173

Menuju Komunitas Tangguh

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kumpulan cerita praktik baik dalam upaya pengurangan risiko bencana Oxfam bersama mitra-mitranya di enam kabupaten di timur Indonesia seperti: Kota Bima, Lombok Timur dan Utara (Nusa Tenggara Barat), Flores Timur (Nusa Tenggara Barat), Jayapura (Papua) dan Manokwari (Papua Barat). Tersedia dalam dua bahasa, Indonesia dan Bahasa Inggris. Edisi cetak tersedia di kantor Oxfam, Jakarta. A collection of best practices of reducing risk reductions implemented by Oxfam with its partners in eastern Indonesia namely: Bima City, Lombok Timur dan Utara (West Nusa Tenggara), Flores Timur (East Nusa Tenggara), Jayapura (Papua) dan Manokwari (West Papua). Available in two languages: Indonesian and English. Printed version is available at Oxfam office in Jakarta.

Citation preview

MENUJUKOMUNITAS

TANGGUHKOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM

PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Tidak cukup hanyadengan menyelamatkan

nyawa - kita harusmemberikan kehidupan

sekarang dan kesempatan esok hari

Buku ini disiapkan untuk berbagi pengalaman dan praktik baik dengan bahasa yang lugas dan sederhana. Cerita-cerita ini merupakan kumpulan dari enam daerah dampingan mitra-mitra Oxfam yang menggambarkan pengalaman dalam pengarusutamaan PRB di masyarakat (termasuk sekolah), pemerintah dan upaya menguatkan kepemimpinan perempuan.

SANGKALAN | Dokumen ini didanai oleh lembaga bantuan internasional Pemerintah Australia melalui Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) dan Uni Eropa melalui program kesiapsiagaan bencana (DIPECHO). Pandangan yang dikemukakan bukan pendapat resmi Pemerintah Australia & Uni Eropa.

Karen Brown(Sumber: Oxfam Annual Report 2012/13)

86909498102106109

116120122126130134

144147150153156158

160

24

81216202428

iiiiv

34384246505458

6468727681

BAB 4 - JAYAPURA

Kisah Uang Dan Pohon Merawat Pantai Menolak Bala Berbagi Harapan Tanggulangi Bencana Sekolah Langganan Banjir Mama Juju dan Pesan AlamIni Bencana KitaBuang Sampah Pada Tempatnya

BAB 5 - FLORES TIMUR

Berawal Dari Banjir Pajinian Warga Lembah Welo Kurangi Risikonya Agar Tidak Tergusur Ombak Kokohnya Sekolah Kami Bukan Kutukan Leluhur Jalan Masih Panjang

BAB 6 - LOMBOK TIMUR

Siaga Di Kaki Gunung Rinjani Bersama Menjaga Bencana Menyemai Partisipasi Polisi Peduli Bencana Perempuan Menghadapi Bencana Awas Kebakaran Profil Lembaga

Daftar SingkatanKata Pengantar

Ucapan Terima Kasih

BAB 1 - BIMA

Membangun Ketangguhan BimaMasyarakat Jatiwangi Hindari Banjir

Dengan Menjaga KebersihanSiap Siaga Hadapi Bencana Dengan Harmoni

Relawan KesiapsiagaanBanjir Mengancam

Perempuan Tangguh BimaCerita Dan Kurikulum Yang Mencerahkan

Rancangan PERDA Dan Mendorong Sinergi Para Pihak

BAB 2 - LOMBOK UTARA

Mencegat Bencana di Balik KeindahanAwal Kampanye Bencana Yang Tak Mudah

Perempuan Lombok JuaraMengintip Bencana Dari Pintu Kelas

Teman Menghadapi BencanaBermitra Dengan Pemerintah

Kesadaran Terbentuk Oleh Tradisi

BAB 3 - MANOKWARI

Membaca Alam Menjinakkan BencanaDari Anike Mandacan Hingga Bapa Pendeta

Mama Dolly Paling KerenForum Penuh Cinta

Kaum Difabel Tidak Terlupa

DAFTAR ISI

DAFTAR SINGKATANARB : Analisis Risiko Bencana

BAPPEDA : Badan Perencanan dan Pembangunan Daerah

BPBD : Badan Penanggulangan Bencana Daerah

BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

BNPB : Badan Nasional Penanggulangan Bencana

BR : Building Resilience

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

HKM : Hutan Kemasyarakatan

HT : Handy Talky

KIPRA : Yayasan Konsultansi Independen Pemberdayaan Rakyat

KONSEPSI : Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi

KOSLATA : Kelompok Studi Lingkungan dan Pariwisata

LP2DER : Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

NTB : Nusa Tenggara Barat

NTT : Nusa Tenggara Timur

Penjaskes : Pendidikan Jasmani dan Kesehatan

PERDA : Peraturan Daerah

PKK : Program Kesejahteraan Keluarga

PKN : Pendidikan Kewarganegaraan

PMI : Palang Merah Indonesia

Polres : Polisi Resort

PRB : Pengurangan Risiko Bencana

PB : Penanggulangan Bencana

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

RT : Rukun Tetangga

SAR : Search and Rescue

SDIT : Sekolah Dasar Islam Terpadu

SDN : Sekolah Dasar Negeri

SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah

SLB : Sekolah Luar Biasa

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMKN : Sekolah Menengah Kejuruan Negeri

STIH : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum

TGC : Tim Gerak Cepat

TSBD : Tim Siaga Bencana Desa

TSBK : Tim Siaga Bencana Kelurahan/Kampung

YPPS : Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial

i

Indonesia memiliki risiko bencana tingkat tinggi karena banyaknya bencana alam melanda dan hal tersebut diperburuk oleh adanya perubahan iklim serta masih terbatasnya kebijakan dan pelaksanaan berkaitan dengan Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Bencana semakin sering terjadi – sebagian besar merupakan bencana kecil tetapi dampaknya besar terhadap infrastruktur dan penghidupan masyarakat setempat. Perkembangan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana Pemerintah Indonesia berjalan baik; namun masih terdapat beberapa tantangan besar dalam pelaksanaan. Dengan demikian, dipandang perlu adanya Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat dan desentrasliasi kapasitas PRB pada level pemerintah tingkat kabupaten/kota.

Berdasarkan analisis masalah tersebut, Oxfam bersama mitra-mitranya merespons dengan melaksanakan Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana dan Perubahan Iklim di Indonesia Timur. Program yang berjalan sejak Juni 2012 hingga Desember 2013 ini bertujuan untuk membangun dan memperkuat ketangguhan masyarakat dan institusi

KATAPENGANTAR

• Foto: Eka Nickmatulhuda

ii

lokal terhadap bencana dan perubahan iklim. Program ini didukung oleh lembaga bantuan internasional Pemerintah Australia melalui Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) dan Uni Eropa melalui Program Kesiapsiagaan Bencana (DIPECHO).

Untuk melaksanakan program ini, Oxfam bekerjasama dengan lembaga-lembaga mitra di enam kabupaten di kawasan Indonesia timur, yaitu Konsultansi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa) di Kota Jayapura, Pengembangan Masyarakat & Konservasi Sumber Daya Alam (PERDU) di Kabupaten Manokwari, Kelompok Studi Lingkungan dan Pariwisata (KOSLATA) di Kabupaten Lombok Utara, Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI) di Kabupaten Lombok Timur, Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat (LP2DER) di Kota Bima dan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) di Kabupaten Flores Timur.

Untuk mencapai tujuannya, program mengembangkan tiga strategi utama, yaitu (1) membangun dan memperkuat ketangguhan masyarakat termasuk sekolah (2) membangun dan memperkuat ketangguhan kabupaten/kota (3) memperkuat kepemimpinan perempuan dalam PRB. Singkatnya, semua strategi yang dikembangkan bermuara untuk mewujudkan satu tujuan: KETANGGUHAN.

Mendekati masa berakhirnya program, Oxfam dan mitra-mitranya telah menghasilkan berbagai pencapaian bahkan terdapat beberapa praktik-praktik baik. Namun demikian, tentu bermacam tantangan dan kendala juga dihadapi. Beragam pembelajaran juga teridentifikasi sepanjang perjalanan pelaksanaan program. Buku ini akan menceritakan tentang beberapa praktik baik dan pembelajaran program baik berkaitan dengan pekerjaan di tingkat masyarakat, di tingkat kabupaten/kota, maupun berkaitan dengan upaya memperkuat kepemimpinan perempuan dalam PRB. Oleh karena itu, diharapkan buku ini menjadi inspirasi bagi para pemangku kepentingan baik pemerintah maupun para praktisi untuk mencontoh praktik-praktik baik dan mengambil pembelajaran program dalam melaksanakan program-program PRB di lokasi lain.

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kadang hanya menjadi ucapan klise. Namun kali ini kami, tim penulis buku Menuju Komunitas Tangguh, benar-benar menghaturkan terima kasih sedalam-dalamnya dan apresiasi kepada semua pihak yang membantu terwujudnya buku ini. Tanpa konstribusi Anda, buku ini tak bakal ada di tangan Anda sekarang.

Kepada segenap jajaran pemerintah kabupaten/kota dampingan program, kami menghaturkan ter-ima kasih atas akses luas yang diberikan dan kemitraan yang terjalin, mulai dari persiapan dan pelaksanaan sampai dengan pendokumentasian atau penulisan program. Kami mengharapkan agenda-agenda pemberdayaan masyarakat dan pengurangan risiko bencana akan terus berjalan di waktu yang akan datang dan menjadi contoh bagi pemerintah kabupaten/kota lainnya.

Untuk para pendamping masyarakat berikut lembaga mitra Oxfam, kami bangga bekerja sama dengan kalian. Agenda pemberdayaan masyarakat dan membangun ketangguhan bencana bukan hal ringan. Buku ini hanya menggambarkan sebagian kecil dari kerja keras Anda selama ini guna memberikan inspirasi bagi para pihak terkait. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang tak dapat disebut satu per satu. Yang jelas, terima kasih dan apresiasi besar kami haturkan kepada masyarakat dampingan program khususnya yang berada di barisan depan menjaga semangat kemajuan dan perubahan atas berbagai bentuk partisipasi dan konstribusinya sebagai subyek program.

Dengan demikian, buku ini kami dedikasikan untuk semua pihak yang telah berkonstribusi dalam pelaksanaan Program Membangun Ketangguhan Bencana di Indonesia Timur.

Salam,

Tim Membangun & Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di Indonesia Timur Oxfam

Jakarta | Ade Reno Sudiarno (Koordinator PRB); Lukman Hakim (Staf PRB), Herlyna Hutagalung (Staf Pemberdayaan

Perempuan); Meilayasina Tarigan (Staf Monitoring, Evaluasi & Pembelajaran); Cici Riesmasari (Staf Media & Komunikasi).

Makassar | Ihwana Mustafa (Manajer Program); Dheni Surya Ardhian (Staf di Bima); Jatmoko (Staf di Lombok Utara & Timur);

Natalia Tehuajo (Staf di Flores Timur); Sartika Nasmar (Staf Pemberdayaan Perempuan).

Papua | Sunarso (Manajer Program); David Bawias (Staf di Jayapura); Fredy Chandra (Staf di Manokwari).

iv

• Foto: Eka Nickmatulhuda

BIMABAB 1

2MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Kota Bima baru terbentuk pada 10 April 2002. Secara administratif, Kota Bima hasil dari pemekaran kabupaten dengan nama yang sama berdasarkan UU No. 13 tahun 2002. Luas wilayah kota yang dihuni oleh masyarakat dengan tradisi berkuda sejak usia dini ini hanya 222,25 kilometer persegi, dengan lanskap yang beragam.

Kota Bima hampir memiliki segalanya: laut mempesona yang membentang di sepanjang horison, kepungan perbukitan yang bergelombang, dan juga teluk. Sayangnya, karakteristik wilayah yang seperti ini menjadikannya rentan terhadap bencana; tanah longsor, angin puting beliung bahkan gempa.

Potensi ancaman muncul dari kerusakan yang mulai terjadi di pegunungan Ncai Kapenta yang dulunya merupakan hutan jati dengan masing-masing lingkaran pohonnya tidak bisa dirangkul oleh empat orang. Tidak hanya itu,

ancaman lain datang dari tujuh hulu sungai yang bermuara di Teluk Bima, yakni Sungai Lampe, Dodu, Nungga, Kendo, Ntobo, Jatiwangi dan Romo. Banjir pun menjadi ancaman utama ketika sungai meluap.

Pemerintahan Kota Bima membawahi lima kecamatan dan 38 kelurahan. Berdasarkan tingkat kerentanannya, enam kelurahan kemudian menjadi daerah dampingan Oxfam dan mitranya, Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat (LP2DER) dalam program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di Indonesia Timur.

Sebuah program selama 18 bulan didanai oleh Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) dan Uni Eropa. Berdasar-kan asesmen dan kajian bersama masyarakat di awal September 2012, keenam kelurahan terpilih yakni Nungga, Kendo, Ntobo, Kolo,

Tanjung dan Jatiwangi, kemudian difasilitasi dalam pembentukan satuan tim siaga. Empat kelurahan pertama, sudah lebih awal bergabung dalam pelatihan PRB (Pengurangan Risiko Bencana)-API (Adaptasi Perubahan Iklim) dan lokakarya SPHERE (standar minimum penanggulangan bencana) sebagai langkah awal program. Dua kelurahan lainnya, Tanjung dan Jatiwangi, kemudian menyusul.

Setiap kelurahan memiliki karakteristik bencana tersendiri berdasarkan letaknya. Kelurahan Nungga, Kendo, Ntobo, misalnya, terletak di bagian hulu sungai sehingga memiliki ancaman longsor jika terjadi banjir. Sementara Tanjung dan Jatiwangi di hilir, yang rentan terhadap kiriman banjir dari hulu sungai. Sedangkan Kolo adalah satu-satunya kelurahan dampingan program yang terletak di pinggir pantai, dengan ancaman abrasi yang perlahan mengikis daerah mereka.

Meskipun program ini baru berjalan setahun di enam lokasi tersebut, namun sudah terasa perubahan di masyarakat dari yang belum mengenali ancaman di lingkungannya hingga dapat membuat rencana aksi untuk mengurangi risiko bencana. Hal-hal yang sudah berjalan di masyarakat dan pemerintah adalah Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK) yang bersemangat mempromosikan kesadaran, para perempuan tangguh Bima dan anak-anak sekolah yang fasih bercerita tentang bencana, pemerintah yang berkomitmen dalam upaya PRB dengan men-dukung aktivitas masyarakat dan sudah adanya draf Perda PRB hasil kerjasama multi pihak.

• Foto: Eka Nickmatulhuda

4MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Ada tiga Rukun Tetangga (RT) di satu jalan kecil itu. Beberapa meter sebelum sampai di ujung jalan, jejeran pot sederhana dengan bunga kamboja, membuat sepertiga terakhir bagian jalan itu terlihat lebih bersih. Abu Bakar Murtala adalah Ketua RT 008 RW 03, Kelurahan Jatiwangi, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, sangat bersemangat mendorong warganya untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. Lingkungan ini adalah daerah yang rawan akan banjir. Oleh sebab itu, ketua RT sangat perhatian terhadap kebersihan agar parit-parit di lingkungan mereka tidak tersumbat oleh sampah dan mengurangi risiko terdampak banjir.

Abu Bakar sudah lima tahun menjadi Ketua RT. “Dia akan kami angkat jadi Ketua RT sampai seumur hidup!” canda salah seorang warga yang duduk bersamanya di bale-bale depan rumah, pada Jumat pagi yang cerah itu. Abu Bakar baru saja selesai membantu seorang

• Foto: Eka Nickmatulhuda

5KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

warganya menyapu jalan saat Fajaruddin, Lurah Jatiwangi datang bersama rombongan. Pria berumur 54 tahun itu pun tergopoh menyambut mereka.

Pak Lurah Fajaruddin datang bersama beberapa fasilitator masyarakat dari LP2DER dan para pemuda yang tergabung dalam Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK) Jatiwangi. Mereka sedang melakukan penilaian secara bersama-sama untuk memilih lingkungan RT terbaik dan paling bersih di Kelurahan Jatiwangi.

“Santabe,” sapa Pak Lurah dengan bahasa lokal, yang lalu dibalas dengan sambutan hangat sejumlah warga yang kemudian datang berkerumun. Abu Bakar tampak begitu senang saat Pak Lurah merangkulnya dengan akrab. “Lomba kebersihan ini sudah dua kali kami adakan, kecil-kecilan saja, dan RT-nya Pak Abu Bakar ini yang menang tahun kemarin,” jelas Fajaruddin. Dia membanggakan warganya yang menurutnya sangat partisipatif dalam membuat program kebersihan di lingkungannya cukup berhasil.

“Saya hanya melaksanakan saja, kan bentuk program yang dibuat Pak Lurah ini bagus, untuk menjaga keindahan dan kebersihan lingkungan warga, yang nantinya juga untuk mencegah semua penyakit,” terang Abu Bakar menjawab pujian pimpinannya. Tapi dia tidak sungkan memamerkan piagam sederhana yang menyatakan RT 003 RW 008 yang diketuainya adalah pemenang untuk Lomba Kebersihan Tingkat Kelurahan Jatiwangi.

Menurut dia, Fajaruddin sering datang secara tiba-tiba untuk menginspeksi dan memberi arahan agar warganya terus menjaga kebersihan. “Sudah seperti intel dan polisi saja,” ujarnya. Namun sidak (inspeksi mendadak) seperti itulah yang membuat mereka terbiasa membersihkan lingkungan RT, sehingga tidak harus ditegur lagi oleh ketua RT.

Kegiatan membersihkan lingkungan biasanya dilakukan setiap Jumat. “Selesai sembahyang Subuh biasanya saya buat pengumuman di masjid untuk mengingatkan warga untuk Jumat bersih,” kata Abu Bakar lagi. Ia mengaku tidak melakukan kegiatan itu semata untuk sebuah piagam. “Walaupun tidak ada anggaran, saya tetap urus ini setengah mati bersama warga,” tambahnya.

• Foto: Eka Nickmatulhuda

6MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Menurut Pak RT ini, keberhasilan menjadikan lingkungannya adalah karena peran warga sekitar. “Kalau tidak ada dukungan, tidak mungkin bisa berhasil bersih seperti ini, luas RT 003 kan bisa sampai 1 hektar. Saya tidak sanggup bersihkan sendiri,” ujarnya.

Kebersihan lingkungan adalah sangat penting baginya demi mencegah potensi banjir berulang kali menciptakan petaka bagi 67 keluarga yang coba dilindungi di bawah naungannya. Dia berharap korban jiwa yang jatuh saat banjir bandang menimpa Bima di 2006, tidak akan ter-

jadi lagi, terutama di daerahnya. “Alhamdulillah, sejak saya jadi RT, tidak ada banjir yang parah,” katanya dengan penuh syukur.

Selagi membubuhkan angka di kertas penilaian yang dipegangnya, Pak Lurah Fajaruddin tersenyum mendengar celoteh Abu Bakar. Keberadaan warga seperti Abu Bakar telah memudahkan tugasnya sebagai Lurah sejak tahun 2000. “Misi saya jadi lurah, ingin memperbaiki kondisi kebersihan di lingkungan ini, karena saat ini sampah selalu jadi masalah utama yang menyebabkan banjir,” ungkapnya.

Saya hanya melaksanakan saja, kan bentuk program yang

dibuat Pak Lurah ini bagus, untuk menjaga keindahan dan kebersihan lingkungan warga,

yang nantinya juga untuk mencegah semua penyakit

• Foto: Eka Nickmatulhuda

7KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Semangat yang ditularkan LP2DER dalam menanggulangi banjir membuat tekadnya menyiapkan warga untuk menghadapi bencana, semakin kuat.

Lurah berusia 37 tahun ini mengenal LP2DER dari kerabatnya yang akrab dengan dunia LSM. Dalam satu musyawarah rencana pem- bangunan desa (musrenbangdes), ia meng- undang LP2DER untuk bekerja sama menanggulangi bencana. Hingga kini, kelurahannya tercatat yang paling aktif melakukan kegiatan PRB walaupun baru bergabung ke dalam program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di awal tahun 2013.

Meski acapkali terbentur sumber dana kelurahan yang kurang memadai, Fajaruddin tidak patah semangat mengumpulkan masyarakat dan turun tangan langsung melaku-kan sosialisasi dan intensif mengadakan

pertemuan dengan Forum PRB. “Memang tidak mudah mengubah mindset masyarakat, namun semua tergantung bagaimana pem-bawaan kita,” katanya.

Berdasarkan pengamatannya, keengganan masyarakat untuk ikut dalam program bukan karena mereka tidak bisa terbuka, melainkan bergantung pada bagaimana ia mendekati mereka. Baginya, seorang pemimpin harus mau berkorban waktu dan tenaga. “Kalau hanya diam di rumah, bagaimana dikenal warganya, bagaimana warga bisa mengerti program apapun?” katanya.

Jatiwangi baru bergabung dalam program sejak Maret 2013, namun respons warga dirasa cukup baik. Ia memprediksikan butuh waktu 1-2 tahun untuk bisa membuat warga Bima sepenuhnya mengadopsi program ini. Saat ini yang bisa mereka lakukan untuk menanggulangi banjir adalah terus menjaga kebersihan dan menggenjot pola hidup bersih di masyarakat.

• Foto: Eka Nickmatulhuda

8MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Gedung Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bima terlihat baru, meski belum rampung. Tumpukan semen dan pasir masih terlihat di halaman depannya. “Bangunan ini menjadi bentuk nyata komitmen yang tinggi dari Pemerintah Kota Bima. Mereka membangun sarana dan prasana BPBD yang cukup representatif, sehingga bisa dijadikan posko bencana sekaligus pusat komando saat bencana terjadi,” tutur Fakhrunraji, Kepala Pelaksana BPBD Kota Bima.

Walikota Bima, Qurais H. Abidin memang ber-komitmen memperpendek proses pencairan dana untuk BPBD yang ia yakini harus ada di barisan depan dalam penanganan bencana, khususnya di Kota Bima. Dia menekankan urgensi keberadaan BPBD dan perlunya fokus dalam menangani bencana. “Alokasi pen-danaan untuk program pengurangan risiko ben-cana, berapa saja saya setujui. Dana tersebut

• Foto: Eka Nickmatulhuda

9KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

harus bersifat on-call, kapan saja dibutuhkan, harus segera cair,” kata walikota yang punya latar belakang pengusaha itu. Dia menegaskan penanganan bencana adalah urusan kemanusiaan yang harus disegerakan.

Fakhrunraji juga mengapresiasi koordinasi yang baik dengan instansi lain di pemerintahan, mengingat BPBD secara organisasi, setingkat dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) namun langsung di bawah Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Keharmonisan terjadi antara BPBD dengan dinas-dinas yang berkaitan langsung dengan upaya menghadapi bencana, seperti Dinas Sosial, Polisi Pamong Praja, Dinas Kesehatan dan Pekerjaan Umum.

“Mereka sangat mendukung kegiatan-kegiatan yang kami lakukan, bahkan hanya melalui telepon pun, kapan saja kami perlukan bantuan, mereka cepat tanggap,” ujarnya lagi.

Harmonisasi kerja dari berbagai pihak ini, menurut Fakhrunraji, berkat peran LP2DER dan Oxfam melalui program PRB di kotanya. “Pendampingan yang mereka lakukan, telah menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya membangun dan memperkuat ketangguhan masyarakat terhadap bencana,” katanya.

Kepala pelaksana BPBD ini mengaku merasakan langsung perubahan pemahaman yang terjadi di tengah masyarakat yang menjadi binaan LP2DER dan Oxfam dengan inisiasi langsung masyarakat dalam menyusun rencana aksi

• Foto: Eka Nickmatulhuda

10MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Meskipun demikian, ia merasa masih banyak yang harus dikerjakan BPBD Kota Bima yang pernah menyabet juara 2 dari 366 BPBD se- Indonesia dalam Lomba Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan dan Akuntabilitas dan Tertib Administrasi 2013.

Pekerjaan rumah BPBD lain berupa penyelesaian rancangan Perda Penang- gulangan Bencana, rencana penanggulangan bencana daerah 5 tahunan, rencana aksi daerah 3 tahunan, analisis-analisis risiko bencana, dan protap upaya tanggap darurat yang harus segera mereka selesaikan di 2014. “Protap ini sangat penting, agar saat terjadi

bencana, kita tidakakan lagi saling menunggu siapa bekerja apa dan di mana, karena di dalamnya akan jelas tertuang fungsi dan kerja masing-masing,” paparnya. Bersama Forum PRB, mereka juga meng- upayakan pengintegrasian rencana penang-gulangan bencana daerah ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2014-2019. Penanggulangan bencana dimasukkan dalam prioritas pem- bangunan daerah untuk lima tahun ke depan, sebagai bentuk komitmen pimpinan daerah.

Fakhrunraji sadar meskipun LP2DER dan Oxfam tidak bisa selamanya secara fisik hadir

• Foto: Eka Nickmatulhuda

11KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

untuk mendorong BPBD. Namun ia optimistis dengan komitmen pimpinan daerah bersama elemen masyarakat yang akan dituangkan dalam RPJMD, maka pembinaan-pembinaan yang tadinya dilakukan selama ini, sedikit demi sedikit bisa digeser menjadi pembinaan yang langsung dilakukan pemerintah daerah.

“Kami mendorong hal ini masuk dalam rancangan Perda, yang menjabarkan kewajiban-kewajiban pemerintah sebagai penerima mandat masyarakat dalam penanggulangan bencana, dan apa sebenarnya hak-hak rakyat bila dihadapkan dengan kondisi bencana,” ungkapnya.

Karena itulah, Fakhrunraji merasa sangat perlu membangun penguatan lembaga BPBD-nya sendiri di tataran perencanaan, keuangan dan legislatif, sehingga program-program yang menyasar masyarakat juga akan kuat. “Kalau di atas kuat, tentu akan menyebar ke bawah,” katanya.

Ia mengibaratkan BPBD sebagai piramida, dimana posisi BPBD di puncak dan hanya kecil porsinya dari keselurahan piramida, dibanding-kan masyarakat yang di bawah piramida, namun dengan bagian yang jauh lebih besar.

Di lain pihak, LP2DER berjanji akan terus ter-libat dalam kegiatan masyarakat terkait PRB, termasuk keberlanjutan rancangan Perda Penanggulangan Bencana. “Akan kami kawal terus,” kata Muhammad Yamin, Koordinator Program PRB LP2DER.

Menurutnya, kunci kerjasama yang mulus dengan BPBD adalah keterbukaan, baik dalam hal kegiatan maupun anggaran yang melibat-kan komunikasi intensif dari dua belah pihak. “Misi kami kan sama, pada intinya meningkat-kan kesadaran masyarakat dalam menyiapkan diri mereka sendiri dalam menghadapi bencana,” kata Yamin.

Mereka sangat mendukungkegiatan-kegiatan yang kami

lakukan, bahkan hanya melalui telepon pun, kapan saja kami

perlukan bantuan, mereka cepat tanggap

12MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Penanda suatu kelurahan merupakan binaan LP2DER dan Oxfam adalah adanya sekelompok pemuda yang merealisasikan Program Mem- bangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di lingkungan masing- masing. Mereka bergabung dalam satuan Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK). Satuan ini terorganisir dengan baik, dan terdiri dari warga kelurahan di tempat TSBK itu berdiri.

