44
Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Seni Akal Tidak Sehat VOLUME XI NOMOR 1/2016 SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Seni

Akal Tidak Sehat

VOLUME XI NOMOR 1/2016SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Page 2: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal
Page 3: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

SENI BUDAYA YOGYAKARTA

Matajendela, majalah seni budaya terbit selama tiga bulan sekali.Redaksi menerima tulisan dari penulis, kritikus dan pemerhati seni bu-daya.

Diproduksi di YogyakartaKertas kaver: Feltmark Pure White, Isi: Matte PaperHuruf: Leelawadee, HelveticaNeueLight, Adobe Garamond ProIlustrasi: www.freepik.com, www.freevectormaps.com

Ilustrasi Cover: Sudirman Karya: Punky Purbowo

EDITORIALMengidealkan Public Art

JENDELAMengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Seni

Kaum Muda dan Kebutuhan Atas Ruang Publik (Studi Kasus: Yogyakarta) GAGASMembaca Eksistensi Produksi dan Pameran Kriya Kontemporer di Yogyakarta

LINTASAkal Tidak Sehat

2

4

12

22

36

VOLUME XI NOMOR 1/2016

Diterbitkan oleh Taman Budaya YogyakartaJl. Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123Telp: (0274) 523512, 561914 Fax: (0274) 580771Email: [email protected]: www.thewindowofyogyakarta.com

Penanggungjawab UmumDrs. Umar Priyono, M.Pd.

Penanggungjawab TeknisDrs. Diah Tutuko Suryandaru

Penanggungjawab DistribusiDian Widowati L., SH

Penanggungjawab AnggaranDra. Siswati

EditorDra. V. Retnaningsih

DesainerAndika Indrayana, S.Sn., M.Ds.

FotograferSuprayitno Rudi Subagyo,

Lukito

Penanggungjawab RedaksionalDr. Suwarno Wisetrotomo

SekretariatSuroto, Bejo, Wahyudi,

Juiyus W., Joko Setiawan

RedakturKuss Indarto

Stanislaus YagniSatmoko Budi Santoso

TAMAN BUDAYAThe Window of Yogyakarta

Page 4: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

4

EDITORIAL

membutuhkan waktu beberapa pekan karena sebagian besar karya sudah ada—yang diduga sebagai bagian dari patung itu telah siap sedia di artshop yang dimilikinya. Itu semua semacam kerajinan yang dibuat berulang-ulang oleh para tukang. Setelah dipilih sendiri, patung-patung sebagian besar diberi cagak di bawahnya lalu dipasang di jalan paling legendaris di Kota Gudheg. Berbeda dengan kelompok pertama di atas, patung-patung pada kelompok kedua ini tidak melewati proses sharing dan diskusi dengan publik luas. Langsung dipasang begitu saja dengan terlebih dulu melewati proses perizinan di Dinas Pariwisata DIY.

Akhirnya, hasilnya pun berbeda. Dingin. Patung-patung “kerajinan” itu tak seheboh responsnya di mata publik ketimbang karya-karya yang ada di art project-nya para seniman API. Dugaan saya, hal itu antara lain pada kualitas artistik, kekayaan tema, bahan, material, keunikan dalam ide hingga penempatannya di tengah publik—dan kelebihan itu ada pada karya-karya tiga dimensi yang ada di jalan Margo Utomo.

Realitas tersebut memberi cermin kepada kita tentang banyak hal. Antara lain,

selama kurang lebih setahun. Penghelat acara ini juga melengkapi art project ini hingga ketika proses apresiasi terhadap karya berlangsung. Mereka membuat kompetisi fotografi yang bersubyek utama karya-karya patung yang tengah dipamerkan. Kompetisi itu menjadi menarik karena mudah prosesnya, yakni lewat Instagram—sebuah layanan medsos atau media sosial berbasis fotorafi yang sangat karib di mata publik dari berbagai usia dan kalangan.

Hasilnya memang luar biasa. Persiapan matang selama setahun dengan standar kualitas karya yang relatif begitu artistik, unik, menarik dan di luar kebiasaan tersebut seperti memberi penajaman pada Yogyakarta sebagai kota seni, kota penghasil para perupa bermutu. Karya-karya yang ditampilkan penuh keragaman dan menyegarkan bagi masyarakat yang menyaksikan.

Sementara pada kelompok kedua, kerumunan patung di jalan Malioboro hingga Margo Mulyo ditampilkan oleh seorang seniman yang mempresentasikan hingga 10 karya patung—yang dihasratkan sebagai sebuah pameran tunggal. Persiapan pameran itu relatif cepat waktunya, hanya

Pada pengujung tahun 2015 lalu, di dua jalan protokol di kota Yogyakarta disuguhkan karya-karya seni rupa

luar ruang (outdoor) atau public art, persisnya satu kerumunan karya di jalan Margo Utomo (dulu bernama jalan Pangeran Mangkubumi), dan kelompok kerumunan karya lainnya di sekujur jalan Malioboro yang menyambung ke jalan Margo Mulyo (dulu jalan A. Yani). Dua kelompok karya tersebut memiliki dua karakter dan proses pengerjaannya sebagai art project yang relatif berbeda sama sekali.

Pada kelompok pertama, art project tersebut diinisiasi oleh API (Asosiasi Pematung Indonesia) “cabang” Yogyakarta yang antara lain dimotori oleh perupa berbasis karya kreatif patung seperti Ichwan Noor, Iwan Simatupang, Ali Umar, dan lain-lain. Art project ini dikerjakan bersama kurator Rain Rosidi, Enin Supriyanto juga dibantu manajerial teknisnya oleh Bramantyo. Prosesnya panjang. Mulai dari inisiasi, membuat konsep art project, pembuatan maket karya, diskusi dan sharing pendapat bersama stake holder seni rupa, hingga eksekusi karya di tengah-tengah publik dilakukan secara sistematis dan terencana

Mengidealkan Public Art

Kuss Indarto

Page 5: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

5Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Perbincangan perihal public art ini juga tak bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal teknis, seperti: (1) Safety, yaitu keamanan dari public art harus sesuai dengan hal yang telah ditetapkan sebagai standar keamanan oleh lingkungan masyarakat atau pengelola kota; (2) Technicality, ini menyangkut disain yang sebaiknya layak dan secara teknis dapat dipasang dan dibongkar oleh senimannya; kemudian (3) Maintenance, ini menyangkut ihwal perawatan akan karya public art yang berhubungan dengan kondisi cuaca sekitar, keausan karena intersitas persentuhannya dengan publik, dan sebagainya. Sejauh mana public art dapat bertahan dengan cuaca dan iklim tertentu akan menentukan cara perawatannya; lalu hal yang lain menyangkut (4) Budgetary, yakni pemeliharaan, pemasangan, transportasi, dan harga bahan-bahan untuk public art sebaiknya mencerminkan ketepatan penggunaan sumber daya umum termasuk pendanaan dan susunan kepengurusannya.

Apakah karya-karya seni rupa di ruang publik atau public art di wilayah kita sudah mendekati kebutuhan dengan kriteria-kriteria yang diidealkan? Anda mungkin bisa bersaksi dan memberi penilaian atas hal itu.

Kuss Indarto, redaksi Mata Jendela.

konseptual hingga yang bersentuhan dengan perkara praksis. Misalnya tentang peran dan manfaat public art yang paling utama, yaitu: (1) melibatkan dialog sipil untuk kepentingan umum dan masyarakat; (2) menarik perhatian publik dan memberikan keuntungan secara ekonomi; (3) menghubungkan para seniman dengan masyarakat; dan (4) meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya seni. Poin-poin ini dirasa penting karena karya seni rupa publik bisa diandaikan untuk memperkaya lingkungan masyarakat dengan membangkitkan makna yang ada dalam forum publik. Keberadaan public art dimaksudkan untuk menjadi inspirasi terhadap pemikiran-pemikiran mengenai masyarakat, atau pemikiran secara umum, dan membantu meningkatkan kesadaran dan ingatan mengenai suatu peristiwa. Juga, public art bisa dimaksudkan untuk dilihat dan memberikan pengalaman yang dapat membantu memberi inspirasi dan perspektif terhadap persoalan-persoalan yang ada.

Pada dasarnya karya public art ada untuk dinikmati dan memberikan suatu pengalaman ketika banyak orang melihat karya seni yang sama dapat memiliki pemikiran dan interpretasi yang beragam. Maka mengukur nilai suatu public art menjadi penting ketika suatu karya seni memberi pengaruh terhadap lingkungan masyarakat dan bagaimana cara pandang warga masyarakat terhadap karya seni tersebut.

Pada dimensi yang lain, karya public art dapat menjadi medan pertemuan atau tempat berkumpul bagi (kelompok) masyarakat. Kandang kala, public art dapat menjadi sorotan dalam acara-acara tradisi masyarakat, juga dapat menjadi pokok pembicaraan dalam suatu perbincangan sosial yang penting bagi masyarakat. Dan bukan hal yang berlebihan bahwa karya public art berpotensi menjadi identitas dan tanda kedewasaan suatu masyarakat.

pertama, kita menjadi sadar bahwa secara pelahan kebutuhan akan karya seni di ruang publik menjadi perlu ada di tiap kota di tiap kawasan—dengan beragam wujudnya. Kebutuhan itu secara pelahan juga akan merangkak naik dengan tuntutan akan kualitas artistik dan estetik atas karya seni tersebut. Kedua, pada sisi yang berseberangan, para kreator atau seniman yang hendak menempatkan karyanya di ruang publik tidak bisa lagi hanya mengedepankan egosentrisme sendiri secara eksploitatif, namun ada baiknya mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan lingkungan dimana karya seni publik akan ditempatkan.

Pengharapan akan “nyambung”-nya karya seni dan kebutuhan masyarakat itu bertaut erat dengan pemahaman Penny Balkin Bach dalam buku “Public Art in Philadelphia” (1992) yang membayangkan bahwa public art atau karya seni (rupa di ruang) publik itu “dapat mengekspresikan nilai-nilai dalam masyarakat (community values), menambah kualitas lingkungan, mengubah lanskap, meningkatkan kesadaran kita, maupun mempertanyakan asumsi yang ada dalam masyarakat. Public art diletakkan di ruang publik yang dapat diakses oleh semua orang dan merupakan bentuk dari gabungan ekspresi masyarakat. Public art adalah refleksi dari cara kita memandang dunia, cara seniman menanggapi suatu rentang masa dan suatu tempat yang bergabung dengan pemahaman kita terhadap diri sendiri.” Maka, secara visual karya public art dapat berupa bentuk-bentuk yang selaras dengan konteks lingkungan maupun kontras dengan lingkungan sekitarnya. Hal yang membedakannya adalah adanya penggabungan yang unik dari cara membuat, lokasi, dan makna dari public art itu sendiri.

Pada titik inilah kita bisa memperluas cakupan pemahaman tentang karya seni rupa di ruang publik itu, mulai dari yang

Page 6: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

6

publik sebagai ruang negosiasi wacana antarmasyarakat, bukan sebaliknya, membutakan wacana.

Belakangan ini, Yogyakarta pun mempunyai gelagat serupa. Masyarakat sudah cukup gerah dengan ruang publik—tata kota—yang sedemikian adanya. Persis dengan bangunan ala kontraktor yang mementingkan keuntungan, tanpa memikirkan estetika, tata ruang, keseimbangan dengan alam sekitar, dan pemikiran-pemikiran kontekstual lainnya. Alhasil bangunan demi bangunan kokoh berdiri tegak, bahkan melampaui tinggi Keraton. Hanya terdapat bangunan yang bersanding dengan bangunan lainnya, terkesan kering, tanpa adanya kenyamanan dan visual yang menyegarkan. Namun seniman tidak tinggal diam, secara berkelompok atau individu—entah dalam bingkai proyek atau protes—banyak karya seni yang turut dipasang di ruang publik. Hal ini jelas mempunyai implikasi, tentu menyejukan mata dan hati, terlebih untuk para pelancong dengan selfie stick-nya.

Alih-alih dengan masif dan tidak terstrukturnya penataan karya seni berdampak baik, karya seni malah ikut

bahkan sivitas politika sekalipun—‘paling banter’ hanya dapat tertuang dalam bingkai opini, baik yang sifatnya disampaikan langsung, ataupun dipublikasikan pada kantung-kantung informasi, seperti: media massa, hingga media nirwujud yang cukup masif dan meletup di era milenium belakangan ini, facebook dan sebangsanya. Adapun upaya perlawanan yang cukup ‘keras’, biasanya diawali dengan protes, yang berujung demonstrasi hingga aksi vandalis sebagai aksi ungkap kekecewaan—yang sebenarnya juga merugikan masyarakat secara implisit. Bertolak dari hal tersebut, kesadaran masyarakat akan ruang publik pun turut terbendung dengan mekanisme-mekanisme tertentu.

Jika hal ini dianggap sebagai kontestasi kuasa, sudah barang tentu pemikiran filsuf bangsa Perancis, Michel Foucault dapat digunakan secara signifikan. Namun dalam hal ini, persoalan tidak hanya merujuk pada kontestasi kuasa atas ruang, tapi lebih pada pemaknaan akan ruang dari masyarakat sekitar. Alih-alih menerima dengan besar hati atas konstruksi pemangku kuasa atas ruang publik, masyarakat perlu nalar kritis yang dapat menilai dan memaknai ruang

Kesadaran masyarakat akan fungsi ruang publik lebih tinggi ketimbang kesadaran akan letak

dan logika dari ruang publik itu sendiri. Fungsi ruang publik yang dimaksudkan pun, adalah sebatas area pertemuan antara satu individu/kelompok dengan individu/kelompok lainnya. Tanpa ada rasa kritis atau mempertanyakan lebih lanjut terkait ruang publik yang diciptakan oleh pemangku kuasa. Jika merujuk pada contoh terapan, salah satu fungsi utama dari alun-alun—yang menjadi pakem tata ruang kota beberapa daerah di pulau Jawa—adalah ruang pertemuan antar warga. Lantas turut dibuatkan pasar malam setiap harinya, dengan maksud pertemuan dapat lebih terjalin, ungkap Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Jawa-nya (1994). Namun beberapa pikiran kritis mengartikan ruang publik yang diciptakan penguasa sebagai media untuk mengontrol masyarakat. Kesadaran kritis atas ruang publik pun bukan hal yang baru, setidaknya perilaku ini juga banyak dilakukan oleh budayawan berlatarbelakang budaya dan seni tertentu, hingga akademisi sekalipun.

Namun dalam melanjutkan logika kritis tersebut, upaya terbesar masyarakat—

Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya SeniMichael H.B. Raditya

JENDELA

Page 7: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

7Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Meraba-raba Ruang dan Ruang PublikPembahasan mengenai ruang publik bukanlah pembahasan baru, setidaknya para pemikir ilmu sosio-humaniora telah rajin dalam membicarakan ruang secara signifikan sedari dulu. Namun kesadaran ruang pun lebih digiatkan pada media interaksi sosial terwujud. Berbeda dengan logika keilmuan tersebut, disiplin Antropologi pun turut menyadari akan adanya ruang yang hidup bersama dengan masyarakat, namun kecenderungan ilmu yang mempelajari manusia (anthropos) ini menyadari ruang lebih sebagai lanskap (geokultural), yang merujuk pada kesadaran

publik dan karya seni. Jogja ramai dengan pergunjingan, hingga perdebatan kritis sekalipun atas ruang.

Bertolak dari persoalan di atas, lagi-lagi kesadaran akan ruang tidak dimaknai secara betul oleh masyarakat. Banyak orang yang berupaya tetapi tanpa tahu lebih dalam untuk memahami ruang yang diperjuangkan. Oleh karena itu, seyogyanya salah satu nalar yang diperlukan setiap masyarakat adalah kesadaran, kesadaran atas ruang, kesadaran atas tubuh individu yang berada di ruang publik, dan kesadaran wacana. Harapannya pun cukup sederhana, menjadikan ruang publik sebagai laboratorium, baik karya seni, ataupun presentasi budaya, yang tidak kunjung berhenti pada kekuasaan tertentu, namun tersimpan dalam ‘jiwa zaman’-nya (meminjam terma Clifford Geertz) masing-masing.

dipolitisasi oleh pelbagai agen. Atas nama estetika ruang, banyak teritori yang dianggap kering, kurang enak dipandang, tiba-tiba diletakan karya seni. Praktis layaknya obat generik yang dapat dibeli di warung sekalipun. Stigma yang berkembang pun cukup menohok, karya seni dianggap dapat menetralisir. Bahkan karya seni dapat mengubah stigma tertentu akan ruang (sebelumnya) menjadi ruang yang lebih elok dipandang, dan nyaman didiami. Dalam hal ini, karya seni tercerabut dari makna atas seni itu sendiri. Alasannya sederhana, semua nampak artificial (palsu) dan superficial (permukaan). Tanpa adanya pemikiran akan alasan pemasangan, lalu karya seni apa yang diletakan, gagasan apa yang ingin disampaikan, dan ruang apa yang ingin diciptakan nantinya. Beberapa orang setuju, beberapa orang meng-counter dengan adanya persoalan ruang

Karya patung Dunadi dalam proyek seni patung jalanan, Jogja Street Sculpture Project. Sumber: https://www.facebook.com/Jogja-Street-Sculpture-Project-1455234781446393/

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Page 8: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

8

Di Inggris Raya, sejak pertengahan abad ke-17 dan seterusnya sudah ada perbincangan mengenai ‘publik’. Baru sesudah itu, kata ‘dunia’ dan ‘umat manusia’ menjadi lazim digunakan. Sejalan dengan itu, di Prancis kata le public mengacu kepada sebuah istilah yang di abad 18 dikenal sebagai publikum. Menurut Wőrterbuch-nya Grimm, istilah ini juga memengaruhi seluruh Jerman waktu itu (di mana penggunaannya menyebar mulai dari Berlin). Sampai kemudian orang membicarakan ‘dunia para pembaca’ (Lesewelt), atau yang disederhanakan sebagai ‘dunia’ saja (Welt), dalam pengertian seperti yang kita pergunakan sekarang: semua dunia, tour le monde. Adelung melukiskan perbedaan besar antara publik yang berkumpul sebagai kerumunan di sekitar pembicara atau aktor di suatu tempat publik, dengan publik dalam Lesewelt ini (dunia para pembaca). Meskipun demikian, keduanya tetap melukiskan sebuah ‘publik yang kritis (richtend). Karena itu, apa pun yang tunduk di bawah penilaian kritis publik tersebut lalu dinamai Publizität (publisitas, publicity). Di akhir abad ke-17, kata ‘publicity’ dalam bahasa Inggris ini diserap dari bahasa Prancis ‘publicité’, sementara di Jerman kata ini mulai mengemuka pada abad ke-18 (2007:40).

Bacaan Habermas terkait asal muasal ruang, publik, dan ruang publik turut bertolak dari aspek historis. Namun aspek historis tidak secara harfiah dijabarkan sebagai sebuah data kesejarahan, namun ada logika pertemuan di dalam ruang yang menjadi poin penting dalam nalar tersebut. Dan secara jelas, trayektori nalar ruang publik telah terbentuk dalam penggunaan ruang publik dari masa ke masa. Tidak bertolak jauh, seorang Inggris, Anthony Giddens, turut menyadari persoalan ruang dalam telaah-telaahnya. Bagi Giddens, interaksi sosial turut terbentuk di dalam waktu dan ruang tertentu. Secara lebih jelas Giddens menyatakan:

hal ini adalah kendati pemahaman yang berbeda atas ruang kini dan perspektif dalam melihat ruang, nalar akan ruang ternyata tidak tunggal dan an sich, namun bersifat jamak.

Jamaknya perspektif dan penalaran atas ruang turut diamini banyak pemikir yang menyadari bahwa kesadaran atas ruang turut didasarkan pada analogi yang terdiferensiasikan atas disiplin yang melandasi. Sebagai permulaan, sebuah nama yang sudah tidak asing lagi, seorang filsuf Jerman, Jürgen Habermas. Bertolak dari terma Jerman, Őffentlichkeit, Jürgen Habermas menyimpan intepretasi penting dalam pemahamannya atas ruang. Őffentlichkeit, memiliki pelbagai makna, seperti: ‘(sang) publik’, ‘ruang publik’, atau ‘publisitas’. Namun ketiga hal tersebut merujuk pada satu konsep general, yakni ruang publik. Dan dalam hal ini, Jürgen Habermas telah mentaxonomikan Őffentlichkeit menjadi tiga jenis, yakni Politisch Őffentlichkeit, artinya ‘ruang publik politik/politis’(atau kadang-kadang diterjemahkan dalam frase lebih panjang menjadi ‘ruang publik di wilayah politik/politis); Literartische Őffentlichkeit, diterjemahkan sebagai ‘ruang publik sastra/literer’ (atau ruang publik di dunia sastra/tulis-menulis’); dan, Repräsentative Őffentlichkeit, ‘perepresentasian/perwakilan publik’ (yakni, pertunjukan kekuatan spiritual inheren atau kehormatan di depan khalayak yang menonton) (Habermas, 2007:xi).Bertolak dari elaborasi Habermas atas ruang, sebenarnya Habermas membawa kita pada telaah ruang publik sebagai suatu wilayah yang spesifik—wilayah publik yang dihadirkan untuk beroposisi dengan wilayah privat (2007:3). Namun tidak terburu-buru, Habermas secara rinci turut menjelaskan asal muasal terma tersebut, dalam hal ini, ruang publik didasarkan pada catatan historis berikut:

place (tempat). Hal ini pun tidak dapat ditampik, karena pembedaan ruang ini pun turut disadari ketika kesadaran anthropos merujuk pada ras yang berbeda-beda di dunia. Masyarakat yang berbeda tersebut tinggal pada ruang geokultur yang tidak sama. Seraya mengamini hal tersebut, Eric Hirsch dan Michael O’Hanlon menyatakan bahwa:

Although landscape has been singled out here as a distinct cultural idea and analytical concept it is in fact difficult to isolate it from a number of related concepts, including place and space; inside and outside; image and representation.’ Each of these related concepts, which themselves take on a local aspect, corresponds to one of the two poles of the notion of landscape outlined above. The two poles can be arranged in tabular form:

Foreground Actuality

Background Potentiality

Place <-> SpaceInside <-> OutsideImage <-> Representation

The concepts on the left side of the table roughly correspond to what we would understand as the context and form of everyday, unreflexive forms of experience (Bourdieu 1977), while the concepts on the right roughly equate to the context and form of experience beyond the everyday (1995:4).

