263
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) MENUJU DEMOKRATISASI PEMETAAN Refleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia Penulis : Ahmad SJA , Aku Sulu Samuel Sau Sabu, Albertus Hadi Pramono, Anam, Bagus Priatna, Bambang Teguh, Bayu Dedie Lukito, Efraim Yaboisembut, Endan Suhendar, Hilma Safitri, Jidan, Karyanto, Lahmudin Yoto, Lorensius Owen, M.Syahril, Noach Wamebu, Restu Achmaliadi, Rizani, Sulaiman Daud, Varman Bantalidan Editor : Albertus Hadi Pramono, Franky Samperante, Hilma Safitri, Restu Achmaliadi

Menuju Demokratisasi Pemetaan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Membahas bagaimana menuju demokratisasi pemetaan

Citation preview

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

MENUJU DEMOKRATISASI PEMETAANRefleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Penulis :

Ahmad SJA , Aku Sulu Samuel Sau Sabu, Albertus Hadi Pramono, Anam,Bagus Priatna, Bambang Teguh, Bayu Dedie Lukito, Efraim Yaboisembut,

Endan Suhendar, Hilma Safitri, Jidan, Karyanto, Lahmudin Yoto, LorensiusOwen, M.Syahril, Noach Wamebu, Restu Achmaliadi, Rizani,

Sulaiman Daud, Varman Bantalidan

Editor :

Albertus Hadi Pramono, Franky Samperante, Hilma Safitri, Restu Achmaliadi

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

MENUJU DEMOKRATISASI PEMETAANRefleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Edisi pertama : April 2009Tata Letak : HarizajudinFoto Sampul : Pemetaan di Curah Nongko, Jember. JKPP Region Jawa

Diterbitkan olehJARINGAN KERJA PEMETAAN PARTISIPATIFJl. Cimanuk Blok B7 Nomor 6, Perumahan Bogor BaruBogor 16152, Jawa BaratTelp . +62 251 8379143 Fax. +62 251 831421email : [email protected], website : www.jkpp.org

i

Penerbitan ini sebagian di dukung oleh :

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)Tim Penulis Jaringan Kerja Pemetaan PartisipatifMenuju Demokratisasi Pemetaan, Refleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif diIndonesiaCet.1. - - Bogor : Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, 2009xv + 248 hlm; 16 x 23 cm

ISBN 978-979-19804-0-1

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

KATA PENGANTAR

Gerakan pemetaan partisipatif berkembang cukup pesat sejak pertama kalidilakukan pertama kali di Long Uli, perbatasan Taman Nasional Kayan MentarangKalimantan Timur, pada tahun 1992 . Perkembangan sangat terasa pada akhir1990-an terutama setelah pembentukan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatifpertengahan tahun 1996. Perhatian lembaga-lembaga donor akan pengelolaansumber daya alam berbasis masyarakat memungkinkan dukungan dana yangbesar bagi gerakan ini. Hal ini memungkinkan terjadinya proses pembelajaranmelalui training, magang dan kegiatan Pemetaan Partisipatif dilakukan secaraluas di Indonesia.

Berdasarkan data yang dikumpulkan JKPP (2009), telah lebih dari 510 komunitasdi wilayah kampung atau desa yang menyelenggarakan PP dengan luas areallebih dari 2,5 juta hektar. Selama ini metode PP masih dominan digunakan olehLSM dan masyarakat, namun beberapa tahun terakhir pemerintah pun telahmulai mengadopsi metode pemetaan dengan melibatkan masyarakat dalammengimplementasikan program-programnya. Program Hutan Kemasyarakatan(HKM) Departemen Kehutanan mensyaratkan perencanaan partisipatif (yangmenyertakan juga peta partisipatif) sebagai salah satu kelengkapan yang harusdisediakan kelompok masyarakat yang ingin mengelola hutan. Selain ituDepartemen Kehutanan telah melakukan tata batas partisipatif dengan metodeini di Sumba (NTT). Pemda Kutai Barat dan Pemda Jayapura – bekerja samadengan LSM dan akademisi –menginventarisir wilayahnya dengan menggunakanmetode ini.

Buku ini adalah kumpulan tulisan dari berbagai pelaku pemetaan partisipatifdari Aceh sampai Papua yang diundang JKPP untuk menuliskan pengalamanatas kerja-kerja yang mereka lakukan berkaitan dengan PP. Buku ini diharapkandapat menyumbang pengembangan pemikiran dasar dan pendekatan PemetaanPartisipatif kepada para pengguna metode PP ini. Selain itu dapat menjabarkanpeluang-peluang baru bagi pengguna metode ini agar lebih berperan dalampemberdayaan masyarakat lokal terutama berkaitan dengan perubahankebijakan penataan dan pengelolaan ruang serta dalam menyusun rencanapengelolaan kawasan kelola rakyat.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para penulis yang telah menuliskanpengalaman berkaitan dengan Pemetaan Partisipatif, juga kepada DiantoBachriadi yang telah memotivasi dan membantu meletakkan dasar-dasar

i i

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

penulisan kepada para penulis. Selanjutnya, ucapatan terima kasih kamisampaikan kepada Hilma Safitri, Restu Achmaliadi, dan Albertus Hadi Pramonosebagai editor buku dan juga menuliskan catatan-catatan penting dalamevaluasi gerakan Pemetaan Partisipatif. Y.L Frangky yang membantu penulisanpengalaman masyarakat Katu. Fubertus Ipur dan Justus Pattipawae yangmemberikan perspektif Early Warning System (EWS) berkaitan dengan konflikdan multikulturalisme. Terima kasih kami sampaikan kepada Yayasan TIFA yangtelah mendukung terlaksananya seluruh proses kegiatan dan penulisan bukuini.

Bogor, 27 April 2009

KASMITA WIDODO

Koordinator Nasional JKPP

iii

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

PETA TITIK EVALUSAI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF

iv

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Peta Lokasi Studi Kasus iv

Daftar Isi v

Daftar Istilah dan Singkatan ix

Pendahuluan 1

Konflik Sumber-Sumber Agraria di Indonesia 2

Konflik dan Multikulturalisme di Indonesia 4

Apa Itu Pemetaan Partisipatif (PP)? 6

Sejarah Gerakan PP Di Indonesia Dan Perlunya Evaluasi 12

Ringkasan Tulisan 20

Mengambil Alih Hutan Lindung: Kasus Komunitas Adat Nian Uwe Wari TanaKera Pu Hikong-Boru Kedang, Nusa Tenggara Timur 26

Latar Belakang 26

Komunitas Adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang 29

Munculnya Ide Pemetaan Partisipatif 32

Pandangan Komunitas Tentang Pemetaan Partisipatif. 35

Mengambil Alih Hutan Lindung: Sebelum Pemetaan Partisipatif 38

Mengambil Alih Hutan Lindung: Setelah Pemetaan Partisispatif 39

Dampak Positif Pemetaan Partisipatif. 41

Dampak Negatif Pemetaan Partisipatif 44

Penutup 45

Pemetaan Partisipatif Dan Peneguhan Kembali Keyakinan Hak-Hak MasyarakatMuluy Untuk Mengelola Hutan Adat Dan Menolak Kawasan Lindung 47

Kampung Muluy Dan Sejarah Kampung Muluy 47

Hutan Adat Vs. Hutan Lindung Di Kampung Muluy 50

Hutan Adat Dalam Peraturan dan Perundang-Undangan 54

Pemetaan Partisipatif Di Kampung Muluy 58

v

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pengelolaan Kawasan Hutan Adat Gunung Muluy: Sebelum Dan SesudahDilaksanakannya Pemetaan Partisipatif 67

Kesimpulan 70

Pemetaan Partisipatif : Mempertahankan Hak Atas Tanah Leluhur, PengalamanOrang Katu 72

Orang Katu 72

Taman Nasional Di Tanah Orang Katu 80

Pemetaan Partisipatif 83

Menolak Pindah Dari Tanah Leluhur 88

Pengakuan Balai Taman Nasional 92

Penutup 93

Pemetaan Partisipatif Multipihak : Wilayah Adat Nambluong Di KabupatenJayapura Papua 94

Pengantar 94

Komunitas Adat Nambluong 95

Sistem Penguasaan Tanah Dan Penataan Ruang Di Wilayah AdatNambluong 99

Pemetaan Partisipatif Di Papua 101

Pemetaan Partisipatif Multipihak Di Nambluong 102

Alur Pemetaan Partisipatif Multipihak 103

Dampak-Dampak Pemetaan Partisipatif Multipihak 106

Penutup 107

Pemetaan Partisipatif : “Panduan“ Penyelesaian Konflik Dan Sengketa AgrariaDi Jember 108

Jember Dalam Lintasan Waktu 108

Pemetaan Partisipatif Alat Bantu Perjuangan Petani 113

PP& Penyelesaian Sengketa Agraria : Tiga Contoh Kasus 115

Ancangan Ke Depan Penyelesaian Konflik & Sengketa Agraria Di Jember 123

vi

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Penutup 126

Peta Untuk Kampung Baru: Kasus Kampung Ciladu-Ciawi - Lebak 128

Kampung Ciladu-Ciawi Dan Problematikanya 128

Mengenalkan Pemetaan Partisipatif. 130

Kampung Ciladu-Ciawi Menyelenggarakan Pemetaan Partisipatif 132

Penyepakatan Peta Ciladu-Ciawi: Jalan Yang Berliku 135

Membentuk Kelompok Pelindung Kawasan Mata Air 137

Wates-Wates Kampung Ciladu-Ciawi 138

Peta Dan Negosiasi Permukiman Baru 139

Kampung Baru Itu Kampung Gelarsari 141

Telah Efektif Kah Pemanfaatan Peta Kampung Ciladu Ciawi ? 142

Upaya Kelompok Perempuan 142

Perkembangan Kampung Gelarsari 143

Penutup 143

Pemetaan Partisipatif Sebagai Upaya Masyarakat Melindungi Dan MengelolaSDA Pesisir Laut Di Pulau Pahawang 145

Sejarah Pemanfaatan SDA Pesisir Laut Di Desa Pulau Pahawang 145

Konflik Pemanfaatan Ruang di Pesisir Laut 149

PP Sebagai Upaya Melindungi Dan Mengelola SDA Pesisir Laut 153

Kesimpulan 163

Perubahan Persepsi Batas Pasca Pemetaan : Sebuah Kasus Di KabupatenLandak Kalimantan Barat 166

Pengantar 166

Konsep Batas Masyarakat Adat Dayak Kananyatn 169

Kondisi Umum Kampung Sindur 169

Mengapa Melakukan Pemetaan Partisipatif 170

Kesadaran Kritis Tentang Sumberdaya Wilayah 176

Kesimpulan 182

Anekng Atau Andeng? Kisah Sekitar Penamaan Kampung 186

vii

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pengantar 186

Anekng Dalam Persektif Sejarah 187

Kesimpulan 194

“Ukur Mengukur” Wilayah Untuk Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Atas RuangDi Tanah Rencong 195

Pendahuluan 195

Program Pemetaan Partisipatif Di YRBI 199

Konflik Batas Paska Pemetaan 210

Perluasan Gerakan Pemetaan Partisipatif 211

Penutup 213

Refleksi Atas Gerakan Pemetaan Partisipatif Dan TantanganDi Masa Depan 214

Penyebaran Gerakan Pemetaan Partisipatif 215

Tujuan Pemetaan Partisipatif 217

Konsep Dasar Pemetaan Partisipatif 220

Metodologi Pemetaan Partisipatif 223

Kapasitas Dalam Pemetaan 225

Protokol Penggunaan Peta 225

Penggunaan Peta 227

Persepsi Terhadap Pemetaan Partisipatif 229

Pendanaan Kegiatan Pemetaan Partisipatif 231

Masalah-Masalah 231

Tantangan Gerakan Pemetaan Partisipatif 232

Tantangan Dan Peran Pemetaan Dalam Pengelolaan Konflik 235

Beberapa Catatan Gerakan Pemetaan Partisipatif Ke Depan 238

Catatan Akhir 240

Profil Penulis dan Editor 245

viii

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Alas lati litiye Bekas ladang yang sudah di tinggalkan

Alas Rusak Hutan Sekunder

Alas Royang Hutan Primer

AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

AMASUTA Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Tengah

ADB Asean Development Bank ADB

BAKOSURTANAL Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional

Bamuskadat Badan Musyawarah Adat

Bapekedat Badan Pelaksana Keputusan Adat

Bapehudat Badan Pengelola Hukum Adat

Bawas Ladang pertanian yang sedang di berakan (diistirahatkan)sebelum ditanami kembali dalam sistem perladangan gilirbalik; ramé (Dayak Kanayatn)

Bera Kondisi Lahan yang dibiarkan (diistirahatkan) tanpaditanami hingga dipenuhi belukar

Binua Federasi sejumlah kampung yang berdekatan, umumnyadalam satu aliran sungai (bahasa Kanayatn)

Blambangan Balok Kayu

BPD Badan Perwakilan Desa

BPDPM Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove

BPN Badan Pertanahan Nasional

BSP Kemala Biodiversity Support Program - Kemala

BUMN Badan Usaha Milik Negara

CSIADCP Central Sulawesi Integrated Area Development andConservation Project

ix

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

DOM Daerah Operasi Militer

DPMA Dewan Persekutuan Masyarakat Adat

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Erfpacht Hak sewa turun temurun atas tanah (bahasa Belanda),tanah pertanian yang disewakan pemerintah kolonialsebagai konsesi pertanian

GAM Gerakan Aceh Merdeka

Gampong Kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyaiorganisasi pemerintahan terendah langsung berada dibawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dandipimpin seorang Keuchik dan berhak menyelenggarakanurusan rumah tangganya sendiri.

Gerhan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

GIS Geographic Information System ; sistem penyimpanan dananalisis informasi geografis yang berbasis komputer

Gosong-gosong Kumpulan terumbu karang dan pasir menyerupai gunungyang ada di laut tempat memancing.

GPS Global Positioning System; sistem penentuan koordinat dibumi dengan memakai sinyal sejumlah satelit navigasi diluar angkasa

HAM Hak Asasi Manusia

HGU Hak Guna Usaha; hak untuk mengusahakan tanah yangdikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentuuntuk konsesi pertanian, perikanan atau peternakan dandikenai pajak

HMN Hak Menguasai Negara

HPH Hak Pengusahaan Hutan

HTI Hutan Tanaman Industri

IPPK Ijin Pengolahan dan Pemanfaatan Kayu

x

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

JAGAT Jaringan Gerakan Masyarakat Adat

Jagawana Polisi hutan

Jatas tete ine Air Susu Ibu

JKPP Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Kampokng Satuan unit sosial politik terkecil masyarakat DayakKanayatn; kampung

Kaharingan Agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang MahaEsa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurundalam masyarakat Dayak di Kalimantan

KEL Kawasan Ekosistem Leuser

Keuchik Pimpinan adat gampong

Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

KOMPAK Kelompok Petani Perjuangan Ketajek

KTA Kartu Tanda Anggota

Ku pay Tanah dataran

Ku mendum teble-teble Lereng perbukitan atau gunung

Ku Koan Tanah hutan rimba

Lati Bekas ladang

Lati bayu Ladang yang baru dibuka

Lati litiye Ladang yang lama sekali dan sudah menyerupai hutanbelukar karena sudah ditinggalkan sekitar 5-6 tahun

Lati ono Ladang yang sudah diberakan selama 2-3 tahun

LBH Nusra Lembaga Bantuan Hukum Nusa Tenggara

LMDH Lembaga Masyarakat Desa Hutan

LPPMA Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat

LKMD Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa

LSDP SD INPERS Lembaga Studi Desa untuk Petani SD INPERS

xi

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

MFP Multistakeholder Forestry Programme

Mukim Kesatuan masyarakat hukum adat dalam provinsi NanggroeAceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapaGampong yang mempunyai batas-batas wilayah tertentudan harta kekayaan sendiri. Mukim dipimpin oleh seorangImeum Mukim

Muspika Musyawarah Pimpinan Kecamatan

NAD Nanggroe Aceh Darussalam

NTT Nusa Tenggara Timur

NGO Non Government Organization

NV. LMODTD Landbouw Mij Out Djember te Deventer

Omu Ladang

Ornop Organisasi Non-Pemerintah

OTL Organisasai Tani Lokal

PAFID Philippine Association For Intercultural Development

PDP Perusahaan Perkebunan milik Daerah

Perdasus Peraturan Daerah Khusus

Pembakal Kepala Desa

PG Pabrik Gula

PIR Perkebunan Inti Rakyat

PNPM Mandiri Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

Polsek Kepolisian Sektor; satuan polisi di tingkat kecamatan

PP Pemetaan Partisipatif

PPAN Program Pembaruan Agraria Nasional

P2DTK Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal danKhusus

xii

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PPI Pelabuhan Pendaratan Ikan

PPSDAK Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan

PRA Participatory Rural Appraisal

PTPN Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara

PtPPMA Perkumpulan Terbatas Pengkajian dan PemberdayaanMasyarakat Adat

Radakng betang Rumah Panjang yang dulunya juga merupakan satukampung

RMI Rimbawan Muda Indonesia

RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah

SDA Sumber Daya Alam

SDA Pela Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut

Seppong Alat peniru suara burung

SIG Sistem Informasi Geografi

SIPER Serikat Petani Perjuangan

Sipung Kebun

Sipunk Kawasan didalam kawasan hutan yang ada di dalamnyaterdapat beberapa jenis tanaman, baik tumbuhan kayudan tumbuhan non kayu

SK Surat Keputusan

SLJPP Simpul Layanan dan Jaringan Pemetaan Partisipatif

Timanggong Temenggung; pemimpin sebuah binua pada masa Belandasampai tahun 1960an

Timawakng Tembawang; bekas pemukiman yang telah menjadi hutandengan vegetasi dominan jenis-jenis pohon buah sepertidurian, kelapa, nangka, dll.

TNC The Nature Conservation

TNLL Taman Nasional Lore Lindu

xiii

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

TOT Training of Trainer

Udas Hutan yang dimiliki kolektif oleh kampung atau seketurunan

USAID United State Agency for International Development

UU Undang-undang

YKSPK Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih

YLPM-Bangwita Yayasan Lembaga Pengembangan Masyarakat Wilayah TanaAi

YKPHM Yayasan Kerjasama Hukum Masyarakat

YRBI Yayasan Rumpun Bambu Indonesia

YTM Yayasan Tanah Merdeka

xiv

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PENDAHULUAN

Oleh : Hilma Safitri, Restu Achmaliadi, Albertus Hadi Pramono

Dalam masyarakat modern wilayah dan pemetaan seperti dua sisi mata uang.Bila seseorang berbicara tentang suatu wilayah bisa dipastikan dia akanmenyertakan peta wilayah tersebut. Kalau tidak lawan bicaranya yang akanmenanyakannya. Dengan demikian peta merupakan salah satu artefak pentingdan menjadi sesuatu yang lumrah dalam kehidupan modern. Namun kebanyakanorang luput untuk memahami peta sebagai gambaran tentang hubungan kitadengan bumi dan benda-benda di atasnya dan hubungan sosial antar penghunibumi. Buku ini mengupas hal-hal ini terutama dalam hal yang kedua. Kumpulantulisan ini bercerita tentang gerakan pemetaan partisipatif (PP). Dalam gerakanini peta diletakkan dalam konteks hubungan antara masyarakat lokal danwilayah tempat hidup mereka serta hubungan mereka dengan pihak-pihak luaryang memanfaatkan wilayah mereka.

Gerakan ini masih relatif baru bila dibandingkan dengan gerakan-gerakan sosiallainnya. Gerakan ini baru muncul sekitar 15 tahun yang lalu. Namun berbedadengan gerakan-gerakan lainnya yang menekankan pada hubungan antarakelompok-kelompok yang terpinggirkan dengan mereka yang berkuasa, gerakanini mempunyai komponen tambahan yang sangat penting yaitu teknologipemetaan. Peran teknologi tersebut begitu sentral dalam gerakan ini yangkemudian menimbulkan persoalan sendiri yang menjadi salah satu topik pentingdalam kumpulan tulisan ini. Terlepas dari masalah tersebut, gerakan ini adalahsalah satu bentuk demokratisasi teknologi pemetaan yang biasanya dikuasaioleh kelompok dominan/elit untuk menopang dan mewujudkan kepentinganmereka. Nuansa demokratisasi semacam itu sangat terasa dalam buku ini.Dominasi pembuatan pengetahuan seperti akan diurai dalam bab-bab berikutnyamenimbulkan konflik ruang yang menjadi salah satu alasan lahirnya gerakanpemetaan partisipatif (PP).

Konflik ruang yang ada di Indonesia terjadi di antara masyarakat lokal danpihak luar yang dominan, terutama Negara dan pengusaha, dan di antaramasyarakat sendiri. Semula gerakan ini lebih menekankan pada konflik jenispertama (konflik vertikal), namun dengan selama perjalanannya konflik jeniskedua (konflik horizontal) juga mulai muncul dalam masyarakat seperti yangterjadi di Kalimantan, Poso dan Maluku. Untuk memahami lebih jauh tentang

1

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

kedua macam konflik tersebut kami menjabarkan secara singkat tentang masalahagraria dan multikulturalisme di Indonesia. Selanjutnya kami uraian sedikittentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan pemetaan partisipatif. Kemudiandilanjutkan dengan sejarah gerakan pemetaan partisipatif di Indonesia danalasan kenapa pembuatan buku ini. Terakhir kami memberikan ringkasan tentangbab-bab yang dalam buku ini.

KONFLIK SUMBER-SUMBER AGRARIA DI INDONESIA

Konflik sumber-sumber agraria bisa dikatakan sebagai persoalan skala dalampemanfaatan ruang, terutama dalam hal alokasi sumber-sumber agraria.Penduduk setempat membutuhkan sumber-sumber agraria sebagai sumberkehidupan dan untuk kelanjutan hidup mereka, sehingga hanya membutuhkanalokasi sumber-sumber agraria yang relatif sedikit. Sementara para pengusahayang mempunyai target untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya,cenderung membutuhkan alokasi sumber agraria dalam skala besar. Perbedaanskala kepentingan dan kebutuhan tersebut mengakibatkan konflik di antarakedua kelompok kepentingan tersebut. Dengan demikian, konflik yang munculbukan semata-mata karena langkanya sumber-sumber agraria seperti yangbanyak diutarakan berbagai pihak. Dalam banyak kasus, seperti juga yangterjadi di dalam kasus-kasus yang diuraikan didalam buku ini, sumber-sumberagraria yang dibutuhkan oleh kepentingan ekonomi skala besar telah mengambilalih sumber-sumber agraria yang telah dikuasai oleh petani maupun kelompokmasyarakat adat. Proses pengambilalihan itu umumnya difasilitasi olehfasilitas-fasilitas pengalihan hak atas sumber-sumber agraria yang disediakanoleh negara.

Uraian singkat di atas merupakan gambaran singkat tentang corak konflikagraria di Indonesia di masa Orde Baru, yang konfliknya tidak lagi terjadi antarapetani miskin dan/atau tak bertanah dengan petani kaya atau tuan tanah 1a.Pada 30 tahun terakhir abad XX tersebut pola konflik agraria dapat dilihatsebagai perseteruan antara penduduk setempat (petani/petani tak bertanah,nelayan dan satuan-satuan masyarakat adat) dengan pihak lain yang hendakmemanfaatkan sumber-sumber agraria sebagai media untuk menanamkanmodalnya. Perseteruan kepentingan ini pun kemudian semakin tajam karenanegara, yang mestinya menjadi pelindung seluruh rakyat Indonesia, kemudianmenjadi lawan sengketa penduduk setempat karena justru lebih berpihak kepadapenanam modal. Negara memberikan ijin kepada kelompok-kelompok yangmenanamkan modalnya di atas wilayah-wilayah yang umumnya merupakanwilayah penguasaan atau kegiatan produksi penduduk setempat. Dengan katalain, watak dari konflik agraria di Indonesia sekarang sudah berubah menjadikonflik vertikal ketimbang konflik horisontal, atau konflik antara petani/rakyat

2

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

dengan kekuatan modal atau negara, atau konflik antar petani/rakyat dengankekuatan modal yang beraliansi dengan negara. 1b Bahkan konflik agraria diIndonesia bersifat multi-dimensional yang tidak bisa dipahami hanya sebagaipersengketaan agraria an sich, karena konflik ini adalah pucuk gunung es dariberagam jenis konflik lainnya yang juga mendasar seperti konflik antar sistemekonomi (kapitalis versus subsistensi), konflik mayoritas-minoritas, konflikantara “masyarakat modern” versus “masyarakat adat”, konflik antara Negaradengan Warga Negara, konflik antar sistem ekologi (ekosistem versusindustrialisme), konflik antara sistem pengetahuan (sistem pengetahuanpositivistik versus sistem pengetahuan “asli”), konflik antar budaya (budaya“modern” versus “budaya asli”), serta konflik dalam relasi gender. 1c

Corak konflik semacam ini tampak jelas menimbulkan satu pola konflik yangkhas dibandingkan dengan pola konflik yang terjadi antara petani (tak bertanahatau bertanah sempit) versus petani (kaya atau bertanah luas). KPA dalamMemorandum mengenai Sengketa Pertanahan 1d menyimpulkan bahwa corak danpola konflik sumber-sumber agraria di masa Orde Baru yang semacam inimemiliki hubungan erat dengan tiga hal, yaitu:

1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal – baik modal domestikmaupun internasional;

2. Watak otoritarianisme dari pemerintahan Orde Baru; dan

3. Berubahnya strategi dan orientasi pengembangan sumber-sumber dayaagraria dari strategi agraria yang populis (membangun masyarakat sosialis)menjadi strategi agraria yang kapitalistik (mengintegrasikan masyarakatIndonesia sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme internasional).

Ketiga hal ini, seperti diuraikan di dalam Memorandum KPA tersebut, melahirkansuatu corak dan pola sengketa sebagai berikut:

1. Sengketa agraria karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumiserta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yangakan dieksploitasi secara masif.

2. Sengketa agraria akibat program swasembada beras yang pada prakteknyamengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan danmembengkaknya jumlah petani tak bertanah, serta konflik-konflik yangbersumber pada keharusan petani untuk menggunakan bibit-bibit unggulmaupun masukan-masukan non organik seperti pestisida, pupuk urea, dansebagainya.

3

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

3. Sengketa agraria di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan penerbitanHGU maupun karena pembangunan perkebunan-perkebunan inti rakyat (PIR)dan program sejenisnya, seperti Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).

4. Sengketa akibat penggusuran-penggusuran di atas lahan yang hendakdimanfaatkan untuk industri pariwisata, real estate, kawasan industri,pergudangan, pembangunan pabrik, dan sebagainya.

5. Sengketa agraria akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihantanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakansebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan.

6. Sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunantaman nasional atau hutan lindung, dan sebagainya yang mengatasnamakankelestarian lingkungan.

Sengketa akibat penutupan akses masyarakat untuk memanfaatkan sumber-sumber agraria non-tanah (perairan, udara, dan isi perut bumi) danmenggantikannya dengan hak-hak pemanfaatan terbatas untuk sekelompok kecilorang atau perusahaan tertentu meskipun sumber-sumber agraria tersebutberada dalam kawasan yang selama ini menjadi bagian dari kawasan tenuriallokal dari masyarakat setempat atau merupakan kawasan bebas.

KONFLIK DAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

Diskriminasi dan konflik merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Prosesdiskriminasi terus menerus akan berujung pada konflik, dan sebaliknya proseskonflik akan diikuti oleh proses-proses segregasi yang menyebabkan pola-poladiskriminasi baru. Konflik berbau diskriminasi yang populer disebut SARA (suku,agama, ras, dan antar golongan) sebenarnya telah terjadi berulang-ulang sejakberabad-abad yang lalu. Belanda telah menggolong-golongkan kedudukankelompok masyarakat; strata teratas adalah golongan putih, strata di bawahnyaadalah golongan timur asing dan bangsawan feodal, serta strata paling bawahadalah rakyat jelata. Pada pertengahan abad XVIII, Belanda melakukanpengusiran ribuan keluarga Tionghoa – yang ratusan di antara mereka terbunuhkarena kejadian ini — dari Batavia, karena dianggap akan menyaingi orang-orang kulit putih dan menjadi sumber masalah di masa mendatang. TerbentuknyaSerikat Dagang Islam (SDI) pada awal abad XX yang dipelopori oleh parapedagang muslim di Jawa Tengah tidak lepas dari politik diskriminasi PemerintahBelanda terhadap penduduk tanah jajahan.

4

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Meskipun setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 berbagaipemberontakan terjadi, tetapi konflik besar berbau SARA pertama terjadi padatahun 1965-1966. Gagalnya Gerakan 30 September (G30S) mengakibatkan konflikhorizontal dengan korban tewas lebih dari 500.000 orang. Meskipun berbagaianalisis menduga keterlibatan dan pembiaran pihak berwenang pada konflikpasca G30S ini, tetapi berbagai operasi pengganyangan terhadap orang-orangyang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan oleh berbagaikelompok masyarakat yang lain. Ini konflik antar golongan terbesar yang dialamioleh bangsa Indonesia yang perlu dijernihkan. Memori menyedihkanpembantaian di pertengahan 1960-an ini kelihatannya terus berulang padatahun-tahun setelahnya.

Setelah tahun 1965 berbagai konflik berbau SARA dengan eskalasi sedang –dengan berbagai variasi pihak yang berkonflik termasuk melibatkan pihakpemerintah di dalamnya – terus berulang sampai pertengahan tahun 90-an:konflik Dayak-Tionghoa di Kalbar pada akhir 1960-an, konflik Dayak-Maduradi Kalbar yang terus berulang, pengganyangan “kelompok-kelompok Islam keras”di berbagai tempat di Indonesia selama jaman Orde Baru, pembakaran asset-aset golongan Tionghoa di perbatasan Jawa Timur – Jawa Tengah pada awal1980-an, dll.

Menjelang Reformasi 1998 dan sesudahnya “kesan harmonis” dalam keragamanbangsa – dilegitimasi dengan jargon Bhineka Tunggal Ika — robek dan terkoyak.Eskalasi konflik berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), frekwensimaupun wilayah konflik, membuncah dengan dahsyat. Konflik-konflik besarseperti kasus Sambas, kasus Sampit, konflik Ambon, konflik Poso, Kasus “pembunuhan dukun santet” di berbagai lokasi di Pulau Jawa dan sejumlahkonflik lainnya adalah sejumlah konflik berbau SARA yang terjadi menjelangdan sesudah Reformasi. Ribuan jiwa telah tewas dan kerugian material tidakterhitung lagi jumlahnya akibat berbagai konflik ini. Trauma paska konflik jugamenjadi masalah seumur hidup yang sangat sulit disembuhkan. Identitaskebangsaan kita yang cukup dikenal sebagai bangsa yang religius, toleran, dandibesarkan oleh keragaman terpuruk sangat parah. Potensi konflik berbauSARA ini, seperti sebuah luka, selalu menyisakan parut-parut luka yang siapuntuk meledak kembali.

Dipandang dari sudut mana pun berbagai konflik berbau SARA ini akanmerugikan. Tidak hanya bagi kelompok minoritas, tetapi juga kehidupanberbangsa akan terancam oleh berbagai noktah berbagai konflik ini. KonflikSARA akan meruntuhkan bangunan kebersamaan yang sudah dibangun perlahanselama berabad-abad. Dengan rentetan konflik SARA bangunan itu harus ditataulang. Resistensi, trauma, dan endapan konflik laten harus menjadi perhatianpertama sebelum berupaya mewujudkan kembali kebersamaan sebagai

5

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

masyarakat yang toleran dan bijak dalam menyikapi perbedaan kultural.Berbagai konflik berbau SARA ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadapkeberagamaan belum bisa diterjemahkan secara baik oleh berbagai kalangandi negara ini. Di sinilah perlunya membangun kesadaran bersama akanpenghormatan terhadap keragaman identitas sosial termasuk identitas danekspresi keberagamaan, seminoritas apapun jumlah “pemilik” identitas sosialtersebut. Tidak saja mengakui akan adanya keragaman, akan tetapi jugamerayakan keragaman itu dalam irama dan harmoni kehidupan. Dalam kontekske-Indonesiaan, keragaman menjadi sebuah kekayaan multikultural. Adapunbingkai kebersamaan bisa dikibarkan dalam semangat nasionalisme.

Berpijak dari berbagai pengalaman pahit itu upaya-upaya melakukanrevitalisasi nasionalisme harus selalu dilakukan. Upaya ini juga harus didorongdengan penguatan wacana dan artikulasi multikulturalisme. Multikulturalismeadalah modal dasar dalam membangun dan mempertahankan eksistensikebangsaan dan memperkuat semangat kebersamaan dalam menghadapiberbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Asa itu nampaknya cukupbisa diharapkan dari generasi muda sebagai penerus bangsa.

APA ITU PEMETAAN PARTISIPATIF (PP)?

Dari frasenya PP memiliki dua komponen, peta/pemetaan dan partisipasi/partisipatif. Di sini kami menjelaskan secara ringkas kedua komponen tersebutagar ada pemahaman konseptual yang memadai atas istilah ini.

Peta adalah bagian penting dalam keseharian kehidupan modern. Peta selaludibutuhkan setiap kali kita ingin mengetahui posisi tertentu, atau menuju kesuatu tempat. Peta yang tersedia saat ini pun sudah sangat maju dan beragamantara lain berupa atlas, peta rupa bumi (peta topografi) dan peta kota. Bahkan,dengan memanfaatkan teknologi global positioning system (GPS), dengan mudahkini kita bisa mengakses peta melalui telepon genggam atau perlengkapan mobilpribadi.

Selain itu, peta juga sudah umum digunakan untuk melakukan klaim kepemilikansuatu wilayah di muka bumi. Sertifikat tanah yang dikeluarkan Badan PertanahanNasional (BPN) memiliki peta tanah yang dimiliki seseorang. Untuk skala yanglebih besar Departemen Kehutanan memberikan konsesi pengusahaan hutankepada perusahaan-perusahaan. Namun konsesi ini umumnya berada di atastanah yang dikuasai dan dikelola masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat.Akibatnya masyarakat tersebut tiba-tiba mendapat berbagai larangan yangdibawa sekelompok ‘orang luar.’ Mereka tidak boleh lagi mengambil kayu ataubahkan masuk suatu hutan yang selama ini sudah mereka urus dan memberipenghidupan bagi mereka. Keadaan sering menjadi lebih buruk, karena klaim

6

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

orang luar yang didasarkan pada peta konsesi buatan pemerintah tersebutkerap disertai intimidasi dan aksi kekerasan terhadap mereka, bahkan kerapmemakan korban jiwa.

Jika kita cermati, ada suatu aspek penting yang terkait erat dengan perananpeta sebagai alat untuk mengklaim suatu wilayah, yakni fungsi ekonomi peta.Kenyataannya, selama ini peta telah menjadi alat penting dalam mengatur aset,terutama dalam bentuk peta-peta tematik (peta dengan tema tertentu), misalnyapeta kawasan hutan, peta cuaca, atau peta perkebunan. Oleh karena itu,pembuatan peta adalah suatu aktivitas yang erat kaitannya dengan persoalanpolitik, tidak terlepas dari masalah ‘oleh siapa’ dan ‘untuk siapa’ suatu petadibuat. Dan karenanya sarat dengan potensi kekerasan. Bukan hanya kekerasanfisik, melainkan juga wacana yang menimbulkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan oleh suatu pihak kepada pihak lain.

Kekerasan dalam pemetaan juga terjadi pada penamaan suatu tempat ( toponimy).Umumnya, nama suatu tempat berhubungan dengan sejarah, identitas kelompok,dan klaim masyarakat atas tempat tersebut. Pada jaman Hindia Belanda,misalnya banyak nama kota di tanah air yang diganti sepihak oleh penguasasaat itu dengan nama-nama Belanda, seperti Batavia untuk Jakarta, Buitenzorguntuk Bogor dan Hollandia untuk Jayapura. Belakangan, sebagian orang Papua(dulu disebut Irian Jaya) menyebut Jayapura sebagai Port Numbay. Salah satubab dalam buku ini juga mengulas hal ini.

Kedua bentuk kekerasan peta pada dasarnya adalah bentuk penghapusanmasyarakat lokal dari keberadaan mereka di suatu wilayah. Untuk melawanproses ‘penghapusan’ tersebut muncullah gerakan PP untuk melawan negaradengan menggunakan ‘bahasa’ yang sama. Melalui peta-peta yang dihasilkanmasyarakat lokal dengan bantuan para pendukungnya bisa menunjukkankeberadaan mereka dan untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yangdicabut atau diabaikan.

Pada dasarnya dalam proses PP para surveyor (penggiat dan anggota komunitas)mengambil data spasial berupa titik, garis dan poligon. Data titik untukmenentukan posisi, misalnya, suatu tempat; garis untuk jalan dan sungai; poligonuntuk penggunanaan lahan seperti pemukiman, sawah, kebun, hutan dan bataswilayah. Selain itu juga diambil data non-spasial atau sering juga dikatakandata dan informasi sosial pada wilayah yang dipetakan, seperti sejarahkomunitas dan wilayahnya, pergerakan atau perpindahan penduduk, demografi,konflik, sistem penguasaan tanah dan sebagainya. Kedua macam data inilahyang melengkapi peta partisipatif yang disajikan dengan berbagai cara danpenggunaannya. Untuk alasan kerahasiaan dan perlindungan terhadap datayang dimiliki orang kampung, sering peta partisipatif dibuat dalam beberapa

7

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

lembar tema (layer), seperti peta batas wilayah, peta pengunaan tanah, petatempat-tempat bersejarah, peta pemukiman dan sebagainya. Namun, banyakjuga peta partisipatif diproses dengan teknologi Sistem Informasi Geografis(SIG) yang dapat disajikan dengan berbagai ukuran kertas (skala), pewarnaan,dan legenda (keterangan peta) yang menarik. Teknologi SIG juga memungkinkananalisis mengenai tumpang tindih penggunaan lahan, konflik batas antarwilayah, kecenderungan dampak konflik, dan penggunaan sumberdaya alam.

Beralih ke partisipasi, istilah ini muncul menjadi k onsepsi partisipasi munculmenjadi wacana dalam ilmu perencanaan dan studi pembangunan. Paraperencana dan peneliti pembangunan merasakan banyak kegagalan dalamproyek pembangunan karena masyarakat yang menjadi sasaran tidakmengalami perubahan. Sementara ‘partisipatif’ merupakan kata keterangan(adjective) dari frase penelitian partisipatif ( participatory research ), karena padadasarnya PP di Indonesia merupakan pengembangan dari Participatory RuralAppraisal (PRA – pengkajian desa secara partisipatif). PRA sendiri adalah salahsatu varian dari penelitian partisipatif.

Wacana partisipasi sudah muncul empat puluh tahun lalu dalam ilmuperencanaan ketika Sherry Arnstein menerbitkan artikel tentang tingkatpartisipasi warga, sebuah artikel yang menjadi sangat terkenal. Iamenguraikannya dalam bentuk tangga yang terdiri dari delapan anak tangga. Disini kami mengutip penjelasannya yang telah diterjemahkan secara utuh. 1e

Pada anak tangga paling bawah adalah 1) Manipulasi ( Manipulation)dan (2) Terapi (Therapy). Kedua anak tangga ini menggambarkan aras‘nirpartisipasi’ yang diusahakan sekelompok orang untuk menggantikanpartisipasi yang murni. Tujuan mereka sebenarnya bukan untukmemungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan ataupelaksanaan program, tetapi untuk memungkinkan para pemegangkekuasaan untuk ‘mendidik’ atau ‘menyembuhkan’ para peserta. Anaktangga ketiga dan keempat maju ke arah tokenisme (penghargaan) yangmemungkinkan orang-orang tak berpunya untuk mendengarkan danbersuara: (3) Pemberitahuan (Informing) dan (4) Konsultasi (Consulta-tion). Ketika mereka ditawarkan para pemegang kekuasaan sebagaikeseluruhan partisipasi, warga mungkin memang mendengarkan dandidengarkan. Tetapi dalam keadaan ini warga tidak memiliki kekuasaanuntuk memastikan bahwa pandangan mereka akan digubris olehkelompok yang berkuasa. Ketika partisipasi terbatas pada aras-arastersebut, tidak ada lanjutannya, tidak punya kekuatan, jadi tidak adajaminan akan mengubah keadaan. Anak tangga (5), Penenteraman (Pla-cation), pada dasarnya aras penghargaan yang lebih tinggi karena aturandasarnya membolehkan orang yang tak berpunya untuk menasihati, tetapi

8

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tetap mempertahankan hak pengambilan keputusan pada para pemegangkekuasaan.

Pada anak tangga yang lebih tinggi adalah aras kekuasaan warga dengantingkatan pengambilan keputusan yang makin tinggi. Warga bisamembangun sebuah (6) Kemitraan (Partnership) yang memungkinkanmereka untuk berunding dan mendapatkan timbal baik dari parapemegang kekuasaan. Pada anak tangga yang paling atas, (7) Kekuasaanyang didelegasikan (Delegated power) dan (8) Kontrol warga (Citizen con-trol), para warga yang tidak berpunya memiliki sebagian besar suaradalam pengambilan keputusan atau bahkan kekuasaan pengelolaanpenuh.

Kritik yang dilancarkan Arnstein terhadap konsep partisipatisi akhirnya masukke dalam lingkaran lembaga-lembaga pembangunan dan mempengaruhi studipembangunan. Perubahan ini terjadi pada tahun 1980-an ketika ilmu-ilmu sosialyang membawa perspektif manusia mulai berhasil mempengaruhi kebijakanpembangunan. Sebelum itu kebijakan pembangunan semata-mata ditentukanoleh para perencana, birokrat dan politisi yang tidak banyak mempedulikankepentingan rakyat karena pendekatan mereka yang paternalistik dan top-down.Bank Dunia pun mulai memperkenalkan pembangunan yang partisipatif ( par-ticipatory development ). Konsep ini bertujuan untuk memberikan masyarakatkesempatan lebih banyak untuk berpartisipasi secara efektif dalam kegiatanpembangunan. Metode-metode penelitian sosial yang menangkap kepentinganmasyarakat pun mulai dikembangkan terutama lewat pengkajian desa secaracepat (Rural Rapid Appraisal- RRA ) yang menempati masyarakat sebagainarasumber bagi para peneliti.

Konsep penelitian partisipatif muncul sekitar awal 1980-an sebagai reaksiterhadap penelitian sosial yang cenderung tidak memperhatikan kepentinganmasyarakat sehingga menjadikan mereka sebagai obyek semata yang bisa diotak-atik seenaknya. Makin maraknya represi pada dekade 1960-an dan munculnyapengaruh Marxis ke dalam ilmu-ilmu sosial di tahun 1970-an mendorongpengembangan metode penelitian yang berpihak kepada kaum yangterpinggirkan. Penelitian partisipatif adalah salah satu terobosan untukmengangkat keberpihakan tersebut. Atau dengan kata lain ilmu-ilmu sosialmengalami proses humanisasi.

Pendekatan penelitian ini tidak lepas dari pengaruh kuat Paulo Freire. Beliaumengusulkan konsep conscientização (konsientisasi atau penyadaran) yaituproses yang dilalui sebuah kelompok (kelas) dalam menyadari penindasanbudaya mereka, mentalitas terjajah mereka yang menciptakan budaya bisu ( cul-ture of silence) yang mengungkung mereka. Dalam proses tersebut mereka

9

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

menemukan bahwa mereka memiliki budaya populer sendiri, identitas sendiridan sebuah peran dalam masyarakat. Mereka adalah subyek yangberkepentingan untuk menciptakan masa depan baru yang demokratissebagaimana dilakukan kelompok-kelompok dominan. Kesadaran kritisdemikian membuat mereka lebih mengerti tentang realitas dunia, yang kemudianmendorong mereka untuk mengambil tindakan untuk mengubah dunia dengancara memberi makna-makna baru dalam hubungan sosial yang tidak adil menujumasyarakat demokratis.

Metode yang diajukan Freire adalah pendidikan hadap-masalah ( problem-pos-ing education) yang mendorong ‘guru’ dan ‘murid’ untuk melakukan dialog dalammenganalisis realitas sosial para ‘murid,’ sehingga terjadi proses yang setaradi antara keduanya. Konsekuensinya adalah baik guru dan murid adalah subyekberpengetahuan yang saling belajar. Jadi guru adalah juga murid, dan sebaliknyamurid juga menjadi guru. Agar keadaan ini bisa dicapai baik guru dan muridharus bisa menempatkan diri pada dua sistem nilai atau dua sistem budaya,karena pengetahuan dari masing-masing pihak sangat mungkin berakar sistemnilai atau budaya yang berbeda.

Ide penting Freire inimasuk ke dalam metodepenelitian partisipatifyang juga menjadikanmasyarakat sebagaisubyek yang mampumembuat pengetahuan(knowing subject) tentangdiri mereka sendiri.Implikasi dari pendeka-tan itu adalah pemakaianmetode dialog dalampenelitian dan adanyakontrol masyarakat ataspenelitian tersebut untuk mengubah keadaan yang menekan kehidupan mereka.Implikasi lain adalah ilmuwan (sosial) kehilangan otoritas satu-satunyakelompok pembuat ‘kebenaran’ tentang keadaan masyarakat. Pendekatan inipun akhirnya masuk ke dalam lingkaran studi pembangunan dengandiperkenalkannya PRA.

Gerakan PP berkembang sangat pesat sejak awal 1990-an dan menyebar keberbagai pelosok dunia. Gerakan ini menantang negara yang mengklaimkedaulatan atas ruang dan sumber daya alam di dalamnya melalui peta modern.

10

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Upaya ini menjadi sangat mungkin karena karena teknologi pemetaan modern,terutama global positioning system (GPS) dan sistem informasi geografis (SIG),menjadi makin murah dan makin mudah digunakan. Akibatnya seseorangdengan pemahaman dasar tentang kartografi bisa membuat peta modern standar,tidak perlu lagi keahlian tinggi. Jadi teknologi pemetaan ini bisa berubah menjaditeknologi perlawanan (technologies of resistance ) yang memungkinkan kelompok-kelompok lemah untuk merekonstruksi teknologi-teknologi tersebut. Dengandemikian kesan sakral dari teknologi pemetaan terbongkar. Walaupun paraahli perpetaan (kartografi) menyatakan bahwa mereka yang mampu membuatpeta bukan berarti mereka adalah kartograf, dan juga tidak berarti peta yangdibuat para aktivis dan masyarakat lokal tidak mempunyai kekuatan.Masyarakat memiliki posisi tawar yang lebih baik ketika berhadapan denganpihak luar (khususnya Negara dan pengusaha). Peta-peta yang dihasilkan punkemudian menjadi ‘senjata’ perlawanan yang baru. Di Nicaragua (AmerikaTengah) bahkan ada ungkapan GPSistas2a karena masyarakat adat tidak lagimempertahankan tanahnya dengan senjata api, tetapi dengan GPS yang bisadigenggam. Jadi PP adalah sebuah bentuk gerakan sosial dan sebuah strategiuntuk melawan hegemoni atas ruang. Karenanya beberapa negara seperti Ma-laysia dan Filipina berusaha menghambat produksi peta oleh masyarakatdengan mengharuskan para pembuat peta untuk mendapatkan lisensi agarpetanya bisa dipakai dalam urusan Negara.

Gerakan ini sangat dipengaruhi oleh konsep penelitian partisipatif yang munculsekitar awal 1980-an sebagai reaksi terhadap pendekatan positivistik dalamilmu-ilmu sosial. Pendekatan tersebut cenderung tidak memperhatikankepentingan masyarakat dan bahkan menjadikan mereka sebagai obyek sematayang bisa diotak-atik seenaknya. Makin maraknya represi pada dekade 1960-an dan masuknya masalah keadilan sosial ke dalam ilmu-ilmu sosial di tahun1970-an mendorong pengem-bangan metode penelitian yang berpihak kepadakaum yang terpinggir-kan. Penelitian partisipatif adalah salah satu terobosanuntuk mengang-kat keberpihakan tersebut. Ide penting dalam metode ini adalahmenja-dikan masyarakat sebagai subyek yang mampu membuat pengetahuan(knowing subject) tentang diri mereka sendiri, suatu teori yang diusung PauloFreire. Implikasi dari pendekatan itu adalah pemakaian metode dialog dalampenelitian dan adanya kontrol masyarakat atas penelitian tersebut untukmengubah keadaan yang menekan kehidupan mereka. Implikasi lain adalahpeneliti kehilangan otoritas sebagai satu-satunya kelompok pembuat‘kebenaran’ tentang keadaan masyarakat.

Dengan demikian, PP bisa dipahami sebagai proses pembuatan peta modernmelalui proses dialog di antara masyarakat lokal dan ‘peneliti’ untuk bisamengubah keadaan masyarakat tersebut. Dengan bantuan ‘peneliti’ yang

11

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

umumnya adalah aktivis organisasi non-pemerintah (Ornop), masyarakatdiharapkan menjadi pembuat peta dan sekaligus pembuat peta karena pemetaanjenis ini adalah tentang, oleh dan untuk masyarakat. Secara khusus para‘peneliti’ ini menerjemahkan peta mental (pengetahuan spasial atas suatuwilayah) masyarakat lokal ke dalam peta dengan standar kartografis. Selainitu, PP juga menjadi alat pengorganisasian masyarakat. Berdasarkan ciri-ciridi atas, dengan meminjam ide Nancy Peluso (seorang sosiolog yang banyakmeneliti tentang masyarakat hutan di Indonesia), PP didefinisikan sebagaigerakan sosial yang menggunakan strategi pemetaan (ilmiah) untukmengembalikan keberadaan masyarakat pada peta geografis dalam menyatakanklaim teritorial yang permanen dan spesifik atas sumber daya alam .

Berdasarkan definisi kerja ini banyak nama lain dari pemetaan partisipatifkarena gerakan dan metode ini sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia.Dalam sebuah artikel antropologi para pengarang menyebutkan variasi namatersebut: subsistence mapping, subsistence use area mapping, resource usemapping, participatory mapping, participatory land use mapping, participatoryresource mapping, community mapping, community-based mapping,ethnocartography, counter-mapping,self-demarcation, ancestral domaindelimitation.2b

SEJARAH GERAKAN PP DI INDONESIA DAN PERLUNYA EVALUASI

Gerakan lingkungan hidup di Indonesia yang mulai marak pada awal tahun1980-an awalnya menekankan pada persoalan perlindungan ekosistem yangmakin rusak akibat pembangunan ekonomi yang eksploitatif. Gerakan inikemudian mencari alternatif-alternatif pembangunan dan pengelolaanlingkungan yang lebih ramah lingkungan. Bersamaan dengan itu pandanganbahwa masalah lingkungan adalah masalah politik dan HAM mulai masuk kedalam wacana gerakan ini di awal tahun 1990-an. Contoh-contoh pengelolaanlingkungan yang lestari di tingkat lokal, khususnya oleh masyarakat adat,mendorong para aktivis lingkungan untuk mempromosikan masyarakat adat.Wacana-wacana tersebut kemudian mengerucut menjadi wacana pengelolaansumber daya alam berbasis masyarakat (PSDABM sebagai terjemahan dari com-munity-based natural resource management – CBNRM).

Wacana baru tersebut kemudian menjadi arus utama berbagai program-programyang dikembangkan lembaga-lembaga donor, Ornop, akademisi, dan lain-lain,baik di tingkat nasional maupun internasional pada dekade 1990-an. Bahkansampai saat ini pun wacana tersebut tetap menjadi arus utama dalam kegiatan-kegiatan programatik Ornop, lembaga penelitian, maupun program-program

12

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

yang dirancang pemerintah. Di Indonesia wacana ini mempengaruhi wacanabaru seperti Sistem Hutan Kerak yatan (SHK) – yang ide awalnya digagas olehbeberapa LSM – sebagai padanan dari community based forest management ,meskipun dalam perkembangannya menjadi sangat khas Indonesia.

Pada periode yang sama gerakan masyarakat adat yang terutama diusung paraaktivis lingkungan hidup juga mengalami evolusi. Dari semula sebagaiperlawanan terhadap pembangunan skala besar yang merusak lingkungan,gerakan ini juga memperjuangkan pengembalian hak-hak masyarakat adat yangdilindas Negara demi pembangunan. Belakangan gerakan ini juga masuk ranahpolitik identitas yang makin menguat di negara ini sejak reformasi, terutamadengan adanya gelombang desentralisasi pada akhir 1990an. Bersamaandengan itu gerakan petani pun yang lama terpendam akibat represi rejim OrdeBaru muncul kembali. Revitalisai gerakan yang diberangus pada pertengahan1960an ini kembali memunculkan hak-hak petani dan isu reforma agraria, suatuisu yang sudah mulai dibangun kembali oleh para mantan aktivis mahasiswapendamping para petani. Tindakan-tindakan reklaiming tanah pertanian (tanah-tanah perkebunan dan kehutanan) pun marak di mana-mana dan upayaperencanaan wilayah reklaiming mulai dilakukan. Dalam kedua gerakan sosialyang berbasis kampung ini berakar pada masalah keadilan sosial. Kemudiankarena ada kebutuhan pembuktian klaim atas wilayah dan bagaimana kegiatan-kegiatan di wilayah tersebut direncanakan gerakan pemetaan partisipatif punmulai berperan.

PP tumbuh dan berkembang luas, secara langsung maupun tidak langsung, dalamkedua konteks ini terutama dalam bungkus PSDABM. Pada awalnya metode-metode pemetaan yang melibatkan masyarakat dikembangkan oleh lembaga-lembaga yang menggeluti isu-isu konservasi. Mula-mula penggunaan metodeini hanya untuk kelengkapan proses pengumpulan data keruangan yang lebihberperspektif masyarakat. Selain itu, metode ini juga dimanfaatkan untukmencitrakan bahwa program yang dilakukan oleh suatu lembaga telahberlangsung secara partisipatoris. WWF Indonesia Program memakai metodeini pertama kali dalam pemetaan kampung Long Uli yang berada di pinggirkawasan konservasi yang sekarang menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang(Kalimantan Timur). Sejak itu metode PP kemudian berkembang, baik metodologiteknisnya maupun metodologi sosialnya. Pengguna metode ini kemudianberkembang luas, bahkan berbagai organisasi yang terlibat dalam advokasitanah pun mengembangkan metode ini untuk memperkuat program-programadvokasi yang dilaku-kannya. Meskipun variasi penggunaan metode ini telahberkembang luas, tetapi yang tetap mirip adalah bahwa metode ini selalu denganpenekanan kuat pada isu-isu pengelolaan sumberdaya alam berbasismasyarakat.3

13

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Sampai pada tahun 1995 para pelaku pemetaan yang melibatkan masya-rakatini praktis masih berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing mencobamengembangkan metode yang disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing.Taraf pengembangan metodenya pun masih dalam rangka uji coba dan terusberubah. Kemudian pada bulan Oktober 1995, PAFID – sebuah LSM yangberkedudukan di Filipina – menyelenggarakan sebuah lokakarya dengan temaperkembangan community mapping di berbagai belahan dunia. Peserta-pesertayang datang dalam acara tersebut berasal dari berbagai negara yaitu Indone-sia, Panama, Kanada, Amerika Serikat, Malaysia, dan Filipina sebagai tuanrumah. Lokakarya ini memberikan inspirasi yang kuat bagi para peserta dariIndonesia untuk mengembangkan community mapping lebih jauh. Di AmerikaLatin dan Kanada, community mapping telah berkembang cukup lama, danproses-proses community mapping telah diakui negara sebagai bagian prosesmenuju pengakuan tenurial wilayah masyarakat adat. Filipina telah memilikiperundangan yang jelas tentang prosedur menggunakan peta-peta hasil com-munity mapping untuk pengakuan wilayah masyarakat adat. Sangatlah jelasbahwa community mapping di Indonesia pada waktu itu ketinggalandibandingkan pengalaman negara lain.

Setelah lokakarya ini para peserta dari Indonesia sempat berkumpul bersamadan secara singkat bertukar pikiran tentang perkembangan community map-ping di Indonesia. Kemudian mereka sepakat untuk melaksanakan lokakaryatentang community mapping pada bulan Mei 1996 dengan mengundang berbagailembaga yang mulai mengembang-kan kegiatan tersebut di Indonesia. Hasilpenting dari lokakarya yang diselenggarakan di Gadog-Bogor ini adalahpembentukan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) . Sejak itu mulailahgerakan pemetaan partisipatif secara formal dan masif. Sampai sekarang telahcukup panjang perkembangan community mapping di Indonesia baik metodologi,paradigma, perluasan, maupun organisasi.

Pada awalnya, kegiatan pemetaan yang melibatkan masyarakat tarafnya baruuji coba, sehingga terdapat banyak ragam cara dan paradigma yangmenyertainya. Ada lembaga yang menggunakan metode ini hanya untukmelengkapi informasi spasial dari suatu wilayah yang dikumpulkan lembaganya– bisa merupakan bagian dari suatu riset atau merupakan kegiatan tersendiri –sehingga informasi spasial yang diinginkan mencitrakan pendapat masyarakat.Karena pengumpulan informasi spasial atas suatu topik tertentu menjadi tujuanutamanya maka proses-proses partisipasi menjadi lebih dikesampingkan.Proses-proses ekstraksi informasi spasial dari masyarakat dilakukan sesuaidengan topik informasi spasial yang diinginkan, sesuai dengan rencana kerjadan metode yang disiapkan lembaga itu. Dengan metode ini sangatlah jelas

14

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

bahwa lembaga penyelenggaralah yang akan mendapatkan man-faat dariinformasi spasial yang dikumpulkan; adapun masyarakat hanya dimintaiketerangan atau bisa menjadi tukang angkut barang dalam proses di lapangan.

Pada pertengahan 1990-an – ketika isu tentang pemetaan yang melibat-kanmasyarakat mulai berkembang – beberapa lembaga besar mencoba mengadopsimetode ini dalam “proyek-proyeknya”. Ciri-ciri proyek-proyek ini biasanyabekerja pada suatu wilayah yang luas, bertujuan mengkombinasikan antaraisu konservasi dan partisipasi masyarakat, serta cukup ambisius untukmencapai kondisi pengelolaan sumberdaya alam yang ideal untuk suatukawasan. Pada prakteknya proyek-proyek model ini tidak berhasil menjadikanmasyarakat sebagai subyek kegiatan atau gagal “mengajak” masyarakatberpartisipasi penuh dalam proyek-proyek ini. Pada akhirnya – hampir samadengan metode di atas – masyarakat hanya menjadi tukang angkut saja, atausetengah hati terlibat dalam proyek-proyek ini. Beberapa kemungkinan penyebabkekurang berhasilan proyek-proyek ini: perencanaan proyek dilakukan tanpamelibatkan masyarakat, bukan kebutuhan yang sebenarnya dari masyarakat,memiliki jadwal yang terlalu ketat, memiliki prosedur proyek yang “asing” bagimasyarakat.

Mengajak masyarakat berpartisipasi penuh dalam suatu kegiatan tidaklahmudah. Suatu kampung – sekecil apapun kampung itu – memiliki pemangku-pemangku kepentingan yang rumit. Partisipasi penuh akan timbul kalau kegiatanitu benar-benar merupakan kepentingan kampung itu. Kalau disampaikan dengan“benar” tentang kegunaan PP untuk suatu kampung, maka sebenarnya tidaklahterlalu sulit menjadikan PP benar-benar menjadi agenda kampung itu. Prosespenerimaan ide atau perkembangan wacana di kampung tentang PP yangseringkali memerlukan waktu lama. Apabila PP telah menjadi agenda kampungatau apabila masyarakat telah berpartisipasi penuh dalam PP, maka proseskegiatan pemetaan akan menjadi mudah dan optimal hasilnya. Kesabaranproses seringkali gagal dipenuhi oleh proyek yang telah dirancang denganpembagian waktu yang ketat; seringkali pelaksana di lapangan menjadimengesampingkan partisipasi.

JKPP mencoba menempatkan partisipasi masyarakat menjadi kunci dalamkegiatan PP. Dalam kegiatan PP, masyarakat lah yang harus menjadipenyelenggara, penentu manfaat peta yang akan dibuat, penentu substansipemetaan, pengontrol hasil, dan pelaku utama kegiatan. Adapun pihak luar(fasilitator, LSM) hanya akan membantu hal-hal teknis dalam pemetaan. KodeEtik JKPP dengan tegas menjelaskan bahwa masyarakatlah yang menjadipenentu/penyelenggara kegiatan PP di kampungnya. Karena itu kampung yangakan menyelenggarakan pemetaan harus menyepakati tentang prosespenyelenggaraan pemetaan, pembiayaan, menentukan orang-orang yang terlibat,

15

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

dan sebagainya. Sangatlah jelas bahwa PP merupakan kegiatan yang luar biasadan menyibukkan orang-orang di kampung. JKPP dengan teguh menggunakandefinisi “pemetaan partisipatif” untuk kegiatan pemetaan yang melibatkanmasyarakat; tentunya dengan standar partisipasi seperti apa yang tersurat dalamKode Etik JKPP yang diformulasikan dalam Forum Anggota (setingkat kongres)JKPP pada tahun 1999.

Akan tetapi dalam perjalanan JKPP, tidak semua anggota JKPP berhasilmenjalankan sepenuhnya Kode Etik JKPP dalam menyelenggarakan PP. Harusdiakui bahwa ada anggota JKPP yang “kurang sabar” dalam mendukung prosesPP, terjebak dengan jadwal proyek atau memang kurang intensif dalam bekerjadi suatu tempat. Partisipasi penuh masyarakat sangat penting dalam PP, karenapada masa-masa selanjutnya masyarakat sendiri lah yang akan memanfaatkanpeta yang telah dihasilkan.

Pada awal 90-an, ketika metode pemetaan dengan pelibatan masyarakat mulaiberkembang, hanya beberapa lembaga di Indonesia yang mulai mencoba metodeini. Itupun didominasi oleh lembaga-lembaga yang menekuni isu konservasisumberdaya alam. Karena tarafnya baru uji coba, variasi metode dan tujuanpenggunaan pemetaan yang melibatkan masyarakat juga sangat luas; daridominasi tujuan oleh lembaga yang menginisiasinya sampai pada lembaga-lembaga yang benar-benar menyerahkannya kepada masyarakat tentang tujuandan manfaat PP. Pada tahun 1996, setelah JKPP berdiri, upaya-upaya perluasanide-ide tentang PP mulai dilakukan dengan serius. Telah cukup banyak kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas dalam PP telah dilakukan; magang, regionaltraining, training of trainers (TOT), kunjungan silang, dsb. Pada awal 1990-anhanya beberapa lembaga saja yang mengembangkan metode pemetaan denganmelibatkan masyarakat. Saat ini hampir di seluruh provinsi di Indonesiaterdapat lembaga-lembaga yang mengem-bangkan PP dan tersedia fasilitator-fasilitator PP. Kegiatan-kegiatan PP diselenggarakan oleh beragam masyarakat,baik yang memiliki wilayah hidup berbasis daratan maupun yang berwilayahhidup dengan basis laut. Berbagai permintaan PP dari komunitas-komunitasbelum keselu-ruhan bisa terlayani.

Materi peningkatan kapasitas bukan hanya teknik-teknik PP di lapangan, tetapijuga meliputi GIS, penggunaan peta untuk perencanaan, pengkayaan pemahamanaliran ideologi yang berpengaruh, dsb. Refleksi-refleksi penggunaan metodeyang telah digunakan juga dilakukan. Meskipun berbagai proses training PPtelah diselenggarakan, tetapi jumlah fasilitator PP yang masih aktif sampaisekarang sangatlah terbatas. Substansi berbagai kegiatan peningkatankapasitas pun masih perlu banyak perbaikan.

16

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Saat ini metode ini sangat cepat perkembangan penggunaannya. Berdasarkandata yang dikumpulkan JKPP (2009), telah 510 komunitas atau kampong ataudesa menyelenggarakan PP dengan luas areal lebih dari 2,5 juta hektar. AnggotaJKPP berjumlah 63 lembaga dan 35 anggota perorangan. Meskipun yang sangatdominan menggunakan metode ini adalah LSM dan masyarakat, pemerintahpun telah mulai mengadopsi metode pemetaan dengan melibatkan masyarakatdalam mengimple-mentasikan program-programnya. Program HutanKemasyarakatan (HKM) Departemen Kehutanan mensyaratkan perencanaanpartisipatif (yang menyertakan juga peta partisipatif) sebagai salah satu keleng-kapan yang harus disediakan kelompok masyarakat yang ingin mengelola hutan.Departemen Kehutanan telah mencoba tata batas partisipatif dengan metodeini di Sumba (NTT). Pemda Kutai Barat dan Pemda Jayapura – bekerja samadengan LSM dan akademisi – mencoba menginventarisir wilayahnya denganmenggunakan metode ini.

Perhatian lembaga-lembaga donor akan pengelolaan sumber daya alamberbasis masyarakat pada masa berdirinya JKPP memungkinkan dukungan danayang besar bagi gerakan ini. Dua tahun kemudian, Soeharto mundur darikekuasaan otoriternya yang dipegang selama 32 tahun. Kejadian ini membukapeluang yang besar dalam meredefinisi hubungan negara dan rakyat danmembuka ruang politik yang sangat besar bagi gerakan sosial. JKPP menikmatisituasi ini sehingga memungkinkan gerakannya makin membesar. Perbesarannyadiikuti dengan semakin memperkuat strategi gerakannya yang salah satunyaadalah turut terlibat dalam pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN). Hal ini sejalan dengan langkah awal pembentukkan JKPP, dimanadimulai dengan banyak melakukan pemetaan di wilayah-wilayah dimanakomunitas adat hidup. Dengan mendorong terbentuk-nya AMAN, maka gerakanyang sedang didorong JKPP dengan PP memungkinkan untuk semakinmemperjelas strategi gerakan PP didalam khususnya di komunitas adat. Terkaitdengan kelembagaan yang kuat didalam komunitas adat yang dibangun olehAMAN, maka bagi JKPP akan semakin mempertegas wilayah-wilayah kerja JKPP.

Di lain pihak, perubahan politik tersebut menyebabkan perubahan prioritaslembaga donor untuk menyokong isu reformasi politik dan ekonomi, terutamamelalui topik desentralisasi dan tata pengurusan yang baik ( good governance).Perubahan politik pendanaan ini berdam-pak signifikan terhadap gerakan PPsehingga mulai melesu dan seperti kekurangan darah. Repotnya JKPP terlambat,atau bahkan tidak siap, untuk mengantisipasi perubahan ini, karena masihberkutat persoalan teknis pemetaan. Sampai saat ini anggota-anggota JKPPcenderung masih menjadi “tukang ukur-ukur” dan belum sampai ‘bermain’politik dalam pengelolaan ruang dan belum memiliki konsep yang jelas setelah

17

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pemetaan dilakukan. Padahal visinya untuk ‘menegakkan kedaulatan rakyatatas ruang’ sangatlah politis. Jadi terasa sekali kesenjangan antara cita-citadan kenyataan.

Sementara kesulitan hidup rakyat makin berat akibat kesalahan pengelolaannegara. Hal ini tercermin pada kebijakan keruangan pemerintah yang makincondong pada kepentingan pemodal besar. Sementara rakyat kebanyakan dipedesaan dan perkotaan makin terjepit karena mereka makin tidak mampumempengaruhi proses pengambilan kebijakan yang berdampak pada tata kuasa,tata kelola dan tata konsumsi mereka. Kesalahan tersebut akhirnya menimbulkansederet bencana akibat kelalaian manusia. Banjir, tanah longsor, luapan lumpurpanas, kekeringan adalah bentuk-bentuk bencana yang muncul akibatpemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan,partisipasi dan keadilan. Selain itu tertutupnya komunikasi antar kelompok-kelompok identitas yang dikategorikan sebagai SARA menimbulkan konflik etnisdan agama seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Poso.Salah satu akar persoalan yang menimbulkan konflik-konflik tersebut adalahketidak-adilan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Menghadapi persoalan-persoalan tersebut JKPP bersama sejumlah aktivisgerakan PP dan organisasi rakyat perlu meredefinisi gerakannya denganmemperhatikan konteks-konteks politik, sosial, ekonomi dan budaya yang ada.Jaringan ini harus berubah dari sekedar ‘tukang ukur-ukur’ menjadi pendampingyang berkomitmen tinggi bagi masyarakat lokal dan kekuatan penekan yangdidengarkan bagi para pembuat kebijakan dan pemodal. Secara internal JKPPyang kemudian menjadi ‘rumah’ bersama untuk dijalankannya dandikembangkannya strategi-strategi gerakan PP sudah menyadari persoalan-persoalan ini dan berupaya untuk mengarusutamakan Pemetaan Partisipatifuntuk mencapai kedaulatan rakyat atas tata kuasa, tata kelola, tata produksidan tata konsumsi. Untuk itu JKPP mengumpulkan petikan pengalaman darikegiatan PP sampai saat ini dari berbagai daerah.

Buku ini adalah kumpulan tulisan dari berbagai pelaku pemetaan partisipatifdari Aceh sampai Papua yang diundang JKPP untuk menuliskan pengalamandan pengendapan mereka atas kerja-kerja yang mereka lakukan sebagai bagiandari gerakan PP dalam sebuah lokakarya penulisan (lokatulis) di Bogor. Parapeserta dipilih dengan memperhatikan keragaman ekosistem dan penggunaanwilayah tempat kerja lembaga asal, termasuk pesisir, pertanian, pegunungan,daerah aliran sungai, kawasan konservasi, konsesi hutan/tambang, sertamemperhatikan keterwakilan wilayah asal anggota JKPP

18

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Berdasarkan kriteria tersebut Sekretariat JKPP mengundang para penulis bab-bab buku ini yang didampingi oleh seorang wakil masyarakat dari kampungyang menjadi studi kasus tulisan masing-masing. Para peserta yang hadir dalamlokatulis tersebut adalah wakil-wakil dari:

- Aceh yang mengalami konflik bersenjata dan merekonstruksi wilayahnyasesudah bencana tsunami

- Lampung yang masyarakat nelayannya harus berhadapan dengan kegiatanperikanan skala besar

- Kalimantan Barat yang memiliki gerakan masyarakat adat yang kuat di tengahmaraknya ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar

- Kalimantan Timur dan Flores (Nusa Tenggara Timur) dengan masalah hutanlindung di atas tanah adat

- Sulawesi Tengah yang masyarakat adatnya tinggal di dalam sebuah tamannasional

- Papua yang sedang berusaha merencanakan wilayah adatnya secaramultipihak

- Jawa Timur dengan konsentrasinya pada gerakan petani yang sedangmemperjuangkan tanah garapan

- Banten yang berjuang mendapatkan lahan dari kawasan hutan yang diklaimPerum Perhutani (BUMN yang memonopoli pengelolaan hutan di Jawa)

Sebelum datang ke acara lokatulis para peserta diminta untuk menjawabsejumlah pertanyaan. Mereka juga diharapkan untuk melakukan diskusi denganmasyarakat dan pejabat pemerintah untuk memenuhi harapan yang dijawabkandidalam acara lokatulis yang termasuk didalamnya adalah agenda evaluasi .Dalam mengumpulkan informasi dalam evaluasi ini metode yang dipakaiberusaha untuk mendapatkan keterwakilan semua kepentingan yang terkaitdalam gerakan dan memakai perspektif jender dalam semua komponen evaluasi.Tidak semua peserta melakukan hal ini, namun pertanyaan-pertanyaan dasaryang ada dalam panduan tersebut kembali dibahas dalam diskusi pendahuluandan penutup lokatulis. Ringkasan j awaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebutdan hasil kedua diskusi tersebut ditulis dalam bab tersendiri.

Buku ini diharapkan dapat menyumbang pengembangan pemikiran dasar danpendekatan PP dan menjabarkan peluang-peluang baru bagi JKPP agar dapatlebih berperan dalam pemberdayaan masyarakat lokal dalam konteks saat inidan memberikan dampak nyata dalam perubahan kebijakan penataan danpengelolaan ruang.

19

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

RINGKASAN TULISAN

Untuk menghantarkan para pembaca atas bab-bab berikutnya, kami (parapenyunting) merasa perlu untuk menyampaikan ringkasan tulisan-tulisantersebut sebagai gambaran atas apa yang akan pembaca temui. Secara umumbab-bab tersebut dibagi menjadi empat bagian yaitu PP dalam gerakanmasyarakat adat, PP dalam gerakan petani, PP dalam pengelolaan sumber dayaalam, dan dampak PP.

Konflik keruangan sering terjadi antara komunitas adat dengan pihak lain,sebagaimana yang dialami oleh masyarakat adat Nian Uwe Wari Tana Kera PuHikong Boru Kedang di Flores yang berkonflik dengan pemerintah. Perbedaanfilosofi dan tujuan dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan dasarkonflik tersebut. Pemerintah secara sepihak menetapkan sebagian besar wilayahmasyarakat adat tersebut sebagai hutan lindung, sehingga kelompok ini menjadikorban dalam konflik keruangan ini. PP dipilih sebagai strategi untukmenyediakan media advokasi penyelesaian konflik keruangan yang merekahadapi. Peta partisipatif yang telah dibuat masyarakat cukup efektif untukmenjelaskan pola-pola penataan dan pengelolaan ruang berdasarkan kearifanlokal masyarakat, sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap pola penataandan pengelolaan ruang yang dilakukan oleh pemerintah yang cenderungmerugikan masyarakat. Samuel Sau Sabu menuturkan bahwa di berbagai forumdialog, pemerin-tah daerah sudah memberi pengakuan, meskipun belum tertulisatas hak-hak komunitas tersebut dalam menata dan mengelola wilayah adatnya.Tetapi perjuangan ini masih panjang karena komunitas tersebut meminta adanyaaturan tertulis yang menjamin pengembalian seluruh wilayah adat komunitasini. Walaupun demikian – menurut Samuel – PP telah memberikan kekuatanbaru bagi komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedanguntuk tetap menjaga solidaritas dan menemukan diri mereka sebagai satukesatuan berdasarkan hubungan genealogis. Selain itu mereka menemukankekuatan baru dan memiliki dasar keutuhan sebagai satu wilayah, satu sejarah,satu nasib dan maju untuk melawan ketidakadilan yang memiskinkan,memenjarakan dan mendiskriminasikan mereka.

Pengalaman yang dituliskan oleh Ahmad SJA dan Jidan menggambarkanbagaimana PP telah meneguhkan kembali masyarakat Kampung Muluy untukmengelola hutan adat mereka dan secara bersamaan menolak keberadaankawasan hutan lindung di tanah mereka. Bagi masyarakat kampung tersebut PPadalah sebuah metode, sebuah cara dan sebuah alat bagi mereka untuk dapatmengidentifikasi dengan baik persoalan yang ada dan persoalan yang mungkinmuncul di kemudian hari yang pada akhirnya menunjuk-kan kekuatan PP.Masyarakat Kampung Muluy memakai seluruh dokumentasi dan inventarisasi

20

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tentang seluruh keyakinan, pikiran dan potensi sumberdaya alam Hutan AdatGunung Lumut sebagai alat tawar tertinggi dengan pihak manapun yang akanmemanfaatkan hutan adat mereka. Selain itu kekuatan adat dan kearifan lokalyang dipetakan kemudian semakin menguatkan posisi tawar masyarakat adatKampung Muluy untuk selalu menjaga kawasan Hutan Adat Gunung Lumut.

Masyarakat Katu yang tinggal di kawasan Taman Nasional Lore Lindu memilikipengalaman yang sangat menarik karena peta yang mereka buat menjadi dasarpengakuan bagi keberadaan mereka di dalam kawa-san konservasi tersebut,seperti yang dituliskan oleh Azar dan Lahmudin Yoto. Kawasan konservasi yangmelingkupi wilayah adat Orang Katu berganti status dan nama beberapa kalisebelum akhirnya memakai nama yang sekarang ini. Seperti juga di tempat-tempat lain, keberadaan kawasan konservasi ditetapkan secara sepihak olehDepartemen Kehutanan dan menghapus hukum adat yang mengatur hak-hakatas tanah yang berlaku dalam masyarakat serta munculnya sederet larangandan kriminalisasi. Pemerintah berencana untuk memindahkan Orang Katukarena dianggap mengganggu keberadaan kawasan konservasi, namun orangKatu terus melawan upaya yang menegasikan hak mereka itu. Setelah melaluiperjuangan yang berliku dan belajar dari berbagai macam sumber dan tempat,pada tahun 1999 Kepala Taman Nasional Lore Lindu akhirnya mengakui wilayahadat mereka. Capaian ini sangatlah menarik, tetapi adakah jaminan bahwapengakuan tersebut dapat terus bertahan di tengah politik kehutanan yang sangatmerugikan hak-hak adat dalam hutan?

Berbeda dengan PP di tempat-tempat lain yang cenderung hanya satu kampungatau desa dan melibatkan masyarakat saja, PP di Papua beberapa tahun terakhirini mencakup wilayah yang luas dan melibatkan banyak pihak, terutama DinasKehutanan Papua. Noah Wamebu memaparkan pengalaman lembaganyamengorganisasi masyarakat adat Nambluong yang dalam perjalanannyamenggunakan PP multipihak untuk proses pemberdayaan dan pengakuan hak.Pengorganisasian yang dilakukan dimulai dengan membangun federasikampung-kampung adat dalam sebuah persekutuan. Kemudian dengan makinterbukanya peluang politik bagi gerakan masyarakat adat di Papua, yangdimungkin-kan dengan status otonomi khusus bagi provinsi paling timurtersebut, percepatan pemetaan wilayah adat menjadi penting. Karena pemetaanwilayah bukan lagi untuk klaim adat semata, tetapi juga untuk perun-dinganpemanfaatan tanah dan sumber daya alam di dalamnya dengan berbagai pihak,maka para aktivis PP di sana meng-adopsi metode pemetaan yang sudah banyakdipakai di Amerika Latin. Metode survei batas yang banyak dipakai dalam PP diprovinsi-provinsi lain di Indonesia tidak lagi dipergunakan. PP di Papua lebihmenekankan pengumpulan informasi spasial yang menggabungkan kekuatanpeta sketsa dan citra satelit. Untuk wilayah adat di Papua yang sangat luasmetode ini memang tampaknya yang paling tepat untuk memetakan wilayah-

21

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

wilayah adat secara cepat guna mengantisipasi arus kuat investasi yangmengincar sumber daya alam yang belum dijamah di provinsi tersebut. Selainitu pemetaan juga bisa menjadi proses pengorganisasian masyarakat karenaterjadi proses penyadaran akan sejarah dan identitas.

Bayu Dedi Lukito dan Bambang Teguh Karyanto menggambarkan pengalaman PPdi Jember (Jawa Timur). Tulisan mereka adalah satu-satunya bab tentang PPyang dilaksanakan kelompok gerakan petani. Berbeda dengan bab lainnya babini mengurai sejarah penguasaan tanah yang panjang, seperti juga dalam kasus-kasus agraria lainnya di Jawa, karena catatan sejarah tertulis mudah diperoleh.Hal ini sangat mempermudah untuk menelusuri sejarah klaim tanah yangsekarang dikuasai oleh PTPN XII yang kemudian digugat oleh dua organisasitani lokal (OTL). Sebagai dampak konflik kedua OTL melakukan reklaiming atastanah yang disengketakan. Mereka kemudian memetakan lahan hasil reklaimingdi desa Nogosari dan desa Curahnongko sebagai upaya untuk meningkatkanposisi tawar OTL dalam penyelesaian sengketa agraria. Peta yang dihasilkanselanjutnya diman-faatkan kedua OTL untuk menata ulang pengelolaan lahanyang mereka kuasai dan untuk meningkatkan semangat para anggota OTL dalampenyelesaian sengketa agraria. Seperti juga di tempat-tempat lain, harapanpetani atas legitimasi peta sangatlah tinggi dalam penyelesaian sengketa agraria.Tetapi kenyataannya penyelesaian sengketa berjalan lambat yang mempunyaisehingga diperlukan ‘kesabaran revolusioner’ dalam perjuangan ini. Dalamkonteks ini, menurut kedua penulis, PP bisa menjadi salah satu media untukmenumbuhkan sikap tersebut. Dengan mengusung semangat membangunpenataan ruang yang berkeadilan, PP dapat menjadi panduan dalammenyelesaikan sengketa dan konflik kerua ngan di negeri ini. Sebuah harapanyang melambung memang, tetapi bukan sebuah hal yang tidak mungkin.

Kemampuan peta sebagai alat negosiasi mulai tampak dalam tulisan BagusPriatna berdasarkan pengalaman di Kampung Ciladu-Ciawi Provinsi Banten.Dengan menggunakan peta yang dihasilkan dalam proses PP, Perum Perhutanimenjadi lebih mudah memahami kondisi lapangan dan pentingnya arealpermukiman baru itu untuk masyarakat. Masyarakat Kampung Ciladu-Ciawitelah merasakan efektivitas hasil PP untuk memperkuat posisi mereka,khususnya ketika berdialog dan bernegosiasi tentang kebutuhan permukimanbaru. Tetapi di luar soal kebutuhan permukiman baru ternyata tidaklah mudahmengajak masyarakat untuk memanfaatkan peta yang mereka buat untuk hal-hal yang lain. Apakah memang kebutuhan peta itu hanya untuk mengurus konfliksaja? Apakah peta itu kemudian hanya disimpan dan menjadi kenang-kenangansaja ?

PP yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pulau Pahawang di Lampung adalahdalam upaya melaksanakan strategi untuk melindungi dan mengelola

22

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

sumberdaya alam pesisir laut. Rizani dan M. Syahril Karim menggambarkanbahwa sesungguhnya PP baik dalam prosesnya maupun dampak yangditimbulkan dalam masyarakat Desa Pulau Pahawang dapat memberikankontribusi dalam penyelesaian konflik wilayah tangkap dan merosotnyasumberdaya laut di pesisir di Desa Pulau Pahawang. Yang paling mendasarproses PP telah memberikan wacana baru bagi masyarakat di Desa PulauPahawang tentang bagaimana seharusnya melindungi wilayahnya agar tidakhabis karena kedatangan pihak luar yang juga ingin memanfaatkan sumberdaya yang ada di pesisir dan lautnya. Dengan tujuan untuk melindungi wilayahpesisir dan laut di Desa Pulau P ahawang, PP pun ikut berperan dalam membentukpola-pola relasi dalam masyarakat serta memberi jalan bagi upaya resolusikonflik melalui negosiasi dengan berbagai pihak dengan menggunakan petayang telah dihasilkan.

PP di Kalimantan Barat telah berlangsung sejak tahun 1994 dan saat ini telahmencapai lebih dari 1,5 juta ha tanah adat. Dengan demikian provinsi inimerupakan wilayah yang memiliki peta partisipatif yang paling luas di Indone-sia. Pemetaan ini hampir semuanya merupakan tanggapan terhadap konfliksumber daya alam dengan pihak luar. Namun dalam tulisan ini Lorensiusmengungkapkan fakta yang patut menjadi perhatian serius para penggiat PP.Berdasarkan pengamatannya di Kabupaten Landak, tiga kampung berdekatanyang telah dipetakan mengalami konflik batas terutama setelah nilai tanahmeningkat pesat akibat masuknya investasi besar yang mencari lahan baru.Masyarakat Kampung Sindur yang menginginkan wilayahnya dikembangkanmenjadi perkebunan kelapa sawit mengklaim tanah komunal yang dimilikibersama dua kampung tetangganya karena menurut peta tanah tersebut masukke dalam wilayah kampung mereka. Setelah ditelusuri diketahui bahwa dalamproses penentuan batas Kampung Sindur wakil-wakil dari kedua kampungtetangga tidak ikut serta. Persoalan yang menarik perhatian di sini adalahkeinginan kuat warga Kampung Sindur untuk mengubah lahan mereka menjadiperkebunan sawit karena mereka belum merasakan kemajuan. Padahal ekspansiperkebunan besar kelapa sawit merupakan salah satu hal yang ingin dicegahmelalui PP. Lorensius berpendapat bahwa proses persiapan sebelum pemetaantidak berjalan dengan baik, karena warga kampung tersebut tidak memakainilai-nilai dasar gerakan PP. Keadaan ini juga menyiratkan bahwa perubahankonsepsi batas yang mungkin dibawa oleh pemetaan menimbulkan keteganganantarkampung. Tulisan ini menyiratkan tantangan gerakan PP dalammengantisipasi perubahan nilai dalam masyarakat dan bahkan memahami nilai-nilai yang dibawa oleh teknologi pemetaan.

