73
MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD (STUDI KOMPARATIF KAIDAH IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN IMÂM AL- BUKHÂRÎ DALAM PENETAPAN HADÎS SAHÎH) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh: Kholik Ramdan Mahesa NIM. 1112034000176 PROGRAM STUDI ILMU AL-QU’AN DA TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2018 M

MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD

(STUDI KOMPARATIF KAIDAH IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN IMÂM AL-

BUKHÂRÎ DALAM PENETAPAN HADÎS SAHÎH)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Kholik Ramdan Mahesa

NIM. 1112034000176

PROGRAM STUDI ILMU AL-QU’AN DA TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2018 M

Page 2: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya
Page 3: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya
Page 4: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya
Page 5: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada

buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2017.

A. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts te dan es ث

J Je ج

ẖ h dengan garis bawah ح

kh Ka dan ha خ

D De د

dz De dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

sy es dan ye ش

S صes dengan garis bawah

ḏ de dengan garis bawah ض

ṯ te dengan garis bawah ط

ẕ zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

Page 6: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

vi

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apsotrof ' ء

Y Ye ي

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tungga atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatẖah

I Kasrah

U Ḏommah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

Page 7: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

vii

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas ان

î i dengan topi di atas ين

û u dengan topi di atas نو

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf ال

dialih aksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah.

Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.

E. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ـــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-

darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

F. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti

Page 8: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

viii

oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti

kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat

contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقة 1

al-jâmî’ah al-Islâmiyyah اجلامعةاالسالمية 2

waẖdat al-wujûd وحدةالوجود 3

G. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk

menuliskanpermulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan

lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan

huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al -Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-

Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd

al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al -Dîn al-Rânîrî.

Page 9: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

ix

ABSTRAK

Kholik Ramdan Mahesa

Menilik Kaidah Kesahîhan Hadîs Melalui Kritik Sanad

(Studi Komparatif Kaidah Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî dalam

Penetapan Hadîs Sahîh)

Aspek sanad sangat berkaitan erat dengan periwayat hadis, sebab kajian sanad

pada dasarnya difokuskan pada kualitas para periwayat dan metode periwayat yang

digunakan. Dengan kata lain, sangat tidak mungkin untuk menelusuri otentisitas sanad

hadis tanpa mengetahui kondisi periwayat dalam jalur sanad yang ada.

Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan metode

deskriptif analitis, yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan

baru dianalisa. Dengan rincian bahwa untuk menggali kaidah kesahihan hadis antara

Imâm al-Syafi’î dan Imâm al-Bukhârî dan lain-lain. Setelah data-data terkumpul, lalu

dijelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga nampak jelas jawaban atas

persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.

Dalam penelitian ini penulis fokus membahas kaidah kesahihan hadis antara

Imâm al-Syafi’î dan Imâm al-Bukhârî, penulis menemukan persamaan dan perbedaan

antara teori kaidah keshahihan hadis diantara kedua tokoh tersebut. Adapun persamaan

teori keduanya dalam persoalan kualitas perawi hadis, Imâm al-Syafi’î mensyaratkan

kualifikasi perawi hadis : 1) Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya agamanya,

2) Orang yang meriwayatkannya dikenal jujur dalam berbicara, 3) Orang yang

meriwayatkan hadis tersebut harus paham terhadap hadis yang diriwayatkannya, 4)

Orang yang meriwayatkannya harus hafal (jika ia meriwayatkannya melalui

hafalannya), atau mencatatnya secara akurat (jika ia meriwayatkan hadis dari kitab

(catatannya), 5) Terbebas dari tuduhan sebagai periwayat mudallas. Sebagaimana

Imâm al-Syafi’î, Imâm al-Bukhârî juga menggunakan teori tersebut, namun

perbedaanya telektak pada ketersambungan sanad periwayat hadis (al-itisâl al-sanad).

Setelah melakukan penelitian tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa

Imâm al-Bukhârî menyempurnkakan kaidah keshahihan hadis yang ditawarkan oleh

Imâm al-Syafi’î.

Kata kunci: Sahîh, Hadis, Imâm al-Bukhârî, Imâm al-Syafi

Page 10: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

x

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, Zat yang tiada bosan mendengar keluh kesah hamba-

Nya. yang dengan Rahmat dan kasih sayang-Nya, Alhamdulillah saya dapat

menyelesaikan skripsi ini, Shalawat dan salam saya haturkan kepada junjungan kita

Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat dan semua penerus ajarannya. Semoga

kelak kita diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafaat.

Skripsi berjudul: Menilik Kaidah Kesahihan Hadis Melalui Kritik Sanad (Studi

Komparatif Kaidah Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî dalam Penetapan

Hadîs Sahîh) merupakan karya ilmiah saya sebagai perjalanan terakhir, setelah

sekian tahun menuntut ilmu di bangku perkuliahan. Guna memenuhi persyaratan

untuk gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin, pada Jurusan Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari sumbangsih berbagai pihak yang

telah membatu dan yang memberi dukungan baik moril ataupun materil. Oleh

karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati kepada pihak-pihak yang

telah dengan rela membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini, penulis

mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Amany

Burhanuddin Lubis, Lc, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

Page 11: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

xi

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, Ketua jurusan Program studi Ilmu al-Qur’an dan

Tafsir dan Dra. Banun Binaningrum, M. Pd, sekretaris Progam Studi Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir, Semoga Allah mempermudah segala urusannya.

4. Bapak Dr. M. Isa HA. Salam, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi penulis

yang dengan keikhlasan dan kesabarannya membimbing, mengarahkan dan

memotivasi penulis hingga skripsi ini selesai.

5. Segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi. Segenap staf

Perpustakaan Umum (PU), Perpustakaan Fakultas Ushuluddin (PF), Pusat Studi al-

Qur’an (PSQ), yang telah membantu meminjamkan buku-buku dan beberapa

literatur dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, terkhusus Bapak Dr. M. Suryadinata, M. Ag.,

dan Bapak Jouhar Azizy, M.A., yang telah membimbing dan membantu saya

selama di Fakultas Ushuluddin. Terimakasih atas ilmu dan bait-bait nasihat yang

telah diberikan dengan tulus kepada saya. Beliau semua sudah seperti ayah dan

semoga beliau selalu dilindungi Allah swt dan semakin sukses kedepannya. Amiin.

7. Yang tercinta Ayah Bapak H. Endan Widaman dan Ibu Hj. Johanah, yang selalu

merangkaikan doa-doa indah, menginspirasi, membiayai, mendidik, mendukung,

dan memotivasi dengan sabar dan tak hentinya memberikan semangat, kasih sayang

kepada penulis. Dan Keluarga besar penulis yang maaf tidak dapat disebutkan satu-

persatu, semoga keberkahan selalu menyertai keluarga besar kita. Amiin.

8. Kepada almaghfurlah Mamanda KH. Ahmad Ma’ani Rusjdi yang telah mengajari

dan menjadi bapak idiologis penulis. Semoga Allah membalas apa yang telah

engkau berikan dan menempatkan di tempat yang mulia. Serta Guru-guruku Abah

Page 12: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

xii

KH. Hamdi M’ani, Abah KH. Uuf Zaky Gufron, Abah KH. Talham Ma’ani dan

yang lainnya. Terima kasih telah dengan sabar mendidik penulis di pesantren

Mathlaul Anwar Linahdlatil Ulama semoga Allah memberikan umur panjang dan

selalu dalam lindungannya.

9. Terima Kasih ku ucapkan kepada sahabat/i PMII KOMFUSPERTUM selama

beberapa tahun menemani kehidupan ini baik duka maupun suka semoga

kedepannya PMII KOMFUSPERTUM semakin maju dan kaya khususnya dari segi

pemikiran dan finansial agar tidak selalu menyodorkan profosal.

10. Terima kasih ku ucapkan kepada para senior : Ka Baiquni, M.Ag., Ka Robitul

Umam, M.A., Ka Baharuddin, M. Ag., Ka Muhammad Rasyidi, S. Th.I., yang

sudah seperti kaka ku sendiri yang selalu membantu sewaktu saya mempunyai

masalah baik finansial ataupun permasalahan yang lain. Semoga mereka semua

diberikan kesehatan oleh Allah swt dan diberikan jodoh bagi yang belum Menikah

alias disegerakan Menikah.

11. Teman-teman Tafsir-Hadist angkatan 2012 khususnya kelas E, sahabat-sahabat

KKN GEMMAR, yang terpenting adalah kalian semua penyemangat dan teman

terbaik untuk saya.

12. Untuk sahabat-sahabatku M. Fatih Akmal, Muhammad Faishal, Arsyad Prayogi,

Yusuf Ramadhan, Indra Khaerudin, Mumu Lazuardi, Sugih Hidatullah, Sahroni,

Ali Muharom dan lain-lain. Terima kasih atas kesediaan dan luangan waktunya,

sukses selalu dan cepat wisuda dan bisa lanjut S2, S3, semoga keberhasilan

senantiasa menyertai kalian.

13. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan informasi yang

bermanfaat untuk penulisan dalam penyelesaian skripsi ini.

Page 13: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

xiii

Akhirnya, hanya kepada Allah jugalah, penulis mengharap ridha dan rasa

syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat yang

baik bagi yang membaca. Jazâkumullâh aẖsan al jazâ’, Âmîn...!

Ciputat, 20 Desember 2018

Kholik Ramdan Mahesa

Page 14: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

xiv

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ v

ABSTRAK ................................................................................................................ x

KATA PENGANTAR ............................................................................................. xi

DAFTARA ISI ........................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 6

C. Pembatasan Masalah ................................................................................ 6

D. Perumusan Masalah ................................................................................. 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 7

F. Kajian Pustaka ......................................................................................... 8

G. Metodologi Penelitian ............................................................................ 11

H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 13

BAB II SEJARAH PENGGUNAAN SANAD DAN KAIDAH KESHAHIHAN

HADIS ...................................................................................................................... 15

A. Sejarah Penggunaan Sanad dalam Hadis ................................................ 18

B. Urgensi sanad dalam Hadis ................................................................... 21

C. Penetapan Kaidah Keshahihan Hadis Menurut Jumhur Ulama ............... 31

BAB III BIOGRAFI IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN IMÂM AL-BUKHÂRÎ ....... 26

A. Biografi Imâm al-Syâfi’î ....................................................................... 26

1. Latar Belakang Intelektual Imâm al-Syafi’î ..................................... 26

2. Guru serta Murid Imâm al-Syâfi’î ................................................... 29

3. Latar Belakang Penulisan al-Risâlah dan Kitab al-Musnad Imâm al-

Syâfi’î ............................................................................................. 30

a. Latar Belakang Penulisan al-Risâlah .......................................... 30

b. Latar Belakang Penulisan al-Musnad ......................................... 31

B. Biografi Imâm al-Bukhârî ..................................................................... 32

1. Latar Belakang Intelektual Imâm al-Bukhârî ................................... 32

2. Guru serta Murid Imâm Imâm al-Bukhârî ....................................... 36

3. Latar Belakang Penulisan Kitab Sahîh al-Bukhârî ........................... 36

Page 15: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

xv

BAB IV KAIDAH KESHAHIHAN HADIS MENURUT IMÂM AL-SYÂFI’Î

DAN IMÂM AL- BUKHÂRÎ ................................................................................ 39

A. Kaidah Kesahihan menurut Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî ........ 40

B. Menguji Konsistensi Kaidah Keshahihan Hadis Imâm al-Syâfi’î dan

Imâm al-Bukhârî .......................................................................................... 45

C. Analisis Kaidah Keshahihan Hadis Hadis Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-

Bukhârî ......................................................................................................... 50

BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 53

A. Kesimpulan ........................................................................................... 53

B. Saran-saran ........................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 55

Page 16: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, pembelajaran hadis pada masa Nabi Muhammad Saw. dan

beberapa periode sesudahnya, tidak menggunakan media tulisan. Para sahabat

berusaha semaksimal mungkin merekam setiap ucapan, perbuatan dan taqrîr Nabi

dalam memori mereka. Banyak informasi yang tertulis, bahwa hanya sebagian

kecil sahabat yang membuat catatan hadis untuk dirinya. Kekhawatiran

bercampurnya hadis dengan al-Quran merupakan alasan paling asasi dari realitas

ini, karena ketika itu al-Qur’an belum dibukukan. Sahabat yang menghadiri kuliah

hadis yang disampaikan secara lisan oleh Nabi menyampaikan materi pelajaran

yang baru didapatkan kepada mereka yang tidak hadir (sebagaimana pesan Nabi)

juga secara lisan.1

Metode pembelajaran dan perekaman hadis selanjutnya di masa itu tidak

hanya menyebutkan isi dari hadis (matan), tetapi juga menjelaskan siapa saja yang

menjadi sumber hadis tersebut (sanad) dan bagaimana dia menerimanya. Syuyûkh

al-hadîts2akan mengungkapkan secara jujur, apakah dia langsung mendengan atau

melihat hadis yang diajarkannya atau dia mempelajarinya dari orang lain. Format

transmisi hadis dengan menyebut sumber informasi dan menjelaskan cara

mendapatkannya tersebut menjadi tradisi dalam beberapa generasi.3

1Zulhedi, “Eksistensi Sanad dalam Hadis”, Jurnal Miqot, Volume XXXIV No. 2 (Juli-

Desember 2010): h. 163. 2Yaitu satu hadis yang dalam sanadnya, perawi menyebut guru yang ia mendengar

darinya dengan sebutan yang tidak terkenal dan tidak masyhur. Sebutan disini maksudnya adalah

nama, gelar, pekerjaan, atau kabilah, dan negeri yang disifatkan untuk seorang guru, dengan tujuan

supaya keadaan guru itu sebenarnya tidak diketahui oleh orang. 3Zulhedi, “Eksistensi Sanad dalam Hadis”..., h. 163-164.

Page 17: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

2

Pasca Nabi Muhammad wafat, ekspansi wilayah Islam di bawah komando

Khilafah semakin meluas. Semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam ternyata

membawa dampak negatif terhadapnya, salah satu dampak tersebut adalah

semakin maraknya para pemalsu hadis dalam membuat hadis-hadis

palsu.4Menurut Musṯafâ al-Siba’î, tahun 40 Hijriah merupakan batas pemisah

antara kemurnian hadis dengan pemalsunya, karena saat itu terjadi perselisihan

internal (politik) umat Islam, antara ‘Alî bin Abî Thalib (w. 40 H/ 661 M) dengan

Mû’awiyah bin Abî Sufyan (60 H/ 680 M).5

Akibat dari perselisihan internal yang terjadi dan maraknya pemalsuan hadis

tersebut, seketika itu orang menjadi sangat kritis terhadap sanad. Realitas ini

dapat dilihat dari pernyataan Muhammad bin Sîrîn bahwa “pada mulanya umat

Islam tidak begitu mempermasalahkan sanad, namun setelah terjadi fitnah, jika

menerima sebuah hadis, mereka akan mengatakan “sebutkan rijâl-mu (orang-

orang yang menyampaikan hadis kepadamu)!”. Hadis akan diterima jika rijâl-nya

adalah ahl-sunnah dan akan ditolak jika rijâl-nya adalah ahl-bidâ’.6

Di penghujung abad 1 Hijriah, ilmu sanad berkembang pesat dan

mendapatkan perhatian lebih. Hal ini dianggap wajar, karena metode ini

diperuntukkan untuk memilih dan memilah mana hadis yang dapat dipertanggung

jawabkan otentisitasnya kepada Nabi dan mana yang tidak dapat dipertanggung

jawabkan atau hanya sekedar diragukan dari sekian banyak hadis yang bertebaran

4Hadis-hadis dibuat untuk kepentingan kelompok fanatiknya, melariskan dagangannya,

dan banyak hal-hal lain yang bersifat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. 5Mushthafâ al-Siba’î, As-Sunnah wa Makanātuha fî at-Tasyrî’ al-Islami (tth: ad-Dār al-

Qaumiyyah, 1996 M), h. 75. 6Muhammad Mushthafa ‘Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa

Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531.

