58
BAB 1. METODOLOGI 1.1. PENGUMPULAN DATA-DATA SEKUNDER Pengumpulan data-data sekunder meliputi pengumpulan data pendahuluan seperti hasil survey, investigasi studi maupun desain terdahulu untuk menunjang desain, data-data sekunder ini juga sangat berperan dalam keandalan analisa yang akan dilakukan baik dalam analisa hidrologi, analisa hidrolika, analisa sedimen, analisa struktur dan lain-lain. Untuk itu data-data sekunder yang telah dikumpulkan meliputi : 1. Data hidroklimatologi meliputi data curah hujan yang diperoleh di daerah studi 2. Data-data daerah genangan banjir meliputi daerah rawan banjir, lama dan luas genangan, tinggi genangan dan penyebab banjir 3. Peta-peta dengan skala terbesar yang ada yaitu peta dari Bakorsurtanal skala 1 : 50.000 4. Titik-titik referensi 5. Kajian-kajian geologi terdahulu 6. Hasil pengukuran topografi terdahulu 7. dan lain-lain Dari data-data sekunder tersebut sebelum dipakai sebagai alat analisa perlu dilakukan kompilasi data dan studi pendahuluan, agar alat analisa yang dipakai dapat memberikan nilai validasi dan memberikan parameter desain yang dapat dipertanggung jawabkan. Kompilasi dan kegiatan pendahuluan yang dilakukan adalah sebagai berkut : a. Kompilasi data dilakukan pada data-data hidroklimatologi dengan tujuan melihat data yang hilang (missing data), dan kepuguhan/konsistensi data sehingga dapat diketahui data yang masih perlu dilengkapi dalam bentuk report maupun survey tambahan yang diperlukan. b. Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap studi-studi yang terdahulu terutama yang menyangkut: Kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS) Kondisi Topografi

Metode Analisa Banjir

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Teknik Analsia

Citation preview

Page 1: Metode Analisa Banjir

BAB 1. METODOLOGI

1.1. PENGUMPULAN DATA-DATA SEKUNDER

Pengumpulan data-data sekunder meliputi pengumpulan data pendahuluan seperti

hasil survey, investigasi studi maupun desain terdahulu untuk menunjang desain, data-data

sekunder ini juga sangat berperan dalam keandalan analisa yang akan dilakukan baik

dalam analisa hidrologi, analisa hidrolika, analisa sedimen, analisa struktur dan lain-lain.

Untuk itu data-data sekunder yang telah dikumpulkan meliputi :

1. Data hidroklimatologi meliputi data curah hujan yang diperoleh di daerah studi

2. Data-data daerah genangan banjir meliputi daerah rawan banjir, lama dan luas

genangan, tinggi genangan dan penyebab banjir

3. Peta-peta dengan skala terbesar yang ada yaitu peta dari Bakorsurtanal skala 1 : 50.000

4. Titik-titik referensi

5. Kajian-kajian geologi terdahulu

6. Hasil pengukuran topografi terdahulu

7. dan lain-lain

Dari data-data sekunder tersebut sebelum dipakai sebagai alat analisa perlu

dilakukan kompilasi data dan studi pendahuluan, agar alat analisa yang dipakai dapat

memberikan nilai validasi dan memberikan parameter desain yang dapat dipertanggung

jawabkan. Kompilasi dan kegiatan pendahuluan yang dilakukan adalah sebagai berkut :

a. Kompilasi data dilakukan pada data-data hidroklimatologi dengan tujuan melihat data

yang hilang (missing data), dan kepuguhan/konsistensi data sehingga dapat diketahui

data yang masih perlu dilengkapi dalam bentuk report maupun survey tambahan yang

diperlukan.

b. Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap studi-studi yang terdahulu terutama yang

menyangkut:

Kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS)

Kondisi Topografi

Page 2: Metode Analisa Banjir

Kondisi Geologi

Kondisi Hidrologi

Dasar-dasar perencanaan bangunan

Dan lain-lain

c. Tinjauan lapangan yang dilakukan untuk memastikan atas kondisi berdasarkan studi

terdahulu, melakukan identifikasi dan inventarisasi permasalahan yang menjadi

penyebab banjir dan akibatnya dan juga untuk mempertajam studi pendahuluan.

1.2. PENGUKURAN TOPOGRAFI (TOPOGRAPHIC SURVEY)

1.2.1. PENGUKURAN POLIGON

Dalam pekerjaan pengukuran poligon, data yang mutlak dibutuhkan adalah

koordinat dan elevasi referensi, yang digunakan untuk mengikat titik awal poligon. Titik

ini dapat diperoleh dari benchmark (BM) yang ada ataupun check poin (CP) pada daerah

yang akan dipetakan.

A. Pengukuran Poligon/Kontrol Horisontal

Kontrol horizontal dilakukan dengan cara pengukuran poligon, poligon harus tertutup

dan melingkupi daerah yang dipetakan, jika daerahnya cukup luas poligon utama

dibagi dalam beberapa kring tertutup. Jadi secara umum kontrol horizontal dapat

dilakukan sebagai berikut :

- Metode yang digunakan adalah poligon, dimana semua patok dan BM yang sudah

dipasang merupakan titik poligon.

- Sudut diukur satu seri ganda (biasa dan luar biasa) menggunakan theodolith.

- Jarak diukur dua (2) kali menggunakan Alat Ukur Elektronik (EDM) pada poligon

utama dan memakai pita ukur 50 m pada poligon cabang.

Sisi poligon sama panjangnya, poligon cabang harus terikat kepada poligon utama.

Diusahakan jalur poligon baik cabang atau utama melalui batas jalan yang ada. titik

koordinat referensi yang digunakan harus mendapat persetujuan dari Direksi pekerjaan,

jalur poligon baik cabang atau utama dibuat melalui rencana atau bantaran

Page 3: Metode Analisa Banjir

sungai/saluran/jalan yang sudah ada demikian juga jalur inspeksi atau

drainase/drainage.

Titik poligon selain bench mark adalah patok kayu berukuran 5 cm x 5 cm x 70 cm.

Patok ini harus dicat untuk memudahkan identifikasi.

Jika polygon utama diukur dengan EDM sedang poligon cabang diukur dengan pita

ukur baja ketelitian linier poligon utama harus lebih kecil atau sama dengan 1 : 10.000

sedangkan poligon cabang harus lebih kecil atau sama dengan 1 : 5.000.

B. Pengukuran kerangka Water Pass/Kontrol Vertikal

Semua titik poligon harus diukur ketinggiannya, titik referensi untuk kontrol vertikal

harus persetujuan dari Direksi Pekerjaan. Pengukuran kontrol vertikal dilakukan

pulang pergi, alat yang digunakan alat ukur otomatis (N12, NAK atau yang sejenis),

sebelum dan sesudah pengukuran alat ukur harus diperiksa ketelitian garis bidiknya,

jumlah jarak belakang diusahakan sama dengan jumlah jarak muka dan jarak dari alat

ke rambu titik tidak lebih besar dari 60 m sedangkan alat terdekat dari alat ke rambu

tidak lebih dari 5 m.

Secara umum kontrol vertikal dapat dilakukan sebagai berikut :

- Metode yang digunakan adalah metode waterpass memanjang, melalui semua titik

poligon

- Jalur waterpass utama merupakan Jalur Tertutup (Loop), sedangkan waterpass

cabang merupakan jalur Terikat Sempurna.

- Menggunakan alat ukur “Automatic Level”

- Pengukuran dilakukan double stand, dimana stand I dibaca lengkap (benang atas,

benang tengah dan benang bawah), sedangkan stand II dibaca benang tengah.

Ketelitian pengukuran waterpass utama tidak lebih dari 10√ D dan waterpass

utama tidak lebih 5√D, dimana D adalah jumlah jarak dalam satuan kilometer.

Page 4: Metode Analisa Banjir

1.2.2. PEMASANGAN JARINGAN BENCH MARK (BM)

A. Umum

Benchmark (BM) dipasang ditempat yang aman dari gangguan manusia atau binatang,

BM dipasang setiap 0.50 km dan perpotongan jalur poligon diikat pada atau dekat

bangunan yang permanen. Setiap BM dibuat diskripsinya dan diberi nomor urut yang

teratur. Ukuran BM sesuai TOR dan di cat warna biru.

Titik poligon lainnya selain benchmark adalah patok kayu berukuran 5 cm x 5cm x 60

cm dipasang disepanjang jalur saluran dengan setiap 50 m. Patok kayu, dicat dan

diberi nomor untuk memudahkan identifikasi.

B. Deskripsi Bench Mark

Seluruh benchmark (BM) dibuat diskripsinya Kordinat (X, Y) dan elevasinya (Z).

Seluruh Benchmark (BM) yang sudah di pasang, dibuat deskripsinya, kemudian

ditabelkan dan foto BM dihimpun pada formulir deskripsi, form terlampir.

Semua benchmark dan patok poligon ditunjukkan pada peta situasi hasil pengukuran

topografi yang berskala 1 : 2.000. Dan juga ditunjukkan pada gambar situasi yang

berada pada long section. Nama Benchmark (BM) dan elevasi akan dicantumkan

dengan jelas, elevasi tanah ditunjukkan sebagai pusat ketinggian dan untuk patok

poligon akan ditulis nama/nomor dan elevasi tanah saja.

1.2.3. PENGUKURAN SITUASI

Situasi diukur berdasarkan jaringan kerangka horizontal dan vertikal yang telah

dipasang, dengan melakukan pengukuran keliling serta pengukuran didalam daerah areal

yang akan dipetakan.

Jalur poligon dapat ditarik lagi dari kerangka utama dan cabang untuk mengisi

detail planimetris berikut spot height yang cukup, sehingga diperoleh penggambaran

kontur yang yang memadai.

Page 5: Metode Analisa Banjir

Titik-titik spot height terlihat tidak lebih dari interval 5 cm pada peta skala 1 :

5.000. atau dengan kerapatan spot height 2 - 5 titik untuk tiap 1 hektar diatas tanah. Dan

untuk peta skala 1 : 2.000 titik-titik spot height terlihat tidak lebih dari interval 10 cm pada

peta, atau dengan kerapatan spot height 8 – 10 titik untuk setiap hektarnya diatas tanah.

Beberapa titik spot height bervariasi tergantung kepada kecuraman dan

ketidakteraturan terrain. Kerapatan titik-titik spot height yang dibutuhkan dalam daerah

pengukuran tidak hanya daerah sungai, tetapi juga kampung, kebun, jalan setapak, tanaman

sepanjang jalan pada lokasi rencana.

Pengukuran situasi dilakukan dengan metode Tacheometry menggunakan

theodolith T.0 atau yang sejenis. Jarak dari alat ke rambu tidak boleh lebih dari 100 meter.

Kontur digambar apa adanya tetapi teliti, dan bagian luar daerah sungai kontur

diplot hanya berdasarkan titik-titik spot height, efek artistik tidak diperlukan. Interval

garis kontur sebagai berikut :

Kemiringan Tanah Interval Kontur

kurang dari 2% 0,25 m

2% sampai 5% 0,50 m

Lebih dari 5 % 1,00 m

Pemberian angka kontur jelas terlihat, dimana setiap interval kontur 1.00 m dan

setiap kontur 5.00 m digambarkan lebih tebal.

a. Seluruh saluran, drainase, sungai (dasar terendah dan lebar harus jelas terlihat).

b. Jalan-jalan desa dan jalan setapak.

c. Bangunan irigasi dan drainase, batas kampung, rumah-rumah, jembatan dan

saluran. Diameter atau dimensi berikut ketinggian lantai semua gorong-gorong dan

jembatan, sekolah, masjid dan kantor pemerintah (camat, dll) harus terlihat.

d. Pohon-pohon besar (berdiameter lebih besar dari 20 cm dengan ketinggian sekitar

12 m diatas tanah) bila pepohonan ini berada di site dan tiang telpon,tiang listrik

dll.

e. Daerah rawa.

