21
METODE TAFSIR IJMALI (GLOBAL) Oleh: Muhtarom, S.Pd A. Pembukaan. Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, di antaranya adalah susunan bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai petunjuk bagi manusia telah menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan sumber dari agama yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia mampu memberikan petunjuk atau jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di sepanjang masa. Keyakinan dan harapan untuk memperoleh petunjuk- petunjuk Al-Qur’an lebih dipahami dalam konteks bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia melalui Al- Qur’an dengan hidayah Aqidah dan syariat. Selain itu 1

METODE TAFSIR IJMALI.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: METODE TAFSIR IJMALI.docx

METODE TAFSIR IJMALI (GLOBAL)

Oleh: Muhtarom, S.Pd

A. Pembukaan.

Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus

petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki berbagai macam

keistemewaan. Keistimewaan tersebut, di antaranya adalah susunan bahasanya

yang indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat

dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat

pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.

Keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diyakini sebagai

petunjuk bagi manusia telah menempatkan kitab suci ini sebagai sumber pertama

dan utama ajaran Islam. Kedudukannya sebagai kitab suci dan sumber dari agama

yang telah dinyatakan sempurna mengandung pengertian bahwa ia mampu

memberikan petunjuk atau jawaban terhadap berbagai persoalan hidup di

sepanjang masa.

Keyakinan dan harapan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Qur’an

lebih dipahami dalam konteks bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia

melalui Al-Qur’an dengan hidayah Aqidah dan syariat.  Selain itu Allah juga akan

mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan Al-

Quran.

Sebagai firman Allah, al-Qur’an juga merefleksikan pesan-pesan ilahiyah

untuk umat manusia. Secara bahasa, al-Qur’an memang menggunakan bahasa

manusia, karena al-Qur’an memang ditujukan kepada umat manusia sehingga

harus bisa mengadaptasi bahasa yang menjadi objek dan sasaran al-Qur’an. Aka

tetapi, di balik rangkaian ayat-ayat al-Qur’an tersebut, pesan substansial dari

makna hakiki al-Qur’an tidak ditampakkan oleh Allah.

Para pembaca al-Qur’an masih harus mampu melakukan kerja-kerja

penafsiran yang maksimal untuk menemukan petunjuk-petunjuk dan pesan ideal

Allah di balik ayat al-Qur’an yang tersurat. Artinya, tanpa ada upaya menemukan

petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan tersebut, al-Qur’an hanya akan menjadi

1

Page 2: METODE TAFSIR IJMALI.docx

rangkaian ayat yang terdiam. Hal ini merupakan konsekuensi rasional dari asumsi

bahwa al-Qur’an dalam pandangan kaum hermeneutis, merupakan teks diam dan

tidak bisa berbicara dengan sendirinya, sementara al-Qur’an dibutuhkan untuk

bisa berbicara guna menjawab setiap perjalanan zaman.

Berdasarkan paparan di atas maka jelaslah bahwa tafsir al-Qur’an adalah

hal yang sangat penting dalam Islam. Hal ini dikarenakan al-Qur’an merupakan

sumber pokok dari ajaran Islam dan seseorang tidak dapat memahaminya tanpa

mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya, ataupun seseorang tidak

dapat mengetahui hukum-hukum yang ada di dalamnya tanpa memahami apa

maksud dari lafadz yang ada di dalamnya. Allah SWT berfirman :

“  Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” ( Shad (38):29).

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad (47) : 24)

Pada ayat yang pertama di atas Allah menjelaskan bahwa hikmah

diturunkannya al-Qur’an adalah agar supaya manusia mentadaburi ayat-ayat yang

ada di dalamnya. Sedangkan pada ayat yang kedua Allah mencela orang-orang

yang tidak mau mentadaburi al-Qur’an. Sedangkan seseorang tidak dapat

memtadaburi al-Qur’an tanpa mengetahui maksud-maksud dari lafadz-lafadz al-

Qur’an, maka jelaslah bahwa tafsir al-Qur’an sagat penting adanya.

Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan

kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup

bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam

penafsiran adalah hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan

keragaman itu, misalnya perbedaaan kecenderungan,  motivasi mufassir, misi

yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, dan

perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari.

