhlan Putuhena Peneliti di Pusat Studi Hukum Pemilu (PSHP).

Respon Kondisi Ketua KPU Arif Budiman mengungkapkan selama

pemilihan umum tahun 2019 terdapat 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit.83 Arif kemudian mengusulkan penggunaan e-rekapitulasi untuk membuat proses penghitungan lebih cepat dan tidak membuat petugas kelelahan. E rekapitulasi dapat saja menjadi solusi awal tetapi tidak dapat menyelesaikan permasalahan fundamental yaitu rekapitulasi hanya salah satu aspek dari proses pemilihan.

Salah satu yang menjadi dugaan awal banyaknya korban meninggal dan sakit di Pemilu 2019 karena kelelahan bekerja yang berhubungan dengan faktor lainnya dari segi penyakit yang diderita maupun usia petugas KPPS. Selain itu faktor depresi petugas Pemilu 2019 jauh lebih tinggi. Kondisi tersebut berkaitan dengan banyaknya tudingan kecurangan dari berbagai pihak yang membuat mereka ketakutan.84

Faktor kelelahan tidak terlepas dari perbedaan sistem pemilu, Pemilu 2019 berbeda dengan 2014 dipisahkan memilih Presiden dalam waktu berbeda dengan DPR/DPRD, dan DPD. Di Pemilu 2019, Pemilihan Presiden menjadi satu dengan DPR, DPRD provinsi, kota atau kabupaten dan DPD sehingga terdapat 5 kotak suara akibatnya ketika hari pencoblosan para petugas KPPS harus melakukan kegiatan lebih dari 24 jam. Mulai dari mempersiapkan TPS, sampai perhitungan suara yang panjang karena menghitung tiap kotak suara. Selain itu pemungutan suara di sejumlah TPS tidak berjalan dengan mulus di akibatkan

83 "Refleksi Pemilu 2019, Sebanyak 894 Petugas KPPS Meninggal Dunia", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com /read/2020 /01/22/ 15460191/refleksi-pemilu-2019-sebanyak-894-petugas-kpps-meninggal-dunia., Penulis : Sania Mashabi, Editor : Kristian Erdianto.

84https://www.suara.com/news/2019/05/09/201418/ugm-kematian-petugas -pemilu-diduga-karena-kelelahan-hingga-depresi?page=all

Page 95: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

88 –

kondisi wilayah yang sulit dijangkau sehingga banyak TPS yang belum menerima logistik Pemilu di hari H pencoblosan.

Proses yang memakan waktu lama adalah penghitungan dan penyelesaian administrasi penghitungan suara. Perhitungan suara misalnya rata-rata baru selesai pukul 23.00 WIB, selepas itu harus menyalin hasil penghitungan yang ada di form C1 Plano dalam 6 set formulir, sebagian formulir dibagikan pada saksi partai, DPD, dan pengawas TPS. Satu set masing-masing untuk lima jenis pemilihan. Misal C1 banyak item, hampir 20-30 lembar, dikali saksi 16 partai, saksi DPD 50, tambah pengawas TPS untuk Bawaslu.85

Selain itu apabila terdapat administrasi pemilih yang bermasalah. TPS yang berpotensi melakukan pemungutan suara ulang disebabkan validitas pemilih. Misalnya, pemilih yang tidak terdaftar di TPS sebagai pemilih tetap atau pindahan tetapi tetap diizinkan untuk mencoblos. Selain itu TPS dapat melakukan pemungutan susulan. Dengan durasi waktu pelaksanaan penghitungan suara yang relatif lama. Penyelenggaraan di TPS baru selesai jam 2 pagi. Bahkan ada yang berlanjut sampai jam 12 siang apabila ada masalah. Dan itu tanpa jeda, Padahal petugas TPS sudah mempersiapkan dulu TPS di H-1, sehingga menimbulkan kelelahan,

Kondisi tersebut menimbulkan permasalahan bagaimana melaksanakan Pemilu dengan efektif sesuai dengan prinsip lansung umum bebas rahasia jujur dan adil. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa permasalahan pemilu serentak bukan pada kebijakan pemilihan serentak yang menjadi permasalahan tetapi pada praktek pemilihan serentak yang belum mendorong pelaksanaan yang efektif, dominasi satu system metode pemilihan yaitu menggunakan surat suara menyebabkan proses administrasi yang lama dan tidak efektif. Padahal Ada beberapa macam teknologi dalam voting (pemilihan) yaitu:86

1) Kertas Suara. Model ini adalah model yang paling banyak digunakan dimana pemilik suara memilih salah satu

85 Lihat: https://fokus.tempo.co/read/1197960/evaluasi-pemilu -2019-

kpps-kelelahan -ambang-batas-parlemen?page_num=2 86 Muhammad Kifli Hutagalung, PERANCANGAN PERANGKAT E-VOTING

BERBASIS E-KTP, Jurnal SAINTIKOM, Vol. 11 / No. 1 / Januari 2012

Page 96: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 89

nama yang ada pada daftar dengan mencontreng atau mencoplos. Cara lain model ini adalah dengan menulis satu atau lebih nama pada secarik kertas kosong kemudian memasukkannya ke dalam kotak suara. Perhitungan suara dilakukan secara manual dengan menghitung kertas suara.

2) Optical scan model ini mirip seperti model pertama tetapi pemilih cukup melingkari atau menghitamkan pilihannya pada kertas tersebut. Kemudian dilakukan scan data terhadap hasil pilihan tersebut.

3) Electronic Voting. Pada Model ini pemilih cukup menekan sebuah tombol untuk melakukan pilihan atau memilih pada sebuah display (touch screen) dengan cara menekan pada pilihan tersebut. Hasil pilihan tersebut secara otomatis akan tersimpan dan terakumulasi.

4) Internet Voting. Pada model ini pemberian suara dilakukan dari jarak jauh melalui internet.

5) Remote Voting. Pada model ini pemberi suara berada pada tempat yang jauh. Untuk memberikan suaranya dapat dilakukan dengan cara mengirim kertas suara tersebut.

Dalam prakteknya metode surat suara terdapat bentuk pemilihan secara aklamasi (kesepakatan warga) dimulai pada 2009 di kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua,. Di Yahukimo, pemilih tidak mencontreng surat suara secara langsung ketika menunaikan hak pilihnya, melainkan diwakilkan kepada Kepala Suku setelah musyawarah dilakukan di antara sesama warga. Selain itu, pengumpulan surat suara juga tidak menggunakan kotak suara khusus, akan tetapi dengan sebuah Noken, yaitu tas/ atau khas orang Papua yang terbuat dari kain atau bahan alamiah lainnya. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Sela Nomor 47-81/PHPU.A-VI/2009, memiliki konstitusionalitas pemilu secara aklamasi tersebut. Sehingga pemilu tradisional sesuai adat masyarakat hukum adat di Yahukimo ini lazim dinamakan dengan ―Sistem Noken‖.87

87 Muhammad Fauzan Azim, Pemilu Dan Konstitusiolitas Sistem Noken,

Turast, jurnal penelitian dan pengabdian Universitas Imam Bonjol. Hal 1-2 Lihat

https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/turast/article/view/471

Page 97: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

90 –

Selain metode surat suara sebenarnya Indonesia telah melaksanakan e voting untuk pemilihan kepala desa, dimulai Kabupaten Jembrana tahun 2009, kemudian berlanjut di beberapa daerah Badan Pengkajian dan penerapan Teknologi (BPPT) telah mempraktekan pemilihan umum secara elektronik sejak 2013 hingga 2017 telah menerapkan e-voting pada 683 pemilihan kepala desa di 12 kabupaten dan pada tahun 2019 melakukan e voting pada 981 Pilkades, dimana secara hasil dan bukti pelaksanaan Pemilu dengan eVoting, hasilnya bisa cepat keluar usai pemungutan suara.88 Hal tersebut menunjukkan secara praktek Indonesia sudah memulai menggunakan metode Pemilu digital.

Kesiapan dalam menggunakan metode pemilu digital (e voting dan i voting) juga telihat dari Pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. Hal tersebut dimuat dalam laporan terbaru yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite, dan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk "Digital 2021".89 Data yang lain disampaikan Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan, penggunaan internet di Indonesia sangat tinggi. banyaknya jumlah pengguna ponsel pintar mencapai 167 juta orang atau 89% dari total penduduk Indonesia.90

Dasar Hukum

88 Lihat: https://www.bppt.go.id/teknologi-informasi-energi-dan-

material/3564-bppt-sudah-buktikan-pemilu-elektronik-pada-981-gelaran-pilkades.

89 Kompas.com "Jumlah Pengguna Internet Indonesia 2021 Tembus 202 Juta ", Lihat: https://tekno.kompas.com/read/2021/02/23/16100057/jumlah-pengguna-internet-indonesia-2021-tembus-202-juta. Penulis : Galuh Putri Riyanto, Editor : Reska K. Nistanto

90 Lihat :

https://mediaindonesia.com/humaniora/389057/kemenkominfo-89-

penduduk-indonesia-gunakan-smartphone

Page 98: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 91

Secara pengaturan terkait pemberian suara melalui sistem Digital baik secara E Vote dan I Vote belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, cara pemberian suara diatur dalam Pasal 353 ayat (1) Pemberian suara untuk Pemilu dilakukan dengan cara:

a. mencoblos satu kali pada nomor, nama, foto Pasangan Calon, atau tanda gambar partai politikpengusul dalam satu kotak pada surat suara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;

b. mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik, danjatau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupatenjkota untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan

c. mencoblos satu kali pada nomor, nama, atau foto calon untuk Pemilu anggota DPD.

Tetapi untuk pemilihan kepala daerah telah diatur mengenai pemberian suara melalui sistem Digital baik secara E Vote dalam Pasal 85 UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang mengatur ayat (1) Pemberian suara untuk Pemilihan dapat dilakukan dengan cara:

a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau

b. memberi suara melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik.

Kemudian Pasal 85 ayat (2a) mengatur Pemberian suara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan Pemerintah Daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.

Pasal 85 tersebut menyesuaikan dengan putusan MK No. 147/PUU-VII/2009. Putusan terhadap uji materi pasal 88 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang pada pokonya memberikan penguatan penggunaan metode e-voting dalam pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan

Page 99: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

92 –

wakilnya. MK menekankan dua syarat kumulatif yang harus terpenuhi apabila akan melaksanakan e-voting pertama, tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dan kedua, daerah yang menerapkan e-voting sudah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia atau perangkat lunaknya serta kesiapan masyarakat di daerah bersangkutan sudah siap, dan persyaratan lain yang diperlukan. MK mendasarkan putusannya dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia". Dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya".

Oleh karena itu kedepan Undang-Undang Pemilu perlu di rubah menyesuaikan dengan Undang-Undang Pilkada yang telah memberikan dasar bagi pelaksanaan pemilu digital.

Kelebihan Dan Kekurangan

Menurut Zafar dan Pilkjaer bahwa e voting memberikan manfaat yaitu pertama Biaya karena terkait sumber daya dan investasi yang lebih hemat dibanding dengan sistem tradisional yang ribet, kompleks dan tidak efisien. Kedua Waktu, terkait waktu pelaksanaan pemilihan yang lebih cepat dan kalkulasi hasil yang lebih tepat dibandingkan sistem yang tradisional. Ketiga Hasil, terkait dengan kalkukasi hasil yang lebih tepat dan akurat serta minimalisasi terjadinya kasus human error selama sistem yang dibangun terjamin dari berbagai ancaman kejahatan. Keempat Transparansi terkait dengan transparansi dari semua proses karena semua dilakukan oleh suatu sistem yang otomatis dan real time online.91

91 Ch.N. Zafar dan A. Pilkjaer, (2007), E-voting in Pakistan, Master Thesis,

Departement of Business Administration and Social Sciences, Lulea University of Technology, dikutip oleh Loura Hardjaloka & Varida Megawati Simarmata, E-Voting: Kebutuhan vs. Kesiapan, (Menyongsong) E-Demokrasi . Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011, Lihat: https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/182.

Page 100: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 93

Tetapi metode e voting memiliki kelebihan dan kekurangan menurut Loura Hardjaloka & Varida Megawati Simarmata, Kelebihan E-voting:

1. Mudah dalam Penghitungan Sistem e-voting dalam rangka penghitungan suara dan tabulasi data dapat menghitung hasil lebih cepat dan lebih akurat daripada sistem penghitungan konvensional yang manual dengan cara membuka kertas suara satu per satu dan melakukan pencatatan yang terbilang cukup membuang banyak waktu. Selain itu, pemilihan yang dilakukan dengan konvensional memerlukan waktu, biaya, dan rawan kesalahan baik dalam hal pencoblosan maupun kesalahan dalam penghitungan.

2. Mudah dalam Pelaksanaan Pemilihan Kebingungan pemilih dapat menyebabkan golput, terutama oleh pemilih rentan (seperti pemilih buta huruf atau lansia). Untuk mengatasi golput khususnya oleh kelompok rentan maka dengan teknologi e-voting menjanjikan untuk mengurangi angka golput dengan menggunakan teknologi yang dapat khusus dimengerti oleh kelompok rentan.

3. Mencegah Kecurangan, sistem pemilihan surat suara menghasilkan banyaknya surat suara dalam kotak suara yang dirusak. Dan potensi masalah kecurangan pemilu seperti menambah polling di tempat pemungutan suara atau mencuri kotak suara. Dengan sistem e voting dapat mencegah hal tersebut terjadi. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa dengan menggunakan sistem e-voting justru dapat menimbulkan kecurangan yang lebih canggih lagi. Namun, apabila Komisi Pemilihan Umum mampu mengatasi dan meminimalisasi model kecurangan baru dalam sistem e-voting, maka e-voting lebih baik ketimbang sistem pencoblosan. Selain itu dapat mengurangi kecurangan dalam pemilihan dengan melakukan pencoblosan lebih dari satu kali karena dengan sistem e-voting akan mendeteksi pemilih melalui e-KTP yang dimilikinya.

4. Mengurangi Biaya, Sistem e-voting juga mampu untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan pada saat pemilu. Sebab, pada pemilu konvensional, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mencetak surat suara

Page 101: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

94 –

dalam jumlah banyak, kotak suara serta kartu tanda pemilih. Namun, dengan e-voting KPU hanya perlu menyediakan mesin elektronik dengan menggunakan e-KTP pemilih, yang mana mesin ini dapat dipergunakan berulang-ulang. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan KPU harus mengeluarkan biaya tambahan untuk tenaga ahli dan juga biaya perawatan. Meskipun demikian, melihat Indonesia saat ini dengan sistem pemilu konvensional, maka e-voting sangat cocok untuk Indonesia dalam rangka melakukan penghematan biaya.

Selain kelebihan, terdapat pula Kelemahan E-voting yaitu:

1. Rusaknya Kredibilitas dalam Pemilihan Umum Setiap program komputer dapat memiliki kesalahan yang secara tidak disengaja terdeteksi (sebuah ―bug‖). Selain itu, setiap program komputer dapat diubah dengan pemrograman berbahaya (―hack‖) dengan cara yang tidak terdeteksi. Hal ini berlaku dari semua produsen dan semua perangkat lunak komputer. Berbagai upaya dapat mengurangi kerentanan sistem e-voting, termasuk keamanan komputer, keamanan fisik, pengujian dan analisis sistem dan coding, dan prosedur pemilihan yang baik. Tak satu pun dari langkah-langkah, dan tidak ada kombinasi dari langkah tersebut, dapat mengubah kerentanan sistem komputer. Sebagai contoh, teknik keamanan komputer yang digunakan dalam sistem e-voting India membuat sistemnya tidak mungkin untuk diprogram kembali oleh seseorang19. Kerentanan terhadap sistem komputer pada e-voting menunjukkan bahwa hasil pemilu bisa dimanipulasi, dan juga dapat menciptakan bahaya bahwa hasil pemilu yang tidak sah akan diterima, karena adanya manipulasi yang menunjukkan seolah-olah tidak terjadi kecurangan secara meyakinkan.

2. Masalah Operasional dan Logistik Terkait Kendala Lingkungan Sistem e-voting membutuhkan berbagai sarana dan prasarana yang menunjang agar e-voting dapat dilakukan secara serentak dan lancar pada saat pemilihan umum mendatang. Sistem tersebut memerlukan sumber daya listrik yang cukup kuat untuk mengaktifkan mesin e-voting tersebut. Selain itu, juga dibutuhkan tenaga ahli untuk membantu pemilih

Page 102: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 95

mengoperasikannya, memperbaiki apabila ada kerusakan dan juga untuk merawat di daerah-daerah. Melihat keadaan Indonesia khususnya di daerah-daerah pedalaman yang belum terjamah listrik serta sumber daya manusia baik tenaga ahli maupun pemilih yang belum melek komputer maka akan menjadi kendala dalam melaksanakan e-voting. Sehingga, untuk daerah yang belum dapat menunjang sistem e-voting, dapat menggunakan sistem pemilihan secara konvensional agar jangan sampai menelantarkan hak masyarakat daerah untuk memilih hanya karena tidak ada sistem untuk menunjang e-voting.

Junior Hendri Wijaya, Achmad Zulfikar, dan Iman Amanda Permatasari,92 dalam kajiannya mengutip data dari AEC project dalam sampai dengan bulan janari 2010, banyak negara yang menggunakan sistem e-voting hingga mencapai sebanyak 47 negara. Adapun dari jumlah negara itu dapat di bedakan dalam 4 kategori. 4 kategori tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Dari 4 indikator tersebut dapat di Selain dapat dikategorikan dari praktik pelaksanaannya selama ini, dari jumlah 47 negara tersebut, secara keseluruhan negara-negara tersebut juga dapat dibagi menjadi dua katagori lain, yaitu negara yang sukses dan negara yang tidak sukses. Negara yang sukses indikatornya adalah di negara tersebut e-voting telah dan tetap terus dipraktikkan dan mendapatkan respons positif dari rakyatnya dan juga pemerintah di negaranya.Sedangkan, negara yang tidak sukses menerapkan e-voting adalah negara yang pada praktiknya setelah dievaluasi terdapat sejumlah kendala dan bahkan mendapat penolakan dari masyarakatnya dan lebih jauh lagi, sampai akhirnya dihentikan Impelmentasinya

92 Junior Hendri Wijaya, Achmad Zulfikar, dan Iman Amanda Permatasari,

Implementasi Sistem E-voting Untuk Meningkatkan Kualitas Demokrasi di Indonesia, Jurnal Pemerintahan dan kebijakan, lihat https://journal.umy.ac.id/index.php/jpk/article/view/7841

Page 103: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

96 –

Teknologi Blockchain dan Keamanan Sistem

Dari kondisi tersebut diatas terlihat bahwa maka salah satu yang menjadi kondisi penting penggunaan Pemilu Digital adalah kerahasiaan dan keamanan. Karena Salah satu kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan e-voting atau i-voting kontestan pemilu cenderung curiga terhadap perangkat yang digunakan telah direkayasa oleh penguasa, sehingga issu kerahasiaan dan keamanan menjadi kondisi yang harus diyakinkan. pemungutan suara yang dilakukan dengan teknologi komputer juga mempunyai masalah tertentu. Banyak pihak yang meragukan keamanan dari vote yang mereka lakukan, apakah benar masuk dan terhitung di akhir pemungutan suara, atau tidak.

Untuk menjawab persoalan tersebut, Satria Damai Kurnia Hu, Henry Novianus Palit, Andreas Handojo93 mengusulkan dirancang suatu sistem pemungutan suara elektronik dengan memanfaatkan teknologi Blockchain dalam aplikasi berbasis website. Dengan memanfaatkan teknologi ini, data pemungutan suara yang telah dilakukan tidak dapat diubah, digandakan ataupun dihapus. Sehingga dapat meningkatkan keamanan dari

93 Satria Damai Kurnia Hu, Henry Novianus Palit, Andreas Handojo,

Implementasi Blockchain: Studi Kasus e-Voting, Jurnal Infra, vol 7, no 1 (2019), hal

lihat: http://publication.petra.ac.id/index.php/teknik-informatika/article/view/8069/7279

Page 104: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 97

pemungutan suara. Selain itu, teknologi ini juga dapat menjaga kerahasiaan dari pihak yang melakukan pemungutan suara. Aplikasi ini juga membantu proses pemungutan suara agar lebih mudah dalam hal pengelolaan pihak terkait, pemungutan suara, hingga perhitungan suara. Dari penelitian dan pengujian sistem yang telah dibuat, aplikasi dapat membantu memudahkan penyelenggaraan pemungutan suara. Teknologi blockchain yang digunakan mampu membantu menyimpan data hasil pemungutan suara yang transparan dan dapat diakses oleh publik. Teknologi ini juga membantu menjaga kerahasiaan dari voter. Data pemungutan suara juga tidak dapat diubah, digandakan atau dihapus. Selain itu, teknologi blockchain juga membantu melakukan verifikasi dan memilah data vote yang valid.

Pemilu Digital Asimetris. Pemilu digital adalah penggunaan metode e vote dan i vote,

sedangkan pendekatan Asimetris merupak perlakuan berbeda dari kondisi umum (simetris) yang ada, sehingga Pemilu Digital Asimetris tidak dapt dipisahkan dengan kondisi Indonesia yang secara geografis majemuk dan berbeda, jika dikaitkan dengan konsep Desentralisasi asimetris dan simetris dengan melihat kesesuaian (conformity) dan keumuman/kelaziman (commonalities).94 Secara geografis total wilayah Indonesia yang mencapai 5.193.250 Km2 dengan rincian luas daratan mencapai 1.919.440 km2 dan luas lautan 3.273.810 km2. Dan 2.055.000 km2 Zona Ekonomi Eksklusif. dengan jumlah pulau berdasarkan data BPS adalah 16.056 pulau.95 Selain itu Letak astronomis membuat Indonesia memiliki tiga pembagian waktu dalam tiga zona, yakni Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT). Dari pembagian tersebut dapat disimpulkan perbedaan waktu antara WIB dan WITA adalah 1 jam, WITA dan WIT 1 jam, WIB dan WIT 2 jam. Belum lagi masi terjadi perbedaan kesiapan infrastruktur baik transportasi, listrik, hingga akomodasi ditiap daerah. Belum

94 Charles D. Tarlton, ―Symmetry and Asymmetry as Elements of Federalism: A Theoritical Speculation‖, Journal of Politics, Vol. 27, No. 4 (Nov., 1965), pp. 861.

95 Badan Pusat Statistik Indonesia, Lihat: https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/UFpWMmJZOVZlZTJnc1pXaHhDV1hPQT09/da_01/1

Page 105: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

98 –

lagi dengan masih merebaknya pandemic Covid 19 yang menuntut penyesuaian metode pemilihan suara pada pemilu. Kondisi tersebut mempengaruhi dalam hal pelaksanaan Pemilu baik dari segi peralatan hingga proses administrasi hasil pemilu. Khususnya dalam menghasikan pemilu yang bekualitas.

Sehingga kedepan perlu diterapkan dua metode berbeda untuk pemberian suara, pertama, penggunaan e voting dan i voting bagi daerah yang telah siap, seperti daerah yang telah melaksanakan e voting pilkades saat ini, sudah dapat dilaksanakan. Pelaksanaan e voting dengan parameter pilkades menunjukkan kesiapan penyelenggara di daerah dan kesiapan pemilih atau masyarakat. Penggunaan e voting dilakukan lansung di TPS, sedangkan penggunaan I Voting dilakukan melalui aplikasi/web baik di HP maupun komputer sehingga tidak terikat oleh tempat tetapi berdasarkan kebsahan di e KTP sebagi pemilih. Metode kedua, dengan tetap menggunakan surat suara dan pencoblosan di bilik suara hingga penghitungan suara, yang tetap menggunakan perangkat elektronik untuk pelaporan hasil pemilihan di TPS.

Daftar Pustaka Buku

Charles D. Tarlton, ―Symmetry and Asymmetry as Elements of Federalism: A Theoritical Speculation‖, Journal of Politics, Vol. 27, No. 4 (Nov., 1965), pp. 861.

Jurnal Muhammad Kifli Hutagalung, PERANCANGAN

PERANGKAT E-VOTING BERBASIS E-KTP, Jurnal SAINTIKOM, Vol. 11 / No. 1 / Januari 2012

Muhammad Fauzan Azim, Pemilu Dan Konstitusiolitas Sistem Noken, Turast, jurnal penelitian dan pengabdian Universitas Imam Bonjol. Hal 1-2

Loura Hardjaloka & Varida Megawati Simarmata, E-Voting: Kebutuhan vs. Kesiapan, (Menyongsong) E-Demokrasi . Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011

Junior Hendri Wijaya, Achmad Zulfikar, dan Iman Amanda Permatasari, Implementasi Sistem E-voting Untuk

Page 106: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 99

Meningkatkan Kualitas Demokrasi di Indonesia, Jurnal Pemerintahan dan kebijakan,

Satria Damai Kurnia Hu, Henry Novianus Palit, Andreas Handojo, Implementasi Blockchain: Studi Kasus e-Voting, Jurnal Infra, vol 7, no 1 (2019)

Internet "Refleksi Pemilu 2019, Sebanyak 894 Petugas KPPS

Meninggal Dunia", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2020/01/22/15460191/refleksi-pemilu-2019-sebanyak-894-petugas-kpps-meninggal-dunia., Penulis : Sania Mashabi, Editor : Kristian Erdianto.

https://www.suara.com/news/2019/05/09/201418/ugm-kematian-petugas-pemilu-diduga-karena-kelelahan-hingga-depresi?page=all

https://fokus.tempo.co/read/1197960/evaluasi-pemilu-2019-kpps-kelelahan-ambang-batas-parlemen?page_num=2

https://www.bppt.go.id/teknologi-informasi-energi-dan-material/3564-bppt-sudah-buktikan-pemilu-elektronik-pada-981-gelaran-pilkades.

Kompas.com "Jumlah Pengguna Internet Indonesia 2021 Tembus 202 Juta ", Lihat: https://tekno.kompas.com /read/2021/02/23/16100057/jumlah-pengguna-internet-indonesia-2021-tembus-202-juta.

https://mediaindonesia.com/humaniora/389057/kemenkominfo-89-penduduk-indonesia-gunakan-smartphone

Badan Pusat Statistik Indonesia, Lihat: https:// www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/UFpWMmJZOVZlZTJnc1pXaHhDV1hPQT09/da_01/1

Page 107: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

100 –

Page 108: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 101

KONSTITUSIONALITAS PRESIDENTIAL THRESHOLD

Ida Hanifah Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

[email protected]

Andryan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

[email protected]

Pendahuluan Sebagai sebuah negara yang berdaulat, Presiden

mempunyai peran yang vital dalam mencapai tujuan dan cita-cita negara. Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, proses pemilihan Presiden mengalami dinamika seiring dengan situasi politik pada setiap rezim. Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, mengenal beberapa masa selama perjalanan Republik Indonesia. Dimana dalam masa tersebut, proses pemilihan Presiden juga dipengaruhi oleh situasi politik.

Ketentuan yang mengatur pengisian jabatan dengan cara pemilihan adalah Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi ―Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Menurut Harun Al Rasid, ketentuan tersebut di atas dapat di ketahui bahwa:96 pertama, Presiden di pilih (bukan ―diangkat‖) oleh suatu badan negara, yaitu MPR, pemilihan presiden dilakukan secara tidak langsung. Artinya rakyat memilih dulu wakil-wakilnya yang duduk di MPR, kemudian badan inilah yang melakukan pemilihan presiden dan wakil presiden, MPR juga mempuyai wewenang lain, kedua, Pemilihan presiden di lakukan dengan pemungutan suara (voting). Jadi tidak dengan cara musyawarah untuk mufakat (tanpa voting). Yang terpilih sebagai presiden ialah calon yang memperoleh suara terbanyak.

96Harun Alrasid, ―Pemilihan Presiden dan Pengantian Presiden dalam

Hukum Positif Indonesia. (pidato Pengukuhan jabatan Guru besar Madya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 29 Juli 1995). Lihat juga Hendra Nurtjahjo. Politik Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2004), hlm. 217.

Page 109: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

102 –

Ketentuan presidential threshold, mengundang pertanyaan, apakah memiliki landasan konstitusional atau tidak? Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa ―Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum‖. Rumusan kalimat partai politik peserta pemilu ini menimbulkan penafsiran yang berbeda. Jika menggunakan logika hukum dengan penafsiran original intens, maka partai politik peserta pemilu dapat dimaknai sebagai seluruh partai politik yang ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini berarti sama sekali tidak ada klausula yang mengamanatkan pemilihan Presiden dan Wakil presiden tersebut menggunakan mekanisme presidential threshold tersebut. Prinsipnya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 hanya memberi mandat, bahwa yang berhak mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik.

Secara normatif, Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 mengatur presidential threshold bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan presidential threshold tersebut adalah 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Pengaturan tentang ambang batas tentu tidak mempunyai logika yang sehat, sebab partai politik hasil pemilu 2014 tidak pernah mendapat mandat dari pemilih pemula yang baru memilih pada Pemilu 2019. Hal ini tentu berpotensi merugikan hak konstitusional pemilih pemula untuk menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan presidential threshold, pencalonan Preysiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum sebelumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 jelas tidak logis serta mengamputasi hak-hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih. Dalam logika sederhana ketentuan presidential threshold dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden itu adalah mengada-ada dan tidak sejalan dengan demokrasi Pancasila.

Page 110: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 103

Prinsip Negara Hukum UUD 1945, sebagai konstitusi Negara Indonesia merupakan the supreme law of the land.97 Setelah perubahan UUD 1945, dirumuskan konsep negara hukum, yang sebelumnya hanya dicantumkan dalam penjelasan. Konsep negara hukum menjadi norma dalam UUD 1945. Konstitusi sebagai landasan untuk melindungi rakyat terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara. Menurut Carl Schmit, konstitusi dianggap sebagai keputusan politik yang tertinggi. Oleh karena itu, konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dalam tertib hukum suatu negara.98

Negara hukum diistilahkan dengan nama rechstaats atau the rule of law. Pendirian negara Indonesia telah dicita-citakan oleh the founding father99 sebagai suatu negara hukum. Dalam rangka perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa ―Negara In-donesa adalah Negara Hukum‖. Meskipun secara eksplisit telah tertuang dalam konstitusi sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, namun cetak biru dan desain makro penjabaran ide negara hukum belum secara tegas dirumuskan secara komprehensif.100

Menurut Bagir Manan, bahwa konsep negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Di dalam konsep ini, negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja, tetapi juga memikul tanggungjawab untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umum demi kemakmuran rakyat. Dengan demikian negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi dapat disebut sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechtstaat).101

97Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316. 98 Widodo Ekatjahjana, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dan Sistem Peradilan Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sutra, 2008). 99 Soepomo lebih tepat menggunakan istilah fouding people karena pendiri negara juga ada dari kalangan wanita. 100 Andryan, ―Implikasi Putusan Hak Uji Materil Mahkamah Agung Terhadap Legalitas Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah,‖ Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18, no. 3 (2018): 367–380. 101 Jazim Hamidi, Teori Dan Politik Hukum Tata Negara (Yogyakarta: Total Media, 2009).

Page 111: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

104 –

Menurut Frans Magnis Suseno, negara hukum yang demokratis meliputi sebagai berikut:102

1. Fungsi-fungsi kenegaraan dijalankan oleh lembaga-lembaga sesuai dengan ketetapan-ketetapan sebuah Undang-Undang Dasar;

2. Undang-undang dasar menjamin hak asasi manusia sebagai unsur yang paling penting;

3. Badan-badan negara yang menjalankan kekuasaan masing-masing selalu dan hanya atas dasar hukum yang berlaku;

4. Terhadap tindakan badan negara, masyarakat dapat mengadu ke pengadilan dan putusan pengadilan dilaksanakan oleh badan negara; dan

5. Badan kehakiman bebas dan tidak memihak.

Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global. Terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu (1) supremasi konstitusi (supremacy of law); (2) persamaan dihadapan hukum (equality before the law); (3) asas legalitas (due process of law); (4) pembatasan kekuasaan (limitation of power); (5) organ pemerintahan yang independen; (6) peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary); (7) peradilan tata usaha negara (administrative court); (8) peradilan tata negara (constitutional court); (9) perlindungan hak asasi manusia; (10) bersifat demokratis (democratische-rehtsstaats); (11) berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat), serta (12) transparansi dan kontrol sosial.

Dalam prinsip negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah atau konflik diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi 102 Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Malang: PDIH Universitas Brawijaya, 2009).

Page 112: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 105

konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan pada aturan hukum. Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan, dimana peraturan perundang- undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures. Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.

Hak Konstitusional: Dipilih dan Memilih Secara konstitusional setiap warga negara memiliki hak

yang sama di hadapan hukum dan dalam pemerintahan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Demikian pula Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa, ―Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Sedangkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dalam konsep demokrasi, pada dasarnya yang berdaulat adalah rakyat itu sendiri untuk menentukan arah jalannya pemerintahan. Perwujudan asas kedaulatan rakyat dalam kehidupan pemerintahan tergambar dari keterlibatan rakyat secara intensif dalam memutuskan arah kebijakan pemerintahan. Ukuran kedaulatan rakyat dapat dilihat seberapa jauh besaran peran yang dimainkan rakyat serta semakin selarasnya kepentinganan rakyat dengan kebijakan publik yang srategis. Oleh karena itu

Page 113: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

106 –

keterlibatan warga Negara dalam urusan Negara merupakan bagian dari proses demokrasi baik ketika memilih dan menetapkan pemimpin serta menetapkan arah kebajikan publik. Proses memilih pemimpin diselenggarakan dalam kegiatan Pemilihan Umum yang diharapkan memunculkan sosok pemimpin yang memiliki kompetensi, memiliki integritas dan skill serta diterima oleh sebagian besar warga negara melalui proses yang jujur dan adil. Pemilihan Umum sebagai perwujudan prinsip demokrasi, maka dipilih dan memilih merupakan hak setiap warga negara dan tentu dengan persyaratan tertentu yang diatur oleh hukum dalam hal ini undang-undang.

Hak konstitusional memiliki lingkup domestik yang berlaku dalam hukum positif sebuah negara. Perkembangan hak asasi manusia di tingkat internasional memberi dorongan bagi pengakuan keberadaannya di tingkat nasional sebagai hak konstitusional. 103Keduanya juga memiliki kesamaan struktur dimana terdapat pembedaan antara hak-hak yang dapat dibatasi (derogable) dan tidak dapat dibatasi (non-derogable) atau dikurangi unsur pemenuhannya.104

Hak memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif merupakan hak dasar di bidang politik yang dijamin oleh Konstitusi yaitu Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Pengakuan hak politik ini juga diakui dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights disingkat ICCPR) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966 sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

Pengaturan mengenai hak politik diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang menyatakan ―Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara

103I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 131

104Stephen Gardbaum, “The „Horizontal‟ Effect of Constitutional Rights”, artikel dalam Michigan Law Review, Vol. 102, 2003, hlm. 387

Page 114: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 107

yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan‖.

Konstitusionalitas Presidential Threshold Mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 yang dijabarkan ke dalam lima ayat berikut :

(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Disahkannya Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 ini secara otomatis mencabut kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden dan beralih pada ketentuan baru bahwa yang berwenang untuk memilih presiden dan wakil presiden adalah hak rakyat Indonesia, oleh karena itu keterlibatan rakyat dan penguatan kedaulatan rakyat semakin diakui karena rakyat bisa secara langsung memilih pemimpin negaranya sendiri. Keterlibatan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden seperti yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) juga menjadi implikasi positif terhadap kedaulatan partai politik yang

Page 115: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

108 –

secara konstitusional diakui dalam sistem pemilihan kepala negara di Indonesia. Secara normatif, perkembangan sistem demokrasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan UUD 1945 yang berkaitan dengan sistem pengisian jabatan presiden dan wakil presiden ini, dimana rakyat diberikan peran yang besar dalam menentukan kebijakan-kebijakan nasional.

Ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka jelas bahwa pengusung calon Presiden dan Calon Wakil Presiden adalah Parta Politik peserta Pemilu yang dilakukan sebelum Pemilu dilaksanakan. Rumusan partai politik peserta Pemilu yang menimbulkan tafsir berbeda- beda, tetapi jika menggunakan logika hokum dengan penafsiran original intens yang menekankan pada kebenaran bernalar (orthos logos), maka dengan mengacu pada berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pemilihan umum, maka partai politik peserta Pemilu adalah seluruh partai politik yang ditetapkan melalui keputusan penyelenggara Pemilu dalam hal KPU sebagai partai politik peserta Pemilu pada pemilihan umum yang diselenggarakan pada periode yang bersangkutan atau periode saat itu. Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum menyelenggarakan verifikasi baik administrasi maupun factual kepada seluruh partai politik yang berkeinginan ikut sebagai peserta Pemilu. Oleh karena itu, tidak ada satupun partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum yang tidak ditetapkan melalui keputusan KPU. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”,m aka penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan anggota legistaltif diselenggarakan serentak waktunya.

Pemilu serentak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota legislatif telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Tafsir Mahkamah Konstitussi melalui putusannya tersebut menyudahi perdebatan tafsir serentak atau terpisah sebagai praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini. Ditinjau dari Original Intent UUD 1945 Pasal 22E (2) UUD 1945 menegaskan “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Norma ini yang menjadi

Page 116: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 109

pijakan dasar dalam penyelenggaraan pemilu serentak. Ditinjau dari original intent perumusan norma dalam konstitusi ini bisa dilihat pada awal percakapan dalam perumusan norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 pelaksanaan pemilu secara serentak. Konsekuensi putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 maka dengan sendirinya meninggalkan persoalan baru yaitu apakah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tetap menggunakan Presidential Threshold atau justeru sebaliknya tanpa menggunakan Presidential Threshold karena sudah kehilangan nalar hukumnya. Jika dipahami peserta Pemilu anggota legislative adalah partai politik dan pengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik peserta Pemilu, maka dengan sendirinya penetapan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak relevan lagi, karena partai politik peserta Pemilu adalah Partai Politik yang ditetapkan oleh KPU untuk Pemilu periode yang bersangkutan.

Perihal ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden atau wakil presiden, undang-undang ini menegaskan bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR RI atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud hanya dapat mencalonkan 1 (satu) pasangan calon sesuai dengan mekanisme internal partai politik dan/atau musyawarah gabungan partai politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka. Hal ini diatur secara gamblang dalam Pasal 221-Pasal 223 UU No.7 Tahun 2017 yang berbunyi:

Pasal 221 : Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1(satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik

Pasal 222 : Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhipersyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (Dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Page 117: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

110 –

Pasal 223 : (1) Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan, (2) Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melalokan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.(3) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka. (4) Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan lagi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya.

Ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945, khususnya apabila dihubungkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 yang dalam amarnya mengabulkan permohonan Pemohon Sdr. Efendi Ghozali dkk bahwa penyelenggaraan Pemilu wajib dilakukan serentak mulai Pemilihan Umum tahun 2019. Rumusan norma Pasal 222 itu dilakukan oleh Pembentuk undang- undang, dalam hal ini Presiden dan DPR, berdasarkan kewenangan open legal policy yang diberikan oleh norma Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945. Namun kewenangan berdasarkan open legal policy itu adalah rumusan norma yang nyata- nyata bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), 2 dan (3) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan juga bertentangan moralitas, rasionalitas dan berisi ketidak-adilan yang intolerable yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi Mahkamah Konstitusi untuk membatalkannya sebagaimana dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013.

Keberadaan ambang batas pencalonan Presiden atau presidential threshold sebelumnya telah ada dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sekarang sudah tidak berlaku lagi, walaupun norma pasal itu tidak mengaitkan presidential threshold dengan Pemilu anggota DPR sebelumnya. Hal itu mengingat penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan

Page 118: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 111

Wakil Presiden berdasarkan undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 dipisahkan dengan Pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD. Terhadap adanya ambang batas atau presidential threshold dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tersebut, sudah 4 (empat) kali diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan hasilnya selalu ditolak dan/atau Mahkamah menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya. Dalam tiga putusan Putusan Mahkamah, yakni Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 Mahkamah menyatakan bahwa adanya ketentuan ambang batas atau presidential threshold itu adalah konstitusional karena merupakan ―open legal policy‖ yang dimiliki oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, berdasarkan norma Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa ―tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang‖. Demikian pula halnya Pasal 22E ayat (6) Undag-Undang Dasar 1945 yang menyatakan ―Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang‖;

Daftar Pustaka

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013

Lukman Hakim, Eksistensi Komisi-Komisi Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Malang: PDIH Universitas Brawijaya, 2009).

Jazim Hamidi, Teori Dan Politik Hukum Tata Negara (Yogyakarta: Total Media, 2009)

Widodo Ekatjahjana, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dan Sistem Peradilan Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sutra, 2008).

Andryan, ―Implikasi Putusan Hak Uji Materil Mahkamah Agung Terhadap Legalitas Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah,‖ Jurnal Penelitian Hukum De Jure 18, no. 3 (2018): 367–380.

Stephen Gardbaum, “The „Horizontal‟ Effect of Constitutional Rights”, artikel dalam Michigan Law Review, Vol. 102, 2003

Page 119: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

112 –

Page 120: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 113

URGENSI PEMBENTUKAN BADAN PERADILAN KHUSUS

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA

Christian Hutahaean Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Email : [email protected]

Ariel Sinaga Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Email : [email protected]

Khopipah Dalimunthe Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara. Email : [email protected]

Pendahuluan

Penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tidak henti-hentinya menyisakan permasalahan. Permasalahan tersebut memang telah menjadi suatu keniscayaan. Tinggal bagaimana pemerintah beserta para pemangku kepentingan lainnya merumuskan solusi untuk mengatasinya. Berdasarkan perundang-undangan yang ada, masalah hukum pemilu di Indonesia diklasifikasikan ke dalam 6 (enam) kategori, yaitu sebagai berikut:105 a). pelanggaran administrasi pemilu, yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu; b). tindak pidana pemilu, yaitu tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang ini; c). sengketa pemilu, yaitu sengketa antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; d). sengketa tata usaha negara pemilu, yaitu

105 Refly Harun, ―Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum,‖ Jurnal Konstitusi 13, no. 1 (2016): 5.

Page 121: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

114 –

sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, atau partai politik calon peserta pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota; e). pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, yaitu pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu; f). perselisihan hasil pemilu, yaitu perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.

Perlu kiranya menetapkan batasan antara pemilu dengan pemilihan kepala daerah (pilkada), mengingat yang menjadi fokus makalah ini adalah pilkada sebagaimana diatur pada pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Sementara pemilu pengaturan konstitusionalnya terdapat pada pasal 22E UUD NRI 1945.

Pemilahan inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai rezim pemilu dan rezim pilkada. Pemilahan rezim pemilu dan rezim pilkada ini memiliki konsekuensi terhadap badan peradilan yang berwenang mengadili sengketa hasil pemilu dan pilkada. Adapun badan peradilan yang berwenang mengadili sengketa hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi (MK)106, sedangkan yang berwenang mengadili sengketa hasil pilkada adalah badan peradilan yang khusus dibentuk untuk itu. Namun pada praktiknya kewenangan ini masih dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk sementara waktu selama badan peradilan khusus yang dimaksud belum dibentuk.107 Ketidaksesuaian antara aturan normatif dengan implementasi di lapangan ini menjadi akar dari banyak permasalahan yang muncul terkait badan peradilan khusus penyelesaian sengketa hasil pilkada, seperti mekanisme pembentukan, kedudukan, hingga kewenangan yang nantinya dimiliki oleh badan peradilan khusus tersebut. Lantas, kenapa badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada perlu dibentuk? Bagaimana desain

106 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 1945. 107 Republik Indonesia, UU Nomor 1 Tahun 2015, 2015.

Page 122: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 115

kelembagaan dan desain kewenangan yang ideal bagi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada?

Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada serta desain kelembagaaan dan desain kewenangan yang ideal bagi badan peradilan tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pemilu serta menjadi bahan pertimbangan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan pemilu, khususnya pilkada di Indonesia.

Kajian Teoritik

Adapun teori dan konsep yang digunakan untuk melakukan klarifikasi ilmiah serta justifikasi teoritis-konseptual dalam penulisan karya ilmiah ini meliputi konsep pemilu, teori demokrasi dan teori konstitusionalisme. Konsep pemilu yang dimaksud menyangkut tujuan pemilu serta keadilan pemilu. Keadilan pemilu (electoral justice) mencakup cara dan mekanisme yang tersedia di suatu negara tertentu, komunitas lokal atau di tingkat regional atau internasional untuk:108 a). menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur dan keputusan terkait dengan proses pemilu sesuai dengan kerangka hukum; b). melindungi atau memulihkan hak pilih; dan c). memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.

Teori demokrasi dalam hal ini menyangkut bentuk demokrasi berdasarkan pelaksanaannya, yakni demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Adapun teori konstitusionalisme yang disinggung dalam karya ilmiah ini terkait dengan indikator pertumbuhan konstitusionalisme dalam suatu negara. Di Indonesia, pertumbuhan ini bisa dilihat dari langkah-langkah progresif yang ditempuh oleh MK.

108 International IDEA, Keadilan Pemilu (Stockholm: International IDEA, 2010).

Page 123: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

116 –

Pembahasan Dan Analisis

A. Dikotomi Rezim Pilkada dan Pemilu Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu

mekanisme demokrasi untuk menentukan pergantian pemerintahan di mana rakyat dapat terlibat dalam proses pemilihan wakil mereka di parlemen dan pemimpin nasional maupun daerah yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan aman.109 Pemilu merupakan wujud nyata dari kedaulatan rakyat, sekaligus pelaksanaan dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Sebagaimana UUD NRI 1945 menetapkan, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.110 Pengertian pemilu yang diantarkan sebelumnya merupakan pengertian pemilu secara umum. Dalam arti yang lebih spesifik, pemilu bisa dipilah menjadi pemilu dalam skala nasional, dan pemilu dalam skala daerah.

Pemilu yang dimaksud dalam hal ini mengacu pada pemilu yang dilaksanakan secara langsung. Sebagai variabel dari gagasan demokrasi, pemilu semacam ini secara konseptual merupakan implementasi dari demokrasi langsung (direct democracy).111 Ketentuan konstitusional mengenai kedaulatan rakyat dalam bentuk pemilu langsung ini merupakan salah satu buah reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998. Sebelumnya, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam tataran konseptual, pemilu di masa pra amandemen UUD NRI 1945 merupakan demokrasi tidak langsung (indirect democracy)112, karena dilaksanakan secara tidak langsung. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI merupakan momentum penguatan sistem demokrasi konstitusional Indonesia, di mana keran partisipasi rakyat dalam pengisian jabatan publik semakin terbuka, dan secara eksplisit

109 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education Pancasila, Demokrasi, HAM, Dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenadamedia, 2014). 110 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 111 Kayan Swastikaca Yessyca Yunitasari, Sugiyanto, ―Abdurrahman Wahid ‘ s Thought about Democracy in 1974 -2001,‖ Jurnal Historica 1, no. 2252 (2017): 79–97. 112 Ibid.

Page 124: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 117

memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan dan memilih pemimpinnya.113

Selain pada pemilu langsung, pemilu yang dimaksud dalam hal ini juga mengacu pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).114 Sementara pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala pemerintahan daerah berada pada ranah yang berbeda dengan pemilu. Pemilihan kepala pemerintahan daerah ini kini lebih dikenal dengan sebutan pemilihan kepada daerah (pilkada). Dalam perkembangannya, pemilu dan pilkada telah dimaknai secara dikotomis. Hingga terciptalah dikotomi rezim pemilu dengan rezim pilkada atau sering pula disebut sebagai rezim pemerintahan daerah (pemda). Landasan konstitusional rezim pemilu adalah pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan landasan konstitusional rezim pilkada adalah pasal 18 UUD NRI 1945. Menurut para penulis, dikotomi rezim pemilu dan rezim pilkada bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan. Pada dasarnya, dikotomi tersebut tidak mempunyai konsekuensi hukum yang serius dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada. Berhubung fokus kajian dalam makalah ini adalah pilkada, maka istilah tersebut akan lebih sering digunakan pada bagian-bagian pembahasan selanjutnya. Kendati demikian, pembacaan secara konseptual dan kontekstual akan memudahkan pembaca, kapan harus memaknai pilkada sebagai bagian dari pemilu, dan kapan harus memaknai pilkada sebagai sesuatu di luar pemilu.

