Upload
sitti-nur-qomariah
View
273
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Mengapa kelenjar tiroid membesar?
Jika kelenjar tiroid membesar, kondisi ini dikenal sebagai “goiter” (gondok). Adanya gondok tidak hanya menunjukkan bahwa kelenjar tiroid tidak berfungsi dengan benar, namun bisa pula menunjukkan masalah kesehatan yang lebih serius, misalnya gangguan tiroid atau bahkan kanker.
Pembesaran tiroid bisa menimbulkan rasa nyeri atau ketidaknyamanan. Pembesaran tiroid dapat menyebabkan perubahan pada kualitas suara, menghalangi jalan napas, dan bisa menyebabkan tersedak makanan atau cairan tertentu.
Berikut adalah beberapa masalah kesehatan yang bisa menyebabkan kelenjar tiroid membesar:
Salah satu penyebab goiter alias gondok yang paling sering di dunia ialah kekurangan yodium. Kelenjar tiroid tidak dapat menghasilkan hormon tiroid memadai tanpa yodium yang cukup. Untuk mengatasi, di Indonesia, zat ini biasanya ditambahkan pada bahan yang digunakan sehari-hari, seperti garam. Jika kekurangan yodium, kelenjar pituitary melepaskan TSH merangsang kelenjar tiroid meningkatkan produksinya.
Rangsangan berlebihan dalam jangka waktu lama mengakibatkan kelenjar tiroid membesar.
1. Penyakit Graves
Penyakit Graves adalah bentuk hipertiroidisme dengan komponen autoimun. Antibodi dalam sistem kekebalan tubuh keliru melihat tiroid sebagai “musuh” dan melancarkan serangan.
Hal ini menyebabkan kelenjar menjadi terstimulasi berlebihan sehingga memproduksi hormon tiroid yang berlebihan. Pada akhirnya kelenjar menjadi memburuk dan gondok akan terbentuk.
2. Penyakit Hashimoto
Seperti halnya penyakit Graves, penyakit Hashimoto juga merupakan gangguan autoimun. Namun, alih-alih menghasilkan tiroid berlebih, kondisi ini memicu hipotiroidisme atau menyebabkan kelenjar tiroid tidak menghasilkan jumlah hormon yang cukup.
Meskipun demikian, kelenjar pituitari terus mengirim thyroid-stimulating hormone (TSH) kepada tiroid, sehingga memperburuk kondisi kelenjar tiroid dan menyebabkannya mengalami pembesaran.
3. Thyroid Nodules & Solitary Nodules (Nodul Tiroid)
Pembesaran kelenjar tiroid bisa menghasilkan multiple nodul padat atau nodul yang berisi cairan yang tumbuh di kedua lobus tiroid atau nodul tunggal yang tumbuh hanya pada satu sisi tiroid.
Pada kebanyakan kasus, nodul-nodul ini jinak dan tidak memiliki potensi untuk berkembang menjadi kanker.
4. Kanker Tiroid
Kanker tiroid lebih jarang terjadi dibandingkan nodul tiroid. Jenis pembesarannya biasanya terjadi hanya pada satu sisi dari kelenjar tiroid.
5. Tiroiditis
Tiroiditis adalah peradangan kelenjar tiroid yang bisa disebabkan oleh kondisi kesehatan atau terkadang setelah masa kehamilan. Beberapa bentuk tiroiditis disebabkan oleh infeksi bakteri, namun ini sangat jarang terjadi.
Meskipun tiroiditis bisa terjadi karena hubungannya dengan penyakit Hashimoto dan penyakit Graves, namun umumnya hanya bersifat sementara.
6. Kekurangan Yodium
Bahan bakar yang diperlukan kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon adalah yodium. Karena yodium sudah ditambahkan pada garam meja dan makanan lainnya, masyarakat yang tinggal di negara maju hampir tidak pernah mengalami pembesaran tiroid karena kekurangan yodium.
. Sistesis dan Sekresi Hormon Tiroid
Sintesis dari T4 dan T3 oleh kelenjar tiroid melibatkan enam langkah utama: (1) transpor
aktif dari I melintasi membrana basalis ke dalam sel tiroid (trapping 4 of iodide); (2) oksidasi
dari iodida dan iodinasi dari residu tirosil dalam tiroglobulin; (3) penggabungan molekul
iodotirosin dalam toirglobulin membentuk T3 dan T4; (4) proteolisis dari tiroglobulin, dengan
pelepasan dari iodotirosin dan iodotironin bebas; (5) deiodinasi dari iodotirosin di dalam sel
tiroid, dengan konservasi dan penggunaan dari iodida yang dibebaskan, dan (6) di bawah
lingkungan tertentu, deiodinisasi-5' dari T4 menjadi T3 intratiroidal.
Kontrol Fungsi Tiroid
Pertumbuhan dan fungsi dari kelenjar tiroid paling sedikit dikendalikan empat mekanisme :
(1) sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, di mana hormon pelepas-tirotropin hipotalamus
(TRH) merangsang sintesis dan pelepasan dari hormon perangsang-tiroid hipofisis anterior
(TSH), yang pada gilirannya merangsang sekresi hormon dan pertumbuhan oleh kelenjar
tiroid
(2) deiodininase hipofisis dan perifer, yang memodifikasi efek dari T4 dan T3
(3) autoregulasi dari sintesis hormon oleh kelenjar tiroid sendiri dalam hubungannya dengan
suplai iodinnya
(4) stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi reseptor TSH (1,2).
