67
MENGENAL KEBUDAYAAN JEPANG Created by : BUDI RAMLIANI BUDI RAMLIANI Nim : 12 562 058 Nim : 12 562 058

Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

MENGENAL KEBUDAYAAN JEPANG

Created by :

BUDI RAMLIANIBUDI RAMLIANINim : 12 562 058Nim : 12 562 058

Page 2: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

NOH DANCE• Noh atau No (Jepang: 能 Nō) ialah

bentuk utama drama musik Jepang klasik yang telah dipertunjukkan sejak abad ke-14. Noh tersusun atas mai (tarian), hayashi (musik) dan utai lagu-lagu). Pelakon menggunakan topeng dan menari secara lambat. Zeami Motokiyo dan ayahnya Kan'ami membawa Noh kepada bentuk terkininya selama masa Muromachi.

Page 3: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Budaya membungkuk di Jepang ini disebut dengan お辞儀 (ojigi). Ojigi adalah salah satu kegiatan dalam budaya orang Jepang untuk melakukan penghormatan bagi orang lain. Sikap membungkuk ini dilakukan pada saat pertemuan pertama dengan seseorang atau orang asing. Namun, sikap membungkuk ini kadang terlihat ketika sesorang sedang bercakap-cakap secara intens, hal tersebut mencerminkan bahwa sang pembicara sangat menghormati lawan bicara.

Tradisi Membungkuk Orang Jepang (Ojigi)

Bahkan ketika seorang karyawan menerima telepon dari atasannya pun akan membungkuk-bungkuk (padahal bicara lewat telepon kan tidak bertemu langsung). Ungkapan terimakasih dan maaf juga disertai dengan membungkukkan badan.

Page 4: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Sikap menghormati yaitu dengan menundukkan badan sedikit ke depan.biasanya dipakai saat mengucapkan

salam (aisatsu), mengucapkan selamat baik itu ulang tahun, kemenangan, dll. Juga dipakai pada saat meminta maaf.

Page 5: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Beberapa Jenis Membungkuk

Page 6: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA
Page 7: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

• Ada beberapa jenis cara membungkuk, yang pertama adalah mengangguk pelan, 5 derajat. Ini adalah jenis salam ketika kita bertemu dengan teman dekat, teman sebaya, orang yang umurnya lebih muda dari kita, dan orang yang pangkat atau kedudukan sosialnya lebih rendah dari kita. Yang kedua, membungkuk salam (Eshaku / 会 ) 15 derajat. Cara membungkuk ini sedikit lebih formal dan digunakan untuk memberi salam kepada orang-orang yang kita kenal tapi tidak akrab. Ketiga adalah membungkuk hormat (Keirei / 敬礼 ), 30 derajat. Ini adalah cara membungkuk yang sangat formal. Digunakan untuk menunjukan rasa hormat  kepada atasan atau kepada orang yang umurnya lebih tua.

Page 8: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

1. Anggukan kepala 5 derajat. 

Membungkuk artinya adalah untuk menghormati diri kalian sendiri, jadi jika kalian adalah seseorang dari kelas yang

lebih tinggi, kalian tidak perlu untuk menghormati diri kalian sendiri terlalu

banyak. Tetapi dengan membungkuk sedikit saja, setidaknya kalian mengakui orang lain

tersebut.

Jenis bungkukan ini sebenarnya hanya berupa anggukan kecil

kepala . Pastikan bahwa kepala kamu posisi nya lurus ke depan.

Anggukan ini biasanya digunakan kepada teman baik. Jenis

bungkukan ini lah yang paling casual atau sederhana

dibandingkan yang lainnya.Ada situasi lainnya di mana jenis bungkukan ini bisa digunakan.

Misalkan jika kalian adalah seorang dengan status yang lebih

tinggi, kalian dapat membalas bungkukan orang lain yang lebih rendah dari status kalian dengan

menganggukan kepala.

Page 9: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

2. Membungkuk 15 derajat, Eshaku ( 会釈 )

Biasanya dilakukan untuk menyapa orang secara sepintas. Misalnya jika kalian sedang terburu-buru mau pergi kerja dan di jalan kalian bertemu dengan teman kalian atau bertemu teman kalian ketika sedang jalan-jalan. Ingat sangatlah tidak sopan jika tidak membalas orang lain yang membungkuk kepada kalian.

