Upload
lekhanh
View
248
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Mencari Identitas Komik Indonesia
(Studi Komik Independen/ Fotokopi di Indonesia)
Makalah Non-Seminar
Dibuat oleh:
Alinda Rimaya
1006710306
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2014
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Mencari Identitas Komik Indonesia (Studi Komik Independen/ Fotokopi di Indonesia)
Alinda Rimaya, Ade Armando
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Komik sudah menjadi bagian menyatu dalam sejarah Indonesia. Komik memiliki prospek yang baik dalam
perkembangan media moderen. Akhir tahun 1980-an hingga 1990-an, industri komik Indonesia mengalami
keruntuhan. Komikus di Indonesia mencoba bangkit, salah satunya dengan kemunculan komik independen.
Banyak komikus yang akhinya mendistribusikan karya mereka melalui festival-festival, hingga mencetak hasil
karya mereka dengan mengandalkan mesin fotokopi. Muncul istilah “copyleft”. Kemunculan komik fotokopi
menjadi salah satu fase penting dalam perkembangan komik Indonesia. Segala keunikan komik Indonesia ini
membuat komik banyak menyimpan banyak sekali potensial dalam dunia visual. Paper ini berfokus dalam upaya
menunjukkan adanya peluang yang besar komik independen atau fotokopi menjadi produk budaya yang
menunjukkan identitas komik Indonesia. Metode yang digunakan untuk menyusun paper ini adalah tinjauan
literatur dari berbagai macam sumber seperti buku, jurnal dan beberapa sumber dokumen lain yang terkait, yang
nantinya akan membantu menjawab permasalahan mengenai pencarian identitas komik Indonesia.
Looking for Identity of Indonesian Comics
(Study of Independent Comics / Copying in Indonesia)
Abstract
Comic have become part of the blend in the history of Indonesia. The comic has good prospects in the
development of the modern media. In the end of the 1980s to the 1990s, Indonesia experienced a collapse of the
comic industry. Anthologies in Indonesia try to rise, one of them with the appearance of independent comic.
Many of them distribute their works through festivals, print the results of their work by relying on copiers.
Appears the term “copyleft”. The emergence of comic photocopied became one of the crucial phases in the
development of Indonesia's comic. The uniqueness of this make Indonesia comic save a lot of potential in the
visual world. This Paper focuses on the effort to shows that there is a large opportunity independent comic or
photocopying became a cultural product that shows the comic identity of Indonesia. The methods used for
compiling this paper is a review of literature from a variety of sources such as books, journals and some other
related document source, which later would help answer concerns about Indonesia's comic identity.
Keyword : comic; copyleft; Indonesia; photocopied; rise
1
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Pendahuluan
Paper ini mencoba mengungkapkan budaya komik fotokopi, terkait dengan industri
komiknya dan usaha mencari kebenaran mengenai identitas komik Indonesia, dengan studi
literatur yang didapatkan penulis yaitu beberapa buku berkaitan dan komik independen
Indonesia.
Komik sudah menjadi bagian menyatu dalam sejarah Indonesia. Komik memiliki
prospek yang baik dalam perkembangan media moderen Sebelum bahasa tulisan ditemukan,
gambar-gambar yang bersifat sekuensial telah dimanfaatkan sebagai media pendidikan dan
transfer tradisi oleh para tetua kepada generasi berikutnya. Penggunaan grafis sebelum tulisan,
yang mungkin sekedar nilai tanda atau untuk memenuhi kepuasaan estetis, merupakan
pengganti kata-kata dan pengisahan lisan. Batu paling sering digunakan sebagai salah satu alat
untuk menulis atau membuat gambar.
Di Ruang Tunggu, Komik Asyik Sendiri, Catatan Kuratorial Eksposisi Komik DI: Y
(Daerah Istimewa: Yourself), Hikmat Darmawan mengungkapkan: ”komik mengandung diam
dan gerak; ia dibaca, sekaligus dilihat; ia (lazimnya) mewujud sebagai buku, tapi dicerca
sebagai bacaan rendahan. Sebagai medium visual, komik mengandung seni rupa. Namun
sifat sekuensial komik1 membuatnya lebih sering dipadankan dengan film. Sifat sekuensial
komik juga membuatnya sangat cocok untuk penerapan plot dan narasi, sehingga sering pula
komik dipadankan dengan medium cerita seperti sastra”. Will Eisner, dalam bukunya
Graphic Strorytelling pada tahun 1996, mendefiniskan komik sebagai “tatanan gambar dan
balon kata yang berurutan, dalam sebuah buku komik.” Pada tahun sebelumnya 1986, dalam
buku lainnya Comic and Sequential Art, Eisner mendefinisikan teknis dan struktur komik
sebagai sequential art “susunan gambar dan kata-kata untuk menceritakan sesuatu atau
mendramatisir suatu ide. Dalam buku Understanding Comic tahun 1993, Scott McCloud
memberikan definisi komik, “juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence,
intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the viewer”. Lagi-
lagi menekankan bahwa komik adalah sebuah gambar yang sekuensial.
1 Menurut Will Eisner, dalam Comics and Sequential Art (1985), komik bisa berlaku sebagai seni sekuensial. Banyak pengamat, termasuk Scott McCloud dalam Understanding Comics (1995), mengidentikkan komik adalah seni sekuensial –lalu McCloud mengelaborasinya menjadi definisi komiknya yang terkenal, yakni “juxtaposed pictorial or other image in deliberate sequences, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in a viewer.”
2
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Komik menjadi salah satu media komunikasi yang identik dengan gambar. Dengan
kemampuannya menyampaikan informasi secara efektif dan efisien melalui caranya sendiri,
komik juga memberikan kesempatan berekpresi secara verbal dan visual, yang tetap berada
dalam batas-batas komunikasi (Lubis, 2009). Komik merupakan alat komunikasi massa yang
menggabungkan khayalan dan pandangan tentang kehidupan nyata yang dianggap sesuai
dengan masyarakat luas. Komik juga sangat erat hubungannya dengan budaya suatu bangsa
(Bonneff, 2008).
Pada tahun 1980-an pembaca komik Indonesia berubah. Sejak boom minyak tahun
1974, tingkat kemakmuran masyakat Indonesia meningkat pesat. Akhir tahun 1970-an dan
awal 1980-an, daya konsumi para remaja dan pemuda kita meningkat. Mereka (atau orang
tuanya) mampu mengeluarkan biaya yang besar untuk dapat membeli komik-komik bermutu
tinggi mayoritas buatan luar negeri yang beredar di toko-toko buku modern. Secara drastis
minat akan komik lokal dan terjemahan pun menurun. Modal yang kuat dan organisasi
penerbitan yang lebih baik daripada industri ‘rumahan’, penetrasi pasarnya jelas lebih kuat
dibanding komik-komik lokal yang diterbitkan dengan modal pas-pasan. Pasar juga tidak lagi
mengandalkan peminjaman buku dengan murah, mereka para konsumen merasa mampu dan
ingin memiliki, sehingga keuntungan taman-taman bacaan pun surut.
Tahun 1990-an, suasana memanas karena banyak kerusuhan dan semakin kerasnya
pergesekan politik nasional.Tahun 1994, majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik dibredel.
Lalu terbentuklah AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang menjadi salah satu titik oposisi
penting pada rezim Soeharto yang hampir tak terlawan itu. Sementara itu, gerakan kiri pun
menguat. Penyair Wiji Tukul memopulerkan kalimat “Hanya ada satu kata: lawan!” (semakin
populer, ketika sang penyair yang pernah disiksa dalam tahanan politik rezim Soeharto
menjadi “Orang Hilang”, diduga diculik dan dibunuh entah siapa). Protes Kedung Ombo.
