23
1

Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

  • Upload
    lythuy

  • View
    237

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

1

Page 2: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

ii

Mengevaluasi Karakter dan Arah

Teologi Feminis Kristen di Indonesia

ProsidingSeminar dan Lokakarya Teologi Feminis

Kerjasama PERSETIA dengan PERUATI dan STT Jakarta

Diterbitkan oleh PERSETIAJakarta, 2015

Page 3: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

iii

Prosiding Seminar dan Lokakarya Teologi FeminisTema: “Mengevaluasi Karakter dan Arah Teologi Feminis Kristen di Indonesia”Kerjasama PERSETIA dengan PERUATI dan STT JakartaWisma Samadi, Jakarta, 17-20 Juli 2013ISBN: 978 979 3130 14 9

Editor: Yusak Soleiman, Ph.D H. Ongirwalu, M.Th Danang Kurniawan, S.Si (Teol) Ratnawati Lesawengen, S.Si (Teol)

Tata-letak dan sampul Danang Kurniawan

Kulit Sampul: Drupadi: Tokoh Perempuan dalam dunia wayang, istri Yudistira (sulung dari Pandawa). Setelah dipertaruhkan dalam perjudian antara Yudistira dan Duryudana (Kurawa), ia mengalami pelecehan di depan umum (hendak ditelanjangi). Semua orang bungkam. Drupadi meratap dan bersumpah pada suatu saat kemerdekaan akan tiba baginya dan seluruh Pandawa. Ia merupakan inspirasi kemerdekaan. Semua sumpah itu terbukti pada perang Baratayudha (dinarasikan oleh editor)

Penerbit: PERSETIA Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia Association of Theological Schools in Indonesia Jl. Proklamasi 27, Jakarta 10320, Indonesia Tel/Fax. +62 (0)21.3915089 Web: www.persetia.com Email: [email protected]

Page 4: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

vii

Daftar Isi

KATA PENGANTAR iv

SAMBUTAN PANITIA v

KERANGKA ACUAN SEMINAR DAN LOKAKARYA TEOLOGI FEMINIS ix

SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan Teologi Feminis Kristen-Indonesia dalam Pendidikan Teologi Kristen, Gereja, dan Masyarakat Indonesia 1

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki 19

TEOLOGI FEMINIS DI INDONESIA :Upaya Menjejaki Perkembangannya 37

Teologi Feminis di Fakultas Teologi UKIT Tahun 1991/1992 – 2013 51 Tonggak-Tonggak Gerakan Feminis dan Inisiatif Tologi Feminis di Asia & Indonesia 67Pendekatan Historis terhadap Wacana dan Perkembangan Teologi Feminis di Indonesia 81

Agustina Lumentut dan Perubahan Sosial di Sulawesi Tengah 89Tranformasi Pela dan Kristologi demi Kebersamaan Hidup di Maluku 99

LITURGI FEMINIS: Liturgi yang Merangkul 123

Page 5: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

viii

TRAGEDI ‘65 di NUSA TENGGARA TIMUR Makna dan Dampaknya dalam Pandangan Perempuan Korban 129

Pengembangan Wacana Teologi Feminis di Ranah Gereja 135

Wacana Teologi Feminis di GKP 143

Pembebasan dan Transformasi Perempuan (Pelayanan Pendampingan Women Crisis Center GKPS “Sopou Damei” terhadap Perempuan Korban Kekerasan di Wilayah Siantar – Simalungun) 153

Peta Pemikiran dan Perkembangan Teologi Feminis di Indonesia 171

PEMETAAN: Usul untuk sebuah alat bantu Perspektif seorang anggota pengurus PERSETIA 177

DOING THEOLOGY AS ASIAN WOMEN: tinjauan oleh John C. England dkk., dalam Asian Christian Theologies - a research guide to authors, movements, sources 181

Lokakarya I 185

Lokakarya 2 191

Lokakarya 3 201

Silabus-silabus 209

Jadwal Semiloka Teologi Feminis 2013 223DAFTAR REGISTRASI PESERTA SEMILOKA TEOLOGI FEMINIS WISMA SAMADI, KLENDER, JAKARTA, 17 - 20 JULI 2013 227

Page 6: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

19

Teologi Feminis:Sebuah Perspektif Laki-Laki

Joas Adiprasetya, Th.D1

PENGANTAR

J ika fokus seminar dan lokakarya ini diletakkan pada teologi feminis Kristen, maka terdapat beberapa makalah yang diharapkan memberikan perspektif 360°, sebab masing-

masing pemakalah menyajikan pemaparannya entah dari perspektif non-perempuan, non-Kristen, atau non-teologi. Saya diminta untuk memberi sumbangan untuk kategori pertama, yaitu teologi Kristen dari perspektif non-perempuan. Undangan yang saya terima ini saya sambut dengan penuh kegembiraan, sebab harus diakui bahwa selama ini diskursus tentang teologi feminis hampir selalu

1 Joas Adiprasetya ([email protected]) adalah pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang ditugaskan menjadi dosen penuh waktu di STT Jakarta untuk bidang Teologi Sistematika; kini menjadi Ketua STT Jakarta. Makalah ini dipersiapkan untuk dan disampaikan pada sesi pertama (17 Juli 2013) Seminar dan Lokakarya Teologi Feminis, kerjasama PERSETIA, Peruati, dan STT Jakarta, di Jakarta pada 17-20 Juli 2013.

