Upload
arga-arek-malang
View
242
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
wow
Citation preview
1
METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI
KAJIAN PALEOKLIMATOLOGI DAN UNSUR PROXY IKLIM
Disusun oleh :Nama : Aditya Pradana
NIM : 14/366595/GE/07882
Program Studi : Geografi dan Ilmu Lingkungan
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2014
2
PALEOKLIMATOLOGI
A. PENDAHULUAN
Perubahan iklim global adalah perubahan pola dan intensitas iklim dalam skala global
se-bagai akibat dari perubahan keseimbangan komponen energi dalam sistem bumi, dan
hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu natural dan antopogenik (Dwimeini, 2010).
Paleoklimatologi adalah studi tentang iklim masa lalu, dapat pula dikatakan sebagai
ilmu mengenai perubahan iklim yang terjadi dalam seluruh rentang sejarah bumi. Ilmu ini
mempelajari iklim masa lampau dengan skala waktu puluhan sampai ribuan tahun yang
lalu, beserta implikasinya terhadap perubahan yang terjadi dalam ekosistem bumi. Karena
tidak mungkin untuk kembali ke masa lalu untuk melihat bagaimana kondisi iklim pada
saat itu, maka ilmuwan menggunakan cetakan yang dibuat selama iklim masa lalu
sebagai cara mempelajari berbagai sinyal yang terdokumentasikan di alam, yang
kemudian dikenal sebagai proxy (Handiani, 2012). Proxy digunakan untuk menafsirkan
kondisi paleoklimatik dan merupakan data yang digunakan untuk menggantikan data atau
kondisi iklim. Proxy yang digunakan dapat berupa bentuk objek yang dapat merekam
kondisi iklim pada masa lalu, baik berupa makhluk hidup (komponen biotik), maupun
benda komponen abiotik.
Karena iklim pada ekosistem bumi selalu bervariasi dan perubahannya hampir selalu
terjadi pada setiap periode bumi, maka penelitian dalam paleoklimatologi menjadi sebuah
subyek yang sangat menarik dan perlu dipelajari secara lebih rinci. Ahli paleoklimatologi
menyimpulkan bahwa perubahan iklim tidak hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi
perubahan tersebut juga pernah terjadi di masa lampau. Sehingga penelitian dalam bidang
paleoklimatologi dapat membantu kita dalam memahami perubahan iklim di masa yang
akan datang pula. Iklim masa lalu dapat direkonstruksi menggunakan kombinasi dari
berbagai jenis catatan (proxy). Catatan ini kemudian dapat diintegrasikan dengan
pengamatan iklim bumi yang modern dan ditempatkan dalam sebuah model komputer
untuk menyimpulkan masa lalu serta memprediksi iklim di masa depan.
3
B. MACAM PROXYMIKROBA
Proxy iklim mikroba biasanya digunakan foraminifera (foram) dan diatom . Foram
dan diatom adalah mikroorganisme yang ditemukan di lingkungan perairan dan laut
seperti dalam gambar 1. Bentuk mikroba dapat beraneka ragam, baik planktonik
(mengambang di kolom air) dan bentik (bawah hunian / dasar laut). Cangkang Foram
terbentuk dari kalsium karbonat (CaCO3), sedangkan diatom terbentuk dari silikon
dioksida (SiO2). Metodenya berupa analisa perbandingan komposisi isotop Oksigen
(18O/16O) , penghitungan kelimpahan foraminifera planktonik dalam sedimen untuk
mengetahui kondisi air permukaan tempat mereka hidup, rasio perbandingan Mg/Ca
dalam shell foraminifera planktonik, dan juga metode paleobiomarker, seperti dengan
menggunakan rantai alkenon. Organisme ini merekam bukti untuk kondisi lingkungan
masa lalu pada cangkang mereka. Sisa-sisa foram dan diatom kerang dapat ditemukan
dengan mengambil inti sedimen dari dasar lautan, karena cangkang mereka terkubur dan
diawetkan dalam sedimen ketika mereka mati. Bahan kimia membuat kerang ini
mencerminkan kimia air pada saat pembentukan shell (cangkang).
Gambar 1. Bakteri foraminifera sebagai elemen proxySumber : RKPM Meteorologi Klimatologi, UGM
Rasio isotop oksigen stabil yang terkandung dalam shell dapat digunakan untuk
menyimpulkan suhu air di masa lalu. Isotop oksigen yang ditemukan secara alami di
kedua atmosfer dan larut dalam air. Oksigen dalam bentuk gas memiliki dua bentuk yang
berbeda, yaitu oksigen dengan bobot 16 (oksigen-16, atau 16O), dan isotopnya yang
berbobot 18 (Oksigen-18, atau 18O). Konsentrasi dari setiap bentuk ini ditentukan oleh
suhu. Dengan mengetahui rasio antara kedua bentuk oksigen para ilmuwan bisa
4
memperkirakan suhu masa lalu. Kadar 18O yang tinggi mencerminkan suhu yang lebih
sejuk, sementara suhu yang menghangat menunjukkan penurunan jumlah 18O. Ahli
paleoklimatologi menggunakan data ini sebagai dasar penentuan kecenderungan iklim
kita di masa lalu dan proyeksi iklim di masa depan. Air yang lebih hangat cenderung
terevaporasi, sehingga kerang tumbuh di perairan hangat akan diperkaya dengan isotop
lebih ringan. Pengukuran isotop stabil planktonik serta bentik-foram dan kerang diatom
telah diambil dari ratusan kerang laut di seluruh dunia untuk memetakan permukaan masa
lalu dan suhu bawah air .
