12
Newsletter AIDA Edisi X Oktober 2016 1 SUARA PERDAMAIAN Bersama Bersaudara Berbangsa Atas: Sesi foto bersama kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Bandung, 2 s.d. 3 Agustus 2016. Bawah: Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, I Wayan Kusmiantha Dusak, memberi sambutan dalam pelatihan. Edisi X, Oktober 2016 Membumikan Dakwah Perdamaian Melalui Kisah Korban Mendorong Pemberitaan yang Berperspektif Korban Menguatkan Semangat Basudara dengan Ketangguhan Korban M enurut Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, Lapas merupakan area strategis dalam upaya membangun perdamaian karena menjadi tempat berkumpulnya mantan pelaku terorisme yang menjalani masa pembinaan. “Di masa depan, WBP terorisme bakal kembali ke masyarakat. Dalam konteks ini, peran petugas Lapas sangat signifikan untuk membina WBP agar mereka tidak kembali kepada kelompok terorisme,” katanya. Dalam kegiatan di kota berhawa sejuk itu, empat orang penyintas terorisme hadir untuk membagikan kisahnya kepada peserta, yaitu Sudirman (korban Bom Kuningan 2004), Didik Hariyono (korban Bom JW Marriott 2003), Bambang Jatmiko dan Ni Luh Erniati (korban Bom Bali 2002). Bambang menuturkan dirinya bersyukur tak mengalami luka berat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ledakan. Kendati hanya mengalami cedera ringan, Bambang merasakan perjalanan hidupnya menjadi berat usai tragedi teror. Sebab, sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot drastis. “Karena cuma kena luka ringan, saya tidak dapat santunan. Saya mungkin satu- satunya korban Bom Bali yang tak pernah mendapatkan santunan. Meskipun begitu, saya berusaha tetap kuat. Saya pernah menjadi kuli batu untuk bertahan. Sekarang saya berjualan nasi goreng di Denpasar,” kisahnya. Dok. AIDA Kabar Utama Kabar Utama Kabar Utama Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyelenggarakan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Bandung, Jawa Barat, awal Agustus lalu. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) tindak pidana terorisme melalui kisah korban. 3| 6| 9| (Bersambung ke hal. 2) Dok. AIDA Pelatihan Petugas Pemasyarakatan Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas

Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 2016 1

Suara PerdamaianBersama Bersaudara Berbangsa

Atas: Sesi foto bersama kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Bandung, 2 s.d. 3 Agustus 2016.

Bawah: Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham, I Wayan Kusmiantha Dusak, memberi sambutan dalam pelatihan.

Edisi X, Oktober 2016

Membumikan Dakwah Perdamaian Melalui Kisah Korban

Mendorong Pemberitaan yang Berperspektif Korban

Menguatkan Semangat Basudara dengan Ketangguhan Korban

Menurut Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, Lapas merupakan area strategis dalam upaya membangun perdamaian karena menjadi tempat berkumpulnya mantan pelaku terorisme yang

menjalani masa pembinaan. “Di masa depan, WBP terorisme bakal kembali ke masyarakat. Dalam konteks ini, peran petugas Lapas sangat signifikan untuk membina WBP agar mereka tidak kembali kepada kelompok terorisme,” katanya.

Dalam kegiatan di kota berhawa sejuk itu, empat orang penyintas terorisme hadir untuk membagikan kisahnya kepada peserta, yaitu Sudirman (korban Bom Kuningan 2004), Didik Hariyono (korban Bom JW Marriott 2003), Bambang Jatmiko dan Ni Luh Erniati (korban Bom Bali 2002).

Bambang menuturkan dirinya bersyukur tak mengalami luka berat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ledakan. Kendati hanya mengalami cedera ringan, Bambang merasakan perjalanan hidupnya menjadi berat usai tragedi teror. Sebab, sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot drastis. “Karena cuma kena luka ringan, saya tidak dapat santunan. Saya mungkin satu-satunya korban Bom Bali yang tak pernah mendapatkan santunan. Meskipun begitu, saya berusaha tetap kuat. Saya pernah menjadi kuli batu untuk bertahan. Sekarang saya berjualan nasi goreng di Denpasar,” kisahnya.

Dok. AIDA

Kabar Utama

Kabar Utama

Kabar Utama

Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama denganDirektorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyelenggarakan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Bandung, Jawa Barat, awal Agustus lalu. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dalam melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan (WBP) tindak pidana terorisme melalui kisah korban.

3|

6|

9|(Bersambung ke hal. 2)

Dok. AIDA

Pelatihan Petugas Pemasyarakatan

Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas

Page 2: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 20162

Pembaca setia Suara Perdamaian,Edisi X hadir mengabarkan perkem-

bangan mutakhir kerja-kerja pembangunan perdamaian yang dilakukan oleh penyintas dan mantan pelaku terorisme melalui aneka kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dari bulan Juli hingga September 2016.

Program pembangunan perdamaian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) menjadi laporan utama edisi ini. AIDA bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham menyelenggarakan Pelatih-an Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Bandung, Jawa Barat awal Agustus lalu. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas petugas Lapas dalam membina warga binaan pemasyarakatan tindak pidana terorisme.

Redaksi juga mengetengahkan liputan acara Peringatan 13 Tahun Bom JW Marriott dan Peringatan 12 Tahun Bom Kuningan. Dalam dua kegiatan tersebut keluarga besar penyintas dari masing-masing komunitas bersilaturahmi untuk saling menguatkan.

Suara Perdamaian juga menyuguhkan laporan kegiatan kampanye perdamaian di Ambon, Maluku, yaitu: Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di lima sekolah, dan Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai”.

Liputan kegiatan Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media di Surakarta, Jawa Tengah pada bulan lalu juga tersaji.

Dilaporkan pula kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama di Medan, Sumatera Utara dan Makassar, Sulawesi Selatan. Puluhan tokoh agama di Medan dan Makassar bersilaturahmi dengan penyintas terorisme dalam kegiatan tersebut. Dari silaturahmi itu diharapkan muncul ide-ide cemerlang untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai.

Sebuah surat dari seorang putri penyintas Bom Kuningan 2004, Iwan Setiawan, yang merindukan kasih ibunya yang meninggal dunia karena dampak aksi teror tersebut, tersaji dalam edisi ini. Selamat membaca!

Salam Redaksi

KABAR UTAMA(Sambungan dari hal. 1)

Untuk program perdamaian dan kemanusiaan, AIDA menerima donasi secara tidak mengikat dari semua pihak yang bisa dipertanggungjawabkan sumbernya. Silakan salurkan donasi Anda melalui alamat reke-ning berikut:

Nama : Yayasan Aliansi Indonesia DamaiNo. Rekening : 0701745272Swift Code : BBBAIDJAAlamat : Permata Bank cabang Sudirman Jl. Jendral Sudirman kav 29-31 Jakarta 12920

DONASI A IDA

Didik Hariyono, korban Bom JW Marriott 2003, juga berbagi kisah dalam pelatihan. Akibat aksi teror itu, ia mengalami patah tulang belikat serta luka bakar di seluruh badan. Ia menjalani 17 kali operasi dan harus mengonsumsi obat selama empat tahun. “Terkadang saya bertanya-tanya apa yang dipikirkan teroris yang meledakkan bom itu kok sampai tega membuat kerusakan, sampai tega membunuh orang-orang tak bersalah,” ucapnya.

Pelatihan selama dua hari itu dibuka oleh Pembina AIDA, Imam Prasodjo. Dalam sambutannya, Imam mengungkapkan ancaman kekerasan atas nama agama, termasuk terorisme, masih menghantui Indonesia. Para penebar kekerasan yang menghasut dan memprovokasi orang lain dengan justifikasi dalil-dalil keagamaan terus bermunculan. Padahal pada saat bersamaan korban terorisme masa lalu masih menanggung penderitaan baik secara fisik maupun psikis. Sebagian dari mereka bahkan masih harus mendapatkan pengobatan tanpa batas waktu, sementara bantuan dari negara tak bisa diandalkan.