Nampak seperti oposisi biner, terbandingkan, namun Eric Hirsch dan Michael O’Hanlon menyadari kesadaran ilmu dan mengartikulasikannya pada pemahaman yang lebih jelas atas pembedaannya. Bertolak dari hal tersebut, kesadaran keilmuan sosial di atas telah menunjukan bahwasanya kesadaran akan ruang sudah teramati sejak dahulu, walau pembedaan spesifikasi dan nama berbeda. Namun poin yang dapat disadari dari

Page 9: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

9Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Dengan menalar artian ruang itu sendiri, maka seyogyanya pemahaman akan ruang publik turut terbentuk secara utuh. Dalam hal ini, pemahaman ruang akan dirujuk atas pemahaman ruang dari Henri Lefebvre. Berkaca dari pernyataan Schmid atas Lefebvre,

The “spatial turn” has taken hold of the social sciences and questions of space are accorded a great deal of attention, extending beyond geography. In essence, this is linked with the combined processes of urbanization and globalization: at every scale new geographies have developed. These new space–time configurations determining our world call for new concepts of space corresponding to contemporary social conditions (2008:27).

Atas pembacaan Schmid, spasial telah mengakar pada ilmu sosial, terlebih telah memperluas perihal geografi—yang merujuk pada letak—semata. Bagi Schmid, ini adalah proses penggabunan antar urbanisasi dan globalisasi. Yang dalam hal ini diartikan sebagai, skala geografi baru yang memiliki perkembangan akan konfigurasi ruang dan waktu. Dan hal tersebut terpantul atas ruang yang terus berubah, atau Schmid menyebutnya dengan kondisi sosial yang kontemporer. Dalam hal ini, kesadaran Lefebvre merujuk pada pemahaman bahwa produksi ruang turut membutuhkan kontekstual. Seraya menambahkan, Schmid menyatakan bahwa:

...Lefebvre, using the concept of the production of space, posits a theory that understands space as fundamentally bound up with social reality. It follows that space “in itself ” can never serve as an epistemological starting position. Space does not exist “in itself ”; it is produced. (2008: 28)

Yang berarti bahwa ruang itu diproduksi, tidak muncul dengan sendirinya, pelbagai

pertumbuhan kapitalis urban sebagai lokus produksi, konsumsi, dan sirkel modernitas. Dan terakhir, seorang filsuf Perancis kenamaan, Michel Foucault. Terkait atas ruang, Foucault merujuk ruang sebagai pendapatan penting dalam sosial dan fisikal dalam lanskap perkotaan. Ia merujuk pada intervensi dari “knowledge” dan wacana akan ruang dan urban sebagai kreasi dominan atas representasi kebutuhan atas penerapan kuasa yang mengatur regulasi dan mengontrol populasi (2007, xvi).

Beberapa pemikir yang telah dirangkum Zieleniec merupakan tokoh-tokoh dengan kesadaran atas ruang, tidak hanya sebagai produksi, namun konsumsi dan distribusi. Ada sebuah keyword tegas di antara para pemikir tersebut, bahwa ruang merupakan konstruksi, memediasi, serta merepresentasikan sebuah kepentingan tertentu. Namun beberapa pemikir di atas tidak merujuk secara rinci atas peranan ruang publik, namun mereka lebih menalar ruang publik sebagai ruang yang menjadi arena pertemuan antar interaksi masyarakat.

All human interaction has to be placed in time and space and an understanding of its form, its context and its immediate outcome must include reference not only to what objects and persons were present, but also to those that were absent when such action took place (via Loyal, 2003: 95).

Seperti yang dituliskan, interaksi sosial membutuhkan waktu dan tempat dari interaksi yang terwujud ataupun nirwujud.

Tidak hanya bertolak dari nalar ruang yang dielaborasi kedua tokoh, Habermas dan Giddens, kesadaran akan ruang turut dilakukan oleh banyak para pemikir lainnya. Dan dalam hal ini, Andrzej Zieleniec turut merangkum dan memberikan nalar ruang yang bertolak dari beberapa pemikir penting. Zieleniec (2007) dalam bukunya turut mentaksonomikan pengaplikasian terma ruang—baik sifatnya kesadaran, ataupun terapan dan analogi—yang merujuk pada beberapa nama besar, seperti Karl Marx dalam penggunaan spasial pada histori materialis. Dalam hal ini ruang telah digunakan Marx dalam logika marxis dalam praktek ekonomi, adanya perbedaan ruang signifikan dalam kelas. Tidak berhenti pada Marx, Zieleniec turut menuliskan seorang sosilog tenar, Georg Simmel. Simmel turut menyadari pentingnya ruang sebagai arena akan bentuk dan konten dari interaksi sosial yang terjadi. Kesadaran ‘sosiologi’ sebagai ilmu turut menyadari ruang yang dihidup masyarakat sebagai kajian. Setelahnya ada Henri Lefebvre, seorang sosiolog yang juga marxisian Perancis. Lefebvre pada analisa ruang menyadari bahwa ruang adalah sebagai konstruksi dan hasil proses atas masyarakat. Sedangkan David Harvey, seorang profesor Antropologi dengan spesifikasi geografi, mengartikulasikan ruang sebagai representasi ekopol masyarakat. Secara lebih lanjut, Harvey merujuk ruang sebagai indikasi dari

Oleh karena itu, seyogyanya salah satu nalar yang diperlukan

setiap masyarakat adalah kesadaran,

kesadaran atas ruang, kesadaran atas tubuh individu yang berada di ruang publik, dan kesadaran wacana.

Page 10: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

10

dan waktu. Kedua, tidak universalnya ruang dan waktu—dalam arti dipahami bersama—maka ruang dan waktu selalu dipahami dan diyakini oleh masyarakat dengan konteks tertentu.

Terbetik dari hal tersebut, Lefebvre mulai mengklasifikasikan cara kerja dalam konstruksi ruang yang ada. Lefebvre menyatakan bahwa the threefold distinction between spatial practices, representations of space, and spaces of representation – and historical, with discussion of abstract, absolute, relative and concrete space (2004:ix), on the other, they refer to “perceived,”“conceived,” and “lived” space (Schmid, 2008:9). Tidak berhenti pada pembagian ketiga ruang, Lefebvre turut menuliskan keterjalinan antara satu kategori dengan kategorisasi yang lain. Dari pernyataan di atas, dapat dipahami jika ‘proses’ menjadi kata kunci dalam pembentukannya. Dalam hal ini Lefebvre memformulasikan proses ke dalam tiga tataran, yakni: spatial practice, representations of space, dan space of representation. Keberlindanan antar ruang dapat terjadi dalam tiga bingkai yang dibuat oleh Lefebvre.

relationships with each other through their activity and practice.

Lefebvre constructs his theory of the production of social space and social time on these assumptions.According to this understanding, space and time are not purely material factors. Neither can they be reduced to the status of pure, a priori concepts. They are understood as being integral aspects of social practice. Lefebvre sees them as social products; consequently, they are both result and precondition of the production of society.Accordingly, space and time do not exist universally.As they are socially produced, they can only be understood in the context of a specific society. In this sense, space and time are not only relational but fundamentally historical (2008:29).

Beberapa hal yang tebetik dari pernyataan Schmid atas Lefebvre, pertama, ruang dan waktu tidaklah murni akan materi. Ruang dan waktu berintegral dengan praktek sosial. Lefebvre menegaskan bahwa ruang dan waktu adalah produk sosial. Singkat kata, tidak ada universitalitas akan ruang

habitus atau pelbagai pendisplinan, turut menstimulasi munculnya ruang dengan konstruksinya. Dalam hal ini terciptanya ruang, baik ruang privat dan ruang publik didasarkan atas interaksi yang terjalin di dalamnya. Ruang dapat dianggap sebagai lahan kosong akan gagasan, yang dapat secara cermat dibentuk dengan konstruksi dari agen di dalamnya.

Secara lebih cermat, Lefebvre turut membedah ruang dengan analisis yang menjadi pijakan awalnya dalam berfikir. Ia menyatakan bahwa:

...Lefebvre proceeds from a relational concept of space and time. Space stands for simultaneity, the synchronic order of social reality; time, on the other hand, denotes the diachronic order and thus the historic process of social production. Society here signifies neither a spatial-temporal totality of “bodies” or “matter” nor a sum total of actions and practices. Central to Lefebvre’s materialist theory are human beings in their corporeality and sensuousness, with their sensitivity and imagination, their thinking and their ideologies; human beings who enter into

Sumber: https://www.facebook.com/Jogja-Street-Sculpture-Project/. Karya Suparman Baela, “Payung”. Payung dibalik, dipakai sebagai metaphor untuk merepresentasikan persepsi terhadap cuaca dengan warna-warna cerah, untuk menimbul-kan kesadaran publik tentang pentingnya air bagi kehidupan.

Sumber: https://www.facebook.com/Jogja-Street-Sculpture-Project/. Karya Teguh S. Priyono, “No Parking”. Adalah sebuah otokritik terhadap kesemrawutan lalu lintas dan perparkiran.

Page 11: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

11Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

1991:162 via Briginshaw, 2001:4)... The bodies and the spaces in Lament are at times ambivalent and blurred in this way. They are not private or public, but both. The ‘natural’ and the ‘cultural’, the ‘psychical’ and the ‘social’ overlap and blur because of the radical juxtapositions created (Briginshaw, 2001:15).

Dari pernyataan Briginshaw di atas, ruang merupakan konstruksi sosial, dan tidak mungkin jika tidak merujuk manusia sebagai subjek utama. Dan korelasi utama dari keterkaitan ruang dan interaksi adalah tubuh, walau tubuh yang dimaksud lebih merujuk pada tubuh atas ruang Lefebvre. Lebih lanjut, telaah Briginshaw di atas turut menunjukan bahwa tubuh dan ruang ada pada batas liminal (ambang) alhasil pada suatu waktu bersifat ambivalen, bahkan bias. Singkat kata, tubuh dalam ruang menyimpan oposisi biner, seperti: privat dan publik, natural dan kultural. Yang bertolakbelakang, namun pada masa ambang itulah tubuh membentuk ruang.

Pernyataan Briginshaw di atas, cukup membuat pemahaman akan ruang lebih merujuk pada tubuh secara spesifik, baik tubuh seniman, tubuh penonton, bahkan tubuh keduanya. Bertolak dari hal tersebut, salah satu gagasan utama dari tubuh bagi Briginshaw adalah ‘each living body is space and has space: it produces itself in space and it also produces that space’ (1991:170, via Briginshaw, 2001:43). Oleh karena itu setiap tubuh menghadirkan ruangnya masing-masing, sedangkan tubuh lain turut menghadirkan ruang lainnya. Secara lebih dalam, perbedaan ruang yang diproduksi oleh tubuh turut didasarkan pada pelbagai faktor. Mengamini hal tersebut, Bill Hillier dan Julienne Hanson menyatakan bahwa spatial order is one of the most striking means by which we recognise the existence of the cultural differences between one social formation and another, that is, differences in the ways in which members of those

pelengkap interior dari bangunan fisik, namun sebagai representasi utama dari ruang. Sehingga ruang-ruang yang ada dibentuk berdasarkan seni dan budaya setempat.

Keberadaan Tubuh dan Ruang ‘Seni’Perbincangan terkait ruang publik cukup beragam, mulai dari pemahaman ruang sebagai informasi atas keterangan tempat, hingga implikasi dan telaah atas konsep dari ruang publik itu sendiri. Bermula dari ruang yang dinalar sebagai ruang, ruang sebagai ruang publik, hingga ruang yang dinalar sebagai konstruksi atas interaksi manusia. Hal tersebut secara tersirat mengejewantahkan bahwa kesadaran ruang—baik secara terma, ataupun logika—tercatat cukup lama di iklim akademis dunia. Namun logika dari penelaah ruang di atas, telah memberikan pemahaman bahwa seberapa jauh nalar ruang publik dapat dielaborasi. Pemahaman akan ruang memberikan pengertian bahwa ruang publik turut berasal dari rangkaian interaksi, antar rangkaian tubuh yang berada di dalam ruang tersebut.

Rangkaian interaksi yang terangkai pun merupakan hasil dari pertemuan antar tubuh individu yang berlainan. Tubuh individu di dalam ruang publik menjadi cukup penting dalam pembahasan ruang publik, yang nantinya berkorelasi dengan karya seni di ruang publik itu sendiri. Karena tubuh yang menyimpan berjuta pengalaman (yang membentuk habitus tertentu) akan meresepon ruang publik, dan seni yang berada di ruang publik. Briginshaw, seorang peneliti tari, turut menalar ruang sebagai konstruksi, dan dapat berlaku sebaliknya. Bagi Briginshaw,

Possibly the most immediate relationship of subjects to space is through their bodies since ‘it is by means of the body that space is perceived, lived – and produced (Lefebvre,

Pembedaan ketiga ruang tersebut pun cukup rinci dilakukan. Lefebvre mengartikan spatial practice lebih pada hubungan interaksional. Pada tahap ini, stimulasi utama ruang adalah kegiatan (interaksi dan komunikasi), seperti: relasi dengan tempat tinggal dan tempat kerja, atau dapat diartikan sebagai produksi pertukaran. Dalam hal ini, ruang sosial terbentuk karena adanya interaksi sosial, semacam membentuk sebuah lingkungan (2008:36). Pada tahap selanjutnya, the representation of space, representasi ruang telah memberikan gambaran yang jelas, dan menjelaskan ruang tersebut bagaimana. Dalam hal ini ada pada level wacana, yang secara jelas memberikan gambaran, definisi atas ruang yang ada. Seperti halnya informasi dalam sebuah gambar, yang sudah menunjukan informasi yang telah berkelindan dengan ruang fisik (2008:37). Tahap terakhir, space of representation, pada tahap ini, Lefebvre lebih kerap menyebutnya sebagai ruang intervensi dari tahap sebelumnya. Pada tahap ini sudah pada dimensi simbolik atas ruang (2008:37). Dalam hal ini, tahap terakhir ini tidak lagi merujuk pada ruang tersebut, tetapi pada representasi lainnya, sebagai contoh: logo, negara, maskulinitas. Singkat kata, representasi atas perpaduan interaksi sudah mengakar pada ruang. Kontekstual yang terjalin menjadi asa dari tahap ini.

Bertolak dari fase ruang yang dielaborasi Lefebvre, nampaknya agak jelas ketika kita melihat posisi ruang publik tertentu. Terlebih ruang tersebut adalah ruang yang terbentuk karena interaksi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam hal ini, ruang sangat dimungkinkan menjadi sebuah arena kontestasi dalam perebutan artian ruang yang diharapkan. Dan tidak muluk-muluk jika karya seni, turut mengambil bagian dalam pembentukan ruang. Tetapi, yang perlu dipertegas adalah karya seni bukan sebuah

Page 12: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

12

people who are not prepared for a cultural experience. They are not visiting a museum or a concert hall with the intention of visiting an exhibition or listening to music: the public here has no expectations; people are trapped in their ordinary daily life. The explicit intention is to engage an audience other than the one who intentionally accesses conventional culture venues, involving it in active experiences. Neuhaus interacts with public spaces and daily life. Music is taken out of concert halls and into urban contexts. At the same time, visual artists are removing their artwork from museums and art galleries and re-placing it into urban and extra-urban contexts, with the first Land Art and Public Art proposals (2014:83).

Jika proyek Neuhaus dengan musiknya menghadirkan musik di dalam ruang urban, hal ini jelas cukup menarik bagi masyarakat di ruang publik kita. Semisal, mendengarkan musik dengan kaliber okrekstra namun diselenggarakan di jalan raya bersamaan dengan kegaduhan kendaraan. Tidak pernah teralami dalam konstruksi seni yang dipakemkan selama ini. Serupa dengan Belgiokoso, Edwin Jurriëns, seorang scholar Melbourne, turut mengamini, bahwa “Ruang tidak lagi dibatasi oleh dinding dan atap, tetapi juga tempat di mana publik setiap hari melakukan aktivitas sehari-hari melakukan perjalanan dan sebagainya” (2014:119).

Berkaca dari beberapa tindakan di atas, menyertakan karya seni pada ruang publik merupakan sebuah tawaran menarik untuk individu di dalam ruang tersebut. Interaksi yang muncul semakin beragam, bahkan tidak terbayangkan. Sehingga konstruksi ruang publik lebih berwarna. Dalam hal ini, agaknya benar pernyataan Judith Rugg terkait ruang, bahwa space can be regarded as a site in which forms of identification and alienation are performed and where the production of social and

pun mereka suka. Terlebih bahwa ruang publik, didasarkan pada interaksi yang ada di dalamnya. Alhasil ketika mereka merespon secara lebih akan sebuah karya seni, atau pertunjukan seni, ruang tersebut membentuk representasi atas ruang baru, namun tidak menghapus pemahaman bahwa merka ada di ruang lama, ruang publik. Bahkan dari pengalaman tersebut, mereka merasakan pengalaman yang berbeda.

Sebenarnya hal tersebut bukan hal yang baru, kritik serupa sudah dilakukan sejak Marcel Duchamp memamerkan urinoir, membawa hal yang biasa ditemui sebagai karya seni. Atau praktik lainnya, seperti: meletakan karya seni di ruang publik, atau dalam seni pertunjukan, dengan dihelatnya invisible theatre. Sebuah upaya dari pemikir dan teatrawan Barat, yang mempertunjukan sebuah adegan tertentu di tempat keramaian. Dalam invisible theatre, masyarakat tidak sadar bahwa sebuah kejadian yang dirangkai, seperti adu mulut antar penjual dan pembeli, atau kejadian apa pun, adalah sebuah kejadian yang dirancang, setelah perhatian individu tertuju pada para pemain, secara sadar, salah satu pemain bertukar posisi. Hal yang tidak terduga dan dilakukan secara langsung di tengah masyarakat, tanpa adanya persiapan penonton untuk menonton.

Hal-hal yang lebih tepat dikatakan sebagai upaya dekonstruktif di atas, memang cukup jitu dalam memberikan sebuah terapi tertentu pada masyarakat dan ruang publik yang cenderung meresepsi segala sesuatu tanpa adanya pikiran kritis. Senada dengan ‘uji coba’ di atas, Ricciarda Belgiojoso turut mengamini adanya hal-hal yang di luar keseharian turut dipertunjukan atau dipamerkan di dalam ruang publik. Ricciarda Belgiojoso menyatakan bahwa:Neuhaus’ works are accessible to a large and varied audience. They are thought for

societies live out and reproduce their social existence (1987:27). Basis kultural turut menjadi perbendaharaan modal dalam mengkonstruksi ruang yang didiami si individu.

Yang menarik dalam hal ini, pertemuan tubuh di dalam ruang tertentu, sebut saja ruang publik, merupakan sebuah pertemuan yang sekaligus menyimpan kontestasi akan ruang itu sendiri. Akumulasi tubuh yang menyimpan ruangnya masing-masing, membuat sebuah ruang yang lebih besar, seperti ruang publik, terkonstruksi atas hasil pertemuan antar individu. Hal ini dapat diejawantahkan dari berkumpulnya masyarakat di ruang publik, seperti taman, atau jalan raya, di mana ruang tersebut terkonstruksi atas satu hal general dengan pelbagai kepentingan. Yang perlu disadari, individu yang mencipta ruang kecil, hingga kumpulan individu yang mengakumulasikan ruang menjadi lebih besar, berlapis dan beragam, tetap dipayungi dengan kepentingan yang bisa digeneralisasi sebagai satu gagasan, yakni publik.

Jika berkaca pada perihal seni, terlebih di ruang publik, seperti halnya tiga patung gajah yang berdiri tegak di perempatan Malioboro (0 Km), Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Sebagaimana ruang tersebut dinyatakan sebagai ruang publik, tubuh-tubuh yang berada di ruang publik merespon karya seni, seperti: berfoto bersama, melihat-lihat, berteduh di bawah patung, sebagai sebuah negosiasi antar individu akan memposisikan ruang publik menjadi ruang seni. Dalam hal ini turut menampilkan kontruksi ruang yang berubah dari ruang publik menjadi ruang seni. Namun perubahan tidak sedrastis yang dibayangkan, perubahan di sini lebih menunjukan bahwa ruang publik dapat dibawa oleh individu ke mana

Page 13: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

13Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Fisher, David H. 1996. “Public Art

and Public Space”, dalam Soundings: An

Interdisciplinary Journal,Vol 79, No.1/2 (Spring/

Summer), hal. 41-57.

Habermas, Jürgen. 2007. Ruang Publik: Sebuah

Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis.

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Hillier, Bill dan Julienne Hanson. 1987. The

Social of Logic of Space. Cambridge: Cambridge

University Press.

Hirsch, Eric dan Michael O’Hanlon. 1995. The

Anthropology of Landscape – Perspectives on

Place and Space. Oxford: Clarendon Press.

Jurriëns, Edwin. 2014. “Membentuk Ruang:

Komunitas Seni Video di Indonesia”, dalam Seni

Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Barbara

Hatley, G.Budi Subanar, dan Yustina Devi

Ardhiani (ed.). Yogyakarta: Penerbit Universitas

Sanata Dharma.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa.

Jakarta: Balai Pustaka.

Lefebvre, Henri. 2014. Rhythmanalysis: Space,

Time and Everday Life. London: Continuum.

Loyal, Steven. 2003. The Sociology of Anthony

Giddens. London: Pluto Press.

Rugg, Judith. 2010. Expoliring Site-Specific Art:

Issues of Space and Internationalism. London:

I.B. Tauris.