Tirotropin
Thyroid-stimulating hormone (hormon perangsang-tiroid), atau tirotropin (TSH),
merupakan suatu glikoprotein yang disintesis dan disekresikan oleh tirotrop dari kelenjar
hipofisis anterior. Mempunyai berat molekul sekitar 28.000 dan terdiri dari dua subunit yang
dihubungan secara kovalen, alfa dan beta. Subunit alfa lazim untuk dua glikoprotein hipofisis
lain, FSH dan LH, dan juga untuk hormon plasenta hCG; subunit beta berbeda untuk setiap
hormon glikoprotein dan memberikan sifat pengikatan dan aktivitas biologik yang spesifik.
Subunit alfa manusia mempunyai suatu inti apoprotein dari 92 asam amino dan mengandung
satu rantai o ligosakarida.
Glikosilasi terjadi dalam retikulum endoplasma kasar dan Golgi dari tirotrop, di mana
residu glukosa, manosa, dan fukosa dan sulfat terminal atau residu asam sialik dihubungkan
dengan inti apoprotein. Fungsi dari residu karbohidrat ini tidak seluruhnya jelas, tetapi ada
kemungkinan bahwa mereka meningkatkan aktivitas biolgik TSH dan memodifikasi
kecepatan bersihan metaboliknya. Contohnya, TSH deglikosilasi akan berikatan dengan
reseptornya, tetapi aktivitas biologiknya menurun secara nyata dan kecepaatn bersihan
metaboliknya meningkat dengan nyata.
e. Efek dari TSH terhadap Sel Tiroid
TSH mempunyai banyak aksi pada sel tiroid. Sebagian besar dari aksinya diperantarai
melalui sistem G protein-adenilil siklase-cAMP, tetapi aktivasi dari sistem fosfatidilinositol
(PIP2) dengan peningkatan dair kalsium intraselular dapat juga terlibat). Aksi utama dari TSH
termasuk yang berikut ini :
1. Perubahan Morfologi Sel Tiroid :
TSH secara cepat menimbulkanpseudopod pada batas sel-koloid, mempercepat
resorpsi tiroglobulin.Kandungan koloid berkurang. Tetesan koloid intraselular dibentuk
danpembentukan lisosom dirangsang, meningkatkan hidrolisis tiroglobulin .
2. Pertumbuhan Sel :
Masing-masing sel tiroid bertambah ukurannya;vaskularisasi meningkat; dan
setelah beberapa waktu, timbul pembesarantiroid, atau goiter.
3. Metabolisme Iodin :
TSH merangsang semua fase metabolismeiodida, dari peningkatan ambilan dan
transpor iodida hingga peningkatan iodinasi tiroglobulin dan peningkatan sekresi hormon
tiroid. Peningkatan dari cAMP memperantarai peningkatan transpor iodida, sementara
hidrolisa PTP2 dan peningkatan Ca2+ intraselular merangsang iodinasi dari tiroglobulin.
Efek TSH terhadap transpor iodida adalah bifasik : Pada awalnya terdepresi (effluks
iodida); dan kemudian, setelah suatu kelambatan beberapa jam, ambilan iodida
meningkat. Efluks dari iodida dapat disebabkan oleh peningkatan yang cepat dari
hidrolisis tiroglobulin dengan pelepasan hormon dan keluarnya iodida dari kelenjar.
4. Peningkatan mRNA untuk tiroglobulin dan peroksidase tiroidal, dengan suatu
peningkatan pemasukan I ke dalam MIT, DIT, T3 dan T4.
5. Peningkatan aktivitas lisosomal, dengan peningkatan sekresi T4 dan T3 dari kelenjar.
Juga terdapat peningkatan aktivitas deiodinase-5' tipe 1, memelihara iodin intratiroid.
6. TSH mempunyai banyak efek lain terhadap kelenjar tiroid, termasuk stimulasi dari
ambilan glukosa, konsumsi oksigen, produksi CO2, dan suatu peningkatan dari oksidase
glukosa via lintasan heksosemonofosfat dan siklus Krebs. Terdapat suatu percepatan
penggantian fosfolipid dan perangsangan sintesis prekursor purin dan pirimidin, dengan
peningkatan sintesis DNA dan RNA.
TSH Serum
Secara normal, hanya subunit α dan TSH utuh ditemukan dalam serum. Kadar dari subunit α
adalah sekitar 0,5-2,0 µg/L; terjadi peningkatan pada wanita pascamenopause dan pada pasien
dengan TSH-secreting pituitari tumor . Kadar serum dari TSH adalah sekitar 0,5-5 mU/L;
meningkat pada hipotiroidisme dan menurun pada hipertiroidisme, baik karena endogen
ataupun akibat asupan hormon tiroid per oral yang berlebihan. Waktu-paruh TSH plasma
adalah sekitar 30 menit, dan kecepatan produksi harian adalah sekitar 40-150 mU/hari.
Kontrol Sekresi TSH Hipofisis
Dua faktor utama yang mengendalikan sintesis dan pelepasan TSH adalah kadar T3
intratirotrop, yang mengontrol mRNA untuk sintesis dan pelepasan TS, dan TRH, yang
mengendalikan glikosilasi, aktivasi, dan pelepasan TSH . Sintesis dan pelepasan dihambat
oleh kadar serum T4 dan T3 yang tinggi (hipertiroidisme) dan dirangsang oleh kadar hormon
tiroid rendah (hipotiroidisme). Di samping itu, hormon-hormon dan obat-obatan tertentu
menghambat sekresi TSH. Dalam hal ini termasuk somatostatin, dopamin, agonis dopamin
seperti bromokriptin, dan glukokortikoid. Penyakit akut dan kronik dapat menyebabkan
penghambatan dari sekresi TSH selama penyakit aktif, dan kemungkinan terdapat peningkatan
balik dari TSH pada saat pasien pulih. Besarnya efek ini bervariasi; dengan demikian, obat-
obatan yang disebutkan di atas mensupresi TSH serum, tetapi biasanya akan dapat dideteksi.