19

Page 7: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

20

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

didominasi oleh kaum perempuan, seolah-olah teologi feminis adalah persoalan perempuan belaka. Padahal, semakin dalam kita menyelami persoalan perempuan, semakin kita dicelikkan untuk melihat kenyataan bahwa laki-laki tak boleh diabaikan dari percakapan perihal teologi feminis, entah karena laki-laki adalah bagian utama dari permasalahan atau karena laki-laki dapat saja justru menjadi objek marginalisasi dari proses percakapan yang sangat penting ini.

Sepengetahuan saya, tidak terlalu acap ditemukan seorang teolog laki-laki Indonesia yang mengkhususkan diri pada penelitian mengenai teologi feminis dari perspektif laki-laki. Beberapa teolog laki-laki melakukannya namun bukan sebagai sebuah fokus utama penelitiannya.2 Di dalam konteks Barat, usaha ini lebih mudah ditemukan. Namun demikian, kita juga harus memahami perbedaan jenis dan bobot persoalan antara teologi Barat dan Timur. Misalnya, karakter Bahasa Indonesia membuat masalah inclusive language tidaklah sedalam persoalan linguistik di Barat. Persoalan di Indonesia pada khususnya dan Timur pada umumnya lebih terletak pada internalisasi kultural dari patriarkhi dan bukan pada bahasa patriarkhal, sekalipun yang terakhir ini tetap juga tak boleh diabaikan. Di dalam konteks Indonesia, pengolahan kembali bahasa tidak serta-merta menyelesaikan persoalan ketimpangan gender. Dalam hal ini, benarlah yang dikatakan oleh Brian Wren: “Perubahan bahasa tidaklah sepenuhnya penting: jika ia segala-galanya maka mengubah bahasa akan menjadi satu-satunya yang dibutuhkan untuk mengubah dunia” (Wren 1989, 82). Mengubah sebutan “Bapa”

2 Saya sendiri tidak merasa layak menyebut diri seorang teolog femi-nis, sekalipun tema ini sudah lama menjadi perhatian penting dalam penelitian teologi yang saya lakukan. Tulisan pertama saya tentang tema ini dimuat dalam jurnal Sophia (Adiprasetya 2000).

Page 8: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

21

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

pada Allah dengan “Ibu,” misalnya, tidak serta-merta membuat teo-logi (atau tealogi) mendadak menjadi peka gender.

Karena itu, dalam kesempatan ini, saya memilih untuk tidak menyinggung beberapa isu—misalnya, bahasa inklusif—karena kadar persoalan yang menurut hemat saya tidak menjadi masalah utama. Namun, saya pun juga memilih untuk tidak memasuki sebuah wilayah yang terlampau kompleks untuk saya tangani secara singkat, seperti persoalan sosial, politik, hukum, budaya, dan ekonomi dari isu laki-laki dan perempuan, sepenting apa pun sesungguhnya isu-isu tersebut. Saya lebih memilih untuk memusatkan perhatian pada bagaimana teologi feminis diolah di dalam dunia pendidikan teologi dari perspektif laki-laki. Juga, berbekal kompetensi saya di bidang teologi sistematika, saya akan memberikan beberapa usulan tentang mengapa dibutuhkan teologi feminis yang lebih konstruktif.

MATAKULIAH TEOLOGI FEMINIS ATAU PERSPEKTIF FEMINIS?

Di STT Jakarta, demikian pula di banyak sekolah tinggi teologi saya kira, teologi feminis diajarkan sebagai sebuah matakuliah tersendiri. Hal ini, di satu sisi, menggembirakan, sebab dengan demikian diakuilah tempat teologi feminis di dalam kurikulum pendidikan tinggi teologi. Akan tetapi, praktik semacam ini dapat juga bermasalah. Bayangkan jika sebuah institusi pendidikan tinggi teologi hanya menawarkan satu matakuliah teologi feminis (2 sks) dari tumpukan 144-160 sks yang diwajibkan bagi sebuah program S1—sungguh tidak memadai sama-sekali. 3

3 Di STT Jakarta, untuk kurikulum 2009-2013, setiap mahasiswa/i S1 wajib menyelesaikan 140 sks matakuliah wajib dan 20 sks matakuliah pilihan,

Page 9: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

22

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

Pendekatan yang kedua menurut hemat saya lebih tepat diusahakan, yaitu pengarusutamaan (mainstreaming) perspektif teologi feminis ke dalam seluruh bangunan kurikulum, sehingga terdapat sebanyak mungkin matakuliah yang ditawarkan yang berperspektif feminis. Pendekatan ini tentu saja masih tetap dapat mengkhususkan satu atau beberapa matakuliah teologi feminis. Dengan kata lain, selain perspektif feminis yang implisit muncul di dalam seluruh bangunan kurikulum, matakuliah teologi feminis yang lebih eksplisit tetap dimungkinkan.

