Upload
truongnhi
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MENILIK KAIDAH KESAHIHAN HADIS MELALUI KRITIK SANAD
(STUDI KOMPARATIF KAIDAH IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN IMÂM AL-
BUKHÂRÎ DALAM PENETAPAN HADÎS SAHÎH)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Kholik Ramdan Mahesa
NIM. 1112034000176
PROGRAM STUDI ILMU AL-QU’AN DA TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017.
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh Ka dan ha خ
D De د
dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
sy es dan ye ش
S صes dengan garis bawah
ḏ de dengan garis bawah ض
ṯ te dengan garis bawah ط
ẕ zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
vi
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apsotrof ' ء
Y Ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tungga atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatẖah
I Kasrah
U Ḏommah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
vii
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ان
î i dengan topi di atas ين
û u dengan topi di atas نو
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf ال
dialih aksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah.
Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.
E. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ـــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti
viii
oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti
kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat
contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-jâmî’ah al-Islâmiyyah اجلامعةاالسالمية 2
waẖdat al-wujûd وحدةالوجود 3
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk
menuliskanpermulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al -Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al -Dîn al-Rânîrî.
ix
ABSTRAK
Kholik Ramdan Mahesa
Menilik Kaidah Kesahîhan Hadîs Melalui Kritik Sanad
(Studi Komparatif Kaidah Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî dalam
Penetapan Hadîs Sahîh)
Aspek sanad sangat berkaitan erat dengan periwayat hadis, sebab kajian sanad
pada dasarnya difokuskan pada kualitas para periwayat dan metode periwayat yang
digunakan. Dengan kata lain, sangat tidak mungkin untuk menelusuri otentisitas sanad
hadis tanpa mengetahui kondisi periwayat dalam jalur sanad yang ada.
Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan metode
deskriptif analitis, yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan
baru dianalisa. Dengan rincian bahwa untuk menggali kaidah kesahihan hadis antara
Imâm al-Syafi’î dan Imâm al-Bukhârî dan lain-lain. Setelah data-data terkumpul, lalu
dijelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga nampak jelas jawaban atas
persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.
Dalam penelitian ini penulis fokus membahas kaidah kesahihan hadis antara
Imâm al-Syafi’î dan Imâm al-Bukhârî, penulis menemukan persamaan dan perbedaan
antara teori kaidah keshahihan hadis diantara kedua tokoh tersebut. Adapun persamaan
teori keduanya dalam persoalan kualitas perawi hadis, Imâm al-Syafi’î mensyaratkan
kualifikasi perawi hadis : 1) Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya agamanya,
2) Orang yang meriwayatkannya dikenal jujur dalam berbicara, 3) Orang yang
meriwayatkan hadis tersebut harus paham terhadap hadis yang diriwayatkannya, 4)
Orang yang meriwayatkannya harus hafal (jika ia meriwayatkannya melalui
hafalannya), atau mencatatnya secara akurat (jika ia meriwayatkan hadis dari kitab
(catatannya), 5) Terbebas dari tuduhan sebagai periwayat mudallas. Sebagaimana
Imâm al-Syafi’î, Imâm al-Bukhârî juga menggunakan teori tersebut, namun
perbedaanya telektak pada ketersambungan sanad periwayat hadis (al-itisâl al-sanad).
Setelah melakukan penelitian tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa
Imâm al-Bukhârî menyempurnkakan kaidah keshahihan hadis yang ditawarkan oleh
Imâm al-Syafi’î.
Kata kunci: Sahîh, Hadis, Imâm al-Bukhârî, Imâm al-Syafi
x
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah, Zat yang tiada bosan mendengar keluh kesah hamba-
Nya. yang dengan Rahmat dan kasih sayang-Nya, Alhamdulillah saya dapat
menyelesaikan skripsi ini, Shalawat dan salam saya haturkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat dan semua penerus ajarannya. Semoga
kelak kita diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafaat.
Skripsi berjudul: Menilik Kaidah Kesahihan Hadis Melalui Kritik Sanad (Studi
Komparatif Kaidah Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî dalam Penetapan
Hadîs Sahîh) merupakan karya ilmiah saya sebagai perjalanan terakhir, setelah
sekian tahun menuntut ilmu di bangku perkuliahan. Guna memenuhi persyaratan
untuk gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin, pada Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari sumbangsih berbagai pihak yang
telah membatu dan yang memberi dukungan baik moril ataupun materil. Oleh
karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati kepada pihak-pihak yang
telah dengan rela membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini, penulis
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Amany
Burhanuddin Lubis, Lc, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
xi
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, Ketua jurusan Program studi Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir dan Dra. Banun Binaningrum, M. Pd, sekretaris Progam Studi Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir, Semoga Allah mempermudah segala urusannya.
4. Bapak Dr. M. Isa HA. Salam, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi penulis
yang dengan keikhlasan dan kesabarannya membimbing, mengarahkan dan
memotivasi penulis hingga skripsi ini selesai.
5. Segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi. Segenap staf
Perpustakaan Umum (PU), Perpustakaan Fakultas Ushuluddin (PF), Pusat Studi al-
Qur’an (PSQ), yang telah membantu meminjamkan buku-buku dan beberapa
literatur dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, terkhusus Bapak Dr. M. Suryadinata, M. Ag.,
dan Bapak Jouhar Azizy, M.A., yang telah membimbing dan membantu saya
selama di Fakultas Ushuluddin. Terimakasih atas ilmu dan bait-bait nasihat yang
telah diberikan dengan tulus kepada saya. Beliau semua sudah seperti ayah dan
semoga beliau selalu dilindungi Allah swt dan semakin sukses kedepannya. Amiin.
7. Yang tercinta Ayah Bapak H. Endan Widaman dan Ibu Hj. Johanah, yang selalu
merangkaikan doa-doa indah, menginspirasi, membiayai, mendidik, mendukung,
dan memotivasi dengan sabar dan tak hentinya memberikan semangat, kasih sayang
kepada penulis. Dan Keluarga besar penulis yang maaf tidak dapat disebutkan satu-
persatu, semoga keberkahan selalu menyertai keluarga besar kita. Amiin.
8. Kepada almaghfurlah Mamanda KH. Ahmad Ma’ani Rusjdi yang telah mengajari
dan menjadi bapak idiologis penulis. Semoga Allah membalas apa yang telah
engkau berikan dan menempatkan di tempat yang mulia. Serta Guru-guruku Abah
xii
KH. Hamdi M’ani, Abah KH. Uuf Zaky Gufron, Abah KH. Talham Ma’ani dan
yang lainnya. Terima kasih telah dengan sabar mendidik penulis di pesantren
Mathlaul Anwar Linahdlatil Ulama semoga Allah memberikan umur panjang dan
selalu dalam lindungannya.
9. Terima Kasih ku ucapkan kepada sahabat/i PMII KOMFUSPERTUM selama
beberapa tahun menemani kehidupan ini baik duka maupun suka semoga
kedepannya PMII KOMFUSPERTUM semakin maju dan kaya khususnya dari segi
pemikiran dan finansial agar tidak selalu menyodorkan profosal.
10. Terima kasih ku ucapkan kepada para senior : Ka Baiquni, M.Ag., Ka Robitul
Umam, M.A., Ka Baharuddin, M. Ag., Ka Muhammad Rasyidi, S. Th.I., yang
sudah seperti kaka ku sendiri yang selalu membantu sewaktu saya mempunyai
masalah baik finansial ataupun permasalahan yang lain. Semoga mereka semua
diberikan kesehatan oleh Allah swt dan diberikan jodoh bagi yang belum Menikah
alias disegerakan Menikah.
11. Teman-teman Tafsir-Hadist angkatan 2012 khususnya kelas E, sahabat-sahabat
KKN GEMMAR, yang terpenting adalah kalian semua penyemangat dan teman
terbaik untuk saya.
12. Untuk sahabat-sahabatku M. Fatih Akmal, Muhammad Faishal, Arsyad Prayogi,
Yusuf Ramadhan, Indra Khaerudin, Mumu Lazuardi, Sugih Hidatullah, Sahroni,
Ali Muharom dan lain-lain. Terima kasih atas kesediaan dan luangan waktunya,
sukses selalu dan cepat wisuda dan bisa lanjut S2, S3, semoga keberhasilan
senantiasa menyertai kalian.
13. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan dan informasi yang
bermanfaat untuk penulisan dalam penyelesaian skripsi ini.
xiii
Akhirnya, hanya kepada Allah jugalah, penulis mengharap ridha dan rasa
syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat yang
baik bagi yang membaca. Jazâkumullâh aẖsan al jazâ’, Âmîn...!
Ciputat, 20 Desember 2018
Kholik Ramdan Mahesa
xiv
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ v
ABSTRAK ................................................................................................................ x
KATA PENGANTAR ............................................................................................. xi
DAFTARA ISI ........................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 6
C. Pembatasan Masalah ................................................................................ 6
D. Perumusan Masalah ................................................................................. 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 7
F. Kajian Pustaka ......................................................................................... 8
G. Metodologi Penelitian ............................................................................ 11
H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 13
BAB II SEJARAH PENGGUNAAN SANAD DAN KAIDAH KESHAHIHAN
HADIS ...................................................................................................................... 15
A. Sejarah Penggunaan Sanad dalam Hadis ................................................ 18
B. Urgensi sanad dalam Hadis ................................................................... 21
C. Penetapan Kaidah Keshahihan Hadis Menurut Jumhur Ulama ............... 31
BAB III BIOGRAFI IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN IMÂM AL-BUKHÂRÎ ....... 26
A. Biografi Imâm al-Syâfi’î ....................................................................... 26
1. Latar Belakang Intelektual Imâm al-Syafi’î ..................................... 26
2. Guru serta Murid Imâm al-Syâfi’î ................................................... 29
3. Latar Belakang Penulisan al-Risâlah dan Kitab al-Musnad Imâm al-
Syâfi’î ............................................................................................. 30
a. Latar Belakang Penulisan al-Risâlah .......................................... 30
b. Latar Belakang Penulisan al-Musnad ......................................... 31
B. Biografi Imâm al-Bukhârî ..................................................................... 32
1. Latar Belakang Intelektual Imâm al-Bukhârî ................................... 32
2. Guru serta Murid Imâm Imâm al-Bukhârî ....................................... 36
3. Latar Belakang Penulisan Kitab Sahîh al-Bukhârî ........................... 36
xv
BAB IV KAIDAH KESHAHIHAN HADIS MENURUT IMÂM AL-SYÂFI’Î
DAN IMÂM AL- BUKHÂRÎ ................................................................................ 39
A. Kaidah Kesahihan menurut Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî ........ 40
B. Menguji Konsistensi Kaidah Keshahihan Hadis Imâm al-Syâfi’î dan
Imâm al-Bukhârî .......................................................................................... 45
C. Analisis Kaidah Keshahihan Hadis Hadis Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-
Bukhârî ......................................................................................................... 50
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 53
A. Kesimpulan ........................................................................................... 53
B. Saran-saran ........................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum, pembelajaran hadis pada masa Nabi Muhammad Saw. dan
beberapa periode sesudahnya, tidak menggunakan media tulisan. Para sahabat
berusaha semaksimal mungkin merekam setiap ucapan, perbuatan dan taqrîr Nabi
dalam memori mereka. Banyak informasi yang tertulis, bahwa hanya sebagian
kecil sahabat yang membuat catatan hadis untuk dirinya. Kekhawatiran
bercampurnya hadis dengan al-Quran merupakan alasan paling asasi dari realitas
ini, karena ketika itu al-Qur’an belum dibukukan. Sahabat yang menghadiri kuliah
hadis yang disampaikan secara lisan oleh Nabi menyampaikan materi pelajaran
yang baru didapatkan kepada mereka yang tidak hadir (sebagaimana pesan Nabi)
juga secara lisan.1
Metode pembelajaran dan perekaman hadis selanjutnya di masa itu tidak
hanya menyebutkan isi dari hadis (matan), tetapi juga menjelaskan siapa saja yang
menjadi sumber hadis tersebut (sanad) dan bagaimana dia menerimanya. Syuyûkh
al-hadîts2akan mengungkapkan secara jujur, apakah dia langsung mendengan atau
melihat hadis yang diajarkannya atau dia mempelajarinya dari orang lain. Format
transmisi hadis dengan menyebut sumber informasi dan menjelaskan cara
mendapatkannya tersebut menjadi tradisi dalam beberapa generasi.3
1Zulhedi, “Eksistensi Sanad dalam Hadis”, Jurnal Miqot, Volume XXXIV No. 2 (Juli-
Desember 2010): h. 163. 2Yaitu satu hadis yang dalam sanadnya, perawi menyebut guru yang ia mendengar
darinya dengan sebutan yang tidak terkenal dan tidak masyhur. Sebutan disini maksudnya adalah
nama, gelar, pekerjaan, atau kabilah, dan negeri yang disifatkan untuk seorang guru, dengan tujuan
supaya keadaan guru itu sebenarnya tidak diketahui oleh orang. 3Zulhedi, “Eksistensi Sanad dalam Hadis”..., h. 163-164.
2
Pasca Nabi Muhammad wafat, ekspansi wilayah Islam di bawah komando
Khilafah semakin meluas. Semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam ternyata
membawa dampak negatif terhadapnya, salah satu dampak tersebut adalah
semakin maraknya para pemalsu hadis dalam membuat hadis-hadis
palsu.4Menurut Musṯafâ al-Siba’î, tahun 40 Hijriah merupakan batas pemisah
antara kemurnian hadis dengan pemalsunya, karena saat itu terjadi perselisihan
internal (politik) umat Islam, antara ‘Alî bin Abî Thalib (w. 40 H/ 661 M) dengan
Mû’awiyah bin Abî Sufyan (60 H/ 680 M).5
Akibat dari perselisihan internal yang terjadi dan maraknya pemalsuan hadis
tersebut, seketika itu orang menjadi sangat kritis terhadap sanad. Realitas ini
dapat dilihat dari pernyataan Muhammad bin Sîrîn bahwa “pada mulanya umat
Islam tidak begitu mempermasalahkan sanad, namun setelah terjadi fitnah, jika
menerima sebuah hadis, mereka akan mengatakan “sebutkan rijâl-mu (orang-
orang yang menyampaikan hadis kepadamu)!”. Hadis akan diterima jika rijâl-nya
adalah ahl-sunnah dan akan ditolak jika rijâl-nya adalah ahl-bidâ’.6
Di penghujung abad 1 Hijriah, ilmu sanad berkembang pesat dan
mendapatkan perhatian lebih. Hal ini dianggap wajar, karena metode ini
diperuntukkan untuk memilih dan memilah mana hadis yang dapat dipertanggung
jawabkan otentisitasnya kepada Nabi dan mana yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan atau hanya sekedar diragukan dari sekian banyak hadis yang bertebaran
4Hadis-hadis dibuat untuk kepentingan kelompok fanatiknya, melariskan dagangannya,
dan banyak hal-hal lain yang bersifat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. 5Mushthafâ al-Siba’î, As-Sunnah wa Makanātuha fî at-Tasyrî’ al-Islami (tth: ad-Dār al-
Qaumiyyah, 1996 M), h. 75. 6Muhammad Mushthafa ‘Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa
Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531.
