27
Rangkuman Buku Neil Postman Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi Bab 1 – Bab 5 Amelia Indah Sari (1206229572) Aldina Sabrini (1206224905) Ariyanti Pandiangan (1206274765) Caranissa Ayudia Djatmiko (1206275250) Faris M. Hanif (1206275162) Fauzan Aviantoro (1206222641) Irfan Sael Perdana (1206220005) Jasmine Alifa (1206275452) Neildeva Despendya P (1206274954) Safira Ramadhani (1206228512) BAB 1 : Medium Adalah Metaforanya Di awal buku ini Neil Postman secara terlebih dahulu menggambarkan setting tempat dan waktu saat ia mulai menulis buku ini yaitu sekitar akhir abad 18 hingga awal abad 20 di Amerika Serikat. Digambarkan bahwa New York saat itu menjadi symbol figure Amerika sebagai suatu melting pot, di Chicago terdapat patung Minute Man yang mengingatkan kita pada masa perlawanan bangsa Amerika yang dimulai di Boston, serta patung Liberty yang mengingatkan kita pada zaman ketika para imigran mulai

Mewaspadai Televisi - Neil Postman.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Rangkuman Buku Neil Postman Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi Bab 1 Bab 5Amelia Indah Sari (1206229572)Aldina Sabrini (1206224905)Ariyanti Pandiangan (1206274765)Caranissa Ayudia Djatmiko (1206275250)Faris M. Hanif (1206275162)Fauzan Aviantoro (1206222641)Irfan Sael Perdana (1206220005)Jasmine Alifa (1206275452)Neildeva Despendya P (1206274954)Safira Ramadhani (1206228512)

BAB 1 : Medium Adalah MetaforanyaDi awal buku ini Neil Postman secara terlebih dahulu menggambarkan setting tempat dan waktu saat ia mulai menulis buku ini yaitu sekitar akhir abad 18 hingga awal abad 20 di Amerika Serikat. Digambarkan bahwa New York saat itu menjadi symbol figure Amerika sebagai suatu melting pot, di Chicago terdapat patung Minute Man yang mengingatkan kita pada masa perlawanan bangsa Amerika yang dimulai di Boston, serta patung Liberty yang mengingatkan kita pada zaman ketika para imigran mulai berdatangan ke New York. Selain itu, Las Vegas di Nevada telah menjadi metaphor karakter dan aspirasi nasional dengan simbolnya billboard raksasa yang menggambarkan sebuah mesin jackpot dan seorang cewek penari panggung. Las Vegas menjadi sebuah kota yang menampilkan pemujaan hiburan, dan dengan sendirinya menunjukkan bahwa semangat budaya dimana semua diskursus publik mengambil bentuk hiburan. Semua aspek kehidupan kita telah dirubah menjadi sekedar perpanjangan dunia showbiz. Kini kita nyaris menghibur diri sampai mati.Dari pemilihan Presiden tahun 1984, Neil Postman menyimpulkan bahwa kita telah mencapai suatu masa saat kosmetik menggantikan ideology sebagai bidang keahlian yang harusnya dikuasai oleh seorang politisi. Para penyiar TV di Amerika juga tidak mau kalah, mereka yang tidak berpenampilan menarik di depan kamera tak akan diberi kesempatan untuk menyampaikan berita hari ini pada publik. Dapat disimpulkan bahwa mutu dan kegunaan produk yang dijual tidaklah begitu penting dibandingkan penampilannya.Di Amerika digambarkan lebih baik jadi penghibur, hal ini menyebabkan pudarnya diskursus publik di sana dan beralihnya diskursus publik ke dalam seni pertunjukan. Buku ini berpijak pada pendapat bahwa cara yang harus kita pakai untuk mengadakan konversi tersebut akan sangat menentukan gagasan macam apa yang dapat kita kemukakan dengan mudah. Neil Postman menggunakan kata konversi sebagai metaforis, untuk tidak hanya merujuj pada percakapan namun juga pada segala teknik dan teknologi yang memungkinkan umat manusia dari suatu peradaban tertentu untuk bertukar pesan.Contoh sederhananya televisi memberikan konversi dalam bentuk tayangan visual bukan ucapannya (fenomena salah satu Presiden AS, William Howard Taft yang mempunyai dagu berlipat dan berat badan 150 kg). Munculnya para manajer citra dalam arena politik serta mundurnya peran para penulis pidato merupakan bukti yang mendukung fakta bahwa televisi menuntut jenis substansi yang berbeda dengan media lainnya. Kita tidak dapat membicarkan filsafat politik di TV. Contoh lainnya, berita hari ini tidak akan ada tanpa adanya suatu medium yang dapat menciptakan bentuknya. Medium ini diawali oleh telegraf yang memungkinkan perpindahan informasi yang telah dilepas dari konteksnya melewati jarak yang luar biasa jauhnya serta dalam kecepatan yang menakjubkan.Buku ini berusaha memaparkan sejelas mungkin mengenai mundurnya Zaman Tipografi dan munculnya Zaman Televisi. Perubahan ini telah menggeser substansi dan makna diskursus publik karena dua jenis media yang demikian berbeda ini tak dapat mengakomodasikan gagasan yang sama. Sementara pengaruh media cetak memudar, substansi politik, agama, pendidikan dan semua yang merupakan urusan khalayak ramai harus berganti serta dilafalkan kembali dalam bentuk yang sesuai dengan format televisi. Neil Postman sangat sepakar dengan gagasan Marshall McLuhan bahwa the medium is the message.Medium utama yang tak dapat disingkirkan dan membuat kita manusiawi adalah percakapan. Bahasa menjadi alat yang penting dalam percakapan agar suatu bangsa mempunyai kesamaan pemahaman tentang ruang dan waktu. Namun ketika membayangkan dalam