2

Page 3: METODE TAFSIR IJMALI.docx

Munculnya berbagai model dan metode penafsiran terhadap al-Qur’an

dalam sepanjang sejarah umat Islam merupakan salah satu bentuk upaya

membuka dan menyingkap petunjuk dan pesan-pesan teks secara optimal sesuai

dengan kemampuan dan kondisi sosial sang mufasir. Salah satu metode penafsiran

yang telah digunakan oleh sebagian mufasir dalam sejarah penafsiran umat Islam

adalah metode ijmali, seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini. Metode tafsir

ijmali merupakan salah satu dari 4 metode penafsiran (maudlu’i, muqaran dan

tahlili) yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dan diterapkan menjadi

beberapa kitab tafsir.

B. Pembahasan

 1.      Pengertian  Metode Ijmali (Global)

Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu

metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara singkat untuk

mengemukakan makna global tanpa uraian panjang lebar. Pengertian tersebut

menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa

yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca untuk memudahkan

pemahaman. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam

mushaf.1 Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-

Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar

Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.

 

2.      Ciri-ciri Metode Ijmali

Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan

ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya

dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara

ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat

diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas

secara panjang lebar.

1 Imam Al Qurthuby, Al Jami’u-l-Ahkami-l-Quran, Asalibu-t-Tafsir. http://faculty.ksu.edu.s

3

Page 4: METODE TAFSIR IJMALI.docx

 Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5

ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global

hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran kalimat

[Alif Lam Mim], misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya.

Demikian pula penafsiran [Al-kitab], hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh

Muhammad2. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat

itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi,

misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman3.

Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis dengan mengemukakan berbagai

pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari

al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama,

juga tidak ketinggalan argumen semantik.

 Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an

dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini

tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun uraian di dalam Metode Analitis

lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat

mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global,

tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah

sebabnya kitab-kitab tafsir ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan

penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih

membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada

ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada

wilayah tafsir analitis.

 Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya

sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara

tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal,

karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an,

sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metode ijmali,

2 Jalaludin Muhammad Bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar As Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, h. 9 - 113 Syaikh Ahmad Mustafa Al Maraghi,Tafsir Al Maraghi, Mesir: Daar An Nashr, h. 39 - 44

4

Page 5: METODE TAFSIR IJMALI.docx

layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir

dengan metode ijmali tidak jauh beda dengan ayat yang ditafsirkan.

 Metode ijmali berbeda jauh dengan metode komparatif maupun metode

tematik. Kedua metode tersebut lebih populer di kalangan dunia tafsir, sementara

metode ijmali tidak sepopuler kedua metode tersebut. Ciri khas metode ijmali,

antara lain:

a. Mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa

memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan

judul.

b. Penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini

lebih sangat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang

mufassir untuk memperkaya wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir

ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir

dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.

Dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan

yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan

sedikit  luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis.

 Metode ijmali yang dipakai oleh para mufasir memang sangat mudah

untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan

dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih

menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan

target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai

kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.4

3.      Mekanisme Penafsiran

 Proses penafsiran dengan menggunakan metode ijmali sebenarnya tidak

jauh beda dengan metode-metode yang lain, terutama dengan metode tahlili

(analitis). Mekanisme penafsiran dengan metode ijmali dilakukan dengan cara

menguraikan ayat demi ayat ayat serta surat demi surat yang ada dalam al-Qur’an

4 http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Al-Afkar/article/view/92/86. Diakses 04/02/2013

5

Page 6: METODE TAFSIR IJMALI.docx

secara sistematis. Semua ayat ditafsirkan secara berurutan dari awal sampai akhir

secara ringkas dan padat dan bersifat umum. Uraian yang dilakukan dalam metode

ini mencakup beberapa aspek uraian terkait dengan ayat-ayat yang ditafsirkan,

antara lain5 :

a. Mengartikan setiap kosakata yang ditafsirkan dengan kosakata yang lain

yang tidak jauh menyimpang dari kosa kata yang ditafsirkan.

b. Menjelaskan konotasi setiap kalimat yang ditafsirkan sehingga menjadi

jelas.

c. Menyebutkan latar belakang turunnya (asbabun nuzul) ayat yang

ditafsirkan, walaupun tidak semua ayat disertai dengan asbabun nuzul.