3
dalam berbagai kitab hadis yang kanonik dan non-kanonik.7 Dari aspek sanad
tersebut, seseorang dapat pertama kali mengklaim sisi otentisitas hadis yang
ditelitinya. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa otentisitas sanad
merupakan suatu kemutlakan dalam memahami hadis lebih jauh. Pandangan
seperti inilah yang dipegangi oleh mayoritas ulama hadis.8
Aspek sanad sangat berkaitan erat dengan periwayat, sebab kajian sanad
pada dasarnya difokuskan pada kualitas para periwayat dan metode periwayat
yang digunakan. Dengan kata lain, sangat tidak mungkin untuk menelusuri
otentisitas sanad hadis tanpa mengetahui kondisi periwayat dalam jalur sanad
yang ada.9 Oleh Karena itu, untuk mengkaji kondisi para peiwayat yang terlibat
langsung dalam proses transmisi hadis, Ilmu Rijâl al-Hadîts10 merupakan
perangkat keilmuan yang biasa digunakan. Dalam studi hadis, ilmu ini
mempunyai dua anak cabang, yaitu Ilmu Târikh al-Ruwâh11dan Ilmu JarhWa al-
Ta’dîl12.
Aspek sanad juga berkaitan erat dengan penentuan kualitas suatu hadis.
Menurut Akram Dhiya’ al-‘Umarî, Imâm al-Nawawî mengatakan bahwa “Jika
sanad suatu hadis berkualitas Sahih maka hadis itu dapat diterima. Akan tetapi,
7Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis”, Jurnal Esensia,
Volume 16 No. 2, Oktober 2015, h. 177. 8 Jalâl al-Dīn al-Suyûthî, Tadrīb al-Rāwî fî Syarh Taqrīb al-Nawāwî(Beirut: Dār al-Fikr,
1988), jilid I, h. 70; Jamāl al-Dîn al-Qâsimî, Qawâid al-Tahdîts min Funûn Musthalah al-Hadîts
(t.tp: Isā al-Bābi al-Halabîwa Syurakah, 1961), h. 79;. 9Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis”…, h. 180. 10 Ilmu Rijâl al-Hadîts adalah jenis ilmu hadis yang sangat penting, karena ilmu ini
mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Baca Muhammad ‘Ajjaj al-Khatîb, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits, terj. Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq,cet. Ke- 5 (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2013), h. 227. 11Ilmu Târikh al-Ruwâh adalah ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadis dari
aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut. Baca Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits 12Ilmu Jarh wa al-Ta’dîl adalah ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi
diterima atau tidaknya periwayatan mereka. Baca Muhammad ‘Ajjaj al-Khatīb, Ushul al-Hadits:
Pokok-pokok Ilmu Hadits..., h. 233.
4
jika sanad hadis tersebut tidak Sahih maka hadis itu ditolak.13 Oleh sebab itu, para
ulama belakangan membuat definisi hadis-hadis yang dapat dianggap
Sahih.14Akan tetapi, kriteria-kriteria yang diajukan itu dianggap belum mencakup
secara keseluruhan syarat sanad otentik yang ditetapkan kemudian, apalagi
kriteria mengenai kesahihan matn. Kriteria ini hanya berdasar kepada
penyandaran terhadap isnâd. Bagi sebagian sarjana, tidak ada bukti yang pasti
apakah para ahli hadis abad pertama dan kedua benar-benar mengadopsi kriteria
tersebut.15
Adalah Imâm al-Syâfi’î (w. 204 H/ 820 M) yang secara tegas telah
menentukan kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang rawi dalam
mentransmisikan hadis, persyaratan tersebut adalah: (1) harus terpercaya dalam
agamanya; (2) harus dikenal benar dalam penyampaian berita; (3) harus
memahami isi berita, mengetahui secara benar bagaimana perubahan lafal akan
mempengaruhi gagasan yang disampaikan; (4) harus menyampaikan laporan
secara verbatim (lafdzî) sesuai yang ia dengar, dan tidak menyampaikan dengan
kalimatnya sendiri; (5) harus memiliki daya ingat yang tinggi apabila ia
menyampaikan atau menerimanya lewat hafalan dan harus menjaga catatannya
apabila ia menyampaikan atau menerima dari catatan atau kitabnya; (6)
riwayatnya harus sesuai dengan riwayat mereka yang dikenal memiliki tingkat
akurasi hafalan yang tinggi, apabila mereka juga turut meriwayatkan hadis yang
sama, laporannya tidak berbeda dari laporan-laporan orang-orang tsiqah; (7) tidak
13 Akram Dhiya’ al-‘Umarî, Buhûts fîTârîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. Ke-4 (Beirut:
Basath, 1984), h.53-54. 14 Baca Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis ( Jakarta:
PT Mizan Publika, 2009), h. 16. 15Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis..., h. 16-17.
5
membuat laporan atau riwayat atas nama mereka yang pernah ia temui, tetapi
tidak pernah belajar darinya.16
Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh seluruh perawi mulai dari generasi
pertama sampai terakhir. Kriteria yang di buat Imâm al-Syâfi’î sangat jelas
menekankan pada perawi dan cara periwayatan hadis. Kriteria ini juga tidak bisa
dihindarkan dalam cara penentuan akseptabilitas hadis bukan hanya didasarkan
atas kapasitas perawi, akan tetapi juga cara periwayatan, yakni jalur periwayatan
yang tidak terputus.17
Berbeda dengan Imâm al-Syâfi’î, Imâm al-Bukhârî (w. 256) dalam
menetapkan kaidah kesahihan nya memiliki kriteria tersendiri. Kiriteria kesahihan
hadis al-Bukhârî adalah sebagai berikut: (1) jalur periwayatan dari perawi pertama
sampai akhir bersambung; (2) para perawi, dari awal sampai akhir, harus dikenal
tsiqah, yakni ‘adl dan dhabth (tingkat akurasi hafalan yang sangat tinggi); (3)
hadis yang diriwayatkan harus bebas dari cacat (‘illat) dan kejanggalan
(syudzûdz).18
Pada dasarnya al-Bukhârî tidak mengajukan syarat-syarat tertentu yang
dipakai untuk menetapkan kesahihan hadits secara jelas. Karena persyaratan
tersebut di atas diketahui melalui penilaian terhadap kitabnya.19 Penilaian ini
dilakukan oleh sarjana yang datang berikutnya yang mencoba menyimpulkan
syarat-syarat hadis sahih menurut Imâm al-Bukhârî.20
16Muhammad Idris al-Syâfi’î, Ar-Risalah, terj. Masturi Irham & Asmui Taman, cet. Ke-2
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), h. 317-319. 17Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis..., h. 18. 18 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. 19Muhammad bin Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutûb al-Sahîhâh al-
Sittah, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1981), h.81 20Ibrâhîm al-Shiddîq, Maqâlah wa muhâdharâh fî al-hadîs al-Syarîf wa ‘ulûmihi, Beirut;
Dâr al-Basyâir al-Islâmiyyah, 2002, h. 30-33
6
Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diperhatikan bahwa kedua kriteria
kesahihan hadis tersebut baik Imâmal-Syâfi’î ataupun Imâm al-Bukhârî sama-
sama ketat dalam penentuan kesahihan hadissuatu hadis. Oleh karena itu, penulis
ingin menelaah lebih lanjut Kaidah kesahihan hadis Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-
Bukhârî serta penulis akan membandingkan kaidah kesahihan hadis dari kedua
Imam tersebut.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah ditulis, ada beberapa identifikasi masalah
yang akan dijadikan bahan penelitian, sebagai berikut:
1. Perselisihan internal kaum Muslimin yang menimbulkan
berkembangnya hadis-hadis palsu
2. Aspek sanad dalam suatu hadis sangat berkaitan dengan kualitas suatu
hadis
3. Pada abad 3 hijriah, para ulama hadis tidak mendefinisikan secara
eksplisit hadis-hadis yang dianggap sahih
4. Kapan istilah “Sahih” ini muncul pertama kali?
5. kesahihan hadis baru pertama kali dirumuskan oleh Imâm al-Syâfi’î.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Malasah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna dan
mendalam, maka penulis memandang permasalahan penelitian yang
diangkat harus dibatasi. Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya
berkaitan dengan “kesahihan hadis, persamaan, serta perbedaan. Al-
7
Syâfi’î dan al-Bukhârî dipilih karena kedua tokoh ini sebagai landasan
pertama yang merumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadis.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan permasalahan di atas, maka pokok
permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana persamaan dan perbedaan antara Imâm al-Bukhârî dan
Imâm al-Syâfi’î t dalam menetapkan kesahihan hadis?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berangkat dari pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan:
1. Menggali metode kesahihan hadis antara Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-
Bukhârî.
2. Melihat persamaan dan perbedaan kaidah kesahihan hadis antara al-
Syâfi’î dan al-Bukhâri.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini turut mengembangkan khazanah
keilmuan dalam bidang hadis, terutama dalam kajian kesahihan hadis
Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumbangan
serta pengembangan kajian hadis khususnya pada Mata Kuliah Ilmu
Mushtolah Hadis, khususnya untuk Mahasiswa-Mahasiswi Ilmu Hadis
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
8
E. Kajian Pustaka
Penelitian ini mengakaji persoalan kesahihan hadispada dua tokoh ulama
besar yaitu Imâm al-Bukhâri dan Imâm al-Syâfi’î serta menguji kembali ke-
efektifan kesahihan nya dalam penentuan kualitas suatu hadis.
Untuk melihat lebih jelas posisi kajian yang akan dilakukan dalam
penelitian ini serta membedakannya dengan kajian yang telah dilakukan
sebelumnya, maka berikut ini dapat dikemukakan beberapa kajian yang telah
dilakukan oleh para ilmuwan, baik muslim maupun non-muslim yang berkenaan
dengan kesahihan hadis.
Kamaruddin Amin telah menulis buku tentang masalah ini dengan judul
Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis.21 Pusat perhatian Kamaruddin
Amin dalam bukunya tersebut berbicara tentang metode kritik hadis. Namun
jangkauan pemikirannya cukup luas, mulai dari kritik hadis era klasik sampai
kepada teori kritik hadis yang dipaparkan oleh keserjanaan non-muslim.
Sementara itu, Daniel W. Brown dalam bukunya Rethinking Traditional in
Modern Islamic Trought.22 Pusat perhatian Brown dalam penelitiannya adalah
mengenai ‘Adalah sahabat serta menguji kembali ke-efektifan kritik sanad dalam
penyampaian atau pengtransmisian suatu hadis. Objek yang menjadi kajian juga
beragam, mulai dari otoritas Nabi, sikap para pemikir modern terhadap hadis,
sampai kepada cara memahami hadis.
21 Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: PT
Mizan Publika, 2009). 22 Buku ini telah di terjemahkan dengan judul Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam
Modern dan diterbitkan pertama kali oleh PT Mizan, Bandung, pada tahun 1996.
9
Kajian tentang kaidah hadis juga telah dilakukan oleh Maman
Abdurrahman dalam bukunya Teori Hadis: Sebuah Pergeseran Pemikiran.23Buku
ini meneliti tentang teori Al-Hakim dalam menentukan suatu kualitas hadis dalam
kitab al-Mustadrak-nya. Objek kajiannya juga meliputi tentang kriteria al-Hakim
dalam menentukan kualitas kesahihan hadis. Buku ini juga membandingkan
kriteria kesahihan al-Hakim dengan ulama hadis pada umumnya dalam
menentukan suatu kualitas hadis. Fokus kajiannya adalah menentukan kriteria
serta kualifikasi hadis menurut al-Hakim dalam kitab Mustadraknya.
Kajian selanjutnya dilakukan oleh Bahrul Ma’ani dalam jurnal Al-Jarh wa
al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu.24 Kajian ini meliputi
sejarah penggunaan sanad pertama kali, serta tinjauan historis tentang ilmu jarh
wa al-ta’dil. Bahrul juga menambahkan kitab-kitab yang membahas tentang jarh
wa al-ta’dil, serta cara mengetahui keadilan serta kecacatan seorang perawi. Fokus
kajian ini hanya bersifat umum dan hanya terfokus dengan cara melakukan
penilaian seorang perawi.
Selanjutnya, Buku yang ditulis oleh M. Anwar Syarifuddin, dkk dengan
judul Kajian Orientalis Terhadap al-Quran dan Hadis.25 Buku ini berisikan
tentang kajian barat terhadap al-Qur’an dan hadis. Jangkauan buku ini cukup luas
karena meneliti karya-karya dari masing-masing orientalis. Buku ini juga
membahas tentang teori common link G. Juynboll yang mengkritik tentang teori
sanad dalam hadis, serta meneliti tentang kesejarahan hadis. Fokus kajian dalam
23 Maman Abdurrahman, Teori Hadis: Sebuah Pergeseran Pemikiran (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2015). 24 Bahrul Ma’ani “Al-Jarh wa al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu”.
Jurnal Iain Jambi, (April, tahun 2010). 25Jurnal ini diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tahun 2011-2012.
10
buku ini memiliki gambaran terlalu umum, sehingga masih banyak kajian yang
belum di jelaskan dengan lebih rinci.
Selanjutnya, kajian yang meliputi kesahihan hadis-hadis dan teori sanad
adalah kajian yang dilakukan oleh Suryadi dalam jurnal Rekonstruksi Kritik Sanad
dan Matan dalam Studi Hadis.26 Fokus kajian suryadi adalah mengkritik kritik
sanad dan matan pada era klasik. Menurutnya kritik sanad pada era klasik masih
memiliki celah yaitu subjektifitas para ulama kritikus hadis dalam memberikan
penilaian terhadap perawi. Ia juga menimbang kembali mengenai ‘Adalah para
sahabat. Selain itu, kritik matn juga menjadi fokus kajiannya.
Kajian selanjutnya dilakukan oleh Jonathan Brown dalam bukunya The
Canonization of Bukhari and Muslim: The Formation and Function of The Sunni
Hadith Canon.27 Buku ini berisikan tentang sejarah kitab hadis paling otentik
yang dimiliki oleh umat Islam. Jangkauan buku ini juga cukup luas, mulai dari
sejarah penulisan kitab sahih al-bukhari dan sahih muslim sampai kepada polemik
penulisan kitab hadis tersebut. Akan tetapi, Brown tidak melakukan perbandingan
atas kriteria kesahihan hadis yang dimiliki oleh para ulama klasik. Fokus
kajiannya hanya kepada kriteria penulisan kitab hadis miliki al-Bukhârî dan
Muslim.
Kajian selanjutnya di lakukan oleh Nasir Akib dalam jurnal yang berjudul
Kesahihan Sanad dan Matan Hadits: Kajian Ilmi-ilmu Sosial”, Jurnal Shautut
Tarbiyah Ed. 21. Th. XIV. September 2018. Jurnal ini menjelaskan Kidah
26 Suryadi “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis”. Esensia: Jurnal
Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol 16, No 2 (Yogyakarta, pada tahun 2015). 27Jonathan Brown, The Canonization of Bukhari and Muslim: The Formation and
Function of The Sunni Hadith Canon (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2007).
11
Kesahihan Hadis sanad dan Matan, serta tentang kaidah kesahihan sanad dan
matan meliputi kaidah minor dan mayor.
Kajian selanjutnya dilakukan oleh Azizatul Iffah dalam skripsinya yang
berjudul Periwayatan Syi’ah Dalam Sahîh al-Bukhârî skripsi ini membahas
tentang Syi’ah dalam kitab Sahîh al-Bukhârî. Skripsi ini membahas tentang
periwayat-periwayat hadis bid’ah (dalam hal ini sekte syi’ah) sebagaimana
ungkapan jalaluddin al-Sayuti dalam kitab tadrib al-Rawi fi Syart Tahrib al-
Nawawi benar-benar terdapat dalam kitab hadis sekaliber sahîh al-Bukhârî.