Page 10: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

3. Membungkuk 30 derajat, Keirei ( 敬礼 ) 

Ini adalah derajat bungkukan yang paling banyak dilakukan untuk menyapa pelanggan atau berterimakasih pada seseorang. Tipe bungkukan ini paling banyak dilihat di dunia bisnis di Jepang dan tipe ini tidak digunakan untuk acara-acara formal. Tipe ini juga bisa digunakan untuk mengundang teman masuk ke rumah kalian.

Page 11: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

4. Membungkuk 45 derajat, Saikeirei ( 最敬礼 ) 

Tipe ini merupakan tipe yang paling formal. Biasanya digunakan untuk menandakan rasa syukur yang paling mendalam, salam hormat, permintaan maaf resmi, meminta bantuan, dan lain sebagainya.  Ini adalah cara menunjukkan rasa bersalah  yang sangat dalam ketika melakukan kesalahan.

Cara membungkuk ini juga digunakan untuk  memberikan hormat kepada orang-orang yang sangat tinggi jabatan dan status sosialnya, seperti Kaisar Jepang misalnya.

Page 12: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

5. Membungkuk hingga kepala menyentuh lantai (Berlutut) 

Tipe yang satu ini jarang sekali digunakan. Tipe ini biasa juga disebut zarei ( 座礼 ), ojigi yang dilakukan sambil duduk. Biasanya digunakan oleh acara-acara keagamaan tertentu atau acara-acara bela diri. Atau juga digunakan untuk menujukan permintaan maaf yang sangat sangat mendalam karena dia telah melakukan sesuatu yang sangat buruk.

Page 13: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA
Page 14: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

• Intinya, semakin kita menghormati orang tersebut, semakin dalam bungkukan kita. Semakin besar perasaan bersalah kita kepada seseorang, semakin dalam pula bungkukan kita. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia datang ke Jepang atau baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan.

Page 15: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

KABUKI• Kabuki adalah suatu seni

teater tradisional dari jepang.KABUKI adalah perkembangan dari tarian NOH, namun bedanya kalau NOH itu semua pemainnya menggunakan topeng,kalau kabuki hanya make up biasa saja. dan dialog antar pemain, di NOH menggunakan alat musik ,di kabuki dialog seperti teater pada umumnya. perkembangan kabuki dari noh ternyata terjadi pada 400 tahun yang lalu,pada masa HEIAN.

Page 16: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

BON ODORI• Acara menari bersama yang disebut Bon Odori (盆踊り ?, tari Obon) dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Buddha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka.Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas (matsuri) yang diadakan di Jepang. Pelaksanaan Bon Odori memilih saat terang bulan yang kebetulan terjadi pada tanggal 15 Juli atau 16 Juli menurut kalender Tempō. Bon Odori diselenggarakan pada tanggal 16 Juli karena pada malam itu bulan sedang terang-terangnya dan orang bisa menari sampai larut malam.

Page 17: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Belakangan ini, Bon Odori tidak hanya diselenggarakan di lingkungan kuil Shinto. Penyelenggara Bon Odori sering tidak ada hubungan sama sekali dengan organisasi keagamaan. Bon Odori sering dilangsungkan di tanah lapang, di depan stasiun kereta api atau di ruang-ruang terbuka tempat orang banyak berkumpul.Di tengah-tengah ruang terbuka, penyelenggara mendirikan panggung yang disebut yagurapasar malam untuk menciptakan keramaian agar penduduk yang tinggal di sekitarnya mau datang. Bon Odori juga sering digunakan sebagai sarana reuni dengan orang-orang sekampung halaman yang pergi merantau dan pulang ke kampung untuk merayakan Obon. untuk penyanyi dan pemain musik yang mengiringi Bon Odori. Penyelenggara juga sering mengundangBelakangan ini, jam pelaksanaan Bon Odori di beberapa tempat yang berdekatan sering diatur agar tidak bentrok dan perebutan pengunjung bisa dihindari. Penyelenggara Bon Odori di kota-kota sering mendapat kesulitan mendapat pengunjung karena penduduk yang tinggal di sekitarnya banyak yang sedang pulang kampung. Ada juga penyelenggara yang sama sekali tidak menyebut acaranya sebagai Bon Odori agar tidak dikait-kaitkan dengan acara keagamaan.