Tulisan Anam menyorot sesuatu yang jarang menjadi perhatian khalayak luas,yaitu tentang politik nama tempat dan politik identitas. Memakai pengalaman

23

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pribadi sebagai warga Kampung Anekng (Kabupaten Landak, Kalimantan Barat) ,ia mengungkapkan bagaimana nama kampungnya berubah dari masa ke masa.Sejak berdiri kampungnya bernama Anekng, namun saat pengaruh pemerintahIndonesia masuk ke pedalaman nama tersebut berubah menjadi Andeng.Bersamaan dengan itu masyarakat Dayak merasa rendah diri bila memakainama Dayak, termasuk untuk menyebut kampungnya, karena berkonotasiketinggalan jaman. PP yang dilakukan di kampung tersebut membuat perubahanbesar karena kesadaran akan identitas kampung muncul lagi sehingga namaAnekng kembali dipakai. Selain itu lembaga ketimanggongan yang hilang padamasa penyeragaman desa kembali dihidupkan dengan memakai wilayah DesaAndeng sebagai basis teritori. Struktur adat baru ini adalah sebuah paradokssebenarnya, karena ingin melawan struktur sosial yang dibangun negara justrudengan basis teritorial yang ditentukan negara. Gejala ini mungkin bukanlahsesuatu yang aneh karena baik aktivis maupun komunitas sudah begituterpengaruh dengan keberadaan desa sebagai suatu unit sosial politik. Bahkandesa menjadi unit pemetaan yang dipakai, baik langsung maupun tidak, dalamgerakan PP. Terlepas dari paradoks ini, tulisan tersebut menunjukkan hubunganpenting antara gerakan PP dengan politik identitas. Atau dengan kata lain,Pemetaan Partisipatif sangat mengentalkan identitas suatu tempat.

Sulaiman Daud menyampaikan pengalamannya yang unik sebagai fasilitatorpemetaan. Seperti kita ketahui bersama, selama 30 tahun Aceh mengalami konflikbersenjata yang baru berakhir tahun 2005 setelah provinsi tersebut mengalamimusibah tsunami yang meluluhlantakkan wilayah pesisirnya. Bersamaan denganitu program rehabilitasi dan rekonstruksi besar-besaran dilakukan. Sulaimanmenceritakan dengan baik perbedaan pemetaan di dalam tiga masa: masa konflikbersenjata, masa paska tsunami dan masa damai. Di masa konflik pemetaandilakukan secara sembunyi-sembunyi karena suasana represif yangberlangsung, sehingga para fasilitator pemetaan ditantang untuk mencari taktik-taktik agar proses pemetaan bisa berlangsung. Sesudah tsunami pemetaan bisaberlangsung dengan terbuka karena menjadi kebutuhan penting dalam prosesrehabilitasi dan rekonstruksi. Pemetaan yang dilakukan pada masa ini lebihmenekankan penentuan batas tanah pribadi dan antar gampong (setingkat desa).Namun karena perseteruan antara GAM dan pemerintah RI belum selesai,pelaksanaan pemetaan masih penuh resiko termasuk penyanderaan fasilitatorpemetaan. Pada masa damai pemetaan berjalan jauh lebih baik, namunpersoalan batas antar gampong menjadi makin mencuat karena sulitnyamencari tanda-tanda batas yang dulu menjadi acuan bagi gampong-gampongyang bertetangga. Pengalaman di Aceh sangat menarik karena memberikangambaran tentang tantangan gerakan pemetaan dalam konteks sosial politikyang berubah-ubah.

24

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Dalam bab terakhir dua dari kami, Hilma Safitri dan Albertus Hadi Pramono,mencoba menganalisis bab-bab dalam buku ini dan diskusi-diskusi yang terjadiselama lokatulis di Bogor sebagai bahan refleksi atas gerakan pemetaanpartisipatif yang telah ada selama 15 tahun. Analisis tersebut mencakup berbagaiaspek dari pemetaan partisipatif, mulai dari tujuan, filsafat gerakan, metodologipemetaan, penggunaan peta sampai pada dampak peta. Di akhir bab tulisantersebut memberikan gambaran tentang tantangan-tantangan gerakan pemetaanpartisipatif di masa depan.

Dengan segala macam informasi yang sudah kami sampaikan, mudah-mudahanpembaca memiliki gambaran yang cukup tentang gerakan PP di Indonesiasebelum masuk ke dalam bab-bab selanjutnya. Tanpa berpanjang-panjang lagikami ucapkan selamat membaca dan belajar dari pengalaman-pengalaman PPyang kami himpun ini.

25

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

LATAR BELAKANG

Kemiskinan adalah bagian hidup sehari-hari masyarakat Nusa Tenggara Timur(NTT). Pada tahun 2007, rata-rata tingkat penduduk miskin nasional adalah16,58%, sedangkan tingkat kemiskinan Provinsi NTT adalah 27,51% 4; jauh lebihtinggi bila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional. Masyarakat NTTpada umumnya mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok, karena kondisimusim di NTT pada umumnya hanya memungkinkan tanaman jagung yang bisasecara “aman” ditanam dan bisa panen. Program pembangunan pemerintah,yang sangat bias Pulau Jawa, telah berpengaruh dalam di Provinsi NTT padaumumnya. Pengaruh ini juga terjadi pada mulai berubahnya pola konsumsimakanan pokok masyarakat; yang semula mengkonsumsi jagung, perlahan-lahantetapi pasti, beralih pada konsumsi beras. Padahal sangat sedikit wilayah diNTT yang bisa ditanami padi dengan “aman”. Peralihan pola konsumsi, darijagung menjadi beras, ini menambah tekanan hidup masyarakat NTT.

Pada tahun 2006, kepadatan penduduk NTT adalah 92 orang per km2; sedangkantingkat rata-rata kepadatan penduduk nasional adalah 118 orang per km2 5.Bila dibandingkan dengan rata-rata nasional, tingkat kepadatan penduduk diNTT lebih rendah. Tetapi alam NTT tidak bersahabat kepada rakyatnya. Kondisi

MENGAMBIL ALIH HUTAN LINDUNG:KASUS KOMUNITAS ADAT NIAN UWE WARI

TANA KERA PU HIKONG-BORU KEDANG,NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh : Aku Sulu Samuel Sau Sabu

26

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

musimnya terlalu kering untuk pengembangan pertanian. NTT merupakanprovinsi dengan mayoritas kondisi tanah yang kurang subur. NTT termasuksalah satu provinsi daerah asal transmigrasi. Sejak tahun 1980-an telah ribuankeluarga NTT ikut program transmigrasi dan berpindah ke berbagai pelosoknusantara yang menjadi daerah tujuan program transmigrasi. Jadi tekananpenduduk terhadap tanah dan kepadatan agraria di NTT cukup tinggi. Tetapianehnya persoalan kepadatan agraria yang tinggi ini tidak menjadi kesadaranpara pihak, khususnya pemerindah daerah, di NTT. Konversi lahan pertanianrakyat untuk pengusahaan skala besar atau menjadi tanah negara terusberlangsung. Telah cukup banyak kasus-kasus yang menyebabkan ladang-ladangatau tanah pertanian masyarakat tempat areal menanam jagung dan tanamanlainnya telah dikonversi menjadi kawasan hutan atau tanah negara yang lain.Berkurangnya lahan kelola masyarakat ini makin memperparah kondisi ekonomimasyarakat petani pada umumnya.

Berbagai kesulitan ini, yang berujung pada keterpurukan ekonomi petani,menyebabkan timbulnya perlawanan dan resistensi petani di NTT. Berbagaiperlawanan untuk mempertahankan hak kelola terhadap lahan pertanian inibahkan seringkali diiringi dengan perjuangan dan perlawanan fisik. Sayangnyaberbagai resistensi dan perlawanan petani ini tidak terkoordinasikan danterkonstruksikan dengan baik. Perlawanan cenderung masih sendiri-sendiridan belum terjalin hubungan-hubungan kerjasama antara petani suatu tempatdengan tempat yang lain. Di tengah ketidak berdayaan ini pemerintah terusmemperluas kawasan hutan yang semakin mendesak wilayah-wilayah keloladan perkampungan masyarakat. Dengan alasan perluasan dan pengukuhankawasan lindung, di beberapa tempat, masyarakat terpaksa terusir dari wilayahhidup yang telah ditempati turun-temurun. Perjuangan-perjuangan sporadisyang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan wilayah kelolanya seringdiakhiri dengan kekalahan masyarakat, karena pemerintah sering tidak segan-segan menggunakan aparat keamanan dalam melaksanakan operasi-operasinya;atas nama mempertahankan kawasan lindung. Walau demikian masyarakattidak pernah menghentikan perlawanannya.

Menggarap dan mengelola kebun, yang diklaim sebagai kawasan lindung negara,terus dilakukan oleh petani di sekitar hutan tanpa mempedulikan resiko yangdihadapi. Banyak masyarakat yang telah ditangkap, didenda, bahkandipenjarakan karena “dianggap” merambah kawasan hutan. Penangkapan atautindakan hukum lainnya tidaklah membuat jera masyarakat. Tindakan-tindakanini bahkan menambah kuatnya keinginan untuk terus berjuang, karenamasyarakat berpegang pada hak adat atas tanah yang telah diwarisi secaraturun-temurun, serta berkandungan kearifan lokal dalam penguasaan danpemanfaatan ruang. Teror dan intimidasi pun terus dilakukan aparat yangberwenang kepada para petani ini.

27

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pada tahun 2002, 10 orang petani di Kabupaten Flores Timur ditangkap olehyang berwenang karena dituduh merambah kawasan hutan. Penangkapanterhadap 10 orang anggota komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu inidilakukan oleh aparat gabungan dari Pemerintah Kabupeten Flores Timur; terjadidi kawasan hutan lindung di hamparan Baologun, terletak di antara perbatasanKabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka. Penangkapan terjadi pada saatmereka membersihkan bekas ladang untuk persiapan musim penghujan padatahun 2002. Penangkapan dibarengi dengan pencabutan papan nama komunitasadat di Sekretariat komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu di pinggir jalannegara trans Larantuka, tepatnya di hamparan Baologun. Seminggu berikutnyasekitar 500 orang anggota komunitas ini, terdiri atas perempuan dan laki-laki,menyerahkan diri ke Mapolres Larantuka di Ibu Kota Kabupaten Flores Timurdengan permintaan untuk ditahan bersama ke-10 orang anggota yang ditangkap.Namun polisi tidak merespon permintaan masyarakat ini dengan alasan belumcukup bukti untuk menahan rombongan masyarakat itu. Sedangkan sepuluhorang yang telah ditangkap terdahulu memang telah terbukti melakukanpenyerobotan kawasan hutan lindung.

Perlawanan para petani ini belum membuahkan hasil yang menggembirakankarena hukum tetap memutuskan kesepuluh orang petani ini bersalah; masing-masing harus menjalani hukuman kurungan selama 10 bulan penjara. Selesaimasa kurungan berakhir, para petani yang dipenjara ini dijemput oleh seluruhanggota komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu dan anggota komunitasyang berbatasan wilayah. Dari rumah tahanan, kesepuluh petani ini diarak keBaologun — tempat di mana mereka ditangkap — dan dibuat serimonial adatyang disebut “laa tali lesok taga” . “Laa tali” bisa diartikan “buka tali”, sedangkan“lesok taga” berarti “buka borgol”. Secara lengkap bisa diartikan sebagai upacarapelepasan mereka dari segala ikatan dan belenggu oleh sebuah penerapanhukum yang salah. Upacara ini dibuktikan dengan pemotongan hewan sebagaikorban persembahan.

Perbedaan persepsi dan kepentingan tentang pengelolaan dan penguasaanruang antara pemerintah di satu pihak dan masyarakat petani di lain bukanlahhal yang mudah dijembatani. Pemerintah, yang memposisikan sebagai wakilnegara, mendasarkan klaimnya atas ruang berdasarkan berbagai generalisasi-generalisasi hukum dan kebijakan nasionaltentang penguasaan ruang yangformal yang tertulis, sedangkan masyarakat mendasarkan klaimnya atas ruangberdasarkan hak adat yang telah diwarisinya secara turun-temurun. Perbedaanini hendaknya dijembatani secara arif. Karena pertentangan yang terus-meneruspastilah tidak menguntungkan. Petani akan semakin terpuruk kehidupannya;kemiskinan akan diwariskan ke anak cucunya. Pemerintah, sebagai representasinegara, akan tidak efektif dalam mengelola negara yang efek jangka panjangnyaakan memerosotkan kualitas kehidupan bernegara.

28

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Masyarakat adat dan petani seringkali tidak memiliki bukti tertulis tentangpengetahuan dan klaim tentang wilayah hidupnya. Hampir semua pengetahuandan klaim ini tersimpan dalam peta mental ( mental map) yang seringkali tidakmudah dipahami oleh pihak lain, termasuk peme rintah. Petani dan masyarakatadat perlu didukung untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikanberbagai pengetahuan dan klaimnya tentang sumberdaya alam ini. Sayangsekali apabila pengetahuan tradisional yang penuh kearifan ini hilang karenatidak dipahami oleh pihak lain. Sayang sekali apabila suatu konflik keruanganterus-menerus berlangsung karena kurangnya saling memahami tentangpersepsi ruang antara dua pihak.

PP atau pemetaan berbasis masyarakat adalah salah satu media untukmendokumentasikan berbagai pengetahuan tradisional masyarakat tentangpengelolaan sumberdaya alam atau khususnya tentang klaim wilayah. HasilPP tentang wilayah hidup suatu komunitas bisa dipahami lebih mudah olehpihak lain. Hasil pemetaan partisipatif bisa menjadi counter terhadap berbagaiprosedur penentuan suatu wilayah menjadi tanah negara yang seringkalisewenang-wenang. Prosedur pengukuhan hutan negara di NTT seringkali penuhmanipulasi yang sangat merugikan hak-hak para petani. Kemiskinan petaniNTT banyak diakibatkan oleh hilangnya wilayah kelola petani karena diklaimmenjadi hutan negara secara sepihak.

Tulisan ini akan menceritakan PP dan proses tindak lanjutnya yang terjadi dikomunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang. Pilihan untukfokus pada komunitas adat ini disebabkan oleh keunikan geografi dari komunitasadat ini, yakni yang terletak pada dua kabupaten; Kabupaten Sikka danKabupaten Flores Timur. Pemda dua kabupaten ini ternyata memberikan responyang berbeda terhadap konflik tenurial yang terjadi di wilayah adat masyarakatNian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang. Komunitas adat inimenggunakan pemetaan partisipatif untuk mengkonsolidasikan pengetahuantradisional masyarakat, yang kemudian digunakan untuk memperjuangkankepastian hak kelola masyarakat atas sumberdaya alam.

TENTANG KOMUNITAS ADAT NIAN UWE WARI TANA KERA PUHIKONG BORU KEDANG

“Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang” dapat diartikan sebagaiberikut :

1. “Nian” artinya satu kesatuan wilayah dan budaya;

2. “Uwe wari” artinya kakak beradik atau sudara saudari yang memilikihubungan geneologis;

29

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

3. “Tana kera pu” yang terdiri dari dua kata yaitu “ tana” artinya tanah dan“kera pu” artinya ipar kandung;

4. “Hikong boru kedang” adalah nama dua wilayah administrasi desa yangtergabung dalam satu wilayah adat.

Jadi secara umum diartikan bahwa tanah yang diwariskan oleh nenek moyangtidak saja dimiliki oleh kakak beradik dan saudara saudari tetapi juga dimilikioleh ipar kandung, yaitu laki-laki dari komunitas bersangkutan atau komunitaslain yang datang kawin dengan anak perempuan di komunitas adat Nian UweWari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang.

Hikong Boru Kedang adalah dua wilayah dua desa yang berbeda. Desa Hikongtermasuk dalam Kecamatan Talibura Kabupaten Sikka, sedangkan Desa BoruKedang termasuk Kecamatan Wulang Gitang, Kabupaten Flores Timur, ProvinsiNTT. Tetapi dua desa ini, menurut asal-usulnya, merupakan satu kesatuankomunitas adat.

Hikong dan Boru Kedang dipisahkan dari kesatuan komunitas adat asalnyaketika lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, teristimewa pada saatpembagian wilayah administrasi kabupaten. Sekalipun demikian hubunganpersaudaraan sebagai kakak beradik dan saudara-saudari tetap dijalankan,termasuk wilayah kelola dan wilayah hidup lainnya tetap satu. Segala acaraadat menyangkut penataan dan pengelolaan ruang tetap dijalankan secarabersama-sama. Persaudaraan mereka tidak pernah dibayangkan bahwa satuketika mereka harus dipisahkan.

Pemisahan komunitas adat ini dari sebagian tanah adatnya terjadi pada saatpenetapan kawasan hutan lindung pada tahun 1984. Sebagian besar wilayahadat komunitas Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang diklaim menjadikawasan hutan lindung. Warga komunitas adat ini diajak dan ikut memikulpilar-pilar beton untuk tapal batas hutan lindung, tetapi instansi kehutanantidak menjelaskan apa kegunaan pilar-pilar itu. Hanya dikatakan bahwa akandibuka jalan kuda untuk meninjau tapal batas hutan yang ditetapkan olehPemerintah Belanda pada tahun 1932.

Penetapan kawasan hutan lindung ini menyebabkan lahan garapan merekasemakin berkurang. Sebagian besar lahan garapan ditetapkan sebagai kawasanhutan lindung. Dengan demikian untuk saat ini setiap keluarga rata-rata hanyamempunyai kesempatan untuk mengelola lahan seluas 0,5 ha. Lahan keringseluas ini sangatlah tidak cukup untuk menghidupi sebuah keluarga.

Penyatuan kembali – setelah terpisah puluhan tahun karena administrasi negara— komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedangdideklarasikan pada pertengahan bulan April tahun 2002, di hamparan

30

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Baologun; letaknya di kawasan hutan lindung yang secara administrasi beradadi perbatasan antara Kabupaten Sikka dengan Kabupaten Flores Timur.Komunitas ini memiliki tekad untuk bersatu melawan kebijakan negara yangtimpang dan merugikan kepentingan masyarakat dalam penataan danpengelolaan sumberdaya alam.

Komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Keru Pu Hikong Boru Kedang adalah bagiandari suku besar Tana Ai yang terletak di bawah kaki Gunung Wuko Lawo Lero,yaitu pegunungan bagian timur Kabupaten Sikka. Topografi wilayah wilayahadat komunitas ini terdiri dari lembah, sedikit bukit dan gunung. Secara geografis,wilayah adat komunitas Nian Uwe Wari Tana Keru Pu Hikong Boru Kedangterletak antara 122 0 30’ – 1220 341’ Bujur Timur dan 08 0,39’ – 080 42’ LintangSelatan.

Populasi penduduk komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong BoruKedang semakin lama semakin pesat. Hingga saat ini jumlah kepala keluargakomunitas ini sebanyak 386. Jumlah ini terdiri dari Hikong sebanyak 168keluarga dan Boru Kedang berjumlah 218 keluarga. Jumlah ini belum termasukBoru Klobong yang sudah mengajukan permohonan untuk bergabung, yanguraiannya dapat dilihat pada bagian berikutnya.

Komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang menga-turpemanfaatan wilayah adatnya menjadi tiga bagian besar, yaitu :

1) Opi dun kare dunan , adalah wilayah yang ditutup untuk selamanyasebagai kawasan hutan tutupan. Wilayah ini biasanya dari puncakgunung ke bawah dengan kemiringan 45 derajat atau lebih;

2) Opi dun kare taden , adalah wilayah kelola masyarakat untuk kepentinganproduksi. Dalam wilayah ini juga terdapat tempat-tempat tertentu yangharus dijaga keselamatannya dan kalau perlu harus dilindungi. Wilayahini untuk kepentingan pelaksanaan ritual adat. Dengan kata lain wilayahini memiliki nilai religius, sebagaimana akan dijelaskan pada bagiantersendiri

3) Nuba nanga, adalah wilayah pesisir pantai yang menurut pemah amanlokal memiliki kekuatan magis di sekitarnya, sehingga kelestariannyatetap harus dijaga. Komunitas ini tidak memiliki nuba nanga lagi, karenatelah beralih pengelolaan ke komunitas masyarakat pada masa laluakibat kalah perang atau jual beli atau dihibahkan.

Komunitas ini memiliki kearifan yang tinggi dalam mengelola sumberdaya alam.Opi dun kare dunan dan nuba nanga tidak boleh dibuka dan diolah untuk produksipertanian. Tanah lereng yang terlalu miring dan dekat puncak gunung apabila“dijamah” untuk kepentingan produksi akan menimbulkan tada , artinya

31

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

melanggar larangan yang menyebabkan bencana longsor, erosi, kemaraupanjang dan menurunnya debit air atau kekeringan mata air. Nuba nanga (daerahpesisir) juga tidak boleh “dijamah”, karena akan mendatangkan abrasi danjenis pengrusakan daerah pantai lainnya. Selain itu, masyarakat yang melanggarakan mengalami hukuman secara alam. Biasanya hukuman fisik yang dialamiberbeda-beda sesuai dengan jenis pelanggaran. Apabila pelanggaran karenamembuka lahan kelola di kawasan nuba nanga maka akan mengalami hamapenyakit bagi tanaman perkebunan maupun perladangan. Hama tersebut berupabelalang dan tikus. Sedangkan pelanggaran karena membuka lahan di kawasanopi dun kare dunan adalah hukuman berupa penyakit badan yang bisa sampaipada kematian.

Selain hukuman alam, masyarakat juga memiliki aturan adat untuk dikenakankepada yang melanggar kesepakatan. Hukuman tersebut disebut rebung, yaknihukuman denda harus memberi makan kepada semua anggota masyarakat danpemangku adatnya, yang dibarengi dengan upacara “pendinginan” denganmenyembelih seekor hewan di kawasan terlarang yang dilanggar itu sebagaisimbol pemulihan .

Berdasarkan hasil PP pada bulan Agustus 2002, didapati bahwa wilayah adatNian Uwe wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang seluas 2.522,5 ha. Luas initerdiri dari :

1. Luas wilayah kelola : 1.974, 96 ha

2. Luas areal untuk tanaman palawija : 1050,65 ha

3. Luas areal untuk tanaman Agroindustri : 924,31 ha

4. Luas wilayah hutan adat : 518, 34 Ha.

MUNCULNYA IDE PEMETAAN PARTISIPATIF

Salah satu program strategis Jaringan Gerakan Masyarakat Adat (JAGAT) NTTadalah PP. PP diharapkan mampu menguatkan dan mengidentifikasi komunitasadat para anggota Jagat dengan lebih teliti. Pada saat itu PP dimotori olehbeberapa aktivis NGO dan beberapa tokoh masyarakat di NTT. Para aktvis NGOini telah memiliki kemampuan memfasilitasi proses PP. Lembaga Bantuan HukumNusa Tenggara (LBH Nusra) dan Yayasan Lembaga Pengembangan MasyarakatWilayah Tana Ai (YLPM-Bangwita) adalah NGO yang berkantor di Maumere dancukup aktif mendukung program dan perjuangan Jaringan Gerakan MasyarakatAdat NTT (JAGAT NTT). Kebetulan juga LBH Nusra, saat itu, juga memiliki programadvokasi hutan dan sumber daya alam lainnya, yang menggunakan gerakan PPsebagai salah satu alat dalam proses advokasi. LBH Nusra dan YLPM-Bangwitaadalah anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) di NTT.

32

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

FADO adalah sebuah lembaga donor internasional yang menjadikan NTT sebagaisalah satu wilayah kerjanya. Kebanyakan para mitra FADO – lembaga-lembagayang didukung pendanaannya oleh FADO, termasuk YLPM-Bangwita – berwilayahkerja di perdesaan di sekitar kawasan hutan NTT. Beberapa tempat yang menjadiwilayah kerja mitra-mitra FADO ini berkonflik dengan instansi pemerintah yangmengurus kawasan hutan. Masyarakat di tempat-tempat ini sering mengalamikekerasan oleh aparat keamanan, karena dituduh telah merambah hutan;padahal yang mereka lakukan adalah sekedar bertani di wilayah adat yangtelah dilakukan secara turun-temurun.

Karena itu, beberapa mitra FADO, termasuk LBH Nusra dan YLPM-Bangwita,mengusulkan agar FADO menempatkan PP sebagai salah satu isu strategis,mengingat pentingnya menyelesaikan konflik kehutanan yang sering terjadi dilokasi kerja para mitra FADO. Selain itu, hasil PP juga bisa digunakan untukperencanaan pengelolaan wilayah adat.

Sebagai mitra, YLPM-Bangwita kemudian mengusulkan program pelati-hanpemetaan partisipatif kepada Fado, untuk kader-kader petani seki-tar hutanPulau Flores dan Lembata. Pelatihan ini diselenggarakan di Desa Hikong, Kec.Talibura, Kabupaten Sikka pada pertengahan tahun 2002. Pelatihan ini jugamengundang instansi terkait yang berurusan dengan kawasan hutan.

Masyarakat Desa Hikong, komunitas adat Nian Uwe Wari tan Kera Pu HikongBoru Kedang – sangat senang di tempatnya akan diselenggarakan pelatihan PP.Karena mereka memang sedang mengalami konflik perihal hak kelola wilayahadat, dan mereka sangat membutuhkan media untuk memperjuangkan hak-hakmereka atas wilayah adat. Kebetulan pada saat itu 10 orang warga komunitasini ditangkap oleh aparat gabungan Pemerintah Flores Timur dengan tuduhanpenyerobotan kawasan hutan lindung.

Berikut ini adalah beberapa hal yang hal pentingnya PP untuk wilayah kelolapetani dan pentingnya memperbanyak kader-kader yang bisa memfasilitasi PPdi NTT:

1. Masyarakat perdesaan di NTT adalah pihak yang seringkali dirugikanoleh kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang salah; karena ituperlu dipulihkan dan dikuatkan agar mampu memperjuangkan hak-haknya dalam mengelola sumberdaya alam di sekitarnya.

2. Kedaulatan atas ruang perlu dikembalikan kepada rakyat karena merekalah pemilik ruang yang sesungguhnya.

3. Ruang adalah sumber kehidupan masyarakat sehingga, penataan danpengelolaannya tidak boleh merugikan dan mengorbankan kepentinganmasyarakat

33

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

4. Ruang harus memberikan segunung manfaat bagi masyarakat, baik secarasosial, politik dan ekonomi sehingga diperlukan sebuah penataan danpengelolaan yang adil dan arif.

Proses penyelenggaraan PP di komunitas adat Nian Uwe Wari tana Kera PuHikong Boru Kedang melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan proses ituadalah sebagai berikut :

1. Kunjungan ke masya rakat dan melakukan investigasi; mendatangimasyarakat untuk mengumpulkan data dan informasi tentang sebab-sebab terjadinya konflik keruangan, mulai membangun diskusi, sertamenawarkan PP sebagai jalan menuju penyelesaian masalah yangdihadapi komunitas.

2. Pendidikan hukum kristis. Tujuannya adalah agar masyarakat dapatmemahami berbagai peraturan dan hukum yang diterapkan yang berkaitandengan keruangan, baik itu hukum nasional maupun hukum adat, dandampak-dampak hukum itu bagi keselamatan ruang dan masyarakat yangberada di dalam dan di sekitar ruang itu sendiri. Selanjutnya masyarakatmemiliki nilai kritis dan menyadari tentang berbagai kemungkinan burukyang mengancam keselamatan ruang dan keberlanjutan kehidupanmasyarakat; mulai melakukan penyesuaian berbagai aturan adat, sertamulai berjuang menentang hukum nasional yang dianggap bertentangandengan eksistensi masyarakat sebagai pemilik ruang.

3. Sosialisasi PP. Masyarakat diberikan pema-haman kritis tentang berbagaimasalah keruangan yang tengah dihadapi , mencari alternatifpenyelesaiannya , serta membangun pemahaman kritis masyarakattentang manfaat dan tujuan pemetaan partsisipatif. Selanjutnya membuatkesepakatan tentang jadwal pemetaan partisipatif dan pembagian peranmasing-masing pihak

4. Pelatihan PP; masyarakat dilatih untuk mampu membuat peta wilayahadatnya secara teknis (teknik penggunaan alat pemetaan, pengumpulandata, analisis data, serta penggambaran peta).

5. PP. Berbekal pengetahuan pemetaan yang telah dilatihkan, masyarakatmembuat peta sendiri dengan terus didampingi oleh aktivis lembagapendamping

6. Pengesahan dan penyerahan peta. Peta yang telah digambar diserahkankepada komunitas ini untuk disahkan. Dari prose-proses yang diuraikandi atas masyarakat merasa dikuatkan untuk mulai menggunakan petasebagai alat perjuangan. Segala resiko sudah dipahami tetapi prinsipnyabahwa apapun resikonya ruang harus direbut dan dikuasai karena tidakada sumber lain yang menjamin keberlanjutan kehidupan mereka masasekarang maupun masa yang akan datang

34

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PANDANGAN KOMUNITAS TENTANG PEMETAAN PARTISIPATIF

Menurut masyarakat komunitas ini untuk mengetahui sumber-sumber daya yangterdapat dalam ruang secara utuh tidak cukup dengan berada di suatu tempatdan menghitungnya hanya berdasarkan cerita orang. Semua cerita itu bisa benaratau hanya sekedar cerita saja. Hasil inventaris sumber daya dengan PP ternyatalebih efektif dan jelas jika dibandingkan dengan hanya mendengarkan ceritadari orang ke orang. Semuapotensi sumber daya,misalkan luasan wilayah,batas wilayah, nama tem-pat, jumlah dan posisi tem-pat keramat serta potensilain dan ancaman-anca-mannya dapat diketahuisecara jelas hanya melaluiPP. Selanjutnya melalui PPmasyarakat digerakkaningatannya terhadap semuasumber daya yang terdapatdalam wilayah hidupmereka.

PP memberikan pengetahuan untuk warga komunitas adat Nian Uwe Wari TanaKera Pu Hikong Boru Kedang sehingga mulai terbangun rasa percaya diri bahwamereka memiliki sesuatu yang lebih yang belum dimiliki oleh orang lain. PPmemberikan ruang pemberdayaan bagi masya-rakat untuk kreatif menuangkanpengetahuan sumber daya ruang dengan menggunakan metodologi pemetaanyang dipahami dan bisa dilakukan oleh masyarakat. Terutama penempatansimbol-simbol sumber daya sesuai keinginan mereka. Di sini ternyata terbuktibahwa masyarakat sendiri mampu mengidentifikasi sumberdaya miliknya dankemudian menggambarkannya.

Penyelenggaraan PP di komunitas ini menumbuhkan perubahan persepsi danpola bertindak:

1. Aspek sosial .

Setelah PP diselenggarakan di komunitas ini, secara sosial, cukup banyakperubahan-perubahan cara pandang masyarakat terhadap sumber dayaalamnya, serta terhadap berbagai masalah yang dihadapi. Berikut inibeberapa pemahaman baru yang tumbuh di masyarakat:

35

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

a. Dengan PP masyarakat jadi mengetahui dan memahami kondisi sumberdaya yang terdapat dalam wilayah hidupnya dan berbagai ancaman yangdihadapi;

b. masyarakat mulai membedakan siapa lawan siapa musuh dalam halpengelolaan ruang di sekitarnya;

c. Masyarakat mulai menyadari pentingnya solidaritas dan perjuangansecara kolektif;

d. Masyarakan mulai menyusun langkah-langkah perjuangan selanjutnya

e. Masyarakat mulai mendiskusikan dengan lebih rinci tentang penataandan pengelolaan wilayah hidupnya;

f. Konsolidasi dan dokumentasi pengetahuan lokal untuk memperkuatposisi tawar ;

g. Memiliki kekuatan komunal untuk melakukan perjuangan kedaulatanrakyat terhadap ruang

2. Aspek politik .

PP ternyata membawa perubahan cara pandang dalam menghadapi masalahpemanfaatan ruang. Masyarakat menjadi lebih kritis menilai konflikkeruangan yang dihadapi oleh komunitas ini, baik internal masyarakatmaupun dalam menghadapi pihak di luar komunitas. Dengan hasil PP,masyarakat menjadi memiliki dasar argumen yang cukup kuat tentangpengelolaan wilayah yang dilakukannya selama ini. Masyarakat mampumembandingkan dan mengcounter model pengelolaan wilayah yang dipunyaioleh pemerintah. Dengan hasil PP dan berbagai diskusi tentang berbagaikebijakan keruangan yang telah dilakukan membuat masyarakat tidak ragu-ragu lagi dalam mengelola wilayah adatnya, meskipun secara sepihak telahditetapkan menjadi hutan lindung.

3. Aspek ekonomi.

Keyakinan masyarakat dalam mengelola lahannya membuat harapanperekonomian masyarakat pada masa mendatang menjadi lebih cerah.Keberlanjutan pemenuhan kebutuhan sehari-hari menjadi lebih terjamin,karena tidak ada lagi ketakutan dalam mengelola lahan pertanian.Ketergantungan beras dari pasar atau toko mulai berkurang karena merekabisa menghasilkan sendiri melalui lahan-lahan yang diambil alih ( reclaim-ing) meskipun jumlahnya masih ter-batas. Dengan PP juga menjadi lebihjelas potensi sumberdaya alam di wilayah adatnya; luas lahan yang bisadikelola, rencana tempat permukiman, letak-letak sumber mata air, dsb.

36

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Masyarakat mulai bisa dengan tenang memikirkan nasib generasimendatang. Populasi penduduk semakin bertambah. Ketersediaan lahangarapan saat ini belum dapat dip astikan keseimbangannya denganpertambahan jumlah anggota keluarga masa mendatang. Jika demikian makaPP telah membuka cakrawala berpikir ke arah yang lebih maju yaitu untukkehidupan generasi masa yang akan datang. Perubahan populasi p endudukyang kian hari bertambah ini sebagai dasar untuk mempertahankan wilayahkelola. PP bukan akhir dari perjuangan melainkan awal dari persiapankondisi untuk melakukan perjuangan masa sekarang dan masa mendatang.

4. Aspek budaya

Semenjak penetapan hutan lindung dan “kerasnya” perlakuan pemerintahterhadap masyarakat sekitar hutan, menyebabkan tempat-tempat dan benda-benda alam yang dianggap memiliki nilai religius tidak pernah lagidikunjungi. Ritual adat, dulu, tidak bisa lagi diselenggarakan di tempat ini;tempat ritual adat terpaksa dipindahkan ke tempat lain. Padahal cukupbanyak ritual adat yang seharusnya diselenggarakan masyarakat di tempat-tempat yang dianggap religius ini: ritual saat ada bencana alam, kelaparan,musim penyakit, kemarau panjang, dsb.

Setelah diselenggarakan PP di komunitas ini maka identifikasi kembalitempat-tempat yang bernilai religius itu bisa diselenggarakan kembali.Ternyata beberapa tempat religius itu ada yang terbawa longsor, banjir,pohonnya sudah tumbang, atau dirusak oleh manusia. Tempat-tempat inidipulihkan kembali kondisinya dan digunakan kembali untuk berbagai ritualadat.

Kebiasaan menata dan mengelola ruang berdasarkan petunjuk para orangtua dan nenek moyang mulai teridentifikasi dan dikembangkan. Semuakebiasaan menata dan mengelola ruang telah dijelaskan dan digambarmelalui peta partisipatif. Antara lain misalnya mulai menetapkan zona-zonauntuk hutan adat, menanami kembali tempat-tempat yang dianggap religiusitu dengan tanaman yang tidak hanya dilihat nilai ekonominya , sepertipohon beringin. Selanjutnya tentang penetapan zona-zona dimaksud dapatdilihat pada bagian tersendiri tentang penataan dan pengelolaan ruangberdasarkan kearifan lokal.

Budaya kola babong (diskusi) mulai dibangun, khususnya berbicara atauberdiskusi tentang pemanfaatan wilayah adat dan pertanian; sekali-sekalipeta digunakan sebagai media kola babong . Kola babong mulai diawalidengan penentuan orang yang akan bertanggung jawab menyimpan petadan bertanggungjawab untuk menyampaikan informasi dalam peta kepadapihak luar.

37

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Solidaritas antar anggota masyarakat untuk bersama-sama melakukan danberkontribusi dalam perjuangan mulai tumbuh. Sehingga secara budayaada kesiapan masing-masing anggota masyarakat dengan beragamkontribusi; natura, ide, gagasan maupun jenis sumbangan yang lain.Ketergantungan terhadap pihak luar mulai dikurangi karena perjuangankeruangan bertujuan untuk kepentingan kita bukan kepentingan orang lain.Melalui diskusi ini masyarakat juga mulai menerapkan budaya malu, yaitumalu mengharapkan bantuan terus menerus dari pihak lain apalagi meminta.

MENGAMBIL ALIH HUTAN LINDUNG: SEBELUM PEMETAANPARTISIPATIF

Seperti telah dijelaskan di atas, awal mula konflik antara komunitas adat NianUwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang adalah ketika sebagian wilayahadat komunitas ini ditetapkan menjadi hutan lindung pada tahun 1984. Padaawalnya, penetapan hutan lindung ini tidak mendapatkan perlawanan darimasyarakat, karena proses penetapan sampai dengan pemasangan patok-patokbatas hutan lindung dilakukan secara manipulatif oleh instansi kehutanan.Instansi kehutanan hanya mengatakan bahwa patok-patok batas yang dipasangitu hanya semata-mata sebagai penanda batas jalan kuda menuju batas dolodala, yaitu batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah Belanda padatahun 1932. Dolo dala adalah memori yang masih diingat oleh komunitas adatini tentang dua orang petugas kehutanan Belanda yang ikut bersama-samamasyarakat memasang patok-patok batas kawasan hutan pada jaman Belanda.

Seharusnya patok batas dipasang pada patok lama yang ditetapkan Belandapada waktu dulu; tetapi kenyataannya patok ini telah dipasang jauh menyerobot“masuk” ke tanah adat komunitas Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong BoruKedang. Sangatlah jelas bahwa petugas kehutanan telah menipu masyarakat;dan menyebabkan kerugian serta konflik pemanfaatan lahan yang merugikanmasyarakat di kemudian hari. Tindakan manipulasi tata batas ini seharusnyabisa dituntut; proses tata batas ini tidak sah. Aturan tata batas kawasanhutanmenentukan bahwa masyarakat yang dilewati rute tata batas kawasanhutan harus mengetahui proses tata batas dengan sejelas-jelasnya.

Penetapan hutan lindung yang manipulatif di atas menyebabkan keru-gian besarbagi warga komunitas adat. Warga masyarakat kehilangan lahan kelolapertaniannya tanpa ganti kerugian apapun. Akibat kehi-langan lahanpencaharian menyebabkan komunitas ini terpuruk perekonomiannya. Banyakkepala keluarga yang terpaksa alih profesi atau urbanisasi ke kota atauberangkat transmigrasi. Ini merupakan pelanggaran hak-hak ekonomimasyarakat, yang merupakan salah satu hak-hak asasi manusia.

38

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Ketika kesulitan ekonomi tidak tertahankan lagi, maka sebagian warga komunitasini nekat “masuk” kembali ke hutan lindung dan membuka kembali lahanpertanian yang dulu. Namun represi aparat keamanan sangat keras. Kekerasanfisik atau hukuman denda atau hukuman kurungan sering menimpa warga yangtertangkap oleh aparat keamanan. Hasil panen berupa padi dan jagung dibakarbeserta lumbung atau pondok di kebun. Tiada hari tanpa teror dan intimidasi,sehingga tidak ada kenyamanan dalam mengelola lahan . Namun demikian upayamengelola lahan – meskipun sembunyi-sembunyi - terus dilakukan, karena tidakada tempat lagi selain lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan lindungini yang bisa diusahakan.

Banyak yang lari meninggalkan kampung halaman untuk berurbanisasi dantransmigrasi karena merasa tidak nyaman. Nampaknya tidak ada satu carapun yang menguntungkan masyarakat kecuali berani mengelola kawasan lindungdengan penuh resiko; siap ditangkap dan dipenjarakan. Kepanikan dankegelisahan terus menerus melanda warga komunitas ini. Tidak ada satu pihakpun yang bisa membantu mengurangi penderitaan warga komunitas ini.Pemerintah yang diharapkan sebagai pelayan masyarakat justru sebaliknyabertindak sebagai penguasa keras, yang bahkan menindas rakyatnya sendiri.

MENGAMBIL ALIH HUTAN LINDUNG: SETELAH PEMETAANPARTISISPATIF

PP membuat perubahan besar pada komunitas adat Nian Uwe Wari Tana KeraPu Hikong Boru Kedang. PP membuat warga komunitas ini menyadari kembaliapa yang mereka punyai, menumbuhkan solidaritas kembali di antaramasyarakat, serta menumbuhkan keberanian untuk memperjuangkan kembalitanah mereka yang telah semena-mena ditetapkan menjadi hutan lindung.

Pada bulan Oktober 2003, komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu HikongBoru Kedang — bersama beberapa komunitas adat lain dari dari tiga kabupatenlain di NTT — berangkat ke Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timuruntuk bertemu dengan Gubernur dan DPRD Provinsi NTT. Delegasi masyarakatadat ini mendesak Pemda NTT agar meninjau kembali penetapan kawasan hutanlindung di Flores pada khususnya dan NTT pada umumnya. Peta partispatif pundibentangkan guna menjelaskan bukti-bukti kepemilikan lahan dan berbagaimodel pengelolaan sumber daya alam ala masyarakat adat yang penuh kearifan.Selanjutnya, menyongsong musim penghujan tahun 2003 semua anggotakomunitas Nian Uwe Wari Tan Kera Pu Hikong Boru Kedang memasuki kawasanhutan Lindung di hamparan Baologun untuk membuka lahan; ada juga yangmelanjutkan lahan yang telah dikelola untuk menam tanaman palawija dansejenis lainnya.

39

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Perjuangan komunitas ini dengan menggunakan media peta partisipatif terusdiperluas pada berbagai forum maupun kesempatan. Ini merupakan publikasikepada pihak luar tentang eksistensi dan kapasitas masyarakat sebagai pemilikruang dan segala isinya. Semua bentuk perjuangan ini dengan satu tujuan agarpihak luar, khususnya pemerintah, segera mengakui hak-hak masyarakat sebagaipewaris ruang. Pengakuan yang diharapkan tidak saja secara lisan tetapidibuktikan secara autentik berupa peraturan-peraturan, baik peraturan didaerah maupun di tingkat nasional.

Sebagai wujud perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, selain telahdipresentasikan di depan Gubernur dan DPRD NTT di Kupang, peta partisipasi fjuga terus dipresentasikan juga di depan beberapa pihak, antara lain:

a. Dinas Kehutanan dalam rangka pengembangan program HutanKemasyarakatan (HKM) pada tahun 2003 di Kantor Dinas KehutananKabupaten Sikka di Maumere;

b. Lokakarya Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat di Waiara-Maumere,di depan Muspida Kabupaten Sikka pada tahun 2004 ;

c. Plan Internasional untuk kepentingan program bantuan masyarakat dibidang ekonomi-pertanian pada tahun 2006

d. Camat Talibura Kabupaten Sikka dan Camat Wulanggitang dalampenyelesaian konflik batas antara Kabupaten Flores Timur dan KabupatenSikka di perbatasan yang terletak di hamparan Baologun pada bulanAgustus 2008;

e. Diskusi dengan Badan Perencanaan Daerah (Bapp peda) dan Kanwil BPNProvinsi NTT pada saat peninjauan kembali batas wilayah kabupatenSikka dan Flores Timur pada Agustus 2008.

Kegigihan masyarakat untuk berjuang mepertahankan ruang dan sumberdayanya terus berlangsung, karena melalui PP dapat diketahui dan dipahamibahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran besar terhadap hukum danaturan-aturan lain yang bersentuhan dengan keruan gan. Seperti dijabarkan diatas, instansi kehutanan yang telah melanggar aturannya sendiri; melakukanproses tata batas tanpa berkonsultasi dengan masyarakat yang pada akhirnyamemanipulasi hasil proses tata batas yang menyebabkan wilayah adatkomunitas ini, dengan semena-mena, dijadikan kawasan hutan negara.

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagaipengganti UU No. 24/1992, menentukan hak dan kewajiban masyarakat dalampenataan ruang dengan cukup jelas. Pasal 60 UU No. 26/2007 menjelaskantentang hak warga negara dalam penataan ruang; berikut ini kutipannya:

40

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Dalam penataan ruang setiap orang berhak untuk :

a. Mengetahui rencana tata ruang

b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang

c. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibatpelaksanan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tataruang

d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadappembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dieilayahnya.

e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunanyang tidak sesuai dengan tata ruang kepada pejabat berwenang

f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah atau pemegangizin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencanatata ruang menimbulkan kerugian.

Berdasarkan ketentuan pasal 60 tersebut, maka penetapan kawasan hutanlindung di wilayah adat komunitas Nian Uwe Wari Tan Kera Pu Hikong BoruKedang jelaslah bertentangan ketentuan ini. Karena, selain tidak ada konsultasidengan masyarakat, pengukuhan kawasan hutan itu tidak memberikan gantirugi sepeser pun kepada masyarakat.

PP yang dihasilkan masyarakat, secara terperinci, menuangkan penataan ruangyang dikembangkan masyarakat dan telah teruji secara turun-temurun. Modelpenataan ruang berbasis masyarakat ini, meskipun tidak eksplisit, telahmempertimbangkan aspek-aspek kesela-matan lingkungan dan keberlanjutan;cukup jelas areal yang digunakan untuk produksi dan areal yang akan dilindungi.Harusnya model-model penataan ruang tradisional, sebagaimana yangditunjukkan oleh komunitas ini, menjadi rujukan utama pemerintah dalammembuat aturan tentang penataan ruang. Sangatlah salah, apabila pemerintahterlalu percaya pada pendekatan-pendekatan keruangan modern yang berkesanilmiah, tetapi belum teruji bergenerasi, khususnya di NTT.

DAMPAK POSITIF PEMETAAN PARTISIPATIF

PP merupakan cara sederhana dan efektif untuk menguatkan dan memperjelaskembali eksistensi masyarakat sebagai pemilik ruang yang sah. Komunitasadat Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang, sebagaimana komunitas adatyang lain, telah memiliki dan mengembangkan model penataan dan pengelolaan

41

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

ruang yang telah teruji secara turun temurun. Komunitas ini, dengan PP, telahmencoba menggali potensi, model, dan filosofi dasar pemanfaatan ruang yangtelah dikembangkan nenek moyang.

Model pengelolaan ruang masyarakat tradisional, sebagaimana komunitas ini,memang berbeda dengan pendekatan penataan ruang yang dibuat olehpemerintah. Perbedaannya, biasanya, pada tujuan dan filosofi pendekatanpenataan ruang. Masyarakat tradisional di Flores biasanya mempunyai tujuanpemanfaatan ruang sebagai berikut : a) memberikan manfaat sebesar-besarnyakepada masyarakat dari aspek sosial, politik, dan ekonomi; dan b)mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan ruang yang dipahamisebagai sumber kehidupan yang istilah lokalnya “tana amin moret amin” (tanahkami hidup kami). Ini sangatlah berbeda dengan pendekatan penataan ruangpemerintah. Kepentingan ekonomi merupakan tujuan utama pemerintah dalammembuat aturan penataan ruang; perlindungan ataupun konservasi hanyadilihat sebagai tujuan sampiran belaka.

Masyarakat tradisional memandang bahwa ruang dan manusia adalah satukesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia berasal dari ruang dan akankembali ke ruang. Semua kehidupan manusia bergantung pada ruang. Dengandemikian apabila penataan dan pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan aturan-aturan tradisional yang telah diyakini maka manusia akan mengalamimalapetaka berupa bencana, tanah longsor, banjir, angin topan, hama tanaman,penyakit dan maut; ada keyakinan masyarakat bahwa ruang memiliki kekuatantersendiri. Filosofi dasar pendekatan modern penataan ruang – yang dikukuhipemerintah – memandang bahwa ruang dan sumberdaya alam hanyalah bendabernilai ekonomi yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dan kemakmuranmanusia.

Melalui PP terjadi konsolidasi pengetahuan lokal tentang penataan danpengelolaan ruang. Dengan PP, hak-hak dan kewenangan dalam pengelolaanruang tergambarkan dengan jelas dalam fungsi-fungsinya sebagai berikut :

a) Fungsi kedaulatan.

Yang dimaksudkan dengan fungsi kedaulatan adalah bahwa komunitasmerupakan suatu kesatuan institusi terkecil di tingkat bawah yang perlumemiliki batas-batas kedaulatan atas ruang dan sumber dayanya. Hal iniagar tidak ada saling klaim kedaulatan antara komunitas adat yang satudengan yang lainnya menyangkut batas kedaulatan dan hak-hakpenguasaannya. Untuk menentukan dan memperjelas fungsi ini masyarakattelah memiliki sebuah peta wilayah adat, yakni Peta Wilayah Adat Nian UweWari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang.

42

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Fungsi ini, secara politik, memperkuat posisi tawar masyarakat terhadappihak lain tentang batas-batas kewenangan dan hak-hak penguasaan ruang.Secara lokal batas-batas kedaulatan ini ditandai dengan tanda-tanda alamseperti: mata air, Pohon, batu besar, kali, sungai, lereng gunung dan puncakgunung.

b) Fungsi produksi

Fungsi produksi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah penetapan ruangdalam bentuk zona-zona untuk kepentingan pemanfaatan berdasarkan letakgeografis. Penetapan fungsi produksi dimaksudkan lebih menitikberatkankepada tata guna lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Dalam PP,fungsi ini dibuktikan dengan Peta Tata Guna Lahan atau Peta Wilayah K elola.Penamaan tema ini berdasarkan keinginan masyarakat untuk bisa dipahamisecara lokal oleh masyarakat sendiri maupun pihak lain.

c) Fungsi konservasi dan perlindungan.

Fungsi konservasi dan perlindungan adalah mempertegas kembali zona-zona dan tempat-tempat yang dulu dipahami sebagai areal yang tidak bolehdiganggu karena memiliki nilai religius. Tempat-tempat ini perlu dilindungisebagai kawasan hutan adat :

1) Ilin, adalah wilayah yang memiliki kemiringan lebih dari 45 0 sampaike puncak gunung.

2) Repin goit raen rahat , adalah daerah terjal atau jurang. Wilayah iniperlu dijaga dan dilindungi karena dipahami sebagai tempatbermukimnya para arwah orang yang meninggal karena kecelakaanatau mati sahid.

3) Dudun piren, adalah tempat-tempat di sekitar wilayah kelola yangdipahami sebagai tempat yang memiliki kekuatan gaib. Tempat inibiasa ditandai dengan pohon besar yang dikelilingi oleh semakbelukar.

4) Mahe, adalah tempat ritual adat yang dilakukan setiap 3, 5 dan 7tahun sekali. Ritual adat ini yang sangat besar dan menelan anggaranratusan ekor binatang untuk disembelih bagi para leluhur gunakepentingan penghapusan dosa

5) Napun wiwir, merupakan pinggir kali yang dipahami sebagai tempatyang rentan terhadap erosi

6) Lian puan wair matan , adalah mata-mata air yang dipahami sebagaisumber kehidupan masyarakat. Apabila sekitarnya dikelola untukkepentingan lain maka akan mendatangkan kekeringan

43

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

7) Ai puan watu nareng, yakni tempat peristirahatan umum. Tempat inibisanya digunakan untuk beristirahat jika lelah dalam perjalananpanjang ke suatu tempat. Tempat ini biasa ditandai dengan pohon-pohon dan batu-batu besar

8) Sioklinok ogor wokor , adalah WC umum bagi masyarakat. Tempat inibiasanya ditandai dengan semak belukar sedikit dan terletak di pinggir-pinggir kampung.

Sangatlah jelas bahwa komunitas adat memiliki pola dan mekanisme sendiridalam pemanfaatan ruang. Anggapan selama ini bahwa petani itu bodoh dantidak mampu mengurus wilayah hidupnya adalah tidak tepat. Proses PP dikomunitas ini membuktikan kemampuan mengatur ruang itu. Kemampuankomunitas mengatur pemanfaatan ruang ini bisa disandingkan dengan model-model modern yang dikembangkan oleh pemerintah.

DAMPAK NEGATIF PEMETAAN PARTISIPATIF

PP merupakan hal yang baru. Masyarakat, kadang-kadang, merasa aneh danmempertanyakan apa kegunaannya, betulkah bisa dipergunakan sebagai alatperjuangan, dan lain-lain. Karena itu menjelaskan tujuan dan manfaat PP pastimemerlukan waktu yang lama dan proses yang terus-menerus. Bahkan manfaatpeta seringkali baru muncul jauh setelah pemetaan itu sendiri telahterlaksanakan.

Harus diakui bahwa PP yang dilakukan di komunitas adat Nian Uwe Wari TanaKera Pu Hikong Boru masih terkesan sebagai bentuk mobilisasi, karena padasaat itu komunitas ini sedang memerlukan alat pendukung advokasi gunamembebaskan 10 orang warga komunitas ini yang ditangkap oleh aparatgabungan dari Kabupaten Flores Timur dengan tuduhan melakukanpenyerobotan kawasan hutan lindung.

Proses PP di komunitas ini, mulai dari sosialisasi sampai pada pengesahanpeta, masih belum maksimal penyelenggaraannya. Proses PP di komunitas inimasih ada anggapan sebagai berikut :

a. Proses PP terjadi karena kepentingan sesaat dan terkesan mobilisasi aktivisNGO;

b. Proses PP dilakukan terburu-buru karena untuk kepentingan advokasi 10orang anggota komunitas yang ditangkap oleh aparat pemerintah KabupatenFlores Timur, sehingga hal ini menyebabkan banyak warga masyarakat yangbelum memahami manfaat dan kegunaan peta;

c. Biaya PP sebagian besar masih bersumber dari NGO;

44

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

d. Diskusi tindak lanjut pemanfaatan peta masih lemah;

e. Ide dan gagasan PP hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja dimasyarakat;

f. Pengawalan ide dan gagasan PP oleh lembaga pendamping tidakberkelanjutan;

g. PP masih beroriantasi proyek;

h. Efektivitas penggunaan peta sesuai fungsinya hanya terjadi pada saatmasyarakat mengalami masalah. Kelanjutan perjuangan untuk mencarikepastian hak kelola wilayah adat – karena masih belum tuntas – denganmenggunakan peta mulai menurun ketika 10 orang yang dipenjara telahdibebaskan. Hal ini disebabkan oleh persepsi masyarakat bahwa peta hanyauntuk penyelesaian konflik. Hal-hal lain yang berhubungan denganpengelolaan ruang bisa dilakukan tanpa menggunakan peta.

PENUTUP

Penerapan hukum yang salah berakibat pada kemiskinan, kekerasan dankriminalisasi masyarakat. Penataan dan pengelolaan ruang diatur oleh duahukum yang berbeda. Yang pertama, pemerintah mengatur penataan ruangdengan menggunakan hukum positif modern; menggunakan teori-teori moderndalam penataan ruang. Yang kedua, sementara itu pada kenyataannya parapetani perdesaan, khususnya komunitas adat, memiliki dan mempraktekkantata cara pengelolaan ruang sebagai-mana yang diwariskan leluhurnya.Perbedaan antara kedua pendekatan ini selalu terjadi. Perbedaan tersebutseringkali menimbulkan benturan tajam, baik secara fisik maupun psikis.

Konflik keruangan sering terjadi antara komunitas adat dengan pihak lain,termasuk konflik keruangan y ang dialami oleh komunitas adat Nian Uwe WariTana Kera Pu Hikong Boru Kedang dengan pemerintah . Perbedaan tujuan danfilosofi keruangan antara Komunitas Adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu HikongBoru Kedang dengan pemerintah menimbulkan konflik keruangan itu. Sayangnya,komunitas ini menjadi korban akibat konflik keruangan ini. Sebagian besarwilayah adat komunitas ini telah ditetapkan dan dijadikan hutan lindung.

Menurut administrasi wilayah pemerintah, warga komunitas adat Nian UweWari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang berdomisili di beberapa desa. SelainHikong dan Boru Kedang, ada juga satu kelompok lagi yang berdomisili di DusunBoru Klobong, Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang Kabupaten Flores TimurProvinsi NTT. Pada awal perjuangan ini mereka enggan bergabung dengankomunitas ini karena takut ditangkap dan dipenjarakan lagi. Setelah anggota

45

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

komunitas Hikong Boru Kedang menguasai lahan kelola, mereka pun berharapuntuk bergabung dalam komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu HikongBoru Kedang.

Sebagai masyarakat adat, tentunya merasa senasib dan sepenang-gungan.Kesatuan komunitas ini menyadari bahwa mereka tercerai-berai karena rezimpemerintah masa lalu yang tidak memahami eksistensi dan keberadaan mereka.Dengan demikian komunitas Boru Klobong merupakan bagian dari Nian UweWari Tana Kera Pu. Bergabungnya warga Boru Klobong diharapkan akanmenambah kekuatan Nian Uwe Wari Tana Kera Pu, serta dapat memperbesarbarisan pejuang untuk mempertahankan hak-hak mereka baik pada masasekarang maupun masa yang akan datang.

PP dipilih sebagai strategi untuk menyediakan media advokasi penyelesaiankonflik keruangan yang dialami oleh komunitas ini. Peta partisipatif yang telahdibuat masyarakat cukup efektif untuk menjelaskan pola-pola penataan danpengelolaan ruang berdasarkan kearifan lokal masyarakat, sekaligus sebagaibentuk counter terhadap pola penataan dan pengelolaan ruang yang dilakukanoleh pemerintah yang cenderung merugikan masyarakat

Pasca PP, warga komunitas adat Nian Uwe Waru Rana Kera Pu Hikong BoruKedang terus maju dan melakukan negosiasi dengan pemerintah tentangpersoalan yang dialaminya. Respon positif telah didapatkan dari pemerintah;masyarakat telah boleh membuka lahannya kembali, meskipun telah ditetapkansebagai hutan lindung oleh pemerintah. Di berbagai forum dialog, sudah adapengakuan – meskipun belum tertulis – bahwa komunitas ini boleh menata danmengelola wilayah adatnya. Tetapi perjuangan memperoleh pengakuan masihharus diteruskan, sampai dengan adanya aturan tertulis tentang kembalinyaseluruh wilayah adat komunitas ini

PP telah memberikan kekuatan baru bagi komunitas adat Nian Uwe Wari TanaKera Pu Hikong Boru Boru Kedang untuk tetap menjaga solidaritas danmenemukan dirinya sebagai satu kesatuan berdasarkan hubungan geneologis.Selanjutnya mereka telah menemukan kekuatan baru dan memiliki dasarkeutuhan sebagai satu wilayah, satu sejarah, satu nasib dan maju untuk melawanketidakadilan yang memiskinkan, memenjarakan d an mendiskriminasikanmereka.

46

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

KAMPUNG MULUY DAN SEJARAHNYA

Penduduk dan Letak Geografis Kampung Muluy

Menurut Jidan, Kepala Adat Kampung Muluy, “Muluy” berasal dari nama sungaiyang ada di Kampung Muluy yang merupakan anak dari aliran sumber mata air(air terjun) Gunung Lumut. Kampung Muluy sebelumnya merupakan wilayahMuluy Kuaro, yang kemudian secara administratif dimekarkan menjadi duabagian yaitu satu bagiannya menjadi wilayah transmigrasi Hutan TanamanIndustri (HTI) yang wilayahnya di sebut wilayah Swanslotung dan bagian lainnyaadalah Kampung Muluy. Secara administratif, Kampung Muluy terletak di DesaSwanslotung Kecamatan Muara Komam Kabupaten Pasir Provinsi KalimantanTimur.

Wilayah Kampung Muluy terletak di Pegunungan Gunung Lumut, tepatnya disekitar sungai-sungai yang mengaliri sela-sela kaki gunung. Di selatan kampungnampak puncak Gunung Lumut yang hijau oleh tutupan hutan dan lumut yangsenantiasa basah karena dicium awan. Dengan tinggi 1.888 meter daripermukaan laut, Gunung Lumut nampak perkasa. Seakan tugu raksasa yangmembatasi langsung empat desa (Muluy Swanslotung, Long Sayo, Rantau Layungdan Pinang Jatus) yang berada di Kecamatan Muara Komam, Batu Sopang danLong Kali, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Luas Kampung Muluy –

47

PP DAN PENEGUHAN KEMBALIKEYAKINAN HAK-HAK MASYARAKATMULUY UNTUK MENGELOLA HUTAN

ADAT DAN MENOLAK KAWASANLINDUNG

Oleh: Ahmad SJA dan Jidan

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

berdasarkan penuturan masyarakat Kampung Muluy – sekitar 13.000 hektar.Hal ini juga dibuktikan dengan data hasil PP. Kampung Muluy dihuni olehorang-orang yang berasal dari etnis Paser , berada sekitar 120 kilometer dariTanah Grogot ( ibukota Kabupaten Pasir) atau sekitar 250 kilometer dari kotaSamarinda (ibukota Provinsi Kalimantan Timur). Saat ini, sebagian wilayahadat Kampung Muluy ditetapkan sebagai Hutan Lindung Gunung Lumut yangluas keseluruhannya adalah tiga kali luasan wilayah adat Kampung Muluy.Untuk mencapai Kampung Muluy -- dari Tanah Grogot -- dapat ditempuh selamadua setengah jam dengan kendaraan bermotor. Sepanjang jalan menujuKampung Muluy, terdapat 8 kilometer hamparan kebun kelapa sawit , kemudian71 km dari simpang Desa Lembok Kecamatan Longikis terdapat perusahaan HakPengelolaan Hutan (HPH) PT. Telaga Mas, kemudian akan menemui hamparanbekas ladang bercampur semak belukar sepanjang kurang lebih 5 kilometer,setelah itu, sebelum sampai ke Kampung Muluy adalah hutan lebat.

Kampung Muluy dan Desa Swanslotung

Sejarah terbentuknya Kampung Muluy lebih karena masyarakat sekitarnyaberpindah ke wilayah sekitar sungai untuk memenuhi kebutuhan air untukhidupnya. Masyarakat Kampung Muluy dipimpin oleh seorang pemimpinbergelar Pengawa Layung Jagar , pada jaman penjajahan Belanda sekitar 1800,saat itu mereka masih bekumpul di Muluy lama (wilayah Swanslotung). Karenaada perselesihan maka mereka pindah ke Kampung Muluy Tengah yang letaknyadi pinggir sungai. Wilayah tersebut juga dipilih karena wilayah itu lebih banyakbuah dan tersedianya air yang berlimpah. Sekitar tahun 1986 mereka haruspindah (lagi) ke area di sekitar Gunung Janas. Ini disebabkan HPH PT. TelagaMas lokasinya pindah dari lokasi sebelumnya yang bertepatan dengan lokasipermukiman Kampung Muluy. Alasan lainnya adalah karena telah tersedianyasarana jalan, sehingga akan lebih mudah bagi masyarakat untuk menjagakampungnya dari atas gunung. Bersamaan dengan berpindahnya lokasi HPH PTTelaga Mas, sebanyak 5 keluarga masyarakat Kampung Muluy juga turut pindahsementara sisanya masih tetap tinggal di kampung tersebut. Pada tahun 1999,masyarakat Kampung Muluy kembali berkumpul untuk mendiami permukimandi tepi Sungai Muluy yang terletak di sela kaki Gunung Lumut. Kini masyarakatKampung Muluy mendiami 50 (lima puluh) rumah kayu beratap seng berukuran5x7 meter. Perkampungannya terletak di area di mana sebelumnya merupakantempat penumpukan kayu di tepi jalan HPH PT Telaga Mas. Permukiman yangdidiami oleh Kampung Muluy dibangun oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir padatahun 2000. Saat ini masyarakat Kampung Muluy berjumlah 130 jiwa yangterdiri dari 28 KK. Dengan fasilitas peribadatan berupa musola (1 buah) dansatu bangunan sekolah. Saat ini di sekolah tersebut ada 2 orang guru yangsudah berstatus pegawai negeri, dan 1 orang guru mengaji yang mengajar 24

48

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

murid. Untuk kelancaran proses belajar mengajar , murid yang telah lulusdiperbantukan untuk mengajar.

Sebelum memeluk Islam, penduduk Kampung Muluy memeluk kepercayaanKaharingan. Dan sejak tahun 1960 mereka mulai masuk Islam, setelah adaorang Jawa datang membawa agama Islam. Orang Jawa yang membawa ajaranIslam terkenal dengan sebutan Jawa Kurus.

Ekonomi dan Sumberdaya Alam

Masyarakat Kampung Muluy memiliki pandangan sendiri tentang hutan. Hutandianggap sama dengan gudang harta karun serta mereka juga menyebutnyajatas tete ine (air susu ibu). Karena dari hutan, mereka bisa menda patkan sumberpenghidupan dan menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.Mereka biasanya mengambil hasil hutan berupa buah-buahan, madu, rotandan binatang buruan. Walaupun tidak selalu mencukupi kebutuhan, merekatidak merasa harus meneban g pohon untuk mendapatkan kayunya. Selain untukpemenuhan kebutuhan rumah tangga, hutan bagi masyarakat Kampung Muluyjuga menyediakan tumbuhan obat-obatan, bahan anyaman, sayur-sayuranhingga tumbuhan perlengkapan untuk upacara adat. Tetapi lebih dari itu, hutanjuga menyediakan lahan untuk berladang, dan mereka melakukan perladangansecara gilir balik atau di sebut juga sistem rotasi. Jika lahan yang dibukaadalah hutan yang belum pernah dibuat ladang, maka lahan tersebut dapatdiladangi selama 2 tahun berturut-turut. Jika bekas ladang tersebut dibiarkanbera dan tidak ditanami dengan tanaman apapun, maka lahan tersebut dapatdibuka lagi setelah 5 – 8 tahun sejak ditinggalkan dan masih dapat diladangikembali selama 2 tahun berturut-turut.

Jika bekas ladang tersebut masih belum ditanami dengan tanaman lain dansaat berladang terakhir diketahui bahwa lahan tersebut masih subur dan tidakbanyak tumbuh rumput, maka lahan tersebut bisa dibuka kembali setelah 5 – 8tahun. Namun jika bekas ladang tersebut diketahui kurang subur dan saatberladang terakhir diketahui banyak rumputnya, maka ladang tersebut baruakan dibuka lagi setelah 10 – 20 tahun. Atau jika lahan bekas ladang tersebutditanami dengan pisang, pepaya atau tanaman lain yang berumur pendek, makalahan tersebut baru dibuka kembali setelah tanaman yang ada sudah mati. Jikabekas ladang tersebut ditanami rotan, buah-buahan atau kopi, maka lahantersebut tidak akan dibuka lagi untuk berladang. Tetapi akan dibiarkan menjadiSipung atau kebun. Dalam jangka waktu tertentu mereka akan kembali menanamiladang/tanah tersebut, setelah sekitar 5-6 tahun kemudian.

Masyarakat Kampung Muluy memiliki beberapa sebutan tersendiri untuk: ladangyang baru di buka yaitu lati bayu; ladang dengan sebutan omu; bekas ladang

49

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

yaitu lati; ladang yang sudah diberakan selama 2-3 tahun disebut lati ono; danladang yang lama sekali dan sudah menyerupai hutan belukar karena sudahditinggalkan sekitar 5-6 tahun di sebut lati litiye; bekas ladang yang sudah ditinggalkan disebut alas lati litiye; hutan sekunder disebut alas rusak; hutan primerdisebut alas royang. Kebiasaan menggunakan sebutan tersebut telah berlangsungsejak ratusan tahun lalu dan hingga saat ini masyarakat Kampung Muluy masihmenggunakan sebutan tersebut, termasuk kebiasaan mereka melakukan kegiatanperladangan di sela-sela tegakan-tegakan pohon yang ada di hutan.

Selain memiliki sumber daya hutan, sungai yang berada di sekitar pemukimanmasyarakat Kampung Muluy pun bisa menopang kebutuhan hidup rumah tangga.Airnya yang jernih dengan dasar sungai yang berpasir dan berkerikil, ternyatabanyak menyimpan butiran emas. Dalam waktu-waktu tertentu, masyarakatKampung Muluy melakukan penambangan emas di sungai tersebut.Penambangan dilakukan secara tradisional dan itu tidak dilakukan tiap tahuntetapi hanya waktu-waktu tertentu saja. Mereka lakukan penambangan jikaladang ataupun buah-buahan mereka tidak berhasil. Penambangan bisa tidakmereka lakukan selama 10 tahun karena hasil bumi yang mereka dapatkan darihasil hutan mampu mem-buat mereka bertahan untuk menyambung hidup. Halini membuktikan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang merekamiliki mereka sangat memperhitungkan keberlangsungan sumberdaya alam(termasuk keberlangsungan sumber daya emas yang ada didasar sungai) danpemanfaatannya hanya untuk maksud memenuhi kebutuhan rumah tangganya,dan sumberdaya yang ada dipertahankan terutama untuk keberlangsungangenerasi selanjutnya.

HUTAN ADAT VS. HUTAN LINDUNG DI KAMPUNG MULUY

Keyakinan Masyarakat Kampung Muluy Tentang Hutan Adat

Sudah ratusan tahun Masyarakat Kampung Muluy tinggal dan hidup di kawasanhutan adat Gunung Lumut atau dikenal juga dengan sebutan Alas Royong. Menurutcerita yang berkembang di Kampung Muluy, kawasan ini mereka tinggali sejakjaman nenek moyang mereka, jika di urut dari keturunan pertama hingga yanghidup sekarang sudah keturunan ke-13, dimulai dari Layung Jagar hinggasekarang kepala adatnya Jidan.

Filosofi seorang kepala adat adalah “ mengetahui bahwa bumi atas bumi”maksudnya adalah kepala adat memiliki hutan dan kampung dan diamengetahui seisi kampung dan hutan adatny,a tetapi dia tidak berhak menjualataupun membagi kepada siapapun. Diyakini oleh seluruh masyarakat KampungMuluy dan kepala adat bahwa jika terjadi proses penjualan dan pembagian

50

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tanah di wilayah adatnya maka akan terjadi perkelahian antar warga atauantar saudara. Sehingga dengan keyakinan tersebut hingga saat ini tanah diwilayah Kampung Muluy tidak ada yan g dibagi. Hutan, bagi masyarakatKampung Muluy sangat tinggi harganya, bahkan lebih berharga dari nyawamereka sendiri. Tidak heran jika masyarakat Kampung Muluy akan mengeluarkanseruan “lebih baik parang jalan duluan dari pada berbicara ” ketika ada pihak-pihak yang hendak memasuki kawasan hutan di wilayah Kampung Muluy. Dibalikke’galak’an masyarakat Kampung Muluy terhadap pihak-pihak yang hendakmemasuki kawasan hutannya tanpa ijin tersimpan makna yang dalam tentangbagaimana menjaga keberlangsungan sumber daya hutan mereka. Mereka tidakingin ada pihak-pihak yang memanfaatkan hutan secara berlebih-lebihansehingga hutannya menjadi rusak dan tidak bisa menghasilkan lagi. Hal inididasarkan pada keyakinan mereka selanjutnya yaitu bahwa peruntukkan hutanadalah untuk anak cucu mereka, hal ini diyakini dengan diikuti praktek-praktekpemanfaatannya, walaupun kekayaan hasil hutan mereka melimpah merekatetap arif dalam mengambil hasil hutan.

Selain karena keyakinan mereka terhdap hutan, merekapun menyaksikanbagaimana jadinya jika hutan mereka rusak dan tidak ada lagi yang bisadimanfaatkan. Ada beberapa alasan empiris kenapa masyarakat tetap menjagahutan adat di wilayah Kampung Muluy. Mereka menyaksikan sendiri ketikamereka lewat kawasan hutan ketika mereka menuju ke Simpang untuk berbelanjaatau hendak ke kota, mereka melihat bentangan kawasan perkebunan sawityang mereka ketahui dahulunya adalah kawasan hutan. Mereka jugamenyaksikan bahwa masyarakat di sekitarnya tidak dapat mencari kayu ataupunmencari buah di hutan sekitarnya. Akibatnya ketika musim panen buah ataupanen madu di hutan di wilayah Kampung Muluy, warga kampung lain yangsudah tidak mempunyai hutan datang ke kampung Muluy untuk ikut memanenhasil hutan.

Alasan lain adalah didasarkan pada pengalaman buruk yang terjadi sekitartahun 1980-an yang dampaknya masih terasa hingga saat ini. Masuknya PT.Telaga Mas untuk membangun Hutan Tanaman Industri menyebabkanmasyarakat banyak kehilangan kebun rotan mereka. Akibatnya mereka tidakbisa lagi mengambil rotan untuk dijual karena rotan yang tersisa hanya cukupuntuk membuat anyaman dan gelang rotan (kerajinan kecil-kecilan).

Dengan keyakinan dan beberapa alasan di atas, maka tidak heran jika sikapmasyarakat Kampung Muluy dianggap langka dan aneh pada masa sekarang.Ketika desa lain berlomba-lomba mengajukan ijin pengolahan dan pemanfaatankayu (IPPK) pada tahun 2001, Masyarakat Kampung Muluy justru menetapkanstatus siaga satu untuk menjaga kawasan hutan mereka. Mereka bersiap untukmenghadang kedatangan tim survey yang mencoba nyelonong ke wilayah

51

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

hutannya untuk kepentingan perijinan IPPK. Demikian juga ketika masyarakatdesa lain beramai-ramai memanggul chain saw (gergaji mesin), membuatblambangan (balok kayu), Masyarakat Kampung Muluy tetap dengan kebiasaanmereka berladang secara tradisional. Bahkan sebagian masyarakat KampungMuluy tetap asyik dengan seppong (alat peniru suara burung) Murai-nya untukmencari burung. Lain halnya ketika masyarakat Kampung Muluy mendapatkantawaran pembangunan micro hydro yang ditawarkan oleh aktivis dari salahsatu LSM bernama Padi indonesia 6, mereka menyambut dengan baik denganpertimbangan pembangunan micro hydro adalah salah satu cara untukmelanggengkan hutan mereka dan sekaligus membantu penyediaan air bagimasyarakat Kampung Muluy. Lebih dari itu, tawaran ini semakin menguatkanposisi perjuangan masyarakat dalam menjaga hutan adat mereka.

Ditetapkannya Kawasan Hutan Lindung di Kampung Muluy

Pada tahun 1993, wilayah Kampung Muluy ditetapkan menjadi Hutan Lindungoleh Menteri Kehutanan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No 24/Kpts/Um/1/1993 dengan luas 35.350 ha (Sumber: Dinas Perhutanan dan KonservasiTanah Kabupaten Pasir tahun 1999/2000). Sejak saat itu pula, masyarakatKampung Muluy melakukan perlawanan secara terbuka. Namun, menurutpenuturan masyarakat Kampung Muluy, perlawanan sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari dengan cara yang tidak terbuka. Mereka melakukan perlawanandengan cara yang halus, yaitu dimulai ketika mereka sedang belanja di pasaryang letaknya 17 km dari kampungnya, yang terletak di jalan poros Kalimantan.Mereka sengaja menggunakan kendaraan gerobak yang dilengkapi dengan stiruntuk mengendalikannya, dan ketika mereka berpapasan dengan truk pengangkutkayu milik PT Telaga Mas, mereka sengaja tidak menepi sehingga truk-trukterhalangi perjalanannya. Perjalanan yang ditempuh dengan menggunakangerobak dari kampungnya ke pasar dan kembali lagi ke kampung ditempuhdalam waktu 3 hari 3 malam. Selain untuk menghalang-halangi beroperasinyapenebangan kayu oleh PT Telaga Mas, karena mereka tidak diperkenankanmenumpang truk-truk pengangkut kayu tersebut. Perlawanan tidak terbuka iniberlangsung lama hingga dikeluarkannya SK penetapan kawasan hutan lindungtersebut. Namun perlawanan terus berlangsung yang puncaknya terjadi padatahun 1999.

Pada proses penetapan kawasan hutan Gunu ng Lumut menjadi hutan lindung,masyarakat Kampung Muluy tidak mengetahui karena menurut penuturanmasyarakat Kampung Muluy tidak ada proses dialog antara penentu kebijakandengan masyarakat. Masyarakat baru mengetahuinya setelah SK tersebutditerbitkan. Selain tidak ada proses dialog, masyarakat Kampung Muluy puntidak melihat adanya kegiatan pemasangan patok atau tanda-tanda lainnyauntuk menandai ditetapkannya kawasan hutan Gunung Lumut menjadi hutan

52

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

lindung. Hingga saat ini, tanda-tanda fisik bahwa kasawan Gunung Lumutmenjadi kawasan Hutan Lindung pun tidak ada atau belum terpasang. Dengandemikian, masyarakat Kampung Muluy pun secara sadar tetap beranggapanbahwa tidak ada perubahan status sama sekali terhadap kawasannya karenamereka tidak pernah diajak dialog secara terbuka dan tidak ada klaim samasekali dari negara terhadap status kawasannya karena tidak ada tanda-tandafisik.

Karenanya, hingga saat ini tidak ada perubahan perilaku masyarakat KampungMuluy terhadap kebiasaan pemanfaatan hasil hutan Gunung Muluy. Merekamenyadari bahwa jika memang kawasan hutan adatnya sudah ditetapkanmenjadi hutan lindung, maka mereka memiliki keterbatasan untukmemanfaatkannya. Paling tidak, mereka harus mendapatkan ijin agar dapatberladang di atas kawasan tersebut, bahkan mereka juga menyadarikemungkinan terburuk bahwa mereka harus pindah dari kawasan tersebutkarena peraturan yang berlaku mensyaratkan hal tersebut. Berdasarkanperaturan yang berlaku 7, masyarakat yang ada di sekitar kawasan hanyadiperbolehkan menempati ataupun menggunakan untuk berladang pada tempatyang telah di tentukan dan harus memakai perijinan setiap menggunakankawasan tersebut.

53

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Meskipun masyarakat Kampung Muluy yang selalu bersiaga untuk menjagahutannya, suatu saat mereka akan berhadapan dengan kebijakan yang akanmenyulitkan mereka dalam mendapatkan sumber penghidupan dari hasil hutan.Ketika kebijakan sudah diterapkan, masyarakat Kampung Muluy harusmendapat ijin yang diikuti dengan berbagai syarat. Ini akan saja menyulitkanmasyarakat untuk mendapatkan hak yang seharusnya milik mereka .

Hutan Adat dalam Peraturan dan Perundang-undangan

Hutan Adat menurut UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah “ ... hutannegara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat ”8, hal ini jelas bahwapenekanannya adalah bahwa hutan adat adalah kawasan yang dikuasai olehnegara9. Dengan merujuk kepada pelaksanaan konsepsi hak menguasai negara(HMN), maka dapat ditafsirkan bahwa hutan negara bukan di bawah kontrolpenuh kelompok komunitas adat yang ada di dalamnya, karena terdapatsejumlah prosedur untuk kemudian dapat ditetapkan menjadi hutan adat. Masihmerujuk kepada UU No. 41 Tahun 1999, bahwa Penguasaan hutan oleh Negaratetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannyamasih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengankepentingan nasional 10. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa keberadaan komunitasadat yang sesungguhnya sudah ada sebelum perundang-undangan ini lahir,harus menunggu proses selanjutnya untuk dapat diakui sebagai komunitas adat.

Dalam proses penetapan kawasan hutan Gunung Muluy menjadi hutan lindung,masyarakat Kampung Muluy berpendapat bahwa peraturan dan kebijakan yangada tentang pengaturan kawasan hutan, tidak diperuntukkan bagi kepentinganrakyat. Dalam proses perumusannya, terkesan tidak melalui proses dialogyang baik, sehingga akan sulit diterapkan. Ditambah lagi dengan kenyataanbahwa peraturan yang ada pun tidak tersosialisasi dengan baik. Hal inidibuktikan dengan ketidaktahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan yangada khususnya peraturan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan diwilayahnya. Lebih jauh lagi, masyarakat Kampung Muluy juga menilai bahwaperaturan yang ada sangat berpihak kepada kelompok-kelompok yang memilikikepentingan untuk melakukan akumulasi kekayaan. Hal ini dituturkan olehperwakilan masyarakat Kampung Muluy, bahwa di sekitar wilayahnya terdapatperkebunan-perkebunan besar yang berdampak pada hilangnya sumberpenghidupan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Beroperasinya perkebunanbesar tersebut tentunya akan sangat bergantung pada perijinan yang diberikanoleh negara, maka hal ini kembali menunjukkan bagaimana kemudahan bagimereka yang memiliki modal untuk menjalankan usaha perkebunan dengansama sekali tidak memperhitungkan kerugian sosial ekonomi rakyat di sekitarnya.Pendapat ini semakin diperkuat dengan apa yang tertuang dalam peraturan

54

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

yang mengatur tentang mekanisme pinjam pakai kawasan hutan yang diaturdalam peraturan Menter Kehutanan 11 yang melengkapi peraturan yangdikeluarkan sebelumnya tentang diperbolehkannya melakukan penambangandi kawasan hutan lindung 12.

Sebagaimana diketahui bersama, umumnya, wilayah hutan selalu identik dengantempat hidup komunitas-komunitas adat. Namun sayangnya, sejak kebijakantentang kehutanan yang diterbitkan tahun 1967 13 dan kemudian diubah padatahun 199914, pandangan tentang komunitas adat ini tetap tidak berubah. Keduaperaturan tersebut tetap menyebutkan akan mempertimbangkan keberadaankomunitas masyarakat adat selama memang diakui keberadaannya dan tidakmengganggu tujuan-tujuan pembangunan kehutanan 15. Perbedaan antara keduaperaturan tersebut adalah adanya rincian penggunaan hutan dengan tujuankhusus, di mana salah satu pengelolanya dimungkinkan oleh kelompokmasyarakat adat16. Walaupun demikian, untuk mendapatkan haknya, tetap harusmemenuhi persyaratan yang harus dipenuhi dan lagi-lagi bagi masyarakatKampung Muluy hal ini sangat tidak logis, karena sesungguhnya pengelolaandan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Muluy tidak untukkegiatan pengerukan melainkan hanya pemanfaatan sekedarnya dan lebihkepada tujuan keberlangsungan kawasan hutan. Permainan dengan pembentukanmacam-macam kebijakan tentang kehutanan tidak berhenti sampai disitu,karena orientasi pemerintah terhadap pengelolaan hutan sangat kentara untukpemenuhan kaum yang berorientasi ekonomi saja. Maka pada tahun 2007,pemerintah berupaya menyeimbangkan kebijakannya dengan mengeluarkankebijakan agar masyarakat pun mempunyai andil dalam pengelolaan hutan.Terbitlah kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan 17, namun sayangnya,walupun tajuknya untuk “pengembangan kapasitas dan pemberian aksesterhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari gunamenjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untukmemecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat” 18, tidakdiikuti dengan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan ijinnya. Berdasarkanperaturan ini, setidaknya sebelum masyarakat dapat berkegiatan dalam kerangkaHutan Kemasyarakatan harus melewati 7 tahapan yang keseluruhan tahapannyamelibatkan instansi pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota 19.Proses yang panjang ini, bagi masyarakat sangat sulit ditempuh, karena merekatinggal di pelosok-pelosok hutan yang aksesnya sangat sulit menuju ibukotaprovinsi. Dengan keluarnya kebijakan ini, dapat diduga bahwa yang akanmengambil keuntungan dari kebijakan ini adalah kelompok-kelompok yang samasekali bukan target sebagaimana dituangkan didalam keputusan menteri iniyaitu mereka yang memang sudah memanfaatkan hutan dan arealnya pun adalahareal yang memang sudah menjadi sumber matapencaharian masyarakat sekitarhutan20.

55

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Keberadaan masyarakat adat di Indonesia masih belum diakui secara formal,walaupun sudah ada pengakuan dari dunia internasional dan pemerintah In-donesia pun sudah meratifikasinya. Seperti telah diuraikan di atas, peraturan-peraturan yang sudah ada pun dalam pelaksanaannya masih sangat lemah danbanyak dikalahkan oleh arus lain yang lebih kuat yaitu arus yang hanyamenginginkan keuntungan ekonomi saja. Sehingga, keberadaan masyarakat adatyang jika dicermati dengan baik, keberadaannya tidak diragukan lagi, dalamkonteks pemanfaatan dan pengelolaan hutan, adalah pihak yang sangatmenekankan keberlangsung fungsi hutan, baik secara ekologi, ekonomi dansosial.

Hutan adat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah kawasanhutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (dinyatakandalam Pasal 1 (6), UU No. 41 Tahun 1999). Dalam pelaksanaan pengelolaan danpemanfaatan hutan adat, masyarakat d i Kampung Muluy yang merupakanpengelola dan pengambil manfaat hutan adat di hutan Gunung Muluy,berpedoman pada aturan-aturan adat yang sudah mereka laksanakan sejaklama. Tujuannya adalah untuk keberlangsungan fungsi hutan, sebagaimanasudah diuraikan diatas, bahwa tujuan mereka adalah untuk mewariskan hutantersebut kepada anak cucu mereka. Tujuan yang sangat sederhana ini haruslahdipahami dalam arti yang sangat luas, sebagaimana prakteknya sehari-hari,mereka tidak pernah memanfaatkan secara berlebih-lebihan.