B. Dinamika Implementasi Kewenangan Penyelesaian Sengketa Pilkada Penyelesaian sengketa pilkada merupakan sebuah

instrumen yang mutlak diperlukan guna menjamin demokrasi dan demokratisasi berjalan efektif. Pilkada yang baik adalah pilkada yang menyediakan wadah untuk penyelesaian sengketanya. Di Indonesia, penyelesaian sengketa pilkada

113 Slamet Suhartono, ―Konstitusionalitas Badan Peradilan Khusus Dan MK Dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Langsung,‖ Jurnal Konstitusi 12, no. 3 (2016): 504. 114 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 125: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

118 –

awalnya ditangani oleh Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) yang di dalamnya menyatakan bahwa keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan Kepala Daerah hanya dapat diajukan pasangan calon ke Mahkamah Agung.115

Dalam perkembangan selanjutnya UU Pemda mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang pada dasarnya menyerahkan kewenangan penyelesaian sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.116 Ketentuan ini secara otomatis menghapuskan kewenangan Mahkamah Agung untuk memutus sengketa hasil pilkada.

Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa hasil pilkada menuai pro dan kontra. Dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 disebutkan bahwa kewenangan untuk memutus sengketa hasil pilkada bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebatas yang disebutkan pada pasal 24C UUD NRI 1945, yakni memutus sengketa pemilu. Adapun lingkup pemilu sebagaimana diatur pada pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian, penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi mengadili sengketa pilkada dengan memperluas makna pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 22E adalah inkonstitusional.

Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi kemudian dialihkan kepada Pengadilan Tinggi dengan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang mengubah sistem pemilihan menjadi tidak langsung. Presiden kemudian bereaksi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2014 yang 115 Republik Indonesia, Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, 2004. 116 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, 2008.

Page 126: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 119

mengembalikan sistem pemilihan menjadi secara langsung oleh rakyat, dan penyelesaian sengketa hasil pilkada diserahkan ke Pengadilan Tinggi dengan kasasi di Mahkamah Agung.

PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 disetujui oleh DPR periode 2014-2019 pada persidangan berikutnya dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam perkembangannya, undang-undang ini telah mengalami dua kali perubahan, yakni diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang. Perubahan ini pada pokoknya menyebutkan bahwa kewenangan untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.117 Namun selagi badan peradilan khusus tersebut belum dibentuk, kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi.118

C. Urgensi Pembentukan Badan Peradilan Khusus

Penyelesaian Sengketa Pilkada Mahkamah Konstitusi sebagai The Final Interpreter of

Constitution menafsirkan frasa ―dipilih secara demokratis‖ pada pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menjadi ―dipilih secara langsung‖. Penafsiran ini merupakan babak baru pertumbuhan konstitusionalisme Indonesia.119 Menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dan dikerjakan dengan sebaik mungkin, yaitu sistem keadilan pemilu atau electoral justice, yang salah satu bagian dari sistem tersebut adalah dimungkinkannya warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan

117 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, 2015. 118 Ibid. 119 Margarito Kamis, Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia (Malang: Setara Press, 2014).

Page 127: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

120 –

mendapatkan putusan.120 Dalam rangka mewadahi pengaduan dan persidangan tersebut, dibutuhkan suatu badan peradilan khusus untuk menyelesaikan sengketa pemilu.

Sejak putusan Mahmakah Konstitusi No. 97/PUU-XII/2013 yang menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah untuk mengadili perselisihan hasil pilkada dengan cara memperluas makna pemilihan umum didalam pasal 22E UUD NRI 1945 adalah inkonstitusional, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak lagi menjadi lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Ihwal ini termuat dalam pasal 157 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang menyatakan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh suatu badan peradilan khusus.

Urgensi pembentukan badan peradilan khusus dalam penyelesaian sengketa hasil pilkada menjadi suatu keniscayaan. Menjadikan MK sebagai pelaksana kewenangan ini hampir tak mungkin dilakukan. Kewenangan MK yang ada saat ini sudah cukup membuat 9 (sembilan) orang hakim MK kewalahan. Lagipula, boleh dikatakan, kewenangan kunci MK selama ini adalah pengujian konstitusionalitas undang-undang. Kewenangan penyelesaian sengketa pilkada yang masih tersebar turut menjadikan proses penyelesaian sengketa pilkada tidak efektif. Belum lagi kasus suap penyelesaian sengketa pilkada yang melibatkan hakim MK.

Dititipkannya kewenangan penyelesaian sengketa pilkada ke MK telah menimbulkan pergeseran kewenangan konstitusional MK. Kewenangan penyelesaian sengketa pilkada sangat berpotensi memecah fokus hakim-hakim MK dalam melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya. Banyak permohonan pengujian konstitusionalitas undang-undang yang terbengkalai dan berjalan lambat akibat banyaknya sengketa pilkada yang harus ditangani oleh MK.

Sudah selayaknya badan peradilan khusus segera dibentuk sebagaimana telah diamanatkan oleh undang-undang tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Urgensi ini juga terlihat dari pengaturan pilkada gelombang berikutnya, di mana dalam ketentuan perundang-undangan yang ada, pilkada serentak secara nasional di seluruh wilayah Indonesia akan 120 Heru Widodo, Hukum Acara Sengketa Pemilukada, Dinamika Di Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2018).

Page 128: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 121

dilaksanakan pada bulan November 2024, dan kepala daerah yang terpilih tahun 2020 akan menjabat hanya sampai tahun 2024.121 Menurut para penulis, pembentukan badan peradilan khusus ini bahkan tidak perlu menunggu pilkada serentak secara nasional. Pembentukan lebih awal justru merupakan langkah yang lebih antisipatif terhadap potensi terjadinya sengketa-sengketa pilkada di masa-masa mendatang. Realisasi badan peradilan khusus ini akan menjadi momentum perbaikan dan penyempurnaan penyelesaian sengketa pilkada di Indonesia.

D. Desain Kelembagaan dan Desain Kewenangan Badan

Peradilan Khusus Penyelesaian Sengketa Pilkada Setelah sepakat bahwa pembentukan badan peradilan

khusus penyelesaian sengketa pilkada merupakan sesuatu yang mendesak, kini pertanyaan lanjutannya ialah terkait desain kelembagaan dan desain kewenangan yang ideal bagi badan peradilan khusus tersebut. Desain kelembagaan bisa menyangkut beberapa hal. Pertama, mengenai status lembaganya. Badan peradilan khusus ini nantinya bisa berupa lembaga baru, bisa pula berupa lembaga yang sudah ada namun dilakukan penambahan dan penyesuaian kewenangan. Diperlukan pertimbangan yang betul-betul matang dalam hal ini. Mengingat penyederhanaan lembaga telah menjadi agenda kerja pemerintah belakangan ini, pembentukan lembaga-lembaga baru tentu merupakan kebijakan yang kontradiktif. Hal ini harus diperhatikan jika hendak membentuk lembaga baru. Sebaliknya, jika langkah yang ditempuh adalah penambahan dan penyesuaian kewenangan pada lembaga yang sudah ada, lembaga mana yang cocok untuk ditambah dan disesuaikan kewenangannya sebagai badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada? Dengan kata lain, lembaga mana yang cocok untuk direstrukturisasi menjadi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada?

Kedua, mengenai kedudukan lembaganya. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, kewenangan penyelesaian sengketa pilkada telah mengalami dinamika yang cukup panjang. Mulai dari MA, Pengadilan Tinggi, hingga MK. Proyeksi badan peradilan khusus ini pun dengan sendirinya menyisakan 121 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, 2016.

Page 129: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

122 –

pertanyaan. Bagaimana kedudukan lembaga ini nantinya? Apakah berada di bawah naungan MA? Apakah dijadikan sebagai peradilan khusus di lingkup peradilan umum? Apakah berada di bawah naungan MK? Apakah berdiri sendiri secara mandiri tanpa terkait dengan badan peradilan lain? Diperlukan koordinasi serta komunikasi politik yang baik di antara para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan untuk menjawab pertanyaan ini.

Serupa dengan desain kelembagaan, desain kewenangan juga bisa menyangkut beberapa hal. Pertama, yurisdiksi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada. Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, masalah-masalah pemilu di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Secara garis besar, masalah-masalah tersebut dibagi menjadi masalah yang berkaitan dengan proses pemilihan, dan masalah yang berkaitan dengan hasil pemilihan. Dalam perkembangannya, pembedaan ini telah mengundang silang pendapat di kalangan pakar hukum pemilu. Sebagian menganggap pembedaan itu perlu, sebagian lagi menganggapnya tidak perlu karena pada kenyataannya hasil pemilihan tidak dapat dan tidak mungkin dipisahkan dari proses pemilihan. Pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada selayaknya dijadikan sebagai momentum untuk merapikan kembali benang kusut pemahaman mengenai masalah-masalah pemilu ini.

Penataan ulang konsep dan klasifikasi masalah-masalah pemilu bisa memberikan banyak manfaat sekaligus. Dalam tataran konseptual maupun penataan aturan normatif-yuridis, klasifikasi masalah-masalah pemilu bisa lebih komprehensif. Pada saat bersamaan, desain kewenangan terkait yurisdiksi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa bisa diproyeksikan secara terukur.

Kedua, upaya hukum atas putusan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada. Perlu kiranya untuk mencanangkan ada-tidaknya upaya hukum yang dapat ditempuh atas putusan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada. Beberapa hal yang harus dijadikan pertimbangan, misalnya: a). sifat persidangan yang cepat (speedy trial); b). kepentingan rakyat; c). proporsionalitas penggunaan anggaran; d). rekonsiliasi nasional; dan e). marwah

Page 130: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 123

penyelenggara pemilu serta marwah badan peradilan khusus itu sendiri.

Menurut para penulis, desain kelembagaan yang ideal bagi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada adalah dengan merestrukturisasi lembaga yang sudah ada. Sebagai perbandingan, di beberapa negara terdapat badan penyelenggara pemilu independen yang diberi kewenangan seperti badan peradilan khusus.122 Di Thailand, kewenangan ini dilaksanakan oleh Election Commission of Thailand, sementara di Filipina dilaksanakan oleh Comelec (Commission on Election).123 Untuk Indonesia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa saja distrukturisasi menjadi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada. Terdapat ketidaksesuaian antara kinerja dengan sumber daya yang dimiliki oleh Bawaslu. Maka, mengoptimalkan Bawaslu sebagai badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada bisa menjadi langkah yang bijak.

Adapun tugas-tugas pengawasan pemilu bisa diserahkan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang ada di setiap daerah. Badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada sebaiknya dibentuk sebagai badan peradilan yang mandiri, tidak terkait dengan badan peradilan lain. Dengan demikian, badan peradilan khusus ini nantinya tidak berada di bawah naungan MA maupun MK.

Adapun desain kewenangan yang ideal bagi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada meliputi sengketa proses dan sengketa hasil. Dengan bersandar pada argumen bahwa hasil pemilihan tidak dapat dipisahkan dari proses pemilihan, maka sudah selayaknya badan peradilan khusus ini nantinya berwenang mengadili dan memutus sengketa proses maupun sengketa hasil. Dengan asumsi, pembedaan antara sengketa proses dengan sengketa hasil sebelumnya telah diatur sedemikian rupa dalam tataran konseptual dan normatif-yuridis. Sengketa hasil jangan hanya dimaknai sebagai perhitungan jumlah suara, namun juga meliputi proses awal hingga perhitungan akhir diperoleh. Hal ini sejalan dengan pendapat mantan hakim MK, Prof. A. Muktie Fadjar yang pada pokoknya menyatakan bahwa tugas MK sebagai pengawal konstitusi dan 122 Anna Triningsih, Meyrinda Rahmawaty H, and Alia Harumdani W, ―Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu Di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional‖ 9, no. 3 (2012): 543. 123 Ibid.

Page 131: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

124 –

demokrasi tidak semata-mata terbatas pada perhitungan suara, tetapi juga pada pelaksanaan asas luber dan jurdil, MK akan menilai proses rekapitulasi suara.124

Sengketa yang menjadi yurisdiksi badan peradilan khusus ini nantinya meliputi pelanggaran administrasi pilkada, sengketa pilkada antar peserta dan antara peserta dengan penyelenggara pilkada serta perselisihan hasil pilkada antara peserta dengan penyelenggara pilkada terkait penetapan perolehan suara yang memengaruhi hasil pilkada.

Penutup

Pilkada merupakan sarana bagi rakyat di tingkat daerah untuk memainkan peran pentingnya dalam negara demokrasi. Melalui pilkada, rakyat dapat secara langsung memilih orang yang akan menjadi kepala pemerintahan daerahnya. Namun, dalam proses penyelenggaraan pilkada ini, sengketa hampir selalu terjadi. Baik di antara peserta pilkada, maupun antara peserta pilkada dengan penyelenggara pilkada. Dalam rangka menghadirkan electoral justice kepada rakyat, pembentukan badan peradilan khusus untuk menyelesaikan sengketa pilkada mutlak diperlukan. Fakta bahwa dinamika kewenangan penyelesaian sengketa pilkada tersebut telah menyisakan banyak persoalan, turut menjadi faktor yang mendorong pembentukan badan peradilan khusus ini. Keterbatasan sumber daya MK, yang selama ini menjalankan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada, juga harus dilihat sebagai alasan kenapa pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada merupakan hal yang mendesak.

Desain kelembagaan ideal bagi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada adalah dengan merestrukturisasi lembaga yang sudah ada, dan menempatkannya secara terpisah dari MA maupun MK. Sementara desain kewenangan ideal bagi badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada adalah kewenangan untuk mengadili dan memutus pelanggaran administrasi pilkada, sengketa pilkada antar peserta dan antara peserta dengan penyelenggara pilkada serta perselisihan hasil

124 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum (Jakarta: Kencana, 2011).

Page 132: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 125

pilkada antara peserta dengan penyelenggara pilkada terkait penetapan perolehan suara yang memengaruhi hasil pilkada.

Pada akhirnya, realisasi gagasan pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada harus dilaksanakan dengan undang-undang. Maka sudah sepatutnya DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang, bersama dengan pemerintah, mengambil keputusan berbasis riset mendalam demi penyelenggaraan pilkada yang lebih baik di masa-masa mendatang.

Daftar Pustaka

Harun, Refly. ―Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.‖ Jurnal Konstitusi 13, no. 1 (2016): 5.

International IDEA. Keadilan Pemilu. Stockholm: International IDEA, 2010.

Kamis, Margarito. Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia. Malang: Setara Press, 2014.

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 1945.

———. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, 2008.

———. Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, 2004.

———. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, 2016.

———. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, 2015.

———. UU Nomor 1 Tahun 2015, 2015.

Rozak, A. Ubaedillah dan Abdul. Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education Pancasila, Demokrasi, HAM, Dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenadamedia,

Page 133: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

126 –

2014.

Suhartono, Slamet. ―Konstitusionalitas Badan Peradilan Khusus Dan MK Dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Langsung.‖ Jurnal Konstitusi 12, no. 3 (2016): 504.

Syahuri, Taufiqurrohman. Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum. Jakarta: Kencana, 2011.

Triningsih, Anna, Meyrinda Rahmawaty H, and Alia Harumdani W. ―Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu Di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional‖ 9, no. 3 (2012): 543.

Widodo, Heru. Hukum Acara Sengketa Pemilukada, Dinamika Di Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2018.

Yessyca Yunitasari, Sugiyanto, Kayan Swastikaca. ―Abdurrahman Wahid ‘ s Thought about Democracy in 1974 -2001.‖ Jurnal Historica 1, no. 2252 (2017): 79–97.

Page 134: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 127

PERSYARATAN DOMISILI

BAGI CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH

Ali Marwan Hsb Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara

Jl. Putri Hijau No. 4 Medan E-mail : [email protected]

Pendahuluan Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah sebagai salah satu

pelaksana lembaga legislatif di Indonesia, pada awalnya dibentuk karena tiga alasan, yakni (1) memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah; (3) mendorong percepatan demokrasi pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.125

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah ini diatur dalam Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa:

(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.

(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.

(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 22C di atas, terlihat bahwa materi muatan yang diatur adalah tentang keanggotaan Dewan

125 Eka NAM Sihombing, Hukum Kelembagaan Negara (Yogyakarta: Ruas

Media, 2018)., hlm. 53.

Page 135: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

128 –

Perwakilan Daerah, yaitu anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih melalui pemilihan umum dari setiap provinsi yang jumlahnya sama bagi setiap provinsi yang ada di Indonesia, dan jumlah tersebut tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.126

Dalam rangka mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah melalui pemilihan umum, kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam kedua undang-undang ini, terkait dengan syarat domisili calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Di mana, dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ada ketentuan mengenai syarat domisili, yaitu: Calon anggota Dewan Perwakilan Daerah selain harus memenuhi syarat sebagai calon, juga harus memenuhi syarat: 1) berdomisili di provinsi yang bersnagkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi yang bersangkutan.127 Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak ada ketentuan mengenai syarat domisili tersebut.

Ketiadaan persyaratan domisili calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian diajukan permohonan judicial review

126 Hartati, Menatap Masa Depan Dewan Perwakilan Daerah (Jambi:

Trisar Mitra Utama, 2018)., hlm. 178. 127 Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Penerapan Sistem Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia (Ypgyakarta: Graha Ilmu, 2012)., hlm. 119.

Page 136: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 129

ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 10/PUU-VI/2008. Di mana, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa persyaratan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yaitu domisili calon harus berada di Provinsi tempatnya mencalonkan diri sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Namun, putusan tersebut diambil bukan berdasarkan musyawarah mufakat atau suara bulat melainkan melalui suara terbanyak 5:4. Oleh karena ini, menarik kemudian untuk melihat bagaimana sebenarnya persyaratan domisili bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dibandingkan dengan persyaratan domisili dalam proses pemilihan yang lain.

Pembahasan Dari amandemen ketiga dan keempat Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berkaitan langsung dengan Dewan Perwakilan Daerah, terdapat beberapa catatan penting yang meliputi:128 a. keberadaan Dewan Perwakilan Daerah merupakan

kehendak rakyat, melalui amanat gerakan reformasi 1998 yang mengamanatkan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 serta pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, perdebatan terkait keberadaan Dewan Perwakilan Daerah tidaklah memanas karena hampir keseluruhan fraksi memahami akan pentingnya keberadaan Dewan Perwakilan Daerah sebagai wakil daerah terkhusus mengingat kebijakan otonomi ini membutuhkan wakil daerah di pusat;

b. keberadaan Dewan Perwakilan Daerah adalah suatu cara memperkuat Majelis Permusyaratan Rakyat sehingga tidak disalahgunakan oleh kekuatan penguasa untuk memperkokoh kekuatannya sebagaimana dilakukan oleh Presiden Soeharto pada saat itu. Oleh karena proses demokratisasi terjadi dalam rekruitmen anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang di dalamnya dengan pemilihan langsung seluruh anggota Majelis Permusyaratan Rakyat oleh rakyat. Penyalahgunaan Majelis Permusyawaratan Rakyat oleh penguasa sendiri

128 Yuniati Setiyaningsih, ―Analisis Kelembagaan Dewan Perwakilan

Daerah Republik Indonesia,‖ Journal of Politic and Government Studies 6, no. 2 (2017)., hlm. 12.

Page 137: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

130 –

dikarenakan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada saat itu sangat kuat dan absolut yaitu dapat mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;

c. amandemen ketiga dan keempat selain memperkuat Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menggunakan sistem rekruitmen melalui pemilihan langsung juga memperlemah Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan dihapusnya 2 (dua) kewenangan vital dari Majelis Permusyawaratan Rakyat yaitu menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan mengangkat presiden/wakil presiden. Melemahnya Majelis Permusyawaratan Rakyat karena melemahnya kewenangan juga berkorelasi lurus dengan pelemahan Dewan Perwakilan Daerah yang mana anggotanya juga merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;

d. keberadaan Dewan Perwakilan Daerah sebagai parlemen kamar kedua memang tidak mengalami banyak pertentangan, akan tetapi terkait dengan kewenangan jelas jika menjadi hal yang sangat menarik kala itu. Yang mana pemerintah pada saat itu tidak menghendaki keberadaan Dewan Perwakilan Daerah sebagai parlemen kamar kedua yang memiliki kewenangan yang sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian terkait dengan syarat ―domisili‖ bagi calon

anggota Dewan Perwakilan Daerah diharapkan akan melahirkan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang memiliki kapabilitas dan pengetahuan kedaerahan yang mumpuni sebagai bekal anggota Dewan Perwakilan Daerah. Puncaknya dapat melahirkan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang mampu mengagregasikan dan memperjuangkan kepentingan daerah dengan kapabilitas yang mumpuni sebagai kamar kedua yang mewakili daerah.129

Namun, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, syarat domisili tersebut tidak diatur. Ketiadaan persyaratan domisili bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

129 Ibid., hlm. 13.

Page 138: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 131

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kemudian diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 10/PUU-VI/2008. Adapun pemohon adalah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Permohon I, beberapa anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Pemohon II, perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perharian besar terhadap pemilihan umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah sebagai Pemohon III, dan perorangan yang tinggal di provinsi tertentu sebagai Pemohon IV. Permohonan para Pemohon adalah mengenai konstitusionalitas Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak mencantumkan syarat domisili dan non-Parpol bagi calon anggota DPD, serta Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak memuat ketentuan perlunya Kartu Tanda Penduduk (KTP) di provinsi yang akan diwakilinya dan bukti keterangan non-Parpol bagi kelengkapan syarat calon anggota DPD. Dengan demikian, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah ketiadaan norma syarat domisili dan non-Parpol dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bukan norma yang dirumuskan secara eksplisit dalam pasal, ayat, atau bagian dari suatu undang-undang.130

Dalam putusannya kemudian Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap konstitusional dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai memuat suarat domisi di provinsi yang akan diwakili. Namun, putusan tersebut diambil berdasarkan suara terbanyak 5:4. Di mana, 5 (lima) orang Hakim Konstitusi. Adapun 5 (lima) Hakim Konstitusi yang mengabulkan permohonan para Pemohon yaitu Jimly Asshiddiqie, A. Mukhite Fadjar, M. Arsyad Sanusi,

130 Ali Marwan Hsb, Putusan Mahkamah Konstitusi 5:4 (Medan: Enam

Media, 2020)., hlm. 253.

Page 139: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

132 –

Maruarar Siahaan, dan Muhammad Alim dengan alasan bahwa berdasarkan perspektif desain konstitusional Dewan Perwakilan Daerah dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa syarat berdomisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga, seharusnya norma konstitusi yang bersifat implisit tersebut dicantumkan sebagai norma yang secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai syarat bagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai akibatnya, Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tidak memuat secara eksplisit ketentuan yang demikian, harus dipandang inkonstitusional.

Adapun 4 (empat) hakim yang menyatakan pendapat berbeda, di mana 3 (tiga) Hakim Konstitusi yaitu H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan Moh. Mahfud MD menyatakan permohonan para pemohon seharusnya tidak dapat diterima. Karena tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon sebagai akibat berlakunya Pasal 12 dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan 1 (satu) Hakim Konstitusi lain yaitu Harjono, menyatakan permohonan para pemohon seharusnya ditolak dengan alasan bahwa keterikatan calon dengan domisili di provinsi yang bersangkutan tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan komitmen seseorang dengan provinsi yang diwakilinya. Dapat saja terjadi orang-orang yang bertempat tinggal di luar daerah justru mempunyai kepedulian yang besarnya kepada daerahnya. Organisasi-organisasi kedaerahan yang berada di ibukota biasanya justru dimotori oleh orang-orang daerah yang sangat peduli daerahnya, tetapi mereka bertempat tinggal di ibukota. Apabila kemudian pemilih mempercayai untuk mewakilinya yang dibuktikan dengan terpilihnya mereka dalam suatu pemiliahn

Page 140: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 133

umum hal demikian tentunya dikembalikan kepada pemilih itu sendiri sebagai pemilik suara. Dan demokrasi tidak hanya beraspek administratif tetapi juga menghargai hak pemilih dan mempertimbangkan aspek akseptabilitas dari calon.

Namun, untuk pengaturan terkait dengan syarat domisili ke depan, sebagai perbandingan dapat juga dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Walaupun yang diuji adalah terkait dengan syarat domisili bagi calon Kepala Desa dan Perangkat Desa. Namun, poin nya adalah sama-sama terkait dengan syarat domisili untuk mengisi suatu jabatan tertentu.

Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam perkara Nomor 128/PUU-XIII/2015, diajukan oleh beberapa orang Ketua Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) yang menganggap bahwa ketentuan Pasal 33 huruf g serta Pasal 50 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merugikan hak konstitusional mereka. Di mana, Pasal 33 huruf g menyatakan bahwa ―Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan: g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurag 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran‖. Sedangkan Pasal 50 ayat (1) huruf c mengatur bahwa ―Perangkat Desa diangkat dari warga desa yang memenuhi persyaratan: c. terdaftar sebagai penduduk desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran‖.

Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi menyatakan:

Bahwa terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma ―terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran‖ sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menurut Mahkamah, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 141: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

134 –

Menurut Mahkamah, makna desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah masyarakat desa yang terstruktur dalam konteks rezim hukum pemerintahan daerah. Artinya sebagai rezim hukum pemerintahan daerah, pelaksanaan pemilihan kepala desa dan pengangkatan perangkat desa dilakukan secara langsung oleh masyarakat desa. Pemilihan kepala desa secara langsung oleh masyarakat desa dan pengangkatan perangkat desa tanpa mensyaratkan harus berdomisili di desa setempat telah bersesuaian dengan semangat Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan ―Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya‖.

Oleh sebab itu sudah seyogianya pemilihan kepala desa dan perangkat desa tidak perlu dibatasi dengan mensyaratkan bahwa calon kepala desa atau calon perangkat desa harus terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran. Hal tersebut sejalan dengan rezim pemerintahan daerah dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak memberikan batasan dan syarat terkait dengan domisili atau terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di daerah setempat.

Dalam amar putusannya kemudian Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon dan menyatakan Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan

bahwa terdapat perbedaan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008 terkait dengan persyaratan domisili calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015 terkait dengan persyaratan domisili calon Kepala Desa dan

Page 142: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 135

Perangkat Desa. Di mana, terkait dengan syarat domisili calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi menyatakan hal tersebut merupakan syarat yang harus ada sebagai norma pelaksana dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan terkait dengan syarat domisili calon kepala desa dan perangkat desa, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketiadaan syarat domisili bagi calon kepala desa dan perangkat desa sudah sejalan dengan Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan ―Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya‖.

Oleh karena itu, ke depan, seyogianya dalam pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak perlu dimuat ketentuan terkait dengan syarat domisili di tempat calon anggota Dewan Perwakilan Daerah mencalonkan diri. Karena setiap orang berhak untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya tanpa harus dibatasi domisili sesuai dengan ketentuan Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Daftar Pustaka Hartati. Menatap Masa Depan Dewan Perwakilan Daerah. Jambi:

Trisar Mitra Utama, 2018.

Hsb, Ali Marwan. Putusan Mahkamah Konstitusi 5:4. Medan: Enam Media, 2020.

Setiyaningsih, Yuniati. ―Analisis Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.‖ Journal of Politic and Government Studies 6, no. 2 (2017).

Sihombing, Eka NAM. Hukum Kelembagaan Negara. Yogyakarta: Ruas Media, 2018.

Subardjo. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Penerapan Sistem Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Page 143: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

136 –

Page 144: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 137

EFISIENSI APBN DALAM PEMILU SERENTAK KONGRUEN

Usep Hasan Sadikin

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Latar Belakang

Indonesia sejak 2004 telah menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung berdasar konstitusi hasil amandemen pasca-Reformasi. Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 membuat penyelenggaraan pemilu nasional bukan hanya memilih anggota parlemen tapi juga memilih presiden. Perwujudan pemerintahan presidensial melalui pemilu presiden langsung berkonsekuensi lebih mahal dibanding pemerintahan parlementer yang hanya butuh satu pemilu untuk membentuk pemerintahan pusatnya.

Sama halnya dengan kepala pemerintahan nasional, kepala pemerintahan lokal di Indonesia pun dipilih langsung melalui pemilu sejak 2005. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jadi dasar hukum pertama pilkada kemudian direvisi berkali-kali menjadi UU 22/2007 (Penyelenggaraan Pemilu), UU 15/2011 (Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota), hingga UU 1/2015 jo UU 8/2015 jo UU 10/2016 (pilkada serentak. Tentu saja ini pun berkonsekuensi pada pembiayaan yang lebih mahal dibanding pemilihan kepala daerah melalui parlemen daerah (DPRD).

Pemilu, karena melibatkan banyak warga untuk memilih calon pejabat negara, membuat demokrasi jadi sistem kekuasaan yang memang jauh lebih mahal dibanding otokrasi kerajaan/agama. Tapi, dari perbandingan ragam model demokrasi, ada model demokrasi yang lebih murah dibanding model demokrasi lainnya. Selain sistem parlementer (nasional/lokal) yang lebih murah dibanding sistem presidensial, pilihan sistem pemilu melalui wujud jumlah surat suara dan cara memilih pada permukaan surat suaranya berkonsekuensi pada lebih murah/mahal-nya demokrasi.

Page 145: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

138 –

Biaya pemilu Indonesia selama ini kurang mempertimbangkan efisiensi anggaran. Pemilu 2019 misalnya, meski sudah menyerentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden, ternyata berbiaya lebih besar dibanding Pemilu 2014 yang belum diserentakan. Total alokasi anggaran Pemilu 2019 adalah Rp 25,12 triliun dengan rincian Rp 9,33 triluan pada 2018 dan Rp 15,79 triliun pada 2019 (belum termasuk persiapan pada 2017 Rp 465,71 miliar).131 Sedangkan total alokasi anggaran Pemilu 2014 adalah Rp 24,8 triliun dengan rincian Rp 8,1 triliun pada 2013 dan Rp 16,7 triliun pada 2014.132

Pemborosan uang negara pun dilakukan dalam pesta demokrasi lokal Indonesia. Meski pilkada provinsi dan pilkada kabupaten/kota sudah diserentakan, anggaran pemilu tidak menjadi lebih murah.

Pilkada Kota Bandung 2018 adalah contoh dari semua daerah kabupaten/kota yang tidak terhubung biayanya dengan pilkada provinsi dalam penyelenggaraan serentaknya. Kota Bandung berpilkada pada 2013 tanpa keserentakan dengan Pilkada Jawa Barat tapi dengan biaya total Rp 56 miliar dari penyelenggaraan dua putaran. Lalu, Pilkada Kota Bandung 2018 satu putaran yang serentak dengan Pilkada Jawa Barat, malah berbiaya lebih tinggi dibanding lima tahun sebelumnya.

Secara konkret, boros biaya ini jelas terlihat: 1. Yang satu putaran malah lebih mahal dibanding dua putaran; 2. Yang serentak malah lebih mahal dibanding yang terpisah.

131 Kementerian Keuangan pada tautan https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-peruntukan-anggaran-pemilu-2019/ 132 Sindonews.com (17/10/2019) https://nasional.sindonews.com/read/727799/12/anggaran-total-pemilu-2014-rp241-t-1363353173 dan Tribunnews (17/10/2019) https://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/08/26/kpu-telah-gunakan-rp-91-t-selama-pileg-dan-pilpres-2014

Page 146: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 139

Figure 1. Biaya Pemilu 2014 (Tak Serentak) dan Biaya Pemilu 2019 (Serentak)

Figure 2. Biaya (dalam Rp Miliar) Pilkada Kota Bandung 2013 (Tidak Serentak dan 2 Putaran)

dengan Biaya Pilkada Kota Bandung 2018 Serentak dengan Pilkada Jawa Barat 2018

Padahal, efektif dan efisien merupakan salah satu tujuan

dari undang-undang kepemiluan. Bagian Penjelasan UU 1/2015 menekankan efisiensi penyelenggaraan pilkada lalu revisinya menjadi UU 8/2015 punya kalimat ―sehingga terjadi efisiensi anggaran dan efisiensi waktu yang tidak terlalu panjang dalam penyelenggaraan tanpa harus mengorbankan asas pemilihan yang demokratis‖ (huruf b bagian Umum Penjelasan), juga ―Salah satu aspek penting yang diperhatikan dalam penyelenggaraan Pemilihan adalah efisiensi waktu dan anggaran‖ (huruf e). Bagian Menimbang UU 7/2017 pun menekankan salah

16.9

25.12

7.9

Pemilu 2014 Pemilu 2019

39 66 17

Pilkada Kota Bandung 2013(Terpisah dengan Pilkada Jabar)

Pilkada Kota Bandung 2018(Serentak dengan Pilkada Jabar)

Putara…

TOTAL: Rp 24.8 T

TOTAL:

Rp 25.12 T

TOTAL: Rp 56 M

Page 147: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

140 –

satu tujuan undang-undang pemilu ini dibuat adalah demi menjamin pemilu yang efektif dan efisien.

Evaluasi pemilu Indonesia amat penting menyentuh aspek penganggaran. Revisi undang-undang pemilu harus menghasilkan model pemilu dengan penganggaran yang efisien. Tentu saja, mengupayaan pemilu menjadi murah tidak berarti mengesampingkan tujuan perbaikan pemerintahan Indonesia yang sudah memilih sistem presidensial.

Permasalahan

Bagaimana keserentakan pemilu dalam revisi UU Pemilu bisa mencapai anggaran yang lebih efisien sekaligus sejalan dengan tujuan menghasilkan presidensial multipartai moderat?

Pembahasan

Indonesia sudah menetapkan dalam undang-undang dasar bahwa pemilihan presiden dilakukan secara langsung melalui pemilu. Indonesia pun sudah cenderung memaknai kata ―dipilih secara demokrastis‖ dalam konstitusi sebagai pemilihan kepala daerah secara langsung melalui pemilu. Kebutuhan efisiensi uang rakyat bagi Indonesia adalah menjadikan inefisiensi sistemik ini untuk tidak menjadikan pemilu Indonesia semakin mahal.

Dalam proses perbaikan pemilu Indonesia, efisiensi biaya pemilu coba disertakan dalam konsep penyerentakan pemilu. Ini tergambar dalam tujuan UU Pemilu dan UU Pilkada. Sayangnya, penyimpangan konsep pemilu serentak kongruen selama ini merupakan sebab sistemik baru yang membuat pemilu Indonesia menjadi mahal. Pemilu Serentak 2019 dan Pilkada Serentak 2015, 2017, 2018, dan 2020 bukan hanya gagal mencapai tujuan sistem multipartai moderat tapi juga gagal mencapai anggaran yang lebih efisien.

Pemilu serentak kongruen (concurrent election) adalah menggabungkan pemilu eksekutif dan legislatif dengan tujuan menciptakan pemerintahan presidensial multipartai moderat

Page 148: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 141

(Supriyanto, Augustyati, & Mellaz 2013).133 Pemilu serentak kongruen dibutuhkan negara presidensial multipartai. Karena cenderung berwujud pemerintahan multipartai ekstrim yang terbelah (devidith government), sistem presidensial multipartai seringkali menimbulkan imobilisme atau kemandegan akibat lemahnya dukunguan partai parlemen yang amat terfragmentasi (Mainwaring, dalam Ishiyama dan Breuning eds. 2013).134 Jika kita merujuk pada sejumlah indeks negara-negara dalam demokrasi135, transparansi136, hak asasi manusia (HAM)137, keramahan terhadap keragaman138, tidak ada negara presidensial multipartai ekstrim yang punya kualitas baik (Chang & Golden 2005).139

Pemilu yang efektif dan efisien hanya bisa diselenggarakan kelembagaan penyelenggara pemilu yang efektif dan efisien. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menetapkan karakter lembaga penyelenggara pemilu yang bisa mewujudkan pemilu jujur dan adil. 1. Independen dan tak berpihak; 2. Transparan-akuntabel; 3. Cepat berkeputusan; 4. Efisien dan efektif; 5. Profesional; 6. Bermasa jabatan; 7. Berstruktur; 8. Berpembiayaan jelas; 9. Ber-tugas/fungsi menyelenggarakan; 10. Beranggota dengan komposisi dan kualifikasi ketat; dan 11. Ber-kewenangan/ tanggungjawab kepada pihak berkepentingan.140

Konstitusi Indonesia memfasilitasi pemilu yang efektif dan efisien melalui lembaga penyelenggara pemilu. Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945 menuliskan, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional tepat dimaknai secara struktur dan 133 Supriyanto, Didik, Khoirunnisa Nur Agustyati, dan August Mellaz. Manata Ulang Jadwal Pilkada Menuju Pemilu Nasional dan Daerah. Jakarta: Perludem, 2013, h. 27-28

134 Ishiyama, J. & Breuning, M. (2013). Organizing to Rule: Structure, Agent, and Explaining Presidential Management Styles in Africa. University of North Texas: UNT Publication, h. 1.

135 Freedomhouse.org dan democracyranking.org 136 Transparency.org 137 Freedomhouse.org dan ohchr.org 138 Ilga-europe.org 139 Chang, Eric CC. Electoral System, District Magnitude and Corruption. British

Journal and Political Science, 2005, h. 34-35. 140 Alan Wall, et.al., Electoral Management Design: The New International IDEA Handbook, (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2006), h. 9.

Page 149: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

142 –

anggaran. Secara struktur, KPU hierarkis menasional dari KPU RI, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Secara anggaran, kelembagaan dan kegiatan KPU dibiayai ABPN.

Penyimpangan Konsep Keserentakan Pemilu Serentak 2019 menyimpang dari konsep pemilu

serentak kongruen, karena menggabungkan pemilu DPRD (provinsi dan kabupaten/kota. Pilkada Serentak 2015, 2017, 2018, dan 2020 pun menyimpang karena memisahkan pemilu DPRD serta memisahkan pilkada provinsi dengan pilkada kabupaten/kota-nya.

Penyimpangan konsep pemilu serentak kongruen pun ditambah dengan wujud kesalahan memilih variabel sistem pemilu DPR dan DPRD. Pemilu serentak dengan sistem pemilu DPR dan DPRD varian proporsional terbuka dengan daerah pemilihan yang besar (3-12) menghasilkan sistem kepartaian multipartai ekstrim dengan nilai fragmentasi (ENPP) 7.5. Padahal pemilu DPR sudah diserentakan dengan pemilu presiden.

Figure 3. Tren Sistem Kepartaian Parlemen (ENPP)

Sistem proporsional terbuka dengan dapil besar (3-10 DPR

dan 3-12 DPRD) pun membuat pemilu Indonesia semakin rumit. Kerumitan yang bertambah ini lalu membuat anggaran pemilu semakin boros. Pemilu 2019 inefisien karena diselenggarakan dengan lima surat suara terpisah untuk memilih lima pejabat politik (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota).

Berikut kompleksitas desain surat suara yang membuat pemilu:

4.7

7.1 6.1

8.2 7.5

0.

2.3

4.5

6.8

9.

1999 (CL) 2004 (Semi-OL)) 2009 (OL) 2014 (OL) 2019 (OL)

Page 150: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 143

Figure 4. Specimen 5 Surat Suara Lipatan Pemilu 2019

Figure 5. Specimen Surat Suara Pemilu DPR, DPRD Provinsi,

& DPRD Kabupaten/Kota 2019

Figure 6. Specimen Surat Suara Pilpres & Pemilu DPD 2019

Penyimpangan konsep pemilu serentak kongruen pun berkonsekuensi pada pemborosan surat suara pemilu lokal. Pilkada serentak 2015, 2017, 2018, dan 2020 sebagai transisi penyerentakan satu waktu pilkada malah memisahkan surat suara pilkada provinsi dan pilkada kabupaten/kota. Pilkada

Page 151: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

144 –

kabupaten/kota yang serentak dengan pilkada provinsi tidak terhubung anggarannya sehingga surat suaranya terpisah.

Terputusnya surat suara tersebut bagian konkret pemborosan karena penyimpangan konsep pemilu serentak kongruen. Secara keseluruhan, pemborosan bukan hanya terjadi pada alokasi biaya surat suara tapi juga segala alokasi biaya pilkada provinsi dan pilkada kabupaten/kota yang seharusnya bisa disatukan. Sebut saja alokasi biaya sosialisasi/kampanye, pendirian TPS (termasuk kotak suara, bilik suara, dan formulir), petugas TPS, pendataan pemilih, dan lainnya.

Sebagai contoh yang paling mewakili pemborosan biaya pemilu dalam seluruh keserentakan pilkada, adalah pilkada di Aceh pada keserentakan 2017. Aceh merupakan daerah yang pemilihan gubernurnya bersamaan dengan hampir seluruh kabupaten/kota-nya. Tapi, anggaran penyelenggaraan negara yang sama di dua tingkat daerah ini malah tidak saling menopang meskipun semua tahapan dan bentuk kegiatannya sama.

Pilkada Aceh 2017 dalam rangka memilih gubernur berbiaya Rp 202.4 miliar. Pilkada Aceh 2017 dalam rangka memilih bupati/walikota yang sedang melakukan transisi pemerintahan, berbiaya Rp 682.8 miliar. Jadi, total uang negara yang digunakan untuk penyelenggaraan pilkada serentak di Aceh pada 2017 adalah Rp 885.2 miliar.

Figure 8. Surat Suara Pilkada Kabupaten/Kota

Figure 7. Surat Suara Pilkada Provinsi

Page 152: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 145

Figure 9. Biaya Pilkada Serentak 2017 di Aceh

Biaya pilkada provinsi yang serentak dengan pilkada kabupaten/kota-nya makin terlihat inefisien ketika dibandingkan dengan provinsi lain, khususnya yang hanya menyelenggarakan pemilihan gubernur seperti Pilkada Banten 2017. Pilkada di Provinsi Aceh pada 2017 berbiaya total, Rp 202,4 miliar. Pilkada di Provinsi Banten pada 2017 berbiaya Rp 299.8 miliar. Biaya pilkada serentak di Provinsi Aceh hampir tiga kali lipat Pilkada Provinsi Banten, padahal jumlah pemilih di Provinsi Aceh hampir setengah dari pemilih di Provinsi Banten.

Serentak Kongruen untuk Pemilu Efisien Biaya pemilu efisien bisa dicapai Indonesia dengan cara implementasi utuh konsep pemilu serentak kongruen. Indonesia yang memilih presiden dan kepala daerah secara langsung, bisa mencapai pemerintahan multipartai moderat dengan biaya pemilu yang efisein melalui wujud pemilu serentak kongruen di nasional dan lokal. Pemilu serentak kongruen nasional adalah menggabungkan pemilu presiden dengan pemilu DPR dan DPD. Sedangkan pemilu serentak kongruen lokal adalah menggabungkan pemilu gubernur dengan pemilu DPR provinsi

202.4

682.8

Pilkada Provinsi Aceh Pilkada SeluruhKabupaten/Kota

di Aceh

Figure 11. Jumlah Pemilih Pilkada Aceh & Banten 2017

Figure 10. Biaya Pilkada 2017 di Aceh & di Banten

202.4 299.8

682.8

Pilkada Aceh Pilkada Banten

Rp 885.2 M

3.4

7.7

Pilkada Aceh Pilkada Banten

Page 153: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

146 –

dan pemilu bupati/walikota dengan pemilu DPRD kabupaten/kota.

Figure 12. Wujud Pemilu Serentak Kongreun di Nasional dan Lokal

Seperti halnya pemilu serentak kongruen nasional, pemilu

serentak kongruen lokal pun bertujuan menghasilkan pemerintahan kongruen dengan multipartai moderat. Keadaan tinggi fragmentasi di parlemen nasional juga terjadi di parlemen lokal sehingga membuat kerja pemerintah lokal terhambat dengan intervensi banyak partai (Pratama & Maharddhika 2015, 42). Menyerentakan pilkada dengan DPRD pun secara teknis bertujuan untuk mengoptimalkan coattail effect dari elektabilitas calon kepala daerah terhadap partai yang mengusungnya.

Pemilu serentak kongruen lokal pun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan evaluasi tengah periode jabatan presiden-wakil presiden terpilih hasil pemilu serentak nasional. Dalam ketatanegaraan kita ketahui bahwa, pemilu presiden langsung merupakan jawaban dari pemerintahan parlementer yang labil berganti pemerintahan. Tapi, kelebihan sistem presidensial ini juga merupakan kekurangannya karena mengunci periode menjabat presiden (Supriyanto, Augustyti, & Mellaz 2013, 2). Masa jabatan pasti bagi presiden yang memerintah bisa disyukuri jika presiden terpilih merupakan pemimpin yang hebat tapi menjadi musibah jika sebaliknya. Presiden yang amat buruk harus diterima rakyat dengan bersabar hingga pemilu berikutnya.

Sebagai evaluasi yang sistemik, pemilu serentak kongruen lokal diselenggarakan di tengah periode menjabat presiden. Dengan memilih gubernur dengan anggota DPRD provinsi dan bupati/walikota dengan anggota DPRD kabupaten/kota, maka rakyat sebagai pemilih punya kedaulatan yang evaluatif. Jika kepemimpinan nasional dinilai baik, maka dilanjutkan dan diperluas di pemerintahan lokal. Sebaliknya, jika kepemimpinan nasional dinilai buruk, maka dihukum dengan memilih kekuatan

Page 154: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 147

politik oposisi di pemilu lokal untuk mengisi pemimpin dan parlemen daerah (Hafidz, Sadikin, & Maharddhika 2017, 44).

Praktisnya, Indonesia dalam siklus pemerintahan keseluruhan, hanya ada dua pemilu: pemilu serentak kongruen nasional (presiden, DPR, dan DPD), lalu dua tahun kemudian, pemilu serentak kongruen lokal (gubernur dan DPRD provinsi serta bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota. Semua tahapan dan kegiatannya sama sehingga pembiayannya sekaligus daling menopang dan hanya dari satu sumber, yaitu APBN.

Desain Surat Suara Efisien Berdasar konsep pemilu serentak kongruen nasional dan

lokal tersebut, desain surat suara kongruen pun berkonsekuensi biaya yang lebih efisien. Ada desain surat suara kongruen untuk pemilu serentak kongruen nasional dan ada juga yang desain surat suara kongruen lokal.

Figure 13. Desain Surat Suara Kongruen untuk Pemilu Serentak Kongruen Nasional

Untuk pemilu serentak nasional surat suara ada dua.

Surat suara pertama, memilih capres-cawapres dan di bawah nama/foto capres-cawapres ada pilihan memilih parpol atau parpol koalisi yang mengusung capres-cawapres masing-masing. Surat suara kedua, memilih calon anggota DPD.

Untuk mengubah desain surat suara pemilu serentak sebelumnya menjadi desain surat suara kongruen itu, harus mengubah dua aspek sistem. Pertama, mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Kedua, mengubah desain penjadwalan pemilu serentak borongan

Page 155: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

148 –

menjadi pemilu serentak kongruen nasional dengan pemilu serentak kongruen lokal.

Figure 14. Desain Surat Suara Kongruen untuk Pemilu Serentak Kongruen Lokal

Untuk pemilu serentak kongruen lokal ada dua surat

suara kongruen. Surat suara pertama adalah surat suara untuk pemilu serentak kongruen provinsi yang berisi pilihan cagub-cawagub dan di bawah nama/foto cagub-cawagub ada pilihan memilih partai yang mengusung calonnya masing-masing. Surat suara kedua adalah surat suara pemilu serentak kongruen kabupaten/kota yang berisi pilihan cabup-cawabup/cawakot-cawawakot dan di bawah nama/foto cabup-cawabup/cawakot-cawawakot ada pilihan memilih partai yang mengusung calonnya masing-masing.

Memilih dan menyediakan pilihan partai saja pada surat suara merupakan konsistensi sistem proporsional yang bertujuan menguatkan partai melalui relasi pemilih dengan partai. Ingat, kursi dewan dari hasil pemilu proporsional, bukan kursi kepemilikan individu si dewan melainkan kursi (fraksi) partai. Artinya, memilih sistem pemilu PR daftar partai dengan desain surat suara kongruen selain sesuai dengan kesatuan konsep pemilu serentak yang sebangun.

Jika semua aspek yang pemilu serentak sudah sebangun dengan desain surat suara kongreun, pemerintahan hasil pemilu serentak jauh lebih mungkin menghasilkan presiden terpilih dengan sistem kepartaian multipartai sederhana. Pemilih pun tidak bingung memilih dan tidak jadi penyebab gagalnya tujuan pemilu serentak. Petugas lapangan pemilu pun lebih mungkin mengelola dan melakukuan kerja penyelenggara sehingga tidak terancam kesehatan dan nyawanya. Indonesia, bisa kembali menegaskan kualitas terbaik pemilunya. Bukan hanya dalam hal

Page 156: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 149

pemungutan dan penghitungan suara secara manual tapi juga dalam hal mengkonsepsikan sekaligus mengimplementasikan pemilu serentak kongruen secara konsisten hingga ke wujud desain surat suara.

Semua Pemilu Dibiayai APBN Memastikan efisiensi pemilu berdasar konsep pemilu

serentak kongruen tersebut hanya bisa melalui pembiayaan APBN. Jika implementasi pemilu serentak kongruen menyertakan APBD dalam pemilu lokanya, maka pemborosan akan terjadi lagi seperti praktik empat gelombang pilkada serentak (2015, 2017, 2018, dan 2020). Pembiayaan APBN membuat nilai uang alokasi anggaran menjadi tunggal dan objektif. Biaya surat suara dengan ragam jenis pemilihan dan kebutuhan pembiayaannya akan sama sehingga nilai uangnya bisa ditekan seefisien mungkin.

