Menggapai Keadilan Konstitusi-Suatu Rekomendasi Untuk Revisi UU Mahkamah Konstitusi

  • Upload
    hans-rs

  • View
    99

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

  • MENGGAPAI KEADILAN KONSTITUSI

    SUATU REKOMENDASI UNTUK

    REVISI UU MAHKAMAH KONSTITUSI

    KRHN USAID DRSP

    @2008

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Mengapa UU MK Harus Diubah?

    Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam system ketatanegaraan Indonesia, telah

    memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan negara hukum yang demokratis.

    Kehadiran MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dapat dianggap sebagai

    kemenangan terhadap supremasi hukum dan konstitusi yang dicita-citakan. Sebagai bagian dari

    kekuasaan peradilan, MK adalah institusi peradilan yang bisa menjaga dan menjamin

    terlaksananya pemenuhan hak-hak konstitusi (basic rights) warga negara. MK merupakan

    perwujudan mekanisme cheks and balances, yang berfungsi membatasi kekuasaan mayoritas,

    sekaligus bertindak sebagai hakim yang dapat menundukkan masalah politik sesuai dengan rel

    konstitusi. Jadi, betapa penting dan strategisnya peranan MK dalam kehidupan bermasyarakat

    dan bernegara.

    Peranan itu berangkat dari perubahan evolusioner terhadap prinsip-prinsip

    konstitusionalisme, yang menghendaki produk legislasi harus merujuk dan bersumber pada

    perintah imperative konstitusi. Hal itu terjadi seiring dengan menyusutnya gagasan kedaulatan

    parlemen dalam praktek demokrasi, sekaligus menguatnya gagasan centralized system sebagai

    akibat dari lunturnya kepercayaan terhadap decentralized system1 dalam kekuasaan peradilan.

    Gagasan-gagasan tersebut kemudian dirumuskan dalam perubahan konstitusi baru, yang

    digunakan pula sebagai koreksi terhadap system pemerintahan otoriter oleh rezim

    pemerintahan demokratis. MK merupakan salah satu pertandanya, dan kemudian tumbuh

    berkembang di negara-negara demokrasi baru di kawasan Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin

    dan Asia.2 Tak terkecuali Indonesia, yang telah memutuskan membentuk MK melalui

    amandemen konstitusi (UUD 1945) pada tahun 2001.

    1 System decentralized mengandung pengertian bahwa kewenangan untuk menentukan konstitusionalitas produk legislasi

    dilakukan oleh semua organ pengadilan (hakim). Sedangkan centralized system adalah kebalikannya, yang hanya memberikan

    kewenangan tersebut kepada satu institusi peradilan. Mengenai hal ini lihat dalam, Mauro Cappelletti, The Judicial Process in

    Comparative Perspective, Oxford Universyty Press, 1989, hal. 132-133.

    2 Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge University

    Press, 2003, hal. 8-10.

  • Sejak terbentuk Agustus 2003, hingga kini MK telah menjalankan 3 (tiga) dari 5 (lima)

    kewenangan yang telah ditentukan konstitusi. Kewenangan tersebut adalah untuk menguji

    undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (constitutional review), memutus sengketa

    kewenangan konstitusional antarlembaga negara, dan memutus sengketa hasil pemilihan

    umum. Sejak awal pembentukan hingga saat ini, kewenangan menguji konstitusionalitas

    undang-undang, merupakan kewenangan yang paling sering dilakukan. Kurang lebih dua puluh

    (20) perkara pengujian undang-undang yang diperiksa dan diputus MK dalam setiap tahun.

    Untuk Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), MK telah memeriksa dan memutus 10

    perkara. Pada perkara sengketa hasil pemilu tahun 2004, MK telah memutus 45 perkara dari

    kasus yang diajukan 23 partai politik, 21 perkara yang diajukan anggota DPD, dan 1 perkara

    diajukan oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.3 Sedangkan kewenangan lainnya,

    berkaitan dengan pembubaran partai politik dan pemakzulan (impeachment) Presiden

    dan/atau Wakil Presiden, hingga kini belum dilakukan.

    Bersamaan dengan pelaksanaan kewenangan tersebut, MK membangun dan

    mengembangkan organisasi kelembagaannya (capacity building). Selain telah memiliki gedung

    yang sangat representative, MK berhasil membangun system administrasi peradilan (judicial

    administration system) yang dapat memberikan kemudahan akses dan pelayanan yang baik

    kepada publik. Publik, terutama para pemohon dapat memperoleh informasi setiap

    perkembangan perkara yang ditangani MK. Putusan-putusan MK, tidak hanya dapat diketahui

    dengan cepat melalui publikasi media massa dan website MK, tetapi dapat diperoleh secara

    gratis. Dengan kata lain, prinsip-prinsip peradilan yang cepat, mudah, murah dan transparan

    telah diterapkan oleh MK. Suatu hal yang nampaknya masih sulit dipraktekkan pada institusi

    peradilan umum ataupun institusi negara lainnya.

    Kendati demikian, selama ini dirasakan pula sejumlah permasalahan dalam praktek

    penyelenggaraan MK. Permasalahan yang seringkali menjadi sorotan adalah berkenaan dengan

    putusan-putusan yang dikeluarkan MK, terutama dalam perkara pengujian konstitusionalitas

    undang-undang. Tidak jarang putusan MK sangat kontroversial, yang kemudian menimbulkan

    pro-kontra. Dalam hal ini, beberapa putusan diantaranya dianggap merupakan putusan yang

    progressif dan bersejarah (landmark decisions). Sebaliknya, ada juga putusan-putusan yang

    3 Lihat dalam, Empat Tahun Mengemban Amanat Konstitusi 2003-2007, Mahkamah Konstitusi, 2007, hal. 19.

  • kemudian dinilai janggal, membingungkan sekaligus mengecewakan.4 Kontroversi lainnya

    adalah, ketika sejumlah putusan MK dinilai melanggar prinsip yang melarang hakim

    mengabulkan melebihi tuntutan atau permohonan (ultra petita).5 Terkadang dalam mengadili

    dan memutus perkara, MK bertindak melampui kewenangan dengan memasuki ranah legislasi.

    Bahkan kemungkinan besar terjadi conflict of interest ketika MK harus menilai dan mengadili

    dirinya sendiri.

    Disisi lain, putusan MK seringkali tidak segera ditindaklanjuti dengan merevisi undang-

    undang yang telah dibatalkan. Pemerintah dan DPR sangat lamban dan cenderung tidak

    merespon secara positif putusan-putusan MK. Ini bisa berakibat terjadinya kekosongan hukum.

    Pada kenyataan lain juga menunjukkan bahwa, putusan MK yang bersifat final dan mengikat

    (final and binding), terkadang bak macan diatas kertas. Bergigi tapi tidak begitu efektif.

    Putusan final merupakan putusan pertama dan terakhir, yang dapat dimaknai tidak ada lagi

    upaya hukum yang bisa ditempuh. Putusan final yang semestinya dipatuhi, faktanya malah

    diabaikan bahkan ditolak oleh aktor-aktor negara judicial maupun non judicial.6 Akan tetapi,

    bagaimana jika dalam putusan final terdapat kekeliruan? Hal ini pernah terjadi misalnya dalam

    perkara sengketa hasil pemilu, dimana MK dinilai salah hitung yang berakibat hilang atau

    bergesernya hak kursi seseorang.7 Bagaimana dengan putusan MK dalam perkara lainnya?

    Meski sebagian belum terlaksana, tidak tertutup kemungkinan akan menghadapi persoalan

    yang sama.

    Bisa jadi kontroversi dalam putusan MK, karena ada sudut pandang, pemahaman dan juga

    kepentingan yang berbeda dalam memaknainya. Sebagaimana hakim MK yang kerap kali

    berbeda tafsir atau pendapat (dissenting atau concurring opinion) dalam putusan.

    Kemungkinan pula karena pengaruh dari keluasan dimensi issue atau persoalan (politik,

    4 Beragam penilaian dari sejumlah kalangan antara lain, Asian Human Rights Comission (AHRC), MK Gagal Mencatat Sebuah

    Sejarah Dalam Gerakan HAM di Indonesia, Publikasi, 2 Nopember 2007; Adnan Buyung Nasution, Quo Vadis Hukum dan

    Peradilan Indonesia, Kompas, 22 Desember 2006; Todung Mulya Lubis, Tiga Putusan MK, Kompas, 31 Januari 2005; Refly

    Harun, Kontroversi Putusan MK, Koran Tempo, 22 Pebruari 2005; Marwan Mas, Pro Kontra Putusan Judicial Review MK,

    Sinar harapan, 4 Agustus 2004.

    5 Misalnya, putusan MK terhadap UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan; UU No. 40/2004 tentang Jaminan Sosial Nasional;

    UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial; UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi.

    6 Lihat, Theo Divonis 6 Tahun, Putusan MK Tak Dipakai, Kompas, 26 Agustus 2006. Juga UU Migas: MK Ingatkan Presiden

    untuk Patuhi Putusan MK, Majalah Mingguan Gatra, 10 Oktober 2005; PGRI Tolak Putusan MK, Radar Cirebon, 18 April 2008.

    7 Lihat, Sifat Final dan Mengikat Putusan MK Digugat Lewat Permohonan Fatwa,

    http://hukumonline.com/detail.asp?id=10539&cl=Berita, diakses 16 April 2008; Juga, Suara Pembaruan, MK Diminta Koreksi

    Putusan Perkara Dahlan Rais, 18 Juni 2004.

  • ekonomi, hak asasi manusia, pidana, dan perdata) yang mesti diputus MK dalam perkara

    pengujian undang-undang. Sehingga memaksa putusan MK bersikap moderat, tetapi disisi lain

    menjadi tidak tegas. Demikian halnya ketika putusan MK tidak implementatif, besar

    kemungkinan karena selalu dihadang oleh kompleksitas masalah yang mengemuka ditahap

    aplikasi putusan final. Namun jika dibiarkan terus berlangsung, dapat dipastikan akan

    melahirkan ketidakadilan, menciptakan ketidakpastian hukum dan hilangnya kepercayaan

    terhadap MK. Ini tentunya menjadi persoalan serius yang perlu dicarikan jalan keluarnya.