Adalah tugas semua pihak untuk mencegah agar tidak ada lagi orang yang melakukan atau menjadi korban aksi teror. Melalui pelatihan ini, Imam berharap para petugas Lapas dapat berempati kepada korban terorisme, sehingga nantinya dapat menumbuhkan empati WBP terorisme terhadap korban. Dalam hematnya, perdebatan ideologis sering buntu, karena itu butuh pendekatan lain yang bersifat afektif seperti kisah korban. “Siapa tahu ini adalah salah satu bagian strategis yang pendekatannya lebih efektif daripada yang selama ini dilakukan,” demikian Imam yang juga anggota Badan Pertimbangan

Pemasyarakatan.Direktur Jenderal Pemasyarakatan, I

Wayan Kusmiantha Dusak, mengaku terkesan dengan program membangun perdamaian di Lapas yang digagas oleh AIDA. Menurut dia, program AIDA yang hendak menyampaikan suara korban kepada WBP terorisme menarik forum internasional. “Kemarin saya menghadiri pertemuan di Bangkok bercerita tentang kegiatan ini, dan respons mereka sangat bagus sekali. Ke depan, saya harap kegiatan ini bisa melibatkan lebih banyak lagi petugas Lapas,” ujarnya dalam pelatihan.

Dalam kesempatan tersebut, Dusak menghaturkan terima kasih kepada AIDA karena telah memperhatikan lembaga yang dipimpinnya. Ia berharap, para petugas Lapas dapat menerapkan ilmu dari pelatihan ini saat membina WBP. “Ini adalah salah satu metode untuk bagaimana mencegah radikalisasi dalam Lapas, bagaimana lingkungannya menjadi antiradikal. Karena, perilaku orang banyak dipengaruhi oleh lingkungannya,” kata dia.

Dusak berpandangan pelatihan yang berlangsung dua hari tersebut terlalu singkat untuk menyediakan semua yang

dibutuhkan petugas Lapas dalam membina WBP terorisme. Namun demikian, ia optimistis ke depan para petugas Lapas peserta pelatihan memiliki visi perdamaian dalam membina WBP.

Pelatihan ini diikuti oleh 22 orang petugas

Lapas dan 8 orang pegawai Ditjen Pas Kemenkumham. Para peserta berasal dari Lapas di wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang menampung WBP terorisme.

Salah satu narasumber, pakar terorisme Universitas Indonesia, Solahudin, menyatakan saat ini ada sekitar 200 WBP terorisme yang menghuni beberapa Lapas di Indonesia. Dalam waktu dekat, akan ada puluhan terpidana kasus terorisme yang didistribusikan ke berbagai Lapas. “Mereka adalah orang-orang yang melakukan tindak pidana terorisme pada 2015-2016. Ini akan menjadi tantangan berat buat petugas Lapas,” ujarnya. [SWD]

KABAR UTAMA

Para penyintas terorisme, dari kiri ke kanan, Didik Hariyono (korban Bom JW Marriott 2003), Bambang Jatmiko, dan Ni Luh Erniati (korban Bom Bali 2002) berbagi kisah dalam pelatihan.

Page 3: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 2016 3

“Korban memiliki kekuatan luar biasa untuk memberikan sugesti kepada masyarakat agar tidak melakukan aksi kekerasan atau teror sebab merekalah yang merasakan langsung dampak aksi teror. Karena itu, korban merupakan satu kekuatan yang sangat berpengaruh untuk membangun Indonesia yang lebih damai.”

Demikian ungkap seorang peserta Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama di Medan, Sumatera Utara, Sabtu

(6/8/2016). Dalam kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Pusat Layanan Psikologi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, para aktivis dakwah dari organisasi Al-Washliyah di wilayah Medan dan sekitarnya bersilaturahmi dengan tiga penyintas terorisme, Nanda Olivia Daniel (korban Bom Kuningan 2004); Warti dan Hayati Eka Laksmi

Peserta dan Tim Perdamaian berfoto bersama usai kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif KorbanTerorisme di Kalangan Tokoh Agama di Medan, 6 s.d. 7 Agustus 2016.

Membumikan Dakwah PerdamaianMelalui Kisah Korban

Pelatihan Tokoh Agama

Dok. AIDA

KABAR UTAMA

(korban Bom Bali 2002).Dalam kesempatan

itu para penyintas berbagi kisah hidupnya yang berubah drastis akibat aksi terorisme. Ledakan bom di kawasan Legian, Kuta, Bali, telah merenggut nyawa suami Warti dan Hayati Eka Laksmi yang sedang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga tercinta.

“Saya menangis his-teris tatkala mengetahui suami meninggal menjadi korban Bom Bali. Anak masih berusia empat ta-hun, dan saya tidak punya siapa-siapa di Bali karena hanya ikut suami. Saya sempat sedih, resah bagaimana merawat dan membesarkan anak kami seorang diri,” Warti berkisah diselingi isak tangis.

Menyambung rekannya, Eka menceritakan pengalamannya menjadi korban terorisme di hadapan peserta pelatihan. Ia mengaku bersedia membagi kisah hidupnya kepada tokoh agama karena ingin mengingatkan masyarakat tentang dampak terorisme yang dialami diri dan rekan-rekannya, dan berharap tidak ada lagi korban lain. “Cukuplah kami yang merasakannya. Kami ingin menyadarkan masyarakat dengan keadaan kami,” kata Eka.

Sementara itu, akibat bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta, 9 September 2004, Nanda mengalami cacat permanen pada jari-jari tangan. Dalam pelatihan, ia menuangkan kepedihan lantaran merasa kepedulian pemerintah dalam memberikan layanan medis saat dirinya terdampak ledakan bom sangat lambat.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam forum pelatihan menyampaikan saat ini pihaknya melakukan advokasi agar revisi UU Antiterorisme yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat memuat aturan jaminan pemerintah atas biaya pengobatan korban terorisme pada masa kritis. Dengan aturan itu diharapkan tidak ada lagi pengalaman pahit seperti yang menimpa Nanda.

Selain itu, Hasibullah juga menyatakan bahwa masyarakat bisa mengambil pembelajaran dari kisah korban tentang betapa pentingnya perdamaian dalam kehidupan. Ia mengimbau para tokoh

agama menyampaikan dakwah kepada masyarakat dengan memuat pembelajaran dari penyintas terorisme dan diperkuat dengan dalil-dalil keagamaan.

“Kita ingin mendorong para tokoh agama untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya penggunaan aksi kekerasan, sekaligus menjelaskan dampak destruktif aksi teror terhadap korban dan keluarganya yang notabene umat beragama,” kata dia.

Di samping korban terorisme, pelatihan juga menghadirkan narasumber pakar, yaitu pengamat jaringan ekstremisme, Sofyan Tsauri, dan Rois Syuriah PBNU, KH. Masdar Farid Mas’udi. Sofyan menilai kelompok jihadi-takfiri telah mereduksi ajaran agama dan salah memahami ayat-ayat Alquran, terutama tentang jihad. Menurut dia, kelompok ekstremis telah seenaknya sendiri mengafirkan orang yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka, dan memangkas makna jihad menjadi perang semata.

“Karena itu para mubalig harus bisa meluruskan makna ayat-ayat itu, dan menjaga keamanan serta

Kita mendorong tokoh agama menyadarkan masyarakat tentang dampak aksi teror terhadap korban yang notabene umat beragama.

ketertiban agar tidak terjadi konflik sosial di masyarakat. Sebab, konflik sosial bisa menjadi pemantik bagikelompok jihadis untukmelakukan aksi teror-isme,” ujarnya.

