Upload
khairul-umam
View
65
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tentang netralitas ilmu sain ilmu objektif objektifitas ilmu sain islam
Citation preview
MENYOAL NETRALITAS ILMU
Oleh : Khairul Umam
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari sejarah peradaban
manusia. Ia selalu terkait berkelindan satu sama lainnya. Tidak terkecuali sejarah
filsafat ilmu. Filsafat itu sendiri telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu di mana
akal manusia masih dihadapkan pada ruang dinamika pemikiran yang sederhana dan
permasalahan yang tidak begitu komplek seperti saat ini1. Sejarah ilmu pengetahuan
mencatat bahwa perkembangan awal yang signifikan dalam ilmu pengetahuan
dimulai sejak zaman Yunani Kuno (kurang lebih 600 SM)2. Di mana periode ini
ditandai oleh pergeseran gugusan pemikiran (paradigm shift) dari hal-hal yang berbau
mistis ke yang logis. Dari kepercayaan mistis yang irrasional terhadap fenomena alam
menuju ke arah penjelasan logis yang berdasar pada rasio3.
1 Lihat Conny R. Semiawan dkk. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. (Bandung;Remaja Rosda Karya), 1999, h. 32 Hal yang patut disayangkan di sini belum adanya literatur sejarah Islam yang dapat mengungkap secara gamblang tabir perkembangan pengetahuan manusia – terutama yang bersifat filosofis –sejak awal manusia itu sendiri hadir di muka bumi. Asumsi penulis adalah bahwa awal sejak manusia ada di muka bumi ini ia hadir dengan fenomena pemikirannya.3 Ada perbedaan mendasar antara terminologi ‘logis’ dan ‘rasionalis’. Suatu fakta dianggap rasional apabila pembuktiannya secara empiris sesuai menurut aturan hukum alam. Misal Api adalah panas. Sebaliknya ia akan dikatakan logis apabila secara empiris tidak menuruti aturan hukum alam. Misal api tidak panas bagi Nabi Ibrahim ketika dibakar karena sifat panasnya api telah diubah oleh Tuhan. lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung; Remaja Rosda Karya) 2004, h. 12-18
1
Persoalan sejarah ilmu pengetahuan tidak berhenti di situ saja. Selanjutnya
terjadi semacam saling tarik-menarik yang saling mendominasi antar berbagai ide
pemikiran dalam memperjuangkan eksistensi ilmu pengetahuannya. Tujuan mulia
ilmu yang beraras pada pencapaian kebenaran yang hakiki demi kepentingan
kemaslahatan manusia itu sendiri menjadi semacam tonggak dasar dari munculnya
perselisihan dinamika ilmu pengetahuan selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat dari
fenomena pertentangan yang bahkan saling melemahkan dalam dunia filsafat Yunani
kuno hingga zaman-zaman selanjutnya. Contoh hal tersebut adalah perbedaan
pandangan paham rasionalisme yang dianut Plato dengan paham empirisme yang
dianut Aristoteles dalam usaha mencapai kebenaran ilmu pengetahuan kealaman.
2
Mendekati abad pertengahan masehi, fenomena dunia mitos yang telah
diselimuti kabut logis-rasionalis mulai muncul kembali. Sejarawan ilmu pun mencatat
masa ini dengan masa perkembangan ilmu pengetahuan yang bercirikan teosentris
(berpusat pada kebenaran wahyu). Para pemikir ini, seperti Thomas Aquinas (1225-
1274)4 mencoba membuktikan kebenaran wahyu dengan tetap mengikutkan rasio.
Tetapi posisi rasio atau akal saat itu hanyalah sebatas sebagai hamba perempuan bagi
teologi (ansilla teologia). Filsafat menjadi abdi dari teologi di mana pemikiran
filosofis digunakan untuk mendukung wahyu. Sementara kebenaran yang didapat
melalui teori ilmiah dibungkam apabila tidak sesuai dengan otoritas ajaran wahyu.
Masa inilah yang kemudian dikenal masa suramnya ilmu pengetahuan.
Sejak munculnya kembali paham teosentris, ilmuwan rasionalisme yang
bersikukuh dalam pendiriannya terus berjuang untuk membebaskan diri dari mitos
dan berusaha mengembalikan citra rasionalismenya. Pada zaman modern, semangat
tersebut semakin bangkit setelah Rene Descartes (1596-1650) menyampaikan
diktumnya yang terkenal “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku
ada”. Diktum itu mengisyaratkan bahwa rasiolah satu-satunya pengetahuan, rasiolah
sang raja pengetahuan dan ia harus terbebas dari mitos-mitos keagamaan seperti
wahyu, Tuhan, kredo, nilai dan lain sebagainya. Masa inilah yang kemudian
melahirkan “Renaisan” (yang berarti kelahiran kembali) dalam ilmu pengetahuan
serta diikuti “Aufklarung” (pencerahan) yang menandakan bangkitnya ilmu
pengetahuan dengan prinsip dasar rasionalisme, netralisme dan bebas nilai.