Page 6: Metode Analisa Banjir

f. Batas tata guna tanah (misalnya belukar berupa rerumputan dan alang-alang,

sawah, rawa, ladang, kampung, kebun, dan lain-lain).

g. Tiap detail topografi setempat (seperti misalnya tanggul curam, bukit kecil dan

lain-lain).

h. Batas pemerintahan (kecamatan, desa dan lain-lain). Nama kampung, kecamatan,

nama jalan dan lain-lain diperlukan.

i. Jaringan kerangka dasar.

1.2.4. PENGUKURAN TRASE SUNGAI

Pengukuran untuk trase sungai meliputi penampang memanjang dan melintang.

Penampang memanjang dilengkapi dengan elevasi pada tiap jarak 50m pada daerah lurus

dan 25m pada belokan atau ditambah apabila ada perubahan kemiringan yang cukup

signifikan pada kemiringan tanah. Penampang memanjang dilengkapi dengan:

- Elevasi tanah asli

- Elevasi dasar sungai atau saluran

- Elevasi tanggul sungai yang ada dan kemungkinan berhimpit dengan elevasi rencana

tanggul

Lokasi dari semua bangunan-bangunan prasarana dan sarana yang ada sepanjang

sungai bangunan-bangunan lainnya.

Pengukuran trase saluran dapat dimulai setelah menyelesaikan pekerjaan

inventarisasi jaringan dan kebutuhan pengukuran tersebut ditegaskan sesuai dengan hasil

peninjauan lapangan terinci. Hasil pengukuran diplot pada gambar ukuran A.1.

Maksud dari pekerjaan ini adalah membuat gambar penampang memanjang dan

melintang dari saluran rencana.

Pengukuran trase tersebut teliti terutama untuk elevasinya sehingga bisa diketahui

mengenai slope (kemiringan) dari arah memanjang maupun melintang dimana saluran

akan direncana:

Pekerjaan pengukuran trase saluran seluas 1.071 Ha ini merupakan pekerjaan

Page 7: Metode Analisa Banjir

pengukuran lanjutan setelah kegiatan layout definitif (system planning).

Secara garis besar pekerjaan ini terdiri dari :

- Pengukuran poligon

- Centerlining atau pematokan titik-titik untuk pengukuran profil melintang

- Pengukuran waterpass (profil memanjang)

- Pengukuran profil melintang

- Pengukuran situasi saluran

- Perhitungan

- Penggambaran

1. Pengukuran Poligon

Setting out titik-titik BP, IP.1, IP.2 dan seterusnya sampai dengan EP untuk tiap

saluran di lapangan dengan pemasangan patok kayu dolken atau kaso-kaso ukuran 5

x 7 x 100 cm untuk tiap-tiap titik IP tersebut dengan cat warna kuning dan nomor

patok warna hitam kemudian untuk titk-titik BP dan EP berupa Bench Mark ukuran

10 x 10 x 100 (contoh kontruksi, ukuran dan marmer nama BM terlampir). Penarikan

BP, IP dan seterusnya harus sejajar dengan saluran dan tiap IP ditempatkan harus

pada titik balok.

Setiap Bench Mark dan patok kayu (IP) di poligon syarat teknis pengukuran poligon

adalah sebagai berikut :

• Poligon akan dimulai dari titik referensi yang sudah ditentukan oleh direksi

(dalam hal ini adalah titik-titik tetap atau Bench Mark hasil pengukuran situasi

terdahulu) dan harus berakhir pada titik yang sudah diketahui koordinatnya, bila

tidak ada maka akan diadakan pengikatan terhadap yang terdekat

• Pengukuran sudut horizontal dengan 2 seri dengan ketelitian sudut tidak lebih

dari 10” untuk sekunder cukup 1 seri dengan ketelitian sudut tidak lebih dari 20”

• Salah penutupsudut maksimum 10”√N, dimana N banyaknya titik poligon. Untuk

saluran sekunder cukup dengan 20”√N

• Sudut vertikal dibaca dalam 2 seri dengan ketelitian sudut 20”

Page 8: Metode Analisa Banjir

• Pengamatan matahari pada stiap jarak ± 5 km dan diusahakan pada bangunan

bagi (titik simpul poligon) juga pada tiapBP dan EP. Pengamatan pada pagi dan

sore pada kemiringan matahari ≤ 30o. Ketelitian azimuth ≤ 10”(untuk sekunder

cukup < 20”)

• Ketelitian linier poligon ≤ 1 : 10.000, untuk sekunder adalah ≤ 1 : 5.000

2. Pengukuran Waterpass

a. Semua patok tiap 50 m, IP, BP dan EP serta BM di waterpasss, demikian juga

bila melewati keadaan tanah yang ekstrim, bila ada bangunan sadap maka akan

diukur elevasi bangunan bagian atasnya, bila ada legokan atau sodetan maka di

ukur dasar dan tepi-tepi atasnya dan sebagainya.

b. Pengecekan garis bidik alat, statip, back ukur, nivo back harus dilakukan sebelum

pertengahan dan sesudah pengukuran pada hari itu.

c. Pengukuran dilakukan pergi dan pulang dalam 1 hari minimal 1 seksi atau ±1,5

km antara IP dengan IP atau IP dengan BM

d. Tinggi tiap patok harus diukur atas muka tanahnya

e. Pembacaan adalah benang atas, tengah dan bawah dan akan dicatat pada buku

ukur

f. Selisish 2 benang tengah dengan (benang atas + benag bawah) harus ≤ 2 mm

g. Salah satu penutup harus ≤ 10 √D mm, dimana D adalah jarak dalam km.

3. Pengukuran Situasi Saluran

a. Pengukuran detail situasi dilakukan dari patok poligon yang sudah diketahui

kedudukan Planimetris dan elevasinya dari pengukuran poligon dan waterpass

b. Alat yang digunakan Wild To atau yang tingkat ketelitiannya

c. Semua detail seperti jalan, jembatan, batas sawah, batas tambak, rumah, bangunan

lain, tinggi muka air dan sebagainya akan diambil/diukur

d. Sketsa detail akan dibuat dengan rapi dan jelas sehingga memudahkan

penggambaran dan koreksi apabila terjadi kesalahan dalam pengukuran

e. Pengukuran detail dengan kerapatan titik tiap 25 cm

f. Pengukuran harus terikat pada titik poligon

Page 9: Metode Analisa Banjir

g. Perhitungan situasi dengan cara Tachiometri

4. Pengukuran Profil Melintang

a. Untuk saluran induk dan sekunder tiap interval jarak 50 m (untuk bagian lurus)

b. Untuk saluran yang berbelok dilakukan tiap interval lebih kecil dari ketentuan

tersebut di atas dengan memperhatikan busur kelengkungannya. yaitu tiap IP dan 2

patok yang mengapit IP, jadi pada belokan minimal ada 3 profil melintang di dalam

interval jarak 50 m

c. Bila saluran melintasi (memotong)sungai besar, lembah besar, maka akan dibuat

penampang melintang dan memanjang sungai/lembah tersebut dengan ketentuan :

• Penampang dibuat 100 m ke udik dan 100 m ke hilir dari pertemuan tersebut

• Penampang melintang tiap 25 m untuk bagian lurus dan untuk belokan akan

ditambah pada belokannya dengan lebar 25 m ke kiri dan 25 ke kanan dari

tepi sungai

• Penampang memanjang, skala 1 : 2.000, skala tinggi 1 : 2.000

Bila trase saluran memotong sungai/lembah kecil, maka akan dibuat :

• Penampang 50 ke udik dan 50 ke hilir

• Penampang melintang dibuat tiap 25 meter untuk bagian yang lurus dan untuk

belokan ditambah pada belokannya.

• Lebar penampang dan skala gambar sama dengan di atas

5. Setiap perubahan elevasi tanah akan diambil sebagai titik detail untuk penampang

melintang/memanjang, juga untuk tiap patok profil, bangunan rumah, jalan, muka air

dan dasar saluran dan sebagainya

6. Pengukuran penampang melintang saluran adalah tegak lurus saluran dengan lebar

minimal 50 m ke kiri dan 50 m ke kanan dari saluran rencana.

7. Arti minimal disini adalah bila terdapat detail penting yang perlu diambil, maka lebar

penampang akan > 50 m dari as saluran, untuk bagian berbelok lebar minimal 50 m

dari saluran rencana.

Page 10: Metode Analisa Banjir

8. Jarak-jarak penampang melintang diambil secara optis dengan membaca ketiga

benang pada alat ukur, yaitu benang atas, benang tengah dan benang bawah atau

dengan pita ukur baja sampai pembacaan dalam centimeter.

9. Skets dari pengukuran akan dibuat dengan rapi dan jelas untuk memudahkan

penggambaran.

10. Perhitungan

• Semua perhitungan akan dilakukan di lapangan, sehingga apabila ada kesalahan

dapat langsung diukur kembali.

• Semua titik poligon akan dihitung koordinanatnya, satu sistem dengan hitungan

skala 1 : 5.000 yang sudah ada.

• Jarak dan ketinggian titik detail dihitung dengan core Tachyometri.

• Saluran hasil hitungan akan di assistensikan/didiskusikan dengan Direksi

pekerjaan.

11. Penggambaran

a. Garis silang untuk grid standar dibuat pada setiap 10 cm

b. Semua Bench Mark (BM) dan titik ikat digambar dengan legenda yang

ditentukan dan dilengkapi dengan elevasi dan koordinat.

c. Elevasi rencana bangunan penting seperti bendung, bangunan bagi, jembatan

syphon, gorng-gorong dan sebagainya akan ditulis pada peta.

d. Semua titik detail digambar dan dituliskan elevasinya.

e. Pada tiap interval lima garis kontur, garis kontur dibuat tebal dan ditulis angka

ketinggiannya.

f. Pada tempat-tempat tertentu yang tidak mengurangi ketelitian peta, garis kontur

diputus untuk memperoleh ruangan guna menuliskan elevasi garis kontur

tersebut.

g. Sebelum mengerjakan penggambaran, konsultan meminta penjelasan terlebih

dahulu mengenai tatacara penggambaran kepada Direksi (bagian pengukuran).

h. Ukuran gambar A1 dan penggambaran dilakukan dengan sistem koordinat (tidak

grafis) dan dalam proyeksi yang sama dengan 1 : 5.000 yang sudah ada.

i. Skala

Page 11: Metode Analisa Banjir

• Peta trase saluran skala 1 : 2.000 interval kontur 0.5 m, untuk daerah datar

dan 1 m untuk daerah yang berbukit.

• Gambar situasi trase skala 1 : 2.000

• Penampang melintang skala jarak 1 : 100 skala tinggi 1 : 100

• Penampang memanjang skala jarak 1 : 2.000, skala tinggi 1 : 100

12. Peta situasi saluran dan profil memanjang digambar dalam satu gambar di atas kertas

kalkir 80/90 gr demikian juga untuk profil melintang

13. Penggambaran trase saluran akan dimulai dari sungai (lokasi bendung) atau intake

saluran.

14. Gambar trase saluran skala 1 : 2.000 sama dengan gambar jalur lay out pada peta 1 :

5.000, dalam arti bahwa kenampakan detail dan kontur tidak jauh berbeda.

1.2.5. PENGOLAHAN DATA

A. Hitungan Koordinat (X,Y)

Yang perlu diperhatikan dalam perhitungan koordinat adalah data-data hitungan

sudut, hitungan azimuth, hitungan jarak dan akhirnya hitungan X,Y.

