Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
METODE PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
(Kajian Tafsir Terhadap Surat An-Nahl Ayat 125-128) SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Annisa Khanza Fauziah
NIM 1112011000025
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Annisa Khanza Fauziah (1112011000025), Metode Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Terhadap Surat An-Nahl Ayat 125-128).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penafsiran surat An-Nahl ayat 125-128, analisis metode pendidikan serta penerapan metode pendidikan yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-128. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah jenis penelitian kualitatif melalui library research (kajian studi kepustakaan), dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian dianalisis dengan metode tahlili, yaitu metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk mendukung penelitian ini, penulis menggunakan sumber utama kitab tafsir, diantaranya Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Maragi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka. Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memperoleh bahwa dalam surat An-Nahl ayat 125-128 terkandung metode pendidikan, diantaranya: Pertama, metode hikmah. Kedua, metode mau’izhah hasanah. Ketiga, metode jidâl. Ketiga metode pendidikan di atas dapat diterapkan oleh pendidik dalam proses pembelajaran di kelas.
Kata Kunci: Metode Pendidikan
ii
ABSTRACT
Annisa Khanza Fauziah (1112011000025), Educational Methods In Perspective of the Qur'an (Study of Interpretation of An-Nahl verses 125-128).
This research is intended to know the interpretation of An-Nahl verses 125-128, analysis of education method, and application of education method which are contained in An-Nahl verses 125-128. The research method used by the writer is the type of qualitative research through library research (literature study) by collecting data or materials related to the theme of the discussion and its problems, they are taken from the sources of literature, then analyzed by tahlili method, the method of interpretation of the verses of the Qur'an is done by describing the descriptions of the meaning contained in the verses of the Qur'an. To support this research, the writer uses the main sources of Tafsir, including Tafsir Al-Misbah by M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Maragi by Ahmad Mustafa Al-Maragi and Tafsir Al-Azhar by Hamka. Based on the results of this study, the writer obtain that in An-Nahl verses 125-128 contained educational methods, including: First, the hikmah method. Second, the mau'izhah hasanah method. Third, the jidâl method. These three methods of education can be applied by educators in learning process in the classroom.
Keywords: Educational Method
iii
iii
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الر� محن الر� حيم
Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh
Alhamdulillahirabbil’alâmîn. Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah
Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidâyat-Nya serta menganugerahkan
nikmat sehat kepada penulis, sehingga penulisan ini dapat diselesaikan dengan
baik serta tepat pada waktunya.
Ṣalawat serta salâm tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah, Nabi
Muhammad Saw. sebagai suri tauladan terbaik, beserta para sahabat-Nya,
keluarga-Nya dan semua penganut ajaran-Nya hingga akhir zaman.
Penulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses penyelesaian penulisan ini tidak hanya kerja keras dan usaha penulis,
namun mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesaikannya penulisan ini, terutama kepada:
1. Kedua orang tua penulis, yaitu Ayahanda H. Budi Hartono, S.E. dan
Ibunda Hj. Irma Mulyani Mardiana, S.Pd. yang telah merawat dengan
kasih sayang, mendidik putrinya dengan tulus dan ikhlas, serta memotivasi
dan mendo’akan kepada penulis dalam setiap langkahnya.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Drs. H. Achmad Gholib, M.Ag. selaku Dosen Penasehat Akademik yang
dengan penuh perhatian telah memberi bimbingan, arahan, dan motivasi
serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
iv
5. Drs. Abdul Haris, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang dengan penuh
perhatian telah memberi bimbingan, arahan, dan motivasi serta ilmu
pengetahuan kepada penulis selama bimbingan.
6. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. dan Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA.
selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan
Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu
pengetahuannya.
7. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
namun tidak sedikit pun mengurangi rasa hormat dan takzim penulis, yang
telah membimbing penulis selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan berbagai banyak referensi
yang menunjang dalam penulisan ini.
9. Prof. Dr. HD. Hidayat, MA. selaku direktur Pondok Pesantren Luhur
Sabilussalam serta jajaran pengurus Pondok Pesantren Luhur Sabilussalam
yang senantiasa membimbing penulis sebagai mahasantriwati.
10. H. Alit Rosad Nurdin, Lc. MA. dan Dr. Hj. Ade Irma Solihah, S.Psi. M.Si.
selaku pemilik Asrama Putri Pondok Pesantren Luhur Sabilussalam yang
selama ini kurang lebih tiga tahun terakhir tak pernah lelah memberikan
bimbingan, nasehat, kritik dan saran serta motivasinya bagi penulis.
11. Kedua adikku tercinta Anggia Nur ‘Ardhia Safitri dan Ainnun Fathonah
Khairiyyah, karena canda dan tawa mereka yang menjadi motivasi dan
inspirasi bagi penulis dalam penyelesaian penulisan ini.
12. Teman-teman Keluarga Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2012
yang telah memberikan motivasi dan bantuannya sampai terselesaikannya
penulisan ini.
13. Teman-teman “ISTIQOMAH 13” dan Keluarga Mahasantri Pesantren
Luhur Sabilussalam (KMPLS) yang telah memberikan semangat kepada
v
penulis selama menjalani masa kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
14. Penyemangat terdekat, Mohammad Kahfi Abdul Aziz yang selalu
memberikan semangat kepada penulis sampai terselesaikannya penulisan
ini.
15. Kepada sahabat yang selalu setia dan sedia memberikan nasehat dan
semangat untuk penulis, yaitu Rizky Wahyuning Esa, Rina Winarni dan
Lola Nurhidayaty yang sama-sama menempuh pendidikan S1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
16. Tak lupa segenap pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi
yang tidak dapat disebutkan satu-persatu namanya.
Semoga kebaikan dari semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
penulisan ini mendapat pahala dan rahmat dari Allah SWT. serta penulisan ini
dapat bermanfaat bagi semua. Âmîn Yâ Rabbal’alâmîn.
Jakarta, 20 April 2017
Annisa Khanza Fauziah
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN
Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang ditulis dengan huruf
berbahasa Arab yang digunakan dalam penulisan dan penyusunan skripsi.
Transliterasi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin
Tidak
dilambangkan
ś
h
kh
ż
sy
ṣ
đ
2. Vokal
Vokal Tunggal
Tanda Huruf Latin
a
i
u
Huruf Arab Huruf Latin
ţ
ť
‘
ġ
h
vii
Vokal Rangkap
Tanda dan Huruf Huruf Latin
ai
au
Contoh:
= ataba
= ‘urifa
= kaifa
= haula
3. Madd
Harakat dan Huruf Huruf Latin
â
î
û
Contoh:
= kâna
= da’â
= qilâ
= yaqûlu
4. Tâ’ Marbûţah
Tâ’ marbuţah hidup transliterasinya adalah /t/. Tâ’ marbuţah mati
transliterasinya adalah /h/.
Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah tâ’ marbuţah diikuti oleh kata
sandang al, serta kata kedua itu terpisah maka tâ’ marbuţah itu
ditransliterasikan dengan /h/.
viii
Contoh:
= hadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât
= al-madrasat al-ibtidâ`iyyâh atau al-madrasatul
ibtidâ`iyyâh
= hamzah
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah/tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh:
= ‘allama
= kurrima
= yukarrir
= al-maddu
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf
yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sambung/huruf.
Contoh:
= aş-şalâtu
b. Kata sandang diikuti dengan huruf qamariyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya.
Contoh:
= al-falaqu
ix
7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti alif.
Contoh:
= akaltu
= ûtiya
b. Bila di tengah dan di akhir, ditransliterasikan dengan apostrof.
Contoh:
= ta’kulûna
= syai’un
8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya.
Contoh:
= al-Qur’ân
= al-Madînatul Munawwarah
= al-Mas’udî
x
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................ vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 7
C. Pembatasan Masalah ................................................................... 8
D. Perumusan Masalah .................................................................... 8
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian .......................................... 9
BAB II : KAJIAN TEORETIK
A. Pengertian Metode Pendidikan ................................................... 11
B. Dasar-dasar Metode Pendidikan ................................................. 16
C. Prinsip-prinsip Metode Pendidikan ............................................. 19
D. Jenis-jenis Metode Pendidikan ................................................... 25
E. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................... 37
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ....................................................... 39
B. Metode Penelitian ....................................................................... 39
C. Fokus Penelitian .......................................................................... 39
D. Prosedur Penelitian ...................................................................... 40
xi
BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125-128 ................................ 44
1. Teks Ayat dan Terjemah Surat An-Nahl Ayat 125-128 ....... 44
2. Kosa Kata (Mufradât) .......................................................... 44
3. Sebab-sebab Turunnya Surat An-Nahl Ayat 125-128
(Asbâbun Nuzūl) ................................................................... 46
4. Hubungan Ayat (Munasabah al-Ayât) ................................. 47
5. Kandungan Surat An-Nahl ................................................... 47
6. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125-128 ..................................... 48
B. Metode Pendidikan yang Terkandung di dalam Al-Qur’an
Surat An-Nahl Ayat 125-128 ...................................................... 61
1. Metode Hikmah .................................................................... 63
2. Metode Mau’izhah Hasanah ................................................. 67
3. Metode Jidâl ......................................................................... 69
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................. 73
B. Implikasi ..................................................................................... 74
C. Saran ........................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 75
LAMPIRAN
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu masalah penting dan aktual
sepanjang zaman. Pendidikan pada dasarnya kebutuhan manusia secara
mutlak dan manusia tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pendidikan guna
dalam membentuk serta mempersiapkan pribadinya. Dalam hal ini,
pendidikan sangatlah berperan untuk membuka wawasan peserta didik,
memberikan ide-ide mendasar dan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam melaksanakan pendidikan, baik di lingkungan formal dan non-
formal, guru dituntut untuk mendidik dan mengajar. Karena keduanya
mempunyai peranan yang penting dalam proses belajar mengajar untuk
mencapai tujuan ideal pendidikan.1 Secara substansial, tugas ini dimulai
dengan pembentukan karakter, pola pikir, kepribadian, sikap mental, serta
ilmu pengetahuan yang ditransfer melalui proses belajar mengajar.
Menurut Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, adalah:
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar mengajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.2 Diterbitkannya Undang-Undang RI tentang Sistem Pendidikan
Nasional di atas bahwa perlu adanya peningkatan profesionalisme guru
dan tenaga pendidik. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah RI No. 19
1Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet. I, h. 9. 2Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, (Bandung: Fokusmedia, 2013), h. 2.
2
2
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi payung
hukum bahwa guru adalah pendidik profesional.
Pada prinsipnya profesionalisme guru adalah guru yang dapat
menjalankan tugasnya secara profesional yang memiliki kualitas dan
keahlian di bidang teori dan praktik keguruan. Sertifikasi guru dilakukan
selama 1 tahun dalam program yang dikenal dengan PPG (Pendidikan
Profesi Guru) sebagai salah satu langkah peningkatan kualitas proses dan
hasil proses pendidikan.
Pada kenyataannya setelah menyelesaikan sertifikasi, dalam
prakteknya guru tidak menerapkan berbagai metode pembelajaran di
sekolah. Beberapa guru banyak yang menggunakan metode yang paling
mudah, yaitu metode ceramah.
Dikutip dari media online kompas.com bahwa menurut Sekretaris
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Marsudi Suud
mengatakan, “upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional terancam
gagal. Pasalnya banyak tenaga pendidik yang enggan melakukan inovasi
pada metode pembelajaran dan menguasai teknologi pendidikan”.3 Selain
itu, Anggota Komisi X DPR, Rohmani mengatakan bahwa, “sertifikasi
guru yang berlangsung saat ini belum sesuai dengan harapan UU, belum
menyentuh tujuan dasar diadakannya sertifikasi tersebut”.4
Dari dua pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa sertifikasi yang
menjadi tujuan untuk mencapai kualitas mutu pendidikan nasional tidak
sampai kepada tujuan yang dicapai, salah satunya masih banyak guru yang
kurang pemahaman akan pentingnya inovasi metode pendidikan dalam
proses pembelajaran di sekolah.
Kegiatan dalam proses pembelajaran tersebut merupakan unsur yang
sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berarti
keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan yang sangat tergantung pada
keberhasilan proses pembelajaran siswa di sekolah dan lingkungan 3Indra Akuntono, Guru Diharapkan Lebih Inovatif dalam Mengajar, 2016, (http://kompas.com). 4Ratih Prahesti Sudarsono, Sertifikasi Guru Belum Memuaskan, 2016, (http://kompas.com).
3
3
sekitarnya. Dalam proses pembelajaran, baik guru maupun siswa bersama-
sama menjadi pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran.
Dari uraian tersebut dapat terlihat bahwa proses pembelajaran bukan
hanya sekedar transfer ilmu dari guru kepada siswa, melainkan suatu
proses kegiatan, yaitu terjadi interaksi antara guru dengan siswa serta
siswa dengan siswa.
Pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.5
Pembelajaran ibarat jantung dari proses pendidikan. Sebagai salah satu
unsur penentu baik tidaknya lulusan yang dihasilkan oleh suatu sistem
pendidikan. Pembelajaran yang baik, cenderung menghasilkan lulusan
dengan hasil belajar yang baik pula, demikian pula sebaliknya.
Selanjutnya menurut Diana Indriana menjelaskan dalam bukunya
bahwa:
Dalam proses pembelajaran, terdapat sistem yang harus kita perhatikan dengan baik. Pembelajaran dikatakan sebagai sistem karena di dalamnya memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan. Komponen tersebut terdiri atas tujuan, materi, metode, media, dan evaluasi. Masing-masing komponen tersebut saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.6 Namun pada kenyataannya, hasil belajar pendidikan di Indonesia
masih dipandang kurang baik. Sebagian besar peserta didik belum mampu
menggapai potensi ideal dan optimal. Oleh karena itu, perlu adanya
perubahan proses pembelajaran yang sudah berlangsung selama ini.
Dalam proses pembelajaran, ada beberapa masalah yang perlu
diperhatikan yang terjadi pada peserta didik, salah satunya adalah
kurangnya pemilihan metode yang tepat dalam proses pembelajaran.
5Asep Jihad dan Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran, (Yogyakarta: Multi Pressindo, 2012), Cet. I, h. 12. 6Diana Indriana, Ragam Alat Bantu Media Pembelajaran, (Jogjakarta: DIVA Press, 2011), Cet. I, h. 20.
4
4
Menurut Wijaya Kusumah, metode adalah cara yang digunakan oleh
guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas, sebagai
upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.7 Karena
metode merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan, maka tidak salah
jika suatu metode tidak hanya terdiri dari satu jenis, termasuk dalam hal
pembelajaran.
Metode pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan proses belajar
mengajar antara guru dan siswa, sehingga berkembang menjadi berbagai
metode, dimana metode yang satu dengan lainnya memiliki keunggulan
dan kelemahan masing-masing.
Menurut Nana Sudjana dalam Dasar-dasar Proses Belajar-Mengajar,
terdapat bermacam-macam metode dalam mengajar, yaitu metode
ceramah, tanya jawab, diskusi, resitasi, kerja kelompok, demonstrasi, dan
eksperimen, sosiodrama (role-playing), problem solving, sistem regu
(team teaching), latihan (drill), karya wisata (field-trip), survei
masyarakat, dan metode simulasi.8
Di dalam Al-Qur’an dapat dijumpai berbagai metode pendidikan
seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, penugasan,
teladan, pembiasaan, karya wisata, cerita, hukuman, nasihat, dan
sebagainya.9 Berbagai metode tersebut dapat digunakan sesuai dengan
materi yang diajarkan dan dimaksudkan demikian, agar proses
pembelajaran tersebut tidak membosankan anak didik.
Perlu diakui bahwa tidak ada satu pun metode pembelajaran yang
benar-benar absolut dan yang paling baik digunakan. Semua metode saling
melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, metode terbaik yang dapat
digunakan adalah kombinasi antara satu metode dengan metode lain.
7Jamal Ma’mur Asmani, 7 Tips Aplikasi PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan), (Jogjakarta: DIVA Press, 2013), Cet. IX, h. 30. 8Mastur Faizi, Ragam Metode Mengajarkan Eksakta Pada Murid, (Jogjakarta: DIVA Press, 2013), Cet. I, h. 26. 9Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Cet. XVII, h. 88.
5
5
Tentu saja, para guru bebas menggunakan metode pembelajaran yang
sesuai materi yang diajarkan dan kemampuan guru yang bersangkutan.
Namun tidak dapat dipungkiri, metode pembelajaran yang tepat sangat
menentukan terhadap efektivitas belajar-mengajar didalam kelas. Berbagai
metode dapat dipilih oleh guru untuk melangsungkan proses belajar-
mengajar bersama para siswa dengan lebih efisien dan mengena. Metode
pembelajaran yang tidak tepat dapat berakibat pada terhambatnya proses
belajar siswa, bahkan gagalnya para siswa dalam menangkap substansi
ilmu yang diajarkan.