Sementara itu, KH.Masdar berpendapa tbahwa paham ekstrem-isme bisa muncul dari segala macam ideologi, termasuk agama. Iam e n g u n g k a p k a n ekstremisme dapat di-cegah dengan cara ber-agama yang moderat, ya i tu me laksanakan

ajaran agama sebaik-baiknya disesuaikan dengan konteks zamandan tempat.

Dalam pelatihan itu para peserta juga mendapatkan pembelajaran dari rekonsiliasi korban dan mantan pelaku aksi kekerasan. Nara-sumber pada sesi ini adalah Albert Christiono (korban Bom Kuningan 2004) dan Iswanto (mantan anggota jaringan terorisme).

Iswanto telah melepaskan diri dari kelompok teroris dan telah meninggalkan jalan kekerasan. Ia mengaku salah satu faktor yang menyebabkan dirinya menyadari kekeliruan ajaran kelompok teror adalah perjumpaannya dengan para korban terorisme. “Mereka mengalami sakit yang luar biasa karena aksi teman-teman saya dulu. Saya betul-betul minta maaf kepada para korban,” kata dia.

Sementara itu, Albert mengaku tidak pernah menyimpan dendam kepada para pelaku aksi teror. Dalam agamanya, ia dididik untuk mengasihi manusia. Tulus dari dalam hati ia telah memaafkan mantan pelaku. Di hadapan para peserta pelatihan, Albert dan Iswanto berjabat tangan sebagai simbol rekonsiliasi dan persatuan antara korban dan mantan pelaku untuk menyuarakan perdamaian.

Para peserta mengaku mendapatkan sudut pandang baru tentang dakwah dan perdamaian setelah mengikuti pelatihan. Mereka mengapresiasi para korban yang mampu mengambil peran menyuarakan perdamaian di masyarakat. “Kami akan membumikan pesan-pesan perdamaian dalam kegiatan dakwah dan kehidupan sosial,” ujar salah seorang peserta. [AS]

Page 4: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 20164

KABAR UTAMA KABAR UTAMAD

ok. P

ribad

i

Assalamualaiakum, Bidadari Cantik :)

Selamat ulang tahun yang ke-35 tahun, malaikat tanpa sayapku, Mama!Bahagia di sana ya, Ma! Yang tenang di sana, jadi ahli surga ya, Ma! Doain aku

supaya aku bisa jadi anak Mama yang bisa ngebanggain orang yang sayang sama aku!

Ma, aku kangen deh sama Mama. Mama nggak kangen apa sama aku? Udah 9 tahun Mama pergi meninggalkan aku. Mama perginya cepat banget ya, Ma.

Padahal aku baru 5 tahun sama Mama, dan pas banget di umur aku yang ke-5 Mama dipanggil sama Allah, buat jadi bidadari surga-Nya.

Teman aku suka nanya, Ma, “Loe nggak pernah foto sama mama loe, Sal? Coba dong, gue mau lihat loe foto sama mama loe, pasti mirip ya. Loe kok tegar banget

sih, Sal?” Di saat semua pertanyaan itu keluar, aku cuma bisa diam seribu bahasa dan mencoba menjawab dalam hati, “Jangankan untuk mengenal arti kata berfoto, untuk mengabadikan suatu momen, mengenal kesedihan saat itu pun, aku belum

bisa merasakannya.”Di saat semua orang berkumpul untuk mengantarkan Mama ke tempat

peristirahatan terakhir pun aku bingung mengapa keluargaku menangis tanpa henti, dan orang-orang menggendongku. Seandainya Mama masih ada sekarang,

pasti aku sudah foto terus sama Mama. Kayak teman aku yang sering nge-post foto bareng mamanya. Jujur, aku cemburu melihatnya. Aku suka iri melihat teman

seumuran aku jalan sama mamanya, berbagi cerita sama mamanya. Aku nggak pernah mau ngeluh atau ngiri sama mereka, tapi nggak tahu kenapa susah rasanya ngebuang cemburu dan iri ini. Suka heran, kenapa aku nggak seberuntung mereka.

Liburan kali ini aku nggak pergi ke tempat yang penuh keramaian tapi cuma tempat berkumpulnya batu nisan yang terselip nama orang yang sangat aku

sayangi. Cuma di tempat ini, aku merasa nyaman bisa duduk di sebelah Mama. Bisa ceritain cerita aku ke Mama walau Mama nggak ngebalas cerita aku.

Aku kangen Mamaaaa, I love you, Maaaa….

Depok, 26 Juni 2016Sarah Darien Salsabila

Sarah Darien Salsabila (Salsa) adalah putri pasangan Iwan Setiawan dan almarhumah Chalyla Seroja Daulay. Iwan dan Chalyla adalah korban ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta pada 9 September 2004. Saat tragedi Bom Kuningan terjadi, Salsa berusia dua tahun. Kini Salsa sudah beranjak remaja dan duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama. Ia menulis curahan hatinya pada hari ulang tahun ke-35 sang ibu, almarhumah Chalyla, yang jatuh pada 26 Juni 2016. Gaya dan bahasa dalam tulisan ini otentik dari Salsa. Tulisan ini ditulis Salsa tanpa judul. Redaksi membubuhkan sebait istilah “Surat Kangen untuk Mama” sebagai identitas tulisan ini.

MAKLuMATApabila ada kritik, saran, atau keinginan untuk menerima newsletter ini secara berkala, silakan mengirimkan nama, nomor kontak, email dan alamat lengkap anda ke email redaksi: [email protected] atau via sms 0812 1935 1485 & 0857 7924 2747

Jika ingin terhubung dengan AIDA, silakan bergabung dengan media sosial AIDA. Website www.aida.or.id; fanpage facebook AIDA-Aliansi Indonesia Damai; dan akun twitter @hello_aida. Semoga dapat menambah informasi dan wawasan bagi semua.

Surat Kangen untuk Mama*

SALAM KENAL

Fikri

Pemuda asal Jakarta ini sedang menempuh studi di program Pascasarjana

Universitas Indonesia (UI). Ia banyak melakukan penelitian di Pusat Kajian

Terorisme dan Konflik Sosial UI sebagai supporting researcher. Pada September 2016 dia bergabung dengan AIDA untuk menguatkan perjuangan pembangunan

perdamaian di Indonesia.

SUARA KORBAN

*

Page 5: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 2016 5

KABAR UTAMA

Matanya terlihat berkaca-kaca menceritakan tragedi kekerasan saat konflik komunal meletus di Ambon, Maluku, belasan tahun silam. Dia tak habis pikir mengapa saat itu manusia begitu kejam melakukan kekerasan dan berbuat kerusakan di mana-mana.

Pemuda itu menceritakan kisahnya saat berdialog dengan Tim Perdamaian yang terdiri atas korban dan mantan pelaku

aksi terorisme dalam acara Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Ambon, akhir Agustus lalu. Dalam kegiatan yang diselenggarakan Aliansi IndonesiaDamai (AIDA), guru SMAN 13 Ambon itu mengaku kagum akan ketangguhan korban dan mantan pelaku menghadapi musibah.

“Konflik sudah berakhir tapi saya masih sering terbayang dengan peristiwa itu. Saya mau belajar dari Bapak dan Ibu dari Tim Perdamaian AIDA ini, bagaimana bisa ikhlas dan teguh hatinya padahal pernah mengalami kejadian nahas,” ujarnya.

Sebelumnya, dalam pelatihan tersebut dua orang penyintas terorisme, Mahanani Prihrahayu (korban Bom JW Marriott 2003)dan Albert Christiono (korban Bom Kuningan 2004) berbagi kisah. Mahanani kehilangan suaminya, almarhum Slamet Heriyanto, yang saat kejadian sedang bekerja di Hotel JW Marriott Jakarta. Sejak tragedi itu, ia menjadi orang tua tunggal bagi dua buah hatinya. Sementara itu, Albert mengalami cedera di bagian kepala akibat ledakan bom di kawasan Kuningan, Jakarta pada 9 September 2004. Meski kedua penyintas tersebut mengalami cobaan berat tapi mereka ikhlas dan tabah. Mereka tidak mendendam mantan pelaku aksi kekerasan tapi justru memaafkan.

