Click here to load reader
Upload
friendyh
View
281
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
1
RINGKASAN
Kewarisan Islam atau pembagian harta waris secara Islam adalah suatu hal
yang mutlak dalam hukum Islam. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Al
Qur’an dan Hadits. Kewarisan Islam di Indonesia juga diatur dalam peraturan
perundang-undangan, yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun
1991 jo Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam Buku II.
Kewarisan Islam bertujuan untuk memberikan hak kepada ahli waris dan
untuk melindungi harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Pada kenyataannya,
pembagian harta waris menimbulkan banyak persoalan baik mengenai metode
pembagian, cara penyerahan, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat menghambat proses pembagian harta
warisan itu sendiri.
Kewarisan Islam di Indonesia sebagian besar menganut pada mazhab
syafii. Jika dikonversikan pada kondisi budaya di Indonesia, pembagian harta
waris secara Islam mirip dengan sistem patrilineal, yaitu didasarkan pada garis
laki-laki.
Metode pendekatan keluarga menekankan pada faktor jauh dekatnya ahli
waris. Anggota keluarga yang lebih dekat secara nasab dengan pewaris
kemungkinan akan menjadi ahli waris dan mendapat bagian harta waris yang lebih
banyak dibandingkan dengan anggota keluarga secara nasab lebih jauh dengan
pewaris. Metode pendekatan keluarga juga akan mengenal penggolongan ahli
waris seperti pada kewarisan perdata atau kewarisan adat. Perbedaannya,
penggolongan tersebut tidaklah mutlak karena ahli waris yang lebih jauh nasabnya
kemungkinan akan menggantikan ahli waris yang lebih dekat nasabnya dengan
pewaris.
Metode pendekatan keluarga diharapkan akan membantu menyelesaikan
persoalan tentang pembagian harta waris secara cepat dan tepat. Langkah-langkah
konkret dalam pelaksanaan metode pendekatan keluarga untuk memecahkan
kasus kewarisan Islam akan dijelaskan dalam karya tulis program mahasiswa
berprestasi ini.
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah suatu negara yang sebagian besar penduduknya memeluk
agama Islam. Besarnya jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia tentu saja akan
membawa dampak pada seluruh sendi-sendi kehidupan secara langsung maupun
tidak langsung. Budaya, sosial, politik, ekonomi, sampai hukum tidak akan lepas
dari pengaruh adanya nilai-nilai Islam. salah satu contohnya ialah adanya
pengaturan tentang kewarisan Islam dalam sistem hukum di Indonesia.
Keluarnya Instruksi Presiden Republik No.1 tahun 1991 yang
diemplementasikan secara nyata dengan Peraturan menteri Agama No. 154 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam mengatur secara tegas tentang adanya
kewarisan Islam. Hal ini membuktikan bahwa kewarisan Islam dalam masyarakat
adalah penting. Tidak hanya penting untuk diketahui, tetapi penting untuk
dipelajari oleh setiap pemeluk agama Islam. Tidak hanya itu, dalam Al Qur’an
dan Hadits adalah fardhu kifayah hukumnya mempelajari hukum kewarisan Islam.
Pada kenyataannya, kewarisan Islam dianggap tidak mudah untuk
dipelajari oleh masyarakat khususnya kalangan akademisi. Kewarisan Islam
dianggap lebih sulit daripada kewarisan perdata yang digunakan untuk membagi
harta waris bagi orang-orang yang memeluk agama selain Islam. Hal tersebut
sangat ironis mengingat pentingnya kewarisan Islam dalam masyarakat.
Akibatnya, masalah pembagian harta waris bagi orang Islam sering menimbulkan
masalah karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman.
Penulis mengidentifikasikan bahwa tidak mudahnya kewarisan Islam
karena tidak menemukan suatu kunci atau sebuah “benang merah” untuk
mempelajarinya. Pada proposal kegiatan inilah, penulis menuangkan gagasan
mengenai metode pendekatan keluarga untuk memecahkan kasus kewarisan
Islam. Penulis mengaharapkan dengan diuraikannya metode pendekatan keluarga
pada karya tulis ini dapat mempermudah masyarakat dalam memahami dan
mempelajari hukum kewarisan Islam sehingga berbagai kasus yang berhubungan
dengan pembagian harta waris dapat terselesaikan dengan baik.