Selanjutnya, kajian yang dilakukan oleh Muhammad Rizal dalam
skripsinya yang berjudul Relevansi ‘Illat Terhadap Kaidah Kesahihan Hadis
Ulama Mutaqaddimin. Skripsi ini membahas tentang konsep ‘Illat terhadap
kaidah kesahihan hadis, yang mencangkup konsep kesahihan hadis mulai dari
Imâm al-Syâfi’î hingga pada era Ibn Salâh. Pada skripsi ini juga dibahas
kesempurnaan konsep kaidah kesahihan hadis itu terjadi pada era Ibn Salah yang
terkenal dengan kitabnya Muqaddimah Ibn Salah.
Dari uraian kajian pustaka diatas, Sepanjang pengetahuan penulis, belum
ada penelitian yang menulis secara khusus tentang kesahihan hadis melalui kritik
sanad dengan fokus kajian komparasi kaidah kesahihan hadis antara Imâm al-
Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî. Dengan demikian, apa yang diupayakan oleh
penulis ini bukan merupakan suatu pengulangan dari apa yang telah
dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain.
F. Metode Penelitian
Sebagai sebuah penelitian kepustakaan (library research), bahan-bahan
kajian peneltian ini diperoleh dari data-data kepustakaan, baik dari sumber
12
premier (primary source) maupun sumber sekunder (secondary source).
Selanjutnya, data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode deskriptif-analitis dan komparasi.
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini di laksanakan dengan
menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa
buku-buku. Sumber primer yang penulis gunakan dalam meneliti kaidah
kesahihan hadis Imâm al-Syâfi’î adalah kitab al-Risâlah dan Musnad Imâm al-
Syâfi’î sedangkan data primer yang penulis gunakan dalam meneliti kaidah
kesahihan hadis Imâm al-Bukhâri adalah Kitab al-Jâmi’ al-Musnâd al-Sâhîh al-
Mukhtasar min Umuri Rasulillah wa Sunnanihi wa Ayyâmihi atau lebih terkenal
dengan kitab Sâhîh al-Bukhârî. Adapun yang dijadikan sumber sekunder dalam
penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, dan karya ilmiah lain yang relevan dengan
pembahasan ini.
Metode deskriptif-analitis dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai
metode penelitian yang sumber-sumbernya didata, dikumpulkan, dianalisis dan
kemudian diinterpretasikan secara kritis sebelum dituangkan dan
diimplementasikan dalam sebuah gagasan.28 Yaitu untuk mendapatkan gambaran
konsepsional tentang kai kesahihan hadis-hadis antara Imâm al-Syâfi’î dan Imâm
al-Bukhârî.
Setelah diperoleh gambaran yang jelas tentang metode atau kaidah al-
Syâfi’î dan al-Bukhârî, analisis dilanjutkan dengan menkomparasikan kaidah
keduanya dengan menggunakan metode perbandingan sistematis, yakni
mengkomparasikan antara data dari satu bagian dengan data dari bagian yang lain,
28 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik, cet. Ke-7
(Bandung: Tarsito, 1982), h. 139.
13
sehingga diperoleh suatu kesimpulan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar bisa
diperoleh gambaran tentang persamaan dan perbedaan serta objektifitas dalam
menggunakan kesahihan hadis.
G. Sistematika Penulisan
Demi mendapatkan pemahaman dan gambaran yang sistematis akan isi
penelitian ini, pembahasan dalam skripsi ini akan disusun dalam sebuah
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, dan
metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua, berisi tentang sejarah, urgensi serta kiadah penetapan
kesahihan suatu hadis. Kajian ini penting dilakukan mengingat ini menjadi
landasan teori mengapa kajian tentang sanad dan kesahihan suatu hadis penting
untuk dilakukan. Karena aspek sejarah sangat penting dalam penentuan suatu
kaidah pada masa setelahnya. Bab ini hanya terdiri dari sejarah penggunaan sanad
dalam hadis, urgensi penggunaan sanad, serta penetapan kesahihan dalam hadis
menurut jumhur ulama.
Bab ketiga, berisikan tentang potret serta latar belakang pemikiran Imâm
al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî secara umum. Kajian ini diawali dengan biografi
serta latar belakang pemikiran mereka, lalu diikuti dengan guru-guru serta murid-
murid mereka dahulu. Bagian terakhir dari masing-masing tokoh adalah penelitian
tentang kitab hadis yang mereka tulis, yang dirincikan mulai dari alasan penulisan
kitab tersebut sampai kepada latar belakang penulisan kitab hadis tersebut. Pada
14
Bab ketiga ini diharapkan mampu untuk menjawab persoalan tentang mengapa
dan apa latar belakang dari pemikiran serta penulisan kitab hadis mereka berdua.
Bab empat, berisikan tentang kaidah kesahihan hadis yang ditawarkan oleh
Imâm al-Syâfi’î dan Imām al-Bukhârî, serta menganalisis persamaan dan
perbedaan dari dua kaidah kesahihan yang ditawarkan. Kajian pada bab ini
dilakukan agar diketahui persamaan dan perbedaan kaidah kesahihan hadisyang
ditawarkan pada jalur sanad hadis.
Penelitian ini diakhiri dengan bab kelima yang merupakan penutup, yaitu
berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh serta saran-saran.
15
BAB II
SEJARAH PENGGUNAN SANAD DAN KAIDAH KESAHIHAN HADIS
A. Sejarah Penggunaan Sanad dalam Hadis
Tidak ada penjelasan yang akurat kapan sistem sanad dipakai. Hanya saja
ada sumber yang menyatakan bahwa sistem sanad digunakan sebelum Islam
datang, sistem tersebut sudah ada metode yang mirip dengan sistem penggunaan
sanad dalam periwayatan syair-syair pada zaman sebelum Islam datang.29 Akan
tetapi, tidak ditemukan keterangan lebih lanjut tentang realitas tersebut.30 Sistem
periwayatan yang terjadi dalam masyarakat Arab Pra Islam memiliki perbedaan,31
terutama pada hal periwayatan kitab suci mereka. Tradisi mereka dalam
Periwayatan tidak mementingkan kebenaran berita yang mereka terima. Sehingga
mereka tidak kritis terhadap siapa yang membawa berita tersebut. Karena
kebanyakan mereka meriwayatkan tentang kegembiraan, kesenangan dan juga
untuk membakar semangat mereka dalam hal peperangan. 32
Pemakaian sanad dalam Islam itu sendiri tidak ada keterangan detail kapan
dan siapa yang pertama kali memakai sistem sanad dari generasi pertama Islam
(Sahabat).33 Ketika Rasullah saw masih hidup, kebanyakan para sahabat tidak
terlalu mementingkan persoalan sanad. Karena mereka masih saling
29 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: PT Pustaka Firdaus,
2012), h. 531. 30. M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 530. 31 Al-Sâdiq Basyîr Nashr, Dawâbit al-Riwâyah ‘Inda al-Muhaddisîn, (Tripolit, 1992), h.
64. 32 Penggunaan sanad pada masa pra Islam bukan hal-hal yang bersifat sakral dan suci
tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang ketat. Muhammad ibn Muhammad abû Syuhbah, Fî
Rihâb al-Sunnah al-Kutûb al-Shahihâh al-Sittah, (Kairo: Majma al-Buhuts al-Islâmiyyah, 1981),
h. 32. 33 Hedhri Nadhiran, Kritik Sanad Hadis: Tela’ah Metodologis, Jurnal Agama Islam
Raden Fatah, Volume 15, No 1, 2014, h. 4.
16
mempercayai, menjaga, dan komitmen dalam keislaman mereka. Para sahabat
sudah terbiasa meriwayatkan hadis ketika Nabi Muhammad saw masih hidup,
mereka yang hadir dalam majelis pengajian Nabi Muhammad saw selalu memberi
tahu hal-hal yang mereka dengar dalam pengajian kepada sahabat yang tidak hadir
dalam majelis pengajian tersebut. Dan para sahabat juga selalu menuturkan
sumber-sumber berita yang diterimanya, baik Nabi Saw maupun sahabat yang
lain. Apabila yang meriwayatkannya bukan Nabi, maka dengan sendirinya mereka
meyebutkan sumber hadis tersebut. Inilah yang sebenarnya yang disebut
pemakaian sanad. Sistem yang dipakai pada saat sahabat meriwayatkan hadis
tersebut yang kemudian melahirkan Isnad atau metode pemakaian sanad.34
Namun urgensi metode sanad ini terlihat penting dalam Islam khususnya
periwayatan hadis, sehingga berkembang sistem sanad ini.35 Ibn al-Mubârak (w.
181 H/797 M) mengatakan bahwa metode sanad itu merupakan bagian dari
Islam.36 Agama Islam sendiri yang mengajarkan umatnya untuk mencari
kebenaran dan mencari kepastian terhadap apa yang didengar dan diriwayatkan
oleh seseorang, Seperti firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
(Q.S Al-Hujarât: 6).
34 M. M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 531. 35 Metode sanad terus berjalan dan berkembang hingga saat ini dan mendapat perhatian
khusus dari umat Islam. Lihat Salman Noorhidayati. M.Ag, Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang
al-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis, (Yogyakarta, 2017), h. 14. 36 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 530.
17
Sistem periwayatan sanad dalam Islam dan Pra Islam yang
membedakannya adalah ancaman Nabi yang sangat berat terhadap orang-orang
yang berdusta atas Nama Nabi, sehingga menjadikan para sahabat dalam
meriwayatkan hadis sangatlah hati-hati dan teliti. Ancaman tersebut misalnya:
ي ني عن أبي صاليح عن أبي هري رة عن النبي ث نا أبو عوانة عن أبي حصي ث نا موسى قال حد حد صى اليتي ومن رآني في ي ول تكت نوا بيكن سي وا بي يطان ل ي تمثل عيهي وسم قال تسم المنامي ف قد رآني فإين الش
ن الناري دا ف ي ت ب وأ مقعده مي في صورتي ومن كذب عي مت عمي “Telah menceritakan kepada kami mûsâ telah menceritakan
kepada kami abû ‘awânah dari abî hasîn Dari abû Hurairah, dari Nabi
SAW, bersabda “Namailah dirimu dengan namaku, dan jangan memakai
gelarku. Barang siapa yang bermimpi melihatku dalam tidurnya, maka ia
benar telah melihatku, karena setan tidak mampu menjelma seperti aku.
Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka biarlah dia menempati
tempatnya di neraka.”37
Penggunaan sanad pada masa Nabi itu masih sederhana, namun sebelum
akhir abad satu Hijriyyah, metode sanad telah berkembang hingga Syu’bah selalu
memperhatikan dan mendengarkan apa yang diucapkan gurunya Qatâda (w. 177
H), ketika meriwayatkan hadis Qatâda mengatakan, haddatsanâ maka Syu’bah
mencatat hadisnya, apabila Qatâda mengatkan Qâla maka Syu’bah diam dan tidak
mencatatnya, hal ini dilakukan karena sangat hati-hati dalam menerima riwayat
hadis. Penggunaan sanad dalam periwayatan hadis menjadi penting karena hadis
adalah salah satu sumber ajaran Islam yang tentu keasliannya harus dijaga antara
lain dengan menjaga kevalidan sanad itu sendiri.38
Dalam suasana lain, studi sanad hadis di kalangan orientalis lebih
mengarah kepada kapan mulainya umat Islam menggunakan sistem sanad. Seperti
37 Muhammad Ismâ’il al-Bukhârî, Al-Jâmi’al-Musnad al-Sahîh al-Mukhtasar min Umûri
Rasûillâh sallâh ‘Alaihi Wasallam (Tahqiq Muhammad Zuhair al-Nâsir, Beirut: Dât Tauq alNajah,
1422 H), juz 1, h. 33 38 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 531
18
orientalis yang bernama Caetani, dia mengatakan bahwa penggunaan sanad baru
dimulai antara masa ‘Urwah ibn Zubair (w. 94 H/712 M) dengan Ibn Ishaq (w.
151 H/768 M). 39
Dilain pihak, orientalis yang bernama Horovits berbeda pendapat. Dia
mengatakan sanad sudah mulai dipakai pada akhir Abad Pertama Hijriyyah sekitar
tahun 70-an Hijriyyah). Sedangkan J. Robson mengatakan bahwa mungkin saja
sanad sudah mulai digunakan pada pertengahan abad Hijriyyah. Pendapat
kalangan orientalis ini dianggap keliru, dan puncak kekeliruan mereka terhadap
kajian sanad terlihat dari pendapat orientalis yang bernama Josept Schacht,
menurutnya sanad hanyalah produk imajinasi orang-orang yang datang
belakangan dengan mencoba mengaitkan hadis-hadis yang didapatkannya kepada
tokoh-tokoh terdahulu.40
Menanggapi pendapat orientalis semacam ini, Muhammad Musṯafa
‘Azamî berpendapat mereka melakukan kesalahan besar dalam mengkaji sanad,
kesalahan besar tersebut terletak pada metodologi yang mereka gunakan.
Kesalahan mereka itu menurut ‘Azamî adalah mereka meneliti sanad hadis dari
objek yang keliru. Mereka mengkaji hadis dari kitab-kitab sejarah, biografi dan
fiqh yang kebetulan banyak memuat hadis-hadis Nabi. Mereka tidak melakukan
studi hadis secara langsung dari kitab-kitabnya.41
B. Urgensi Sanad dalam Hadis
Perhatian utama mayoritas ahli hadis generasi salâf sebelum masa Tadwîn
hadîts pada aspek al-Riwayâh. Mereka tidak menerima suatu hadis yang tidak
39 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 532. 40 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 533. 41 M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, h. 5382.
19
disertai penyebutan sanadnya untuk melihat integritas pribadi (kapabiltas
intelektual dan integritas moral) perawi-perawinya dan ketersambungan
antarsumber informasi perawi (Ittisâl al-sanad). Cukup banyak ungkapan dan
pernyatan para ulama salaf tentanng urgensi sanad ini, di antaranya: Ibnu Sîrîn
(w.110 H) berkata:
قالوا سوالنا رجالكم فينظرو إىل أهل السنة فيؤخذ نةمل يكونوا يسألون عن السناد فما وقعت الفت حديثهم وينظر اىل أهل البدع فال يؤخذ حديثهم
“Dulu para ulama tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun
ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata: Sebutkan pada kami rijal kalian.
Apabila ia melihat rijâl tersebut dari kalangan Ahl al-Sunnah, maka
diterima hadisnya, dan jika dari kalangan Ahl al-Bid’ah, maka tidak
diterima”.42
Perkataan Ibnu Sîrîn tersebut merupakan tanggapan terhadap keadaan
umat Islam pasca al-Fitnah al-Kubrâ, ketika terbunuhnya ‘Usmân ibn Affân.
Kondisi geopolitik Islam telah mengalami perkembangaan, pada awalnya umat
Islam bersatu, namun terpecah menjadi berbagai kelompok yang bertentang satu
dengan yang lainnya bahkan saling bunuh-membunuh. Mereka mengklaim satu
sama lain bahwa dirinya yang paling benar dan sesuai dengan ajaran Rasullah
saw. Yakni al-Qur’an. Bahkan muncul berbagai macam hadis yang sebelumnya
tidak ada pada zaman Nabi maupun zaman Sahabat.43
Carut marut keadaan umat Islam pada saat itu menjadikan keprihatinan
para ulama. Khususnya ulama-ulama hadis dalam menentukan kaidah-kaidah
yang sangat ketat dalam penjagaan hadis Nabi, terkait dari hal-hal pemalsuan
hadis yang berkembang dan meresahkan. Hal ini disebabkan karena hadis sebagai
42 Muhammad ‘ajjaj al-Khaṯîb, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), h.
257. 43 Muhammad Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Ilmu Sanad Hadis (Yogyakarta: Idea Press,
2017), h. 13.