“Kejadian ini sudah takdir Allah SWT. Saya bertemu mantan pelaku pertama kali di Bukittinggi bulan April lalu. Kami akhirnya berekonsiliasi, mantan pelaku sudah meminta maaf dan saya memaafkannya,” tutur Mahanani. Hal senada disampaikan Albert. “Saya juga sudah memaafkan mantan pelaku dan sekarang kami bersama-sama menyampaikan pesan perdamaian,” kata Albert.

Menguatkan pemaparan korban, mantan anggota jaringan terorisme, Ali Fauzi,

Pelatihan Guru

Perjumpaan Pela Gandong dengan Semangat Perdamaian Korban

Dok

. AID

A

Tiga orang anggota Tim Perdamaian, Mahanani, Albert dan Ali Fauzi berjabat tangan sebagai simbol rekonsiliasi dan perdamaian dalam kegiatan Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Ambon, Minggu (28/9/2016).

Potong di kuku, rasa di daging. Ale rasa beta rasa, sagu salempeng dibagi dua.“

mengimbau para guru peserta pelatihan agar menjadi pelopor pelestari perdamaian di Ambon. Ia mengingatkan, konflik komunal di kota multikultur itu jangan sampai terulang kembali. Pasalnya, kerusuhan di suatu daerah sangat rentan dijadikan pemantik bagi kelompok prokekerasan untuk melegalkan aksi teror di daerah lain. “Karena itu mari kita jaga keamanan dan kedamaian negeri ini, khususnya di kota kita ini, kota Ambon Manise,” ungkapnya.

Disaksikan para guru peserta pelatihan, Mahanani, Albert dan Ali Fauzi menyatukan genggaman tangan sebagai simbol rekonsiliasi dan persatuan. Kisah rekonsiliasi Tim Perdamaian tersebut menginspirasi para peserta untuk terus menjaga perdamaian di Ambon. Mereka bertekad akan terus memegang erat budaya pela gandong, sistem

hubungan sosial di Maluku yang bermakna ikatan persatuan antarpenduduk dengan saling menganggap saudara walaupun berbeda latar belakang tradisi.

“Kegiatan ini telah memperkuat kami sebagai guru bahwa perbedaan di Ambon itu sebuah keniscayaan. Tapi, dari perbedaan ini kita harus bisa hidup dengan damai. Mari kita memperkuat agar Ambon menjadi laboratorium perdamaian dunia,” kata salah satu peserta dari MAN 1 Ambon.

Selain dari Tim Perdamaian, peserta juga mendapatkan pembelajaran tentang kiat menjadi guru damai dari narasumber Direktur Ambon Reconciliation and Mediation Center, Abidin Wakano. Pegiat perdamaian itu berbagi pengalaman saat membangun gerakan yang menyadarkan warga tentang pentingnya semangat bersaudara di Ambon. Saat konflik

berkecamuk di Ambon pada 1999, dia menggalang persatuan warga di kampungnya untuk mencegah kerusuhan menjadi lebih besar. Ia juga menginisiasi berbagai kegiatan dialog sebagai sarana mediasi dan komunikasi antarpemeluk agama.

Dari perjuangannya memediasi konflik di Ambon, Abidin pernah mendapatkan julukan provokator damai dari sebuah stasiun televisi swasta nasional. Dalam pelatihan ini, ia mengingatkan bahwa para guru mengemban peran penting untuk melestarikan perdamaian di bumi Maluku.

“Yang perlu dilakukan bersama adalah mengembangkan teologi orang basudara (bersaudara), yaitu belajar saling memahami, saling mempercayai, saling menyayangi. Potong di kuku, rasa di daging. Ale rasa beta rasa (kamu rasa aku rasa-red), sagu

salempeng dibagi dua (sagu satu dimakan dibagi dua-red),” ujarnya yang disambut tepuk tangan peserta.

Selama pelatihan berlangsung nuansa kebersamaan dan kekeluargaan di antara peserta begitu terasa. Dengan segala perbedaan yang ada, mereka saling menghormati dan bekerja sama. “Persahabatan dan kebersamaan kita para guru selama pelatihan ini menunjukkan bahwa katong (kita) basudara, orang Maluku bersaudara. Setelah pelatihan ini kami akan kembali ke sekolah menjadi duta perdamaian, menanamkan pentingnya perdamaian kepada anak didik dan masyarakat,” ujar salah satu guru MAN 2 Ambon.

Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” diikuti 21 guru SMA dan MA di Ambon yang terdiri dari guru pendidikan agama, guru pembina OSIS, dan guru pembina Rohis. Mereka berasal dari lima sekolah yaitu MAN 1, MAN 2, MA Al Fatah, SMAN 3, dan SMAN 13 Ambon. [AS]

Page 6: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 20166

KABAR UTAMAKABAR UTAMA

Menguatkan Semangat Basudara dengan Ketangguhan Korban

Sebuah monumen berbentuk gong di jantung kotaAmbon menjadi saksi keakraban Tim Perdamaian, yang terdiri atas penyintas dan mantan pelaku aksi teror-isme, sore itu. Mahanani, Albert dan Iswanto menyem-patkan diri mengunjungi tempat bersejarah itu di sela kegiatan safari kampanye perdamaian Aliansi Indonesia Damai (AIDA) akhir Agustus lalu. Sesuai namanya, GongPerdamaian Dunia, monumen itu meneguhkan semangat Tim Perdamaian untuk membangun Indonesia yanglebih damai.

D i ibu kota Provinsi Maluku, AIDA melakukan safari kampanye perdamaian di lima sekolah, yaitu MAN 1, MAN 2, MA Al-Fatah, SMAN 3, dan SMAN 13 Ambon. AIDA mengajak 250 siswa dari

lima sekolah tersebut untuk menumbuhkan semangat perdamaian melalui kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”.

Di setiap sekolah, kegiatan Dialog Interaktif menyuguhkan materi yang mendorong para peserta memiliki semangat ketangguhan, tak mudah menyerah menghadapi masalah serta menutupi kesalahan masa lalu dengan kebaikan. Salah satunya adalah materi yang disampaikan oleh Tim Perdamaian.

Anggota Tim Perdamaian, Albert Christiono, dalam kesempatan Dialog Interaktif di SMAN 3 dan SMAN 13 Ambon berbagi pengalaman dengan para peserta tentang kisah hidupnya sebagai penyintas teror Bom Kuningan 2004. Ia mengisahkan, saat mobil boks berisi bom meledak di Jalan HR. Rasuna Said Kuningan, Jakarta pada tahun 2004, ia sedang dalam perjalanan membantu pekerjaan orang tuanya di bidang ekspedisi. Dari ledakan itu logam pipih sepanjang 5 cm menancap di kepalanya.

“Selama beberapa bulan saya sempat trauma kalau melihat mobil boks, saya khawatir jangan-jangan ada ledakan lagi. Kepala saya harus dioperasi dan bekasnya sekarang terasa agak benjol,” ujar Albert.

Masa-masa sulit akibat ledakan bom dia lalui dengan tabah. Ia mengaku tak mendendam para pelaku aksi teror dan tak ingin membalas

Kampanye Perdamaian

keburukan yang ditimpakan kepada dirinya. Sebab, ia menjunjung tinggi ajaran saling mengasihi yang sangat dianjurkan dalam agamanya. Dia mengajak generasi muda untuk hidup berkasih sayang serta menjauhi kekerasan kepada sesama.

