73
5 Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel MENCARI PARADIGMA BARU MANAJEMEN MONETER DALAM SISTEM NILAI TUKAR FLEKSIBEL: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia Hartadi A. Sarwono, dan Perry Warjiyo *) Kebijakan moneter Indonesia sampai saat ini pada dasarnya masih menggunakan paradigma lama yang mengandalkan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Perekonomian Indonesia yang berubah cepat dan semakin terbuka, khususnya sejak langkah-langkah deregulasi di segala bidang sejak tahun delapan puluhan, ditengah-tengah lingkungan perekonomian dunia yang semakin terintegrasi, telah menyebabkan paradigma lama sistem pengendalian moneter dengan sasaran kuantitas (monetary aggregates targetting) tersebut menjadi semakin kurang relevan. Lebih dari itu, deregulasi dan globalisasi selama ini juga telah mendorong sektor keuangan berkembang sangat cepat ke arah bekerjanya mekanisme pasar, timbulnya inovasi produk-produk keuangan baru dan gejala sekuritisasi, membaurnya operasi bank dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya, serta terjadinya transnasionalisasi keuangan. Kesemuanya ini menyebabkan proses penciptaan uang lebih banyak lagi terjadi di luar kendali otoritas moneter sehingga pelaksanaan kebijakan moneter sering menjadi kurang efektif. Di sisi lain, pasar keuangan dunia yang semakin terintegrasi dan ditunjang oleh semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah menyebabkan perpindahan modal bergerak lebih cepat dan seringkali dalam jumlah yang besar mengikuti perkembangan ekonomi dan perubahan kebijakan suatu negara. Sebagai akibatnya, hampir tidak mungkin bagi otoritas moneter suatu negara untuk mengendalikan secara pasti perkembangan agregat-agregat moneter di dalam negeri. Sasaran agregat moneter yang diinginkan otoritas moneter sering tidak dapat dicapai karena arus modal internasional yang keluar maupun masuk dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat. Pengalaman kita selama ini menunjukkan semakin sulitnya mengarahkan agregat moneter sesuai dengan yang dikehendaki, terutama dalam jangka pendek. Masalah ini terjadi karena uang beredar memang berada diluar kendali otoritas moneter, dimana perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan bukan sebaliknya. Tulisan ini ingin mengajukan proposisi mengenai sistem pengendalian moneter dengan penggunaan suku bunga dan nilai tukar sebagai intermediate target dalam mencapai sasaran akhir yakni inflasi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga dan nilai tukar ini, atau disebut sebagai indikator kondisi moneter, diharapkan dapat memberikan signal yang lebih cepat kepada otoritas moneter dalam rangka menstabilisasikan harga. *) Hartadi A. Sarwono : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected] Perry Warjiyo : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected] Tulisan ini disarikan dari Makalah SESPIBI angkatan XXI 1996, Hartadi A. Sarwono, dan Makalah SESPIBI angkatan XXII 1997, Perry Warjiyo

MENCARI PARADIGMA BARU MANAJEMEN MONETER … · cepat ke arah bekerjanya mekanisme pasar, ... merupakan kesimpulan dan saran dari makalah ini. Jalur Mekanisme Kebijakan Moneter Paradigma

Embed Size (px)

Citation preview

5Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

MENCARI PARADIGMA BARU MANAJEMEN MONETERDALAM SISTEM NILAI TUKAR FLEKSIBEL:

Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia

Hartadi A. Sarwono, dan Perry Warjiyo *)

Kebijakan moneter Indonesia sampai saat ini pada dasarnya masih menggunakan paradigma lamayang mengandalkan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dalammempengaruhi kegiatan ekonomi. Perekonomian Indonesia yang berubah cepat dan semakin terbuka, khususnyasejak langkah-langkah deregulasi di segala bidang sejak tahun delapan puluhan, ditengah-tengah lingkunganperekonomian dunia yang semakin terintegrasi, telah menyebabkan paradigma lama sistem pengendalian moneterdengan sasaran kuantitas (monetary aggregates targetting) tersebut menjadi semakin kurang relevan. Lebihdari itu, deregulasi dan globalisasi selama ini juga telah mendorong sektor keuangan berkembang sangatcepat ke arah bekerjanya mekanisme pasar, timbulnya inovasi produk-produk keuangan baru dan gejalasekuritisasi, membaurnya operasi bank dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya, serta terjadinyatransnasionalisasi keuangan. Kesemuanya ini menyebabkan proses penciptaan uang lebih banyak lagi terjadidi luar kendali otoritas moneter sehingga pelaksanaan kebijakan moneter sering menjadi kurang efektif.

Di sisi lain, pasar keuangan dunia yang semakin terintegrasi dan ditunjang oleh semakin pesatnyaperkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah menyebabkan perpindahan modal bergerak lebih cepatdan seringkali dalam jumlah yang besar mengikuti perkembangan ekonomi dan perubahan kebijakan suatunegara. Sebagai akibatnya, hampir tidak mungkin bagi otoritas moneter suatu negara untuk mengendalikansecara pasti perkembangan agregat-agregat moneter di dalam negeri. Sasaran agregat moneter yang diinginkanotoritas moneter sering tidak dapat dicapai karena arus modal internasional yang keluar maupun masuk dalamjumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat. Pengalaman kita selama ini menunjukkan semakin sulitnyamengarahkan agregat moneter sesuai dengan yang dikehendaki, terutama dalam jangka pendek. Masalah initerjadi karena uang beredar memang berada diluar kendali otoritas moneter, dimana perkembangannya lebihbanyak dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan bukan sebaliknya.

Tulisan ini ingin mengajukan proposisi mengenai sistem pengendalian moneter dengan penggunaansuku bunga dan nilai tukar sebagai intermediate target dalam mencapai sasaran akhir yakni inflasi. Mekanismetransmisi kebijakan moneter melalui suku bunga dan nilai tukar ini, atau disebut sebagai indikator kondisimoneter, diharapkan dapat memberikan signal yang lebih cepat kepada otoritas moneter dalam rangkamenstabilisasikan harga.

*) Hartadi A. Sarwono : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected]

Perry Warjiyo : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected]

Tulisan ini disarikan dari Makalah SESPIBI angkatan XXI 1996, Hartadi A. Sarwono, dan Makalah SESPIBI angkatanXXII 1997, Perry Warjiyo

6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Pendahuluan

S ejak hampir satu dekade terakhir telah terjadi berbagai perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan manajemen moneter di Indonesia. Pertama, reformasiyang dilakukan pada sektor keuangan dan perbankan telah mendorong tumbuh danberkembangnya inovasi produk-produk keuangan baru. Dengan berkembangnya produktabungan dan ATM, misalnya, sekarang sulit membedakan jenis rekening simpanan yangditujukan untuk keperluan transaksi ekonomi dengan untuk maksud tabungan. Prosessekuritisasi telah semakin berkembang baik di sisi aktiva maupun sisi pasiva bank yangsemakin memperluas berbagai media pembayaran ataupun media simpanan sebagaimanalayaknya diperankan oleh uang. Kesemuanya ini menyebabkan definisi, cakupan, danperilaku uang beredar telah pula mengalami perubahan.

Kedua, semakin berkembangnya sektor keuangan telah mendorong kecenderunganterjadinya proses pemisahan kegiatan ( decoupling) antara sektor moneter dengan sektorriil. Kini uang tidak lagi dipandang sebagai alat pembayaran, akan tetapi juga sebagaikomoditas yang diperdagangkan. Volume perputaran uang di sektor keuangan telah jauhmelebihi kebutuhan pembiayaan di sektor riil. Proses disintermediasi semakin lama semakinmenggejala. Akibatnya, hubungan antara uang beredar dengan berbagai variabel di sektorriil menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi. Fungsi permintaan uang yang selamaini digunakan sebagai salah satu acuan dalam manajemen moneter menjadi kurang stabilperilakunya.

Ketiga, sukses pembangunan ekonomi Indonesia telah mendorong derasnya aliranmodal masuk dari luar negeri. Sebagian dari aliran dana tersebut berbentuk penanamanmodal langsung ataupun pinjaman jangka menengah dan panjang. Akan tetapi sebagianlainnya berupa pinjaman dan investasi portofolio pada berbagai surat berharga berjangkapendek. Aliran modal luar negeri tersebut memang diperlukan untuk menutup kesenjangantabungan dan investasi yang masih kita hadapi. Namun aliran dana tersebut, khususnyayang berjangka pendek, sangat rentan terhadap rumor dan spekulasi sehingga sewaktu-waktu dapat berbalik menjadi aliran dana ke luar negeri. Fenomena demikian menyebabkanpelaksanaan manajemen moneter menjadi lebih sulit. Pengalaman kita dengan gejolak nilaitukar Rupiah sejak pertengahan Juli 1997 yang lalu merupakan pelajaran berharga yangdapat kita tarik dalam hal ini.

Keempat, dan yang paling mendasar, sistim nilai tukar kita telah mengalamiperubahan dari sistim mengambang terkendali dengan rentang intervensi menjadi sistimnilai tukar fleksibel. Gerakan nilai tukar kini tidak lagi dibatasi oleh rentang intervensi,akan tetapi lebih mencerminkan kekuatan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing.Akibatnya, fluktuasi nilai tukar Rupiah menjadi semakin tinggi dan sulit diprediksi.Memang fleksibilitas nilai tukar dapat meringankan beban Bank Indonesia dalammelakukan sterilisasi atas dampak aliran modal masuk terhadap ekspansi uang beredar didalam negeri. Akan tetapi fluktuasi nilai tukar yang tinggi itu sendiri menyebabkanpergeseran terms of trade yang dapat mempengaruhi permintaan aggregat, disampingdampak langsungnya terhadap laju inflasi karena imported inflation. Bagaimanapun jugafluktuasi nilai tukar tersebut harus diperhitungkan secara seksama dalam manajemenmoneter di dalam negeri.

Keempat perubahan mendasar tersebut mengarah pada satu hal: bahwa manajemenmoneter melalui transmisi uang beredar perlu dikaji ulang. Kita tidak bisa lagi terlalu

7Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

mengandalkan pada pencapaian sasaran uang primer dan uang beredar (M1 dan M2)sebagai ukuran dari keberhasilan manajemen moneter. Hal ini mengingat telah terjadiperubahan mekanisme transmisi dari kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhirlaju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan kemantapan neraca pembayaran. Transmisikebijakan moneter melalui kuantitas seperti uang beredar dan kredit diyakini tidak sekuatdulu lagi. Mekanisme transmisi melalui harga seperti suku bunga dan nilai tukar diyakinilebih mendekati kenyataan di Indonesia dewasa ini dan di masa mendatang. Perubahandemikian mengharuskan kita untuk membangun rumusan baru mengenai mekanismemanajemen moneter di Indonesia.

Tulisan ini ingin mengemukakan beberapa pokok pikiran mengenai manajemenmoneter dalam sistim nilai tukar fleksibel yang kiranya dapat diterapkan di Indonesia.Pada dasarnya ingin diajukan proposisi bahwa manajemen moneter melalui transmisi sukubunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan dengan kondisi perekonomiandan sektor keuangan Indonesia yang telah semakin maju dan kompeks. Berangkat daripemikiran demikian, dalam makalah ini dirumuskan sasaran akhir, sasaran antara danvariabel indikator, sasaran operational, dan instrumen dari kebijakan moneter yang kiranyadapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan manajemen moneter melalui transmisisuku bunga dan nilai tukar tersebut.

Agar alur pikir pemaparannya dapat lebih runtut, artikel ini dibagi ke dalam empatbab. Setelah bab pendahuluan ini, dalam bab Jalur Mekanisme Kebijakan MoneterParadigma Lama versus Paradigma Baru akan diulas mengenai perbedaan antaraparadigma lama dan paradigma baru mekanisme transmisi kebijakan moneter sebagailandasan bagi perumusan manajemen moneter. Selanjutnya dalam bab MerumuskanKembali Sasaran Pengendalian Moneter Quantity vs. Price Targeting, akan dibahas prodan kontra antara quantity dan price targetting. Bab Paradigma Baru Manajemen MoneterIndonesia Melalui Jalur Transmisi Suku Bunga dan Nilai Tukar secara rinci akanmenjabarkan manajemen moneter melalui jalur transmisi suku bunga dan nilai tukar yangkiranya dapat diterapkan di Indonesia. Pemaparannya akan dimulai dengan gambaranumum mengenai kerangka dasar manajemen moneter dengan mempertimbangkankenyataan-kenyataan baru dalam perekonomian kita. Setelah itu akan dibahas secaraberurutan mengenai sasaran akhir, sasaran antara dan variabel indikator, sasaranoperasional, serta instrumen kebijakan moneter yang dipandang dapat mendukungmanajemen moneter melalui transmisi suku bunga dan nilai tukar tersebut. Bab terakhirmerupakan kesimpulan dan saran dari makalah ini.

Jalur Mekanisme Kebijakan Moneter Paradigma Lama versus Paradigma Baru

Paradigma lama mekanisme transmisi sistem pengendalian moneter beranggapanbahwa otoritas moneter dapat secara langsung mengendalikan uang primer, kemudiandengan asumsi bahwa angka pengganda uang cukup stabil dan dapat diprakirakan denganbaik, maka uang beredar dapat pula dikendalikan. Selanjutnya, dengan asumsi bahwaincome velocity relatif stabil, otoritas moneter melalui pengendalian uang beredar dapatmempengaruhi kegiatan ekonomi yang diinginkan sesuai dengan sasaran akhir kebijakanmoneter yang ditetapkan.

Pengalaman kita dalam pengendalian moneter selama ini menuntut untuk mencarisudut pandang baru mekanisme transmisi tersebut, sehingga pemahaman kita dalam

8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

melaksanakan kebijakan moneter adalah dalam arti benar-benar “mengendalikan” suatupolicy variable yang diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir. Inimerupakan suatu tugas yang berat karena menyangkut perubahan yang mendasar darisistem pengendalian moneter baik ditinjau dari sisi teoritis dan empiris maupun pelaksanaanpraktis operasionalnya. Kontroversi mengenai topik ini, baik dikalangan peneliti maupundi tingkat pengambil keputusan, masih sulit untuk direkonsiliasikan. Penelitian yang lebihmendalam secara teoritis dan empiris, diskusi dan tukar pikiran perlu terus dilanjutkan,sehingga perubahan mekanisme transmisi sistem pengendalian moneter yang memutar-balikkan paradigma lama lebih mantap lagi untuk dilaksanakan. 1

Dalam berbagai literatur ekonomi-moneter, pada dasarnya terdapat empat jalurtransmisi utama yang menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhiperekonomian (Mishkin, 1995, Boediono, 1996, dan BIS 1995), yaitu : jalur suku bunga,jalur nilai tukar, jalur harga aset dan jalur kredit. 2

Jalur suku bunga pada dasarnya merupakan pandangan Keynessian dimana sukubunga riil jangka panjang paling berpengaruh dalam perekonomian. Pengetatan monetermengurangi uang beredar dan dalam jangka pendek akan mendorong naiknya suku bunganominal jangka pendek. Apabila kebijakan ini dianggap credible, masyarakat akanmempunyai ekspektasi bahwa laju inflasi akan menurun di waktu mendatang sehinggaexpected inflation menurun atau suku bunga riil jangka panjang meningkat. Permintaandomestik baik untuk investasi maupun untuk konsumsi akan menurun karena biaya dana(cost o f c api tal ) yang lebih tinggi. Akhirnya laju pertumbuhan ekonomi cenderung lebihrendah.

Jalur nilai tukar berpandangan bahwa pergerakan nilai tukar paling berpengaruhbagi perekonomian khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar fleksibel.Pengetatan moneter akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri meningkat. Jikasuku bunga internasional tidak berubah maka interest rate differential meningkat, dan iniakan mendorong masuknya dana dari luar negeri. Nilai tukar akan cenderung apresiasi.Kegiatan ekspor akan menurun dan sebaliknya impor meningkat, sehingga transaksiberjalan dalam neraca pembayaran akan membaik. Akibatnya, permintaan aggregat akanmenurun dan demikian pula laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.

Jalur harga aset merupakan pandangan Monetarist dimana pengaruh kebijakanmoneter terjadi melalui pergeseran portfolio investasi yang dimiliki masyarakat. Kebijakanmoneter akan mempengaruhi jumlah dana dalam portfolio para pelaku ekonomi (wealtheffect) dan relokasi dari suatu jenis aset ke jenis aset lain dalam portfolio sesuai denganexpected returns and risks dari masing-masing bentuk aset. Dengan demikian, pengetatanmoneter meningkatkan suku bunga yang mengakibatkan pelaku ekonomi lebih suka

1 Boediono (1996), dalam tulisannya “Merenungkan kembali mekanisme transmisi moneter di Indonesia”, mengatakanbahwa untuk memulainya perlu dilakukan dengan menggali literatur muktahir, dan menarik pelajaran dari pengalamankita maupun dari negara lain.

2 Untuk pembahasan yang lebih rinci, baca Mishkin (1995) dan Boediono (1996b). Sementara itu, BIS (1995)mengemukakan lima jalur transmisi kebijakan moneter yang sedikit berbeda, yaitu: (a) income/cash-flow channel, (b)wealth channel, (c) direct interest rate channel on consumption, (d) cost-of-capital channel, dan (e) exchange ratechannel.

9Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

memegang aset dalam bentuk obligasi atau deposito daripada saham. Minat untukberinvestasi dalam kegiatan ekonomi riil menjadi berkurang sehingga laju pertumbuhanekonomi menurun.

Jalur kredit berpendapat bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap kegiatanekonomi terjadi melalui perubahan perilaku bank dalam menyalurkan kreditnya kepadanasabah. Pengetatan moneter akan menurunkan net worth pengusaha sehingga berakibatpada menurunnya nilai jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank. Resiko yangdihadapi bank menjadi meningkat sehingga bank lebih berhati-hati dalam menyalurkankredit (adverse selection). Menurunnya net worth juga akan mendorong nasabah untuk lebihberani mengusulkan proyek-proyek yang menjanjikan tingkat hasil yang tinggi akan tetapidengan tingkat resiko kegagalan yang tinggi pula ( moral hazard). Dan ini meningkatkanresiko kredit macet bank-bank. Dengan demikian dampak dari pengetatan moneter terhadappenurunan permintaan aggregat dan laju pertumbuhan ekonomi lebih disebabkan olehmenurunnya kredit yang disalurkan bank-bank baik karena faktor adverse selection maupununtuk menghidari moral hazard nasabah.

Bagaimana transmisi kebijakan moneter di Indonesia selama ini? Telah dikemukanbahwa berbagai perubahan mendasar yang terjadi dalam perekonomian kita telahmenyebabkan efektivitas kebijakan moneter yang selama ini ditempuh menjadi kurangefektif. Paradigma lama yang mengatakan bahwa otoritas moneter dapat mempengaruhipermintaan aggregat melalui pengendalian uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaranantara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional perlu dikaji ulang (Boediono,1994). Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa hubungan antara uang beredar, lajuinflasi, dan laju pertumbuhan ekonomi menjadi semakin lemah sejak reformasi keuangandi Indonesia (Bond, et. al., 1994). 3 Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya. Jumlah uangberedar baik M1 maupun M2 sangat dipengaruhi oleh perkembangan kegiatan ekonomi,sehingga seakan-akan merupakan arus balik yang sangat kuat mempengaruhiperkembangan uang primer. Dengan demikian, paradigma lama yang menyatakan bahwajumlah atau kuantitas uang beredar dapat dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas monetermenjadi tidak berlaku. Karena itu manajemen moneter melalui sasaran kuantitas nampaknyasemakin kurang dapat dipertahankan lagi.

Semakin berkembangnya peran pasar dalam perekonomian nampaknya cenderungmenyebabkan semakin pentingnya transmisi kebijakan moneter melalui “harga” uang atausuku bunga. Paradigma baru ini juga tidak terlepas dari semakin majunya sektor keuangankita dengan berbagai karakteristik seperti majunya inovasi produk keuangan, prosessekuritisasi, maupun proses decoupling ant ara sektor moneter dengan sektor riil. Uangsekarang telah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Karena itu “harga” uangmenentukan perputaran uang, alokasi uang dari berbagai jenis investasi, serta kegiatanperekonomian secara keseluruhan.

Suku bunga merupakan “harga” uang yang terpenting dalam perekonomian sehinggamerupakan jalur transmisi kebijakan moneter yang diyakini lebih mendekati kenyataan

3 Lihat misalnya Bond, et. al..(1994) yang meneliti hubungan antara M1 dan M2 dengan laju inflasi dan laju pertumbuhanekonomi dari kuartal pertama tahun 1985 hingga 1994. Hasilnya menunjukkan hubungannya sangat lemah sehinggadisimpulkan bahwa uang beredar kurang tepat dipergunakan sebagai sasaran antara.

10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

(Bond, 1994). 4 Hal ini dikarenakan suku bunga menentukan keputusan mengenai alternatifinvestasi di masyarakat. Kenaikan suku bunga, misalnya, akan menyebabkan investasidan konsumsi di sektor riil menjadi kurang menarik. Masyarakat akan lebih tertarik untukmenanamkan dananya pada tabungan, deposito maupun obligasi. Perpindahan dana darisektor riil ke sektor moneter menyebabkan permintan aggregat dan laju pertumbuhanekonomi menurun. Mekanisme kebijakan moneter melalui jalur transmisi suku bungapernah diajukan oleh Sarwono (1996).

Akan tetapi dalam ekonomi terbuka dengan sistim nilai tukar fleksibel “harga” uangyang lain yaitu nilai tukar Rupiah juga menjadi semakin penting. Telah dikemukakan diatas bahwa kebijakan moneter mempengaruhi nilai tukar dan sistim nilai tukar fleksibelmendorong fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Gerakan nilai tukar mengubah hargarelatif sehingga mempengaruhi perkembangan ekspor dan impor. Selanjutnya gerakannilai tukar tersebut akan mempengaruhi permintaan aggregat, laju pertumbuhan ekonomi,dan laju inflasi. Di berbagai negara yang menganut sistim nilai tukar fleksibel menunjukkanbahwa jalur nilai tukar menjadi semakin penting dalam mentransmisikan kebijakan moneter(BIS, 1995). 5

Paradigma baru yang lebih meyakini jalur suku bunga dan jalur nilai tukar sebagaijalur utama transmisi kebijakan moneter bukan berarti memandang kurang pentingnyajalur kredit. Kecenderungan adverse selection dan moral hazard merupakan fenomena yangsering dijumpai dalam bisnis perbankan. Akan tetapi kenyataan ini pada dasarnyamerupakan dampak lanjutan dari perubahan suku bunga dan nilai tukar tersebut. Demikianpula mengenai jalur harga asset. Pada dasarnya ada tiga harga asset dalam perekonomian,yaitu: suku bunga pada pasar uang Rupiah, nilai tukar pada pasar valuta asing, dan hargasaham pada pasar modal. Keseimbangan pada ketiga pasar ini dapat direfleksikan padadua dari tiga harga asset tersebut. 6 Dengan demikian gerakan suku bunga dan nilai tukarsecara otomatis juga merefleksikan gerakan harga saham.

Dasar pemikiran di atas mengarah pada suatu pandangan bahwa gerakan suku bungadan nilai tukar merupakan variabel penting dalam mentransmisikan pengaruh kebijakanmoneter terhadap kegiatan perekonomian. Karena itu manajemen moneter di Indonesiahendaknya dibangun atas mekanisme transmisi suku bunga dan nilai tukar yang diyakinilebih mendekati kenyataan daripada transmisi melalui uang beredar yang selama inidipergunakan sebagai dasar pijakan.

4 Bond (1994) menunjukkan secara empiris bahwa hubungan antara suku bunga dengan laju inflasi jauh lebih kuatdibandingkan dengan hubungan antara uang beredar dengan laju inflasi, sehingga diusulkan agar suku bunga dipergunakansebagai sasaran kebijakan moneter.

5 Hasil survei oleh BIS (1995) terhadap mekanisme transmisi kebijakan moneter di berbagai negara maju menunjukkankecenderungan demikian, disamping jalur suku bunga sebagai indikator cost of capital dalam melakukan kegiataninvestasi.

6 Ingat bahwa dalam suatu Walrasian system apabila terdapat sebanyak (n) pasar dalam perekonomian, maka keseimbangandalam perekonomian dapat diwujudkan apabila terjadi keseimbangan pada (n-1) pasar.

11Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

Merumuskan Kembali Sasaran Pengendalian MoneterQuantity vs. Price Targeting

Di dalam literatur ekonomi-moneter, yang mendasari dipilihnya kuantitas uangprimer sebagai instrumen pengendalian moneter adalah bahwa jumlah uang primer beradapada kendali otoritas moneter. Dengan asumsi money multipliers stabil dan dapatdiprakirakan dengan baik, perubahan uang primer akan mempengaruhi komposisi neracabank-bank (portofolio bank) yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalamhal ini, perubahan komposisi neraca bank terjadi karena perubahan uang primer (dimanasalah satu komponennya adalah bank reserve), akan diakomodir oleh bank dengan mengubahkomposisi asetnya —utamanya kredit— atas inisiatif bank itu sendiri. Dalam grafik quan-tity vs price dari uang beredar, money supply menjadi vertikal yang perubahannyadikendalikan oleh bank sentral, sedangkan sukubunga hanya mengikuti kearahkeseimbangan yang terjadi; sudut pandang teori ini disebut v erti cal i st. 7

Sudut pandang v erti cal i st dirasakan kurang relevan dengan berkembangnya sistemkeuangan ( financial system) yang semakin maju dan efisien yang ditandai dengan adanyatransnasionalisasi keuangan, inovasi produk-produk baru, gejala sekuritisasi, danmembaurnya operasi bank-bank komersial dengan lembaga keuangan lainnya.Terintegrasinya pasar keuangan dunia telah pula menyebabkan operasi lembaga keuangantidak lagi terbatas pada suatu negara atau wilayah ( borderless world). Uang dan kreditmengalir dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti perputaran roda kegiatan ekonomi.Implisit dalam perkembangan ini, kegiatan ekonomi mencari sumber pembiayaannyasendiri yang tidak lagi terbatas pada suatu negara ataupun suatu lembaga keuangantertentu. 8 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah mendorongterciptanya sistem pembayaran (payment system) dengan instrumen yang lebih modernseperti credit card, debit card, automatic teller machine, electronic funds transfer, dan p oint of sale.Demikian pula, bermunculan inovasi-inovasi baru dalam berbagai bentuk turunan darifinancial assets ( derivatives) seperti swap, option, financial futures.

Perkembangan sistem keuangan dan sistem pembayaran dewasa ini mengaburkanpengertian uang yang kini lebih dari sekedar uang kertas dan logam atau fiat moneymelainkan telah meluas menjadi credit money. Sebagai akibatnya, aktivitas penciptaan uangoleh sistem keuangan meluas dan berlipat ganda melebihi penciptaan uang oleh banksentral. Jumlah atau kuantitas uang beredar tidak lagi dapat dikendalikan secara pastioleh bank sentral, karena semakin banyak ditentukan dari sisi permintaan ( demand deter-mined). Nasabah bank dan lembaga keuangan lainnya baik secara individual maupunsecara agregat menentukan rencana kegiatan ekonominya yang tercermin dari kebutuhanpembiayaannya, yang selanjutnya diterjemahkan kedalam permintaan akan uang.Perkembangan ini menyebabkan berubahnya trend dan kestabilan dari money multipliersdan velocity of money; padahal, pengendalian kuantitas uang beredar sangat tergantungdari kestabilan kedua parameter ini.

7 Lihat, Basil J. Moore (1988) dalam bukunya “Horizontalists and Verticalists : the Macroeconomics of Credit Money”.

8 Literatur menarik mengenai phenomena deregulasi dan globalisasi pasar keuangan dunia dapat dilihat pada KenichiOhmae “The End of The Nation State”, dan Yasuke Kashiwagi “The Emeregence of Global Finance”.