20
salah satu ajaran Islam, didalamnya berisi tentang berbagai pedoman kehidupan
umat manusia yang bersumber dari Nabi Muhammad saw.44 Ketika itu, orang-
orang sangat ktiris terhadap sanad sebuah ungkapan yang dikatakan sebagai hadis.
Dalam hal urgensi sanad hadis, para ulama tidak sedikit berkomentar
tentang pentingnya sistem sanad didalam hadis. Dari beberapa ungkapan mereka
jelas bahwa keberadaan sanad merupakan suatu keniscayaan. Seperti ‘Abdullâh
ibn Mubârak (w. 110 H/728 M) berkata:
السناد من الدين ولول السناد لقال من شاء ما شاء
“Sanad merupakan bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad,
maka siapa saja Akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya.45
Muhammad ibn sîrîn juga pernah berkata :
ان هذا العم دين فانظروا عمن أتخذون دينكم
“Sesungguhnya pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka
perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu itu”.46
Selanjutnya al-Hakîm berkata:
لول توفر طائفة من احملدثني عى حفظ السناد لدرس منارالسالم“Andaikata tidak cukup sempurna adanya golongan dari ahli-ahli
hadis, memelihara sanad, pastilah lenyap tanda-tanda (lentera) Islam.47
Pendapat para ulama tesebut menjadikan sanad sebagai posisi yang sangat
penting. Karena hadis merupakan sumber ajaran kedua bagi umat Islam, maka
tidaklah berlebihan jika ‘Alî ibn Mâdinî (w. 234 H) mengatakan نصف معرفة الرجال
44 Muhammad Al-Fatih Suryadilaga, dkk, Ilmu Sanad Hadis, h. 13. 45 Muhammad ‘ajjaj al-Khaṯîb, Ushûl al-Hadîs ‘Ulumûhu wa Musṯalahuhu, h. 412 46 Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn bî Naqd al-Hadîs Sanad wa
Matan (Riyâd: Maktabah al-Riyâd, 1984), h. 155. 47 Pendapat ini dikutip oleh Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Lihat
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis ( Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), 203.
21
mengetahui rijâl atau sanad merupakan setengah ilmu (agama).48 Penilaian العم
ulama mengenai sanad yang disebutkan diatas tadi, menjadikan sanad sebagai
pembeda dengan umat lainnya. Abû Hatim (w. 227 H) berkata:
مةمن األمم منذ خق هللا ادم أمناء حيفظون اقوال الرسول ال هذه األ أمةمل يكن ف
“Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam diciptakan yang
memiliki suatu standar pegangan untuk memelihara atsar para Rasulnya
selain umat Nabi Muhammad saw”.49
Mengingat hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam, maka sangat
wajar jika umat Islam sangat besar perhatiannya terhadap metode sanad. Mereka
berusaha mencari informasi orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan
hadis, serta membahas kebenaran tersebut.50
C. Penetapan Kaidah Kesahihan Hadis menurut Jumhur Ulama
Seiring perjalanan waktu, para ulama dari zaman ke zaman senantiasa
menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan kandungan hukum dan
hikmahnya. Peran ini secara khusus menjadi spesialisasi ulama hadis. Mereka
meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari upaya
tahrîf (penyelewengan) dari orang-orang yang ektrim (al-ghâlîn) dan takwil
(interpretasi) dari orang-orang bodoh (al-jahilîn) serta pemalsuan (intihâl) dari
para pendusta (al-mubtûn) dari sekte-sekte yang bid’ah.51
Dalam hal ini, para ulama hadis khususnya abad kedua Hijriyah sangatlah
selektif dalam menerima hadis, seperti Abû Ishaq al-Sa’bî (w. 126 H/ 742 M), Ibn
48 Akram Diya’ Al-‘Umarî, Buhûts Fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirut:
Basath, 1984), h. 47. 49 Zulhaedi, Eksitensi Sanad dalam Hadis, Jurnal Miqot, vol. XXXIV, NO. 2, Juli-
Desember 2010, h. 166 50 Salman Noorhidayati. M.Ag, Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang al-Riwayah bi al-
Ma’na dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis, h. 16. 51 Nur al-dîn ‘Itr. Manhaj al-Naqd fî ulûm al-Hadîts (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1997), h. 51-80
22
Syihâb al-Zuhrî (w. 125/ 741 M), Hisyam ibn ‘Urwah (w. 146 H) dan al-‘Amasî
(w. 147 H). Para ulama tersebut sangat kritis dalam melihat sanad hadis, apakah
sanad tersebut Ittsâl (bersambung) sampai kepada Nabi atau tidak.52
Ketika hadis telah menyebar luas dan tidak sedikit pemalsuan yang
dinisbatkan kepada Rasulullah saw, para ulama melakukan penelitian dan
penilaian terhadap hadis. Mereka menyusun berbagai kaidah dan metode
keilmuan hadis, diantara kaidah yang mereka rumuskan dalam kajian hadis adalah
kaidah keshahihan hadis. Hal itu merupakan syarat dan kriteria yang harus
dipenuhi oleh sebuah sanad hadis yang yang berkualitas shahîh.53 Hanya saja
hingga abad ke-3 Hijriyah mereka belum menetapkan kriteria hadis-hadis yang
dianggap shahih secara jelas, para ulama tertsebut hanya menetapkan kriteria-
kriteria berita atau informasi yang diperoleh. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
1. Periwayatan hadis tidak boleh diterima terkecuali yang berasal dari
orang-orang yang di anggap tsiqat.54
2. Orang yang akan memberikan riwayat hadis itu harus diperhatikan
ibadahnya serta perilakunya; apabila ibadah dan perilakunya tidak baik
maka periwayatannya tidak diterima.
3. Riwayat orang-orang yang berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan
tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan adalah tertolak.
4. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis.
52 Ali Mustafa Ya’cub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 100. 53 M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), h. 8. 54 Tsiqat pada saat itu diartikan sebagai kemampuan hafalan yang sempurna dari pada
diartikan sebagai gabungan ‘adl dan dhabit yang dikenal luas pada zaman berikutnya. Lihat M.
Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 124.
23
5. Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak
kesaksiannya.55
Kriteria-kriteria tersebut tertuju pada kualitas dan kapasitas seorang
periwayat, baik yang boleh diterima maupun yang harus ditolak riwayatnya.
Namun demikian, kriteria ini belum mencakup secara keseluruhan syarat sanad
yang autentik yang ditetapkan kemudian, apalagi kriteria yang berhubungan
dengan kesahihan matn. Kriteria ini hanya terfokus pada permasalahan isnad
saja.56
Berbeda halnya dengan ulama sebelum abad ke-3 Hijriyah, ulama al-
muta’akhirin telah memberikan definisi hadis shahih secara tegas. Seperti halnya
Ibn al-Salâh (w. 634 H/1245 M) salah seorag ulama hadis yang memiliki banyak
pengaruh di kalangan ulama hadis sezamannya dan sesudahnya, telah memberikan
definisi atau pengertian hadis shahih sebagai berikut:
لضابط عن اما احلدىث الصحيح فهو احلديث املسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل ا العدل الضابط ايل منتهاه ول يكون شاذا ول معال
“Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai
kepada Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil
dan dhabit sampai akhir sanad dan tidak terdapat kejanggalan (syudzûz)
dan (illat)”.57
Dari definisi yang diutarakan oleh Ibn Salâh ini dapat dinyatakan, bahwa
hadis shahih adalah hadis yang: 1 Sanadnya bersambung sampai nabi; 2 Seluruh
periwayatnya adil dan dhabit; 3 Terhindar dari syaz dan illat.
55 M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h, 124. 56 Baca Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, h,16. 57 Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân Abî Bakr al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-
Nawâwî (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 911 H), Juz 1, h. 27.
24
Dari definisi tersebut Imam Nawâwî setuju dengan yang dikemukakan
oleh Ibn al-Salâh dan meringkasnya dengan rumusan sebagai berikut:
من غري شذوذول عةما اتصل سنده بلعدول الضابطني “Hadis shahih ialah hadis yang yang bersambung sanadnya,
(diriwayatkan oleh orang-orang yang) adil dan dabit, serta tidak terdapat
kejanggalan (syuduz) dan cacat (‘illat)”.58
Ulama hadis lainnya dari kalangan al-Muta’akhirîn, seperti Ibn Hajar al-
Asqalânî (w 852 H), Jalâl al-Dîn al-Suyûti (w. 911 H), Jama al-Dîn al-Qasimiî (w.
1332 H) serta Muhammad Zakariya al-Kandahlawî (lahir 1315), telah
megemukakan defini hadis shahih. Definisi yang mereka tawarkan memang
berbeda redaksinya tetapi prinsip isinya sama dengan yang telah dikemukakan
oleh ibn al-Salâh dan al-Nawâwî.59 Ulama-ulama hadis pada masa berikutnya,
seperti Mahmud al-Tahan, Subhi al-Sâlih (w. 1407 H) dan Muhammad ‘Ajjaj al-
Khatîb juga memberikan definisi yang sama demikian.60
Walaupun para ulama hadis telah memberikan pengertian tentang hadis
shahih, tetapi menurut Ibn Katsîr (w. 774 H) hal itu tidaklah berarti telah menjadi
ijmak. Ibn Katsîr berpendapat bahwa hadis shahih itu tidak hanya sanadnya
bersambung kepada nabi saja, melainkan juga yang bersambung sampai hanya
ketingkat sahabat. Sekalipun demikian menurut Ibn Katsîr bahwa pendapat yang
diikuti oleh ulama pada umumnya adalah pendapat yang diikuti oleh Ibn Salâh
dan al-Nawâwî.61
58 Al-hâfidz Zain al-Dîn Abd al-Rahîm Ibn Husain al-‘Irâqî, Al-Taqyid wa al-Aidâh Syarh
Muqaddimah Ibn al-Salâh (Al-Madinah al-Munawarah: Dâr al-Ma’rif, 806 H), h. 8. 59 Baca Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, h,20. 60 Muhammad ‘ajjaj al-Khaṯîb, Ushul al-Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h.
227. 61 M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h, 129.
25
Dengan demikian, pengertian hadis sahih yang diikuti oleh mayoritas
ulama hadis ialah pengertian yang diutarakan oleh Ibn Salah dan diringkas oleh
al-Nawâwî. Kriteria yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis diatas telah
mencakup sanad dan matn. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat
dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayatannya harus adil dan dhabit.
Krtiteria terbut untuk kesahihan sanad, sedangkan keterhindaran dari syuzuz dan
‘illat bukan hanya kriteria kesahihan sanad saja, juga kriteria untuk kesahihan
matn hadis.62
Dari definisi atau pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas
ulama hadis diatas dapat dinyatakan, bahwa kaidah kesahihan sanad hadis ialah:
sanad bersambung; seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil (al-‘adl); seluruh
periwayat dalam sanad bersifat dabit; sanad hadis terhindar dari syûdzuz; dan
sanad hadis itu terhindar ‘illat. Dengan demikian, suatu sanad hadis yang tidak
memenuhi kriteria tersebut adalah hadis yang kualitas sanadnya tidak sahih.63
62 Nur al-Din ‘Itr, Al-Madkhal ila ‘Ulum al-Hadis (al-Madinah al-Munawwarah: Dar al-
Ma’rif), h. 281. 63 Kriteria-kriteria tersebut masih berlaku hingga sekarang dan terus di implementasikan
oleh sarjana-sarjana hadis. Lihat M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah
Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h, 130.
26
BAB III
BIOGRAFI IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN IMÂM AL-BUKHÂRÎ
A. Biografi Imâm Al-Syâfi’î
1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Intelektual Imâm al-Syâfi’î
Nama lengkapnya Muhammad ibn Idri ibn al-‘Abbâs ibn ‘Usmân ibn
Syâfi’î ibn al-Sâib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hâsyim ibn ‘Abdul Muṯṯalib ibn
‘Abdul Manâf ibn Ma’in ibn Kilâb ibn Murrah ibn Mudrikan ibn Ilyâs ibn Nadar
ibn ‘Adnan ibn ‘Ad ibn Adad.64
Kata Syâfi’î dinisbatkan kepada kakeknya yang ketiga, yaitu Syâfi’î ibn
Sa’ib. Ayahnya bernama Idris ibn ‘al-Abbâs, ibunya bernama Fâṯimah ibn al-
Hasan ibn Husein ibn ‘Alî ibn Abî Talib.65 Silsilah keturunan al-Syâfi’î menyatu
dengan silsilah keturunan Nabi Muhammad Saw pada kakeknya ‘Abdul Mânaf.66
Imâm Al-Syâfi’î dilahirkan di Gaza, wilayah Asqalan67, pada tahun 150 H
(767 M) bersamaan dengan wafatnya dua ulama besar, yaitu Imam Abû Hanîfah
di Baghdad dan Imam Ibnu Juraij mufti Hijaz.68 Imâm Al-Syâfi’î menjadi yatim
sejak umur dua tahun setelah ayahnya wafat ketika sedang berurusan di Syam.69
Ibunya membawa beliau ke Mekkah pada umur dua tahun dan menetap disana
selama 20 tahun, yaitu sampai tahun 170 H dalam keadaan faqir. Ibunya
64 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.
203. 65 Moh. Yassir Abu Muthalib, Ringkasan Kitab Al-Umm (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004),
h. 3. 66 Yâqût al-Hamawîy, Mu’jam al-Udabâ’ (Kairo: 1936), vol IV, h. 281. 67 Ialah sebuah kota di Israel. Kota ini terletak di pesisir Laut Tengah selatan Ashdod dan
utara Jalur Gaza. Ashkelon (Asqalan) memiliki sekitar 105.000 penduduk Lihat
https://id.wikipedia.org/wiki/Ashkelon. 68 Hujaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, 1997),
h. 123. 69 Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang, 1998),
h. 152.
27
membekali dengan pendidikan, sehingga sewaktu umur tujuh tahun Imâm Al-
Syâfi’î sudah dapat menghafal al-Qur’an. Beliau mempelajari al-Qu’an di Kota
Mekkah Kepada Isma’il ibn Qastantin dan sebuah riwayat mengatakan Imâm Al-
Syâfi’î pernah menghatamkan al-Qur’an sebanyak 60 kali di bulan ramadhan.70
Imâm Al-Syâfi’î belajar hadis secara mendalam ketika beliau berada di
Madinah, beliau belajar kepada Imam Mâlik. Bahasa dan sastra al-Syâfi’î pelajari
dari gurunya Huzail, kemudian Imâm Al-Syâfi’î belajar kepada Muslim ibn
Khâlid al-Zinjîy, mufti Mekkah terkenal. Berkat kecerdasannya, al-Zinjîy merasa
al-Syâfi’î pantas diberi wewenang dengan mengatakan, “Wahai Abû Abdillah
berfatwalah karena sudah tiba waktunya bagimu untuk berfatwa”. Imâm Al-
Syâfi’î juga belajar tafsir, kepada murid Ibn ‘Abbas seperti Sufyân ibn ‘Uyainah,
Sa’îd ibn Sâlim, Dawûd ibn ‘Abdul al-Râhman al-Aṯṯâr.71
Dari Mekkah, Imâm al-Syâfi’î menuju madinah untuk belajar pada Imam
Mâlik ulama yang terkenal dibidang hadis dan Fiqh. Beliau pertama kali datang ke
Madinah pada tahun 164 H dan tinggal disana sampai gurunya Imâm Mâlik wafat
pada tahun 179 H. Imâm Al-Syâfi’î tidak hanya belajar kepada Imâm Mâlik saja,
beliau juga belajar kepada ‘Abdul ‘Aziz ibn Muhammad al-Darwadîy, Ibrâhîm ibn
Sa’ad al-Ansârî, Ibrâhîm ibn Yahyâ dan ‘Abdullah ibn Nâfi.