3
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. Memberikan sebuah pemahaman tentang pentingnya mempelajari hukum
kewarisan Islam dalam kehidupan.
2. Memberikan suatu rumusan tentang sebuah metode yang mempermudah dalam
mempelajari hukum kewarisan Islam.
Metode Penulisan
Dalam menyusun karya tulis ini, penulis menggunakan metode studi
pustaka yaitu mencari bahan-bahan penyusun baik dari media cetak maupun
elektronik. Selain itu, penulis juga berhubungan dengan para pakar akademisi
terutama pakar hukum kewarisan Islam dalam merumuskan metode pendekatan
keluarga ini.
GAGASAN
Sistem Kewarisan Islam Patrilinial Syafi’i Sebagai Landasan Teori
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam di mana
saja di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan
masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum
kewarisan Islam di daerah itu. Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak
dapat melampaui garis pokok-pokok dari ketentuan hukum kewarisan Islam
tersebut. Namun pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari
ijtihad atau pendapat ahli-ahli hukum sendiri.
Dasar pokok dari semuanya adalah hukum kewarisan Islam yang telah
dituang dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Kemudian diterapkan pada
masyarakat Indonesia yang mempunyai susunan bukan patrilinial tetapi adalah
masyarakat bilateral (dengan di sana sini terdapat susunan patrilinial dan
matrilinial) dengan tetap berpegang pada ayat-ayat Al Qur’an dan Sunnah Rasul
4
itu, bahkan menggunakannya sebagai dalil untuk maksud tersebut sesuai dengan
keyakinan penulis atas maksud ayat-ayat itu. 1
Penamaan kewarisan patrilinial terhadap hukum kewarisan yang dianut
oleh pengikut Imam Syafi’i dan beberapa ahli hukum Islam lainnya adalah suatu
penamaan berdasarkan kesimpulan atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
ajaran tersebut mengenai soal-soal yang menyangkut dengan kewarisan.
Sebenarnya sejauh ketentuan kewarisan yang ada penentuannya secara tegas
dalam Al Quran, selalulah ketentuan itu dianut oleh golongan ini sepenuhnya.
Artinya ialah pihak laki-laki mendapat warisan. Hal itu juga berarti bahwa
seorang laki-laki mewariskan harta peninggalannya dan juga seorang perempuan
mewariskan harta peninggalannya. Jadi sampai di sini tidak kelihatan dasar-dasar
dari penamaan kewarisan patrilinial itu, bahkan terlihat seakan-akan
kebilateralannya.
Timbulnya dasar-dasar pemikiran sehingga kita menggolongkan kepada
sistem kewarisan patrilinial itu adalah apabila ajaran tersebut telah mulai
memberikan penafsiran atau interpretasi kepada suatu ayat di mana terdapat
kesempatan penafsiran demikian. Dalam penafsiran inilah secara jelas akan kita
temui bahwa penafsiran-penafsiran tersebut dilatarbelakangi oleh sadar atau
bawah sadar keadaan masyarakat sekelilingnya. Dan masyarakat mereka pada
waktu penafsiaran itu, dan sekitar tempat dilakukan penafsiran itu, adalah
masyarakat patrilinial. Penafsiran-penafsiran tersebut sejak tahun 3 Hijiriah.
Tempatnya ialah di tanah Medinah dan Mekah dan kemudian sekitar Asia Tengah,
yang juga adalah bermasyarakat yang menganut sistem patrilinial. Penamaan
sistem kewarisan patrilinial tersebut tidak pula dapat diartikan sistem kewarisan
patrilinial penuh sepenuh sistem kewarisan patrilinial yang biasa kita temui dalam
masyarakat patrilinial di Indonesia. Tetapi patrilinial ajaran tersebut adalah
semacam sistem pengutamaan kepada pihak laki-laki dimana terdapat kesempatan
untuk mendapatkan demikian, tetapi tetap memberikan warisan kepada kaum
wanita yang tertentu yang tegas-tegas ditunjuk menjadi ahli waris menurut ayat-
ayat Al Qur’an.
Pokok-pokok pikiran dalam kewarisan patrilinial ini adalah :2
1 Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Bab I Pendahuluan, hal. 12 Ibid., hal. 112-113.