Penculikan dukun santet oleh para “ninja” yang agak berbau politis. Di sinilah bermunculan
bibit komik-komik independen (underground) di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta yang
berusaha untuk menyuarakan protes mereka. Mereka kemudian menempuh jalur
underground.2
2 Kata ‘underground’ didapat dari keberadaan sekelompok seniman di Perancis sekitar tahun 1920-an yang berkutat di bidang seni rupa. Mereka mengadakan pamerannya di dalam subway dan basement terletak di bawah tanah. Mereka melakukan hal ini karena mereka menganggap bahwa hasil karya mereka itu aneh dan tidak sesuai dengan pakem yang berlaku. Mereka menuju orang-orang tertentu dan beridelisme tinggi yang menghadiri pameran mereka.
3
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Sejak tahun 1960-an di Amerika Serikat, telah berlangsung gerakan ini yang kemudian
berkembang di Eropa sejak pertengahan tahun 1970-an. Imbasnya pun terasa hingga ke
Indonesia. Komik yang dibuat oleh para seniman dan diperbanyak dengan cara fotokopi ,
biasa disebut komik fotokopian dan disebar luaskan dari tangan ke tangan (hand to hand)
menyesuaikan dengan permintaan pasar. Konvensional memang, namun berjalan dengan
efektif dan efisien. Meskipun memang keuntungannya yang diperoleh tidak begitu besar,
namun dengan cara seperti ini para komikus Indonesia bisa mengukuhkan eksistensinya
secara perlahan dan semakin mematangkan gaya mereka dalam mencari wajah identitas
komik Indonesia.
Sejak tahun 1998 hingga awal 2000-an, komik independen atau fotokopi
popularitasnya memuncak terutama antara tahun 2000 hingga 2003. Terbitan komik
independen atau fotokopi begitu melimpah. Ironisnya, pada masa ini pula, terjadi penguatan
gaya komik mainstream aliran manga. Dengan begitu maraknya produksi mangaka lokal yang
banyak menggeruskan identitas nasional komik Indonesia atau lokal. Keadaan ini semakin
kontras dengan adanya gejala penurunan produksi komik independen atau fotokopi hingga
saat ini. Dengan latar belakang tersebut penulis berusaha memaparkan bahwa ada peluang
besar komik fotokopi dapat menjadi bentuk komik dengan identitas sebagai komik Indonesia.
Tinjauan Literatur
Sudah banyak pembahasan mengenai komik Indonesia, baik itu mengenai topik
persoalan identitas komik Indonesia, maupun kemunculan komik independen atau fotokopi
sebagai produk kebangkitan komik Indonesia yang dihasilkan oleh para seniman dan komikus
Indonesia. Persoalan bagaimana sebenarnya identitas komik Indonesia masih sering menjadi
pembahasan.
Marcel Bonneff dalam bukunya ‘Komik Indonesia’ (1998) mengatakan bahwa
“gambar merupakan cara yang ampuh untuk menyampaikan berbagai gagasan kepada anak-
anak dan publik buta huruf, terutama dalam bidang informasi, pendidikan dan periklanan.
Tanpa gambar mungkin publik sulit memberi reaksi terhadap gagasan tersebut. Di Indonesia,
dalam kampanye politik atau propaganda, tidak jarang menggunakan komik untuk menarik
perhatian rakyat akan suatu isu atau kebijakan pemerintah”.
4
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Dalam tulisannya, Arswendo Atmowiloto3 mengungkapkan bahwa komik dapat
memberikan sumbangan pada proses pertumbuhan kebudayaan nasional. Ia mengungkapkan
bahwa, “komik sebagai media ekspresi pribadi sekaligus terlibat dalam apa yang disebut
kebudayaan nasional. Mereka (komikus-komikus) adalah dinamikator-dinamikato yangkalau
dilihat dari sejarah dan hasilnya, komik mampu menampung masalah sosial, politik, agama,
sejarah, perjuangan, penerangan dan aspek-aspek lain dalam kebudayaan”.
Hikmat Darmawan, kritikus dan pemerhati komik, dalam bukunya ‘Dari Gatotkaca
Hingga Batman’ (2005) berpendapat bahwa sebaiknya isu identitas ditinjau dari dua sudut
pandang yaitu: “identitas sang komikus, sebagai proses penemuan jati diri dan ciri khas yang
berpengaruh terhadap karya-karyanya; dan identitas media suatu negara, yang sifatnya
multidimensional dan tidak bisa dikaji secara sepintas hanya dari unsur visual saja”.
Kemudian pada tulisannya ‘Di Ruang Tunggu, Komik Asyik Sendiri. Catatan Kuratorial
Eksposisi Komik DI: Y (Daerah Istimewa: Yourself)’, Hikmat Darmawan menyinggung
bagaimana pada tahun 1998, “bibit-bibit komik DIY (Do It Yourself) bertemu di Pekan Komik
& Animasi Nasional I, di galeri nasional Gambir. Pada titik ini, komik-komk DIY lebur ke
dalam keanekaragaman gaya yang mengagetkan: manga, superhero Amerika, avant garde,
BD Eropa dan sebagainya. PKAN I menandai pengukuhan etos DIY sebagai identitas
komikus Indonesia generasi ketiga”.4
Dalam tulisannya Degina Juvita, berjudul Melirik Sejarah dan Industri Komik
Indonesia, ia mengutip pernyataan Hikmat Darmawan yaitu “pada 1955, era R.A. Kosasih
dalam bukunya berjudul "Sri Asih", diprotes karena dianggap ke Amerika-an”. Kemudian
Kosasih membuat komik wayang yang memiliki unsur cerita rakyat, budaya, dan metodologi
yang dicocokkan dengan kondisi Indonesia. Komik dibuat melalui riset pada kitab-kitab, dan
diolah sesuai dengan bahasa komik”.
Imansyah Lubis dalam tulisnnya Komik Fotokopi Indonesia 1998-2001 (2009)
menyatakan dengan melihat dari sudut pandang ruang lingkup sosiologi, bahwa “persoalan
identitas menjadi penting karena adanya kecemderungan untuk membandungkan produk
dalam negeri (dalam hal ini komik) dengan produk luar, adanya keinginan untuk memiliki
3 Arswendo Atmowiloto, “Komik dan Kebudayaan Nasional”, dari Majalah Analisis Kebudayaan, Jakata, 1982, hal 109.
4 Dalam tulisan yang sama Hikmat Darmawan mengungkapkan secara kasar generasi pertama komikus Indonesia adalah generasi Kho Wang Gie (Put On) dan R.A. Kosasih, dkk., yang berjaya pada 1950-60-an. Generasi kedua dimulai oleh terbitnya Si Buta Dari Goa Hantu (1968) karya Ganes TH., dan majalah Eres pada 1970. Generasi ini berjaya sepanjang 1970-an hingga awal 1980-an
5
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
komik Indonesia dengan karakter yang ‘berbeda’ yang mampu untuk dibanggakan, dan
adanya kemudahan untuk membandingkan komik Indonesia dengan komik yang saat ini
menjadi jenis yang mainstream atau yang sedang menjadi trend”.
Alvanov Zplanzani, Hafiz Ahmad, dan Beny Maulana dalam bukunya ‘Histeria!
Komikita: Membedah Komikita Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Depan’ (2006)
mendefinisikan komik Indonesia sebagai “komik buatan orang Indonesia, yang diterbitkan
juga di Indonesia. Identitas bukanlah sesuatu yang sengaja dicari tetapi adalah sesuatu yang
didapatkan”. Kemudian seperti kata Machiko Maeyama, salah seorang mangaka yang
tinggal di Indonesia, yang juga dikutip dalam buku Histeria! Komikita: Membedah Komikita
Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Depan, bahwa “diharapkan akan terbentuk identitas komik
Indonesia: komik yang hanya bisa dihasilkan oleh orang Indonesia sendiri”.
Dalam tulisannya berjudul ‘Komik Indonesia Itu Maju: Tantangan Komikus
Underground Indonesia’ (2002), Tito Amanda memaparkan mengenai pendapat Athonk
pembuat komik kelas dunia asal Indonesia, yaitu “komik adalah media yang paling ideal.