Jika dibandingkan dengan konsepsi hutan lindung yang juga tertera dalam UUNo. 41 Tahun 1999 bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyaifungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengaturtata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, danmemelihara kesuburan tanah (Pasal 1 (8)), maka apa yang dilakukan masyarakatKampung Muluy adalah untuk tujuan yang sama dengan yang tertera dalamkonsepsi hutan lindung. Perbedaannya hanyalah pada siapa pihak yangmempunyai kewenangan untuk menjalankan praktek-praktek untuk tujuantersebut serta orientasi praktek pengelolaannya. Hutan adat praktikpengelolaannya tentunya dilakukan oleh masyarakat adat sekitar hutan adattersebut, sedangkan hutan lindung pengelolanya adalah institusi Negara yangditugaskan dan bertugas di wilayah tersebut dan pihak-pihak yang diberi ijinuntuk melakukan pemanfaatan 21. Orientasi pengelolaannya juga berbeda. Hutanadat berorientasi untuk keberlangsungan hutan yang diperuntukkan untukdiwariskan ke generasi selanjutnya, dan hutan lindung lebih berorientasi padakeseimbangan ekologi yang diselingi dengan kegiatan ekstraksi yang tidakdiperuntukkan menjadi sumber penghidupan masyarakat di sekitarnya. Dengandemikian, sulit untuk membenarkan jika bermaksud mempersamakan konsepsihutan adat dengan hutan lindung.

56

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Kembali melihat persoalan yang akan timbul di kemudian hari di kawasanGunung Lumut yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung, persoalan terberatadalah ketika masyarakat Kampung Muluy berhadapan dengan aparat yangbersiaga dengan alasan ketentuan yang belaku 22, bahwa mereka tidak lagi dapatmengambil hasil hutan di kawasan Gunung Lumut. Padahal, dengan bermodalkeyakinan dan aturan adat yang telah berlaku ratusan tahun dan sejak nenekmoyang mereka, masyarakat Kampung Muluy menjaga Hutan Adat danmempertahankan harta yang sangat mereka banggakan. Hal ini juga diikutidengan prinsip mereka tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan, sepertiucapan mereka tentang hutan bahwa hutan adalah titipan untuk anak cucumereka. Prinsip tersebut dipahami oleh seluruh anggota masyarakat KampungMuluy mulai dari anak-anak ataupun kaum perempuan, semua mengetahuitentang itu. Kaum perempuan sangat berperan dalam pengelolaan hutan adatmereka. Praktik-praktik masyarakat Kampung Muluy pun termasuk praktek untukmenjaganya, yaitu dengan cara yang alamiah dan dilakukan secara bergantian.Mereka melakukannya sambil berburu dengan hanya meggunakan umpan atausambil mencari burung, dengan begitu mereka pasti berkeliling di sekitar hutandan proses memantau keadaan hutan pun terlaksana. Seperti halnya penjagaanyang dirancang didalam penjagaan hutan lindung, tujuannya sama yaitu untukmenahan gangguan orang luar yang bermaksud merusak hutan.

Sistem pengawasan yang ada dalam ketentuan hutan lindung, mensyaratkanupaya-upaya perlindungan dengan pola multipihak dan kemudian dibentukbadan pelaksana. Untuk merealisasikannya juga dialokasikan sejumlah danauntuk kelancaran sistem tersebut. Sebagaimana yang diatur didalam UU No. 41Tahun 1999, sistem penjagaan yang di gunakan untuk menjaga hutan lindungatapun taman nasional, menggunakan polisi hutan atau jagawana, dan untukkebutuhan profesionalisme aparat yang bertugas diperlukan biaya, paling tidakuntuk menggaji sejumlah Polisi Hutan tersebut ditambah lagi untuk biayaoperasional lainnya. Bandingkan dengan sistem penjagaan yang dilakukan olehMasyarakat Kampung Muluy, relatif tidak ada biaya yang dibebankan kepadanegara, bahkan sebaliknya, tujuan-tujuan penetapan hutan lindung suatukawasan akan tercapai dengan sendirinya.

57

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

PEMETAAN PARTISIPATIF DI KAMPUNG MULUY

Diperkenalkannya Pemetaan Partisipatif di Kampung Muluy

PP di Kampung Muluy tidak dapat dilepaskan dengan keterlibatan salah satuLSM bernama Yayasan PADI Indonesia (selanjutnya disebut PADI). PADI sebagaisebuah lembaga yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat,tidak bergerak di bidang politik dan tidak mencari keuntungan (nirlaba). Sejakberdirinya PADI24 adalah untuk memfasilitasi, mendampingi dan menjembatanipartisipasi masyarakat dalam proses pembangunan (pertanian, kehutananan,perikanan, perkebunan) yang berdasarkan kearifan masyarakat setempat (lokal);dilandasi nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi masyarakat dan. PADI jugaberperan aktif dalam proses pengembangan demokratisasi serta menghargainilai Hak-Hak Asasi Manusia. PADI tumbuh dan berkembang di tengah-tengahmasyarakat tanpa membedakan suku, agama dan golongan. Sesuai denganvisinya yaitu Rakyat berdaulat atas pengelolaan biodiversity Sumberdaya Alamdi Kalimantan. Untuk menjalankan visi besar tersebut Padi Indonesia mempunyai2 tujuan besar yaitu [1] Mewujudkan proses pelestarian dan pemanfaatanbiodiversity Sumberdaya Alam (pertanian, kehutananan, perikanan-perairan-gambut) yang berkeadilan sosial, peningkatan ekonomi dan kelestarianlingkungan hidup; dan [2] Membangun kekuatan rakyat dalam prosespembangunan yang berbasiskan pada demokratisasi pengelolaan sumberdayaalam.

Pada tahun 1995 aktivis PADI Indonesia datang ke Kampung Muluy atasundangan masyarakat, yaitu diundang oleh Pak Lindung selaku kepala adatpada waktu itu (sekarang sudah almarhum) Pak Lindung mengundang aktivisPADI untuk bertukar pengalaman dan untuk menjajaki apakah Kampung Muluyjuga bisa menjadi proses pembelajaran dengan cara melakukan pendampingan.Dalam pertemuan tersebut, masyarakat Kampung Muluy bersepakat dengan PADIuntuk melakukan asesmen tentang sejarah dan asal usul Kampung Muluy.Diuraikan dalam pertemuan tersebut oleh para aktivis dari PADI bahwa keinginantersebut bisa ditempuh dengan cara melakukan PP. Selanjutnya diuraikan secarasingkat kepada masyarakat Kampung Muluy bahwa rangkaian proses PP akanmendapatkan lebih banyak dari sekedar yang diinginkan oleh masyarakat yaituuntuk mengetahui secara jelas sejarah kampung Muluy. Penjelasan singkattersebut membuat masyarakat Kampung Muluy menjadi yakin bahwapermasalahan mendasar mereka tentang bagaimana menjaga hutan dan

58

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

kawasan mereka pun dapat diselesaikan dengan PP. Sejak saat itu, aktivis PADImemulai melakukan kerja-kerja bersama masyarakat untuk untuk sharingpendapat dan saling tukar pengalaman untuk menjaga hutan adat KampungMuluy lebih baik lagi. Sehingga semboyan “ menjaga hutan dan seisinya untukanak cucu karena semuanya adalah titipan yang harus dijaga dan dilestarikandengan cara apapun juga ” dapat benar-benar terlaksana.

Proses Pelaksanaan Pemetaan Partisipatif

Masyarakat Kampung Muluy memiliki masalah yang kompleks. Selain hutanlindung, pada masa mendatang waraga Kampung Muluy akan berhadapandengan berbagai pihak yang akan mengeksploitasi hutan adatnya. Hasil PPdiharapkan akan menambah keyakinan dalam bertindak dan memiliki alatberjuang yang baru yaitu adanya data yang dihasilkan dari PP. Dari pengalaman,perjuangan dengan tanpa data yang cukup untuk melakukan klaim terhadapkeberadaan kampung dan hutan mereka, kecenderungan hanya akan dapat sakithati dan tidak di gubris oleh pihak pemerintah maupun pihak perusahaan sangatbesar.

Pengelolaan kawasan Hutan Adat Gunung Lumut di Kampung Muluy sudahdilakukan sejak lama, tetapi selama itu juga masyarakat belum melakukandokumentasi dan inventarisasi dengan baik. Maka harapan lainnya darikegiatan PP ini adalah terjadinya dokumentasi dan inventarisasi seluruh potensiyang ada di Hutan Adat Gunung Lumut, sekaligus mereka juga dapat mengetahuidengan pasti batas-batas Kampung Muluy dengan kampung-kampung yang adadi sekitarnya. Hal ini terkait dengan adanya pembagian kawasan hutan adatdengan masing-masing kampung di sekitarnya, serta penataan wilayah hutanadat dalam fungsinya masing-masing. Hutan ( alas) adalah kawasan yang banyakditumbuhi tanaman yang terdiri dari banyak jenis pohon dan ukuran pohonyang besar dan umurnya tua; di sinilah terdapat tanaman lain seperti rotan,gaharu, bambu, pohon madu dan buah-buahan serta menjadi tempat hidupbermacam-macam hewan liar yang juga menjadi sumber penghidupan. Ladang(umo) adalah tempat menanam dan bercocok tanam. Sipunk adalah suatukawasan dalam kawasan hutan yang di dalamnya terdapat beberapa jenistanaman, baik tumbuhan kayu dan tumbuhan non kayu, serta ada beberapasipunk di dalamnya seperti sipunk rotan, sipunk buah dan sipunk lain. Sipunk initerbentuk secara alamiah dan berfungsi sebagai pembatas ladang. Wilayahlainnya adalah wilayah kebun, yaitu areal bercocok tanam. Di kebun adabeberapa tanaman yang selalu di rawat seperti pohon madu, pohon puti(banggris), ngoi (jelomu), bilas, guno landak dan putang (meranti).

59

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Proses PP di Kampung Muluy melalui tahapan berikut:

1. Tahap Persiapan; yaitu tahapan agar masyarakat mengetahui tentang rencanapemetaan yang akan dilaksanakan serta un tuk memperoleh dukungan danpartisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemetaan, tahap ini bisadikatakan sebagai tahap sosialisasi tentang PP dan pelaksanaan pemetaanitu sendiri.

Pada prosesnya, tahap persiapan ini juga membicarakan hal -hal teknis,misalnya proses penyusunan anggaran kegiatan pemetaan, menentukanrencana kerja pemetaan serta mempersiapkan perlengkapan dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk kegiatan pemetaan.

Tahap persiapan ini juga bertujuan untuk menghindari konflik antaramasyarakat maupun antara masyarakat dengan pihak lain jika pemetaansudah dilakukan. Sebagai bukti bahwa tahap ini sudah dilalui dan sesuaidengan maksudnya, tahap persiapan ini disusunkan dokumen berita acarayang disaksikan oleh pejabat berwenang atau tokoh masyarakat.

Tahap ini dilakukan dengan melakukan rangkaian pertemuan, dimulai daripertemuan di tingkat kampung dan pertemuan antar kampung. Secara khusustujuan-tujuan dari pertemuan-pertemuan tersebut adalah:

- Pertemuan kampung untuk melakukan sosialisasi ke masyarakatbertujuan agar masyarakat mengetahui tentang rencana pemetaan yangakan dilaksanakan; memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakatdalam pelaksanaan pemetaan; penyusunan anggaran; menentukanrencana kerja; mempersiapkan perlengkapan pemetaan; membentuk timkerja pemetaan; serta pembagian tugas di antara masyarakat.

Pada pertemuan ini, yang terutama adalah menjelaskan dan membangunkesepahaman antara anggota masyarakat Kampung Muluy bagaimanaPP dilaksanakan. Penjelasannya meliputi, siapa saja yang sebenarnyamelaksanakan PP, lalu apa saja pembagian tugas diantara anggotamasyarakat Kampung Muluy dan yang tidak lupa untuk disampaikanadalah kegiatan PP ini merupakan kegiatan yang dimil iki oleh masyarakatKampung Muluy, maka segala pertanggungjawabannya adalah di tanganmasyarakat Kampung Muluy, walaupun selama prosesnya dibantu olehpihak-pihak lain terutama beberapa aktivis PADI. Kesepakatan yangterbangun adalah kesepakatan tentang waktu pelaksanaan PP diKampung Muluy.

60

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Pertemuan selanjutnya adalah pertemuan yang menandakan dimulainyakegiatan PP di Kampung Muluy, yang dihadiri oleh seluruh wargaKampung Muluy. Pada pertemuan ini, kembali diberikan penjelasantentang bagaimana PP dilaksanakan dan dilanjutkan denganperencanaan teknis untuk pelaksanaan PP selama 10 hari ke depan.Secara garis besar, pertemuan ini menjelaskan bahwa akan dilaksanakanpembagian tim untuk terselenggaranya PP, di antaranya adalahpembagian tim untuk melakukan pengambilan data lapangan, tim untukmelakukan pengumpulan dan pengolahan data serta tim untuk melakukanfinalisasi peta. Selanjutnya akan dilaksanakan pertemuan (atau beberapapertemuan untuk melakukan proses klarifikasi data) dan terakhir adalahpertemuan untuk proses pengesahan peta yang bisa dipergunakan untukkepentingan penguatan keberadaan wilayah hutan adat Gunung Lumut.

Hasil dari pertemuan kampung ini diketahui bahwa seluruh anggotamasyarakat Kampung Muluy seluruhnya terlibat didalam kegiatan PP.Mereka terbagi kedalam tim-tim yang akan dibentuk selama prosespemetaan berlangsung. Termasuk mereka yang tergabung didalam timyang tetap berdiam di Kampung untuk menjaga kampung ketikapelaksanaan pengambilan data lapangan berlangsung.

Hambatan yang dihadapi selama proses pertemuan kampung inidipengaruhi oleh luasnya wilayah kampung, sehingga idealnya agendapertemuan kampung dapat dilakukan sebagaimana mestinya jika denganpersiapan yang cukup panjang. Masa persiapan untuk melakukanpertemuan menjadi agenda terpenting untuk memastikan seluruh anggotamasyarakat dapat menghadiri pertemuan tersebut. Sepanjang pengalamanpersiapan pertemuan kampung sejak masa persiapan PP, dalamrangkaian PP dan finalisasi, hambatan yang terberat adalah ketika akandilaksanakan pertemuan kampung untuk persiapan PP (yang menyangkutsosialisasi dan persiapan untuk dilaksanakannya PP). Tidak bisa tidak,aktivis PADI dan tokoh-tokoh masyarakat berkeliling kampung untukmelakukan persiapan dan sedikit memberikan pengantar kegiatan PPyang akan dilaksanakan, hingga meyakinkan seluruh anggota masyarakatuntuk menghadiri rangkaian pertemuan PP.

Kehadiran seluruh anggota masyarakat yang berasal dari wilayah-wilayah di Kampung Muluy untuk menghadiri pertemuan PP, merupakanajang bagi mereka sendiri untuk bersilaturahmi. Selain itu mereka dapatmelakukan tukar pengalaman dan tukar pikiran atas semua dinamikabaik persoalan maupun hal-hal lain yang dapat menopang kualitas hidupmereka masing-masing. Sehingga akhirnya, mereka merasakan bahwadengan adanya rangkaian pertemuan PP, mereka dapat membuktikan

61

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

bahwa kebersamaan dan kekompakan adalah segalanya bagi masyarakatKampung Muluy.

- Pertemuan Antar Kampung yang bertujuan untuk menyepakati batas desaagar tidak terjadi konflik setelah peta selesai dibuat. Di akhir proses ini,kesepakatan yang dihasilkan dituangkan kedalam dokumen Berita Acarayang disaksikan oleh pejabat berwenang atau tokoh masyarakat.

Pertemuan dilakukan di 4 kampung, yaitu kampung-kampung yangberbatasan dengan Kampung Muluy, yaitu Kampung Kepala Telake,Kampung Sayo, Kampung Rantau Layung dan Kampung Rantau Buta. Disetiap kampung, pertemuan dihadiri oleh kepala adat dan kepala desaserta perwakilan masyarakat, yang isinya, selain untuk menyepakatibatas antar kampung , juga untuk menceritakan rencana kegiatan PP diKampung Muluy. Perwakilan masyarakat Kampung Muluy pun turutmengundang perwakilan masyarakat perwakilan ke-4 kampung untukturut serta didalam kegiatan PP di Kampung Muluy.

- Masih termasuk kedalam tahap persiapan adalah proses pelatihanpemetaan, yang ditujukan untuk tim yang ditunjuk sebagai tim pemetaan.Pada pelatihan akan diperkenalkan tujuan membuat peta, jenis-jenispeta dan unsur-unsur peta. Sedangkan hal-hal yang bersifat teknis akandilakukan pelatihan secara bertahap sesuai dengan tahapan proseskegiatan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman terhadapmateri yang disampaikan. Kegiatan yang memerlukan pelatihan khususadalah mulai dari penggunaan global positioning system (GPS) dankompas, mencatat dan mengolah data GPS, memindahkan data ke petadasar, menggambar peta dan menghitung luas wilayah. Mengingatpelatihan dilakukan secara bertahap, maka peserta pelatihan terutamayang menjadi anggota tim inti pemetaan diharapkan dapat mengikutiseluruh proses pemetaan secara terus-menerus sampai proses selesai.

Proses PP, secara substansi tidak menghadapi hambatan, baik yangdihadapi oleh anggota masyarakat Kampung Muluy atau yang dihadapifasilitator PP. Hanya saja, prosesnya terasa lebih lambat karena bagianggota masyarakat Kampung Muluy, pelatihan yang diberikanmerupakan sesuatu yang baru pertama kali didapatkan, sehinggamemerlukan kesabaran untuk tidak terburu-buru menyelesaikan satumateri untuk pindah ke materi selanjutnya, khususnya dalam materipengenalan alat-alat dan praktek untuk menggunakan alat-alat yang akandipergunakan dalam PP. GPS dan kompas adalah alat yang baru sajamereka temukan pada saat pelatihan ini, dan mereka pun menganggapbahwa barang ini adalah barang yang sangat berharga sehingga

62

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

kekhawatiran akan terjadinya kerusakan ada di beberapa masyarakatkampung. Hal ini harus terus menerus diyakinkan, bahwa kesempatanuntuk mencoba dan bertanya tentang bagaimana mengoperasikan alatini adalah saat pelatihan ini, karena tahap selanjutnya adalah tahapandimana mereka menjalankan proses pembuatan peta dengan peralatantersebut. Akhirnya, mereka pun sedikit demi sedikit dapat memahamibagaimana penggunaannya, walaupun setelah menempuh waktu yangrelatif lama.

2. Pembuatan Peta; pembuatan peta dilakukan oleh tim dengan caramelaksanakan apa yang sudah didapatkan selama proses pelatihan.Tahapan yang dilakukan adalah:

- Pengambilan Data Lapangan

Pengambilan data lapangan meliputi pengambilan data di lokasi-lokasiuntuk mengetahui batas desa dan lahan yang diusahakan olehmasyarakat seperti kebun, ladang dan hutan (termasuk didalamnya bataspenguasaan atau kepemilikan lahan oleh kelompok masyarakat danlokasi masyarakat memanfaatkan hasil hutan seperti berburu, mengambilmadu, mengambil rotan), lokasi masyarakat mencari ikan, rute jalandan sungai serta tempat-tempat penting seperti tempat keramat, muarasungai, puncak gunung, bangunan sekolah, tempat ibadah dan kantor.Survey lapangan ini juga sebagai upaya melakukan verifikasi terhadapkoordinat-koordinat yang diambil dan dicocokkan dengan letak yangsudah tercantum dalam peta dasar.

Pelaksanaan pengambilan data lapangan dilak ukan dengan dua carayaitu survey melalui darat dan sungai, dan keduanya ditempuh denganberjalan kaki. Kedua survey tersebut dilaksanakan oleh tim yang berbeda,dan masing-masing tim dibekali dengan peralatan GPS, kompas danmeteran. Jumlah tim disesuaik an dengan banyaknya peralatan yangtersedia (dalam hal ini GPS), dan pada saat itu, GPS yang tersedia hanya2 buah, maka dibagilah tim menjadi dua tim.

Hampir seluruh anggota masyarakat Kampung Muluy merupakan anggotadari kedua tim tersebut dengan komposisi orang-orang yang memilikipengetahuan yang cukup untuk wilayah-wilayah yang menjadi tanggungjawab tim tersebut. Mengingat keseluruhan anggota tim yang banyak,karena hampir seluruh anggota masyarakat menjadi anggota tim, makasetiap tim membagi kerjanya secara bergantian setiap harinya, dan tidaklupa untuk selalu melihat komposisi orang-orang yang memilikipengetahuan yang cukup atas wilayahnya di setiap perjalanan survey

63

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

lapangan. Masing-masing tim kemudian membagi perannya masing-masing, di mana sebagian bertanggung jawab mengoperasikan GPS, adayang mengoperasikan Kompas, ada yang mencatat data lapangan, adayang penunjuk jalan dan sebagian lagi terutama orang-orang tuamemberikan informasi tentang tempat-tempat yang dianggap perlu untukdiambil data lapangannya.

Sebelum memulai survey lapangan, tim pengambil data lapangan terlebihdahulu membuat peta sketsa, yaitu peta yang menggambarkan rute danlokasi yang akan disusuri untuk diambil data koordinatnya dan datalapangan lainnya. Peta Sketsa tersebut digunakan sebagai acuan timpengambil data lapangan, karenanya rute dan objek yang akan dikunjungiharus digambarkan ke dalam peta sketsa. Dengan demikian, dalammelaksanakan tugasnya, tim survey, tidak akan banyak memakan waktudan tenaga yang terbuang karena sudah dipandu dengan panduan yangjelas, yaitu peta sketsa.

Proses Pengambilan data lapangan, berlangsung selama 10 hari. Selamaproses ini juga diketahui bahwa ada beberapa nama sungai yangtercantum dalam peta dasar ternyata terletak pada posisi yang kurangtepat, serta posisi jalan yang kurang tepat khususnya jalan-jalan desayang memang letaknya jauh dari jalan utama atau jalan raya.

- Pengolahan Data Lapangan

Pengolahan data lapangan yaitu kegiatan untuk menentukan skala petayang akan dibuat dan menyesuaikan koordinat dengan skala peta.Dilanjutkan dengan penggambaran peta yaitu didahului denganmelakukan penggambaran draft peta yaitu peta dasar yang sudahdilengkapi dengan data hasil survey. Kemudian diakhiri denganmenghitung luas wilayah yaitu untuk menghasilkan informasi yangpenting dari hasil pemetaan yang salah satunya adalah informasi tentangluas wilayah.

Sebelum melakukan pengolahan data lapangan, terlebih dahulu anggotatim dilatih untuk melakukan pengolahan data. Tim pengolahan data terdiridari 10 orang, yaitu mereka yang juga melaksanakan kegiatanpengumpulan data lapangan. Latihannya adalah melakukan pemindahandata-data koordinat dari lapangan ke dalam kertas sehingga dapatmenunjukkan gambar wilayah. Selain itu juga dilatih untuk membacakoordinat yang sudah tersedia dalam peta rupa bumi dan jugamencocokkannya dengan data yang didapatkan dari lapangan.

64

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Pelatihan dianggap cukup ketika seluruh peserta dapat memahami denganditandai berhasilnya memindahkan beberapa titik koordinat ke dalamkertas dengan skala yang layak dengan mempertimbangkan lebar kertasdan luasan yang akan digambarkan. Setelah itu, dimulailah prosespengolahan data lapangan yang dimulai dengan pencatatan kembali hasilpengambilan data dengan GPS pada sebuah buku khusus. Setelahseluruhnya disalin, mulailah satu per satu data dipindahkan ke dalampeta rupa bumi, sambil mulai mencocokkan data yang sudah ada didalam peta rupa bumi tersebut. Dalam proses ini, dapat diketahui hal-hal yang menjadi koreksi dari peta rupa bumi yang sudah tersedia, baikletak yang kurang tepat maupun informasi yang belum tersedia.

Tidak tertutup kemungkinan data yang diambil dari lapangan tidakmemadai atau tidak lengkap. Untuk melengkapinya dilakukan dengandua cara yaitu melakukan kembali pengambilan data lapangan ataumelakukan penggalian informasi dengan para Tua Kampung denganberdasarkan informasi yang ada dalam peta rupa bumi atau kedua caraini dilakukan sekaligus. Cara yang kedua, yaitu cara menanyakan kepadaTua Kampung, dilakukan pada saat pertemuan-pertemuan khusus yangdilakukan dalam rangkaian pengambilan data lapangan, dan idealnyapenggalian informasi dilakukan oleh mereka yang memang bertugasmelakukan pengambilan data lapangan dengan dibantu data-data yangdiambil dari lapangan dan peta dasar yang tersedia. Tentunya, TuaKampung yang dimintai informasi adalah mereka yang dianggap sangatmemahami dan mengetahui secara pasti informasi keseluruhan wilayahKampung Muluy atau bagian-bagian yang dibutuhkan untuk informasiyang dibutuhkan klarifikasinya.

Dalam praktiknya, kegiatan pengolahan data di Kampung Muluy tidakselalu dilakukan setelah semua kegiatan pengambilan data selesai secarakeseluruhan. Namun dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatanpengambilan data itu sendiri. Dengan tim yang terbagi-bagi dan secarabergantian setiap harinya melakukan pengambilan data lapangan,sekembalinya tim akan segera dilanjutkan dengan sedikit demi sedikitmelakukan pengolahan data lapangan, begitu seterusnya. Hal ini menjadisangat efektif dilakukan karena jika ada informasi yang kurang bisasegera dilengkapi.

Setelah hasil pengolahan data, seluruh anggota masyarakat akanmengetahui dengan pasti informasi yang ada di wilayahnya, karenakemudian tergambar di dalam peta dengan proses yang mereka lakukansendiri. Mereka mengetahui dengan pasti batas antar desa, bataskepemilikan lahan, nama dan letak sungai, letak kebun kopi dan rotan,

65

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

dan informasi lain seperti tempat-tempat bersejarah serta tempat-tempatdi mana hewan dan tumbuhan hidup menjadi jelas diketahui.

Tahap pengolahan data lapangan adalah tahapan yang bisa dikatakansyarat dengan teknik-teknik khusus yang memerlukan keahlian danketelitian para pelaksananya. Sejauh ini, proses pemberian pembekalanteknik-teknik yang dibutuhkan memerlukan waktu yang relatif panjang,karena memang mereka yang ditugaskan untuk melaksanakan tahap inidiharapkan tidak sebagai pengawal proses saja melainkan sebagaipelaksana yang sebenarnya. Aktivis LSM PADI memerlukan ekstrakesabaran agar target minimal penguasaan teknik-teknik yang dibutuhkanpara pelaksana dapat tercapai. Hal ini sangat mutlak diperlukanmengingat umumnya anggota masyarakat Kampung Muluy tidakterlampau paham membaca dan menulis, sementara tahapan inisesungguhnya sudah mensyaratkan keterlibatan orang-orang yangmendapatkan tugas ini adalah orang-orang yang (minimal) pahammembaca dan menulis. Hal yang bisa ditarik pelajaran dari pengalamandi Kampung Muluy, dari tahap ini, bahwa pada akhirnya, walaupunmemakan waktu yang cukup lama, proses pengolahan data tetap dilakukanoleh anggota masyarakat secara langsung, dengan segala keterbatasanmereka untuk memahami teknik-teknik pengolahan data lapangan.

- Klarifikasi Data adalah untuk melengkapi data hasil pengambilan datalapangan. Kegiatan ini melibatkan seluruh masyarakat termasukmasyarakat desa yang berbatasan sehingga diperoleh informasi yanglebih lengkap terutama tentang batas desa. Hal ini penting untukmenghindari konflik di kemudian hari. Secara teknis, hal-hal yang menjaditambahan dan perbaikan langsung dikerjakan dalam pertemuan ini, yaitudengan cara mengoreksi langsung draft peta yang sudah dihasilkan dalamtahap pengolahan data survey.

Tahapan ini di lakukan selama 2 hari dengan keterlibatan tua Kampung,kepala desa, tim pengambil dan pengolah data lapangan, kepala adatdan anak muda serta kelompok perempuan. Yang menjadi poin pentinguntuk diklarifikasi adalah tata batas dan letak lokasi yang langsungberbatasan dengan kampung tetangga. Karenanya, dalam tahap inikehadiran perwakilan dari kampung/desa tetangga menjadi sangatpenting.

Pelajaran penting yang bisa di ambil dalam tahapan ini adalah terjadinyasaling bertukar pengalaman dan bertutur kata yang baik, dengan harapanagar jika di kemudian hari terjadi perselisihan akan dapat diselesaikandengan cara saling menghargai dan setiap terjadi kesalahan bisa diperbaiki bersama.

66

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

- Finalisasi Peta yaitu melakukan penggambaran peta di kertas kalkir ataupeta akhir. Hal ini dilakukan dengan cara menjiplak gambar yang ada dipeta dasar ditambah dengan beberapa informasi tambahan seperti judulpeta, legenda atau keterangan, skala, pewarnaan, pengarsiran, informasiwaktu pembuatan peta, sumber data dan beberapa informasi lain sesuaidengan aturan standar pembuatan peta.

Tahapan ini dilakukan oleh tim pemetaan secara keseluruhan dan dibantuoleh fasilitator PP. Tahapan ini juga sekaligus untuk membuat peta yangdihasilkan menjadi bagus dan mudah dimengerti serta dipahami segalainformasi yang tertuang didalamnya. Tahap ini menempuh waktu selama3 hari.

Bagi tim pemetaan, tahapan ini adalah tahapan di mana merekamerasakan bahwa bekerja secara berkelompok lebih memudah-kan,karena ketika ada kekurangan atau kesalahan bisa di perbaiki bersama.

- Pengesahan; selesainya sebuah peta ditandai dengan pengesahan dengancara menandatangani kolom pengesahan. Penanda-tanganan dilakukanoleh masyarakat desa, tokoh masyarakat, masyarakat desa yangberbatasan dan pejabat yang dianggap penting. Pengesahan inimembuktikan bahwa peta yang dibuat sudah diakui baik oleh masyarakatdesa itu sendiri maupun pihak luar.

Pengesahan peta dilakukan dengan cara penandatanganan lembar petaoleh kepala desa, tua kampong dan kepala adat serta para saksi lain,yang jumlahnya 25 orang. Sebetulnya, tim pemetaan menghendaki seluruhanggota masyarakat Kampung Muluy membubuhkan tandatangannya,tetapi karena ada keterbatasan ruang pengesahan didalam lembaranpeta, maka penandatanganan dilakukan oleh perwakilan masyarakatKampung Muluy saja dengan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakatKampung Muluy, perwakilan LSM Padi Indonesia dan perwakilan daridesa-desa tetangga.

PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN ADAT GUNUNG MULUY:SEBELUM DAN SESUDAH DILAKSANAKANNYA PEMETAANPARTISIPATIF

Dengan berbagai permasalahan yang sejak awal sudah muncul, MasyarakatKampung Muluy terus berpikir untuk meningkatkan kualitas perlawanannyaagar perlawanan yang digunakan dapat efektif untuk mempertahankan kawasanhutan adatnya. Kedatangan aktivis PADI dan kemudian mengadakan pertemuanantar kampung merupakan titik awal mereka mengetahui dengan pasti

67

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

permasalahan yang sebenarnya. Perkenalan dengan PADI itu juga yang membuatmereka mengetahui fungsi dari keberadaan PADI, yaitu tempat mereka bertukarpikiran dan mempertajam strategi perjua ngan mereka. Sampai akhirnya merekamengetahui dengan pasti kegunaan kegiatan PP baik untuk penguatanmasyarakat Kampung Muluy juga untuk menyusun perlawanan selanjutnya.

Rangkaian pertemuan dan diskusi memungkinkan mereka mengetahui bahwakawasannya telah diserobot oleh sebuah perusahaan dengan restu pemerintah/negara. Sejak saat itu, mereka tidak meragukan lagi bahwa mereka harus berbuatsesuatu dan salah satu strateginya adalah melakukan dokumentasi daninventarisasi seluruh potensi hut an adat mereka sekaligus melakukankonsolidasi sesama warga kampung agar kawasannya tidak diambil alihpengelolaannya oleh pihak lain.

Beberapa perubahan setelah dilakukannya PP dalam hal pengelolaan kawasanhutan adat mereka adalah disepakatinya hal-hal sebagai berikut:

- Luasan wilayah adat Kampung Muluy adalah seluas 14.000 ha denganperincian 10.000 ha merupakan kawasan hutan adat dan 4.000 ha adalahwilayah pertanian masyarakat dan pemukiman. Berikut adalah perincianpenataan wilayah adat Kampung Muluy berdasarkan hasil PP:

No Pembagian Hutan Luas (Hektar) %

1.

2.

3.

4.

Hutan (Alas)

Ladang (Umo)

Lahan pertanian Gilir Balik

Lahan Pemukiman

10.000

2.500

1.000

500

71.43

17.86

7.14

3.57

TOTAL 14.000 100

Sumber: PP di Kampung Muluy tahun 1996

- Ditetapkan tata batas antar kampung/desa, yaitu di sebelah utara berbatasandengan Kampung SwanSlotung dan Kepala Telake, di sebelah selatanberbatasan dengan Kampung Long Sayo dan Lusan, di sebelah baratberbatasan dengan Rantau Layong, dan di sebelatan timur berbatasan denganRantau Buta.

- Ditetapkan aturan tidak diperbolehkannya menebang pohon dalam radius 1km dari batas desa.

- Ditetapkan bahwa tidak diperbolehkan melakukan pembagian tanah diantara warga masyarakat Kampung Muluy dan antara masyarakat KampungMuluy dengan orang luar.

68

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

- Penebangan kayu harus seijin seluruh warga Kampung Muluy dengan caramelakukan musyawarah ( rembukan), dan tujuan penebangan kayu hanyadiperbolehkan untuk tujuan pembuatan rumah.

- Sistem penjagaan dilakukan s eperti sebagaimana mereka lakukansebelumnya, di mana ketika masyarakat memasang jerat untuk menangkaphewan hutan atau memanen madu di hutan, pada saat itulah merekamelakukan penjagaan terhadap wilayahnya serta melakukan pengawasanterhadap keadaan hutan.

- Kepemilikan pohon madu ataupun buah-buahan adalah milik bersa-ma.Pemanenan dapat di lakukan secara bersama. Sedangkan untuk pengambilanhasil pohon madu tersebut harus seijin orang/kelom-pok yang selama inimenjaga ataupun merawatnya.

- Kegiatan berladang dengan m etode gilir balik hanya diperbolehkan padaarea hutan yang luasnya 4.000 ha, di luar area tersebut tidak diperbolehkan.

Dokumentasi dan inventarisasi sejumlah kesepakatan tersebut tidak hanyaberguna untuk diketahui dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakatKampung Muluy, tetapi juga dipergunakan untuk menahan kedatangan pihakperusahaan yang bermaksud memanfaatkan hasil hutan adat Gunung Lumut.Dengan dokumentasi yang dihasilkan, mereka akan memperlihatkan danmenjelaskan secara gamblang apa dan bagaimana kawasan Hutan Adat GunungLumut serta apa saja prosedur yang harus diikuti jika akan memanfaatkankawasan Hutan Adat Gunung Lumut. Pada akhirnya, mereka akan mengatakanbahwa pihak manapun yang akan memanfaatkan potensi kawasan Hutan AdatGunung Lumut tidak memungkinkan lagi, karena mereka sudah terikatkesepakatan yang tidak hanya mengikat masyarakat Kampung Muluy tetapimengikat masyarakat kampung yang ada di sekitar kawasan Gunung Lumut.

Bagi masyarakat Kampung Muluy, hal terakhir yang terkait dengan upayamempertahankan wilayahnya adalah hal yang paling penting dari kegiatan PP.Ketika pihak perusahaan datang dengan ijin tertulis dari pemerintah/negara,mereka pun bisa menunjukkan sejumlah dokumen yang dapat menandingidokumen tertulis yang dibawa pihak perusahaan.

Dalam masyarakat Kampung Muluy sendiri, kesepakatan-kesepakatan yangdihasilkan dari kegiatan PP telah membuat semakin kuat prinsip yang merekapegang selama ini didalam pengelolaan kaw asan Hutan Adat Gunung Lumut.Keterlibatan beberapa pihak didalam kegiatan PP tidak hanya mengikatmasyarakat Kampung Muluy tetapi juga pihak-pihak masyarakat kampung disekitarnya. Hal ini menjadikan komunikasi dan kerjasama antar kampung tetapterjaga. Sedangkan bagi masyarakat Kampung Muluy, kekuatan perjuangannya

69

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

untuk tetap mengelola dan mempertahankan kawasan Hutan Adat Gunung Lumutmenjadi lebih besar dan lebih kuat. Cita-cita serta prinsip bahwa keberadaanHutan Adat Gunung Lumut adalah untuk anak cucu mereka dapat terlaksanadan terus berlangsung.

Sejumlah analisis yang kemudian dipandang oleh masyarakat Kampung Muluy,di mana berbagai aturan perundangan yang dikeluarkan oleh negara yang tidakberpihak kepada kepentingan masyarakat Kampung Muluy, menjadikanmasyarakat memilih caranya sendiri untuk mempertahankan dan mengelolahutan adat mereka. Berdasarkan hati nurani dan didukung dengan hasil darikegiatan PP, masyarakat Kampung M uluy melakukan perlawanan. Merekamelawan agar tidak ada pihak manapun yang memiliki tujuan memanfaatkansumber daya alam Hutan Adat Gunung Lumut secara berlebih-lebih dan kemudianmenjadi rusak. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang potensi sumberdaya alam kawasan Hutan Adat Gunung Lumut, mereka lebih siap lagi untukmengatakan setuju ataupun tidak setuju jika ada pihak yang akan berinvestasidengan memanfaatkan kawasan Hutan Adat Gunung Lumut.

Untuk selanjutnya mereka akan tetap waspada dan selalu menguatkankonsolidasi antar masyarakat di Kampung Muluy dan masyarakat di kampung-kampung lainnya. Hal ini – kembali – mengingat apa yang menjadi analogimasyarakat Kampung Muluy terhadap kawasan hutan adat mereka yaitu “ jatastete ine”. Keberadaannya hutan adat akan selalu dijaga sebagai sumberpenghidupan bagi generasi-generasi selanjutnya, sebagaimana prinsip yangmereka anut “Hutan Adat Gunung Lumut adalah milik anak cucu mereka”.

KESIMPULAN

“lebih baik parang jalan duluan dari pada berbicara ”

Ungkapan masyarakat Kampung Muluy ini menunjukkan ketegasan merekabahwa mereka dengan cara apapun akan selalu menjaga hutan adatnya demimenjaga apa yang mereka sebut dengan analogi “ jatas tete ine”. Prinsip inisudah mereka jalankan sejak generasi pertama masyarakat Kampung Muluytinggal di kawasan Hutan Adat Gunung Lumut.

Berbagai permasalahan lambat laun mereka ketahui dan pahami hingga adakesadaran bahwa ada ancaman besar berupa upaya perebutan sumber dayaalam hutan adat Gunung Lumut. Ditetapkannya hutan adat Gunung Lumut sebagaihutan lindung oleh pemerintah disadari sebagai ancaman untuk membatasiakses mereka terhadap sumber kehidupan mereka.

70

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PP adalah sebuah metode, sebuah cara dan sebuah alat agar mereka dapatmengidentifikasi dengan baik persoalan yang ada dan persoalan yang mungkinmuncul di kemudian hari. Dengan proses PP, tidak hanya lembaran-lembaranpeta yang mereka hasilkan, melainkan lebih jauh dari itu. Mereka memahamidengan baik bagaimana memperkuat segala upaya yang sudah dilakukan untukmenjaga kawasan hutan adat mereka. Di tengah kehidupan bernegara yangsemuanya berdasarkan hal-hal yang tertulis dan berkekuatan hukum, merekapun dengan PP berupaya merumuskan kekuatan tandingan yang serupa. Jikasebelumnya mereka berjuang dengan segala pengetahuan yang ada di dalamkeyakinan dan pikiran saja, mereka kemudian mendapatkan jalannya untukdapat merumuskan dan menuangkan seluruh keyakinannya ke dalam doku men-dokumen hasil PP.

71

Di sinilah kekuatan PP, denganbercermin pada pengalamanmasyarakat Kampung Muluy.Seluruh dokumentasi daninventarisasi seluruhkeyakinan, pikiran danpotensi sumberdaya alamHutan Adat Gunung Lumut,oleh masyarakat KampungMuluy dijadikan alat tawartertinggi bagi pihak manapunyang akan memanfaatkansumberdaya hutan adat mereka. Kekuatannya tidak hanya di tangan pihak-pihakelit masyarakat saja, karena prosesnya melibatkan banyak pihak dan seluruhmasyarakat Kampung Muluy. Seluruh kesepakatan dan hasil-hasilnya diketahuisecara merata oleh seluruh masyarakat. Sehingga, kepada siapapun pihak-pihakyang berkepentingan datang, baik kepada kepala pemerintahan setempat (secaraadat maupun secara formal), kepada masyarakat biasa, kepada tokohmasyarakat, bahkan kepada anggota masyarakat di kampung sekitarnya, merekaakan merespon dengan cara yang sama yang pada akhirnya menyatakan bahwamereka tidak berkehendak siapapun yang ingin memanfaatkan potensi hutanadat jika hanya untuk mengeksploitasi dan akhirnya rusak.

Dalam hal ini juga, maka kekuatan adat dan kearifan lokal yang kemudiansudah selesai di petakan, semakin menguatkan posisi tawar masyarakat adatKampung Muluy untuk selalu menjaga kawasan Hutan Adat Gunung Lumut.

Perlengkapan Upacara Adat di Kampung Muluy

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

ORANG KATU

Orang Katu adalah sebutan buat komunitas yang tinggal di Desa Kat u, KecamatanLore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa Katu terletak disekitar titik koordinat 01 °35’18,00" Lintang Selatan dan 120 °15’24,00" BujurTimur, dan berada pada ketinggian sekitar 1.100 m dari permukaan laut. JarakDesa Katu dari ibu kota kecamatan yakni Desa Doda, sekitar 34 kilometer dandari ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, Palu, sekitar 150 km, yang dapat dicapaidengan menggunakan kendaraan mobil hingga ke Desa Rompo, lalu dilanjutkandengan jalan kaki atau kendaraan motor roda dua sejauh 7 km.

Orang Katu merupakan bagian dari Suku Behoa. Pengelompokan etnik inididasarkan atas bahasa setempat yang disebut bahasa Behoa. Orang Katubertempat tinggal dalam kawasan hutan, yang disebut kakau karena lokasitempat tinggal dan keberadaan Orang Katu berada dan tergantung pada kawasanhutan setempat. Seringkali Orang Katu disebut Orang Behoa Kakau.

“Katu” dalam bahasa setempat berarti tempat terakhir. Tidak ada informasinilai dan makna tertentu dari pemberian nama komunitas dan nama Desa Katu.Namun, seringkali pengertian Katu dihubungkan dengan konsensus masyarakatdengan pemerintahan Kerajaan Pekurehua (Napu), yaitu: Raja Gembu dan KepalaDistrik bernama M.Bago, yang merestui permintaan Orang Katu untuk tetaptinggal di tanah Katu sebagai tempat terakhir, yang mana sebelumnya berkali-kali mereka dipindahkan dari Katu.

PEMETAAN PARTISIPATIF :

MEMPERTAHANKAN HAK ATAS TANAHLELUHUR, PENGALAMAN ORANG KATU

Oleh : Azar

72

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Konsensus ini diperkirakan berlangsung tahun 1959 di Katu, yang disahkandan ditandai upacara adat dengan pemotongan kerbau putih betina danpenanaman pohon beringin. Konsensus ini memuat komitmen atau ‘sumpah’Orang Katu, sebagai berikut: “Barang siapa orang katu yang berani meninggalkankampungnya ia akan di tindis oleh dahan-dahan pohon beringin ini dan akanmendapatkan tula dalam kehidupannya”.( ihiana tauna toi katu to pebai mopalehiwanua katu, ina nadampangi/naupi da ’ana nunu de’e).

Sedikit sekali dokumen tertulis mengenai sejarah Orang Katu, karena masyarakatsetempat tidak memiliki kebiasaan menulis. Padahal Orang Katu memilikiriwayat dan sejarah di kampungnya yang sudah lama ada. Situs sejarah bekaskampung tua, hutan bekas ladang, tanaman kopi dan batu-batuan megalitik,menandakan keberadaan penduduk. Orang-orang tua di Katu bertutur, jikalausejarah ini dituliskan cukup panjang dan ceritanya tidak selesai semalam suntuk.

Ada banyak lembaga dan peneliti dari luar yang menuliskan keberadaan OrangKatu, seperti: dari perguruan tinggi yang bekerjasama dengan universitas asalJerman, IPB Bogor dan Universitas Tadulako Palu dalam program STORMA, DinasKehutanan, mahasiswa asal Universitas Barkeley AS, serta lembaga swadayamasyarakat (LSM). Dalam buku tua yang dituliskan oleh peneliti asing (WalterKaudern dan Kruyt, 1938), sedikit dituliskan migrasi penduduk, situs dankeberadaan batu megalitik di Katu.

Diperkirakan leluhur Orang Katu berasal dari masyarakat kampung-kampungsekitar yang berdasarkan kelompok etnik tergolong dalam empat kelompok etnikbesar, yakni: komunitas etnik To Pekurehua yang terdapat di kampung-kampungsebelah timur Katu, etnik to Behoa disebelah selatan, etnik To Uma di dataranGimpu dan To Kulawi di sebelah barat hingga ke utara. Jarak Desa Katu dankampung-kampung kelompok etnik tersebut berdekatan. Namun, kelompok etnikBehoa lah yang paling besar pengaruhnya, mulai dari bahasa, sistemkekerabatan dan pengetahuan tata guna lahan.

Dahulu, daerah Katu merupakan lokasi ladang ( hinoe) dan bercocok tanammasyarakat kampung sekitar. Masyarakat masih dapat menceritakan gerakanmigrasi kelompok penduduk dalam kegiatan berladang, antara lain membuathinoe di kawasan Mapaohi dan Parabu pada tahun 1910 hingga 1918. Dalamperkembangannya mereka membentuk kelompok masyarakat hingga menjadikampung dan mempunyai pemerintahan desa tahun 1978.

Pada era pemerintahan Kolonial Belanda di tahun 1918, serdadu Belandamembakar lumbung makanan dan ladang masyarakat yang siap panen.Pemerintah Belanda memaksa masyarakat pindah ke daerah Behoa Ngamba,yang mana daerah tersebut merupakan daerah dataran ( ngamba) yang terbukadan terdapat kampung yang didiami oleh kelompok etnik Behoa. Alasan

73

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pemerintah menginginkan masyarakat, supaya lebih mudah mengkontrolkelompok masyarakat di Katu yang tinggal di kawasan hutan.

Pada tahun 1925, beberapa warga asal Katu menemui Raja Kabo, pimpinanKerajaan Pekurehua, di Kampung Wanga, yang berada dalam penaklukanpemerintah Belanda, tujuannya untuk menjelaskan kesulitan dalam membayarpajak (Blasting) kepada Belanda dan meminta supaya mereka dapat kembali keKatu dan mengusahakan perkebunan tanaman kopi untuk dapat membayar pajak.Raja Kabo merestui permintaan masyarakat.

Masyarakat Katu Kakau dipindahkan lagi ke Bangkeluho, daerah Behoa Ngamba,pada tahun 1947, karena adanya bencana kelaparan dan penyakit yang menimpamasyarakat, karena mereka juga tidak membayar Blasting (pajak). Kepala Distriksetempat berjanji untuk membantu memberikan jaminan beras, tapikenyataanya hanya gabah yang diberikan.

Karena kesulitan-kesulitan hidup di tempat baru dan tidak bebasnya orangKatu memanfaatkan tanah dan kekayaan alam lainnya yang berada dalamwilayah kampung-kampung sekitar Bangkeluho, serta rasa tidak aman karenaadanya gejolak perlawanan bersenjata antara Permesta dan tentara RI, makapada tahun 1959, tokoh masyarakat Katu, yakni: Humpui Torae, memimpinmasyarakat kembali ke Katu. Meskipun perpindahan ini tidak disetujui KepalaDistrik, M. Bago, tetapi masyarakat tetap kembali ke Katu. Mereka membuattekad bersama untuk tetap tinggal di Katu dan tinggal di sana hingga kini.

Humpui Torae mengajak pula penduduk pengungsi dari daerah Rampi di datarantinggi, wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, yang mengungsi ke Behoa Ngambakarena adanya gejolak DI/TII. Penduduk pengungsi tersebut yang sebagian besaradalah komunitas etnik Rampi, ikut serta ke Katu dan tinggal di sebuah tempatyang dinamakan Dodolo, sesuai dengan nama kampung asal mereka di Rampi.

Terdapat pula dua situs batu megalitik di Katu, yakni watu arii di tempat bernamaSawuraga, berbentuk tiang rumah, dan potobua watu di tempat bernama Kanino,berbentuk tumpukan batu. Di batas Desa Katu dengan Desa Rompo, terdapatdua situs batu megalit lainnya, yakni watumeboku , berbentuk manusia dansalah satunya menggunakan sanggul, dan watumogaa, berbentuk manusia danbatunya terbelah. Meskipun tidak ada cerita khusus tentang situs megalitik ini,namun diperkirakan situs-situs ini berhubungan dengan kebudayaan leluhurdahulu.

Penduduk Dan Mata Pencaharian

Penduduk di Desa Katu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun1997 jumlah penduduk Katu sekitar 226 jiwa atau 68 keluarga dan pada tahun

74

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

2008 meningkat menjadi 317 jiwa atau 97 keluarga. Laju pertambahan pendudukmeningkat setelah tahun 1999. Selain karena tingkat kelahiran anak meningkatdan adanya perkawinan dengan penduduk luar, alasan lain adalah semakinbanyaknya penduduk yang baru datang asal keluarga Katu dan dari kampungsekitar.

Kurang lebih delapan tahun belakangan ini, telah terjadi peningkatanpembangunan fisik, pengembangan ekonomi dan meningkatnya kesejaht eraankeluarga di Katu, misalnya rumah rakyat, pada tahun 1997 hanya 34 bangunanrumah dan sekarang sudah ada 86 bangunan rumah. Sekarang sudah adabangunan sekolah dasar yang permanen, gedung taman kanak-kanak, kantordesa, rumah adat, pos kesehatan dan fasilitasnya, rumah ibadah, listrik tenagasurya, pembangunan dan pelebaran jalan dalam kampung dan drainasepermanen. Semakin banyak warga yang memiliki lahan perkebunan menetap,sawah, alat traktor tangan untuk pertanian, mesin perontok padi dan jagung,serta kendaraan motor.

Peningkatan ini boleh jadi karena adanya Surat Pernyataan (SP) pejabat KepalaBalai Taman Nasional Lore Lindu, Ir. Banjar Yulianto Laban, MM, bernomor 35/VI-BTNLL.1/1999, yang secara tersirat menyatakan mengakui hak-hak masyarakatadat Katu dan bebas mengembangkan kesejahteraan hidupnya. SP ini dikeluarkanmenyusul tekanan dan protes warga Katu menuntut pengakuan hak, menolakpemindahan dan meminta kebebasan mengelola lahan dan kawasan hutan.

Mata pencaharian utama Orang Katu adalah bertani dan pemanfaatan hasilhutan. Kegiatan pertanian dan pengolahan hasil hutan yang menonjol untuk

Perkampungan di Katu

75

doc. YTM

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

sumber pendapatan dan pangan adalah perladangan ( hinoe), perkebunan kopi(pokopia), perkebunan cokelat (hinoe cokelat), perkebunan tanaman campuran(pampa), sawah (bonde), kolam ikan (wuhuu), memungut rotan ( me uwe),memotong damar (me hulo), berburu (mo ahu), mengambil ikan sungai (mo hulu)dan kegiatan yang masih baru adalah mencari dan memanen kayu Gaharu.

Kegiatan pemanfaatan kekayaan alam lainnya adalah anyaman dan peralatandapur yang dikerjakan ‘sambilan’ di waktu luang, antara lain: membuat tapisberas (wara), ayakan udang (pehao), nampah (bingka), bakul pikulan (rotaa),tikar (mo ale), bubuh penangkap ikan dan sebagainya.

Perladangan Dan Sistem Pemilikan Tanah

Perladangan atau dalam bahasa Behoa disebut hinoe, merupakan kegiatanpertanian paling tua dan diwariskan hingga saat ini. Sistem perladangan diKatu berkembang seiring dengan perubahan sistem sosial, budaya dan ekonomimasyarakat Katu. Kegiatan produksi padi ladang dilakukan masih secaraberkelompok dan mengandalkan tenaga gotong royong ( mapalus) danmenggunakan peralatan produksi masih sederhana, seperti: parang, kampakdan kayu.

Bagi anggota kelompok yang mampu, mereka tidak terlibat langsung dalamkegiatan mapalus, menggantikan tenaganya dengan uang atau menyewa tenagakerja, alat-alat yang digunakan untuk menebang sudah menggunakan mesinchainsaw dan mesin traktor tangan untuk pengerjaan sawah, yang biasanyadilakukan oleh manusia dan kerbau. Situasi ini menggambarkan corak produksimasyarakat Katu telah bergeser.

Awalnya, sumber lahan perladangan adalah dari pembukaan hutan rimba(pandulu). Semenjak awal abad ke 20, masyarakat sangat kurang membukapandulu untuk berladang (mo hinoe) melainkan memanfaatkan hutan bekasladang yang masih muda ( lopolehe) dan hutan bekas ladang yang sudah tua(lopontua). Lokasi kegiatan perladangan terpencar disekitar kampung.

Tidak semua kawasan hutan pandulu dan bekas kebun yang dapat dibuka untukladang. Pengelolaan lahan harus memperhatikan situasi kesuburan tanah,kemiringan lahan dan bentuk lahan, letak dan jaraknya dengan sungai dansumber air bersih masyarakat, kondisi lahan dan ketersediaan waktu dan tenagauntuk pengolahan, hal penting lainnya adalah status pemilikan lahan.

Dahulu, masyarakat masih mempunyai kepercayaan yang bernuansa magisterhadap setiap tempat di hutan, sehingga dalam memilih dan memulai hinggamemanen lahan, harus mendapat restu dari pemilik dan penunggu tempattersebut. Tetapi sekarang sedikit sekali kepercayaan masyarakat atas hal-hal

76

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

magis. Ritual kepercayaan dan sistem nilai dalam perladangan sudah berubahdigantikan dengan ritual agama Kristen Protestan,yang melakukan doa syukuranbersama setelah pemanenan .

Sistem pengolahan ladang di Katu berlangsung sekali setiap tahun. Tahapanpengelolaan ladang, sebagai berikut: pemarasan (mo hoe) rumput dan belukardi lahan yang akan menjadi ladang, pekerjaan ini kebanyakan melibatkan kaumlaki-laki muda dewasa; penebangan (mo tiwingi) pohon-pohon yang berukurandiatas diameter 10 cm, penebangan dilakukan dengan memperhatikan posisipohon disekitarnya dan kemiringan lahan, dimaksudkan pohon-pohon besaryang roboh akan menimpa pohon lainnya hingga tumbang, sehingga lebih efisiendan tidak perlu lagi ditebang.

Umumnya pekerjaan pembukaan ladang yang bersumber dari lopo ntuadilakukan pada bulan Juni tahun berjalan, sedangkan lopo lehe dilakukan padabulan Agustus, dikarenakan pertimbangan lamanya waktu penjemuran(mampuai) hingga keringnya tanaman yang sudah diparas dan ditebang,biasanya berlangsung satu hingga tiga bulan. Tahapan berikutnya adalahpembakaran (me hunu) yang dilakukan setalah dianggap seluruh tanaman sudahkering dan siap dibakar. Sebelum dibakar disekeliling lahan diparas agarpembakaran tidak meluas ke tempat lainnya. Pembakaran harus memperhatikanarah angin dan kemiringan lahan. Biasanya pembakaran dilakukan pada jam12.00 hingga jam 01.00 siang di saat terik matahari, si pembakar sebaiknyabertentangan dengan arah datangnya angin yang datang dari bawah lerengbukit, pembakaran dimulai disisi tertentu dan pindah ke sisi lainnya hinggasemuanya hangus terbakar.

Selanjutnya, pembersihan (mo kae) bekas-bekas kayu dan daun rumput yangtidak terbakar, lalu ditumpuk disebuah tempat dan dibakar kembali. Biasanyalahan dibiarkan beberapa saat dan pada waktu luang tersebut digunakan untukbekerja gotong royong di lahan anggota kelompok lainnya. Pembiaran ini jugadimaksudkan agar lahan tersebut ketika siap ditanami sudah lebih dingin danabu bakaran sudah meresap ke dalam tanah sebagai pupuk.

Penanaman padi dilakukan melibatkan laki-laki dan perempuan. Hingga kiniOrang Katu masih menanam padi varietas lokal yang jenisnya beragam.Beberapa jenis padi yang terkenal antara lain: l amale, toirato, pindaloko,anantawine, tobada, bongka, balintunga, mpowatu, palolo, ngkaili, moa, laro,mpodoki, banahu, lo’a, lamba . Nama-nama padi disesuaikan dengan jenisberas(pulut dan biasa), warna dan bentuk, asal padi dan nama daerah.

Selain menanam padi, masyarakat menanam pula tanaman jagung, ketimun,pisang, sayur-sayuran, seperti labu, kacang panjang, ubi jalar, ubi kayu, dansebagainya di ladang.

77

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pemanenan padi di ladang biasanya berlangsung pada bulan Mei hingga Juni.Sedangkan Padi di sawah yang dikerjakan dua kali setahun, pemanenannyaberlangsung bulan Desember dan Juni. Hasil padi di ladang dan di sawah hanyadi konsumsi untuk keluarga dalam kampung. Pengerjaan ladang kembalidilakukan pada bulan Juni di lahan yang berbeda, begitu seterusnya.

Pergerakan dan sistem perladangan Orang Katu dipandang kontroversial olehpemerintah, peneliti dan kelompok pencinta alam. Orang Katu dianggap ‘ preda-tor’ dan mengancam keanekaragaman hayati. Namun Orang Katu berpandangantanah yang ditinggalkan tersebut bukan dibiarkan tidak diolah, melainkan tanahbekas kebun (holu) sengaja dibiarkan beberapa saat agar pulih dan menanamdengan tanaman musiman untuk sumber pangan dan obat-obatan, maupuntanaman konservasi yang dapat memulihkan fungsi lahan dan lingkungan hinggamenjadi lopolehe dan lopontua.

Pengetahuan budidaya pertanian dan perkebunan di Katu sudah berubahmengikuti perkembangan umum, tanah bekas ladang diusahakan menjadi kebuntanaman jangka pendek dan kebun tanaman jangka panjang, seperti: tanamanpalawija, jagung, sayur-sayuran dan kacang-kacangan, buah-buahan, cokelatdan kopi, yang pengerjaannya dilakukan disela-sela waktu masyarakat tidakbekerja di ladang. Tanaman ini untuk dijual ke pasar dan pengumpul setempat.

Pengaruh lingkungan eko nomi sekitar, kebebasan mengolah lahan dan inovasidalam keragaman usaha pertanian dan pemanfaatan hasil hutan membuatkehidupan sosial ekonomi Orang Katu berkembang. Masyarakat Katu merasakehidupannya lebih baik dari waktu sebelumnya. Mereka bangga karena OrangKatu sudah bisa melanjutkan sekolah lanjutan atas hingga ke perguruan tinggi.Posisi dan sikap mereka dapat perhatian pemerintah dan masyarakat sekitar.

Perkembangan ini tidak banyak merubah perilaku sosial dan sistem nilai dalamrelasi sosial Orang Katu. Solidaritas sesama warga kampung dan sistem gotongroyong masih dominan berlangsung dibandingkan sistem sewa tenaga kerja.Perubahan ini tidak serta menghancurkan kehidupan ekologi sebagaimana yangdikhawatirkan orang luar. Orang Katu justru membuat rencana pengelolaanuntuk dapat mengkontrol pengelolaan lahan dan lingkungan ekologi.

Urusan penguasaan tanah dan pengelolaan lahan masih berdasarkanpengetahuan dan kebiasaan lama yang sangat berkaitan erat dengan sistemperladangan dan pemanfaatan hasil hutan. Dalam konsep penguasaan wilayahOrang Katu dikenal adanya wilayah adat dan wilayah kepolisian. Konsep wilayahkepolisian adalah wilayah kampung dengan batas-batas tertentu danpenguasaanya diberikan kepada pemerintahan kampung berdasarkanpemberian pemerintahan distrik yang hingga sekarang masih digunakan dandiakui masyarakat setempat dan sekitarnya.

78

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Pemerintahan kampung yang diberikan kewenangan tidak serta mertamenentukan atas pemilikan dan pemanfaatan lahan, melainkan dalam normadan praktiknya keputusan yang berhubungan dengan pemanfaatan tanah danhasil hutan dibicarakan secara bersama dengan lembaga adat dan tokohmasyarakat.

Konsep wilayah adat mencakup tanah-tanah milik individu, hutan bekas kebun,areal ladang, kebun, sawah, kolam ikan, hutan rimba, dan sebagainya, yang diklaim diperoleh dari warisan leluhur dan berada dalam wilayah dengan batas-batas alam, seperti: sungai, puncak gunung, nama tempat tertentu, yang mananama tempat tersebut mempunyai cerita yang berhubungan dengan sebuahperistiwa yang dialami penduduk pada masa lampau.

Konsep batas wilayah adat Orang Katu secara umum menggunakan batas alamberdasarkan aliran air sungai dan tanda alam. Daerah puncak bukit dan daerahsekitar yang menjadi hulu sungai hingga airnya yang mengalir ke kampungmenjadi wilayah kampung tersebut. Puncak bukit, tempat tertentu dan sungai-sungai tersebut menjadi batas wilayah.

Masyarakat Katu menganggap batas dan wilayah tersebut miliknya karena lokasitersebut sudah semenjak lama menjadi tanda batas yang disepakati secaradefacto dan dimanfaatkan masyarakat untuk tempat berburu hewan liar,mengambil hasil sungai, mengambil rotan dan hasil hutan lainnya, merekajuga mengawasi areal hutan tersebut dari gangguan dan pemanfaatan orangluar yang ilegal.

Sistem dan kebiasaan dalam pemilikan lahan pribadi diperoleh seseorang daripertama kali membuka hutan untuk ladang, tanah yang sedang diolah dan sudahpernah diolah menjadi milik pembuka dan pengolah lahan. Ada kekhususanbuat hutan bekas ladang yang disebut lopontua, meskipun hutan tersebut bekasladang tetapi dapat bebas dimanfaatkan dan dimiliki oleh masyarakat Katuyang membuka kembali lopontua tersebut.

Orang Katu mempunyai istilah tanah umum yang dapat dimanfaatkan bersama,mencakup areal hutan rimba ( pandulu), hutan bekas kebun ( lopo ntua), tanahkuburan, padang rumput, tanah pemukiman dan tanah yang tidak dimanfaatkansekitar kampung, lapangan olah raga. Demikian pula, areal sungai, pasir danbatu, tanah yang tumbuh di sungai (delta), emas, hasil ikan dan udang, yangdapat dimanfaatkan secara bersama untuk warga Desa Katu. ( peta penggunaanlahan)

Belum ada kasus pelanggaran perampasan hak atas tanah milik di lingkunganwilayah kepolisian masyarakat Katu. Pengaturan pemilikan dan pengelolaantanah selalu berdasarkan norma dan kebiasaan masyarakat Katu. Ada etika

79

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

dan ijin dari lembaga adat, orang tua kampung dan pemerintah desa, sertapemilik lahan sekitar lahan yang akan digarap. Kalaupun ada sengketa batas-batas antara wilayah adat dengan desa sekitar dapat diselesaikan denganberunding secara damai.

TAMAN NASIONAL DI TANAH ORANG KATU

Sekitar awal tahun 1970 an, petugaspemerintah mendatangi kampung-kampung sekitar kawasan hutan dantermasuk Katu. Mereka mengatakan akanmelakukan pengukuran dan memasangpatok batas hutan. Petugas pemerintahmerekrut dan memberikan gaji kepadatenaga lapangan dari penduduk setempat.Bapak Topuko (almarhum), asal KampungDoda, Besoa Ngamba, ikut sebagai petugaslapangan membantu merintis danmenunjukkan jalan di hutan dan sekitarkampung.

Pemasangan patok batas hutan dilakukan sekenanya saja, tergantungkemampuan merintis, situasi medan dan keadaan hutan dan penafsiran petugastentang hutan, sehingga ada patok yang berada tidak jauh dari lokasi pemukimanpenduduk dan berada dalam kawasan hutan bekas kebun.

Masyarakat tidak pernah dapat informasi yang jelas dan jujur tentang tujuandan manfaat pemasangan patok batas, kecuali informasi hanya sekedar tandasaja. Tidak ada musyawarah dan apalagi meminta ijin persetujuan darimasyarakat. Ada beberapa lagi survey dan penelitian tentang lingkungan hutanoleh orang-orang dari luar kampung.

Awal tahun 1980-an, petugas kehutanan melarang masyarakat untuk membukakebun ladang dan berburu di kawasan hutan negara. Petugas secara kerasmengancam masyarakat disertai tindakan kekerasan. Tanaman kopi dan hasilrotan dicabut dan dirusak, dipotong-potong hingga hancur. Masyarakat dikejardan diancam untuk dipenjarakan karena dianggap mencuri. Petugas-petugaskehutanan mengatakan Orang Katu memanfaatkan hasil hutan taman nasionalmilik negara tanpa ijin, merusak hutan dan peladang berpindah, merugikannegara dan mengancam kelestarian lingkungan keanekaragaman hayati. OrangKatu pasrah dan diam saja dengan intimidasi petugas dan berbagai ungkapantudingan yang merendahkan cara hidup mereka.

80

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) secara definitif ditetapkan melalui SuratKeputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993, tertanggal 5 Oktober 1993,dengan luas wilayah 229.000 hektar, yang lokasinya tersebar di dua kabupaten,yakni: Kabupaten Donggala dan Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Diperkirakanterdapat 117 desa yang berhubungan dengan TNLL dan dimana terdapat sekitar122.000 jiwa yang tinggal di desa tersebut.

Masyarakat Katu mulai mengerti tujuan pemasangan patok oleh petugaskehutanan. Masyarakat telah dibohongi taman nasional dan patok-patoktersebut bukan tanda biasa tetapi seperti pagar larangan dimana mereka bolehdan tidak boleh mengelola tanah dan memanfaatkan hasil hutan. Penetapanhutan Negara tidak pernah dibicarakan secara terbuka. Masyarakat tidak pernahdijelaskan zonasi pengelolaan kawasan hutan yang boleh dan tidak boleh.

Laporan-laporan penelitian merekomendasikan Orang Katu dipindahkan dandikeluarkan dari taman nasional. Masyarakat resah karena dianggap danmerasa seperti “pencuri” di tanah sendiri, apalagi semakin gencar petugasmenginformasikan pemindahan, melarang, menekan, mengancam menangkapdan memenjarakan warga Katu.

Ada beberapa kali petugas kehutanan dan lembaga peneliti yang mengurusikonservasi taman nasional datang ke Katu dan meminta Orang Katu untukpindah, tetapi masyarakat menolak dan membela diri. Humpu Torea , tokohmasyarakat Katu, mengatakan mereka bukan pencuri dan sudah lama berada diKatu sebelum ada taman nasional. Masyarakat tidak mengenal taman nasional,hutan lindung, hutan negara dan sebagainya. Mereka menolak dipindahkan keRompo, Bariri dan tempat-tempat lain, tidak perduli dengan rayuan dan fasilitasyang ditawarkan pemerintah dan LSM Konservasi. Berkali-kali Humpu Toraepergi menemui pejabat di Kabupaten Poso dan Provinsi Sulawesi Tengah di Palumeminta perlindungan dan keadilan.

Situasi saat itu, pemerintah dan aparat negara mulai dari tingk at desa,kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat, semuanya dianggap penguasakuat dan represif. Masyarakat takut untuk berurusan dengan aparat negara danhukum, masyarakat menghindari pertemuan dengan orang luar dan pihak yangtidak dikenal, mereka pe rgi ke ladang yang jauh dari kampung dan amanberaktivitas. Masyarakat diam-diam masih mengerjakan ladang, berburu danmengambil rotan untuk dijual. Urusan rumah, pendidikan dan pembangunandalam kampung terbengkalai dan tidak digubris oleh pemerintah.

Penduduk Kampung Dodolo tetangga Desa Katu tidak kuasa menahan tekanandan pelarangan-pelarangan. Pada tahun 1989, seluruhnya warga Dodolo pergimeninggalkan tanah dan kebun di Katu dan mengikuti keinginan pemerintahuntuk pindah ke tempat baru di antara Desa Wanga dan Kaduwaa, yang

81

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

dinamakan Desa Toejaya. Ada beberapa warga asal Katu juga pindah di Toejaya,tinggal di rumah yang telah disiapkan Dinas Sosial dan mengolah sebidangtanah baru yang luasnya kurang dari dua hektar.

Orang Katu sudah punya tekad dan sumpah untuk tetap tinggal di KampungKatu. Masyarakat sudah merasa kesulitan hidup dan terbatasnya mengakseslahan di lahan orang lain. Mereka meminta patok batas taman nasionaldikeluarkan dan dipindahkan hingga jauh dari kebun dan kawasan hutan wilayahkelola masyarakat. Demikian pula, kebanyakan masyarakat dari sekitar 69 desayang wilayahnya dijadikan areal TNLL menginginkan patok tapal batas TNLLdiundur hingga jauh kebatas hutan rimba.

Keterlibatan Lembaga Keuangan International

Pada tahun 1997, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah mempunyai program diTNLL bernama CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Con-servation Project ). Program ini dibiayai oleh Asean Development Bank (ADB)sebesar USD 32 juta dan dana United State Agency for International Development(USAID) bekerjasama dengan NGO international bernama The Nature Conser-vancy sebesar USD 3,2 juta. Proyek ini bertujuan mempromosikan pembangunansosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumber daya lingkungan yangterintegrasi dan bermanfaat bagi masyarakat setempat dan TNLL.

Berbeda dengan pendapat dan perasaan kelompok masyarakat dan pejabatpemerintah desa dan kecamatan yang menerima manfaat dan diuntungkan dariimplementasi proyek-proyak CSIADCP, Orang Katu justru semakin resah karenaproyek ini menyediakan dana untuk memindahkan Orang Katu, intimidasi danpengrusakan tanaman kebun masyarakat meningkat.

Dalam pertemuan pembahasan proyek, pemerintah dan operator proyekmengatakan jika Orang Katu menolak pindah, maka tidak akan ada dana pro-gram di Katu dan akan diberikan kepada desa lainnya. Orang Katu tidak surutsikapnya meskipun tidak dapat dana CSIADCP dan didiskriminasikan. Operatorproyek malah memprovokasi kelompok masyarakat sekitar yang terlibat sebagaikontraktor proyek untuk pembangunan infrastruktur dan rehabilitasi hutan.Mereka mengatakan dana program terhambat atau tidak jadi karena OrangKatu tidak mau pindah.

Cercaan kalimat-kalimat miring dan merendahkan martabat Orang Katu tidakhanya dari petugas dan LSM yang terlibat dalam program CSIADCP, tetapi datangdari masyarakat sekitar. Orang Katu disebut “ orang hutan seperti monyet ” yangkeras kepala dan tidak bisa dibina atau tidak mengikuti kemauan pemerintahuntuk dipindahkan.

82

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Pada waktu yang sama, terdengar kabar buruknya dampak proyek CSIADCP yangmemaksa dan menggusur lahan petani. Kebun cokelat dan kopi milik petani-petani Kampung Dodolo di Desa Toejaya dirusak, mereka diminta untuk tidakmengolah lahan di hutan taman nasional oleh petugas dan kelompok masyarakatsekitar yang melaksanakan proyek penghijauan kawasan hutan setempat.

Orang Katu berhasil mendapatkan dukungan dari kelompok LSM, mahasiswadan pers di ibukota Provinsi. Solidaritas Orang Katu semakin luas danmasyarakat semakin terbuka menyampaikan protes dalam pertemuan denganoperator proyek, protes ke DPRD, dialog dengan pemerintah daerah hingga kenasional. “Kami menolak dipindahkan dari tanah adat kami ” dipampang dalamgerbang masuk pemukiman Desa Katu.

Rencana pemindahan tidak pernah terealisasi dan masyarakat Katu tidak pernahmeminta untuk dapat dana dari ADB, dari LSM dan dari proyek-proyek yangingin memindahkan Orang Katu.

PEMETAAN PARTISIPATIF

Pejabat negara dan pihak lainnya yang membuat dan menentukan kebijakantidak banyak yang mengetahui keberadaan dan hak-hak masyarakat disekitarTNLL. Pembuatan kebijakan dilakukan berdasarkan informasi dan kajian parapeneliti. Pemerintah mengabaikan hak-hak masyarakat dan masyarakat hanyamenjadi objek kebijakan dan pembangunan, mereka tidak pernah dimintakanpendapat, apalagi menentukan dan memutuskan atas kebijakan pembangunan.

Orang Katu jarang sekali pergi ke kota pusat-pusat pemerintahan yang beradadi kecamatan, kabupaten, Provinsi dan bahkan ke Jakarta, apa lagi untuk bertemuaparat pemerintah dan menyampaikan pendapat serta aspirasi mereka.Semenjak Orang Katu mengetahui pentingnya mempengaruhi pejabat dan prosespengambil kebijakan, maka Orang Katu mempersiapkan diri, membicarakanrencana aksi-aksi, bahan informasi dan dokumen yang diperlukan, pelaku danpenanggung jawab, serta persiapan dana.

Orang Katu berdiskusi dengan kawan-kawan dari Yayasan Tanah Merdeka (YTM)dan tim dari Palu, utamanya tentang hak atas tanah, hutan dan kekayaan alamlainnya. Masyarakat menyampaikan sistem pertanian dan perladangan di Katu,pola dan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Masyarakatmenyampaikan sejarah kampung dan sejarah penguasaan tanah, sistempemilikan tanah dan penyelesaian sengketa tanah menurut kebiasaan danhukum adat setempat. Masyarakat mengetahui hak-haknya, keadilan sosial danbagaimana memperjuangkan haknya.

83

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Dalam pengelolaan sumberdaya alam, Orang Katu tidak kalah pikiran danperilakunya dengan pihak pendukung konservasi taman nasional (TNLL). OrangKatu punya cara sendiri dalam mengelola sumberdaya alam dan ada aturanatau tata cara agar tidak merusak dan dapat memanfaatkan hasil hutan secaraterus menerus. Dapat dilihat keadaan dan hasil hutan di sekitar perkampunganKatu masih melimpah. Ada banyak program pemerintah, seperti perkebunan diNapu dan Palolo. Kedua tempat ini berada disekitar taman nasional, yangmembuka kawasan hutan ratusan bahkan ribuan hektar, yang merusaklingkungan dan merugikan masyarakat, tetapi pemerintah tidak menc egah danmelarang.

Pandangan dan situasi tersebut disampaikan masyarakat Katu dalam LokakaryaPemetaan Partisipasitif (tahun 2007) yang difasilitasi Yayasan Tanah Merdeka(YTM) asal Palu. Masyarakat Katu beramai-ramai mengikuti lokakarya tersebut,perempuan dan anak-anak ikut berdiskusi dan meramaikan musyawarah.Mereka ingin mendengar, berdiskusi dan ingin mengetahui apa yang terjadi danapa sebaiknya dilakukan masyarakat Katu agar mereka tidak dipindahkan dandapat mengelola tanahnya.

Secara berkelompok peserta lokakarya membuat gambar sketsa yang memuatjalan, sungai, cerita pemanfaatan tanah, tempat-tempat berladang danpengelolaan ladang, jenis-jenis padi lokal, tempat berkebun, tempat mengambilrotan, damar, kayu, ramuan obat-obatan, tempat mengambil ikan, berburu hewan,tempat-tempat penting, hutan yang mereka jelajahi dan batas-batas wilayahyang diklaim menjadi milik. Masyarakat memberikan tanda dimana letak patok-patok batas TNLL yang dipasang tahun 1970 an yang memagari dan membatasiseluruh hak-hak atas tanah dan termasuk perkampungan Katu.

Peserta lokakarya menyepakati untuk membuat peta yang bertujuan membantuOrang Katu menjelaskan hak-hak atas tanah dan memperoleh pengakuan ataswilayah adat, meningkatkan kemampuan tawar-menawar Orang Katu de nganpihak luar dalam penggunaan tanah adat dan untuk menyampaikan kepadapihak luar pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.

Dalam lokakarya tersebut, ada dua warga dari Masyarakat Lindu, Kulawi,menceritakan suka dan duka pengalaman mereka mempertahankan hak-hakatas tanah dan menolak dipindahkan oleh proyek pembangunan bendungan diwilayah mereka. Warga Lindu ini mendukung perjuangan Orang Katu danmembagi pengalaman perjuangan mereka dengan peta. Orang Katu antusiasdengan pengalaman masyarakat Lindu dan terlibat berdialog serius dengantokoh masyarakat dan pemuda.

84

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Fasilitator pemetaan YTM mengajarkan beberapa utusan pemuda setempatmengenai pengetahuan PP dan latihan membuat peta teknis, peralatanpemetaan, tehnik su rvey dan mengumpulkan informasi. Dua warga Lindumengungkapkan pengalaman mereka membuat peta, bahwa pendidikan formalbukan menjadi keharusan untuk mempelajari tehnik pembuatan peta.

Perlahan-lahan dipelajari apa itu peta, “peta buta” dan peta rupa bumi, legendadan simbol-simbol untuk mengganti gambaran suatu benda, arah utara peta,membuat skala besar dan kecil peta mencakup luasan bidang bumi yangsebenarnya dan jarak yang dapat digambarkan dengan ukuran tertentu, koordinatlintang dan bujur untuk mengetahui posisi suatu tempat, kontur untukmengetahui bentuk dan ketinggian permukaan suatu tempat. Awalnya terasasulit dan harus diulangi berkali-kali hingga paham mengenai pengetahuanpemetaan. Semangat dan keyakinan manfaat peta yang mendorong masyarakatmempelajari pemetaan.

Alat-alat Kompas, GPS, meteran, membuat formulir data dan informasi, sertaperlengkapan pemetaan lainnya disiapkan dan diajarkan penggunaan danpembuatannya oleh fasilitator pemetaan YTM. Orang tua dan anak muda yangbertugas terlibat dalam survey mengambil data dan informasi. Tempat-tempatpenting didatangi, beberapa batas dengan desa sekitar, letak sungai dan puncakgunung, bekas kampung tua yang letaknya jauh dari kampung Katu, yang manasudah menjadi lopontua dan hutan rimba. Tempat berburu, tempat mengambilkayu dan rotan, tempat mengambil ikan, perladangan, kebun, sawah, bekas-bekas ladang, lahan pengembalaan dan sebagainya. Sebanyak-banyaknya datadiambil dan informasinya dicatat.

85

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Sudah sekitar 10 hari proses pemetaan berjalan, tetapi belum semua data daninformasi dikumpulkan. Utamanya batas-batas wilayah adat di puncak-puncakgunung sebelah utara dari Kampung Katu, diperkirakan butuh waktu berbulan-bulan untuk berkeliling keseluruh batas. Masyarakat dan fasilitator menyepakatiuntuk mengambil informasi batas tersebut berdasarkan wawancarapengetahuan masyarakat dengan menelusuri peta sungai dan posisi gunungdiatas peta dasar, serta menggunakan teknik pengukuran triangulasi dengankompas. Teknik ini digunakan pula untuk mengetahui tempat-tempat pemanfaatanhasil hutan kayu dan bukan kayu, tempat berladang dan bekas ladang, ( lopontua, lopo lehe, hinoe, holu dan seterusnya).

Dalam mengambil data batas dan menggambar, hanya dilakukan tim surveysaja dan tanpa keterlibatan pihak dari masyarakat di luar sekitar Katu.Pemerintah Desa Katu hanya menyampaikan kegiatan pemetaan wilayah adatkepada pemerintah desa-desa yang ada di Behoa Ngamba dan Desa Rompo,yang wilayah kelolanya berbatasan langsung dengan pagar kebun masyarakat.Narasumber menunjukkan dengan jelas batas-batas tanah kebun dan sebuahtempat (tanda alam) yang menjadi batas antara desa dan wilayah berdasarkanklaim dan penuturan sejarah.

Proses di lapangan, survey dan pengambilan data informasi kebanyakanmelibatkan kelompok laki-laki (pemuda dan orang tua), sedangkan perempuanmengerjakan pekerjaan sehari-hari di ladang dan di rumah. Tidak adakekhususan membicarakan keterlibatan perempuan dan anak-anak dalampekerjaan survey lapangan. Namun dalam pembuatan gambar peta danpengisian informasi, kelompok perempuan diminta berpartisipasi mengoreksipeta dan menambahkan informasi yang perlu.

Tim gambar mendiskusikan bagaimana mengukur kertas, menentukan skala,membayangkan dan mulai menarik garis hingga menjadi gambar peta, mengisidata dan memperbaiki informasi peta-peta, memilih dan membuat simbolpengganti yang menarik. Sudah lama masyarakat tidak memegang pensil danpulpen, sehingga garis-garis gambar masih terasa kaku. Simbol-simbol alamseperti kayu untuk simbol hutan, padi untuk simbol ladang dan sawah, dansebagainya.

Hampir sebulan proses pemetaan dilakukan, hasilnya ada peta dasar dan petatema Tampo To i Katu , menyusul peta sungai, peta tempat penting dan petapenggunaan lahan. Peta-peta ini disajikan dalam musyawarah denganmasyarakat Katu. Peserta musyawarah membahas dan mengoreksi informasipeta dan akurasinya, utamanya yang berhubungan dengan batas, lahanpengelolaan, lahan milik, patok taman nasional dan tempat penting.

86

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Hasil musyawarah menyepakati tata cara penggunaan dan penyimpanan peta.Peta akan disimpan lembaga adat dan tata cara pemberian ijin dan penggunaanpeta, yakni: harus melalui musyawarah masyarakat dan sepengetahuanpemerintah desa. Peta-peta ini lalu dijadikan dasar untuk pembuatanperencanaan pembangunan Katu selama 10 tahun (2000 – 2010). Peta-peta iniyang menjadi alat konsolidasi masyarakat dan alat perjuangan masyarakatberhadapan dengan pemerintah dan pihak operator proyek ADB.

Masyarakat semakin kompak dan semakin berani menyampaikan pendapat hak-hak dan persoalan mereka dalam berbagai kesempatan di depan publik. Peta-peta ibarat senjata untuk melindungi diri dan menekan lawan. Peta terus adadan dibawa pergi berkeliling bertemu pejabat pemerintah di daerah hingganasional, menjadi narasumber dalam pertemuan internasional tentangpengetahuan kearifan masyarakat mengelola sumberdaya alam yangdiselenggarakan di Cina.

Selain kegiatan pemetaan, masyarakat membicarakan pula organisasi lembagaadat di kampung yang akan mewakili masyarakat dalam menghadapi pihakluar dan mengatur ke dalam, serta mekanisme musyawarah yang dapatmelibatkan masyarakat seluas-luasnya. Lembaga adat dapat berfungsi kembalidan kewenangannya diperbesar, termasuk dalam mewakili masyarakatberurusan dengan pihak luar, pihak-pihak yang menginginkan kerjasama, proyekpembangunan dan pembelaan hak-hak masyarakat.

87

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pihak YTM berperan dalam proses belajar pemetaan, pemulihan fungsi lembagaadat dan interaksi dengan pihak luar lainnya, masyarakat dapat mengerti hak-haknya, mengenai pemerintahan, sistem hukum dan ekonomi politik, situasikebijakan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam, keadilan dan hak-hak universal, solidaritas masyarakat dan kepercayaan diri semakin kuat.

Kehadiran pihak pendukung dari luar daerah memb antu meningkatkankepercayaan diri masyarakat, seperti JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif)dan anggotanya yang berada di region Sulawesi, dari daerah Sulawesi Tengah,Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, datang belajar bersama dan membantumasyarakat Katu berproses membuat peta. Alix Flavelle dari Canada pergi keKatu membantu mengembangkan gagasan pembuatan peta.

MENOLAK PINDAH DARI TANAH LELUHUR

Setelah adanya taman nasional (1982), tekanan petugas semakin besar melaranguntuk memanfaatkan hasil hutan dan mengancam untuk memberikan sanksihukum dan denda uang puluhan juta rupiah. Pada tahun 1984, perwakilan OrangKatu pergi menghadap aparat pemerintah di Kota Palu dan memintaperlindungan. Masyarakat menyampaikan pula situasi permasala han ini dalampertemuan dengan pengurus gereja di lingkup wilayah Behoa, mereka memintaperhatian dan mencari dukungan pengurus gereja dan tokoh masyarakat. Padatahun 1994, Ketua Adat Besoa meminta Gubernur Sulawesi Tengah H. Abdul AsizLamajido untuk memindahkan tapal batas taman nasional yang meresahkanpenduduk karena dilarang memanfaatkan kebun dan hasil hutan di wilayahtaman nasional.