4 Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume hingga Thomas S Kuhn, (Jakarta; Teraju) 2002, h. 9
3
Ide netralisme ilmu pengetahuan ini semakin menunjukkan eksistensinya ketika
para filosof Inggris seperti David Hume (1711-1776) dan Jhon Locke (1632-1704)
memberikan reaksi kerasnya terhadap pemikiran rasionalisme. Mereka berpendapat
bahwa pengetahuan hanya didapatkan melalui pengalaman inderawi (empirisme),
bukan penalaran rasio. Pertentangan tersebut terus berlangsung hingga muncul
seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant (1724-1804) yang membawa ide sintesis
antara rasionalisme dan empirisme. Ia berpendapat bahwa rasio dan empiri sama-
sama memiliki peran sebagai sumber pengetahuan di mana kesan-kesan empiri
dikontruksikan oleh rasio menjadi teori/konsep pengetahuan. Sementara di luar rasio
dan empiri tidak memberikan arti apa-apa bagi ilmu pengetahuan. Dengan begitu ide
sekularisasi tetap kokoh pada tempatnya semula. Sebaliknya ia seolah mendapat
kekuatan baru dalam mempertahankan eksistensinya.
Ide netralitas ilmu pengetahuan baru mendapat legitimasinya pada zaman
modern ketika muncul Filsafat Positivisme yang dimotori oleh Auguste Comte (1798-
1857) di mana pemikiran-pemikirannya tertuang dalam bukunya yang berjudul “The
Course of Positive Philosophy” yang berisi garis-garis besar prinsip positivisme-nya.5
Ia berpendapat bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai
dengan hukum alam (natural law). Tanpa ada pengaruh apapun di luarnya (objektif)
karena realitas itu independen dari subjek. Dengan begitu paham ini juga
mengenyampingkan realitas metafisika, termasuk di dalamnya mitologi dan hal-hal
yang bersifat esoteris lainnya seperti nilai.
5 lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yoqyakarta; Belukar), 2004, h.94
4
Diantara ciri-ciri posistivisme adalah bahwa ilmu pengetahuan dipandang
sebagai sesuatu yang ‘bebas nilai’ atau ‘netral’ atau ‘objektif’. Inilah yang menjadi
dasar prinsip filosofis pemikiran positivisme. Paham ini mencoba memberi garis
demarkasi antara fakta dan nilai. Fakta berdiri sendiri di luar nilai. Dengan begitu
subjek peneliti harus mengambil jarak dengan realita dengan bersikap imparsial-
netral. Ciri lainnya adalah ‘mekanisme’, yaitu paham yang mengatakan bahwa semua
gejala alam dapat dijelaskan secara mekanikal-determinis seperti layaknya mesin.
Paham posistivisme di atas telah menjadi wacana filsafat ilmu yang sangat
mendominasi pada abad ke-206. Hingga dari semakin pervasifnya dominasi tersebut,
positivisme bukan hanya menjadi bagian dari paham filsafat ilmu, menurut Ian
Hacking ia juga telah dianggap menjadi semacam agama baru7 karena ia telah
melembagakan pandangan-pandangan menjadi doktrin bagi berbagai bentuk
pengetahuan manusia, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas nilai,
objektif, dan sekularismenya.
Meski demikian paham ini mendapat sorotan tajam dari kalangan ilmuwan.8
Dari beberapa pemikir yang mempermasalahkan tersebut adalah Karl R. Popper, para
filsuf Frankfurt Schule, Feyerabend, Withehead, Nashr, Al-Attas, Paul Illich dan
lainnya. Mereka menemukan fakta bahwa ilmu itu mesti terikat oleh nilai, subjek dan
tidak netral. Di balik klaim bebas nilai, tersemunyi nilai-nilai ideologis yang
mempunyai maksud tersendiri.
Perbincangan seputar paradigma ilmu bebas nilai, objektif dan netral yang
diusung positivisme inilah yang kemudian menarik minat penulis untuk mengkajinya
lebih mendalam. Penulis melihat realita yang ada di kalangan ilmuwan, baik barat
maupun muslim, masih saja berpegang teguh pada paradigma tersebut dengan
berbagai alasan, di samping juga ada yang menentangnya dengan beragam argumen
yang melemahkan ide tersebut.
6 Donny, Op.Cit, h. 827 Lihat Donny, Ibid, h. 67 bandingkan dengan Andrew Ross, ‘Introduction, Social Text 46-7, 1996, h.1-13 dalam Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu.(Yogyakarta;Jendela)2002, h.48 lihat Ziauddin Zardar, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, ed. Dan terj. AE. Priyono, (Surabaya; Risalah Gusti, 1998, h. 36
5
Selain itu paradigma netralitas sain juga penting untuk dikaji karena
pemahaman ini terkait dengan dengan pemahaman sain, di mana banyak sekali aspek
kehidupan manusia yang diatur secara langsung oleh sain. Paham bahwa sain itu
netral atau terikat oleh nilai akan mempengaruhi hubungan cara kerja sain dan
manusia itu sendiri.
B. Ide Dasar Netralitas Ilmu
Kata “netral” biasanya diartikan tidak memihak9 atau imbang atau murni.
Dalam isitilah “ilmu netral” atau “sain netral” maupun “netralitas ilmu” berarti bahwa
ilmu itu tidak memihak pada apapun termasuk kebaikan dan tidak juga pada
kejahatan. Ilmu berdiri sendiri (independent) tidak terpengaruh oleh apapun.