Dengan pendekatan ini hendak ditegaskan bahwa seluruh percakapan teologis haruslah berperspektif feminis. Peneraan “feminis” pada “teologi” tidak bersifat pilihan, seolah-olah ada teologi yang berwatak feminis dan ada teologi yang tidak berwatak feminis. Dalam hal ini benarlah yang dikatakan oleh Rosemary R. Ruether, bahwa “teologi apa pun yang dapat dipahami tanpa acuan pada feminisme merupakan sejenis teologi yang khusus, yaitu teologi patriarkal” (Ruether 1985, 7013).

Tentu saja pendekatan kedua ini punya masalahnya sendiri. Pertama, sejak awal sebuah kurikulum dirancang, perspektif feminis ini harus dimunculkan secara sadar dan sengaja. Ia tak bisa sekadar diandaikan atau dihimbau untuk diusahakan oleh para dosen yang mengampu matakuliah-matakuliah non-teologi feminis. Kedua, para dosen yang mengampu matakuliah-matakuliah non-teologi feminis harus sungguh-sungguh memiliki kepekaan gender dan pemahaman yang memadai mengenai teologi feminis. Tanpa itu semua, bisa jadi keinginan menghadirkan perspektif feminis ke dalam silabus justru berujung pada promosi pemahaman yang bertentangan dengan

di luar matakuliah matrikulasi wajib (20 sks). Maka, seorang mahasiswa/i dapat lulus ketika menyelesaikan minimal 180 sks. Di dalam kurikulum tersebut, matakuliah teologi feminis diajarkan pada semester 8 dengan bobot 2 sks.

Page 10: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

23

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

semangat kesetaraan laki-laki dan perempuan. Untuk mempersiapkan makalah ini, saya mengadakan

sebuah survei sederhana dengan responden para dosen laki-laki di STT Jakarta—baik dosen tetap maupun dosen tidak tetap—yang mengajar beragam matakuliah pada semester genap 2013.4 Terdapat 21 dosen laki-laki yang mengajar pada semester tersebut, di luar saya sendiri. Dari jumlah tersebut 9 orang mengembalikan lembar pertanyaan yang saya kirimkan via surel. Tak satu pun dari ke-21 dosen tersebut mengampu matakuliah teologi feminis.

Dari 9 responden, hanya 2 responden yang menyatakan tidak memasukkan isu perempuan atau gender secara langsung, namun satu dari dosen ini menegaskan bahwa di dalam proses pembelajaran muncul pertanyaan dan diskusi dari mahasiswa/i seputar isu tersebut, sedangkan dosen kedua menyatakan bahwa fokus matakuliah yang diampunya adalah penggembalaan dan diakonia, yang menurutnya tidak kena-mengena dengan isu perempuan dan gender.

Terkait dengan pertanyaan, apakah sebuah sekolah tinggi teologi perlu mengajarkan matakuliah khusus untuk tema teologi feminis, jawaban yang muncul beragam dan sangat memperkaya. 1. Satu orang dosen menjawab tidak perlu, sebab isu ketimpangan

gender dan ketidakadilan terhadap perempuan dapat dimasukkan ke dalam rubrik yang lebih luas, yaitu teologi suara marginal.

2. Tiga orang dosen menjawab dapat dilakukan, entah dalam matakuliah tersendiri atau diintegrasikan ke dalam matakuliah-matakuliah lain. Dari ketiga orang ini terdapat dua argumen tambahan yang menarik. Satu orang menyatakan kekuatiran

4 Terima kasih saya ucapkan untuk Agustinus Setiawi, Bambang Subandrijo, Besly Messakh, Hendrik Ongirwalu, Jan Aritonang, Mulyadi, Robert Borrong, Stephen Suleeman, dan Yonky Karman atas partisipasi mereka dalam survei sederhana ini.

Page 11: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

24

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

terciptanya “segmentasi teologi” (teologi untuk laki-laki dan teologi untuk perempuan); satu orang dosen lainnya mengusulkan agar diperluas cakupannya, sebab “tidak adil bila kuliah terbatas mengenai perempuan saja.”

3. Lima orang dosen menyatakan sangat perlu. Di sini beberapa variasi sikap muncul. Satu orang berpendapat bahwa konteks Indonesia menuntut diberikannya matakuliah teologi feminis; satu orang mendesak perlunya meletakkan isu perempuan dan gender dalam perspektif sosial yang lebih luas, sehingga yang dibahas bukan “teori ahli-ahli melulu;” kemudian satu orang dosen memberi catatan bahwa matakuliah teologi feminis perlu diberikan secara khusus asalkan “bukan sebagai sebuah semangat ‘pemberontakan’ melainkan lebih kepada upaya penyadaran dan keterbukaan.”