5
1. Selalu memberikan kedudukan yang lebih baik dalam perolehan harta
peninggalan kepada pihak laki-laki. Dalam hubungan ini termasuk juga
perbandingan perolehan antara ibu dengan bapa atas harta peninggalan
anaknya.
2. Urutan keutamaan berdasarkan ushbah dan laki-laki. Usbhbah atau usbah ialah
anggota keluarga yang mempunyai hubungan darah sesamanya berdasarakan
hubungan garis keturunan laki-laki atau patrilinial.
3. Istilah-istilah khusus mengenai kewarisan dalam Al Qur’an mungkin
disamakan dengan istilah biasa dalam hukum adat dalam masyarakat Arab,
bahkan istilah-istilah dalam hukum adat dalam Al Qur’an sendiri.
Sistem kewarisan Islam patrilinial syafi’i telah mengenal konsep
pendekatan keluarga dalam memecahkan masalah kewarisan Islam. Akan tetapi,
konsep yang ditawarkan tidak terlalu jelas sehingga sulit dimengerti. Contohnya
ialah dalam hal bagian harta waris bagi ayah atau kakek dalam kondisi tidak ada
keturunan laki-laki seharusnya mendapat bagian 1/6 ditambah radd (sisa) tetapi
pada kenyataanya tidak ada radd, juga tidak dijelaskan secara jelas.
Penulis mendasarkan metode pendekatan keluarga pada sistem kewarisan
Islam syafi’i karena pada sistem ini adalah yang paling banyak ditemukan di
Indonesia dan telah memberikan konsep awal yang cukup sebagai acuan dalam
menyusun metode pendekatan keluarga.
Pembagian Ahli Waris Menurut Metode Pendekatan Keluarga
6
Gambar ahli waris keluarga
Golongan I
Ahli waris golongan I merupakan ahli waris utama yang tidak akan saling
memahjub (menutup) satu sama lain atau menghijab hirman (menghalang penuh).
Akan tetapi ada kemungkinan memahjub nuqshan (menghalang sebagian) antara
satu dengan yang lain.
Ahli waris golongan I antara lain:
1. Suami (duda), bagiannya:
a. 1/2 kalau pewaris tidak meninggalkan anak (pewaris bawah).
b. 1/4 kalau pewaris tidak meninggalkan anak (pewaris bawah).
2. Istri (janda), bagiannya :
Golongan II
Golongan I
Ayah ibu
suami istri
Anak laki-laki
Anak perempuan
Saudara kandung laki-laki
Saudara kandung perempuan
kakek nenek
Cucu laki-lakiDst.
Cucu perempuanDst.
Saudara laki-lakiseayah
Saudara perempuan
seayah
Saudara laki-lakiseibu
Saudara perempuan
seibu
Paman
Golongan III
Golongan IV
Mayit
7
a. 1/4 kalau pewaris tidak meninggalkan anak (pewaris bawah).
b. 1/8 kalau pewaris tidak meninggalkan anak (pewaris bawah).
3. Ayah, bagiannya :
a. Sisa (asabah binafsih), jika pewaris tidak meninggalkan anak (pewaris
bawah).
b. 1/6, jika pewaris meninggalkan pewaris bawah laki-laki.
c. 1/6 + sisa, jika pewaris meninggalkan pewaris bawah perempuan.
4. Ibu, bagiannya :
a. 1/3, jika pewaris tidak meninggalkan pewaris bawah dan saudara-saudara.
b. 1/6, jika pewaris meninggalkan pewaris bawah dan saudara-saudara.
5. Anak laki-laki, bagiannya ialah mendapat sisa (asabah binafsih).
6. Anak perempuan, bagiannya :
a. 1/2, jika ia sendiri atau 1 orang saja tanpa ada anak laki-laki.
b. 2/3, jika lebih dari 2 orang dan tanpa ada anak laki-laki.
c. Sisa, jika bersama anak laki-laki.
Jika ada anak laki-laki dan perempuan maka kedua-duanya akan mendapat
sisa (asabah bilghairi) dengan perbandingan bagian anak laki-laki : anak
perempuan adalah 2 : 1.