Kebaikan atau keburukan adalah hal lain di luar permasalahan keilmuan. Keduanya
adalah nilai yang sama sekali tidak boleh mempengaruhi ilmu. Itulah sebabnya
kemudian istilah “netralitas ilmu” atau semacamnya sering juga disebut dan diganti
dengan istilah ilmu yang bebas nilai (value free).
Di samping kedua istilah tersebut, yang secara jelas menunjukkan saling
keterkaitannya, juga dikenal dengan istilah lain berupa “ilmu objektif”. Artinya
bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dari gugusan teori yang didapat dari objek
pengetahuan yang berupa data-data fakta empiri (semesta). Data-data tersebut harus
sesuai dengan fakta empiri tanpa melibatkan karakteristik tertentu di luar objek ilmu
itu sendiri termasuk dari seorang ilmuwan. Hal yang berada di luar objek ilmu
berfungsi sebagai subjek. Ilmuwan misalnya hanyalah sebagai subjek yang
mengamati/meneliti objek dan menyimpulkan fakta-fakta empiri darinya. Fakta-fakta
tersebut disusun sebagai teori-teori pengetahuan yang independen tanpa dipengaruhi
oleh hal-hal yang bersifat subjektif. Teori-teori yang dikumpulkan dari fakta objek
terSebut kemudian disebut dengan ilmu. Karena ilmu itu terbentuk dari fakta-fakta
empiris dari objek maka kemudian ia disebut dengan ilmu yang objektif.
Kebenaran objektifitas ilmu hanya dapat dinilai ketika unsur-unsur subjektifitas
ilmu tersebut tidak mempengaruhinya atau tidak masuk sebagai salah satu unsur dari
9 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Op.Cit. h.46
6
bangunan teori-teorinya. Dalam hal ini berarti unsur-unsur subjektifitas ilmu
dihilangkan. Unsur-unsur tersebut dapat berupa keyakian-keyakinan, kepercayaan,
paradigma, kepentingan, nilai dan lain sebagainya.
Sampai di sini, jelas dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan akan dikatakan
objektif apabila ia terlepas dari unsur-unsur lain di luar dirinya, termasuk nilai (value
free). Begitu ilmu terbebas dari nilai atau unsur-unsur lainnya, maka ilmu dalam
keadaan posisi netral, karena ia tidak memihak kepada sesuatu apapun kecuali pada
dirinya sendiri (independent).
Netralitas ilmu menekankan pentingnya objektifitas ilmu pengetahuan,
mencoba meminimalisir subjektifitas di luarnya, bahkan berusaha untuk
menghilangkan subjektifitas itu sendiri. Paradigma netralitas ilmu ini meyakini
bahwa semakin objektif (terbebas dari nilai) ilmu pengetahuan semakin mendekati
kebenaran (positif).
Paradigma netralitas ilmu atau bebas nilai ini pertama kali dianut serta
dikembangkan oleh paham positivisme dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan.10
Paham ini memandang bahwa pengetahuan positif-ilmiah adalah pengetahuan yang
pasti, nyata dan berguna. Objek-objek fisik hadir independen dari subjek dan hadir
secara langsung melalui data inderawi. Data-data inderawi ini adalah satu. Apa yang
dipersepsi adalah fakta sesungguhnya, tanpa melibatkan unsur diluarnya.
Sebuah masalah keilmuan harus dirumuskan sedemikian sehingga
pengumpulan data dapat dilakukan secara objektif, bebas nilai dan netral. Objektif
artinya bahwa data dapat tersedia untuk penelaahan keilmuan tanpa ada hubungannya
dengan karakterisktik individual dari seorang ilmuwan.11 Bebas nilai berarti dikotomi
yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak
dengan semesta dengan bersikap imparsial-netral. Sedangkan netral berarti ilmu tidak
memihak pada selain dirinya sendiri.
Untuk memperkokoh pandangannya tersebut, positivisme menetapkan syarat-
syarat bagi ilmu pengetahuan, yaitu : dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-
10 Donny Gahral Adian, Menyoal, Op.Cit. h.65-6711 Peter R. Senn, Stuktur Ilmu, dalam Jujun S. Suraisumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta;Yayasan Obor Indonesia) Cet. 16 h. 115
7
ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable) dan
dapat di/ter-ramalkan (predictable).12 Dengan begitu objek ilmu pengetahuan harus
berupa fakta-fakta empiri (semesta) yang hadir secara mandiri dan dapat diindera oleh
subjek peneliti. Di mana itu berarti bahwa hal-hal yang tidak dapat diindera oleh
manusia – sebagai subjek utama dari ilmu itu sendiri – tidak dapat dikatakan sebagai
ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya yang menyangkut metafisika.
Karakteristik ilmu pengetahuan adalah bahwa ia harus didapat melalui metode
ilmiah yang sudah baku, yaitu metode logico-hyphotetico-verificatif. Metode ini
terlebih dahulu mencoba mengkaji pengetahuan dengan cara memikirkan sesuatu
sesuai dengan aturan berpikir yang logis, rasional atau masuk akal (logico), dan
bukan melalui aturan kepercayaan atau keyakinan-keyakinan mistis. Kemudian
dengan aturan berpikir secara logis tadi dicoba untuk dapat ditarik hipotesis
(hypothetico). Dari hipotesis tersebutlah kemudian ilmu pengetahuan harus dapat
membuktikannya secara empiris (verificatif).