Untuk menghasilkan hitungan koordinat yang baik, maka dilakukan perhitungan

dengan prosedur sebagai berikut :

Perhitungan Sudut Mendatar

Perhitungan sudut mendatar hasil pengukuran poligon dibagi menjadi dua bagian:

1. Perhitungan poligon kerangka utama

2. Perhitungan poligon cabang

Perhitungan poligon meliputi tiga perhitungan, yaitu perhitungan kontrol

pengukuran sudut, perhitungan kontrol pengukuran jarak dan perhitungan koordinat.

Poligon Kerangka

Page 12: Metode Analisa Banjir

• Kontrol Pengukuran Sudut

Metoda yang digunakan untuk menghitung sudut mendatar adalah perhitungan azimuth

awal dan azimuth akhir, kedua azimuth itu didapat dari data BM yang telah ada , yang

menggunakan rumus sebagai berikut :

A(akhir) – A(awal) = S(sudut) – n.180 + fa

dimana :

A(akhir) = azimuth akhir

A(awal) = azimuth awal

S(sudut) = jumlah sudut ukuran

n = banyaknya titik poligon

fa = besarnya salah penutup sudut

atau dengan menggunakan rumus :

fa = (Aakhir – Aawal) - Ssudut + n.180

B. Kontrol Pengukuran Jarak

1. Jarak Optis

Jarak datar dan jarak optis dihitung dengan menggunakan rumus :

D = L . Cos2 . Z

Dimana :

D = jarak datar

L = jarak optis

Z = sudut miring

2. Jarak Pita Ukur dan EDM

Jarak pita ukur dilakukan dengan cara mencari harga rata-rata dari berberapa

ukuran, dimana selisih bacaan jarak dengan pita ukur tidak boleh lebih dari 2 cm.

Jadi sebelum kita hitung harga rata-ratanya, maka data-data jarak tersebut harus

Page 13: Metode Analisa Banjir

diseleksi terlebih dahulu. Setelah ketiga jenis hitungan selesai (azimuth matahari,

sudut dan jarak), maka kemudian dilakukan hitungan koordinat dengan rumus

sebagai berikut :

X2 = X1 + D Sin a I-2

Y2 = Y1 + D Cos a I-2

Sedangkan untuk perhitungan koreksinya dipakai rumus :

X (akhir) – X (awal) = D Sin a + fx

Y (akhir) – Y (awal) = D Cos a + fy

Koreksi per sisi dilakukan dengan membagi koreksi X (Y) dengan jumlah sisi yang

ada, sedangkan untuk mengetahui kesalahan relatif dapat kita hitung dari rumus :

S : D adalah 1 : …….

Dimana :

22 fyfxS +=

D = jumlah jarak polygon

C. Perhitungan Elevasi

Perhitungan elevasi terdapat beberapa bagian penting, yaitu sebagai berikut :

Kontrol bacaan benang

Rumus yang digunakan dalam mengontrol bacaan benang adalah :

2BbBaBt +

=

Dimana :

Bt = bacaan benang tengah

Ba = bacaan benang atas

Page 14: Metode Analisa Banjir

Bb = bacaan benang bawah

Jika selisih antara Bt dan (Ba + Bb)/2 lebih dari 2 milimeter maka bacaan benang

akan langsung diulang lagi sampai memperoleh selisih maksimum 2 mm.

Kontrol beda tinggi

Rumus yang digunakan untuk kontrol beda tinggi antara 2 titik adalah sebagai

berikut :

H1 = Btbelakang - Btmuka (stand I)

Dengan sedikit mengubah posisi alat, kemudian dilakukan pengukuran untuk

stand II dan diperoleh :

H2 = Btbelakang - Btmuka (stand II)

Jarak waterpass

Jarak waterpass dihitung dengan rumus :

dm = Bamuka - Bbmuka x 100

db = Babelakang - Bbbelakang x 100

Dimana :

Sm = dm1 + dm2 + dm3 + ….. + ….. + dmn

Sb = dm1 + dm2 + dm3 + ….. + ….. + dmn

dmuka = jarak alat ke rambu muka

dbelakang = jarak alat ke rambu belakang

Sdmuka = jumlah jarak ke muka

Sdbelakang = jumlah jarak ke belakang

Untuk menghindari kesalahan karena pengaruh garis visir diusahakan agar dmuka

= dbelakang . jadi hitungan jarak dan jumlahnya dihitung langsung pada saat pengukuran

setelah mengukur beda tingginya agar juru ukur bisa mengatur kedudukan alat dan rambu

sehingga Sdmuka ≈ Sdbelakang (mendekati).

Page 15: Metode Analisa Banjir

Untuk hitungan ketelitian (toleransi 8√D), data jarak yang akan dipakai adalah

jarak rata-rata.

Beda tinggi (pulang-pergi)

Beda tinggi pergi didapat dari jumlah beda tinggi rata-rata stand II pada route

pergi, beda tinggi pulang didapat dari jumlah beda tinggi rata-rata stand I dan stand II pada

route pulang. Selisih hpg (beda tinggi pergi) dan hpl (beda tinggi pulang) harus masuk

toleransi 8√D km mm dan bila lebih dari toleransi, maka dilakukan pengukuran ulang.

Perataan beda tinggi

Perhitungan beda tinggi perseksi dilakukan dalam bentuk kring/tertutup, dengan

demikian akan memudahkan dalam proses penghitungan sistem hitungan perataan untuk

koreksi ukuran dalam satu seksi akan digunakan sistem perataan biasa. Tiap seksi akan

selalu dicek hitungannya apakah memenuhi toleransi 10√D atau tidak.

Jika tidak memenuhi toleransi maka harus dilakukan hal-hal sebagai berikut :

1) Cek semua data perhitungan

2) Deteksi kesalahan, yaitu mencari perkiraan dimana kira-kira kesalahan itu terjadi dan

setelah didapat (dengan bahan pertimbangan/alasan yang kuat) maka langsung dicek

ulang ke lapangan dengan alat ukur.

Setelah perhitungan tiap seksi selesai dan semua masuk dalam toleransi, kita

dilakukan perhitungan dengan rumus :

H = ½ I . Sin2Z

Dimana :

H = beda tinggi

L = jarak miring/optis

Z = sudut miring/vertikal

Untuk tinggi bidikan yang tidak sama dengan tinggi alat, maka rumus yang

dipakai adalah :

Page 16: Metode Analisa Banjir

H = ½ L Sin2 Z + TA – Bt

Dimana :

H = beda tinggi

L = jarak miring/optis (Ba – Bb) x 100

Z = sudut miring/vertikal

TA = tinggi alat (dari atas patok)

Bt = bacaan benang tengah

1.3. PEKERJAAN GEOLOGI/MEKANIKA TANAH

Dalam perencanaan diperlukan parameter-parameter geologi/mekanika tanah

untuk desain oleh karena itu dibutuhkan kegiatan penyelidikan geologi/mekanika tanah.

Parameter-parameter ini sangat berpengaruh terhadap hasil desain, kegiatan geologi yang

dipelukan dalam pekerjaan ini adalah sebagai berikut :

a. Parit Uji (Test Pit)

b. Hand Bor

c. Sondir/Cone Penetration Test

d. Laboratorium

e. Pelaporan dan Foto

Penyelidikan Geologi Teknik dan Mekanika Tanah dilakukan pada lokasi di

sepanjang bantaran dan daerah tangkapan hujannya/cathment area, meliputi penyelidikan

parit uji (test pit), bor tangan (hand Borring), test laboratorium mekanika tanah (indeks

properties dan dinamik properties).

Penyelidikan geologi/mekanika tanah diperlukan untuk mencari parameter desain

untuk perencanaan bangunan-bangunan pengendalian banjir dan mencari bahan-bahan

timbunan untuk tanggul retarding basin. Parameter tersebut meliputi parameter mekanik

tanah, parameter timbunan tanah tanggul, dan kuantitias bahan timbunan yang ada di

lokasi.

Page 17: Metode Analisa Banjir

1.3.1. METODOLOGI PELAKSANAAN

Metode pelaksanaan sangat diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tepat

waktu dan berhasil guna, yang mana harus ditentukan sebelum dilakukan penyelidikan

mekanika tanah/geologi. Secara garis besar langkah-langkah yang dilaksanakan dalam

survey mekanika tanah ini terdiri dari :

Proses administrasi dan kegiatan koordinasi proyek

Proses ini sangat penting baik bagi konsultan maupun pihak proyek karena akan

diperoleh kesepakatan dalam pelaksanaan penyelidikan tanah. Proses ini berupa

diskusi-diskusi baik antara intern pelaksana pekerjaan maupun dengan pihak proyek

dan pengumpulan data-data penyelidikan terdahulu

Penyusunan program kerja dan persiapan pelaksanaan

Penyusunan program kerja dan persiapan pelaksanaan penyelidikan mekanika tanah

geologi direncanakan dengan kesepakatan bersama atau direncanakan oleh pelaksana

dengan disetujui pihak proyek.

Persetujuan program kerja dan persiapan pelaksanaan.

Pelaksanaan pekerjaan penyelidikan parit uji (test pit), Sondir (Cone Penetration Test),

bor tangan (hand borring), test laboratorium mekanika tanah (indeks properties dan

dinamik properties) (sesuai dengan TOR) dilaksanakan setelah disetujui oleh Direksi

tentang posisi pengambilannya.

Pelaksanaan pekerjaan lapangan

Pelaksanaan penyelidikan parit uji (test pit), Sondir (Cone Penetration Test), bor tangan

(hand borring), test laboratorium mekanika tanah (indeks properties dan dinamik

properties) dilaksanakan pada posisi yang telah disepakati bersama.

Pengiriman contoh tanah ke labaratorium

Contoh tanah hasil penyelidikan lapangan dikirim ke laboratorium mekanika tanah

Universitas Brawijaya.

Page 18: Metode Analisa Banjir

Pengujian tanah di laboratorium

Pemeriksaan tanah di laboratorium dilakukan terhadap seluruh contoh tanah yang

dikirim ke laboratorium mekanika tanah.

1.3.2. PENYELIDIKAN GEOLOGI DAN MEKANIKA TANAH

Test Pit

Test pit bertujuan untuk eksplorasi bahan timbunan dengan mengambil disturbed

sample dan undisturbed sample. Ukuran lubang 1 meter x 1,5 meter atau ukuran pekerja

gali dapat bekerja dengan leluasa dengan serta memperhatikan faktor keamanan. Pada

pekerjaan ini jumlah test pit yang dilakukan sebanyak 4 lubang.

Penggalian dihentikan bila :

Kedalaman telah mencapai 5 meter, atau

Terjadi keruntuhan yang dapat membahayakan pekerja, atau

Terdapat air tanah yang tidak terkendali.

Uraian pekerjaan test pit adalah sebagai berikut :

Pekerjaan test pit dilakukan pada lokasi borrow area dan ditujukan untuk mengetahui

urut-urutan vertikal lapisan batuan secara langsung/visual juga sebagai tempat

pengambilan undisturbed sample dan bulk sample.

Ukuran test pit adalah 1,5 m x 1,5 m atau pada batas-batas ukuran dimana pelaksana

pekerjaan dapat bergerak dengan leluasa.

Kedalaman maksimum adalah 3 meter.

Jika tanahnya mudah runtuh maka harus dibuat dinding penahan.

Jika terdapat air tanah dangkal maka harus dibuang atau dipompa.

Penggalian dihentikan jika kedalaman test pit maksimum 3 meter telah tercapai, atau

telah mencapai batuan keras, atau tanahnya sangat labil, atau debit air tanahnya sangat

tinggi sehingga tidak bisa dipompa atau dibuang.

Tanah/batuan pada dinding test pit kemudian dideskripsi, dibuat lognya, dilakukan

pengambilan contoh tanah asli UDS dan bulk samplenya.

Page 19: Metode Analisa Banjir

Lubang test pit harus diamankan dengan cara ditimbun kembali atau diberi pagar.