Schmid, Christian. 2008. “Henre Lefebvre’s

Theory of The Production of Space: Towards

a three-dimensional dialectic”, dalam

Space, Difference, Everyday Life: Reading

Henri Lefebvre, dieditori oleh, Kanishka

Goonewardena, Stefan Kipfer, Richard Milgrom,

dan Christian Schmid. New York dan London:

Routledge.

Zieleniec, Andrzej. 2007. Space and Social

Theory. London: Sage Publications Ltd.

Dalam hal ini, seyogyanya kontestasi antar konsep dan karya perlu dilakukan. Dengan adanya kontestasi karya, maka kemungkinan akan beragamnya karya akan memberikan banyak referensi yang dapat dipamerkan dalam periode tertentu. Jika hal tersebut diseriusi, sudah barang tentu para seniman dapat berperan aktif memberikan sentuhan estetika akan ruang, hingga perasaan reflektif akan karya yang dipertontonkan. Terlebih sebuah karya seni, bukan sebagai pelengkap ruang, tetapi sebagai pantulan, afirmasi, atas kontekstual yang terjadi. Turut berkaca dari beberapa proyek seni publik yang sudah terjadi, David H. Fisher, dalam tulisannya yang berjudul Public Art and Public Space (1996), memperlihatkan bahwa keberlindanan antara keduanya bisa menciptakan sebuah “genre baru”. Alih-alih Fisher memberikan label “genre baru seni publik” lantaran karya seni yang dipamerkan/dipertunjukan di ruang publik, namun dari penelitianya, “genre baru” tersebut turut menyimpan pesan tertentu, yang dalam penelitiannya adalah “Culture in Action”. Bertolak dari hal ini, sudah barang tentu pola serupa bisa diapropriasi. Seyogyanya, sebuah karya seni yang diletakan dalam ruang publik menyiratkan pesan tertentu, yang telah digodog secara matang oleh balutan wacana, baik dengan konteks budaya, hingga kritik global. Alhasil, ruang publik, baik di Yogyakarta, maupun di Indonesia, dapat memberikan sebuah tawaran ruang yang lebih utuh dengan bangunan, ekologi di sekitar ruang, dan tentu masyarakatnya.

Daftar Pustaka Belgiojoso. Ricciarda. 2014. Constructing

Urban Space with Sounds and Music. Surrey:

Ashgate Publishing Company.

Briginshaw, Valerie A. 2001. Dance, Space

and Subjectivity. New York: Palgrave Macmillan.

power relations are revealed, reproduced and maintained (2010:53). Bahwa ruang tidak hanya dihidupi, tetapi dikelola, dipantau, dikendalikan, dan dikonstruksi. Logika Rugg akan ruang tidaklah keliru. Sudah barang tentu ruang publik perlu dikelola, tidak bisa dilepaskan begitu saja, persoalannya adalah, kini ruang tersebut dikelola oleh siapa, dan bisa sejauh mana individu di dalam ruang tersebut berupaya. Jika berperan seimbang, antara pejabat dan seniman yang ditunjuk secara ‘tepat’, maka bisa saja karya seni memberikan kesadaran pada tubuh-tubuh di dalam ruang publik, akan keberadan mereka, dan apa yang dapat mereka perbuat untuk ruang publik ke depan.

Kontestasi Seni dalam Ruang Publik: Sebagai PenutupBahwa ruang publik tidaklah bebas nilai, ia selalu mempunyai nilai-nilai yang terbentuk atas interaksi yang terjadi di dalamnya. Sehingga terkesan tentatif, namun tetap berada dalam bingkai tertentu. Dalam hal ini, perbincangan kontestasi mungkin agak berbeda dengan kontestasi yang dimaksud pada bagian sebelumnya. Kontestasi dalam bagian ini lebih merujuk pada kontestasi akan karya seni, hingga ideologi di dalam ruang publik. Nyatanya, trayektori akan terpamerkannya karya seni di dalam ruang publik turut menjadi sebuah polemik tersendiri. Mulai dari karya yang tidak pas diletakan di salah satu ruang tertentu; rentannya karya tertentu dalam ruang publik—yang notabene rawan sentuh, bahkan di-gelayuti; tema karya yang tidak betolak dari kontekstual; hingga karya-karya yang dihadirkan tanpa adanya kajian sebelumnya—biasanya karena permintaan atau menang proyek tertentu. Alhasil pelbagai upaya kritis memang perlu digalakan, yakni dengan mencermati apakah sebuah karya seni tertentu sudah tepat, baik secara preposisi, estetika, fungsi, hingga material sekalipun.

Page 14: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

14

Mengapa soal ruang publik perlu menjadi perhatian kita dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan peran kaum muda? Ruang publik menyediakan segala kesempatan bagi setiap lapisan masyarakat untuk saling mengenal, mengamati apa dan bagaimana suatu masyarakat berkembang. Di ruang publik hampir tak ada batasan kelas sosial yang mencolok – meskipun penanda kelas

sosial tetaplah hadir di dalam ruang publik. Dalam presentasi ini saya akan menggunakan studi kasus dari hasil penelitian saya mengenai ruang publik, kaum muda dan produksi ruang sosial di kota Yogyakarta sebagai studi kasus yang saya ambil dari hasil penelitian saya pada tahun 2014.

Kaum Muda dan Kebutuhan Atas Ruang Publik(Studi Kasus: Yogyakarta)*Arie Setyaningrum Pamungkas**

Page 15: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

15Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Perkembangan kota Yogyakarta yang pesat selain sebagai kota pariwisata juga sebagai kota tujuan pendidikan dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk khususnya bonus demografi yakni semakin bertambah besar jumlah generasi muda khususnya usia20-an yang menjadi pelajar (mahasiswa). Bonus demografi ini menjadi penting mengingat kaum muda khususnya mahasiswa memiliki dinamika kehidupan sosial yang menghubungkan aktivitas belajar mereka dengan kehidupan sehari-hari yang rutin dan aktivitas lainnya khususnya yang berkenaan dengan interaksi sosial mereka di luar maupun di dalam kampus yang mempengaruhi perubahan sosial.

Bagi sekelompok generasi muda (khususnya mahasiswa) ‘ruang komunal’ menyediakan basis bagi solidaritas kaum muda (sebagai penggerak sosial di masa depan) tetapi juga berpotensi pada keretakan kohesi sosial. Ruang komunal tidak selalu identik dengan ‘ruang publik’. Yogyakarta yang dicitrakan sebagai kota pendidikan yang menyejarah ikut mempengaruhi bagaimana sikap mental para penghuni kota ini terhadap para pendatang khususnya generasi muda (mahasiswa) yang memiliki dinamika kehidupan moderen sekaligus berada di dalam kelas sosial menengah intelektual. Sebagai contoh dari aspek ‘ruang komunal’ generasi muda intelektual ini adalah apa yang menjadi infrastruktur dan suprastruktur di dalam Unit Kegiatan Mahasiswa di kampus. Bagaimana melalui UKM mahasiswa berinteraksi dan memahami apa yang menjadi kegelisahan bukan hanya kegelisahan para mahasiwa saja tetapi bahkan pada yang menjadi

geliat ekonomi usaha kecil dan menengah. Akan tetapi tujuan pembangunan wisata itu menjadi bersifat eksesif (berlebih-lebihan) dan telah menjadikan tata ruang di Kota Yogyakarta berjalan seakan akan tidak sesuai dengan perencanaan kota yang baik khususnya yang mempertimbangkan keberadaan kota Yogyakarta sebagai ‘kota budaya’ dan juga sebagai ‘kota pendidikan’.

perhatian (concern) publik. Secara khusus misalnya bagaimana mahasiswa berbagi solidaritas baik sebagai warga kota Yogyakarta dan sekaligus sikap mental mereka atas pemanfaatan ruang publik di kota Yogyakarta sebagai suatu kesadaran intelektual yang mendorong arah perubahan sosial.

Semakin menyempitnya ruang komunal yang tersedia untuk kepentingan publik di kota Yogyakarta terjadi dikarenakan banyak faktor, akan tetapi faktor utama yang paling menonjol adalah semakin besarnya alih fungsi ruang komunal yang semula berfungsi sebagai ruang publik bersama menjadi ruang yang cenderung bersifat komersial khususnya bagi tujuan pariwisata. Berubahnya fungsi ruang publik yang mempertemukan berbagai kelompok masyarakat yang plural ini terjadi di dalam proses ‘pendudukan’ ruang publik sebagai ruang komunal menjadi ruang komersial. Perubahan fungsi ini menjadi suatu penanda yang amat mencolok di kota Yogyakarta khususnya selama 5 tahun terakhir ini. Sebagai contoh, fungsi dari Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan, dioptimalisasikan lebih banyak bagi kepentingan komersial yakni atraksi dan hiburan bagi wisatawan khususnya wisatawan domestik yang dirasakan cukup mengganggu aktivitas sehari-hari warga kota Yogyakarta, khususnya berkenaan dengan kepadatan arus lalu lintas, kesemwarutan penggunaan fasilitas publik termasuk jalan raya dan lain sebagainya. Kecenderungan untuk menjadikan kota Yogyakarta lebih sebagai kota tujuan wisata memang mendorong pertumbuhan industri pariwisata lokal termasuk menumbuhkan

Berubahnya fungsi ruang publik

yang mempertemukan berbagai kelompok

masyarakat yang plural ini terjadi di

dalam proses ‘pendudukan’ ruang publik sebagai

ruang komunal menjadi ruang komersial.

Foto: Arie Setyaningrum Pamungkas

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Page 16: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

16

bukan hanya menambah beban kepadatan ruang di kota Yogyakarta bahkan berdampak secara signifikan misalnya pada persediaan air bersih dari sumur-sumur di wilayah pemukiman masyarakat di kota Yogyakarta khususnya. Oleh karena itulah, Perdais Yogyakarta tahun 2013 mengenai Tata Ruang membuka peluang partisipasi warga masyarakat (publik) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya untuk mengajukan saran bahkan keberatan pada pembangunan yang dianggap merugikan kepentingan umum.

Pembangunan sektor pariwisata yang pesat di kota Yogyakarta khususnya dalam jangka waktu lima tahun terakhir ini, yakni 2008-2014 semakin menunjukkan peningkatan jumlah arus wisatawan domestik dari dalam negeri ketimbang sebelumnya, yakni jumlah arus turis dari luar negeri. Hal ini berdampak secara signifikan pada pola bisnis di sektor pariwisata di kota Yogyakarta misalnya, yang juga mengutamakan pelayanan bagi wisatawan domestik yang datang berkunjung ke Yogyakarta bukan dalam rangka liburan sebagaimana kebanyakan kecendrungan wisata secara konvensional – melainkan pada kepentingan untuk mengadakan pertemuan bisnis,workshop, konferensi – dengan kata lain, keberadaan wisatawan non ‘liburan’ kekota Yogyakarta juga semakin besar sehingga mendorong pembangunan untuk akomodasi dan kebutuhan untuk wisata semacam konferensi, workshop dan pertemuan bisnis tersebut. Meskipun sebagaimana yang seringkali diliput oleh koran-koran(harian) lokal maupun nasional, justru pertumbuhan hotel berbintang yang pesat di kota Yogyakarta berdampak kurang baik pada hotel-hotel kelas melati untuk kelas menengah bawah – yang selama ini

Kerja Nyata) di dalam kota menunjukkan ironi sesungguhnya yang mencerminkan ‘ketercerabutan’ interaksi mahasiswa (khususnya para pendatang) dari dinamika secara internal sebagai bagian dari ‘warga kota’. Di sisi lain, memang dikarenakan aktivitas yang lebih banyak diluangkan di dalam kampus, mahasiswa khususnya pendatang lebih cenderung dianggap sebagai warga kelas dua – dalam pengertian dikarenakan status mereka yang menetap hanya sementara dan mobilitas mereka dalam memilih lokasi tempat tinggal secara alamiah menjadikan halangan bagi para mahasiswa untuk lebih banyak berinteraksi secara sosial di wilayah dimana mereka tinggal. Ruang spatial dan produksi ruang sosial amat jarang diperhatikan sebagai bagian dari strategi pembangunan manusia—khususnya kaum muda. Saya akan membahasnya sebagai berikut.

Implikasi Sosial Tata Ruang Kota Yogyakarta 2008-2014 Menurut Perdais Yogyakarta tahun 2013 mengenai Tata Ruang, secara umum dapat disimpulkan bahwa tata ruang Yogyakarta bukan hanya meliputi pola – perencanaan tata ruang (tata ruang wilayah perkotaan dan tata ruang wilayah pedesaan) melainkan juga tata ruang lindung dan tata budidaya. Dalam perdais Yogyakarta2013 yang terbaru ini, warga masyarakat Yogyakarta diperkenankan untuk melaporkan pembangunan yang tidak sesuai dan dianggap merugikan kepentingan masyarakat umum serta dinilai tidak bersesuaian dengan nilai-nilai keistimewaanYogyakarta. Perdais Yogyakarta mengenai tata ruang sebelumnya di tahun 2010 misalnya, banyak dikritisi kalangan publik dan masyarakat Yogyakarta dikarenakan banyak pelanggaran atas implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Yogyakarta. Hal ini misalnya, nampak pada pembangunan hotel-hotel baru, apartemen-apartemen mewah dan kondominium serta mal-mal yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan masyarakat umum sehingga

Menyempitnya ruang publik bagi pertemuan dan interaksi warga kota Yogyakarta secara komunal juga berdampak signifikan pada aktivitas kehidupan kota ini sebagai kota pendidikan. Di masa lalu, mahasiswa misalnya, merupakan elemen penting penggerak perubahan sosial dan politik di Indonesia tak terkecuali khususnya mahasiswa di kota Yogyakarta. Pertemuan para mahasiswa di ruang komunal—dimana ruang publik tidak mengenal kepemilikan personal—telah menjadikan mahasiswa yang belajar di kota Yogyakarta memiliki karakteristik keunikan, yakni membentuk berbagai komunitas – khususnya komunitas studi, komunitas belajar, komunitas berkesenian dan berorganisasi yang melintas batas-batas kampus, latar belatang sosial, kesukuan, agama dan kepercayaan. Kaum muda khususnya mahasiswa adalah bagian dari warga kota Yogyakarta yang menggerakkan dinamika di kota ini. Para mahasiswa yang datang dari luar kota Yogyakarta, luar pulau Jawa, bahkan dari luar negeri ikut membentuk dinamika kota Yogyakarta, memberi sumbangan pada pembangunan ekonomi, dan juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang multikultur di kota ini. Artinya, keberadaan kaum muda khususnya para mahasiswa ini menjadi bagian penting dari arah pergerakan kota Yogyakarta baik secara spasial—dikarenakan kebutuhan untuk memenuhi infrastruktur pendukung seperti akomodasi, tempat tinggal (kos-kosan, asrama) maupun secara kultural.

Perkembangan kota Yogyakarta dan modernitas yang semakin luas dan kompleks membuat para mahasiswa khususnya para pendatang semakin terisolasi dari dinamika komunitas dimana mereka tinggal (menetap sementara). Jika di masa lalu, dinamika di dalam kampung – di wilayah dimana para mahasiswa ini indekost, mahasiswa acapkali terlibat di dalam kegiatan yang diselenggarakan warga dan memiliki inisiatif seperti layaknya warga asal. Fenomena KKN (Kuliah

Foto: Arie Setyaningrum Pamungkas

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Page 17: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

17Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

kota Yogyakarta akhir-akhir ini, misalnya ditandai oleh gerakan-gerakan sosial seperti ‘Yogya Asat’ – yang memprotes pemerintah kota Yogyakarta yang dianggap membiarkan pembangunan sarana fisik khususnya perhotelan, apartemen mewah dan kondominium serta mal – yang berdampak pada menyusutnya persediaan air dari dalam tanah (air sumur) di wilayah pemukiman warga sekitar di kota Yogyakarta. Perkembangan sarana fisik itu bukan hanya berdampak secara ekologis, melainkan juga secara social—sehingga menimbulkan segregasi social—yang nampak mencolok, khususnya bagi warga yang berada di kelas menengah bawah. Selama ini, selain terkenal sebagai kota tujuan wisata, Yogyakarta juga merupakan kota tujuan melangsungkan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Sehingga tidak mengherankan jika banyak warga pendatang dari luar kota Yogyakarta yang menginginkan untuk melanjutkan pendidikan tingginya di kota ini, selain dianggap sebagai kota yang nyaman dan mendukung pendidikan—dimana setiap orang memiliki waktu untuk belajar dengan tenang serta sikap dan toleransi warga Yogyakarta yang dianggap ramah dan menerima kedatangan para pelajar dan mahasiswa-mahasiswa dari luar daerah Yogyakarta. 

berjalan masing-masing tanpa koordinasi yang cukup baik.

Sensitivitas publik khususnya di kota Yogyakarta berkenaan dengan implementasi pelaksanaan tata ruang kota sepanjang tahun 2013 dan 2014 semakin meningkat ditandai oleh munculnya gerakan-gerakan sosial yang pada intinya mengkritisi pembangunan hotel-hotel berbintang dan mal mewah yang dianggap tidak bersesuaian dengankepentingan masyarakat umum. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk wilayah KotaYogyakarta juga memiliki kekhususan pola sosial budayanya tersendiri sebagai dampak dari pola pembangunan ruang yang selama ini berjalan khususnya yang masih mempertimbangkan nilai-nilai filosofi dan budaya lokal (Jawa). Dalam pengertian ini, ruang budidaya meliputi segala aspek sosial budaya masyarakat Yogyakarta yang mempertimbangkan harmoni dan kohesi sosial, tenggang rasa, gotong-royong dan kebersamaan serta sikap toleran dan terbuka pada warga pendatang yang multikultural. Artinya,sejak awal mula perencanaan ruang, termasuk Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) seharusnya mempertimbangkan pula aspek-aspek selain aspek ekologis juga aspek sosial dan budaya. Keresahan yang muncul di masyarakat

‘survive’ di kota Yogyakarta. Jika hotel-hotel berbintang tetap penuh meskipun bukan pada musim liburan, maka hotel-hotel kelas melati ini justru sangat merugi juga karena banyak hotel hotel berbintang yang ‘banting harga’ – yakni memberi diskon yang cukup murah bagi pelanggan mereka. Sementara itu disisi lain, pembangunan mal-mal baru dikota Yogyakarta secara signifikan juga mempengaruhi pola budaya masyarakat. Masyarakat umum khususnya kelas menengah atas dan kaum muda seakan-akan didorong untuk melakukan pola konsumsi dan aktivitas lain di dalam mal yang dianggap lebih nyaman ketimbang pasar-pasar tradisional misalnya. Meskipun keberadaan pasar – pasar tradisional di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk kota Yogyakarta khususnya, saat ini dapat dianggap sebagai sarana aktivitas berbelanja yang cukup nyaman – kebersihan pasar-pasar tradisional dan infrastruktur pendukungnya secara relatif jauh lebih baik ketimbang pada masa Orde Baru di tahun 90-an misalnya. Artinya, keberadaan ruang-ruang yang tetap mencirikan sifat budidaya – dan nilai-nilai tradisional di Yogyakarta secara terus-menerus juga tetap diupayakan untuk terus diperbahurui. Dalam konteks inilah, seakan-akan pembangunan tata ruang khususnya di kota Yogyakarta –seperti

Page 18: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

18

mempengaruhi masa depan Indonesia. Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan bahwa pada tahun 2015 Indonesia akan memperoleh ‘bonus demografi’ yakni pertumbuhan yang sangat besar golongan penduduk berusia muda produktif – usia sekolah dan berpendidikan menengah tinggi antara 16 hingga 30 tahun sejumlah lebih dari 63 juta jiwa. Jumlah inilah

memuat Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) diharapkan mampu untuk menata kembali kesemrawutan pembagian zonasi – wilayah di dalam tata ruang kota Yogyakarta sehingga nampak jelas batasan bagi wilayah zona industri, ekonomi dan bisnis, zona wisata dan heritage, zona pendidikan, dan zona pembangunan permukiman-permukiman baru seperti perumahan, apartemen dan kondominium. Selama ini, keberadaan pembagian zonasi semacam itu tidak berjalan dengan baik khususnya sepanjang waktu 2008-2014 sehingga muncul keresahan di masyarakat dan publik Yogyakarta berupa protes sosial pada pemerintah. Pembangunan tata ruang kota yang semrawut dikota Yogyakarta inilah yang kemudian pada gilirannya justru mencederai citrakota Yogyakarta sebagai kota yang nyaman dan ramah. Keberlangsungan bisnis pariwisata misalnya, sebenarnya tetap berjalan dengan baik—meskipun misalnya tanpa harus dimaknai sebagai kebutuhan untuk terus membangun hotel-hotel mewah apalagi yang berada di zonasi pemukiman penduduk lokal dan peruntukan bagi zonasi hijau. Justru keistimewaan Yogyakarta juga terletak pada aspek pembangunan sosial dan budayanya, yang seakan-akan timpang dalam lima tahun terakhir ini, sehingga kenyamanan lingkungan ekologis dan sosial justru banyak sekali diabaikan. Dalam konteks inilah, rencana tata ruang kota (RTRK) menjadi sangat penting untuk mempertimbangkan pula kelangsungan (continuity) dan daya keberlangsungan (survival) aspek sosial budaya yang ikut menggerakkan dinamika atas pemanfaatan ruang khususnya di kota Yogyakarta, tak terkecuali bagi wilayah zonasi yang diperuntukkan bagi pendidikan.

Bonus Demografi dan Dinamika Kaum Muda di Kota YogyakartaKeberadaan pertumbuhan penduduk generasi muda produktif di Indonesia merupakan aset bagi pembangunan nasional yang penting dan sangat

Sementara itu, pemerintah seharusnya lebih bijaksana menanggapi keresahan publik khususnya di wilayah kota Yogyakarta berkenaan dengan implementasi Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) sehingga kepentingan publik tidak terabaikan. Hingga saat ini, sepertinya komunikasi berjalan masih kurang baik antara perencana RTRK yakni pemerintah kota Yogyakarta dan warga masyarakat.

