2
Menulis Intisari Buku Non-fiksi Judul : Abdul Kahar Mudzakkar Subjudul : Dari Patriot Hingga Pemberontak Penulis : Anhar Gonggong Penerbit : Grasindo Tebal : 518 halaman Cetakan : Tahun 1992 Mengapa seorang patriot dapat menjadi pemberontak? Pertanyaan itu menjadi tema utama dalam buku ini. Seorang patriot beserta rekan-rekan seperjuangannya tidak segan-segan mengorbankan seluruh hidupnya untuk tanah air (patria)-nya. Hal itu ditunjukkan dengan keterlibatan yang utuh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ketika kemerdekaan berhasil ditegakkan timbul berbagai permasalahan internal. Ternyata kemajemukan masyarakat Indonesia membawa dinamika-dinamika yang sering mengejutkan. Dinamika itu menjadi begitu transparan dalam kasus “patriot dan pemberontak” ini. Di dalamnya menyeruak faktor budaya siri’ na passe, adat istiadat, dan frustuasi. Namun, ada juga faktor sosial- politik dan dalam perkembangannya, faktor sosial ekonomi perdagangan menjadi unsur yang amat penting. Semua faktor itu saling terkait dan terakumulasi di pentas sejarah nasional lewat pemberontakan Abdul Qahhar Muzakkar. Abdul Kahar Muzakkar merupakan pemimpin tertinggi gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang juga menyebut dirinya sebagai pejabat khalifah dan Presiden Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII). Beliau melakukan pemberontakan di Sulawesi Selatan untuk merealisasikan impiannya mendirikan sebuah negara yang berlandaskan Islam. Gerakannya terinspirasi oleh gerakan yang pemberontak di Jawa Barat yang dipinpin oleh Kartosuwiryo yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mendirikan negara berlandaskan islam. Dalam proses waktu selama berlangsungnya gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh beliau telah berlangsung peristiwa yang menggambarkan tragedi manusia Indoneia dalam era kemerdekaanya. Dalam buku ini, penulis mengisahkan perjalanan hidup dari seorang Kahar Muzakkar mulai dari keadaan dan budaya yang ada di daerah Sulawesi Selatan yang merupakan tempat tinggal Kahar Muzakkar, latar belakang terjadinya pemberontakan, gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh beliau, sampai pada akhir hayat beliau. Semua hal tersebut disampaikan tidak hanya dengan sudut pandang penulis itu sendiri, tetapi juga dari sudut pandang para pemberontak termasuk Kahar Muzakkar dan dari sudut pandang yang lain. Hal tersebut mungkin dilakukan agar penyajiannya bersifat seobjektif mungkin dan terhindar dari interpretasi yang bersifat subjektif. Sebagai contoh, dalam buku ini tertulis bahwa kematiaan Kahar Muzakkar karena tertembak mati dalam suatu pertempuran di pinggir sungai Lasalo merupakan kematian yang tidak perlu di sesali karena beliau dianggap meninggal untuk mempertahankan martabat dirinya sebagai manusia Bugis- Makassar yang memiliki siri’ na passe. Pendapat seperti itu setidaknya ada pada para “bekas

Menulis Intisari Buku Non

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Menulis Intisari Buku Non

Menulis Intisari Buku Non-fiksi

Judul : Abdul Kahar Mudzakkar

Subjudul : Dari Patriot Hingga Pemberontak

Penulis : Anhar Gonggong

Penerbit : Grasindo

Tebal : 518 halaman

Cetakan : Tahun 1992

Mengapa seorang patriot dapat menjadi pemberontak? Pertanyaan itu menjadi tema utama

dalam buku ini. Seorang patriot beserta rekan-rekan seperjuangannya tidak segan-segan

mengorbankan seluruh hidupnya untuk tanah air (patria)-nya. Hal itu ditunjukkan dengan

keterlibatan yang utuh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Ketika kemerdekaan berhasil ditegakkan timbul berbagai permasalahan internal. Ternyata

kemajemukan masyarakat Indonesia membawa dinamika-dinamika yang sering mengejutkan.

Dinamika itu menjadi begitu transparan dalam kasus “patriot dan pemberontak” ini. Di dalamnya

menyeruak faktor budaya siri’ na passe, adat istiadat, dan frustuasi. Namun, ada juga faktor sosial-

politik dan dalam perkembangannya, faktor sosial ekonomi perdagangan menjadi unsur yang amat

penting. Semua faktor itu saling terkait dan terakumulasi di pentas sejarah nasional lewat

pemberontakan Abdul Qahhar Muzakkar.

Abdul Kahar Muzakkar merupakan pemimpin tertinggi gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang

juga menyebut dirinya sebagai pejabat khalifah dan Presiden Republik Persatuan Islam Indonesia

(RPII). Beliau melakukan pemberontakan di Sulawesi Selatan untuk merealisasikan impiannya

mendirikan sebuah negara yang berlandaskan Islam. Gerakannya terinspirasi oleh gerakan yang

pemberontak di Jawa Barat yang dipinpin oleh Kartosuwiryo yang memiliki tujuan yang sama, yaitu

mendirikan negara berlandaskan islam. Dalam proses waktu selama berlangsungnya gerakan DI/TII

di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh beliau telah berlangsung peristiwa yang menggambarkan

tragedi manusia Indoneia dalam era kemerdekaanya.

Dalam buku ini, penulis mengisahkan perjalanan hidup dari seorang Kahar Muzakkar mulai

dari keadaan dan budaya yang ada di daerah Sulawesi Selatan yang merupakan tempat tinggal Kahar

Muzakkar, latar belakang terjadinya pemberontakan, gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang

dipimpin oleh beliau, sampai pada akhir hayat beliau. Semua hal tersebut disampaikan tidak hanya

dengan sudut pandang penulis itu sendiri, tetapi juga dari sudut pandang para pemberontak

termasuk Kahar Muzakkar dan dari sudut pandang yang lain. Hal tersebut mungkin dilakukan agar

penyajiannya bersifat seobjektif mungkin dan terhindar dari interpretasi yang bersifat subjektif.

Sebagai contoh, dalam buku ini tertulis bahwa kematiaan Kahar Muzakkar karena tertembak mati

dalam suatu pertempuran di pinggir sungai Lasalo merupakan kematian yang tidak perlu di sesali

karena beliau dianggap meninggal untuk mempertahankan martabat dirinya sebagai manusia Bugis-

Makassar yang memiliki siri’ na passe. Pendapat seperti itu setidaknya ada pada para “bekas

Page 2: Menulis Intisari Buku Non

pengikutnya”. Di sisi lain, penulis buku ini juga memberikan gambaran mengenai dampak negatif

dari pemberontakan yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar. Hal tersebut telah membuktikan bahwa

penulis telah berusaha untuk bersikap seobjektif mungkin dalam mengulas fakta-fakta sejarah yang

ada.

Berbeda dengan penulis-penulis lain, penulis buku ini berasal dari lingkungan dan budaya di

mana pemberontakan itu muncul. Bahkan, beberapa sanak saudaranya turut merasakan pahit

getirnya kasus di sulawesi Selatan tahun 1950 – 1965 itu. Namun, ia mampu mengambil jarak

dengan linkungannya sehinggan berhasil menyajikan uraian yang jernih, gamblang, dan tajam

dengan segala nuansanya. Oleh karena itu, karya ini pantas untuk dibaca oleh kaum muda,

mahasiswa, politisi, anggota ABRI, serta semua orang yang berminat pada perkembangan sejarah

Indonesia.