Terkait dengan nama matakuliah—jika ditawarkan—empat orang dosen mengusulkan “Teologi Feminis” sebagai nama baku yang perlu dipertahankan; empat orang mengusulkan pemakaian nama “teologi dan isu (kesetaraan) gender;” sementara itu satu orang mengusulkan “teologi suara marginal” atau “teologi komprehensif/inklusif.”

Secara umum, saya dapat mengajukan tiga catatan. Pertama, sebagian besar dosen laki-laki di STT Jakarta melihat perlunya teologi feminis diajarkan, baik sebagai satu matakuliah tersendiri maupun sebagai perspektif yang meresap ke dalam matakuliah-matakuliah lain. Kedua, tampak jelas bahwa mayoritas dosen laki-laki STT Jakarta tersebut memahami problematika teologi feminis sekaligus kegunaannya bagi konteks Indonesia, sekalipun di sana-sini saya melihat masih adanya beberapa prasangka tertentu terhadap apa yang disebut sebagai feminisme maupun teologi

Page 12: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

25

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

feminis. Ada yang menguatirkan munculnya “segmentasi teologi,” ada yang menguatirkan munculnya “semangat pemberontakan,” atau yang memiliki kesan bahwa teologi feminis kerap mengalami teoretisasi berlebihan dan tidak down-to-earth. Ketiga, terkait dengan pembedaan standar dan mendasar antara seks dan gender, lima dosen memahami bahwa yang terakhir merupakan konstruksi sosial-kultural. Empat dosen lain tampak tidak mendefinisi gender secara jelas, entah “menunjuk kepada hakikat manusia secara lebih luas,” “mencakup pula aspek-aspek lain yang tidak hanya berkaitan dengan seks atau seksualitas,” “peran, fungsi, perilaku dan watak,” atau “lebih netral dan abstrak.” Ketidakjelasan ini memberi indikasi kuat bahwa para dosen laki-laki di dunia teologi perlu sungguh-sungguh mendalami teologi feminis sebelum mereka terlibat ke dalam proses pembelajaran teologi feminis melalui matakuliah-matakuliah yang mereka ampu.

PERSPEKTIVISME TERBUKA DAN TITIK-BUTA TEOLOGIS

Akhirnya, saya perlu menambahkan masalah ketiga terkait dengan dipakainya pendekatan “perspektif feminis” di dalam pendidikan teolog, yang muncul dalam kaitan dengan multiplisitas perspektif dan tendensi titik-titik buta (blindspots atau scotoma) dalam teologi mana pun. Maksud saya begini. Kita acap mendengar bahwa pendidikan teologi harus peka pada isu ini dan itu, berperspektif ini dan itu (gender, perempuan, LGBTIQ, rekonsiliasi, disabilitas/difabilitas, ekologis, HAM, dan seribu satu isu lain). Coba bayangkan jika masing-masing mengklaim “jatah”-nya ke dalam setiap matakuliah yang diajarkan—kita akan memiliki sebuah kurikulum yang letih dan berbeban berat.

Page 13: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

26

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

Tentu saja, kita dapat memberi argumen lain, bahwa isu perempuan dan gender memiliki status khusus, sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Amartya Sen, “Konflik-konflik kepentingan antara laki-laki dan perempuan tidaklah sama dengan konflik-konflik lainnya, seperti misalnya konflik kelas. Seorang buruh dan seorang kapitalis tidak secara tipikal hidup bersama di bawah atap yang sama—berbagi kepedulian-kepedulian dan pengalaman-pengalaman dan bertindak bersama. Aspek ‘kebersamaan’ ini memberi kepada konflik gender beberapa karakteristik yang sangat khas” (Sen 1990, 147). Akan tetapi, tetap saja kita disadarkan bahwa tak mudah untuk merancang sebuah kurikulum atau matakuliah yang bersifat multiperspektival.

Belum lagi jika kita memahami bahwa setiap perpekstif teologis mana pun senantiasa “terjerat” ke dalam apa yang dapat saya sebut titik-buta teologis (theological blindspots atau theological scotoma). Perjuangan untuk mengedepankan gagasan ideal tertentu kerap berdampak samping pengabaian atas gagasan ideal lainnya. Kita sudah sangat mengenal, misalnya, kritik para womanis kulit hitam terhadap para teolog feminis Barat kulit putih, yang mengabaikan perspektif ras dalam perjuangan mereka. Ras dengan demikian menjadi titik-buta dari para feminis Barat kulit putih. Namun, baik para feminis dan womanis dikritik karena mereka toh tergolong ke dalam masyarakat Global North dan mengabaikan para perempuan Asia dan Afrika di Global South.