Page 18: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

3

dalam berbagai kitab hadis yang kanonik dan non-kanonik.7 Dari aspek sanad

tersebut, seseorang dapat pertama kali mengklaim sisi otentisitas hadis yang

ditelitinya. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa otentisitas sanad

merupakan suatu kemutlakan dalam memahami hadis lebih jauh. Pandangan

seperti inilah yang dipegangi oleh mayoritas ulama hadis.8

Aspek sanad sangat berkaitan erat dengan periwayat, sebab kajian sanad

pada dasarnya difokuskan pada kualitas para periwayat dan metode periwayat

yang digunakan. Dengan kata lain, sangat tidak mungkin untuk menelusuri

otentisitas sanad hadis tanpa mengetahui kondisi periwayat dalam jalur sanad

yang ada.9 Oleh Karena itu, untuk mengkaji kondisi para peiwayat yang terlibat

langsung dalam proses transmisi hadis, Ilmu Rijâl al-Hadîts10 merupakan

perangkat keilmuan yang biasa digunakan. Dalam studi hadis, ilmu ini

mempunyai dua anak cabang, yaitu Ilmu Târikh al-Ruwâh11dan Ilmu JarhWa al-

Ta’dîl12.

Aspek sanad juga berkaitan erat dengan penentuan kualitas suatu hadis.

Menurut Akram Dhiya’ al-‘Umarî, Imâm al-Nawawî mengatakan bahwa “Jika

sanad suatu hadis berkualitas Sahih maka hadis itu dapat diterima. Akan tetapi,

7Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis”, Jurnal Esensia,

Volume 16 No. 2, Oktober 2015, h. 177. 8 Jalâl al-Dīn al-Suyûthî, Tadrīb al-Rāwî fî Syarh Taqrīb al-Nawāwî(Beirut: Dār al-Fikr,

1988), jilid I, h. 70; Jamāl al-Dîn al-Qâsimî, Qawâid al-Tahdîts min Funûn Musthalah al-Hadîts

(t.tp: Isā al-Bābi al-Halabîwa Syurakah, 1961), h. 79;. 9Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis”…, h. 180. 10 Ilmu Rijâl al-Hadîts adalah jenis ilmu hadis yang sangat penting, karena ilmu ini

mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Baca Muhammad ‘Ajjaj al-Khatîb, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits, terj. Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq,cet. Ke- 5 (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2013), h. 227. 11Ilmu Târikh al-Ruwâh adalah ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadis dari

aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut. Baca Muhammad ‘Ajjaj

al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits 12Ilmu Jarh wa al-Ta’dîl adalah ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi

diterima atau tidaknya periwayatan mereka. Baca Muhammad ‘Ajjaj al-Khatīb, Ushul al-Hadits:

Pokok-pokok Ilmu Hadits..., h. 233.

Page 19: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

4

jika sanad hadis tersebut tidak Sahih maka hadis itu ditolak.13 Oleh sebab itu, para

ulama belakangan membuat definisi hadis-hadis yang dapat dianggap

Sahih.14Akan tetapi, kriteria-kriteria yang diajukan itu dianggap belum mencakup

secara keseluruhan syarat sanad otentik yang ditetapkan kemudian, apalagi

kriteria mengenai kesahihan matn. Kriteria ini hanya berdasar kepada

penyandaran terhadap isnâd. Bagi sebagian sarjana, tidak ada bukti yang pasti

apakah para ahli hadis abad pertama dan kedua benar-benar mengadopsi kriteria

tersebut.15

Adalah Imâm al-Syâfi’î (w. 204 H/ 820 M) yang secara tegas telah

menentukan kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang rawi dalam

mentransmisikan hadis, persyaratan tersebut adalah: (1) harus terpercaya dalam

agamanya; (2) harus dikenal benar dalam penyampaian berita; (3) harus

memahami isi berita, mengetahui secara benar bagaimana perubahan lafal akan

mempengaruhi gagasan yang disampaikan; (4) harus menyampaikan laporan

secara verbatim (lafdzî) sesuai yang ia dengar, dan tidak menyampaikan dengan

kalimatnya sendiri; (5) harus memiliki daya ingat yang tinggi apabila ia

menyampaikan atau menerimanya lewat hafalan dan harus menjaga catatannya

apabila ia menyampaikan atau menerima dari catatan atau kitabnya; (6)

riwayatnya harus sesuai dengan riwayat mereka yang dikenal memiliki tingkat

akurasi hafalan yang tinggi, apabila mereka juga turut meriwayatkan hadis yang

sama, laporannya tidak berbeda dari laporan-laporan orang-orang tsiqah; (7) tidak

13 Akram Dhiya’ al-‘Umarî, Buhûts fîTârîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. Ke-4 (Beirut:

Basath, 1984), h.53-54. 14 Baca Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis ( Jakarta:

PT Mizan Publika, 2009), h. 16. 15Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis..., h. 16-17.

Page 20: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

5

membuat laporan atau riwayat atas nama mereka yang pernah ia temui, tetapi

tidak pernah belajar darinya.16

Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh seluruh perawi mulai dari generasi

pertama sampai terakhir. Kriteria yang di buat Imâm al-Syâfi’î sangat jelas

menekankan pada perawi dan cara periwayatan hadis. Kriteria ini juga tidak bisa

dihindarkan dalam cara penentuan akseptabilitas hadis bukan hanya didasarkan

atas kapasitas perawi, akan tetapi juga cara periwayatan, yakni jalur periwayatan

yang tidak terputus.17

Berbeda dengan Imâm al-Syâfi’î, Imâm al-Bukhârî (w. 256) dalam

menetapkan kaidah kesahihan nya memiliki kriteria tersendiri. Kiriteria kesahihan

hadis al-Bukhârî adalah sebagai berikut: (1) jalur periwayatan dari perawi pertama

sampai akhir bersambung; (2) para perawi, dari awal sampai akhir, harus dikenal

tsiqah, yakni ‘adl dan dhabth (tingkat akurasi hafalan yang sangat tinggi); (3)

hadis yang diriwayatkan harus bebas dari cacat (‘illat) dan kejanggalan

(syudzûdz).18

Pada dasarnya al-Bukhârî tidak mengajukan syarat-syarat tertentu yang

dipakai untuk menetapkan kesahihan hadits secara jelas. Karena persyaratan

tersebut di atas diketahui melalui penilaian terhadap kitabnya.19 Penilaian ini

dilakukan oleh sarjana yang datang berikutnya yang mencoba menyimpulkan

syarat-syarat hadis sahih menurut Imâm al-Bukhârî.20

16Muhammad Idris al-Syâfi’î, Ar-Risalah, terj. Masturi Irham & Asmui Taman, cet. Ke-2

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), h. 317-319. 17Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis..., h. 18. 18 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. 19Muhammad bin Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutûb al-Sahîhâh al-

Sittah, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1981), h.81 20Ibrâhîm al-Shiddîq, Maqâlah wa muhâdharâh fî al-hadîs al-Syarîf wa ‘ulûmihi, Beirut;

Dâr al-Basyâir al-Islâmiyyah, 2002, h. 30-33

Page 21: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

6

Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diperhatikan bahwa kedua kriteria

kesahihan hadis tersebut baik Imâmal-Syâfi’î ataupun Imâm al-Bukhârî sama-

sama ketat dalam penentuan kesahihan hadissuatu hadis. Oleh karena itu, penulis

ingin menelaah lebih lanjut Kaidah kesahihan hadis Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-

Bukhârî serta penulis akan membandingkan kaidah kesahihan hadis dari kedua

Imam tersebut.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah ditulis, ada beberapa identifikasi masalah

yang akan dijadikan bahan penelitian, sebagai berikut:

1. Perselisihan internal kaum Muslimin yang menimbulkan

berkembangnya hadis-hadis palsu

2. Aspek sanad dalam suatu hadis sangat berkaitan dengan kualitas suatu

hadis

3. Pada abad 3 hijriah, para ulama hadis tidak mendefinisikan secara

eksplisit hadis-hadis yang dianggap sahih

4. Kapan istilah “Sahih” ini muncul pertama kali?

5. kesahihan hadis baru pertama kali dirumuskan oleh Imâm al-Syâfi’î.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Malasah

Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna dan

mendalam, maka penulis memandang permasalahan penelitian yang

diangkat harus dibatasi. Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya

berkaitan dengan “kesahihan hadis, persamaan, serta perbedaan. Al-

Page 22: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

7

Syâfi’î dan al-Bukhârî dipilih karena kedua tokoh ini sebagai landasan

pertama yang merumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadis.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan permasalahan di atas, maka pokok

permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana persamaan dan perbedaan antara Imâm al-Bukhârî dan

Imâm al-Syâfi’î t dalam menetapkan kesahihan hadis?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berangkat dari pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan:

1. Menggali metode kesahihan hadis antara Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-

Bukhârî.

2. Melihat persamaan dan perbedaan kaidah kesahihan hadis antara al-

Syâfi’î dan al-Bukhâri.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini turut mengembangkan khazanah

keilmuan dalam bidang hadis, terutama dalam kajian kesahihan hadis

Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumbangan

serta pengembangan kajian hadis khususnya pada Mata Kuliah Ilmu

Mushtolah Hadis, khususnya untuk Mahasiswa-Mahasiswi Ilmu Hadis

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Page 23: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

8

E. Kajian Pustaka

Penelitian ini mengakaji persoalan kesahihan hadispada dua tokoh ulama

besar yaitu Imâm al-Bukhâri dan Imâm al-Syâfi’î serta menguji kembali ke-

efektifan kesahihan nya dalam penentuan kualitas suatu hadis.

Untuk melihat lebih jelas posisi kajian yang akan dilakukan dalam

penelitian ini serta membedakannya dengan kajian yang telah dilakukan

sebelumnya, maka berikut ini dapat dikemukakan beberapa kajian yang telah

dilakukan oleh para ilmuwan, baik muslim maupun non-muslim yang berkenaan

dengan kesahihan hadis.

Kamaruddin Amin telah menulis buku tentang masalah ini dengan judul

Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis.21 Pusat perhatian Kamaruddin

Amin dalam bukunya tersebut berbicara tentang metode kritik hadis. Namun

jangkauan pemikirannya cukup luas, mulai dari kritik hadis era klasik sampai

kepada teori kritik hadis yang dipaparkan oleh keserjanaan non-muslim.

Sementara itu, Daniel W. Brown dalam bukunya Rethinking Traditional in

Modern Islamic Trought.22 Pusat perhatian Brown dalam penelitiannya adalah

mengenai ‘Adalah sahabat serta menguji kembali ke-efektifan kritik sanad dalam

penyampaian atau pengtransmisian suatu hadis. Objek yang menjadi kajian juga

beragam, mulai dari otoritas Nabi, sikap para pemikir modern terhadap hadis,

sampai kepada cara memahami hadis.

21 Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: PT

Mizan Publika, 2009). 22 Buku ini telah di terjemahkan dengan judul Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam

Modern dan diterbitkan pertama kali oleh PT Mizan, Bandung, pada tahun 1996.

Page 24: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

9

Kajian tentang kaidah hadis juga telah dilakukan oleh Maman

Abdurrahman dalam bukunya Teori Hadis: Sebuah Pergeseran Pemikiran.23Buku

ini meneliti tentang teori Al-Hakim dalam menentukan suatu kualitas hadis dalam

kitab al-Mustadrak-nya. Objek kajiannya juga meliputi tentang kriteria al-Hakim

dalam menentukan kualitas kesahihan hadis. Buku ini juga membandingkan

kriteria kesahihan al-Hakim dengan ulama hadis pada umumnya dalam

menentukan suatu kualitas hadis. Fokus kajiannya adalah menentukan kriteria

serta kualifikasi hadis menurut al-Hakim dalam kitab Mustadraknya.

Kajian selanjutnya dilakukan oleh Bahrul Ma’ani dalam jurnal Al-Jarh wa

al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu.24 Kajian ini meliputi

sejarah penggunaan sanad pertama kali, serta tinjauan historis tentang ilmu jarh

wa al-ta’dil. Bahrul juga menambahkan kitab-kitab yang membahas tentang jarh

wa al-ta’dil, serta cara mengetahui keadilan serta kecacatan seorang perawi. Fokus

kajian ini hanya bersifat umum dan hanya terfokus dengan cara melakukan

penilaian seorang perawi.

Selanjutnya, Buku yang ditulis oleh M. Anwar Syarifuddin, dkk dengan

judul Kajian Orientalis Terhadap al-Quran dan Hadis.25 Buku ini berisikan

tentang kajian barat terhadap al-Qur’an dan hadis. Jangkauan buku ini cukup luas

karena meneliti karya-karya dari masing-masing orientalis. Buku ini juga

membahas tentang teori common link G. Juynboll yang mengkritik tentang teori

sanad dalam hadis, serta meneliti tentang kesejarahan hadis. Fokus kajian dalam

23 Maman Abdurrahman, Teori Hadis: Sebuah Pergeseran Pemikiran (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2015). 24 Bahrul Ma’ani “Al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu”.

Jurnal Iain Jambi, (April, tahun 2010). 25Jurnal ini diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tahun 2011-2012.

Page 25: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

10

buku ini memiliki gambaran terlalu umum, sehingga masih banyak kajian yang

belum di jelaskan dengan lebih rinci.

Selanjutnya, kajian yang meliputi kesahihan hadis-hadis dan teori sanad

adalah kajian yang dilakukan oleh Suryadi dalam jurnal Rekonstruksi Kritik Sanad

dan Matan dalam Studi Hadis.26 Fokus kajian suryadi adalah mengkritik kritik

sanad dan matan pada era klasik. Menurutnya kritik sanad pada era klasik masih

memiliki celah yaitu subjektifitas para ulama kritikus hadis dalam memberikan

penilaian terhadap perawi. Ia juga menimbang kembali mengenai ‘Adalah para

sahabat. Selain itu, kritik matn juga menjadi fokus kajiannya.

Kajian selanjutnya dilakukan oleh Jonathan Brown dalam bukunya The

Canonization of Bukhari and Muslim: The Formation and Function of The Sunni

Hadith Canon.27 Buku ini berisikan tentang sejarah kitab hadis paling otentik

yang dimiliki oleh umat Islam. Jangkauan buku ini juga cukup luas, mulai dari

sejarah penulisan kitab sahih al-bukhari dan sahih muslim sampai kepada polemik

penulisan kitab hadis tersebut. Akan tetapi, Brown tidak melakukan perbandingan

atas kriteria kesahihan hadis yang dimiliki oleh para ulama klasik. Fokus

kajiannya hanya kepada kriteria penulisan kitab hadis miliki al-Bukhârî dan

Muslim.

Kajian selanjutnya di lakukan oleh Nasir Akib dalam jurnal yang berjudul

Kesahihan Sanad dan Matan Hadits: Kajian Ilmi-ilmu Sosial”, Jurnal Shautut

Tarbiyah Ed. 21. Th. XIV. September 2018. Jurnal ini menjelaskan Kidah

26 Suryadi “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis”. Esensia: Jurnal

Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol 16, No 2 (Yogyakarta, pada tahun 2015). 27Jonathan Brown, The Canonization of Bukhari and Muslim: The Formation and

Function of The Sunni Hadith Canon (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2007).

Page 26: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

11

Kesahihan Hadis sanad dan Matan, serta tentang kaidah kesahihan sanad dan

matan meliputi kaidah minor dan mayor.