Penggalian dihentikan jika :

Kedalaman telah mencapai 3 meter, atau

Terjadi keruntuhan yang dapat membahayakan pekerja, atau

Terdapat air tanah yang tidak terkendali.

Dinding test pit harus dideskripsi, dibuat sketsa dan difoto. Pada tiap lubang diambil

disturbed dan undisturbed samplenya untuk di test di laboratorium.

Hand Bor

Hand boring bertujuan untuk mengambil contoh tanah asli dengan memakai win

auger dengan tenaga manusia. Contoh tanah yang telah diambil ditutup rapat dengan

parafin agar kondisinya tetap terjaga sampai ke tempat pengujian di laboratorium

mekanika tanah. Penelitian ini dilakukan pada dua titik dengan kedalaman sampai 5 meter.

Pengambilan Sample

Pengambilan Undisturbed Sample

• Undisturbed Sample / UDS (Contoh Tak Terganggu) diambil dari dua cara, yaitu dari

lubang pemboran dan dari Hand Bor.

• UDS yang diambil dari lubang bor dan dari Hand Bor sebanyak 12 unit.

• Penentuan penyebaran dan interval titik pengambilan UDS pada lubang bor ditentukan

oleh kebutuhan desain dan kondisi geologi setempat.

• Penentuan rencana penyebaran dan interval titik pengambilan UDS harus

diperhitungkan dengan cermat, didiskusikan dengan Direksi dan dimintakan

persetujuannya.

• Untuk mendapatkan sample yang baik maka well site geologist harus selektif dan

cermat dalam menentukan kedalaman pengambilan sample tersebut.

• Pengambilan sample harus menggunakan sampler tube yang mampu mengambil

sample sepanjang 30 hingga 45 cm (Shelby Tube).

• Tabung contoh yang telah terisi harus segera disekat di kedua ujungnya dengan

lilin/parafin dengan baik serta diberi label yang mencantumkan nama proyek, lokasi,

nomor titik bor, dan interval kedalaman pengambilan.

Page 20: Metode Analisa Banjir

• Untuk UDS yang diambil dari test pit maka pengambilannya harus hati-hati dan tidak

boleh dilakukan pada tanah yang sudah terinjak-injak saat menggali ataupun pada

tanah humus.

• Sample yang sudah diambil harus segera dianalisis di laboratorium.

Laboratorium Mekanika Tanah

Pengujian laboratorium mekanika tanah terhadap contoh tanah yang telah diambil

(UDS dan DS) harus meliputi pengujian index properties dan dynamic properties, sampel

yang diuji dilaboratorium adalah sebanyak 12 unit.

Pengujian index properties meliputi :

• Specific gravity

• Unit weight

• Water content

• Liquid limit

• Plastic limit

• Shrinkage limit

• Grain size analisys

• Hydrometer analisys

Pengujian structure/enggineering properties meliputi:

• Unconfined Compression

• Direct Shear

• Triaxial Compression

• Laboratory Permeability Test

Untuk contoh DS / bulk sample dilakukan pengujian kompaksi / pemadatan

dengan metoda proctor.

Page 21: Metode Analisa Banjir

Semua pengujian laboratorium mekanika tanah yang dilakukan akan mengikuti

standar ASTM.

1.4. ANALISA HIDROLOGI

1.4.1. UMUM

Analisis Hidrologi diperlukan untuk penentuan debit banjir (design flood)

berdasarkan kondisi topografi dan tata guna lahan di Daerah Pengaliran Sungainya (DPS).

Analisis hidrologi tersebut akan dilaksanakan pada masing-masing sub Daerah Pengaliran

Sungai (DPS) sehingga diperoleh debit banjir pada masing-masing sungai dalam sub

DPSnya. Analisis hidrologi pada pekerjaan ini meliputi :

Analisa mutu data yang akan dipakai dalam studi meliputi data Curah hujan baik dari

ARR (Automatic Rainfall Recorder) maupun MAR (Manual Rainfall Recorder) berupa

analisa data yang hilang (missing data), analisa kepuguhan data (consistency test),

analisa ketidakadaan trend, analisa kestasioneran data (stationary test), dan Analisa

ketidakadaan persistensi data

Pengumpulan data curah hujan dan data AWLR (Automatic Water Level Recorder)

untuk analisa debit sungai yang terjadi.

Menganalisis debit banjir pada masing-masing saluran untuk mengetahui debit banjir

yang terjadi pada masing-masing saluran dan kapasitas saluran sungai untuk

mengalirkan debit banjir tersebut.

1.4.2. ANALISA DATA HILANG DAN KONSISTENSI DATA

Stasiun hujan kadang-kadang tidak dapat bekerja dengan baik sehingga data curah

hujan kurang lengkap. Pengisian kekosongan data hujan/analisa Data hilang (Missing

Data) tersebut dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut :

a. Menentukan hujan rata-rata pada stasiun terdekat, dengan stasiun hujan yang tidak

mempunyai data.

b. Faktor bobot didasarkan pada suatu nilai ratio hujan tahunan, ditentukan dengan rumus

sebagai berikut :

Page 22: Metode Analisa Banjir

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ +++=

AnmAnxP

AncAnxP

AnbAnxP

AnaAnxP

mP ncbaX K

1

Dimana :

Px = tinggi hujan pada stasiun yang datanya tidak lengkap (mm)

Pa, b,c = tinggi hujan pada stasiun a, b, dan c (mm)

Anx = tinggi hujan tahunan pada stasiun yang datangnya tidak lengkap (mm)

m = banyaknya stasiun

Ana, b, c = tinggi hujan tahunan pada stasiun a, b, dan c (mm)

Selanjutnya dilakukan perhitungan Curah Hujan Areal untuk analisa lebih lanjut.

Data hujan dapat menjadi tidak konsisten yang disebabkan karena perubahan

lingkungan atau gangguan lingkungan di sekitar tempat penakar hujan dipasang misalnya,

penakar hujan terlindung pohon, terletak berdekatan dengan gedung tinggi, perubahan cara

penakaran dan pencatatan, perubahan letak, dll. Hal ini dapat menyebabkan perubahan

trend semula. Hal tersebut dapat diselidiki dengan menggunakan lengkung massa ganda.

1.4.3. PENYARINGAN DATA (DATA SCREENING)

Data hidrologi runtut waktu (data history), dapat diolah dan disajikan dalam suatu

distribusi (distribution) atau deret berkala (time series). Disajikan dalam bentuk distribusi

apabila data hidrologi disusun berdasarkan urutan besarnya nilai sedangkan deret berkala

(time series) disajikan secara kronologi sebagai fungsi dari waktu dengan interval waktu

yang sama. Umumnya data lapangan setelah diolah dan disajikan dalam buku publikasi

data hidrologi, merupakan data dasar sebagai bahan untuk analisa hidrologi, data tersebut

sebelum digunakan untuk analisis hidrologi harus dilakukan pengujian yang sering disebut

dengan penyaringan data (data screening). Apabila suatu deret berkala setelah diuji

ternyata menunjukkan :

Tidak menunjukkan adanya trend

Stasioner, berarti varian dan rata-ratanya homogen/stabil/sama jenis

Bersifat acak (randomnes), independent atau tidak adanya persistensi

Maka data deret berkala tersebut selanjutnnya baru disarankan dapat digunakan

untuk analisis hidrologi lanjutan, misalkan analisa peluang, dan simulasi. Pengujian ini

Page 23: Metode Analisa Banjir

dimaksudkan untuk memeriksa dan memilahkan atau mengelompokkan data yang

bertujuan untuk memperoleh data hidrologi yang cukup handal untuk analisis sehingga

kesimpulan yang diperoleh cukup baik.

Dalam melaksanakan pengujian diperlukan informasi tambahan seperti perubahan

DPS atau alur sungai seperti bencana alam, atau pengaruh manusia. Kembali pada

pengertian bahwa :

1. Data tidak homogen adalah penyimpangan data dari sifat statistiknya yang disebabkan

oleh faktor alam dan pengaruh manusia

2. data tidak konsisten adalah penyimpangan data karena kesalahan acak dan kesalahan

sistematisnya.

Maka tahap penyaringan ini perlu pengetahuan lapangan dan informasi yang

terkait dengan data dalam deret berkala. Tahap penyaringan ini baru merupakan

penyaringan untuk data dari suatu pos hidrologi dan belum membandingkan dengan data

sejenis dari pos lain.

Uji Ketidakadaan Trend

Deret berkala yang nilainya menunjukkan gerakan yang berjangka panjang dan

mempunyai kecenderungan menuju kesatu arah, arah menaik atau menurun disebut dengan

pola atau trend. Umumnya meliputi gerakan yang lamanya lebih dari 10 tahun. Trend

musim sering disebut sebagai variasi musim (seasonal trend atau seasonal variation) dan

hanya menujukkan gerakan dalam jangka waktu setahun saja. Deret berkala yang datanya

kurang dari 10 tahun kadang-kadang sulit untuk menentukan gerakan dari suatu trend,

hasilnya dapat meragukan karena gerakan yang diperoleh hanya menujukkan suatu sikli

(cycle time series) dari suatu trend, sikli merupakan gerakan yang tidak teratur dari suatu

trend.

Beberapa metode statistik yang dapat digunakan untuk menguji ketidakadaan trend

dalam deret berkala, diantaranya uji :

- Korelasi peringkat Metode Spearman

Page 24: Metode Analisa Banjir

Perhitungan dengan uji korelasi peringkat metode spearman didasarkan pada nilai

korelasi suatu data/variabel hidrologi, dapat dirumuskan dengan persamaan umum:

nn

dtKP

n

i

−−=∑=

31

2)(61 dan

21

212

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡−−

=KP

nKPt

keterangan :

KP = koefisien korelasi peringkat spearmen

n = jumlah data

dt = Rt – Tt

Tt = peringkat dari waktu

Rt = peringkat dari variabel hidrologi dalam deret berkala

T = nilai distribusi t, pada derajat kebebasan (n – 2) untuk derajat

kepercayaan tertentu

Uji t digunakan untuk menentukan apakah variabel waktu dan variabel hidrologi itu

saling tergantung (dependent) atau tidak tergantung (independent).

- Mann dan Whitney

Uji Mann dan Whitney dihitung dengan persamaan umum sebagai berikut :

( ) RmNNN

NNU −++⋅= 112

1211 dan 1212 UNNU −⋅=

( ) 21

2121

21

1(121

2

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ ++

⋅−

=

NNNN

NNU

Z

keterangan :

N1 = jumlah kelompok data 1

N2 = jumlah kelompok data 2

Rm = jumlah peringkat

U = nilai terkecil dari U1 dan U2

Page 25: Metode Analisa Banjir

Z = nilai uji z yang tergantung dari besarnya derajat kepercayaan

Uji stasioner/Kestabilan Data

Setelah dilakukan pengujian ketidakadaan trend apabila deret berkala tersebut tidak

menunjukkan adanya trend sebelum data deret berkala digunakan untuk analisis hidrologi

lanjutan harus dilakukan uji stasioner. Apabila menujukkan adanya trend maka data deret

berkala tersebut dilakukan analisis menurut trend yang dihasilkan. Analisis garis trend

dapat menggunakan analisis regresi. Apabila menunjukkan tidak ada garis trend maka uji

stasioner dimaksudkan untuk menguji kestabilan nilai varian dan rata-rata berkala dari

deret berkala. Pengujian deret berkala nilai varian dapat dilakukan dengan uji- F, bila nilai

variannya tidak homogen berarti deret berkala tersebut tidak stasioner dan tidak perlu

melakukan pengujian lanjutan. Apabila varian tersebut menujukkan stasiuner, maka

pengujian selanjutnya adalah menguji kestabilan nilai rata-rata yaitu dengan menggunakan

uji student-T (student-T - test).