Contoh lain, adalah perjumpaan antara teologi feminis dan teologi disabilitas. Amos Yong, misalnya, menunjukkan bahwa sejarah panjang teologi feminis yang berjuang bagi otonomi perempuan yang kerap terhadap heteronomi laki-laki ternyata tidak serta-merta harmonis dengan gagasan utama teologi disabilitas

Page 14: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

27

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

yang memperjuangkan pemahaman mengenai manusia yang saling-bergantung dan saling-membutuhkan (Yong 2007, 123). Teologi disabilitas, sebaliknya, melihat kerapuhan dan kebergantungan sebagai karakter manusiawi dan tak perlu ditentang, sebagaimana yang selalu dilakukan oleh para feminis. Jelaslah bahwa pemunculan teologi disabilitas menyibak titik-buta teologis dari para teolog feminis dan memaksa mereka untuk mereinterpretasi beberapa watak dasar teologi feminis yang selama ini dianggap begitu saja benar. Hal yang sama bisa kita tunjukkan sehubungan dengan beberapa perspektif lain, misalnya LGBTIQ.

Singkatnya, semua teologi, termasuk teologi feminis, harus menyadari titik-buta serta perspektif sempitnya masing-masing. Tidak pernah ada teologi mana pun yang mampu menyediakan sebuah perspektif mata-elang atau perspektif “helikopter” yang serba-cakup dan utuh. Ketika perspektivisme semacam ini diingkari, teologi feminis dengan mudah terjatuh ke dalam situasi yang memungkinkannya menjustifikasi ketidakadilan dan penindasan baru yang justru selama ini ditentangnya, Sebaliknya, beranjak dari kesadaran ini sebuah teologi feminis yang terbuka pada kemajemukan perspektif dapat dibangun ulang, dalam kerjasama dengan laki-laki maupun dengan seks dan gender lainnya, dengan penghargaan pada dimensi kemanusiaan lain yang memunculkan perspektif lain yang mungkin selama ini luput diapresiasi oleh teologi feminis. Perspektivisme terbuka dan generous semacam ini dapat menghindarkan teologi feminis dari sebuah isolasionisme sekaligus menempatkan teologi feminis ke dalam arak-arakan perjuangan pemanusiaan yang relasional, setara, dan merdeka.5

5 Atas dasar inilah saya bisa bersimpati pada usulan Agustinus Setiawidi yang, di dalam jawabannya atas survei sederhana saya, mengusulkan agar teologi

Page 15: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

28

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

LAKI-LAKI DAN TEOLOGI FEMINISDi dalam survei sederhana yang saya kerjakan, muncul sebuah pertanyaan tentang apakah dosen laki-laki perlu memasukkan isu feminisme atau gender dalam matakuliah yang diampunya? Tak seorang pun dari kesembilan dosen laki-laki tersebut memberikan jawaban negatif, sekalipun jawaban yang muncul pun bervariasi, mulai dari “bisa saja,” sampai dengan “wajib.” Di balik pertanyaan dan jawaban-jawaban di atas, tersirat pemahaman umum bahwa teologi feminis bukanlah dominasi kaum perempuan. Kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan perjuangan keduanya.

Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang teolog laki-laki yang mengajar teologi feminis di Georgetown University, Chester Gillis berkeyakinan bahwa pencapaian dan kontribusi perempuan akan sepenuhnya diakui di bidang teologi jika laki-laki dan perempuan terlibat secara setara di dalam proses pembelajaran teologi feminis. Argumen bahwa teologi feminis hanya bisa dan boleh diampu oleh perempuan, berdasarkan pengalaman khas perempuan, justru akan menyingkirkan dosen-dosen perempuan dalam kurikulum pendidikan teologi dan lebih jauh malah mengisolasi gagasan-gagasan teologi feminis, yang sebenarnya harus diperjuangkan untuk masuk ke dalam arus-utama kurikulum teologi (Gillis 1990, 255). Lebih lanjut, menurut Gillis, pandangan bahwa teologi feminis merupakan sebentuk pengetahuan yang secara eksklusif menjadi milik perempuan merupakan “sebuah gnostisisme baru” yang harus ditolak, sebab, pengalaman perempuan yang tak dapat dialami pada level eksperiensial oleh laki-laki semustinya dapat diakses oleh laki-laki sekalipun hanya pada level reflektif dan kritis (Gillis 1990, 255).

feminis dimasukkan ke dalam rubrik yang lebih inklusif yang disebutnya “teologi kaum marginal.”

Page 16: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

29

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

Tentu saja kehadiran laki-laki di dalam diskursus teologi feminis tidak perlu serta-merta berarti bahwa mereka mengikuti langgam percakapan yang ditetapkan oleh para teolog feminis perempuan. Sebab, jika demikian, teologi feminis menjadi sebuah desain-agung yang dengan mudah mengkooptasi laki-laki ke dalam bingkainya. Para laki-laki dapat juga menawarkan perspektif laki-laki mereka ke dalam diskursus teologi feminis. Salah satu tema kontemporer yang cukup berkembang adalah konsep redemptive masculinities yang dipahami sebagai identifikasi dan karakterisasi maskulinitas yang life-giving dan transformatif di tengah ketimpangan gender yang mengakar dalam masyarakat, dengan tujuan “munculnya laki-laki yang bekerja ke arah pembebasan penuh dari perempuan, anak, dan sesama laki-laki.”1 Diskursus oikoumenis ini secara metodologis mengerjakan “refleksi kritis atas Alkitab, teologi, sejarah, budaya dan identitas, ras, kelas, kasta, suku, dan struktur-struktur kelas yang mendukung dan membingkai ketidakadilan gender” (Sheerattan-Bisnauth 2010, 4).