Tekanan dan ancaman pemindahan penduduk Katu semakin besar menyusulPemda Provinsi Sulawesi Tengah mendapatkan dana program CSIADCP dari ADBdan bekerjasama dengan LSM international, bernama TNC ( The Nature Conser-vation). Tapi Orang Katu tetap bertekad mempertahankan haknya dan menolakdipindahkan dari tanah leluhurnya. Orang Katu tidak mau mundur setapakpunbahkan sampai pada tetesan darah yang terakhir tetap berada dan hidup ditanahadat mereka.

Berbagai aksi dilakukan masyarakat di luar kampung untuk memperjuangkanhak untuk tetap tinggal di Kampung Katu. Berikut catatan singkat usaha-usahamasyarakat memperjuangkan hak untuk tetap tinggal di tanah Katu:

1. Demonstrasi dan protes ; beberapa kali wakil-wakil masyarakat, paraaktivis LSM dan mahasiswa, berdemonstrasi dengan mengarak spandukdan poster yang menyuarakan protes terhadap rencana kebijakan Pemdauntuk memindahkan Orang Katu. Masyarakat menyatakan sikap yang

88

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

keras dan pendapatnya secara resmi dihadapan pejabat DPRD ProvinsiSulawesi Tengah, Bappeda dan masyarakat luas melalui media.

Awalnya, masyarakat khawatir dengan aksi demonstrasi dan protes, karenatakut dianggap “melawan pemerintah” dan ditangkap petugas keamanan.Tetapi masyarakat semakin berani karena adanya solidaritas dari seluruhmasyarakat Katu dan dukungan mahasiswa dan LSM. Pernah satu kalikejadian masyarakat dihadang dan diintimidasi petugas kepolisiankecamatan, tetapi masyarakat berdebat dan mengakali petugas sehinggadapat lolos ke kota untuk berdemonstrasi.

Para wakil rakyat di DPRD mendengarkan, menampung dan berkomitmenuntuk melanjutkan dan membahas pengaduan masyarakat. Tapi jarang sekaliterdengar apa hasilnya dan sikap DPRD setelah itu.

2. Dialog Kebijakan ; Orang Katu menghadiri pertemuan dan dialog kebijakanyang membicarakan keberadaan masyarakat dan taman nasional.Kebanyakan pertemuan ini dilaksanakan oleh pemerintah, operator proyekdan organisasi LSM di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi danNasional. Masyarakat Katu tidak menyia-nyiakan pertemuan ini dan aktifmenyampaikan sikapnya dan menyampaikan pandangan mereka dalampengelolaan sumberdaya alam, serta meminta dukungan dan kebijakanpemerintah untuk melindungi masyarakat .

Di tingkat wilayah kecamatan dan kabupaten, masyarakat Katu berdialogdengan Camat, Pemda Poso dan Bappeda Kabupaten Poso, sedangkan ditingkat provinsi, pihak Bappeda Sulteng dan Balai TNLL, merupakan duapihak penting yang mempunyai otoritas atas wilayah dan taman nasional.Kebanyakan pihak pengambil kebijakan tidak pernah datang kewilayahKatu, apalagi mendengar dan bertatap muka dengan masyarakat. Sehingga,kebijakan yang dibuat pun hanya berdasarkan sedikit informasi yangmereka miliki.

Bappeda yang mengendalikan proyek tetap bertahan pada rancangan proyekuntuk memindahkan penduduk Katu, meskipun sudah berkunjung danmelihat situasi di Katu. Para pelaksana proyek CSIADCP mendukung sikapPemda dan Bappeda. Pihak balai taman nasional memahami aspirasimasyarakat tetapi masih tergantung kepada situasi daerah dan dukunganpemerintah pusat.

Dalam forum pertemuan nasional dengan pejabat pemerintah di tingkatnasional. Perwakilan Orang Katu menyampaikan harapan dan sikap merekakepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), MenteriKehutanan, DPR RI dan Menteri Lingkungan Hidup.

89

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Bahan-bahan kronologi kasus, sikap masyarakat menolak pindah,pandangan dan tata cara pengelolaan sumberdaya alam Katu. Peta wilayahKatu dijadikan bahan untuk disampaikan kepada pejabat pemerintah.

3. Seminar dan Lokakarya ; Pada tahun 1998 hingga tahun 2001, perwakilanmasyarakat Katu diundang menghadiri seminar dan lokakarya di tingkatkecamatan, provinsi, tingkat nasional di Bogor, Bali dan Jakarta, serta tingkatinternasional.

Masyarakat Katu menyampaikan pendapat tentang pengelolaan hutan dankondisi masyarakat, serta permasalahannya. Masyarakat mempelajarikeadaan dan usaha-usaha masyarakat di daerah lain, bagaimana merekamemanfaatkan sumberdaya hutan dan usaha ekonomi lainnya, seperti:usaha pengembangan produk hasil hutan bukan kayu, pengelolaan CreditUnion, pengembangan ekowisata, dan sebagainya.

Pada Juli 2000, perwakilan masyarakat hadir dalam pertemuaninternasional, yakni: Culture and Biodiversity Congress , merekamenyampaikan pengalaman Orang Katu dalam pengelolaan hutan.

Pertemuan ini memperkaya pengalaman orang Katu dan memperbanyakdukungan dan perhatian terhadap permasalahan Orang Katu. Media massanasional menuliskan situasi ini.

Berbeda dengan lokakarya-lokakarya yang membahas proyek CSIADCP ditingkat provinsi dan kecamatan, yang dihadiri pemerintah, manajemenproyek CSIADCP, pelaksana proyek dan perwakilan pemerintah desa, merekamencerca dengan berbagai stigma miring dan memaksa masyarakat Katuuntuk menerima program tersebut. Orang Katu dianggap sebagaipenghambat pembangunan, proyek tidak dapat berjalan secara keseluruhankalau masyarakat Katu tidak dipindahkan. Tetapi sikap utusan-utusanmasyarakat tidak berubah dan bersikeras mempertahankan suaramasyarakat.

4. Mengikuti Pendidikan dan Pelatihan ; ada beragam pendidikan dan pelatihanyang dilakukan oleh LSM di kota yang mendiskusikan tentang hak-hakmasyarakat, merumuskan kebijakan yang melindungi masyarakat danbagaimana masyarakat memperjuangkan hak-haknya.

Masyarakat Katu sangat senang sekali karena mendapatkan pelajaran yangbaru dan mengetahui hak-haknya. Mereka dapat pula menggalangsolidaritas diantara para korban pembangunan dan kelompok pendukung.Mereka menjadi penggerak masyarakat sekitar dan menggalang solidaritasmenuntut keadilan dan pengakuan hak-hak mereka.

90

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

5. Melibatkan diri dalam organisasi; setelah lengsernya presiden Soeharotahun 1998, ada banyak organisasi masyarakat yang muncul dan semakinkeras menyuarakan kasus-kasus dan menuntut perubahan. MasyarakatKatu menghadiri Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 diJakarta dan mendeklarasikan organisasi AMAN (Aliansi Masyarakat AdatNusantara) dan mendeklarasikan organisasi AMASUTA (AliansiMasyarakat Adat Sulawesi Tengah).

Masyarakat Katu mengutus wakiln ya pergi melakukan pertemuan-pertemuan organisasi dan membangun kerjasama solidaritas denganorganisasi lainnya, melakukan tekanan dan protes-protes menuntutkeadilan, mengkritik kebijakan dan meminta perubahan kebijakan.

Anggota organisasi pergi juga ke Katu melihat dan mempelajari situasidi masyarakat, berdiskusi dan melakukan solidaritas dengan perjuanganOrang Katu.

6. Studi Banding; YTM memfasilitasi masyarakat melakukan studi bandinguntuk mempelajari situasi permasalahan dan mengetahui usahaperjuangan masyarakat disekitar taman nasional (TNLL), seperti: ke NgataToro, Behoa Ngamba dan Gimpu. Wakil-wakil masyarakat pergi ke daerahLandak di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, Bali dan Samarinda.

Masyarakat mempelajari tujuan dan usaha organisasi rakyat di sana,organisasi petani rotan dan pengelolaan usaha credit union. Pelajaranini dibahas dan dikembangkan di Katu, namun hingga saat ini belumberkembang dengan baik.

Perjalanan ini membuahkan hasil yang mana masyarakat dapatmerumuskan perencanaan pembangunan selama 10 tahun (tahun 2000– 2010) dan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam. Rumusan iniditerbitkan dalam dokumen: Menuju Tahun 2010: Kesepakatan To I KatuDalam Pengelolaan Sumberdaya Alam . Rumusan perencanaanpembangunan ini juga merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemetaanpartisipatif yang dilakukan di Katu, yang mana pengembanganpengelolaan sumberdaya alam dilakukan dan dianalisa berdasarkanhasil pemetaan partisipatif.

Masyarakat menegaskan aturan dan sanksi dalam pengelolaansumberdaya alam, misalnya: tidak memberikan orang luar untuk datangmengambil hasil hutan orang Katu dan tidak diperbolehkan adanyapenjualan tanah, kalau ini terjadi maka sanksi yang paling keras adalahOrang Katu yang melanggar akan diusir atau dikeluarkan dari Katu.

91

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Jadi dengan adanya aturan itu Orang Katu sendiri mulai dari orangdewasa sampai pada anak-anakpun sudah mengetahui aturan atau hukumyang telah dibuat itu untuk menjadi kekuatan mereka dalammempertahankan hak dan wilayah ditanah adat mereka itu. Aturan inimembuat Orang Katu dikenal dan diakui.

7. Solidaritas; tidak kalah penting dari aksi-aksi ini adalah solidaritas dankekompakkan masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya secarabersama. Masyarakat berbagi peran dan tanggung jawab mengurusidalam kampung dan di luar kampung. Pengurus dalam kampungmengorganisir diri melayani pihak-pihak luar yang datang. Lebih seringmereka meninggalkan tamu petugas proyek yang datang, masyarakat tidakmenggubris mereka. Atau masyarakat ramai-ramai berkumpul danberbicara keras-keras, saling dukung mendukung dan supaya kepentinganmereka di dengar.

PENGAKUAN BALAI TAMAN NASIONAL

Setelah lebih dari 20 tahun hidup di bawah tekanan pengelola hutan konservasi,Kepala Balai TNLL, Ir. Banjar Yulianto Laban membuat Surat Pernyataan Nomor35/VI-BTNLL.1/1999 yang intinya memberikan pengakuan terhadap hak-hakOrang Katu atas wilayah seluas 1.178 ha dan sistem pengelolaannya dilakukanbersama dengan sistem pengelolaan taman nasional.

Wilayah seluas 1.178 ha sebagaimana yang digambarkan dalam petapengelolaan sumberdaya hutan Orang Katu, terdapat di dalam wilayahpemerintahan desa Katu dan ditetapkan sebagai areal taman nasional.

Surat Keputusan ini didasari Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan PerkebunanNo.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan, Peraturan Mentri DalamNegeri No.9 tahun 1998 tentang Tata Cara Peranserta Masyarakat dan hasilDialog Kebijakan dengan masyarakat katu di Hotel Wisata, Palu, tanggal 20Desember 1997. Dalam beberapa kesempatan, Kepala Balai TNLL, Banjar Y. Labanmenyatakan, pengakuan ini berdasarkan situasi di masyarakat, tanggung jawabpemerintah dan hukum kasih.

Pengakuan ini melalui upaya perjuangan yang tidak pernah mengenal lelahbagi Orang Katu. Perjuangan tidak akan pernah berakhir selama kita hidup danperjuangan merupakan proses yang panjang. Sekarang, masyarakat boleh sedikitmerasakan kebebasan dan nyaman, tetapi tetap waspada dan berupaya untukmendapatkan penghormatan dan pengakuan sejati.

92

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PENUTUP

Perjuangan dan kegigihan orang Katu mempertahankan hak-haknya bersumberdari sejarah di masa lalu dan diperkuat oleh pengalaman untuk mempertahankandiri dari tekanan dan interaksi dengan pihak luar yang mendukung perjuanganOrang Katu.

Alhasil setelah puluhan tahun bertubi-tubi tekanan dan ancaman pemindahandari tanah leluhurnya, akhirnya keteguhan dan prinsip Orang Katu dalamperjuangan menghasilkan pengakuan untuk tetap tinggal dalam kawasan TamanNasional Lore Lindu (TNLL) di Behoa Kakau, Kecamatan Lore Tengah, KabupatenPoso, Provinsi Sulawesi Tengah, yang tertuang dalam surat keputusan TNLL yangditanda tangani oleh Kepala Balai TNLL, Ir.Banjar Yulianto Laban MM.

PP dapat menggambarkan wilayah pengelolaan sumberdaya alam Orang Katu.Peta ini dapat juga mengungkapkan dan membuktikan penguasaan dan pemilikanOrang Katu atas wilayahnya. Masyarakat menggunakan peta ini sebagai alatmenuntut dan memperoleh haknya atas wilayah, masyarakat memperkenalkanmodel pengelolaan sumberdaya alamnya, peraturan dan sanksi-sanksinya.Sesuatu yang sering diceritakan oleh pihak luar sebagai masyarakat perusakhutan dan mengancam kelestarian hutan, ternyata tidak benar dan cenderungdiskriminasi.

Orang Katu mengakui mampu mengelola sumberdaya alam dan dapatbekerjasama dengan pihak TNLL, sepanjang dapat memberikan penghormatan,perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat Katu, serta semuapihak yang berkepentingan tidak dirugikan. Pengakuan tidak hanya pengakuanhukum, tetapi pemerintah harus memenuhi pemenu han kebutuhan dan hak-hakdasar masyarakat melalui program pembangunan, sehingga masyarakat dapathidup sejahtera.

93

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

PEMETAAN PARTISIPATIF MULTIPIHAK :WILAYAH ADAT NAMBLUONG DIKABUPATEN JAYAPURA - PAPUA

Oleh : Noah Wamebu

PENGANTAR

Papua adalah provinsi yang kaya secara budaya dan alamnya. Provinsi yangterletak di ujung timur Indonesia ini memiliki sedikitnya 280 suku yang masing-masing mempunyai struktur dan kepemimpinan adat sendiri-sendiri. Tiap sukumemiliki wilayah masing-masing dengan sederet klaim yang melekat di atasnya,termasuk hak atas tanah baik secara komunal maupun pribadi. Hak-hak inimasih dipegang erat dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Papua. Di sisilain, komoditi-komoditi penting terdapat di atas tanah-tanah adat tersebutseperti hutan, mineral (termasuk emas dan tembaga) dan minyak bumi menarikperhatian investor untuk membangun kegiatan ekonomi skala besar. Akibatnyausaha-usaha seperti pembalakan hutan, pertambangan mineral dan perkebunanbanyak dibangun di berbagai pelosok provinsi tersebut. Keanekaragaman hayatiyang tinggi dan banyaknya jenis-jenis endemik menjadikan provinsi tersebutsebagai sasaran pengembangan kawasan konservasi. Selain itu penduduk yangjarang di wilayah yang sangat luas mendorong pemerintah untukmengembangkan wilayah-wilayah transmigrasi. Semua menjadi rongronganserius bagi pelaksanaan hak-hak masyarakat adat. PP yang memberikan peluangbagi masyarakat adat untuk mempertahankan dan mencari pengakuan hakmereka menjadi kegiatan yang penting di provinsi tersebut. Kegiatan pemetaanyang semula berskala kecil belakangan menjadi hal penting dalam mem-bicarakan hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah dan sumber daya alam.

Melalui Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papuapemerintah mengakui hak-hak masyarakat adat Papua, terutama yang diaturmelalui pasal-pasal 43 dan 44. Undang-undang ini memberi momentum yangluar biasa bagi gerakan masyarakat adat di Papua (termasuk provinsi PapuaBarat) untuk mendapatkan pengakuan atas keberadaan mereka danmempertahankan hak mereka yang sebelumnya diabaikan. Masyarakat adatPapua mulai mengorganisir diri untuk kepentingan tersebut. Selain itu, sebagaimanifestasi undang-undang tersebut pemerintah provinsi Papua merancang

94

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tiga peraturan daerah khusus (Perdasus) yang mengatur lebih lanjut hak-hakmasyarakat adat Papua atas tanah, hutan dan sumber daya alam. Pada ketigaRancangan Perdasus tersebut penentuan wilayah adat melalui pemetaan menjadisyarat mutlak. Wacana penentuan wilayah adat ini memberi ruang politik yangsangat besar bagi gerakan pemetaan partisipatif di Papua.

Tulisan ini bermaksud menyorot pengalaman Perkumpulan Terbatas Pengkajiandan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PtPPMA) Papua dalam melakukanpengorganisasian masyarakat adat dan pemetaan partisipatif multipihak. Untukitu penulis menggambarkan bagaimana PtPPMA melakukannya bersamamasyarakat adat Nambluong, di kabupaten Jayapura.

Sepak terjang PtPPMA Papua dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adatbukanlah sebentar. Organisasi ini memiliki sejarah sekitar 20 tahun. Menyadaripersoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat Irian Jaya (pada waktuitu) sekelompok aktivis mendirikan Yayasan Kerjasama Hukum Masyarakat(YKHM) pada tahun 1988. Yayasan ini bertujuan untuk memberi pendidikanhukum kepada masyarakat Papua sehingga mereka memahami hak-hak dankewajibannya sebagai warga negara. Kemudian pada tahun lembaga ini bergantinama menjadi Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPPMA)karena masyarakat luas makin mengerti hak mereka, sehingga dirasakan perluuntuk mengadakan pendidikan kritis dan pengorganisasian masyarakat.Akhirnya pada tahun 2000 nama LPPMA menjelma menjadi Pt PPMA-Papua.Perubahan nama dilakukan setelah tiga tahun mendampingi masyarakatdampingannya dengan mengusung isu-isu berupa penyadaran hak-hak dasarrakyat, kajian hukum kritis, pengorganisasi rakyat, pengelolaan sumber dayaalam (SDA), dan kepemimpinan lokal masyarakat adat.

KOMUNITAS ADAT NAMBLUONG

Komunitas adat Nambluong dalam satu tatanan struktur adat yang meliputi 32kampung asli, yang dipimpin oleh satu orang Iram (ondoafi), dan membentuksuatu wilayah adat. Secara geografis wilayah Adat Nambluong terletak disebelahBarat Kabupaten Jayapura dengan batas-batas wilayah adatnya sebagai berikut:

- Timur berbatasan dengan wilayah adat : Kemtuk dan Kemtuk Gresi

- Utara berbatasan dengan wilayah adat : Souwali dan Yokari

- Barat berbatasan dengan wilayah adat : Unurum Guay dan Yapsi

- Selatan berbatasan dengan wilayah adat : Klesi dan Yapsi

95

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Dalam sistem pemerintahan formal wilayah adat Nambluong terdiri dari tigadistrik dengan 30 kampung/Desa dan 4 kampung/Desa transmigrasi.

DistrikNIMBUKRANG

DistrikNIMBORAN

DistrikNIMBORAN

Tabel. Kampung/Desa Wilayah Adat Nambluong

Tidak diketahui secara pasti kapan m asyarakat adat Nambluong ini mulai ada,tetapi mereka sudah menempati wilayah tersebut sejak belum ada pengaruhagama Kristen dan Pemerintah. Agama Kristen pertama kali dibawakan olehdua misionaris bernama Pdt.Jacob Bijkerk dan George S, yang datang dalamrangka membuka Pos Pekabaran Injil pada tahu n 1925. Pemerintah kolonialBelanda masuk Nambluong sekitar tahun 1930. Mereka memerintahkanmasyarakat adat Papua yang hidupnya terpencar-pencar untuk bermukim disalah satu tempat dengan mendirikan kampung. Setelah itu beberapa kampungyang berdekatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dipimpin seorangKorano. Pada masa kolonial empat orang Korano yang dikenal masing-masing:Korano Wilhelmus U’kong, Korano Pilemon Sanggiung Bano, Korano ApolosWaibro dan Korano Yafet Daka. Para korano ini ditunjuk sebagai pemimpin danpengatur kampung wilayah adat Nambluong.

Nambluong pada masa itu juga dikenal sebagai daerah sentra ekonomi diJayapura. Sasaran pengembangan sentra ekonomi pada masa kolonial Belandabanyak terdapat produksi pertanian (terutama kakao) serta industri pertukangan

1. Kalimaung2. Maino3. Samaikarang4. Conoba5. Kupons6. Poheim7. Kedeas8. Neyu9. Singgri10. Oyengsi11. Yenggu Lama12. Yenggu Baru13. Singgi Way14. Kel. Tabri

1. Berap2. Warombuaim3. Numbukrang4. Buyom5. Katang Muafi6. Beuyom Jaya I7. Beuyom Jaya I8. Nebukrang Sari9. Homonggrang

1. Sarmay Atas2. Sarmay Bawah3. Imstung4. Sanggai5. Yakasib6. Basem7. Keaya Bumu

7 Kampung14 Kampung 9 Kampung

30 Kampung

96

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

dan perbengkelan yang dikembangkan di daerah Komunitas Adat Nambluong.Hasilnya diekspor ke daerah-daerah lain melalui koperasi bernama KoperasiYawadatum. Koperasi tersebut dibentuk pemerintah kolonial pada tahun 1955dan berlokasi di kampung Sarmaikarang. Akibat pola pengembangan ekonomiitu kakao menjadi komoditi unggulan di wilayah tersebut saat ini.

Secara umum struktur kepemimpinan adat di kabupaten Jayapura dan sekitarnyamenganut sistem kepemimpinan kepala suku. Demikian pula strukturpemerintahan masyarakat adat Nambluong yang pada umumnya sama pada 32kampung/komunitas adat yang membentuknya. Sistem kemimpinan adatmempunyai kekuasaan yang sama dengan seorang pimpinan pemerintahan adatini berkumpul dan mengambil keputusan untuk membuat kepemimpinan adatdari setiap kampung ini sama saja dengan sebuah pemerintahan yang dipimpinoleh oleh seorang Bupati. Semua kampung asli di wilayah adat Nambluongdengan struktur adat sendiri-sendiri. Sistem kelembagaan yang ada di wilayahyang masuk dalam instansi pembangunan ini bersifat kolektif yang dipimpinoleh seorang tokoh yang dinamakan kepala suku.

Kelembagaan adat tersebut memiliki beberapa jabatan yang terstruktur dengankewenangan masing-masing. Untuk wilayah adat Nambluong dan Klisi Kemtukstruktur kelembagaannya adalah sebagai berikut:

· Iram merupakan pemimpin adat (Ondoafi) yang melindungi nasib masyarakatadatnya, anak-anak yatim piatu, janda, duda, dan siapa saja yang datang dikampung; serta menguasai dan melindungi kawasan-kawasan hutan dansumber daya alam yang ada untuk kepentingan bersama

· Takay adalah wakil dari Iram untuk mengatur dan memimpin kampung sesuaidengan arahan dari pimpinan adatnya (Iram)

· Duneskhinghow adalah pengambil keputusan adat dan pengaturpemerintahan kampung bersama Iram dan Takay; ia yang mengundangpengurus dan warga kampung untuk musyawarah.

· Lhuwaji adalah orang yang menjalankan keuangan kampung (bendahara),juga yang mengurus ekonomi kampung.

· Khiwaji adalah pelaksana harian dan pimpinan dalam acara-acara adatyang juga merupakan ajudan Iram.

· Blung adalah warga di kampung tersebut yang bersama-sama menjalankandan menjaga kesejahteraan.

97

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Struktur Adat Kampung Asli

Iram dipilih dengan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telahdigariskan. Dua prasyarat utama,yaitu ada prasyarat umum dan prasyat khusus.Prasyarat umum terkait dengan cakupan kekuasaan. Prasyat khusus yang terkaitdengan criteria seorang pemimpin.Kedua prasyarat sebagaimana dimaksud didalam kedua komunitas adat ini memiliki kesamaan,hanya istilah dalam bahasaasli yang sedikit berbeda.

Pola dan sistim kelembagaan adat sebagaimana ada memiliki peran dan fungsidalam segala aspek, baik aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum.Sistem dan mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan pada musyawarahdan kesepakatan bersama. Akan tetapi Iram, Dugusan, Bona dan Ondofolomemiliki hak veto sehingga kesepakatan yang diambil sebelumnya sewaktu-waktu bisa dibatalkan dengan dua opsi, untuk ditinjau kembali atau sama sekalidibatalkan sebelum dilaksanakan.

Di masa lalu masyarakat adat Nambluong banyak kehilangan tanah dan sumberdaya alam. Pemerintah memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) kepadabeberapa perusahaan dengan alasan untuk mendapatkan kayu bagipembangunan infrastruktur. Pada tahun 1976 pemerintah pertama kali membukalahan transmigrasi di wilayah adat Nambluong. Saat ini kawasan tersebutmenjadi dua kampung/Desa yaitu Basem dan Keaya Bumu. Kemudian pada tahun1984-1985 pemerintah mendatangkan transmigran ke tiga lokasi yaitu Kampung/Desa Benyom Jaya I, kampung /desa Beuyom Jaya II dan Kampung/desaNembukrang Sari. Akibat berbagai program pemerintah yang berdampakmerugikan mereka, masyarakat adat Nambluong merasa perlu untuk membentuksatu wadah Lembaga Adat agar dapat untuk mempertahankan hak-hak mereka.

TAKAY

Duneskhingwou

IRAM

BLUNGMASYARKAKAT

KHIWAJILHUWAJI

98

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Karena ke-32 kampung asli yang ada memiliki kepemimpinan adatnya sendiri-sendiri yang tidak bisa diganggu dan diatur oleh kampung lain, maka bentuklembaga adat yang dibangun adalah persekutuan (federasi). Dalam suatupertemuan yang difasilitasi LPPMA pada bulan April 1999 yang dihadiri wakil-wakil masyarakat adat Nambluong dari 32 kampung asli mereka bersepakatuntuk membentuk Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Nambluong.Tujuan utama organisasi ini adalah agar 32 kampung asli ini berkumpul danbisa mengambil satu keputusan adat dalam satu wadah organisasi adat untukmenata wilayah adat Nambluong yang sudah semakin hancur. StrukturOrganisasi DPMA Nambluong terdiri dari:

1. Badan Musyawarah Adat (Bamuskadat)

· Keputusan tertinggi ada di tangan Musyawarah anggota DPMA, yangdilaksanakan oleh Badan Musyawarah Adat.

· Badan Musyawarah Adat adalah dari unsur Iram.

2. Badan Pelaksana Keputusan Adat (Bapekedat)

3. Badan Pengelola Hukum Adat (Bapehudat)

SISTEM PENGUASAAN TANAH DAN PENATAAN RUANG DIWILAYAH ADAT NAMBLUONG

Sistem pengaturan dan penguasaan tanah di masing-masing kampung wilayahadat Nambluong pada umumnya dikuasai oleh Iram. Pertentangan terhadapTanah dan Sumber daya alam sebagai kekuasaan bersama bukan untukkepentingan Ondoafi/Iram. Karena dalam satu kawasan adat Iram tidak memilikitanah dan sumber daya alam secara sendiri, tetapi yang mempunyai hutan danSDA di kawasan tersebut adalah milik kampung/ Kepala suku ( Duneskhingwou)sebagai marga di kampung tersebut.

Sistem Pengusaan adat di wilayah Nambluong terkenal ada 3 hal yaitu: (a)penguasaan untuk tanah, (b) penguasaan dusun sagu, dan (c) Penguasaan untukanak perempuan. Ketiga hal ini ada hubungannya sehingga konflik penguasaanitu bisa terjadi kalau ada yang menguasai tanah, dusun sagu dan menggangguanak perempuannya.

Dalam konteks budaya orang Papua menganggap bahwa tanah adalah sebagaiseorang Ibu yang menyusui anaknya dan dari tanah manusia dijadikan sehinggamati akan kembali ke dalam tanah. Jika terjadi konflik atas tanah itu harusdiselesaikan secara adat dimana tanah menjadi sebuah alat untukmenyelesaikan konflik tersebut kalau ada pengorbanan nyawa dalam konfliktersebut dengan melepaskan sebidang tanah.

99

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Dusun Sagu di sini merupakan lahan sagu yang dianggap sebagai makananpokok masyarakat di wilayah adat Nambluong seperti juga di wilayah Papualainnya. Sebagai makanan pokok sagu perlu dibudidayakan dan dilindungi.Kalau anak perempuan di sini adalah sebagai harta dan perempuanlah yangmelahirkan. Istilah adatnya berlaku untuk lokasi yang sudah dikelola olehmasing-masing marga/klan. Sedangkan kawasan hutan yang belum dikelolaoleh marga/klan itu masih tetap menjadi milik bersama marga/klan yangmendiami kampung tersebut.

Untuk mengelola dan memanfaatkan tanah, hutan dan segala potensi yang adadi atasnya masyarakat adat memiliki caranya sendiri yang berbeda denganpembagian pada umumnya yang sering dilakukan pemerintah. Pada dasarnyapembagian dilakukan dengan melihat posisi wilayah yang dimiliki kondisiwilayah adat Nambluong terletak pada wilayah dataran sampai pada perbukitan.Pembagian tata ruang atau zona kelola sebagaimana diatur dalam adatberlangsung sejak dulu hingga saat ini yang mampu mencegah kerusakan ekologidan ekosistem, walaupun tidak mutlak.

Pengaturan tata ruang atau zona kelola sebagaimana diatur dalam adat terbagidalam beberapa bagian sesuai letak geografis. Di wilayah adat Nambluongsebagaimana disinggung bahwa ada tiga zona kelola yang diterapkan secaraumum,yaitu:

· Tanah dataran (ku pay)

· Lereng perbukitan atau gunung ( ku mendum teble-teble )

· Tanah hutan rimba (ku koan).

Dalam aktivitas sehari-hari tanah di wilayah dataran lebih banyak digunakanuntuk aktivitas berkebun dan berburu. Berkebun di daerah dataran dianggaplebih menjanjikan kesuburan dibanding tanah -tanah di daerah lereng ataupuncak perbukitan atau gunung. Selain itu lebih banyak wilayah dataran jugayang digunakan untuk berbu ru karena binatang lebih banyak mencari makanandan air di kawasan tersebut pada saat-saat musim kemarau. Pada daerah lerengperbukitan pada ketinggian tertentu orang di willayah Nambluong selalumelakukan aktivitas berkebun. Sedangkan memasuki lereng pada ketinggiantertentu sudah tidak ada kebun. Daerah ini adalah tempat meramu, sayur-sayuran dan buah-buahan serta berburu untuk mendapatkan binatang tertentu.Sedangkan di puncak gunung sudah tidak ada aktivitas lagi karena suhu pa daketinggian itu begitu dingin.

Sedangkan untuk tempat pemukiman sebelum masuknya pemerintah dan agamalebih banyak hidup di daerah lereng-lereng perbukitan yang lebih dekat d engansumber air. Tetapi jelas bahwa aktivitas kehidupan ketiganya masih sangat

100

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

terbatas. Orang-orang pada masa itu lebih banyak meramu makanan yangtersedia di hutan daripada aktivitas berkebun. Misionaris dan pemerintahkemudian menentukan lokasi-lokasi pemukiman maka orang mulai membukaperkampungan dengan memilih tanah-tanah dataran agar penataanperkampungan lebih baik dan tertib.

PEMETAAN PARTISIPATIF DI PAPUA

Karena sejarah dan kebutuhannya dalam pendampingan masyarakat adat LPPMAmemutuskan untuk melakukan PP sebagai bagian dari strategi pengakuan hak.Pemetaan pertama kali dilakukan pada tahun 1997 di Kemtuk (kabupatenJayapura). Pemetaan ini memakai kompas dan meteran dengan dibantu olehFrank Momberg yang datang atas permintaan JKPP. Setelah itu LPPMA melakukanpemetaan di Arso (juga di kabupaten Jayapura) dan Knasaimos (bagian selatankabupaten Sorong). Program yang mendapat bantuan dana dari BSP Kemala inilebih menekankan penentuan batas kampung dan dinilai berhasil sebagai alatpengorganisasian masyarakat adat. Untuk memetakan sebuah kampung yangluas waktu yang diperlukan adalah sekitar sebulan. Walaupun sudah beberapakali dilakukan gerakan PP di Papua hanyalah dikenal secara terbatas olehbeberapa LSM dan kelompok masyarakat. Dengan demikian gerakan pemetaanbelum memasyarakat dalam masyarakat adat di Papua dan juga dalam Ornop(LSM) yang bergerak dalam kegiatan pe mberdayaan masyarakat adat padaumumnya.

Pada tahun 2000 dengan perubahan politik yang mendasar di Papua, terutamadengan proses pembahasan RUU Otonomi Khusus, PtPPMA menilai bahwapengorganisasian masyarakat menjadi hal krusial untuk mengantisipasiperubahan dan tantangan yang baru. Sehingga kebutuhan advokasi tidak lagimenekankan pada kampung tetapi pada skala yang lebih besar dan melibatkanlebih banyak pihak dalam proses penataan ruang dan pengakuan tanah adat.Pemetaan tanah adat menjadi isu penting baik dalam pengorganisasian maupundalam pengelolaan wilayah. BSP-Kemala kembali memberikan dukungan untukmengembangkan metodologi PP yang baru di Papua. Setelah melalui serangkaianpertemuan PtPPMA diminta menjadi koordinator dan adminstrator kegiatanpemetaan ini. Pemetaan pertama dimulai di ka bupaten Jayapura.

Karena kebutuhan untuk memetakan wilayah yang luas dan melibatkan banyakpihak (terutama pemerintah) metode PP yang dinilai cocok adalah teknik PPdari “orang luar” yaitu Mac Chapin dari Center for the Support of Native Lands(Amerika Serikat) yang telah banyak melakukan pemetaan di Amerika Tengah.Dalam proses beliau didampingi oleh Y.I. Ketut Deddy Muliastra dari Sekala(Indonesia). Metode pemetaan baru ini disebut sebagai PP multipihak yang

101

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pertama kali dilakukan di wilayah adat Nambluong sebagai proyek percontohan(pilot project). Untuk melaksanakan kegiatan ini PtPPMA mendapat dana dariMultistakeholder Forestry Programme (MFP ), sebuah proyek kehutanan bantuandari Department for International Development [DFID] Inggris) pada tahun 2002.

PEMETAAN PARTISIPATIF MULTIPIHAK DI NAMBLUONG

Pengetahuan masyarakat tentang wilayah sebenarnya sudah ada namun tidakpernah tertulis. Mereka menandai batas wilayah (teritorialnya) mengunakanbatas-batas alam seperti pohon Besar, Kali, Gunung, dan Batu-batu Besar yangditetapkan sebagai batu bersejarah. Hal ini sudah berlaku turun temurun bukanhanya di Nambluong tetapi juga bagi masyarakat Papua yang mendiami wilayah-wilayah masing-masing. Namun pengetahuan ini tidak diketahui oleh banyakpihak luar yang bukan masyarakat adat.

Menyadari hal tersebut pada bulan November 2001 masyarakat adat Nambluongdari 32 kampung asli berkumpul di salah satu kampung (Sarmaikrang)mengadakan musyawarah kampung dan menyepakati untuk membuat PP. PP ininantinya akan berfungsi untuk mempermudah perencanaan pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya sesuai dengan keinginan dan kepentinganmasyarakat adat, sekaligus merupakan bukti tertulis masyarakat adat dalampemanfaatan lahan. Tidak kalah pentingnya ialah agar kegiatan pembangunanyang direncanakan oleh pemerintah daerah maupun pihak swasta nantinyatidak berbenturan dengan pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat adatNambluong. Dalam pembuatan peta partisipatif tersebut masyarakat adatNambluong mendapat bantuan teknis dari PtPPMA Papua. Untuk membicarakanlebih rinci tentang kegiatan ini, pertemuan awal PtPPMA bersama pengurusDPMA Nambluong di sekretariat mereka di kampung Keijtemung menyepakatiuntuk pembagian peran dalam proses pemetaan sebagai berikut:.

1. DPMA Nambluong mengambil peran organizer masyarakat adat dari setiapkampung untuk terlibat dalam proses pemetaan.

2. DPMA bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan di tingkat kampung.

3. PtPPMA Papua menyiapkan peran tekn is dan sosial dalam pelaksanaanproses kegiatan pemetaan.

4. Kegiatan pemetaan tersebut difasilitasi oleh PtPPAM Papua dan mendapatpendanaan dari MFP-DFID.

102

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

ALUR PEMETAAN PARTISIPATIF MULTIPIHAK

1. Persiapan:

Pada tahap pertama yang berlangsung di awal tahun 2002 PtPPMA Papuamengadakan serangkaian pertemuan yang melibatkan pemerintah, perguruantinggi, LSM dan masyarakat adat untuk membangun kesepakatan tentang kegiatanpemetaan ini. Khusus bagi masyarakat adat pertemuan dilakukan dengan DPMANambluong yang dilanjutkan dengan anggota masyarakat adat guna menjelaskanpengertian dan kegunaan PP multipihak. Dalam tahap ini para pihak sepakatuntuk melakukan PP melalui pendekatan budaya masyarakat setempat. Kemudiandisepakati juga tentang waktu pelaksanaan dan dana. Terakhir para pihakmembentuk tiga tim sebagai pelaksana kegiatan pemetaan:

· Tim Administrasi, yaitu lembaga yang bertanggungjawab terhadaplogistik dan administrasi , dalam hal ini dipegang PtPPMA.

· Tim Sosial yang terdiri dari para fasilitator dari kampung-kampung(masing-masing kampung dua orang)

· Tim Teknis yaitu para kartografer yang melibatkan perguruan tinggi,pemerintah dan LSM (kartografer utama Ketut Deddy Muliastra danZet Wally, ditambah dengan dua kartografer dari Badan PengukuhanKawasan Hutan Papua).

2. Lokakarya Pertama (Orientasi Dan Pelatihan)

Lokakarya yang diikuti ketiga tim ini bertujuan untuk memberi pemahamandasar tentang peta dan penggunaannya, pembuatan peta (termasuk isi dansimbol-simbolnya), dan pelatihan pembuatan peta sketsa. Kegiatan iniberlangsung selama seminggu pada bulan Maret 2002. D i akhir lokakarya parapeserta membicarakan tentang rencana kegiatan di lapangan selama tahapberikutnya.

3. Kunjungan Lapangan Pertama (Pengumpulan Data Dan

Pembuatan Peta Sketsa Di Kampung)

Pada tahap yang berlangsung selama bulan Mei dan Juni 2002 ini para fasilitatorkembali ke kampung mereka masing-masing. Didampingi tim teknis (kartografer)mereka berbicara dan berdiskusi dengan orang tua, ketua adat, perempuan,pemuda, dan lain-lain tentang peta dan proses pemetaan yang dilakukan.Kemudian mereka mempersiapkan peta sketsa dan mengumpulkan informasigeografis, dengan bantuan kartografer, serta menuliskan cerita-cerita tentang

103

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

setiap tempat dengan mendatangi setiap kampung. Di akhir tahapan ini parafasilitator kampung dan tim teknis mengevaluasi hasil peta sketsa.

4. Lokakarya Kedua (Transkripsi Data)

Sebelum lokakarya kartografer mencari citra satelit yang mencakup wilayahadat Nambluong. Kegiatan ini berlangsung pada bulan Juli 2002 selama seminggudan dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah presentasi dari parafasilitator dari 32 kampung yang memaparkan peta sketsa yang mereka buatditambah dengan penjelasan tentang tantangan dan keberhasilan yang dicapaiselama kunjungan lapangan pertama. Pada tahap berikutnya para pesertamasuk ke dalam dua kelompok. Kelompok I adalah para kartografer dan parafasilitator kampung yang bertugas mengabungkan peta topografi, citra satelitdan peta sketsa serta informasi lain yang dicatat ataupun yang diingat olehfasilitator. Kelompok ini menghasilkan sejumlah peta sementara. Untuk tiapkampung mereka membuat peta skala 1:7500 dan 1:20.000, sedangkan untukgabungan seluruh Nambluong peta skala 1:50.000. Kelompok diskusi I yangterdiri dari wakil-wakil masyarakat dan tim sosial mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kekurangan informasi, kecurigaan masyarakat,masalah batas tanah adat (yang berpotensi konflik), masalah perbedaanpenamaan tempat (karena lain suku lain nama), antisipasi konflik yang akanmuncul dengan wilayah sekitar Nambluong, yaitu dengan Demta dan KemtukKresi (yang perwakilannya hadir dalam lokakarya ini). Di akhir diskusi kelompok

104

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

ini menghasilkan konsep tata guna lahan menurut budaya masyarakatNambluong yang secara umum terbagi tiga: Mno Blang Sip (tempat berburu/mencari), Usu Sip (tempat berkebun) dan Irung Sip (tempat-tempat bersejarah).Hasil diskusi ini menjadi masukan untuk kelompok diskusi I dalammenyelesaikan peta. Pada kegiatan ini Mac Chapin juga hadir.

5. Kunjungan Lapangan Kedua (Verifikasi Data)

Pada tahap yang berlangsung selama bulan Juli 2002 ini fasilitator membawapeta sementara yang telah dihasilkan ke kampung-kampung untuk melengkapiinformasi yang kurang dan membahas isyu-isyu hasil diskusi pada lokakaryakedua dengan masyarakat di kampung . Dengan bantuan para kartografer parafasilitator melakukan pengecekan atas informasi yang ada dalam peta. Parakartografer juga mengambil titik-titik GPS untuk mengecek akurasi peta. Karenatahap ini merupakan kesempatan terakhir untuk melengkapi peta, maka waktuyang tersedia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pada tahap ini PtPPMA mulaimelakukan digitasi peta sementara. Tim administrasi sudah mulai jugamelakukan persiapan logistik dan manajemen untuk lokakarya ketiga yang akanmenghasilkan peta akhir dan akan juga membahas proses pengesahan,pengakuan dan produksi peta.

Kelompok diskusi I sedang bekerja

105

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

6. Lokakarya Ketiga (Koreksi Peta Dan Penambahan Informasi)

Pada tahap ini para kartografer dan fasilita tor melengkapi peta berdasarkaninformasi dari tetua kampung dan para tokoh adat yang diundang untukmengecek peta akhir sebelum dicetak.

7. Finalisasi Peta (Pencetakan Peta)

Peta-peta yang dihasilkan selama proses ini dicetak. Pada tahap ini para pihakjuga membahas kepemilikan peta.

DAMPAK-DAMPAK PEMETAAN PARTISIPATIF MULTIPIHAK

Belajar dari metode pemetaan ini PtPPMA menilai bahwa metode ini palingcocok untuk memetakan wilayah adat Papua yang luas. Waktu yang dibutuhkanjauh lebih singkat dibandingkan dengan metode pemetaan sebelumnya yangharus mengunjungi batas-batas kampung secara langsung. Dengan metode lamapeta baru bisa dihasilkan setelah melalui proses berbulan-bulan, sedang denganmetode baru ini hanya perlu waktu sekitar sebulan. Selain itu lebih banyakpihak yang bisa ikut terlibat dalam proses ini. Bagi PtPPMA pemetaan ini jugamemperkuat advokasi masyarakat adat dan hak-hak atas sumber daya mereka(khususnya dalam pemanfaatan hutan). Batas-batas wilayah adat pun makinjelas.

Masyarakat adat dan pemerintah daerah juga terkesan dengan PP multipihakini. Bagi masyarakat adat pemetaan ini juga memperjelas tata ruang adat.Mereka tahu daerah-daerah mana saja yang bisa diolah, yang harus dilindungidan yang bisa dibangun pemukiman. Bagi pemerintah daerah pengalamanpemetaan di Nambluong menjadi pembelajaran penting untuk pemetaan wilayahadat. Kabupaten Jayapura, paling tidak, sudah menjadikan pemetaan Nambluongsebagai model pemetaan wilayah adat di kabupaten tersebut.

106

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PENUTUP

PP sebagai sebuah bentuk alternatif dalam pengelolaan tata ruang ternyatamendapat tanggapan yang baik dari berbagai kalangan untuk dilakukan secaramultipihak. PP merupakan bagian dari penguatan dan pengorganisasianmasyarakat adat dalam proses pembelajaran mendukung pengelolaan tata ruangtingkat Masyarakat Adat Nambluong di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua.Untuk itu keterlibatan semua pihak sangat penting dalam mewujudkan suatuproses pembelajaran bersama rakyat dengan melibatkan berbagai pihak lainnyauntuk mencapai hasil yang layak dan dapat memberikan informasi tentangkebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan danpengembangan kawasan-kawasan yang siap dibangun. Hal ini akan terkait puladengan program investasi yang mencakup antara lain adalah Peremajaan danPembaharuan Kawasan, Penataan Kawasan, Pengembangan KawasanPembangunan Inprastruktur, Ekonomi Kerakyatan, Sosial Budaya dan Kesenianserta pengembangan kawasan untuk lingkungan hidup.

Dengan mengacu kepada dasar konsep tersebut terlihat bahwa sesungguhnyaketerlibatan masyarakat adat dalam pengembangan informasi pengelolaan tataguna lahan sebagai d ata dasar pengelolaan tata ruang tingkat pemerintahankota/Kabupaten dan Provinsi sangatlah penting. Hal itu dapat dilakukan dalambentuk PP serta pengorganisasian masyarakat adat. Dalam konteksmengembangkan nilai-nilai demokratisasi dan pengelolaan sumberdaya alamyang partisipatif dan multipihak, maka perencanaan bersama rakyat sebagaimetode yang tepat untuk mengubah paradigma perencanaan yang sifatnya dariatas (top down). Proses perencanaan partisipatif dapat membantu rakyat untuksungguh-sungguh memahami kebutuhan mereka yang layak dalam prosespembangunan agar dapat menghasilkan produk baik fisik maupun non fisikyang dapat dinikmati bersama.

Selain itu, melalui PP masyarakat adat dapat mengidentifikasikan wilayah-wilayah adat yang mendukung pengelolaan tata ruang bagi kesejahteraan mereka.Untuk itu dalam program PP yang terpenting adalah sebuah proses yang dicapaibersama secara multipihak ketimbang hasil yang dicapai. Penekanannya padaproses bersama sehingga perasaan memiliki (sense of belonging) menjadi tujuandasar dalam melaksanakan proses pembelajaran PP secara multipihak.

107

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

JEMBER DALAM LINTASAN WAKTU

Kabupaten Jember Jawa Timur resmi dibentuk pada tanggal 1 Januari 1929 danmerupakan pengembangan dari Karesidenan Besuki yang meliputi: Banyuwangi,Situbondo, Bondowoso serta Besuki sendiri. Berdirinya Jember sebagai daerahbaru tidak lepas dari pesatnya perkembangan perkebunan swasta padapertengahan abad 19. Dalam perkembangan selanjutnya, ondistrict25 Jembermeninggalkan daerah induknya. Saat ini, Jember menjadi pusat ekonomi, sosialdan politik di timur Pulau Jawa. Sementara itu, Kota Besuki turun pangkat denganhanya menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Situbondo di pinggir jalur pantaiutara (Pantura) Pulau Jawa.

Jember merupakan salah satu kabupaten agraris yang penting di Jawa Timur,artinya sebagian besar matapencaharian penduduk Jember adalah petani.Kehidupan petani di Jember, mirip dengan kehidupan petani di tempat lain diJawa Timur, masih menjadi lumbung-lumbung kemiskinan. Berdasarkan Sen-sus Pertanian (SP) 200326 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan meningkat 1,7 % pertahunantara tahun 1993 – 2003; dari 20,5 juta keluarga pada 1993 menjadi 24,4 jutakeluarga pada tahun 2003. Di Jawa Timur, jumlah keluarga petani gurem – petaniyang mengolah lahan kurang dari 0,5 hektar — mencapai 3,4 juta rumah tanggaatau sekitar 25,14% dari total rumah tangga petani gurem di Indonesia. UntukIndonesia, jumlah keluarga petani gurem meningkat 2,4 % per tahun, yakni dari

PEMETAAN PARTISIPATIF :“ PANDUAN “ PENYELESAIAN KONFLIK DAN

SENGKETA AGRARIA DI JEMBER

Oleh: Dedi Bayu Lukito dan Bambang Teguh Karyanto

108

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

10,8 juta keluarga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga pada tahun2003. Dalam periode 1993-2003, jumlah keluarga petani gurem meningkat dari52,1 % menjadi 56,2 %. Jadi dengan penguasaan tanah yang semakin sempitmaka akan sangat sulit kesejahteraan yang lebih baik diraih oleh keluargapetani.

Jember dianugerahi tanah yang subur, dikelilingi pegunungan dan bentang alamberbukit-bukit. Lingkungan yang terberi ini makin dikuatkan dengan adanyapara pendatang dari daerah “Jawa Mataraman” dan Madura yang matapencahariannya sebagian besar adalah petani. Para migran lokal yangberdatangan ini selain sebagai penyedia utama tenaga kerja pada perkebunanswasta yang baru tumbuh, juga mengharapkan perubahan dan peningkatantaraf ekonomi. Dengan latar belakang seperti ini, maka ketika dunia sibukmencari daerah penghasil bahan baku, ondistrict Jember dengan segenappotensinya menapaki jalan sejarah menjadi bagian perubahan dunia. Karenatanahnya yang subur tersebut maka pada tahun 1858 George Birnie, seorangBelanda, membuka lahan untuk penanaman besar-besaran tembakau Na Oogst(NO). Sebagai pemilik modal, Birnie segera mengajukan ijin kepada pemerintahkolonial waktu itu guna membuka Onderneeming (perusahaan perkebunan)tembakau di daerah Jenggawah (saat ini secara administratif menjadi tigakecamatan dari Kabupaten Jember, yaitu Kecamatan Jenggawah, KecamatanRambipuji dan Kecamatan Ajung, sembilan desa dan 36 padukuhan). Baru padatahun 1870 melalui Agrariche Besluit (AB)27, Birnie mendapat hak erfpacht28 untukperkebunan tembakau selama 75 tahun. Sedangkan pengelolaannya dipegangoleh badan hukum milik pemerintah yaitu Landbouw Matschapij Ould Djember(NV. LMOD). Berdasarkan hal ini, ijin pengelolaan lahan perkebunan oleh NV.LMOD akan berakhir pada tahun 1945.

Mengetahui bahwa Jember sangat menguntungkan secara ekonomi, maka banyakpemodal asing yang ikut membuka berbagai perkebunan. Beberapa komoditiditanam di berbagai perkebunan besar ini pada masa kolonial sesudah 1858seperti: tembakau, teh, kopi, tebu, karet dan kakao. Berikut ini adalah beberapaperkebunan pada jaman kolonial yang ada di Jember: NV. LMODTD (LandbouwMij Out Djember te Deventer) di Ketajek (sekarang termasuk wilayah Kec. Panti);NV. Tabak Maatschappij Goemelar, NV.Besoeki Tabak Maatschappij te Amsterdam,dan NV. Handels di Nogosari (sekarang Kec. Rambipuji). Masa kejayaanperusahaan perkebunan terjadi pada dasawarsa 1920-an sampai tahun 1931.Saat itu perusahaan perkebunan tembakau partikelir di Jember mampumengekspor hingga 302.900 bal tembakau, meski pada 1932 terkena juga dampakdepresi global29. Keadaan tersebut berjalan sampai Hindia Belanda kalah dariJepang dalam perang Pasifik.

109

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Sejak pendudukan fasisme Jepang semua kegiatan ekonomi diarahkan gunamendukung perang. Banyak pemilik perkebunan lari meninggalkan kebunnya,meskipun hak sewanya belum berakhir. Keadaan tersebut membuat banyakperkebunan menjadi “tanah tak bertuan”. Hal ini membuat petani penggarapkebun-kebun itu tidak lagi terikat kontrak dengan perusahaan manapun.Kemudian penduduk, baik buruh kebun maupun petani sekitar kebun, secarahampir bersamaan menduduki kebun-kebun tersebut guna memenuhi kehidupansubsistensi mereka.

Kekosongan pengelolaan kebun-kebun oleh pemilik erfpacht berlangsung sampaitahun 1953, yakni saat Pemerintah Indonesia melakukan proses nasionalisasiaset-aset asing di Indonesia. Selama kurun waktu 10 tahun tersebut, masyarakatsekitarlah yang mengelola lahan kebun ini. Kemudian, pada tahun-tahun itupula – setelah tahun1953 — pemerintah mulai menarik pajak untuk lahan yangtelah digarap petani ini. Setiap petani mendapatkan nomor pipil pajak atauLetter C/petok sebagai tanda bukti pembayaran pajak — masyarakat lebihmengenalnya dengan nama “cap singa”. Penarikan pajak oleh pemerintah inilahyang makin menguatkan asumsi petani penggarap bahwa tanah yang dikelolaselama ini sudah sah menjadi hak milik mereka. Inilah yang kemudian menjadititik pangkal utama konflik dan sengketa agraria di Jember di kemudian hari.

Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan. UUPA 1960 memuattentang tata cara pendaftaran tanah untuk tanah-tanah yang digunakanmasyarakat secara adat atau tanah-tanah yang dimanfaatkan masyarakat secaraturun-temurun. Sedangkan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dulunyadimanfaatkan oleh Belanda atau Jepang (berdasarkan hukum barat atau BurgelijkeWetboek30) haruslah didaftarkan kembali untuk memohon hak kepemilikannya;dan bagi yang tidak didaftarkan akan dinasionalisasi serta dinyatakan sebagaitanah negara. Proses nasionalisasi aset asing di Jember, waktu itu, dikendalikanoleh penguasa darurat perang/militer yang sekaligus melakukan inventarisasitanah-tanah yang dijadikan obyek landreform. Landreform adalah salah satuprogram utama Pemerintah Orde Lama setelah disahkannya UUPA tahun 1960.Karena keterbatasan informasi dan transportasi saat itu mengakibatkansosialisasi UUPA seringkali terhalang. Banyak petani penggarap yang tidakmengetahui akan adanya peraturan tersebut. Inilah yang menjadi titik pangkalberikutnya konflik dan sengketa agraria di Jember.

Pada akhir September 1965 terjadi konflik politik besar di Jakarta yangmenyebabkan beberapa jenderal tentara diculik dan kemudian terbunuh.Peristiwa yang populer disebut Gerakan 30 September (G30S) ini berpengaruhbesar terhadap kehidupan sosial politik di Indonesia, termasuk di wilayahJember. Pembersihan besar-besaran terhadap anasir-anasir Partai KomunisIndonesia (PKI) – yang dituduh menjadi dalang G30S dan pada Maret 1966

110

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

dinyatakan sebagai partai terlarang – dilakukan secara besar-besaran di PulauJawa, termasuk di Jember. Puluhan ribu nyawa masyarakat yang dituduh anggotaPKI – tanpa pengadilan – melayang begitu saja. Pihak yang berwenang sangatmudah memberikan stigma “komunis”, “PKI”, “anti Tuhan”, “pemberontak”, danlain-lain kepada pihak-pihak yang dianggap melawan pemerintah yangberwenang. Para petani penggarap yang telah mendiami tanah-tanahpeninggalan perkebunan Belanda maupun masyarakat yang melakukanpembukaan lahan perkebunan baru di Jember tidak luput dari berbagai tuduhansebagai perongrong pemerintah. Selain itu, awal rejim Orde Baru pada akhir1960-an itu – dengan dominasi aparatus militer di dalamnya – sangatmenekankan stabilitas politik dan keamanan; sehingga berbagai dinamikapemanfaatan sumber-sumber agraria dianggap sebagai suatu hal yangmengganggu program pemerintah. Maka dalam aras inilah, benih konflik dansengketa agraria di Jember harus diletakkan.

Pada awal Pemerintah Orde Baru akhir 1960-an berbagai pengusiran petanipenggarap marak terjadi di Jember. PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XXVI –yang kemudian berubah menjadi PTPN UUS Kalisanen – mengusir para petanipenggarap di Curahnongko, padahal para petani penggarap ini telah melaporkanpemanfaatan tanahnya memenuhi pengumuman penguasa perang daerah JawaTimur No.Peng. P.2.8/1958 pada sekitar tahun 1966. Masyarakat terpaksameninggalkan garapannya; pemukiman masyarakat dihancurkan dan hanyadisisakan sebuah mesjid; 22 orang ditangkap karena melawan. PTPN XXVIkemudian melakukan penanaman karet pada areal ini. Apa yang terjadi diCurahnongko merupakan contoh tindakan-tindakan aparat berwenang padamasa lalu, yang pada hakikinya merupakan reduksi dinamika pemanfaatansumber-sumber agraria di Jember.

Daftar kasus konflik dan sengketa agraria di Jember

Sumber: Data LSDP SD INPRES 2000

111

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Tabel di atas menunjukkan bahwa institusi yang terlibat sengketa dan konflikagraria sangat beragam; mulai dari Perhutani, PTPN, perusahaan perkebunanmilik daerah (PDP) dan koperasi milik TNI. Pengambilalihan paksa tanah-tanahyang telah digarap masyarakat, baik sebagai legitimasi proses ambil alih haknegara yang kadaluwarsa maupun yang disebabkan kesewenang-wenanganaparat selama Orde Baru, dimulai tahun 1960-an. Sehingga bila saat ini rakyatbanyak yang melakukan penuntutan balik terhadap haknya yang dirampasadalah sebuah kewajaran.

Rejim Orde Baru mengubah sama sekali kebijakan pemanfaatan sumber-sumberagraria yang telah lalu. Landreform, yang menjadi semangat utama UUPA 1960,menjadi program tabu selama Orde Baru. Dalam pengusahaan perkebunan,Pemerintah Orde Baru sangat berpihak kepada pemodal besar dan cenderungmelupakan petani. Berbagai usaha perkebunan besar bermunculan pada jamanOrde Baru – meskipun sebagian mendasarkannya pada hak-hak penguasaantanah pemerintah yang lama: PDP Kebun Manggisan luas 1.839,1211 ha; PTPNXII Kebun Panti seluas 515,32 ha; PTPN XII Kebun Patemon dan Darungan seluas1.045,8960 ha.; PTPN XII Kebun Klatakan, Selodakon, Darungan, Curah Kalongseluas 544,3000 ha; PT. Perkebunan Jember Indonesia Kebun Widodaren luas6.125,5106 ha; PT. Dian Argopuro Kebun Kalitengah seluas 579,424 ha; PT.Yunawati Kebun Kaliduren seluas 1.587,0973 ha; NV. Cult. Mij. Toegoesari kebunTugusari seluas 345,303 ha; Kaliduren Estate seluas 1.092, 2734 ha; institusimiliter Puskopad Kodam V Brawijaya kebun Sentool seluas 537,473 ha. Semuausaha perkebunan ini berada di lereng sebelah selatan Pegunungan Argopuro.Pemanfaatan lereng selatan Argopuro untuk pemanfaatan intensif perkebunanbesar ini telah melebihi daya dukung lingkungan serta mengancam kehidupanmasyarakat yang tinggal di lereng Argopuro setelah lembah di bawahnya.

Kondisi Jember yang bergunung-gunung seharusnya dikelola dengan penuhkehati-hatian. Banjir dan tanah longsor sangat sering terjadi di Jember. Banjirbandang di Lereng Argopuro pada Desember 2006 merupakan contoh efeksamping kecerobohan pemanfaatan sumber-sumber agrar ia di Jember.Kabupaten Jember memiliki kawasan konservasi dan lindung yang cukup luas:taman nasional (39.550 ha), suaka margasatwa di Pegunungan Argopura seluas9.150 ha, kawasan lindung terbatas seluas 34.225 ha, hutan lindung seluas41.875, dan kawasan lindung lainnya seluas 15.525 ha. Kenyataannya lebihdari 60.000 ha kawasan konservasi dan lindung tersebut mengalami alih fungsimenjadi tegal, kebun campur, perkebunan dan pertanian. Beralihnya fungsi-fungsi berbagai kawasan lindung ini sangat mengancam kehidupan masyarakatJember.

112

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PEMETAAN PARTISIPATIF ALAT BANTU PERJUANGAN PETANI

Telah kita ketahui bersama bahwa “Reformasi” pada tahun 1998 telahmenjatuhkan rejim Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun. Banyakperubahan besar terjadi dalam kehidupan masyarakat. Salah satu perubahanitu adalah kembalinya kebebasan berbicara dan berorganisasi. Perubahanutama dalam kurun sepuluh tahun setelah Reformasi adalah membaiknya iklimdemokratisasi di Indonesia. Aura Reformasi juga melingkupi kehidupan petani.Setelah Reformasi Berbagai organisasi serikat petani bermunculan seperti jamurdi musim hujan. Banyak organisasi petani yang pada masa Orde Baru terpaksa“mematikan” diri karena kerasnya represi, kemudian bersemi dan aktif kembali.Berbagai konflik agraria di Jember yang “terpaksa” didinginkan selama OrdeBaru, kemudian membuncah kembali pasca Reformasi 1998.

Aksi-aksi pendudukan lahan setelah Reformasi meningkat pesat di Jember, sepertidi beberapa tempat berikut: Sukorejo, Ketajek, Nogosari, Curahnongko, Mandigu,Karang Baru, dan lain-lain. Motif meningkatnya aksi masyarakat ini sebagianbesar memiliki kesamaan alasan. Pertama, pengusahaan perkebunan besar dankehutanan (Perhutani) di Jember kebanyakan diperoleh dan dilakukan dengancara yang sarat kekerasan pada masa lalu; kedua, masuk abad ke-21 berbagaiHGU perkebunan ini telah mati atau habis masa berlakunya dan harus diuruslagi perpanjangan pengusahaannya; ketiga, gabungan dua faktor tadi, ditambahdengan kemarahan yang terpendam dari petani korban pengusiran pertengahan1960-1970-an; keempat krisis ekonomi dan tumbangnya rezim Soehartomemungkinkan rakyat bergerak menuntut kembali haknya. Lembaga Studi Desauntuk Petani (LSDP) SD INPERS menjadi bagian dari dinamika ini, karena tanpasengaja diminta pertolongan oleh petani wilayah “ kasus” guna membantumeningkatkan semangat perjuangan mereka.

Lewat diskusi internal lembaga dan pengorganisasian terus menerus denganpetani yang mengalami sengketa agraria, serta ditambah oleh kenyataan bahwaaparat kelewat represif dalam menyikapi setiap tuntutan masyarakat terutamayang menyangkut hak atas tanah, maka pengorganisasian, penguatan sertapenyadaran pentingnya berorganisasi adalah pilihan utama. Sebagai contohialah terjadinya “ Rabu Hitam” 21 April 1999, sebuah peristiwa tragis yangmenimpa warga Ketajek. Setelah kurang lebih 8 bulan berhasil mendudukikembali perkebunan Ketajek, hari itu pihak PDP dibantu aparat Polres Jembermelakukan aksi pengusiran, penganiayaan dan penembakan. Akibatnya seorangwarga tewas, 11 cacat tetap dan puluhan lainnya ditahan termasuk wanita dananak-anak. Dampak dari kejadian ini ialah rasa traumatik yang mendalam dimasyarakat. Lewat penguatan serta pendampingan yang terus menerus akhirnyamasyarakat pelan-pelan mulai sedikit banyak bisa melupakan kejadian tersebut.

113

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Tindakan represif ini tidak hanya berlangsung di Ketajek, tetapi juga pada daerah-daerah sengketa agraria di Jember yang lain. Sementara dalam menghadapitindakan kekerasan ini, petani sepakat untuk tidak melawan, tetapi lebihmengedepankan proses-proses persuasi (lobi, negoisasi, dengar pendapat, danlain-lain). Tetapi, semua upaya ini selalu gagal bila sudah memasuki upayaverifikasi data-data. Pihak yang berwenang selalu mendasarkan pertimbanganpenyelesaian konflik agraria berdasarkan berbagai peta peninggalan Belanda.Berbagai upaya menghadang terbitnya kembali hak guna usaha (HGU) suatuperkebunan – mengingat konflik agraria pada masa lalu yang belum terselesaikan— selalu dikalahkan oleh BPN yang mendasarkan keputusan ‘formalnya’ dengantetap memakai peta-peta yang dibuat oleh Belanda. Menyadari kenyataan danpengalaman pengorganisasian di atas, LSDP SD INPERS mempertegas sikap, yaknitiada jalan lain bahwa masyarakat harus memiliki peta yang diukur, dibuat dandipakai guna kepentingan masyarakat sendiri. Dengan memiliki peta sendiri,diharapkan masyarakat mampu mengusulkan, merancang maupun membuatmodel-model pengembangan masyarakat yang sesuai keinginan mereka. Sehinggahasil akhirnya, lewat peta ini, perjuangan masyarakat dalam memperolehkembali hak atas tanah akan menguat dan pada akhirnya cita-cita rakyat dapatterwujud.

Pilihan menggunakan PP sebagai alat bantu perjuangan petani dalampenyelesaian konflik agraria disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, alatperjuangan yang telah diterapkan selama ini yaitu penyadaran, penguatanorganisasi tingkat lokal dan membangun jejaring hingga tingkat nasionalternyata kurang mencukupi saat perjuangan memasuki tahapan birokrasi. Kedua,berkenaan dengan sistem hukum positif Indonesia, yang masih kental denganpengaruh hukum kolonial peninggalan Belanda, selalu mengutamakan bukti-bukti tertulis dalam memutuskan suatu perkara bila dibandingkan dengansumber bukti yang lain. Ini tidak adil untuk masyarakat awam, karena banyaktempat di Indonesia yang sejak jaman penjajahan sampai sekarang tidak bisamengakses layanan administrasi negara. Pada beberapa kasus sengketa agrariadi Jember, ada masyarakat yang bisa menunjukkan surat pipil pajak pemerintah(letter C dan petok D) bahkan ada yang bisa menunjukkan peta kerawangandesa31. Tetapi semua hal tersebut diabaikan oleh pihak-pihak berwenang (BPNdan institusi Pengadilan) yang tetap mendasarkan keputusannya denganmenggunakan peta peninggalan Belanda, sehingga argumen dan data-data yangdiajukan rakyat ini gugur dan “batal demi hukum”.

Menyadari kenyataan ini, perjuangan masyarakat dalam sengketa agraria diJember haruslah ditambah dengan kemampuan dan pemahaman tek-nispemetaan; tetapi juga menyadari bahwa ilmu pemetaan memiliki dua sisi, baikdan buruk. Berbagai tahapan persiapan telah dilalui dalam rangka mulaimengadopsi PP. Dari diskusi mendalam yang telah dilaksanakan, ada beberapa

114

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

hal yang harus diperhatikan bersama. Pertama , sebagai anak kandungmodernitas pengetahuan pemetaan membawa sifat penguasaan dan hegemoni.Kedua, karena peta akan memuat informasi detail tentang wilayah yangdipetakan – baik kondisi fisik, sosial, maupun penguasaan pihak-pihak terhadapsumber-sumber agraria – maka apabila peta dan informasi yang dihasilkan initidak dikelola dengan baik, akan dapat menjadi persoalan serius di masa depan.Ketiga, kegiatan PP akan menyita sumber daya kelompok petani baik waktu,tenaga maupun biaya yang besar. Karena itu penyelenggaraan PP harusdipersiapkan dengan matang dan penuh perhitungan. Keempat, adalah perlunyaterus mengecek kembali lan-dasan berpikir mengapa organisasi tani lokal (OTL)harus melakukan PP. Hal ini berguna untuk mengurangi disorientasi akan tujuankegiatan PP.

Inilah beberapa pra kondisi yang menjadi bahan diskusi sehari-hari sertamendalam antara OTL dan LSDP SD INPERS. Diskusi ini terus dilakukan sebagaipenghitungan kembali untung rugi melaksanakan PP. Setelah dirasa cukup, PPdi Jember pertama kali dilaksanakan di Desa Curahnongko. PP di Curahnongko- Serikat Petani Perjuangan Curahnongko (SIPER) menjadi tuan rumah danpenyelenggara - dilaksanakan pada tahun 2004. PP berikutnya diselenggarakandi Desa Nogosari pada tahun 2005. PP di Desa Pakis (Ketajek), yang jugamengalami sengketa agraria, terpaksa belum bisa dilaksanakan; terdapatbeberapa hal teknis yang belum siap. Tetapi Kelompok Perjuangan Tanah Ketajek(KOMPAK) dan Rengganis, sebagai OTL yang bekerja di wilayah Ketajek,menyatakan sangat antusias dan siap menyelenggarakan PP. Kedua OTL inimemiliki isu konflik agraria yang berbeda; KOMPAK sedang menyelesaikankonflik agraria dengan PDP, sedangkan anggota Rengganis menghadapi sengketalahan kelola kehutanan.

PEMETAAN PARTISIPATIF DAN PENYELESAIAN SENGKETA AGRARIA: TIGA CONTOH KASUS

Kasus Curahnongko

Empat tahun setelah diselenggarakannya PP di Desa Curahnongko KecamatanTempurejo Kabupaten Jember Jawa Timur. Kegiatan yang diselenggarakan olehSIPER, JKPP dan LSDP SD INPRES Jember, menghasilkan beberapa tema peta dansedang dalam proses penyelesaian digitalisasi spasial. Proses pengukuran,pemetaan dan pembuatan peta secara rincik (pembuatan peta persil) juga tengahdiselenggarakan di lapangan sebagai tindak lanjut lebih detail dari PP yangdilaksanakan pada tahun 2004. Bisa terselenggaranya PP sampai dengan prosesdigitalisasi, saat ini, dapat dikatakan sebagai sebuah anugerah yang tidakterhingga. Proses ini sangat luar biasa karena penyelenggaraan PP pada tahun

115

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

2004 di Curahnongko itu, sesungguhnya, pada saat yang kritis untuk SIPER;mengingat silang sengketa, baik vertikal maupun horisontal, yang berat padasaat itu bisa memupuskan harapan mas yarakat. Proses perjuangan petani diCurahnongko untuk mendapatkan haknya kembali atas tanah – termasukmenggunakan PP sebagai media perjuangan – merupakan proses yang penuhliku-liku.

Pembentukan SIPER dilandasi oleh kenyataan bahwa sebagai petani, merekaadalah orang asing di tempat sendiri. Sebab, tanah sebagai tempat bekerjasekaligus pengukuhan jati diri bukan milik mereka. Anggota SIPER terdiri darikorban-korban pengusiran dari lahan garapan rakyat tahun 1966, tuna kismadan buruh tani. Berangkat dar i kesadaran ini maka sejumlah petani bersetujumendirikan OTL SIPER pada tahun 1998. Kemudian pada tahun itu pula, SIPER diakte notariskan di Jember oleh Kantor Notaris Is Hariyanto, SH.

Pada tahun 1999 petani Curahnongko melakukan reklaiming tanah yang dikuasaioleh PTPN XII Jawa Timur UUS Kali Sanen Jember seluas 125 Ha. Luasan iniadalah bagian dari tanah seluas sekitar 360 hektar milik masyarakat yangdiambil paksa oleh PTPN XII — dahulu PTP XXVI — setelah huru hara politik1965. Rakyat yang bertempat tinggal di tiga dusun (Pondok Suto, Wonoasri,Wonowiri) di bawah ancaman senjata dan buldoser pegawai PTP XXVI sertaaparat keamanan, dengan berat hati, membiarkan tanah mereka berpindahpemilik. Salah seorang saksi pengusiran itu ialah Karsiyah atau Bu Alan (60-an

116

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tahun). Menurut tuturan beliau, sampai saat ini dirinya masih sakit hati bilamengingat peristiwa itu. Teringat robohnya pokok-pokok kelapa miliknyaditerjang buldoser di lahan pemberian ked ua orang tuanya di Dusun PondokSuto. Tengah hamil muda, Karsiyah pun terpaksa numpang karang 9 di rumahsaudaranya sampai anaknya lahir. Oleh sebab itu, mendengar bahwa masyarakatCurahnongko mendirikan organisasi yang memperjuangkan pengembalian hakatas tanah, Bu Alan pun menjadi anggota SIPER yang setia dan gigih.

Upaya perubahan, di manapun, akan selalu mendapat tentangan dan hambatan.Perjuangan SIPER untuk mewujudkan cita-citanya juga tidak lepas dari berbagairintangan. Sejak SIPER resmi terbentuk teror setiap saat menghampiri pengurusmaupun petani yang menjadi anggota SIPER. Ancaman non fisik sampai ancamanpembunuhan adalah kebiasaan baru yang dilancarkan oleh musuh-musuh SIPER,yaitu kumpulan orang dan preman yang disewa pihak PTPN XII. Kelompokpenentang ini ternyata bukanlah orang lain bagi sebagian pengurus dan anggota.Dalam arti masih ada hubungan saudara antara mereka dengan beberapaanggota SIPR. Kelompok penentang, kebanyakan, adalah tuan tanah sertajuragan hasil bumi di Curahnongko. Teror yang tanpa putus ini seakanmemperoleh momentum karena pada tahun 2006 SIPER mendapat cobaan.Pengurus SIPER dituduh oleh kelompok penentang melakukan penipuan terhadapanggota bahwa terjadi penyimpangan iuran uang yang menjadi kesepakatanorganisasi. Menjadi keprihatinan bersama, bahwa ternyata yang melaporkanhal ini adalah anggota SIPER sendiri yang masih belum kuat landasankeyakinannya. Tuduhannya ialah iuran kelompok untuk biaya organisasidibelokkan menjadi biaya mendapat hak atas tanah (sertifi kat). Isi tuduhanyang sangat dipaksakan dan dibuat-buat ini akhirnya membawa pengurus SIPERmenghuni tahanan dalam waktu cukup lama.

Setelah berjuang lewat jalur pengadilan selama 1 tahun lebih, akhirnya padabulan Juni 2007 satu tonggak kemenangan petani lahir. Pengadilan negeri Jembermemutuskan bebas murni tanpa syarat apapun terhadap pengurus SIPER.“Revolusi (baca: perjuangan, pen) bukanlah jamuan makan siang gratis”,demikian ungkapan Mao Tze Tung yang cukup populer. Selama satu tahun prosespengadilan telah menyerap tenaga dan pikiran para anggota SIPER, baik mate-rial (fisik, biaya, waktu dan lain-lain) maupun immaterial (psikologi, hubungansosial dan lain-lain). Tetapi, jamuan makan tetaplah sebuah jamuan berikutsekian kerugian dan keuntungannya. Memang energi SIPER telah terkuras, tetapiSIPER, terutama anggotanya, memperoleh pelajaran sangat berharga yaitukeberanian, kepercayaan diri dan kemandirian menyelesaikan permasalahan.

Dampak yang terlihat jelas ialah, kepercayaan diri, kemandirian maupunkeberanian pengurus serta anggota mencapai kulminasi. Banyak temuan

117

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

lapangan menyatakan hal tersebut semisal ungkapan: “ kemiskinan bukanlahtakdir dan hal ini bisa diubah” atau “sekarang saya tak takut lagi menghadapipolisi, camat, desa dan yang lainnya bila saya benar ”, serta masih banyakungkapan lain yang menunjukkan mekarnya mental positif ini. Bahkan beberapasaat lalu, ketika melakukan diskusi kelompok terfokus (FGD ) guna refleksipelaksanaan PP di Curahnongko, tim pemetaan Curahnongko menceritakan saat-saat pertama kali melakukan PP dengan perasaan tenang. Dalam pertemuanitu, tim pemetaan menuturkan secara terus terang bahwa perasaan merekacampur aduk antara takut dan khawatir saat melakukan pemetaan pertamakali. Bahkan karena keadaan keamanan yang tak memungkinkan, yaitu terjadinyapenghadangan di lapangan oleh preman, anggota tim pemetaan pertama tersebutmenalikan tali ukur ke pangkal kaki dan menariknya setiap kali melakukanpengukuran. Atau cerita lain di mana tim pemetaan menggunakan bermacamkode tertentu; salah satunya dengan menggunakan suara hewan agar tidakdiketahui oleh musuh.

Tetapi semua hal itu menjadi pengalaman bersama yang bisa diambil hikmahnya.Setelah proses PP ini sampai pada tahap digitalisasi, maka langkah berikutnyasegera dijalankan organisasi. Peta ini kemudian digunakan untuk tindakan keluar maupun ke dalam oleh pengurus SIPER. Ke luar, memperkuat pembelaanterhadap anggota dan menaikkan tenaga perjuangan serta kemandirian petaniCurahnongko kepada semua pihak yang berkepentingan. Ke dalam, peta tersebutdipakai SIPER untuk lebih fokus membenahi organisasi dalam menertibkankeanggotaan. Kemudian peta digunakan menata kembali peruntukan tanah sertasumber daya agraria lainnya dengan mengutamakan kepentingan korbanpengusiran 1966, tuna kisma dan buruh tani. Demikian juga peta hasil PP initelah dipakai oleh SIPER meningkatkan nilai tawar kepada BPN mengenai statusHGU PTPN XII UUS Kalisanen. Kepala BPN Pusat bahkan telah berkunjung keCurahnongko dan mendengarkan langsung dari petani Curahnongko tentangsengketa agraria yang dialami.

Melalui kegiatan PP pertama pada tahun 2004 diketahui bahwa ada kelebihantanah seluas + 25 hektar yang selama ini dikuasai PTPN dan tidak pernahdilaporkan kepada BPN maupun pihak-pihak yang berkepentingan lain.Sementara tanah tersebut adalah juga bagian dari HGU PTPN XII UUS Kalisanenyang seharusnya memberikan pajak pendapatan kepada negara. Dengan tidaktercatatnya tanah ini, dimungkinkan telah terjadi penyimpangan oleh PTPN inikepada negara. Melalui temuan ini maka SIPER bisa melakukan proses negoisasiserta proses administrasi yang lebih maju dibandingkan wilayah yang lain.Dengan kemajuan ini pula maka tahun 2006 kepala BPN Pusat, Joyo Winoto,berkesempatan menghadiri serta bertatap muka dengan petani di DesaCurahnongko, petani yang mengalami konflik agraria se-Jember, dan perwakilanpetani seluruh Jawa Timur.

118

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Tetapi, kadang-kadang, tidaklah mudah menyamakan harapan antara pihak yangmengenalkan PP dengan masyarakat yang menyelenggarakan PP. Dalam sebuahFGD sebagai evaluasi penyelenggaraan PP, para petani Curahnongko masihmemahami bahwa PP yang telah dilakukan Curahnongko adalah untukmemastikan hak atas tanah (sertifika si tanah). Padahal sertifikasi tanahbukanlah satu-satunya pilihan untuk sebuah kepastian hak; bahkan, sertifikasitanah bisa menjadi boomerang perjuangan para petani di kemudian hari. Inijuga bisa diinterpretasikan, bahwa harapan petani terhadap PP sangatlah tinggidan progresif. Akan tetapi, harus diakui, bahwa mewujudkan harapan inibukanlah mudah; para penggiat PP harus terus mencoba tindak lanjut PPsehingga benar-benar mendukung penyelesaian sengketa agraria.

Kasus Pakis

Berikut ini adalah cerita tentang perjalanan advokasi sengketa agraria di DesaPakis Kecamatan Ketajek Kab. Jember. Di sekitar Desa Pakis terdapat arealperkebunan yang dulunya merupakan erfpacht NV. LMODTD (verponding nomor2712 dan 2713) yang luasnya 478 hektar. Areal ini kemudian ditetapkan menjadiobyek landreform pada tahun 1964, berdasarkan SK. Menteri Pertanian danAgraria nomor 50/KA/64. Surat keputusan ini kemudian ditindaklanjuti oleh SK.Kepala Kantor Inspeksi Agraria Jawa Timur No. 1/Agr/6/XI/122/HM/III/1964tentang redistribusi lahan bagi 803 warga.

Akan tetapi, secara sepihak, pemerintah tidak melaksanakan program landreformitu dan bahkan sejak tahun 1972 areal ini dijadikan Perkebunan Ketajek I danKetajek II yang dikelola oleh perusahaan daerah perkebunan (PDP), badan usahamilik Pemerintah Daerah (Pemda) Jember. PDP bahkan memperluas wilayahkelolanya dengan “menggusur” lahan pertanian masyarakat seluas 710 hektarpada tahun 1973; PDP secara paksa memberikan ganti rugi tanam tumbuh kopirakyat dengan harga yang rendah, sementara itu tanah yang dibuka masyarakatini tidak diberikan ganti rugi. Masyarakat yang menolak proses ganti rugi yangtidak adil diintimidasi, bahkan sebagian ditahan di Kepolisian Resort (Polsek)Kec. Panti. Beberapa orang masyarakat yang ditahan dalam kasus ini, menurutkesaksian masyarakat, antara lain: Darsimun, Midin, Djumarto, Pak Tatik, Tori,Sardji, Atmodjo, Suroso, Suman, Miskari, Ngatemin, Wakimin, dan lain-lain.Proses represi terhadap warga penggarap di sekitar Desa Pakis, waktu itu,berlanjut dengan perampasan segala surat bukti milik/garap atas tanah (petok,surat pajak, dan lain-lain) milik warga. PDP bahkan mendapatkan SK MendagriNo. 12/HGU/DA/1974 untuk legalitas pengelolaan perkebunan di Ketajek.Masyarakat penggarap areal ini merasa diperlakukan tidak adil dan terusmemperjuangkan haknya atas tanah-tanah garapan yang dirampas oleh PDP.

119

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Perjuangan masyarakat Ketajek, saat ini, diteruskan melalui pembentukan OTLKOMPAK. Tuntutan mereka adalah kembalinya hak atas tanah-tanah Ketajekyang menjadi garapan mereka dulu, dan menata ulang kembali sumber dayaagraria agar kemiskinan terutama di Desa Pakis dan sekitarnya bisa berkurang.Dalam perbincangan dengan LSDP SD INPRES, OTL KOMPAK setuju untuk tidakmembubarkan PDP bila nantinya tanah-tanah Ketajek dikembalikan lagi kepadarakyat. PDP akan dijadikan mitra strategis dalam mengembangkan kopi, di manamasyarakat sebagai produsen dan PDP dengan kemampuan teknisnya dapatmenjadi penyedia pasar maupun penjaga mutu. Hal ini didasari dari kenyataa nbahwa PDP adalah aset Kabupaten Jember, dan sebagai warga Jember KOMPAKjuga ingin berkontribusi lebih besar terhadap daerahnya.

Di tempat ini juga, sejak tahun 1998, terjadi sengketa antara petani dan pengelolakawasan hutan (Perhutani). Euforia Reformasi yang dimulai sejak jatuhnyarejim Soeharto pada 1998 ternyata bergema cukup kuat di Jember. Reformasiditerjemahkan oleh masyarakat sebagai kebebasan bertindak, artinya semuatindakan ’serba boleh dan bebas ’. Bagi masyarakat sekitar hutan di Jember,masa-masa itu diingat sebagai demam membabat hutan tanpa halangan. Halini juga menimpa hutan lereng selatan Hyang Argopuro. Kawasan hutan diwilayah ini menjadi rusak akibat praktek euforia Reformasi yang salah. Padahal,selain sebagai kawasan hutan produksi, sebagian kawasan hutan telahditetapkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Ketetapan Menteri Pertaniandan Agraria nomor : SK/12/PA/1962 dengan luas keseluruhan 14.177 ha.Ditengarai bahwa aksi perambahan dan perusakan ini didukung oleh oknum-oknum aparat yang berwenang sendiri (Perhutani, kepolisian, maupun lembagayang berkepentingan dengan hutan).

Menyadari keadaan tersebut, warga berinisiatif membentuk kelompok yangbertekad menjaga kelestarian hutan. Langkah yang ditempuh adalahmenghijaukan kembali hutan yang rusak tersebut dalam satu wadah organisasipetani hutan. Kemudian berdirilah OTL Rengganis pada tahun 2004. OTLRengganis memiliki visi mewujudkan kelestarian hutan dan membentuk rimbasebagai hutan yang berdampak sosial. Dengan menggarap tetelan (lahan bukaanhutan), masyarakat sekitar hutan lereng selatan Hyang Argopuro berharap bisamengurangi kemiskinan yang telah membelit. Pengelolaan hutan selama ini –Perhutani yang berwenang — tidak memberikan manfaat yang nyata terhadapekonomi masyarakat sekitar hutan.

Sejak tahun 2005, kelompok tani Rengganis bekerja sama dengan Perhutani danmembentuk kerjasama dalam wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).Menurut pengurus OTL Rengganis, keputusan membentuk LMDH adalah langkahtaktis strategis menanggulangi kemiskinan sekaligus ikut melestarikan hutan.OTL Rengganis tidak hanya ikut pola pikir Perhutani lewat model Pengelolaan

120

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). OTL Rengganis memiliki konsep pengelolaanhutan sendiri yaitu hutan sebagai rimba sosial. Konsep hutan sosial dalampandangan OTL Rengganis merupakan cara yang tepat dalam mengurangikemiskinan dan sekaligus melestarikan hutan. Karena konsep ini tumbuh darikesadaran masyarakat sendiri; bukan dipaksa dari atas.