TSBK agar memiliki kapasitas mengidentifikasi risiko dan menganalisis lingkungan mereka sendiri. Anggota tim ini belajar mendefinisi kerentanan sekaligus karakteristik dari kerentanan di kelurahan tempat mereka tinggal. Kemudian mencari tahu kapasitas yang ada, dengan mengupas aspek alam, manusia, infrastruktur, dan finansial masyarakat di lingkungan mereka. Sehingga mereka menjadi

• Foto: Eka Nickmatulhuda

13KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

mampu mengurangi ancaman dan risiko ketika terdampak bencana.

Namun yang terpenting, TSBK dibina untuk mampu mengajak masyarakat luas untuk memahami program ketangguhan terhadap bencana, karena bencana tidak hanya masalah keselamatan, tapi juga kerugian secara material dan berdampak pada kehidupan masyarakat itu sendiri. “Dengan banjir misalnya, sawah mereka akan gagal panen, anak mereka bisa tidak sekolah,” kata Dheni Ardhian, staf Oxfam, mencontohkan.

Meski mengemban misi yang sangat penting, TSBK di kalangan masyarakat Kota Bima, malah dikenal dengan sebutan “bencana”. Dalam aksinya, mereka selalu mengenakan seragam berupa kaos kuning dengan tulisan besar dua baris di dada, ‘Kenali Bencana di Sekitar Anda - Kurangi Risikonya’.

“Mereka anggap kami ada karena mengharap-kan datangnya bencana,” kata Nanang, Ketua TSBK Jatiwangi, tentang ironi organisasinya di masyarakat. Tapi ia melihatnya dari sisi positif. “Kadang sedih karena dipanggil anggota bencana, tapi senang juga karena mulai dikenal dengan sebutan khas oleh masyarakat. Jadi ada kebanggaan tersendiri karena sudah mulai dikenal masyarakat dan mereka juga merespons baik kegiatan kami” ujarnya.

Dengan rentang umur belasan hingga 30 tahun, kelompok TSBK yang diketuai Nanang sedianya berjumlah 20 orang. “Awalnya, kami

melibatkan diri karena senang ikut kegiatan sosial,” kisahnya.

Sekarang TSBK Jatiwangi hanya terdiri dari 18 anggota aktif, sementara dua lainnya mulai sibuk dengan pekerjaan rutin. Acapkali mereka terbentur dengan jadwal pekerjaan karena mereka masih di usia produktif.

Biasanya TSBK Jatiwangi cukup menyebarkan pesan singkat untuk mengumpulkan anggota sebelum menggelar bakti sosial maupun melakukan sosialisasi PRB kepada masyarakat. “Kami tinggal di RT yang berbeda-beda. Diusahakan setiap lingkungan punya perwakilan TSBK, agar semua informasi bisa tersebar cepat di masyarakat,” jelas Nanang.

TSBK Jatiwangi merupakan TSBK yang paling terakhir bergabung dalam program ini. Husni Thamrin, fasilitator yang membina TSBK ini mengisahkan sejumlah kegiatan yang gencar dilakukan oleh TSBK binaannya. “Kami coba buat gebrakan agar kami dikenal. Misalnya dengan menggelar bakti sosial yang dikoordinasikan dengan kelurahan, berupa gotong royong,” ujarnya.

Agenda pertama mereka adalah membersihkan kuburan di wilayah Kelurahan Jatiwangi. Lokasi tersebut dipilih karena dekat dengan bendungan air dan banyak pemukiman di sekitarnya. “Awal-nya masyarakat masih cuek, tapi lama kelamaan mulai ikut melakukan bersih-bersih,” ucapnya.

14MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Dukungan pihak Kelurahan Jatiwangi juga sangat membantu kelancaran program ini. Masyarakat mulai akrab dengan TSBK dan sering mendukung mereka dalam sejumlah kegiatan membersihkan lingkungan dan mengelola sampah atau kotoran sapi dan kuda.

Kegiatan semacam itu akan mereka unggah ke Facebook dalam forum Karawi Sama, bahasa Bima untuk ‘kerjasama’. Forum tersebut merupakan wadah komunikasi dan koordinasi antar TSBK di enam kelurahan binaan LP2DER dan Oxfam. Giatnya satu TSBK melakukan kegiatan, biasanya menyulut persaingan sehat dengan TSBK lain. Tim lain tidak mau kalah dan terinspirasi untuk menggelar bentuk

kegiatan lain dengan tujuan sosialisasi PRB ke masyarakat mereka masing-masing.

Nanang amat menikmati keikutsertaannya dalam TSBK. Program ini banyak mengubah hidupnya dan cara ia berpikir maupun bersikap. Ia mengaku dulunya pendiam dan penakut. Tapi setelah mendapatkan pelatihan-pelatihan, ia dan rekan-rekannya di TSBK jadi tahu tentang kebencanaan, mengerti operasional tim SAR, dan juga menjadi berani bicara di depan umum.

“Meski sekarang masih banyak kekurangannya, kami sudah berani bicara dan tidak takut salah di depan masyarakat,” katanya. Pengetahuan mereka tentang kebencanaan juga bertambah.

• Foto: Dok. LP2DER

15KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Mereka jadi mengenal wilayah mereka sendiri, terutama tentang ancaman bencana banjir. Seperti bahwa letak Jatiwangi di hilir, sehingga ancaman banjir dari kelurahan lain di hulu sungai sering datang menghampiri.

Sebelum ikut kegiatan ini, mereka mengaku tidak pernah peduli atau ambil pusing dengan keadaan-keadaan yang menyebabkan banjir di lingkungan mereka; seperti penyempitan sungai akibat pemukiman yang terus bertambah maupun karena sampah. Belum lagi akibat dari penggundulan hutan di Pegunungan Ncai Kapenta. “Hutan itu tempat kami jalan-jalan, jadi kami bisa merasakan langsung perubahan dan kerusakan yang terus terjadi di sana,” kata Nanang menyesalkan kondisi tersebut.

Kami coba buat gebrakanagar kami dikenal. Misalnya

dengan menggelar bakti sosial yang dikoordinasikan

dengan kelurahan, berupa gotong royong

• Foto: Eka Nickmatulhuda

16MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Jalan di sepanjang sisi-sisi Pegunungan Ncai Kapenta merupakan salah satu penghubung Kota Bima dengan Kabupaten Bima. Dua jalur berliku, naik turun, dengan pemandangan menakjubkan di kanan dan kiri jalan. Bahkan saat kemarau yang membuat akar pohon sepi tanpa daun sehingga jika pun ada, daun-daun itu akan kekuningan meranggas akibat panas menyengat dan udara kering.

Sesekali angin berhembus, memberi kesejukan para pesepeda motor atau masyarakat yang menumpang truk terbuka. Namun bau hangus terkadang tercium bila kita melewati areal sepanjang jalan yang sedang dibakar untuk dijadikan lahan untuk berladang.

• Foto: Eka Nickmatulhuda

17KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Walikota Bima, Qurais H. Abidin tidak menutup mata melihat kenyataan ini. Ia menganggap kebiasaan membabat dan membakar hutan Ncai Kapenta akibat masyarakat mengikuti pepatah penting yang turun temurun diagung-kan oleh orang Bima. “Ngaha Aina Ngoho itu artinya makan tapi jangan berlebihan, jangan membakar. Eh, ini malah makan sambil bakar,” gerutu pria 51 tahun ini.

“Dengan bakar hutan mereka memang bisa punya ladang dan mampu beli beras untuk makan keluarga dan kelompoknya. Tapi bagi masyarakat luas, kebiasaan membakar ini justru merugikan karena menghancurkan hutan dan aliran air hujan tidak lagi bisa ditampung hutan,” katanya.

Ia menyayangkan era dimulainya reformasi di tahun 1998, justru menandai awal

pengrusakan hutan Ncai Kapenta. Pembukaan hutan besar-besaran yang dilakukan masyarakat jauh sebelum Kota Bima resmi didirikan.

“Kala itu kita kebablasan,” kata Fakhrunraji yang juga melihat langsung tanda-tanda kerusakan di sana. Pasca terjadinya kerusuhan nasional ‘98, aktivitas masyarakat seakan tidak terkendali. Hutan mulai dibabat dan dikapling-kapling. Masyarakat menjadikan hutan itu seakan-akan milik mereka dengan mengubahnya menjadi lahan berladang.

Namun Nasruddin, pemilik kebun jambu mete yang rimbun di tepi jalan dekat perbatasan Kota dengan Kabupaten Bima, mengatakan pemerintah yang memberinya hak Hutan Kemasyarakatan (HKm) selama 35 tahun. Ia juga menganggap banjir sudah ada sebelum warga menggarap lahan. “Banjir itu dari Allah, mungkin

• Foto: Dok. LP2DER

18MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

kita buka lahan ada juga pengaruh sedikit, tapi kalau setelah kita buka lahan dan langsung tanam pohon kan bisa mengurangi banjir,” ujar lelaki umur 54 tahun itu.

Nasruddin, dan banyak warga yang berpikiran sama dengannya, menganggap hutan Ncai Kapenta sebagai lahan tidur yang lebih baik digunakan untuk kepentingan rakyat. Belum lagi bila mengingat keuntungan yang bisa mereka dapatkan dengan membuka ladang. Jambu mete yang ditanamnya sejak tujuh tahun lalu saja, saat panen bisa mencapai 50 kg per harinya.

Menanggapi hal itu, Walikota Qurais berjanji melakukan pembenahan. “Mungkin saya yang kurang keras dan kurang melakukan pembinaan

kepada Dinas Kehutanan untuk segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana seharusnya hutan kemasyarakatan digunakan. Misalnya melaku-kan sistem tumpang sari,” katanya.

Pada Rabu, 5 April 2006, Kota Bima mengalami banjir terbesar sepanjang 15 tahun terakhir sebelumnya. Derasnya hujan yang tidak bisa lagi ditampung hutan, menggelontorkan sejumlah gelondongan kayu jati dan berkubik-kubik air dengan arus yang deras dari Ncai Kapenta ke seluruh penjuru kota.

Aliran tujuh sungai mulai mengalami pendangkalan akibat sampah yang dibuang masyarakat ke sungai. Ditambah penyempitan sungai yang terjadi karena makin banyaknya

• Foto: Eka Nickmatulhuda

pemukiman baru warga, membuat aliran air yang memasuki area persawahan dan menyebabkan warga mengalami gagal panen, dan merendam kota hingga kedalaman 1 meter.

“Kalau saat bencana, saya sering ingatkan untuk bersih-bersih. Sayangnya tidak lama kemudian kegiatan bersih-bersih tidak terlihat lagi. Itulah sebabnya program pengurangan risiko bencana ini diperlukan. Seluruh elemen masyarakat harus terus mengingatkan warga akan ancaman bencana agar semua sadar bahwa bencana itu dapat disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri,” kata Qurais berapi-api.

• Foto: Eka Nickmatulhuda

Kalau saat bencana,saya sering ingatkan untuk bersih-bersih

20MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Bukan hanya ancaman banjir dari peng- gundulan hutan yang mengintai Kota Bima. Letaknya yang dekat Teluk Bima dan lautan lepas tak urung membuat kota dengan masyarakat yang umumnya terdiri dari buruh, pedagang, pegawai negeri sipil, nelayan dan petani itu, terancam abrasi pantai.

Seorang nelayan di Kolo, Muhammad Ali menunjuk ke arah bibir pantai yang sore itu sudah mulai pasang. “Awal tahun 90an, pohon

dan tanah masih ada di sekitar pantai itu. Bahkan satu pemukiman hidup di sana,” katanya. Sekarang di area ini yang tersisa hanya sebuah sumur yang kosong dan tinggal sisa fisiknya saja, terlihat beberapa meter menghadap laut, dari rumah warga yang terletak paling pinggir sebelum pantai.

Sebenarnya abrasi pantai terjadi perlahan. Namun kegiatan mengambil pasir dan karang untuk kebutuhan warga membangun

• Foto: Dok. LP2DER

21KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

rumah ikut mempercepat prosesnya. “Kami terus mengedukasi masyarakat tentang abrasi yang bisa membahayakan mereka. Sudah kami pasang larangan, tapi masih saja ada yang bandel tidak menggubrisnya,” ungkap Sumi (28), yang tergabung dalam TSBK Kolo. Ia melihat pemberian sanksi yang dikenakan untuk para pelaku belum dilaksanakan dengan baik.

Sumi adalah satu dari belasan perempuan muda di Kelurahan Kolo yang bangga disebut Perempuan Tangguh dalam Program Mem- bangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana. “Di sini, walaupun jumlah pria dan perempuan di TSBK Kolo hampir sama, tapi umumnya perempuan-perempuan lebih cepat merespons pada panggilan rapat dan diskusi. Tingkat kehadiran mereka lebih tinggi dan aktif dalam setiap pertemuan,” katanya. Menurutnya, para perempuan yang tergabung dalam TSBK Kolo umumnya adalah lulusan perguruan tinggi yang senang bisa sibuk dan aktif dalam kegiatan sosial kepada masyarakat.

Mereka menggunakan strategi pendekatan warga melalui kader-kader posyandu untuk menginformasikan bahaya dan penyakit yang bisa ditimbulkan oleh bencana. Seperti malaria, demam berdarah dan diare. “Kami juga tidak sungkan untuk duduk bersama warga saat santai di sore hari, seraya berbagi pengetahuan kepada mereka tentang ancaman abrasi dan dampak yang sekarang mulai mereka alami. Seperti air keruh saat terjadi gelombang pasang atau air sumur yang mulai terasa asin,” ujarnya.

Mereka juga berpartisipasi dalam pelatihan evakuasi darat dan laut bersama Federasi TSBK Karawi Sama yang beranggotakan TSBK dari 6 kelurahan, LP2DER dan tim SAR. Praktik sesungguhnya mereka gelar saat melakukan pengamanan dan pemantauan darat dan laut pada empat hari libur Idul Fitri di sejumlah pantai di Kota Bima, termasuk Pantai Kolo.

Kegiatan yang diinisiasi Federasi TSBK di Kota Bima ini, didukung oleh Pemerintahan Kelurahan Kolo, Polres Kota Bima dan tim SAR. Bahkan BPBD Kota Bima bersedia meminjamkan mereka peralatan operasional untuk menunjang kegiatan tersebut, seperti rubber boat, pelampung dan tenda keluarga.

“Peralatan yang ada di BPBD lebih baik rusak dipakai, daripada rusak karena tidak digunakan,” begitu pesan Kepala Pelaksana

• Foto: Eka Nickmatulhuda

22MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Di sini, walaupun jumlah pria dan perempuan di TSBK Kolo hampir sama, tapi umumnya perempuan-perempuan lebih cepat merespons pada panggilan rapat dan diskusi. Tingkat kehadiran

mereka lebih tinggi dan aktif dalam setiap pertemuan

• Foto: Dok. LP2DER

23KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

BPBD, Fakhrunraji. Setelah menginjak hari kedua pengamanan, masyarakat juga mulai ikut membantu mereka. Seorang anak yang hampir tenggelam, dan dua remaja belasan tahun yang terseret arus adalah beberapa orang yang mereka selamatkan selama empat hari kegiatan.

Ketangguhan perempuan tidak hanya bisa dijumpai di Kolo. Tiap-tiap kelurahan punya karakteristik dan tantangan yang berbeda. Namun perempuan-perempuan di Federasi TSBK Karawi Sama berada di depan, setara dengan rekan-rekan prianya dalam menangani bencana maupun menyiapkan masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana.

Mereka mendekati para ibu di Kelurahan Ntobo misalnya, yang banyak menggantungkan sebagian besar pendapatan dari menjual kain tenun. Keluwesan untuk mengobrol sekaligus mengedukasi dan mensosialisasikan program, menjadi salah satu strategi pendekatan. Waktu yang tepat adalah saat ketika mereka sedang menenun di bale-bale depan rumah maupun pinggir jalan.

Ibu-ibu itu juga diberi pengetahuan mengenai permasalahan sampah di sungai dan bendungan. Selain sosialisasi di rumah- rumah, TSBK juga melakukan kegiatan sosialisasi tentang pengurangan akses ke sungai, melakukan bakti sosial dan memasang papan larangan membuang sampah di aliran sungai. Sosialisasi merupakan cara mereka memperkuat kapasitas masyarakat sekaligus mengarahkan warga kearah kesiapsiagaan, dengan mengurangi risiko-risiko bencana.

Lokasi kantor TSBK Ntobo yang juga dekat dengan sekolah dasar, membuat para siswa familiar dengan keberadaan mereka. Perempuan-perempuan tangguh dari TSBK Ntobo juga sering memberikan arahan di kelas-kelas tentang berbagai bentuk bencana, mulai dari banjir, gempa, tsunami dan longsor.

Poster tentang bahaya banjir yang dipasang di sekolah bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pengingat bagi para siswa. Harapannya, anak-anak ini dapat menyebarkan pengetahuannya kepada keluarga di rumah dan orang-orang di lingkungan tempat tinggal mereka.

24MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Satu dari begitu banyak kegiatan dalam program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di Kota Bima adalah lomba menulis cerpen yang dengan antusias diikuti guru dan siswa sekolah yang dampingan LP2DER, Oxfam dan Federasi TSBK Karawi Sama. Ratusan tulisan buah pikiran anak-anak itu menggambarkan pengetahuan mereka terhadap bencana.

Rosdianti (14), siswi kelas 2 SMP 10 Kelurahan Jatiwangi, Kota Bima, menulis tentang pantai yang banyak mengalami perubahan akibat abrasi atau pengikisan oleh air, kekeringan di sungai yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, dan penggundulan hutan. Waktu itu Bima pernah kena gempa bumi. Semua masyarakat lari ke atas gunung untuk menyelamatkan diri karena takut terjadi tsunami.

• Foto: Eka Nickmatulhuda

25KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Kemudian bapak-bapak membangun tenda untuk berteduh sementara ibu-ibu menyiapkan makanan. Karena kejadian itu aktivitas masyarakat jadi terhambat. Ibu-ibu yang dulunya berjualan sekarang tidak lagi berjualan. Kejadian itu akibat dari faktor alam. Dampak kejadian tersebut, anak-anak tidak bisa bersekolah dan mengalami sakit-sakitan akibat dari influenza. Anak-anak melarikan diri bersama orangtuanya dan bahkan ada juga yang lari berpisah dengan orangtuanya.

Ia lalu menutup karangannya dengan menulis, “Harapan kami semoga kejadian itu tidak terjadi kembali karena dapat menyebabkan kerusakan atau korban jiwa. Dengan melestarikan alam dan menjaga lingkungan sekitar agar terhindar dari marabahaya”.

Ada lagi Hermansyah (17) yang bersekolah di SMKN 4 Kota Bima, Kelurahan Kolo. Dia menulis bahwa setiap lingkungan sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup manusia. Ketika lingkungan bersih, maka manusia yang tinggal di sekitar itu akan terhindar dari wabah penyakit dan jika kebalikan dari itu, maka wabah penyakit akan tumbuh subur di lingkungan itu.

Lingkungan yang terdiri dari laut, sungai dan hutan, sekarang dalam keadaan mengkhawatirkan, yang diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Lingkungan laut dihancurkan dengan melakukan bom ikan, diambilnya batu dan pasir, dipakai sebagai tempat pembuangan sampah dan bahkan kegiatan yang sangat digemari

di kalangan nelayan sekarang yaitu nate atau meracuni ikan.

Sebenarnya nate itu adalah kegiatan yang paling berbahaya, dibandingkan dengan bom ikan, karena kita membunuh semua yang hidup di laut. Mau itu ikan, batu karang, plankton dan sebagainya. Semua organisme itu akan musnah.

Tidak lupa Hermansyah menyoroti keadaan hutan dan sungai di daerahnya. Penebangan hutan dan penambangan pasir di sungai dan laut, menurutnya disebabkan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab dan sama sekali tidak punya kesadaran bahwa mereka sebenarnya hanya menumpang hidup pada lingkungannya. Dia mengingatkan dampak jangka panjang yang bisa menimpa generasi anak cucunya mendatang.

Selain kekritisan yang mencengangkan dari para siswa tersebut, banyak juga yang menuangkan

• Foto: Eka Nickmatulhuda

26MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

kisah nyata yang mereka alami saat bencana dalam karya-karya tulisnya. Ada yang meng- ingat genteng sekolah yang melayang dan jatuh pada saat sekolahnya diterpa angin kencang dan badai, TV rumah yang meledak saat gempa, seorang anak yang mengingatkan ibunya yang sedang mencuci di sungai saat sungai meluap di kala hujan, maupun ketika salah satu siswa itu membantu neneknya yang tertinggal di rumah saat terjadi gempa.

Sosialisasi ke sekolah-sekolah yang rutin diharapkan dapat menyumbang banyak pada pola pikir para siswa dan cara mereka menyiapkan diri menghadapi bencana. “Sebenarnya pengetahuan tentang bencana, sudah diberikan guru di pelajaran sekolah,” kata Rosdiana, Kepala Sekolah SDN 15 di Kelurahan Ntobo, Kota Bima. “Namun adik-adik TSBK ini yang membuatnya semakin mantap,” pujinya pada anggota TSBK yang tanpa lelah

• Foto: Eka Nickmatulhuda

27KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

akan mati. Kalau mati satu binatang, berapa orang yang tidak makan daging, begitu kira-kira logika sederhana matematikanya,” jelasnya lagi.

Sementara pembahasan reboisasi dilakukan saat mata pelajaran IPA, kegiatan kebersihan di dalam mata pelajaran Penjaskes, dan ketangguhan menghadapi bencana berikut upaya pencegahannya dikaitan dengan menjadi seorang warga negara yang baik dalam PKN. Melaui kurikulum yang baik, ditambah dorongan dalam elemen pendidikan dan masyarakat, anak-anak dan generasi muda ini diharapkan bisa menjadi pribadi yang tangguh dalam penanganan bencana.

Mungkin karena dilakukan sambil bermain dalam kerjakelompok, jadi pengetahuan

ini lebih mengena

menambah wawasan guru dan siswa sekolah tentang pengetahuan menganalisis bencana.

“Mungkin karena dilakukan sambil bermain dalam kerja kelompok, jadi pengetahuan ini lebih mengena,” ungkap Mery Suryanti, fasilitator dari LP2DER untuk Kelurahan Ntobo. Saat ini pengetahuan tentang bencana ini bahkan sudah masuk ke dalam kurikulum untuk siswa kelas 1 hingga kelas 4.

Pembahasan mengenai bencana antara lain telah diaplikasikan ke mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), juga Pendidikan Kewarga Negaraan (PKN). “Termasuk matematika!” tambah Ibu Rosdiana. “Kalau satu pohon ditebang, berapa binatang yang

• Foto: Eka Nickmatulhuda

28MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Bencana adalah sesuatu yang kompleks. Bencana dengan skala kecil semakin sering terjadi namun dampaknya besar terhadap infrastruktur dan penghidupan masyarakat setempat. Meskipun perkembangan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana Pemerintah Indonesia berjalan dengan baik, tetapi masih perlu adanya manajemen risiko berbasis masyarakat dan desentralisasi kapasitas PRB pada pemerintah di tingkat kabupaten ataupun kota. Kesadaran akan hal itulah yang mendasari lahirnya Forum Pengurangan Risiko Bencana Kota Bima yang diberi nama Mbojo Matenggo atau Bima yang Tangguh, pada 6 November 2012 lalu.

Dengan pelaksanaan program, banyak orang dari berbagai pihak merasa perlu untuk membuat wadah dalam rangka menyelaraskan langkah secara bersama-sama untuk kegiatan PRB. “Forum ini diperlukan karena kita harus punya alur komando yang baik dan terarah. Bila tidak, semua fasilitas yang sudah diberi, akan jadi sia-sia,” kata Imawan Muslimin, Kepala Sub Bidang Pencegahan BPBD Kota Bima.

• Foto: Dok. LP2DER

29KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Forum PRB Mbojo Matenggo kini sudah melibatkan multi sektor yang berpartisipasi aktif. dengan semangat dan idealisme yang sama. “Itulah yang menyatukan kita semua, karena forum ini tidak boleh berakhir, untuk kepentingan seluruh masyarakat. Harapan kami, semangat yang menyatukan kita dalam forum akan selalu ada,” harap Imawan pada forum yang disebutnya harus bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Adi Aqwan dari BAPPEDA, adalah teman baik dari Imawan, yang berhasil diajak untuk bergabung dengan Forum PRB. “Imawan dan saya memang dekat. Namun lepas dari pertemanan kami, saya anggap forum ini sangat bagus dan bermanfaat. Kita justru harus menyebarkan virus-virus yang digagas forum ini ke semakin banyak orang,” kata Adi.

Sejak bergabung dalam Forum PRB, dia bisa mengkomunikasikan dengan baik misi pengurangan risiko bencana di lembaganya sendiri dan memudahkan upaya meng- integrasikan PRB ke dalam perencanaan dan pembangunan daerah. Menurutnya, dengan melibatkan lebih banyak orang, mereka akan memupuk potensi-potensi gerakan untuk menghadapi dan mengantisipasi bencana, baik sebelum, saat bencana maupun sesudahnya.

“Misalnya pencegahan banjir dengan melakukan reboisasi berkoordinasi dengan Dinas Ke-hutanan dan masyarakat, lalu menyiapkan relawan-relawan yang sudah tahu harus

bagaimana saat bencana terjadi, dan yang tidak kalah penting, upaya rehabilitasi pasca bencana.

Dan demi terarahnya pembangunan di bidang Penanggulangan Bencana di Kota Bima, dalam rangka pengurangan risiko bencana untuk meningkatkan kapasitas, menurunkan kerentanan, mengembangkan upaya kesiap- siagaan, mitigasi dan sistem peringatan dini pada saat pra bencana, maka diperlukan dokumen Analisis Risiko Bencana (ARB). Dokumen ARB disusun oleh tim dalam Forum PRB Kota Bima yang terdiri dari perwakilan BAPPEDA, BPBD, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Humas dan PMI. Pembentukan tim berdasarkan SK Kepala Pelaksana BPBD No.14 Tahun 2013.

“Penyusunan dokumen mengacu pada sejarah ancaman di wilayah kota Bima yang didasar-kan pada data dari Dinas Sosial dan BPBD dan hasil kajian bersama masyarakat yang difasilitasi oleh LP2DER,” jelas Koordinator Program LP2DER, Yamin.

Di Indonesia, kemungkinan peraturan berganti mengikuti pergantian kepala pemerintahan sangat besar. Karena itu, program dan sinergi yang baik dengan pemerintah yang berkomitmen saat ini perlu diikat dengan Peraturan Daerah (Perda) yang memayunginya. Namun rancangan Perda bukan perkara mudah, bahkan sejak perumusannya. Berangkat dari dokumen ARB dan dengan merangkul Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) di Kota Bima,

30MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Forum PRB mencegah terjadinya penjiplakan isi Perda yang umum terjadi tanpa benar- benar memperhitungkan situasi dan kondisi riil di tempat Perda itu akan diimplementasikan. “Kami dari tim akademik adalah perumus naskah Perda tersebut, tentu dengan banyak mendapat masukan dari berbagai elemen masyarakat yang dalam hal ini, tergabung dalam Forum PRB,” papar Ahmad Yasin, Dosen STIH.

“Sehingga menurut kami, ketika Perda ini nanti diterapkan, rasanya tidak akan terjadi resistensi, karena Perda ini memang dibutuhkan, dan mencakup banyak hal termasuk tindakan preventif bencana,” terang Ahmad. Rumusan hukum itu merupakan implementasi UU Penanggulan Bencana (PB) No. 24 Tahun 2007, dan saat ini tengah menjadi prioritas dalam pembahasan di DPRD.