12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Dengan demikian, sudut pandang lama yang beranggapan bahwa permintaan agregatdan kegiatan perekonomian ditentukan oleh pengendalian uang beredar (v erti cal i st) secaraperlahan namun pasti akan berubah haluan sejalan dengan perkembangan sistem keuangan(financial system) dan sistem pembayaran (payment system) yang bekerja lebih efisiendidasarkan pada mekanisme pasar. Mekanisme transmisi yang terjadi adalah sebaliknya;uang beredar dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi yang dibiayai oleh kredit bank danlembaga keuangan lainnya pada suatu harga (sukubunga) tertentu dan suatu persyaratantertentu. Harga dari sumber dana yang ditentukan oleh sistem keuangan pada dasarnyadapat dipengaruhi oleh otoritas moneter sebagai supplier dari ujung akhir sumber danayaitu uang primer. Bank sentral dapat membuat mahal harga uang di pasar uang antarbankyang kemudian ditransmisikan keseluruh spectrum suku bunga jangka menengah-panjang.

Nasabah bank akan memperhitungkan kembali proyeknya; keputusan apakah iaakan meneruskan atau menunda proyeknya adalah sepenuhnya ditangan nasabah. Sudutpandang baru ini beranggapan bahwa sukubunga (p rice) dapat dikendalikan oleh otoritasmoneter, dan uang beredar ( quantity) akan berubah mengikuti keseimbangannya. Dalamgrafik quantity vs price dari uang beredar, kurva money supply menjadi horisontal pada tingkatsukubunga tertentu yang diinginkan oleh bank sentral, sedangkan kuantitas uang beredarbergerak kearah kesimbangan permintaan dengan penawaran. Oleh karena itu, sudutpandang baru ini disebut horizontalist. Bank sentral tidak mempunyai pilihan lain kecualimempengaruhi sukubunga jangka pendek pada suatu tingkat dimana kuantitas uangberedar yang terjadi akan ditentukan oleh permintaan sistem keuangan. Sistem keuanganberada pada posisi sebagai supplier dari uang beredar sesuai dengan jumlah kredit yangdiperlukan untuk membiayai kegiatan ekonomi, sehingga dalam sudut pandang baru iniuang beredar pada dasarnya adalah credit driven.

Dalam literatur ekonomi-moneter c lassic, berbeda dengan padangan Currency Schoolyang dipelopori oleh Locke dan Hume, Banking School yang dipelopori oleh Tooke danJohn Stuart Mill, menyatakan bahwa dalam perekonomian modern dengan sistem keuanganyang telah maju dan efisien, uang lebih dari sekedar uang kertas dan logam ( fiat money)karena uang dapat tercipta dengan aktivitas pemberian kredit oleh bank dan lembagakeuangan lainnya. Kuantitas uang beredar dalam arti credit money bereaksi secara pasifsesuai dengan perubahan permintaan akan kredit ( credit driven). Perbedaan kedua pendapattersebut dewasa ini telah berkurang, para akademisi dan praktisi bank sentral menyadaribahwa perkembangan sistem keuangan dan sistem pembayaran tidak lagi membatasi uanghanya sebagai uang kertas dan logam tetapi telah berkembang menjadi credit money yangdapat tercipta oleh adanya permintaan. 9

Sementara itu, perkembangan yang telah terlihat lebih nyata sebagai akibat darideregulasi dan globalisasi di sektor keuangan adalah semakin likuidnya tabungan dandeposito karena ada yang dapat ditarik sewaktu-waktu dan perhitungan bunganya dapatdilakukan atas dasar harian. Giro bank sebagian telah pula diberikan jasa giro untuk lebihmenarik nasabah karena semakin tingginya kompetisi antarbank. Perkembangan inimengakibatkan substitusi diantara komponen uang beredar ( monetary assets) menjadisemakin dekat ( close substitutes). Perubahan elastisitas substitusi ( elasticity of substitution)

9 Studi literatur mengenai teori pengendalian moneter dapat dilihat misalnya pada: Harris (1981) & Moore (1988).

13Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

diantara komponen uang beredar ini, antara lain mengakibatkan tidak stabilnya moneymultipliers dan perlunya dilakukan redefinisi dari uang dalam arti sempit (M1) maupundalam arti yang lebih luas lagi (M2 dan M3) karena komponen-komponennya telah menjadisemakin dekat hubungannya. Demikian pula, persamaan permintaan uang ( demand formoney) perlu dilakukan reestimasi untuk menjawab pertanyaan apakah ketidakstabilanpersamaan tersebut diakibatkan oleh definisi uangnya yang salah ataukah hubungan antarauang beredar dengan output dan inflasi memang telah terputus. Kita ketahui bahwakestabilan persamaan permintaan uang ini merupakan prasyarat bagi efektivitaspengendalian kuantitas uang beredar.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa perkembangan yang cepat di sektorkeuangan, telah mengurangi kemampuan bank sentral dalam mengendalikan besaran ataukuantitas uang beredar. Dengan semakin meluasnya transnasionalisasi keuangan, inovasiproduk dan proses keuangan, serta gejala sekuritisasi aset, maka penciptaan uang beredarsemakin banyak terjadi di luar otoritas moneter. Perkembangan ini menyebabkan kestabilandari persamaan permintaan uang, multipliers, dan velocity yang menjadi terganggu, padahalkesemuanya ini merupakan prasyarat bagi efektivitas pengendalian jumlah uang beredar.Sementara itu, perkembangan pembiayaan ekonomi yang semakin meluas yang tidak sajamelibatkan bank dan lembaga keuangan lainnya tetapi juga melibatkan cara pembiayaanyang lebih luas dari instrumen konvensional (kredit), telah menekankan pentingnyamekanisme transmisi pengendalian moneter melalui sukubunga.

Paradigma Baru Manajemen Moneter IndonesiaMelalui Jalur Transmisi Suku Bunga dan Nilai Tukar.

Kebijakan Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

Pertanyaan pertama yang perlu kita jawab dalam memahami kebijakan moneterdalam sistim nilai tukar fleksibel adalah bagaimana sistim nilai tukar tersebut akandilaksanakan di Indonesia. Kesepakatan umum dewasa ini mengarah pada suatu pendapatbahwa gerakan nilai tukar akan dibiarkan sesuai kekuatan pasar, namun intervensi BankIndonesia tetap dimungkinkan apabila kondisi memang memerlukan. Pernyataan inilahyang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut. Bahwa intervensi memang diperlukandapat dimengerti karena di negara manapun yang menganut sistim nilai tukar fleksibelpernah dan perlu melakukan intervensi. 10 Namun intervensi tersebut biasanya tidakdiarahkan untuk mencapai suatu “level” tertentu, apalagi “level” yang dianggap sebagaitingkat nilai tukar ekuilibrium, kecuali apabila memang diyakini telah terjadi exchange ratemisalignment (Edwards, 1994). 11 Anggapan dasar ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel

10Kesepakatan negara-negara G-7 untuk secara bersama-sama melakukan intervensi untuk mengatasi semakin menguatnyadolar Amerika Serikat yang kemudian dikenal dengan Plaza Accord tahun 1992 merupakan contoh populer dalam kasusini. Dalam pertemuan negara-negara G-7 memang pergerakan nilai tukar merupakan salah satu agenda yang seringdibicarakan.

11 Edwards (1994) berpendapat bahwa intervensi diperlukan apabila misalignment tersebut disebabkan oleh kesalahankebijakan ekonomi makro (macroeconomic induced misalignment) atau oleh perubahan struktural dalam ekonomi(structural induced misalignment).

14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

adalah keyakinan bahwa pasar telah berkembang secara efisien sehingga mampumenentukan sendiri tingkat ekuilibrium nilai tukar tersebut. Bahkan apabila terjadi suatukejutanpun, efisiensi pasar dapat secara cepat menyesuaikan tingkat ekuilibrium tersebutke tingkat yang baru. Dengan demikian, intervensi Bank Indonesia hanya diperlukan apabilaterdapat gejala ketidakrasionalan perilaku pasar sehingga menghalangi bekerjanya pasartersebut secara efisien. Menurunnya secara drastis kepercayaan pelaku pasar danmasyarakat luas terhadap gerakan nilai tukar yang mengarah pada terjadinya kepanikanyang meluas merupakan kondisi pokok diperlukannya intervensi Bank Indonesia di pasar.

Implikasi dari ditempuhnya sistim nilai tukar fleksibel tersebut cukup mendasarbagi perekonomian Indonesia. 12 Fluktuasi dan karenanya ketidakpastian mengenai gerakannilai tukar Rupiah jelas akan menjadi tinggi. Peranan ekspektasi pelaku pasar danmasyarakat akan menjadi lebih penting dalam mempengaruhi gerakan nilai tukar(Dornbusch, 1976). 13 Secara langsung fluktuasi nilai tukar tersebut akan mempengaruhitingkat harga di dalam negeri karena banyaknya barang-barang impor ( imported inflation) .Harga relatif ( real effective exchange rates) juga akan semakin berfluktuasi dan berpengaruhterhadap kinerja ekspor dan impor, dan karenanya mempunyai dampak yang semakinperlu diperhitungkan terhadap permintaan aggregat. Laju pertumbuhan ekonomi jugadapat terpengaruh. Pendeknya fluktuasi nilai tukar yang lebih tinggi akan mempengaruhisasaran-sasaaran laju inflasi, laju pertumbuhan dan keseimbangan neraca pembayaran yanghendak dicapai oleh kebijakan ekonomi makro.

Bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi perkembangan berbagai variabelekonomi? Yang jelas, dalam sistim nilai tukar fleksibel Bank Indonesia dapat lebih bebasdalam melaksanakan kebijakan moneter dalam negeri karena tidak dituntut untukmelakukan sterilisasi atas dampak aliran dana masuk terhadap perkembangan uang beredaruntuk mempertahankan suatu tingkat atau kisaran nilai tukar tertentu. Dengan demikian,pengendalian moneter dapat lebih difokuskan pada pencapaian sasaran-sasaran di dalamnegeri. Dalam hal melakukan suatu kontraksi, misalnya, ketatnya likuiditas akan mendorongmeningkatnya suku bunga di dalam negeri. Aliran dana masuk dari luar negeri akanmeningkat dan menyebabkan nilai tukar Rupiah cenderung apresiasi. Permintaan domestikbaik konsumsi maupun investasi akan menurun karena tingginya suku bunga danmenurunnya harga relatif. Laju pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih rendah. Lajuinflasi juga akan menurun baik karena apresiasi nilai tukar maupun karena menurunnyapermintaan domestik. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam sistim nilai tukarfleksibel kebijakan moneter dapat lebih efektif dalam mempengaruhi gerakan ekonomidalam jangka pendek (Guitan, 1994a; Flood dan Musa, 1994). 14

12 Model Mundell-Flemming merupakan acuan pokok dalam membahas hubungan berbagai variabel ekonomi dalamekonomi terbuka dengan sistim nilai tukar fleksibel. Dornbusch (1980) membahas lebih mendalam model ini danperluasannya dengan memasukkan faktor ekspektasi, rigiditas harga dalam negeri, serta kebijakan stabilisasi yangdiperlukan dalam masalah ini.

13 Bahkan ekspektasi tersebut dapat menyebabkan fluktuasi nilai tukar menjadi overshooting, dalam arti bahwa penyesuaiannilai tukar dalam jangka pendek atas terjadinya suatu kejutan ekonomi tertentu jauh lebih besar dari yang dapatdiperkirakan dalam jangka panjang. Baca Dornbusch (1976) untuk mendalami permasalahan ini.

14 Ingat bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap laju inflasi. Dengan demikian,penggunaan kebijakan moneter yang lebih aktif (dengan discretion daripada rule) hanya dimaksudkan untukmempengaruhi gerakan ekonomi dalam jangka pendek. Tulisan Guitian (1994a) serta Flood dan Mussa (1994) merupakanreferensi yang baik dalam memahami berbagai permasalahan dalam manajemen moneter.

15Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

Akan tetapi independensi tersebut menuntut disiplin yang lebih tinggi dalampelaksanaan kebijakan moneter. Hal ini mengingat kejutan-kejutan yang terjadi pada pasaruang dapat mempunyai dampak yang merugikan bagi perekonomian. Ekspansi moneteryang berlebihan, misalnya, akan mendorong suku bunga lebih rendah, menurunnya alirandana masuk atau bahkan terjadinya aliran dana ke luar negeri, depresiasi nilai tukar, sertameningkatnya permintaan domestik, laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi (Guitan,1994b). 15 Yang perlu dikhawatirkan adalah ketidakdisiplinan kebijakan moneter tersebutdalam jangka pendek dapat mendorong fluktuasi nilai tukar Rupiah yang lebih besar karenakecenderungan overshooting yang disebabkan oleh rigiditas harga-harga di dalam negeri(Dornbusch, 1976).

Kerangka Dasar Manajemen Moneter

Kerangka dasar manajemen moneter yang diterapkan di berbagai bank sentral padaumumnya tidak banyak berbeda. Di satu sisi, bank sentral ingin mencapai sasaran-sasaranakhir yang menjadi tugas pokoknya seperti laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dankeseimbangan neraca pembayaran. Namun di sisi yang lain, bank sentral hanya mampumempengaruhi beberapa instrumen kebijakan yang secara langsung di bawahpengendaliannya. Karena itu diperlukan sasaran operasional sebagai sasaran segera yanghendak dicapai dari penggunaan instrumen tersebut dan, dengan suatu mekanisme tertentuyang diasumsikan, dapat mempengaruhi sasaran antara. Pada dasarnya pencapaian sasaranantara ini diharapkan dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir yang diinginkan.Alur mekanisme manajemen moneter demikian dapat digambarkan sebagai: instrumenkebijakan moneter → sasaran operasional → sasaran antara → sasaran akhir (Friedman,1975). 16

Perbedaan pokoknya terdapat pada sedikitnya dua hal. Pertama, pemilihan variabelekonomi yang dipergunakan sebagai sasaran operasional dan sasaran antara perludisesuaikan dengan keyakinan perumus kebijakan atas mekanisme transmisi kebijakanmoneter dan kondisi perekonomian yang diantisipasikan. Dengan demikian, apabilatransmisi melalui suku bunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan dalamperekonomian Indonesia, maka manajemen moneter akan menggunakan suku bunga dannilai tukar sebagai sasaran operasional dan sasaran antara.

Kedua, semakin maju dan kompleksnya perekonomian dan sektor keuangan kitamenyebabkan hubungan antara berbagai variabel dalam perekonomian menjadi semakinkompleks dan sulit diprediksi. Kecenderungan ini mendorong perumus kebijakan tidakboleh secara kaku dan dogmatis hanya meyakini suatu mekanisme kebijakan monetertertentu. Perumus kebijakan harus mampu menggali dan mengintepretasikan berbagai datadan informasi untuk semakin mendalami perkembangan perekonomian pada waktu

15 Guitan (1994b) memberikan referensi yang bagus dalam mereview kelebihan dan kekurangan sistim nilai tukar tetapdan fleksibel. Antara lain dikatakan bahwa sistim fleksibel lebih baik apabila sebagian besar kejutan dalam ekonomiberasal dari sektor eksternal dan sektor riil, sementara sistim kurs tetap lebih unggul untuk menghadapi kejutan nomi-nal domestik.

16 Kerangka dasar manajemen moneter seperti ini telah banyak dibahas dalam literatur ekonomi. Baca misalnya Fried-man (1975).

16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

sekarang dan arahnya ke depan. Meskipun suatu kerangka dasar manajemen moneter telahdiletakkan, peran dari variabel-variabel indikator menjadi semakin penting. Dengan katalain, pendekatan pragmatis dan eklektik dalam manajemen moneter nampaknya merupakanalternatif yang banyak ditempuh di berbagai negara (Madigan, 1994; Sawamoto danIchikawa, 1994). 17 Pendekatan demikian kiranya dapat pula dilakukan di Indonesia sepertipernah dinyatakan oleh Gubernur Bank Indonesia (Djiwandono, 1994).

Dengan pemikiran di atas, maka manajemen moneter di Indonesia dapat dilakukandengan mekanisme sebagaimana digambarkan pada lampiran. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang akan dikemukakan secara rinci pada bagian-bagian di bab ini, dalamskema tersebut digambarkan bahwa sasaran akhir manajemen moneter adalah laju inflasidan laju pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai sasaran akhir ini, Bank Indonesia akanmemonitor secara seksama Indikator Kebijakan Moneter (IKM) yang mencerminkanpengaruh suku bunga deposito atau kredit dan real effective exchange rate (REER) terhadaptekanan permintaan aggregat. Bank Indonesia juga perlu memonitor berbagai variabelindikator lainnya, khususnya prompt indicators dan leading indicators, untuk lebih memahamiperkembangan perekonomian terkini dan arahnya di masa mendatang. Selanjutnya gerakanIKM tersebut akan dipengaruhi dengan perkembangan suku bunga jangka pendek sepertisuku bunga PUAB, suku bunga SBI atau tingkat diskonto SBPU sebagai sasaran operasional.Dalam pelaksanaannya, manajemen moneter dengan mekanisme di atas akan ditempuhdengan instrumen sebagaimana yang telah dipergunakan selama ini yaitu Operasi PasarTerbuka (OPT), reserve requirement, fasilitas diskonto, dan moral suasion.

Sasaran Akhir

Selama ini manajemen moneter di Indonesia diarahkan untuk mencapai sasaran akhirkestabilan ekonomi makro, yaitu laju inflasi yang cukup rendah, laju pertumbuhan ekonomiyang cukup tinggi, dan kemantapan neraca pembayaran. Berbagai perubahan mendasaryang dikemukan pada bab pendahuluan, khususnya sistim nilai tukar fleksibel,mengharuskan kita untuk memikirkan kembali tentang bagaimana kebijakan moneter dapatdiarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Yang jelas, dalam sistim yang barukebijakan nilai tukar tidak lagi dapat diharapkan untuk mencapai sasaran peningkatanekspor dan karenanya kemantapan neraca pembayaran. Seperti telah dijelaskan, dalamsistim nilai tukar fleksibel gerakan nilai tukar akan berfluktuasi sesuai dengan kekuatanpasar sehingga tidak lagi dapat diarahkan untuk mencapai suatu sasaran tingkat depresiasitertentu untuk mendorong ekspor.

Dengan demikian dalam sistim yang baru kebijakan moneter lebih difokuskan padapengendalian permintaan aggregat. Lebih jelasnya bahwa kebijakan moneter diarahkanuntuk mengendalikan tekanan-tekanan permintaan ( aggregate demand pressures) yangdisebabkan oleh tingginya kesenjangan antara permintaan aggregat dengan output potensial(output gap). Hal ini mengingat besarnya output gap tersebut menentukan tingkat laju inflasidan laju pertumbuhan dalam ekonomi. Semakin tinggi output gap, laju pertumbuhanekonomi dapat lebih tinggi akan tetapi akan dibarengi dengan laju inflasi yang lebih tinggi

17 Bahkan Amerika Serikat dan Jepang juga menempuh pendekatan yang pragmatis dan eklektik dalam manajemenmoneternya. Baca Madigan (1994) untuk manajemen moneter di Amerika Serikat serta Sawamoto dan Ichikawa (1994)untuk Jepang.

17Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

pula. Bank Indonesia harus menentukan seberapa jauh output gap tersebut akan diperkeciluntuk menentukan imbangan antara sasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomiyang dianggap paling “optimal”.

Beberapa pendapat mengemukan perlunya Bank Indonesia lebih memfokuskan padapencapaian satu sasaran yang diprioritaskan yaitu laju inflasi. Bank-bank sentral di berbagainegara seperti Kanada, Selandia Baru dan Australia juga telah mengarah pada pencapaiansasaran tunggal seperti ini. Bahkan Stanley Fischer (1994), Deputy Managing DirectorIMF, juga menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadi target utama kebijakanmoneter bank sentral manapun di dunia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwadalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat berpengaruh terhadap laju inflasi,meskipun dalam jangka pendek mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Guitan,1994a). Selain itu, pencapaian sasaran tunggal tersebut tidak saja dapat menghilangkantrade-off antara sasaran-sasaran yang hendak dicapai akan tetapi juga dapat meningkatkanaccountability dan c redibi l i ty dari bank sentral yang bersangkutan. Pendapat demikian dapatsaja diterapkan untuk Indonesia. Dalam konteks pemodelan ekonomi, pencapaian sasarantunggal laju inflasi dapat direfleksikan sebagai pengendalian permintaan aggregat untukmengurangi output gap sekecil mungkin sesuai dengan sasaran laju inflasi yang ditetapkan.Dengan kata lain, Bank Indonesia tidak perlu lagi mempertanyakan imbangan antara lajuinflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang dianggap “optimal” dalam melaksanakankebijakan moneternya.

Bagaimana dengan sasaran kemantapan neraca pembayaran? Kebijakan monetermemang dapat mempengaruhi perkembangan neraca pembayaran melalui pengendalianpermintaan aggregat. Akan tetapi nampaknya kebijakan moneter tidak lagi dapatdifokuskan pada sasaran ini. Seperti telah dikemukakan, dalam sistim nilai tukar fleksibelkebijakan nilai tukar tidak lagi dapat diharapkan untuk meningkatkan kinerja ekspor. Selainitu, meskipun dapat mempengaruhi permintaan aggregat, kebijakan moneter akan menjadisulit apabila diarahkan pula untuk mempengaruhi komposisi yang “optimal” antarapermintaan domestik dan sektor eksternal dari permintaan aggregat tersebut.

Sasaran Antara

Tercapainya sasaran akhir laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi tersebut akansangat tergantung pada kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi permintaanaggregat baik konsumsi, investasi maupun transaksi berjalan. Untuk maksud ini Bank In-donesia dapat menggunakan model ekonomi makro yang telah ada (seperti MODBI) untukmemprakirakan seberapa besar permintaan aggregat yang dianggap aman sesuai dengansasaran laju inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Sasaran tersebutdiperlukan untuk dipergunakan sebagai acuan dalam memprakirakan besarnya demandpressures atau output gap yang dapat ditolerir dan perlu dikendalikan melalui kebijakanmoneter yang dilakukan.

Langkah selanjutnya adalah merumuskan suatu indikator yang dapat dipergunakansebagai sasaran antara dalam pengendalian permintaan aggregat tersebut. Dalam hubunganini, Indikator Kondisi Moneter (IKM) yang ditempuh oleh Kanada, Selandia Baru danAustralia kiranya dapat digunakan sebagai acuan dalam penerapannya di Indonesia. IKMpada dasarnya mengukur pengaruh suku bunga dan nilai tukar terhadap aggregate demandpressures yang dicerminkan pada besarnya output gap sebagai berikut:

18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

IKM (v) = [ ααααα ( suku bunga (t) - suku bunga (base) ) + βββββ ( REER (t) - REER (base) ) ] * 100

dimana IKM (v) mencerminkan aggregate demand pressures, t menunjukkan periodesekarang, base adalah periode dasar, dan angka 100 untuk menunjukkan indeks. Sukubunga yang berpengaruh pada permintaan aggregat pada umumnya adalah suku bungamenengah-panjang. Untuk Indonesia, suku bunga deposito atau suku bunga kredit dapatdipergunakan sebagai proksi mengingat tidak adanya suku bunga menengah-panjang.REER adalah real effective exchange rate.

Parameter a dan b diperoleh melalui penaksiran fungsi permintaan aggregat denganvariabel suku bunga dan REER sebagai variabel bebas. Dengan demikian suatu rasio IKMyang dicerminkan dengan a/b menunjukkan seberapa kuatnya pengaruh suku bungaterhadap permintaan aggregat relatif terhadap pengaruh REER. Di Selandia Baru rasio IKMadalah ½ sehingga menunjukkan bahwa 1% pengaruh kenaikan suku bunga sama dengan2% apresiasi nilai tukar dalam mempengaruhi permintaan aggregat (Huxford dan Reddell,1996). 18 Dengan kata lain, agar permintaan aggregat tidak mengalami perubahan makakenaikan suku bunga sebesar 1% harus diimbangi dengan depresiasi nilai tukar sebesar 2%.Semakin rendah rasio IKM berarti bahwa untuk mempengaruhi permintaan aggregatdiperlukan fluktuasi nilai tukar yang lebih besar. Kanada, misalnya, mempunyai rasio IKMsebesar 1/3 sehingga kenaikan suku bunga 1% yang diimbangi dengan depresiasi nilai tukarsebesar 3% akan tidak banyak mempengaruhi permintaan aggregat (Freedman, 1994). 19

Karena IKM dinyatakan dalam perubahan relatif terhadap periode dasar makaperkembangan IKM dari waktu ke waktu menunjukkan semakin besar tidaknya aggregatdemand pressures. Kenaikan IKM menggambarkan semakin besarnya pengaruh suku bungadan nilai tukar dalam mengurangi tekanan permintaan aggregat tersebut. Dengan katalain, gerakan IKM menunjukkan ketat tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditempuh. Apabila Bank Indonesia ingin mengetatkan pengendalian moneter untukmengantisipasi tekanan permintaan aggregat yang semakin besar maka IKM diupayakanuntuk dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu. 20

Dalam kondisi perekonomian dan sektor keuangan kita yang semakin kompleks,Bank Indonesia hendaknya tidak mengandalkan satu indikator seperti IKM saja untukmengarahkan manajemen moneter dalam mencapai sasaran akhir yang diinginkan. Berbagaivariabel lain perlu dipergunakan sebagai variabel indikator ataupun variabel informasidalam rangka lebih memahami perkembangan perekonomian dan arahnya ke depan. Dalamhubungan ini, pertumbuhan uang beredar (M1 dan M2) dan kredit dapat dipergunakanuntuk menunjukkan tekanan permintaan aggregat di masa mendatang. 21 Perkembangan

18 Untuk mendalami lebih lanjut manajemen moneter di Selandia Baru dengan menggunakan IKM, baca Huxford danReddell (1996) serta Economics Department Reserve Bank of New Zealand (1996).

19 Freedman (1994) memberikan penjelasan yang baik mengenai penggunaan IKM dalam manajemen moneter di Kanada.

20 IKM dapat dinyatakan secara nominal atau riil. Dalam jangka pendek perbedaan antara kedua pilihan ini tidak berartimengingat actual inflation mendekati expected inflation. Akan tetapi dalam jangka panjang, untuk akurasi penggunaanIKM secara riil lebih baik sehingga pengaruh expected inflation dapat diperhitungkan.

21 Ingat bahwa pengaruh uang beredar dan kredit terhadap kegiatan ekonomi memerlukan waktu (lag). Dengan demikian,kenaikan pertumbuhan uang beredar dan kredit saat ini dapat mendorong kenaikan permintaan aggregat di masa yangakan datang.

19Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

harga saham dan harga properti juga dapat digunakan sebagai indikator mengenai besarnyatekanan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga asset ( asset price inflation). Informasilain seperti hasil survei kegiatan usaha, survei konsumsi dan survei-survei yang lain dapatpula digunakan Bank Indonesia dalam rangka semakin memahami gerakan ekonomidimaksud. Berbagai variabel indikator tersebut dapat dikelompokkan sebagai prompt indi-cators, yaitu indikator yang dapat dipergunakan sebagai deteksi dini perkembanganekonomi terkini, dan leading indicators, yaitu indikator yang dapat menunjukkan arahperkembangan ekonomi di masa mendatang. Kesemua ini pada dasarnya merupakancerminan dari pendekatan eklektik dalam manajemen moneter di Indonesia sebagaimanadikemukakan di atas.

Sasaran Operasional

Pemilihan variabel yang dijadikan sebagai sasaran operasional dalam rangkamengarahkan gerakan IKM sebagai sasaran antara tersebut merupakan keputusanselanjutnya yang perlu dilakukan. Dalam hal ini, suku bunga PUAB, suku bunga SBI, atautingkat diskonto SBPU merupakan tiga pilihan suku bunga jangka pendek yang dapatdigunakan sebagai sasaran operasional. Pemilihannya didasarkan pada setidaknya duapertimbangan. Pertama, seberapa cepat perubahan masing-masing suku bunga jangkapendek tersebut ditransmisikan ke perubahan suku bunga deposito atau kredit danperubahan nilai tukar. Kedua, seberapa jauh suku bunga jangka pendek tersebut dapatdipengaruhi oleh instrumen kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia.

Ketiga jenis suku bunga jangka pendek tersebut mempunyai kelebihan sekaliguskekurangan masing-masing. Suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU mempunyaikelebihan karena dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Bahkan kedua suku bunga inidapat sekaligus menjadi instrumen dan sasaran operasional kebijakan moneter.Perbedaannya terletak pada pandangan perbankan bahwa SBI sebagai alternatif investasi,sementara SBPU sebagai alternatif pendanaan. Karena itu tingkat diskonto SBPU seringdiyakini lebih dekat hubungannya dengan suku bunga deposito dan kredit. Bagaimanapunjuga penelitian yang lebih mendalam diperlukan untuk mengetahui kecepatan perubahankedua suku bunga jangka pendek tersebut ditransmisikan ke suku bunga deposito ataukredit dan nilai tukar Rupiah.