Setelah dari Madinah, Imâm Al-Syâfi’î pergi ke Yaman, dan oleh
gubernur al-Syâfi’î diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan ditempatkan di
Narjân. Beliau berhasil menjalankan tugas-tugas kepemerintahan dengan baik,
bahkan Beliau berhasil memperbaiki citra pemerintahan yang bersih dan adil.
70 Hujaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 121. 71 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis (Ciputat: Lembaga Penelitian
Uin Jakarta, Desember, 2010), h. 108.
28
Beliau selama di Yaman menyempatkan waktu untuk belajar Fiqh Mu’ây melalui
muridnya Muṯṯaraf ibn Mâzin (w. 220 H) dan Hisyâm ibn Yûsuf, Hâkim (w. 197
H), Fiqh ‘Auzâ’îy lewat ‘Amr ibn Salâmah.
Setelah dari Yaman, kemudian Imâm Al-Syâfi’î pergi ke Irak, beliau
belajar fiqh Irak, Fiqh yang dibangun oleh Imam Abû Hanîfah. Al-Syâfi’î belajar
kepada Muhammad Hasan al-Saibânîy murid Abû Hanîfah yang paling menonjol.
Pertemuan al-Syâfi’î dengan al-Saibânîy bukan sekedar pertemuan guru dan
murid saja, melainkan pertemuan antara dua aliran fiqh yang berbeda. Al-Saibânîy
terkenal dengan ulama fiqh beraliran “Fuqaha Ahl al-Ráy”, yang mana banyak
menggunakan akal (al-Ráy) dan sedikit berpegangan pada Hadis atau atsar dalam
pemikiran Fiqhnya. Sedangkan al-Syâfi’î terkenal dengan aliran Fiqh “Fuqaha
Ahl al-Hadîs”, dalam pemikiran fiqhnya lebih menggunakan kepada Hadis dan
atsar dibandingkan dengan akal.72
Dengan berakhirnya Rihlah Ilmiyah al-Syâfi’î di Irak, berakhir juga suatu
fase dari rintangan panjang sejarah hidupnya yang diwarnai dengan masa
pendidikan, dimana beliau tampil sebagai seorang murid yang mendatangi guru
diberbagai daerah.73
Pada tahun 195 H al-Syâfi’î pergi ke Baghdad dan menetap di sana
beberapa bulan, kemudian tahun 198 H pergi ke Mesir dan menetap disana sampai
Wafat pada tanggal 29 Rajab tahun 204 H (820 M) setelah menjalankan ibadah
Shalat Isya dan dimakamkan di suatu tempat di Qal’ah yang bernama Mishru al-
Qadîmah.74
72 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 100-110. 73 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 111. 74 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 107.
29
2. Guru Serta Murid Imâm Al-Syâfi’î
Guru Imâm al-Syâfi’î secara garis besar terdapat di empat tempat:
Mekkah, Madinah, Yaman dan Irak. Guru Beliau sangatlah banyak dalam
berbagai bidang keilmuaan, termasuk ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
masalah-masalah agama.
Guru-guru ketika beliau menuntut ilmu di Mekkah ialah Isma’il ibn
Qantastin, Sufyân ibn U’yainah, Muslim ibn al-Zanjî, Sa’ad ibn Abî Sâlim, al-
Qaddah, Daûd ibn Abd al-Rahmân, al-Aṯar, ‘Abdul Hamîd ibn ‘Abdul ‘Azîz.
Guru-guru al-Syâfi’î ketika menuntut ilmu di madinah adalah Imam Mâlik
ibn Anas, Ibrâhîm ibn Sa’ad al-Ansâri, ‘abdul ‘Azîz ibn al-Darâwardi, Ibrâhîm ibn
Abû Yahyâ al-Usâmî, Muhammad ibn Sa’îd ibn Abî Fudaik dan ‘Abdullah ibn
Nâfi.
Guru-guru al-Syâfi’î ketika menuntut ilmu di Yaman ialah Maṯraf ibn
Mâzin, Hisyâm ibn Yûsuf, ‘Umar ibn Abî Salamâh, Yahyâ ibn Hasan, Sâhibul
laiú, ibn Sa’ad.
Sedangkan guru-guru al-Syâfi’î ketika menuntut ilmu di Irak ialah Wakî’
ibn Jarrah, Abû Usâmah, Hamâd ibn Usâmah al-Kâfiyun, Isma’îl ibn ‘Ulyah dan
‘Abdul Wahhâb ibn ‘Abdul Majîd al-Misriyânî.
Adapun murid-murid al-Syâfi’î sangatlah banyak, diantaranya yang bisa
penulis sebutkan adalah Imam Abû Úaur, Ibrâhîm ibn Khâlid al-Yamân, Imam al-
Hasan ibn Muhammad al-Asâbah, al-Za’farânî, Imam Ahmad Ibn Hanbal, Imam
Abû Abû ‘Ali Husaini ibn ‘Ali al-Karâbisw, Imam Yûsuf ibn Yahyâ al-Buwaihi,
30
Imam Abû Ibrâhîm, Ismâ’îl ibn Yahyâ, Imam al-Rabî ibn Sulaiman ibn ‘abdul
Jabbâr, Imam Harmalah ibn Yahyâ, Imam Yûnus ‘Abdul ‘A’lâ.75
Walaupun mereka belajar kepada al-Syâfi’î, namun ternyata mereka tidak
selalu mengikuti pemikiran al-Syâfi’î sebagai gurunya. Seperti halnya Imam
Ahmad Ibn Hanbal beliau ternyata tampil dengan corak pemikiran fiqhnya sendiri,
walaupun beliau tercatat sebagai murid yang sangat mengagumi al-Syâfi’î.
3. Latar Belakang Penulisan Kitab al-Risâlah dan Musnad Imam al-Syâfi’î
a. Latar belakang Penulisan Kitab al-Risâlah
Kitab al-Risâlah disusun di Baghdad atas permintaan Abd al-Rahmân bin
al-Mahdî di Makkah, yang mengusulkan kepada Imâm al-Syâfi’î untuk menulis
sebuah kitab yang menerangkan al-Qur’an, ijma’, nasikh (penghapusan atau
pembatalan hukum syara’), mansukh (Nash atau hukum yang dibatalkan), dan
hadis.76
Menurut Muhammad Abû Zahrah (w. 1394 H/1974 M) seorang yang ahli
dibidang hukum Islam menyatakan buku itu disusun saat Imâm al-Syâfi’î berada
di Baghdad, sedangkan Abd al-Rahmân bin al-Mahdî berada di Makkah. Imâm al-
Syâfi’î memberi judul kitabnya dengan Nama “Al-Kitab” atau “Al-Kitabi”,
kemudian lebih terkenal dengan Nama “al-Risâlah” yang mempunyai arti sepucuk
surat. Lantaran, sesudah selesainya didiktekan kepada murid-muridnya, kitab ini
dikirim seperti mengirim Surat Abd al-Rahmân bin al-Mahdî di Makkah.
Kitab al - Risâlah yang pertama beliau susun dikenal dengan Nama al-
Risâlah al-Qadîmah (Risalah Lama). Dinamakan demikian, karena di dalamnya
termuat beberapa pemikiran Imâm al-Syâfi’î sebelum pindah ke Mesir. Setelah
75 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 112-113. 76 Ahmad Nahrawi Abdul Salam al-Indunisi, Ensiklopedi Imam Syafi’i, (Jakarta: Hikmah,
2008), h. 634.
31
sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan
ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risâlah al-
Jadîdah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa
kitab al-Risâlah karya Imam Syafi'i ini merupakan kitab pertama yang memuat
masalah masalah Ushul Fqih secara lebih sempurna dan sistematis. Oleh sebab
itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.77
b. Latar belakang penulisan Kitab Musnad Imâm al-Syâfi’î
Khalifah Umar ibn ‘abdul ‘Azîz (w. 101 H/720 M) adalah orang yang
pertama kali mempunyai ide agar hadis-hadis pada saat itu di tulis, karena beliau
khawatir hadis-hadis pada saat itu Akan punah seiring berjalannya waktu.78 Hadis-
hadis mulai dibukukukan dan disusun pada masa akhir tabi’in, kitab-kitab yang
telah dibukukan dan dikumpulkan pada abad kedua sangatlah banyak, yang masih
kita temukan sampai saat ini adalah kitab Musnad Imam al-Syâfi’î.
Kitab Musnad ini masih belum terususun di masa al-Syâfi’î sendiri,
karena masih membaur dengan ijtihad beliau yang terdapat didalam al-Umm dan
al-Risâlah. Sebagai seorang mujtahid dan muhaddis, al-Syâfi’î sering
meriwayatkan kepada murid-muridnya. Kemudian murid-muridnya mencatat dan
menghafal apa yang disampaikan al-Syâfi’î, yang pada akhirnya munculah
gagasan untuk menghimpun dan menyusun semua hadis yang periwayatannya
disandarkan kepada Imam al-Syâfi’î.
Kitab Musnad al-Syâfi’î ini adalah kumpulan hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh al-Syâfi’î yang tertuang didalam kitab al-Umm dan al-Risâlah.
77 Masturi Irham dan Asmu'i Taman, Enam Puluh Biografi Ulama Salaf ( Jakarta:
Pustaka Al-kautsar, 2006), h., 361 78 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet 3, h. 114.
32
Namun terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam hal siapa penulis
kitab Musnad Imam al-Syâfi’î ini. Menurut al-Bîqâ’îy, Kitab Musnad ini bukan
karya al-Syâfi’i sendiri melainkan hasil kutipan dari kitab al-Umm dan al-Risâlah
kemudian dikumpulkan dalam kitab tersendiri oleh al-Aṣam. Menurut Ahmad
Amîn, kitab Musnad ini bukanlah karya langsung al-Syâfi’î, tetapi karya
muridnya melalui metode dikte. Abû berpendapat, di dalam kitab musnad al-
Syâfi’î terdapat tulisan langsung imam al-Syâfi’î tetapi ada juga tulisan muridnya
bahkan terdapat juga orang lain selain al-Syâfi’î dan al-Rabî.
Sedangkan pendapat yang paling kuat bahwa kitab Musnad Imam al-
Syâfi’î itu susunan al-Syâfi’î dengan Cara kadang-kadang beliau imlakan kepada
muridnya, sebagiannya kadang-kadang beliau tulis sendiri dan kadang-kadang
disusun oleh murid-murdidnya lalu dibacakan kepada al-Syâfi’î, begitupun
dengan pengimlaan hadis yang telah dipetik dari kitab al-Umm dan al-Risâlah.
Yang paling berperan dalam hal ini ialah al-Rabî sebagai muridnya yang hidup
sampai 66 tahun sesudah al-Syâfi’î wafat.79
B. Biografi Imâm Al-Bukhârî
1. Riwayat Hidup dan Latar belakang Intelektual al-Bukhârî
Nama lengkapnya adalah Abû Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn
Ibrâhîm ibn al-Mughîrah ibn Bardizbah al-Ja’fî al-Bukâri. Beliau dilahirkan pada
hari jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di Kota Bukhara.80 Bukhara81 Adalah salah
satu Kota yang terletak di Asia Tengah. Bukhara pertama kali dibebaskan oleh
kaum muslimin pada masa pemerintahan Amir al-Mukmîn Mu’awwiyah melalui
79Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis), h. 124-125. 80 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Taqrîb al-Tahdzîb (Halab: Dâr al-Rasyîd, cet. 3, 1991), h. 464. 81 Bukhara terleak dinegara Uzbekistan. Lihat : https://id.wikipedia.org/wiki/Bukhara
33
pasukan yang dipimpin oleh Sa’id ibn ‘Usman ibn ‘affan. Pada masa al-Bukhârî
Kota Bukhara adalah sebuah tempat (Markaz) dari berbagai macam ilmu, Kota ini
penuh dengan halaqah-halaqah para ahli hadis dan para ahli fiqh.82 Ayahnya
bernama, Isma’il ibn Ibrahim merupakan ulama yang wara.83 Ayahnya
mewariskan sejumlah buku dan semangat untuk mencari ilmu, terutama hadis.
Selanjutnya al-Bukhari diasuh oleh ibunya dengan penuh kasih sayang dan
dengan bimbingan untuk selalu mencintai ilmu.84
Al-Bukhârî mempelajari hadis pertama kali dikota kelahirannya Bukhara
pada Usia 10 tahun. Beliau sudah memahami ilmu hadis pada waktu Beliau masih
kecil.85 Pada usia 16 tahun, al-Bukhârî telah menghafal banyak kitab ulama
terkenal, seperti Ibn Mubârak dan Wakî’. Beliau tidak berhenti pada menghafal
hadis dan kitab ulama saja, tapi juga mempelajari biografi seluruh periwayat yang
ambil bagian dalam periwayatan suatu hadis, tanggal kelahiran dan wafat para
perawi hadis.86 Al-Bukhârî merasa tidak puas dengan hanya belajar hadis dari
penduduk negerinya, sehingga Beliau merantau dalam rangka menuntut ilmu,
Beliau berkeliling ke beberapa negara Islam. Dan pertama kali Beliau
mengadakan perjalanannya pada tahun 210 H.87
Negeri-negeri yang yang pernah Beliau kunjungi dalam rangka menuntut
Ilmu diantaranya: Syam, Mesir, Basrah, Hijaz dan pergi ke Baghdad bersama-
82 Yaqût al-Rumî al-Baghdadi, Mu’jam al-Buldan, tahqîq Farîd Abd al-‘Aziz al-Jundî
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah, tt), jilid I, H. 420-423. 83 Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogyakarta, 1997), h. 166. 84 Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, ‘Ulum al-Hadis (Beirut : Dar al-Fikr,1989), h.310 85 Ibn Katsîr,” al-Bidayah wa al-Nihayah”, Tahqiq ‘Abdullah al-Turki (Imbabah : Dar
Hajr,1998), jilid XIV,h.527 86 Muhammad Mustafa Azami ,” Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan
Literature Hadis”, (Jakarta: Lentera, 1993), cet 1,h. 103 87 Nazar Ahmad al-Fariyabi, Hadyu al-Sari Muqaddimah Fath al-Bari (Riyad : Dar
Taibah cet. 4, 2011),jilid I,h.36
34
sama para ahli hadis. Dalam salah satu perjalanannya kepada Adam ibn Ayas, al-
Bukhârî kehabisan uang tanpa sepeserpun. Beliau hidup sementara dengan daun-
daun tumbuhan liar. Beliau penembak jitu, dan suka latihan agar siap berjihad
sewaktu-waktu.88
Pada waktu al-Bukhârî melakukan perjalanan menuntut ilmu, ada kisah
yang sangat menarik ketika Beliau singgah di kota Baghdad, para ahli hadis di
Kota tersebut mendengar kedatangan Al-Bukhârî, maka mereka berkumpul dan
bermusyawarah untuk menyambut kedatangan beliau. Akhirnya diambil
kesepakatan untuk menguji kekuatan hafalan al-Bukhârî. Pada kesempatan itu
para hadis mengumpulkan seratus hadis. Kemudian seratus hadis tersebut diacak
oleh para ahli hadis, baik matan ataupun sanadnya. Sehingga masing-masing
membawa sepuluh hadis, salah seorang ahli hadis menguji al-Bukhârî dengan
menanyakan hadis pertama, al-Bukhârî menjawab “Saya tidak tahu”. Sampai
penguji pertama selesai menanyakan sepuluh hadis, para ahli hadis yang hadir
dalam acara tersebut terlihat saling memandang satu Sama lain seraya berkata,
“orang ini benar-benar mengetahui”.
