11
Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online Ditulis oleh Maman S Mahayana Rabu, 27 Februari 2013 11:17 Betulkah pengarang tidak penting lagi ketika pembaca berhadapan dengan teks (sastra)? Meskipun perkaranya berbeda dengan kematian tuhan yang diproklamasikan Nietzsche, boleh jadi semangatnya semata-mata hendak merayakan kebebasan pembaca menafsir-maknai teks; atau memang kenyataannya begitu, yakni sesaat setelah teks lepas dari penulis—pengarangnya, seketika itu juga terbentang garis demarkasi yang memisahkan teks dengan pengarang. Teks lalu diperlakukan laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Bukankah anak panah yang meluncur dan melenceng atau menancap pada sasarannya tidak lagi berhubungan dengan busurnya? Tetapi bagaimana anak panah itu bisa lepas? Bukankah daya luncur itu juga bergantung pada model busurnya; bergantung pada siapa pemanahnya, Robinhood atau Srikandi? Merayakan otonomi dan kebebasan pembaca, tidak dapat lain, kecuali mesti memberi garis tegas antara teks dan pengarang. Dari sinilah, konon, hubungan pengarang dengan teks menandai masa perceraian. Teks menjadi milik publik dan pembaca berhak melakukan apa pun terhadapnya. Jika terjadi kesalahan intensional ( intentional fallacy ) [1] ketika pembaca coba menafsir dan memaknai teks, tidak sepatutnya pula pengarang berteriak histeris memperbaiki kesalahan itu. “Teks adalah satu-satunya sumber makna,” maka pembaca tidak perlu pula bersusah-payah bertanya kepada pengarang tentang apa pun yang terdapat dalam teks. Dari sinilah perayaan kebebasan pembaca harus dibayar dengan kematian pengarang. Dengan perkataan lain, pengarang harus dialmarhumkan. Jika pengarangnya sudah almarhum, ia perlu dialmarhumkan lagi. Alasannya: segala makna sudah paripurna berada dalam teks. Lalu, masih perlukah menghadirkan pengarang di sana? Apa sih perkara sesungguhnya sehingga muncul gagasan seperti itu? Dalam konteks itu, konon lagi, yang memberi makna atas teks tidak lain adalah pembaca. Pada saat itu, pengarang yang sudah almarhum atau yang sedang nongkrong di belakang, tidak punya kekuasaan apa pun untuk mempengaruhi penafsiran, penilaian, dan pemaknaan pembaca. Tentu saja, sebagai pembaca, kita bebas melakukan apa pun. Bukankah kita juga punya hak untuk mencampakkan buku itu —selepas kita membacanya— lantaran kita tak beroleh apa-apa dari teksnya? Lalu, apa pula maknanya kita menghadirkan lagi pengarang, padahal pengarang sudah ikhlas melepaskan karyanya untuk diapakan saja oleh siapa pun pembacanya? Begitulah, pada akhirnya pembacalah yang berkuasa atas teks. Jadi, tak apa-apa jika ada yang berkomentar, peduli hantu dengan pengarang? Matikan saja pengarang semati-matinya, hingga menyebut namanya pun tak penting lagi! Betulkah begitu? Lalu, apa pula maksud Roland Barthes mengibarkan judul artikelnya, “The Death of the Author”? [2] 1 / 11

menghadirkan-kembali-pengarang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pENGARANG YANG BAIK DAN BENAR

Citation preview

Page 1: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

Betulkah pengarang tidak penting lagi ketika pembaca berhadapan dengan teks (sastra)?Meskipun perkaranya berbeda dengan kematian tuhan yang diproklamasikan Nietzsche, bolehjadi semangatnya semata-mata hendak merayakan kebebasan pembaca menafsir-maknai teks;atau memang kenyataannya begitu, yakni sesaat setelah teks lepas daripenulis—pengarangnya, seketika itu juga terbentang garis demarkasi yang memisahkan teksdengan pengarang. Teks lalu diperlakukan laksana anak panah yang lepas dari busurnya.Bukankah anak panah yang meluncur dan melenceng atau menancap pada sasarannya tidaklagi berhubungan dengan busurnya? Tetapi bagaimana anak panah itu bisa lepas? Bukankahdaya luncur itu juga bergantung pada model busurnya; bergantung pada siapa pemanahnya,Robinhood atau Srikandi?