Kajian selanjutnya dilakukan oleh Azizatul Iffah dalam skripsinya yang

berjudul Periwayatan Syi’ah Dalam Sahîh al-Bukhârî skripsi ini membahas

tentang Syi’ah dalam kitab Sahîh al-Bukhârî. Skripsi ini membahas tentang

periwayat-periwayat hadis bid’ah (dalam hal ini sekte syi’ah) sebagaimana

ungkapan jalaluddin al-Sayuti dalam kitab tadrib al-Rawi fi Syart Tahrib al-

Nawawi benar-benar terdapat dalam kitab hadis sekaliber sahîh al-Bukhârî.

Selanjutnya, kajian yang dilakukan oleh Muhammad Rizal dalam

skripsinya yang berjudul Relevansi ‘Illat Terhadap Kaidah Kesahihan Hadis

Ulama Mutaqaddimin. Skripsi ini membahas tentang konsep ‘Illat terhadap

kaidah kesahihan hadis, yang mencangkup konsep kesahihan hadis mulai dari

Imâm al-Syâfi’î hingga pada era Ibn Salâh. Pada skripsi ini juga dibahas

kesempurnaan konsep kaidah kesahihan hadis itu terjadi pada era Ibn Salah yang

terkenal dengan kitabnya Muqaddimah Ibn Salah.

Dari uraian kajian pustaka diatas, Sepanjang pengetahuan penulis, belum

ada penelitian yang menulis secara khusus tentang kesahihan hadis melalui kritik

sanad dengan fokus kajian komparasi kaidah kesahihan hadis antara Imâm al-

Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî. Dengan demikian, apa yang diupayakan oleh

penulis ini bukan merupakan suatu pengulangan dari apa yang telah

dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain.

F. Metode Penelitian

Sebagai sebuah penelitian kepustakaan (library research), bahan-bahan

kajian peneltian ini diperoleh dari data-data kepustakaan, baik dari sumber

Page 27: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

12

premier (primary source) maupun sumber sekunder (secondary source).

Selanjutnya, data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan

metode deskriptif-analitis dan komparasi.

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini di laksanakan dengan

menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa

buku-buku. Sumber primer yang penulis gunakan dalam meneliti kaidah

kesahihan hadis Imâm al-Syâfi’î adalah kitab al-Risâlah dan Musnad Imâm al-

Syâfi’î sedangkan data primer yang penulis gunakan dalam meneliti kaidah

kesahihan hadis Imâm al-Bukhâri adalah Kitab al-Jâmi’ al-Musnâd al-Sâhîh al-

Mukhtasar min Umuri Rasulillah wa Sunnanihi wa Ayyâmihi atau lebih terkenal

dengan kitab Sâhîh al-Bukhârî. Adapun yang dijadikan sumber sekunder dalam

penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, dan karya ilmiah lain yang relevan dengan

pembahasan ini.

Metode deskriptif-analitis dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai

metode penelitian yang sumber-sumbernya didata, dikumpulkan, dianalisis dan

kemudian diinterpretasikan secara kritis sebelum dituangkan dan

diimplementasikan dalam sebuah gagasan.28 Yaitu untuk mendapatkan gambaran

konsepsional tentang kai kesahihan hadis-hadis antara Imâm al-Syâfi’î dan Imâm

al-Bukhârî.

Setelah diperoleh gambaran yang jelas tentang metode atau kaidah al-

Syâfi’î dan al-Bukhârî, analisis dilanjutkan dengan menkomparasikan kaidah

keduanya dengan menggunakan metode perbandingan sistematis, yakni

mengkomparasikan antara data dari satu bagian dengan data dari bagian yang lain,

28 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik, cet. Ke-7

(Bandung: Tarsito, 1982), h. 139.

Page 28: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

13

sehingga diperoleh suatu kesimpulan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar bisa

diperoleh gambaran tentang persamaan dan perbedaan serta objektifitas dalam

menggunakan kesahihan hadis.

G. Sistematika Penulisan

Demi mendapatkan pemahaman dan gambaran yang sistematis akan isi

penelitian ini, pembahasan dalam skripsi ini akan disusun dalam sebuah

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, dan

metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab kedua, berisi tentang sejarah, urgensi serta kiadah penetapan

kesahihan suatu hadis. Kajian ini penting dilakukan mengingat ini menjadi

landasan teori mengapa kajian tentang sanad dan kesahihan suatu hadis penting

untuk dilakukan. Karena aspek sejarah sangat penting dalam penentuan suatu

kaidah pada masa setelahnya. Bab ini hanya terdiri dari sejarah penggunaan sanad

dalam hadis, urgensi penggunaan sanad, serta penetapan kesahihan dalam hadis

menurut jumhur ulama.

Bab ketiga, berisikan tentang potret serta latar belakang pemikiran Imâm

al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî secara umum. Kajian ini diawali dengan biografi

serta latar belakang pemikiran mereka, lalu diikuti dengan guru-guru serta murid-

murid mereka dahulu. Bagian terakhir dari masing-masing tokoh adalah penelitian

tentang kitab hadis yang mereka tulis, yang dirincikan mulai dari alasan penulisan

kitab tersebut sampai kepada latar belakang penulisan kitab hadis tersebut. Pada

Page 29: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

14

Bab ketiga ini diharapkan mampu untuk menjawab persoalan tentang mengapa

dan apa latar belakang dari pemikiran serta penulisan kitab hadis mereka berdua.

Bab empat, berisikan tentang kaidah kesahihan hadis yang ditawarkan oleh

Imâm al-Syâfi’î dan Imām al-Bukhârî, serta menganalisis persamaan dan

perbedaan dari dua kaidah kesahihan yang ditawarkan. Kajian pada bab ini

dilakukan agar diketahui persamaan dan perbedaan kaidah kesahihan hadisyang

ditawarkan pada jalur sanad hadis.

Penelitian ini diakhiri dengan bab kelima yang merupakan penutup, yaitu

berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh serta saran-saran.

Page 30: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

15

BAB II

SEJARAH PENGGUNAN SANAD DAN KAIDAH KESAHIHAN HADIS

A. Sejarah Penggunaan Sanad dalam Hadis

Tidak ada penjelasan yang akurat kapan sistem sanad dipakai. Hanya saja

ada sumber yang menyatakan bahwa sistem sanad digunakan sebelum Islam

datang, sistem tersebut sudah ada metode yang mirip dengan sistem penggunaan

sanad dalam periwayatan syair-syair pada zaman sebelum Islam datang.29 Akan

tetapi, tidak ditemukan keterangan lebih lanjut tentang realitas tersebut.30 Sistem

periwayatan yang terjadi dalam masyarakat Arab Pra Islam memiliki perbedaan,31

terutama pada hal periwayatan kitab suci mereka. Tradisi mereka dalam

Periwayatan tidak mementingkan kebenaran berita yang mereka terima. Sehingga

mereka tidak kritis terhadap siapa yang membawa berita tersebut. Karena

kebanyakan mereka meriwayatkan tentang kegembiraan, kesenangan dan juga

untuk membakar semangat mereka dalam hal peperangan. 32

Pemakaian sanad dalam Islam itu sendiri tidak ada keterangan detail kapan

dan siapa yang pertama kali memakai sistem sanad dari generasi pertama Islam

(Sahabat).33 Ketika Rasullah saw masih hidup, kebanyakan para sahabat tidak

terlalu mementingkan persoalan sanad. Karena mereka masih saling

29 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: PT Pustaka Firdaus,

2012), h. 531. 30. M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 530. 31 Al-Sâdiq Basyîr Nashr, Dawâbit al-Riwâyah ‘Inda al-Muhaddisîn, (Tripolit, 1992), h.

64. 32 Penggunaan sanad pada masa pra Islam bukan hal-hal yang bersifat sakral dan suci

tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang ketat. Muhammad ibn Muhammad abû Syuhbah, Fî

Rihâb al-Sunnah al-Kutûb al-Shahihâh al-Sittah, (Kairo: Majma al-Buhuts al-Islâmiyyah, 1981),

h. 32. 33 Hedhri Nadhiran, Kritik Sanad Hadis: Tela’ah Metodologis, Jurnal Agama Islam

Raden Fatah, Volume 15, No 1, 2014, h. 4.

Page 31: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

16

mempercayai, menjaga, dan komitmen dalam keislaman mereka. Para sahabat

sudah terbiasa meriwayatkan hadis ketika Nabi Muhammad saw masih hidup,

mereka yang hadir dalam majelis pengajian Nabi Muhammad saw selalu memberi

tahu hal-hal yang mereka dengar dalam pengajian kepada sahabat yang tidak hadir

dalam majelis pengajian tersebut. Dan para sahabat juga selalu menuturkan

sumber-sumber berita yang diterimanya, baik Nabi Saw maupun sahabat yang

lain. Apabila yang meriwayatkannya bukan Nabi, maka dengan sendirinya mereka

meyebutkan sumber hadis tersebut. Inilah yang sebenarnya yang disebut

pemakaian sanad. Sistem yang dipakai pada saat sahabat meriwayatkan hadis

tersebut yang kemudian melahirkan Isnad atau metode pemakaian sanad.34

Namun urgensi metode sanad ini terlihat penting dalam Islam khususnya

periwayatan hadis, sehingga berkembang sistem sanad ini.35 Ibn al-Mubârak (w.

181 H/797 M) mengatakan bahwa metode sanad itu merupakan bagian dari

Islam.36 Agama Islam sendiri yang mengajarkan umatnya untuk mencari

kebenaran dan mencari kepastian terhadap apa yang didengar dan diriwayatkan

oleh seseorang, Seperti firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik

membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak

menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui

keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”

(Q.S Al-Hujarât: 6).

34 M. M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 531. 35 Metode sanad terus berjalan dan berkembang hingga saat ini dan mendapat perhatian

khusus dari umat Islam. Lihat Salman Noorhidayati. M.Ag, Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang

al-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis, (Yogyakarta, 2017), h. 14. 36 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 530.

Page 32: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

17

Sistem periwayatan sanad dalam Islam dan Pra Islam yang

membedakannya adalah ancaman Nabi yang sangat berat terhadap orang-orang

yang berdusta atas Nama Nabi, sehingga menjadikan para sahabat dalam

meriwayatkan hadis sangatlah hati-hati dan teliti. Ancaman tersebut misalnya:

ي ني عن أبي صاليح عن أبي هري رة عن النبي ث نا أبو عوانة عن أبي حصي ث نا موسى قال حد حد صى اليتي ومن رآني في ي ول تكت نوا بيكن سي وا بي يطان ل ي تمثل عيهي وسم قال تسم المنامي ف قد رآني فإين الش

ن الناري دا ف ي ت ب وأ مقعده مي في صورتي ومن كذب عي مت عمي “Telah menceritakan kepada kami mûsâ telah menceritakan

kepada kami abû ‘awânah dari abî hasîn Dari abû Hurairah, dari Nabi

SAW, bersabda “Namailah dirimu dengan namaku, dan jangan memakai

gelarku. Barang siapa yang bermimpi melihatku dalam tidurnya, maka ia

benar telah melihatku, karena setan tidak mampu menjelma seperti aku.

Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka biarlah dia menempati

tempatnya di neraka.”37

Penggunaan sanad pada masa Nabi itu masih sederhana, namun sebelum

akhir abad satu Hijriyyah, metode sanad telah berkembang hingga Syu’bah selalu

memperhatikan dan mendengarkan apa yang diucapkan gurunya Qatâda (w. 177

H), ketika meriwayatkan hadis Qatâda mengatakan, haddatsanâ maka Syu’bah

mencatat hadisnya, apabila Qatâda mengatkan Qâla maka Syu’bah diam dan tidak

mencatatnya, hal ini dilakukan karena sangat hati-hati dalam menerima riwayat

hadis. Penggunaan sanad dalam periwayatan hadis menjadi penting karena hadis

adalah salah satu sumber ajaran Islam yang tentu keasliannya harus dijaga antara

lain dengan menjaga kevalidan sanad itu sendiri.38

Dalam suasana lain, studi sanad hadis di kalangan orientalis lebih

mengarah kepada kapan mulainya umat Islam menggunakan sistem sanad. Seperti

37 Muhammad Ismâ’il al-Bukhârî, Al-Jâmi’al-Musnad al-Sahîh al-Mukhtasar min Umûri

Rasûillâh sallâh ‘Alaihi Wasallam (Tahqiq Muhammad Zuhair al-Nâsir, Beirut: Dât Tauq alNajah,

1422 H), juz 1, h. 33 38 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 531

Page 33: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

18

orientalis yang bernama Caetani, dia mengatakan bahwa penggunaan sanad baru

dimulai antara masa ‘Urwah ibn Zubair (w. 94 H/712 M) dengan Ibn Ishaq (w.

151 H/768 M). 39

Dilain pihak, orientalis yang bernama Horovits berbeda pendapat. Dia

mengatakan sanad sudah mulai dipakai pada akhir Abad Pertama Hijriyyah sekitar

tahun 70-an Hijriyyah). Sedangkan J. Robson mengatakan bahwa mungkin saja

sanad sudah mulai digunakan pada pertengahan abad Hijriyyah. Pendapat

kalangan orientalis ini dianggap keliru, dan puncak kekeliruan mereka terhadap

kajian sanad terlihat dari pendapat orientalis yang bernama Josept Schacht,

menurutnya sanad hanyalah produk imajinasi orang-orang yang datang

belakangan dengan mencoba mengaitkan hadis-hadis yang didapatkannya kepada

tokoh-tokoh terdahulu.40

Menanggapi pendapat orientalis semacam ini, Muhammad Musṯafa

‘Azamî berpendapat mereka melakukan kesalahan besar dalam mengkaji sanad,

kesalahan besar tersebut terletak pada metodologi yang mereka gunakan.

Kesalahan mereka itu menurut ‘Azamî adalah mereka meneliti sanad hadis dari

objek yang keliru. Mereka mengkaji hadis dari kitab-kitab sejarah, biografi dan

fiqh yang kebetulan banyak memuat hadis-hadis Nabi. Mereka tidak melakukan

studi hadis secara langsung dari kitab-kitabnya.41

B. Urgensi Sanad dalam Hadis

Perhatian utama mayoritas ahli hadis generasi salâf sebelum masa Tadwîn

hadîts pada aspek al-Riwayâh. Mereka tidak menerima suatu hadis yang tidak

39 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 532. 40 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 533. 41 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 5382.

Page 34: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

19

disertai penyebutan sanadnya untuk melihat integritas pribadi (kapabiltas

intelektual dan integritas moral) perawi-perawinya dan ketersambungan

antarsumber informasi perawi (Ittisâl al-sanad). Cukup banyak ungkapan dan

pernyatan para ulama salaf tentanng urgensi sanad ini, di antaranya: Ibnu Sîrîn

(w.110 H) berkata:

قالوا سوالنا رجالكم فينظرو إىل أهل السنة فيؤخذ نةمل يكونوا يسألون عن السناد فما وقعت الفت حديثهم وينظر اىل أهل البدع فال يؤخذ حديثهم

“Dulu para ulama tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun

ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata: Sebutkan pada kami rijal kalian.

Apabila ia melihat rijâl tersebut dari kalangan Ahl al-Sunnah, maka

diterima hadisnya, dan jika dari kalangan Ahl al-Bid’ah, maka tidak

diterima”.42

Perkataan Ibnu Sîrîn tersebut merupakan tanggapan terhadap keadaan

umat Islam pasca al-Fitnah al-Kubrâ, ketika terbunuhnya ‘Usmân ibn Affân.