Kemudian penguji kedua mulai menyampaikan sepuluh hadis, al-Bukhârî
tetap menjawab “Saya tidak tahu”. Demikian seterusnya sampai kepada penguji
kesepuluh telah menyampaikan seluruh hadisnya, al-Bukhârî tetap menjawab
“Saya tidak tahu”. Kemudian al-Bukhârî mengatakan kepada para penguji “Hadis
pertama yang engkau bacakan demikian dan demikian, maka yang benar adalah
demikian dan demikian”. Al-Bukhârî menyebutkan kembali hadis tersebut sama
seperti yang dibacakan oleh sang penguji, kemudian al-Bukhârî membenarkan
88 M. M. Azami,”Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadi, h. 103.
35
letak kesalahannya. Al-Bukhârî melakukan ini mulai dari hadis pertama sampai
hadis yang keseratus.89
Pasca perjalanan menuntut ilmu yang panjang dan melelahkan, beliau
menuju naisaburi untuk tinggal dan menetap disana. Tetapi banyak ulama yang
cemburu terhadap al-Bukhârî, sehingga mereka mendatangi Wali Kota dan
melempar tuduhan kepada al-Bukhârî dengan berbagai macam tuduhan seperti al-
Bukhârî dituduh mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk.90 Dengan terpaksa al-
Bukhârî meninggalkan Kota Naisabur menuju tempat kelahirannya di Bukhara.
Di akhir hayatnya, al-Bukhârî kemudian pulang ke kampung halamannya,
Bukhara. Kemudia beliau wafat di desa Khartank, dekat Samarkand, Pada malam
30 Ramadhan (Malam I’dul Fitri) tahun 256 H bertepatapan pada tanggal 31
Agustus 870 M. Dalam Usia 62 tahun kurang 13 hari. Jenazahnya dimakamkan
setelah shalat zuhur di hari I’dul Fitri.91
Al-Bukhârî termasuk orang yang sangat cerdas dan memiliki hafalan yang
sangat kuat. Beliau menghafal 100.000 hadis shahih dan 200.000 hadis yang tidak
shahih. Berkat kesabaran, kecerdasan, dan cintanya terhadap ilmu al-Bukhârî
mencapai derajat tertinggi dalam hadis pada zamannya. Beliau mendapat gelar
Imâm al-Mu’minîn fî al-Hadîs.92
Al-Bukhârî, selain sebagai penghafal yang kuat, beliau juga seorang
penulis yang produktif. Muhammad ibn Hâtim bercerita bahwa al-Bukhârî pernah
berkata “Pada saat usiaku 18 tahun, aku mulai menulis buku tentang para sahabat
89 Ahmad al-Khâtib al-Bagdâdi, Târikh Bagdâd, Taqiq Basysyar ‘awwad Ma’ruf (Beirut:
Dâr al-Garb al-Islâmi, 2001), jilid II, h. 340. 90 Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Imbabah: Dâr Hajr, 1998), jilid XIV, h. 532-
533. 91 Ahmad Farid, Min ‘Alam al-Salâf, ter. Masturi Ilham, 60 Biografi Ulama Salaf
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), Cet. III, h. 492. 92 Muhammad ‘ajjaj al-Khaṯîb, ‘Ulûm al-Hadîs ‘Ulumûhu wa Musṯalahuhu, h. 310
36
dan tabi’in. Dan aku menulis kitab al-Târîkh ketika aku berada didekat kuburan
Rasulullah”.93 Diantara karya al-Bukhârî yang masyhur adalah al-Jâmi’ al-Sahîh,
al-Adâb al-Mufrâd, al-Târîkh al-Sagîr, al-Târîkh al-wsaṯ, al-Taârîkh al-Kabîr, al-
Tafsîr al-Kabîr, al-Hibah, al-I’tisam, Asami al-Sahabah, Kitab al-Kuna.94
2. Guru dan Murid Imâm al-Bukhârî
Guru-guru al-Bukhârî dalam bidang hadis sangatlah banyak, mencapai
ratusan orang. Penulis mendapatkan informasi yang diperoleh melalui riwayatnya
yang tertera didalam kitab Sahîh Imam Al-Bukhârî sebanyak 289 orang. Diantara
para guru itu adalah Alî ibn al-Madînî, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’în, dan
Ibnu Rawaih. Adapun murid-murid beliau dalam bidang hadis banyak sekali
bahkan ada yang mengatakan 90.000 orang.95
Diantaranya yang dapat penulis sebutkan adalah Muslim al-Hajjâjal, al-
Tirmizî, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abû Dâwûd, dan Muhammad ibn Yûsuf al-
Firyabî. Menurut Nur al-Dîn Itr ermasuk penulis kitab al-Sittah adalah murid
Imam al-Bukhârî kecuali al-Nasaî.96 Tetapi pendapat tersebut dibantah oleh
Muhammad Muhammad Abû Syuhbah, menurutnya al-Nasî termasuk murid
Imam al-Bukhârî.97
3. Latar Belakang Penulisan Kitab Sahîh Imam Al-Bukhârî
Al-Bukhârî merupakan ulama yang memiliki disiplin tinggi, beliau dikenal
sebagai penulis yang produktif. Karya-karyanya bukan hanya dalam disiplin ilmu
93 Ahmad al-Khâtib al-Bagdâdi, Târikh Bagdâd, Taqiq Basysyar ‘awwad Ma’ruf, h. 325. 94 Ahmad ‘Umar Hasyim, al-Sunnah al-Nabaiyyah wa Ulûmuha (Mesir: Maktabah Garib,
1979), h. 158. 95 Muhammad Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rîhab al-Sunnah al-Kutub al-Sihâh al-Sittah
(Kairo: al-Buhuts, al-Islamiyyah, 1969), h. 50. 96 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 13. 97 Bustamin, Hasanuddin Sinaga, Membahas Kitab Hadis, h. 13-14.
37
hadis saja, tetapi ilmu-ilmu lain juga seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Diantara
beberapa banyak karyanya, yang paling masyhur dan terkenal ialah kitab al-Jâmi’
al-Musnâd al-Sâhîh al-Mukhtasar min Umuri Rasulillah wa Sunnanihi wa
Ayyâmihi atau yang terkenal dengan Nama Sahîh Imam Al-Bukhârî.
Adapun latar belakang penulisan Kitab Sahîh Imâm al-Bukhârî adalah
sebagaimana yang beliau katakan. “Pada suatu hari aku bersama Ishaq ibn
Rahawaih, sebagian orang yang hadir pada waktu itu berkata: Seandainya saja
kalian menyusun kitab yang ringkas untuk hadis-hadis Nabi saw. Perkataan itu
sangat membekas di hatiku, maka mulailah aku menyusun Kitab Sahîh Imam Al-
Bukhârî.98
Dalam menyusun kitab ini, al-Bukhârî sangatlah berhati-hati. Al-Firbarî
salah seorang muridnya mendengar al-Bukhârî berkata “Saya menyusun kitab al-
Jamî’ al-Sahîh ini di Masjid al-Haram dan saya tidak serta merta mencantumkan
sebuah hadis kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan
kepada Allah, dan meyakini benar-benar bahwa hadis tersebut adalah Sahîh. Di
masjid al-Haram beliau menyusun dasar pemikiran dan Bab-babnya secara
sistematis. Kemudian beliau menulis Muqaddimah dan pokok-pokok bahasannya
di Raudah al-Jannah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar Masjid al-
Nabawi. Barulah beliau mengumpulkan sejumlah hadis dan menyususnnya dalam
bab-bab yang sesuai.99
Proses penyusunan kitab ini selama 16 tahun di dua Kota suci, Mekkah
dan Madinah. Sesuai dengan perkataan al-Bukhârî “Aku telah menulis Kitab al-
98 Muhammad al-dzâhabî, Siyar al-A’lam al-Nubala (Beirut: al-Risalah, cet. II, 2014),
jilid XII, h. 401. 99 Ahmad al-Khâtib al-Bagdâdi, Târikh Bagdâd, Taqiq Basysyar ‘awwad Ma’ruf, h. 327.
38
Jamî’ al-Sahîh selama 16 tahun”.100 Dalam menyusun kitab al-Jamî’ al-Sahîh, al-
Bukhârî selalu berpegang teguh pada tingkatan keshahihan paling tinggi dan tidak
akan turun dari tingkatan tersebut.
100Ahmad Khalakan, Wafayat al-‘ayam wa Anba’ Abna’ al-Zaman (Beirut: Dâr al-Ihyâ’
al-Turas al-‘Arâbî, 1997) Jilid II, h. 324.
39
BAB IV
KAIDAH KESAHIHAN HADIS MENURUT IMÂM AL-SYÂFI’Î DAN
IMÂM AL-BUKHÂRÎ
Sejak berkembang dan semakin maraknya pemalsuan hadis pada tahun 40
H,101 seketika masyarakat pada saat tersebut menjadi sangat kritis terhadap sanad
atau perawi yang meriwayatkan hadis tersebut. Realitas seperti ini dapat dilihat
dari pernyataan Muhammad bin Sirin bahwa “Pada mulanya umat Islam tidak
begitu mempermasalahkan sanad. Namun, setelah terjadi fitnah, jika menerima
sebuah hadis, mereka akan mengatakan “sebutkan rijâl-mu (orang-orang yang
menyampaikan hadis kepadamu)!.” Hadis itu akan diterima jika rijâl-nya adalah
ahl-sunnah dan akan ditolak jika rijâl-nya ahl-bidâ’.102
Akibat dari pemalsuan hadis tersebut, para ‘ulama hadis bekerja keras
untuk mengembangkan berbagai pengetahuan, merumuskan kaidah-kaidah,
menyusun berbagai istilah, dan membuat berbagai metode penelitian sanad dan
matn hadis.103 Dalam merumuskan kaidah-kaidah tersebut, validitas terhadap mata
rantai pembawa berita hadis (sanad) tersebut merupakan bagian yang sangat
penting untuk menentukan apakah hadis tersebut otentik datang dari Nabi atau
bukan. Oleh karena itu, para ‘ulama kritik hadis menetapkan kaidah tersebut,
diantaranya Imâm al-Syâfi’î adalah dan Imâm al-Bukhârî. Pada Bab ini, penulis
101 Mushthafa al-Siba’î menunjuk tahun tersebut sebagai batas pemisah antara kemurnian
hadis dengan pemalsunya, karena saat itu terjadi perselisihan internal (politik) umat Islam, antara
‘Ali bin Abî Thalib dengan Mu’awiyah bin Abî Sufyan. Lihat Muhammad Mushthafa al-Siba’î,
Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ al-Islâmî (Beirût: Maktab al-Islâmî, 1978), h. 75. 102 Muhammad Mushthafa ‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali
Mustafa Ya’kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531. 103 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritik Atas Kajian Hadis Kontemporer
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 35.
40
akan mengurai secara gamblang kaidah yang ditetapkan oleh kedua tokoh hadis
tersebut.
A. Kaidah Kesahihan Hadis menurut Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî
Hadis yang belum terhimpun dan tersusun rapi ke dalam suatu kitab, telah
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya banyak
sekali ditemukan hadis-hadis palsu yang berkembang di masyarakat pada masa
tersebut.104 Terkait dengan pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan
hadis tersebut, para ‘ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut, Ahmad Amin
misalnya berpendapat bahwa pemalsuan hadis sudah terjadi sejak zaman Nabi
Saw. Alasannya adalah terdapat hadis mutawatir yang menyatakan bahwa barang
siapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatas namakan
Nabi, maka hendaklah orang-orang itu bersiap menempati tempat duduknya di
neraka.105
Meskipun hadis Nabi Saw. telah menjadi landasan bahwa telah terjadi
pemalsuan hadis pada zaman Nabi, akan tetapi belum terdapat bukti yang kuat
terkait dengan telah terjadi pemalsuan hadis. Berdasarkan bukti-bukti yang ada,
memang pemalsuan hadis baru berkembang pada masa Khalifah Alî bin Abî
Thalib. Pada masa tersebut, jumlah hadis palsu yang berkembang pun tidak
sedikit. Seorang pemalsu hadis ada yang mengaku bahwa, dia telah memalsukan
hadis sebanyak 40.000 hadis palsu.106
104 M. Syuhudi Ismai’il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988), h. 107. 105 Ahmad Amin, Fajr Al-Islâm (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Misriyyah, 1975), Cet. XI,
h. 210-211 106 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis., h. 113.
41
Untuk itu, demi menyelamatkan hadis-hadis Nabi ditengah-tengah
berkecamuknya pembuatan hadis palsu, maka ‘ulama hadis menyusun beberapa
kaidah penelitian hadis. Kaidah-kaidah yang mereka susun, tujuan utamanya
adalah untuk penelitian keshahihan matn hadis. Untuk kepentingan penelitian
matn hadis tersebut, disusunlah kaidah Kesahihan sanad hadis.107 Karena
keshahihan sanad hadis sangat menentukan keshahihan matn sebuah hadis.
Oleh karena itu, pada periode klasik, para ahli hadis awal (al-
mutaqaddimun), sampai kepada abad ketiga hijriyah tidak secara ekplisit (sarih)
mendefinisikan hadis-hadis yang dapat dianggap shahih108 jika ditinjau dari segi
sanad. Mereka hanya menerapkan kaidah-kaidah informasi yang diperoleh,
diantaranya: 1) Periwayatan hadis tidak dapat diterima, kecuali diriwayatkan oleh
orang-orang yang tsiqah, 2) Riwayat orang-orang yang berdusta dan mengikuti
hawa nafsunya, dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan adalah
tertolak, 3) Memperhatikan perilaku personal serta ibadah orang-orang yang
meriwayatkan hadis tersebut, 4) Apabila mereka sering melakukan tindakan tidak
terpuji dan tidak melakukan sholat secara teratur, maka periwayatannya harus
ditolak, 5) Riwayat orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu hadis,
tidak dapat diterima, 6) Riwayat orang-orang yang kesaksiannya ditolak, maka
riwayatnya pun tidak dapat diterima (lâ tuhadditsû ‘amman lâ tuqbalu
syahâdatuhu).109
107 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis., h. 107. 108 Kata tersebut berasal dari bahasa Arab al-shâhîh, yang secara bahasa berarti “yang
sehat”. Kata ini pada asalnya dipakai untuk menyifati tubuh, kemudian secara metaforis dipakai
untuk menyifati sesuatu selain tubuh. Lihat Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr, Lisân Al-Arâb
(Mesir: Al-Dâr al-Misriyyah, t.th), h. 338-339. 109 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: PT
Mizan Publika, 2009), h. 16.
42
Kaidah-kaidah ini berhubungan dengan kualitas dan karakter perawi yang
menentukan diterima dan ditolaknya riwayat mereka. Namun demikian, syarat-
syarat yang sudah ditetapkan oleh al-mutaqaddimun tersebut dianggap belum
melingkupi seluruh syarat keshahihan suatu hadis.
