35
TUGAS EKOLOGI PANGAN DAN GIZI MENGHADAPI ANCAMAN KRISIS PANGAN DISUSUN OLEH : KAMELIA IDRUS ANANG (10131010030) SEMESTER I (SATU) PASCASARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

TUGAS EKOLOGI PANGAN DAN GIZI

MENGHADAPI ANCAMAN KRISIS PANGAN

DISUSUN OLEH :KAMELIA IDRUS ANANG

(10131010030)

SEMESTER I (SATU)

PASCASARJANA KESEHATAN MASYARAKATSTIK BINA HUSADA

PALEMBANG

Page 2: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Masalah utama yang masih akan dihadapi bangsa Indonesia ke depan adalah

masalah pangan.Mendapatkan makanan yang aman adalah hak azasi setiap orang

(ICN, Roma, 1992). Pada kenyataannya, belum semua orang bisa mendapatkan akses

terhadap makanan yang aman. Harga pangan merupakan salah satu gejala ekonomi

yang sangat penting berhubungan dengan perilaku produsen dan konsumen.

(Suyatno,2007)

Impor pangan yang meningkat ini, akan memperlemah ekonomi bangsa

Indonesia karena devisa yang susah payah diperoleh dibelanjakan untuk hal-hal yang

bersifat konsumtif yang sebenarnya dapat diproduksi sendiri. Selain masalah

ketersediaan pangan, tantangan terbesar bangsa Indonesia dalam bidang pertanian

adalan peningkatan kualitas pangan rakyat. Hal ini dinilai penting karena kualitas

pangan dari Indonesia relatif kurang baik. Padahal, kualitas pangan tersebut sangat

mempengaruhi kualitas sumber daya manusia baik secara fisik dan kecerdasan karena

memenuhi standar gizi. Tidak akan ada perbaikan kualitas SDM negara ini tanpa

perbaikan gizi masyarakatnya.(Edward Saleh,Bahan Ajar,2010)

Dalam tulisannya, Arif Satria, Dekan Ekologi Manusia IPB dalam surat kabar

Media Indonesia tanggal 25 Oktober 2010 mengatakan bahwa harga pangan dunia

bisa naik 35 % . Harga benih jagung mungkin naik 36 %, harga benih gandum

melonjak 72 %, harga pupuk naik 59 % serta harga pakan terkerek 62%. Begitu pula

cuaca ekstrem membuat krisis pangan kian menjadi-jadi.

Disisi lain, Badan Pusat Statisktik (BPS) menyampaikan bahwa produksi padi

di Indonesia tahun 2010 diperkirakan mencapai 65,15 juta kilogram atau setara

2

Page 3: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

dengan 38,3 juta ton. Adapun kebutuhan beras nasional sekitar 32,7 juta ton pada

tahun 2010 ini. Artinya, terdapat surplus produksi beras sekitar 5,6 juta.

Dengan adanya keputusan Impor beras oleh pemerintah seiring harga pangan

dunia yang naik maka akan mengancam ketahanan pangan sehingga terjadinya krisis

pangan di Indonesia tahun depan dan bahkan selanjutnya.

2. Rumusan Masalah

Belum diketahuinya langkah konkret dalam mengamankan produksi pangan

demi mencegah terjadinya krisis pangan

3. Pertanyaan Penelitian

1. Mengapa perlu memperkuat ketahanan pangan dan bagaimana cara

memperkuatnya, baik pada tingkat rumah tangga maupun tingkat nasional?

2. Apa kaitan antara produksi pangan dalam negeri dengan kesejahteraan petani?

3. Bagaimana perubahan lingkungan strategis akan mempengaruhi ketahanan

pangan?

4. Apa peran pemerintah, pemerintah provinsi Sumatera Selatan dan pemerintah

kabupaten/kota dalam memperkuat ketahanan pangan?