Menurut Sunhaji, kegiatan pembelajaran adalah suatu aktivitas untuk
mentransformasikan bahan pelajaran kepada subjek belajar.10 Pada
konteks ini, guru berperan sebagai penjabar dan penerjemah bahan
tersebut agar dimiliki siswa. Berbagai upaya dan strategi dilakukan guru
supaya bahan atau pun materi pembelajaran tersebut dapat dengan mudah
dicerna oleh subyek belajar, yakni tercapainya tujuan pembelajaran yang
telah dirumuskan. Tujuan ini merupakan gambaran perilaku yang
diharapkan dimiliki oleh subjek belajar atau hasil belajar yang diharapkan.
Proses pembelajaran merupakan interaksi semua komponen atau unsur
yang terdapat dalam pembelajaran, dimana satu sama lain saling
berhubungan dalam sebuah rangkaian untuk mencapai tujuan. Dengan kata
lain, bahwa metode digunakan dalam konteks pendekatan secara personal
yang dilakukan antara pendidik dan peserta didik sehingga peserta didik
tertarik dengan materi yang diajarkan oleh pendidik.
Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran, diperlukan pendidik yang
aktif dalam pemilihan metode pembelajaran sehingga peserta didik dapat
menyerap semua materi pelajaran secara sempurna dan dapat dikatakan
pembelajaran yang berhasil. Pemilihan metode pun dipengaruhi oleh
segala aspek, mulai dari materi pelajaran, lingkungan belajar, keadaan
siswa, keadaan guru dan sebagainya. Melalui pemilihan metode ini
10Asmani, op. cit., h. 19.
6
6
diharapkan guru dapat membangkitkan motivasi siswa untuk belajar
sehingga dapat meningkatkan hasil pembelajaran.
Dalam proses pendidikan, metode mempunyai kedudukan yang sangat
signifikan untuk mencapai tujuan. Penerapan metode yang tepat akan
sangat berpengaruh terhadap pencapaian keberhasilan dalam proses belajar
mengajar. Keberhasilan penggunaan suatu metode merupakan
keberhasilan proses pembelajaran yang pada akhirnya berfungsi sebagai
diterminasi kualitas pendidikan.
Demikian urgennya metode dalam sebuah proses pendidikan dan
pembelajaran, sebuah proses belajar mengajar dapat dikatakan tidak
berhasil apabila dalam proses tersebut tidak menggunakan metode. Dalam
hal ini metode menempati posisi kedua terpenting setelah tujuan dari
sederetan komponen-komponen pembelajaran, diantaranya tujuan, metode,
materi, media, dan evaluasi.11
Setiap orang memiliki kepribadian, performance style, kebiasaan, dan
pengalaman mengajar yang berbeda-beda. Kompetensi mengajar biasanya
dipengaruhi pula oleh latar belakang pendidikan. Guru yang berlatar
belakang pendidikan keguruan, biasanya lebih terampil dalam memilih
metode dan tepat dalam menerapkannya. Sedangkan, guru yang
mempunyai latar belakang pendidikan yang kurang relevan, sekalipun
tepat dalam menentukan metode, namun sering mengalami hambatan
dalam penerapannya.12
Setiap guru yang akan mengajar senantiasa dihadapkan pada
pemilihan metode. Banyak macam metode yang dapat dipilih guru dalam
kegiatan belajar mengajar, namun tidak semua metode dapat dikategorikan
sebagai metode yang baik, dan tidak pula semua metode dapat dikatakan
kurang baik. Kebaikan suatu metode terletak pada ketepatan memilih
sesuai dengan tuntutan pembelajaran.
11Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. I, h. 109. 12Faizi, op. cit., h. 53.
7
7
Perlu dipahami bahwa penggunaan metode dalam pendidikan ini
prinsipnya adalah pelaksanaan hati-hati dalam mendidik peserta didiknya
yang disesuaikan dengan tuntutan dan karakteristik peserta didiknya.
Sebagai pendidik seharusnya mengusahakan agar materi pembelajaran
yang diberikan kepada peserta didiknya mudah diterima serta harus
memikirkan metode-metode yang akan digunakannya. Maka seorang
pendidik dituntut agar dapat mempelajari berbagai macam metode yang
digunakan dalam proses pembelajaran. Tanpa metode, suatu materi
pelajaran tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam
kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan. Metode dalam
pembelajaran yang tidak efektif akan menjadi penghambat kelancaran
proses belajar mengajar sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-
sia. Oleh karena itu, metode yang diterapkan oleh seorang guru akan
berdaya guna dan berhasil jika mampu dipergunakan dalam mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Penulis melihat bahwa dalam kandungan surat An-Nahl ayat 125-128
ini memiliki makna tentang pentingnya metode pembelajaran dalam
pendidikan yang sangat menarik dan perlu dipelajari secara mendalam.
Setelah mengkaji pentingnya pendidikan dengan berbagai macam metode,
maka diharapkan sebagai pendidik dapat melakukan metode pembelajaran
tersebut dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membahas lebih
lengkap dan terperinci mengenai metode pembelajaran dalam pendidikan.
Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil
judul “METODE PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-
QUR’AN (Kajian Tafsir Terhadap Surat An-Nahl Ayat 125-128)”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasi beberapa masalah yang berkaitan dengan judul yang akan
dibahas dalam tulisan ini, diantaranya sebagai berikut:
8
8
1. Selama ini, belum adanya penggalian tentang metode pembelajaran
dalam Al-Qur’an surat An-Nahl.
2. Masih banyak pendidik muslim yang belum menerapkan metode
pembelajaran dalam proses pendidikan yang bersumber dari Al-
Qur’an.
3. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah
ditawarkan oleh budaya Barat, sehingga bukan bersumber dari Al-
Qur’an.
4. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman oleh pendidik muslim
mengenai metode dalam proses pembelajaran yang terdapat dalam
Al-Qur’an
5. Kendala penerapan metode dalam proses pembelajaran yang
terdapat dalam Al-Qur’an.
6. Pendidik masih kurang mengaplikasikan berbagai metode
pembelajaran dalam proses belajar mengajar di sekolah.
C. Pembatasan Masalah Agar permasalahan ini tidak melebar secara luas, maka penulis akan
memperjelas dan memberikan pengarahan yang tepat serta menghindari
meluasnya pembahasan dalam penelitian ini.
Dari beberapa masalah yang telah diidentifikasi di atas, penulis akan
membatasi beberapa hal yang berkaitan dengan masalah di atas, yaitu:
1. Tafsir surat An-Nahl ayat 125-128.
2. Metode pendidikan, diantaranya mengenai metode hikmah,
metode mau’izhah hasanah dan metode jidâl.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka beberapa
permasalahan yang akan dirumuskan oleh penulis dalam penulisan, yaitu:
1. Bagaimana penafsiran dalam surat An-Nahl ayat 125-128?
9
9
2. Bagaimana analisis metode pendidikan yang terkandung dalam
surat An-Nahl ayat 125-128?
3. Apa saja metode pendidikan yang terkandung dalam surat An-
Nahl ayat 125-128?
4. Bagaimana penerapan metode-metode pendidikan dalam surat An-
Nahl ayat 125-128?
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui:
a. Tafsir surat An-Nahl ayat 125-128.
b. Analisis metode pendidikan yang terkandung dalam surat An-
Nahl ayat 125-128.
c. Mengetahui metode pendidikan yang terkandung dalam surat
An-Nahl ayat 125-128.
d. Penerapan metode-metode pendidikan dalam surat An-Nahl
ayat 125-128.
2. Manfaat Hasil Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini diantaranya sebagai
berikut:
a. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang pendidikan yang
menjelaskan penafsiran ayat Al-Qur’an mengenai metode
pendidikan dalam proses pembelajaran.
b. Memberi sumbangsih pemikiran berupa karya ilmiah yang
berisi teori, konsep serta praktik terhadap pendidikan mengenai
metode dalam proses pembelajaran dalam Al-Qur’an.
c. Menjadikan acuan dan bahan pertimbangan bagi seorang
pendidik dalam memilih metode pembelajaran, baik dalam
pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.
10
10
d. Dapat memberikan manfaat dan pengetahuan secara
menyeluruh terhadap pendidikan mengenai metode dalam
proses pembelajaran dalam Al-Qur’an kepada para pembaca
umumnya dan khususnya kepada penulis.
11
11
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Pengertian Metode Pendidikan
Dalam proses pendidikan baik formal dan non-formal, kehadiran
seorang pendidik merupakan hal yang sangat utama. Adanya metode
pendidikan yang diterapkan oleh pendidik secara tepat, efektif, dan efisien
dapat berpengaruh besar terhadap proses dan tingkat keberhasilan
pendidikan, terutama dalam kegiatan proses belajar mengajar. Oleh karena
itu, keberhasilan dalam menerapkan metode sangatlah diperlukan guna
tercapainya tujuan pendidikan
Istilah metode pendidikan terdiri dari dua kata, yaitu “metode” dan
“pendidikan”. Untuk itu, penulis akan menyampaikan uraian arti dari
masing-masing kata tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
metode berarti “cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
kegiatan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan”.1
Ditinjau dari segi etimologis (bahasa), metode berasal dari bahasa
Yunani, yaitu methodos. Kata ini berasal dari dua suku kata, yaitu metha
yang berarti “melewati” atau “melalui”, dan hodos yang berarti “jalan”
atau “cara”.2 Dalam bahasa Inggris dikenal dengan term method dan way
yang mempunyai arti metode dan cara.3 Sedangkan dalam bahasa Arab
disebut thariqah yang berarti langkah strategis yang dipersiapkan untuk
melakukan suatu pekerjaan.4
1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa: Edisi
Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), Cet. IV, h. 910. 2Mastur Faizi, Ragam Metode Mengajarkan Eksakta Pada Murid, (Jogjakarta: DIVA Press,
2013), Cet I, h. 12. 3Ibid.
4Ramayulis, Dasar-dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2015), Cet. I, h. 264.
12
12
Winkel, menyebut metode dengan istilah prosedur didaktik. Sedangkan
Abdul Ghafur menggunakan istilah strategi dengan intruksional.
Sementara itu, James K. Phopan mengistilahkannya dengan transaksi dan
Mudhofir mengistilahkannya dengan pendekatan.5
Sedangkan menurut terminologi (istilah) para ahli memberikan
definisi tentang metode, diantaranya menurut Ridwan Abdullah Sani,
bahwa “metode adalah cara menyampaikan materi pelajaran dalam upaya
mencapai tujuan pembelajaran”.6 Menurut Senn yang dikutip oleh
Muhammad Alim, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis.7
Hasan Langgulung juga mengatakan pengertian tentang metode,
sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis adalah cara atau jalan yang
harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan.8 Selanjutnya Al-Abrasyi
yang juga menjelaskan, bahwa metode adalah jalan yang kita ikuti untuk
memberikan pengertian kepada peserta didik tentang segala macam
metode dalam berbagai pelajaran.9
Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, Mahmud Yunus juga
menjelaskan mengenai metode yang dikutip oleh Armai Arief, menurutnya
adalah jalan yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya sampai kepada
tujuan tertentu, baik dalam lingkungan perusahaan atau perniagaan,
maupun dalam kupasan ilmu pengetahuan dan lainnya.10
Segala cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Bagaimana caranya menyampaikan pesan pendidikan, inilah sebetulnya
hakikat metode tersebut. Bila dihubungkan dengan pendidikan, maka
strategi tersebut haruslah diwujudkan dalam proses pendidikan dalam
5Jamal Ma‟mur Asmani, 7 Tips Aplikasi PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan), (Jogjakarta: DIVA Press, 2013), Cet. IX, h. 19. 6Ridwan Abdullah Sani, Inovasi Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), Cet. II, h.
90. 7Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim, (Bandung: PT Rosdakarya, 2011), Cet. II, h. 213. 8Ramayulis, loc. cit.
9Ibid., h. 265.
10Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, h. 87.
13
13
rangka pengembangan sikap mental dan kepribadian agar peserta didik
menerima materi ajar dengan mudah, efektif, dan dapat dicerna dengan
baik.
Dari beberapa penjelasan di atas, metode adalah suatu alat atau cara
yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan. Bahwa metode mengandung arti adanya urutan kerja
yang terencana, sistematis, dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna
mencapai tujuan yang telah direncanakan.
Setelah memahami kata metode, kata kedua yang perlu diulas adalah
pendidikan itu sendiri. Istilah pendidikan dalam bahasa Indonesia berasal
dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan”,
mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah
pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie”,
yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak, istilah ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti
pengembangan atau bimbingan.11
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
kata didik berarti “pelihara dan latih”.12
Dalam hal pendidikan, banyak para ahli mendefinisikan arti
pendidikan tersebut, diantaranya menurut Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah “usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara”.13
Sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Basri, bahwa pendidikan
menurut Muhaimin adalah aktivitas atau upaya yang dasar dan terencana,
dirancang untuk membantu seseorang mengembangkan pandangan hidup,
11
Ramayulis, op. cit., h. 15. 12
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 326. 13
Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Tahun 2003, (Bandung: Fokusmedia, 2013), h. 2.
14
14
sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk
praktis) maupun mental dan sosial.14
Menurut Ahmad D. Marimba sebagaimana yang dikutip oleh Tatang
S, mengartikan bahwa pendidikan adalah bimbingan jasmani dan rohani
untuk membentuk kepribadian utama, membimbing keterampilan
jasmaniah, dan rohaniah sebagai perilaku konkret yang memberi manfaat
pada kehidupan siswa di masyarakat.15
Selanjutnya menurut W.J.S.
Poerwadarminta, pendidikan berarti proses perubahan sikap dan tingkah
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan latihan.16
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut John Dewey sebagaimana
dikutip oleh Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, pendidikan
merupakan proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik
menyangkut daya pikir atau daya intelektual maupun daya emosional atau
perasaan yang diarahkan pada tabiat manusia dan sesamanya.17
Menurut Carter V. Good dalam bukunya Hasbullah menjelaskan
pendidikan ialah:
1. seni, praktik, atau profesi sebagai pengajar;
2. ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan
prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan, dan bimbingan
murid; dalam arti luas digantikan dengan istilah pendidikan.18
3. education; proses perkembangan pribadi; proses sosial;
profesional courses; seni untuk membuat dan memahami ilmu
pengetahuan yang tersusun yang diwarisi atau dikembangkan
generasi bangsa.19
14
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 53. 15
Tatang S, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), Cet. I, h. 16. 16
Ibid., h. 13. 17
Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis
Agama & Budaya Bangsa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), Cet. I, h. 80. 18
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam), (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), Cet. XI, h. 3. 19
Salahudin, op. cit., h. 91.
15
15
Al-Syaibani menjelaskan bahwa, pendidikan adalah usaha mengubah
tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari
kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya.20
Lebih lanjut
menurut Al-Abrasyi yang dikutip oleh Abd. Rachman Assegaf, pendidikan
adalah mempersiapkan individu atau pribadi agar bisa: menghadapi
kehidupan ini secara sempurna, hidup bahagia, cinta tanah air, kuat
jasmani, sempurna akhlaknya, teratur dalam berpikir, berperasaan lembut,
mahir di bidang ilmu, saling membantu dengan sesamanya, memperindah
ungkapan pena dan lisannya serta membaguskan amal perbuatannya.21
Dengan beberapa penjelasan para pendapat di atas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu sistem atau proses
pendidikan terencana dalam meningkatkan kualitas potensi manusia yang
mencakup aspek-aspek kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis bermaksud untuk membahas
tentang metode pendidikan. Bahwa metode pendidikan merupakan suatu
cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan dalam kegiatan
pendidikan.
Menurut Abdul Munir Mulkan sebagaimana yang dikutip oleh Samsul
Nizar berpendapat bahwa metode pendidikan adalah suatu cara yang
dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau
bahan pendidikan kepada anak didik.22
Pendapat Al-Syaibany sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar
menjelaskan bahwa metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang
terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata
pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan peserta didiknya, dan
suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk
20
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Cet. II, h. 8. 21
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh
Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet. I, h. 198. 22
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), Cet. I, h. 66.
16
16
mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki
pada tingkah laku mereka.23
Lebih lanjut Nur Uhbiyati menjelaskan definisi metode pendidikan
sebagaimana yang telah dikutip oleh Tatang S, bahwa metode pendidikan
adalah strategi yang relevan yang dilakukan oleh pendidikan untuk
menyampaikan materi pendidikan kepada anak didik. Metode berfungsi
mengolah, menyusun, dan menyajikan materi pendidikan agar materi
pendidikan tersebut dapat dengan mudah diterima dan dimiliki oleh anak
didik.24
Demikian urgennya metode dalam proses pendidikan dan pengajaran,
dapat dikatakan tidak berhasil apabila dalam proses tersebut tidak
menggunakan metode. Karena metode menempati posisi kedua terpenting
setelah tujuan dari beberapa komponen-komponen pembelajaran,
diantaranya tujuan, metode, materi, media, dan evaluasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
metode pendidikan merupakan suatu mediator yang digunakan oleh
pendidik sebagai alat untuk menyampaikan dan menciptakan proses
pembelajaran terhadap peserta didik sehingga tercapainya inti dari sebuah
pendidikan.
