Upload
gunk-lanank
View
216
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
MENATAP REALITA TRI HITA KARANA DI BALI BAB I PENDAHULUAN Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, dimana kata Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtra atau bahagia dan Karana artinya sebab atau penyebab. Jadi Tri Hita Karana artinya tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagiaan bagi umat manusia. Untuk itu hal tersebut harus
Citation preview
TUGAS FILSAFAT ILMU
MENATAP REALITA TRI HITA
KARANA DI BALI
I Gst. Agung Lanang Widyantara (1291261013)
LINGKUNGAN PESISIR
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, dimana kata Tri artinya
tiga, Hita artinya sejahtra atau bahagia dan Karana artinya sebab atau penyebab. Jadi
Tri Hita Karana artinya tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagiaan
bagi umat manusia. Untuk itu hal tersebut harus dijaga dan dilestarikan agar dapat
mencapai hubungan yang harmonis. Sebagaimana dimuat dalam ajaran Agama Hindu
bahwa ” kebahagiaan dan kesejahtraan ” adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hidup
manusia, baik kebahagiaan atau kesejahtraan fisik atau lahir yang disebut ” Jagadhita ”
maupun kebahagiaan rohani dan bathiniah yang disebut ”Moksa ” Untuk bisa mencapai
kebahagiaan yang dimaksud, kita sebagai umat manusia perlu mengusahakan
hubungan yang harmonis (saling menguntungkan) dengan ketiga hal tersebut diatas.
Karena melalui hubungan yang harmonis terhadap ketiga hal tersebut diatas, akan
tercipta kebahagiaan dalam hidup setiap umat manusia. Oleh sebab itu dapat dikatakan
hubungan harmonis dengan ketiga hal tersebut diatas adalah suatu yang harus dijalin
dalam hidup setiap umat manusia. Jika tidak, manusia akan semakin jauh dari tujuan
yang dicita-citakan atau sebaliknya ia akan menemukan kesengsaraan.
Di dalam kitab Bhagawad Gita dinyatakan bahwa Tuhan telah beryadnya
menciptakan alam semesta beserta isinya. Karena itu manusia hendaknya beryadnya
kepada Tuhan, kepada sesama manusia, dan kepada alam lingkungannya. Oleh karena
itu Tri Hita Karana bukan sekedar konsep tata ruang. Tidaklah tepat kalau ada hotel
yang sudah mendirikan bangunan pura atau tempat pemujaan dan memiliki halaman
hijau sudah bisa disebut melaksanakan Tri Hita Karana. Kalau ada pedagang yang
sudah memasang pelangkiran itu sudah dianggap melaksanakan Tri Hita Karana. Tri
Hita Karana pada hakekatnya adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan
dengan mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam
lingkungan. Pengamalan Tri Hita Karana yang telah disesuaikan dengan nuansa agraris
telah berhasil mengembangkan hasil budaya agraris yang adi luhung. Budaya yang
dihasilkan oleh Pengamalan Tri Hita Karana pada masa agraris itulah yang
menyebabkan Bali menjadi pulau Hindu yang sangat terkenal sampai menerobos ke
dunia Internasional. Dari budaya hasil Tri Hita Karana pada jaman agraris inilah Bali
menjadi salah satu tujuan wisata mancanegara yang sangat menjanjikan. Penerapan Tri
Hita Karana dalam menatap kehidupan kini dan masa yang akan datang haruslah bisa
menghubungakan konsep antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan
sesamanya, dan manusia dengan alamnya perlu direkonstruksi agar sesuai dengan
kebutuhan jaman yang berkembang semakin industrialis. Karena itu penerapan Tri Hita
Karana harus diarahkan untuk memecahkan persoalan hidup untuk masa kini maupun
pada masa yang akan datang, yang semakin kompleks.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Mengukur Keberhasilan Tri Hita Karana
Sesungguhnya belum waktunya kita berbangga ria melihat penerapan falsafah
hidup Tri HIta Karana dalam konteks pembangunan di Bali. Karena berbagai ketidak
seimbangan dalam berbagai bidang kehidupan masih meraja lela di Bali. Kalau sebatas
niat memang patut kita acungkan jempol. Pemda Bali dan segenap jajarannya sangat
berniat dalam mewujudkan Tri Hita Karana. Perda dengan berbagai implementasinya
pun sudah digelar. Bagaimana hasilnya sebaiknya kita berhati-hati dalam menilainya.