konteks antar bangsa maka ada selisih yang besar dalam budaya, karena selain percakapan masih banyak alat konservasi. Semua medium komunikasi dapat mengajarkan hal tertentu dengan memberikan orientasi baru dalam berpikir, atau mengekspresikan sesuatu, untuk mengasah kepekaan. Format media kita lebih mirip metafor yang tidak mencolok namun implikasi nya berpengaruh.Manusia saat ini lebih suka bercakap dengan diri sendiri dibandingkan berurusan dengan suatu permasalahan secara langsung. Kenyataan fisik mulai berkurang dibandingkan kegiatan simbolis. Pada akhirnya manusia akan lebih percaya kepada suatu medium artifisial. Bentuk medium itu di dunia nyata adalah media.Peran interposisi media dalam mengarahkan apa akan diketahui audien sangat jarang diperhatikan. Kebanyakan orang memang tidak memperhatikan, namun masih ada pula yang memperhatikan hal tersebut. Lewis Mumford, menurutnya jam adalah sepotong mesin berdaya tinggi yang memproduksi detik dan menit. Dan hal itu membuat waktu menjadi tidak termasuk dalam konsepsi Tuhan atau bagian dari alam. Hal yang di lakukan Mumford ternyata menjadi konsep bagi manusia untuk bercakap dengan diri sendiri melalui mesin yang diciptakan oleh mereka sendiri.Kemunculan alfabet merupakan sebuah awal baru karena memperkenalkan bentuk konservasi baru antar manusia. Alfabet merupakan bahasa yang tidak dapat dirubah, atau disebut juga bahasa tertulis. Oleh karena itu, pengekspresian menjadi suatu hal yang abadi, dan semua harus menguasai bahasa untuk mengetahui makna dari ekspresi yang tertulis.Pada akhirnya, konservasi tentang alam dan diri sendiri yang dilakukan manusia, dilaksanakan dalam bahasa apapun yang mudah digunakan. Kita melihat sesuatu sebagaimana sesuatu tersebut digambarkan oleh bahasa kita. Dan bahasa merupakan media kita. Media merupakan metafor manusia. Dan metafor tersebut mencipatakan substansi budaya kita, manusia.BAB 2 : Media Sebagai EpistemologiPada bab ini, Neil Postman berbicara banyak mengenai perubahan-perubahan diskursus masyarakat, atau definisinya adalah cara khas manusia dalam menggunakan dan mengungkapkan bahasa baik secara lisan maupu tulisan. Alasan Postman meneliti lebih jauh menggenai pengguaan bahasa ini adalah tidak lain karena berubahnya diskursus masyarakat Amerika sebelum dan sesudah abad ke-20, dimana sebelum abad ke-20 dunia percetakan di Amerika sedang pada masa emasnya. Cara masyarakat mengungkapkan bahasanya masih sangat serius, koheren, dan rasional. Namun semua itu berubah drastis ketika inovasi televisi dikonsumsi secara massal dan lazim ditonton oleh warga Amerika saat itu.Perubahan diskursus ini menurut Postman perlu ditengok bagi kita, karena televisi biasanya menayangkan hal-hal sepele, namun bisa menjadi berbahaya apabila membawa konversasi budaya yang penting. Untuk itu, bila kita ingin peduli dengan masalah "berbahaya" yang ditimbulkan oleh televisi, kita harus belajar mengenai epistemologi.EpistemologiEpistemologi adalah ilmu yang berkaitan dengan asal-usul ilmu pengetahuan dan dalam bab ini Postman menekankan pada definisi kebenaran dan sumber-sumber dari definisi kebenaran itu sendiri.Mengapa ini berkaitan dengan media? Karena sesungguhnya media lah yang berperan sangat besar dalam menciptakan definisi kebenaran pada tiap budaya masyarakat. Mudahnya, beda media, beda pula definisi kebenarannya. Jadi, karakter suatu media komunikasi itu sendiri akan dijadikan pilihan oleh "pihak penyampai kebenaran" untuk menyebarkan informasi.ResonansiUntuk mengerti bahwa media merupakan senjata yang kuat dalam menciptakan pengaruh cara berpikir penggunanya, Postman meminjam konsep resonansi Northrop Frye. Resonansi dapat membantu kita mendapat makna lain suatu pernyataan yang bersifat universal dalam konteks tertentu.Benda-benda memiliki resonansi. Misalnya saja konsep negara, dikatakan dibanyak catatan sejarah bahwa dahulu ada negara tersohor sebut saja Yunani dan Israel. Dua negara ini kemudian menjadi lekat didalam pikiran imajinatif kita, padahal kita sama sekali belum pernah melihat dua negara ini, bukan?Kita memaknai negara Yunani dan Israel di pikiran kita akibat informasi-informasi yang kita terima sepanjang usia. Inilah yang disebut dengan kegiatan resonansi, dimana pikiran kita memaknai setiap objek yang ada.Apa yang membuat kita mencapai tahap resonansi? Tentunya karena adanya metafor, atau bahasa perumpamaan. Yunani misalnya ada dipikiran kita sebagai sebuah negara yang ajeg, ini tak lain mungkin karena dahulu, Athena, ibu kota Yunani merupakan simbol dari intelektualitas, no wonder karena memang Yunani melahirkan banyak filsuf unggul yang pemikirannya masih dihormati hingga saat ini.Menurut Postman, media komunikasi pasti mempunyai resonansi, karena resonansi merupakan suatu metafor.Media dapat memberi pengaruh dalam pola perilaku manusia, bahkan media mampu melibatkan dirinya dalam konsep kesalehan, kebaikan, dan keindahan. Media bahkan menjadi sumber perbandingan bagi manusia untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya.Dari pemikiran Barker ini bisa disimpulkan bahwa media telah mengambil peran penting