B. Dasar-dasar Metode Pendidikan
Metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan
pendidikan, sehingga jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik haruslah
mengacu pada dasar-dasar metode pendidikan tersebut. Dalam konteks ini,
metode pendidikan tidak terlepas dari dasar agama, dasar biologis, dasar
psikologis, dan dasar sosiologis.
1. Dasar Agama
Agama merupakan salah satu dasar metode pendidikan dan
pengajaran. Al-Qur‟an dan Hadits tidak bisa dilepaskan dari
23
Ibid. 24
Tatang S, op. cit., h. 56.
17
17
pelaksanaan metode pendidikan. Dalam kedudukannya sebagai dasar
ajaran Islam, maka dengan sendirinya metode pendidikan harus
merujuk pada kedua sumber tersebut. Sehingga segala penggunaan dan
pelaksanaan metode pendidikan tidak menyimpang dari kedua sumber
pendidikan tersebut.25
Dapat dikatakan bahwa metode pendidikan berdasarkan pada
agama Islam yang menjadi sumber ajarannya adalah Al-Qur‟an dan
Hadits. Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan
oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung
ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek
kehidupan melalui ijtihad.26
Oleh karena itu, sudah barang tentu dasar
pendidikan sebagai bagian dari aspek kehidupan manusia adalah
bersumber kepada Al-Qur‟an.
Setelah Al-Qur‟an, dasar pendidikan juga menjadikan Sunnah
(yang disebut juga Hadits) sebagai sumber pendidikan. Karena pada
zaman Nabi para sahabat selalu bertanya kepada Nabi tentang segala
hal yang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an, dan menjadikannya sebagai
landasan berfikir mereka.
2. Dasar Biologis
Dasar yang mempertimbangkan kebutuhan jasmani dan tingkat
perkembangan usia peserta didik.27
Sehingga semakin lama
perkembangan biologi seseorang, maka dengan sendirinya makin
meningkat pula daya intelektualnya.28
Dapat dikatakan bahwa
perkembangan jasmani dan kondisi jasmani itu sendiri, memegang
peran yang sangat penting dalam proses pendidikan.
Sehingga dalam menggunakan metode pendidikan seorang
pendidik harus memperhatikan kondisi biologis peserta didik, seorang
peserta didik yang cacat akan berpengaruh terhadap prestasi peserta
25
Ramayulis, op. cit., h. 266. 26
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 19. 27
Nizar, op. cit., h. 68. 28
Ramayulis, op. cit., h. 267.
18
18
didik, baik pengaruh posistif dan negatif. Hal ini memberikan hikmah
dari penciptaan Tuhan, maka dengan harapan besar pendidik dapat
memberikan pengertian secukupnya pada peserta didiknya untuk
menerima penciptaan Allah yang sedemikian rupa.
3. Dasar Psikologis
Metode pendidikan baru dapat diterapkan secara efektif, bila
didasarkan pada perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik.
Sebab perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap internalisasi nilai dan
internalisasi ilmu.29
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam menggunakan
metode pendidikan seorang pendidik disamping memperhatikan
kondisi jasmani peserta didik juga perlu memperhatikan kondisi jiwa
atau rohaninya, sebab manusia pada hakikatnya terdiri dari dua unsur,
yaitu jasmani dan rohani, yang kedua-duanya merupakan satu kesatuan
yang tak dapat dipisah-pisahkan. Kondisi psikologis yang menjadi
dasar dalam metode pendidikan berupa sejumlah kekuatan psikologis
peserta didik termasuk motivasi, emosi, minat, sikap, keinginan,
kesediaan, bakat-bakat, dan kecakapan akal (intelektualnya). Sehingga
seorang pendidik dituntut untuk mengembangkan potensi psikologis,
yang ada pada peserta didik.30
4. Dasar Sosiologis
Interaksi yang terjadi antara sesama peserta didik dan interaksi
antara pendidik dan peserta didik, merupakan interaksi timbal balik
yang kedua belah pihak akan saling memberikan dampak positif pada
keduanya. Interaksi pendidikan yang terjadi dalam masyarakat juga
justru memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan peserta didik. Dan diharapkan pula agar pendidik
29
Ibid., h. 267-268. 30
Ibid., h. 268.
19
19
mampu mengembangkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut
kepada peserta didik dengan memperhatikan perkembangan
kebudayaan dan peradaban yang muncul. Sehingga proses
pembelajaran yang terjadi dapat menginternalisasikan nilai dan nilai
tersebut aplikatif dalam kehidupan peserta didik selanjutnya.31
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa dasar penggunaan
sebuah metode pendidikan salah satunya adalah dasar sosiologis, baik
dalam interaksi yang terjadi antara peserta didik dengan peserta didik,
pendidik dengan peserta didik, pendidik dengan masyarakat, dan
peserta didik dengan masyarakat bahkan diantara mereka semua
dengan pemerintah. Dengan dasar di atas, seorang pendidik dalam
menginternalisasikan nilai yang sudah ada dalam masyarakat (social
value) diharapkan dapat menggunakan metode pendidikan yang tepat
agar proses pembelajaran tidak menyimpang jauh dari tujuan
pendidikan Islam itu sendiri.
C. Prinsip-prinsip Metode Pendidikan
Mengenai kata “prinsip”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
tersebut diartikan dengan kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir.32
Dengan demikian kata prinsip menggambarkan sebagai suatu dasar atau
landasan. Dari pengertian tersebut, sebuah prinsip sangat dibutuhkan,
terlebih lagi dalam sebuah metode pendididikan.
Berbagai prinsip-prinsip mendasar dalam penerapan metode
pendidikan adalah sebagai berikut:33
1. Motivasi
Penerapan metode diarahkan untuk dapat memberikan dorongan agar
peserta didik aktif belajar dan mengikuti pelajaran.
31
Ibid., h. 268-269. 32
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 1102. 33
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), Cet.
I, h. 138-139.
20
20
2. Perhatian
Penerapan metode diarahkan untuk dapat membangkitkan perhatian
peserta didik agar tertarik terhadap persoalan-persoalan yang
disampaikan atau yang sedang dipelajari, melalui penerapan metode
tersebut.
3. Peragaan
Penerapan metode diarahkan untuk dapat memberi kesempatan
kepada peserta didik supaya memeragakan atau mendemonstrasikan
perolehan.
4. Apersepsi
Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana
penghubung dengan apa yang pernah dikenal oleh peserta didik
sebelumnya, berkaitan dengan persoalan yang sedang dipelajari.
5. Individualitas
Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana
penghubung dengan bakat dan karakter masing-masing individu
peserta didik.
6. Konsentrasi
Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana
yang bisa memusatkan daya konsentrasi peserta didik pada persoalan
yang sedang dipelajari.
7. Korelasi
Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana
yang bisa mengajak peserta didik agar dapat menghubungkan mata
pelajaran satu dengan lainnya.
8. Sosialisasi
Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana
yang bisa mengajak peserta didik menyesuaikan dengan keadaan
lingkungan sosial.
21
21
9. Penilaian
Penerapan metode diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana
yang bisa dipakai oleh pendidik dalam memantau, menilai, dan
merekam partisipasi aktif peserta didik dalam memahami,
menghayati, dan berperilaku dalam belajar.
Dasar dan sistem ini merupakan prinsip yang jelas, sederhana, dan
mudah dilaksanakan. Menurut Abdullah Nashih Ulwan, menyebutkan ada
lima kaidah-kaidah dasar metode pendidikan yang dapat dijadikan
pedoman oleh para pendidik, diantaranya:
a. Ikhlas
Pendidik hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata untuk
Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah,
larangan, nasihat, pengawasan, atau hukuman.
Ikhlas dalam perkataan dan perbuatan adalah sebagian dari asas
iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan
tanpa dikerjakan secara ikhlas.
Perintah untuk ikhlas, tercantum dalam Al-Qur‟an:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan (dengan ikhlas) kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, yang demikian itulah agama yang
lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)34
Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadis:
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan
sesungguhnya setiap orang sesuai dengan niatnya.”35
34
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Terj. Tarbiyatul Aulad Fil Islam
oleh Jamaludin Miri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), Cet. I, h. 184. 35
Ibid.
22
22
Karenanya, pendidik hendaknya memurnikan niatnya dan
bermaksud mendapatkan keridhaan Allah dalam setiap amal perbuatan
yang dikerjakan, agar diterima oleh Allah, dicintai anak-anak dan
muridnya. Disamping itu, apa yang dinasihatkan bisa membekas pada
diri mereka.
b. Takwa
Sifat terpenting lainnya yang harus dimiliki pendidik adalah
takwa, yang didefinisikan oleh para ulama, “mengerjakan apa yang
diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya”.
Oleh karena itu, firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS. Ali „Imran [3]: 102)36
Selain itu, juga disebutkan dalam hadits Rasulullah Saw.:
“Takwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, ikutilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan
menghapusnya, dan gaulilah orang-orang dengan budi pekerti yang
baik.”37
Sebab, pendidik adalah panutan yang akan diikuti dan ditiru,
disamping penanggung jawab pertama dalam pendidikan anak
berdasarkan iman dan ajaran Islam.
c. Ilmu
Bahwa pendidik harus memiliki ilmu pengetahuan perihal pokok-
pokok pendidikan yang dibawa oleh syariat Islam, menguasai hukum-
hukum halal dan haram, mengetahui prinsip-prinsip etika Islam,
memahami secara global peraturan-peraturan Islam dan kaidah-kaidah
syariat Islam. Syariat Islam sangat besar memberikan perhatiannya
36
Ibid., h. 186. 37
Ibid., h. 187-188.
23
23
terhadap ilmu pengetahuan, sebesar perhatian dalam pembentukan
sikap ilmiah.
Firman Allah:
“Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui
(berilmu pengetahuan) dengan orang-orang yang tidak mengetahui
(tidak berilmu pengetahuan)?” (QS. Az-Zumar [39]: 9)38
Dalam hadits Rasulullah Saw.:
“Mencari ilmu pengetahuan adalah wajib bagi setiap Muslim.”
(HR. Ibnu Majah)
Para pendidik hendaknya membekali dirinya dengan segala ilmu
pengetahuan yang bermanfaat dengan metode-metode pendidikan
yang sesuai.
d. Sabar
Dengan kesabaran pendidik, sang anak akan berhias dengan
akhlak yang terpuji dan terjauh dari perangai tercela. Oleh karena itu,
Islam memberikan perhatian besar kepada sifat sabar ini.
Firman Allah:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan.” (QS. Ali „Imran [3]: 134)39
Dan hadits Rasulullah Saw.:
38
Ibid., h. 190. 39
Ibid., h. 192.
24
24
“Rasulullah Saw. berkata kepada Asyaj Abdul Qais:
„Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang disenangi Allah.
Kesabaran dan ketabahan‟.” (HR. Muslim)40
Pendidik hendaknya menghiasi dirinya dengan kesabaran,
kelemah lembutan dan ketabahan, jika dalam upaya mendidik
umatnya menginginkan kebaikan dan perbaikan, petunjuk bagi
generasi Muslim dan perbaikan anak-anaknya.
e. Rasa Bertanggung Jawab
Hal lain yang harus diketahui pendidik dan dihatinya adalah rasa
tanggung jawab yang besar dalam pendidikan anak, baik segi iman,
perangai, pembentukan jasmani dan rohaninya, maupun
mempersiapkan mental dan sosialnya, serta Allah di hari kemudian
akan menuntut pertanggungjawaban itu. Dalam Islam, meletakkan
masalah tanggung jawab pendidikan di atas pundak orang tua dan
pendidik.
Di bawah ini ayat yang berkaitan tentang tanggung jawab
tersebut:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Taḥrīm [66]: 6)41
Juga sabda Rasulullah Saw.:
“Ajarilah anak-anakmu dan keluargamu kebaikan dan didiklah
mereka.” (HR. Abdur Razaq dan Sa‟id bin Manshur)
Bagi setiap pendidik mukmin, berakal sehat, dan bijak, wajib
untuk menunaikan tanggung jawab ini sesempurna mungkin, dengan
kesadaran bahwa Allah akan murka bila menyia-nyiakannya dan azab
jahanam adalah balasannya.
40
Ibid., h. 193. 41
Ibid., h. 196.
25
25
Selain prinsip-prinsip metode pendidikan di atas dalam penerapan
berbagai metode pendidikan harus memperhatikan beberapa asas,
salah satunya menurut Al-Syaibani antara lain adalah:
1. Asas agama, yakni penerapan metode harus mengacu pada sumber
asasi ajaran Islam Al-Qur‟an dan Hadits.
2. Asas biologis, yakni penggunaan metode harus memperhatikan
kondisi kebutuhan jasmani dan tingkat perkembangan peserta
didik.
3. Asas psikologis, yakni penerapan metode harus disesuaikan dengan
kondisi minat dan bakat atau motivasi peserta didik.
4. Asas sosial, yakni penerapan metode harus disesuaikan dengan
tuntutan kebutuhan sosial peserta didik yang selalu berubah dan
berkembang setiap saat.42
Oleh karena itu, seorang guru atau pendidik harus memperhatikan
prinsip-prinsip tersebut dalam melaksanakan pembelajaran. Berbagai asas
dan prinsip yang telah dikemukakan di atas, sebaiknya dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan oleh pendidik dalam menentukan, memilih,
dan menerapkan berbagai jenis metode yang diterapkan dalam proses
belajar mengajar. Jika prinsip-prinsip tersebut diperhatikan, maka peserta
didik akan mengikuti pembelajaran dengan sungguh-sungguh tanpa
merasakan bosan, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara
efektif dan efisien.
D. Jenis-jenis Metode Pendidikan
Peranan metode pendidikan sangatlah penting dalam mengembangkan
dan meningkatkan pengetahuan serta penalaran peserta didik. Tentu dalam
proses belajar mengajar terdapat banyak jenis metode, seperti metode
keteladanan, kisah, nasihat, ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi,
karyawisata, pembiasaan, pemberian janji dan ancaman, perumpamaan,
42
Yasin, op. cit., h. 134.
26
26
simulasi, sosiodrama, eksperimen, dan lain-lain. Namun, penulis hanya
memaparkan beberapa jenis metode pendidikan yang mengacu pada
penelitian penulis, diantaranya sebagai berikut:
1. Metode Ceramah
Metode ceramah digunakan untuk menyampaikan informasi dan
pengetahuan secara lisan kepada siswa di kelas.43
Biasanya berbentuk
penjelasan konsep, prinsip, dan fakta yang pada akhir proses
pembelajaran biasanya ditutup dengan tanya jawab antara siswa dan
guru.44
Ceramah dimulai dengan menjelaskan tujuan yang ingin dicapai,
menyiapkan garis-garis besar yang akan dibicarakan, serta
menghubungkan antara materi yang akan disajikan dengan bahan
yang telah disajikan. Ceramah akan berhasil apabila mendapatkan
perhatian yang sungguh-sungguh dari peserta didik, disajikan secara
sistematik, menggairahkan, memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk merespons serta motivasi belajar yang kuat dari peserta
didik.
Pada akhir ceramah perlu dikemukakan kesimpulan, memberikan
kesempatan kepada siswanya untuk bertanya, memberikan tugas
kepada peserta didik serta adanya penilaian akhir.45
Metode ceramah termasuk yang paling banyak digunakan, karena
biayanya cukup murah dan mudah dilakukan, memungkinkan
banyaknya materi yang dapat disampaikan, adanya kesempatan bagi
guru untuk menekankan bagian yang penting, dan pengaturan kelas
dapat dilakukan dengan cara sederhana.
43
Suyanto dan Asep Jihad, Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan
Kualitas Guru di Era Global, (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 114. 44
Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan: Pengantar dan Dasar-dasar Pelaksanaan
Pendidikan, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2006), Cet. I, h. 124-125. 45
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009),
Cet. I, h. 181-182.
27
27
Sejak zaman Rasulullah metode ceramah merupakan cara yang
paling awal dilakukan Rasulullah Saw. dalam menyampaikan wahyu
kepada umat.
Dalam sebuah Hadits Nabi Saw. bersabda:
“Sampaikanlah apa yang datang dariku walaupun satu ayat, dan
ceritakanlah apa yang kamu dengar dari Bani Isra‟il, dan hal itu
tidak ada salahnya, dan barang siapa berdusta atas namaku maka
bersiap-siaplah untuk menempati berkenaan tempatnya di neraka.”
(HR. Bukhari)
Hal ini berkenaan dengan firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya kami turunkan Al-Qur‟an ini dengan berbahasa
Arab, agar kamu mengerti maksudnya. Kami riwayatkan (ceritakan)
kepadamu sebaik-baik cerita dengan perantaraan Al-Qur'an yang
kami wahyukan kepadamu ini, padahal sesungguhnya engkau dahulu
tidak mengetahuinya (orang-orang lalai).” (QS. Yûsuf [12]: 2-3)46
Mengenai ayat di atas, bahwa Allah menurunkan Al-Qur‟an
dengan menggunakan bahasa Arab kepada Nabi Muhammad. Serta
Nabi pun menyampaikannya dengan metode ceramah kepada para
sahabatnya.