Aliran filsafat yang sependapat dengan positivisme ini adalah positivisme logis,
empirisme, realisme, essensialisme dan objektivisme. Aliran-aliran tersebut
mendasarkan pandangannya pada prinsip-prinsip tertentu. Realisme misalnya
memiliki prinsip mutlak sebagai barikut : 1) kita memersepsi objek fisik secara
langsung, 2) Objek ini adanya tidak tergantung pada diri kita dan menempati posisi
tertentu di dalam ruang, 3) ciri khas objek ini seperti apa adanya sebagaimana kita
memersepsinya.13
Pada tahap selanjutnya paham netralitas ilmu (sain) terus berkembang dan
dikembangkan oleh para ilmuwan sebagai ide dasar bagi pengembangan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Meski kemudian sempat terjadi pertarungan yang sengit
selama kurang lebih 250 tahun antara ilmuwan yang berpegang pada prinsip “ilmu
bebas nilai dan netral” atau objektif, dengan ilmuwan yang berkeyakinan bahwa ilmu
12 Mohammad Muslih, Op.Cit. h.9713 Ayn Rand, Introduction to Objectivism Epistemology.(New York; A Mentor Book New American Library, 1979).Terjemahan Indonesia oleh Cuk Ananta Wijaya Pengantar Epistemologi Objektif, (Yogyakarta; Bentang Budaya) 2003, h. xiii
8
itu terikat oleh nilai, tidak netral dan penuh dengan keterkaitan subjektif, namun
pandangan netralitas ilmu terus memenangkan idenya tersebut.14
Realitas sejarahpun kemudian mencatat bahwa ilmu pengetahuan mengalami
kemajuannya yang signifikan ketika paradigma “ilmu yang bebas nilai” tersebut
benar-benar menjadi prinsip para ilmuwan dalam mengembangkan pengetahuannya,
terutama di bidang ilmu pengetahuan alam.
C. Menyoal Netralitas Ilmu
Ilmu bebas nilai dalam artian ia tidak terikat oleh sesuatu apapun di luar
objeknya sendiri serta ilmu pengetahuan netral, seolah telah menjadi diktum resmi
yang dijadikan aras yang kokoh bagi pengembangan keilmuan modern.
Namun begitu, sejarahpun mencatat bahwa klaim ilmu bebas nilai kemudian
ditentang oleh banyak kalangan dalam komunitas keilmuan itu sendiri. Bahkan
hingga saat ini pertentangan itu semakin sengit terutama datang dari kalangan
panganut paham etika, estetika, agama, sosial, budaya dan lainnya.
Fenomena yang ada, sejak zaman Yunani kuno pun, di mana etika dan estetika
mendapat tempat kehormatannya yang tinggi, klaim bahwa ilmu pengetahuan terikat
oleh nilaipun sudah menggejala. Lihat misal ideal Aristoteles tentang ilmu
pengetahuan yang berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-nilai. Keduanya
menyatu dan tak terpisahkan satu sama lain.15 Realitas objek16 dan subjek saling
berkaitan satu sama lain dan sulit untuk dipisahkan.
Ilmuwan di zaman kontemporer pun berpendapat demikian. Mereka berasumsi
dasar bahwa;17 Pertama, fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori. Kedua,
falibilitas teori. Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-
bukti empiris, kemugkinan muncul fakta anomali selalu ada. Ketiga, fakta tidak bebas
14 Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan) cet. 16, h. 23315 Saifullah, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Bagian I, (Malang;Program Pasca Sarjana UIN Malang), 2004, h. 7 dalam buku tersebut juga dikutip bahwa tujuan ilmu adalah untuk ilmu, tidak peduli apakah ada manfaat atau tidak (cuma eksis).16 Objek dibagi menjadi dua. 1) objek material, yaitu objek empiris. 2) objek formal, yaitu objek yang dapat dipandang secara matematis, fisik, psikis, biotik dan sebagainya yang menurut penulis sangat terkait dengan nilai. Lihat Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum, Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan, (Yogyakarta; Kanisius)1992, h. 1317 Donny Gahral Adian, Op.Cit. h.82-83
9
melainkan sarat nilai. Keempat, interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil
penelitian bukan reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta
yang sarat persoalan dan senantiasa berubah.
Mereka juga mengatakan bahwa ilmuwan bekerja dalam kerangka sistem
kepercayaan atau paradigmanya masing-masing18. Bahwa alam ini tidak menguraikan
dirinya sendiri. Ia terbentuk menjadi teori ilmu yang berangkat dari beberapa set cara
pandang, pemikiran, pengaruh personal, pertimbangan kekelompokan, sosial, nilai
dan lainnya. Maka kemudian ilmu tidaklah bebas meski diupayakan kearah itu.
Objektifitas ilmu mesti berdampingan dengan subjektifitasnya dan nilai-nilaipun
selalu mendampinginya.