- Uji kestabilan Varian

Persamaan umum yang dipakai untuk menghitung kestabilan varian dengan uji F

adalah sebagai berikut :

( )( )1

1

12

22

22

11

−⋅

−⋅=

nSnnSn

F

keterangan :

n1 = jumlah kelompok data 1

n2 = jumlah kelompok data 2

S1 = standart deviasi 1

S2 = standart deviasi 2

- Uji Kestabilan Rata-Rata

Page 26: Metode Analisa Banjir

Kestabilan rata-rata dapat dihitung dengan persamaan umum uji T, dengan persamaan

sebagai berikut :

21

21

21

11⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+

−=

nn

XXt

σ

dimana 21

21

222

211

2 ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

−+⋅+⋅

=nn

SnSnσ

keterangan :

X1 = rata-rata kelompok data 1

X2 = rata-rata kelompok data 2

n1 = jumlah kelompok data 1

n2 = jumlah kelompok data 2

S1 = standart deviasi 1

S2 = standart deviasi 2

Uji Persistensi

Anggapan bahwa data berasal dari sampel acak harus diuji, yang umumnya

merupakan persyaratan dalam analisis distribusi peluang. Persistensi (persistence) adalah

ketidaktergantungan dari setiap nilai dalam deret berkala. Untuk melaksanakan pengujian

persistensi harus dihitung besarnya koefisien korelasi serial. Salah satu metode untuk

menentukan koefisien korelasi serial adalah dengan metode Spearman, yang dapat dihitung

dengan persamaan sebagai berikut :

mm

diKS

m

i

−−=∑=

31

2)(61 dan

21

212

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡−−

=KS

nKSt

keterangan :

KS = koefisien korelasi spearman

m = N – 1

N = jumlah data

di = perbedaan nilai antara peringkat kesatu dengan peringkat berikutnya

Page 27: Metode Analisa Banjir

t = nilai distribusi t, pada derajat kebebasan (m – 2) untuk derajat

kepercayaan tertentu

1.4.4. ANALISA CURAH HUJAN RANCANGAN (DESIGN RAINFALL)

Analisis data curah hujan umumnya mencakup analisis kepuguhan/konsistensi data,

analisis probabilitas curah hujan maksimum (curah hujan rancangan) untuk estimasi debit

banjir rencana, analisis curah hujan areal dan uji kesesuaian distribusi.

Untuk Curah Hujan Rancangan dihitung dengan empat jenis agihan, yaitu :

• Agihan Extreme E.J. Gumbel Tipe I

• Agihan Pearson Tipe III

• Agihan Log Pearson Tipe III

• Agihan Log Normal 3 Parameter

Persamaan umum untuk estimasi curah hujan rancangan (design rainfall) untuk

semua agihan, adalah sebagai berikut :

xT SKXX ⋅+=

Dimana :

XT = curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun (mm) X = rerata dari curah hujan (mm) Sx = standar deviasi K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return

periode) dan tipe distribusi frekuensi.

Agihan Extreme E.J. Gumbel Tipe I

Standart deviasi dihitung dengan rumus :

Page 28: Metode Analisa Banjir

11

2

−=

∑ ∑n

XXXS

n n

iii

X

faktor frekuensi dihitung dengan rumus

n

nT

SYYK −

=

dengan :

YT = Reduced variete sebagai fungsi periode ulang T

= - Ln [ - Ln (T - 1)/T ]

Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyaknya data n

Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n

Agihan Pearson Tipe III

Distribusi Pearson Tipe III, mempunyai bentuk kurva seperti bel (bell shape).

Fungsi kerapatan peluang distribusi dari distribusi Pearson Tipe III adalah sebagai berikut :

( ) ( )⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ −−−

⋅⎥⎦⎤

⎢⎣⎡ −

Γ= a

Cxb

ea

Cxba

xP11

dengan :

x = variabel acak kontinue

a = parameter skala

b = parameter bentuk

c = parameter letak

Γ = fungsi gamma

Standart deviasi dihitung dengan rumus

11

2

−=

∑ ∑n

XXXS

n n

iii

X

Page 29: Metode Analisa Banjir

koefisien kepencengan (skewness coefisien)

( )( )( )( )XSnn

XXnCS

⋅−−

−= ∑

21

3

Agihan Log Pearson Tipe III

Bentuk distribusi Log Pearson Tipe III merupakan hasil trasformasi dari distribusi

Pearson Tipe III dengan menggantikan variat menjadi nilai logaritmik. Persamaan fungsi

kerapatan peluang sama dengan distribusi Pearson Tipe III.

standart deviasi dihitung dengan rumus:

( )

2/12

1)(

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

−−∑

=n

XLogXLogXLogσ

koefisien kepencengan (skewness coefisien)

( )( )( )( )XSnn

XXnCS

log21loglog

3

⋅−−

−= ∑

Agihan Log Normal 3 Parameter

Distribusi Log Normal 3 parameter merupakan modifikasi distribusi log normal

dengan menambahkan suatu parameter β sebagai batas bawah, dengan fungsi densitas

peluang log normal (log normal probability density function) dari variabel acak kontinue x,

dengan persamaan sebagai berikut :

( )( )

( ) 2ln21

2ln1 ⎟

⎞⎜⎝

⎛ −−

⋅−

= nnx

ex

xP σμβ

πβ

dengan :

x = variabel acak kontinue

σn = deviasi standart dari sampel dari variat ln (x - β)

μn = rata-rata dari sampel dari variat ln (x - β)

Page 30: Metode Analisa Banjir

Standart deviasi dihitung berdasarkan persamaan :

1

)log(log)log(1

−−−=∑ ∑

n

XXXS

n n

iii

X

ββ

koefisien kepencengan (skewness coefisien)

( )( )( )( ))log(21

)log()log(3

βββ

−⋅−−

−−−= ∑

XSnnXXn

CS

Faktor frekuensi K, diperoleh dari hubungan kala ulang atau probabilitas dengan

koefisien kepencengan (skewness coefisien).

Uji Kesesuaian Distribusi

Untuk mengetahui suatu kebenaran hipotesa distribusi frekuensi, maka dilakukan

pemeriksaan uji kesesuaian distribusi, dalam hal ini kami memakai dua metode uji yaitu uji

Smirnov Kolmogorov dan uji Chi-Square.

Dengan pemeriksaan uji ini akan diketahui beberapa hal, seperti :

• Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang diharapkan atau

yang diperoleh secara teoritis,

• Kebenaran hipotesa (diterima/ditolak).

Uji Smirnov Kolmogorof

Data curah hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun dari kecil ke besar,

Probabilitas dihitung dengan persamaan Weibull sebagai berikut :

(%)1.100+

=n

mP

Dimana :

P = Probabilitas (%)

Page 31: Metode Analisa Banjir

m = nomor urut data dari seri yang telah disusun

n = besarnya data

Nilai delta kritis untuk uji Smirnov-Kolmogorov diperoleh dari tabel.

Uji Kai Kuadrat (Chi Square)

Dari distribusi (sebaran) Kai-kuadrat, dirumuskan :

∑−

=F

FF

EOE 2

2 )(χ

Dimana :

χ2 = Harga kai-kuadrat

Ef = Frekuansi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan, sesuai dengan

pembagian kelas nya

Of = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama.

Nilai χ2 hitungan harus lebih kecil dari harga χ

2cr (Kai-kuadrat kritis) dari tabel,

untuk suatu derajat nyata tertentu (level of significance), yang sering diambil sebesar 5%.

Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan :

DK = K - (P + 1)

Dimana :

DK = Derajat kebebasan

K = Banyaknya kelas

P = Banyaknya keterikatan atau sama dengan banyak-nya parameter,

yang untuk sebaran kai-kuadrat adalah sama dengan dua (2).

Dalam hal ini, disarankan pula agar banyaknya kelas tidak kurang dari lima dan

frekuensi absolut tiap kelas tidak kurang dari lima pula. Apabila ada kelas yang

frekuensinya kurang dari lima, maka dapat dilakukan penggabungan dengan kelas yang

lainnya.

Page 32: Metode Analisa Banjir

1.4.5. POLA DISTRIBUSI HUJAN

Distribusi Hujan

Untuk mentransformasi curah hujan rancangan menjadi debit banjir rancangan

diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan yang tersedia pada suatu

stasiun meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang tercatat secara kumulatif

selama 24 jam.

Namun demikian jika tersedia data hujan otomatis (Automatic Rainfall Recorder,

ARR), maka pola distribusi hujan jam-jaman dapat dibuat dengan menggunakan metode

Mass Curve untuk tiap kejadian hujan lebat dengan mengabaikan waktu kejadian. Setiap

kejadian ini diplot untuk mendapatkan distribusi hujan harian menjadi setiap jam.

Distribusi hujan jam-jaman dengan interval tertentu perlu diketahui untuk

menghitung hidrograf banjir rancangan dengan cara hidrograf satuan (unit hidrograf).

Prosentase distribusi hujan yang terjadi dapat dihitung dengan rumus Mononobe (Suyono,

1981:35):

32

24 ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛==

TtRoR

tR

Ro t

dimana :

Rt = rerata hujan dari awal sampai T (mm)

T = waktu mulai hujan hingga ke t (jam)

Ro = hujan harian rerata (mm)

Ri = intensitas hujan rerata dalam T – jam (mm)

R24 = curah hujan netto dalam 24 jam (mm)

t = waktu konsentrasi (jam)

Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan membedakannya menjadi dua

komponen, yaitu (1) waktu yang diperlukan untuk mengalir di permukaan lahan sampai

saluran terdekat to dan (2) waktu perjalanan dari pertama masuk saluran sampai ke titik

keluaran td, sehingga:

Page 33: Metode Analisa Banjir

dc ttt += 0

Dimana :

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡×××=

SnLto 28,3

32 menit

Dan

VL

t sd 60= menit

Dimana

n = angka kekasaran manning

S = kemiringan lahan

L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)

sL = panjang lintasan aliran di dalam salluran/sungai (m)

V = kecepatan aliran di dalam saluran (m/detik)

Koefisien pengaliran

Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang di dasarkan pada kondisi daerah

pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun kondisi dan

karakteristik yang dimaksud adalah :

1) keadaan hujan,

2) luas dan bentuk daerah aliran,

3) kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai,

4) daya infiltrasi dan perkolasi tanah,

5) kebasahan tanah,

6) suhu udara dan angin serta evaporasi dan

7) tata guna tanah.

Koefisien pengaliran seperti yang disajikan pada tabel berikut, didasarkan dengan

suatu pertimbangan bahwa koefisien tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor fisik.

Page 34: Metode Analisa Banjir

Tabel 1-1 Angka Koefisien Pengaliran

Kondisi DAS Angka Pengaliran

(C)

Pegunungan 0,75 - 0,90

Pegunungan tersier 0,70 - 0,80

Tanah berelief berat dan

Berhutan kayu 0,50 - 0,75

Dataran pertanian 0,45 - 0,60

Daratan sawah irigasi 0,70 - 0,80

Sungai di pegunungan 0,75 - 0,85

Sungai di dataran rendah 0,45 - 0,75

Sungai besar yang

Sebagian alirannya berada

di dataran rendah 0,50 - 0,75

Sumber : Suyono Sosrodarsono, (1980)

Dr Kawakami menyusun sebuah rumus yang mengemukakan bahwa untuk

sungai-sungai tertentu, koefisien itu tidak tetap, tetapi berbeda-beda tergantung dari curah

hujan.