Sementara itu, suku bunga PUAB mempunyai kelebihan karena lebihmenggambarkan kondisi pasar uang sebagai salah satu alternatif pendanaan danpenanaman jangka pendek perbankan. Karena langsung mempengaruhi return dan r iskperbankan maka perubahan suku bunga ini diperkirakan lebih cepat ditransmisikan kesuku bunga deposito atau kredit. Selain itu, PUAB sering pula dipergunakan sebagaialternatif sumber pendanaan bagi transaksi di pasar valuta asing karena eratnya keterkaitanantara kedua pasar uang ini. Dengan demikian diperkirakan perubahan suku bunga PUABlebih cepat pula ditransmisikan ke pergerakan nilai tukar Rupiah.

Penelitian yang pernah dilakukan di Bank Indonesia menunjukkan bahwa penentuansuku bunga di Indonesia melalui jalur yaitu: suku bunga SBI → suku bunga PUAB → sukubunga deposito → suku bunga kredit (Bond dan Kurniati, 1994). Apabila hasil penelitianini dapat diterima, maka suku bunga PUAB dapat dipergunakan sebagai sasaran operasionalsementara suku bunga SBI dan tingkat diskonto SBPU sebagai acuan dalam penggunaaninstrumen kebijakan moneter. Tentunya penelitian dan pengkajian yang lebih seksama

20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

perlu dilakukan untuk menentukan suku bunga jangka pendek mana yang akan dipilihsebagai sasaran operasional.

Instrumen Kebijakan

Instrumen yang dipergunakan dalam manajemen moneter pada dasarnya samadengan yang ada selama ini, yaitu: Operasi Pasar Terbuka (OPT), reserve requirement, fasi l i tasdiskonto, dan moral suasion. Demikian pula titik berat pengelolaan moneter tetap padapenggunaan OPT sebagai instrumen utama. Perbedaannya adalah pada arah daripenggunaan instrumen manajemen moneter dimaksud. Kalau selama ini instrumen tersebutlebih diarahkan untuk mencapai sasaran uang primer (M0) pada tingkat tertentu, dalamsistim yang baru instrumen tersebut perlu lebih difokuskan pada pencapaian sasaran sukubunga jangka pendek yang diinginkan.

Perbedaan arah dari penggunaan instrumen tersebut tentu saja mempunyai implikasipada implementasi manajemen moneter. Lelang SBI tidak lagi menitikberatkan padakuantitas SBI yang diperlukan untuk mencapai sasaran uang primer yang ditetapkan dengansuku bunga SBI sebagai pertimbangan kedua. Dalam sistim yang baru lelang SBI lebihdiarahkan untuk mencapai sasaran suku bunga SBI yang diinginkan dengan kuantitas SBIsebagai pertimbangan kedua. Suku bunga SBI yang ingin dicapai tersebut tentunyadisesuaikan dengan tingkat atau kisaran suku bunga PUAB sebagai sasaran operasionalatau, dalam hal suku bunga SBI sekaligus sebagai sasaran operasional, dengan tingkatIKM yang diinginkan sebagai sasaran antara.

Kesimpulan

Berbagai perubahan mendasar dalam perekonomian dan sektor keuangan telahmenyebabkan paradigma lama manajemen moneter melalui transmisi uang beredar perludikaji ulang. Kita tidak bisa lagi terlalu mengandalkan pada pencapaian sasaran uang primerdan uang beredar (M1 dan M2) sebagai ukuran dari keberhasilan manajemen moneter.Hal ini mengingat telah terjadi perubahan mekanisme transmisi kebijakan moneter dalammencapai sasaran akhir laju inflasi, laju pertumbuhan ekonomi, dan kemantapan neracapembayaran. Transmisi kebijakan moneter melalui kuantitas seperti uang beredar dankredit diyakini tidak sekuat dulu lagi. Mekanisme transmisi melalui harga seperti sukubunga dan nilai tukar diyakini lebih mendekati kenyataan di Indonesia dewasa ini dan dimasa mendatang.

Berdasarkan pemikiran demikian, tulisan ini mengajukan proposisi mengenaiparadigma baru manajemen moneter melalui transmisi suku bunga dan nilai tukar yangkiranya dapat diterapkan di Indonesia. Sasaran akhir dari kebijakan moneter hendaknyalebih dititikberatkan pada pengendalian laju inflasi. Sebagai sasaran antara, IndikatorKondisi Moneter (IKM) yang merupakan pengaruh gabungan suku bunga dan nilai tukarterhadap permintaan agregat dapat dipergunakan, disamping berbagai variabel indikatorseperti pertumbuhan uang beredar, kredit, harga saham, harga aset, dan leading indicators.Operasi Pasar Terbuka hendaknya tetap dipergunakan sebagai instrumen utama kebijakanmoneter dengan mengarahkan lelang SBI pada penentuan suku bunga SBI sesuai mekanismepasar untuk mempengaruhi suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional.

21Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

DAFTAR PUSTAKA

Agung, Juda, “Financial Deregulation and Substitutability of Monetary Assets inIndonesia”, Department of Economics, University of Birmingham, 1995.

Bernanke, B., and Blinder, A., “The Federal Funds Rate and the Channels of Mon-etary Transmission”, NBER Working Paper No.3487., 1992.

Blinder, A., “On the Conceptual Basis of Monetary Policy”, Remarks for the SeniorExcecutives Conference of the Mortgage Bankers Association, New York, 1996.

Boediono, “Melihat Kembali Target Moneter Kita : M0, M1, atau M2?”, CatatanDirektur Bidang Moneter, Bank Indonesia, Oktober 1994.

_____, “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”, CatatanDirektur Bidang Moneter, Bank Indonesia, Juni 1996.

_____, “Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter”, Bahan Kuliah Khusus SespibiAngkatan XXI, September 1996.

Bond, Timothy J., et al., “Money, Interest Rates, and Inflation”, URES DiscussionPaper, Bank Indonesia, Juni 1994.

_____, dan Yati Kurniati, “The Determination of Interest rates in Indonesia”, URESDiscussion Paper, Bank Indonesia, Juli 1994.

_____, et al., “Monetary Management with an Exchange Rate Target”, URES Discus-sion Paper, Bank Indonesia, Agustus 1995.

Djiwandono, Soedradjad J., “Ekonomi Makro dalam Dinamisme PerekonomianDunia: Tantangan bagi Pendekatan dan Kebijaksanaan Makro”, Pidato UpacaraPengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi pada Universitas Indonesia,Juli 1994.

_____, “Masalah dan Kebijakan Moneter-Perbankan Indonesia: Perannya dalamPembangunan dan Perkembangan Dewasa Ini”, Ceramah Gubernur Bank Indonesia padaKursus Singkat Angkatan VI Lemhannas, April 1996.

_____, Sambutan Gubernur Bank Indonesia pada Upacara Pembukaan SespibiAngkatan XXI, September 1996.

Edey, Malcolm, dan Romalis, John, “Issues in Modelling Monetary Policy”, ReserveBank of Australia, May 1996.

Fischer, Stanley, “Central Banking : the Challenges Ahead”, the 25th AnniversarySysmposium of the Monetary Authority of Singapore”, May 1996.

Fraser, Bernie, “The Art of Monetary Policy”, Talk by Governor of the Reserve Bankof Australia in 23rd Conference of Economists, September 1994.

Fuhrer, J.C., and Moore, G.R., “Monetary Policy Trade-offs and the Correlation Be-tween Nominal Interest Rates and Real Output”, American Economic Review, 1995.

22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Grenville, S.A., “An Overview of Current Issues in Monetary Policy”, Memorandumto Governor and Managing Director, Bank Indonesia, November 1993.

Grenville, S.A., dan Stebbing, P.W., “Monetary Management the Australian Experi-ence”, International Conference on Monetary Management, Denpasar-Bali, 1994.

Hadad, Muliaman D., “Bank Behaviour in a Changing Regulatory Environtment :Study of Indonesia 1983-1993”, a Ph.D. Thesis Monash University, April 1996.

Haldane, A.G., “Rules, Discretion and the UK’s NewMonetary Framework”, paperon Bank of England’s Inflation Targets Conference, Maret 1995.

Harinowo, C., dan Belchere, W., “Monetary and Exchange Rate Management withInternational Capital Mobility”, Pacific Basin Central Bank Conference, Hong Kong, Octo-ber 1994.

Harris, L., “Monetary Theory”, McGraw-Hill Book Company, 1981.

Iljas, Achjar, “Suatu Tinjauan Mengenai Penggunaan Nilai Tukar Sebagai NominalAnchor dalam Pengendalian Inflasi di Indonesia”, Makalah Sespibi Angkatan XVII, 1992.

Moore, Basil J., “Horizontalists and Verticalists : the Macroeconomics of CreditMoney”, Cambridge University Press, 1988.

Poole, William, “Monetary Policy Implications of Recent Changes in the FinancialSystem in the United States and Europe”, the Sixth International Conference organized bythe Institute for Monetary and Economic Studies, Bank of Japan, October 1993.

Sarwono, Hartadi A., Alamsyah, Halim, “Sasaran Pengendalian Uang Beredar : TwoStep Cointegration Approach”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia,1993.

Bank for International Settlements (BIS), Financial Structure and the Monetary PolicyTransmission Mechanism, Basle, March 1995.

_______, et. al., “Monetary Targets”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, Au-gust 1994.

Dornbusch, Rudiger, “Expectations and Exchange Rate Dynamics, Journal of PoliticalEconomy, Nomor 84, 1976.

______, Open Economy Macroeconomics, Basic Books Inc., New York, 1980.

Economics Department, Reseve Bank Of New Zealand, “Summary Indicators ofMonetary Condition”, Reserve bank Bulletin, Vol. 59 No. 4, 1996.

Edwards, Sebastian, “Exchange Rate Misalignment in Developing Countries”, dalamIMF Institute, Approaches to Exchange Rate Policies, Washington, D.C., 1994.

Flood, Robert P. dan Mussa, Michael, “Issues Concerning Nominal Anchors for Mon-etary Policy”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Sta-bil i ty”, IMF, Washington, 1994.

23Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel

Freedman, C., “The Use of Indicators and of the Monetary Conditions Index inCanada”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Stabil-ity”, IMF, Washington, 1994.

Friedman, Benjamin M., “Targets, Instruments, and Indicators of Monetary Policy”,Journal of Monetary Economics, Oktober 1975.

Guitan, Manuel, “Rules or Discretion in Monetary Policy: National and InternationalPerspectives”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli, Frameworks for Monetary Sta-bil i ty”, IMF, Washington, 1994a.

_______, “The Choice of Exchange Rate Regime”, dalam IMF Institute, Approaches toExchange Rate Policies, Washington, D.C., 1994b.

Huxford, Julie dan Reddell, Michael, “Implementing Monetary Policy in NewZealand”, Reserve bank Bulletin, Vol. 59 No. 4, 1996.

Madigan, Brian F., “The Design of U.S. Monetary Policy: Targets, Indicators, andInformation Variables”, dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli (editors), Frame-works for Monetary Stability, IMF, Washington, 1994.

Mishkin, Frederic S., Symposium on the Monetary Transmission Mechanism, Journalof Economic Perspectives, Vol. 9, No. 4, Fall, 1995.

Sawamoto, Kuniho dan Ichikawa, Nobuyuki, “Implementation of Monetary Policyin Japan” dalam Thomas J.T. Balino dan Carlo Cottarelli (editors), Frameworks for MonetaryStabi l i ty, IMF, Washington, 1994.

25Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

PENGGUNAAN SUKU BUNGA SEBAGAISASARAN OPERASIONAL

KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Perry Warjiyo dan Doddy Zulverdi *)

Salah satu alternatif pendekatan untuk meningkatkan kinerja kebijakan moneter Bank Indonesia adalahdengan menerapkan sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional.Berkaitan dengan itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa: i) terdapat suatu keyakinan yang cukup kuatbahwa transmisi kebijakan moneter melalui suku bunga menjadi semakin penting dibandingkan dengan transmisimelalui jumlah uang beredar sehingga penerapan sistem pengendalian moneter menggunakan suku bungasebagai sasaran operasional layak untuk dipertimbangkan; ii) terdapat hubungan yang cukup erat antara lajuinflasi dan suku bunga (deposito berjangka satu bulan dan kredit modal kerja); dan iii) suku bunga PUABdapat dipertimbangkan untuk menjadi sasaran operasional karena memiliki kaitan yang erat dengan sukubunga deposito, mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang, dan sekaligus dapat dipengaruhi oleh instrumenOPT khususnya suku bunga SBPU.

Terdapat beberapa syarat bagi efektivitas sistem pengendalian moneter menggunakan suku bunga sebagaisasaran operasional, yaitu: i) Sasaran akhir kebijakan moneter sebaiknya diprioritaskan pada pengendalianunderlying/core inflation, yaitu komponen inflasi yang diyakini benar-benar dipengaruhi faktor-faktor moneter;ii) Untuk meminimalkan pengaruh negatif tekanan-tekanan eksternal terhadap efektivitas kebijakan moneter,sistem nilai tukar yang fleksibel (mengambang) menjadi pilihan utama dibandingkan dengan sistem nilaitukar tetap; iii) Anggaran pemerintah harus “fully budget” dalam arti setiap defisit/surplus anggaran harussetiap saat dibiayai/diserap oleh instrumen utang pemerintah; iv) Untuk memelihara kestabilan permintaan dipasar uang, kinerja sistem pembayaran harus terus-menerus ditingkatkan.

*) Perry Warjiyo : Deputi Kepala Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, BI, Email: [email protected]

Doddy Zulverdi : Peneliti Ekonomi Yunior, Bag. Analisis dan Perencanaan Kebijakan, UREM, BI

Penulis mengucapkan terima kasih untuk diskusi dan komentar dari Triono Widodo, Kepala Bagian Studi Ekonomi Makro,UREM-BI, dan bantuan dalam proses penelitian kepada Siti Astiyah, Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Analisis danPerencanaan Kebijakan, UREM-BI.

26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Pendahuluan

E fektivitas pengendalian moneter di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dirasakan semakin berkurang sebagaimana terlihat pada semakin sulitnya pencapaian sasaran-

sasaran operasional berupa besaran-besaran moneter maupun sasaran-sasaran akhirkhususnya laju inflasi dan neraca pembayaran. Permasalahan ini tampaknya terkait denganperkembangan sistem, operasi, dan instrumen pasar keuangan yang pesat dan semakinkompleks serta peningkatan keterkaitan pasar keuangan domestik dan internasional yangtelah berdampak pada:

• Berubahnya definisi, cakupan, dan perilaku uang beredar.• Terjadinya proses pemisahan kegiatan antara sektor moneter dan sektor riil sehingga

hubungan antara uang beredar dan berbagai variabel di sektor riil semakin sulitdiprediksi.

• Semakin besar dan cepatnya arus lalu lintas modal sehingga uang beredar dalam jangkapendek menjadi berfluktuatif dan sulit dikendalikan.

Kondisi tersebut diyakini telah mengubah hubungan-hubungan kausalitas yangmelandasi formulasi kebijakan moneter dan menuntut adanya peninjauan kembali atasrelevansi paradigma monetaris yang selama ini melandasi kebijakan moneter Bank Indo-nesia. Berbagai negara dengan permasalahan yang sama telah berpaling kepada mekanismepengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional. Mekanisme inididasarkan pada paradigma Keynesian bahwa transmisi kebijakan moneter ke sasaran akhirtidak secara langsung melalui perubahan volume uang beredar namun melalui perubahansuku bunga.

Dengan menggunakan analisis grafis dan pengujian ekonometri, studi inimenunjukkan adanya hubungan-hubungan kausalitas di antara beberapa variabel moneteryang sejalan dengan pendekatan Keynesian. Berdasarkan hubungan-hubungan tersebutserta didukung oleh hasil studi banding di Australia dan Selandia Baru, kami mencobamenawarkan konsep pengendalian moneter dengan suku bunga sebagai sasaran operasionaluntuk Indonesia.

Tulisan ini disajikan dengan rangkaian sebagai berikut. Bab “Evaluasi Atas EfektivitasKebijakan Moneter” Selama Ini mengidentifikasi beberapa faktor yang dapat mempengaruhiefektivitas kebijakan moneter dan menjelaskan dampak deregulasi keuangan terhadapefektivitas kebijakan moneter selama ini. Bab “Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional”mengulas secara ringkas teori yang melandasi mekanisme pengendalian moneter melaluisuku bunga sebagai sasaran operasional dan merangkum pengalaman Australia danSelandia Baru dalam menerapkan mekanisme tersebut. Bab “Kemungkinan PenggunaanSuku Bunga Sebagai Sasaran Operasional di Indonesia” menyajikan hasil studi empirismengenai hubungan kausalitas antara suku bunga dan sasaran akhir kebijakan moneter(inflasi) serta jenis-jenis suku bunga yang dapat menjadi kandidat sasaran operasionalkebijakan moneter. Selanjutnya, dalam Bab “Konsep Pengendalian Moneter DenganMenggunakan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Untuk Indonesia” kamimenyajikan konsep pengendalian moneter dengan menggunakan suku bunga sebagaisasaran operasional untuk Indonesia. Akhirnya, dalam Bab “ Kesimpulan dan Saran” kamimemberikan kesimpulan dan beberapa saran kebijakan serta arahan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

27Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

Evaluasi Atas Efektivitas Kebijakan Moneter Selama Ini

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Kebijakan Moneter

Kebijakan-kebijakan ekonomi secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kelompok,yaitu: kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi sisi penawaran agregat, seperti kebijakanketenagakerjaan, kebijakan perdagangan, kebijakan perindustrian, dan kebijakan-kebijakanuntuk mempengaruhi sisi permintaan agregat (atau lebih dikenal sebagai kebijakan-kebijakan ekonomi makro), seperti kebijakan moneter, fiskal, dan nilai tukar.

Seluruh kebijakan tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapatmempengaruhi berbagai sasaran kebijakan ekonomi seperti laju inflasi, pertumbuhanekonomi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh karena itu, dalam mengevaluasisuatu kebijakan idealnya kita harus mampu mengisolasi dampak kebijakan tersebut daripengaruh kebijakan-kebijakan lain terhadap sasaran yang dituju.

Mengingat analisis ini ditujukan untuk menilai efektivitas kebijakan moneter dalamjangka pendek/menengah dan dengan keyakinan bahwa kebijakan di sisi penawaran lebihbanyak berdampak terhadap perkembangan sasaran akhir dalam jangka panjang makaupaya mengevaluasi efektivitas kebijakan moneter dilakukan tanpa memperhitungkanpengaruh kebijakan-kebijakan di sisi penawaran.

Ada tiga komponen yang terkandung di dalam setiap kebijakan ekonomi, yaituinstrumen, sasaran, dan hubungan kausalitas antara instrumen dan sasaran (yang umumnyadipresentasikan ke dalam suatu model ekonomi). 1 Uraian berikut ini akan mencobamengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneterdengan melihat kinerja ketiga komponen tersebut.

Dalam merancang kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai sasaran akhirberganda ( multi-targeting), keharmonisan policy mix dan ketepatan policy assignment sangatpenting. Landasan teoritis dari konsep keharmonisan policy mix dipelopori oleh pemenanghadiah Nobel di bidang Ilmu Ekonomi dari Belanda, Jan Tinbergen, sedangkan konsepketepatan policy assignment diajukan oleh pakar ekonomi moneter internasional dari AmerikaSerikat, Robert Mundell.

Kerangka kerja Tinbergen didasarkan pada asumsi adanya hubungan linear antarainstrumen-instrumen kebijakan dengan sasaran-sasaran akhir. Salah satu syarat agarinstrumen-instrumen kebijakan tersebut dapat mencapai sasaran-sasaran akhir yangberbeda secara bersamaan adalah jumlah instrumen yang tersedia minimal harus samadengan jumlah sasaran akhir. Selain itu, setiap instrumen harus independen terhadapinstrumen lain. (Lihat Lampiran). Di dalam kerangka kerja Tinbergen, penyebabketidakefektivan kebijakan moneter dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

• Apakah jumlah instrumen kebijakan yang tersedia minimal sama dengan jumlah sasaran?Untuk kasus Indonesia, terdapat tiga sasaran utama kebijakan ekonomi makro yangingin dicapai secara bersamaan, yaitu laju inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomiyang cukup tinggi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Dari sisi permintaan, ketiga

1 Sach & Larrain, “Macroeconomics in the Global Economy”, hal. 589.

28 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

sasaran tersebut diupayakan untuk dicapai dengan menggunakan tiga instrumen utama,yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan nilai tukar. Dengan demikian,jumlah instrumen yang tersedia sudah sama dengan jumlah sasaran.

• Apakah terdapat pembatasan ruang gerak kebijakan moneter? Di Indonesia tampaknyatidak ada pembatasan secara eksplisit terhadap besaran-besaran moneter yang dikaitkandengan kinerja sisi fiskal. Namun, tampaknya ruang gerak kebijakan moneter sangatdibatasi oleh sasaran nilai tukar.

• Apakah terdapat hubungan sebab akibat antara berbagai sasaran akhir? Hal initampaknya terjadi di Indonesia. Pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi seringkaliharus mengorbankan pencapaian sasaran laju inflasi.

• Apakah policy mix cocok dengan policy setting? Di dalam sistem ekonomi terbuka dengansistem nilai tukar yang relatif tetap seperti yang diterapkan oleh Indonesia sampai dengan14 Agustus 1997, efektivitas kebijakan moneter sangat berkurang. Dalam situasi ini,pembebanan tugas yang terlalu berlebihan kepada kebijakan moneter untuk mencapaiberbagai sasaran ekonomi makro hanya akan mendorong timbulnya ekonomi biaya tinggi(khususnya yang bersumber dari tingginya biaya suku bunga), mendorong masuknyamodal asing berjangka pendek yang bermotif spekulasi, dan mendorong industrikeuangan domestik untuk melakukan/ membiayai kegiatan usaha yang mengandungresiko tinggi.

Berkaitan dengan pembagian tugas di antara berbagai kebijakan yang tersedia, Rob-ert Mundell mengajukan apa yang dikenal sebagai Mundell’s Assignment Rule. Berdasarkanaturan tersebut, efektivitas setiap kebijakan tergantung pada kesesuaian pembagian tugasdengan keunggulan komparatif dari masing-masing kebijakan. Apabila kebijakan moneterdiyakini lebih berpengaruh terhadap laju inflasi daripada kebijakan fiskal sedangkankebijakan fiskal diyakini lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi daripadakebijakan moneter maka seyogianya kebijakan moneter hanya diberi tugas untukmengendalikan laju inflasi sedangkan pengendalian produksi diserahkan sepenuhnyakepada kebijakan fiskal.

Efektivitas kebijakan moneter juga ditentukan oleh kemampuan otoritas moneterdalam mengendalikan instrumen-instrumen yang tersedia. Indikator yang paling sederhanaadalah sejauh mana kemampuan otoritas moneter dalam mengendalikan uang primer.Terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi efektivitas pengendalian uang primer.Pertama, derasnya arus keluar masuk modal jangka pendek. Satu hasil penelitianmenemukan bahwa koefisien ofset, yaitu koefisien yang mengukur pengaruh bersih operasipasar terbuka (OPT) terhadap jumlah uang beredar, di Indonesia mencapai lebih dari 75%(Bond, et al). Artinya, setiap Rp 1,00 jumlah uang yang disedot melalui OPT, hanya Rp 0,25yang benar-benar berhasil disedot sedangkan sejumlah Rp 0,75 mengalir kembali kemasyarakat melalui peningkatan arus masuk modal dari luar negeri. Kedua, masihrendahnya tingkat kedalaman pasar uang (atau dalam kerangka analisis pemintaan danpenawaran kondisi ini tercermin pada kurva permintaan yang sangat tidak elastis). Saatini tingkat kedalaman pasar uang baik rupiah maupun valuta asing masih relatif tipis.Dalam kondisi ini tekanan-tekanan baik yang bersumber dari pesatnya arus keluar masukmodal maupun tekanan likuiditas lebih banyak ditransmisikan melalui perubahan sukubunga dan nilai tukar daripada diredam oleh perubahan volume transaksi. Sebagaikonsekuensinya suku bunga dan nilai tukar menjadi sangat fluktuatif. Ketiga, adanya

29Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

segmentasi di sektor perbankan yang menimbulkan perbedaan perilaku di antara berbagaikelompok bank (contoh: antara kelompok bank-bank pemerintah dan kelompok bank-bankswasta) dalam menyikapi sinyal-sinyal kebijakan moneter. Keempat, rapuhnya sistemperbankan akibat praktek-praktek perbankan yang tidak berhati-hati dan sistempengawasan yang lemah. Dengan kondisi portofolio yang buruk, walaupun ada kemauan,bank-bank tidak akan mampu memberikan respons kepada sinyal-sinyal kebijakan moneter.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat kredibilitas yang dimilikioleh otoritas pengambil kebijakan. Satu konsep yang berkaitan dengan kredibilitaspengambil kebijakan adalah konsep time consistency. Berdasarkan konsep ini, suatu kebijakanyang diambil berdasarkan prinsip discretionary akan mendorong para pengambil kebijakanuntuk selalu mengambil kebijakan yang berbeda dengan ekspektasi pasar. Dari sisipengambil kebijakan, tindakan ini adalah optimal karena mampu memaksimalkan manfaatdari kebijakan yang diambil. Namun, apabila tindakan tersebut dilakukan berkali-kali makatingkat kredibilitas kebijakan akan turun di mata para pelaku pasar. Untuk Indonesia,masalah kredibilitas ini tampaknya perlu mendapat perhatian khusus. Seringkali kita amatibahwa berbagai sasaran ekonomi makro, khususnya sasaran-sasaran operasional kebijakanmoneter, tidak mampu dicapai. Hal ini telah menurunkan kredibilitas kebijakan pemerintahdan mendorong masyarakat untuk membentuk ekspektasi yang berbeda dengan apa yangdiinginkan oleh pemerintah.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter adalah adanyaperubahan paradigma hubungan sebab akibat antara instrumen kebijakan dan sasaran akhirsebagai dampak dari deregulasi sektor keuangan dan meningkatnya keterkaitan antarapasar keuangan domestik dan internasional.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat banyak kemungkinan faktor penyebabberkurangnya efektivitas kebijakan moneter. Namun, sebagaimana halnya pengalamannegara-negara lain ketika mereka menjalani proses transformasi ekonomi dan keuangan,faktor perubahan paradigma pengendalian moneter sebagai dampak deregulasi danglobalisasi di sektor keuangan diduga menjadi penyebab utama melemahnya kinerjakebijakan moneter di Indonesia. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian ini akan dibatasipada upaya untuk menemukan mekanisme transmisi moneter dan kerangka operasionalkebijakan moneter yang tepat untuk Indonesia di dalam konteks paradigma pengendalianmoneter yang telah berubah.

Dampak Deregulasi Keuangan terhadap Efektivitas Kebijakan Moneter

Deregulasi dan globalisasi sektor keuangan membawa pengaruh yang besar terhadapperekonomian di banyak negara. Reformasi sektor keuangan yang dilakukan Indonesiadan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand sejak dekade 1980-antelah meningkatkan efisiensi sektor keuangan dan menjadi salah satu faktor penting yangmendorong kemajuan ekonomi negara-negara tersebut. 2

Di samping dampak positifnya terhadap perekonomian, perubahan yang cepat dipasar keuangan juga telah memberikan pengaruh negatif terhadap efektivitas kebijakan

2 The International Monetary Fund and the World Bank, Finance Development, March 1994

30 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

moneter. Friedman mengidentifikasi tiga kemungkinan dampak deregulasi keuanganterhadap kebijakan moneter. Pertama, deregulasi suku bunga dan nilai tukar serta integrasipasar-pasar keuangan di dunia akan mengubah proses transmisi kebijakan moneter. Kedua,inovasi-inovasi keuangan akan menyebabkan tidak stabilnya hubungan antara harga(inflasi) dan uang (besaran moneter). Ketiga, semakin meningkatnya mobilitas modal akanmempersulit pencapaian dua sasaran akhir, yaitu stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar,dalam waktu bersamaan. 3 Pengalaman di beberapa negara maju seperti Kanada, Austra-lia, Selandia Baru, dan beberapa negara Eropa, serta hasil penelitian IMF menunjukkanbahwa setelah era reformasi sistem keuangan hubungan antara pertumbuhan uang beredardan kegiatan ekonomi serta inflasi cenderung menjadi tidak stabil. 4 Akibatnya,perkembangan jumlah uang beredar menjadi tidak mampu lagi memberikan indikasi arahperkembangan inflasi maupun produksi secara akurat. Kondisi tersebut menyebabkanbanyak negara tidak lagi menggunakan besaran-besaran moneter sebagai variabel sasarankebijakan moneter. Kini banyak negara menggunakan suku bunga dan nilai tukar sebagaisasaran operasionalnya.