Pilkada melalui APBD selama ini punya banyak masalah. Pertama, tidak terhubung dengan konsep pemilu serentak kongruen sehingga pembiayaan pemilu jadi urusan masing-masing daerah meskipun tahapan dan kegiatannya sama. Kedua, nilai uang alokasi anggaran yang absurd. Ketiga, amat bergantung pada keadaan tiap daerah/APBD. Akumulasi tiga masalah ini membuat biaya pemilu jadi boros.

Figure 16. Biaya Pemilu dalam Triliun Rupiah

PENUTUP Efisiensi biaya pemilu harus sesuai dengan konsep sistem politik dan tujuannya. Konsep pemilu serentak kongruen nasional dan lokal yang bertujuan membentuk pemerintahan koalisi mayoritas parlemen multipartai moderat penting menjadi pijakan efisiensi biaya pemilu Indonesia yang memilih presiden dan kepala daerah secara langsung. Pemilu serentak kongruen nasional

4.01

11.7

Pilpres 2014 Pilkada Provinsi(2015, 2017, & 2018)

Page 157: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

150 –

adalah penggabungan pemilu presiden, pemilu DPR, dan pemilu DPD. Pemilu serentak kongruen lokal adalah penggabungan pemilu gubernur dengan pemilu DPRD provinsi serta pemilu bupati/walikota dengan pemilu DPRD kabupaten/kota.

Efisiensi biaya pemilu berdasar konsep pemilu serentak kongruen tersebut pun harus konsisten diwujudkan dengan aspek kongruen lainnya. Di antaranya: 1. Surat suara kongruen pemilu eksekutif dengan sistem proporsional tertutup; 2. Pembiayaan kongreun melalui APBN. []

Daftar Pustaka Buku: Anggraini, Titi et al. Menata Kembali Pengaturan Pemilukada.

Jakarta: Perludem, 2010.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Chang, Eric CC. Electoral System, District Magnitude and Corruption. British Journal and Political Science, 2005.

Fontaine, Dana de la, and Stehnken, Thomas. The Political System of Brazil. Berlin: Springe, 2016.

Husein, Harun. Pemilu Indonesia. Jakarta: Perludem, 2014.

Ishiyama, J. & Breuning, M. (2013). Organizing to Rule: Structure, Agent, and Explaining Presidential Management Styles in Africa. University of North Texas: UNT Publication.

Kunicova, Jana and Susan Rose-Ackerman. Electoral Rules and Constitutional Structures as Constraints on Corruption. Cambridge University Press, 2005.

Mainwaring, Scott. Presidentialism, Multiparty Systems, And Democracy: The Difficult Equation. Notre Dame: Kellogg Institute, 1991.

Matland, Richard E. Enhancing Women‟s Political Participation: Legislative Recruitment and Electoral Systems. Stockholm: International IDEA, 2005.

Pratama, Heroik M. dan Maharddhika. Prospek Pemerintahan Hasil Pilkada 2015. Jakarta: Perludem, 2012.

Page 158: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 151

Pakpahan, Muchtar. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Reynolds, Andrew, et. al. Electoral System Design: The New International IDEA Handbook. Stockholm: International IDEA, 2005.

Persson, Torsten et al. Electoral Rules and Corruption. European Economic Association, 2003.

Satori, G. Parties and Party Systems: A Framework of Analysis. New York: Cambridge University Press, 1976.

Sadikin, Usep Hasan, Maharddhika, dan Masykuruddin Hafidz. Pilkada Serentak 2015 dan 2017. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2017.

Seknas Fitra. Naskah Rekomendasi: Kebijakan Anggaran Pemilihan Umum Kepala Daerah, Efisien dan Demokratis. Jakarta: Seknas Fitra, 2011.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia, 1992.

Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, dan Hasyim Asyari. Meningkatkan Keterwakilan Perempuan. Jakarta: Kemitraan, 2011.

Supriyanto, Didik, Khoirunnisa Nur Agustyati, dan August Mellaz. Manata Ulang Jadwal Pilkada Menuju Pemilu Nasional dan Daerah. Jakarta: Perludem, 2013.

Wall, Alan et.al. Electoral Management Design. Stockholm: International IDEA, 2006.

Jurnal: Sadikin, Usep Hasan. “Menarik Kerah Keterwakilan Perempuan,”

Jurnal Perludem #9 Kodifikasi UU Pemilu Pembaruan Hukum Pemilu Menuju Pemilu Serentak Nasional dan Serentak Daerah, Jakarta: Perludem, 2016.

Sadikin, Usep Hasan. “Menyerentakan Pilkada, Memusatkan Angggaran” Jurnal Perludem #8 Kodifikasi UU Pemilu Pembaruan Hukum Pemilu Menuju Pemilu Serentak Nasional dan Serentak Daerah, Jakarta: Perludem, 2015.

Page 159: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

152 –

LAMPIRAN Table 1. Total Biaya Pilkada Provinsi/Pemilih (2015, 2017, &

2018)

NO

Tahun Provinsi Biaya Pemilih Biaya/Pemilih

1 2015 Bengkulu 2,240,600,000 1,434,099

1,562.37

2 2015 Sumatera Barat 78,000,000,000

3,517,022

22,177.85

3 2015 Jambi 101,000,000,000

2,449,883

41,226.46

4 2015 Kep. Riau 62,500,000,000

1,213,797

51,491.31

5 2015 Kalimantan Utara

92,000,000,000

437,663

210,207.40

6 2015 Kalimantan Tengah

102,200,000,000

1,952,822

52,334.52

7 2015 Kalimantan Selatan

10,000,000,000

2,840,520

3,520.48

8 2015 Sulawesi Utara 105,000,000,000

1,949,629

53,856.40

9 2015 Sulawesi Tengah 100,000,000,000

1,973,044

50,683.11

10 2017 Aceh 179,478,201,600

3,431,582

52,301.88

11 2017 Kep. Bangka Belitung

88,663,139,000

915,853

96,809.36

Page 160: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 153

12 2017 DKI Jakarta 478,374,049,685

7,108,589

67,295.22

13 2017 Banten 270,000,000,000

7,734,485

34,908.59

14 2017 Gorontalo 77,989,407,950

791,129

98,579.89

15 2017 Sulawesi Barat 103,088,739,025

840,091

122,711.40

16 2017 Papua Barat 506,384,609,000

701,891

721,457.62

17 2018 Sumatra Utara 995,217,190,2

33

9,050,622

109,961.19

18 2018 Riau 383,759,579,8

30

3,622,488

105,938.12

19 2018 Sumatra Selatan 405,487,803,0

00

5,656,633

71,683.60

20 2018 Lampung 276,958,511,1

98

5,768,061

48,015.88

21 2018 Jawa Barat 1,169,069,888,

655

31,730,039

36,844.26

22 2018 Jawa Tengah 1,131,467,752,

475

27,068,500

41,800.16

23 2018 Jawa Timur 817,246,782,4

27,100.89

Page 161: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

154 –

39 30,155,719

24 2018 Bali 254,379,000,0

00

2,982,201

85,299.08

25 2018 Nusa Tenggara Barat

203,000,000,0

00

3,511,890

57,803.63

26 2018 Nusa Tenggara Timur

318,234,000,0

00

3,186,278

99,876.41

27 2018 Kalimantan Barat

280,059,250,0

00

3,439,580

81,422.51

28 2018 Kalimantan Timur

428,959,011,2

98

2,323,729

184,599.41

29 2018 Sulawesi Selatan 470,532,782,5

20

6,022,987

78,122.83

30 2018 Sulawesi Tenggara

464,563,827,4

89

1,628,320

285,302.54

31 2018 Maluku 258,244,609,0

00

1,149,990

224,562.48

32 2018 Maluku Utara 222,643,663,4

95

747,388

297,895.69

33 2018 Papua 1,268,375,514,

3,397,429

373,333.93

Page 162: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 155

580

34 TANPA

DI. Yogyakarta 0 -

-

TOTAL 11,705,117,912,472

180,733,95

3

64,764.36

Page 163: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

156 –

Page 164: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 157

DINAMIKA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA

DAN ANCAMAN POLITIK IDENTITAS

Afifa Rangkuti Dosen Prodi HTN UINSU Medan

Email: [email protected]

Pendahuluan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau biasa disebut dengan Pilkada atau Pemilukada adalah Pemilihan Umum untuk memilih pasangan calon Kepala Daerah yang diusulkan oleh Partai Politik (Parpol) atau gabungan parpol dan perseorangan. Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) merupakan sebuah pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh para penduduk daerah administratif setempat yang telah memenuhi persyaratan.Di Indonesia, saat ini pemilihan kepala daerah dapat dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang sudah memenuhi syarat.Pemilihan kepala daerah juga dapat dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Dan politik identitas adalah Kata politik sendiri berasal dari Bahasa Yunani, politeia, yang mengacu pada pengertian bahwa para individu dalam sebuah komunitas dalam batas geografis tertentu berkehendak untuk melakukan pengelolaan wilayahnya. Misalnya, dengan membuat hukum-hukum, kebijakan-kebijakan, serta lembaga kebijakan politik. Jadi, setiap langkah yang diambil dalam rangka mengelola sebuah wilayah dalam ranah formal bisa disebut sebagai kegiatan berpolitik. Kemudian, kata identitas yang diambil dari Bahasa Inggris Identity memiliki arti ciri-ciri atau tanda yang khas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri. Bisa dikatakan, manusia yang memiliki identitas adalah mereka yang mampu menyadari tanda khusus atau ciri-ciri yang melekat pada dirinya. Berdasarkan dua pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa politik identitas adalah politik yang menekanan pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada asumsi fisik tubuh, kepercayaan, dan Bahasa yang menjadi ciri

Page 165: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

158 –

atau tanda khas dari seseorang. Contoh terkenal adalah Politik Apertheid di Afrika yang membagi warganya menjadi dua golongan masyarakat berdasarkan ciri fisik, yakni mereka yang berkulit hitam dan mereka yang berkulit putih. Di Indonesia sendiri, politik identitas sering didasarkan pada kepercayaan dan suku bangsa. Contohnya adalah ujaran kebencian yang bersifat SARA yang digunakan sebagai alat untuk menjegal pihak lawan politik seperti yang marak terjadi saat pemilihan gubernur Jakarta kemarin. Selain itu, politik identitas juga digunakan sebagai salah satu strategi kampanye untuk para kandidat dalam Pemilihan Umum, dan juga menjadi alasan beberapa orang untuk memilih. Misalnya seseorang memilih suatu kandidat bukan berdasarkan kualitas politisi tersebut (dengan mempertimbangka visi dan misi misalnya) namun berdasarkan identitas dari kandidat tersebut misalnya karena kandidat tersebut beragama tertentu, karena kandidat tersebut memiliki wajah yang sesuai dengan ciri golongan tertentu dan lain sebagainya yang tidak serta merta ada korelasi dengan pekerjaannya dalam menjalankan amanat bangsa dalam bidang kepemerintahan.

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan suatu wujud nyata dari demokrasi dan menjadi sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatan.Kedaulatan rakyat dapat diwujudkan dalam proses Pilkada untuk menentukan siapa yang harus menjalankan pemerintahan suatu wilayah. Dengan adanya Pilkada maka telah dilaksanakan kedaulatan rakyat sebagai perwujudan hak asas politik rakyat, selain itu dengan adanya Pilkada maka dapat melaksanakan pergantian pemerintahan secara aman, damai dan tertib, kemudian untuk menjamin kesinambungan pembangunan daerah. Berlangsungnya pemilihan umum/pemilihan kepala daerah yang demokratis harus dapat menjamin pemilihan yang jujur, adil dan perlindungan bagi masyarakat yang memilih.Setiap masyarakat yang mengikuti pemilihan harus terhindar dari rasa ketakutan, penipuan dan berbagai praktek curang lainnya. Hal ini sesuai dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke IV pasal 28G bahwa di dalam negara demokrasi setiap orang berhak atas perlindungan dari pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Page 166: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 159

Demokrasi di Indonesia merupakan demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat, yakni pemilihan dari tingkat kampung/desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pemerintah seluruhnya dipilih oleh rakyat secara langsung. Penetapan aturan ini dilandasi oleh adanya keinginan kuat pemerintah untuk mengembangkan sistem pemilihan yang lebih bersifat demokratis.

Pemilihan Kepala Daerah merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat 4 dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pilkada di awal reformasi dilakukan atau dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Hal ini sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004. Menurut ketentuan dalam UU No.22 Tahun 1999 kepala daerah dipilih oleh DPRD, sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilihan Bupati langsung mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 dan hampir seluruh kabupaten yang ada di Indonesia telah melaksanakannya, kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan.

Diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan mampu membawa 3 perubahan bagi bangsa Indonesia dalam rangka mengagendakan reformasi secara demokrasi. Sistem pemilihan yang dilakukan dengan asas Jujur Adil dan Rahasia ini telah berlangsung dalam pesta demokrasi, namun ada sistem yang unik dalam penyelenggaraan pemilu secara nasional yakni, tepatnya di Provinsi Papua dilakukan pemilihan dengan Sistem Noken. Noken adalah sebutan untuk (kantong) tas khas buatan orang Papua. Tas ini merupakan hasil kerajinan tangan khas Papua yang dibuat dari kulit kayu. Noken biasanya tergantung di kepala atau leher perempuan Papua yang digunakan untuk membawa hasil bumi, babi, atau bahkan untuk menggendong bayi. Bagi orang Papua, Noken dimaknai sebagai simbol kehidupan yang baik, perdamaian dan kesuburan. Sistem Noken dalam pemilihan umum, menurut Kossay terdapatada dua sistem yaitu Sistem Big Man dan

Page 167: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

160 –

Sistem Gantung atau Noken Gantung. Sistem Big Man dilakukan dengan cara semua pemberian suara diserahkan kepada ketua adat atau kepala suku sedangkan Sistem Gantung atau Noken Gantung yaitu bahwa masyarakat datang sendiri ketempat TPS, melihat dan memasukan surat suara ke kantong partai yang sebelumnya sudah disepakati. Kedua sistem ini adil menurut kehendak mereka yang sesuai dengan kepercayaan dan adat-istiadat masyarakat di wilayah pegunungan Papua. Sistem Noken mulai dipolemikan/dilaksanakan pada tahun 2009 di kabupaten Yahukimo karena dalam pelaksanaanya disesuaikan dengan mekanisme 4 adat. Pencontrengan kertas suara diwakilkan kepada kepala-kepala suku. Pencontrengan tidak dilakukan di dalam bilik suara dan kertas suara, yang dicontreng tersebut tidak dimasukkan ke dalam kotak suara, tapi dimasukkan ke dalam tas khas orang Papua yang disebut ―Noken‖. Kalaupun dilaksanakan pada tahun 2009, menurut mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu bahwa penggunaan Noken sebagai pengganti kotak suara itu sendiri sudah berlangsung sejak Pemilu 1971. Bahkan model pemilihan yang diwakilkan oleh Big Man mulai dilakukan sejak Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 yang wakili oleh tokoh-tokoh masyarakat dan adat berjumlah 1025 orang dari total jumlah penduduk yang pada waktu itu berjumlah hampir 815.906 jiwa. Sistem PEPERA ini yang menjadi akar masalah gejolak disintegrasi bangsa karena masyarakat Papua menilai tidak menggunakan mekanisme demokrasi internasional yaitu One Man One Vote.

Penggunaan Sistem Noken dalam pemilihan mengundang banyak pertanyaan oleh seluruh komponen karena dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur mengenai penggunaan ―Sistem Noken‖dalam Pemilu maupun Pilkada. Bahkan Model pemilihan ini terungkap dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) ketika terjadi sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh Pdt. Elion Numberi dan Hasbi Suaib, S.T pada tahun 2009. Namun pada akhirnya MK mensahkan Sistem Noken sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai lokal bangsa Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD 1946 pasal 18B ayat (2) menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Page 168: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 161

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang. Pemberlakuan Sistem Noken juga atas dasar UUD 1945 pasal 18B ayat (1), menjelaskan ―Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-undang. Dalam konteks ini Provinsi Papua dan Papua Barat telah diberlakukan UU No 21 tahun 2001 sebagai daerah Otonomi Khusus (Otsus).

Dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada di Provinsi Papua tidak semua daerah menggunakan Sistem Noken, seperti yang dikemukakan dalam penelitian Kossay pada tahun 2014 bahwa Sistem Noken dalam pemilihan DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati dan Wakil Bupati sejak tahun 2004 hingga sekarang adalah Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Lani Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Nduga, dan Kabupaten Intan Jaya. Kabupaten-kabupaten ini boleh dinamakan dengan ― Komunitas Sistem Noken‖. Komunitas Sistem Noken adalah komunitas folklor yang memiliki komunalisme kolektif dan adat istiadatnya, seperti misalnya memiliki bentuk Noken yang sama, secara geografis tinggal di pegunungan, lembah-lembah dan pedalaman dengan ketinggian rata-rata 3500 kaki di atas permukaan laut. Penyelenggaraan pemilihan Sistem Noken di Papua sampai sejauh ini masih diperbincangan, dipolemikan, diperdebatkan, dan dikritisi oleh sejumlah kalangan menjelang pesta demokrasi. Lebih banyak mengkritisi substansi dalam Sistem Noken, karena ada dua hal yang berbeda yaitu :

1. Noken hanya sebagai media pengganti kotak suara.

2. Pemilihan diwakilkan oleh seorang Big Man atau kepala-kepala suku yang dianggap berwibawa pada suatu komunitas masyarakat adat di Papua.

Terkait yang kedua, banyak yang berpandangan miring bahwasannya tidak sesuai dengan asas Pemilu yaitu Jujur, Adil dan Rahasia atau pemilihan dengan cara One Man One Vote seperti pemilihan yang lazim terjadi dalam kancah demokrasi masa kini. Berdasarkan penelitian hal tersebut di atas maka akan dilakukan penelitian yang mengkaji sejumlah hal terkait mekanisme penerapan Sistem Noken dalam pelaksanaan pilkada lebih khususnya di distrik Bomela Kabupaten Yahukimo, dan bagaimana peran Big Man dalam pengambilan keputusan

Page 169: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

162 –

politik serta apakah ada kendala dalam pelaksanaan Sistem Noken serta bagaimana mengatasinya. Berdasarkan permasalahan diatas maka Kossay mengambil judul penelitian nya yaitu Penerapan Sistem Noken Dalam Pelaksanaan Pilkada di Distrik Bomela, Kabupaten Yahokimo, Provinsi Papua Tahun 2015.141

Ancaman Politik Identitas Politik identitas pada dasarnya dapat dimaknai sebagai suatu tindakan individu atau kelompok dalam politik yang mengutamakan perebutan kekuasaan dengan landasan kesamaan identitas, kesamaan yang dimaksud yaitu pada, ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. 142

Dalam beberapa kasus, politik identitas ini dapat dilihat dari agama, dimana politik identitas agama digunakan dalam membangun citra diri untuk menggalang dukungan dengan dasar kesamaan agama. 143

Selain itu, politik identitas juga berkaitan dengan sentimen kedaerahan dengan menggunakan isu ― Putra Daerah‖ antara penduduk asli dan penduduk pendatang. 144

Kemudian politik identitas menyentuh kepartaian, identitas partai digunakan sebagai pencitraan oleh individu. 145

Di sisi lain, politik identitas berkaitan dengan idiologi, dimana idiologi menjadi suatu konsep yang diterima oleh beberapa kalangan kelompok sebagai suatu arah yang di cita-

141 https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14186/1/T1_172011004_BAB%20I.pdf 142 Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta, yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2014, hal.20. 143 Endang Sari., Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena

Pemilihan Gubernur Jakarta. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Volume 2. No. 2, 2016, hal. 155.

144 Bahrul Ulum et. al, Hegemoni Sosial dan Politik Identitas Putra Daerah Jambi. Jurnal Hukum dan Perundangan Islam. volume 7. No. 1., 2017, hal. 245. 145 Edwi, Arief Sosiawan et al, Representasi Politik Identitas Dalam Kampanye Online Calon Legistatif Partai Politik Peserta Pemilu 2014. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 13. No. 3, 2015, hal.247.

Page 170: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 163

citakan bersama, hal inilah yang disebut dengan politik identitas idiologi. 146

Dalam format ke etnisan, politik identitas etnis tercermin dari adanya upaya memasukkan nilai-nilai ke etnisan dalam peraturan pemerintahan atau daerah, keinginan mendapatkan otonomi khusus.147

Kemunculan politik identitas etnis di daerah Indonesia bisa dilihat pada pemilihan kepala daerah (Pilkada), terkhusus kepada daerah majemuk, seperti penelitian yang dilakukan oleh Kamaruddin Salim dengan judul penelitian politik identitas di Maluku Utara. 148Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa proses politik identitas melahirkan semangat etnisitas kian menguat, hal ini dilandasi adanya peran aktor yang telah memberi ruang besar akan bangkitnya politik identitas etnis yang dominan di Maluku Utara. Selanjutnya, Abdul Kahar melihat permasalahan dominasi etnis mayoritas pada suatu daerah berawal sejak bergulirnya penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung Tahun 2004, dalam penelitiannya yang mengangkat tentang Dinamika Etnis Dalam Proses Politik Lokal Daerah. 149

Sebuah kesimpulan bahwa instrumentasi identitas lokal seperti etnisitas memiliki peranan penting dalam penentuan kandidat yang akan dipilih. Kemudian, Abdul Kahar menambahkan dengan adanya etnis dari mereka berada di kursi pemerintahan berdampak terhadap penyerapan aspirasi yang lebih mudah. Merujuk dari beberapa penelitian di atas, politik identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas etnis. 150

146 Muhammad Habibi, Analisis Politik Identitas Di Indonesia, Working Paper.,Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2017, hal. 21. 147 Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, hal.30 148 Kamaruddin Salim, Politik Identitas di Maluku Utara. Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan. Volume. 11 No. 2. 2015, hal.1 149 Abdul, Kahar., Dinamika Etnis Dalam Proses Politik Lokal Daerah (Studi Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Toli-Toli Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2010). Yogyakarta: jurnal Ilmu Pemerintahan Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, 2014, hal.1 150 Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, Jakarta, yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014, hal. 20

Page 171: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

164 –

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi pintu gerbang kebangkitan etnis, mengingat sebelum pasca reformasi isu politik identitas etnis di Indonesia dapat diredam. Namun, melalui undang-undang tersebut membuka jalan etnis mayoritas untuk menunjukkan eksistensinya. Hal ini dapat dilihat dalam penelitian Kristianus tentang politik identitas etnis dengan judul Politik dan Strategi Budaya Etnik Dalam Pilkada Serentak di Kalimantan Barat. 151Kristianus menekankan bahwa muatan politik identitas etnik dalam pilkada serentak tahun 2015 ini di Kalimantan Barat sangat kental. Selanjutnya, penelitian ini menunjukkan bahwa politik identitas etnik bertujuan untuk menghegoni etnik lainnya. Kemudian, politik identitas etnis telah menjadi orientasi budaya etnik untuk menunjang budaya etnik telah dilembagakan. Maka, Lembaga seperti Majelis Adat Dayak dan Majelis Adat Budaya Melayu adalah strategi penguatan politik identitas. Beberapa penelitian yang telah dijelaskan, membuktikan bahwa politik identitas etnis terjadi di setiap daerah yang memiliki etnisitas tinggi dan etnis dominan akan dimenangkan dalam pilkada. Di sisi lain, politik identitas etnis dalam daerah yang majemuk tercermin dengan upaya mengeksiskan etnis mereka melalui kebijakan maupun membawa pengaruh yang luas pada proses politik di suatu masyarakat majemuk. Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari ragam etnis bangsa, maka menjadikan masyarakat hidup di antara banyak kebudayaan dalam satu daerah. Tentu tidak tertutup kemungkinan akan tinggal dua atau lebih etnis masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah sehingga komposisinya melahirkan perbedaan jumlah, ada yang lebih dominan.

Dalam kalkulasi politik One Man, One Vote jumlah sangat menentukan kemenangan seorang calon. Secara sederhana etnis mayoritas akan diuntungkan dalam kondisi ini. Namun berbeda hal jika dalam suatu daerah terdapat tiga etnis yang berbeda, seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat. Terdapat tiga etnis; Minangkabau, Mandailing dan Jawa. Jumlah tertinggi terdapat pada etnis Minangkabau

151 Kristianus, Politik dan Strategi Budaya Etnik dalam Pilkada Serentak di Kalimantan Barat. Jurnal Politik Indonesia Indonesian Political Science Review. ISSN 2477 – 8060., 2016, hal. 82.

Page 172: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 165

40% dan Mandailing, sedangkan Jawa berada pada jumlah yang paling sedikit yaitu 20%.

Penutup

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau biasa disebut dengan Pilkada atau Pemilukada adalah Pemilihan Umum untuk memilih pasangan calon Kepala Daerah yang diusulkan oleh Partai Politik (Parpol) atau gabungan parpol dan perseorangan. Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) merupakan sebuah pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh para penduduk daerah administratif setempat yang telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, saat ini pemilihan kepala daerah dapat dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang sudah memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah juga dapat dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Dan Politik Identitas adalah Kata politik sendiri berasal dari Bahasa Yunani Politeia, yang mengacu pada pengertian bahwa para individu dalam sebuah komunitas dalam batas geografis tertentu berkehendak untuk melakukan pengelolaan wilayahnya. Misalnya, dengan membuat hukum-hukum, kebijakan-kebijakan, serta lembaga kebijakan politik. Jadi setiap langkah yang diambil dalam rangka mengelola sebuah wilayah dalam ranah formal bisa disebut sebagai kegiatan berpolitik. Kemudian, kata identity yang diambil dari Bahasa Inggris Identity memiliki arti ciri-ciri atau tanda yang khas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri. Bisa dikatakan, manusia yang memiliki identitas adalah mereka yang mampu menyadari tanda khusus atau ciri-ciri yang melekat pada dirinya. Berdasarkan dua pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa Politik Identitas adalah politik yang menekanan pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada asumsi fisik tubuh, kepercayaan, dan bahasa yang menjadi ciri atau tanda khas dari seseorang.

D. KESIMPULAN DAN SARAN.

Dinamika Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia dan ancaman politik identitas, masih sangat mempengaruhi pelaksanaan sukses tidak nya Pilkada di Indonesia. Oleh karena itu mengedepankan budaya lokal dalam pelaksanaan Pemilu di daerah di sesuaikan dengan budaya/adat istiadat yang masih

Page 173: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

166 –

eksis dan hidup pada masyarakat daerah setempat. Sebagai salah satu contoh Sistem Big Man dan Noken Gantung dalam pelaksanaan Pilkada di Papua, sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai lokal bangsa Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang. Pemberlakuan Sistem Noken juga atas dasar UUD 1945 pasal 18B ayat (1), menjelaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-undang. Dalam konteks ini Provinsi Papua dan Papua Barat telah diberlakukan UU No 21 tahun 2001 sebagai daerah Otonomi Khusus (Otsus). Menurut masyarakat Papua pelaksanaan Pilkada sistem Big Man dan sistem Noken atau Noken Gantung ini adil menurut mereka. Namun penyelenggaraan pemilihan Sistem Noken di Papua sampai sejauh ini masih diperbincangan, dipolemikkan, diperdebatkan, dan dikritisi oleh sejumlah kalangan menjelang pesta demokrasi. Lebih banyak mengkritisi substansi dalam Sistem Noken, karena ada dua hal yang berbeda yaitu pertama Noken hanya sebagai media pengganti kotak suara dan yang kedua pemilihan diwakilkan oleh seorang Big Man atau kepala-kepala suku yang dianggap berwibawa pada suatu komunitas masyarakat adat di Papua. Sebagai saran dari makalah ini yaitu :

1. Perlunya difikirkan cara pengaturan pelaksanaan Pilkada jika memang mengedepankan budaya lokal/adat istiadat setempat sebagai format yang ideal dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia, agar sengketa Pilkada dapat diminimalisir, sehingga dapat sesuai dengan amanat Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sebagai hukum dasar negara.

2. Agar ancaman politik identitas tidak menjadi bomerang dalam pelaksaan pilkada, maka perlu pengaturan secara kusus berbentuk peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum nya.

Page 174: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 167

Daftar Pustaka Abdul, Kahar,. Dinamika Etnis Dalam Proses Politik Lokal Daerah (Studi Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Toli-Toli Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2010), Yogyakarta: jurnal Ilmu Pemerintahan Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, 2014.

Bahrul Ulum et. Al, Hegemoni Sosial dan Politik Identitas Putra Daerah Jambi. jurnal hukum dan perundangan islam. volume 7. No. 1, 2017.

Edwi, Arief Sosiawan et al,. Representasi Politik identitas Dalam Kampanye Online Calon Legistatif Partai Politik Peserta Pemilu 2014. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 13. No. 3, 2015.

https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14186/1/T1_172011004_BAB%20I.pdf

Kamaruddin Salim, Politik Identitas di Maluku Utara, Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan. Volume. 11 No. 2, 2015.

Kristianus, Politik dan Strategi Budaya Etnik dalam Pilkada Serentak di Kalimantan Barat. Jurnal Politik Indonesia, Indonesian Political Science Review. ISSN 2477 – 8060, 2016.

Muhammad Habibi, Analisis Politik Identitas Di Indonesia. Working Paper. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017

Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta, yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

Sari, Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Volume 2. No. 2, 2016.

Page 175: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

168 –

Page 176: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 169

DESAIN PILKADA ASIMETRIS ACEH

Muhammad Heikal Daudy

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh

Pendahuluan Barangkali banyak pihak yang masih bertanya mengenai

perlu tidaknya pengamanan ekstra demi menjamin situasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh?. Sinyalemen ke arah itu, sangat wajar mengingat pengalaman Pilkada di Aceh rentan berdarah-darah. Kesan bahwa harga demokrasi di Aceh lebih mahal dibanding daerah lain, karena nyawa manusia mudah tergadaikan demi sebuah kontestasi seperti Pilkada seakan mensejarah di bumi para aulia ini. Setidaknya demikian catatan yang diperoleh dari 3 (tiga) kali penyelenggaraan Pilkada Aceh pada tahun 2006, 2012 dan 2017 lalu.

Saat ini, Aceh kembali mendapat sorotan khusus dari banyak pihak terkait perlehatan Pilkada serentaknya secara lokal. Indikasi terang akan hal itu, dikutip dari pernyataan Mendagri Jenderal. Pol. Tito Karnavian yang memastikan bahwa Aceh merupakan salah satu daerah yang berpotensi konflik setiap kali pelaksanaan Pilkada dilaksanakan.152 Indikasi lain, berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang berulang kali dirilis oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu RI) dalam sejumlah pertemuan resmi bersama pemangku kebijakan (stakeholders), juga menempatkan Aceh bersama DKI Jakarta dan Papua Barat, sebagai daerah yang berkatagori ‗sangat rawan‘ sesuai pengalaman perlehatan Pilkada dilaksanakan.153

152 ―Pilkada Aceh Tahun 2022 Masih Teka Teki, Ini Tersirat Dari Surat Mendagri Ke Gubernur, Begini Isinya,‖ accessed March 15, 2021, https://aceh.tribunnews.com/2020/12/10/pilkada-aceh-tahun-2022-masih-teka-teki-ini-tersirat-dari-surat-mendagri-ke-gubernur-begini-isinya. 153 Bernard Dermawan Sutrisno Gunawan Suswantoro, Catatan Pengawasan Pemilu Untuk Demokrasi Indonesia, 1st ed. (Jakarta: Setjen Bawaslu RI, 2017).

Page 177: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

170 –

Dengan begitu, praksis beragam pandangan publik pro-kontra muncul menanggapi pernyataan tersebut. Sensivitas publik Aceh memang belum sepenuhnya lupa mengingat suasana konflik masa lalu. Publik Aceh sangat familiar dengan keberadaan ‗orang-orang‘ berseragam lengkap ataupun sipil dengan simbol uniform tertentu, dengan mudahnya menenteng ‗senjata taktis‘ berwara-wiri hampir di setiap sudut-sudut kota hingga gampong-gampong.154 Situasi demikian, barang tentu sulit untuk dilupakan, berikut menimbang berbagai gejala atau faktor non-teknis lain yang memang potensial memicu gangguan kamtibmas di masa transisi Aceh pasca damai khususnya menjelang pilkada. Terpenting bahwa polemik mengenai hal ini terjawab sudah melalui pernyataan-pernyataan para Bakal Pasangan Calon (Bapaslon) yang secara eksplisit menyatakan ‗persetujuannya‘.

Pembahasan Dan Analisis Setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang bisa dihubungkan

untuk dianalisa kaitannya dengan judul artikel ini antara lain yaitu 1) Apakah desain Pilkada Aceh bersifat asimetris dari rezim Pilkada secara nasional?; 2) Apakah Aceh memiliki jurisdiksi sekaligus otoritas untuk melaksanakan Pilkada serentak secara terpisah dari rezim Pilkada secara nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan?; dan 3) Siapakah yang dimaksud penyelenggara dalam rezim Pilkada di Aceh?

A. Catatan Penyelenggaraan Pilkada Aceh Publik Aceh sedikit gaduh perihal keberadaan dan kinerja

Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) sebagai salah satu pihak penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh. Dimulai dengan pemberitaan bahwa Panwaslih Aceh belum bisa bekerja karena belum cairnya anggaran. Ditambah polemik usulan honor anggota Panwaslih Aceh yang dinilai terlalu tinggi dalam pembahasan Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) pengawasan Pilkada dengan pihak Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA).

154 ―Amankan Pilkada, Polda Aceh Kerahkan 12 Ribu Personel,‖ https://www.acehportal.com/news/amankan-pilkada-polda-aceh-kerahkan-12-ribu-personel/index.html.

Page 178: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 171

Berdasarkan Pasal 60 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), disebutkan secara garis besar mengenai kedudukan, keanggotaan, dan usia Panwaslih, merupakan pemegang mandat (mandatory institution) sebagai satu-satu lembaga yang mengawasi Pilkada di Aceh, dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari penyelenggara pemilu, dimana Pilkada adalah rezim dari padanya.

Khusus Aceh, keberadaan Panwaslih harus diposisikan berbeda dengan kedudukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di provinsi lain, oleh karena ranah pengawasan Pilkada menjadi tugas dan kewenangan penuh lembaga yang satu ini sesuai bunyi Pasal 61 sampai dengan 63 UUPA. Di Aceh terdapat 2 (dua) lembaga sekaligus yang sama-sama memiliki tupoksi pengawasan dalam rezim pemilu. Hanya saja, berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu RI) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan Panwaslih di Aceh, serta Perbawaslu RI Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Kerja dan Pola Hubungan Bawaslu/Panwaslu RI dengan Panwaslih di Aceh, disebutkan bahwa Pilkada di Aceh diawasi oleh Panwaslih, sedang Pilpres dan Pileg tetap menjadi ranah Bawaslu/Panwaslu RI.

Kemudian yang unik dari pola koordinasi hubungan kedua lembaga pengawas pemilihan di Aceh tersebut adalah Panwaslih bukanlah sub-ordinasi atau bagian hirarkhis dari Bawaslu RI, hanya Panwaslu saja yang merupakan lembaga sub-ordinat dari Bawaslu. Selanjutnya terkait dengan organisasi Panwaslih, maka dukungan dalam hal anggaran dan fasilitas menjadi faktor penentu dan menjadi komponen tak terpisahkan demi keberlangsungan lembaga tersebut. Tanggungjawab untuk memenuhi segala atribut yang melekat pada Panwaslih serta demi menunjang tupoksi yang diembannya. Mutlak menjadi tanggungjawab negara melalui pemerintah untuk memastikan ketersediaan dua komponen dimaksud.

Implikasi dari tanggungjawab tersebut jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pilkada (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015), berikut aturan delegasi dibawahnya sampai kepada level teknis kementerian seperti Permendagri Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pilkada secara

Page 179: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

172 –

nasional (juga telah diubah di dalam Permendagri Nomor 51 Tahun 2015).

Sampai disini harus dipahami bahwa, seluruh provinsi/kabupaten/kota di tanah air, tidak terkecuali Aceh terikat dengan peraturan-peraturan tersebut. Belum lagi, Aceh dalam pengalamannya menyelenggarakan Pilkada langsung sejak 2006 juga mengacu pada aturan-aturan teknis nasional tersebut. Oleh karena tradisi Pemerintah Aceh yang selalu terlambat dalam melahirkan regulasi yang bersifat delegatif maupun teknis dalam usahanya memberikan kepastian hukum, khusus menyangkut penyelenggaraan Pilkada di Aceh. Sekalipun ruang dan kesempatan untuk itu terbuka lebar berdasarkan UUPA dan peraturan perundang-undangan terkait Pilkada lainnya. Akan tetapi Pemerintah Aceh sering sekali gagal memanfaatkan peluang tersebut. Terpenting bahwa tidak boleh ada kekosongan hukum terhadap peristiwa yang memiliki akibat hukum.

Disinilah perlu kecermatan kita semua dalam memosisikan regulasi yang berlaku untuk Aceh (existing), oleh karena dalam prinsip hukum juga dikenal lex specialis derogat lex generalis (hukum khusus mengenyampingkan hukum umum). Penjelasannya bahwa sepanjang pengaturannya ada dalam regulasi khusus (untuk norma hukum yang sama) seperti pengaturan masa kerja Panwaslih sebagaimana telah dijelaskan, maka peraturan itu pula yang digunakan bukan sebaliknya. Maka menjadi tidak tepat ketika ada pihak yang memosisikan sebuah peraturan teknis selevel peraturan menteri sebagai alas hukum untuk disandingkan dengan undang-undang seperti UUPA, jelas itu bukan pada tempatnya.155

Menurut hemat kami, terdapat perbedaan interpretasi hukum antara masa kerja (usia lembaga), dengan masa kerja tahapan oleh pembuat undang-undang. Oleh karena pembuat undang-undang, menyebutkan bahwa KPU/KIP di Aceh merupakan lembaga penyelenggara Pemilu/Pilkada yang bersifat permanen (tetap) sampai 5 (lima) tahun setiap periodenya. Sedang Panwaslih di Aceh merupakan lembaga sementara (ad-hoc). Implikasi dari interpretasi masa kerja tersebut, apabila 155 Muhammad Heikal Daudy, ―Pilkada Tanpa Pengawasan Inkonstitusional,‖ Serambi Indonesia (Banda Aceh, Aceh., 2016), https://aceh.tribunnews.com/2016/07/21/pilkada-tanpa-pengawasan-inkonstitusional.

Page 180: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 173

dibaca dengan cermat maka semua peraturan teknis terkait Pilkada (Permendagri, PKPU, Perbawaslu dan Surat Menteri Keuangan) hanya menjelaskan masa kerja tahapan menurut kelompok kerja (pokja). Bukan menentukan usia lembaga penyelenggara, karena telah terikat dengan undang-undang. Disinilah dibutuhkan sebuah ‗penemuan hukum‘ dari Pemerintah Aceh untuk menjawab polemik masa kerja tersebut, demi mengisi kekosongan hukum, bukan malah menghindarinya. Karena ini menyangkut prestise Aceh dengan status kekhususan dan keistimewaannya melalui UUPA. Berikut keinginan banyak pihak untuk meneruskan tradisi baik dalam hal politik dan ketatanegaraan di republik ini, dimana Aceh selalu menjadi pioneer.

B. UUPA (Omnibus Aceh) dan Pelaksanaan Pilkada Aceh Secara Serentak

Diskursus dengan topik utama yaitu Otonomi Khusus Aceh yang dalam waktu bersamaan sedang masyhu dibicarakan kembali seantero Seuramoe Mekkah. Bahasannya kompleks karena berkisar pada Kekhususan Aceh dalam Sistem Hukum Nasional. Bahasannya merupakan bentuk respon dari diskursus yang dilakukan sejumlah tokoh dan elemen masyarakat Aceh dalam memosisikan kembali ―kedudukan Aceh dengan Jakarta‖ pada kesempatan yang lain. Pergumulannya berkisar pada nasib Keistimewaan dan Kekhususan Aceh itu sendiri. Sejurus dengan itu, yang menjadi titik singgung adalah masalah posisi tawar (bargaining potition) Aceh yang sangat fluktuatif dan jika diamati terus mengalami degradasi.

Konklusi diskursus yang berjalan tersebut, belum berupaya maksimal merevitalisasi kembali topik-topik Keistimewaan dan Kekhususan Aceh itu sebagai sebuah pengarusutamaan (mainstream) bagi publik Aceh berikut pula secara nasional. Dimana MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah satu kesatuan pilar-pilar perdamaian sekaligus blue print pembangunan Aceh pasca gempa-tsunami dan konflik bersenjata berakhir. Apa yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Aceh saat peristiwa-peristiwa bersejarah itu, tidak dialami komponen bangsa lainnya di negara ini. Maka teranglah bahwa istimewa dan khususnya Aceh berakar pada landasan filosofis dan

Page 181: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

174 –

sosiologis berdasarkan fakta-fakta yang tidak mungkin dapat disederhanakan.156

Sebegitu bernilainya Aceh melalui MoU Helsinki dan UUPA, hingga mencatatkan peristiwa-peristiwa fenomenal lain bagi negara ini. Indonesia memperoleh momentum titik balik untuk melakukan ―lompatan besar peradaban‖ atas apa yang dialami Aceh dan dampaknya secara nasional.

Sedari awal Aceh memang sudah berposisi sebagai center of excellent bagi republik. Penyematan ―Aceh sebagai daerah modal‖ pun seakan layak disandang seumur hidup. Oleh karena relasi Aceh dan Jakarta adalah cerminan sejauhmana persoalan-persoalan kebangsaan muncul, kemudian berdinamika dan berdialektika, yang berujung pada pemecahan masalah bersama sebagai modal integrasi politik nasional.

Melalui MoU Helsinki, para pelaku sejarah yang terlibat saat itu seakan memperoleh kesempatan emas sekaligus privilege (keistimewaan) untuk menjadikannya rule of model penyelesaian konflik-konflik serupa di dunia. Kesempatan tersebut mampu dioptimalkan oleh tokoh-tokoh internasional maupun nasional sekaliber Marthi Arthisari, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) bersama orang-orang setia serta lembaga-lembaga yang digawanginya, dalam menginisiasi berbagai pola penyelesaian konflik di sejumlah negara ASEAN bahkan Asia.

Beda halnya, langkah-langkah fenomenal demikian tidak ditorehkan oleh tokoh-tokoh lokal di Aceh. Padahal MoU Helsinki merupakan legacy bersama para tokoh kedua belah pihak antara Pemerintah RI dan GAM secara setimbang.

Kemudian UUPA sebagai manifestasi MoU Helsinki itu sendiri. Sekalipun belum sepenuhnya mengakomodir butir-butir konsensus yang telah disepakati sebagai norma hukum positif. Namun diakui bahwa regulasi ini merupakan pintu masuk (starting point) dalam kedudukannya sebagai peraturan perundang-undangan negara, sehingga dengan begitu realisasi butir-butir kesepakatan kedua belah pihak dapat dilaksanakan dan menjadi ―alat perjuangan baru‖ dalam mengisi perdamaian dan pembangunan yang berkelanjutan di Aceh. 156 Muhammad Heikal Daudy, ―Omni Bus Aceh,‖ Serambi Indonesia (Banda Aceh, Aceh., 2021), https://aceh.tribunnews.com/2021/02/27/omnibus-aceh.

Page 182: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 175

Berbicara mengenai UUPA, publik Aceh dewasa ini menjadi sadar bahwa struktur dan konstruksi undang-undang ini telah mematahkan pakem atau tradisi hukum sipil (civil law) yang telah mendarah daging sebagai pilihan jenis cara berhukum selama ini. Oleh karena, pengaturan norma hukum di dalam UUPA terdiri dari sejumlah kluster (Bagian Bab) yang ketika ditelisik secara mendalam akan menggambarkan komposisi bab yang terdiri dari berbagai ―ranah hukum‖ yang menjadi satu kesatuan.

Makna satu-kesatuan disini ialah dimulai dari pengklasifikasian hukum berdasarkan konstruksi norma-norma yang terakomodir didalamnya, berlanjut pada langkah unifikasi hukum berdasarkan kluster-kluster yang tersusun secara sistematis, hingga menjelma dalam bentuk satu dokumen kodifikasi hukum (Undang-Undang). Dengan kata lain, UUPA juga merupakan kerangka Omnibus law bagi Aceh. Sekalipun awalnya keberadaan UUPA adalah ―pantangan‖ dalam tradisi hukum negara kita yang kental bercorak eropa kontinental/civil law.

Dewasa ini, lahirnya produk-produk hukum demikian tak dapat dielakkan. Mengingat perkembangan sistem hukum dibanyak negara tidak melulu berpegang satu sistem hukum saja alias sudah banyak mengalami transplantasi bahkan internalisasi corak atau prinsip-prinsip sistem hukum dunia antara satu dengan lainnya, hingga menjadi sangat beragam dengan watak hukum responsif hingga sangat progresif.

Jika dicermati prosesnya pun berlangsung secara alamiah dan bermuara kepada trend berhukum dengan sistem hukum campuran (hybrid system). UUPA bagi Aceh-Indonesia adalah contoh konkrit dari diskursus mengenai percampuran sistem hukum sebagaimana dijelaskan. Regulasi satu ini pantas ditempatkan sebagai salah satu karya hukum fenomenal di Indonesia, yang keberadaannya dapat menjadi bahan kajian akademis lanjutan bahkan sebagai pilot project lahirnya berbagai regulasi dengan spirit dan kerangka yang sejenis.

Desain UU Omnibus law yang lazim disebut ―UU sapu jagad‖. Pada dasarnya telah menginspirasi para pembuat UUPA untuk memosisikannya sebagai kerangka regulasi dalam konteks serupa. Artinya melalui satu regulasi ini, maka segala hal

Page 183: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

176 –

tentang Aceh telah tersedia dan memiliki landasan hukum yang komprehensif sepanjang menjadi kewenangannya.

Benang merah inilah yang diamini Jakarta, tatkala rezim pemerintah Jokowi-JK maupun Jokowi-Ma‘aruf Amin menginisiasi lahirnya terobosan hukum berupa Omnibus law UU Cipta Kerja (UUCK). Terlepas dari pro-kontra keberadaannya, konon agenda serupa akan terus berlanjut dengan pembentukan sejumlah UU Omnibus law di sektor yang dianggap strategis lainnya.

Belakangan diperoleh informasi, beberapa aktor dibelakang layar lahirnya Omnibus law UUCK juga merupakan figur-figur sentral yang dulunya terlibat dalam perundingan MoU Helsinki serta perannya dalam pembentukan hingga pengesahan UUPA. Kondisi tersebut. turut menegaskan bahwa keberadaan Omnibus law bukanlah barang baru di Indonesia. Secara hirarkhi pun sepatutnya Jakarta wajib memperlakukan UUPA secara adil terhadap UU lainnya sebagai produk hukum nasional.

Penutup Saat ini Aceh kembali diuji, baik secara politis maupun

psikologis. Agenda-agenda politik lokal terkait keberlangsungan Keistimewaan dan Kekhususan Aceh berdasarkan UUPA, kembali memperoleh momentum untuk menakar posisi tawar Aceh dengan Jakarta. Terpenting bahwa secara konstitusional UUPA adalah alat perjuangan bagi segenap elit dan publik Aceh secara damai. Langkah-langkah diplomatis patut terus diupayakan oleh Pemerintahan Aceh terhadap Jakarta, bertalian dengan upaya-upaya konsolidasi yang terukur antar pimpinan daerah di Aceh. Kondusifnya suasana serta cairnya sumbatan komunikasi selama ini, akan memberi garansi dalam membuka ruang partisipasi seluas-luasnya serta peluang bagi Aceh dalam ikhtiar meyakinkan Pemerintah Pusat akan kedudukannya yang teramat istimewa dan khusus bagi republik.

Oleh karena itu, mulai sekarang komitmen di atas harus sama-sama tersosialisasi kepada seluruh komponen negara dan elemen masyarakat di Aceh. Realisasi dari komitmen tersebut harus mampu menjamin bahwa tidak ada lagi setetes pun darah tumpah membasahi tanah Serambi Mekkah. Demikian sepatutnya indikator dikala Pilkada serentak di Aceh dapat

Page 184: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 177

terlaksana sebagaimana status Kekhususan dan Keistimewaan yang disandangnya.

Daftar Pustaka

Daudy, Muhammad Heikal. ―Omni Bus Aceh.‖ Serambi Indonesia. Banda Aceh, Aceh., 2021. https://aceh.tribunnews.com/2021/02/27/omnibus-aceh.