4

3

7.151tR

f −=

Dimana :

f = koefisien pengaliran

Rt = jumlah curah hujan (mm)

Harga koefisien limpasan (runoff coefficient) dari untuk penggunaaan secara umum

dapat diambil dari tabel sebagai berikut :

Page 35: Metode Analisa Banjir

Tabel 1-2 Rumus-rumus koefisien limpasan (koefisien pengaliran) Rerata dalam

sungai-sungai di Jepang

No Daerah Kondisi sungai Curah hujan Rumus

Koefisien pengaliran

1

2

3

4

5

Hulu Tengah Tengah Tengah Hilir

sungai biasa sungai di zone lava

Rt > 200 mm Rt < 200 mm

f = 1 - 15.7/Rt3/4

f = 1 - 5.65/Rt3/4

f = 1 - 7.20/Rt3/4

f = 1 - 3.14/Rt3/4

f = 1 - 6.60/Rt3/4

Sumber : Suyono Sosrodarsono, (1980)

Tabel 1-3 Angka Koefisien Pengaliran Yang Dipakai Secara Umum

Type Daerah Aliran Kondisi Daerah Harga C

Rerumputan

Tanah pasir, datar 2% Tanah pasir, rata-rata 2 – 7 % Tanah pasir, curam 7 % Tanah gemuk, datar 2 % Tanah gemuk, rata-rata 2 – 7 % Tanah gemuk, curam 7 %

0.05 – 0.10 0.10 – 0.15 0.15 – 0.20 0.13 – 0.17 0.18 – 0.22 0.25 – 0.35

Business

Daerah kota lama Daerah pinggiran

0.75 – 0.95 0.50 – 0.70

Perumahan

Daerah “single family” “Multi unit”, terpisah-pisah “Multi unit”, tertutup “sub urban” daerah rumah-rumah apatemen

0.30 – 0.50 0.40 – 0.60 0.60 – 0.75 0.25 – 0.40 0.50 – 0.70

Industri

Daerah ringan Daerah berat

0.50 – 0.80 0.60 – 0.90

Page 36: Metode Analisa Banjir

Hujan netto

Dengan menganggap bahwa proses tranformasi hujan menjadi limpasan langsung

mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu, maka hujan netto (Rn) dapat

dinyatakan sebagai berikut :

Rn = C x R

Dengan :

C = koefisien limpasan

R = Intensitas curah hujan

1.4.6. DEBIT BANJIR RENCANA (DESIGN FLOOD)

Untuk merencanakan suatu bangunan pengendali banjir, diperlukan analisis nilai

debit banjir yang mungkin terjadi di lokasi tersebut. Untuk mengetahui keadaan pola banjir

diperlukan periode pengamatan, agar estimasi mendekati keadaan yang sebenarnya.

Untuk perencanaan suatu pengedalian banjir dengan sistem tampungan sementara

(retarding basin) perlu suatu perencanaan sistem pengaturan debit keluaran dengan

dilakukan analisa dan simulasi debit yang masuk dengan menggunakan debit banjir

berbagai kala ulang dengan menggunakan metode Hidrograf Satuan (Unit Hidrograf)

seperti metode HSS Nakayasu dan HSS Gama I.

Untuk mendapatkan besaran debit banjir rencana yang lebih baik, dalam

perhitungan diperlukan beberapa metode perhitungan, kemudian dibandingkan hasil dari

masing-masing untuk diambil sebagai debit banjir rencana (design flood). Dalam analisa

debit banjir rencana disini dihitung dengan metode-metode sebagai berikut :

• Rasional

• HSS Nakayasu

Metode Rasional

Dasar metode ini dalam teknik penyajiannya memasukkan faktor curah hujan,

Page 37: Metode Analisa Banjir

keadaan fisik dan sifat hidrolika daerah pengaliran, persamaan umum dari metode ini

adalah sebagai berikut :

AiCQ ⋅⋅⋅= 278.0max

dimana :

C = Runoff coefficient

i = Intensitas Maksimum selama waktu konsentrasi (mm/jam)

A = Luas daerah pengaliran (km2)

Metode ini mulanya diterapkan untuk daerah perkotaan kemudian metode ini

dikembangkan untuk daerah pengaliran sungai dengan berdasarkan anggapan sebagai

berikut :

Curah hujan mempunyai intensitas merata diseluruh daerah aliran untuk durasi

tertentu

Lamanya curah hujan sama dengan waktu konsentrasi dari daerah aliran

Puncak banjir dan intensitas curah hujan mempunyai tahun berulang yang sama

Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu, diperlukan beberapa karakteristik parameter

daerah alirannya, seperti :

1) Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf (time to peak

magnitute)

2) Tenggang waktu dari titik berat hujan sampai titik berat hidrograf (time lag)

3) Tenggang waktu hidrograf (time base of hydrograph)

4) Luas daerah aliran

5) Panjang alur sungai utama terpanjang (length of the longest channel) dan

6) Koefisien pengaliran.

Rumus dari hidrograf satuan Nakayasu adalah :

Page 38: Metode Analisa Banjir

)3,0(6,3

..

3,0

0

TTRACQp

p +=

Dimana :

Qp = Debit puncak banjir (m3/det)

Ro = Hujan satuan (mm)

Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)

T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak

sampai menjadi 30% dari debit puncak.

Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus, sebagai berikut :

Tp = Tg + 0,8 tr

T0,3 = α x Tg

Tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam). Tg

dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :

- Sungai dengan panjang lebih dari 15 km, maka

Tg = 0,40 + 0,058 L

- Sungai dengan panjang kurang dari 15 km, maka

Tg = 0,21 L0,70

α = parameter hidrograf

tr = satuan waktu hujan (1 jam)

Persamaan satuan hidrograf adalah :

- Pada waktu naik

0 ≤ t ≤ Tp 4.2

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡=

pmakst T

tQQ

Page 39: Metode Analisa Banjir

- Pada kurva turun

* Tp ≤ t ≤ (Tp + T0,3)

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡ −

= 3,0TTt

makst

p

QQ

* (Tp + T0,3) ≤ t ≤ (Tp + T0,3 + T0,32)

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡ +−

= 3,0

3,0

5,13,0. TTTt

makst

p

QQ

* t ≥ (Tp + T0,3 + T0,32)

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡ +−

= 3,0

3,0

5,15,1

3,0. TTTt

makst

p

QQ

Rumus tersebut diatas merupakan rumus empiris, oleh karena itu dalam

penerapannya terhadap suatu daerah aliran harus didahului dengan pemilihan parameter-

parameter yang sesuai seperti Tp, α dan pola distribusi hujan agar didapatkan suatu pola

hidrograf yang mendekati dengan hidrograf banjir yang diamati.

Hidrograf Banjir Rancangan

Dengan telah dihitungnya hidrograf satuan, maka hidrograf banjir untuk berbagai

kala ulang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Qk = U1 Ri + U2Ri-1 + U3Ri-2 + ... + UnRi-n+1 + Bf

Dengan :

Qk = Ordinat hidrograf banjir pada jam ke k

Un = Ordinat hidrograf satuan

Ri = Hujan netto pada jam ke i

Bf = Aliran dasar (Base flow)

Page 40: Metode Analisa Banjir

Rumus hidrograf banjir tersebut dalam bentuk tabel dapat disajikan sebagai

berikut :

Hidrograf

Satuan R1 R2 Rn Rm

Aliran

Dasar Debit

(m3/dt/mm) (mm) (mm) (mm) (m3/dt) (m3/dt)

Q1

Q2

Q3

Q4

Q5

...

qn

q1 . R1

q2 . R1

q3 . R1

q4 . R1

q5 . R1

...

qn . R1

q1 . R2

q2 . R2

q3 . R2

q4 . R2

q5 . R2

...

qn . R2

...

...

...

...

...

...

...

q1 . Rm

q2 . Rm

q3 . Rm

q4 . Rm

q5 . Rm

...

qn . Rm

B

B

B

B

B

B

B

B

B

Q1

Q2

Q3

Q4

Q5

Qn+1

Qn+2

Qn+3

...

Qn+m-1

1.5. ANALISA HIDRAULIKA

Fenomena hidrolika dalam perencanaan bangunan sebagai usaha untuk

pengendalian banjir dapat diketahui dari Analisis Hidrolika. Fenomena Hidrolika

diperlukan untuk penentuan dimensi bangunan yang direncanakan berdasarkan debit banjir

rencana dengan mengacu pada aspek hidrolika yang ada. Analisis hidrolika meliputi :

Data potongan memanjang dan melintang sungai untuk mengetahui slope rata-rata,

kapasitas/debit yang bisa dialirkan dan lengkung liku debit (rating curve).

Kondisi Aliran, untuk menentukan kondisi aliran disepanjang saluran yang didesain,

agar dalam saluran tidak terjadi aliran superkritis.

Analisa debit keluaran pintu aliran bawah, untuk mengetahui besarnya debit yang

keluar (release flow) berdasarkan operasi pintu untuk perencanaan pengendalian banjir

dengan tampungan sementara (retarding basin) dan perencanaan bangunan peredam

energi (stilling basin) pada hilir pintu.

Analisa Profil muka air, untuk mengetahui tinggi muka air pada saluran

berdasarkan perbedaan energi dan momentum pada penampang masing-masing section dan

Page 41: Metode Analisa Banjir

bangunan yang ada, analisa ini sangat berguna untuk melihat kapasitas saluran rencana dan

tinggi freeboard juga untuk dasar perencanaan bangunan pengatur debit (regulator).

1.5.1. KARAKTERISTIK SUNGAI

Karakteristik sungai sangat dipengaruhi morfologi sungai, kekasaran dasar,

material dasar, bangunan-bangunan yang ada sepanjang sungai dan pengaruh pasang surut

pada pelepasan sungai. Dalam analisa hidrolika karakteristik sungai sangat diperlukan

untuk analisa kapasitas pengaliran, kecepatan aliran, profil muka air, kondisi aliran dan

fenomena-fenomena hidrolika lainnya.

1.5.2. LIKU DEBIT (RATING CURVE)

Liku debit adalah hubungan antara debit (Q) dengan tinggi muka air (h) pada suatu

tampang sungai. Liku debit sangat diperlukan untuk mengetahui kapasitas pengaliran dari

suatu tampang sungai, yang dihitung dengan menggunakan pendekatan rumus hidrolika

aliran seragam (uniform flow) dari Manning sebagai berikut:

2/13/2 SRnAVAQ ==

untuk penampang yang berbeda pada suatu section sungai akan mempunyai liku

debit yang berbeda sehingga kemampuan mengalirkan debit juga berbeda. Untuk

mempermudah dalam pemakaian suatu liku debit dapat digunakan dengan pemakaian

grafik/kurva atau dengan menggunakan persamaan regresi yang dapat mewakili, karena

pada ketinggian air (h) sama dengan 0 debit (Q) yang dialirkan juga 0 maka dapat dipakai

regresi dengan pendekatan liku debit adalah Regresi Logaritmik :

Q = a . h b

1.5.3. KEDALAMAN ALIRAN KRITIS

Aliran kritis pada saluran prismatik dalam kemiringan seragam akan sama di semua

penampang saluran (aliran seragam), pada keadaan ini kemiringan saluran yang membuat

debit dan kedalaman kritisnya tetap disebut dengan kemiringan kritis (critical slope).

Kemiringan yang lebih besar dari kemiringan kritis akan menimbulkan aliran yang lebih

Page 42: Metode Analisa Banjir

cepat dari keadaan superkritis yang disebut dengan kemiringan curam (steep slope) atau

kemiringan superkritis (super critical slope), hal ini akan mengakibatkan aliran tidak stabil

dimana perubahan kecil dalam energy spesifiknya menimbulkan perubahan kedalaman

yang besar. Dalam merancang saluran bila ternyata keadaan mendekati atau sama dengan

kedalam kritis sepanjang saluran, bentuk atau kemiringan saluran harus diubah bila secara

praktis memungkinkan, agar dihasilkan kestabilan aliran yang lebih baik.