sebagai tata pengaturan dalam kehidupan sosial masyarakat. Media menjadi acuan dalam kehidupan manusia. Konsep kesalehan, manusia akan mengetahui bagaimana peran orang yang taat beragama di media, mereka akan belajar menjadi orang yang saleh melalui konsep kesalehan yanh ditayangkan di media. Munculnya peran pendeta, ustadz, atau bahkan motivator telah membuktikan bahwa konsep orang baik yang benar, ada di media. Jika ingin mengikuti untuk menjadi orang baik, ada baiknya meniru mereka.Konsep keindahan. Perempuan yang cantik adalah perempuan yang digambarkan di media. Cara berpakaian yang baik, kita bisa mencarinya di media sepeti majalah fashion atau bahkan channel televisi fashion. Semua disediakan media, contoh diatas membuktikan bahwa media seperti "kitab suci" untuk menjalani kehidupan sehari-hari.Untuk mengetahui bagaimana semua ini bisa terjadi, yaitu media begitu berpengaruh namun tidak terlihat, Postman menjelaskan contoh perubahan kebudayaan manusia akibat media.Media Berubah, Kebudayaan BerubahDahulu, di budaya masyarakat yang menganut sistem mnemonic device, yaitu penyampaian kebenaran melalui percakapan dengan ekspresi dan rumusan tertentu, masyarakat masih percaya dengan "mulut" orang lain. Bangsa Afrika Barat misalnya, melerai pertengkaran yang terjadi dimasyarakat dengan menyampaikan peribahasa nasihat untuk menenangkan orang yang bertengkar. Dan kata-kata lisan ini didengar dengan baik oleh lawan bicaranya, dan dipercaya begitu saja. Pada masyarakat yang menganut budaya lisan, peribahasa sangat penting untuk proses transisi pemikiran.Jika peribahasa digunakan pada jaman sekarang untuk menyelesaikan perselisihan tentu akan sangat menggelikan, bukan? Kita dapat menasihati anak kecil dengan peribahasa misalnya "Haste makes waste" atau "First come first serve", namun seluruh hadirin diruang sidang akan tertawa apabila hakim atau pengacara menggunakan peribahasa tersebut.Perubahan ini tentu karena media. Dahulu, dikebudayaan lisan, media adalah udara. Sedangkan dijamam tulisan, medianya tak lain adalah kertas-kertas yang berisi berbagai tulisan yang bermakna, dan bahkan berharga.Untuk menyelesaikan perselisihan, pelaku harus datang ke pengadilan dan akan diproses secara hukum dimana hukum itu telah ditulis secara terperinci dikitab hukum. Ya, kumpulan tulisan yang berisi hukum-hukum yanh sah, legitimate, dan disetujui oleh masyarakat. Kedua kasus ini sangat berbeda dijaman lisan, dimana masyarakat akan percaya begitu saja apa yang dikatakan orang lain.Jaman tulisan? Masyarakat membutuhkan bukti literatur, dan tradisi lisan telah kehilangan resonansinya.Paradoks serupa terjadi dikalangan cendekiawan yang sedang belajar di universitas. Sebagian besar kalangan universitas sangat menjunjung tinggi kebenaran dengan struktur dan logika tertulis. Dalam sidang skripsi misalnya, kandidat skripsi akan melakukan presentasi oral untuk membuktikan bahwa ia siap untuk diuji, namun tanpa adanya literatur yang mendukung serta skripsi yang berbentuk lisan, atau teori yang telah ditulis dan dipublikasikan, tim penguji tidak dapat meluluskan mahasiswa ini. Dalam berbicara, mahasiswa harus mempunyai landasan teori tertentu yang bisa dibuktikan keberadaannya,Setelah dinyatakan luluspun, mahasiswa memerlukan tanda bukti tulisan yang melambangkan bahwa ia dinyatakan lulus.Ini merupakan bentuk pengaruh media tertulis, yang mengubah resonansi lisan. Kebenaran hanya dianggap apabila ada bukti tertulisnya, sementara pernyataan lisan hanya akan dianggap sebagai desas-desus.Televisi Sang Media BaruHari ini banyak orang menggunakan angka angka sebagai penjelas akan kebenaran di dunia, jika perlu semua bidang ilmu yang sedang menganalisis suatu permasalahan haruslah bisa mengkuantifikasikan hasil risetnya agar dapat diterima sebagai kebenaran oleh khalayak. Patutlah disalahkan Pythagoras sebagai bapak dari kepercayaan akan kebenaran macam ini, karenanyalah kita dapat menganggap aneh seorang ekonom yang mempresentasikan kesejahteraan ekonomi suatu negara melalui sebuah puisi, cerita, maupun parabel jika bukan dengan angka. Walau sebenarnya semua itu hanyalah bentuk ekspresi akan kebenaran tentang ilmu ekonomi yang membicarakan kesejahteraan negara yang semuanya dapat menjadi benar bergantung pada konteks ruang dan waktu dan sosio-kultural dimana kebenaran itu disampaikan, namun dalam dunia modern ini apa yang disebut kebenaran dalam ilmu ekonomi adalah apa yang dapat dijelaskan dengan angka angka.Tetapi bukan berarti terjadi relativisme epistemologi yang membuat semua medium penutur kebenaran menjadi sama baiknya tergantung pada konteks tertentu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa ada medium yang lebih baik dari yang lainnya, yang bisa memberi dampak lebih luas dan lebih sehat bagi masyarakat yang memakainya. Disini Neil Postman berusaha meyakinkan kita bahwa ada kemunduran epistemologi berbasis tulisan ke televisi yang menyebabkan manusia semakin dungu setiap menitnya. Televisi sebagai media baru yang berbasis audiovisual telah mengubah paradigma kita dalam melihat kebenaran, dia mampu memberikan gambaran