Golongan II
Ahli waris golongan II membuka kesempatan ahli waris lain untuk
mendapat harta waris jika salah satu ahli waris golongan I tidak ada. Pada
golongan II, terdapat kemungkinan adanya hubungan saling memahjub dan
menghijab (baik hirman maupun nuqshan).
Ahli waris golongan II antara lain
1. Kakek (dari pihak ayah), bagiannya :
a. Sisa (asabah binafsih), jika pewaris tidak meninggalkan anak (pewaris
bawah).
b. 1/6, jika pewaris meninggalkan pewaris bawah laki-laki.
c. 1/6 + sisa, jika pewaris meninggalkan pewaris bawah perempuan.
d. Termahjub oleh ayah.
2. Nenek
Yang dimaksud dengan nenek yang mendapatkan bagian warisan adalah
8
1) Nenek dari pihak ayah.
2) Nenek dari pihak ibu.
3) Ibunya kakek dari pihak ayah
Nenek mendapat 1/6,syaratnya :
a. Tidak adanya ibu
b. Apabila no. 1) dan 2) (yang sederajat) bertemu, maka bagiannya 1/6 dibagi
rata.
c. Apabila seluruhnya bertemu, maka no 3) gugur.
Nenek terhalang apabila
a. Adanya ibu.
b. Adanya nenek yang lebih dekat derajatnya kepada mayit.
3. Cucu laki-laki, bagiannya :
a. Sisa.
b. Terhalang oleh anak laki-laki.
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, bagiannya :
a. 1/2, jika ia sendiri atau 1 orang saja tanpa ada cucu laki-laki.
b. 2/3, jika lebih dari 2 orang dan tanpa ada cucu laki-laki.
c. 1/6 sebagai pelengkap untuk mendapatkan 2/3, jika bersama anak
perempuan pemilik bagian 1/2.
d. Terhalang oleh
1) Adanya golongan yang lebih atas dari kalangan laki-laki.
2) Ketika ada anak perempuan pemilik bagian 2/3 dan tidak ada ahli waris
lain yang menyebabkan ia menjadi asabah.
Golongan III
Ahli waris golongan III membuka kesempatan ahli waris lain untuk
mendapat harta waris jika salah satu ahli waris golongan I dan golongan II tidak
ada. Pada golongan III, terdapat kemungkinan adanya hubungan saling memahjub
dan menghijab (baik hirman maupun nuqshan).
Ahli waris golongan III antara lain :
1. Saudara kandung laki-laki, bagiannya:
a. Sisa.
b. Terhalang oleh adanya ayah, kakek, pewaris bawah laki-laki.
9
2. Saudara kandung perempuan, bagiannya :
a. 1/2, jika ia sendiri dan.
1) Tidak ada pewaris bawah.
2) Tidak ada saudara laki-laki kandung.
b. 2/3, jika
1) Ada 2 orang atau lebih saudara perempuan kandung.
2) Tidak ada saudara laki-laki kandung.
3) Tidak ada pewaris bawah.
c. Sisa, jika
1) Bersama saudara laki-lakinya (asabah bil ghairi).
2) Bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-
laki (asabah maal ghairi).
d. Terhalang,oleh
1) Adanya pewaris bawah laki-laki.
2) Bapak.
3) Kakek.
3. Saudara laki-laki sebapa, bagiannya
a. Sisa, bila tidak ada pewaris bawah laki-laki, ayah, kekek, dan saudara
kandung laki-laki.
b. Terhalang oleh
1) Pewaris bawah laki-laki.
2) Ayah, kakek.
3) Saudara kandung laki-laki.
4. Saudara perempuan sebapa, bagiannya
a. 1/2, jika ia sendiri dan
1) Tidak ada pewaris bawah.
2) Tidak ada saudara laki-laki sebapa atau saudara perempuan kandung.
b. 2/3, jika
1) Ada 2 orang atau lebih saudara perempuan sebapa.
2) Tidak ada saudara laki-laki kandung dan saudara perempuan kandung.
3) Tidak ada pewaris bawah.
c. Sisa, jika
10
1) Bersama saudara laki-laki sebapa (asabah bil ghairi).
2) Bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-
laki (asabah maal ghairi).
d. Terhalang,oleh
1) Adanya pewaris bawah laki-laki.
2) Bapak.
3) Kakek .
