Upload
abinya-faiz
View
213
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
parenting
Citation preview
MENGAJARI ANAK BERBOHONG
Avi (bukan nama sebenarnya), ibu muda yang sudah berputra dua ini jengkel bukan
kepalang. Akhir-akhir ini Faris anak sulungnya yang baru berusia lima tahun seringkali
berbohong. Kemarin ia menumpahkan air minum di ruang tamu, namun ia tidak mau
mengakuinya. Begitu pula tadi pagi, waktu adiknya Sofi menangis karena mainan
hilang. Faris pun mengelak bahwa dia telah mengambilnya, namun ketika dicari ibu
ternyata mainan itu ada di dalam tas sekolah Faris. Sebagai ibu tentu saja Avi cemas, ia
khawatir kebiasaan berbohong ini akan berlanjut hingga si anak dewasa.
Tak tanggung-tanggung, ia pun memarahi Faris habis-habisan, “kecil-kecil sudah pintar
bohong, mau jadi apa kamu kelak? Avi pun menakut-nakuti Faris dengan ancaman
dosa dan neraka, dua hal abstrak yang sama sekali belum dimengerti di benak Faris.
Sang anak pun hanya terdiam sambil menangis, takut. Bukan takut pada dosa dan
neraka, tapi pada kemarahan sang bunda.
Berbohong pasti pernah dilakukan oleh semua anak manapun. Memang wajar bahwa
sekali waktu anak berbohong kepada orangtua. Bahkan Menurut Dr. Supra Wimbarti,
MSc., seorang pakar perkembangan psikologi dari UGM, pada perkembangan anak
terdapat fase dimana anak mulai berbohong. Fase ini muncul mulai usia 4 tahun. Hal ini
terjadi akibat dari perkembangan kemampuan kognisi. Jadi sikap berbohong pada fase
ini bukanlah 'penyakit', melainkan hal yang wajar-wajar saja.
Akan tetapi, bila berbohong menjadi kebiasaan anak, tentu orang tua merasa jengkel dan
khawatir akan masa depan anak. Akibatnya mereka akan berusaha menghentikan
kebohongan anaknya dengan menggunakan kata-kata ancaman bahkan kekerasan, atau
juga kata-kata 'dosa' dan 'neraka'. Hal yang sepenuhnya belum dipahami oleh si anak.
Tapi, bagaimanapun juga anak harus diperkenalkan dengan konsep perbuatan baik dan
buruk sedini mungkin. Walaupun pada fase tertentu anak berbohong adalah wajar,
namun jika tidak diantisipasi, sikap tersebut akan berlanjut menjadi kebiasaan.
Namun sebenarnya lebih penting bagi kita untuk mengetahui apa sebenarnya penyebab
anak berbohong. Karena dengan begitu kita akan lebih mudah mencegahnya sebelum
perbuatan itu terjadi.
Ada beberapa hal yang menyebabkan anak berbohong antara lain: (1) Anak suka
berbohong untuk melindungi dirinya. Misalnya dari hukuman orang tua. (2) Anak
membutuhkan perhatian dari orang tuanya dan lingkungannya. (3) Anak belum dapat
membedakan antara kenyataan dan fantasi, biasanya muncul pada anak kecil. (4)
Mencontoh orang tua dan perilaku orang di sekitarnya.
Nah...poin ke empat ini yang akan coba kita sorot. Seringkali, orang tua merasa bahwa
sikap jujur hanyalah kewajiban anak. Sedangkan mereka yang sudah dewasa boleh-
boleh saja berbohong meski kecil. Ketika si anak menumpahkan susu coklat di karpet
misalnya, karena takutnya, ia mungkin akan berkata, “Bukan saya, Mama!” Lalu,
orangtua akan marah dan membentaknya, “Jangan bohong!” Tapi, tanpa sadar, orangtua
pun sering membohongi anak. Bila kita merasa lelah lalu si anak mengajak bermain ke
taman, orangtua dengan enteng, “Besok, ya sayang!” Tapi, esok hari, apa yang terjadi?