nyata secara visual tentang kebenaran yang disampaikan, karena sejatinya manusia akan benar benar mempercayai sesuatu yang dapat dilihat olehnya. Ketika suatu budaya bergeser dari tradisi lisan ke tulisan dan kemudian televisi, maka gagasan mengenai kebenaran juga ikut bergeser. Dalam suatu budaya yang masih menggunakan lisan sebagai media epistemologinya maka yang disebut sebagai orang berinteligensi tinggi adalah dia yang mampu menghafal atau merangkai sebanyak banyaknya pribahasa atau pepatah bijak yang dapat berlaku secara luas. Oleh karena itu kemampuan menghafal sangat dihargai mengingat tulisan belum ada sehingga manusia dituntut untuk menggunakan otaknya sedemikian rupa untuk mengingat berbagai macam fenomena yang terjadi disekitarnya. Beda lagi dengan suatu budaya yang menjadikan tulisan sebagai media epistemologinya, mereka tidak akan begitu menghargai kemampuan menghafal dan bertutur sebagai penentu tingkat kecerdasan, bagi mereka yang penting adalah literatur dan hasil penelitian apa yang dijadikan dasar dari suatu diskursus. Persis dengan apa yang terjadi di Amerika pada abad ke 18 dan 19 dimana inteligensi mengatakan bahwa kebenaran adalah apa yang disusun dengan kata kata tertulis.Namun pada abad ke 20 apa yang disebut dengan kebenaran telah bergerser karena kehadiran televisi, dia mendukung cara berpikir tertentu, definisi tertentu akan inteligensi dan kebijaksanaan, serta menuntut substansi tertentu. Bagaimanapun juga kehadirannya yang sangat menonjol dibanding media yang lain telah mengubah struktur diskursus dalam masyarakat seperti apa yang telah dijelaskan diatas. Mungkin benar hari ini kita masih bisa membaca buku, majalah, dan berbincang bincang dalam berbagi forum diskusi akademik yang seharusnya menjadi penyaing yang berarti bagi televisi, tapi semua itu tidak akan pernah lagi sama seperti sebelum televisi lahir dan berkembang didunia ini.Analogi yang cukup baik dari Neil Postman dengan mengandaikan sebuah sungai yang sangat jernih dengan banyak ikan yang hidup didalamnya, hingga suatu saat air itu tercemar suatu zat kimia yang akhirnya membuat sungai menjadi keruh dan ikan ikan mulai mati satu persatu. Sungai tetaplah sungai, kita masih bisa berjalan diatasnya dengan menggunakan sampan, ikan pun mulai beradaptasi dan mencoba hidup dikeruhnya air, dan semuanya berjalan seperti biasa walau tidak akan pernah kembali seperti semula. Itulah apa yang terjadi hari ini kepada media cetak yang dahulu sempat menguasai media penutur kebenaran selama 400 tahun dan hari ini dipaksa menyelami air yang keruh yang dicemari oleh televisi. Hari ini sisa sisa medium cetak yang didukung oleh kehadiran komputer, surat kabar yang mulai mengalami konvergensi akibat perkembangan teknologi sekalipun tetap tidak dapat membendung televisi sebagai medium utama penyampai kebenaran saat ini.Televisi dianggap Neil Postman sebagai pencemar komunikasi publik karena telah menghilangkan tradisi keseriusan, kejernihan, ketepatan, dan kekritisan diskursus publik yang biasa dihadirkan oleh media cetak tulis. Walau kemampuannya dalam menggerogoti diskursus rasional penontonnya adalah masalah serius, namun tenaga emosionalnya dalam membangkitkan sentimen anti rasisme dan perang Vietnam adalah potensi keuntungan yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Setiap media baru muncul pasti mensyaratkan sebuah transaksi, ada yang didapat dan ada yang diserahkan, dan tidak selalu berakhir pada titik keseimbangan. Apakah televisi akan menciptakan perubahan yang baik atau buruk dalam transaksinya kedepan ? Mari saksikan drama selanjutnya.BAB 3 : Amerika yang TipografisSalah satu kelompok agama yang dikenal sebagai The Dunkers menolak untuk menerbitkan secara tertulis prinsip-prinsip mereka. Hal ini merupakan sebuah kritik epistimologi atas budaya cetak tulis yang mutunya dapat disejajarkan dengan Plato. Penolakan The Dunkers merupakan sesuatu yang unik dimasa itu. Pada masa itu Amerika sebagai suatu koloni merupakan bangsa yang paling berkomitmen pada dunia cetak-tulis. Imigran amerika pertama dari Eropa yang datang merupakan para pembaca yang terlatih dan berdedikasi tinggi. Mereka juga mengangkut banyak buku ke tanah Amerika. Mereka juga dibekali sejumlah uang. Pada masa itu melek huruf termasuk tinggi. Mereka sangat mengagungkan cetak-tulis sebagai alat untuk menyebarkan dan mengembangkan agama. Namun tidak hanya buku agama, rata-rata pada tahun ini buku yang tersedia dirumah-rumah meruoakan buku selain Al-Kitab. Masyarakat pada tahun ini sangat menggemari dan membaca buku. Hal ini karena pendatang dari Inggris di Amerika ini merupakan masyarakat melek huruf. Selain itu sejak tahun 1650 hampir semua kota di New England (Amerika) mewajibkan baca-tulis. Sejak abad 16, sebuah pergeseran epistimologi besar-besaran telah berlangsung karena segala pengetahuan dioper dan dinyatakan melalui halaman tercetak. Halaman tercetak memberi kesan lebih mendalam dari peristiwa yang sesungguhnya. Dengan begitu dapat diasumsikan bahwa pengajaran kaum muda di sekolah merupakan suatu keharusan intelektual bagi masyarakat jaman koloni