Dalam naskah akademik draf Perda PB yang tengah dibahas itu tertulis, penanganan

bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi Pemerintah Kota Bima dalam rangka perlindungan rakyat. Karena itu rakyat mengharapkan Pemerintah Kota Bima untuk melaksanakan penanganan bencana sepenuhnya. Dalam pendekatan, penanganan bencana adalah suatu pekerjaan terpadu yang melibatkan masyarakat secara aktif.

Pendekatan yang terpadu semacam ini menuntut koordinasi yang lebih baik di antara semua pihak, baik dari sektor pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi serta pemerintah daerah kabupaten/kota dengan melibatkan pula lembaga-lembaga masyarakat, badan internasional dan sebagainya.

Mengintip isi rancangan Perda, misal di BAB III tentang Tanggung Jawab dan Wewenang, dinyatakan dengan jelas bahwa Pemerintah Daerah menjadi penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

• Foto: Eka Nickmatulhuda

31KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Sementara di Bab VI, dirincikan mengenai peran lembaga usaha, satuan pendidikan, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, media massa, lembaga internasional dan lembaga asing non- pemerintah dalam penanggulangan bencana.

Isi rancangan Perda itu pada dasarnya menekankan, bahwa upaya membangun dan memperkuat ketangguhan terhadap bencana memerlukan sinergi yang baik dari banyak pihak guna mencapai keberhasilannya.

Forum ini diperlukan karenakita harus punya alur komando yangbaik dan terarah. Bila tidak, semua

fasilitas yang sudah diberi, akan jadi sia-sia

• Foto: Dok. LP2DER

32MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

33KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

LOMBOKUTARA

BAB 2

• Foto: Nasrullah AU

34MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Kawasan wisata alam laut Gili Air, Trawangan dan Meno yang indah sudah kondang hingga ke mancanegara. Begitu juga dengan pesona Gunung Rinjani yang menjadi tujuan para pendaki dari seluruh dunia. Kawasan wisata ini terletak di wilayah administratif Kabupaten Lombok Utara, yang memiliki pegunungan dan pantai. Pemerintahan kabupaten ini tergolong baru. Kabupaten yang didiami Lebih dari 224 ribu jiwa ini berdiri sejak 2008. Penduduk ber-tempat tinggal di lima kecamatan, 33 desa dan 334 dusun yang tersebar di wilayah dengan luas lebih dari 800 ribu kilometer persegi.

Selain memiliki panorama alam yang indah, wilayah Kabupaten Lombok Utara menyimpan potensi terjadinya bencana alam. Beberapa bencana telah terjadi selama beberapa tahun belakangan ini, seperti: Banjir bandang pada 2009 menelan korban di Desa Bentek, longsor di jalur Pusuk pada awal 2012 menutup total jalur transportasi dari ibukota Mataram ke ibukota kabupaten, Tanjung, dan gempa bumi pertengahan 2013 mengakibatkan kehancuran lebih dari 5000 rumah dan tempat ibadah. Rangkaian peristiwa bencana alam di Kabupaten Lombok Utara itu tak hanya berakibat kerugian

• Foto: Nasrullah AU

35KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

material tetapi juga memberi dampak kerugian nonmaterial bagi masyarakatnya.

Tantangan besar buat pemerintahan Lombok Utara adalah menghadapi rangkaian bencana alam. Berdasarkan data Index Rawan Bencana Indonesia (IRBI) 2011 yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kabupaten Lombok Utara berada dalam peringkat 442 dari 494 kabupaten/kota di Indonesia yang rawan terhadap bencana. Meski tak berada dalam deret akhir, namun indeks ini menunjukkan pentingnya ke-waspadaan di wilayah Kabupaten Lombok Utara.

Beragam kejadian bencana seperti banjir bandang, gempa bumi dan tanah longsor yang terjadi sejak lima tahun terakhir, menjadi alasan bagi Oxfam dan mitranya untuk melaku-kan serangkaian program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) sejak tiga tahun terakhir ini jika dihitung dengan program PRB sebelumnya.

Kabupaten Lombok Utara pun menjadi salah satu daerah dampingan Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana dan Perubahan Iklim di Kawasan Indonesia Timur yang digagas oleh Oxfam dengan dukungan Pemerintah Australia dan Uni Eropa melalui Program Kesiapsiagaan (DIPECHO). Di tingkat pelaksanaan pada masing-masing wilayah, seperti Kabupaten Lombok Utara, Oxfam kemudian menggandeng KOSLATA, salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, sebagai mitra pelaksana teknis.

Program bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat dan lembaga pemerintah serta non-pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana. Lebih jauh lagi, program ini juga menguatkan kepemimpinan perempuan dalam pengurangan risiko bencana untuk mem- pengaruhi kebijakan dan pendekatan di tingkat pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten hingga nasional.

Dengan dukungan Pemerintah Australia, setidaknya ada 10 desa di Kabupaten Lombok Utara yang telah melaksanakan berbagai jenis kegiatan terkait upaya PRB seperti pembentukan Tim Siaga Bencana Desa (TSBD), modul pembiasaan PRB di sekolah, pembentukan Forum PRB di tingkat desa hingga advokasi yang menghasilkan peraturan desa terkait dengan Penanggulangan Bencana atau PRB sejak 2010 hingga 2012. Program kemudian dilanjutkan dari dukungan Pemerintah Australia dan Uni Eropa di lima desa rentan lainnya, yaitu Desa Gumantar, Pemenang Timur, Rempek dan Tegal Maja untuk masa pelaksanaan 2012 hingga 2013. Program ini juga mendorong terbentuknya Forum PRB di tingkat kabupaten yang beranggotakan mulai dari anggota TSBD hingga Satuan Kerja Pelaksana Dinas (SKPD). Terbitnya Peraturan Daerah PRB merupakan bentuk keseriusan pemerintah kabupaten dan penggiat PRB dalam upaya membangun ketangguhan kabupaten terhadap bencana.

36MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang terbentuk pada 2011 diharap-kan menjadi poros atas upaya yang dilakukan masyarakat, organisasi non-pemerintah mau-pun sektor swasta dalam upaya mengurangi risiko bencana.

Membangun dan memperkuat ketangguhan masyarakat bukan perkara gampang. Butuh kesabaran dan kesamaan tujuan oleh setiap pelakunya. Tidak bisa dipungkiri, Kabupaten Lombok Utara masih akan menghadapi ancaman terhadap bencana dan dampak perubahan cuaca ekstrem hingga perubahan iklim di masa depan. Namun, dengan sinergi yang baik antara pemerintah, masyarakat dan lembaga non-pemerintah, upaya terpadu tersebut diharapkan akan dapat mengurangi risiko yang muncul dari dampak bencana. Upaya ini semoga menjadi inspirasi bagi wilayah rawan bencana lainnya.

Membangun dan memperkuat ketangguhanmasyarakat bukan perkara gampang.

Butuh kesabaran dan kesamaan tujuanoleh setiap pelakunya

• Foto: Nasrullah AU

37KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

38MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Bukanlah perkara mudah mengenalkan isu pengurangan risiko bencana kepada masyarakat yang belum pernah terkena dampak bencana alam. Begitulah pendapat Lalu Surya Karyanto, biasa dipanggil Antok, salah satu staf KOSLATA. Dari pengalaman-nya melakukan sosialisasi ke sepuluh desa dampingan di Kabupaten Lombok Utara, masyarakat pada awalnya selalu menganggap sepele kegiatan itu.

“Dibutuhkan setidaknya lima hingga enam bulan untuk membuat masyarakat tertarik dan melakukan serangkaian kegiatan terkait upaya pengurangan risiko bencana,” kata Antok.

KOSLATA merupakan salah satu lembaga non-pemerintah yang cukup di kenal oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat, khususnya di Kabupaten Lombok Utara. Lembaga yang didirikan pada 1992 ini, awalnya aktif mendampingi masyarakat Lombok dalam hal

akses masyarakat terhadap pemanfaatan hutan melalui perijinan atau biasa disebut dengan hutan kemasyarakatan.

Sejak 2010, lembaga ini mulai menangani upaya pengurangan risiko bencana. KOSLATA bekerjasama dengan Oxfam melalui Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia Timur.

Tidak jarang, masyarakat menolak terlibat kegiatan PRB dengan alasan mitos akan mengundang bencana datang. Ketika banyak terjadi bencana skala kecil seperti longsor di jalan desa, barulah masyarakat menyadari kebutuhan upaya mengurangi risiko bencana. “Ini berkaitan dengan filosofi masyarakat Lombok yaitu “pelisaq bawon batu, mun ke ndeq gitaq nde ku sadu” yang bermakna kami butuh melihat langsung sebelum percaya,” kata Antok.

39KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Bekerja di Masyarakat

Antok bekerja sebagai fasilitator masyarakat yang bertugas sebagai pendamping teknis, memberi masukan dan berdiskusi dengan masyarakat dalam berbagai kegiatan pengurangan risiko bencana. Para fasilitator merupakan warga masyarakat desa yang direkrut oleh KOSLATA dalam program kerjasama 18 bulan ini. Setiap desa memang memiliki satu orang fasilitator pendamping.

Strategi merekrut fasilitator dari komunitasnya bertujuan untuk menjaga kesinambungan kegiatan. “Pendampingan tidak hanya sebatas kerangka program saat adanya dukungan dana dari donor. Perlu dipersiapkan bagaimana keberlanjutan kegiatan setelah dukungan donor berakhir,” kata Sulistyono, Manajer Program KOSLATA.

Para fasilitator ini bergerilya menjangkau pelosok-pelosok setiap desa berbaur dengan kehidupan masyarakatnya. Biasanya mereka berbaur dengan warga di berugaq (rumah adat Sasak berbentuk segi empat, tanpa dinding, peyangganya dari kayu, dan atapnya dari bambu dan alang-alang) atau balai-balai depan rumah warga sore hari. Terkadang para fasilitator ikut menghadiri acara ibadah.

Setelah proses sosialisasi berjalan baik, masyarakat pun terdorong membentuk Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Tim Siaga ini bekerja menumbuhkan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya pengetahuan dan keterampilan terhadap upaya pengurangan risiko bencana. TSBD juga menjadi wadah

untuk mengorganisir inisiatif dan kerja-kerja bersama dalam PRB.

Mengadvokasi Pemerintah

KOSLATA pun melakukan pendekatan kepada pemangku kepentingan di pemerintahan. Sebagai kabupaten baru, Sulistyono dan kawan-kawannya menyadari tantangan yang dihadapi dalam melakukan tugas advokasi ini.

Oleh karena itu, KOSLATA melakukan advokasi kepada BAPPEDA Kabupaten Lombok Utara. Mengingat badan ini adalah badan yang bertugas untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah, memprioritaskan pada rencana membangun infrastruktur untuk 220 ribu masyarakatnya. Sehingga besar harapannya dalam keputusan-keputusan kebijakan untuk masyarakat akan berperspektif PRB dan memperhitungkan kebutuhan ber-dasarkan keadilan gender, dalam masa normal, pada saat dan sesudah terjadi bencana.

• Foto: Nasrullah AU

40MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA • Foto: Rodrigo Ordonez

41KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

KOSLATA juga melakukan upaya membantu kelancaran kegiatan program pengurangan risiko bencana di tingkat masyarakat. Bekerjasama dengan beberapa pihak melahir-kan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lombok Utara pada 2011 yang diikuti dengan disahkannya Perda Pengurangan Risiko Bencana pada Juli 2013.

Keberlanjutan Program

Untuk mendorong percepatan dan upaya terpadu di Kabupaten Lombok Utara, dibentuklah Forum Pengurangan Risiko Bencana yang terdiri dari berbagai unsur mulai dari perwakilan masyarakat hingga aparat pemerintah. Pemerintah kabupaten memberi- kan dukungan dengan mengalokasikan dana khusus untuk Forum Pengurangan Risiko Bencana sekitar Rp 50 juta.

Lewat program ini, masyarakat berhak men- dapatkan dana operasional untuk anggotanya seperti biaya perjalanan antar desa. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Desa yang ada di tiap-tiap desa.

Di tahun 2014, BPBD pun berkomitmen untuk membentuk TSBD di desa lain yang belum tersentuh oleh program ini. Tentunya dengan pendampingan dari tim siaga yang sudah terbentuk.

Menurut Sulis keberlanjutan program akan terjadi bila ada kesadaran kritis dari masyarakat. “KOSLATA berkomitmen menjadi mitra diskusi bagi setiap kelompok desa dalam upaya-upaya pengurangan risiko bencana,” kata Sulis.

Dibutuhkan setidaknya limahingga enam bulan membuat

masyarakat tertarik danmelakukan serangkaian kegiatan

terkait upaya pengurangan risiko bencana

Perempuan Lombok adalah perempuan pekerja keras yang menghidupi keluarga sekaligus melakukan tugas rumah. Para suami yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani kini tidak lagi memiliki lahan untuk digarap. Mereka pun lebih banyak berada di luar negeri untuk mengadu peruntungan dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia seperti di Malaysia.

Kondisi ini mengubah tradisi masyarakat yang sudah berlaku turun temurun. Berdasarkan tradisi lama, perempuan Lombok berada di rumah mengurus tugas domestik. Karena jumlah pria semakin sedikit berada di desa, kini mereka mengambil alih peranan. Para perempuan menjadi aktif dalam kehidupan masyarakat. “Perempuan berperan meng-gantikan suami atau mewakili keluarga dalam berbagai pertemuan di desa,” kata Wina

• Foto: Rodrigo Ordonez

43KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Widiasari, salah satu warga perempuan Desa Tegal Maja, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.

Pertemuan yang dihadiri para perempuan termasuk dalam acara pengambilan keputusan adat maupun keagamaan di vihara atau banjar. Pada awalnya dalam pertemuan itu, para perempuan hanya datang duduk mendengar-kan, lama kelamaan mereka berani bersuara.

Begitu pun dalam upaya pengurangan risiko bencana. Sebanyak 40 persen dari 30 orang anggota Tim Siaga Bencana Desa di Desa Tegal Maja merupakan perempuan. Desa Tegal Maja menjadi langganan bencana seperti banjir dan longsor sejak periode 1960an. Terakhir, gempa bumi pada Juni 2013 telah meruntuhkan ratusan rumah dan tempat ibadah. “Saya bergabung setelah gempa bumi terjadi dan sekarang sudah ikut lima kali sosialisasi di desa,” kata Wina.

Wina bekerja sebagai pengajar paruh waktu di sekolah tingkat menengah di kecamatan. Di sela-sela waktu mengajar, dia memberikan pengetahuan mengenai pengurangan risiko bencana. Dia tertarik karena kegiatan itu dapat membantu desanya berkembang lebih baik.

Wina kini belum berkeluarga, namun dia yakin setelah menikah pun dapat melanjutkan kegiatan di masyarakat. “Selalu ada naluri untuk bekerja di masyarakat. Entah nanti ketika saya berkeluarga, saya tinggal di desa saya sendiri atau mungkin di desa suami saya,” katanya.

Lain lagi, kisah Bu Rustini yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Kesehariannya penuh kesibukan dengan kegiatan mengurus anak, suami, mengajar di madrasah dan berladang. Namun, dia masih aktif sebagai salah satu penggerak dalam kegiatan pengurangan risiko bencana di Desa Rempek. “Setiap hari saya bangun pagi sekali dan segera memasak sehingga selalu ada waktu untuk kegiatan di desa,” katanya dengan riang.

Bu Tini dan sekitar 15 orang perempuan lainnya aktif berkegiatan dalam Tim Siaga Bencana di Desa Rempek. Saat ini mereka sedang berusaha mendirikan usaha fotokopi dan penyediaan alat tulis di desanya. Keuntungan dari kegiatan usaha akan dipergunakan untuk biaya operasional tim. “Sebagian lagi untuk simpan pinjam anggota,” kata Bu Tini.

Fitri adalah fasilitator masyarakat yang ditugaskan oleh KOSLATA untuk mendampingi Desa Gumantar. Perempuan dengan satu anak ini sudah dua tahun mendampingi TSBD dan masyarakat melakukan berbagai upaya pengurangan risiko bencana.

Dia bangga bisa melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain, disela-sela tanggung jawabnya mengurus rumah dan keluarganya. “Beberapa kali suami dan anak saya ajak kegiatan di desa. Supaya mereka tahu kegiatan saya,” katanya.

Dalam menjalankan aktivitas sebagai fasilitator, Fitri menggunakan sepeda motor.

44MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Dia membutuhkan waktu perjalanan sekitar 40 menit untuk mencapai Desa Gumantar dari rumahnya. Terkadang dia menempuh perjalanan panjang untuk menjangkau dusun terjauh dengan kondisi jalan menanjak. Saat musim hujan jalanan yang menanjak berubah menjadi kubangan kerbau.

Meski melelahkan, Fitri dan para perempuan penggerak pengurangan risiko bencana lainnya tetap semangat menjalankan aktivitasnya.

Setiap hari saya bangun pagi sekalidan segera memasak sehingga selalu ada

waktu untuk kegiatan di desa

45KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH • Foto: Rodrigo Ordonez

46MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

SDN 4 Tegal Maja di Kabupaten Lombok Utara mengalami kerusakan cukup parah saat terjadi gempa bumi berkekuatan 5,4 Skala Richter pada 22 Juni 2013 siang. Pagar sekolah rubuh, sebagian atap jebol dan dinding sekolah retak. Untung saja, saat itu tak ada kegiatan belajar dan mengajar sehingga tak ada siswa dan pihak sekolah yang menjadi korban.

Sekolah ini terletak di kawasan perbukitan Medain Tuban, Dusun Medain, Desa Tegal Maja, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara. Lokasinya terpencil dengan jarak tempuh sekitar 2,5 kilometer dari pusat pemerintah desa. Untuk menuju sekolah harus melalui kondisi jalan menanjak yang terjal dengan batuan dan pasir. Jalan menjadi sangat berbahaya bila

• Foto: Nasrullah AU

47KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

musim hujan. Sehingga, dengan kondisi seperti ini, sekolah memiliki kerentanan terhadap risiko bencana longsor dan gempa bumi.

KOSLATA dan Oxfam melaksanakan Program Pengurangan Risiko Bencana di sekolah ini sejak 2010. Program ini bertujuan agar sekolah mampu mengelola risiko yang ada di lingkungannya. Di sekolah ini, para guru, kepala sekolah dan anggota Tim Siaga Bencana Desa Tegal Maja dan fasilitator masyarakat secara terpadu melakukan serangkaian kegiatan agar memiliki kemampuan mengelola risiko yang dihadapi. Di antaranya memberi pelatihan kepada guru dan kepala sekolah, melakukan pertemuan kajian analisis

risiko sekolah yang dihadiri oleh komite sekolah, guru, kepala sekolah, dan anggota TSBD.

Berkat adanya program ini, Kepala Sekolah, Budi Hartono merasakan manfaatnya saat terjadi gempa bumi. Berkat pelatihan yang diikutinya, dia dapat menghadapi gempa bumi dengan baik. Dia berlindung terlebih dahulu saat gempa, setelahnya dia berlari keluar rumah. “Sekarang, saya jadi lebih waspada bila terjadi gempa,” katanya.

Para siswa pun menjadi bagian dari dampingan program. Sindi, murid SDN 4 Tegal Maja senang mengikuti simulasi gempa bumi di sekolah. “Ketika bel tanda gempa dibunyikan, kami

• Foto: Nasrullah AU

48MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Sekarang, saya jadi lebihwaspada bila terjadi gempa

• Foto: Dok. KOSLATA

49KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

lalu bersembunyi di bawah meja,” ujar Sindi. Sebuah area titik aman disepakati bila terjadi gempa bumi. Dalam simulasi, Sindi berlari ke area aman. “Kami lari menuju area lapang di sekolah,” katanya.

Materi pun disampaikan dengan cara yang menyenangkan, kata Sindi. Para anggota TSBD, mengajarkan anak-anak lewat lagu yang berisi materi menghadapi gempa bumi. Dengan mudahnya, mereka menuliskan lirik lagu tersebut di papan tulis, lalu bernyanyi bersama dan mempraktikkan apa yang ada di dalam lirik lagu. Para guru juga mengajarkan materi pengurangan risiko bencana dalam kegiatan belajar mengajar. Menurut Budi, poster dari pelajaran IPA seperti gunung meletus atau gempa bumi menarik siswa untuk lebih memperhatikan pelajaran. Lebih jauh lagi, Budi menyampaikan bahwa di sekolah mereka, sebuah dokumen SOP atau Standard Operating Procedures telah dibuat, berisi apa yang harus dilakukan, siapa yang melaku-kannya ketika terjadi bencana di sekolah dan sekitarnya.

Program pengurangan risiko bencana pun membantu pembangunan fisik sekolah agar siap menghadapi bencana. Sebuah talud dibangun sepanjang sekitar 10 meter yang berada di sisi belakang bangunan sekolah, tepat di bagian lereng. Selain itu dilakukan renovasi tembok dan pagar sekolah yang rubuh akibat gempa. Pekerjaan dilakukan

secara gotong royong antara kepala sekolah, guru-guru serta wali murid.

Tobing, ketua Tim Siaga Bencana Desa Tegal Maja menyampaikan kegiatan pengurangan risiko bencana juga dilakukan dalam bentuk pemasangan tanda peringatan untuk bahaya longsor, petunjuk arah evakuasi dan lokasi titik aman. Tujuannya agar masyarakat, murid atau pihak sekolah dapat mengetahui di mana tempat aman dan arah evakuasi. “Tanda-tanda tersebut dibuat dengan warna yang mencolok agar mudah dikenali,” kata Tobing.

Berbagai kegiatan pengurangan risiko bencana berbasis sekolah merupakan bagian dari upaya membangun kesadaran dini. Tidak hanya berguna buat anak-anak dan pihak lain yang menjalaninya saat ini, tapi juga berbagai pihak setelahnya. Anak-anak akan menjadi dewasa dan diharapkan melanjutkan pemahaman ke keluarganya. Tenaga pengajar yang telah mendapatkan pelatihan pun dapat menularkan ilmunya kepada siswa lainnya. Pengetahuan pengurangan risiko bencana merupakan bagian dari hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan secara fisik dan non fisik.

50MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Sabtu siang, 22 Juni 2013. Gempa bumi berkekuatan 5,4 Skala Richter meluluh- lantakkan ribuan rumah dan bangunan di beberapa daerah di Kabupaten Lombok Utara. Puluhan orang mengalami luka. Getaran berlangsung kurang lebih 10 detik mengejut-kan dan membuat panik. Orang-orang berlari berhamburan dari rumah dan bangunan untuk menyelamatkan diri.

Wina Widiasari, warga Desa Tegal Maja, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, sedang berada di dalam rumah saat terjadi gempa. Setelah memastikan goncangan berhenti, Wina berlari keluar rumah.

Dia segera menghubungi anggota lain dari TSBD. Tidak butuh waktu lama para anggota berkumpul dan bergegas menyebar ke dusun-dusun di desa untuk melakukan pendataan serta menenangkan warga desa.

Wina adalah salah satu anggota dari salah satu anggota TSBD di desanya. Saat terjadi gempa bumi itu, sekitar 870 rumah warga dan rumah ibadah di Desa Tegal Maja mengalami kerusakan.

Pada malam harinya, anggota Tim Siaga mendirikan posko sebagai pusat informasi dan pendataan atas dampak gempa bumi. Para

• Foto: Nasrullah AU

51KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

sukarelawan mengumpulkan data rumah yang rusak dan membuat daftar beragam kebutuhan mendesak untuk warga yang tertimpa bencana. Data tersebut menjadi acuan bagi Forum PRB Desa, perangkat desa dan BPBD untuk memutuskan jumlah dan jenis bantuan yang akan diberikan.

TSBD merupakan salah satu kegiatan dari program ini. Saat ini ada 10 tim siaga bencana desa di Kabupaten Lombok Utara. Tim yang terbentuk sejak 2010 ini terdiri dari sekitar 20 orang tiap kelompok dengan rentang usia para anggota 20-40 tahun.

Beberapa kegiatan untuk mengurangi risiko bencana yang dilakukan adalah pelatihan- pelatihan tentang PRB (konsep PRB, mengenali kerentanan, ancaman dan kapasitas, pemetaan risiko dan sebaran ancaman), sosialisasi kesiapsiagaan dan simulasi tanggap darurat. Sebelum melakukan serangkaian kegiatan untuk masyarakat, anggota tim terlebih dahulu mendapatkan pelatihan dari program yang dilaksanakan oleh KOSLATA.

Mengenali Ancaman

Tidak hanya melakukan berbagai kegiatan pengurangan risiko bencana, TSBD pun banyak mendorong proses advokasi kebijakan di desanya di antaranya dalam bentuk Peraturan Desa tentang Pengurangan Risiko Bencana. Peraturan ini memuat berbagai upaya terpadu mulai dari sebelum, saat dan pasca menghadapi bencana. Hal spesifik pun dibahas seperti anggaran, peran pemerindah desa, TSBD dan peran warga masyarakat.

Menurut Kasita, Kepala Dusun Tuban, Desa Tegal Maja, setiap keputusan kegiatan pengurangan risiko bencana selalu dibicarakan bersama di pertemuan dusun yang difasilitasi oleh anggota Tim Siaga. Salah satunya dalam pertemuan tentang peta risiko dan penentuan titik-titik banjir atau longsor. “Warga pun aktif memberikan masukan tentang lokasi rawan banjir dan longsor,” katanya.

Tim Siaga Bencana Desa pun hadir di Desa Rempek, sebuah desa yang rawan bencana banjir dan longsor. Pada 2008 dan 2010, banjir bandang terjadi di dua dusun yang menghancurkan jembatan penghubung antar dusun. Longsor terjadi pada 1994 di Sungai Buja, Dusun Sejuik yang menimbun 7 orang

• Foto: Nasrullah AU

52MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Warga pun aktif memberikan masukan tentang lokasi rawan

banjir dan longsor

53KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

perempuan yang sedang beraktivitas mandi, cuci, kakus di sungai.

Menurut Syariful Khaer, warga Dusun Pancor Getah, Desa Rempek, kehadiran tim mengubah cara pandang terhadap bencana alam. “Saya kini paham tentang bahaya banjir bandang di desa,” katanya. Syariful turut membantu TSBD Rempek dengan memasang rambu-rambu evakuasi dan papan berisi pesan pengurangan risiko bencana di beberapa titik rawan banjir dan longsor agar masyarakat di desanya dapat mengenali daerah-daerah yang berbahaya untuk menghindari risiko terdampak banjir atau tertimpa longsor.

Tanda dibuat dari bahan besi dengan warna yang mencolok agar mudah dilihat. Selain itu, di Desa Rempek ini, sosialisasi dilakukan dengan memutar film dokumenter tentang pengurangan risiko bencana. Simulasi tanggap darurat pun sudah dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat.

Memasuki bulan November, bermunculan kumbang putih atau biasa disebut kendewa oleh masyarakat Desa Rempek. Hewan ini menjadi petanda masuknya musim hujan. Bagi anggota tim, musim hujan adalah penanda bagi mereka untuk mulai meningkatkan kesiapsiagaan terhadap banjir yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Pepatah lama “lebih baik mencegah daripada mengobati” menjadi pegangan anggota Tim Siaga Bencana Desa dalam mendorong masyarakat untuk siap siaga menghadapi bencana.

• Foto: Nasrullah AU

54MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Setahun setelah berdirinya Kabupaten Lombok Utara, terjadi bencana banjir bandang di Desa Bentek. Heryanto, Ketua Forum PRB Kabupaten Lombok Utara, masih ingat kesulitan yang dihadapinya pada saat kejadian tersebut. Selama seminggu, bersama Dinas Pertanian dan Perikanan mereka mendirikan posko untuk tanggap darurat untuk banjir bandang.