Page 18: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

SHODO• Shodo dalam bahasa jepang yang

artinya Kaligrafi (the Way of Brush) adalah salah satu bentuk seni yang telah di pelajari selama lebih dari 3000 tahun yang lalu. Pengetahuan akan seni kaligrafi adalah salah satu langkah yang penting di dalam memahami budaya Jepang. Kaligrafi bukan hanya sebuah latihan menulis yang baik, tetapi lebih merupakan awal mula nya bentuk seni dari oriental. Kaligrafi adalah sebuah kombinasi antara skill dan imajinasi seseorang yang telah belajar secara intensive penggunaan kombinasi-kombinasi garis-garis. (Kenji shodokai)

Page 19: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Ritual Matsuri

• Matsuri (祭 , Matsuri) adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti festival, perayaan atau hari libur perayaan.

Tiga matsuri terbesar* Gion Matsuri (Yasaka-jinja, Kyoto, bulan Juli)* Tenjinmatsuri (Osaka Temmangu, Osaka, 24-25 Juli)* Kanda Matsuri (Kanda Myōjin, Tokyo, bulan Mei)

Page 20: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Gion Matsuri

Page 21: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Shibuya Matsuri

Page 22: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi.

Page 23: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya.

Page 24: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan.

Page 25: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Pernikahan Jepang Di setiap negara mengakui

sucinya pernikahan melalui sebuah upacara pernikahan, tidak semuanya dibuat sama. Tradisi pernikahan di suatu negara mungkin terlihat sangat asing bagi masyarakat di negara lain.

Walaupun ada banyak cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto (cara-cara Dewa) adalah kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di Jepang di samping agama Budha.

Saat ini, adat pernikahan bergaya Barat, seperti ritual pemotongan kue, pertukaran cincin, dan bulan madu, sering kali dipadukan dengan adat tradisional Jepang.

Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh pendeta Shinto. Banyak hotel dan restauran yang dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus bagi upacara pernikahan.

Page 26: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Selama hari-hari keberuntungan tertentu dalam kalender Jepang, sangat lumrah untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam pernikahan Jepang di tempat suci Shinto.

Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Kemudian pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan san-sankudo. Selama ritual ini, mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, sejenis anggur yang terbuat dari beras yang difermentasikan, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan.

Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling berhadapan (umumnya kedua mempelai yang saling berhadapan). Setelah itu, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.

Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki (sejenis pohon keramat) yang ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan ritual Shinto adalah untuk mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa.

Prosesi singkat ini sederhana dalam pelaksanaannya namun sungguh-sungguh khidmat. Maknanya untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai secara rohani.

Page 27: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Apabila sepasang mempelai Jepang ingin melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yang murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan dicat putih dari kepala hingga ujung kaki yang melambangkan kesucian dan dengan nyata menyatakan status kesuciannya kepada para dewa.

Mempelai perempuan umumnya akan diminta memilih antara dua topi pernikahan tradisional. Satu adalah penutup kepala pernikahan berwarna putih yang disebut tsuni kakushi (secara harafiah bermakna "menyembunyikan tanduk"). Tutup kepala ini dipenuhi dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya di mana mempelai perempuan mengenakannya sebagai tudung untuk menyembunyikan "tanduk kecemburuan", keakuan dan egoisme dari ibu mertua - yang sekarang akan menjadi kepala keluarga.

Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria dan keluarganya.

Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Sebagai tambahan, merupakan kepercayaan tradisional bahwa rambut dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga umum bagi orang yang mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambutnya.

Page 28: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Hiasan kepala tradisional lain yang dapat dipilih mempelai perempuan adalah wata boushi. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan.

Mempelai pria mengenakan kimono berwarna hitam  pada  upacara pernikahan.

Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anak perempuannya dengan menurunkan tudung sang anak, namun, ayah dari mempelai perempuan mengikuti tradisi berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang Barat.

Seperti umumnya di Indonesia, para tamu yang diundang pada pesta pernikahan di Jepang, perlu membawa uang sumbangan dalam dompet mereka. Hal ini karena mereka diharapkan memberikan pasangan goshugi atau uang pemberian yang dimasukkan dalam amplop, yang dapat diberikan baik sebelum atau sesudah upacara pernikahan.

Di akhir resepsi pernikahan, tandamata atau hikidemono seperti permen, peralatan makan, atau pernak-pernik pernikahan, diletakkan dalam sebuah tas dan diberikan kepada para tamu untuk dibawa pulang.