4) Saudara perempuan kandung yang mendapat asabah ma’al ghairi.
5) 2 orang atau lebih saudara perempuan kandung dan tidak ada saudara
laki-laki sebapa.
Golongan IV
Ahli waris pada golongan ini pada dasarnya merupakan ahli waris yang
mempunyai hubungan jauh secara nasab dengan pewaris. Akan tetapi, ahli waris
pada golongan IV masih mungkin mendapat harta warisan.
Ahli waris pada golongan ini antara lain
1. Saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu, bagiannya
a. 1/6, jika sendiri dan tidak ada pewaris bawah laki-laki dan perempuan,
ayah, dan kakek.
b. 1/3, jika ia bersama saudara perempuan seibunya/saudara laki-laki
seibunya, dan tidak ada pewaris bawah laki-laki dan perempuan, ayah, dan
kakek.
c. Terhalang oleh pewaris bawah laki-laki dan perempuan, ayah, dan kakek.
2. Paman
a. Sisa.
b. Terhalang oleh pewaris bawah laki-laki, ayah, kakek, saudara laki-laki
kandung, saudara laki-laki sebapa, anak laki-laki saudara kandung, dan
anak laki-laki saudara laki-laki sebapa.
Proses Pembagian Harta Warisan Dalam Metode Pendekatan Keluarga
11
Proses pembagian harta warisan harus dilakukan sesegera mungkin setelah
pewaris meninggal. Harta warisan ialah harta peninggalan pewaris setelah
dikurangi biaya perawatan jenazah, wasiat, dan utang-utang pewaris.
Langkah pertama, ialah mengetahui dan menentukan ahli waris yang
berhak mendapat harta waris. Di dalam menentukan siapa ahli waris yang berhak
mendapat harta warisan, maka secara cepat dapat dilihat dalam gambar di atas.
Ahli waris yang lebih dekat dengan pewaris secara nasab akan mendapat harta
waris. Akan tetapi, hal ini terasa rumit jika kita tidak tahu mengenai hijab dan
mahjub. Hijab ialah penghalang, dapat menghalangi sebagian (nuqshan) atau
seluruhnya dari bagian harta waris (hirman) sehingga ahli waris lain tidak
mendapat bagian harta warisan. Sedangkan mahjub ialah penutup. Seperti halnya
hijab hirman, mahjub menutup bagian harta warisan ahli waris lain.
Langkah kedua, mengetahui seberapa besar bagian yang diterima ahli
waris. Bagian yang diterima oleh seorang ahli waris sangat dipengaruhi oleh
keberadaan ahli waris lain yang juga mendapat harta warisan.
Langkah ketiga, ialah menentukan adanya tidaknya sisa (asabah). Hal ini
sangat berkaitan dengan besarnya bagian yang diterima ahli waris. Ada tidaknya
asabah juga sangat berkaitan dengan proses penghitungan radd (sisa bagi) dan ‘aul
(ketekoran).
Contoh proses penghitungan harta waris
A. Pewaris meninggalkan harta warisan dan
1. 2 orang anak perempuan
2. 3 orang anak laki-laki
3. Ayah
4. Kakek
5. Ibu
6. Istri
7. Seorang Saudara laki-laki kandung
8. Paman
Penyelesaian
12
1. Ahli waris yang berhak mendapat harta warisan ialah 3 anak laki-laki, 2
anak perempuan, ayah, ibu, istri. Sedangkan kakek termahjub oleh ayah,
dan saudara laki-laki kandung, dan paman termahjub oleh anak laki-laki.
2. Bagian ahli waris
a. Ayah = 1/6
b. Ibu = 1/6
c. Istri = 1/8
d. Anak laki-laki dan anak perempuan mendapat sisa (asabah bil ghairi)
dengan perbandingan 2 : 1.
3. Penghitungan
Asal masalah (bilangan pembagi) yaitu 24
Ayah = 1/6 x 24 = 4 bagian
Ibu = 1/6 x 24 = 4 bagian
Istri = 1/8 x 24 = 3 bagian
Anak laki-laki = 6/8 x 13 = 9,75 bagian
Anak perempuan = 2/8 x 13 = 3,25 bagian
Jadi dalam kasus di atas tidak ada sisa bagi (radd) ataupun ‘aul (ketekoran).