Kondisi geopolitik Islam telah mengalami perkembangaan, pada awalnya umat

Islam bersatu, namun terpecah menjadi berbagai kelompok yang bertentang satu

dengan yang lainnya bahkan saling bunuh-membunuh. Mereka mengklaim satu

sama lain bahwa dirinya yang paling benar dan sesuai dengan ajaran Rasullah

saw. Yakni al-Qur’an. Bahkan muncul berbagai macam hadis yang sebelumnya

tidak ada pada zaman Nabi maupun zaman Sahabat.43

Carut marut keadaan umat Islam pada saat itu menjadikan keprihatinan

para ulama. Khususnya ulama-ulama hadis dalam menentukan kaidah-kaidah

yang sangat ketat dalam penjagaan hadis Nabi, terkait dari hal-hal pemalsuan

hadis yang berkembang dan meresahkan. Hal ini disebabkan karena hadis sebagai

42 Muhammad ‘ajjaj al-Khaṯîb, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), h.

257. 43 Muhammad Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Ilmu Sanad Hadis (Yogyakarta: Idea Press,

2017), h. 13.

Page 35: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

20

salah satu ajaran Islam, didalamnya berisi tentang berbagai pedoman kehidupan

umat manusia yang bersumber dari Nabi Muhammad saw.44 Ketika itu, orang-

orang sangat ktiris terhadap sanad sebuah ungkapan yang dikatakan sebagai hadis.

Dalam hal urgensi sanad hadis, para ulama tidak sedikit berkomentar

tentang pentingnya sistem sanad didalam hadis. Dari beberapa ungkapan mereka

jelas bahwa keberadaan sanad merupakan suatu keniscayaan. Seperti ‘Abdullâh

ibn Mubârak (w. 110 H/728 M) berkata:

السناد من الدين ولول السناد لقال من شاء ما شاء

“Sanad merupakan bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad,

maka siapa saja Akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya.45

Muhammad ibn sîrîn juga pernah berkata :

ان هذا العم دين فانظروا عمن أتخذون دينكم

“Sesungguhnya pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka

perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu itu”.46

Selanjutnya al-Hakîm berkata:

لول توفر طائفة من احملدثني عى حفظ السناد لدرس منارالسالم“Andaikata tidak cukup sempurna adanya golongan dari ahli-ahli

hadis, memelihara sanad, pastilah lenyap tanda-tanda (lentera) Islam.47

Pendapat para ulama tesebut menjadikan sanad sebagai posisi yang sangat

penting. Karena hadis merupakan sumber ajaran kedua bagi umat Islam, maka

tidaklah berlebihan jika ‘Alî ibn Mâdinî (w. 234 H) mengatakan نصف معرفة الرجال

44 Muhammad Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Ilmu Sanad Hadis, h. 13. 45 Muhammad ‘ajjaj al-Khaṯîb, Ushûl al-Hadîs ‘Ulumûhu wa Musṯalahuhu, h. 412 46 Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn bî Naqd al-Hadîs Sanad wa

Matan (Riyâd: Maktabah al-Riyâd, 1984), h. 155. 47 Pendapat ini dikutip oleh Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Lihat

Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis ( Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2009), 203.

Page 36: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

21

mengetahui rijâl atau sanad merupakan setengah ilmu (agama).48 Penilaian العم

ulama mengenai sanad yang disebutkan diatas tadi, menjadikan sanad sebagai

pembeda dengan umat lainnya. Abû Hatim (w. 227 H) berkata:

مةمن األمم منذ خق هللا ادم أمناء حيفظون اقوال الرسول ال هذه األ أمةمل يكن ف

“Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam diciptakan yang

memiliki suatu standar pegangan untuk memelihara atsar para Rasulnya

selain umat Nabi Muhammad saw”.49

Mengingat hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam, maka sangat

wajar jika umat Islam sangat besar perhatiannya terhadap metode sanad. Mereka

berusaha mencari informasi orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan

hadis, serta membahas kebenaran tersebut.50

C. Penetapan Kaidah Kesahihan Hadis menurut Jumhur Ulama

Seiring perjalanan waktu, para ulama dari zaman ke zaman senantiasa

menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan kandungan hukum dan

hikmahnya. Peran ini secara khusus menjadi spesialisasi ulama hadis. Mereka

meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari upaya

tahrîf (penyelewengan) dari orang-orang yang ektrim (al-ghâlîn) dan takwil

(interpretasi) dari orang-orang bodoh (al-jahilîn) serta pemalsuan (intihâl) dari

para pendusta (al-mubtûn) dari sekte-sekte yang bid’ah.51

Dalam hal ini, para ulama hadis khususnya abad kedua Hijriyah sangatlah

selektif dalam menerima hadis, seperti Abû Ishaq al-Sa’bî (w. 126 H/ 742 M), Ibn

48 Akram Diya’ Al-‘Umarî, Buhûts Fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirut:

Basath, 1984), h. 47. 49 Zulhaedi, Eksitensi Sanad dalam Hadis, Jurnal Miqot, vol. XXXIV, NO. 2, Juli-

Desember 2010, h. 166 50 Salman Noorhidayati. M.Ag, Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang al-Riwayah bi al-

Ma’na dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis, h. 16. 51 Nur al-dîn ‘Itr. Manhaj al-Naqd fî ulûm al-Hadîts (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1997), h. 51-80

Page 37: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

22

Syihâb al-Zuhrî (w. 125/ 741 M), Hisyam ibn ‘Urwah (w. 146 H) dan al-‘Amasî

(w. 147 H). Para ulama tersebut sangat kritis dalam melihat sanad hadis, apakah

sanad tersebut Ittsâl (bersambung) sampai kepada Nabi atau tidak.52

Ketika hadis telah menyebar luas dan tidak sedikit pemalsuan yang

dinisbatkan kepada Rasulullah saw, para ulama melakukan penelitian dan

penilaian terhadap hadis. Mereka menyusun berbagai kaidah dan metode

keilmuan hadis, diantara kaidah yang mereka rumuskan dalam kajian hadis adalah

kaidah keshahihan hadis. Hal itu merupakan syarat dan kriteria yang harus

dipenuhi oleh sebuah sanad hadis yang yang berkualitas shahîh.53 Hanya saja

hingga abad ke-3 Hijriyah mereka belum menetapkan kriteria hadis-hadis yang

dianggap shahih secara jelas, para ulama tertsebut hanya menetapkan kriteria-

kriteria berita atau informasi yang diperoleh. Kriteria-kriteria tersebut adalah:

1. Periwayatan hadis tidak boleh diterima terkecuali yang berasal dari

orang-orang yang di anggap tsiqat.54

2. Orang yang akan memberikan riwayat hadis itu harus diperhatikan

ibadahnya serta perilakunya; apabila ibadah dan perilakunya tidak baik

maka periwayatannya tidak diterima.

3. Riwayat orang-orang yang berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan

tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan adalah tertolak.

4. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang tidak dikenal

memiliki pengetahuan hadis.

52 Ali Mustafa Ya’cub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 100. 53 M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), h. 8. 54 Tsiqat pada saat itu diartikan sebagai kemampuan hafalan yang sempurna dari pada

diartikan sebagai gabungan ‘adl dan dhabit yang dikenal luas pada zaman berikutnya. Lihat M.

Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 124.

Page 38: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

23

5. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak

kesaksiannya.55

Kriteria-kriteria tersebut tertuju pada kualitas dan kapasitas seorang

periwayat, baik yang boleh diterima maupun yang harus ditolak riwayatnya.

Namun demikian, kriteria ini belum mencakup secara keseluruhan syarat sanad

yang autentik yang ditetapkan kemudian, apalagi kriteria yang berhubungan

dengan kesahihan matn. Kriteria ini hanya terfokus pada permasalahan isnad

saja.56

Berbeda halnya dengan ulama sebelum abad ke-3 Hijriyah, ulama al-

muta’akhirin telah memberikan definisi hadis shahih secara tegas. Seperti halnya

Ibn al-Salâh (w. 634 H/1245 M) salah seorag ulama hadis yang memiliki banyak

pengaruh di kalangan ulama hadis sezamannya dan sesudahnya, telah memberikan

definisi atau pengertian hadis shahih sebagai berikut:

لضابط عن اما احلدىث الصحيح فهو احلديث املسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل ا العدل الضابط ايل منتهاه ول يكون شاذا ول معال

“Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai

kepada Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil

dan dhabit sampai akhir sanad dan tidak terdapat kejanggalan (syudzûz)

dan (illat)”.57

Dari definisi yang diutarakan oleh Ibn Salâh ini dapat dinyatakan, bahwa

hadis shahih adalah hadis yang: 1 Sanadnya bersambung sampai nabi; 2 Seluruh

periwayatnya adil dan dhabit; 3 Terhindar dari syaz dan illat.

55 M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h, 124. 56 Baca Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, h,16. 57 Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Abî Bakr al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-

Nawâwî (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 911 H), Juz 1, h. 27.

Page 39: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

24

Dari definisi tersebut Imam Nawâwî setuju dengan yang dikemukakan

oleh Ibn al-Salâh dan meringkasnya dengan rumusan sebagai berikut:

من غري شذوذول عةما اتصل سنده بلعدول الضابطني “Hadis shahih ialah hadis yang yang bersambung sanadnya,

(diriwayatkan oleh orang-orang yang) adil dan dabit, serta tidak terdapat

kejanggalan (syuduz) dan cacat (‘illat)”.58

Ulama hadis lainnya dari kalangan al-Muta’akhirîn, seperti Ibn Hajar al-

Asqalânî (w 852 H), Jalâl al-Dîn al-Suyûti (w. 911 H), Jama al-Dîn al-Qasimiî (w.

1332 H) serta Muhammad Zakariya al-Kandahlawî (lahir 1315), telah

megemukakan defini hadis shahih. Definisi yang mereka tawarkan memang

berbeda redaksinya tetapi prinsip isinya sama dengan yang telah dikemukakan

oleh ibn al-Salâh dan al-Nawâwî.59 Ulama-ulama hadis pada masa berikutnya,

seperti Mahmud al-Tahan, Subhi al-Sâlih (w. 1407 H) dan Muhammad ‘Ajjaj al-

Khatîb juga memberikan definisi yang sama demikian.60

Walaupun para ulama hadis telah memberikan pengertian tentang hadis

shahih, tetapi menurut Ibn Katsîr (w. 774 H) hal itu tidaklah berarti telah menjadi

ijmak. Ibn Katsîr berpendapat bahwa hadis shahih itu tidak hanya sanadnya

bersambung kepada nabi saja, melainkan juga yang bersambung sampai hanya

ketingkat sahabat. Sekalipun demikian menurut Ibn Katsîr bahwa pendapat yang

diikuti oleh ulama pada umumnya adalah pendapat yang diikuti oleh Ibn Salâh

dan al-Nawâwî.61

58 Al-hâfidz Zain al-Dîn Abd al-Rahîm Ibn Husain al-‘Irâqî, Al-Taqyid wa al-Aidâh Syarh

Muqaddimah Ibn al-Salâh (Al-Madinah al-Munawarah: Dâr al-Ma’rif, 806 H), h. 8. 59 Baca Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, h,20. 60 Muhammad ‘ajjaj al-Khaṯîb, Ushul al-Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h.

227. 61 M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h, 129.

Page 40: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

25

Dengan demikian, pengertian hadis sahih yang diikuti oleh mayoritas

ulama hadis ialah pengertian yang diutarakan oleh Ibn Salah dan diringkas oleh

al-Nawâwî. Kriteria yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis diatas telah

mencakup sanad dan matn. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat

dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatannya harus adil dan dhabit.

Krtiteria terbut untuk kesahihan sanad, sedangkan keterhindaran dari syuzuz dan

‘illat bukan hanya kriteria kesahihan sanad saja, juga kriteria untuk kesahihan

matn hadis.62

Dari definisi atau pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas

ulama hadis diatas dapat dinyatakan, bahwa kaidah kesahihan sanad hadis ialah:

sanad bersambung; seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil (al-‘adl); seluruh

periwayat dalam sanad bersifat dabit; sanad hadis terhindar dari syûdzuz; dan

sanad hadis itu terhindar ‘illat. Dengan demikian, suatu sanad hadis yang tidak

memenuhi kriteria tersebut adalah hadis yang kualitas sanadnya tidak sahih.63

62 Nur al-Din ‘Itr, Al-Madkhal ila ‘Ulum al-Hadis (al-Madinah al-Munawwarah: Dar al-

Ma’rif), h. 281. 63 Kriteria-kriteria tersebut masih berlaku hingga sekarang dan terus di implementasikan

oleh sarjana-sarjana hadis. Lihat M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah

Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h, 130.

Page 41: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

26

BAB III

BIOGRAFI IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN IMÂM AL-BUKHÂRÎ

A. Biografi Imâm Al-Syâfi’î

1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Intelektual Imâm al-Syâfi’î

Nama lengkapnya Muhammad ibn Idri ibn al-‘Abbâs ibn ‘Usmân ibn

Syâfi’î ibn al-Sâib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hâsyim ibn ‘Abdul Muṯṯalib ibn

‘Abdul Manâf ibn Ma’in ibn Kilâb ibn Murrah ibn Mudrikan ibn Ilyâs ibn Nadar

ibn ‘Adnan ibn ‘Ad ibn Adad.64

Kata Syâfi’î dinisbatkan kepada kakeknya yang ketiga, yaitu Syâfi’î ibn

Sa’ib. Ayahnya bernama Idris ibn ‘al-Abbâs, ibunya bernama Fâṯimah ibn al-

Hasan ibn Husein ibn ‘Alî ibn Abî Talib.65 Silsilah keturunan al-Syâfi’î menyatu

dengan silsilah keturunan Nabi Muhammad Saw pada kakeknya ‘Abdul Mânaf.66

Imâm Al-Syâfi’î dilahirkan di Gaza, wilayah Asqalan67, pada tahun 150 H

(767 M) bersamaan dengan wafatnya dua ulama besar, yaitu Imam Abû Hanîfah

di Baghdad dan Imam Ibnu Juraij mufti Hijaz.68 Imâm Al-Syâfi’î menjadi yatim

sejak umur dua tahun setelah ayahnya wafat ketika sedang berurusan di Syam.69

Ibunya membawa beliau ke Mekkah pada umur dua tahun dan menetap disana

selama 20 tahun, yaitu sampai tahun 170 H dalam keadaan faqir. Ibunya

64 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.

203. 65 Moh. Yassir Abu Muthalib, Ringkasan Kitab Al-Umm (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004),

h. 3. 66 Yâqût al-Hamawîy, Mu’jam al-Udabâ’ (Kairo: 1936), vol IV, h. 281. 67 Ialah sebuah kota di Israel. Kota ini terletak di pesisir Laut Tengah selatan Ashdod dan

utara Jalur Gaza. Ashkelon (Asqalan) memiliki sekitar 105.000 penduduk Lihat

https://id.wikipedia.org/wiki/Ashkelon. 68 Hujaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, 1997),

h. 123. 69 Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1998),

h. 152.

Page 42: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

27

membekali dengan pendidikan, sehingga sewaktu umur tujuh tahun Imâm Al-

Syâfi’î sudah dapat menghafal al-Qur’an. Beliau mempelajari al-Qu’an di Kota

Mekkah Kepada Isma’il ibn Qastantin dan sebuah riwayat mengatakan Imâm Al-

Syâfi’î pernah menghatamkan al-Qur’an sebanyak 60 kali di bulan ramadhan.70

Imâm Al-Syâfi’î belajar hadis secara mendalam ketika beliau berada di

Madinah, beliau belajar kepada Imam Mâlik. Bahasa dan sastra al-Syâfi’î pelajari

dari gurunya Huzail, kemudian Imâm Al-Syâfi’î belajar kepada Muslim ibn

Khâlid al-Zinjîy, mufti Mekkah terkenal. Berkat kecerdasannya, al-Zinjîy merasa

al-Syâfi’î pantas diberi wewenang dengan mengatakan, “Wahai Abû Abdillah

berfatwalah karena sudah tiba waktunya bagimu untuk berfatwa”. Imâm Al-

Syâfi’î juga belajar tafsir, kepada murid Ibn ‘Abbas seperti Sufyân ibn ‘Uyainah,

Sa’îd ibn Sâlim, Dawûd ibn ‘Abdul al-Râhman al-Aṯṯâr.71

Dari Mekkah, Imâm al-Syâfi’î menuju madinah untuk belajar pada Imam

Mâlik ulama yang terkenal dibidang hadis dan Fiqh. Beliau pertama kali datang ke

Madinah pada tahun 164 H dan tinggal disana sampai gurunya Imâm Mâlik wafat

pada tahun 179 H. Imâm Al-Syâfi’î tidak hanya belajar kepada Imâm Mâlik saja,

beliau juga belajar kepada ‘Abdul ‘Aziz ibn Muhammad al-Darwadîy, Ibrâhîm ibn

Sa’ad al-Ansârî, Ibrâhîm ibn Yahyâ dan ‘Abdullah ibn Nâfi.