Page 29: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Perayaan Bunga Sakura(O-Hanami) O-Hanami atau festival bunga sakura

bagi orang Jepang merupakan sangat dinanti. Festival ini dirayakan setiap akhir bulan Maret dan awal bulan April. Keindahan bunga sakura yang bermekaran merupakan kebanggaan tersendiri bagi orang Jepang. Bahkan mereka menganggap bunga sakura adalah bagian jiwa mereka. Karena itu, mekarnya bunga sakura menjadi moment yang paling spesial.  O-hanami juga dipakai sebagai tanda datangnya musim semi serta dimulainya tahun ajaran baru. Para remaja wanita tidak ketinggalan menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkan kimono-kimono baru mereka dan menggunakannya sepanjang perayaan.

Page 30: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Sejarah O-hanami Merayakan musim bunga sakura memang sudah dimulai sejak

Periode Nara (710-784) yang sebenarnya datang karena pengaruh Dinasti Tang dari Cina. AWalnya mereka lebih mengagum bunga Ume. Tapi saat periode Heian, sakura mulai menarik perhatian orang Jepang. Mulai dari situ O-hanami menjadi festival yang rutin dirayakan setiap tahun.Mekarnya bunga sakura juga dijadikan sebagai ritual keagamaan & digunakan sebagai tanda dari akhir tahun serta dimulainya musim bercocok tanam. Karena itu, banyak orang-orang Jepang yang berdoa di kuil atau berdoa di bawah pohon sakura.Pada periode Heian, hanya kalangan bangsawan yang selalu merayakan O-hanami ini. Kebiasaan ini kemudian masuk ke kalangan samurai & akhirnya menyebar sampai kalangan rakyat dari berbagai golongan pada periode Edo.

Perayaan O-hanami sedikit demi sedikit mulai berubah tujuannya. Dari merayakannya untuk ritual agama, menjadi bagian dari gaya hidup para samurai & kemudian menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan. Sedangkan di jaman modern ini, O-hanami lebih kepada acara pribadi &merupakan kesempatan untuk berkumpul & bersenang-senang.

Page 31: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Makanan Jepang (Sushi) Sushi ( 鮨 , 鮓 , atau biasanya すし , 寿司 ?) adalah

makanan Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk bersama lauk (neta) berupa makanan laut, daging, sayuran mentah atau sudah dimasak.[1] Nasi sushi mempunyai rasa masam yang lembut karena dibumbui campuran cuka beras, garam, dan gula.

Asal-usul kata sushi adalah kata sifat untuk rasa masam yang ditulis dengan huruf kanji sushi ( 酸し ?). Pada awalnya, sushi yang ditulis dengan huruf kanji 鮓 merupakan istilah untuk salah satu jenis pengawetan ikan disebut gyoshō ( 魚醤 ?) yang membaluri ikan dengan garam dapur, bubuk ragi ( 麹 koji?) atau ampas sake ( 糟 kasu?). Penulisan sushi menggunakan huruf kanji 寿司 yang dimulai pada zaman Edo periode pertengahan merupakan cara penulisan ateji (menulis dengan huruf kanji

Page 32: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Samurai

Pada era pemerintahan samurai, istilah awal yumitori (“pemanah”) juga digunakan sebagai gelar kehormat bagi sejumlah kecil panglima perang, walaupun pemain pedang telah menjadi lebih penting. Pemanah Jepang (kyujutsu), masih berkaitan erat dengan dewa perang Hachiman.

Etimologi : Perkataan samurai berasal pada sebelum zaman Heian di Jepang di mana bila seseorang disebut sebagai saburai, itu berarti dia adalah seorang suruhan atau pengikut. Hanya pada awal zaman modern, khususnya pada era Azuchi-Momoyama dan awal periode/era Edo pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 perkataan saburai bertukar diganti dengan perkataan samurai. Bagaimanapun, pada masa itu, artinya telah lama berubah.

Page 33: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Upacara Minum Teh

Upacara minum teh Jepang, juga disebut Jalan Teh, adalah tradisi budaya Jepang yang meliputi persiapan upacara dan presentasi dari apa yang dikenal sebagai matcha (bubuk teh hijau).

Jepang adalah terkenal di seluruh dunia untuk budaya dan pelestarian seni tradisional, kerajinan dan hiburan. Salah satu aspek yang paling populer dari kebudayaan Jepang tradisional adalah upacara minum teh Jepang.

Page 34: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Dalam bahasa Jepang, hal itu disebut chanoyu atau chadou. Para stlye sebenarnya yang di mana upacara dilakukan dikenal sebagai Otemae. Upacara minum teh pertemuan datang di bawah dua classifcations - ochakai atau chaji. Chakai adalah sederhana dari dua gaya pelayanan dan biasanya terdiri atas campuran cahaya cenderung, beberapa kue dan santai makan ringan pada kesempatan.