Pilihan media yang lain yang saya pilih yaitu poster juga dibuat dalam panel kecil-kecil dan
memuat banyak tulisan. Media komik bagi saya memberikan kesempatan untuk
menyampaikan pesan secara lebih verbal. Gambar-gambar tanpa tulisan belumlah lengkap.
Kebutuhan menverbalkan pesan saya lakukan sebagai usaha untuk mendekatkan karya saya
dengan pembaca yang melihatnya. Penyebaran komik yang saya lakukan secara cuma-cuma,
serta memasang poster di papan pengumuman, di luar gedung pameran dan di pinggir jalan,
merupakan bagian dari usaha untuk mendekatkan karya saya dengan masyarakat”.
Metodologi Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode yaitu kajian kepustakaan atau studi literatur.
Penulis melakukan analisis isi dari bahan bacaan seperti buku, jurnal penelitian, artikel online,
dan lain sebagainya. Kajian kepustakaan atau studi literatur berasal dari 2 sumber utama yaitu
dokumen asli Komik & Infrastrukturnya, serta Di Ruang Tunggu, Komik Asyik Sendiri.
Catatan Kuratorial Eksposisi Komik karya Hikmat Darmawan. Kajian kepustakaan atau studi
literatur lain yang digunakan adalah jurnal ilmiah yang fokusnya membahas masalah tentang
komik independen atau fotokopi di Indonesia dan komik itu sendiri. Jurnal yang digunakan
diantaranya Komik Indonesia Itu Maju: Tantangan Komikus Underground Indonesia (2002),
Komik Fotokopian Indonesia 1998-2001 (2009), Pemetaan Komik Indonesia Periode Tahun
6
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
1995-2008 (2012), Languange and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia (1990),
Hilangnya Identitas Kultural Dalam Perkembangan Komik Lokal Indonesia. Kemudian
beberapa buku seperti Dari Gatotkaca Hingga Batman (2005), Histeria! Komikita:
Membedah Komikita Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Depan (2006), dan Komik Indonesia
(1998) agar dapat memperkaya kelengkapan data dalam paper ini. Kajian kepustakaan atau
studi literatur ini merupakan sarana untuk membantu peneliti dalam mengumpulkan data atau
informasi dengan membaca keseluruhan data dalam bahan yang telah di dapatkan. Data
tersebut dianalisis dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang memaknainya.
Analisis dan Pembahasan
1.
Sejarah dari komik indonesia adalah sejarah perjuangan dari komik itu sendiri.
Kelahiran komik Indonesia dimulai beberapa dekade sebelum kemerdekaan dari Kolonialisasi
Belanda, jauh sebelum negara Indonesia ada dalam peta dunia. Secara historis, komik di
Indonesia diyakini telah muncul sejak adanya relief pada candi-candi di pulau Jawa dan
banyak dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu dan Islam. Candi Borobudur mengandung
sebelas seri bas-relief, yang mencakup sekitar 1460 adegan. Relief-relief ini memang sesuai
dengan definisi komik yaitu gambar-gambar dan bentukan-bentukan berderet dalam urutan
yang disengaja, dimaksudkan untuk memberi informasi dan/atau menghasilkan respon estetis
bagi pembacanya (Scott McCloud, 1993)5.
Namun, komik Indonesia modern belum benar-benar muncul hingga saat masa
kemerdekaan. Sebelum masa itu, masyarakat Indonesia terbiasa dengan komik dalam bentuk
strip, karkatur koran dan poster propaganda di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Harian-
harian di masa itu memuat berbagai macam komik strip impor terjemahan dari Eropa dan
Amerika Serikat. Media massa adalah sarana penyebarluasan yang ampuh, contohnya yang
terjadi di Amerika Serikat. Buku komik terjemahan juga membanjiri pasaran. Pengaruh komik
strip itu begitu besar dan akhirnya mempengaruhi karya komik lokal. Tidak heran jika cara
bertutur dan gaya grafis dalam tradisi komik Indonesia banyak dipengaruhi komik barat
(Berman, 1998). Dalam Imagined Communities (1990), Ben Anderson menggambarkan
5 “Juxtaposed pictorial or other image in deliberate sequences, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in a viewer” (1993:9).
7
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
bagaimana komik menjadi sarana orang mengungkapkan alam pikiran dan cara rakyat
mengungkapkan komunikasi politik mengenai bagaimana penguasa mereka dalam simbol-
simbol. Dari sisi industri, komik Indonesia telah melewati tiga generasi, yaitu 1930-an, 1940-
1950-an, dan 1960-1970-an.
Kho Wan Gie6, seorang Tionghoa, menciptakan komik dalam bentuk komik strip
yang terbit secara rutin di surat kabar Sin Po. Awal terbitnya pada tanggal 2 Agustus 1930.
Ketika itu, Kho Wan gie menggunakan nama Sopoiku, memulai debutnya dengan
menceritakan tentang sosok lelaki gemuk bermata sipit, bernama Put On7 yang merupakan
seorang Indonesia keturunan Tionghoa, yang suka melindungi rakyat kecil. Menurut Bonneff,
dalam bukunya berjudul “Komik Indonesia” menempatkan titik awal sejarah pertumbuhan
komik di Indonesia adalah pada awal Perang Dunia Pertama, yaitu dengan dipublikasikannya
cerita bergambar bercorak realistis di harian Ratoe Timoer, di Solo, pada tahun 1939 oleh
Nasroen A. S berjudul “Mentjari Poetri Hidjaoe”.
Tahun 1953-1956 komik Indonesia diwarnai oleh cerita-cerita superhero yang
kemunculannya diilhami oleh komik Amerika seperti Superman, Tarzan, dan Flash Gordon.
Misalnya saja Sri Asih karya RA Kosasih dan Jakawana karya Adisoma. Setelah itu, komik
mulai dianggap tidak mendidik karena tingginya aksi kekerasan dan adegan buka-bukaan.
Pada tahun 1955 dilakukan pembakaran komik secara massal oleh pemerintah. Razia banyak
dilakukan, termasuk di taman-taman bacaan. Saat itu komik-komik itu dinilai tidak bagus
karena terlalu menganggap mengadaptasi budaya Barat. Hikmat Darmawan, peneliti dan
kritikus komik mengungkapkan, “Pada 1955, era R.A. Kosasih dalam bukunya berjudul "Sri
Asih", diprotes karena dianggap ke Amerika-an”. Kemudian Kosasih membuat komik wayang
yang memiliki unsur cerita rakyat, budaya, dan metodologi yang dicocokkan dengan kondisi
Indonesia.
Tahun 1956-1963 menjamurlah komik-komik itu. RA Kosasih dengan karya-karya
wayang seperti Ramayana dan Mahabharata mengalami masa jayanya. Memasuki tahun 1960-
an, minat membaca komik wayang menurun. Ini menjadi peluang bagi komik Medan, yang
waktu itu lebih mengambil cerita rakyat dan cerita aktual, untuk muncul. Taguan Hardjo
6 Salah satu tokoh pembuat komik legendaris pada waktu 1930-1960an. Komikus generasi pertama di Indonesia yanga karyanya mulai diterbitkan tahun 1929. Lahir di Indramayu tahun 1908, wafat tahun 1893. Karya awalnya, strip komik berjudul “Put On”, komik pertama dan pelopor komik humor di Indonesia.
7 Komik ini terus terbit selama 30 tahun sejak pertama kali. Sempat terhenti di masa pendudukan Jepang dari tahun 1942-1946. Terakhir terbit dalam media majalah Panjtawarna dan harian Warta Bhakti. Sejak peristiwa G30S PKI, kedua media ini berhenti terbit begitu juga Put On.