Terkait dengan ilmu yang terikat nilai itu, ilmuwan pun mengkaji tentang apa
hakikat nilai itu sendiri, yang kemudian meniscayakan mentalnya pendapat netralitas
ilmu pengetahuan oleh nilai. Menurut Paul Edwards19 dalam bukunya The
Encyclopedia of Philosophy, nilai dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, nilai yang
digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti
baik, menarik, dan bagus. Kedua, nilai sebagai kata benda kongkrit. Contohnya ketika
kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada
sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Lebih lanjut
maksudnya bahwa nilai kongkrit adalah nilai yang melekat sendiri pada suatu benda
hingga ia dapat dikatakan bernilai. Ketiga, nilai sebagai kata kerja, di mana hal
tersebut tercermin dari aktifitas atau ekpresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Louis O. Katstoff20 berpendapat bahwa nilai terbagi menjadi dua. Nilai intrinsik
dan nilai instrumental. Nilai instrinsik meniscayakan bahwa sebuah objek fakta telah
terkandung di dalamnya secara permanen sebuah nilai. Baik nilai itu baik atau buruk,
benar atau salah, bahaya atau berguna dan lainnya. Nilai instrumental adalah lebih
18 Haidar Bagir dan Zainal Abidin, ‘Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan?’ dalam Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and the Sciences of Nature.(Teheran;Islamic Propagation Organization) 1986. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Agus Effendi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an.(Bandung; Mizan) cet. 10 h. 16 bandingkan dengan Alparsalan Acikgenic, Holistic Approach to Scientific Traditions Islam and Science 1. 2003. No.1 99-114 dalam Islamia, th.1 no.6 2005 h.1619 dikutip oleh Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu (Jakarta; Rajawali Pers) 2004, h.164-16520 Louis O. Katstoff, …… h.320-321
10
kepada bagaimana fakta yang ada diarahkan kepada sebuah nilai. Pisau misalnya
akan memiliki nilai baik atau buruk tergantung bagaimana menggunakannya.
Dari pendapatnya itu ia kemudian memberikan gambaran bahwa situasi nilai
setidaknya meliputi; (a) suatu subjek yang memberi nilai – yang sebaiknya kita
namakan ‘segi pragmatis’; (b) suatu objek yang diberi nilai- yang sebaiknya diberi
nama ‘segi semantis’; (c) suatu perbuatan penilaian atau (d) suatu nilai ditambah
perbuatan penilaian.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan organik antara
nilai dan fakta alam yang kemudian mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan itu
sendiri. Fakta secara intrinsik memiliki nilainya tersendiri sementara di luar itu
terdapat nilai-nilai lain yang mencoba mempengaruhinya. Fakta tidak dapat
menghindari nilai-nilai dari luar dirinya karena ia tidak akan dikenal sebagai ilmu
pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya sendiri. Dengan
kata lain ilmu itu bukan hanya demi kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu juga demi
kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat dinafikan kalau ilmu terikat dengan lainnya
seperti nilai.
Permasalahan netralitas sain yang lain terus mendapat sorotan tajam dari
berbagai ahli. Karl Raimund Popper (1902-1994), seorang pemikir Jerman yang juga
aktif dalam Lingkaran Wina21 mempermasalahkan objektifitas ilmu dengan
berpendapat bahwa kita tidak pernah bisa memastikan secara logis bahwa kita telah
mencapai kebenaran lewat verifikasi terhadap fakta meski juga kita dapat semakin
mendekati kepastian semacam itu lewat pengguguran teori-teori yang terbukti salah
(falsifikasi).
Lebih lanjut, menurutnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya
tidak selalu melalui logika penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme
yang ketat. Ide baru bisa saja muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di
mana netralitas ilmu pengetahuan kemudian rentan terhadap permasalahan-
21 lingkaran ini menegasakan bahwa metafisika dan teologi tidak bermakna sebab keduanya berisi proposisi yang tidak bisa diverifikasi. Doktrinnya sendiri adalah positivisme logis yang mengonsepsikan bahwa filsafat sepenuhnya bersifat analitis, didasarkan pada logika formal, dan itulah satu-satunya wacana ilmiah yang benar. Lihat Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn..Op.Cit.h.21
11
permasalahan di luar objeknya sendiri. Yaitu terikat dengan nilai-nilai
subjektifitasnya seperti hal-hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas
ilmu semakin dipertanyakan.
Thomas S Kuhn, seorang ilmuwan fisika dan sejarawan filsafat ilmu
berpendapat bahwasanya ide netralitas ilmu atau bebas nilai hanyalah sekedar ilusi.22
Dia menyatakan bahwa paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang
dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah
yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para ilmuwan bahkan tak
bisa mengumpulkan ‘fakta’: dengan tiadanya paradigma atau calon paradigma
tertentu, semua fakta yang mungkin sesuai dengan perkembangan ilmu tertentu
tampaknya cenderung sama-sama relevan. Akibatnya pengumpulan fakta tahap awal
jauh lebih berupa kegiatan acak jika dibandingkan dengan kegiatan yang telah
diakrabi dalam perkembangan ilmu lebih lanjut.
Lebih sederhana dan jelas Kuhn membahas ketidaknetralan ilmu pengetahuan
itu karena memang ilmu dibangun berdasar pijakan seorang pakar yang mungkin
berbeda dengan pakar lainnya. Di mana pijakan tersebut telah memuat nilai ataupun
kepentingan berbentuk ‘paradigma’23.