2. Metode Dialog (hiwar)
Dalam Al-Qur‟an, hanya terdapat tiga ayat saja yang secara
langsung menggunakan kata muhawarah dan kata jadiannya. Dua
ayat terdapat pada QS. Al-Kahfi, yang berisi dialog antara pemilik
kebun yang kaya raya dengan seorang sahabatnya yang miskin. Ayat
ketiga terdapat dalam QS. Al-Mujadalah ayat 1, yaitu tentang
46
Arief, op. cit., h. 136-137.
28
28
peristiwa seorang wanita yang datang kepada Rasulullah untuk
mengadukan keadaan suaminya. Dalam QS. Al-Kahfi ayat 37,
disebutkan:47
“Kawannya yang mukmin berkata kepadanya ketika dia
bercakap-cakap dengannya, „Apakah kamu kafir kepada Tuhan
yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air
mani, kemudian dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang
sempurna‟.”
Dalam menafsirkan ayat ini, Ath-Thabari berkata, ayat ini
menjelaskan tentang pemberian nasihat seorang yang mempunyai
sedikit harta dan anak kepada temannya yang mempunyai dua kebun
agar tidak kufur kepada Allah, dengan cara berbicara dan berdialog
langsung kepadanya.
Secara terminologis, hiwar dalam Al-Qur‟an dapat diartikan
sebagai dialog, yakni suatu percakapan silih berganti antara dua pihak
atau lebih yang dilakukan melalui tanya jawab. Di dalamnya terdapat
kesatuan topik pembicaraan dan tujuan yang hendak dicapai dalam
pembicaraan itu. Metode hiwar merupakan cara penyampaian nilai-
nilai pendidikan yang digunakan di dalam Al-Qur‟an.48
Metode ini mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan
juga bagi pendengar pembicaraan. Itu disebabkan oleh beberapa hal
sebagai berikut:
Pertama, dialog berlangsung secara dinamis karena kedua pihak
terlibat langsung dalam pembicaraan. Kedua pihak saling
memperhatikan. Kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti terus
pembicaraan itu karena ia ingin tahu kesimpulannya. Ketiga, metode
ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam
jiwa. Keempat, bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak
tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat, itu
akan mempengaruhi peserta sehingga meninggalkan pengaruh berupa
47
Jejen Musfah, Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama
Islam, Vol. 3, 2009, h. 112-113. 48
Ibid., h. 113.
29
29
pendidikan akhlak, sikap dalam berbicara, menghargai pendapat
orang lain, dan sebagainya.49
Metode ini melibatkan murid dalam pengajaran. Guru yang
menjalankan metode ini bisa mengaktifkan akal, menguatkan mereka
dalam persiapan menerima pengetahuan baru, dan menumbuhkan
kecintaan pada kebenaran. Metode ini juga meningkatkan hubungan
antara orang tua dan anak, guru dan murid, melatih siswa menguatkan
pikirannya, bahasa percakapan menunjukkan hubungan manusia
dengan yang lainnya, dan menjauhkan para pelajar dari taklid buta
dan pembangkangan.
3. Metode Diskusi
Metode diskusi juga diperhatikan oleh Al-Qur‟an dalam mendidik
dan mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian
dan sikap pengetahuan mereka terhadap suatu masalah.
Firman Allah:
“Dan janganlah membantah para ahli kitab itu kecuali dengan
cara yang paling baik.” (QS. Al-Ankabut [29]: 46)50
Suatu diskusi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila
dilakukan dengan persiapan beserta bahan-bahannya yang cukup
jelas, dengan pembicaraan yang berlangsung secara rasional, tidak
didasarkan atas luapan emosi, dan lebih mementingkan pada
kesimpulan rasional dari pada kepentingan pribadi peserta didik.
Pendidik memberikan kesempatan pada peserta didiknya untuk
mengadakan pembicaraan ilmiah, baik secara individu maupun
49
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), Cet. VII, h. 136-137. 50
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet. IV, h. 75.
30
30
berkelompok dan mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan,
atau menyusun alternatif pemecahan suatu masalah.51
Menurut Ramayulis, metode diskusi dalam pendidikan adalah
suatu cara penyajian/penyampaian bahan pelajaran dimana pendidik
memberikan kesempatan kepada para peserta didik/membicarakan
dan menganalisis secara ilmiah guna mengumpulkan pendapat,
membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan
atas sesuatu masalah.52
Melalui metode ini, berbagai keterampilan seperti berkomunikasi,
menafsirkan, keberanian mengemukakan pendapat, sikap kritis,
toleran, kemampuan mengendalikan emosi, dan menyimpulkan dapat
dikembangkan dan dibina.53
4. Metode Keteladanan
Menurut Ahmad Tafsir, bahwa metode pendidikan Islam berpusat
pada keteladanan.54
Sedangkan menurut Abdurrahman An-Nahlawi
bahwa mendidik melalui keteladanan, manusia sangat cenderung
memerlukan sosok teladan dan panutan yang mampu mengarahkan
manusia pada jalan kebenaran dan sekaligus menjadi perumpamaan
dinamis yang menjelaskan cara mengamalkan syariat Allah.55
Metode keteladanan berarti memberikan contoh yang baik
(uswah hasanah) dalam setiap ucapan dan perbuatan kepada anak
didik. Sifat dan sikap yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad
Saw. sepanjang hidupnya merupakan contoh yang baik untuk konteks
ini.56
51
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2014), Cet. IV, h. 188. 52
Ramayulis, op. cit., h. 279. 53
Tatang S, op. cit., h. 120. 54
Tafsir, op. cit., h. 143. 55
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 260. 56
Musfah, op. cit., h. 115.
31
31
Seorang pendidik yang baik adalah pendidik yang dapat
meneruskan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. dengan
mencontoh perilakunya yang penuh kesederhanaan, kreativitas, dan
produktivitas.
Rasulullah Saw. merupakan suri teladan dan figur yang patut
dicontoh (uswah hasanah), karena pribadi beliau merupakan “Qur‟an
berjalan” dan sebagai figur bagi orang yang beriman, sehingga apa
pun perbuatan dan tata cara yang dilakukan dapat dijadikan sebagai
referensi dalam aktivitas-aktivitas manusia.57
Sebagai pendidikan yang bersumber Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasulullah, metode keteladanan tentunya didasarkan kepada kedua
sumber tersebut.
Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama
Allah.” (QS. Al-Aḥzāb [33]: 21)58
Dalam diri Nabi Muhammad, seolah-olah Allah ingin
menunjukkan suatu petunjuk tentang metode pendidikan Islam.
Muhammad merupakan teladan terbesar bagi segenap umat manusia.
Muhammad adalah seorang pendidik, pejuang dan seorang yang
memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umat manusia dengan
berbagai Sunahnya.
Dalam ayat lain:
57
Mujib, op. cit., h. 196. 58
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, (Jakarta: Kencana, 2014),
Cet. I, h. 125.
32
32
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang-orang bersama dengan dia...” (QS. Al-
Mumtaḥanah [60]: 4)
Metode keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang
efektif untuk mendidik anak karena anak akan meniru apa yang
dilihat dan didengar. Sebesar apapun usaha yang dipersiapkan untuk
mendidik anak agar tumbuh menjadi pribadi yang baik dan berbudi
luhur, selama anak itu tidak melihat sang pendidik sebagai teladan
yang mempunyai nilai-nilai moral yang tinggi, maka usaha itu tidak
akan berpengaruh.
Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa “sangat mudah bagi
pendidik untuk mengajari anak dengan berbagai materi pendidikan,
tetapi teramat sulit bagi anak untuk melaksanakannya, ketika ia
melihat orang yang memberikan pengarahan tidak
mengamalkannya”.59
Oleh karena itu, pendidikan dengan keteladanan
sangat diperlukan anak didik, mengingat pendidik adalah figur terbaik
bagi mereka.
5. Metode Kisah
Menurut Jejen Musfah, metode kisah adalah mendidik dengan
cara menyampaikan kisah agar pendengar dan pembaca meniru yang
baik dan meninggalkan yang buruk, serta agar pembaca beriman dan
beramal saleh.60
Pemberitaan Al-Qur‟an tentang hal ihwal umat yang telah lalu,
nubuwat (kenabian) yang terdahulu, dan peristiwa yang telah terjadi.
Al-Qur‟an banyak berisi keterangan tentang kejadian masa lalu,
sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri, dan peninggalan atau
jejak setiap umat. Al-Qur‟an menceritakan semua keadaan itu dengan
cara yang menarik dan mempesona, dengan bahasa yang mudah
dipahami.
59
Ulwan, op. cit., h. 2. 60
Musfah, op. cit., h. 109.
33
33
Kisah dalam Al-Qur‟an merupakan peristiwa yang benar-benar
terjadi pada orang-orang terdahulu, dan merupakan peristiwa sejarah
yang dapat dibuktikan kebenarannya secara filosofis dan ilmiah
melalui saksi-saksi berupa peninggalan orang-orang terdahulu.
Firman Allah:
“Sesungguhnya di dalam kisah-kisah mereka terdapat ibarat bagi
orang yang berakal.” (QS. Yusuf [12]: 111)61
Mengungkapkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang
mengandung ibrah (nilai moral, sosial, dan rohani) bagi seluruh umat
manusia di segala tempat dan zaman. Mengisahkan peristiwa sejarah
hidup manusia lampau yang menyangkut ketaatannya atau
kemungkarannya dalam hidup terhadap perintah dan larangan Tuhan
yang dibawakan Nabi atau Rasul yang hadir di tengah mereka.
Sebagian besar isi Al-Qur‟an, muatannya sejarah. Filosofi
mempelajari sejarah ialah untuk menjadikan kisah sejarah yang ada
itu untuk menjadi i‟tibar atau „ibrah.
Hal tersebut pendidik mampu memetik hikmah dan pelajaran dari
sebuah cerita, untuk disampaikan kepada peserta didik. Pelajaran
tersebut harus relevan dengan kondisi dan zaman. Serta dapat
melibatkan peserta didik untuk menemukan pelajaran-pelajaran yang
terkandung dalam kisah melalui tanya jawab.
6. Metode Nasihat
Salah satu metode pendidikan Islam yang diyakini oleh Abdullah
Nashih Ulwan sebagai metode yang berpengaruh dalam pembentukan
jiwa anak adalah metode dengan nasihat.
Metode nasihat adalah metode lain yang penting dalam
pendidikan, pembentukan keimanan, mempersiapkan moral,
spiritual, dan sosial anak, adalah pendidikan dengan pemberian
nasihat. Sebab nasihat ini dapat membukakan mata anak-anak
61
Arifin, op. cit., h. 71.
34
34
tentang hakikat sesuatu dan mendorongnya menuju situasi luhur,
menghiasinya dengan akhlak yang mulia, serta membekalinya
dengan prinsip-prinsip Islam”.62
Metode yang digunakan oleh pendidik dalam proses pendidikan
dengan cara memberi nasihat-nasihat yang baik dan dapat digugu atau
dipercaya, sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman oleh peserta
didik untuk bekal kehidupan sehari-hari.63
Dalam firman Allah Swt.:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan nasihat-menasihati
supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati menetapi
kesabaran.” (QS. Al-„Aṣhr [103]: 1-3)64
Pada prinsipnya seorang pendidik adalah pemberi nasihat,
bertugas membentuk kepribadian seseorang. Di dalam membentuk
kepribadian itu unsur utamanya adalah pembentukan jiwa. Di sini
yang sangat diperlukan adalah transfer of value. Di dalam
pentransferan nilai-nilai tersebut banyak jalan yang bisa dilaksanakan,
salah satunya lewat nasihat.
7. Metode Tanya Jawab
Merupakan cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan
yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa, tetapi dapat
pula dari siswa kepada guru. Metode ini dimaksudkan untuk
merangsang untuk berpikir dan membimbing peserta didik dalam
mencapai kebenaran.65
62
Ulwan, op. cit., h. 66. 63
Yasin, op. cit., h. 145. 64
Daulay, op. cit., h. 126-127. 65
Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar: Strategi
Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2009), Cet. III, h. 62.
35
35
Dalam praktiknya, metode tanya jawab ini dimulai dengan
mempersiapkan pertanyaan yang diangkat dari bahan pelajaran yang
akan diajarkan, mengajukan pertanyaan, menilai proses tanya jawab
yang berlangsung, dan diakhiri dengan tindak lanjut. Metode tanya
jawab banyak digunakan karena dapat menarik perhatian, merangsang
daya pikir, membangun keberanian, melatih kemampuan berbicara
dan berpikir secara teratur, serta sebagai alat untuk mengetahui
tingkat kemampuan peserta didik secara objektif.66
Metode tanya jawab sering digunakan oleh para Nabi dan Rasul
Allah dalam mengajarkan agama yang dibawanya kepada umatnya.
Oleh karena itu, metode ini termasuk yang paling tua dalam dunia
pengajaran maupun pendidikan di samping metode khutbah. Namun
efektivitasnya lebih besar dari pada metode-metode yang lain. Karena
dengan tanya jawab pengertian dan pengetahuan anak didik dapat
lebih dimantapkan, sehingga segala bentuk kesalahpahaman serta
kelemahan daya tangkap terhadap pelajaran dapat dihindari.
Firman Allah:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl [16]: 43)67
Ayat di atas menerangkan bahwa kita hendaknya bertanya
kepada orang-orang yang ahli dan memiliki pengetahuan apabila
memang tidak mengetahui.
8. Metode Pemberian Janji dan Ancaman (targhib dan tarhîb)
Dalam memberikan pelajaran dengan memberi dorongan
(motivasi) untuk memperoleh kegembiraan bila mendapatkan sukses
dalam kebaikan, sedang bila tidak sukses karena tidak mau mengikuti
petunjuk yang benar akan mendapatkan kesusahan.
66
Nata, op. cit., h. 182-183. 67
Arifin, op. cit., h. 75.
36
36
Metode targhib adalah pendidikan dengan menyampaikan berita
gembira/harapan kepada pelajar melalui lisan maupun tulisan, agar
pelajar menjadi manusia yang bertakwa.
Ayat yang berkaitan dengan metode targhib adalah surat Al-
Anfâl ayat 29:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada
Allah, niscaya dia akan memberikanmu furqan dan menghapus
kesalahan-kesalahanmu serta mengampuni dosamu, dan Allah
mempunyai karunia yang besar.”68
Sedangkan metode tarhîb adalah pendidikan dengan
menyampaikan berita buruk/ancaman kepada pelajar melalui lisan
maupun tulisan, agar pelajar menjadi manusia yang bertakwa.
Ayat yang mengandung indikasi metode tarhîb terdapat dalam
surat At-Taubah ayat 74:
“Mereka orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama
Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu).
Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan
telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka
tidak mencapainya; dan mereka tidak mencela Allah dan Rasul-Nya,
kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya
kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik
bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan
mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan
mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula)
penolong di muka bumi.”69
68
Musfah, op. cit., h. 111. 69
Ibid.
37
37
Metode ini sesuai dengan kejiwaan manusia, bahwa manusia
menyukai kesenangan dan kebahagiaan, dan ia membenci
kesengsaraan dan kekurangan. Guru harus bisa meyakinkan siswa
agar mereka selalu cenderung pada iman dan kebaikan serta
menghindari kekufuran.
Terhadap anak didik, targhib dan tarhîb ini akan sangat efektif
bilamana diikuti dengan hadiah (materil maupun moril) atau hukuman
(bilamana sangat diperlukan), asalkan tidak monoton sifatnya, dan
tidak menimbulkan sikap yang steril dalam jiwa anak didik.
E. Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis
lakukan diantaranya adalah:
1. Fathurrohmah Aviciena, dengan judul penelitian “Tafsir Surat Ibrâhîm
ayat 18, Surat Al-Baqarah ayat 68 dan Surat Yûsûf Ayat 41 (Kajian
Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam). Penulisan
ini menjelaskan tentang analisis metode pembelajaran amśâl yang
terkandung di dalam surat Ibrâhîm ayat 18, surat Al-Baqarah ayat 68
dan surat Yûsûf ayat 41. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
kandungan masing-masing surat mengandung pendekatan
pembelajaran jenis amśâl yang berbeda. Dalam surat Ibrâhîm ayat 18,
metode amśâl yang terkandung adalah amśâl muṣarrahah, yaitu jenis
perumpamaan yang terlihat jelas pada teks atau ucapannya. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 68, jenis amśâl yang terkandung adalah amśâl
kâminah, yaitu jenis perumpamaan yang tersembunyi yang tidak
nampak pada lafadz atau teksnya, namun memiliki persamaan arti
dengan ungkapan-ungkapan Arab, atau peribahasa yang berlaku. Dan
dalam surat Yûsûf ayat 41, jenis amśâl yang terkandung adalah amśâl
mursalah, yaitu jenis perumpamaan yang tidak tampak dari teksnya
38
38
dan tidak ada persamaan dengan ungkapan-ungkapan atau peribahasa
yang berlaku, namun tetap dihukumi sebagai amśâl/perumpamaan.70
2. Zain Fannani, dengan judul penelitian “Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125
(Kajian Tentang Metode Pembelajaran)”. Penulisan ini menjelaskan
tentang metode pembelajaran yang terkandung dalam Al-Qur‟an Surat
An-Nahl ayat 125. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
tiga metode pendidikan, yakni: hikmah, mau‟idzhah hasanah, dan
jidâl. Bahwa hikmah merupakan ilmu pengetahuan yang dimiliki
seorang guru. Dengan alat ilmu pengetahuan tersebut, ia menjadi
orang yang berhak untuk memberikan pembelajaran keagamaan
kepada anak didik. Sementara itu mau‟idzhah hasanah dan jidâl
adalah metode yang terbaik yang bisa digunakan sesuai situasi dan
kebutuhan dalam mendidik.71
70
Fathurrohmah Aviciena, Tafsir Surat Ibrâhîm ayat 18, Surat Al-Baqarah ayat 68 dan Surat
Yûsûf Ayat 41 (Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam), (Jakarta: UIN
Jakarta, 2015). 71
Zain Fannani, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125 (Kajian Tentang Metode Pembelajaran),
(Jakarta: UIN Jakarta, 2014).
39
39
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai metode
pendidikan mengenai metode hikmah, metode mau’izhah hasanah, dan
metode jidâl yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-128.
Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu terhitung
dari bulan Januari 2017.
B. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan
untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas
sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual
maupun kelompok.1 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis kajian melalui studi
kepustakaan atau yang dikenal dengan library research.
Analisis dapat dilakukan terhadap buku-buku teks, baik yang bersifat
teoritis maupun empiris. Dalam hal ini, sumber data penelitian berasal dari
literatur-literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
C. Fokus Penelitian Dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir serta
metode pendidikan yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-128
sesuai dengan data-data atau sumber-sumber yang relevan.
Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif
disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat
1Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), Cet. XXXI, h. 60.
40
40
umum”.2 Dengan melihat dari pendapat Sugiyono, maka penulis
mencantumkan apa yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus
penelitian dalam penulisan ini, yaitu mengenai metode pendidikan yang
terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-128 diantaranya metode
hikmah, metode mau’izhah hasanah dan metode jidâl.
D. Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis
yang menggunakan teknik analisis kajian melalui studi kepustakaan
(library research) dengan penelitian yang didasarkan pada penggunaan
metode tafsir tahlili. Dalam hal ini, penulis memaparkan beberapa
pandangan para ahli tafsir dan para pakar terkait dengan isi kandungan
yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125-128.
Penelitian ini merupakan penelitian tafsir, dalam meneliti ayat-ayat
Al-Qur’an dengan mengacu pada pendapat Abd al-Hayy al-Farmawi yang
dikutip oleh Muhammad Amin Suma, menyebutkan empat macam metode
(manhaj minhaj) penafsiran Al-Qur’an, yaitu: al-manhaj al-tahlili, al-
manhaj al-ijmali, al-manhaj al-muqaran, dan al-manhaj al-maudhu’i.3
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tahlili. Yang
dimaksud dengan metode tahlili adalah metode tafsir yang menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya berdasarkan urutan
ayat dalam Al-Qur’an, mulai dari mengemukakan arti kosa kata,
munasabah (persesuaian) antar ayat, antar surah, asbâb al-nuzûl, dan
lainnya.4
2Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods),
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 287. 3Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. I, h.
378-379. 4Ansori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), Cet. I, h. 208.
41
41
Mengutip dari H. Ansori, bahwa ada aspek-aspek penting yang harus
diperhatikan mufassir dalam menggunakan metode tahlili, yaitu:
1. Menjelaskan arti kata-kata (mufradât) yang terkandung di dalam
suatu ayat yang ditafsirkan.
2. Menjelaskan asbâb al-nuzûl, baik secara sababi atau ibtida’i.
3. Menyebutkan kaitan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain
(munasabah al-ayât) dan hubungan antara surah dengan surah yang
lain, baik sebelum atau sesudahnya (munasabah al-surah).
4. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat tersebut, baik
yang berkaitan dengan hukum, tauhid, akhlak, atau yang lainnya.5
Adapun prosedur penelitian yang digunakan oleh penulis dalam
menggunakan metode deskriptif analisis, diantaranya:
a. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengumpulkan beberapa
literatur-literatur atau buku-buku yang terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu:
1) Sumber data primer, yaitu literatur-literatur karya peneliti atau
teoritis yang orisinil. Dalam hal ini, sumber data primer yang
digunakan adalah kitab-kitab tafsir baik klasik maupun
kontemporer yang membahas tentang surat An-Nahl ayat 125-
128, diantaranya:
a) Kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya.
b) Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, yaitu tafsir yang
mengemukakan petunjuk ayat-ayat dalam bahasa yang
mudah dimengerti, sehingga memudahkan untuk menganalisa
serta mengambil kesimpulannya. Selain itu pembahasan tafsir
kata demi kata dalam satu surah, mengemukakan uraian
penjelas terhadap sejumlah ayat.
5Ibid.
42
42
c) Tafsir Al-Maragi karya Ahmad Mustafa Al-Maragi, yaitu
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara urut dan tertib
dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf.
d) Tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. H. Abdulmalik Abdulkarim
Amrullah (Hamka), yaitu tafsir yang menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti.
e) Hadis-hadis Nabi.
2) Sumber data sekunder yang menjadi pendukung ialah data-data
yang mendukung pembahasan pada kitab tafsir untuk
memperkuat analisis dalam surat An-Nahl ayat 125-128. Data
sekunder yang penulis gunakan, diantaranya:
a) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
b) Buku-buku yang relevan dengan pendidikan dalam
pembahasan penelitian ini, diantaranya: Pendidikan Anak
dalam Islam terj. Tarbiyatul Aulad Fil Islam karya Dr.
Abdulllah Nashih Ulwan serta Metode Pendidikan dalam
Perspektif Islam dalam Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama
Islam karya Dr. Jejen Musfah, MA.
b. Analisis Data
Untuk teknik analisis data, dalam mengambil kesimpulan
bersumber dari data-data yang telah didapat, baik data primer maupun
data sekunder.
Dalam buku Membumikan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab,
bahwa beliau menjelaskan proses menggunakan metode tahlili adalah
menguraikan segala sesuatu yang dianggap perlu oleh seorang
mufassir. Adapun bentuk langkah-langkah untuk melakukan
penelitian dengan menggunakan metode tahlili sebagai berikut:
1. Bermula dari meguraikan kosa kata-kosa kata yang terdapat pada
ayat tersebut, dalam penelitian ini berarti peneliti memulai dengan
43
43
mengartikan kosa kata-kosa kata yang akan diteliti oleh penulis,
yaitu dalam surat An-Nahl ayat 125-128.
2. Selanjutnya, menjelaskan asbabun nuzul yang terdapat pada ayat
yang akan diteliti jika ada. Dalam penelitian ini, penulis
menguraikan asbabun nuzul yang terdapat dalam surat An-Nahl
ayat 125-128.
3. Kemudian menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang
terkait dengan ayat yang akan diteliti. Dengan demikian, penulis
berarti menguraikan munasabah yang terkait dengan surat An-
Nahl ayat 125-128.
4. Lalu menjelaskan hal-hal lain yang berkaitan dengan ayat yang
akan diteliti. Dalam hal ini, penulis menjelaskan makna yang
terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-128.6
6M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VII, h. 68.
44
44
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125-128
1. Teks Ayat dan Terjemah Surat An-Nahl Ayat 125-128
۵۲۱
۵۲٦
۵۲۱
۵۲۱
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran
yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
mendapat petunjuk. (125) Dan jika kamu membalas, maka balaslah
dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih
baik bagi orang yang sabar. (126) Dan sabarlah (Muhammad) dan
kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan
janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan
jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka
rencanakan. (127) Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa
dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (128)”1
2. Kosa Kata (mufradât)
Kata berasal dari kata yang berarti
menyeru, memanggil, mengajak, menjamu. Sedangkan kata
artinya mengajak kepada. Kata artinya yang mendo‟a, yang
menyeru, yang
1Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid 5, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2009), h. 417.
45
45
memanggil. Kata artinya seruan, panggilan, ajakan, jamuan.2
Bahwa dapat dipahami adanya ajakan atau seruan yang diperintahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengajak umat manusia kepada
jalan yang benar, yakni ajaran Islam.
Kata berasal dari kata yang berarti jalan
raya. Kata orang berjalan, musafir. Kata
perjuangan, menuntut ilmu, kebaikan-kebaikan yang diperintahkan
Allah.3 Kata berasal dari kata yang berarti
mengasuh, memimpin. Kata berarti Tuhan, tuan, yang
punya. Kata artinya Tuhan (pemilik) seluruh alam.4
Maksud dari kata adalah kembali kepada jalan Allah Swt.
Kata berasal dari kata .5
Kata al-
hakîm seakar dengan kata . Al-Hakîm dipahami oleh
sementara ulama dalam arti yang memiliki hikmah, sedang hikmah
antara lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu,
baik yang berkaitan dengan ide, maupun perbuatan. Hikmah juga
diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan
menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar, dan
atau mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar.6
Kata berasal dari kata
yang artinya menasihatinya, mengajarinya. berarti menerima
2Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), h. 127.
3Ibid., h. 162.
4Ibid., h. 163.
5M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟an: Kajian Kosakata dan Tafsirnya, Jilid 1, (Jakarta:
Yayasan Bimantara, 2002), h. 1. 6M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007),
h. 273-274.
46
46
nasihat, pengajaran. berarti khutbah, nasihat, pengajaran.
berarti perkataan nasihat, pengajaran. berarti yang
memberi nasihat. berarti pengajaran, nasihat.7
Selanjutnya berasal dari kata baik, bagus.
membaguskan. berarti yang baik, yang cantik.
berarti perbuatan yang baik, kebaikan.8
Kata berasal dari kata bentuk masdar dari jādala –
yujādilu – jidālan wa mujādalatan ( ).
Kata tersebut sesungguhnya sudah mengalami perubahan, yakni
penambahan satu huruf diantara huruf pertama fā‟ al-fi‟l ( )
dan huruf kedua „ain al-fi‟l ( ). Asal yang sesungguhnya
adalah jadala – yajdulu/yajdilu – jadlan wa judūlan (
) yang berarti „keras‟ ( ) atau „kuat‟ (
) atau dari kata jadala – yajdalu – jadalan ( )
yang berarti „membantah, berselisih‟, atau „bercekcok‟ ( ) dan
„memalingkan atau membelokkan‟ ( ). Ketiga arti tersebut
mempunyai keterkaitan.9
3. Sebab-sebab Turunnya Surat An-Nahl Ayat 125-128 (asbâbun nuzûl)
Pada waktu Rasulullah Saw. berdiri di depan jenazah pamannya
Hamzah yang mati syahid dalam kondisi rusak tubuhnya, beliau
bersabda: “Aku akan membunuh tujuh puluh orang dari kaum
musyrikin sebagaimana mereka telah berlaku semena-mena
terhadapmu, wahai pamanku”. Ketika beliau sedang berdiri di situ,
7Yunus, op. cit., h. 504.
8Ibid., h. 105.
9Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟an..., h. 1.
47
47
malaikat Jibril turun dengan membawa ayat ke 126-128 yang
memerintahkan kepada Rasulullah agar mengurungkan niatnya
tersebut. Sebab kesabaran akan membawa dampak yang lebih positif
dari pada membalas mereka dengan kekerasan.10
4. Hubungan Ayat (munasabah al-ayât)
Dalam ayat-ayat yang lalu, Allah Swt. menerangkan tentang Nabi
Ibrahim a.s. sebagai pemimpin yang memiliki sifat-sifat mulia,
penganut agama tauhid, dan penegak ketauhidan. Allah Swt. juga
menjelaskan perintahnya kepada Nabi Muhammad Saw. agar
mengikuti agama Ibrahim a.s. dengan perantaraan wahyu-Nya. Dalam
ayat-ayat ini, Allah Swt. memberikan tuntunan kepada Nabi untuk
mengajak manusia kepada agama tauhid, agama Nabi Ibrahim, yang
pribadinya diakui oleh penduduk Jazirah Arab, Yahudi dan Nasrani.11
5. Kandungan Surat An-Nahl
Surah ini terdiri dari 128 ayat, termasuk kelompok surah-surah
Makkiyyah, kecuali tiga ayat yang terakhir. Ayat-ayat ini turun pada
waktu Rasulullah Saw. kembali dari peperangan Uhud.12
Nama An-
Nahl terambil dari kata Nahl/lebah yang disebut pada ayat 68 surah ini.
Kata tersebut hanya ditemukan sekali dalam Al-Qur‟an, yakni pada
ayat tersebut. Ada juga ulama yang menamainya surah An-Ni‟am
karena sekian banyak nikmat-nikmat Allah yang diuraikan di sini,
seperti hujan, matahari, aneka buah dan tumbuhan, dan sekian banyak
kenikmatan lainnya.13
Tema-temanya bermacam-macam, namun tidak keluar dari tema
surah-surah yang turun sebelum hijrah Nabi Saw. yakni tentang
10
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur‟an, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), Cet. I, h. 538.
11
Departemen Agama RI, op. cit., h. 418.
12
Ibid., h. 277.
13
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya: Dilengkapi Asbabun Nuzul, Makna dan
Tujuan Surah, Pedoman Tajwid, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cet. II, h. 16.
48
48
ketuhanan, wahyu, dan kebangkitan, disertai dengan beberapa
persoalan yang berkaitan dengan tema-tema pokok itu, seperti uraian
tentang:
a. Keesaan Allah Swt. yang menghubungkan antara agama Nabi
Ibrahim a.s. dan agama Nabi Muhammad Saw.
b. Kehendak Allah Swt. dan kehendak manusia dalam konteks
iman dan kufur, hidayah, dan kesesatan.
c. Fungsi Rasul dan Sunnatullah dalam menghadapi para
pembangkang.
d. Soal penghalalan dan pengharaman.
e. Soal hijrah dan ujian yang dihadapi kaum Muslimin.
f. Soal interaksi sosial, seperti keadilan, ihsan, infaq, menepati
janji dan lain-lain. Persoalan-persoalan itu dipaparkan sambil
mengaitkannya dengan alam raya serta fenomenanya yang
bermacam-macam.14
6. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125-128
۵۲۱
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran
yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl [16]: 125)
Ayat di atas, Allah menegaskan bahwa Allah memerintahkan
kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim
a.s., lalu Allah menerangkan suatu hal yang harus diikuti Nabi
Muhammad Saw. yaitu untuk menyeru umat manusia kepada Allah
dengan tiga cara berdakwah yang terdapat dalam ayat tersebut,
14M. Quraish Shihab, Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur‟an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), Cet. I, h. 114.
49
49
diantaranya: cara-cara berdakwah dengan beberapa metode, yaitu
metode hikmah, metode mau‟izhah hasanah, dan metode jidâl.
Dalam tafsir Ath-Thabari, menguraikan maksud dari ayat tersebut
adalah, Allah berfirman kepada Nabi Muhammad Saw. “Serulah,
wahai Muhammad, orang yang kepada mereka Tuhanmu mengutusmu,
untuk mengajaknya menaati Allah.”15
Dapat dipahami bahwa adanya
ajakan atau seruan yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
untuk mengajak umat manusia kepada jalan yang benar, yakni ajaran
Islam.
“Kepada jalan Tuhanmu” adalah kepada syariat
Tuhanmu yang ditetapkan-Nya bagi makhluk-Nya, yaitu Islam.16
Bahwa Allah Swt. memberikan pedoman kepada Rasul-Nya tentang
cara bagaimana mengajak manusia ke jalan Allah. Jalan Allah disini
maksudnya ialah agama Allah yakni syariat Islam yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya, Allah menjelaskan bahwa dalam ayat ini meletakkan
dasar-dasar dakwah untuk menjadi pegangan bagi umatnya
dikemudian hari, yaitu “dengan hikmah” adalah dengan
wahyu Allah yang disampaikan-Nya kepadamu, dan dengan kitab-Nya
yang diturunkan-Nya kepadamu.17
Dalam literatur lain, tafsir Al-Azhar
karya Hamka menjelaskan bahwa hikmah dilakukan dengan secara
bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dada dan hati yang
bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada
kepercayaan terhadap Tuhan.18
Selain itu, ditegaskan dalam ayat Al-
Qur‟an secara keseluruhan, baik yang makki maupun madani. Bahwa
15
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Terj. Jami‟ Al Bayan an
Ta‟wil Ayi Al Qur‟an oleh Misbah, dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, h. 389.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu‟ 13 dan Juzu‟ 14, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), h. 321.