Pada banyak implementasi pembangunan fisik di kota Yogyakarta misalnya selama tahun 2008-2014, koefisiensi dasar bangunan, koefisiensi lantai bangunan masih belum mempertimbangkan bagaimaina memberi ruang representasi yang cukup memadai bagai koefesiensi dasar hijau. Artinya, pembangunan fisik selama lima tahun terakhir di kota Yogyakarta cenderung mengabaikan pemeliharaan dan pemanfaatan wilayah hijau dan zona ekologis yang nyaman dari polusi baik polusi udara dikarenakan kepadatan lalu lintas sertapolusi suara – yakni kebisingan.

Pembangunan fisik yang begitu pesat khususnya dalam lima tahun terakhir ini secara ironis justru sedikit sekali melibatkan partisipasi warga masyarakat Yogyakarta secara umum. Keberadaan para investor bagi pembangunan hotel-hotel berbintang, apartemen dan kondominium mewah serta mal-mal, seakan-akan berjalan terus tanpa kendali yang nyata dari peran pemerintah lokal yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat luas. Sebagaimana yang telah diketahui oleh publik, banyak warga setempat khususnya di wilayah kota Yogyakarta dan wilayah penyangga di sekitar kota Yogyakarta yang menjalankan usaha selama berpuluh-puluh tahun melalui bisnis kos-kosan yang secara relatif jauh lebih murah dan terjangkau, sehingga menjadi salah satu alternatif daya tarik bagi para pendatang khususnya bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di Yogyakarta. Oleh karena itulah, Perdais Yogyakarta tahun 2013 yang juga

Kaum muda khususnya mahasiswa

adalah bagian dari warga kota Yogyakarta yang

menggerakkan dinamika di kota ini.

Page 19: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

19Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Pembangunan tata ruang kota yang semrawut dikota Yogyakarta inilah yang kemudian pada gilirannya justru mencederai citrakota Yogyakarta sebagai kota yang nyaman dan ramah.

manusia yang berkualitas khususnya dengan mempertimbangkan bonus demografi inilah perencanaan strategis bagi tata ruang kota di Kota Yogyakarta yang mengedepankan tujuan pembangunan sebagai kota pendidikan yang berkualitas menjadi bukan hanya penting, melainkan juga merupakan kebutuhan yang mendesak. Semakin berkurangnya ruang publik dan zonasi hijau serta pemukiman yang nyaman dan mendukung aktivitas belajar merupakan tantangan tersendiri di kotaYogyakarta, yang jika terus terabaikan dikuatirkan akan menimbulkan gejolak sosial dan bahkan ancaman bagi kohesi sosial (disintegrasi).

Pembangunan kota yang ramah bagi publik merupakan salah satu prasyarat utama bagi pencapaian tujuan pembangunan manusia yang berkualitas. Mau tidak mau, pemerintah daerah Istimewa Yogyakarta memiliki beban khusus yang berkenaan dengan pembangunan pendidikan – bukan semata-mata melihat aspek ini sebagai industri semata yang memang selama ini banyak memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang tinggi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta di luar pemasukan daerah yang berbasis pada pembangunan ekonomi, industri dan bisnis, bahkan termasuk pariwisata. Artinya, kontribusi dari sektor pendidikan bagi keberlangsungan ekonomi di DIY menjadi bukan hanya penting tetapi juga merupakan hal yang berkenaan dengan eksistensi dan citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Di sisi lain, meskipun banyak peningkatan sarana pendidikan di Yogyakarta, termasuk juga sarana dan prasarana yang dikembangkan oleh beberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, tetapi hal ini lagi-lagi tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang lain bagi perbaikan mutu kualitas pembangunan manusia, sebagaimana yang dapat ditemui dalam implementasi RTRK (rencana tata ruang kota). Keberadaan pemukiman yang nyaman (kondusif ) bagi para pelajar dan mahasiswa misalnya, kini bukan hanya dipandang sebagai sarana yang

pertimbangan tersendiri yang secara khusus juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pola pembangunan ruang secara fisik (spatial).

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Daerah Istimewa Yogyakarta 2005-2025 juga memuat visi dan misi RPJPD Kota Yogyakarta yang yakni melandaskan pembangunan Kota Yogyakarta sebagai, “Kota pendidikan berkualitas, Kota pariwisata berbasis budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa yang berwawasan Lingkungan”. Jadi secara ideal, sebenarnya pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memang memberikan prioritas perhatian pada pembangunan kota Yogyakarta sebagai ‘kota pendidikan yang berkualitas’; secara khusus hal ini seharusnya juga mempertimbangkan bagian dari pembangunan manusia bukan hanya pembangunan secara fisik. Dengan kata lain pertumbuhan jumlah penduduk usia produktif di Indonesia yakni bonus demografi generasi muda merupakan faktor penunjang yang seharusnya mampu untuk diserap bagi pembangunan manusia—dan penataan wilayah yang secara signifikan berdampak pada aspek perbaikan kualitas termasuk di dalamnya adalah melalui pendidikan.

Untuk pembangunan manusia yang berkualitas itulah, generasi muda ini yang jumlahnya sangat besar dan menjadi sumber daya manusia (SDM) bagi masa depan Indonesia sudah selayaknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangunan tata ruang dan wilayah. Selama ini, rencana pembangunan wilayah hanya mempertimbangkan aspek pembangunan sarana fisik serta pembangunan fisik yang hanya semata-mata menguntungkan segelintir orang saja seperti para investor (penanam modal baik besar maupun menengah) yang mengembangkan usaha bisnis properti termasuk di Kota Yogyakarta untuk keuntungan mereka saja dan cenderung mengabaikan aspek lingkungan hidup dan lingkungan sosial budaya. Terkait dengan pembangunan

yang mempengaruhi peningkatan usia produktif. Artinya, dalam waktu dekat dan mendesak inilah, baik pemerintah maupun publik luas harus mempertimbangkan perencanaan pembangunan manusia yang mempertimbangkan keberlanjutan kualitas hidup manusia ke arah yang lebih baik dan manusiawi. Dengan kata lain, bonus demografi seharusnya menjadi

Page 20: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

20

lebih menjadi suatu ruang pertemuan bagi peer-grouping dimana mahasiswa mengembangkan identitas mereka – termasuk apakah melalui peer grouping ini mereka mampu untuk mengembangkan daya kritis mereka terhadap lingkungan sosial ataukah sebaliknya, justru mengembangkan ekslusivitas didalam kelompok itu sendiri (terutama yang dikarakteristikkan melalui kelas sosial).

Ruang publik merupakan ruang yang memfasilitasi pertemuan banyak orang secara inklusif dan tak mengenal batasan-batasan latar belakang sosial seseorang. Sementara, ruang komunal adalah ruang yang mempertemukan sekelompok orang yang melalui seleksi atas keanggotaan setiap orang termasuk rasa memiliki (sense of belonging) seseorang pada keanggotaan mereka di dalam suatu kelompok. Hal yang membedakan keduanya adalah pada ‘seleksi sosial’. Meskipun misalnya, ruang komunal dapat berkembang menjadi ruang yang memfasilitasi setiap orang secara inklusif, tetapi tetap ruang komunal selalu memiliki ‘labelling sosial’ – yakni memiliki identitas yang berbasis pada komunalitas. Sementara ruang publik secara umum merupakan ruang dimana setiap orang dapat melakukan perjumpaan tanpa harus terikat pada proses seleksi sosial, dan menjadi alternatif bagi ekspresi bersama warga masyarakat – juga sebagai ruang yang memungkinkan setiap orang untuk memperoleh hak-hak yang setara di dalam mengakses fasilitas publik.

Di dalam pembahasan sosiologi khususnya yang berkenaan dengan tata ruang dan pembangunan sosial, ruang publik dimaknai sebagai wujud dari otoritas publik untuk mendapatkan pemenuhan hak-hak sipilnya sebagai bagian dari masyarakat. Artinya, ruang publik dapat dimanfaatkan secara bersama-sama,

dimana pemanfaatan atas suatu ruang fisik oleh sekelompok orang dijalankan melalui proses seleksi sosial yang juga berlangsung – khususnya berkenaan dengan sharing (saling berbagi) atas minat, kesamaan latar-belakang sosial (etnisitas, agama atau kepercayaan, dan atau ideologi).

Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia secara umum memperbolehkan dan bahkan mendukung aktivitas ekstrakulikuler di luar jam kegiatan belajar bagi para mahasiswanya. Oleh karena itu UKM atau Unit Kegiatan Mahasiwa menjadi salah satu alternatif yang secara ideal mempertemukan banyak mahasiswa secara inklusif dalam melakukan aktivitas ekstrakulikuler sesuai minat yang ingin mereka kembangkan. UKM juga merupakan sarana perguruan tinggi yang diharapkan mampu untuk memfasilitasi atau menjembatani kehidupan akademik dan kehidupan sosial termasuk relasi dengan masyarakat atau publik di luar kampus. Akan tetapi tidak keseluruhan dari aspek ideal ini dapat mendukung mahasiswa sebagai salah satu sumber daya manusia yang penting bagi pembangunan manusia, untuk dapat mengenali keberadaan dan bahkan komplesitas lingkungan sosial mereka. Artinya, seringkali pula UKM

mempertimbangkan aspek kemanusiaan – melainkan menjadi ‘magnet baru’ di dunia bisnis properti. Pembangunan apartemen dan kondominium mewah yang mahal misalnya, hanya dipandang sebagai investasi ekonomi yang dianggap menguntungkan oleh banyak spekulan dan pengembang (developer). Selain jauh dari interaksi sosial, keberadaan apartemen-apartemen mewah semacam itu pula yang secara ironis justru membuat semacam segregasi sosial – ketimpangan sosial antar kelas masyarakat yang tinggi – khususnya antara warga pendatang (yang menjadi target pasar dari bisnis properti semacam itu) – dan warga penduduk lokal (asli). Interaksi sosial yang plural juga semakin terbatas apalagi dengan minimnya fasilitas yang mendukung bagi ruang publik yang dapat mempertemukan setiap orang tanpa status sosial yang mencolok.

Secara tak terhindarkan, banyak ruang-ruang untuk aktivitas berbelanja seperti mal-mal, menjadi ruang pertemuan itu—dimana orang justru diarahkan untuk melakukan aktivitas mengkonsumsi sesuatu—bukan untuk mendapatkan ketenangan dan relaksasi. Mau tidak mau, akhirnya banyak para mahasiswa yang melihat aktivitas mereka sehari-hari di dalam kampus sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan mereka atas ‘ruang publik’—meskipun sesungguhnya ruang yang tersedia di dalam kampus itulah yang menjadi basis ‘ruang komunal’ mereka. Keberadaan ruang komunal di kampus dapat dimaknai secara positif, yakni memberikan ruang alternatif bagi interaksi mahasiswa – yang melintas antar kelas sosial, akan tetapi keberadaan ruang komunal ini juga justru dapat mengkerucut menjadi ruang yang sangat ekslusif – termasuk bagi pembiakan kelompok-kelompok yang memiliki basis ideologis radikalisme yang menjauh dari realitas masyarakat luas di sekitarnya. Jika ruang publik bersifat inklusif, yakni tidak mengenal keanggotaan secara khusus, maka keberadaan ruang komunal justru sebaliknya, yakni merupakan mekanisme

Artinya, ruang publik

dapat dimanfaatkan secarabersama-sama, meskipun ruang

publik sesungguhnya juga membatasi kepentingan setiap

orang khususnya ketika itu berkaitan dengan

ekslusivitas.

Foto: Arie Setyaningrum Pamungkas

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Page 21: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

21Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

pasar bebas, hal tersebut hampir nyaris mustahil dapat dilakukan. Dalam konteks inilah, Lefebvre menilai bahwa kebutuhan ruang publik bukan hanya penting dan mendesak bagi keberlangsungan kohesi sosial, dan karenanya bukan semata-mata menjadi kewajiban dari pemerintah saja melainkan juga agensi sosial lainnya yang mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari publik – seperti agensi bisnis, korporasi dan industri – atau yang kini kita kenal sebagai bentuk dari pertanggungjawaban sosial dari kalangan korporasi bisnis dan industri melalui CSR (Corporate Social Responsibility). Dalam konteks inilah ruang publik merupakan ruang pertemuan bagi banyak orang dimana setiap orang memiliki kepentingannya masing-masing, akan tetapi tidak dapat secara individual mengklaim kepemilikan mereka atas ruang itu. Ruang publik di mata Lefebvre lebih merupakan ruang relaksasi yang membuat setiap orang menjauhkan kepentingan individualnya masing-masing dan bertemu untuk memperoleh ketenangan dari

yang mengeksploitasi kemanusiaan—termasuk kepentingan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis.

Sementara, sosiolog dari tradisi kiri postmarxisme, Henry Lefebvre menilai bahwa ruang publik bukanlah suatu ruang alternatif – ruang publik adalah kebutuhan yang tak terhindari bagi berlangsungnya kohesivitas sosial. Dalam pengertian ini, Lefebvre menilai bahwa menjauhkan ruang publik dari agenda kepentingan ekonomi adalah sesuatu yang sangat naif dan hanya bisa berlangsung di dalam konteks masyarakat yang terkontrol penuh oleh pemerintah (seperti yang berlangsung di dalam tata ruang di bawah otoritarianisme komunisme) atau masyarakat yang memiliki kesadaran politik penuh sehingga mampu menuntut pemerintahan untuk memenuhi kewajibannya atas hak-hak sipil. Akan tetapi, dalam pandangan Lefebvre, dalam masyarakat kapitalis tingkat lanjut (late capitalist society) atau masyarakat pasca-industri yang terintegrasi dengan

meskipun ruang publik sesungguhnya juga membatasi kepentingan setiap orang khususnya ketika itu berkaitan dengan ekslusivitas. Sosiolog dari tradisi Kritik Sekolah Frankfurt, Habermas, misalnya, melihat keberadaan ruang publik (public space) secara ideal merupakan ruang bagi berlangsungnya komunikasi politik bagi warga masyarakat—dimana masyarakat dapat mengungkapkan ekspresi sosial mereka termasuk di dalamnya mengkritisi aparat pemerintah yang menjalankankan kebijakan publik dan berdampak pada masyarakat. Menurut Habermas, ruang publik tak mensyaratkan orang untuk memiliki status sosial tertentu atau kekhususan yang mengenal hierarki—sehingga keberadaannya menjadi sangat penting bagi suatu komunikasi politik – antar warga masyarakat sendiri maupun dengan pemerintah. Habermas menilai, seharusnya ruang publik dipelihara bagi kepentingan untuk memelihara daya kritis masyarakat—dan karena itu harus dijauhkan dari kepentingan-kepentingan

Page 22: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

22

kebisingan dan beban hidup sehari-hari tanpa harus dibebani oleh prasangka-prasangka ideologis. Menurut Lefebvre, ruang publik dapat menjadi ruang representasional yang diduduki (diokupasi) oleh sekelompok orang sebagai ruang ekspresi kritis – akan tetapi hal itu lebih merupakan sifat temporal dari keberadaan ruang publik, artinya ruang publik dapat pula memfasilitasi keberadaan berbagai macam komunitas yang beragam di dalam masyarakat. Dalam pengertian itulah, Lefebvre menyepakati sebagian argumen yang diajukan oleh Habermas, yakni bahwa kebutuhan atas ruang publik juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemenuhan kebutuhan warga atas hak-hak sipil mereka seperti kebebasan untuk mengutarakan pendapatdan gagasan mereka secara terbuka tanpa mengenal hierarki sosial.

Sementara itu, secara khusus Lefebvre juga melihat keberadaan komunitas dan bagaimana mereka memanfaatkan ruang – atau dalam pembahasaannya disebut sebagai ‘pendudukan’ (okupasi) atas suatu ruang, dapat menjadi suatu faktor yang secara signifikan mendukung kohesivitas sosial selama pendudukan mereka atas ruang publik sebagai kepentingan ekspresi komunal mereka bersifat inklusif, akan tetapi ketika okupasi itu bersifat eksklusif maka pendudukan atas ruang itu justru akan menjadi faktor terjadinya disintegrasi sosial dan bahkan konflik antarwarga masyarakat. Dalam kaitan itulah, Lefebvre menilai bahwa peranan pemerintah bukan hanya menyediakan ruang publik bagi masyarakat tetapi juga menjaga keberlangsungan ketertiban sosial di dalam lingkungan ruang publik tadi. Artinya, tertib sosial tetap dijalankan dengan mempertimbangkan hak-hak sipil seperti kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat atau gagasan. Dengan demikian, keberadaan ruang publik bukanlah semata-mata konsep ideal yang hanya bersifat utopia belaka, melainkan juga mempertimbangkan realitas sosial yang

berlangsung di dalam konteks masyarakat kapitalis tingkat lanjut saat ini.

Kajian kritis Lefebvre mengenai produksi ruang sosial berkenaan dengan suatu interaksi dinamis antara proses sosial dan proses spasial, misalnya tata ruang, perkembangan masyarakat urban, ruang publik, dan berbagai ekspresi budaya yang muncul atas berbagai praktek ‘menghuni’ suatu ruang. Lefebvre tidak setuju pada upaya untuk melihat ‘ruang’ semata-mata sebagai suatu ‘obyek konkret’ sebagaimana yang menjadi pandangan dasar dalam filsafat Cartesian, yakni yang memisahkan “ruang yang ideal” (ideal space) dari “ruangnyata” (real space). Menurutnya ‘ruang’ sebaiknya tidak semata-mata dipahami sebagai suatu kategori biner (kategori yang saling berlawanan).

Oleh karena itu Lefebvre berpendapat lebih lanjut bahwa ruang merupakan suatu produk yang diproduksi secara material - sementara itu pada saat yang bersamaan “hasil yang dimunculkan secara material itu beroperasi pula melalui proses mental atas pembentukan suatu ruang fisik. Sebagai kota tujuan wisata dan pendidikan, kota Yogyakarta merupakan target bagi para investor khususnya di dalam perluasan pembangunan sarana fisik yang mendukung aspek pariwisata dan pendidikan.

Hasil penelitian saya menunjukkan perubahan ruang fisik yang begitu besar di kota Yogyakarta sepanjang tahun 2014 yang kemudian secara spasial membedakan kelas sosial tetapi sekaligus mengaburkan definisi atas identitas sosial mereka semisal; kategori penduduk asli atau pendatang. Berkenaan dengan produksi ruang sosial di kota Yogyakarta, hal yang menarik adalah seringkali praktek menghuni ruang komunal (publik) dimana tidak dikenal kepemilikan secara individual (sebagaimana yang menjadi basis bagi okupasi atas suatu ruang fisik menurut hubungan relasi produksi) seringkali menimbulkan ‘ketegangan’ atau bahkan ‘konflik’ antar

Dari keseluruhan responden yang

menjadi fokus kajian penelitian menunjukkan kecenderungan semakin

minimnya keberadaan ruang publik di kota Yogyakarta sehingga mengakibatkan generasi muda khususnya para mahasiswa semakin

kurang berinteraksi secara plural.

Page 23: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

23Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

inhabitants (penghuni ruang) tersebut. Perkembangan kota Yogyakarta yang pesat selain sebagai kota pariwisata juga sebagai kota tujuan pendidikan dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk khususnya bonus demografi yakni semakin bertambah besar jumlah generasi muda khususnya usia 20-an yang menjadi pelajar (mahasiswa). Bonus demografi ini menjadi penting mengingat kaum mudak hususnya mahasiswa memiliki dinamika kehidupan sosial yang menghubungkan aktivitas belajar mereka dengan kehidupan sehari-hari yang rutin dan aktivitas lainnya khususnya yang berkenaan dengan interaksi sosial mereka di luar maupun di dalam kampus yang mempengaruhi perubahan sosial.

Penelitian yang saya lakukan mengambil perbandingan dinamika kehidupan mahasiswa di empat Perguruan Tinggi di Kota Yogyakarta, yakni di UGM, USD, ISI, dan UMY. Pemilihan ke empat Perguruan Tinggi ini didasari oleh pertimbangan pemetaan ruang mengingat ke empat Perguruan Tinggi tersebut tersebar di wilayah Utara, Timur, Selatan, dan Barat kota Yogyakarta. Selain menggunakan data-data sekunder mengenai perkembangan wilayah kota Yogyakarta selama periode 10-5 tahun terakhir ini (2004-2014), penelitian juga dilakukan dengan wawancara mendalam dengan mengambil responden mahasiswa-mahasiswa di empat Perguruan Tinggi tersebut.

Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa mahasiswa di Perguruan Tinggi di kota Yogyakarta memiliki persepsi yang hampir seragam mengenai kebutuhan atas ruang publik di kota yang dirasakan semakin tidak memadai untuk berinteraksi secara plural melintas antar mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda-beda. Oleh karena itu aktivitas internal di dalam kampus merupakan pilihan yang mereka jalani untuk mengisi rutinitas di luar kehidupan akademik (belajar). Banyaknya

kegiatan di dalam kampus membuat mahasiswa di masing-masing perguruan tinggi tersebut jarang berinteraksi dengan mahasiswa dari perguruan tinggi lain. Di sisi lain, ruang yang disediakan di dalam kampus dan aktivitas melalui UKM menjadi pilihan bagi mereka untuk mengembangkan peer group nya dan membangun persepsi komunal cenderung hanya melalui kelompok ini. Dari keseluruhan responden yang menjadi fokus kajian penelitian menunjukkan kecenderungan semakin minimnya keberadaan ruang publik di kota Yogyakarta sehingga mengakibatkan generasi muda khususnya para mahasiswa semakin kurang berinteraksi secara plural. Dalam pengertian interaksi sosial dan pemanfaatan atas ruang komunal sebagaimana yang dibahas oleh Henri Lefebvre, mahasiswa hanya memiliki kesadaran secara kognitif pada keberadaan ‘Ruang Representasional’ yang dikonsepsikan khususnya yang tersedia bagi interaksi mereka sehari-hari di dalam kampus. Sementara itu hampir seluruh responden (para mahasiswa) sulit untuk mendefinisikan kebutuhan mereka atas praktek sosial bersama pada lingkup geografi yang lebih luas di dalam kota.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa kebutuhan atas interaksi sosial yang mengedepankan respon dan sensitivitas atas problema tata ruang kota bagi masyarakat di kota Yogyakarta hampir sulit menjadi kesadaran secara kognitif bagi para mahasiswa ini secara komunal. Dengan kata lain, semakin banyak mahasiswa yang cenderung bersikap tidak peduli pada perubahan dinamika kota, bukan karena mereka tidak ingin peduli, melainkan dikarenakan menyempitnya ruang-ruang interaksi di luar kampus yang dapat mereka akses, sehingga cara pandang mereka lebih cenderung dipengaruhi oleh keberadaan peer-group yang berbasis dalam aktivitas rutin di dalam kampus.