Di Indonesia, kinerja pencapaian sasaran-sasaran moneter seperti M1 dan M2cenderung menurun (lihat Grafik 1 dan 2). Kinerja pencapaian sasaran M0 juga memilikikecenderungan yang sama (lihat Grafik 3). Seiring dengan menurunnya kinerja pencapaiansasaran-sasaran moneter, kinerja pencapaian sasaran-sasaran akhir terutama laju inflasidan neraca pembayaran tampak semakin sulit. Sasaran inflasi yang dalam Repelita V danVI ditetapkan sebesar rata-rata 5% per tahun tidak pernah berhasil dicapai. Defisit transaksiberjalan dalam tiga tahun terakhir semakin membengkak sementara struktur neraca modalsemakin didominasi oleh modal jangka pendek yang mengandung resiko tinggi.

Gejala penurunan efektivitas kebijakan moneter tersebut tidak terlepas dari dampakderegulasi di sektor finansial yang telah dimulai sejak tahun 1983. Deregulasi tersebut telahmengakibatkan beberapa perubahan struktural. Pertama, pembebasan penentuan suku bungakepada pasar menyebabkan terjadinya perubahan portofolio keuangan masyarakat yangtercermin dari perubahan komposisi uang kartal dan uang giral maupun komposisi simpananberjangka dan uang giral. Kedua, batas antara M1 dan M2 menjadi tipis karena semakindekatnya substitusi antara uang kuasi khususnya tabungan (komponen M2) dengan M1. 5

Ketiga, perubahan portofolio aset-aset keuangan mengakibatkan perubahan tingkat

3 Morgan, Donald P., Introduction,...

4 Robert Dekle and Mahmood Pradhan, Financial Liberalization and Money Demand in ASEAN Countries : Implicationfor Monetary Policy.

5 Sarwono, Hartadi A.,Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter: Suatu StudiKemungkinan Penerapannya, 1996

G r a f i k 1 : S a s a r a n d a n R e a l i s a s i M 1 ( % )

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

8 8 / 8 9 8 9 / 9 0 9 0 / 9 1 9 1 / 9 2 9 2 / 9 3 9 3 / 9 4 9 4 / 9 5 9 5 / 9 6 9 6 / 9 7 9 7 / 9 8

R e a l i s a s i T a r g e t

G r a f i k 2 : S a s a r a n d a n R e a l i s a s i M 2 ( % )

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

8 8 / 8 9 8 9 / 9 0 9 0 / 9 1 9 1 / 9 2 9 2 / 9 3 9 3 / 9 4 9 4 / 9 5 9 5 / 9 6 9 6 / 9 7 9 7 / 9 8

R e a l i s a s i

T a r g e t

31Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

sensitivitas permintaan akan uang terhadap perubahan pendapatan dan suku bunga.Keempat, semakin berkembangnya pasar keuangan yang menawarkan beragam asetmempunyai pengaruh yang besar terhadap permintaan uang. 6 Adanya banyak perubahantersebut melahirkan sebuah keyakinan bahwa transmisi kebijakan moneter melalui hargauang (suku bunga) menjadi semakin penting dibandingkan dengan transmisi melalui jumlahuang beredar (kuantitas). 7 Hal ini juga didukung oleh hasil beberapa penelitian yangmempertanyakan kembali keyakinan yang melandasi kebijakan moneter Indonesia bahwaterdapat kestabilan angka pengganda uang dan permintaan akan uang serta keterkaitanyang erat antara besaran-besaran moneter dan sektor riil terutama PDB dan inflasi. 8

Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional

Landasan Teoritis: Sasaran Kuantitas vs. Sasaran Harga

Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui pengendalian jumlah uang beredar(sasaran kuantitas) atau suku bunga (sasaran harga). Pengendalian kuantitas dipeloporioleh aliran Monetaris sedangkan pengendalian suku bunga dipelopori oleh aliran Keynesian.Secara umum perbedaan antara Keynesian dan Monetaris dapat disederhanakan dalambentuk elastisitasnya.

Aliran Monetaris percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadap permintaan akanuang relatif rendah dan elastisitas suku bunga terhadap permintaan barang relatif tinggi.Aliran ini berkeyakinan bahwa velocity of circulation dan uang beredar bersifat eksogen.Kondisi ini mengakibatkan uang tidak bersifat netral karena uang dapat mempengaruhi

6 Occasional Paper 84, Financial Liberalization, Money Demand, and Monetary Policy in Asian Countries, InternationalMonetary Fund

7 Lihat catatan Direktur URES, Boediono “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”, Juni 1996

8 Penelitian terdahulu menyatakan bahwa permintaan M1 masih stabil. Namun penelitian ulang selanjutnya menyatakanbahwa keakuratan dan kestabilan permintaan akan uang tersebut perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan hasilproyeksi yang diperoleh. Lihat: Hartadi Sarwono dan Halim Alamsyah, “Sasaran Pengendalian Uang Beredar: TwoStep Cointegration Approach”, URES Discussion Paper, Bank Indonesia, September 1994 dan “Evaluasi terhadapFungsi Permintaan Uang dan Program Moneter”, Kertas Kerja Staf, Bagian APK, UREM, Juni , 1997.

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

33

1 9 9 3 / 9 4 1 9 9 4 / 9 5 1 9 9 5 / 9 6 1 9 9 6 / 9 7

Gr a f i k 3 : S as ar an d an Re a l i sa s i Ua ng P r im er (%)

Sasaran

Rea l isas i

32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

produksi dan harga dalam jangka pendek. Atas dasar asumsi-asumsi di atas maka aliranMonetaris lebih merekomendasikan penggunaan sasaran jumlah uang beredar daripadasasaran suku bunga.

Aliran Verticalist memiliki pemikiran yang sejalan dengan aliran Monetaris. Aliranini meyakini bahwa, dengan asumsi money multiplier stabil dan dapat diperkirakan denganbaik, perubahan uang primer akan mempengaruhi komposisi neraca bank-bank (portofoliobank) yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, perubahanuang primer (salah satu komponennya adalah bank reserve), akan diakomodasi oleh bankdengan mengubah komposisi asetnya, terutama kredit, atas inisiatif bank sendiri. Dalamgrafik kuantitas versus harga dari uang beredar, kurva penawaran uang menjadi vertikalyang perubahannya dikendalikan oleh bank sentral, sedangkan suku bunga hanyamengikuti ke arah keseimbangan yang terjadi. 9

Di lain pihak, aliran Keynesian percaya bahwa elastisitas suku bunga terhadappermintaan akan uang relatif tinggi sedangkan elastisitas suku bunga terhadap investasirelatif rendah. Aliran ini juga berkeyakinan bahwa velocity of circulation tidak stabil danbergejolak dan uang beredar merupakan faktor endogen. Berbagai karakteristik pasartersebut mengakibatkan mekanisme transmisi kebijakan moneter bersifat tidak langsung,yaitu melalui suku bunga. Oleh karena itu, aliran Keynesian merekomendasikanpenggunaan sasaran suku bunga dalam melaksanakan kebijakan moneter.

Berikut ini adalah beberapa jalur transmisi kebijakan moneter dengan menggunakansasaran suku bunga. 10

• Intertemporal substitution. Perubahan suku bunga akan mengubah biaya pinjaman ataupendapatan dari tabungan. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh terhadap komponenutama pengeluaran, terutama untuk investasi usaha, investasi perumahan, dan mungkinjuga pengeluaran konsumsi barang-barang tahan lama.

• Exchange rate effect. Di dalam sistem nilai tukar mengambang, kenaikan suku bunga, c eterisparibus, biasanya akan dihubungkan dengan apresiasi nilai tukar dalam jangka pendeksehingga barang impor relatif menjadi lebih murah dan laju inflasi akan menurun.Kegiatan ekspor juga akan terpengaruh karena penjualan barang ekspor akan beralih kedalam negeri. Pengalihan pasar produk ekspor ini juga akan mendorong turunnya harga-harga di dalam negeri.

• Cash-flow effect. Dengan meningkatnya suku bunga nominal, pendapatan nominal debiturakan menurun. Jika debitur menghadapi kendala likuiditas akibat meningkatnya sukubunga dan tidak dapat meminjam lagi dalam jumlah lebih besar untuk mempertahankantingkat pengeluaran semula maka pengeluaran mereka terpaksa harus diturunkan.

• Wealth effect. Perubahan suku bunga yang biasa digunakan sebagai faktor diskonto dariekspektasi pendapatan untuk masa yang akan datang akan mengubah nilai aset finansialdan aset riil. Perubahan nilai aset-aset tersebut mengakibatkan perubahan tingkatkesejahteraan pelaku ekonomi dan pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan

9 Sarwono, Hartadi A., et.al.,Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem Pengendalian Moneter di Indone-sia, Juli 1997, p.8

10 Stevens, Glen and Jenny Wilkinson, The monetary policy process in Australia: what do we know?, p.267-268

33Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

konsumsi, investasi dan produksi.

• Credit rationing effect. Peningkatan suku bunga dapat mendorong bank-bank untukmeningkatkan premi resiko yang mereka bebankan kepada debitur lama maupun calondebitur baru akibat kekhawatiran akan turunnya kapasitas para debitur dalam membayarhutang-hutangnya. Implikasinya, suku bunga kredit meningkat, suplai kredit menurun,atau terjadi penjatahan kredit.

Pengalaman Selandia Baru

Untuk memperbaiki kinerja perekonomiannya yang relatif lebih buruk dibandingkandengan negara-negara anggota OECD lainnya, sejak tahun 1984 Selandia Baru mulaimelakukan serangkaian reformasi di sektor riil, fiskal, dan keuangan. Di sektor fiskalpemerintah melakukan pengurangan defisit anggaran secara bertahap sementarapembenahan di sektor riil dilakukan antara lain melalui penghapusan hambatan imporserta pengurangan tarif impor. Reformasi di sektor keuangan diawali dengan pembebasanpenentuan tingkat suku bunga kepada pasar dan diikuti oleh deregulasi transaksi modal.Selanjutnya, sejak Maret 1985 Selandia Baru menerapkan sistem nilai tukar mengambang.Reformasi di sektor keuangan juga mencakup berbagai upaya penyempurnaan kebijakanmoneter baik dari aspek kelembagaan, paradigma yang dianut, sasaran kebijakan moneter,maupun instrumen yang digunakan.

Di sisi kelembagaan, upaya penyempurnaan kebijakan moneter diawali dengankeluarnya Undang-undang Bank Sentral yang baru pada tahun 1989 yang secara formaldan konstitusional memberikan independensi kepada Bank Sentral dalam menjalankantugas-tugasnya. Reformasi di sektor keuangan juga memaksa Selandia Baru untuk meninjauulang paradigma pengendalian moneter yang sebelumnya mereka anut. Dalamperkembangannya, mereka memilih untuk menggunakan paradigma aliran Keynesian yangmenjadikan suku bunga sebagai sasaran operasional pengendalian moneter. Di sampingitu, sejak tahun 1985 Selandia Baru juga mengubah sasaran akhirnya menjadi sasarantunggal yaitu stabilitas harga dengan menggunakan underlying inflation sebagai sasaranakhir. Untuk menentukan sasaran akhir, RBNZ menggunakan proyeksi inflasi berdasarkanteori Phillips curve dengan pendekatan output gap (selisih antara PDB aktual dan potensial).Penetapan sasaran tersebut dilakukan melalui kesepakatan bersama antara Gubernur BankSentral (RBNZ) dengan Menteri keuangan yang disebut “ the Policy Target Agreements (PTA)”.

Untuk mencapai sasaran laju inflasi yang telah disepakati, RBNZ menetapkan sasaranoperasional dan sasaran antara. Sebagai sasaran operasional, RBNZ mengendalikan likuditasperbankan (c ash settlement) pada level tertentu (saat ini sekitar $5 juta per hari ). Apabilalevel settlement cash tidak sesuai dengan sasaran yang ditetapkan, pada kondisi likuditasketat RBNZ akan membeli government bills di pasar uang melalui OPT dan menjualnyapada kondisi longgar. Upaya pengendalian cash settlement akan mempengaruhi tingkatsuku bunga cash rate dan selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga treasury bill 90hari.

Sebagai sasaran antara, RBNZ menggunakan variabel proksi yang disebut MonetaryConditions Indicator (MCI). MCI adalah indikator yang menggabungkan pengaruh moneteryang berasal dari suku bunga (treasury bill 90 hari) dan nilai tukar ( trade weighted index) .

34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Sementara itu, besaran-besaran moneter hanya digunakan sebagai variabel indikator.

Dari skema di bawah ini terlihat bahwa pengendalian moneter di Selandia Barudilakukan melalui upaya Bank Sentral untuk mempengaruhi suku bunga antarbank.Perubahan suku bunga antarbank tersebut diharapkan akan mempengaruhi suku bungatreasury bill 90 hari dan nilai tukar. Perubahan suku bunga treasury bill 90 hari akanditransmisikan ke sektor riil melalui dampaknya terhadap PDB. Apabila PDB aktualmelebihi PDB potensial ( output gap), inflasi akan cenderung naik. Sementara itu, perubahannilai tukar dapat mempengaruhi PDB dan akhirnya laju inflasi melalui dua saluran, yaitu :

• Melalui tradeable goods. Proses transmisi ini memerlukan l ag sekitar 4-6 kuartal. Setiapdepresiasi 1% akan menaikkan inflasi sebesar 0,3%.

• Melalui permintaan aggregat. Mekanisme ini memerlukan l ag yang lebih panjang yaitusekitar 2 tahun.

Pengalaman Australia

Mengiringi deregulasi keuangan yang dimulai sejak akhir 1970-an, kebijakan moneterdi Australia terus mengalami berbagai penyesuaian. Sejak tahun 1985, kerangka kebijakanmoneter berubah dari pengendalian moneter yang menggunakan besaran moneter sebagaisasaran antara menjadi suku bunga sebagai sasaran antara. Hal ini antara lain berkaitandengan sulitnya mengendalikan jumlah uang beredar sehubungan dengan makin sulitnyamemprediksi besaran-besaran moneter akibat banyaknya inovasi di sektor keuangan.Perkembangan ini mengakibatkan permintaan akan uang menjadi tidak stabil dan hubunganantara besaran moneter dengan sasaran akhir menjadi kurang signifikan. Untukmeningkatkan efektivitas dan kredibilitas kebijakan moneter, prioritas sasaran akhir adalahmenciptakan laju inflasi yang rendah yang dituangkan ke dalam sasaran laju inflasi under-lying 2% - 3% per tahun.

Pengendalian moneter dilakukan melalui operasi pasar terbuka dengan jalanmenetapkan suku bunga overnight funds (cash rates). Cash rates ini menjadi sasaran operasional

kebijakan moneter. Apabila RBA akan melakukan perubahan arah kebijakan moneter makaRBA akan melakukan operasi pasar untuk mempengaruhi c ash r ate. Perubahan cash rateakan segera diikuti oleh perubahan berbagai suku bunga lainnya khususnya suku bungapinjaman dan suku bunga lainnya yang berjangka waktu lebih panjang. Selanjutnya,

Discountrate

Relative Pric echanges through

Aggr. Demand

Settlement Cash($5m . per day)

Inter BankCash Rate

M CI

In t e r est R a t e(90 day treasury bil l

E x c h a n g e R a t e(TWI)

GDP

if GDP >Po-tential Output

InflationTar get

Pengendalian Moneter di Selandia Baru

OM O

LongerInterest Rat e

Pass ThroughTradable G oods

35Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

perubahan suku bunga berjangka waktu panjang diharapkan akan mempengaruhi outputgap dan laju inflasi. Skema berikut menggambar mekanisme transmisi kebijakan moneter diAustralia.

Pada dasarnya cash rates akan bergerak bebas sesuai dengan kekuatan permintaan danpenawaran di pasar uang. Untuk menjaga agar c ash rate tetap berada pada tingkat yang telahditetapkan, RBA melakukan operasi pasar dengan menggunakan instrumen surat berhargapemerintah yang terdiri atas Commonwealth Government Securities dan State Government Secu-rities. Sejak Januari 1990 RBA mengumumkan tingkat c ash r ate harian yang akan dicapaipada hari tersebut berikut latar belakang kenaikan atau penurunannya. Kredibilitas RBAmerupakan faktor yang sangat menentukan karena “announcement e ffect” yang kuatmenyebabkan bank-bank berupaya untuk mengajukan “b id/offer r ate” sedekat mungkinberdasarkan keyakinan bahwa RBA akan masuk ke pasar untuk memastikan bahwa sasarancash rate akan tercapai.

Discountrate

Settlement Cash Inter BankCash Rate

Pengendalian Moneter di Aust r

OMO

LongerInterest Rat e

GDP

if GDP >Po-tential Output

InflationTarget

Interest rat(90 days

treasury bil

Grafik 4: Inflasi di Negara-negara yang Menggunakan Inflasi

(1,0)-

1,02,03,04,05,06,07,08,09,0

10,011,012,013,0

1980 1990/92 1994 1996

Canada

Australia

Selandia Baru

OECD

(%)

36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang menggunakan suku bunga sebagaisasaran operasional dan laju inflasi underlying sebagai sasaran akhir, pada umumnya merekaberhasil menurunkan laju inflasi baik dalam ukuran CPI maupun inflasi underlying secaramengesankan. Sebagai contoh, dalam tahun 1980-an Selandia Baru dan Australia masing-masingmengalami inflasi rata-rata sebesar 11,3% dan 8,2%. Namun, setelah kedua negara menerapkaninflation targeting dan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional pengendalianmoneter, laju inflasi berhasil diturunkan menjadi 1,7% dan 1,9% pada tahun 1994.

Kemungkinan Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran OperasionalDi Indonesia

Proses Transmisi Sasaran Antara ke Sasaran Akhir

Sebagai langkah pertama dalam melihat kemungkinan penggunaan suku bungasebagai sasaran operasional dalam pengendalian moneter, perlu kiranya dicari jenis sukubunga yang dapat berperan sebagai sasaran antara, yaitu suku bunga yang mampumentransmisikan sinyal-sinyal yang diberikan oleh kebijakan moneter ke sasaran akhir,dalam hal ini laju inflasi. Dengan menggunakan tes kausalitas Granger menggunakandata bulanan dalam periode setelah deregulasi 1988 (1989.1-1997.7) dapat dinyatakan hal-hal berikut (hasil pengujian di dalam Tabel 1):

Tabel 1Hasil Tes Kausalitas Granger Antara Suku Bunga dan Laju Inflasi

Hipotesis F Stat. Prob.

Dep. 1 ⇒ Inflasi 3.43 0.04

Inflasi ⇒ Dep.1 1.44 0.24

Dep. 3 ⇒ Inflasi 1.53 0.22

Inflasi ⇒ Dep.3 0.69 0.51

Dep. 6 ⇒ Inflasi 1.43 0.24

Inflasi ⇒ Dep.6 0.24 0.79

Dep. 12 ⇒ Inflasi 0.00 0.99

Inflasi ⇒ Dep.12 1.88 0.16

KI ⇒ Inflasi 0.34 0.71

Inflasi ⇒ KI 0.36 0.70

K M K ⇒ Inflasi 2.30 0.08

Inflasi ⇒ K M K 0.65 0.59

Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk f i rst d i fference.

• Suku bunga deposito berjangka 1 bulan mempunyai hubungan searah dengan inflasi.Hal ini berarti bahwa inflasi dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga deposito 1 bulan.Di samping itu, suku bunga kredit modal kerja (KMK) juga mempunyai hubungan yangsearah dengan inflasi.

37Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

• Suku bunga deposito yang berjangka lebih panjang, yaitu yang berjangka 3, 6, dan 12bulan tidak mempengaruhi laju inflasi.

Keterkaitan yang cukup kuat antara suku bunga deposito satu bulan dan laju inflasisejalan dengan semakin besarnya peranan deposito satu bulan dalam total dana yangdihimpun oleh perbankan (lihat Grafik 5). Sejak tahun 1990 tampak ada pergeseran dalampreferensi masyarakat dalam memegang deposito, yaitu dari deposito yang berjangka relatifpanjang, khususnya deposito 12 bulan, ke deposito yang berjangka waktu sangat pendekyaitu deposito berjangka satu bulan. Perubahan preferensi mungkin disebabkan olehtingginya suku bunga deposito berjangka waktu pendek dibandingkan dengan yangberjangka waktu lebih panjang akibat kesulitan likuiditas yang dialami oleh perbankan.Kalau benar demikian maka hasil yang diperoleh dari pengujian ini mungkin saja berubahapabila bank-bank tidak lagi mengalami kesulitan likuiditas.

Selanjutnya untuk melihat kemungkinan adanya hubungan jangka panjang antarasuku bunga deposito satu bulan dan laju inflasi dilakukan uji Kointegrasi Johansen. Hasilpengujian tersebut menunjukkan bahwa, dengan tingkat keyakinan 5%, terdapat hubunganyang bersifat jangka panjang antara suku bunga deposito satu bulan dengan laju inflasi.Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2Uji Kointegrasi Johansen: Suku Bunga Deposito Satu Bulan dan Laju Inflasi

Sampel :1989:01 1997:07Jumlah Observasi :98 Asumsi : Linear deterministic trend in the dataSeries : DEP1 INFL Lags interval : 1 to 4

Eigenvalue Likelihood 5 Percent 1 Percent Hypothesized Ratio Critical Value Critical Value No. of CE (s)

0.07120 11.35990 15.41 20.04 None0.041176 4.120647 3.76 6.65 At most 1*

(*) menunjukkan penolakan hipotesis nol pada tingkat signifikansi 5%.

Grafik 5: Proporsi Deposito Menurut Jangka W

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1

1 bulan

3 bulan

6 bulan

12 bulan

24 bulan

1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Proses Transmisi Sasaran Operasional ke Sasaran Antara

Setelah diperoleh kandidat terkuat sasaran antara kebijakan moneter Indonesia, yaitusuku bunga deposito satu bulan, langkah selanjutnya adalah mencari variabel yang dapatmenjadi sasaran operasional. Sasaran operasional pada umumnya adalah variabel yangmampu mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang sekaligus dapat dipengaruhi olehberbagai instrumen kebijakan moneter. Di pasar uang Indonesia, variabel yang diperkirakanmemenuhi syarat-syarat di atas adalah suku bunga PUAB.

Secara visual, suku bunga PUAB (rata-rata seluruh jangka waktu 1 s.d. 90 hari)tampaknya menunjukkan pergerakan yang searah dengan suku bunga deposito berjangka(Grafik 6 dan 7). Perkembangan yang searah tersebut juga terjadi antara suku bunga PUABdengan suku bunga kredit baik KMK maupun KI (Grafik 8).

4

7

10

13

16

19

22

25

28

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10

Depos i to 3 B ln

Depos i to 1

PUAB

1989 1990 1997199319921991 1994 1995 1996

Grafik 6: Suku Bunga Dep. 1 Bulan , Dep. 3 Bulan, dan PUAB

4

7

10

13

16

19

22

25

28

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10

Deposito 12 BlnDeposito 6 Bln

PUAB

1989 1990 1997199319921991 1994 1995 1996

Graf ik 7: Suku Bunga Dep. 6 Bulan, Dep. 12 Bulan, dan PUAB

39Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

Untuk memperoleh indikasi arah hubungan antara suku bunga PUAB dengan sukubunga deposito, kredit modal kerja, dan kredit investasi, telah dilakukan pengujian Grangeratas variabel-variabel tersebut. Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa suku bunga PUABmempunyai hubungan yang searah dengan suku bunga deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan,dan kredit investasi (KI). Sementara itu, terdapat hubungan dua arah antara suku bungaPUAB dan suku bunga kredit modal kerja (KMK)

Tabel 3Hasil Tes Kausalitas Granger: Suku Bunga PUAB, Deposito, KMK, dan KI

Hipotesis F Stat. Prob.

PUAB ⇒ Dep.1 8,25 0,00

Dep.1 ⇒ PUAB 1,23 0,30

PUAB ⇒ Dep.3 3,52 0,03

Dep.3 ⇒ PUAB 1,09 0,34

PUAB ⇒ Dep.6 7,65 0,00

Dep.6 ⇒ PUAB 1,86 0,16

PUAB ⇒ Dep.12 0,12 0,89

Dep.12 ⇒ PUAB 0,46 0,63

PUAB ⇒ KI 4,06 0,00

KI ⇒ PUAB 0,42 0,83

PUAB ⇒ K M K 15,74 0,00

K M K ⇒ PUAB 12,19 0,00

Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk f i rst d i fference.

Untuk lebih memahami mekanisme transmisi suku bunga PUAB ke suku bungadeposito perlu dikembangkan suatu model suku bunga. Untuk suatu perekonomian yang

4

7

10

13

16

19

22

25

28

31

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7

KI

KMK

PUAB

1989 1990 1997199319921991 1994 1995 1996

Grafik 8: Suku Bunga Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi , dan PUAB

40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

terbuka maka suku bunga pasar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal daneksternal (Edward, et.al.,1985). Hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:

i = ail + (1-a) i

d

i = suku bunga pasaril

= suku bunga yang ditentukan oleh faktor eksternalid

= suku bunga yang ditentukan oleh faktor internal

Secara umum ada dua cara dalam merumuskan model penentuan suku bunga yangdipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu uncovered interest parity (UIP) dan covered interestparity (CIP).

Model UIP dapat diformulasikan sebagai berikut:

i = i * + e

Sedangkan model CIP:

i = i* + e + rp

dimana:

I* = suku bunga di luar negerie = ekspektasi depresiasir

p= premi resiko

Dengan dibukanya kisaran nilai tukar intervensi sejak 14 Agustus 1997 maka faktor resikoperubahan nilai tukar menjadi sangat penting. Sehingga model CIP dapat diubah menjadi:

i = i * + fd , dimana f

d = premi forward.

Formula suku bunga paritas di atas dapat dikembangkan untuk mengetahui prosestransmisi perubahan suku bunga PUAB ke suku bunga pasar berjangka menengah danpanjang. Model pengembangan tersebut sebagai berikut:

R puab = a + b SBI/SBPU

+ e . ................................................................ (1)

interest rate = a + b PUAB

+ e 11 ................................................................. (2)

Jika proses transmisi berlangsung sangat cepat dan komplet maka b akan mendekati 1.Akan tetapi untuk suku bunga yang berjangka relatif lebih panjang proses transmisiberlangsung lebih lambat sehingga perlu ada faktor l ag.

interest ratet = a + Sg

i DPUAB

+ Sl

i Dinterest rate

t-i + b PUAB + et . ........... (3)

Faktor yang mempengaruhi cepat/lambatnya proses transmisi antara lain adalah strukturdari simpanan masyarakat di bank dan bunganya, tingkat resiko dari pinjaman yangdiberikan bank, dan tingkat persaingan bank.

Dengan anggapan bahwa suku bunga pasar, misal deposito, tidak hanya ditentukanoleh perkembangan suku bunga deposito itu sendiri dari waktu-waktu sebelumnya tetapi

11 Diadaptasi dari Lowe, Philip, The link between the cash rate and market interest rate, RBA, p. 4-5

41Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

juga merupakan respons dari perubahan suku bunga luar negeri dan ekspektasi depresiasi,diperoleh model suku bunga sbb:

interest ratet = a

1 + Sg

i D PUAB

+ a

2 il

t + b PUAB . ....................................... (4)

dimana il = suku bunga libor + ekspektasi depresiasi. 12

b = long-run response dari perubahan interest rate terhadap perubahan padasukubunga operating target.