Secara lebih gamblang, Kuhn memperkuat pendapatnya dengan teori revolusi
sain. Ia menilai adanya prinsip ketidakberbandingan teori ilmu pengetahuan antar
masa eksistensinya. Prinsip itu hendak mengatakan bahwa kesinambungan antar teori
adalah mustahil karena masing-masing bekerja di bawah payung paradigmanya
masing-masing.24 Tentang hal ini Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut :
DULU KINI KELAK
ANOMALI ANOMALI
22 dikutip oleh Ziauddin zardar dari Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chichago: University of Chicago Press, 1962, h.v dalam Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn,Op.Cit. h.2723 kata paradigma memiliki banyak arti. Secara etimologis sosiologis isitilah ini banyak dimaknai sebagai cara pandang, pola, model, anutan dan sebagainya. Lihat Saifullah, Lompatan Paradigmatik dalam Masa Transisi sebuah Kajian Filsafat Ilmu. ElJadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Vol.3 No.1 2005, h. 24 Donny Gahral Adian, Menyoal..Op.Cit. h. 87
12
NORMAL SCIENCE 1
Netral?
NORMAL SCIENCE 2
Netral?
NORMAL SCIENCE 3
Netral?
KRISIS KRISIS
PARADIGMA 1 PARADIGMA 2 PARADIGMA 3
Sain normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seorang pakar.
Dalam perkembangannya sain normal mengalami fenomena yang tidak dapat
diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini
menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga timbul
paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma
satu ke paradigma lain dengan pijakan dasarnya sendiri-sendiri (prinsip ketidak
berbandingan teori).25
Lebih jauh dari itu Kuhn menolak asumsi sejarah bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan lebih disebabkan karena ilmu itu telah berhasil mengesampingkan nilai
dan subjektivitasnya dari dirinya sendiri. Paham perkembangan ilmu pengetahuan
adalah bahwa kebebasannya dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, dan posisinya
yang netral memungkinkannya dengan leluasa mengembangkan dirinya. Sebaliknya
apabila ia terikat dengan nilai atau kepentingan maka dia tidak akan berkembang.
Bagi Kuhn, kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif
berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari satu komunitas ilmu
pengetahuan.26 ini berarti perjuangan konpetitif dan legitimasi intersubjektif dari
komunitas ilmu itu sendiri telah sarat dengan kepentingan dan nilai. Tetapi meski
begitu ilmu pengetahuan tetaplah berkembang.
Reaksi keras terhadap ide netralitas sain datang dari Mazhab Frankfurt yang
menegaskan bahwa klaim bebas nilai itu menunjukkan vested interest.27 Di balik
klaim bebas nilai, tersembunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud
tersendiri. Para pemikir Frankfurt seolah ingin menjelaskan bahwa ide rasionalisme
dan empirisme untuk melepaskan diri dari dunia mitos, dikotomi fakta dan nilai
hanyalah bentuk upaya lain bagi pengurungan manusia dan alam itu sendiri ke dalam
mitologi rasio.
25 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu..Op.Cit.h. 53-54. Bandingkan dengan Saifullah, Lompatan..Op.cit. h.26 Donny Gahral Adian, Op.Cit. h.8727 Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn..Op.Cit. h.v
13
Senada dengan itu Kuhn pun berpendapat bahwa ilmu ‘normal’ adalah bagian
dari upaya dogmatis, jika kita menganggap teori-teori ilmiah yang sudah ketinggalan
zaman seperti dinamika Aristotelian, kimia, flogistis, atau termodinamika kalori
sebagi mitos, menurut Kuhn, kita bisa sama-sama bersikap logis untuk menganggap
teori-teori saat ini sebagai irasional dan dogmatis:28
“Jika kepercayaan atau keyakinan29 yang sudah usang ini akan disebut mitos, maka mitos itu dapat dihasilkan oleh jenis-jenis metode yang sama dan diakui oleh jenis-jenis alasan yang sama yang sekarang menghasilkan pengetahuan ilmiah. Jika di pihak lain kepercayaan-kepercayaan itu akan disebut sain, maka sain telah mencakup kumpulan kepercayaan yang sangat bertentangan dengan apa yang kita akui hari ini.”30
Mazhab Frankfurt menolak dikotomi fakta/nilai karena berpengaruh negatif
baik secara epistemologis maupun sosiologis31. Mereka menilai bahwa dikotomi
tersebut akan membuat akal manusia menjadi akal instrumental. Akal yang sifatnya
manipulatif, kalkulatif, dominasi terhadap semesta yang hanya berurusan dengan
perangkat teknologis dan lupa akan tujuan hidup manusia itu sendiri. Maka, agar hal
tersebut tidak terjadi, nilai-nilai harus menjadi penyeimbang dominasi rasio. Dengan
demikian kemudian ilmu akan terikat dengan kepentingan, karena memang
seharusnya begitu.
Habermas dalam bukunya Knowledge and Human Interest (1968)
mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dan kepentingan tidak dapat dipisahkan. Ide
netralitas ilmu pengetahuan yang tidak berpihak kepada apapun hanya akan
membutakan ilmuwan terhadap kepentingan atau tujuan yang mendasari sebuah
penelitian ilmiah. Di mana kebutaan tersebut akan menjadi-jadi, hingga timbul
persoalan-persoalan sosial-etis bahkan hingga mencapai proses dehumanisasi
manusia itu sendiri sebagai pemilik ilmu dan teknologi.