4. Tujuan

4.1 Tujuan Umum

Mengetahui langkah konkret mengamankan produksi pangan

4.2 Tujuan Khusus

a. Menjelaskan ketahanan pangan baik pada tingkat rumah tangga maupun

tingkat nasional

b. Mengetahui kaitan antara produksi pangan dalam negeri dengan kesejahteraan

petani.

3

Page 4: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

c. Mengerahui hubungan perubahan lingkungan strategis dengan ketahanan

pangan

d. Mengetahui sejauh mana peran pemerintah, pemerintah provinsi Sumatera

Selatan dan pemerintah kabupaten/kota dalam memperkuat ketahanan pangan.

5. Metodologi Penulisan

Metode yang dilakukan dalam makalah ini adalah metode penulisan deskriptif

berdasarkan sumber-sumber dari media cetak Media Indonesia dan media

elektronik internet seperti bahan-bahan jurnal dengan sumber yang dapat

dipertanggungjawabkan.

4

Page 5: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Ketahanan Pangan

Dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari

FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan

pangan yaitu:

1. kecukupan ketersediaan pangan;

2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari

tahun ke tahun.

3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta

4. kualitas/keamanan pangan

Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks

ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung

bertahap dengan cara menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan

pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.

Ditinjau dari ketersediaan dan keterjangkauan secara agregat penduduk

Indonesia tampak tergolong tahan pangan, namun masih ditemukan rumah tangga

rawan pangan di semua propinsi dengan proporsi yang relatif tinggi. Rumah tangga

rawan pangan didefinisikan sebagai rumah tangga dengan konsumsi energi (ekivalen

orang dewasa) ≤ 80% dari angka kecukupan energi dan dengan pangsa pengeluaran

pangan > 60% dari total pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan data Survei Sosial

Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang tertuang dalam Nutrition Map of Indonesia

tahun 2006, jumlah penduduk rawan pangan terendah ada di propinsi Bali yaitu

sebesar 4,8 persen, dan tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu

mencapai 20,0 persen. Proporsi penduduk rawan pangan di semua provinsi masih

5

Page 6: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

diatas 10 persen, kecuali di provinsi Sumbar, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Bahkan di semua propinsi yang merupakan sentra produksi pangan seperti propinsi

Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan

proporsi penduduk rawan pangannya cukup tinggi.

Pola konsumsi yang relatif sama antar individu, antar waktu, dan antar daerah,

mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan.

Mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi serta antar waktu dengan

mengandalkan ‘stok’ akan berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan

keterjangkauan, serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor keseimbangan yang

terefleksi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli rumah tangga terhadap

pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan tersedia di pasar, namun

apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli rumah tangga, maka rumah

tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang tersedia.

Kecukupan ketersediaan pangan

Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu

pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan

konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di

perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya dilihat dengan mempertimbangkan

jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45).

Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa

implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti cotoh berikut ini.

(a) Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok

(seperti Provinsi Sumsel) digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk

menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok

cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen padi yang

dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan

6

Page 7: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat

panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng,

dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan.

Demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen padi 2 kali setahun

sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali.

(b) Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung (seperti Provinsi Nusa Tenggara

Timur) digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan

apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini

didasarkan pada masa panen jagung di daerah penelitian yang hanya dapat

dipanen satu kali dalam tahun.

Disadari bahwa ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara

satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga

dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok. Dengan kata lain,

ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan

pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian.

Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat diukur sebagai berikut:

Untuk Provinsi Sumsel, sebagai contoh, dengan beras sebagai makanan pokok:

Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti pesediaan pangan

rumah tangga cukup

Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239hari, berarti pesediaan

pangan rumah tangga kurang cukup

Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan

rumah tangga tidak cukup.

Untuk Provinsi NTT, sebagai contoh, dengan jagung sebagai makanan pokok:

7

Page 8: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti pesediaan pangan

rumah tangga cukup

Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364hari, berarti pesediaan

pangan rumah tangga kurang cukup

Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti persediaan pangan

rumah tangga tidak cukup

Stabilitas ketersediaan

Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan

ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu

rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai

persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk Provinsi Lampung dan 360

hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari

sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.

Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3

(tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan

ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara

untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah

dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok

(misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang dilakukan PPK-LIPI di beberapa

daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi frekuensi makan

merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangan

mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).

Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan

makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan penelitian PPK-

LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada

umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa,

8

Page 9: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu

strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis,

karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa

bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen

berikutnya.Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan

frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan,

dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan,

menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 1 :

Penetapan indikator stabilitas

ketersediaan pangan di tingkat rumah

tangga (dengan contoh Kabupaten di

Provinsi SumSel dan NTT)

Kecukupan

ketersediaan

pangan

Frekuensi makan anggota rumah

tangga

> 3 kali 2 kali 1 kali

> 240 hari

> 360 hari

Stabil Kurang

stabil

Tidak

stabil

1 -239 hari

1 – 364 hari

Kurang

stabil

Tidak

stabil

Tidak

stabil

Tidak ada

persediaan

Tidak

stabil

Tidak

stabil

Tidak

stabil

Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan

9

Page 10: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Indikator aksesibilitas/keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat

rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur

dari pemilikan lahan (misal sawah untuk provinsi Sumsel dan ladang untuk provinsi

NTT) serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur

berdasarkan pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:

Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan

sawah/ladang

Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan

sawah/ladang.

Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua) kateori

yaitu: (1) produksi sendiri dan (2) membeli. Indikator aksesibilitas/keterjangkauan

rumah tangga terhadap pangan dikelompokkan dalam kategoti seperti pada tabel

berikut:

Tabel 2

Penetapan indikator aksesibilitas/keterjangkauan pangan di tingkat rumah tangga

Pemilikan

sawah/ladang

Cara rumah tangga memperoleh bahan pangan

Punya Akses langsung Akses tidak langsung

Tidak punya Akses tidak langsung

Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas

ketersedian pangan yang merupaan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan

dan aksesibilitas terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaan pangan ini

menunjukkan suatu rumah tangga apakah:

Mempunyai persediaan pangan cukup

Konsumsi rumah tanga normal dan

10

Page 11: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Mempunyai akses langsung tarhadappangan

Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat

dalam tabel berikut.

Tabel 3.

Penetapan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga

Akses

terhadap

pangan

Stabilitas ketersediaan pangan rumah

tangga

Stabil; Kurang

stabil

Tidak stabil

Akses

langsun

g

Kontiny

u

Kurang

kontiny

u

Tidakkontiny

u

Akses

tidak

langsun

g

Kurang

kontinyu

Tidak

kontiny

u

Tidak

kontinyu

Kualitas/Keamanan pangan

Kualitas/keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi.

Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai

macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga ukuran

keamanan pangan hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan makanan yang

mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga.

Karena itu, ukuran kualitas pangan dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi

makanan (lauk-pauk) sehari-hari yang mengandung protein hewani dan/atau nabati.

Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori,

yaitu:

11

Page 12: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

1. Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki

pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein

hewani saja.

2. Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang

memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.

3. Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak

memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun

nabati.

Ukuran kualitas pangan ini tidak mempertimbangkan jenis makanan pokok. Alasan

yang mendasari adalah karena kandungan energi dan karbohidrat antara beras, jagung

dan ubi kayu/tiwul sebagai makanan pokok di desa-desa penelitian tidak berbeda

secara signifikan.

b. Produksi Pangan dan Kesejahteraan Petani

Produksi padi dihasilkan oleh jutaan petani dengan luas lahan sempit yang

dikelola secara tradisional dan subsistem secara turun menurun.

Peningkatan efisiensi dengan penggunaan input produksi yang lebih rasional

dan pengurangan susut pasca panen merupakan hal yang sangat penting untuk

dilakukan. Selanjutnya, pengembangan lembaga ekonomi petani yang tangguh akan

sangat berarti dalam memperbaiki posisi tawar petani padi yang secara individual

biasanya sangat lemah.