B. Contoh adanya radd (sisa bagi)
Pewaris meninggalkan harta warisan dan
1. Istri
2. Ibu
3. Anak perempuan
Penyelesaiannya
1. Semua ahli waris di atas merupakan ahli waris yang berhak mendapat
harta warisan karena merupakan ahli waris golongan I.
2. Bagian ahli waris
a. Istri = 1/8
b. Ibu=1/6
c. Anak perempuan=1/2
3. Penghitungan
Asal masalah yaitu 24
Istri = 1/8 x 24 = 3 bagian
13
Ibu = 1/6 x 24 = 4 bagian
Anak perempuan = 1/2 x 24 = 12 bagian
Jumlah = 19 bagian, masih tersisa 5 bagian.
Untuk 5 bagian ini, dibagikan kepada ahli waris tersebut secara
proporsional.
Istri = 3/19 x 5 = 0,789
Ibu = 4/19 x 5 = 1,05
Anak perempuan= 12/19 x 5 = 3,157
Jadi bagian masing-masing ialah
Istri = 3 + 0,789 = 3,0789
Ibu = 4 + 1,05 = 5,05
Anak perempuan = 12 + 3,157 = 15,157
C. Contoh soal ‘aul (ketekoran)
Pewaris meninggalkan harta warisan dan
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Suami
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki
Penyelesaian
1. Semua ahli waris di atas berhak mendapat harta warisan dengan bagian
masing-masing
a. Ibu = 1/6
b. Anak perempuan = 1/2
c. Suami = 1/4
d. Cucu perempuan dari anak laki-laki = 1/6
2. Penghitungan
Asal masalah = 12
Ibu = 1/6 x 12 = 2 bagian
Anak perempuan = 1/2 x 12 = 6 bagian
Suami = 1/4 x 12 = 3 bagian
Cucu perempuan dari anak laki-laki = 1/6 x 12 = 2 bagian
14
Jumlah = 13 bagian, maka di sini terjadi kelebihan bagian.
Untuk menyelesaikannya, maka jumlah bagian dijadikan asal masalah
baru, menjadi
Ibu = 1/6 x 13 = 2,167 bagian
Anak perempuan = 1/2 x 13 = 6,5 bagian
Suami = 1/4 x 13 = 3,25 bagian
Cucu perempuan dari anak laki-laki = 1/6 x 13 = 2,167 bagian
KESIMPULAN
1. Pada dasarnya, metode pendekatan keluarga mendasarkan berbagai aspek
berlandaskan pada sistem kewarisan patrilinial Syafi’i. Selain sistem ini sering
dipakai oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, sistem ini lebih mudah
untuk dipelajari.
2. Metode pendekatan keluarga mentitikberatkan pada jauh dekatnya hubungan
nasab ahli waris. Ahli waris yang mempunyai hubungan nasab yang lebih dekat
dengan pewaris akan lebih besar kemungkinannya mendapat harta warisan
dibandingkan ahli waris yang jauh nasabnya dengan pewaris.
3. Di dalam menyelesaikan masalah kewarisan, hal yang sangat penting untuk
diketahui ialah menentukan para ahli waris, menentukan seberapa besar
bagiannya, dan menentukan ada atau tidaknya sisa (asabah).
SARAN
1. Hukum kewarisan Islam adalah sesuatu yang sangat penting untuk diketahui
oleh setiap umat Islam. Selain berguna untuk menyelesaikan masalah-masalah
mengenai pembagian harta warisan secara Islam, tetapi juga bertujuan untuk
melindungi hak dan harta warisan itu sendiri serta untuk mempererat tali
silaturahmi antaranggota keluarga.
2. Dalam metode pendekatan keluarga diperlukan adanya suatu pemahaman
mengenai harta warisan dan para ahli waris, agar setiap masalah yang
berkenaan dengan harta warisan dapat terselesaikan dengan cepat.
15
DAFTAR PUSTAKA
Shalih al-‘Utsaimin, Muhammad.2008.Panduan Praktis Hukum Waris.Bogor :
Pustaka Ibnu Katsir.
Thalib, Sajuti. 2004. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.Jakarta : Sinar
Grafika.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Kewarisan_Islam diakses tanggal 26 Februari
2011.