ini, bukan sekedar kewajiban moral. Jelas bahwa perkembangan melek huruf berkaitan langsung dengan sekolah. Mereka mengimpor dari tanah asalnya. Satu implikasi dari situasi ini adalah absennya suatu aristrokrasi sastra di Amerika. Kegiatan membaca tidak lagi dianggap elit. Berkembanglah sebuah kebudayaan membaca tanpa kelas. Muncul fenomena buku Thomas Paine yang berjudul Common Sense yang diterbitkan 10 Januari 1776 dan terjual sebanyak 10.000 ekslempar. Beliau pantas dijadikan ukuran tinggu dan luasnya tingkat melek huruf pada jamannya. Hal ini ditambah dengan ia adalah orang Inggris. Pada jaman ini orang Amerika terlalu sibuk dan tidak sempat untuk menulis. Namun mereka tidak terlalu sibuk untuk mengurusi percetakan. Kegunaan percetakan yang pertama pada saat itu adalah menerbitkan buletin berita. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa perkembangan kesustraan Amerika bukan terhambat oleh kualitas orang-orangnya, tapi karena keterbatasan kertas bermutu. Pada akhir abad ke-17, muncul sebuah bentuk literatur baru di Amerika, yaitu surat kabar. Surat kabar dimulai di Amerika pada 25 September 1690 di Boston, oleh Benjamin Harris dengan terbitan utamanya yang beranama Publick Occurences Both Foreign and Domestick. Publick Occurences mengabarkan mengenai adanya suatu Komplotan Katolik yang mengakibatkan orang Katolik dianiaya. Berita ini tentunya merupakan kebohongan, namun Publick Occurences dapat menunjukkan pentingnya surat kabar untuk menanggulangi semangat berbohong yang pada waktu itu merupakan hal yang lazin di Boston. Terbitnya surat kabar ini menyebabkan timbulnya perjuangan untuk kebebasan informasi di Dunia Baru (Amerika).Apa yang dilakukan oleh Harris telah memberikan inspirasi pada penerbitan surat kabar lainnya, beberapa diantaranya adalah Boston News-Letter (1704), Boston Gazette (1719), dan New-England Courant (1721). Pada akhir abad ke 18, Amerika sudah memiliki dua-per-tiga jumlah surat kabar di Inggris, sementara jumlah penduduknya hanya setengahnya. Hingga pada tahun 1786, orang Amerika sudah begitu sibuknya membaca koran dan pamflet sehingga mereka sampai tak punya waktu untuk membaca buku.Pada awal abad ke-19, Amerika sudah merupakan suatu kebudayaan yang didasarkan cetak-tulis. Bahkan banyak pendatang ke Amerika yang terkesan melihat tingkat melek huruf yang sangat tinggi, ditambah dengan ratanya ke seluruh lapisan masyarakat. Pendatang juga takjub melihat gendung ceramah di Amerika dimana perdebatan lisan mengedepankan tradisi cetak tulis. Kebanyakan dari balai ceramah ini didirikan sebagai hasil dari Pergerakan Lyceum, yaitu pergerakan yang bertujuan untuk menyebar ilmu pengetahuan, mempromosikan sekolah-sekolah, mendirikan perpustakaan, dan yang terutama adalah mendirikan balai ceramah. Hingga pada tahun 1853 hampir setiap desa sudah memiliki balai ceramah. Para penceramah umumnya terdiri atas intelektual ternama, penulis, humoris tenar pada masa itu, beberapa diantaranya adalah Henry Ward Beecher dan Ralph Waldo Emerson.Dari awal hingga abad ke-19, Amerika merupakan bangsa yang paling didominasi oleh dunia cetak tulis serta oratorio yang didasarkan pada cetak tulis, yang diawali oleh warisan tradisi Protestan. Pengaruh dunia cetak tulis pada tiap aspek diskursus publik sangat kuat, bukan saja karena jumlah namun juga oleh monopoli yang dipegangnya. Dari abad ke-17 hingga 19, barang cetakan merupakan satu-satunya media massa yang tersedia, sehingga segala urusan publik disalurkan melalui aksara tercetak, yang pada akhirnya menjadi suatu model, metafor, dan ukuran dari segala diskursus. Hingga tiba pada situasi dimana orang Amerika membentuk pola pembicaraannya sesuai dengan struktur media cetak, menghasilkan cara bicara yang ganjil karena media cetak pada dasarnya adalah hal yang impersonal. Tocqueville mengatakan bahwa fenomena ini adalah printed orality, yang terlihat dari beragamnya bentuk diskursus lisan. Pada saat itu berbagai bentuk khotbah masih menggunakan seni berpidato yang mirip dengan pemaparan dalam buku. Dengan ini, tidak juga berarti bahwa media cetak semata-mata mempengaruhi format diskursus publik, namun gagasan yang penting adalah bahwa format akan menentukan sifat substansinya. Media cetak bukanlah hanya suatu teknologi atau mesin, namun juga merupakan struktur diskursus yang menentukan jenis substansi pesan tertentu dan juga menentukan jenis audiens tertentu.BAB 4 : Pikiran yang TipografisAbad 18 dan 19 diisi oleh acara debat orang-orang sekelas Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas sebagai diskursus politik bernilai literer tinggi yang diadakan secara rutin dengan audiens yang cukup antusias. Debat yang diadakan akan membahas berbagai isu politik terkini dengan tingkat kompleksitas bahasa tinggi, sehingga audiens yang datang pun harus bisa keep up dengan pembahasan mereka dengan mengerti konteks-konteks politik lain yang berkaitan. Mengutip Neil Postman dalam bukunya:Di Ottowa, Douglas mempertanyakan tujuh hal pada Lincoln, yang kesemuanya akan sia-sia bila hadirin tak menetahui Keputusan Dred Scott, perselisihan antara Douglas