Ada pejabat mengatakan bahwa Tri Hita Karana di Bali bukan hanya sebatas wacana
namun sudah terwujud dari sejak jaman dahulu. Pernyataan seperti itu wajib kita
cermati dengan realita yang ada. Pejabat selama menjabat memang sangat cendrung
menyatakan berbagai bidang selalu sukses. Tetapi kalau sudah tidak menjabat
omongannya pun sering berbalik. Hal itu dilakukan agar dia dapat berbangga ria
dengan pernyataan itu. Pernyataan itu hanya untuk menyenangkan diri sang pejabat
dan orang lain untuk mendapatkan pujian yang sesungguhnya palsu. Pernyataan sukses
itu sering dijual ke atas, ke samping, maupun ke bawah oleh sang pejabat untuk tujuan-
tujuan yang sempit. Untuk menilai Tri Hita Karana sudah terwujud dengan baik dalam
masyarakat perlu ditentukan terlebih dahulu tolak ukur yang dijadikan dasar acuan
untuk menilainya. Misalnya menilai hubungan manusia dengan Tuhan. Dapatkah
hubungan manusia dengan Tuhan dinilai sudah sukses karena banyaknya pura yang
dibangun dan direnovasi. Atau diukur dari banyak rakyat mengeluarkan uang untuk
kepentingan Upacara Agama. Konon di Bali setiap tahun umat Hindu menghabiskan
tiga setengah trilliun rupiah lebih untuk kepentingan upacara Agama. Mungkin dari
segi ekonomi bagus karena banyaknya uang yang beredar di masyarakat bawah.
Namun dari segi pembenahan moral dan mental masyarakat perlu kita
telusuri.Sudahkan nilai-nilai Agama yang dikandung dalam upacara Agama itu
teraplikasikan dalam kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Nampaknya
masih banyak umat yang tidak mengerti apa makna suatu upacara Agama
dilangsungkan. Pura yang banyak itu sudahkan digunakan secara tepat untuk membina
umat. Kalau pura hanya digunakan pada saat odalan atau hari Raya Agama untuk
melangsungkan upacara belumlah patut kita berbangga ria. Karena fungsi pura bukan
hanya untuk upacara semata. Pura umumnya memiliki jaba sisi, jaba tengah, dan jeroan
pura. Hal ini belum difungsikan secara benar. Bahkan jaba sisi lebih banyak digunakan
untuk menggelar judian dalam bentuk sabungan ayam, dan bentuk-bentuk judian
lainnya. Sudahkan sebagian besar umat melakukan hubungan dengan Tuhan sesuai
dengan petunjuk ajaran Agama Hindu yang dianutnya. Seperti Tri Sandhya,
sembahyang Purnama Tilem dan lain-lainya. Meskipun mengukur hubungan antara
manusia dengan Tuhan tidak bisa diukur dari hubungan formal seperti itu saja. Ada
banyak cara yang dibenarkan dalam kitab suci untuk melakukan hubungan dengan
Tuhan di luar yang formal seperti itu. Dalam satu persoalan saja seperti hubungan
manusia dengan Tuhan kita akan banyak sekali menemukan realita yang masih jauh
dari idealisme Tri Hita Karana. Oleh karena itu belumlah waktunya kita berbangga-
bangga. Orang yang mudah berbangga-bangga itu cepat berpuas diri dan ujung-
ujungnya sering menjadi sombong. Dari berpuas diri dan sombong kita bisa lemah dan
lengah menghadapi berbagai persoalan yang masih membentang di hadapan kita.
Kelemahan dan lengengahan ini merupakan awal dari kegagalan. Membanggakan diri
secara berlebihan dapat menimbulkan sifat untuk menganggap rendah pihak lain.