Para peneliti juga dapat menggunakan foram dan dinamika populasi diatom untuk
menyimpulkan iklim masa lalu. Kelimpahan relatif serta komposisi spesies di daerah
tertentu dapat menunjukkan kondisi lingkungan. Biasanya, cuaca yang lebih hangat akan
menyebabkan organisme untuk berkembang biak. Selain itu, karena setiap spesies
memiliki seperangkat kondisi yang ideal tertentu , komposisi spesies pada situs dan
waktu tertentu dapat menunjukkan kondisi lingkungan masa lalu. Metode rekonstruksi
iklim purba yang banyak dilakukan ainnya adalah dengan cara mengukur rasio Mg/Ca
pada shell foraminifera planktonik. Logika dasar dari palaeotermometer ini berdasarkan
pada keberadaan kation Mg2+ yang bisa menyubstitusi Ca selama masa pembentukan
kalsium karbonat biogenik. Peristiwa bergabungnya (incorporation) Mg2+ ke dalam kalsit
foraminifera dipengaruhi oleh temperatur air keliling dan salinitas selama pertumbuan
foraminifera.
Nurnberg dkk. (1995) melakukan percobaan tersebut menggunakan spesies foraminifera
planktonik Globigerinoides sacculifer yang biasanya hidup di lautan pada arena tropis
dan sub-tropis. Untuk mengetahui hubungan antara temperatur dan salinitas air dengan
perbandingan Mg/Ca dalam mineral kalsit yang terdapat dalam shell foraminifera tersebut,
maka suhu dan salinitas air dalam gelas percobaan diatur sedemikian rupa. Percobaan
dilakukan dalam dua jenis. Pertama, dengan temperatur yang berubah dan salinitas yang
tetap. Kedua, salinitas yang berubah tapi temperatur tetap. Hasilnya, mereka
mendapatkan satu formula khusus yang menjelaskan hubungan ini. Intinya, suhu air
memiliki hubungan yang linier dengan rasio Mg/Ca pada mineral kalsit yang ada pada
shell G. sacculifer. Semakin tinggi suhu dalam gelas percobaan maka semakin tinggi pula
rasio Mg/Ca, dan sebaliknya. Adapun untuk salinitas, mereka mendapatkan pola yang
5
sama dengan efek yang timbul akibat perubahan temperatur.
Salah satu interval waktu yang menjadi sasaran para peneliti adalah Late Glacial
Maximum (LGM), yaitu interval waktu sekira 21.000 tahun yang lalu (Batubara, 2009).
Berdasarkan formula yang ditemukan melalui percobaan tersebut maka dilakukanlah
rekonstruksi terhdap suhu muka air laut LGM di berbagai tempat di dunia seperti dalam
gambar 2. Dari sekian banyak rekonstruksi iklim purba LGM yang telah dilakukan di
seluruh dunia, maka Barker dkk. (2004) membuat sebuah model kompilasi berupa suhu
permukaan air laut global pada LGM. Meskipun banyak perbedaan dan diskrepansi dari
banyak penelitian yang telah dilakukan, tetapi secara general kompilasi mereka
menunjukkan bahwa temperatur tropis pada LGM lebih dingin sekitar 2.0 — 3.50 C dari
temperatur modern.
Gambar 2. Peta Suhu Permukaan Air Laut (Sea Surface Temperature—SST) LGM padabeberapa lokasi di dunia .
Sumber : Barker, dkk., 2004
6
INTI ESGletser merupakan perekam terbaik yang paling cepat merespon perubahan iklim
natural maupun antropogenik. Analisis ice core merupakan analisis bagian dari gletser
yang di bor dan memberikan 3 jenis informasi dari masa lalu maupun perubahan iklim
saat ini:
- Informasi temperatur dan presipitasi sebagai data iklim terekam dalam tiap lapisan es.
- Informasi percepatan hilangnya gletser itu sendiri.
- Informasi flora dan fauna kuno yang pernah hidup di tepian gletser (Thompson 2010).
Salju yang jatuh menggambarkan informasi yang unik, bukan hanya presipitasi dan
temperatur, tapi juga komposisi atmosfer (partikulat larut atau tidak larut), letusan gunung
berapi, bahkan variasi pergerakan matahari di masa lalu (Bradley 1999).
Parameter Analisis
Suhu Musim panasHari turun salju
Kelembaban
Akumulasi masalalu (net)
Aktivitas vulkanik
Turbiditas troposfer
Kecepatan angin
Komposisi atmosfer: jangka panjang akibat ulah
manusia
Sirkulasi atmosferAktivitas tatasurya
Melt layersδD, δ18O
Deuterium excess (d)
Seasonal signals, 10Be
Conductivity, nss. SO4
ECM, microparticle content, trace elements
Particle size,
Concentration
CO2, CH4, N2O content,
Glaciochemistry (major ions),10Be
Tabel 1. Sumber informasi utama paleoklimatik dari inti es
Sumber : Bradley 1999
Informasi suhu pada saat musim panas didapatkan dari lapisan es gelap yang meleleh,
sedangkan suhu pada musim dingin dengan salju turun setiap harinya didapatkan dari
kuantitas isotop oksigen yang terkandung dalam es tersebut. Informasi kelembaban
didapatkan dari kandungan isotop hidrogen atau deuterium (Tabel 1). Semua analisis
7
yang dilakukan pada lapisan es tertentu menghasilkan output parameter yang saling
berhubungan seperti yang terlihat pada Tabel 1. Informasi suhu dari inti es dapat
diketahui dari isotop oksigen, hidrogen, dan konstituen air serta karbon dioksida yang
terkandung dalam lapisan es tersebut. Aktivitas vulkanik dapat dideteksi dengan
menganalisis konduktivitas serta kandungan sulfat yang tidak mengandung air laut.