    Disadari bahwa putusan-putusan MK memiliki dampak yang luas bagi kehidupan

    bermasyarakat dan bernegara. Beragam persoalan dan respon yang muncul mengiringinya,

    mendorong keinginan kuat untuk melihat dan mempertanyakan kembali peraturan perundang-

    undangan tentang MK. Sejauh mana peraturan perundang-undangan, khususnya UUMK (UU

    No.24/2003), telah mengatur secara lengkap dan memadai. Sebab, putusan sebagai hasil dari

    pelaksanaan kewenangan, memerlukan tatacara (hukum acara) yang dapat menuntun dan

    menjadi pedoman terlaksananya kewenangan dengan baik. Adakah yang keliru dalam

    pengaturannya, ataukah belum secara lengkap UUMK mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

    hukum acara? Apabila UUMK sudah mengatur secara lengkap, sejumlah persoalan yang muncul

    dapat diantisipasi. Tentunya selain dapat mendukung pelaksanaan kewenangan yang akan

    berpengaruh terhadap putusan yang akan diambil.

    Sebagaimana diketahui UUMK memang belum memberikan pengaturan secara lengkap

    bagi kebutuhan terselenggaranya peranan MK. Masih terdapat sejumlah pertanyaan atau

    permasalahan dalam UUMK yang memerlukan rincian, penjelasan dan penegasan lebih lanjut.8

    Kelemahan dan kekurangan itu dirasakan ketika UUMK diterapkan, terutama dalam hal ketika

    MK menjalankan tugas dan wewenang konstitusionalnya. Berbagai kelemahan dan

    permasalahan dalam UUMK tentu saja memerlukan perbaikan dan perubahan. Perubahan yang

    setidaknya dapat dilakukan secara komprehensif, tidak hanya menyangkut aspek hukum acara,

    akan tetapi menyangkut juga persoalan lain yang diperlukan bagi pengembangan dan

    penguatan peranan MK kedepan.

    8 Catatan-catatan terhadap sejumlah permasalahan yang ada dalam UU MK, setidaknya dapat dilihat dalam, KRHN, Hukum Dan

    Kuasa Konstitusi, KRHN, 2004. Bandingkan pula dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Fajrul Falakh dalam,

    Konstitusi Dalam Berbagai Lapisan Makna Jurnal Konstitusi, Vol. 3 Nomor 3, 2006, hal. 112-114.

  • Sekalipun MK telah membuat beberapa Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), terutama

    berkaitan dengan hukum acara, kode etik dan pedoman perilaku bagi hakim konstitusi, serta

    tata cara untuk pemilihan Ketua MK. Namun demikian, PMK tersebut belum cukup memadai

    untuk menutupi kelemahan UUMK dan menunjang pelaksanaan kewenangan MK kedepan.

    Selain karena legitimasinya kurang kuat, meskipun dibenarkan atas perintah UUMK, PMK tidak

    bisa digunakan untuk menjawab dan mengatasi seluruh kekurangan dan problem yang muncul

    dari UUMK. Misalnya, bagaimana seleksi hakim konstitusi dapat dilakukan secara transparan

    dan partisipatif, bagaimana membuat pengawasan bagi MK, bagaimana sebaiknya mekanisme

    dan hukum acara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jelas beberapa issue atau

    persoalan tersebut tidak cukup diatur dan diatasi hanya melalui PMK. Jadi harus melalui revisi

    UUMK.

    Kebutuhan revisi UUMK ini kemudian mendapatkan dorongan dari putusan MK. Dalam

    perkara uji materi UU Komisi Yudisial (UUKY) dan UU Kekuasaan Kehakiman (UUKK),

    dinyatakan dalam putusannya;9

    Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-langkah penyempurnaan UU KY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu

    Melalui putusan tersebut, MK meminta kepada DPR dan Presiden untuk melakukan perbaikan

    terhadap UU MK bersama UU lainnya dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi. Meski pada

    dasarnya materi pokok permohonan dan putusan menyangkut soal pengawasan hakim oleh

    KY. Perintah putusan MK kepada DPR dan Presiden itu, merupakan sebuah dorongan dan

    kesempatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan dalam UUMK. Ini

    fenomena menarik, karena revisi atau perubahan UUMK didorong dan dikehendaki sendiri oleh

    MK.

    Dalam putusan lainnya, setidaknya dapat dikatakan bahwa MK telah mengubah sendiri

    salah satu ketentuan dalam UUMK. Ketentuan tersebut adalah Pasal 50 yang mengatur tentang

    larangan bagi MK untuk menguji undang-undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945.10

    9 Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 201.

    10 Pasal 50 UU MK mengatur bahwa, Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang

    diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam penjelasannya

  • Pasal 50 ini sebelumnya dikesampingkan, ketika MK memutus permohonan perkara pengujian

    UU MA No. 14/1985 yang diajukan oleh Machri Hendra, seorang hakim dari Padang (perkara

    Nomor: 004/PUU-I/2003). Setahun kemudian, lewat putusan pengujian UU No. 1/1987

    tentang Kamar Dagang & Industri yang diajukan bersama UUMK oleh DR. Elias Tobing,

    ketentuan Pasal 50 tersebut dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

    mengikat. Konsekwensi dari putusan tersebut, MK kemudian menerima dan memutus sejumlah

    permohonan pengujian undang-undang yang lahir sebelum amandemen UUD 1945.11

    Saat ini revisi UUMK sudah diagendakan dalam Prolegnas tahun 2008. Artinya, dari segi

    politik legislasi telah ada kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah untuk segera

    membahas dan merevisi UUMK. Bersamaan dengan hal itu, berkembang keinginan kuat dari

    kalangan parlemen untuk membatasi kewenangan MK.12 Sekalipun tidak sepenuhnya tepat, bisa

    dipahami kegelisahan dan kemarahan kalangan DPR, karena terkadang begitu mudahnya

    MK membatalkan produk undang-undang yang dihasilkan. Mereka menganggap kewenangan

    MK terlalu luas, dan berkehendak mambatasi kewenangan MK. Hal ini cukup

    mengkhawatirkan, dan malah akan menimbulkan persoalan baru. Jika sudah berkembang

    menjadi wacana politik dan melembaga, maka yang terjadi adalah resistensi yang berpotensi

    mengancam eksistensi dan peranan MK. Hingga pada gilirannya dapat memperlemah upaya

    penegakan hak-hak konstitusi dan proses demokratisasi yang sudah berjalan. Tentunya, bukan

    hal seperti itu yang kita inginkan bukan?.

    Berangkat dari uraian diatas, alasan mengapa UUMK harus diubah dapat disimpulkan

    sebagai berikut:

    1. Situasi dan kondisi yang berkembang dalam praktek penyelenggaraan MK disertai

    akibatnya, memerlukan pengaturan lebih lanjut didalam UUMK.

    2. Terdapat sejumlah kelemahan dan kekurangan dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur

    dalam UUMK.

    dikatakan, Yang dimaksud dengan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

    perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.

    11 Contohnya, MK telah memutus perkara pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Eggy

    Sudjana (No. 013-022/PUU-IV/2006) dan Dr. R. Panji Utomo (No. 06/PUU-V/2007), serta UU No. 22/1997 tentang Narkotika

    (No. 2-3/PUU-V/2007).

    12 Lihat, Ketika Putusan MK Gelisahkan Dewan, Sinar Harapan, 22 Desember 2006; Juga Kewenangan MK Akan Dibatasi,

    Kompas, 20 September 2006.

  • 3. Sebagai akibat dari putusan-putusan MK, yang telah membatalkan ketentuan dalam UUMK

    dan merekomendasikan perubahan atau perbaikan terhadap UUMK.

    4. Adanya kebutuhan kedepan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan kewenangan MK,

    terutama dalam hal kebutuhan bagi pengembangan organisasi/kelembagaan.

    B. Proyeksi Dan Tujuan Perubahan

    Perubahan UUMK haruslah senantiasa diarahkan untuk memperjelas gambaran MK sebagai

    lembaga penjaga konstitusi (the Guardian of Constitution). Hal itu diperlukan agar keadilan

    berdasarkan konstitusi (constitutional justice) semakin tercapai, serta diletakkan dalam konteks

    memperkuat kebutuhan cheks and balances serta perlindungan hak asasi dalam kerangka

    negara hukum yang demokratis. Dalam pengertian bahwa, kekuasaan negara tidak hanya

    berdasarkan konstitusi, tapi negara tunduk pula terhadap pengawasan hukum. Akan tetapi

    pengawasan oleh lembaga hukum, memerlukan pula suatu pertanggungjawaban yang dapat

    dikreasikan dan diatur dalam perundang-undangan. Sebab, jika pengawasan hukum atas

    kekuasaan negara tidak memadai, maka negara akan terperosok kedalam negara kekuasaan

    (machstaat). Dan bila pengawasan kekuasaan peradilan tanpa pertanggungjawaban, maka

    peradilan akan kehilangan kepercayaan (distrust of justice) karena penuh penyimpangan dan

    penyalahgunaan wewenang. Perubahan UUMK ini, setidaknya dapat pula diharapkan menjadi

    sarana untuk meneguhkan kewibawaan MK sebagai institusi peradilan, mempermudah upaya

    pencapaian keadilan dan kepastian hukum.

    Yang kita inginkan pula dalam revisi UUMK adalah, perbaikan-perbaikan atas kelemahan

    yang ada dalam UUMK. Perbaikan yang diperlukan untuk menunjang keberadaan serta

    terlaksananya tugas dan kewenangan konstitusional MK dengan baik. Dimaksudkan pula untuk

    mengatasi kebutuhan dan problem-problem yang muncul pada saat praktik penyelenggaraan

    MK selama ini. Dalam hal lain, perbaikan UUMK tidak hanya bagi keperluan sinkronisasi dan

    harmoniasi dengan perundang-undangan lainnya, tetapi dapat pula menjawab keperluan

    pengawasan yang mencerminkan pelaksanaan cheks and balances terhadap MK. Sejatinya,

    kesemuanya itu menjadi sarana bagi pemenuhan keadilan, perlindungan hak-hak konstitusi

    serta penguatan demokratisasi yang masih terus tumbuh berkembang melalui peranan MK.

    Tidak ketinggalan tentunya, perubahan UUMK memerlukan dukungan dan partisipasi aktif dari

    berbagai kalangan masyarakat (civil society). Dukungan dan partisipasi yang secara konsisten

    dan kontinyu mengawal perubahan UUMK agar hasilnya bisa sesuai dengan yang diharapkan

  • Dalam konteks kebutuhan itu, kegunaan praktis perubahan UUMK ditujukan untuk;

    1. Memperbaiki kelemahan dan kekurangan dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam

    UUMK.

    2. Mengatasi dan menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam praktek penyelenggaraan

    MK.

    3. Memberikan jaminan bagi keperluan pengembangan organisasi kelembagaan MK kedepan.

    4. Mengoptimalkan peranan MK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sebagaimana

    telah ditentukan konstitusi.

