3
Menganyam Asa di Tubir Selat Malam itu, langit mengukuhkan kelam. Angin yang bertiup tak pula surut seakan menyatu dengan alunan ombak yang mengusap bibir pantai. Kami baru saja tiba dari Penutuk, pelabuhan tradisional tempat pendaratan perahu yang membawa kami dari dermaga Sadai. Sebuah mobil pick-up yang entah keluaran tahun berapa membawa kami menuju Desa Tanjung Sangkar, Kecamatan Lepar Pongok, Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tak nyaman memang berada di mobil dengan dua jok bangku saling berhadapan. Apalagi jalanan tidak terpoles aspal, bahkan mendaki dan berkelok. “Beda dengan Toboali dan Pangkalpinang ya, Pak?” tanya lelaki baya yang menjadi sopir kami malam itu. “Di sekeliling kita banyak pohon kelapa sawit,” sambungnya lagi. Kami mengiyakan pertanyaan yang lebih merupakan pernyataan miris sang sopir. Percakapan pun melebar tentang kondisi pesisir yang sangat jarang tersentuh pembangunan. Beberapa rekan dari media cetak lokal dan televisi nasional sempat pula bergumam mengenai adanya kesan “anak tiri” bagi daerah kepulauan. Selama perjalanan yang hampir memakan waktu dua jam, benak kami disesaki berjuta prihatin menyaksikan kondisi ini. Tapi apa mau dikata, anggaran daerah untuk pembangunan daerah pulau-pulau kalah jauh dibanding penataan perkotaan. Sementara alokasi APBN ibarat jauh panggang dari api. Itu karena Pemerintah Pusat memperhitungkan kawasan daratan dalam memberlakukan Dana Alokasi Umum (DAU). Sekitar pukul 20.00 Wib, kami baru tiba di rumah Rasyid, salah seorang tokoh masyarakat Tanjung Sangkar. Dengan ramah, keluarga Rasyid menerima kedatangan kami. Rupanya di meja makan sudah terhidang santap malam. Ada kepiting keremangok rebus dalam ukuran besar, ikan panggang, lempah kuning pelanduk dicampur daging singkong. Tanpa mandi, kami langsung diajak menikmati keramahan “orang pulau”. Ketika jarum jam beranjak mendekati angka 10, kami masih asyik berbincang-bincang dengan warga. Aroma kopi kental dan hangatnya pisang goreng yang terhidang di tatakan piring di teras beranda rumah Rasyid, menambah panjang malam itu.

Menganyam Asa di Tubir Selat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tak terasa, malam kian pekat tetapi udara Tanjung Sangkar tetaplah hangat, membawa kami masuk ke dalam rumah untuk menganyam mimpi dan asa di tubir selat. Tapi warga di sana, tidak akan pernah kehilangan kisah tentang kuatnya kemauan anak-anak pulau untuk lebih tahu tentang dunia luar, tentang pulau mereka yang tersisihkan dari proses pembangunan bangsa.