28 Ibid, h.2629 keyakinan merupakan sikap subjek, jadi selalu bersifat subjektif pula karena itu ia didasarkan pada sikap mental subjek yang tahu, mengerti dan percaya. Lihat Poerdjawidjatna. Logika Filsafat Berpikir. (Jakarta;Rineka Cipta) h.1930 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, ed.II (Chiccago;Chicago Press) h. 2 diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Tjun Surjaman. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. (Bandung; Remaja Rosdakarya), 1993, cet.2, h.2 31 Donny Gahral Adian, Op. Cit. h.92-93
14
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi terhadap lepasnya
secara otomatis tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap persoalan-persoalan
tersebut, karena mereka hanya disibukkan dengan kegiatan-kegiatan keilmuan yang
sudah diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa diganggu gugat. Dengan begitu jika
ilmuwan cuci tangan terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya, maka secara
ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan menurut penulis.
Sosok filosof lain yang juga menentang ide netralitas ilmu adalah Paul
Feyerabend (1924-1994). Ia berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada fakta yang
netral. Fakta tidak pernah bicara dengan sendirinya melainkan diinterpretasikan
dalam suatu kerangka konseptual tertentu.32 Ian Hacking pun menambahkan pendapat
ini dengan mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya diinterpretasi
malainkan juga diitervensi. Ketika sebuah teori mengemuka dan mencoba melakukan
konfirmasi empirisnya lewat eksperimen, maka eksperimen tersebut mengintervensi
fakta-fakta sehingga tidak lagi netral.
Setidaknya ada dua argumentasi Feyerabend yang dapat menggugurkan ide
netralitas ilmu.33 Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan diwarnai oleh banyak
penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan melanggar aturan
metodologi yang ketat, seperti intuisi, kebetulan dan imajinasi. Kedua, tidak ada fakta
yang netral dan terberi, fakta dilihat dalam suatu kerangka konseptual yang berbeda-
beda dari satu teori-teori lain. Dia pun kemudian bersiteguh – dengan tetap
mengusung ide-ide radikalnya – bahwa pengetahuan yang selama ini dipinggirkan
dalam wacana ilmu pengetahuan harus kembali diberi wewenang untuk menyuarakan
kebenarannya sendiri-sendiri.
D. Hubungan Aksiologi Ilmu dan Netralitas Ilmu
Secara etimologis, Aksiologi berasal dari dari bahasa Yunani, axios, yang
berarti nilai, dan logos, yang berarti teori. Terdapat banyak pendapat tentang
pengertian aksiologi. Menurut Jujun S. Suriasumantri34 aksiologi adalah teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.
32 Ibid, h. 10433 Ibid, h.10734 Jujun S. Suraisumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Op.Cit. h.234
15
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral
product.yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni
etika.Kedua, esthetic expression. Yaitu ekpresi keindahan. Bidang ini melahirkan
disiplin khusus Estetika. Ketiga, sosio-political life. Yakni kehidupan sosial politik,
yang melahirkan filsafat sosio-politik.35 Lebih dari itu ada yang berpendapat dengan
menyamakan antara aksiologi dan ilmu.
Dari beberapa definisi aksiologi diatas, terlihat jelas bahwa permasalahan utama
aksiologi adalah nilai. Aristoteles berasumsi bahwa ilmu itu tumbuh dengan nilai-
nilai. Keduanya menyatu dan tak terpisahkan dari satu sama lain. Farncis Bacon pun
menilai bahwa aksiologi ilmu adalah terciptanya kemaslahatan manusia. Tujuannya
yaitu mengusahakan posisi yang lebih menguntungkan bagi manusia dalam
menghadapi alam.
Ahmad Tafsir dalam bukunya berpendapat bahwa aksiologi ilmu sekurang-
kurangnya memiliki tiga garapan yaitu; 1) Ilmu sebagai alat eksplanasi, 2) Ilmu
sebagai alat memprediksi, 3) Ilmu sebagai alat pengontrol.
Sedangkan istilah netralitas ilmu diartikan sebagai upaya rasionalisasi ilmu-
ilmu pengetahuan dengan tanpa terpengaruh dan berkonotasi parokial seperti oleh ras,
ideologi, agama, nilai dan lainnya. Itu berarti netralitas ilmu tidak terlalu
memperdulikan nilai-nilai kebaikan ataupun keburukan. Ilmu hanyalah teori yang
berdiri sendiri (independent) dan diusahakan benar-benar tidak terpengaruh oleh
apapun. Ilmu dibiarkan berbicara tentang dirinya sendiri.
Dari pengertian singkat di atas, dapat dengan jelas terlihat bahwa antara
aksiologi ilmu dan netralitas ilmu terdapat perbedaan. Bila aksiologi ilmu
mementingkan adanya nilai yang dimuat oleh sebuah ilmu maka, sebaliknya netralitas
ilmu mengusung ide pembebasan diri dari nilai. Bila aksiologi ilmu condong ke arah
pembahasan tujuan ilmu, maka netralitas ilmu tidak demikian.
Sampai di sini penulis dapat menyimpulkan tidak adanya hubungan antara
aksiologi ilmu dengan ide netralitas ilmu, yaitu terletak pada permasalahan nilainya.