Chaji adalah pertemuan yang lebih formal, biasanya dengan makan kenyang-kursus masakan lebih kecil dikenal sebagai kaiseki, diikuti dengan kue, teh dan teh tebal tipis. Sebuah upacara chaji dapat menjalankan lebih dari empat jam dan sebagai tahun membutuhkan seperti pelatihan formal untuk menguasai dengan sempurna.

Page 35: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Teh awalnya diperkenalkan ke Jepang ketika biksu Eich? kembali ke Jepang dari China pada abad ke-9, membawa sejumlah sampel teh dengan dia. Ide minum teh apakah itu untuk tujuan pengobatan atau murni untuk kesenangan itu sudah populer di seluruh daratan Cina. Bubuk teh hijau pertama kali digunakan dalam upacara keagamaan di kuil-kuil Buddha. Pada abad 13 ketika kelas prajurit samurai memerintah seluruh Jepang, teh dan embel-embel yang terkait dengan itu konsumsi menjadi semacam simbol status di kalangan samurai. Hal ini menyebabkan mencicipi teh pihak yang memberikan kontestan kesempatan untuk memenangkan hadiah mewah untuk menebak teh kualitas terbaik.

Page 36: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

CHANOYU • Dengan sejarah yang merentang lebih dari seribu tahun, upacara

minum teh telah menjadi bagian penting bagi kebudayaan jepang.• Di Jepang, upacara minum teh dikenal sebagai ‘Chanoyu’ atau

‘Chado’, berkembang terutama dari pengaruh Buddhisme Zen.• Upacara minum teh bermula dari kebiasaan minum Matcha, yang

merupakan teh hijau bubuk.• Upacara minum teh digunakan mulai dari pertemuan informal

hingga untuk acara resmi yang berlangsung hingga beberapa jam.• Gaya penyajian upacara minum teh Jepang sangat berbeda,

tergantung pada waktu dan musim.• Penyajian dengan Kama (ketel besi) yang dipanaskan pada tungku

biasanya dilakukan pada musim panas, sedang pada musim dingin, teh disajikan dalam perapian cekung (Ro).

• Teh yang disajikan bisa encer atau kental, dengan hanya menggunakan daun teh berkualitas terbaik. Teh encer memiliki volume air 3 kali lebih banyak dibanding teh kental.

Page 37: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Origami Origami adalah sebuah seni lipat yang berasal dari

Jepang. Bahan yang digunakan adalah kertas atau kain yang biasanya berbentuk persegi. Sebuah hasil origami merupakan suatu hasil kerja tangan yang sangat teliti dan halus pada pandangan.

Origami merupakan satu kesenian melipat kertas yang dipercayai bermula semenjak kertas mula diperkenalkan pada abad pertama di Tiongkok pada tahun 105 oleh seorang Tiongkok dikasi yang bernama Ts'ai Lun.

Page 38: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Pembuatan kertas dari potongan kecil tumbuhan dan kain berkualitas rendah meningkatkan produksi kertas. Contoh-contoh awal origami yang berasal daripada Republik Rakyat Tiongkok adalah tongkang Tiongkok dan kotak.

Pada abad ke-6, cara pembuatan kertas kemudian dibawa ke Spanyol oleh orang-orang Arab. Pada tahun 610 di masa pemerintahan kaisar wanita Suiko (zaman Asuka), seorang biksu Buddha bernama Donchō (Dokyo) yang berasal dari Goguryeo (semenanjung Korea) datang ke Jepang memperkenalkan cara pembuatan kertas dan tinta.

Page 39: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Origami pun menjadi populer di kalangan orang Jepang sampai sekarang terutama dengan kertas lokal Jepang yang disebut Washi.

Washi (和紙 , Washi?) atau Wagami adalah sejenis kertas yang dibuat dengan metode tradisional di Jepang. Washi dianggap mempunyai tekstur yang indah, tipis tapi kuat dan tahan lama jika dibandingkan dengan jenis kertas lain.

Produksi washi sering tidak dapat memenuhi permintaan konsumen sehingga berharga mahal. Di Jepang, washi digunakan dalam berbagai jenis benda kerajinan dan seni seperti Origami, Shodō dan Ukiyo-e. Washi juga digunakan sebagai hiasan dalam agama Shinto, bahan pembuatan patung Buddha, bahan mebel, alas sashimi dalam kemasan, bahan perlengkapan tidur, bahan pakaian seperti kimono, serta bahan interior rumah dan pelapis pintu dorong.