———. ―Pilkada Tanpa Pengawasan Inkonstitusional.‖ Serambi Indonesia. Banda Aceh, Aceh., 2016. https://aceh.tribunnews.com/2016/07/21/pilkada-tanpa-pengawasan-inkonstitusional.

Gunawan Suswantoro, Bernard Dermawan Sutrisno. Catatan Pengawasan Pemilu Untuk Demokrasi Indonesia. 1st ed. Jakarta: Setjen Bawaslu RI, 2017.

―Amankan Pilkada, Polda Aceh Kerahkan 12 Ribu Personel.‖ https://www.acehportal.com/news/amankan-pilkada-polda-aceh-kerahkan-12-ribu-personel/index.html.

―Pilkada Aceh Tahun 2022 Masih Teka Teki, Ini Tersirat Dari Surat Mendagri Ke Gubernur, Begini Isinya.‖ Accessed March 15, 2021. https://aceh.tribunnews.com/2020/12/10/pilkada-aceh-tahun-2022-masih-teka-teki-ini-tersirat-dari-surat-mendagri-ke-gubernur-begini-isinya.

Page 185: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

178 –

Page 186: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 179

REFORMULASI NETRALITAS ASN PADA PEMILIHAN

KEPALA DAERAH DI INDONESIA

Firna Novi Anggoro Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung

[email protected]

Pendahuluan Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (sekarang diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah) praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia mengalami banyak perubahan. Salah satu perubahan yang signifikan yakni dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dan tidak lagi melalui pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tujuan dilakukannya pilkada secara langsung oleh rakyat adalah untuk mengembalikan asas kedaulatan rakyat. Selain itu, pelaksanaan pilkada secara langsung merupakan sarana yang diyakini dapat menghasilkan pemimpin daerah yang terbaik oleh karena dipilih secara lebih demokratis sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat daerah, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran daerah.

Ironisnya, pilkada secara langsung yang telah dilaksanakan sejak tahun 2005 ternyata menimbulkan berbagai persoalan didalamnya. Salah satu permasalahan yang masih terjadi hingga saat ini yaitu adanya pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan cara ikut serta terlibat atau dilibatkan dalam aksi dukung mendukung terhadap pasangan calon kepala daerah.

Jika menengok historisitas ketidaknetralan ASN, maka persoalan ketidaknetralan ASN bukanlah hal yang baru. Isu terkait ketidaknetralan ASN di Indonesia telah terjadi sejak lama. Di masa pemerintahan orde baru dikenal slogan ―monoloyalitas‖ yang kemudian diwujudkan dengan ikut bergabungnya birokrasi dalam proses politik melalui pemilihan umum untuk menduduki jabatan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Era

Page 187: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

180 –

reformasi saat ini, politisasi birokrasi dalam bentuk pelibatan ASN masih terus berlangsung bahkan berlangsung secara masif.

Padahal, pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi terkait kewajiban netralitas ASN. Regulasi tersebut diantaranya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil negara (UU ASN), UU No. 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Koprs dan Kode Etik PNS. Di tahun 2020 ditetapkan juga Surat Keputusan Bersama (SKB) antara MenpanRB, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Badan Pengawas Pemilahan Umum tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai ASN Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020.

Meskipun berbagai regulasi telah diterbitkan, ternyata hal tersebut tidak mampu membendung terjadinya berbagai pelanggaran netralitas ASN. Pada gelaran pilkada serentak yang baru saja diselenggarakan yakni di tahun 2020 terdapat 917 pelanggaran netralitas ASN yang terdiri dari 484 kasus memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon (paslon) di media sosial, 150 kasus menghadiri sosialisasi partai politik dan 103 kasus melakukan pendekatan ke partai politik.157

Muncul sebuah pertanyaan mengapa pelanggaran netralitas terus terjadi? Hasil survei Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menunjukan bahwa praktik pelanggaran netralitas ASN terus terjadi karena alasan untuk memperoleh/mempertahankan jabatan atau menerima/mendapatkan materi/proyek, adanya hubungan kekeluargaan dengan calon (peserta pemilihan), kurang memahami aturan dan adanya intervensi pimpinan/atasan yang memaksa dukungan terhadap calon tertentu dan sebagainya.158

157 Lihat ――Bawaslu: Ada 917 Pelanggaran Netralitas ASN di Pilkada 2020‖,

https://nasional.kompas.com/read/2021/01/19/17551051/bawaslu-ada-917-pelanggaran-netralitas-asn-di-pilkada-2020, " diakses 16 April 2021.

158 Fritz Edward Siregar, 2020, Aparatur Sipil Negara Dalam Perebutan Kekuasaan di Pilkada, Jakarta: Konpress, hlm. 124.

Page 188: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 181

Momentum pilkada memang membawa ASN berada dalam kondisi dilematis. Disatu sisi, telah terang-benderang berbagai regulasi yang diterbitkan pemerintah melarang praktik ketidaknetralan ASN. Bahkan, sudah banyak oknum ASN yang terbukti melanggar netralitas diberikan sanksi berupa hukuman disiplin. Namun di sisi lain, bagaikan simalakama, ASN terpaksa memberikan dukungan kepada calon kepala daerah (terlebih calon kepal daerah itu dalah petahana/incumbent) baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Pasalnya, calon kepala daerah petahana yang notabene Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) akan memainkan kekuasaannya untuk mengintervensi ASN dibawahnya untuk berkontribusi mendongkrak elektabilitas politiknya. Jika bersikap netral atau berpihak pada paslon lain, maka dengan mudahnya ASN tersebut diberikan ganjaran akan dimutasikan atau di non-jobkan.

Dengan pencalonan kepala daerah sebagai petahana, penetrasi politik kepada ASN terjadi karena adanya pola relasi hubungan patron client. Hubungan seperti ini dibangun dari pola relasi yang dapat digambarkan seperti hubungan antara bapak (pimpinan) dengan anaknya (bawahan). ASN tunduk pada kekuasaan kepala daerah atau pimpinannya, melaksanakan segala instruksi yang diberikan kepadanya tanpa memiliki keberanian untuk menolak ketika diminta untuk melakukan pelanggaran netralitas. Dalam pola hubungan seperti ini titik singgung antara netralitas dengan loyalitas menjadi absurd.159

Tulisan ini diharapkan mampu memberikan solusi konkret dari berbagai permasalahan terkait netralitas ASN. Diperlukan sebuah reformulasi terhadap upaya menjaga netralitas ASN khususnya pada saat penyelenggaraan pilkada dilaksanakan.

Pembahasan Upaya menjaga netralitas ASN merupakan hal yang harus

menjadi perhatian kita semua, bukan hanya pemerintah semata, namun semua yang berkepentingan untuk bisa melihat bahwa birokrasi harus sebisa mungkin menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik tanpa ada intervensi dan atau pelibatan

159 Sudiman Dalim, 2010, Politisasi Birokrasi, Netralitas dan Mobilitas PNS

dalam Pilkada, Tangerang: Global Sosiotama, hlm.214.

Page 189: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

182 –

birokrasi dalam proses politik demi untuk memenuhi kepentingan pribadi para pasangan calon.

Kalaulah perilaku ASN berkembang dalam intervensi politik praktis dan menjadi tidak netral, maka birokrasi bertendensi pada kepentingan partai atau kelompok tertentu, sehingga terjadi pergeseran keberpihakan dari kepentingan publik kepada bentuk pengabdian pada pihak penguasa atau partai-partai yang sedang berkuasa. Ketika ASN tidak menjaga netralitasnya maka hal yang terjadi antara lain adanya kepentingan masyarakat yang terdistorsi, pelayanan tidak optimal, penempatan jabatan cenderung melihat keterlibatan dalam pilkada dan jabatan di birokrasi diisi oleh PNS yang tidak kompeten.160

Secara teoretis, intervensi politik terhadap birokrasi memang sulit dihindarkan. Beberapa penyebabnya yakni, pertama, masih kuatnya primordialisme politik dalam bentuk ikatan kekerabatan, politik balas budi, keinginan membangun pemerintahan berbasis keluarga, mencari rasa aman, dan perilaku oportunis birokrat. Kedua, mekanisme check and balance belum menjadi budaya dan belum dilaksanakan dengan baik. Ketiga, kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung korup. Keempat, rendahnya kedewasaan Partai politik dan tingginya ketergantungan terhadap birokrasi. Kelima, kondisi kesejahteraan ASN di daerah yang rendah cenderung melahirkan praktek rent seeking melalui aktivitas politik tersembunyi demi mendapat income tambahan. Keenam, perangkat aturan yang belum jelas dan mudah dipolitisasi, seperti lemahnya instrumen pembinaan pegawai, kode etik belum melembaga, adanya status kepada daerah sebagai pembina kepegawaian, dan rangkap jabatan kepala daerah dengan ketua umum partai politik.161

Namun bagaimanapun dekooptasi birokrasi dengan berbagai persoalan politik praktis mutlak harus dilakukan. Politisasi birokrasi terhadap ASN memiliki efek buruk terhadap kualitas kinerja ASN karena digunakan untuk memenuhi kepentingan golongan tertentu yang sudah pasti menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara. Hegel berpendapat bahwa birokrasi merupakan jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya (publik). Artinya dalam

160 Komisi Aparatur Sipil Negara, 2018, ―Netralitas ASN di Tengah Intervensi Politik‖, Policy Brief, hlm. 1.

161 Elip Heldan, 2020, Pola Relasi Politik dan Birokrasi, Bandar Lampung: Aura Publishing, hlm. 92-93.

Page 190: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 183

birokrasi konteksnya perlu menciptakan struktur yang dapat menjembatani antara negara yang merefleksikan kepentingan umum, dengan civil society yang terdiri dari berbagai kepentingan khusus dalm masyarakat. Dengan kata lain, birokrasi Hegelian menekankan posisi birokrasi yang harus netral terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya, termasuk partai politik.162

Birokrasi sesuai kedudukannya dalam sistem administrasi negara, juga sesuai sifat dan lingkup pekerjaannya, menguasai data dan informasi serta dukungan sumber daya yang tidak dimiliki pihak lain. Dengan otoritas dan sumber daya yang sangat besar, birokrasi bukan saja bisa membuat kebijakan, tetapi juga bisa menggalang dukungan masyarakat dan dunia usaha. Birokrasi memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanakan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta evaluasi kinerjanya. Oleh karenanya, birokrasi pemerintah harus bersikap netral baik dari sisi politik praktis maupun dari sisi administratif.

Untuk mengatasi problematika tersebut, diperlukan reformulasi (pemetaan ulang) agar menciptakan pola relasi yang lebih sehat antara ranah politik dan birokrasi sehingga terbangun praktik netralitas ASN secara berkesinambungan. Reformulasi tersebut dilakukan dengan jalan Pertama, mencabut hak pilih ASN dalam pilkada. Pencabutan hak pilih ASN menjadi sebuah jalan keluar atas kondisi dilematis. Menjadi sulit dipahami jika di satu sisi ASN dituntut profesional dan netral, namun disisi lain dalam UU ASN masih diberi hak pilih untuk memilih dalam pemilu/pilkada sesuai aspirasinya. Betapa sulitnya bersikap adil bagi ASN ketika dilarang berpolitik, namun masih memiliki hak pilih. Ada kontradiksi antara sikap batin subjektif sebagai warga negara yang memiliki hak pilih yang dipastikan memihak pada calon atau partai politik tertentu dengan sikap harus objektif dalam pelaksanaan eksekusi kebijakan publik sebagai abdi negara. Mencampuradukan antara subjektifitas politik dan objektivitas kebijakan dalam satu waktu pasti akan selalu melahirkan ambivalensi (sikap mendua) bagi

162 Ajib Rakhmawanto, ―Perspektif Politisasi Birokrasi dan Peran Pejabat

Pembina Kepegawaian dalam Birokrasi Pemerintah‖, Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol. III No. 1 Oktober 2017, hlm.23.

Page 191: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

184 –

ASN. Sehingganya pencabutan hak pilih ASN mampu memotong mata rantai praktik ketidaknetralan ASN.163

Jika melihat dari aspek Hak Asasi Manusia, pencabutan hak pilih ASN tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Meskipun Pasal 28 UUD NRI 1945 telah memberikan jaminan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berserikat dan berpendapat, namun hak pilih ASN merupakan HAM yang dapat dibatasi pemenuhannya (derogable right). Sebagaimana amanat Pasal 28J UUD NRI 1945 yakni setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan ASN dalam hal ini pencabutan hak pilih ASN, selain untuk membentengi netralitas ASN juga bertujuan untuk menjaga agar pelaksanaan pilkada yang merupakan salah satu sarana sekaligus upaya mewujudkan sistem demokrasi secara utuh serta sebagai langkah merealisasikan kedaulatan rakyat dapat berjalan dengan fair.

Kedua, Penguatan kelembagaan secara internal birokrasi kepada ASN untuk bersikap netral terhadap seluruh kekuatan politik. Langkah konkret yang dilakukan yakni dengan penegakan reward and punishment. Bagi penulis, sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS perlu diberlakukan terhadap seluruh jenis pelanggaran netralitas ASN. Hal tersebut untuk menghadirkan efek jera dan juga sejalan dengan komitmen ASN untuk menjaga profesionalitasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Selain itu, pemberitahuan di media massa sekiranya perlu dilakukan terhadap instansi lembaga/kementerian dimana ASNnya telah melakukan pelanggaran netralitas. Hal tersebut diperlukan sebagai sarana kontrol masyarakat dan instansi dimana ASN tersebut bekerja. Langkah lain yang harus dilakukan yakni

163 Agus Riwanto, ―Strategi Hukum Tata Negara Progresif Mencegah Ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada‖, Jurnal Bawaslu, Vol.2 Edisi 1 Tahun 2016, hlm.100.

Page 192: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 185

membangun merit sistem terhadap ASN seperti penerimaan dan penempatan ASN sesuai dengan kompetensi, memperjelas sistem penjenjangan karir PNS, serta evaluasi kinerja ASN yang dinilai berdasarkan prestasi kerja bukan berdasarkan kedekatan secara personal. Kewenangan untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian ASN bukan lagi diberikan kepada pejabat politik seperti bupati/walikota, namun diberikan kepada pejabat karir tertinggi di daerah yakni Sekretaris Daerah dengan pertimbangan dari Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Hal ini bertujuan agar pejabat politik tidak lagi melakukan intervensi politik terhadap kebijakan kepegawaian. Sosialisasi berbagai regulasi terkait netralitas ASN juga perlu dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan untuk meningkatkan kesadaran hukum ASN terhadap pentingnya menjaga netralitas.

Ketiga, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan netralitas ASN. Selama ini masyarakat cenderung mengabaikan jika mengetahui pelanggaran netralitas yang dilakukan oknum ASN, sehingga banyak kasus pelanggaran netralitas tidak tertangani oleh penegak hukum.164 Oleh karena itu, masyarakat dan LSM perlu juga diberikan sosialisasi terkait pentingnya netralitas ASN beserta regulasi yang mengatur netralitas sekaligus prosedur dan mekanisme pelaporan jika ditemukan pelanggaran netralitas. Untuk mempermudah masyarakat dalam pengawasan perlu dikembangkan model pengawasan netralitas ASN berbasis teknologi informasi (IT) yang mudah diakses masyarakat dimanapun berada.

Penutup Netralitas ASN memiliki peranan penting dalam menjaga

profesionalisme kerja ASN untuk menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Oleh karenanya diperlukan reformulasi netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pilkada yang dilakukan dengan jalan 1) mencabut hak pilih ASN dalam pilkada 2) Penguatan kelembagaan secara internal birokrasi 3) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan netralitas ASN.

164 Sutrisno, ―Prinsip Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan

Kepala Daerah‖, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 3 Vol. 26 September 2019, hlm. 533.

Page 193: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

186 –

Daftar Pustaka Agus Riwanto, ―Strategi Hukum Tata Negara Progresif Mencegah

Ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada‖, Jurnal Bawaslu, Vol.2 Edisi 1 Tahun 2016.

Ajib Rakhmawanto, ―Perspektif Politisasi Birokrasi dan Peran Pejabat Pembina Kepegawaian dalam Birokrasi Pemerintah‖, Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik, Vol. III No. 1 Oktober 2017.

Elip Heldan, 2020, Pola Relasi Politik dan Birokrasi, Bandar Lampung: Aura Publishing.

Fritz Edward Siregar, 2020, Aparatur Sipil Negara Dalam Perebutan Kekuasaan di Pilkada, Jakarta: Konpress.

Komisi Aparatur Sipil Negara, 2018, ―Netralitas ASN di Tengah Intervensi Politik‖, Policy Brief.

Kompas.com, ―Bawaslu: Ada 917 Pelanggaran Netralitas ASN di Pilkada 2020" https://nasional.kompas.com/read/2021/01/19/17551051/bawaslu-ada-917-pelanggaran-netralitas-asn-di-pilkada-2020, diakses 16 April 2021.

Sudiman Dalim, 2010, Politisasi Birokrasi, Netralitas dan Mobilitas PNS dalam Pilkada, Tangerang: Global Sosiotama.

Sutrisno, ―Prinsip Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Kepala Daerah‖, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 3 Vol. 26 September 2019.

Page 194: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 187

PENEGAKAN KODE ETIK PENYELENGGARAAN

PILKADA OLEH DEWAN KEHORMATAN

PENYELENGGARA PEMILU (DKPP)

Hidayat, Budi Bahreisy Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Komplek

Kampus Bukit Indah, Jl. Jawa – Blang Pulo Lhokseumawe

Email: [email protected], [email protected]

Pendahuluan

Pasca Reformasi tepatnya setelah UUD 1945 berhasil di amandemen, penyelenggaraan pemilihan umum adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.165 Hal ini pula menjadikan terobosan dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung.

Pada kebanyakan Negara demokrasi modern, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan berserikat, dinggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.166

Adapun pelaksanaan pemilihan kepala daerah merupakan satu kesatuan dalam pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Namun dalam perkembangannya pemilihan kepala daerah juga masuk dalam rezim pemilu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur juga didalamnya adalah Pemilihan Kepala Daerah.

165 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 22 E

ayat (2). 166 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:PT Gramedia

Pustaka Utama. 2008

Page 195: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

188 –

Pemilihan kepala daerah merupakan sarana penting untuk meminta akuntabilitas dari pejabat publik dan melalui pemilihan kepala daerah diharapkan proses politik yang berlangsung akan melahirkan suatu pemerintahan yang sah, terpilih secara demokratis dan benar-benar mewakili kepentingan publik selaku pemilih.167

Pemilihan Kepala Daerah serentak telah selesai dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Adapun total daerah yang melaksanakannya sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota. Pemerintah dan penyelenggara pemilihan menetapkan untuk melanjutkan tahapan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sempat tertunda karena pandemi Covid-19 yang dimulai tanggal 15 Juni 2020 dengan agenda pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Banyak respon dan catatan dari berbagai pihak terhadap proses pilkada serentak disaat terjadinya pandemi covid-19. Pilkada serentak 2020 ditengah pandemi Covid-19 tentunya sebuah pilihan sulit karena di satu sisi harus tetap menjaga pilkada berkualitas dan bermatabat serta pada sisi yang lain harus taat pada protokol covid-19. Antara menjaga pilkada berkualitas 9 Desember 2020 dan menjaga serta menyelamatkan kesehatan masyarakat dari ancaman covid-19 merupakan dua hal yang harus sama-sama dijaga kualitasnya dan prioritas yang harus lebih diutamakan adalah menjaga kesehatan masyarakat.

Menghasilkan pemimpin berintegritas harus dimulai dari penyelenggaraan pilkada yang berintegritas. Disinilah fondasi awal dari pilkada bermartabat. Pilkada bermartabat menjunjung tinggi hukum dan etika. Persoalan integritas penyelenggara Pemilu menjadi hal penting yang harus mulai ditata sebagai upaya untuk membangun dan meningkatkan derajat integritas dan kualitas Pemilu. Sebagai upaya melakukan penataan integritas penyelengara Pemilu, maka lahirnya kode etik dan kelembagaan etik sebagai penyelenggara Pemilu mutlak harus ada dalam menjaga kemandirian, integritas, dan kredibiltas penyelenggara Pemilu. Pemilu yang beretika merupakan suatu keniscayaan yang patut diresapi oleh semua pemangku

167 Joko Riskiyono, Jurnal Pemilu & Demokrasi : Hak Publik

Berpartisipasi mewujudkan penyelenggaraan pemilu demokratis, (Perludem Jurnal 2013)

Page 196: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 189

kepentingan. (stakeholders).168 Oleh karena itu, pentingnya sinergitas penegakan hukum (law enforcement) dan penegakan kode etik (ethical enforcement).

Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu atau yang biasa dikenal dengan DKPP hadir sebagai pelopor pengadilan etik yang melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik penyelenggaraan pemilu.169 Dimana tugas pokok dari DKPP adalah menerima pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, melakukan penyelidikan, dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu.

Untuk menjaga profesionalitas dan kemandirian penyelenggaraan pemilu maka dibentuk peraturan yang mengatur mengenai kode etik penyelenggara pemilu yang memuat prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur oleh konstitusi dan Undang-Undang yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Peraturan DKPP RI Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, Peraturan DKPP RI nomor 1 Tahun 2021 perubahan kedua atas peraturan DKPP RI nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum serta sifat moral yang wajib dimiliki oleh penyelenggara pemilu dalam mengawal proses pemilihan umum

Berdasarkan Laporan Kinerja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tahun 2020 tercatat sebanyak 415 dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilaporkan ke DKPP RI. Dibandingkan dengan jumlah pengaduan di tiap bulan, maka terjadi peningkatan jumlah pengaduan di empat bulan terakhir dengan puncak pengaduan terjadi di bulan November 2020 sebanyak 81 pengaduan disusul 71 pengaduan di bulan Oktober dan 65 pengaduan di bulan September 2020, sedangkan jumlah pengaduan terendah terjadi di bulan Mei 2020. Kenaikan jumlah pengaduan sejalan dengan tahapan Pilkada serentak Tahun 2020, tahapan puncaknya yakni pasca tahapan pencalonan, tahapan kampanye dan

168 Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2014. Hlm.24

169 Saleh.dkk, Hukum Acara Sidang Etik Penyelenggara Pemilu, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2017. Hlm.58

Page 197: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

190 –

menjelang tahapan pemungutan dan penghitungan suara pada tanggal 9 Desember 2020.

Tabel 1.

Pengaduan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu Tahun 2020

(Sumber: Data LAPKIN DKPP Tahun 2020 hlm 29)

Data dugaan pelanggaran kode etik diatas menunjukkan bahwa ada masalah dari pelaksanaan pilkada serentak terkait dengan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.

Pembahasan A. Modus dan Jenis Pelanggaran Kode Etik

Objek perkara yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku pribadi atau orang per orang pejabat atau petugas penyelenggara pemilihan umum. Objek pelanggaran etika yang dapat diperkarakan serupa dengan kualifikasi tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu menyangkut sikap dan perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh perseorangan individu secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama yang dipertanggungjawabkan juga secara individu orang per orang.

Dalam penyelenggaraan pemilu terdapat beberapa prinsip dasar etika dan perilaku, sehingga penyelenggara pemilu berkewajiban berpegang teguh pada kewajibannya:170

a. Menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan;

170 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu

Page 198: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 191

b. Menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. Menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan seluruh lembaga dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. Menjaga dan memelihara nama baik Negara Kesatuan Republik Indonesia.

e. Menghargai dan menghormati sesame lembaga Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan Pemilu;

f. Tidak mengikut sertakan atau melibatkan kepentingan pribadi maupun keluarga dalam seluruh pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajibannya;

g. Memberikan informasi dan pendidikan pemilih yang mencerahkan pikiran dan kesadaran pemilih;

h. Memastikan pemilih memahami secara tepat mengenai proses Pemilu;

i. Membuka akses yang luas bagi pemilih dan media untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu;

j. Menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya; dan

k. Memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi pemilih yang membutuhkan perlakuan khusus dalam menggunakan dan menyampaikan hak pilihnya.

l. Memelihara dan menjaga kehormatan lembaga Penyelenggara Pemilu;

m. Menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan, dan program lembaga Penyelenggara Pemilu;

n. Melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu;

o. Mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, dan jabatan, baik langsung maupun tidak langsung;

Page 199: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

192 –

p. Menjamin kualitas pelayanan kepada pemilih dan peserta sesuai dengan standar profesional administrasi penyelenggaraan Pemilu; -

q. Bertindak berdasarkan standar operasional prosedur dan substansi profesi administrasi Pemilu;

r. Melaksanakan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu dengan komitmen tinggi; dan;

s. Tidak melalaikan pelaksanaan tugas yang diatur dalam organisasi Penyelenggara Pemilu.

Dalam pelaksanaan pemilihan umum pada suatu negara, tidak terlepas kemungkinan akan adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi baik saat sebelum, ketika pelaksanaan dan pasca pemilihan umum. Banyak sekali jenis pelanggaran yang dapat terjadi dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi untuk lebih mudah mempelajarinya, maka dapat dibagi dalam tiga kategori jenis pelanggaran meliputi:171

a. Pelanggaran administratif. Dalam UU Pemilu yang dimaksud pelanggaran administratfi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU, dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Misalnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan dana awal kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan;

b. Tindak pidana pemilu, merupakan tindakan yang dalam Undang-Undang pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara;

c. Perselisihan hasil pemilihan umum, adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perolehan

171 Dedi Mulyadi, Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu

Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia. Jakarta:Gramata Publishing, 2012. Hlm.383

Page 200: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 193

tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara.

Berdasarkan tren pelanggaran pemilu yang selama ini terjadi, DKPP RI dapat menentukan pelanggaran-pelanggaran mana yang menjadi titik rawan pelanggaran kode etik penyelenggara pilkada. Mantan anggota DKPP RI Nur Hidayat dalam bukunya berjudul Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu telah membuat kategorisasi pelanggaran yang disebutnya sebagai modus-modus pelanggaran kode penyelenggaraan pemilu, yaitu:172

a. Vote Manipulation merupakan pelanggaran kode etik mengurangi, menambahkan, atau memindahkan perolehan suara dari satu peserta pemilu ke peserta pemilu lainnya, perbuatan mana menguntungkan dan/atau merugikan peserta pemilu satu dengan lainnya.

b. Bribery of Officials merupakan pemberian sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus kepada penyelenggara pemilu dengan maksud memenuhi kepentingan pemberinya atau untuk menguntungkan dan/atau merugikan pihak lain dalam kepesertaan suatu pemilu.

c. Un-Equal Treatment merupakan perlakuan yang tidak sama atau berat sebelah kepada peserta pemilu dan pemangku kepentingan lain.

d. Infringements of The Right to Vote merupakan pelanggaran terhadap hak memilih warga negara dalam pemilu

e. Vote and Duty Secrecy merupakan pelanggaran kode etik dengan cara terbuka memberitahukan pilihan politiknya dan menanyakan pilihan politiknya dalam pemilu kepada orang atau pemilih lain.

f. Abuse of Power merupakan pelanggaran kode etik dengan memanfaatkan posisi jabatan dan pengaruh-pengaruhnya, baik atas dasar kekeluargaan, kekerabatan, otoritas tradisional atau pekerjaan, untuk mempengaruhi pemilih lain atau penyelenggara pemilu demi mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi.

172 Nur Hidayat Sardini, Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik

Penyelenggara Pemilu, Jakarta: Penerbit LP2AB (Lembaga Pendidikan Anak Bangsa), 2015, hlm. 174-182

Page 201: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

194 –

g. Conflict of Interest merupakan pelanggaran kode etik dengan adanya benturan kepentingan.

h. Sloppy Work of Election Process merupakan ketidak cermatan atau ketidaktepatan atau ketidakteraturan atau kesalahan dalam proses pemilu.

i. Intimidation and Violence merupakan pelanggaran kode etik dengan melakukan tindakan kekerasan atau intimidasi secara fisik maupun mental.

j. Broken or Breaking of the Laws merupakan bentuk pelanggaran dengan melakukan tindakan atau terlibat dalam pelanggaran hukum;

k. Absence of Effective Legal Remedies merupakan kesalahan yang dapat ditoleransi secara manusiawi sejauh tidak berakibat rusaknya integritas penyelenggaraan pemilu, juga hancurnya independensi dan kredibilitas penyelenggara pemilu;

l. The Fraud of Voting Day merupakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan penyelenggara pemilu pada hari pemungutan dan penghitungan suara;

m. Destroying Neutrality, Impartiality, and Independent merupakan bertindak tidak netral, dan memilhak terhadap partai politik.

Pertimbangan menentukan prioritas titik rawan ini didasarkan atas laporan dan frekuensi terjadinya pelanggaran di masa penyelenggaraan pilkada secara serentak, atau didasarkan keseriusan dampak yang dapat terjadi.

Secara garis besar pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dapat pula dikelompokkan ke beberapa jenis diantaranya:173

1. Pelanggaran formal dan Pelanggaran materiil.

Pelanggaran formal kode etik adalah suatu rumusan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik ketika suatu perbuatan penyelenggara Pemilu memenuhi unsur rumusan perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang tidak diperkenankan dilakukan menurut kode etik. Sebagai contoh

173 Disarikan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Outlook

2016 Refleksi & Proyeksi DKPP RI, 2016. Hlm. 131-132

Page 202: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 195

asas mandiri (a contrario) berarti melarang atau tidak memperkenankan penyelenggara pemilu berpihak dan wajib memperlakukan sama setiap peserta pemilih dan peserta pemilu.

Selanjutnya bentuk pelanggaran materiil kode etik penyelenggara pemilu merujuk kepada dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Seperti pelanggaran asas kemandirian yang berakibat keberpihakan penyelenggara yang menguntungkan peserta pemilu tertentu dan merugikan peserta pemilu lainnya atas tindakannya mengubah dengan menambah dan/atau mengurangi jumlah suara secara tidak sah. Bentuk pelanggaran ini tidak hanya pelanggaran ko de etik termasuk juga pelanggaran administrasi pemilu maupun tindak pidana pemilu;

2. Pelanggaran bersifat commision (aktif melakukan) dan pelanggaran bersifat ommision (melanggar dengan cara tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan).

Kode etik yang bersifat commision merupakan suatu perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh penyelenggara pemilu, yang secara nyata dilarang oleh hukum dan kode etik penyelenggara pemilu. Sedangkan jenis pelanggaran bersifat ommision merupakan sikap dan tindakan pembiaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, terhadap suatu keadaan dan perbuatan yang diketahui sebagai pelanggaran hukum pemilu dan/atau pelanggaran kode etik.

3. Pelanggaran yang disengaja (dolus) dan pelanggaran karena kelalaian (culpa).

Pelanggaran dolus yaitu suatu perbuatan pelanggaran penyelenggara pemilu yang sengaja dilakukan. Sedangkan pelanggaran culpa yaitu jenis pelanggaran yang tidak didasarkan pada kehendak untuk melakukan suatu perbuatan namun karena kurang kehati-hatian atau kurang teliti sehingga mengakibatkan kerugian bagi peserta pemilu.

Dengan banyaknya bentuk pelanggaran yang dimungkinkan terjadi dalam Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah, keberadaan DKPP sangatlah diperhitungkan dalam hal kepemiluan guna melakukan pemeriksaan dan pemutusan terhadap pelanggaran kode etik.

Page 203: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

196 –

B. Faktor Penyebab Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pilkada

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‗etika‘ yaitu ethos, sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha, yaitu adat kebiasaan. Jadi, etika adalah suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu kesadaran yang kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan. Aristoteles membagi pengertian etika menjadi dua, yaitu terminius technikus dan manner and custom. terminius technikus merupakan etika yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Manner dan custom merupakan suatu pembahasan etika yang berhubungan atau berkaitan dengan tata cara dan adat kebiasaan yang melekat dalan kodrat manusia atau in herent in human nature yang sangat terkait dengan arti baik dan buruk suatu perilaku, tingkah laku atau perbuatan manusia.174

WJS Poerwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia mengemukakan bahwa pengertian etika adalah : Ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).175

Apabila dibandingkan dalam pemakaian yang lebih luas perkataan etika dipandang sebagai lebih luas dari perkataan moral, sebab terkadang istilah moral sering dipergunakan hanya untuk menerangkan sikap lahiriah seseorang yang biasa dinilai dari wujud tingkah laku atau perbuatan saja. Sedangkan etika dipandang selain menunjukkan sikap lahiriah seseorang juga meliputi kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang itu.176

Peran moral (kode etik) dapat dilihat pada Praktek kecurangan yang terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan pilkada. Bahkan banyak survei menyebutkan pilkada menjadi salah satu faktor tumbuhnya praktek KKN. Pilkada melahirkan

174 (https://www.dosenpendidikan.co.id/etika) 175 Suhrawardi K.Lubis, Etika Profesi Hukum. (Sinar Grafika, hal.1) 176 Ibid

Page 204: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 197

perilaku politik sebagian elit masyarakat baik peserta maupun penyelenggara menjadi semakin korup. Persekongkolan politik antara penyelenggara dengan aktor dalam kontestasi kian menggurita. Penyelenggara tidak saja berfungsi sebagai penengah atau sekurang-kurangnya menjadi ―wasit‖ tetapi di beberapa daerah dengan diam-diam merangkap jadi pemain.

Secara umum faktor penyebab Pelanggaran Etika terkait dengan Pelanggaran Kode Etik adalah :

1. Tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dari masyarakat

2. Kurangnya iman dari individu tersebut.

3. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik pada setiap bidang, karena buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak prepesi sendiri.

4. Belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari orang tersebut.

5. Tidak adanya kesadaran etis dan moralitas dari orang tersebut.

6. Kebutuhan individu

7. Tidak ada pedoman hidup dari individu tersebut

8. Perilaku dan kebiasaan individu yang buruk sehingga menjadi sebuah kebiasaan

9. Lingkungan tidak etis mempengaruhi individu tersebut melakukan sebuah pelanggaran.

10. Kurangnya sanksi yang keras atau tegas di Negara kita tentang pelanggaran kode etik

C. Ruang Lingkup Penegakan Kode Etik DKPP dalam menyusun dan menetapkan kode etik

merupakan bagian dari menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu yaitu anggota KPU, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, KPPSLN serta anggota Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawalu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN dan Pengawas TPS.

Dalam menjalankan tugas dan fungsi penegakan kode etik penyelenggara Pemilu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

Page 205: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

198 –

diberikan wewenang memanggil dan memeriksa pihak-pihak terkait dengan tujuan menggali data dan informasi lebih akurat untuk mendapatkan suatu bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan.

Berdasarkan Pilkada serentak tahun 2020 dimana diselenggarakan pada masa Pandemi Covid-19 banyak pengaduan yang masuk ke DKPP. Berikut ini ditampilkan pengaduan sebagai berikut:

Tabel 2

Rekapitulasi Pengaduan berdasarkan Penyampaian

Jenis Pengaduan Jumlah

Tidak langsung (melalui surat (pos atau email)) 319

Pengaduan langsung 96

Total 415

(Sumber: Data LAPKIN DKPP Tahun 2020 hlm.30)

Tabel 3

Pengaduan Berdasarkan Tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020

Tahapan Pilkada Tahun 2020 Jumlah

Pemenuhan persyaratan dukungan bakal pasangan calon perorangan

36

Penetapan pasangan calon 29

Pembentukan Panwascam dan PPL 24

Pembentukan PPK dan PPS 19

Pelaksanaan kampanye 20

Page 206: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 199

Verifikasi persyaratan pencalonan dan syarat bakal pasangan calon

16

Pendaftaran bakal pasangan calon 17

Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih 3

Total 164

(Sumber: Data LAPKIN DKPP Tahun 2020 hlm.32)

Tabel 4

Pengaduan berdasarkan unsur pengadu Tahun 2020

Unsur Pengadu Jumlah

Masyarakat/Pemilih 229

Peserta Pemilu/Bapaslon 127

Penyelenggara pemilu 59

Total 415

(Sumber: Data LAPKIN DKPP Tahun 2020 hlm.34) Tabel 5

Pengaduan berdasarkan Unsur Teradu

Lembaga Jumlah

KPU Kab/Kota 568

Bawaslu Kab/Kota 447

KPU Provinsi 101

Page 207: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

200 –

KPU RI 65

Bawaslu Provinsi 50

Sekretariat KPU 23

Panwascam 22

PPK/PPD 23

PPS 18

Sekretariat Bawaslu 18

Lain-Lain 14

PPL 1

Bawaslu RI 1

KPPS 0

Total 1351

(Sumber: Data LAPKIN DKPP Tahun 2020 hlm.35)

Berdasarkan data diatas, menunjukkan ternyata persoalan etik menjadi permasalahan setiap penyelenggaraan Pemilu ataupun penyelenggaraan Pilkada di Indonesia. Tanggung jawab untuk menciptakan pilkada bermartabat tidak sepenuhnya dibebankan ke penyelenggara negara akan tetapi setiap elemen seperti partai politik, peserta, tim sukses, pemantau pemilu, dan seluruh elemen masyarakat.

Bentuk responsivitas DKPP dalam menjalankan tugas dan fungsi penegakan kode etik pemilu, maka seluruh pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu akan diteliti dan dikaji kelengkapan administrasi berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan. DKPP wajib mengkonfirmasi kepada pihak

Page 208: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 201

pengadu untuk memperbaiki kelengkapan pengaduan apabila dianggap belum memenuhi dua unsur alat bukti.

Tabel 6

Putusan DKPP berdasarkan Jenis Pemilu Tahun 2020

No Jenis Pemilu Perkara di Putus

Persentase

Perkara

Jumlah Teradu

Persentase

Teradu

1 Pemilu 77 46,6% 389 55,7%

2 Pilkada 36 21,8% 195 28,0%

3 Non-Tahapan

52 31,6% 114 16,3%

Total 165 100% 698 100%

(Sumber: Data LAPKIN DKPP Tahun 2020 hlm. 44)

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu tidak hanya menindak para anggota penyelenggara Pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, akan tetapi DKPP juga memberikan sanksi bagi jajaran sekretariat penyelenggara Pemilu melalui atasan masing-masing berdasarkan ketentuan disiplin kode etik kepegawaian.177

Putusan yang dikeluarkan DKPP bersifat final dan mengikat. Arti final adalah putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan memberikan akibat hukum berupa tidak memberikan upaya lanjutan untuk mengajukan keberatan atau banding pada lembaga peradilan lainnya. Sedangkan arti mengikat adalah timbulnya sifat memaksa dimana putusan DKPP wajib untuk dilaksanakan kepada semua lembaga penyelenggara.

177 Jimly Asshiddiqie. Opcit. Hlm 82

Page 209: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

202 –

Adapun bentuk sanksi menurut Jimly Asshiddiqie yang dapat diterapkan adalah:178

1. Reprimand atau teguran;

2. Cencure atau pernyataan atau mosi tidak percaya yang dinyatakan secara terbuka dan dipublikasikan di media asosiasi untuk diketahui oleh sesama anggota dan masyarakat luas;

3. Revocation atau pencabutan status keanggotaan untuk waktu tertentu, yaitu selama 5 (lima) tahun atau dapat pula dijatuhkan untuk seumur hidup (sampai meninggal dunia);

4. Suspension atau penangguhan keanggotaan untuk sementara waktu;

5. Withholding atau sanksi penangguhan proses registrasi keanggotaan; dan

6. Cease and desist orders atau sebagai tambahan bentuk sanksi lain. Terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, maka dalam Peraturan DKPP RI Nomor 2 Tahun 2017 menyebutkan beberapa sanksi berupa: (1) Teguran tertulis; (2) Pemberhentian sementara; atau (3) Pemberhentian tetap.

Dalam teguran tertulis ada (1) peringatan; atau (2) peringatan keras sedangkan pemberhentian tetap berupa: (1) pemberhentian tetap dari jabatan ketua; atau (2) pemberhentian tetap sebagai anggota.

D. Penutup

Banyaknya laporan pengaduan atas pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu Kepala Daerah pada tahun 2020 dan sudah dilakukan putusan oleh DKPP, maka menjadi harapan untuk perbaikan kedepan bagi Penyelenggara Pemilu untuk mengindahkan dan mempedomani asas-asas, prinsip-prinsip dasar, dan pelaksanaan prinsip dasar dari penyelenggaraan Pemilu sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, serta

178 JimlyAsshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif Baru

tentang Rule of Law and Rule of Ethics & Constitutional Law and Constitutional Ethics, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hlm. 78-80.

Page 210: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 203

regulasi lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu dalam rangka menciptakan Pilkada yang berkualitas dan bermartabat.

Daftar Pustaka

A. Buku Dedi Mulyadi, Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu

Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia. Jakarta:Gramata Publishing, 2012.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Outlook 2016 Refleksi & Proyeksi DKPP RI, 2016.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Laporan Kinerja, Tahun 2020

Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2014.

JimlyAsshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule of Ethics & Constitutional Law and Constitutional Ethics, Jakarta, Sinar Grafika, 2014.

Joko Riskiyono, Jurnal Pemilu & Demokrasi : Hak Publik Berpartisipasi mewujudkan Penyelenggaraan Pemilu Demokratis, (Perludem Jurnal 2013)

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. 2008

Nur Hidayat Sardini, Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Jakarta: Penerbit LP2AB (Lembaga Pendidikan Anak Bangsa), 2015.

Saleh.dkk, Hukum Acara Sidang Etik Penyelenggara Pemilu, Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2017.

Suhrawardi K.Lubis, Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,

B. Peraturan Perundang-Undangan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Page 211: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

204 –

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

C. Internet (https://www.dosenpendidikan.co.id/etika) diunduh pada tanggal 20 Maret 2021

Page 212: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 205

PARADIGMA PEMILIHAN KEPALA DAERAH ASIMETRIS

DALAM SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Cynthia Hadita Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Irwansyah

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Pendahuluan

Amandemen ke-2 tahun 2000, salah satunya terdapat perubahan pada Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa ―Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis‖. Lebih lanjut, pada tahun 2004, adanya eksistensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berimplikasi terhadap pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Selanjutnya, terjadi transisi teknis pilkada di Indonesia yang kemudian dilaksanakan secara serentak sejak adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Menyarikan pendapat Ni‘matul Huda, bahwa Indonesia sebenarnya bukan desentralisasi murni, melainkan desentralisasi asimetris, yang masih menjaga nilai-nilai kedaerahan seperti daerah istimewa maupun otonomi khusus yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia seperti DKI Jakarta, Yogyakarta, Aceh dan Papua. Terkhusus lagi, terdapat perbedaan dalam tata cara pemilihan kepala daerahnya.

Desentralisasi asimetris adalah suatu otonomi wilayah (territorial autonomy) bukan otonomi sektoral (sectors autonomy). Dengan demikian, semua orang yang berdiam di dalam wilayah itu tunduk kepada status itu, serta berlakunya bukan hanya pada kelompok tertentu saja. Di bawah prinsip integritas territorial suatu negara diberikan status khusus kepada wilayah

Page 213: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

206 –

tertentu untuk mengatur hal-ha1 tertentu dalam bentuk daerah berpemerintahan.

Menurut hemat penulis, bentuk desentralisasi asimetris dibutuhkan pilkada asimetris pula. Selama ini, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang menyesuaikan dengan otonomi khusus seperti DKI Jakarta, Yogyakarta, Aceh dan Papua untuk menentukan syarat misalnya di DKI Jakarta harus 50 persen + 1 suara dan dapat dilangsungkan dua putaran, di Aceh ada persyaratan beragama Islam, dan juga mampu membaca al-Qur‘an, di Yogyakarta dengan sistem kerajaannya, dan di Papua wajib orang asli Papua.

Pembahasan Dan Analisis A. Falsafah Desentralisasi Asimetris Dan Praktik Pilkada

Asimetris Dalam Tatanan Sistem Pemilu Di Indonesia Falsafah Desentralisasi Asimetris (asymmetric

decentralization) atau juga dikenal dengan istilah otonomi asimetris (asymmetric outonomy), wilayah tertentu dalam suatu negara diberikan kewenangan-kewenangan khusus yang tidak diberikan kepada wilayah-wilayah lain. Istilah desentralisasi asimetris ini sering dapat dipertukarkan dengan istilah otonomi yang digunakan oleh negara yang mengalami separatisme, dalam kaitan itulah Van Houten mendefinisikan otonomi khusus sebagai berikut:

Kewenangan legal yang diberikan kepada kelompok masyarakat khusus yang tidak memiliki kedaulatan, atau wilayah khusus secara etnis, membuat keputusan publik mendasar dan melaksanakan kebijakan publik secara bebas di luar sumber kewenangan negara, tetapi tetap tunduk di bawah hukum negara secara keseluruhan. Dengan perkataan lain, dalam pemahaman kami, otonomi berarti hak masyarakat etnis atau penduduk di suatu wilayah beretnis khusus tertentu, yang tidak memiliki kedaulatan sendiri, untuk melaksanakan suatu yuridiksi ekslusif. Van Houten menyatakan definisi otonomi dikernbangkannya definisi di atas, memiliki aspek penting yang perlu diperhatikan. Pertama; definisi tersebut mencakup dua otonomi: (a) otonomi wilayah (territorial autonomy) dan bentukbentuk otonomi non-wilayah (non-territorial forms of autonomy). Kedua; dalam definisi tersebut dimunculkan

Page 214: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 207

dua bentuk otonomi, yaitu otonomi asimetris dan otonomi yang berlaku mum. Ketiga; definisi tersebut dikembangkan dari perspektif kelompok etnis atau wilayah yang didasarkan atas etnis yang karenanya kemudian perlu memiliki otonomi tersendiri.

Desentralisasi asimetris tidak dapat dipisahkan dari perubahan atau inovasi ketatanegaraan. Sedangkan mengenai perubahan-perubahan ketatanegaraan dapat dibedakan antara ketentuan-ketentuan sebagai sumber Hukum Tata Negara dan ketentuan-ketentuan sebagai sumber Hukum Administrasi Negara. Mengenai perubahan yang bersumber dari hukum tata negara khususnya mengenai "Pernerintahan Daerah", Bagir Manan berpendapat:

Perubahan ketentuan mengenai pemerintahan daerah tidak hanya terbatas pada rincian, melainkan menyangkut hal-ha1 yang mendasar. Misalnya mengenai asas pemerintahan daerah ditegaskan "menurut asas otonomi dan tugas pembantuan". Dengan demikian harus dihapus praktek ketatanegaraan yang memasukkan dekonsentrasi sebagai asas pemerintahan daerah. Perubahan mendasar lain adalah Anggota DPRD dipilih langsung melalui pemilihan umum". Penegasan mengenai otonomi seluas-luasnya. Pengakuan dan penghormatan terhadap "satuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat". Selanjutnya, berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah yang baru (UU No. 32 Tahun 2004), Kepada Daerah dipilihlangsung melalui pemilihan umum. UUD sendiri tidak menegaskan mengenai pemilihan langsung. Pasal 18 ayat (4) hanya menyebutkan : "Gubemur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis". Ungkapan "dipilih secara demokratis" merupakan kompromi antara yang menghendaki pemilihan langsung dengan pemilihan oleh DPRD. Kepastiannya secara "tersirat" diserahkan kepada perkembangan dan undang-undang. Tekanan yang hat terhadap Pemerintah dan DPR akhirnya undang-undang menjatuhkan pilihan pada pemilihan langsung. Khusus untuk Nanggroe Aceh Darussalam, telah ditentukan pemilihan langsung baik untuk jabatan gubernur, bupati, atau walikota (UU No. 18 Tahun 2001, Pasal 12 sampai dengan Pasal 15).

Page 215: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

208 –

Filsafat Pemilu adalah suatu sistem berpikir, termasuk sistem diskursus mengenai Pemilu. Sistem berpikir dan termasuk di dalamnya sistem diskursus seperti itu terbangun di atas suatu fondasi tertentu, ketat dan terkontrol atau dibatasi. Fondasi tertentu dimaksud adalah jiwa bangsa (Volksgeist) Indonesia. Dalam sistem berpikir, termasuk diskursus tersebut, Pancasila, yang sudah menjadi kesepakatan bersama (Perjanjian Pertama) bangsa Indonesia tidak boleh diubah. Pancasila menjadi jiwa bangsa (Volksgeist) tertinggi. Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum. Dari Pancasila lah diderivasi berbagai macam asas, prinsip dan kaidah hukum termasuk yang berkaitan dengan sistem Pemilu. Dapat juga dikatakan, Pancasila menjadi fondasi (premis) diletakkannya sistem atau bangunan berpikir dan bekerja serta bertindak atau diskursus yang teoritis dan normatif serta praxis dalam melangsungkan kehidupan dan peradaban (civilizations), berbangsa dan bernegara, terutama dalam konteks penulisan buku ini, yaitu ber-Pemilu. Pancasila menjadi postulat, yang di atas disebut sebagai fondasi dari bangunan berpikir dan bekerja serta bertindak atau diskursus yang teoritis dan normatif serta praxis dalam melangsungkan kehidupan dan peradaban (civilizations), berbangsa dan bernegara yang disebut dengan Filsafat Pemilu tersebut dapat dimengerti sebagai suatu Premis. Filsafat Pemilu yang dimaksudkan yaitu filsafat yang sesuai dengan jiwa bangsa (Volksgeist) Indonesia. Jiwa bangsa (Volksgeist) Indonesia adalah suatu konsep yang menunjuk kepada sesuatu yang sangat abstrak.