Setelah dari Madinah, Imâm Al-Syâfi’î pergi ke Yaman, dan oleh

gubernur al-Syâfi’î diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan ditempatkan di

Narjân. Beliau berhasil menjalankan tugas-tugas kepemerintahan dengan baik,

bahkan Beliau berhasil memperbaiki citra pemerintahan yang bersih dan adil.

70 Hujaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 121. 71 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis (Ciputat: Lembaga Penelitian

Uin Jakarta, Desember, 2010), h. 108.

Page 43: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

28

Beliau selama di Yaman menyempatkan waktu untuk belajar Fiqh Mu’ây melalui

muridnya Muṯṯaraf ibn Mâzin (w. 220 H) dan Hisyâm ibn Yûsuf, Hâkim (w. 197

H), Fiqh ‘Auzâ’îy lewat ‘Amr ibn Salâmah.

Setelah dari Yaman, kemudian Imâm Al-Syâfi’î pergi ke Irak, beliau

belajar fiqh Irak, Fiqh yang dibangun oleh Imam Abû Hanîfah. Al-Syâfi’î belajar

kepada Muhammad Hasan al-Saibânîy murid Abû Hanîfah yang paling menonjol.

Pertemuan al-Syâfi’î dengan al-Saibânîy bukan sekedar pertemuan guru dan

murid saja, melainkan pertemuan antara dua aliran fiqh yang berbeda. Al-Saibânîy

terkenal dengan ulama fiqh beraliran “Fuqaha Ahl al-Ráy”, yang mana banyak

menggunakan akal (al-Ráy) dan sedikit berpegangan pada Hadis atau atsar dalam

pemikiran Fiqhnya. Sedangkan al-Syâfi’î terkenal dengan aliran Fiqh “Fuqaha

Ahl al-Hadîs”, dalam pemikiran fiqhnya lebih menggunakan kepada Hadis dan

atsar dibandingkan dengan akal.72

Dengan berakhirnya Rihlah Ilmiyah al-Syâfi’î di Irak, berakhir juga suatu

fase dari rintangan panjang sejarah hidupnya yang diwarnai dengan masa

pendidikan, dimana beliau tampil sebagai seorang murid yang mendatangi guru

diberbagai daerah.73

Pada tahun 195 H al-Syâfi’î pergi ke Baghdad dan menetap di sana

beberapa bulan, kemudian tahun 198 H pergi ke Mesir dan menetap disana sampai

Wafat pada tanggal 29 Rajab tahun 204 H (820 M) setelah menjalankan ibadah

Shalat Isya dan dimakamkan di suatu tempat di Qal’ah yang bernama Mishru al-

Qadîmah.74

72 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 100-110. 73 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 111. 74 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 107.

Page 44: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

29

2. Guru Serta Murid Imâm Al-Syâfi’î

Guru Imâm al-Syâfi’î secara garis besar terdapat di empat tempat:

Mekkah, Madinah, Yaman dan Irak. Guru Beliau sangatlah banyak dalam

berbagai bidang keilmuaan, termasuk ilmu-ilmu yang berhubungan dengan

masalah-masalah agama.

Guru-guru ketika beliau menuntut ilmu di Mekkah ialah Isma’il ibn

Qantastin, Sufyân ibn U’yainah, Muslim ibn al-Zanjî, Sa’ad ibn Abî Sâlim, al-

Qaddah, Daûd ibn Abd al-Rahmân, al-Aṯar, ‘Abdul Hamîd ibn ‘Abdul ‘Azîz.

Guru-guru al-Syâfi’î ketika menuntut ilmu di madinah adalah Imam Mâlik

ibn Anas, Ibrâhîm ibn Sa’ad al-Ansâri, ‘abdul ‘Azîz ibn al-Darâwardi, Ibrâhîm ibn

Abû Yahyâ al-Usâmî, Muhammad ibn Sa’îd ibn Abî Fudaik dan ‘Abdullah ibn

Nâfi.

Guru-guru al-Syâfi’î ketika menuntut ilmu di Yaman ialah Maṯraf ibn

Mâzin, Hisyâm ibn Yûsuf, ‘Umar ibn Abî Salamâh, Yahyâ ibn Hasan, Sâhibul

laiú, ibn Sa’ad.

Sedangkan guru-guru al-Syâfi’î ketika menuntut ilmu di Irak ialah Wakî’

ibn Jarrah, Abû Usâmah, Hamâd ibn Usâmah al-Kâfiyun, Isma’îl ibn ‘Ulyah dan

‘Abdul Wahhâb ibn ‘Abdul Majîd al-Misriyânî.

Adapun murid-murid al-Syâfi’î sangatlah banyak, diantaranya yang bisa

penulis sebutkan adalah Imam Abû Úaur, Ibrâhîm ibn Khâlid al-Yamân, Imam al-

Hasan ibn Muhammad al-Asâbah, al-Za’farânî, Imam Ahmad Ibn Hanbal, Imam

Abû Abû ‘Ali Husaini ibn ‘Ali al-Karâbisw, Imam Yûsuf ibn Yahyâ al-Buwaihi,

Page 45: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

30

Imam Abû Ibrâhîm, Ismâ’îl ibn Yahyâ, Imam al-Rabî ibn Sulaiman ibn ‘abdul

Jabbâr, Imam Harmalah ibn Yahyâ, Imam Yûnus ‘Abdul ‘A’lâ.75

Walaupun mereka belajar kepada al-Syâfi’î, namun ternyata mereka tidak

selalu mengikuti pemikiran al-Syâfi’î sebagai gurunya. Seperti halnya Imam

Ahmad Ibn Hanbal beliau ternyata tampil dengan corak pemikiran fiqhnya sendiri,

walaupun beliau tercatat sebagai murid yang sangat mengagumi al-Syâfi’î.

3. Latar Belakang Penulisan Kitab al-Risâlah dan Musnad Imam al-Syâfi’î

a. Latar belakang Penulisan Kitab al-Risâlah

Kitab al-Risâlah disusun di Baghdad atas permintaan Abd al-Rahmân bin

al-Mahdî di Makkah, yang mengusulkan kepada Imâm al-Syâfi’î untuk menulis

sebuah kitab yang menerangkan al-Qur’an, ijma’, nasikh (penghapusan atau

pembatalan hukum syara’), mansukh (Nash atau hukum yang dibatalkan), dan

hadis.76

Menurut Muhammad Abû Zahrah (w. 1394 H/1974 M) seorang yang ahli

dibidang hukum Islam menyatakan buku itu disusun saat Imâm al-Syâfi’î berada

di Baghdad, sedangkan Abd al-Rahmân bin al-Mahdî berada di Makkah. Imâm al-

Syâfi’î memberi judul kitabnya dengan Nama “Al-Kitab” atau “Al-Kitabi”,

kemudian lebih terkenal dengan Nama “al-Risâlah” yang mempunyai arti sepucuk

surat. Lantaran, sesudah selesainya didiktekan kepada murid-muridnya, kitab ini

dikirim seperti mengirim Surat Abd al-Rahmân bin al-Mahdî di Makkah.

Kitab al - Risâlah yang pertama beliau susun dikenal dengan Nama al-

Risâlah al-Qadîmah (Risalah Lama). Dinamakan demikian, karena di dalamnya

termuat beberapa pemikiran Imâm al-Syâfi’î sebelum pindah ke Mesir. Setelah

75 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 112-113. 76 Ahmad Nahrawi Abdul Salam al-Indunisi, Ensiklopedi Imam Syafi’i, (Jakarta: Hikmah,

2008), h. 634.

Page 46: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

31

sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan

ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risâlah al-

Jadîdah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa

kitab al-Risâlah karya Imam Syafi'i ini merupakan kitab pertama yang memuat

masalah masalah Ushul Fqih secara lebih sempurna dan sistematis. Oleh sebab

itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.77

b. Latar belakang penulisan Kitab Musnad Imâm al-Syâfi’î

Khalifah Umar ibn ‘abdul ‘Azîz (w. 101 H/720 M) adalah orang yang

pertama kali mempunyai ide agar hadis-hadis pada saat itu di tulis, karena beliau

khawatir hadis-hadis pada saat itu Akan punah seiring berjalannya waktu.78 Hadis-

hadis mulai dibukukukan dan disusun pada masa akhir tabi’in, kitab-kitab yang

telah dibukukan dan dikumpulkan pada abad kedua sangatlah banyak, yang masih

kita temukan sampai saat ini adalah kitab Musnad Imam al-Syâfi’î.

Kitab Musnad ini masih belum terususun di masa al-Syâfi’î sendiri,

karena masih membaur dengan ijtihad beliau yang terdapat didalam al-Umm dan

al-Risâlah. Sebagai seorang mujtahid dan muhaddis, al-Syâfi’î sering

meriwayatkan kepada murid-muridnya. Kemudian murid-muridnya mencatat dan

menghafal apa yang disampaikan al-Syâfi’î, yang pada akhirnya munculah

gagasan untuk menghimpun dan menyusun semua hadis yang periwayatannya

disandarkan kepada Imam al-Syâfi’î.

Kitab Musnad al-Syâfi’î ini adalah kumpulan hadis-hadis yang

diriwayatkan oleh al-Syâfi’î yang tertuang didalam kitab al-Umm dan al-Risâlah.

77 Masturi Irham dan Asmu'i Taman, Enam Puluh Biografi Ulama Salaf ( Jakarta:

Pustaka Al-kautsar, 2006), h., 361 78 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet 3, h. 114.

Page 47: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

32

Namun terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam hal siapa penulis

kitab Musnad Imam al-Syâfi’î ini. Menurut al-Bîqâ’îy, Kitab Musnad ini bukan

karya al-Syâfi’i sendiri melainkan hasil kutipan dari kitab al-Umm dan al-Risâlah

kemudian dikumpulkan dalam kitab tersendiri oleh al-Aṣam. Menurut Ahmad

Amîn, kitab Musnad ini bukanlah karya langsung al-Syâfi’î, tetapi karya

muridnya melalui metode dikte. Abû berpendapat, di dalam kitab musnad al-

Syâfi’î terdapat tulisan langsung imam al-Syâfi’î tetapi ada juga tulisan muridnya

bahkan terdapat juga orang lain selain al-Syâfi’î dan al-Rabî.

Sedangkan pendapat yang paling kuat bahwa kitab Musnad Imam al-

Syâfi’î itu susunan al-Syâfi’î dengan Cara kadang-kadang beliau imlakan kepada

muridnya, sebagiannya kadang-kadang beliau tulis sendiri dan kadang-kadang

disusun oleh murid-murdidnya lalu dibacakan kepada al-Syâfi’î, begitupun

dengan pengimlaan hadis yang telah dipetik dari kitab al-Umm dan al-Risâlah.

Yang paling berperan dalam hal ini ialah al-Rabî sebagai muridnya yang hidup

sampai 66 tahun sesudah al-Syâfi’î wafat.79

B. Biografi Imâm Al-Bukhârî

1. Riwayat Hidup dan Latar belakang Intelektual al-Bukhârî

Nama lengkapnya adalah Abû Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn

Ibrâhîm ibn al-Mughîrah ibn Bardizbah al-Ja’fî al-Bukâri. Beliau dilahirkan pada

hari jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di Kota Bukhara.80 Bukhara81 Adalah salah

satu Kota yang terletak di Asia Tengah. Bukhara pertama kali dibebaskan oleh

kaum muslimin pada masa pemerintahan Amir al-Mukmîn Mu’awwiyah melalui

79Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis), h. 124-125. 80 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb (Halab: Dâr al-Rasyîd, cet. 3, 1991), h. 464. 81 Bukhara terleak dinegara Uzbekistan. Lihat : https://id.wikipedia.org/wiki/Bukhara

Page 48: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

33

pasukan yang dipimpin oleh Sa’id ibn ‘Usman ibn ‘affan. Pada masa al-Bukhârî

Kota Bukhara adalah sebuah tempat (Markaz) dari berbagai macam ilmu, Kota ini

penuh dengan halaqah-halaqah para ahli hadis dan para ahli fiqh.82 Ayahnya

bernama, Isma’il ibn Ibrahim merupakan ulama yang wara.83 Ayahnya

mewariskan sejumlah buku dan semangat untuk mencari ilmu, terutama hadis.

Selanjutnya al-Bukhari diasuh oleh ibunya dengan penuh kasih sayang dan

dengan bimbingan untuk selalu mencintai ilmu.84

Al-Bukhârî mempelajari hadis pertama kali dikota kelahirannya Bukhara

pada Usia 10 tahun. Beliau sudah memahami ilmu hadis pada waktu Beliau masih

kecil.85 Pada usia 16 tahun, al-Bukhârî telah menghafal banyak kitab ulama

terkenal, seperti Ibn Mubârak dan Wakî’. Beliau tidak berhenti pada menghafal

hadis dan kitab ulama saja, tapi juga mempelajari biografi seluruh periwayat yang

ambil bagian dalam periwayatan suatu hadis, tanggal kelahiran dan wafat para

perawi hadis.86 Al-Bukhârî merasa tidak puas dengan hanya belajar hadis dari

penduduk negerinya, sehingga Beliau merantau dalam rangka menuntut ilmu,

Beliau berkeliling ke beberapa negara Islam. Dan pertama kali Beliau

mengadakan perjalanannya pada tahun 210 H.87

Negeri-negeri yang yang pernah Beliau kunjungi dalam rangka menuntut

Ilmu diantaranya: Syam, Mesir, Basrah, Hijaz dan pergi ke Baghdad bersama-

82 Yaqût al-Rumî al-Baghdadi, Mu’jam al-Buldan, tahqîq Farîd Abd al-‘Aziz al-Jundî

(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah, tt), jilid I, H. 420-423. 83 Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT.

Tiara Wacana Yogyakarta, 1997), h. 166. 84 Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, ‘Ulum al-Hadis (Beirut : Dar al-Fikr,1989), h.310 85 Ibn Katsîr,” al-Bidayah wa al-Nihayah”, Tahqiq ‘Abdullah al-Turki (Imbabah : Dar

Hajr,1998), jilid XIV,h.527 86 Muhammad Mustafa Azami ,” Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan

Literature Hadis”, (Jakarta: Lentera, 1993), cet 1,h. 103 87 Nazar Ahmad al-Fariyabi, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari (Riyad : Dar

Taibah cet. 4, 2011),jilid I,h.36

Page 49: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

34

sama para ahli hadis. Dalam salah satu perjalanannya kepada Adam ibn Ayas, al-

Bukhârî kehabisan uang tanpa sepeserpun. Beliau hidup sementara dengan daun-

daun tumbuhan liar. Beliau penembak jitu, dan suka latihan agar siap berjihad

sewaktu-waktu.88

Pada waktu al-Bukhârî melakukan perjalanan menuntut ilmu, ada kisah

yang sangat menarik ketika Beliau singgah di kota Baghdad, para ahli hadis di

Kota tersebut mendengar kedatangan Al-Bukhârî, maka mereka berkumpul dan

bermusyawarah untuk menyambut kedatangan beliau. Akhirnya diambil

kesepakatan untuk menguji kekuatan hafalan al-Bukhârî. Pada kesempatan itu

para hadis mengumpulkan seratus hadis. Kemudian seratus hadis tersebut diacak

oleh para ahli hadis, baik matan ataupun sanadnya. Sehingga masing-masing

membawa sepuluh hadis, salah seorang ahli hadis menguji al-Bukhârî dengan

menanyakan hadis pertama, al-Bukhârî menjawab “Saya tidak tahu”. Sampai

penguji pertama selesai menanyakan sepuluh hadis, para ahli hadis yang hadir

dalam acara tersebut terlihat saling memandang satu Sama lain seraya berkata,

“orang ini benar-benar mengetahui”.