8
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
adalah salah satu dari beberapa komikus yang berhasil membuat karya-karya yang canggih
pada waktu itu. Sebut saja Hikayat Musang Berjanggut, Kapten Yani dan Perompak Lautan
Hindia, serta Keulana. Tahun 1963-1965 komik Indonesia banyak membawa pesan-pesan
propaganda politik Orde Lama. Isinya banyak mengenai perjuangan melawan
neokolonialisme, pemberontakan, dan ideologi. Akhir tahun 1965, ketika keadaan negara
lebih stabil, komik yang populer bukan lagi komik politik, tetapi roman remaja yang
menyorot kehidupan metropolitan remaja saat itu. Jan Mintaraga, Sim, dan Zaldy adalah tiga
dari sekian banyak komikus yang membuat komik roman remaja. Namun, karena sebagian
besar adalah adegan percintaan, komik ini sempat mengalami razia polisi tahun 1967 sehingga
popularitasnya menurun.
Tahun 1968-1980 usai tema percintaan muncul komik superhero gelombang kedua
dengan genre komik petualangan pendekar-pendekar ahli silat. Ganes TH mempelopori
popularitas komik jenis ini. Serial Si Buta dari Gua Hantu, Siluman Srigala Putih, Tuan Tanah
Kedawung, Si Djampang. Djair dengan tokoh Jaka Sembung, Hans Jaladara dengan Panji
Tengkorak. Komik Amerika juga terlihat lagi pengaruhnya. Misalnya, Laba-laba Merah karya
Kusbramiaya yang diinspirasi oleh Spiderman, Godam karya Wid NS dan Gundala karya
Hasmi. Namun, pada tahun 1980-an komik Indonesia mengalami masa surut akibat serbuan
komik asing, yaitu manga dan anime dari Jepang.
Di akhir tahun 1990-an, bersama mulai memudarnya masa kejayaan karya sastra
populer, komik asing mulai menyerbu dan menggusur komik Indonesia. Namun terlihat
semacam kebangkitan, meski bukan pada penerbitan resmi. Komik independen atau fotokopi
lahir di berbagai perguruan tinggi, seniman, dan komikus yang memproduksi dan
mendistribusikan karyanya di lingkungan kampus dan menggandakannya dengan mesin
fotokopi. Komik ini bebas hambatan komersial dan kepentingan dan menjadi media ekspresi
populer karena mayoritas komik ini mengekspresikan kepedulian sosial dan isu politik. Pada
tahun 1994-2000 adalah masa jaya komik independen atau fotokopi ini.
Awal abad ke-21, banyak komikus Indonesia mencoba bangkit dan berjuang melawan
hegemoni komik-komik dari luar negeri. Dengan penuh semangat dan keberanian mereka
memasarkan karya-karya mereka di pameran-pameran atau festival komik yang ada, atau
melakukan barter sesama komikus. Tidak sedikit yang melabeli karyanya dengan istilah
‘copyleft’ yang artinya siapapun diperbolehkan untuk menggandakan karya mereka namun
tidak untuk tujuan komersial. Masing-masing komikus pada era ini menonjolkan keunikan
9
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
mereka masing-masing. Keunikan identitas ini menawarkan kemungkinan yang lebih luas lagi
bagi medium komik dan narasi visual untuk terbuka ke segala arah.
2.
Hegemoni pemerintahan masa Orde Baru beserta pertumbuhan ekonominya membuat
komodifikasi seni rupa terpusat pada galeri dan karya independen. Komikus atau seniman
menggunakan teknik pembuatan komik independen atau fotokopi. Mereka mencoba tampil
berbeda dalam pembuatan komik dengan gaya gambar lebih variatif dan eksperimental. Dunia
atau industri komik di Indonesia dibanjiri oleh begitu banyaknya jenis komik yang
diperbanyak dengan cara fotokopi dan diedarkan secara langsung yaitu dari tangan ke tangan
sesuai dengan permintaan ‘pasar’, yang biasanya lebih banyak teman sesama penikmat komik
atau sesama komikus. Konvensional, namun efisien dan efektif. Keuntungan finansial yang
diperoleh tidak cukup besar, namun setidaknya cara ini membawa pengaruh yang besar. Para
komikus underground di Indonesia pada masa itu bisa sedikit demi sedikit mulai
mengukuhkan keberadaannya dan semakin mematangkan gaya mereka dalam mencari wajah
komik Indonesia yang hilang.
Gambar 1. Contoh bentuk karakter komik fotokopi
Tahun 1998 terjadi revolusi politik sosial di Indonesia, ledakan secara besar-besaran
kreatifitas dan media yang juga menyebabkan komik buatan komikus Indonesia mulai
perlahan menghilang. Komik-komik Indonesia bahkan tidak ada lagi yang beredar dipasaran
10
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
secara bebas. Biasanya hanya melalui festival-festival yang diadakan para komunitas komik,
yang akhirnya karena keterbatasan dana akibat tidak adanya pemasukan, komikus Indonesia
mencetak sendiri karya-karyanya dan dibukukan dengan format fotokopi. Kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, danYogyakarta menjadi motor penggerak, yang seakan tidak pernah
kehabisan ide untuk terus meningkatkan kreatifitas para komikusnya. Begitu banyak komik
underground yang dihasilkan dari tiga kota besar tersebut.
Dalam wawancara Hikmat Darmawan8 menyatakan bahwa memang benar
kemunculan komik-komik independen dimulai pada tahun 1990-an. Itu era dimana para
komikus di Indonesia melakukan inovasi untuk mendobrak dominasi komik-komik asing
terutama yang berasal dari negara barat (Amerika Serikat & Eropa) dan Jepang. Ada
kegigihan dan kekerasan kepala dari komikus. Mereka menciptakan model produksi baru.
Komikus asli Indonesia beranggapan bahwa dominasi tersebut menggeser bahkan
menghilangkan jati diri atau wajah komik Indonesia. Karena banyak komikus yang meniru
gaya gambar komik-komik asing tersebut. Ada yang menggunakannya sebagai bentuk
apresiasi seni, namun ada yang membuat komik dengan gaya gambar komik asing tersebut
untuk dijadikan portofolio, batu loncatan masuk ke dalam industri komik di negara barat
(Amerika Serikat & Eropa). Komikus Beng Rahardian9 mengatakan, bahwa memang komik
independen merupakan antitesis terhadap industrialisasi komik. Komik independen tidak
terpukau oleh produksi masal, tidak harus merupakan kerja sebuah tim, dan banyak gagasan
yang dituangkan bersifat personal bahkan cenderung liar. Komik bukan hanya dijadikan
sebagai suatu karya seni, komik juga dijadikan media penyampaian gagasan, kritik atau
sindependenrian, yang merupakan karya jujur karena tidak ada pertimbangan laba dan pasar.
Kadang bebas melintasi batasan estetika, moral dan kultur. Hal ini yang menyebabkan banyak
penerbit besar tidak dapat menerima konsep komik fotokopi atau independen. Orientasi sudah
8 Pengamat budaya populer dengan kekhususan minat pada komik dan film. Menulis sejak 1994 di Tempo, Kompas, Gatra, Republika dan lain-lain. ukunya, kumpulan esai tentang komik berjudul Dari Gatot Kaca Hingga Batman: Potensi-potensi Naratif Komik (Yogyakarta: Penerbit Orakel, 2005), sedang dikemas ulang bersama kumpulan papernya yang lain. Ia ikut mendirikan beberapa komunitas, seperti Musyawarah Burung, Akademi Samali, dan kini bergiat di Laboratorium Kota Paramadina. Ia pernah menjadi redaktur majalah Madina. Saat ini ia menjadi redaktur Rumahfilm.org. Ia menjadi redaktur tamu untuk Fokus "Komik dan Kota" pada Februari 2009.
9 Pendiri Akademi Samali ini nyaris lengkap melakukan aktivitas untuk ikut memajukan komik Indonesia. Menjadi komikus, editor, penerbit komik dan mendirikan lembaga komik. Tahun 1994 ia mulai terjun ke duni perkomikan, saat kerja di studio Animic di Bandung. Mulai membuat komik tahun 1999, setelah bergabung dengan teman-teman komikus di Yogya. Membentuk kelompok studi Komik Teh Jahe untuk kemudian membuat komik independen hingga sekarang. Pernah memenangkan Kosasih Award tahun 2007, dengan karyanya “Tidur Panjang”.