Adalah Imâm al-Syâfi’î yang mengemukakan penjelasan yang lebih
konkret dan terurai terkait periwayatan hadis yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Al-Syâfi’î menjelaskan bahwa syarat minimum yang dibutuhkan untuk menjadi
dasar sebuah hujjah adalah informasi dari seseorang yang berasal dari Nabi atau
seseorang yang berada di sekitar Nabi (Sahabat). Dengan kata lain, sebuah hadis
dapat dikatakan otentik apabila memiliki isnâd yang dapat ditelusuri lewat jalur
yang tidak terputus sampai kepada Nabi.110
Oleh karena itu, untuk mencapai ke tahap validitas hadis tersebut, al-
Syâfi’î membuat beberapa kualifikasi yang mesti dimiliki oleh seorang rawi,
diantaranya adalah: 1) Orang yang meriwayatkannya harus terpercaya agamanya,
2) Orang yang meriwayatkannya dikenal jujur dalam berbicara, 3) Orang yang
meriwayatkan hadis tersebut harus paham terhadap hadis yang diriwayatkannya,
mengetahui lafazh yang bisa mengubah makna-makna hadis. Atau, dia adalah
periwayat yang bisa menyampaikan hadis sesuai dengan huruf-hurufnya
sebagaimana yang didengarnya, tidak menurut makna karena apabila ia
meriwayatkan hadis dalam bentuk makna, sedangkan ia tidak mengetahui aspek-
aspek yang bisa mengubah maknanya, maka ia tidak tahu barangkali ia
menglihkan halal kepada haram, 4) Orang yang meriwayatkannya harus hafal
(jika ia meriwayatkannya melalui hafalannya), atau mencatatnya secara akurat
110 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis., h. 17.
43
(jika ia meriwayatkan hadis dari kitab (catatannya), 5) Terbebas dari tuduhan
sebagai periwayat mudallas, yaitu periwayat yang menuturkan atau meriwayatkan
dari orang yang dijumpainya tentang hal yang tidak pernah didengarnya dari
orang itu.111
Kaidah yang ditetapkan oleh al-Syâfi’î ini tampaknya menekankan betul
terkait dengan kualitas serta tata cara periwayatan hadis. Menurut Ahmad
Muhammad Syakîr, kaidah yang dilakukan oleh al-Syâfi’î telah mencakup seluruh
aspek yang berkenaan dengan keshahihan suatu hadis. Syuhudi Ismail di dalam
karyanya Kaidah Kesahihan Sanad Hadis menyatakan bahwa pernyataan dari
Syakîr merupakan petunjuk bahwa, kaidah yang dikemukakan oleh al-Syâfi’î
telah melingkupi semua bagian hadis yang harus diteliti, baik sanad maupun
matn.112
Kaidah inilah yang kemudian menjadikan al-Syâfi’i sangat yakin, bahwa
bila suatu hadis telah memenuhi kaidah yang telah ditetapkannya, maka hadis
yang dimaksud sulit untuk tidak berkualitas shahih. Landasan teoritis yang
dikemukakan oleh al-Syâfi’î ini telah banyak menjadi referensi bagi para ‘ulama
hadis dalam menciptakan kitab-kitab hadis.
Selanjutnya, dapat juga kita temukan bahwa ada beberapa ‘ulama yang
dianggap lebih tegas terkait dengan periwayatan hadis shahih, diantaranya yaitu
Imâm al-Bukhârî dan Muslim. Meskipun ketika diteliti, mereka tidak secara
eksplisit menggambarkan kaidah-kaidah yang mereka gunakan dalam
111 Muhammad bin Idris Al-Syâfi’î, Al-Risâlah, terj. Masturi Irham & Asmui Taman
(Jakarta: Pustakan Al-Kautsar, 2005), h. 317-318. 112 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis., h. 125.
44
mendefinisikan hadis shahih itu sendiri.113 Akan tetapi, para ‘ulama menegaskan
bahwa, karya fenomenal dari kedua ‘ulama besar itu dianggap sebagai kitab hadis
yang paling shahîh hingga saat ini.
Kaidah kesahihan hadis yang ditetapkan oleh Imâm al-Bukhârî dan
Muslim ini baru disimpulkan oleh Sarjana Muslim yang datang berikutya.114
Syarat-syarat tersebut adalah (1) Jalur periwayatan dari perawi pertama sampai
akhir bersambung (an yakûna al-hadîts muttashil al-isnâd);(2) Para perawi, dari
awal sampai akhir, harus dikenal tsiqah, yakni ‘adl (bertakwa) dan dhabth (tingkat
akurasi hafalan yang tinggi; (3) Hadis yang diriwayatkan harus terbebas dari cacat
(‘illat) dan kejanggalan (syudzûdz). Ibnu Sholah berpendapat bahwa jika syarat-
syarat di atas terpenuhi oleh sebuah hadis, maka mayoritas ‘ulama hadis
menyetujui dan menganggap hadis tersebut termasuk hadis shahih.115
Menarik untuk diperhatikan menyangkut persyaratan hadis shahih di atas.
Dapat kita bandingkan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara kaidah
yang ditetapkan oleh al-Syâfi’î dengan al-Bukhârî. Jika al-Syâfi’î hanya terpaku
kepada kualitas seorang perawi di dalam meriwayatkan hadis, maka kaidah yang
ditetapkan oleh al-Bukhârî tidak serta merta menekankan kepada aspek perawi
saja. Al-Bukhârî terlihat juga mempertimbangkan ketersambungan sanad116 dari
perawi awal yaitu sahabat, sampai kepada perawi terakhir. Kaidah kesahihan yang
113 Mahmud al-Tahhan, Taysir Mûshthalahah al-Hadîts (Beirut: Dâr Al-Qur’ân al-Karîm,
1979), h. 43. 114 Ibrahim bin Al-Shaddiq, Maqâlah wa Muhâdharâh fî Al-Hadîts al-Syâfi’î wa ‘Ulûmihi
(Beirut: Dâr Al-Basyâ’ir Al-Islâmiyyah, 2002 M), h. 7-33. 115 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis., h. 18. 116 Ittashal al-sanad atau yang biasa dikenal dengan ketersambungan sanad merupakan
bagian dari kaidah yang ditetapkan oleh Imâm al-Bukhârî dalam menetapkan keshahihan suatu
hadis. Yang dimaksud dari bersambungnya sanad adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis
menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung sampai
akhir sanad dari hadis tersebut. Lihat Muhammad al-Shabbag, al-Hadîts al-Nabawî (ttp: Al-
Maktab al-Islâmy, 1972), h. 162; M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis., h. 131.
45
ditetapkan oleh Imâm al-Bukhârî memang mirip sekali dengan kaidah yang
ditetapkan oleh Imâm Muslim. Akan tetapi, bagi al-Bukhârî di dalam syarat
ketersambungan sanad diperlukan pertemuan antara guru dan murid dalam
meriwayatkan hadis (liqa’). Untuk itu, penulis akan menguji konsistensi kaidah
yang ditetapkan oleh kedua tokoh hadis tersebut yaitu al-Syâfi’î dan al-Bukhârî.
Apakah hadis-hadis yang mereka riwayatkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang
telah ditetapkan. Pembahasan mengenai hal tersebut dibahas di sub bab
berikutnya.
B. Menguji Konsistensi Kaidah Kesahihan Hadis Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-
Bukhârî
Dengan metode yang digunakan oleh Imâm al-Syâfi’î dan al-Bukhârî
dalam meriwayatkan hadis, sulit rasanya menemukan titik kelemahan yang
terdapat di dalam kitab hadis tersebut. Bagaimanapun kitab hadis-hadis karya
Imâm al-Syâfi’î dan al-Bukhârî telah banyak mendapatkan apresiasi dari umat
Islam serta berhasil menyelamatkan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw., dari
tangan para pemalsunya.
Meskipun kitab hadis karya Imâm al-Syâfi’î dan al-Bukhârî tersebut
dianggap sudah menyelamatkan hadis-hadis Nabi dari tangan para pemalsunya,
akan tetapi tidak menutupi kemungkinan bahwa di dalam kitab hadis mereka
ditemukan hadis-hadis yang memiliki periwayatan lemah atau keluar dari kaidah
yang sudah ditetapkan oleh kedua imam tersebut. Oleh sebab itu, ada beberapa
hadis yang perlu dianalisa ulang secara obyektif yang terdapat di dalam kitab
Musnad al-Syâfi’î dan Shahîh al-Bukhârî.
46
Setelah dilakukan penelitian, ternyata ditemukan beberapa hadis-hadis
yang tidak sesuai dengan kaidah yang sudah ditetapkan oleh Imâm al-Syâfi’î dan
al-Bukhârî. Diantaranya akan dimasukan dua contoh hadis sebagai penguat
penelitian ini, yaitu:
إبراهيم بن حممد عن إسحاق بن عبد ال بن أب ف روة عن سعيد املقربي عن أب هريرة: ) أخربان ( :أن النب صى ال عيه وسم هنى عن الصالة نصف النهار حىت تزول الشمس إل يوم اجلمعة -
ل )النهي استثىن منه يوم اجلمعة فالصالة فيه ف هذا الوقت غري منهي عنها ول مكروهة وبه قاطاوس ومكحول والشافعي وغريهم وخص املالكية النهي بلنافة دون الفريضة وأما احلنفية فعمموا
117ومل يستثنوا(
Hadis ini terdapat di dalam kitab Musnad al-Syâfi’î. Di dalam
periwayatanya, dapat ditemukan seorang perawi yang dinilai lemah oleh ‘ulama
kritik hadis. Adalah Ishâq ibn Abdullâh bin Abî Farwah. Penilaian para ‘ulama
kritik hadis terhadap Ishâq ibn Abdullâh bin Abî Farwah, diantaranya adalah
Yahya bin Ma’in menilai beliau adalah orang yang kadzdzab (pendutsa), ‘Alî ibn
Madînî menilai beliau adalah orang yang mungkar al-hadîts, al-Nasâ’î beliau
adalah orang yang matrûk (tertolak).118
أخربان عبد هللا بن انفع ، عن داود بن قيس ، عن زيد بن أسم ، عن عطاء بن يسار ، عن أسامة بن زيد قال : دخل رسول هللا صى هللا عيه وسم وبالل ، فذهب حلاجته مث خرجا ، قال أسامة : فسألت بالل : ماذا صنع رسول هللا صى هللا عيه وسم ؟ فقال بالل : ذهب حلاجته مث توضأ ،
( اخلف : ما ي بس ف الريجل من 1فغسل وجهه ويديه ، مث مسح برأسه ، ومسح عى اخلفني ) 119جد رقيق
117 Abû Abdullâh Muhammad Ibn Idrîs al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î (Beirut: Dâr al-Fikr,
1417 H) Juz 1, h, 94. 118 Yûsuf Abû al-Hajjjaj al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 2 (Beirut:
Muassasah al-Risâlah, 1980), h. 451-453. 119 Abû Abdullâh Muhammad Ibn Idrîs al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î (Beirut: Dâr al-Fikr,
1417 H), Juz 1, h, 53.
47
Hadis kedua ini yang terdapat di dalam kitab Musnad al-Syâfi’î. Terdapat
juga seorang perawi yang dinilai lemah oleh ‘ulama kritik hadis. Usâmah Ibn Zaid
Ibn Aslam al-‘Uduwî. Penilaian para ‘ulama kritik hadis terhadap Usâmah Ibn
Zaid Ibn Aslam al-‘Uduwî, diantaranya adalah Yahya bin Ma’in menilai beliau
adalah orang yang Dha’if, Sâlih Ibn Ahmad Ibn Hanbal menilai beliau adalah
orang yang mungkar al-hadîts, dan Yahya Ibn Ma’in menilai beliau adalah orang
yang Dha’if.120
Selain itu, juga masih banyak ditemukan periwayat-periwayat yang
terdapat di dalam Musnad al-Syâfi’î yang dikritik oleh ‘ulama kritikus hadis, salah
satunya yaitu Ibrâhîm bin Muhammad bin Abî Yahya (Sam’ân al-Aslamî),
penilaian terhadap beliau, yaitu Yahya bin Sa’îd berpendapat beliau adalah orang
yang kadzdzab (pendusta), Yahya bin Ma’în berpendapat beliau adalah orang
yang tidak tsiqah, sedangkan al-Nasâ’î berpendapat beliau adalah seorang matrûk
al-hadîts.121
Dengan demikian, di dalam kitab Musnad al-Syâfi’î tidak hanya terdapat
hadis-hadis yang memiliki penilaian periwayat yang tsiqah saja, tetapi terdapat
juga hadis-hadis yang bermasalah dalam segi sanadnya. Dan dapat pahami bahwa
al-Syâfi’î di dalam memasukan hadis yang bersumber dari para periwayat menurut
penilaian diatas ada beberapa nama kurang sesuai dengan kriteria yang
ditetapkannya.
Hadis berikutnya adalah hadis periwayatan al-Bukhârî terdapat di dalam
kitab Shahîh al-Bukhârî.
120 al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 2, h. 334-335. 121 al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 2, h. 186-187.
48
ثني أ ث نا حصني ح قال أبو عبد الي و حد ث نا ابن فضيل حد ث نا عيمران بن ميسرة حد يد بن زيد حد سيث نا هشي صى حد ثني ابن عباس قال قال النبي م عن حصني قال كنت عيند سعييدي بني جبري ف قال حد
ير مع ة والنبي ير معه األم ير معه ه الن ال عيهي وسم عريضت عي األمم فأخذ النبي فر والنبي ير وحده ف نظرت فإيذا سواد كثيري ق ت ي ير معه اخلمسة والنبي تي قال العشرة والنبي ربييل هؤلءي أم جي
امهم ل ل ولكين انظر إيىل األفقي ف نظرت فإيذا سو عون ألفا قد اد كثيري قال هؤلءي أمتك وهؤلءي سب ون وعى م ول عذاب ق ت وملي قال كانوا ل يكت وون ول يستقون ول ي تطري ساب عيهي ربييم حي
ون ف قام إيليهي ع هم مث قام إيلي ي ت وك ن هم قال الهم اجعه مي ن صن ف قال ادع ال أن يعني مي اشة بن حمي هي كاشة ا عك هم قال سب قك بي ن 122.رجل آخر قال ادع ال أن يعني مي
Dari hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, terdapat seorang perawi
yang dinilai lemah oleh ‘ulama kritik hadis. Perawi tersebut adalah Asîd ibn Zayd.
Penilaian para ‘ulama kritik hadis terhadap Asîd ibn Zayd, diantaranya adalah al-
Nasâ’î yang menilai beliau adalah seorang yang matrûk, sedangkan al-Dârquthnî
menilai beliau dha’îf al-hadîts.123
ث ن حد يم أبو احلسني احلراني ث نا أحد بن يزييد بني إيب راهي د بن يوسف حد ث نا حمم ا زهري حدعت الربا ث نا أبو إيسحاق سي ي ال عنه بن معاويية حد ء بن عازيب ي قول جاء أبو بكر رضي
ه معيي قال فحمته م نه رحال ف قال ليعازيب اب عث اب نك حيمي عه إيىل أبي في منزيليهي فاشتى ميد ثنه ف قال له أبي ي أب تقي ني سريت مع رسولي وخرج أبي ي ن ثني كيف صن عتما حي بكر حدي
ري ن الغدي حىت قام قائيم الظهي ت نا ومي ةي وخال الي صى ال عيهي وسم قال ن عم أسري نا لي 124صخرة الطرييق ل ير فييهي أحد ف رفيعت لنا
Hadis kedua yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî di atas, terdapat seorang
perawi yang dinilai lemah oleh ‘ulama kritik hadis Perawi tersebut adalah Ahmad
Ibn Yazîd Ibn Ibrâhîm. Penilaian para ‘ulama kritik hadis terhadap Asîd ibn Zayd,
122 Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhârî, Juz 1, h. 163. 123 al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 3, h. 240. 124 Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhârî, Juz 4, h. 201.