Kedalaman aliran kritis dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

3

2

gqyc =

dimana :

q = debit persatuan lebar (m3/dt/m)

g = percepatan gravitasi (m/dt2)

1.5.4. HIDROLIKA PINTU AIR BAWAH

Untuk perencanaan pengendalian dengan tampungan sementara digunakan pintu

pengendali banjir, dalam hidraulika pintu tersebut dinamakan pintu air aliran bawah,

karena pada kenyataannya air mengalir melalui bagian bawah struktur. Pada rancangan

pintu air demikian dua hal yang perlu diperhatikan yaitu hubungan tinggi energi pelepasan

dengan distribusi tekanan pada permukaan pintu untuk berbagai posisi pintu dan pinggiran

pintu. Bentuk pinggiran pintu, tidak saja mempengaruhi distribusi kecepatan, tekanan dan

kehilangan energi, tetapi juga menyebabkan timbulnya getaran-getaran pengganggu, yang

harus dihilangkan pada saat pintu air digunakan. Karena rancangan pinggiran pintu

bervariasi maka biasanya diperlukan penelitian yang terpisah untuk berbagai kondisi

rancangan tersebut.

Page 43: Metode Analisa Banjir

Besarnya debit yang dapat dikeluarkan (release flow) melalui pintu air bawah

dapat dihitung dengan persamaan energi, dengan persamaan sebagai berikut :

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛+=

gv

ygCLhQ2

22

11 α

dimana :

C = koefisien pelepasan

= K.μ

L = panjang pintu air (m)

h = tinggi bukaan pintu (m)

y1 = kedalaman hulu aliran (m)

gv2

21α = tinggi kecepatan aliran terdekat (m)

Koefisien μ disajikan dalan grafik sebagai berikut :

Koefisien K untuk Debit tenggelam disajikan dalam grafik sebagai berikut :

g

v

2

2

y1

h y2 g

v

2

2

ΔE g

v

2

2

y1

h y2

g

v

2

2

ΔE

1 3 5 7 9 11 13

0.60

0.70

0.80

y1/h

μ

0.50

β = 150 β = 300

β = 450 β = 600

β = 750

β = 900

y1

β h

Page 44: Metode Analisa Banjir

Debit keluaran dari pintu mungkin terendam atau bebas tergantung pada

kedalaman air bawah, untuk aliran terendam y1 pada persamaan diatas harus diganti

dengan tinggi energi efektif, atau perbedaan antara kedalaman aliran hulu dan aliran hilir.

Tekanan yang bekerja pada permukaan pintu dapat ditentukan secara teliti

dengan menggunakan analisa aliran netto atau pengukuran langsung pada model atau

prototipe. Tekanan pada pintu radial dapat digambarkan sebagai berikut :

Analisa debit keluaran pintu aliran bawah digunakan untuk menghitung

pengaturan dan pola operasi dari pintu retarding basin baik untuk menahan banjir maupun

untuk pengelontoran sungai, perencanaan bangunan peredam energi (stilling basin)

berdasarkan karakteristik debit dan pola aliran pada outlet pintu.

Peredam energi/Kolam olak (stilling basin) pada outlet pintu direncanakan

berdasarkan harga kedalaman sebelum loncatan (y1) dan froude number sebelum loncatan

Tekanan vertikal pada

dasar saluran

F1 FH

F2 F3

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

y1/h = 20 151086

5432

y2/h

K

Page 45: Metode Analisa Banjir

(F1). Dari kedua harga tersebut dapat dihitung tinggi air setelah loncatan, dengan

persamaan :

( )18121

11

2 −+= Fyy

Panjang kolam olak sangat dipengaruhi oleh bilangan froude (F1), tinggi endsill,

tinggi gigi peredam dan chute block sangat dipengaruhi kedalam aliran sebelum loncatan

(y1). Sedangkan tipe kolam olak sangat dipengaruhi oleh bilangan froudenya. Bilangan

Froude dapat dihitung dengan persamaan :

dgvF⋅

=

1.5.5. PROFIL MUKA AIR

Perhitungan profil muka air dihitung dengan metode tahapan standart, metode

ini dapat dipakai untuk saluran tak prismatik. Pada saluran tak prismatik unsur hidrolik

tergantung pada jarak di sepanjang saluran. Pada saluran alam, biasanya diperlukan

dilakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan pada setiap

penampang yang akan dihitung. Perhitungan dilakukan tahap demi tahap dari suatu titik

tinjau ke titik tinjau yang lain yang sifat hidroliknya telah ditetapkan. Dalam hal ini jarak

setiap titik tinjau diketahui dan dilakukan penentuan kedalaman aliran di tiap pos. Cara

semacam ini biasanya dibuat berdasarkan perhitungan coba-coba. Untuk penjelasan cara

ini dianggap bahwa permukaan air terletak pada suatu ketinggian dan bidang datar, seperti

gambar berikut :

Tinggi muka air diatas bidang datar pada kedua ujung penampang adalah :

222

211

zyZzyxSZ o

+=++Δ=

dan kehilangan tekan akibat gesekan adalah

Page 46: Metode Analisa Banjir

( ) xSSxSh ff Δ+=Δ= 2121

dengan kemiringan gesekan Sf diambil sebagai kemiringan rata-rata pada kedua

ujung penampang fS , sehingga persamaan energi menjadi :

ef hhg

vZg

vZ +++=+22

22

22

21

11 αα

dengan he ditambahkan untuk kehilangan tekanan akibat pusaran, yang cukup

besar pada saluran tak prismatik. “Metode Tahapan Standart akan memberikan hasil

yang terbaik bila dipakai menghitung saluran alam”.

1.5.6. HIDROLIKA AMBANG

Untuk mengatur debit pada percabangan-percabangan perlu direncanakan

bangunan pengatur debit (flow regulator), yang direncanakan berdasarkan kapasitas debit

pada masing-masing saluran. Bangunan tersebut bisa berupa bangunan pelimpah ataupun

pintu pengatur, untuk mempermudah dalam pengoperasiannya maka pada pekerjaan ini

bangunan pengatur debit (flow regulator) direncanakan menggunakan tipe pelimpah,

dimana pada saat muka air mencapai taraf muka air tertentu, air langsung melimpah dan di

alirkan pada saluran.

g

v

2

2

1

Garis Persamaan (Datum)

y1

S0 Δx z1

1 2

Δx

y2

hf =Sf Δx h

z2

g

v

2

21

Page 47: Metode Analisa Banjir

Secara umum debit yang lewat di atas mercu pelimpah dapat dihitung dengan

persamaan sebagai berikut :

23

HBCQ ⋅⋅=

dimana :

Q = debit yang lewat mercu pelimpah (m3/dt)

C = koefisien debit pelimpahan tergantung dari tipe pelimpah

B = lebar pelimpah (m)

H = tinggi air diatas pelimpah (m)

Debit yang lewat mercu pelimpah dan lebar pelimpah dalam pekerjaan ini

ditentukan berdasarkan kemampuan debit saluran, tinggi pelimpah dan tinggi muka air di

atas mercu pelimpah direncanakan berdasarkan profil muka air untuk debit banjir dengan

kala ulang tertentu.

1.5.7. HIDRAULIKA PASANG SURUT

Dalam perhitungan pasang surut banyak faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya pasang-surut, untuk mempermudah dalam perhitungan faktor-faktor lokal yang

mempengaruhi seperti tinggi muka air setempat karena pengaruh angin tidak dimasukkan

dalam perhitungan. Meskipun banyak benda angkasa yang mempengaruhi gerakan pasang

surut di bumi, namun mengingat hanya bulan dan matahari saja yang mempunyai pengaruh

yang besar, maka dalam perhitungan hanya memperhitungkan kedua benda tersebut.

Dalam perhitungan matematis pasang surut banyak metode yang digunakan,

dalam perhitungan ini didasarkan pada teori Harmonic Analysis atau lebih dikenal dengan

Admiralty Method dikembangkan oleh Doodson (1930) dalam teori ini dinyatakan bahwa

gerakan pasang surut adalah gerakan vertikal dari air laut yang terbentuk dari superposisi

linier dari sejumlah gerakan yang harmonis dari pengaruh masing-masing benda angkasa

terhadap lapisan air di bumi. Sehingga untuk masing-masing benda angkasa terhadap

lapisan air di bumi. Sehingga untuk masing-masing tempat pada periode tertentu dapat

diperoleh gambaran karakteristik pasudnya dari faktor amplitudo (hj) yaitu beda tinggi

antara elevasi pasang tertinggi dengan m.a rata-rata, periode (wj) yaitu waktu yang

Page 48: Metode Analisa Banjir

diperlukan untuk suatu pengaruh dapat terulang lagi, dan phase lag (aj) yaitu untuk masing-

masing tempat atas dasar waktu antara bulan dan matahari melintasi garis bujur lokasi

dengan waktu kejadian yang sesungguhnya.

Sehingga untuk suatu tempat tinggi pasang surut dapat dihitung atas dasar

rumus tersebut sebagai berikut :

( )( )∑ −⋅+= jjjt atwhhh cos0

dimana :

ht = tinggi muka air pada waktu t

h0 = tinggi muka air rata-rata

t = waktu yang ditinjau

1.6. DETAIL DESAIN BANGUNAN PENGENDALI BANJIR

Dalam penanganan banjir perlu dianalisa kondisi daerahnya, hal ini untuk

memperoleh gambaran bangunan pengendali banjir yang sesuai dengan kondisi baik

kondisi sosial, kondisi ekonomi, kondisi geologi tanah disekitarnya, kondisi morfologi

sungainya.

Ada beberapa altenatif bangunan pengendali banjir antara lain, normalisasi

sungai, pembuatan tanggul banjir, pembuatan retarding basin, pembuatan

shortcut/sudetan/kanal banjir/floodway dan lain-lain.

1.6.1. TANGGUL BANJIR

Tanggul banjir adalah tipe bangunan pengendalian banjir yang sering digunakan,

namun hal ini belum tentu sesuai untuk daerah yang relatif datar dan beda elevasi dengan

laut sangat kecil karena tanggul yang dibuat akan besar dan tinggi sehingga cukup mahal.

Perhitungan stabilitas tanggul biasanya dilakukan dengan metode irisan bidang

luncur bundar (slice methode on circular slip surface), metode Bishop atau metode

Fellenius.

Page 49: Metode Analisa Banjir

Metode irisan bidang luncur bundar

Andaikan bidang luncur bundar dibagi dalam beberapa irisan vertikal, maka

faktor keamanan dari kemungkinan terjadinya longsoran dapat diperoleh dengan

menggunakan keseimbangan sbb:

( ){ }( )TeT

NeUNlCFs+∑−−+∑

=φtan.

( ){ }( )ααγ

φααγcos.sin.

tansin.cos..eA

VeAlC+∑

−−∑+∑=

dengan :

Fs = faktor keamanan

N = Beban komponen vertikal yang timbul dari berat setiap irisan bidang

luncur (= γ.A.cos α)

T = Beban komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan

bidang luncur (γ.A.sin α)

U = Tekanan air pori yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur

Ne = Komponen vertikal beban seismis yang bekerja pada setiap irisan

bidang luncur (= e.γ.A.sin α)

Te = Komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan bidang

luncur (= e.γ.A.sin α)

φ = Sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar setiap irisan

bidang luncur

C = Angka kohesi bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang

luncur

Z = lebar setiap irisan bidang luncur

e = Intensitas seismis horizontal

γ = Berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur

A = Luas dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur

α = Sudut kemiringan rata-rata dasar setiap irisan bidang luncur

V = Tekanan air pori

Page 50: Metode Analisa Banjir

Metode Fellenius

Dalam penyelesaian ini diasumsikan bahwa setiap irisan resultan gaya-gaya

antar irisan adalah nol. Penyelesaian tersebut meliputi penyelesaian ulang untuk gaya-gaya

pada setiap irisan yang tegak lurus terhadap dasar, yaitu :

N’ = W cosα - ul

Kemudian faktor keamanan yang dinyatakan dalam tegangan efektif

α

αφsin

)cos('tan'W

ulWLacFs∑

−∑+=

Komponen-komponen W cos α dan W sin α dapat ditentukan secara grafis

untuk setiap irisan. Alternatif lain, α dapat diukur dan dihitung. Jumlah permukaan

keruntuhan coba-coba harus dipilih untuk mendapatkan faktor keamanan yang minimum.