Merayakan otonomi dan kebebasan pembaca, tidak dapat lain, kecuali mesti memberi garistegas antara teks dan pengarang. Dari sinilah, konon, hubungan pengarang dengan teksmenandai masa perceraian. Teks menjadi milik publik dan pembaca berhak melakukan apa punterhadapnya. Jika terjadi kesalahan intensional (intentional fallacy) [1] ketika pembaca cobamenafsir dan memaknai teks, tidak sepatutnya pula pengarang berteriak histeris memperbaikikesalahan itu. “Teks adalah satu-satunya sumber makna,” maka pembaca tidak perlu pulabersusah-payah bertanya kepada pengarang tentang apa pun yang terdapat dalam teks. Darisinilah perayaan kebebasan pembaca harus dibayar dengan kematian pengarang. Denganperkataan lain, pengarang harus dialmarhumkan. Jika pengarangnya sudah almarhum, ia perludialmarhumkan lagi. Alasannya: segala makna sudah paripurna berada dalam teks. Lalu, masihperlukah menghadirkan pengarang di sana?

Apa sih perkara sesungguhnya sehingga muncul gagasan seperti itu? Dalam konteks itu,konon lagi, yang memberi makna atas teks tidak lain adalah pembaca. Pada saat itu,pengarang yang sudah almarhum atau yang sedang nongkrong di belakang, tidak punyakekuasaan apa pun untuk mempengaruhi penafsiran, penilaian, dan pemaknaan pembaca.Tentu saja, sebagai pembaca, kita bebas melakukan apa pun. Bukankah kita juga punya hakuntuk mencampakkan buku itu —selepas kita membacanya— lantaran kita tak beroleh apa-apadari teksnya? Lalu, apa pula maknanya kita menghadirkan lagi pengarang, padahal pengarangsudah ikhlas melepaskan karyanya untuk diapakan saja oleh siapa pun pembacanya?

Begitulah, pada akhirnya pembacalah yang berkuasa atas teks. Jadi, tak apa-apa jika ada yangberkomentar, peduli hantu dengan pengarang? Matikan saja pengarang semati-matinya, hinggamenyebut namanya pun tak penting lagi! Betulkah begitu? Lalu, apa pula maksud RolandBarthes mengibarkan judul artikelnya, “The Death of the Author”? [2]

1 / 11

Page 2: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

***

Mari kita mulai dengan coba merayap ke khazanah cerita rakyat yang segalanya serba anonim.Bukankah dalam cerita-cerita yang anonim itu, keberadaan pengarang sudah raib entah dimana? Meskipun dalam cerita-cerita rakyat itu tak tercantum nama pengarang, bukankahsemuanya diterima baik-baik saja. Jika begitu, masih perlukah di sana pengarang dihadirkanuntuk menunjukkan betapa pentingnya otoritas itu dalam sebuah teks (sastra)? Dalam sejumlahhal, tentu saja saya perlu menyetujuinya. Tetapi, patut pula kiranya kita melihatnya dari carapandang yang lain. Meskipun sudah sangat jelas di sana berlaku anonimitas, kita masih dapatmencari cara lain yang memungkinkan kita dapat menelusuri asal-muasal teks itu. Mari kitacoba memulai dari cerita-cerita rakyat yang serba-anonim itu.