Asbabun nuzul ini dijadikan sebagai pelengkap yang memotivasi

turunnya ayat yang ditafsirkan. Asbabun nuzul menjadi sangat urgen,

karena dalam asbabun nuzul mencakup beberapa hal yang berkaitan

dengan peristiwa pelaku dan waktu.

d. Memberikan penjelasan dengan pendapat-pendapat yang telah

dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang

disampaikan oleh Nabi, Sahabat, Tabi’in maupun tokoh tafsir.

 

4.    Kritik Metodologis

 Sebagai sebuah metode penafsiran, metode ijmali di satu sisi memang

merupakan bagian dari proses mencari makna di balik ayat-ayat al-Qur’an, yang

tentu saja sah-sah saja diterapkan seperti metode-metode yang lain. Dalam upaya

menafsirkan al-Qur’an, metode apapun bisa diterapkan selama dimaksudkan

dalam rangka memahami al-Qur’an yang notabene memiliki makna dan pesan

yang sangat universal. Dengan pesan yang universal tersebut, telah banyak

melahirkan metode dan corak penafsiran. Inilah yang menjadi kekhasan al-Qur’an

yang tidak dimiliki oleh teks-teks yang lain. Wacana al-Qur’an, merupakan firman

yang luas maknanya dan beragam sisi signifikansinya. Ia merupakan firman yang

tidak mungkin dibatasi makna dan signifikansinya.

5 http://my-jazeerah.blogspot.com/2011/05/hadist-tentang-kewajiban-mengajarkan-alquran.html

6

Page 7: METODE TAFSIR IJMALI.docx

 Menurut Nasr Hamid Abu Zaid,6 beragamnya tafsir dan interpretasi

terhadap al-Qur’an, karena teks menjadi sentral suatu peradaban atau kebudayaan,

dan keragaman ini terjadi menurut Nasr Hamid, karena beberapa faktor.

a.  Sifat dan watak ilmu yang disentuh oleh teks. Artinya, disiplin tertentu

sangat menentukan terhadap tujuan interpretasi dan pendekatannya.

b. Horizon epistimologi yang dipergunakan oleh seorang ilmuwan dalam

menangani teks. Dengan horizon tersebut, ia mengusahakan bagaimana

teks bisa mengungkapkan dirinya.

Dalam beberapa kitab tafsir ditulis dengan metode ijmali, seperti Kitab

Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajdi, kitab Al-Tafsir al-

Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad

Ustman al-Mirghani, dan kitab Tafsir Jalalain, karya bersama Jalaluddin al-

Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab-kitab tafsir ini secara metodis ditulis

dengan metode yang sama, yaitu metode ijmali, sehingga paradigma dan corak

tafsirnya tentu saja memiliki kesamaan. Namun demikian, seiring perkembangan

zaman yang notabene menuntut adanya perubahan pola dan paradigma dalam

melakukan proses penafsiran, metode ijmali dalam kenyataannya termasuk

metode yang kurang disukai, terutama oleh mufasir-mufasir kontemporer.

Dibandingkan metode komparatif dan metode analitis, metode ijmali

(global) termasuk metode yang banyak menuai banyak kritik, dengan beberapa

alasan, yaitu :

a. Tekstualistik-skriptualitik.

Metode ijmali termasuk metode yang bersifat tekstualistik-

skriptualistik. Tafsir tekstulis-skriptulistis lebih menekankan pada kualitas

teks daripada substansi teks, sehingga memunculkan kesan tafsir tekstualis

lebih akrab dengan apa yang ada pada teks secara dzohir, padahal makna yang

seharusnya dikuak terkadang tidak bisa mencerminkan tujuan moral dari teks

yang seharusnya dikuak. Bahkan, paradigma tekstualis-skriptualistik dalam

6 Nasr Hamid Abu Zaid adalah Seorang professor bahasa Arab and tafsir Al Qur’an di Universitas Cairo, dan professor of Islam di Leiden university dan Utrecht university of Humanistics. Dia adalah termasuk salah seorang teolog Islam yang terkenal, yang menawarkan hermeneutika humanistik pada Al Qur’an. Sumber: http://www.deenresearchcenter.com/DRC/NasrAbuZaydslegacy diakses Februari 2013

7

Page 8: METODE TAFSIR IJMALI.docx

penafsiran disinyalir tidak mampu menerjemahkan makna dasar dari sebuah

ayat, karena logika penafsiran hanya bertumpu pada kekuataan teks, sehingga

melahirkan tafsir tektualis (tradisional).