Seringkali orangtua melupakan janji itu begitu saja. Begitu juga ketika ada telepon
berbunyi, sedangkan orang tua sedang malas mengangkat telepon, ia meminta kepada si
anak untuk mengatakan bahwa mereka sedang pergi atau tidur.
Hal-hal seperti inilah yang akan menanamkan kebiasaan berbohong anak. Jika para
orang tua sering berbohong ringan atau diistilahkan “bohong kecil”, maka dampaknya
ternyata besar. Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat
membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak
menganggap semua yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai
tidak menuruti segala perkataan kita. Gawat kan???
Syaikh Abdul Hamid Jasim Al-Bilali dalam bukunya “Seni Mendidik Anak”
menyebutkan, “Penyebab kenakalan anak (termasuk di antaranya berbohong) adalah
karena contoh yang buruk. Menurut Al-Bilali, “Seorang anak tentu tidak mudah
menerima anjuran kebaikan dari orangtuanya jika ternyata perbuatan orang tua mereka
sendiri bertolak belakang dari apa yang diperintahkan. Anak disuruh berkata jujur,
tetapi mereka sendiri sering berdusta dan jika berjanji tidak ditepati.”
Lebih tegasnya Allah berfirman dalam surat Ash-Shaf, “Sungguh besar dosanya di sisi
Allah bahwa kalian berbicara apa yang tidak kalian lakukan.”(QS Ash Shaff: 3)
Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?
1. Lebih banyak menunjukkan penerimaan terhadap anak
Ketika anak merasa dicintai seutuhnya dan diterima apa adanya dengan segala
kelemahannya, anak merasa tidak perlu berbohong. Saat anak melakukan kesalahan,
orangtua bisa menegurnya tanpa menyudutkan atau mengolok-olok anak. Hukuman atas
kesalahan anak sebaiknya juga tidak terlalu berat, supaya anak tidak merasa terlalu takut
menghadapi kesalahannya.
2. Memberikan hukuman atas kebohongan anak dan memberikan penghargaan atas
kejujurannya
Berikan sanksi jika memang perlu. Sebaiknya sanksi lebih bersifat sosial dan mendidik.
Contoh: jika si kakak mengambil roti bagian adik namun pura-pura tidak tahu ketika
ditanya, maka sanksinya adalah besok kakak tidak akan mendapat jatah roti. Namun
sebaliknya, apabila anak jujur mengakui kesalahannya, orangtua hendaknya
memberikan penghargaan terhadap kejujurannya itu dengan memperingan hukuman
yang semestinya diterima anak akibat telah melakukan perbuatan yang salah. Katakan
kepada anak, bahwa jika ia mau jujur, Anda akan sedapat mungkin berusaha mengatasi
masalah yang timbul akibat kesalahannya.
3.Berusaha mencari fakta secara lengkap
Apabila orangtua mulai curiga bahwa anak menyembunyikan masalah, orangtua bisa
berusaha mengumpulkan bukti-bukti dari sumber lain selain anak. Kemudian, sesudah
orangtua yakin mengetahui faktanya, orangtua langsung membicarakan masalah
tersebut dengan anak. Pembicaraan ini hendaknya difokuskan untuk mencari jalan
pemecahan masalah, bukannya untuk menyalah-nyalahkan anak.
4. Menyajikan model/contoh kejujuran
Orangtua bisa memberikan teladan kejujuran dengan cara menepati janji yang dibuat
dengan anak, mau mengakui kesalahan, dan tidak berkata bohong kepada anak maupun
orang lain. Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan
pengertian: Misalnya : “Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor untuk bekerja. Kamu
tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama berlibur ke rumah nenek, kamu tentu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan merasa bersalah dengan keadaan ini. Tentu
membutuhkan waktu lebih untuk memahamkan anak karena biasanya mereka menangis.
Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu
pergi di pagi hari. Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara
terus menerus. Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu
pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke
tempat selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam
mengatakan sesuatu. Lambat laun InsyaAllah Anak akan mampu memahami yang kita
katakan dan menuruti yang kita katakan.