Petani perlu didorong untuk mengembangkan berbagai kemungkinan

komoditi pertanian lain (atau diversifikasi usaha tani) yang secara ekonomis

menguntungkan jika lahan pertaniannya memungkinkan. Pengembangan pendapatan

di luar usaha tani (off farm income) juga akan sangat membantu peningkatan

kesejahteraan petani karena terbatasnya potensi pengembangan usaha tani.

12

Page 13: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Perubahan iklim global yang ekstrem bila diperkirakan akan mempengaruhi

produksi pangan pada tahun mendatang. Maka perlu adanya terobosan terhadap

kesejahteraan petani sebagai tenaga penghasil padi. Terobosan bisa berupa pemberian

insentif dan bantuan kepada petani seperti bantuan benih, pestisida pupuk juga

jaminan harga yang layak. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan petunjuk

kepada petani cara mengatasi perubahan iklim.

Kesejahteraan meliputi dimensi yang luas, namun untuk lebih

menyederhanakan persoalan, definisi kesejahteraan lebih dominan mengarah pada

kesejahteraan ekonomi atau lebih spesifik lagi pendapatan rumah tangga. Variabel

yang kerap digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani ialah indeks nilai tukar

petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar

rumah tangga tani. Berdasarkan tahun dasar 1993=100, nilai tukar petani pada tahun

2003 sekitar 106,9 dan pada tahun 2004 menjadi 103,0 dan pada tahun 2005 menjadi

100,95 atau berturut-turut mengalami penurunan -3,60 persen dan -1,99 persen.

Sementara pada tahun 2006 nilai tukar petani sebesar 102.35 mengalami peningkatan

1,28 persen dibanding tahun 2005. Ini menunjukkan bahwa selain kondisi

kesejahteraan petani tahun 2006 lebih baik dibanding tahun 1993, juga kondisi petani

tahun 2006 lebih baik dibanding tahun 2005.

Meskipun tingkat kesejahteraan petani cenderung meningkat, namun jumlah

petani yang tergolong miskin masih cukup besar. Jumlah absolut anggota rumah

tangga tani yang masih hidup dalam kemiskinan pada tahun 2002 mencapai 20,6 juta

orang. Jumlah tersebut merupakan 82,10% dari 25,10 juta penduduk miskin di

perdesaan dan 54% dari 38,40 juta total penduduk miskin pada tahun 2002. Data

persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut provinsi/kabupaten/kota

dan sektor bekerja pada tahun 2003 menunjukkan persentase terbesar penduduk

miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor

pertanian. Sampai akhir 2007 data kemiskinan petani ini tidak mengalami perbaikan.

13

Page 14: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Dari 37,17 juta jumlah penduduk miskin, 63,3% hidup di perdesaan dan sebagian

besar mengandalkan sumber kehidupannya dari sektor pertanian.

Hasil survei JPIP dan UP3D-ITS tentang kemiskinan di Jawa Timur pada

Agustus 2007 juga membuktikan bahwa permasalahan kemiskinan sangat terkait

dengan sektor pertanian.

1. Kantong kemiskinan berada di daerah-daerah yang sangat bertumpu pada sektor

pertanian.

2. Hampir separo keluarga miskin di wilayah pertanian dan semi pertanian memiliki

tingkat pendidikan tidak sampai tamat SD/MI. Ketiga, keluarga miskin di wilayah

pertanian sebagian besar bekerja sebagai buruh tani sebagai pekerjaan utama.