Atas dasar model di atas, dilakukan pengetesan untuk melihat kecepatan transmisidan kekuatan pengaruh perubahan suku bunga PUAB (Lihat Tabel 4). Dengan melakukansedikit transformasi atas hasil persamaan regresi tersebut, dapat dihitung besarnya koefisienb, yaitu 0,84. Angka koefisien b yang cukup besar tersebut menunjukkan bahwa prosestransmisi suku bunga PUAB ke suku bunga deposito 1 bulan berlangsung cukup cepat.

Tabel 4

LS // Dependent Variable is DDEP1Sample: 1992:04 1997:07Included observations: 64 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error T-Statistic Prob.

C 0,6888 0,2344 2,9380 0,0049

PUAB(-1) 0,1151 0,0341 3,3698 0,0014

D(PUAB,2) 0,1770 0,0819 2,1594 0,0354

D(PUAB,3) -0,1167 0,0565 -2,0682 0,0435

DPUAB(-2) 0,1784 0,0756 2,3613 0,0219

DPUAB(-5) 0,0763 0,0384 1,9868 0,0521

DEP1(-1) -0,1370 0,0306 -4,4734 0,0000

DER(-1) 0,0002 0,0001 3,3592 0,0015

DDEP1(-2) 0,1481 0,0951 1,5575 0,1253

DDEP1(-4) 0,1781 0,0982 1,8133 0,0755

DLIB1(-2) 0,1587 0,1365 1,1625 0,2502

R-squared 0,6984 Mean dependent var. -0,0763

Adjusted R-squared 0,6415 S.D. dependent var. 0,4449

S.E. of regression 0,2664 F-statistic 12,2755

DW-stat 1,8709 Prob(F-statistic) 0,0000

12 Pada dasarnya ada beberapa pendekatan untuk menghitung ekspektasi depresiasi, antara lain pendekatan rational ex-pectation, adaptive expectation dan bisa juga menggunakan penyimpangan antara nilai tukar PPP dengan nilai tukaraktual. Akan tetapi dalam makalah ini diasumsikan bahwa nilai aktual sama besarnya dengan nilai ekspektasinya.Untuk masa yang akan datang, peranan ekspektasi nilai tukar ini semakin penting sehingga perlu pengkajian yang lebihmendalam.

42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Hubungan antara Sasaran Operasional dan Instrumen Kebijakan Moneter

Langkah berikutnya adalah mencari instrumen kebijakan moneter yang mampumempengaruhi pergerakan sasaran operasional. Secara visual baik suku bunga SBI maupunSBPU memiliki pergerakan yang searah dengan suku bunga PUAB (Grafik 9). SBI yangberjangka waktu 7 hari relatif lebih dekat daripada SBI yang berjangka waktu 1 bulan.Perkembangan suku bunga SBPU juga terlihat searah dengan suku bunga PUAB sampaiperiode 1994. Setelah itu, suku bunga SBPU relatif konstan (Grafik 10).

Hasil uji kausalitas Granger antara suku bunga PUAB, suku bunga SBI 7 hari dan 1bulan, dan suku bunga SBPU 7 hari dan 1 bulan memberikan hasil-hasil berikut (lihatTabel 5):

• Suku bunga SBI 7 hari maupun yang berjangka waktu 1 bulan tidak mempunyaihubungan baik searah maupun dua arah dengan suku bunga PUAB. Berarti suku bungaPUAB tidak ditentukan oleh perubahan suku bunga SBI dan begitu juga suku bunga SBItidak dipengaruhi oleh suku bunga PUAB.

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7

Graf ik 9 : Suku Bunga SBI 7 Hari, SBI 1 Bulan, dan PUAB

1990 1993 19971989 1991 19941992 19961995

PUAB

SBI 7 hr.

SBI 1 bl.

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7

Graf ik 10: Suku Bunga SBPU 7 Hari, SBPU 1 Bulan, dan PUAB

1990 1993 19971989 1991 19941992 19961995

PUAB

SBPU 7 hr.

SBPU 1 bl.

43Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

• Akan tetapi suku bunga SBPU 7 hari mempunyai hubungan kausalitas yang bersifatdua arah dengan suku bunga PUAB. Dengan perkataan lain, suku bunga SBPU 7 harimempengaruhi suku bunga PUAB dan sebaliknya suku bunga PUAB mempengaruhisuku bunga SBPU 7 hari.

Tabel 5Uji Kausalitas Granger: Suku Bunga PUAB, SBI, dan SBPU

Hipotesis F Stat. Prob.

SBI 1 ⇒ PUAB 0,41 0,66

PUAB ⇒ SBI 1 0,81 0,45

SBI 7 ⇒ PUAB 1,60 0,21

PUAB ⇒ SBI 7 0,53 0,59

SBPU 1 ⇒ PUAB 0,42 0,66

PUAB ⇒ SBPU 1 12,42 0,00

SBPU 7 ⇒ PUAB 28,83 0,00

PUAB ⇒ SBPU 7 4,86 0,01

Catatan: Masing-masing variabel menggunakan bentuk f i rst d i fference.

Kenapa suku bunga PUAB lebih dekat hubungannya dengan suku bunga SBPUdaripada dengan suku bunga SBI? Salah satu kemungkinan alasannya adalah instrumenSBPU digunakan oleh bank-bank untuk mencari dana sehingga suku bunga SBPU lebihmencerminkan harga dari kelangkaan dana. Alasan lain terkait dengan adanya perbedaanmekanisme lelang antara kedua instrumen OPT tersebut.

Sejak April 1993 sistem yang diterapkan untuk lelang SBI adalah Stop Out Rate (SOR)atau sistem target kuantitas. Selain penjualan SBI secara lelang, Bank Indonesia jugamelakukan penjualan SBI secara intervensi. Dalam intervensi tingkat diskonto terlebihdahulu ditetapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan tingkat bunga di pasar yang bisa beradadi atas atau di bawah suku bunga SBI lelang. Ada kemungkinan bahwa suku bunga SBIintervensi juga mempunyai hubungan yang erat dengan suku bunga PUAB karenapenentuan suku bunga SBI intervensi lebih mengarah ke tingkat harga dana di pasardibandingkan dengan suku bunga SBI lelang. Sementara itu, lelang SBPU menganut sistemCut Off Rate (COR) atau sistem target suku bunga.

Konsep Pengendalian Moneter Dengan Menggunakan Suku BungaSebagai Sasaran Operasional Untuk Indonesia

Penggunaan Sasaran Akhir Tunggal

Kebijakan moneter di Indonesia mempunyai sasaran ganda, yaitu: (1) pertumbuhanekonomi yang tinggi, (2) penyediaan lapangan kerja yang cukup, (3) laju inflasi yang rendah

44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

dan (4) neraca pembayaran yang mantap. Dalam pelaksanaannya sulit bagi bank sentraluntuk mencapai seluruh sasaran tersebut dalam waktu yang sama karena adanya “ con-flicting target” antara satu sasaran dengan sasaran lainnya.

Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter perlu kiranya dipertimbangkanpenggunaan sasaran akhir tunggal. Kalau pun sasaran ganda masih dipertahankan makaperlu urutan prioritas yang jelas dan tegas, misalnya dengan mendahulukan pencapaiansasaran laju inflasi yang rendah daripada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Banyak negaratelah menggunakan sasaran tunggal dalam kebijakan moneternya seperti Australia, SelandiaBaru, Kanada, dan sebagian besar negara-negara di Eropa. Stanley Fischer (1994), DeputyManaging Director IMF, pernah menyatakan bahwa pengendalian inflasi perlu menjadisasaran utama kebijakan moneter bank sentral mana pun di dunia. Hal ini didasarkanpada pertimbangan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapatmempengaruhi laju inflasi sedangkan pertumbuhan ekonomi cenderung mengikutipertumbuhan naturalnya (Guitan,1994a). Selain itu, pencapaian sasaran tunggal tidak sajadapat menghilangkan trade-off antara sasaran-sasaran yang hendak dicapai tapi juga dapatmeningkatkan accountability dan credibility bank sentral. 13

Mekanisme Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional

Dengan mengadopsi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Australia danSelandia Baru yang disesuaikan dengan instrumen-instrumen pasar keuangan yang tersediadi Indonesia, berikut ini adalah gambaran mekanisme pengendalian moneter melalui sukubunga sebagai sasaran operasional yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia.

Dari skema tersebut terlihat bahwa untuk mencapai sasaran akhir berupapengendalian laju inflasi, Bank Indonesia menggunakan suku bunga jangka pendek, yaitusuku bunga PUAB, sebagai sasaran operasional. Untuk mengendalikan suku bunga PUAB,instrumen utama yang dapat digunakan adalah operasi pasar terbuka (OPT) melaluikegiatan jual/beli SBI/SBPU. Perubahan suku bunga SBI/SBPU akan ditransmisikan kesuku bunga PUAB untuk selanjutnya diteruskan ke suku bunga deposito dan nilai tukar.

SBI-SBPUrate

Excessreserve

P U A BSuku Bunga Dep.dan Nilai Tukar GDP

GDP> Poten-sial out put

Inflasimeningkat

13 Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel:Suatu pemikiran untuk penerapannya diIndonesia, SESPIBI, Nov. 1997

45Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

Nilai tukar rupiah akan dipengaruhi oleh suku bunga PUAB dengan asumsi Indonesiamempertahankan sistem nilai tukar mengambang. Kedua variabel tersebut selanjutnyaakan ditransmisikan ke sektor riil melalui pengaruhnya terhadap tingkat output nasional.Perbedaan antara output aktual dengan output potensial akan mempengaruhi laju inflasi.

Operasi Pasar Terbuka (OPT) sebagai Instrumen Utama Pengendalian Moneter

Untuk mencapai sasaran-sasaran moneter, sejak tahun 1984 Bank Indonesiamenggunakan empat instrumen pokok, yaitu penentuan rasio cadangan wajib bankterhadap dana pihak ketiga ( reserve requirement), operasi pasar terbuka (OPT), fasilitasdiskonto, dan himbauan ( moral suasion). Dari keempat kebijakan tersebut yang palingfleksibel untuk digunakan pada situasi normal adalah OPT. Pada saat ini instrumen OPTyang dipakai oleh Bank Indonesia adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat BerhargaPasar Uang (SBPU).

Dalam pengendalian moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran, OPTakan menjadi instrumen andalan. Akan tetapi “jiwa” dari penggunaan SBI dan SBPUberbeda dari pengendalian secara kuantitas. Transaksi jual beli SBI dan SBPU harus lebihdiarahkan untuk mempengaruhi suku bunga di pasar uang daripada untuk mencapaisasaran besaran-besaran moneter tertentu.

Esensi penerapan sasaran suku bunga dalam konteks mekanisme pasar adalah banksentral mengendalikan ‘harga’ (suku bunga) dari dana kliring antarbank. Persyaratanbekerjanya sistem tersebut adalah bank-bank memiliki permintaan akan dana kliringantarbank yang stabil dan bank sentral mampu mengendalikan suplai dana kliringantarbank tersebut. (Lihat Grenville & Stebbing, p.9)

Elemen pertama sistem pengendalian moneter atas dasar mekanisme pasar adalahpermintaan akan dana kliring antarbank:

• Permintaan akan dana kliring antarbank akan selalu ada sepanjang bank sentralmewajibkan bank-bank komersial untuk menyelesaikan hutang antarmereka melaluirekening mereka di bank sentral.

• Hutang antarbank terutama terjadi karena partisipasi bank-bank di dalam sistempembayaran. Oleh karena itu, kinerja sistem pembayaran menentukan keberadaan danperkembangan pasar uang.

• Karena bank sentral melaksanakan OPT melalui pasar uang maka efektivitas OPTtergantung pada kinerja sistem pembayaran.

• Permintaan akan dana kliring antarbank ( demand for excess reserves) tergantung padapola transaksi bank-bank, bukan pada ukuran neraca bank-bank. Bank-bank yang lebihbanyak melayani rumah tangga-rumah tangga memiliki kebutuhan akan dana kliringantarbank yang lebih kecil daripada bank-bank yang lebih banyak melayani perusahaan-perusahaan.

Elemen kedua adalah kemampuan bank sentral untuk mengendalikan suplai danakliring antarbank. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa terdapat dua halyang harus dilakukan agar bank sentral mampu mengendalikan neracanya secara efektif:

46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

• Anggaran pemerintah harus “ fully funded” dalam arti setiap kekurangan dana anggarandibiayai melalui penjualan surat berharga pemerintah kepada sektor swasta. Setiapkenaikan uang primer yang berasal dari pengeluaran bersih bersih pemerintah dan suratberharga pemerintah yang jatuh tempo harus diserap kembali dengan menerbitkan suratberharga baru. Inti dari persyaratan ini adalah bahwa adanya pemisahan antaramanajemen moneter (pengendalian dana di pasar keuangan) dan manajemen hutang(pengendalian sumber pembiayaan anggaran pemerintah). Selama ini saldo rekeningpemerintah baik di BI maupun di bank-bank selalu positif. Agar saldo tersebut dapatdikendalikan sekaligus menambah instrumen di pasar uang, dapat dilakukan sekuritisasisaldo positif rekening pemerintah dan menggunakannya sebagai instrumen OPT.

• Nilai tukar harus ditentukan oleh pasar sehingga bank sentral tidak lagi harusmenyeimbangkan pasar valas melalui jual/beli valas. Secara teoritis, nilai tukar yangmengambang bukan prasyarat utama dalam mengisolasi neraca bank sentral dari faktor-faktor eksternal karena hal tersebut dapat dicapai apabila otoritas moneter mampumenyesuaikan nilai tukar sehingga selalu terjadi keseimbangan di pasar valas atau apabilapemerintah mampu mensterilisasi dampak arus keluar masuk dana dari luar negeri. Namun,pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa kedua hal tersebut sulit dicapai.

Satu prasyarat bagi berjalannya sistem pasar adalah adanya sistem pengawasankehati-hatian yang baik. Meskipun pasar telah dideregulasi, “ rules of the game” tetapdiperlukan agar pasar bekerja secara teratur.

Perlu diingat bahwa adanya segmentasi di pasar uang antarbank membuat sukubunga PUAB tidak sepenuhnya mencerminkan kekuatan permintaan dan penawaran dipasar. Akan tetapi terus berlanjutnya reformasi keuangan dan perbankan diharapkan akanmengurangi segmentasi pasar tersebut.

Penentuan Suku Bunga dalam OPT

Apabila suku bunga dijadikan sasaran operasional dalam pengendalian monetermaka suku bunga nominal akan diarahkan sedemikian rupa sehingga dicapai suku bunganetral. Suku bunga netral adalah suatu tingkat suku bunga di mana variabel-variabel utamaseperti inflasi dan tingkat produksi berada pada tingkat yang diinginkan. Untuk itu, adabeberapa “ simple rule” untuk menentukan suku bunga operating target : 14

- nominal income level rule, it = Φ + p

t -1 + g (py

t -1 - pyT

t -1);

- nominal income growth rule, it = Φ + p

t -1 + g (Dpy

t -1 - D py T

t -1);

- pure price rule, it = Φ + p

t -1 + g (p

t -1 - p T

t -1);

- Taylor rule, it = Φ + p

t -1 + g

1 (p

t -1 - p T) + g

2 (y

t -1 - Ω

t -1);

- Inflation-only rule, it = Φ + p

t -1 + g

1 (p

t -1 - p T);

- change rule, it = i

t-1 + p

t -1 + g

1 (p

t -1 - p T) + g

2 (y

t -1 - Ω

t -1); dan

- constant real interest rate rule, it = c + p

t -1,

dimana:it

= nominal interest rateΦ = suku bunga riil netral

14 de Brouwer, Gordon and James O’Regan , Evaluataing Simple Monetaray-Policy Rules for Australia, p

47Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

p = tingkat laju inflasipy = nominal incomesuperscript T = targetp = tingkat hargay = income riilΩ = output potensialc = suku bunga riil konstan yang tidak dispesifikasig = parameter reaksi

“Simple Rule” merupakan reaction function dimana kebijakan akan berubah sebagairespons terhadap perubahan pada variabel utama. Metode ini tidak seperti “Friedman’sconstant growth rate” karena penentuan suku bunga di sini lebih diarahkan sebagaipegangan pengambil kebijakan dalam mengimplementasikan suku bunga sebagai sasaranoperasional.

Model (r ule) mana yang akan dipakai? Untuk itu perlu dikaji r ule yang paling efisiendalam pencapaian target. Efisiensi diartikan sebagai makin rendahnya fluktuasi tingkatinflasi dan output gap. Untuk itu, penentuan suku bunga nominal yang baik antara lainmemperhatikan sasaran laju inflasi dan juga output gap karena output gap diyakini sebagaipenyebab dari munculnya inflasi. Untuk saat ini, Taylor rule dianggap metode yang efisien. 15

Pada Taylor rule, kebijakan moneter akan mengetat apabila inflasi di atas yang ditargetkandan tingkat produksi berada di atas tingkat produksi potensial. Dapat dinyatakan bahwasejak pertengahan 1980-an penggunaan Taylor rule di beberapa negara, antara lain: AmerikaSerikat (Taylor, 1993, 1994), Inggris (Stuart, 1996), Jerman dan Jepang (Davies et al., 1996),menunjukkan hasil yang efisien. 16

Oleh karena Taylor rule merupakan suatu reaction function maka unsur discretionarydalam pengambilan keputusan masih cukup dominan. Sebagai konsekuensinya, efektivitaskebijakan moneter yang menggunakan r ule ini sangat tergantung kepada kredibilitas banksentral.

Satu isu penting dalam menyusun sistem operasional bagi penerapan kebijakanmoneter adalah derajat fleksibilitas suku bunga instrumen. Ada dua pilihan yaitu penetapansasaran suku bunga harian yang dikendalikan secara ketat dan penetapan suku bungayang masih memberikan sedikit fleksibilitas harian.

• Keuntungan penetapan suku bunga harian secara ketat:- Memberikan sinyal yang jelas kepada pasar mengenai arah kebijakan moneter.- Meningkatkan akuntabilitas bank sentral di mata masyarakat.

• Keuntungan adanya fleksibilitas suku bunga harian adalah:- Dapat mendepolitisasi proses penentuan suku bunga dalam arti politikus tidak dapat

memaksakan kehendaknya kepada bank sentral untuk mengubah-ubah suku bunga.

15 Penjelasan lebih detail lihat Gordon de Brower and James O’Regan dalam Evaluating Simple Monetary-Policy Rulesfor Australia dan Laurence Ball dalam Efficient rules for monetary policy.

16 Ball, Laurence, Efficient rules for monetary policy, p.7

48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

- Mengurangi keharusan untuk menjelaskan setiap perubahan kecil suku bunga yangterjadi di pasar. Kondisi ini terutama membantu mengurangi beban moral yang harusditanggung bank sentral ketika harus menaikkan suku bunga.

- Memberikan kesempatan kepada pasar untuk memberikan umpan balik atas kondisilikuiditas pasar. Apabila otoritas menetapkan suku bunga secara harian maka otoritastidak akan mendapatkan umpan balik dari pasar.

Indikator Kondisi Moneter (IKM) Indonesia

Di dalam kerangka perekonomian Indonesia yang semakin terbuka dan kebijakannilai tukar yang semakin fleksibel maka keterkaitan antara suku bunga domestik dan nilaitukar menjadi semakin erat. Tekanan-tekanan eksternal maupun internal tidak lagi hanyaditransmisikan melalui suku bunga tapi juga melalui nilai tukar. Oleh karena itu, perludikembangkan suatu formula sasaran antara yang mampu menangkap proses interaksiantara kedua variabel tersebut. Satu alternatif formula yang telah digunakan di beberapanegara adalah indikator kondisi moneter (IKM).

IKM adalah indikator yang memadukan kadar pengaruh moneter yang berasal darisuku bunga dan nilai tukar terhadap permintaan agregat. Rasio IKM menunjukkanperbandingan kekuatan antara suku bunga dan nilai tukar dalam mempengaruhipermintaan agregat. Di Selandia Baru, rasio IKM adalah ½ yang menunjukkan bahwapengaruh 1% kenaikan suku bunga sama dengan pengaruh 2% apresiasi nilai tukar terhadappermintaan agregat (Huxford dan Reddell, 1996). Dengan kata lain, agar permintaan agregattidak mengalami perubahan maka kenaikan suku bunga sebesar 1% harus diimbangi dengandepresiasi nilai tukar sebesar 2%. 17 Di sini terlihat bahwa di Selandia Baru peranan sukubunga lebih besar dibandingkan peranan nilai tukar dalam mempengaruhi permintaanagregat.

IKM Indonesia dapat diperoleh melalui penaksiran yang didasarkan pada modelpermintaan agregat berikut:

LGDP = b0 + b

1 r + b

2 NT + b

3 TOT

LGDP = Produk Domestik Bruto riil (dalam log)r = suku bunga riilN T = perubahan REER (basket)TOT = perubahan terms of trade

Atas dasar model tersebut dengan menggunakan data sampel 1989.1 s.d 1997.1diperoleh rasio antara koefisien suku bunga deposito satu bulan riil dengan koefisien nilaitukar sebesar 3,75 (dan sebesar 4,13 jika menggunakan rasio antara deposito tiga bulandan nilai tukar). Dengan rasio IKM sebesar 3,75, agar permintaan agregat tidak mengalamiperubahan maka setiap kenaikan suku bunga sebesar 1% perlu diimbangi dengan apresiasinilai tukar sebesar 0,27%. Hal ini menunjukkan bahwa peranan nilai tukar lebih pentingdaripada suku bunga dalam mempengaruhi permintaan agregat.

17 Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran Untuk Penerapannya diIndonesia, p. 14

49Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

Apabila sampel dibatasi sampai dengan tahun 1995, diperoleh rasio IKM sebesar1,34 jika menggunakan suku bunga deposito satu bulan dan sebesar 1,51 jika menggunakansuku bunga deposito 3 bulan. Berdasarkan hasil pengujian ini tampak ada suatu perubahandalam pergerakan pengaruh antara suku bunga dan nilai tukar dalam menjelaskanpertumbuhan ekonomi, terutama setelah tahun 1995. Sekalipun demikian, nilai tukar tetaplebih dominan pengaruhnya terhadap permintaan agregat daripada pengaruh suku bunga.

Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengendalian moneterdengan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional sebaiknya tetapmemperhatikan gerakan nilai tukar. IKM dapat dijadikan pedoman sasaran antara yangbersifat tidak formal bagi bank sentral dalam pengendalian moneter.

Untuk menghitung indeks IKM nominal dapat dilakukan sebagai berikut 18 :

IKM nominal = (rt-r

b) + 3.75 * [logTWI

t-logTWI

b) * 100]*100 +1000

Sejalan dengan hal tersebut, maka dapat pula dihitung IKM riil sebagai berikut:IKM riil = (riil r

t- riil r

b) + 3.75 * [log

n(riil TWI

t) - log

n(riil TWI

b) * 100]*100 +1000

rt

= suku bunga nominal periode tr

b= suku bunga nominal periode tahun dasar

TWIt

= trade weighted index nilai tukar nominal periode tTWI

b= trade weighted index nilai tukar nominal periode tahun dasar

Angka 1000 menunjukkan arbitrary fixed base.

Dengan menggunakan arbitrary fixed base sebesar 100 dan angka dasar pada bulanMei 1995 serta berdasarkan perumusan model di atas maka dapat dilakukan perhitunganIndeks IKM baik nominal maupun indeks riil. Penggunaan IKM nominal akan cenderungbias dalam memperhitungkan dampak inflasi dalam jangka panjang. Akan tetapi dalamjangka pendek IKM nominal dapat digunakan sebagai pendekatan dari IKM riil karenaperbedaan antara ekspektasi dan aktual inflasi diasumsikan bersifat gradual. Sedangkanuntuk melihat pengaruh IKM terhadap perekonomian riil dalam jangka lebih panjangdiperlukan IKM riil. Dengan menggunakan batas bawah dan batas atas masing-masingsebesar 5% maka perkembangan dari indeks IKM nominal maupun riil dapat digambarkansebagai berikut:

Indeks Indikator K ondisi M oneter N om in a

8 0

8 5

9 0

9 5

1 0 0

1 0 5

1 1 0

1 1 5

1 5 0

1 4 7 1 0 1 4 7 1 0 1 4 7 1 0 1 4 7 1 0 1 4 7 1 0 1 4 7 1 0 1 4 7 1 0 1 4 7 1 0 1 4 7

I K M d g n D e p .1 b l n . I K M d g n D e p .3 b l n .

1 9 8 9 1 9 9 71 9 9 61 9 9 51 9 9 41 9 9 31 9 9 21 9 9 11 9 9 0

* ) N i l a i t u k a r y g d i p a k a i d a l a m p e r h i t u n g a n a d a l a h R E E R N o m i n a l ( b a

18 RBNZ, How to construct and interpret MCI indices, Monetary Policy Statement, June 1997

50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Bila indeks berada di atas batas atas berarti perlu dilakukan kebijakan pelonggaranmoneter sedangkan bila indeks berada di posisi di bawah batas bawah maka perlu kebijakanpengetatan moneter.

Kesimpulan dan Saran

Hasil penjajakan terhadap kemungkinan penerapan sistem pengendalian monetermelalui suku bunga sebagai sasaran operasional menemukan adanya hubungan-hubungankausalitas yang signifikan antara suku bunga (deposito satu bulan) dan sasaran akhir (lajuinflasi) serta antara instrumen kebijakan moneter (suku bunga SBPU) dan suku bunga(deposito satu bulan).

Agar efektif, pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasionalhendaknya memperhatikan hal-hal berikut:

Indeks Indikator Kondisi Mo n

75

80

85

90

95

100

105

110

115

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7

IKM dgn. Dep 1 IKM dgn. Dep 3

1989 19971996199519941993199219911990

*) Nilai tukar yg dipakai dalam perhitungan adalah REER Riil ( base =Mei 1995)

Indeks Indikator Kondisi Moneter N

85

90

95

100

105

110

115

120

125

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7

IKM dgn. Dep 1 bln. IKM dgn. Dep 3 bln.

1989 19971996199519941993199219911990*) kurs yg dipakai dalam perhitungan adalah kurs Rp/USD ( base =Des 1988)

51Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

• Sasaran akhir kebijakan moneter hendaknya hanya diprioritaskan kepada sasaran tunggallaju inflasi, khususnya laju inflasi underlying.

• Sistem lelang SBI sebaiknya menggunakan sistem COR yang sejalan dengan “jiwa”penggunaan suku bunga sebagai sasaran operasional.

• Mengingat belum adanya acuan suku bunga jangka panjang di Indonesia, perludiperkenalkan instrumen semacam obligasi pemerintah ( treasury bill) .

Untuk semakin memperkuat landasan bagi penerapan sistem pengendalian monetermenggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional, perlu dilakukan penelitian-penelitian lanjutan mengenai:

• Estimasi permintaan agregat dan penawaran agregat serta output gap yang lebih akurat.

• Penghitungan tingkat suku bunga netral untuk Indonesia.

• Pengujian model IKM yang lebih akurat dengan memperhitungkan sistem nilai tukarmengambang yang kini diterapkan di Indonesia.

• Pengujian ketepatan policy mix dan policy assignment di antara tiga kebijakan ekonomimakro, yaitu kebijakan moneter, fiskal, dan nilai tukar.

52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Daftar Pustaka

Boediono, Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter, Disampaikan pada Kuliah KhususSESPIBI, 24 September 1996.

Debelle, Guy, dan Glenns Stevens, Monetary Policy Goals for Inflation in Australia, Re-serve Bank of Australia Discussion Paper, 9503, 1995.

De Brouwer, Gordon, dan J. Oregan, Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Aus-tral ia, 1997.

De Brouwer, Gordon, Irene Ng, dan Robert Subbaraman, The Demand for Money inAustralia: New Test on an Old Topic, Reserve Bank of Australia Reserach Discussion Paper,9314, 1993.

Eckhold Kelly, Monetary Policy Theory and Practice in New Zealand, RBNZ, 1997.

Fahrer, Jerome, dan Lynne-Elle Shori, An Empericel Model of Australian Interest Rate,Exchange Rates and Monetary Policy, Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper,9009, 1990.

Grenville, S.A, dan P.W. Stebbing, Monetary Management: the Australian Experience,International Coference on Monetary Management, 1994.

Horton, Tracey, dan Jenny Wilkinson, An Analysis of the Determinants of Imports, Re-serve Bank of Australia Research Discussion Paper -8910, 1989.