50
50
hikmah dilakukan secara argumentatif dan meyakinkan (nyata).
Difirmankan Allah kepada Rasul-Nya:
“Katakanlah, „Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang
nyata.” (QS. Yusuf: 108)19
Hal ini menunjukkan kepada kita, bahwa setiap orang yang
mengikuti Nabi Muhammad Saw. menjadi penyeru kepada Allah yang
dalam dakwahnya dilakukan secara argumentatif dan nyata. Dapat
diambil kesimpulan bahwa, hikmah merupakan sikap dalam ketepatan
berkata, bertindak serta memperlakukan sesuatu dengan secara
bijaksana.
“Dan pelajaran yang baik” adalah dengan
pelajaran yang baik, yang dijadikan Allah sebagai argumen terhadap
mereka di dalam kitab-Nya, dan peringatan bagi mereka di dalam
wahyu-Nya –seperti argumen yang disebutkan Allah kepada mereka
dalam surah ini– serta nikmat-nikmat yang diingatkan Allah kepada
mereka di dalamnya.20
Selain itu, al-mau‟izhatul hasanah diartikan
pengajaran yang baik atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan
sebagai nasihat.21
Adapun mau‟izhah dapat mengenai hati sasaran bila
ucapan itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang
menyampaikannya. Kata mau‟izhah inilah yang bersifat hasanah.
Sebagai pendidikan dan tuntunan sejak kecil, dalam pendekatan al-
mau‟izhatul hasanah bertujuan mencegah sasaran dari yang sesuatu
yang kurang baik, mencakup perintah dan larangan yang disertai
19
Yusuf Qardawi, Berinteraksi dengan Al-Qur‟an, Terj. Kaifa Nata ‟amalu Ma‟a Al-Qur‟ani
al-Azhim oleh Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. I, h. 622.
20
Ath-Thabari, loc. cit.
21
Hamka, loc. cit.
51
51
dengan unsur motivasi (targhib) dan ancaman (tarhîb) yang diutarakan
melalui perkataan yang melembutkan hati serta menggugah jiwa.
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik”. Pada potongan ayat di atas diterangkan, bahwa Allah Swt.
memerintahkan untuk membantah dengan cara yang baik, dengan
menerangkan kebenaran secara lembut dan tenang.22
Maksud ayat di
atas adalah jauhkan diri dari kata-kata yang bisa menyakitkan mereka.
Sebagaimana hal ini diterangkan pada firman-Nya:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di
antara mereka, dan katakanlah: Kami telah beriman kepada (kitab-
kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.
Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami hanya kepada-Nya
berserah diri.” (QS. Al-„Ankabūt [29]: 46)23
Hal serupa juga, yakni perintah untuk berdebat dengan cara yang
baik. Diperintahkan Allah yang ditujukan kepada Musa dan Harun
ketika diutus kepada Fir‟aun, seperti difirmankan:
“Maka berbicaralah kamu berdua dengannya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (QS. Ṭāhā
[20]: 44)24
Bantahlah dengan bantahan yang lebih baik dari selainnya, yaitu
memaafkan tindakan mereka yang menodai kehormatanmu, dan
22
Syaikh Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa‟ul Bayan, Terj. Adhwa` Al Bayan fi Idhah Al Qu`an bi
Al Qur`an oleh Bari, dkk., (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Cet. I, h. 621. 23
Ibid., h. 621-622.
24
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj.
Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin, Jilid 2, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), Cet. I, h. 1078-1079.
52
52
janganlah menentang Allah dalam menjalankan kewajibanmu untuk
menyampaikan risalah Tuhanmu kepada mereka.25
Bahwa dalam ber-mujadalah adalah berdebat atau bertukar
pendapat dengan menggunakan cara yang baik, diantaranya dengan
perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan berkata kasar,
sehingga tidak melahirkan permusuhan diantara kedua pihak. Hal
tersebut dapat saling menghargai dan menghormati pendapat
keduanya.
“Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” Ayat di atas menerangkan, bahwa Allah Swt.
mengetahui mereka yang sesat dan menyimpang dari jalan-Nya, yakni
mereka yang menyimpang dari jalan yang lurus dan benar ke jalan
yang sesat dan kufur.26
Allah mengancam dan berjanji, “Sesungguhnya Tuhanmu, hai
Rasul, lebih mengetahui tentang orang yang menyimpang dari jalan
lurus diantara orang-orang yang berselisih tentang hari Sabtu dan
lainnya, serta lebih mengetahui tentang siapa diantara mereka yang
menempuh jalan lurus dan benar. Dia akan memberi balasan kepada
mereka semua, ketika mereka kembali kepada-Nya, sesuai dengan hak
mereka masing-masing.”27
Yakni Dia mengetahui siapa yang celaka
diantara mereka dan siapa yang bahagia. Keduanya telah ditetapkan
disisinya dan telah selesai pemutusannya. Serulah mereka kepada
Allah Ta‟ala, janganlah kamu bersedih lantaran mereka, sebab
menunjukkan mereka bukanlah tugasmu. Sesungguhnya kamu
hanyalah pemberi peringatan dan penyampai risalah, dan Kamilah
25Ath-Thabari, loc. cit.
26
Asy-Syanqithi, op. cit., h. 623.
27
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi oleh K. Ansori dkk.,
Juz XIII, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), Cet. II, h. 290.
53
53
yang menilainya.28
Secara tegas Tuhan mengatakan bahwa urusan
memberi orang petunjuk atau menyesatkan orang adalah hak Allah
sendiri.29
Setelah memahami penafsiran tersebut, dalam menyeru umat
manusia menuju jalan yang benar dengan menggunakan metode
berdakwah dengan cara yang terbaik. Adapun pemberian petunjuk dan
penyesatan, serta pembalasan semuanya diserahkan kepada Allah
semata. Sebab, Allah lebih Maha Mengetahui segalanya.
“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan)
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang
sabar.” (QS. An-Nahl [16]: 126)
Jika ayat yang sebelumnya memberikan pengajaran bagaimana
cara-cara berdakwah dengan beberapa metode, pada ayat selanjutnya
memberi pengajaran bagaimana seharusnya membalas jika kondisi
tersebut telah mencapai tingkat pembalasan.
Ibnu Jarir menerangkan, bahwa ayat ini turun ketika orang Islam
teraniaya. Dalam keadaan demikian mereka boleh langsung melakukan
pembalasan terhadap orang yang telah menganiayanya itu dengan cara
yang sama atas penganiayaan yang telah dilakukan terhadapnya, tetapi
tidak boleh lebih. Menurut keterangan jumhur, termasuk Syafi‟i ayat
ini muhkamat, maka seseorang berhak menuntut balas terhadap orang
yang menganiaya itu secara langsung.30
Di dalam Tafsir Al-Maragi, memberi balasan kepada orang-orang
yang berlaku zhalim hendaknya mengambil salah satu diantara ada dua
alternatif, yaitu:
28Ar-Rifa‟i, op. cit., h. 1079.
29
Hamka, op. cit., h. 322.
30
Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. I, h. 515-516.
54
54
Pertama, hendaknya kalian membalasnya dengan siksaan yang
setimpal yang ditimpakan kepada kalian oleh orang yang berlaku
zhalim terhadap kalian. Kedua, hendaknya kalian bersabar dan
memaafkan dosa yang dilakukan olehnya, kemudian hendaknya
kalian menyerahkan kezaliman yang kalian terima dan segala
urusan kalian kepada Allah, Dia menguasai penyiksaan.
Kesabaran adalah lebih baik bagi orang-orang yang bersabar dari
pada membalas dendam, sebab Allah akan membalas orang yang
zhalim dengan siksaan yang lebih berat dibanding siksaan yang
dibalaskannya.31
Menurut Thâhir Ibn „Âsyûr yang dikutip oleh M. Quraish Shihab,
ayat ini dimulai dengan “dan”, yakni dan apabila kamu membalas,
yakni menjatuhkan hukuman kepada siapa yang menyakiti kamu,
maka balaslah, yakni hukumlah dia, persis sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepada kamu atau kesalahan yang mereka lakukan. Jangan
sedikit pun melampaui batas. Akan tetapi, jika kamu bersabar dan
tidak membalas, maka sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi para
penyabar baik di dunia maupun di akhirat kelak.32
Begitu pun dengan M. Quraish Shihab, dalam tafsirnya bahwa
Allah berfirman kepada orang-orang mukmin, “Jika kalian memberi
balasan, wahai orang-orang mukmin, kepada orang yang menzalimi
dan menyakiti kalian, maka balaslah ia sebanding dengan perbuatan
orang yang menzalimi kalian. Namun, jika kalian sabar dengan tidak
membalasnya, mencari pahala dari Allah atas kezaliman yang
mengenai diri kalian, serta menyerahkan urusan tersebut kepada Allah,
sehingga Dia sendiri yang melaksanakan hukuman itu, maka
„sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar‟. Maksudnya, sabar untuk tidak membalasnya, merupakan sikap
yang lebih baik bagi orang yang bersabar untuk mencari pahala Allah,
karena Allah akan memberinya manisnya kemenangan, sebagai ganti
31Al-Maragi, op. cit., h. 291.
32
M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. II, h. 778.
55
55
dari keinginannya untuk membalas orang yang telah berbuat zhalim
kepadanya.” Lafazh menujukkan arti sabar, dan gaya bahasa ini
sangat indah, meskipun sebelumnya Allah tidak menyebut kata sabar,
karena telah ada indikasinya dalam firman-Nya, “akan
tetapi jika kamu bersabar.”33
Dapat disimpulkan, bahwa dalam memberi balasan yang setimpal
hendaknya yang sesuai atau tidak melampaui batas. Apabila
melampaui batas, maka itu suatu kezhaliman serta dalam berlaku
zhalim adalalah hal yang sangat tidak disukai oleh Allah. Akan lebih
baik, apabila kita bersikap sabar untuk tidak membalasnya. Dengan
sabar merupakan sikap yang lebih baik untuk mencari kemenangan
dari Allah.
Kisah Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa
sesungguhnya Nabi Saw. berdiri di hadapan Hamzah ketika terbunuh
sebagai syahid dalam Perang Uhud. Tidak ada pemandangan yang
paling menyakitkan hati Nabi daripada melihat jenazah Hamzah yang
dicincang (mutilasi).
Lalu Nabi bersabda, “Semoga Allah mencurahkan rahmat
kepadamu. Sesungguhnya engkau –sepengetahuanku– adalah orang
yang senang silaturrahim dan banyak berbuat kebaikan. Kalau bukan
karena kesedihan berpisah denganmu, sungguh aku lebih senang
bersamamu sampai di Padang Mahsyar bersama para arwah. Demi
Allah, aku akan membalas dengan balasan yang setimpal tujuh puluh
orang dari mereka sebagai penggantimu”.
Maka Jibril turun dengan membawa ayat-ayat di akhir Surah An-
Nahl, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan)
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika
33Ath-Thabari, op. cit., h. 391-392.
56
56
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang
sabar.” Pada saat itu Rasulullah berdiri di hadapan jenazah Hamzah.34
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Imam Ahmad meriwayatkan
dalam Musnad Ahmad dari Ubay bin Ka‟ab:
“Pada perang Uhud gugurlah 60 orang Anshar dan 6 orang
Muhajirin. Maka para sahabat Rasulullah berkata, „Jika kita memiliki
peluang seperti ini terhadap kaum musyrikin, niscaya kami akan
membalasnya dengan berlaku sadis.‟ Maka dalam peristiwa fathu
Mekah seseorang berkata, „Mulai hari, tidak akan dikenal lagi suku
Quraisy.‟ Maka seorang berseru, „Rasulullah saw. telah menjamin
keselamatan orang yang berkulit putih dan hitam, kecuali si fulan dan
si fulan.‟ Disebutkan nama beberapa orang. Lalu Allah Ta‟ala
menurunkan ayat, „Dan jika kamu memberikan balasan, maka
balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu...‟ Hingga akhir surat. Kemudian Rasulullah Saw.
bersabda, „Kami memilih bersabar dan tidak akan membalas
menyiksa.‟” (HR. Ahmad)35
Pada waktu Perang Uhud sebanyak enam puluh empat orang dari
kalangan sahabat Anshar gugur sebagai syuhada. Sedang dari pihak
sahabat Muhajirin ada enam orang, diantaranya Hamzah paman
Rasulullah Saw. Melihat kenyataan yang demikian, para sahabat
Anshar berkata: “Jika kami memperoleh kemenangan dalam suatu
pertempuran, akan mengadakan pembalasan serupa, atau bahkan
lebih dari itu.” Sewaktu Fathul Makkah (Kemenangan atas kota
Mekkah), maka Allah Swt. menurunkan ayat ke 126-128 yang
34Departemen Agama RI, op. cit., h. 419-420.
35
Ar-Rifa‟i, op. cit., h. 1079-1080.
57
57
melarang mereka untuk mengadakan pembalasan dengan kekejaman
terhadap kaum musyrikin tidak perlu membalas mereka dengan
kekejaman. Sebab kesabaran akan mendatangkan manfaat yang lebih
besar.36
Hal ini senada dengan firman Allah:
“Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka
pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syuura: 40)37
Dalam ayat ini Allah Swt. menegaskan kepada kaum Muslimin,
yang akan mewarisi perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan
agama Islam, untuk menjadikan sikap Rasul di atas sebagai pegangan
mereka dalam menghadapi lawan.
“Dan sabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata
dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati
terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada
terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl [16]:
127)
Kemudian pada ayat selanjutnya, Allah menyuruh rasul-Nya
untuk bersabar, setelah menganjurkannya kepada selain beliau dengan
sindiran, karena beliau adalah orang yang paling patut untuk bersabar
lantaran mempunyai kelebihan ilmu tentang perkara Allah Ta‟ala.38
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan
tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah”.
Maksudnya adalah kesabaranmu itu, jika kamu bersabar, tidak lain
36
Mahali, op. cit., h. 538. 37
Ar-Rifa‟i, op. cit., h. 1080.
38
Al-Maragi, op. cit., h. 292.
58
58
adalah karena pertolongan dan taufik Allah kepadamu untuk
bersabar.39
Menguatkan perintah bersabar dan memberitahukan bahwa
kesabaran tidak akan diraih kecuali dengan kehendak Allah,
pertolongan-Nya, daya-Nya, dan kekuatan-Nya.40
Apabila semua upaya mendakwahkan iman dan menyeru manusia
kepada Allah berkaitan dengan pengampunan dan kesabaran tidak
berpengaruh, maka kita tidak boleh merasa tertekan dan kehilangan
kesabaran. Sebaliknya, proses dakwah harus terus berjalan dengan
kesabaran dan ketenangan.
“Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
(kekafiran) mereka.” Maksudnya adalah janganlah kamu bersedih
terhadap orang-orang musyrik yang mendustakanmu dan mengingkari
apa yang kau bawa kepada mereka pada waktu mereka berpaling
darimu dan mengabaikan nasihat yang kau bawa untuk mereka.41
“Dan janganlah kamu bersempit dada
terhadap apa yang mereka tipu-dayakan.” Maksudnya adalah
janganlah dadamu sempit terhadap kebodohan yang mereka ucapkan
dan anggapan mereka bahwa apa yang kau bawa itu adalah sihir, atau
syair, atau perdukunan.42
Maksud firman Allah “Terhadap apa yang mereka
tipu-dayakan” adalah terhadap tipu muslihat mereka dalam rangka
menghalang-halangi orang yang diturunkan Allah kepadamu.43
Menurut asy-Sya‟râwi yang dikutip oleh M. Quraish Shihab
sebagai perintah untuk membulatkan niat melaksanakan kesabaran.
“Jangan duga bahwa engkau yang melahirkan kesabaran. Allah Swt.
39Ath-Thabari, op. cit., h. 400.
40
Ar-Rifa‟i, loc. cit.
41
Ath-Thabari, loc. cit.
42
Ibid.
43
Ibid., h. 400-401.
59
59
hanya menuntut darimu agar engkau mengarah kepada kesabaran,
sekadar mengarah dan membulatkan niat. Jika itu telah engkau
lakukan, Allah Swt. akan melahirkan dalam dirimu bisikan-bisikan
baik yang membantumu bersabar, mempermudah bagimu serta
menjadikan engkau rela menerima apa yang engkau hadapi. Dengan
demikian, kesabaranmu menjadi sabar yang indah tanpa gerutu dan
tanpa pembangkangan.”44
Allah melarang Nabi-Nya Saw. untuk bersempit dada karena
menerima penganiayaan dari orang-orang musyrik disebabkan beliau
menyampaikan wahyu Allah kepada mereka.