Sistem Pemilu, dalam hal ini UU-Pemilu, umumnya dipahami dengan berangkat dari suatu pemahaman akan suatu unsur yang sangat penting, unsur yang esensialia dalam demokrasi; suatu nilai (value/virtue) dalam hukum ketatanegaraan, yaitu asas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat pada hakikatnya menunjuk kepada suatu pemegang kuasa. Pemegang kuasa dimaksud adalam pemegang kekuaasaan yang tertinggi di bawah atau menurut hukum. Pemegang kekuasaan yang tertinggi di bawah atau menurut hukum tersebut adalah Rakyat.

Praktik pilkada asimetris dalam sistem pemilu di Indonesia bersifat mutatis mutandis sebagai implikasi dari adanya desentralisasi asimetris. Sehingga, adanya desentralisasi asimetris perlu diikuti dengan adanya pilkada asimetris pula.

Page 216: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 209

Dalam hal ini, penyelenggara pemilu melakukan penyesuaian terhadap daerah khusus dan daerah istimewa. Terlebih lagi, pada sub pembahasan lebih lanjut akan dibahas mengenai landasan yuridis pemilihan kepala daerah asimetris dan juga oportunitas diterapkannya kemandirian daerah dalam memilih kepala daerah untuk diberikan kebebasan menentukan mekanisme masing-masing berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

B. Landasan Yuridis Pemilihan Kepala Daerah Asimetris

Dinamika Pilkada di Indonesia Pada hakikatnya desentralisasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi merupakan nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa (national unity), pemerintahan demokrasi (democracy goverment), kemandirian sebagai penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi dan pembangunan sosial ekonomi. Salah satu wujud dan mekanisme desentralisasi adalah penerapan demokrasi di daerah. Penerapan demokrasi di daerah adalah dengan terselenggaranya pergantian kepada daerah melalui pemilihan umum yang langsung umum bebas rahasia (luber) juga jujur dan adil (jurdil). Yang mana dalam perspektif hukum, pemilihan kepala daerah baik melalui DPRD maupun langsung dipilih oleh rakyat sebenarnya sama-sama demokratisnya. Hal ini diperkuat dengan bunyi UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) yang hanya menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis dan tidak disebutkan secara rigid pilkada harus langsung atau tidak langsung Pergeseran desain pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diikuti dengan diaplikasikannya nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, demokratisasi di tataran nasional dilakukan bersamaan dengan demokratisasi di tataran lokal (daerah), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi politik, Ada 3 (tiga) penggunaan undang-undang dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia semenjak era Orde Baru berakhir. Yaitu dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mana Jul Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam pelaksanaan pilkada dilakukan oleh DPRD, Undang-Undang 32 Tahun 2004 pilkada dilakukan secara langsung Dan terakhir dikeluarkanya pelaksanaan pilkada secara langsung dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun

Page 217: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

210 –

2014 tentang pemerintahan Daerah dengan menggunakan undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Fundamen hukum yang paling mendasar mengenai pilkada asimetris tercermin dalam Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, ―Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang‖.

Unsur Yuridis, awal mula pemilihan kepala daerah istimewa Yogyakarta diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, yang salah satunya mengatur mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah dan juga beberapa undang-undang mengenai pemerintahan daerah yang lain, guna menjaga keaslian dari daerah tersebut. Yogyakarta sebagai Kota kasultanan dan Kota Pakualaman kemudian diatur dengan Undangundang No. 17 tahun 1947 tentang pembentukan Haminte Kota Yogyakarta.

Unsur Yuridis, untuk pilkada pada otonomi khusus di daerah Papua, diakomodir dengan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2016 Syarat Pencalonan dan Tata Cara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Unsur yuridis, untuk pilkada di DKI Jakarta yaitu dengan UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibukota NKRI. Unsur yuridis, untuk pilkada di Aceh, diatur dalam Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota.

Sebab, kesemuanya, mengenai pilkada asimetris untuk menjaga keaslian sejarah politik terhadap daerah khusus dan istimewa jika ada aturannya tersendiri, diperbolehkan untuk dilaksanakan sebagaimana yang telah dijamin oleh Pasal 199 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yang mengatur bahwa ―Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi

Page 218: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 211

penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri‖.

C. Paradigma Pemilihan Kepala Daerah Asimetris Dalam Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Keberadaan pilkada asimetris dalam format sistem

pemilihan umum di Indonesia bersifat legal-konstitusional. Sebab, selain diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki dasar hukum yang kuat dalam UU Pemilu. Sehingga, praktik pilkada langsung dan juga serentak yang selama ini dilaksanakan sesuai jadwal dalam UU Pemilu, bukan merupakan sesuatu yang bersifat absolut dan menyeluruh untuk diterapkan diseluruh daerah di Indonesia. Melainkan, menjamin adanya pelaksanaan pilkada asimetris dalam sistem pemilu di Indoesia untuk menjaga sejarah politik, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan mengakomodir kebutuhan di daerah. Sehingga, dengan menjaga jiwa bangsa (volkgeist) itu akan meminimalisir terciptanya situasi disintegrasi sebab tercapainya proses pilkada yang berkeadilan.

Menganalisa asas-asas pemilu, diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tidak ada penjelasan khusus mengenai pengertian dari asas-asas penyelenggaraan Pemilu itu. Penjelasan atas Pasal 2 UU-Pemilu hanya berisi pernyataan ―cukup jelas‖. Dalam ilmu hukum apa yang disebut dengan frasa ―cukup jelas‖ dalam rumusan ketentuan UU-Pemilu (Penjelasan), itu sama dengan atau mengikuti dikte hukum dalam prinsip in claris non interpretatio. Pada prinsipnya, sudah umum dipahami bahwa dalam in claris non interpretatio, maka apa yang sudah jelas tidak boleh dijelaskan lebih lanjut. Sehingga, kiranya cukuplah bagi suatu pemahaman dalam Filsafat Pemilu bahwa asas-asas dimaksud menunjuk kepada suatu perintah menurut jiwa bangsa (Volksgeist), bahwa kepatuhan penuh dan mutlak atau kepatuhan tanpa syarat atas isi dan pelaksanaan dari UU-Pemilu begitu pula atas isi dan pelaksanaan dari peraturan pelaksanaan yang diamanatkan sebagai suatu delegated legislations dari UU-Pemilu, termasuk Putusan-Putusan Pengadilan yang merupakan penemuan hukum oleh hakim yang

Page 219: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

212 –

berkaitan dengan Pemilu adalah hukum yang harus dipatuhi dan merupakan maksud, hakikat (the nature atau ontologi) dari asasasas yang dirumuskan dalam Pasal 2 UU-Pemilu di atas tersebut.

Sebagai pesta demokrasi di tingkat daerah maka terkait dengan sukses tidaknya pilkada akan berbanding lurus dengan kehidupan demokrasi di daerah. Meskipun pada dasarnya demokrasi itu hanya sebuah alat yang tujuan akhirnya adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah. maka penulis mengusulkan model masa depan pelaksanaan pilkada di Indonesia menggunakan model campuran (mix model). Yaitu ada beberapa daerah yang dapat melaksanakan pilkada secara langsung namun ada juga yang tidak langsung.

Sebagaimana dikemukakan oleh Aqil Irham, bahwa pilkada secara langsung sejatinya telah menghilangkan makna demokrasi substantif ala Indonesia yang dirumuskan bapak pendiri bangsa pada Pasal 18 UUD 1945 asli, yang lebih operasional dan tidak mengundang tafsir maupun perdebatan yaitu dalam kalimat.. "dengan memandang dan mengingat dasar permusjawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan berhak asal-usul dalam daerah2 jang bersifat istimewa". Selain itu secara jelas dalam sila ke-4 Pancasila menyatakan sebagai berikut: "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".Sebagaimana yang terjadi di berbagai negara seperti di Amerika Serikat yang mengenal adanya wakil gubernur dengan cara pemilihan yang berbeda-beda, tetapi ada pula negara bagian yang tidak mengenal wakil gubernur seperti negara Bagian New Jersey dan negara bagian Maine. Kedua negara bagian ini hanya memiliki Gubernur dan Ketua Senat sebagai jabatan yang terpisah. Negara Bagian AS yang mengenal wakil gubernur pemilihannya berbeda-beda yakni ada yang pemilihan gubernur dan wakil gubernur satu paket seperti negara bagian Massachusetts, dan ada pula pemilihannya yang terpisah seperti negara bagian Texas. Bahkan di negara bagian Tennessee, wakil gubernur dipilih oleh senat negara bagian Inilah yang penulis tawarkan yaitu dengan sistem campuran. Sistem ini tidak serta merta menghilangkan fungsi pengawasan oleh Bawaslu ataupun Panwaslu.

Diluar dari daerah yang diberikan otonomi khusus maupun daerah istimewa, format ideal di masa mendatang berkaitan dengan pilkada sebaiknya diberikan kebebasan pada

Page 220: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 213

daerah untuk menentukan akan menggunakan secara langsung atau tidak langsung. Contoh pilkada secara tidak langsung melalui wali amanah misalnya. Hal itu dapat dilakukan konstruksi hukum. Sebab, setiap daerah memiliki sejarah politiknya masing-masing, dan akan memilih metode seperti apa yang cocok diterapkan untuk memilih kepala daerah di daerahnya masing-masing.

Penutup Urgensi pemilihan kepala daerah asimetris di Indonesia

perlu diimplementasikan, mengingat kemajemukan yang ada dimasing-masing daerah, untuk dapat menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yang aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan daerah (region needs) dengan menerapkan sistem campuran (mix system) sesuai dengan kebutuhan pemilihan yang diinginkan masyarakat di daerah. Dengan begitu, untuk menggagas paradigma pilkada asimetris di Indonesia agar memiliki sifat yang implementatif, sehingga dibutuhkan perubahan Undang-Undang berkaitan dengan Pilkada untuk memasukkan substansi yang demikian, sehingga dapat dilaksanakan pada masa yang akan datang agar sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka Agus Sumule, Dkk (editor). Mencari Jalan Tengah Otonomi

Khusus Provinsi Papua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Asshiddiqie, Jimly. Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Huda, Ni‘matul. Desentralisasi Asimetris Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia : Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus Dan Daerah Otonomi Khusus. Bandung: Nusa Media, 2014.

Manan, Bagir. Konvensi Ketatanegaraan. Yogyakarta: FH UII Press, 2006.

Prasetyo, Teguh. Filsafat Pemilu. Bandung: Nusa Media, 2018.

Page 221: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

214 –

Solossa, Jacobus Perviddya. Otonomi Khusus Papua; Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam NKRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.

Yusnani Hasyimzoem, M. Iwan Satriawan, Ade Arif Firmansyah, Siti Khoiriah. Hukum Pemerintahan Daerah. Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2019.

Page 222: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 215

HAL BARU DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

SERENTAK DI MASA PANDEMI COVID-19

Anang Dony Irawan Universitas Muhammadiyah Surabaya

Email : [email protected]

Pendahuluan

Ada beberapa perlakuan yang dapat dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum atas nama negara agar Pemilihan Umum serentak dapat berjalan seperti yang diinginkan, yaitu bersih dan sehat, antara lain : 1) Memberikan Pendidikan Pendidikan Politik kepada Masyarakat. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan pemahaman politik kepada masyarakat melalui Pendidikan politik tidak hanya saat tahapan Pemilihan Umum, tetapi dilaksanakan secara terus menerus sehingga masyarakat dapat memahami politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa Partai Politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkaca pada undang-undang tersebut maka partai politik wajib memberikan Pendidikan politik kepada masyarakat bukan hanya saat ada tahapan Pemilihan Umum saja, tapi secara berkesinambungan sehingga masyarakat sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 2) Meningkatkan Sosialisasi Tahapan Pemilihan Umum oleh Penyelenggara Pemilihan Umum. Kewajiban penyelenggara Pemilihan Umum terutama Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan sosialisasi Pemilihan Umum kepada Pemilih. Sosialisasi Pemilihan Umum merupakan proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program Penyelenggaraan Pemilihan Umum. 3) Menyusun Data Pemilih Tetap (DPT) yang berkualitas. Pemilih yang terdaftar dalam data pemilih memang tidak berkaitan langsung dengan dengan

Page 223: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

216 –

kesadaran kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum atau pemilihan, tetapi daftar pemilih yang berkualitas akan berpengaruh terhadap angka tingkat kehadiran pemilih di Tempat Pemungutan Suara. Hanya pemilih yang memenuhi syarat yang dimasukkan dalam daftar pemilih tetap, sehingga mengurangi tingkat ketidakhadiran pemilih ke Tempat Pemungutan Suara.

Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, yang belakangan telah dijamin haknya secara konstitusional (Palilingan, T, 2020). Sesungguhnya jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan telah ada sejak masa Konstitusi Republik Serikat (RIS) 1949 ―Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat‖. Setelah bentuk negara serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, ketentuan Pasal 40 Konstitusi RIS di adopsi ke dalam Pasal 42 Undang-Undang Sementara. Sejalan dengan itu, Konstitusi World Health Organization 1948 telah menegaskan pula bahwa ‖memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang‖ (the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being). Istilah yang digunakan bukan ―human rights‖, tetapi ―fundamental rights‖, yang kalau kita terjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia menjadi ―Hak-hak Dasar‖. Kemudian pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, kesehatan ditegaskan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Masuknya ketentuan tersebut ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, menggambarkan perubahan paradigma yang luar biasa. Kesehatan dipandang tidak lagi sekedar urusan pribadi yang terkait dengan nasib atau karunia Tuhan yang tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab negara, melainkan suatu hak hukum yang tentunya dijamin oleh negara.

Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum 2019 merupakan tingkat partisipasi tertinggi dalam gelaran Pemilihan Umum di negeri ini pasca reformasi. Angka partisipasi masyarakat pada Pemilihan Umum 2019 yang mencapai angka 82,15 % merupakan Prestasi yang membanggakan bagi Komisi Pemilihan Umum sebagai Lembaga yang bertugas menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia. Tetapi, hal tersebut menjadi beban berat bagi Komisi Pemilihan Umum

Page 224: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 217

Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2020 untuk mempertahankan bahkan meningkatkannya. Bahkan sebagian besar masyarakat menganggap bahwa virus tersebut tidak akan menyebar luas sebagaimana di negara tempat awal penyebarannya.

Seiring waktu, keberadaan virus ini mulai meresahkan terutama ketika pemerintah menetapkan mengenai protokol pemakaman bagi penderita Covid-19 yang oleh masyarakat dianggap sangat menakutkan. Namun demikian, bersamaan dengan kekhawatiran masyarakat terhadap virus ini, dampak lain ternyata timbul. Pemberlakuan social distancing ternyata telah menimbulkan dampak lain.

Pemilihan Kepala Daerah serentak yang dijadwalkan digelar pada 9 Desember 2020 tetap dilaksanakan meskipun masa pandemi Covid-19 masih berlangsung. Keputusan ini dipastikan akan menimbulkan beberapa persoalan diantaranya resiko penyebaran wabah yang akan meningkat lagi. Dan jika ada penundaan lagi maka akan mengorbankan ekonomi lebih banyak, serta alasan lain.

Di tengah buruknya penanganan Covid-19 dan ekonomi sedang terpuruk tentu menjadi pertanyaan masyarakat, kenapa pemerintah tetap ngotot melanjutkan Pemilihan Kepala Daerah 2020, dan bagaimanakah alternatif atau solusi yang dapat kita berikan agar Pemilihan Kepala Daerah serentak di masa Pandemi Covid-19 tetap dapat berjalan seperti yang diharapakan ?

Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan suatu alternatif solusi agar supaya Pemilihan Kepala Daerah Serentak dapat berjalan seperti yang kita harapkan, yaitu berjalannya Pemilihan Kepala Daerah serentak damai dan kondusif serta berkeadilan dan masyarakat dapat menyalurkan hak pilihnya yang telah dilindungi oleh Undang-Undang.

Pembahasan Dan Analisis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pada Pasal 448

menyebutkan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilihan Umum, Pendidikan politik

Page 225: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

218 –

bagi pemilih, survey atau jajak pendapat serta perhitungan cepat hasil Pemilihan Umum. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih Dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum mengartikan Partisipasi Masyarakat merupakan keterlibatan perorangan dan/atau kelompok dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Menurut Miriam Budiardjo, partisipasi politik (masyarakat) adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan itu mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya (Budiardjo, 2008).

Daerah di Indonesia dibagi menjadi daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom dan bersifat administrasi belaka. Artinya daerah yang boleh mengurus rumah tangganya sendiri dan daerah administrasi, yaitu daerah yang tidak boleh berdiri sendiri. Mengacu pada pengertian diatas memang dapat dikatakan bahwa tingkat kehadiran pemilih ke Tempat Pemungutan Suara bukanlah satu-satunya hal yang menunjukkan partisipasi masyarakat, ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat guna berpartisipasi dalam Pemilihan Umum diantaranya menghadiri kampanye, menjadi pemantau, menjadi penyelenggara Pemilihan Umum ataupun menjadi peserta Pemilihan Umum. tetapi tidak bisa dipungkiri secara kuantitatif parameter keberhasilan Pemilihan Umum dapat dilihat dari jumlah pemilih yang memberikan hak pilih dalam Pemilihan Umum yang mewujudkan tingkat partisipasi masyarakat. semakin tinggi prosentase tingkat kehadiran pemilih yang menggunakan hak pilih, semakin berhasil pelaksanaan Pemilihan Umum, begitu juga sebaliknya (Kansil, 2008).

Berlawanan dengan hal tersebut, banyak hal yang menjadi penyebab seseorang tidak menggunakan hak pilihnya. Selain itu tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya

Page 226: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 219

bahwa Pemilihan Umum akan membawa perubahan dan perbaikan, ketidakpercayaan dengan peserta Pemilihan Umum serta beredarnya kabar buruk tentang wakil rakyat dan kepala daerah yang terjerat korupsi memungkinkan untuk mempengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilih. Untuk tahun 2020, tahapan pemilihan Kepala Daerah serentak 2020 akhirnya akan dimulai. Komisi Pemilihan Umum akan mengaktifkan kembali Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS), dimana pemungutan suara ditetapkan pada Desember 2020.Pemilihan Kepala Daerah merupakan momentum pengawasan langsung dari masyarakat. Pengawasan ini dilaksanakan dengan mendasarkan tiga (3) parameter, yaitu : 1. Akseptabilitas politik; 2. Integritas dan 3. Kompetensi. (Kansil, 2008)

A. Partisipasi Warga Negara Demokrasi menjamin partisipasi warga negara. Sebaliknya,

pengabaian terhadap partisipasi tersebut akan berakibat pada klaim dan legitimasi pemerintahan kedepannya. Publik akan menilai apakah partai politik atau paslon Pemilihan Kepala Daerah tersebut layak atau tidak untuk memimpin daerah sekaligus juga menjadi sinyalemen perbaikan bila gagal memperoleh kepercayaan publik. Untuk melihat bukti kualitas demokrasi di Indonesia, maka masyarakat dapat melihat ikatan konsolidasi seluruh elemen masyarakat pasca Pemilihan Kepala Daerah, terutama antar Pasangan Calon dan pendukung, dimana dapat mengurangi ketegangan psikologi publik dan juga meningkatkan ikhtiar perwujudan kesejahteraan masyarakat melalui politik sosial.

Dalam keilmuan politik, Pemilihan Umum adalah roh demokrasi, demokrasi mengandung keadilan. Adeqium berlaku universal di negara hukum, meski gelombang lautan mendekati tsunami dan kapal akan karam hukum akan tetap dan harus ditegakkan, begitupun juga meski bumi sedang bergemuruh dan langit akan runtuh, kehormatan hukum harus tetap dipertaruhkan, fiat justitia ruat caelum .

Pemilihan Kepala Daerah dimasa Pandemi Covid-19 menjadi tantangan baru. Secara umum tantangan tersebut antara lain (Maryati, 2020) :

Page 227: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

220 –

1. Ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat, baik pemilih, peserta maupun penyelenggara Pemilihan Umum, khususnya tingkat kecamatan, kelurahan/desa dan Tempat Pemungutan Suara;

2. Degradasi kualitas penyelenggaraan tahapan (verifikasi faktual dukungan KTP bagi bakal calon perseorangan atau bacalon independen, pendataan/pencocokan penelitian data pemilih, kampanya dan pemungutan suara);

3. Kendala anggaran pembiayaan Pemilihan Kepala Daerah (relokasi anggaran untuk penanganan protokol Covid-19);

4. Ketersediaan anggaran pasca Covid-19 (defisit anggaran, kemampuan keuangan daerah bervariasi);

5. Partisipasi dan penyeelenggaraan yang menurun (proses pemutakhiran data dan daftar pemilih tidak maksimal, potensi menurunnya relawan);

6. Makin sulitnya rekruitmen penyelenggara tingkat KPPS dan pengawas di Tempat Pemungutan Suara;

7. Menurunnya partisipasi pemberian suara oleh pemilih (voter turNomorut);

8. Kendala penegakan hukum Pemilihan Kepala Daerah (jangka waktu yang terbatas 5 hari kalender, proses pengumpulan alatalat bukti pelanggaran, jangka waktu proses sengketa di Bawaslu dan Mahkamah Agung), dan lainnya;

Jamak diketahui bahwa Pemilihan Kepala Daerah merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sesuai amanah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

B. Pemilihan Kepala Daerah Serentak Lanjutan 2020 Pada tanggal 12 Juni 2020, Komisi Pemilihan Umum telah

menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pemilihan Kepala Daerah 2020. Komisi Pemilihan Umum ini menegaskan Pemilihan Kepala Daerah dilanjutkan dan pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020 yang akan datang

Page 228: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 221

serta tahapan lanjutan ini dimulai tanggal 15 Juni 2020. Kurangnya ketidakpercayaan publik itu terutama terkait dengan integritas, kemampuan profesionalisme dan kapasitas penyelenggara Pemilihan Umum. Pemilihan 2020 yang dilaksanakan pada 9 Desember, memiliki tantangan tersendiri bagi Pemerintah dan Penyelenggara Pemilihan Umum. Tantangan yang terkait dengan trust atau kepercayaan, apakah Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah dapat melaksanakan pemilihan sesuai dengan standart Pemilihan Umum yang bebas dan adil. Inilah yang menjadi tolok ukur dalam menilai demokratis tidaknya suatu Negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pemilihan Umum merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.

Pandemi Covid-19 berdampak kemerosotan pada multiaspek, dunia kerja menjadi lesu, ekonomi mengalami kelemahan, warna budaya memudar, ritual keagamaan sepi, dan pendidikanpun tidak Normal. Tolok ukur keberhasilan dari sebuah pemilihan umum adalah Substansi Pemilihan Kepala Daerah yang jujur dan adil dan kepastian jaminan hak politik dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah di tengah ancaman Pandemi Covid-19. Berdasarkan zonasi penyebaran Covid-19 di 270 daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah pada tahun 2020. Sementara 43 Kabupaten/Kota berada dalam zona aman dan belum tercatat penyebaran Covid-19, 77 Kabupaten/Kota berada di zona kuning, 101 kabupaten/kota berwarna orange, dan 40 kabupaten/kota berwarna merah.

Pada masa Pandemi Covid-19 ini, Esensi Pemilihan Kepala Daerah Jurdil ini menjadi tugas besar dan berat bagi seluruh stakeholder baik itu pemilih, penyelenggara Pemilihan Umum Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, DKPP, sebagai satu kesatuan, peserta Pemilihan Kepala Daerah , aparat penegak hukum, pemerintah daerah khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya. Peran Pengawas Pemilihan Umum menjadistrategis, namun dalam kondisi dan situasi yang sulit saat ini, karena Pandemi Covid-19 menjadikan tantangan semakin kompleks.

Disadari melaksanakan pemilihan di masa pandemi wabah Covid-19 sangatlah berat, sulit dan mahal. Maka Pemerintah harus menjamin bagi keamanan terutama prosedur kesehatan

Page 229: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

222 –

yang ketat dalam pemilihan. Daya dukung dalam pelaksanaan pemilihan itu diantaranya perlu ada kerangka hukum yang memberi perlindungan keamanan dalam melaksanakan teknis pemilihan. Bahwa perwujudan Pemilihan Umum yang bebas dan adil itu harus dibuatkan dalam kerangka kerja yang menjamin adanya transparansi proses pemilihan. Adil bagi peserta pemilihan dan juga bagi penyelenggara. Tidak ada kekhawatiran dan bayang bayang ketakutan bagi penyelenggara dalam menjalankan tahapan di tengah pandemi Covid- 19.

Selain hal-hal yang sudah disebutkan diatas, ada juga beberapa perlakuan yang dapat dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum agar Pemilihan Umum serentak dapat berjalan seperti yang diinginkan, yaitu bersih dan sehat, antara lain :

1. Memberikan Pendidikan Pendidikan Politik kepada Masyarakat. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan pemahaman politik kepada masyarakat melalui Pendidikan politik tidak hanya saat tahapan Pemilihan Umum, tetapi dilaksanakan secara terus menerus sehingga masyarakat dapat memahami politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik menyatakan bahwa Partai Politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkaca pada undangundang tersebut maka partai politik wajib memberikan Pendidikan politik kepada masyarakat bukan hanya saat ada tahapan Pemilihan Umum saja, tapi secara berkesinambungan sehingga masyarakat sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

2. Meningkatkan Sosialisasi Tahapan Pemilihan Umum oleh Penyelenggara Pemilihan Umum. Kewajiban penyelenggara Pemilihan Umum terutama Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan sosialisasi Pemilihan Umum kepada Pemilih. Sosialisasi Pemilihan Umum merupakan proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Page 230: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 223

3. Menyusun Data Pemilih Tetap (DPT) yang berkualitas. Pemilih yang terdaftar dalam data pemilih memang tidak berkaitan langsung dengan dengan kesadaran kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum atau pemilihan, tetapi daftar pemilih yang berkualitas akan berpengaruh terhadap angka tingkat kehadiran pemilih di Tempat Pemungutan Suara. Hanya pemilih yang memenuhi syarat yang dimasukkan dalam daftar pemilih tetap, sehingga mengurangi tingkat ketidakhadiran pemilih ke Tempat Pemungutan Suara.

Panduan pelaksanaan pilkada sesuai protokol kesehatan selama berada di lingkungan TPS adalah (Mayang Sari Ayu, 2020) :

(a) Periksa suhu tubuh (screening) menggunakan thermogun oleh petugas yang dihunjuk. Suhu tubuh ≥ 37,5oC, tidak dibenarkan demam, batuk, pilek dan gangguan pernafasan;

(b) Setiap TPS tersedia tempat cuci tangan pakai sabun dan air mengalir atau menggunakan handsanitizer sebelum dan setelah melakukan kegiatan;

(c) Pemilih wajib menggunakan masker, dan petugas ditambah menggunakan sarung tangan dan faceshield;

(d) Mengatur jarak fisik 1-2 meter dan tidak berjabat tangan, membatasi jumlah hanya 10 orang di lingkungan TPS;

(e) Tinta tanda mencoblos tidak dilakukan dengan cara konvensional (mencelupkan jari ke botol). Tetapi menggunakan metode lain misalnya dengan cara tetes dengan pipet tinta;

(f) Petugas KPU menjaga imunitas tubuh dengan cukup istirahat, dan mengatur durasi waktu bertugas.

Butuh kerangka Pemilihan Umum yang mantap, yakni berupa kerangka hukum yang bisa memastikan penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah yang berintegritas, memiliki kemampuan dan kapasitas yang kuat. Secara kultural diharapkan juga adanya alam politik yang kondusif yang memiliki daya dukung bagi peserta, penyelenggara dan pemilih baik pada proses maupun hasil pemilihan. Tingkat partisipasi yang tinggi juga diharapkan menjadi daya dukung terhadap kuatnya legitimasi kepemimpinan kepala daerah yang terpilih. Komisi Pemilihan Umum dan mitra stakeholder pemilihan harus

Page 231: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

224 –

terus berupaya meyakinkan pemilih dalam mengikuti pemilihan. Komisi Pemilihan Umum perlu menjamin akan akses pemilih terhadap informasi pemilihan yang mendidik dari segala bentuk hoaks politik dalam kompetisi pemilihan yang tidak sehat di masa pandemi Covid-19.

Daya dukung perangkat electoral itu diantaranya berupa instrumen hukum yang bisa beradaptasi untuk memfasilitasi pelayanan pemilih, pemungutan suara, kampanye dan pencalonan. Penciptaan dan wujud transparansi dan akuntabilitas Pemilihan Umum yang bebas dari kebohongan pemilihan menjadi standar utama dalam demokrasi dan kualitas pemilihan. Kita memerlukan perhitungan dan komitmen serta perencanaan yang baik dalam melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah.

Pada aspek daya dukung perencanaan anggaran. Termasuk di dalamnya logistik pemilihan. Perlu dihitung dengan matang mulai dari perencanaan, produksi dan distribusi perlengkapan logistik pemilihan termasuk surat suara. Perlu jaminan yang kuat terhadap manajemen logistik dimana tujuan pengelolaan logistik, tepat waktu, tepat guna, tepat sasaran, dan tepat kualitas. Hal ini bertujuan untuk membangun pemilihan yang berintegritas dan memiliki legitimasi kuat.

Dalam konteks ini Logistik Pemilihan Umum atau election material. Sangat terkait dengan pola pembiayaan. Manajemen logistik Pemilihan Umum tidak hanya searah, seperti manajemen logistik pada umumnya. Kekhususan manajemen logistik Pemilihan Umum, ada pada proses pengadaan, distribusi, implementasi proses pencoblosan, rekapitulasi, dan penarikan logistik. Dalam rantai tersebut, terdapat prinsip-prinsip elektoral yang integritasnya dipertaruhkan. Dengan demikian, harapan melaksanakan pemilihan yang bebas dan adil serta profesional dan berintegritas serta berkualitas dapat diwujudkan oleh kita semua.

Penutup

Dari apa yang telah di uraikan pada sub bab terdahulu, maka dapatlah penulis sampaikan bahwa ada juga beberapa perlakuan yang dapat dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum atas nama negara agar Pemilihan Umum serentak dapat berjalan seperti yang diinginkan, yaitu bersih dan sehat, antara lain : 1)

Page 232: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 225

Memberikan Pendidikan Pendidikan Politik kepada Masyarakat. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan pemahaman politik kepada masyarakat melalui Pendidikan politik tidak hanya saat tahapan Pemilihan Umum, tetapi dilaksanakan secara terus menerus sehingga masyarakat dapat memahami politik.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa Partai Politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkaca pada undang-undang tersebut maka partai politik wajib memberikan Pendidikan politik kepada masyarakat bukan hanya saat ada tahapan Pemilihan Umum saja, tapi secara berkesinambungan sehingga masyarakat sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. 2) Meningkatkan Sosialisasi Tahapan Pemilihan Umum oleh Penyelenggara Pemilihan Umum. Kewajiban penyelenggara Pemilihan Umum terutama Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan sosialisasi Pemilihan Umum kepada Pemilih. Sosialisasi Pemilihan Umum merupakan proses penyampaian informasi tentang tahapan dan program Penyelenggaraan Pemilihan Umum. 3) Menyusun Data Pemilih Tetap (DPT) yang berkualitas. Pemilih yang terdaftar dalam data pemilih memang tidak berkaitan langsung dengan dengan kesadaran kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum atau pemilihan, tetapi daftar pemilih yang berkualitas akan berpengaruh terhadap angka tingkat kehadiran pemilih di Tempat Pemungutan Suara. Hanya pemilih yang memenuhi syarat yang dimasukkan ngurangi tingkat ketidakhadiran pemilih ke dalam daftar pemilih tetap, sehingga ke Tempat Pemungutan Suara.

Daftar Pustaka Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika,

Jakarta.

Affandi, Hernadi. 2017, Bunga Rampai Hukum Pemerintahan Daerah Reformulasi dan Rekonstruksi, Mujahid Press,

Page 233: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

226 –

Bandung.

Ayu, Mayang Sari, 2020, Pilkada Di Masa Pandemi Covid-19, https://www.uisu.ac.id/pilkada-di-masa-pandemi-covid-19/ diakses pada 21 April 2021.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Huda, Ni‘matul. 2009. Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, Bandung.

Kansil, K. d. (2008). Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Maryati, M. S. (2020, July 14). htTempat Pemungutan Suara://republika.co.id/berita/qdg72n440/memaksakan-Pemilihan Kepala Daerah-2020-di-tengah-pandemi/. Retrieved from htTempat Pemungutan Suara://republika.co.id/: htTempat Pemungutan Suara://republika.co.id/berita/qdg72n440/memaksakan-Pemilihan Kepala Daerah-2020-di-tengah-pandemi/

Palilingan, T. (2020, April 20). htTempat Pemungutan Suara://manadopost.jawapos.com/opini/20/04/2020/aspek-hukum-dalam-dalam-penanganan-wabah-covid-19/. Retrieved from htTempat Pemungutan Suara://manadopost.jawapos.com/: htTempat Pemungutan Suara://manadopost.jawapos.com/opini/20/04/2020/aspek-hukum-dalam-dalam-penanganan-wabah-covid-19

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Pemilihan Kepala Daerah 2020.

Page 234: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 227

PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM OLEH BADAN PENGAWASAN

PEMILIHAN UMUM DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN MONEY POLITICS

Aras Firdaus

Dosen Fakultas Hukum Universitas Quality Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara [email protected]

Rudy Hendra Pakpahan

Direktorat Jenderal Admintrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

[email protected]

Muhammad Yusrizal Adi Syaputra Dosen Fakultas Hukum Universitas Medan Area

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

[email protected]

Pendahuluan Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa ―Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar‖, selain itu berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 Indonesia juga menganut bentuk pemerintahan republik sehingga pemilihan umum merupakan pranata terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok demokrasi dalam pemerintahan

Page 235: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

228 –

yang berbentuk republik yaitu kedaulatan rakyat; keabsahan pemerintahan; dan pergantian pemerintahan secara teratur.179

Pemilu sebagai sarana dan prasarana pencapaian untuk kedaulatan rakyat dan juga merupakan arena persaingan yang paling adil bagi partai politik180. Pemilu dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur demokrasi. Pemilu mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan demokrasi apabila peraturan dan pelaksanaanya menjamin terlaksananya Hak Asasi Manusia terutama hak sipil dan politik, seperti adanya jaminan persamaan hak atau non-diskriminasi, dan jaminan kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul dan bergerak hak atas keamanan dan sebagainya.181 Penyelenggaraan pemilu yang pernah dilaksanakan di indonesia mulai dari orde lama, orde baru dan reformasi mengalami pasang surut yang selalu diiringi oleh fenomena dan banyak persoalan kecuali pada pemilu 1955 yang sampai saat ini masih dianggap sebagai pemilu paling demokratis yang pernah dijalani oleh bangsa Indonesia.182

Pemilihan umum (pemilu) adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di negaranegara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan Pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis saling merupakan ―qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others‖. Dalam arti bahwa Pemilu dimaknai sebagai prosedur untuk mencapai demokrasi

179 Fadjar, A. Mukthie, ―Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum dan PHPU‖, Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No. 1, 2009, hlm. 89. 180 Aras Firdaus & Qori Rizqiah H Kalingga, 2019, Kebijakan Hukum Pidana Tentang Larangan Pohon Sebagai Alat Peraga Kampanye di Indonesia, Doktrina: Journal Of Law, Vol. 2, No. 2, Hlm. 165 181 Zainal Arifin Hoesein, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Penguatan Konsep dan Penerapanya, Lembaga Pendidikan Pengembangan Anak Bangsa (LP2AB)2015:133. 182 Lalu Sopan Tirta Kusuma, Zulhadi Dan Junaidi, Azwar Subandi, 2019, Peran Badan Pengawas Pemilihan Umum Dalam Penegakan Hukum Pemilu (Studi Penanganan Pelanggaran Pemilu Pada Sentra Gakkumdu Provinsi Nusa Tenggara Barat), Jurnal Ulul Albab, Vol. 23 No. 2, Hal. 110

Page 236: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 229

atau merupakan prosedur untuk memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan politik183. Kampanye dalam pemilihan umum Penggunaan media massa seperti media cetak, media elektronik maupun media-online, untuk menyebarkan pesan politik yang dapat menjangkau sasaran khalayak heterogen dan sangat luas. media massa memang memiliki tanggungjawab untuk selalu memberikan informasi, tayangan dan siaran yang benar, akurat dan jelas. Dengan fungsi itu, media mampu memasok kebutuhan informasi khalayak.184

Pemilihan umum sering dijumpai berbagai pelanggaran bahkan tindak pidana di dalamnya. Pelanggaran memang sulit dihindari, yang dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Undang-Undang Pemilu telah mengatur mengenai kewajiban dan larangan pada setiap tahapan yang disertai dengan ancaman sanksi. Dengan banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, maka Undang-Undang Pemilu mengklasifikasikannya menjadi pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administratif pemilu, dan tindak pidana pemilu.185

Praktik pelanggaran pemilihan umum sangat rentan sehingga diperlukan suatu upaya penegakan hukum yang kuat dan berkualitas untuk mengwujudkan pemilihan umum berkeadilan. Regulasi tata kepemilihan umum mengatur melalui Sentra Gakkumdu sebagai wadah/badan yang berwewenang untuk melakukan upaya penegakan hukum. Sebagai mana konsep penegakan hukum yang terarah, sistematis, mengandung kepastian hukum serta terlaksanannya system peradilan pidana pemilihan umum yang progresif.186

183 Nanik Prasetyoningsih, 2014, Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi Pembangunan Demokrasi Indonesia, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 2, Hlm. 242 184 Eko Harry Susanto , 2013, Dinamika Komunikasi Politik Dalam Pemilihan Umum, Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 1, No. 2, Hlm. 166 185 Ismail Dan Fakhris Lutfianto Hapsoro, 2019, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu Dalam Perspektif Prinsip Kedaulatan Rakyat, Volume 35, Nomor 1 ,Hal. 56 186 Ujuh Juhana dan Deden Taufik, Kedudukan dan Peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu Dalam Sistem Peradilan Pidana Pemilu, 2019, Hal. 202

Page 237: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

230 –

Tindak pidana money politics sering ditemukan oleh aparat penegak hukum maupun para penyelenggara pemilu. Istilah money politics sendiri kurang jelas. Dalam banyak kesempatan, istilah ini dipakai sebagai kontainer besar yang merangkum seluruh praktik dan perilaku mulai dari korupsi politik ke patron-klien hingga jual beli suara dan kriminal. Ada semacam konsensus di antara sarjana yang mengkaji politik Indonesia bahwa money politics adalah korupsi yang terkait dengan proses elektoral. Karena itu, politik uang beroperasi pada dua ranah. Pertama, di tingkat elite seperti calon presiden, DPR, DPRD, gubernur, bupati atau wali kota yang maju dalam proses pemilihan. Setiap calon harus merogoh kantongnya lebih dalam baik untuk sewa ―perahu‖ partai, kampanye, konsultan hingga beperkara ke Mahkamah Konstitusi. Kedua, politik uang di tingkat massa dalam bentuk jual beli suara ke pemilih.187 Money politics diantaranya berupa tindakan membagi-bagi uang (entah berupa uang milik partai atau pribadi). Publik memahami money politics sebagai praktik pemberian uang atau barang atau iming-iming sesuatu kepada masa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political again).

Tindakan money politics itu dilakukan secara sadar oleh pelakunya.188 Kerangka formal dalam hal ini dikaitkan dengan sejumlah peraturan formal yang berhubungan dengan pelarangan atas politik uang. Undang-Undang dan Peraturan tersebut antara lain: Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Undang-undang Nomor 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah; Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Peraturan KPU No. 15 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye.189 Sanksi hukum pidana atas perbuatan pidana money politics diatur dialam Pasal 301 Ayat 1 187 Burhanuddin Muhtadi, 2013, Politik Uang Dan Dinamika Elektoral Di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara ― Party-Id‖ Dan Patron-Klien, Jurnal Penelitian Politik, Vol.10, No.1, Hlm. 47 188 Indra Ismawan, 1999, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta: Penerbit Media Presindo, Hal. 4. 189 Eka Vidya Putra, 2017, Money Politics Dalam Penyelenggaran Pemilihan Umumdi Kota Pariaman, Jurnal Socius, Vol. 4, No.1 ,Hlm. 4

Page 238: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 231

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal tersebut menjelaskan mengenai sanksi hukum pidana diberikan kepada pengurus partai politik, calon legislative, juru kampanye, individu, dan organisasi yang ditunjuk sebagai peserta pemilu. Adapun kritikan terhadap pengaturan dari politik uang selama ini adalah tidak adanya sanksi pidana terhadap atas tindakan politik uang. Adapun sanksi yang diberikan lebih pada sanksi adminitratif. Artinya, selama ini pelaksanaan Pilkada hanya menjamin kepastian politik, sukses kepemimpinan di daerah itudapat bergulir tiap lima tahun. Bentuk ketidak seriusan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 73 Ayat (1) UU Nomor 1 /2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU. ‖Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih‖. Tapi dalam regulasi tersebut tetap tidak ada tindakan yang tegas terhadap sanksi Pemilu.

Metode Penelitian Penelitian ini merupakan yuridis normative adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Data Sekunder sebagai fokus kajian dalam riset ini. Data sekunder yang dianalisis dalam penelitian ini antara lain: UUD 1945; UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Preseiden dan Wakil Presiden;Undang-undang No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; Undangundang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, digunakan beberapa dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan pemilu dan peraturan organik lain yang berhubungan dengan objek penelitian. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep demokrasi. Data hasil penelitian melalui studi dokumen, tersebut dianalisis dengan menggunakan metode

Page 239: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

232 –

content analysis. Seluruh bahan-bahan yang telah terkumpul, dilakukan inventarisasi dan sistematisasi, selanjutnya dikaji, dan dianalisis keterkaitannya dengan permasalahan yang dikaji.

Rumusan Masalah Berdasarkan judul dan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yakni bagaimana Proses Pengawasan dan Penanganan Tindak Pidana Pemilu sebagai upaya pencegahan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum?

Pembahasan Implementasi Pengawasan Dan Penanganan Tindak Pidana Pemilu Badan Pengawas Pemilihan Umum Menurut Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar Repubik Indonesia, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar‖ ini menunjukan bahwa demokrasi adalah hak mutlak yang dimiliki rakyat dan dijamin dalam konstitusi. Pelaksanaan demokrasi yang diwujudkan dalam pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemilu untuk menyusun kelembagaan negara yaitu Ekesekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dan Lembaga Legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakila Rakyat Daerah (DPRD) yang dilaksanakan secara demokratis.190

Pemilihan umum merupakan wujud paling paling nyata sebagai pelaksana demokrasi apakah pihak penyelenggara (Pemerintah, KPU dan Panwaslu) atau pihak peserta pemilihan umum (Rakyat dan para calon) yang selalu melakukan pelanggaran, oleh karena itu semua pelanggaran pemilu harus ditindak, dan perbuatan yang bermaksud membuat pemilihan umum itu menjadi tidak demokratis yaitu, tidak jujur dan tidak adil (Jurdil). Sebagai upaya awal oleh pemerintah untuk mencegah tindakantindakan yang tidak demokratis terhadap pelaksanaan pemilihan umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku II Bab IV tentang

190 Bambang Sugianto, 2017, Analisis Yuridis Penerapan Dan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Al‘adl, Volume Ix Nomor 3, Hal. 296

Page 240: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 233

Kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban dan hak kenegaraan.191 Dalam proses penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tentunya harus dituntut untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip dari pemilu itu sendiri, yaitu: jujur, adil, langsung, bebas, rahaisa, dan transparan, sehingga dengan demikian apabila prinsip demokrasi melalui instrumen pemilu itu bisa dijalankan maka pemilu kita pasti berjalan dengan kondusip, seperti pemilu pada tahun 1955, dimana pada saat itu hampir tidak ditemukan persoalan dan sengketa pemilu.

Demokrasi sebagai tatanan politik adalah model yang tepat untuk mengelola kehidupan kenegaraan. Memang demokrasi bukan satu-satunya model yang paling sempurna untuk mengatur peri kehidupan manusia. Namun sejarah menunjukkan bahwa demokrasi memiliki peluang paling kecil dalam menistakan kemanusiaan. Tumbangnya rezim komunisme di Eropa Timur menambah daftar panjang keunggulan demokrasi atas rezim- rezim politik lain, sehingga kini demokrasi dianut oleh sebagian besar negara di dunia ini192. Tindak pidana pemilu diatur secara khusus dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Sejumlah tindak pidana pemilu bahkan sebelumnya telah ditentukan sebagai tindak pidana umum, seperti melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 293 UU Pemilu Legislatif), pemalsuan dokumen (298 UU Pemilu Legislatif), melakukan perbuatan pengrusakan (Pasal 311 UU Pemilu Legislatif). Hanya saja, pengaturan berbagai tindak pidana tersebut dalam UU Pemilu adalah dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemilu. Konsekuensinya, tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut jika dilakukan dalam konteks pemilu.

Pemilihan umum sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 tahun 2017 yang berasas langsung, umum, bebas dan rahasia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945‖. Dan pemilihan umum dilaksanakan satu kali dalam masanya 5 (lima) tahun, ini sesuai dengan Pasal 22E ayat (1) UndangUndang Dasar 1945

191 Sintong Silaban, Tindak Pidana Pemilu (suatu tinjauan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992, hlm. 19. 192 Didik Sukriono, 2009, Menggagas Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 2, No. 1, Hlm. 9

Page 241: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

234 –

berbunyi, ―Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali‖. Sudah tentu bahwa tindak pidana pemilihan umum itu hanya terjadi dalam kurung waktu tersebut, akan tetapi pelanggaran terhadap tindak pidana pemilihan umum yang terjadi 5 (lima) tahun sekali ini perlu di tindak terhadap pelanggarannya. Meskipun dilakukan 5 (lima) tahun sekali pemilu itu adalah hal yang hakiki atau penting dalam suatu negara yang demokrasi dan Pemilu itu tidak boleh cacat dan ternoda dalam pelaksanaannya. Apabila Pemilu itu dalam pelaksanaannya ternoda dan cacat yaitu terjadinya pelanggaran maka pihak yang sengaja atau tidak sengaja harus diberikan sanksi hukum dan ditindakan secara tegas baik menurut KUHP maupun UndangUndang Pemilu. Perbuatan tindak pidana Pemilu sebelum terbitnya Undang-Undang Pemilu sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu Pasal 148, Pasal 149 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 150, Pasal 151 dan Pasal 152 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Disamping Tindak Pidana Pemilu (TPPU) yang diatur dalam KUHP juga diatur lebih rinci dan tegas terhadap tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2017.

Perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana pemilu hanya dapat dituntut sesuai UU Pemilu, bukan ketentuan pidana umum. Hal ini sesuai dengan penerapan asas lex specialis derogat legi gerali. Menurut asas ini, semua unsur-unsur suatu rumusan delik terdapat atau ditemukan kembali di dalam peraturan lain, sedangkan peraturan yang disebut kedua (yang khusus) itu disamping semua unsur-unsur peraturan pertama (yang umum) memuat pula satu atau beberapa unsur lain. Dalam kaitan dengan pemilu, unsur lain yang dimaksud adalah tindak pidana tersebut terjadi dalam kaitannya/dalam proses penyelenggaraan pemilu. Kedua, dari aspek hukum formil, hukum pidana pemilu juga tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di mana, pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu menggunakan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu. Frasa ―kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini‖ dalam Pasal 262 UU Nomor 8 Tahun 2012 merupakan klausul yang memberi kekhususan tertentu bagi proses pemeriksaan dugaan tindak pidana pemilu. Salah satu kekhususannya adalah sangat

Page 242: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 235

terbatasnya waktu penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan oleh pengadilan.

Pembatasan waktu dalam memeriksa dan mengadili tindak pidana pemilu sesungguhnya ditujukan agar penanganan tindak pidana pemilu dapat memberikan kepastian hukum bagi tahapan penyelenggaraan pemilu. Selain itu, kekhususan tindak pidana pemilu juga terlihat pada keterbatasan upaya hukum bagi orang yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pemilu. Di mana, terhadap putusan pengadilan hanya dapat dilakukan banding dan putusan pengadilan banding (Pengadilan Tinggi) memiliki sifat terakhir dan mengingat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Dengan demikian, upaya kasasi sebagai upaya hukum biasa tidak tersedia dalam pemeriksaan tindak pidana pemilu. Ketiga, penegakan hukum pidana pemilu tidak saja melibatkan aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasa, melainkan juga melibatkan institusi penyelenggara pemilu, dalam hal ini Bawaslu dan jajarannya. Penyidikan dugaan tindak pidana pemilu terlebih dahulu harus dengan adanya laporan/ rekomendasi dari Bawaslu Propinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota. Dalam mekanisme tersebut, dugaan pelanggaran pemilu terlebih dahulu harus melalui kajian Bawaslu beserta jajaran. Di mana, apabila hasil kajian pengawas pemilu berkesimpulan adanya dugaan tindak pidana pemilu, maka hasil kajian beserta rekomendasi pengawas pemilu diteruskan kepada penyidik kepolisian.