Siapakah makhluk manusia yang begitu cerdas menghasilkan legenda Candi Sewu?Mengapakah syarat satu malam mengerjakan 1000 candi yang diajukan Roro Jonggrangkepada Bandung Bondowoso, sang pembunuh Raja Baka, ayah Roro Jonggrang, nyaris samadengan tuntutan Dayang Sumbi pada Sangkuriang? Mungkin ada perkaitannya, boleh jadi jugatidak. Tetapi, sudah barang tentu tidak bakal ada orang Jawa yang nekad mengklaim, bahwalegenda Sangkuriang sebagai buah karya orang Jawa. Pasti pula hal yang sama berlaku padadiri masyarakat Pasundan yang tidak bakal mengklaim bahwa legenda Candi Sewu sebagaiciptaan orang Sunda.

Anonimitas! Masyarakat sudah membuat konvensi yang disepakati bersama, bahwa kisahtragis Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso atau legenda Sangkuriang adalah karyakolektif masyarakat Jawa dan Pasundan. Legenda-legenda itu sudah dipatenkan begitu sajamenjadi milik bersama kedua suku bangsa itu (Jawa dan Sunda). Atau, setidak-tidaknya,generasi dari kedua suku bangsa itu, seperti sudah ditakdirkan menerima begitu saja bahwaada cerita ajaib tentang laki-laki sakti mandraguna yang gagal lantaran muslihat perempuanmerekayasa waktu; menciptakan rembang pagi. Pengarang yang seketika itu pula lesap danmasuk menjadi makhluk kolektif —masyarakat, bukan tidak diperlukan, melainkan sudahmenjelma menjadi sekumpulan orang, kolektif, milik bersama sebagai kekayaan tradisi kulturalmasyarakatnya. Sudah barang tentu masyarakat Pasundan atau Jawa akan melakukanperlawanan ketika ada suku bangsa lain yang mengklaim bahwa kedua legenda itu bukanberasal dari kekayaan khazanah tradisi kultur Jawa dan Sunda.

Andai saja, misalnya, tiba-tiba ada anggota masyarakat Bali mewartakan, bahwa perahu yangditendang Sangkuriang dan jatuh tertelungkup hingga menjelma Gunung Tangkuban Perahuitu, awalnya dibuat di Bali, tepatnya di kabupaten Badung. Orang Bali itulah yang menendangperahu hingga jatuh di dataran Pasundan. Itu pula asal-muasalnya nama Bandung sebagai

2 / 11

Page 3: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

penghargaan kepada masyarakat kabupaten Badung, Bali.

Andai lagi, tentang Bandung Bondowoso itu. Legenda Roro Jonggrang sebenarnya buahkreativitas orang Sunda. Buktinya apa? Ya, itu. Bukankah sang pangeran, pembunuh RajaBaka, ayah Roro Jonggrang bernama Bandung. Oleh karena itu, syarat semalam untukmembuat 1000 candi yang diajukan Roro Jonggrang kepada Bandung Bondowoso, itu kisahyang diambil dari legenda Sangkuriang, untuk menunjukkan kreativitas orang Bandung. [3]

Dua pengandaian yang ngawur itu niscaya bakal mendapat perlawanan tiada henti darimasyarakat Pasundan dan Jawa. Seperti sudah ditegaskan: legenda Roro Jonggang adalahharta kekayaan tradisi budaya masyarakat Jawa. Legenda Sangkuriang tak dapat dilenyapkanbegitu saja sebagai milik masyarakat Pasundan. Di sini, perkara lokalitas menjadi penting. RoroJonggrang adalah trademark Jawa; Sangkuriang adalah trademarkPasundan! Titik!

Tetapi bagaimana dengan kasus Jaka Tarub—Nawangwulan yang kehilangan selendangdengan anaknya yang semata wayang (Jawa) dan kisah Bidadari dan Tukang Kayu(Seonnyeo wa Namukun) (Korea) yang kehilangan baju dengan dua anaknya yang terbang ke Kahyangan? Boleh jadisiapa mempengaruhi siapa. Dan perkara pengaruh-mempengaruhi dalamkesusastraan—kebudayaan adalah sebuah kelaziman sebagai hasil interaksi dua budaya;sebagai penanda terjadinya proses akulturasi—inkulturasi manusia dalam mengembangkankebudayaannya. Jelas, penanda lokalitas (Jawa dan Korea) kedua cerita rakyat itu yangmembedakan dua masyarakat budaya. Dengan begitu, meskipun cerita rakyat itu anonim, kitamasih dapat menangkap karakteristik yang khas berkaitan dengan warna tempatan dengansegala lokalitasnya, dan sekaligus masyarakat dengan kebudayaannya.