Sebaliknya, hipertiroidisme akan menghentikan sekresi TSH sama sekali. Pengamatan ini
secara klinik penting dalam menginterpretasi kadar TSH serum pada pasien yang
mendapatkan terapi ini. Lesi atau tumor destruktif dari hipotalamus atau hipofisis anterior
dapat mengganggu sekresi TRH dan TSH dengan destruksi dari sel-sel sekretori. Hal ini akan
menimbulkan "hipotiroidisme sekunder" akibat destruksi tirotrop hipofisis atau
"hipotiroidisme tersier" akibat destruksi dari TRH-secreting neuron. Diagnosis banding dari
lesi ini dibahas di bawah .
. Kerja Hormon Tiroid
1. Reseptor Hormon Tiroid
Hormon tiroid, T3 dan T4, beredar dalam plasma sebagian besar terikat pada protein
tetapi dalam keseimbangan dengan hormon bebas. Hormon bebaslah yang diangkut melalui
difusi pasif ataupun karier spesifik melalui membran sel, melalui sitoplasma sel, untuk
berikatan dengan suatu reseptor pesifik pada inti sel. Di dalam sel, T4 diubah menjadi T3
melalui deiodinase-5', menunjukkan bahwa T4 merupakan suatu prohormon dan T3 adalah
bentuk hormon aktif. Reseptor inti untuk T3 telah dimurnikan. Merupakan salah satu dari
"keluarga" reseptor, kesemuanya sama dengan reseptor untuk retrovirus yang menyebabkan
eritroblastosis pada anak ayam, v-erb A, dan terhadap reseptor inti untuk glukokortikoid,
mineralokortikoid, estrogen, progestin, vitamin D3, dan asam retinoat.
Reseptor hormon tiroid manusia (hTR) terdapat dalam paling tidak tiga bentuk : hTR-α 1
dan 2 dan hTR-β1. hTR-α mengandung 410 asam amino, mempunyai berat molekul sekitar
47.000, dan gennya terletak pada kromosom 17. hTR-β mengandung 456 asam amino, dengan
berat molekul sekitar 52.000, dan gennya terdapat pada kromosom 3. Setiap reseptor
mengandung tiga daerah spesifik: suatu daerah amino terminal yang meningkatkan aktivitas
reseptor; suatu daerah pengikat-DNA sentral dengan dua "jari-jari" sistein-seng; dan suatu
daerah pengikat hormon terminal karboksil. Ada kemungkinan bahwa hTR-βl dan hTR-α1
merupakan bentuk reseptor yang aktif secara biologik; hTR-α2 tidak mempunyai kemampuan
mengikat hormon, tetapi berikatan dengan unsur respons hormon tiroid (TRE) pada DNA dan
dengan demikian dapat bertindak pada beberapa kasus untuk menghambat aktivitas dari T3 .
Afinitas pengikatan dari analog T3 terhadap reseptor T3 berbanding langsung dengan
aktivitas biologik dari analog. Mutasi titik pada gen hTR-β, yang menimbulkan reseptor T3
abnormal, merupakan penyebab dari sindroma resistensi generalisata terhadap hormon tiroid.
Reseptor hormon tiroid berikatan dengan tempat TRE spesifik pada DNA tanpa adanya
T3 tidak seperti kasus dengan reseptor hormon steroid. TRE terletak dekat, dengan promotor
di mana transkripsi dari gen hormon tiroid spesifik yang responsif diawali. T3 yang berikatan
dengan reseptor menimbulkan stimulasi, atau pada beberapa kasus inhibisi, dari transkripsi
gen-gen ini dengan akibat timbulnya perubahan dari tingkat transkripsi mRNA dari mereka.
Perubahan dalam tingkatan mRNA ini mengubah tingkatan dari produk protein dari gen ini.
Proetin ini kemudian memperantarai respons hormon tiroid. Reseptor ini sering berfungsi
sebagai heterodimer dengan faktor transkripsi lain seperti reseptor retinoat X dan reseptor
asam retinoat.
2. Efek Fisiologik Hormon Tiroid
Efek transkripsional dari T3 secara karakteristik memperlihatkan suatu lag time berjam-
jam atau berhari-hari untuk mencapai efek yang penuh. Aksi genomik ini menimbulkan
sejumlah efek, termasuk efek pada pertumbuhan jaringan, pematangan otak, dan peningkatan
produksi panas dan konsumsi oksigen yang sebagian disebabkan oleh peningkatan aktivitas
dari Na+-K+ ATPase, produksi dari reseptor beta-adrenergik yang meningkat. Sejumlah aksi
dari T3 tidak genomik, seperti penurunan dari deiodinase-5' tipe 2 hipofisis dan peningkatan
dari transpor glukosa dan asam amino. Sejumlah efek spesifik dari hormon tiroid diringkaskan
berikut ini.
3. Efek pada Perkembangan Janin
Sistem TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia sekitar 11
minggu. Sebelum saat ini, tiroid janin tidak mengkonsentrasikan I. Karena kandungan
plasenta yang tinggi dari deiodinase-5 tipe 3, sebagian besar T3 dan T4 maternal diinaktivasi
dalam plasenta, dan sangat sedikit sekali hormon bebas mencapai sirkulasi janin. Dengan
demikian, janin sebagian besar tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri. Walaupun sejumlah
pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya sekresi hormon tiroid janin, perkembangan otak dan
pematangan skeletal jelas terganggu, menimbulkan kretinisme (retardasi mental dan
dwarfisme/cebol).
4. Efek pada Konsumsi Oksigen, Produksi panas, dan Pembentukan Radikal Bebas
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas sebagian melalui stimulasi Na+-K+
ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien, dan testis. Hal ini berperan pada peningkatan
kecepatan metabolisme basal (keseluruhan konsumsi O2 hewan saat istirahat) dan peningkatan
kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme. Hormon tiroid juga menurunkan kadar
dismutase superoksida, menimbulkan peningkatan pembentukan radikal bebas anion
superoksida. Hal ini dapat berperan pada timbulnya efek mengganggu dari hipertiroidisme
kronik.