Di Jepang, washi juga merupakan bahan uang kertas sehingga uang kertas yen terkenal kuat dan tidak mudah lusuh.

Page 40: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Sudoku Sudoku (数独 , sūdoku?), juga dikenal sebagai

Number Place atau Nanpure, adalah sejenis teka-teki logika. Tujuannya adalah untuk mengisikan angka-angka dari 1 sampai 9 ke dalam jaring-jaring 9×9 yang terdiri dari 9 kotak 3×3 tanpa ada angka yang berulang di satu baris, kolom atau kotak. Pertama kali diterbitkan di sebuah surat kabar Perancis pada 1895 dan mungkin dipengaruhi oleh matematikawan Swiss Leonhard Euler, yang membuat terkenal Latin square.

Versi modern permainan ini dimulai di Indianapolis pada 1979. Kemudian menjadi terkenal kembali di Jepang pada 1986, ketika penerbit Nikoli menemukan teka-teki ini yang diciptakan Howard Garns.

Nama "Sudoku" adalah singkatan bahasa Jepang dari "Suuji wa dokushin ni kagiru" (数字は独身に限る , "Suuji wa dokushin ni kagiru"?), artinya "angka-angkanya harus tetap tunggal".

Page 41: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

KODOMO NO HI

"kodomo no hi" yaitu hari anak2, salah satu hari libur nasional yg dirayakan anak2 (bagi anak laki2 maupun anak2 perempuan) dengan harapan mereka dpt tumbuh dengan sehat & bahagia.

KODOMO NO HI" = Perayaan hari anak di Jepang

pada mulanya, kodomo no hi merupakan "tango no sekku" yaitu festivel yg diselenggarakan untuk mengharapkan pertumbuhan, kesehatan, & kebahagiaan anak laki2 .

Page 42: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

kodomo no hi terbagi menjadi 2, yaitu :

"HINA MATSURI"= perayaan hari anak u/ anak2 perempuan.Festival boneka Hina biasanya diselenggarakan setiap tgl 3 Maret u/ memohon/mengharapkan kesehatan & kebahagiaan anak perempuan. Selama festival ini,klrg yg mmpnyai anak perempuan memajang seperangkat boneka "HINA"(hina ningyou) di rmhnya & mmpersembahkan sesajen yg terdiri dr bunga buah persik,hina arare,sake putih,dsb bagi boneka2 tsb.Awalnya hina matsuri mrpkn adat istiadat yg dilakukan masy. Cina pd zaman dulu,kemudian menyebar ke Jepang,dan sejak zaman EDO mengalami perkembangan & dilaksanakan sampai spt skrg ini.

Page 43: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Hina Matsuri

Page 44: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Koi nobori • koi nobori adalah perayaan untuk anak2 ( dikhususkan utk ank

laki2 ) di peringati setiap tanggal 5 bulan 5,• pada saat koi nobori anak2 menaikkan bendera bergambar ikan

koi di pekarangan, karena ikan koi disebut permata sungai dan di anggap begitu semangat karena bisa terbang bahkan melewati air terjun, dengan begitu para orang tua berharap agar anaknya tumbuh semangat, kuat dan sehat seperti ikan koi.

Page 45: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

"KOKESHI" Kokeshi,boneka kayu tradisional

Jepang yg dibuat sejak 200 th lalu pd pertengahan zaman EDO (1603-186). Boneka kayu ini pd umumnya ditemukan pd wilayah permandian onsen (air panas) di sepanjang Jepang & yg trbnyk adl. di wilayah Tohoku.Kdg disbt mainan/hiasan khas daerah Tohoku.Kokeshi brbntk boneka kayu yg menyerupai seorang putri,gadis kecil,atau wanita muda.Kokeshi dibuat dr kayu (pohon sakura,pohon mizuki,dsb) & terdiri dr 2 bagian tubuh yaitu bag. badan berbentuk silinder/lonjong,dan bag. kepala berbentuk bulat tanpa kaki & tangan.Bag. kepala digambari hidung,mata,mulut & rambut,dan bag.badan digambari pakaian tradisional Jepang.KINKAKUJI & GINKAKUJI (by Migoto Takamura)

Page 46: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Pd zaman Muromachi,krn pemr.Bakufu berpusat di Kyoto,maka hal2 yg bersifat militer & bersifat kebangsawanan melebur & mjd suatukebudayaan baru yaitu budaya militer & bangsawan (BUKE BUNKA)Kebudayaan baru tsb mrpkn kebudayaan yg sederhana & mendalam yg mndpt pengaruh dr Dinasti MING & YUAN di Cina.Kebudayaan ibukota meluas smpai ke daerah & di berbagai tempat lahir kebudayaan rakyat(MINSHU no Bunka).hasil kebudayaan pd zaman ini di bidang arsitektur bangunan yaitu : KINKAKUJI(kuil emas) & GINKAKUJI(kuil perak).