Senada dengan Albert, anggota Tim Perdamaian, Mahanani Prihrahayu, berbagi kisah di hadapan para pelajar peserta Dialog Interaktif di MAN 1, MAN 2, dan MA Al-Fatah Ambon. Suaminya, almarhum Slamet Heriyanto, adalah korban Bom JW Marriott 2003. Sepeninggal suami, Mahanani merawat dan membesarkan duaputranya seorang diri.

“Anak saya yang kecil sekarang bersekolah seusia dengan adik-

adik semua. Saya ingin berpesan, adik-adik harus menghormati orang tua, jangan sia-siakan pengorbanan dan usaha mereka dalammendidik kalian,” kata dia.

Sementara itu, anggota Tim Perdamaian dari unsur mantan pelaku kekerasan, Iswanto, mengingatkan para peserta agar tidak terhasut ajakan orang untuk melakukan kekerasan. Dari pengalamannya tergabung dengan jaringan teroris, ia didoktrin untuk melakukan kekerasan dengan dalih ajaran agama. Selain itu, ia dipaksa membatasi hubungan dan interaksi dengan keluarga. Bahkan, saat anggota keluarganya meninggal dunia, ia tidak dikabari apalagi diperkenankan pulang.

Iswanto membaca kembali kitab-kitab rujukan tentang jihadhingga menyadari begitu jauh kelompok itu menyalahgunakan ajaran agama untuk berbuat kekerasan. Dia semakin mantap untuk meninggalkan kelompok itu setelah gurunya menganjurkan untuk menjauhi aksi kekerasan.

Ia juga mengimbau para siswa peserta Dialog Interaktif meles-tarikan semangat basudara (bersaudara) yang sudah menjadi tradisi masyarakat Ambon untuk menjaga kedamaian. “Saya dipertemukan dengan para korban, ada yang luka bakar, ada yang sampai cacat seumur hidup. Saya sering tidak kuat mendengarkan kisah mereka. Saya sudah minta maaf kepada para korban dan alhamdulillah saya dimaafkan. Sekarang kami menjadi sahabat, bahkan menjadi saudara, bersama-sama mengampanyekan perdamaian kepada adik-adik

Dok

. AID

A

Page 7: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 2016 7

KABAR UTAMA

Menguatkan Semangat Basudara dengan Ketangguhan Korban

Kampanye Perdamaian

Dari kiri searah jarum jam:1. Tim Perdamaian AIDA mengunjungi monumen Gong Perdamaian Dunia di Ambon, Jumat (26/8/2016).2. Peserta Dialog Interaktif di MAN 2 Ambon mengikuti arahan fasilitator dalam sesi permainan, Selasa (23/8/2016).3. Para siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok dalam kegiatan Dialog Interaktif di SMAN 3 Ambon, Kamis (25/8/2016).4. Suasana keseriusan para peserta Dialog Interaktif di SMAN 13 Ambon saat melakukan diskusi kelompok, Jumat (26/8/2016).5. Salah satu kelompok unjuk kekompakan saat menampilkan yel dalam Dialog Interaktif di MA Al-Fatah Ambon, Rabu (24/8/2016).6. Suasana keriuhan para peserta saat mempersiapkan yel kelompok dalam Dialog Interaktif di MAN 1 Ambon, Senin (22/8/2016).

Dok

. AID

A

Dok

. AID

AD

ok. A

IDA

Dok

. AID

A

Suara Perdamaian diterbitkan oleh Yayasan Aliansi Indonesia Damai (AIDA).Pelindung: Buya Syafii Maarif. Dewan Redaksi Senior: Imam Prasodjo, Farha Abdul Kadir Assegaf,Solahudin, Max Boon.Penanggung Jawab: Hasibullah Satrawi.Pemimpin Redaksi: Muhammad El Maghfurrodhi. Redaktur: Akhwani Subkhi, M. Syafiq Syeirozi, Septika WD, Achmad Marzuki, Fikri. Sekretaris Redaksi: Intan Ryzki Dewi. Layout: Nurul Rachmawati. Editor: Laode Arham. Distribusi: Lida Hawiwika.Redaksi menerima tulisan dari teman-teman korban bom terorisme secara sukarela. Tulisan yang diterima akan diedit dan disesuaikan oleh redaksi, tanpa mengubah substansi yang ada. Tulisan dapat dikirim ke [email protected]. Telp: 021 7803590 / 081219351485 / 085779242747. Fax: 021 7806820

semua,” kata dia dalam Dialog Interaktif di MAN 2 Ambon.Dalam penyelenggaraan Dialog Interaktif di MA Al-Fatah Ambon,

seorang peserta menyampaikan kesan dan pesannya selama meng-ikuti kegiatan tersebut. Ia mengatakan sering menjumpai berbagai bentuk ajakan kekerasan dengan dalih keagamaan yang banyak disebarkan di dunia maya. Siswa itu juga mengaku sempat menye-tujui ide kelompok teror asal Timur Tengah melakukan kekerasandi berbagai belahan dunia.

“Tapi, setelah mendengarkan cerita dari Ibu Mahanani dan Bapak Iswanto saya jadi tahu kekerasan tidak boleh terjadi. Agama kita sendiri tidak mengajarkan kekerasan,” ungkapnya.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, pada akhir kegiatan

menyampaikan pesan kepada para pelajar peserta Dialog Interaktif tentang kiat menjadi generasi yang tangguh. Generasi tangguh, kata dia, adalah yang mampu memadukan pembelajaran dari korban dan mantan pelaku. Dari korban terorisme peserta mendapatkan hikmah agar tidak membalas kekerasan dengan kekerasan lainnya. Dari mantan pelaku,

lanjutnya, para siswa dapat mengambil pelajaran bahwa ketidakadilan mesti tidak dibalas dengan ketidakadilan lainnya.

“Generasi tangguh adalah yang berjiwa besar memberi maaf kesalahan orang lain. Generasi tangguh adalah yang mau mengakui kesalahan masa lalu dan mampu memperbaiki kesalahan itu,” Hasibullah menandaskan. [MLM]

Page 8: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 20168

KABAR UTAMA

Deburan ombak Pantai Losari dan keramahan para daeng menyambut kedatangan Tim Perdamaian Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di negeri angin mamiri, Makassar, Sulawesi Selatan. Di bumi pelaut pencipta perahu phinisi itu Tim Perdamaian bersilaturahmi dengan para tokoh agama guna membangun Indonesia yang lebih damai. Silaturahmi antara Tim Perdamaian dan para dai di Makassar tersaji dalam kegiatan Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama pada 30 s.d. 31 Agustus 2016.

Dalam kegiatan itu, anggota Tim Perdamaian, Iwan Setiawan berbagi pengalaman hidup sebagai korban

ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta, 9 September 2004. Di hadapan para peserta, ia berusaha tegar menuturkan kisahnya sambil beberapa kali mengusap air mata.

Pada saat kejadian, Iwan sedang mengendarai motor memboncengkan istri-nya, Chalyla Seroja Daulay, untuk periksa kandungan anak kedua mereka ke rumahsakit. Akibat ledakan bom Iwan dan istri terjatuh dari motor. Dalam kondisi tubuh terguncang dan berdarah-darah, Iwan berusaha sekuat tenaga untuk bangkitdan menyalakan motornya kembali.

“Berkali-kali saya coba menstarter tapi motor tidak bisa menyala. Lalu saya coba menstarter lagi dengan sekali takbir Allahu Akbar, motor langsung menyala,” ujarnya terbata-bata.

Akibat teror Bom Kuningan 2004, Iwan kehilangan indra penglihatan sebelah kanan. Dua tahun pascateror, sang istri, Chalyla, meninggal dunia karena luka di tulang

Pelatihan Tokoh Agama

Belajar Ikhlas dari Penyintas

belakang akibat ledakan bom yang sama. Meski cobaan demi cobaan datang mendera, Iwan tegar dan ikhlas menjalani kehidupan.