Penyelesaian ini menghasilkan perkiraan faktor keamanan yang lebih kecil.

Untuk suatu analisa menggunakan tegangan total, digunakan parameter-

parameter cu dan φu dan nilai u = 0. Bila φu = 0 faktor keamanannya adalah

αsinW

LcFs au

∑=

Metode Simplied Bishop

Gambaran secara grafis dari teori Simplied

Bishop dapat dijabarkan dalam gambar

disamping, dengan asumsi bahwa resultante

gaya pada sisi irisan adalah horisontal.

Sehingga persamaan Keseimbangan gaya teori Simplied Bishop adalah sebagai

berikut :

O R sin �

A B

C r

Page 51: Metode Analisa Banjir

( )[ ]⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ ⋅

+

∑ −+∑

=

Fs

SecurWbC

WFs

φα

αφ

α tantan1

tan1'sin

1

Dalam analisa stabilitas lereng tanggul banjir, perhitungan stabilitas ditinjau

tiga kondisi yang tidak menguntungkan, yaitu:

o Kondisi kosong

o Kondisi muka air normal

o Kondisi Muka air maksimum (banjir)

o Kondisi penurunan muka air secara tiba-tiba (rapid drawn down)

Keempat kondisi tersebut akan di analisa dalam kondisi tanpa gempa dan

kondisi gempa.

Batas angka keamanan (safety factor) minimum dalam analisis stabilitas lereng

berdasarkan faktor keamanan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu:

Kondisi I : Kondisi kosong dengan gempa Fs = 1,2

Kondisi kosong tanpa gempa Fs = 1,5

Kondisi II : Kondisi normal dengan gempa Fs = 1,2

Kondisi normal tanpa gempa Fs = 1,5

Kondisi III : Kondisi banjir tanpa gempa Fs = 1,5

Kondisi IV : Kondisi penurunan tiba-tiba dengan gempa Fs = 1,1

Kondisi penurunan tiba-tiba tanpa gempa Fs = 1,2

Untuk memperoleh angka kemanan (safety factor) yang paling minimum perlu

beberapa kali iterasi dalam beberapa koordinat dan radius untuk itu perlu bantuan

perangkat lunak (software) untuk mempermudah dan mempercepat itersi yaitu dengan

menggunakan program komputer untuk menghitung stabilitas lereng yaitu dengan

program Pslope.

1.6.2. TINJAUAN STABILITAS BANGUNAN PENGENDALIAN BANJIR

Bangunan pengendalian banjir seperti bangunan regulator aliran (flow regulator)

yang berupa ambang, perkuatan lereng tanggul dengan pasangan, konstruksi pintu operasi

Page 52: Metode Analisa Banjir

maupun tempat perletakkan harus stabil terhadap guling, geser daya dukung tanah pondasi,

dan terhadap bahaya rayapan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisa stabilitas bangunan

terhadap potensi-potensi bangunan terhadap bahaya guling, geser, daya dukung tanah dan

terhadap bahaya rayapan dalam berbagai keadaan pembebanan. Perhitungan stabilitas

tersebut dapat dihitung dengan menggunakan metode sebagai berikut:

Terhadap geser

Dihitung dengan menggunakan rumus :

Sf = (∑V.f)/ ∑H

dengan:

Sf = faktor keamanan

∑V = jumlah gaya vertikal (ton)

∑H = jumlah gaya horisontal (ton)

f = koefisien geser antara dasar konstruksi dan tanah pondasi

Terhadap guling

Dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

e = ⎜B/2 – (∑MV-∑MH)/ ∑V ⎢ < B/6 (pembebanan tetap)

< B/3 (pembebanan sementara)

Sf = ∑MV/ ∑MH > 1,5 pembebanan tetap

> 1,2 pembebanan sementara

dengan:

e = eksentrisitas (m)

B = lebar dasar konstruksi (m)

∑MV = Jumlah momen vertikal (ton m)

∑MH = Jumlah momen horisontal (ton m)

∑V = Jumlah gaya vertikal

Page 53: Metode Analisa Banjir

Sf = faktor keamanan

Terhadap daya dukung tanah

Dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Jika nilai eksentrisitasnya e < B/6 maka :

σ = ∑V/B. (1 ± 6e/B)

Jika nilai eksentrisitasnya e>B/6

ultqeB

Vq 2

2.

34

2,1 ≤⎪⎭

⎪⎬⎫

⎪⎩

⎪⎨⎧

−= ∑

dengan:

σ = Tegangan tanah yang terjadi (ton/m2)

∑V = Gaya vertikal (ton)

B = lebar pondasi (m)

e = eksentrisitas (m)

Kontrol terhadap panjang rayapan

Perhitungan kontrol terhadap bahaya rayapan dapat dihitung atau digunakan

metode Lane sebagai berikut :

CdHLd =Δ

dimana :

Ld = panjang jalur rayapan (m)

ΔH = beda tinggi muka air

Cd = koefisien rayapan

Untuk bagian depan bangunan (apron), maka panjang apron dirumuskan :

Page 54: Metode Analisa Banjir

( )( ) fuhaHta .

134

−−Δ

Dimana :

ta = panjang apron dari titik a (m)

ΔH = beda tinggi muka air (m)

ha = beda tinggi muka air di titik a (m)

γ = berat jenis air

fu = koefisien tekanan uplift

Gaya-gaya yang bekerja pada konstruksi

Tekanan air statis

Pw = ½ . w. H2 . L

dengan:

Pw = tekanan air statis (ton)

w = berat jenis air (ton/m)

H = kedalaman air (m)

L = panjang konstruksi yang ditinjau (m)

Gaya vertikal akibat berat konstruksi

Wc = γc . V

dengan :

Wc = gaya vertikal (ton)

γc = berat jenis bahan konstruksi (ton/m3)

V = volume konstruksi (m3)

Page 55: Metode Analisa Banjir

Gaya horisontal akibat gempa

He = kh . ∑V

dengan:

He = gaya horisontal

∑V = gaya vertikal

kh = koefisien gempa

Tekanan tanah aktif

Pa = ½ . ka. γs .H2 .L

dengan:

Pa = tekanan tanah aktif (ton)

γs = berat jenis tanah (ton/m3)

H = kedalaman tanah (m)

L = lebar konstruksi yang ditinjau (m)

ka = (1 - sinφ)/(1 + sin φ) atau ka = tan2(45 -φ/2)

φ = sudut geser dalam sedimen/tanah

Tekanan tanah pasif

Ps = ½ . kp . γe . H2 .L

dengan:

Pe = tekanan tanah (ton)

H = kedalaman tanah (m)

γe = berat jenis tanah (ton/m3)

L = panjang konstruksi yang ditinjau

Kp = koefisien tekanan tanah pasif = 1/ka

1.7. ANALISIS MANAJEMEN HULU DPS

Analisa ini akan dilakukan dengan menggunakan peta tata guna lahan yang

ada, berdasarkan kondisi terakhir dari daerah tangkapan hujan/cathment area atau Daerah

Page 56: Metode Analisa Banjir

Pengaliran sungai atau kalau terdapat photo citra satelit akan lebih mudah melakukan

analisa kondisi cathment area.

Berdasarkan kondisi tersebut dapat dianalisa kemungkinan daerah-daerah yang

harus dikonservasi, yang dalam hal ini akan dituangkan dalam peta usaha konservasi lahan

dalam Daerah pengaliran Sungai (DPS)/Cathment Area lokasi studi.

Dari hasil analisa tersebut dapat diberikan suatu usaha konservasi dan

manajemen Daerah Pengaliran Sungai yang lebih baik dan tepat sasaran.

Untuk menentukan usaha konservasi dan manajemen DPS maka perlu

menganalisa kondisi erodibilitas dan erosivitas lahan yang dapat dilakukan dengan

perhitungan manual Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Daerah Pengaliran Sungai (DPS).

Pada dasarnya, jika telah tersedia peta TBE (Tingkat Bahaya Erosi) untuk

wilayah Daerah Pengaliran Sungai (DPS) daerah studi di Balai (Sub Balai) RLKT

setempat, maka data tingkat erosi akan dapat dihitung dari sumber peta tersebut. Tetapi

bila belum tersedia, maka akan digunakan model perhitungan dengan menggunakan

persamaan umum kehilangan tanah atau Universal Soil Less Equation (USLE) yang

dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

E = RKLSCP

dimana,

E : jumlah masa kehilangan tanah (t/ha/tahun)

R : indeks erosivitas hujan dan larian (tm/ha)

K : indeks erodibilitas tanah (t/ha per unit)

L : faktor panjang lereng

C : faktor pengelolaan tumbuhan (crop management)

P : faktor upaya-upaya pengendalian erosi (erosion control practices)

Erosivitas hujan dan runoff R adalah indeks yang menunjukkan besarnya energi

hujan yang mampu memukul dan memecah partikel tanah dan mengangkutnya keluar. Di

Indonesia, hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks erosivitas dapat dihitung

menggunakan persamaan :

Page 57: Metode Analisa Banjir

73,0073,025 2

+=

R

R

PPR

dimana,

PR : curah hujan dalam cm.

Nilai erosivitas tahunan berkisar antara 1900 tm/ha hingga 8000 tm/ha. Jika

pencatatan hujan hanya tersedia bulanan, maka erosivitas hujan dapat diperkirakan dengan

menggunakan rumus :

R = 6.12 (Pm)1.21 (N)-0.47 (Pmaks)0.53

dimana,

R : erosivitas hujan pada bulan yang bersangkutan

Pm : curah hujan rata-rata bulanan untuk bulan yang bersangkutan (cm)

N : rata-rata jumlah hari hujan pada bulan yang bersangkutan

Pmaks : rata-rata hujan maksimum 24 jam pada bulan yang bersangkutan.

Indeks erodibilitas tanah K adalah angka yang menunjukkan tingkat erosi yang

terjadi pada jenis tanah tertentu dibawah standar kemiringan lereng dan pengolahan

tertentu. Indeks erodibilitas ini dapat diadopsi dari Puslit Tanah, dimana dari berbagai jenis

tanah di Indonesia antara lain jenis tanah Latosol (berkisar 0.034 – 0.104), Lithosol

(0.134), Mediterranean (berkisar 0.140-0.260) dan Grumusol (0.204).

Faktor panjang L, berpengaruh terhadap hilangnya tanah untuk standard panjang

lereng yaitu panjang lereng overlandflow antar “brek-slope” yang dapat dihitung

berdasarkan rumus standard sebagai berikut :

maL ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡=1,22

dimana,

a : panjang lereng overlandflow (m)

m : 0.6 untuk kemiringan lereng > 10 %

0.5 untuk kemiringan lereng 5 – 10 %

Page 58: Metode Analisa Banjir

0.4 untuk kemiringan lereng 3 – 4 %

0.3 untuk kemiringan lereng < 3 %.

Faktor kemiringan lereng S dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :

613,6043,030,043,0 2SSS ++

=

dimana,

S : kemiringan lereng yang dinyatakan dalam %.

Nilai factor pengelolaan tanaman (crop management factor) C dan upaya

pengendalian erosi (erosion control practices) P, sangat tergantung pada jenis tanaman

atau vegetasi, serta jenis pengendalian erosi yang dilakukan, misalnya ada tidaknya

terasering, apakah terpelihara dengan baik atau tidak, ada resapan air, dan sebagainya.

Angka-angka indeks C dan P ini dapat diperoleh dengan mengadopsi hasil-

hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslit Tanah Bogor.