5. Efek Kardiovaskular
T3 merangsang transkripsi dari rantai berat α miosin dan menghambat rantai berat β
miosin, memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga meningkatkan transkripsi dari Ca2+
ATPase dalam retikulum sarkoplasmik, meningkatkan kontraksi diastolik jantung; mengubah
isoform dari gen Na+ -K+ ATPase gen; dan meningkatkan reseptor adrenergik-beta dan
konsentrasi protein G. Dengan demikian, hormon tiroid mempunyai efek inotropik dan
kronotropik yang nyata terhadap jantung. Hal ini merupakan penyebab dari keluaran jantung
dan peningkatan nadi yang nyata pada hipertiroidisme dan kebalikannya pada hipotiroidisme.
6. Efek Simpatik
Seperti dicatat di atas, hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor adrenergik-beta
dalam otot jantung, otot skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit. Mereka juga menurunkan
reseptor adrenergik-alfa miokardial. Di samping itu; mereka juga dapat memperbesar aksi
katekolamin pada tempat pascareseptor. Dengan demikian, kepekaan terhadap katekolamin
meningkat dengan nyata pada hipertiroidisme, dan terapi dengan obat-obatan penyekat
adrenergik-beta dapat sangat membantu dalam mengendalikan takikardia dan aritmia.
7. Efek Pulmonar
Hormon tiroid mempertahankan dorongan hipoksia dan hiperkapne normal pada pusat
pernapasan. Pada hipotiroidisme berat, terjadi hipoventilasi, kadangkadang memerlukan
ventilasi bantuan.
8. Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular akan O2 pada hipertiroidisme menyebabkan peningkatan
produksi eritropoietin dan peningkatan eritropoiesis. Namun, volume darah biasanya tidak
meningkat karena hemodilusi dan peningkatan penggantian eritrosit. Hormon tiroid
meningkatkan kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit, memungkinkan peningkatan disosiasi
O2 hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 kepada jaringan. Keadaan yang sebaliknya
terjadi pada hipotiroidisme.
9. Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, yang dapat menimbuklan peningkatan
motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit usus serta konstipasi pada
hipotiroidisme. Hal ini juga menyumbang pada timbulnya penurunan berat badan yang sedang
pada hipotiroidisme dan pertambahan berat pada hipotiroidisme.
10. Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, meningkatkan resorpsi
tulang, dan hingga tingkat yang lebih kecil, pembentukan tulang. Dengan demikian,
hipertiroidisme dapat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada kasus berat,
hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan peningkatan ekskresi hidroksiprolin urin dan
hubungan-silang pyridinium.
11. Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak protein struktural,
pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian protein dan kehilangan jaringan otot
atau miopati. Hal ini dapat berkaitan dengan kreatinuria sontan. Terdapat juga suatu
peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot, secara klinik diamati adanya hiperefleksia
atau hipertiroidisme-atau sebaliknya pada hipotiroidisme. Hormon tiroid penting untuk
perkembangan dan fungsi normal dari susunan saraf pusat, dan hiperaktivitas pada
hipertiroidisme serta kelambanan pada hipotiroidisme dapat mencolok.
12. Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hati demikian pula
absorpsi glukosa usus. Dengan demikian, hipertiroidisme akan mengeksaserbasi diabetes
melitus primer. Sintesis dan degradasi kolesterol keduanya meningkat oleh hormon tiroid.
Efek yang terakhir ini sebagian besar disebabkan oleh suatu peningkatan dari reseptor low-
density lipoprotein (LDL) hati, sehingga kadar kolesterol menurun dengan aktivitas tiroid
yang berlebihan. Lipolisis juga meningkat, melepaskan asam lemak dan gliserol. Sebaliknya,
kadar kolesterol meningkat pada hipotiroidisme.
13. Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan pergantian metabolik dari banyak hormon dan obat-obatan
farmakologik. Contohnya, waktu-paruh dari kortisol adalah sekitar 100 menit pada orang
normal, sekitar 50 menit pada pasien hipertiroid, sekitar 150 menit pada pasien hipotiroid.
Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien hipertiroid; dengan fungsi adrenal
normal sehingga mempertahankan suatu kadar hormon sirkulasi yang normal. Namun, pada
seorang pasien dengan insufisiensi adrenal, timbulnya hipertiroidisme atau terapi hormon
tiroid dari hipotiroidisme dapat mengungkapkan adanya penyakit adrenal.
Ovulasi dapat terganggu pada hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, menimbulkan
infertilitas, yang dapat dikoreksi dengan pemulihan keadaan eutiroid. Kadar prolaktin serum
meningkat sekitar 40% pada pasien dengan hipotiroidisme, kemungkinan suatu manifestasi
dari peningkatan pelepasan TRH; hal ini akan kembali normal dengan terapi T4.
. KONSEP PENYAKIT
1. DEFINISI
Hipertiroid dikenal juga sebagai tirotoksitosis, yang dapat di definisikan sebagai
respons jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolic hormone tiroid yang berlebihan.
(Sylvia A. Price, 2006).
Hipertiroid dalam hal prevalensi merupakan penyakit endokrin yang menempati
urutan kedua setelah Diabetes Mellitus, yang merupakan kesatuan penyakit dengan batasan
yang jelas, dan penyakit Graves menjadi penyebab utamanya. (Brunner dan Suddarth,
2002).