“Setiap salat kita membaca ayat inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin (sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam). Semua yang ada pada diri kita itu milik Allah, jadi saya ikhlaskan semua yang telah diambil oleh-Nya,” kata dia sambil menahan isak tangis.

Para tokoh agama peserta pelatihan terpana menyimak penuturan kisah Iwan. Di tengah situasi ketakberdayaan, keimanan Iwan tak goyah bahkan justru menguat. Bagi para peserta, ketangguhan Iwan dalam menghadapi musibah sangat menginspirasi. Kisahnya mengilhami mereka untuk terus menyampaikan nasihat perdamaian serta pencegahan aksi kekerasan dan terorisme kepada masyarakat.

Dok. AIDA

Selain Iwan, dalam pelatihan itu Sucipto Hari Wibowo (korban Bom Kuningan 2004) juga berbagi kisah. Saat bom meledak, Sucipto terlempar sejauh empat meter. Ia bersyukur tidak tertabrak bus kota yang sedang melintas. Seketika asap putih membubung dan menghalangi pandangan. Yang tampak di penglihatan Sucipto saat itu hanyalah kerusakan di mana-mana.

“Di tengah kepanikan orang-orang, hanya satu yang saya pikirkan, yaitu harus bangkit dan menyelesaikan tugas mengantarkan dokumen kantor tempat saya bekerja. Saya berusaha profesional, saya tidak mau dipecat, saya harus menghidupi keluarga saya, saya harus antarkan dokumen itu,” ujarnya.

Ia mengabaikan luka dan sakit di sekujur tubuhnya demi sebuah profesionalisme. Beberapa hari pascakejadian, dia baru dibawa ke rumah sakit setelah merasa kesakitan di bagian kepala. Setelah melalui pemeriksaan

Atas:Penyintas Bom Kuningan 2004, Iwan Setiawan, membagikan kisahnya dalam acara “Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama” di Makassar, Rabu (31/8/2016).

Bawah:Peserta mengikuti sesi permainan dalam acara “Pela-tihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama” di Makassar, Selasa (30/8/2016).

Dok. AIDA

CT scan, diketahui beberapa jaringan saraf Sucipto mengalami kerusakan serta indra pendengarannya terganggu akibat ledakan. Butuh waktu sebulan perawatan sebelum kondisinya membaik.

Korban Bom JW Marriott 2003, Vivi Normasari, juga hadir dan berbagi kisah dalam pelatihan di Makassar. Seorang mantanpelaku aksi kekerasan, Ali Fauzi, turut membagi pengalamannya kepada para peserta. Para korban dan mantan pelaku telah berekonsiliasi dan kini bersatu mengampanyekan perdamaian.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam pelatihan menyampaikan harapan agar kisah korban dan mantan pelaku menjadi inspirasi dan pembelajaran bagi tokoh agama. “Dari kisah korban, kita tahu dampak destruktif aksi teror dan kita diajarkan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan,” ujarnya.

Sementara itu, lanjutnya, pengalaman mantan pelaku menunjukkan betapa bahayanya paham ekstremisme dan terorisme, serta mengajarkan agar tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan.

Selain bersilaturahmi dengan korban, para peserta juga mendapatkan materi Meng-counter Doktrin-doktrin Ekstremisme dari KH. Helmi Ali Yafie, serta Memahami Ideologi dan Jaringan Terorisme dari pakar terorisme Universitas Indonesia, Solahudin.

Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama diikuti oleh 28 orang dai dari organisasi Darul Dakwah wal Irsyad (DDI). Peserta berasal dari Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Barru dan kota-kota lain di Sulawesi Selatan. Para peserta mengaku antusias mengikuti kegiatan tersebut.

“Korban begitu hebat memaknai dan mengamalkan dalil-dalil agama. Ini luar biasa. Kami berkomitmen untuk mengajak masyarakat menjauhi paham-paham yang sifatnya ekstrem, menjauhi aksi-aksi kekerasan apalagi sampai melakukan teror. Kita harus bersama-sama mengarahkan masyarakat menuju perdamaian,” kata salah seorang peserta. [MLM]

KABAR UTAMA

Page 9: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 2016 9

Jurnalis tak boleh

menambah penderitaan orang yang

sudah menderita.

Pemandangan tersebut merupakan satu sesi permainan dalam kegiatan Short Course “Penguatan Perspektif Korban

dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Surakarta, Jawa Tengah pada 19 s.d. 20 September 2016. Fasilitator kegiatan, Laode Arham, mengajak peserta untuk membayangkan kehilangan anggota tubuh atau sosok yang dicintai.

Dalam kegiatan tersebut para peserta, jurnalis media nasional dan daerah, menyimak penuturan penyintas terorisme, salah satunya Nagiyah Aprilia (korban Bom JW Marriott 2003). 13 tahun silam, tak ada firasat apa pun dalam benak perempuan 42 tahun itu kala suaminya, Harna, pamit untuk berangkat kerja. Rona pucat yang terlihat dari wajah kekasihnya saat itu tak ia hiraukan. “Mungkin karena kelelahan,” begitu dugaannya.

Menjelang siang, Nagiyah melihat beberapa stasiun televisi memberitakan peristiwa ledakan bom di Hotel JW Marriott. Kecemasan mulai melandanya sebab sang suami yang bekerja sebagai pengendara taksi kerap memangkal di hotel tersebut. “Jam 5 sore saya ditelepon pihak perusahaan bahwa suami meninggal di tempat kejadian,” ujarnya.

KABAR UTAMA

Pascatragedi selama beberapa bulan Nagiyah memendam amarah kepada para pelaku teror. Suaminya yang tak bersalah harus menjadi korban meninggalkan 3 buah hatinya yang masih kecil. Ia sempat bingung bagaimana membesarkan anak-anaknya sedangkan selama ini suaminya adalah tulang punggung keluarga. Seiring waktu secara perlahan ia menyadari bahwa semua itu adalah takdir tak terlawan yang harus dihadapi.

Mendorong Pemberitaan yang Berperspektif Korban

Short Course Jurnalis

Nagiyah (penyintas Bom JW Marriott 2003) dan Christian Salomo (penyintas Bom Kuningan 2004) berbagi kisah dalam Short Course “Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” di Surakarta, Senin (19/9/2016).

Selain Nagiyah, AIDA juga menghadirkan Christian Salomo dan Sudarsono Hadi Siswoyo (korban Bom Kuningan 2004) untuk menuturkan kisahnya kepada peserta Short Course. Akibat ledakan Christian mendapatkan 600 jahitan di seluruh badan. Hingga kini beberapa logam masih bersarang di dalam tubuhnya. Rekannya, Sudarsono, sempat mengalami amnesia.

Kini para penyintas telah

Puluhan wartawan antusias menuliskan lima hal yang paling berharga dalam hidupnya di secarik kertas. Mereka lalu saling bertukar kertas, mencoret dua dari lima hal paling berharga temannya kemudian mengembalikan kertas kepada pemiliknya. Setiap orang pun kaget bukan kepalang. Semua merasa kehilangan lantaran yang sangat berharga dalam hidup “dihilangkan” oleh orang lain.

Dok

. AID

A

berdamai dengan masa lalu dan memaafkan kekhilafan orang-orang yang terlibat aksi teror. Dalam kegiatan itu, Sudarsono duduk berdampingan dengan mantan pelaku teror yang telah meninggalkan jalan kekerasan, Ali Fauzi Manzi, untuk bersama-sama menyuarakan perdamaian. “Saya berbagi kisah ini dengan harapan kelak tak ada lagi korban teror yang berjatuhan,” demikian Sudarsono.