3. Keluarga miskin yang bekerja sebagai buruh tani mempunyai penghasilan antara

Rp 100.000 – Rp 400.000 per bulan, sedangkan yang bekerja sebagai peternak

hanya Rp 200.000 per bulan.

c. Perubahan Lingkungan Strategis Dalam Ketahanan Pangan

Persoalan pangan memang bukan cuma soal produksi. Produksi pangan yang

melimpah pun tidak menjadi tidak ada kelaparan kalau distribusi pangan tidak

disokong oleh perangkat kelembagaan yang kredibel. Indonesia sebagai negara

kepulauan, keberadaan kelembagaan yang kredibel menjadi syarat mutlak (conditio

sine qua non). Bagi kelompok miskin, amburadul-nya kelembagaan distribusi pangan

bakal membuat mereka semakin menderita. Maklum, porsi pengeluaran pangan untuk

kelompok miskin tidak kurang dari 80 persen dari seluruh pengeluaran, dan 60 persen

di antaranya untuk beras. Jadi ketergantungan kelompok miskin pada pangan amat

besar.

Kenaikan BBM dan tarif listrik akan membuat harga barang-barang meroket,

yang pada gilirannya akan memicu inflasi yang tinggi. Jika pendapatan riil mereka

turun, maka persentase pengeluaran untuk pangan menjadi lebih tinggi lagi. Tidak

cuma 60 persen, malah porsinya bisa lebih dati 90 persen. Mereka pun akan

14

Page 15: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

merealokasikan pengeluarannya. Dana untuk pendidikan dan kesehatan akan

dikurangi, lalu mereka mengalihkannya ke pangan. Jumlah dan frekuensi makan

mereka dikurangi. Jenis pangan inferior atau murah menjadi pilihan, walau tidak kaya

dengan kandungan energi dan protein. Dampaknya, konsumsi energi dan protein akan

menurun.

d. Peran Pemerintah

Untuk menjamin agar ketahanan pangan dapat berkelanjutan maka pencapaian

ketahanan pangan harus diarahkan pada keragaman sumberdaya bahan pangan,

kelembagaan dan budaya lokal/domestik, ketersediaan dan distribusi pangan

mencapai seluruh wilayah serta peningkatan pendapatan masyarakat agar mampu

mengakses pangan secara berkelanjutan yang dapat dicapai melalui berbagai cara

diantaranya dengan menggali dan mengoptimalkan potensi sumberdaya pangan lokal.

Terdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan :

1. Ketersediaan Pangan: Indonesia secara umum tidak memiliki masalah

terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton

beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi

tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi. Lebih jauh

jaringan distribusi swasta yang berjalan secara effisien turut memperkuat

ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakan kunci yang

memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi:

· Larangan impor beras

· Upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi pangan

· Pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras

2. Keterjangkauan Pangan. Elemen terpenting dari kebijakan ketahanan pangan

ialah adanya jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumber makanan

yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untuk mencapai tujuan ini

ialah dengan memperluas strategi pertumbuhan ekonomi, khususnya

15

Page 16: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaum miskin. Kebijakan ini

dapat didukung melalui program bantuan langsung kepada masyarakat

miskin, yang diberikan secara seksama dengan target yang sesuai. Sejumlah

kebijakan penting yang mempengaruhi keterjangkauan pangan meliputi:

· Program Raskin yang selama ini telah memberikan subsidi beras bagi

hampir 9 juta rumah tangga

· Upaya BULOG untuk mempertahankan harga pagu beras

· Hambatan perdagangan yang mengakibatkan harga pangan domestik

lebih tinggi dibandingkan harga dunia.

3. Kualitas Makanan dan Nutrisi: Hal yang juga penting untuk diperhatikan,

sebagai bagian dari kebijakan untuk menjamin ketersediaan pangan yang

mencukupi bagi penduduk, ialah kualitas pangan itu sendiri. Artinya

penduduk dapat mengkonsumsi nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin) yang

mencukupi untuk dapat hidup sehat. Konsumsi pangan pada setiap kelompok

pengeluaran rumah tangga telah meningkat pada jenis-jenis pangan yang

berkualitas lebih baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaan nutrisi makanan

belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak akhir krisis. Sejumlah

kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kualitas pangan dan nutrisi

meliputi:

· Upaya untuk melindungi sejumlah komoditas pangan penting

· Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis

· Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisi

Sepuluh langkah yang disarankan oleh The World Bank dibawah ini mengkaji

ulang efektivitas kebijakan di tiga wilayah tersebut diatas dan kemudian

mengajukan sejumlah langkah praktis

dalam meningkatkan keadaan dan mendorong ketahanan pangan.

untuk bisa diterapkan di Indonesia,antara lain :

16

Page 17: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

1. Mengupayakan peran bulog

2. Mengkaji kemungkinan dipisahkannya Badan Ketahanan Pangan

Nasional dari Kementerian Pertanian

3. Meningkatkan efektivitas Dewan Ketahanan Pangan di tingkat

kabupaten/kota

4. Menghilangkan larangan impor beras

5. Mengubah fokus Departemen Pertanian dari mendorong peningkatan

produksi ke perluasan teknologi dan penciptaan diversifikasi

6. Menurunkan biaya raskin

7. Memikirkan kembali stabilitas harga beras

8. Mendukung dan menerapkan peningkatan gizi pada bahan makanan

pokok

9. Fokuskan kembali perhatian pada program makanan tambahan

10. Meningkatkan informasi mengenai gizi.

17

Page 18: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

BAB III

SIMPULAN

MENGHADAPI ANCAMAN KRISIS PANGAN

Oleh : Kamelia Idrus Anang

1. Masalah Pangan di Indonesia

a. Kualitas pangan yang relatif masih kurang baik

b. Kebijakan impor beras yang meningkat negara cenderung KONSMTIF

c. Kesulitan dalam mengakses makanan yang aman

d. Harga pangan dunia yang meningkat tajam

2. Dalam menangani masalah pangan nasional, langkah konkret yang dapat

dilakukan bisa berupa pembuatan kebijakan akan ketersediaan pangan,

keterjangkauan pangan serta bagaimana kualitas makanan dan nutrisi.Sekaligus

memberikan

3. Ketahanan pangan tingkat nasional masih terbilang belum mencapai target maka

perlu dilakukan kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan

tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun,

aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta kualitas/keamanan pangan.

Dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari

FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan

pangan yaitu:

1. kecukupan ketersediaan pangan;

18

Page 19: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari

tahun ke tahun.

3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta

4. kualitas/keamanan pangan

4. Kaitan produksi pangan dengan kesejahteraan petani sangatlah erat dan masalah

ini masih harus menjadi skala prioritas dalam menangani masalah ketahanan

pangan di Indonesia.

Terobosan bisa berupa pemberian insentif dan bantuan kepada petani seperti

bantuan benih, pestisida pupuk juga jaminan harga yang layak. Selain itu,

pemerintah juga dapat memberikan petunjuk kepada petani cara mengatasi

perubahan iklim.

5. Lingkungan startegis yang masih sangat menonjol di Indonesia yakni tingkat

kemiskinan keluarga sehingga masih sangat sulit memenuhi kebutuhan pangan,

apalagi harga sembako meningkat tajam serta impor beras tetap dilakukan.

19

Page 20: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

DAFTAR PUSTAKA

Tim penelitian, 2003.

Ketahanan pangan rumah tangga di perdesaan: konsep dan ukuran. Puslit

Kependudukan -LIPI

Arif Satria,2010

Harga Pangan Naik Krisis Mengancam, Surat Kabar Media Indonesia.Hal

16.Terbit tanggal 25 Oktober 2010. Jakarta

________, 2010

Artikel “Impor Beras Jangan Ditunggangi”, Surat Kabar Seputar Indonesia

halaman 4. Terbit tanggal 24 Oktober 2010.

Saleh. Edward, 2010

Program Pangan dan Gizi. Bahan Ajar di STIK Bina Husada

The World Bank,

Pangan Untuk Indonesia.

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/

280016-1106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/

feeding.pdf. Diakses tanggal : 28 oktober 2010

pukul 16.00 WIB

Kompas,

Hari pangan sedunia (hps): kemiskinan dan ketahanan pangan . Terbit :Selasa, 16 Okotober 2001.