Kekeruhan atmosfer dapat diketahui dengan menganalisis ECM (Elektrical Conductivity
Measure) , kandungan mikropertikel, dan jejak elemen. Ukuran partikel yang terkandung
dalan inti es manggambarkan kecepatan angin pada masa itu. Selain itu aktivitas tatasurya
di indikasikan dengan kandungan isotop berelelium yang merupakan isotop radioaktif.
Lapisan es terbentuk dari salju, suhu udara Antartika selalu jauh di bawah titik beku
air. Jika suhu musim panas berada di atas titik beku, catatan inti es akan rusak parah atau
benar-benar tidak berguna, karena air lelehan akan meresap ke dalam salju. Salju yang
terus menumpuk terkubur dan dikompresi serta membentuk firn, bahan kasar dengan
tekstur mirip dengan gula pasir. Celah udara dan sirkulasi udara terbentuk terus-menerus.
Salju yang menumpuk di atas firn semakin padat , serta di beberapa titik pori menutup
sehingga udara yang terperangkap. Di bawah tekanan yang meningkat firn yang
dikompresi menjadi es. Kedalaman ini bisa berkisar antara beberapa untuk beberapa
puluh meter ke biasanya 100 m untuk core Antartika. Aktivitas tersebut dapat terlihat
dalam gambar 3. Karena udara terus beredar sampai saat itu, zaman es dan umur gas
tertutup tidak sama. Perbedaan usia gas dan usia es yang besar (7 kyr) ditemukan di
kawasan glasial es Vostok, Antartika, dan inti es berupa sampel es silinder.
(a) (b)Gambar 3. (a) Aktivitas pengeboran inti es di Antartika dan (b) Bentuk inti es.
Sumber : Dewan Perubahan Iklim Indonesia, 2013
8
Banyak bahan dapat muncul dalam inti es. Lapisan dapat diukur dalam beberapa cara
untuk mengidentifikasi perubahan komposisi. Diidentifikasi meteorit kecil dapat tertanam
dalam es, selain itu letusan gunung berapi dapat meninggalkan lapisan abu . Debu di inti
dapat dikaitkan dengan peningkatan temperatur daerah sekitarnya. Analisis isotop dari
inti es dapat dihubungkan dengan suhu dan variasi permukaan laut global. Analisis udara
yang terkandung dalam gelembung dalam es dapat mengungkapkan palaeocomposition
atmosfer, dalam variasi CO2 tertentu. Kedalaman paling dalam yang pernah diobservasi
berada di Vostok antartika timur. Inti es ini merekam informasi iklim selama 420.000
tahun yang kemudian dijadikan objek dan rujukan untuk penelitian perubahan iklim dunia
(NOAA 2007), seperti dalam gambar 4. Studi tentang inti es ini telah menjadi indikator
penting perubahan dalam CO2 selama bertahun bahkan bermilenium, dan terus
memberikan informasi berharga tentang perbedaan antara kuno dan modern kondisi
atmosfer.
Gambar 4.Analisis inti es Vostok untuk 420.00 tahun terakhir. Grafik hijau terkait konsentrasi
CO2, biru terkait suhu yang direkontruksi, dan merah terkait konsentrasi debu dalam inti es.
Sumber : NOAA, 2007
9
LINGKARAN TAHUN POHON ( DENDROKRONOLOGI)
Dendrokronologi adalah studi tentang perubahan iklim sebagaimana dicatat oleh
cincin pertumbuhan pohon. Setiap tahun, pohon menambahkan lapisan pertumbuhan
antara kayu tua dan kulit. Lapisan ini, atau cincin tidak hanya merekam kadar air tanah,
melainkan juga merekam kejadian selama pertumbuhan (Dwimeini, 2010). Lapisan yang
lebih lebar merupakan rekaman musim hujan. Sedangkan lapisan yang lebih sempit
merekam musim kering. Informasi iklim pada cincin pohon sangat bervariasi bukan
hanya suhu dan kelambaban tapi juga keadaan radiasi pada masa itu. Dalam kondisi
tertentu pohon dapat tumbuh hingga ribuan tahun misalnya pinus bristlecone. Pohon
tertua yang sudah diobservasi berumur 9000 tahun dari jenis pinus bristlecone (Gou et al.
2006). Bagian batang dari pohon berkambium yang biasanya banyak terdapat di daerah
tropis menggambarkan banyak informasi iklim dari cincin pertumbuhannya. Cincin
pohon (Gambar 5) merupakan bagian lapisan sel tebal (latewood) yang dipisahkan oleh
lapisan sel tipis (earlywood). Ketebalan lapisan antara earlywood dan latewood
merupakan sumber informasi yang sangat berharga.
Gambar 5. Penampang melintang batang pohon berkambium
Sumber : Bradley, 2007 dalam Dwimeini, 2010
10
Densitas lapisan dikaitkan dengan suhu dan kemudian dikaitkan dengan musim.
Kerapatan yang tinggi sangat erat kaitannya dengan bulan April sampai Agustus di daerah
hutan boreal Alaska sampai Labrador. Musim dingin menyebabkan terjadinya nilai
densitas lebih minimum (D'Arrigo et al. 2009). Kerapatan lapisan lingkar pohon juga
dapat diukur dengan sinar x (Gambar 6) untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Penanggalan dengan metode ini juga sangat penting. Metode ini dilakukan untuk
mengetahui secara tepat usia cincin yang terdapat pada pohon tersebut menggunakan
pohon pembanding yang seumur (Bradley 1999).