Kelompok petani mengumpulkan sumbangan untuk membeli mesin pompa air karena saluran irigasi tak bisa berfungsi, tertutup oleh material yang terbawa banjir bandang. “Kami menghindari gagal panen,” kata Heryanto.

Setahun sejak kejadian banjir bandang tersebut, KOSLATA dan Oxfam melaksanakan Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di Kabupaten Lombok Utara. Melalui program tersebut, mitra melakukan berbagai kegiatan penyadaran pengurangan risiko bencana di 4 desa di Lombok Utara dan pemerintah kabupaten untuk meningkatkan kapasitas masyarakat desa-desa dampingan dan lembaga pemerintah daerah setempat.

• Foto: Nasrullah AU

55KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Menurut Heryanto, lewat program ini dia memahami tentang penanggulangan bencana sesuai dengan potensi bencana yang ada di daerahnya. “Termasuk instrumen hukum yang diperlukan untuk merumuskan kebijakan terkait isu penanggulangan bencana,” ujar Heryanto yang saat banjir banding menjabat sebagai Kepala BPBD Kabupaten Lombok Utara. Dia juga mendapat pemahaman pentingnya memasukkan usulah masyarakat untuk memperkuat kemampuan mereka untuk mengurangi risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan desa dan kabupaten.

Sinergi dengan SKPD Terkait

Tahun 2011 pindah tugas sebagai Kepala BPBD dari Bapedda sebagai sekretaris. Meski demikian, ia tetap melanjutkan misi

pengurangan risiko bencana dalam program kerjanya. Jabatan Heryanto saat ini sebagai Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana dan Pemerintahan Desa (BPM, PPKB dan PemDes) Kabupaten Lombok Utara, membuatnya tetap berupaya mengingatkan isu pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan programnya.

Menurut Heryanto pengurangan risiko bencana bukan hanya tanggung jawab BPDB namun juga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dia mencontohkan di lembaga barunya, dia menganggarkan pengadaan alat komunikasi jarak jauh Handy Talkie (HT) dan antenanya untuk desa-desa yang sulit terjangkau sinyal jaringan selular seperti Desa Teniga. “Terbukti, ketika gempa bumi Juni 2013 silam, desa tersebut dapat melakukan komunikasi melapor-kan situasi terbaru,” katanya.

• Foto: Nasrullah AU

56MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Heryanto berkomunikasi dengan para pimpinan di satuan kerja perangkat daerah lainnya. Aparat pemerintah daerah kini telah mempertimbangkan aspek pengurangan risiko bencana dalam kegiatannya. Misalnya di Dinas Kesehatan sekarang sudah memiliki Tim Gerak Cepat (TGC) khusus untuk masa tanggap darurat bencana. Bahkan di BPBD pun memiliki Tim Reaksi Cepat.

Dia menyatakan bahwa bencana longsor di Desa Pusuk pada 2012 lalu menunjukkan bahwa aparat telah memahami penanggulangan bencana sebagai tanggung jawab bersama. “Sudah ada kerjasama antar lembaga seperti Dinas Pekerja Umum yang menyediakan kendaraan alat berat diturunkan dan Dinas Kesehatan menyediakan

tim kesehatan untuk mengobati korban yang terluka,” katanya.

Sebagai ketua Forum PRB, Heryanto akan membawa forum agar dapat menjadi mitra pemerintah dalam melakukan advokasi terhadap kebijakan penanggulangan bencana di kabupaten yang memiliki sembilan ancaman bencana. “Pentingnya untuk bermitra karena masih adanya ancaman bencana secara nyata di masa mendatang,” kata Sulis, Manajer Program KOSLATA.

Peraturan Daerah Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten

Perda Penanggulangan Bencana di Kabupaten Lombok Utara sudah ditetapkan sejak Juli 2013

• Foto: Nasrullah AU

57KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

lalu. Peraturan memuat tentang hak, kewajiban dan peran masyarakat dan pemerintah dalam situasi pra bencana, masa tanggap darurat dan setelah bencana.

Diharapkan peraturan ini menjadi salah satu jaminan bahwa kegiatan penanggulangan bencana, khususnya pengurangan risiko bencana akan terus berjalan meski tanpa dukungan dari program-program yang digagas oleh lembaga non pemerintah atau lembaga donor lainnya.

Kini sudah terdapat pembahasan unsur- unsur pengurangan risiko bencana ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk tahun 2015. Dalam dengar pendapat dengan DPRD terkait hasil kajian penganggaran yang berperspektif kebencanaan, DPRD dan KOSLATA sepakat

perlunya meninjau kembali RPJMD Kabupaten Lombok Utara tahun 2011-2015 untuk memasukkan perspektif kebencanaan. Di tingkat desa terdapat empat desa dampingan program yang sudah menerbitkan Peraturan Desa, di antaranya mengalokasikan dana untuk sejumlah kegiatan pengurangan risiko bencana dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pentingnya untuk bermitra karena masih adanya

ancaman bencana secara nyata di masa mendatang

• Foto: Nasrullah AU

58MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Perjalanan menuju Dusun Beleq, Desa Gumantar, Kabupaten Lombok Utara sungguh menyenangkan. Berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Rinjani, dusun terletak di dataran tinggi dengan udara yang sejuk. Pemandangan menuju dan dari dusun dipenuhi pepohonan yang hijau dan rindang.

Selain wilayahnya yang sejuk dan asri, Dusun Beleq terkenal dengan keteguhan masyarakat-nya terhadap aturan hutan adat di wilayah mereka. Dusun memiliki mekanisme yang mengatur pemanfaatan hutan.

Dusun yang didiami sekitar 390 jiwa dengan pekerjaan sebagai petani kelapa, kopi dan coklat ini memiliki kearifan lokal yang secara tidak langsung menghindarkan masyarakat dari risiko bencana alam. Secara turun temurun diterapkan aturan adat yang mengatur penduduk dusun untuk tak sembarang mengambil hasil hutan. “Barangsiapa yang menebang pohon tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat, akan dikenakan sanksi/denda,” kata Sahir, Kepala Dusun Beleq. Aturan ini berlaku untuk semua warga, termasuk tokoh adat maupun kepala dusun.

• Foto: Rodrigo Ordonez

59KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Mantan kepala dusun, Yurdin pernah terkena denda karena memotong pohon hutan. “Padahal akan saya pergunakan untuk kebutuhan rumah,” katanya. Yurdin dikenakan denda satu ekor kambing yang kemudian disembelih untuk dinikmati bersama-sama warga.

Hukum adat membolehkan masyarakat dusun memanfaatkan hutan, dengan syarat hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup bukan untuk kepentingan komersil misalnya untuk meng-ganti tiang kayu rumah. Namun, keputusan pemanfaatan hutan mesti melalui kesepakatan bersama semua anggota masyarakat. Dusun Beleq merupakan satu dari 12 dusun yang menjadi bagian dari Desa Gumantar. Desa Gumantar yang dihuni oleh kurang lebih 1,600 kepala keluarga, berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah utara dan Taman Nasional Gunung Rinjani di sebelah selatan. Desa dengan luas wilayah 38,6 kilometer persegi ini berdiri pada 1998, setelah memekarkan diri dari Desa Selengan.

Kegiatan analisis risiko partisipatif yang dilakukan oleh Tim Siaga Bencana Desa, masyarakat yang difasilitasi KOSLATA, menemukan bahwa ada beberapa potensi bencana yang mengancam wilayah berpenduduk lebih dari 5,900 jiwa ini. Pada 1983 dan 1993, abu letusan Gunung Rinjani menyebabkan hewan ternak mati dan masyarakat mengalami gangguan pernafasan. Selain itu, pada 2006 dan 2009 terjadi

bencana longsor yang merusak jaringan pipa air, jembatan, dan lahan pertanian di Desa Gumantar.

Kelestarian Hutan Mengurangi Risiko Bencana

Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani adalah sumber kehidupan penduduk desa. Dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari, penduduk mendapatkannya dari mata air yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Gunung Rinjani. Penduduk menggunakan pipa air yang dipasang sejauh enam kilometer, melewati wilayah hutan adat.

• Foto: Nasrullah AU

60MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Belakangan penduduk desa khawatir melihat kondisi hutan Taman Nasional Gunung Rinjani yang mengalami kerusakan akibat ulah penebangan liar. Kerusakan hutan meng- akibatkan sumber mata air hilang. Hampir setiap tahun, ada saja mata air yang hilang. “Kami khawatir dengan kesediaan sumber mata air,” kata Yurdin.

Dampak langsung kerusakan hutan atas kehidupan masyarakat semakin membuat masyarakat sadar akan pentingnya menjaga lingkungan alam. Masyarakat di Dusun Beleq menyadari benar bahwa alam telah menyediakan segalanya bagi kebutuhan manusia, namun keserakahan merusak apa yang telah diberikan alam. Kepatuhan mereka terhadap aturan hukum adat membuat alam lingkungan di sekitar mereka terjaga dengan baik. Mereka pun maklum bahwa aturan hukum adat ini untuk kebaikan bersama. Menurut Antok, staf KOSLATA, pemilihan Dusun Beleq sebagai menjadi salah satu wilayah program tidak hanya karena memiliki ancaman bencana alam saja tetapi juga karena keunikan kehidupan masyarakatnya. Kearifan lokal yang diterapkan masyarakat dusun diharapkan menjadi contoh dan pembelajaran bagi wilayah lain. Lewat kearifan lokal Dusun Beleq ini secara tak langsung masyarakat menerapkan unsur-unsur pengurangan risiko bencana. Semoga saja semakin banyak kelompok masyarakat yang meniru kearifan ini.

Kami khawatir dengankesediaan sumber mata air

61KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH • Foto: Nasrullah AU

62MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

63KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

MANOKWARIBAB 3

• Foto: Eka Nickmatulhuda

64MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Sabtu sore, 17 Februari 1996. Gempa tektonik besar mengguncang sejumlah wilayah pulau paling timur di Indonesia. Epicentrum tercatat di 101 km timur laut Biak, Papua, dengan kedalaman 33 km dan diikuti gelombang tsunami yang merambat ke segala arah. Pantai Manokwari yang terletak di sebelah baratnya

juga dilanda tsunami hingga empat meter. Meski jatuh banyak korban di pusat gempanya, namun Manokwari sendiri berhasil selamat dari kerugian yang besar.

Minggu dini hari, 4 Januari 2009. Guncangan gempa berturut-turut menggoyang daerah

• Foto: Eka Nickmatulhuda

65KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Oxfam untuk Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di Indonesia Timur, di Manokwari.  

Keadaan dimana mereka berkali-kali meng- hadapi bencana, membuat mereka semakin peka terhadap perubahan alam yang terjadi dan umumnya ada sesaat sebelum bencana gempa dan tsunami datang. “Biasanya ada ikan paus yang terdampar ke pantai, cuaca yang tiba- tiba terasa panas dan menyengat, atau arus laut yang mendadak sangat kencang,” Fredy menceritakan kembali apa yang diungkapkan masyarakat.

Meskipun belum ada penelitian yang menge-sahkan kejadian-kejadian tersebut sebagai penanda gempa dan tsunami, namun masyarakat Manokwari sangat meyakininya sejak lama.

Tidak hanya pemahaman terhadap tanda-tanda gempa dan tsunami yang mereka pelajari dari nenek moyang. Cara menghadapi bencana pun diteruskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lain. Fredy mengisahkan pemandangan yang dilihat sebagian masyarakat Manokwari saat terjadi gempa dan tsunami di tahun 2009 dan terakhir, 2011.

Di saat sebagian besar masyarakat yang terdiri dari ibu dan anak menyelamatkan diri ke daerah bukit yang lebih tinggi, banyak nelayan justru berbaris rapi mengarahkan perahu mereka ke laut. “Mereka tahu dengan begitu, perahu mereka akan selamat dari hempasan tsunami

kepala burung, Papua Barat, dengan gempa utama pada pukul 5,33 waktu setempat, sebesar 7,6 skala richter. Gempa terjadi di bibir pantai dengan tsunami setinggi 78 cm bergerak mendekat ke Manokwari. Jumlah korban meninggal di Manokwari 1 orang, 3 luka berat, dan belasan ribu orang diungsikan ke puluhan lokasi pengungsian.

Gempa memang menjadi hal yang umum bagi masyarakat Manokwari. Daerah itu dan sekitarnya merupakan daerah pertemuan empat lempeng bumi sekaligus, yakni Australia, Eurasia, Pasifik dan Filipina. Gempa yang ter-jadi di Manokwari umumnya dipicu pergeseran kerak benua yakni lempeng Australia dan kerak lautan berupa lempeng Pasifik. “Bila energi sudah dilepas dalam bentuk getaran-getaran, maka akan tenang lagi secara alamiah. Namun karena dinamis, dia akan kembali tertimbun, dan suatu saat akan dilepas lagi,” demikian per-nyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

Jadi jelas, ancaman serius gempa dan tsuna-mi berbagai skala mengintai Manokwari setiap saat. Hebatnya, meski berulang kali diterjang bencana, umumnya tidak menimbulkan banyak korban jiwa di Manokwari. Sudah tangguh kah mereka dalam menghadapi bencana?

“Pengalaman empiris yang berulang, dan pemahaman bahwa mereka tinggal di daerah pesisir yang notabene rawan bencana, mem-buat mereka membangun semacam coping mechanism,” ungkap Fredy Chandra, staf

66MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

yang akan menimpa kawasan pantai tempat perahu-perahu  itu biasa bersandar,” jelasnya soal kearifan lokal masyarakat Manokwari yang 80 persen tinggal di daerah pesisir dan meng-gantungkan sebagian besar pendapatannya dari melaut.

Upaya penyelamatan aset berharga mereka itu tidak dipelajari dari televisi, melainkan secara turun temurun. Ditambah lagi pengetahuan lokal mengenai cara menghentikan pendarahan dengan menggunakan tanaman obat yang tumbuh di sekitar mereka, misalnya. Ini setidaknya membuat mereka bisa mengurangi ancaman jatuhnya nyawa, akibat kemungkinan tidak bisa segera mengakses pertolongan medis dan rumah sakit, saat terjadi bencana.

“Lalu ada pola berkebun mereka yang dikenal dengan nama igyaser hanjop, yang mengatur cara mereka memanfaatkan hutan untuk kebun tempat mereka bertanam secara berkala,” kata

Fredy lagi. Selain mengatur hutan menjadi tiga bagian, untuk pemukiman, kawasan penyangga dan area berkebun, kearifan lokal igyaser hanjop juga membuat mereka mampu menyimpan per-sediaan karbohidrat alternatif karena mereka secara tradisional meneruskan tradisi menanam tanaman ubi dan singkong. Meskipun saat ini mereka lebih sering makan nasi sebagai sumber karbohidrat.

Ketangguhan lewat kearifan lokal masyarakat Manokwari ini kemudian dipoles menjadi lebih sistematis oleh PERDU (mitranya Oxfam), sejak tahun 2010 lewat program Mem- bangun Ketangguhan terhadap Bencana, dan dilanjutkan dengan program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana hingga tahun 2013. Program ini diharapkan dapat memperkuat kesiapsiagaan masyarakat Manokwari dalam upaya pengurangan risiko bencana (PRB), baik sebelum, saat hingga masa pemulihan sesudah bencana.

• Foto: Dok. PERDU

67KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Mereka tahu dengan begitu, perahu mereka akan selamat dari hempasan

tsunami yang akan menimpa kawasan pantai tempat perahu-perahu

itu biasa bersandar

• Foto: Eka Nickmatulhuda

68MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

PERDU yang dirintis tahun 1999, awalnya adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pertanian. “Saat mengenal program PRB, kami melihat ada kaitannya isu-isu lingkungan dan konservasi yang kami sering angkat, dengan tujuan PRB sendiri yang meliputi pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat,” kata Mujiyanto, Direktur Eksekutif PERDU.

Salah satu bentuk pengorganisasian masyarakat yang dimaksud berupa pembentukan Tim Siaga Bencana Kampung (TSBK) di lokasi-lokasi yang dianggap rentan dan berisiko tinggi untuk terjadinya bencana.

Berdasarkan Analisis Risiko Bencana yang disusun PERDU bersama Forum Penanggulangan Bencana dan BPBD

• Foto: Eka Nickmatulhuda

69KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Manokwari, dari total wilayah Kabupaten Manokwari yang sebesar 14.448 km atau sekitar 10 persen bagian dari kawasan seluruh Papua Barat, umumnya merupakan area luasan risiko bencana.

Kawasan berisiko tinggi terhadap gemba bumi di Manokwari seluas 1.784,48 km dengan risiko jumlah jiwa yang rentan terhadap bencana berupa guncangan tersebut setidaknya 121.358 jiwa. Itu baru kerentanan terhadap gempa. Belum lagi tsunami yang perhitungan luasan risiko tingginya sebesar 203,82 km yang men-cakup 86 kampung di 13 distrik. Sekitar 74.283 jiwa yang tinggal di sana, terancam terpapar langsung akibat tsunami.

Enam di antara lokasi yang dianalisis berisiko tinggi terhadap bencana, kemudian menjadi binaan PERDU dan Oxfam dalam program

ini. Kelurahan Padarni di Distrik Manokwari Barat merupakan satu-satunya yang terletak di pusat kabupaten, sementara lima lokasi lain, Kampung Asai, Meinyumfoka, Lebau, Yoom, dan Tanah Rubuh, terletak di kawasan Pantura yang berjarak setidaknya 60 km dari pusat kabupaten Manokwari.

Yang menarik dari TSBK di Manokwari, Papua Barat, adalah komposisi rentang usia anggota- nya yang beragam. Terdapat perempuan dan lelaki dengan porsi yang relatif sama dengan usia dan latar belakang berbeda-beda. Mulai dari mama-mama yang sebagian besar ibu rumah tangga biasa, pendeta, tokoh masyarakat dan masyarakat biasa, hingga anak-anak belasan tahun.

Salah seorang siswi SMP yang hadir pada salah satu kegiatan penguatan kapasitas TSBK adalah

• Foto: Eka Nickmatulhuda

2

2

2

70MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Anike Mandacan. Dia terlihat begitu berbeda di antara TSBK lain yang hadir saat itu yang umumnya berusia di atas 30 tahun. Namun bicaranya jelas dan lugas. Ia tampak bersemangat mengikuti kegiatan yang digelar atas permintaan para TSBK itu sendiri. “Saya sudah tiga kali ikut pelatihan TSBK, awalnya diajak Pendeta Martin,” ujar Anike yang tinggal di kampung Yoom, Pantura, Manokwari.

Pelatihan pertamanya adalah tentang air dan sanitasi, kedua pemasangan tenda darurat, dan yang terkini adalah penguatan kapasitasnya sebagai anggota TSBK. Bila pelatihan dilakukan di kampungnya, biasanya digelar di halaman sekolahnya sendiri. “Saya senang ikut pelatihan ini, ramai, semua ikut. Macam bangun tenda itu kan sulit kalau sendiri, tapi kalau ramai-ramai jadi mudah,” jawab anak bungsu dari dua ber-saudara itu, saat ditanya tentang kesannya mengikuti berbagai pelatihan TSBK.

Anike menganggap kegiatan ini diperlukan oleh dia dan masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya. “Supaya kita tahu arah evakuasi bila ada banjir dan tsunami,” ujarnya mengomentari manfaat kegiatan PRB di kampungnya yang sering diguncang gempa. “Waktu gempa terakhir di 2011, saya masih SD, saya takut sekali, rumah macam goyang-goyang, jadi kita lari keluar, menghindar dari tembok dan balok-balok yang jatuh,” kisah gadis berusia 14 tahun ini. Ia tahu harga yang harus dibayar bila telat menghindarkan badannya dari runtuhan tembok atau kayu akibat gempa, yakni nyawa.

Selain remaja, ada pula ibu rumah tangga dan pendeta yang menjadi anggota TSBK. Mereka menggunakan posisi mereka di masyarakat untuk mensosialisasi program PRB ke keluarga dan lingkungan sekitar mereka. Anike misalnya, menularkan pengetahuannya tentang penang-gulangan bencana kepada kakak dan teman sekelasnya. Sementara mama-mama yang sering berkumpul sambil memberdayakan mereka sendiri lewat keterampilan yang juga diajarkan dalam pelatihan kerajinan tangan dari kerang oleh PERDU dan Oxfam, sering berdiskusi tentang pengetahuan mereka mengenai kebencanaan dan apa yang sedang dan perlu mereka lakukan ke depannya.

Kemudian, Pendeta Martin Dowansiba yang juga mengedepankan isu PRB dan penang-gulangan bencana saat peribadatan di gereja. “Program ini menjadi kekuatan iman kami, disamping kami tetap percaya bahwa kekuatan Tuhan yang mengatur alam, termasuk bencana,” kata pendeta berusia 38 tahun ini.

“Banyak dari TSBK di sini yang tidak bisa baca, tapi antusiasme mereka tinggi,” ungkap Johnsen Patipawai, staf PERDU yang membimbing dua kampung, Yoom dan Lebau. Antusiasme masyarakat ini lah yang terus mereka jaga. “Selama ini kami selalu coba terapkan PRB dengan metode sederhana, dengan bahasa yang mudah, agar cepat diserap masyarakat,” kata Johnsen. Dia menganggap semangat dari masyarakatlah yang justru kembali menyemangati mereka untuk meneruskan program ini.

71KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Saya senang ikut pelatihan ini, ramai, semua ikut. Macam bangun tendaitu kan sulit kalau sendiri, tapi kalau

ramai-ramai jadi mudah

• Foto: Eka Nickmatulhuda

72MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Testimoni itu begitu lugas. “Kalau ada penghargaan untuk anggota TSBK Manokwari, saya rasa itu berhak diterima oleh Mama Dolly,” kata Richard Rumbarar, 37 tahun, anggota PERDU. Dia menjadi fasilitator Kampung Asai, tempat Mama Dolly tinggal bersama keluarganya.

Dollince Manggaprauw, biasa dipanggil dengan Mama Dolly, perempuan berumur 54 tahun ini senang menghabiskan waktunya

bersama anak, keponakan dan anjing-anjing kesayangannya.

Sebuah lonceng peringatan dini dipasang di depan rumahnya. Lonceng yang siap dibunyikan sebagai peringatan bila terjadi gempa dan tsunami, agar warga Kampung Asai bisa segera menyelamatkan diri. “Waktu gempa di Jepang, 2011 lalu, kami lihat di TV, dan ada orang PERDU yang datang kemari mem-peringatkan kita untuk mengungsi,” Mama

Selain rapat di balai kampung, saya kumpulkan ibu-ibu di rumah

saya. Kami belajar tentang titik evakuasi, karena itu penting

• Foto: Eka Nickmatulhuda

Dolly bercerita saat lonceng itu digunakan untuk menyuruh warga agar segera mengungsi ke tempat yang aman. “Kami sudah belajar, kalau lonceng bunyi, berarti ada bahaya dan orang harus pergi ke tempat aman. Kita akhirnya lari ke gunung.”

Meski kemudian tsunami tidak sampai ke Manokwari seperti kekhawatiran sebelumnya, warga tahu bahwa selalu waspada itu lebih baik, daripada jatuh korban. “Kita bisa lihat di TV, tsunami itu bisa sapu rata pemukiman warga di Jepang, kami takut sekali, jadi lebih kami mengungsi ke darat dan gunung,” ia mengacu ke rumah kerabat yang jauh dari pantai, saat ia menyebut akan mengungsi ke darat dan gunung.

Rumah Mama Dolly sendiri, memiliki ruangan yang acapkali digunakan untuk mengumpul-kan ibu rumah tangga di lingkungannya untuk keperluan sosialisasi PRB. “Selain rapat di balai kampung, saya kumpulkan ibu-ibu di rumah saya. Kami belajar tentang titik evakuasi, karena itu penting,” kata Mama Dolly.

Ia mengakui, awalnya sulit mengajak ibu rumah tangga untuk peduli tentang bencana di daerah mereka. “Tapi saya selalu bilang ke mereka yang kurang semangat untuk ikut kegiatan, kalau saat terjadi gempa dan mereka tidak mengerti tentang evakuasi, mereka mau lari kemana?”. Hasilnya, anggota masyarakat bahkan dari kampung sebelah Asai, malah menuntut untuk diikutsertakan dalam program.

• Foto: Dok. PERDU

74MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA • Foto: Eka Nickmatulhuda

75KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Rupanya keberhasilan tersebut bisa mendatang-kan lebih banyak ibu rumah tangga di sekitar wilayah Pantura, yang kemudian pada setiap pelatihan kerajinan kerang, juga diselipkan sosialisasi PRB maupun pengetahuan mengenai kebencanaan. “Kami juga pernah buat simulasi di sini. Kami diajarkan untuk siapkan tas siaga, jadi saat terjadi bencana, yang kami selamatkan adalah anak-anak dan tas siaga” kata Mama Dolly sambil menunjukkan sebuah tas sederhana berwarna hitam.

Sekilas tampak biasa, namun isinya sangat berharga. Ada akte tanah, rumah, akte kelahiran, sertifikat dan ijazah sekolah anak-anaknya, sebuah senter dan obat. Itulah surat-surat berharga mereka yang menjadi prioritas untuk diselamatkan saat terjadinya bencana. Menyiapkan tas tersebut berarti mereka setidaknya telah siap siaga untuk setiap bencana yang mengintai dan mencoba meminimalisir kerugian di masa mendatang.

“Mama Dolly diangkat sebagai ketua TSBK atas pilihan masyarakat sendiri, padahal selama ini perempuan sulit sekali ada di posisi pengambil keputusan,” kata Richard Rumbarar tentang kader kebanggaannya itu. Fasilitator yang tinggal jauh dari kampung dampingannya ini, mengaku sangat dimudahkan dengan keberadaan Mama Dolly. “Kampung Asai memang tidak terlalu besar, tapi keliling dari satu rumah ke rumah lain itu bisa setengah mati. Tapi setiap saya minta Mama Dolly mengajak warga untuk ikut rapat dan kegiatan, saya cukup kasih satu undangan, dan Mama Dolly yang akan keliling kampung untuk menyebarkan informasi itu,” ujarnya.

Tidak hanya aktif. Dalam setiap kegiatan, Mama Dolly juga bisa meluluhkan hati tokoh masyarakat yang awalnya tidak setuju dengan kegiatan PRB. “Semangatnya menular, musuh Mama Dolly yang kepala kampung saja sekarang sudah mendekat ke program,” kata Richard.

Dalam satu kesempatan, Mama Dolly meminta PERDU untuk memfasilitasinya dan sejumlah ibu rumah tangga lain untuk didatangkan pelatih kerajinan kerang, agar dapat memaksimalkan sumber daya di sekeliling mereka sekaligus menambah penghasilan keluarga. “Kita jual sampai Batam,” kata Mama Dolly tentang kerajinan tangan berupa hiasan dinding atau meja yang terbuat dari kerang-kerang kecil yang dengan mudah mereka dapatkan di pantai dekat rumah mereka.

76MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Militansi TSBK seperti Mama Dolly adalah salah satu bentuk hasil yang diharapkan dari dibentuknya Forum Penanggulangan Bencana Manokwari, dimana TSBK termasuk di dalam-nya. “Militansi untuk kepentingan masyarakat sendiri,” ujar Yulianus Sinery, ketua Forum Penanggulangan Bencana Manokwari.