Sebagaimana firman-Nya:
“Maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya,
supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang
kafir).” (QS. Al-A‟rāf [7]: 2)45
Dan dalam firman Allah:
“Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebagian dari apa
yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena
khawatir bahwa mereka akan mengatakan. 'Mengapa tidak diturunkan
kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datang bersama-sama
dengan dia seorang malaikat?‟ Sesungguhnya kamu hanyalah seorang
pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala sesuatu.” (QS. Hūd
[11]: 12)
Sesungguhnya Allah akan menghentikan penganiayaan mereka
terhadapmu, menolongmu, menguatkan dan memenangkanmu atas
mereka. Maka meskipun mereka berusaha keras untuk menganiaya
kamu, sesungguhnya Allah menjauhkan penganiayaan itu darimu dan
44Shihab, op. cit., h. 780.
45
Al-Maragi, op. cit., h. 292-293.
60
60
menyia-nyiakan usaha mereka, sedang mereka tidak menyadarinya.46
Pada ayat ini Allah memberikan pertolongan kepada Nabi untuk
bersabar atas penganiayaan yang diterimanya.
“Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-
orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl [16]: 128)
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang memelihara
dirinya dari hal-hal yang Dia haramkan. Maka jauhilah ia karena takut
kepada siksa-Nya. Dan Allah beserta orang-orang yang memelihara
segala kewajiban-Nya dengan baik, memenuhi hak-hak-Nya, dan
senantiasa mentaati perintah-Nya serta meninggalkan larangan-Nya.47
Allah menegaskan bahwa Dia selalu ada bersama-sama orang
yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan sebagai
penolong mereka dan selalu memenuhi permintaan mereka dan
memperkuat serta memenangkan mereka terhadap orang kafir.
Senada dengan ayat ini ialah firman Allah Ta‟ala kepada Musa
dan Harun:
Dia (Allah) berfirman, “Janganlah kalian berdua khawatir,
sesungguhnya Aku berserta kalian berdua, Aku mendengar dan
melihat.” (QS. Ṭāhā [20]: 46)48
Allah Ta‟ala berfirman, “Sesungguhnya Allah, wahai
Muhammad, bersama orang-orang yang takut kepada-Nya dalam
perkara-perkara yang diharamkan-Nya, maka mereka menjauhinya
serta takut akan siksaan-Nya, sehingga mereka menahan diri untuk
melakukannya. Allah juga bersama orang-orang yang berbuat baik,
yaitu orang-orang yang ihsan (memperbaiki) dalam memelihara
46Ibid., h. 293.
47
Ibid. 48
Ibid., h. 293-294.
61
61
kewajiban-kewajiban-Nya, menjalankan hak-hak-Nya, dan menjaga
ketaatan kepada-Nya dalam perintah serta larangan-Nya.49
Nabi Saw. telah menafsirkan al-Ihsan dengan sabdanya:
“Hendaknya kamu menyembah Allah seakan melihat-Nya dan
kalaupun kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.”50
Juga mempunyai pengertian yang sama dengan firman Allah
kepada malaikat:
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian)
orang-orang yang telah beriman.” (QS. Al-Anfāl [8]: 12)51
Surah ini ditutup oleh ayat 128 bahwa upaya mereka tidak akan
berhasil dan mereka pun tidak akan mencelakakanmu karena engkau
adalah seorang yang bertakwa, sedang Allah berserta orang-orang
yang bertakwa, yakni yang menjaga diri dari murka-Nya dengan cara
menjauhkan diri dari larangan-Nya, Allah juga bersama para muhsinin,
yakni yang memperlakukan dengan baik siapa yang berlaku buruk
terhadapnya.52
Dapat disimpulkan bahwa, sesungguhnya Allah Ta‟ala
merupakan pelindung bagi orang-orang bertakwa dan berbuat baik.
Makna kebersamaan Allah disini ialah dengan memberikan
pertolongan, kemenangan, dan petunjuk bagi hamba-hamba-Nya yang
beriman.
49Ath-Thabari, op. cit., h. 402-403.
50
Al-Maragi, op. cit., h. 294.
51
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Wakaf, 1990), h. 506. 52
Shihab, Al-Lubâb..., h. 206.
62
62
B. Metode Pendidikan yang Terkandung di dalam Al-Qur’an
Surat An-Nahl Ayat 125-128
Setelah beberapa penafsiran di atas mengenai surat An-Nahl ayat 125-
128, ayat ini berkenaan dengan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah
kepada umatnya. Media yang digunakan Rasulullah untuk menyeru umat
manusia pada saat itu adalah melalui dakwah. Sedangkan pengertian
dakwah adalah suatu kegiatan yang berupa menyeru umat manusia untuk
mengerjakan kebaikan dan mengikuti ke jalan Allah yang benar, sehingga
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Pada saat itulah, media
yang digunakan hanyalah dakwah beliau.
Sebelumnya telah penulis paparkan tafsir di atas, bahwa paman
Rasulullah, Hamzah meninggal dunia dalam Perang Uhud sehingga
akhirnya menyakitkan hati Rasulullah karena atas perlakukan orang-orang
musyrikin terhadap pamannya. Dalam situasi seperti itu, Allah
menurunkan ayat yang bertujuan untuk meredakan hati Rasulullah agar
tidak merasa dendam kembali.
Sebagai pemimpin umat manusia dan penyebar agama Allah, tidak
sepantasnya Rasul memiliki sikap dan perasaan dendam kepada siapapun.
Maka ayat ini mengajarkan kepada Rasulullah untuk menyeru umat
manusia kepada jalan atau agama Allah dengan cara yang baik dan benar,
agar tidak adanya paksaan atau kekerasan.
Pada zaman Rasulullah menggunakan dakwah dapat dikatakan proses
pendidikan yang berlangsung sebagai pembelajaran, karena terdapat
aktivitas belajar dan mengajar. Rasulullah berperan sebagai pendidik, dan
orang-orang di sekitar beliau (seperti para sahabat) sebagai peserta didik.
Sehingga dapat dipahami bahwa pada zaman Rasulullah sudah terjadi
sebuah aktivitas pembelajaran.
Dari berbagai aspek yang terkandung di dalam surat An-Nahl ayat
125-128 dapat dipahami hal-hal yang berkenaan dengan metode dakwah
juga berkaitan unsur-unsur pendidikan. Penulis menyimpulkan ada
beberapa metode pendidikan yang menarik untuk diterapkan dalam proses
63
63
kegiatan pembelajaran. Metode pendidikan merupakan suatu mediator
yang digunakan pendidik sebagai alat untuk menyampaikan dan
menciptakan proses pembelajaran peserta didik.
Dalam peranan metode yang digunakan oleh pendidik menjadi suatu
alat untuk mencapai keberhasilan sebuah proses pembelajaran, sehingga
mengantarkan peserta didik mencapai tujuan pendididkan. Kemampuan
seorang guru dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang
digunakan secara tepat adalah sangat penting dalam rangka pencapaian
hasil belajar peserta didik yang optimal dan maksimal.
Metode pendidikan yang berpengaruh terhadap peserta didik adalah
bagaimana seorang pendidik yang sadar akan selalu berusaha mencari
metode yang lebih efektif dan efisien, serta mencari bagaimana pedoman-
pedoman metode pendidikan yang dapat berpengaruh dalam upaya
mempersiapkan peserta didik dari berbagai segi, diantaranya: segi moral,
mental, spiritual, dan sosial. Sehingga dari berbagai segi tersebut peserta
didik mampu meraih puncak kesempurnaan, kedewasaan, dan kematangan
dalam berpikir.
Tanpa metode pendidikan, sebuah proses pendidikan tidak akan
berjalan dengan sempurna. Penulis menyimpulkan ada beberapa metode
pendidikan yang terkandung di dalam surat An-Nahl ayat 125-128 adalah
metode hikmah, metode mau‟izhah hasanah, dan metode jidâl.
1. Metode Hikmah
Terkait metode ini, penulis menemukan sebuah metode
pendidikan dalam surat An-Nahl yaitu metode hikmah. Sebagaimana
dalam potongan ayat yang berbunyi: “dengan hikmah”.
Kata al-hikmah mengandung makna yang berbeda-beda, yaitu al-
„adl (keadilan), al-hilm (kesabaran dan ketabahan), an-nubuwwah
(kenabian), yang dapat mencegah seseorang dari kebodohan, yang
mencegah seseorang dari kerusakan dan kehancuran, setiap perkataan
64
64
yang cocok dengan al-haq (kebenaran).53
Serta sifat al-hikmah
terdapat perpaduan unsur-unsur al-khibrah (pengetahuan), al-miran
(latihan), dan at-tajribah (pengalaman).54
Allah Ta‟ala menyuruh Rasulullah Saw. agar mengajak makhluk
kepada Allah dengan hikmah, yakni dengan berbagai larangan dan
perintah yang terdapat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, agar mereka
waspada terhadap siksa Allah.55
Kata hikmah juga bisa berarti
menggunakan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam berdakwah, dan juga
mengemukakan berbagai dalil atau argumentasi untuk menjelaskan
dan menguatkan kebenaran. Bahwa hikmah dalam dunia dakwah
mempunyai posisi yang sangat penting sehingga bagaimana ajaran
Islam mampu diterima serta dirasakan sebagai sesuatu yang
menyentuh dan menyejukkan kalbunya.
Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan arti kata mengenai ayat
125 yaitu kata , hikmah yakni berdialog dengan kata-kata bijak
sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.56
Lebih lanjut beliau juga
menjelaskan, bahwa hikmah diartikan sebagai sesuatu yang bila
digunakan atau diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan
kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya
mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar.57
Sehingga
hikmah tidak perlu disifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah
diketahui bahwa sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan
akal.
Adapun menurut Toha Yahya Umar, menyatakan bahwa hikmah
berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha
53
Muhammad Husain Fadhlullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera,
1997), Cet. I, h. 40. 54
Ibid., h. 42.
55
Ar-Rifa‟i, op. cit., h. 1078.
56
Shihab, Tafsîr Al-Misbâh..., h. 774.
57
Ibid., h. 775.
65
65
menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman
dengan tidak bertentangan dengan larangan Tuhan.58
Menurut az-Zamakhsyari, memberikan makna bi al-hikmah
adalah perkataan yang pasti benar, yakni dalil yang menjelaskan
kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran.59
Sedangkan
menurut Salman Harun bi „i-hikmah „dengan hikmah‟ adalah materi
pendidikan/dakwah.60
Selain beberapa pendapat di atas, hikmah mengandung beberapa
arti:
a. Pengetahuan tentang rahasia dari faedah segala sesuatu.
Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keadaannya.
b. Perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen)
untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batil atau
syubhat (meragukan).
c. Arti yang lain ialah kenabian mengetahui hukum-hukum Al-
Qur‟an, paham Al-Qur‟an, paham agama, takut kepada Allah,
benar perkataan dan perbuatan.61
Dari beberapa penjelasan di atas, bahwa hikmah merupakan hal
yang paling utama dari segala sesuatu kebenaran, baik dalam akal,
perbuatan dan ilmu pengetahuan. Sehingga hikmah ditempatkan pada
urutan pertama karena mencakup kecerdasan emosional, intelektual
dan spiritual.62
Selain itu, peranan akal dalam metode hikmah
merupakan pengetahuan dimana untuk mencari kebenaran, ketepatan
serta pengalaman. Hal ini dapat dicapai dengan bagaimana memahami
Al-Qur‟an secara mendalam, sehingga dapat mendalami syariat-
syariat Islam.
58Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet. I, h. 245.
59Asep Muhidin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan
Wawasan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), Cet. I, h. 163. 60
Salman Harun, Tafsir Tarbawi: Nilai-Nilai Pendidikan dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2013), Cet. I, h. 88.
61
Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit., h. 501.
62
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. II, h. 129.
66
66
Sebelumnya penulis pemaparkan bahwa kata hikmah dalam ayat
ini diartikan pula dengan kebijaksanaan, maka dalam hal ini
Rasulullah Saw. selalu bersikap bijaksana dalam mengambil setiap
keputusan. Sebagaimana Rasulullah bersikap bijaksana dengan
mengurungkan niat untuk membalas dendam atas perlakuan orang-
orang musyrikin terhadap pamannya. Jelaslah bahwa hikmah disini
tertuju kepada suatu tingkah laku atau perbuatan baik seseorang yang
dapat ditiru sehingga menjadi suatu keteladanan, terutama seorang
pendidik kepada peserta didiknya.
Jika melihat pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah dijumpai pula
istilah-istilah yang merujuk kepada pengertian guru atau orang yang
berilmu. Di antaranya ada yang disebut dengan istilah ūlulbāb.63
Dengan demikian kata ūlulbāb mengacu kepada seseorang yang
mampu menangkap pesan-pesan ilahiyah, hikmah, petunjuk, dan
rahmat dari segala ciptaan Tuhan.
Selaras dengan penjelasan di atas, dalam konteks pendidikan,
seorang ūlulbāb atau pendidik merupakan tokoh keteladanan dan
kebijaksanaan yang dapat ditiru oleh peserta didik dengan segala
perbuatan dan tingkah lakunya. Pendidik yang menerapkan metode
hikmah dalam proses pembelajaran mencerminkan sikap lemah
lembut, sikap menjiwai, santun dan berbudi luhur sehingga dapat
menguasai hati peserta didik.
Selain itu, pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan
melalui perkataan lemah lembut namun tegas dan benar. Dengan ilmu
pengetahuan yang dimiliki disampaikan dalam bentuk argumentasi
yang dapat diterima oleh akal peserta didik, disertakan dengan
penyampaian dialog dengan kata-kata bijak sesuai tingkat kepandaian
dan bahasa yang dikuasai pendidik agar mudah diterima oleh peserta
didik dalam proses pembelajaran di sekolah.
63
Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran
Tasawuf Al-Ghazali, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. I, h. 45.
67
67
Karakteristik metode hikmah ini lebih menunjukkan pada
penyeruan atau ajakan dengan cara bijak dan argumentatif dengan
selalu memperhatikan suasana, situasi dan kondisi sesuai dengan
keadaan pemikiran, intelektualitas, psikologis dan sosial para peserta
didik. Hal ini berarti menggunakan metode yang relevan dan realistis
sebagaimana tantangan dan kebutuhan para peserta didik.
Dapat disimpulkan, bahwa peranan pendidik yang profesional
adalah bagaimana dalam proses pembelajaran dengan menerapkan
metode hikmah, yaitu penyampaian materi pendidikan yang
disampaikan dengan perkataan lemah lembut serta melalui dialog
dengan kata-kata bijak sehingga dapat diterima oleh peserta didik.
2. Metode Mau‟izhah Hasanah
Selanjutnya penulis menemukan sebuah metode pendidikan
lainnya yaitu metode mau‟izhah hasanah. Sebagaimana dalam
potongan ayat yang berbunyi: “dan pelajaran yang
baik” maksudnya pengajaran yang baik atau pesan-pesan yang baik,
yang disampaikan sebagai nasihat.
Berdasarkan pendapat M. Quraish Shihab yang mengartikan kata
mau‟izhah sebagai uraian yang menyentuh hati yang mengantar
kepada kebaikan64
atau dapat diartikan sebagai nasihat. Sedangkan
menurut pendapat Hamka juga mengatakan al-mau‟izhatul hasanah
diartikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang
disampaikan sebagai nasihat, sebagai pendidikan dan tuntunan sejak
kecil.65
Lebih jelasnya, bahwa menurut Abuddin Nata, “Al-Qur‟an
karim juga menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk
mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendaki. Inilah yang
kemudian dikenal sebagai nasihat”.66
64Shihab, op. cit., h. 775.
65
Hamka, op. cit., h. 321.
66
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 150.
68
68
Dapat ditemukan pada potongan ayat di atas, bahwa mau‟izhah
hendaknya disampaikan dengan hasanah atau baik. Sehingga
mau‟izhah dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan
itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang
menyampaikannya. Di sisi lain, mau‟izhah biasanya bertujuan
mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik melalui tarhib dan
targhîb, peringatan, teladan, pengarahan dan pencegahan dengan cara
yang halus, sehingga mau‟izhah adalah sangat perlu untuk
mengingatkan kebaikannya itu.
Metode mau‟izhah hasanah dapat diartikan sebagai ucapan yang
berisi nasihat-nasihat yang baik dan bermanfaat bagi orang yang
mendengarkannya. Sehingga mau‟izhah hasanah ini mencakup
ketelitian dan kelemah lembutan dalam berbicara, bagaimana
memilihi kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan.
Selain itu, mau‟izhah hasanah dilihat dari konteks pendidikan
dapat dijadikan sebuah metode dalam proses pembelajaran. Materi
pendidikan yang disampaikan oleh pendidik dengan metode
mau‟izhah atau nasihat ini mampu meresap ke dalam hati peserta
didik dengan lemah lembut, halus serta perkataan yang baik. Sehingga
dapat memberikan ketentraman dan kenyamanan kepada peserta didik.
Sebagai sebuah metode, metode nasihat inilah yang paling sering
digunakan oleh para orangtua dan pendidik terhadap anak serta
peserta didik dalam proses pendidikannya.