MacFarlane, Ian, dan Warren Tease, Capital flows and Exchange Rate Determination,Reserve Bank of Australia Research Discussion Paper, 8908, 1989.

Morris, Dirk, Monetary Transmission in a Dergulated Financial System, Reserve Bank ofAustralia Research Discussion Paper, 8811, 1988.

RBNZ, Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-95, 1995.

______________, Summary Indicators of Monetary Condition, 1997.

Roger, Scott, An Illustarated Guide to the Role of Underlying Inflation in Monetary Policy,Reserve Bank of New Zealand Bulletin, Vo.57(3), h.234-242, 1994.

Sarwono, Hartadi A., Mencari Paradigma Baru Mekanisme Transmisi Sistem PengendalianMoneter: Suatu Studi Kemungkinan Penerapannya, Makalah SESPIBI XXI, 1996.

Stevens, Glenn, dan Jenny Wilkinson, The Monetary Policy Transmission Process inAustralia: What Do We know ?

Siklos, Pierre L., Searching for Improved Monetary Indicator for New Zealand, RBNZ Dis-cussion Paper Series - G96/1, 1996.

______________, The Demand for Money in New Zealand in Era of Institutional Change:Evidence from the 1981 - 1994 Period, RBNZ Discussion Paper Series - G95/3, 1995.

Warjiyo, Perry, Manajemen Moneter Dalam Sistim Nilai Tukar Fleksibel: Suatu PemikiranUntuk Penerapannya di Indonesia, SESPIBI XXII, November, 1997

53Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijaksanaan Moneter di Indonesia

Lampiran

Kerangka Kerja Tinbergen

Misalkan, hubungan antara kebijakan fiskal (G) dan kebijakan moneter (M) dalammempengaruhi pencapaian sasaran pengendalian tingkat produksi (Q) dan tingkat harga-harga (P) dapat dipresentasikan ke dalam sistem persamaan linear berikut:

Q = a1G + a

2M

P = b1G + b

2M

Koefisien-koefisien a1, a

2, b

1, dan b

2 mengukur pengaruh kuantitatif kebijakan fiskal

dan moneter terhadap produksi dan harga. Sistem persamaan tersebut dapat diubah ke dalamnotasi matriks berikut:

Q = a1 a

2 G

P = b1 b

2 M

Dengan menggunakan Metoda Kramer dapat dibuktikan bahwa untuk mencapai Q = Q*dan P = P* maka kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang harus diambil adalah:

(b2Q* - a

2P*) ( b

2P* - a

2Q*)

G = M = (a

1 b

2 - b

1 a

2) ( a

1 b

2 - b

1 a

2)

Penyebut dari kedua persamaan di atas tidak lain adalah koefisien determinasi matriksdi atas. Apabila koefisien determinasi suatu matriks sama dengan nol maka solusi keduapersamaan tidak dapat ditemukan kecuali salah satu sasaran dikorbankan. Koefisiendeterminasi yang sama dengan nol juga dapat diartikan bahwa terdapat hubungan kausalitasantara masing-masing sasaran. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:

Q = a1G + a

2M

P = gQ

Persamaan kedua menunjukkan tingkat harga sepenuhnya ditentukan oleh tingkat produksi.Dengan mensubstitusikan persamaan pertama ke dalam persamaan kedua akan diperoleh:

Q = a1G + a

2M

P = g a1G + g a

2M

Koefisien determinasi dari sistem persamaan di atas adalah:

g a1 a

2 - g a

1 a

2 = 0.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa apabila kebijakan moneter dan fiskal hanya dapatmempengaruhi laju inflasi secara tidak langsung melalui pengaruh kedua kebijakan tersebutterhadap tingkat produksi maka sasaran produksi dan laju inflasi tidak mungkin dapatdicapai secara bersamaan. Kalau pun koefisien determinasi tidak sama dengan nol namunmendekati nol maka pencapaian kedua sasaran secara bersama-sama hanya dapat terjadiapabila masing-masing instrumen kebijakan berada jauh di atas/bawah tingkat normalnya.

59Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

UNDERLYING INFLATION SEBAGAI INDIKATOR HARGAYANG RELEVAN DENGAN KEBIJAKAN MONETER:

Sebuah Tinjauan Untuk Indonesia

Wijoyo Santoso dan Reza Anglingkusumo *)

Untuk melihat keberhasilan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, indikator harga yang digunakan selamaini adalah indeks harga konsumen atau IHK karena indikator ini dapat tersedia lebih cepat dibandingkan indikator harga lainnyaseperti indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan PDB deflator. Walaupun IHK merupakan pilihan terbaik saat ini sebagaiindeks harga yang paling relevan untuk melihat efektivitas kebijakan moneter, namun IHK mengandung kelemahan yaitunoise yang dapat mengganggu judgement kebijakan moneter. Beberapa unsur noise dalam IHK tersebut adalah faktor-faktorseperti kenaikan biaya input produksi (misalnya melalui pass through depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga komoditi inputuntuk industri), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kenaikan biaya distribusi domestik (second stage pass through daridepresiasi nilai tukar), kebijakan fiskal, faktor non-ekonomi (misalnya, kerusuhan sosial, bencana banjir, gempa bumi, gejalaEl-Nino, dan kebakaran hutan), administered prices, dan ketidakseimbangan serta inefisiensi dalam struktur industri. Semuafaktor-faktor ini tidak memiliki relevansi dengan kebijakan moneter.

Oleh karena itu, telah dilakukan pengukuran underlying inflation yaitu laju inflasi yang diturunkan dari inflasi IHKdengan mengeluarkan unsur noise dalam keranjang IHK. Terdapat beberapa metode untuk membersihkan IHK dari faktor-faktor tersebut antara lain metode specific adjustment, adjustment by exclusion, dan pemangkasan (trimmed method). Denganmengeluarkan unsur noise dalam inflasi IHK tersebut, yang tersisa adalah laju inflasi yang lebih disebabkan oleh tekanankekuatan-kekuatan fundamental dari sisi permintaan seperti interaksi antara ekspektasi masyarakat, jumlah uang yang beredar,dan siklus penggunaan kapasitas produksi. Dengan demikian, underlying inflation dapat menjadi proxy untuk inflasi yangdisebabkan oleh sisi permintaan yang secara teoritis dekat dan relevan dengan kebijakan moneter. Dalam kaitannya denganpenetapan laju inflasi sebagai target tunggal kebijakan moneter (inflation targeting), underlying inflation dapat berperansebagai nominal anchor yang menjadi patokan bagi ekspektasi inflasi dan policy stance bank sentral yang kemudian diikuti olehdunia usaha. Oleh karena itu, sebagaimana di beberapa negara seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Kanada yangsudah menggunakan underlying inflation sebagai sasaran tunggal (single target), Bank Indonesia seharusnya menggunakanunderlying inflation sebagai indikator dalam rangka memonitor efektivitas kebijakan moneternya.

Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran pada pembaca mengenai konsep dan pengukuran underlying inflationserta implikasinya terhadap kebijakan moneter dan kaitannya dengan penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal kebijakanmoneter di Indonesia. Bagian pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang dilakukannya penelitian mengenaiunderlying inflation sebagai indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Bagian kedua akan menyediakan landasankonseptual penelitian indikator harga yang relevan dengan kebijakan moneter. Pada bagian ketiga akan diuraikan mengenaimetode-metode pengukuran underlying inflation. Di bagian keempat akan dipaparkan mengenai hasil-hasil dari penelitianindeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, khususnya yang berkaitan dengan underlying inflation. Selanjutnya dibagian kelima akan diulas mengenai berbagai pelajaran yang dapat ditarik dari eskalasi krisis moneter terhadap penggunaaninflasi IHK sebagai indikator harga untuk mengukur efektifitas kebijakan moneter. Akhirnya, bagian keenam akan menyimpulkantulisan ini sekaligus menyampaikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penggunaan underly-ing inflation dalam skim inflation targeting.

*) Wijoyo Santoso : Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, Email: [email protected] Angingkusumo : Asisten Peneliti Ekonomi, Bagian Studi Sektor Riil, UREM, BI, Email: [email protected]

Penulis mengucapkan terimakasih untuk diskusi dan komentar dari Hotbin Sigalingging, Kepala Bagian Studi SektorRiil, UREM-BI, dan Noor Yudanto, Peneliti Ekonomi Yunior, Bagian Studi Sektor Riil, UREM-BI.

60 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Pendahuluan

Seiring dengan semakin menyatunya perekonomian nasional ke dalam tatananekonomi dunia, maka iklim ketidakpastian yang menjadi ciri dalam dinamikaperekonomian global pun harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Iklim

ketidakpastian tersebut, terutama yang berkaitan dengan perubahan pada nilai tukarsebagian akan tercermin sebagai ketidakpastian perubahan harga-harga barang dalammasyarakat. Dalam jangka panjang, ketidakpastian harga akan menyulitkan pelakuekonomi domestik maupun internasional untuk melakukan perencanaan kegiatankonsumsi, produksi, dan distribusinya, sehingga dapat menghambat pertumbuhanekonomi.

Dari sisi domestik, laju inflasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang salingterkait yaitu ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi, jumlah likuiditas yang beredardalam perekonomian, tingkat penggunaan kapasitas usaha, dan faktor musiman. Dalamkaitannya dengan nilai tukar, tekanan domestik pada inflasi dapat pula disebabkan olehkenaikan biaya produksi dan distribusi domestik sebagai akibat dari depresiasi dan gejolakpada nilai tukar. Lebih dari itu, inefisiensi dan ketidakseimbangan pada struktur funda-mental mikro-ekonomi, khususnya di sektor-sektor yang erat kaitannya dengan produksidan distribusi, dapat memperdalam dan memperpanjang tekanan pada laju inflasi terutamajika terjadi gejolak berkelanjutan pada faktor eksternal (khususnya nilai tukar) 1 .

Semua hal diatas mencerminkan kompleksitas dalam pengendalian dan stabilisasilaju inflasi melalui kebijakan moneter yang menjadi tugas pokok Bank Indonesia. Inflasiternyata bukan semata-mata disebabkan oleh jumlah uang beredar sebagaimana yangditekankan oleh Nobelaurate Profesor Milton Friedman. Sehingga, secara teknis dalamhubungannya dengan kebijakan moneter, Bank Indonesia dituntut untuk mengidentifikasisuatu indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter, yaitu indeks harga yang dapatdikendalikan melalui pengelolaan jumlah uang yang beredar. Indeks harga tersebutselanjutnya menjadi suatu patokan (anchor) dalam implementasi kebijakan moneter.

Landasan Konseptual

Sebagaimana telah disinggung diatas, kompleksitas pengendalian inflasi telahmenyebabkan perlunya Bank Indonesia mengidentifikasi indikator harga yang relevandengan kebijakan moneter. Secara teknis hal ini berarti mencari suatu indeks harga yangperilakunya secara statistik mencerminkan policy stance Bank Indonesia mengenai jumlahlikuiditas moneter dalam perekonomian. Untuk itu, Bank Indonesia perlu untuk pertama-tama melakukan pembedahan terhadap beberapa indikator harga agregat seperti inflasiIHK dan IHPB menjadi beberapa kelompok, untuk diuji secara statistik keterkaitan perilakudinamis jangka pendek dan panjangnya (relevansinya) dengan kebijakan moneter. Olehkarena itu pada sub-pembahasan ini akan diuraikan mengenai landasan konseptual yangdigunakan dalam desain penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Secara statistik, dalam hubungannya dengan kebijakan moneter untuk

1 Kesimpulan dari pertemuan ESCAP ke-32 di Bangkok, Thailand misalnya menyebutkan bahwa pendalaman krisis diAsia, khususnya Indonesia, terutama disebabkan oleh struktur sektor riil yang tidak seimbang dan inefisien.

61Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

pengendalian dan stabilisasi laju inflasi, dapat dilakukan pemilahan terhadap indikatorinflasi agregat, seperti inflasi IHK dan IHPB, menjadi laju inflasi kelompok barang,misalnya kelompok makanan, sandang, perumahan, aneka barang, food & energy 2 , non-food & non-energy 3 , administered dan non-administered 4 , traded dan non-traded 5 , IHPBsektoral 6 , IHPB ekspor 7 , dan IHPB impor 8 . Dengan melakukan pemilahan-pemilahanseperti ini, maka dapat dilakukan pengujian statistik yang lebih mendetil dan terfokusmengenai kaitan antara kebijakan pengendalian uang beredar dengan laju inflasi. Karena,bisa jadi perilaku indeks harga secara agregat, misalnya inflasi IHPB agregat, tidakmencerminkan stance kebijakan moneter, tetapi beberapa komponen sektoralnya sepertiIHPB sektor industri, ekspor, dan pertanian mencerminkan.

Selanjutnya, khusus untuk laju inflasi IHK, pemilahan dapat pula dilakukan atassifat dari inflasi IHK, yaitu sifat permanen dan temporer. Secara lebih rinci, laju inflasiIHK yang bersifat permanen adalah laju inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya tekananpermintaan terhadap barang dan jasa (permintaan agregat) dalam perekonomian, sehinggawalaupun inflatoir dapat menambah pada pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangkapanjang. Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab perubahan laju inflasi yang bersifatpermanen tersebut adalah interaksi antara ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi,jumlah uang yang beredar dalam masyarakat, faktor siklus kegiatan usaha (misalnya tingkatpenggunaan kapasitas produksi dan tingkat akumulasi cadangan produksi atau inven-tory) , dan tekanan permintaan musiman (misalnya hari raya keagamaan, musim panen,dan dimulainya tahun ajaran baru).

Komponen laju inflasi yang bersifat temporer dilain pihak, adalah komponen lajuinflasi yang lebih disebabkan oleh adanya gangguan sesekali (one time shocks) pada lajuinflasi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gejolak sementara tadi adalahkenaikan biaya input produksi dan distribusi (misalnya melalui depresiasi nilai tukar dankenaikan harga komoditi input untuk industri), kenaikan biaya enerji dan transportasi,kebijakan fiskal, dan faktor non-ekonomi (seperti kerusuhan sosial, bencana banjir, gempabumi, dan kebakaran hutan). Sedikit catatan perlu disampaikan disini bahwa faktor-faktortersebut dapat menyebabkan tekanan inflatoir yang berkepanjangan jika terdapat strukturmikro fundamental yang tidak efisien dan tidak seimbang dalam perekonomian, khususnyastruktur disektor produksi dan distribusi.

Dalam hubungannya dengan kedua sifat dari inflasi IHK diatas, Bank Indonesiakemudian perlu untuk mengukur komposisi antara komponen laju inflasi yang bersifat

2 Laju inflasi food dan energy adalah laju inflasi barang-barang yang dikategorikan sebagai bahan pangan dan bahanbakar dalam keranjang IHK.

3 Laju inflasi non-food dan non-energy adalah laju inflasi barang-barang diluar bahan pangan dan bahan bakar.4 Laju inflasi administered adalah laju inflasi barang-barang yang harganya ditetapkan (dipengaruhi) oleh pemerintah

melalui subsidi (misalnya beras, gula pasir, dan minyak goreng), sedangkan non-administered adalah laju inflasi barang-barang yang harganya tidak ditetapkan (dipengaruhi) oleh pemerintah.

5 Laju inflasi traded adalah laju inflasi barang-barang yang diperdagangkan dengan luar negeri, sedangkan laju inflasinon-traded adalah laju inflasi barang-barang yang tidak diperdagangkan dengan luar negeri.

6 Laju inflasi IHPB sektoral adalah laju inflasi barang perdagangan besar menurut sektor usaha, misalnya pertanian,pengolahan, pertambangan, dan sebagainya.

7 Laju inflasi IHPB ekspor adalah laju inflasi barang perdagangan besar yang diekspor.8 Laju inflasi IHPB impor adalah laju inflasi barang perdagangan besar yang diimpor.

62 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

permanen yang disebabkan oleh tekanan permintaan agregat dalam perekonomian danyang bersifat temporer yang lebih disebabkan oleh one time events (gejolak temporer).Demikian halnya karena komponen laju inflasi yang permanen adalah komponen yangdisebabkan oleh interaksi beberapa faktor yang diantaranya adalah jumlah uang yangberedar dalam perekonomian. Dalam hal ini, Roger (1995) telah berargumen bahwa lajuinflasi yang permanen adalah laju inflasi yang relevan dengan kebijakan moneter. Duaalasan yang dikemukakan mengenai hal ini dirangkum oleh Claus (1997) yaitu: pertama,pada dasarnya pengendalian komponen laju inflasi yang temporer adalah diluarkemampuan otoritas moneter. Walaupun begitu, otoritas moneter dapat mengeluarkankebijakan untuk meredam efek lanjutan (second round effect) dari gejolak temporer tersebut,yang akan tercermin dalam laju inflasi jangka menengah (medium term inflation) atau under-lying inflation. Kedua, jika jelas bahwa gejolak inflasi lebih disebabkan oleh one-time events,maka semakin lemah argumen yang menyatakan bahwa perlu dikeluarkan kebijakanmoneter untuk meredam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja dalam jangkapendek guna menstabilkan gejolak pada inflasi.

Untuk mengukur laju inflasi yang bersifat permanen diatas, telah dilakukanpengukuran terhadap laju underlying inflation Indonesia. Underlying inflation adalah lajuinflasi yang mencerminkan kecenderungan fundamental pertumbuhan harga-harga agregatjangka menengah (medium term inflation). Underlying inflation berbeda dari laju inflasi aktualkarena didalam keranjang pembentuknya telah dikeluarkan unsur noise (laju inflasitemporer). Akibat dari dikeluarkannya unsur noise tersebut diperoleh suatu ukuran inflasiyang merupakan sinyal dari tekanan kekuatan-kekuatan yang lebih fundamental dalamperekonomian, seperti ekspektasi, jumlah uang beredar, siklus penggunaan kapasitasproduksi (output gap), dan faktor permintaan musiman. Selanjutnya, semua unsur daritekanan fundamental ini ekuivalen dengan tekanan permintaan agregat dalamperekonomian, sehingga underlying inflation dapat pula didefinisikan sebagai laju inflasidari sisi permintaan agregat.

Metodologi Pengukuran Underlying Inflation

Merujuk pada kajian-kajian akademis dan hasil studi banding di dua negara yaituAustralia dan Selandia Baru, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat duametode dalam pengukuran underlying inflation, yaitu metode judgemental dan non-judge-mental 9 . Pengukuran dengan metode judgemental adalah pengukuran dengan mengeluarkanbarang-barang dalam keranjang IHK yang inflasinya dinilai terlalu bergejolak ( volati le),dipengaruhi oleh faktor musim geografis (seasonal), dan dipengaruhi oleh kebijakanpemerintah. Dalam diskusi dikalangan akademis maupun praktisi, terdapat dua teknikpengukuran dengan metode judgemental , yaitu teknik specific adjustment dan teknik adjust-ment by exclusion. Sedangkan untuk teknik non-judgemental digunakan teknik pemangkasantrimmed method, yang pada hakikatnya adalah minimisasi pengaruh noise pada series IHKdengan menggunakan suatu nilai kritikal tertentu yang selanjutnya hasil ukuran tersebut

9 Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-1995. RBNZ, September10 Teknik ini lazim disebut sebagai limited influence estimator, dimana penilaian sepihak mengenai komponen mana yang

harus dibuang dari IHK diminimisasi dengan menganggap setiap angka ekstrem (transitory outliers) sebagai gangguan(noise).

63Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

diuji integritasnya secara statistik 10 .

Teknik specific adjustment merujuk pada teknik pengukuran dengan mengeluarkanangka pada komponen-komponen IHK yang besar perubahannya pada satu waktutertentu dinilai mengganggu judgement kebijakan moneter, dimana gangguan-gangguantersebut dapat bersumber dari perubahan r ate pajak terhadap harga barang maupunperubahan mendadak pada harga-harga bahan baku produksi (price shocks), harga enerjidan biaya transportasi, serta kenaikan harga karena kelangkaan pasokan (supply short-age). Secara umum metode ini dianggap cukup baik jika besaran (magnitude) dan rentangwaktu (timing) dari kejutan-kejutan diatas dapat diidentifikasi dengan informasi yangada. Masalah utama yang dihadapi jika underlying inflation diukur dengan teknik iniadalah adanya kesulitan untuk melakukan identifikasi sumber perubahan harga jika efekdari sumber perubahan tersebut bersifat tidak langsung. Sebagai contoh, besaran danwaktu dari perubahan harga barang-barang impor di dunia mungkin dengan mudahdapat diidentifikasi, akan tetapi besaran dan waktu dari kejadian tersebut hinggamempengaruhi harga-harga barang konsumsi didalam negeri masih perlu diidentifikasidan diestimasi lebih lanjut. Hal ini berakibat perlunya untuk melakukan estimasi besarnyapengaruh dari kenaikan harga impor tersebut ( pass-through) pada setiap komponenIHK yang dinilai akan terpengaruh.

Teknik kedua dalam metode judgemental adalah adjustment by exclusion. Teknik inimembuang komponen tertentu dari indeks harga agregat yang perilakunya dinilai berbedasecara mendasar dari kecenderungan umumnya. Dengan membuang komponen-komponentersebut, indeks yang dihasilkan dianggap sebagai indeks yang mencerminkan underlyinginflation. Berbeda dari teknik specific adjustment, adjustment by exclusion tidak menetralisirpengaruh sumber perubahan harga yang ekstrem secara kasus-per-kasus, akan tetapimenghapus satu komponen tertentu dari indeks harga agregat. Penghapusan terhadapseries komponen tersebut dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan penilaian terhadappencaran (frequency distribution) dari perubahan harga-harga. Dengan penilaian-penilaiantersebut dilakukan identifikasi secara sepihak terhadap tingkat gejolak dari suatukomponen. Jika komponen tersebut dinilai sangat bergejolak sepanjang satu periode tertentumaka komponen tersebut akan dikeluarkan dari keranjang IHK. Masalah utama yangdihadapi dalam pengukuran dengan teknik ini adalah adanya kesulitan untuk menentukantingkat gejolak, mengingat panjang pendeknya periode pengukuran akan mempengaruhipersepsi pengukur mengenai tingkat gejolak.

Disamping kedua teknik judgmental diatas, ukuran underlying inflation dapat puladiperoleh dengan menggunakan metode non-judgemental yaitu teknik pemangkasan(trimmed method). Dengan teknik ini dilakukan pemangkasan terhadap keranjang IHKsehingga diperoleh suatu angka inflasi yang relatif bersih dari noise yang mengganggujudgement kebijakan. Pemangkasan dilakukan dengan berbagai nilai kritikal pemangkasanuntuk memperoleh beberapa ukuran underlying inflation. Selanjutnya ukuran-ukurantersebut dievaluasi dengan menggunakan berbagai konsep statistik inferensial, sepertistandar deviasi dan autocorrelation, serta dilakukan pula uji sebab-akibat (Granger CausalityTest) untuk memilih ukuran yang relatif paling bersih dari unsur noise .

Secara formal dengan merujuk pada Bryan dan Cecchetti (1993) underlying inflationyang diukur dengan metode non-judgmental adalah minimalisasi dari unsur noise ataukomponen non-permanen secara kuantitatif. Secara lebih spesifik, n oise mengacu pada

64 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

gejolak tidak permanen (temporaray shocks) pada pergerakan harga-harga pembentukindeks harga umum, yang tidak boleh sampai mempengaruhi judgement dari kebijakanmoneter. Dampak dari n oise adalah ketidakakuratan perubahan jangka pendek inflasidalam mencerminkan perilaku kecenderungan jangka panjangnya. Mengingat sifatnyayang transitory, maka analisa terhadap dampak noise pada pengukuran underlying infla-tion menjadi sangat penting. Karena jika Bank Indonesia akan menjadikan inflasi sebagaitarget kebijakan moneter, maka diperlukan adanya suatu batasan-batasan (bands) targetinflasi yang relatif bersih dari noise. Alasan lain adalah agar dapat dibuat suatupenafsiran yang r el iable terhadap pergerakan laju inflasi medium term.

Beberapa sumber dari noise yang diidentifikasi di beberapa negara yangmenggunakan underlying inflation sebagai sasaran kebijakan moneter 11 adalah: (1)Perubahan harga-harga yang hanya berlangsung pada musim-musim tertentu (seasonal),(2) Perubahan yang besar dan mendadak pada harga sumber daya secara luas (broad-based resource shock) yang disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dinamika dalamperdagangan internasional, dan atau kenaikan harga enerji, (3) Perubahan ‘ rate’ pajaktak langsung (indirect tax-rate), dan (4) Penyesuaian-penyesuaian harga yang besar dantak berkala yang dilakukan baik oleh sektor swasta maupun pemerintah.

Secara konseptual dengan berasumsi bahwa setiap noise adalah transitory outli-ers 12 yang tidak berpotensi untuk meninggalkan bekas permanen pada basic trend inflasimaka dengan membuang outliers akan diperoleh suatu ukuran harga yang yangmencerminkan kecenderungan jangka menengah dari perubahan harga-harga yangsebenarnya, atau underlying inflation 13 . Di Australia misalnya, ditemui adanya sasaraninflasi jangka menengah (medium-term inflation target) yang diumumkan kepadamasyarakat. Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Australia dengan the ReserveBank of Australia (RBA) telah ditetapkan suatu kisaran medium-term inflation tersebut,yaitu sebesar 2-3%. Sasaran kisaran 2-3% ini diterjemahkan sebagai sasaran agarkecenderungan umum dari laju kenaikan harga-harga konsumen (broad central tendencyfor inflation), atau rata-rata kenaikan harga-harga konsumen sepanjang satu periodetertentu adalah sebesar 2-3%. Oleh karena itu, sasaran ini bukanlah sasaran angka inflasijangka pendek yang harus dicapai, melainkan suatu sasaran yang akan mencerminkankecenderungan angka inflasi yang secara material tidak mengganggu keputusan

11 Diskusi mengenai faktor noise dapat dilihat pada Reserve Bank of Australia Bulletin 1994,;Measuring UnderlyingInflation, Agustus; dan Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G. 1993, Measuring Core Inflation, Federal ReserveBank of Cleveland, Working Paper # 9304, June; serta Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in NewZealand, 1981-1995. RBNZ, September.

12 Transitory outliers dalam hal ini didefinisikan sebagai gejala ekstrem yang berlangsung tidak terlalu lama dan tidaksecara permanen merubah kecenderungan jangka panjang harga walaupun gejala tersebut berukuran besar . Bryan danCecchetti melihat bahwa komponen-komponen transitory ini harus dikeluarkan dari pengukuran underlying inflationsehingga diperoleh suatu angka laju inflasi yang hanya mencerminkan perilaku komponen-komponen yang persistentdan permanent. Selanjutnya dengan berasumsi bahwa velocity of money selalu konstan maka angka laju inflasi yangbersih dari komponen transitory tersebut adalah ukuran dari inflasi moneter (monetary inflation) ( Bryan, Michael F.dan Cecchetti, Stephen G. 1993, Measuring Core Inflation, Federal Reserve Bank of Cleveland, Working Paper #9304, June.

13 Beberapa istilah telah dipergunakan untuk menjelaskan konsep kecenderungan dalam definisi underlying rates of inflationini. Inggris dan Australia menyebut kecenderungan “riil” ini sebagai medium term rates of inflation. Selandia Barumenyebutnya sebagai kecenderungan utama jangka panjang (long run central tendency of inflation). Kanadamenggunakan istilah trend dasar dari harga-harga agregat (basic trend of aggregate prices)

65Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

keuangan dari dunia usaha dan rumah tangga konsumen (household consumers). Di Aus-tralia, kisaran angka sasaran medium-term inflation tersebut dikenal dengan sebutan t heTreasury Underlying Rate (Australian Bureau of Statistics) atau Underlying CPI yangditetapkan oleh RBA, dan oleh kalangan dunia usaha dilihat sebagai sasaran inflasi banksentral (the RBA inflation target). Perilaku dari angka underlying inflation ini sejakdikeluarkannya lima tahun yang lalu telah berperan sebagai anchor bagi inflation expec-tations di Australia yang juga merupakan indikator awal dari perilaku inflasi jangka pendekdimasa datang (predictor of short-run future course of inflation) 14 .