dan Presiden Buchanan, ketidakpuasan di kalangan para Demokrat, kebijakan Abolisi, dan piadto tersohor Lincoln di Cooper Union tentang Majelis rakyat yang terpecah belah.Melihat kejadian ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat era tersebut memandang persoalan politik negara sebagai sesuatu yang selalu harus mereka pahami, terlebih karena mereka mampu menikmati jalannya acara debat politik panjang tersebut. Kesimpulan ini juga bersinggungan dengan mindset masyarakat tsb yang melihat manfaat acara debat tersebut untuk memperkaya pengetahuan politik mereka, memelihara eksistensi acara debat panjang untuk terus dilakukan di era itu. Memandang abilitas baik dari pembicara maupun audiens untuk dapat membuat, mengolah, serta menerima pesan retoris yang sangat berkonteks cetak tulis, Neil mengkategorikan pertengahan abad 19 ini sebagai masa kejayaan dari literatur di Amerika karena debat yang diangkat dianggap sebagai ekspositori yang diangkat dari media cetak. Ada pula kesimpulan yang ditarik bahwa daya pikir sebuah generasi dapat tergambarkan dari jenis media yang mereka konsumsi, sehingga dapat ditemukan adanya perbedaan yang timbul dari generasi media cetak dengan generasi televisi: dimana generasi media cetak cenderung terbiasa dengan gaya bahasa yang tersusun rapi, sistematis, bahkan kompleks, sedangkan generasi televisi cenderung terbiasa dengan gaya bahasa mass yang simplistik dan sempit. Lebih lengkapnya, sesungguhnya yang diungkapkan berdasarkan penjelasan Neil Postman mengenai fenomena diskursus tersebut adalah bahwa pada abad ke 18 dan 19 Amerika mengelami age of enlightment dimana pada dasarnya rasio, objectivitas, serta kemampuan berpikir secara sistematis, analitis, dan coherent sangat diutamakan. Dalam hal ini sesungguhnya diskursus sifatnya menjadi language-centered dimana hal tersebut selalu mengisyaratkan makna yang terselubung didalamnya, terutama ketika hal ini dituangkan ke dalam bentuk cetak. Menurut penjelasan Postman, dalam memaknai kata, maka dibutuhkan kemampuan untuk berasio, mengklasifikasi, dan teliti serta kritis dalam mendeconstruct hal yang tidak logis dan tidak masuk akal. Hal ini tentunya membutuhkan kemampuan berpikir yang sangat rasional, dimana pembaca harus mampu dalam menjaga jarak dengan kata yang dibacanya. Dalam arti kata, ia harus mampu melihat dan memaknainya secara obyektif agar sifat asli atau makna sesungguhnya yang terdapat dalam apa yang dibaca dapat sampai tanpa sang pembaca menjadi bias. Itu mengapa, pembaca yang baik tidak mudah terpancing secara emosi, dalam hal ini dalam menanggapi diskursus, karena sesungguhnya proses pemaknaan secara rasional tersebut akan berlangsung secara terus-menerus dan sulit untuk terputus. Itu mengapa, disebutkan oleh Postman, membaca merupakan aktivitas rasional.Diprioritaskannya rasio dalam masa the age of enlightment di Amerika ini juga sangat berimplikasi terhadap banyak hal, diantaranya adalah capitalism yang dilihat sebagai suatu hal yang sistem kehidupan ekonomi yang rasional dan juga liberal dan bahwa pendidikan juga diutamakan dalam menciptakan universal literacy. Selain itu dalam hal hukum, pada zaman tersebut hal ini juga perlu dirasional atas dasar kekhawatiran bahwa demokrasi akan mengakibatkan individualism yang tidak disiplin sehingga akan merugikan masyarakat. Dalam hal ini, hukum dikaji menjadi profesi dan suatu bidang yang liberal. Neil Postman mendeskribsikan masa ini sebagai Age of Exposition, dimana exposition merupakan kondisi berpikir, metode belajar, dan tujuan berekspresi yang didasari atas tipogrofi. Masa ini dideskribsikan oleh kemampuan untuk berpikir secara konseptual, deduktif, secara runut yang di-highlight dengan rasio sebagai prioritas. Dengan begitu, yang mengikuti selanjutnya adalah objektivitas dan bahwa segala sesuatu yang masuk akal harus didasari oleh reason, dengan begitu berlakulah kebenaran yang absolut atau yang hanya diakui oleh reason. Inilah typographic mind yang dimaksudkan oleh Postman dalam mendefinisikan masyarakat US di zaman exposisi tersebut.Pada akhir abad ke-17, muncul sebuah bentuk literatur baru di Amerika, yaitu surat kabar. Surat kabar dimulai di Amerika pada 25 September 1690 di Boston, oleh Benjamin Harris dengan terbitan utamanya yang beranama Publick Occurences Both Foreign and Domestick. Publick Occurences mengabarkan mengenai adanya suatu Komplotan Katolik yang mengakibatkan orang Katolik dianiaya. Berita ini tentunya merupakan kebohongan, namun Publick Occurences dapat menunjukkan pentingnya surat kabar untuk menanggulangi semangat berbohong yang pada waktu itu merupakan hal yang lazin di Boston. Terbitnya surat kabar ini menyebabkan timbulnya perjuangan untuk kebebasan informasi di Dunia Baru (Amerika).Apa yang dilakukan oleh Harris telah memberikan inspirasi pada penerbitan surat kabar lainnya, beberapa diantaranya adalah Boston News-Letter (1704), Boston Gazette (1719), dan New-England Courant (1721). Pada akhir abad ke 18, Amerika sudah memiliki dua-per-tiga jumlah surat kabar di Inggris, sementara jumlah penduduknya hanya setengahnya. Hingga