Menganggap orang lain lebih rendah dengan diri merupakan suatu bibit permusuhan
yang tersembunyi. Menurut ajaran Rwa Bhineda semua ciptaan Tuhan memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bentuk kelebihan dan kekurangan itu
berbeda-beda. Setiap kita merasa memiliki kelebihan hendaknya kita juga serius
meneliti kekurangan kita. Dengan sikap seperti itu kita akan dapat mencegah timbulnya
sikap takabur. Karena sikap takabur seperti itu kita bisa mandeg untuk
mengembangkan proses perbaikan diri karena sudah menganggap diri berhasil. Oleh
karena itu janganlah dulu berbangga ria tentang penerapan Tri Hita Karana di Bali,
karena masih banyak lubang-lubangnya. Marilah kita kerja terpadu untuk menutup
lubang-lubang tersebut. Persoalan yang sudah demikian menggejala jangan lalu hanya
disebut kasus kecil saja. Jangan karena kegiatan Adat dan Agama yang lebih
menonjolkan hura-hura itu kita sudah menganggap Tri Hita Karana sudah berjalan
mulus.
2.2. Hubungan Manusia Dengan Tuhan Dalam Tri Hita Karana
Hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama
dan manusia dengan alam lingkungannya, bukan merupakan hal yang terpisah-pisah.
Ketiga hubungan tersebut harus menyatu terpadu membentuk sikap hidup dalam
konsep Tri Hita Karana. Kalau ia sudah menjadi sikap hidup yang terintegral dalam
diri barulah Tri Hita Karana itu menampakkan hasil memberikan kebahagiaan pada
manusia. Makna hubungan antara manusia dengan Tuhan harus mengejawantah pada
hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Dari
meningkatnya kualitas hubungan antara manusia dengan Tuhan itulah yang menjadi
penyebab meningkatnya hubungan yang lain. Hubungan antara manusia dengan Tuhan
dalam Tri Hita Karana tidak hanya untuk mempertemukan Atman dengan Brahman
mencapai Moksa. Memuja Tuhan bukan untuk melupakan kehidupan duniawi. Memuja
Tuhan justru untuk mendatangkan kekuatan suci untuk manata kehidupan di dunia agar
kehidupan di dunia ini menjadi semakin berkualitas. Sraddha dan Bhakti umat pada
Tuhan harus mampu didayagunakan untuk dijadikan landasan spiritual untuk
menuntun manusia di dunia ini menuju kehidupan yang bahagia. Kualitas hidup
individual maupun kehidupan sosial haruslah meningkat sebagai akibat dari Sraddha
dan Bhakti manusia pada Tuhannya. Kalau peningkatan Sraddha dan Bhakti manusia
pada Tuhan menurunkan kualitas hidup manusia secara individual maupun sosial maka
cara manusia mengembangkan Sraddha dan Bhakti pada Tuhan itulah yang keliru. Di
Bali ada istilah “kedewan-dewan”. Itu salah satu bentuk kesalahan manusia dalam
memakai Sraddha dan Bhaktinya pada Tuhan. Di Indonesia ada beberapa orang yang
semakin meningkat aktivitasnya beragamanya ia menjadi semakin exclusive dan
sombong. Menganggap orang yang tidak seperti dia caranya beragama dianggap orang
rendah. Bahkan menganggap agama orang lain adalah Agama rendahan atau bukan
Agama Tuhan. Padahal tidak ada Agama yang mengajarkan umatnya agar menjadi
orang sombong. Tidak ada Agama yang mengajarkan agar orang lupa akan
kewajibannya sebagai manusia normal. Karena orang yang “kedewan-dewan”
umumnya lupa akan swadharmanya sehari-hari sebagai manusia yang hidup
bermasyarakat. Ia hanya memuja Tuhan semata sampai lupa akan tugas-tugas yang
lainnya. Padahal konsep Tri Hita Karana adalah hidup yang seimbang antara memuja
Tuhan, mengabdi pada sesama, dan menyayangi alam lingkungan. Meningkatkan
Sraddha dan Bhakti pada Tuhan di masa lampau berbeda dengan memuja Tuhan di
jaman modern dewasa ini. Pada jaman kehidupan masih sangat kental budaya
agrarisnyapersoalan hidup yang dihadapi oleh manusia sangat berbeda dengan
persoalan hidup yang dihadapi pada jaman budaya industri. Hal ini timbul karena
adanya perubahan kebutuhan hidup manusia. Dalam masyarakat agraris kebutuhan
hidup manusia sangat sederhana. Baik menyangkut kebutuhan hidup yang bersifat
biologis, sosiologis, maupun kebutuhan filosofis. Karena meningkatnya kualitas dan
kuantitas kebutuhan hidup manusia inilah yang menyebabkan persoalan hidup
masyarakat agraris sangat berbeda dengan kebutuhan hidup pada jaman industri.