Ketegaran penyintas menuai apresiasi dari peserta Short Course. Seorang peserta berkisah hingga kini belum menemukan kejelasan kabar dua orang kerabatnya yang hilang akibat konflik kekerasan di masa lalu. “Saya respek dan salut betul kepada Ibu

Nagiyah dan teman-teman penyintas lainnya. Saya kalau bercerita soal paman saya yang hilang akibat konflik 1965 masih sering emosional, sedangkan ini Bu Nagiyah yang kehilangan suami mampu tegar dan bangkit,” ucapnya.

Media dan perspektif KorbanSelain materi kisah penyintas, para peserta

mendapatkan pengayaan wawasan tentang perspektif korban dari beberapa narasumber, salah satunya Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers periode 2013-2016. Menurut pengamatannya, selama ini pemberitaan media massa tentang peristiwa terorisme lebih banyak berorientasi kepada pelaku. Sementara isu-isu terkait proses pemulihan korban dan hak-haknya yang harus ditunaikan negara kerap luput dalam pemberitaan.

Oleh sebab itu ia berharap ke depanpara jurnalis mampu melihat isu terorisme dari aspek korban. Dia berpandangan di samping mengabarkan peristiwa teror,media juga penting menampilkan perspektif korban kepada masyarakat. “Jurnalis juga harus menyoroti soal pemulihan para korban. Sejauh mana korban diurusi negara, apakah hak-haknya seperti kompensasi telah ditunaikan. Media massa harus meng-advokasi isu itu,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan pemateri lain, Sunudyantoro. Wartawan senior salah satu

media massa nasional itu menegaskan peliputan terorisme harus ber-empati kepada korban dan tidak menambah penderitaan mereka. Ia mengkritik sebagian pemberitaan terorisme selama ini justru ter-jebak pada penonjolan kekerasan yang malah menambah derita batin korban dan keluarganya.

“Intinya dalam me-liput korban peristiwa traumatik, jurnalis harus menerapkan prinsip meminimalkan mudarat. Jurnalis tak boleh menambah penderitaan orang yang sudah menderita,” ujarnya memungkasi.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam kegiatan tersebut mengatakan melalui silaturahmi dengan penyintas, diharapkanpara insan media menjadi semakin kuat menjiwai perspektif korban dalam pem-beritaan isu terorisme, yaitu pemberitaanyang mengarah pada dorongan untuk memenuhi hak-hak korban dan pemberian peran kepada mereka untuk membangun Indonesia damai. [MSY]

Page 10: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 201610

Dok

. AID

A

Salat berjamaah menjadi salah satu rangkaian kegiatan Peringatan 13 Tahun Tragedi Bom JW Marriott siang

itu. Keluarga besar penyintas aksi teror BomJW Marriott 2003 dan 2009 menghadiri acara tersebut. Kendati mengingatkan pada tragedi yang terjadi beberapa tahun silam, tak tampak rona kesedihan di wajah para hadirin.

Kegiatan tersebut digelar oleh Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) bekerja sama dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) pada awal Agustus lalu. Ketua YPI, Sucipto Hari Wibowo, menuturkan peringatan ini bertujuan untuk memperkuat persaudaraan antarpenyintas dan membangkitkan semangat untuk meniti kehidupan yang lebih baik. Menurut dia, para hadirin adalah orang-orang yang berhasil melintasi ujian hidup yang berat. “Semoga melalui kegiatan ini kita dapat meneguhkan komitmen untuk membangun Indonesia yang lebih damai,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, salah se-orang penyintas, Didik Hariyono, menyam-paikan kesan dan pesannya. Pria 41 tahun ini mengaku bahagia dapat berjumpa dan berkumpul kembali dengan rekan-rekannya sesama korban Bom JW Marriott. Pasalnya, sejak meninggalkan Jakarta pada tahun 2007, baru kali itulah ia menjejakkan kembali kakinya di ibu kota.

Selama sembilan tahun terakhir Didik bermukim di tanah kelahirannya, Desa Minggiran, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur untuk terapi penyem-buhan cedera fisik dan trauma psikisnya. Sejak September 2015, Didik bersyukur dapat kembali beraktivitas normal dengan menjadi pegawai administrasi di KantorDesa Minggiran. Dalam kesempatan itu dia mengajak rekan-rekannya untuk tetap semangat menjalani kehidupan.

Kendati peristiwa 13 tahun silam tak mudah dilupakannya begitu saja, ia mengaku tidak menyimpan dendam. Didik bahkan siap bertemu dan berdialog dengan pelaku aksi teror. “Saya akan kasih tahu bahwa korban perbuatan mereka adalah saudara-saudaranya sendiri,” ucapnya.

Menebarkan Pesan PerdamaianSebulan pascaperingatan Bom JW

Puluhan orang berbaris rapi di atas bentangan karpet dan sajadah yang tertata. Mereka tampak khusyuk menjalankan salat zuhur berjamaah di sebuah restoran di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Dalam beberapa menit, ruang makan disulap menjadi musala. Kursi dan meja makan sementara ditepikan.

Peringatan Bom JW Marriott dan Bom Kuningan

Melampaui Kesedihan,Membangun Perdamaian

Marriott, YPI dan AIDA kembali bekerja sama menyelenggarakan kegiatan serupa, yakni Peringatan Ledakan Bom Terorisme (12 tahun Bom Kuningan) di salah satu restoran di Jakarta Barat, pada Sabtu (10/9). Tema yang diangkat dalam kegiatan ini adalah “Kekerasan Jangan Dibalas dengan Kekerasan”.

20 orang korban Bom Kuningan dan beberapa pengurus YPI menghadiri kegiatan ini. Ketua Forum Kuningan, Mulyono Sutrisman, mengingatkan bahwa tragedi pada tahun 2004 tersebut memang sudah lama berlalu namun tidak boleh dilupakan. Hal itu penting agar masyarakat selalu waspada. “Kejahatan kemanusiaan itu tidak boleh terjadi lagi di masa depan,” ujarnya.

Ia mengajak rekan-rekannya sesama penyintas untuk tidak terus-menerus larut dalam kesedihan. Menurut dia, saat ini para penyintas memiliki kesempatan untuk berkontribusi positif kepada bangsa dengan menyebarkan pesan perdamaian kepada khalayak luas.

Dalam hemat Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mustahil para korban tidak sedih atas peristiwa tersebut, apalagi mayoritas korban mengalami cedera fisik yang masih membekas hingga kini dan trauma psikis yang berat. Kendati demikian, ia berharap peringatan ini bukan untuk mengingat kesedihan, melainkan untuk membangkitkan kesadaran bahwa para penyintas dapat terlibat membangun Indonesia damai. “Suara korban sangat powerful untuk menyadarkan masyarakat luas akan pentingnya perdamaian, termasuk di kalangan orang-orang yang terlibat aksi terorisme,” katanya. [MSY]

Atas: Sesi foto bersama keluarga besar penyintas dalam Peringatan 13 Tahun Bom Marriott di Jakarta, Sabtu (6/8/2016).

Bawah: Keluarga besar Forum Kuningan berfoto bersama seusai acara Peringatan 12 Tahun Bom Kuningan di Jakarta, Sabtu (10/9/2016).

Dok

. AID

A

Bagi teman-teman korban yang belum pernah atau ingin mengisi Data Form Korban, silakan menghubungi AIDA di 081219351485 & 085779242747 atau [email protected], dengan mencantumkan nama lengkap, alamat tinggal, nomor kontak, dan email (jika ada). Staf AIDA akan mengirim Data Form lewat pos atau email.

DATA FORM KORBAN

KABAR UTAMA

Page 11: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 2016 11

Dari kanan ke kiri, Warti, Hayati Eka Laksmi (korban Bom Bali 2002), dan Nanda Olivia Daniel (korban Bom Kuningan 2004) berbagi kisah dalam “Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Tokoh Agama” di Medan, Sabtu (6/8/2016).

Fasilitator Farha Ciciek Assegaf memandu kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di MAN 1 Ambon, Senin (22/8/2016).