Page 47: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

INKAKUJI (KUIL EMAS)

Awalnya sebuah villa yg dibangun di daerah Kitayama (kyoto) o/ Ashikaga Yoshimitsu pada akhir abad 14 (Th 1397).

Kinakaku mengambil gaya arsitektur bangsawan & kuil ZEN di Cina yg seluruhnya dilapisi emas sehingga menjadi sebuah bangunan yg indah. pd th 1950, bangunan ini pernah rusak krn kebakaran,namun dibangun lagi hingga bentuknya spt skrg ini.

Page 48: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

BAJU TRADISIONAL JEPANGKIMONO

Kimono (着物  ) adalah pakaian tradisional Jepang. Arti harfiah kimono adalah baju atau sesuatu yang dikenakan (ki berarti paka i, dan mono berarti barang).  Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf “T”, mirip mantel berlengan panjang dan berkerah.Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang disebu tob i dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat dibagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalah zōri atau geta. Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode.

Page 49: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

[1] Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakanfurisod e untuk menghadiri seijin shiki. Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono.

[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayanwanita rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri dari furisode danuchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode untuk pengantin wanita berbeda dari furisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk furisod e pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiro muku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.

Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang

Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai wafuku (和服  , pakaian Jepang).

Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah gofuku (呉服  ). Istilah gofuku mulanya dipakai untuk menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di Jepang dari daratan Cina.

Page 50: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

2. Kimono wanita

• Terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono paling formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.

Page 51: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Kurotomesode • omesode adalah kimono paling formal

untuk wanita yang sudah menikah. Bila berwarna hitam, kimono jenis ini disebut kurotomesode (arti harfiah: tomesode hitam). Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon) di tiga tempat: 1] di punggung, 2] di dada bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian belakang lengan (kanan/kiri). Ciri khas kurotomesode adalah motif indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki) depan dan belakang. Kurotomesode dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara yang sangat resmi.

Page 52: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Irotomesode • Tomesode yang dibuat dari kain berwarna

disebut irotomesode (arti harfiah : tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas acara, pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu, tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono jenis irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu untuk datang memakai kurotomesode, misalnya resepsi di istanakaisar. Sama halnya seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode adalah motif indah pada suso.

Page 53: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Furisode

• Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian kain. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah.

Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda, atau hatsu mode. Pakaian pengantin wanita yang disebut hanayome ishōte r masuk salah satu jenis furisode.

Page 54: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Houmongi Hōmon-gi ( 訪問着 , arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak.

Ciri khas homongi adalah motif diseluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru.

Page 55: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Iromuji

• Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada). Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut, merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan lambang keluarga di 5tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan.Bila menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.

Page 56: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Tsukesage • Tsukesage adalah kimono

semiformal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya setingkat dibawah houmongi. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga. Tsukesage dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan, pesta resmi, atau merayakan tahun baru.

Page 57: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Komon

Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil-kecil yang berulang.

Page 58: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Tsumugi

Bahan yang dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk bekerja di ladang.

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-haridi rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan.

Page 59: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Yukata Yukata (浴衣 , baju sesudah mandi) adalah jenis kimono yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis. Dibuat dari kain yang mudah dilewati angin, yukata dipakai agar badan menjadi sejuk di sore hari atau sesudah mandi malam berendam dengan air panas. Menurut urutan tingkat formalitas, yukata adalah kimono nonformal yang dipakai pria dan wanita pada kesempatan santai di musim panas, misalnya sewaktu melihat pesta kembang api, matsuri (ennichi), atau menari pada perayaan obon. Yukata dapat dipakai siapa saja tanpa mengenal status, wanita sudah menikah atau belum menikah.

Gerakan dasar yang harus dikuasai dalam nihon buyo selalu berkaitan dengan kimono. Ketika berlatih tari, penari mengenakan yukata sebagai pengganti kimono agar kimono berharga mahal tidak rusak karena keringat. Aktor kabuki mengenakan yukata ketika berdandan atau memerankan tokoh yang memakai yukata. Pegulat sumo memakai yukata sebelum dan sesudah bertanding.Musim panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri di Jepang. Jika terlihat orang memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada matsuri atau pesta kembang api.