Pada jaman modern hubungan antara manusia dengan manusia semakin
dinamis dan multi dimensi. Hal ini terjadi karena semakin majunya teknologi
transportasi dan teknologi komunikasi. Kemajuan ini membutuhkan adanya
peningkatan kualitas moral dan daya tahan mental untuk mempertahankan identitas
diri. Tanpa kekuatan moral dan mental yang semakin tinggi manusia akan kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia pada jaman modern ini.
Rendahnya kualitas moral dan mental manusia modern dewasa ini sebagai penyebab
timbulnya peningkatan penderitaan yang dirasakan oleh manusia modern. Karena
hubungan manusia dengan tuhan dalam bentuk Sraddha dan Bhakti harus semakin
ditingkatkan. Hubungan antara manusia Hindu dengan Tuhannya dewasa ini belum
menampakkan hubungan yang lebih menajamkan peningkatan kualitas spiritual. Kita
masih mentok melakukan hubungan dengan ritual yang semakin mengarah pada
festival yang berhura-hura. Ritual sebagai media hubungan antara manusia dengan
Tuhan semakin kehilangan nuansa spiritualnya. Jumlah umat yang Tri Sandhya setiap
hari mungkin masih sangat sedikit. Sembahyang bersama setiap Purnama dan Tilem di
Pura masih jarang dilakukan oleh umat. Belum banyak ada Dharma Wacana yang
sistematis dan kontunyu yang dilakukan oleh umat secara luas melalui lembaga umat
baik yang tradisonal maupun yang modern.
2.3. Memuja Tuhan Memaknai Tri Hita Karana
Tradisi pemujaan pada Tuhan dan Dewa Pitara di Bali sesungguhnya masih
sangat relevan untuk dikembangkan dalam kehidupan modern dewasa ini. Memuja
tuhan pada masa lampau barangkali masih bisa pada saat ada Odalan dan Hari Raya di
Bali disebut Rerainan. Pada jaman modern ini sesungguhnya hal itu bisa dilakukan
lebih giat lagi sesuai dengan petunjuk kitab suci. Lebih-lebih di Bali umat Hindu punya
fasilitas yang sangat memadai. Di setiap ruangan rumah ada Pelangkiran. Di setiap
pekarangan rumah pada bagian kewulan ada merajan Kemulan. Di setiap Banjar ada
tempat pemujaan. Di Desa Pakraman ada Khayangan Tiga, demikian seterusnya. Di
Bali banyak sekali umat punya Wantilan, Balai Banjar, Pura dengan Jaba Sisi, Jaba
Tengah, dan Jeroan Pura. Semua itu dapat difungsikan lebih insentif lagi untuk
mengembangkan pemujaan pada Tuhan yang lebih spiritual. Tidak berhenti pada tahap
ritual yang lebih banyak berhura-hura dan mahal. Ini bukan berarti ritual itu tidak
penting. Ritual itu tetap penting karena ia kulit dari Agama. Sebagai kulit yang harus
jadi pembungkus media susila dan Tattwa Agama. Dalam kehidupan mengembangkan
Tri Hita Karana fasilitas umat tersebut harus dapat lebih difungsikan untuk
mengembangkan pemujaan pada Tuhan yang lebih intensif. Pada jaman modern ini
kehidupan duniawi demikian tinggi dinamikanya. Dalam konteks Tri Hita Karana
kehidupan rohani pun dapat ditingkatkan kegiatannya agar mencapai keseimbangan.