    C. Ruang Lingkup Perubahan Pada dasarnya perubahan atau revisi suatu perundang-undangan dilakukan, apabila

    terdapat ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan tersebut tidak sesuai lagi dengan

    situasi atau kondisi yang berkembang. Perubahan itu dapat meliputi hal-hal sebagai berikut:13

    1. Menambahkan atau menyisipkan ketentuan baru, menyempurnakan atau menghapus

    ketentuan yang sudah ada, baik yang berbentuk Bab, bagian, Paragraf, Pasal, ayat, maupun

    perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.

    2. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik yang berbentuk Bab, bagian,

    Paragraf, Pasal, ayat, maupun perkataan, angka, huruf, tanda baca dan lain-lainnya.

    Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98), disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003, setelah

    melalui pembahasan dalam waktu yang relatif singkat. UUMK yang terdiri dari delapan (8) Bab

    dan 88 Pasal, pada intinya mengatur soal kedudukan dan susunan (organisasi kelembagaan),

    kekuasaan, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, serta hukum acara MK (lihat

    tabel 1). Materi itu merupakan perintah langsung dari UUD 1945 hasil amandemen. Pasal 24C

    ayat (6) telah menyatakan bahwa, Pengangkatan dan Pemberhentian hakim konstitusi,

    hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-

    undang. Sedangkan menyangkut soal kewenangan, hakim konstitusi (jumlah, syarat, dan

    pengajuan) serta soal pemilihan dan pengangkatan Ketua MK, telah ditentukan dalam UUD

    1945.

    13 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (2); Proses dan Teknik Pembentukannya, Yogyakarta-Kanisius,

    2007, hal. 179.

  • Usul perubahan dan rekomendasi dalam position paper ini berangkat dari materi yang

    sudah ada dalam UU MK, yang kemudian dipandang perlu untuk diubah atau ditambahkan.

    Materi tersebut adalah menyangkut perihal, hukum acara, susunan dan kedudukan (organisasi

    dan kelembagaan), pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi. Menyangkut soal

    kekuasaan, hanya akan disinggung beberapa bagian issue yang perlu diperhatikan. Sedangkan

    masalah yang menyangkut soal kewenangan, tidak akan disinggung secara mendalam karena

    hal itu sudah berkaitan dengan materi UUD. Perihal lainnya yang perlu ditambahkan dan

    dilengkapi adalah menyangkut persoalan pengawasan, persyaratan serta system

    seleksi/rekuitmennya. Jadi, position paper ini akan lebih banyak menyinggung issue dan

    masalah yang ada dalam UU MK.

    Tabel 1: Anatomi UU Mahkamah Konstitusi

    No. Keterangan Pasal Jumlah

    1. Bab I : Ketentuan Umum 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

    Bab II : Kedudukan dan Susunan Bab III : Kekuasaan Mahkamah Konstitusi. Bab IV : Pengangkatan & Pemberhentian Hakim Bab V : Hukum Acara

    b. a Umum b. b Khusus

    - Pengujian Undang-Undang - Sengketa Kewenangan - Pembubaran Partai Politik - Perselisihan Pemilu - Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden

    Bab VI : Ketentuan Lain-lain Bab VII : Ketentuan Peralihan Bab VIII : Ketentuan Penutup

    1 2 s/d 9

    10 s/d 14 15 s/d 27 28 s/d 85

    28 s/d 49

    50 s/d 60 61 s/d 67 68 s/d 73 74 s/d 79 80 s/d 88

    86 87 88

    1 Pasal 8 Pasal 5 Pasal

    23 Pasal 57 Pasal

    21 Pasal

    11 Pasal 7 Pasal 6 Pasal 6 Pasal 9 Pasal

    1 Pasal 1 Pasal 1 Pasal

    Adapun menyangkut soal kewenangan MK, memang telah disadari bahwa masih ada

    kekurangan dan barnagkali belum sepenuhnya dianggap tepat ketentuan yang telah dirumuskan

    dalam UUD 1945. Tentunya hal itu akan sangat berpengaruh terhadap rumusan-rumusan yang

    ada dalam UUMK, termasuk dalam praktik pelaksanaan MK selama ini. Saat ini memang telah

    dirasakan suatu kebutuhan untuk melakukan perubahan (amandemen) kembali UUD 1945,

    juga hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan MK. Oleh karena itu, sejumlah issue/persoalan

    ditingkat UUD akan disinggung dan dikupas juga, sebagai bagian yang tak terhindarkan dari

    position paper ini.

  • BAB II

    PRINSIP-PRINSIP DASAR

    MAHKAMAH KONSTITUSI

    Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945

    yang diputuskan MPR dalam Sidang Tahunan MPR 9 Nopember 2001. Keberadaan Mahkamah

    Konstitusi diletakkan dalam bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 (2) UUD 1945

    mengatur bahwa;

    Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

    Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengakuan dan legitimasi terhadap keberadaan MK. MK

    ditentukan berdiri sendiri, terpisah dan berada diluar MA. Keduanya sama-sama merupakan

    lembaga pelaksana dari kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi dan kewenangan yang

    berbeda. Dari rumusan tersebut dipahami bahwa, saat ini Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan

    oleh dua lembaga yaitu MK dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau

    setara sebagai lembaga negara yang independen.

    Ada beberapa alasan mengapa MK ditempatkan dalam konstitusi yang menjadi dasar

    konstitusionalitas keberadaan MK:

    a. Pada prinsipnya, konstitusi harus memuat tentang nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).

    Dan perubahan UUD 1945 telah mengakomodir lebih jelas dan rinci pasal-pasal yang

    mengatur HAM. Oleh karena itu, lembaga yang berwenang untuk menjamin, melindungi

    dan menegakkan nilai-nilai HAM itu harus pula diletakkan dalam konstitusi.

    b. Konstitusi pada prinsipnya harus memberikan pembatasan kekuasaan dan menyediakan

    mekanisme cheks and balances antara cabang kekuasaan. Adanya MK beserta

    kewenangannya menunjukkan bahwa, perubahan konstitusi sudah memuat adanya

    pembatasan dan mekanisme cheks and balances tersebut.

    c. Keberadaan MK berikut dengan kewenangan dalam konstitusi, sejalan dan merupakan

    penegasan terhadap prinsip negara hukum yang telah dimuat dalam perubahan konstitusi.

    Karena ciri-ciri dari negara hukum dapat ditunjukkan dari adanya wewenang untuk menguji

    konstitusionalitas (constitutional review) undang-undang oleh kekuasaan kehakiman (MK).

  • d. Konstitusi sebagai hukum tertinggi harus ditegakkan dan dijalankan secara konsisten oleh

    siapapun. Oleh karena itu, konstitusi harus pula menyediakan lembaga yang berwenang

    untuk menjaga nilai-nilai konstitusi, yang mesti ditempatkan didalam konstitusi.

    Sebagai lembaga yang telah ditentukan konstitusi, maka terdapat beberapa ketentuan yang

    telah diatur dan menjadi prinsip atau asas dasar bagi keberadaan dan peranan MK. Prinsip-

    prinsip dasar yang merupakan ratio logis atau alasan bagi lahirnya peraturan hukum, sekaligus

    merupakan pengarah umum untuk menganjurkan yang seharusnya menurut hukum. Sebagai

    sebuah institusi peradilan, maka MK harus tunduk pada asas-asas peradilan yang baik yang

    berlaku secara universal bagi pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power). Dilihat dari

    karakteristik perkara yang ditangani MK yang berkaitan dengan urusan kepentingan publik,

    maka dapat berlaku pula asas-asas yang digunakan dalam hukum publik (administrasi).

    Demikian halnya prinsip atau asas sebagai sebuah institusi peradilan dalam konteks

    pemerintahan yang bersih (good governance), dapat pula diterapkan di dalam penyelenggaraan

    MK.

    Prinsip-prinsip tersebut haruslah menjadi jiwa dan dasar dalam pengaturan UUMK, yang

    perlu ditegaskan, dijelaskan, dirinci didalam ketentuan-ketentuan UUMK. Demikian halnya

    dalam konteks kebutuhan perubahan UUMK, sedapat mungkin prinsip-prinsip dasar ini dapat

    dirumuskan jika sebelumnya tidak ada atau tercermin di dalam UUMK. Adapun prinsip atau

    asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut;

    1. Supremasi Hukum (Supremacy of Constitution).

    Prinsip supremasi hukum pada dasarnya menghendaki hukum-lah yang harus memegang

    komando tertinggi dalam penyelenggaran negara. Hukum tertinggi yang mengikat semua pihak

    dan menjadi pedoman pokok dalam menjalankan pemerintahan adalah konstitusi. Di dalamnya

    terkandung pengertian bahwa segala cara, tindakan dan kewenangan para penyelenggara

    negara, harus berpedoman pada konstitusi. Tidak dibenarkan jika pemerintahan dijalankan

    dengan mengabaikan konstitusi. Apabila terjadi penyimpangan (abuse of power), perselisihan

    atau sengketa dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka perlu dilakukan koreksi

    berdasarkan prinsip-prinsip atau ketentuan dalam konstitusi. Untuk itulah maka kemudian

    diperlukan adanya MK, yang diharapkan dapat memperkuat berjalannya prinsip-prinsip dalam

    negara hukum.

  • Prinsip ini mendudukkan MK sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kekuasaan

    tertinggi untuk mengawal agar konstitusi dapat ditegakkan dan dijalankan secara konsisten (the

    guardian of constitution). Konstitusi telah menempatkan MK sebagai lembaga peradilan yang

    dibutuhkan untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan konstitusi. Dalam

    mengadili dan memutus perkara haruslah selalu mendasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam

    konstitusi, dan MK berhak secara formal untuk menafsirkan konstitusi (the interpreter of

    constitution). Jadi, tidak hanya keberadaan dan kekuasaan yang ditentukan konstitusi, tetapi

    ukuran-ukuran yang digunakan MK harus sesuai dengan konstitusi. Prinsip ini juga bertujuan

    untuk membatasi MK menggunakan ketentuan lain selain konstitusi, sekaligus melarang

    siapapun aktor/lembaga negara (formal atau informal) bersikap dan melakukan tindakan-

    tindakan yang bertentangan dengan prinsip, nilai dan norma-norma konstitusi.

    2. Bebas dan Tidak Memihak (Independent and Impartial)

    Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam negara hukum

    untuk menjamin proses peradilan yang fair. Prinsip ini sudah diterima dan diatur dalam

    berbagai ketentuan internasional. Pada dasarnya, prinsip peradilan yang bebas atau merdeka

    (independent) tidak menghendaki adanya campur tangan, terutama ke dalam proses

    pengambilan putusan, dari kekuasaan eksekutif dan legeslatif terhadap pelaksanaan fungsi

    peradilan. Termasuk campur tangan dari unsur-unsur kekuasaan kehakiman itu sendiri, serta

    bujukan atau pengaruh dari kekuasaan ekonomi dan politik di luar sistem kekuasaan negara.