TEOLOGI FEMINIS KONSTRUKTIFBagi saya yang berlatar-belakang teologi sistematika, salah satu persoalan yang selalu menahan lajunya perkembangan teologi feminis di Indonesia adalah kurangnya diskursus yang lebih konstruktif sifatnya. Hampir dua dekade lalu, Rosemary R. Ruether menengarai hal yang sama. Ia menegaskan tiga momen atau tahap

1 Istilah lain yang kerap dipakai adalah liberating masculinities, pro-gressive masculinities, troubling masculinities, positive masculinities, atau trans-formative masculinities.Lihat (Chitando and Chirongoma 2012, 28). Tema ini semakin jamak dipercakapkan, termasuk oleh WCC dan WCRC. Sebuah dokumen oikoumeneis resmi yang dilansir oleh kedua badan internasional tersebut dapat diperoleh di http://www.wcrc.ch/sites/default/files/ Positive Masculinities Gender Manual_0.pdf. Lihat (Sheerattan-Bisnauth and Peacock 2010).

Page 17: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

30

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

dalam perkembangan teologi feminis, yang tampaknya telah berlangsung di konteks Indonesia: kritik atas bias maskulin di dalam teologi, penemuan tradisi alternatif yang menopang jatidiri otonom perempuan, dan usaha menemukan kembali norma dan metode teologi feminis (Ruether 1985). Akan tetapi, apa yang tak berkembang cukup baik di Indonesia, menurut hemat saya, adalah ketika ketiga momen tersebut berlangsung tidak secara konstruktif. Dalam kata-kata Ruether,

Di sinilah teolog feminis harus bekerja, yaitu tidak sekadar sebagai seorang pengkritik dari masa silam atau sebagai seorang ahli sejarah yang berusaha menyibak sesuatu dari kisah kita yang terhilang, namun sebagai seorang teolog konstruktif bagi sebuah komunitas iman masa kini, bagi sebuah pemahaman kontemporer mengenai gereja yang berusaha menghidupi imannya sebagai pertobatan dari seksisme, eksodus dari patriarki, dan usaha memasuki sebuah kemanusiaan baru. (Ruether 1985, 709-710; italic dari saya)2

Salah satu kendala kurang berkembangnya teologi feminis konstruktif, di Indonesia khususnya, adalah karena terjebaknya para feminis pada metodologi teologi yang itu-itu saja, khususnya yang berporos pada pengalaman sebagai titik-pijak utama proses berteologi dan prosedur teologi kontekstual yang cenderung linear.3

2 Ruether mencatat lebih lanjut dua hal yang penting untuk menghindar-kan proses konstruktif tersebut menjadi sebuah usaha isolasionistik. Pertama, teologi feminis konstruktif harus menjaga ketegangan antara kontinuitas dan diskontinuitas dengan tradisi Kristen sejak masa silam; kedua, teologi feminis konstruktif perlu memahami bahwa relasi dengan institusi teologis yang terlanjur ada sembari sekaligus membentuk institusi otonomnya. Kedua hal ini tampaknya sudah mulai berkembang di Indonesia.

3 Saya telah mengajukan kritik atas metode “lingkaran hermeneutis” yang lazim dipakai di kalangan teologi kontekstual, pembebasan, dan feminis serta mengusulkan sebuah model berteologi yang lebih multitekstual (Adipra-

Page 18: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

31

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

Dua dari banyak kelemahan ini membuat teologi feminis terjebak ke dalam “imperialisme metodologis,” untuk meminjam kata-kata Paul Tillich (Tillich 1973, 60).

Singkatnya, apa yang dibutuhkan sesungguhnya adalah sebuah proses yang secara kreatif dan imajinatif mengkonstruksi (dan juga merekonstruksi) teologi berperspektif feminis dengan berbagai metodologi yang tidak fixed dan baku. Apa yang saya sajikan berikut adalah beberapa vignettes yang tak terlalu terstruktur, selain baik saya akan memanfaatkan tiga dimensi utama filosofis dan teologis, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan (truth, goodness, and beauty), yang kiranya dapat mengilustrasikan pentingnya dimensi konstruktif dari teologi (berperspektif) feminis.

Kartografi (Dimensi Kebenaran)Yang pertama, dengan memandang penting kreativitas

metodologis, teologi feminis tidak serta-merta mengusulkan sebuah “diskontinuitas total dengan masa silam,” demikian Ruether, namun ia dapat mencipta “kisah baru yang dibangun di atas kisah-kisah lama dari tradisi Kristen dan membayangkan ulang (re-envisions) kisah-kisah lama tersebut” (Ruether 1985, 711). Dengan nada yang sama, Serene Jones mengilustrasikan para teolog feminis sebagai kartografer yang “menganalisis dan mengarahkan ulang penanda-penanda konseptual yang dipakai oleh orang-orang Kristus untuk menggambarkan medan iman mereka” (Jones 2000, 19; bdk. Jones and Lakeland 2005).