Peningkatan pemujaan pada Tuhan untuk memaknai keseimbangan dalam kaitannya
dengan Tri Hita Karana. Persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia dalam
masyarakat agraris masih jauh lebih sederhana daripada masa kini dan yang akan
datang. Majikan manusia pada masyarakat agraris adalah sawah, ladang, sapi,
kambing, babi, ayam, dan lain-lain. Karena itu mereka sendirilah yang menentukan
jenis pekerjaan dan waktu kerja yang diinginkan. Jenis pekerjaan apa yang ia ingin
kerjakan terserahlah pada diri masing-masing. Demikian juga jam berapa ia ingin kerja
terserah diri kita masing-masing. Kapan kita libur berapa lam kita libur terserah diri
kita masing-masing. Pada masyarakat industri orang bekerja pada orang lain. Tidak
lagi diri kita masing-masing menentukan kerja dan waktu kerja itu. Ada aturan jam
kerja dan pembagian kerja yang menentukan apa yang harus kita kerjakan. Kalau kita
melanggar ada atasan atau majikan yang akan memberi kita sangsi. Jadinya kita tidak
sebebas dalam masyarakat agraris menentukan kerja. Persaingan hidup dalam
masyarakat industri jauh lebih seru daripada dalam masyarakat agraris. Keadaan
masyarakat yang berubah inilah yang menyebabkan persoalan hidup yang dihadapi
semakin meningkat. Karena itu frekuensi kegiatan Agama untuk memperkuat diri harus
juga ditingkatkan. Untuk mewujudkan keseimbangan sesuai dengan falsafah Tri Hita
Karana, cara memuja Tuhan pun harus ditingkatkan. Tidak bisa kita lagi memuja
Tuhan pada saat Odalan atau Hari Raya saja. Menghubungan diri pada Tuhan dalam
konteks Tri Hita Karana harus diarahkan untuk membangun diri yang prima lahir
bathin. Diri yang prima itu harus didayagunakan untuk mengabdi pada sesama manusia
dan aktif mengembangkan pelestarian alam lingkungan. Beragama dalam mewujudkan
Tri Hita Karana bukan mengembangkan kesombongan. Dalam kehidupan beragama
Hindu di Bali masih banyak kita jumpai keadaan yang terbalik. Orang menutup jalan
secara berlebihan dan seenaknya karena alasan ada Upacara Agama. Upacara Agama
banyak dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk mengambil keuntungan yang
tidak wajar. Upakara dilebih-lebihkan dan dimahal-mahalkan. Upacara Agama
semakin hilang makna spiritualnya. Sudah semakin banyak umat Hindu mengeluh pada
Upacara yang demikian itu. Keluhannya itu cuma disampaikan dengan cara malu-malu.
Karena mereka masih banyak yang belum mengerti makna sosial dan spiritual dari
Upacara Agama yang mereka lakukan. Memuja Tuhan hendaknya diarahkan untuk
menguatkan kesucian Atman dalam diri. Dengan demikian kesucian Atman itu dapat
menguasai Buddhi, Manah, dan Indriya. Orang dalam keadaan prima seperti itu akan
dapat menjadikan hidupnya ini untukmengabdi pada sesama ciptaan Tuhan sesuai
dengan Swadharmanya masing-masing. Kalau ia seorang pengusaha ia akan
kembangkan usahanya itu sesuai dengan prinsip-prinsip berusaha yang benar. Ia tidak
akan menggunakan kemajuan usahanya itu untuk hidup berfoya-foya. Kalau ia seorang
borokrat ia akan ciptakan sistem birokrasi yang melancarkan pelayanan pada rakyat.
Tidak akan digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi yang tidak sah. Kalau ia
seorang politisi, ia akan memperjuangkan aspirasi rakyat secara jujur.