Perlu pula saya mengajukan dua legenda lain yang berasal dari tanah Minangkabau, yaituMalin Kundang dan Batu Menangis. Malin Kundang dikutuk jadi batu lantaran tidak maumengakui ibunya sendiri. Adapun Batu Menangis, konon berasal dari cerita masyarakat dipinggiran Danau Maninjau. Di sana, ada sebongkah batu yang kerap mengeluarkan air. Air itutak lain adalah airmata seorang gadis yang menyesali perbuatannya yang kerap menganiayasang ibu. Akibat perbuatannya itu, si gadis ditakdirkan dewataala menjadi batu. Pada saat-saattertentu, menangislah si gadis menyesali nasibnya. Maka, batu itu pun mengeluarkan air. Itulahsebabnya batu itu disebut Batu Menangis!

3 / 11

Page 4: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

Siapakah yang mengarang kedua legenda itu? Tak ada yang tahu. Ada apa pula Minangkabaubikin cerita yang terus hidup dan dihidupkan masyarakatnya dari generasi ke generasi? Betul, sipembuat cerita itu lesap menjadi bagian dari masyarakat Minangkabau. Maka, kisah itudipercaya sebagai khazanah tradisi masyarakat Minangkabau. Sampai kini dan sampai entahkapan, rasanya tak ada seorang pun yang punya keberanian menafikannya. Di sana, lokalitasmenjadi penting dan kedua legenda itu akan tetap hidup sebagai bagian yang tidak terpisahkandari kultur Minangkabau.

Mengapa Malin Kundang dan si gadis dalam kedua legenda itu mesti mengalami nasib tragis?Jangan lupa: sistem keluarga dalam masyarakat Minangkabau mengikut garis matrilineal.Sistem kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan ibu (ninik-mamak) ini menempatkansosok ibu menjadi sangat penting. Maka, siapa pun yang coba menggerogoti kuasa ibu ataucoba menggugat sistem kekerabatan itu, ia perlu mendapat hukuman setimpal. Tindakperbuatan apa pun yang dapat menggoyahkan tradisi itu, tidak cuma bakal membahayakanposisi ninik-mamak,tetapi juga akan menggoncangkan berbagai tatanan sosial yang sudah sekian tegak berdirikokoh di sana. Malin Kundang dan si gadis itu, sungguh-sungguh sudah berkhianat pada ibudan ninik-mamak. Jika ada pemaafan atas tindakan kedua tokoh legenda itu, sangat mungkin akan terjadi halyang sama; pengkhianatan pada ninik-mamakbakal terulang kembali. Maka harus ada hukuman lebih timpal, yaitu menjadi batu. Jadi, kedualegenda itu berfungsi sebagai pengingat, sebagai alarm tanda bahaya bagi siapa pun yangmencoba-coba berkhianat pada ninik-mamak.

Kita tidak mengetahui siapa yang membuat kedua legenda itu. Tetapi, kembali, anonimitastidaklah penting, sebab ia merepresentasikan sebuah kultur dalam satu komunitas yangbermukim dalam wilayah tertentu. Lokalitas bertindak sebagai penanda wilayah budaya. Dalamhal ini, anonimitas tergantikan oleh lokalitas. Dalam sebuah artikel yang bertajuk “What is anAuthor?” [4] Michel Foucault mengatakan, “Kalau kebetulan teks itu tersaji secara anonim,maka akan ada upaya mati-matian untuk melokasikan penulisnya.”

Kini, coba perhatikan teks berikut. Makhluk apakah gerangan?