11
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
sangat berbeda dan bisa dipastikan akan sangat sulir menemukan titik temunya. Ditambah lagi
adanya sistem royalti.
Hikmat Darmawan mengatakan bahwa sebenarnya asal mula kemunculan komik
independen di Indonesia berasal dari hasil gambar karya salah seorang bernama Sapto
Raharjo alias Athonk10. Seniman tato yang mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu Seni
Rupa – ISI Yogyakarta ini rajin memfotokopi karya-karyanya. Karya tersebut ditulis dalam
bahasa Inggris. Pilihan bahasa tersebut selain menjawab tantangan pasar internasional, juga
merupakan ekspresi personalnya. Sejak kuliah di ISI Yogyakarta tahun 1990, gaya dan
penampilan Athonk bergaya mirip punkers. Atribut budaya punk ini ia pakai sebagai salah
satu bentuk protesnya terhadap keadaan politik dan masyarakat Indonesia yang pada tahun
tersebut tidak toleran terhadap perbedaan. Mereka memandang segala sesuatu yang berbeda
dari mainstrem adalah ‘noda’. Sesuai dengan jamannya pada saat itu di era 90-an, pergerakan
mahasiswa melawan Orde Baru muncul lebih militan, terorganisasi dan lebih dekat dengan
kepentingan dan keadaan rakyat. Athonk sering membuat poster-poster protes terhadap
keadaan negara pada saat itu. Masterpiece karya Athonk keluar dalam bentuk poster art, atau
seni poster dimana karya yang ia buat dipenuhi dengan gambar-gambar kecil dan tulisan yang
mirip panel-panel yang biasa terdapat dalam komik. Posternya jelas menyuarakan
keberpihakannya pada rakyat. Proses pembuatannya pun tidaklah singkat, bisa dalam waktu
berbulan-bulan, bahkan hingga tahunan. Isi posternya begitu keras dan diarahkan sedekat
mungkin dengan rakyat jelata Indonesia. Sangat sarat dengan tema sosial.
Bad Times Story11 merupakan komik independen atau fotokopi di generasi awal
kemunculan komik independen di Indonesia dan komik pertama Athonk yang dibuat di
Yogyakarta. Komik yang dicetak pada tahun 1994 dibuat oleh Athonk. Komik ini yang paling
banyak menjadi bahan perbincangan ketika membahas masa kebangkitan ketiga komik
Indonesia setelah tahun 1940-an dan 1970-an, khususnya tentang komik independen. Komik
10 Athonk (Sapto Raharjo), lahir di Kendal, 15 Agustus 1971. Tinggal di Yogyakarta. Komikografi: Bad Times Story I (1994, swaterbit, Indonesia), Bad Times Story II: Pure Black Looking Clear (1997, swaterbit, Melbourne, Australia), Old Skull Comic Strips (2001, swaterbit, Hawaii, Amerika), Old Skull In The Garden (2003, swaterbit, New Orleans, Amerika), Strip Jams (2001, kompilasi komikus Melbourne, Australia). Sedang dikerjakan: Old Skull: Desert Island, Old Skull: Somewhere Between Heaven And Hell (kisah-kisah penjara, rencana 200 halaman komik strip), Old Skull: Jalan-jalan (animasi 3D), Bad Times Story 3: Bad Land (Darmawan,___)
11 Bad Time Story dimulai dengan kata “The Bendless Warfare of Black & White”. Digambarkan seorang malaikat memandangi poster bergambar iblis dengan paper “Reward”, malaikat tersebut berusaha menjebak 3 iblis dengan menyamar menjadi seekor ikan hiu. Namun 3 iblis tersebut berhasil lolos dan terdampar di sebuah pulau bernama Daliland.
12
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
ini dibuat dalam bahasa Inggris, dan di distribusikan dari tangan ke tangan hingga ke outlet
komik alternatif di negara Australia dan Amerika Serikat. Komik ini digandakan dengan cara
difotokopi sebanyak 50 eksemplar pada awalnya (Imanda, 2002). Komik lainnya yang juga
dibuat oleh Athonk yaitu: Bad Times Story #2: Pure Black Looking Clear, Bad Times Story
dan Bad Times Story #2 merupakan 2 komik yang saling bersambung, bercerita tentang 3
iblis dan 1 malaikat yang akhirnya berubah menjadi iblis. Komik tersebut di buat Athonk
ketika berada di Melbourne, Australia. Komik tersebut mendapat sambutan hangat.
Oldskull12, serial komik strip karya Athonk muncul dan terbit ketika ia tinggal di
Hawai. Di sini, tidak ada komunitas komik independen, bahkan komik independen juga tidak
ada di kampus-kampus yang biasanya menjadi tempat peredarannya. Oleh karena itu Athonk
berkonsentrasi membuat serial komik strip Oldskull yang berisi pengalaman-pengalamannya
selama berada di Hawai (Imanda, 2002). Tokoh ‘oldskull’, pria penuh tato dengan wajah
tengkorak yang menggambarkan dirinya sendiri. Secara berkala Athonk meneruskan serial
komik ini dengan membuat Oldskull: In the Garden dan Oldskull13 : In The Den of Sin.
Oldskull: In the Garden dan Oldskull : In The Den of Sin, yang merupakan lanjutan Oldskull.
Serial komik “Oldskull: In The Garden” dikenal banyak orang dan mendapat penghargaan
sebagai komik independen terbaik versi KONDE (Komik Indonesia Satu Dekade) pada
tahun 2007. Komikus Indonesia melihat hal ini sebagai salah satu inspirasi atau ide dalam hal
membuat komik. Akhirnya model komik tersebut digunakan oleh satu-persatu komikus
independen Indonesia. Komik Athonk isi ceritanya jelas memperlihatkan masalah kebebasan
melawan kesewenang-wenangan.
12 Oldskull dan Oldskull: In The Garden, banyak bercerita tentang kehidupannya Athonk di Honolulu, New Orleans, dan Melbourne. Ada cerita tentang bagaimana ia mengantri makanan gratis, tatto culture, rokok, ganja dan putau, musik dan sedikit tentang agama.
13 Oldskull : In The Den of Sin, bercerita tentang kehidupan penjara di sebuah penjara di Yogyakarta
13
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Gambar 2. Sampul ‘Bad Times Story’ dan Athonk alias Sapto Raharjo
Athonk tidak menyukai konsep hak cipta, itu sebabnya ia bekerja secara independen
demi menjamin kebebasannya dalam berkarya. Ia menerbitkan komiknya secara pribadi untuk
menjangkau pasar yang diincarnya, yaitu penggemar komik underground atau independen di
luar negeri. Keberhasilan Athonk terletak pada orisinialitas dan personalitas yang diterima
oleh ‘pasar’ spesifik seluruh dunia. Ekpresi komiknya muncul sebagai representasi
pengalammnya sejak kecil yang membentuk identitas yang khas (Indonesia:?): anti
militerisme, kapitalisme dan komunisme. Semangat pemberontakan, kebebasan berbicara dan
berekpresi membuat komik Athonk menjadi sangat politis. Apalagi kemunculannya berkisar
di puncak krisis politik di Indonesia (Imanda, 2002).
Gambar 3. Kumpulan Contoh Komik Strip Independen “Oldskull”
14
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Seniman komik independen seperti Athonk membuat karya detail dengan hanya
menggunakan bolpoint, spidol atau alat tulis atau gambar sederhana lainnya, penuh paper.