2.4. Mensejahterakan Alam Dalam Tri Hita Karana
Dalam kitab Sarasamuccaya dinyatakan bahwa untuk menggerakkan tujuan
hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama, dan Moksa terlebih dahulu wajib
melakukan Bhuta Hita, yang artinya mensejahterakan lingkungan alam. Yang
dimaksud dengan Bhuta adalah alam yang dibentuk oleh unsur-unsur Panca Maha
Bhuta (Prthiwi, Apah, Bayu, Teja, Akasa). Sedangkan kata Hita dalam bahasa
Sanskerta artinya sejahtera. Kalau manusia ingin hidupnya sejahtera maka yang harus
dilakukan terlebih dahulu adalah mensejahterakan alam dan isinya. Alam memberikan
manusia itu tempat dan sumber penghidupan, itu artinya alam telah beryadnya kepada
manusia. Oleh karena itu manusia pun wajib beryadnya kepada alam. Inilah yan disebut
Cakra Yadnya dalam Bhagawadgita, barang siapa yang tidak memutar Cakra Yadnya
itu pada hakekatnya mereka itu jahat dalam hidupnya. Jadinya memutar roda Cakra
Yadnya suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Kalau manusia tidak
beryadnya kepada alam lingkungannya ini berarti manusia itu tidak memutar roda
Cakra Yadnya tersebut, ini artinya manusia telah berbuat jahat. Karena melakukan
Bhuta Hita itu mensejahterakan lingkungan sebagai wujud perbuatan yang harus
dilakukan dalam kaitannya dengan Tri Hita Karana. Dalam membangun Bali pun
dinyatakan dalam Lontar Purana Bali untuk berpegang pada Sad Kerti. Dalam Sad
Kerti itu ada disebutkan melestarikan alam yang disebut dengan Samudra Kerti, Wana
Kerti, dan Danu Kerti. Ini artinya kita wajib membangun kelestarian Samudra, Hutan,
dan semua sumber-sumber air. Tiga hal itu dinyatakan dalam Lontar Purana Bali
setelah Atma Kerti. Atma Kerti itu artinya membangun kesucian diri agar kita menjadi
wadah untuk mengejawantahkan kesucian Atman. Atman pada hakekatnya tiada
berbeda dengan Brahman. Salah sati dari pengejawantahan kesucian diri itu adalah
melakukan pelestarian unsur-unsur alam tersebut sebagaimana disebutkan dalam Sad
Kerti. Alam yang lestari itulah sebagai modal dasar untuk membangun kehidupan
masyarakat dan manusia yang sejahtera, itulah yang disebut Jagat Kerti atau Jana Kerti
dalam Lontar Purana Bali. Dalam hubungannya dengan Tri Hita Karana. konsep ajaran
Hindu dalam pelestarian alam ini hendaknya diwujudkan dengan usaha sadar
terprogram baik oleh Pemerintah maupun oleh umat Hindu sendiri. Karena perwujudan
dari upaya pelestarian alam baru dilakukan dalam kegiatan Upacara Yadnya, seperti
mecaru dalam Bhuta Yadnya. Tujuan Bhuta Yadnya adalah Bhuta Hita, yang artinya
mensejahterakan alam. Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan, Bhuta Yadnya
ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. Makna upacara Bhuta Yadnya menanamkan
nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran itu
melakukan upaya untuk melestarikan kesejahteraan alam. Sebab upaya untuk
melestarikan alam dalam Tri Hita Karana itu sebagai salah satu unsur yang mutlak.
Karena itu nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Bhuta Yadnya harus diwujudkan
dengan perbuatan nyata. Pada kenyataannya kita melihat fakta-fakta yang terbalik.
Setelah melakukan upacara Bhuta Yadnya justru sampah-sampah upacara Bhuta
Yadnya tersebut dibiarkan mengotori lingkungan. Masyarakat masih membuang
limbah keluarga bahkan limbah usaha ke saluran drainase atau got di pinggir jalan.