Daftar PustakaBiro Pusat Statistik, 2014. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. BPS: Jakarta

Habermas, Jurgen, 1992. TheStructural Reformation of Public Sphere. MIT Press: Massachusset

Lefebvre, Henry, 2000. TheProduction of Space. Georgetown University Press:NYPemda DIY, 2010. PerdaisTata Ruang DIY 2010 (tersedia secara elektronis melalui http://www.pemda-diy.go.id)

Pemda DIY, 2013. PerdaisTata Ruang DIY 2013 (tersedia secara elektronis melalui http://www.pemda-diy.go.id)

Pemda DIY, 2005. RPJPD2005-2025 (tersedia secara elektronis melalui http://www.pemda-diy.go.id)

*Paper disampaikan pada acara ‘Seminar Nasional: Kebangsaan, Kepemudaan, dan Revolusi Mental’ di Sekolah Pascasarjana UGM, 15 Juni 2015 yang diadakan oleh Pusat Studi Kebudayaan UGM.

**Penulis adalah Sosiolog UGM (dosen dan peneliti)

Page 24: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

24

Pembahasan mengenai kriya akan melihat beberapa pemahaman. Kriya merujuk pada crafts atau handicrafts yang berarti: (1) sesuatu yang dibuat dengan tangan, (2) pada umumnya dekoratif, (3) seringkali merupakan benda pakai.2 Fakta yang menunjuk eksistensi seni kriya di Indonesia, khususnya di Jawa, memiliki tiga muatan penting, yaitu: mitologi, ritual, dan simbol. Ketiga muatan ini mencerminkan kandungan spirit, roh, dan jiwa budaya bangsa, menyiratkan pencapaian kualitas estetik seni kriya Indonesia, sesuai dengan zamannya.3

PengantarPerkembangan produk kriya di Yogyakarta tidak terlepas dan memiliki relasi dengan ranah seni rupa kontemporer pada umumnya. Produk kriya pada saat ini, tidak lagi terbatas benda-benda fungsional saja, tetapi terjadi perubahan yang signifikan atas munculnya produk kriya dalam ranah benda pamer, dengan melepaskan fungsi pokok yang selama ini dijadikan alat identifikasi kriya. Karya instalasi kriya dan cinderamata, merupakan contoh kecil produk kriya yang mendapatkan pengaruh atas adanya perkembangan seni rupa kontemporer. Demikian juga dengan kemunculan batik lukis di tahun 1970-an yang mampu meruntuhkan sekat-sekat pembatas antara kriya dan seni murni, terkait erat dengan sejarah kemunculan seni rupa kontemporer di Indonesia. Perkembangan kriya pada masa-masa selanjutnya, tidak lagi berorientasi pada produksi kriya ranah tradisional yang serba fungsional.

Produk kriya menjadi salah satu kebutuhan penting dalam kehidupan manusia, hal tersebut menjadi sebuah dukungan atas perkembangan dan eksistensi kriya sampai sekarang. Produk-produk kriya akrab dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari perabotan rumah tangga, keperluan agama dan adat istiadat, dan produk yang bersentuhan langsung dengan manusia, seperti: keperluan

fashion dan produk seni. Produk kriya jugalah yang mampu bertahan menopang perekonomian ketika krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1998, sekaligus menjadi penanda kuatnya posisi kriya dalam kehidupan masyarakat. Teori trikonomi yang memberikan batasan antara desain, kriya, dan seni murni, seakan semakin memperkuat posisi dan memojokkan kriya yang hanya memproduksi karya fungsional semata. Oleh karenanya, kemunculan seni rupa kontemporer menjadi sebuah solusi yang menghancurkan sekat-sekat antara seni murni, kriya, dan desain. Penanda dan latar belakang perkembangan kriya dapat dilihat dengan hadirnya fungsi dan idiom baru, yang tidak lagi membatasi nilai dan dijadikan sebagai pakem sebuah produk kriya.Kata kunci: seni rupa kontemporer, kriya seni, kriya kontemporer

Deni S. Jusmani1

GAGAS

1 Dosen Universitas Negeri Semarang. Email: [email protected] Nanang Ganda Prawira, “Kriya dan Rekahias Baduy: Bentuk, Fungsi, Motif, Simbol dan Makna: Kriya dan Rekahias Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak”, dalam Jurnal Seni Rupa dan Desain, Vol. 1, Nomor 1, (Bandung: STISI, Agustus 2000).3 SP. Gustami, Butir-butir Mutiara Estetika Timur: Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Prasista, 2007), 303.

Membaca Eksistensi Produksidan Pameran Kriya Kontemporer di Yogyakarta

Page 25: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

25Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Pembicaraan dalam artikel ini mengenai kriya sebagai karya seni (kriya-seni). Secara sederhana kriya-seni merupakan produksi karya kriya yang tidak lagi berorientasi semata-mata merujuk pada fungsional, sebagaimana pemahaman umumnya. Misalnya, terjadi pergeseran fungsi pada benda-benda keramik, perabot dan furniture, dihadirkan dengan nilai-nilai baru yang mengedepankan prestise dan persoalan keindahan. Contoh lain dapat menyimak pada peniruan produk-produk fashion yang dibuat menjadi sebuah benda-benda pajang. Demikian juga pada bentuk-bentuk produk massal yang beralih rupa menjadi sebuah karya seni, misalnya wujud pakaian yang diproduksi menjadi karya seni. Era seni rupa kontemporer memungkinkan seseorang memparodikan apapun, dan diperbolehkan untuk mencipta karya seni dengan medium yang tidak terbatas.

Wacana Seni Rupa KontemporerKarya seni rupa kontemporer berada di zona yang bebas, menampilkan karakter kehidupan sehari-hari, mempunyai aturan dan konvensi yang plural, dan di dalamnya bersifat kebaruan.7 Istilah seni rupa kontemporer tidak berlaku untuk semua karya seni yang dihasilkan, termasuk karya seni masa lalu yang dikategorikan sebagai produk dari seni rupa modern.8 Seni rupa kontemporer merupakan produk tradisi yang bersifat kultural-historis, berkonfrontasi dengan Barat dalam zaman

To articulate thes differences I suggest “well-made” be used as a generic term to refer to the quality of making as found in things generally, regardless of making process involved; “machines-made” to refer specifically to mechanical production; and “well-worked” and “well-crafted” reserved for hand-made things. This allows for greater precision as long as care is given not assume all hand-made things, regardless of how well-made or well-worked, are craft object. Skilled activities of the hand alone are not sufficient to define something as craft object.4

Menurut B. Zuria Muhdi, perkembangan istilah kriya dalam tiga konsep yaitu: kriya-seni, kriya-desain, kriya-kerajinan. Kriya-seni menunjuk bidang kriya dengan wilayah kerja yang ditekankan pada penciptaan karya untuk kepentingan ekspresi yang bersifat personal berlandaskan pada pemanfaatan unsur-unsur tradisi kriya. Kriya-desain adalah bidang kriya dengan wilayah kerja yang menekankan penciptaan karya untuk pemenuhan kebutuhan massal, sebagai hasil perpaduan dan pemanfaatan unsur-unsur tradisi kriya dengan landasan adaptasi prinsip perancangan (desain). Kriya-kerajinan merupakan bidang kriya dengan wilayah kerja yang ditekankan pada penguasaan keterampilan teknik untuk kepentingan produksi dan reproduksi produk kriya.5 Persoalan kriya dalam konteks seni rupa kontemporer menurut Asmudjo Jono Irianto, terdiri atas dua bagian, yaitu: kriya sebagai bisnis dan kriya sebagai seni.6

Terminologi yang membatasi cakupan karya seni terkait dengan istilah craft, misalnya dapat mengacu pada pandangan Howard Risatti, demikian.

In the usage here, the word “craft” refers to specific object such as vases, pots, chairs, tables, chests, covers, etc; it also refers to profession concerned with the creation of these objects among whose practitioners I would include ceramists, glassblowers, furniture makers, metal workers, weavers, etc. When referring to the skilled activities with which and through which these object are made, the term “craftmanship” is used. This is a way to separate craft objects from the skills employed to make them while at the same time reinforcing the connection between craft and the skilled hand inherent in craftmanship.

Before the Industrial Revolution the activities of making were always carried out by the skilled hand. The word “craft” and “craftmanship” not only referred to the quality of making, but they also assumed the skilled hand was the source of this quality. This is no longer the case; today the skilled hand is not the sole producer of objects so that when the term “craft” and “craftmanship” are used, they often have somewhat different, less precise meaning than in the past. Though they may still retain their qualitative dimension by referring to the “well-made-ness” of things, often they refer to things that are made by machines and therefore have nothing at all to do with the skilled hand.

4 Howard Risatti, A Theory of Craft: Function and Aesthetic Expression (USA: The University of North Carolina Press, 2007), 14-15.5 B. Zuria Muhdi, “Kriya Melintasi Zaman: Pengertian dan Perkembangan Konsep Kriya, dalam Sri Krisnanto, et al., (Ed.), Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintasan Ruang dan Waktu: Tanda Mata untuk Prof. Drs. SP. Gustami, SU. (Yogyakarta: Penerbit B.I.D ISI Yogyakarta), 107-108.

6 Asmudjo Jono Irianto, “Kriya dalam Wacana Seni Rupa Kontemporer”, dalam Sri Krisnanto, et al., (Ed.), Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintasan Ruang dan Waktu: Tanda Mata untuk Prof. Drs. SP. Gustami, SU (Yogyakarta: Penerbit B.I.D ISI Yogyakarta, 2009), 399-400.

7 Julian Stallabrass, Art Incorporated: The Story of Contemporary Art (New York: Oxford University Press Inc., 2004), 1.8 Joan Gibbons, Contemporary Art and Memory: Images of Recollection and Remembrance (New York: I.B.Tauris & Co Ltd., 2007), xiii.

Page 26: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

26

the end of art sebagai berakhirnya secara logis sebuah mainstream gerakan seni rupa modernisme. Modernisme dipandang sebagai gerakan penghapusan dan pembongkaran seni yang telah berjalan beberapa dekade. Sejak akhir abad ke-18, gerakan modernisme telah membongkar konsep-konsep seni rupa klasik.15

Caroline Turner melalui M. Dwi Marianto menjelaskan seni rupa kontemporer sebagai salah satu produk dari tradisi, pertemuan budaya historis masa lampau, produk dari konfrontasi dari Barat di waktu-waktu yang lebih modern, produk dari kesinambungan pengaruh antarbudaya, dan dari perubahan ekonomi, teknologis, serta informasi baru, serta memaksa dunia menuju budaya global dan sangat mengakselerasi terjadinya perubahan tersebut. Seniman harus menghadapi satu keadaan besar dari perubahan dalam memahami peristiwa kontemporer dan banyak dari mereka bersemangat dalam menghadapi isu sosial politik di dalam masyarakat.16

Tommy F. Awuy melihat seni kontemporer sebagai sesuatu yang serba-serbi, multi-kultur, multi-etnik, sekaligus multi-identitas subjek, walaupun tidak secara detail dijelaskan mengenai struktur-struktur seni rupa kontemporer.17 Awuy, membahas seni rupa kontemporer lebih dekat dengan keunikan, kebaruan, dan keanekaragaman.

Istilah seni kontemporer berdasarkan rujukan contemporary art tidak berfungsi sebagai temporal sense, tetapi menjadi salah satu kriteria dengan pengertian seni kontemporer sebagai seni yang dihasilkan dalam sebuah struktur produksi, yang belum pernah terjadi dalam sejarah seni pada masa sebelumnya. Kriteria penentuan pengertian seni kontemporer, supaya tidak memiliki pengertian “segala praktik seni rupa masa kini”, dapat dilihat dari praktik seni rupa yang memiliki kecenderungan posmodern. Istilah contemporary art tidak terlalu kokoh makna dan tidak jelas batasannya, karena seni rupa kontemporer dipahami sebagai seni rupa yang sedang berlangsung dan belum teruji oleh waktu.13

Tanda kelahiran seni rupa kontemporer dalam skala dunia adalah dengan munculnya Pop Art di Amerika Serikat pada tahun 1960, yang ditandai dengan diciptakan beberapa karya kontroversial, yaitu: 200 Campbell’s Soup Cans (1962) Andy Warhol, Numbers (1963) Jasper Johns, dan Noise (1963) Ed Ruscha.14 Arthur C. Danto menganggap pameran karya seniman Pop Art, Andy Warhol, berjudul Brillo Boxes sebagai penanda the end of art. Pada pameran tersebut, Warhol menampilkan karya cetak berupa tiruan kotak sabun Brillo, secara fisik tidak berbeda dengan kotak sabun Brillo yang sebenarnya, seperti yang dijual di toko-toko. Danto memaknai wacana

modern dan perubahan ekonomi, termasuk dengan teknologi informasi, yang telah menekan dunia menuju sebuah kebudayaan global dan digerakkan oleh interaksi dari masing-masing kondisi di atas.9

Istilah seni rupa kontemporer dapat berkonotasi dengan apa yang baru terjadi atau saat ini, dalam hal seni meliputi jangka waktu empat puluh tahun atau lebih, dan terkait dengan dua generasi seniman.10 Seni rupa kontemporer dalam tinjauan waktu dapat berisi berbagai macam kecenderungan yang masih hidup dan tetap memperjuangkan eksistensinya. Hal itu dapat berbentuk lukisan dekoratif, pemandangan alam, abstrak, atau sampai pada bentuk-bentuk seni media baru.11

Kata “kontemporer” dapat diterjemahkan dengan apa yang terjadi sekarang, seni kontemporer menjadi produk seni yang baru saja dihasilkan. Akan tetapi, sebagai sebuah sejarah seni berkembang secara internal, seni kontemporer merupakan produk seni dihasilkan dalam struktur produksi tertentu yang tidak pernah, terlihat sebelumnya diseluruh sejarah seni. Konteks “modern” menunjukkan sebuah gaya dan periode, dan bukan sekedar karya seni yang baru diproduksi; karakter seni kontemporer menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekedar seni saat ini.12

9 Caroline Turner, “Internationalism and Regionalism: Paradoxes of Identity” dalam Caroline Turner, (Ed.), Tradition and Changes: Contemporary Art of Asia and the Pacific (University of Queensland Press, 1994), xiii-xiv.10 Joan Gibbons, 2007, xiii.11 M. Agus Burhan, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam M. Agus Burhan, (Ed.), Jaringan Makna Tradisi hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006), 276-277.

12 Arthur C. Danto, After the End of Art (Princenton: Princenton University Press, 1997), 10.13 Arthur C. Danto, 1997, 11.14 Edward Lucie-Smith, Art Today (London: Phaidon, 1999), 10.15Bambang Sugiharto, “Gelagat Post-Estetik dalam Seni Kontemporer” dalam http://bambarto.blogspot.co.id/2008/06/gelagat-post-estetik-dalam-seni.html.

16 Caroline Turner melalui M. Dwi Marianto, “Gelagat Yogyakarta Menjelang Millenium Ketiga”, dalam Jim Supangkat, et al., Outlet: Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2000), 190.17 Tommy F. Awuy, “Identitas Terbagi dalam Seni Rupa Kontemporer”, dalam Adi Wicaksono et al., (Ed.), Identitas dan Budaya Massa: Aspek-aspek Seni Visual Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2002), 97.

Page 27: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

27Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

dan batasan seni rupa menjadi kabur. Seni rupa modern berlandaskan sifat seni rupa Barat dan universal, sedangkan seni rupa kontemporer berdasarkan sifat-sifat plural.22

Berdasarkan hasil pengamatan Setiawan Sabana dan Djuli Djatiprambudi, bahwa gagasan seni rupa kontemporer di Indonesia masih dilematik, paling tidak terdapat empat dilema. Pertama, dilema kultural; terdapat perbedaan karakter, spirit, orientasi, paradigma, dan nilai antara budaya Barat dan Timur, sehingga dapat mengakibatkan benturan budaya dan peradaban. Kedua, dilema modernitas; dunia modern diwarnai oleh spirit rasionalitas, individualitas, liberalisasi, demokrasi, dan kapitalisme yang nilai-nilainya disebarkan ke seluruh dunia dalam paradigma Barat.

Ketiga, dilema posmodernitas; tidak membedakan budaya inferior dan superior, tidak ada dikotomi Barat dan Timur, yang dijadikan rujukan bersama bersumber dari keanekaragaman itu untuk membangun kesepahaman, kerja sama, dengan sikap saling menghormati. Prinsip ini ditolak oleh Barat, karena dalam dunia seni

pada pameran tersebut. Jalan keluar yang diambil oleh G. Sidharta S sebagai penggagas pameran tersebut adalah menggunakan istilah “kontemporer”.20

Secara eksplisit, salah satu tanda kemunculan seni rupa kontemporer Indonesia adalah acara Biennale Jakarta IX (1993/ 1994) di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki Jakarta. Acara Biennale itu diikuti oleh perupa-perupa muda dengan karya-karya yang memperlihatkan secara nyata gejala-gejala seni rupa kontemporer. Seiring dengan penyelenggaraan Biennale selama tiga bulan, di media massa terjadi polemik tentang masuknya arus besar pemikiran posmodernisme di Indonesia. Karya-karya seni rupa kontemporer ketika itu mendapat reaksi penolakan yang sangat keras. Para seniman, kritikus seni rupa, birokrat seni, pengamat seni rupa, budayawan, sampai ahli filsafat beramai-ramai mengkritik dan mengecam acara Biennale Jakarta IX, karena dianggap mempromosikan keburukan dan kekurangajaran. Seni rupa kontemporer dan wacana posmodern dipandang sebagai kendaraan pemikiran Barat yang mengundang anarkisme. Visi yang menonjol di balik kritik dan kecaman itu adalah mempertahankan orisinilitas karya seni rupa Indonesia yang menampilkan identitas nasional, ketertiban bahasa rupa, dan etika ketimuran.21

Menurut Sumartono, terdapat dua pengertian mengenai seni rupa kontemporer yang terjadi di Indonesia. Pertama, diartikan sebagai seni rupa modern dan seni rupa alternatif, seperti: instalasi dan seni pertunjukan. Kedua, diartikan sebagai suatu penolakan terhadap seni rupa modern. Seni rupa kontemporer berkembang sejak tahun 1970-an, seiring dengan krisis seni rupa modern. Sebab-sebab terjadinya krisis adalah pembuatan karya seni terlalu mudah, seolah peniruan,

Keutamaan seni rupa kontemporer terletak pada keberanian karya-karya para seniman, atau para perupa yang berani keluar dari wilayah-wilayah ide konvensional dan memberikan pembaruan, tidak saja dalam ide-ide, melainkan juga dalam kemasan penyajian. Tentu saja, akan ada perbedaan fungsi dan pengaplikasian antara produk seni rupa kontemporer semacam pakaian, dengan karya-karya seni rupa (seni lukis, misalnya).18

Seni rupa kontemporer dapat ditinjau sebagai kecenderungan bentuk-bentuk seni rupa baru yang mengungkapkan berbagai konsep dan bentuk visual baru, serta dianggap seni dengan paradigma estetik baru. Mengacu pada perkembangan seni rupa Barat, terdapat perubahan prinsip estetik, yaitu beralihnya ungkapan seniman dari yang representatif ke presentasi. Prinsip-prinsip estetik yang terfokus pada presentasi, biasa diasosiasikan dengan gejala posmodern dalam kesenian. Pemakaian elemen-elemen ketradisian bukan lagi untuk menampilkan keadiluhungan, tetapi dipresentasikan secara eklektik dengan nada parodi.19

Istilah seni kontemporer digunakan dalam praktik seni rupa modern Indonesia, ketika diselenggarakan “Pameran Pertama Patung Kontemporer Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, tahun 1973. Walaupun menggunakan istilah kontemporer, sesungguhnya dalam pameran tersebut banyak karya patung yang menerapkan prinsip-prinsip modernisme, terutama para pematung dari Bandung. Pada awalnya pameran tersebut akan diberi judul “Pameran Pertama Patung Modern Indonesia”, tetapi karena di antara peserta banyak pula yang menampilkan patung dengan jejak tradisi, khususnya pematung dari Yogyakarta, maka muncul pertanyaan dari kubu Bandung mengenai keabsahan menggunakan istilah “modern”

18 Tommy F. Awuy, dalam Wicaksono, 2002, 92-99.19 M. Agus Burhan, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam M. Agus Burhan, (Ed.), 2006, 277-280.20 Asmudjo Jono Irianto, “Konteks Tradisi dan Sosial-Politik dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90-an”, dalam Jim Supangkat, et al., Outlet: Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Seni Ceteti, 2000), 78.21 Jim Supangkat, “Dua Gejala Seni Rupa 1990”, Makalah Seminar Nasional 55 Tahun Pendidikan Tinggi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta: ISI Yogyakarta, 2005.22 Sumartono, “Peran Kekuasaan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta”, dalam Jim Supangkat, et al., 2000, 21-22.