Page 60: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

3. Kimono pria • Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap

seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.• Kimono paling formal berupa setelan montsuki 

hitam dengan hakama dan haori • Bagian punggung

montsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional.

Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.

Page 61: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Kimono santai kinagashi

• Pria mengenakan kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang keluarga.

Page 62: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Geta • Geta ( 下駄 ) adalah alas kaki tradisional Jepang yang dibuat dari

kayu. Pada bagian alas (dai) terdapat tiga buah lubang untuk memasukkan tali berlapiskain yang disebut hanao ( 鼻緒 ). Dua buah hak yang disebut ha (“gigi”) terdapat di bagian bawah alas (sol).

• Geta dipakai di luar ruangan sewaktu mengenakan yukata atau kimono yang bukan kimono formal. Hak tinggi pada geta memudahkan pemakainya berjalan melewati jalan becek ketikahujan.

• Geta dipakai dengan kaki telanjang (sewaktu mengenakan yukata) atau dengan

• mengenakan kaus kaki yang disebut tabi. Cara memakai geta seperti cara memakai sandal

• jepit, hanao dijepit di antara ibu jari dan telunjuk kaki. Sewaktu mengenakan yukata, geta

• dipakai dengan kaki telanjang. Pemandian air panas (onsen) dan penginapan tradisional

• (ryokan) biasanya menyediakan geta yang bisa dipinjam oleh tamu.• Menurut pendengaran orang Jepang, “karankoron” adalah

bunyigeta ketika dipakai berjalan. Dalam mitologi Jepang, Tengu mengenakan geta berhak satu seperti dikenakan biksu yang sedang melatih diri di hutan dan gunung.

Page 63: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Harakiri

• Seppuku lebih dikenal dengan istilah harakiri ( "merobek perut") yang juga ditulis dengan huruf kanji sebagaimana penulisan pada seppuku, tapi menggunakan urutan terbalik dengan okurigana. Pada tradisi Jepang, istilah seppuku lebih formal.

Page 64: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Kebudayaan Musim Gugur

• Shunbun no hi

• Bagi aliran agama Budha di Jepang, hari ekuinoks musim gugur merupakan saat memulai upacara Shuki Higan-e yang berlangsung seminggu untuk mendoakan para leluhur.

Page 65: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Shichi- go- san

• Adalah nama upacara di Jepang yang merayakan pertumbuhan anak berusia 3,5 dan 7 tahun. Perayaan dilakukan setiap tahun sekitar 15 November.

Umur- umur tersebut dipercaya sebagai tonggok sejarah dalam kehidupan dan angka ganjil menurut tradisi dipercaya sebagai pembawa keberuntungan.

Page 66: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

Mandi Es ala Orang Jepang

Usai Berdoa, para peserta berlari mengelilingi halaman tempat suci Kanda Myojin ini, barulah kemudian melangkah ke dalam kolam air es. Dalam temperatur musim dingin yang menantang, mereka pun menyiramkan air es ketubuh mereka sendiri- sebuah aksi yang dipercaya akan memurnikan jiwa mereka dan membawa keberuntungan. Mandi di air dingin, atau berdiri di bawah air terjun mini ini adalah suatu upacara tradisional pembersihan Agama Shinto Jepang. Pada hari digelarnya tradisi tersebut, temperature udara di Tokyo turun sebesar tiga derajat Celcius, atau menjadi 37 derajat Farenheit. Tokyo, Jepang, NTDTV.

Orang Jepang mandi air es dalam upacara ritual Tahun Baru. Masyarakat Tokyo Jepang memiliki sebuah tradisi unik Menyambut Tahun Baru. Puluhan warga Jepang menyiramkan air es dingin ke seluruh tubuh mereka sendiri dalam upacara tradisional pembersihan jiwa pada sebuah tempat suci di Tokyo, Jepang. Upacara tersebut Bertujuan Membersihkan Jiwa. Puluhan Warga Tokyo ini mengawali tradisi Mandi Es dengan memanjatkan doa bersama yang diiringi nyanyian. Mereka hanya mengenakan celana pendek atau celana dalam tradisi yang berlangsung pada hari Sabtu, 10 Januari 2009.

Page 67: Mengenal Kebudayaan Jepang WARNA

TERIMA KASIHARIGATOU GOZAIMASU

DESAIN BY BUDI RAMLIANI