pada tahun 1786, orang Amerika sudah begitu sibuknya membaca koran dan pamflet sehingga mereka sampai tak punya waktu untuk membaca buku.Pada awal abad ke-19, Amerika sudah merupakan suatu kebudayaan yang didasarkan cetak-tulis. Bahkan banyak pendatang ke Amerika yang terkesan melihat tingkat melek huruf yang sangat tinggi, ditambah dengan ratanya ke seluruh lapisan masyarakat. Pendatang juga takjub melihat gendung ceramah di Amerika dimana perdebatan lisan mengedepankan tradisi cetak tulis. Kebanyakan dari balai ceramah ini didirikan sebagai hasil dari Pergerakan Lyceum, yaitu pergerakan yang bertujuan untuk menyebar ilmu pengetahuan, mempromosikan sekolah-sekolah, mendirikan perpustakaan, dan yang terutama adalah mendirikan balai ceramah. Hingga pada tahun 1853 hampir setiap desa sudah memiliki balai ceramah. Para penceramah umumnya terdiri atas intelektual ternama, penulis, humoris tenar pada masa itu, beberapa diantaranya adalah Henry Ward Beecher dan Ralph Waldo Emerson.Dari awal hingga abad ke-19, Amerika merupakan bangsa yang paling didominasi oleh dunia cetak tulis serta oratorio yang didasarkan pada cetak tulis, yang diawali oleh warisan tradisi Protestan. Pengaruh dunia cetak tulis pada tiap aspek diskursus publik sangat kuat, bukan saja karena jumlah namun juga oleh monopoli yang dipegangnya. Dari abad ke-17 hingga 19, barang cetakan merupakan satu-satunya media massa yang tersedia, sehingga segala urusan publik disalurkan melalui aksara tercetak, yang pada akhirnya menjadi suatu model, metafor, dan ukuran dari segala diskursus. Hingga tiba pada situasi dimana orang Amerika membentuk pola pembicaraannya sesuai dengan struktur media cetak, menghasilkan cara bicara yang ganjil karena media cetak pada dasarnya adalah hal yang impersonal. Tocqueville mengatakan bahwa fenomena ini adalah printed orality, yang terlihat dari beragamnya bentuk diskursus lisan. Pada saat itu berbagai bentuk khotbah masih menggunakan seni berpidato yang mirip dengan pemaparan dalam buku. Dengan ini, tidak juga berarti bahwa media cetak semata-mata mempengaruhi format diskursus publik, namun gagasan yang penting adalah bahwa format akan menentukan sifat substansinya. Media cetak bukanlah hanya suatu teknologi atau mesin, namun juga merupakan struktur diskursus yang menentukan jenis substansi pesan tertentu dan juga menentukan jenis audiens tertentu.BAB 5 : Dunia CilukbaMenjelang pertengahan abad 19, muncul sebuah gagasan baru dalam diskursus public Amerika Serikat. Sebuah gagasan bahwa transportasi dan komunikasi adalah sesuatu hal yang dapat dipisahkan satu sama lain, dan bahwa ruang dan jarak bukanlah penghambat pergerakan informasi. Kemudian seiring perkembangan listrik, muncullah telegraf yang dengan praktis melayani komunikasi dan memecahkan masalah ruang dan waktu bagi komunikasi. Telegraf mempunyai kemampuan untuk memindahkan informasi secara cepat, membuat batas-batas wilayah dan negara menjadi samar. Telegraf memusnahkan definisi informasi dan memberi pengertian baru bagi diskursus publik. Telegraf melancarkan serangan bermata tiga, menyuplai irelevansi, impotensi, dan inkoherensi pada diskursus tipografi di Amerika Serikat. Berbeda dengan cara kerja media pasca-telegraf, informasi yang diberikan oleh media pra-telegraf umumnya bersifat lokal dan fungsional, terikat oleh permasalahan dan keputusan yang harus diambil para pembaca dalam mengelola urusan pribadi maupun kemasyarakatan. Sedangkan telegraf, menyemburkan berita yang tidak punya relevansinya dengan kehidupan kita sehari-hari. Telegraf merubah segalanya dengan kcepatan yang luar biasa. Dalam waktu singkat, semua surat kabar yang sebelumnya menguasai arus informasi terkalahkan oleh kecepatan dan jarak jangkauan yang jauh telegraf. Perlahan definisi lama berita yaitu sebuah informasi yang fungsional mulai berubah. Semua pemberitaan mengenai human interest mulai menghiasi isi pemberitaan. Thoreau bahkan berpendapat bahwa telegraf membuat lerevansi tidak relevan lagi. Jumlah informasi yang banyak kebanyakan taka da hubungannya dengan para pembaca yang dituju, baik dalam konteks sosial maupun intelektual.Telegraf juga merayakan impotensi, karena sebagian besar berita bersifat tidak aktif, hanya menjadi informasi yang kita bicarakan namun tak dapat membantu mengarahkan pada suatu tindakan yang berarti. Banjirnya informasi yang tak relevan dengan pembaca, mendorong besarnya penyusutan potensi sosial dan politis karena informasi-bebas-konteks, yaitu bahwa nilai informasi tidak perlu dikaitkan dengan fungsi apa pun yang dapat dilayaninya dalam pengambilan keputusan sosial-politis.Kedatangan fotografi juga turut membentuk pengertian baru tentang diskursus, kebenaran, dan tentunya konversasi publik. Foto, yang menggunakan visual sebagai bahasanya, terlanjur buru-buru disejajarkan dengan bahasa tulisan, dengan tidak memperhitungkan perbedaan mendasar pada keduanya. Jika foto menampilkan dunia sebagai suatu objek, bahasa menampilkan dunia sebagai suatu konsep. Foto yang bicara dalam bahasa citra tentulah berbeda dengan tulisan, sehingga keduanya mempunyai fungsi yang