2. ETIOLOGI
1. Penyakit Graves diketahui sebagai penyebab umum dari hipertiroid. Pengeluaran
hormone tiroid yang berlebihan diperkirakan terjadi akibat stimulasi abnormal
kelenjar tiroid oleh immunoglobulin dalam darah. Stimulator tiroid kerja-panjang
(LATS; Long-acting thyroid stimulator) ditemukan dalam serum dengan
konsentrasi yang bermakna pada banyak penderita penyakit ini dan mungkin
berhubungan dengan defek pada sistem kekebalan tubuh.
2. Herediter
3. Stress atau infeksi
4. Tiroiditis
5. Syok emosional
6. Asupan tiroid yang belebihan
7. Dari penyakit lain yang bukan hipertiroid, misalnya adenokarsinoma hipofisis
3. FAKTOR RESIKO
Kelainan hipertiroid sangat menonjol pada wanita, Hipertiroid menyerang wanita
lima kali lebih sering dibandingkan laki laki. Insidensinya akan memuncak dalam decade
usia ketiga serta keempat.(Schimke, 1992).
4. KLASIFIKASI
a. Goiter Toksik Difusa (Graves’ Disease)
Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh
dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi kelenjar tiroid
untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus.
Graves’ disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, gejalanya
dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia 20 – 40 tahun. Faktor keturunan
juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kekebalan tubuh, yaitu
dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri.
b. Nodular Thyroid Disease
Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar dan tidak
disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui. Tetapi umumnya timbul
seiring dengan bertambahnya usia.
c. Subacute Thyroiditis
Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi, dan
mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam darah. Umumnya
gejala menghilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul lagi pada beberapa orang.
d. Postpartum Thyroiditis
Timbul pada 5 – 10% wanita pada 3 – 6 bulan pertama setelah melahirkan dan
terjadi selama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali normal secara perlahan-
lahan.
5. MANIFESTASI KLINIS
Penderita sering secara emosional mudah terangsang (hipereksitabel), iritabel dan terus
merasa khawatir dan klien tidak dapat duduk diam
Denyut nadi yang abnormal yang ditemukan pada saat istirahat dan beraktivitas; yang
diakibatkan peningkatan dari serum T3 dan T4 yang merangsang epinefrin dan
mengakibatkan kinerja jantung meningkat hingga mengakibatkan HR meningkat.
Peningkatan denyut nadi berkisar secara konstan antara 90 dan 160 kali per menit,
tekanan darah sistolik akan meningkat.
Tidak tahan panas dan berkeringat banyak diakibatkan karena peningkatan metabolisme
tubuh yang meningkat maka akan menghasilkan panas yang tinngi dari dalam tubuh
sehingga apabila terkena matahari lebih, klien tidak akan tahan akan panas.
Kulit penderita akan sering kemerahan (flusing) dengan warna ikan salmon yang khas
dan cenderung terasa hangat, lunak dan basah.
Adanya Tremor
Eksoftalmus yang diakibatkan dari penyakit graves, dimana penyakit ini otot-otot yang
menggerakkan mata tidak mampu berfungsi sebagaimana mesti, sehingga sulit atau tidak
mungkin menggerakkan mata secara normal atau sulit mengkordinir gerakan mata
akibatnya terjadi pandangan ganda, kelopak mata tidak dapat menutup secara sempurna
sehingga menghasilkan ekspresi wajah seperti wajah terkejut.
Peningkatan selera makan namun mengalami penurunan berat badan yang progresif dan
mudah lelah.
Perubahan defekasi dengan konstipasi dan diare
Pada usia lanjut maka akan mempengaruhi kesehatan jantung
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
T4 Serum
Tes yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan teknik
radioimmunoassay atau peningkatan kompetitif. Kisaran T4 dalam serum yang normal
berada diantara 4,5 dan 11,5 mg/dl (58,5 hingga 150 nmol/L). T4 terikat terutama dengan
TBG dan prealbumin : T3 terikat lebih longgar. T4 normalnya terikat dengan protein.
Setiap factor yang mengubah protein pangikat ini juga akan mengubah kadar T4
T3 Serum
T3 serum mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau total T3 total, dalam
serum. Sekresinya terjadi sebagai respon terhadap sekresi TSH dan T4. Meskipun kadar
T3 dan T4 serum umumnya meningkat atau menurun secara bersama-sama, namun kadar
T4 tampaknya merupakan tanda yang akurat untuk menunjukan adanya hipertiroidisme,
yang menyebabkan kenaikan kadar T4 lebih besar daripada kadar T3. Batas-batas normal
untuk T3 serum adalah 70 hingga 220 mg/dl (1,15 hingga 3,10 nmol/L)
Tes T3 Ambilan Resin
Tes T3 ambilan resin merupakan pemeriksaan untuk mengukur secara tidak
langsung kaar TBG tidak-jenuh. Tujuannya adalah untuk menentukan jumlah hormone
tiroid yang terikat dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada. Pemeriksaan
ini, menghasilkan indeks jumlah hormone tiroid yang sudah ada dalam sirkulasi darah
pasien. Normalnya, TBG tidak sepenuhnya jenuh dengan hormone tiroid dan masih
terdapat tempat-tempat kosong untuk mengikat T3 berlabel-radioiodium, yang
ditambahkan ke dalam specimen darah pasien. Nilai ambilan T3 yang normal adalah
25% hingga 35% yang menunjukan bahwa kurang lebih sepertiga dari tempat yang ada
paa TBG sudah ditempati oleh hormone tiroid. Jika jumlah tempat kosong rendah,
seperti pada hipertiroidisme, maka ambilan T3 lebih besar dari 35%
Tes TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
Sekresi T3 dan T4 oleh kelenjar tiroid dikendalikan hormone stimulasi tiroid (TSH
atau tirotropin) dari kelenjar hipofisis anterior. Pengukuran konsentrasi TSH serum
sangat penting artinya dalam menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan kelainan
tiroid dan untuk membedakan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar
tiroid sendiri dengan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada hipofisis atau
hipotalamus.kadar TSH dapat diukur dengan assay radioimunometrik, nilai normal
dengan assay generasi ketiga, berkisar dari 0,02 hingga 5,0 μU/ml.