Menurut Hasan Hanafi, tafsir tradisional seringkali terjebak pada

penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa

memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.7 Teks

dijadikan sebagai obyek pembacaan apa adanya, tanpa mencoba membongkar

makna-makna yang tersimpan di balik teks. Teks hanya dipandang pada sisi

dzohir, bukan pada sisi terdalam sebuah teks. Cara pandang tekstualis dalam

memahami al-Qur’an ini, pada akhirnya melahirkan kesimpulan yang tidak

dalam, sehingga masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan tentang pesan-

pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh teks. Artinya, pendekatan

tekstualis dalam memahami teks, cenderung menciptakan satu kondisi dimana

realitas makna yang tersimpan atau pesan moral di balik teks yang memaksa

untuk mengkuti apa yang tampak pada teks secara dzohir.

Metode ijmali memakai pendekatan yang analitis sempit, yaitu hanya

sebatas gambaran-gambaran singkat dan umum, sehingga tidak menyentuh

pada substansi teks, misalnya dalam tafsir jalalain yang ditulis dengan metode

ijmali. Dalam tafsir Jalalain setiap ayat hanya ditafsirkan dengan tetap terpaku

pada kekuatan teks dan tidak dilakukan pada usaha untuk membongkar teks

secara analitis yang mendalam. Ada asumsi yang menyebutkan bahwa Jalalain

merupakan tafsir yang mengedepankan corak “bertolak dari teks, berakhir

pada teks dan atas petunjuk teks” dan belum mempertimbangkan realitas

sebagai penghantar pada pencapaian makna. Walaupun memang dalam

metode ini, asbabun nuzul juga menjadi sesuatu yang tidak dinafikan, tetapi

asbabun nuzul disebutkan “terkesan hanya sekedar” dijadikan sebagai

pelengkap, karena tidak ada analisa filosofis terhadap asbabun nuzul tersebut,

padahal asbabun nuzul merupakan landasan pijak bagi sebuah ayat. Menurut

7 Adang Kuswaya, Dari Teks Menuju Realitas, sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal diakses Februari 2013

8

Page 9: METODE TAFSIR IJMALI.docx

Fazlurrahman, dalam memahami teks-teks al-Qur’an harus dilihat dalam

konteks sosio-historisnya (asbabun nuzul) secara tepat.

b. Hegemoni penafsir.

Dalam tafsir dengan metode ijmali dimana uraian dan pembahasan tafsir

hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak

membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain,

sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan.

Walaupun memang, dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal

subyektif dalam memahami al-Qur’an, tetapi dalam metode ijmali (salah satu

contohnya Tafsir Jalalain), berbeda dengan tafsir-tafsir yang memakai metode

non-ijmali. 

5.    Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali

Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam

menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan

pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.

a.      Kelebihan

Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Al Qur'an memiliki

beberaa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara

keistimewaan ini adalah;

1) Praktis dan mudah di pahami.

Hal ini terletak pada proses penafisran ayat yang tidak terbelit-belit

dan bentuknya yang mudah dipahami, selain itu pesan-pesan yang

terkandung dalam tafsir ini juga sangat mudah ditangkap oleh

pembaca.

2) Bebas dari penafsiran israiliyat.

Pengaruh penfsiran isra’iliyat dalam metode ijmali bisa diantisipasi,

karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat

tidak memungkinkan seorang mufasir memasukkan unsur-unsur lain,

seperti penafsiran dengan cerita-cerita isra’iliyat menyatu ke dalam

tafsirannya. Selain pemikiran-pemikiran Israiliyat, dengan metode ini

9

Page 10: METODE TAFSIR IJMALI.docx

dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu

jauh dari pemahaman ayat-ayat Al Qur’an seperti pemikiran-

pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh penganut teologi, sufi,

dan lain-lain.