20

Page 21: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Hari Pangan Sedunia (HPS): Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

Hari Pangan Sedunia (HPS): Kemiskinan dan Ketahanan PanganGizi.net - Setiap tanggal 16 Oktober 2001, kita peringati Hari Pangan Sedunia. Kali ini, disponsori oleh Food and Agriculture Organization (FAO), peringatan Hari Pangan Sedunia 2001 dilaksanakan di berbagai negara dengan tema Fight Hunger to Reduce Poverty. Di dalam negeri, dikoordinasi oleh Bulog, pemerintah mengambil tema “Ketersediaan Pangan untuk Memerangi Kelaparan dan Mengurangi Kemiskinan”.

Tema ini sangat pas untuk menjadi renungan di kala multikrisis belum juga mereda, karena dua hal.

Pertama, Revolusi Hijau hanya menyengsarakan mereka. Alasannya, penggunaan pupuk dan peptisida telah merusak tanah dan lingkungan, sehingga menyulitkan produksi. Akibat pemakaian pupuk terus menerus dan takarannya selalu ditingkatkan, tanah mengalami degradasi, sehingga pemupukan tidak bisa lagi menaikkan hasil.Kedua, kesangsian atas teknologi transgenik sebagai obat mujarab kelaparan dunia. Statistik berikut memberi bukti. Di AS, negara dengan tanaman transgenik terluas, satu dari sepuluh rumah tangga tidak selalu dapat membeli makanan yanag diperlukan. Tahun 1998, 3,7 juta rumah tangga di AS kelaparan dan 10,5 juta rumah tangga terancam kelaparan. Hampir satu dari lima dan lebih dari satu setiap orang dewasa hidup dalam rumah tangga yang tak memiliki ketahanan pangan (Bread for the World, 1999).

Persoalan pangan memang bukan cuma soal produksi. Produksi pangan yang melimpah pun tidak menjadi tidak ada kelaparan kalau distribusi pangan tidak disokong oleh perangkat kelembagaan yang kredibel. Indonesia sebagai negara kepulauan, keberadaan kelembagaan yang kredibel menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non). Bagi kelompok miskin, amburadul-nya kelembagaan distribusi pangan bakal membuat mereka semakin menderita. Maklum, porsi pengeluaran pangan untuk kelompok miskin tidak kurang dari 80 persen dari seluruh pengeluaran, dan 60 persen di antaranya untuk beras. Jadi ketergantungan kelompok miskin pada pangan amat besar.

Kenaikan BBM dan tarif listrik akan membuat harga barang-barang meroket, yang pada gilirannya akan memicu inflasi yang tinggi. Jika pendapatan riil mereka turun, maka persentase pengeluaran untuk pangan menjadi lebih tinggi lagi. Tidak cuma 60 persen, malah porsinya bisa lebih dati 90 persen. Mereka pun akan merealokasikan pengeluarannya. Dana untuk pendidikan dan kesehatan akan dikurangi, lalu mereka mengalihkannya ke pangan. Jumlah dan frekuensi makan mereka dikurangi. Jenis pangan inferior atau murah menjadi pilihan, walau tidak kaya dengan kandungan energi dan protein. Dampaknya, konsumsi energi dan protein akan menurun.

Sumber : Kompas, Selasa, 16 Okotober 2001

21

Page 22: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Pangan untuk IndonesiaBy : The World Bank – Indonesia Policy Briefs