Kadar TSH sensitif dan dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar
akan berada dibawah normal pada pasien dengan peningkatan autonom pada fungsi
tiroid (penyakit graves, hiperfungsi nodul tiroid).
Tes Thyrotropin Releasing Hormone
Tes Stimulasi TRH merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH di
hipofisis dan akan sangat berguna apabila hasil tes T3 dan T4 tidak dapat dianalisa.
Pasien diminta berpuasa pada malam harinya. Tiga puluh menit sebelum dan sesudah
penyuntikan TRH secara intravena, sampel darah diambil untuk mengukur kadar TSH.
Sebelum tes dilakukan, kepada pasien harus diingatkan bahwa penyuntikan TRH secara
intravena dapat menyebabkan kemerahan pasa wajah yang bersifat temporer, mual, atau
keinginan untuk buang air kecil.
Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan precursor untuk T3 dan T4 dapat diukur kadarnya dalam
serum dengan hasil yang bisa diandalkan melalui pemeriksaaan radioimmunoassay.
Faktor-faktor yang meningkatkan atau menurunkan aktivitas kelenjar tiroid dan sekresi
T3 serta T4 memiliki efek yang serupa terhadap sintesis dan sekresi tiroglobulin. Kadar
tiroglobulin meningkat pada karsinoma tiroid, hipertiroidisme dan tiroiditis subakut.
Kadar tiroglobulin juga dapat akan meningkat pada keadaan fisiologik normal seperti
kehamilan.
Ambilan Iodium Radioaktif
Tes ambilan iodium radioaktif dilakukan untuk mengukur kecepatan pengambilan
iodium oleh kelenjar tiroid. Kepada pasien disuntikan atau radionuklida lainnya dengan
dosis tracer, dan pengukuran pada tiroid dilakukan dengan alat pencacah skintilas
(scintillation counter) yang akan mendeteksi serta menghitung sinar gamma yang
dilepaskan dari hasil penguraian dalam kelenjar tiroid.
Tes ini mengukur proporsi dosis iodium radioaktif yang diberikan yang terdapat
dalam kelenjar tiroid pada waktu tertentu sesudah pemberiannya. Tes ambilan iodium-
radioaktif merupakan pemeriksaan sederhana dan memberikan hasil yang dapat
diandalkan.Penderita hipertiroidisme akan mengalami penumpukan dalam proporsi yang
tinggi (mencapai 90% pada sebagian pasien).
Pemindai Radio atau Pemindai Skintilasi Tiroid
Serupa dengan tes ambilan iodium radioaktif dalam pemindaian tiroid digunakan
alat detector skintilasi dengan focus kuat yang digerakkan maju mundur dalam suatu
rangkaian jalur parallel dan secara progresif kemudian digerakkan kebawah. Pada saat
yang bersamaan, alat pencetak merekam suatu tanda ketika telah tercapai suatu jumlah
hitungan yang ditentukan sebelumnya.
Teknik ini akan menghasilkan gambar visual yang menentukan lokasi
radioaktivitas di daerah yang dipindai. Meskipun I131 merupakan isotop yang paling
sering digunakan, beberapa isotop iodium lainnya yang mencakup Tc9m (sodium
pertechnetate) dan isotop radioaktif lainnya (thalium serta americum) digunakan di
beberapa laboratorium karena sifat-sifat fisik dan biokimianya memungkinkan untuk
pemberian radiasi dengan dosis rendah.
Pemindaian sangat membantu dalam menemukan lokasi, ukuran, bentuk dan
fungsi anatomic kelenjar tiroid. Khususnya jaringan tiroid tersebut terletak substernal
atau berukuran besar. Identifikasi daerah yang mengalami peningkatn fungsi (hot area)
atau penurunan fungsi (cold area) dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Meskipun sebagian besar daerah yang mengalami penurunan fungsi tidak
menunjukkan kelainan malignitas, defisiensi fungsi akan meningkatknya kemungkinan
terjadinya keganasan terutama jika hanya terdapat satu daerah yang tidak berfungsi.
Pemindaian terhadap keseluruhan tubuh (whole body CT scan) yang diperlukan
untuk memperoleh profil seluruh tubuh dapat dilakukan untuk mencari metastasis
malignitas pada kelenjar tiroid yang masih berfungsi.
▪ Bentuk cold area
Bentuk cold area yang berupa moth eaten appearance mencurigakan keganasan.
- Hubungan cold area dengan daerah sekitarnya.
Cold area dengan distribusi jodium yang tidak merata lebih cenderung untuk kelainan
metabolik, terutama bila lobus tiroid yang kontralateral untuk membesar.
- Hubungan cold area dengan unsur jenis kelamin
Cold area pada laki-laki usia tua dan anak-anak lebih menambah kecurigaan akan
keganasan.
Hal-hal yang dapat menyebabkan cold area :
- Kista.
- Hematom.
- Struma adenomatosa.
- Perdarahan.
- Radang.
- Keganasan.
- Defek kongenital.
Hal-hal yang dpat menyebabkan hot area :
- Struma adenomatosa.
- Adenoma toksik.
- Radang.
- Keganasan.
Ultrasonografi
Pemeriksaan ini dapat membantu membedakan kelainan kistik atau solid pada
tiroid. Kelainan solid lebih sering disebabkan keganasan dibanding dengan kelainan
kistik. Tetapi kelainan kistikpun dapat disebabkan keganasan meskipun
kemungkinannya lebih kecil.
Pemeriksaan radiologik di daerah leher
Karsinoma tiroid kadang-kadang disertai perkapuran. Ini sebagai tanda yang
boleh dipegang.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan kadar kalsitonin (untuk pasien dengan kecurigaan
karsinoma medulle.