4 / 11

Page 5: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

Berakit-rakit ke hulu

Berenang-renang ke tepian

Bersakit-sakit dahulu

Bersenang-senang kemudian

Pisang emas dibawa berlayar

Masak sebiji di atas peti

Hutang emas boleh dibayar

Hutang budi dibawa mati

Seketika kita sudah dapat memperoleh jawabannya: pantun Melayu! Dari mana kita tahu,bahwa itu pantun Melayu? Karakteristik pantun Melayu di sana tidak dapat begitu sajadihilangkan atau diganti dengan wilayah budaya lain. Di sana ada ruh budaya bersemayam,mendekam, dan menjadi penanda; menjadi karakteristik. Maka, kita pun terlalu sulit —atau

5 / 11

Page 6: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

mustahil— memisahkan ruh itu dari teksnya. Jadi, meskipun terjadi anonimitas, toh lokalitasbudayanya masih dapat ditelusuri. Artinya, manakala teks memasuki ruang publik, pembacatidak serta-merta punya kebebasan mencampakkan ruh budayanya, mengganti lokalitasnya kewilayah budaya yang lain. Sangkuriang dengan sungai Citarum-nya, Roro Jonggrang denganCandi Sewu-nya, adalah penanda lokalitas yang tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaandan masyarakat yang mengepung dan mengelilinginya.

Lalu, bagaimanakah duduk perkaranya dengan teks yang di sana tercantum eksplisit namapengarangnya? Saya kutip lagi pernyataan Michel Foucault: “…wacana ‘sastra’ dapat diterimaapabila nama penulisnya dicantumkan, setiap teks puisi atau fiksi berkewajiban untukmencantumkan penulis, tanggal, tempat dan lingkungan penulisannya. Makna dan nilai yangmenempel pada teks tergantung pada informasi ini... karya sastra di masa sekarang dianggapsebagai perwujudan kedaulatan penulisnya. ”

Kini mari kita coba mengajukan contoh kasus berdasarkan khazanah kesusastraan Indonesia.Sebut saja misalnya novel Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli. Pentingkah kita (=pembaca) “menghidupkan” kembali pengarangnya untuk (lebih) memahami teks novel itu? Sitti Nurbayaadalah novel yang diterbitkan sebuah lembaga penerbit kolonial Belanda yang bernama BalaiPustaka. Di sana ada tokoh Sitti Nurbaya yang menikah —sebagai pengorbanan kepada sangayah— dengan Datuk Meringgih. Pertanyaan pertama: siapakah Datuk Meringgih? Lalu, adapula Samsul Bachri, pemuda cengeng yang belakangan menjadi kaki tangan Belanda dengannama baru: Kapten Mas. Pertanyaan kedua: mengapa Samsul Bachri dikisahkan sebagaipemuda cengeng yang akhirnya tewas di tangan Datuk Meringgih? Di sana, ada kisah tentangpemberontakan belasting(pajak). Pertanyaan ketiga: ada apa pula dengan fakta sejarah peristiwa pemberontakan pajakdi Minangkabau?

Tanpa mengungkapkan biografi pengarang, dapat saja kita sampai pada makna teks. Apatemanya, siapa saja tokoh-tokohnya, dan di mana serta kapan latar cerita berlangsung. Sampaidi sini, pemahaman kita tentang makna novel itu hanya sebatas yang terungkap dalam teks.Itulah makna tekstual. Tetapi, bagaimana persoalan di belakang dan di depan teks itu? Dengan“menghidupkan” kembali pengarangnya, sedikitnya kita dapat mengungkapkan lima persoalan,yaitu (1) ideologi pengarang yang berkaitan dengan masalah nasionalisme, (2) kebijaksanaanBalai Pustaka sebagai badan penerbit kolonial, (3) fakta historis yang menjadi bagian cerita, (4)latar kultural yang berada di balik unsur-unsur intrinsik (tema, latar, tokoh) novel itu, dan (5)hubungan novel Sitti Nurbaya dengan karya Marah Rusli lainnya yang terbit kemudian. [5]