Peserta dan Tim Perdamaian berfoto bersama usai kegiatan Dialog Interaktif di MAN 2 Ambon, Selasa (23/8/2016).

Peserta Short Course “Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” di Surakarta, berfoto bersama, Selasa (20/9/2016).

Para siswa peserta Dialog Interaktif di MA Al-Fatah Ambon berfoto bersama sambil menyanyikan lagu Tanah Airku, Rabu (24/8/2016).

Dok. AIDA

Dok. AIDA

Dok. AIDA

Dok. AIDA

Dok. AIDA

Salah satu kelompok peserta melakukan diskusi di sela-sela acara Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Ambon, Minggu (28/8/2016).

Dok. AIDA

Dok. AIDA

Seorang peserta menyampaikan nilai pembelajaran dari materi yang disampaikan Tim Perdamaian dalam Dialog Interaktif di SMAN 3 Ambon, Kamis (25/8/2016).

Para siswa peserta Dialog Interaktif di SMAN 13 bersemangat dalam mempersiapkan yel kelompok, Jumat (26/8/2016).

Dok. AIDA

GALERI FOTO

Page 12: Mengukuhkan Visi Perdamaian dari dalam Lapas fileberat akibat Bom Bali 2002 padahal saat itu berada tak jauh dari pusat ... sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata merosot

Newsletter AIDA Edisi X Oktober 201612

WAWANCARA

Bagaimana Ibu memandang kondisi iklim perdamaian di Indonesia?

Setiap periode tantangan perdamaiannya berubah. Di era rezim Orde Baru iklim perdamaian berkaitan dengan isu penegakan hak asasi manusia. Era Reformasi, iklim perdamaian kita berhadapan dengan banyaknya konflik komunal. Tahun 2002 sampai sekarang, perdamaian bersinggungan dengan isu radikalisme dan terorisme. Karena iklimnya berbeda, upaya-upaya membangun perdamaian di Indonesia juga bergerak, tidak stagnan. Pada era rezim Orde Baru upaya yang dilakukan adalah bagaimana masyarakat mendapatkan jaminan atas hak asasinya, seperti hak untuk bersuara, berserikat, berkumpul. Pada 1998 konteksnya adalah konflik komunal, maka upaya perdamaian yang dilakukan adalah menjembatani interaksi dan komunikasi antarkomunitas, dalam beberapa kasus, antaragama. Sekarang, upaya pembangunan perdamaian yang dilakukan adalah pemulihan masyarakat dari trauma konflik dikaitkan dengan strategi pencegahan radikalisme dan terorisme. Yang menarik adalah proses-proses pembangunan perdamaian sebelum era Reformasi hanya didominasi oleh kalangan akademisi. Setelah Reformasi kita belajar masyarakat umum ternyata juga berperan membangun perdamaian. Ada guru, nelayan, petani, karyawan swasta, dan elemen masyarakat lainnya. Ini menunjukkan semua elemen di negara ini peduli dan berupaya melestarikan perdamaian dengan cara berbeda-beda sesuai kemampuan. Jadi sederhananya orang Indonesia tidak diam berpangku tangan untuk membangun perdamaian.

Ibu dikenal di Indonesia, khususnya di Poso sebagai pegiat perdamaian. Apa yang Ibu lakukan untuk membangun perdamian?

Dok

. Prib

adi

Masyarakat Sumber Kekuatan Pembangunan Perdamaian

Saya sangat percaya bahwa pendidikan itu alat yang paling ampuh untuk membuat perubahan, termasuk mengubah konflik menjadi situasi yang lebih damai dan adil. Kita tahu di Poso ada dua komunitas umat beragama yang di masa lalu pernah terlibat konflik horizontal. Dari itu kami membuat sekolah perempuan. Kami berpikir pendidikan dan perempuan itu dua faktor yang sangat mendasar untuk menumbuhkan perdamaian di tengah masyarakat yang berkonflik. Perempuan itu rata-rata tidak ikut berkonflik tapi bisa terimbas atau terbawa-bawa arus konflik. Sekolah itu menjadi tempat alternatif bagi para perempuan tanpa memandang latar belakang agama, untuk belajar saling memahami, mengurai prasangka, curiga atau dendam. Setelah perempuan saling mengerti, perekonomian di Poso bisa pulih. Pasar menjadi hidup lagi, kebutuhan masyarakat terpenuhi. Dapur di rumah bisa kembali mengepul, anak-anak kembali sekolah, para suami bisa tetap makan. Sebenarnya sekolah perempuan yang kami gagas juga bentuk kritik kami kepada para laki-laki yang dengan naluri maskulinitas sepertinya mudah meletupkan konflik. Para perempuan di Poso menunjukkan kita bisa hidup berdampingan dengan rukun, damai dan bekerja sama membuat masyarakat menjadi maju walaupun kita berbeda keyakinan. Pada intinya dengan sekolah perempuan itu kami ingin menunjukkan bahwa masyarakat bisa menjadi kekuatan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan. Dalam menghadapi konflik jangan kita terpaku pasif menunggu pemerintah mengupayakan perdamaian, justru masyarakat itu yang harus berperan mewujudkan rekonsiliasi dan perdamaian.

Berbagai kelompok prokekerasan, termasuk kelompok terorisme bermunculan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Bagaimana Ibu memandang tantangan pembangunan perdamian di masa depan?

Beberapa tahun lalu kita dikejutkan dengan kemunculan kelompok ISIS dengan berbagai aksi terornya. Mereka sangat cerdas menggunakan media sosial untuk kepentingan teror. Dari media sosial mereka bisa meyakinkan orang dari seluruh dunia untuk mendukung perang di Irak dan Suriah atau bahkan melakukan aksi-aksi teror di mana saja. Dari fakta itu saya melihat banyak yang harus diperbaiki dari kinerja kita membangun perdamaian. Menurut saya kita masih sangat lemah memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kerja-kerja pembangunan perdamaian. Kita harus lebih kreatif dan produktif mengintegrasikan ide-ide kampanye perdamaian dengan kemajuan ilmu dan teknologi.

Apa saran Ibu agar pembangunan perdamaian di Indonesia berjalan lebih efektif?

Propaganda dari kelompok prokekerasan dengan basis apa pun, termasuk agama, menurut saya itu racun yang sangat merusak nilai luhur agama itu sendiri. Saya berpikir cara mengembalikan citra agama yang paling baik adalah dengan mengefektifkan narasi-narasi keagamaan untuk meng-counter propaganda yang merusak tadi. Selama ini narasi kita ketika terjadi aksi teror hanya sekadar “kami menolak” atau “kami mengutuk teror ini” dan semacamnya. Menurut saya itu tidak efektif, yang membaca paling hanya kita-kita saja. Saya melihat yang dilakukan AIDA cukup kreatif dan menarik dengan, misalnya, mengangkat narasi korban dan mantan pelaku. Dari langkah seperti itu orang-orang yang selama ini menjadi bagian dari silent majority besar kemungkinan tumbuh empatinya kepada korban, dan kesadarannya meningkat untuk meng-counter paham-paham prokekerasan. [MLM]

Berbagai konflik komunal sering dilihat bisa terselesaikan dengan kebijakan rekonsiliasi dari pemerintah. Di balik semua itu, masyarakat akar rumput

sebenarnya memiliki kearifan lokal yang efektif untuk menumbuhkan rekonsiliasi dan perdamaian. Pegiat perdamaian asal Poso, Sulawesi Tengah, Nerlian Gogali, berpandangan peran masyarakat sipil mengupayakan rekonsiliasi bisa membuat

pembangunan perdamaian lebih berkelanjutan. Dalam sebuah kesempatan di Ambon, Maluku, 27 Agustus 2016, redaksi Suara Perdamaian mewawancara Lian,

sapaan akrab Nerlian Gogali, untuk membicarakan hal itu. Berikut petikannya.