35 Jalaluddin dan Abdulah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta;Gaya Media Pratama)1997 cet. 1 h.106 dalam Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
16
E. Analisa dan Kesimpulan
Persoalan netralitas sain sebenarnya bukanlah persoalan sederhana yang dengan
mudah kita sudah menganggapnya mengerti (taken for granted). Persoalan ini
penting sekali dijelaskan karena menyangkut persoalan kehidupan manusia dalam
berinteraksi secara langsung dengan ilmu pengetahuan, di mana pengetahuannyalah
yang akan mempengaruhi kehidupannya. Kesalahan persepsi terhadap persoalan
keilmuan terutama dasar-dasarnya dapat memberikan pengaruh kesesatan pola
berifikir termasuk proses kehidupannya.
Dari pembahasan terdahulu, penulis sependapat dengan ide bahwa ilmu itu
tidaklah netral atau bebas nilai atau objektif. Ilmu hakikatnya selalu terkait dengan
berbagai kepentingan, nilai dan lainnya, baik pada tataran ontologi, epistemolgi
maupun aksiologisnya.
Selain didasarkan pada pendapat para ilmuwan yang menentang netralitas ilmu,
penulis juga berpendapat bahwa bagaimanapun ilmu pengetahuan itu adalah berdiri
dan terdiri dari bangunan teori. Bahwa teori-teori yang ada berasal dari fakta-fakta
objektif. Bahwa objektifitas fakta tidak dapat diterangkan menjadi sebuah teori ketika
unsur-unsur objektifitasnya berdiri sendiri tanpa ada hubungannya dengan yang lain.
Bahwa juga fakta itu sendiri secara objektif telah memiliki nilainya yang melekat. Di
mana nilai-nilai yang melekat tersebut tidak berarti apa-apa bagi ilmu pengetahuan
kecuali hanyalah fenomena fakta yang tidak dapat dijelaskan kecuali menurut
persepsi si peneliti/pengamat. Bahwa peneliti/pengamat telah memiliki ukuran-
ukuran nilai yang mereka miliki.
Akhirnya penulis kutip pendapat Herman Soewardi tentang ketidaknetralan
ilmu pengetahuan36. menurutnya, dari sudut epistemologi, sain (ilmu pengetahuan)
terbagi dua, yaitu sain formal dan sain empirikal. Sain formal itu berada di pikiran
kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan
implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain formal itu netral karena ia
berada di dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika.
36 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu..Op.Cit.h.50
17
Adapun sain empirikal, ia tidak netral. Sain empirikal merupakan wujud
kongkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain empirikal
itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi
pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan terhadap jagad raya.
Pijakan-pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak
netral karena dipengaruhi pijakannya itu.
Demikian tulisan ini semoga bermanfaat. Walahu a’lamu bisshowab.
18
DAFTAR PUSTAKA
Acikgenic, Alparsalan, Holistic Approach to Scientific Traditions Islam and Science 1. 2003. No.1 99-114 dalam Islamia, th.1 no.6 2005
Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume hingga Thomas S Kuhn, (Jakarta; Teraju) 2002
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu (Jakarta; Rajawali Pers) 2004
Bakker, Anton, Ontologi Metafisika Umum, Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan, (Yogyakarta; Kanisius)1992
Bagir, Haidar dan Zainal Abidin, ‘Filsafat Sains Islami: Kenyataan atau Khayalan?’ dalam Mahdi Ghulsyani, The Holy Qur’an and the Sciences of Nature.(Teheran;Islamic Propagation Organization) 1986. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Agus Effendi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an.(Bandung; Mizan) 1998
Jalaluddin dan Abdulah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta;Gaya Media Pratama)1997
Katstoff, Louis O., Filsafat Ilmu.( … )
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolutions, ed.II (Chiccago;Chicago Press) h. 2 diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Tjun Surjaman. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. (Bandung; Remaja Rosdakarya), 1993
Poerdjawidjatna. Logika Filsafat Berpikir. (Jakarta;Rineka Cipta)
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yoqyakarta; Belukar), 2004
Ross, Andrew, ‘Introduction, Social Text 46-7, 1996, h.1-13 dalam Ziauddin Zardar, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu.(Yogyakarta;Jendela)2002
Rand, Ayn, Introduction to Objectivism Epistemology.(New York; A Mentor Book New American Library, 1979).Terjemahan Indonesia oleh Cuk Ananta Wijaya Pengantar Epistemologi Objektif, (Yogyakarta; Bentang Budaya) 2003
Saifullah, Konsep Dasar Filsafat Ilmu Bagian I, (Malang;Program Pasca Sarjana UIN Malang), 2004
_______, Lompatan Paradigmatik dalam Masa Transisi sebuah Kajian Filsafat Ilmu. ElJadid, Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam, Vol.3 No.1 2005.
Senn, Peter R., Stuktur Ilmu, dalam Jujun S. Suraisumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta;Yayasan Obor Indonesia) 2003
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan) 2002
___________, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia) 2003
Semiawan, Conny R. dkk. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. (Bandung;Remaja Rosda Karya), 1999
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung; Remaja Rosda Karya) 2004
Zardar, Ziauddin, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu.(Yogyakarta;Jendela)2002
_____________, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, ed. Dan terj. AE. Priyono, (Surabaya; Risalah Gusti) 1998
19