Institusi dalam penanganan tindak pidana pemilu, maka untuk tujuan menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan, diatur dan dibentuklah sebuah sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakumdu). Di mana, institusi ini berkedudukan sebagai tempat untuk menyamakan pandangan antar institusi yang terlibat dalam menangani tindak pidana pemilu. Hanya saja, dalam pengaturan teknis dan praktiknya, Gakkumdu justru ditempatkan sebagai institusi yang bertugas menyelenggarakan penanganan tindak pidana pemilu secara terpadu. Pada saat yang sama, juga memberi penilaian apakah bukti-bukti dugaan tindak yang diserahkan Bawaslu beserta jajaran telah terpenuhi atau setidak. Dalam konteks itu, dalam keadaan tertentu, penyidik kepolisian justru hanya memosisikan diri sebagai pihak yang menerima bersih laporan tanpa melakukan penyidikan lagi. Padahal, sesuai UU Pemilu, penyidik

Page 243: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

236 –

kepolisian yang semestinya melakukan penyidikan atas telah terjadinya dugaan tindak pidana pemilu. Keempat, pemeriksaan perkara tindak pidana ditangani oleh majelis khusus yang dibentuk pada pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. Hakim khusus perkara pidana pemilu mesti memiliki syarat dan kualifikasi tertentu yang pengangkatannya ditetapkan berdasarkan Keputusan Kedua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Setidaknya empat hal itulah yang menunjukan kekhususan sistem peradilan pidana pemilu yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012. Selanjutnya akan digambarkan sistem peradilan pidana pemilu sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Hanya saja, karena sistem peradilan pidana pemilu juga melibatkan Bawaslu dan jajaran, terlebih dahulu akan digambarkan proses penanganan pelanggaran pemilu oleh pengawas pemilu. Sebab, penanganan perkara pelanggaran pemilu (termasuk pidana) oleh Bawaslu dan jajaran merupakan pintu awal untuk seluruh proses penegakan hukum pemilu yang lainnya. Oleh karena itu, secara berturut-turut akan ditampilkan bagan sistem penyelesaian pelanggaran pemilu oleh Bawaslu dan bagan sistem penanganan tindak pidana pemilu yang melibatkan Bawaslu, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.193

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu memiliki wewenang antara lain mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu, menerima laporan-laporan dugaan pelanggaran pemilu, dan menindaklanjuti temuan atau laporan kepada instansi yang berwenang. Dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut Bawaslu sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 kemudian membentuk Bawaslu Provinsi di seluruh Indonesia. Tugas utama Bawaslu Provinsi adalah mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah provinsinya masingmasing, menerima dan menindaklanjuti temuan dan laporan dugaan pelanggaran pemilu, serta melaporkannya kepada Bawaslu Republik Indonesia.

Pelaksanaan pengawasan pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilihan umum Pasal 75 Ayat 1 tentang tugas dan wewenang badan pengawas pemilu dan Undang-undang 193 Khairul Fahmi, 2015 ,Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu ,Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Hlm. 276-278

Page 244: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 237

Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjelaskan pengertian pelanggaran-pelanggaran pemilu tersebut sebagai berikut:

1. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan tata cara penyelesaian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu

2. Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Dugaan pelanggaran administrasi diteruskan kepada KPU dan jajarannya untuk ditindaklanjuti selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sejak direkomendasikan oleh Pengawas Pemilu.

3. Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. Dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti sejak direkomendasikan oleh Pengawas Pemilu. Adapun sanksi atas pidana politik uang diberikan pada pelaksana kampanye diatur pada Pasal 301 Ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. Kejahatan Pemilu dapat dikenakan kepada pengurus partai politik, calon legislatif, juru kampanye, orang-seorang (individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Khususn bagi calon anggota legislatif, akan dikenakan sanksi tambahan berupa sanksi administratif dari KPU.

Sanksi administratif dapat berupa pembatalan sebagai daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai calon terpilih. Selanjutnya, dapat dilihat dalam Pasal 73 Ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-undang. ‖Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi

Page 245: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

238 –

pemilih‖. Maka partisipasi masyarakat diperlukan dalam upaya pengawasawan pemilihan umum terhadap money politics. Partisipasi masyarakat dalam Pemilu telah diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Pasal 246, dengan bunyinya, yaitu:

(1) Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.

(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, dan penghitungan cepat hasil Pemilu, dengan ketentuan:

a. tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu.

b. tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu.

c. bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.

d. mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Bunyi Pasal 246 angka 2 bagian c mengenai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dapat dilakukan oleh masyarakat dengan cara memberikan laporan kepada pihak yang berwenang tentang terjadinya money politics. Partisipasi masyarakat dalam Pemilu dapat memberikan laporan kepada Badan Pengawas Pemilu, Panwaslu provinsi atau Panwaslu kabupaten/kota. Hal ini diatus dalam Pasal 249 angka 1 sampai dengan 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, yang isinya sebagai berikut:

(1) Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh:

a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih;

b. pemantau Pemilu; atau

c. Peserta Pemilu.

Page 246: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 239

(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat:

a. nama dan alamat pelapor;

b. pihak terlapor;

c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan

d. uraian kejadian.

Isi Pasal 247 angka 1 sampai dengan 3 tersebut menjelaskan bahwa masyarakat memiliki peran serta dalam Pemilu dengan cara memberikann laporan ke Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan. Masyarakat yang berhak memberikan laporan adalah warga Negara yang memiliki hak memilih dan dalam laporannya menuliskan nama dan alamat pelapor, waktu kejadian, dan uraiannya sebagai bahan bukti otentik dalam laporannya. penegakan hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat tidaklah memiliki tugas yang ringan, karena ruang lingkup tugas kepolisian sangat luas yakni seluruh masyarakat. Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat mengakibatkan adanya perubahan tuntutan pelayanan terhadap masyarakat di segala bidang, termasuk pelayanan kepolisian terhadap masyarakat194.

Sentra Gakkumdu sebagai panglima pengawal demokrasi yang terdiri dari unsur Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan tentunya dalam menjalan tugas dan fungsi masih terdapat beberapa permasalahan yang kerapkali muncul, seperti:12 Petikan Hasil Wawancara:

1) menentukan sengekata tindak pidana pemilu yang mengalami permasalahan karena latar belakang kelembagaan yang berbeda, karena tidak semua memahami Perbawaslu.

2) Kendala yang kerap muncul adalah dalam pembahasaan ketiga ketika mau masuk penuntutan agak berat bagaimana memutuskan alat bukti.

194 Rudy Hendra Pakpahan, Aras Firdaus, 2019, Pembaharuan Kebijakan Hukum Asset Recovery: Antara Ius Constitutum Dan Ius Constituendum, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 16, N0. 3 Hlm. 373

Page 247: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

240 –

3) Terdapat beberapa daerah yang kejaksaanya agak pasif hanya menunggu.

4) Terdapat ketidak sicronan terkait dengan, apa yang diingginkan oleh penyidik dan Bawaslu dengan Kejaksanan.

5) Di beberapa daerah Kabuaten/ Kota Kejaksaan tidak bisa Stand Bay di Kantor karena terkendala minimya personil.

Kesimpulan Bawaslu sebagai pengawas pelaksanaan pemilu jika adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu terkait money politics maka penyelesaiannya di Sentra Gakkumdu. Peran bawaslu dalam proses tahapan awal hingga kepada unsur lembaga lain yaitu kepolisian dan kejaksaan. Dalam proses kajian dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu Bawaslu memiliki batas waktu yang harus diikuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga, aparat penegak hukum dan penyelenggara pemilihan umum harus menjalankan peraturan perundang-undangan dan memberikan sanksi yang tegas terhadap para calon yang melanggar ketentuan didalam hukum yang berlaku. Sehingga, memberikan contoh bagi para calon yang lain untuk tidaj melakukan perbuatan yang sama. Keterlibatan partisipasi masyarakat sangat membantu dalam melakukan pengawasan pemilihan umum terhadap para calon yang akan melakukan perbuatan tersebut.

Daftar Pustaka Aras Firdaus, Qori Rizqiah H Kalingga, 2019, Kebijakan Hukum

Pidana Tentang Larangan Pohon Sebagai Alat Peraga Kampanye di Indonesia, Doktrina: Journal Of law, Vol. 2, No. 2

Bambang Sugianto, 2017, Analisis Yuridis Penerapan Dan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Al‘adl, Volume Ix Nomor 3

Burhanuddin Muhtadi, 2013, Politik Uang Dan Dinamika Elektoral Di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara ― Party-Id‖ Dan Patron-Klien, Jurnal Penelitian Politik, Vol.10, No.1

Page 248: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 241

Didik Sukriono, 2009, Menggagas Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 2, No. 1

Eka Vidya Putra, 2017, Money Politics Dalam Penyelenggaran Pemilihan Umum di Kota Pariaman, Jurnal Socius, Vol. 4, No.1

Eko Harry Susanto , 2013, Dinamika Komunikasi Politik Dalam Pemilihan Umum, Jurnal Kajian Komunikasi, Vol. 1, No. 2

Fadjar, A. Mukthie, 2009, ―Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum dan PHPU‖, Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No. 1

Indra Ismawan, 1999, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta: Penerbit Media Presindo

Ismail Dan Fakhris Lutfianto Hapsoro, 2019, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pemilu Dalam Perspektif Prinsip Kedaulatan Rakyat, Volume 35, Nomor 1

Khairul Fahmi, 2015 ,Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 2

Lalu Sopan Tirta Kusuma, Zulhadi Dan Junaidi, Azwar Subandi, 2019, Peran Badan Pengawas Pemilihan Umum Dalam Penegakan Hukum Pemilu (Studi Penanganan Pelanggaran Pemilu Pada Sentra Gakkumdu Provinsi Nusa Tenggara Barat), Jurnal Ulul Albab, Vol. 23 No. 2, Hal. 110

Nanik Prasetyoningsih, 2014, Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi Pembangunan Demokrasi Indonesia, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 2

Rudy Hendra Pakpahan, Aras Firdaus, 2019, Pembaharuan Kebijakan Hukum Asset Recovery: Antara Ius Constitutum Dan Ius Constituendum, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 16, N0. 3

Sintong Silaban, Tindak Pidana Pemilu (suatu tinjauan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992

Ujuh Juhana dan Deden Taufik, Kedudukan dan Peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu Dalam Sistem Peradilan Pidana Pemilu, 2019: 202

Page 249: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

242 –

Page 250: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 243

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP DELIK

PERCOBAAN TINDAK PIDANA PADA

UNDANG-UNDANG PILKADA

Mhd Teguh Syuhada Lubis Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Pendahuluan Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya mengandung

kebijakan Negara dalam mengatur dan membatasi kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada umumnya untuk bertindak dan bertingkah laku maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa/penegak hukum dalam menjalankan tugasnya memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan yang telah ditetapkan. Terhadap hal demikian, dari perspektif kebijakan hukum pidana yang perlu menjadi kajian adalah, bagaimana membenahi perangkat sistem hukum pidana Indonesia saat ini, yang antara lain meliputi:

1. pengaturan terhadap substansi hukum pidana materiil;

2. pengaturan terhadap struktur kelembagaan hukum pidana yang profesional; serta;

3. pengaturan terhadap sistem pidana dan pemidanaan yang manusiawi.195

Pada dasarnya segala aspek tindak pidana memerlukan kebijakan hukum pidana bagi para penegak hukum dalam penerapannya. Hal itu dikarenakan kadangkala pada faktanya walaupun tindakan pidana yang dilakukan pelaku sanksinya telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangana, namun terdapat beberapa celah hukum yang dimanfaatkan oleh oknum pelaku kejahatan agar terhindar dari sanksi pidana yang dimaksud. Salah satu fenomena perbuatan pidana yang sering terjadi di Indonesia ialah ketika diselenggarakannya pemilihan

195 Dudung Mulyadi. ―Analisis Penerapan Bentuk-Bentuk Tindak

Pidana Pemilu‖. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Galuh, Volume 7, Nomor 1, Maret 2019, hlm 20.

Page 251: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

244 –

umum kepala daerah. Kejahatan pemilukada dapat berbagai macam dan bentuk, oleh karenanya untuk menerapkan akibat hukum kepada pelaku, diperlukan terobosan-terobosan hukum yang tetap sesuai dengan norma, diantaranya yaitu memberlakukan kebijakan penal (pidana) kepada para pelaku tindak pidana di bidang pemilukada.

Wujud nyata demokrasi adalah Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu pada zaman modern ini menjdi sebuah keniscayaan sebagai penyalur kehendak rakayt. Agar pemilu dapat menjadi representatisi yang baik dalam hal kehendak rakyat, maka asas-asas dalam penyelenggaraan pemilu juga mesti dirumuskan sesuai dengan standar pelaksanaan pemilu internasional. asas-asas pemilu yang ditetapkan di Indonesia dan menjadi prinsip dasar penyelenggaraan pemilu telah ditetapkan di dalaam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang meliputi asas langsung, asas umum, asas bebas, asas rahasia, asas jujur, dan asas adil yang dilaksanakan tiap 5 (lima) tahun sekali. Pada pengaturan yang lebih eksklusif, asas-asas tersebut dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan tentang Pemilu, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan KPU, peraturan Bawaslu, peraturan DKPP, maupun Peraturan Bersama (Perber) KPU, Bawaslu dan DKPP.196

Kerangka negara demokrasi, dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan momentum yang sangat penting bagi pembentukan pemerintahan dan penyelenggaraan negara periode berikutnya. Pemilu, selain merupakan mekanisme bagi rakyat untuk memilih para wakil juga dapat dilihat sebagai proses evaluasi dan pembentukan kembali kontrak sosial. Salah satu konsekuensi yuridis dari sistem negara hukum yang demokratis di Indonesia adalah adanya pemlihan pemimpin dengan cara yang demokratis. Pemilihan pemimpin tersebut, termasuk pemilihan pemimpin di daerah atau biasa dikenal sebagai kepala daerah.197

Pemilu merupakan mekanisme kenegaraan untuk memilih pemimpin Negara (eksekutif) dan anggota parlemen (legislatif). Kualitas dan rutinitas penyelenggaraan pemilu akan menentukan tingkat demokrasi suatu Negara. karena pemilu

196 Zainal Arifin Hoesein dan Arifudin, Penetapan Pemilih Dalam Sistem Pemilihan Umum, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2017), hlm 17.

197 Rusmanto. ―Peranan Penyidik Dalam Tindak Pidana Pemilihan Kepala Daerah‖. Jurnal Hukum UNISSULA, Volume 35, Nomor 2, 2019, hlm 101-102.

Page 252: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 245

merupakan konsekuensi Negara demokrasi, pemilu merupakan bentuk partisipasi politik rakyat atau warga Negara yang paling dasar untuk menentukan pemerintahan dan program yang sesuai dengan keinginannya, paling tidak pemerintah atau program yang dapat diterimanya.198

Di Indonesia saat sekarang ini pemilihan umum dikategorikan terhadap beberapa hal mulai dari pemilihan umum Presiden, Wakil Presiden, pemilihan legislatif, termasuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada). Pemilihan umum kepala daerah merupakan salah satu aspek pemilu yang penting guna mementukan pemimpin daerah-daerah yang ada di Indonesia, baik itu daerah tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota. Tentu dalam pelaksanaannya pemilihan umum kepala daerah ini terdapat beberapa persoalan atau permsalahan, baik itu mulai persoalan pelanggaran administrasi sampai dengan pelanggaran pidana. Terhadap hal itu maka dapat dilihat bahwa persoalan tentang pemilihan umum kepala daerah ini perlu diatur regulasinya dengan baik dan seksama.199

Pemerintah Indonesia dalam mengatasi persoalan-persoalan pemilihan umum kepala daerah ini telah membentuk beberapa regulasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang sudah mengalami beberapa perubahan, yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Serta beberapa peraturan perundang-undang lain terkait pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, untuk melihat kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai instansi penyelenggara pemilu yang telah diamanatkan oleh

198 Rahmat Bagja dan Dayanto, Hukum Acara Penyelesaian Sengketa

Proses Pemilu: Konsep, Prosedur, Dan Teknsi Pelaksanaannya, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2020), hlm 8.

199 Hadi Jumhadi. ―Optimalisasi Penegakan Hukum Pidana Pemilu Dalam Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Serentak‖. Journal Justiciabellen, Volume 01, Nomor 01, Januari 2021, hlm 32.

Page 253: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

246 –

konstitusi negara. Di dalam peraturan perundang-undangan itu dibuat suatu aturan yang mengikat bagi setiap orang.

Aturan mengikat itu dilengkapi dengan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak-pihak yang melanggar termasuk pihak yang melakukan pelanggaran dibidang pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah, dari keseluruhan sanksi/akibat hukum yang dapat dikenai kepada pelaku terdapat di dalamnya sanksi pidana pula (pada tindak pidana Pemilu Kada). Penerapan sanksi pidana itu dapat dilakukan awalnya apabila telah ada pembuktian yang cukup yang sudah dilakukan oleh para penegak hukum dalam hal ini pihak Majelis Hakim di Pengadilan dan terbukti ada pihak yang melanggar kaidah hukum pemilihan umum kepala daerah itu, maka akan dikenakan akibat hukum terhadapnya. Akibat hukum muncul berawal dari adanya hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain, yang bersepakat untuk menciptakan suatu hubungan hukum selaras atas aturan perundang-undangan. Hubungan hukum merupakan hubungan yang diatur oleh hukum.200

Sehingga atas dasar penjatuhan sanksi pidana berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, maka dapat dikatakan pihak yang dimaksud telah terbukti melakukan tindak pidana pemilu kepala daerah. Walaupun sebelumnya tindak pidana pemilihan umum ini telah di atur secara umum di dalam KUHP, tepatnya pada Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Namun, dikarenakan telah adanya pengaturan undang-undang Pemilihan Kepala Daerah secara khusus, maka pengenaan sanksi pidananya pun harus secara khusus (lex specialis).

Menurut Andi Hamzah menulis, aturan norma hukum pidana yang tertuang di luar KUHP dapat dikatakan undang-undang (pidana) tesendiri atau disebut pula hukum pidana di luar kodifikasi atau nonkodifikasi. H.J.A. Nolte membuat disertasi, yang jika dibahasa Indonesiakan akan menjadi hukum pidana di dalam undang-undang tersendiri. W.P.J. Pompe, mengatakan bahwa Nolte mulai dengan pandangan dasar filosofis dan sejarah hukum. Ada hukum pidana sebagian di dalam KUHP (kodifikasi) dan sebagian di luar KUHP atau di dalam undang-undang tersendiri.201

200 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm 216.

201 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm 8.

Page 254: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 247

Tindak pidana pemilihan umum kepala daerah merupakan salah satu tindak pidana khusus yang pengaturan pidananya berada di luar ketentuan KUHP. Hal ini mengingat urgensi dari pelaksanaan pemilah umum kepala daerah itu sendiri, sehingga tidak relevan lagi menggunakan ketentuan KUHP. Tindak pidana pemilihan umum kepala daerah juga menjadi aturan khusus dikarenakan bentuk-bentuk dari pelanggaran pemilu kada itu sendiri sudah berbagai macam yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Pasal 177 sampai dengan Pasal 198 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, mengatur terkait pemberian sanksi bagi para pelaku tindak pidana pemilu kada.

Tindak Pidana Pemilu dapat dirumuskan sebagai setiap tindakan/perbuatan (aktif/pasif) yang melanggar ketentuan dalam tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu dan diancam dengan sanksi pidana. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa pada saat ini Pemilihan Umum di Indonesia telah banyak ternodai dengan bermacam jenis dan modusnya sehingga pantaslah siapa saja yang menodai dan melakukan kecurangan dalam Pemilu wajib ditindak tegas.202

Pada konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya Undang-Undang Pemilu merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu. Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan KUHAP (lex generalis) namun dalam Undang-Undang Pemilu juga menentukan mekanisme/hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dapat dilaksanakan secara demokratis dan bersih.203

Setelah beberapa kali pergantian dan perubahan peraturan tentang pemilihan umum kepala daerah (Gubernur,

202 Mohd, Din, dkk. ―Model Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu

Di Provinsi Aceh Yang Berkeadilan (The Model for Law Enforcement on Election CrimesinAceh Province). Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Volume 20, Nomor 3, September 2020, hlm 290.

203 Hadi Jumhadi. Op.Cit., hlm 34.

Page 255: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

248 –

Bupati/Walikota), pada akhirnya walaupun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 menguraikan tindak pidana khusus pemilukada di dalamnya, namun pada pengaplikasiannya tidak dapat mengenyampingkan ketentuan KUHP. Salah satunya apabila terkait tindak pidana percobaan yang tertuang dalam Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP. Untuk itu bukan berarti terhadap seseorang yang baru ingin mencoba melakukan tindak pidana pemilukada tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana terhadapnya. Dalam tujuan menjerat pelaku percobaan tindak pidana pemilukada ini diperlukan kebijakan hukum pidana bagi para penegak hukum dalam penerapannya baik itu bagi kepolisian, kejaksaan, hakim dan juga Sentra Gakkumdu di Bawaslu masing-masing daerah.

Salah satu contoh dibentuknya kebijakan hukum pidana oleh penegak hukum (dalam hal ini Hakim) yaitu terdapat pada kasus pengenaan sanksi pidana kepada seseorang yang mencoba melakukan tindak pidana pemilu kepala daerah adalah tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor 385/Pid.Sus/2020/PN Plw Jo putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 40/Pid.Sus/2021/PT.PBR. Kasus dalam putusan tersebut melibatkan oknum tim sukses salah satu Calon Bupati Pelalawan yang pada akhirnya terbukti melakukan tindakan pidana percobaan sebagaimana ketentuan Pasal 187A Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP. Hal ini berarti secara eksplisit dapat diartikan, walaupun dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tidak diatur tindak pidana percobaan, namun aturan pidana yang ada dalam undang-undang tersebut dapat dikomparasikan dengan aturan pidana percobaan yang ada pada KUHP.

Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor 385/Pid.Sus/2020/PN Plw Jo putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 40/Pid.Sus/2021/PT.PBR ini dapat menjadi titik balik dikeluarkannya kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana percobaan sesuai Pasal 53 KUHP tersebut. Sehingga masyarakat/publik tidak hanya menganggap tindak pidana percobaan tidak dapat diterapkan pada pidana Pemilukada, namun ternyata bagi pelaku yang ingin mencoba melakukan tindak pidana pemilukada dapat pula dipidana, walaupun perbuatan pidana tersebut belum dilakukan.

Menerapkan kebijakan hukum pidana kepada pelaku percobaan tindak pidana pemilukada terdapat beberapa

Page 256: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 249

persoalan terutama dalam bentuk penanganannya dari para penegak hukum, khususnya hakim. Hal ini menjadi menarik dikarenakan perbuatan pidana tersebut belum dilakukan, namun masih dalam tahapan percobaan, dengan kata lain akibat dari perbuatan pidana itu belum merugikan pihak manapun. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian atas unsur-unsur kesalahan bagi para pelaku percobaan yang akan melakukan tindak pidana pemilihan kepala daerah. Artinya antara tindak pidana percobaan yang diatur dalam KUHP secara umum dengan tindak pidana pemilihan umum kepala daerah yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, harus benar-benar ditelaah secara komperhensif atas unsur-unsur pidana yang ada. Berdasarkan hal tersebut terdapat perumusan masalah yang dapat diambil diantaranya, Bagaimana Penanganan Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Indonesia? Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Percobaan Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah? Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana Atas Delik Percobaan Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah?

Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian maka dalam metode penelitian ini dipergunakan jenis penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dan pendekatannya ialah berdasarkan kaidah hukum peraturan perundang-undangan. Selanjutnya sifat penelitian ini merupakan deskriptif analisis. Sumber data yang dipakai adalah bersumber dari data sekunder yang menggunakan bahan hukum baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah dengan studi pustaka/studi dokumentasi dan menganalisis data-data dan peraturan perundang-undangan yang ada. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu analisis data yang tidak menggunakan angka, melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan-temuan, dan karenanya lebih mengutamakan mutu/kualitas dari data.204

204 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbainin Penerapan Teori Hukum

Pada Penelitian Tesi dan Disertasi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019), hlm 19.

Page 257: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

250 –

Pembahasan Dan Analisis A. Penanganan Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala

Daerah Di Indonesia Tindak Pidana merupakan perbuatan/tindakan yang oleh

aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian tindakan disini selain tindakan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sesungguhnyanya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sesungguhnya diharuskan hukum oleh hukum).205 Tindak pidana merupakan terjamah dari strafbaar feit, di dalam KUHP tidak tertuang penjelasan mengenai tentang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana dipersamakan atau disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Berdasarkan uraian yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur sebagai berikut:

1. Suatu hal perbuatan manusia;

2. Perbuatan tersebut diancam dan dilarang dengan hukuman oleh undang-undang;

3. Perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang yang dapat di pertanggungjawabkan.

Mulyatno menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapatnya isitilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakukan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana perlakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian kata-kata perbuatan tidak mungkin berupa kelakukan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.206

Rumusan tindak pidana pada uraian dalam KUHP biasanya dimulai dengan kata barangsiapa. Ini mengandung arti bahwa yang bisa melakukan suatu tindak pidana atau tindak pidana secara umum adalah manusia. Termasuk dari ancaman pidana yang bisa disanksikan sebagaimana uraian Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, denda serta pidana tambahan

205 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2018), hlm 50.

206 Ibid., hlm 47.

Page 258: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 251

tentang pencabutan hak, dan semacamnya menunjukkan bahwa yang bisa dipidana secara umum manusia atau person.207 Begitu pula dengan tindak pidana pemilihan umum kepala daerah ini tentunya dilakukan oleh subjek hukum manusia yang memang dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

Secara umum, istilah tindak pidana pemilu merupakan terminologis yang sama atau menjadi bagian dari tindak pidana dalam rezim hukum pidana. Istilah lain untuk ―tindak pidana‖ adalah ―perbuatan pidana‖ atau ―delik‖ yang dalam bahasa Belanda disebut dengan strafbaar feit. Jika dikaitkan dengan pemilu, maka dapat diistilahkan dengan delik pemilu atau tindak pidana pemilu. Dengan menggunakan istilah delik atau tindak pidana pemilu, ia akan menjadi lebih spesifik, yaitu hanya terkait perbuatan pidana yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Dalam arti, istilah tindak pidana pemilu diperuntukan bagi tindak pidana yang terjadi dalam atau berhubungan dengan pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu.208

Banyaknya jenis masalah hukum pemilu (khususnya pemilu kepala daerah) linear dengan banyaknya institusi yang terlibat dalam penanganannya. Setidaknya ada sembilan institusi yang terlibat, yaitu: (1) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), (2) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu); (3) Komisi Pemilihan Umum (KPU); (4) Kepolisian Negara; (5) Kejaksaan; (6) Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; (7) Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; (8) Mahkamah Agung; dan (9) Mahkamah Konstitusi. Belum lagi keterlibatan Komisi Penyiaran atau Dewan Pers untuk mengawasi pemberitaan dan iklan kampanye. Sehingga, setidaknya akan ada 10 (sepuluh) institusi yang terkait dengan penyelesaian masalah hukum pemilu.

Banyaknya jenis masalah serta banyaknya pihak yang terlibat menunjukkan begitu kompleknya masalah hukum pemilu, atau setidak-tidaknya masalah hukum pemilu didesain dengan demikian kompleks. Jangankan untuk melaksanakan, memahaminya pun butuh energi ekstra agar tidak salah paham yang berakibat fatal dalam pelaksanaannya. Pada gilirannnya, pelaksanaan penegakan hukum pidana pemilu pun menghadapi

207 Ibid., hlm 54. 208 Khairul Fahmi I, Pemilihan Umum Dalam Transisi Demokrasi:

Kompilasi Catatan Atas Dinamika Pemilu Dan Pilkada Di Era Reformasi, (Jakarta: PT. RajaGrafindos Persada, 2016), hlm 33.

Page 259: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

252 –

berbagai persoalan, baik karena konten aturannya yang tidak terlalu mendukung maupun karena faktor penegak dan budaya hukum.

Kompleksitas yang demikian sesungguhnya juga melekat pada masalah hukum pemilu pada ranah tindak pidana pemilu. Sekilas mungkin tampak sederhana namun jika diselami, pengaturan dan penegakan hukum untuk tindak pidana pemilu juga memiliki kerumitan tertentu. Utamanya masalah pembuktian, profesionalitas penegak hukumnya, dan birokrasi penegakannya yang diatur dalam berbagai undang-undang terkait pemilu (kepala daerah).209

Sebagai bagian dari rezim hukum pidana, mekanisme peradilan pidana pemilu (kepala daerah) juga mengikuti sistem peradilan pidana secara umum. Dalam sistem peradilan pidana, terjalin sebuah kerangka jaringan sistem peradilan yang mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana materiil, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana) secara terintegrasi. Dalam kerangka itu, semua unsur sub sistem penegakan hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan terlibat dalam satu jaringan kerja yang saling berkaitan satu sama lain.210

Konsekuensinya, tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut jika dilakukan dalam konteks pemilu. Dalam arti, berbagai perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana pemilu hanya dapat dituntut sesuai Undang-Undang Pemilu, bukan ketentuan pidana umum. Hal ini sesuai dengan penerapan asas lex specialis derogate legi generali. Menurut asas ini, semua unsur-unsur sutu rumusan delik terdapat atau tditemukan kembali di dalam peraturan lain, sedangkan peraturan yang disebut kedua (yang khusus) itu disamping semua unsur-unsur peraturan pertama (yang umum) memuat pula satu atau beberapa unsur lain. Dalam kaitan dengan pemilu, unsur lain yang dimaksud adalah tindak pidana tersebut terjadi dalam kaitannya/dalam proses penyelenggaraan pemilu.211

209 Khairul Fahmi. ―Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu System

for The Crime of Election‖. Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, hlm 265-266.

210 Khairul Fahmi I. Op.Cit., hlm 41. 211 Ibid., hlm 44.

Page 260: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 253

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tindak pidana pemilihan umum kepala daerah ini merupakan tindak pidana khusus yang berada di luar KUHP, sehingga unsur-unsur tindak pidana yang terdapat di dalam setiap bentuk perbuatan pidananya tentu berbeda pula. Akan tetapi pasti tetap memiliki prinsip yang sama di dalam KUHP, selama tidak diatur berbeda di dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pemilu Kepala Daerah). Kekhususan tindak pidana Pemilu Kepala Daerah itu pula yang mengakibatkan tindak pidana ini memiliki beberapa bentuk, sesuai dengan perbuatan dan tata cara para pelaku yang melihat cela pelanggaran pidana di dalam kegiatan pemilukada.

Ahli hukum pidana pada umumnya mengklasifikasikan hukum pidana ke dalam dua kelompok besar, pidana umum dan pidana khusus. Sebagian sarjana membedakannya dnegan daiturnya sebuah delik dalam KUHP, mak ia disebut pidana umum. Selanjutnya, kalau delik diatur dalam undang-undang selain KUHP (seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020), di luar KUHP, dinamakan dengan pidana khusus.212 Jan Ramelink membuat sebuah definsi yang sederhana untuk menyebut hukum pidana khusus, yakni delicti proparia. Suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak dengan kualifikasi dan kualitas tertentu.213

Tindak pidana dalam pemilihan umum kepala daerah hanya dapat dituntut jika dilakukan dalam konteks pemilihan umum kepala daerah. Dalam arti, berbagai perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana dalam pemilihan umum kepala daerah hanya dapat dituntut sesuai Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, bukan ketentuan pidana umum. Hal ini sesuai dengan penerapan asas lex specialis derogat legi gerali. Menurut asas ini, semua unsur-unsur suatu rumusan delik terdapat atau ditemukan kembali di dalam peraturan lain, sedangkan peraturan yang disebut kedua (yang khusus) itu disamping semua unsur-unsur peraturan pertama (yang umum) memuat pula satu atau beberapa unsur lain. Dalam kaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah, unsur lain yang dimaksud adalah tindak pidana tersebut terjadi dalam kaitannya atau dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah.

212 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus: Memahami Delik-delik di Luar KUHP. (Jakarta: Kencana, 2017), hlm 28

213Ibid.

Page 261: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

254 –

Berdasarkan aspek hukum formil, hukum pidana Pemilihan Kepala Daerah juga tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di mana, pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilihan Kepala Daerah menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Pemillihan Kepala Daerah.

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas demi terselenggaranya Pemilihan Kepala Daerah yang aman, damai, tertib dan lancar maka penangganan laporan pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah ditangani oleh Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian Republik Indonesia mempunyai tugas melakukan pengamanan pada setiap tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, agar penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah dapat berjalan dengan aman dan lancar melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah yang dilaporkan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, melakukan tugas lain menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.214

Bawaslu mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu dari tingkat desa sampai tingkat pusat dan mempunyai kewajiban menyampaikan temuan dan laporan yang berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara dalam Pemilihan Kepala Daerah. Selanjutnya penyidik tindak pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah penyidik Kepolisian Republik Indonesia, penyidik terhadap tindak pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh tim penyidik tindak pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah yang telah ditunjuk (penyidik tidak dilakukan secara perorangan) menurut ketentuan hukum yang berlaku. Untuk penangganan laporan Pelanggaran dalam Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2016.215

Salah satu laporan pelanggaran Pemilu yang diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yaitu tindak

214 Magdalena Lurenzia Seba. ―Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemilihan Kepala Daerah‖. Jurnal Lex Administratum, Volume V, Nomor 9, November 2017, hlm 125-126.

215 Ibid., hlm 126.

Page 262: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 255

pidana Pemilihan umum. Tindak pidana Pemilihan Umum adalah setiap orang atau badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang. Selanjutnya setelah selesai proses penyidikan duganaan tindak pidana pemilu kepala daerah yang dilakukan oleh Penyidik, maka hasil penyidikan dilimpahkan kepada penuntut umum sebagai berikut:

1. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya laporan.

2. Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.

3. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.

4. Penuntut umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) kepada pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari sejak menerima berkas perkara.216

Terhadap penanganan atas tindak pidana pemilihan umum kepala daerah pada dasarnya penanganannya Selalu berkordinasi dengan sentra Gakkumdu (Penegakkan Hukum Terpadu) yang terdiri dari Kepolisian Republik Indonesia, Badan Pengawas Pemilihan umum, dan Jaksa. Oleh karena itu laporan hanya dilakukan oleh Bawaslu. Idealnya memang sentra gakkumdu mampu menyelesaikan mengingat peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) sebagai sentra penegakan hukum terpadu memiliki peran penting dalam penanganan tindak pidana pilkada, dibentuknya Gakkumdu bermaksud untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pilkada oleh Bawaslu, Kepolisian

216 Ibid., hlm 127.

Page 263: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

256 –

Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia.217

B. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Percobaan Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana erat hubungannya dengan kemampuan bertanggungjawab dari seseorang. Apabila seseorang atau badan usaha atau subjek hukum melakukan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan pada ranah pidana, maka akan dikenakan kepadanya akibat hukum berupa pertanggungjawaban hukum pidana.

Masalah pertanggungjawaban dan khususnya pertanggungjawaban pidana mempunyai kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan yang tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lain. Istilahnya dalam bahasan Belanda adalah toerekeningsvatbaar, tetapi Pompe lebih suka menggunakan toerkenbaar. Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksud di dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Walaupun sebenarnya menurut etika setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya, tetapi dalam hukum pidana yang menjadi pokok permasalahan hanyalah tingkah laku yang mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana.218

Adanya ajaran ataupun sudut pandang dualistis dan monistis mengenai tindak pidana. Pandangan hukum yang dualistis memisahkan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana, maka bagi mereka yang berpegang pada pandangan dualistis ini berpendapat bahwa apabila suatu perbuatan sudah memenuhi rumusan aturan undang-undang pidana, maka perbuatan atau tindakan tersebut adalah tindak pidana, baik dilakukan oleh orang yang tidak mampu ataupun orang yang mampu bertanggungjawab.

217 Muhammad Junaidi. ―Pidana Pemilu Dan Pilkada Oleh Sentra

Penegakan Hukum Terpadu‖. Jurnal Ius Constituendum, Volume 5, Nomor 2, Oktober 2020, hlm 227.

218 Teguh Prasetyo. Op.Cit., hlm 85.

Page 264: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 257

Sebaliknya pihak yang berpegang pada pandangan monistis, tindak pidana itu meliputi pula pertanggungjawaban. Akibatnya adalah kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur tindak pidana, jika tidak ada kemampuan bertanggungjawab, maka tidak ada tindak pidana. Simons yang mempunyai pemikiran monistis tidak ada menyinggung masalah akibat atau konsekuensi ini, akan tetapi disebutkannya bahwa di dalam hukum positif kemampuan bertanggungjawab tidak dianggap sebagai unsur tindak pidana, melainkan sebagai keadaan pribadi seseorang yang dapat menghapuskan pidana seperti tersebut pada Pasal 58 KUHP.219

KUHP mengatur Sanksi pidana terhadap pelanggaran pada saat pemilu terdapat dalam Bab IV Tentang kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan. Aturan ini diatur dalam Pasal 148-153 KUHP. Dimana jenisjenis perbuatan yang diatur adalah tindakan kekerasan dalam Pemilu, suap menyuap dalam Pemilu, tindakan menggagalkan Pemilu, menggunakan identitas orang lain dan menyebabkan seseorang kehilangan hak pilih dalam Pemilu.

Aturan mengenai Tindak Pidana Pemilu dalam KUHP terbilang masih cukup sedikit. Rumusan pasal yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pemilu dalam KUHP lebih menitik beratkan pelaku pidana adalah Pemilih atau masyarakat biasa, sedangkan belum terdapat aturan yang memuat mengenai pelaku pidana yang merupakan anggota atau bagian dari panitia pelaksanaan Pemilu. Masih banyak hal-hal lain yang harus diatur mengenai pemidanaan terhadap Pemilu. Karena tidak dipungkiri bahwa Pemilu merupakan suatu Proses pelaksanaan Demokrasi melalui Tahapan yang panjang serta melibatkan banyak pihak, sehingga cenderung membuka peluang terjadinya pelanggaran Pidana.

Sanksi pidana yang dijatuhkan pada Tindak pidana Pemilu dalam KUHP dapat dikatakan cukup ringan jika dibandingkan dengan sanksi pidana pada delik lain dalam KUHP. Dalam KUHP menerapkan pola ancaman sanksi pidana tunggal atau hanya memuat satu sanksi pidana pokok saja, yakni pidana penjara. Pidana penjara paling tinggi yang dijatuhkan dalam Tindak Pidana Pemilu dalam KUHP adalah dua tahun penjara dalam

219 Ibid., hlm 88.

Page 265: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

258 –

Pasal 152. Sedangkan ancaman pidana penjara paling rendah adalah Sembilan bulan dalam Pasal 150 KUHP.220

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwasannya Tindak Pidana Pemilu Kepala Daerah ini pengaturan sanksi pidananya diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020. Hukum pidana khusus merupakan bagian dari hukum pidana yang tersebar dalam berbagai undang-undang yang dibentuk untuk mengatur materi hukum secara khusus. Dalam Undang-Undang tersebut (Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah), selain memuat materi hukum pidana materiil juga memuat materi hukum pidana formil, atau dengan kata lain hukum pidana khusus memuat norma dan sanksi pidan yang tidak diatur dalam KUHP, dan juga memuat aturan hukum acara yang menyimpang dari ketentuan yang ada dalam KUHAP.221

Pada dasarnya tindak pidana pemilu kepala daerah terjadi dikarenakan adanya pasal yang dilanggar dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. Pelanggaran itu dapat berbagai macam tergantung pelaku, cara melakukan pelanggaran dan sanksi dari pelanggaran tersebut. Oleh karenanya disini dibatasi pelanggaran pidana yang dimaksud ialah pelanggaran yang ada pada Pasal 73 ayat (4), yang menyebutkan sebagai berikut:

Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:

220 Hirda Rahmah, Purwoto dan Indarja. ―Penegakan Hukum Undang

Undang Nomor 8 Tahun 2015 Di Wilayah Jawa Tengah Ditinjau Dari Hukum Pidana‖. Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 2, 2017, hlm 3-4.

221 Ruslan Renggong. Op.Cit., hlm 31.

Page 266: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 259

a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih;

b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan

c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.

Apabila seseorang terbukti melanggar Pasal 73 ayat (4) di atas, maka pelaku tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Pasal 187A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020. Pemberian sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana pemilihan umum kepala daerah tidak terlepas dari prinsip pertanggungjawaban pidana yang dianut dalam KUHP yang selaras dengan Sanksi Pidana pada Undang-Undang Pilkada. Sebagaimana telah diterangkan bahwa pengertian hukum pidana yang mencakup ketentuan tentang 3 (tiga) macam/hal, yaitu sebagai berikut:

1. Aturan umum hukum pidana dan yang dikaitkan atau dalam hal yang berhubungan dengan larangan melakukan tindakan-tindakan tertentu disertai dengan ancaman pidana bagi pihak yang melanggar larangan yang dimaksud (dikatakan tindak pidana).

2. Syarat-syarat khusus yang wajib dpenuhi bagi pihak yang melanggar aturan hukum pidana seperti dikatakan awalnya di atas, agar yang melanggar tadi dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.

3. Upaya negara yang harus dan dapat dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara dalam hal negara menegakkan ataupun melaksanakan hukum pidana yang dikatakan tersebut.222

Terhadap pertanggungjawaban dalam hukum pidana menganut asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder should). Walaupun tidak dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dianut dalam praktik. Tidak dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban atas perbuatan. Orang yang melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani

222 Adami Chazawi I, Pelajaran Hukum Pidana: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2017), hlm 2-3.

Page 267: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

260 –

tangggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Dahulu dalam hal ini tindak pidana pelanggaran, pernah dianut paham pertanggungjawaban pidana tanpa memerhatikan adanya kesalahan pada pembuatnya. Paham ini disebut juga dengan paham perbuatan materiil. Artinya, jika perbuatan orang itu telah sesuai dengan perbuatan dalam undang-undang, maka tanpa memerhatikan kesalahan pada orang itu, hakim dapat menjatuhkan pidana.223

Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP terdapat beberapa jenis hukuman (pertanggungjawaban pidana) yang dapat dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana, di mana hukuman yang akan dijatuhkan itu dapat berupa:

1. Pidana pokok: terdiri dari Pidana mati, Pidana penjara, Kurungan dan Denda.

2. Pidana tambahan: terdiri dari Pencabutan hak-hak tertentu, Perampasan barang-barang tertentu dan Pengumuman putusan hakim.224

Sedangkan jika melihat di dalam salah satu contoh pasal Undang-Undang Pilkada yaitu Pasal 187A Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota seseorang dapat dikenakan sanksi penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sehingga yang berlaku dalam Undang-Undang khusus adalah pertanggungjawaban pidana secara pidana penjara dan denda. Namun, berbeda dengan KUHP bagi pelaku tindak pidana Pemilukada terdapat pidana minimum, hal itu membuat para pelaku tidak dapat terlepas dari jeratan hukum pidana yang ada.

Setelah mengetahui pertanggungjawaban pidana tindak pidana pemilukada dalam Pasal 187A tersebut di atas, maka selanjutnya perlu dipahami terkait apabila perbuatan tersebut belum terjadi atau belum dilakukan oleh pelaku, namun hanya sebatas percobaan tindak pidana. Untuk itu perlu didudukan pemahaman terkait tindak pidana percobaan ini, yang pada pokoknya tertuang dalam Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP.

223 Adami Chazawi II, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2018), hlm 151.

224 Teguh Prasetyo. Op.Cit., hlm 117.

Page 268: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 261

Berkenaan dengan percobaan melakukan kejahatan, dari aspek teoritis, menjadi pertanyaan apakah yang merupakan dasar pikiran sehingga suatu perbuatan mencoba melakukan kejahatan, jadi perbuatan itu belum merupakan suatu delik selesai, sudah dapat dipidana. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya teoriteori tentang dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana. Teori-teori tentang dasar dapat dipidananya percobaan dapat dibedakan atas teori percobaan yang obyektif dan teori percobaan yang subyektif. Pendukung teori percobaan obyektif antara lain D. Simons, sedangkan pendukung teori percobaan yang subyektif antara lain G.A. van Hamel.225

Mengenai kedua teori ini dikemukakan oleh J.E. Jonkers bahwa, ―ajaran yang subyektif menitikberatkan pada subyek, yaitu maksud perseorangan (individu), ajaran obyektif mementingkan obyek yaitu perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat.‖ Menurut teori percobaan yang obyektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah bahwa perbuatan itu telah membahayakan suatu kepentingan hukum. Sekalipun perbuatan itu belum melanggar suatu kepentingan hukum, tetapi kepentingan hukum itu telah dibahayakan. Teori percobaan yang obyektif ini terutama melihat pada perbuatan. Perbuatan yang bersangkutan, sekalipun belum melanggar suatu kepentingan hukum, tetapi telah membahayakan kepentingan hukum. Mengenai teori percobaan yang subyektif, dikemukakan oleh Jan Remmelink bahwa teori ini titik berat penekanannya pada niatan pelaku.226

Masih untuk melihat pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana percobaan pemilukada, dapat ditelaah berdasarkan unsur-unsur yang ada pada Pasal 53 KUHP, yang menjelaskan sebagai berikut:

1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

225 Astri C. Montolalu. ―Tindak Pidana Percobaan Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (Kuhp)‖. Jurnal Lex Crimen, Volume V, Nomor 2, Februari 2016, hlm 75.

226 Ibid., hlm 75-76.

Page 269: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

262 –

2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.

3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Berdasarkan hal tersebut di atas untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pidana percobaan pemilukada maka tentu tidak terlepas harus terpenuhinya unsur-unsur yang ada pada Pasal 187A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, ketika unsur tersebut dipenuhi maka selanjutnya ditelaah pula unsur-unsur yang ada pada Pasal 53 ayat (1) KUHP, dikarenakan walaupun ini tindak pidana pemilu namun perbuatannya belum ada (masih pada percobaan perbuatan pidana). Untuk itu apabila kedua unsur dari masing-masing pasal terpenuhi, maka dapatlah pelaku dikenakan sanksi pidana penjara dan denda sesuai Pasal 187A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020.

Terhadap beratnya sanksi pidana penjara dan denda harus dikurangi sepertiga dari pidana maksimum pada Pasal 187A ayat (1) tersebut di atas. Hal ini berarti sanksi pidana penjara yang dapat diterapkan kepada pelaku pidaan percobaan pemilukada adalah maksimal 72 bulan (6 tahun) penjara dikurangi sepertiga, artinya pelaku tindak pidana percobaan pemilukada hanya dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 4 (empat) tahun penjara. Begitu pula dengan pidana denda pada Pasal 187A ayat (1) maksimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dikurangi sepertiga menjadi sekitar maksimal denda yang dapat dikenakan adalah denda sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah).

C. Kebijakan Hukum Pidana Atas Delik Percobaan Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala Daerah

Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau dikenal dengan istilah politik hukum pidana memang merupakan salah satu pendekatan dalam hukum pidana modern (the modern ciminal science), selain pendekatan ―criminology‖ dan ―criminal law‖. Menurut Ancel, kebijakan hukum pidana merupakan

Page 270: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 263

suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.227 Untuk itu kebijakan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari peranan putusan pengadilan, dengan kata lain hakim sebagai salah satu penegak hukum yang mengambil ketentuan terakhir pelaku dapat dipidana ataupun tidak penting untuk memperhatikan segala norma hukum yang memungkinkan digunakan sebelum mengambil keputusan, hal ini merupakan kaitannya dengan kebijakan hukum pidana.

Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan dan fungsi hukum. Karena putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan yang sah dan berwenang merupakan tolak ukur ataupun dasar seseorang untuk memintakan haknya yang telah dilanggar oleh pihak lain. Melalui putusan pengadilan yang adillah barulah hukum sebenarnya dapat diterapkan. Putusan hakim merupakan bagian dari penegakan hukum. Penegakan hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk mewujudkan ide-ide atau keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.