    Prinsip independensi ini telah dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi Pasal 24 (1) UUD 1945

    dinyatakan bahwa, Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

    menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

    Prinsip independensi yang mesti dijamin tidak hanya bersifat kelembagaan, tetapi

    menyangkut juga independensi personal setiap hakim. Sebab kelengkapan pertama dan utama

    untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang independent ada pada hakim. Dan hakim dalam

    menjalankan tugasnya harus bebas dari rasa takut, tekanan, bujukan dan ancaman yang dapat

    mempengaruhi putusan. Persoalannya sekarang bagaimana merumuskan parameter yang

    diperlukan untuk mengukur bahwa kekuasaan kehakiman (MK) itu independent atau tidak.

    Untuk menjamin prinsip independensi itu setidaknya perlu dirumuskan ketentuan-ketentuan

    yang mengatur; (1) tata cara penunjukkan hakim; (2) masa jabatan hakim; (3) pemberhentian

    hakim; (4) hak atas anggaran

  • Sedangkan prinsip tidak memihak, pada dasarnya hakim tidak boleh memihak kepada

    siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Hakim dalam mengadili harus

    tidak membeda-bedakan dan menghargai secara adil hak-hak para pihak di dalam proses

    pemeriksaan yang bersifat terbuka. Sehingga hakim dalam mengadili perkara terhindar dari

    benturan kepentingan (conflict of interest), dan proses pengadilan dapat berjalan secara fair

    dan obyektif. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim melepaskan diri

    dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang

    berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat

    ada potensi imparsialitas. Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi

    seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik.

    3. Transparansi dan Akuntabilitas.

    Transparansi dan akuntabilitas merupakan dua prinsip penting yang diperlukan untuk

    mendorong lahirnya sebuah institusi yang dapat dipercaya. Transparansi merupakan prasyarat

    tercapainya akuntabilitas yang juga menjamin kepastian. Kedua prinsip ini menjadi keniscayaan

    konstitusional untuk dikreasikan sedemikian rupa dalam revisi UUMK. Keduanya diperlukan

    untuk mempermudah access to justice guna pemenuhan hak-hak konstitusional, selain

    pemenuhan doktrin universal peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan (contante justice)

    bagi para pencari keadilan (justitiabelen).

    Prinsip transparansi/keterbukaan pada dasarnya menghendaki agar pengadilan dalam

    menjalankan fungsinya dapat dilakukan secara terbuka. Dalam hal ini prinsip persidangan yang

    terbuka untuk umum, mulai dari pemeriksaan sampai putusan, sudah sewajarnya dapat

    diketahui dengan mudah oleh masyarakat. Apalagi mengingat saat ini hak atas informasi sudah

    dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Jadi bagi masyarakat, khususnya para pencari

    keadilan, terbuka ruang selebar-lebarnya guna mengetahui informasi mengenai proses

    pemeriksaan setiap perkara dan mendapatkan putusan-putusan yang diperlukan. Dan MK

    sebagai peradilan yang mengadili system hukum (court of law), yang perkaranya berkenaan

    dengan kepentingan umum dan mempunyai implikasi yang luas, sudah sewajarnya jika publik

    dapat dengan mudah mengetahui setiap persidangan dan mendapatkan putusan-putusan yang

    dikeluarkan MK.

    Sedangkan prinsip akuntabilitas/pertanggungjawaban dapat dimaknai merupakan

    salah satu cara untuk menciptakan cheks and balances, sekaligus mekanisme untuk menilai

  • seluruh pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pemegang mandat kekuasaan, baik secara

    individual hakim maupun secara institusional lembaga pengadilan.14 Dalam penjelasan UU No.

    28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan

    Nepotisme dinyatakan bahwa akuntabilitas adalah prinsip yang menentukan bahwa setiap

    kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat

    dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi

    negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Prinsip akuntabilitas ini diperlukan untuk meminimalisir tindakan diluar batas kekuasaan

    atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Setidaknya, memudahkan pihak-pihak

    eksternal yang berkompeten untuk melihat/menilai ada tidaknya penyalahgunaan kekuasaan

    atau berperilaku menyimpang. Dengan adanya mekanisme pertanggungjawaban, masyarakat

    dapat ikut memantau kemampuan dan kinerja pemegang kekuasaan. Bagi pemegang

    kekuasaan, keberadaan suatu mekanisme pertanggungjawaban akan mendorong

    profesionalisme dalam menjalankan fungsi, tugas dan kewenangannya.

    Dalam konteks pengadilan, akuntabilitas dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan prinsip

    independensi. Keduanya tidaklah bertentangan, tetapi justru saling memperkuat. Akuntabilitas

    diperlukan karena, independensi hakim dan pengadilan tanpa akuntabilitas berpotensi

    terjerumus ke dalam perilaku yang korup, despotis dan oligarkhis. Akuntabilitas dapat

    berfungsi untuk mencegah timbulnya perilaku tersebut yang dapat merusak system pengadilan

    secara keseluruhan. Sejatinya prinsip pertanggungjawaban ini mencakup pertanggungjawaban

    secara organisasi, legal, politik, moral dan profesional. Konsep pertanggungjawaban tersebut

    masih harus dimodifikasi dan diadaptasi atau perlu disesuaikan dengan konsep lembaga MK.

    Setidaknya sebagai sebuah institusi peradilan, pertanggungjawaban yang mesti dilakukan MK

    berkaitan dengan putusan, perkara dan manegemen perkara, personalia, serta pengelolaan

    keuangan/anggaran.

    14 Dalam konteks ini menurut pandangan Mauro Cappelletti, setidaknya ada empat type akuntabilitas individu hakim maupun institusi peradilan yaitu; 1) Political Accountability, yang pada prinsipnya merupakan akuntabilitas dengan lembaga politik dan konstitusi; 2) Societal or Public Accountability, akuntabilitas terhadap publik atau masyarakat; 3) Legal Accountability, akuntabilitas karena jabatannya sebagai hakim dan 4) Legal accountability yang merupakan akuntabilitas secara personal dari tindakan kriminal, perdata dan pelanggaran disiplin. Lihat Mauro Cappelletti, The Judicial Process..., opcit, hal. 72

  • 4. Partisipasi dan Sosial Kontrol.

    Partisipasi dan kontrol sosial merupakan hal yang esensial dalam kehidupan negara

    demokrasi. Prinsip ini merupakan perwujudan hak warga negara atas kebebasan berekspresi

    dan keikutsertaan dalam pemerintahan yang telah dijamin konstitusi. Keduanya diperlukan

    untuk menutupi kekurangan atau kelemahan yang ada dalam mekanisme formal kenegaraan.

    Sehingga, proses maupun keputusan yang dibuat menjadi lebih legitimate dan dapat berfungsi

    secara maksimal. Lebih jauh lagi, partisipasi secara aktif dan langsung dari masyarakat dapat

    menciptakan integrasi sosial dalam masyarakat yang pluralis dan heterogen.

    Dalam konteks proses pembuatan dan penegakan hukum, adanya partisipasi masyarakat

    dapat membuat hukum berfungsi maksimal, karena mendapatkan legitimasi yang kuat. Tanpa

    legitimasi yang kuat dari masyarakat, hukum akan mudah diselewengkan demi kepentingan-

    kepentingan partial dan sesaat. Sedangkan kontrol sosial yang dapat muncul dari, pers, kampus

    dan organisasi masyarakat, dapat mencegah dan meminimalisir penyimpangan yang terjadi.

    Sekaligus dapat mendorong ke arah perbaikan yang diharapkan bersama untuk pencapaian

    keadilan dan kebenaran.

    Bagi MK, prinsip ini setidaknya perlu dikreasikan dalam proses seleksi hakim konstitusi

    yang bersifat terbuka. Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan menilai seseorang yang

    dianggap tepat, berintegritas dan kredibel untuk menjadi hakim konstitusi. Demikian pula

    dalam hal pemeriksaan terhadap perkara-perkara yang berkenaan dengan kepentingan

    masyarakat yang mendapat perhatian luas, dapat diatur suatu mekanisme yang dapat

    memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Prinsip ini juga dapat dikreasikan

    dengan memberikan akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perkara sesuai

    interest/kepentingannya, terlibat dalam konteks pengawasan MK, dalam hal bahwa hakim dan

    institusional MK harus akuntable, maka perlu tersedia system/mekanisme (internal dan

    eksternal) yang dapat menjadi saluran masyarakat untuk menyampaikan keluhan atau

    keberatannya.

    5. Cepat, Sederhana dan Murah

    Prinsip peradilan yang cepat dan sederhana, adalah salah satu hal yang dituntut publik

    ketika memasuki proses peradilan. Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian

    dan ketidakadilan. Akan tetapi harus diingat bahwa tindakan yang prosedural harus pula

    menjamin pemberian keadilan, dan proses yang sederhana harus pula menjamin adanya

  • ketelitian dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, proses di MK harus dibuat

    sedemikian rupa secara sederhana, baik dari segi biaya, lokasi, dan prosedur, termasuk dalam

    hal mendapatkan putusan. Sehingga tidak menghalangi hak seseorang untuk memperoleh

    keadilan (access to justice).

    Proses di pengadilan yang harus ditempuh para pencari keadilan, juga diharapkan tidak

    memakan waktu yang lama. Dengan kata lain, proses pengadilan haruslah cepat, jelas, dan tepat

    waktu. Proses yang lama dan tidak jelas limitasi waktunya, bukan hanya membuat pesimisme

    para pencari keadilan, tetapi mengundang kecurigaan atau dugaan yang bersifat negatif. Oleh

    karena itu, proses persidangan di MK harus dapat ditentukan dalam batas waktu yang tidak

    terlalu lama, jelas dan berkepastian. Untuk itu harus didukung dengan system administrasi dan

    managemen perkara yang modern dan bersifat on line. Sehingga tidak hanya untuk para pihak,

    tapi publik pun dapat mengetahuinya dan memperolehnya dengan mudah.

    Sedangkan mengenai prinsip murah, diartikan bahwa proses di pengadilan harus tidak

    dengan biaya yang mahal. Bahkan jika perlu dibebaskan dari biaya perkara, agar orang miskin

    yang tidak mampu dapat mengajukan gugatan atau permohonan ke pengadilan. Adanya biaya

    perkara ini sudah menjadi kelaziman dalam berperkara di lingkungan pengadilan umum, baik

    dalam system common law maupun civil law. Hanya saja seberapa besar biaya perkara itu

    ditentukan, jangan sampai memberatkan para pihak yang berperkara. Biaya yang terlalu besar

    bisa jadi akan memberatkan, bisa membuat para pencari keadilan tidak bisa berperkara. Dan itu

    berarti menjauhkan hak atas keadilan (access to justice) bagi para pencari keadilan. Selain itu,

    dalam system peradilan yang belum bisa berjalan secara transparan dan akuntabel, adanya

    biaya perkara ini dapat menjadi sumber pungli (korupsi).