Page 28: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

28

seni rupa, biasanya dalam wujud karya instalasi dan performance art. Instalasi dan performance art sering dijadikan karya yang bersifat kolaboratif. Seni rupa instalasi dan performance art di Indonesia telah mendorong para perupa untuk mengangkat seni tradisi ke dalam bingkai yang lebih kritis dan politis.28

Seni rupa kontemporer memanfaatkan elemen yang dipinjam dari seni tradisional, seni modern, dan sebelum seni modern, untuk mengartikulasi dan merefleksi keadaan masa kini. Seni rupa kontemporer mulai tampak dalam pameran seni rupa diberi judul “Seni Kepribadian Apa?”, yang digagalkan pembukaannya karena tidak mendapatkan perijinan dari kepolisian di bulan September 1977. Beberapa seniman yang berpartisipasi dalam pameran tersebut, di antaranya: Bonyong Munnie Ardhi, Gendut Riyanto, Bambang Darto, Harris Purnama, Dede Eri Supria, Tulus Warsito, dan Ivan Haryanto. Gagalnya pameran tersebut dikarenakan isu yang dibawakan oleh para perupa banyak bernuansa kritik terhadap pemerintahan di waktu itu.29

seni rupa modern. Sejumlah mahasiswa mencoba menciptakan karya-karya dengan idiom baru (walaupun di Barat sudah usang). Seni rupa kontemporer di Yogyakarta berlangsung lambat, disebabkan adanya benturan dengan kekuasaan, baik personal maupun dengan organisasional. Benturan dengan kekuasaan tersebut dapat dilihat pada Peristiwa Desember Hitam, yang berujung pada pemberhentian status kemahasiswaan pada beberapa mahasiswa STSRI ASRI. Demikian pula dengan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang mendukung seni rupa kontemporer, tidak mendapat dukungan pemerintah.25

Di tahun 1980-an dan 1990-an muncul seniman-seniman penting di Yogyakarta, yaitu: Heri Dono, Dadang Christanto, dan Nindityo, Eddie Hara, Anusapati, dan Hedi Hariyanto. Dalam perjalanannya para perupa tersebut membentuk “wilayah pusat” dalam seni rupa kontemporer di Indonesia, mendorong situasi kondusif praktik seni rupa kontemporer di Yogyakarta meninggalkan daerah-daerah lainnya.26 Seni rupa kontemporer di Yogyakarta tahun 1990-an memiliki kecenderungan mengangkat persoalan sosial politik, dan tradisi sebagai tema. Persoalan tradisi yang diangkat oleh para seniman muda dalam skala Internasional, yaitu dengan mengetengahkan subject matter yang bercirikan Indonesia, dalam tema-tema tradisi.27

Sejak tahun 1990-an, banyak pekerja seni rupa kontemporer Yogyakarta yang mengekspresikan karyanya dengan melibatkan masyarakat publik sebagai bagian dari karya, serta mengusung karya-karya seni keluar dari galeri dengan memanfaatkan ruang-ruang publik yang mudah diakses oleh penonton. Karya-karya seni rupa kontemporer yang memberi peluang publik sebagai penonton untuk terlibat dalam karya

rupa modern tidak berurusan dengan lokalitas, melainkan pada prinsip kebaruan. Keempat, dilema teoretis; secara praktik terdapat perbedaan dengan Barat, tetapi secara teori, pendekatan, hampir semua bersumber dari Barat. Kelima, dilema infra dan suprastruktur; di Indonesia kedua faktor ini tidak tersedia dengan baik, belum siap bersaing dengan Barat.23

Seni Rupa Kontemporer di YogyakartaPerkembangan seni rupa kontemporer di Yogyakarta didukung oleh art world yang kondusif, seperti banyak art space alternatif, banyak penulis dan kurator muda bermunculan, banyak terjadi diskusi yang mengembangkan wacana seni dan budaya kontemporer. Seni rupa kontemporer Yogyakarta telah mengajak masyarakat untuk terlibat dan lebih akrab dengan aktivitas seni rupa yang tidak lagi dianggap elitis, tetapi lebih egaliter karena dapat tampil dalam berbagai media dan tempat. Di dalam karya seni rupa kontemporer yang dihasilkan oleh para perupa Yogyakarta, banyak di antaranya mengangkat tema atau isu yang berkaitan dengan seni atau budaya tradisional, terutama budaya tradisi Jawa yang masih melekat kuat dalam jiwa masyarakat Yogyakarta.24

Menurut Sumartono, perkembangan seni rupa kontemporer di Yogyakarta terkait dengan peran yang dimainkan oleh STSRI ASRI sebagai lembaga sampai pertengahan tahun 1980-an terus mencoba mempertahankan kemapanan dan elitisme

23 Setiawan Sabana dan Djuli Djati Prambudi, “Seni Rupa (Asia Tenggara): Fenomena Praktik, Teoretik, dan Dilema”, dalam M. Agus Burhan, (Ed.), 2006, 269-271.24 Hariyanto, “Seni Rupa Kontemporer di Yogyakarta Sejak Tahun 1975 Hingga Tahun 2010: Identitas dan Perubahan”, Disertasi pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2011, 15.

25 Sumartono, “Peran Kekuasaan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta”, dalam Jim Supangkat, et al., Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Cemeti, 2000), 50-51.26 Asmudjo Jono Irianto, “Konteks Tradisi dan Sosial-Politik dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90-an”, dalam Jim Supangkat, et al., 2000, 86.27 Asmudjo Jono Irianto, dalam Jim Supangkat, et al., 2000, 94, 98.28 Bramantijo, “Mural Publik: Representasi, Transformasi, Dan Citra Ruang Publik Kota Yogyakarta”, Disertasi pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2015, 190.29 M. Dwi Marianto, dalam Jim Supangkat, et al., 197.

Page 29: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

29Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

sikap, yang pada bagian “menerobos konvensi seni rupa dengan berusaha memperluas bingkai seni rupa”, telah menjadi spirit luar biasa untuk melakukan pembaruan dalam segala bidang kesenian, khususnya terkait dengan konsep, material, dan teknik.34

Karya seni lukis batik di tahun 1970-an memiliki beberapa kecenderungan, yaitu: tema wayang dan model primitif (karya Bagong Kussudiardjo: Sugriwo Subali (1973), karya Widayat: Batara Guru (1974), tema manusia dan kehidupan sehari-hari (karya Abas Alibasyah: Wajah Disana (1974), karya Ida Hadjar: Ke Pasar (1975), dan tema abstraksi (karya A.N. Suyanto: Topeng (1971). Menurut Suwarno Wisetrotomo, seni lukis batik menawarkan nilai estetika yang lebih terbuka, mengapresiasi dan menikmatinya tidak dibebani dengan fungsi-fungsi dan makna. Sejak tahun 1970-an, seni lukis batik kembali ke masa redup pada akhir tahun 1980-an. Walaupun masih menyisakan beberapa seniman yang aktif, seperti: Amri Yahya, Tulus Warsito, Ardiyanto Pranata, Totok H. Kuswadji, Soetopo, Ida Hadjar, dan Ahmad Sopandi, serta beberapa seniman asing, yaitu: Linda Kaun dan Nia Flam Ismoyo (berasal dari Amerika Serikat). Nama-nama inilah yang tercatat dan kemudian menandai kemunculan seni batik kontemporer.35

Beberapa karya yang muncul sebagai penanda seni batik kontemporer, seperti: Hutanku Tinggal Arang (1988), Bismillahi Tawah Kaltu a’Ala (1990), dan 2 seri berjudul Untitled (1984, 1985) merupakan

Munculnya seni lukis batik berdasarkan pada situasi untuk meneliti kemungkinan dengan diciptakan pola dan ragam hias baru yang sejalan dengan perkembangan zaman. Akhirnya dibentuk tim terdiri atas Bagong Kussudiardja, Kuswadji Kawindrasusanto, Abas Alibasyah, dan Soelardjo. Hasil kerja tim antara lain dengan diselenggarakan pameran karya Soelardjo dan Kuswadji Kawindrasusanto, pada tanggal 2-5 Agustus 1965 di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Pameran tersebut menampilkan karya batik dengan ragam hias yang sudah bergeser dari pola tradisional, dan dibingkai dengan judul “seni lukis batik”. Peristiwa ini menjadi awal pergeseran dari tradisi ke kebebasan ekspresi.33

Menurut Suwarno Wisetrotomo perkembangan pada batik tersebut terkait dengan peristiwa seni rupa yang terjadi di Indonesia tahun 1960-an. Suatu masa ketika kesenian pada umumnya sedang mengalami gesekan dengan situasi sosial politik. Secara tegas, batik menjadi alat dan bahasa ekspresi seniman pada tahun 1970. Muncul beberapa seniman batik, seperti: Mudjita, A.N. Suyanto, Mustika, Ida Hadjar, Damas, Sondak, V.A. Sudiro, Sunardi, Sudarwoto, Soetopo, dan Mardianto, menciptakan karya seni lukis batik. Kondisi tersebut terkait erat dengan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia. GSRB merumuskan

Kritik yang disampaikan mengenai permasalahan sosial, ekonomi, dan politik. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan atas nama pembangunan, sudah mulai tercium oleh para intelektual dan dan sejumlah aktivis mahasiswa di berbagai kampus dari beberapa kota. Misalnya: karya Bambang Darto yang seharusnya membuat lukisan wajah berkumis dari Monalisa ide Marcel Duchamp, tetapi digambarkan wajah Nyonya Tien Soeharto. Kritik Harris Purnama melalui lukisan yang menggambarkan beberapa bayi kurus dan penyakitan, dengan menambahkan objek “Susu Bendera”, sebagai produk susu terkenal di masa tersebut.30

Hal penting yang perlu dicatat dari kesimpulan atas penelitian seni rupa kontemporer oleh Hariyanto, bahwa para perupa Yogyakarta memainkan politik identitas dalam karya yang dihasilkan. Identitas perupa Yogyakarta berdasarkan tanda-tanda dalam karya dapat dikategorikan ke dalam beberapa bentuk identitas, yaitu: identitas diaspora dan migran, identitas jender dan medium, identitas publik, identitas sosial-politik, identitas lokal-global, dan identitas budaya lokal.31

D. Munculnya dan Produk Kriya Kontemporer di YogyakartaSuwarno Wisetrotomo mencatat terjadi wacana seni rupa kontemporer pada produk kriya, dengan munculnya istilah seni lukis batik. Seni lukis batik merupakan hasil pencarian bentuk-bentuk estetika baru dari seni batik, yang memberikan multimakna dan multitafsir. Awalnya seni batik hadir di tengah masyarakat dengan makna tunggal; sebagai pakaian yang penuh makna (termasuk bersifat magis-filosofis), menunjukkan lapis sosial pemakainya, dan dalam perkembangannya menjadi pakaian yang lebih praktis, egaliter, dan bersifat profan.32

30 M. Dwi Marianto, dalam Jim Supangkat, et al., 197-198.31 Hariyanto, 2011, 697.32 Suwarno Wisetrotomo, “Seni Lukis Batik Petualangan Baru Estetik” dalam Soedarso Sp., (Ed.), Seni Lukis Batik Indonesia: Batik Klasik Sampai Kontemporer (Yogyakarta: Taman Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, IKIP Negeri Yogyakarta, 1998), 32.33 Suwarno Wisetrotomo, dalam Soedarso Sp., (Ed.), 1998, 34.

34 Suwarno Wisetrotomo, dalam Soedarso Sp., (Ed.), 1998, 35-37.35 Suwarno Wisetrotomo, dalam Soedarso Sp., (Ed.), 1998, 38-41.

Page 30: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

30

berbagai disiplin media. Tidak heran, selain hasil karya para seniman kriya, dijumpai juga karya-karya beberapa seniman yang selama ini lebih dikenal sebagai pelukis dan pematung, seperti: Ugo Untoro, Bunga Jeruk, Yuli Prayitno, dan Komroden Haro. Satu hal yang dapat dilihat sebagai kesamaan di antara karya-karya yang dipamerkan adalah terdapatnya nilai kekriyaan (craftsmanship) yang dihasilkan lewat pengetahuan kriya. Selain pada aspek ide, karya-karya tersebut menunjukkan kekuatan dan intensitas pada aspek penguasaan teknik, keterampilan, dan penghayatan terhadap material pilihannya.39

Endang Lestari dalam “Objecthood” menampilkan karya di dalam kotak-kotak kayu serupa rak yang disusun di

berbagai gagasan serta berbagai kecenderungan estetik. Pilihan media tertentu, yang tentunya memiliki batasan-batasan teknis bukan berarti hambatan untuk mengakomodasikan ide-ide kontemporer.38

Pameran kriya kontemporer dengan judul “Objecthood” dilaksanakan pada tanggal 27 September – 7 Oktober 2004, di Taman Budaya Yogyakarta, menampilkan karya dari 40 seniman yang berdomisili di Yogyakarta. Pameran tersebut merupakan pameran kriya pertama yang menggunakan sistem kuratorial. Menurut Sujud Dartanto, salah seorang kuratornya, “Objecthood” ini disebut sebagai “rekoleksi dan reuni objek-objek” yang menyatukan karya-karya tiga dimensi kreasi para perupa dari

karya Amri Yahya; Flying over Merapi (1989) dan Diagonal (1989) karya Tulus Warsito, Joko Tarub (1995) karya Ardiyanto Pranata.36

Menurut Anusapati istilah kriya kontemporer diduga merupakan perkembangan yang sedang berlangsung di wilayah wacana. Pengertian kriya masih diartikan oleh masyarakat sebagai benda-benda kerajinan yang identik dengan cinderamata, produk massal, dan barang pakai. Secara fisik pun produk kriya selalu dikaitkan dengan sifat-sifatnya yang dekoratif, ornamentik, dan etnik. Sebutan kriya kontemporer (padanan kata dari contemporary craft) mengandung paradoks, karena di satu sisi menempatkan dirinya pada suatu kategori kriya (craft) yang berseberangan atau terpisah dari seni. Akan tetapi, di sisi lain, sebutan kontemporer seolah mengacu pada paradigma seni masa kini, yang dilandasi pandangan posmodernisme, di mana pembedaan kategori dianggap tidak berlaku lagi.37

Kriya seni merupakan suatu media yang sebenarnya memiliki kemungkinan untuk digunakan sebagai sarana pengungkapan

Merapi, 1989. Lukisan batik kontemporer. (Sumber: tuluswarsito.com)

Beberapa karya kriya kontemporer dalam Pameran “Objecthood”, 2004. (Sumber: archive.ivaa-online.org)

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

36 Suwarno Wisetrotomo, dalam Soedarso Sp., (Ed.), 1998, 41-42.37 Anusapati, “Menimbang Paradoks Kriya Kontemporer” dalam Kompas, Minggu 3 Oktober 2004.38 Anusapati, dalam Kompas, Minggu 3 Oktober 2004.39 Anusapati, dalam Kompas, Minggu 3 Oktober 2004.40 Anusapati, dalam Kompas, Minggu 3 Oktober 2004.

Page 31: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

31Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

semi massal untuk keperluan khusus. Batik Hadinagoro dibuat berdasarkan tema tertentu, seperti: Alam, Narkoba, HIV, Irak, Dugem, Tsunami di Aceh, Bom Bali, dan Flu Burung. Hadinagoro masih menggunakan elemen estetik batik secara umum, seperti: penggunaan hiasan, stilasi, dan deformasi yang diambil dari tumbuhan, dunia binatang, benda-benda, manusia, tokoh pewayangan, bentuk-bentuk kontemporer, yang dipadukan dengan pola geometris dan garis yang matematis serta klasik.42

Secara umum, terdapat lima jenis ragam hias yang digunakan dalam batik Hadinagoro, yaitu: Ragam Garis Miring (Lereng), Ragam Geometris, Ragam Ceplok,

Umumnya karya-karya seni kontemporer, persoalan-persoalan aktual sekitar sosial, politik, dan ekologi menjadi perhatian beberapa perupa. Edi Eskak memanfaatkan potongan-potongan kecil kayu, Bagus Endrayana menggunakan serpihan sisa kayu sebagai material karya. Pada kondisi ketika material kayu menjadi barang langka, oleh karena eksploitasi berlebihan terhadap hutan, maka pemanfaatan limbah kayu menjadi sangat relevan. Selain karya-karya yang menunjukkan kecenderungan naratif-simbolik, banyak di antaranya yang sangat kuat menunjukkan intensitas pada eksplorasi media, seperti: karya keramik Noor Sudiyati, karya logam Bagus TY, karya kayu dan gelas Meko Mana, karya tekstil Nia-Ismoyo dan Carolin Rika, serta karya gelas ciptaan Tita Rubi. 41

Karakter seni rupa kontemporer dapat pula dilacak pada kreasi batik yang diciptakan oleh Daud Wiryo Hadinagoro, yang dipamerkan di Galeri Nasional pada tanggal 9-18 Desember 2005. Karya batik Hadinagoro dibuat melalui suatu rancangan khusus, eksperimentasi, maupun sebagai ekspresi pribadi dan terapan, diproduksi secara individual yang terbatas ataupun

dinding, diletakkan sembilan buah figur keramik dalam bentuk boneka perempuan dengan tubuh dibungkus kain sebatas leher. Kain yang membungkus sembilan figur perempuan ini masing-masing berbeda, yaitu: motif kain tradisional Cina, Jepang, India, dan Jawa. Karya ini bercerita persoalan kesetaraan jender, dengan mengambil contoh pada beberapa masyarakat yang memiliki konstruksi sosial yang sangat patriarkhal, di mana kaum perempuan berada pada posisi subordinat, bahkan tertindas. Menggunakan idiom perupaan yang sangat kuat, perupa ini tetap memilih medium keramik yang tentu secara teknis sangat rumit, dengan penggarapan yang teliti.40

Batik kontemporer Daud Wiryo Hadinagoro, Ekspresi Cinta, 2005. (Sumber: Foto dari Katalog Pameran, Jakarta: Galeri Nasional Indonesia, 2005)

Sheila Sonia, Warna-Warni Sosialita, 25 x 17 x 11 cm, 2013. (Sumber: tembi.net)

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

41 Anusapati, dalam Kompas, Minggu 3 Oktober 2004.42 Daud Wiryo Hadinagoro, “Batik Inovatif: Tradisi Berlanjut”, Katalog Pameran, Jakarta: Galeri Nasional Indonesia, 2005.43 Daud Wiryo Hadinagoro, “Batik Inovatif: Tradisi Berlanjut”, Katalog Pameran, Jakarta: Galeri Nasional Indonesia, 2005.44 Dyan Anggraini Rais, “Pengantar Kepala Taman Budaya Yogyakarta”, dalam Katalog Biennale Jojga IX 2007, Yogyakarta, 2007, 7-8.

Page 32: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

32

isu-isu lokal. Dalam praktik akademis, seniman kriya memperoleh pengetahuan dan pengalaman untuk mengenali ragam dan corak tradisi yang berkembang. Tema ”Memoar Mainan” menampilkan ingatan peserta pameran pada beraneka ragam mainan lokal yang menemani kehidupan masa kecil. Tujuan pameran ini, pertama, mengangkat ingatan mainan masa kecil, dibaca sebagai sebuah representasi. Kedua, pameran ini menunjukkan bentuk alternatif sebagai pengucapan lain dalam khazanah seni rupa kontemporer yang menjunjung nilai-nilai lokalitas.47

Nuansa ideologi seni rupa kontemporer dalam penciptaan seni kriya, dapat dilacak keberadaannya pada beberapa karya perupa dari Yogyakarta, seperti: karya Timbul Raharjo berjudul “Kebenaran” dan “Cokro Manggilingan” berbahan material besi/paku dan powder coating, karya berjudul “Beriring” yang diciptakan Toyibah Kusumawati berbahan material kulit sapi samak nabati, kulit sued, fiberglass dan besi. Ideologi kontemporer dapat pula dilihat pada karya berjudul “Solid 1” dan “Dignity” ciptaan Yulriawan Dafri, berbahan material stainless steel, serta karya berjudul “Migrasi dari Dapur” ciptaan Muchlis Arif Sutopo berbahan material tanah liat, kawat baja dan kayu, termasuk karya berjudul “Proses” yang diciptakan oleh Noor Sudiyati dengan bahan material keramik. Karya-karya tersebut merupakan bagian pameran nasional ragam corak seni kriya dalam nuansa etnik-kontemporer hasil karya 23 seniman kriya dari

Lukisan Anang Asmara, berjudul “Akankah Saat-Saat Seperti Ini Akan Hilang Ditelan Zaman”, merupakan kritik sosial terhadap perkembangan zaman yang semakin mengikis keberadaan adat istiadat ketimuran. Pencampuran kebudayaan dapat dilihat pada karya Deni Junaedi, dalam lukisan berjudul “Nilai Bawaan”, dengan merepresentasikan gaya Pablo Picasso, Batik Indonesia, dan Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Kebiasaan belanja kelompok perempuan, terkait dengan merk-merk, dihadirkan oleh Dona Prawira Arissuta, dalam karya keramik kontemporer berjudul “Woman/N(e)o Nation”. Karya keramik tersebut membicarakan persoalan identitas perempuan yang memiliki narasi dan peran penting dalam sejarah, sehingga menjadi ikon keperempuan. Analogi yang dipakai menggunakan kantong-kantong belanja, biasanya terkait dengan merk atau brand terkenal. Akan tetapi, kantong keramik tersebut menghadirkan wajah-wajah perempuan yang memiliki posisi penting dalam narasi keperempuan.46

Tema lokalitas dengan tampilan kekinian sebagai wujud paradigma estetik baru merupakan ciri produk seni rupa kontemporer, dimunculkan juga pada karya-karya dalam pameran kriya dengan judul “Memoar Mainan”. Pameran yang dilaksanakan di Sangkring Art Space, pada tanggal 15-24 Mei 2009. Menurut Sujud Dartanto, sebagai kurator dalam pameran tersebut, menampilkan perkembangan seni rupa kontemporer, dengan memperlihatkan kecenderungan untuk mengolah kembali tema-tema lokal, domestik dan personal. Kegiatan pameran seni rupa dengan mengutamakan narasi diri, persoalan sosial yang dekat dengan lingkungan perupa, dan budaya yang membesarkan diri perupa. Kecenderungan tersebut sesungguhnya secara alami menjadi bagian dari seniman kriya yang telah lama bergulat dengan

Ragam Lunglungan, dan Ragam Patchwork. Batik karya Hadinagoro tidak hanya berfungsi sebagai pakaian, tetapi telah menjadi simbol yang merepresentasikan tanda-tanda zaman. Hal ini berbeda jauh dengan kondisi sesungguhnya, bahwa ragam hias pada batik sarat dengan simbol dan mitos yang datang dari Keraton, bahkan beberapa ragam hias tersebut masih disakralkan.43

Penyelenggaran Biennale di Yogyakarta diwarnai dan menampilkan karakter seni rupa kontemporer. Acara tersebut selalu dalam konteks menginternasionalisasi tema-tema lokal, yang dihadirkan oleh para seniman kepada masyarakat penonton di Yogyakarta. Biennale Jogja IX 2007, tema Neo Nation memberikan gambaran tentang identitas dalam konteks negara-bangsa Indonesia merujuk pada suatu pengalaman ke-Indonesia-an dengan cara yang baru. Tema tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk merespons fenomena sosial budaya yang terkait dengan identitas dan dihadirkan untuk memahami, memandang, dan menghayati relasi diri dalam proses menjadi bangsa Indonesia.44

Menurut Suwarno Wisetrotomo, Biennale Jojga sangat potensial sebagai arena dan media presentasi budaya melalui karya seni rupa. Sebuah Biennale tidak saja mempersoalkan karya seni secara sempit, tetapi menghadirkan semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya melalui karya seni.45 Konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya, seperti yang dimaksud Wisetrotomo, bagaimana para seniman merespons isu-isu dan peristiwa yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, kemudian dipamerkan melalui karya seni rupa. Penampilan karya seni rupa kontemporer dapat berbentuk tema kesejarahan, respons atas kondisi sosial dan budaya, atau tema-tema politik di Indonesia.