Sejak di hari terbentuknya, forum ini langsung diuji. “Kita gelar kongres dua hari, dan dideklarasikan pada 14 Februari 2013, pas hari Valentine,” kata Sinery. “Saat kita tutup kongres dan Forum Penang- gulangan Bencana ini resmi dibentuk, di beberapa daerah di Manokwari sudah terjadi banjir, salah satunya di wilayah Prafi,” ujarnya.

Sejumlah anggota forum yang tergabung dalam RAPI dan ORARI sudah mengerahkan tenaga mereka untuk mengumpulkan informasi terkini mengenai bencana dan korban dari banjir tersebut. “Di beberapa tempat sudah banjir lebih dari satu meter, dan evakuasi masyarakat sangat segera dibutuhkan,” katanya.

Forum Penanggulangan Bencana segera berkoordinasi dengan BPBD Manokwari untuk distribusi bantuan dan pengumpulan informasi kebencanaan tersebut. “BPBD kan punya birokrasi, sedangkan forum sifatnya lebih luwes dan longgar, jadi kita tinggal berkoordinasi di dalam dan langsung turun ke lapangan,” jelasnya.

• Foto: Eka Nickmatulhuda

Ia menekankan pentingnya mendahulukan kepentingan masyarakat yang menjadi korban bencana, tanpa perlu dibenturkan dengan urusan birokrasi. “Intinya, masyarakat butuh apa, kita bisa kasih apa,” ucapnya.

Menurut pandangannya, Forum PB ini sangat mendesak untuk dibentuk. Apalagi mengingat kerentanan masyarakat terhadap bencana. “Isi forum ini adalah lintas institusi, termasuk masyarakat yang terpapar bencana, ya kita- kita juga,” kata pria yang biasa dipanggil Sinery ini. Keanggotaan forum bersifat individu meski tiap individu itu juga bernaung di sebuah institusi, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Tapi meski anggota forum tidak serta merta mengatasnamakan institusi tempat mereka bekerja, forum coba melibatkan individu-individu yang justru berada di institusi penting yang harus segera digerakkan saat terjadi bencana.

Sinery sendiri, bekerja di BMKG Manokwari, dimana informasi cuaca dan tinggi gelombang, diolah olehnya dan tim untuk diteruskan ke level pemerintahan. BMKG bersifat vertikal, jadi ketika institusinya mau dimasukkan ke dalam Forum PB, akan terbentur birokrasi karena tidak ada aturan yang menjabarkan bentuk koordinasi dengan lembaga otonom. “Meski begitu, saya sebagai individu, bisa meneruskan informasi itu ke forum yang dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak,” katanya.

Melibatkan individu berarti bisa lebih fleksibel. Banyak individu yang berada dalam satu

• Foto: Eka Nickmatulhuda

• Foto: Eka Nickmatulhuda

78MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Isi forum ini adalah lintasinstitusi, termasuk masyarakat

yang terpapar bencana,ya kita-kita juga

• Foto: Eka Nickmatulhuda

79KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

mendampingi kami, membantu membangun koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) terkait, sehingga ketika bencana terjadi, kami tidak merasa bekerja sendirian,” katanya.

Kerjasama yang baik itu juga membuahkan serangkaian kajian berupa sejumlah dokumen, seperti rencana strategis penanggulangan bencana, rencana penanggulangan bencana, dokumen analisis risiko bencana baik gempa bumi, tsunami maupun banjir. “Juga dokumen renkon,” katanya.

Rencana kontinjensi (renkon) ini kemudian terus dievaluasi melalui berbagai simulasi bencana untuk meminimalisir adanya salah komunikasi dalam fase tanggap darurat. “Dengan semakin banyak membuat kajian, kami jadi tahu semakin banyak pekerjaan rumah yang harus kami kerjakan, walaupun sekarang masih dengan pendanaan terbatas,” ujarnya.

institusi dapat mengambil peran lebih besar dengan kapasitas ia sebagai individu, sekaligus sebagai bagian dari sebuah institusi tertentu. “Dengan adanya forum, kita bisa berbagi kapasitas dan menginfomasikan kebutuhan masing-masing agar terjadi sinergi yang kemudian manfaatnya bisa lebih efektif disalurkan ke masyarakat,” kata Sinery.

Sependapat dengan hal itu, Jerry Saleda, Kepala Seksi Rekonstruksi BPBD Manokwari, merasakan manfaat kehadiran Forum PB dan fleksibiltasnya saat bekerja bersama BPBD Manokwari dalam hal penanggulangan bencana. “Forum adalah kekuatan besar BPBD,” katanya.

Bahwa Forum PB dan BPBD bisa bekerjasama dengan harmonis untuk kepentingan masyarakat banyak, ia melihatnya sebagai suatu hal yang sangat membantu. “BPBD bukan super power, dan Forum PB dengan PERDU dan Oxfam di dalamnya, telah banyak

• Foto: Eka Nickmatulhuda

80MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA • Foto: Eka Nickmatulhuda

81KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Salah satu pekerjaan rumah yang menjadi perhatian BPBD dan Forum PB adalah mem-fasilitasi penguatan kapasitas masyarakat berkebutuhan khusus, yang digolongkan dalam kategori difabel. Program sekolah siaga yang menjadi program BPBD, setahunnya hanya bisa menjangkau 200 siswa di 4 sekolah. Sayangnya, sekolah luar biasa belum menjadi prioritas program tersebut.

“Sebenarnya kami tidak bisa selalu berlindung di balik alasan tidak ada dana, jadi kami berusaha lakukan apa saja yang bisa kami lakukan,” tutur Jerry Saleda, yang selain

memegang peranan penting di BPBD Manokwari, juga berperan aktif di Forum PB.

SLB Panca Kasih misalnya, yang terletak di wilayah Amban, pusat Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Haryati, seorang guru yang sudah bergabung sejak SLB itu didirikan tahun 2006, menyuarakan hak para siswanya yang berkebutuhan khusus dalam Forum Penanggulangan Bencana.

“Sebelum saya masuk forum, saya belum ter-pikir sama sekali baik tentang kebencanaan maupun yang berkaitan dengan siswa-siswa

• Foto: Eka Nickmatulhuda

saya yang berkebutuhan khusus ini saat terjadi bencana,” ujarnya.

Guru yang harus mengurus enam siswa ber- kebutuhan khusus sekaligus dalam kelasnya ini, mengusulkan banyak hal untuk mereka yang berkebutuhan khusus di dalam Forum PB dan menekankan hal tersebut sebagai salah satu pekerjaan rumah forum dan BPBD yang harus segera dipikirkan bersama.

Tidak ada data pasti tentang jumlah warga difabel atau berkebutuhan khusus yang ter-dapat di Manokwari, “Di sekolah ini ada 10 guru yang masing-masing membina dan mengajar-kan enam anak dengan kebutuhan berbeda,” paparnya.

Meski idealnya, satu guru sebaiknya hanya mendampingi satu kelompok kecil siswa dalam satu ketunaan yang sama, bukan beragam. “Memang sulit, tapi kesulitan bukan berarti saya hanya duduk diam, tapi justru memikirkan bagaimana saya bisa melakukan sesuatu untuk mereka,” tuturnya.

Haryati menyayangkan informasi mengenai per-tolongan bencana bagi penyandang disabilitas yang minim. “Jangankan informasi, fasilitas untuk mobilitas mereka sehari-hari saja belum disediakan oleh pemerintah,” katanya. Dia menyesalkan keadaan dimana kaum difabel terpaksa menyesuaikan dengan fasilitas umum yang diberikan kepada orang normal.

• Foto: Dok. PERDU

83KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Tapi itu baru langkah awal, peningkatan kapasitas perlu terus diberikan. “Sebelumnya, petugas di lapangan pun harus ditingkatkan juga, karena yang berkebutuhan khusus ini kan berbeda, tapi kita mulai saja dengan terus belajar dari pengalaman,” katanya yang biasa dipanggil Ami. Pada kesempatan tersebut, yang mereka pilih untuk ditingkatkan adalah penyandang tuna rungu. “Cukup seru dan ber-beda, kami malah jadi belajar bahasa isyarat bersama guru dan siswa-siwa tuna rungu itu,” kata Ami.

Jerry Saleda dari BPBD di kesempatan terpisah memberikan pendapat pribadinya tentang hal ini, “Kami tahu pekerjaan rumah kami masih banyak, tapi kami juga bersyukur karena kami tahu masyarakat yang mejadi tujuan program ini adalah juga yang menjadi sumber kekuatan kami, sekaligus sumber pembelajaran kami,” katanya.

Potret nyata saat kejadian bencana yang dialami Anike Mandacan, TSBK remaja dari Kampung Yoom, bisa menjadi acuan betapa masyarakat berkebutuhan khusus harus menjadi prioritas pemberian kapasitas diri dalam menghadapi bencana. “Waktu saya masih SD, saya gendong mama dan bawa dia lari, bergantian dengan kakak,” cerita Anike, yang sudah yatim pasca meninggalnya sang ayah saat dia masih sangat kecil.

“Dulu masih kecil, kita memang tidak kuat gendong mama, tapi sekarang kita sudah besar, bisa bergantian angkut mama sampai ke satu pos (jarak antar pos 30 meter), taruh lagi, baru kita gendong lagi bergantian,” katanya.

Kekurangan untuk beraktivitas normal membawa kerentanan dengan karakteristik masing-masing. Mereka memerlukan penanganan yang spesifik yang tidak mudah. Namun setidaknya, pihak SLB Panca Kasih sudah mulai meningkatkan kapasitas mereka sendiri dengan bantuan Forum PB.

Di hari Jumat, pertengahan November 2013, beberapa petugas PMI datang ke sekolah untuk memberi mereka pemahaman tentang pertolongan pertama pada kecelakaan. “Mereka sebenarnya sudah diberi pemahaman awal tentang apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana seperti gempa, dan mereka juga mampu mendeskripsikan gempa itu sendiri,” urai Nur Rahimi Hastuti, staf PERDU yang menjadi Manager Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di Manokwari.

Memang sulit, tapi kesulitanbukan berarti saya hanya duduk

diam, tapi justru memikirkan bagaimana saya bisa melakukan

sesuatu untuk mereka

84MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA • Foto: Dok. KIPRa

85KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

JAYAPURABAB 4

86MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Kisah bermula dari seringnya banjir melanda permukiman warga dan fasilitas publik seperti sekolah dan tempat ibadah wilayah Kelurahan Entrop, Jayapura. Menurut laporan Kepala Kelurahan Entrop, R. Maximilia Hamadi kepada kepala Dinas Sosial Kota Jayapura, kerugian terbesar yang dialami warga adalah rusaknya perabot rumah tangga dan barang-barang elektronik. Di sejumlah tempat seperti di Rukun Warga (RW) 07 dan 08, terdapat pompa air yang macet atau mati. Bahkan seperti yang dikisahkan oleh Nicolaas Wendiri, anggota Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK) Entrop, banjir juga pernah merenggut nyawa seorang siswa Sekolah Dasar.

Hal inilah kemudian mendorong Septinus T. Kumbubui (ketua TSBK Entrop) dan anggota • Foto: Dok. KIPRa

87KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

timnya melakukan penghijauan di sepanjang Jalan Alternatif Entrop-Waena. Penghijauan ini adalah salah satu upaya mengurangi banjir yang sering terjadi di wilayah mereka.

Banjir di Entrop terjadi karena banyak hal. Selain karena curah hujan di atas rata-rata pada bulan-bulan tertentu, juga karena kurangnya kesadaran warga mengenai pemeliharaan lingkungan. Pembangunan pemukiman di daerah sekitar hulu Kali Entrop diawali dengan penebangan pepohonan penahan air secara tidak terkendali, tidak adanya penghijauan kembali, lahan serapan yang berubah, penyempitan DAS (daerah

aliran sungai) karena sedimentasi sampah yang menumpuk. Semua itu bersatu menjadi sumber bencana.

Sadar bahwa keberadaan pepohonan sangat vital untuk mencegah banjir, TSBK Entrop pun bergerak. “Kami berbekal surat dari kelurahan mencari dana publik, dari toko-toko dan pengusaha,” kata Septinus. “Ada yang menyumbang, banyak yang tidak. Paling besar sumbang lima ribu rupiah,” tambah Nicolaas. Walhasil, dalam waktu seminggu terkumpullah modal penghijauan Jalan Alternatif sebesar Rp 850 ribu.

• Foto: Dok. KIPRa

88MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Cukup? Pastinya tidak. Anggota TSBK Entrop harus berpikir lagi, jangan sampai apa yang mereka cita-citakan kandas di tengah jalan. Maka dibuatlah permohonan kepada Dinas Kehutanan untuk membantu menyediakan bibit-bibit pohon yang kuat menahan gerusan air dan tanah.

“Awalnya kami minta pohon bambu kuning karena akar pohon bambu itu kuat, tangguh dalam menahan longsoran tanah. Tapi karena stoknya tidak cukup, akhirnya bambu kuning dicampur pohon matoa, jambu mete dan kelengkeng,” tutur Nicolaas.

Dan demikianlah, bulan Juni 2013 penghijauan pun dilaksanakan bersama dengan unsur kemasyarakatan dan pemerintahan. “Kami undang TSBK dari kelurahan Gurabesi, Hamadi dan Koya Barat. Acara kami juga dihadiri oleh Sekretaris Daerah, Walikota, Koramil, aparat adat gereja, masjid, dinas, dan lain sebagainya. Uang Rp 850 ribu akhirnya kami gunakan untuk membiayai acara, misalnya untuk konsumsi. Itupun masih dibantu oleh kawan-kawan dari TSBK lain tapi bukan dibantu uang. Kawan-kawan TSBK lain membawa makanan khas daerah masing- masing untuk kami santap bersama,” Nicolaas menjelaskan.

Menurut Septinus, bahu-membahu antar TSBK sudah menjadi komitmen bersama. “Jika TSBK Entrop melaksanakan program, TSBK Hamadi, Gurabesi, Koya Barat akan datang membantu. Begitupun sebaliknya. Sistem ini kami namakan Arisan Program.”

• Foto: Dok. KIPRa

Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Beban berat yang awalnya terlihat mustahil dilakukan, nyatanya bisa terwujud karena semua elemen masyarakat, adat, keagamaan, dan pemerintah saling membantu. Arisan Program hanya salah satu contoh kebersamaan tersebut. Dengan bekal Rp 850 ribu, TSBK Entrop berhasil menghijaukan Jalan Alternatif yang merupakan kawasan rawan banjir.

“Setelah acara penghijauan dilakukan warga yang tadinya tidak mau membantu dan memandang sebelah mata, akhirnya menjadi sadar. Semoga ke depannya, jika ada acara pelestarian lingkungan lagi, mereka mau mem-bantu. Karena ini adalah aksi nyata, bukan omong kosong belaka. Saya dan kawan-kawan berterimakasih sekali kepada Oxfam dan KIPRa. Jika tidak mereka ajarkan ilmu tanggap bencana, kami tidak akan menjadi seperti sekarang ini,” kata Septinus.

89KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Beban berat yang awalnya terlihatmustahil dilakukan, nyatanya bisa terwujud karena semua elemen

masyarakat, adat, keagamaan, dan pemerintah saling membantu

• Foto: Dok. KIPRa

90MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Pasir putih membentang, dibatasi dinding karang, berhias pohon nyiur dan hutan bakau. Itulah Pantai Hamadi, tempat tentara sekutu pertama kali mendarat di Papua pada tahun 1944. Keindahan, sejarah dan letaknya yang berdekatan dengan Jayapura adalah nilai tambah yang membuat pantai ini selalu ramai oleh pengunjung. Siang sampai sore selalu dipenuhi penduduk setempat dan wisatawan untuk bersantai dan anak-anak yang berkejaran atau bermain sepeda. Matahari tenggelam di sela pulau kecil di Teluk Youtefa dan kapal-kapal nelayan yang berlabuh menambah semarak suasana.

Sayangnya, ada dampak lain dari keramaian dan ketenaran Pantai Hamadi, yaitu muncul banyak sampah berupa limbah rumah tangga dan gundulnya hutan bakau. Penggundulan inilah yang menyebabkan abrasi dari laut Samudera Pasifik semakin menjadi-jadi dan pernah menyapu bersih kuburan penduduk asli suku Tobati, Kayu Pulo dan suku Enggros. Juga pernah menerjang pemondokan yang dibuat Dinas Pariwisata Kota Jayapura.

Tahun 2008, gelombang naik juga sempat membuat rumah-rumah warga miring dan jalan-jalan hancur. Jika abrasi tidak dikendalikan,

91KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Kegiatan bersih-bersih lingkunganmasih terus berlangsung sampai

sekarang pada setiap hari Jumat dan Sabtu

• Foto: Dok. KIPRa

92MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

bukan mustahil jika kelak terjadi lagi gelombang pasang maka kehidupan penduduk sekitar akan kembali terancam.

Selain gelombang laut, banjir pun menjadi ancaman bagi warga di Hamadi Rawa Dua dan Hamadi Pasar. Banyak saluran air, termasuk kawasan konservasi dari Entrop hingga Hamadi, rusak atau tertutup oleh bangunan-bangunan sehingga arus air beralih ke pemukiman penduduk.

Untuk mengatasi abrasi dan banjir, pada tahun 2006 dan 2009, warga mengadakan kerja bakti membersihkan sampah dan menanam pohon di

sepanjang Tanjung Hamadi. “Kegiatan bersih-bersih lingkungan masih terus berlangsung sampai sekarang pada setiap hari Jumat dan Sabtu. Seluruh anggota TSBK ikut. Kami ber-harap, dengan aksi nyata ini, masyarakat mau lebih peduli pada kebersihan dan kelestarian lingkungan pantai,” kata Welly M.R. Wadjukur, Ketua TSBK Hamadi.

Menurut Welly, dalam waktu dekat ini, mereka juga punya rencana bersama anggota TSBK kelurahan lain untuk menanam 4.000 pohon di sepanjang Tanjung Hamadi. “Nanti sekalian ada acara donor darah dan panggung gembira. Ini adalah bagian dari rencana kerja Arisan

• Foto: Dok. KIPRa

93KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Program TSBK. Kami saling bantu dan bertukar pengalaman dengan kelurahan lain untuk mem-perkaya wawasan penanggulangan bencana di kota Jayapura,” kata Welly.

Menurutnya lagi, data yang akurat sangat penting untuk kurangi risiko bencana. Data penduduk bukanlah sekadar pajangan. Semakin detail data dibuat, semakin nyata manfaatnya saat bencana tiba. “Dulu, mana kami mengerti tentang data penduduk harus dibuat berdasar-kan umur, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Barulah ketika ada interaksi dengan Oxfam, kami jadi mengerti bahwa data itu penting untuk mengetahui tingkat kerentanan penduduk dan merencanakan aksi untuk mengatasi hal tersebut. Perempuan dan anak-anak jadi pihak

yang paling rentan sehingga harus lebih diperhatikan. Data di kelurahan kami sudah lebih lengkap dibanding sebelumnya. Inilah yang akan jadi acuan kalau ada banjir lagi,” kata Welly.

Kajian Risiko Bencana adalah salah satu poin penting yang terdapat dalam program Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Kajian Risiko Bencana didapat dari berbagai sumber daerah yang bersangkutan, termasuk dari masyarakat itu sendiri. Harapannya, ke depan, masyarakat dapat secara mandiri mengelola risiko, mengurangi, maupun memulihkan diri dari dampak bencana tanpa ketergantungan dari pihak luar.

• Foto: Dok. KIPRa

94MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Sebelas Maret 2011, tsunami dan gempa hebat berkekuatan 8,9 skala Richter terjadi di Jepang tepat pukul 12.46. Jumlah korban tewas mendekati 1.600 orang, 1.900 terluka, dan 1.500 orang hilang. Demikian menurut Badan Kepolisian Nasional setempat. Gempa yang mengguncang Jepang itu, berimbas ke negara- negara lain seperti Filipina dan Indonesia. Khusus di Indonesia, peringatan gempa dan tsunami dikhususkan pada wilayah Papua, Maluku dan Sulawesi Utara.

Akhirnya pada hari itu, tsunami Jepang sampai di sepanjang pesisir pantai Kota Jayapura, Holtekamp, Enggros, Tobati, Hamadi, Pantai Base-G dan Skow. Kejadian tersebut tepat sehari setelah Badan Penanggulangan Bencan Daerah (BPBD) dibentuk dan Edward Priyandoko dilantik sebagai Kepala Kesiapsiagaan BPBD Kota Jayapura.

Edward dan tim langsung turun lapangan untuk menganalisis dampak bencana sekaligus

• Foto: Dok. KIPRa

95KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

membantu menyelamatkan para korban. Tercatat lebih dari 20 rumah mengalami kerusakan parah akibat hantaman tsunami. Bukan rumah saja yang hancur akibat terjangan tsunami di Jayapura tersebut, beberapa fasilitas umum milik masyarakat pun ikut hancur terkena pecahan gelombang tsunami kecil. Gulungan ombak tsunami di Jayapura berjarak sampai dengan 100 meter dari bibir pantai.

Mengenang pengalamannya bekerjasama dengan Oxfam dalam menangani bencana, Edward berkata, “Saya banyak belajar dari

KIPRa dan Oxfam tentang mitigasi bencana. Kami saling belajar, tapi saya rasa saya yang lebih banyak belajar dari mereka.” Kemitraan Oxfam dan Pemerintah, dalam hal ini BPBD, sudah terjalin sejak 2010. Awalnya dari BPBD tingkat Provinsi, kemudian berlanjut ke Kotamadya dan Kabupaten termasuk Jayapura.

Turun lapangan bersama, sering dilakukan. Baik saat maupun sebelum bencana terjadi. Salah satu contohnya adalah melalui diskusi “Finalisasi Perencanaan Dokumen Kontinjensi Untuk Bencana Banjir Kota Jayapura” pada

• Foto: Dok. KIPRa

96MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Urusan bencana iniadalah urusan semua orang

• Foto: Dok. KIPRa

97KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

September lalu. Melalui diskusi ini, KIPRa, Oxfam, BPBD, BAPPEDA dan instansi-instansi lainnya bersama-sama menganalisis daerah mana saja yang rawan banjir dan longsor, serta cara menyikapi masalah tata ruang yang semakin menghimpit daerah resapan air.

Oxfam-KIPRa, Pemerintah Kota dan BPBD bersama elemen masyarakat lain juga pernah mengadakan sosialisasi Perda nomor 9 tahun 2012 atau biasa disebut Perda Penanggulangan Bencana. Perda ini bertujuan agar setiap stake-holder atau para pihak yang berkepentingan, agar ketika ada bencana tidak ada lagi tumpang tindih dalam upaya penanggulangannya.

KIPRa dan Oxfam telah menunjukkan perannya mendukung Perda nomor 9 tahun 2012 ini dengan mengadakan sosialisasi di Hotel Sahid pada 9 Oktober lalu. “Urusan bencana ini adalah urusan semua orang,” kata Edward menutup pembicaraan.

98MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Pertengahan Juni 2012 Kota Jayapura meraih penghargaan Adipura dari Presiden Bambang Susilo Yudhoyono. Diwakili oleh Walikota Benhur Tommy Mano, penghargaan diserahterimakan di Istana Negara, Jakarta. Sepulang dari Jakarta, Benhur disambut oleh banjir besar yang melanda dari Sentani hingga Entrop.

Saat banjir, sejumlah ruas jalan longsor, material sampah berupa sampah plastik bercampur pasir dan bebatuan berserakan di mana-mana. Selain di Kelurahan Entrop, Distrik Jayapura Selatan dan Distrik Abepura juga dilanda banjir. Air dari saluran pembuangan meluap ke jalan-jalan kompleks perumahan hingga jalan utama. Kondisi paling parah terjadi sekitar di kawasan pasar dan terminal Youtefa. Di Pasar Yotefa, air bahkan meluap hingga sebatas leher orang dewasa atau sekitar 160 sentimeter.

Itu cerita tahun lalu. Bagaimana dengan tahun ini? Ternyata tidak banyak yang berubah. Sejak Januari hingga Mei, terhitung sedikitnya terjadi tiga kali banjir di Kelurahan Entrop. Jalan, perumahan, tidak terkecuali Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Permata Hati ikut terkena terjangan air bercampur lumpur dan sampah. Ketinggian air yang mencapai pinggang orang dewasa, turut menghanyutkan dokumen- dokumen penting sekolah dan kegiatan belajar mengajar terpaksa dihentikan sementara.

Letak SDIT Permata Hati memang agak kurang menguntungkan. Dibangun berbatasan langsung dengan Kali Entrop yang bermuara di pantai Hamadi, membuat sekolah ini jadi langganan banjir setiap tahun. Kali Entrop seringkali meluap kala musim hujan tiba. Bahkan, menurut ketua TSBK Entrop,

99KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Sekarang saya mau berubah.Saya tidak mau kebanjiran lagi karena jadi tidak bisa sekolah dan bermain

dengan teman-teman

• Foto: Dok. KIPRa

100MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Septianus T. Kumbubui, walau hujan turun hanya selama satu jam, sudah bisa membuat warga kalangkabut. Sebenarnya, kali Entrop sudah beberapa kali dikeruk oleh pemerintah setempat. Namun hal ini tidak cukup untuk mengatasi permasalahan banjir yang kerap melanda wilayah tersebut.

Seorang pengajar Matematika dan Bahasa Indonesia di sekolah ini, Hariyono S.Pd, ber-cerita pengalamannya ketika banjir. “Saya baru 1 tahun mengajar di SDIT Permata Hati. Dalam waktu yang terbilang singkat tersebut, saya sudah tiga kali mengalami banjir. Ada pernah satu kali banjirnya sampai setinggi meja, merusak dan menghilangkan file-file penting sekolah. Karena itu, saya senang sekali teman-teman KIPRa dan Oxfam mau berbagi ilmu dengan kami. Bagi saya sendiri, ini bukan kali

pertama bertemu dengan mereka. Sebelumnya, sudah pernah diadakan forum guru dari empat sekolah untuk membicarakan langkah-langkah yang efektif yang bisa dilakukan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana dan cara membuat peringatan dini saat bencana baru akan datang.“

Posisi sekolah yang rawan bencana, membuat SDIT Permata Hati menjadi salah satu sekolah yang dipilih untuk disinggahi oleh tim KIPRa dan Oxfam seperti yang terjadi pada 2 November 2013 lalu. Pada hari itu, tim mengadakan pemutaran film Badu dan Desa Wanabaru. Film berdurasi kurang lebih 15 menit ini bercerita mengenai seorang laki-laki bernama Badu yang sering menebang pohon sembarangan sehingga mengakibatkan banjir di desanya.

• Foto: Dok. KIPRa

101KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Saat banjir datang, Badu lebih memilih menyelamatkan harta bendanya ketimbang dirinya sendiri. Apa yang dilakukan Badu berbeda dengan seorang anak yang tanggap bencana. Anak ini memukul kentongan dengan bertalu-talu sehingga banyak warga terselamatkan.

Setelah pemutaran film, tim masih melanjut-kan acara dengan memberi edukasi mengenai bahayanya menebang pohon dan buang sampah sembarangan. Plus, tentang cara mengurangi risiko bencana. Misalnya, dengan menyimpan surat-surat berharga di dalam sebuah tas yang siap dibawa kapanpun dibutuhkan.

Usai edukasi, sebagai penggembira suasana, para siswa diajak ikut kuis berhadiah. Kuis ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana

pemahaman siswa terhadap materi pengurangan risiko bencana yang tim KIPRa dan Oxfam berikan.