Komik juga dibuat kadang satu atau beberapa halaman dengan kertas HVS biasa, biasa dibuat
dalam waktu 1-2 bulan, seperti yang Athonk biasa lakukan. Proses penggandaan karya hanya
dengan mesin fotokopi. Athonk menghindari desain-desain tradisional dalam komik, ia
berusaha memberikan gambar dan simbol yang universal, agar komiknya mudah dinikmati
pembaca di seluruh dunia. Untuk alasan yang sama, ia menggunakan bahasa inggris, baginya
lebih banyak kesulitan memilih konteks bahasa Indonesia yang cocok bagi cerita dan seluruh
pembaca komik Indonesia.14 Athonk juga menggunakan frase-frase populer dari lagu-lagu
rock. 15 Garis-garis Athonk tebal dan kuat, kecuali karakter malaikat. Hampir tidak ada obyek
yang dibiarkan putih polos. Selain memberikan kesan klasik,warna hitam putih dipilih untuk
menekankan pesan yang ingin disampaikan.16 Selain Athonk, beberapa seniman atau komikus
independen pun menyemarakan industri komik di Indonesia. Beng Rahardian, komikus
independen yang bergerak di antara gaya gambar realisme dan surealisme. Ia cenderung
menggambar dengan gaya kartun, tapi bukan jenis kartun bergaris bersih dan rapi. Komik
buatannya sangat bertekstur disetiap gambar-gambarnya, figuratif dengan garis arsir. Ini
terlihat pada komiknya berjudul “Selamat Pagi Urbaz dan Benda Terbang”, yang terbit
pertama kali secara fotokopian. Baru pada tahun 2003 diterbitkan secara resmi oleh penerbit
kecil Terrant Books. Beng juga sempat membuat ‘komik eksperimental’ untuk Daging
Tumbuh edisi 4 (2002). Namun, baik dalam realisme maupun dalam surealisme, Beng selalu
memberikan “petuah” moral yang jelas. Dalam konteks ini, Beng adalah komikus DIY yang
mewarisi tradisi old school komik Indonesia (Darmawan, _______).
Kemudian ada Bambang Toko.17 Komiknya Rock Never Dies!, berisi gambar wajah-
wajah para musisi Rock legendaris yang di gambar bergaya realis. Dalam komik Bambang
14 Bahasa Indonesia baku bahkan terlalu kaku, dan bahasa informal sehari-hari akan mengacu pada etnis tertentu
15 Misalanya, ‘Seek and Dsetroy’ adalah lagu grup “Metallica’, ‘Appetite for Destruction’ adalah album Guns’ n Roses dan ‘Fade to Black’ adalah lagu The Rolling Stones (Imanda,2002).
16 Pilihan untuk menggunakan warna hitam putih ini ditekankan dalam sub judul untuk kedua buku komiknya: Bad Times Stories 1 bersubjudul: ‘The Endless Warfare of Black and White’, dan bagian 2 bersubjudul: ‘Pure Black Looking Clear’(Imanda, 2002).
17 Bambang ‘Toko’ Witjaksono, lahir di Yogya, 27 Maret 1973, dan tinggal di Yogyakarta. Banyak ikut serta dalam pameran dan kegiatan seni rupa di dalam mau pun luar negeri. (Darmawan,_____)
15
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Toko rupanya lebih tertarik menjelajahi kemungkinan narasi-visual. Atau, lebih tepat, ia lebih
suka membuat parodi. Ia memarodikan konvensi visual komik; pun banyak konvensi sosial
tak selamat ia parodikan. Dalam Abdul Toyib Babi Muslim (2001), ia menyindir
fundamentalisme Islam. Ia juga menyindir perkongsian politik-militer-bisnis dalam Komik
Reformasi (1998). Ia pun menyindir Athonk, sikap Punk, sekaligus bereksperimen dengan
gaya, dalam Bogel, The Failed Punker (1998). Dalam Dargombez The Magician (1997) dan
Bargomik (1997). Ia juga bereksperimen dengan komik format gambar umbul, dalam
komiknya berjudul Selingkuh Dengan Roti (2001) (Darmawan,______).
Daging Tumbuh. Komunitas ini mulai muncul dan berkembang di Jogjakarta, Jawa
Tengah. Berdiri sejak tahun 2000 sebagai sarana atau ajang untuk mengekspresikan diri dalam
bidang komik seni rupa. Inisiator komunitas ini, Eko Nugroho18, mencetuskan nama “Daging
Tumbuh” saat dirinya memproduksi komik kompilasi seni rupa pertamanya. Komik kompilasi
yang dihasilkan oleh Daging Tumbuh, sangat berbeda format maupun isinya dengan komik-
komik yang biasa dijual dipasaran (komik mainstream). Komik Daging Tumbuh adalah komik
seni rupa, dimana dalam komik tersebut berisi kumpulan gambar dan paper yang dibuat oleh
seniman seni rupa, yang tidak semuanya memiliki keahlian membuat komik. Isinya
merupakan ekpresi bebas, tanpa batasan artistik, cerita maupun standar formal seperti komik
pada umumnya. Komik Daging Tumbuh19, dipasarkan di gerai-gerai seni rupa. Harga cetakan
asli Rp 65.000,-, memang agak mahal tapi karena ini komik independen, peminat komik dapat
menggandakan komik ini dengan menggunakan mesin fotokopi. Hal tersebut dianjurkan oleh
komunitas Daging Tumbuh, karena memang tujuan utama komunitas ini adalah
mempopulerkan karyanya, bukan mencari keuntungan. Yang terpenting bagi mereka adalah
komik atau karya tersebut sampai ke tangan pembaca dengan mudah. Jika ada yang dijual, itu
dilakukan hanya sekedar untuk mengganti ongkos produksi saja.
18 Eko Nugroho. Komikografi: “Bukan Komik”, The WC (1997); Komik Kondom, Komik Korek, Kuman, dan 43.1%5-0.7 X ½ (1998); UNWANTED (1999); Hancur di Pagi Buta, Panggil Saja Aku Togel, Assalamualaikum, dan HERK (2000); Sertifikat Untuk Indonesia, Viva Macho, Terbang, Untitled (2001); Hope (2002); The Konyol dan Fight Me (2004). (Darmawan,______) Karya-karyanya mendapat tempat istimewa di antaranya Gallery of Modern Art (GOMA – Brisbane, Australia), Contemporary Art Center (New Orleans, USA), Museum and Art Gallery of Nothern Territory (Darwin, Australia), Haus Der Kulturen Der Welt (Berlin, Jerman), dan Artoteek Den Haag (Belanda), sebagai harta karun nasional hasil karya anak bangsa Indonesia (Lubis, 2009). Baru-baru ini, Eko juga mendapat tawaran kerjasama oleh brand terkenal dunia Louis Vitton.
19 Selain komik, tahun 2008 Daging Tumbuh mengembangkan karya seninya ke dalam bentuk design merchandise, emblem, sarung bantal dan t-shirt. Produk tersebut dipamerkan dan dijual di Daging Tumbuh Shop di kawasan Jl. Parangtritis, Jogjakarta. Toko tersebut juga dijadikan salah satu alat promosi karya-karya komunitas Daging Tumbuh.
16
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Gambar 4 dan 5. Eko Nugroho, Inisiator Komunitas Daging Tumbuh dan Salah Satu Sampul Buku Komik ‘Daging Tumbuh’
Hingga saat ini,komunitas ini sudah memproduksi komik kompilasi sebanyak 13 edisi,
yang diisi oleh beberapa seniman atau komikus independen di Indonesia. Komunitas Daging
Tumbuh sangat mendukung kebangkitan komik Indonesia. Mereka melihat potensi tersebut
melalui komik independen atau fotokopi. Itu alasan mengapa mereka begitu aktif mengadakan
kegiatan-kegiatan yang mendukung dan memberikan ruang kreasi bagi para seniman atau
komikus independen dengan dan melalui karya fotokopinya.20 Selain menerbitkan buku
kompilasi komik, komunitas ini juga aktif mengadakan festival komik, dengan nama “Daging
Tumbuh Award”.