Padahal fungsi got adalah untuk menyalurkan air hujan dikala musim hujan agar tidak
terjadi banjir. Ada juga beberapa kotoran dibuang ke sungai. Padahal dalam ajaran
Hindu seperti dinyatakan dalam kitab Manawa Dharmasastra yang dengan tegas
menyatakan bahwa tidak boleh membuang kotoran ke sungai seperti sampah, buang air
kecil atau besar, apalagi sampah yang mengandung racun. Dalam ajaran Hindu
sesungguhnya banyak konsep-konsep yang sangat jelas untuk diprogramkan dalam
menjaga kelestarian lingkungan. Semangat untuk melestarikan lingkungan baru
menjadi usaha Pemerintah dengan proyek-proyeknya. Usaha tersebut belum menjadi
sikap hidup semua pihak untuk secara nyata berbuat melestarikan lingkungan dan kalau
tidak ada proyek usaha pelestariannya menjadi mandeg. Ini artinya Tri Hita Karana
belum berjalan. Apalagi masih banyak prilaku yang mengotori sungai atau got,
perusakan hutan, pengotoran udara, kebisingan suara masih menjadi-jadi. Kalau hal
tersebut masih menjadi-jadi tidaklah pantas kita menyebutkan Tri Hita Karana berjalan
dengan baik. Karena itu usaha untuk mewujudkan kelestarian alam harus terus menerus
diupayakan. Jangan hanya mentok di tingkat upacara Bhuta Yadnya semata. Nilai-nilai
dalam Bhuta Yadnya itu hendaknya ditindak lanjuti dengan wujud nyata oleh
masyarakat bersama Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
Jadi, Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = Tiga, Hita =
Sejahtera, Karana = Penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung
pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan
antara: Manusia dengan Tuhannya, Manusia dengan alam lingkungannya, Manusia
dengan sesamanya
Manusia sebagai penghuni bumi ini haruslah tetap menjaga kelestarian alam
lingkungannya. Seperti yang telah diajarkan dalam konsep-konsep Tri Hita Karana
yang disebutkan bahwa manusia haruslah menciptakan hubungan yang harmonis
kepada Tuhan, sesama, dan lingkungannya. Konsep tersebut janganlah hanya omongan
saja tetapi juga haruslah disertai dengan pelaksanaan dalam wujud nyata. Jika manusia
sudah tidak menghiraukan lingkungan tempat tinggal maka lingkungan tersebut juga
akan tidak menghiraukan manusia dan terjadilah bencana seperti banjir, tanah longsor,
dan lain-lainnya.
Oleh karena itu mulailah menerapkan konsep tersebut dalam lingkungan kecil
dahulu, dari diri sendiri dan lingkungan di rumah tinggal. Jika itu sudah terlaksana
maka niscaya untuk lingkungan luas dan alam sekitarnya pasti akan berhasil pula.
Kerjasama masyarakat dan Pemerintah juga sangat berperan penting, jika hubungan
masyarakat dan Pemerintah sudah harmonis, maka dipastikan proyek-proyek
Pemerintah dalam hal ini menyangkut tentang pelestarian alam akan didukung
sepenuhnya oleh masyarakat. Dan juga masyarakat akan membantu semaksimal
mungkin di dalam menjaga dan melestarian alam beserta isinya.
DAFTAR PUSTAKA
Wiana, I Ketut, 2004. Mengapa Bali Disebut Bali, Cetakan Pertama. Paramitha: Jakarta
Anonim, Tri Hita Karana Dalam Konsep Masa Kini dan Implementasinya Siap
Menghadapi Tantangan Era Globalisasi.
http://www.hindubatam.com/component/content/article/7-dharma-
wacana/128-tri-hita-karana-dalam-konsep-masa-kini-dan-implementasinya-
siap-menghadapi-tantangan-era-globalisasi-.html. diakses tanggal 23
September 2012
Wikipedia, 2012. Tri Hita Karana. http://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Hita_Karana.
diakses tanggal 23 September 2012
Anonim, Konsep Tri Hita Karana Dalam Menjalani Kehidupan Yang Harmonis.
http://lumayantsnotlumayan.blogspot.com/2012/02/konsep-tri-hita-karana-
dalam-menjalani.html. diakses tanggal 23 September 2012
Wiana, I Ketut, 1998. Pelestarian Lingkungan Hidup Menurut Konsep Hindu.
Singaraja : Jurnal Widya Darma Sastra
Anonim, Awig-Awig Dan Konsep Tri Hita Karana Sebagai Implementasi Hukum Alam
Pada Masyarakat Bali. http://bligung.blogspot.com/2012/02/awig-awig-dan-
konsepsi-tri-hita-karana.html. diakses tanggal 23 September 2012
Anonim, Tri Hita Karana. http://adnyana-pebantenan.blogspot.com/2012/01/tri-hita-
karanaistilah-tri-hita-karana.html. diakses tanggal 23 September 2012