Bayu Aditya Aplinintino, siswa Kelas 6 SDIT Permata Hati, “Saya senang ada acara pemutaran film dan kuis dari kakak-kakak KIPRa dan Oxfam. Belum pernah sebelumnya ada acara seperti ini. Sebenarnya, saya sudah tahu bahwa kita tidak boleh buang sampah sembarangan atau menggunduli hutan, tapi ya cuma tahu kayak begitu saja. Tidak dikasih tahu tentang cara menyelamatkan diri saat banjir. Dulu saya suka juga sih buang sampah sembarangan. Sekarang saya mau berubah. Saya tidak mau kebanjiran lagi karena jadi tidak bisa sekolah dan bermain dengan teman-teman.”

• Foto: Dok. KIPRa

102MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Usia boleh senja, tapi soal belajar, Roos Martha Sugiare atau biasa dipanggil Mama Juju tak mau kalah dari yang lebih muda. Mama Juju adalah salah seorang kader TSBK Hamadi. Ia adalah salah satu pelopor terbentuknya TSBK Hamadi. Bukan saja memelopori, Mama Juju juga tak segan turun lapangan demi memberi contoh nyata kepada yang muda untuk aktif terlibat kegiatan pemeliharaan lingkungan.

Dari menanam pohon di sepanjang pantai sampai bersih-bersih lingkungan, Mama Juju tak pernah absen. Masih panjang daftar aksinya; mengimbau dan mengajar warga sekitar untuk ikut aktif kegiatan waspada bencana, menyumbang tenaga di dapur umum, dan rajin urun suara dalam setiap pertemuan antar anggota TSBK dan tim KIPRa - Oxfam.

• Foto: Dok. KIPRa

103KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Menurut Mama Juju, sejak muda ia sudah aktif ikut organisasi perempuan dan kemanusiaan. “Cuma, organisasi zaman dulu tidak secanggih sekarang. Kalau dulu kan tidak ada yang namanya presentasi pakai layar, pakai komputer, lalu ada data-data yang lengkap. Misalnya, ada data daerah ini lebih rendah dari daerah sekitarnya sehingga lebih rawan banjir. Lalu ada handphone. Kita jadi bisa berkomunikasi dengan cepat saat bencana. Si A perlu ini, atau si B perlu itu. Saya banyak belajar dari KIPRa, Oxfam dan teman-teman di TSBK. Karena kalau tidak, kita akan ketinggalan zaman dan lamban mengantisipasi dampak bencana. Lagipula, belajar tidak kenal usia, bukan?”

Maka jangan heran, jika tubuh Mama Juju masih terlihat kuat dan sigap. Pancaran mukanya ramah dan wawasannya luas. Bahkan

menurut salah seorang tim Oxfam, jika ada konflik antar warga Hamadi dan musyawarah tidak kunjung mencapai kata sepakat, panggil saja Mama Juju. Niscaya suaranya akan didengar oleh kedua pihak yang bertikai sehingga perdamaian pun akan tercapai.

Bicara mengenai pengenalan dini terhadap datangnya bencana, Mama Juju memiliki satu keinginan, yaitu agar masyarakat tidak melupa-kan kearifan masyarakat lokal. Dengan kata lain, belajar membaca tanda-tanda yang dikirim oleh alam.

Misalnya, ketika burung-burung terbang rendah berbondong-bondong dari lautan menuju daratan, itu artinya akan ada badai di laut yang mungkin menerjang pantai. Atau ketika kucing-kucing dan hewan-hewan lain bertingkah aneh, naik ke atap dan tidak

• Foto: Dok. KIPRa

104MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

mau turun lagi, itu artinya akan datang gempa atau bencana lain di sekitar kita.

“Saya mau belajar dari kecanggihan teman-teman yang lebih muda. Tidak ada salahnya juga jika yang muda belajar kearifan lokal dari orangtua. Dengan begitu, ilmu kita akan semakin lengkap dan jumlah korban dapat diperkecil,” kata Mama Juju.

Perempuan di Garda Depan

Suara bergemuruh datang dari arah belakang rumah. Terdengar teriakan tetangga mengabar-kan bahwa air sudah mulai naik ke pemukiman. Ratusan warga sontak siap-siaga. Sebagian langsung berlari ke luar rumah menuju daerah yang lebih tinggi. Sebagian lagi sibuk menyelamatkan harta benda. Dalam keadaan panik, semua orang nampak ingin menyelamat-kan dirinya sendiri lebih dulu.

Semua orang? Tidak! Para mama tidak ber-pikir mengenai dirinya sendiri. Mengikuti naluri, kaum ibu lebih mendahulukan keselamatan anak-anaknya, meski harus bertaruh nyawa sekalipun. Kepedulian perempuan terhadap keluarganya, itulah yang menjadikan mereka, anak-anak, dan kaum disabilitas dipandang sebagai kelompok paling rentan bencana.

“Jadi bukan masalah gender. Di Jayapura, kedudukan perempuan dan laki-laki sama pentingnya. Hanya naluri saja yang mem- bedakan. Sudah banyak contoh perempuan bisa berperan penting bahkan memimpin

kelompok tanggap bencana. Di TSBK sudah banyak contohnya,” kata Oktavina Kambu ketua forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Jayapura.

Gerak dinamis dan peran penting perempuan dalam pengurangan risiko bencana sudah diakui oleh para pria anggota TSBK. Menurut Surono (Ketua TSBK Koya Barat), separuh anggota TSBK di daerahnya adalah perempuan.

Bahkan salah satu kader kader atau pelopor terbentuknya TSBK di Koya Barat adalah perempuan, yaitu Agustina Rachel Sadi. Agustinalah yang dengan cepat mendata korban banjir dan mengirim berita ke tim KIPRa dan Oxfam mengenai bencana yang terjadi di wilayahnya akhir tahun lalu.

Hal yang kurang lebih sama juga berlaku di TSBK-TSBK lainnya. Perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki yang aktif dalam sosialisasi dan pelatihan terkait kebencanaan, nyaris tidak ada bedanya. Seperti laki-laki, perempuan juga mampu berada di garda depan.

105KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Saat burung-burung terbang rendah dari laut menuju darat, saat itulah akan datang gelombang besarmenghantam pantai. Bersiaplah!

• Foto: Dok. KIPRa

106MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Pemukiman padat penduduk nyatanya tak cuma monopoli Jakarta. Di Jayapura, tepatnya di kelurahan Gurabesi, ada juga pemukiman padat dengan jarak rumah rapat-rapat. Seperti pemukiman padat yang lain, Gurabesi juga rawan kebakaran yang diakibatkan korsleting atau arus pendek. Menurut Melly Mofu, Ketua RT 01 Gurabesi, kebakaran paling sering terjadi saat musim liburan. Entah itu Natal, Idul Fitri, atau Tahun Baru saat kebutuhan listrik sedang mencapai puncak.

Repotnya, saat kebakaran terjadi, mobil pemadam sulit mencapai permukiman. “Jadilah

kami ini yang harus selalu siaga. Saya selalu ingatkan warga supaya jangan lupa mematikan listrik saat tidur atau meninggalkan rumah. Pun kebakaran tetap terjadi, ya tetap kami-kami ini yang harus bertindak lebih dulu. Kami ambil air sungai lalu diestafetkan sampai ke lokasi kebakaran. Pernah juga kami rubuhkan satu rumah agar api tidak meluas. Pasalnya, kalau menunggu petugas dapat memasuki per-kampungan, apinya keburu meluas ke mana- mana,” jelas Melly.

Selain kebakaran, Kelurahan Gurabesi juga rawan banjir dan longsor. Di daerah ini, bencana

• Foto: Dok. KIPRa

107KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

terbesar terjadi pada 1967 dan 1985. Awal tahun 1967, sekitar bulan Februari, terjadi banjir bandang yang menghanyutkan puluhan rumah. Pada 1985, tanah longsor kembali meluluh- lantakkan kediaman penduduk hingga memakan korban 17 jiwa melayang. Tak terhitung kerugian harta benda. Hingga saat ini, ancaman banjir, longsor dan kebakaran masih menjadi momok warga Gurabesi. “Setahun bisa 2-3 kali banjir,” kata Melly.

Karena itulah, pemahaman terhadap manajemen bencana sangat diperlukan. Hal ini disadari betul, selain oleh Melly, juga oleh Lidya Mofu. Lidya yang masih kerabat Melly adalah sekretaris TSBK Gurabesi. Menurut Lidya, ia belajar banyak dari KIPRa dan Oxfam mengenai bagaimana mengurangi risiko bencana. Kalau air di hulu sudah meluap, Lidya akan menelepon warga lain agar selalu waspada. Surat-surat berharga harus lebih dulu dimasukkan ke dalam tas yang siap bawa. Bersama Melly, ia juga mengingatkan para tetangga untuk jangan tidur terlalu lelap di malam hari karena pada saat itulah biasanya banjir datang.

Urusan bencana bukanlah urusan Lidya atau Melly saja. Bencana adalah urusan semua orang. Kerjasama dengan semua pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat adat dan agama mutlak diperlukan. Lidya bercerita, “Kami banyak dibantu juga oleh pemerintah dan kepolisian. Waktu gereja kami dihantam gelombang pasang dari laut, segenap warga dibantu polisi bergotong-royong

membangun tanggul. Kebetulan, salah satu anggota TSBK yang sangat aktif dan berdedikasi adalah anggota Binmas Polres Jayapura Kota, yaitu Pak Abdul Hamid.”

Dengan pihak gereja, TSBK Gurabesi pun menjalin hubungan baik. Bergotong- royong, berbekal bantuan 100 pohon dari Dinas Kehutanan, mereka mengadakan penghijauan di bukit-bukit yang telah meng- gundul. Plus, kerja bakti membersihkan lingkungan dan mengangkut sampah-sampah, terutama sampah plastik. Lingkungan bersih, indah dipandang, risiko banjir dan longsor pun berkurang.

Bank Sampah

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sebagian besar penduduk sudah terlelap. Namun anggota TSBK justru ke luar rumah untuk mengumpulkan sampah. Mau di kemanakan sampah-sampah itu? Apakah

• Foto: Dok. KIPRa

dibakar atau dibuang begitu saja? Ternyata tidak! Oleh Lidya, sampah-sampah tersebut diolah menjadi hiasan rumah yang cantik. Botol minuman kemasan disulapnya menjadi bunga atau lampion. Dicat warna cerah, lalu digantung di teras atau dirangkai menjadi pajangan meja dan tirai jendela.

Kerajinan tangan hasil karya Lidya juga laku dijual ke sekolah-sekolah TK dan bazaar yang diadakan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat.

Sementara sampah-sampah kertas yang kondisinya masih baik, dijual ke Bank Sampah. Untuk 10 kilogram sampah kertas, mereka mendapat upah sebesar Rp 10 ribu. Uang itu boleh langsung diambil atau disimpan sebagai kas TSBK Gurabesi.

Lingkungan bersih,indah dipandang, risiko banjir dan

longsor pun berkurang

• Foto: Dok. KIPRa

109KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Jika satu hari Anda berkunjung ke Koya Barat di Papua, tak perlu heran melihat sapi dan kambing berjejer di sepanjang jalan. Ini bukan karena akan ada pesta besar-besaran. Tetapi perhatikan dulu cuaca dan lihat sekeliling Anda.

Jika cuaca sedang tak bersahabat dan mendung menutupi langit, berarti ternak-ternak itu adalah ternak yang akan dievakuasi warga agar tak hanyut oleh banjir yang kemungkinan besar datang melanda daerah transmigrasi itu. Bagi warga Koya Barat, ternak terutama sapi

adalah tabungan, lebih dari simpanan uang di bank. Maklum saja, harga jual hewan ini memang tinggi. “Misalnya Anda membeli bibit seharga 7 juta rupiah, dalam waktu satu atau dua tahun harganya bisa mencapai 10 juta bahkan lebih. Tergantung dari besaran sapi tersebut. Ini belum dihitung anak-anak yang dihasilkan oleh Si Sapi,” cerita Sutar, Sekretaris TSBK Koya Barat.

“Maka itu kalau banjir akan datang, selain surat-surat berharga, yang pertama kami

• Foto: Dok. KIPRa

110MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

selamatkan ya ternak. Kami bariskan berjejer- jejer di jalan raya. Itulah modal terakhir kami jika harta benda yang lain habis tersapu air,” ujarnya lagi.

Koya Barat adalah dataran rendah dengan ketinggian hanya 10 meter di atas permukaan laut. Daerah ini juga dekat dengan muara sungai Keroom yang kerap meluap saat ada hujan deras. Dua faktor inilah yang membuat Koya Barat menjadi langganan banjir.

Tercatat, pada sekitar tahun 1986-1987, pernah terjadi banjir besar yang melebihi tinggi pinggang orang dewasa, memakan banyak korban harta benda. Setelahnya, banjir tetap datang setiap tahun walau kerugian yang

tercatat tidak sebesar pada tahun 1986-1987 itu, kecuali pada tahun 2012 lalu saat banjir menggenangi ribuan hektar sawah dan kebun serta pemukiman dan membuat ribuan penduduk terpaksa mengungsi.

“Sekarang sih, kami sudah lebih waspada. Pokoknya, kalau dari atas (Koya Karang) awan sudah gelap, itu tanda-tanda kami sudah harus waspada. Kami sudah belajar cara membaca peringatan dini bencana, sejak bergabung dengan TSBK dampingan KIPRa. Saya pribadi juga bergabung dengan tim siaga bencana bentukan Dinas Sosial. Istilahnya, warga dan perangkat Kelurahan sudah paham, kalau ada bencana, pasti saya dipanggil untuk bantu- bantu,” kata Surono, Ketua TSBK Koya Barat.

• Foto: Dok. KIPRa

111KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Belajar dari Pengalaman

Sudah lebih dari 20 tahun, warga Koya Barat menjadi pelanggan tetap bencana banjir. Berdasarkan pengalaman itu, mereka mahfum bahwa bencana datang bukan karena faktor alamiah semata. Ada campur tangan manusia yang membuat bencana terus terjadi.

Di antaranya adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan dan penebangan pohon- pohon secara serampangan. Karena itu, secara berkala TSBK dibantu warga lain dan aparat setempat bekerja bakti membersihkan saluran drainase, mengumpulkan sampah-sampah yang banyak tercecer di jalan, serta melakukan penanaman pohon.

Di samping kerja bakti, Surono dan kawan-kawan juga kerap mengimbau sesama warga untuk tidak buang sampah sembarangan.

“Kami sempat membuat surat edaran mengenai pentingnya menjaga kebersihan. Juga pernah menyampaikan ke masing-masing ketua RT/RW di Koya Barat ini,” jelas Surono.

Lebih jauh Surono berkisah, bahwa sampah di daerahnya bukan cuma disebabkan ada warga setempat yang kurang kesadaran. “Orang luar juga sering buang sampah seenaknya. Mobil-mobil lewat, tahu-tahu jendela terbuka dan sampah melayang ke jalan. Sering seperti itu. Di jalan raya dekat sini, setiap hari ada pasar buah dan sayur segar seperti di Puncak. Di sana banyak orang datang berbelanja, sekaligus jadi banyak sampah. Spanduk pernah dibuat, tapi tak dihiraukan,” kata ketua TSBK ini seraya menunjuk arah pasar yang dimaksud.

“Bersih-bersih tentu jalan terus. Itu salah satu antisipasi. Antisipasi lain adalah pemerintah membuatkan tanggul supaya air dari sungai

• Foto: Dok. KIPRa

112MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

113KOMPILASI PENGELAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Mobil-mobil lewat,jendela terbuka, dan sampahmelayang ke jalan. Sebagian

sampah diterbangkan angin dan menyumbat saluran drainase

bisa tertampung dengan baik dan tidak lari ke pemukiman kami,” harap Surono.

Kami Mau Belajar

Ketika tim Oxfam berkunjung ke Koya Barat, salah satu anggota tim TSBK bercerita mengenai Bank Sampah dan upaya kreatif TSBK Gurabesi yang berhasil menyulap sampah menjadi kerajinan tangan.

Cerita itu disambut dengan antusias oleh anggota TSBK Koya Barat yang ternyata belum pernah mendengar tentang Bank Sampah. Menurut mereka, selama ini sampah-sampah yang ada hanya dibakar begitu saja.

Harapannya TSBK Koya Barat dipertemukan dengan tim dari kelurahan lainnya, seperti Gurabesi, Hamadi dan Entrop. Agar masing- masing anggota TSBK bisa saling belajar dan bertukar pengalaman tentang bagaimana caranya menyulap sampah menjadi bernilai ekonomis.

• Foto: Dok. KIPRa

114MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA • Foto: Eka Nickmatulhuda

115KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

FLORES TIMUR

BAB 5

116MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Sebuah parit beton sepanjang 600 meter dibangun melingkari hampir setengah Desa Pajinian, di Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur. Parit dibangun untuk melindungi desa dari luapan banjir yang kerap datang dari kiriman ladang-ladang milik warga Desa Ile Pati di bukit belakang Desa Pajinian.

Pembangunan parit merupakan bagian dari program Program Membangun Ketahanan terhadap Bencana. Program difasilitasi Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) bersama Oxfam atas dukungan dari Pemerintah Australia.

Desa Pajinian menjadi sasaran program ini karena kerentanan desa menghadapi banjir. Desa ini berpenduduk 699 jiwa dengan 151 kepala keluarga hidup tersebar di dua dusun. Cikal bakal desa ini berdiri sejak 1979, pada masa Drs. Anton Buga Langoday menjadi Bupati Flores Timur.

Menurut salah satu pihak yang terlibat dalam program, Krispinus Gelalang, dulunya desa tak terkena banjir ketika bukit di balik kampung masih lebat dengan pohon-pohon ukuran besar. Desa menjadi langganan banjir ketika bukit di balik kampung berubah menjadi ladang

berpindah atau “tebas - bakar”. Banjir tahunan kerap memporak-porandakan rumah penduduk, menghanyutkan harta benda, serta menyisakan genangan air yang menyebabkan penyakit.

Masyarakat tidak pernah menerima begitu saja masuknya banjir. Mereka bekerja keras untuk mengendalikan luapan banjir dari Bukit Korok dan Kali Waikoak. Pernah masyarakat desa bahu membahu penghadang banjir dengan membuat timbunan batu dari Kali Waikoak. Namun, hasilnya belum dapat diandalkan. Air justru dapat menembus tumpukan batu dan menyebar liar ke dalam kampung.

Pada Juni 2010, YPPS datang ke desa ini dengan menawarkan solusi atas permasalahan banjir yang dihadapi masyarakat Desa Pajinian. Mereka tak menawarkan solusi yang langsung jadi, tapi mengajak masyarakat desa berdiskusi bersama lewat beberapa pertemuan kampung. Secara teknis istilah ini disebut kajian kapasitas dan kerentanan secara partisipatif. YPPS melakukan kegiatan ini sepanjang November 2012 hingga Februari 2013 melalui lanjutan dari program sebelumnya, yaitu Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana, didukung oleh Pemerintah Australia dan Uni Eropa.

Lewat kajian partisipatif dengan masyarakat, akhirnya disepakati opsi membangun parit untuk menghindari banjir di desa. Oxfam melalui YPPS mengalokasikan dana stimulan sebesar Rp 10 juta untuk pembangunan parit sepanjang 225 meter pada 2011. Prestasi itu

• Foto: Dok. YPPS

118MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Banjir tahunan kerap memporak- porandakan rumah penduduk, menghanyutkan harta benda,

serta menyisakan genangan air yang menyebabkan penyakit

119KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

mendapat apresiasi ketika Oxfam mengunjungi desa itu. Maka dana sebesar Rp 90 juta dialokasikan untuk membangun parit pada 2013. Pembangunan parit ditambah sehingga panjang bertambah 325 meter menjadi 600 meter. Setiap dana yang disalurkan hanya untuk biaya material, sementara proses pembangunan melibatkan masyarakat desa.

Selain gerakan mengatasi banjir, program ini membangun kebun bebas banjir dengan teknik pembangunan terasering dan jebakan air. Di samping itu juga menanam anakan bakau secara swadaya di tepian pantai oleh kelompok Perempuan Tangguh di desa itu.

Kaum perempuan dilibatkan secara khusus dalam kegiatan untuk mengatasi abrasi pantai. Kelompok Perempuan Tangguh sebagai pelaksana kegiatan mendapat alokasi biaya Rp 5,4 juta untuk pengembangan usaha produktif.

Selain itu, program ini melibatkan perempuan dalam kegiatan membangun daya tahan ekonomi yakni dengan menanam sayur dan mem- produksi minyak kelapa. Melalui usaha produktif ini, para perempuan sering bertemu dan membangun komitmen aksi mengurangi risiko bencana. Praktik baik Perempuan Tangguh Flores Timur ini kemudian mendapat kunjungan dari Kelompok Perempuan Tangguh dari Nusa Tenggara Barat pada 8 November 2013 lalu.

• Foto: Dok. YPPS

120MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Gagasan Visioner

Untuk mengatasi ancaman abrasi pantai, sebuah draf Peraturan Desa (Perdes) tentang konservasi Pantai sedang disiapkan dan kini dalam tahap asistensi. Kepala Desa Pajinian Siprianus Tarto mengatakan masyarakat dan pemerintah desa terbuka untuk bekerja sama dengan pihak manapun. “Syaratnya, jangan berbenturan dengan kultur masyarakat sebagai petani,” kata Siprianus.

Menurutnya, sukses program pengurangan risiko bencana berjalan dengan dukungan yang terorganisir dari Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Tim ini terdiri dari 18 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. YPPS membantu tim ini dengan sejumlah latihan penguatan kapasitas.

Berkat berbagai kegiatan dalam Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana ini, masyarakat Desa Pajinian makin percaya diri dan memiliki kapasitas membangun desanya. Dalam pertemuan di kantor desa pada 14 November 2013, mereka menyatakan memiliki keyakinan dapat melanjutkan program yang telah dikerjakan bersama YPPS. Tak ada kecemasan bila suatu saat lembaga ini meninggalkan masyarakat desa.

121KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Sukses program Pengurangan Risiko Bencana berjalan dengan dukungan yang terorganisir dari

Tim Siaga Bencana Desa (TSBD)

• Foto: Dok. YPPS

122MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Bukit Barahia dan Bejaja Mumuk tegak meng- gapai langit. Lembah di bawahnya dibelah oleh Kali Belen hingga menjangkau pantai Laut Flores. Di dua bukit itu, di masa silam, orang Lamatou di komunitas adat Lewolema berkebun dengan cara ladang berpindah.

Jarak kebun yang jauh dari kampung Lamatou memaksa para petani menghemat waktu dan tenaga. Mereka pun mendirikan pondok yang tidak sekadar untuk berteduh, tapi layak huni. Mereka menetap di kebun selama beberapa hari.

Lambat laun lembah di bawah bukit-bukit itu berkembang. Bermunculan hunian-hunian kecil hingga menjadi kampung yang saat ini disebut Kampung Welo. Penghuni Kampung Welo terus berkembang.

Kampung yang terbagi dua dusun itu dihuni oleh 555 jiwa penduduk dengan 149 kepala keluarga, terdiri dari 269 laki-laki dan 286 perempuan. Sebanyak 235 orang bekerja sebagai petani, selebihnya bekerja di sektor lain sambil merangkap sebagai petani.

• Foto: Dok. YPPS

123KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Sepuluh tahun setelah lembah Welo ber- penghuni, pada tahun 1940, Kali Belen meluap. Rumah-rumah dan harta benda terendam air yang kemudian menyisakan genangan air dan disusul wabah penyakit. Dua puluh tahun kemudian, tepatnya 1960 terjadi lagi banjir kedua. Menyusul lagi tahun 1982, Maret 2012, dan Januari 2013. Jarak antara kejadian satu dengan yang lainnya semakin pendek.

Pasca banjir Maret 2012, YPPS mendatangi kampung ini. Sebuah kajian awal dilakukan, disusul kajian kapasitas dan kerentanan bersama masyarakat. Lalu dimulailah program pengurangan risiko bencana di kampung ini. Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) dan kelompok Perempuan Tangguh terbentuk untuk bersama-sama menggerakan partisipasi masyarakat. Berbagai penguatan kapasitas masyarakat dilakukan.

Kalangan perempuan di kampung ini men-catatkan peran yang tidak kecil. Mereka aktif menggelar sejumlah aksi, mulai dari penanaman bambu di pinggiran Kali Belen, aksi Jumat bersih di kampung, dan melakukan kegiatan Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP).

Ada beberapa faktor yang membuat program di wilayah ini berhasil. Pertama, kegiatan TSBD dan Perempuan Tangguh terintegrasi ke dalam kelompok-kelompok masyarakat di komunitas. Seperti Kelompok UBSP dan Komunitas Basis Gerejani (KBG).

Kedua, mendorong pengurangan risiko bencana ke dalam program pembangunan desa. Dengan melakukan kerja sama multipihak di bawah koordinasi pemerintah desa.

Ketiga, budaya dan kearifan lokal. Semangat gotong royong dalam proses perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program. Pendekatan yang berbasis sosio-kultural membuahkan partisipasi dan swadaya.

Keempat, peran kaum perempuan yang aktif di kampung ini. Mereka aktif menyampaikan gagasan-gagasan cerdas dalam setiap per-temuan. Bukan hanya bicara, mereka juga terjun langsung ke lapangan.

Koordinator TSBD, Hendrikus Hugo Hekin mengatakan, beberapa kegiatan telah dilakukan untuk mengurangi risiko banjir; pembersihan Kali Belen melibatkan Kodim 1624 Flores Timur, juga perbaikan jaringan pipa air bersih dan

• Foto: Dok. YPPS

124MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

pembangunan rabat jalan usaha tani (JUT) sepanjang 440 meter.

Selama YPPS memfasilitasi warga di Kampung ini, mereka selalu melakukan evaluasi bersama setiap bulan. Selain melakukan analisis kapasitas dan kerentanan kampung secara partisipatif sampai dengan menghasilkan dokumennya, warga juga mendapatkan pelatihan bagaimana mengembangkan gagasan-gagasan ke dalam rencana kegiatan dan proposal.

Dari analisis, Kampung Welo tidak hanya terancam banjir. Dalam kegiatan analisis kapasitas dan kerentanan Desember 2012 hingga Februari 2013 tercatat bahwa Kampung Welo selain ancaman banjir, tetapi juga abrasi, kekeringan, wabah penyakit dan angin kencang.

Kalangan perempuan di kampung ini mencatatkan peran yang

tidak kecil. Mereka aktif menggelar sejumlah aksi.

125KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH • Foto: Dok. YPPS

126MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Syahdan, puluhan tahun silam ombak tak sampai menjangkau pantai. Sedikit tersisa di bibir pantai, gelombang laut Flores yang garang terhadang barisan karang kokoh serta rimbunnya hutan bakau hingga pecah berderai.

Itulah riwayat masa silam pantai Kolidatang dan Laka di kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur seturut ingatan warga pesisir. Lain dulu lain sekarang. Kini ombak tidak hanya mencapai bibir pantai, tapi merangsek masuk bahkan melampau jalan raya yang membelah Desa Kolaka.

Maka, bangunan sekolah dibayang-bayangi ancaman. Ratusan pohon kelapa layu dan mati meranggas terendam air asin. Kejayaan industri garam tradisional milik para perempuan Kolaka di masa lalu itu kian terhimpit. Jalan raya yang menghubungkan desa-desa sekitar dan Larantuka -ibu kota kabupaten Flores Timur- terancam putus digerus abrasi.