Gambar 6. Hasil pengukuran densitas dengan sinar X
Sumber : Schweingruber et al., 1993 dalam Dwimeini, 2010
LUBANG BOR SUHU
Borehole suhu (lubang bor suhu) dapat digunakan sebagai proxy temperatur. Karena
perpindahan panas melalui tanah berlangsung lambat, pengukuran suhu lubang bor di
serangkaian kedalaman yang berbeda dapat disesuaikan dengan dampak kenaikan panas
dari dalam bumi. Hal ini bersifat "terbalik" (rumus matematika untuk memecahkan
persamaan matriks) untuk menghasilkan serangkaian non-value yang unik dari suhu
permukaan. Solusinya adalah "non-unik "karena ada beberapa kemungkinan rekonstruksi
suhu permukaan yang dapat menghasilkan profil temperatur yang sama. Ketika
11
merekonstruksi suhu sekitar 1.500 AD, lubang bor memiliki resolusi temporal beberapa
abad. Pada awal abad ke-20, resolusinya beberapa dekade tidak terlalu memberikan cek
yang berguna pada catatan suhu. Namun, konfirmasi ini telah memberikan keyakinan
bagi paleo klimatologis bahwa mereka dapat mengukur suhu 500 tahun yang lalu. Hal ini
disimpulkan oleh skala kedalaman sekitar 492 kaki (150 meter) untuk mengukur suhu
100 tahun yang lalu, sementara kedalaman 1.640 kaki (500 meter) untuk mengukur suhu
1.000 tahun yang lalu.
Lubang bor memiliki keuntungan besar dari berbagai jenis proxy lain karena tidak
perlu adanya kalibrasi karena yang dicatat adalah suhu aktual. Namun, yang dicatat
adalah suhu permukaan bukan suhu dekat permukaan (1.5 meter) seperti hal nya yang
digunakan untuk sebagian "permukaan" pengamatan cuaca. Ini dapat berbeda secara
substansial untuk di bawah kondisi ekstrim atau ketika ada salju permukaan. Dalam
prakteknya efek pada suhu lubang bor diyakini umumnya kecil. Lebih dari 600 lubang
bor di seluruh dunia telah digunakan sebagai proxy untuk merekonstruksi suhu
permukaan. Konsentrasi tertinggi lubang bor yang ada di Amerika Utara dan Eropa.
Kedalaman pengeboran mereka biasanya berkisar dari 200 sampai lebih besar dari 1.000
meter ke dalam kerak Bumi atau lapisan es. Pusat suhu lubang bor Greenland
menunjukkan "pemanasan selama 150 tahun terakhir” sekitar 1 ° C ± 0,2 ° C didahului
oleh beberapa abad kondisi dingin. Mendahului ini adalah periode hangat berpusat sekitar
tahun 1000, yang lebih hangat daripada akhir abad ke-20 oleh sekitar 1 ° C. "Sebuah
lubang di es Antartika menunjukkan bahwa suhu pada 1 AD sekitar 1 ° C lebih hangat
dibandingkan pada akhir abad ke-20 ".
KARANG
Istilah karang (coral) umumnya digunakan untuk terumbu karang yang berasal dari
ordo Scleractinia. Karang dari ordo tersebut memiliki kerangka kapur yang sejati (keras).
Satu individu karang disebut polip yang memiliki ukuran yang bervariasi, mulai dari
1mm-5000mm (Cobb et al. 2008). Untuk studi iklim masa lalu karang yang penting
untuk diobservasi merupakan bangunan terumbu karang yang besar dan hidup saling
ketergantungan (simbiotik) dengan alga uniseluler (zooxanthellae). Karang yang
melakukan hubungan simbiotik dengan zooxanhellae disebut karang hermatypic.
12
Ganggang menghasilkan karbohidrat dengan proses fotosintesis. Proses tersebut
membutuhkan sinar matahari. Dengan demikian karang hermatypic tumbuh paling dalam
hanya 20m dari permukaan laut, dengan tingkat kekeruhan air yang kecil. Sebagian besar
carbon organik diserap gangang untuk fotosintesis, dan menyediakan makanan bagi
karang untuk terus tumbuh. Sementara itu karang memberikan perlindungan terhadap
alga. Pertumbuhan karang sangat dipengaruhi oleh suhu (minimal pada 20oC), karena
itulah karang tumbuh di sekitar perairan ekuator dengan batas lintang 30o utara dan 30o
selatan. Ketika suhu turun ke 18oC, tingkat klasifikasi pertumbuhan karang berkurang dan
akan mati pada suhu yang lebih rendah (Bradley,1999).
Sampel untuk analisis biasanya dibor di bagian yang menggambarkan pertumbuhan
karang. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dilakukan pengambilan sampel yang
rutin (6-10 kali per tahun). Penelitian karang berfokus pada catatan lingkungan pada masa
pertumbuhannya. Tingkat pertumbuhan karang bergantung pada suhu permukaan laut dan
nutrisi yang terkandung pada air laut. Nutrisi tersebut banyak didapatkan dari proses
fotosintesis yang dipengaruhi oleh radiasi dan keawanan. Waktu rekonstruksi karang yang
terpanjang adalah 800 tahun yang berhasil diobservasi di perairan Bermuda. Pada
observasi tersebut diketahui bahwa tingkat pertumbuhan koral berbanding terbalik
dengan Sea Surface Temperature, sebagai contoh air upwelling yang dingin membawa
banyak nutrisi dan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan karang. Kondisi terdingin
yang dialami dari 1470-1710 dan sejak 1760 sampai akhir abad kesembilan belas, diikuti
oleh pemanasan di abad kedua puluh. Hal ini mirip dengan perkiraan musim panas
belahan bumi utara (Bradley,1999). Isotop oksigen diketahui menujukan korelasi
terhadap suhu ketika mengalami pengendapan karbonat secara biologis. Berkurangnya
konsentrasi δ18O sebesar 0,22% menyebabkan kenaikan suhu sebesar 1oC (Gribin,1978).
Dengan meningkatnya suhu permukaan laut maka penguapan semakin meningkat.