Dalam festival ini, para seniman dan penikmat komik independen, fotokopi dapat
menikmati dan mendapat apresiasi melalui kegiatan-kegiatan seperti pameran komik fotokopi,
lomba komik, lapak komik, comic talk, diskusi, dan launching komik. Bisa dikatakan festival
ini seperti “surga”, seniman, komikus dan penikmat atau pembaca komik independen. Mereka
bisa dengan leluasa berbincang, bertukar pikiran, menyalurkan karya terbarunya, bertukar
komik atau koleksi, mendapat koleksi komik baru dan masih banyak hal lainnya. Komunitas
ini juga memiliki jasa dan pengaruh yang besar dalam memperkenalkan seni komik
independen atau fotokopi, karena semenjak komunitas ini mengadakan festival. Berikutnya,
banyak komunitas atau kelompok lain dari berbagai propinsi di Indonesia, menggelar kegiatan
yang serupa.21 Pengakuan terhadap kualitas komik fotokopi ini setidaknya bisa dibuktikan dari
keputusan harian Koran Tempo yang untuk beberapa lama sempat “menjadikan” grafis atau
20 Sebagai komunitas seni, Daging Tumbuh juga sering mengikuti berbagai pameran seni seperti Galnas Comical Brother tahun 2010 dan Biennale di Taman Budaya 2003.
17
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
gambar-gambar dalam komik kompilasi Daging Tumbuh sebagai ilustrasi cerita-cerita pendek
dan esai mereka.
3.
Peluang naratif di Indonesia adalah komik bisa berdialektika dengan kenyataan. Inilah
yang berusaha ditampilkan oleh sebagian besar seniman komik Independen atau fotokopi di
Indonesia. Peluang ini dimanfaat dengan sangat baik oleh contohnya Athonk dengan
komiknya ‘Oldskull’ mengangkat keseharian dunia punk, kehidupan Athonk pribadi. Lalu
Daging Tumbuh yang digawangi oleh Eko Nugroho yang cukup populer, Beng Rahardian dan
Bambang Toko.
Perlu diingat bahwa komik Indonesia pernah berperan sebagai alat penyampaian
gagasan revolusi kemerdekaan dan nasionalisme pada masa pemerintahan Soekarno.
Kemudian pada saat ini kehadiran komik independen atau fotokopi muncul juga sebagai alat
penyampaian gagasan sindiran atau kritik rakyat Indonesia terhadap pemerintahan yang mulai
kacau saat ini. Terdapat kesamaan yang tergambar. Para komikus independen atau fotokopi
yang muncul di Indonesia menjadikan komik sebagai media ekpresi pribadi mereka terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan negara atau masyarakat Indonesia disekitar mereka, bahkan
juga media ekspresi pengalaman pribadi mereka yang dekat dengan kebudayaan nasional.
Komik-komik yang mereka buat mampu dengan sangat kuat menampung beragam masalah
politik, sosial, agama, sejarah, perjuangan, informasi, pendidikan dan aspek-aspek lainnya
yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia. Bahkan jika komik independen atau fotokopi
bangkit lagi, para komikus atau seniman komik independen, ‘dibebaskan’ berekspresi dengan
tetap menaati peraturan, bisa menjadi salah satu solusi mengurangi tingkat demonstrasi yang
dilakukan mahasiswa, dan bisa menjadi medium untuk memberikan informasi atau penjelasan
kepada masyarakat mengenai apa saja yang terjadi di Indonesia. Karena melalui gambar,
masyarakat akan lebih mengerti.
Komik independen atau fotokopi memberikan kesempatan bagi para komikus atau
seniman menyampaikan pesan secara lebih verbal. Apalagi pola penyebarannya yang murah
bahkan ‘gratis’ yaitu di sebarkan melalui teknik fotokopi, di papan pengumuman umum atau
kampus-kampus bahkan sekolah-sekolah di Indonesia, di luar gedung pameran, hingga yang
21 Daging tumbuh juga memiliki program komunitas bulanan yang bernama versus, dimana seniman-seniman atau brand yang mempunyai merchandise diberi kesempatan untuk men-display produknya di DGTMB Shop dan akan di tandingkan dengan produk-produk Daging Tumbuh sendiri. selain itu DGTMB juga bekerjasama dengan band-band independen, salah satunya White Shoes & The Couple Company
18
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
paling mudah di pinggir jalan. Hasil dari teknik ini, dapat memberikan efek perubaha yang
lebih masif dan tepat sasaran. Karena tidak hanya masyakat yang melihat, tapi juga para
aparat, petinggi, bahkan seluruh pejabat di pemerintahan dapat secara lebih jelas melihat
bagaimana keluhan-keluhan rakyat.
Karena isinya yang banyak mengkritik tentang masalah sosial politik di Indonesia,
tema yang diangkat dekat dengan masyarakat, dibuat oleh orang indonesia lalu merupakan
produk hasil seni yang bisa menjangkau segala kalangan karena harganya murah, desain dan
gaya gambar menarik, spontan, jujur yang kebanyakan mewakili isi hati masyarakat
Indonesia, maka menjadikan komik independen atau fotokopi adalah komik yang mewakili
identitas komik Indonesia sangat besar peluangnya.
Jika kita melihat masa kejayaan komik Indonesia, yaitu masa R.A Kosasih dengan
komiknya yang begitu melejit, khas Indonesia, yaitu komik wayang Mahabarata dan
Ramayana, lalu juga kemunculan komik silat seperti Si Buta Dari Goa Hantu, Jaka Sembung
dan Panji Tengkorak yang karakternya sangat mencerminkan Indonesia. Fungsi komik di
Indonesia selain sebagai hiburan, dokumen sosial, penanda sejarah, komik di Indonesia juga
berfungsi sebagai seni dan media penyampaian nilai atau kritik. Itu yang dilakukan oleh para
komikus atau seniman independen di Indonesia.
Namun, memang sebaiknya kita harus juga melihat aspek lain yang juga memberikan
pengaruh besar terhadap perkembangan industri komik Indonesia, yaitu pembaca. Pembaca
komik merupakan faktor penting dalam industri komik Indonesia secara keseluruhan. Bahkan
bisa jadi proses memenuhi keinginan atau selera pembaca dapat membantu membentuk
karakter dan identitas komik di Indonesia. Pengetahuan yang lebih mendalam terhadap
karakter pembaca akan menghasilkan komik-komik yang lebih fokus. Jumlah pembaca komik
di Indonesia memang belum banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia
maupun negara lain. Akan tetapi, akhirnya merekalah yang pihak yang menentukan akan ke
mana arah komik Indonesia. Dengan semakin banyaknya komik yang terbit dan beredar,
pembaca akan semakin lebih selektif memilih. Mereka akan mempunyai selera sendiri dalam
menentukan pilihan mereka, tanpa dipengaruhi lagi oleh komikus maupun penerbit. Karena
itu diharapkan komikus atau seniman komik dapat dengan cermat menangkap tren komik
yang digemari.
Mengadakan semacam seminar atau festival yang mempertemukan antara komikus
dengan pembaca seperti yang sudah banyak dilakukan di negara-negara lain seperti Amerika,
Filipina, Singapura, dan lainnya, dimana komikus dapat secara langsung mengetahui dan
19
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
mendengarkan pendapat dan keinginan para pembaca komik, yang nantinya dapat membantu
proses penemuan kembali identitas komik di Indonesia. Karena komik yang ideal untuk
Indonesia adalah komik yang berbicara kepada masyrakat Indonesia dan tentang kenyataan
hidup masyarakat di Indonesia. Kegiatan tersebut sudah dilakukan oleh para komikus dan
komunitas komik independen di Indonesia. Dengan mereka mengadakan berbagai macam
festival komik fotokopi, dimana dalam acara tersebut baik komikus maupun pembaca komik
bertatap muka langsung. Begitu banyaknya peminat komik independen atau fotokopi di
Indonesia dimanfaatkan oleh para komikus atau seniman komik independen untuk bisa secara
bertahap mengarahkan pembaca komik di Indonesia untuk mencintai komik buatan orang
Indonesia. Komik independen atau fotokopi sudah menghadirkan karakter berbeda yang
mampu dibanggakan ditambah lagi dengan kemudahan yang ditawarkan dalam memperoleh
komik tersebut.