    Meskipun biaya perkara sudah menjadi kelaziman di pengadilan, namun ketika berperkara

    di MK sebaiknya dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ongkos perkara. Alasannya,

    proses peradilan di MK pada intinya bukanlah untuk mengadili kepentingan pribadi orang per

    orang, melainkan menyangkut kepentingan umum atau kepentingan lembaga negara yang

    bersifat publik. Karena itu berurusan dengan MK tidak perlu dibebani dengan biaya sama

    sekali. Selain itu, tiadanya keharusan biaya perkara alias gratis berperkara di MK, untuk

    menjaga kehormatan dan kewibawaan MK dari kemungkinan persoalan yang akan timbul yang

    berhubungan dengan uang dari pihak lain. Sebaiknya, seluruh kebutuhan MK dibebankan saja

    kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

  • Prinsip-prinsip sebagaimana tersebut diatas, sebagian sudah terakomodir dan dijamin

    dalam UUMK. Misalnya, prinsip akuntabilitas dalam hal laporan MK yang wajib disampaikan

    setiap tahun (Pasal 12 13). Jaminan bagi transparansi dalam seleksi hakim MK (Pasal 19),

    penjadwalan sidang (Pasal 34), sidang dan pembacaan putusan (Pasal 28 ayat 5). Sedangkan

    sebagian lainnya, ditegaskan dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

    Diantaranya, prinsip larangan menolak perkara (Pasal 16), jaminan bagi prinsip pelaksanaan

    prinsip independensi dan imparsialitas yang mengharus kan hakim mengundurkan diri apabila

    terdapat kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara (Pasal 29). Untuk mengatur

    secara lebih komprehensif, sebaiknya prinsip-prinsip yang diatur dalam UU No.4/2004

    dimasukkan pula kedalam revisi perubahan UUMK.

  • BAB III

    PENGEMBANGAN LEMBAGA

    MAHKAMAH KONSTITUSI

    Perkembangan atau perubahan dalam sebuah lembaga adalah suatu keniscayaan.

    Perkembangan sebuah lembaga, terkadang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan

    dimana lembaga tersebut berada. Perkembangan dalam sebuah lembaga, memperlihatkan

    adanya respon terhadap permasalahan dan tantangan yang dihadapinya, termasuk sebagai

    jawaban terhadap tuntutan yang muncul dari publik/lingkungan. Perkembangan lembaga

    merupakan bagian dari sebuah proses penyesuaian ke arah yang lebih baik. Sejauh mana

    kemudian melihat sebuah lembaga dapat mengembangkan diri, bergantung dari kebutuhan

    serta kemampuan lembaga tersebut tanpa menghilangkan prinsip atau kesepakatan dasar yang

    telah dibuat. Dan perkembangan tersebut, sedapat mungkin kemudian diakomodir atau diatur

    sehingga memperoleh legitimasi dan dapat dijalankan dengan baik.

    Lazimnya lembaga pengadilan, terdapat sejumlah perangkat penting kelembagaan yang

    dibentuk agar pengadilan dapat berjalan dengan baik dalam mengadili dan memutus perkara.

    Bagi Mahkamah Konstitusi (MK), perangkat penting dari organisasi/kelembagaannya, seperti

    soal kedudukan lembaga, kekuasaan/kewenangan, dan jumlah hakim, telah ditentukan dalam

    UUD. UUMK kemudian mengaturnya lebih lanjut, dan menambahkan komponen penting

    lainnya terutama menyangkut soal sekretariat dan panitera, serta penerapan prinsip

    akuntabilitas dan transparansi. Namun demikian, UUMK belum mengatur secara rinci dan

    lengkap perangkat organisasi lainnya, misalnya soal sekretaris dan asisten hakim. Oleh karena

    itu, pengembangan organisasi MK dalam revisi UUMK ini dimaksudkan untuk mendorong agar

    komponen organisasi yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan kewenangan MK, dapat

    diakomodir. Selain itu, dipandang perlu untuk menegaskan, mengubah, melakukan sinkronisasi

    dan merinci ketentuan-ketentuan yang sudah ada berkaitan dengan kelembagaan MK.

    A. Kedudukan dan Susunan A.1. Kedudukan

    Mengkaji kedudukan MK sebagai lembaga peradilan konstitusi, tidak boleh dipisahkan

    dari dinamika kehidupan sosial masyarakat di suatu negara. Sebab, kehadiran MK bukan hanya

    berfungsi untuk menyelesaikan dan melaksanakan kewenangan dan kewajibannya yang

    ditegaskan dalam UUD, melainkan juga diharapkan dapat menjadi lembaga yang mampu

  • mengubah pola pikir dan pola perilaku warga masyarakat dan penyelenggara negara dalam

    kehidupan bernegara ke arah yang positif. Untuk mengetahui posisi atau kedudukan MK dalam

    sistem ketatanegaraan suatu negara, setidaknya mesti melihat secara keseluruhan sistem negara

    yang bersangkutan. Misalnya, dalam struktur negara Jerman, Mahkamah Konstitusi Federal

    merupakan lembaga konstitusi tertinggi (supreme constitutional body) sama seperti halnya

    Pemerintah Federal. Mahkamah Konstitusi di Jerman merupakan badan peradilan murni (true

    court) dan bukan lembaga politis. Hal ini diperkuat berdasarkan beberapa alasan, pertama, MK

    Federal tidak bertindak ex officio namun hanya diadakan atas permintaan lembaga yang

    berwenang. Kedua, dasar utama dari pengambilan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi

    Federal Jerman adalah konstitusi atau Basic Law negara Jerman. Meski Mahkamah Konstitusi

    Federal Jerman diantaranmya memiliki kewenangan untuk mengontrol kekuasaan kehakiman

    namun itu tidak beratio Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan dalam tingkat banding

    atau kasasi dari kasus-kasus hukum perdata, hukum administrasi maupun hukum pidana biasa.

    Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum

    konstitusi.15

    Desain konstitusi Indonesia (UUD 1945) menempatkan eksistensi MK sebagai salah satu

    pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Jadi MK merupakan salah satu lembaga

    peradilan yang merdeka yang kedudukannya setara dengan Mahkamah Agung. Meski

    ditempatkan sama sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman, tetapi MK diberi tugas dan

    kewenangan yang berbeda dengan MA. MK diposisikan sebagai peradilan tingkat pertama dan

    terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD,

    memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD,

    memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dan

    wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden

    dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.16

    Melihat kewenangan dan kewajiban tersebut, tugas pokok dari MK adalah untuk

    menegakkan konstitusi dalam kerangka negara hukum. MK adalah pengawal sekaligus penafsir

    konstitusi (the guardian and interpreter of constitution). Ini merupakan ide dasar dari

    pembentukan MK, yang setidaknya dapat terlihat dari kewenangan untuk menguji

    15 Ms. Justice Ulrike Mullerm (Hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman), The Federal Constitutional Court of Germany-

    Competencies and Impact of the Courts Jurisdiction, Makalah disampaikan di LIPI, 20-22 Maret 2002.

    16 Lihat Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945.

  • konstitusionalitas undang-undang dan memutus sengketa kewenangan konstitusional

    antarlembaga. Umumnya MK dibanyak negara, diberikan pula kewenangan seperti,

    constitutional complaint, constitutional question, interpreter of constitution. Menurut Harjono,

    dapat dikatakan kewenangan uji konstitusionalitas tersebut merupakan kewenangan yang

    utama, sedangkan kewenangan lainnya bersifat asesoris atau pelengkap.17

    Oleh karena itu, MK disebut juga sebagai Peradilan Konstitusi (constitutional judiciary)

    yaitu organ yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan persengketaan hukum (legal dispute)

    berdasarkan konstitusi.18 Peradilan ini dapat memfasilitasi setiap individu atau kelompok

    masyarakat untuk mempertanyakan kelayakan suatu kebijakan negara (eksekutif dan legeslatif),

    yang biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Secara konseptual

    peradilan konstitusi ini mengandung dua fungsi strategis yaitu; (i) untuk melindungi hak-hak

    fundamental masyarakat, dan (ii) untuk mengawasi aktifitas legeslatif pemerintahan. Apabila

    hal itu dilaksanakan secara berkesinambungan maka akan mencapai titik kulminasi yang

    disebut sebagai keadilan konstitusional (constitutional justice).19

    Dengan demikian, MK merupakan satu-satunya lembaga yang paling berwenang untuk

    menjaga dan menegakkan konstitusi. MK adalah mekanisme formal kenegaraan yang dibentuk

    untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konstitusi. MK dibentuk dan

    diadakan lewat konstitusi, dan dasar bertindak atau mengambil keputusan adalah konstitusi.

    Namun demikian bukan berarti MK lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya,

    termasuk lebih tinggi dari MA. Pendekatan dan pandangan yang bersifat struktural-hierarkhis

    seperti itu, selayaknya ditinggalkan dalam membaca sistem ketatanegaraan pascaamandemen

    UUD 1945. Jadi, posisi atau kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia perlu

    dilihat berdasarkan fungsi dan kewenangannya memperkuat cheks and balances di dalam

    kerangka negara hukum.

    Masalahnya, Bab II Pasal 2 UUMK tentang Susunan dan Kedudukan, hanya menegaskan

    bahwa, MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman

    yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. 17 Harjono, Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dalam Firmansyah

    Arifin, dkk (peny), Hukum dan Kuasa Konstitusi, Jakarta:KRHN, 2004, hlm. 25-27.

    18 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme

    Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta-Pradnya Paramita, 2006, hal. 75.

    19 Ibid., hal. 82-85.

  • Ketentuan ini sedikit berbeda dengan pengaturan yang ada dalam UU No.4/2004 tentang

    Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 1 UU KK menentukan bahwa, Kekuasaan kehakiman

    adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

    menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara

    Hukum Republik Indonesia. Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 3 ayat 2 UU KK bahwa, MK

    sebagai peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

    Pancasila. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, nampak ada ketidaksinkronan antara

    ketentuan dalam UU MK dengan UU KK. Lebih dari itu, tidak jelas apa yang dimaksud dengan

    penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan bagaimana hal itu harus

    dilaksanakan oleh MK?

    Rekomendasi :

    Kedudukan MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menegakkan konstitusi, perlu ditegaskan dalam

    UUMK. Hal ini penting untuk mengukuhkan peranan MK dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Selain

    itu, dapat mencegah institusi lain melakukan tafsir dan bertindak sendiri dengan mengatasnamakan atau

    mengabaikan konstitusi. Konsekwensi dari penegasan itu, akan mendorong secara maksimal peranan MK yang

    memungkinkan adanya kreasi lain dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan MK.