3) Akrab dengan bahasa Al Qur’an.

Uraian yang singkat dan padat menjadi sebab tidak adanya penafsiran

ayat-ayat Al Qur’an yang keluar dari kosa kataayat tersebut. Metode

ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang

bersangkutan, sehingga pembaca akan merasa bahwa dirinya sedang

membaca Al Qur’an dan bukan membaca suatu tafsir.

b.  Kekurangan

1) Menjadikan petunjuk al- Quran bersifat parsial.

Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al Qur’an

tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Menurut Subhi saleh

kandungan ayat-ayat Al Qur’an mempunyai keistimewaan dalam hal

kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan

ayat yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita

pasti menemukan pada bagian yang lain, baik yang bersifat membatasi

maupun memperjelas secara rinci.8 Al Qur’an merupakan satu kesatuan

yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu

pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti. Hal-hal yang

global atau samar-samar dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain

ada penjelasan yang lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua ayat

tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat

terhindar dari kekeliruan.9

8 Subhi Salih, Mabahis fi Ulumil Qur’an, terjemah tim Pustaka Firdaus, cet. kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 2999 Sebagai contoh: perhatikan firman Allah dalam ayat 11 surah ar-Ra’du dan ayat 53 surah al-Anfal sebagai berikut:

… …

Kedua ayat itu ditafsirkan oleh al-jalalain sebagai berikut:" �ر اَل� الَّل�ه إَّن� �َغ�ِّي � َم�ا ُي �َق�ْو�ٍم �بُه�ْم� اَل�" ِب َّل �ْس� �ْع�َم�ته ُي وا َح�ت�ى "ِن �ر� �َغ�ِّي ُه�ْم� َم�ا ُي �ُف�ْس� �ِن �َأ ال�ة َم�ْن�" ِب �َح� �َج�َم�ِّيَّل�ة ال ال�ة� �َم�ْع�ِص�ِّي �ال tidak mencabut [sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum] ِبnikmatnya dari mereka [kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka], dari sifat-sifat

10

Page 11: METODE TAFSIR IJMALI.docx

2) Terlalu dangkal dan berwawasan sempit.

Tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau

pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu

ayat. Oleh karena itu, jika menginginkan adanya analisis yang rinci,

metode ijmali tidak dapat diandalkan.

6.  Urgensi metode ijmali

Manusia diciptakan Allah SWT dalam berbagai tingkatan dan strata sosial.

Pebedaan  semacam itu juga terlihat pada tingkatan-tingkatan kecerdasan dan

daya nalar mereka. Untuk memahami al- Quran secara baik dan benar diperlukan

penafsiran yang tepat.

Dengan demikian, tafsir dengan metode ini sangat urgen bagi mereka yang

berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir al- Quran dan merka yang sibuk

mencari kehidupanya.

C. PENUTUP

Kesimpulan

Terlepas dari beberapa permasalahan yang terdapat dalam metode ijmali,

dalam sejarah penafsiran metode ini tetap menjadi salah satu konsep penafsiran

bagus dan terpuji menjadi perbuatan maksiat.

�َك�" ْي�" َذ�ل� �ْع�ِذ�ُيب َأ ة َت �ُف�ر� �َك َّن� "ال

� �َأ ْي�" ِب� �ب� َأ ب �ْس� �َّن� ِب �ْم� الَّل�ه "َأ �َك� ل ا ُي �ر4 �ْع�َم�ة َم�َغ�ِّي ِن

�ْع�َم�ُه�ا �ِن �ِّد�اَل4" َق�ْو�ٍم َع�َّل�ى َأ �ُه�ا َم�ب �َق�َم�ة� ل �الِّن وا َح�ت�ى "ِب �ر� �َغ�ِّي ُه�ْم� َم�ا ُي �ُف�ْس� �ِن �َأ �ْوا" ِب �ِّد�ل �ب ُي�ْع�َم�تُهْم� ا ِن �ُف�ر4 �ِّد�ُيِل� ُك �ب �ت �ُف�ار ُك �ة ُك َم�ِّنُهْم� ُج�ْوع َم�ْن� إْط�ْع�اَمُهْم� َم�َك