Sehingga jumlah curah hujan juga akan mengalami peningkatan. δ13C (isotop karbon)
mengindikasikan perawanan pada masanya. Nilai δ13C tersebut dipengaruhi oleh
fotosintesis gangang yang terdapat pada karang. Semakin tinggi konsentasi δ13C pada
karang maka semakin tinggi tingkat fotosintesis. Konsentrasi δ13C berkurang seiring
dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini menunjukan bahwa δ13C peka terhadap cahaya,
dan dapat mengindikasikan perawanan pada masa itu (Gribbin 1978). Selain itu
13
parameter lainya yang dianalisis adalah Δ14C yang saat ini diindikasikan kepada siklus
samudra yaitu upwelling. Parameter lain berupa konsentrasi barium, namun barium
kebanyakan digunakan untuk parameter perubahan lingkungan dalam beberapa periode.
DI Australia penginderaan jauh yang digunakan sejak tahun 1980an dan perunut
geokimia sedimen (Ba/Ca) dan unsur hara (skeletar d15N) yang canggih dari kerangka
terumbu karang merupakan metoda yang dipakai untuk mendeskripsikan sejarah
perubahan kualitas air dan ekosistem pantai Great Barrier Reef sejak masa pendudukan
Eropa (di Australia), seperti dalam gambar 7.
Gambar 7. Analisis kandungan Barium pada perairan Great Barier reef
Sumber : Dewan Perubahan Iklim Indonesia, 2013
Pada tahun 2002, laporan yang diterbitkan berbasis temuan Drs. Lisa Greer dan Peter
Swart dari University of Miami, menunjukan terdapat isotop oksigen stabil di kalsium
karbonat karang. Suhu dingin cenderung menyebabkan karang untuk menggunakan
isotop yang lebih berat dalam strukturnya, sementara suhu hangat menyebabkan isotop
oksigen yang lebih ringan mendominasi struktur karang. Air dengan tingkat salinitas
tinggi juga cenderung mengandung lebih berat isotop. Sampel karang Greer dari Samudra
Atlantik diambil pada tahun 1994 dan kembali ke 1935. Ketika melihat data tahunan
rata-rata dari 1935 sampai sekitar tahun 1994, data memiliki bentuk gelombang sinus. Ini
adalah periodik dan memiliki pola yang signifikan dengan isotop oksigen. Komposisi
14
memiliki puncak pada sekitar setiap dua belas sampai lima belas tahun. Suhu air
permukaan memuncak bertepatan dengan setiap dua belas setengah tahun. Namun, karena
rekaman suhu ini hanya dipraktekkan selama lima puluh tahun terakhir, hubungan antara
suhu air tercatat dan struktur karang hanya dapat ditarik sejauh periode tersebut.
POLLEN ( SERBUK SARI)
Serbuk sari adalah tempat gametofit jantan pada generasi gametofit tumbuhan
Gymnospermae dan Angiospermae. Penyebaran serbuk sari dapat terjadi melalui berbagai
perantara, yaitu: angin, air, dan binatang (Dwimeini, 2010). Analisis serbuk sari (pollen
analysis) merupakan metode yang paling penting dalam rekonstruksi flora, vegetasi, dan
lingkungan masa lampau, karena serbuk sari yang sangat awet atau tahan terhadap
kerusakan. Selain itu serbuk sari dihasilkan dalam jumlah yang sangat banyak dan
tersebar secara lebih luas dan merata dibandingkan dengan makrofosil. Kelebihan lainya
adalah serbuk sari dapat diperoleh dari sedimen dalam jumlah yang sangat banyak
sehingga memungkinkan untuk diuji secara kuantitatif / statistik. Analisis serbuk sari
dapat digunakan untuk melacak sejarah kelompok dan jenis (spesies) tumbuhan serta
habitatnya. Analisis serbuk sari juga dapat menentukan umur relatif batuan atau sedimen.
Inti dari analisis serbuk sari untuk paleoklimatologi adalah untuk memperlajari sejarah
iklim, dan pengaruh manusia terhadap lingkungan (Kneller,2009). Serbuk sari dan spora
adalah dasar dari sebuah aspek penting dari rekonstruksi iklim bumi. Sebuah studi khusus
untuk mempelajari serbuksari dan spora biasa disebut dengan palinologi. Serbuk sari
yang tersebar di danau, laut dan mengendap dalam sedimen memberikan catatan
perubahan vegetasi masa lalu yang mungkin terjadi karena perubahan iklim. Metode ini
merupakan metode pelengkap paling penting untuk melengkapi hasil dari metode lainya
(Bradley,1999). Tahap yang dilakukan pada metode ini adalah mengklasifikasi morfologi,
deskripsi morfologi serbuk sari, serta menentukan taksonomi. Sehingga dapat diketahui
habitat serta iklim yang medukung per-tumbuhannya. Serta dapat diketahui jenis
tumbuhan yang tumbuh pada masa itu. Kemudian bagaimana tumbuhan tersebut bertahan
hidup (NOAA,2011). Perbedaan dalam produktivitas dan tingkat penyebaran serbuk sari
menimbulkan masalah yang signifikan untuk rekonstruksi komposisi vegetasi karena
kelimpahan relatif serbuk sari tidak dapat langsung diinterpretasikan dalam hal
15
kelimpahan spesies di daerah tersebut. Maka sangat penting untuk mengetahui hubungan
antara frekuensi tanaman di daerah itu dan jumlah hujan serbuk sari yang terjadi. Sebagai
contoh, komunitas vegetasi terdiri dari 10% pinus, maple 35%, dan beech 65% dapat
diwakili dengan jumlah serbuk sari yang kurang lebih sama persentasenya (Bradley,
1999).
Penentuan iklim dengan analisis serbuksari juga dapat dilakukan secara kuantitatif.