    A.2. Susunan

    Pasal 4 ayat (2) UU MK mengatur, Susunan Mahkamah Kontitusi terdiri atas seorang

    Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang

    anggota hakim konstitusi. Dari ketentuan ini dikehendaki, unsur utama pelaksanaan

    organisasi MK adalah Ketua, Wakil Ketua dan anggota hakim konstitusi. Susunan seperti ini

    nampaknya menggambarkan bangunan struktur organisasi MK yang disesuaikan dengan

    kebutuhan kelembagaan MK. Ramping dan sederhana, namun belum lengkap menyebutkan

    unsur-unsur lain yang dipandang penting bagi kelembagaan MK. Susunan seperti itu juga

    belum menggambarkan adanya pemisahan antara susunan yang organisasi MK secara

    keseluruhan dengan susunan dalam hal untuk mengadili dan memutus perkara.20 Artinya, baik

    untuk urusan atau tugas yang bersifat kelembagaan secara umum dengan tugas judicial akan

    20 Bandingkan dengan pengaturan susunan bagi Mahkamah Agung. Pasal 4 ayat (1) UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

    mengatur, Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Selanjutnya

    Pasal 5 ayat 1 menentukan, Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua

    muda.

  • bertumpu dan menjadi tanggungjawab Ketua MK/hakim konstitusi. Susunan seperti itu juga

    belum memberikan penegasan tentang tugas dan kewenangan yang disertai mekanisme

    pertanggungjawabannya secara jelas. Hal ini terlihat misalnya dari pengaturan mengenai Ketua

    MK dan Wakil Ketua MK.

    Dalam hal Ketua MK, UUMK mengatur posisi Ketua MK sebagai Ketua yang

    merepresentasikan Lembaga/Organisasi MK, sekaligus sebagai pimpinan majelis dalam

    persidangan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UUMK yang menyatakan, MK

    memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9

    (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang

    hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi. Namun UUMK ini tidak

    menegaskan apa yang menjadi tugas dan kewenangan masing-masing dari Ketua dan Wakil

    Ketua MK. Dengan kata lain, tidak diatur pembagian tugas yang jelas antara Ketua MK dan

    Wakil Ketua MK. Hal ini juga tidak dibuat atau ditentukan lebih lanjut dalam Peraturan MK

    (PMK). Pasal 28 ayat (2) UUMK hanya menentukan tugas Wakil Ketua sebagai pengganti dalam

    sidang pleno MK jika Ketua berhalangan. Jadi tidak lebih jabatan Wakil Ketua seperti ban

    serep, yang hanya siap mengganti Ketua jika berhalangan hadir dalam sidang pleno MK.

    Bagaimana seadainya Ketua MK wafat atau mengundurkan diri, apakah secara otomatis

    posisinya bisa langsung digantikan oleh Wakil Ketua?

    Rekomendasi: Perlu diatur susunan organisasi yang menunjukkan adanya pemisahan perangkat dan urusan kelembagaan secara

    umum, dengan perangkat pelaksana judicial secara khusus. Pemisahan ini penting untuk memberikan kejelasan

    apa tugas dan kewenangan masing-masing, serta alur pertanggungjawaban. Termasuk dalam hal ini menyangkut

    soal pembagian tugas antara Ketua dan Wakil Ketua. Rincian tugas dan kewenangan ini perlu dijabarkan sebagai

    konsekwensi dari jabatan yang telah disebutkan dalam undang-undang.

    A.3. Perihal Masa Jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK.

    Konstitusi Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 telah menegaskan, Ketua dan Wakil Ketua MK

    dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Dan Pasal 4 ayat (3) UUMK menambahkan ketentuan

    bahwa, Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan

    selama 3 (tiga) tahun. Tidak begitu jelas apa maksud atau tujuan dari pembatasan masa

    jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK ini. Apakah untuk mencegah kemungkinan munculnya

    intervensi atau dominasi dari lembaga lain, mengingat hakim konstitusi berasal dari DPR,

  • Presiden dan MA. Jika yang menjadi Ketua dan Wakil Ketua adalah hakim konstitusi yang

    berasal dari Presiden, maka bisa jadi MK tidak independent, karena cenderung berpihak kepada

    Presiden. Masa jabatan 3 tahun itu juga tidak mendapat ketegasan, sampai berapa kali seorang

    hakim konstitusi boleh menjadi Ketua/Wakil Ketua MK.

    Akan tetapi, pengaturan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua selama 3 tahun itu, tidak

    begitu efektif. Hal ini jika dikaitkan dengan ketentuan soal masa jabatan bagi hakim MK. Pasal

    22 UUMK menentukan masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 (lima) tahun, dan dapat dipilih

    kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Ketua dan Wakil Ketua adalah juga

    hakim konstitusi, yang tentunya terikat dengan masa jabatan 5 tahun itu. Ini bisa menjadi

    problem, dan mengganggu kinerja MK. Karena bisa jadi hakim konstitusi yang sedang menjadi

    Ketua/Wakil Ketua MK, tidak akan terpilih/diajukan kembali pada saat masa jabatan 5 tahun

    sudah harus selesai. Atau kalaupun terpilih kembali, apakah jabatan Ketua/Wakil Ketua

    otomatis terhenti dan harus dilakukan pemilihan kembali?

    Rekomendasi:

    Aturan mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua tidak perlu ada. Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua

    mengikuti atau sama dengan masa jabatan hakim konstitusi. Misalnya, masa jabatan hakim konstitusi 9 tahun,

    maka jabatan Ketua dan Wakil Ketua ditentukan 9 tahun juga (lihat pembahasan masa jabatan hakim)

    B. Memperjelas Kewenangan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa MK berwenang mengadili pada

    tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

    terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan

    oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

    pemilihan umum. Kemudian dalam ayat (2)-nya dinyatakan bahwa, MK wajib memberikan

    putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

    Presiden menurut UUD. Dugaan pelanggaran yang dimaksud dalam ayat dua (2) ini

    sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7B ayat (1) merupakan pelanggaran hukum berupa,

    penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

    perbuatan tercela. Dan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi

    syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

    Secara umum dapat dikatakan bahwa, kewenangan MK adalah mengadili perkara-perkara

  • yang berkaitan dengan soal konstitusi. UUMK semestinya bisa memperjelas, mengelaborasi dan

    mengatur lebih lanjut wewenang MK yang telah diberikan konstitusi. Sehingga dalam

    pelaksanaannya tidak menimbulkan keraguan, ketidakpastian dan persoalan yang justru malah

    menjadi penghambat. Namun hal demikian tidak dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

    Pasal 10 UUMK memberi pengaturan yang bunyinya kurang lebih sama dengan ketentuan

    konstitusi, dan hanya menambahkan ketentuan (satu ayat) berkenaan dengan maksud dari

    dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebaliknya,

    UUMK malah memberikan pembatasan, seperti ketentuan Pasal 50 UUMK yang melarang MK

    untuk menguji undang-undang yang lahir sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945.

    Dalam pelaksanaannya, wewenang MK terutama terhadap tiga (3) yang telah dilakukan

    yaitu, kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, memutus sengketa kewenangan

    antarlembaga negara, dan perselisihan hasil pemilihan umum, telah mengalami perkembangan

    atau perubahan yang menuntut pengaturan lebih lanjut. Pengaturan ini diperlukan agar dapat

    memperjelas dan memberi penegasan terhadap kewenangan yang telah dilakukan. Harapannya

    kedepan, peranan MK dalam melaksanakan kewenangan tersebut menjadi lebih optimal. Untuk

    itu pembahasan mengenai kewenangan tersebut akan coba diurai satu persatu.

    1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD (constitusional review)

    Pada dasarnya wewenang untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi (UUD)

    sebagai bagian dari penerapan prinsip pemerintahan yang terbatas. Pembatasan ini terutama

    ditujukan terhadap organ kekuasaan pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden).

    Berdasarkan penelitian sejarah dan analisa hukum, watak produk hukum sangat ditentukan

    oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, kelompok dominan (penguasa) dapat

    membentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan menurut visi dan sikap

    politiknya sendiri yang belum tentu sesuai dengan jiwa konstitusi yang berlaku.21 Pelaksanaan

    dari kewenangan ini dilakukan agar konsistensi tindakan bernegara seperti yang telah

    disepakati dalam konstitusi dapat dipertahankan. Dengan demikian, potensi ketidaksesuaian

    (diskrepansi) antara preferensi atau kepentingan rakyat dengan yang mewakilinya dapat

    diatasi.

    Selain sebagai penerapan pemerintahan yang terbatas, kewenangan menguji ini disebabkan

    oleh adanya kecenderungan yang mengharuskan persoalan diatur melalui serangkaian

    21 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta-LP3ES & UII Press, 1998, hlml. 359.

  • peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian berpotensi menimbulkan ketidakselarasan

    baik secara vertikal maupun horizontal antarsesama norma hukum yang lebih rendah, atau

    antara norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi. Dalam

    sebuah doktrin hukum yang bersifat hierarkhi struktural, yang juga digunakan dalam sistem

    hukum di Indonesia (UU No. 10/2004), bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh

    bertentangan dengan peraturan yang diatasnya.

    Untuk hal itu, baik UUD 1945 maupun UUMK memberikan pengaturan yang sedemikian

    rupa, sehingga cenderung membatasi upaya pencapaian perlindungan dan keadilan

    konstitusional secara utuh. UUD 1945 menentukan dengan cara membagi kewenangan menguji

    undang-undang terhadap UUD oleh MK. Sedangkan peraturan perundang-undangan dibawah

    undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).22

    Selanjutnya bagaimana pelaksanaan terhadap wewenang menguji undang-undang ini, Pasal 50

    UUMK memberikan pengaturan yang membatasi bahwa, Undang-undang yang dapat

    dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, undang-undang yang

    lahir dan dibuat sebelum amandemen UUD 1945 tidak dapat dilakukan pengujian oleh MK.

    Sedangkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (3), pengujian dapat dimohonkan terhadap; (i)

    pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945 (uji formil), dan/atau (ii)

    materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan

    dengan UUD 1945 (uji materiil).

    Terhadap ketentuan UUD 1945 yang telah membagi kewenangan menguji peraturan

    perundang-undangan antara MK dan MA, memang berpotensi menimbulkan masalah.

    Bagaimana jika peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu bertentangan

    dengan konstitusi, siapa yang akan menguji? Hal itu sangat mungkin terjadi, dan jika tidak ada

    lembaga yang berwenang mengujinya maka pelaksanaan penegakan konstitusi menjadi terbatas

    dan partial. Namun demikian hal ini merupakan masalah system kekuasaan kehakiman dalam

    UUD 1945, dan bukan merupakan bagian materi atau masalah dari UUMK.