Kemudian penguji kedua mulai menyampaikan sepuluh hadis, al-Bukhârî

tetap menjawab “Saya tidak tahu”. Demikian seterusnya sampai kepada penguji

kesepuluh telah menyampaikan seluruh hadisnya, al-Bukhârî tetap menjawab

“Saya tidak tahu”. Kemudian al-Bukhârî mengatakan kepada para penguji “Hadis

pertama yang engkau bacakan demikian dan demikian, maka yang benar adalah

demikian dan demikian”. Al-Bukhârî menyebutkan kembali hadis tersebut sama

seperti yang dibacakan oleh sang penguji, kemudian al-Bukhârî membenarkan

88 M. M. Azami,”Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadi, h. 103.

Page 50: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

35

letak kesalahannya. Al-Bukhârî melakukan ini mulai dari hadis pertama sampai

hadis yang keseratus.89

Pasca perjalanan menuntut ilmu yang panjang dan melelahkan, beliau

menuju naisaburi untuk tinggal dan menetap disana. Tetapi banyak ulama yang

cemburu terhadap al-Bukhârî, sehingga mereka mendatangi Wali Kota dan

melempar tuduhan kepada al-Bukhârî dengan berbagai macam tuduhan seperti al-

Bukhârî dituduh mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk.90 Dengan terpaksa al-

Bukhârî meninggalkan Kota Naisabur menuju tempat kelahirannya di Bukhara.

Di akhir hayatnya, al-Bukhârî kemudian pulang ke kampung halamannya,

Bukhara. Kemudia beliau wafat di desa Khartank, dekat Samarkand, Pada malam

30 Ramadhan (Malam I’dul Fitri) tahun 256 H bertepatapan pada tanggal 31

Agustus 870 M. Dalam Usia 62 tahun kurang 13 hari. Jenazahnya dimakamkan

setelah shalat zuhur di hari I’dul Fitri.91

Al-Bukhârî termasuk orang yang sangat cerdas dan memiliki hafalan yang

sangat kuat. Beliau menghafal 100.000 hadis shahih dan 200.000 hadis yang tidak

shahih. Berkat kesabaran, kecerdasan, dan cintanya terhadap ilmu al-Bukhârî

mencapai derajat tertinggi dalam hadis pada zamannya. Beliau mendapat gelar

Imâm al-Mu’minîn fî al-Hadîs.92

Al-Bukhârî, selain sebagai penghafal yang kuat, beliau juga seorang

penulis yang produktif. Muhammad ibn Hâtim bercerita bahwa al-Bukhârî pernah

berkata “Pada saat usiaku 18 tahun, aku mulai menulis buku tentang para sahabat

89 Ahmad al-Khâtib al-Bagdâdi, Târikh Bagdâd, Taqiq Basysyar ‘awwad Ma’ruf (Beirut:

Dâr al-Garb al-Islâmi, 2001), jilid II, h. 340. 90 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Imbabah: Dâr Hajr, 1998), jilid XIV, h. 532-

533. 91 Ahmad Farid, Min ‘Alam al-Salâf, ter. Masturi Ilham, 60 Biografi Ulama Salaf

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), Cet. III, h. 492. 92 Muhammad ‘ajjaj al-Khaṯîb, ‘Ulûm al-Hadîs ‘Ulumûhu wa Musṯalahuhu, h. 310

Page 51: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

36

dan tabi’in. Dan aku menulis kitab al-Târîkh ketika aku berada didekat kuburan

Rasulullah”.93 Diantara karya al-Bukhârî yang masyhur adalah al-Jâmi’ al-Sahîh,

al-Adâb al-Mufrâd, al-Târîkh al-Sagîr, al-Târîkh al-wsaṯ, al-Taârîkh al-Kabîr, al-

Tafsîr al-Kabîr, al-Hibah, al-I’tisam, Asami al-Sahabah, Kitab al-Kuna.94

2. Guru dan Murid Imâm al-Bukhârî

Guru-guru al-Bukhârî dalam bidang hadis sangatlah banyak, mencapai

ratusan orang. Penulis mendapatkan informasi yang diperoleh melalui riwayatnya

yang tertera didalam kitab Sahîh Imam Al-Bukhârî sebanyak 289 orang. Diantara

para guru itu adalah Alî ibn al-Madînî, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’în, dan

Ibnu Rawaih. Adapun murid-murid beliau dalam bidang hadis banyak sekali

bahkan ada yang mengatakan 90.000 orang.95

Diantaranya yang dapat penulis sebutkan adalah Muslim al-Hajjâjal, al-

Tirmizî, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abû Dâwûd, dan Muhammad ibn Yûsuf al-

Firyabî. Menurut Nur al-Dîn Itr ermasuk penulis kitab al-Sittah adalah murid

Imam al-Bukhârî kecuali al-Nasaî.96 Tetapi pendapat tersebut dibantah oleh

Muhammad Muhammad Abû Syuhbah, menurutnya al-Nasî termasuk murid

Imam al-Bukhârî.97

3. Latar Belakang Penulisan Kitab Sahîh Imam Al-Bukhârî

Al-Bukhârî merupakan ulama yang memiliki disiplin tinggi, beliau dikenal

sebagai penulis yang produktif. Karya-karyanya bukan hanya dalam disiplin ilmu

93 Ahmad al-Khâtib al-Bagdâdi, Târikh Bagdâd, Taqiq Basysyar ‘awwad Ma’ruf, h. 325. 94 Ahmad ‘Umar Hasyim, al-Sunnah al-Nabaiyyah wa Ulûmuha (Mesir: Maktabah Garib,

1979), h. 158. 95 Muhammad Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rîhab al-Sunnah al-Kutub al-Sihâh al-Sittah

(Kairo: al-Buhuts, al-Islamiyyah, 1969), h. 50. 96 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 13. 97 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 13-14.

Page 52: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

37

hadis saja, tetapi ilmu-ilmu lain juga seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Diantara

beberapa banyak karyanya, yang paling masyhur dan terkenal ialah kitab al-Jâmi’

al-Musnâd al-Sâhîh al-Mukhtasar min Umuri Rasulillah wa Sunnanihi wa

Ayyâmihi atau yang terkenal dengan Nama Sahîh Imam Al-Bukhârî.

Adapun latar belakang penulisan Kitab Sahîh Imâm al-Bukhârî adalah

sebagaimana yang beliau katakan. “Pada suatu hari aku bersama Ishaq ibn

Rahawaih, sebagian orang yang hadir pada waktu itu berkata: Seandainya saja

kalian menyusun kitab yang ringkas untuk hadis-hadis Nabi saw. Perkataan itu

sangat membekas di hatiku, maka mulailah aku menyusun Kitab Sahîh Imam Al-

Bukhârî.98

Dalam menyusun kitab ini, al-Bukhârî sangatlah berhati-hati. Al-Firbarî

salah seorang muridnya mendengar al-Bukhârî berkata “Saya menyusun kitab al-

Jamî’ al-Sahîh ini di Masjid al-Haram dan saya tidak serta merta mencantumkan

sebuah hadis kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan

kepada Allah, dan meyakini benar-benar bahwa hadis tersebut adalah Sahîh. Di

masjid al-Haram beliau menyusun dasar pemikiran dan Bab-babnya secara

sistematis. Kemudian beliau menulis Muqaddimah dan pokok-pokok bahasannya

di Raudah al-Jannah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar Masjid al-

Nabawi. Barulah beliau mengumpulkan sejumlah hadis dan menyususnnya dalam

bab-bab yang sesuai.99

Proses penyusunan kitab ini selama 16 tahun di dua Kota suci, Mekkah

dan Madinah. Sesuai dengan perkataan al-Bukhârî “Aku telah menulis Kitab al-

98 Muhammad al-dzâhabî, Siyar al-A’lam al-Nubala (Beirut: al-Risalah, cet. II, 2014),

jilid XII, h. 401. 99 Ahmad al-Khâtib al-Bagdâdi, Târikh Bagdâd, Taqiq Basysyar ‘awwad Ma’ruf, h. 327.

Page 53: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

38

Jamî’ al-Sahîh selama 16 tahun”.100 Dalam menyusun kitab al-Jamî’ al-Sahîh, al-

Bukhârî selalu berpegang teguh pada tingkatan keshahihan paling tinggi dan tidak

akan turun dari tingkatan tersebut.

100Ahmad Khalakan, Wafayat al-‘ayam wa Anba’ Abna’ al-Zaman (Beirut: Dâr al-Ihyâ’

al-Turas al-‘Arâbî, 1997) Jilid II, h. 324.

Page 54: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

39

BAB IV

KAIDAH KESAHIHAN HADIS MENURUT IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN

IMÂM AL-BUKHÂRÎ

Sejak berkembang dan semakin maraknya pemalsuan hadis pada tahun 40

H,101 seketika masyarakat pada saat tersebut menjadi sangat kritis terhadap sanad

atau perawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Realitas seperti ini dapat dilihat

dari pernyataan Muhammad bin Sirin bahwa “Pada mulanya umat Islam tidak

begitu mempermasalahkan sanad. Namun, setelah terjadi fitnah, jika menerima

sebuah hadis, mereka akan mengatakan “sebutkan rijâl-mu (orang-orang yang

menyampaikan hadis kepadamu)!.” Hadis itu akan diterima jika rijâl-nya adalah

ahl-sunnah dan akan ditolak jika rijâl-nya ahl-bidâ’.102

Akibat dari pemalsuan hadis tersebut, para ‘ulama hadis bekerja keras

untuk mengembangkan berbagai pengetahuan, merumuskan kaidah-kaidah,

menyusun berbagai istilah, dan membuat berbagai metode penelitian sanad dan

matn hadis.103 Dalam merumuskan kaidah-kaidah tersebut, validitas terhadap mata

rantai pembawa berita hadis (sanad) tersebut merupakan bagian yang sangat

penting untuk menentukan apakah hadis tersebut otentik datang dari Nabi atau

bukan. Oleh karena itu, para ‘ulama kritik hadis menetapkan kaidah tersebut,

diantaranya Imâm al-Syâfi’î adalah dan Imâm al-Bukhârî. Pada Bab ini, penulis

101 Mushthafa al-Siba’î menunjuk tahun tersebut sebagai batas pemisah antara kemurnian

hadis dengan pemalsunya, karena saat itu terjadi perselisihan internal (politik) umat Islam, antara

‘Ali bin Abî Thalib dengan Mu’awiyah bin Abî Sufyan. Lihat Muhammad Mushthafa al-Siba’î,

Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ al-Islâmî (Beirût: Maktab al-Islâmî, 1978), h. 75. 102 Muhammad Mushthafa ‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali

Mustafa Ya’kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531. 103 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritik Atas Kajian Hadis Kontemporer

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 35.

Page 55: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

40

akan mengurai secara gamblang kaidah yang ditetapkan oleh kedua tokoh hadis

tersebut.

A. Kaidah Kesahihan Hadis menurut Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî

Hadis yang belum terhimpun dan tersusun rapi ke dalam suatu kitab, telah

dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya banyak

sekali ditemukan hadis-hadis palsu yang berkembang di masyarakat pada masa

tersebut.104 Terkait dengan pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan

hadis tersebut, para ‘ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut, Ahmad Amin

misalnya berpendapat bahwa pemalsuan hadis sudah terjadi sejak zaman Nabi

Saw. Alasannya adalah terdapat hadis mutawatir yang menyatakan bahwa barang

siapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatas namakan

Nabi, maka hendaklah orang-orang itu bersiap menempati tempat duduknya di

neraka.105

Meskipun hadis Nabi Saw. telah menjadi landasan bahwa telah terjadi

pemalsuan hadis pada zaman Nabi, akan tetapi belum terdapat bukti yang kuat

terkait dengan telah terjadi pemalsuan hadis. Berdasarkan bukti-bukti yang ada,

memang pemalsuan hadis baru berkembang pada masa Khalifah Alî bin Abî

Thalib. Pada masa tersebut, jumlah hadis palsu yang berkembang pun tidak

sedikit. Seorang pemalsu hadis ada yang mengaku bahwa, dia telah memalsukan

hadis sebanyak 40.000 hadis palsu.106

104 M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), h. 107. 105 Ahmad Amin, Fajr Al-Islâm (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Misriyyah, 1975), Cet. XI,

h. 210-211 106 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis., h. 113.

Page 56: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

41

Untuk itu, demi menyelamatkan hadis-hadis Nabi ditengah-tengah

berkecamuknya pembuatan hadis palsu, maka ‘ulama hadis menyusun beberapa

kaidah penelitian hadis. Kaidah-kaidah yang mereka susun, tujuan utamanya

adalah untuk penelitian keshahihan matn hadis. Untuk kepentingan penelitian

matn hadis tersebut, disusunlah kaidah Kesahihan sanad hadis.107 Karena

keshahihan sanad hadis sangat menentukan keshahihan matn sebuah hadis.

Oleh karena itu, pada periode klasik, para ahli hadis awal (al-

mutaqaddimun), sampai kepada abad ketiga hijriyah tidak secara ekplisit (sarih)

mendefinisikan hadis-hadis yang dapat dianggap shahih108 jika ditinjau dari segi

sanad. Mereka hanya menerapkan kaidah-kaidah informasi yang diperoleh,

diantaranya: 1) Periwayatan hadis tidak dapat diterima, kecuali diriwayatkan oleh

orang-orang yang tsiqah, 2) Riwayat orang-orang yang berdusta dan mengikuti

hawa nafsunya, dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan adalah

tertolak, 3) Memperhatikan perilaku personal serta ibadah orang-orang yang

meriwayatkan hadis tersebut, 4) Apabila mereka sering melakukan tindakan tidak

terpuji dan tidak melakukan sholat secara teratur, maka periwayatannya harus

ditolak, 5) Riwayat orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu hadis,

tidak dapat diterima, 6) Riwayat orang-orang yang kesaksiannya ditolak, maka

riwayatnya pun tidak dapat diterima (lâ tuhadditsû ‘amman lâ tuqbalu

syahâdatuhu).109

107 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis., h. 107. 108 Kata tersebut berasal dari bahasa Arab al-shâhîh, yang secara bahasa berarti “yang

sehat”. Kata ini pada asalnya dipakai untuk menyifati tubuh, kemudian secara metaforis dipakai

untuk menyifati sesuatu selain tubuh. Lihat Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr, Lisân Al-Arâb

(Mesir: Al-Dâr al-Misriyyah, t.th), h. 338-339. 109 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: PT

Mizan Publika, 2009), h. 16.

Page 57: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

42

Kaidah-kaidah ini berhubungan dengan kualitas dan karakter perawi yang

menentukan diterima dan ditolaknya riwayat mereka. Namun demikian, syarat-

syarat yang sudah ditetapkan oleh al-mutaqaddimun tersebut dianggap belum

melingkupi seluruh syarat keshahihan suatu hadis.