Dua OTL di Desa Pakis ini, KOMPAK dan Rengganis, telah melakukan kerjasamadalam melakukan berbagai macam kerja-kerja organisasi. Sejak terusir darilahan garapannya yang dijadikan Perkebunan Ketajek I dan II, para petaniterpaksa ikut membuka lahan dan menanam kopi, vanili, durian serta bermacam-macam tanaman keras yang menghasilkan di hutan. Jadi secara tidak langsunganggota KOMPAK juga adalah anggota Rengganis. Oleh karena itu kerjasamaantar lembaga diperlukan agar supaya tidak terjadi kesimpangsiuran. Kerjasamaini meliputi melakukan pendataan jumlah anggota, memetakan luas wilayahgarapan, menginventarisasi jumlah tanaman sekaligus memperkirakan jumlahproduksi. Kemudian sama-sama melakukan advokasi bila ada salah satuanggota yang mengalami masalah terutama dengan Perhutani dan memberikandukungan semangat bila masuk urusan Ketajek. kedua OTL Desa Pakis ini belummelakukan PP, tetapi keduanya sudah memiliki data-data mengenai jangkauanwilayah kerja masing-masing dan tinggal menunggu kesiapan secara organisasiuntuk melaksanakan PP.

Kasus Nogosari

Nogosari adalah nama sebuah desa di Kecamatan Rambipuji Kab. Jember. NV.Tabak Maatschappij Goemelar, sebuah perusahaan perkebunan tembakau,mendapatkan erfpacht dari Pemerintah Belanda untuk mengelola lahan – yangkemudian menjadi Desa Nogosari — yang berlaku mulai 1891 ini dan berakhir1966. Tetapi dalam perjalanannya, hak erfpacht ini mengalami “pindah tangan”sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1914, 1916 dan 1927. Seperti perusahaanpartikelir lainnya yang harus meninggalkan Indonesia karena Hindia Belandakalah perang melawan Jepang, NV. Handels Vereniging Amsterdam (pengelolaterakhir perkebunan di Nogosari) juga meninggalkan tanah ini, dan kemudianperkebunan ini menjadi kebun tak bertuan .

Seperti tempat-tempat lain, petani, bekas buruh dan masyarakat sekitar jugamenggarap perkebunan di Nogosari ini selama bertahun-tahun. BerdasarkanUU No. 86/1958 yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 19/1959 tentangNasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda, lahan perkebunan diNogosari kemudian menjadi hak guna usaha (HGU) PTP. XXIV-XXV (Persero) —saat ini PTPN. XI. PTPN. XI lebih dikenal masyarakat dengan Pabrik Gula (PG)Semboro. Keberadaan PG. Semboro ini kemudian digugat oleh warga Nogosari,karena masyarakat mengganggap bahwa leluhur mereka telah menempati tanah

121

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

tersebut sejak tahun 1916. Leluhur masyarakat Nogosari lah yang telah membukahutan dan mengusahakan tanah ini menjadi permukiman.

Menanggapi gugatan masyarakat ini maka PTPN XI (PG. Semboro) melakukanupaya dialog dengan warga Nogosari yang diadakan pada tanggal 15 Mei 2000,dan bertempat di aula PG. Semboro. Dialog ini dihadiri wakil PG. Semboro,wakil Desa Nogosari, wakil BPN Jember, Kades Nogosari, Kapolsek Rambipujidan Tanggul, serta instansi terkait. Dalam pertemuan ini didapat beberapakesepakatan, antara lain:

a. Kedua belah pihak yang bersengketa tidak akan melakukan cara-carapenyelesaian yang bertentangan dengan hukum.

b. Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) akan melakukanpenyuluhan kepada masyarakat.

c. Kedua belah pihak yang bersengketa akan mencabut plang yang telahdipasang dengan disaksikan oleh instansi terkait.

Kemudian, menindak lanjuti dialog ini segera dilakukan penelitian lapangandan administrasi oleh BPN. Penelitian ini menghasil kan data bahwa tidakditemukan tanah bekas hak milik adat ( yasan) kepunyaan warga di lokasitersebut. Hal ini termaktub dalam surat Kepala Kantor Pertanahan KabupatenJember tanggal 12-02-2004 No. 570.135.34-297. Tetapi terdapat saran untukpenyelesaian perselisihan tersebut dibawa ke lembaga peradilan. Hal iniditujukan kepada penggugat (masyarakat) dengan syarat membawa bukti kuatyang menyebutkan bahwa tanah Nogosari memang milik rakyat.

Untuk menambah media penyelesaian konflik agraria di Nogosari, maka makapetani Nogosari yang terlibat konflik ini berinisiatif menyelengarakan PP. PPtelah diselenggarakan di Desa Nogosari pada tahun 2005. Masyarakatmengukur kembali tempat-tempat peninggalan leluhur yang sekarang telah masukke dalam wilayah kelola PG. Semboro. Masyarakat menapaki kembali tempat-tempat penting yang dulunya dibuka dan dimanfaatkan oleh leluhur masyarakatNogosari. Hasil PP ini digunakan untuk lebih menguatkan organisasi danmeningkatkan keyakinan bahwa masyarakat mampu dan bisa me ngelola tanahtersebut untuk kemandirian mereka. Habisnya HGU PG. Semboro pada tahun2007 membuat masyarakat Nogosari kian bersemangat untuk bisa memperolehhak kelola atas tanah Nogosari. OTL Nogosari telah melakukan reklaimingkedua atas tanah yang dise ngketakan pada bulan Nopember 2008.

OTL Nogosari menggunakan hasil PP untuk menertibkan organisasi, menjagasemangat perjuangan, dan mempersiapkan kegiatan reklaiming yang kedua –reklaiming tahap pertama kurang berhasil. KOMPAK dan Rengganis tertarikmenyelenggarakan PP karena melihat manfaat PP yang telah diselenggarakandi Curahnongko dan di Nogosari.

122

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

ANCANGAN KE DEPAN PENYELESAIAN KONFLIK DAN SENGKETAAGRARIA DI JEMBER

Sebagai daerah yang dari awalnya dibangun untuk “melayani” perkembanganperkebunan, maka Jember memang akan sangat rentan terhadap kesenjanganpenguasaan sumber-sumber agraria. Luas Kabupaten Jember adalah 264.968hektar; terbagi dalam 247 desa dan kelurahan, serta 31 kecamatan. Darikeseluruhan luas Jember tersebut, kurang lebih, 189.709,3 hektar atau 71,6 %merupakan tanah-tanah negara yang terbagi-bagi menjadi berbagai arealperkebunan besar dan berbagai tipologi hutan negara (hutan produksi, hutanproduksi terbatas, cagar alam, taman nasional, hutan lindung, suakamargasatwa) 32 . Berbagai tanah negara ini dikelola oleh beberapa pihak:berbagai perusahaan perkebunan besar, Perhutani (mengelola hutan produksidan hutan lindung), atau langsung dikelola oleh pemerintah (suaka margasatwa,cagar alam dan taman nasional). Jadi, di Jember, wilayah yang diduduki dandikelola masyarakat kurang dari 30% dari total luas wilayah. Jelas hal inimerupakan ketimpangan yang sangat mencolok dan rentan terjadinya konflik-konflik agraria. Fakta-fakta lapangan menunjukkan bahwa kantong-kantongkemiskinan di Jember justru berada di sekitar tanah-tanah negara itu.

Berbagai sengketa agraria yang terjadi di Jember merupakan puncak dari upayasistematis menancapkan idiologi modernisme yang telah dilakukan sejakpertengahan abad XIX. Sejak tanah Jenggawah diubah Birnie menjadi kebuntembakau - pengelo-laannya mengguna-kan teknik moderen - maka sejak saatitu daerah pedalaman bagian timur Pulau Jawa ini telah menga-lami apa yangdisebut Kuntowidjoyo seba-gai “monetisasi desa” (penyusupan uang ke desa) 33.Akibat yang terlihat dari peruba-han ini ialah tanah-tanah serta hasil kerjamereka dapat “dinilai” dan “diganti” dengan alat tukar yang baru, yaitu uang.Hal inilah kemudian mengubah semua tata produksi di desa maupun hubunganantar manusia serta alam sekitarnya. Penyusupan uang ke desa selainmenggoncang tatanan penguasaan kuno, juga membawa sistem penguasaanmodel baru. Penguasaan model baru ini berlandasan pola pikir modern yangpenuh perhitungan, jelas, terorganisasi, terukur, memiliki tujuan, menguasaidan lain-lain. Sehingga tidak heran, sistem penguasaan model baru secepatkilat menguasai sumber daya agraria di nusantara.

Kemiskinan yang membelit sebagian besar perdesaan ternyata merupakankemiskinan struktural, tak terkecuali di Jember. Dengan jumlah petani guremdan jumlah buruh tani yang besar maka sangat sulit mengharapkan berbagaiperdesaan ini bisa lepas dari jerat kemiskinan, baik generasi sekarang maupunpara generasi yang akan datang. Kondisi riil kemiskinan di perdesaan ini –dengan aksesibilitas ekonomi yang sangat terbatas – akan diwariskan kemudian

123

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

ke anak cucunya nanti. Dengan kondisinya yang miskin, para kepala keluargaakan sulit memberikan pendidikan layak kepada anaknya, memberikan fasilitastempat tinggal yang layak, memberikan fasilitas kesehatan yang layak, sertahampir tidak mungkin memberikan dorongan untuk mendapatkan kualitas hidupyang lebih baik.

Menjadi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri (TKI), saat ini,merupakan alternatif perbaikan nasib bagi keluarga-keluarga petani diperdesaan, termasuk di Kabupaten Jember. Tetapi ini merupakan fenomenasementara dan semu. Tidak masuk akal mengharapkan perbaikan nasibpenduduk perdesaan hanya dari “devisa” para TKI. Ini juga merupakan bentukkebijakan pemerintah yang “lepas tanggung jawab” terhadap nasib dankesejahteraan warganya. Rendahnya tingkat pendidikan para TKI menyebabkanrendahnya jenis pekerjaan yang bisa didapatkan oleh para TKI. Pemerintahternyata juga setengah hati mendukung keberadaan para TKI ini. Sangat banyakpelanggaran-pelanggaran dan perlakuan semena-mena dialami oleh para TKI,baik dalam proses pemberangkatan maupun setelah bekerja di negeri orang.

Paparan di atas semuanya terbaca suram serta begitu gelap guna mengarungimasa depan dan hal ini tidak bisa dipungkiri oleh penulis. Pertanyaannyakemudian: “masih adakah cahaya terang yang menanti di ujung sana?”. Setelahdiskusi mendalam serta terus setia menemani petani yang sedang mengalamisengketa agraria di Jember selama 10 tahun, LSDP SD INPERS sadar bahwa untukmengakhiri kekalahan struktural ini ialah langsung memotong inti masalahnya.Masalahnya, mesin kolonialisme dan kapitalisme justru menyerang langsungdi pusatnya, yaitu desa. Kekuatan ini mampu mengkerdilkan dan menghancurkansemua tenaga kreatif desa. Tatanan produksi — dalam arti luas — telah diubahbesar-besaran dengan hanya menonjolkan sisi ekonomi saja dan meninggalkansisi sosial (hubungan antara sesama manusia dan alam lingkungannya). Olehsebab itu, tatanan produksi saat ini harus diubah drastis dan segera dibuatpeta jalan (road map) guna menghidupkan lagi kemandirian di desa. “Peta jalan”itu oleh LSDP SD INPERS disebut Reforma Pedesaan yaitu di mana tata kuasa,tata guna lahan dan tata produksi dibentuk ulang dengan peran serta masyarakatyang lebih besar dan terorganisasi.

Hadirnya wacana PP — yang semoga bisa menjadi gerakan yang sesungguhnya— adalah sebuah ikhtiar dalam menata kembali penggunaan serta penguasansumber-sumber agraria yang selama ini hanya milik sekelompok kecilmasyarakat saja. Harapan untuk bisa menghadirkan ilmu pemetaan yang lebihmemihak kepada mayoritas petani ini sejalan dengan keinginan mewujudkanReforma Pedesaan. Melalui peta yang didesain, dirancang dan digunakan olehmasyarakat akan makin mendekatkan kepada tujuan akhir yaitu rakyat mandirimenentukan nasibnya dan kuasa dalam penggunaan sumber daya agraria.

124

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Menata ulang kepemilikan ruang serta sumber daya agraria yang lain harusmenjadi tujuan penyelesaian konflik dan sengketa agraria di seluruh Indone-sia, termasuk juga di Jember. Bila selama ini pengaturan pemanfaatan ruanglebih berpihak kepada kepentingan kapital dan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka ke depan semangat pemerataan dan kemakmuran bersamamenjadi kata kuncinya.

Kemudian, untuk menjaga agar tidak tumbuh lagi kelas penindas baru dikalangan masyarakat, organisasi rakyat yang kuat, disiplin dan mandiri sangatdiperlukan. Mengapa sangat dibutuhkan organisasi rakyat yang kuat, hal iniberkaca dari temuan lapang di Curahnongko. Setelah selesai melakukan PP,diketahui ada beberapa orang anggota SIPER yang ternyata merupakan tuantanah. Sempat terjadi tarik ulur kepentingan antara para “tuan tanah” lama inidengan anggota SIPER yang lain. Akhirnya melalui persetujuan organisasidisepakati bahwa tidak ada anggota yang secara pribadi boleh memiliki tanahdi atas 2 hektar. Pembagian tanah adalah mendahulukan janda, tuna kisma,korban penggusuran 1966, dan buruh tani. Masing-masing disepakati akanmendapat 1/8 hektar (1.250 m 2). Model ini memang masih menyisakan sekiankekurangan. Tetapi keinginan untuk membangun masyarakat dengan bingkaisosial yang lebih kuat sudah tertera dengan jelas. Kenyataan yang ditemui diCurahnongko akhir-akhir ini, untuk urusan makan “sehari tiga kali” sudah bukanhalangan lagi. Dari penggunaan lahan reklaiming, berbagai komoditi pertanianseperti kacang tanah, tembakau, singkong, pisang dan kelapa merupakan sumberpendapatan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari bahkan beberapa di antaramereka sudah mampu menabung.

Kemudian dalam pandanganLSDP SD INPERS masih ada satuhal lagi yang perlu ditataulang. Yaitu harus dicapai satupengertian baru terutamadalam pemahaman agamamengenai kemiskinan. Peneka-nannya adalah bahwa kemis-kinan bukan semuanya “biki-nan langit”. Hal tersebut men-jadi penting untuk didedahkan.Sebab, seringkali masyarakatumum, teru-tama masyarakatJember yang dikenal cukupagamis, menyandarkan bahwakemiskinan, kebodohan dankekalahan nasib mereka

125

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

sudah kepastian yang “di atas dan sudah takdir”. Takdir seringkali dianggapsebagai hal yang “gaib” dan “tak boleh disentuh”. Bahkan ada ungkapan yanglazim dipakai: “biarlah miskindi sini (bumi), tapi kita nanti pasti punya istanadi sana (sorga)”. Celakanya lagi, kekuasaan model kuno juga bermain-main diwilayah pemahaman ini. Salah satunya adalah dengan menggunakan simbol-simbol yang terus mengkaitkan dengan kekuatan adi kodrati 13. Padahal melaluitafsir-tafsir terkini (baca = sesuai konteks) serta pembacaan yang lebih kritis,diketahui bahwa kemiskinan ternyata lebih banyak merupakan bikinan manusia.Dan ini berarti, kemiskinan, dalam arti fisik, bisa dirubah, dikurangi bahkankemungkinan dapat dihilangkan.

Tidak ada yang benar-benar baru di bawah langit. Sebagai sebuah peta jalanpenyelesaian konflik dan sengketa agraria, Reforma Pedesaan memang masihterlihat “kasar”, “kurang tertata rapi”,”masih melangit” dan sepertinya belumada langkah teknis praktis. Oleh karena itu peran serta berbagai pihak terutamayang berkecimpung dalam kegiatan pengorganisasian masyarakat dan pemerhatipenataan ruang yang lebih berkeadilan sangat dibutuhkan. Sebab sepertikeyakinan penulis, mustahil ada sistem yang benar-benar tertutup dari pengaruhluar. Yang jamak terjadi ialah sebuah sistem saling dipengaruhi mempengaruhidan berjalan bolak-balik antara keduanya. Demikianlah sebagai sebuah usulan,Reforma Pedesaan sangat layak dan sangat terbuka untuk perbaikan dalammengawal perubahan.

PENUTUP

Penyelesaian berbagai sengketa agraria, khususnya di Kabupaten Jember,merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pada masa mendatang.PP diharapkan bisa menjadi pendukung penyelesaian berbagai sengketa agrariaini. Tulisan ini memiliki beberapa benang merah yang perlu disimak. Pertama,sampai hari ini nasib kaum petani dan mayoritas rakyat pada umumnya tidakpernah lepas sebagai bagian terbesar dan terbawah piramida korbankemanusiaan. Kaum petani serta mayoritas rakyat pada umunya selalu sajadiperas keringat dan darahnya untuk kemakmuran golongan di atasnya 34.Apakah kemiskinan sebuah takdir Tuhan atau hanya buah konspirasi busukbermacam kepentingan lapisan elit? Perlu ketekunan yang panjang untukmenyingkap misteri kemiskinan.

Kedua, semangat kolonialisme yang berkait kelindan dengan sistem kapitalismetelah menghancurkan semua daya kreatif desa dan perdesaan. Sejalan denganhal ini - serta adanya suatu alasan kuat, pandangan filosofis, ideologis,ditambah dengan hasil dialektika mendalam dengan petani - kami (LSDP SDINPERS) berniat mengembalikan fungsi dan meninggikan harkat desa sebagaipenghela sejarah.

126

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Ketiga, PP harus berubah dan berwujud menjadi gerakan, serta tak berhentihanya sebagai wacana saja. PP bisa menjadi ikhtiar dalam menata ketimpanganpenggunaan serta penguasan sumber-sumber agraria yang tidak adil selamaini. Peranan PP dalam penyelesaian konflik dan sengketa agraria di Jemberadalah sebagai “penjaga” agar semangat perjuangan tersebut terus menyala.Dengan memiliki kemampuan mengenali kembali lingkungannya, menceritakanserta dapat menerakan diatas peta, perjuangan saudara-saudara petanidimanapun, termasuk di Jember, bisa lebih maju.

Keempat, Tidaklah mudah mewujudkan benar-benar harapan petani terhadapPP. Pada umumnya, harapan petani terhadap PP sangatlah tinggi dalampenyelesaian sengketa agraria. Akan tetapi, kenyataannya, dukungan PP terhadappenyelesaian sengketa agraria tidaklah sebesar harapan petani. PP harus terusdicoba dalam berbagai penyelesaian sengketa agraria, sehingga bisa menjadisumber legitimasi baru dalam penyelesaian sengketa agraria.

Kelima, OTL yang kuat, mandiri, tertib administrasi dan dilengkapi kemampuanteknis adalah langkah penting guna mewujudkan cita-cita membentuk tata ruangdan kehidupan yang lebih berkeadilan. Pengurus Serikat Petani Perjuangan(SIPER) Curahnongko divonis bebas tak bersyarat pada tahun 2007 karenaanggota SIPER bisa menunjukkan kartu tanda anggota (KTA) dan pembukuankeuangan yang tertib. Kelompok Petani Perjuangan Ketajek (KOMPAK) mampumenaikkan nilai tawar dengan pihak-pihak luar disebabkan karena rapinyacatatan surat keluar masuk lembaga.

Kesabaran yang revolusioner sangat diperlukan untuk mewujudkanpenyelesaian sengketa agraria. Dengan terus memperbaharui diri, menguatkanbasis, memperkuat dan memperluas jejaring, serta tidak kenal lelah belajarhal-hal baru adalah sikap revolusioner yang sebenarnya. PP bisa menjadi salahsatu media untuk menumbuhkan sikap-sikap tersebut. Dengan mengusungsemangat membangun penataan ruang yang berkeadilan, PP dapat menjadipanduan dalam menyelesaikan sengketa dan konflik keruangan di negeri ini.Sebuah harapan yang melambung memang, tetapi bukan sebuah hal yang tidakmungkin.

127

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

KAMPUNG CILADU-CIAWI DAN PROBLEMATIKANYA

Kampung Ciladu-Ciawi — salah satu dusun di Desa Mekarsari – termasuk wilayahKabupaten Lebak Provinsi Banten. Komunitas ini merupakan masyarakat adatyang secara geografis berada di dalam kawasan sekumpulan perbukitan dangunung-gunung yang lebih populer disebut Kawasan Gunung Halimun. Kawasanini merupakan salah satu hutan hujan tropis yang kaya akan sumberdaya alamdan keanekaragaman hayati. Desa Mekarsari berjarak 15 Km dari pusat ibukotaKecamatan Cibeber; sedangkan dari pusat ibukota kabupaten (Rangkas Bitung)berjarak 160 Km. Pencapaian dari pusat kec amatan sekitar 1 jam denganmenggunakan kendaraan pribadi atau 1,5 jam menggunakan kendaraan umum;meskipun angkutan umum ini terbatas hanya dari jam 06.00 sampai 13.00 WIB.Dari pusat kota kabupaten ataupun sebaliknya dapat ditempuh dengan lamaperjalanan 5-7 jam, dengan menggunakan kendaraan umum melalui pesisirKecamatan Bayah.

Luas wilayah Desa Mekarsari sekitar 3.697,9 ha, serta mempunyai jumlahpenduduk 3.075 jiwa 35. Penduduknya tersebar di delapan kampung (Ciladu, Ciawi,Lebak Larang, Ciburial, Tipar, Cibeber, Gelarsari, Babakan Cangkuang). KampungCiladu berjumlah penduduk 543 jiwa, yang terdiri atas 257 orang laki-laki dan286 perempuan; Kampung Ciawi berpenduduk 276 jiwa (169 jiwa perempuandan 107 orang laki-laki). Secara umum mata pencaharian pokok masyarakatDesa Mekarsari36 adalah bertani37 dengan sistem pertanian tradisional. Selain

PETA UNTUK KAMPUNG BARU:KASUS KAMPUNG CILADU-CIAWI - LEBAK

Oleh: Bagus Priatna

128

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

bertani di sawah dan huma (ladang), kebanyakan juga mengelola lahan kebunyang biasanya ditanami pohon kayu, pohon buah-buahan, pisang, kopi, cengkeh,palawija, dan singkong. Luas kebun campuran yang dikelola masyarakat adalah1.865 hektar. Luas kawasan hutan yang ada di Desa Mekarsari adalah 318,70ha. Hasil kebun sangat penting perannya dalam membantu keuangan masyarakatDesa Mekarsari, karena hasil yang diperoleh dari kebun dapat dijual.

Sumberdaya hutan di sekitar Desa Mekarsari cukup kaya. Akan tetapi masyarakatyang sudah menetap secara turun temurun di tempat itu hanya dapat menontonpemanfaatan sumberdaya hutan di sekitarnya. Masyarakat Desa Mekarsarimemiliki pengetahuan turun-temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alamdi sekitarnya. Seperti misalnya hutan yang berada di hulu/sirah cai (areal sekitarmata air) selalu dipertahankan keutuhannya oleh masyarakat; areal ini pentinguntuk sumber air bersih dan air untuk mengairi sawah masyarakat. Akan tetapitelah puluhan tahun berbagai sirah cai yang penting bagi masyarakat DesaMekarsari ini telah diklaim oleh Perum Perhutani — perusahaan negara yangdiberikan kuasa oleh pemerintah mengelola kawasan hutan di seluruh PulauJawa — sebagai bagian dari hutan produksi; yang pada saatnya bisa dipanenhasil kayunya. Masyarakat Mekarsari menganggap bahwa Perum Perhutaniterlalu mengutamakan kepentingan produksi kehutanan, dan kurangmemperhatikan aspek ekologi yang penting untuk masyarakat sekitar hutan.Masyarakat Mekarsari telah merasakan berkurangnya sumber air akibatkerusakan hutan. Pada tahun 1999 terjadi bencana longsor di Kampung Ciladu-Ciawi/Ciladu-Babakan (Blok Pasir Jirak) yang dihuni oleh 8 keluarga.

Masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat Mekarsari adalah mulaiterbatasnya lahan pertanian. Masyarakat Mekarsari telah diijinkan oleh PerumPerhutani untuk menggarap sebagian kawasan hutan. “Pajak garapan” yangmencapai 25% dari hasil panen sangat dirasakan memberatkan masyarakat.“Pajak” ini juga tidak jelas apakah benar-benar merupakan pungutan resmiPerum Perhutani atau hanya sekedar improvisasi petugas lapangan PerumPerhutani.

Ancaman longsor masih akan terjadi di Mekarsari pada masa mendatang. Selainitu akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk, lahan permukimandirasakan semakin kurang oleh masyarakat Mekarsari, khususnya di KampungCiladu-Ciawi. Masyarakat berinisiatif mengajukan permohonan kepada PerumPerhutani agar dialokasikan lahan untuk permukiman baru. AdministraturPerum Perhutani KPH Banten merespon permohonan masyarakat ini denganungkapan, “.....harus melalui prosedur hukum ... Di bagian permukiman manayang terkena bencana dan lokasi bagian mana yang akan dimohon jadipermukiman”. Respon Perum Perhutani ini membingungkan masyarakat, karenatidak terbayangkan bagaimana akan memenuhi “prosedur hukum” itu. Tetapi

129

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

respon ini juga berarti positf; pada prinsipnya masyarakat bisa mendapatkanalokasi lahan untuk permukiman baru. Masyarakat kemudian mengadakanpertemuan untuk mendiskusikan hasil dialog dengan Perum Perhutani itu.

Bersamaan dengan persoalan permukiman yang dihadapi masyarakat KampungCiladu-Ciawi ini, secara kebetulan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) – sebuahLSM yang berkantor di Bogor – sedang berkegiatan di Desa Mekarsari. RMImulai berkegiatan di Mekarsari sekitar tahun 1999. Fokus kegiatan RMI adalahkeprihatinan terhadap kerusakan sumberdaya hutan di sekitar Kawasan GunungHalimun. Pada awalnya RMI berkegiatan di Kampung Cihaneut; kemudian jugadilakukan di Kampung Ciburial. Masyarakat dan RMI melakukan berbagai ke-giatan diskusi tentang kerusakan sumberdaya hutan di sekitar Mekarsari. Salahsatu temuannya adalah telah dirasakan oleh masyarakat hilangnya sumbermata air yang berada di Blok Pasir Jirak, Blok Pasir Kikiping, dan Blok GunungCangkuang; semua sumber mata air ini berada di kawasan hutan yang dikelolaoleh Perum Perhutani. Persoalan kebutuhan lahan permukiman di KampungCiladu-Ciawi merupakan hal baru dan sebetulnya tidak terduga untuk RMI.

RMI, kemudian, mulai aktif berkegiatan di Kampung Ciladu-Ciawi. Mulai tumbuhkedekatan dan saling percaya antara aktivis RMI dengan masyarakat KampungCiladu-Ciawi. Aktivis RMI aktif dalam mendapatkan informasi dan menggalangberbagai diskusi mencari solusi kebutuhan tanah untuk permukiman.Masyarakat pun cukup aktif membangun dan memelihara hubungan baru ini.Para tokoh masyarakat dan kalangan anak muda menyambut baik berbagaidiskusi bersama yang diselenggarakan. Kekeringan mata air dan mengatasibencana longsor merupakan tema yang sering menjadi bahan diskusi. AktivisRMI mencoba menginformasikan tentang pentingnya PP untuk mendokumentasi-kan dan menggambarkan wilayah hidup masyarakat, serta rencana yang akandilakukan pada masa mendatang.

MENGENALKAN PEMETAAN PARTISIPATIF

Masyarakat Ciladu-Ciawi merasakan pentingnya segera merespon hasil dialogdengan Perum Perhutani perihal areal baru untuk permukiman. Masyarakatmemerlukan media untuk menunjukkan kondisi kampung mereka, pada bagianmana yang telah longsor, serta areal mana yang akan dimohonkan untukpermukiman. Peta dirasakan perlu untuk menggambarkan kondisi KampungCiladu-Ciawi. Karena itu memasukkan ide dan pentingnya PP kepada masyarakatCiladu-Ciawi, yang memang membutuhkan media ini, menjadi masuk akal.Alasan yang paling bisa dipahami oleh masyarakat dengan PP ini adalah ketikaingin menceritakan kondisi kampung dan apa yang akan direncanakan makapeta merupakan salah satu alat yang mampu akan menjelaskan. Tetapi untuk

130

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

mengajak keseluruhan masyarakat Ciladu-Ciawi memerlukan liku-liku yangcukup panjang.

Perkembangan pertemuan kampung selanjutnya sudah lebih mengarah padatema-tema PP; meskipun masih belum diterima oleh semua pihak yang ada dimasyarakat. Masyarakat Kampung Ciladu relatif menyambut positif ide tentangPP, karena masyarakat Kampung Ciladu terkena dampak langsung hilangnyamata air yang berada di kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani. Salahsatu yang dirasakan adalah keringnya lahan sawah, sebagai lahan yangberfungsi utama menopang sumber kehidupan masyarakat. Mereka segera inginmenun-jukkan dan menggambarkan berba gai mata air yang ada di Mekarsaridan mata air mana saja yang telah kering akibat rusaknya hutan.

Masyarakat Kampung Ciladu-Babakan, yang terkena dampak tanah longsor dansekaligus kekeringan mata air, pada awalnya tidak terlalu memberikan responpositif terhadap gagasan-gagasan PP. Masyarakat Ciladu Babakan belumpercaya sepenuhnya kepada RMI – yang memperkenalkan ide PP. Memangketerlibatan masyarakat Kampung Ciladu Babakan dalam beberapa pertemuantidak seintensif masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi. Akan tetapi kesadarantentang ancaman longsor pada masa mendatang yang menimpa kampung CiladuBabakan sedikit membuka pemahaman pentingnya untuk berkumpul dengankampung lainnya. Tetapi, bagaimanapun, tidaklah mudah menumbuhkankepercayaan masyarakat Ciladu Babakan. Ada ungkapan masyarakat berikut,“sing kahade bisi dibawa ka pulau kosong ” yang bermakna belum jelas akankemana arahnya.

Tidak semua masyarakat yang tinggal di Kampung Ciawi merespon gagasan PPdengan positif. Tetapi muncul individu-individu penggiat masyarakat di KampungCiawi yang aktif berdiskusi dengan masyarakat dari Kampung Ciladu yang relatiflebih positif terhadap ide PP. Diskusi-diskusi ini mampu memberikan gambarantentang bencana yang menimpa di sekitar mereka, meskipun ancaman longsordi Kampung Ciawi tidak sebesar seperti yang terjadi di Kampung Babakan Ciladudan Kampung Ciladu.

Penolakan paling keras terhadap ide PP datang dari masyarakat Kampun gCibeber. Penolakan bukan saja terhadap gagasan PP, akan tetapi juga terhadapupaya RMI masuk ke Kampung Cibeber. Kampung ini merupakan satu-satunyakampung di Desa Mekarsari yang bukan warga kasepuhan . Ungkapanmasyarakat di Desa Mekarsari terhadap kondisi ini, “ lain turunan incu-putukasepuhan” atau “teu ngolotkeun ka kasepuhan” , artinya di luar keturunan adat.Dalam berkegiatan di Mekarsari, RMI berusaha konsisten melalui pendekatanberdasarkan pemahaman dan kelembagaan adat atau kasepuhan (Ciptagelar-Sirnaresmi).

131

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pemerintah Desa Mekarsari pada waktu itu belum menunjukan respon yangpasti. PP belum menjadi agenda penting di tingkat pemerintah desa, karenadianggap tidak terkait dengan isu-isu pembangunan yang bers ifat fisik, sepertiumumnya program atau proyek pembangunan yang selama ini seringdiintroduksikan oleh pihak pemerintah daerah atau pusat. Meskipun situasinyaseperti ini, masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi tetap menjaga komunikasi denganpemerintah desa. Para penggiat masyarakat di Kampung Ciladu-Ciawi selalumenginformasikan perkembangan kampung kepada pemerintah desa.

Munculnya penolakan dari masyarakat Cibeber tidak menjadi penghalang bagimasyarakat Ciladu-Ciawi untuk menyelenggarakan PP. Apalagi para sesepuhkasepuhan sangat mendukung ide ini. Penolakan masyarakat Cibeber bukanmenjadi ancaman utama. Penolakan masyarakat Cibeber juga bisa dimaklumi,karena masyarakat yang bermukim di Kampung Cibeber tidak terancam olehbencana alam longsor yang menimpa sekitar Kampung Ciladu-Ciawi.

KAMPUNG CILADU-CIAWI MENYELENGGARAKAN PEMETAANPARTISIPATIF

Dukungan para pihak di tingkat lokal terhadap ide PP sangat beragam. Meskipundemikian masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi memutuskan untuk tetapmenyelenggarakan PP dengan alasan, “ wilayah urang di cicingan ku urang lamunteu diurus ku urang rek ku saha deui ” (kalau tidak diurus dan diusahakan olehkita siapa lagi yang akan mengurus). Ungkapan ini merupakan persepsi ataspemahaman yang berkembang di masyarakat terhadap pemetaan partisipatif;di samping alasan awal desakan alokasi pemukiman baru akibat longsor. Prosesdiskusi dan dialog masyarakat Ciladu-Ciawi dengan berbagai pihak ini –didukung RMI — dimulai pada akhir tahun 2000; bermuara pada kepastianpenyelenggaraan PP pada awal tahun 2002. Jadi selama satu tahun terjadiproses penjajakan dan membangun kepercayaan, serta mendiskusikan wacanasumberdaya alam sekitar hutan dikaitkan dengan PP.

PP merupakan aktivitas yang menggabungkan aspek filosofis keruangan dankemampuan teknis penggunaan teknis-teknis kartografi modern. Tahapan PP diKampung Ciladu-Ciawi adalah : a) penggalian pengetahuan keruangan setempat;b) pelatihan teknis PP; c) survey lapangan; d) penggambaran peta; dan e)verifikasi dan pengesahan peta. Pengembangan substansi filosofis keruanganyang dilengkapi dengan penggalian pengetahuan-pengetahuan lokal tentangkeruangan masih terus berlangsung sampai saat ini; dan tidak cukup hanyapada saat penyelenggaraan PP saja.

132

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Pada awal penyelenggaraan PP di Kampung Ciladu-Ciawi dilakukan penggalianpemahaman masyarakat terhadap pengetahuan-pengetahuan keruangan disekitarnya; di dalam proses ini termasuk juga menggali peta mental ( mentalmap), yang nantinya akan menjadi dasar dalam tahapan PP selanjutnya. Seluruhaspek kehidupan masyarakat selalu berkaitan dengan ruang di sekitarnya. Adatkasepuhan yang dianut oleh masyarakat setempat – baik kelembagaannya,berbagai aturan tentang adat, bahasa, maupun praktiknya – juga selalu berkaitandengan ruang di sekitarnya. Karena itu pengetahuan keruangan masyarakatsetempat sangatlah penting dalam penyelenggaraan PP di tempat itu. Jadi adattentu saja bukan hanya soal ritual-ritual upacara adat, tetapi juga berhubungandengan wilayah hidup, cara bercocok tanam, dan lain-lain.

Tantangan yang muncul dalam proses pengenalan teknis PP, yang merupakankelanjutan dari proses penggalian pengetahuan-pengetahuan keruangansetempat, adalah bagaimana membumikan beberapa istilah teknis kartografidasar – yang cukup rumit, penuh hitun gan-hitungan, serta banyak menggunakanbahasa asing – menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Berikutnyaadalah pemahaman teknis tentang penggunaan berbagai peralatan pemetaanseperti GPS dan kompas. Selain penggunaan alat, juga dilatihkan tentangbagaimana melakukan pencatatan dan mengorganisir data lapangan. Faseterakhir pelatihan teknis pemetaan adalah menentukan tim dan pembagian kerja;dibentuk 4 kelompok dengan rute lapangan yang berbeda. Setiap kelompokdibagi sesuai perannya masing-masing (ada yang nyacar membuka jalan; adapengambil titik koordinat dengan GPS; ada pembawa kompas; ada yang penunjukjalan; ada yang membawa perbekalan; setiap kelompok didampingi oleh satuorang aktivis RMI). Setiap kelompok terdiri dari sekitar 15 orang.

Survey lapangan berlangsung selama tiga hari, yakni pada tanggal 22 – 24Agustus 2002. Aktivis RMI dalam proses survey lapangan ini tidak terlalu banyakturun tangan, karena masyarakat Ciladu-Ciawi sendiri telah mampu melakukansurvey lapangan — menggunakan peralatan pemetaan dan melakukanpencatatan — dengan baik.

Batas wilayah adat adalah salah satu tema dari peta partisipatif yang akandibuat. Nuansa kebutuhan akan lahan sangat terlihat (kebutuhan untukpemukiman baru), termasuk mengetahui wilayah garapan masyarakat yang adadi dalam kawasan kelola PT Perum Perhutani. Pertimbangan lain yang munculberdasarkan pengetahuan masyarakat meliputi lahan calon pemukian harusmemenuhi beberapa kriteria. Kriteria itu antara lain adalah bahwa lahan itusebaiknya relatif datar, dekat dengan sumber air, mampu manampung ataumengakomodaskan fasilitas adat ( bale pertemuan), mendekati jalan yang banyakdilewati oleh masyarakat. Dengan beberapa pertimbangan tersebut diputuskan

133

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

melalui pertemuan kampung bahwa wilayah yang akan dipetakan meliputiwilayah Kampung Ciladu-Ciawi, yang dalam administrasi desa termasuk dalamsatu rukun kampung (RK).

Kata “partisipatif” memiliki makna yang beragam. Partisipasi dan dukunganmasyarakat dalam penyelenggaraan pemetaan di Ciladu-Ciawi cukup besar.Masyarakat Ciladu-Ciawi, dengan dipimpin oleh beberapa tokoh masyarakat,berbagi peran dalam penyelenggaraan PP. Diskusi-diskusi persiapanpenyelenggaraan pemetaan cukup baik berlangsung. Kelembagaan kasepuhandan kokolot lembur cukup aktif mendukung proses pemetaan, khususnya dalammendiskusikan batas-batas wilayah adat kasepuhan yang kemudian jugatermasuk dalam target survey lapangan. Masyarakat secara bersama-samamenanggung kebutuhan logistik selama penyelenggaraan PP; masyarakatmengumpulkan iuran berupa beras untuk logistik pemetaan. Kaum perempuansetiap hari menyiapkan bekal makanan dan minuman untuk tim yang melakukansurvey lapangan. Kaum laki-laki dan para pemuda ikut aktif dalam prosessurvey lapangan; para bapak aktif menunjukkan batas-batas wilayah adatselama survey berlangsung; para pemuda bertanggung jawab secara teknisdalam proses pemetaan. Selain itu juga dibentuk tim khusus yang akan menindaklanjuti hasil pemetaan, yakni melakukan dialog-dialog dan negosiasi denganpihak lain.

Fase berikutnya dari proses PP adalah proses penggambaran peta. Sebelumproses penggambaran peta dimulai, data lapangan terlebih dahulu harusdirapikan sehingga aka n memudahkan pemindahan titik-titik koordinat hasilsurvey ke dalam peta. Masyarakat Ciladu-Ciawi pada awalnya tidak yakinapakah mereka akan bisa menggambarkan hasil surveynya ke dalam selembarpeta, seperti dalam ungkapan berikut : “ can kapikiran nanaon eta mah, teuingbisa teuing henteu ngan boga sumanget” (tidak terpikirkan bagaimana inijadinya, entah bisa atau tidak, yang penting harus semangat).

Proses menggambar peta Kampung Ciladu-Ciawi dilakukan di kantor RMI diBogor, karena keterbatasan fasilitas di kampung. Empat orang pemuda dansatu tokoh masyarakat berangkat ke Bogor, mewakili masyarakat Ciladu-Ciawidalam menggambar peta. Transfer pengetahuan tentang bagaimana menggambarpeta merupakan hal yang menarik. Lima orang warga yang mewakili KampungCiladu-Ciawi ini semuanya petani, yang hampir-hampir tidak pernahmenggunakan berbagai peralatan menggambar peta (kertas kalkir, pulpenrapidograf, dll.). Selain itu berbagai perhitungan dan rumus tentang koordinatdan kartografi tidak pernah dipelajari dan digunakan oleh petani. Tetapi kelimawarga ini sangat bersemangat mempelajari berbagai teori dasar geografi dankartografi.

134

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Materi dasar tentang geografi dan kartografi, yang dipelajari dalam prosesmenggambar peta, antara lain tentang pengertian koordinat, skala, teknikmenggambar peta, jenis-jenis peta, legenda, peta referensi, bagaimanamenggambarkan hasil survey ke dalam peta, dan lain-lain. Ternyata para wakilmasyarakat ini – meskipun profesi sehari-harinya petani – mampu menyerapberbagai teori yang diajarkan serta mampu menggambar sendiri peta KampungCiladu-Ciawi. Para wakil masyarakat Ciladu-Ciawi ini, setelah peta kampungnyaselesai digambarkan, merasa bangga; ternyata petani pun mampu membuatpeta kampungnya sendiri. Perasaan bangga ini sangat penting untuk masyarakatyang menyelenggarakan PP. Dengan menggambar sendiri peta kampungnya,secara teknis, akan memperdalam pemahaman isi peta yang digambar itu,sehingga pada masa mendatang kelima orang wakil masyarakat Ciladu-Ciawiini bisa mewakili dalam menceritakan berbagai substansi dan proses pemetaanKampung Ciladu-Ciawi.

PENYEPAKATAN PETA CILADU-CIAWI: JALAN YANG BERLIKU

Peta yang telah digambar kemudian dikembalikan dan diverifikasi olehmasyarakat Ciladu-Ciawi. Masyarakat cukup teliti dalam melihat ulang petahasil survey yang telah digambar, khususnya hal-hal yang berkaitan denganbatas-batas kampung. Kampung Ciladu-Ciawi ternyata memiliki luas 274 Ha.Bentang alam Kampung Ciladu-Ciawi meliputi permukiman, lahan pertanian(sawah, kebun, huma, sebaran mata air), sebaran 17 sungai. Kampung Ciladu-Ciawi dengan kampung yang lain dibatasi oleh batas-batas alam; Sungai Cidikityang membatasi bagian barat kampung, Sungai Cimusung yang membatasibagian utara kampung, Sungai Cibuluh yang membatasi bagian selatan kampung,sedangkan bagian timur dibatasi oleh bukit-bukit atau dalam bahasa setempatlazim disebut dengan pasir (Malang, Cadas Bodas, Cangkuang, Jirak, Kikipeng,Citample, Ki Asrip, Emad).

Masyarakat merasa bangga telah berhasil menyelesaikan gambar petakampungnya, karena pada awalnya menggambar peta ini dianggap tidak masukakal dan sangat berat. Fase selanjutnya adalah kembali mengumpulkan parapihak di kampung untuk menyepakati hasil PP. Proses mengundang para pihakini sangat menarik. Yang diundang dalam penyepakatan peta bukan hanya pihak-pihak yang menyetujui PP, tetapi juga pihak-pihak yang mungkin menentangproses PP; Perum Perhutani yang wilayah kerjanya merasa dilangkahi;Pemerintah Desa Mekarsari yang masih belum jelas sikapnya; perwakilanmasyarakat selain Kampung Ciladu-Ciawi yang belum tentu memiliki pandanganyang sama tentang PP.

135

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pertemuan pertama penyepakatan peta partisipatif Cidu-Ciawi gagal, karenapara pihak di luar Kampung Ciladu-Ciawi kebanyakan tidak hadir. Kemudianpertemuan kedua dijadwalkan dan dipersiapkan dengan lebih baik. Undangantidak hanya sekedar “disebar”, tetapi juga diikuti dengan proses negosiasi;menerangkan dengan sejelas-jelasnya maksud dari PP dan agenda yang akandibicarakan dalam penyepakatan peta. Para undangan ini, dengan prosespenyampaian undangan beserta negosiasi, relatif lebih memahami agenda apayang akan dibicarakan dalam pertemuan. Para undangan ini sebagian besarhadir dalam pertemuan penyepakatan peta partisipatif Kampung Ciladu-Ciawi.Akhirnya peta partisipatif kampung Ciladu-Ciawi berhasil disepakati oleh parapihak pada pertengahan tahun 2002, bertempat di rumah Pak Muhani (KepalaRukun Kampung). Wujud kesepakatan ini adalah penandatanganan petapartisipatif Kampung Ciladu-Ciawi oleh para pihak.

Cukup banyak para pihak yang menandatangani peta partisipatif KampungCiladu-Ciawi. 75 orang warga Kampung Ciladu -Ciawi menandatangani peta ini,yang terdiri dari 56 orang laki-laki dan 19 orang perempuan. Aparat DesaMekarsari juga menandatangani peta ini, yang meliputi: kepala desa, ketuaBPD, polisi desa, dan anggota LKMD. Petugas lapangan Perum Perhutani – ataulebih sering disebut mantri hutan – ikut hadir dan menandatangani peta ini.Masyarakat wakil kampung sebelah yang ikut hadir dan menandatangani petaini adalah wakil-wakil dari Cihaneut, Ciburial, Lebak Larang. Tidak mau kalah,wakil-wakil dari kokolot lembur Kasepuhan Ciptagelar dan Kasepuhan Sirnaresmiikut juga menandatangani.

136

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

MEMBENTUK KELOMPOK PELINDUNG KAWASAN MATA AIR.

Hasil PP menunjukkan bahwa di Kampung Ciladu-Ciawi terdapat 25 buah matacai atau hulu cai (mata air) yang ke mudian bermuara di 17 anak sungai.Masyarakat menyadari tentang pentingnya keutuhan mata cai ini agar kebutuhanair masyarakat Ciladu-Ciawi, baik untuk pengairan sawah maupun kebutuhansehari-hari, bisa terus terjaga. Perlunya menjaga keutuhan mata cai ini menjadipokok diskusi yang hangat di Ciladu-Ciawi.

Akan tetapi mewujudkan ide yang bagus ini menjadi suatu aksi nyata melindungiberbagai mata cai itu ternyata tidak mudah. Berbagai diskusi informal telahdilakukan untuk membahas persoalan keutuhan mata cai. Para aktivis RMIberupaya sekuat tenaga memfasilitasi proses ini. Tetapi, sekali lagi, proses initidaklah mudah; membangun kepercayaan masyarakat kepada lembaga RMItidaklah mudah, karena para aktivis dan lembaga RMI pada mulanya masihtetap dianggap “orang asing” bagi masyarakat Ciladu-Ciawi. Proses membangunkepercayaan ini perlu waktu.

Para anak muda Kampung Ciladu-Ciawi merupakan kelompok yang paling nyataberupaya melindungi mata cai di kampungnya. Limabelas orang pemuda Ciladu-Ciawi membentuk Kelompok Pelindung Kawasan Mata air. Kelompok anak mudaini, secara swadaya, mengumpulkan berbagai bibit tanaman untuk ditanam dikawasan mata cai yang dianggap rawan longsor. Jenis-jenis tanamannyamerupakan kombinasi antara berbagai tanaman yang punya fungsi lindungdan tidak dimanfaatkan kayunya ( karoya, picung, dadap ), serta dengan berbagaitanaman buah-buahan, seperti kadu (Durian) dan Nangka. Model kombinasipenanaman seperti ini biasa disebut dengan kebun campuran atau kebondudukuhan.

Sebenarnya kelompok pemuda ini menginginkan agar ada aturan khusus tentangperlindungan berbagai mata cai di Ciladu-Ciawi, misalnya dalam bentukperaturan desa. Tetapi sampai saat ini keinginan para anak muda agar adaaturan tentang perlindungan kawasan mata cai belumlah terwujud. PemerindahDesa Mekarsari kelihatannya belum menganggap penting adanya aturan yangmelindungi kawasan mata cai. Perlu waktu dan pendekatan khusus kepadaaparat desa agar keinginan kelompok anak muda ini terwujud. Selain itu, agendamewujudkan aturan ini terkalahkan dengan desakan untuk segera mendapatkanareal untuk permukiman baru.

137

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

WATES-WATES KAMPUNG CILADU-CIAWI

Masyarakat Ciladu-Ciawi, sebagaimana masyarakat lainnya, memiliki mentalmap (peta mental) tentang wilayah hidup di sekitarnya. Pengetahuan tentangbatas-batas wilayah hidup adalah mental map yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang. Batas-batas kampung ini biasa disebut wates ataubates. Wates-wates Kampung Ciladu-Ciawi – yang diwariskan nenek moyang –dengan kampung yang lain cukup jelas. Para kokolot lembur (sesepuh kampung)sangat memahami wates-wates ini. Wates menjadi landasan dalam penentuanpenggunaan lahan masyarakat. Penggunaan lahan di Ciladu-Ciawi meliputipermukiman (lembur), sawah, kebun, hutan lindung ( leuweung titipan/dungus ),leuweung tutupan . Wates-wates ini berwujud batas-batas alam seperti bukit(pasir) dan sungai (wahangan/walungan ). Sayangnya sebagian lahan di CiladuCiawi yang telah dikembangkan penggunaannya oleh masyarakat telah diklaimmenjadi hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani.

Perum Perhutani, khususnya Unit III Jawa Barat-Banten, mulai mengelolakawasan hutan yang dianggap hutan negara di sekitar Mekarsari adalah sekitartahun 1970-an. Perum Perhutani Unit III mendasarkan wilayah kelolanya padapeta penunjukan kawasan hutan jaman Pemerintahan Kolonial Belanda tahun1924-1932. Berdasarkan peta Belanda ini maka konstruksi batas – berupapemasangan patok-patok sebagai tanda batas wilayah kelola — dilakukan padatahun 1980-an. Tetapi proses pemasangan patok ini tanpa melibatkanmasyarakat. Sedangkan masyarakat jauh sebelumnya telah menjadikan tempatitu wilayah hidup, memiliki konsep batas wilayah melalui tutuguan yang terbuatdari tumpukan tanah dan menanam pohon hanjuang. Akan tetapi memangmengkomunikasikan konsep masyarakat Ciladu-Ciawi tentang wilayah hidupkepada Perum Perhutani sangatlah sulit. Perum Perhutani hanya bisa menerimabukti tertulis, yakni peta peninggalan Belanda itu. Bukti yang hanya berupamental map, meskipun telah digambarkan dalam selembar peta, sangat sulitdipahami oleh Perum Perhutani.

Berdasarkan PP kampung Ciladu-Ciawi, dari total luas wilayah Ciladu-Ciawiyang luasnya 274 hektar maka yang diklaim menjadi wilayah kerja PerumPerhutani adalah 109,6 hektar atau 40% dari total luas keseluruhan wilayah.Luas garapan masyarakat Ciladu-Ciawi yang berupa hak milik hanya 164,4 hektar.Tanah seluas ini, apalagi sebagian besar adalah lahan tadah hujan, jelas tidakcukup untuk menghidupi warga Ciladu-Ciawi yang berjumlah 819 jiwa.

138

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PETA DAN NEGOSIASI PERMUKIMAN BARU

Pasca PP, berbagai diskusi informal tentang apa saja isi dari peta yang telahdibuat terus berlangsung. Di tengah berbagai diskusi informal ini – pada akhirtahun 2002 – terulang lagi bencana tanah longsor di Kampung Ciladu-Ciawi.Untung saja tidak ada korban jiwa pada saat longsor terjadi. Kerugianmasyarakat cukup besar. 10 buah lumbung padi ( leuit) dan beserta isinya hancuroleh longsor. Sementara itu lahan yang dialokasikan untuk permukiman baruseluas 2,5 hektar – tercantum di dalam peta – yang masuk dalam wilayah kelolaPerum Perhutani belum jelas benar boleh dan tidaknya ditempati olehmasyarakat.

Situasi ini membuat masyarakat Kampung Ciawi-Ciladu tergugah kembali untukmenegosiasikan kembali status lahan itu kepada para pihak. Salah satu pihakyang didesak oleh masyarakat adalah RMI; dituntut untuk mencari strategimengatasi longsor yang terus berulang dan mengancam masyarakat. TanggapanPerum Perhutani terhadap permohonan masyarakat tentang cadangan arealpermukiman baru belum jelas benar. Karena itu beberapa wakil masyarakatCiladu-Ciawi, dengan didampingi oleh aktivis RMI, melakukan dialog kembalidengan Perum Perhutani Unit III KPH Banten di Serang. Berbagai argumen tentangpentingnya lokasi areal permukiman baru – peta partisipatif, kronologis kejadianlongsor, berbagai hasil diskusi di masyarakat, dan lain-lain – dijadikan bahandialog oleh para wakil masyarakat ini.

Peta hasil PP ternyata menjadi alat yang cukup efektif untuk melakukan negosiasi.Dengan menggunakan peta, Perum Perhutani menjadi lebih mudah memahamikondisi lapangan dan pentingnya areal permukiman baru itu untuk masyarakat.Di dalam peta partisipatif Kampung Ciladu-Ciawi telah dirinci dengan cukupjelas areal-areal yang rawan longsor dan mengancam permukiman KampungCiladu-Ciawi. Dengan peta itu juga ditunjukkan tempat-tempat yang mengalamilongsor, baik yang sekarang maupun pada kejadian sebelumnya. Di sampingitu juga ditunjukkan – dengan peta partisipatif – berbagai mata air yang beradadi dalam wilayah kelola Perum Perhutani yang penting untuk masyarakat Ciladu-Ciawi tetapi kondisinya mulai mengering. Meskipun hasil dialog ini masihbelum memberikan kepastian jawaban, akan tetapi Perum Perhutani Unit IIIKPH Banten siap hadir jika diundang oleh masyarakat dalam rangka pertemuanpencadangan lokasi permukiman baru untuk masyarakat Ciladu-Ciawi.

Para wakil masyarakat Ciladu-Ciawi juga berkunjung dan berdiskusi denganBagian Hukum Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Lebak. Kabag HukumPemda Lebak cukup mendukung upaya masyarakat Ciladu-Ciawi memperolehlahan permukiman baru. “ Kami akan mencoba dialog dengan pihak PerumPerhutani Unit III Jawa Barat-Banten KPH Banten, termasuk untuk mencari

139

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pengganti lahan yang dialokasikan untuk permukiman masyarakat Ciladu-Ciawi ”,demikian kata beliau. Pemda Lebak juga siap hadir ke lapangan apabiladiperlukan. Hasil berbagai kunjungan dan negosiasi da ri para pihak inidisampaikan kembali kepada masyarakat Ciladu-Ciawi.

Mendengar hasil positif berbagai kunjungan ini membuat semangat masyarakatCiladu-Ciawi bertambah. Pertemuan antar masyarakat digelar kembali, dengandihadiri oleh pihak kokolot lembur dan Pemerintah Desa Mekarsari (diwakilioleh Polisi Desa). Pertemuan ini memunculkan agenda baru, yakni kesepakatanmembuka lahan untuk permukiman di Blok Pasir Kikipeng seluas 2,5 Ha. Agendalainnya adalah menentukan peta penataan areal permukiman baru yang berbasisadat leluhur. Berbagai model dan fasilitas permukiman baru yang direncanakanbenar-benar mencerminkan model kampung ala adat setempat.

Pada hari yang telah ditentukan, masyarakat Ciladu-Ciawi mulai membuka lokasipermukiman baru secara simbolis, yang dalam bahasa setempat disebutngalelemah pikeun pilembureun . Kegiatan ini mengundang Pemerintah DesaMekarsari, polisi desa, wakil LKMD, wakil kasepuhan, kokolot lembur , petugaslapangan Perhutani, dan RMI.

Sekitar satu bulan kemudian, Perum Perhutani membuat reaksi yang tidak terduga;Perum Perhutani akan memperkarakan tindakan masyarakat Ciladu-Ciawi yangmulai “membuka” lahan permukiman – yang terletak dalam kawasan pangkuanPerum Perhutani – ke Kepolisian Sektor Cikotok. Reaksi ini tidak diduga olehmasyarkat, karena pada saat kunjungan dan negosiasi di kantor Perum PerhutaniKPH Banten pihak Perum Perhutani memberikan respon positif terhadap rencanamasyarakat. Bukannya membuat surut semangat masyarakat, respon PerumPerhutani yang negatif ini malahan membuat masyarakat bertekad bulat untukmembuat pertemuan besar yang mengundang semua pihak; dengan agenda utamamencari kejelasan status lahan yang akan menjadi permukiman baru.

Masyarakat Ciladu-Ciawi mempersiapkan benar pertemuan besar yang akandilakukan. Pihak-pihak yang memiliki wewenang penting, baik mendukungmaupun kurang mendukung, kepentingan masyarakat tentang permukiman barudiundang. Mereka itu antara lain Kabag Hukum Pemda Kabupaten Lebak, CamatKecamatan Cibeber, Pemerintah Desa Mekarsari, Perhutani KPH Banten danpetugas lapangannya , kasepuhan. Masing-masing pihak ini sebelumnya pernahdiajak diskusi tentang persoalan Kampung Ciladu-Ciawi. Tetapi para pihak inibelum pernah bertemu secara bersama-sama, melihat kondisi lapangan danbersama-sama membicarakan masalah masyarakat Ciladu-Ciawi.

Pagelaran pertemuan pun dilakukan di lahan baru yang telah dibuka dan telahmulai ditempati; telah berdiri bangunan rumah 2 unit. Hampir seluruhmasyarakat di Kampung Ciladu-Ciawi, baik kelompok perempuan maupun laki-

140

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

laki serta anak-anak, dengan tekun mengikuti seluruh diskusi dan dialog selamapertemuan itu.berkumpul, untuk mendengarkan hasil dialog antara individupenggiat yang mewakili masyarakat. Dalam dialog itu wakil masyarakatmenceritakan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Ciladu-Ciawiserta mempertegas keinginannya untuk membuat permukiman baru di tempatyang telah direncanakan. Semua pihak berwenang yang hadir akhinyamenyepakati apa yang diusulkan oleh masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi. Dihadapan masyarakat Ciladu-Ciawi, Camat Kecamatan Cibeber – sebagai jurubicara yang berwenang – mengumumkan bahwa masyarakat diperbolehkanmenempati kampung baru tersebut.

Pada pertemuan ini, Perum Perhutani membuat langkah yang mengeju tkan lagi.Perum Perhutani memberikan tambahan areal permukiman baru seluas satuhektar. Jadi total luas permukiman baru masyarakat Ciladu-Ciawi adalah 3,5hektar. Luas tambahan tersebut agar permukiman baru tersebut tidak enclave dikawasan kelola Perhutani, tetapi langsung bersambungan dan menyatu denganlahan yang sudah menjadi milik masyarakat di Kampung Ciladu-Ciawi. Prosespengukuran dan penataan batas lahan permukiman baru ini dilakukan bersama-sama antara masyarakat dan petugas lapangan Perum Pe rhutani.

Perum Perhutani baru menyadari bahwa dalam proses penataan batas sangatlahpenting melibatkan masyarakat setempat. Yang luput dari pengawalanmasyarakat dan para aktivis RMI dalam proses mendapatkan lahan baru untukpermukiman adalah bentuk kesepakatan tertulis dari proses kesepakatan ini.Yang telah ada adalah baru pernyataan lisan dari pihak yang berwenang (PerumPerhutani dan Pemda Lebak) yang diwakili oleh Camat Kecamatan Cibeber.Masyarakat harus terus mengupayakan aturan tertulis tentang arealpermukiman baru itu. Perum Perhutani dan Pemda Kabupaten Lebak berjanjiuntuk menuntaskan status lahan permukiman dalam dialog multipihak di lokasipermukiman itu.

KAMPUNG BARU ITU KAMPUNG GELARSARI

Hasil PP yang ditindak lanjuti dengan penataan bagian areal untuk permukimanbaru seluas 3,5 Ha telah diserahkan kepada masyarakat. Masyarakat pun mulaimenempati areal itu dengan mendirikan bangunan rumah dengan konstruksipanggung. Dua unit rumah milik dua keluarga dari Kampung Ciladu Babakantelah dibangun sesuai dengan panataan ruang pemukiman yang sebelumnyatelah disusun.

Pemberian nama kampung menjadi berarti sangat penting bagi masyarakat dikawasan Banten Kidul. Sebelum ditempati areal permukiman yang nantinyaakan menjadi kampung baru terlebih dahulu akan diberi nama oleh pihak

141

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

kasepuhan (Ciptagelar-Sirnaresmi). Kasepuhan memberi nama arealpermukiman baru ini Kampung Gelarsari. Dalam bahasa Sunda, “ gelar” berartiawal berdiri atau terlahir, sedangkan “ sari” bermakna rasa, atau bisa diartikanbahwa kampung itu terlahir diawali dengan kodisi pahit yang dialamimasyarakat, yang kemudian menjadi terwujud sesuai dengan keinginanmasyarakat.

Perkembangan berikutnya, empat unit rumah telah dibangun di lokasipermukiman baru. Fasilitas untuk pertemuan adat juga telah dibangun, yaknibalai pertemuan (ajeng). Ajeng sangat penting fungsinya untuk masyarakat,karena selain untuk tempat musyawarah masyarakat, sekaligus juga digunakanuntuk menyimpan gamelan peninggalan kokolot kampung jaman dahulu; kadang-kadang dipergunakan untuk tempat hiburan/pertunjukan .

TELAH EFEKTIF KAH PEMANFAATAN PETA KAMPUNG CILADUCIAWI ?

Masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi telah merasakan cukup efektifnya hasil PPuntuk memperkuat posisi masyarakat, khususnya ketika berdialog danbernegosiasi tentang kebutuhan permukiman baru. Tetapi di luar soal kebutuhanpermukiman baru, ternyata tidaklah mudah mengajak masyarakat memanfaat-kan peta hasil PP dalam hal-hal yang lain. Apakah memang kebutuhan peta ituhanya untuk mengurus konflik saja? Apakah peta itu kemudian hanya disimpandan menjadi kenang-kenangan saja?

Kebingungan masyarakat untuk memanfaatkan peta lebih jauh ini, mungkin,juga diakibatkan oleh kurangnya transfer pengetahuan tentang pemanfaatanpeta dari para aktivis RMI. Harus diakui bahwa memang tidak ada aktivis RMIyang secara reguler mendampingi masyarakat Ciladu Ciawi pasca keberhasilandalam negosiasi. Peta Kampung Ciladu-Ciawi itu sebenarnya sangat strategisapabila dipergunakan untuk membuat perencanaan kampung dengan lebih de-tail. Tetapi untuk mewujudkan ini memerlukan energi khusus yang tidak ringan.Apalagi persoalan permukiman baru masih belum selesai benar.

UPAYA KELOMPOK PEREMPUAN

Hasil PP menunjukkan bahwa ada lahan-lahan kosong yang bisa dimanfaatkanuntuk menambah penghasilan rumah tangga. Kelompok perempuan di Ciladu-Ciawi mencoba memanfaatkan peluang ini untuk menambah penghasilan rumahtangga. Kelompok perempuan ini mencoba membuat kebun percontohanpalawija di lokasi permukiman baru. Tetapi luas kebun percontohan ini masihkecil, yakni hanya seluas 50 m2. Komoditi pada lahan percobaan ini adalahjagung, jahe, pisang, dan singkong.

142

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Kelompok perempuan mulai menc oba membuat makanan olahan dari bahansingkong, yakni keripik singkong. Tetapi pengelolaan kebun percobaan yangdiurus oleh kelompok perempuan ini belum memenuhi harapan. Tanamanpalawija yang ditanam tidak menghasilkan secara optimal. Kekurangberhasil ankebun percobaan ini menjadi bahan introspeksi untuk kelompok perempuan inidan lembaga pendamping (RMI). Dalam mengelola kebun percontohan, teknisbudidaya tanaman harus menjadi perhatian penting. Proses dan mekanismemanajerial kelompok harus dibuat agar lebih efektif.

PERKEMBANGAN KAMPUNG GELARSARI

Sampai akhir tahun 2006 baru 12 unit rumah yang dibangun di lokasipermukiman baru. Padahal areal permukiman ini direncanakan, paling tidak,untuk 50 rumah. Hambatan utama yang dilontarkan oleh masyarakat perihallambatnya proses perpindahan masyarakat dari kampung lama ke kampungbaru adalah masalah biaya pindah dan membuat rumah baru yang mahal. Hallain yang menjadi pertimbangan masyarakat adalah bahwa Kampung Gelarsaribukan hanya tempat untuk masyarakat yang kena longsor, tetapi juga untukpermukiman bagi generasi muda yang akan datang.

Ternyata perencanaan pemanfaatan lahan permukiman yang dilakukan bersama-sama di antara masyarakat – dengan memanfaatkan hasil PP – tidak dihargaisebagaimana mestinya. Proses pembuatan rumah di Kampung Gelarsaricenderung sembarangan saja, serta kurang menghargai hasil perencanaanbersama. Sebenarnya ini agak mengherankan. Alasan kenapa kesepakatan itutidak dipergunakan juga kurang jelas.

Sebagian masyarakat Ciladu-Ciawi menganggap bahwa Kampung Gelarsaribelum nyaman. Ada yang menganggap bahwa tata cara adat tertentu – dalammembuka kampung – terlewatkan atau belum diselenggarakan. Salah satu acarayang belum diselenggarakan adalat ngaruwat lembur yang dianggap akanmemberikan keselamatan apabila ketidaknyamanan terasa pada penghunikampung. Tetapi alasan mengapa belum dilakukan ngaruwat lembur di KampungGelarsari sampai saat ini belum terjawab, karena alasan tersebut merupakanetika yang hanya bisa diketahui oleh kasepuhan dan kokolot lembur.

PENUTUP

Sebelum berkegiatan di suatu wilayah, penjajakan kebutuhan – fisik geografis,sosial, ekonomi – sangatlah penting. Pemilihan PP sebagai alat bantu resolusikonflik atau dalam pengelolaan sumberdaya alam pun juga memerlukanpenjajakan kebutuhan yang mendalam. Pilihan penggunaan PP harus diiringikesadaran masyarakat yang cukup tentang konsekuensi penggunaan metode

143

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

ini, baik akibat positif maupun akibat negatifnya. Pemahaman yang kurangterhadap metode ini akan menyebabkan masyarakat terjebak hanyamembicarakan “sisi teknis” metode ini, atau bahkan kemudian peta yangdihasilkan hanya sekedar disimpan saja serta tidak dipergunakan lebih lanjut.

Masyarakat pada umumnya sangat terbiasa dengan budaya tutur (lisan).Pengetahuan lisan masyarakat tentang ruang hidup di sekitarnya ini sangatpenting dalam pemetaan partisipatif. Pada hakikatnya pemetaan partisipatifadalah menerjemahkan berbagai pengetahuan ker uangan masyarakat tentangruang hidup di sekitarnya – sebagian besar lisan – ke dalam gambar kartografimodern.

Partisipasi masyarakat dalam PP memiliki makna yang luas. Semakin tinggipartisipasi masyarakat dalam PP maka akan semakin baik proses PP itu.Penyelenggaraan PP meliputi berbagai hal: logistik, musyawarah, teknis,penggambaran, pengesahan, sampai tindak lanjut. Semakin tinggi tingkatketerlibatan masyarakat dalam berbagai sektor ini, maka akan semakin bai kproses PP yang diselenggarakan. Peran perempuan sering kurang diperhatikandalam proses PP, padahal pengetahuan perempuan tentang ruang hidup disekitarnya tidaklah kalah dengan pengetahuan laki-laki; karena itu sangatpenting meningkatkan peran partisipasi perempuan dalam penyelenggaraanPP. Yang paling penting adalah masyarakat memimpin proses PP di kampungnyasendiri, serta mampu menggunakannya untuk berbagai kepentingan masyarakat,baik untuk negosiasi, resolusi konflik, maupun perencanaan pemanfaatansumberdaya.

Sangatlah baik apabila masyarakat sendiri mampu memanfaatkan peta yangtelah dihasilkan dalam proses PP, baik untuk resolusi konflik maupun untukberbagai keperluan masyarakat yang lain. Akan tetapi, seringkali, kapasitasmasyarakat untuk memanfaatkan peta ini tidaklah cukup. Proses pendampinganlebih lanjut, seringkali, masih diperlukan dalam penggunaan peta partisipatifuntuk tahap-tahap berikutnya.

144

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PEMETAAN PARTISIPATIF :SEBAGAI UPAYA MASYARAKAT MELINDUNGI

DAN MENGELOLA SUMBERDAYA ALAM PESISIRLAUT DI PULAU PAHAWANG

Oleh : Rizani dan M. Syahril Karim

SEJARAH PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR LAUT DIDESA PULAU PAHAWANG

Kondisi Geografis

Desa Pulau Pahawang berada di Kawasan Teluk Lampung, secara administrasiberada di Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampungdengan luas wilayah berdasarkan PP tahun 1999 adalah 1.046 hektar. Secarageografis berada pada 5°40, 2’ - 5°43,2’ LS dan 105°12,2’ - 105°15,2’BT. WilayahDesa Pulau Pahawang merupakan kawasan pesisir, terdiri dari laut, pantai,rawa, daratan dan daerah perbukitan, serta termasuk bagian pulau-pulau kecilyang ada di kawasan Teluk Lampung. Desa ini terbagi menjadi 6 dusun yaitu,Suak Buah, Penggetahan, Jaralangan, Kalangan, Cukuhnyai dan Dusun Pahawang.

Sejarah Terbentuknya Desa

Berdasarkan cerita masyarakat setempat, nama Desa Pulau Pahawang berasaldari nama seorang nakhkoda kapal yang bernama Pak Hawang dan Mandarayang terdampar dan pada akhirnya menetap di pulau tersebut. Keberadaan PakHawang yang menetap di pulau, akhirnya menjadikan pulau tersebut dikenaldengan nama Pahawang.

Perkembangan selanjutnya (tidak diketahui dengan pasti tahunnya), beberapaorang datang dan tinggal di Desa Pulau Pahawang. Mereka berasal dari berbagai

145

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

tempat. Dari wilayah Banten - Jawa Barat 38, mereka adalah Jahari menetap didusun Penggetahan dan Ruslan yang menetap di Dusun Cukuh Nyai Jaralangan.Haji Dul Malik dari Putih Doh, Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus– Lampung menetap di Dusun Pahawang. Kedatangan mereka bertujuan membukalahan untuk berkebun.

Desa Pulau Pahawang saat itu berstatus kampung dan masuk dalam wilayahMarga Punduh. Oleh karena itu secara adat istiadat warga Pulau Pahawangmengikuti aturan Marga Punduh. Untuk urusan pemerintahan dipimpin olehMandara dan urusan keagamaan dipimpin oleh H. Dul Malik. Pada tahun 1980secara definitif Pulau Pahawang ditetapkan menjadi desa.

Penduduk

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Desa Pulau Pahawang adalah orangyang berasal dari suku Sunda (khususnya dari wilayah Banten) dan sebagiankecil adalah berasal dari Lampung Pesisir, Bugis, Padang dan Jawa. Jumlahpenduduk berdasarkan sensus penduduk tahun 2007 adalah 1665 jiwa atausekitar 427 kepala keluarga 39. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan dansebagian kecil bekerja petani kebun, pedagang, buruh tani, karyawan kerambajaring apung dan pegawai negeri/guru.

Sumber: Profile Desa Pulau Pahawang tahun 2007

Sumberdaya Alam Yang Dimiliki

Sebagai sebuah wilayah kepulauan, Desa Pulau Pahawang memiliki sumberdayaalam yang sangat beragam, baik yang terdapat di daratan maupun yang terdapatdi pesisir dan laut. Sumberdaya alam yang ada dipesisir laut berupa hutanmangrove (masyarakat setempat menyebut dengan istilah hutan Bakau), rawa,gobah40, gosong-gosong41, terumbu karang, pantai, padang lamun 42 dan potensiperikanan laut. Sementara di wilayah daratan sumberdaya alam yang adaberupa kebun yang ditanami kelapa, kakau, tangkil, cengkeh dan jenis buah-buahan (duku, durian, jambu, rambutan, dan mangga)

146

Matapencaharian Penduduk Desa Pulau Pahawang Tahun 2007

No. Jenis Matapencaharian Jumlah %

1. Nelayan 313 34,70 2. Petani Kebun 270 29,93 3. Karyawan Keramba Jaring Apung 187 20,73 4. Buruh Tani 94 10,42 5. Pedagang 28 3,10 6. Pegawai Negeri/Guru 2 0,22 7. Honorer 8 0,9

Total Penduduk yang Bekerja 902 100%

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Sumberdaya Alam di Desa Pulau Pahawang

No. Sumberdaya Luas (ha)

1. Gobah 21,73 ha 2. Pasir 35,50 ha 3. Padang Lamun/Jerangau 111,52 ha 4. Rawa-rawa 70,37 ha 5. Terumbu Karang 80,51 ha 6. Daratan 824,28 ha

Sumber : Hasil Pemetaan Partisipatif tahun 1999

Desa ini memiliki sumber daya alam pesisir laut yang lengkap di bandingkepulauan lain yang ada di Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat darikeberadaan hutan mangrove seluas 141,94 hektar dengan berbagai jenistumbuhan bakau, tingi dan nipah. Gosong-gosong yang tersebar di sekitarperairan Pulau Pahawang mencapai 60 buah. Terumbu karang tersebar dan adadisekeliling pulau mencapai 80,52 hektar. Berbagai jenis ikan laut sepertikepiting, simba, ikan tongkol, ikan selar merupakan jenis hewan laut yang adadan hidup di perairan Pulau Pahawang .

Keberadaan sumberdaya alam terutama yang ada di pesisir laut memberikandampak yang baik bagi kehidupan nelayan tradisional yang ada di Desa PulauPahawang. Rebon yang tersedia di sekitar perairan Pulau Pahawang dapatdidapatkan dengan mudah. Rebon digunakan sebagai umpan untuk memancingikan. Selain itu, nelayan dapat memasang alat tangkap ikan – yaitu bubu, pancingrawe dan jaring rampus tanpa harus khawatir terbawa oleh Jaring Trawl (pukatharimau). Dengan alat tangkap tradisional tersebut, nelayan di Desa PulauPahawang mendapatkan hasil tangkapan yang cukup, begitu juga jika merekamemancing ikan disekitar g osong-gosong yang tersebar di perairan, hasiltangkapannya tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,melainkan hasilnya dapat untuk mengisi tabungan untuk kebutuhan tidakterduga (seperti untuk biaya kesehatan atau perawatan jika ada anggota keluargayang sakit).

Berdasarkan hasil PP 43 yang dilakukan pada tahun 1999, sumberdaya yangdimiliki Desa Pahawang adalah sebagai berikut

Keberadaan potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang melimpahmenyebabkan berbagai cara dilakukan untuk memanfaatkannya, termasuk cara-cara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahanpeledak/bom, penggunaan potasium sianida , dan penangkapan ikan denganmenggunakan jaring trawl.

147

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pemboman ikan, yang biasanya dilakukan oleh orang dari luar Pulau Pahawang,berlangsung pada siang hari. Si pelaku mencari lokasi yang banyak ikannya.Setelah mendapat lokasi yang dicari ia akan mengamati apakah banyak nelayandi sekitarnya. Jadi kegiatan ini dilakukan dengan cara kucing-kucingan. Semuajenis ikan besar dan kecil akan mati. Yang lebih memprihatinkan lagi, terumbukarang tempat hidup dan perkembangbiakan ikan pun ikut hancur. Pihak-pihakyang berkompeten (atau memiliki kewenangan) untuk menangani masalah ini,TNI Angkatan Laut (TNI AL), tidak mampu atau tidak berdaya untuk melarangnya.Bila ada laporan dari nelayan atau masyarakat, TNI AL tidak bisa menindaklanjutikarena keterbatasan alat operasional untuk menangani masalah ini. Dalambeberapa kasus mereka berhasil menangkap pelaku pemboman, namun kasusnyaakan segera selesai hanya dalam waktu hitungan hari atau bahkan jam, denganproses yang tidak diketahui oleh masyarakat (tersembunyi). Setelah itu prosespemeboman berlangsung kembali.

Potasium sianida adalah jenis obat bius yang sering dipergunakan dalampenangkapan udang besar (lobster), udang kecil (rebon) dan ikan-ikan karangbaik ikan hias maupun ikank konsumsi seperti ikankerapu, ikan baronang, danlain-lain. Zat kimia tersebut dilarutkan dalam air, kemudian dimasukan ke dalambotol plastik seperti botol kecap plastik atau botol spiritus atau alat semprotkhusus. Penangkapan dilakukan dengan cara menyelam menggunakan maskeratau kompresor. Si penyelam akan menyemprotkan ikan-ikan atau udang yangditemui disela-sela terumbu karang dan digosong-gosong. Biasanya ikan-ikanatau udang-udang ini akan mabuk dan sehingga mudah ditangkap. Penggunaanbahan kimia ini, selain berdampak berkurangnya ikan-ikan karang, juga akanmerusak dan mematikan terumbu karang serta berdampak juga bagi kesehatansi pengguna.

Jaring trawl, sama halnya dengan pemboman ikan, banyak beroperasi di sekitarPulau Pahawang dengan pelakunya orang luar, terutama dari Teluk Betung. Hanyaorang bermodal besar yang memiliki jaring trawl ini karena kapalnyamenggunakan mesin diesel mobil. Semua jenis ikan bukan hanya yang besarsaja yang terangkut, tetapi ikan kecil (yang seharusnya ditangkap pada saatsudah menjadi ikan besar) pun terjaring oleh trawl. Selain ikan, terumbu karangpun ikut terangkat oleh jaring trawl.

Akibat kegiatan-kegiatan merusak ini kondisi terumbu karang di sekitar DesaPulau Pahawang sangat memprihatinkan. Berdasarkan Peta Keadaan TerumbuKarang tahun 1999 kondisi terumbu karang yang baik hanya tinggal 15% saja.Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan bahan peledak/bomuntuk mengambil ikan di sekitar perairan laut Pulau Pahawang, yaitupenggunaan bius ikan potasium sianida , juga disebabkan karena terjadipengambilan karang yang dipergunakan oleh penduduk untuk bahan membuat

148

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

pondasi dan dinding rumah, serta pengoperasian jaring trawl. Rusaknya terumbukarang kemudian mengancam kondisi ekositem laut yang juga turut rusak. Fungsiterumbu karang terutama adalah sebagai pendukung ekosistem laut, yaitusebagai tempat ikan berlindung dan berkembang biak, pengatur perimbangansuhu air laut, dan sebagai pelindung kawasan pantai dari gelombang air laut.

Di sepanjang pesisir Teluk Lampung dan Padang Cermin telah banyak sekalikonversi hutan baku menjadi lahan tambak udang. Dampak negatif yang nyata-nyata telah dirasakan masyarakat di pesisir pantai timur yangperkampungannya hancur dan menyatu dengan air laut, akibat abrasi air laut.Selain itu juga limbah dari tambak di sepanjang pesisir ini berdampak padapencemaran air laut. Inilah salah satu kekhawatiran masyarakat PulauPahawang bercermin pada daerah yang telah terjadi. Konversi hutan bakaumenjadi lahan tambak telah teridentifikasi berdampak pula terhadap penyebaranwabah nyamuk demam berdarah atau malaria, karena habitatnya yang banyakterdapat di hutan bakau habis dibabat.

Kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh adanya penebangan kayubakau juga terjadi untuk tujuan sebagai bahan dasar pembangunan rumah danpembuatan arang oleh penduduk setempat. Namun menurut penduduk setempat,kerusakan hutan mangrove dimulai secara besar-besaran dengan kedatanganperusahaan asing yang berasal dari Taiwan pada tahun 1975. Perusahaantersebut melakukan penebangan secara besar-besaran. Penebangan secarabesar-besaran pada saat itu telah mengganggu ekosistem laut di Desa PulauPahawang. Kegiatan itu juga telah menyebabkan abrasi pantai. Selain itu juga,habitat satwa (monyet dan kera) rusak dan satwa-satwa tersebut harus mencarihabitat lain untuk mendapatkan makanan, dan akibatnya mereka “menyerang”tanaman di kebun-kebun petani setempat. Hal yang paling mengganggumasyarakat Desa Pulau Pahawang, yang mayoritas penduduknya mengandalkanpada hasil laut, adalah hilangnya tempat ikan untuk berkembang biak ataubertelur. Akibatnya mereka tidak dapat lagi mendapatkan ikan dengan mudahdi sekitar pantai karena memang tidak ada lagi ikan yang berkembang biak danhidup di wilayah pesisir pantai.

KONFLIK PEMANFAATAN RUANG PESISIR LAUT

Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Desa Pulau Pahawang, khususnyasumberdaya perikanan laut, memberikan keuntungan besar bagi penduduk. Tidaksaja nelayan tradisional Desa Pulau Pahawang yang merasakannya, tetapi jugabagi nelayan tradisional yang berada di luar desa Pulau Pahawang. Para nelayan,baik nelayan tradisional maupun nelayan besar yang berasal dari Desa Gebang,Lempasing, Durian, Sanggi Kecamatan Padang Cermin, serta dari Desa SukaJaya Punduh, Kampung Baru, Sukarame Kecamatan Punduh Pedada dan nelayan

149

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

tradisional se-Teluk Lampung juga memanfaatkan sumberdaya perikanan lautyang berada di wilayah Desa Pulau Pahawang.

Banyaknya orang yang tertarik pada sumberdaya alam pesisir di Desa PulauPahawang mengakibatkan konflik pemanfaatan sumberdaya alam pesisir pantai.Berikut ini adalah paparan tentang konflik-konflik yang terjadi di Desa PulauPahawang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir pantai.

Konflik Antara Nelayan Tradisional dan Nelayan Besar

Jaring trawl merupakan salahsatu alat tangkap yang dilarangpenggunaannya sejak tahun1980. Kemudian pada tahun1983, pemerintah saat itu meng-hapuskan secara total penggu-naan jaring trawl oleh kapal-kapal penangkap ikan. Jaringtrawl dapat menangkap berba-gai jenis ikan dan biota laut,dengan berbagai ukuran baikbesar maupun kecil. Padahal para pengguna jaring trawl biasanya hanyamenyasar ikan-ikan yang dia butuhkan, misalnya ikan tuna, tongkol, kembung,simba, dan selar. Akibatnya ikan hasil tangkapan yang tidak dibutuhkan,terutama yang berukuran kecil, dibuang/tidak dimanfaatkan. Sementara ikan-ikan kecil itu seharusnya menjadi faktor keberlanjutan sumberdaya pesisirpantai. Di sinilah sisi baik pelarangan penggunaan jaring trawl yang dibencioleh kelompok nelayan tradisional di manapun.

Berikut adalah ringkasan tentang larangan penggunaan Jaring Trawl secarahukum di Indonesia 44 :

· Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980tentang Penghapusan Jaring Trawl: kegiatan penangkapan ikan yangmenggunakan jaring trawl dihapus secara bertahap;

· Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980, terhitungmulai tanggal 1 Juli 1980 sampai dengan tanggal 1 Juli 1981 kapalperikanan yang menggunakan jaring trawl dikurangi jumlahnya, sehinggaseluruhnya tinggal menjadi 1000 (seribu) buah;

· Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1982tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980; bahwaPresiden RI mengintruksikan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 diseluruh Indonesia tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakanjaring trawl.

150

Kapal Jaring Trawl

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Ironisnya, walaupun larangan sudah diberlakukan sejak tahun 1983, jaringtrawl mulai beroperasi sejak tahun 1996 di perairan Desa Pulau Pahawang.Seperti yang menjadi dasar dari pelarangannya, biota laut dan yang lainnyayang sesungguhnya tidak dikehendaki tertangkap. Di samping itu alat tangkapyang dipergunakan oleh nelayan tradisional Desa Pulau Pahawang seperti,bubu45, pancing rawe46, jaring Rampus47, dan juga rumpon yang dipasang hilangterbawa/tertarik jaring trawl begitupun biota laut lainnya yang sesungguhnyatidak dikehendaki oleh para nelayan pengguna jaring trawl. Sebagian besarkapal-kapal nelayan yang menggunakan Jaring Trawl ini adalah nelayan-nelayanyang berasal dari Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lempasing dan GudangLelang, Bandar Lampung.

Bagi nelayan tradisional, khususnya yang tinggal di Desa Pulau Pahawang,pemakaian jaring trawl membuat penghidupan mereka terancam. Mereka selalukhawatir karena alat tangkapnya akan hilang, dan terancam karena kemudiansemakin habis sumberdaya ikan karena ikan-ikan kecil sudah terjaring denganjaring trawl. Nelayan Desa Pulau Pahawang kemudian harus mencari lokasiyang masih banyak ikannya tetapi sangat jauh dari desanya. Hal ini menyebabkanongkos melaut menjadi makin mahal.