    Adapun mengenai ketentuan Pasal 50 UUMK, hal ini jelas membatasi hak atas keadilan

    22 Pengujian produk hukum oleh Peradilan Konstitusi (MK) biasanya diselenggarakan dengan 3 cara, yaitu (i) pengujian abstrak, sebelum produk hukum disahkan, (ii) pengujian konkret, dilakukan setelah produk hukum disahkan, (iii) pengaduan konstitusional.

    Masing-masing memiliki prosedur acara persidangan sendiri, manfaat dan implikasi hukum yang berbeda satu dengan yang

    lainnya. Untuk hal ini lihat, Ahmad Syahrizal, dalam Peradilan Konstitusi., opcit., hal. 88.

  • konstitusional bagi masyarakat. Pasal ini secara gradual sudah diamputasi dan dinyatakan tidak

    mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi oleh putusan MK, setelah sebelumnya hanya

    dikesampingkan. Pada saat pembatalan Pasal 50 tersebut, MK beralasan diantaranya bahwa,

    kewenangan MK yang telah diatur secara jelas dan limitatif oleh UUD 1945 tidak dapat

    dikurangi oleh undang-undang. Sebab, MK adalah organ undang-undang dasar, bukan organ

    dari undang-undang. Disamping itu, keberadaan Pasal 50 UUMK dipandang tidak hanya

    mereduksi kewenangan MK, tetapi dikhawatirkan akan menyebabkan ketidakpastian hukum

    yang pasti menimbulkan ketidakadilan karena dalam sebuah sistem hukum akan terdapat tolok

    ukur ganda.23 Pembatalan Pasal 50 melalui putusan MK sangatlah tepat, dan tidak dapat

    dikatakan bahwa MK telah melampaui kewenangannya, karena ada kepentingan yang lebih luas

    yang harus dikedepankan oleh MK.

    Dalam melaksanakan kewenangan menguji ini, tidak jarang MK melakukan penafsiran

    terhadap ketentuan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Uji

    konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas suatu

    undang-undang, baik dari segi formil maupaun materil. Artinya, MK memberi tafsir atas

    undang-undang apakah sudah sesuai dengan UUD atau justru bertentangan dengan UUD. MK

    menentukan apakan perintah UUD sudah termaktub dalam undang-undang, sekaligus

    menentukan apakah proses pembentukannya telah sesuai dengan perintah UUD atau belum.

    MK menjadi pengaman (the guardian) konstitusi agar tidak dilanggar oleh undang-undang.

    Permasalahan yang kemudian muncul ke permukaan, adalah bahwa MK ternyata tidak

    dapat menghindarkan diri untuk tidak menafsirkan undang-undang terhadap undang-undang.

    Meskipun MK dianggap melakukan penafsiran dengan metode teristematis, dengan tetap

    menggunakan UUD sebagai pijakan utama tafsir, akan tetapi jika dilihat dari pertimbangan

    hukum yang dipilih, terang pada perkara tertentu MK membenturkan undang-undang satu

    dengan undang-undang lain. Kasus ini terjadi pada judicial review UU No. 45 Tahun 1999 jo

    UU No, 5 Tahun 2000 yang dianggap bertentangan dengan UU No. 21 Tahun 2001, dengan

    argumen asas lex posterior derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generalis. Kasus

    semacam ini berulang kembali pada perkara judicial review UU No. 25 Tahun 2008 tentang

    Penanaman Modal. Meski pijakan utama penafsiran adalah Pasal 33 UUD 45, namun pada

    dasarnya MK menganggap UU No. 25 Tahun 2008 bertentangan dengan UU Pokok Agraria No.

    23 Alasan tersebut merupakan pendapat dari mayoritas hakim. 3 hakim lainnya yaitu, Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan HAS

    Natabaya mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Lihat putusan perkara Nomor: 066/PUU-II/2004., hal. 53-55.

  • 5 Tahun 1960. Di sini tidak berlaku asas lex posterior derogat legi priori dan lex specialis

    derogat legi generalis. Walaupun kedua putusan tersebut mendapat apresiasi positif dari

    masyarakat, sebagai pijakan hukum, hal-hal yang demikian ke depan harus dihindari, karena

    bisa memunculkan persepsi bahwa MK telah keluar dari kewenangannya.

    Wewenang menafsirkan itu memang melekat, dan dapat dikatakan secara langsung sudah

    menjadi bagian atau hak yang harus dilakukan oleh para hakim ketika mengadili perkara.

    Namun sekiranya hal ini perlu ditegaskan dalam ketentuan UUMK. Disamping itu, dengan

    adanya kompleksitas persoalan hukum dan konstitusi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,

    tidak jarang MK kemudian dimintai pertimbangannya dari berbagai pihak. Akan lebih baik

    pula, jika mengenai hal ini dapat ditegaskan dalam UUMK. Seperti halnya bagi MA yang dapat

    memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan

    lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 27 UU No.4/2004 tentang Kekuasaan

    Kehakiman).

    Rekomendasi;

    1. Pasal 50 UUMK dicabut atau dihapus dari ketentuan UUMK

    2. Memperjelas/menegaskan hak dan kewenangan yang secara langsung dan implicit sudah dilakukan dan seharusnya dilakukan oleh MK, yaitu;

    - Hak/wewenang menafsirkan UUD

    - Memberikan pertimbangan, keterangan dan nasihat masalah konstitusi kepada siapapun jika diminta (constitutional question)

    2. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN)

    Kewenangan MK dalam hal memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang

    kewenangannya diatur dalam UUD, merupakan kewenangan utama. Wewenang ini

    dimaksudkan agar persoalan yang bisa menimbulkan sengketa antarlembaga negara dapat

    diselesaikan melalui mekanisme hukum, yaitu jalur peradilan MK. Setidaknya hal ini belajar

    dari masa lalu ketika timbul persoalan atau sengketa antarlembaga negara tidak begitu jelas

    proses penyelesaiannya. Kalaupun ada, penyelesaian lebih banyak dilakukan melalui jalur atau

    proses politik. Kewenangan ini dapat pula dipandang sebagai langkah antisipasi kedepan, yang

    diperkirakan akan banyak timbul masalah sengketa antarlembaga negara seiring dengan makin

    rumit dan kompleksnya urusan atau persoalan kenegaraan.

    Masalahnya adalah apa yang dimaksudkan dengan sengketa kewenangan lembaga negara?

    Dan yang selalu menjadi pertanyaan adalah siapa yang bisa disebut atau dikualifikasi sebagai

  • lembaga negara. Istilah atau terminologi lembaga negara ini merupakan istilah yang belum

    begitu jelas dan multitafsir, terutama pascaperubahan UUD 1945. Namun istilah itu sudah

    ditempatkan menjadi sebuah norma dalam konstitusi (Pasal 24C ayat 1 dan Pasal II Aturan

    Peralihan UUD 1945) maupun UUMK, yang terkait soal pengaturan subyek pemohon dalam

    pengujian undang-undang (Pasal 51 ayat 1 huruf d UU No.24/2003). Hal ini berbeda jika

    merujuk pada pengaturan sebelumnya dalam UUDS 1950 dan Ketetapan MPR No. III tahun

    1978 yang menyebutkan dengan jelas siapa saja yang disebut sebagai organ/lembaga negara.

    Hal ini bisa menjadi persoalan ketika akan menentukan legal standing, siapa yang bisa

    mengajukan permohonan jika ada sengketa ke MK. Perihal keduanya tidak mendapat

    penjelasan lebih lanjut dalam UUMK.

    Pengertian sengketa kewenangan antar lembaga negara itu sendiri, menurut Jimly

    Asshiddiqie ialah, perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antara

    lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya, mengenai kewenangan yang

    dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut.24 Sedangkan yang menjadi objek

    sengketa ialah kewenangan konstitusional dari masing-masing lembaga negara, bilamana

    terjadi sengketa penafsiran dalam pelaksanaan kewenangan konstitusonal tersebut, antara

    lembaga negara satu dengan lainnya, sehingga terjadi tumpang tindih.25 Dalam konteks ini,

    menurut Fajrul Falakh, yang penting berkaitan dengan kewenangan MK ini adalah kualifikasi

    sengketa macam apa dari sengketa lembaga negara yang menjadi kompetensi MK. Didalam

    UUD disebutkan wewenang konstitusional, jadi kuncinya disitu.26

    Sedangkan mengenai apa dan siapa lembaga negara itu, berdasarkan hasil penelitian KRHN

    bersama Sekretariat Jendral MKRI, dapat disimpulkan bahwa lembaga negara yang diatur

    dengan jelas dalam UUD 1945 ada 18 yaitu; MPR, DPR, DPD, Presiden, Kementrian Negara,

    MA, BPK, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi,

    DPRD Kabupaten/Kota, komisi pemilihan umum, Komisi Yudisial, MK, bank sentral, TNI,

    Kepolisian, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Namun dari 18 lembaga negara tersebut yang

    berpotensi terjadinya sengketa dan dapat menjadi pihak di MK ada 16 lembaga negara yaitu;

    MPR, DPR, DPD, Presiden, Kementrian Negara, MA, BPK, Pemerintah Daerah Propinsi,

    24 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konstitusi Press, 2006, hal. 4.

    25 Ibid., hal. 13. 26 Lihat dalam transkip Expert Meeting Revisi UU Mahkamah Konstitusi, diselenggarakan oleh KRHN-DRSP di Hotel Millenium, Jakarta, 27-28 Agustus 2007.

  • Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, komisi

    pemilihan umum, Komisi Yudisial, MK, TNI, Kepolisian, dan Dewan Pertimbangan Presiden.27

    Menyangkut persoalan lembaga negara, beberapa hakim konstitusi memiliki posisi dan

    pendapat yang berbeda. Menurut Jimly Asshiddiqie, setidaknya ada 28 lembaga negara yang

    terdapat di dalam UUD, baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit, yaitu: 1)

    Presiden; 2) Wakil Presiden; 3) Dewan pertimbangan presiden; 4) Kementrian Negara; 5) Duta;

    6) Konsul; 7) Pemerintah Daerah Propinsi; 8) Gubernur; 9) DPRD Propinsi; 10) Pemerintah

    Daerah Kabupaten; 11) Bupati; 12) DPRD Kabupaten; 13) Pemerintah daerah Kota; 14)

    Walikota; 15) DPRD Kota; 16) Majelis Permusyawaratan Rakyat; 17) Dewan Perwakilan Rakyat;

    18) Dewan Perwakilan daerah; 19) Komisi pemilihan umum; 20) Bank sentra; 21) Badan

    Pemeriksa Keuangan; 22) Mahkamah Agung: 23) Mahkamah Konstitusi; 24) Komisi Yudisial;

    25) Tentara Nasional Indonesia; 26) Kepolisian Negara RI; 27) Satuan pemerintah daerah yang

    bersifat khusus/istimewa; 28) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Di samping itu terdapat

    badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman. Dari 28 organ atau

    subyek tersebut, yang keberadaan dan kewenangannya ditentukan dengan tegas dalam UUD

    1945 hanya 23 organ atau 24 subyek jabatan. Empat organ lainnya yaitu, bank sentral, duta,

    konsul dan badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, tidak ditentukan

    dengan tegas kewenangannya dalam UUD 1945.28

    Lain halnya dengan Jimly, HAS Natabaya menyimpulkan bahwa lembaga/organ negara

    yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 adalah; MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK,

    BPK, Komisi Yudisial (KY), komisi pemilihan umum, Pemerintahan Daerah dan bank sentral.