Disamping itu, penetapan sasaran underlying inflation diatas juga digunakan untukmengimplementasikan kebijakan moneter yang forward-looking. Instrumen kebijakanmoneter akan disesuaikan untuk menjaga agar proyeksi medium-term inflasi RBA tetappada kisaran 2-3%. RBA melakukan pengetatan moneter sebelum adanya kenaikan inflasidiatas 3% dan tekanan kebijakan tidak akan dikurangi sebelum angka medium term tersebutberada dibawah 3%. Jika terjadi perubahan laju inflasi jangka menengah yang tidakdiantisipasi sebelumnya, RBA akan melakukan penyesuaian kebijakan untuk menurunkanangka tersebut secepatnya tergantung dari penyebabnya. Dengan kata lain RBA tidak akanmembiarkan perubahan pada komponen persistent dalam inflasi untuk secara permanentercermin dalam laju perubahan harga-harga.

Di Selandia Baru salah satu elemen penting dalam mekanisme kerja Bank Sentralnyaadalah terikatnya perilaku kebijakan dari The Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) terhadapkewajiban untuk secara berkala memberi laporan kepada khalayak tentang progress daripelaksanaan the Policy Targets Agreement (PTA). Kesepakatan dalam PTA ini memberiarah bagi RBNZ dalam kegiatannya untuk menjaga stabilitas harga-harga umum agar tetapdalam target bands yang telah disepakati bersama dengan Kementerian Keuangan SelandiaBaru, yaitu pada kisaran pertumbuhan CPI tahunan sebesar 0% - 2%. Dengan kisarantarget bands tersebut RBNZ bertanggung jawab atas kebijakan moneter yang diarahkanuntuk menahan agar perubahan harga temporer tidak meninggalkan bekas permanen padatrend jangka panjang inflasi. Untuk itu PTA memberi suatu petunjuk mengenai kondisi-kondisi prinsip yang dikategorikan sebagai temporary disturbances dan dapat menjadi es-cape clause RBNZ dalam merumuskan kebijakan moneter untuk sasaran pengendalian harga-harga 15 . Hal-hal tersebut adalah: (1) Adanya perubahan tingkat suku bunga yang secaramendasar dapat menyebabkan penyimpangan trend jangka panjang Consumer PriceIndex (CPI) yang mengeluarkan komponen suku bunga (CPI excl. interest components); (2)Adanya perubahan mendasar yang terjadi hanya sekali (once-off) pada tingkat harga-hargaumum yang dapat mempengaruhi trend jangka panjangnya yang dapat terjadi karenaperubahan terms of trade, perubahan sistem tarif dan pungutan pemerintah, dan perubahantarif pajak; dan (3) Adanya perubahan mendasar yang terjadi hanya sekali (once-off) padaperubahan harga relatif (relative price changes); serta, (4) Bencana alam dan serangan hamadan penyakit pada tanaman pangan dan peternakan.

14 Mengenai hal ini Gubernur Ian MacFarland dari RBA menyebutkan bahwa kinerja dari the underlying CPI, yangdisusun oleh the Australian Bureau of Statistics dan RBA sebagai rujukan (anchor) secara konsisten berada dalamtarget kisaran 2% - 3% dan telah menolong dalam mempersempit spread antara yields obligasi jangka panjang diAustralia dan jenis obligasi yang sama di negara-negara lain.

15 Kondisi-kondisi prinsip yang dilaporkan dalam makalah ini sesuai dengan the Policy Targets Agreement of 19 December,1992 yang tercantum menggantikan section 9(4) dari The Reserve Bank of New Zealand Act tahun 1989.

66 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Pengukuran underlying inflation secara non- judgemental di Australia mengacu padametodologi pemangkasan sebagaimana yang telah disinggung terdahulu. Metode yangdemikian ini ditempuh dengan asumsi bahwa angka underlying inflation yang ideal untukkebijakan moneter adalah angka yang menangkap kecenderungan s ikl ikal dan trend daritingkat harga umum. Oleh karena itu unsur volatilitas, musiman, dan policy disturbancesharus dikeluarkan dari pengukuran inflasi. Metode pemangkasan ini digunakan juga diSelandia Baru untuk mengukur underlying inflation di negara tersebut.

Di Indonesia, pengukuran underlying inflation dilakukan dengan pemangkasanterhadap data IHK-Indonesia yang melibatkan s eries IHK bulanan dari bulan Mei 1990sampai dengan bulan Mei 1998. Langkah-langkah dalam prosedur pemangkasan tersebutadalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan series bulanan indeks IHK untuk setiap barang. Series ini diolah olehBagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah (SRKP), Urusan Statistik Ekonomidan Moneter (USEM) Bank Indonesia. Dari data yang tersedia diperoleh suatu periodepengukuran, yaitu dari bulan Mei 1990 sampai dengan bulan Mei 1998. 16 Untuk setiapbulan observasi, seluruh komoditi yang dipakai dalam menghitung IHK berikut bobotnyamasing-masing (sesuai dengan bobot yang dihitung oleh Bagian SRKP, USEM, BankIndonesia) digunakan dalam pengukuran. Total keseluruhan komoditi tersebutberjumlah 337 komoditi.

2. Selanjutnya dihitung laju inflasi dari setiap barang dan dilakukan perhitungan inflasiterbobot bulanannya.

3. Dilakukan pensortiran laju inflasi bulanan terbobot untuk setiap barang sehingga databerurutan dari yang terbesar ke terkecil.

4. Berdasarkan urutan yang tercipta dilakukan pemangkasan pada angka-angka ekstremteratas dan terbawah dengan menggunakan beberapa nilai kritikal, yaitu 10%, 15%, 20%,25%, 30%, 35%, 40%, 45%, dan 50%.

5. Ukuran-ukuran yang diperoleh kemudian diuji tingkat kebersihannya dari unsur noisedengan menguji hubungan sebab akibat antara inflasi barang-barang yang terpangkasterhadap inflasi yang sudah terpangkas. Ukuran dianggap bersih dari noise j i ka infl asibarang-barang yang terpangkas tidak menyebabkan inflasi barang-barang yang sudahterpangkas.

6. Akhirnya, dari ukuran-ukuran yang telah diseleksi diatas dicari lagi ukuran yang memilikigejolak terendah ( standard deviation terendah) tapi memiliki kadar informasi tertinggi(autocorrelation tertinggi).

Grafik 1 menggambarkan laju inflasi underlying inflation yang diukur dengan metodepemangkasan diatas dibandingkan dengan laju inflasi IHK. Dari hasil perhitungan, secarahistoris komponen permanen dari inflasi IHK secara rata-rata tidaklah lebih dari 20-30%dari total IHK. Ini memberi implikasi bahwa secara rata-rata paling sedikit 70-80% darilaju inflasi IHK disebabkan oleh noise (komponen tidak permanen). Bagi pelaksanaan

16 Untuk saat ini angka underlying inflation bulan April dan Mei 1998 masih merupakan angka sementara yang dipangkasberdasarkan 30 sub-kelompok barang dalam IHK.

67Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

Jan-

96

Feb

-96

Mar

-96

Apr

-96

May

-96

Jun-

96

Jul-9

6

Aug

-96

Sep

-96

Oct

-96

Nov

-96

Dec

-96

Jan-

97

Feb

-97

Mar

-97

Apr

-97

May

-97

Jun-

97

Jul-9

7

Aug

-97

Sep

-97

Oct

-97

Nov

-97

Dec

-97

Jan-

98

Feb

-98

Mar

-98

Apr

-98

May

-98

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

LAJU INFLASI IHK

UNDERLYING INFLATION

NOISE

NOISE(% bulanan)

Inflasi IHK, Underlying Inflation(% bulanan)

Grafik 1. Laju Inflasi IHK, Underlying Inflation, dan Noise

kebijakan moneter hal ini berarti pula bahwa terdapat setidaknya 70% dari laju inflasi IHKyang tidak relevan dengan kebijakan moneter. Demikian halnya karena sebagian besardari laju inflasi IHK tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang berada diluarjangkauan kebijakan moneter, misalnya kenaikan harga barang-barang impor baik karenadepresiasi nilai tukar maupun karena dinamika dalam perdagangan dunia, kenaikan hargaenerji serta biaya transportasi yang menyertainya, gejolak musim geografis, kenaikan hargabarang input domestik, dan kelangkaan pasokan barang karena faktor-faktor non-ekonomis.

Walaupun demikian pendapat bahwa hanya 20-30% dari komponen inflasi IHK yangrelevan dengan kebijakan moneter masih perlu dibuktikan secara statistik. Oleh karenaitu, dalam sub-pembahasan berikut akan dipaparkan hasil dari penelitian indeks hargayang relevan dengan kebijakan moneter.

Hasil Penelitian

Sebelum lebih jauh mengulas mengenai hasil penelitian ini, maka terlebih dahulu akandisampaikan secara sekilas mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Dalamgaris besarnya, penelitian dilakukan dengan melakukan uji kedekatan hubungan statistikantara inflasi agregat berikut komponen-komponennya dengan besaran-besaran moneter.Inflasi agregat yang diteliti adalah laju inflasi IHK , laju inflasi IHPB , dan PDB deflator,sedangkan komponen inflasi yang diuji adalah kelompok makanan, sandang, perumahan,aneka barang, food & energy , non-food & non-energy , administered dan non-administered , tradeddan non-traded , IHPB sektoral , IHPB ekspor , dan IHPB impor . Telaah yang lebih khusus

68 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

dilakukan terhadap underlying inflation yang merupakan komponen permanen dalam inflasiIHK guna menampilkan relevansi indikator harga ini dengan kebijakan moneter.

Untuk melakukan uji kedekatan diatas beberapa teknik analisa statistik telahdigunakan secara simultan dan berurutan. Analisa dilakukan dengan melibatkan datatahunan untuk melihat hubungan jangka panjang, dan data bulanan untuk melihathubungan jangka pendek. Teknik pertama yang digunakan adalah uji korelasi sederhana 17 ,yaitu suatu uji statistik yang melihat kedekatan awal dan arah antara variabel-variabelyang diuji, misalnya inflasi kelompok makanan dengan pertumbuhan M0, inflasi kelompoksandang dengan pertumbuhan M2, dan seterusnya. Berdasarkan hasil uji korelasisederhana tersebut dilakukan uji struktur l ag18 untuk melihat secara historis lamanya suatuvariabel berpengaruh terhadap variabel yang lainnya, misalnya menguji sampai berapabulan pertumbuhan M0 mempengaruhi laju inflasi IHK, berapa lama pertumbuhan M2akan tercermin pada laju inflasi IHPB, dan seterusnya. Setelah itu, dilakukan analisahubungan sebab akibat 19 antara dua variabel, untuk melihat variabel mana yang menjadipenyebab diantara dua variabel yang diuji, misalnya apakah pertumbuhan M2menyebabkan inflasi kelompok food & energy, atau sebaliknya. Kemudian, setelah arahhubungan diketahui, dilakukan uji kekuatan transmisi 20 untuk melihat seberapa lamakekuatan pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya untuk jangka waktu kedepan,misalnya selama berapa bulan kedepan kebijakan meningkatkan jumlah M0 yang beredarakan mempengaruhi laju inflasi IHK. Akhirnya, setelah kekuatan transmisi diketahuidilakukan taksiran kedekatan hubungan dengan menggunakan suatu persamaan statistiksehingga diperoleh derajat kekuatan hubungan antara variabel-variabel yang independendengan variabel yang dependen 21 . Sebagai misal, disusun suatu persamaan bahwa lajuunderlying inflation ditentukan oleh ekspektasi, pertumbuhan M0, pertumbuhan M1,pertumbuhan M2, dan output gap 22 , maka derajat kepekaan akan diukur dari tingkatsignifikansi 23 dari variabel-variabel tersebut dalam mempengaruhi underlying inflation.

Berdasarkan metodologi diatas diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan jumlah uang kertas dan logam yangberedar di masyarakat (M0), indikator harga yang paling relevan dan dapat dijadikananchor adalah laju inflasi IHK agregat dan laju inflasi kelompok food & energy dalamkeranjang IHK .

2. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan jumlah uang giral yang diciptakan oleh

17 Uji korelasi sederhana dilakukan dengan membuat simple correlation matrix yang melibatkan semua variabel yangdiuji dalam penelitian.

18 Uji struktur lag dilakukan dengan melakukan analisa cross correlogram terhadap semua variabel yang diuji dalampenelitian.

19 Uji hubungan sebab akibat dilakukan dengan melakukan Granger Causality Test terhadap semua variabel yang diujidalam penelitian.

20 Uji kekuatan transmisi dilakukan dengan melakukan analisa Variance Decomposition berdasarkan hasil uji sebab akibat.21 Taksiran kedekatan statistik dilakukan dengan membuat model persamaan polynomial distributed lag dan model

structural dynamics.22 Output gap ditaksir dengan melakukan Hodrick-Prescott filtering terhadap series PDB kuartalan deseasonalized yang

diinterpolasi menjadi data bulanan.23 Tingkat signifikasi yang mencerminkan tingkat kedekatan diukur dengan ranking t-statistics dari setiap independen

variabel yang terlibat dalam pengujian.

69Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

sistem perbankan ditambah dengan uang kertas dan uang logam yang beredar diluarBank Indonesia (M1), indikator harga yang paling relevan dan dapat dijadikan anchoradalah PDB deflator.

3. Untuk pengendalian inflasi melalui pengelolaan M2, yaitu total jumlah M1 ditambahuang kuasi (tabungan dan deposito) di sistem perbankan, indikator harga yang palingrelevan dan dapat dijadikan anchor adalah laju inflasi kelompok non-administered, non-traded, IHPB agregat dan underlying inflation.

4. Khusus untuk underlying inflation yang merupakan komponen IHK yang permanen danmencerminkan inflasi dari sisi permintaan agregat, terdapat indikasi statistik yang cukupkuat bahwa interaksi simultan antara ekspektasi masyarakat terhadap besarnya noisedalam inflasi, jumlah uang yang beredar, siklus penggunaan kapasitas produksi (outputgap), dan tekanan permintaan musiman adalah faktor yang mempengaruhi dinamikaunderlying inflation terutama dalam kaitannya dengan ekskalasi krisis moneter.

5. Unsur noise dalam inflasi IHK banyak ditentukan oleh faktor gejolak pada nilai tukar(first stage pass through), kenaikan biaya produksi dan distribusi domestik (second stagepass through), kenaikan biaya enerji dan transportasi, kelangkaan barang pasokan (sup-ply shortage), dan faktor musim geografis, sehingga tidak relevan dengan kebijakanmoneter. Disamping itu, terdapat indikasi kuat bahwa unsur noise ditengah krisismoneter dapat menyebabkan perubahan struktural pada perilaku jangka panjang inflasiIHK yang juga berarti bahwa terdapat perubahan struktural yang cukup berarti di sisipenawaran dalam perekonomian sebagai akibat dari krisis moneter. Underlying inflationdilain pihak, mempunyai kecenderungan untuk tetap pada perilaku jangka panjangnyadimasa pra-krisis 24

Beberapa catatan tambahan dapat disampaikan disini, yaitu:

1.Walaupun laju inflasi IHPB dan PDB deflator termasuk dalam indikator harga yangrelevan dengan kebijakan moneter, akan tetapi mengingat ketersediaan data untukmenyusun kedua indikator ini sangatlah lambat, maka kegunaannya sebagai anchorkebijakan moneter menjadi tidak ada.

2. Laju inflasi food & energy walaupun dekat dengan pertumbuhan uang kertas dan logamyang beredar, tapi secara historis dinamika indikator ini cukup sarat dipengaruhi olehfaktor-faktor yang mempengaruhi noise dalam IHK, sehingga cukup besar kemungkinanbahwa indikator ini dapat mengganggu judgement kebijakan jika digunakan sebagai anchor.

3. Secara historis barang-barang yang membentuk underlying inflation sebagian besar jugadapat dikategorikan dalam kelompok inflasi non- administered dan non-traded. Oleh karenaitu bagi kebijakan moneter, tampaknya underlying inflation adalah suatu indikator hargayang lebih komprehensif dalam fungsinya sebagai anchor.

Beberapa Pelajaran dari Krisis Moneter

Sebagaimana telah disinggung diatas, salah satu sasaran akhir dari kebijakan moneteradalah pengendalian inflasi yang dilakukan melalui pengelolaan jumlah uang beredar

24 Hasil penelitian dapat dilihat di Lampiran 2.

70 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

secara hati-hati. Akan tetapi dengan terjebaknya perekonomian nasional kedalam krisisnilai tukar, perekonomian nasional kemudian memasuki krisis makro-moneter yang saatini telah memasuki periode krisis (resesi) ekonomi makro yang dalam dan cukup berat,yang antara lain ditandai oleh terus melemahnya nilai tukar rupiah dan tingginyaekspektasi laju inflasi.

Dengan sedikit menengok ke belakang ke periode awal dari krisis moneter yaitupada semester II / 1997, maka dapat dilihat bahwa seiring dengan adanya contagion effectdan krisis kepercayaan terhadap sustainability makro-fundamental perekonomian nasional,telah terjadi sudden capital outflows yang menekan nilai tukar Rp/USD. Dengan depresiasiyang kuat pada nilai tukar tersebut, telah berkembang suatu iklim ketidakpastian usahadi sektor riil. Para pengusaha mengalami kesulitan untuk menetapkan anggaran usahanyadan ini berpengaruh pada keputusan-keputusan usaha yang berkaitan dengan produksidan distribusi. Implikasi langsung dari fenomena ini terhadap laju inflasi, adalahmeningkatnya unsur noise dalam laju inflasi IHK melalui: (i) dampak depresiasi nilai tukarke harga-harga (first stage pass through); (ii) penurunan pasokan barang-barang dalamperekonomian baik karena menurunnya jumlah barang-barang hasil produksi secaraagregat; maupun oleh (iii) adjustment di sektor distribusi barang-barang karena penurunanpasokan barang kemudian menekan laba sebelum pajak para distributor, yang selanjutnyaditerjemahkan menjadi meningkatnya biaya operasi per unit dan harga barang per-unit(second stage pass through).

Seiring dengan tekanan yang berasal dari depresiasi nilai tukar di atas, pada semes-ter II/1997 juga diimplementasikan pencabutan subsidi bahan-bahan pokok diluar berasmelalui BULOG yang mengakibatkan tekanan inflatoir pada komoditi-komoditi sepertigula pasir, minyak goreng, dan tepung terigu. Kemudian menjelang triwulan I / 1998tekanan pada harga-harga ditambah lagi oleh datangnya faktor tekanan permintaanmusiman seperti Hari Raya Natal dan Bulan Ramadhan.

Bersamaan dengan tekanan yang terjadi di sektor riil diatas, terjadi krisis kepercayaanterhadap sistem perbankan nasional sebagai akibat dari diimplementasikannya nota kesepakatanpertama dengan IMF mengenai restrukturisasi sistem perbankan melalui kebijakan likuidasi16 bank. Dampak dari kebijakan likuidasi ini adalah terjadinya krisis kepercayaan terhadapsistem perbankan nasional yang diikuti oleh fenomena bank run dimana masyarakat menarikdana simpanannya dari sistem perbankan. Dana yang ditarik tersebut kemudian sebagiandialihkan menjadi simpanan berdenominasi USD ( fl ight to currency) dan atau simpanan di bank-bank asing ( fl ight to qual i ty), dan sebagian lainnya dikonsumsi untuk mengantisipasi kenaikanpada harga-harga sebagaimana yang terjadi di triwulan I/ 1998. Implikasi dari hal-hal tersebutadalah tekanan domestik pada nilai tukar Rp/USD, dimana permintaan terhadap mata uangUSD terus meningkat, sementara itu pasokan USD cenderung berkurang sebagai akibat darisemakin dekatnya saat pembayaran utang luar negeri swasta yang jatuh tempo. Tekanan padanilai tukar tersebut selanjutnya menambah pada iklim ketidakpastian usaha di triwulan I /1998 yang sudah semakin terakumulasi semenjak triwulan IV / 1997.

Excessive depreciation nilai tukar Rp/USD dan meningkatnya iklim ketidakpastianusaha yang di akibatkannya di awal triwulan I / 1998 diatas telah menyebabkan semakinmeningkatnya komponen biaya input dalam struktur biaya produksi nasional danmenurunnya minat produksi pada industri-industri di sektor riil. Hal ini kemudianmemukul laba dari sektor-sektor yang berkaitan dengan distribusi sejalan dengan

71Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

25 Angka-angka ini adalah angka sum cummulative yang menjumlah laju inflasi bulanan dari bulan Januari sampaidengan Mei 1998.

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

Jan-

96

Feb

-96

Mar

-96

Apr

-96

May

-96

Jun-

96

Jul-9

6

Aug

-96

Sep

-96

Oct

-96

Nov

-96

Dec

-96

Jan-

97

Feb

-97

Mar

-97

Apr

-97

May

-97

Jun-

97

Jul-9

7

Aug

-97

Sep

-97

Oct

-97

Nov

-97

Dec

-97

Jan-

98

Feb

-98

Mar

-98

Apr

-98

May

-98

-1.00

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

LAJU INFLASI IHK

UNDERLYING INFLATION

NOISE

PORSI BULANAN UNDERLYING INFLATION

Noise (% Bulanan)Laju Inflasi IHK, Underlying Inflation, dan Porsi Underlying Inflation (% Bulanan)

Grafik 2. Inflasi IHK, Underlying Inflation, Noise ,dan Proporsi Underlying Inflation

(dalam % bulanan)

meningkatnya biaya operasional yang dikarenakan oleh berkurangnya pasokan barang-barang. Perkembangan yang terjadi pada sisi produksi dan distribusi tersebut, selanjutnyamenyebabkan meningkatnya porsi noise dalam inflasi IHK.

Menilik beberapa fakta mengenai inflasi IHK, komponen permanen, dan noise-nyamenunjukkan bahwa inflasi IHK sampai dengan bulan Mei tahun kalender 1998 telahmencapai kumulatif bulanan sebesar 35.44%, sedangkan underlying inflation ( inflasi s isipermintaan) mencapai sekitar 13.64%, dan unsur noise melaju sebesar 21.80% (Grafik 2) 25 .Jika dilihat dari porsinya terhadap inflasi IHK, porsi underlying inflation telah mengalamipenurunan yang cukup tajam dari 48% di bulan Januari menjadi 25% di bulan Mei 1998,sedangkan porsi noise meningkat dari 52% di bulan Januari menjadi 75% (Grafik 2).

Selanjutnya, dari sisi kecenderungan jangka pendeknya, inflasi IHK masihmenunjukkan kecenderungan untuk tetap tinggi dan belum stabil. Hal ini terutamadisebabkan oleh perilaku noise yang masih bergejolak pada laju yang tinggi (Grafik 2).Beberapa sub-komoditi dalam laju inflasi IHK yang menyumbang pada perilaku noisetersebut adalah kelompok komoditi:

1. Minuman non alkohol2. Tembakau dan minuman beralkohol

72 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

3. Lemak dan minyak4. Sayur-sayuran5. Padi-padian, Umbi-umbian dan hasil-hasilnya6. Makanan Jadi7. Biaya tempat tinggal8. Bahan bakar, penerangan, dan air9. Transportasi

Dilain pihak, perilaku underlying inflation terlihat cenderung menurun dan akankembali pada stabilitas jangka pendeknya ketika sebelum krisis moneter. Walaupundemikian, masih terdapat indikasi adanya tekanan dari sisi permintaan agregat yang cukuppersistent, yang ditunjukkan oleh angka underlying inflation yang masih tinggi yaitu 1.65%di bulan April dan 1.29% di bulan Mei 1998 (Grafik 2).

Beberapa hipotesa yang diajukan dalam kaitannya dengan perilaku noise dan un-derlying inflation diatas adalah bahwa peningkatan yang terjadi pada porsi n oise disebabkanoleh paling tidak empat hal yang saling berkaitan.

• Pertama adalah feed-through dari kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listriksecara langsung ke komponen BBM, Penerangan, dan Listrik yang secara tertimbangmerupakan 5.14% dari total inflasi IHK, dan secara tidak langsung ke harga-harga jasatransportasi yang secara tertimbang membentuk 9.75% dari total inflasi IHK. Feed-throughini menyebabkan semakin tingginya biaya produksi dan distribusi barang-barang pasokanyang kemudian tercermin dalam laju inflasi.

• Kedua adalah second stage pass-through dari depresiasi dan gejolak nilai tukar yang terjadi

0

10

20

30

40

50

60

Nov-97 Dec-97 Jan-98 Feb-98 Mar-98 Apr-9 8

IHPB-IMPOR

IHPB INDUSTRI

IHPB UMUM

Grafik 3. Kecenderungan IHPB(3 Months Moving Average)

73Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

pada sisi distribusi. Sebagaimana telah diyakini, sebagai akibat dari depresiasi nilai tukardan menurunnya kredibilitas instrumen pembayaran luar negeri Indonesia, maka telah terjadipeningkatan biaya akuisisi barang input produksi maupun barang impor siap jual over-the-dock (sampai di pelabuhan bongkar muat). Peningkatan biaya akuisisi over-the-dock tersebutjika ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan biayatransportasi, akan diterjemahkan sebagai meningkatnya biaya persediaan (inventory) perunit pada kegiatan di sisi produksi dan total biaya operasi domestik di sisi distribusi (domes-tic wholesaler’s dan r etai ler’s c ost). Efek bersih dari meningkatnya biaya inventory danoperasional tersebut adalah meningkatnya harga jual produsen dan mark-up distributor yangkemudian tercermin dalam laju inflasi. Peningkatan yang terjadi pada harga jual produsendan mark-up distributor tersebut selanjutnya dapat dilihat pada kecenderungan perubahanharga-harga perdagangan besar (IHPB) yang masih meningkat, khususnya untuk IHPB disektor industri, sebagaimana yang dapat dicermati pada Grafik 3.

• Ketiga adalah terganggunya kelancaran distribusi barang-barang pasokan sebagai akibatdari kerusuhan yang terjadi di beberapa kota dagang utama di Pulau Jawa dan Sumatera.Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi pada bulan April dan Mei 1998 tersebut telahmenyebabkan rusaknya jaringan distribusi, baik itu dalam bentuk kerusakan infrastrukturmaupun berkurangnya sumber-daya kewirausahaan di sektor distribusi. Data rekapitulasikerusakan di lima kota besar yang dilanda kerusuhan terhebat, yaitu: Jakarta, Surakarta,Lampung, Medan, dan Palembang menunjukkan bahwa secara total terdapat sekurangnya7300 tempat usaha yang dirusak oleh para perusuh dan penjarah. Tempat-tempat usahatersebut merupakan infrastruktur yang penting bagi kelancaran distribusi, seperti shoppingcenter, toko-toko retail, rumah toko, dan pasar swalayan. Dari sisi sumber daya manusia,media masa telah melansir bahwa disaat terjadi kerusuhan dan beberapa hari sesudahnya,sudah sekitar 10,000 orang WNI keturunan Cina yang sebagian besar adalah wirausahawanyang berbisnis di sektor perdagangan dan jasa pergi meninggalkan Indonesia. Kiranyadapat diperkirakan bahwa trauma psikologis yang ditimbulkan oleh kerusuhan akancenderung menurunkan minat para wirausahawan tersebut untuk kembali berusaha di In-donesia. Arus eksodus dan kerusakan pada infrastruktur distribusi diatas telah menyebabkanberkurangnya kelancaran pasokan barang-barang hasil produksi di kota-kota yang dilandakerusuhan. Hal ini berakibat pada peningkatan laju inflasi IHK, khususnya n oise i nfl ati on.Selanjutnya, karena bobot dari kota-kota utama tersebut dalam perhitungan inflasi nasionalcukup besar, yaitu kurang lebih 47% dari total inflasi IHK nasional, maka n oise yang terjadidi kota-kota tersebut akan secara signifikan mempengaruhi perhitungan inflasi secaranasional.

• Akhirnya, hal keempat yang menyumbang pada n oise i nfl ati on adalah adanya ekspektasipengusaha bahwa perekonomian nasional akan diwarnai oleh penurunan permintaan secaraagregat. Ini dapat dilihat dari hasil saldo bersih tertimbang Survey Kegiatan Dunia Usaha(SKDU) di Triwulan I / 1998 yang menunjukkan melemahnya persepsi pengusaha terhadapmasa depan perekonomian (Grafik 4).