45 Suwarno Wisetrotomo, “Biennale Jogja IX 2007 Neo Nation: Etalase, Investasi Budaya, dan Politik Identitas”, dalam Katalog Biennale Jojga IX 2007, Yogyakarta, 2007, 20.46 Katalog Biennale Jojga IX 2007, Yogyakarta, 2007, 52, 66, 70.47 “Memoar Mainan” dalam http://www.sangkringartspace.net/?p=343

Page 33: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

33Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

peristiwa sosial budaya yang terjadi di sekitar kehidupan masyarakat, mengangkat persoalan identitas daerah; bersumber cerita rakyat, legenda, dan mitologi.51

Tema yang diketengahkan dalam acara KJFW dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Bervariasinya tema dimaksudkan untuk menghindari kebosanan dan monoton pada gaya pakaian KJFW, menumbuhkan ajang kreativitas dan persaingan perancang pakaian, dan dirancang sebagai aset promosi bidang pariwisata untuk menarik wisatawan.52 Di tahun 2010, tema yang diketengahkan adalah Save Our Planet, memiliki konsep pemikiran untuk mengajak masyarakat untuk lebih mencintai dan menghargai bumi yang sudah tua. Konsep penciptaan pakaian KJFW 2010 adalah memanfaatkan dan menggunakan kembali bahan-bahan yang tidak terpakai. Kegiatan tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat bagi keseimbangan dan keselamatan bumi, melalui usaha kecil dengan dampak yang besar, yaitu menggunakan bahan limbah plastik sebagai bahan pakaian karnaval.53

Acara KJFW ke-8 tahun 2014 tema Beruga Jenggala Nusantara, dapat diartikan “Pertemuan Kemegahan Kerajaan Nusantara”. Konsep penciptaan pakaian menampilkan hasil budaya pada zaman keemasan dan kemegahan kerajaan-kerajaan di Nusantara, seperti: Jawa-Bali, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Orientasi penciptaan tidak saja merujuk bentuk pakaian identitas daerah, tetapi juga beberapa jenis budaya yang berkembang,

mulai muncul pada tahun 1963. Menurut sejarahnya, keberadaan keramik modern dipengaruhi oleh industri keramik yang didirikan oleh Belanda tahun 1920-an, untuk mendukung perkembangan industri porselen, dengan bahan dasar dari daerah Bangka dan Belitung. Belanda mendirikan penelitian keramik di Bandung, Plered, dan Malang. Pada tahun 1950-an, pabrik milik keluarga Abidin, mengundang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk membuat rancangan jambangan dekoratif. Kedekatan ITB dan pusat penelitian keramik memberikan pengaruh atas pendirian studio keramik di ITB tahu 1963, yang nantinya menjadi dasar perkembangan seni keramik modern di Indonesia.50

Pakaian yang dipamerkan dalam acara Karnaval Jogja Fashion Week (KJFW) memiliki karakter kriya kontemporer, hal ini diperkuat oleh pemikiran mengenai dan teori mendasar tentang seni rupa kontemporer. Acara KJFW yang dilaksanakan tahun 2007-2014 (dilaksanakan juga pada tahun 2015) dimaksudkan untuk mempromosikan produk kebudayaan, dengan menggali potensi industri dan ekonomi kreatif di bidang pakaian, meningkatkan nilai ekonomi tekstil tradisional. acara KJFW merupakan sarana sosialisasi para perancang, butik, hotel, lembaga dan institusi umum, instansi swasta dan pemerintah, lembaga pendidikan formal dan nonformal, serta komunitas pakaian, dengan menampilkan rancangan pakaian terbaru kepada masyarakat umum. Konsep penciptaan pakaian KJFW merujuk pada

Surabaya, Malang, Yogyakarta, Jepara, dan Purwokerto, dalam acara seni kriya kontemporer berjudul Craft Speaks, 15 Juli-9 Agustus 2009, di Galeri Seni, House of Sampoerna, Jalan Taman Sampoerna 6, Surabaya.48

Pada tanggal 19-27 Maret 2013 diselenggarakan pameran keramik kontemporer, dengan judul “Vacuum Learning” di Bentara Budaya Yogyakarta. Pameran tersebut dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Keramik (IWAK) dan beberapa alumnus Kriya Keramik Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menampilkan 34 karya individu yang mengetengahkan wacana mengenai perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, khususnya Yogyakarta. Seni rupa kontemporer dan kerajinan kontemporer, memiliki infrastruktur yang berbeda, meskipun keaneka ragaman dalam seni rupa dapat menerobos batas-batas eksperimental. Ruang ekspresi dalam Vacuum Learning, menampilkan karya-karya eksperimental yang merespons kekinian, nostalgia, pop dan imajinatif dalam penerjemahan karakter dan ide masing-masing personal seniman yang terlibat dalam pameran ini. Seni rupa kontemporer disebut sebagai seni rupa yang plural dan memperbolehkan apapun sebagai (karya) seni. Misalnya: karya Sheila Sonia berjudul “Warna-warni Sosialita”, menggunakan tambahan material kulit sebagai aksen dekoratif dalam menerjemahkan sosialita melalui sebuah instalasi keramik berbentuk tas.49

Keberadaan keramik kontemporer memiliki korelasi dengan seni keramik modern, yang

48 “Ragam Corak Seni Kriya dalam Nuansa Etnik-Kontemporer” dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/07/15/1913387/ragam.corak.seni.kriya.dalam.nuansa.etnik-kontemporer

49 “Pameran Kriya Keramik Kontemporer di Bentara Budaya Yogyakarta Bertajuk Vacuum Learning” dalam http://tembi.net/peristiwa-budaya/pameran-kriya-keramik-kontemporer-di-bentara-budaya-yogyakarta-bertajuk-vacuum

50Hilda Soemantri, (Ed.), Seni Rupa, (Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002), 94.51Deni Setiawan, “Ragam Visual dan Makna Pakaian Karnaval Jogja Fashion Week dan Cosplay di Yogyakarta, Disertasi pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2016, 4-7.

Page 34: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

34

Konsep Lokalitas dan Tema TradisiPenciptaan seperangkat pakaian KJFW bersumber pada referensi lokal, yaitu: kain dan tekstil tradisional, temanya menghadirkan khazanah budaya tradisi yang mengangkat peristiwa tradisi masyarakat ke dalam wujud pakaian. Rujukan dasar penciptaan jenis pakaian ini bersumber pada khazanah budaya lokal, dengan merespons legenda, cerita rakyat, dan mitologi yang berkembang pada masa lampau dalam kehidupan masyarakat. Penciptaan varian gaya pakaian berdasarkan pemikiran konteks lokalitas, memberikan kesempatan bagi produk lokal untuk bersaing secara nasional. Dengan demikian, pakaian merupakan bentuk representasi khazanah kekayaan tradisi masa lampau, yang dihadirkan dalam konsep presentasi estetik masa kini, dalam proses untuk memaksimalkan potensi-potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Menurut Soedarso Sp, yang menjadi ciri-ciri menonjol dalam seni rupa kontemporer Indonesia adalah meningkatnya tema sosial dan politik, muncul kecenderungan anti formalisme (diasosiasikan dengan gerakan posmodernisme), penonjolan pluralisme disertai unsur-unsur lokal, dan tumbuh kembali tradisi realisme dan kecenderungan representasional. Perubahan paradigma ini diiringi dengan kesadaran membawa peristiwa-peristiwa pameran ke ranah internasional dengan mengetengahkan isu lokal dan budaya tradisional Indonesia

perwujudan improvisasi para perancang pakaian, sebagai bentuk kreativitas untuk menghasilkan berbagai macam gaya dengan perpaduan warna dan ragam hias yang bersumber dari beberapa daerah di Indoensia. Gaya pakaian KJFW merupakan saduran dan gabungan dari beberapa identitas, dengan memodifikasi bentuk asli (kain tradisional) dan melakukan improvisasi, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk baru yang lebih dinamis.

Karakter pakaian KJFW menunjukkan perkembangan ranah seni rupa kontemporer. Penanda paling jelas adalah konsep pikir bervariatif, pencampuran bahan pakaian, aksesori yang digunakan semakin beraneka ragam, dan termasuk penambahan fungsi pakaian menjadi benda hias. Bentuk dan penambahan fungsi baru pada pakaian, jika diterjemahkan sebagai gaya yang serba sekarang ini, atau belum pernah ada sebelumnya, merupakan presentasi pakaian sebagai bagian produk pertunjukan. Pencampuran berbagai budaya merupakan karakter dari seni rupa kontemporer, sebagai sifat plural dan memiliki banyak rujukan. Sebagai produk budaya, pakaian KJFW dengan bermacam-macam ragam hias berupa simbol pada material atau bahan (penggunaan kain batik, kain tenun, kain rajut, dan anyaman) membicarakan persoalan-persoalan sosial dan wajah kebudayaan, yang hadir dalam kehidupan masyarakat. Simbol-simbol yang bermuara pada gagasan abstrak, merupakan akumulasi beberapa macam makna filosofis, yang dipertahankan dan diperkenalkan sebagai bagian komunikasi karya seni.

seperti: upacara adat, upacara perkawinan, logo identitas, bentuk bangunan khas, dan ragam hias tradisional. Penggunaan bahan diutamakan untuk memaksimalkan rancangan menggunakan kain tradisional, yang dipadukan dengan beberapa bahan bekas dan produk anyaman.54

Setidaknya, terdapat beberapa karakter seni rupa kontemporer pada pakaian di acara KJFW, sebagai berikut.

Konsep PluralismeDi dalam seni rupa kontemporer memuat apa yang disebut dengan idiom baru. Idiom baru pakaian KJFW tidak saja dilihat berdasarkan penggunaan material dan konsep penciptaan yang serba plural, termasuk adanya penambahan fungsi sebagai benda pamer (alat presentasi), dan perlawanan atas konvensi berpakaian secara umum. Perubahan idiom pada pakaian dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perubahan sosial dalam masyakarat karena pengaruh internal dan eksternal; respons atas isu-isu politik, sosial, dan budaya, serta desakan perkembangan yang terjadi dalam industri pakaian itu sendiri.

Sifat plural pada konsep penciptaan menjadi rujukan gaya, sehingga terdapat identitas ganda pada pakaian KJFW. Hal ini dilihat dengan penggunaan bahan pada pakaian KJFW yang memadukan berbagai macam konsep, seperti; pencampuran warna dari beberapa jenis bahan, aplikasi ragam hias dan aksesori dari beberapa daerah. Pakaian KJFW merupakan

Pakaian KJFW tahun 2012 konsep penciptaan tokoh fantasi, pencampuran beberapa bahan, seperti: anyaman pandan, bambu, plastik, dan kain batik. (Sumber: Ikhsan Prabowo Hadi, lokasi Jl. Malioboro, tahun 2012).

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

52 Deni Setiawan, 2016, 84-85.53 Deni Setiawan, 2016, 91-92.54 Deni Setiawan, 2016, 101.55 Soedarso SP., Trilogi Seni, Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni (Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2006), 188-190.

56 Linda Hutcheon, Politik Posmodernime, dialihbahasakan oleh Apri Danarto (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), 147-148.

Page 35: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

35Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

konsep penciptaan pakaian KJFW, yang sebagian besar berlandaskan pada pemikiran masa lampau (berdasarkan legenda, cerita rakyat, mitologi), dibuat dalam kemasan kekinian. Pada pakaian dan makeup Nyi Blorong misalnya, menghadirkan nuansa mitos-mitos yang berkembang sampai sekarang, diwujudkan melalui visual, desain, dan ragam hias yang mewakili tanda-tanda tradisi masyarakat.

Pertemuan budaya historis salah satunya dapat dimaknai sebagai bentuk-bentuk pendislipinan pola cipta dan rancang para perancang, untuk mengetengahkan cerita tradisi Nusantara menggunakan material pakaian tradisional kepada masyarakat. Selain ide, digunakan kain-kain tradisional sebagai penanda konsep tradisi. Lokalitas dapat diterjemahkan sebagai gaya pakaian

yang menjadi daya tarik bagi masyarakat internasional.55

Pakaian KJFW dalam wilayah gagasan mewadahi beberapa macam ideologi, konsep, dan pandangan hidup, bersumber pada tradisi dan budaya yang mencerminkan kondisi seseorang atau sekelompok masyarakat. Pakaian KJFW tidak menerapkan aturan yang baru dalam cara berpakaian, tetapi lebih pada keleluasaan seseorang untuk bergaya, meniru, dan menciptakan desain baru, serta menampilkan tokoh dengan gaya pakaian tertentu. Salah satu gagasan dalam seni rupa kontemporer adalah melihat produk-produk tradisi dan merupakan pertemuan budaya sejarah yang bersumber dari masa sebelumnya. Tanda ini dapat terlihat dari

yang terbentuk dengan merespons sumber-sumber kehidupan sekitarnya. Perwajahan pakaian KJFW dengan tema-tema lokal merupakan wujud identitas kelompok yang menjadi bagian dari masyarakat. Mitologi yang berkembang di wilayah Pantai Selatan, tokoh Nyi Roro Kidul, ataupun Nyi Blorong, secara karakter merupakan identitas personal, tetapi identitas tersebut dibangun secara mufakat oleh kelompok.

Konsep ParodiPerkembangan seni rupa kontemporer setelah era modern sering dikaitkan dengan era posmodern, tetapi tidak semua seni rupa kontemporer adalah seni posmodern. Posmodernisme menggambarkan gerakan-gerakan yang berasal dan bereaksi terhadap kecenderungan modernisme. Kecenderungan khusus dari modernisme

Page 36: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

36

yang sering dikutip antara lain adalah kemurnian bentuk, seni untuk seni, keotentikan, universalitas dan orisinilitas. Asumsi-asumsi modernisme tersebut banyak mendapat serangan, misalnya melalui parodi yang sering disebut sebagai kutipan ironis, pastiche atau daur ulang. Menurut Linda Hutcheon, melalui parodi ataupun bentuk reproduksi lain, konsep orisinal sebagai sesuatu yang langka, tunggal dan berharga dipertanyakan kembali.56

Pluralitas tidak saja dilihat sebagai pencampuran berbagai macam rujukan penciptaan dan bahan pakaian, tetapi di dalamnya memiliki ideologi perlawanan terhadap gagasan modernisme, refleksi situasi dan kondisi sosial masyarakat, termasuk juga menghadirkan peristiwa sosial budaya yang terjadi ke dalam karya seni. Di mana gagasan modernisme dalam pakaian tersebut membicarakan fungsi-fungsi secara konvensional, kemudian atas desakan masyarakat zaman posmodernisme, fungsi tersebut tidak lagi menjadi unsur pokok dalam pakaian. Ketika sebuah produk massal (industri) seperti pakaian kasual, diproduksi menjadi sebuah karya seni dalam wujud pakaian karnaval, disinilah letak kemunculan gagasan nada-nada parodi. Seperti yang dilakukan oleh Andy Warhol, ketika menghadirkan karya massal ke dalam sebuah karya instalasi, misalnya dalam karya Brillo Boxes. Produk massal diparodikan menjadi sebuah karya seni. Brillo Boxes tidak memberikan batasan jelas antara sebuah karya seni dengan produk massal, atau bagaimana

sebuah produk massal berganti kulit menjadi sebuah karya seni. Masyarakat diberikan tontonan akan hadirnya era the end of art, merupakan penanda kebebasan menggunakan berbagai medium untuk membuat dan menciptakan karya seni.

PenutupKemunculan kriya kontemporer memiliki relasi yang kuat dengan hadirnya konsep-konsep pada karya seni rupa kontemporer. Seni rupa kontemporer dapat dilihat sebagai sebuah sarana yang mempertemukan trikonomi seni dalam satu wadah. Praktik-praktik sebelumnya selalu berusaha untuk memisahkan antara seni murni, kriya, dan desain. Adanya pengelompokan tersebut, sepertinya juga berusaha untuk menentukan kedudukan dan fungsinya masing-masing.

Kriya berakar dari nilai-nilai tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal, sedangkan konsep-konsep seni murni dan desain bersumber pada pemahaman tradisi Barat. Misalnya, konsep seni rupa modern beserta pernak-perniknya, dihadirkan di Indonesia dengan merujuk ke Barat. Hal tersebut berpengaruh pada beberapa sistem pendidikan, budaya, kehidupan seni, dan teknologi di Indonesia. Munculnya karya kriya kontemporer merupakan penanda kehadiran Barat dalam pemikiran penciptaan karya-karya lokal. Karya kriya kontemporer tidak lagi diciptakan dengan acuan fungsi secara konvensional, tetapi memiliki idiom baru sebagai benda seni yang bertujuan

Pencampuran berbagai budaya

merupakan karakter dari seni rupa kontemporer,

sebagai sifat plural dan memiliki banyak

rujukan.

53 Deni Setiawan, 2016, 91-92.54 Deni Setiawan, 2016, 101.55 Soedarso SP., Trilogi Seni, Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni (Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2006), 188-190.

56Linda Hutcheon, Politik Posmodernime, dialihbahasakan oleh Apri Danarto (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), 147-148.

untuk dipamerkan. Di dalamnya terjadi perubahan cara ungkap seniman kriya, yang selama ini bersifat representatif menjadi karya-karya presentasi. Beberapa karya kriya kontemporer hadir dalam bentuk-bentuk sindiran dan memparodikan kelaziman. Pakaian yang berubah menjadi benda pajang, miniatur benda-benda fungsional, dan parodi-parodi pada ragam hias tradisional, merupakan wujud perkembangan kriya tradisional menjadi kriya kontemporer.

Page 37: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

37Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Kepustakaan“Memoar Mainan” dalam http://www.sangkringartspace.net/?p=343

“Pameran Kriya Keramik Kontemporer di Bentara Budaya Yogyakarta Bertajuk Vacuum Learning” dalam http://tembi.net/peristiwa-budaya/pameran-kriya-keramik-kontemporer-di-bentara-budaya-yogyakarta-bertajuk-vacuum

“Ragam Corak Seni Kriya dalam Nuansa Etnik-Kontemporer” dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/07/15/1913387/ragam.corak.seni.kriya.dalam.nuansa.etnik-kontemporer

Anusapati, “Menimbang Paradoks Kriya Kontemporer” dalam Kompas, Minggu 3 Oktober 2004.

Danto, Arthur C. After the End of Art. Princenton: Princenton University Press, 1997.

Irianto, Asmudjo Jono. “Konteks Tradisi dan Sosial-Politik dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90-an”, dalam Jim Supangkat, et al., Outlet: Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Ceteti, 2000.

_____________________, “Kriya dalam Wacana Seni Rupa Kontemporer”, dalam Sri Krisnanto, et al., (Ed.), Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintasan Ruang dan Waktu: Tanda Mata untuk Prof. Drs. SP. Gustami, SU. Yogyakarta: Penerbit B.I.D ISI Yogyakarta, 2009.

Muhdi, B. Zuria. “Kriya Melintasi Zaman: Pengertian dan Perkembangan Konsep Kriya, dalam Sri Krisnanto, et al., (Ed.), Seni Kriya dan Kearifan Lokal dalam Lintasan Ruang dan Waktu: Tanda Mata untuk Prof. Drs. SP. Gustami, SU. Yogyakarta: Penerbit B.I.D ISI Yogyakarta.

Bambang Sugiharto, “Gelagat Post-Estetik dalam Seni Kontemporer” dalam http://bambarto.blogspot.co.id/2008/06/gelagat-post-estetik-dalam-seni.html.

Bramantijo, “Mural Publik: Representasi, Transformasi, Dan Citra Ruang Publik Kota Yogyakarta”, Disertasi pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2015.

Turner, Caroline. “Internationalism and Regionalisme: Paradoxes of Identity” dalam

untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006.

Marianto, M. Dwi. “Gelagat Yogyakarta Menjelang Millenium Ketiga”, dalam Jim Supangkat, et al., Outlet: Yogyakarta dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2000.

Prawira, Nanang Ganda. “Kriya dan Rekahias Baduy: Bentuk, Fungsi, Motif, Simbol dan Makna: Kriya dan Rekahias Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak”, dalam Jurnal Seni Rupa dan Desain, Vol. 1, Nomor 1, (Bandung: STISI, Agustus 2000).

Sabana, Setiawan dan Djuli Djati Prambudi, “Seni Rupa (Asia Tenggara): Fenomena Praktik, Teoretik, dan Dilema”, dalam M. Agus Burhan, (Ed.), Jaringan Makna Tradisi hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006.

SP., Soedarso. Trilogi Seni, Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta, 2006.

Gustami, SP. Butir-butir Mutiara Estetika Timur: Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Prasista, 2007.

Sumartono, “Peran Kekuasaan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta”, dalam Jim Supangkat, et al., Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Cemeti, 2000.