6 / 11

Page 7: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

Dalam persoalan ini, di belakang Marah Rusli ada Minangkabau yang tidak dapat dihilangkanbegitu saja. Bukankah sejarah telah mencatat, bahwa pecahnya pemberontakan pajak diMinangkabau, lantaran Belanda hendak menghancurkan sistem waris berdasarkan  hubungan ninik-mamakdengan sistem perpajakan Belanda. Di samping itu, pemerintah Belanda juga tak mengakuipembayaran berdasarkan ketentuan zakat. Lalu, di depan Marah Rusli, masih ada pulapersoalan nasionalisme yang bagaimanapun menjadi bagian dari kesadarannya sebagai kaumterpelajar ketika itu.

Kasus yang sama dapat kita terapkan pada novel Salah Asuhan (1928) Abdoel Moeis. Perludiketahui, novel itu ditulis Abdoel Moeis ketika berada dalam masa pengasingan di Garut, JawaBarat. Sebagai tokoh pergerakan, mustahil novel itu tidak berisi muatan ideologi pengarangdalam hubungannya dengan perkara nasionalisme. Atau, setidak-tidaknya, kita (pembaca kritis)perlu mencurigai adanya pesan ideologis. Jadi, usaha “menghidupkan” kembali pengarangakan dapat melengkapi pemahaman kita tentang berbagai aspek yang berada di luar teks.Dalam hal ini, teks sesungguhnya belum lengkap benar, jika kita melepaskannya dari latarbudaya dan ideologi pengarang. Dengan begitu, teks terlahir tidak berdiri sendiri. Kehadirannyatidak seperti muslihat para pesulap: simsalabimadakadabra! Maka seketika itu pula, keluarlah bunga, burung, atau kelinci.

Teks terlahir dari sejumlah persoalan di belakangnya dan sekian harapan di depannya. Adaproses panjang dan tidak seketika jadi. Teks bukanlah jadi maka jadilah, melainkan perjalananpanjang sebuah proses pergulatan pemikiran manusia pengarang dalam kepungan berbagaibudaya yang diterima dan sekaligus ditolaknya. Teks menyimpan begitu banyak maknatersembunyi dan itu hanya mungkin dapat ditelusuri dan diungkap lebih lengkap, jika kitamelacak jejak pengarangnya. Bukankah Roland Barthes juga menegaskan begini: “Kita tahukini bahwa sebuah teks bukan hanya rangkaian kata-kata dengan satu makna yang “sakral”(“pesan” dari sang Maha Pengarang), tetapi sebuah ruang multidimensi yang memungkinkanberagam bentuk, tak satu pun yang asli, yang berbaur dan berbenturan. Teks adalah sebuahkutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya.” [6]

Dapatkah kita membayangkan, bagaimana melepaskan Ajo Sidi dari Navis dan Minang? Atau,terterimakah sosok Ajo Sidi sebagai orang Jawa, Sunda atau Melayu? Ini bukan sekadarperkara pengandaian, tetapi selalu ada logika kultural ketika tokoh dalam karya sastramengangkat fakta sosio-budaya. Akibatnya, tidak dapat lain, teks itu terpaksa dicantelkankembali ke belakang: siapa pengarangnya. Ajo Sidi adalah prototipe orang Minang yangkecintaannya pada Minang tidak dengan mengobral puja-puji, melainkan dengan kritik. Maka,otokritiknya terkesan lepas begitu saja tanpa beban, lantaran ia merasa telah menyampaikansesuatu yang diyakininya benar. Peribahasa “Takuruang hendak di luar, tahimpit hendak di atas

7 / 11

Page 8: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

‘Terkurung maunya di luar, terhimpit maunya di atas’ menunjukkan  bentuk otokritik orang(Minang) yang cenderung mau enaknya sendiri, meski berada dalam berbagai kesulitan.Mereka menyadari bahwa hal tersebut sebagai sesuatu yang tiada elok.