Adalah Imâm al-Syâfi’î yang mengemukakan penjelasan yang lebih

konkret dan terurai terkait periwayatan hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Al-Syâfi’î menjelaskan bahwa syarat minimum yang dibutuhkan untuk menjadi

dasar sebuah hujjah adalah informasi dari seseorang yang berasal dari Nabi atau

seseorang yang berada di sekitar Nabi (Sahabat). Dengan kata lain, sebuah hadis

dapat dikatakan otentik apabila memiliki isnâd yang dapat ditelusuri lewat jalur

yang tidak terputus sampai kepada Nabi.110

Oleh karena itu, untuk mencapai ke tahap validitas hadis tersebut, al-

Syâfi’î membuat beberapa kualifikasi yang mesti dimiliki oleh seorang rawi,

diantaranya adalah: 1) Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya agamanya,

2) Orang yang meriwayatkannya dikenal jujur dalam berbicara, 3) Orang yang

meriwayatkan hadis tersebut harus paham terhadap hadis yang diriwayatkannya,

mengetahui lafazh yang bisa mengubah makna-makna hadis. Atau, dia adalah

periwayat yang bisa menyampaikan hadis sesuai dengan huruf-hurufnya

sebagaimana yang didengarnya, tidak menurut makna karena apabila ia

meriwayatkan hadis dalam bentuk makna, sedangkan ia tidak mengetahui aspek-

aspek yang bisa mengubah maknanya, maka ia tidak tahu barangkali ia

menglihkan halal kepada haram, 4) Orang yang meriwayatkannya harus hafal

(jika ia meriwayatkannya melalui hafalannya), atau mencatatnya secara akurat

110 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis., h. 17.

Page 58: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

43

(jika ia meriwayatkan hadis dari kitab (catatannya), 5) Terbebas dari tuduhan

sebagai periwayat mudallas, yaitu periwayat yang menuturkan atau meriwayatkan

dari orang yang dijumpainya tentang hal yang tidak pernah didengarnya dari

orang itu.111

Kaidah yang ditetapkan oleh al-Syâfi’î ini tampaknya menekankan betul

terkait dengan kualitas serta tata cara periwayatan hadis. Menurut Ahmad

Muhammad Syakîr, kaidah yang dilakukan oleh al-Syâfi’î telah mencakup seluruh

aspek yang berkenaan dengan keshahihan suatu hadis. Syuhudi Ismail di dalam

karyanya Kaidah Kesahihan Sanad Hadis menyatakan bahwa pernyataan dari

Syakîr merupakan petunjuk bahwa, kaidah yang dikemukakan oleh al-Syâfi’î

telah melingkupi semua bagian hadis yang harus diteliti, baik sanad maupun

matn.112

Kaidah inilah yang kemudian menjadikan al-Syâfi’i sangat yakin, bahwa

bila suatu hadis telah memenuhi kaidah yang telah ditetapkannya, maka hadis

yang dimaksud sulit untuk tidak berkualitas shahih. Landasan teoritis yang

dikemukakan oleh al-Syâfi’î ini telah banyak menjadi referensi bagi para ‘ulama

hadis dalam menciptakan kitab-kitab hadis.

Selanjutnya, dapat juga kita temukan bahwa ada beberapa ‘ulama yang

dianggap lebih tegas terkait dengan periwayatan hadis shahih, diantaranya yaitu

Imâm al-Bukhârî dan Muslim. Meskipun ketika diteliti, mereka tidak secara

eksplisit menggambarkan kaidah-kaidah yang mereka gunakan dalam

111 Muhammad bin Idris Al-Syâfi’î, Al-Risâlah, terj. Masturi Irham & Asmui Taman

(Jakarta: Pustakan Al-Kautsar, 2005), h. 317-318. 112 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis., h. 125.

Page 59: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

44

mendefinisikan hadis shahih itu sendiri.113 Akan tetapi, para ‘ulama menegaskan

bahwa, karya fenomenal dari kedua ‘ulama besar itu dianggap sebagai kitab hadis

yang paling shahîh hingga saat ini.

Kaidah kesahihan hadis yang ditetapkan oleh Imâm al-Bukhârî dan

Muslim ini baru disimpulkan oleh Sarjana Muslim yang datang berikutya.114

Syarat-syarat tersebut adalah (1) Jalur periwayatan dari perawi pertama sampai

akhir bersambung (an yakûna al-hadîts muttashil al-isnâd);(2) Para perawi, dari

awal sampai akhir, harus dikenal tsiqah, yakni ‘adl (bertakwa) dan dhabth (tingkat

akurasi hafalan yang tinggi; (3) Hadis yang diriwayatkan harus terbebas dari cacat

(‘illat) dan kejanggalan (syudzûdz). Ibnu Sholah berpendapat bahwa jika syarat-

syarat di atas terpenuhi oleh sebuah hadis, maka mayoritas ‘ulama hadis

menyetujui dan menganggap hadis tersebut termasuk hadis shahih.115

Menarik untuk diperhatikan menyangkut persyaratan hadis shahih di atas.

Dapat kita bandingkan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara kaidah

yang ditetapkan oleh al-Syâfi’î dengan al-Bukhârî. Jika al-Syâfi’î hanya terpaku

kepada kualitas seorang perawi di dalam meriwayatkan hadis, maka kaidah yang

ditetapkan oleh al-Bukhârî tidak serta merta menekankan kepada aspek perawi

saja. Al-Bukhârî terlihat juga mempertimbangkan ketersambungan sanad116 dari

perawi awal yaitu sahabat, sampai kepada perawi terakhir. Kaidah kesahihan yang

113 Mahmud al-Tahhan, Taysir Mûshthalahah al-Hadîts (Beirut: Dâr Al-Qur’ân al-Karîm,

1979), h. 43. 114 Ibrahim bin Al-Shaddiq, Maqâlah wa Muhâdharâh fî Al-Hadîts al-Syâfi’î wa ‘Ulûmihi

(Beirut: Dâr Al-Basyâ’ir Al-Islâmiyyah, 2002 M), h. 7-33. 115 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis., h. 18. 116 Ittashal al-sanad atau yang biasa dikenal dengan ketersambungan sanad merupakan

bagian dari kaidah yang ditetapkan oleh Imâm al-Bukhârî dalam menetapkan keshahihan suatu

hadis. Yang dimaksud dari bersambungnya sanad adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis

menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung sampai

akhir sanad dari hadis tersebut. Lihat Muhammad al-Shabbag, al-Hadîts al-Nabawî (ttp: Al-

Maktab al-Islâmy, 1972), h. 162; M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis., h. 131.

Page 60: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

45

ditetapkan oleh Imâm al-Bukhârî memang mirip sekali dengan kaidah yang

ditetapkan oleh Imâm Muslim. Akan tetapi, bagi al-Bukhârî di dalam syarat

ketersambungan sanad diperlukan pertemuan antara guru dan murid dalam

meriwayatkan hadis (liqa’). Untuk itu, penulis akan menguji konsistensi kaidah

yang ditetapkan oleh kedua tokoh hadis tersebut yaitu al-Syâfi’î dan al-Bukhârî.

Apakah hadis-hadis yang mereka riwayatkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang

telah ditetapkan. Pembahasan mengenai hal tersebut dibahas di sub bab

berikutnya.

B. Menguji Konsistensi Kaidah Kesahihan Hadis Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-

Bukhârî

Dengan metode yang digunakan oleh Imâm al-Syâfi’î dan al-Bukhârî

dalam meriwayatkan hadis, sulit rasanya menemukan titik kelemahan yang

terdapat di dalam kitab hadis tersebut. Bagaimanapun kitab hadis-hadis karya

Imâm al-Syâfi’î dan al-Bukhârî telah banyak mendapatkan apresiasi dari umat

Islam serta berhasil menyelamatkan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw., dari

tangan para pemalsunya.

Meskipun kitab hadis karya Imâm al-Syâfi’î dan al-Bukhârî tersebut

dianggap sudah menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari tangan para pemalsunya,

akan tetapi tidak menutupi kemungkinan bahwa di dalam kitab hadis mereka

ditemukan hadis-hadis yang memiliki periwayatan lemah atau keluar dari kaidah

yang sudah ditetapkan oleh kedua imam tersebut. Oleh sebab itu, ada beberapa

hadis yang perlu dianalisa ulang secara obyektif yang terdapat di dalam kitab

Musnad al-Syâfi’î dan Shahîh al-Bukhârî.

Page 61: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

46

Setelah dilakukan penelitian, ternyata ditemukan beberapa hadis-hadis

yang tidak sesuai dengan kaidah yang sudah ditetapkan oleh Imâm al-Syâfi’î dan

al-Bukhârî. Diantaranya akan dimasukan dua contoh hadis sebagai penguat

penelitian ini, yaitu:

إبراهيم بن حممد عن إسحاق بن عبد ال بن أب ف روة عن سعيد املقربي عن أب هريرة: ) أخربان ( :أن النب صى ال عيه وسم هنى عن الصالة نصف النهار حىت تزول الشمس إل يوم اجلمعة -

ل )النهي استثىن منه يوم اجلمعة فالصالة فيه ف هذا الوقت غري منهي عنها ول مكروهة وبه قاطاوس ومكحول والشافعي وغريهم وخص املالكية النهي بلنافة دون الفريضة وأما احلنفية فعمموا

117ومل يستثنوا(

Hadis ini terdapat di dalam kitab Musnad al-Syâfi’î. Di dalam

periwayatanya, dapat ditemukan seorang perawi yang dinilai lemah oleh ‘ulama

kritik hadis. Adalah Ishâq ibn Abdullâh bin Abî Farwah. Penilaian para ‘ulama

kritik hadis terhadap Ishâq ibn Abdullâh bin Abî Farwah, diantaranya adalah

Yahya bin Ma’in menilai beliau adalah orang yang kadzdzab (pendutsa), ‘Alî ibn

Madînî menilai beliau adalah orang yang mungkar al-hadîts, al-Nasâ’î beliau

adalah orang yang matrûk (tertolak).118

أخربان عبد هللا بن انفع ، عن داود بن قيس ، عن زيد بن أسم ، عن عطاء بن يسار ، عن أسامة بن زيد قال : دخل رسول هللا صى هللا عيه وسم وبالل ، فذهب حلاجته مث خرجا ، قال أسامة : فسألت بالل : ماذا صنع رسول هللا صى هللا عيه وسم ؟ فقال بالل : ذهب حلاجته مث توضأ ،

( اخلف : ما ي بس ف الريجل من 1فغسل وجهه ويديه ، مث مسح برأسه ، ومسح عى اخلفني ) 119جد رقيق

117 Abû Abdullâh Muhammad Ibn Idrîs al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î (Beirut: Dâr al-Fikr,

1417 H) Juz 1, h, 94. 118 Yûsuf Abû al-Hajjjaj al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 2 (Beirut:

Muassasah al-Risâlah, 1980), h. 451-453. 119 Abû Abdullâh Muhammad Ibn Idrîs al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î (Beirut: Dâr al-Fikr,

1417 H), Juz 1, h, 53.

Page 62: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

47

Hadis kedua ini yang terdapat di dalam kitab Musnad al-Syâfi’î. Terdapat

juga seorang perawi yang dinilai lemah oleh ‘ulama kritik hadis. Usâmah Ibn Zaid

Ibn Aslam al-‘Uduwî. Penilaian para ‘ulama kritik hadis terhadap Usâmah Ibn

Zaid Ibn Aslam al-‘Uduwî, diantaranya adalah Yahya bin Ma’in menilai beliau

adalah orang yang Dha’if, Sâlih Ibn Ahmad Ibn Hanbal menilai beliau adalah

orang yang mungkar al-hadîts, dan Yahya Ibn Ma’in menilai beliau adalah orang

yang Dha’if.120

Selain itu, juga masih banyak ditemukan periwayat-periwayat yang

terdapat di dalam Musnad al-Syâfi’î yang dikritik oleh ‘ulama kritikus hadis, salah

satunya yaitu Ibrâhîm bin Muhammad bin Abî Yahya (Sam’ân al-Aslamî),

penilaian terhadap beliau, yaitu Yahya bin Sa’îd berpendapat beliau adalah orang

yang kadzdzab (pendusta), Yahya bin Ma’în berpendapat beliau adalah orang

yang tidak tsiqah, sedangkan al-Nasâ’î berpendapat beliau adalah seorang matrûk

al-hadîts.121

Dengan demikian, di dalam kitab Musnad al-Syâfi’î tidak hanya terdapat

hadis-hadis yang memiliki penilaian periwayat yang tsiqah saja, tetapi terdapat

juga hadis-hadis yang bermasalah dalam segi sanadnya. Dan dapat pahami bahwa

al-Syâfi’î di dalam memasukan hadis yang bersumber dari para periwayat menurut

penilaian diatas ada beberapa nama kurang sesuai dengan kriteria yang

ditetapkannya.

Hadis berikutnya adalah hadis periwayatan al-Bukhârî terdapat di dalam

kitab Shahîh al-Bukhârî.

120 al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 2, h. 334-335. 121 al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 2, h. 186-187.

Page 63: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

48

ثني أ ث نا حصني ح قال أبو عبد الي و حد ث نا ابن فضيل حد ث نا عيمران بن ميسرة حد يد بن زيد حد سيث نا هشي صى حد ثني ابن عباس قال قال النبي م عن حصني قال كنت عيند سعييدي بني جبري ف قال حد

ير مع ة والنبي ير معه األم ير معه ه الن ال عيهي وسم عريضت عي األمم فأخذ النبي فر والنبي ير وحده ف نظرت فإيذا سواد كثيري ق ت ي ير معه اخلمسة والنبي تي قال العشرة والنبي ربييل هؤلءي أم جي

امهم ل ل ولكين انظر إيىل األفقي ف نظرت فإيذا سو عون ألفا قد اد كثيري قال هؤلءي أمتك وهؤلءي سب ون وعى م ول عذاب ق ت وملي قال كانوا ل يكت وون ول يستقون ول ي تطري ساب عيهي ربييم حي

ون ف قام إيليهي ع هم مث قام إيلي ي ت وك ن هم قال الهم اجعه مي ن صن ف قال ادع ال أن يعني مي اشة بن حمي هي كاشة ا عك هم قال سب قك بي ن 122.رجل آخر قال ادع ال أن يعني مي

Dari hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, terdapat seorang perawi

yang dinilai lemah oleh ‘ulama kritik hadis. Perawi tersebut adalah Asîd ibn Zayd.

Penilaian para ‘ulama kritik hadis terhadap Asîd ibn Zayd, diantaranya adalah al-

Nasâ’î yang menilai beliau adalah seorang yang matrûk, sedangkan al-Dârquthnî

menilai beliau dha’îf al-hadîts.123

ث ن حد يم أبو احلسني احلراني ث نا أحد بن يزييد بني إيب راهي د بن يوسف حد ث نا حمم ا زهري حدعت الربا ث نا أبو إيسحاق سي ي ال عنه بن معاويية حد ء بن عازيب ي قول جاء أبو بكر رضي

ه معيي قال فحمته م نه رحال ف قال ليعازيب اب عث اب نك حيمي عه إيىل أبي في منزيليهي فاشتى ميد ثنه ف قال له أبي ي أب تقي ني سريت مع رسولي وخرج أبي ي ن ثني كيف صن عتما حي بكر حدي

ري ن الغدي حىت قام قائيم الظهي ت نا ومي ةي وخال الي صى ال عيهي وسم قال ن عم أسري نا لي 124صخرة الطرييق ل ير فييهي أحد ف رفيعت لنا

Hadis kedua yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî di atas, terdapat seorang

perawi yang dinilai lemah oleh ‘ulama kritik hadis Perawi tersebut adalah Ahmad

Ibn Yazîd Ibn Ibrâhîm. Penilaian para ‘ulama kritik hadis terhadap Asîd ibn Zayd,

122 Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhârî, Juz 1, h. 163. 123 al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 3, h. 240. 124 Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhârî, Juz 4, h. 201.