Dengan menggunakan persamaan sederhana ini:
Cm = Tm. Pm………………(1)
Cm merupakan iklim modern, Pm hujan serbuk sari modern, dan Tm merupakan
keofisien fungsional (fungsi transfer) yang diperoleh dari hubungan antara serbuk sari
dan iklim (Bradley, 1999). Persamaan sederhana tersebut berkembang dengan melalui
penelitian lebih lanjut dan ditransformasi menjadi:
July Tmean (°C) = 17.76 +1.73 (Quercus) 0.25 + 0.09 (Juniperus) + 0.51(Tsuga) -
0.41(Pinus) 0.25-0.12(Acer)-0.04 (Fagus)……………..................(2)
Persamaan 2 menggunakan pensentase serbuk sari dan baru dilakukan penelitian di
Amerika Serikat dan New England oleh Bartlein dan Webbs pada tahun 1985. Sementara
keofisien dari tiap jenis tumbuhan didapatkan dari korelasi antara suhu bulan Juli disuatu
wilayah tertentu (varibel lingkungan) , dan nilai persentase penyebaran serbuk sari suatu
spesies tertentu di daerah tersebut. Persamaan diatas memiliki R2 sebesar 0.77. Variabel
yang mempengaruhi suhu rata-ratabualn Juli adalah persentase subgenus Quercus (pohon
Oak), Juniperus, Tsuga (cemara), Pinus, Acer (maple), Fagus. Hasil dari penelitian terbut
adalah suhu di bulan Juli di wilayah Amerika Utara hingga Kanada lebih hangat 1-2oC
dibandingkan suhu saat ini. Penelitian yang dilakukan di wilayah Eropa Tengah sampai
Eropa Selatan menghasilkan suhu bulan Juli yang lebih hangat 4oC dibandingkan suhu
saat ini (Bradley 1999). Dengan suhu Bulan Juli ditentukan juga suhu bulan Januari yang
mengikuti pola suhu wilayah tersebut. Sehingga curah hujan wilayah tersebut juga bisa
diketahui. Menurut Bradley panjang tahun yang dapat di rekonstruksi dengan analisis
16
polen pun cukup panjang. Dua situs di Perancis dapat merekstruksi suhu dan curah hujan
hingga 140,000 tahun yang lalu.
Serbuk sari dapat ditemukan dalam sedimen. Tanaman menghasilkan serbuk sari dalam
jumlah besar dan hal ini sangat tahan terhadap pembusukan (macamnya dapat dilihat
dalam gambar 8). Hal ini dimungkinkan untuk mengidentifikasi spesies tanaman dari
biji-bijian serbuk sarinya. Berbagai jenis tumbuhan dapat diidentifikasi daerah
penyebarannya pada waktu relatif dari lapisan sedimen, serta dapat memberikan
informasi tentang kondisi iklim. Kelimpahan serbuk sari yang diberikan
tumbuh-tumbuhan periode atau tahun tergantung sebagian pada kondisi cuaca dari bulan
bulan sebelumnya, kepadatan maka serbuk sari memberikan informasi tentang kondisi
iklim jangka pendek (Bradley .et al, 1992).
Gambar 8. Macam serbuk sari dalam tanaman
Sumber : RKPM Meteorologi Klimatologi, UGM
SEDIMEN DANAU DAN LAUT
Metode ini mirip dengan studi dengan proxy lain, studi palaeoklimatologis akan
memeriksa isotop oksigen dalam sedimen lautan (Sudibyakto, et al., 2013). Demikian
juga, mereka mengukur lapisan varve (lapisan lumpur halus dan kasar atau tanah liat)
yang membentuk lapisan sedimen danau. Varve terutama dipengaruhi oleh:
Suhu musim panas, yang menunjukkan energi yang tersedia untuk mencairkan salju
dan es musiman
Salju pada musim dingin, yang menentukan tingkat gangguan terhadap sedimen
ketika pencairan terjadi
Curah hujan
17
Analisis sedimen tidak dapat dipisahkan dari analisis mikroba ( diatom dan formainifera),
mikrobiota, pollen ( serbuk sari), dan arang. Karena, komponen tersebut bersama dengan
sedimen itu sendiri menyusun endapan sedimen didasar danau dan lautan.
ISOTOPAIR
Air laut yang sebagian besar tersusun atas H216O , dengan sejumlah kecil HD16O, dan
H218O. Dimana D menunjukkan Deuterium, yaitu hidrogen dengan neutron tambahan. Di
Vienna, Austria terdapat Standar Berarti Samudera Air (VSMOW) yaitu rasio D untuk H
O-18 ke O-16 . Fraksinasi terjadi selama perubahan antara fase terkondensasi dan fase
uap (evaporasi), dimana tekanan uap isotop berat lebih rendah sehingga uap mengandung
relatif lebih isotop ringa. Sementara ketika uap mengembun curah hujan mengandung
isotop lebih berat. Perbedaan dari VSMOW dinyatakan sebagai :
18O = 1000 ‰ x ................... (3)
dan formula yang sama untuk δD. nilai δ untuk curah hujan selalu negatif (Delmas et
al.,2004). Pengaruh besar pada δ adalah perbedaan antara suhu air laut di mana
kelembaban menguap dan tempat di mana curah hujan akhir terjadi, karena suhu laut
relatif stabil nilai δ sebagian besar mencerminkan suhu di mana curah hujan terjadi.
Dengan mempertimbangkan bahwa curah hujan membentuk inversi layer atas , kita
biarkan dengan hubungan linear yang secara empiris dikalibrasi dari pengukuran suhu.