Citation preview

Page 1: Menganyam Asa di Tubir Selat

Menganyam Asa di Tubir Selat

Malam itu, langit mengukuhkan kelam. Angin yang bertiup tak pula surut seakan menyatu dengan alunan ombak yang mengusap bibir pantai. Kami baru saja tiba dari Penutuk, pelabuhan tradisional tempat pendaratan perahu yang membawa kami dari dermaga Sadai.Sebuah mobil pick-up yang entah keluaran tahun berapa membawa kami menuju Desa Tanjung Sangkar, Kecamatan Lepar Pongok, Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.Tak nyaman memang berada di mobil dengan dua jok bangku saling berhadapan. Apalagi jalanan tidak terpoles aspal, bahkan mendaki dan berkelok.“Beda dengan Toboali dan Pangkalpinang ya, Pak?” tanya lelaki baya yang menjadi sopir kami malam itu.“Di sekeliling kita banyak pohon kelapa sawit,” sambungnya lagi.Kami mengiyakan pertanyaan yang lebih merupakan pernyataan miris sang sopir. Percakapan pun melebar tentang kondisi pesisir yang sangat jarang tersentuh pembangunan. Beberapa rekan dari media cetak lokal dan televisi nasional sempat pula bergumam mengenai adanya kesan “anak tiri” bagi daerah kepulauan.Selama perjalanan yang hampir memakan waktu dua jam, benak kami disesaki berjuta prihatin menyaksikan kondisi ini. Tapi apa mau dikata, anggaran daerah untuk pembangunan daerah pulau-pulau kalah jauh dibanding penataan perkotaan. Sementara alokasi APBN ibarat jauh panggang dari api. Itu karena Pemerintah Pusat memperhitungkan kawasan daratan dalam memberlakukan Dana Alokasi Umum (DAU).Sekitar pukul 20.00 Wib, kami baru tiba di rumah Rasyid, salah seorang tokoh masyarakat Tanjung Sangkar. Dengan ramah, keluarga Rasyid menerima kedatangan kami. Rupanya di meja makan sudah terhidang santap malam. Ada kepiting keremangok rebus dalam ukuran besar, ikan panggang, lempah kuning pelanduk dicampur daging singkong. Tanpa mandi, kami langsung diajak menikmati keramahan “orang pulau”.Ketika jarum jam beranjak mendekati angka 10, kami masih asyik berbincang-bincang dengan warga.Aroma kopi kental dan hangatnya pisang goreng yang terhidang di tatakan piring di teras beranda rumah Rasyid, menambah panjang malam itu.“Untuk mengusir dingin,” kata Rasyid berkelakar di sela teriakan anak-anak yang sedang bermain petak umpet di halaman rumah.Sambil mengunyah pisang goreng buatan istrinya, Rasyid menuturkan kondisi Tanjung Sangkar dan sekitarnya. Mulai dari pembukaan jalan, hadirnya kebun kelapa sawit milik pengusaha hingga dibangunnya tangki penampungan air di desa itu. Bahkan kisah klasik tentang listrik dengan pembangkit tenaga diesel milik warga yang hanya menyala pada malam hari, pun menjadi konsumsi perbincangan. “Mulai dari Penutuk sampai ke sini, tidak banyak fasilitas umum pemerintah yang dinikmati masyarakat. Mungkin karena kami orang pulau,” ujarnya lirih.Dari cerita Rasyid, sekilas kami dapat menangkap keresahan hati warga di sana, termasuk nelayan yang begitu susah menjual hasil tangkapannya. Sementara untuk pasaran setempat, harga ikan perkilogram masih dalam nilai di bawah belasan ribu rupiah. Hal ini tidak berimbang dengan biaya yang dikeluarkan nelayan untuk melaut, terutama BBM. Makanya mereka berusaha menjual dengan harga lebih walaupun harus mengeluarkan biaya tambahan, misalnya menyeberang ke Sadai, untuk dipasarkan di Toboali atau ke tengkulak yang kemudian dibawa ke Pangkalpinang. Tidak sedikit pula yang memasarkannya ke Tanjungpandan, Pulau Belitung.

Page 2: Menganyam Asa di Tubir Selat

Rumitnya transaksi hasil tangkapan nelayan ini, menurut Rasyid, akibat minimnya sarana pendukung dari pemerintah untuk aktifitas nelayan. Pelabuhan tradisional hanyalah bersifat pendaratan sesaat yang sangat tidak menjanjikan.Sementara untuk menjual di tempat lain, itupun dengan tambahan biaya tranportasi yang relatif tinggi serta menurunnya harga karena kondisi ikan terlalu lama dibekukan selama perjalanan menuju daratan. “Berarti ini menambah beban nelayan,” kisahnya.Begitu pula dengan kondisi pendidikan. Gedung-gedung sekolah terasa sangat memprihatinkan. Di Pulau Kelapan misalnya, sekitar setengah jam perjalanan dengan perahu dari Tanjung Sangkar, terdapat SD yang hanya berdinding anyaman daun kelapa. Padahal anak-anak di sana memiliki kemauan kuat untuk bersekolah. Dengan kondisi seperti itu, jangankan anak-anak, tenaga guru pun mungkin tidak betah mengajar bahkan ada yang minta dimutasi ke daratan.Sedangkan fasilitas lain semacam puskesmas, tidak menawarkan rasa nyaman para pasien dan tenaga kesehatan seperti bidan. Meskipun tenaga teknis guru dan bidan menerima insentif mengabdi di daerah terpencil, akan tetapi tidak sebanding dengan rasa “terisolir” yang mereka jalani sepanjang waktu.“Makanya kami butuh perhatian pemerintah. Jangan cuma daerah kota yang dibangun karena orang pulau juga merupakan warga yang berhak menikmati hasil pembangunan,” pinta Rasyid setengah protes.Sebagai tokoh masyarakat, ia tidak segan-segan mencari informasi dan berinteraksi dengan dunia luar untuk memajukan desanya. Rasyid yang sehari-hari bekerja sebagai perpanjangan tangan distributor salah satu produsen rokok, dan pulang-pergi minimal seminggu sekali dengan rute Tanjung Sangkar-Sadai-Toboali-Pangkalpinang, merasa miris bila membandingkan kemajuan Lepar Pongok dengan Toboali, misalnya. Karenanya ia berkeinginan bangkit dengan menitipkan harapan kepada anak-anak mereka yang bersekolah.“Mudah-mudahan mereka kelak bisa membangun pulau ini,” harap Rasyid yang menyekolahkan putri sulungnya di salah satu SLTP di Toboali.Tak terasa, malam kian pekat tetapi udara Tanjung Sangkar tetaplah hangat, membawa kami masuk ke dalam rumah untuk menganyam mimpi dan asa di tubir selat. Tapi warga di sana, tidak akan pernah kehilangan kisah tentang kuatnya kemauan anak-anak pulau untuk lebih tahu tentang dunia luar, tentang pulau mereka yang tersisihkan dari proses pembangunan bangsa.