Klaim Hutan Mangrove

151

Patok Daerah Perlindungan Mangrove

Hutan mangrove yang tumbuh disekitar kawasan pesisir lautmemiliki manfaat untuk melesta-rikan fungsi pantai. BerdasarkanKeputusan Presiden No. 32 Tahun1990 tentang Pengelolaan KawasanLindung, bahwa perlindunganterhadap kawasan pantaiberhutan bakau dilakukan untukmelestari-kan hutan bakau sebagaipembentuk ekosistem hutan bakaudan tempat berkembang biaknyaberbagai biota laut di samping sebagai pelindung pantai dari pengikisan airlaut. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian dan Menteri KehutananNo. 550/Kpts-4/1984 mensyaratkan lebar jalur hijau pantai (mangrove) mini-mal 200 meter dari garis pantai. Peraturan tersebut menjadi landasan hukumyang kuat atas upaya melindungi kawasan ini dari kepemilikan baik peroranganataupun perusahaan.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Di Pulau Pahawang kawasan hutan mangrove yang dibuka dan dijadikan lahantambak sering menjadi persengketaan antar penduduk. Yang membuka kawasanhutan mangrove menjadi lahan tambak adalah pengusaha atau orang-oranglain yang punya modal. Namun pembukaan lahan umumnya dilakukan tanpapemberitahuan kepada penduduk setempat dan tanpa persetujuan darimasyarakat (pemerintahan desa). Hal ini yang di kemudian hari menjadi masalahbesar. Akibatnya adalah persengketaan yang didapat, terutama dengan parapemilik kebun di sekitar tambak tersebut.

Di Pulau Pahawang paling tidak 50-an hektar hutan mangrove sudah dibukauntuk pembangunan tambak. Pada umumnya pembebasan lahan rawa di hutanbakau dibayar dengan harga yang rendah karena pengusaha memakai jasaperantara (calo) untuk membelinya dari masyarakat Pahawang. Sebagai contoh,masyarakat Dusun Kalangan memperoleh pembayaran Rp 400/m 2 atas lahanmilik mereka. Di samping itu mereka diperbolehkan untuk memungut hasilkomoditi pertanian seperti kelapa sebelum lahan dibuka menjadi areal tambak.Namun setelah pembebasan selesai janji tersebut tidak ditepati. Karena hutanmangrove yang merupakan penyaring pengaruh lautan ke daratan maupundaratan ke lautan makin terancam keberadaannya, masyarakat menjadi khawatirbahwa pembukaan hutan bakau akan mengakibatkan masuknya air laut ke lahanmereka dan juga penggerusan lahan. Padahal lahan tersebut merupakanpenopang utama kehidupan keluarga.

Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah menjadipenyebab adanya tambak di wilayah kepulauan. Salah satunya adalah perizinanyang sangat mudah didapat yang menjadi daya tarik bagi para pengusaha dariluar desa. Pemberian izin pun tanpa pernah ditindaklanjuti dengan pengawasan,sehingga pembukaan yang merusak kawasan hutan mangrove terus terjadi.

Budidaya Kerang Mutiara

Di Teluk Lampung terdapat dua perusahaan modal asing dari Jepang, yaituPT.Hikari dan PT.Kyoko Sinju, yang bergerak di bidang pembudidayaan mutiara.PT. Hikari di Tanjung Putus yang berdekatan dengan Pulau Pahawang telahmengkapling paling tidak 5.000 hektar laut di sekitar gosong-gosong yangmerupakan daerah tangkapan nelayan tradisional. Areal laut yang telahdikapling tersebut mutlak tidak bisa dimasuki oleh nelayan. Bahkan seringterjadi pengusiran terhadap nelayan yang sengaja atau tidak sengaja mendekatke pelampung-pelampung pembatas areal budidaya. Daerah ini juga selaludijaga seorang anggota marinir yang selalu siaga di kantor perusahaaan, makasering pula terjadi intimidasi oleh AL terhadap nelayan. Padahal bagi masyarakatPulau Pahawang areal kaplingan perusahaaan tersebut dulunya merupakanareal tangkap ikan mereka. Dengan demikian, daerah tangkapan yang dimilikinelayan semakin sempit.

152

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PP SEBAGAI UPAYA MELINDUNGI DAN MENGELOLA SDA PESISIRLAUT (PELA)

Sejarah Masuknya PP Di Desa Pulau Pahawang

Sejarah PP di Desa Pulau Pahawang diawali oleh kedatangan aktivis MitraBentala. Sebagai organisasi lingkungan, kegiatan yang dilakukandikonsentrasikan pada isu-isu pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Lampung.Mitra Bentala mengamati maraknya kegiatan eksploitasi sumberdaya laut –khususnya di Desa Pahawang – yang memiliki kecenderungan merusaklingkungan, penerapan berbagai kebijakan – baik nasional maupun lokal – yangtidak pro-lingkungan serta lemahnya penegakkan hukum terutama di wilayahpesisir laut dan pulau-pulau kecil. Maka, pada tahun 1997, Mitra Bentalamemulai kegiatan advokasi dengan melakukan kegiatan pendampingan di DesaPulau Pahawang.

Pemilihan wilayah untuk kegiatan advokasi oleh Mitra Bentala ini adalahsemakin rusak/hancurnya lingkungan, terutama sumber daya alam pesisir lautDesa Pulau Pahawang, yang mengancam sumber kehidupan bagi masyarakatpesisir yang bekerja sebagai nelayan.

Dengan titik pijak bahwa kerusakan pesisir dan laut makin mengancam sumberpenghidupan masyarakat, Mitra Bentala mengembangkan strategi advokasinyadengan mengirimkan beberapa aktivisnya untuk tinggal dan berada bersamadalam kehidupan masyarakat Desa Pulau Pahawang. Rangkaian prosespendampingan yang dilakukan secara intensif hingga tahun 1999 dimaksudkanuntuk terus menerus menggali persoalan yang diakibatkan oleh semakinhancurnya sumberdaya pesisir dan laut di Desa Pulau Pahawang. Proses inidinilai sangat efektif karena bersama dengan masyarakat Desa Pulau Pahawangpara aktivis dapat mengidentifikasi dengan baik tentang apa dan bagaimanadinamika persoalan penghidupan masyarakat di Desa Pulau Pahawang.

Selain proses pendampingan yang intensif, kegiatan-kegiatan yang dilakukanbersama ini telah membangun interaksi yang baik di antara aktivis-aktivis MitraBentala dengan masyarakat. Komunikasi terjalin baik. Setiap permasalahanyang muncul atau agenda-agenda yang terkait dengan pemerintahan setempat,masyarakat selalu melibatkan Mitra Bentala begitu juga sebaliknya. Dengandemikian, forum-forum diskusi selalu dimanfaatkan untuk memperkuat relasidi antara kedua pihak, misalnya forum-forum atau pertemuan yang bersifatresmi/formal yang melibatkan pemerintahan desa maupun tidak resmi/non for-mal, terutama untuk membahas persoalan-persoalan menyangkut permasalahanyang dihadapi oleh nelayan.

153

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pada tahun 1997 rangkaian proses PP mulai dilakukan di Desa Pulau Pahawang.Hingga tahun ini telah menghasilkan beberapa peta, yaitu: Peta Wilayah TangkapNelayan Tradisional, Peta Sumberdaya Alam Pesisir Desa Pulau Pahawang,Peta Keadaan Terumbu Karang dan Tubiran48, Peta Sumberdaya Hutan MangroveDesa Pulau Pahawang serta Peta Sebaran Vegetasi Hutan Mangrove Desa PulauPahawang.

Mitra Bentala juga melakukan pelatihan-pelatihan dengan tema-tema tertentuyang dimaksudkan untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang hak-hak mereka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kristalisasi dari prosespendampingan dan pelatihan tersebut adalah pelaksanaan PP. Metode ini dapatdipergunakan untuk membangun keterlibatan masyarakat secara penuh dalamupaya mencari penyelesaian masalah. Keterlibatan seluruh masyarakat dalamPP mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi diharapkanmampu membangkitkan rasa tanggung jawab bersama dalam menjaga sumberdaya alam. Pada akhirnya diharapkan masyarakat dapat mengelola sumberdayamereka secara mandiri dengan prinsip demokratis dan berkelanjutan.

Proses Pemetaan Partisipatif Di Desa Pulau Pahawang

Proses PP yang dilakukan di Desa Pulau Pahawang melalui tahapan sebagaiberikut :

1) Tahap Persiapan yaitu tahap untuk menegaskan kembali dan mengetahuisecara bersama-sama tentang tujuan pelaksanaan PP di Desa PulauPahawang. Selain itu juga, tahap ini untuk menemukenali isu-isu yangberkembang dalam masyarakat serta menyampaikan isu-isu di luar desayang berpengaruh pada kehidupan di desa Pulau Pahawang.

Tahap ini dilakukan melalui serangkaian pertemuan di tingkat kampung dandusun. Hal ini dilakukan agar informasi yang akan disampaikan dan ingindidapatkan relatif lengkap dan merata dari dan ke seluruh anggotamasyarakat desa. Berikut rangkaian pertemuan yang dilakukan di Desa PulauPahawang terkait dengan tahapan persiapan:

a. Pertemuan Kelompok/kampung

Pertemuan ini untuk mengetahui permasalahan yang berkembang ditingkat kelompok masyarakat, seperti kelompok nelayan tradisional, ataukampung. Pada pertemuan tingkat kampung masyarakat menyampaikanpermasalahan dan isu-isu yang berkembang yaitu pemboman ikan,pemakaian potasium sianida, jaring trawl, proyek tambak udang,budidaya mutiara, pariwisata, hama penyakit tanaman dan harga jualkomoditi pertanian yang cenderung menurun.

154

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Tujuan setiap pertemuan, mulai dari tingkat kelompok sampai tingkat desa,adalah untuk mempertemukan berbagai tokoh masyarakat dan mem-bicarakan secara musyawarah permasalahan-permasalahan yang ada.

b. Pertemuan tingkat dusun

Pertemuan ini bertujuan untuk menangkap isu yang berkembang danmendiskusikan permasalahan yang dialami kelompok masyarakat didusun/kampung. Pada setiap pertemuan dusun jumlah peserta yang hadirrata-rata sekitar 30 orang dari berbagai elemen masyarakat seperti kepaladusun (1 Orang), pengurus masing-masing RT (2 orang), perwakilan tokohmasyarakat (1 orang yang dituakan), perwakilan dari BPD (1 orang), tokohagama (2 orang), kaum perempuan (5 orang), pemuda (1 orang KetuaPemuda), petani (5 orang) dan nelayan (6 orang).

Permasalahan yang ditemui di tingkat dusun yaitu pemboman ikan,penggunaan jaring trawl dan potasium sianida , pembukaan lahan man-grove untuk tambak, pengaplingan lahan oleh perusahaan mutiara (PTHikari).

Berdasarkan permasalahan diatas dan adanya keinginan untuk mengatasimasalah yang dialami kelompok tapi juga menjadi permasalahan semuapihak yang ada di dusun. Maka masyarakat mendukung untuk dilakukanpemetaan. Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan keputusanbersama saat dalam pertemuan.

c. Pertemuan tingkat desa

Pertemuan ini untuk menyampaikan permasalahan yang berkembang padamasing-masing dusun agar mendapat kesepakatan tentang permasalahanyang dihadapi desa. Tidak ada perbedaan yang menonjol di antara semuadusun karena permasalahan yang dialami sama. Pada pertemuan tingkatdesa ini perwakilan masyarakat secara bersama-sama mengambilkeputusan untuk melakukan PP.

155

Komposisi dan Jumlah Perwakilan Masyarakat dalam Pertemuan Tingkat Desa

No. Pihak-pihak Perwakilan Keterangan

1. Dusun Suak Buah 5 orang Terdiri dari Kepala dusun, RT, nelayan, petani2. Dusun Penggetahan 10 orang Terdiri dari Kepal Dusn, RT, nelayan, petani3. Dusun Jaralangan 2 orang Kadus dan warga4. Dusun Cukuh Nyai 3 orang Kadus dan warga5. Dusun Kalangan 3 orang Kadus dan warga6. Pemerintahan Desa 3 orang Kades, sekdes, kaur7. Tokoh Masyarakat 5 orang Agama, masyarakat8. Mitra Bentala 2 orang Staf lapangan

Jumlah 33 orang

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

2) Tahap Pembuatan Peta

Masyarakat bersama aktivis membuat sejumlah peta berdasarkan padakebutuhan dan permasalahan yang dihadapi, terutama yang dapat merusaksumberdaya yang ada. Tahap ini ditempuh dengan kegiatan-kegiatan sebagaiberikut:

a. Pelatihan pembuatan peta

Kegiatan ini pada dasarnya adalah pelatihan bagaimana melakukanpemetaan itu sendiri; mulai dari penggunaan alat, pengambilan datadan penggambaran, serta untuk memahami arti dari PP. Pemetaan inisendiri diikuti oleh masyarakat Desa Pulau Pahawang.

Pelatihan teknis dan penggunaan alat berlangsung selama sehari.Peserta yang terlibat pada kegiatan ini adalah tokoh masyarakat darisetiap dusun dan seorang pemuda dari tiap dusun. Pelatihan danpembuatan peta ini melibatkan LSM dari luar daerah seperti JALA(Jaringan Advokasi Nelayan Sumatera Utara) dan Walhi Sumatera Selatanyang pada saat itu ingin belajar bagaimana melakukan PP Pesisir danLaut. Karenanya dalam pelatihan dilakukan pula diskusi bersamaorganisasi-organisasi tersebut tentang masalah-masalah yang dihadapinelayan tradisional.

Keseluruhan proses pelatihan dilalui dengan dua metode yaitu metodeceramah dan diskusi serta metode praktek.

- Ceramah dan Diskusi Bersama adalah media pemaparan sejumlahteori dan konsep dalam PP oleh Pelatih (Fasilitator) yang dilanjutkandengan diskusi tanya jawab agar seluruh peserta benar-benar paham.Metode ini secara khusus bertujuan untuk:

(1) memperkenalkan secara teoritis bagaimana membuat peta diwilayah pesisir dan laut dan apa yang akan dihasilkan dari prosespemetaan partisipatif ini;

(2) memperkenalkan peralatan yang dipergunakan, yaitu kompas,meteran dan gps. Pelatih membahas apa kegunaan dan kelebihanmasing-masing alat itu. Ia juga memperkenalkan peta dasar sertaapa perbedaannya dengan peta yang akan dihasilkan nanti;

(3) memperkenalkan teknik pemetaan yang dilakukan di perairan lautuntuk pengambilan data ekosistem pesisir, yang meliputi data gosongdan pengamatan terumbu karang di tubiran. Khusus untuk melihatkeberadaan dan kondisi terumbu karang di dalam laut dipakai teknik

156

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

manta tow, seorang surveyor berenang di atas terumbu pada jalur yangditentukan.

(4) menjelaskan bagaimana penggunaan masing-masing alat yang akandipergunakan;

(5) membagi tugas di antara para peserta latih yang akan melakukansurvei siapa yang mengambil titik koordinat dengan GPS, mengukurdengan meteran, mencatat, dan membuka jalur.

- Praktek adalah kegiatan yang memberi kesempatan seluruh pesertalatih untuk mempraktekkan apa yang sudah diuraikan dan didiskusikansupaya mereka benar-benar paham. Umumnya setelah melakukanpraktek, peserta akan menemui beberapa kendala dan permasalahan.Pelatih/fasilitator senantiasa menemani dan memberikan penjelasanserta membantu dalam penggunaan alat dan praktek-praktek lainnya.Selama proses ini, beberapa yang menjadi pertanyaan adalah:

(1) Kesulitan menggunakan GPS, terutama dalam mengoperasikan alatserta memfungsikan menu-menu yang terdapat dalam GPS

(2) Kesulitan menggunakan kompas khususnya dalam membaca arahmata angin dan besarnya sudut bacaan.

Hasil lain dari proses pelatihan ini adalah peta sketsa. Peta ini akanmemandu tim lapangan untuk proses pengambilan data selanjutnya.

b. Pengambilan Data

Dalam tahap ini tim pemetaan bersama warga masyarakat lainnyamengambil data-data lapangan seperti titik koordinat batas-batas desadan sumberdaya yang ada di desa.

Lama pengambilan data adalah satu minggu, jumlah peserta kuranglebih 13 orang, yang terdiri dari dua orang perwakilan tiap dusunditambah tiga orang dari LSM luar Lampung dan tiga orang pendampingdari Mitra Bentala. Wakil tiap dusun adalah seorang pemuda danseorang tokoh masyarakat. Alasannya adalah tokoh masyarakatbiasanya lebih paham tentang sejarah keberadaan wilayah/dusun/desa, sedangkan para pemuda diharapkan dapat meneruskan segalasesuatu yang berhubungan dengan dusun atau desa kelak, di sampingmereka lebih gesit dan kuat secara fisik. Mereka semua bekerja dalamsebuah tim lapangan (tidak ada pengelompokan). Pengambilan datadilapangan dilakukan dalam tiga tahap yang meliputi: Pengambilandata gosong atau daerah tangkapan, pengambilan data ekosistem

157

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pesisir, dan pengamatan terumbu karang di tubiran dengan teknikmanta tow. Dalam proses pengambilan data dilakukan sepenuhnyaoleh masyarakat berdasarkan peta sketsa yang telah mereka buatsaat pelatihan.

c. Kompilasi data

Kegiatan ini adalah pengumpulan semua data hasil survei lapanganoleh lima orang yang berlangsung selama sehari. Data yangdikompilasi meliputi titik-titik koordinat yang ada dalam GPS danhasil-hasil pencatatan selama proses pengambilan data lapangan.

d. Verifikasi Peta

Peta yang dibuat berdasarkan data lapangan disampaikan kepadamasyarakat untuk dikoreksi. Hal ini untuk mengantisipasi jika adakesalahan sehingga dapat diperbaiki sebelum peta disahkan danditanda tangani oleh perwakilan masyarakat. Hal-hal yang ditanyakanadalah letak wilayah desa beserta isinya seperti posisi jalan, wilayahtangkapan ikan, hutan mangrove, terumbu karang, gosong-gosong,dan pantai.

Verifikasi peta dilakukan selama sehari. Pesertanya 30-an orang yangterdiri dari aparat desa, kepala dusun, ketua RT masing-masing dusun,tokoh masyarakat, pemuka agama, pemuda dan para peserta pembuatpeta.

Ada beberapa hal yang diperbaiki setelah proses verifikasi, antaralain penamaan tempat, posisi kebun dan pemukiman, tempat-tempatfasilitas umum (masjid, jembatan), batas-batas wilayah dan lain-lain.

e. Pengesahan Peta

Jika peta yang dibuat tidak ada lagi kesalahan, maka peta sudah bisaditanda tangani pada kolom yang sudah disediakan. Pembubuhantandatangan dilakukan oleh tokoh masyarakat, tokoh pemuda, aparatdesa, para kepala dusun dan RT, dan wakil ibu-ibu yang seluruhnyaberjumlah 60 orang. Dalam acara ini para peserta juga membahaskesepakatan dan aturan penggunaan peta.

Kesepakatan mencakup syarat pemegang peta dan aturan dalampenggunaan peta. Syarat bagi pemegang peta harus dapat menyimpanrahasia tentang peta tersebut (terutama daerah-daerah yang potensialuntuk usaha) dan dapat memahami dan menjelaskan peta (baik

158

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

gambar maupun informasi yang ada di dalam peta). Aturan-aturandalam penggunaan peta harus berdasarkan musyawarah desa (baikuntuk kepentingan masyarakat Desa Pulau Pahawang maupun pihak-pihak dari luar yang memakai/menggunakan peta).

Tahap Paska Pembuatan Peta

Peta yang dihasilkan disosialisasikan kepada masyarakat setempat dan kepadamasyarakat yang lebih luas yaitu masyarakat di luar Desa Pulau Pahawang,unsur pemerintahan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampungdan pihak keamanan (TNI Angkatan Laut), serta pihak-pihak lain yangberkepentingan seperti nelayan-nelayan tradisional di Teluk Lampung dan PTHikari. Sosialisasi ini terutama berkaitan dengan pengakuan atas hak wilayahtangkap nelayan tradisional.

a. Sosialisasi Keseluruh Masyarakat Desa Pulau Pahawang

Peta yang sudah ada disosialisasikan kepada seluruh masyrakat yangada di Desa Pulau Pahawang dimaksudkan agar masyarakat mengetahuikeberadaan peta dan kegunaannnya.

b. Sosialisasi Kepada Masyarakat yang Lebih Luas

Kepada Masyarakat di Luar Desa Pulau Pahawang

Pertemuan nelayan se-Teluk Lampung dilakukan di Desa Pulau Pahawanguntuk mensosialisasikan hasil pemetaan wilayah sumberdaya alam yangada di desa tersebut agar diperoleh kesepakatan bersama mengenaiwilayah tangkap nelayan tradisional yang ada dalam wilayah desa.

Kepada Unsur Pemerintahan

Pertemuan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan (saat itu SarwonoKusumaatmaja) dalam rangka sosialisasi hasil pemetaan dan sebagaidasar untuk memperjuangkan hak nelayan tradisional

Kepada Pihak-pihak yang Berkepentingan Lainnya

Bentuk lain dari kegiatan sosialisasi PP adalah dengan mengikutipameran, festival Krakatau di Lampung, menjadi peserta perwakilan dariNGO dalam pameran Bakosurtanal di Jakarta. Tujuan sosialisasi bentukini adalah agar peta yang dibuat dapat membantu masyarakat untukmemperjuangkan hak nelayan tradisional.

159

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

PP Sebagai Alat Untuk Membuka Sudut Pandang TerhadapPermasalahan Masyarakat

Laut bagi masyarakat Desa Pulau Pahawang adalah ruang bersama, wilayahyang dihaki secara bersama-sama karena pada prinsipnya tidak ada satu or-ang pun yang memiliki. Sehingga siapa saja berhak untuk mengambil ataumemanfaatkannya. Pada akhirnya tidak ada upaya yang dilakukan masyarakatuntuk mencegah setiap bentuk perusakan terhadap sumberdaya yang ada.Apalagi kekompakan masyarakat untuk melarang dan memintapertanggungjawaban jika terjadi perusakan di wilayahnya kurang. Pemahamanmasyarakat tentang arti penting keberadaan sumberdaya alam masih sangatkurang, apalagi rasa kepedulian dan memiliki. Adapun masyarakat yangmemahami pentingnya sumber daya alam pesisir laut tidak mampu mencegahdan merasa bukan menjadi tanggung jawabnya. Bahkan pemerintah yangberwenang pun tidak pernah memberikan arahan atau sosialiasi tentangmanfaat sumberdaya alam, aturan tentang trawl dan penggunaan bahan peledak,apalagi untuk mengamankan perairan laut Desa Pulau Pahawang dari ancamanrusaknya sumberdaya kepada masyarakat desa

Pada akhirnya tidak ada upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencegahsetiap bentuk perusakan. Hal tersebut dapat dilihat dengan sering beroperasinyajaring trawl di sekitar wilayah perairan Pulau Pahawang, maraknya penggunaanbahan peledak/bom dan penggunaan potasium, serta pengambilan kayu bakausecara berlebihan di kawasan hutan mangrove untuk bahan bangunan dan untukkebutuhan arang. Pengambilan cacing yang kemudian merusak akar pohonbakau juga merupakan kegiatan rutin yang biasa mereka temukan. Hilangnyaalat tangkap seperti bubu, pancing rawe, jaring rampus yang dipasang olehnelayan tradisional karena tertarik trawl, atau rusaknya rumpon milik nelayanPulau Pahawang dianggap sebagai pelanggaran biasa yang akan selesaipermasalahannya jika sudah ada ganti rugi. Terumbu karang yang sudah matidiambil untuk keperluan pembuatan rumah dan pondasi bangunan dianggaptidak bermasalah karena dianggap masyarakat tidak memiliki fungsi ekologis.

Akhirnya melalui kegiatan PP oleh Mitra Bentala sudut pandang atau pola pikiryang ada pada masyarakat desa Pulau Pahawang diharapkan dapat berubah.PP yang dilakukan menjadi media untuk pembelajaran bagi masyarakat untukmengenal, menjaga dan bahkan mengelola sumberdaya yang ada. Rasa memilikidiharapkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pada akhirnyapermasalahan yang ada dapat mereka selesaikan sendiri.

Pendampingan dan proses pemetaan yang dilakukan oleh Mitra Bentala mulaidari proses persiapan hingga pembuatan peta menjadi kunci berubahnya sudutpandang masyarakat. Masyarakat mendapat visualisasi atau gambaran tentang

160

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

sumberdaya alam yang menjadi hak mereka dan merupakan kekayaan alamyang mereka miliki dan patut mereka lindungi.

Keterlibatan semua kelompok masyarakat yang ada di Desa Pulau Pahawangdalam mendukung kegiatan pemetaan memperkuat keyakinan akan hak yangmereka miliki. Bagian-bagian masyarakat seperti aparat dusun (ketua Dusun,ketua rukun tetangga), tokoh agama, tokoh masyarakat, kelompok pemuda,kelompok nelayan dan aparat pemerintahan desa memberi dukungan yang besardalam proses sehingga memperkuat rasa memiliki.

Peta yang dihasilkan menjadi bahan diskusi bagi masyarakat dalammenumbuhkan kesadaran untuk menjaga sumber daya alam di sekitar merekadan untuk memahami manfaat dan dampak buruknya. Penggunaan bahanpeledak dan potasium berkurang. Masyarakat mulai berani mengusir trawl danmenindak pelaku penangkapan ikan yang di wilayah tangkap nelayan tradisional.Mereka tidak lagi mengambil karang, melakukan tebang pilih kayu bakau danmembentuk daerah perlindungan mangrove. Mereka pun sudah maumenyampaikan permaslahan pada pihak-pihak terkait seperti Dinas Kelauatan,TNI AL, polisi perairan (Airud), dan pemerintah Kecamatan Punduh Pedada.

PP Sebagai Alat Pengorganisasian Untuk Melindungi Dan Mengelola

SDA

PP yang dilakukan menghasilkan informasi sumberdaya yang dimiliki oleh DesaPulau Pahawang dan memberikan gambaran besarnya permasalahan yangada, maka yang dilakukan adalah dengan menjaga dan melindungi sumberdayayang ada dengan melibatkan masyarakat setempat. Salah satu caranya denganmengorganisir masyarakat melalui kelompok-kelompok. Pembentukan kelompokberdasarkan pada isu yang berkembang. Untuk mengamankan keberadaan ikandan penyelamatan ekosistem laut (terumbu karang) dibentuklah kelompokrumpon. Kelompok nelayan dibuat untuk menjaga sumberdaya ikan dan perairanPahawang. Untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan mangrove dibentuklahBadan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM). Pengorganisasianini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnyasumberdaya yang ada.

Melalui Surat Keputusan Nomor 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 Kepala Desa PulauPahawang mensahkan pembentukan Badan Pengelola Daerah PerlindunganMangrove (BPDPM) dengan Bapak M. Syahril Karim sebagai ketua. Sebagaiorganisasi desa yang bersifat otonom BPDPM berfungsi melakukan pengawasanterhadap hutan mangrove yang ada di Desa Pulau Pahwang. Kerja-kerjaorganisasi ini meliputi perencanaan dan penyusunan program kerja, membuataturan-aturan dalam perlindungan mangrove, pelatihan dan pendidikan,

161

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

pembinaan dan melakukan pengawasan terhadap ancaman kelestarian dankerusakan kawasan hutan mangrove.

Sebagai organisasi yang diberikan otonomi untuk mengelola hutan mangroveBPDPM memiliki empat buah divisi dalam struktur organisasinya. Masing-masing divisi dan unsur di dalam struktur organisasi tersebut adalah sebagaiberikut:

PELINDUNG

KEPALA DESA PULAUPAHAWANG

KETUA

B P D P M

STRUKTUR ORGANISASIBADAN PENGELOLA DAERAH PERLINDUNGAN MANGROVE (BPDPM)

DESA PULAU PAHAWANG

DIVISI IADMINISTRASI &

KEUANGAN

DIVISI II

PENGELOLAAN

DIVISI IIIHUBUNGAN

MASYARAKAT

DIVISI IV

PENGAWASAN

1) Pelindung adalah yang berhak menerima segala pelaporan kerja dari BPDPM,merupakan pelindung tertinggi dalam organisasi dan bertanggungjawab ataskeberhasilan organisasi.

2) Ketua adalah koordinator tertinggi kelembagaan BPDPM yang tugasnyamelakukan koordinasi dalam organisasi.

3) Divisi I (administrasi dan Keuangan) bertugas mengelola keuangan,menangani surat menyurat, inventarisasi alat-alat (alat tulis kantor danbarang lainnya), serta melakukan inventarisasi dokumen-dokumen lembaga

4) Divisi II (Pengelolaan), fungsinya melakukan perencanaan dan pelaksanaanprogram kerja organisasi dan menetapkan aturan-aturan daerahperlindungan mangrove.

5) Divisi III (Hubungan Masyarakat) fungsinya melakukan pembinaan padamasyarakat dan melakukan pelatihan dan pendidikan

162

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

6) Divisi IV (Pengawasan) dengan fungsinya melakukan pengawasan terhadapdaerah perlindungan mangrove, mecegah terjadinya kerusakan daerahperlindungan mangrove dan menjaga kelestarian daerah perlindungan man-grove

PP Sebagai Alat Negosiasi Dan Penyelesaian Konflik

Peta yang dihasilkan dari proses PP digunakan sebagai bahan untukmemaparkan permasalahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadapsumberdaya alam pesisir laut di Desa Pahawang. Peta yang dihasilkan olehmasyarakat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan menjagawilayah mereka. Peta pun disosialisasikan kepada publik yang lebih luas untukmendapatkan dukungan serta menjadi faktor pendorong bagi kelompok-kelompok yang melakukan advokasi di tingkat nasional dan internasional.

Peta juga berdampak pada pengurangan jumlah dan tingkat konflik pemanfatansumberdaya alam pesisir laut. Perusahaan yang mengkapling wilayah laut mulaimenurunkan tekanannya dengan memperbolehkan nelayan mencari ikan diwilayah gosong-gosong tempat nelayan mencari ikan. Masyarakat sering kalimelarang kapal trawl yang beroperasi dan bahkan mengusirnya dari perairanDesa Pulau Pahawang.

Dari upaya-upaya yang sudah dilakukan tersebut beberapa keberhasilan yangdicapai yaitu:

- Adanya kesepakatan untuk mengakui kawasan tangkap nelay an tradisionaldi Teluk Lampung yang dituangkan dalam sebuah dokumen yangditandatangai semua pihak yang hadir dalam pertemuan antar stakholderpada tahun 2000. Isi kesepakatan tersebut antara lain laranganpengoperasian Trawl di Teluk Lampung, dan khususnya di perairan PulauPahawang dan sekitarnya, serta larangan menangkap ikan dengan pembomandan potasium sianida . Semua kesepakatan tersebut sebenarnya telahtercantum pada banyak peraturan yang dibuat pemerintah sendiri, namunpelaksanaannya tidak efektif.

- Peta sangat efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi,khususnya permasalahan yang melibatkan pihak-pihak dari luar dalampemanfaatan sumberdaya perikanan maupun sumberdaya laut di Desa PulauPahawang. Contohnya, dengan menunjukan hasil kesepakatan bersama danpeta yang dibuat masyarakat Pahawang merampas jaring trawl dan paraawak kapal pun mengakui kesalahan mereka, padahal mereka mendapatperlindungan dari anggota TNI AL. Selain alat tangkap mereka dirampas,mereka juga harus membayar denda berupa uang.

163

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

- Masyarakat mampu ’mengusir’ atau melakukan pencegahan terhadapberoperasinya jaring trawl di sekitar perairan Desa Pulau Pahawang.Terhadap setiap kapal trawl yang beroperasi di perairan Desa PulauPahawang masyarakat beramai-ramai mengusir trawl. Masyarakat pernahmenyandera kapal ikan yang berasal dari Kepulauan Seribu yang beroperasidi perairan Desa Pulau Pahawang.

- Masyarakat juga berhasil mendorong pemerintah desa untuk mengeluarkanperaturan desa tentang perlindungan kawasan Hutan Mangrove (No. 02/007/Perdes-phm/XI/2006). Peraturan ini memuat arti penting kawasan hutanmangrove sebagai sabuk hijau pada daerah pantai dan pulau-pulau kecilguna menghindari terjadinya pengikisan pantai, tempat perkembangan danperlindungan berbagai biota dan satwa serta semakin besarnya kerusakanyang dapat mengancam keberadaan hutan mangrove.

- Pimpinan perusahaan dan pihak keamanan perusahaan budidaya kerangmutiara memperbolehkan nelayan tradisional untuk mencari ikan di dekatareal budidaya berdasarkan hasil lobi masyarakat dalam pertemuan/dia-log dengan pihak perusahaan dengan memperlihatkan peta wilayah tangkapnelayan tradisional.

KESIMPULAN

Sumberdaya alam yang komplit di Desa Pulau Pahawang menjadikan daya tariktersendiri bagi pihak manapun, tidak hanya pemanfaatan untuk kebutuhansehari-hari tetapi juga pemanfaatan dalam skala besar yang memungkinkanterjadinya kerusakan sumberdaya alam laut di desa Pulau Pahawang. Sementaramasyarakat di Desa Pulau Pahawang memiliki pandangan sendiri soalwilayahnya, termasuk wilayah lautnya, karena mereka tidak merasa sebagaipemilik. Mereka tidak berpikir untuk melakukan pelarangan bagi pihak manapunyang memanfaatkan secara berlebihan hingga terjadi kerusakan. Padahal merekasangat menggantungkan hidupnya pada hasil sumberdaya pesisir dan laut.Akhirnya mereka menyadari bahwa sumberdaya laut dan pesisir mereka semakinlama semakin punah karena pemanfaatan yang berlebihan.

Masalah ini mendapat perhatian dari pihak-pihak yang pro terhadapkelangsungan sumberdaya alam (khususnya pesisir dan laut), yaitu MitraBentala. Lembaga ini kemudian diminta bantuannya untuk memberikan arahanguna memecahkan permasalahan yang ada di Desa Pulau Pahawang. Diskusidemi diskusi dilangsungkan hingga kemudian disepakati untuk melakukanpemetaan secara partisipatif oleh seluruh masyarakat dengan bantuan teknisdari Mitra Bentala. Kesepakatan demi kesepakatan dicapai mulai dari persiapan

164

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

pemetaan sampai pada bagaimana masyarakat selanjutnya memanfaatkan petauntuk tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut diDesa Pulau Pahawang.

Selama prosesnya, yang sesungguhnya hingga sekarang masih berlangsung,upaya-upaya untuk perlindungan dan pengelolaan berjalan sesuai dengan apayang diinginkan oleh masyarakat di Desa Pulau Pahawang. Sandaran utamanyaadalah bagaimana agar pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di DesaPulau Pahawang tidak mengakibatkan kerusakan yang bisa berdampak padahilangnya sumberdaya yang menjadi tumpuan penopang hidup masyarakat DesaPulau Pahawang. Hal ini ditandai dengan pembentukan kelembagaan khususuntuk pengelolaan wilayah pesisir dan lautnya yaitu Badan Pengelola DaerahPerlindungan Mangrove (BPDPM) melalui Surat Keputusan Kepala Desa PulauPahawang Nomor 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 tahun 2006, serta pengesahanperaturan desa yang mengatur tentang pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove(diterbitkannya Perdes No. 02/007/Perdes-phm/XI/2006 tentang PerlindunganHutan Mangrove). Hasil lainnya adalah masyarakat mampu melakukan negosiasidengan pihak-pihak yang bertentangan – khususnya perusahaan yang melarangnelayan untuk mengambil hasil laut di kawasan yang sudah dikuasainya –sehingga kemudian nelayan bisa kembali menangkap ikan di wilayah tersebut.

Diakui bahwa proses terpenting dalam PP yang dilakukan di Desa PulauPahawang adalah perubahan cara berpikir masyarakat tentang pemanfaatansumberdaya alam agar tidak rusak dan habis. Masyarakat yang semulaberpandangan bahwa sumberdaya laut bukanlah milik mereka akhirnyamenyadari bahwa sebenarnya mereka telah membiarkan proses perusakankarena tidak melakukan kontrol ketika ada pihak-pihak yang memanfaatkansecara berlebihan. Mereka tidak terhindar dari kerugian yang mereka rasakanlangsung ketika sumberdaya tersebut semakin lama semakin habis. Perubahansudut pandang tersebut menyebabkan masyarakat berupaya untukmengorganisir diri dengan membentuk kelompok-kelompok yang kemudiandigunakan sebagai alat untuk negosiasi dan menyelesaikan konflik dengan pihak-pihak dari luar desa Pahawang dan dinas terkait. Keberadaan sumberdaya alam,terutama yang ada di pesisir dan laut, harus dijaga dan dilindungi dari berbagaimacam ancaman. Dan yang lebih penting adalah memahami akan hak atassumberdaya alam yang mereka miliki.

165

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

PERUBAHAN PERSEPSI BATAS PASCA PEMETAAN :SEBUAH KASUS DI KABUPATEN LANDAK

KALIMANTAN BARATOleh : Lorensius Owen

PENGANTAR

Ide atau gagasan PP di Kalimantan Barat yang dikembangkan PemberdaaanPengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur Kasih awalnyaadalah untuk menghambat laju ekspansi eksploitasi sumberdaya alam danhutan di Kalimantan Barat terutama pada wilayah-wilayah masyarakat Dayakyang saat itu tidak berdaya menghadapi kek uatan Negara dan pemilik modal.Peminggiran terhadap masyarakat Dayak dari tanah mereka telah terjadi sejakmasa kolonial yang diteruskan oleh pemerintahan Orde Baru dan bahkan terusdilanjutkan hingga saat ini. Bentuk-bentuk penguasaan Negara atas tanahtersebut baik dalam bentuk pemberian konsesi-konsesi pembalakan hutan(dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan), Hutan Tanaman Industri (HTI), PerkebunanInti Rakyat (PIR), dan Pertambangan; maupun dengan penetapan kawasan-kawasan Transmigrasi dan kawasan konservasi (Hutan Lindung, Taman Nasionaldan Cagar Alam ) serta peruntukan lainnya. Semua itu dilakukan atas namaNegara dan kesejahteraan, tapi faktanya bahwa masyarakat adat tetap miskindan bahkan hak-hak mereka hilang dirampas, termasuk oleh kekuatan modal.

Akibat proses tersebut pada titik tertentu masyarakat Dayak akan kehilanganidentitasnya karena tanah, hutan dan sungai sebagai basis tradisi budaya Dayakrusak akibat investasi modal dalam skala besar. Apalagi semua itu dilakukantanpa keterlibatan dan p artisipasi masyarakat sehingga peruntukan dan klaim-klaim penguasaan tersebut tumpang tindih dengan hak-hak masyarakat adat diKalimantan, terutama masyarakat adat Dayak. Proses pengasingan danpeminggiran tersebut menyebabkan identitas Dayak hilang sehingga wargamasyarakat Dayak “takut” mengakui dirinya sebagai orang Dayak apalagimengembangkan tradisi budaya Dayak. Padahal budaya dan tradisi serta adatistiadat suku Dayak sangat tergantung dengan tanah, hutan dan sungai. Apabilaketiga unsur ini hilang maka identitas Dayak sebagai suku dan budaya sertatradisi akan hilang.

166

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Menghadapi situasi yang semakin memburuk demikian, beberapa orang Dayakyang tinggal di Pontianak bersepakat untuk melawan proses pengasingantersebut dan berupaya melindungi tanah mereka demi masa depan anak-anaknyadan kecintaan mereka pada hutan, tanah dan sungai. Oleh sebab itu YayasanKarya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) yang berdiri tahun 1981 memutuskan untukmengembangkan kegiatan pemetaan wilayah kelola rakyat (tanah adat) gunamengkampanyekan dan mendokumentasikan wilayah-wilayah tempatmasyarakat Dayak hidup dan berkembang. Kegiatan Pemetaan ini akanmenjelaskan secara rinci tentang model-model pengelolaan sumber daya alammasyarakat Dayak kepada pihak luar, agar hak-hak mereka dapat diketahui,dipahami, dihargai dan diakui untuk memimalisir konflik pengelolaansumberdaya alam dan lahan di Kalimantan Barat. Dengan demikian YKSPKmerupakan salah satu lembaga yang memelopori gerakan PP di KalimantanBarat. Yayasan tersebut membentuk unit kerja yang dinamakan PembinaanPengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan pada tahun 1994, yang padatahun 2000 berubah menjadi Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya AlamKerakyatan, yang dikenal dengan singkatan PPSDAK Pancur Kasih.

PP merupakan salah satu bentuk kampanye kearifan lokal tentang pengelolaansumberdaya alam oleh masyarakat. Selain itu dalam konteks Kalimantan BaratPP adalah sebuah bentuk counter atas klaim pengelolaan sumberdaya alamoleh Negara yang menyebabkan hilangnya hak-hak masyarakat adat yangdirampas oleh kepentingan investasi skala besar berupa HPH, PIR Trans,Perkebunan, konsesi lahan lainnya dan peruntukan kawasan konservasi olehNegara.

Era Orde Baru yang bercirikan kekuasaan Negara (pusat) yang begitu dominanmenyebabkan daerah-daerah tidak berdaya. Sumberdaya alam yang menjadiaset daerah habis dikuras untuk kepentingan pusat dan melahirkan kemiskinan,kemelaratan dan kerusakan alam, dan bahkan bencana ekosistem. Akibatnyadaerah semakin tidak berdaya. Melalui kegiatan pemetaan kondisi tersebutsemakin terlihat dengan jelas. Proses-proses pengorganisasian yang dilakukandapat memberi dorongan pada kelompok-kelompok masyarakat adat untukmengorganisir diri. Akibatnya terjadi proses penyadaran akan hak dantanggungjawab mereka sebagai warga masyarakat dalam wilayah tersebut. Petadan pemetaan paling tidak mampu membuka wacana baru tentang paradigmapengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah-daerah. Namunkondisi ini tidak beriringan dengan perubahan politik Negara dari sentralisasike desentralisasi yang justru berdampak negatif terhadap eksistensi sumberdayaalam.

Otonomi daerah membuka peluang lebih besar bagi pemerintah daerah untukmenentukan kebijakan di daerah yang pada kenyataan justru semakin

167

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

mengancam keberlanjutan sumberdaya alam di wilayah mereka masing-masing.Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, proyeksipertumbuhan kelapa sawit Kalimantan Barat tahun 2005-2008 mencapai 4 %per tahun dan proyeksi produksinya mencapai 15% per tahun. Sementaraproyeksi pertumbuhan komoditas karet hanya 1% dan proyeksi produksinyahanya 2%. Proyeksi ini tidak akan jauh berbeda dari realisasinya bahkan bisalebih dahsyat. Misalnya, tahun 2005 pemerintah mencanangkan 1,5 juta hektarlahan perkebunan sawit, ternyata di lapangan sudah lebih dari 3 juta hektarlahan yang sudah diberikan izinnya. Padahal sebelumnya pemerintah mencabut148 izin perkebunan sawit seluas 4,1 juta hektar dari 261 perkebunan sawityang ada di Kalimantan Barat, karena tidak melaksanakan kegiatan hinggatenggat waktu perizinan berakhir sementara minat investor perkebunan sawitdi Kalbar sangat besar. Pemberian izin dalam rentang waktu 2006-2007 cukupluar biasa. Pada tahun 2006 saja, izin yang diberikan sudah mencapai 3,5 jutahektar. Dan hingga Mei 2007, menjadi 4,145 juta hektar untuk 261 perusahaan,namun baru sekitar sembilan persen atau 380 ribu hektar yang berupa kebun.Izin-izin tersebut diterbitkan bupati yang sekarang memiliki kewenangan sebagaiakibat dari pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat dan provinsi dalamkonteks desentralisasi.

Dengan latar belakang kebijakan pengelolaan sumber daya alam yangeksploitatif dan berorientasi pada usaha ekonomi skala besar demikian upayapembuktian hak atas tanah menguat. Melalui informasi dari aktivis yangberkunjung ke kampung-kampung dan belajar dari kampung lainnya, masyarakatmulai mengetahui kegiatan PP. Dalam waktu singkat permintaan pemetaankampung membanjir. Hingga Nopember 2008 PPSDAK Pancur Kasih telah berhasilmemetakan 309 kampung/desa yang tersebar di 34 kecamatan di sembilankabupaten di Kalimantan Barat dengan total luas wilayah 1.285.954,25 ha atausekitar 8,76 % dari luas wilayah Kalimantan Barat yang 14.680.700 ha. Namuncapaian kuantitas pemetaan tersebut belum berkorelasi positif dengan agendapenyelamatan ekosistem dan kerusahan hutan dan lahan di Kalimantan Barat.

Walaupun kegiatan pemetaan di Kalimantan Barat telah mencapai jumlah yangbegitu luas yang mencakup 36 kecamatan dari 163 kecamatan di provinsi ini,dalam tulisan ini penulis hanya membahas persoalan tapal batas antar wargamasyarakat kampung Pate dan kampung Nangka di desa Sahapm (KecamatanSangah Tumila) dengan warga masyarakat kampung Sindur desa Agak(Kecamatan Subangki) pasca PP. Persoalan yang muncul ini menarik untuk kitasimak bersama terutama pegiat PP atau organisator-organisator lapangan.Perspektif ruang dan batas akan menjadi persoalan manakala masalahmendasar dalam warga masyarakat tersebut tidak tertangani. Selain itu ruangdan batas yang memuat aset ekonomis bisa menjadi masalah manakalapengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat bergeser dari tradisi budaya

168

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

setempat ke arah komersialisme yang melihat sumberdaya alam dan hutansebagai aset ekonomis semata. Dalam hal ini kearifan lokal berbenturan kerasdengan konsumerisme yang berjiwa materialistik. Dalam konteks inilah PP bisamemberi pemahaman kepada para pihak tentang interaksi di antara wargamasyarakat, negara dan modal untuk bersinergi dalam membangunkesejahteraan dengan tetap memperhatikan kelangsungan ekosistem (investasivs kelangsungan ekosistem). .

KONSEP BATAS MASYARAKAT ADAT DAYAK KANANYATN

Konsep batas masyarakat Dayak, terutama Dayak Kanayatn, secara umum sebe-narnya lebih cair dan terbuka. Walaupun demikian batas dalam konteks pengelo-laan sumberdaya alam dan wilayah telah ada turun-temurun yang ditentukanberdasarkan kesepakatan antar kampung yang ditandai dengan upacara adat.Konsep pengelolaan sumberdaya alam yang dikenal dengan istilah “ Palasarpalaya’ merupakan sebuah konsep klaim wilayah yang sulit dibuat dalam sebuahgambar peta karena batas yang dimaksud dalam klaim tersebut lebih bersifatimajiner (semu).

Pada tingkat yang lebih kecil ada tiga macam kepemilikan yang memiliki batasklaim. Pertama, lahan yang diklaim secara pribadi berupa ladang ( uma), ladangyang sedang diberakan ( rame), kebun karet (kabon gatah) dan sawah (bancah),sehingga masing-masing disebut batas uma, batas rame, batas kabon gatah,dan batas bancah . Kedua, klaim wilayah secara kolektif berdasarkan garisketurunan atau “parenean.” Ketiga, klaim pengelolaan kolektif bagi seluruh wargasatu kampung atau “sakampongan” yang diakui oleh warga kampung tetangganya.Selain itu masih ada lagi batas wilayah berdasarkan perbedaan tradisi budayayang umumnya dalam cakupan satu binua (suatu federasi beberapa kampungyang dipimpin seorang timanggong).

KONDISI UMUM KAMPUNG SINDUR

Kata Sindur diambil dari salah satu jenis kayu yang cukup banyak dijumpai didaerah tersebut.49 Jumlah penduduk kampung Sindur berkisar 47 KK atau sekitar230 an jiwa. Etnis mayoritas di kampung Sindur adalah suku Dayak dari subsuku Dayak Kanayatn. Kampung Sindur terletak di bagian timur kecamatanSubangki. Namun letaknya yang terpisah dari kampung-kampung lain membuatjalan ke kampung ini masih dalam bentuk jalan setapak, bukan jalan aspalatau jalan perkerasan seperti di kampung-kampung lain sedesa. Hal ini jugamenyebabkan kampung ini menjadi terisolir dari kampung-kampung lain yangditambah lagi dengan minimnya infrastruktur dasar bagi warga masyarakatseperti sarana pendidikan (sekolah), kesehatan dan penerangan (listrik). Dan

169

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

bahkan sampai dilaksanakannya kegiatan pemetaan pada tahun 2001 untukmencapai kampung ini melewati jembatan kayu bulat — titi50 — yang dibuatoleh warga masyarakat setempat. Dalam administrasi Negara, kampung Sindurmasuk ke dalam desa Agak Kecamatan Subangki (Kabupaten Landak). KecamatanSubangki sendiri merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Sangah Tumila.Dari kota kecamatan Sangah Tumila, Pahauman, menuju kampung Sindur kitaakan melalui jalan beraspal yang melalui beberapa kampung hingga kampungSanunuk, kemudian menempuh jalan setapak sekitar 3 km untuk mencapai

kampung tersebut .

MENGAPA MELAKUKAN PEMETAAN PARTISIPATIF

Di wilayah kecamatan Sangah Tumila sekitar tahun 1980an beroperasi sebuahperusahaan pemegang HPH PT. Gelora Agung kemudian dilanjutkan lagi oleh PT.Kota Niaga di atas wilayah yang sama. Perusahaan tersebut secara sepihakmenguasai dan menggarap hutan adat masyarakat atau mencaplok lahan danwilayah mereka tanpa ada koordinasi dan kompromi apalagi negosiasi, sehinggahak-hak masyarakat terutama atas hutan adat ( Udas51) dirampas.Ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi investasi tersebutmenyebabkan masyarakat di wilayah tersebut berupaya mempertahankanwilayah adat mereka melalui pemetaan. PPSDAK membantu pemetaan kampungNangka pada tahun 1996 , kampung Pate pada tahun 1998 dan kampung Sindurpada tahun 2001.

Pada saat itu anggapannya adalah bahwa pemetaan cukup mampu menjawabpersoalan-persoalan masyarakat terutama dalam mempertahankan wilayahmereka dari ancaman pihak perusahaan HPH. Harapan mereka bahwasumberdaya hutan bukan diperuntukkan pada pihak-pihak yang luar yang secarade facto tidak memelihara wilayah tersebut yang tanah dan isinya menjadiunsur penting dalam hidup dan kehidupan masyarakat adat setempat. Olehsebab itu apabila wilayah dan sumberdaya mereka diganggu oleh pihak luarakan berhadapan dengan mereka. Kondisi ini akan menjadi persoalan besarapabila pengabaian hak terus menerus terjadi. Peta yang akan dihasilkandiharapkan mampu melawan kecenderungan tersebut dengan caramenerjemahkan pemanfaatan lahan masyarakat lengkap dengan luas wilayahmasing-masing kampung. .

Proses Pemetaan Partisipatif

Agak berbeda dengan di wilayah-wilayah lain, PPSDAK melakukan sebagianbesar tahapan pemetaan, proses pemetaan wilayah Kampung Sindur melibatkanempat unit kerja yang ada di Gerakan Pancur Kasih 52, yaitu : Area Development

170

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Program (ADP), Credit Union Pancur Kasih (CUPK), Koperasi Pancur Dangeri (KPD),dan PPSDAK. Masing-masing unit ini secara kolaboratif melakukan kegiatan diwilayah kecamatan Saengah Tuemila Kabupaten Landak. Berikut ini metode yang

diterapkan di kampung Sindur.

Persiapan Sosial

Kampung Sindur merupakan salah satu wilayah dampingan dari kerja-kerjaPancur Kasih melalui ADP yang mendapat hibah dari World Vision Interna-tional (WVI).53 Selain itu beberapa dari warga masyarakat kampung Sindur telahmenjadi anggota CUPK dan anggota KPD wilayah Sinakin. Oleh sebab itu sebelumkegiatan PP dilakukan, beberapa warga kampung telah mengetahui tentangadanya PP berdasarkan informasi dari kampung-kampung lain dan para aktivisyang melakukan pengorganisasian dan penyadaran. Pihak yang secara khususmengorganisir kampung ini adalah staf dari ADP dan KPD serta CUPK yangsetiap pertemuan selalu menyampaikan informasi tentang PP dan artipentingnya dalam upaya mempertahankan wilayah, apalagi dalam kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga ini berbasiskan pengelolaan aset-aset sumberdayawilayah. ADP secara khusus menekankan pada strategi perencanaan danpengelolaan wilayah, CUPK pada strategi pengelolaan anggaran keluarga danKPD khusus mengorganisir petani karet. Dalam konteks ini seluruh persiapansosial untuk kegiatan pemetaan semua dilakukan oleh ketiga lembaga yangkebetulan juga tergabung dalam gerakan pemberdayaan Pancur Kasih. Halpenting yang disampaikan dalam kegiatan adalah bahwa kegiatan pemetaandilakukan oleh warga masyarakat sendiri, adapun pihak dari PPSDAK atau ADP,CUPK dan KPD hanya sebagai fasilitator.

Dalam persiapan sosial ini pendamping ( community organizer ) perlumenyampaikan kelemahan atau sisi negatif yang kemungkinan muncul pascapemetaan terutama yang menyangkut data dan informasi dari hasil kegiatanpemetaan wilayah dan strategi warga masyarakat menghadapi pihak luarterutama pemilik modal. Pertemuan kampung dalam tahap ini menentukanapakah pemetaan akan dilakukan atau tidak..Proses sosialisasi terusdilaksanakan agar keputusan yang diambil tidak keliru. Di kampung Sindurproses ini bahkan telah dilakukan tidak lama sejak PPSDAK berdiri, namunbaru tahun 2001 kegiatan pemetaan dapat dilaksanakan.

Setelah masyarakat Sindur sepakat untuk memetakan wilayah mereka denganmengirimkan surat permohonan kepada lembaga pendamping yaitu PPSDAKmelalui ADP. Permintaan formal ini penting agar penjadwalan kegiatan dapatditentukan karena ketersediaan tenaga fasilitator pemetaan di PPSDAK terbatas.Barulah kemudian lembaga ini melanjutkan pendampingan secara teknis untukmelakukan pemetaan.

171

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Persiapan Teknis Pemetaan

1. Musyawarah tokoh-tokoh adat (Mustodat)

Sebelum PP dimulai dilaksanakan musyawarah adat di kampung Sindur.Satu orang staf dari PPSDAK, satu orang dari Community Mapper wilayahKabupaten Landak dan dua orang staf ADP, tiga orang staf KPD Sinakinikut dalam proses pertemuan Mustodat di Kampung Sindur. Dalampertemuan seorang pemuka kampung Sindur memiliki peran yang besardalam menentukan keputusan pelaksanaan kegiatan pemetaan. Tahapini sangat penting dan harus dilaksanakan dengan hati-hati, itikad baikdan keterbukaan untuk mencegah konflik perbatasan wilayah di masayang akan datang. Fasilitator perlu berhati-hati untuk menyakinkanseluruh kelompok agar mampu memahami sepenuhnya tujuan, fungsidan guna peta bagi mereka.

Sebenarnya dalam penentuan kesepakatan tapal batas antar kampungtokoh-tokoh masing-masing kampung diundang, namun karena jarakyang cukup jauhmaka tokoh dari kampung Pate dan Kampung Nangkatidak dapat hadir.

Selama musyawarah dengan tokoh-tokoh adat melukiskan peta batin/mental tentang wilayah mereka dalam peta sketsa. Peta sketsa ini akandipresentasikan kepada para peserta lainya dan selanjutnyadidiskusikan. Kehadiran para tokoh masing-masing kampung yangberbatasan sebenarnya sangat menentukan kualitas hasil yang dicapai.Proses ini juga merupakan forum yang sangat strategis bagi kaum mudakarena mereka mendapat kesempatan untuk memperoleh pengetahuanbaru tentang konsep pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah, mereka.Pemetaan adalah salah satu cara untuk menelusuri sejarah kampung,termasuk sejarah penguasaan lahan. .

2. Penentuan batas antar kampung

Penentuan batas antar kampung merupakan satu hal yang cukup pentingdan menentukan dalam kegiatan PP tahap berikutnya. Proses kegiatanini dilakukan dengan menghadirkan para tetua kampung/wilayahterutama yang cukup paham tentang batas masing-masing wilayah. Dalamproses yang normal kegiatan penentuan batas biasanya tidak banyakmengalami persoalan, walapun demikian ada beberapa hal yang sangatsensitif terutama penentuan tapal batas pada tempat-tempat yang bersifatkepemilikan komunal “parenean sakampongan 54 dan bernilai ekonomismisalnya hutan atau lahan. Dalam diskusi ini perlu ditekankan bahwa

172

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tempat yang dijadikan tapal batas tidak menghilangkan hak atas tanah(kepemilikan) yang telah warga kuasai. Dengan penjelasan demikiandiharapkan warga tidak khawatir akan kehilangan hak-hak yang telahmereka miliki. Penjelasan yang tidak utuh dan menyeluruh tentang tujuan,fungsi dan manfaat peta bagi warga masyarakat dapat menyebabkanpeta justru dapat menimbulkan konflik di kemudian hari terutama tentangpengelolaan sumberdaya alam yang masih bersifat komunal(Parenean=Dayak Kanayatn) .

Berdasarkan hasil penelusuran sejarah ketiga kampung tersebut mengakuibahwa batas wilayah mereka bertemu di tiga sungai utama di wilayahtersebut, yaitu Sungai Saranakng, Sungai Amalo dan Sungai Adasatn yangberada di kawasan udas. Namun warga kampung Pate dan warga kampungNangka tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Karena itu wargamasyarakat diminta untuk menyampaikan daftar nama tapal batas sesuaidengan hasil pertemuan dengan warga kepada warga masyarakatkampung Pate dan Nangka sebelum survei dilakukan. Hal ini pentingagar pengambilan data dan proses penyelesaian peta baik di lapanganmapun kantor tidak terhambat atau mengalami persoalan. Namun karenanama tempat yang menjadi titik tapal batas antara ketiga kampung inisudah menjadi kesepakatan sejak dahulu yang ditandai dengan tempatkeramat (panyugu) warga kampung Pate yang berada di wilayah Sindur,maka hasil pertemuan warga kampung Sindur tidak disampaikan ke wargakampung Pate dan Nangka

3. Pelatihan pemetaan bagi warga masyarakat

PP bagi warga masyarakat merupakan sebuh rangkaian proses pemetaanselanjutnya. Keterbatasan orang di kampung Sindur sehingga kegiatanpelatihan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Kegiatan ini diisidengan penjelasan pemahaman proses pemetaan parisipatif. Sebenarnyakegiatan pelatihan bagi warga masyarakat mesti dilakukan mengingatpada proses pengambilan titik GPS akan dilakukan oleh wargamasyarakat sendiri. Adapun lembaga pendamping hanya memfasilitasidalam teknik pengambilan dan akurasi data yang diambil sehingga datadan informasi yang diperoleh dapat dipertangungjawabkan.

4. Bentuk - bentuk partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat

Bentuk partisipasi warga masyarakat kampung Sindur saat itu, yangpertama adalah menyiapkan tenaga yang akan mengantar ke tempat-tempat batas antar kampung. Kemudian menyediakan tempat tinggaluntuk tenaga fasillitator lapangan dan beberapa orang-orang tokoh

173

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

kampung menemani fasilitator dalam mengisi peta kampung merekaseperti tataguna lahan, aliran sungai, dan tempat-tempat stratetgismasyarakat yang masuk dalam wilayah kampung Sindur. Bentukpartisipasi lainya antara lain berupa beras dan uang yang nominalnyatidak ditentukan, hal ini sangat bergantung pada keikhlasan masing-masing warga. Secara khusus biaya konsumsi kegiatan ini dibebankanpada ADP karena memang dalam program kerja ADP memasukan kegiatanpemetaan wilayah, sementara PPSDAK membantu dalam pengadaantenaga fasilitator dan alat kebutuhan survei lainya.

5. Persiapan lembaga pendamping / fasilitator

Dalam melakukan kegiatan PP, PPSDAK harus mempersiapkan peralatanteknis yang dibutuhkan dilapangan, pada saat itu kebutuhan pemetaandi kampung Sindur antara lain; GPS, Meteran, Kompas dan peta dasar.Alat pendukung lainya baterai Alkalin kecil, stabilo ( warna-warni), mistar,kertas millimeter blok untuk kebutuhan penggambaran peta pemukimanpenduduk, kertas plano untuk kebutuhan diskusi PRA (untuk menggalipola hubungan lembaga lokal, penelusuran sejarah kampung, daftaraneka sumber daya alam tanaman tumbuh, binatang dan data lainyayang berhubungan dengan pemetaan).

6. Survei batas kampung Sindur

Kegiatan pemetaan survei batas merupakan kegiatan yang mengasyikankarena warga bersama fasilitator mengelilingi tapal batas wilayah, masukhutan keluar hutan sambil menikmati indahnya panorama hutan dansumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut. Survei batas juga maumenunjukkan bahwa peta yang akan dihasilkan nantinya benar-benarakurat sesuai dengan data yang ada di lapangan. Survei batas merupakanpenelusuran tapal batas berdasarkan hasil kesepakatan bersamamasyarakat, namun karena pertemuan penentuan tapal batas antarkampung tidak dihadiri oleh warga dari kampung Pate dan Nangka makatitik batas yang diambil juga hanya berdasarkan hasil penunjukan wargaSindur sendiri. Ditambah lagi banyaknya batas yang berada di sekitarhutan (Udas) sehingga penentuannya dapat saja keliru atau salah.Adapun data GPS dan Kompas alat ini hanya sebagai pembantu surveyordalam menentukan koordinat di bumi dan arah sehingga kesalahan padaorang yang mengoperasikanya juga terbuka. Hasil survei yang diperolehletak geografis kampung Sindur berada pada interval 337.914 BT –346.730 BT dan 25.462 LS – 30.722 LS.

174

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

7. Diskusi pengisian peta wilayah dengan pendekatan PRA

Pengisian data peta kampung Sindur secara keseluruhan dilakukandengan survei langsung di lapangan dan diskusi dengan metode PRA(Participatory Rural Appraisal) . Fasilitator memasukkan data hasil surveiberupa titik GPS dengan dibantu oleh teman-teman dari ADP dan CUPK.Setelah data hasil survei dimasukkan dan masih terdapat ruang yangbelum terisi baru dilakukan diskusi den gan tokoh-tokoh wargamasyarakat. Proses ini tidak selesai karena salah satu fasilitatorpemetaan tiba-tiba sakit setelah menyelesaikan survei batas sehinggaharus dibawa ke luar dari kampung untuk mencari pertolongan dengancara ditandu55 oleh warga masyarakat karena jalan yang dapat dilaluikendaraan bermotor tidak ada.

8. Penyelesaian peta akhir di “bengkel”

Pada bagian ini fasilitator pemetaan memilih perwakilan dari masyarakatSindur untuk ikut ke kantor PPSDAK di Pontianak. Saat itu Pak Loboh,salah satu tokoh kampung Sindur, terpilih menjadi perwakilan wargamasyarakat untuk terlibat di Pontianak yang nantinya bertugas untukmelihat proses penyelesaian akhir peta kampung Sindur. Kegiatan di‘bengkel’ pemetaan di kantor PPSDAK adalah untuk melakukan koreksidata dan informasi pada peta yang akan dibuat serta klarifikasi danperbaikan atau melengkapi data dan informasi yang masih kurangsebelum peta dicetak. Kegiatan di bengkel tersebut berkisar antara 2-3hari tergantung pada data dan informasi yang ada dan peta yang akandihasilkan.

9. Pengesahan Peta wilayah

Hasil fasilitasi peta kampung kembali diserahkan ke masyarakat lewatADP sebagai lembaga pendamping. PPSDAK sebagai institusi membantuteknis pemetaan sehingga pada saat penyerahan hasil pemetaan kampungboleh hadir. Namun apabila berhalangan atau tidak ada yang dapatmeghadiri proses tersebut kedua lembaga telah sepakat bahwa hasilpeta kampung harus diserahkan ke warga kampung agar dapatdipergunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan kesepakatan wargakampung. Kesepakatan siapa dan bagaimana proses penyerahan hasilpemetaan sangat tergantung dari warga masyarakat. Proses penyerahanhasil pemetaan ini diikuti dengan penandatanganan berita acara olehyang memfasilitasi acara dengan warga kampung. Selain itu juga prosespenandatanganan pengurus kampung dan tokoh adat pada lembar petayang dihasilkan.

175

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

KESADARAN KRITIS TENTANG SUMBER DAYA WILAYAH

Peta dan pemetaan membuka cakrawala baru bagi setiap warga masyarakat dikampung Sindur. Mereka akhirnya tahu bahwa luas wilayah mereka adalah2.547,96 ha, dengan aneka sumberdaya di dalamnya seperti : Hutan atau Udas(795,86 ha), Ladang/ bawas atau rame, kebun karet atau kabon gatah (284,24ha), rawa atau tawakng. Sumberdaya yang dimiliki tersebut mulai menggangguperhatian warga masyarakat secara umum sehingga mulai terjadi dinamikasosial yang beragam dalam warga kampung Sindur. Perdebatan yang munculadalah apakah mereka perlu terus mempertahankan wilayah berikutsumberdaya alam yang dimiliki atau mengusahakan komoditi yang bernilaiekonomis tinggi, termasuk membuka hutan. Interaksi sosial baik dalam kampungSindur maupun ke luar kampung semakin tinggi. Hal ini dipicu dengan pemekarankecamatan Sengah Temila yang melahirkan Kecamatan Subangki. Akibatnya polainteraksi sosial masyarakat semakin beragam. Isolasi wilayah dan minimnyainfrastruktur dasar kampung Sindur semakin mendorong keinginan wargamasyarakat untuk melakukan perubahan. Selain hal tersebut ada beberapa halyang membuat dinamika sosial warga masyarakat Sindur dalam memahamisumberdaya wilayah menjadi lain dari kesepakatan awal kegiatan pemetaan.Berikut ini penjelasannya.

Nilai Sosial Budaya Bagi Masyarakat Adat

Sumberdaya alam bagi warga masyarakat Dayak berfungsi jamak, yangmerupakan unsur dan tumpuan harapan utama bagi kehidupan maupunkelangsungan hidup umat manusia (Fadholi Hermanto, 1989;32) 56. Bagi orangDayak tanah, hutan dan sungai adalah tiga elemen penting yang secara bersama-sama membentuk suatu identitas tersendiri yang berumur ribuan tahun yangberwujud “suku, budaya dan kepercayaan Dayak.” Dengan kata lain, ketiga unsurtersebut menjadi inti penting bagi identitas “orang Dayak,” karena unsur-unsurtersebut tidak hanya sebagai penopang kehidupan melainkan juga menentukanharkat dan martabat orang Dayak (John Bamba, 1998;23) 57.

Warga masyarakat Sindur sebenarnya sadar akan pentingnya hutan, tanah dansungai bagi kehidupan mereka. Setelah kegiatan pemetaan warga masyarakatSindur mulai menyadari nilai strategis ketiga komponen lingkungan itu bagikehidupan mereka. Hanya saja mereka dihadapkan pada persoalan yaitu kondisisosial ekonomi warga masyarakat yang minim dan tidak berdaya. Denganmasuknya paradigma baru tentang kesejahteraan mereka berubah sikap.Beberapa warga masyarakat mulai menghitung kekayaan sumberdaya yangdimilikinya, sehingga aneka sumberdaya hutan, tanah dan sungai yang adamulai menjadi rebutan. Akibatnya timbul kesan bahwa nilai-nilai sosial budaya

176

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

menjadi hal yang perlu diabaikan. Di sisi lain bahwa kekayaan sumberdaya diwilayah mereka sangat memungkinkan untuk melakukan meningkatkan“kesejahteraan” tersebut. Perubahan konsep ruang dan waktu menjadi hal yangsangat menentukan perubahan pandangan warga masyarakat tentang

pengelolaan sumberdaya alam mereka.

Kelangsungan Generasi Berikutnya

Tanah dan suberdaya alam yang tersimpan dalam wilayah terus mengalamipenurunan dari waktu ke waktu baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.Oleh sebab itu kegiatan pemetaan menjadi penting untuk mengingatkan padawarga masyarakat bahwa sumberdaya alam mereka suatu saat akan dapathabis apabila tidak di kelola dengan baik, sementara generasi terus saja tumbuhdan berkembang. Dalam pandangan saat ini mungkin saja ketersediaansumberdaya alam cukup, namun pada tahun-tahun berikutnya akan terjadiperubahan sumberdaya alam itu sendiri. Peta mengingatkan warga Sindur agarmulai berhati-hati dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam.Pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan kesejahteraan warga dankelangsungan hidup menjadi hal penting untuk dipertimbangkan demi generasi

warga masyarakat Sindur berikutnya.

Pertambahan Penduduk Di Kampung Sindur

Pertambahan penduduk dalam satu wilayah tidak dapat dibantah karena halitu pasti terjadi. Begitu juga halnya yang terjadi di kampung Sindur. Pada saatpemetaan dilaksanakan pada tahun 2001 penduduk kampung ini berjumlah 47KK (Kepala keluarga) dan pada tahun 2008 sudah bertambah menjadi 104 kepalakeluarga (data program Bantuan Langsung Tunai tahun 2008). Peningkatanjumlah penduduk ini disebabkan karena kelahiran dan perpindahan penduduk.Apalagi saat ini kampung ini menjadi pusat perhatian warga di sekitarnya,terutama kecamatan Subangki maupun Sengah Temila atau warga di sekitarKabupaten Landak, dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit oleh salah satupengembang perkebunan kelapa sawit. Dengan pertambahan penduduk tersebutmenyebabkan dinamika sosial warga masyarakat di kampung Sindur semakintinggi. Tidak bisa dipungkiri pada masa yang akan datang pertumbuhan pendudukdi kampung Sindur mungkin akan lebih cepat dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya. Dinamika sosial ini sangat mungkin juga akan semakinmenggerus nilai-nilai dan kearifan lokal tentang pengelolaan sumberdaya alamkarena berbenturan dengan nilai-nilai ekonomis dan politis yang baru sertamodernisasi. Bahkan saat ini kampung Sindur telah mulai mengalami perubahanyang cukup signifikan antara lain terbukanya sarana transportasi dan informasidi wilayah tersebut. Perubahan ini merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu

177

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

warga Sindur karena pada masa lalu untuk mencapai kampung ini sangatlahsusah. Sarana transportasi merupakan hal yang sangat vital dalam membukaakses wilayah. Namun pertanyaannya adalah sejauh kesiapan warga Sinduruntuk menerima pengaruh yang dibawa dengan makin mudahnya mobilitas or-ang dan barang.

Dampak Desentralisasi

Perubahan sistem kekuasaan Negara pasca reformasi tahun 1998 terutamapelaksanaan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang direvisidengan UU No. 32 tahun 2004) memberi peluang otonomi daerah yang luas.Salah satu buahnya adalah pembentukan Kabupaten Landak pada tanggal 4Oktober tahun 1999 berdasarkan UU Nomor 55 tahun 1999 yang merupakanpemekaran dari Kabupaten Pontianak. Setelah itu pemerintah daerah kabupatenLandak menetapkan Kecamatan Subangki sebagai sebuah administrasikecamatan secara definitif pada tahun 2002 sebagai pecahan dari KecamatanSangah Tumila.

Pembentukan wilayah baru tentulah dibarengi dengan keharusan untuk mencarisumber pendanaan bagi pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan.Selain menyandarkan pada dana yang diberikan pemerintah pusat dalam bentukDana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, pemerintah daerah harus mencarisendiri sumber pendapatan. Akibatnya Pemda harus menggenjot PendapatanAsli Daerah (PAD). Dengan wewenangnya yang besar, pemerintah kabupatenbisa memberikan ijin eksploitasi sumber daya alam. Seperti kabupaten-kabupaten lain di Kalimantan Barat, Kabupaten Landak menyandarkan PAD dariindustri kelapa sawit. Untuk itulah ijin-ijin baru perkebunan kelapa sawitdiberikan. Akibatnya interaksi sosial ekonomi dan politik di daerah semakinkuat. Pengelolaan aset-aset sumberdaya alam di masing-masing wilayahsemakin terbuka. Namun karena tanah yang menjadi sasaran konsesiperkebunan adalah tanah rakyat, sebagian besar diatur dalam hukum adat,konflik tanah meningkat, baik antara masyarakat dengan perusahaan maupundi antara masyarakat sendiri. Hal terakhir inilah yang terjadi di kampung Sindur.

Kampung Sindur yang merupakan daerah yang cukup terisolir di kecamatanSubangki tapi memiliki sumber kekayaan alam menjadi pusat perhatian parapihak, termasuk pemerintah kecamatan, yang mengusung jargon pengembanganwilayah untuk kesejahteraan rakyat. Letak kampung yang terisolir dari daerahlain menjadikan warga kampung Sindur mulai tertarik untuk mengembangkanwilayahnya agar dapat terbuka. Apalagi kampung-kampung sekitar Sindur sudahmulai terbuka (terutama akses transportasi ). Oleh sebab itu warga masyarakatbersepakat memohon secara resmi kepada pemerintah kabupaten Landak lewatDinas Perkebunan dan Pertanian untuk menetapkan hutan yang masuk wilayah

178

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

kampung terbuka untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Permohonan tersebutdipenuhi pemerinah daerah dengan ditetapkanya wilayah kampung Sindurmenjadi kawasan yang diperuntukan pengembangan perkebunan kelapa sawit.Dengan demikian kampung tersebut menjadi bagian dari konsesi perkebunanPT Satria Multi Sukses (SMS) yang mencakup bagian utara wilayah kecamatanSubangki ke arah sungai Landak.58

Apabila dilihat dari posisi atau letak kampung Sindur memang sedikit kurangmenguntungkan, karena untuk mencapai kampung ini tidak ada jalan lain dantidak dilewati oleh jalan poros yang menghubungkan antar kampung dikecamatan Subangki. Memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapatmengembangkan kampung ini, maka pemerintah daerah untuk membuka isolasikampung ini ditawarkan pada investor terutama para investor perkebunan kelapasawit. Hal ini gayung bersambut dengan keinginan beberapa warga masyarakatkampung Sindur yang menginginkan adanya perkebunan kelapa sawit didaerahnya. Namun apabila dilihat dari sumberdaya yang dimiliki kampung inimaka ceritanya akan lain, karena aset sumber daya wilayah kampung Sindurdibanding dengan jumlah penduduk dalam kampung cukup luar biasa.

Dari tataguna lahan yang dimiliki kampung Sindur sebagian besar termasukhutan primer yang relatif terjaga dengan kontur bentang alam yang terhamparluas memberi kesan tersendiri. Di hutan tersebut terdapat ribuan meter kubikkayu yang tersimpan di dalamnya, ditambah lagi dengan aneka macam floradan fauna yang menghuni hutan ini. Bahkan ikan arwana merah ada di sungai-sungai yang melintasi hutan tersebut. Hasil hutan Non kayu juga tidak ternilaiharganya seperti penyerapan oksigen yang tersimpan dalam hutan. Wilayah inijuga cukup dikenal dengan ikon penghasil rotan terbesar dengan kerajinantikar lampir yang mereka sebut bide. Ada tanaman hutan yang merupakanpenyedap rasa alami yaitu sansakng yang mereka ambil daunnya dan cukupenak apabila dicampur dengan daun ubi.

Minimnya infrastruktur dasar bagi warga kampung Sindur menjadi dasar merekauntuk membuka perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. Tentu pilihan inibukanlah pilihan yang secara baik dan strategis apabila dilihat dari letak danstruktur tanah di wilayah Sindur yang dataran rendah atau rawa dan kadarkeasaman tanah cukup tinggi dan berpasir.

Namun pilihan ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahdaerah yang hingga tahun 2007 tidak pernah menyediakan pelayanan publikbagi mereka, terutama sarana pendidikan, sarana kesehatan, saranatransportasi, sarana penerangan, dan bahkan sarana air bersih. Dengandiserahkanya lahan mereka ke perusahaan perkebunan kelapa sawit merekaberharap dapat menikmati kemajuan zaman dengan adanya sarana jalan untuk

179

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

membuka isolasi kampung serta pembangunan infrastruktur dasar (pendidikan,kesehatan dan penerangan) untuk kampung dapat dipenuhi. Selain itu merekajuga berharap dapat bekerja menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Semuahal ini yang belum juga disediakan pemerintah dijanjikan oleh pihakperusahaan,. Dari perspektif itu tergambar jelas bahwa warga kampung Sindurmemiliki pandangan yang berbeda tentang wilayah dan sumberdaya alammereka. Akibatnya pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar ini

menjadi sumber konflik batas antar kampung Pate-Nangka dan Sindur.

Sengketa Batas Antar Kampung

Sengketa ini muncul karena warga kampung Sindur mengklaim lahan sepertiyang tergambarkan dalam peta kampung mereka, sedangkan kampung Pate dankampung Nangka juga memiliki klaim di atas bidang lahan yang sama. Keduakampung terakhir ini tidak bersedia menyerahkan wilayahnya ke perusahaan.Apabila diamati lebih jauh konflik muncul di kawasan hutan adat ( udas) pareneanyang kepemilikannya komunal. Padahal pada masa sebelumnya keharmonisanantar warga di tiga kampung cukup baik. Saat itu bila warga kampung Sindurmengambil kayu di wilayah kampung Pate atau Nangka, mereka taat denganaturan yang dikenakan oleh kedua kampung (termasuk membayar iuran padapengurus kampung).

Hal inilah yang kemudian memunculkan konflik batas di sekitar hutan yangmenjadi titik batas ketiga kampung. Persoalan menjadi bertambah rumit karenawilayah yang menjadi sengketa tersebut masih milik komunal warga masyarakatmasing-masing kampung sehingga apabila terjadi pelepasan hak maka wargamasing-masing kampung harus bersepakat terlebih dahulu.

Warga kampung Nangka dan Kampung Pate telah sepakat untuk tidakmenyerahkan wilayahnya pada perusahaan perkebunan tersebut karena, antaralain:, 1) cakupan wilayah yang dimiliki kedua kampung ini terasa kurang apalagipeningkatan jumlah penduduk di masing-masing kampung tiap tahun terusmeningkat; 2) ketika perusahaan pemegang HPH (PT. Gelora Agung – PT KotaNiaga) beroperasi di hutan milik mereka (Udas kanuis) yang mereka tetapkansebagai hutan adat (hutan cadangan masyarakat ) antara tahun 1980-1995warga kedua kampung tidak menikmati hasil hutan mereka, bahkan hanyamenjadi penonton; 3) keberadaan HPH di wilayah mereka membuat konf lik hori-zontal semakin kuat (penentuan batas wilayah antar kampung); 4) warga semakinsadar karena semakin berkurangnya sumberdaya alam di wilayah mereka..Mereka juga berpendapat bahwa perkebunan kelapa sawit tidak akanmemperbaiki ekonomi rumah tangga mereka.

180

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Penolakan ini selain disampaikan warga masyarakat kedua kampung padapertemuan-pertemuan di kecamatan maupun pada saat menghadiri pertemuansosialisasi dari pihak pemerintah dan perusahaan. Selain itu mereka jugamelakukan penahanan alat-alat kerja dari perusahaan, seperti chainsaw (mesingergaji rantai), yang saat itu sedang melakukan tebas tebang di wilayah hutandan melakukan pengawasan di sekitar perbatasan wilayah kampung Pate,Nangka dan Sindur.

Dalam pengumpulan data untuk proses evaluasi ini dalam pertemuan denganwarga dari beberapa kampung di kampung Agak, beberapa orang warga kampungSindur menyalahkan peta sebagai sumber masalah. Dalam diskusi juga terjadiperdebatan sengit soal batas di kampung-kampung lain yang juga menerimaperkebunan kelapa sawit PT SMS. Kelompok-kelompok yang bersengketa akhirnyasepakat untuk melakukan pembicaraan untuk menyelesaikan persoalan. Hinggasaat penulisan bab ini koordinasi dan negosiasi batas antar kampung Pate,Nangka dan Sindur sedang dilakukan . Namun masih belum ada titik temu,sementara pihak perusahaan terus melakukan pembebasan lahan di daerahperbatasan tersebut.

Persepsi Batas Dalam Konteks Sumberdaya Ekonomis Kawasan

Peta wilayah yang dihasilkan memang mengundang perhatian banyak pihak,tidak terkecuali para pihak luar, termasuk investor. Dalam konteks klaim ataswilayah maka peta yang dihasilkan menjadi rujukan warga masyarakat dalammengklaim wilayah tersebut. Aneka sumberdaya alam yang masuk dalam wilayahklaim tersebut akan menjadi titik penentu. H al ini sangat tergantung pada nilaiyang terkandung dalam wilayah klaim tersebut. Itulah yang terjadi dalam konflikbatas antar warga antara kampung Pate, Nangka dan kampung Sindur. Dalamperspektif ini batas berdasarkan sejarah yang telah turun temurun diakuimasing-masing warga digambarkan lewat PP dianggap sebagai sebuah kesalahanyang berakibat merugikan pihak kampung Sindur. Padahal sebelum dilakukannyapemetaan di ketiga kampung keharmonisan antar warga sangat terlihat. Adabeberapa hal yang menunjukkan hubungan sedemikian.Pertama, t empat keramatwarga kampung Pate berada di wilayah kampung Sindur. Kedua, apabila adapihak yang mau mengambil kebutuhan hidup mereka saling minta izin. Bilaseseorang dari kampung yang satu ingin mengambil kayu sebagai bahanbangunan di kampung tetangga ia cukup meminta izin ke kepala kampung dikampung yang bersangkutan. Begitu pula apabila ada kegiatan untuk mengambilikan yang berada di sungai Saranakng, Amalo dan Adasatn masing-masing wargakampung memberi tahu. Keharmonisan antar warga kampung cukup terjalindengan baik, bahkan pasca pemetaan dari tahun 2001 – 2008 antar kampung

181

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

tidak ada persoalan terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayahtersebut. Pertanyaan kemudian muncul mengapa pada akhir tahun 2008 konflikbatas antar kampung Pate, Nangka dan Sindur mencuat ? Dan mengapa petayang dihasilkan oleh warga masyarakat dipersalahkan?

Padahal bila dilihat dari prosesnya sudah cukup baik dan peta kampung Pate,Nangka dan Sindur yang dihasilkan merupakan gambaran rekaman sejarahtapal batas antar kampung yang sejak kampung-kampung tersebut terbentuk. Disinilah peta menjadi suatu klaim atas wilayah yang kaku “tembok.” Dengandemikian esensi PP menjadi berubah. Seharusnya peta adalah media resolusikonflik. Namun dalam kasus ini peta malah dituduh sebagai media untukmemunculkan konflik. Tuduhan semacam ini sebenarnya hanyapengkambinghitaman peta saja. Sehingga muncul pertanyaan lain: bagaimanamasyarakat adat Dayak kampung Sindur memaknai kebersamaan atausolidaritas antar sesama ?.

KESIMPULAN

Awalnya warga masyarakat merasa bahwa peta adalah salah satu alternatifuntuk mempengaruhi pihak luar yang selama ini tidak pernah mengetahui ataumemahami bahkan menghormati hak-hak masyarakat adat, terutama tentangpengelolaan sumberdaya alam dan wilayah. Memang saat itu kondisi Negarasangat represif sehingga aset-aset sumberdaya alam dan wilayah dirampasoleh penguasa dan pengusaha atas nama Negara. Kini kondisi sistem politikNegara mulai bergeser sejak tergulingnya rejim Orde Baru. Namun kondisi initidak berdampak positif terhadap warga masyarakat, terutama karenaparadigma pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah yang dianut Negara.Pada kenyataannya, atas nama Negara pemerintah daerah yang diperkuat lewatotonomi daerah semakin mempercepat proses degradasi sumberdaya alam danwilayah tersebut. Ekploitasi tanpa aturan yang jelas demi proses berjalannyasistem pemerintahan di daerah makin marak. Oleh sebab itu tantangan yangmesti dan akan dihadapi warga masyarakat saat ini adalah bagaimanamempertahankan wilayah yang menjadi klaim mereka. Hasil pemetaan dapatberdampak ganda. Pada satu sisi apabila warga masyarakat kompak dansepakat maka klaim atas wilayah dapat dipertahankan atas dasar peta. Namunsebaliknya apabila kondisi warga masyarakat labil, apalagi secara ekonomisbelum berdaya, maka hasil pemetaan berupa klaim wilayah oleh masyarakatakan memudahkan investor masuk. Melalui peta secara kualitatif wilayahtersebut telah tergambar dengan baik, sehingga memungkinkan untuk ekploitasisumberdaya dan wilayah hanya untuk kepentingan ekonomi semata. Berikut inibeberapa hal mengapa hasil pemetaan menjadi persoalan bagi masyarakat.

182

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Peta yang dilakukan secara partisipatif menjadi media empuk bagi masyarakatuntuk mengatakan bahwa konflik batas antar warga di kampung Pate, Nangkadan Sindur terjadi akibat PP dilaksanakan. Hal ini diperkeruh oleh meningkatnyaproses pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam di wilayah kecamatanSubangki terutama di kawasan hutan produksi (udas) antara kampung Pate danNangka di desa Sahapm kecamatan Sangah Tumila dan kampung Sindur desaAgak kecamatan Subangki untuk kepentingan peningkatan pendapatan aslidaerah (PAD) kabupaten Landak sebagai konsekuensi dari pemekaran wilayahdan desentralisasi.