• Seiring dengan melemahnya persepsi pengusaha tersebut, terdapat indikasi bahwa untukmenjamin laba perusahaan tidak akan terpukul oleh krisis moneter, maka kebijakan kenaikanharga yang diiringi oleh pengurangan biaya produksi melalui pengurangan output danvariable c ost (biaya buruh) melalui PHK, adalah langkah yang akan banyak dilakukan olehpengusaha untuk mengambil pendapatan marjinal (marginal revenue) yang seoptimal mungkinsebelum produksi harus secara permanen dikurangi atau dihentikan sama sekali. Dapat

74 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Grafik 4. Saldo Bersih Tertimbang Hasil SKDU

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

TW1/97 TW2/97 TW3/97 TW4/97 TW1/98

0

20

40

60

80

100

120

140

Pertanian Pen golahan Ban gunan Perda gangan

Menaikkan Har ga Menurunkan Produksi Menurunkan Jumlah Pe gawai

Grafik 5. Hasil SKDU Mengenai Kebijakan Pengusaha di Sisi Harga, Produksi, dan VariableCost Menurut Sektor

(Saldo Bersih 26 )

26 Saldo bersih yang positif berarti jumlah pengusaha yang menjawab bahwa harga jual akan dinaikkan, produksi akanditurunkan, dan PHK akan dilanjutkan lebih banyak dari pada yang menjawab sebaliknya. Khusus untuk sektor bangunandan perdangan saldo bersih jumlah perusahaan yang menyatakan akan menurunkan produksi diambil dari saldo bersihjumlah perusahaan yang menyatakan bahwa barang hasil produksinya tidak laku terjual.

75Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

dilihat pada Grafik 5 dibawah bahwa di Triwulan I / 1998 secara n et jumlah pengusahayang menyatakan akan meningkatkan harga jual, menurunkan produksi, dan menurunkanjumlah pegawai telah meningkat diatas jumlah pengusaha yang menyatakan sebaliknya.

Berdasarkan pengamatan diatas terlihat bahwa dalam periode eskalasi krisis moneter,yaitu dari bulan Januari sampai Mei 1998 faktor-faktor yang menjadi penyebab gejolaktemporer pada inflasi (noise) adalah faktor-faktor yang dominan berpengaruh pada lajuinflasi IHK. Pada sisi underlying inflation dilain pihak terdapat indikasi kuantitatif yangcukup kuat yang menunjukkan bahwa meningkatnya porsi underlying inflation di bulanJanuari dan Februari 1998 adalah sepenuhnya karena faktor ekspektasi yang disambutoleh ekses likuiditas dalam perekonomian. Dalam hal ini meningkatnya permintaan dalammasyarakat adalah karena konsumen melihat besarnya unsur n oise dalam inflasi IHK yangselanjutnya diterjemahkan menjadi rush buying untuk melindungi ekses likuiditas yangada ditangan mereka setelah terjadi bank run. Oleh karena itu, meningkatnya underlyinginflation sebenarnya tidak akan material bila di tidak terdapat ekses likuiditas dan di sisiproduksi dan distribusi tidak terdapat banyak sinyal-sinyal noise seperti kelangkaanpasokan barang-barang (supply shortage) dan meningkatnya harga jual di tingkat distribu-tor (second stage pass through) 27 . Ketika ekses likuiditas dapat diserap kembali ke dalamsistem moneter, maka sinyal-sinyal noise yang pada hakekatnya sudah berkepanjangan,walaupun meningkatkan ekspektasi inflasi tetap tumpul sebagai pemicu meningkatnyaunderlying inflation.

Akhirnya, berdasarkan kejadian-kejadian diatas dapat ditarik suatu benang merahbahwa dalam kaitannya dengan kebijakan moneter, maka dengan terekskalasinya krisismoneter, dapat dikatakan bahwa laju inflasi IHK cenderung menjadi anchor yang kurangbaik bagi kebijakan vis a vis underlying inflation. Selanjutnya dalam kaitannya dengan noisedalam inflasi IHK, stabilisasi unsur noise tersebut secara teoritis berada diluar jangkauankebijakan moneter oleh Bank Indonesia, apalagi setelah dikeluarkannya kebijakan sistemnilai tukar freely floating. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan untukmenurunkan inflasi dalam krisis moneter harus dilakukan dari berbagai arah, yaitu: (a)menyerap kelebihan likuiditas dalam masyarakat melalui kebijakan suku bunga untukmenahan underlying inflation agar tidak material dalam memicu inflasi IHK yang lebih besarlagi, dan (b) mengurangi gejolak noise yang berkepanjangan dalam inflasi IHK melaluikebijakan-kebijakan industrial untuk memperlancar dan mendorong kegiatan produksidan distribusi di sektor riil, dan mengurangi rentanitas struktur mikro-fundamentalterhadap gejolak eksternal yang berkelanjutan (krisis nilai tukar), serta (c ) upaya stabilisasinilai tukar

Kesimpulan

Interaksi yang semakin dinamis dalam perekonomian internasional dan domestiktelah menyebabkan pengendalian inflasi melalui pengendalian uang beredar menjadi lebihkompleks dan mengharuskan Bank Indonesia untuk memiliki suatu indikator harga yangrelevan dengan kebijakan moneter. Selama ini Bank Indonesia sangat bergantung pada

27 Lihat Lampiran 1.

76 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

laju inflasi IHK untuk memonitor efektifitas kebijakan moneternya. Walaupun demikian,terdapat permasalahan dengan indikator ini yaitu adanya unsur noise yang menggangujudgement kebijakan moneter.

Penelitian indeks harga yang relevan dengan kebijakan moneter yang telahdilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa terdapat beberapa indikator hargaselain laju inflasi IHK yang dapat dijadikan anchor untuk pengendalian inflasi melaluipengelolaan jumlah uang beredar. Indikator-indikator harga tersebut adalah laju inflasikelompok inflasi food & energy, PDB deflator, inflasi non-administered, i nflasi non-traded,dan underlying inflation. Namun, mengingat terdapat sensitifitas yang cukup tinggiantara inflasi food & energy dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya noise dalaminflasi IHK, maka indikator ini masih dapat menggangu judgement kebijakan moneter.Lebih daripada itu, terdapat overlapping yang cukup besar antara inflasi non-adminis-tered dan non-traded dengan underlying inflation, dimana kebanyakan dari barang-barangyang membentuk underlying inflation dapat pula dikategorikan sebagai inflasi non-ad-ministered dan non-traded. Selanjutnya dalam kaitannya dengan ekskalasi krisis moneterdan dampaknya terhadap inflasi IHK, terlihat bahwa underlying inflation adalah anchoryang lebih cocok untuk menilai efektifitas kebijakan moneter. Demikian halnya karenadengan terekskalasinya krisis moneter, laju inflasi IHK cenderung lebih dipenuhi olehnoise yang dapat mengganggu judgement kebijakan moneter. Oleh karena itu underlyinginflation adalah indikator harga yang lebih relevan dengan kebijakan moneter.

Saran

Sebagai penutup, dapat disarankan disini untuk suatu penelitian lebih lanjutmengenai sumbangan struktur fundamental mikroekonomi nasional terhadap inflasi. Kajianterutama diarahkan untuk memperoleh gambaran mengenai struktur, perilaku, dan kinerjafundamental mikroekonomi nasional dan rentanitasnya terhadap gejolak eksternal sepertidepresiasi dan gejolak yang berkelanjutan pada nilai tukar. Dengan melakukan kajianyang lebih mendalam mengenai fundamental mikroekonomi tersebut, diharapkan akanlebih memperjelas proses pembentukan harga di sektor riil, terutama dalam kaitannyadengan pembentukan noise inflation dan dampaknya terhadap tekanan inflasi agregat dalamperekonomian.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan pembahasan mengenai peran underlying infla-tion dalam kerangka kerja rezim inflation targeting perlu dikaji aspek teoritis mengenaipenetapan laju inflasi sebagai sasaran kebijakan moneter 28 . Premis yang mendasari i nfla-tion targeting adalah bahwa tujuan akhir dari kebijakan moneter hanyalah ditujukan untukmencapai dan mempertahankan laju inflasi yang rendah dan stabil. Dalam konteks ini

28 Diskusi mengenai kaitan antara underlying inflation dan inflation targeting dapat dilihat di Masson R. Paul, Savastano,Miguel A., dan Sharma, Sunil, 1997. The Scope of Inflation Targeting in Developing Countries. IMF Working Paper,Agustus; Debelle, Guy, 1997. Inflation Targeting in Practice. Economic Research Department, RBA, December; DeBrouwer, Gordon, dan O’Regan, James, 1997. Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Australia. RBA, Conferenceon Monetary Policy and Inflation Targeting, July; Haldane, Andrew G, 1997. Designing Inflation Target. RBA,Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July ; Grenville, Stephen, 1997. The Evolution of MonetaryPolicy: From Money Targets to Inflation Targets. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July.

77Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

diasumsikan bahwa (1) laju inflasi yang tinggi adalah suatu bentuk biaya yang harusditanggung oleh perekonomian berupa pertumbuhan ekonomi yang rendah danmenurunnya nilai riil dari pendapatan nasional, (2) kebijakan moneter, dalam hal inikebijakan pengendalian uang beredar, tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan outputdalam jangka panjang, tapi dapat dalam jangka pendek, sedangkan (3) pengendalianinflasi melalui kebijakan moneter adalah dalam rangka stabilisasi dan penurunan lajuinflasi dalam jangka panjang dan bukan dalam jangka pendek. Oleh karena itu masihdiperlukan suatu analisa mengenai benefit dan c ost d ari disinflationary policy oleh banksentral, terutama dalam kaitannya dengan output variability yang inheren dalam skiminflation tergeting.

Disamping itu, beberapa prasyarat dari stabilisasi dan penurunan laju inflasimelalui penetapan inflasi sebagai sasaran tunggal mengharuskan adanya independensibank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter, ditiadakannya sasaranpengendalian nilai tukar, adanya suatu kisaran nominal anchor berupa indeks harga yangrelevan sebagai sasaran, adanya suatu metodologi proyeksi inflasi yang dapatmenangkap prospek inflasi di masa datang dengan baik, dan prosedur operasionalkebijakan moneter yang forward-looking. Dengan kelima syarat diatas terlihat bahwasetidaknya dua syarat telah secara formal dipenuhi oleh Bank Indonesia yaitu adanyaindependensi dalam kebijakan moneter dan sistem nilai tukar yang freely floating. Darisegi teknis pelaksanaannya, penelitian mengenai underlying inflation sebagai indeks hargayang relevan dengan kebijakan moneter, sedikit banyak telah memperjelas arah dalammendesain arsitektur dari skim inflation targeting untuk Indonesia. Walaupun demikianmasih perlu untuk diestimasi lebih lanjut philips curve Indonesia dan kaitannya dengankebijakan moneter melalui pengendalian uang beredar. Lebih dari pada itu proyeksiekpektasi inflasi dalam jangka menengah juga masih diperlukan untuk bisa menjadimasukan bagi program moneter yang forward looking oleh Bank Indonesia.

Lampiran 1

Perilaku Inflasi Ditengah Krisis Moneter

• Untuk memilah-milah perbedaan perilaku inflasi disaat ‘normal’ maupun ‘krisis’, telahdilakukan uji ekonometri dengan menggunaan persamaan-persamaan jangka pendekberikut:CPI= α + β CPI(-1) + χ M1 + δ Kuasi + ε Noise + r . ..................................................... ( 1)UDLCPI= α + β UDLCPI(-1) + χ M1 + δ Kuasi + ε Noise + r . ................................... ( 2)dimana,

CPI = sum annual dari inflasi IHKM 1 = pertumbuhan M1 year on yearKuasi = pertumbuhan uang kuasi year on yearNoise = CPI - Underlying inflation (year on year)UDLCPI = Underlying inflation

• Uji statistik terhadap persamaan diatas dilakukan setelah sebelumnya dilakukan ujikointegrasi antara level CPI, dengan level uang kartal, giral, dan kuasi. Hasil dari ujikointegrasi tersebut dapat dilihat pada grafik dan statistik berikut ini:

78 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Hasil Johansen Cointegration Test

Sampel Data Bulanan: 1990:05 1998:06 Asumsi: Linear deterministic trend pada dataSeries: IDXUDL KARTAL GIRAL KUASILags interval: 1 to 2

Likelihood 5 Percent 1 Percent HypothesizedEigenvalue Ratio Critical Value Critical Value No. of CE(s)

0.040828 3.876686 3.76 6.65 At most 3 *

*(**) menunjukkan penolakan hipotesa non-kointegrasi pada 5% (1%) significance level

••••• Selanjutnya dari hasil analisa ekonometri terhadap perilaku inflasi dengan:menggunakan model persamaan diatas , dan memilah periode observasi menjadisebelum krisis nilai tukar, saat krisis nilai tukar (periode sampai dengan Desember 1997),dan saat krisis makro moneter (periode sampai dengan Maret 1998), maka hasil regresidapat di rekapitulasi dalam rekapitulasi berikut ini:

Inflasi IHK

-2

-1

0

1

2

3

4

91 92 93 94 95 96 97 98

IDXUDLKARTAL

GIRALKUASI

Grafik 1. Perilaku Level CPI, Uang Kartal, Uang Giral, dan Uang Kuasi

79Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

Periode: 06/91 - 06/97CPI = 0.074 + 0.11 CPI(-1) + 1.8 M1 + 1.68 Kuasi + 1.11 Noise

(2.45) (3.3) ( 2.3) ( 18.9)R-sq = 0.96 DW = 0.36 F-Stat = 548.43 S.E. = 0.27Periode: 06/91 - 12/97CPI = 0.087 + 0.15 CPI(-1) + 1.68 M1 + 1.32 Kuasi + 1.06 Noise

(3.9) ( 3.18) ( 1.99) ( 22.2)R-sq = 0.97 DW = 0.40 F-Stat = 679.02 S.E. = 0.275

Periode: 06/91 - 03/98CPI = -2.06 + 0.10 CPI(-1) + 3.96 M1 + 4.11 Kuasi + 1.39 Noise

(1.92) (5.48) ( 5.16) (22.12)R-sq = 0.98 DW = 1.16 F-Stat = 1675.86 S.E. = 0.47

Underlying Inflation

Periode: 06/91 - 06/97UDLCPI = 0.074 + 0.8 UDLCPI(-1) + 0.09 M1 + 0.12 Kuasi + 0.05 Noise

(11.10) ( 0.24) (0.26) ( 2.49)R-sq = 0.82 DW = 1.24 F-Stat = 82.20 S.E. = 0.17

Periode: 06/91 - 12/97UDLCPI = 0.006 + 0.76 UDLCPI(-1) + 0.17 M1 + 0.23 Kuasi + 0.07 Noise

(12.4) (0.48) (0.55) ( 4.03)R-sq = 0.83 DW = 1.16 F-Stat = 96.60 S.E. = 0.17

Periode: 06/91 - 03/98UDLCPI = -1.76 + 0.50 UDLCPI(-1) + 2.62 M1 + 3.4 Kuasi + 0.27 Noise

(1.92) (5.48) (5.16) (22.12)R-sq = 0.94 DW = 1.69 F-Stat = 324.44 S.E. = 0.39

••••• Merujuk pada hasil rekapitulasi diatas maka disusun matriks berikut:

Tabel 2. Matriks Variabel-Variabel Independen yang Secara Statistik Signifikan TerhadapLaju Inflasi IHK dan Underlying Inflation Berdasarkan Peringkat 29

Periode I Periode II Periode III06/91 - 06/97 06/91 - 12/97 06/91 - 03/98

Laju Inflasi IHK M 1 M 1 Uang KuasiUang Kuasi Uang Kuasi M 1Noise Noise NoiseEkspektasi Ekspektasi Ekspektasi

Laju Underlying Ekspektasi Ekspektasi Noise

29 Peringkat disusun sesuai dengan hasil koefisien regresi, sedangkan signifikansi diukur dengan T-Statistik. Pada matriksdiatas hanya ditampilkan variabel-variabel independen yang signifikan pada tingkat 90% keyakinan.

80 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

Inflation M 1Uang KuasiEkspektasi

••••• Beberapa hal yang dapat ditangkap dari matriks diatas adalah bahwa sampai denganperiode pertama dari krisis moneter, yaitu sampai dengan bulan Desember 1997, terlihatdalam jangka pendek laju inflasi sisi permintaan agregat (underlying inflation) masihlebih banyak dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap laju perubahan harga-harga di masadepan. Dilain pihak, untuk perilaku laju inflasi IHK sampai dengan periode ke-duadari krisis moneter, yaitu ketika krisis nilai tukar sudah mulai berkembang menjadi krisismakro moneter (triwulan I / 1998), faktor-faktor yang menjelaskannya tidak berubahdari sebelum krisis nilai tukar terjadi, yaitu: uang beredar, noise, dan ekspektasi. Hal inimenunjukkan bahwa uang beredar merupakan potensi yang dapat mendorong inflasidi sisi permintaan dalam jangka pendek, akan tetapi jika tidak ada faktor-faktor pemicuseperti menurunnya produksi dan distribusi sehingga terjadi kelangkaan pasokan barang,maka uang beredar tidak material sebagai penyebab tekanan inflasi sisi permintaan.

••••• Berkaitan dengan hal diatas, kiranya dapat dicermati bahwa ketika krisis moneter sudahsemakin terekskalasi terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju underlyinginflation tidak hanya ekspektasi, tapi meluas kepada jumlah uang beredar dan noise.Fenomena ini memberi indikasi bahwa pada triwulan I / 1998 faktor noise, yang dapatditerjemahkan sebagai komplikasi dari iklim ketidakpastian usaha dan naiknya biayainput yang mengganggu proses produksi dan distribusi, yang timbul bersamaan denganmeningkatnya ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi telah mentransformasi potensiinflatoi r dari ekses likuiditas menjadi inflasi yang material.

Lampiran 2

Pengujian ‘Random Walks’ Pada Laju Inflasi IHK dan Komponennya

Metodologi

Dengan mendefinisikan random walks sebagai perilaku series yang bervariasi terhadapperubahan waktu dan tidak mempunyai batas variance yang tetap, maka pengujian randomwalks pada laju inflasi IHK adalah pengujian stationarity pada laju inflasi IHK. Jika lajuinflasi IHK terbukti non-stationary, maka laju inflasi IHK yang terjadi dengan berjalannyawaktu cenderung untuk tidak kembali pada suatu kecenderungan jangka panjang yangsama (random walks). Sebaliknya jika laju inflasi IHK ternyata stationary, maka laju inflasiIHK yang terjadi dengan berubahnya waktu akan cenderung kembali pada suatukecenderungan jangka panjang yang tetap.

Uj i stationarity diatas dilakukan dengan melakukan Augmented Dickey Fuller - Test(ADF-Test) terhadap laju inflasi IHK umum dan komponennya (IHK kelompok makanan,perumahan, sandang, dan aneka barang, serta underlying inflation). Tiga bentuk persamaanregresi linear yang digunakan dalam ADF-Test tersebut adalah sebagai berikut:

(Pure Random Walks) δyt = γy

t-1 + Σβ

1δy

t-i + ε

t...................................................................................................... (1)

81Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

(Pure With Drift) δyt = α

0 + γy

t-1 +Σβ

1δy

t-i + ε

t........................................................................................ (2)

(Pure With Drift and Trend) δyt =α

0 + γy

t-1 + α

2t + Σβ

1δy

t-i + εt. ....................................... ( 3)

dimana, yt adalah laju inflasi IHK atau komponennya dan t adalah waktu. Perbedaan

yang terdapat pada tiga persamaan regresi diatas menunjukkan keberadaan trenddeterministik , yaitu a

0 dan a

2t. Persamaan (1) adalah model persamaan ‘random walks’

murni, persamaan (2) menambah komponen intercept ( dri ft), dan persamaan (3)menambah komponen trend. Parameter yang menjadi perhatian dalam kedua sequencepersamaan diatas adalah g, dimana jika g =0, maka sequence g

t mengandung unsur ran-

dom walks. Untuk menguji apakah g secara signifikan berbeda dari nol dilakukanpembandingan antara F-statistik yang diperoleh dari regresi dengan nilai kritikalMcKinnon, yang merupakan replikasi dan perluasan dari nilai kritikal yang pertama kalidi simulasi oleh David A. Dickey dengan metode Monte Carlo 30

Hasil

Dalam pengujian random walks ini digunakan dua periode sampel untuk melihatperbedaan sebelum dan sesudah krisis nilai tukar terjadi. Kedua periode sampel tersebutadalah (1) periode dari bulan Mei 1990 sampai dengan Mei 1997 untuk periode sebelumkrisis nilai tukar, dan (2) periode dari bulan Mei 1990 sampai dengan Maret 1998 untukperiode yang memasukkan krisis nilai tukar sebagai in-sample. Hasil-hasil yang diperolehdari ADF-test dengan menggunakan dua periode sampel yaitu periode sebelum dan sesudahcurrency crisis adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil Uji ADF terhadap Laju Inflasi IHK dan Komponennya

(ADF F-Statistics)

Periode: 05/90 - 05/97 05/90 - 03/98Persamaan: Pure +Drift +Trend Pure +Drift +Trend

IHK -2.47 -4.72 -4.70 0.28* -0.56* -0.61*(-1.61) (-2.58) (-3.25) (-1.61) (-2.58) (-3.23)

Makanan -3.62 -4.99 -5.00 -1.09* -1.86* 2.29*(-1.61) (-2.58) (-3.25) (-1.61) (-2.58) (-3.23)

Perumahan -2.76 -4.18 -4.15 -1.31* -2.74 -2.42*(-1.61) (-2.58) (-3.25) (-1.61) (-2.58) (-3.23)

Sandang -2.31 -4.51 -4.48 0.81* 0.16* 0.023*(-1.61) (-2.58) (-3.25) (-1.61) (-2.58) (-3.23)

Aneka-Barang -3.41 -4.93 -4.87 -1.55* -2.76 -2.67*(-1.61) (-2.58) (-3.25) (-1.61) (-2.58) (-3.23)

Underlying IHK -2.30 -4.78 -4.75 2.34 2.60 2.48*(-1.61) (-2.58) (-3.25) (-1.61) (-2.58) (-3.23)

* Menolak hipotesa bahwa g secara signifikan tidak berbeda dari nol (terdapat unsur

82 Buletin Ekonomi dan Moneter dan Perbankan, Juli 1998

unit root dalam persamaan) sehingga persamaan mengindikasikan adanya perilakurandom walks pada series yang diuji. Angka dalam ( ) adalah McKinnon 10 % CriticalValues. Jika nilai absolut dari ADF F-Statistics berada diatas angka McKinnon, makahipotesa g =0 diterima.

Hasil dari pengujian random walks terhadap laju inflasi IHK diatas menunjukkanbahwa untuk periode sampel yang memasukkan krisis nilai tukar sebagai in-sample l ajuinflasi IHK cenderung berperilaku random walks atau cenderung untuk tidak kembali padasuatu trend jangka panjang yang tetap seperti pada waktu sebelum krisis nilai tukar terjadi.Hal ini ditunjukkan oleh nilai F-Statistics sebelum krisis yang menunjukkan angka-angkaabsolut diatas nilai kritikal untuk menerima keberadaan random walks pada ketiga sequencepersamaan. Setelah krisis nilai tukar terjadi, nilai F-Statistics secara absolut pada sequencepersamaan berada dibawah nilai kritikal McKinnon, yang menandakan bahwa g secarasignifikan berbeda dari nol sehingga series laju inflasi IHK cenderung untuk mengambilperilaku random-walks setelah krisis nilai tukar bereskalasi.

Adapun hasil dari komponen-komponen IHK menunjukkan bahwa non-stationarityyang terjadi pada series laju inflasi IHK setelah krisis nilai tukar disebabkan oleh perilakurandom walks yang terjadi pada harga-harga dari kelompok makanan dan sandang dalamlaju inflasi IHK, dan tidak disebabkan oleh kelompok perumahan dan aneka barang.Perbandingan nilai F-Statistics sebelum dan sesudah terjadi krisis nilai tukar menunjukkanditerimanya hipotesa bahwa g secara signifikan berbeda dari nol pada ketiga sequencepersamaan di kelompok makanan dan sandang, sehingga dapat dikonfirmasi adanyaperilaku random walks pada kedua kelompok tersebut. Sebaliknya untuk kelompokperumahan dan aneka barang, hipotesa keberadaan unsur random walks ditolak padapersamaan pure random walks with drift sehingga perubahan harga-harga pada keduakelompok ini masih mengikuti pola jangka panjang seperti sebelum krisis nilai tukar terjadi.

Selanjutnya, underlying IHK atau underlying inflation yang merupakan laju inflasi sisipermintaan agregat tampak tidak terpengaruh oleh adanya krisis nilai tukar. Nilai F-Statis-tics dari underlying inflation pada dua dari tiga sequence persamaan menolak keberadaanunsur random walks, yaitu persamaan pure random walks dan pure with drift. Hal ini memberiindikasi bahwa demand shock yang terjadi pada dua bulan pertama Triwulan I / 1998 masihbersifat temporer dan masih mungkin untuk dikoreksi melalui kebijakan penyerapan ekseslikuiditas

Kesimpulan

Berdasarkan hasil-hasil dari uji random walks diatas, maka beberapa implikasi temuandapat diajukan disini:

• Laju inflasi IHK dan komponen kelompoknya, khususnya kelompok makanan dansandang cenderung mengikuti pola random walks yang i nflatoi r setelah krisis nilai tukarterjadi dan berekskalasi. Hal ini berarti bahwa dengan berjalannya waktu, kemungkinanbesar perubahan IHK bulanan tidak akan kembali ke kecenderungan jangka panjangnyapada saat sebelum krisis, kecuali jika ada fully blown structural policy yang difokuskanuntuk mencegah adverse shock dari krisis moneter untuk meninggalkan bekas permanendalam struktur perekonomian. Kebijakan tersebut selanjutnya harus diarahkan pada

83Underlying Inflation sebagai Indikator Harga yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter

upaya untuk mendorong kelancaran produksi dan distribusi pada sektor-sektor yangmemproduksi makanan dan sandang.

• Laju underlying inflation tidak secara konklusif mengikuti pola random walks setelah krisisnilai tukar terjadi, ini menandakan bahwa masih mungkin untuk segera mengkoreksitingginya underlying unflation dengan normal measure seperti tight money policy. Ataudengan kata lain dapat disimpulkan bahwa jika ada perubahan pada sisi permintaanagregat, maka perubahan tersebut masih akan konsisten dengan shock temporer padasisi permintaan agregat dan bukan karena permanent demand shock .

• Selanjutnya, mengingat noise inflation adalah laju inflasi IHK dikurangi dengan underly-ing inflation, maka dapat dikatakan bahwa random walks pada inflasi IHK lebih disebabkanoleh random walks pada noise inflation karena underlying inflation secara statistik tidakrandom walks. Dan, noise inflation tersebut terutama datang dari perilaku inflasi kelompokmakanan dan sandang yang random walks.

• Akhirnya, dapat pula disimpulkan bahwa jika tidak dikeluarkan suatu kebijakan yangsecara struktural dapat mendorong supply side, terutama di sektor pangan dan sandang,maka kemungkinan besar adverse shock yang sedang terjadi akan meninggalkan bekaspermanen pada inflasi untuk waktu yang cukup lama.

Daftar Pustaka

Bryan, Michael F. dan Cecchetti, Stephen G., 1993. Measuring Core Inflation. FederalReserve Bank of Cleveland, Working Paper No. 9304, Juni.

Debelle, Guy, 1997. Inflation Targeting in Practice. Economic Research Department,RBA, Desember.

De Brouwer, G. dan O’Regan J., 1997. Evaluating Simple Monetary Policy Rules for Aus-tral ia. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July.

Enders, W. Applied Econometric Time Series. John A. Willey & Sons, 1995.

Grenville, S., 1997 . The Evolution of Monetary Policy: From Money Targets to InflationTargets. RBA, Conference on Monetary Policy and Inflation Targeting, July.

Haldane, AG., 1997. Designing Inflation Target. RBA, Conference on Monetary Policyand Inflation Targeting, July.

Masson, R. P. dan Savastano M. A., dan Sharma Sunil, 1997 . The Scope of InflationTargeting in Developing Countries. IMF Working Paper, Agustus.

Reserve Bank of Australia, 1994. Measuring Underlying Inflation. Bulletin, Agustus.

Roger, Scott, 1995. Measures of Underlying Inflation in New Zealand, 1981-1995. RBNZ,September.