� �ْع�ث َخ�ْو�ف َم�ْن� و�َأ و�ِبCّي� �ب �ه� الَّل�ه َص�َّل�ى الِّن �ِّي �ْم� َع�َّل َّل �ُه�ْم� و�َس� �ِّي �ُف�ر� إل �َك �ال �ِّيِل َع�ْن� و�الِص�ِّدC ِب ب �ال الَّل�ه َس� و�َق�ت

�ِّيْن� �َم�ْؤ�َم�ِّن ال [Yang demikian itu] yakni menyiksa orang-orang kafir [dikarenakan] sesungguhnya [Allah selamanya tak pernah mengubah nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum] dengan menggantikannya dengan kutukan [kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka], yakni mereka mengganti nikmat itu dengan kekufuran seperti perbuatan para kafir Mekkah yang menukar anugerah makanan, kemanan dan kebangkitan Nabi dengan bersikap ingkar, menghalang-halangi agama Allah, dan memerangi umat Islam. Kedua penafsiran yang diberikan itu tampaak tidak sinkron. Di dalam ayat pertama ia [al-Suyuthi]- menafsirkan [] itu dengan: mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan maksiat. Sementara pada ayat kedua untuk ungkapan yang sama dia memberikan penafsiran yang berbeda seperti dikatakannya: “menggaanti nikmat itu dengan kekufuran”. Jadi penafsiran yang pertama bersifat abstrak dan yang kedua bersifat konkret.

11

Page 12: METODE TAFSIR IJMALI.docx

yang layak diapreasiasi, karena berbagai kekurangan yang dimiliki oleh setiap

metode tentu pasti ada. Berbagai kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan

metode ijmali yang muncul dalam dinamika penafsiran umat Islam terhadap al-

Qur’an tetap menjadi khazanah yang sangat berarti.

Metode apapun yang dilahirkan dalam menafsirkan al-Qur’an tetap bukan

harga mati yang harus menjadi satu-satunya pilihan atau sesuatu yang terbenarkan

secara mutlak. Setiap metode tetap memiliki kekurangan dan kelebihan yang tidak

bisa dinafikan. Dan, setiap individu yang punya kapasitas berhak melahirkan

metode-metode baru yang sesuai dengan kemampuan dirinya, karena al-Qur’an

bukan hanya menjadi hak otoritas satu dan beberapa orang, tetapi menjadi hak dan

miliki semua orang.

Aal-Qur’an akan selalu menjadi sesuatu yang menarik, karena ayat-

ayatnya yang universal dan global, memungkinkan setiap mufasir baru untuk

menyusun langkah-langkah metodis yang kreatif guna menemukan inti dan

gagasan yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an. Oleh karena itu, sikap kritis

terhadap setiap penafsiran merupakan sebuah keniscayaan yang bisa dilakukan,

karena mufasir bukanlah manusia sempurna yang luput dari kesalahan, tetapi

mereka juga manusia biasa yang tidak bebas dari kelemahan.

 

DAFTAR PUSTAKA

12

Page 13: METODE TAFSIR IJMALI.docx

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an . cet. Ke- 1. Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 1998. Rahman, Fazlur . Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung : Pustaka, 1996

 Al Qurthuby, Imam, Al Jami’u-l-Ahkami-l-Quran, Asalibu-t-Tafsir. http://faculty.ksu.edu.s

Muhammad, Jalaludin Bin Ahmad al Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar As Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, h. 9 - 11

Subhi Salih, Mabahis fi Ulumil Qur’an, terjemah tim Pustaka Firdaus, cet. kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 299

Mustafa, Syaikh Ahmad Al Maraghi,Tafsir Al Maraghi, Mesir: Daar An Nashr, h. 39 – 44

http://my-jazeerah.blogspot.com/2011/05/hadist-tentang-kewajiban-mengajarkan-alquran.html diakses Februari 2013

http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Al-Afkar/article/view/92/86. diakses Februari 2013

http://www.deenresearchcenter.com/DRC/NasrAbuZaydslegacy  diakses Februari 2013

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal diakses Februari 2013 

13