Konflik batas antar warga kampung Pate, Nangka dan Sindur juga dipicu denganketidakpahaman terhadap proses pemetaan partisipatif oleh pelaksana dilapangan terutama saat persiapan sosial masyarakat dan penentuan tapal batasantar kampung, yang berujung pada konflik batas antar kampung di hutankampung Sindur.

Kolaborasi strategis yang dilakukan antara ADP, KPD, CUPK dan PPSDAK belummenjamin pelaksanaan program yang baik, walaupun ke empat lembaga inimerupakan satu kesatuan dalam gerakan Pemerdayaan Masyarakat Adat PancurKasih. Pemahaman masing-masing pihak terutama pelaksana program dilapangan menjadi titik penentu apakah proses ini berjalan baik atau tidak. Disamping itu juga bahwa para pelaksana teknis di lapangan59 juga memilikikelemahan sehingga proses tidak matang dan menyebabkan kegagalampemetaan di kampung Sindur, terutama dalam pertemuan kesepakatan tapalbatas antar kampung.

183

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Mengabaikan proses sosial (diseminasi gagasan) pemetaan partisipatif dapatberakibat fatal karena batas wilayah yang dipahami dalam sebuah peta dapatdi-interpretasikan kaku. Akibatnya tapal batas akan didefinisikan sebagaipembatasan ruang gerak warga masyarakat tersebut, di samping klaim ataswilayah tersebut. Padahal konsep pengelolaan dan pemanfaatan ruang olehmasyarakat Dayak terutama Dayak Kanayatn secara umum dan khususnya wargakampung Sindur desa Agak kecamatan Subangki sebenarnya lebih cair danterbuka. Konsep pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks Palasar palaya’merupakan sebuah konsep klaim wilayah yang sulit dibuat dalam sebuahgambar peta karena batas yang dimaksud dalam klaim tersebut lebih bersifatimajiner (semu).

Berubahnya persepsi batas di kalangan warga kampung Sindur membuka matapara pegiat PP bahwa ke depan perlu protokol yang tegas dan jelas dalammemetakan suatu wilayah. Prasyarat utama yang mesti diperkuat dalam prosespemetaan ini antara lain 1) persiapan sosial lebih dalam dan menyeluruh bagiwarga masyarakat, 2) kepentingan kaum perempuan di kampung perlu diakomodirdalam pengambilan keputusan terutama keputusan dalam akses dan kontrolsumberdaya wilayah, 3) keputusan penentuan tapal batas harus disepakatioleh masing-masing kampung yang berbatasan dan diupayakan oleh tetua-tetuakampung yang paham dan tahu tentang batas dalam bentuk rapat terbuka tokohadat kampung, 4) bentuk partisipasi warga masyarakat kampung mesti jelasdan muncul agar kemudian hari proses pemetaan benar-benar berakar dalanmasyarakat, 5) anggota tim yang akan memfasilitasi pemetaan perlu tinggallebih lama di kampung tersebut agar mendapat pemahaman yang utuh tentangkondisi sosial warga masyarakat dan wilayah, 6) para pihak yang akanmenfasilitasi kegiatan PP harus benar-benar paham dan mengerti secara detilproses pemetaan sehingga tahapan pemetaan tidak ada yang diabaikan.

Dalam kasus pemetaan kampung Sindur ada beberapa pelajaran penting yangperlu kita simak antara lain;

1) persiapan yang tidak matang menyebabkan masih adanya warga masyarakatyang tidak tahu bahwa ada kegiatan pemetaan partisipatif dilaksanakan dikampung Sindur karena proses sosial yang dibangun kurang maksimal yangberujung pada adanya pihak yang merasa tidak dilibatkan,

2) peta yang dihasilkan ternyata membuka pemahaman baru warga masyarakatkampung Sindur terutama dalam memahami sumberdaya alam tanah, hutandan sungai bagi kehidupan mereka, ,

3) pengabaian warga kampung tetangga (terutama kampung Pate dan Nangka)dalam penentuan tapal batas antar kampung adalah sebuah pengingkaranterhadap proses pemetaan,

184

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

4) letak kampung yang kurang strategis (terisolir) dan ketimpangan tingkatekonomi dari kampung-kampung lainnya menyebabkan warga kampungSindur menerima perkebunan kelapa sawit,

5) ) pembentukan kecamatan Subangki membuka peluang masuknya investasiuntuk peningkatan kesejahteraan dan pengembangan wilayah apalagiwilayah kampung Sindur berdasarkan peta perencanaan kabupaten Landakdiperuntukan hutan konversi,

6) nilai ekonomis sumberdaya wilayah terutama hutan dan lahan i dalambatas teritori berdasarkan pemetaan,

7) pemahaman keliru tentang batas peta yang dibuat “tembok” membuat persepsitentang batas wilayah menjadi kabur.

Peta klaim wilayah antara kampung Pate, Nanga dan Sindur

185

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

ANEKNG ATAU ANDENG? KISAH SEKITARPENAMAAN KAMPUNG

Oleh : Anam

PENGANTAR

Tulisan ini memaparkan bagaimana sebuah kebijakan pemerintah membuatmasyarakat adat tercerabut dari asal-ususlnya dan bagaimana proses pemetaanmenjadi sebuah kegiatan yang “menyadarkan” begitu pentingnya sebuahsejarah. Pada tahun 1980an Gubernur Kalimantan Barat memutuskan untukmelakukan proses penataan ulang batas-batas administrasi desa ( RegroupingDesa) yang membuat perubahan sangat mendasar dalam tatanan sosial politikmasyarakat Dayak. . Kebijakan ini ada lah turunan dari upaya penyeragamandesa gaya Jawa yang dilakukan rejim Orde Baru melalui Undang-undang No. 5Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa-desa di seluruh Indonesiamengalami yang serupa akibat kebijakan ini. Kegiatan pemetaaan partisipatifmenimbulkan kesadaran baru untuk menimbang ulang atas semua yang telahterjadi akibat upaya penyeragaman tersebut.

Dari berbagai dampak yang ada tulisan ini akan menjabarkan dampak politikpenyeragaman tersebut terhadap kehidupan orang Dayak. Dalam kesempatanini regrouping desa ditempatkan sebagai sebuah kebijakan yang mengacaukandan sebuah penundukan atas tatanan sosial yang membuat komunitas adatsetempat seperti “tamu” di tanah sendiri, sehingga mengusik berbagai sendisosial masyarakat adat. Untuk i tu penulis ingin memaparkan bagaimanaperubahan nama kampung akibat kebijakan regrouping desa, dengan mengambilcontoh kasus kampung Anekng, sebuah desa yang termasuk ke dalam wilayahKecamatan Sangah Tumila kabupaten Landak (yang sebelumnya adalah bagiandari kabupaten Pontianak provinsi Kalimantan Barat) . Dalam hal ini penulisingin menekankan nama desa yang berubah-ubah selama 40 tahun terakhir danfaktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut dari masa kemasa. Untuk itu tulisan ini mem akai tiga periode: masa sebelum regroupingdesa, masa sesudah regrouping desa, dan masa sesudah pemetaan partisipatif.

186

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

ANEKNG DALAM PERSEKTIF SEJARAH

Anekng adalah nama sebuah kawasan hunian adat ( kampokng atau kampungdalam bahasa Indonesia) yang berbatasan dengan binua Tungkalakng di utara,binua /wilayah ketemenggungan Ayo di selatan, binua Sapari’di di timur, danbinua Samaroa’ di barat. Dinilai dari sisi fonetik dan geografi nama Anekngmempunyai makna tersendiri. Kampung tersebut terletak tepat di punggungbukit (tajur). Karenanya warga komunitas ini harus berteriak untuk berbicaradengan orang-orang yang tinggal di kaki bukit tersebut. Bila tidak terdengar,maka orang yang diajak bicara akan berteriak “ lanekng-lanekng”(lantang).Akhirnya kata lanekng berubah menjadi Anekng sebagai nama tempat(Kampung). Posisi yang di punggung bukit tidak lepas dari sejarah kampungyang pernah mengalami bencana banjir, sehingga mereka membangunpemukiman di tempat yang tinggi untuk menghindari banjir.

Orang Anekng sebetulnya berasal dari dua binua. Kelompok pertama adalahpenduduk Binua Sapari yang kemudian bermukim di suatu tempat yang sekarangdisebut timawakng Palu’ (sekarang tempat ini telah berubah menjadi arealpersawahan). Kampung ini berada di dataran rendah nan datar dekat sungaiTungkalakng. Suatu ketika sebuah banjir besar menghancurkan rumah panjang(radakng betang) dan dango (lumbung padi) serta menghanyutkan segala macamternak. Akibat peristiwa tersebut komunitas ini pindah ke tempat yang agaktinggi yang kemudian disebut Timawakng Punti (tempat ini pun telah berubahmenjadi areal persawahan). Karena ada suatu wabah penyakit, komunitasTimawakng Punti akhirnya pindah lagi ke Kampung Anekng sekarang.

Kelompok kedua berasal dari binua Sangah. Mereka mengembara dan kemudianberladang dan menetap di Timawakng Pade’ untuk beberapa saat. Kemudiankelompok ini melanjutkan lagi perjalanannya ke pemukiman Sinompok. Dipemukiman ini ada ketidakjelasan tentang perpindahan penduduk selanjutnya.Diduga sebagian pindah ke hilir menuju kampung Anekng, sedangkan sebagianlainnya memilih pindah ke arah hulu dan membuka kampung baru yang disebutBarangan. Hingga sekarang tempat ini masih dihuni oleh satu keluarga. Dalamperkembangan sekarang timawakng Sinompok telah berubah menjadi bawas.

Sebelum tahun 1945 kampung Anekng merupakan bagian dari binua Kalampeyang ditinggalkan karena sebuah peristiwa pada jaman Belanda. Warga kampungtersebut kemudian berpindah ke arah barat dan bermukim di tempat yangkemudian dinamai kampung (sekarang dusun) Tonakng.

187

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Anekng Menuju Desa Gaya Lama (Sebelum 1987)

Seperti juga kampung Dayak lainnya, kampung Anekng berada di dekat aliransungai, yaitu sungai Tungkalakng, dan semua warganya tinggal dalam sebuahrumah panjang. Bangunan ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusatkegiatan sosial dan budaya di kampung. Di rumah panjang tiap keluarga tinggaldi sebuah bilik yang memiliki ruang tidur dan dapur. Di bagian depan bilik-bilikini terdapat ruangan terbuka yang memanjang yang menjadi ruang publik bagiseluruh penghuni rumah panjang. Di ruang yang memanjang inilah wargaberkumpul untuk bercengkerama, orang tua mendongeng, kegiatan kesenianberlangsung, dan upacara-upacara adat dilakukan. Seperti kampung-kampungDayak lainnya, di rumah panjanglah kebudayaan orang Anekng dipelihara danditurunkan.

Pada masa ini tatanan adat kampung Anekng masih di bawah kendali Timanggonguntuk tingkat binua, pasirah untuk tingkat kampung dan pamanae di tingkatkelompok pemukiman penduduk yang jumlahnya ditentukan berdasarkankesepakatan komunitas yang bersangkutan. Timanggong merupakan figurpengurus adat tertinggi yang independen dan berwibawa . Ia adalah soko teladandalam kehidupan sosial, memiliki pengetahuan adat yang luas,dihargaipendapat dan kedudukannya, serta menjadi penjaga segala norma. Kampungmengurus semua urusan sendiri mencakup apa yang sekarang dikenal sebagaiaspek-aspek eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus. Penyelenggara adatsaat itu sangat otonom dan bebas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan.Pemilihan seseorang sebagai perangkat adat ditentukan berdasarkanprofesionalismenya, tanpa harus ada pendidikan formal.

Pengurus adat pada masa ini memiliki posisi yang sangat kuat. Semua orangpatuh kepada tetua adat dan para pemimpin yang kharismanya sangat besar.Kata-kata seorang Timanggong sangat menentukan dan praktis tidak adaperlawanan, bagaikan titah seorang raja. Namun keputusan tersebut tidakdiambil sendiri, secara semena-mena. Seorang Timanggong adalah seorangorganisator kebijakan yang memusyawarahkan dulu masalah yang dihadapibersama para gapit Timanggong dan perangkat adat lainnya untuk mendapatkankata mufakat. Jarang sekali muncul perselisihan tentang putusan adat karenamemang pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis dan bijaksana.Orang yang bertikai, misalnya, dibuat sedapat mungkin untuk menyadari dasar-dasar pengambilan keputusan sehingga paham akan kekeliruan kedua belahfihak, bukan keputusan sefihak yang semata-mata mengandalkan kekuasaanyang menyebabkan orang terpaksa dan diperlakukan tidak adil. Rasa bangga

188

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

dan kuatnya posisi pengurus adat menyebabkan warga kampung bangga pulamelafalkan nama kampungnya sebagaimana mestinya, Anekng. Namun rasabangga tersebut mulai berubah pada tahun 1960an.

Pada dekade 1960an pengaruh pemerintah Indonesia mulai terasa dalamkehidupan kampung. Pemerintah mendorong warga kampung Anekng untukmembongkar rumah panjang, sehingga masing-masing keluarga membangunrumah tinggal pribadi. Pembongkaran ini berdampak pada berkurangnya ikatansosial di antara para warga.

Pada masa ini terjadi pemisahan pengurusan kampung antara kekuasaan adatdan otoritas pemerintahan. Pemimpin kampung, yang sebelumnya disebut tuhakampung, mendapat gelar jabatan baru yaitu kepala kampung yang dibantuoleh seorang kabayan (setaraf dengan sekretaris desa) dan sejumlah penguruslainnya. Mereka bertugas mengurus administrasi pemerintahan. Sementarastruktur pemerintahan adat juga tetap dipertahankan pada masa itu yang terdiridari Timanggong, pasirah, dan pamane. Kampung Anekng pada saat itu menjadibagian dari ketimanggongan Sanyiupm.

Awalnya pengurus kampung dan pengurus adat bisa saling melengkapi, dudukbersanding bagai kedua mempelai. Mereka memiliki pembagian wewenang yangjelas. Tetapi lama kelamaan kedua struktur tersebut saling bersaing bagai duakubu yang berseteru yang menimbulkan dualisme kepemimpinan desa. Merekasaling bersaing dalam hal kepentingan, legalitas, kekuasaan , dan lain-lain.Perebutan pengaruh itu terjadi karena minat yang kuat untuk dekat denganpusat kekuasaan dan sumber uang. Apalagi proyek dan subsidi pemerintahmulai masuk. Bahkan subsidi menjadi daya tarik untuk menjadi kepala kampung.Pembagian wewenang yang sebelumnya jelas menjadi kacau. Salah satudampaknya adalah seorang Kepala Kampung bisa mengurus sengketa adat. Halini dianggap wajar bahkan bisa dianggap sebagai sebuah prestasi yang super,biarpun putusannya kurang bahkan tidak memenuhi rambu-rambu hukum adat.Kemerosotan sistem sosial ini berdampak sangat serius terhadap jati diri orangAnekng.

Bersamaan dengan adanya perhatian pemerintah itulah nama Andeng mulaidikenal. Perubahan lafal tersebut kemungkinan karena pengaruh bahasa Melayuyang kesulitan melafalkan kata Anekng. Namun perhatian pemerintah secaraperlahan justru mengubah pandangan warga Anekng tentang kampung mereka.Salah satunya adalah pendapat warga yang melihat perubahan nama kampungsebagai bentuk kemajuan. Makin lama nama Anekng berkonotasi kampungan,kolot, udik dan tidak mengikuti perke mbangan. Akhirnya warga kampung malumenyebut nama Anekng.

189

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Setelah UU Pemerintahan Desa berlaku pada tahun 1979 semua kampung diKalimantan Barat kemudian diubah statusnya menjadi desa, yang sekarangdikenal sebagai desa gaya lama . Struktur organisasi kamp ung pun berubahharus mengikuti undang-undang, sehinggal kepala kampung pun berubah namajabatan menjadi kepala desa. Perubahan ini membuat goncangan baru terhadapkehidupan warga Anekng dan masyarakat Dayak lainnya di provinsi tersebut.

Andeng Sebagai Desa Gaya Baru (1987-1997)

UU Pemerintahan Desa memandatkan bahwa pembentukan desa harusmemperhatikan “syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syaratlain” (pasal 2 ayat 1). Menteri Dalam Negeri kemudian mengeluarkan PeraturanMenteri Dalam Negeri (Permendagri) No 4 tahun 1981 tentang Pembentukan,Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa sebagai peraturan pelaksanaanyang dimandatkan UU. Untuk menjalankan peraturan tersebut di tingkat provinsipada tanggal 9 September 1987 Gubernur Kalimantan Barat mengeluarkan suratkeputusan No. 353/1987 tentang Penyatuan Desa dalam Rangka PenataanKembali Desa di Kalimantan Barat. Surat keputusan inilah yang menjadi dasarprogram penataan desa secara besar-besaran di provinsi tersebut yangmembentuk desa gaya baru. Program ini kemudian dikenal dengan istilah Re-grouping Desa.

Untuk menjadi suatu desa gaya baru, desa yang ditata ulang harus memenuhisyarat: luas wilayah, jumlah penduduk mininal, memiliki akses pelayanan publik,dan lain-lain. Di antara berbagai syarat tersebut, persyaratan jumlah pendudukminimal yang menjadi persoalan besar. Sebuah desa harus memiliki pendudukminimal 500 KK atau 2500 jiwa. Sementara desa-desa di Kalimantan Baratumumnya memiliki wilayah yang luas namun penduduknya sedikit. Akibatnyabeberapa desa yang berdekatan harus digabungkan untuk memenuhi syaratjumlah penduduk tersebut. Hal inilah yang terjadi dengan kampung Anekng.

Kampung Anekng yang telah berubah nama menjadi desa Andeng pun mengalamiregrouping. Namun proses pembentukan desa gaya baru ini sama sekali tidakmelibatkan masyarakat dan tidak memperhatikan sejarah masyarakat, sehinggabinua-binua yang ada dicampur aduk tak karuan. Inilah yang terjadi dengandesa Andeng. Desa gaya baru ini merupakan gabungan dari 9 kampung yangberasal dari tiga binua, yaitu:

1) Kampung Anekng yang merupakan sebuah kampung dari binua Kalampa

2) Seluruh wilayah binua Tangkalakng yang terdiri dari kampung Tampi,Bide, Pakatatn, Tampalaas, dan Talo’ Manuk

3) Seluruh wilayah binua Sairi yang terdiri dari Bajamu Sairi, Pinyaho ’, danKamayo

190

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Karena posisi kampung Anekng yang strategis, yaitu berada di persimpanganjalan, maka kampung tersebut ditetapkan sebagai pusat desa. Sehingga namadesa pun dipilih Andeng. Sementara kampung-kampung lain menjadi dusun-dusun dalam wilayah desa gaya baru ini. Namun dari sembilan kampung tersebuthanya dibentuk lima dusun sebagai berikut:

1. Kampung Anekng menjadi dusun Andeng

2. Kampung Bajamu Sairi, Kamayo dan Pinyaho digabung menjadi dusunBajamu Sairi

3. Kampung Tampi dan Bide menjadi dusun Tampi Bide

4. Kampung Pakatatn menjadi dusun Pakatatn

5. Kampung Tampalaas dan Talo’ Manok menjadi dusun Tampalaas

Struktur pengurusan desa pun berubah. Seperti juga desa gaya lama,pemerintahan desa dipimpin oleh kepala desa. Namun sekarang di bawahnyaterdapat kepala-kepala dusun yang memimpin dusun-dusun. Selanjutnya dusundibagi lagi menjadi rukun tetangga (RT) yang dipimpin oleh ketua rukun tetangga.Struktur yang baru ini hanya mengurus administrasi pemerintahan desa, tidaklagi mengurus adat. Karenanya dibentuk pengurus adat di desa. Di tingkat desapengurus ini disebut pasirah, sedangkan di tingkat dusun disebut pamane. Padaawal 1990an pemerintah membentuk binua-binua baru. Masing-masing binuaterdiri dari beberapa desa dengan pimpinan seorang Timanggong yang ditunjukpemerintah daerah. Desa Andeng sendiri menjadi bagian dari binua Temila UluI. Pengurus-pengurus adat ini kemudian dihimpun pemerintah dalam suatuDewan Adat Kecamatan. Akibatnya, banyak orang yang tidak paham adat tetapiberambisi menjadi pengurus adat.

Perebutan pengaruh yang sudah lama terjadi ini diperparah lagi dengan makinmerosotnya kebanggaan orang Dayak akan jati dirinya. Yang paling mencolokadalah keengganan orang Dayak memakai nama, atribut dan barang yang telahdimilik turun temurun, karena Dayak pada masa itu diidentikkan dengan orangprimitif, kolot, kotor dan sebagainya. Orang-orang Dayak kemudian cenderungmenamai anak-anaknya dengan nama-nama Jawa, Kristen, Melayu atau Cina.Belum lagi negara tidak mengakui pelaksanaan hukum adat Dayak yang tidaktertulis. Negara tidak mengakui pernikahan adat karena tidak adanya suratnikah. Begitu pun dengan klaim atas tanah tidak diakui karena tidak adanyasurat bukti. Dalam kasus warga Anekng mereka tidak mendapatkan pelayananadministrasi pemerintahan bila tetap memakai nama asli kampungnya. Semuahal tersebut membuat warga tidak menginginkan nama Anekng sebagai namadesa dan lebih suka memakai nama Andeng seperti yang diberikan olehpemerintah. Namun perubahan drastis terjadi setelah PP di desa Andeng.

191

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Kembali Ke Anekng.(1997-Sekarang)

Pada saat pemetaan pertama di Kalimantan Barat berlangsung di Sidas Dayapada tahun 1994, penulis adalah salah satu aktivis Pancur Kasih yang tergabungdalam Koperasi Pancur Dangeri di Pontianak. Dari cerita-cerita tentangpemetaan yang beredar di kalangan aktivis, penulis kemudian mengunjungikantor PPSDAK Pancur Kasih pada tahun 1996. Informasi yang penulis dapatkemudian disampaikan ke rekan-rekan sedesa. Berdasarkan informasi inikemudian kepala desa Andeng mengirimkan surat permohonan pemetaan kePPSDAK pada bulan Januari 1997. Dua bulan berikutnya serombongan aktivisPPSDAK datang ke desa untuk melakukan sosialisasi pemetaan. Pada pertemuansosialisasi warga dan tim PPSDAK memutuskan untuk melakukan pemetaanpada bulan Juni 1997. Pemetaan dilakukan selama beberapa hari. Kelima dusundalam desa Andeng disurvei satu per satu. PPSDAK menyerahkan peta kepadamasyarakat pada akhir 1997.

Dalam proses pemetaan, khususnya dalam kegiatan PRA, masyarakat digugahuntuk membedah sejarah, tata ruang, budaya, tempat keramat dan lain-lain.Dari proses inilah kemudian orang Anekng tahu bahwa penyebutan Andeng untukwilayah komunitasnya merupakan pengaburan sejarah. Begitu pula tentangtatanan sosial yang telah terusik. Dalam kegiatan PRA tersebut terjadipenyadaran pentingnya sebuah identitas. Namun sanga t disayangkan dalampemetaan di Anekng kegiatan ini tidak teragendakan dengan baik. Padahal inilahtitik yang menghubungkan antara proses pemetaan dengan kebangkitanmasyarakat desa Anekng untuk ‘menggugat sebuah kebijakan ’ yang tidak berpihak.Gugatan tersebut memunculkan kesadaran akan kejanggalan, peninaboboan,dan pengebirian hak-hak masyarakat adat yang berlangsung selama ini.

Pemetaan kawasan adat Desa Andeng membuat orang sadar dan terperangahbahwa penggabungan wilayah dan perubahan nama Anekng menjadi Andengadalah tindakan yang melecehkan kearifan dan sejarah masyarakat di wilayahtersebut. Nama masing-masing kampung pembentuk desa Andeng punyasejarahnya sendiri-sendiri. Dengan demikian identitas dan keberadaan masing-masing kampung perlu dihormati dan dijaga. Jadi bila dalam peta pemerintahanhanya ada nama desa Andeng, bagaimana dengan keberadaan kampung-kampung lainnya? Warga desa baru tersadar akan nilai sebuah nama, sejarah,dan hak ulayatnya selama proses pemetaan. Setelah pemetaan warga desakembali memakai nama Anekng sebagai nama yang benar, bukan Andeng yanglebih merupakan kecelakaan sejarah. Kesadaran ini menimbulkan kebangkitanatas kebanggaan terhadap identitas Dayak dan keinginan untuk merevitalisasibudaya Dayak. Kebangkitan ini mendapat momentum ketika Cornelis, sekarangGubernur Kalimantan Barat, saat masih menjadi bupati Landak mendorongpemakaian kembali nama-nama asal.

192

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Selain dampaknya terhadap penguatan adat, peta yang dihasilkan juga berhasilmembatalkan maksud Dinas Kehutanan untuk memperluas hutan lindung sampaike pemukiman desa.

Pembentukan Ketimanggongan Tungkasa

Kesadaran sejarah dan upaya revitalisasi adat ini terus bergulir pasca pemetaan.Dalam sebuah rapat desa pada tahun 1998 yang dihadiri wakil PPSDAKmasyarakat desa Anekng memutuskan untuk membentuk ketimanggongan sendirisebagai wadah revitalisasi adat. Akhirnya warga desa mengadakan pertemuandengan dampingan aktivis PPSDAK untuk membentuk ketimanggongan barutersebut. Dalam rapat kemudian sampai pada pembicaraan namaketimanggongan . Sebagian peserta mengusulkan nama Tungkalakng. Namunkarena nama itu dinila i bisa menimbulkan konflik, maka sekretaris desa saatitu mengusulkan untuk memakai nama TungKaSa sebagai jalan tengah dan untukmenjaga persatuan warga desa. Nama ini adalah singkatan dari Tungkalakng,Kalampe dan Sairi yang merupakan nama-nama binua pembentuk desa Anekng.Wilayah ketimanggongan ini persis sama dengan wilayah desa gaya baru ini.

Pada bulan Maret 2008 warga memilih timanggong TungKaSa yang pertamayang dikukuhkan pada bulan November 2008. Figur seorang timanggong terkesantidak jauh dari pada periode regrouping desa, tetapi mulai nampak ada upayapencitraan diri yang positif. Gaya pengurusan yang kurang berkenan mulaimengalami perbaikan, seiring dengan keinginan warga Anekng.

Memang harus diakui bahwa beberapa proses di atas belum berhasilmempengaruhi struktur pemerintahan di kampung, tetapi mulai ada. Kedudukantimanggong mulai mendapat porsi dalam berbagai pertemuan tingkat kampung.Segala sengketa dan persoalan adat sedapat mungkin selesai di tingkatTimanggong . Karena itu para timanggong juga mulai membenahi kapasitasperangkatnya, agar semakin tumbuh pengakuan dan kepercayaan masyarakat.

Proses revitalisasi ini tidak hanya terjadi di tingkat desa, namun juga sudahmenjadi perjuangan masyarakat adat secara luas. Salah satu isi perjuangantersebut adalah mengembalikan posisi binua dalam sistem pemerintahankabupaten Landak. Usulan struktur telah dituangkan dalam bentuk RaperdaSistem Pemerintahan Binua yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPRPLandak. Namun sampai saat ini usulan tersebut belum digubris. Salah satu isiusulan tersebut adalah mengembalikan nama kampung/desa sesuai denganejaan dan lafal nama aslinya.

193

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

KESIMPULAN

Anekng adalah nama sebuah kampung yang memiliki sejarah yang terkait eratidentitas warganya. Nama tersebut terkait dengan sejarah migrasi pendudukdan posisi geografis kampung. Namun masuknya pengaruh pemerintah Indone-sia, yang memuncak pada regrouping desa, mengubah kampung secara drastisdan mencerabut warganya dari sejarahnya. Bentuk yang paling mencolok adalahpemberian nama Andeng untuk kampung yang sama dan akhirnyamenjadikannya sebagai nama desa gaya baru. Perubahan nama danpembentukan desa baru ini seolah merupakan sekumpulan kabut yang menutupdelapan kampung lainnya. Struktur sosial dan pelaksanaan adat pun mencaricarut marut, bahkan seperti kehilangan makna.

PP di desa Andeng menggugah kembali kesadaran akan sejarah dan identitaskampung. Kegiatan tersebut mendorong warga untuk menimbang ulang semuayang telah terjadi selama proses Regrouping Desa. Dalam kesempatan iniregrouping desa ditempatkan sebagai sebuah kebijakan yang mengacaukan danmenindas tatanan sosial yang ada, sehingga komunitas adat setempat menjaditamu di tanahnya sendiri. Pemetaan bukan saja mendorong warga untukmemakai nama-nama asli untuk kampung-kampung mereka, tetapi juga bahkanmembentuk struktur adat yang independen melalui pembentukanketimanggongan .

194

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

“UKUR MENGUKUR” WILAYAH UNTUKMEWUJUDKAN KEDAULATAN RAKYAT

ATAS RUANG DI TANAH RENCONGOleh : Sulaiman Daud

PENDAHULUAN

Sejarah

Aceh yang terkenal dengan sebutan Kuta Raja, Serambi Meukah, juga TanahRencong merupakan daerah yang kaya akan budaya yang bernuansa Islami.Sekarang provinsi ini dikenal dengan sebutan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),sedangkan sebelumnya dikenal sebagai Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaantersebut berdasarkan Agama, pendidikan dan budaya. Letaknya yang di sisibarat Selat Malaka, yang merupakan salah satu jalur laut utama di dunia,menjadikan provinsi tersebut sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangandan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abadyang lalu. Akibatnya penduduk Aceh merupakan perbedaan dari berbagai sukudan bangsa. Bahkan nama Aceh sendiri terkadang juga merupakan singkatandari Arab, Cina, Eropa dan Hindia, oleh karena itu penduduk Aceh sekarangmerupakan keturunan dari ke empat etnis tersebut disamping etnis dari Minangdan dari daerah lainnya di Indonesia.

Provinsi Indonesia yang paling barat ini memiliki 119 buah pulau besar dankecil yang mengelilinginya. Secara administratif NAD terdiri dari 23 Kabupatendan Kota. Luas Aceh keseluruhan adalah 57.365,57 km atau 5.736.557 Ha, yangterdiri dari hutan tua, hutan muda, pegunungan, areal pertanian, perkebunan,padang rumput, danau/rawa-rawa, sungai, laut, kota, gampong dan lain-lain.Penduduk Aceh berjumlah 4,163,20 jiwa, yang terdiri dari 2.059.471 laki-laki

195

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

dan 2.103.679 perempuan berdasarkan data BPS (Juni 2008) dengan matapencaharian sebagian besar sebagai petani, nelayan, pedagang, pegawai negeri,buruh dan pengusaha.

Provinsi ini memiliki catatan sejarah yang penting dalam hubungannya denganRepublik Indonesia. Rakyat provinsi ini memberi modal penting bagi pendirianrepublik yang pada dekade ked ua tahun 1940an mengumpulkan emas yangkemudian dipakai untuk membeli pesawat angkut. Namun dalam prosespembentukan negara-bangsa rakyat Aceh merasa dikecewakan oleh pemerintahpusat.

Kejadian pertama adalah ketika gagalnya pemerintah Indonesia pada masaPresiden Soekarno memenuhi permintaan masyarakat Aceh untuk menjadi daerahprovinsi yang berdiri sendiri terlepas dari provinsi Sumat era Utara dan memilikisistem pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam. Gubernur Aceh saat itu,Daud Beureueh, kemudian menyusun strategi untuk membentuk negara Islamyang dikenal nama Darul Islam dan yang dilengkapi dengan pasukan pertahananTentara Islam Indonesia . Menanggapi keadaan ini pemerintahan Soekarnomengirim pasukan ke Aceh untuk menumpas gerakan DI/TII pa da tahun 1959.Setelah itu muncul upaya perundingan yang disebut Misi Hardi dan berujungpada pemberian hak istimewa bagi Aceh dalam tiga hal yaitu bidang agama,pendidikan dan budaya. Tetapi pemberian gelar ini pun hanya sebatas namasaja, karena pelaksanaannya jauh dari harapan.

Kekecewaan kedua muncul dari pengurasan sumber daya alam di Aceh. Minyakdan gas bumi merupakan kekayaan alam yang memberikan pendapatan yangsangat besar bagi perusahaan pemegang konsesi, seperti Mobil dengan konsesipengusahaan gas alamnya, dan kas negara. Namun sebagian besar, kalau bukanhampir semua, pendapatan tersebut dibawa ke Jakarta, sementara dana yangkembali ke Aceh untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat sangatlahkecil. Akibatnya masyarakat Aceh tidak berkembang dan tertinggal jauh dariprovinsi-provinsi lainnya di Indonesia. S arana jalan, misalnya, masih sepertipada masa Indonesia baru saja ‘merdeka’ karena kebanyakan masih berupajalan setapak. Keadaan ini menimbulkan rasa perlawanan para tokoh Acehyang kemudian berpikir untuk mendirikan negara sendiri tanpa harus bergantungpada Jakarta.

Pada tanggal 4 Desember 1976, Tengku Hasan Tiro dari T iro Pidiememproklamirkan Negara Aceh yang berbentuk Kerajaan. Gerakan ini dikenalsebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menghadapi tindakan yang dianggapmakar ini pemerintah Orde Baru mengirimkan pasukan untuk membasmipemberontakan tersebut. Mulailah masa panjang konflik bersenjata antara ABRIdengan GAM yang berlangsung sampai tahun 2005.

196

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Selama masa konflik tersebut terjadi pasang surut kekerasan. Pada tahun 1999,Aceh memasuki masa reformasi. Jalur informasi mulai terbuka sehinggamasyarakat dunia mengetahui gejolak di Aceh. Pemerintah Indonesiamengadakan perundingan dengan GAM yang menghasilkan gencatan senjatayang disebut jeda kemanusiaan (I). Kemudian pada tahun 2000 sampai tahun2002 keadaan perang kembali berlaku di Aceh dengan status sebagai DaerahOperasi Militer (DOM) I. Eskalasi kekerasan ini mendorong Henri Dunant Cen-ter untuk memfasilitasi perundingan, sehingga Aceh kembali mengalami masajeda kemanusian (II) sampai tahun 2003, Gencatan senjata ini pecah lagi karenakedua belah pihak tidak mampu menjaga isi kesepakatan, sehingga tahun 2003pemerintah Indonesia memberlakukan lagi DOM tahap II. Pada tahun 2003pemerintah mengubah nama operasi militer tersebut dengan nama operasidarurat sipil yang berlangsung sampai bencana tsunami menghantam Aceh.

Pada hari Minggu pagi tanggal 26 Desember 2004, warga Aceh dikejutkan olehgempa yang hebat dengan kekuatan 9,8 skala Richter. Gempa ini kemudianmengakibatkan gelombang tsunami yang menyapu dan meluluhlantakkanwilayah pesisir NAD, mulai dari Kota Banda Aceh sampai ke wilayah pantaiBarat dan Selatan. Hantaman tsunami tersebut mengakibatkan lebih dari 130.000jiwa meninggal dan ratusan ribu rumah hancur. Kehancuran fisik tersebut dandampak psikologis yang ditimbulkan bencana tersebut mengundang upayatanggap darurat besar-besaran yang dilanjutkan dengan program rehabilitasidan rekonstruksi yang masif pula. Musibah ini membuka akses informasi kepadadunia luar yang sebelumnya sangat tertutup. Melalui mediasi Marti Ahtisaari(mantan Presiden Finlandia), GAM dan pemerintah RI akhirnya berunding untukmengakhiri konflik. Akhirnya tanggal 15 Agustus 2005 Pemerintah RI dan GAMmenandatangani memorandum kesepahaman ( Memorandum of Understanding/MoU) yang mengakhiri perang yang berkepanjangan. Muncullah Aceh baru dalammasa damai.

Bab ini menceritakan pengalaman Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI)dalam melakukan pemetaan dalam tiga situasi politik di Aceh: masa konflik,masa sesudah tsunami dan masa damai. Sebelumnya itu penulis menjabarkansecara singkat sistem sosial politik di Aceh dan alasan YRBI mengadopsi PP.

Sistem Pemerintahan Mukim Aceh

Berdasarkan sejarahnya sistem pemerintahan Aceh dibagi atas tiga hirarki,yaitu kesulthanan (Provinsi), Sago/negeri (Kabupaten), Mukim dan Gampong.Sistem pemerintahan di Aceh sama seperti sistem pemerintahan lainnya di In-donesia, tetapi masih ditambah satu unit lagi yang berada di bawah kecamatanyaitu mukim. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam provinsiNanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang

197

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

mempunyai batas-batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Mukimdipimpin oleh seorang Imum Mukim, yang dibantu oleh seperangkat pengurusadat lainnya, dan bertanggung jawab ke camat.

Suatu wilayah terbagi habis ke dalam unit-unit wilayah terkecil, demikian puladengan wilayah administrasi. Provinsi terbagi atas wilayah Kabupaten danterbagi lagi hingga wilayah Kecamatan, mukim dan gampong. Dalam sistemPemerintahan di NAD yang berlaku sekarang, keberadaan Mukim yang terbentukatas beberapa Gampong sudah terakomodasi seperti yang tercantum dalamQanun No.4 tahun 2003. Wilayah Mukim cakupannya lebih kecil dari padawilayah Kecamatan, namun Mukim mempunyai peranan yang sangat besar dalampengelolaan wilayah dan mengatur sendi-sendi kehidupan anggotamasyarakatnya.

Berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuanserta segala urusan pemerintahan lainnya, mukim punya wewenang untukmelaksanakan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisikmaupun pembangunan mental spritual. Seorang Imum Mukim adalah sebagaipembina kemasyarakatan di bidan g pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan,peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Peningkatanpercepatan pelayanan kepada masyarakat, penyelesaian sengketa atau perkara-perkara adat dan hukum adat.

Lembaga Mukim merupakan salah satu lembaga yang sudah tumbuh danmengakar dalam sistem kehidupan sosial masyarakat adat Aceh. Lembaga Mukimini dituntut untuk dapat berperan aktif dalam menjaga dan melestarikan sumberdaya alam yang ada di wilayahnya, baik sebagai suatu habitat, penataan fungsilingkungan hidup, maupun melestarikan sumber-sumber daya alam yang indahdan asri. Demikian juga kepada lembaga-lembaga non pemerintah dituntut untukmemberi kontribusi/sumbangan yang berkaitan dengan sumber daya alam,kegunaan, manfaat sumber daya alam bagi manusia baik ditinjau secaralangsung maupun tidak langsung seperti pengaturan tata air, pencegahan banjirdan pencegahan erosi dan lain-lain sebagainya.

Di bawah mukim terdapat gampong yang hampir sama dengan sistem desa ditempat lain di Indonesia. Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum adatyang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawahmukim yang menempati wilayah tertentu, dan dipimpin seorang Keuchik danberhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

Batas antar mukim cukup jelas dengan memakai tanda-tanda alam sepertigunung, sungai, teping, alur (anak sungai), batu besar, pohon-pohon besar danlain-lain sebagainya. Namun setelah keluarnya UU No. 5 Tahun 1979 tentangPemerintahan Desa yang menyeragamkan desa di seluruh Indonesia, mukim

198

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tidak lagi memiliki wewenang karena wewenang tersebut ada pada gampongyang setingkat desa. Sampai pada masa tersebut batas antar gampong tidaklahterlalu jelas, sehingga timbullah masalah di antara gampong.

Kalau pada jaman konflik hampir semua kepala dan perangkat gampongnyamenunjukkan perbatasan gampong yang lebih kecil daripada batas sebenarnya.Praktik ini bertujuan untuk mempermudah keuchik dalam mempertanggung-jawabkan wilayahnya dalam dua hal. Pertama, retribusi pajak yang harusdikeluarkan oleh gampong tidaklah terlalu besar. Kedua, praktik tersebut untukmenghindari persoalan yang muncul setelah terjadinya kontak senjata antaraGAM dan tentara/Brimob di wilayah gampong yang bersangkutan. Misalnyaada sweeping (pemeriksaan) gampong pasca kontak senjata, atau harusmengangkat mayat jika ada korban, atau harus gotong royong untukmembersihkan gampong , baik di jalan yang sudah menjadi semak-semakmaupun di belakang gampong yang dianggap rawan persembunyian musuh.

Keadaan ini berbalik setelah perjanjian perdamaian tercapai, hampir seluruhgampong di Aceh mengklaim wilayah yang lebih luas, terutama. Bila ada sumberdaya alam yang menjanjikan untuk kesejahteraan warga.

PROGRAM PEMETAAN PARTISIPATIF DI YRBI

YRBI Melaksanakan Pemetaan Partisipatif

Pada tahun 1996 PT. Indonusa Indrapuri (sekarang PT. Acehnusa Indrapuri) ,menggunakan tanah dalam wilayah gampong Lam Kubu tanpa adanyakesepakatan dengan masyarakat setempat untuk dijadikan lahan Hutan TanamanIndustri (HTI). Masyarakat Lam Kubu dan sekitarnya melakukan protes kepadacamat, bupati dan gubernur atas perampasan tanah yang dilakukan perusahaantersebut, namun protes masyarakat dianggap angin lalu oleh aparatpemerintahan. Pada pertengahan 1998 masyarakat melakukan aksi demontrasike gedung DPRD Tingkat II Aceh Besar dan akhirnya sebagian tanah dibebaskankembali pada masyarakat, namun masyarakat belum puas. Konflik Aceh yangmeluas ke Aceh Besar pada tahun 2000 akhirnya menghentikan seluruh kegiatanperusahaan tersebut. Masyarakat kemudian mengambil kembali tanah tersebutdan merasa perlu untuk menata kembali klaim mereka atas wilayah adatnya.

Dari keadaan tersebut YRBI menyimpulkan bahwa masyarakat membutuhkankedaulatan/pengakuan atas ruang dalam bentuk dokumen hak-hak ulayat. Salahsatu komponen penting dokumen tersebut a dalah peta wilayah. Karena itulahPP menjadi cara untuk memperoleh dokumen tersebut. Kebutuhan mengharuskan

199

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

YRBI berjaringan dengan LSM-LSM yang bergerak di bidang tersebut. KarenaJKPP sedang mengadakan program pelatihan PP maka YRBI mengirim salahseorang staf ke JKPP agar dapat ikut magang ke Kalimantan Barat pada akhirAgustus 1999 selama tiga minggu.

Untuk mengembangkan PP di Aceh, pada tahun 1999 YRBI melakukan pemetaan.Kemudian pada 28 Agustus s/d 14 September 2000 melaksanakan RegionalTraining PP yang diikuti oleh teman-teman LSM lokal dan organisasi masyarakat.Fasilitator utama pelatihan ini adalah Tono dari lembaga Lembar (Jambi). Lokasikegiatan ini di Kelurahan Paya Seunara, Pulo Sabang. Sebagai tindak lanjut darihasil magang dan pelatihan PP tersebut YRBI melakukan pemetaan gampong diAlue Naga di dalam wilayah kota Banda Aceh, dan selanjutnya di gampongLamteh, Lamkubu, Lampanah di Aceh Besar.

Proses Pemetaan Partisipatif

PP yang dilakukan oleh YRBI terdiri dari delapan tahap. Kesemua tahap tersebutdipakai sejak masa konflik dan masih dipakai sampai saat ini.

1. Sosialisasi Dan Pertemuan Masyarakat

Kegiatan ini dilakukan setelah adanya penjajakan lapangan oleh orang yangmenjadi kontak (contact person) YRBI di kampung, yang juga salah seorang tetuaadat setempat. Pada pertemuan ini disampaikan informasi tentang kegiatanpemetaan dan fungsi peta yang akan dihasilkan. Yang hadir dalam pertemuanini adalah pimpinan adat gampong (keuchik), tetua adat lainnya dan masyarakat.Pada tahap ini kesepakatan adat tentang pelaksanaan kegiatan pemetaandiambil. Sementara untuk pertemuan masa konflik harus dihadirkan lagi tokohmasyarakat tingkat kecamatan yang memiliki kewenangan khusus dalamsuasana Aceh yang sedang dilanda konflik. Pada saat damai tokoh-tokoh luarcukup dengan pemberitahuan saja tidak perlu dihadirkan lagi dalam pertemuantersebut.

2. Musyawarah Gampong

Kegiatan musyawarah gampong yang dilaksanakan sebenarnya merupakanlanjutan dari proses sosialisasi untuk mendapatkan penegasan ulang ataspelaksanaan pemetaan yang telah disepakati pada tahap sosialisasi. Tahap inijuga untuk melakukan perencanaan kegiatan secara rinci. Terakhir para pesertamembuat peta sketsa yang menjadi dasar diskusi penentuan batas danperencanaan rute survei. Pada masa konflik para penyelenggara harus bisamelakukan penyesuaian materi berdasarkan pertimbangan saat itu.

200

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

3. Pengenalan Alat Dan Cara Penggunaannya

Sebelum pengambilan data lapangan, baik dengan menggunakan GPS maupunkompas, masyarakat yang akan berpartisipasi dalam kegiatan pemetaanterlebih dahulu dibekali dengan pengetahuan praktis tentang PP dan teknikpenggunaan alat (GPS, Kompas dan meteran). Tiap peserta kemudianmempraktekkan cara penggunaan alat tersebut.

4. Survei Lapangan / Pengambilan Data GPS Dan Kompas

Pengambilan data GPS dan Kompas dilakukan di lokasi yang telah disepakatisebelumnya, sesuai dengan jumlah GPS dan kompas yang dapat dipakai untukkegiatan ini. Tiap kelompok terdiri dari enam orang ditambah satu orangpendamping dari YRBI.

5. Pengolahan Data

Karena keterbatasan alat/sarana pendukung, kegiatan pengolahan data secaradetail dilakukan di Banda Aceh (di Kantor YRBI ) dengan mengikut sertakan wakildari masyarakat.

6. Klarifikasi Peta :

Setelah data selesai diolah dan menjadi peta final dilakukan klarifikasi ulangdengan masyarakat. Semestinya klarifikasi peta ini dilakukan langsung digampong , namun karena kondisi tidak memungkinkan maka kegiatan inidilakukan di Banda Aceh dengan menghadirkan tetua adat dan tokoh masyarakatyang memahami benar seluk beluk gampong.

7. Penyelesaian Akhir Peta

Kegiatan ini juga dilakukan di kantor Y RBI dan akan menghasilkan peta akhiryang diinginkan oleh masyarakat Gampong.

Kegiatan PP yang menghasilkan tiga jenis peta tersebut – peta referensi, petatata guna lahan dan peta pemukiman – menimbulkan dua dampak penting.Pertama, selama proses PP terjadi pewarisan pengetahuan dari generasi tuakepada yang lebih muda tentang sejarah kawasan dan nama-nama tempat, batas-batas wilayah, pemanfaatan oleh masyarakat setempat. Kedua, peta-petatersebut dapat dipergunakan oleh masyarakat, baik untuk kepentingan penataanruang, penegakan adat, maupun dalam rangka mempertahankan hak-hakadatnya.

201

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Proses Pemetaan Partisipatif Fase Konflik Bersenjata

PP di Gampong Lam Kubu pada tahun 2000. Karena kegiatan tersebut berlangsungdalam masa konflik, banyak tantangan yang dialami mulai persiapan awalsampai ke proses pemetaan itu sendiri. Strategi pelaksana kegiatan pemetaandi gampong ini dimulai dengan kunjungan awal di gampong, yang difasilitasioleh mukim. Tim sosialisasi pemetaan menemui seorang kontak person yangsebelumnya melaporkan persoalan tanah masyarakat yang dirampas oleh PT.Indonusa Indrapuri ke YRBI. Berdasarkan laporan tersebut tim pemetaan turunke lapangan untuk berdiskusi dengan kepala gampong serta mengutarakanrencana kegiatan PP di gampong tersebut sebagai jalan untuk merebut kembalitanah yang dikusai oleh PT Indonusa. Setelah ada kesepakatan pelaksanaanpemetaan maka tim sosialisasi bersama-sama dengan kepala gampongmenjumpai Imum Mukim untuk mendorong pertemuan sosialisasi pemetaandengan jumlah peserta lebih banyak yang mewakili dari semua dusun digampong. Karena Imum Mukim merupakan bahagian pemerintah maka lembagamukimlah yang boleh melakukan pertemuan yang berkenaan dengan kepentinganmasyarakat secara umum. Oleh karena itu fasilitas Imum Mukim sangatdiharapkan untuk mempermudah keluar izin pertemuan.

Surat permohonan izin kegiatan dibuat oleh mukim berdasarkan konsep yangdibuat oleh YRBI. Imum mukim hanya menandatangani dan mengantarkannyake kecamatan untuk mendapatkan surat izin pertemuan dari camat. Surat izinpertemuan dari camat setempat diketahui oleh Kapolsek dan di disetujui olehKoramil setempat. Di dalam surat izin tersebut biasanya ada hal-hal yangharus dipenuhi oleh panitia pelaksana, misalnya hasil notulensi pertemuanharus diserahkan ke pihak kecamatan. Selama dalam pet emuan pihak mupikaharus memantau pertemuan, biasanya yang datang adalah dua orang dari Polseksetempat. Kepada petugas keamanan ini juga harus diberikan uang rokok.

Strategi penyampaian materi pemetaan disesuaikan dengan kondisi pertemuandan peserta yang hadir. Fasilitator yang memimpin pertemuan harus menilaisejauh mana penjelasan perlu diberikan. Bila dinilai memungkinkan, merekamenceritakan proses pemetaan secara rinci dengan penjelasan tentang tujuan,manfaat dan fungsi pemetaan itu sendiri. Namun bila dinilai sebaliknyafasilitator (tim sosialisasi pemetaan) akan menceritakan hal-hal lain yang adahubungannya juga dengan pemetaan tapi dengan titik berat pada pentingnyauntuk menjaga wilayah lingkungan sekitar dari hal-hal yang mengganggukeamanan dan diarahkan agar semua peserta untuk dapat berpartisipasi dalammenjaga gampongnya masing-masing.

202

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Bila kesepakatan di antara tim sosialisasi dan masyarakat gampong tercapai,maka akan dilakukan pemetaan. Namun pada tahap inilah kadang-kadangterjadi hambatan yang paling mendasar, misalnya soal keamanan alat – alatpemetaan terutama GPS dan foto peta topografi. Untuk penggunaan GPS pihaktim pemetaan mensiasatinya dengan cara mencari lembaga yang dianggap amansebagai pemilik peralatan tersebut. YRBI kemudian meminta proyek KawasanEkosistem Leuser (KEL) untuk seolah-olah menjadi pemilik unit GPS tersebutkarena hanya mereka yang boleh memilikinya untuk menjaga kawasan hutantersebut. KEL kemudian membuat surat yang menjelaskan bahwa GPS tersebutdipinjam YRBI. Sementara untuk peta topografi tim pemetaan memotong lembarpeta menjadi bagian-bagian kecil agar dapat dipakai sebagai kertas pembungkus.Setelah tim pemetaan sampai di gampong yang dituju potongan-potongantersebut baru dirangkai kembali sebagai pedoman untuk melakukan pemetaan.

Walaupun proses pemetaan pada masa ini begitu rumit bukanlah berarti PPtidak bisa dilaksanakan di Aceh. Akan tetapi untuk memperkenalkan danmengembangkannya diperlukan energi lebih, kemauan dan juga s emangat juang.Atas dasar itu pula YRBI mendahulukan pendekatan-pendekatan berupa kegiatanpraktis untuk memperkuat adat sebagai dasar sebelum melakukan kegiatanpemetaan. Proses pemetaan yang di jabarkan di atas merupakan pengalaman diLamkubu.

Dalam pelaksanaan pemetaan tidak semua rangkaian proses dapat dilakukansekaligus di lapangan. Saat pemetaan berlangsung daerah/kawasan kemukimanLamtamot, dengan Lamkubu adalah salah satu gampong pembentuknya, menjadidaerah pantauan pihak Polri/TNI karena dua minggu sebelumnya merekamenyisir gampong Panca, yang berbatasan dengan gampong Lam Kubu, untukmencari anggota GAM. Namun demikian karena masyarakat sudah bertekaduntuk menata ulang tata ruang gampong mereka, maka pada tahap pelaksanaankegiatan tetap dilakukan. Mereka melakukan diskusi-diskusi tentang tata ruangyang sudah ada dan memutuskan untuk melakukan pemetaan batas-batasgampong.

Sehubungan dengan kondisi keamanan di Aceh Besar yang kurang kondusif makaada beberapa kendala yang dihadapi selama melakukan pemetaan. Dua kalidiskusi harus dilakukan di Banda Aceh karena masih dikhawatirkan akanmenimbulkan kecurigaan dari pihak yang bertikai, sehingga menimbulkan biayatinggi di kalangan masyarakat. Tingkat partisipasi dalam survei kurang karenakebanyakan warga tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka, walaupun merekasetuju atas pelaksanaan pemetaan. Pemakaian alat, terutama GPS dan kompasyang harus terlindungi dari kedua belah pihak yang bertikai dalam konflikbersenjata.

203

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Pada saat survei lapangan anggota TNI/Polri sering mendatangi tim pemetaanuntuk melakukan interogasi dan sering akhirnya mereka minta uang rokok.Kejadian seperti ini berulang-ulang dengan orang-orang yang berbeda-beda.Bila dinilai sudah menganggu kegiatan biasanya tim pemetaan akan memberikanuang rokok agar mereka cepat-cepat pergi dari wilayah tersebut.

Di sisi lain proses pemetaan bagi masyarakat tidak mendapat hambatan yangberarti karena masyarakat menginginkan adanya peta gampong. Mereka sangatantusias mengikuti proses survei lapangan meski tanpa bayaran. Bahkan adawarga yang menjamu tim pemetaan, baik di warung ,maupun di rumah.

Proses Pemetaan Partisipatif Fase Pasca Tsunami

Bencana tsunami mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana, hancurnyapemukiman, hilangnya pemilik lahan (hilangnya ahli waris), bergesernya garispantai ke daratan dan berubahnya rupa bumi. Pada fase ini tujuan dan manfaatPP adalah untuk memberikan kepastian atas pemilikan lahan individu,memberikan jaminan kepemilikan atas lahan yang sudah tidak ada ahli warisnya,meminimalisasi konflik batas pemilikan antar individu dalam sebuah gampongini. Melalui PP batas gampong akan jelas, lahan milik individu atau milik ulayatjuga akan jelas, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang menggugatnya.

204

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Berbeda dengan pada fase sebelumnya, PP pada masa ini tidak memerlukanizin dari pihak keamanan. Pertemuan dengan pihak kepala gampong tidak lagimemerlukan bantuan dari imum mukim. Tim hanya memberitahu imum mukimtentang pelaksanaan pemetaan gampong di dalam wilayahnya, sesuatu halyang tidak mungkin pada masa konflik. Kegiatan PP saat itu sangat dibutuhkankarena peta merupakan pedoman yang penting dalam upaya rehabilitasi danrekonstruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak baik pihak pemerintah maupunberbagai LSM.

YRBI bekerja sama dengan JKPP juga ikut dalam upaya ini dengan melakukan PPdi kecamatan Mesjid Raya dan kecamatan Peukan Bada Aceh Besar. Dalamkesepakatan kerjasama antara YRBI dan JKPP untuk pemetaan Gampong diwilayah yang terkena bencana tsunami terdapat pembagian peran di antarakeduanya. JKPP mencarikan dana untuk pelaksanaan kegiatan ini dan mengirimrelawan pemetaan yang berasal dari beberapa lembaga anggotanya di luarAceh (Jawa, Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan) untuk membantu pelaksanaankegiatan. Selain itu JKPP menyediakan peralatan dan semua kebutuhan pemetaan.Sementara peran YRBI adalah menjadi ‘ tuan rumah’ bagi kegiatan ini, menentukanlokasi kegiatan pemetaan dan mengkoordinasi kegiatan lapangan.

Sebelum ke lapangan para relawan ini mendapat pengarahan dari YRBI tentangrambu-rambu budaya Aceh, misalnya larangan penggunaan anting-anting, gelangkaki dan celana pendek selama di kampung. Di samping itu YRBI jugamenyampaikan kondisi Aceh yang masih belum damai serta apa saja trik-trikyang perlu diketahui bila bertemu dan berbicara dengan pasukan dari keduabelah pihak yang berperang. Para relawan juga diminta untuk bisa menahandiri agar tidak terlibat dalam pembicaraan/ perkataan yang berhubungan dengansoal-soal politik.

Untuk proses pemetaan sendiri sama seperti kegiatan pemetaan sebelumnya,pertama sekali dilakukan sosialisasi awal dengan cara YRBI mengundang semuakepala Gampong dan tokoh-tokoh masyarakat ke kantor YRBI untuk membuatkesepakatan pelaksanaan kegiatan pemetaan serta jadwalnya disusun bersama-sama. Setelah itu barulah semua relawan berangkat ke gampong-gampongdengan didampingi oleh tenaga lapangan YRBI. Tiap gampong mempunyai timyang terdiri dari dua orang relawan dan satu orang pendamping dari YRBI.Koordinator lapangan dari YRBI yang mengkoordinasi semua kegiatan pemetaangampong.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan maka para relawantersebut didampingi oleh relawan dari Aceh sendiri a gar relawan dari luarAceh dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat kegiatan dan dapat denganmudah beraktivitas di lapangan. Biarpun begitu masih juga terjadi kasus

205

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

penyanderaan para relawan oleh pasukan bersenjata di suatu lokasi yang agakjauh dari pemukiman penduduk. Pasukan ini sengaja menghilangkan identitasdiri untuk menjebak siapa saja yang mereka jumpai di lapangan. Namun denganbekal pengetahuan yang diperoleh dari pengarahan di kantor YRBI merekatanggap terhadap keadaan. Mereka dapat melewati berbagai interogasi yangdilakukan oleh pihak keamanan dengan baik.

Gelombang bantuan untuk bencana tsunami membuka isolasi Aceh ke dunialuar. Masyarakat di seluruh dunia dapat melihat langsung peristiwa-peristiwayang terjadi Aceh. Masyarakat luar berbondong-bondong datang ke Aceh denganberbagai macam label yang disandangnya. Ada yang datang untuk membantumengevakuasi mayat-mayat korban tsunami. Ada pula yang datang untukmembantu mendistribusi berbagai jenis makanan dan obat-obatan.ke seluruhpelosok Aceh, bukan saja dalam wilayah yang terkena tsunami namun jugawilayah non tsunami. Keterbukaan informasi dan tantangan pembangunankembali Aceh akhirnya mendorong GAM dan pemerintah RI untuk membukakembali pembicaraan perdamaian.

Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi menyebabkan banyak pihak, termasuk NGOinternasional menawarkan program-program bantuan seperti pembangunanperumahan, peningkatan ekonomi, perbaikan sarana air bersih, dan pelayanankesehatan ke gampong-gampong . Akibatnya kepala gampong atau tokohmasyarakat lainnya sibuk menerima kunjungan dari berbagai pihak.

Untuk kegiatan PP staf YRBI melakukan kunjungan awal sambil memberikanbantuan peralatan pembersihan gampong. Di sela kegiatan pembersihan itustaf lapangan YRBI mensosialisasikan program PP kepada gampong-gampongyang didampinginya. Kepala gampong dan tokoh masyarakat duduk berdiskusitentang tawaran pemetaan gampong. Keputusan dalam pertemuan tersebut baruditindaklanjuti dalam beberapa waktu setelah ada musyawarah di kantor YRBI.YRBI akan menerjunkan tim pemetaan ditambah relawan-relawan ke lapanganatau ke gampong yang sudah sepakat melakukan pemetaan. Para tim relawanpemetaan yang berkerja untuk membantu masyarakat yang terkena tsunamitidak saja mereka melulu melakukan kegiatan pemetaan, tapi mereka jugamembantu kepala gampong membenahi administrasi gampong , misalnyatentang demografi dan surat-menyurat dan lain-lain sebagainya. Kedatangantim pemetaan di gampong banyak membantu soal-soal administrasi gampong.

Kendala PP saat itu biasanya tentang penentuan batas-batas gampong. Kegiatanpemetaan gampong kurang tersosialisasi dengan baik di antara masyarakat.Sehingga saat tim pemetaan dan pemuda gampong menarik garis meteran, adawarga yang mengatakan bahwa yang berhak mengukur tanah hanya petugaspertanahan saja. Ada pula warga yang menduga kepala gampong ada main

206

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

mata dengan pihak proyek gampong. Di samping itu ada juga kendala masihterbatasnya data pendukung antara lain peta topografi yang belum lengkap.Banyak gampong yang tanda batasnya hilang tersapu tsunami. Ada pula yangkabur batasnya sehingga menyebabkan konflik antar gampong yang sebelumnyatidak muncul ke permukaan. Padahal sebelum pemetaan batas antar gampongtidak pernah menjadi persoalan, namun saat pemetaan muncul konflik sehinggakeharmonisan antarwarga terusik. Ada beberapa yang bisa diselesaikan denganpendekatan musyawarah dan mufakat dan duduk bersama di gampong denganmelibatkan tokoh-tokoh kunci yang tertinggal untuk mencari solusi penyelesaiansengketa batas tersebut. Ada yang bisa diselesaikan dengan difasilitasi olehtim pemetaan dan ada pula yang belum terselesaikan.

Namun demikian permintaan PP semakin hari semakin banyak. Hal ini tampakdengan banyaknya surat permintaan pemetaan yang masuk ke lembagapelaksana pemetaan gampong. Lembaga pelaksana kegiatan PP pun harusbekerja keras dan melakukan negosiasi dengan pihak jaringan dan mitra kerjauntuk mendapat dukungan pelaksanaan kegiatan tersebut. Banyak gampongyang minta dipetakan, tetapi partisipasi masyarakat menjadi persoalantersendiri. Hal ini muncul akibat program cash for work yang memberi upahharian bagi warga gampong yang terlibat dalam pembersihan gampong .Sementara dalam kegiatan pemetaan partisipatif warga gampong diharapkansecara sukarela bekerja karena kegiatan ini untuk kepentingan mereka sendiri.

Setelah selesai tahap pemetaan batas gampong tim pemetaan kemudianmemfasilitasi perencanan gampong sebagai pilot project, karena tidak semuagampong yang dipetakan kemudian dilakukan perencanaan gampong. Khususuntuk program pemetaan pasca tsunami dalam wilayah kecamatan Mesjid Rayahanya satu gampong yang dilakukan perencanaan gampong yaitu GampongBeurandeh. Karena gampong ini dinilai bahwa selama proses pemetaan gampongmasyarakatnya kompak.

Sebelumnya tim pelaksana pemetaan melakukan diskusi-diskusi awal denganmasyarakat untuk mendapatkan kesepakatan tentang kegiatan perencanaangampong. Setelah ada kesepakatan tercapai, maka tim JKPP-YRBI mengundangseorang fasilitator dari SALAM Bogor (Baehaqie) yang berpengalaman dalammemfasilitasi kegiatan perencanaan gampong. Pada saat itu belum ada stafYRBI yang memiliki kemampuan untuk memfasilitasi perencanaan gampongtersebut. YRBI dan relawan JKPP beserta masyarakat gampong Beurandehmembuat pertemuan persiapan untuk mendiskusikan hal-hal yang dibutuhkanpada saat kegiatan dilakukan. Kemudian mereka membentuk panitia pelaksanayang bertugas menjamin kelancaran kegiatan termasuk menyediakan konsumsi.Kegiatan ini.

207

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Kegiatan perencanaan Gampong yang berlangsung selama tiga hari tiga malamberjalan sangat meriah bagaikan sebuah pesta rakyat, karena warga masyarakatberduyun-duyun mengikutinya. Hari pertama dimulai dengan pembukaan acarasecara serimonial, (kata pengantar dari YRBI, kata sambutan dari kepalaGampong, dan pembacaan doa). Kemudian fasilitator mulai dengan penjelasanperencanaan Gampong, dilanjutkan dengan perkenalan, pembagian kelompokkerja (kelompok usulan materi selama tiga hari: kelompok aturan main,kelompok kesepakatan jadwal dan kelompok klarifikasi peta).

Hari kedua diisi dengan diskusi-diskusi kelompok tentang sumber daya alam,sumber daya buatan, sumber daya ekonomi, sumber daya sosial kelembagaan,dan juga pembahasan tentang rehabilitasi dan rekonstruksi. Kemudiandilanjutkan pembahasan tentang para pemangku kepentingan ( stakeholder) yangakan mengimplementasikan hasil dari perencanaan gampong. Dan yang terakhirpembentukan tim percepatan realisasi hasil perencanaan gampong , yanganggota timnya adalah wakil-wakil masyarakat gampong. Hasil perencanaangampong tersebut antara lain adalah peta rencana pembangunan danpembentukan tim percepatan pembangunan. Anggota tim tersebut semuanyaadalah warga masyarakat gampong, yang terdiri dari kepala gampong sebagaipenanggung jawab, pelaksana tugas sebagai ketua umum, dan ditambah denganbidang-bidang antara lain nelayan, pembangunan, perdagangan, perkebunan,kehutanan, penghidupan ( livelihood ), dan bidang kelembagaan. Untukimplementasi rencana percepatan pembangunan gampong masyarakat jugamenyusun skala prioritas: prioritas utama, menengah dan jangka panjang.

Pada hari ketiga adalah pemaparan hasil hasil perencanaan gampong. Untukitu panitia pelaksana mengundang berbagai pihak di antaranya pemerintahkabupaten, DPRD, konsultan swasta, NGO-NGO luar, NGO-NGO lokal dangampong-gampong tetangga. Setelah pemaparan yang dilakukan seorang wargagampong, dokumen perencanaan tesebut kemudian diserahkan kepada paraundangan yang diharapkan dapat mengimplemetasikan hasil perencanaangampong tersebut. Ternyata hasil perencanaan gampong ini mendapat tanggapanpositif dari pihak donor. Ketua umum tim percepatan pembangunan gampongakhirnya menjadi orang yang paling sibuk, mungkin lebih sibuk dari seorangbupati. Pihak donor yang ingin membantu gampongnya selalu mencari danmenjumpai beliau. Sehingga hampir semua yang direncanakan gampong tersebutbisa terpenuhi. hal ini menyebabkan gampong-gampong tetangga ingin jugamelakukan pemetaan dan perencanaan gampong mereka.

Proses Pemetaan Partisipatif Fase Pasca Aceh Damai

PP pada masa damai lebih mudah dalam prosesnya, bila dibandingkan denganpemetaan waktu konflik dan tsunami. Sejak dari kunjungan awal ke lokasi yang

208

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Salah satu kegiatan PP paska Aceh Damai diMukim Sarah Raya

akan dipetakan penerimaan masyarakat terhadap pendatang sangat baik.Mereka beranggapan bahwa para pendatang akan membuka akses gampongmereka menuju kemajuan. Apalagi dengan kedatangan tim sosialisasi pemetaanyang sudah mereka tunggu-tunggu karena mereka sudah lama memintanya keYRBI melalui Imum Mukim. Kegiatan pemetaan pada fase ini difo kuskan padawilayah mukim Sarah Raya, sebuah wilayah yang tak terkena tsunami dan jauhdari kebisingan kota yang berada di kecamatan Teunom (Kabupaten Aceh Jaya ),.

Dalam proses sosialisasiyang dilakukan oleh timpemetaan (YRBI) di mukimSarah Raya, yang merupakanpusat kemukiman setempat,pertemuan sosialisasi PPdilakukan di balai desa.Dalam pertemuan ini masya-rakat menyatakan penting-nya kejelasan batas antargampong karena sebagiangampong-gampong di mukimSarah Raya sering mengalamisengketa batas. Sengketa initerus berlanjut karenaselama ini tidak ada kesepakatan tertulis. Pertemuan tersebut menyepakatibahwa mukim Sarah Raya yang berjumlah lima gampong harus dipetakan menjadisatu peta kemukiman. Beberapa alasannya antara lain adalah untuk menjagadan memelihara potensi gampong dan mukim yang ada dalam mukim SarahRaya, untuk mempermudah proses pembangunan di gampong-gampong, danuntuk melengkapi administrasi gampong dan mukim.

Proses pemetaan dimulai dengan pembuatan peta sketsa gampong yangbertujuan untuk mempermudah proses pengambilan titik di lapangan. Prosesini sangat akrab antara tim sosialisasi pemetaan dengan masyarakat setempatkhususnya yang terlibat dalam pertemuan sehingga tim sosialisasi tidakmendapat kendala sedikit pun.

Setelah kesepakatan pemetaan dan jadwal diperoleh, t im sosialisasi kembalike Banda Aceh untuk mempersiapkan tim PP. Pada tanggal 2 Oktober 2006 timpemetaan datang ke mukim Sarah Raya. Tim pelaksana terdiri dari empat orangpemetaan ditambah empat orang relawan. Karena pemetaan dilakukan secarabersamaan maka tim ini dibagi lagi ke dalam dua kelompok. Masing-masingmemetakan satu gampong. Kedua tim tersebut bekerja dari satu gampong kegampong lain sampai kelima gampong dalam mukim tersebut selesai dipetakan.

209

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Hampir semua dari 17 gampong yang dipetakan pada fase damai tidak memilikikonflik yang laten. Masyarakat sudah melaporkan p ersoalan-persoalan tatabatas gampong-gampong ke Pemda dan DPRD pada saat lokakarya diseminasiPP tingkat kabupaten Aceh Jaya. Pada kesempatan tersebut pemerintah daerahmemberikan tanggapan positif dan berjanji akan membentuk tim khususpenyelesaian konflik batas gampong. Namun sampai saat ini pembentukan timtersebut masih tidak jelas.

KONFLIK BATAS PASCA PEMETAAN

Ada banyak temuan kasus atau sengketa batas gampong di Aceh, khususnyayang dijumpai dalam wilayah kegiatan PP. Salah satu contoh adalah sengketabatas di antara gampong Beurandeh dengan gampong Paya Kameng KecamatanMesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Dalam pertemuan tahap awal keduagampong sudah sepakat tentang batas karena kedua belah pihak sudahmenyepakatinya. Namun pada saat pengambilan titik koordinat batas terjadiperbedaan pendapat. Di sinilah muncul benih-benih sengketa yang menyebabkanperdebatan sengit di antara kedua belah pihak, karena masing-masingmempertahankan prinsipnya. Melihat perdebatan yang makin memanas makaseorang anggota tim survei yang berasal dari Sulawesi mencoba mendinginkansuasana dengan memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih mendalamtentang makna tata batas. Ia menjelaskan bahwa batas hanya kepentinganadministrasi gampong, sementara tanah dan hak pribadi tetap masih dipegangoleh masing-masing pemilik yang bersangkutan. Dengan penjelasan ini keduagampong dapat menerimanya dan sekaligus meletakkan tanda patok batas sertamelakukan ikrar adat yang dipandu oleh anggota tim.

Lain halnya yang terjadi di gampong Meunasah Mon, Meunasah Kulam danMeunasah Keudee. Sampai selesai pemetaan ketiga gampong tersebut tetaptidak dapat menuntaskan konflik batas. Akhirnya mereka hanya membuat tandabatas semu, dan akan diperbaiki ulang setelah ada kesepakatan adat. Parasesepuh (tokoh masyarakat) gampong sudah berusaha keras untukmenyelesaikan konflik batas mulai dari pertemuan tingkat gampong, mukimbahkan sudah sampai ke tingkat kecamatan. Namun sampai saat penulisanmasalah ini belum juga ditemukan jalan penyelesaiannya.

Konflik batas terjadi hampir di semua gampong dalam Kabupaten Aceh Besar.Masyarakat sangat menginginkan gampong mereka tidak memiliki persoalansengketa batas. Ini merupakan hal yang posistif dari hasil pemetaan gampong,karena masyarakat akan mengetahui tata batasnya, mengetahui kepemilikanlahan dan mudah menjelaskan kepada generasi penerus selanjutnya. Jelasnyabatas wilayah mukim dan gampong dengan membuat kesepakatan batas baik

210

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

batas alam seperti; sungai, alur, gunung, dan batu atau batas kesepakatan sepertimembuat patok kecamatan-mukim-gampong melalui musyawarah. Rencana tataruang, hak kelola wilayah mukim diserahkan kepada imum mukim seperti hutan,batang air, padang meurabee (padang gembala), tambang, tanah ulayat.

PERLUASAN GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF

YRBI berencana memperluas gerakan PP di Aceh untuk mempermudah parapelaksana roda pemerintahan di tingkat gampong dan mukim sehingga merekadapat melakukan pengelolaan ruang dan sumber-sumber daya alam menujukehidupan masyarakat yang lebih berdaya dan mandiri. Perluasan tersebutdilakukan khususnya dengan mengembangkan gagasan distribusi ruang mulaidari tingkat gampong hingga mukim. Masalah-masalah penting yang dialamioleh masyarakat NAD adalah mulai memudarnya nilai-nilai lokal danmenyempitnya penguasaan wilayah, baik di tingkat gampong maupun mukim.Kedua hal tersebut mengakibatkan hilangnya hak dan akses ruang yang dapatdimanfaatkan atau dikelola secara komunal. Hal ini dialami oleh seluruh mukimdi Aceh akibat kebijakan pembangunan yang mengabaikan batas-batas wilayahmukim sehingga menimbulkan persoalan atau konflik kebijakan, peraturan,kewenangan institusi maupun program pemerintah di antara (Pemda, institusiMukim dan gampong). Oleh karena itu ide perluasan gerakan PP menjadi salahsatu solusi untuk menjawab tantangan di masa depan, pergerakan perluasanpemetaan merupakan salah satu cara /metode memperkuat jaringan pemetaansampai ke seluruh pelosok daerah serta mendorong pemerintah untukmengadoksi tehnis pemetaan secara partisipatif. ,

Simpul Layanan

Dalam upaya memperluas gerakan tersebut, kita perlu menempatkan gerakanPP sebagai bagian dari “gerakan sosial.” Gerakan ini mengusung nilai dan prinsip-prinsip: (a) Partisipatif, (b) Kesetaraan, (c) Demokrasi, (d) Transparan, dan (e)Akuntabilitas. Gerakan tersebut perlu motor yang memfasilitasi, mendorongdan menggerakkan gagasan PP. Motor tersebut berbentuk Simpul Layanan danJaringan Pemetaan Partisipatif (SLJPP), yang berkedudukan di tingkat kabupaten/kota. Fungsi dan peran SLJPP (saat ini), adalah:

1. Membangun kemitraan dengan lembaga adat, NGO, Pemerintah Daerah.

2. Melakukan advokasi, lobi dan negosiasi agar PP menjadi program kerjapemerintah daerah yang dianggarkan dalam APBD.

3. Membangun simpul layanan yang efektif dengan lintas pendekatandaerah, pendekatan akses dan kapasitas PP.

211

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

4. Membangun komunikasi dengan dinas-dinas terkait dan juga orang-orang pemerhati pemetaan secara partisipatif.

5. Memperkuat simpul dengan pelatihan, magang dan pertukaranmasyarakat (people exchange)

6. Mendorong masyarakat adat agar punya kemampuan memperjuangkanhak-haknya.

Gerakan ini dilakukan untuk memberdayakan masyarakat dan kelembagaansosial agar mereka dapat mengurusi dan menata ruang berdasarkan hak-hakdan pengetahuan masyarakat atas ruang dengan proses dan metodologi yangkomperehensif, mencakup aspek sosial budaya, sosial ekonomi, politik, hukumdan ekologi. Jaringan yang diusung dalam gerakan ini berbasis gampong danmukim serta hak-hak masyarakat. Untuk itu pengetahuan masyarakat tentangpeta dan potensi sumber daya masyarakat perlu dikembangkan. Selain itudiperlukan upaya terus menerus untuk mengembangkan berbagai gagasaninovatif yang berdaya guna bagi masyarakat guna merwujudkan masa depanGampong dan Mukim yang berdaulat, berkeadilan dan memajukan kemakmuranrakyat.

Sebuah gerakan PP masih harus menelusuri liku-liku yang panjang. Salah satupelajaran penting yang dapat ditarik adalah bahwa PP merupakan sebuahmetode yang secara efektif dipergunakan oleh komunitas-komunitas dalammelakukan pembelaan untuk persoalan-persoalan konservasi dan eksploitasipotensi sumber daya alam.

Gencarnya pembangunan fisik dan infrastruktur yang sekarang sedangberlangsung hampir seluruh pelosok Aceh menyebabkan kondisi lingkunganyang semakin memprihatinkan. Di samping itu sumber daya hutan mulaimengalami penyusutan luas kawasan serta terjadi peralihan hak tanah. Jikapersoalan-persoalan tersebut tidak dibenahi sejak awal maka akumulasipersoalan ini menjadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Namundalam persoalan tersebut peran-peran tokoh adat di tingkat mukim cenderungdiabaikan. Peran dan fungsi mereka pun sering dipolitisir sehingga melemahkankedudukan mereka dalam mengatur wilayah.

PENUTUP

Penerapan PP di Aceh melalui beberapa masa, yaitu: Masa Konflik, Pasca Tsunamidan Pasca Damai. Diawali dari kegiatan magang staf YRBI pada tahun 1999 diKalimantan Barat, gerakan ini mengalami pendalaman metodologi seiringdengan bertambahnya pengalaman lapangan. Gerakan PP dilakukan untuk

212

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

mewujudkan keberdayaan masyarakat dan kelembagaan sosial untuk mengurusdan menata ruang berdasarkan hak-hak dan pengetahuan masyarakat.

Tulisan ini bermaksud untuk mempertegas kembali tujuan gerakan PP agar dapatterukur keberhasilannya dan dapat teridentifikasi kelemahannya. Konsep danmetode tentang perluasan PP perlu diperkaya kembali untuk menjadi satukomponen gerakan rakyat yang komprehensif. Salah satunya adalah denganmerefleksi metode pemetaan dan perencanaan partisipatif serta penggunaannyayang telah dilakukan baik di Aceh maupun di tempat-tempat lain. Para aktivisperlu memahami konsep sistem kelola gampong dan mukim atau unit-unit yangsetara di tempat lain sebagai basis pengelolaan sumber daya alam, sertamemahami kondisi dan tantangan penataan ruang gampong, mukim sertawilayah kabupaten dan provinsi. Di samping itu, mereka juga perlumengembangkan strategi perluasan partisipasi masyarakat untukmerealisasikan hak-hak masyarakat dalam penataan ruang. Perluasan danpercepatan gerakan pemetaan dapat dilakukan dengan memperluas gagasanPP dalam berbagai sektor gerakan rakyat, terutama dengan mengembangkansimpul layanan sebagai ujung tombak gerakan PP di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman selama hampir sepuluh tahun pelaksanaan PP di Acehmemiliki berbagai hambatan, di antaranya: 1) Sulitnya melakukan surveilapangan karena faktor keamanan, dan adanya sengketa tata batas antargampong/mukim . 2) Kurang tersosialisasinya program PP di tingkat masyarakat.3) Masih kurangnya data pendukung, misalnya peta dasar yang kurang rinci, 5)Sulitnya mengumpulkan para tokoh masyarakat (kesibukan pasca tsunami), 6)Psikologi masyarakat yang rentan pasca konflik & tsunami.

213

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

REFLEKSI ATAS GERAKAN PEMETAANPARTISIPATIF DAN TANTANGAN DI MASADEPAN

Oleh : Hilma Safitri dan Albertus Hadi Pramono

Dalam bab ini kami mencoba merefleksi tentang gerakan PP di Indonesiaberdasarkan bab-bab sebelumnya, juga berdasarkan tanggapan atas kuesioneryang dikirimkan kepada para peserta sebelum pelaksanaan lokatulis dandiskusi-diskusi yang berlangsung selama lokatulis di Bogor. Refleksi inimempunyai bias karena hanya meninjau pengalaman-pengalaman JKPP danpara anggotanya, lebih khusus lagi para peserta lokatulis. Namun kami yakinrefleksi ini tetap sahih karena posisi JKPP yang sentral dalam gerakan PP diIndonesia. Berdasarkan refleksi tersebut, pada bagian akhir, kami mencobamenjabarkan tantangan gerakan PP di masa depan.

Para peserta terlibat dalam pembahasan mendalam, baik secara jelas maupunsamar-samar, tentang apa sesungguhnya tujuan besar (visi) dan konsep daripelaksanaan PP dalam sebuah rangkaian penguatan kelompok-kelompok rakyatmarjinal maupun untuk konteks pembelaan kelompok-kelompok tersebut. Dalamhal ini yang menjadi perhatian khusus adalah pemaknaan istilah Partisipatif/Partisipasi . Catatan pertama ini kemudian akan sangat berpengaruh padaidentifikasi tantangan-tantangan yang ada dalam setiap gerak langkahpencapaian tujuan-tujuan tersebut. Catatan selanjutnya adalah terjemahankonsep-konsep tersebut ke dalam kegiatan Pemetaan Partisipatif dan apa sajadampaknya. Catatan terakhir terkait dengan apa saja tantangan-tantangan dariPemetaan Partisipatif itu sendiri , khususnya terkait masalah internal gerakan(konsep dan metodologi) serta strategi yang dijalankan di masing-masingwilayah ketika berhadapan dengan dinamika politik lokal (kebijakan, birokrasidan pihak-pihak yang ada di wilayah). Yang perlu diperhatikan adalah ketigacatatan ini hendaklah diletakkan dalam konteks kewilayahan masing-masingserta konteks visi dan misi organisasi atau kelompok rakyat tersebut. Dengandemikian ketiga catatan tersebut akan benar-benar hidup dan berkembangdengan harapan menjadi satu pendorong untuk upaya-upaya penguatan rakyatseutuhnya.

Sebelum memaparkan ketiga hal tersebut perlu dicatat bahwa JKPP adalahsebuah organisasi yang cair, dalam arti memiliki keberagaman yang disebabkankarakter organisasi anggotanya. Salah satu contoh keberagaman tersebut adalah

214

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tujuan organisasi anggotanya. Di satu sisi ada organisasi anggota JKPP yangmandat utamanya adalah melakukan aksi-aksi merebut kembali hak-hak rakyatatas tanah mereka, sedangkan di sisi lain ada organisasi yang memiliki strategilain dalam pembelaan kelompok-kelompok rakyat marjinal, misalnya melaluipenguatan pengakuan wilayah dan pendampingan komunitas dengan isu-isutertentu. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa bagian akhir tulisan ini yangpada awalnya menghendaki memberikan sebuah refleksi, menjadi sangat tidakmudah untuk dirumuskan menjadi sebuah poin diskusi yang bulat. Karenanya,beberapa catatan di bawah ini diharapkan akan terus mengisi tema-tema refleksigerakan PP di wilayah-wilayah agar terus-menerus dapat memperkuatgerakannya dan memaksimalkan PP di setiap langkah perjuangan rakyat diwilayah.

PENYEBARAN GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF

Para peserta mulai terlibat dalam gerakan PP melalui beberapa cara. Lembaga-lembaga yang memelopori gerakan PP mendapatkan ide PP dari kegiatanpemetaan yang dilakukan di Indonesia dan/atau dari pengalaman negara-negarayang sebelumnya telah melakukan pemetaan bersama masyarakat.

Seperti telah diuraikan pada Pendahuluan, pemetaan di kampung Long Ulimemberi inspirasi bagi para penggiat lingkungan yang makin peduli denganhak-hak masyarakat adat untuk memetakan tanah-tanah adat. PPSDAK PancurKasih belajar tentang PP lewat lingkaran ini. Setelah mempelajari pemetaanyang dilakukan di TN Kayan Mentarang, lembaga-lembaga yang bernaung dibawah bendera Pancur Kasih melakukan pemetaan di kampung Sidas Daya(sekarang bagian dari Kabupaten Landak) pada tahun 1994. Dalam kegiatan iniAlix Flavelle dari Silva Forest Foundation (Kanada) bersama Frank Momberg(seorang geograf dari Jerman) mendampingi para penggiat Pancur Kasih untukmelakukan pemetaan. Setahun kemudian, tahun 1995, PPSDAK berdiri. Lembagayang berkantor di Pontianak tersebut belakangan diminta JKPP – yang berdiritahun 1996 – menjadi pusat pelatihan Pemetaan Partisipatif di Indonesia.

Alix Flavelle juga berpengaruh dalam menularkan ide PP kepada Yayasan TanahMerdeka (YTM). Dalam sebuah kunjungan ke Kanada yang diadakan YAPPIKA,sebuah lembaga yang banyak membangun kerjasama antara LSM Indonesiadan Kanada, Direktur YTM, Arianto Sangaji, mendapatkan jalan keluar darimasalah ketiadaan bukti tertulis penguasaan wilayah oleh masyarakat adatmelalui pemetaan, berdasarkan paparan Alix Flavelle tentang pengalamannyamelakukan pemetaan wilayah masyarakat adat (First Nation) di Kanada. YTMkemudian mengundang Alix Flavelle untuk memberikan pelatihan pemetaan diTaman Nasional Lore Lindu pada tahun 1995. Peserta pelatihan tersebut adalah

215

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

penggiat-penggiat dari YTM, penggiat dari wilayah Nusa Tenggara Timur, Toraja– Sulawesi Selatan, dan Makasar – Sulawesi Selatan serta beberapa orang Lindudan mahasiswa pencinta alam.