49
diantaranya adalah Abu Hatim yang menilai beliau adalah seorang yang
Dha’if.125
Selain itu, penulis juga mengutip pendapat al-Hâzimî bahwa al-Bukhârî
dalam seleksi hadisnya adalah riwayat dari para perawi terbaik dari level pertama
dalam hal ketsiqahan, namun dalam kondisi tertentu al-Bukhârî menurunkan
standar kriterianya. Bahkan, al-Bukhârî juga menampilkan hadis dari beberapa
perawi yang dinilai ada unsur kedho’ifannya. Akan tetapi tidak sampai sangat
dha’if yang tertolak semua hadisnya. Apalagi, aspek kedha’if an sangat beragam
dan para ulama berbeda dalam menetapkan penyebabnya.126
Senada dengan al-Hâzimî, Abû Bakar al-Kafî dalam penelitiannya yang
berjudul Manhaj al-Bukhârî Abu Bakar al-Kafî tidak memungkiri bahwa al-
Bukhârî memang mencantumkan periwayat hadis dari para perawi yang dho’if
dalam kitab sahihnya. Walaupun demikian, penelitian tersebut membuktikan
bahwa al-Bukhârî sangat ketat dalam menyeleksi hadis-hadis dan hanya
mengambi riwayat yang sahih saja. Menurut Abu Bakar al-Kafî ada banyak hads-
hadis yang derajatnya sahih yang tidak mungkin dihukumi kesahihannya dengan
cara melihat khusus satu jalur sanad saja, tapi dengan cara banyaknya jalur sanad
periwayatan (Majmu’ al-Turuq). Dengan demikian, keshahihan hadis didasari atas
penelusuran jalur-jalur sanad dan periwayatan (Tatabu’ al-Turuq wa al-
Riwâyah).127
125 al-Mizzî, Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Juz 1, h. 521. 126 Abî al-Fadl Muhammad Tâhir Al-Maqdîsî, Abî bakr Muhammad bin Mûsâ al-Hâzimî
Syurut al-Aimmah al-Sittah wa Yalihi Syurut al-Aimmah al-Khomsah (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, cet. 1, 1405 H), h. 70-71. 127 Abû Bakr Kafî, Manhaj al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdits Wa Ta’lîliha (Beirut: Dâr Ibn
Hajm 1422 H), h. 364.
50
Menurut Abu Bakar al-Kafî, al-Bukhârî mencantumkan hadis-hadis
sahihnya dari jalur sanad perawi dho’if dengan pertimbangan nilai tertentu suatu
sanad (aghrad isnadiyah) seperti ‘al-‘Uluw (sanad terpendek sampai kepada
Rasulullah saw) dan al-syahrah (popularitas hadis). Mempertimbangkan seluruh
jalur sanad terkait (Majmu’ al-Turuq) dan tidak hanya pada penilaian satu jalur
sanad saja merupakan manhaj seluruh hadis seperti Imam Muslim, al-Tirmizî, dan
lain-lain. Mereka mempertimbangkan mempertimbangkan keberadaan mutaba’at
dan syawâhid yang bisa mengangkat nilai kesahihan dari hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang bermasalah.128
Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa di dalam kitab
Sâhîh al-Bukhârî terdapat hadis-hadis yang bermasalah dari segi sanadnya. Al-
Bukhârî masih mencantuman riwayat Hadis yang dinilai Dha’if oleh ulama kritik
hadis. Walaupun beliau mencantumkan perawi yang bermasalah dengan beberapa
alasan tersendiri seperti yang diutarakan diatas. Hal ini masih menandakan bahwa
ada ketidak sesuaian al-Bukhârî dalam menggunakan kaidah-kaidah kesahihan
hadis yang ia tetapkan.
C. Analisis Kaidah Kesahihan Hadis menurut Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-
Bukhârî
Para ‘ulama hadis memandang urgennnya kedudukan sanad di dalam
sebuah hadis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara langsung sisi otentikan
suatu hadis, apakah hadis itu memang benar bersumber dari Nabi ataukah
diragukan bersumber dari Nabi (bahkan perkataan palsu yang diatributkan kepada
Nabi saja). Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa otentitas sanad
128 Abû Bakr Kafî, Manhaj al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdits Wa Ta’lîliha, h. 148.
51
merupakan suatu kemutlakan dalam memahami hadis lebih jauh. Pandangan
inilah yang dipegangi oleh mayoritas ‘ulama hadis.129 Untuk itu, beberapa ‘ulama
menentukan kaidah-kaidah kesahihan suatu hadis, agar mendapatkan hadis valid
yang bersumber dari Nabi.
Kaidah yang ditetapkan oleh ‘ulama hadis tersebut tentunya bertujuan
menyeleksi secara efektif para rawi yang meriwayatkan hadis. Oleh karena itu,
jika ditelaah dengan cermat pada periode al-Syâfi’î, beliau menetapkan beberapa
kaidah minumum agar mendapatkan hadis yang valid dan bersumber dari Nabi
Muhammad Saw., seperti yang sudah dijelaskan di atas. Akan tetapi, ternyata
syarat tersebut tidak cukup kuat untuk menyentuh hadis tersebut sampai kepada
kualitas shahih. Karenanya, ‘ulama hadis berikutnya (al-Bukhârî dan Muslim)
mengembangkan dan menetapkan kaidah kesahihan suatu hadis.
Jika diperhatikan, sekilas tidak ada perbedaan yang mendasar antara
kaidah yang ditetapkan oleh al-Syâfi’î sebagai generasi awal yang menetapkan
kaidah kesahihan hadis, dengan al-Bukhârî sebagai generasi selanjutnya
(penjelasan mengenai kaidah sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya). Al-
Syâfi’î memang sangat jelas menekankan kepada kualitas seorang rawi dan cara
periwayatan hadis130, Sedangkan al-Bukhârî lebih menekankan kepada
kesinambungan jalur periawayatan yaitu keharusan pertemuan antara dua perawi.
Selain itu, dua imam tersebut sudah jelas, memperhatikan betul kemampuan
perawi dalam menghafal hadis dan ke-tsiqah-annya.
129 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1998), Jilid I, h. 70; Muhammad ‘Ajjaj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa
Mushthalâhuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989); Mahmûd al-Thahân, Ushûl al-Tâkhrîj, h. 145-146. 130 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis., h. 18.
52
Meskipun kedua imam tersebut sudah menetapkan kaidah kesahihan hadis
tersebut dengan format yang ketat, tetapi masih dapat ditemukan hadis-hadis
bermasalah dari segi sanadnya yang bersumber dari perawi yang di-jarh oleh
‘ulama kritik hadis. Ini menandakan bahwa adanya ketidak konsistensian dua
imam tersebut dalam meriwayatkan hadis menggunakan metode mereka sendiri.
Hal tersebut dapat dipahami, karena kemampuan kedua imam tersebut yang juga
sebagai manusia biasa. Bagaimanapun itu, yang perlu diapresiasi yang paling
besar adalah kepedulian al-Syâfi’î dan al-Bukhârî sebagai ‘ulama hadis yang ingin
melindungi hadis-hadis Nabi dari tangan para pemalsunya.
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini, berdasarkan atas rumusan masalah
yang telah penulis cantumkan pada bab pertama adalah sebagai berikut:
Dari uraian penjelasan tentang kaidah kesahihan hadis antara Imâm al-
Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî, penulis menemukan persamaan dan perbedaan
antara teori kaidah keshahihan hadis diantara kedua tokoh tersebut. Adapun
persamaan teori keduanya dalam persoalan kualitas perawi hadis, Imâm al-Syâfi’î
mensyaratkan kualifikasi perawi hadis : 1) Orang yang meriwayatkannya harus
terpercaya agamanya, 2) Orang yang meriwayatkannya dikenal jujur dalam
berbicara, 3) Orang yang meriwayatkan hadis tersebut harus paham terhadap hadis
yang diriwayatkannya, 4) Orang yang meriwayatkannya harus hafal (jika ia
meriwayatkannya melalui hafalannya), atau mencatatnya secara akurat (jika ia
meriwayatkan hadis dari kitab (catatannya), 5) Terbebas dari tuduhan sebagai
periwayat mudallas. Sedangkan al-Bukhârî mensyaratkan kualifikasi perawi hadis
(1) Para perawi, dari awal sampai akhir, harus dikenal tsiqah, yakni ‘adl
(bertakwa) dan dhabth (tingkat akurasi hafalan yang tinggi; (2) Hadis yang
diriwayatkan harus terbebas dari cacat (‘illat) dan kejanggalan (syudzûdz). Uraian
mebuktikan adanya persaman teori kesahihan hadis antara kedua tokoh, meskipun
bahasanya sedikit berbeda.
Adapun perbedaan antara Imâm al-Syâfi’î dengan al-Bukhârî dalam teori
kaidah keshahihan hadis terletak dalam persoalan ketersambungan perawi hadis
54
dari periwayat pertama sampai periwayat terakhir harus bersambung. Imâm al-
Syâfi’î tidak menekan adanya ketersambungan sanad sedangkan al-Bukhârî
kebalikannya. Hal ini membuktikan bahwa al-Bukhârî menyempurkan kaidah
kesahihan hadis yang ditawarkan Imâm al-Syâfi’î.
B. Saran-saran
Setelah melalui proses pembahasan dan pengkajian kaidah kesahihan hadis
antara Imâm al-Syâfi’î dan Imâm al-Bukhârî. Kiranya penulis perlu untuk
mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis. Antara lain:
1. Perlu penelitian lanjutan tentang kaidah kesahihan hadis Imâm al-Syafi
dan al-Bukhârî karena yang penulis teliti hanya dua sample saja.
2. Perlu adanya penelitian ulang terhadap konsistensi penggunaan teori
kesahihan hadis kedua tokoh tesebut.
3. Pembahasan dalam skripsi ini bukanlah pembahasan yang sempurna, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan koreksi yang bila lebih
menyempurnakan pembahasan ini.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahim, Hammam. al-Fikr al-Manhaji ‘Inda al-Muhadditsin. Qathar: Kitab
al-Ummah, 1408.
Abû Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abû. Fî Rîhab al-Sunnah al-Kutub al-Sihâh
al-Sittah, Kairo: al-Buhuts, al-Islamiyyah, 1969.
Amin, Ahmad. Fajr Al-Islâm. Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Misriyyah, 1975)
Amin, Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta:
PT Mizan Publika.2009 .
Azami, Muhammad Mushthafa. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. terj. Ali
Mustafa Ya’qub Jakarta: Pustaka Firdaus.1994.
--------, Memahami Ilmu Hadis telaah Metodologi dan Literature Hadis. Jakarta:
Lentera, 1993
al-Baghdadi, Yaqût al-Rumî. Mu’jam al-Buldan, tahqîq Farîd Abd al-‘Aziz al-
Jundî , Beirut: dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah, tt.
al-Bukhârî, Muhammad Ismâ’il. Al-Jâmi’al-Musnad al-Sahîh al-Mukhtasar min
Umûri Rasûillâh sallâh ‘Alaihi Wasallam Tahqiq al-Nâsir Muhammad
Zuhair, Beirut: Dâr al-Tauq al-Najah, 1422 H.
Bustamin dan Hasanuddin Sinaga. Membahas Kitab Hadis, Ciputat: Lembaga
Penelitian Uin Jakarta, Desember, 2010
Farid Ahmad, Min ‘Alam al-Salâf, ter. Masturi Ilham, 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2008.
Hamawîy, Yâqût. Mu’jam al-Udabâ’. vol IV, Kairo: 1936.
Hasan M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
al-Husaini, Abdul Majid Hasyim. al-Imâm al-Bukhârî Muhadditsan wa
Faqihan,Kairo: Dar al-Qaumiyyah, t.t.
56
Ibn Hajar al-‘Asqalânî. Taqrîb al-Tahdzîb. Halab: Dâr al-Rasyîd, cet. 3, 1991.
al-‘Irâqî, Abd al-Rahîm Ibn Husain. Al-Taqyid wa al-Aidâh Syarh Muqaddimah
Ibn al-Salâh. Al-Madinah al-Munawarah: Dâr al-Ma’rif, 806 H.
Ismai’il M. Syuhudi. Kaidah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: PT Bulan Bintang,
1988
Itr Nuruddin. Manhaj al-Naqd fî ulûm al-Hadîts. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1997.
al-Kafî, Abû Bakr. Manhaj al-Bukhârî fî Tashîh al-Ahâdits Wa Ta’lîliha. Beirut: Dâr Ibn
Hajm 1422 H.
al-Khatîb, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadits. terj.
Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq, cet. Ke- 5 Jakarta: Gaya Media
Pratama.2013.
Manzûr, Muhammad ibn Mukarram ibn. Lisân Al-Arâb, Mesir: Al-Dâr al-Misriyyah, t.th
al-Maqdîsî, Muhammad Tâhir dan al-Hâzimî, Muhammad bin Mûsâ Syurut al-Aimmah
al-Sittah wa Yalihi Syurut al-Aimmah al-Khomsah .Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, cet. 1, 1405 H
al-Mizzî, Yûsuf Abû al-Hajjjaj. Tahzib al-Kamâl fî asma’ al-Rijâl, Beirut: Muassasah al-
Risâlah, 1980.
Moenawar, Chalil. Biografi Empat Serangkai Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,
1998.
Muthalib, Moh. Yassir. Ringkasan Kitab Al-Umm. Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.
Nadhiran, Hedhri. Kritik Sanad Hadis: Tela’ah Metodologis, Jurnal Agama Islam
Raden Fatah. Volume 15, No 1, 2014,
Noorhidayati, Salman. Kritik Teks Hadis: Analisis Tentang al-Riwayah bi al-
Ma’na dan Implikasinya Bagi Kualitas Hadis. Yogyakarta, 2017.
57
al-Qâsimî, al-Jamâl al-Dîn. Qawâd al-Tahdîts min Funūn Musthalah al-Hadīts
t.tp: Isâ al-Bâbi al-Halabî wa Syurakah.1961.
Salafî, Muhammad Luqman. Ihtimâm al-Muhadditsîn bî Naqd al-Hadîs Sanad wa
Matan, Riyâd: Maktabah al-Riyâd, 1984.
al-Shaddîq, Ibrâhîm. Maqâlah wa Muhâdharâh fî Al-Hadîts al-Syâfi’î wa ‘Ulûmihi.
Beirut: Dâr Al-Basyâ’ir Al-Islâmiyyah, 2002 .
al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009.
al-Siba’î, Mushtafâ. As-Sunnah wa Makanâtuha fî at-Tasyrî’ al-Islami tth: ad-Dâr
al-Qaumiyyah.1996.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Tekni., cet.
Ke-7 Bandung: Tarsito.1982.
Suryadi, “Rekonstruksi Kritik Sanad dan Matan dalam Studi Hadis” dalam
JurnalEsensia Volume 16.hlm. 177-180). Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga.2015.
Suryadilaga, Muhammad Al-Fatih, dkk. Ilmu Sanad Hadis. Yogyakarta: Idea
Press, 2017.
al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn. Tadrîb al-Râwî fî Syarh Taqrîb al-Nawâwî. Beirut: Dâ al-
Fikr, jilid I.1988.
Syâfi’î, Muhammad Ibn Idrîs. Musnad al-Syâfi’î ,Beirut: Dâr al-Fikr, 1417 H.
--------, Ar-Risalah. terj. Masturi Irham & Asmui Taman, cet. Ke-2 Jakarta:
Pustaka al-Kautsar. 2012.
Tahhan, Mahmud. Taysir Mûshthalahah al-Hadîts. Beirut: Dâr Al-Qur’ân al-Karîm,
1979.
58
al-‘Umarî, Akram Dhiya’. Buhūts fîTārîkh al-Sunnah al-Musrifah. cet. Ke-4
Beirut: Basath.1984.
Ya’kub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Yanggo, Hujaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos,
1997.
Zuhri Muhammad. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogyakarta, 1997.
Zulhedi. “Eksistensi Sanad dalam Hadis” dalam JurnalMiqotVolume XXXIV.
Padang: IAIN Imam Bonjol. 2010.