Demi untuk mewujudkan ide-ide atau keinginan-keinginan hukum tersebut tidak dapat dilepaskan dari aspek manjemen, yakni seperangkat kegiatan atau proses untuk mengoordinasikan dan mengintegrasikan penggunaan sumber daya dengan tujuan untuk mencapai tujuan melalui orang-orang, teknik dan informasi yang dijalankan berdasarkan suatu struktur organisasi tertentu. Oleh karena itu, dalam suatu organisasi penegakan hukum tercakup pula orang, tingkah laku, fasilitas dan juga kultur organisasi.228 Oleh karenanya hakim dalam memberikan putusan akhir harus melihat berbagai aspek dan unsur yang dapat mempengaruhi isi dari putusan yang akan diberikan.229

227 Dudung Mulyadi. Loc.Cit. 228 M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, (Jakarta:

Kencana, 2015), hlm 50. 229 Mhd. Teguh Syuhada. Hukum Pembuktian Dalam Peradilan di

Indonesia, (Medan: CV. Pustaka Prima, 2021), hlm 170

Page 271: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

264 –

Pada kasus ini tindak pidana percobaan pada pemilukada kebijakan hukum pidana menjadi penting dalam hal kaitannya untuk melihat tepat tidaknya sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana percobaan Pemilihan Umum Kepala Daerah pada perkara yang sedang diperiksa harus terlebih dahulu melihat sistem pembuktian yang tepat. Dengan kata lain pasal-pasal yang didakwakan, dituntut dan menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan sanksi kepada terdakwa/pelaku harus terpenuhi seluruh unsur-unsurnya dalam proses pembuktian.

KUHAP tidak memberikan definisi mengenai pengertian ―pembuktian‖. namun demikian, KUHAP memberikan pengaturan mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum sebagai mana ditentukan di dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, oleh karenanya pengertian ―pembuktian‖ merujuk kepada pendapat ahli dibidang hukum acara pidana. Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa,sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Selain itu Darwan Prinst berpendapat bahwa pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.230

Terhadap rangka menilai ataupun menganalisis secara hukum putusan Pengadilan, terlebih dahulu harus dilihat dari berbagai sudut pandang hukum. Sehingga penegakan hukum pidana pemilu setidaknya dapat dianalisis dengan melihat masing-masing komponen dalam sistem hukum yang secara langsung berpengaruh terhadap penegakan hukum. Hal ini menjadi salah satu bagian yang harus ditelaah agar terciptanya kebijakan hukum pidana yang dapat memberikan hukuman yang efektif bagi para pelaku percobaan tindak pidana pemilukada.

Kebijakan hukum pidana ini harus dipandang sebagai suatu cara penyelesaian tindak pidana pemilu kada yang tidak biasa, karena perbuatan yang dilakukan pelaku belum terjadi (percobaan). Pada dasarnya mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilukada tidak jauh berbeda dengan mekanisme

230 Aristo Pangaribuan, dkk, Pengantar Hukum Acara Pidana Di

Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm 273.

Page 272: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 265

penyelesaian tindak pidana lainnya, yang harus melalui sistem peradilan pidana, mulai dari kepolisian, kejaksaaan, hingga peradilan. Ketika kasus itu memasuki peradilanpun akan melalui tahap-tahap seperti perkara pidana umumnya, yaitu melalui Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung di tingkat Kasasi.231

Menurut Barda Nawawi Arief di dalam kebijakan hukum pidana, terdapat 2 (dua) masalah sentral yang mesti menjadi perhatian jika hukum pidana, inklusif sanksi pidana ingin dilibatkan yakni:

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Ditegaskan oleh Barda Nawawi Arief, analisa terhadap masalah sentral ini tidak dapat dipisahkan dari konsepsi integral kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial dan kebijakan pembangunan nasional. Artinya, pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diserahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).232

Seperti yang telah dijelaskan pada latarbelakang sebelumnya terdapat contoh kasus penerapan kebijakan hukum pidana oleh Majelis Hakim pada tindak pidana percobaan pemilukada yang diuraikan dalam Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor 385/Pid.Sus/2020/PN Plw Jo putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 40/Pid.Sus/2021/PT.PBR. Dalam kasus tersebut Tim Gakhumdu Pelalawan telah menetapkan seorang tersangka tunggal terhadap kasus tindak pidana Pilkada. Tersangka didakwa dengan pasal 53 KUHP. Hal ini mengingat tersangka adalah upaya percobaan. Hukuman pidana juga dapat diterapkan pada orang yang melakukan suatu tindak pidana meskipun tindak pidana tersebut belum selesai dilakukan atau tidak tercapai hasilnya sesuai, pada pasal 53

231 Topo Santoso dan Ida Budhiati, Pemilu di Indonesia: Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hlm 41.

232 Dudung Mulyadi. Op.Cit., hlm 24.

Page 273: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

266 –

ayat (1) KUHP. Secara rinci dijelaskan bahwa bunyi pasal ini adalah percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya, perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai, hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauan sendiri.

Pada dasarnya baik Majelis hakim yang memeriksa perkara tindak pidana percobaan pemilukada tersebut menilai terpenuhi unsur pidana percobaan yang dilakukan oleh pelaku sesuai Pasal 187A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP. Hal ini artinya Majelis Hakim menganggap walaupun perbuatan pidana belum dilakukan namun sudah ada niat dan potensi perbuatan pelaku tersebut akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau membahayakan kepentingan orang lain.

Keputusan hakim tersebut telah tepat secara yuridis, filosofis dan sosiologis. Walaupun ada penilaian dari unsur belum dilakukannya tindak pidana pemilukada sesuai Pasal 187A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 pada perkara tersebut, namun hakim menggunakan konsep kebijakan hukum pidana dengan mengkaitkannya dengan Pasal 53 KUHP, yang ditemukan bahwa si pelaku pidana percobaan itu sudah nyata dengan dimulainya, perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai, hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauan sendiri. Ini artinya belum terjadinya perbuatan pidana yang dimaksud bukan karena keinginan si pelaku, melainkan karena sebelum tindakan pidananya dilakukan perbuatan tersebut telah diketahui dan ditindak oleh penegak hukum.

Kebijakan hukum pidana yang demikian sudah berkeadilan hukum dan sosial, karena walaupun perbuatan pidana belum dilakukan, perbuatan permulaan dan niat sudah ada. Secara lengkap analisis putusan Pengadilan Negeri Pelalawan ini dapat dilihat dari ketentuan mengenai percobaan (Pasal 53 KUHP).

1. Percobaan terhadap kejahatan dipidana, jika niat petindak telah dinyatakan dengan adanya permulaan pelaksanaan tindakan, dan pelaksanaan tindakan itu tidak selesai hanyalah karena keadaan-keadaan diluar kehendaknya.

Page 274: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 267

a. Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan. Hal ini ternyata dari rumusan pasal 53 KUHP. Dengan demikian percobaan untuk melakukan kejahatan.

b. Permulaan pelaksanaan tindakan sesuai dengan perumusan percobaan, katakata permulaan pelaksanaan tindakan harus dihubungkan dengan kata-kata niat yang mendahuluinya yang terdapat dalam pokok kalimat tersebut, Jadi yang dimaksud ialah: permulaan pelaksanaan tindakan dari niat (petindak). Jika penafsiran ini dihubungkan dengan ajaran tentang dasar-dasar pemidanaan percobaan, maka ia termasuk dalam ajaran percobaan subjektif.

c. Pelaksanaan tindakan tidak selesai karena keadaan diluar kehendak petindak. Pada syarat ketiga ini ada 3 macam hal yang menjadi perhatian yaitu: a.tidak selesai b.hanyalah c. Keadaan-keadaan diluar kehendak petindak. Yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya.

2. Maksimum pidana pokok yang ditentukan terhadap kejahatan itu, dalam hal percobaan dikurangi dengan sepertiga.

3. Jika pidana mati atau pidana penjara seumur hidup yang diancamkan terhadap kejahatan itu, maka pidana penjara yang maksimumnya 15 tahun yang dijatuhkan.

4. Pidana tambahan untuk percobaan sama dengan kejahatan selesai.233

Kebijakan hukum pidana yang diciptakan dengan memberikan sanksi pidana kepada pelaku pidana percobaan pemilukada pada Pengadilan Negeri Pelalawan dan Pengadilan Tinggi Pekanbaru di atas dapat dinilai sebagai acuan untuk dapat diteruskan oleh para penegak hukum lainnya, artinya bahwa dari Tindak Pidana Percobaan kaitannya dengan pemilukada dapat dipidana dengan menyertakan Pasal 53 KUHP.

233 Magelhaen Madile. ―Penjatuhan Pidana Terhadap Perbuatan

Percobaan Melakukan Tindak Pidana‖. Jurnal Lex Crimen, Volume V, Nomor 2, Februari 2016, hlm 69-70.

Page 275: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

268 –

Kebijakan hukum pidana ini mengisyaratkan bukan hanya pihak yang sudah melakukan tindak pidana dapat dijatuhi hukum pidana, namun pelaku yang mencoba untuk melakukan tindak pidana selama terbukti sudah ada niat yang membahayakan kepentingan orang lain dapatlah dikenai sanksi pidana, walaupun perbuatan tersebut belum ada.

Kebijakan hukum pidana pada pidana percobaan pemilukada yang telah diuraikan di atas merupakan salah satu wujud dari fungsi hukum itu sendiri. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).234

Hal ini menjadi penting dan seharusnya diterapkan oleh semua penegak hukum yang terkait, mengingatka karakter khusus yang dimiliki tindak pidana pemilu, seperti singkatnya waktu penanganan, sesungguhnya membutuhkan adanya ketentuan terkait pembuktian yang lebih spesifik selain yang diatur dalam KUHAP. Jika hanya mengacu pada KUHAP, penanganan tindak pidana pemilu akan jauh dari efektif. Apalagi untuk tujuan mengawal integritas pemilu yang jujur dan adil.235 Untuk itu diperlukannya kebijakan hukum pidana mulai dari awal penangangan oleh Gakkumdu di Bawaslu sampai dengan pemeriksaan dan putusan akhir di Pengadilan.

Penutup Penanganan Tindak Pidana Pemilihan Umum Kepala

Daerah di Indonesia diawali melalui sentra Gabungan Penegak Hukum Terpadu (GAKKUMDU) yang terdiri dari Badan Pengawas Pemilihan Umum, Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Negara. Dengan melaksanakan tugasnya sesuai laporan masyarakat atau temuan langsung di lapangan berdasarkan

234 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2017), hlm 1.

235 Khairul Fahmi II. Op.Cit., hlm 280.

Page 276: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 269

rekomendasi Badan pengawas pemilu (Bawaslu) di tingkat Provinsi dan Panitia Pengawas (Panwas) di tingkat Kabupaten/Kota yang selanjutnya diteruskan kepada pihak kepolisian dan ditindak lanjuti oleh pihak kepolisian dalam tenggang waktu 14 hari. Apabila, terdapat barang bukti yang cukup maka pihak kepolisian melimpahkan kepada pihak kejaksaan dan pihak kejaksaan wajib melimpahkan perkara tindak pidana dalam pilkada selama 5 hari kerja. Apabila tenggang waktu tersebut baik pada pihak kepolisian dan kejaksaan melebihi waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang maka gugurlah hak hak penuntutan karena kadaluarsa atau lewat waktu.

Dipahami pula pertanggungjawaban pidana bagi pelaku Tindak Pidana Percobaan pada Pemilihan Umum Kepala Daerah terlebih dahulu harus memenuhi unsur-unsur pidana yang terkandung di dalam tiap-tiap pasal pidana yaitu yang ada pada Pasal 177 sampai dengan Pasal 198Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, kemudian dikaitkan denganPasal 53 ayat (1) KUHP. Setelah kedua unsur-unsur pasal tersebut terpenuhi, terhadap beratnya sanksi pidana penjara dan denda harus dikurangi sepertiga dari pidana maksimum pada Pasal yang dikenakan kepada pelaku. Apabila pasal pidana yang dikenakan kepada pelaku adalah Pasal 187A ayat (1) hal ini berarti sanksi pidana penjara yang dapat diterapkan kepada pelaku pidaan percobaan pemilukada adalah maksimal 72 bulan (6 tahun) penjara dikurangi sepertiga, artinya pelaku tindak pidana percobaan pemilukada hanya dapat dikenakan sanksi penjara maksimal 4 (empat) tahun penjara. Begitu pula dengan pidana denda pada Pasal 187A ayat (1) maksimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dikurangi sepertiga menjadi sekitar maksimal denda yang dapat dikenakan adalah denda sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah).

Kebijakan hukum pidana atas delik percobaan tindak pidana pemilihan umum kepala daerah memang harus diterapkan oleh para penegak hukum khususnya pihak Gakkumdu dan juga Majelis Hakim yang memeriksa. Kebijakan hukum pidana tersebut perlu diambil dengan mempertimbangan berbagai sudut pandang baik secara yuridis, filosofis dan sosiologis. Seperti penerapan tindak pidana percobaan pemilukada yang sanksinya dituangkan dalam Pasal 187A

Page 277: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

270 –

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, namun dalam pasal tersebut tidak ada diterangkan terkait tindak pidana percobaan bagi pelakunya dapat dipidananya. Maka oleh karena itu penegak hukum yang ada harus mengambil suatu kebijakan hukum pidana dengan mengkaitkannya melalui Pasal 53 ayat (1) KUHP. Sehingga pelaku pidana percobaan pada Pasal 187A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tidak dapat terlepas dari hukuman. Tentu hal itu harus memperhatikan aspek dikarenakan perbuatan belum terjadi namun sudah ada niat dan permulaan pelaksanaan sehingga pelaku dikenakan hukuman pidana percobaan dikurangi sepertiga dari masa hukuman/sanksi yang seharusnya. Dipidananya percobaan terdapat dua pandangan yang subjektif yang menganggap bahwa orang melakukan percobaan itu harus di pidana oleh karena sifat berbahayanya orang itu. Serta pandangan yang objektif yang menganggap bahwa dasar untuk memidana percobaan disebabkan karena berbahayanya perbuatan yang di lakukan. Berlakunya kebijakan hukum pidana dengan melakukan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku pidana percobaan dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah merupakan suatu terobosan hukum yang baik, agar para penegak hukum dalam bidang tindak pidana pemilukada ini tidak terlalu tekstual dan kaku dalam penerapannya melainkan dapat mengkaitkannya dengan norma-norma hukum lainnya.

Daftar Pustaka A. Buku Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Penafsiran Hukum

Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2017).

___________, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2018).

Aristo Pangaribuan, dkk, Pengantar Hukum Acara Pidana Di Indonesia, (Depok: Rajawali Pers, 2018).

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018).

Page 278: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 271

Khairul Fahmi, Pemilihan Umum Dalam Transisi Demokrasi: Kompilasi Catatan Atas Dinamika Pemilu Dan Pilkada Di Era Reformasi, (Jakarta: PT. RajaGrafindos Persada, 2016).

M. Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim, (Jakarta: Kencana, 2015).

Mhd. Teguh Syuhada. Hukum Pembuktian Dalam Peradilan di Indonesia, (Medan: CV. Pustaka Prima, 2021).

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018).

Rahmat Bagja dan Dayanto, Hukum Acara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu: Konsep, Prosedur, Dan Teknsi Pelaksanaannya, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2020).

Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus: Memahami Delik-delik di Luar KUHP, (Jakarta: Kencana, 2017).

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbainin Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesi dan Disertasi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2019).

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2017).

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2018).

Topo Santoso dan Ida Budhiati, Pemilu di Indonesia: Kelembagaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019).

Zainal Arifin Hoesein dan Arifudin, Penetapan Pemilih Dalam Sistem Pemilihan Umum, (Depok: PT. RajaGrafindo Persada, 2017).

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Page 279: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

272 –

Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

C. Jurnal Ilmiah Astri C. Montolalu. ―Tindak Pidana Percobaan Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (Kuhp)‖. Jurnal Lex Crimen, Volume V, Nomor 2, Februari 2016.

Dudung Mulyadi. ―Analisis Penerapan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu‖. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Galuh, Volume 7, Nomor 1, Maret 2019.

Hadi Jumhadi. ―Optimalisasi Penegakan Hukum Pidana Pemilu Dalam Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Serentak‖. Journal Justiciabellen, Volume 01, Nomor 01, Januari 2021.

Hirda Rahmah, Purwoto dan Indarja. ―Penegakan Hukum Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 Di Wilayah Jawa Tengah Ditinjau Dari Hukum Pidana‖. Diponegoro Law Journal, Volume 6, Nomor 2, 2017.

Khairul Fahmi. ―Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu System for The Crime of Election‖. Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015.

Magelhaen Madile. ―Penjatuhan Pidana Terhadap Perbuatan Percobaan Melakukan Tindak Pidana‖. Jurnal Lex Crimen, Volume V, Nomor 2, Februari 2016.

Magdalena Lurenzia Seba. ―Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemilihan Kepala Daerah‖. Jurnal Lex Administratum, Volume V, Nomor 9, November 2017.

Mohd, Din, dkk. ―Modelpenegakan Hukum Tindak Pidanapemilu Di Provinsi Aceh Yang Berkeadilan (The Model for Law Enforcement on Election CrimesinAceh Province). Jurnal

Page 280: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 273

Penelitian Hukum De Jure, Volume 20, Nomor 3, September 2020.

Muhammad Junaidi. ―Pidana Pemilu Dan Pilkada Oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu‖. Jurnal Ius Constituendum, Volume 5, Nomor 2, Oktober 2020.

Rusmanto. ―Peranan Penyidik Dalam Tindak Pidana Pemilihan Kepala Daerah‖. Jurnal Hukum UNISSULA, Volume 35, Nomor 2, 2019.

Page 281: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

274 –

Page 282: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 275

PELANGGARAN NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA

DALAM PEMILU 2019 DI PROVINSI RIAU

Adrian Faridhi

Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Email: [email protected]

Pendahuluan Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsekuensinya membuat segala tindakan dan perbuatan oleh Negara dan organ Negara harus berdasarkan hukum, termasuk tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai organisasi pemerintahan.

Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun sekali, pemilu yang menggabungkan pelaksanaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yang dilaksanakan dalam satu waktu. Dengan Pemilu memberi kesempatan bagi warga negara ikut memperebutkan jabatan publik secara adil 236. Masa kampanye yang panjang membuka peluang penyimpangan yang dilakukan oleh ASN untuk terlibat dalam politik praktis dalam dukung mendukung calon tertentu dalam Pemilu. ASN punya hak politik untuk memilih, tetapi tidak memiliki hak untuk dipilih (kecuali mundur sebagai PNS) dan tidak diperkenankan aktif pada partai politik237, karena sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang melarang ASN terlibat dalam dukung mendukung calon tertentu. Salahsatu cara yang melanggar aturan dengan menggunakan PNS menjadi mesin politik untuk meraih kemenangan ditambah dengan persebaran yang luas di 236 Adrian Faridhi, (2018). ―Penggunaan Surat Keterangan dalam

Pemilihan Kepala Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2017‖. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum. Vol.5 (2):88

237 S.F. Marbun, (1998). ―Netralitas Pegawai Negeri Dalam Kehidupan Politik di Indonesia‖. Jurnal Hukum UII, Vol.10 (5):74

Page 283: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

276 –

Indonesia dan dalam satu kendali dari atas, PNS bisa dijadikan obyek untuk mendulang suara238.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memiliki tugas, wewenang dan kewajiban demi terjaminnya Pemilu yang berkualitas dan memiliki legitimasi, salahsatu yang dimemiliki oleh Bawaslu sebagaimana diatur dalam Pasal 93 huruf g angka 5, yang berbunyi ―mengawasi pelaksanaan putusan/ keputusan keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia‖.

Larangan keterlibatan aparatur sipil negara juga dijelaskan Pasal 280 Ayat 2 huruf f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 berupa pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan aparatur sipil negara. Selain larangan ikut dan terlibat dengan pelaksanaan kampanye, aparatur sipil negara juga dilarang mengadakan kegiatan yang mengarahkan kepada keberpihakan terhadap Peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye. Larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dijelaskan Pasal 283 Ayat 1 dan 2.

Persoalan netralitas ASN selalu menjadi persoalan dalam proses politik di Indonesia, menurut Tedi Sudrajat dan Sri Hartini yang meneliti netralitas ASN pada Pemilukada di Jawa tengah, upaya mengatasi pelanggaran netralitas ASN dengan regulasi penanganan pelanggaran netralitas ASN dengan memkuat fungsi kordinasi antar penyelenggara Pemilu dengan KASN, serta memberi kebebasan untuk memilih dan pengawasan terhadap bawahan sebelum maupun sesudah pada masa kampanye pemilu239 .

Pada Penelitian lainya, Sri Hartini, Setiajeng Kadarsih dan Tedi Sudrajat menerangkan masalah netralitas pada lemahnya

238 Bambang Widodo Umar. (2018). ―Pemilukada dalam Kerangka Negara

Demokrasi Pancasila‖. Jurnal Ilmu Kepolisian. Vol. 12 (1): 26 239 Tedi Sudrajat, Sri hartini. (2017). ―Rekonstruksi Hukum Atas Pola

Penanganan Pelanggaran Asas Netralitas Pegawai Negeri Sipil‖. Jurnal Mimbar Hukum. Vol.29 (3): 458

Page 284: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 277

fungsi koordinasi dan penerapan sanksi pemilukada di wilayah Jawa Tengah240.

Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk menegakkan prinsip “the right man on the right place” merupakan salah satu tujuan kehadiran KASN. KASN memiliki tugas penting ―mengobati‖ birokrasi yang terjangkit penyakit agar segera tercipta birokrasi yang bersih, kompeten dan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat241, kehadiran KASN menghendaki ASN dapat profesional diantara tekanan politik.

Ketidaknetralan ASN dapat menimbulkan implikasi terhadap pertama, diskriminasi dalam pelayanan birokrasi yang berfungsi sebagai alat pengendali masyarakat dan alat mobilisasi masyarakat; Kedua, terlalu banyak political appointment pada jabatan karier birokrasi dan munculnya birokrasi yang bersifat partisan; Ketiga, pengabaian prinsip meritokrasi dan berkembangnya praktek koneksi dan praktek rekrutmen, promosi dan demosi yang lebih didasarkan pada faktor askriptif, dan Keempat, pelembagaan conflict of interest dan munculnya birokrasi berbisnis242.

Penelitian yang dilakukan oleh Ombi Romli menjelaskan pelanggaran netralitas ASN dalam Pemilukada meningkat jika incumbent ikut dalam kontestasi, namun akan cenderung rendah saat semua calon bukan dari incumbent243. Secara normatif, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, ditujukan untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi

240 Sri Hartni, Setajeng Kadarsih, Tedi Sudrajat. (2014). ―Kebijakan

Netralitas Poli k Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilukada ( Studi di Jawa Tengah )‖. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 1 (3): 537

241 Herdiansyah Putra, Eddy Purnama, Taqwaddin. (2015). ―Keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara Kaitannya dengan Asas Efektif dan Efisien dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara‖. Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Vol. 3(4): 24

242 Utomo. (2006). ―Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik‖. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 6

243 Ombi Romli. (2016). ―Tanpa Incumbent, Keterlibatan Politik Aparatur Birokrasi pada Pemilukada Serentak Menurun‖. Jurnal Ilmu Pemerintahan CosmoGov. Vol. 2(1): 132

Page 285: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

278 –

politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme244, pemerintah membuat regulasi yang membatasi hubungan PNS dengan kegiatan politik praktis245, sehingga netralitas diartikan bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, maka ASN dilarang menjadi anggota dan/ atau pengurus partai politik246.

Terdapatnya ASN yang dilaporkan ke Bawaslu, karena diduga terlibat dalam dukung mendukung dalam Pemilu tahun 2019, keterlibatan ASN tentu dapat mencederai pesta demokrasi yang mengharapkan independensi ASN sebagai abdi negara yang terjadi dalam Pemilihan Umum tahun 2019 di Provinsi Riau.

Pembahasan Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi perhatian pihak penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), hal ini menjadi penting bagi pelaksaanaan pemilu untuk menjaga ketertidak berpihaknya birokrasi dalam politik praktis. Netralitas ASN umum terjadi sebelum maupun sesudah pemilihan, loyalitas ASN yang berjenjang membuka kemungkinan ikut dalam pelaksanaan kampanye247, tidak berperan dalam proses politik248. Menurut Bintoro Tjokro Amidodjo, birokrasi menjadi alat politik akan mengurangi orientasinya terhadap pengabdian umum, pelayanan publik, tidak lagi public servant namun

244 Dede Mariana. (2017). ―Aparatur Sipil Negara dan Reformasi

Birokrasi‖. AIPI Jurnal Ilmu Politik. Vol. 22 (1): 92 245 Tedi Sudrajat, Agus Mulya Koswara. (2016). ―Menyoal Makna

Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara‖. Jurnal Media Hukum. Vol. 23(1): 87

246 Bagus Sarnawa. (2017). ―Pengaturan dan Implementasi Prinsip Netralitas Aparatur Sipil Negara di Indonesia‖. Jurnal Media Hukum. Vol. 24(1): 45

247 Raldi Tandayu. Marthen Kimbal, Alfon, (2017). ―Kendala Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam Menindaklanjuti Pelanggaran Pemilu pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2015‖. Jurnal Eksekutif. Vol. 2(2): 4

248 Sri Hartini.(2009). ―Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)‖. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 9(2): 264

Page 286: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 279

menjadi bagian dari penguasa dan kekuasaan politik itu sendiri249 Pengaturan tentang pelaksanaan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilu maupun Pilkada merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) berbunyi: Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Ini memberikan ketentuan bahwa ASN selain PNS, masih terdapat lagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. KASN memiliki tugas penting ―mengobati‖ birokrasi yang terjangkit penyakit, hingga terbentuk birokrasi bersih, kompeten dan mampu memberikan pelayanan terbaik250.

Penyelenggaran Kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan asas netralitas, sedangkan yang dimaksud dengan netralitas menurut Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. ASN memiliki nilai dasar yang menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak, nilai yang menjadi pokok permasalahan ketika terdapat ASN yang sudah memihak pada orang atau kekuatan politik tertentu. Bentuk keterlibatan PNS dalam politik praktis saat PNS menjadi pendukung/ tim sukses salah satu calon dalam pilkada/ pemilu. Hal ini dilakukan baik

249 Ombi Romli. (2016). ―Tanpa Incumbent, Keterlibatan Politik Aparatur

Birokrasi pada Pemilukada Serentak Menurun‖. Jurnal Ilmu Pemerintahan CosmoGov. Vol. 2(1): 139

250 Herdiansyah Putra, Eddy Purnama, Taqwaddin. (2015). ―Keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara Kaitannya dengan Asas Efektif dan Efisien dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara‖. Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Vol. 3(4): 24

Page 287: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

280 –

secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi251, yang dimobilisasi ataupun tidak252.

Kode etik dan kode perilaku berisi pengaturan perilaku agar Pegawai ASN: Pertama, Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya; Kedua, Memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan Ketiga, Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.

Pengawasan netralitas ASN ditingkat Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/ Kota dalam Pemilu diatur dalam Pasal 101 huruf a dan huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi sebagai berikut:

➢ Huruf a yang berbunyi ―melakukan pencegahan dan penindakan terhadap Pelanggaran Pemilu; dan Sengketa Proses Pemilu‖

➢ Huruf d yang berbunyi ―mengawasi netralitas semua pihak yang dilarang ikut serta dalam kegiatan kampanye sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini‖.

Ketentuan dalam Pasal 103 Undang-Undang Pemilu memberikan wewenang kepada Bawaslu dalam kaitan dengan netralitas ASN, berupa menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemilu dan merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil Negara (ASN), netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Kewajiban Bawaslu sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Undang-Undang Pemilu dalam kaitan dengan pengawasan netralitas ASN, berupa bersikap adil dalam menjalankan tugas dan wewenang dan menyampaikan temuan, laporan kepada Bawaslu Provinsi berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/ Kota yang mengakibatkan 251 Eko Prasojo, Laode Rudita. (2014). ―Undang-Undang Aparatur Sipil

Negara: membangun Profesionalisme Aparatur Sipil Negara‖. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS. Vol.8 (1): 25

252 Rina Martini. (2010). ―Politisasi Birokrasi di Indonesia‖. Jurnal Ilmu Politik. Vol.1(1); 27

Page 288: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 281

terganggunya penyelenggaraan tatrapan Pemilu di tingkat kabupaten/ kota dan melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan lebih lanjut dalam pengawasan netralitas ASN, juga telah diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara, Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 4 Ayat (1) yang berbunyi Pengawas Pemilu melakukan pengawasan Netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri terhadap: Pertama, keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu selama masa Kampanye; dan Kedua, kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.

Pelanggaran netralitas ASN diatur dalam Ketentuan Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Pasal 6 huruf h, berbunyi yang berbunyi profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi dan ketentuan pada Pasal 11 huruf c yang berbunyi menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan, Maka PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis dengan partai politik dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 4 angka 12, angka 13, angka 14 angka angka 15.

Berdasarkan Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terhadap pelanggaran netralitas dalam pemilu tahun 2019, Peneliti membaginya berdasarkan wilayah kedinasan ASN tersebut, sebagai berikut:

1. Kota Dumai a. Rekomendasi Bawaslu Kota Dumai Nomor 15/BAWASLU-

PROV-RI-12/11/2018 tanggal 2 November 2018.

Pelanggar netralitas ASN berinisial SM, berdasarkan kronologis peristiwa yang diperoleh dari Bawaslu, bahwa ASN SM yang merupakan PNS di Bappeda Dumai yang terbukti

Page 289: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

282 –

melakukan pelanggaran netralitas ASN berupa memposting tulisan beserta gambar citra diri calon legislatif DPRD Kota Dumai Dapil Kota Dumai 1 dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) atas nama Hj. Haslinar S.Sos yang merupakan Ibu Kandung dari ASN SM dan menulis kalimat ―Mohon Doa dan Dukungannya‖ tanggal 28 September 2018 pukul 15.37 wib. ASN SM dijatuhi sanksi disiplin ringan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan meminta untuk menghapus postingan dimedia sosialnya yang isinya terkait gambar dan pernyataan dukungan terhadap calon legislatif. b. Rekomendasi Bawaslu Kota Dumai Nomor

04/TM/PL/KOTA/04.02/X/2018 tanggal 12 November 2018.

Pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh ASN berinisial ES, berdasarkan kronologis peristiwa yang diperoleh dari Bawaslu, bahwa ASN berinisial ES yang merupakan PNS dan menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP yang membagi-bagikan kalender calon anggota legislatif DPRD Kota Dumai yang merupakan suami bersangkutan pada kegiatan sosialisasi Komite Sekolah SMPN 15 Dumai, pada tanggal 22 Oktober 2018. ASN inisial ES terbukti melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 2 huruf f, bahwa Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas, Pasal 4 huruf d, bahwa menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak, Pasal 5 Ayat (2) huruf d, huruf h dan huruf i, Pasal 9 Ayat (2), bahwa Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. ASN berinisial ES dijatuhi sanksi disiplin berdasarkan BAP dan LHP dan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

c. Rekomendasi Bawaslu Kota Dumai Nomor 06/TM/PL/KOTA/04.02/I/2019 tenggal 30 Januari 2019.

Pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh ASN berinisial MAF, berdasarkan kronologis peristiwi yang diperoleh dari Bawaslu, bahwa yang bersangkutan ikut dalam pelaksaan Bakti Sosial/ khitanan massal sebagai mantri/ operator khitan yang diselenggarakan oleh salahsatu calon legislatif Kelurahan Pelintung Kecamatan Medang Kampai, bahwa ASN berinisal MAF terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 2 huruf f, bahwa

Page 290: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 283

Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas netralitas; Pasal 4 huruf d, bahwa menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Hasil pengawasan disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk wajib ditindaklanjuti. ASN berinisial MAF diberi sanksi sedang yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tenang Disiplin PNS. 2. Kabupaten Siak Berdasarkan rekomendasi Bawaslu Kabupaten Siak Nomor 02/TM/PL/Kab/04.11/XI/2018 tanggal 6 November 2018. Pelanggaran netralitas ASN yang dilakukan oleh ASN berinisial H, menurut kronologis pelanggaran netralitas yang dilakukan berupa, bahwa terdapat kampanye dialogis/ tatap muka Calon Legisltif DPR RI Dapil 1 Nomor urut 2 dari Partai Persatuan Pembangunan yang dilaksanakan pada tanggal 27 Oktober 2018 disalahsatu rumah milik ASN dilingkungan Pemerintah Kabupaten Siak dengan posisi sebagai staf Keuangan di Sekretariat Subbag Umum KORPRI Kabupaten Siak. Pelanggaran netralitas ASN berinisial H, berupa memberikan izin rumah pribadinya digunakan kepada salah seorang Tim Sukses salahsatu Caleg untuk melaksanakan kampanye dialogis, merupakan tindakan yang dapat dipresepsikan sebagai keberpihakan pada pada salahsatu Caleg. Tindakan tersebut dilarang diatur dalam Surat Menpan RB Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 Tanggal 27 Desember 2017 Perihal Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2018, Pemilihan Legislatif Tahun 2019 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019, sebagai ASN aktif seharusnya memahami bahwa tindakannya berpotensi melanggar ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan seharusnya menjadi contoh bagi ASN untuk tidak melakukan kegiatan berpolitik praktis dan ASN berinisial H dijatuhi sanksi disiplin sedang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Page 291: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

284 –

3. Kabupaten Kuantan Singingi Berdasarkan rekomendasi Bawaslu Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 02/LP/PG/KASB-KS/04.07/IV/2018. Berdasarkan kronologis pelanggaran netralitas ASN berinisial JV yang merupakan PNS yang menduduki jabatan sebagai Camat Kuantan Mudik yang mengunggah komentar ―2019 ganti Presiden‖ pada akun facebook pribadinya pada tanggal 2 April 2018. ASN berinisial JV melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS Pasal 3 Ayat (4), Pasal 8 Ayat (2) dan Pasal 12 , Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS Pasal 6 huruf h, Pasal 11 huruf c dan Pasal 15 Ayat (1) dan melanggar Surat Menpan RB Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 Tanggal 27 Desember 2017 Perihal Pelaksanaan Netralitas bagi ASN pada Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2018, Pemilihan Legislatif Tahun 2019 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019, sebagai ASN aktif seharusnya memahami bahwa tindakannya berpotensi melanggar ketentuan Peraturan Perundang-undangan. ASN berinisial JV dijatuhi sanksi moral berupa pernyataan secara terbuka yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dan meminta untuk menghapus atau mendelete komentar yang mengarah kepada keberpihakan pada salahsatu calon Presiden dan Wakil Presiden yang terdapat akun facebook milik pribadinya, karena perbuatan tersebut termasuk berpolitik praktis dan setiap ASN dilarang melakukan perbuatan tersebut. 4. Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan rekomendasi Bawaslu Kabupaten Indragiri Hilir Nomor 319/RI-02/TU.00.01/2018 tanggal 21 November 2018. Pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh ASN berinisial RA adalah PNS yang memiliki jabatan Kepala Bagian Pembangunan Setda Kabupaten Indragiri Hilir, berdasarkan kronologis bahwa ASN RA mengakui melakukan kampanye di media sosial facebook dan memberikan dukungan kepada calon anggota DPRD Provinsi Riau Daerah Pemilihan VII (Kabupaten Indragiri Hilir dari Partai PKS). ASN RA dijatuhi sanksi disiplin sedang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Page 292: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 285

5. Kabupaten Pelalawan Berdasarkan rekomendasi Bawaslu Kabupaten Pelalawan Nomor 009/RI-06/PM.05.02/02/2019 tanggal 18 Februari 2019. ASN berinisial PM merupakan ASN dengan jabatan Kepala Bidang Kesetaraan Gender di Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Pelalawan. Menurut kronologis yang diterima dari Bawaslu, bahwa pada tanggal 1 Februari 2019, salahsatu anggota DPRD Provinsi Riau dari Partai Golkar yang juga merupakan Caleg DPRD Provinsi atas nama Sewitri melaksanakan kegiatan silaturahmi dengan Persatuan wirid yasin Desa Beringin indah dalam acara rutin Wirid BKMT (Badan Kotak Majelis Taklim) yang berlokasi di salahsatu Musholla Desa Beringin Indah. ASN PM merupakan istri dari Ketua DPRD Kabupaten Pelalawan atas nama Nasarudin yang juga mencalonkan diri sebagai anggota legislatif DPR, saudara PM diundang dan menghadiri serta ikut memberikan sambutan dan memperkenalkan diri sebagai istri salah seorang caleg (Nasarudin), sekaligus meminta dukungan kepada masyarakat yang hadir, namun Nasarudin sendiri tidak hadir dalam acara tersebut. ASN PM dijatuhi sanksi disiplin sedang sesuai dengan Peraturan pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.

Kesimpulan Pelaksanaan netralitas ASN pada Pemilu tahun 2019 di Provinsi Riau terjadi pelanggaran netralitas, pelanggaran netralitas ASN dilatar belakangan disebabkan terdapatnya hubungan keluarga dengan calon legislatif, dukungan terhadap calon legislatif di sosial media dan dukungan terhadap isu politik yang mengarah dukungan kepada kandidat presiden tertentu.

Daftar Pustaka Faridhi, A. (2018). Penggunaan Surat Keterangan dalam

Pemilihan Kepala Daerah Kota Pekanbaru Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5(2), 86-93.

Hartini, S. (2009). Penegakan hukum netralitas pegawai negeri sipil (pns). Jurnal Dinamika Hukum, 9(2), 258–267.

Page 293: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

286 –

Hartini, S., Kadarsih, S., & Sudrajat, T. (2014). Kebijakan Netralitas Poli k Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilukada ( Studi di Jawa Tengah ). Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, 1(3), 537–557.

Marbun, S. . (1998). Netralitas Pegawai Negeri dalam Kehidupan Politik di Indonesia wn pr d Mnrn fisitun. Jurnal Hukum UII, 10(5), 69–78.

Marina, D. (2017). Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi. AIPI Jurnal Ilmu Politik, 22(1), 91–104.

Martini, R. (2010). Politisasi Birokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Politik, 1(1), 118–133.

Prasodjo, Eko dan Rudita, L. (2014). Undang-Undang Aparatur Sipil Negara: membangun Profesionalisme Aparatur Sipil Negara. Jurnal Kebijakan Dan Manajemen PNS, 8(1), 13–31.

Putra, Herdiansyah, Purnama, Eddy, T. (2015). Keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara Kaitannya dengan Asas Efektif dan Efisien dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, 3(4), 20–26.

Romli, O. (2016). Tanpa Incumbent, Keterlibatan Politik Aparatur Birokrasi pada Pemilukada Serentak Menurun. Jurnal Ilmu Pemerintahan CosmoGov, 2(1), 132–159.

Sarnawa, B. (2017). Pengaturan dan Implementasi Prinsip Netralitas Aparatur Sipil Negara di Indonesia. Media Hukum, 24(1), 42–51. https://doi.org/10.18196/jmh.2017.0088.42-51

Sudrajat, Tedi dan Hartini, S. (2017). Rekonstruksi Hukum Atas Pola Penanganan Pelanggaran Asas Netralitas Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Mimbar Hukum, 29(3), 445–460.

Sudrajat, T., & Karsona, A. M. (2016). Menyoal Makna Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Media Hukum, 23(1), 87–94. https://doi.org/10.18196/jmh.2015.0070.87-94

Tandayu, R., Kimbal, M., Kimbal, A., Pemilu, P., Pemilihan, P., Dan, G., Gubernur, W., & Sulawesi, P. (2017). Kendala Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam Menindaklanjuti Pelanggaran Pemilu pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2015. Jurnal

Page 294: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 287

Eksekutif, 2(2), 1–12.

Umar, B. W. (2018). Pemilukada dalam Kerangka Negara Demokrasi Pancasila. Jurnal Ilmu Kepolisian, 12(1), 24–31.

Utomo, 2006, Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Jiwa Korps

dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Page 295: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

288 –

Page 296: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 289

PENEGAKAN HUKUM PIDANA PEMILU DALAM

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN

WAKIL KEPALA DAERAH

Ismail Koto Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Pendahuluan

Pemilihan umum selalu pemilihan umum merupakan sarana kedaulatan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti karena proses rakyat yang akan menentukan pemimpin. Sebagian dari suprastruktur politik yang terdiri dari Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati Wakil Bupati dan Walikota Wakil Walikota, DPR RI, DPD, DPRD Tingkat Provinsi dan DPRD Tingkat Kabupaten Kota, Kepala Desa bahkan RW dan RT ditentukan melalui pemilihan umum. Sedangkan suprastruktur politik yang lainnya merupakan jabatan-jabatan yang dipilih melalui seleksi yang ketat dan atau diangkat langsung seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komnas Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran, Komisi Informasi, Komisi Yudisial, KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) beserta jajaran. Penentuaan jabatan-jabatan ini sangat dipengaruhi oleh infrastruktur politik yang terdiri dari tokoh politik, partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan alat komunikasi politik.

Proses tahapan pemilihan umum yang diselenggarakan oleh KPU sebagaiman diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011 dan PKPU No. 1 Tahun 2016 yang terdiri dari : Pemutahiran Data Pemilih, Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon, Pendistribusian logistik pemilu, Kampanye dan Masa tenang, Pemungutan dan Penghitungan suara, serta penetapan hasil.

Proses penyelenggaraan pemilihan umum ini tentu saja bukan tanpa kendala dan dimanika. Banyak sekali ditemukan pelanggaran dalam setiap tahapan baik pelanggaran

Page 297: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

290 –

adminstrasi, pelanggaran kode etik maupun pelanggaran pidana. Harus dipahami bahwa dalam penegakan hukum pidana, dasar pembenaran seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan tindak pidana, adalah ia terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Pemikiran demikian telah sesuai dengan penerapan asas legalitas dalam hukum pidana (KUHP), yakni sebagaimana dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ―Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali‖ atau dalam adagium lain istilah ini dapat dikenal ―tiada pidana tanpa kesalahan‖.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum tidak dijelaskan secara jelas pengertian tindak pidana Pemilihan Umum. Secara definitif pengertian tindak pidana pemilu sulit ditentukan, Sebagaimana yang berlaku bagi terminologi hukum, untuk tindak pidana pemilu juga tidak ada satu rumusan pun yang dapat memberikan secara utuh definisi atau pengertian tindak pidana Pemilu, yang sekaligus dapat dijadikan pegangan baku atau standar bagi semua orang. Namun demikian salah satu rumusan menjelaskan bahwa "setiap orang, badan hukum, ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, rnenghalang-halangi, atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang- undang", merupakan perbuatan pidana Pemilu (Djoko Prakoso, 1987). Menurut Joko Prakoso, tindak pidana Pemilu adalah setiap orang, badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau menggangu jalanya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang (Djoko Prakoso, 1987).

Karena fokusnya adalah tindak pidana, dengan begitu berbagai kecurangan yang terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, tetapi bukan termasuk tindak pidana tidak menjadi objek yang dikaji. Seperti diketahui bahwa tidak semua kecurangan atau praktik curang dalam pemilu oleh pembuat Undang-undang dikualifikasi sebagai tindak pidana Pemilu.

Topo Santoso tidak memberikan redefenisi pada saat tindak pidana pemilu pada saat tahapan pemilu sudah selesai, misalnya pada saat tahapan kasus itu di tingkat penyelidikan belum selesai, atau pada tahap penuntutan kasus tersebut masih berada di tangan Kejaksaan namun tidak di tangani lagi

Page 298: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 291

hingga ke Pengadilan karena penyelenggaraan pemilu sudah berakhir.

Relevan dengan masalah tersebut di atas maka Dedi Mulyadi melakukan redefenisi tindak pidana pemilu, terhadap pengertian tindak pidan pemilu menjadi dua kategori:

1. Tindak pidana pemilu khusus adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahapan penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU pemilu maupun dalam undang-undang tindak pidana pemilu.

2. Tindak pidana pemilu umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahap penyelenggaraan pemilu baik yang diatur dalam UU Pemilu maupun dalam UU Tindak Pidana Pemilu dan penyelesaiannya di luar tahapan pemilu melalui Peradilan Umum (Dedi Mulyadi, 2012).

Dengan demikian pengertian yang dikemukakan oleh Dedi Mulyadi tersebut, pengertian pertama dikhususkan bagi penyelesaian perkara pidana pemilu yang disesuaikan dengan tahapan pemilu, sedangkan defenisi yang kedua untuk perkara pada saat tahapan pemilu selesai, perkara tersebut masih dalam proses baik penyidikan, prapenuntutan, dan penuntutan.

Pada konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya Undang-Undang Pemilu merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Secara umum KUHP (lex generalis) juga telah mengaturnya dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Hal ini terlihat dari terjadinya kriminalisasi terhadap hampir seluruh perbuatan/tindakan dalam setiap tahapan pelaksanan Pemilu yang menghambat terlaksananya Pemilu. Meskipun penyelenggaraan penuntutan atas perkara pidana pemilu pada dasarnya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP (lex generalis) namun dalam UU Pemilu juga menentukan mekanisme/hukum acaranya sendiri (lex specialis) mengingat segala penyelesaian yang berkaitan dengan pemilu temasuk penegakan hukumnya dituntut harus diselesaikan dengan cepat, sehingga penyelenggaraan pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dapat dilaksanakan secara demokratis dan bersih.

Page 299: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

292 –

Asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (lex specialis derogat lex generalis). Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria (Sudikno Mertokusumo, 1999):

1. Pengecualian terhadap Undang-undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-undang.

2. Pengecualian dimaksud dinyatakan dalam Undang-undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-undang khusus tersebut

Apabila terdapat beberapa aturan dalam undang-undang tindak pidana khusus yang sama-sama mengatur maka diambil ketentuan yang lebih khusus misalnya dalam hal pelanggaran kampanye yang sama-sama diatur oleh UU pemilu dan UU Penyiaran maka yang digunakan adalah UU penyiaran.

Adanya hal khusus dalam kejahatan terhadap penyelenggaraan pemilihan umum, tidak berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas. Hal ini semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap pelaksanaan pemilu, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu pelaksanaan demokrasi yang harus dilindungi. Susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, Pasal 103 KUHP mengamanatkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I KUHP berlaku pula bagi peraturan pidana di luar KUHP selama peraturan di luar KUHP tersebut tidak mengaturlain (Loebby Luqman, 1990).

Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materiilnya saja akan tetapi juga hukum formalnya. Aturan-aturan tersebut seyogianya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum KUHP bagi hukum pidana materiilnya, maupun untuk hukum pidana formalnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Page 300: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 293

Hukum pidana formal yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan KUHAP. Artinya, pelaksanaan Undang-undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum hukum pidana dan hukum acara pidana yang telah ada. Tetapi, pada beberapa pasal dalam UU tersebut terdapat ketentuan yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi hak asasi manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam KUHP. Apabila diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan hak asasi manusia (Loebby Luqman, 1990), berkaitan pula dengan hak politik warga Negara. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis menjadikan masalah yang nantinya akan menjadi inti pembahasan dari penelitian ini, yaitu: Bagaimana penegakan hukum pidana pemilu dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah?

Pembahasan Dan Analisis Bawaslu dalam penanganan tindak pidana pemilu

merupakan pintu masuk pada sistem penegakan hukum pemilu yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan. Dalam posisi demikian ini, ternyata seringkali Bawaslu terkendala keterbatasan waktu penanganan tindak pidana, tidak adanya wewenang menyita alat bukti, dan juga tidak ada wewenang mewajibkan saksi memberikan keterangan.

Berdasarkan kesadaran untuk mengatasi kendala tersebut, Bawaslu bersama dengan Kepolisian Negara RI, dan Kejaksaan agung melakukan diskusi untuk menyusun formula yang tepat dalam penanganan tindak pidana pemilu. Kesepakatan ini berisi komitmen ketiga institusi untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu secara terpadu dalam rangka tercapainya penegakan hukum yang cepat, sederhana, dan tidak memihak.

Nota kesepakatan tersebut memuat pembentukan Sentra Gakkumdu pada tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, yang mana menunjuk Koordinator Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran Bawaslu, Kepala Bareskrim, dan JAMPIDUM sebagai Ketua dalam struktur keanggotaan Sentra Gakkumdu di tingkat pusat.

Page 301: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

294 –

Sentra Penegakan Hukum Terpadu selanjutnya disebut Sentra Gakkumdu adalah pusat aktivitas penegakan hukum Tindak Pidana Pemilihan yang terdiri dari unsur Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri.

Mekanisme penanganan dengan sinergi antar lembaga demikian ini diharapkan dapat secara efektif dan efisien menjawab berbagai kendala penanganan tindak pidana pemilu yang selama ini dikhawatirkan terjadi. terutama kekhawatiran tentang ketidaksepahaman penerapan peraturan antara pengawas pemilu dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Di samping itu, SOP ini diharapkan akan mudah untuk menjadi panduan kerja bagi petugas Sentra Gakkumdu di seluruh tingkatan. Dalam rangka mengantisipasi penanganan tindak pidana pemilu secara lebih awal, telah dilakukan pembentukan Sentra Gakkumdu pada tingkat.