Metafora kartografi ini secara cerdas menjaga ketegangan antara kontinuitas teologi feminis dengan teologi Kristen sepanjang sejarah sekaligus diskontinuitas keduanya. Ia merupakan usaha

setya 2014b; forthcoming).

Page 19: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

32

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

rekonstruksi sekaligus konstruksi, menata-ulang sekaligus mencipta. Apa yang dipetakan mungkin saja tetap sama, namun cara pemetaan dan peta yang dihasilkan akan jauh berbeda, sebab sang kartografer memakai perspektif yang berbeda dalam membentangkan petanya. Ia secara bebas memilih dimensi mana yang lebih penting dari yang lain, locus theologicus apa yang dipandang bermasalah, dan sebagainya.

Apa yang terpenting pada akhirnya dengan model kartografi adalah fungsi ikoniknya dalam menuntun kita menuju kebenaran. Sama seperti sebuah peta sangat mungkin menyesatkan, sebuah teologi yang dikonstruksi dapat saja menyesatkan. Namun, tugas kartografis dari teologi konstruktif-feminis tidak ingin berpretensi menciptakan sebuah peta yang realistik, sebab realitas itu sendiri sangat loaded dengan beban ideologis (termasuk ideologi patriarkal). Teologi konstruktif hasil dari proses kartografis adalah sebuah pemetaan ulang yang menawarkan lokasi, jalan, serta wilayah baru yang tadinya dianggap tak relevan oleh peta teologi laki-laki, serta jika perlu menghilangkan lokasi, jalan, serta wilayah lama yang dapat menyesatkan manusia pada jalan buntu diskriminasi atau lereng curam patriarkalisme.

Bricolage (Dimensi Keindahan)Kartografi sebagai teologi feminis konstruktif lazimnya lebih

memusatkan perhatian pada tema-tema (loci) teologi klasik dengan pemetaan baru. Ia berurusan dengan koherensi pemikiran antar-loci di dalam tradisi Kristen namun ditata-ulang dengan perspektif feminis. Metode konstruktif yang pantas dipertimbangkan di dalam teologi feminis lain adalah metode bricolage, yang berusaha

Page 20: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

33

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

mengkonstruksi pemikiran dengan bahan apa pun yang ada di depan kita. Bahan-bahan tersebut bisa saja direkonstruksi terlepas dari intensi asalinya, namun kini didesain dengan sebuah imajinatif berperspektif baru. Gagasan yang awalnya dilontarkan oleh seorang strukturalis asal Prancis, Claude Levi-Strauss, ini digambarkan sebagai usaha “membangun puri-puri ideologis yang diambil dari reruntuhan sesuatu yang semula menjadi sebuah diskursus sosial” (Lévi-Strauss 1966, 21n).4

Bricolage teologis tidak terlalu memusingkan koherensi, sebab yang dikerjakan oleh sang bricoleur adalah sebuah proses penciptaan-makna (meaning-making) dan dengan demikian ia menjadi sebuah karya artistik-estetik. Berlawanan dengan teologi sistematika, maka teologi dengan metodologi bricolage akan menciptakan sebuah teologi nir-sistematika—sebuah schizotheology.5 Keterpecahan (schizo-) tidak dipandang sebagai abnormalitas—dengan demikian mitos normalitas dan normativitas ditolak—melainkan sebuah pengalaman dan entitas baru yang unik namun sekaligus relasional. Pada saat bersamaan, sebuah schizotheology feminist merayakan multiplisitas yang menjadi prasyarat dari sebuah bricolage teologis. Tak ada lagi uni-versalitas, melainkan pluri-versalitas.

Transversalitas (Dimensi Kebaikan)Pengakuan dan penghargaan pada pluriversalitas relasional

dan penolakan pada semua penunggalan atau absolutisasi dari sebuah

4 Saya berkenalan dengan gagasan bricolage ini pertama kali dari seorang etikus, Jeffrey Stout dalam bukunya, Ethics after Babel (Stout 1988), namun kemudian dikembangkan secara mendalam untuk diskursus feminis oleh Katharine Matthaei Sprecher (Sprecher 2011). 5 Saya secara sengaja memodifikasi gagasan Gilles Deleuze dan Félix Guat-tari, yang menganalogiskan bricolage dengan cara produksi schizoanalytic (Deleuze and Guattari 1983, 7)

Page 21: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

34

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

universalitas pada akhirnya mengundang kita untuk memandang keberagamaan—termasuk keberagaman seks dan seksualitas—secara berbeda, yaitu melalui sebuah jalan baru memahami kebaikan kehidupan. Jalan baru tersebut sekaligus menghargai hak setiap orang untuk mengklaim universalitasnya dan untuk tidak dikooptasi oleh universalitas orang lain. Singkatnya pluriversalitas sama artinya dengan beragam universalitas. Atau, dengan kata lain, pluriversalitas tidak sama dengan absolusitas namun beragam partikularitas.