Kebijakan untuk Menjamin Ketahanan PanganTerdapat tiga komponen kebijakan ketahanan pangan :1. Ketersediaan Pangan: Indonesia secara umum tidak memiliki masalahterhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 jutaton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkatproduksi tersebut; dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi.Lebih jauh jaringan distribusi swasta yang berjalan secara effisien turutmemperkuat ketahanan pangan di seluruh Indonesia. Beberapa kebijakankunci yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan pangan meliputi:· Larangan impor beras· Upaya Kementerian Pertanian untuk mendorong produksi pangan· Pengaturan BULOG mengenai ketersediaan stok beras2. Keterjangkauan Pangan. Elemen terpenting dari kebijakan ketahananpangan ialah adanya jaminan bagi kaum miskin untuk menjangkau sumbermakanan yang mencukupi. Cara terbaik yang harus diambil untukmencapai tujuan ini ialah dengan memperluas strategi pertumbuhanekonomi, khususnya pertumbuhan yang memberikan manfaat bagi kaummiskin. Kebijakan ini dapat didukung melalui program bantuan langsungkepada masyarakat miskin, yang diberikan secara seksama dengan targetdengan pihak penyelenggara lain, untuk mendapatkanperbandingan atas pelayanan publik yang selama ini dilakukanBULOG, termasuk biaya yang timbul dalam pelayanan tersebut.3. Membentuk komisi independen yang bertugas memantau stokaman kebutuhan beras nasional.4. Menghitung secara akurat biaya penyediaan program RASKIN danmengkaji ulang kontrak antara pemerintah dengan BULOG.3. Kualitas Makanan dan Nutrisi: Hal yang juga penting untuk diperhatikan,sebagai bagian dari kebijakan untuk menjamin ketersediaan pangan yangmencukupi bagi penduduk, ialah kualitas pangan itu sendiri. Artinyapenduduk dapat mengkonsumsi nutrisi-nutrisi mikro (gizi dan vitamin)yang mencukupi untuk dapat hidup sehat. Konsumsi pangan pada setiapkelompok pengeluaran rumah tangga telah meningkat pada jenis-jenispangan yang berkualitas lebih baik. Namun, seperti catatan diatas, keadaannutrisi makanan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sejak akhirkrisis. Sejumlah kebijakan penting yang berpengaruh terhadap kualitaspangan dan nutrisi meliputi:· Upaya untuk melindungi sejumlah komoditas pangan penting· Memperkenalkan program pangan tambahan setelah krisis· Penyebarluasan dan pemasaran informasi mengenai nutrisiSepuluh langkah dibawah ini mengkaji ulang efektivitas kebijakan di tigawilayah tersebut diatas dan kemudian mengajukan sejumlah langkah praktisdalam meningkatkan keadaan dan mendorong ketahanan pangan.

22

Page 23: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

Sepuluh Langkah untuk MeningkatkanKetahanan PanganI. MENGUPAYAKAN PERAN BULOGII. MENGKAJI KEMUNGKINAN DIPISAHKANNYA BADAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

DARI KEMENTRIAN PERTANIAN

III. MENINGKATKAN EFEKTIVITAS DEWAN KETAHANAN PANGAN

DI TINGKAT KABUPATEN/KOTA

IV. MENGHILANGKAN LARANGAN IMPOR BERAS

V. MENGUBAH FOKUS DEPARTEMEN PERTANIAN DARI MENDORONG PENINGKATAN

PRODUKSI KE PERLUASAN TEKNOLOGI DAN PENCIPTAAN DIVERSIFIKASI

VI. MENURUNKAN BIAYA RASKIN (DOWNSCALE RASKIN)VII. MEMIKIRKAN KEMBALI KEBIJAKAN STABILISASI HARGA BERAS

VIII. MENDUKUNG DAN MENERAPKAN PENINGKATAN GIZI PADA BAHAN MAKANAN POKOK

IX. FOKUSKAN KEMBALI PERHATIAN PADA PROGRAM MAKANAN TAMBAHAN

X. MENINGKATKAN INFORMASI MENGENAI GIZI

23

Page 24: Menghadapi Ancaman Krisis Pangan

KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PERDESAAN: KONSEP DAN UKURAN

Tim penelitian

Ketahanan pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi

Puslit Kependudukan -LIPI

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

1. kecukupan ketersediaan pangan;

2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.

3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta

4. kualitas/keamanan pangan

Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan

pangan di tingkat rumah tangga dalam studi ini. Keempat indikator ini

merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan.

Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan

cara menggambungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan

tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan

24