2. Biopsi jarum halus
3. Pemeriksaan sidik tiroid.
Dengan penggunaan yodium bila nodul menangkap yodium tersebut kurang dari
tiroid normal disebut nodul dingin. Bila sama afinitasnya disebut nodul hangat. Kalau
lebih banyak menangkap yodium disebut nodul panas. Sebagian besar karsinoma
tiroid termasuk nodul dingin
4. Radiologis untuk mencari metastasis
5. Histopatologi.
Masih merupakan pemeriksaan diagnostik utama. Untuk kasus inoperable,
jaringan diambil dengan biopsi insisi.
Manifestasi oral pada penyakit Thyroid :*HIPERTHYROIDISM
Mudah terjadi kariesPenyakit periodontalTerjadi pembesaran jaringan glandula thyroid (struma ovarii- di bagian lateral posterior lidah)Percepatan erupsi gigiGejala mulut serasa terbakar
*HIPOTHYROIDSM
Tdk terjadi pembesaran glandula salivamakroglosiaGlossitisPenundaan erupsi gigiresorbsi tulangDysgeusia
Manifestasi rongga Mulut pada Pasien Penderita
Diabetes Melitus Terkontrol dan Diabetes Melitus
Tidak TerkontrolPosted on November 30, 2012
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya kelainan
dalam metabolisme karbohidrat yang sangat erat kaitannya dengan kondisi
kekurangan insulin. Diabetes mellitus adalah suatu penyakit sistemik yang
dapat mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh (Russoto 1981). Juga dapat
ditemukan beberapa manifestasi diabetes pada rongga mulut. selain perubahan
pada kadar glukosa, diabetes mellitus juga berhubungan dengan perubahan
patofisiologis yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit periodontal.
Berdasarkan penelitian menunjukan bahwa pada pasien penderita penyakit
diabetes yang tidak terkontrol memiliki insidensi infeksi fungal dan bakteri
penyebab penyakit periodontal lebih besar. Penelitian lain menerangkan bahwa
insidensi diabetes mellitus berhubungan dengan hiposalivasi atau xerostomia,
burning mouth, hilangnya kemampuan mengecap, perbesaran glandula
salivarius, candidiasis, lichen planus dan leukoplakia (Russoto, 1981., Albrecht
et al, 1992).
Dalam penelitian yang dilakukan tanda dan gejala pada rongga mulut yang
sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus baik yang terkontrol maupun
yang tidak terkontrol adalah hiposalivasi, halitosis gingivitis, dan periodontitis.
Penurunan kemampuan merasa , apthous stomatitis sering ditemukan pada
rongga mulut pasien yang mengalami diabetes melitus yang tidk terkontrol.
Sedangkan adanya sensasi mouth burning sering ditemukam pada pasien yang
mengalami diabetes mellitus terkontrol. Pada pemeriksaan rongga mulut, lesi
paling umum terlihat pada kedua kelompok adalah Candidiasis, diikuti oleh lesi
proliferatif yang ditandai oleh hiperplasia yang kemungkinan dapat
menyebabkan neoplasia. Pada pasien yang mengalami diabetes mellitus tidak
terkontrol, hiperplasi yang terjadi dapat mengarah pada neoplasia yang bersifat
ganas.
Hiposalivasi merupakan gejala yang dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus
terkontrol maupun tidak terkontrol. Terjadinya hiposalivasi pada pasien diabetes
mellitus sangat berhubungan erat dengan kondisi polyuria yang dialami pasien
dan berhubungan dengan adanya kelainan fungsi jaringan adipose pada
glandula salivarus sehingga dapat menggaggu glandula salivarius dalam sekresi
saliva. Sehingga kadar saliva dalam rongga mulut akan cenderung berkurang
sehingga menyebabkan gejala mouth burning. Selain itu oemberian obat-obat
diuretic behubungan dengan mouth burning. Penurunan produksi saliva dalam
rongga mulut berkolerasi dengan peningkatan jumlah jamur candida albicans
dalam rongga mulut (Peter, 1970., Oslen, 1974).
Adanya peningkatan kadar glukosa dalam saliva akan cenderung
mempermudah bakteri dan jamur untuk invasive kedalam epitel mukosa pada
rongga mulut. Sehingga mengganggu pertahanan neutrofil dan memfasilitasi
pertumbuhan candida. Penyakit periodontal dapat mengakibatkan control
metabolic buruk pada pasien diabetes mellitus. Sehingga pemeriksaan rongga
mulut secara rutin dan perawatan jaringa periodontal sangat diperlukan oleh
pasien yang mengalami diabetes mellitus (Shrimali, Astekar, Sowmya, 2011)
Referensi
Albrecht M, Banoczy J, Dinya E, Tamas IRG. Occurrence of Oral leukoplakia and
lichen planus in diabetes mellitus. J oral Pathol Med 1992;21;364-6.
Oslen I. Denture stomatitis. Occurrence and distribution of fungi. Acta Odont
Scand 1974;32;329-33.
Peters Rb, Bahn AR, Barens G. Candida albicans in the oral cavities of
diabetics. J Debntal Res 1996;45;771-7.
Russoto SB. a symptomatic parotid gland enlargement in diabetes mellitus. Oral
surg oral med oral pathol 1981;52;594-8.
Shrimali L, Astekar M, Sowmya GV. Research ArticleCorrelation of Oral
Manifestations in Controlled and Uncontrolled Diabetes Mellitus. International
Journl of Oral and Maxillofacial Pathology 2011;2(4):24-27
MANIFESTASI ORAL DM
PERIODONTITIS : Manifestasi oral yang penting dr penyakit DM
Resistensi jaringan gingiva dan jaringan periodontal menurun krn adanya :- Perubahan komposisi kolagen- Regulasi DM dan oral Hygiene
FAKTOR PENCETUS :- Faktor infeksi- Angiopati diabetik- Neuropati diabetik
MEKANISME ANGIOPATI PADA JARINGAN PERIODONTAL :
Hiperglikemia --> angiopati --> Suplai darah dan O2 menurun --> rusaknya jaringan periodontal --> periodontal, edema gingiva, perdarahan gingiva, gigi tanggal, infeksi bakteri anaerob.