Semua itu tak lepas dari ulah manusia. Maraknya pemboman ikan dan penebangan bakau di masa lalu telah membuka lebar jalan bagi abrasi pantai. Dampaknya dirasakan

• Foto: Dok. YPPS

sekarang. Desa yang porak poranda oleh tsunami tahun 1992 itu teruji oleh aneka bencana.

Merunut sejarah silam, laut depan Kolaka tempo dulu berlimpah ikan. Nelayan-nelayan dari berbagai penjuru berdatangan, berhari-hari melaut untuk menangkap ikan dan berteduh di daratan sepulang dari laut. Di musim sepi melaut, mereka berkebun dan menetap tinggal di tempat ini. Itulah cikal bakal kampung Kolidatang dan Laka, yang kemudian mem- bentuk Desa Kolaka.

Petrus Petu Maran, mantan kepala desa yang kini menjabat ketua Badan Perwakilan Desa (BPD), menyebutkan bahwa 2 persen penduduk Laka adalah “anak tanah” alias penduduk asli. Selebihnya pendatang dari berbagai daerah. Di Kolidatang bahkan semuanya pendatang. Di sinilah terjadi perjumpaan bahasa dan budaya Melayu yang pendatang dengan penduduk asli Lamaholot. Lahirlah dialek yang khas.

Jumlah penduduk Desa Kolaka total 1.060 jiwa yang terdiri dari 239 kepala keluarga dengan komposisi 574 perempuan dan 486 laki-laki. Agama dan keyakinanpun mewarnai kehidupan di desa ini. Sekitar 71,5 persen penduduk beragama Katolik dan 28,5 persen beragama Islam.

Laut Flores yang kaya ikan di bagian timur desa ini senantiasa menghidupi 92 orang nelayan di desa ini, juga menjangkau desa Lewobunga di Utara, Sina Malaka di Selatan, dan Ratu Lodong

• Foto: Dok. YPPS

di barat. Selain nelayan, 223 orang berprofesi sebagai petani. Sementara, pegawai negeri dan tukang adalah kelomppok kecil yang juga merangkap sebagai petani.

Belajar Mengelola Bencana

Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) memiliki alasan untuk bekerja dan belajar bersama warga desa ini sejak 15 Desember 2010. Program yang diusung adalah Membangun Ketahanan terhadap Bencana (program sebelumnya) guna mem- bangun kedayatahanan masyarakat meng- hadapi bencana dan dilanjutkan dengan Program Membangun dan Memperkuat

128MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Ketangguhan terhadap Bencana. Wujudnya adalah proses belajar bersama pengurangan risiko bencana.

Masyarakat Kolaka belajar dan memastikan tersedianya kapasitas untuk menggagaskan rencana aksi Pengurangan Risiko Bencana. Maka terbentuklah di desa ini Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) dan kelompok Perempuan Tangguh sebagai ujung tombak.

Sejumlah aktivitas telah mewarnai kehidupan masyarakat Kolaka. Belajar bersama mengem-bangkan kajian partisipatif untuk mengukur kapasitas dan menakar kerentanan telah meng-hasilkan “Dokumen Analisis Kapasitas dan Kerentanan” Desa Kolaka, Tanjung Bunga, Flores Timur sebagai pedoman program dan kegiatan PRB. Kajian partisipatif yang konsep-sional, obyektif, sistematik, tepat sasaran dan partisipatif.

TSBD yang berjumlah 14 orang, ditambah kelompok Perempuan Tangguh dan elemen masyarakat lainnya punya agenda tetap setiap minggu yang disebut aksi Jumat Bersih. Tim ini juga bergerak di awal musim hujan untuk memangkas pohon-pohon yang mengancam rumah penduduk jika musim hujan tiba disertai hembusan angin kencang. Juga pembersihan saluran air dan 14 unit sumur. Kegiatan Jumat Bersih, karena selain ancaman abrasi pantai, desa inipun rentan dengan wabah penyakit. Kebersihan sumur sebagai syarat bersihnya air minum.

Di kawasan pesisir dan laut, TSBD, Perempuan Tangguh dan elemen masyarakat lainnya me-melopori penanaman bakau. Untuk melindungi bakau muda dan rapuh ini, dibangun talud pengaman pantai dari bahan lokal. Sejak tahun 2012 telah ditanam 20 ribu pohon bakau muda selama tahun 2012 dan 2013.

Selama proses kegiatan upaya-upaya mengurangi risiko yang disebutkan di atas, warga Kolaka belajar bagaimana mengenali kerentanan, ancaman dan risiko yang ada di desa mereka. Kemudian mereka bersama mencari solusi untuk mengurangi risiko tersebut. Sehingga mereka menjadi optimis bahwa dengan belajar dari pengalaman bersama YPPS dalam upaya mengurangi risiko bencana di lingkungan mereka, mereka menjadi lebih siap menghadapi ancaman bencana lainnya di kemudian hari.

Belajar dari pengalaman bersama YPPS dalam upaya mengurangi risiko bencana di lingkungan mereka, mereka

menjadi lebih siap menghadapi ancaman bencana lainnya

di kemudian hari

129KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH • Foto: Dok. YPPS

130MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Tak jauh dari bibir pantai, sebuah bangunan berpagar tegak berdiri di pinggir jalan Kampung Laka, Desa Kolaka, di sisi kanan dari arah Larantuka. Sebuah prasasti menempel di dinding pintu utama gedung. Logo AusAid -dua ekor kanguru kembar (logo kerjasama antar pemerintah milik Australia yang lama)- tertera di prasasti.

Itulah gedung Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 Tanjung Bunga, Unit Sekolah Baru (USB) dalam program AIBEP (Australia- Indonesia Basic Education Program). Unit ini kembarannya Sekolah Satu Atap (Satap) yang juga disponsori AIBEP.

Seturut lokasinya yang tidak jauh dari pantai, debur ombak menjadi santapan rutin dan aroma air laut menjadi sajian harian bagi anak-anak yang menuntut ilmu di sekolah itu. Yang pasti, abrasi di Kolaka juga mengancam bangunan SMPN 3 Tanjung Bunga.

Lingkungan sekolah ini masih dibayang-bayangi luapan air laut. Pukulan ombak sering merangsek masuk ke lingkungan sekolah. Saat pasang, perumahan guru-guru yang langsung membelakangi bibir pantai Kolaka juga sering diterjang ombak yang menyisakan genangan.

131KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

• Foto: Dok. YPPS

132MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Ancaman itu tentu tak dibiarkan begitu saja. Dua tahun lalu, kata Kepala Sekolah Rofinus Kelake Tura, pihaknya bersama YPPS mem- bangun sebuah tanggul sederhana meng- gunakan 60 buah gorong-gorong yang disusun berjejer menahan ombak. Di dalam gorong-gorong itu diisi pasir. Itulah salah satu kegiatan yang dilaksanakan melalui program pengurangan risiko bencana yang didanai oleh Pemerintah Australia dan Uni Eropa.

Gorong-gorong itu belum cukup mengatasi masalah. Pasir yang tergulung ombak terus membukit di hadang tanggul gorong-gorong ini. Karena itulah, tanggul gorong-gorong itu nyaris terbenam.

Pihak sekolah pun mendorong pembangunan talud agar lingkungan belajar ini selamat dan anak-anak asuhannya bisa dengan tenang menuntut ilmu. Jika dibiarkan, proses belajar mengajar niscaya terganggu.

Sebelum bersama YPPS, upaya mengatasi masalah abrasi telah dirintis sejak 2009. Melalui kegiatan pramuka, pihak sekolah berinisiatif menanam berbagai jenis pohon di pinggir pantai. Program itu dilanjutkan dan diperkaya dengan dukungan YPPS.

Melalui rencana aksi sekolah (RAS) dilakukan penanaman bakau untuk menyambung aksi yang sudah dilakukan masyarakat. Kegiatan

• Foto: Dok. YPPS

133KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

seperti ini sekalius menjadi media belajar tentang lingkungan dan perubahan iklim bagi anak-anak sekolah.

Tekla Namang, pengasuh mata pelajaran Bahasa Inggris yang juga salah satu anggota TSBD Kolaka, menyatakan bahwa menjadi guru di sekolah ini membuahkan pengalaman yang berbeda dengan rekan-rekan guru di tempat lain. Menjadi sensasi dan motivasi tersendiri ketika menjalankan tugas mengajar di tengah kondisi sekolah yang terancam terjangan air laut.

Berkegiatan dalam kondisi kurang nyaman ini justru membuat Kepala Sekolah Rofinus Kelake Tura dan para guru SMPN 3 sangat yakin tentang pentingnya perencanaan pembangunan berbasis kajian risiko bencana. Langkah ini menjadi sangat penting mengingat pembangunan sekolah ini awalnya kurang mempertimbangkan risiko yang bakal terjadi di kemudian hari.

Pengalaman mengatasi potensi bencana ini juga ditularkan pihak sekolah ke masyarakat sekitar. Tekla Namang misalnya, kerap berbagi pengetahuan di Desa Kolaka. “Jika YPPS saja berpikir untuk menyadarkan masyarakat perihal ancaman abrasi pantai, lalu kita bagaimana? Menggagas dan melaksanakan aksi-aksi pengurangan risiko bencana adalah tanggung jawab kita,” katanya.

Edukasi ke masyarakat memang merupakan antisipasi paling mendasar. Sebab, abrasi pantai yang kini mengancam sekolah itu tak

lepas dari perilaku sebagian angggota masyarakat yang sering menebang bakau dan mengambil kayu tepi pantai untuk mengolah garam. Setelah sering dilakukan edukasi, kini masyarakat mulai sadar dan giat menghutankan kembali pantai Kolaka dengan penanaman bakau.

Dengan demikian, kata kuncinya adalah penguatan kapasitas mengantisipasi dan mencegah abrasi. Penguatan kapasitas tak hanya ke sekolah, tapi juga masyarakat. Pada waktunya, bantuan dari pihak luar akan berakhir. Namun, semangat dan kesadaran yang terbangun akan terus menyala.

Kegiatan seperti ini sekaligusmenjadi media belajar tentang

lingkungan dan perubahan iklim bagi anak-anak sekolah

134MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Ancaman bencana untuk Desa Nurri, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, seakan datang dari delapan penjuru mata angin. Abrasi pantai berlangsung setiap hari, banjir laksana agenda tahunan, letusan Gunung Lewotobi terus mengintai, juga kekeringan, dan kebakaran. Padang savana yang kering di lereng gunung api kembar Lewotobi adalah pangkal kebakaran di musim kemarau dan banjir kala hujan.

Warga desa sebanyak 674 jiwa -330 laki-laki dan 344 perempuan- ini rawan menjadi korban bencana. Siaga menghadapi bencana pun menjadi keharusan. Masyarakat harus memahami bencana sekaligus memetakan kapasitas menghadapinya. Apa yang terjadi?

Syahdan, dahulu masyarakat pada umumnya masih memahami bencana sebagai kutukan leluhur. Tanggapannya adalah sikap pasrah sembari menggelar ritual adat kepada leluhur untuk mohon pengampunan. Di satu sisi kearifan lokal ini baik sebagai wujud spiritualitas, namun di sisi lain bisa jadi kurang tepat. Maka, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) datang ke desa ini melakukan penguatan kapasitas masyarakat Nurri, Oktober 2009.

YPPS mulai dengan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBM). Pemahaman mendasarnya adalah ada bencana yang bisa dicegah ada yang tidak. Apapun itu bisa berupaya mengurangi risikonya

135KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH • Foto: Dok. YPPS

136MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

dengan menguasai pengetahuan dan kebiasaan siaga secara bersama-sama.

Maka, YPPS berbaur bersama masyarakat Nurri. Para pendamping memfasilitasi proses belajar bersama memperkuat pengetahuan dan motivasi serta mengembangkan keterampilan praktis Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Pada pelaksanaannya, yang terjadi membangun kebersamaan dan saling berbagi pengalaman guna menemukan persoalan, menyadari kebutuhan, mengenal potensi, dan menggagas aneka rencana aksi.

YPPS adalah memfasilitasi pembentukan Tim Siaga Bencana Desa (TBSD). Awalnya beranggota 16 orang, kini 38 orang -18 laki – laki dan 20 perempuan. Jumlah bukan

masalah, yang terpenting apa yang mereka lakukan, apa inspirasi dan motivasi yang diberikan bagi pembangunan desa secara keseluruhan terutama dalam hal pengurangan risiko bencana.

TBSD merupakan kelompok terbuka yang mampu menggerakkan partisipasi masyarakat. Kini, TSBD Nurri telah membentuk kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) yang melibatkan masyarakat non TSBD. Sekali sebulan dilakukan transaksi simpan pinjam, sekaligus ajang saling berbagi pengalaman, memperkuat kebersamaan dan solidaritas, dan menyepakati rencana-rencana aksi bersama.

Untuk megantisipasi ancaman kebakaran dan banjir misalnya, TSBD merintis upaya mem-

• Foto: Dok. YPPS

137KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

bangun sabuk hijau di lokasi rawan. Hasilnya, pada 2010 sabuk hijau terhampar sepanjang 3 kilometer di jalan dari Desa Nobo Konga ke Nurri. Kini, di depan pabrik tepung ikan di pantai Nurri berjajar barisan pohon Nimba yang terus merimbun. Di tempat itu warga sudah mulai membangun rumah tinggal.

Selain itu telah ditanam 404 anakan bakau di pinggir pantai. Untuk melindungi anakan bakau yang baru ditanam ini, seluruh warga desa mem-bangun sebuah talud sepanjang 1 kilometer menggunakan karung-karung bekas berisi pasir.

Pengalaman sukses ini mendorong TSBD menggagas kebun belajar di lokasi rawan kebakaran lainnya yang tidak jauh dari tempat itu. Targetnya terbangun kebun belajar dengan sebuah pondok sebagai “Rumah Belajar”, tempat anggota TSBD saling bertemu.

Untuk itu telah disiapkan 1 hektare padang savana sebagai kebun belajar. Kebun ini telah dikapling menjadi 30 bagian masing- masing berukuran 17 x 20m. Setiap anggota TSBD mendapat satu kapling yang akan ditanami pohon mahoni untuk tanaman penghijauan. Di antara pohon mahoni kecil akan ditanam kacang hijau.

Menurut Koordinator TBSD Nurri, Benediktus Boli Witin, capaian paling utama dalam tiga tahun terakhir adalah menguatnya kapasitas TSBD tentang PRB yang mem-beri inspirasi dan motivasi, pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian setelah YPPS

dan Oxfam selesai memfasilitasi Desa Nurri, TSBD yang telah memiliki kapasitas memadai dapat diandalkan melanjutkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana di desa ini.

Berbekal kapasitas yang dimiliki, sejauh ini TBSD Nurri kerap melakukan simulasi bencana letusan gunung api dan tsunami untuk warga desa dan simulasi gempa bumi untuk murid-murid SDK Nurabelen. Anggota tim TSBD aktif melakukan sosialisasi PRB, membuat papan informasi kebencanaan/papan waspada di sembilan titik, pembersihan parit menjelang musim hujan, dan penanaman bakau bersama Perempuan Tangguh. Harapannya ke depan, bencana bukan lagi ancaman yang tidak dapat dikurangi risikonya.

Jumlah bukan masalah, yang terpenting apa yang mereka

lakukan, apa inspirasi dan motivasi yang diberikan bagi pembangunan

desa secara keseluruhanterutama dalam hal pengurangan

risiko bencana

138MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Sejalan dengan bencana beruntun di berbagai tempat seperti gempa dan tsunami Aceh, Nias, Yogyakarta serta banjir bandang di berbagai daerah. Bencana menjadi salah satu tantangan pembangunan nasional hingga diatur oleh undang-undang.

Di sebagian daerah, tindakan darurat bencana masih merujuk pola lama. Demikian juga di Kabupaten Flores Timur. Hingga 2009, warga kabupaten ini masih berparadigma tanggap darurat hanya jika terjadi bencana. Belum ada wacana tentang bencana sebagai salah satu isu pembangunan.

YPPS merujuk realitas itu sebagai kerangka implementasi lapangan Program Membangun Ketangguhan terhadap Bencana. Advokasi ke

pemerintah daerah menjadi pilihan strategis. Awalnya sosialisasi terbatas ke sejumlah instansi pemerintah daerah Flores Timur, September 20109, sekaligus menjajaki ketertarikan setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Selanjutnya pemetaan para pihak untuk pelaksanaan program ini. Sejumlah perwakilan dari pemerintahan diundang untuk terlibat latihan Penanggulangan Bencana pada bulan Desember 2009.

Bulan Januari 2010, para alumni latihan ini di-undang untuk melakukan refleksi bersama. Bertempat di aula BAPPEDA kabupaten Flores Timur berlangsung refleksi yang mengerucut pada agenda advokasi regulasi dan

139KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

kelembagaan. Gagasan ini kemudian diseminar-kan yang diikuti sejumlah pihak, seperti birokrat, pensiunan, guru, tokoh agama maupun pemuda.

Seminar ini juga menjadi ruang negosiasi dan perluasan konsep. Kelompok kerja (Pokja) ber-hasil menggalang dukungan masyarakat luas. Karena itu konsolidasi dan perluasan anggota Pokja menjadi agenda usai seminar ini. Tanggal 11 Februari 2010 berlangsung pertemuan awal Pokja untuk menggagas pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Flores Timur.

Gagasan sebuah kelompok kerja selanjut-nya disebarkan ke publik. Tanggal 2 Maret 2010 diselenggarakan seminar dengan tema, ”Pembangunan Berprespektif Pengurangan

Risiko Bencana: Regulasi dan Kelembagaan.” Hari berikutnya bertempat di pantai wisata Meting Doeng, Kelurahan Weri, Pokja dan sejumlah elemen peserta seminar mendiskusikan pelaksanaan teknis advokasi kebijakan PRB.

Di sinilah terbentuk Tim Kerja Advokasi yang diketuai oleh Direktur YPPS, Melky Koli Baran. Tim ini terdiri dari tim kerja basis, tim kerja pendukung dan tim kerja garis depan. Target tim ini untuk melahirkan regulasi dan kelembagaan PRB di Kabupaten Flores Timur.

Hingga Agustus 2010, Tim Kerja Advokasi berhasil menyusun Naskah Akademik dan rancangan peraturan daerah (Ranperda)

• Foto: Dok. YPPS

140MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Jalan masih panjang menuju tata kelola kehidupan dan

pembangunan di kabupatenFlores Timur yang aman

dari aneka ancaman bencana

• Foto: Dok. YPPS

141KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

PRB yang terdiri dari rancangan perda penanggulangan bencana dan rancangan perda Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sebuah pertemuan maraton dari tanggal 10-14 Agustus 2010 berhasil menyelesaikan kedua rancangan perda tersebut.

Berbekal dua rancangan perda Tim Kerja Garis Depan melakukan dialog ke Legislatif dan Eksekutif. Melalui sejumlah konsultasi dan negosiasi ke DPRD Flores Timur, tanggal 30 Maret 2011 kedua rancangan perda itu ditetapkan DPRD Flores Timur menjadi Perda Nomor 02 Tahun 2011 tentang Tata Laksana Penanggulan Bencana di Kabupaten Flores Timur dan Perda Nomor 05 Tahun 2011 tentang Badan Penggulangan Bencana Daerah Kebupaten Flores Timur. Kedua Perda ini disahkan pada tanggal 04 April 2011.

Menyongsong lahirnya BPBD sesuai amanat perda, Tim Kerja Advokasi mempersiapkan alat kelengkapan BPBD seperti Renstra BPBD, Tupoksi BPBD, Rencana Aksi Daerah, Analisis Risiko Dan Rencana Kontijensi. Tanggal 21 Januari 2012, kabupaten Flores Timur resmi punya BPBD.

Kini menjelang dua tahun usia BPBD Kabupaten Flores Timur, waktu yang belum cukup untuk membalikkan paradigma lama menjadi sepenuhnya paradigma baru dalam penanganan bencana di Kabupaten Flores Timur. Pola lama masih tampak dan hal baru perlahan tumbuh. PRB perlahan menjadi isu

pembangunan di sektor-sektor terkait sesuai sembilan ancaman di kabupaten ini, seperti banjir, longsor, letus gunung api, kecelakaan lalu lintas laut, kekeringan, kebakaran, gagal panen, wabah penyakit dan konflik sosial.

Sejalan terbentuknya BPBD kabupaten, Pokja Peduli Bencana Lewotanah Flores Timur pun beralih menjadi Forum Pengurangan Risiko Bencana Flores Timur dengan beranggotakan 29 orang dari berbagai unsur tokoh masyarakat, YPPS, SKPD-SKPD terkait, PMI, Dewan Pendidikan, Lurah, Delsos/Komisi PSE Keuskupan Larantuka, Tagana, lembaga agama, Polres Flotim, Kodim 1624 Flotim dan Polisi Pamong Praja.

YPPS bersama Oxfam melakukan penguatan kapasitas forum melalui berbagai pembelajaran dan pelatihan untuk membangun komitmen, wawasan, pengetahuan dan keterampilan. Terakhir tanggal 28-29 Nopember 2013, YPPS dan Oxfam bekerja sama dengan BPBD memfasilitasi Renstra untuk merumuskan visi dan misi serta program Forum untuk tiga tahun ke depan.

Upaya-upaya menuju kabupaten tangguh terhadap bencana yang dilakukan sejak tahun 2010 itu belum selesai. Jalan masih panjang menuju tata kelola kehidupan dan pem- bangunan di Kabupaten Flores Timur yang aman dari aneka ancaman bencana.

142MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

143KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

LOMBOKTIMUR

BAB 6

• Foto: Rodrigo Ordonez

144MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Indonesia adalah wilayah rawan bencana, dilihat dari sisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis. Posisinya di jalur vulkanik membuat Indonesia rawan terhadap dampak letusan gunung api. Indonesia juga berada di atas kerak bumi yang aktif di mana lima patahan lempeng bumi bertemu dan bertumbukan. Gempa besar dapat terjadi setiap saat.

Frekuensi bencana alam yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti mulai dari bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan gunung meletus. Belum lagi bencana yang secara langsung disebabkan oleh kegiatan manusia seperti kecelakaan di lokasi tambang.

Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki potensi ancaman yang sangat kompleks, dari gempa

bumi, tanah longsor, gunung berapi, banjir bandang, tsunami, angin topan, gelombang pasang, abrasi pantai, kekeringan, kebakaran lahan hingga potensi konflik.

Lebih mengerucut lagi, Kabupaten Lombok Timur sebagai kabupaten dengan jumlah penduduk terpadat di NTB juga wilayah yang identik dengan bencana. Sebagian menjuluki Lombok Timur sebagai etalase bencana di NTB. Dari kabupaten yang ada di seluruh Indonesia, Lombok Timur berada pada ranking ke-54 berdasarkan score IRBI (indeks rawan bencana Indonesia) dengan jenis bencana seperti banjir, gempa bumi, tsunami, puting beliung, longsor, gunung berapi, abrasi, kekeringan dan konflik sosial.

Sebagian daerah yang rawan bencana di sana tepat di kaki Gunung Rinjani. Di daerah ini

145KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH • Foto: Rodrigo Ordonez

146MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

penyebab masyarakat hidup dan bekerja di area yang terpapar bencana. Sebaliknya, bencana juga merupakan pemicu utama kemiskinan dan kemelaratan. Ketika bencana terjadi, kelompok miskin mendominasi tenda-tenda pengungsian.

Itulah sedikit gambaran masyarakat yang hidup di kaki Gunung Rinjani. Mereka menyadari mereka tinggal di daerah yang rawan bencana, hingga ada istilah “bencana kerap datang ibarat bom waktu.’ Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana mengurangi risiko bencana agar dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan jika bencana terjadi.

masyarakat melangsungkan aktivitas ke-hidupannya. Sebagian menjadi petani, buruh, pengusaha kecil, elit politik lokal dan sebagian lainnya memilih menjadi pegawai negeri sipil. Topografi lahan yang datar dan perbukitan menjulang curam serta puluhan kali (anak sungai) memberikan peluang masyarakat untuk dapat memanfaatkan potensi sumber daya demi tercukupinya kebutuhan pangan, sandang dan papan.

Di sisi lain, kekeliruan mengelola sumber daya seakan mengundang bencana. Daerah kaki Rinjani kerap dilanda bencana terutama banjir bandang yang terjadi ketika musim penghujan datang. Ratusan hektar lahan sawah tergenang, gagal panen.

Bencana dan kemiskinan seperti lingkaran setan. Kemiskinan sering disebut sebagai

• Foto: Rodrigo Ordonez

Mereka menyadari posisirawannya, hingga ada istilah

“bencana kerap datangibarat bom waktu’’

147KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Awal November 2012, para aparat desa, per-wakilan organisasi-organisasi, dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul di sebuah ruangan rapat yang sederhana di Desa Sembalun, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Para peserta sangat antusias mendengarkan pen- jelasan mengenai pembentukan Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) di beberapa desa oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Kabupaten Lombok Timur.

BPBD Lombok Timur membentuk Tim Siaga Bencana Desa di Desa Sembalun dan Sembalun Tima Gading di Kecamatan Sembalun. Serta membentuk di Desa Medayin dan Sugian di Kecamatan Sambelia. Tujuan pembentukan Tim Siaga Bencana Desa untuk

mengurangi risiko bencana di level desa dan membantu pemerintah dalam penanggulangan bencana. Awalnya Tim Siaga Bencana Desa hanya dibentuk di 10 desa dampingan KONSEPSI dan Oxfam dan kemudian menyebar ke desa lainnya melalui dukungan BPBD.

Kepala Sub Bagian Program BPBD Lombok Timur, Supriyadi, menjelaskan, pemerintah kabupaten membentuk 6 peraturan hukum turunan dari lahirnya Peraturan Daerah No. 3 tahun 2012 tentang Penanggulangan Bencana. Salah satu peraturan turunan itu mengatur tentang Tim Siaga Bencana Desa. “Melalui Peraturan Bupati tentang Tim Siaga Bencana Desa diharapkan tim dapat terbentuk di desa-desa yang rawan terhadap bencana.

148MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Melalui Peraturan Bupati tentang Tim Siaga Bencana Desa

diharapkan tim dapat terbentuk di desa-desa yang rawan

terhadap bencana

• Foto: Rodrigo Ordonez

149KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Upaya ini diharapkan dapat melakukan berbagai kegiatan untuk mengurangi risiko di level desa,” kata Supriyadi saat pertemuan pembentukan TSBD di Desa Sembalun, Kecamatan Sembalun.

Sebelum pembentukan Tim Siaga Bencana Desa, BPBD Lombok Timur bersama lembaga KONSEPSI memberikan pemahaman kepada para aparat desa, perwakilan organisasi- organisasi, tokoh masyarakat. Materi yang disampaikan mengenai maksud dan tujuan pembentukan TSBD. Selain itu BPBD menjelaskan mengenai gambaran umum tentang bencana, konsep dasar bencana serta tupoksi dan struktur Tim Siaga Bencana Desa. Para peserta berharap agar BPBD terus melakukan pembinaan terhadap TSBD yang baru dibentuk sehingga upaya- upaya pengurangan risiko bencana dapat terus dilaksanakan.

Tim Siaga Bencana Desa dibentuk pertama kali di Kabupaten Lombok Timur atas kerja- sama KONSEPSI dan Oxfam melalui program Membangun Ketangguhan pada 2010-2012. Selanjutnya penguatan TSBD dilakukan lembaga-lembaga yang sama melalui Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan di Indonesia Timur 2012-2013. Tim telah banyak melakukan kegiatan pengurangan risiko bencana, seperti: melakukan kajian risiko, pembuatan peta risiko bencana, melakukan rencana aksi pengurangan risiko bencana, seperti: penamanan pohon, pembuatan talud dan lain sebagainya.