Sekarang coba periksalah Para Priyayi—“Ahmad Tohari” dan bandingkan dengan RonggengDukuh Paruk—“Umar Kayam”! Seketika Anda akan beranggapan, bahwa itu salah ketik, ketlingsut! Tentu saja tokoh Sastrodarsono (Para Priyayi) tak dibesarkan dalam kepungan budaya Jawa pinggiran yang berdasarkan teori gelombang,termarginalisasikan oleh pusat kekuasaan keraton. Ahmad Tohari tempatnya bukan di sana;bukan di Para Priyayi. Sastrodarsono tidak dekat dengan lokalitas budaya yang mengepung Ahmad Tohari. Hal yangsama berlaku juga pada tokoh Rasus (Ronggeng Dukuh Paruk) jika dikaitkan dengan Umar Kayam.

Dalam hal ini, teks tidak sekadar tumpukan kalimat yang membentuk deretan alinea yang lalumembangun sebuah wacana, melainkan juga sebaran makna yang di sana mendekam ikonbudaya. Umar Kayam tidak dapat dihilangkan begitu saja ketika kita mencoba memahamisecara lengkap ketokohan Sastrodarsono. Ia representasi sosok seorang Jawa yang berhasilmasuk ke dalam lingkungan dunia priyayi melalui sebuah proses capaian. Sastrodarsono bukanketurunan bangsawan. Ia meraihnya lewat dunia pendidikan. Seperti juga capaian yangberhasil direngkuh tokoh Lantip. Dengan demikian, Sastrodarsono dan Lantip adalah tokohpriyayi rekaan yang berada dalam idealisasi Umar Kayam. Meskipun kedua tokoh itu rekaan,keduanya memperoleh legitimasi kultural ketika Umar Kayam, Sang Pengarang, tidak dibuangdan ditenggelamkan begitu saja.

Begitulah, ketokohan Sastrodarsono, Lantip atau Rasus dan Srintil, sesungguhnya menyimpanlokalitas budaya yang secara laten mengelilingi Umar Kayam dan Ahmad Tohari. Pembacatidak berhadapan dengan kertas putih atau teks yang di sana-sini boleh dimasuki kebebasanmenafsir. Ada sumber terpercaya yang dapat digunakan sebagai referensi atau acuanmemasuki medan tafsir, yaitu pengarang.

Dalam lingkup yang lebih luas, sastra Indonesia, penghadiran kembali pengarang menjadipenting, lantaran pengarang Indonesia cenderung tidak dapat melepaskan dirinya dari

8 / 11

Page 9: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya. Empat Serangkai —Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca— misalnya, bukanlah teks yang selesai ketika kita mencoba melakukanpenafsiran—pemaknaan. Betul, sebagai teks yang dihasilkan Pramoedya Ananta Toer, mereka—karya-karya itu— selesai: paripurna! Tetapi manakala kita coba menafsir dan memaknainya,tidak dapat lain, idealisasi seorang Pramoedya Ananta Toer mesti dihadirkan lagi di sana.Dalam karya-karya itu, kegelisahan, obsesi, ideologi, dan segala macam pengalaman sejarah,sosio-budaya-politik Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang, menyebar di sana-sini dalamtumpukan kalimat dan alinea. Pemahaman kita pada ketokohan Minke tidak berhenti padatokoh faktual Tirto Adhi Soerjo, melainkan terus menuju sumbernya: Pramoedya SangPengarang.[7]Jadi, teks seperti sebuah muara yang dapat ditelusuri jejaknya sampai ke sumber mata airnya:pengarang!

Betul, bahwa tugas pembaca (biasa) coba memahami dan memaknai teks an sich.  Sampai disitu, pembaca sampai pada pemahaman makna tekstual. Tetapi, jika ia hendak menempatkandiri sebagai pembaca terdidik yang tak cukup puas berhenti di situ, ia seyogianya melakukanpenelusuran lebih jauh pada dunia di luar teks. Tugas mulia itu bukan berarti mengganti teksdengan biografi pengarang. Sama sekali tidak! Biografi pengarang bertujuan untukmencantelkan teks dengan kebudayaan yang mendekam dan bersembunyi di sana. Denganbegitu, teks itu tidak diperlakukan sebagai artefak yang beku, melainkan —seperti dikatakanRoland Barthes— “sebuah kutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya.”Teks menjadi sesuatu yang hidup. Di situlah usaha memisahkan teks dengan pengarang dapatdianggap sebagai musibah kebudayaan. Penenggelaman pengarang hakikatnya sama denganpengerdilan, pembonsaian, dan pemiskinan teks yang menyimpan begitu banyak kekayaanberbagai pesan budaya.