Nah, jalan baru penghargaan pada kebaikan hidup tersebut menuntun kita untuk menyinggahi setiap universalitas melalui sebuah etika transversal,6 yaitu sebuah model etis yang—untuk memakai gagasan Yuval-Davis dan para feminis Italia lain—mendorong perempuan untuk mengakarkan diri pada identitas komunalnya (rooting) sekaligus menoleh (shifting) pada sang liyan tanpa bermaksud menghomogenisasi mereka (Yuval-Davis 1997, 88, 92, 130). Sebuah teologi konstruktif yang memakai perspektif transversalitas dengan demikian berani secara imajinatif melintasi dan mengunjungi beragam budaya, beragam orientasi seksual, beragam keyakinan religius, beragam komunitas serta mengkolasekan (baca: bricolage), dengan bahan-bahan dari hasil kunjungan tersebut, sebuah desain teologis yang lebih dialogis, manusiawi, estetis, dan setara.7

6 Saya berkenalan dengan gagasan bricolage ini pertama kali dari seorang etikus, Jeffrey Stout dalam bukunya, Ethics after Babel (Stout 1988), namun kemudian dikembangkan secara mendalam untuk diskursus feminis oleh Katharine Matthaei Sprecher (Sprecher 2011). 7 Dalam mempersiapkan makalah ini, akhirnya saya makin menyadari inilah konsekuensi yang belum sempat saya tuangkan dalam artikel saya mengenai teologi multitekstual (Adiprasetya 2014b). Namun, di pihak lain, saya sempat mengimajinasi-kan gagasan transversalitas ini ke dalam teologi agama-agama saya, dengan menawar-kan sebuah model pneumatologis transversal; lihat (Adiprasetya 2014a)

Page 22: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

35

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

DAFTAR ACUANAdiprasetya, Joas. 2000. Spiritualitas perempuan: Sebuah pengantar

dari kacamata seorang laki-laki. Sophia: Jurnal berteologi perempuan Indonesia 1, no. 2.

________. 2014a. An imaginative glimpse: The Trinity and multiple religious participations. Eugene, OR: Pickwick, Wipf&Stock. (akan terbit)

________. 2014b. Towards an Asian multitextual theology. Exchange. (akan terbit)

Chitando, Ezra and Sophie Chirongoma. 2012. Introduction. In Redemptive masculinities, ed. Ezra Chitando and Sophie Chirongoma: 1-28. Geneva: WCC Publications.

Deleuze, Gilles and Félix Guattari. 1983. Anti-Oedipus: Capitalism and schizophrenia. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Gillis, Chester. 1990. Teaching feminist theology: A male perspective. Horizons 17, no. 2: 244-255.

Jones, Serene. 2000. Feminist theory and Christian theology: Cartographies of grace. Minneapolis: Fortress Press.

Jones, Serene and Paul Lakeland, eds. 2005. Constructive theology: A contemporary approach to classical themes. Minneapolis: Fortress Press.

Lévi-Strauss, Claude. 1966. The savage mind. Chicago: University of Chicago Press.

Ruether, Rosemary R. 1985. The future of feminist theology in academy. Journal of the American academy of religion 53, no. 4: 703-713.

Schrag, Calvin O. 1992. The resources of rationality: A response to the postmodern challenge. Bloomington: Indiana University Press.

Sen, Amartya. 1990. Gender and co-operative conflicts. In Persistent inequalities: Women and world development, ed. Irene Tinker: 123-149. Oxford: Oxford University Press.

Sheerattan-Bisnauth, Patricia. 2010. Introduction. In Created in God’s image: From hegemony to partnership: A church manual on men as partners: Promoting positive masculinities, ed. Patricia Sheerattan-Bisnauth and Philip Vinod Peacock: 2-6. Geneva: WCC & WCRC.

Sheerattan-Bisnauth, Patricia and Philip Vinod Peacock, eds. 2010. Created in God’s image: From hegemony to partnership: A church manual on men as partners: Promoting positive masculinities. geneva: WCC & WCRC.

Sprecher, Katharine Matthaei. 2011. Decolonial multiculturalism and local-global contexts: A postcritical feminist bricolage for

Page 23: Mengevaluasi di Indonesia - Karya Ilmiah STT Jakarta ...karyailmiah.sttjakarta.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Prosiding... · SEBUAH DRAFT: Mengarus-utama-kan ... feminis Kristen,

36

Teologi Feminis: Sebuah Perspektif Laki-Laki

developing new praxes in education. Ph.D. diss., University of Tennessee, Knoxville.

Stout, Jeffrey. 1988. Ethics after Babel: The languages of morals and their discontents. Boston: Beacon Press.

Tillich, Paul. 1973. Systematic theology, vol. I. Chicago: University of Chicago Press.

Wren, Brian A. 1989. What language shall I borrow? God-talk in worship: A male response to feminist theology. New York: SCM Press.

Yong, Amos. 2007. Theology and down syndrome: Reimagining disability in late modernity. Waco, TX: Baylor University Press.

Yuval-Davis, Nira. 1997. Gender and nation. London & Thousand Oaks, CA: Sage Publications.