Selain kegiatan-kegiatan pada fase pen- cegahan dan mitigasi, TSBD juga telah melakukan berbagai kegiatan, seperti: mem-berikan peringatan atau infomasi kepada masyarakat akan tanda-tanda bahaya, mem-bantu evakuasi warga dan berbagai tindakan selama di pengungsian serta melakukan koordinasi dengan berbagai pihak ter-masuk BPBD pada saat terjadi banjir bandang di beberapa desa pada 2012.

Meskipun TSBD yang telah dibentuk oleh KONSEPSI dan Oxfam hanya di 10 desa, namun semua kegiatan TSBD dirasakan telah mem-bantu pemerintah terutama BPBD untuk mengurangi risiko bencana di tingkat desa. Upaya-upaya untuk keberlanjutan TSBD terus dilakukan oleh BPBD baik untuk yang baru dibentuk mapun dampingan KONSEPSI dan Oxfam. Salah satu tindakan nyata yang dilakukan BPBD adalah dengan menganggar-kan dana pembinaan TSBD sebesar Rp 40 juta untuk anggaran 2013. Tentu saja, selain BPBD masih diperlukan dukungan dari lembaga atau instansi pemerintah lainnya serta dukungan sektor swasta. Keterlibatan banyak pihak tentu akan membuat upaya pengurangan risiko bencana di tingkat desa akan lebih efektif.

150MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Di daerah rawan bencana, memindahkan masyarakat ke tempat lain yang dianggap aman bukan satu-satunya cara mengurangi risiko bencana. Untuk dapat menghadapi bencana, perlu pembekalan masyarakat dengan apa yang disebut dengan pengurangan risiko bencana (PRB).

Pengurangan risiko bencana merupakan upaya yang sistematis untuk menganalisis dan mengelola faktor penyebab bencana, termasuk melalui pengurangan paparan bahaya, mem-perkecil kerentanan jiwa dan harta benda, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan serta perbaikan kesiap- siagaan menghadapi keadaan yang tidak diinginkan.

Di Kabupaten Lombok Timur telah ada Forum Pengurangan Risiko Bencana (F-PRB) sebagai

media koordinasi kebencanaan. Ada banyak pihak yang terlibat, dari pemerintah daerah, TNI/Polri, Swasta, Perguruan Tinggi, Ormas dan juga media.

Dalam pelaksanaannya, yang perlu dikembang-kan terutama partisipasi masyarakat, di mana masyarakat dilibatkan secara aktif dalam setiap agenda-agenda perubahan. Banyak kesempatan membuka ruang partisipasi selama proses pelaksanaan Program Membangun dan Mem-perkuat Ketangguhan terhadap Bencana ber-sama masyarakat. Salah satunya adalah dalam proses analisis kerentanan dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana atau biasa disebut PCVA (Participatory Capacity Vulnerability Analysis).

PCVA ini di susun berdasarkan prinsip dan nilai berbasis pada pendekatan hak

151KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

untuk dapat meningkatkan ketangguhan masyarakat terhadap risiko bencana. Sebagai agen perubahan, masyarakat menyusun dokumen ini sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mengatasi atau minimal mengurangi masalah.

Partisipasi berlangsung berbagai tahapan tindakan mulai dari keterlibatan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai dengan evaluasi program/kegiatan. Demikianlah PCVA, disusun bersama masyarakat mulai dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai dengan evaluasi hasilnya.

Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam melakukan PCVA. Mereka aktif memberikan masukan dan berbagi sejarah kebencanaan di desa. Tidak hanya didominasi

elit desa, tokoh agama, tokoh pemuda, anak-anak sekolah juga terlibat dalam proses penyusunan, sehingga data dan informasi yang akan menjadi isi dari dokumen menjadi sangat kaya.

Saat ini, kesuksesan masyarakat dalam praktik partisipasi di lapangan melalui pelibatan semua perangkat pembangunan desa membuahkan hasil. Dalam perjalanan, dokumen PCVA yang dilengkapi dengan Rencana Aksi Masyarakat (RAM) telah dijadikan sebagai rujukan dan pedoman seluruh elemen masyarakat dalam menyusun dan melakukan aktivitas pem- bangunan di desa yang bukan hanya untuk mengurangi risiko bencana. Lebih daripada itu, dokumen ini juga telah menjadi satu dokumen strategis rencana program jangka menengah desa (RPJMDes).

• Foto: Rodrigo Ordonez

152MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Salah satu contoh capaian rencana pem- bangunan jalur evakuasi bencana di Desa Sembalun Lawang, rencana pembangunan bronjong di Desa Sembalun Bumbung, rencana pembangunan drainase di Desa Sajang, dan yang terakhir adalah rencana adanya pengadaan tandon air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di Desa Belanting.

Oleh masyarakat, pembangunan jalur evakuasi di Desa Sembalun Lawang sesungguhnya telah direncanakan sejak lama. Berbagai cara telah dilakukan agar pemerintah menggelontorkan dana. Namun, aparat setempat selalu berkilah, bahwa jalur yang sudah ada saat ini meskipun kondisinya rusak masih dapat dilewati jika bencana hadir.

Tak senang dengan pernyataan ini, masyarakat dengan pendapatan yang minim berinisiatif secara swadaya untuk membangun jalur ini pada 2010. Karena dana yang terkumpul secara swadaya jumlahnya tidak banyak,

sehingga pengerjaannya pun asal-asalan. Tatkala hujan turun, jalur kembali rusak.

Usulan untuk segera memperbaiki jalur evakuasi ini muncul ketika proses penyusunan PCVA. Setelah melalui berbagai seleksi untuk menentukan prioritas. Usulan untuk mem- bangun jalur evakuasi menjadi prioritas utama. Dengan merujuk hasil PCVA, pembangunan jalur evakuasi masuk dalam perencanaan pem- bangunan desa dan mendapatkan dukungan pendanaan melalui alokasi dana desa.

Pola serupa dijumpai ketika pembangunan bronjong di Desa Sembalun Bumbung diusulkan. Dalam proses fasilitasi PCVA, tidak banyak elit politik desa yang menganggap pembangunan bronjong ini penting. Namun masyarakat menganggap ini kebutuhan mendesak bagi mereka. Argumentasinya Pembangunan bronjong akan menjawab kerentanan banyak orang dan akan berdampak pada kehidupan masyarakat.

Cerita lain dari sukses pembangunan desa bila dilakukan dengan pendekatan partisipasi adalah dalam penyusunan peraturan desa (perdes). Sebelumnya masyarakat jarang sekali terlibat di dalam proses pembuatan Perdes, tiba-tiba Perdes telah ada dan dijalankan, tanpa mengetahui asal muasal pembuatannya. Melalui sebuah pelatihan yang pernah dilaksanakan oleh KONSEPSI dan Oxfam, masyarakat memahami apa inti dari pembuatan Perdes dan tujuannya.

Partisipasi berlangsung berbagai tahapan tindakan mulai dari

keterlibatan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan,

monitoring sampai dengan evaluasi program/kegiatan

153KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Meski pekerjaannya berhubungan dengan kriminalitas, Kepala Kepala Unit Reserse dan Kriminal di Polsek Sembalun, Lombok Timur, Bripka Suyatman selalu tampak ramah dan akrab dengan warga desa, terutama para pemuda. Dia kerap melakukan pembinaan untuk anak-anak SMA sederajat melalui Saka Bhayangkara.

Sejak Oktober 2009, Bripka Suyatman mem-peroleh promosi sebagai Kepala Unit Reserse dan Kriminal di Polsek Sembalun. Dia menjadi bagian reserse kriminal sejak bergabung dengan kepolisian pada 2000. Bripka

Suyatman bukan asli dari Lombok. Dia dilahirkan pada 22 April 1978 di Banyuwangi, Jawa Timur. Lulus dari STM di kota kelahirannya, Suyatman melanjutkan pendidikan polisi pada 1998-1999. Suyatman bertugas di Polres Kabupaten Lombok Timur di Selong setelah menyelesaikan pendidikannya.

Suyatman akrab dengan para pemuda Sembalun setelah berkenalan dengan Tim Siaga Bencana Desa (TSBD). Awal perkenalan dimulai ketika Bripka Suyatman berkunjung ke rumah salah satu anggota Tim Siaga di Sembalun Lawang, Ibu Sakinah. Saat itu,

• Foto: Rodrigo Ordonez

154MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Kegiatan Tim Siaga Bencana Desa ini sangat mulia dalam mengurangi risiko bencana

di masyarakat

• Foto: Rodrigo Ordonez

155KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

banyak pemuda yang merupakan anggota tim sedang berkumpul di rumah Ibu Sakinah.

Lewat perkenalan itu, Suyatman mendapatkan informasi mengenai Tim Siaga Bencana Desa, terutama berbagai kegiatan tim terkait pengurangan risiko bencana. “Kegiatan Tim Siaga Bencana Desa ini sangat mulia dalam mengurangi risiko bencana di masyarakat,” katanya dalam pertemuan itu.

Suyatman melihat semangat dan aktivitas Tim Siaga Bencana Desa Sembalun Lawang dapat disinergikan dengan Saka Bhayangkara. Saka Bhayangkara adalah Satuan Karya Pramuka yang berada di bawah pembinaan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keduanya dianggap memiliki kesamaan visi. “Saya akan mengupayakan agar Saka Bhayangkara dapat terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh tim,” kata Suyatman.

Selanjutnya dibuatlah kesepakatan Tim Siaga Bencana Desa memberikan pelatihan kepada Saka Bhayangkara dan saling bekerja sama dalam berbagai kegiatan positif dalam upaya pengurangan risiko bencana. Kedua kelompok ini pun menjalin berbagai kegiatan seperti pelatihan tentang pengurangan risiko bencana, latihan pemadaman api saat terjadi kebakaran yang terjadi di beberapa titik di Kecamatan Sembalun serta penghijauan di Desa Sembalun Lawang. Kegiatan penghijauan yang dijalankan pada 2013 melibatkan anak-anak pramuka dari SMP dan SMA dan sekolah lain yang sederajat baik laki-laki dan perempuan yang

ada di Kecamatan Sembalun. Mereka melakukan kegiatan secara mandiri berupa penanaman pohon aren dan bantek yang ada di desa mereka.

Ketiadaan kantor sekretariat Tim Siaga Bencana Desa pun menjadi perhatian khusus Suyatman. Dia pun memiliki ide untuk memberikan pos polisi di Kecamatan Sembalun untuk kegiatan sekretariat yang dapat digunakan Tim Siaga Bencana Desa dan Saka Bhayangkara. Suyatman telah menyampaikan rencana ini dan mendapat tanggapan positif dari kepada Kapolsek Sembalun.

Suyatman juga membantu memfasilitasi penguatan kapasitas Tim Siaga Bencana Desa dan Saka Bhayangkara. Dia mendatangkan instruktur dari Brimob yang berada di Selong untuk melakukan pelatihan pertolongan pertama dan penyelamatan. Hal ini juga telah beliau sampaikan kepada Kapolres Lombok Timur dan beliau sangat mendukung rencana tersebut. “Cita-cita saya adalah memajukan Kecamatan Sembalun dan Tim Siaga Bencana Desa yang sangat berperan dalam hal pengurangan risiko bencana terutama di Desa Sembalun Lawang,” kata Bripka Suyatman.

Semua upaya yang telah dilakukan oleh Bripka Suyatman ini perlu diapresiasi dan didukung oleh semua pihak. Mungkin dapat menjadi inspirasi tak hanya bagi aparat kepolisian, tapi beragam pihak sehingga kegiatan pengurangan risiko bencana dapat dilakukan secara berkelanjutan.

156MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Sai’un, salah satu warga Desa Sembalun Bumbung, adalah seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak. Dia menempuh pendidikan terakhir sampai jenjang perguruan tinggi dengan gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam. Selain sibuk mengurus keluarga, Sai’un juga bergabung dengan Tim Siaga Bencana Desa (TSBD) Sembalun Bumbung sejak 2010 lalu.

Ketika banjir Maret 2012, Sai’un berperan sebagai koordinator untuk dapur umum dan logistik. Sai’un termotivasi untuk bergabung

dengan TSBD karena keinginannya agar pemahaman warga di desanya terhadap bencana semakin baik. Desanya memang rawan bencana, seperti banjir, angin puting beliung, dan kebakaran hutan.

Menurutnya, Program Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang dilaksanakan KONSEPSI dan Oxfam di desanya telah menambah pengetahuan masyarakat dan membangun semangat pembangunan dalam mengurangi ancaman risiko bencana yang ada. Sai’un masih ingat ketika banjir 2006 terjadi dan

• Foto: Rodrigo Ordonez

157KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

program belum masuk di desanya. Saat itu banjir menyebabkan satu warga desa tetangga meninggal.

Sementara Sai’un dan warga Desa Sembalun Bumbung lainnya harus mengalami kerugian harta benda, seperti rumah hanyut dan sawah terendam air sehingga gagal panen. Warga bekerja sama dalam masa pemulihan setelah bencana kala itu. Namun pengetahuan teknis saat itu (pembagian kerja ketika tanggap darurat: seperti tim evakuasi, tim pengumpulan data, tim logistik dan dapur umum) belum sekuat sekarang setelah program masuk.

“Peran perempuan di Desa Sembalun Bumbung belum terlihat jelas. Meskipun ada, masih ter- sebar. Padahal menurut saya perempuan desa ini mampu melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki dalam Program PRB,” kata Sai’un.

Sai’un tidak sendiri. Sejumlah perempuan lain juga terlibat dalam program bencana. Anggota perempuan TSBD juga aktif dalam kelompok lain seperti Posyandu, PKK dan pengajian. Mereka lah kemudian yang meneruskan pengetahuan tentang PRB kepada anggota-anggota kelompok lainnya sehingga pesan-pesan PRB semakin menyebar.

“Menurut saya penting agar perempuan melaku-kan kegiatan-kegiatan lain di luar rumah. Apalagi sekarang sudah ada tempatnya seperti TSBD. Mari sebarkan pengetahuan tentang PRB dan juga peduli lingkungan seperti peng- hijauan. Intinya adalah membangun desa bersama karena jika bersama-sama, pasti kita bisa,” kata Sai’un.

• Foto: Rodrigo Ordonez

158MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Kebakaran melanda areal perbukitan yang berada di sekitar Desa Sembalun Lawang, Lombok Timur, Oktober 2012. Kebakaran yang terjadi pada pukul 14.00 diperkirakan berasal dari pembakaran sisa hasil pertanian yang terbawa oleh angin. Saat kejadian, anggota TSBD Desa Sembalun Lawang langsung menuju ke sumber kebakaran yang berada di puncak perbukitan.

Awalnya TSBD memperkirakan kebakaran ini tidak akan sampai meluas. Tetapi karena hampir empat bulan tidak pernah turun hujan, kebakaran ini menyebar sangat cepat.

“Saat melihat kebakaran pertama kali, saya langsung menuju ke sumber api yang berada di atas perbukitan dengan membawa mega-phone”, kata Kudus Ali, anggota TSBD Sembalun Lawang.

Melihat kejadian ini, anggota TSBD yang lain bersama dengan beberapa anggota pramuka langsung merespons untuk memadamkan api dengan menggunakan peralatan seadanya berupa ranting tanaman yang ada di sekitar perbukitan tersebut.

Sebelum kebakaran meluas, awalnya masyarakat hanya melihat respons anggota TSBD tanpa terlibat langsung dalam proses pemadaman api. “Biarkan saja orang-orang memakai baju oranye itu yang memadamkan api”, kata salah seorang warga Desa Sembalun Lawang.

Tetapi, hembusan angin yang kencang menyebabkan kebakaran menyebar dengan cepat dan hampir menuju ke areal pertanian warga. Melihat kondisi ini, sebagian masyarakat langsung memadamkan api agar tidak menuju ke areal pertanian dan pemukiman warga.

Berkat upaya bersama TSBD, Pramuka dan beberapa masyarakat, akhirnya kebakaran yang terjadi tidak sampai meluas ke areal pertanian dan bahkan ke pemukiman warga meskipun perbukitan yang terkena dampak kebakaran cukup luas. TSBD juga menunjukkan empati dengan membantu salah seorang warga yang terluka akibat tergelincir dari atas bukit dengan memberikan sebagian dana yang berasal dari kas TSBD.

159KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH • Foto: Rodrigo Ordonez

160MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

kondisi guncangan maupun bencana. Secara khusus, Oxfam bekerja dengan mitra dan para pihak di tingkat nasional dan lokal untuk mewujudkan keadilan gender, keadilan ekonomi, serta hak-hak dalam situasi krisis.

MITRA-MITRA PELAKSANA

Konsorsium untuk Studi Dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI) didirikan pada Mei 2001. Asosiasi ini dioperasikan pegiat dengan latar belakang multietnis dan multi profesi (wartawan, birokrat, notaris, dosen, legislator dan pemimpin LSM) sebagai wujud representasi publik yang beragam. Ruang lingkup kegiatan mencakup penelitian dan kajian isu-isu kebijakan antara lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, pengembangan dan pengorganisasian tata kelola sumber daya alam masyarakat, dan memperkuat hak-hak rakyat. Rahmat Sabani, S.PT.,MP (Direktur); Abidin Tuarita, B.Sc (Manager Program); Lalu Arif Saptari, ST (Pendamping Pemerintah); Arya Ahsani Takwim, S.Hut (Staf Media & Komunikasi); Tulu’ul Fajriani, SH., Subhan, S.Pd.,

Oxfam adalah konfederasi internasional yang terdiri atas 17 organisasi independen yang bekerja di lebih dari 94 negara. Visi Oxfam adalah terwujudnya tatanan dunia yang adil tanpa kemiskinan. Oxfam memperjuangkan sebuah dunia agar warga negara dapat mem-pengaruhi kebijakan yang berdampak pada kehidupannya, menikmati hak-haknya, dan mengemban kewajibannya sebagai warga negara dalam tatanan dunia yang menghargai dan memperlakukan manusia secara setara. 

Oxfam bertujuan menciptakan solusi ber- kelanjutan atas ketidakadilan yang disebab-kan oleh kemiskinan. Oxfam adalah bagian dari gerakan global untuk perubahan, sebuah gerakan yang memberdayakan setiap orang untuk menciptakan masa depan yang aman, adil, dan bebas dari kemiskinan. Oxfam telah berperan serta dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan di Indonesia sejak 1957.

Oxfam mendukung dan memfasilitasi mitra nasional dan lokal di Indonesia untuk mewujudkan visi setiap warga bisa setara dan dapat menikmati hak-haknya baik dalam

PROFIL LEMBAGA

161KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

Ahmad Junaidi, SH (Direktur); Vonti Sulyanti, SH (Staf Keuangan); Faturrahman (Divisi Lidikbang); Sulistyono (Manajer Proyek); L. Surya K (Staf Media & Komunikasi); Ermam Sayugo Remoko (Staf Informasi dan Dokumentasi); Drs. Rujito MW (Staf Pendamping Pemerintah)

Alamat: Jl. Surabaya No. 36 BTN Taman Baru. Mataram. Nusa Tenggara Barat. T/F: (0370) 625457. [email protected]

Konsultansi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa) didirikan oleh sejumlah pegiat isu-isu sosial-budaya, sosio-ekonomi, lingkungan, dan hokum pada 2 Juli 1999. Berbasis di Jayapura, visinya meningkatkan kualitas, fungsi dan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi, dan budaya. KIPRA turut dalam Program Mem- bangun Ketangguhan terhadap Bencana di Indonesia Timur sejak 2011. Mereka mampu mencapai target terutama pada tingkat pemerintah.

Markus Kajoi (Direktur); Eduard Agaki (Manajer Program); Theresia Purba (Staf Keuangan); Zakeus Marey (Staf Urusan Kepemerintahan); Agus Jhosua Hernawan, Uria N. Bukorpioper,

Abdul Muis, S.Pdi., Eva Sujiati, ST. (Pendamping Masyarakat); Aini Kurniawati (Keuangan).

Alamat:Jl. Bung Hatta II/4 Majeluk. Mataram - Lombok. Nusa Tenggara Barat. T/F: (0370) 627386. [email protected].

KOSLATA pada mulanya merupakan kelompok studi mahasiswa di lingkungan Universitas Mataram yang didirikan pada 1989 dengan nama Kelompok Studi Lingkungan dan Pariwisata (KOSLATA). Isu yang diusung KOSLATA saat itu adalah lingkungan dan industri pariwisata. Isu yang diangkat tersebut tidak terlepas dari persoalan lokal yang mengemuka saat itu, yaitu industri pariwisata dan lingkungan yang menimbulkan banyak marginalisasi, terutama bagi masyarakat lokal.

Pada 1992 KOSLATA kemudian berubah men- jadi lembaga swadaya masyarakat (LSM) Yayasan KOSLATA dengan mengusung isu sama, yaitu lingkungan dan pariwisata. Seiring dengan dinamika persoalan demokrasi dan HAM baik di tingkat nasional dan daerah, KOSLATA juga mengusung isu sektoral advokasi kebijakan publik dan buruh migran.

162MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

Viorita Rudamaga, Trivena Nauw (Pendamping Masyarakat); Priyono C. Heryanto (Staf Media dan Komunikasi).

Alamat:Jl. Bosnik BTN Atas Blok B 15. Kampkey Abepura. Jayapura.T: (0967) 583138. [email protected].

Lembaga Pengembangan Partisipasi Demokrasi dan Ekonomi Rakyat (LP2DER) didirikan 7 Juli 1997 di Kota Bima dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Fokusnya mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sejak Februari 2010, LP2DER Bima bekerjasama dengan Oxfam melaksanakan Program Membangun Ketahanan terhadap Bencana di Indonesia Timur untuk membangun sebuah komunitas masyarakat sipil di 10 desa rawan bencana di Bima. Kemudian, sejak Agustus 2012 hingga Desember 2013, LP2DER melaksanakan Program Membangun dan Memperkuat Ketangguhan terhadap Bencana di Indonesia Timur.

Ir. Bambang Yusuf (Direktur); M Yamin, ST Manajer Program); Ishadinarti, SH (Staf Keuangan); Mansyur, S.Sos (Staf Pen-

damping Pemerintah); Yuriansyah, SE (Staf Media dan Komunikasi); Wahyu Sapta Utami, ST, Mery Suryanti, SH, Kaharuddin, ST, M Husni Thamrin, SP (Staf Pendamping Masyarakat).

Alamat: Komplek Temba Bedi RT 10 RW 03. Jl. Lintas Bedi Sadia Kelurahan Manggemaci. T/F: (0374) 646809. [email protected]. [email protected].

PERDU didirikan pada 27 Juli 1999 oleh beberapa mahasiswa Universitas Negara Papua dengan nama LBP (Lembaga Bantuan Pertanian). Organisasi ini berfokus pada upaya memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah pertanian. Pada 25 Juni 2001, para pendiri sepakat untuk mengubah nama menjadi PERDU – dari padanan kata semak. Saat ini, PERDU memiliki 25 anggota yang terdiri dari masyarakat adat 7 orang, 4 akademisi, wartawan dan 13 aktivis.

Visinya menjadi lebih luas yakni mem- berdayakan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam secara demokratis, adil dan independen dengan keberlanjutan di Papua.

163KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA | MENUJU KOMUNITAS TANGGUH

pemerintah dan mitra strategis, serta mem-bangun sistem atau model program berbasis masyarakat. YPPS telah bekerja sama dengan Oxfam sejak 2009.

Melky Koli Baran (Direktur); Magdalena Rianghepat (Manajer Program); Simon Petrus Pati Hokor (Staf Media dan Komunikasi); Maria Boleng Tukan, Maria Rosario Nini S. Muda, Maria Albertina Rianghepat, Gorgonius Bage Lajar (Staf Pendamping Masyarakat), Karolus (Staf Pendamping Pemerintah).

Alamat: Jl. Raya Waibalun. Barat Pelabuhan Fery. Waibalun. Larantuka. Flores Timur. Nusa Tenggara Timur (NTT) T/F: (0383) 21996. [email protected].

DONOR-DONOR

Peran Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (Department of Foreign and Trade - DFAT) adalah untuk memajukan kepentingan Australia dan Australia secara internasional.

Dalam lingkungan global dan regional yang dibentuk kembali dengan mengubah ekonomi dan relativitas strategis, kami bekerja

Mujiyanto (Direktur); Nur Rahimi Hastuti (Manajer Program); Marcha Arisoi Grace (Staf Keuangan), Siti Fatimahtun Zahra (Staf Admin dan Logistik); Fradrianty Berdnovita (Staf Pendamping Pemerintah); Theresia Rettobjaan, Sunarsih, Richard Rumbarar, Johnsen Pattipawaej (Staf Pendamping Masyarakat); Theresia Ribka Padwa/Sunarsih (Staf Media dan Komunikasi).

Alamat: Jl. Trikora Wosi Manokwari No. 58, Papua Barat - Indonesia 98312. T/F: (0629) 86214817. [email protected].

Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) adalah sebuah organisasi non-profit yang didirikan pada 1997, terdaftar di pengadilan Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Tahun pertama berfokus pada mem- bangun basis dalam pengembangan desa serta mengadakan berbagai pendidikan kritis bagi rakyat. Pada awal 2007 dilakukan evaluasi program serta prioritas. Visinya membangun kemandirian masyarakat dengan memobilisasi perubahan kebijakan lokal dan pembangunan politik. Misinya membangun kemandirian kelembagaan masyarakat dan organisasi, membangun kerjasama dengan

164MENUJU KOMUNITAS TANGGUH | KOMPILASI PENGALAMAN MITRA DALAM PENGELOLAAN RISIKO BENCANA

untuk memperkuat keamanan Australia, meningkatkan kemakmuran Australia, dan membantu wisatawan Australia di luar negeri .Tujuan kami adalah untuk mengurangi risiko dan menumbuhkan kesempatan bagi Australia dalam lingkungan regional dan global.

DFAT merupakan lembaga utama mengelola kehadiran internasional Australia. Kami mengelola jaringan pos luar negeri di lima benua dan kami memiliki lebih dari 4.200 yang terlibat termasuk lokal di luar negeri - yang terletak di kantor Canberra, negara bagian dan teritori dan yang ditempatkan di luar negeri.

DG ECHO adalah Direktorat Jenderal Komisi Eropa yang bertanggung jawab untuk upaya di bidang bantuan kemanusiaan dan per- lindungan sipil. DG ECHO adalah donor yang mendukung intervensi kemanusiaan tetapi tidak melaksanakan secara langsung di lapangan melainkan memenuhi mandatnya dengan menyediakan dana untuk sekitar 200 mitra , yaitu (1) organisasi non-pemerintah, (2) organisasi internasional seperti Komite Internasional Palang Merah dan Federasi Internasional Palang Merah Nasional dan Bulan Sabit Merah Inter- nasional dan Organisasi Migrasi dan (3) organisasi PBB.

Penting bagi DG ECHO untuk memiliki ber- bagai mitra karena hal ini memungkinkan meliputi daftar yang terus tumbuh dari kebutuhan di berbagai belahan dunia sering dalam situasi yang semakin kompleks. DG ECHO telah mengembangkan hubungan kerja yang erat dengan mitra-mitranya dalam kaitannya dengan kedua isu-isu kebijakan dan manajemen operasi kemanusiaan. Hibah DG ECHO - dikelola dan kontribusi yang dibuat oleh memilih proposal terbaik yang diterima untuk menutupi kebutuhan yang paling rentan.