Wisetrotomo, Suwarno. “Seni Lukis Batik Petualangan Baru Estetik” dalam Soedarso Sp., (Ed.), Seni Lukis Batik Indonesia: Batik Klasik Sampai Kontemporer. Yogyakarta: Taman Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, IKIP Negeri Yogyakarta, 1998.

__________________. “Biennale Jogja IX 2007 Neo Nation: Etalase, Investasi Budaya, dan Politik Identitas”, dalam Katalog Biennale Jojga IX 2007, Yogyakarta, 2007.

Awuy, Tommy F. “Identitas Terbagi dalam Seni Rupa Kontemporer”, dalam Adi Wicaksono et al., (Ed.), Identitas dan Budaya Massa: Aspek-aspek Seni Visual Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2002.

Caroline Turner, (Ed.), Tradition and Changes: Contemporary Art of Asia and the Pacific. University of Queensland Press, 1994.

Hadinagoro, Daud Wiryo. “Batik Inovatif: Tradisi Berlanjut”, Katalog Pameran, Jakarta: Galeri Nasional Indonesia, 2005.

Setiawan, Deni. “Ragam Visual dan Makna Pakaian Karnaval Jogja Fashion Week dan Cosplay di Yogyakarta, Disertasi pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2016.

Rais, Dyan Anggraini. “Pengantar Kepala Taman Budaya Yogyakarta”, dalam Katalog Biennale Jojga IX 2007, Yogyakarta, 2007.

Lucie-Smith, Edward. Art Today. London: Phaidon, 1999.

Hariyanto, “Seni Rupa Kontemporer di Yogyakarta Sejak Tahun 1975 Hingga Tahun 2010: Identitas dan Perubahan”, Disertasi pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2011.

Soemantri, Hilda, (Ed.), Seni Rupa. Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.

Risatti, Howard. A Theory of Craft: Function and Aesthetic Expression. USA: The University of North Carolina Press, 2007.

Supangkat, Jim. “Dua Gejala Seni Rupa 1990”, Makalah Seminar Nasional 55 Tahun Pendidikan Tinggi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta: ISI Yogyakarta, 2005.

Gibbons, Joan. Contemporary Art and Memory: Images of Recollection and Remembrance. New York: I.B.Tauris & Co Ltd., 2007.

Stallabrass, Julian Art Incorporated: The Story of Contemporary Art. New York: Oxford University Press Inc., 2004.

Katalog Biennale Jojga IX 2007, Yogyakarta, 2007.

Hutcheon, Linda. Politik Posmodernime, dialihbahasakan oleh Apri Danarto. Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004.

Burhan, M. Agus. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam M. Agus Burhan, (Ed.), Jaringan Makna Tradisi hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bakti

Page 38: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

38

Selama beberapa bulan berada di Pulau Seram, saya mendengar kata “akal sehat” diucapkan jauh lebih banyak dari yang bisa saya duga-duga sebelum kedatangan saya. Saya tak pernah mendengar ia diucapkan sesering ini—tidak bahkan ketika saya berada di institusi perguruan tinggi yang dipercaya mengajarkan penalaran yang baik dan benar.

Cerita saya bermula ketika mencoba menelusuri awal kedatangan orang-orang Buton di Dusun Parigi dan Desa Malaku. Permukiman orang-orang Buton yang bertempat di pesisir Seram Utara itu cukup ganjil. Desa ini diapit permukiman-permukiman orang gunung yang di masa silam tak jarang berperang satu sama lain. Pada saat para perantau pertama Buton tiba di sana di awal abad ke-20, hidup soliter di antara bentangan hutan liar yang tak terjumpai ujungnya barulah tantangan paling mudah yang perlu mereka hadapi.

Perburuan kepala masih merupakan praktik yang lumrah pada masa itu dan kepala penduduk pesisir, yang kehidupannya dianggap lebih dinamis, melambangkan kesuburan. Situasi diperkeruh lagi dengan skenario sewaktu-waktu penyerangan ke suku lain berlangsung, desa mereka berada di jalur paling mudah yang menghubungkan permukiman antara suku yang berseteru ini. Mereka, katanya, mendapatkan lahan ini karena raja negeri setempat ingin menempatkan mereka sebagai tabir pengaman. Dan, terlepas niat lancung itu benar atau tidak, bahaya menjadi korban tak disengaja serangan suku-suku musuh negeri sang raja adalah nyata.

Namun, para pendatang Buton generasi pertama itu hanya mempunyai dua pilihan. Hidup mengelola perkebunan kopra milik Belanda dengan bayaran tak lebih dari beberapa sen atau mengambil lahan yang ditawarkan secara cuma-cuma dan, tentu saja, janggal oleh Raja Negeri Wahai, Seram Utara. Mereka akhirnya mengambil pilihan kedua. Mereka memberanikan diri membuka kebun kopranya sendiri—merenggut kendali atas kehidupannya sendiri—kendati harus melakukannya di satu pelosok yang asing dan lagi berbahaya. Mereka, secara harfiah, mempertaruhkan kepalanya untuknya.

Kendati saya tak ingin memberikan apresiasi yang terlalu sentimentil terhadapnya, tetap saja, sulit untuk mengatakan saga ini tidak heroik. Ketika dihadapkan dengan pelecehan dan eksklusi oleh mereka yang mendaku dirinya penduduk asli pulau ini, bagi mereka, kisah masa silam ini memberikan satu alasan untuk menegakkan kepalanya. Mereka meninggalkan kehidupan lamanya untuk mengejar satu iming-iming kehidupan yang lebih baik yang sama sekali kabur, entah kapan tergapai—entah lebih dekat mereka dengan keberhasilan atau dengan maut.

Akal Tidak SehatOleh Geger Riyanto1

RUBRIK LINTAS

1 Penulis adalah esais, peneliti sosiologi, bergiat di Koperasi Riset Purusha. Tulisan ini terinspirasi dari penelitiannya bersama tim periset dari antropologi UI bertema “Relasi Lintas Budaya Masyarakat Pendatang dan Masyarakat Setempat di Seram Utara” yang dijalankan dengan hibah Dikti.

Page 39: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

39Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Akan tetapi lantaran dianggap aib, La

Ode Wuna tak pernah diperlakukan secara manusiawi oleh sang sultan sendiri. Ia bertapa merenungkan pelecehan demi pelecehan yang dialaminya dan, setelah beberapa lama, memutuskan tak mau melihat lagi apa pun yang berkenaan dengan kampung halamannya. Sang pangeran pun menyeberangi lautan mempergunakan dua tempurung kelapa. Satu untuk dirinya dan dayangnya. Satu lagi untuk bala tentaranya. Setelah melalui perjalanan yang disesaki kerinduan dengan ibunya, La Ode Wuna mencapai Pulau Buru. Ia menatap ke arah Buton dan ia masih bisa menjumpai asap dari Pulau Muna. Ia tak bisa menetap di sini.

La Ode Wuna bersauh lagi hingga, beberapa waktu berselang, tiba di Gunung Binaia, gunung tertinggi Pulau Seram. Di sana, sejauh matanya memandang ke belakang, ia tak bisa lagi melihat asap dari Pulau Muna. La Ode Wuna pun menetap dan mendirikan kerajaan Sahulau yang nantinya, dalam sejarah lisan berbagai kelompok masyarakat Seram, menjadi

waktu yang tak bisa

mereka bayangkan kapan—jauh

sebelum negeri yang memberikannya lahan

untuk bertanam kopra itu sendiri ada. Mereka sudah

ada ketika para penduduk setiap hari digusarkan serangan bajak laut Tidore dan merekalah yang melindunginya serta bertempur gagah berani dengan para kapitan laut yang sakti.

Nenek moyang mereka, mereka yakini, adalah La Ode Wuna. Ia adalah seorang pangeran—anak dari Sultan Muna yang merupakan penguasa sebuah pulau yang berada di wilayah Buton. Satu hal yang paling diingat dari La Ode Wuna adalah sosoknya yang mengejuntukan. Separuh tubuhnya dari perut ke atas serupa lelaki pada wajarnya. Namun, separuh ke bawah sisanya menyerupai ular. Sultan Muna tak kunjung mempunyai anak dan bernazar untuk mendapatkan anak biarpun sosoknya sepenggal ular. Istrinya pun melahirkan La Ode Wuna.

Lima puluh

tahun berselang

sejak waktu itu dan, boleh dikatakan, mereka tidak gagal. Sepenghujung Seram Utara mengenal desa mereka sebagai penangkap ikan yang sulit ditandingi dan kemajuan perekonomiannya cukup mengejutkan untuk desa yang jauh dari berbagai akses.

Bagi beberapa di antara mereka, kendati demikian, kisah ini nampaknya belum cukup untuk menggambarkan masa lalu orang-orangnya di tanah Seram. Sebagian percaya, orang Buton adalah orang pertama di pulau ini. Mereka sudah datang sejak

Page 40: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

40

orang yang paling pertama meragukan keternalaran cerita biasanya bukanlah saya, pendengarnya. Yang paling pertama mengungkapkan keraguan terhadap epos La Ode Wuna biasanya malah para juru cerita itu sendiri.

“Sulit dipikirkan dengan akal sehat, bukan?”

Saya mendengar kata-kata semacam, biasanya, ketika saya masih berusaha menata cerita yang diutarakan dalam pikiran saya. Dan kata-kata tersebut akhirnya lebih mencengangkan saya ketimbang mitologi yang diceritakan itu sendiri. Mereka, memang, mempunyai semua alasan untuk tidak mempercayainya. Para perantau Buton yang sangat akrab dengan laut ini mengetahui lebih dari siapa pun bahwa menyeberangi lautan mempergunakan tempurung kelapa adalah pekerjaan yang mustahil. Mereka tak bisa membayangkan ekor La Ode Wuna, kalaupun sosok ini ada, masih bisa mencapai Pulau Muna bahkan ketika ia sudah berada di Pulau Buru. Mereka

kehadiran para pahlawan ini. Mereka memenangkan peperangan akbar atau berhasil menyiarkan agama atau berjaya membangun kerajaan. Keturunannya menjadi suku yang meneruskan kisah ini hingga saat ini dan sisanya menjadi suku-suku lainnya—figuran di bumi yang sentosa berkat perjuangan atau kehebatan nenek moyangnya. Terdengar tidak asing? Tentu.

Dan sekarang, sisi menariknya. Lumrahnya, sang juru cerita adalah orang yang paling mempercayai ceritanya sendiri dan, saya kira, ia tak mempunyai alasan untuk meragukan apa yang tersiar dari mulutnya sendiri. Sepanjang pengalaman saya menjumpai figur-figur yang fasih menuturkan epik suku atau agamanya, ia akan mempertahankan kebenarannya selagi ia masih bisa melakukannya. Ia, kita teramat tahu tentunya, tak hanya mengecer kata-kata melainkan juga mempertaruhkan otoritas dan harga dirinya di dalamnya.

Lucunya, dalam berbagai kesempatan terlibat obrolan ihwal asal-usul di kantung perantauan Buton Seram utara itu,

kerajaan terbesar yang pernah ada di pulau ini. Kekuasaannya merentangi pulau Seram dari satu tepi ke tepi lainnya dan hanya menemukan batasannya pada wilayah salah satu kerajaan terbesar Maluku Utara, Tidore. Pusparagam suku gunung yang kini mendiami Seram tak lain dari keturunan para prajurit yang dibawa sang datuk Buton saat itu.

***

Mitologisasi asal-usul adalah hal yang cukup galib kita jumpai. Ke mana pun kita pergi, kita bisa menemukannya sesegera kita menemukan tokoh-tokoh yang dituakan dan getol bercerita, dan seseorang sama sekali tak perlu menjadi sosiolog, antropolog, atau menempuh berbagai penelitian untuk mengetahui hal ini.

Di atas panggung masa lalu cerita mereka—yang bisa terinspirasi atau tak terinspirasi sejarah nyata—pahlawan-pahlawan mistis atau yang dimistiskan menorehkan setitik perbedaan yang mengubah segalanya. Sejarah tak pernah sama lagi berkat

Mitologisasi asal-usul adalah hal yang cukup galib kita jumpai.

Ke mana pun kita pergi, kita bisa menemukannya sesegera kita menemukan tokoh-tokoh yang dituakan dan

getol bercerita, dan seseorang sama sekali tak perlu menjadi sosiolog, antropolog, atau menempuh berbagai

penelitian untuk mengetahui hal ini.

Page 41: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

41Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Dan, pada kenyataannya, obsesi Yamin yang dipertukarkan dengan penalaran dinginnya bukanlah obsesi yang terlalu asing dari penglihatan kita. Klaim-klaim termutakhir sudah jauh lebih berani ketimbang sekadar menandaskan bahwa etnis A, B, atau C sudah hidup dalam peradabannya sendiri yang jaya raya sejak ribuan tahun lalu: etnis A, B, atau C adalah manusia-manusia pertama di muka bumi. Piramida yang lebih megah, lebih tua ketimbang piramida Giza tak hanya ditemukan di Gunung Padang. Ia, seperti jamur yang bertumbuhan pada musimnya, sekonyong-konyong ditemukan di berbagai belahan dunia. Di Bosnia, lebih-lebih, kendati diragukan oleh komunitas ilmiah, piramida yang ditemukan Semir Osmanagic menabalkan penemunya sebagai pahlawan rakyat dan mendatangkan pendanaan BUMN dan perusahaan untuk melanjutkan penelitiannya.

Pertanyaan untuk semua ini, pada akhirnya, adalah satu kata. “Mengapa?” Mengapa mereka melakukannya? Mengapa mereka mengabaikan akal sehat untuk pikiran-pikiran yang sulit dipertanggungjawabkan dan entah keuntungannya untuk mereka?

Saya pikir, petunjuk berharga tersirat pada jawaban jujur para juru cerita perkampungan-perkampungan Buton yang sempat saya sambangi itu. Mereka paham apa yang diyakininya mungkin keliru—sangat mungkin keliru bahkan. Tetapi mereka terbeban mempercayainya untuk sebuah alasan yang bersahaja, sama sekali tak rumit, agak absurd, sekaligus—saya tahu—kita semua dapat memahaminya. Ia merupakan cerita tentang orang-orangnya.

Ketika saya tiba di sana, para perantau Buton ini tak pernah lepas dari bayang-bayang kegusaran akan diusir oleh orang-orang yang mengaku asli pulau ini. Cerita tentang para kerabat yang tinggal di sisi

modernitas. Namun, di manakah narasi-narasi semacam akan jauh lebih banyak ditemukan selain berseliweran di seputar kita dan kehidupan modern kita sendiri? Teknologi komunikasi, percetakan, aparatus negara yang konon merupakan produk nalar-nalar rasional dalam praktiknya bukanlah mesin penghancur keyakinan mistis. Mereka adalah penyemainya.

Dalam salah satu kepercayaan semacam itu, perkenankan saya mencontohkannya, warna merah putih bendera Indonesia diyakini terinspirasi dari senja di horizon lautan. Langit yang kemerahan dan laut yang putihnya merefleksikan matahari menginspirasi para nenek moyang ribuan tahun lalu untuk membayangkan merah putih sebagai simbol identitas mereka. Pencetus narasi ini, terka saja: Muhammad Yamin. Yamin, memang, bukan sosok yang reputasinya sempurna dan mitos-mitosnya adalah penyebab ketersohorannya. Tetapi, satu hal bisa dipastikan. Ia bukanlah orang tak terpelajar.

bahkan sulit membayangkan sosok yang keberadaannya sendiri memungkinkan cerita ini berjalan: benarkah sosok separuh ular dan separuh manusia ada? Mengapa mereka tak pernah melihatnya?

Tetapi, kendati berulang-ulang menekankan betapa sukarnya ia dicerna dengan pikiran yang rasional dan meminta saya tak mempercayainya, mereka mempercayainya. Mereka meyakini sang pangeran setengah ular adalah leluhur mereka. Mereka meyakini leluhur mereka adalah yang menjejakkan kakinya pertama di negeri ini setelah menyeberangi lautan mempergunakan perahu yang mustahil—betapapun nampak komikalnya kepercayaan itu bagi mereka sendiri.

***

Pada titik ini, saya tentu berat menganggap bahwa kepercayaan tersebut merupakan relik dari masa di mana orang-orang belum bisa berpikir secara sehat dan dewasa. Saya tak pernah bertemu dengan insan yang sekujur kehidupannya dikuasai takhayul, tenggelam dalam dunia imajinasi masyarakatnya sendiri, polos dan naif sebagaimana mitos-mitos modern kita mengimajinasikan mereka secara polos dan naif. Suku berjulukan penjaga pintu besi yang percaya mereka mengampu mandat menjaga kemurnian kebudayaan Seram Utara sekalipun, kolega peneliti saya Muhammad Damm menemukan, tahu politik apa yang perlu mereka lakukan agar pihaknya tak diganggu para penyebar agama yang terus-menerus berusaha mengonversi mereka.

Lagi pula, mari bandingkan dengan adil. Kita, memang, akan menemukan kepercayaan yang sukar diuji dengan pikiran-pikiran ilmiah pada saat menengok ke pedalaman-pedalaman yang dalam imajinasi romantis kita sebagian penduduknya masih polos dari paparan

Kita, memang, akan menemukan kepercayaan yang sukar diuji dengan

pikiran-pikiran ilmiah pada saat menengok ke

pedalaman-pedalaman yang dalam imajinasi romantis

kita sebagian penduduknya masih polos dari paparan

modernitas.

Page 42: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

42

lain Maluku yang diancam penduduk berkali-kali menyusup dalam perbincangan sehari-hari—selain dusun-dusun ini sendiri pernah nyaris bentrok dengan negeri adat lantaran sentimen pendatang-orang asli ketika konflik Ambon mulai membawa efek dominonya. Kedudukan mereka sebagai orang luar terus-menerus dipelihara, baik oleh perlakuan dari luar maupun diri mereka sendiri. Bantuan dari dinas perikanan tidak turun ke dusun mereka yang mata pencaharian utamanya nelayan dan mereka sendiri lekas memahaminya sebagai konsekuensi kedudukan mereka sebagai orang luar.

Kemudian, sekonyong-konyong saja para warga desa menemukan di antara cerita-cerita orang gunung Seram terdapat sosok datuk dari Buton bernama La Ode Wuna. Meski masih menjadi bahan perdebatan sengit, sebagian orang gunung percaya bahwa La Ode Wuna merupakan salah satu raja Seram paling pertama dan paling disegani pada masanya. Saya, sebagaimana para pencerita Buton sendiri, tak bisa serta-merta menerimanya sebagai sejarah yang benar-benar terjadi. Mungkin—dan sangat mungkin sebenarnya—ia merupakan utak-atik gathuk orang-orang gunung yang ingin ceritanya didengar dan berbeda dibandingkan yang lain. Namun, sulit rasanya tidak memahami dorongan para perantau Buton untuk mempercayai cerita ini—untuk mempercayai bahwa mereka bukanlah orang asing serta berhak seutuhnya atas tanah dan air yang sudah mereka tinggali seumur hidupnya.

“Lihat saja nanti. Suatu saat nanti, semua akan terungkap,” ujar La Ibu, cucu dari penduduk pertama perkampungan ini kepada saya.

“Maksud Teteh?” saya balik bertanya.

Saya teringat dengan judul buku Bruno Latour karenanya. “Nous n’avons jamais ete modernes.” Baca: kita tak pernah menjadi modern. Kita—dan siapa pun, sebenarnya—nampaknya tak pernah benar-benar menjadi modern. Pikiran-pikiran rasional, memang, nampak agung dan tak terkalahkan. Modernitas memang merupakan janji-janji yang lebih pasti. Namun, mengapa menjadi modern dan membosankan bila pilihan lainnya adalah hidup dengan tidak modern tetapi menakjubkan?

Untuk satu alasan inilah, kita memilih akal tidak sehat.

“Sejarah sebenarnya Pulau Seram yang dirahasiakan suatu hari pasti terungkap. Siapa yang sebenarnya orang asli, wilayah siapa sebenarnya milik siapa akan diketahui.”

“Lalu?”

“Lalu? Kalau bukan damai, ya... rusuh. Apa lagi kalau bukan dua itu?”

La Ibu lantas tertawa. Seakan menampik keseriusan kata-kata mencekam yang baru saja disampaikannya kepada saya.

Saga ini, betapapun ia tidak meyakinkan atau diperlakukan tak ayalnya permainan, adalah sesuatu yang mereka perlukan. Ia adalah janji untuk persoalan yang terselesaikan, petualangan hidup yang berakhir baik, keadilan yang menjadi nyata di penghujung hari—sang godot untuk ditunggu. Dan, kita tahu, godot tak perlu datang untuk menggulirkan segenap drama yang kemudian mengambil tempat. Godot bahkan boleh jadi tidak perlu ada.

Dan, lagi pula apa perlunya merekonstruksi sejarah secara objektif dan menjemukan kalau ia bisa diuntai menjadi saga seru untuk kehidupan yang banal? Tak semua orang bisa dipastikan punya waktu dan kemewahan untuk melakukan pekerjaan yang pertama. Tetapi, kebanyakan akan tergoda pada saat mendengar kata-kata seperti “Indonesia asal mula peradaban dunia,” “Indonesia negeri asal-usul manusia,” “Indonesia tempat akar semua bahasa.” Semua mendadak menjadi sejarawan apabila bersentuhan dengan bayangan-bayangan Indonesia yang megah tersebut. Kita membutuhkannya—sebagaimana para perantau Buton membutuhkan La Ode Wuna untuk merasa dirinya lebih dari sekadar orang asing yang tak dianggap di pulau yang mereka bayangkan sebagai satu-satunya rumahnya.

Page 43: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

43Volume XI Nomor 1/2016 | matajendela

Page 44: Mengartikulasikan Ruang Publik dan Karya Senitamanbudayayogyakarta.com/assets/uploadsck/files/MAJE edisi 1... · SENI BUDAYA YOGYAKARTA ... bisa melupakan penelaahannya pada soal-soal

44

Jathilan Ngesti Turonggo Budaya Kab. Sleman