berbeda, bekerja pada tingkat abstraksi yang berbeda, dan menuntut jawaban yang berbeda pula.Nama fotografi diberikan oleh seorang ahli astronomi Sir John F. W. Herschel. Nama ini sebenarnya agak ganjil karena arti harafiahnya adalah menulis dengan cahaya. Suatu ironi karena sudah jelas dari mulanya bahwa fotografi dan penlisan (bahkan juga bahasa dalam segala bentuknya) tidaklah berada di dataran diskursus yang sama. Fotografi adalah bahasa yang hanya dapat diucapkan dalam keadaan tertentu. Kosa cotra yang dimilikinya terbatas pada representasi kongkrit. Seperti halnya alam dan laut yang tak dapat dipotret, abstraksi yang lebih besar seperti kebenaran, cinta, kepalsuan; tak dapat dibicarakan dalam leksikon gambar. Foto menampilkan dunia sebagai suatu obyek; bahasa menampilkan dunia sebagai suatu konsep.Foto juga tak mempunyai sintaksis, dan hal ini tak memungkinkannya berargumentasi dengan dunia. Sebagai sepotong ruang-waktu yang obyektif, foto bersaksi bahwa seseorang berada di suatu tempat, atau sesuatu terjadi. Kesaksiannya sangat kuat namun tak menawarkan sesuatu opini. Tak ada seharusnya begini, atau mungkin bisa begitu. Cara suatu foto merekam pengalaman juga berbeda dengan cara bahasa. Bahasa hanya dapat diterima akal bila ditampilkan sebagai suatu rentetan proposisi. Makna akan tampil penuh distorsi bilamana seorang pembaca atau pendengar tidak mengetahui apa yang disampaikan sebelumnya, dan sesudahnya. Namun foto tak dapat dicabut dari konteksnya, karena foto tak memerlukan konteks. Semua dapat dipisah-pisahkan, semua dapat dibuat tak berkesinambungan dari yang lainnya. Yang penting hanyalah cara membingkai suatu subyek secara berbeda. Pencitraan baru, dengan fotografi sebagai mata lembingnya, tidak hanya berfungsi sebagai suplemen bahasa, namun juga berusaha menggantikannya sebagai cara dominan untuk mengartikan, memahami, dan menguji realitas. Istilah graphic revolution oleh Boorstin dapat dijelaskan secara implisit yaitu ketika fokus baru pada citra menggerogoti definisi tradisional akan informasi, akan berita, dan pada skala yang lebih luas, akan realita itu sendiri. Dengan caranya yang aneh, foto merupakan pelengkap yang sempurna, yang mengancam akan menenggelamkan para pembaca dalam lautan fakta yang berasal dari tempat tempat yang tak diketahui, mengenai orang asing dnegan wajah wajah yang tak dikenal. Karena foto memberikan realitas konkrit pada berita dengan judul asing, dan memberikan gambar wajah bagi nama nama yang tak dikenal.Teknologi baru telah merubah suatu masalah yang telah lama ada mengenai informasi: Dahulu orang mencari informasi untuk menangani konteks nyata dalam hidup mereka, kini mereka harus menciptakan konteks untuk dapat mendayagunakan informasi, yang bila tanpa konteks tersebut akan menjadi tal berguna. Ciptaan utama revolusi grafis sebagai pseudo-event, yaitu suatu peristiwa yang secara sengaja diadakan untuk diberitakan. Struktur yang diciptakan untuk membuat informasi yang terpecah belah dan tidak relevan menjadi kelihatan berguna. Namun pseudo-konteks ini tidak memberi suatu jalan keluar, atau pemecahan masalah, atau perubahan. Satu satunya kegunaan yang didapat dari info semacam ini, adalah untuk menghibur. Pseudo-konteks merupakan harapan terakhir dari suatu peradaban yang dikuasai oleh irrevelansi, inkoherensi, dan impotensi.Paduan teknik elektronik ini memasuki dunia baru, dunia cilukba, yang berupa peristiwa ini sekarang, lantas peristiwa itu kemudian, meloncat ke hadapan kita sekejap, lalu menghilang lagi. Inilah dunia dimana tidak ada koherensi maupun penjelasan yang masuk akal, suatu dunia yang tidak pernah bertanya pada kita, bahlan tidak memungkinkan kita untuk berbuat sesuatu; suatu dunia yang, seperti permainan cilukba, sepenuhnya berdiri sendiri dan juga sangat menghibur.Media komunikasi di akhir abad 19 dan awal abad 20,dengan telegrafi dan fotografi di pusatnya, telah memunculkan dunia cilukba ini, namun belum menjadi masalah sampai televisi datang. Televisi menjadi pusat komando, televisi mempunyai kemampuan mengatur lingkungan komunikasi kita, dan ini tidak dapat dilakukan medium lain. Televisi telah mencapai status meta-medium yaitu sebagai suatu instrumen yang tidak hanya mengarahkan pengetahuan kita akan dunia, namun juga pengetahuan kita akan cara mendapat pengetahuan. Pada saat yang bersamaan, televisi telah mencapai suatu mitos, cara memahami dunia yang tidak problematik, tidak disadari sepenuhnya, dan tampaknya hal itu wajar atau alami. Ada konsekuensi yang lebih menggangu dari revolusi elektronik dan grafis: bahwa dunia yang diberi kepada kita melalui televisi kelihatan alami, tidak ganjil. Karena hilangnya perasaan ganjil ini merupakan tanda tanda bahwa kita telah menyesuaikan diri, dan batasan penyesuaian ini merupakan ukuran batasan perubahan yang telah kita alami. Penyesuaian diri budaya kita pada epistemologi televisi belumlah komplit; kita telah menerima sepenuhnya definisi yang disodorkannya mengenai kebenaranm pengetahuan, dan realitas akan irrelevansi yang terlihat penuh makna, juga inkoherensi yang terlihat sangat masuk akal.