Selain di PPSDAK dan YTM, Alix Flavelle juga memberi pelatihan di KepulauanKei dan Kalimantan Timur. Sementara Frank Momberg juga mendampingipemetaan antara lain di Sumba dan Papua.

Kebanyakan lembaga asal para peserta belajar PP adalah dari PPSDAK, baikdengan mengikuti program magang di Kalimantan Barat, pelatihan yangdiadakan JKPP di suatu tempat, atau melalui pelatihan di provinsi masing-masing. YRBI termasuk kelompok yang ikut magang pemetaan di KalimantanBarat. Penggiat dari YRBI ikut magang bersama-sama dengan penggiat dari Riau,Jambi dan Lombok pada tahun 1999. YRBI sendiri pun mendapat pelatihan lagipada tahun 2003 dari seorang fasilitator pemetaan dari Jambi. Sementarapenggiat Mitra Bentala ikut pelatihan pemetaan kelautan partisipatif yangdiadakan JKPP pada tahun 1999 di Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah).Pemetaan di Pahawang mendapat bantuan dana dari Program PeFor (PeopleForest and Reef) yang dikelola PPSDAK Pancur Kasih. Dalam pemetaan tersebutMitra Bentala mengundang Lembaga JALA (Sumatera Utara) dan dari Universi-tas Sriwiyaja Palembang untuk belajar bersama. Contoh pelatihan yangdilakukan PPSDAK di provinsi asal lembaga adalah pemetaan di kampung Muluy(Kalimantan Timur) pada tahun 1996 yang diadakan PADI Indonesia (yang waktuitu masih bernama Rekari). Selain lembaga yang berbasis di Balikpapan ini adabeberapa lembaga yang aktif dalam gerakan PP di Kalimantan Timur sepertiSHK Kaltim, Plasma, Bikal dan lainnya. Namun kebanyakan lembaga tersebutsekarang tidak aktif lagi.

Gerakan petani yang baru menggunakan metode PP pada tahun 2000ankebanyakan belajar dari JKPP. Pemetaan pada gerakan ini menjadi bagian dariproses reklaiming tanah untuk para petani. PPRTS memutuskan untuk melakukanPP setelah ketuanya berdiskusi dengan Koordinator Region Jawa dari JKPP yangmenemukan kesamaan tujuan yaitu mengupayakan terciptanya kedaulatan hakatas tanah. Mereka mendapat pelatihan langsung dari JKPP pada tahun 2004.Pada tahun yang sama SD Inpers – lembaga di Jember Jawa Timur – jugamelakukan pemetaan untuk pertama kalinya. Ketika salah satu penggiat lembagaini menjadi anggota pengurus Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) idepemetaan ini ditularkan ke tempat-tempat lain termasuk ke sebuah organisasipetani Jambi. Organisasi di Jambi tersebut kemudian mendapat bantuan dariSekretariat Nasional JKPP untuk melakukan pemetaan k laim para petani.

Dari uraian ini tampak jelas beberapa organisasi menjadi pelopor pembentukangerakan PP di Indonesia. Organisasi-organisasi ini kemudian menjadi pendiri

216

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

JKPP dan menjadi motor utama JKPP pada tahun-tahun awal berkiprahnyaorganisasi jaringan tersebut. Secara perlahan JKPP mengambil alih peran itudan menjadi pelaku utama dalam upaya-upaya menyebarkan konsep PP baik ditingkat nasional maupun di wilayah-wilayah, sehingga sampai saat ini gerakantersebut terus berkembang dengan berbagai dinamikanya.

TUJUAN PEMETAAN PARTISIPATIF

Para peserta lokatulis pada dasarnya berasal dari tiga macam gerakan sosialyaitu gerakan lingkungan hidup, gerakan masyarakat adat dan gerakan petani/nelayan. Keterlibatan para peserta dalam gerakan PP sangatlah beragam.Sebagian ada yang sudah lebih dari sepuluh tahun, kebanyakan dari merekabergelut dengan isu lingkungan dan masyarakat adat. Sementara peserta darigerakan petani umumnya masih baru dalam gerakan ini. Hal ini tidaklahmengherankan karena gerakan PP di Indonesia memang mulai dengan upayamempertahankan wilayah adat yang kebanyakan memiliki ekosistem yangterjaga baik. Setelah gerakan ini bersinggungan dengan gerakan pembaruanagraria, gerakan petani mulai memakai pendekatan PP.

Para peserta pada dasarnya menempatkan masyarakat adat dan petani/nelayansebagai masyarakat korban politik pembangunan dan pengelolaan wilayah yangbertumpu pada kegiatan eksploitatif skala besar dan berpusat pada Negara.Kelompok-kelompok masyarakat adat dan para petani/nelayan menjaditersingkir atau terpinggirkan akibat pola kebijakan tersebut. Dengan politikpembangunan demikian ‘lawan’ mereka adalah para pengusaha yang mendapatperlindungan dan sering bekerja sama dengan Negara. Kadang-kadang, ‘lawan’mereka juga adalah institusi agama seperti dalam kasus tanah adat di Flores(NTT). Dengan latar belakang ini gerakan PP menguat di wilayah-wilayah asalpara peserta sebagai suatu gerakan sosial yang berupaya mengembalikan klaimteritorial masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat dan petani/nelayan.

Dengan karakter yang demikian gerakan Pemetaan Partisipatif melakukan duamacam advokasi: advokasi hak dan advokasi penataan ruang. Advokasi haksangat terkait dengan wacana hak asasi manusia yang sangat mewarnai gerakansosial 20 tahun terakhir, yang juga membawa isu partisipasi dalam prosespengambilan keputusan. Sementara advokasi penataan ruang makin marakdengan makin banyaknya bencana-bencana ekologis yang disebabkan kesalahanpengelolaan sumber daya alam. Penataan ruang sebenarnya menjadi sandaranhukum utama bagi gerakan ini terutama dengan adanya Peraturan PemerintahNo. 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk danTata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Advokasi yang dekatdengan isu-isu gerakan lingkungan ini pun tidak lepas dari wacana keadilan

217

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

sosial karena penataan ruang di Indonesia sampai saat ini lebih menekankanpada investasi skala besar. Kedua bentuk advokasi ini tidak secara tegasdibicarakan dalam diskusi-diskusi, namun pesan yang disampaikan terasasangat kuat.

Dari pengalaman-pengalaman mereka melakukan kegiatan PP di berbagaiwilayah yang tersaji dalam buku ini dan juga dalam diskusi-diskusi selamalokatulis dapat disarikan bahwa tujuan PP adalah membuat peta wilayah kelolakomunitas melalui penerjemah an pengetahuan yang mereka miliki ke dalammedia yang lebih modern sebagai perjuangan untuk mengembalikan harkat danmartabat mereka. Rumusan ringkas ini dapat dipilah-pilah kedalam tiga frasekunci yaitu (1) membuat peta wilayah; (2) upaya menerjemahkan pengetahuan;dan (3) perjuangan untuk mengembalikan harkat dan martabat.

Menghasilkan Peta Wilayah

Pada umumnya, tujuan ini menjadi tujuan antara pelaksanaan PP di wilayah-wilayah, karena mereka memiliki satu tujuan besar yang juga beragam di masing-masing komunitas. Jika dikaitkan dengan kata kunci ketiga dari tiga frase kuncidi atas, maka kata kunci ketiga tersebut bisa dianggap sebagai salah satu tujuanbesar PP, di samping tujuan besar lainnya adalah – yang seringkali disuarakanoleh JKPP – yaitu untuk menuju kedaulatan rakyat atas ta ta kuasa, tata kelola,tata produksi dan tata konsumsi. Bagi komunitas petani, seperti pengalaman diJember (Jawa Timur), mereka melakukan PP untuk mempertegas wilayah-wilayahgarapan pertanian mereka di atas tanah-tanah bekas perkebunan. Bagi komunitasmasyarakat adat, seperti halnya pengalaman Masyarakat Adat Muluy diKalimantan Timur, PP adalah untuk mempertegas batas-batas wilayah adatmereka. Baik di Jawa Barat dan Kalimantan Timur, upaya-upaya mempertegasbatas-batas wilayah dengan PP ditujukan kepada pihak-pihak yang menjadi‘lawan’ sengketa mereka, misalnya perusahaan perkebunan dan DinasKehutanan. Peta yang sudah dihasilkan itu akan dipergunakan untuk menjadialat utama untuk melawan pihak-pihak yang masyarakat nilai akan merusakwilayah komunitas. Selain itu, peta menjadi alat advokasi untuk mendapatkanpengakuan atas tanah-tanah yang mereka sudah ‘kuasai’ secara de facto.Pengalaman di Aceh, peta yang dihasilkan bertujuan untuk mempertegas batas-batas tanah yang dimiliki secara pribadi dan batas antar gampong pascabencana tsunami tahun 2004.

Penerjemahan Pengetahuan

Pengetahuan-pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang nama-nama daerah maupun pola-pola pengelolaan wilayah baik untuk kepentinganpenghidupan masyarakat maupun untuk kepentingan umum (terutama

218

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

konservasi yang bertujuan menjaga keberlangsungan daya dukung lingkunganwilayah yang bersangkutan). Pengalaman di Kampung Anekng (KabupatenLandak, Kalimantan Barat) menyiratkan tujuan ini (lihat. Dalam proses PP wargakampung tersebut mendapat gambaran bahwa nama-nama kampung sudahberubah sedemikian rupa dan mempengaruhi kesadaran identitas mereka.Contoh penerjemahan untuk pengetahuan jenis kedua adalah pengalamanmasyarakat adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang di PulauFlores. Masyarakat adat tersebut memiliki pola pengelolaan wilayah yang khas– yang sering disebut sebagai kearifan lokal – dan sangat berbeda dengan polapengelolaan modern yang diusung pemerintah, khususnya Dinas Kehutanansetempat. Melalui PP masyarakat tersebut dapat menjelaskan pola-polapenataan dan pengelolaan ruang mereka kepada pihak luar dalam bahasakartografis.

Perjuangan Untuk Mengembalikan Harkat Dan Martabat

Pengalaman-pengalaman Pemetaan Partisipatif menunjukkan bahwa PemetaanPartisipatif dapat berkontribusi dalam upaya-upaya untuk menemukan jati dirimasyarakat dan meningkatkan solidaritas mereka dalam perjuangan menujukehidupan yang lebih baik. Pengalaman masyarakat Anekng menunjukkan prosespenemuan jati diri tersebut yang berujung pada tumbuhnya kepercayaan dirimereka untuk kembali menggunakan nama-nama yang dahulu dipergunakanoleh generasi sebelumnya. Begitu juga dengan pengalaman masyarakat adatNian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang yang menemukan kembalibahwa mereka adalah satu kesatuan berdasarkan hubungan gene alogis(pengalaman di NTT). Bagi masyarakat Desa Pulau Pahawang di Lampungpemetaan memberikan wacana baru untuk secara bersama-sama melindungiwilayah mereka agar sumberdaya laut dan pesisirnya tidak habis.

Perjuangan tersebut terwujud dalam beberapa proses yang tertuang dalambeberapa tujuan khusus PP yang terungkap dari isian kuesioner dan diskusi,yaitu untuk:

· menjadi alat pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat di tingkatakar rumput

· mendapatkan pengakuan hak dan perlindungan hukum atas sumber dayayang diklaim masyarakat

· memungkinkan masyarakat untuk mengetahui potensi sumber daya alammereka

· mendorong pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alamsecara demokratis, adil dan berkelanjutan

219

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

· menjadi alat/media resolusi konflik sumber daya alam dengan pihakluar (terutama negara dan pengusaha) dan dalam masyarakat (terutamadalam gerakan petani)

· mendapatkan kepastian batas-batas garapan dan luasan yang digarapsecara rinci (khusus untuk gerakan petani)

KONSEP DASAR PEMETAAN PARTISIPATIF

Walaupun gerakan PP sudah cukup lama hadir di Indonesia namun pembahasankonseptual tentang gerakan tersebut tampaknya belum tuntas. Hal ini tampakdalam pemahaman tentang konsep partisipasi dan partisipatif.

Seorang peserta menjabarkan bahwa peta dan proses pemetaan adalah mediabelajar bagi penggiat dan komunitas agar dapat lebih memahami satu samalain. Dialektika dalam proses pemetaan adalah sebuah pembebasan ketikapara penggiat dan komunitas saling berbaur dan untuk sementara meninggalkan‘ego’ masing-masing. Dalam ungkapan ini terasa sekali pengaruh Paulo Freire,seorang filsuf pendidikan dari Brazil yang pemikirannya sangat berpengaruhdalam pendidikan orang dewasa dan metode penelitian sosial. Namunpertanyaannya sejauh mana para penggiat Pemetaan Partisipatif memahamidan memaknai kata ‘partisipasi’ atau ‘partisipatif.’

Dalam diskusi selama lokatulis para peserta memaknai dan memahamipartisipasi sebagai ketersediaan logistik – sering dikiaskan sebagai ‘ baterealkalin’60 oleh para penggiat pemetaan – dalam pelaksanaan PP di suatukomunitas. Yang dimaksudkan dalam ungkapan ini adalah seluruh komunitassecara bergotong royong mengupayakan agar kebutuhan logistik dapatterpenuhi, sehingga pelaksanaan PP terlaksana dengan baik. Wakil-wakilmasyarakat yang menjadi peserta memahami partisipatif sebagai dukunganmasyarakat terhadap kegiatan pemetaan, menyediakan bantuan atau kehadirandalam kegiatan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa “hanya mengetahuiwilayahnya dipetakan, terlepas menyetujui atau menolak” adalah bentukpartisipasi. Pemahaman ini cukup mengagetkan karena kebanyakan pesertasudah lama berkecimpung dalam gerakan sosial dan bahkan banyak yangberpengalaman dalam pengorganisasian masyarakat.

Tampaknya kata partisipatif dalam PP yang dipahami para peserta dan jugapara penggiat lainnya adalah turunan dari kata partisipasi. Padahal istilah‘partisipasi’ dan ‘partisipatif’ sebenarnya adalah dua istilah yang artinya miriptetapi punya sejarah perkembangan yang berbeda, sebagaimana sudahdiuraikan di bagian awal buku ini (lihat Bab 1.). Berdasarkan penjelasantersebut, pemaknaan istilah ‘Partisipasi’ sebagai penyiapan logistik oleh

220

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

masyarakat untuk pelaksanaan PP jelaslah jauh dari harapan dan juga konsepyang mendasarinya. Padahal dalam gerakan PP ada tetapan bahwa komunitasadalah kelompok yang paling tahu kepentingan dan kebutuhan mereka sendiriserta cara mengelola wilayah mereka. Gerakan ini berupaya membuka ruang-ruang politik bagi komunitas agar mereka dapat merencanakan sendirikehidupan dan wilayah mereka. Namun dengan pemahaman seperti yangdiungkapkan di atas tampaknya partisipasi yang dimaksudkan berada padadua anak tangga terbawah dalam tangga partisipasi Arnstein. Senada denganpenjelasan tersebut, sebuah evaluasi atas gerakan PP yang dilakukan olehNawakamal pada tahun 2002 juga menemukenali persoalan ini danmenyimpulkan bahwa konsepsi partisipasi yang dipergunakan dalamkenyataannya lebih berarti mobilisasi. Keadaan yang berbeda terlihat dalampenggunaan metode riset partisipatif dalam PP. Metodologi yang dikembangkanpara penggiat yang akan dibahas kemudian tampaknya lebih mendekati konsepdasarnya.

Partisipasi pun mestinya tidak hanya dimaknai dalam rangkaian kegiatanpersiapan dan pelaksanaan PP di komunitas, namun perlu dilihat dalam kontekspengorganisasian yang utuh. Salah seorang peserta diskusi mengungkapkanbahwa bila pengorganisasian belum matang PP justru bisa menjadi bumerang.Pemetaan mestinya merupakan sebuah produk dalam proses pengorganisasian.Sehingga bila peta hadir dalam masyarakat secara tiba-tiba, potensi konfliknyaakan tinggi. Pengalaman masyarakat kampung Sindur di Kalimantan Barat (lihatBab 9) memperlihatkan masalah ini.

Beberapa pengalaman di dalam buku ini juga menunjukkan bahwa hal terberatdalam PP adalah bagaimana komunitas atau organisasi komunitas yangbersangkutan memanfaatkan peta yang dihasilkan. Lagi-lagi, hal ini berkaitdengan kesiapan komunitas atau organisasi komunitas itu sendiri.Pemanfaatannya hendaklah sudah dirumuskan sejak masa persiapan pemetaan,bahkan sejak masa upaya-upaya pengorganisasian komunitas. Bila hal tersebuttidak dilakukan, seperti sering dijumpai di berbagai tempat, peta yang dihasilkankemudian tidak bermanfaat atau minimal tidak diketahui bagaimana caramemanfaatkannya. Di sinilah pentingnya tentang kekuatan atau kesiapankomunitas atau organisasi komunitas dalam merumuskan strategi pelaksanaanPP. Kami akan membahas masa-lah penggunaan peta ini lebih lanjut pada bagianberikut dari bab ini.

Dengan uraian di atas JKPP, komunitas atau organisasi komunitas dan parapenggiat PP yang mestinya terus menerus meningkatkan kualitas pelaksanaanPP di Indonesia, dan terus menerus melakukan perbaikan tampaknya belumbergeser dari awal pemahaman konseptual saat lahirnya gerakan ini 13 tahun

221

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

lalu. Pemaknaan kata ‘partisipasi’ yang dikritik dalam penelitian Nawakamalmasih belum banyak berubah, walaupun sudah mulai banyak yang menyadarikesalahan. Sehingga tidak terlalu berlebihan jika kemudian istilah PP diubahmenjadi pemetaan alternatif, karena terdapat sebuah proses yang berbeda denganpemetaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan namun belumsampai membuat komunitas dalam posisi yang setara dalam pengambilankeputusan dan membuat peta. Dalam praktiknya di tingkat komunitas hasilevaluasi ini tidaklah keliru, karena masih terdapat kesan bahwa PemetaanPartisipatif yang dilakukan sangat diwarnai dengan kepentingan-kepentinganpihak tertentu, yaitu kepentingan tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh adatdengan LSM/Ornop.

Dari pengalaman-pengalaman PP yang diuraikan di dalam buku ini, jugaberdasarkan pengalaman lainnya selama JKPP melakukan kegiatannya untukmenyebarkan metode dan gerakan ini, serta menimbang teori partisipasi diatas terdapat tiga hal yang menjadi pemaknaan Partisipasi. Pertama, sebuahproses menuju sebuah pemahaman utuh tentang PP itu sendiri oleh seluruhanggota komunitas yang diwujudkan kemampuan mereka mengontrolpengambilan keputusan dan proses dalam kegiatan PP. Mereka mampumelakukan pengawalan secara langsung ataupun tidak langsung terhadap setiapproses yang dilalui didalam rangkaian kegiatan PP. Mereka juga menentukanisi peta dan penggunaan atau perlakuan peta tersebut baik oleh anggotakomunitas maupun oleh pihak-pihak luar yang membutuhkan.

Kedua, Partisipasi dimaknai sebagai keikutsertaan masyarakat untukmemberikan dukungan pada pemetaan sebagaimana dikonsepsikan oleh penggiatpendampingnya dan dijalankan secara bersama-sama oleh komunitas.Pemahaman ini muncul karena sebagian komponen JKPP berpendapat bahwadengan memperkenalkan PP para pendamping lapangan dan komunitasmendapat inspirasi dan peluang untuk mengembangkan strategi-strategipenguatan komunitas dengan tujuan-tujuan spesifik masing-masing. Umumnya,tujuan-tujuan yang ada adalah untuk menggalang pengakuan dalam konteksmemperjuangkan pengakuan atas penguasaan teritorinya.

Ketiga, Partisipasi dimaknai hanya sebagai keterlibatan masyarakat dalamkegiatan-kegiatan teknis PP saja, khususnya dalam pengambilan data lapangan.Dalam hal ini pengambilan data lapangan memang dilakukan langsung bersamadengan anggota komunitas karena merekalah yang mengetahui secara pastikeberadaan wilayah yang akan dipetakan dan akan diambil datanya. Namunperan anggota komunitas sebenarnya hanya sekadar sebagai penunjuk jalan,menjadi ‘tukang angkut’ berbagai peralatan pengambilan data, atau bahkanpenggembira. Banyak penggiat yang menceritakan bagaimana anggota komunitas

222

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

beramai-ramai mengikuti rombongan survei. Hal ini dipakai sebagai indikatortingginya partisipasi. Sementara kontrol atas penggunaan, pengambilan titikdan sebagainya ada di tangan penggiat yang mendampingi.

Ketiga pemaknaan tersebut menentukan bagaimana komunitas kemudianmembuat turunan kegiatan mereka, khususnya dalam konteks penggunaan peta.Makin baik mereka memaknai konsep Partisipatif/Partisipasi ini mereka makinmengerti tentang penggunaan peta yang mereka buat. Pemahaman tipe pertamaadalah kondisi yang relatif ideal karena komunitas dan anggota-anggotanyasecara keseluruhan akan memiliki apa yang dihasilkan dari kegiatan PP.Sementara pada pemahaman tipe kedua dan ketiga komunitas cenderung hanyamenjadi kelompok pendukung atau hanya menjadi kelompok pembantu dalamkegiatan PP. Kontrol atas pembentukan pengetahuan pun tidak berada di tangankomunitas melainkan di tangan para pendampingnya. Hal ini tentulah bukanbentuk partisipasi yang diharapkan karena akan merugikan komunitas dalammengontrol proses pemetaan dan penggunaannya.

Pada saat inilah sesungguhnya kesiapan komunitas yang terorganisir dalamsebuah kumpulan atau organisasi dituntut kesiapannya. Ketersediaan logistikyang dipenuhi dengan cara bersama-sama dari seluruh anggota komunitasmenjadi salah satu ukuran kesiapan organisasi atau kumpulan anggotakomunitas tersebut. Namun hal tesebut perlu dilihat sebagai satu turunan darirangkaian besar kegiatan untuk mencapai satu tujuan yang sudah dirumuskanoleh komunitas atau organisasi komunitas tersebut.

Pemaknaan Partisipasi tipe pertama yang ideal sebagaimana diuraikan di atasakan menghasilkan sebuah pembagian kerja dalam pelaksanaan PP pada suatukomunitas. Pembagian kerja tersebut tidak hanya terbatas di kalangan anggotakomunitas, melainkan juga didistribusikan ke pihak-pihak luar, misalnya (danterutama) para PP dan LSM/Ornop. Bila keadaan ideal terjadi, keadaan akanterbalik. Jika sebelumnya LSM/Ornop dominan dalam proses PP, denganpemaknaan tersebut LSM/Ornop yang bersangkutan akan mendapatkan mandatdari komunitas untuk berperan dalam hal-hal yang telah ditentukan komunitasatau organisasi rakyat dalam rangkaian kegiatan PP.

METODOLOGI PEMETAAN PARTISIPATIF

Metodologi pada dasarnya adalah terjemahan dari konsep-konsep dasar dalammelakukan suatu kegiatan. Dalam konteks ini metodologi PP perlu jugamenerjemahkan konsep-konsep yang sudah dibahas di atas.

223

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Dari bab-bab terdahulu secara umum proses pemetaan PP yang dilakukanlembaga-lembaga asal para peserta dapat dibagi dalam lima tahap. Pada tahappertama adalah kegiatan penyadaran komunitas atas masalah hak dankeruangan yang mereka hadapi dan bagaimana PP bisa memberi peluang untukmemecahkan masalah. Tahap berikutnya adalah persiapan pelaksanaanpemetaan. Tahap ketiga adalah perundingan tentang isi peta termasuk batas-batas wilayah yang akan dipetakan. Tahap keempat adalah pemetaan wilayahtermasuk pelatihan pemetaan serta pembuatan dan verifikasi peta. Tahapterakhir adalah pengesahan peta dan pembicaraan tentang penggunaannya.

Secara konseptual metodologi yang dipakai sudah menunjukkan percikan-percikan pemikiran yang diurai di atas.

Metode pemetaan seperti ini dikembangkan pertama kali oleh PPSDAK PancurKasih dalam pemetaan mereka di Kalimantan Barat. Lembaga ini sendiri belajarPP dari beberapa sumber terutama magang pemetaan di Kayan Mentarang(Kalimantan Timur) dan pelatihan pemetaan manual (dengan kompas danmeteran) bersama Alix Flavelle (Kanada) dan Frank Momberg (Jerman). Metodepemetaan ini kemudian menyebar ke berbagai tempat di Indonesia, karena padatahun-tahun awal keberadaannya (1997-2000) JKPP meminta PPSDAK menjadisekolah PP bagi penggiat PP. Berdasarkan tahapan dasar tersebut para penggiatdi berbagai wilayah mengembangkan varian-varian metode PemetaanPartisipatif di lembaga masing-masing. Beberapa di antaranya menuliskan,dan menerbitkan, manual sendiri seperti YTM.

Dalam metodologi PP ini tekanan diberikan pada penentuan batas wilayahdengan kampung atau desa sebagai unit pemetaannya. Penentuan batas wilayahmenjadi penting sebagai bukti klaim teritorial bagi komunitas yang wilayahnyadipetakan. Namun pada akhirnya gerakan ini lebih banyak berkutat padaadvokasi hak, sementara advokasi penataan ruang yang memberi ruang politikbagi perkembangan gerakan justru kurang digarap, kalau tidak bisa dikatakanterabaikan.

Metode ini memakai peta rupa bumi sebagai dasar pembuatan peta. Seorangpeserta menyatakan bila tidak ada peta rupa bumi yang mencakup wilayahyang akan dipetakan maka pemetaan tidak bisa dilakukan. Hal ini menunjukkanketergantungan para penggiat pada penge tahuan yang diproduksi negara karenapembuat peta rupa bumi yang dipakai dalam PP adalah Dinas (sekarangDirektorat) Topografi Angkatan Darat dan Badan Koordinasi Survey dan PemetaanNasional (Bakosurtanal), keduanya lembaga negara.

224

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

KAPASITAS DALAM PEMETAAN

Kecuali PPSDAK Pancur Kasi h yang menjadi lembaga spesialis PP, anggota-anggota JKPP sering mengalami masalah dalam kapasitas pemetaan, sepertiyang tergambarkan pada lembaga-lembaga asal para peserta. Lembaga-lembagatersebut tidak memiliki divisi khusus yang men angani pemetaan. Penggiat yangmenjadi fasilitator pemetaan biasanya memiliki tugas utama lain. PPRTS,misalnya, memasukkan kegiatan pemetaan sebagai bagian dari pendidikanpetani.

Jumlah fasilitator yang masih aktif melakukan pemetaan juga berkurang darijumlah yang dilatih. Mitra Bentala bahkan sekarang tidak memiliki seorangfasilitator pun, padahal dulunya lembaga tersebut menjadi salah satu barom-eter gerakan PP di Sumatera. Peralatan pemetaan yang dimiliki juga banyakyang tidak berfungsi. Yayasan Tanah Merdeka (YTM) yang dulunya juga motorJKPP sekarang sudah berpindah fokus ke isu pertambangan dan konflik komunal,walaupun masih memiliki tim pemetaan yang bisa dikirim sewaktu-waktu. PPRTSmemiliki masalah yang mirip. Organisasi tersebut mengirim 30 orang dalampelatihan fasilitator pemetaan namun hanya seorang yang masih aktif dantidak memiliki peralatan pemetaan sama sekali.

Fokus lembaga dan keberadaan fasilitator sangat mempengaruhi jumlahkampung/desa yang sudah dipetakan. PPSDAK karena sangat fokus sudahberhasil memetakan lebih dari 300 kampung/desa mencakup hampir 1,3 jutahektar wilayah adat dalam 13 tahun. Sementara lembaga peserta lainnya adayang hanya memetakan dua desa saja selama sembilan tahun. Kebanyakanlembaga asal peserta sudah memetakan belasan kampung.

PROTOKOL PENGGUNAAN PETA

Sebagai senjata bagi komunitas untuk mempertahankan wilayah mereka, petatentulah harus dijaga dan diatur penggunaannya agar tidak dipakaisembarangan terutama oleh pihak luar yang memiliki minat untukmengeksploitasi wilayah mereka. Di dalam komunitas pun harus jelasbagaimana penggunaannya. Untuk itulah sebuah protokol penggunaan petamenjadi sangat penting setelah selesainya rangkaian pemetaan.

Masyarakat Desa Pulau Pahawang (Lampung) , misalnya, mempunyaikesepakatan penggunaan peta sebagai berikut:

1. Kriteria/syarat pemegang peta

a. Dapat menyimpan rahasia tentang peta tersebut

225

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

b. Bisa memahami dan dapat menjelaskan peta

2. Aturan-aturan penggunaan Peta

a. Penggunaan peta hanya untuk masyarakat Desa Pulau Pahawang

b. Warga Pahawang yang akan menggunakan peta untuk kepentingandengan pihak luar harus melalui keputusan dan kesepakatanmusyawarah desa

c. Pihak-pihak luar yang akan menggunakan peta harus melaluimusyawarah desa yang dihadiri oleh seluruh dusun.

d. Peminjam peta tidak dapat menggandakan peta dan jumlah lembaranpetanya di luar ketentuan yang sudah disepakati dalam berita acara.

3. Sanksi-sanksi

Sanksi-sanksi yang dibuat ada dua kriteria, yaitu sanksi ringan dan sanksiberat. Untuk penentuan san ksi diputuskan oleh masyarakat berdasarkankeputusan desa yang dihadiri oleh semua dusun.

Sayangnya tidak semua kegiatan PP membicarakan protokol sampai serinci ini.Pembicaraan umumnya lebih ditekankan pada siapa yang menyimpan peta.Pihak luar yang ingin menggunakan peta harus seijin komunitas yang diputuskandalam sebuah musyawarah kampung, atau paling sedikit berdasarkankesepakatan dari para pemegang peta seperti kasus di Katu (Sulawesi Tengah).

Melihat contoh protokol di atas dan dari di skusi-diskusi di antara penggiat PPada kecenderungan untuk membuat peta yang dibuat masyarakat sebagaisesuatu yang rahasia, karena kalau dibuka luas akan merugikan komunitasyang bersangkutan. Menanggapi masalah ini seorang wakil masya rakat yangmenjadi peserta lokatulis menyampaikan rasa frustrasinya atas keadaan ini:

“Peta [yang dibuat masyarakat adalah sebuah] dokumen. [Jadi] ketikasudah selesai dibuat, peta tersebut disimpan dan terus menjadirahasia. ... [Karena] kalau orang [luar] tahu akan berbahaya. Akhirnya[peta] menjadi ekslusif. Saat ada orang yang mau membuat proyek diDesa Pahawang dan meminta peta tersebut, dokumen tersebut tidakdiperlihatkan tetap disembunyikan. Saya pikir hal itu bagus [di satusisi], tetapi [di sisi lain] ... kerahasiaan [itu menjadi masalah.Mestinya] ketika ada orang yang mau memanfaatkan wilayah tersebutatau ada kepentingan terhadap wilayah bisa menggunakan peta.”

Rasa frustrasi tersebut bisa timbul karena ada kesan bahwa peta menjadisesuatu yang sakral.

226

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Kesakralan tersebut pada tahap tertentu bisa dipahami bahwa karena untukmembuatnya memerlukan perjuangan yang panjang dan, dalam konteksmasyarakat adat, sudah melalui serangkaian upacara adat. Namun penempatankesakralan yang berlebihan justru kontra-produktif terhadap perjuangankomunitas. Karena dengan perlakuan yang demikian bisa jadi komunitas punenggan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Peta akhirnya hanyamenjadi sekadar pajangan atau, lebih parah lagi, hanya disimpan di lemaritanpa pernah dibuka selama bertahun-tahun, seperti yang terjadi dalam banyakkasus. Banyak anggota komunitas bahkan belum pernah melihat peta yang dibuat.Alih-alih menjadi media untuk perjuangan peta malah menjadi artefak yang takdigubris. Dalam sebuah pembicaraan beberapa tahun lalu seorang penggiatmenyatakan bahwa peta belum melembaga dalam kehidupan masyarakat.Sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Gejala inimemang tidak digeneralisasi untuk semua komunitas yang telah memetakanwilayah mereka, tetapi sudah menimbulkan kekhawatiran di antara parapenggiat. Tantangannya sekarang adalah bagaimana mencari cara penggunaanpeta agar tetap dapat menjaga wilayah yang dikuasai komunitas daripencaplokan dan eksploitasi sumber daya alam dari luar tanpa menghambatmereka untuk berubah agar penghidupan mereka lebih baik. Namun di balikaura pesimisme ini gerakan pemetaan partisipatif memiliki banyak kemenangankecil dalam penggunaan peta.

PENGGUNAAN PETA

Seperti sudah disinggung sebelumnya, peta hasil PP akan secara otomatisberguna jika komunitas/organisasi komunitas mampu merumuskan strategipemanfaatan peta tersebut sejak awal. Penggunaan ini tidak lepas dari konteksadvokasi hak dan advokasi penataan ruang.

Kebanyakan komunitas menggunakan peta untuk mengklaim wilayah, sehinggabanyak di antara mereka yang melakukan negosiasi dengan pihak yangbersengketa dengan mereka. Para peserta memberikan beberapa contohkemenangan kecil dalam advokasi hak ini. Komunitas Katu di Sulawesi Tengahberhasil mempertahankan klaim wilayah adat mereka di dalam kawasan tamannasional berdasarkan peta yang mereka buat. Dalam kasus ini peta secaraefektif terus menerus dipergunakan dan dimanfaatkan. Paling sedikit petamenjadi pegangan bersa ma seluruh anggota komunitas bahwa wilayah Katusudah diakui dan diusahakan secara bersama-sama oleh seluruh anggotakomunitas adat Katu. Komunitas di Mekarsari (Banten) juga berhasilmendapatkan tanah untuk permukiman dari Perum Perhutani seluas tiga hektar.Namun setelah diberikan, komunitas masih ragu tentang status tanah, apakah

227

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

sudah menjadi hak masyarakat atau belum. Selain itu, dengan peta organisasipetani di Jember juga berhasil menemukenali kelebihan lahan konsesi PTPerkebunan Nusantara XII seluas 25 hektar yang tidak pernah dilaporkan keBPN. Berdasarkan peta yang mendapat pengakuan dari pihak PTPN dan pejabatpemerintahan setempat, perusahaan melepaskan klaim atas tanah tersebut.

Penggunaan peta di Kampung Sindur (Kalimantan Barat) memperlihat kasusyang sangat berbeda karena peta justru menimbulkan konflik antarkampung.Perbedaan kepentingan dan perubahan persepsi tentang wilayah adat menjadifaktor yang penting dalam konflik tersebut. Warga Kampung Sindur menginginkankemajuan bagi kampung m ereka dengan menjadikan wilayah mereka sebagaiperkebunan kelapa sawit. Dalam proses penyerahan lahan mereka mengabaikankeberadaan tanah komunal yang dimiliki bersama kampung tetangga mereka.Di sini klaim hak justru bertabrakan secara horizontal, bukan lagi konflik vertikalyang selama ini dihadapi.

Advokasi tata ruang dalam gerakan PP juga sudah makin menguat, terutamasetelah makin banyaknya dampak dari kebijakan tata ruang yang termaktubdalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik di tingkat provinsi ataukabupaten/kota. Kita perlu memahami bahwa RTRW juga menjadi acuan bagipengaturan sumber-sumber agraria di wilayah yang dicakupnya. Dengandemikian, seluruh aktivis PP perlu tetap selalu memperhatikan dinamika RTRWdi masing-masing wilayah.

Salah satu contohnya adalah kasus yang dihadapi SEKTI (Jember) di ProvinsiJawa Timur. Setelah organisasi tersebut melakukan PP mereka berhadapandengan rencana pengembangan proyek-proyek besar, seperti pertambangan danpembangunan jalan raya lintas selatan Pulau Jawa, yang dialokasikan dalamRTRW. Proyek-proyek pembangunan ini tentunya akan terkait dengan tanah-tanah pertanian atau tanah-tanah yang dikuasai oleh rakyat sebelumnya. SelainPP yang dilaksanakan untuk memberikan argumentasi pentingnyamemperhatikan keberlangsungan penghidupan manusia di wilayah tersebut,upaya-upaya advokasi kebijakan juga perlu dilakukan agar berbagai keputusanyang akan dikeluarkan dalam rangka pembangunan proyek-proyek tersebut tidakmerugikan rakyat setempat.

Selain itu, beberapa komunitas menggunakan peta mereka untuk merencanakankegiatan di wilayah mereka. Ada komunitas yang mengerjakan sendiri kegiatanmereka, ada pula yang didanai pihak luar, khususnya pemerintah. Penggunaanpeta Desa Pulau Pahawang merupakan contoh kelompok pertama. Masyarakatmemakai peta mereka untuk membangun kesepakatan untuk penangkapan ikan,terutama oleh nelayan besar. Dampaknya adalah berkurangnya penggunaan

228

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

pukat harimau (trawl), bom dan obat bius (potasium sianida) dalam penangkapanikan. Selain itu, mereka memakai peta sebagai dasar pembuatan peraturandesa (Perdes).

Penggunaan peta wilayah Katu adalah contoh dari kelompok kedua. Peta-petatersebut dipakai untuk membuat usulan kegiatan ke Program NasionalPemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Program PercepatanPembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Contoh penggunaan petamasyarakat untuk tujuan pembangunan yang paling menonjol adalah di Acehsetelah tsunami. Upaya rekonstruksi dan rehabilitasi memakai peta-peta yangdibuat bersama masyarakat secara besar-besaran.

Dari beberapa kasus peta yang dihasilkan akan sangat efektif ketika situasi dankondisi dalam komunitas atau organisasi sedang mengalami masa-masa sulit.Saat ada tekanan dari pihak ‘lawan,’ komunitas akan menunjukkan partisipasiyang tinggi termasuk dalam memanfaatkan peta yang sudah dihasilkan untukmelakukan advokasi atas kasus-kasus yang mereka hadapi. Pengalaman diFlores menunjukkan hal ini. Masyarakat menggunakan peta untukmemperjuangkan pembebasan kawan seperjuangan mereka dari tahanan polisi.Namun ketika situasi sudah relatif aman, pemanfaatan peta menjadi tidak lagipartisipatif. Padahal, peta tersebut sudah dihasilkan sejak beberapa waktuyang lampau. Di satu sisi hal ini positif atau baik, tetapi di sisi lain, hal ini bisadikatakan bahwa komunitas atau organisasi komunitas tersebut sejak lamatidak mengetahui secara pasti apa yang harus dilakukan dengan peta yangsudah mereka hasilkan.

PERSEPSI TERHADAP PEMETAAN PARTISIPATIF

Persepsi Masyarakat Terhadap Pemetaan Partisipatif

Ada dua macam persepsi masyarakat terhadap kegiatan PP. Bagi yang sudahsetuju dan menyelesaikan pemetaan, mereka mempunyai harapan yang sangattinggi akan dampak peta-peta yang mereka buat terhadap pengambilankeputusan yang mempengaruhi wilayah mereka. Mereka berpendapat bahwaPP adalah kegiatan yang sah. Dengan demikian klaim mereka juga sah di mukahukum dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sebagian bahkanmengharapkan pengakuan tertulis dari pemerintah. Kalau bisa malah tercantumdalam lembar negara.

Bagi masyarakat yang belum melakukan atau sedang dalam proses pemetaankadang-kadang timbul kerugian bahwa kegiatan ukur-ukur kampung sebagaibagian dari usaha menjual kampung. Kasus seperti ini sempat terjadi di Acehpasca tsunami.

229

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Persepsi Pejabat-Pejabat Pemerintahan Terhadap Peta-Peta Masyarakat.

Peta-peta dari kegiatan PP mendapat reaksi yang beragam dari para pengambilkeputusan. Masyarakat Desa Pahawang mengundang pejabat-pejabat dari DinasKelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Syahbandar, TNI Angkatan Laut dankecamatan setempat sebagai bagian dari sosialisasi peta yang mereka buat.Kemampuan masyarakat dalam membuat peta mendapat apresiasi yang baikterutama sebagai bagian dari upaya menjaga sumber daya pesisir dan lautdari kerusakan. Para pejabat juga mengakui keberadaan wilayah tangkapnelayan tradisional Pulau Pahawang. Namun peta-peta hanya dilihat sebagaipendukung, tidak ada pengakuan atas hak-hak yang termuat dalam peta. Sehinggapeta seolah-olah hanya pajangan saja. Akibatnya ketika masyarakat melarangseorang pengusaha yang hendak membuat karamba apung di wilayah tangkapanmasyarakat, sang pengusaha tetap meletakkan karamba karena telahmendapatkan ijin dari Dinas Perikanan.

Kasus serupa juga terjadi di Flores. Pada tahun 2002 peta yang dihasilkanmasyarakat yang berkonflik dengan Dinas Kehutanan dipaparkan kepadaMenteri Kehutanan di Kantor Gubernur NTT. Dalam pertemuan juga hadir pejabat-pejabat Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten. Saat itu mereka menerimakonsep dan gagasan PP sebagai sebuah jembatan untuk menyelesaikan konflikyang sedang berlangsung. Dinas Kehutanan juga meminta agar stafnya bisaikut terlibat dalam kegiatan PP karena metode yang dikembangkan ini baru dancukup sejuk bagi pelayanan masyarakat. Tetapi ketika ada proyek yang mendapatpendanaan dari pusat seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan),rencana tersebut sirna semua. Mereka bahkan mengatakan bahwa LSM tidakmemiliki kewenangan untuk membuat peta. Walaupun begitu, peta tetap memilikipengaruh dalam hubungan dengan pejabat pemerintah. Masyarakat yang duluditangkap jika memasuki kawasan hutan, setelah mereka memiliki peta danbisa membangun dialog dengan DPRD dan bupati tidak ada lagi penangkapan.Pemerintah sudah memberi pengakuan secara de facto atas keberadaanmasyarakat di dalam dan sekitar hutan, namun belum ada pengakuan de jure.

Persepsi yang sangat berbeda terjadi di Katu. PP yang berlangsung di penghujungera Orde Baru ini dinilai pejabat-pejabat tingkat kecamatan, termasukKepolisian Sektor (Polsek) dan Koramil awalnya me nilai kegiatan tersebutsebagai upaya provokasi dan menjelek-jelekkan pemerintah. Namun setelahmelihat peta yang dihasilkan oleh masyarakat, mereka menilai bahwa petatersebut kelihatan profesional sekali . Mereka pun kemudian mengakui bahwa PPsangat bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Mereka pun berujar “Hanyadesa yang terbelakang yang tidak mau dipetakan.” Mereka tidak habis pikirmengapa pemerintah tidak mengadopsi metode pemetaan yang dilaksanakanLSM ini. Ungkapan terakhir ini memperlihatkan bahwa persepsi yang baik ini

230

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

tidaklah banyak berpengaruh dalam pembuatan kebijakan, karena perubahankebijakan terjadi pada aras kabupaten dan aras-aras di atasnya bukan di tingkatkecamatan.

Di provinsi-provinsi lain tidak banyak penggiat PP yang memperlihatkan peta-peta yang dibuat bersama masyarakat kepada pejabat aras kabupaten dan yanglebih tinggi, kecuali di Aceh pasca-tsunami dan Papua.

PENDANAAN KEGIATAN PEMETAAN PARTISIPATIF

Untuk membiayai kegiatan pemetaan s ebagian masyarakat mengumpulkansendiri dana, baik sebagian maupun seluruhnya, namun sebagian besar masihsangat tergantung dari pendanaan lembaga pendamping. Lembaga pendampingpun sering kesulitan mendapatkan dana yang umumnya dicari dari lembaga-lembaga pendanaan dari luar negeri. Ketergantungan dana dari lembaga donormenjadi masalah besar dalam gerakan ini, suatu hal yang sangat umum dijumpaidalam dunia LSM di Indonesia. Akibat keadaan ini peran Sekretariat NasionalJKPP sangat sentral untuk membiaya i kegiatan pemetaan yang dilakukananggotanya.

Untuk kegiatan pemetaan yang dibiayai sendiri oleh masyarakat banyak pulakendalanya. Salah seorang peserta lokatulis menceritakan pengalamannyaberhadapan dengan hal ini. Para petani yang wilayahnya hendak dipetakansudah setuju untuk melakukan pemetaan secara swadaya. Saat pemetaanberlangsung para petani mengalami kelangkaan pupuk. Pada hari pelaksanaanpemetaan pupuk yang ditunggu datang. Akibatnya para petani menggunakanuangnya untuk membeli pupuk dan bukan menyumbang kegiatan pemetaan.Akibatnya sang fasilitator pemetaan menggadaikan telepon selulernya untukmembeli kertas kalkir dan buku milimeter block . Pemetaan pun tetap bisadilakukan. Akhirnya peta selesai dan ditandatangani para petani, namun sangfasilitator sudah kehabisan uang untuk ongkos pulang sehingga ia terpaksaberjalan kaki untuk mencapai rumahnya.

MASALAH-MASALAH

Ada kecenderungan bahwa setelah peta jadi dan diserahkan kepada masyarakat,penggiat tidak lagi mendampingi masyarakat untuk mengawal komitmenbersama. Padahal dalam sebulan saja pemikiran mereka bisa berubah.Sementara pejabat pemerintah sangat efektif dalam mempengaruhi kehidupanmasyarakat karena hampir tiap minggu mereka ada di tengah-tengah masyarakat.

231

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

Persoalan lainnya adalah kurangnya peran orang-orang yang tidak bisa bacatulis dan perempuan dalam proses pemetaan. Kedua kategori ini pada kenyataansering tumpang tindih karena yang tidak bisa baca tulis kebanyakan adalahperempuan yang punya kesempatan lebih kecil untuk mengakses pendidikan.Umumnya perempuan hanya menyediakan konsumsi selama kegiatan, sehinggatidak pernah terlibat aktif. Akibatnya mereka sering bingung bila ditanya soalpemetaan kampung mereka. Kelompok perempuan di Katu, misalnya, ada yangsekedar ikut bergembira karena ada pihak luar yang prihatin terhadap masalahkampung mereka. Namun ada pula yang bingung karena harus ada kegiatanpemetaan, padahal bagi mereka persoalan di kampung mereka biasa-biasa saja.Bagi mereka pemetaan adalah hal yang sangat canggih untuk hal-hal yang luarbiasa, bukan yang biasa-biasa saja. Di lain pihak, kelompok lelaki umumnyamerasa senang, karena kampung mereka mempunyai kawan yang maumendampingi perjuangan mereka.

TANTANGAN GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF

Seluruh pengalaman PP yang diuraikan di dalam buku ini, menunjukkan bahwaPP menghadapi tantangan-tantangan yang serius. Tantangan-tantangan tersebutbaik dalam penguatan komunitas maupun yang datang dari luar, atau dari pihak-pihak yang mungkin bisa mengganggu keutuhan komunitas. Tantangan yangberkaitan dengan penguatan komunitas adalah hal-hal yang berhubungandengan terdapatnya jarak budaya antara teknologi yang dipergunakan denganpengetahuan yang dimiliki oleh komunitas, isu-isu seputar konsep ‘partisipasi’,dan isu-isu pemanfaatan peta yang sudah dihasilkan. Sementara tantanganyang berasal dari luar komunitas adalah dinamika kebijakan pengaturan ruangoleh negara melalui RTRW. Walaupun ada tantangan eksternal, tantanganterbesarnya adalah dalam aspek penguatan komunitas.

Teknologi yang dimanfaatkan dalam kegiatan PP adalah teknologi modern yangrelatif baru, bahkan asing, di kalangan komunitas. Peta (yang berupa lembar-lembar kertas) adalah teknologi yang sebelumnya tidak ada atau tidakberkembang di kalangan komunitas. Sehingga dalam proses PP muncul ungkapantitik tidak sama dengan garis. Maksudnya adalah batas-batas wilayah bagikomunitas-komunitas di pedesaan dan komunitas masyarakat adat padaumumnya biasanya ditandai dengan tanda-tanda alam, yang apabiladiterjemahkan ke dalam peta (tulisan dalam lembaran kertas) akan dihubungkandengan garis. Bagi komunitas-komunitas yang masih berprinsip kuat denganadat yang mereka miliki, batas-bat as wilayah akan sangat sulit diterjemahkanke dalam garis-garis lurus. Bagi mereka hal ini bukanlah hal teknis, tetapiberhubungan erat dengan pengertian mereka terhadap wilayah. Dampaknya

232

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

adalah seringkali komunitas setempat tidak dengan serta merta bisa m engakuikepemilikan peta yang mereka hasilkan, karena memang pada kenyataannya,diakui ataupun tidak diakui, PP sendiri masih ‘berjarak’ dengan komunitasyang bersangkutan.

Tantangan ini kemudian menuju pada tantangan untuk mengembangkanmetodologi dan teknologi pemetaan yang inklusif. Metodologi yang ada selamaini meminggirkan peran orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis.Peran perempuan pun sangat marjinal dalam pelaksanaan kegiatan karenalebih banyak berperan dalam mengurus konsumsi selama kegiatan. Metodeyang perlu dikembangkan adalah metode yang memungkin kan kedua kelompokini (yang sering tumpang tindih, karena banyak perempuan yang tidak bisamembaca dan menulis) untuk bisa ikut dalam proses pemetaan, terutama dalamproses pengambilan keputusan untuk mengontrol proses pemetaan dan isi peta.Teknologi pemetaan yang ada pun perlu dikembangkan agar bisa memasukkanfenomena sosial yang kompleks dalam penguasaan wilayah.

Di dalam pelaksanaan PP di Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa tenaga-tenaga ahli yang dikirimkan dari luar komunitas beperan sangat besar, kalautidak bisa dikatakan dominan. JKPP adalah salah satu lembaga yang aktifmelakukan pengiriman sejumlah fasilitator dan pelatih untuk melaksanakanPP di berbagai komunitas di Indonesia. Hal ini dilakukan karena – seperti sudahdiuraikan di atas – PP mensyaratkan penggunaan teknologi modern yangmemerlukan keahlian yang memadai . Sementara anggota komunitas, walaupunsudah melalui proses seleksi tentang kecakapan membaca dan menulis, padaawal lahirnya gerakan tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan. Namun secaraperlahan penggiat PP dari LSM/Ornop mengalihkan keterampilan tersebutkepada beberapa anggota komunitas yang dianggap memiliki ketekunan untukterus menekuni ilmu PP. Proses ini tidak akan berlangsung cepat, karena banyakfaktor yang mempengaruhi kecepatan proses alih pengetahuan ini. Faktor-faktortersebut antara lain adalah “jarak budaya” untuk menerima pengetahuan barudan kesulitan mereka membagi waktu dengan kegiatan sehari-hari. Faktor lainadalah, walaupun proses alih pengetahuan telah dilakukan, pertanyaanbesarnya kemudian adalah sejauh mana anggota komunitas (yang tergabungdalam Organisasi Tani, Organisasi Masyarakat Adat) bisa mengadopsi konsepsiPP.

Proses alih pengetahuan ini pun seringkali terhenti dengan faktor “keterbatasan”aktivis LSM/Ornop itu sendiri. Beberapa hal yang dimaksud “keterbatasan” LSM/Ornop adalah bahwa para penggiat LSM/O rnop umumnya bekerja berdasarkangaris program yang sudah dirumuskan dalam jangka waktu tertentu. Merekapun mengalami perubahan tugas dan tanggungjawab dari garis program yangsudah mereka susun. LSM/Ornop juga memiliki keterbatasan finansial. Yang

233

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

paling ekstrim adalah LSM/Ornop dapat saja bubar sewaktu-waktu karenaberbagai alasan. Jika hal ini terjadi, komunitas yang pernah didampingi ataudilatih untuk menjadi fasilitator PP harus kehilangan tempat bertanya bahkanterputus proses alih pengetahuannya sehingga kemudian mereka lupa akanpengetahuan yang sudah diberikan.

Seperti yang telah diungkapkan di muka, gerakan PP di Indonesia sampai saatini masih menekankan pada advokasi hak dan kurang banyak bekerja dalamadvokasi penataan ruang. Dengan makin banyak bencana ekologis akibatkesalahan dalam pengambilan kebijakan, advokasi penataan ruang menjadisangat penting. Wacana penataan ruang pun makin menguat dalam pembicaraanpengelolaan wilayah. Banjir bandang di Jember pada tahun 2006, misalnya,membuka mata semua pihak tentang kaitan penataan ruang dengan konservasi,pertanian, dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Penataan ruang menuntutpendekatan dengan skala yang cukup besar, tidak hanya desa atau kampung,karena di antara unit-unit tersebut ada keterkaitan ekologis dan ekonomis yangkuat yang tidak mungkin hanya dibatasi pada tingkat kampung/desa.

Beberapa lembaga sudah melakukan advokasi tata ruang beberapa tahunterakhir, seperti yang dilakukan RMI sejak tahun 2004. Lembaga yang berkantordi Bogor ini melakukan transformasi wacana dari hak-hak dasar agraria, yangmenjadi dasar argumen untuk alas kehidupan masyarakat, menjadi penataanruang di kampung-kampung. Namun demikian, lembaga tersebut tidakmeninggalkan advokasi adat sama sekali karena mereka masih mendorongadanya Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat di kawasan Banten Kidul.Masyarakat beberapa kasepuhan yang ada di daerah tersebut menginginkanPerda serupa dengan Perda Kabupaten Lebak (No. 32 Tahun 2001) tentangPerlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Keinginan ini tidak mudah untukdiwujudkan karena ada 334 kampung yang berada di dalam kawasan hutanyang diklaim Departemen Kehutanan, berbeda dengan kawasan adat Baduyyang berada di luar kawasan hutan. Keadaan serupa ini dijumpai di seluruhpelosok Indonesia dan memberi tantangan tersendiri bagi gerakan PP untukbisa mempengaruhi pembuatan kebijakan tentang pengakuan wilayah adat.

Pembaruan agraria yang sedang marak dibicarakan belakangan ini menjaditantangan lain. Lewat Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), PresidenSusilo Bambang Yudhoyono (SBY) berupaya memenuhi janji kampanye padaPemilihan Presiden 2004. Namun konsep pembaruan agraria yang diusungberbeda dengan konsep yang selama ini digaungkan para penggiat reformaagraria, karena pada dasarnya mempertahankan status quo dan berorientasipasar. Walaupun tidak memuaskan, beberapa lembaga terus mengawal pro-gram pemerintah ini khususnya lewat pengembangan program di kawasan Jawabagian selatan.

234

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Beberapa tahun belakangan ini pemetaan wilayah pesisir dan laut sangat sedikit,kecuali di Aceh dan Nias yang memerlukan informasi spasial untuk kebutuhanrehabilitasi an rekonstru ksi pasca tsunami. Lembaga seperti Mitra Bentala yangfokus di wilayah pesisir sekarang justru tidak memiliki fasilitator pemetaanlagi. Padahal dengan sifat kewilayahannya yang sangat terbuka, tantanganpengelolaan pesisir dan laut sangat besar. Di masa depan gerakan PP perlumendorong kembali pemetaan di kawasan ini.

Sebagai gerakan yang berbasis teknologi pemetaan masalah akurasi peta dankejelasan status hukum juga menjadi isu yang penting. Hal ini tampak daripernyataan para pejabat pemerintah yang sering mempertanyakan kemampuanmasyarakat dalam membuat peta. Kemudian setelah terkejut dengan peta yangditunjukkan pertanyaan soal keabsahan peta pun muncul. Komunitas punkebanyakan mempertanyakan status hukum dari peta yang dibuat. N amunsampai sekarang tidak ada payung hukum untuk peta-peta yang dibuat bersamamasyarakat. Peta-peta itupun berada di wilayah abu-abu. Secara hukum tidakpunya kekuatan, tetapi nyatanya bisa mempengaruhi keputusan pihak-pihakluar dalam bernegosiasi soal wilayah.

TANTANGAN DAN PERAN PEMETAAN DALAM PENGELOLAANKONFLIK

Politik identitas memang perlu mendapat perhatian serius saat ini. Hancurnyakesakralan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang diusung Orde Barumenyebabkan berbagai kelompok berlomba untuk mengekspresikan identitasmasing-masing. Dengan alasan menjaga keutuhan negara, pembicaraan tentangidentitas — sebelum Suharto mundur — dilarang dan cenderung ditentukanoleh Negara. Setelah keruntuhan Orde Baru dialog antar identitas yangsebelumnya buntu, kemudian, menjadi terlalu berlebihan dan menyebabkantabrakan antar kelompok. Berbagai konflik horisontal yang timbul — yang palingmenonjol adalah konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat dan KalimantanTengah, dan konflik bernuansa agama di Poso dan Maluku – merupakan luapanekspresi identitas yang saling bertabrakan satu dengan lainnya. Dalam konteksinilah gerakan pemetaan partisipatif (PP) memiliki tantangan yang sangat besar,karena PP memiliki potensi dalam pengentalan dan revitalisasi identitas.

Dari contoh-contoh yang diungkapkan dalam buku ini, PP berpengaruh besarterhadap penguatan identitas komunitas yang wilayahnya telah dipetakan.Contoh yang paling menonjol adalah kasus Kampung Anekng. Bersamaan denganitu kontrol terhadap wilayah (teritorialitas) juga makin menguat, apalagikomunitas tersebut makin menyadari sumber daya alam yang dimilikinya. Batasyang sebelumnya sangat cair mulai mengental dan kaku sehingga mendorong

235

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

konflik antar kampung yang sebelumnya tidak diduga. Kasus Kampung Sindurmenunjukkan gejala ini. Hal ini menjadi tantangan yang sangat besar dalamkonteks hubungan masyarakat yang multikultural di Indonesia. Sayangnyatulisan-tulisan tentang pemetaan wilayah adat, yang kental dengan nuansapolitik identitas, tidak menampilkan kasus hubungan multikultural.

Penjelasan tersebut menyiratkan bahwa kondisi wilayah (bentang alam) dansosial terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan sosial budayamasyarakat. Perubahan ini perlu diketahui dan dipantau untuk mengurangipotensi konflik yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Untuk itu kita perlu menyiapkanberbagai sistem peringatan dini ( early warning system - EWS) terhadap potensikonflik, termasuk konflik SARA. Di sini PP bisa mengambil peran tersebut.

Dalam salah satu diskusi Fubertus Ipur dari Elpagar menyampaikan bahwapendekatan baru ini sangat mungkin karena dasar data yang dipakai sama.Metode PP selama ini pada dasarnya membangun kesadaran tentang keberadaankonflik struktural yang semula samar-samar menjadi nyata dalam prosesnya.Dalam banyak hal pemetaan memang dilakukan sebagai bagian dari resolusikonflik. Sementara seseorang yang bekerja dengan metode EWS akanmengumpulkan dan mengolah data, kemudian menganalisis dan membuatsemacam rekomendasi kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam mengatasikekerasan komunal. Dengan demikian, PP punya potensi yang sangat besar untukmenjadi bagian dari pengelolaan konflik.

Untuk melakukannya, pelaku PP perlu merekam perubahan fisik dan sosial darisuatu wilayah dalam data dan informasi yang dimiliki peta wilayah tersebut.Penggunaan teknologi SIG bisa membantu pemutakhiran data peta (sistem input)dan penyajian serta analisis peta (sistem output) agar lebih cepat dan bisamencakup area analisis yang lebih luas. Data dan informasi sosial dalam prosespemetaan dimungkinkan untuk disajikan dengan bantuan teknologi SIG.Misalnya, konflik penggunaan tanah antara masyarakat dan perusahaanperkebunan kelapa sawit dapat disajikan dengan melakukan analisis tumpangtindih peta masyarakat dengan peta hak guna usaha (HGU) perusahaan. Hal iniakan sangat sulit jika kedua peta tersebut bentuknya lembaran peta denganskala peta yang berbeda.

Pemetaan dan penggunaan teknologi SIG juga sangat membantu dalampemutakhiran data konflik dan analisis kecenderungannya. Peta administrasidan wilayah pengungsi menjadi peta dasar yang dapat dilengkapi dengan datadan informasi terbaru berkaitan dengan konflik di wilayah tersebut, sepertipergerakan pengungsi, cakupan wilayah dan jenis aktivitas ekonomi sehari-hari, pola hubungan dan komunikasi dengan pihak di luar pengungsian,perkembangan penduduk dan sebagainya. Data korban dari setiap peristiwa

236

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

konflik yang meledak berdasarkan info lapangan (data primer) maupun datasekunder seperti dari berita di media massa dan media informasi lainnya dapatdigunakan untuk analisis konflik yang terjadi, serta potensi dankecenderungannya.

Sistem pemutakhiran dan penyajian data berdasarkan peta tematik atau lembartema (layer) peta sangat membantu dalam memuat data yang lebih spesifik danbaru. Misalnya, peta demografi yang diklasifikasi menggunakan lembar temaberdasarkan komposisi etnik, agama, jenis kelamin, kelompok usia serta tingkatkelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Lembar tema demografi inisangat erat kaitannya dengan daya dukung wilayah berkaitan dengan aktivitasekonomi (tata produksi dan konsumsi), jumlah dan perkembangan tempat-tempatibadah dan kepadatan penduduk. Lembar tema sistem penguasaan tanah/wilayahseperti tanah adat, hutan adat, dan wilayah-wilayah keramat sangat pentingdiketahui dan disajikan untuk diketahui para pihak di suatu wilayah yangmemiliki potensi maupun yang sudah terjadi konflik. Pelanggaran batas atauwilayah yang diklaim oleh etnik atau kelompok tertentu dapat memicu konflikterbuka, apalagi persoalan tanah sangat sentisitf di masyarakat. Keragamanlembar dalam peta konflik dengan informasi yang dibutuhkan dan selaludiperbaharui dapat membantu dalam proses analisis potensi konflik danpencegahannya.

Dengan demikian, PP sebenarnya mempunyai dua sisi yang terkait erat dalamkonteks konflik seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, PP bisa menimbulkankonflik karena pengentalan identitas dalam komunitas yang wilayahnyadipetakan. Di sisi lain, metode ini pun, terutama dengan bantuan teknologi SIG,bisa juga menjadi alat untuk mengantisipasi dan mengelola konflik. Denganberbagai informasi yang ditampilkan dalam berbagai lembar tema, masyarakatbisa membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi dan mulai mencaripemecahannya. Para pengambil keputusan pun bisa memanfaatkannya agarbisa mengambil keputusan dengan informasi yang baik sehingga bisa menekanpotensi konflik dari keputusan yang diambil dan mengantisipasi konflik yangmungkin mewujud. Untuk itu peta perlu dilihat sebagai dokumen yang hidup,bukan sebagai tujuan dalam gerakan PP seperti kecenderungan selama ini. Petayang ada perlu terus menerus diperbarui dengan informasi termutakhir tentangberbagai aspek spasial maupun non spasial. Pendekatan ini bisa mendorongmasyarakat untuk terus terlibat dalam proses pengisian informasi dan,bersamaan dengan itu, membangun dialog di antara mereka.

Para penggiat pun perlu mencari metodologi yang lebih inklusif. Salah satubentuknya adalah memetakan wilayah yang berbasis ekosistem. Denganmembicarakan keterkaitan fungsi ekologis dan peran masing-masing kelompokdalam ekosistem tersebut perbedaan budaya, sosial dan agama bukan menjadi

237

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

penghalang, tetapi justru menjadi sumber untuk mencari pemecahan masalahbersama. Dengan kata lain, persoalan bersama dalam wilayah tersebut menjadijembatan bagi dialog antar kelompok dengan berbagai latar belakang. Tidaklepas kemungkinan bahwa ada kelompok yang ingin mendominasi, namunmasalah ini perlu dilihat sebagai tantangan untuk membangun hidup bersamabukan sebagai menjadi hambatan untuk berdialog.

BEBERAPA CATATAN GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KEDEPAN

Dari pengalaman PP yang disajikan dalam buku ini banyak hal yang perludipikirkan ulang dan menjadi pertimbangan untuk merumuskan kembali strategigerakan ini ke depan. Perbaikan strategi-strategi PP di Indonesia perlu dikaitkandengan banyaknya organisasi-organisasi rakyat yang tumbuh dan berkembangseiring dengan dinamika sosial politik di Indonesia pasca Reformasi. Berikuthal-hal krusial yang harus dipikirkan untuk dikembangkan ke depan adalah:

1) Gerakan PP memerlukan satu kampanye yang masif untuk menanggapi isu-isu keruangan yang sudah dirumuskan oleh pemerintah sertamengkampanyekan wacana tandingan tentang isu-isu keruangan yangberpihak kepada kepentingan rakyat.

2) Gerakan PP perlu lebih gencar lagi untuk masuk ke komunitas-komunitaspetani yang sedang mengalami konflik pertanahan, serta juga perlu bekerjalebih leluasa dalam kerangka agenda-agenda yang sudah mereka susun.

3) Gerakan PP juga perlu memikirkan untuk melakukan penambahan tenaga-tenaga ahlinya yang dapat dikirimkan ke mana saja untuk melakukan PP,dimana saat ini dari segi kuantitas, tenaga-tenaga ahli tersebut jumlahnyasemakin menipis.

4) Gerakan PP, berdasarkan sejumlah catatan tentang makna Partisipatif/Partisipasi, sudah saatnya untuk merumuskan indikator perkembangan ag arlebih mudah untuk melakukan evaluasi.

5) Para penggiat PP perlu mempertimbangkan untuk menyusun batasan-batasanwilayah kerja PP. Hal ini menjadi penting mengingat isu PP sudah mulaidiadopsi oleh pihak-pihak lain, khususnya pihak-pihak yang sebelumnyasangat menentang pelaksanaan ide PP.

Kelima catatan ini bukan muncul pada saat ini saja, tetapi sudah menjadibahan pemikiran pelaku gerakan PP se jak lama. Namun, pelaksanaannya belummaksimal karena masih terbentur pada persoalan siapa yang memimpin

238

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

pemikiran-pemikiran ini. Lebih dari itu, yang menjadi pemikiran mendasar untukmengembangkan gerakan PP ke depan adalah apakah PP itu akan tetap menjadisesuatu yang sifatnya teknis, hanya berfungsi untuk “ ukur-ukur,” atau berubahmenjadi sebuah gerakan yang sistematis dan dapat merumuskan strategi-strategiyang cakupannya lebih luas dan skalanya lebih besar. Di sinilah titik pijaknyabagaimana menyikapi harapan-harapan gerakan PP ke depan. Kedua haltersebut akan memiliki turunan strategi yang berbeda dan memerlukan karakterkelembagaan yang berbeda pula. Dengan demikian, sampailah kepadapertanyaan besar yang harus kita jawab bersama yaitu “Akan kita bawa k emana gerakan Pemetaan Partisipatif yang sudah kita bangun bersama ini?”.

239

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

CATATAN AKHIR

1aMengenai hal ini beberapa kajian sudah disajikan dalam banyak tulisan,misalnya Sartono Kartodirdjo (1975), Protest Movement in Rural Java , KualaLumpur: Oxford University Press; Sartono Kartodirdjo (1984), Ratu Adil, Jakarta:Sinar Harapan; Kuntowijoyo (1993), “Masyarakat Desa dan Radikalisasi Petani”dalam Esei-Esei Sejarah Dr. Kuntowijoyo , halaman 1-42, Jogjakarta: PenerbitBentang; Margo L. Lyon (1984), “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa”dalam Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawadari Masa ke Masa, Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi(penyunting), Jakarta: YOI dan Gramedia; Dianto Bachriadi (1998), SengketaAgraria dan Perlunya Menegakan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen ,Paper untuk Lokakarya Pola Penanganan Sengketa yang diselenggarakanLembaga Bantuan Hukum Bandung, YLBHI. Bandung, 29 Mei 1998.

1bLihat Dianto Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya MenegakkanLembaga Peradilan Agraria yang Independen , Paper untuk Lokakarya PolaPenanganan Sengketa yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum Bandung,YLBHI. Bandung, 29 Mei 1998. Lihat juga makalah yang ditulis oleh LoekmanSoetrisno (1991), Politik Agraria dan Penghargaan atas Hak-hak Rakyat atasTanah, Makalah untuk Rakernas YLBHI, Jogjakarta 13-15 Februari 1991 yangmenyatakan hal yang sama.

1cLihat: George J. Aditjondro (1993), Dimensi-dimensi Politis Sengketa Tanah ,Makalah Latihan Analisis Sosial “Tanah”, Medan 1993.

1dLihat Memorandum Sengketa Tanah yang disusun oleh KPA yang berjudul:Wawasan Sengketa Tanah Nusantara: Keharusan Penyelesaian yang Adil danBeradab (KPA, 1995) atau memorandum yang sama tetapi ditulis dalam edisibahasa Inggris dengan judul: Wawasan Sengketa Tanah Nusantara: The Necessityfor Just and Civilized Resolution – KPA’s Memorandum on Land Disputes (KPA,1995).

1eSherry R. Arnstein. (1967). A Ladder of Citizen Participation. Journal of AmericanInstitute of Planners. Juli . hal. 216-224.

2aIstilah ini tampaknya terpengaruh dari nama Sandinista (gerakan perlawanandi Nicaragua yang berhaluan Marxis pada tahun 1970an dan berkuasa padadekade 1980an) yang banyak melibatkan kelompok-kelompok masyarakat adat

2bMac Chapin, Zachary Lamb, dan Bill Threlkeld. (2005). Mapping IndigenousLands. Annual Review of Anthropology 34:619–38. ( http://www.annualreview.org)

3 “Mencermati Perkembangan Pemetaan Partisipatif”. Restu Achmaliadi. KabarJKPP No. 11/2006. Bogor

240

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

4 Anonymus. 2008. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-EkonomiIndonesia : Maret 2008. Biro Pusat Statistik. http://www.bps.go.id

5 Ibid

6 Padi Indonesia mendapat suport dana dari GEP-SGP dan Pemda KabupatenPasir untuk pembangunan Micro Hydro di wilayah Kampung Muluy.

7 Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2007 dan direvisi oleh PP No. 3 Tahun 2008 tentangTata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta PemanfaatanHutan

8 Lihat pasal 1 ayat 6 dan pasal 5 ayat 2

9 Perlu dicermati bahwa konsepsi Hutan Negara merujuk pada konsepsi HakMenguasai Negara yang pelaksanaannya jauh dari ide awalnya pada saatperumusan konsepsi Hak Menguasau Negara, mengenai hal ini lihat Fauzi danBachriadi . “Hak Menguasai Dari Negara Yang Harus Diselesaikan”, dalam “Usulan Revisi UUPA“ , KNRH-KPA. Bandung. 1998.

10 Lihat Pasal 4 (3), pasal 39 dan pasal 67.

11 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2006 Tentang PedomanPinjam Pakai Kawasan Hutan,

12 PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undng Nomor 4ITahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU RI No. 19 Tahun 2004 Tentang PenetapanPeraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan AtasUU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi UU.

13 Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan

14 Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

15 Lihat Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1967 dan Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999

16 Lihat Pasal 8 dan Pasal 34 UU No. 41 Tahun 1999

17 Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 37/Menhut-II/2007 Tentang HutanKemasyarakatan

18 Lihat Pasal 3Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 37/Menhut-II/2007

19 Lihat Pasal 8 Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 37/Menhut-II/2007

20 Lihat Pasal 7 Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 37/Menhut-II/2007

21 Lihat Pasal 26 UU No. 41 Tahun 1999

22 Berdsarkan Pasal 51 (1) UU No. 41 Tahun 1999 dinyatakan “Untuk menjaminterselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentusesuai dengan sifat pekerjaann ya diberikan wewenang kepolisian khusus”.

241

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

23 PADI Indonesia didirikan terhitung sejak bulan Juni 1996, dan telah memilikicatatan Badan Hukum No.1, Tgl. 03 Oktober 1998. Akte Notaris Bambang SoemitoSH, di Balikpapan.

24 Berdiri sejak tahun 1980-an dengan nama REKARI, nama PADI Indonesia sejaktahun 1996, pergantian nama tersebut didasarkan pada pertimbangan politikpada waktu itu.

25 Satuan wilayah pada jaman colonial Belanda di bawah regenschap ataukabupaten; kira-kira sama dengan kecamatan sekarang

26 Badan Pusat Statistik, 2003

27 Agrarische Besluit (AB) : semacam surat keputusan kepemilikan tanah.Keputusan hukum ini merupakan Agrarische Wet atau undang-undangpertanahan 1870

28 Konsesi yang diberikan kepada pengusaha untuk membuka perkebunan padajaman Belanda; mirip dengan hak guna usaha (HGU) sekarang

29 “Warisan yang Belum Terselesaikan”, Tri Chandra Aprianto . Dokumen tidakditerbitkan. 2005

30 Burgelijke Wetboek (BW) setelah kemerdekaan diubah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

31 Peta kerawangan desa serupa dengan peta penggunaan tanah di desa

32 Data Potensi Desa (Podes) Jawa Timur 2006, Badan Pusat Statistik (BPS)

33 “Radikalisasi Petani”, Kuntowijoyo, Gramedia Bandung, 1993

34 Berger, Peter, L“Piramida Korban Manusia”, LP3EIS. Jakarta. 2005

35 Monografi Desa Mekarsari dan Riset Partisipatif Masyarakat dan RMI Tahun2007.

36Masyarakat Desa Mekarsari sebagian besar adalah masyarakat yang menganuttata cara dan tradisi adat kasepuhan. Kasepuhan yang mereka anut adalahKasepuhan Ciptamulya, Sirna resmi dan Ciptagelar.

37 Sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Desa Mekarsari adalahsistem pertanian tradisional yang diturunkan oleh karuhun (leluhur) mereka.Hasil pertanian yang diperoleh tidak diperkenankan untuk dijual seperti beras,beras ketan, waluh, dan hasil huma pada khususnya. Sehingga untukmendapatkan cash money mereka bergantung kepada hasil kebun

38 Dahulu wilayah Banten termasuk wilayah di Provinsi Jawa Bara t, sejak tahun2000 menjadi provinsi tersendiri berdasarkan UU no. 23 Tahun 2000 tentangPembentukan Provinsi Banten.

39 Profile Desa Pulau Pahawang tahun 2007

242

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

40 Gobah adalah Daerah cekungan yang dalam dalam laut biasanya beradasebelum tubiran.

41 Gosong-gosong adalah Kumpulan terumbu karang dan pasir menyerupaigunung yang ada di laut tempat memancing.

42 Padang Lamun adalah jenis tumbuhan seperti pandan yang tumbuh diperaiaran berpasir

43 Tentang Pemetaan Partisipatif akan diuraikan lebih lanjut di Bag II Tulisan ini.

44 Sumber: http://www.dkp.go.id/index.php/ind/newsmenus/260/ketentuan-penggunaan-alat-penangkapan-ikan-yang-dibolehkan-dan-dilarang

45 Bubu adalah Perangkap ikan yang terbuat dari bahan bambu atau kawat yangdipasang di dasar laut

46 Pancing Rawe adalah sejumlah pancing yang dipasang berjejer di tali yangterbentang

47 Jaring Rampus adalah alat tangkap yang terbuat dari benang yang dianyam.

48 Tubiran adalah batas antara laut dangkal dan laut dalam

49 Saat ini kayu sindur ini sudah semakin berkurang akibat penebangan kayutersebut sebagai bahan bangunan terutama saat HPH masuk di wilayah hutantersebut, selain itu semakin mengecilnya kawasan hutan rawa di wilayahtersebut yang menjadi habitat kayu

50 Titi adalah jembatan yang terbuat dari satu atau lebih batang kayu bulat yangutuh dan biasanya hanya digunakan untuk kurun waktu yang singkat.

51 Udas adalah wilayah kawasan hutan primer yang kepemilikanya komunal/kolektif.

52 Karena unit-unit yang didirikan atau berafiliasi dengan YKSPK makin banyakmereka kemudian menyatukan diri dalam suatu Gerakan Pancur Kasih.

53 WVI adalah sebuah lembaga internasional yang bergerak di bidang sosialkemasyarakatan yang lebih banyak melakukan pendampingan pada kelompok-kelompok ekonomi bawah /marginal sedangkan bentuk kerjanya lebih banyakbersifat karitatif. Area Development program (ADP) merupakan programutamanya di Kalimantan Barat melalui pemberian s antunan bagi anak asuhuntuk mengenyam pendidikan formal .

54 Parenean sakampongan adalah sebuah klaim atas kepemilikan wilayah ataubarang yang secara turun temurun.

55 Tandu atau pikul. Alat yang dibuat secara khusus biasanya menggunakankarung yang diberi kayu di samping sehingga orang yang membawanya bisalebih banyak tergantung dari berat badan yang bersangkutan atau beben yangakan dibawa.

243

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 244

56 Bahari Sinju, Pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat adat DayakKanayatn, buku Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, PPSDAK,1998

57John Bamba, Pengelolaan sumberdaya alam menurut budaya Dayak dantantangan yang dihadapi, Pengelolaan sumberdaya alam berbasismasyarakatPPSDAK, 1998

58 Perusahaan tersebut sebenarnya baru mengantongi izin prinsip yangdikeluarkan oleh Bupati Landak pada tahun 2005-2006 .

59 Pelaksana teknis merupakan tenaga yang terlebiah lansung dalammempersiapkan hingga melaksanakan kegiatan pemetaan partisipatif.

60 Batere alkalin adalah jenis batere yang memiliki daya yang jauh lebih besardaripada jenis batere biasa. Dalam survei yang menggunakan GPS timpemetaan biasanya menyediakan batere jenis ini dalam jumlah banyak untukmenjamin pengambilan titik koordinat yang tidak terputus.

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

PROFIL PENULIS DAN EDITOR

AHMAD SJA, aktivis dari PADI Indonesia di Kalimantan Timur.Telah dua kali memfasilitasi pemetaan partisipatif di KabupatenPaser. Tulisan ini merupakan suatu pengalaman baru bagi dia.

AKU SULU SAMUEL SAU SABU, Koordinator Region JKPP Nusra.Telah memfasilitasi pemetaan sejak tahun 2001 sampai sekarang.Kemampuan memfasilitasi pemetaan di dapat dengan mengikutimagang pemetaan laut dan pesisir di Manado yangdiselenggarakan oleh Yayasan Kelola pada tahun 2000 danmengikuti TOT pemetaan partisipatif di Papua pada tahun 2001.Samuel belum memiliki pengalaman dalam menulis.

ALBERTUS HADI PRMONO , kandidat Doktor dalam programGeografi di Universitas Hawii, Honolulu (AS). Minat utamanyasaat ini adalah tentang hubungan sistem pengetahuan dalamproses pembuatan peta. Sejak tahun 1991 telah berkecimpungdi dalam dunia NGO terutama dalam masalah pengelolaansumber daya alam berbasis masyarakat.

ANAM, masyarakat dari Kampong Anekng, Desa Andeng,Kecamatan Sangah-Tumila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.Sehari-hari bekerja sebagai petani. Pada tahun 1997, ketikamasyarakat kampong Anekng melakukan pemetaan, dia banyakmemotivasi masyarakat yang lainnya untuk terlibat dalamkegiatan ini. Dalam hal tulis menulis, ini merupakan pengalamanpertama bagi dia.

AZAR TORAE, masyarakat dari Komunitas Behoa Desa Katu,Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.Sehari-harinya bekerja sebagai petani. Pengalaman dalambidang kegiatan Pemetaan dimulai sejak tahun 1997 menjadianggota tim PP dan inventarisasi partisipatif di Desa Katu. Padatahun 1998 sampai dengan tahun 2000 ikut memfasilitasipemetaan di 5 desa wilayah Behoa Emba (Ngamba) di KecamatanLore Tengah dan 3 desa di Kecamatan Lore Utara. Walaupun inimerupakan pengalaman pertama dalam penulisan namun diapunya harapan besar dapat memiliki kemampuan menulis.

245

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

BAGUS PRIATNA, salah satu aktivis dari Rimbawan MudaIndonesia (RMI) Bogor. Mulai mefasilitasi pemetaan sejak tahun2002. Beberapa wilayah yang difasilitasi seperti wilayah AdatBanten Kidul dan wilayah Adat Kasepuhan Cibedug Lebak Banten,Pemetaan dan Perencanaan Penataan Ruang Partisipatif diKampung Nyuncung dan Kampung Parigi Kecamatan NanggungBogor Jabar, 5 kampung sekitar kecamatan Sukajaya danNanggung Bogor Jabar. Beberapa tulisan Bagus sudah dimuatdalam media-media terbitan RMI dan sektetariat Nasional JPPP.

BAMBANG TEGUH KARYANTO, aktivis dari SD INPERS Jember JawaTimur. Telah memfasilitasi pemetaan partisipatif di KabupatenJember, Blitas dan Cianjur. Dia pernah menjadi penulis di Majalah“Berita Massa” Jember.

BAYU DEDIE LUKITO, aktivis dari SD INPERS salah satu NGO diJember. Menjadi anggota PP di Desa Curah Nongko, KabupatenJember. Pengalaman menulis di dapat ketika menjadi Staf redaksiTabloid Budaya Lembaga GNI Jember pada tahun 2003-2004 danmenjadi relawan pada Media Partisipasi CDHRE Koordinatordaerah Banyuwangi pada tahun 2008.

ENDAN SUHENDAR, Kelompok Pemuda Pelindung Mata AirKampung.Ciladu, Desa Mekarsari, Banten. Ketika pelaksanaanPP di kampungnya dia berperan sebagai penggerak para pihakdalam kelompok kepemudaaan, melakukan pemetaan,penggambaran. Belum memiliki pengalaman dalam melakukanpenulisan.

246

EFRAIM YABOISEMBUT, masyarakat dari Kampung Sabron Samon,Distrik Kemtuk, Kab Jayapura, Papua. Beliau telah aktifberkegiatan bersama beberapa NGO sejak tahun 1990 sampaisaat ini bersama Pt PPMA, YPMD Papua dan YPPWI Papua.

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia247

LORENSIUS OWEN , fasilitator PP dari Lembaga PemberdayaanPengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK)-Kalimantan Barat

M.SYAHRIL, Ketua BPDPM Pulau Pahawang. Beliau terlibat aktifketika pemetaan di desanya, mulai dari mengikuti pelatihan,diskusi-diskusi, memotivasi masyarakat yang lain sampaidengan kegiatan paska PP.

LAHMUDIN YOTO, salah satu aktivis YTM. Telah memfasilitasipemetaan di desa Rabah Menjalin, POntianak Kalbar, di Lindo-Katu, di Doda, Hanggira, Badiri, Lempe, Wanga, Dodolo (TOE),Toro, Moa, Pilimakujawa serta memfasilitasi PP di Aceh.

HILMA SAFITRI , alumnus Antropologi Universitas Padjadjaran.Sejak tahun 1998 turut terlibat dalam gerakan pembaharuanagraria dan pemetaan partisipatif. selain itu juga terlibat dalambeberapa penelitian tentang pertanahan dan gerakan petani diIndonesia

JIDAN, Kepala adat Muluy Gunung Lumut Kabupaten PaserKalimantan Timur. Terlibat dalam pemetaan dan pengumpulaninformasi sejarah masyarakat adat Muluy.

KARYANTO, Masyarakat Adat Nian Uwe Wari Tana Kera PuHikong-Boru Kedangdari Sikka Flores NTT

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 248

NOACH WAMEBU, aktivis Pt PPMA Papua. Mulai terlibat dalamPP pada tahun 2002. Beberapa daerah yang pernah di fasilitasidiantaranya Nambluong pada tahun 2002 dan Klisi Kemtuk padatahun 2003, Kampung Sensosa Distrik Unurum Guay Kab Jayapuratahun 2007. Belum ada pengalaman dalam hal tulis menulis.

RESTU “GANDEN” ACHMALIADI , sejak tahun 1992 bekerja denganNGO-NGO. Aktif sebagai fasilitator pemetaan partisipatif,fasilitator training pemetaan partisipatif dan fasilitatorpertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh NGO

VARMAN BANTALIDAN, Fasilitator PP dari gampong Alue Punti,Mukim Sarah Raya Kecamatan Teunom Kabupaten Aceh Jaya NAD.Telah aktif memfasilitasi PP mulai tahun 2007 sampai dengansekarang.

SULAIMAN DAUD, aktivis di YRBI Banda Aceh NAD. Pengalamanpemetaan diawali dengan ikut magang PP ke Kalbar tahun 1999.Sebelum bencana Tsunami Aceh pada tahun 2004 telah memfasilitasi11 gampong di Aceh. Paska bencana tsunami menjadi koordinatorPP dan Perencanaan Gampong di 34 gampong. Namun sayangnyapengalaman yang sangat banyak belum pernah dia buat menjaditulisan-tulisan, di buku inilah untuk pertama kali beliau menuliskanpengalamannya tersebut.

RIZANI, aktivis dari Mitra Bentala Lampung. Walaupun secara teknispemetaan belum menguasai penuh namun dia terlibat banyak dalamproses pemetaan hutan mangrove di Desa Pulau Pahawang. Salahsatu tulisan yang pernah dia buat adalah “Hutan dan Manusia”