Boleh jadi, cara yang memungkinkan kekayaan teks terungkapkan dengan mengandaikannyasebagai puisi. Dalam hal ini, teks (sastra) diperlakukan sebagai puisi yang pemahamannyapertama-tama berdasarkan makna tekstual, dan selepas itu, melakukan penelusuranberdasarkan makna di sebaliknya, dan selepas itu lagi, konteksnya dalam sebuah wacanabesar tentang kebudayaan yang menjadi ruhnya. Begitulah, menghadirkan kembali pengarangdalam teks (sastra) tidak menempatkan fatwa pengarang di atas segala-galanya, melainkansebagai usaha membongkar kekayaan teks dengan berbagai makna kultural yang mendekamdi sana. Dengan demikian, memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pembaca tidak berartipula hendak mematikan pengarang, lantaran teks dianggap sudah lengkap. Secara faktual,benar teks sudah terlepas dari diri pengarangnya. Tetapi, secara kultural, teks itu tetap

9 / 11

Page 10: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

menyimpan ruh kultural pengarangnya. Oleh karena itu, kebebasan pembaca dalam memahamidan memaknai teks, perlu ditempatkan sebagai langkah awal. Lalu, manakala teks hendakdicantelkan dengan kebudayaan yang mendekam di dalamnya, penghadiran kembalipengarang akan sangat membantu mencapai tujuan tersebut.

Akhirnya, sebagai usaha menegaskan kembali pentingnya menghadirkan pengarang di tengahperayaan kebebasan pembaca, saya kutip kembali pernyataan Roland Barthes berikut ini: “Kitaharus memberi ruang pada tulisan dan membuang mitos bahwa lahirnya pembaca harusdibayar dengan matinya sang pengarang.” [8]

Nah, kiranya demikian! []

Catatan Akhir

[1]William K. Wimsatt and Monroe C. Beardsley, “The Intentional Fallacy,” Sewanee Review,Vo. 54, 1946: 468-488.

[2] Esai ini pertama kali terbit dalam bahasa Prancis tahun 1967. Kemudian terbit dalambahasa Inggris yang dimuat dalam American Journal Aspen, No. 5—6, 1967. RolandBarthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text. London: Routledge, 1977.

10 / 11

Page 11: menghadirkan-kembali-pengarang

Menghadirkan Kembali Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Maman S MahayanaRabu, 27 Februari 2013 11:17

[3] Jika dikaitkan dengan persoalan pengaruh—mempengaruhi, kasus legenda Sangkuriangdan Candi Sewu ini, meskipun sulit menentukan siapa mempengaruhi siapa, kita dapatmenelusurinya berdasarkan tarikh penyebaran Hinduisme di Jawa. Kasus yang sama boleh jadiberlaku pada drama klasik Oedipus Sang Raja karya Sophokles, yang sangat mungkindipengaruhi kisah Nabi Musa As. Simak juga legenda Ciung Wanara, tampaknya juga diilhami kisah Nabi Musa.

[4] Michel Foucault, “What is an Author?” Donald F. Bouchard and Sherry Simon, Language,Counter-Memory, Practice. Ed. Donald F. Bouchard. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1977, p. 124—127.

[5] Maman S Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2007.

[6] Roland Barthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text.London: Routledge, 1977.

[7] Periksa Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, Jakarta:Gramedia, 2011.

[8] Roland Barthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text.London: Routledge, 1977.

Joomla SEO by AceSEF

11 / 11