    Kecuali bank sentral, juga MA dan MK, apabila terjadi sengkata kewenangan antarlembaga

    negara tersebut, maka dapat disampaikan gugatannya kepada MK.29 Sedangkan menurut

    Harjono melalui pendekatan objectum litis, memasukkan Partai Politik sebagai lembaga negara.

    Karena ketentuan UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada partai politik

    untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (2) UUD 1945), serta hak partai

    politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua untuk mengajukan pasangan calon

    Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih oleh MPR (Pasal 8 ayat (3) UUD 1945).

    27 Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara & Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara, KRHN-MKRI, 2005, hal..

    28 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan..., Op.cit., hal. 53-54.

    29 HAS Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Sekretariat Jendral dan

    Kepaniteraan MK, 2008, hal. 215.

  • Menurutnya, karena yang menjadi objectum litis adalah kewenangan pencalonan Presiden dan

    Wakil Presiden, maka dalam kasus demikian partai politik dengan sendirinya dikualifikasi

    sebagai lembaga negara menurut UUD 1945. Dengan contoh tersebut, jelas yang dimaksud oleh

    Pasal 24C UUD 1945 adalah sengketa kewenangan dan bukan sengketa lembaga negara.30

    Dari berbagai pendapat diatas, dapat menunjukkan penafsiran yang beragam tentang apa

    yang dimaksud dengan lembaga negara ataupun sengketa kewenangan lembaga negara.

    Berbagai pendapat atau penafsiran tersebut tentunya membutuhkan penjelasan dan penegasan

    dalam UUMK. Dalam perkembangannya, MK nampaknya telah menentukan pendirian

    mengenai persoalan ini. Dalam putusan perkara SKLN yang diajukan oleh Drs. HM. Saleh

    Manaf dan Drs. Solihin Sari, dengan termohon Presiden, Mendagri dan DPRD Kabupaten

    Bekasi, telah ditegaskan bahwa;

    .rumusan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah;31

    Berdasarkan putusan tersebut, MK telah memberikan pengertian apa yang dimaksud

    dengan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

    Undang Dasar. Dari putusan ini nampaknya kemudian mendasari lahirnya Peraturan

    Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa

    Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.32 Dalam PMK tersebut dijelaskan sebagai

    berikut;

    a. Lembaga Negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945

    (pasal 1 angka 5).

    b. Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa

    wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945 (pasal 1

    angka 6).

    30 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hal. 461-462.

    31 Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006, hal. 88

    32 Putusan dibacakan dalam Sidang terbuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 2008, sedangkan PMK tentang SKLN baru ditetapkan

    pada 18 Juli 2008.

  • c. Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan

    kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara (pasal 1 angka 7).

    Namun demikian, penegasan dan penjelasan mengenai sengketa kewenangan lembaga

    negara, termasuk istilah lembaga negara itu sendiri, sudah merupakan materi dari undang-

    undang. Tidak tepat jika hal tersebut hanya diatur dalam bentuk PMK, apalagi mengingat

    bahwa UUMK tidak menjelaskan pengertian dari SKLN. Oleh karena itu pengertian yang telah

    ditegaskan dalam putusan maupun PMK, sebaiknya ditempatkan menjadi materi undang-

    undang MK.

    Rekomendasi :

    Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa kewenangan lembaga negara, serta penjelasan mengenai

    lembaga negara dan kewenangan konstitusional sebagaiman diatur dalam PMK No. 08/PMK/2006, sebaiknya

    ditempatkan menjadi materi UUMK.

    3. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

    Sengketa atau perselisihan hasil pemilu dapat dikatakan banyak macamnya. Namun, tidak

    semua sengketa itu diselesaikan melalui MK. Selain MK, ada KPU, Lembaga Pengawas Pemilu,

    Pengadilan umum yang juga menjadi bagian dari lembaga yang bertugas menyelesaikan

    sengketa pemilihan umum. Adapun sengketa yang penyelesaiannya berada di tangan MK adalah

    sengketa hasil akhir pemilu yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum secara Nasional.

    Pengertian perselisihan pemilu seperti itu, tidak mendapatkan penjelasan di dalam UUMK.

    Sebelumnya, perselisihan hasil pemilu hanya dimaknai atau dikhususkan bagi peserta

    pemilu untuk anggota DPR, DPD, DPRD serta Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden. Hal

    ini tergambar dalam Pasal 74 dan 75 UUMK yang menjelaskan kurang lebih bahwa yang

    dimaksud dengan sengketa hasil pemilu adalah sengketa tentang kesalahan hasil

    penghitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk anggota

    DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta Partai Politik. Ketentuan ini juga diikuti oleh

    Peraturan MK Nomor : 04/Pmk/2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil

    Pemilihan Umum, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 05/Pmk/2004 Tentang

    Prosedur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil

    Presiden Tahun 2004. Sedangkan pemilu bagi kepala daerah (Pilkada) Gubernur maupun

    Bupati/Walikota, tidak termasuk obyek sengketa hasil yang ditangani MK. Penyelesaian

  • sengketa hasil pemilu pilkada ditangani oleh MA sebagaimana ditentukan lewat UU

    Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004).

    Hal itu dipengaruhi oleh pandangan bahwa pilkada dianggap termasuk dalam rezim

    pengaturan Pemerintahan Daerah, bukan termasuk rezim pengaturan pemilu dalam konstitusi.

    Pandangan tersebut kemudian seperti mendapat penegasan oleh MK dalam putusan pengujian

    UU Pemda, bahwa;

    .Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung 33

    Dalam perkembangannya pandangan tersebut telah dikoreksi. Dalam hal ini, politik legislasi

    telah menempatkan pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu. Setidaknya perspektif

    demikian tercermin dalam pengaturan UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan

    Umum. Disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 yang telah menyatuatapkan Pilkada

    menjadi bagian dari Pemilu sesusai UUD 1945. Pergeseran pandangan dan perubahan arah

    politik legislasi seperti itu, kemudian berpengaruh pula terhadap prosedur penanganan

    perselisihan hasil pemilu pilkada. Dalam revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah ditentukan,

    perselisihan hasil pilkada yang semula ditangani MA, kini telah berpindah ke MK.34

    Perpindahan prosedur penyelesaian sengketa hasil ini, sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh

    putusan MA dan/atau Pengadilan Tinggi yang mengundang kontroversi, seperti putusan dalam

    penyelesaian sengketa pilkada Depok, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Perkembangan

    lainnya, sebagai akibat dari putusan MK (putusan Nomor 5/PUU-V/2007), dalam pemilu

    pilkada juga telah mengakomodasi dimungkinkannya pasangan calon kepala daerah dari

    perseorangan (independen), selain pasangan calon kepala daerah yang diusulkan partai politik

    atau gabungan partai politik.35

    33 Lihat putusan MK Nomor 072-073/PMK/PUU-II/2004, hal. 115

    34 Lihat UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236C telah

    dirumuskan bahwa, Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh

    Mahkmah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. 35 Lihat Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (1) UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU Pemerintahan Daerah.

  • Adanya perubahan-perubahan tersebut, tentunya memerlukan pemaknaan ulang terhadap

    pengertian atau definisi terhadap perselisihan hasil pemilihan umum selama ini. Hal ini perlu

    diperjelas dan ditegaskan karena akan mempengaruhi penentuan siapa saja subyek pemohon

    perselisihan hasil pemilu di MK. Sayangnya, pengertian atau definisi tersebut tidak ditemukan

    dalam UUMK. Pengertian perselisihan hasil pemilu malah terdapat dalam UU No. 10/2008

    tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Disebutkan dalam Pasal 258 ayat (1)

    UU No. 10/2008 bahwa, Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan

    Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.

    Sedangkan pada ayat (2) nya ditentukan, Perselisihan penetapan perolehan suara hasil

    Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan

    perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.

    Meskipun terdapat sedikit gambaran dari pengertian atau definisi perselisihan hasil pemilu,

    namun pengertian yang terkandung dalam UU No. 10/2008 itu masih bersifat sempit. Artinya,

    konteks pengertian tersebut hanya dikhususkan bagi peserta pemilu yang disebutkan dalam UU

    No. 10/2008 yaitu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pengertian tersebut dapat dikatakan belum

    mencakup pengertian dari keseluruhan peserta pemilu sebagaimana tergambar dari perubahan-

    perubahan tersebut diatas. Hal ini harus dijelaskan dalam UUMK agar tidak menimbulkan

    ketidakpastian dan kekosongan hukum yang bisa menimbulkan ketidakadilan bagi para peserta

    pemilu. Penjelasan yang dapat merangkum atau memberikan gambaran secara komprehensif

    keseluruhan dari perubahan-perubahan diatas.

    Rekomendasi;

    Perlu ada penjelasan sendiri dalam UUMK tentang pengertian perselisihan hasil pemilihan umum. Pengertian

    yang dimaksud pada intinya dapat mencakup pengertian yang akan menentukan subyek pemohon dalam

    perselisihan hasil pemilu yang akan diajukan ke MK. Dalam hal ini perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan

    antara KPU dengan peserta pemilihan umum dalam pemilihan umum untuk anggota legeslatif (DPR, DPRD dan

    DPD), eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), dan juga untuk Kepala Daerah.

    4. Pembubaran Partai Politik

    Dalam sejarah politik Indonesia, pembubaran suatu partai politik seperti menjadi sesuatu

    yang lumrah dan sering terjadi, khususnya ketika rezim pemerintah otoritarian berkuasa. Pada

    masa Soekarno setidaknya tercatat dua parpol yang dibubarkan, yaitu MASYUMI dan PSI.

    Kemudian pada masa Soeharto, selain pembubaran PKI, juga terdapat penggabungan partai-

  • part