Dengan nilai δ = 0.67 ‰ / oC di tanah penggembalaan dan 0,76 ‰ / oC di bagian timur
Antartika. Kalibrasi ini awalnya dilakukan atas dasar variasi spasial dalam suhu dan
diasumsikan bahwa hal ini berhubungan dengan variasi temporal (Jouzel dan Merlivat,
1984 dalam Sudibyakto, et al., 2013). Baru-baru ini, Thermometry lubang bor telah
menunjukkan bahwa untuk variasi glasial-interglasial, a = 0,33 ‰ / oC, menunjukkan
bahwa terdapat perubahan suhu glasial-interglasial dua kali lebih besar seperti yang
diyakini sebelumnya. Hasil analisis isotop oksigen atom di atmosfer bumi menunjukan
bahwa 16O berjumlah 99,759% , 17O berjumlah 0,037% dan 18O 0,204%. Karena molekul
air yang mengandung isotop yang lebih ringan sedikit lebih mungkin untuk menguap dan
18
jatuh sebagai pengendapan (Dansgaard, 1964). Es kutub di bumi mengandung sedikit
kurang (0,1981%) dari isotop berat 18O, sementara udara (0,204%) atau air laut
(0,1995%). Perbedaan ini memungkinkan analisis pola suhu melalui bersejarah inti es.
PSEUDOPROXIES
Algoritma yang digunakan untuk menggabungkan catatan proxy ke sebuah rekonstruksi
temperatur secara keseluruhan dapat diuji dengan menggunakan teknik yang dikenal
sebagai "pseudoproxies". Dalam metode ini, output dari model iklim adalah sampel di
lokasi yang sesuai dengan dikenal jaringan proxy, dan catatan suhu yang dihasilkan
dibandingkan dengan suhu keseluruhan model. Meskipun demikian, beberapa metode
menggabungkan catatan menghasilkan hasil yang kurang baik. Pseudoproxies
menggunakan sintesis data yang membandingkan data asli dengan data hasil olahan,
seperti dalam gambar 9.
Gambar 9. Analisa data pseudoproxies dengan data insturmental faktual melalui model
temperatur di dua lokasi berbeda
Sumber : Mann, Michael E. dan Scott Rutherford, 2002
19
SPELEOTHEMS
Speleothems ("deposit gua"), umumnya dikenal sebagai formasi gua atau endapan
mineral sekunder yang terbentuk dalam gua. Speleothems biasanya terbentuk di batu
gamping, kapur atau dolostone/dolomit pada bentanglahan karst (solusional). Air
merembes melalui celah-celah di batuan dasar yang mengelilingi sebuah gua dapat
melarutkan senyawa tertentu, biasanya kalsit dan aragonit (kalsium karbonat), atau gips
(kalsium sulfat). Tingkatya tergantung pada jumlah karbon dioksida yang diadakan dalam
larutan, pada suhu, dan faktor lainnya. Ketika larutan mencapai gua, keluarnya karbon
dioksida dari larutandapat mengubah kemampuan air untuk menahan mineral ini dalam
larutan, menyebabkan zat terlarut kemudian mengendapkan unsur kalsium karbonat.
Seiring waktu hingga puluhan ribu tahun, akumulasi dari endapan dapat membentuk
speleothems. Macam speleothems diantaranya ; stalaktit, stalakmit, drip curtain,
flowstone, pilar dan lain sebagainya, seperti dalam gambar 10.
Gambar 10. Ornamen Speleothems sebagai proxy iklim
Sumber : Dwimeini, 2010
Banyak faktor yang membuat bentuk dan warna formasi speleothem berbeda-beda,
diantaranya termasuk tingkat dan arah rembesan air, jumlah asam dalam air, suhu dan
kelembaban isi gua, udara arus, iklim di atas tanah, jumlah curah hujan tahunan dan
kepadatan tanaman penutup. Sampel yang dapat diambil dari speleothems dapat
digunakan seperti inti es sebagai wakil catatan perubahan iklim masa lalu. Sebuah
20
kekuatan khusus speleothems dalam hal ini adalah kemampuan mereka yang unik untuk
secara waktu lebih akurat untuk identifikasi iklim periode akhir Kuarter dengan
penggunaan teknik uranium-thorium dating. Stalagmit sangat berguna untuk aplikasi
paleoklimat karena geometri relatif sederhana dan karena berisi beberapa catatan iklim
yang berbeda, seperti oksigen dan karbon isotop dan trace kation. Ini dapat memberikan
petunjuk untuk curah hujan masa lalu, suhu, dan perubahan vegetasi selama kurang lebih
500.000 tahun terakhir.
C. PROXYAKURAT
Penggunaan analisa isotop oksigen dapat dikatakan sebagai unsur proxy paling akurat,
mengingat skema dating yang digunakan dalam analisa tiap isotop sangat akurat. Analisa
isotop baik pada inti es maupun isotop air dianggap sebagai sistem proxy yang paling
akurat. Sebuah inti es dari situs yang tepat dapat digunakan untuk merekonstruksi catatan
iklim dengan sangat rinci dan luas selama ratusan ribu tahun, hal ini memberikan
informasi mengenai berbagai aspek iklim pada setiap titik waktu. Keberadaan inti es
dibawah permukaan serta kondisi lokasi yang selalu dibawah titik beku membuat catatan
informasi masa lampau selalu terjaga, walaupun data ini hanya dapat dilakukan di lokasi
tertentu dimuka bumi yang dilapisi es atau glacier.
Sementara pada penggunaan lubang bor suhu sumber kesalahan berupa kontaminasi
sumur oleh air tanah yang dapat mempengaruhi suhu, karena air "membawa" suhu yang
lebih aktual. Walaupun efek ini diyakini umumnya kecil namun bisa diterapkan di lokasi
yang sangat lembab. Padahal masalah seperti ini tersebut justru tidak berlaku dalam inti
es di mana situs tetap beku sepanjang tahun. Sementara penggunaan karang diperlukan
analisis yang rumit dan keterbatasan objek hanya pada lintang tertentu menyebabkan
metode ini lebih jarang dilakukan dibandingkan metode inti es karena dianggap tidak
menyediakan data menyeluruh.