Pola hubungan dan tata kerja dalam penanganan tindak pidana pemilihan sesuai dengan Peraturan Bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016, Nomor 01 Tahun 2016, Nomor 013/Ja/11/2016 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu Pada Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota. Dalam proses pembahasan pertama Bawaslu/Panwaslu Kabupaten/Kota, Kepolisian dan Kejaksanaan dalam penanganan tindak pidana pemilu, maka: Pengawas Pemilu, Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dan Jaksa pada Sentra Gakkumdu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal laporan/temuan diterima oleh Pengawas Pemilu melakukan pembahasan pertama.

Pembahasan pertama dilakukan untuk menemukan peristiwa pidana Pemilihan, mencari dan mengumpulkan bukti-bukti serta selanjutnya menentukan pasal yang akan disangkakan terhadap peristiwa yang dilaporkan/ditemukan untuk ditindaklanjuti dalam proses kajian pelanggaran Pemilihan oleh Pengawas Pemilu dan Penyelidikan oleh Penyidik Tindak Pidana Pemilihan.

Page 302: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 295

Pembahasan dipimpin oleh Ketua Koordinator Sentra Gakkumdu di setiap tingkatan Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota. Hasil Pembahasan pertama dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan yang ditandatangani oleh Pengawas Pemilu, Penyidik Tindak Pidana Pemilihan, dan Jaksa.

Proses kajian pelanggaran pemilihan, maka Sentra Gakkumdu dalam menindaklanjuti pelanggaran pidana pemilu maka: Pengawas Pemilu melakukan kajian pelanggaran Pemilihan Dalam melakukan kajian, Pengawas Pemilu dapat mengundang Pelapor, Terlapor, Saksi, dan/atau Ahli untuk dimintakan keterangan dan/atau klarifikasi. Keterangan dan/atau klarifikasi dilakukan di bawah sumpah dan dituangkan dalam Berita Acara Klarifikasi. Dalam meminta keterangan dan/atau klarifikasi, Pengawas Pemilu harus didampingi oleh Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dan Jaksa.

Hasil dari proses kajian pelanggaran pemilihan oleh Pengawas Pemilu berupa dokumen kajian laporan/temuan.

Jaksa melakukan pendampingan dan monitoring dalam proses kajian pelanggaran pemilihan dan penyelidikan. Selanjutnya Penyidik Tindak Pidana Pemilihan setelah melaksanakan penyelidikan membuat Laporan Hasil Penyelidikan. Pada tahap pembahasan kedua atau setelah proses penyelidikan maka proses selanjutnya :Pengawas Pemilu, Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dan Jaksa pada Sentra Gakkumdu melakukan pembahasan kedua paling lambat 5 (lima) hari sejak Laporan/Temuan diterima oleh Pengawas Pemilu. Pembahasan kedua dilakukan untuk menentukan laporan/temuan telah memenuhi unsur atau tidak memenuhi unsur Tindak Pidana Pemilihan.

Pembahasan dipimpin oleh Ketua Koordinator Sentra Gakkumdu. Pembahasan wajib/harus dihadiri oleh Pengawas Pemilu, Penyidik Tindak Pidana Pemilihan, dan Jaksa untuk membahas kajian Pengawas Pemilu dan Laporan Hasil Penyelidikan. Dalam hal suatu laporan/temuan telah memenuhi unsur Tindak Pidana Pemilihan, kesimpulan rapat pembahasan wajib memutuskan untuk melanjutkan laporan/temuan ke tahap Penyidikan. Dalam hal suatu laporan/temuan tidak memenuhi unsur Tindak Pidana Pemilihan, kesimpulan

Page 303: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

296 –

pembahasan memutuskan untuk menghentikan penanganan laporan/ temuan.

Hasil Pembahasan Kedua dituangkan dalam berita acara pembahasan yang ditandatangani oleh Pengawas Pemilu, Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dan Jaksa. Proses Pembahasan Kedua, Sentra Gakkumdu mengkaji laporan hasil penyelidikan dari Pengawas Pemilu, dengan penjelasan sebagai berikut: Dalam Hasil Pembahasan kedua, kajian dan Laporan Hasil Penyelidikan menjadi dasar Pengawas Pemilu memutuskan dalam rapat pleno. Rapat pleno untuk memutuskan apakah laporan/temuan ditingkatkan ke tahap Penyidikan atau dihentikan.

Dalam hal rapat pleno memutuskan laporan/temuan penanganan pelanggaran Pemilihan dihentikan maka Pengawas Pemilihan memberitahukan kepada pelapor dengan surat disertai dengan alasan penghentian. Dalam hal rapat pleno memutuskan dugaan pelanggaran Pemilihan ditingkatkan ke tahap Penyidikan, Pengawas Pemilu meneruskan laporan/temuan kepada Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dan menerbitkan Surat Perintah Tugas untuk melaksanakan Penyidikan yang ditandatangani oleh Ketua Bawaslu RI atau Ketua Bawaslu Provinsi atau Ketua Panwas Kabupaten/Kota. Penerusan laporan/temuan disertai dengan berkas perkara yang memuat:

1. Surat pengantar; 2. Surat perintah tugas untuk melaksanakan penyidikan yang

dikeluarkan oleh pengawas pemilihan; 3. Daftar isi; 4. Laporan/temuan dugaan tindak pidana pemilihan; 5. Hasil kajian; 6. Laporan hasil penyelidikan; 7. Surat undangan klarifikasi; 8. Berita acara klarifikasi; 9. Berita acara klarifikasi di bawah sumpah; 10. Berita acara pembahasan pertama; 11. Berita acara pembahasan kedua; 12. Daftar saksi dan/atau ahli; m. Daftar terlapor; 13. Daftar barang bukti; 14. Barang bukti; dan 15. Administrasi penyelidikan.

Page 304: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 297

Langkah-langkah dilakukan oleh Pengawas Pemilu yaitu: Penerusan laporan/temuan dilakukan oleh pengawas pemilihan kepada Polri di Sekretariat Sentra Gakkumdu. Penyidik Tindak Pidana Pemilihan membuat administrasi penerimaan penerusan laporan/temuan berupa: Laporan polisi dengan pelapor yang telah melapor kepada pengawas pemilihan; dan Surat tanda bukti laporan. Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dalam Sentra Gakkumdu berkoordinasi dengan Sentra Pelayanan Kepolisian untuk mendapatkan nomor registrasi laporan polisi. Langkah-langkah Penyidikan tindak pidana pemilu, Sentra Gakkumdu melakukan proses penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya penyidikan, yaitu dengan proses sebagai berikut: Penyidik Tindak Pidana Pemilihan di Sentra Gakkumdu melakukan Penyidikan setelah diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan oleh koordinator Sentra Gakkumdu dari unsur Polri.

Penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bersamaan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan. Penyidik Tindak Pidana Pemilihan menyerahkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan administrasi penyidikan lainnya yang telah ditandatangani oleh Koordinator Sentra Gakkumdu dari unsur Polri kepada Jaksa. Penyidik Tindak Pidana Pemilihan melakukan Penyidikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak penerusan laporan/temuan yang diterima dari Pengawas Pemilihan dan/atau laporan Polisi dibuat. Jaksa pada Sentra Gakkumdu melakukan pendampingan dan monitoring terhadap proses Penyidikan.

Sentra Gakkumdu melakukan Proses Pembahasan Berikutnya terkait penyidikan tindak pidana pemilu dalam pembahasan ketiga selama proses penyidikan, yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut: Penyidik Tindak Pidana Pemilihan menyampaikan hasil Penyidikan dalam pembahasan ketiga yang dipimpin oleh Ketua Koordinator Sentra Gakkumdu Provinsi/Kabupaten/ Kota. Pembahasan ketiga dilakukan selama proses penyidikan. Pembahasan ketiga dihadiri oleh Pengawas Pemilu, Penyidik Tindak Pidana Pemilihan, dan Jaksa untuk membahas hasil Penyidikan. Pembahasan ketiga menghasilkan kesimpulan pelimpahan kasus kepada Jaksa.

Hasil pembahasan ketiga dituangkan dalam berita acara pembahasan yang ditandatangani oleh Pengawas Pemilu,

Page 305: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

298 –

Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dan Jaksa. Proses Selanjutnya Sentra Gakumdu yang diwakili oleh unsur Polri melakukan penyidikan tindak pidana pemilu diserta berkas perkara kepada Jaksa, dengan langkah-langkah sebagai berikut: Penyidik Tindak Pidana Pemilihan menyampaikan hasil Penyidikan disertai berkas perkara kepada Jaksa paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak penerusan laporan/temuan yang diterima dari Pengawas Pemilihan dan/atau laporan Polisi dibuat.

Dalam hal hasil Penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dalam Sentra Gakkumdu disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. Penyidik Tindak Pidana Pemilihan mengembalikan berkas perkara kepada Jaksa paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal penerimaan berkas. Pengembalian berkas perkara dari Jaksa kepada Penyidik Tindak Pidana Pemilihan hanya dilakukan 1 (satu) kali. Penyerahan dan pengembalian hasil penyidikan dan berkas perkara dilaksanakan di Sentra Gakkumdu.

Penjelasan tentang proses penyidikan ada regulasi dari Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penyidikan Tindak Pidana Pemilihan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Setelah menerima laporan dari Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri sesuai dengan wilayah kerja, Sentra Gakkumdu melakukan penelitian, meliputi: Kelengkapan administrasi laporan, antara lain:

1. Keabsahan laporan antara lain format yang digunakan, tanda tangan, stempel, tanggal waktu penomoran;

2. Kewenangan pengawas pemilu meneruskan laporan; dan

3. Kejelasan tulisan/pengetikan.

4. Materi/isi laporan, meliputi: Memuat dengan jelas identitas dan alamat pelapor, saksi, tersangka, tempat, waktu, Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan data tentang barang bukti; dan Memuat uraian kejadian dan menjelaskan unsur-unsur Tindak Pidana Pemilu sesuai dengan kejadian yang dilaporkan.

Page 306: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 299

Setelah dilakukan penelitian secara administrasi dan materi laporan memenuhi unsur pidana, laporan tersebut dapat diterima dan dicatat dalam buku register perkara dan kepada Bawaslu/Panwaslu diberikan Surat Tanda Penerimaan Laporan; Apabila berdasarkan hasil penelitian, laporan tersebut belum lengkap atau bukan merupakan kewenangan pelapor atau Pengawas Pemilu atau tidak memenuhi unsur pidana, maka dikembalikan kepada Bawaslu/Panwaslu, dengan memberikan alasan dan penjelasan tertulis atas pengembalian laporan dan dicatat dalam buku register dan laporan yang telah diterima, segera diserahkan kepada Tim Penyidik Tindak Pidana Pemilu.

Penyidik Tindak Pidana Pemilu, setelah mempelajari dan mendiskusikan laporan yang diterima, segera menentukan bentuk Tindak Pidana Pemilu yang dilaporkan merupakan:

1. Pelanggaran terhadap ketentuan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 273 sampai dengan Pasal 291 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012; dan/atau

2. Kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 292 sampai dengan Pasal 321 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Dalam hal gabungan Tindak Pidana Pemilu dengan tindak pidana lainnya,

3. Penyidikannya dilakukan dengan mendahulukan Tindak Pidana Pemilu yang dilakukan oleh Tim Penyidik Tindak Pidana Pemilu, sedangkan tindak pidana lain disidik oleh Penyidik Reskrim di luar Tim Penyidik Tindak Pidana Pemilu sesuai dengan Hukum Acara Pidana dengan pemberkasan terpisah/splitzing.

Pelaksanaan proses Penyidikan Tindak Pidana Pemilu dan penyerahan berkas perkara dilakukan sesuai ketentuan Undang-Undang Pemilu dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Dalam melaksanakan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi atau tersangka, harus memperhatikan faktor kecepatan dan ketepatan waktu, antara lain aktif mendatangi para saksi maupun tersangka dan melakukan pemeriksaan di tempat; Apabila situasinya tidak memungkinkan dikarenakan faktor keamanan dan dampak yang ditimbulkan, terhadap tersangka tindak pidana pemilu, tidak perlu dilakukan penahanan.

Page 307: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

300 –

Untuk kelancaran proses penyidikan agar dilakukan koordinasi dengan unsur criminal justice system (CJS) setempat dan sebelum pelaksanaan pemilu diupayakan sudah ada kesepakatan bersama antar unsur CJS tentang mekanisme dan prosedur penanganan tindak pidana pemilu; Barang bukti ditempatkan pada tempat tertentu/khusus penyimpanan barang bukti pelanggaran pidana pemilu. Untuk mempercepat proses penyidikan, agar para penyidik mempedomani pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah; dan Untuk kelancaran pemeriksaan saksi maupun tersangka, sebelum pemeriksaan dilakukan, penyidik mempersiapkan pertanyaan pertanyaan sesuai dengan unsur-unsur delik yang dipersangkakan.

Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara, dilaksanakan sebagai berikut: Penyidik menyelesaikan dan menyampaikan hasil Penyidikannya disertai berkas perkara kepada Penuntut Umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota; dalam hal hasil Penyidikan ternyata belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk-petunjuk untuk dilengkapi; dan Penyidik dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara, harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada Penuntut Umum.

Sentra Gakkumdu menurut Peraturan Bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016, Nomor 01 Tahun 2016, Nomor 013/Ja/11/2016 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu Pada Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota dalam hal Proses Selanjutnya setelah berkas perkara diterima Jaksa dan dinyatakan lengkap Penyidik Tindak Pidana Pemilihan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa.

Gakkumdu setelah menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum, maka proses selanjutnya penuntut Umum melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan Negeri paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak berkas perkara diterima dari Penyidik Tindak Pidana Pemilihan

Page 308: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 301

dan surat pengantar pelimpahan yang ditandatangani oleh Pembina Sentra Gakkumdu dari unsur Kejaksaan sesuai tingkatan. Penuntut Umum membuat rencana dakwaan dan surat dakwaan. Penuntut Umum menyusun rencana penuntutan dan membuat surat tuntutan. Penuntut Umum melaporkan rencana dakwaan dan surat dakwaan dan/atau rencana tuntutan dan surat tuntutan kepada Pembina Sentra Gakkumdu dari unsur Kejaksaan sesuai tingkatan.

Surat dakwaan tembusannya disampaikan kepada Koordinator Sentra Gakkumdu dari unsur Polri dan Pengawas Pemilihan sesuai tingkatan. Proses Putusan pengadilan dibacakan, maka proses di Sentra Gakkumdu dengan melakukan hal-hal sebagai berikut, Setelah putusan pengadilan dibacakan, penuntut umum melaporkan kepada Pembina Sentra Gakkumdu dari unsur Kejaksaan. Hasil laporan dari Pembina Sentra Gakkumdu dari unsur Kejaksaan selanjutnya dilaporkan kepada Sentra Gakkumdu.

Sentra Gakkumdu melakukan pembahasan paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah Putusan Pengadilan dibacakan untuk pengambilan sikap untuk dilakukan upaya hukum atau menindaklanjuti putusan pengadilan. Pembahasan dihadiri oleh koordinator dari unsur Pengawas Pemilu, koordinator dari unsur Kepolisian, dan Koordinator dari unsur Kejaksaan sesuai tingkatan. Penuntut Umum mengajukan banding dan memori banding paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan. Dalam hal terdakwa melakukan upaya hukum banding terhadap putusan pengadilan, Penuntut Umum membuat kontra memori banding. Jaksa pada Sentra Gakkumdu melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh Jaksa dan dapat didampingi oleh Penyidik Tindak Pidana Pemilihan dan Pengawas Pemilu.

Kehadiran Badan Pengawas Pemilu sebagai instrument penting untuk menjamin legitimasi hasil Pemilu seyogyanya terus diupayakan dengan mengembangkan strategi berikut: pertama, pengawasan preventif. Sejumlah penanganan pelanggaran Pemilu selama ini ditekankan pada tahap ketika suatu pelanggaran telah terjadi yang berimplikasi pada rumitnya penyelesaian pelanggaran tersebut. Pengawasan Pemilu yang perlu terus dikembangkan adalah pengawasan pencegahan (preventif), maksudnya, Bawaslu dan seluruh jajaranya lebih

Page 309: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

302 –

berkonsentrasi pada upaya-upaya pencegahan terhadap setiap potensi pelanggaran yang mungkin terjadi, sehingga dapat diantisipasi dan bahkan diminimalkan akses dan resiko yang mungkin terjadi.

Kedua, pengawasan partisipatif. Bawaslu tentunya memiliki keterbatasan, baik sumberdaya maupun sarana untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan secara optimal, oleh karena itu perlu mengajak dan melibatkan unsur masyarakat secara simultan dan bersinergi untuk mengawasi Pemilu. Masyarakat perlu digugah kesadaranya bahwa tanggung jawab bersama demi terwujudnya Pemilu yang berkualitas dan legitimated. Ketiga, pengembangan dan Perluasan jaringan/sinergitas dengan stakeholders Pemilu.

Dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Bawaslu dalam menangani pelanggaran Pemilu banyak mengalami hambatan- hambatan diantaranya: Pertama, tidak terpenuhinya syarat formil dan materiil suatu laporan tindak pidana pemilu, yang mengakibatkan pengawas pemilu atau penyidik kesulitan untuk menindaklanjuti suatu laporan, mengenai syarat materiil salah satunya mencari saksi-saksi itu sangat sulit dilakukan oleh Bawaslu karena Bawaslu sendiri tidak memiliki upaya paksa untuk memanggil saksisaksi sehingga hasil kajiannya terkadang kurang lengkap. Sedangkan untuk tahapan proses selanjutnya yakni tahapan penyidikan oleh kepolisian, kepolisian meminta data/ berkas perkara dari Bawaslu harus lengkap.

Kedua, Regulasi dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 memungkinkan adanya manipulasi terhadap terjadinya money politics, misalnya money politics yang dilakukan pada masa kampanye, jika dilihat mengenai definisi kampanye yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, kampanye pemilu adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Dari definisi tersebut maka unsur kampanye bersifat kumulatif, dengan demikian satu saja unsur tidak terpenuhi tidak bisa digunakan untuk menjerat adanya dugaan pelanggaran pemilu. Dalam kasus money politics untuk menghindari jeratan hukum, peserta pemilu maupun caleg pada saat menyerahkan uang dan/atau barang kepada masyarakat/pemilih tanpa disertai

Page 310: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 303

penyampaian visi, misi atau tidak mengeluarkan kalimat ajakan untuk memilih.

Ketiga, tidak adanya saksi karena orang yang mengetahui kejadian tidak berani bersaksi akibat adanya intimidasi, sementara pengawas pemilu tidak memiliki kewenangan untuk melindungi saksi. Ketiadaan saksi ini menjadi hambatan terbesar dalam penegakan hukum terhadap money politics, dugaan tindak pidana pemilu baru bisa ditindaklanjuti minimal jika ada 2 (dua) orang saksi. Ketidaksediaan warga untuk menjadi saksi atas terjadinya tindak pidana tersebut antara lain disamping faktanya pada umumnya partisipasi rakyat masih sangat rendah, pada saat yang sama yang mengetahui kejadia atas praktek money politics tersebut adalah para pihak yang terlibat.

Keempat, terbatasnya waktu penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu, baik ditingkat pengawas pemilu maupaun ditingkat aparat penegak hukum. Satu sisi dengan terbatasnya waktu penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu menguntungkan karena waktu penyelesaian menjadi lebih singkat, tetapi di sisi lain keterbatasan waktu tersebut menyulitkan pengawas pemilu dalam upaya mencari kelengkpan bukti dan saksi. Sebab dari waktu yang sangat terbatas itu karena pelaksanaan pemilu yang dalam kurun waktu sangat singkat, maka dalam proses penyelesaiannya harus menggunakan waktu yang singkat, agar tidak berkepanjangan melewati batas waktu pemilihan umum tersebut.

Kelima, Kepolisian dan/atau Kejaksaan tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan. Dalam Undang-undang pemilu (Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016) tidak memberikan kewenangan kepada kepolisian dan/ atau kejaksaan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa dugaan pelanggaran pidana pemilu. Misalnya jika tersangka tidak hadir dalam penyidikan di kepolisian atau bahkan melarikan diri dan baru muncul pada hari ke 15 setelah diteruskan dari pengawas pemilu kepada Kepolisian, maka kepolisian tidak bisa menindaklanjuti karena daluwarsa ditingkat penyidikan.

Page 311: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

304 –

Penutup

Kesimpulan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) merupakan Penegak hukum terhadap pemilu dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, Hal ini senada dengan tugas yang di emban oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yaitu pusat aktivitas penegakan hukum tindak pidana Pemilu. Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) terdiri dari unsur Badan Pengawas Pemilihan Umum, Badan Pengawas. Pemilihan Umum Provinsi, dan/atau Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Daerah, dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri. Permasalahan, pelanggaran dan dinamika yang sering terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan di sebuah daerah.

Saran Hendaknya penguatan terhadap Peran masyarakat sangat

penting untuk di perhatikan, baik dalam hal pengawalan suara dan lain sebagainya. Dapat di ketahui bahwa banyak modus kecurangan di lakukan oleh oknum yang tidak memiliki itikad baik. Di sisi lain transparansi proses yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu terutama oleh KPU dan jajarannya sangat diperlukan untuk meminimalisir berbagai kecurangan. Relevan dengan Posisi dan peran Bawaslu beserta jajaranya dalam hal pengawasan pemilu, ini tentu sangat penting untuk di perkuat agar meminimalisir kecurangan dan kejahatan ang terjadi dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dan sebagai penyempurna Peran media massa sangat penting untuk mengungkap ke publik yang terjadi, sehingga tidak menyebar presepsi yang sesat dan menyesatkan.

Page 312: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 305

Daftar Pustaka C.F.G. Sunaryati Hartono. (1994). Penelitian Hukum di Indonesia

pada Akhir Abad Ke-20. Alumni.

Dedi Mulyadi. (2012). Kebijakan Legislasi tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif Di Indonesia dalam Perspektif Indonesia. Gramata Publishing.

Djoko Prakoso. (1987). Tindak Pidana Pemilihan Umum. Bina Aksara.

Lili Rasjidi. (2005). Metode Penelitian Hukum, dalam Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, dan Karya Tulis Ilmiah Hukum. Monograf.

Loebby Luqman. (1990). Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. UI Press.

Soerjono Soekanto. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. (1986). Penelitian Hukum Normatif.

Rajawali Press. Sudikno Mertokusumo. (1999). Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Liberty.

Page 313: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

306 –

Page 314: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 307

NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) PADA PEMILU DAN PEMILIHAN

Taufik Hidayat Lubis

Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Randa Faturrahman Hakim Mahasiswa Magister Ilmu Hukum

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Pendahuluan Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan ujung tombak berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebab, ASN ditugaskan untuk melaksanakan pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Yang mana tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif. Kemudian tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintah yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. Sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembagunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi, dan sosial (economic and social development) yang diarahkah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat sebagaimana tujuan negara yang tercantum dalam alenia ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Maka dari itu, untuk mewujudkan ASN sebagaimana dengan tujuan negara yang tercantum dalam alenia ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik

Page 315: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

308 –

korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu juga, yang terpenting bagi ASN adalah menjaga Netralitasnya sebagai ASN sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 1 huruf f penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang dimaksud dengan asas netralitas adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Permasalahan yang berkaitan dengan Netralitas ASN adalah hal klasik yang terus dibahas dan sampai saat ini belum ada suatu grafik yang menunjukkan penurunan pelanggaran Netralitas ASN terkhusus pada saat pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Catatan sejarah mencatat bahwa Pegawai Negeri Sipil atau sekarang lebih luas lagi dengan penyebutan ASN selalu menjadi alat politik yang digunakan oleh atasan atau pihak lain yang memiliki kekuasaan atau tujuan mempertahankan kedudukannya sebagai pejabat negara. Sehingga sering kali ASN terlibat dalam konflik kepentingan yang berakibat kepada kualitas kinerga ASN yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara karena dibenturkan dalam berbagai kepentingan.

Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih pemimpin. Rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpinnya secara langsung, bebas, dan rahasia tanpa intervensi.253 Namun, pelaksanaan Pemilu/ Pemilihan tidak selalu berjalan ideal. ASN selaku abdi negara yang berkewajiban untuk memberikan pelayanan publik justru sering terkooptasi oleh kepentingan politik politisi maupun calon kepala daerah yang tidak negarawan yang sering memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan politiknya.254

Pelanggaran Netralitas ASN bila diamati lebih lanjut, selalu terjadi pada setiap penyelenggaraan pesta demokrasi kepala daerah dalam hal ini pemilihan kepala daerah dalam hal

253 Riri Nazriyah. Implikasi Putusan MK Terhadap Netralitas ASN

Dalam Pemilikada. Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 2, Juli 2008. 254 M. Adian Firnas. Politik dan Birokrasi : Masalah Netralitas Birokrasi Di

Indonesia Era Reformasi. Jurnal Review Politik. Volume 06 Nomor 01, Juni 2016, halaman 186.

Page 316: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 309

ini Gubernur dan wakilnya, pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten (Bupati) dan Wakil Bupati atau kepala daerah tingkat kota (Walikota) dan Wakilnya. Pemantik pelanggaran netralitas bukan hanya dipelopori oleh petahana (incumbent), tetapi juga calon lain yang bukan berasal dari lingkungan pemerintahan. ASN dalam konteks Pilkada sering dimanfaatkan untuk memasok informasi tentang potensi daerah yang digunakan untuk Menyusun visi-misi dan program. Kerap juga dimanfaatkan untuk memanipulasi program yang tengah berjalan untuk agenda kampanye terselubung. Belakangan di era pandemi Covid-19 fenomena ini kian marak dan disebut dengan politisasi bantuan. Banyak kepala daerah yang akan mencalonkan kembali sebagai calon dari petahana memanfaatkan momen bagi-bagi sembako/bantuan dengan mencantumkan foto pada kemasan/kantong. kegiatan-kegiatan ini merupakan kegiatan yang bisa mencederai adanya aspek kebersihan di pemilihan kepala daerah.255

Hasil survey Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem KASN pada tahun 2018 mengungkapkan Penyebab terjadinya pelanggaran Netralitas ASN yaitu adanya motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan/materi/proyek sebanyak 43.3%, adanya hubungan kekeluargaan/kekerabatan dengan calon 15.4%, kurangnya pemahaman aturan/regulasi tentang Netralitas ASN 12.1%, adanya intervensi/tekanan dari pimpinan/atasan 7.7%, kurangnya integritas ASN untuk bersikap netral 5.5%, ketidaknetralan ASN dianggap sebagai hal lumrah 4.9%, pemberian sanksi lemah 2.7%, lainnya 1.6%, tidak menjawab 6.6%.256

Pada Pemilihan Kepala Daerah serentak Tahun 2020 yang baru saja dilaksanakan tercatat melalui website resmi Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia (BKN) update data tanggal 26 Nopember 2020 Data Pelanggaran Netralitas ASN pada Pilkada serentak Tahun 2020, ASN yang dilaporkan berjumlah 1005 ASN, yang melanggar dan mendapatkan rekomendasi sanksi dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) berjumlah 727 ASN, sudah ditindaklanjuti Pegawai Pembina Kepegawaian (PPK) dengan penjatuhan sanksi berjumlah 580

255 Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Lampung. Serial Evaluasi Pilkada

Serentak Di Indonesia, Halaman 11. 256 Komisi Aparatur Sipil Negara. Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara,

halaman 25.

Page 317: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

310 –

ASN, belum ditindaklanjuti PPK berjumlah 147 ASN, data kepegawaian telah diblokir berjumlah 26 ASN, dan dalam proses PPK berjumlah 121 ASN. Sedangkan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu) pada website resmi Bawaslu tanggal 13 Desember 2020 menyampaikan pihak Bawaslu telah meneruskan sekitar 1000 kasus kepada KASN.

Sedangkan pada Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 BKN merilis data Pelanggaran Netralitas ASN pada siaran Pers Nomor: 065/RILIS/BKN/VII/2019 tanggal 12 April 2019 Pelanggaran Netralitas ASN berstatus pegawai instansi daerah yang meliputi Provinsi/Kabupaten/Kota dengan 990 kasus per Januari 2018 sampai Maret 2019. Pelanggaran Netralitas ASN terbanyak dilakukan melalui media sosial, mulai dari menyebar luaskan gambar, meberikan dukungan, berkomentar, sampai mengunggah foto untuk menyatakan keberpihakan terhadap pasangan calon (paslon) tertentu.

Berdasarkan uraian tersebut, maka sangat jelas bahwa dari penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 sampai dengan Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020 masalah utama dan yang paling banyak mendominasi Pelanggaran Pemilu/Pemilihan ialah berkaitan dengan Pelanggaran Netralitas ASN. Seorang ASN seharusnya menjaga dan memegang teguh netralitasnya sebagai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Sehingga diperlukannya penelitian yang komperhensif untuk dapat membahas atau menyampaikan gagasan-gagasan yang baik untuk mengurangi Pelanggaran Netralitas ASN pada Pemilu dan Pemilihan agar terwujudnya good governance dengan ASN yang memegang teguh prinsip atau asas Netralitas ASN.

ASN diharapkan dapat menjalankan fungsi, tugas, dan perannya sebagai ASN yang menjunjung tinggi asas netralitas tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka terdapat permasalahan yang harus dibahas lebih mendalam sebagai berikut: (1) Bagaimana penerapan asas Netralitas ASN pada pelaksanaan Pemilu/Pemilihan? (2) Bagaimana mekanisme Penanganan Pelanggaran Netralitas ASN pada Pemilu/Pemilihan?

Page 318: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 311

Penelitian ini disusun berdasarkan penelitian hukum normatif (normative legal research), dengan menggunakan penelitian berdasarkan perundang-undangan, metode penelitian literatur dengan mencari dan mempelajari referensi-referensi dari jurnal serta referensi lainnya yang berkaitan dengan pembahasan pada artikel ini.

Penerapan Asas Netralitas ASN Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.

Ketentuan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengatakan bahwa ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK). Artinya bahwa sebutan ASN adalah untuk kedua profesi yaitu PNS dan PPPK.

Pasal 1 angka (2) dijelaskan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintah atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Selama ini yang menjadi pemahaman masyarakat adalah bahwa ASN merupakan PNS atau penyebutan PNS diganti dengan sebutan ASN. Namun, pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dapat dipahami bahwa ASN merupakan sebutan bagi seseorang yang berprofesi sebagai PNS dan juga PPPK. Sehingga pemahaman keliru ini terus berkembang dimasyarakat dan sudah sepatutnya untuk diluruskan.

Seorang ASN baik PNS dan PPPK dalam melaksanakan tugas, pokok, dan fungsinya serta dalam menjalankan kebijakan dan management ASN harus menjunjung tinggi asas-asas sebagai berikut: 1. Kepastian Hukum, 2 Profesionalitas, 3. Proposionalitas, 4. Keterpaduan, 5. Delegasi, 6. Netralitas, 7.

Page 319: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

312 –

Akuntabilitas, 8. Efektif dan Efesien, 9. Keterbukaan, 10. Nondiskriminatif, 11. Persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan, 12. Kesejahteraan. Dari ke-12 asas tersebut salah satunya adalah seorang ASN dalam menjalankan kebijakan dan magement ASN harus mejunjung tinggi Netralitasnya sebagai ASN.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), netralitas merupakan keadaan dan sikap netral, dalam arti tidak memihak atau bebas. Sedangkan yang dimaksud dengan Netralitas dalam penjelasan Pasal 1 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang dimaksud dengan ―asas netralitas‖ adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Seharusnya yang dimaksud dengan netral adalah suatu kondisi seseorang yang tidak memihak dan tidak memiliki sikap tertentu kepada orang lain atau pihak tertentu, atau dapat disebut juga dengan suatu kondisi seseorang yang tidak mendapatkan pengaruh dari pihak manapun di luar dirinya. Mengacu pada esensi netralitas, dapat dinyatakan bahwa dalam netralitas ASN hanya diarahkan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat, tanpa ikut serta dalam kegiatan politik (apolitic), hal ini berarti bahwa netralitas tidaklah berdiri dalam ruang hampa, namun berkorelasi dengan esensi obyektivitas, karena hakikat akan obyektivitas selalu bermuara pada kondisi netral, maka jelas bahwa substasi netral adalah tidak memihak. Sejatinya, kondisi tidak memihak akan terpenuhi jika berada di luar sistem dan tidak memberikan ruang akan intervensi kepentingan.257

Penjelasan mengenai asas netralitas tersebut dikaitkan dengan profesi sebagai ASN, bahwa ASN dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya adalah tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun serta harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik sebagaimana yang

257 Zudan Arif Fakrulloh. Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi

Daerah dan Pembangunan Substansi Hukum di Daerah. Majalah Hukum Nasional. 2000, halaman 99.

Page 320: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 313

diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Frasa Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menjaga netralitasnya bila dicermati dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ditemukan pada beberapa Pasal yaitu : pertama, Pasal 280 ayat (2) huruf f dan ayat (3), Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan Aparatur Sipil Negara. Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye Pemilu. Kedua, Pasal 283 ayat (1), (2) Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Ketiga, Pasal 494 Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nsional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Desa, perangkat desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000.,00 (dua belas juta rupiah).

Kemudian pada Pemilihan Kepala Daerah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang- Undang frasa Aparatur Sipil Negara ditemukan dalam 3 Pasal yaitu pertama, Pasal 70 ayat (1) huruf b, Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan… b. Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Republik Indonesia dan anggota Tentara Nasional Indonesia. Pada penjelasan pasa a quo ditulis cukup

Page 321: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

314 –

jelas yang berarti susunan kalimatnya jelas secara susunan dan tidak perlu diperselisihkan karena jika coba diinterprestasi sacara gramatikal, eksplisit, diketahui bahwa subjek yang dituju adalah pasangan calon, ASN sebagai pihak yang pasif.258

Kedua, Pasal 71 ayat (1), Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Yang dimaksud Aparatur Sipil Negara dalam Pasal ini ialah ASN yang memiliki jabatan yang mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan yang menguntungkan/merugikan. Ketiga, terkonfirmasi pada Pasal 188 yang membahas ASN, Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah).259

Kedua regulasi baik Undang-Undang mengenai Pemilu dan juga Undang-Undang mengenai Pemilihan Kepala Daerah menyebutkan frase ―Aparatur Sipil Negara (ASN)‖ tidak menyebutkan frase ―Pegawai Negeri Sipil‖ (PNS). Artinya bahwa dalam memaknai pengertian Aparatur Sipil Negara maka acuannya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yangmana Aparatur Sipil Negara adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Selain itu, dalam kedua Undang-Undang Kepemiluan ini, maka dapat dilihat bahwa aturan mengenai Netralitas ASN bukan hanya mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang bersifat etik saja, namun pelanggaran Netralitas ASN dapat juga bersifat pelanggaran Tindak Pidana Pemilu/Pemilihan.

Saat ini dalam melakukan penegakan hukum berkaitan dengan Netralitas ASN belum sepenuhnya atau bahkan sama sekali belum mencakup kepada sasaran yang perlu diawasi dan ditindak jika melanggar asas Netralitas bagi pegawai pemerintah

258 Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Lampung. Op. Cit., halaman 19-20. 259 Ibid.

Page 322: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 315

dengan perjanjian kerja. Kebanyakan atau bahkan seluruhnya dari proses pengawasan dan penindakan asas Netralitas ASN hanya bagi Pegawai Negeri Sipil saja. Padahal kalau kita melihat situasi saat ini, sudah banyak instansi pemerintah yang menggunakan ataupun merekrut pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) walaupun dengan istilah lain seperti Pegawai Pemerintah Non-Pegawai Negeri Sipil (PPNPNS) ini sudah sangat banyak kita jumpai. Ditambah lagi PPPK yang ada di Kementerian Sosial, seperti Pendamping Desa, Operator Pendamping Desa, Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), yang kesemuanya itu merupakan perwujudan dari pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah merupakan bagian ataupun profesi dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Kemudian juga saat ini pemerintah sedang membuka rekrutmen PPPK diseluruh Indonesia.

Regulasi lain yang dijadikan acuan dalam menjaga Netralitas ASN saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan Adapun beberapa ketentuan larangan dalam regulasi ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Jenis Pelanggaran Netralitas

No. Kategori Pelanggaran Netralitas ASN Dasar hukum

1. Kampanye/sosialisasi media sosial (posting, comment, share, like)

PP No.42 tahun 2004 pasal 11 huruf c

2. Menghadiri deklarasi pasangan bakal calon/ calon peserta pilkada

PP No.42 tahun 2004 pasal 11 huruf c

3. Melakukan foto bersama bakal calon/pasangan calon dengan mengikuti simbol gerakan

PP No.42 tahun 2004 pasal 11 huruf c

Page 323: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

316 –

tangan/gerakan yang mengindikasikan keberpihakan

4.

Menjadi pembicara/ narasumber dalam kegiatan Partai Politik, kecuali untuk menjelaskan kebijakan pemerintah yang terkait dengan tugas dan fungsinya atau berkenaan dengan keilmuan yang dimilikinya sepanjang dilakukan dalam rangka tugas kedinasan, disertai ST dari atasan.

PP No.42 tahun 2004 pasal 11 huruf c

5.

Melakukan pendekatan ke parpol dan masyarakat (bagi calon independen) dalam rangka untuk memperoleh dukungan terkait dengan pencalonan Pegawai ASN yang bersangkutan dalam Pilkada sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah, dilakukan dengan cara:

1. Dilakukan pada jam kerja; atau

2. Tidak melapor kepada atasan secara tertulis; atau

3. Menggunakan fasilitas kedinasan; atau

4. Mengumpulkan/memobilisasi dukungan Pegawai ASN

PP No.42 tahun 2004 pasal 11 huruf c

6. Mendeklarasikan diri sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah

PP No.42 tahun 2004 pasal 11 huruf c

7.

Memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah

PP No.42 tahun 2004 pasal 11 huruf c

8. Memberikan dukungan ke calon kepala daerah (calon independen) dengan memberikan foto kopi KTP

PP No.53 tahun 2010 pasal 4 angka 14 (hukdis sedang)

Page 324: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 317

Beberapa jenis pelanggaran Netralitas ASN tersebut terkait dengan sanksi diatur melalui Surat Keputusan Bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 05 Tahun 2020, Nomor 800-2836 Tahun 2020, Nomor 167/KEP/2020, Nomor 6/SKB/KASN/9/2020, dan Nomor 0314 tanggal 10 September 2020 tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020, yang memuat sanksi pelanggaran Netralitas ASN sebagaimana berikut:

Tabel 2 Jenis Pelanggaran ASN dan sanksi

Jenis Pelanggaran

Sanksi Sebelum Penetapan Calon

Sanksi Setelah Penetapan Calon

9. Ikut sebagai peserta kampanye dengan fasilitas Negara

PP No.53 tahun 2010 (hukdis berat)

10. Menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye

PP No.53 tahun 2010 (hukdis berat)

Page 325: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

318 –

1. Kampanye/sosialisasi media sosial (posting, comment, share, like)

2. Menghadiri deklarasi pasangan bakal calon/ calon peserta pilkada

3. Foto bersama bakal calon/pasangan calon dengan mengikuti simbol gerakan tangan/gerakan yang mengindikasikan keberpihakan

4. Menjadi pembicara/narasumber dalam kegiatan Partai Politik kecuali terkait tupoksi atau keilmuannya dan tanpa Surat Tugas dari Atasan

Sanksi Moral Disiplin Sedang: Terlibat dalam kegiatan

kampanye

Disiplin Berat: Dengan menggunakan

fasilitas negara

5. Mendekati Partai Politik dan masyarakat (bagi calon independen) tanpa Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN)

6. Mendeklarasikan diri sebagai pasangan bakal calon/calon peserta pilkada tanpa Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN)

7. Memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai pasangan bakal calon/calon peserta pilkada

Disiplin Sedang

(Kegiatan pendaftaran dan deklarasi hanya ada sebelum penetapan calon)

Page 326: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 319

8. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan (pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, dan pemberian barang) termasuk penggunaan barang yang terkait dengan jabatan atau milik pribadi untuk kepentingan bakal calon atau pasangan calon.

9. Ikut sebagai pelaksana sebelum dan sesudah kampanye

10. Menjadi peserta memakai atribut partai/ atribut PNS/ tanpa atribut dan mengerahkan PNS atau orang lain

Disiplin Sedang: dengan tanpa menggunakan fasilitas negara

Disiplin Berat: ketika menggunakan fasilitas negara

Disiplin Sedang: dengan tanpa menggunakan fasilitas negara

Disiplin Berat: ketika menggunakan fasilitas negara

11. Mengikuti kampanye bagi suami atau istri calon Kepala Daerah yang berstatus sebagai Pegawai ASN tanpa Cuti di Luar Tanggungan Negara (CTLN)

(kegiatan kampanye hanya ada setelah penetapan calon

Disiplin Sedang

12. Memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah (calon independent) dengan memberikan fotocopy KTP

Disiplin Sedang

13. Ikut sebagai peserta kampanye dengan fasilitas Negara

14. Menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye

15. Membuat keputusan

(Kegiatan kampanye hanya ada setelah penetapan calon)

Disiplin Berat

Page 327: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

320 –

yang dapat menguntungkan/merugikan pasangan calon selama masa kampanye

16. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik

Diberhentikan tidak dengan hormat tanpa ijin

Diberhentikan tidak dengan hormat tanpa ijin

Berdasarkan regulasi ataupun aturan mengenai Netralitas ASN yang dipaparkan di atas. Maka dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini belum ada aturan pelaksana terkait dengan penerapan asas Netralitas ASN bagi PPPK. Maka dari itu, penerapan asas Netralitas ASN hanya dapat diterapkan kepada profesi Pegawai Negeri Sipil saja. Karena aturan mengenai larangan pembarian sanksi hanya ada dan hanya untuk PNS dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Akibatnya adalah masih terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) mengenai pembinaan PPPK dan juga pemberian sanksi bagi PPPK yang melanggar asas Netralitas ASN.

Selain dari sisi regulasi ,dalam penerapan asas Netralitas ASN baik dari sisi pengawasan dan dari sisi sosial, masyarakat dan Lembaga yang bertugas untuk melaksanakan pengawasan Netralitas ASN masih fokus mengawasi dan melaporkan pelanggaran terhadap asas Netralitas ASN yang dilakukan oleh PNS. Namun, untuk perbuatan yang melanggar asas Netralitas ASN bagi profesi PPPK masih kurang bahkan sama sekali tidak terawasi oleh Lembaga ataupun masyarakat karena ketidakpahaman mengenai regulasi dan tidak ada aturan yang menyatakan melarang dan memberikan sanksi bagi profesi PPPK yang melanggar asas Netralitas ASN.

Selanjutnya dari segi struktur hukum, Lembaga yang bertugas melakukan pengawasan dan penindakan pelanggaran yang berkaitan dengan asas Netralitas ASN adalah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan juga Badan Pengawas

Page 328: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 321

Pemilihan Umum (Bawaslu). KASN adalah merupakan Lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebes dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa sebagaimana ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Selanjutnya Badan Pengawas Pemilihan Umum bertugas melakukan pengawasan terhadap Netralitass ASN berdasarkan ketentuan Pasal 93 huruf f yang mana Bawaslu bertugas mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netrralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia, selain itu juga Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara, Anggota Tentanra Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Keputusan Bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 05 Tahun 2020, Nomor 800-2836 Tahun 2020, Nomor 167/KEP/2020, Nomor 6/SKB/KASN/9/2020, dan Nomor 0314 tanggal 10 September 2020 tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020.

Mekanisme Penanganan Pelanggaran Netralitas ASN Penanganan Pelanggaran merupakan serangkaian proses

dengan SOP yang telah ditetapkan. Adanya penanganan pelanggaran sampai kepada penindakan pelanggaran itu sendiri adalah untuk meninimalisir pelanggaran yang sama terulang kembali. Kaitannya dengan penanganan pelanggaran Netralitas ASN pada Pemilu dan Pemilihan berarti tujuan dari rangkaian penanganan pelanggaran Netralitas ASN dilakukan adalah agar pelanggaran-pelanggaran terhadap Netralitas ASN tidak terjadi lagi.

Mekanisme Penanganan Pelanggaran Netralitas ASN telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum

Page 329: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

322 –

Nomor 05 Tahun 2020, Nomor 800-2836 Tahun 2020, Nomor 167/KEP/2020, Nomor 6/SKB/KASN/9/2020, dan Nomor 0314 tanggal 10 September 2020 tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020, yang menjadi acuan dalam melaksanakan mekanisme penanganan pelanggaran Netralitas ASN.

Tata cara penanganan atas laporan dugaan pelanggaran Netralitas Pegawai ASN pada pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020 dilakukan sebagai berikut:

a. Laporan dugaan pelanggaran Netralitas Pegawai ASN dapat bersumber dati pengaduan masyarakat atau hasil pengawasan instansi Pemerintah yang berwenang;

b. Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan kepada selain Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maka instansi yang menerima laporan tersebut menyampaikan laporan dimaksud kepada Bawaslu paling lama 3 (tiga) hari sejak laporan diterima;

c. Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b disampaikan kepada Bawaslu setempat untuk dikaji dan diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam hal ini Bawaslu mengacu kepada Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan Dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum da Peraturan Bdan Penawas Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bupati dan Wakil Bupati Serta Walikota dan Wakil Walikota;

d. Atas hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota mengeluarkan rekomendasi ada atau tidaknya dugaan pelanggaran asas netralitas disertai dokumen atau bukti pendukung yang lengkap kepada KASN yang ditembuskan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Bawaslu, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan PPK instansi tempat Pegawai ASN yang diduga melakukan pelanggaran netralitas paling lama 5 (lima) hari kalender sejak dugaan diregistrasi;

e. Selanjutnya terhadap rekomendasi adanya dugaan pelanggaran dari Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam

Page 330: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

- 323

huruf d, KASN wajib melakukan verifikasi dan validasi, serta memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak rekomendasi dari Bawaslu diterima;

f. Bila terbukti KASN merekomendasikan kepada PPK untuk menjatuhkan sanksi kepada Pegawai ASN yang melanggar Netralitas.

Hambatan dalam melaksanakan penindakan pelanggaran Netralitas ASN seringkali rekomendasi KASN diabaikan oleh PPK. Terakhir data tercatat melalui website resmi Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia (BKN) update data tanggal 26 Nopember 2020 Data Pelanggaran Netralitas ASN pada Pilkada serentak Tahun 2020 masih terdapat 147 ASN yang belum dijatuhi sanksi oleh PPK. Akibatnya pemberian sanksi kepada ASN yang melakukan pelanggaran menjadi tidak efektif dan tidak menimbulkan efek jera. Sistem pengawasan pelanggaran Netralitas ASN yang belum optimal juga disebabkan terbatasnya kemampuan KASN yang tidak mempunyai perwakilan di daerah dan hanya didukung oleh pegawai dan jumlah anggaran yang terbatas. Sehingga penegakan hukum (law enforcement) belum berjalan dengan baik sebagaimana mestinya.

Kesimpulan 1. Penerapan asas Netralitas ASN pada Pemilu/Pemilihan masih

saja terhadap profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) belum mencakup kepada profesi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yangmana kedua profesi inilah yang disebut dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Selanjutnya masih terdapat kekurangan dalam regulasi yang mengatur larangan dan pemberian sanksi kepada PPPK yang melakukan pelanggaran terhadap Netralitas ASN, untuk itu agar segera pemerintah membuat aturan pelaksana tersebut, sehingga PPPK yang melanggar Netralitas ASN dapat ditindak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Dalam pelaksanaan mekanisme Penanganan Pelanggaran Netralitas ASN pada Pemilu/Pemilihan masih terdapat kendala, yaitu masih adanya Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang belum menjatuhkan sanksi kepada ASN yang

Page 331: MENATA ULANG SISTEM PEMILU

324 –

melakukan pelanggaran Netralitas ASN. untuk itu agar dibuat mekanisme ataupun sanksi yang lebih tegas kepada PPK yang tidak melaksankan rekomendasi penjatuhan sanksi dari KASN terhadap pelanggaran Netralitas ASN yang dilakukan oleh Pegawai ASN.

Daftar Pustaka Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Lampung. Serial

Evaluasi Pilkada Serentak Di Indonesia.

Komisi Aparatur Sipil Negara. Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara.

M. Adian Firnas. Politik dan Birokrasi : Masalah Netralitas Birokrasi Di Indonesia Era Reformasi. Jurnal Review Politik. Volume 06 Nomor 01, Juni 2016.

Riri Nazriyah. Implikasi Putusan MK Terhadap Netralitas ASN Dalam Pemilikada. Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 2, Juli 2008.

Zudan Arif Fakrulloh. Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Pembangunan Substansi Hukum di Daerah. Majalah Hukum Nasional. 2000.