NEUROPATI : ( xerostomia, gloosodynia, TMJ disorder)
XEROSTOMIA :DM --> Saliva menurun --> SIg A menurun menyebabkan gigi karies, candidiasis
PENGARUH INFEKSI RM terhadap DM :Infeksi RM --> pasien DM ( kadar glukosa sulit turun)
TATA LAKSANA PASIEN DM DGN ORAL DIABETIK :1. Terapi DM harus adekuat2. Hindari stres, jangan buat / tindakan perawatan terlalu lama --> bila perlu gunakan penenang3. Pemilihan Antibiotik3 antibiotik yng menunjukkan kepekaan tinggi .
SAS ( Sefalosforin, aminoglikosida, sulbensilin)
Pada px DM dengan KGD > 250 mg/dl --> Perlu antibiotik dosis tinggi ( karna leukositnya terganggu)
DM perlu dibedakan 3 golongan :1. Resiko rendah : kadar glukosa <> 300 mg/dl
GOLONGAN RESIKO RENDAH : ( KGD <>Tindakan : - Restorasi dan rehabilitasi- Tindakan bedah
Bisa dilaksanakan --> adrenalin rendah
GOLONGAN RESIKO SEDANG (KGD 200 - 300 mg/dl):Tindakan :- Regulasi KGD- Restorasi dan rehabilitasi- Tindakan bedahPerhatian : tunggu 1-2 minggubisa dilaksanakan biasa, sedang (konsultasi)
GOLONGAN RESIKO TINGGI (KGD > 300 mg/dl )Tindakan : - Regulasi KGD- Restorasi dan rehabilitasi- Tindakan bedah
Perhatian:- tunggu 1-3 minggu- tunda (pemeriksaan aja)- rawat inap bila darurat
HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN OLEH DRG DALAM MENGHADAPI PENDERITA DM DGN ORAL DIABETIK :1. DM gol. resiko rendah (KGD < style="font-weight: bold;">
LESI RONGGA MULUT PADA PASIEN DIABETES
1. ANGULAR CHEILITIS
Merupakan suatu lesi kronis berupa fissure (celah pada sudut bibir, terasa nyeri krn sampai ke membran basalis, daerah sekitar eritema,berupa fisure yg dalam)... seringnya bilateral.
Etiologi : jamur candida albicans..
Faktor predisposisi : anemia, usia tua, kebiasaan OH (oral higiene) mulut yg jelek, penggunaan antibiotik yg luas, merupakan penurunan dimensi vertikal
Terapi :- tingkatakan kebersihan OH- Anti jamur topikal (nistatin, ketekonazol)- Vitamin B- ANtibiotik jika perlu
2. MEDIAN RHOMBOID GLOSSITIS
suatu bercak licin, gundul, lesi berwarna merah tanpa papilla filiformis, berbatas jelas, dengan tepi irreguler
Lokasi paling sering : garis tengah dorsum lidah
Etiologi : candida albicans
Predisposisi : pasien Dm, antibiotik spektrum luas, supresi imun
3. BURNING MOUTH SYNDROME
Rasa terbakar pada mulut.
Predisposisi : infeksi kronis, aliran balik asam lambung, obat2an, kelainan darah, defisiensi nutrisi, ketidak seimbangan hormonal, alergi.
4. MUCORMYCOSIS
5. FISSURED TOUNGE
6. ORAL LICHEN PLANUS
ciri khas lesi berbentuk seperti jala menyilang, dikenal sbagai "wickham striae"..Bersifat kronisDapat terjadi pada kulit, mukosa atau kulit dan mukosa
ETIOLOGI : Belum jelas
Predisposisi (faktor pencetus) :- Stress Emosi- Obat-obatan- gangguan imun- DM
6 gambarn LP : atrofik, erosif,papuler, bula (jarang), menyebar (retikuler) , plak
KELUHAN LICHEN PLANUS- Rasa kasar pada mukosa mulut-Sensitivitas thd makanan panas,berbumbu, asam atau pedas- Rasa nyeri yng hilang timbul pd mukosa mulut- Nyeri pada gingiva-Plak putih/ merah pada mukosa mulut- Ulserasi pada mukosa mulut- Gingiva kemerahan
POTENSI KEGANASANSguamouse Cell Carsinoma terutama pada OLP type erosif dan dlm jangka wktu panjang.
GAMBARAN HPA :- Hiperkeratosis/ Hiperortokeratosis- Stratum basalis lepas dr lamina propria --> terbentuk vakuola (degenerasi hidrofilik)- Infiltrasi sel2 limfosit pada corium bagian atas diduga sbg penyakit auto imun- Rete peg berbentuk seperti gergaji
TERAPI :1. Radikal --> dengan bedah2. Konservatif --> obat2anObat2an :- Analgesik topiksl/ obat kumur antihistamin- Kortikosteroid topikal ( bethametasone cream, triamcinolone acetonide)- Cryoterapi- Cauterisasi- Injeksi kortikosteroid ( intra oral)- Vitamin A
Pemilihan Terapi berdasarkan pada :- Umur pasien- Tipe dan luas lesi- Lokasi lesi
SARAN BAGI PASIEN OLP :- Hindari faktor predisposisi - Merokok dan konsumsi alkohol dihilangkan- Konsumsi makanan yang bergizi ( buah dan sayuran)- OH ditingkatkan- Kontrol ke drg