Page 64: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

49

diantaranya adalah Abu Hatim yang menilai beliau adalah seorang yang

Dha’if.125

Selain itu, penulis juga mengutip pendapat al-Hâzimî bahwa al-Bukhârî

dalam seleksi hadisnya adalah riwayat dari para perawi terbaik dari level pertama

dalam hal ketsiqahan, namun dalam kondisi tertentu al-Bukhârî menurunkan

standar kriterianya. Bahkan, al-Bukhârî juga menampilkan hadis dari beberapa

perawi yang dinilai ada unsur kedho’ifannya. Akan tetapi tidak sampai sangat

dha’if yang tertolak semua hadisnya. Apalagi, aspek kedha’if an sangat beragam

dan para ulama berbeda dalam menetapkan penyebabnya.126

Senada dengan al-Hâzimî, Abû Bakar al-Kafî dalam penelitiannya yang

berjudul Manhaj al-Bukhârî Abu Bakar al-Kafî tidak memungkiri bahwa al-

Bukhârî memang mencantumkan periwayat hadis dari para perawi yang dho’if

dalam kitab sahihnya. Walaupun demikian, penelitian tersebut membuktikan

bahwa al-Bukhârî sangat ketat dalam menyeleksi hadis-hadis dan hanya

mengambi riwayat yang sahih saja. Menurut Abu Bakar al-Kafî ada banyak hads-

hadis yang derajatnya sahih yang tidak mungkin dihukumi kesahihannya dengan

cara melihat khusus satu jalur sanad saja, tapi dengan cara banyaknya jalur sanad

periwayatan (Majmu’ al-Turuq). Dengan demikian, keshahihan hadis didasari atas

penelusuran jalur-jalur sanad dan periwayatan (Tatabu’ al-Turuq wa al-

Riwâyah).127

125 al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 1, h. 521. 126 Abî al-Fadl Muhammad Tâhir Al-Maqdîsî, Abî bakr Muhammad bin Mûsâ al-Hâzimî

Syurut al-Aimmah al-Sittah wa Yalihi Syurut al-Aimmah al-Khomsah (Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyah, cet. 1, 1405 H), h. 70-71. 127 Abû Bakr Kafî, Manhaj al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdits Wa Ta’lîliha (Beirut: Dâr Ibn

Hajm 1422 H), h. 364.

Page 65: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

50

Menurut Abu Bakar al-Kafî, al-Bukhârî mencantumkan hadis-hadis

sahihnya dari jalur sanad perawi dho’if dengan pertimbangan nilai tertentu suatu

sanad (aghrad isnadiyah) seperti ‘al-‘Uluw (sanad terpendek sampai kepada

Rasulullah saw) dan al-syahrah (popularitas hadis). Mempertimbangkan seluruh

jalur sanad terkait (Majmu’ al-Turuq) dan tidak hanya pada penilaian satu jalur

sanad saja merupakan manhaj seluruh hadis seperti Imam Muslim, al-Tirmizî, dan

lain-lain. Mereka mempertimbangkan mempertimbangkan keberadaan mutaba’at

dan syawâhid yang bisa mengangkat nilai kesahihan dari hadis-hadis yang

diriwayatkan oleh perawi yang bermasalah.128

Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa di dalam kitab

Sâhîh al-Bukhârî terdapat hadis-hadis yang bermasalah dari segi sanadnya. Al-

Bukhârî masih mencantuman riwayat Hadis yang dinilai Dha’if oleh ulama kritik

hadis. Walaupun beliau mencantumkan perawi yang bermasalah dengan beberapa

alasan tersendiri seperti yang diutarakan diatas. Hal ini masih menandakan bahwa

ada ketidak sesuaian al-Bukhârî dalam menggunakan kaidah-kaidah kesahihan

hadis yang ia tetapkan.

C. Analisis Kaidah Kesahihan Hadis menurut Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-

Bukhârî

Para ‘ulama hadis memandang urgennnya kedudukan sanad di dalam

sebuah hadis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara langsung sisi otentikan

suatu hadis, apakah hadis itu memang benar bersumber dari Nabi ataukah

diragukan bersumber dari Nabi (bahkan perkataan palsu yang diatributkan kepada

Nabi saja). Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa otentitas sanad

128 Abû Bakr Kafî, Manhaj al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdits Wa Ta’lîliha, h. 148.

Page 66: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

51

merupakan suatu kemutlakan dalam memahami hadis lebih jauh. Pandangan

inilah yang dipegangi oleh mayoritas ‘ulama hadis.129 Untuk itu, beberapa ‘ulama

menentukan kaidah-kaidah kesahihan suatu hadis, agar mendapatkan hadis valid

yang bersumber dari Nabi.

Kaidah yang ditetapkan oleh ‘ulama hadis tersebut tentunya bertujuan

menyeleksi secara efektif para rawi yang meriwayatkan hadis. Oleh karena itu,

jika ditelaah dengan cermat pada periode al-Syâfi’î, beliau menetapkan beberapa

kaidah minumum agar mendapatkan hadis yang valid dan bersumber dari Nabi

Muhammad Saw., seperti yang sudah dijelaskan di atas. Akan tetapi, ternyata

syarat tersebut tidak cukup kuat untuk menyentuh hadis tersebut sampai kepada

kualitas shahih. Karenanya, ‘ulama hadis berikutnya (al-Bukhârî dan Muslim)

mengembangkan dan menetapkan kaidah kesahihan suatu hadis.

Jika diperhatikan, sekilas tidak ada perbedaan yang mendasar antara

kaidah yang ditetapkan oleh al-Syâfi’î sebagai generasi awal yang menetapkan

kaidah kesahihan hadis, dengan al-Bukhârî sebagai generasi selanjutnya

(penjelasan mengenai kaidah sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya). Al-

Syâfi’î memang sangat jelas menekankan kepada kualitas seorang rawi dan cara

periwayatan hadis130, Sedangkan al-Bukhârî lebih menekankan kepada

kesinambungan jalur periawayatan yaitu keharusan pertemuan antara dua perawi.

Selain itu, dua imam tersebut sudah jelas, memperhatikan betul kemampuan

perawi dalam menghafal hadis dan ke-tsiqah-annya.

129 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî (Beirut: Dâr al-

Fikr, 1998), Jilid I, h. 70; Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa

Mushthalâhuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989); Mahmûd al-Thahân, Ushûl al-Tâkhrîj, h. 145-146. 130 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis., h. 18.

Page 67: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

52

Meskipun kedua imam tersebut sudah menetapkan kaidah kesahihan hadis

tersebut dengan format yang ketat, tetapi masih dapat ditemukan hadis-hadis

bermasalah dari segi sanadnya yang bersumber dari perawi yang di-jarh oleh

‘ulama kritik hadis. Ini menandakan bahwa adanya ketidak konsistensian dua

imam tersebut dalam meriwayatkan hadis menggunakan metode mereka sendiri.

Hal tersebut dapat dipahami, karena kemampuan kedua imam tersebut yang juga

sebagai manusia biasa. Bagaimanapun itu, yang perlu diapresiasi yang paling

besar adalah kepedulian al-Syâfi’î dan al-Bukhârî sebagai ‘ulama hadis yang ingin

melindungi hadis-hadis Nabi dari tangan para pemalsunya.

Page 68: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

53

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian ini, berdasarkan atas rumusan masalah

yang telah penulis cantumkan pada bab pertama adalah sebagai berikut:

Dari uraian penjelasan tentang kaidah kesahihan hadis antara Imâm al-

Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî, penulis menemukan persamaan dan perbedaan

antara teori kaidah keshahihan hadis diantara kedua tokoh tersebut. Adapun

persamaan teori keduanya dalam persoalan kualitas perawi hadis, Imâm al-Syâfi’î

mensyaratkan kualifikasi perawi hadis : 1) Orang yang meriwayatkannya harus

terpercaya agamanya, 2) Orang yang meriwayatkannya dikenal jujur dalam

berbicara, 3) Orang yang meriwayatkan hadis tersebut harus paham terhadap hadis

yang diriwayatkannya, 4) Orang yang meriwayatkannya harus hafal (jika ia

meriwayatkannya melalui hafalannya), atau mencatatnya secara akurat (jika ia

meriwayatkan hadis dari kitab (catatannya), 5) Terbebas dari tuduhan sebagai

periwayat mudallas. Sedangkan al-Bukhârî mensyaratkan kualifikasi perawi hadis

(1) Para perawi, dari awal sampai akhir, harus dikenal tsiqah, yakni ‘adl

(bertakwa) dan dhabth (tingkat akurasi hafalan yang tinggi; (2) Hadis yang

diriwayatkan harus terbebas dari cacat (‘illat) dan kejanggalan (syudzûdz). Uraian

mebuktikan adanya persaman teori kesahihan hadis antara kedua tokoh, meskipun

bahasanya sedikit berbeda.

Adapun perbedaan antara Imâm al-Syâfi’î dengan al-Bukhârî dalam teori

kaidah keshahihan hadis terletak dalam persoalan ketersambungan perawi hadis

Page 69: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

54

dari periwayat pertama sampai periwayat terakhir harus bersambung. Imâm al-

Syâfi’î tidak menekan adanya ketersambungan sanad sedangkan al-Bukhârî

kebalikannya. Hal ini membuktikan bahwa al-Bukhârî menyempurkan kaidah

kesahihan hadis yang ditawarkan Imâm al-Syâfi’î.

B. Saran-saran

Setelah melalui proses pembahasan dan pengkajian kaidah kesahihan hadis

antara Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî. Kiranya penulis perlu untuk

mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis. Antara lain:

1. Perlu penelitian lanjutan tentang kaidah kesahihan hadis Imâm al-Syafi

dan al-Bukhârî karena yang penulis teliti hanya dua sample saja.

2. Perlu adanya penelitian ulang terhadap konsistensi penggunaan teori

kesahihan hadis kedua tokoh tesebut.

3. Pembahasan dalam skripsi ini bukanlah pembahasan yang sempurna, maka

penulis sangat mengharapkan kritik dan koreksi yang bila lebih

menyempurnakan pembahasan ini.

Page 70: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

55

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, Hammam. al-Fikr al-Manhaji ‘Inda al-Muhadditsin. Qathar: Kitab

al-Ummah, 1408.

Abû Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abû. Fî Rîhab al-Sunnah al-Kutub al-Sihâh

al-Sittah, Kairo: al-Buhuts, al-Islamiyyah, 1969.

Amin, Ahmad. Fajr Al-Islâm. Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Misriyyah, 1975)

Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta:

PT Mizan Publika.2009 .

Azami, Muhammad Mushthafa. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. terj. Ali

Mustafa Ya’qub Jakarta: Pustaka Firdaus.1994.

--------, Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadis. Jakarta:

Lentera, 1993

al-Baghdadi, Yaqût al-Rumî. Mu’jam al-Buldan, tahqîq Farîd Abd al-‘Aziz al-

Jundî , Beirut: dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah, tt.

al-Bukhârî, Muhammad Ismâ’il. Al-Jâmi’al-Musnad al-Sahîh al-Mukhtasar min

Umûri Rasûillâh sallâh ‘Alaihi Wasallam Tahqiq al-Nâsir Muhammad

Zuhair, Beirut: Dâr al-Tauq al-Najah, 1422 H.

Bustamin dan Hasanuddin Sinaga. Membahas Kitab Hadis, Ciputat: Lembaga

Penelitian Uin Jakarta, Desember, 2010

Farid Ahmad, Min ‘Alam al-Salâf, ter. Masturi Ilham, 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2008.

Hamawîy, Yâqût. Mu’jam al-Udabâ’. vol IV, Kairo: 1936.

Hasan M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

al-Husaini, Abdul Majid Hasyim. al-Imâm al-Bukhârî Muhadditsan wa

Faqihan,Kairo: Dar al-Qaumiyyah, t.t.

Page 71: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

56

Ibn Hajar al-‘Asqalânî. Taqrîb al-Tahdzîb. Halab: Dâr al-Rasyîd, cet. 3, 1991.

al-‘Irâqî, Abd al-Rahîm Ibn Husain. Al-Taqyid wa al-Aidâh Syarh Muqaddimah

Ibn al-Salâh. Al-Madinah al-Munawarah: Dâr al-Ma’rif, 806 H.

Ismai’il M. Syuhudi. Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan

Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: PT Bulan Bintang,

1988

Itr Nuruddin. Manhaj al-Naqd fî ulûm al-Hadîts. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1997.

al-Kafî, Abû Bakr. Manhaj al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdits Wa Ta’lîliha. Beirut: Dâr Ibn

Hajm 1422 H.

al-Khatîb, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits. terj.

Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq, cet. Ke- 5 Jakarta: Gaya Media

Pratama.2013.

Manzûr, Muhammad ibn Mukarram ibn. Lisân Al-Arâb, Mesir: Al-Dâr al-Misriyyah, t.th

al-Maqdîsî, Muhammad Tâhir dan al-Hâzimî, Muhammad bin Mûsâ Syurut al-Aimmah

al-Sittah wa Yalihi Syurut al-Aimmah al-Khomsah .Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyah, cet. 1, 1405 H

al-Mizzî, Yûsuf Abû al-Hajjjaj. Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Beirut: Muassasah al-

Risâlah, 1980.

Moenawar, Chalil. Biografi Empat Serangkai Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,

1998.

Muthalib, Moh. Yassir. Ringkasan Kitab Al-Umm. Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.

Nadhiran, Hedhri. Kritik Sanad Hadis: Tela’ah Metodologis, Jurnal Agama Islam

Raden Fatah. Volume 15, No 1, 2014,

Noorhidayati, Salman. Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang al-Riwayah bi al-

Ma’na dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis. Yogyakarta, 2017.

Page 72: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

57

al-Qâsimî, al-Jamâl al-Dîn. Qawâd al-Tahdîts min Funūn Musthalah al-Hadīts

t.tp: Isâ al-Bâbi al-Halabî wa Syurakah.1961.

Salafî, Muhammad Luqman. Ihtimâm al-Muhadditsîn bî Naqd al-Hadîs Sanad wa

Matan, Riyâd: Maktabah al-Riyâd, 1984.

al-Shaddîq, Ibrâhîm. Maqâlah wa Muhâdharâh fî Al-Hadîts al-Syâfi’î wa ‘Ulûmihi.

Beirut: Dâr Al-Basyâ’ir Al-Islâmiyyah, 2002 .

al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2009.

al-Siba’î, Mushtafâ. As-Sunnah wa Makanâtuha fî at-Tasyrî’ al-Islami tth: ad-Dâr

al-Qaumiyyah.1996.

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Tekni., cet.

Ke-7 Bandung: Tarsito.1982.

Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis” dalam

JurnalEsensia Volume 16.hlm. 177-180). Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga.2015.

Suryadilaga, Muhammad Al-Fatih, dkk. Ilmu Sanad Hadis. Yogyakarta: Idea

Press, 2017.

al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn. Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî. Beirut: Dâ al-

Fikr, jilid I.1988.

Syâfi’î, Muhammad Ibn Idrîs. Musnad al-Syâfi’î ,Beirut: Dâr al-Fikr, 1417 H.

--------, Ar-Risalah. terj. Masturi Irham & Asmui Taman, cet. Ke-2 Jakarta:

Pustaka al-Kautsar. 2012.

Tahhan, Mahmud. Taysir Mûshthalahah al-Hadîts. Beirut: Dâr Al-Qur’ân al-Karîm,

1979.

Page 73: MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45277/1/skripsi kholik.pdf · persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya

58

al-‘Umarî, Akram Dhiya’. Buhūts fîTārîkh al-Sunnah al-Musrifah. cet. Ke-4

Beirut: Basath.1984.

Ya’kub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Yanggo, Hujaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos,

1997.

Zuhri Muhammad. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT. Tiara

Wacana Yogyakarta, 1997.

Zulhedi. “Eksistensi Sanad dalam Hadis” dalam JurnalMiqotVolume XXXIV.

Padang: IAIN Imam Bonjol. 2010.