Sebenarnya penggunaan proxy cincin pohon juga merupakan sebuah keuntungan
karena tersedianya spesimen bahan pernah hidup yanag secara akurat pada tanggal dan
tahun digunakan sebagai kalibrasi dan pemeriksaan penanggalan radiokarbon. Melalui
estimasi rentang tanggal maka terbentuk intersepsi radiokarbon serta kondisi iklimnya.
Akan tetapi tidak meratanya penyebaran pohon di bumi ini menyebabkan terbatasnya
21
informasi iklim yang dihasilkan dari metode lingkar pohon serta metode pollen (serbuk
sari). Rekonstruksi iklim menggunakan metode inti es menghasilkan data iklim yang
lebih panjang dan akurat dibandingkan dengan menggunakan metode lingkar pohon,
karang, dan serbuk sari.
Sementara pada proxy speleothems keakuratan hanya terbatas pada periode akhir
Kuarter, namun penggunaanya jauh lebih mudah daripada inti es terlebih dengan adanya
sistem uranium-thorium dating. Namun, sebenarnya untuk menghasilkan hasil yang
paling tepat, dan sistematis maka harus ada lintas verifikasi antara indikator proxy. Hal ini
diperlukan untuk akurasi pembacaan dan pencatatan, proxy dapat dikombinasikan untuk
menghasilkan rekonstruksi suhu lebih lama dari data pencatatan suhu yang ada, sehingga
dapat berperan dan dapat menginformasikan diskusi perubahan iklim lebih detail. Karena
tidak memungkiri bahwa setiap elemen memiliki kelemahan masing-masing.
D. PENUTUPWalalupun data paleoklimatologi dapat digunakan sebagai sarana pengujian berbagai
model iklim yang berbeda, namun sampai saat ini belum ada model yang sempurna untuk
bisa menggambarkan sistem iklim dan interaksinya secara menyeluruh dan rinci. Salah
satu kendalanya adalah kemampuan komputerisasi yang masih kurang memadai untuk
menyelesaikan persamaan-persamaan matematis dan mensimulasikannya dalam skenario
waktu yang panjang. Akan tetapi melihat perkembangan komputerisasi yang semakin
maju, penelitian dalam model iklim tetap menjadi salah satu komponen terpenting dalam
paleoklimatologi.
22
DAFTAR PUSTAKA
Barker, S., Cacho, I., Benway, H., and Tachikawa, K., (2004). Planktonic foraminiferalMg/Ca as a proxy for past oceanic temperatures: a methodological overview anddata compilation for the Last Glacial Maximum. Quarternary Science Reviews. 24,821-834.
Batubara, Bosman. (2009). Rekonstruksi Iklim Purba: Sumbangan Geosains bagi StudiPerubahan Iklim. http : //www.tulisangeologipopuler.wordpress/ , diakses 6 Jnauari2015.
Bradley R. (1999). Paleoclimatologi: Reconstructing Climates of the Quaternary SecondEdition. USA: ACADEMIC PRESS.
Cobb K, Cole J, Lough J, Tudhope S. (2008). Annually-banded corals as climate proxies.http://www.ncdc.noaa.gov/ , diakses 5 Januari 2015.
D’Arrigo R, Abram N, Ummenhofer C, Palmer J, Mudelse M. (2009). ReconstrucedStreamflow for Citarum River, Java, Indonesia. Jakarta : Springer.
Dansgaard, W. (1964). Stable isotopes in precipitation. Tellus 16, 436-468Delmas RJ, J Beer, HA Synal, et al. (2004). "Bomb-test 36Cl measurements in Vostok
snow (Antarctica) and the use of 36Cl as a dating tool for deep ice cores". Tellus B36 (5): 492.
Dewan Perubahan Iklim Indonesia. (2013).Perubahan Iklim. Jakarta : DPII.Dwimeini, Ratih Purwanto. (2010). Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.Gou X, Chen F, Yang M, Jacoby G, Peng J, Zhang X. (2006). A comparison of tree-ring
records and glacier variations over the past 700 years, northeastern Tibetan Plateau.Annals of Glaciology 43: 83- 89.
Gribbin J. (1978). Isotop Studies. Di dalam: Gribbin J, editor. Climatic Change. London:Cambridge University Press. Hlm 46-67.
Handiani, Dian H. (2012). Paleoklimatologi: Berburu ke Masa Lampau, Meramal keMasa Depan. http : //www.kompas.com/, diakses 5 Jnauari 2015.
Kneller M. (2009). Pollen analysis. Ensiclopedia of Paleoclimatologi and AcientEnvironments: 815-820.
Mann, E. Michael dan Scott Rutherford. (2002). Climate Reconstruction usingPseudoproxies. Geophysical Research Letters, Vol. 29, No. 10.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. (2007). Climate Change.USA: NOAANational Weather Data Service.
Nurnberg, D., Bijma, J., and Hemleben, C., (1995). Assessing the realibility ofmagnesium in foraminiferal calcite as a proxy for water mass temperatures.Geochimica at Cosmochimica Acta. 60, 803-814.
Schweingruber F, Briffa K, Nogler P. (1993). A tree-ring densitometric transect fromAlaska to Labrador. International Journal of Biometeorology 37: 151-169.
Sudibyakto, et al. (2013). RKPM Meteorologi dan Klimatologi. Yogyakarta : UniversitasGadjah Mada. Hlm 306-377.
Thompson LG. (2010). Understanding global Climate Change: Paleoclimate perspectivefrom the world‟s highest Mountains. Proceeding of the American PhiloshopicalSociety 154: 133-157.