Dengan memperhatikan beberapa saran, sebuah nasihat dapat
terlaksana dengan baik, diantaranya:
a. Gunakan kata dan bahasa yang baik dan sopan serta mudah
dipahami.
b. Jangan sampai menyinggung perasaan orang yang dinasihati
atau orang disekitarnya.
c. Sesuaikan perkataan kita dengan umur sifat dan tingkat
kemampuan/kedudukan anak atau orang yang kita nasihati.
69
69
d. Perhatikan saat yang tepat kita memberi nasihat. Usahakan
jangan menasihati ketika kita atau yang dinasihati sedang
marah.
e. Perhatikan keadaan sekitar ketika memberi nasihat. Usahakan
jangan dihadapan orang lain atau –apalagi– dihadapan orang
banyak (kecuali ketika memberi ceramah/tausiyah).
f. Beri penjelasan, sebab atau kegunaan mengapa kita perlu
memberi nasihat.
g. Agar lebih menyentuh perasaan dan hati nuraninya, sertakan
ayat-ayat Al-Qur‟an, hadis Rasulullah atau kisah para
Nabi/Rasul, para sahabatnya atau orang-orang shalih.67
Dengan demikian, dalam penerapan metode mau‟izhah hasanah
ini lebih tertuju kepada nasihat atau peringatan yang baik dan dapat
menyentuh hati sanubari seseorang. Hal ini peran pendidik yang
penuh tanggung jawab memberikan pelajaran dan nasihat dengan
kelembutan hati serta menyentuh jiwa peserta didik. Sehingga
pelajaran dan nasihat yang diberikan oleh pendidik akan membawa
peserta didik menuju pribadi yang lebih baik lagi.
3. Metode Jidâl
Sebagaimana seperti metode hikmah dan metode mau‟izhah
hasanah, dalam ayat ini mengandung metode yang lainnya yaitu
metode jidâl.
Potongan ayat yang menggambarkan tentang metode jidâl adalah
yang artinya “dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik”. Kata jâdilhum terambil dari kata
jidâl yang bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan
atau dalih mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik
yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh
mitra bicara.68
Dapat diartikan bahwa mujadâlah merupakan suatu
upaya tukar pendapat dengan berdiskusi yang dilakukan oleh dua
67Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. II, h.
20. 68
Shihab, op. cit., h. 775-776.
70
70
pihak, tanpa menimbulkan adanya suasana yang melahirkan
permusuhan diantara keduanya. Yang dimaksud bertukar pikiran
adalah mendorong agar berpikir secara benar melalui cara yang
terbaik.
Perintah ber-jidâl disifati dengan kata ( ) ahsan atau yang
terbaik, bukan sekadar yang baik. Dalam jidâl diklasifikasikan
menjadi tiga macam, yaitu: yang buruk adalah yang disampaikan
dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan, serta yang
menggunakan dalih-dalih yang tidak benar, yang baik adalah yang
disampaikan dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil atau dalih
walau hanya yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik adalah yang
disampaikan dengan baik dan dengan argumen yang benar lagi
membungkam lawan.69
Namun yang dianjurkan Al-Qur‟an untuk
berdiskusi adalah secara ahsan atau yang terbaik.
Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara yang terbaik dengan
memperhatikan beberapa hal berikut:
a. Tidak merendahkan pihak lawan, sehingga ia merasa yakin
bahwa tujuan diskusi itu bukanlah mencari kemenangan,
melainkan menundukkannya agar ia sampai kepada
kebenaran.
b. Tujuan diskusi hanyalah semata-mata menunjukkan
kebenaran sesuai dengan ajaran Allah, bukan yang lain.
c. Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap
memiliki harga diri. Ia tidak boleh merasa kalah dalam
diskusi, karenanya harus diupayakan agar ia tetap merasa
dihargai dan dihormati.70
Yang dimaksud dengan cara yang terbaik disini adalah berdiskusi
tanpa menekan dan menghina penentang, sehingga mereka memahami
bahwa berdiskusi bukan ditujukan untuk mengalahkan mereka, tetapi
untuk memberi peringatan serta menemukan kebenaran.
69
Ibid., h. 776. 70
Rubiyanah dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 92.
71
71
Selain digunakan dalam proses dakwah, metode ini digunakan
dalam konteks pendidikan sebagai salah satu metode alternatif dalam
proses pembelajaran di kelas. Metode diskusi bertujuan untuk
menumbuhkan proses berpikir dan dapat memecahkan suatu
permasalahan berdasarkan pendapat peserta didik dengan memberikan
argumentasi maupun bukti yang kuat.
Melalui metode ini peserta didik terlibat langsung dalam ruang
lingkup diskusi. Selain itu, peserta didik mampu menggunakan
metode diskusi dengan mengetahui bagaimana berdebat dengan cara
yang terbaik, bersikap sopan santun terhadap lawan berdebat, saling
menghargai pendapat lain serta tidak menimbulkan sikap arogan. Cara
ini dapat mengembangkan kreatifitas, kemampuan berkomunikasi
serta perubahan tingkah laku peserta didik dalam proses pembelajaran.
Mengutip dari Armai Arief, bahwa metode diskusi tepat
digunakan:
a. Untuk menumbuhkan sikap transparan dan toleran bagi peserta
didik, karena ia terbiasa mendengarkan pendapat orang lain
sekalipun pendapat tersebut berbeda dengan pendapatnya.
b. Untuk mencari berbagai masukan dalam memutuskan
sebuah/beberapa permasalahan secara bersama.
c. Untuk membiasakan peserta didik berfikir secara logis dan
sistematis.71
Oleh karena itu, metode diskusi mendapat peranan penting dalam
proses pembelajaran sebagai jalan untuk memecahkan suatu
permasalahan yang memerlukan jawaban serta kebenaran. Dengan
metode diskusi, peserta didik dapat berfikir secara sistematis dan
kritis, latihan dalam mengemukakan pendapat, mengenalkan kepada
peserta didik mengenai ilmu pengetahuan, fakta-fakta tertentu yang
sudah diajarkan serta merangsang perhatian peserta didik dengan
berbagai cara. Dalam metode diskusi ini peranan guru sangat penting
dalam rangka menghidupkan kegairahan murid berdiskusi.
71
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, h. 146-147.
72
72
Berdasarkan pemaparan beberapa metode di atas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa dalam surat An-Nahl ayat 125-128
mengandung unsur-unsur dakwah yang digunakan oleh Rasulullah Saw.
Namun tidak dapat dipungkiri, ayat tersebut pun berkaitan dengan metode
pendidikan yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran sehingga
dapat mencapai tujuan pendidikan.
Pendidik pun perlu mengukur sejauh mana metode yang lebih cocok
untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Sehingga pemilihan dan
penggunaan metode sesuai dengan fungsinya, mengetahui waktu
penggunaannya, efektif dalam mempergunakan masing-masing metode
serta mengetahui relevansinya dengan materi pendidikan yang
disampaikan pendidik kepada peserta didik.
Namun demikian, dari metode hikmah, mau‟izhah hasanah, dan jidâl
tersebut memiliki nilai-nilai positif dan negatif. Ketepatan dalam memilih
penggunaan metode pendidikan adalah salah satu keterampilan seorang
pendidik yang profesional. Oleh karena itu, pendidik hendaknya mampu
menggunakan dan memilih masing-masing metode sesuai dengan situasi
dan kondisi yang tepat.
73
73
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Al-Qur’an merupakan sebuah pedoman dan landasan hidup bagi umat
manusia, serta terdapat berbagai hal penting didalamnya, salah satunya
adalah pendidikan. Perlu diketahui bahwa didalam Al-Qur’an terdapat
pula ayat-ayat yang menjelaskan tentang pendidikan, diantaranya surat
An-Nahl ayat 125-128 mengenai metode pendidikan.
Setelah penulis mengkaji dan menganalisis tentang metode pendidikan
yang terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125-128, penulis
mengambil kesimpulan bahwa ayat tersebut mengandung metode
pendidikan yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran,
diantaranya:
Pertama, pendidik dapat menerapkan metode hikmah yaitu
penyampaian materi pendidikan yang disampaikan dengan lemah lembut
serta melalui dialog dengan kata-kata bijak sehingga dapat diterima oleh
peserta didik.
Kedua, pendidik dapat menggunakan metode mau’izhah hasanah
yang dapat dilakukan dengan cara memberikan nasihat atau peringatan
yang baik dan dapat menyentuh hati peserta didik. Selain itu, peserta didik
pun mampu mengambil pelajaran dan nasihat yang diberikan oleh
pendidik. Dengan metode ini, peserta didik mencegah dari hal-hal yang
kurang baik dan menuju pribadi yang lebih baik lagi.
Ketiga, pendidik dapat memilih metode jidâl sebagai metode
pendidikan. Dengan metode diskusi, peserta didik dapat berfikir secara
sistematis dan kritis, sebagai latihan dalam mengemukakan pendapat, serta
mengetahui cara berdebat atau berdiskusi yang baik untuk memecahkan
suatu permasalahan dalam kegiatan pembelajaran.
74
74
B. Implikasi Seorang pendidik memiliki tanggung jawab, pengetahuan, kecakapan
dan keterampilan dalam memilih metode pendidikan yang akan digunakan
dalam mengajar di kelas. Sehingga guru dapat menciptakan proses
pembelajaran yang menyenangkan dan mengajak peserta didik untuk
berpikir. Dalam penerapannya, metode pendidikan seperti metode hikmah,
mau’izhah hasanah, dan jidâl dapat diterapkan dalam materi pembelajaran
apapun.
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang didapatkan oleh
penulis pada penelitian ini, maka penulis mengemukakan beberapa hal
mengenai masukan dan saran. Diantaranya sebagai berikut:
1. Agar para pendidik menerapkan metode pendidikan yang terdapat
dalam ayat Al-Qur’an, khususnya metode yang mengandung ke-
Islaman sehingga dapat memperhatikan terhadap penguasaan berbagai
macam-macam metode pendidikan dan relevan sesuai kondisi zaman
modern sekarang ini, diantaranya seperti metode hikmah, metode
mau’izhah hasanah, dan metode jidâl.
2. Dalam proses pembelajaran di kelas, hendaknya pendidik mampu
menyampaikan materi pendidikan yang disampaikan dengan
perkataan lemah lembut serta melalui dialog dengan kata-kata bijak,
memberikan nasihat dengan perkataan yang baik sehingga menyentuh
hati sanubari, serta peserta didik terdorong aktif untuk melakukan
segala kegiatan pembelajaran dengan baik dalam berdiskusi.
3. Adanya metode pendidikan yang sesuai dengan anjuran Al-Qur’an
merupakan syarat pendidik yang menjiwai nilai-nilai kemanusiaan dan
pendidikan.
75
75
DAFTAR PUSTAKA
Akuntono, Indra. “Guru Diharapkan Lebih Inovatif dalam Mengajar”, http://kompas.com, 21 Maret 2012.
Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim. Bandung: PT Rosdakarya, Cet. II, 2011.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1995.
Ansori., dan Khusnan, M. Ulinnuha. Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2013.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. IV, 2009.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir oleh Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, Jilid 2, Cet. I, 1999.
Asmani, Jamal Ma’mur. 7 Tips Aplikasi PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Jogjakarta: DIVA Press, Cet. IX, 2013.
Assegaf, Abd. Rachman. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 2013.
Asy-Syanqithi. Tafsir Adhwa’ul Bayan, Terj. Adhwa` Al Bayan fi Idhah Al Qu`an bi Al Qur`an oleh Bari, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2007.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an oleh Misbah, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2009.
Aviciena, Fathurrohmah. “Tafsir Surat Ibrâhîm ayat 18, Surat Al-Baqarah ayat 68 dan Surat Yûsûf Ayat 41 (Kajian Tentang Metode Amśâl dalam Pembelajaran Agama Islam)”, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2015. tidak dipublikasikan.
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2014.
76
76
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1990.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI, Jilid 5, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa: Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. IV, 2012.
Fadhlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Lentera, Cet. I, 1997.
Faizi, Mastur. Ragam Metode Mengajarkan Eksakta Pada Murid. Jogjakarta: DIVA Press, Cet. I, 2013.
Fannani, Zain. “Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125 (Kajian Tentang Metode Pembelajaran)”, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2014. tidak dipublikasikan.
Fathurrohman, Pupuh., dan Sutikno,M. Sobry. Strategi Belajar Mengajar: Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: PT Refika Aditama, Cet. III, 2009.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 2013.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004.
Harun, Salman. Tafsir Tarbawi: Nilai-nilai Pendidikan dalam Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2013.
Hasan, Abdul Halim. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2006.
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Umum dan Agama Islam). Jakarta: Rajawali Pers, Cet. XI, 2013.
Hawi, Akmal. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 2013.
Indriana, Diana. Ragam Alat Bantu Media Pembelajaran. Jogjakarta: DIVA Press, Cet. I, 2011.
Jalaluddin., dan Idi, Abdullah. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. II, 2012.
Jihad, Asep., dan Haris, Abdul. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo, Cet. I, 2012.
Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2002.
77
77
Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi, Terj. Tafsir Al-Maragi oleh K. Ansori, dkk. Semarang: PT. Karya Toha Putra, Cet. II, 1994.
Muchtar, Heri Jauhari. Fikih Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. II, 2008.
Muhidin, Asep. Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan Wawasan. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet. I, 2002.
Mujib, Abdul., dan Mudzakkir, Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. IV, 2014.
Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, Cet. II, 2006.
Musfah, Jejen. Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam: Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam. 3, 2009.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
-----. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. XVII, 2010.
-----. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2001.
-----. Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2009.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002.
Qardawi, Yusuf. Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Terj. Kaifa Nata ’amalu Ma’a Al-Qur’ani al-Azhim oleh Abdul Hayyie Al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1999.
Ramayulis. Dasar-dasar Kependidikan Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 2015.
Rubiyanah., dan Masturi, Ade. Pengantar Ilmu Dakwah. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
S, Tatang. Ilmu Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2012.
Salahudin, Anas., dan Alkrienciehie, Irwanto. Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa. Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2013.
Sani, Ridwan Abdullah. Inovasi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet. II, 2014.
Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 2011.
78
78
Shihab, M. Quraish. Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, Cet. I, 2012.
-----. Al-Qur’an dan Maknanya: Dilengkapi Asbabun Nuzul, Makna dan Tujuan Surah, Pedoman Tajwid. Tangerang: Lentera Hati, Cet. II, 2013.
-----. Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata dan Tafsirnya. Jakarta: Yayasan Bimantara, Jilid 1, 2002a.
-----. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
-----. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, Cet. VII, 1994.
-----. Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, Cet. II, 2002b.
Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang RI Tentang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2013. Bandung: Fokusmedia, 2013.
Sudarsono, Ratih Prahesti. “Sertifikasi Guru Belum Memuaskan”, http://kompas.com, 16 November 2011.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta, 2011.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. XXXI, 2013.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2013.
Suyanto., dan Jihad, Asep. Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Jakarta: Erlangga, 2013.
Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra Multi Service (Zikra-Press), Cet. I, 2009.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. VII, 2007.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam, Terj. Tarbiyatul Aulad Fil Islam oleh Jamaludin Miri. Jakarta: Pustaka Amani, Cet. I, 1995.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, Cet. I, 2008.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990.
Z, Zurinal., dan Sayuti, Wahdi. Ilmu Pendidikan: Pengantar dan Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan. Ciputat: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2006.
BIOGRAFI PENULIS
Annisa Khanza Fauziah, lahir di Bandung pada tanggal 11
November 1994. Icha adalah nama panggilan kecilnya. Putri
pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari pasangan H. Budi
Hartono, S.E dan Ibunya Hj. Irma Mulyani Mardiana, S.Pd.
Saat ini ia tinggal bersama keluarganya di Perumahan Bumi
Cibinong Endah Blok B10 No.12 RT008/RW011, Kelurahan
Sukahati, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Mengenai pendidikannya, ia
menamatkan Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKA) Plus Kesuma Cemerlang
pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan Sekolah Dasarnya di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) Ciriung 03 pada tahun 2006. Setelah lulus, ia melanjutkan Sekolah
Menengah Pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Cibinong pada
tahun 2009. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas di Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) Cibinong pada tahun 2012. Setelah lulus, ia melanjutkan
pendidikannya di Perguruan Tinggi Negeri yaitu Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan program studi Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) pada tahun 2017. Selama masa
kuliahnya ia telah menyelesaikan sebagai mahasantri putri di Pondok Pesantren
Luhur Sabilussalam pada tahun 2013-2016.
Diantara pengalaman organisasinya, ia menjadi pengurus Majelis Perwakilan
Kelas (MPK) MAN Cibinong pada tahun 2010-2011, anggota Pramuka Tingkat
Bantara MAN Cibinong pada tahun 2010-2011, anggota Himpunan Mahasiswa
Bogor (HIMABO) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013 sampai
sekarang, dan pengurus Kementrian Pemberdayaan Putri Keluarga Mahasantri
Pesantren Luhur Sabilussalam (KMPLS) pada tahun 2015-2016.