Gambar 6 dan 7. Potongan Gambar Festival Komik Yogyakarta
Indonesia memiliki komik lokal, hanya saja kurang dikenal, padahal potensinya masih
sangat besar untuk berkembang. Lokalitas disini bukan berarti ’tradisional’, namun
‘keruangan’, kenapa keruangan karena konteks yang terkandung di dalamnya. Komik wayang
menjadi lokal khas Indonesia padahal komik tersebut mengambil dari mitologi hindu/Indiea,
karen dalam komik wayang terkandung nilai-nilai dan modifikasi kultur atau budaya
Indonesia yang relevan bagi pembaca Indonesia. Komik silat mengambil referensi dari film-
film samurai atau wushu, namun menjadi lokal karena dipenuhi persilangan budaya dengan
legenda-legenda yang ada di Indonesia. Melekat secara otomatis. Identitas komik tercipta
melalui perpaduan nilai bentuk dan nilai isi sebuah komik. Sebagai cerminan dari kehidupan
masyarakat, komik mengandung nilai-nilai yang senantiasa tumbuh dan terus berkembang
20
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Sudah sepantasnya komik independen
atau fotokopi juga menjadi identitas komik di Indonesia. Muatan lokal yang sangat kental dan
dalam, yang dikemas di dalamnya serta teknik produksinya yang identik dengan mesin
fotokopi menjadikannya sebagai alat ekperesi yang bebas, mudah, dekat dengan masyarakat
dan berbeda.
Kesimpulan
Hingga saat ini komik-komik Indonesia tahun 1960-an hingga 1970-an masih menjadi
masterpiece. Komik-komik pada masa itu sangat amat layak dibandingkan, bahkan punya
kemampuan untuk menandingi komik-komik impor pada masa yang sama.
Komik independen atau fotokopi sebagai sebuah karya yang ekpresif dan personal
tidak harus gagal atau tidak memiliki tempat di pasaran. Walaupun memang industri komik
Indonesia tidak berkembang, komik Indonesia tetap hidup dengan caranya sendiri. Pilihan
Athonk dan komunitas Daging Tumbuh kepada gaya produksi independen atau fotokopi
adalah bentuk perlawanan mereka terhadap industri yang mainstream agar mampu berekspresi
dengan bebas. Pemilihan distribusi karya-karya mereka secara ‘bawah tanah’ merupakan
wujud semangat mereka untuk tetap menyebarluaskan karyanya tanpa harus bergantung pada
industri komik lokal yang kini mati. Keberhasilan yang dicapai adalah kemampuan untuk
tetap produktif dengan karyanya yang berani, tegas, orisinil dan independen yang mewakili
kondisi sosial dan politik masyarakat Indonesia.
Bagaimana komik bisa dikatakan mencerminkan identitas budaya suatu bangsa atau
khususnya Indonesia, hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebutkan
bahwa komik khas suatu negara adalah komik yang dibuat oleh orang asli negara tersebut,
tanpa mengidahkan bagaimana isi, gaya bahasa, gambar dan cerminan cerita komik tersebut,
yang penting selama dibuat oleh komikus asli negara tersebut, sudah dikatakan komik negara.
Ada pula yang berpendapat bahwa komik khas suatu negara adalah komik yang isinya
melekat dengan kehidupan asli masyarakat negara tersebut dan juga dibuat oleh komikus asli
negara tersebut, ada pula yang hanya menitik beratkan isinya harus dekat dengan kehidupan
masyarakat. Namun yang patut digarisbawahi adalah muatan lokal yang tidak dilupakan
oleh para komikus masa tersebut. Identitas komik Indonesia selalu berkembang dari masa
ke masa. Berubah sesuai dengan perkembangan dan masyarakatnya. Itulah alasan mengapa
21
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
hingga saat ini masih belum ditemukan bagaimana sebenarnya identitas yang pasti komik
Indonesia.
Daftar Referensi
Books:
Zpalanzani, Alvanov; Ahmad, Hafiz; dan Maulana, Beny (2006). Histeria! Komikita: Membedah Komikita Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Depan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Darmawan, Hikmat (2005). Dari Gatotkaca Hingga Batman. Yogyakarta: Orakel.Irawan, Prasetya (2006). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Self Press.
E-books:
Bonneff, Marcel (1998). Komik Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Journal Acticle:
Nurgiyantoro, Burhan (1995). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lubis, Imansyah (2009). Komik Fotokopian Indonesia 1998-2001. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press.
Hal: 59-62Giftanina, Nanda. Hilangnya Identitas Kultural Dalam Perkembangan Komik Lokal Indonesia. Jakarta: Institut
Seni Indonesia Press.Sumardjo, Jakob (1999). Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni. Tirtaatmaja, Irawati (2012). Pemetaan Komik Indonesia Periode Tahun 1995-2008. Bandung: : Jurnal
Komunikasi Visual Wimba, Vol 4, No.1, Kelompok Keilmuan Komunikasi Visual dan Multimedia. Institut Teknologi Bandung.
Hidayat, Hengky (2005). Belajar Memahami Pembaca Komik di Indonesia seperti yang Dilakukan Negara-Negara Lain, Kumpulan Paper Komik Asia 2005. Bandung: Departemen Desain Fakultas Seni Rupa dan Desain. Institut Teknologi Bandung.
Yohan Alexander, Irfansyah. (2010). Pengaruh Visual Storytelling Komik Asing Pada Komik Indonesia Terbitan PT Elex Media Komputindo Tahun 2004-2008. Bandung: Jurnal Komunikasi Visual Wimba, Vol 2, No.2, Kelompok Keilmuan Komunikasi Visual dan Multimedia. Institut Teknologi Bandung.
Imanda, Tito (2002). Komik Indonesia Itu Maju: Tantangan Komikus Underground Indonesia. Depok: Antropologi Indonesia, Vol.69, Universitas Indonesia.
Anderson, B (1990). Languge and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Ithaca: Cornell UniversityPress.
Berman, L (2000). ‘Indonesia is Definitely OK!: Independence and Idealism through Comics’, dalam InsideIndonesia. July-September. 62.
Document:
Darmawan, Hkmat (2013). Komik dan InfrastrukturnyaDarmawan, Hkmat (2013). Di Ruang Tunggu, Komik Asyik Sendiri. Catatan Kuratorial Eksposisi Komik
Interview:
Darmawan, Hikmat. Live Interview. Diskusi Komik: Peta Komik Indonesia di Asia Tenggara. 11 Desember 2013. Jakarta : Gedung Pasca Sarjana Institut Kesenian Jakarta.
Online Articles:
Suroto, Sujorimba (2011). Komik Indonesia: Siapa Mau Ikut Petualangan Berikutnya. Accessed on November 27, 2013 from http://www.goethe.de/ins/id/lp/prj/mic/mii/id8257083.htm
22
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014
Anggoro, Donny (2004). Komik Tak Pernah Mati. Accessed on November 27, 2013 from http://komikindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=66&Itemid=9
________________ (2007). Bangkitnya Komik Indonesia. Accessed on December 19, 2013 from http://www.beritaindonesia.co.id/berita-media/380-bangkitnya-komik-indonesia
Khaidir, Agus (2012). Esai Sastra Politik dan Lainnya: Menengok Komik Sebagai Sastra (Bukan) Pinggiran. Accessed on December 19, 2013 from http://aguskhaidir.wordpress.com/2012/09/28/menengok-komik-sebagai-sastra-bukan-pinggiran/
Darnawan, Hikmat (___). Komik dan Kenyataan. Kumpulan Komik Pendek “Memoribilia Gempa” Jogja 5,9 SR. Accessed on January 3, 2014, from http://dbkomik.com/site/news.php?detail=1010
Agustinus, Michael (2012). Komik Independen: Jalan Pembebasan Melawan Kuasa Modal. Accessed on January 3, 2014, from http://www.republika.co.id/berita/komunitas/akar/12/04/17/m2m5r8-komik-independen-jalan-pembebasan-melawan-kuasa-modal
23
Mencari identitas ..., Alinda Rimaya, FISIP UI, 2014